Layar Terkembang 2
Layar Terkembang Karya St. Takdir Alisyahbana Bagian 2
"Ya, itulah yang saya maksud. Boleh jadi contoh tidur meninggi hari itu terlampau kecil dan tiada berarti. Saya benci kepada yang tidur meninggi hari itu, oleh sebab hal itu saya anggap sebagai suatu akibat dari suatu pendirian yang hendak enaknya saja. Dalam kita menuju ke suatu cita-cita, yang kecil-kecil itu tiada sekali-kali boleh kita lupakan. Kita harus konsek-wen, harus tetap pendirian sampai kepada pasal yang kecil-kecil pun. Terutama sekali dalam pergerakan perempuan menurut pengalaman saya, sekaliannya itu harus diingatkan dan ditunjukkan. Segala orang mau menyebutkan dirinya moderen, segala orang hendak pergi ke rapat, tetapi rapat itu bagi kebanyakan orang menjadi tempat mempertontonkan pakaian, menjadi mode-show. Dapat dihitung jumlahnya orang yang menjadi anggota sesuatu perkumpulan karena sesungguh-sungguhnya oleh keinsyafan hati."
"Saya mengerti yang engkau maksud," kata Yusuf menyela. "Keadaan seperti engkau tunjukkan itu, bukan hanya terdapat di kalangan perempuan, tetapi tidak bedanya di kalangan laki-laki. Tetapi janganlah kita menyangka, bahwa kita akan dapat melenyapkannya sama sekali."
"Sama sekali tentu tidak," sambut Tuti dengan tetap, "tetapi kewajiban kita ialah menambah sebanyak-banyaknya mereka yang insyaf itu. Kita harus menginsyafkan mereka akan perbedaan antara isi yang sebenarnya dengan kulit. Untuk itu kita harus menggambarkan dengan senyata-nyata di mana watas isi dengan kulit, di mana watas hakekat dengan rupa semata-mata. Kita harus berjuang melawan sifat pemudah yang terdapat pada bangsa kita. Di mana kita melihat orang memuja kulit, orang memuja rupa dan melupakan isi dan hakekat di situ kita harus memukulkan cambuk kita. Dalam Putri Sedar mereka yang serupa itu tidak saya kasihani, biarlah mereka ke luar daripada membanyak-banyakkan anggota yang tak ada gunanya. Biarlah mereka berkumpul dalam perkumpulan tennis, perkumpulan untuk pertemuan makan-makan dan piknik-piknik..."
"0 ya, contoh yang menyolok mata bagaimana mereka serupa itu menganggap arti perkataan moderen: Cobalah engkau berjalan pagi-pagi di lapangan tennis dan bahagian-bahagian yang banyak didiami oleh kaum bangsa terpelajar bangsa kita. Engkau akan melihat bagaimana ibu-ibu yang moderen itu asyik mengejar bola di atas taris. Di rumah babu menjaga anak dan memasak nasi."
"Saya seia dengan engkau, bahwa kita harus memisahkan kebaratan yang menjelma dalam kebiasaan menonton bioskop, bermain tennis, kegilaan akan pakaian dan perabot rumah yang indah-indah, dengan semangat Barat yang pokok bangsa Barat membangunkan kerajaan yang membelit dunia, yang menyebabkan Barat dapat menguasai alam, terbang di udara dan menyelam di laut. Tetapi dalam pada itu kita harus insyaf, bahwa
kedua-duanya itu pada hakekatnya aliran dari jiwa yang satu. Jiwa manusia bukan semata-mata terjadi dari otak yang tajam, yang tiada lain kerjanya daripada menimbang baik dan buruk. Manusia tidak dapat hidup semata-mata daripada yang baik menurut ukuran faedah dan gunanya."
"Aaah, Yusuf, bagaimana logikamu ini" Kalau hendak dipertahankan semuanya baik, pencuri pun boleh kita katakan ada faedahnya dalam masyarakat, sebab mereka menjaga supaya manusia jangan lengah. Tetapi kita sebagai golongan mereka yang insyaf menunjukkan jalan yang baru, tidak boleh sangsi-sangsi. Kita harus menyatakan sesuatu senyata-nyatanya. Sesuatu yang baik hanya mungkin baik, sesuatu yang jelek hanya mungkin jelek. Kalau kita sangsi sendiri akan apa yang kita ucapkan, bagaimanakah kita akan menunjukkan jalan kepada orang banyak... ""
Di antara mereka dengan asyik bertukar pikiran itu, keluarlah Maria dari dalam berpakaian kebaya merah berbunga putih-putih. Mukanya yang tipis berbedak itu berseri-seri, bibirnya basah kemerah-merahan, sedangkan matanya yang jelita itu semata-mata membayangkan kegirangan hatinya. Lain benar halnya dengan Tuti yang amat bersahaja rupanya dengan kebayanya yang putih dan mukanya yang tenang dan tetap.
Melihat adiknya selekas itu sudah mandi dan bertukar pakaian, terkeluar dari mulut Tuti dengan tiada sengaja, "Lekas benar engkau mandi dan berdandan sekali ini."
Mendengar kata Tuti itu memerah muka Maria, selaku seseorang yang tertangkap waktu mengerjakan sesuatu perbuatan yang disembunyikannya kepada orang banyak.
"Ah, biasa saja," katanya dengan suara selaku tidak peduli, seraya mencapai ke belakang kuduknya mengambil anyaman rambutnya dan memain-mainkannya dengan jarinya di atas pangkuannya. Tetapi bagi Yusuf tiada luput getar dalam suara Maria yang kentara dibiasa-biasakannya itu. Perasaan bahagia yang tiada terkatakan mengalir di seluruh badannya yang remaja.
Sebentar Tuti masih duduk bersama-sama dengan mereka itu, maka ia minta diri kepada Yusuf untuk menyudahkan pekerjaannya yang masih bertimbun-timbun. Kepadanya terserah menulis laporan kongres yang harus diterbitkan dalam lima belas hari ini. Demikian tinggallah Maria dengan Yusuf bercakap-cakap di luar.
Setelah Tuti masuk ke dalam terasa sekali kepada Yusuf perubahan percakapan. Dengan Tuti percakapan yang sebiasa-biasanya menjadi pertukaran pikiran, menjadi persoalan; alasan beradu dengan alasan; ia mengeluarkan pendiriannya, ia menyerang mereka yang tiada seia dengan dia. Perkataannya terpilih, susunan kalimatnya tegas dan kukuh, suaranya tetap dan pasti serta penuh kepercayaan.
Sebagai seorang yang gembira hidup dalam perkumpulan, sebagai pemuka pergerakan pemuda, percakapan yang demikian menghidupkan semangatnya, menyegarkan pikiran dan hatinya. Nikmat ia mendengar perempuan yang luar biasa itu memberikan teorinya, menggambarkan cita-citanya yang lahir dari hati kecilnya. Tuti baginya sesungguhnya perempuan yang luar biasa tetap pendiriannya dalam segala hal.
Tetapi percakapan dengan Maria sebaliknya. Baginya tak ada suatu soal jua pun. Ia melompat dari suatu pasal ke suatu pasal, dari perjalanannya dengan Rukamah kepada bagaimana ia menempuh ujiannya. Ia bertanya apa kerja Yusuf dalam libur, bagaimana orang tuanya, ia menceritakan maksudnya akan menjadi guru masuk kursus petang C.A.S. Suaranya bukan sekali-kali suara Tuti yang tetap dan tegas. Duduknya tiada senang diam, tetapi senantiasa bergerak. Sebentar-sebentar ia tersenyum dan tergelak.
Ada Yusuf membawa percakapan kepada soal pergerakan perempuan, kepada kongres perempuan di Sala, tetapi percakapan itu tiada hendak lancar. Maria terlampau banyak mengiakan saja, ia tiada mengeluarkan pikirannya, sehingga Yusuf membiarkannya pula membawa percakapan itu ke pasal-pasal yang disukainya.
Tetapi meskipun demikian tiada kurang nikmatnya ia bercakap-cakap dengan Maria. Suara gadis itu yang mesra, matanya yang memandang menyinarkan kekaguman yang timbul sendirinya, selaku mengikatnya dalam simpulan gaib yang nikmat.
"Engkau tentu belum menyarap," kata Maria kepada Yusuf meneka
n dengan suaranya yang lembut.
"Sudah di hotel tadi minum kopi dan makan roti sepotong."
"Bohong, engkau mesti menyarap bersama-sama saya. Mesti, mesti, tidak boleh tidak." Lemah sebagai cumbu bunyi suaranya, tetapi Yusuf tiada dapat menyangkal, lebih kuat dari paksaan yang keras. Habis perkataannya itu, dengan tiada menanti jawab lagi Maria telah berdiri dan masuk ke dalam.
Yusuf termenung melihat ke hadapannya dengan tiada nampak suatu apa. Sungguh bertentangan pekerti dua bersaudara itu. Kepada yang seorang ia merasa hormat dengan sepenuh-penuh hatinya. Hormat akan keberaniannya dan ketetapan hatinya, hormat akan ketajaman pikirannya, hormat akan kegembiraannya berjuang dan berkorban bagi yang terasa kepadanya mulia dan suci. Pada yang seorang lagi perasaan hormat itu diganti oleh perasaan yang gaib yang tiada terkatakan; oleh perkataannya yang bersahaja, oleh gerak badannya dan cahaya mukanya yang tiada ditahan-tahan, oleh suaranya yang mesra mencumbu dan pandangan matanya yang membelai menyinarkan kagum.
Maka dalam bermenung itu sayup-sayuplah terasa kepadanya, bahwa dalam perasaan hormatnya kepada yang seorang ada tersela tersembunyi perasaan takut.
Dan jiwanya yang muda remaja itu tertariklah kepada perasaan yang gaib, yang nikmat melamun menghanyutkan dirinya tiada tertahan-tahan...
7. MEREKA duduk berdua di atas batu besar yang hitam kehijau-hijauan oleh lumut. Yusuf berjas buka putih dan berdasi sutera yang kemerah-merahan; di bahunya tersandang tali botol termos yang tergantung pada sisinya sebelah kiri dan di tangan kanannya dipegangnya topi helm putih. Maria berbelus putih dan roknya yang pendek, tiada berapa jauh melewati lututnya, biru warnanya. Kakinya hanya dibaluti oleh kaus yang lebih tinggi sedikit dari mata kakinya, sedangkan sepatunya ialah sepatu karet putih. Di pangkuannya dipegangnya sebuah bungkusan kecil. Kedua-duanya takjub melihat ke hadapan, kepada air terjun Dago yang gemuruh bersorak terjun dari atas tebing yang rapat ditumbuhi rumpun bambu. Berputar-putar dan berombak-ombak air yang baru jatuh itu terkumpul di bawah di dalam jurang dan pada suatu tempat ia mengalir di antara batu-batu yang besar menjadi anak air yang deras Apabila angin bertiup, maka melayanglah tempias yang halus dan dingin kepada muka kedua anak muda itu.
Tiada jauh dari mereka, berdiri empat orang anak muda Belanda, dua orang laki-laki dan dua orang perempuan. Di bawah di tempat anak air bermain-main beberapa orang anak kecil Belanda, diawasi ayah-bundanya. Di atas tebing kelihatan beberapa orang anak laki-laki berpakaian pandu. Sementara itu dari atas tebing di belakang mereka senantiasa kelihatan orang datang.
Dalam libur besar serupa itu tiap-tiap hari air terjun Dago itu ramai dikunjungi orang dari Bandung, kebanyakan anak-anak muda murid sekolah rendah dan menengah yang hendak melihat tamasya air terjun yang permai itu dan hendak berjalan-jalan di rimba-rimba sekitarnya yang ditumbuhi rumpun bambu dan pohon-pohon yang rindang.
"Mengapa engkau diam saja," tanya Yusuf tiba-tiba seraya memalingkan matanya dari air terjun yang memutiara berpancaran ditiup angin, melihat kepada Maria. Maria mengangkat mukanya yang kemerah-merahan kena sinar matahari dan memandanglah kepada Yusuf agak keletihan rupanya.
"Saya agak lesu," katanya hampir-hampir tiada kedengaran dan suaranya yang halus itu menyerupai suara kanak-kanak yang mencari perlindungan pada bunda.
Mendengar jawab Maria itu segera berubah muka Yusuf, keningnya berkerut dan cemas menajam matanya memandang kepada gadis di sisinya itu, "Engkau sakit Maria...!"
Suaranya terang menyatakan, bahwa ia agak khawatir melihat rupa Maria ketika itu. Tetapi Maria menggelengkan kepalanya dengan senyum antara kelihatan dengan tiada, "Sakit tidak, tetapi saya agak letih."
"Terlampau kita paksakan tadi berjalan sejauh itu, mendaki sejak dari Bandung. Saya tiada sekali-kali ingat, bahwa badanmu tiada kuat," katanya, pula dan matanya masih khawatir mengamat-amati gadis yang ramping itu.
"Saya dari dahulu benar kurang dapat menahan letih. Kalau sa
ya sudah berlari cepat-cepat, misalnya waktu main bola keranjang di sekolah, kadang-kadang berbintang-bintang pemandangan saya dan napas agak sesak."
"Ya, perawakan badanmu benar bukan perawakan orang yang kuat. Saya salah tadi tidak ingat akan itu," kata Yusuf pula selaku menyesal. Ia pun melihat ke sekelilingnya mencari tempat duduk yang baik. Nampak kepadanya di belakang mereka di tepi tebing sebuah batu besar, lalu berkata ia kepada Maria, "Maria, kita pergi ke sana ke batu dekat tebing itu. Boleh engkau duduk bersandar sesenangmu, supaya lekas hilang letihmu."
"Ah, tidak mengapa benar, di sini pun letih saya akan hilang," sahut Maria membantah, tiada hendak melihat kelemahannya dilebih-lebihkan.
Tetapi Yusuf tidak dapat disangkal lagi, ia merasa tanggungan yang dipikulnya, "Tidak, tidak, engkau mesti duduk di sana. Tempatnya lebih baik, letihnya akan hilang sendirinya."
Ucapan yang setetap itu bunyinya tidak terlawan oleh Maria, ia pun berdirilah dan bersama-sama Yusuf ia pergi ke batu di tepi tebing itu. Yusuf menghamparkan setangan di atas batu tempat duduk Maria dan gadis itu disuruhnya bersandar kepada tebing. Sesudah itu dibukanya botol termos yang disandangnya dan diisinya cangkir tutup botol termos itu dengan teh.
Maria menyambut teh itu, tetapi oleh karena masih panas diletakkannya di sisinya di atas batu.
Yusuf mengeluarkan dua buah bungkusan roti dari sakunya dan diberikannya sebuah kepada Maria, "Marilah makan ini dahulu, badanmu akan dikuat-kannya kembali."
Ia sendiri duduklah pula di sisi sebelah kanan gadis itu dan makanlah mereka bersama-sama. Setelah habis roti mereka, Maria membuka bungkusan kertas yang dibawanya dan dikeluarkannya dari dalamnya buah anggur yang segar lezat rasanya.
Sementara itu mereka bercakap-cakap juga bertambah lama bertambah asyik, sebab lambat-laun Maria hilang letihnya.Yusuf menceritakan kebesaran alam di negeri tempat lahirnya: hutan yang berpuluh-puluh kilometer rapat menumbuhi gunung dan ngarai, tiada didiami manusia seorang jua pun. Betapa keindahan danau Ranau yang baru dikunjunginya dua minggu yang lalu. Jalan yang berbelit-belit di atas tebing di tepi tasik yang tenang, sebentar jelas kelihatan hijau membentang, dilingkungi rimba yang rapat-rapat, yang jauh di seberang mengabur dalam kabut. Sebentar hanya terkilat sedikit-sedikit dari antara celah-celah daun kayu yang rapat. Bagaimana ia dengan Sukarto sehari-harian bermain-main dengan sampan di tasik itu, tiada teringat sesuatu apa, terlengah dalam sentosa alam yang belum diusik manusia.
Bercahaya-cahaya mata Maria mendengar lukisan Yusuf tentang keindahan dan kebesaran alam di negerinya dan dalam hatinya yang mengagumi anak muda itu tergambarlah segala yang didengarnya itu sepermai-permainya dan sesempurna-sempurnanya.
"Alam yang kita lihat di sini sekarang ini tidak sedikit jua pun dapat dibandingkan dengan alam yang sebenar-benarnya. Di mana-mana kelihatan bekas tangan manusia. Pohon-pohon tiada tumbuh menurut tenaga tumbuhnya sendiri lagi. Sekaliannya telah diatur oleh manusia..."
"Tetapi, oleh itu pula lebih enak berjalan-jalan di sini. Coba misalnya jalan-jalan ini tiada dibuat orang, kalau di sini sekaliannya masih belukar dan semak yang rapat, siapakah yang hendak datang ke mari"" kata Maria, perlahan-lahan melepaskan dirinya dari pesona lukisan Yusuf tentang hutan rimba di negerinya itu. "Bagi saya tempat ini sudah cukup indahnya. Alangkah senangnya kalau saya tiap-tiap Minggu misalnya dapat berjalan-jalan di sini."
"Saya tidak sekali-kali mengatakan, bahwa tempat ini tidak indah. Apabila bagi orang yang selalu hidupnya di kota yang besar, tempat ini sesungguhnya telah cukuplah memuaskan hasrat hatinya akan alam. Tetapi bagi orang yang telah biasa melihat alam yang lebih dahsyat dan lebat dari ini, Dago ini seperti tiru-tiruan saja. Cobalah pikirkan, apakah sebenarnya air terjun yang tak sampai dua puluh meter tingginya..."
"Ya, ya, tetapi marilah kita berjalan-jalan, apa kerja kita duduk di sini lama-lama," kata Maria kepada Yusuf membelokkan percakapan.
"Berjalan-jalan" Sudah ku
atkah engkau"" Maria menyentak berdiri, seolah-olah perkataan Yusuf yang tiada percaya bunyinya itu hendak disangkalnya dengan bukti yang nyata. Seraya tersenyum dan melihat dengan lucu kepada bujang itu katanya, "Saya hendak bersecepat berlari dengan engkau naik ke atas tebing."
Yusuf tertawa, "Engkau berani bersecepat dengan saya" Saya takut nanti saya harus menggendong orang pulang ke rumah."
"Ya, saya tahu, engkau takut itu, sebab engkau tidak akan kuat menggendong saya," jawab Maria dengan tertawa mengusik Yusuf. Mukanya yang merah kena panas lebih memerah lagi menginsyafkan arti perkataan yang terlompat dari mulutnya dengan tiada diketahuinya itu. Dan kemalu-maluan dibuangkannya mukanya ke tempat lain.
"Kalau tidak letih Maria rupanya lucu benar," ujar Yusuf dengan tenang, seraya mengamati-amati pekerti Maria yang telah riang kembali itu. "Tetapi baiklah kita naik ke atas berjalan-jalan."
Ia pun berdiri pulalah. Diambilnya setangan alas Maria duduk, dikiraikan-nya beberapa kali, lalu dimasukkannya ke dalam sakunya. Maria mengambil lebih buah anggur yang terletak di atas batu dengan tangannya. Dengan tangan kirinya dipegangnya tangan Yusuf dan ditariknya berjalan naik tebing yang curam itu. Tiba di tempat yang datar dekat rumpun bambu yang lebat, mereka melihat ke jurang ke arah air terjun yang gemuruh berderau jatuh ke bawah. Lantang kelihatan lembah yang kecil tempat air mancur berderai menerjunkan dirinya serta anak air yang deras mengalir di antara batu-batu. Kecil nampaknya orang yang berjalan-jalan di bawah di anak air.
"Indah benar tempat berjalan-jalan di bawah bambu ini," kata Maria seraya memandangkan matanya mengikut jalan yang teduh di hadapan mereka. "Ini pertama kali saya berjalan ke mari. Di Jakarta tidak ada .empat berjalan hari Minggu yang sepermai ini."
"Mujur tidak ada," kata Yusuf. "Kalau ada, saya takut engkau tiap Minggu akan keletihan berjalan." Matanya bernyala-nyala melihat gadis dan bibirnya menggelungkan senyum yang Jenaka.
Maria pura-pura merengut, tetapi Yusuf lekas pula berkata, "Jangan lekas marah, orang yang lekas marah itu buruk rupanya."
"Tetapi engkau jahat benar kepadaku," kata Maria sebagai kanak-kanak yang merajuk.
Sementara itu mereka telah berjalan melangkah perlahan-lahan di jalan yang rindang dilindungi oleh daun bambu yang rapat. Bertambah lama bertambah jauh mereka dari lembah air terjun. Hanya bunyinya saja yang kedengaran lagi, bersatu dengan desir daun bambu yang melengkung berbuai-buai di atas kepala mereka. Sebentar-sebentar bunyi desir yang merayu-rayu itu disela oleh bunyi batang bambu yang ramping itu beradu berderak-derak.
Bertambah jauh kedua muda-remaja itu berjalan dengan tiada bertuju di dalam lingkungan pohon-pohon yang rindang itu. Bertambah lama bertambah meresap ke dalam hati mereka berdua kesepian alam sekelilingnya dan dari dasar jiwa mereka naik halus berkepul perasaan bahagia yang menahan kegembiraan girang hati mereka. Langkah mereka memberat dan percakapan yang riang, penuh gelak dan gurau, melembut seperti belaian yang halus.
"Mengapa engkau diam pula," kata Yusuf tiba-tiba setelah mereka beberapa lamanya berjalan dengan tiada berkata-kata. Suaranya perlahan sebagai bisik angin lalu pada senja hari.
Maria mengangkat mukanya melihat kepada Yusuf dan matanya yang besar hitam yang jelita itu berat rupanya. Senyum yang tertahan membayang pada wajahnya.
Yusuf segera membuang mukanya melihat mata gadis yang mengimbau itu. Ia menolak perasaan yang gaib mendesak dari kalbunya.
Di tepi jalan terlihat kepadanya beberapa batang kembang setahun yang lebat berbunga, "Hai, kembang setahun tumbuh di sini" Alangkah indah rupanya, sebanyak itu bunganya!"
Maria melihat kepada perdu-perdu kembang setahun yang tumbuh terpencil di bawah perdu Marygold yang gembira memuncakkan kembangnya yang kuning, "Indah benar kembangnya, saya gila akan merah keungu-unguan seperti ini!"
Belum habis katanya ia sudah menyimpang mendekati kembang setahun itu. Sambil menunjuk membelai-belai bunga yang segar-segar itu, ia berkata, "Bagaimana engkau terses
at di tengah-tengah rimba ini" Siapakah yang menanammu di sini""
Yusuf datang mendekat pula, "Tentulah ada orang membawa kembang setahun kemari, terjatuh atau dibuangkannya di sini setangkai yang sudah tua."
"Bagus benar, bagus benar," ujar Maria, tiada mempedulikan kata Yusuf, belum puas rupanya mengucapkan kekagumannya melihat kembang itu.
"Kalau kita di Jakarta, tentu saya cabut sekaliannya akan ditanam di rumah."
"Tidak usah engkau cabut, ambil saja kembangnya yang tua. Cukuplah itu ditanam!"
"O, ya, kalau begitu baiklah engkau menyimpannya, saya hendak men-cucukkannya di kelepak bajumu. Maukah engkau""
Dengan tiada menanti jawab lagi Maria telah memetik setangkai kembang merah keungu-unguan yang bulat-bulat menyerupai kancing baju itu. Maka berbaliklah ia kepada Yusuf lalu berkata, "Mari saya cucukkan!"
ia pun mendekatlah dan tangannya yang halus memegang kembang setahun itu memasukkan tangkai kembang yang permai itu di kuku belalang kelepak baju Yusuf.
Sementara itu Yusuf dengan pesat mengamat-amati gadis yang dekat di hadapannya itu; rambutnya yang hitam lebat teranyam, mukanya yang
merah bercahaya tersenyum ditahan, badannya... sebentar terasa kepadanya tangan yang halus itu gemetar pada dada bajunya. Sesuatu perasaan nikmat yang sejak dari tadi melingkungi kedua muda remaja itu datang mendorong memenuhi seluruh badannya dan sebelum ia dapat mengatur pikiran lagi, kedua tangannya telah terangkat mendekap tangan gadis yang baru selesai mencucukkan kembang pada bajunya. Dari mulutnya keluarlah ucapan, agak gemetar, tetapi nyata menyuarakan kepastian seseorang yang yakin akan kemenangannya, "Tetapi tangan ini saya hendak menyimpannya juga."
Maria tiada membantah, tetapi mukanya yang memucat ditundukkannya ke bawah dengan tiada berkata suatu apa.
Seraya melekapkan tangan gadis itu dengan tangan kirinya kepada dadanya, mesra seperti tiada hendak dilepaskannya lagi, perlahan-lahan Yusuf mengangkat muka Maria melihat kepadanya dengan tangan kanannya, "Maria, lihat saya sebentar."
Pada mata Maria nampak kepadanya berlinang air mata dan mesra meminta menggemetarlah suaranya untuk pertama kali seumur hidupnya, "Maria, Maria, tahukah engkau saya cinta kepadamu""
Badan Maria melemah jatuh ke tangan Yusuf dan seraya menengadah dengan pandangan penyerahan, keluar dari mulutnya bisik lesu hampir-hampir tiada kedengaran, "Lama benar engkau menyuruh saya menanti -katamu ..."
Tak dapat lagi ia meneruskan ucapannya, sebab Yusuf menunduk menutupkan bibirnya ke atas bibir Maria. Dan dalam curahan cinta pertama, yang menggemetarkan badan mereka yang muda remaja itu, menjauh mengaburlah keinsyafan akan tempat dan waktu ...
Sama-sama mereka berjalan, mesra berpegangan di antara pohon-pohon bambu yang sayu berdesir-desir ditiup angin. Hampir tak ada perkataan yang mereka ucapkan. Tiba di tepi air yang deras mengalir, mereka menyeberang jembatan bambu yang panjang. Seperti dua orang kanak-kanak yang karib berkawan, yang seorang lebih besar dan tangkas dari yang lain, Yusuf memimpin Maria menyeberangi jembatan yang berbuai-buai di atas air yang deras mengalir.
Tiba di seberang mereka turun ke bawah ke tepi anak air. Beberapa lamanya mereka melangkah dari batu ke batu. Di sebelah batu yang besar di tempat yang terlindung, jauh dari lalu lintasan orang, duduklah, mereka berdua. Di hadapan mengalir anak air yang deras, ringan berirama girang-gemirang berpendar-pendar, di belakang berbuai-buai daun bambu sayu merdu berbisikan cerita yang tiada habis-habisnya dan dari jauh sayup melayang di tanai angin bunyi air mancur menyerakkan mutiara ke bawah.
Sekaliannya indah dan permai seperti biasanya di tengah alam, dan indah dan permai seperti biasa pula pujuk dan cumbu asyik-maksyuk muda remaja berdua dalam limpahan perasaan cinta pertama yang penuh harapan.
8. MARIA telah menceritakan kepada Tuti, bahwa ia telah berjanji kepada Yusuf akan menjadi istrinya di kemudian hari. Kepada Tuti dan Rukamah nyata benar kelihatan perubahan pekerti Maria dalam waktu yang akhir ini. Percakapannya tentang Yusuf saja. Ingat
annya sering tiada tentu. Sebentar-sebentar ia sudah duduk melamun, tiada bergerak-gerak, sedang matanya memandang ke hadapannya. Dalam percakapan waktu berjalan-jalan atau di tengah makan sering tertangkap Maria tiada mendengar bicara orang lain.
Rukamah suka benar mengganggu saudara sepupunya itu. Meskipun sering juga Tuti turut tertawa mempermain-mainkan adiknya itu, tetapi biasanya tiadalah banyak katanya. Baginya Maria dalam keadaan mabuk asmara itu menjadi suatu soal yang sangat menarik hatinya dan hendak dipelajarinya. Payah ia memikirkan, betapa mungkin seganjil itu pekerti adiknya itu sejak ia bercinta-cintaan dengan Yusuf. Diusahakannya menyusun Maria dalam susunan pikirannya yang nyata tentang perhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat dan dalam perkawinan. Hatinya tidak senang sedikit jua pun. Kalau demikian mungkin mabuknya perempuan dibuat oleh laki-laki, sehingga tiada ada yang lain lagi yang teringat dan terpikir kepadanya, maka telah selayaknya benarlah perempuan menjadi hamba sahaya laki-laki. Perempuan hendak takluk, hendak bergantung kepada laki-laki. Itulah sebabnya, maka ia menjadi takluk, menjadi bergantung kepada laki-laki. Itulah sebabnya, maka laki-laki dapat berbuat sekehendak hatinya atas perempuan. Kalau perempuan hendak mendapat kebebasan dirinya kembali, kalau perempuan hendak berdiri sederajat dan sejajar dengan laki-laki, maka haruslah ia menguatkan dirinya dan menyatakan, bahwa ia cakap berdiri sendiri, tiada usah akan bantuan. Perempuan baru yang insyaf hanya hendak menghadapi laki-laki, apabila ia dalam segala hal mendapat penghargaan yang sama. Tiada ia hendak menengadah melihat kepada laki-laki dan dalam perkawinan bukan perlindungan yang dicaharinya, tetapi penghargaan akan kecakapannya sebagai manusia yang bebas dan cakap.
Pada suatu malam sesudah makan gadis bertiga itu berkumpul di kamar tempat tidur mereka. Tuti duduk di meja membaca buku, di sisinya duduk Rukamah menjahit. Maria berguling di tepi tempat tidur sedang membaca sebuah roman.
Di luar sejak dari petang tadi tidak berhenti-hentinya turun hujan. Beberapa lamanya Maria duduk melamun di beranda menantikan kekasihnya yang tiada juga kunjung-kunjung datang. Tiadalah terkata-kata kecewa hatinya. Sesudah makan tiadalah ia bertenaga lagi dan dilenyapkannyalah harapannya akan bersua dengan kekasihnya itu. Sebab itu diambilnya sebuah roman akan melengah-lengahkan hatinya. Tetapi dari yang dibacanya itu tak banyak yang masuk ke dalam pikirannya. Sebentar-sebentar terhenti ia membaca dan mengaburlah huruf-huruf di hadapan matanya, dan yang kelihatan kepadanya hanyalah Yusuf kekasihnya itu. Terang terbayang di matanya perjalanan mereka pergi ke Dago tiga hari yang lalu. Sekaliannya masih nampak kepadanya: air mancur yang gemuruh terjun ke dalam jurang, jalan yang lindap dilingkungi daun bambu yang berdesir-desir. Masih terdengar kepadanya suara Yusuf menyatakan cintanya kepadanya dan dicobanya mengingatkan perasaan nikmat, ketika bibirnya merasakan panas bibir kekasihnya. Betapa badan remajanya gemetar melesu dan mengabur ingatan kepada dunia.
Rukamah telah lama memperhatikan cara Maria membaca itu. Geli hatinya melihat ia tiada beralih-alih dari halaman yang di hadapnya. Beberapa kali telah dicuilnya Tuti memperhatikan Maria yang melamun menghadapi buku, tetapi Tuti sedang asyik membaca dan tiadalah ia hendak peduli. Ingin benar hati Rukamah hendak mengganggu saudara sepupunya itu, tetapi ia tiada tahu bagaimana jalannya.
Rukamah dipanggil ibunya dari kamar di hadapan kamar mereka bertiga. Bergegas-gegas ia berdiri dan pergi ke luar mendapatkan bundanya. Perempuan tua itu hanya minta tolong carikan sebuah jarum penjahit.
Ketika ia hendak masuk ke kamarnya kembali kedengaran kepadanya di luar bunyi kereta berhenti dan ia pun melihat dari pintu kaca ke jalan besar. Tampak kepadanya kereta itu berhenti di muka rumahnya. Beberapa lama antaranya turun seorang laki-laki, tetangga mereka di hadapan.
Ketika itu tiba-tiba teringat kepadanya akan mengganggu Maria. Lekas diputarnya kenop lampu listrik d
an bergesa-gesa ia masuk ke dalam, lalu berkata dengan suara yang sungguh-sungguh, "Maria, Maria, itu dia datang!"
Maria yang tiada menyangka suatu apa jua pun menggelompar-dari tempat tidur dan dalam sekejap ia sudah ke luar kamar menuju ke depan. Sementara itu Rukamah masuk ke dalam kamar pergi ke tempat penjahitannya. Tetapi belum sampai lagi ia di tempat duduknya, meletus dari mulutnya bahak yang tiada dapat ditahannya lagi. Dan ia membunguk-bungkuk memicit perutnya, lemah seluruh badannya oleh geli hatinya melihat Maria tertipu itu.
Tuti mengangkat mukanya dari bukunya, heran melihat laku Rukamah. Beberapa kali ia bertanya, apa yang ditertawakannya, tetapi gadis yang tertawa terpingkal-pingkal itu belum dapat juga menjawab. Tetapi segera mengerti juga Tuti, bahwa yang ditertawakan oleh Rukamah yang suka mengganggu itu tak lain, ialah Maria. Dan ia pun turut pula tertawa, geli mengingatkan bagaimana cepatnya Maria melompat dari tempat tidur pergi berge-sa-gesa ke luar.
Tak berapa lama antaranya kembalilah Maria ke dalam kamar, mukanya pucat merengut. Dengan suara yang gemetar oleh amarah yang ditahan-tahan, berkatalah ia kepada Rukamah, "Engkau jahat benar, Rukamah, menipu saya serupa itu... "
Lebih banyak tak dapat dikatakannya, dibantingkannya badannya di tempat tidur seraya menangis tersedu-sedu.
Melihat akibat kejenakaannya yang tiada sekali-kali disangka-sangka akan sehebat itu, hilanglah nafsu Rukamah akan tertawa. Sedih dan iba hatinya melihat saudara sepupunya itu dan menyesallah ia akan perbuatannya. Lalu
didekatinya Maria dan dibelai-belainya rambutnya seraya berkata, "Jangan marah Maria, tidak sekali-kali maksud saya menyakitkan hatimu. Saya terlanjur dan kurang pikir tadi. Diamlah! Tidak lagi saya akan mengganggu serupa itu."
"Engkau selalu mengganggu saya. Engkau tidak tahu bagaimana perasaan saya," ujar Maria tersedu-sedu.
"Tidak, tidak, saya tidak akan mengganggumu lagi, saya menyesal benar akan perbuatan saya tadi. Maafkanlah saya Maria," kata Rukamah tak dapat memilih perkataan untuk menyatakan sedih dan sesal hatinya atas perbuatannya itu. Sementara itu tangannya terus juga membelai-belai rambut Maria.
Tuti mengamat-amati kelakuan orang berdua itu. Ada kasihan hatinya melihat adiknya itu, tetapi lebih dari itu lagi terasa kepadanya betapa lemah hati Maria, betapa mudahnya ia menangis oleh sesuatu yang tiada berarti suatu apa jua pun. Sejak Maria berkasih-kasihan dengan Yusuf sesungguhnya payah ia hendak mengerti pekertinya. Pada pikirannya Maria terlampau menurutkan hatinya. Hal itu telah lama hendak ditunjukkannya kepada adiknya itu. Waktu itu selaku tidak dapatlah lagi ia menahan hatinya akan memberi nasehat kepadanya.
Ketika mulai redalah nampak kepadanya Maria tersedu-sedu dibelai oleh Rukamah, berdirilah ia pergi mendekati tempat tidur, duduk di sisi Rukamah. Ditariknya Maria perlahan-lahan supaya melihat kepadanya, lalu berkatalah ia, "Maria mengapa engkau sebodoh itu! Rukamah hanya berolok-olok. Masakan oleh yang serupa itu saja sudah menangis, engkau bukan anak-anak lagi!"
"Ya, engkau tiada tahu bagaimana perasaan saya. Bagaimana iba hati saya!" jawab Maria agak mengkal bunyinya, seraya menelan sedunya dan menghapus air matanya.
"Masakan saya tidak tahu perasaanmu. Sebab saya tahu perasaanmulah saya hendak memberi nasehat kepadamu ..." Sebentar berhenti Tuti melihat kepada adiknya itu, lalu katanya pula, "Engkau Maria terlampau menurutkan perasaanmu. Hal itu boleh berbahaya bagimu. Cintamu seperti sekarang yang tiada engkau hambat-hambat itu, akan mengaramkan engkau sendiri..."
Tuti berhenti pula sebentar, mengamat-amati Maria hendak melihat bagaimana perkataannya diterima adiknya. Maria tiada juga berkata-kata, tetapi matanya yang masih agak kemerah-merahan karena menangis itu, mulai agak liar rupanya, seolah-olah perasaan iba yang memenuhi hatinya melenyap didesak oleh perasaan amarah mendengar nasehat yang tiada pada waktu yang baik datangnya itu. Perubahan muka Maria itu tiada luput pada mata Tuti, tetapi yakin akan kebenaran dan ketulusan hatinya memberi naseh
at yang baik kepada adiknya itu, berkatalah ia, "Oleh cinta yang berlebih-lebihan, yang tiada tahu watasnya lagi seperti engkau inilah, maka perempuan menjadi permainan laki-laki. Laki-laki melihat, bahwa perempuan sangat bergantung kepadanya. Kesempatan itu dipakainya untuk keuntungannya, perempuan diperhambanya..."
Maria tiada dapat menahan hatinya lagi. Ia hendak mempertahankan dirinya. Ia tiada boleh memperkenankan cintanya kepada Yusuf dicela serupa itu. Dengan suara yang terang menyatakan tiada senang hatinya mendengar nasehat saudaranya itu, katanya, "Saya cinta kepadanya dengan seluruh hati saya. Maumu saya berbohong dan pura-pura tiada cinta kepadanya."
Tuti berbuat seolah-olah ia tidak tahu, bahwa saudaranya amarah mendengar nasehatnya. Dengan sabar dan tenang sebentar-sebentar menekan perkataannya, seolah-olah hendak menerangkan pikirannya senyata-nyatanya mungkin, berkatalah ia, "Bukan maksud saya supaya engkau berbohong dan pura-pura tiada cinta kepadanya. Tidak sekali-kali. Saya hendak menunjukkan kepadamu, bahwa cintamu yang tiada ditahan-tahan seperti sekarang ini, berarti merendahkan dirimu kepadanya. Terlampau engkau nyatakan, bahwa hidupmu amat bergantung kepadanya, bahwa engkau tidak dapat hidup lagi, kalau tiada dengan dia. Sifat perempuan yang demikian itulah yang menyebabkan maka kedudukan perempuan sangat nista dalam perkawinan."
"Ah, engkau hendak mengatur-atur orang pula. Saya cinta kepadanya.
Biarlah saya mati daripada saya bercerai dari dia. Apa sekalipun hendak saya kerjakan baginya. Saya tidak takut saya dijadikan sahaya. Saya tahu ia cinta juga kepada saya. Saya percaya kepadanya dan saya tiada sekali-kali merasa hina menyatakan cinta saya itu," jawab Maria dengan tegas mematahkan segala perkataan kakaknya yang menyakitkan hatinya yang masih luka itu.
"Engkau rupanya tiada dapat diajak berbicara lagi," kata Tuti amarah puia, mendengar jawab adiknya yang tidak mengindahkan nasehatnya, "Sejak engkau cinta kepada Yusuf, rupanya otakmu sudah hilang sama sekali. Engkau tidak dapat menimbang buruk-baik lagi. Sudahlah, apa gunanya memberi nasehat orang serupa ini." Dengan sebal berdirilah Tuti menuju tempat duduknya di tepi meja.
Maria bertambah mendidih hatinya, "Biarlah saya katamu tidak berotak lagi. Saya cinta kepadanya, ia cinta pada saya. Saya percaya kepadanya dan saya hendak menyerahkan seluruh nasib saya di tangannya, biarlah bagaimana dibuatnya. Demikian kata hati saya. Saya tidak meminta dan tidak perlu nasehatmu..." Sejurus ia berhenti melihat kepada Tuti yang berdiri meninggalkannya di tempat tidur itu. Tetapi segera disambungnya pula seolah-olah belum puas hatinya menjawab kakaknya yang mencela cintanya kepada kekasihnya itu, "Cinta engkau barangkali cinta perdagangan, baik dan buruk ditimbang sampai semiligram, tidak hendak rugi barang sedikit. Patutlah pertunanganmu dengan Hambali dahulu putus."
Muka Tuti merah sampai ke telinganya mendengar kata Maria yang pedas itu. Belum lagi ia duduk, berbaliklah ia mendekat ke tempat tidur seraya ujarnya dengan suara yang gemetar oleh amarah yang tiada terkata-kata, "Tutup mulutmu yang lancang itu, nanti saya remas."
Dan sesungguhnya hendak dilakukannya ancamannya itu, jika ketika itu tidak lekas Rukamah menahannya, menyabarkannya dengan ucapan, "Tuti, Tuti, mengapa engkau" Ingat akan dirimu!" Perlahan-lahan ditolak Rukamah, Tuti kembali ke tempat duduknya, tetapi dari mulutnya masih keluar ucapan yang marah dan kesal, "Orang hendak memberi nasehat yang baik kepadanya. Tidak membalas guna. Maumulah!"
"Engkau tidak usah mempedulikan urusan saya! Saya tidak minta nasehatmu!" jawab Maria galak melawan.
Rupa-rupanya hendak menyala pula amarah Tuti, jika Rukamah tidak berulang-ulang menyabarkannya, "Sudahlah, sudahlah Tuti, sadarkan hatimu. Nanti didengar Ibu engkau berdua berselisih. Tidak malukah engkau""
Sudah itu menyunyilah dalam kamar itu. Tuti memaksa dirinya membaca bukunya, tetapi gelisah duduknya terang menyatakan, bahwa hatinya belum reda.
Rukamah meneruskan jahitannya, tiada putus-putusnya menyesal akan olo
k-oloknya yang sehebat itu akibatnya.
Dan di tempat tidur diam telentang Maria dengan hati yang iba bercampur sebal dan amarah.
9. SEJAK dari sudah makan pukul delapan tadi Tuti mengetik dalam kamarnya. Sedikit lagi ia harus mengerjakan persiapan laporan kongres Perikatan Perkumpulan Perempuan di Sala yang terserah kepadanya. Di atas meja tulis yang penuh berserakan kertas telah tinggi tertumpuk kertas bertik yang akan dicetak. Sekarang ia hanya membuat kata pendahuluan saja lagi, sehalaman atau dua.
Sebentar-sebentar di tengah mengetik itu ia berhenti. Payah rupanya ia mencari perkataan untuk menyusun kata pendahuluan itu. Telah tiga empat kali kertas yang sudah ditiknya beberapa baris disobekkannya dan dibuang-kannya ke dalam keranjang sampah. Tetapi hatinya dikeraskannya, malam ini sekaliannya itu harus selesai. Besok hari Minggu ia tidak hendak bekerja lagi dan hari Senin tidak boleh tidak kopi laporan kongres itu akan dibawanya ke percetakan. Tetapi bertambah dikeraskannya hatinya, bertambah ragu pikirannya dan bertambah tidak senang hatinya akan kalimat-kalimat yang ditiknya itu.
Sesungguhnya Tuti sudah sangat letih lahir dan batin. Dalam dua bulan ini tak lain kerjanya daripada untuk perkumpulan. Mula-mula kongres Putri Sedar yang sangat banyak meminta tenaganya sebagai ketua cabang Jakarta yang harus mengatur kongres itu. Sudah itu kongres Perikatan Perkumpulan Perempuan di Sala pula. Dalam seminggu di Bandung sejak ia pulang dari Saia, boleh dikatakan setiap hari sebahagian yang terbesar daripada waktunya dipakainya untuk menyiapkan laporan kongres. Sekembalinya di Jakarta dalam seminggu ini pekerjaan masih itu-itu juga. Tiada sedikit juga pun ia dapat melepaskan lelahnya dalam liburnya, sedangkan lusa sekolah akan mulai pula. Sebenarnya telah terlampau berat pekerjaan yang dipikulkan orang kepadanya. Tetapi hal itu telah jamaknya demikian, sebab pergerakan perempuan kekurangan orang yang cakap serta hendak bekerja dan berkorban. Dan Tuti sendiri, meskipun ia tahu, bahwa pekerjaan yang diserahkan kepadanya itu sangat berat, ia tiada sampai hati menolaknya, apalagi karena ia was-was, pekerjaan yang sebulat itu memenuhi hatinya kelak akan terserah ke tangan orang lain, yang tiada akan bersungguh-sungguh melangsungkannya. Tetapi oleh itu pulalah ia terpaksa memakai tenaganya lebih-lebih dari biasa.
Selain daripada itu sesungguhnya benar perasaannya dalam sepuluh lima belas hari yang akhir ini agak kurang tetap. Pikirannya sering melayang-iayang, tidak tentu arahnya. Sering ia merasa dirinya gelisah, tetapi apa sebabnya tidak dapat diselidikinya. Kadang-kadang memberat rasa hatinya dan selaku menghilanglah tempat ia berpegang dan berjejak. Lemah terasa olehnya dirinya dan hilanglah kepercayaannya akan kesanggupan dan kecakapannya. Tetapi apabila ia selaku orang yang berputus asa demikian, dikumpulkannya tenaganya dan dikeraskannya hatinya: Perasaan ini harus hilang, harus hilang, saya tidak boleh dialahkannya.
Dalam waktu yang demikian dapat ia meredakan perasaannya. Tetapi kemenangannya itu tiada pernah lama, sebab musuhnya di dalam hatinya itu tiada dapat dikajinya benar-benar dengan pikirannya yang nyata. Dengan tiada setahunya ia telah terlamun pula oleh perasaan yang kabur itu. Dan dalam perjuangannya melawan musuhnya dari dalam hatinya, senantiasa terbayang kepadanya perselisihannya dengan Maria di Bandung pada malam hujan dahulu. Meskipun malam itu dapat ia menahan marahnya, diredakan oleh Rukamah, tetapi saat itu tidak dapat dilupakannya. Sampai kini masih pedih hatinya ditusuk oleh ucapan Maria yang pedas-pedas itu. Sejak itu belum sepatah jua pun ia berbunyi dengan Maria, serasa tiada dapat ia memaafkan perkataan adiknya yang kasar, sebagai jawab nasehatnya yang sesungguh-sungguhnya lahir dari kalbunya itu. Melihat Maria saja benci hatinya, apalagi jika ia sedang bersama-sama Yusuf. Gerak-gerak mereka, pandangan mereka yang berbahagia dan percakapan mereka yang mesra berbisik, tiada terlihat olehnya dan sebab itu ia selalu menjauhkan dirinya dari orang berdua itu.
Tuti terus men getik lagi. Beberapa lamanya berdetik-detik dan berderes-deres mesin tulis kena tangannya yang halus. Tetapi tiba-tiba ia terhenti pula dan tangannya dibenamkannya ke dalam rambutnya selaku orang putus asa. Berderes ditariknya kertas pada mesin tulis itu dan dikerumukkannya ke dalam keranjang sampah di bawah meja tulisnya.
Ia tidak dapat menahan dirinya lagi. Kepalanya panas dan kuat terasa olehnya urat keningnya memukul. Ia pun berdiri dan berjalan mundar-mandir di dalam kamarnya itu. Sekaliannya sempit kelihatan olehnya. Seluruh isi kamar itu selaku mati belaka. Alangkah kosong rasa hatinya! Tetapi ia tak tahu, tak dapat tahu apa yang dihasratkannya. Lemari bukunya yang bersusun-kan buku-buku yang setiap hari menjadi teman karibnya itu, pada waktu itu seperti memusuhinya dan tiadalah terkata-kata benci hatinya melihatnya.
Nafasnya menjadi sesak dan bergesa-gesalah ia pergi ke belakang. Di kamar mandi kepalanya dibasahinya sampai dingin terasa olehnya. Waktu ia masuk ke rumah kembali ia bersua dengan ayahnya yang sudah sembahyang isya. Orang tua itu menyapa mengapa ia membasahi kepalanya, tetapi pertanyaan itu tidak didengarnya.
Tiba di dalam kamarnya kembali dipadamkannya lampu, sebab ia tidak dapat melihat mesin tulis dan tumpukan kertas di atas mejanya itu lagi. Ia pun merebahkan dirinya di tepi tempat tidur dan ditutupnya matanya hendak menyenangkan hati dan pikirannya. Sekejap sesungguhnya berhasil usahanya itu. Tetapi tiada berapa lama antaranya pikirannya telah mulai berjalan pula tiada terhambat-hambat. Ia teringat akan pidato-pidato yang gembira di Sala, nampak kepadanya teman-temannya yang sepikiran dengan dia dalam perjuangan untuk memperbaiki kedudukan perempuan. Terlihat-lihat olehnya, bagaimana ia dianjung-anjung orang, setelah mengucapkan pidatonya yang berapi-api. Ia mendapat kepercayaan kongres sepenuhnya. Pikirannya diperhatikan orang benar-benar dan jaranglah usulnya yang tiada diterima. Maka bangkitlah kembali kepercayaannya akan dirinya memikirkan kelebihannya dari perempuan-perempuan yang lain ...
Di tengah-tengah mengawang dalam pelamunan tentang kecakapannya dan kelebihannya dari perempuan-perempuan lain itu, pedih rasanya tiba-tiba menyambuk mgatannya akan perselisihannya dengan Maria. Ia tidak mengerti akan perangai adiknya. Heran ia, bahwa sampai demikian perempuan dapat tertambat akan laki-laki. Maria bukan Maria lagi, ia telah menjadi bayang-bayang Yusuf. Tidak, ia tidak akan menghambakan dirinya kepada laki-laki serupa itu. Percintaan harus berdasar atas dasar yang nyata: sama-sama menghargai. Perempuan tidak harus mengikat hati laki-laki oleh karena penyerahannya yang tiada bertimbang dan bertangguh lagi. Perempuan tiada boleh memudahkan dirinya. Ia harus tahu di mana watas haknya terlanggar dan sampai ke mana ia harus minta dihormati dari pihak yang lain. Kalau tidak demikian perempuan senantiasa akan menjadi permainan laki-laki. Dan daripada menjadi serupa itu, baginya baiklah ia tiada bersuami seumur hidupnya... Belum lagi ia menjadi istri Hambali dahulu, ia sudah hendak mengatur hidupnya. Sudah berhari-hari ia bersedia-sedia menanti temannya, ketua pedoman besar Putri Sedar dari Bandung. Pada malam kedatangan teman separtainya itu benar, Hambali mengajak ia berjalan-jalan ke Serang bersua dengan orang tuanya. Tentu permintaan itu ditolaknya, ia harus menyambut temannya itu dahulu, permusyawaratan perkumpulannya lebih penting dari itu dan harus diselesaikan dahulu. Hambali berkecil hati, mengumpatnya mengatakan ia lebih memerlukan temannya daripada dia dan orang tuanya. Dijawabnya dengan tenang, bahwa yang perlu harus diperlukan. Dikatakannya, bahwa ia tidak dapat hidup terlepas dari cita-citanya, bahwa teman-teman karibnya dalam partainya lebih dari saudara terasa kepadanya. Itu perselisihan yang pertama! Hambali tidak pernah senang, apalagi ia datang ke Jakarta. Katanya Tuti sedikit benar memedulikannya, ia selalu saja bekerja untuk perkumpulannya. Perhubungan mereka tiada sedikit juga pun seperti perhubungan orang bertunangan. Sesungguhnya Tuti bukan orang yang suka membu
ang-buang waktu dan percakapan tentang hari baik, baju indah, harapan naik gaji di golongan B.B.(Bahasa Belanda = Dalam Negeri) dan sebagainya yang didengarnya dari Hambali, tidak sekali-kali menarik hatinya. Dan kalau dicobanya hendak bercakap tentang yang agak sungguh-sungguh sedikit, kelihatan kepadanya Hambali kurang memperhatikan perkataannya. Demikianlah, ketika Hambali pada suatu hari berkecil hati dan memarahinya, sebab suratnya terlampau lambat dibalas, ia berkata dengan terus terang, bahwa ia banyak pekerjaan yang lain yang lebih penting. Itu asal mulanya putusnya pertunangan mereka.
Dalam mengingatkan perhubungan dengan Hambali itu perlahan-lahan hatinya agak tenang. Sekaliannya nyata kelihatan tergambar kepadanya. Tidak, tidak, ia tidak pernah menyesal. Selalu ia berkata, apabila perkawinan menjadi ikatan baginya, bagi cita-cita dan pekerjaan hidupnya, biarlah seumur hidupnya ia tidak kawin. Hanya satu pendirian itu saja yang sesuai dengan akal yang sehat.
Dengan tiada setahunya dibantingkannya tangannya ke kasur dan dalam sekejap ia pun berdirilah. Dalam gelap ia duduk kembali di atas kursi menghadapi mejanya. Beberapa lamanya ia duduk tiada bergerak-gerak, tiada tentu apa yang hendak dikerjakannya. Maka dari jendela matanya melayang ke luar, kepada pohon mangga yang besar, yang berat dan lebar mengembangkan daunnya yang rimbun. Di sana-sini nampak kepadanya sinar bulan jatuh dari antara sela-sela daun yang rapat-rapat, terang putih rupanya di antara bayang-bayang daun yang hitam. Tuti teringat, bahwa malam itu bulan terang. Dengan tiada setahunya tangannya mencapai kepada kain jendela di hadapannya akan menguakkannya.
Seperti tiba-tiba tersadar jiwanya melihat ke permainan malam itu. Sejauh-jauh mata memandang sekaliannya tersepuh dalam sinar bulan yang putih lembut. Rumah-rumah yang putih di seberang sungai halus berkilau-kilauan dan kabur kelabu nampaknya pohon-pohon di dalam sinar. Di atas sekaliannya melengkung langit biru dalam, penuh bertaburan bintang. Hanya di sana-sini terhampar awan sutera putih, terhenti, tiada bergerak-gerak, seperti perca-perca, sisa jahitan baju berokat sutera.
Tuti menajamkan telinganya, sebab dalam kesunyian terang bulan yang mesra itu datang mengalun, sayup-sayup bunyi musik, bunyi orang bernyanyi diiringkan oleh harmonium. Perlahan-lahan suara itu datang menggetar, seperti riak air di teluk yang jauh dan dari belakangnya mengikut bunyi harmonium, hilang timbul di dalam kesunyian. Naik, naik meninggi suara nyanyian, memuncak menjadi himbauan yang putus, turun pula ia menye-rak sebagai empasan ombak yang letih di pantai yang rata. Tetapi segera pula ia datang mendorong dan melanda, tiada tertahan-tahan, tinggi mengalun dan menggelombang dalam curahan kegembiraan hati yang hasrat, beberapa lamanya, tiada akan habis-habisnya lakunya. Sebagai sedu ia menjauh, menghilang dalam kejauhan malam, meninggalkan bunyi harmonium merayu-rayu. sebentar hasrat menghimbau, sebentar sendu mengeluh.
Di dalam kesunyian malam yang mesra itu Tuti tiada setahunya terhanyut dan tergulung dalam arus lagu yang datang mengalun melamuni jiwanya. Sekalian pikirannya hilang melenyap: lupa ia akan pekerjaan yang bertimbun-timhun di hadapannya, lupa ia akan perjuangan jiwanya untuk cita-citanya dan menghalus mengabur pula perasaan gelisah yang berhari-hari mengharu kalbunya. Sekaliannya mencair menyatu dalam perasaan nikmat bahagia yang seni, yang belum pernah terasa kepadanya seumur hidupnya.
Dan ketika bunyi harmonium yang sayup-sayup jauh mengalun dalam malam yang sepi itu, sebentar meratap, sebentar mencurahkan bahagia yang mesra, hilang melenyap seperti buih riak merata di pantai, ketika itu ia sebagai terempas ke bumi dari perawangan yang tinggi. Terkejut ia terjejak kembali kakinya di tanah yang nyata dan di dasar jiwanya menghampa ingatan akan perasaan yang nikmat yang menghanyutkannya beberapa lamanya itu. Dan dalam waktu ia gelisah mencari-cari perasaan nikmat itu kembali untuk mengisi jiwanya yang tiba-tiba mengosong, kelihatan kepadanya di bawah pohon mangga dua bayang-bayang
datang menuju kepada kursi.
Pikirannya menjadi terang dan minatnya dikumpulkannya. Sekejap pun ia tidak sangsi lagi, Yusuf dengan Maria. Dan segera tersusunlah dalam pikirannya, tentulah mereka baru kembali dari berjalan-jalan di bulan terang.
Sesuatu perasaan yang ganjil datang mendesak, terasa sampai ke lehernya, sehingga sekejap payah ia mengambil nafas.
Tiba dekat meja duduklah mereka rapat berdekatan di atas kursi yang panjang, sama-sama memandang ke seberang sungai. Tetapi sebelum mereka duduk nampak kepada Tuti mereka menoleh ke belakang, ke arah kamarnya. Sayup-sayup masih kedengaran kepadanya Maria berkata, "Mengapa gelap kamar Tuti, ke mana perginya""
Tidak, mereka tidak dapat melihat Tuti di dalam kelam di kamarnya itu. Tetapi meskipun demikian, Tuti mula-mula hendak mengundurkan dirinya dari tempat duduknya itu. Tetapi suatu kekuatan yang gaib menahannya di sana mengamat-amati muda remaja berdua itu.
Tiada tahu berapa lamanya ia duduk di dalam kelam memperhatikan Yusuf dan Maria. Hanya suara mereka berbisik-bisik yang kedengaran kepadanya, tiada habis-habisnya. Bermacam-macam pikiran timbul dalam hati Tuti melihat bahagia keduanya dalam terang bulan itu, "Apa-apakah yang diceritakan mereka, tiada putus-putusnya itu"" Ada ingin hatinya hendak mengetahui percakapan mereka. Tetapi dari dalam hatinya sendiri datang mendorong pikiran, "Apa benar akan dipercakapkan oleh Maria. Tentulah tentang sekolahnya, tentang cita-citanya hendak menjadi guru, tentang pakaiannya, tentang teman-temannya. Ia tidak mengerti laki-laki yang senyata Yusuf pendirian dan tujuannya, laki-laki yang seluas itu pemandangannya dapat berjam-jam mendengarkan percakapan Maria yang tiada keruan."
Tetapi tiba-tiba ia tertangkap akan pikirannya sendiri dan dengan jelas dan nyata ia menyelidiki hatinya, "Irikah ia akan adiknya itu""
"Tidak, tidak mungkin," katanya dalam hatinya dan dengan tiada diketahuinya di dalam kegelapan kamarnya itu ia menggelengkan kepalanya.
Tapi meskipun seterang itu keputusannya, meskipun senyata itu ia menghadapi dirinya sendiri, ada sesuatu perasaan yang tiada terduga di dalam kalbunya. Bertambah dalam terasa kepadanya kehampaan hatinya dan kadang-kadang serasa hendak melemah seluruh badannya, oleh perasaan tidak tentu yang tiada dapat diketahuinya.
Segumpalan awan tipis perlahan-lahan mendekati bulan yang terang memutih berkilau di langit yang biru dalam. Perlahan-lahan diselubunginya bulan yang putih itu, kegelap-gelapan. Beberapa lamanya kaburlah cahaya putih yang tercurah ke bumi.
Melihat cahaya melindap itu Tuti memandangkan matanya ke langit, mencoba mencari bulan yang berselubungkan awan tipis. Tetapi ketika ia melihat ke hadapannya kembali kepada Yusuf dan Maria yang mengabur di atas kursi di bawah pohon mangga yang rimbun itu, ketika itu nampaklah kepadanya kedua bayang manusia itu mesra merapat dan dua muka bertemu menyatu.
Tuti memejamkan matanya. Tetapi tiba-tiba badannya gemetar dan ia lemah menyandarkan dirinya kepada kursinya, dilanda sesuatu perasaan yang maha kuat yang belum pernah dikenalinya. Tidak, ia tidak dapat melihat lagi. Dan cepat berdirilah ia menuju ke tempat tidurnya. Badannya dijatuhkannya di kasur, tiada peduli di mana terjatuh. Dan terlentang melintang terbaringlah ia di tempat tidurnya, memandang ke atas langit-langit; tetapi hanya satu yang kelihatan kepadanya: gambar kedua muka itu bertemu. Beberapa lamanya ia tiada kuasa mengatur pikirannya, tetapi tiba-tiba dapat pula ia mengeraskan hatinya: Tidak, tidak, ia tidak iri kepada adiknya. Ia tidak akan hendak menghambakan dirinya kepada laki-laki serupa Maria. Biar seumur hidupnya ia hidup seorang diri. Ia mesti tinggal perempuan yang bebas, yang dalam segala hal akan memakai otaknya yang sehat. Baginya tak ada yang mengatasi cita-citanya dan pekerjaan hidupnya.
Tetapi dalam ia melawan perasaan yang menggelombang di dalam jiwanya yang hasrat tak tentu yang dihasratkan itu, selaku terdengar di telinganya suara Maria pedas, "Cinta engkau barangkali cinta perdagangan, buruk-baik hendak engkau timbang sampai
semiligram. Patutlah pertunanganmu dengan Hambali putus."
"Patutlah putus, patutlah putus ..."
Sebagai cambuk perkataan itu berdengung-dengung di telinganya.
"Selama-lamanya akan putus, selama-lamanya ia akan berdiri seorang diri. Sebab kata Maria cintanya cinta perdagangan yang menghitung dan dan menimbang... " Tiada baikkah sikapnya itu ... " Apakah salahnya ia menghitung dan menimbang... " Tetapi ia kukuh berdiri atas kecakapannya yang luar biasa, atas kemuliaan cita-citanya yang jelas digambarkan oleh pikiran yang tajam..."
Di dalam ia meraba-raba akan mencari tempat berjejak, datang dari dalam membanjir kekuatan yang luar biasa, yang menunda menghanyutkannya tiada tertahan-tahan. Dan dalam arus yang amat kuatnya itu, ia merasa dirinya kalah. Kalah oleh tenaga asli alam, yang tiada dapat diaturnya dengan pikirannya yang tajam, dengan perhitungannya yang nyata.
Dan dalam kekalahannya itu terdengarlah kepadanya ucapan Maria yang percaya dan menyerah itu dalam arti yang lain, lebih tinggi, tiada pernah terinsyafkan kepadanya, "Saya cinta kepadanya dan nasib saya akan saya serahkan di tangannya."
Di dalam penyerahannya yang lemah bunyinya itu terasa kepadanya terkandung suara alam yang dahsyat, yang tiada berbanding dengan tenaganya yang lemah.
Dan dalam gelap di kamarnya itu dengan tiada diketahuinya tangannya menghapus air mata yang panas mengalir pada pipinya.
BAGIAN KEDUA 1. "JADI pada permulaan bulan Juli ini engkau bekerja sekali," kata istri Raden Partadiharja kepada Maria sambil ia duduk dirangkum kursi besar yang lembut berper.
Istri Partadiharja ialah adik Wiriaatmaja yang muda sekali, ada kira-kira tiga puluh dua tahun usianya. Badannya gemuk dan besar, mukanya bundar seperti bulan penuh, tiada berdagu. Meskipun air mukanya agak angkuh rupanya dan kata-katanya teliti tertahan-tahan seperti seringnya perempuan priyayi yang merasa harga dirinya, tetapi matanya yang terkecil sedikit nampaknya pada mukanya yang lebar itu, terang menyinarkan perasaan kasih sayang.
"Kalau tak ada alangan tentulah," jawab Maria, ia pun duduk perlahan-lahan di kursi besar dan berat di seberang meja di hadapan bibiknya. "Petang kemarin saya pergi pula kepada pemimpin perguruan Muhammadiyah minta keputusan yang pasti dapat atau tiada mereka menerima saya. Katanya saya akan ditempatkan pada H.I.S. di Keramat."
"Untung benar selekas itu engkau mendapat pekerjaan, belum seminggu lagi ujianmu selesai..."
"Ya," kata Maria memotong ucapan bibiknya, "tetapi bagi saya pekerjaan itu asal bekerja saja. Supaya jangan tinggal menganggur di rumah. Saya tidak sekali-kali menanya berapa gaji yang akan saya peroleh. Dua tiga puluh rupiah dibayarnya sudah cukuplah."
"Sudah cukup" Sudah lebih dari cukup!" kata istri Parta menekan kata keponakannya itu. "Berapa benarlah belanjamu" Menanti-nanti sampai tiba masanya..."
Ia pun tersenyum melihat kepada Maria, yang memerah mukanya mendengar sindiran itu.
"Tetapi," sahut istri Parta pula, "adakah dia engkau ajak datang kemari, tidak disampaikan emangmukah pesanku, bahwa engkau harus membawanya kemari juga""
Maria tahu siapa yang dimaksud bibinya dengan "dia", ialah Yusuf, tunangannya. Lalu jawabnya seperti tiada acuh, "Pesan itu disampaikan Emang, tetapi dia tidak di sini sekarang, sudah berangkat lima hari yang lalu kepada orang tuanya di Martapura, sesudah mendengar keputusan ujian saya."
"Sayang benar, saya hendak melanjutkan perkenalan dengan bakal menantu saya itu."
Pura-pura tidak mendengar ucapan bibiknya yang agak mempermain-mainkan itu, sambung Maria, "Tetapi ia tidak lama tinggal pada orang tuanya. Dua minggu lagi ia akan kembali kemari untuk menghadiri kongres Pemuda Baru."
Ketika itu datang Parta dari belakang menggendong anaknya yang bungsu yang menangis di tangannya, diiringkan oleh Tuti. Dari jauh ia telah berkata, "Dia tiada hendak dengan Tuti, sebab kasar amat. Lemas-lemas ia diciumi-nya."
Tiba dekat ibunya, Rukmini yang tersedu-sedu, mengulurkan tangannya minta diambil.
"Sayang Ibu! Zus Tuti jahat betul, sampai menangis anak Ibu dibu
atnya," cumbu istri Parta sambil menyambut anaknya yang melekapkan dirinya pada dadanya. Bekas air mata pada mukanya yang merengut itu belum lagi kering dan badannya yang kecil itu masih terlonjak-lonjak oleh sedu.
Parta dan Tuti duduk pula dekat orang berdua itu. Tuti masih berusaha membujuk Rukmini duduk di pangkuannya, "Mari, Ni duduk dengan Zus. Zus tidak jahat lagi. Ni manis betul..."
Tangannya diulurkannya hendak mengambil Rukmini dari bundanya, tetapi Rukmini belum hendak berdamai. Tangan Tuti yang hendak mengambilnya itu ditampiknya.
"Apa engkau lihat di dapur tadi, Tuti," tanya Maria kepada kakaknya dan sambil ia melihat kepada kakaknya ia berkata, "Dengan apa kami dijamu nanti, Embik ... "
"Masakan orang yang dijamu bertanya serupa itu," ujar Parta mengganggu Maria.
"Apa salahnya" Orang yang diundang akan dijamu boleh bertanya dengan apa ia akan dijamu. Bukankah begitu, Embik""
Istri Parta tersenyum saja sambil membelai-belai kepala Rukmini yang telah layuh kelihatan matanya, dan setelah menunduk sebentar melihat anaknya yang mengantuk rupanya itu, memandanglah ia kepada Maria sambil berkata selaku hendak menyenangkan hatinya, "Engkau tahu beres saja!"
Yang akhir itu dikatakannya sambil mengejapkan matanya kepada Tuti. Gigi Tuti memutih tersenyum dan kepada Maria katanya, "Embik menyediakan yang engkau sukai benar-benar. Tidak sia-sia Embik mengundang makan orang yang baru maju ujiannya."
Maria tertawa sebagai kanak-kanak yang girang, "Apa benar yang saya sukai itu" Kalau begitu saya hendak melihat ke belakang." Ia pun berdirilah dan melangkah ke dalam. Tetapi belum beberapa langkah ia berjalan kedengaran di samping bunyi sepeda dan suara kanak-kanak.
"Itu tentu Iskandar dan Ningsih pulang dari kepanduan," kata Parta.
Mendengar nama Iskandar dan Ningsih, saudara sepupunya berdua itu, Maria berbalik menuju ke depan hendak bersua dengan mereka, lupa akan maksudnya yang mula-mula. Belum lagi sampai di tangga telah kedengaran teriak mereka yang girang, "He, aceuk Maria," dan bergesa-gesa mereka datang menuju kepadanya seraya mengulurkan tangan.
Besar hati Maria melihat saudara sepupunya berdua itu. Ningsih yang baru sembilan tahun umurnya amat jelita rupanya memakai pakaian pandu yang ringkas itu: Yurk yang hijau tebal, dasi merah putih dan topi yang lebar.
"Merah benar muka engkau berdua. Dari mana tadi""
"Kami dari Periok," jawab Iskandar yang setahun lebih tua dari Ningsih, tetapi amat sigap dan kukuh badannya, telah seperti anak yang berumur empat belas tahun.
Sama-sama.mereka masuk ke dalam. Tiada berhenti-henti terdengar suara Ningsih yang nyaring dan girang bergurau dengan Maria, sebab dari dulu Maria sangat memanjakannya.
Tiba mereka di serambi dalam Parta menyapa anaknya yang tiada melepas-lepaskan tangan Maria lagi, "Ningsih, tiadakah engkau menegur Tuti ini" Kalau Ningsih sudah bersua dengan Maria, ia sudah lupa akan daratan."
Gadis kecil yang merah bercahaya-cahaya mukanya itu melihat kepada Tuti dengan tersenyum. Diulurkannya tangannya dan seraya melihat kepada adiknya yang dipangku ibunya, keluar dari mulutnya, "0, Rukmini sudah tidur. Baru menangis ia, Ibu""
Tuti melihat kepada Rukmini, lemah bergelung melekap di dada ibunya dengan mata yang terkatup agak renggang sedikit. Gemas hatinya melihat setenang dan sentosa itu kanak-kanak itu tidur, tidak memedulikan mereka bercakap-cakap sedikit juga pun. Bangkit pula inginnya hendak menggendongnya lalu katanya, "Embik, biarlah saya bawa ia masuk ke dalam, tidak senang ia tidur serupa itu."
Tidak lagi ia menantikan jawab bibiknya itu, tangannya sudah diulurkannya akan mengambil Rukmini. Hati-hati benar diangkatnya anak itu dan dipeluknya pada dadanya. Perlahan-lahan berdirilah ia menuju ke kamar. Nikmat terasa kepadanya badan kecil yang panas itu melekap pada dadanya, perlahan-lahan turun-naik menarik nafas. Dari kalbunya mengalir perasaan cinta sayang tiada tertahan-tahan. "Tadi engkau membantah-bantah," katanya dari sela giginya, sambil tiada putus-putusnya mengamat-amati anak yang senang sentosa tidur di tangannya
itu. Tidak dapat menahan hatinya lagi,
diciumnya beberapa kali pipi Rukmini yang merah berbayang urat yang halus-halus. Tiba di kamar perlahan-lahan diletakkannya Rukmini di atas tempat tidurnya yang kecil. Hati-hati diambilnya selimutnya dan dihalaunya nyamuk dari dalam kelambu. Sebentar berhenti ia melihat kanak-kanak yang tidur lelap itu. Alangkah aman dan senang rupanya. Gemas mesra dirapatkannya bibir kecil yang terbuka renggang sedikit itu dan dalam lamunan perasaan kasih sayang yang bergelora berombak-ombak diciumnya pula beberapa kali lagi anak yang tidur lelap itu di keningnya, di pipinya, di lengannya.
Perlahan-lahan ditutupnya kelambu dan dengan perasaan yang puas pergilah ia mendapatkan bibik dan pamannya. Maria telah tak ada lagi di sana, pergi mengikutkan Ningsih ke kamarnya.
"Maria orang yang beruntung," kata Parta.
"Ya, sangat beruntung," sambung istrinya. "Tadi saya dengar dari dia sendiri, bahwa ia sudah mendapat kerja pada sekolah Muhammadiyah. Habis libur ini ia akan mulai bekerja sekali."
"Tetapi bekerjanya itu sebenarnya menolong-nolong saja," kata Tuti menyela. "Muhammadiyah tiada akan sanggup membayarnya sebagai guru biasa, apalagi waktu sekarang ini."
"Ah, itu tidak usah pula. Ia belum" usah mencari nafkah bagi dirinya sendiri. Ayahmu telah senang hatinya tidak usah membayar uang sekolah saban bulan," kata Parta. "Asal ia dapat belanja sedikit-sedikit saja..."
"Sudah lebih dari cukup demikian," ujar istri Parta mengulas kata suaminya, "Lagi pula ia tidak akan bekerja selama-lamanya di sana... O, ya Tuti, pabila akan habis pelajaran tunangannya itu""
"Kalau tidak salah saya, kira-kira sembilan bulan lagi," jawab Tuti. Agak lain kedengaran bunyi suara gadis itu, seolah-olah terkejut ia mendengar kelokan percakapan itu. Berkisar ia di tempat duduknya dan dikaiskannya anak rambutnya yang menjurai ke muka di keningnya.
Tetapi perubahan suara Tuti itu tiada kentara kepada suami istri itu. Parta terus berkata, "Nah, kalau demikian, paling lama ia akan bekerja dua tahun. Kalau ia sudah bersuami tentu ia akan tinggal di rumah. Itulah kesudahannya bagi perempuan."
Muka Tuti berubah mendengar kata pamannya itu. Tahu benar ia, bahwa ucapan yang terakhir itu sengaja ditujukan kepadanya. Ia hendak berkata, hendak menjawab. Di mana-mana telah dinyatakannya keyakinannya, bahwa bukan itu tujuan hidup perempuan, tetapi saat itu ia selaku tertumbuk.
"Maria orang yang beruntung benar," kata Parta pula, seperti orang mengulang-ngulang kunyah hendak merasakan kenikmatan makanan di mulutnya. Tetapi bagi Tuti perkataan itu seakan-akan ditusukkan ke dalam hatinya. Bertambah memerah mukanya. Sesak dadanya oleh karena tiada dapat menyusun dan mencari kata. Mata suami istri yang memandang kepadanya itu adalah sebagai lembing yang tajam yang menusuknya.
Di hadapan rumah kedengaran auto berhenti. Parta mengangkat badannya dari tempat duduk dan memandang ke jalan besar, "Ya, benar, itu Engkang Wiria," katanya, lalu ia berdiri menuju ke luar, diiringkan oleh istrinya dengan Tuti.
"Lambat benar Engkang datang, sangka kami tidak jadi tadi."
"Teman lama dari Rangkasbitung, sudah lebih dari sepuluh tahun kami tidak bersua. Hampir tidak jadi saya datang kemari tadi, mujur dia sudah berjanji makan tengah hari di rumah pamilinya..."
"Tetapi sekarang Engkang datang waktu yang baik benar," kata istri Parta, "mari saya lihat di belakang sebentar Barangkali orang sudah bersedia pula."
Ia pun masuk ke dalam, tiada berapa lamanya diikutkan pula oleh Tuti, sedang Wiriaatmaja duduk bercakap-cakap dengan Partadiharja di serambi Dalam.
Di atas meja makan bundar di serambi belakang sudah terhampar alas meja yang putih jernih berkembang berkilat-kilat dan di atasnya sudah diatur piring, kobokan serta sendok dan garpu. Lima buah tempat disediakan.
Dari belakang seorang bujang perempuan berulang-ulang membawa piring yang berisi gulai dan sayur-sayuran; sekaliannya diatur oleh istri Parta bersama-sama dengan Tuti di atas, meja yang bertambah lama bertambah penuh piring dan mangkuk yang berisi bermacam-macam masak-masa
kan: Pergedel dan bistik kelihatan di sisi pedal dan sayur. Ayam, daging, otak, ikan, sekaliannya nampak terhidang. Di atas piring buah-buahan beradu warna pisang raja yang kuning besar-besar dengan warna apal yang hijau merah tua.
Dari kamar yang berpintu ke serambi belakang itu ke luar Maria dengan Ningsih. Ningsih terus menuju ke kamar mandi dan Maria datang mendekat meja makan melihat bibik dan kakaknya sibuk bersedia.
"Makan besar benar kita ini, Embik," katanya senyum bergurau kepada bibiknya itu." Lihat itu ada otak, kesukaan saya benar!"
"Ya, Embik terlampau memanjakan engkau Maria," kata Tuti dan seraya menunjuk kepada jambangan di atas bupet ia berkata, "Lihat Maria, kembang di atas bupet itu!"
Maka Maria menuju ke arah yang ditunjukkan kakaknya itu; tiba-tiba bersinarlah mukanya dan dari mulutnya keluarlah tiada tertahan-tahan, "Aduh, alangkah indahnya, anggrek!" Ia datang mendekati bupet jati yang berkilat dipoles; bercahaya-cahaya matanya mengamat-amati kembang anggrek yang lembayung permai memperagakan dirinya dalam jambangan porselin putih yang berkilat-kilat. Dan seraya tangannya perlahan-lahan membelai-belai kembang yang jelita-jelita itu berulang-ulang jernih memancar dari kalbunya yang tiada tertahan-tahan kagumnya, "Embik, bagus betul, bagus betul."
"Ya, Embik sangat memanjakan engkau, Maria. Terlampau benar," kata Tuti pula, "segala kesukaanmu disediakannya."
Tetapi ucapan Tuti dijawab oleh bibiknya dengan senyum yang agak jenaka, "Engkau jangan iri hati Tuti. Bagi engkau pun saya sediakan serupa ini, boleh jadi lebih dari ini, asal... asal..." Tiada dihabiskannya kalimatnya, hanya matanya dikejap-kejapkannya.
"Asal apa. Embik." tanya Tuti lurus saja, tiada menyangka suatu apa jua pun di balik kata bibiknya itu. Dan jangan tidak berkata saja, ujarnya. "Sayang saya tidak akan ujian lagi..."
Belum habis lagi katanya itu, bibiknya segera mengulasnya, "Tidak usah ujian, bukan itu saja waktu yang penting dan berarti dalam hidup manusia, benar tidak, Maria""
Maria melengos kepada bibiknya seraya tersenyum dengan lena. Tetapi Tuti diam seperti orang tidak mendengar; disambutnya dari bujang sebuah piring besar yang berisi sup yang beruap-uap dan setelah meletakkan sup itu di atas meja, katanya mengalihkan percakapan, "Embik, rasanya kita sudah siap, hanya air saja belum lagi."
"Pergilah engkau memanggil Bapak dan Emangmu di depan, boleh kita mulai. Rasanya sekarang hari sudah hampir setengah dua."
Setelah laki-laki berdua itu masuk, duduklah mereka berlima pada meja yang penuh berpagarkan makanan yang lezat-lezat itu. Istri Parta menghendaki Maria duduk di kepala meja, sebelah bupet, "Yang dijamu sekarang ini ialah Maria, sebab itu ia harus duduk di tempat kehormatan."
"Tentu," kata Parta. "Maria, engkau mesti duduk di sini... Ya, Tuti mengapa engkau melihat-lihat kepada saya. Hari ini sebenarnya kita makan-makan untuk Maria. Kalau engkau hendak duduk di tempat itu pula nanti, lekas-lekaslah..."
Sengaja ia berhenti di belakang perkataan "lekas-lekaslah," matanya melihat kepada Tuti yang tersenyum, tetapi segera membantah, "Embik dengan Emang dari tadi mengganggu saya saja."
Dan agak bersahaja kekanak-kanakan Parta berkata terus mengusik Tuti, "Kami tidak sekali-kali mengatakan, bahwa engkau iri hati kepada Maria. Kami hanya menghendaki, supaya kami dapat pula segera menjamu engkau di sini."
Maria tersenyum berbahagia bersama-sama dengan paman dan bibiknya. Mulut Tuti mengorak dipaksa turut tersenyum, sedangkan ayahnya diam tiada peduli akan gangguan iparnya akan anaknya yang tua itu.
Sementara mereka gembira bercakap-cakap, dipimpin oleh Parta suami-istri, sekali-sekali disela oleh Wiriaatmaja, terus juga mereka makan. Berganti-ganti piring-piring yang penuh lauk-pauk yang lezat-lezat itu berpindah dari tangan seorang ke tangan seorang, isinya bertambah lama bertambah sedikit juga."
Tengah mereka makan itu tiba-tiba kedengaran dari dalam kamar suara menangis.
"Rukmini menangis," kata istri Parta dan ia pun memanggil Ningsih mengambil adiknya yang baru bangun itu. Tetapi
Ningsih belum keluar dari kamar mandi.
Ketika itu tiba-tiba berdiri Tuti seraya berkata. "Biarlah saya mengambilnya," dan meskipun ia ditahan oleh bibiknya yang telah memanggil bujang, tetapi ia terus juga masuk ke dalam.
Rukmini telah duduk dalam tempat tidurnya. Melihat Tuti datang hendak mengambilnya, usahkan ia reda, tangisnya bertambah-tambah kuat. Di-bantingkannya badannya kembali ke atas kasur dan dengan kaki dan tangannya ditampiknya Tuti yang hendak mengangkatnya itu. Tetapi Tuti tiada mempedulikan bantahannya itu. Badan kecil yang melonjak-lonjak, menyepak-nyepak dan menggerapai-gerapai itu diangkatnya dengan kedua belah tangannya dan dibawanya ke luar kelambu.
Ketika ia hendak ke luar kamar, datang istri Parta. Mendengar anaknya menangis berteriak-teriak, ia hendak menengok sendiri. Melihat bundanya itu, Rukmini mengulurkan tangannya sekali minta diambil. Tuti menyerahkan yang bergelapar-gelapar dan berteriak-teriak digendongnya itu kepada ibunya dan tiada berapa lama antaranya diamlah Rukmini menangis, hanya tinggal lagi sedu-sedunya yang ditahan-tahan. Di serambi belakang Rukmini diserahkan ibunya kepada bujang, sebab ia terus hendak makan.
Sesaat iba juga hati Tuti melihat Rukmini tiada membantah sedikit jua pun diberikan ibunya kepada bujang itu. Mengapakah maka ia tiada hendak digendongnya" Apakah sebabnya maka ia demikian memusuhinya"
Tetapi dalam percakapan meneruskan makan itu, perasaan kurang senang itu perlahan-lahan hilang sendirinya.
Sesudah makan Wiriaatmaja, Parta dengan istrinya duduk di ruang tengah bercakap-cakap. Tuti dan Maria membunyikan mesin nyanyi dengan Ningsih dan Iskandar. Dari sana mereka pergi duduk bersama-sama di bawah pohon mangga yang besar di kebun, bermain-main dengan burung dara jagaan Ningsih dan Iskandar yang amat banyak jumlahnya.
Petang pukul setengah enam setelah mandi dan minum teh barulah orang bertiga beranak itu pulang ke rumah mereka di Gang Hauber.
2. DINDING Gedung Permupakatan berat berhias daun kelapa dan daun beringin, di sela-sela kertas merah putih. Di dinding sebelah kanan nyata dan jelas tersusun huruf perkataan Pemuda Baru, di dinding sebelah kiri terbaca Kongres Kelima. Bau daun yang segar memenuhi seluruh ruang yang girang gembira nampaknya oleh cahaya lampu listrik yang terang-benderang. Di sebelah hadapan ruang itu terlabuh layar ungu berombak-ombak.
Di antara susunan kursi dan bangku yang rapat tiada berhenti-henti berjalan pemuda laki-laki dan perempuan yang berpakaian indah-indah. Masing-masing riang dan suka; girang suara mereka bergurau, senyum dan gelak timbul tenggelam di wajah masing-masing. Kebanyakan pemuda yang sibuk itu memakai kokarda merah putih tersemat di dadanya, ialah mereka yang turut mengurus malam keramaian penutup kongres Pemuda Baru yang kelima itu.
Dari pintu yang lebar terbuka tiada berhenti-henti mengalir masuk laki-laki perempuan, kebanyakan muda remaja antara lima belas dan dua puluh lima tahun. Kebaya yang pelbagai macam warna dan modelnya disilih oleh jas pantalon yang keras berseterika dan bermacam-macam pola coraknya, menambah kegembiraan dan kegirangan pemandangan dalam ruang pertemuan yang bertambah lama bertambah penuh jua itu.
Layar Terkembang Karya St. Takdir Alisyahbana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Makin banyak orang duduk di kursi dan bangku yang bersusun itu, di luar masih senantiasa juga manusia berduyun-duyun, datang dari jalan besar. Auto yang indah-indah di sisi delman yang bersahaja berhenti di hadapan. Tiada berapa jauh dari gerbang masuk ke pekarangan susunan sepeda makin lama makin rapat jua. Orang yang datang berjalan kaki jangan dikata lagi.
Dari pintu di bawah sebelah kanan masuklah Maria ke dalam ruang. Naik ia di anak tangga dan berdirilah ia menghadapi penonton yang banyak. Berkilat-kilat rupa bajunya sutera putih dalam sinar listrik yang terang-benderang. Mata sekalian orang melihat kepadanya, sebab dalam gedung yang sarat berhias panca warna itu, bajunya yang putih bersih berkilau-kilau itu tiadalah membangkitkan perasaan bersahaja, malahan sebaliknya memancarkan sinar penarik yang menantang. Kokarda merah putih di dadanya hanya k
elihatan merahnya saja di tengah-tengah keputihan semata-mata, tetapi oleh itu kemerahannya itu lebih gembira rupanya, bersorak menarik mata.
Agak mengejap-ngejap matanya melihat kepada orang banyak, memandang dari suatu penjuru ke penjuru yang lain, seolah-olah ada yang dicarinya. Bibirnya mengorak tersenyum dan ia pun terus berjalan menuju ke arah pintu masuk, kepada Yusuf dengan Tuti yang berdiri bercakap-cakap dengan beberapa orang lain.
"Sudah lamakah engkau berdua datang"" tanyanya kepada kakaknya, sebab ia sendiri datang lebih dahulu, karena harus serta mengatur malam keramaian itu.
"Kami baru masuk benar," jawab Tuti. "Ramai benar orang datang malam ini."
"Sebab itu lekaslah engkau mencari tempat duduk! Rasanya di depan masih ada sebuah kursi yang kosong. Sebentar lagi orang mulai."
Tuti pergi ke hadapan bersama-sama Maria mencari tempat dan setelah ia duduk, kembalilah Maria kepada Yusuf, yang masih terus juga berbicara dengan temannya.
"Yusuf, lekaslah engkau bersiap. Orang telah hampir mulai," ujar Maria mengingatkan tunangannya itu, sebab mereka berdua akan serta main dalam sandiwara Sandhyakala ning Majapahit(Dikarang oleh Sanusi Pane.) yang akan dipertunjukkan kelak.
Yusuf melihat arlojinya. "Lima menit lagi pukul delapan," keluar dari mulutnya agak bergumam dan kepada kawannya katanya, "Nah, nantilah lagi!" Lalu ia pun mengikut Maria melalui kursi yang banyak itu menuju pintu di bawah di sebelah kanan.
Bertambah lama bertambah penuh jua ruang yang besar itu. Di kursi di hadapan tak ada lagi tempat yang terluang, di belakang pun telah bersesak-sesak orang duduk di atas bangku. Sementara itu masih tiada berhenti-henti juga orang datang. Kursi dan bangku ditambah sepadat-padatnya, tetapi itu pun belum cukup.
Pukul delapan betul tampil seorang anak muda keluar dari belakang layar. Dengan suara nyaring yang makin lama makin jelas membelah ke-gemuruhan dalam gedung yang penuh manusia itu diucapkannya selamat datang kepada yang hadir dan dimintanya terima kasih atas minat kepada pertemuan malam penutupan kongres itu. Sudah itu dibacakannya beberapa putusan kongres dan akhirnya diharapkannya mudah-mudahan pertunjukkan yang akan diperlihatkan malam ini akan memberi kenang-kenangan yang indah dan tiada terlupakan bagi segala yang hadir.
Tiada berapa lama setelah ia undur kembali ke balik layar yang tertutup, diiringi oleh tepuk yang ramai, maka terkuaklah pula layar yang ungu berombak-ombak itu seluas-luasnya. Ketika itu juga padamlah lampu dalam gedung itu dan di atas podium terpasanglah cahaya biru, amat dahsyat rupanya menyinari pemandangan yang kelihatan di atas podium; beberapa pasang pemuda yang berasal dari seluruh kepulauan ini, memakai pakaian negerinya masing-masing, menghadapi sebuah pedupaan yang besar memasukkan persembahan masing-masing.
Seluruh gedung itu sunyi senyap, takjub melihat pemandangan yang permai dan dalam meresap itu.
Ketika tiba-tiba layar itu tertutup kembali dan di ruang dipasang orang pula lampu, sekalian penonton selaku terbangun dari mimpi. Sekejap seperti hendak runtuh bunyi orang bertepuk, di sela oleh teriak bis-bis tiada putus-putusnya.
Tetapi meskipun sebanyak itu suara meminta, supaya pertunjukan itu diulang kembali, permintaan itu tiada diperkenankan. Dan waktu layar ungu yang berombak-ombak itu terkuak pula, mulailah pertunjukan sandiwara: Sandhyakala ning Majapahit.
Kata bermula yang diucapkan biksu berbaju kuning, meminta rahmat Syiwa-Budha bagi pertunjukan itu dan berharap supaya pekerjaan pujangga yang merasa dirinya kurang kuasa, diulas oleh darah muda, dapat sekali mengikat minat yang hadir. Segera sepi mati pulalah dalam ruang yang luas itu. Segala mata tertuju ke hadapan, sebab orang hendak mendengar tiap-tiap kata percakapan Maharesi dengan kesatria Damar Wulan yang belum damai dan berbahagia hatinya, sebelum terjawab baginya soal-soal dunia dan hidup manusia:
Apa gunanya Berahma menjadikan dunia"
Apa ada sebelum Berahma menjelma"
Siapa menjadikan Berahma"
Apa guna manusia hidup"
Mengapa ia harus mati"
Sia-sialah Mahare si menerangkan kepadanya, bahwa soal kejadian dan tujuan kehidupan tidak dapat diketahui manusia dengan sempurna. Bahwa bagi Damar Wulan tidak patut sedalam itu mengaji agama, sebab ia teruntuk menjadi kesatria.
Damar Wulan mengeluh, bahwa siang malam soal-soal itu mengelilinginya sebagai hantu menyiksa. Perasaannya sebagai orang yang memikul beban yang dipikulkan beratus-ratus zaman. Tidak ada yang tetap, yang dapat dibuat tempat berpegang, yang dapat ditujui.
Tetapi ketika bundanya menyuruhnya pergi ke Majapahit untuk menjadi kesatria, ia tiada tangguh lagi, meskipun hatinya belum reda memikirkan soal-soal yang sulit itu.
Damar Wulan semadi beberapa lamanya dan dalam semadinya itu terasa bersualah ia dengan Wisynu yang berkata kepadanya, "Akulah Wisynu yang engkau cari, aku bertakhta dalam hatimu sendiri. Dunia tidak pernah terjadi, sebab tidak pernah tidak ada. Kata, nama, sifat, sekaliannya cuma buatan manusia belaka. Sekaliannya tidak ada ketika manusia belum ada di dunia. Waktu cuma maya, cuma perbandingan yang dibuat oleh manusia antara suatu kejadian dengan kejadian yang lain. Kekuasaan atau tempat pun hanya
mimpi belaka, sebab Wisynu ada dalam hati segala benda. Dunia tidak bersifat dan tidak tidak-bersifat. Jalan manusia ke hatinya sendiri ialah Yoga, menghentikan berpikir, melenyapkan dunia maya dan menyatukan diri dengan jiwa segala benda.
Bahagian kedua ialah pertemuan Damar Wulan dengan kekasihnya An-jasmara, putri patih Majapahit. Anjasmara menyuruh kekasihnya pergi menaklukkan Wirabumi yang mendurhaka kepada Prabu Dewi Suhita. Beberapa lamanya Damar Wulan sangsi. Ia memikirkan kejamnya membunuh manusia, membangkitkan ratap dan tangis perempuan dan kanak-kanak. Lagi pula apa gunanya Majapahit ditolong, agama sudah rusak, pendeta dan kesatria tiada melakukan kewajibannya lagi terhadap kepada rakyat. Tetapi meskipun demikian dalam hatinya ia insyaf, bahwa ia tidak boleh tidak akan menurut darmanya, ia akan pergi memerangi Wirabumi.
Dalam semadi di sisi kekasihnya nampak pula kepadanya Wisynu yang berkata kepadanya, "Dalam dunia jasmani pun terkandung kehidupan. Selama hidup kehidupan jasmani pun tidak boleh ditinggalkan. Memerangi Wirabumi bukan membunuh artinya, tetapi membantu rakyat sengsara."
Lenyap Wisynu datang Dewi Kamajaya dan Dewi Ratih mengatakan kepada Damar Wulan, bahwa rahasia alam telah terbuka baginya. Tetapi tahu bukanlah bahagia. Bahagia masuk ke dalam hati, kalau jiwa sudah satu dengan Berahma, kalau cinta kepada dunia sudah tumbuh dalam hati. Sebab itu hendaklah ia melindungi yang lemah.
Perjuangan batin Damar Wulan sudah selesai. Meskipun bundanya sakit keras dan setiap saat boleh maut, ia akan terus juga memerangi Wirabumi, sebab perkara negara harus lebih diutamakan dari perkara sendiri.
Bahagian ketiga melukiskan kesabaran hati para pembesar Majapahit untuk melawan Wirabumi. Kesatria sejati tidak ada lagi, tidak seorang juga sanggup menjadi senapati mengepalai bala tentara. Majapahit tiada bertenaga lagi, sehingga Wirabumi berani menghina Prabu Dewi Suhita menyuruh datang ke Probolinggo mempersembahkan upacara kerajaan dan menjadi permaisurinya.
Damar Wulan yang dinanti-nanti datang mempersembahkan dirinya kepada Prabu. Diterangkannya, bahwa rakyat tiada senang, sebab mereka kelaparan dan diperlakukan tiada sepertinya.
Setelah habis pertunjukan bahagian ketiga, maka diadakan istirahat setengah jam. Ruang besar itu pun sibuk pulalah; ada yang berdiri berjalan-jalan, ada yang pergi minum pada bupet. Gemuruh bunyi orang bercakap-cakap.
Bahagian keempat yang dipertunjukkan sesudah istirahat melukiskan Prabu Dewi Suhita serta rakyat dan para pembesar bergirang hati menyambut Damar Wulan kembali dari medan peperangan mengalahkan Wirabumi.
Dalam bahagian kelima kaum kesatria dan kepala agama bersekongkol menjatuhkan Damar Wulan yang berdaya-upaya menyedarkan rakyat. Prabu Dewi Suhita akhirnya terbujuk oleh mereka dan Damar Wulan dihukum mati. Lenyaplah kesatria sejati yang penghabisan dan Majapahit tiada dapat tidak akan punah. Pasukan Islam sudah siap aka
n menyerang, memberi pukulan yang penghabisan kepada kerajaan. Maka tertutuplah layar setelah Menak Koncar, teman Damar Wulan yang setia menetapkan nasib Majapahit:
"Sumpah dewata menghancurkan kamu, para menteri dan kepala agama serta Majapahit, Sebentar lagi kota ini akan musna, akan tinggal bekasnya saja dan kamu, Suhita, akan meratap di atasnya. Ketika Damar Wulan, kesatria yang penghabisan, runtuh ke tanah, seri Majapahit pindah ke Bintara.
Majapahit, runtuhlah kamu!"
Pertunjukan selesailah! Maka gemuruhlah bunyi tepuk orang, menyatakan puasnya akan yang dilihatnya itu. Dari balik layar ke luar pula sebentar anak muda tadi menyatakan, bahwa sudah tertutuplah kongres Pemuda Baru yang kelima. Sekali lagi diucapkannya terima kasih kepada segala orang yang menyokong dan memperlihatkan minatnya kepada kongres itu dan diharapkan mudah-mudahan setahun lagi akan bersua pula pada kongres yang keenam.
Sekalian orang di dalam ruang yang besar itu bergeraklah. Berdegar-degar bunyi orang memindahkan kursi dan berdiri. Orang berduyun-duyun ke luar, bersesak-sesak di antara kursi-kursi dan bangku-bangku yang centang-perenang letaknya.
Tuti telah berdiri juga dari kursinya, tetapi sebaliknya dari orang banyak menuju ke pintu ke luar, ia mendekat ke arah pintu di sebelah kanan di bawah, sebab ia masih harus menantikan Yusuf dengan Maria. Lamalah baru orang berdua bertunangan itu ke luar.
Tetapi Tuti tidak merasa menanti itu, sebab ia masih takjub mengenangkan pertunjukan yang baru dilihatnya. Sesering itu ia menghadiri keramaian penutup kongres, tetapi hatinya belum pernah sekali jua pun terharu seperti melihat sandiwara Sandhyakala ning Majapahit ini. Telah kosong benar ruang yang besar itu ketika orang berdua yang ditunggunya itu datang. Maria menyandang syaal sutera yang lebar yang menutup seluruh belakangnya sampai ke atas lengannya. Di tangan kanannya dipegangnya tas. Dari jauh telah tersenyum ia melihat saudaranya dan bertanyalah ia, seperti kanak-kanak yang ingin tahu. bagaimanakah pikiran orang tentang perbuatannya, "Bagaimanakah Anjasmara tadi."
"Indah benar, belum pernah saya melihat pertunjukan yang seindah ini," ke luar dengan tulus dari mulut Tuti yang jarang memuji itu. "Engkau berdua baik benar bermain. Terutama percakapan Damar Wulan dengan Wisynu sangat meresap ke dalam hati saya. Bagus benar percakapan-percakapan sandiwara itu tadi."
Yusuf memandang kepada Tuti, agak keheran-heranan sedikit, sebab belum pernah nampak kepadanya Tuti terharu serupa itu melihat sesuatu pertunjukan. Malahan biasanya ia agak rendah memandang seni, yang menurut katanya hanya pekerjaan bagi orang yang tiada mempunyai pekerjaan yang lain.
Maria amat besar hatinya mendengar pujian saudaranya itu, sebab yang demikian jarang benar terjadi atas perbuatannya. Tuti biasanya mencela saja.
Dalam pada itu perlahan-lahan mereka berjalan menuju ke luar. Di pekarangan gedung itu masih kelihatan beberapa orang yang masih ada rupanya yang dinantikannya. Di jalan besar hanya ada sebuah delman. Beberapa lamanya mereka melihat-lihat kalau-kalau ada taxi, tetapi tiada nampak sebuah jua pun, akhirnya berkatalah Tuti, "Sudahlah, marilah kita naik delman ini, biarlah berlambat-lambat tidak mengapa!" Maka naiklah mereka ke atas delman itu.
Maria amat gembira dan tiada berhenti-henti ia bercerita tentang pertunjukan itu, tentang persediaannya, tentang kejadian sebelum dan sedang pertunjukan itu; lain daripada serta bermain, ia seorang yang turut memimpin dan mengatur. Dan berhasilnya pertunjukan yang berhari-hari memenuhi minatnya itu sangatlah membesarkan hatinya.
Tuti kelihatannya masih terharu juga; katanya tak banyak sebab perasaan dan pemandangan yang baru diperolehnya, malam itu hendak dicerenahnya benar-benar dalam hatinya.
Pemandangannya tentang seni mendapat pukulan yang hebat. Pertunjukan Sandhyakala ning Majapahit yang lain benar daripada pertunjukan yang biasa diperlihatkan pada waktu keramaian yang lain-lain, amat dalam mengguris kalbunya. Jaranglah sesuatu perasaan semesra itu memenuhi hatinya, menyamai kemes
raan perasaannya yang sehebat-hebatnya selama penghidupannya sebagai perempuan pergerakan yang melakukan pekerjaannya dengan seluruh jiwanya. Mau tak mau ia harus mengakui, betapa besarnya pengaruh seni yang dahulu sering diejekkannya itu atas jiwa manusia.
Sementara itu ketakjubannya itu bukanlah ketakjuban semata-mata. Di sisi ketakjuban akan keindahan sandiwara itu sejak dari semula ada memberat sesuatu perasaan yang kabur dalam hatinya, yang tiada dapat dikajinya benar. Dan makin lepas ia dari pesona kenikmatan melihat sandiwara itu, perasaan yang kabur itu makin terang, makin nyata berupa, sehingga lambat laun insyaflah ia, bahwa kenikmatan pertunjukan yang dilihatnya itu tiada sesuai dengan irama jiwanya sebagai perempuan yang gelisah dan suka bekerja dan tiada sesuai dengan pikirannya yang biasa menimbang baik dan buruk, berguna atau tiada berguna segala sesuatu.
Mula-mula sehabis pertunjukan tadi ia semata-mata dikuasai oleh perasaan keindahannya yang lama terpendam dan terdesak, tetapi seketika memancar ke luar tiada tertahan-tahan melihat sandiwara yang indah itu. Tetapi makin tercerenah oleh kalbunya perasaan keindahan yang tiada biasa dirasakannya itu, makin insyaflah ia, bahwa ia tiada dapat lagi menyetujuinya dan menerimanya. Akhirnya tiada dapat lagi ia menahan hatinya menyatakan pikirannya, lalu katanya, "Pertunjukan engkau berdua tadi sesungguhnya indah benar, belum pernah saya terharu seperti malam itu. Tetapi meskipun demikian hati saya tidak puas."
"Tidak puas"" jawab Maria sekali, yang masih gembira akan hasil pekerjaannya itu. "Apanya yang engkau tidak puas. Tadi katamu bagus."
"Ya, bagus, sebenarnya bagus, tetapi meskipun demikian hati saya tiada puas benar. Bagaimana engkau, Yusuf" Tidak begitu jugakah perasaanmu""
"Saya tidak mengerti, apa maksudnya," kata Yusuf
Orang berdua itu melihat kepada Tuti, yang berpikir sebentar rupanya, tetapi lalu berkata, "Sandiwara tadi bagus, sebenarnya bagus. Tetapi kebagusannya itu pada pikiran saya melemahkan hati dan tenaga ..."
Berhenti pula ia sebentar, selaku hendak mencari perkataan yang sebaik-baiknya untuk menyatakan yang terpikir kepadanya itu.
Tetapi Maria yang dalam kegirangannya akan hasil pekerjaannya malam itu segera menyangka, bahwa kakaknya itu mencari-cari saja hendak mencela pertunjukan itu, segera berkata, "Melemahkan hati" Ada-ada saja pikiranmu. Tak pernah engkau melihat perbuatan orang yang tiada tercela. Coba engkau sendiri menyusun sandiwara, supaya engkau puas benar..."
Dalam gelap di delman itu mata Tuti mendelik melihat adiknya selaku hendak diterkamnya, tetapi ditahannya hatinya, lalu berkata dengan pendek, "Kalau engkau tiada mengerti, baiklah engkau diam saja, Maria ..."
Tetapi Maria tiada gentar dan menjawab. "Bagiku bagus, ya bagus, tidak banyak cencong seperti engkau!"
Tuti tidak mempedulikan kata adiknya yang tajam itu. Dan seraya melihat kepada Yusuf, yang telah biasa mempersaksikan perselisihan orang berdua bersaudara yang amat berbeda pekertinya itu, katanya, "Ini yang saya maksud dengan melemahkan itu, Yusuf! Engkau "sendiri yang bermain Damar Wulan, jadi engkau tahu benar akan sifat Damar Wulan... Bagaimana pikiranmu tentang Damar Wulan, percakapannya yang indah itu misalnya dengan Wisynu. Sekarang, kalau saya pikirkan itu, ngeri rasanya hati saya. Penyelesaian soal kejadian dunia, soal hidup dan mati seperti diucapkan Wisynu itu, melepaskan segala tempat berpegang, menjatuhkan tempat kaki berjejak. Sebab kalau segalanya maya, habis arti segala hidup di dunia ini."
"Ya, tetapi engkau lupa," ujar Yusuf, "bahwa kemudian Wisynu berkata bahwa selama masih ada hayat dikandung badan, tiada boleh kita meninggalkan dunia maya, sebab hal itu artinya lari dari dunia. Manusia tiada boleh menolak kewajiban."
"Benar katamu demikian," jawab Tuti, "tetapi tambahan kemudian yang menunjukkan, bahwa maya ini pun tiada tercerai dari kehidupan, bahwa maya ini pun tiada boleh disia-siakan, menurut paham saya datangnya sebagai tampalan dari belakang. Sesudah ucapan yang pertama yang meniadakan dunia dan penghidupan di dunia i
ni, ucapan yang kedua yang membawa kembali ke dunia, hilanglah kekuatannya." "Hilang kekuatannya""
"Ya, hilang kekuatannya, lihatlah bagaimana sangsi Damar Wulan melakukan kewajibannya. Pada pikiran saya, meskipun tiada sengaja pengarangnya bermaksud demikian, tetapi jatuhnya Damar Wulan pada akhir sandiwara itu telah selayaknya benar, sebab sangsinya sendiri. Bukankah waktu ia menjabat pangkat ratu Anggabaya ia mendapat kesempatan yang sebaik-baiknya membersihkan negeri dari segala mereka yang tiada pada tempatnya dalam negeri" Sebaliknya daripada itu ia sendiri yang menjadi korban. Salahnya pada pikiran saya: Damar Wulan bukan lagi orang dunia ini."
"Saya mengerti, apa yang engkau maksud, tetapi jika demikian, pandanganmu itu bukan semata-mata tertuju kepada pertunjukan ini. Sebab keberatan yang serupa itu boleh dihadapkan kepada seluruh filsafat Budha, atau lebih luas filsafat India."
"Kalau filsafat India demikian sifatnya, maka tentulah terhadap kepada seluruh filsafat India. Keberatan saya itu pun terutama oleh karena filsafat yang demikian membuat manusia merasa dirinya asing dari dunia ini, sebab segala sesuatu dianggapnya bayang-bayang, dan penghidupannya tiadalah terasa kepadanya sebagai penghidupan yang sebenar-benarnya Di dunia terasa kepadanya bukan pada tempatnya lagi, jiwanya sudah di tempat yang lain. Telah sepatutnya mereka yang demikian di dunia ini tiada dapat berarti, tiada dapat membangunkan sesuatu yang berarti bagi hidup di dunia. Dan meskipun ada suruhan, supaya menyertai hidup di dunia ini, tetapi suruhan itu tiada menolong lagi. Adalah seperti orang yang sudah dibenamkan ke dalam air selucup-lucupnya, tetapi sesudah itu ditarik kepalanya ke atas air sedikit. Ia sudah terlampau lemas untuk dapat merapung dan bernafas lagi."
"Tentang hal itu saya setuju dengan engkau. Umumnya filsafat India melompat sekali menyelesaikan segala soal hidup sedalam-dalamnya. Dapat ia memberi bahagia kepada mereka yang sesuai jiwanya dengan itu, tetapi oleh karena telah terselesaikan segala soal hidup, tiadalah ada lagi bagi mereka yang demikian soal dunia. Dan di dunia tertutuplah jalan kemajuan..."
"Apalagi bagi bangsa kita hal ini harus diperhatikan benar-benar," kata Tuti tegas menambah ucapan Yusuf yang belum habis itu "Sejak dari dahulu bangsa kita gemar akan sikap menganggap dunia ini sebagai yang tiada berarti, yang fana. Dunia hanya tempat perhentian sebentar. Apa guna mengumpulkan harta" Apa guna kebesaran dan kemuliaan" Sikap yang demikian menyebabkan bangsa kita tiada berdaya, lemah berusaha dan nista kedudukannya dalam dunia. Kemiskinannya terasa kepadanya sebagai sesuatu yang layak, malahan kadang-kadang yang sebaik-baiknya. Sebab ia berharap akan kesenangan dan kemuliaan di dunia yang lain... Bangsa kita harus mendapat sikap yang lain. Dunia bukan maya, bukan tempat perhentian sebentar, yang tak usah diindahkan. Sebaliknya daripada menempuh jalan yoga menyuruh menghentikan berpikir, bangsa kita harus lebih banyak berpikir. Jiwa yang sempurna, ialah jiwa yang di dunia ini dapat kesempurnaan pula. Segala sifat dan perbuatan bukan maya dan manusia harus berdaya-upa-ya mengembangkan segala kecakapannya, sebab itulah jalan menuju kesempurnaan lahir dan batin Dari kesempurnaan hidup di dunia ini baru kita melangkah kepada kehidupan yang abadi."
"Ya, saya mengerti, saya mengerti akan keberatanmu dan maksudmu.
Tetapi apakah salahnya, kalau pertunjukan yang seindah itu sekali-sekali dilihat orang""
"Sekali-sekali tiada ada salahnya," kata Tuti, "saya pun akan merasa rugi jika saya tiada dapat melihat sandiwara yang seindah ini dan sedalam ini perasaan yang dikandungnya. Tetapi sementara itu kesangsian akan makna hidup di dunia ini, tiada boleh terlampau banyak pengaruhnya. Dan tentang pertunjukan ini, keberatan saya yang sebenar-benarnya, ialah sebab ia dipertunjukkan kepada pemuda-pemuda. Ke dalam hati pemuda ditanamnya kesangsian akan hidup. Padahal pemuda itu hendaknya gembira dan riang dan penuh kepercayaan. Irama darah pemuda mengalir tiada sesuai dengan irama yang seberat itu memikirkan
soal hidup dan mati."
"Ya, itu telah terasa juga kepada saya. Dari semula saya sebenarnya tiada setuju orang mempertunjukkan sandiwara Sandhyakala ning Majapahit pada pesta kongres ini. Tetapi sandiwara lain yang lebih sesuai tidak ada..."
"Ya, suruh Tuti membuatnya," kata Maria yang sebenarnya agak mulai mengerti mendengar maksud kakaknya itu, tetapi masih juga hendak melepaskan panas hatinya akan celaan saudaranya itu.
Perlahan-lahan delman itu telah sampai di Gang Hauber. Di hadapan rumah pada pertemuan Gang Hauber dengan Cidengweg delman itu berhenti dan turunlah mereka bertiga. Tiada berapa lama mereka mengetuk pintu, dibuka-kanlah oleh Raden Wiriaatmaja.
Yusuf pun minta permisi, sebab hari sudah hampir pukul satu tengah malam. Naiklah ia ke delman yang masih menanti di jalan menuju ke rumah nya di Sawah Besar.
3. PADA malam Minggu Tuti duduk di ruang dalam menghadapi meja membaca buku di bawah lampu. Sejak dari pukul lima petang tadi ia membaca, sebab ia seorang diri tinggal di rumah; ayahnya pergi ke rumah temannya di Gang Ketapang, sedangkan Maria pergi main tennis. Mula-mula ia duduk di halaman rumah, tetapi ketika hari telah kelam ia masuk ke dalam memasang lampu.
Ketika ia sedang lena membalik-balik buku, melihat berapa halaman lagi akan dibacanya, terbuka kamar Maria dan ke luarlah perawan itu, amat segar rupanya, baru berdandan. Rambutnya tersanggul beranyam-anyam dua buah pada belakang kepalanya. Kebayanya ialah kain pual yang berbunga merah kecil-kecil; pada ujung lengannya terkuak mengembang tepi kain merah yang dikerut-kerutkan. Demikian juga keliling lehernya sampai pinggir kebayanya bertepikan kain merah, amat manis rupanya.
Tuti mengangkat mukanya melihat adiknya itu. Takjub matanya memandang kebaya Maria yang amat manis nampaknya. Maria sesungguhnya pandai memilih pakaiannya. Tiap-tiap kebaya atau yurknya yang batu ialah kenikmatan pandangan mata. Ada-ada saja cara menyusun warna, sehingga selalu indah rupanya. Meskipun kepandaian Maria itu bukan baru diperolehnya dalam sebulan dua ini, tetapi baru dalam waktu yang akhir inilah hal itu kentara kepada Tuti, seolah-olah baru terbuka matanya untuk menghargai kepandaian adiknya itu. Kadang-kadang terasa kepadanya perasaan iri yang halus di dalam hatinya.
Maria menarik kursi dekat Tuti dan agak mengeluh duduknya ia dekat saudaranya itu, seraya berkata, "Mengapakah badan saya selalu amat letih, kalau sudah main tennis."
"Barangkali engkau tidak baik main sport," jawab Tuti melihat adiknya yang sesungguhnya agak letih rupanya, meskipun ia segar baru mandi. "Baiklah engkau suruh periksa badanmu kepada dokter. Atau berhentikan main tennis itu."
"Ah, saya tidak mau diperiksa dokter," ujar Maria. "Barangkali letih saya itu, sebab saya belum lama benar main tennis. Awak belum biasa."
Sambil ia mengucapkan perkataannya yang akhir itu, matanya melihat kepada buku yang di tangan Tuti. Agak ganjil nampak kepadanya, lalu diangkatnya buku itu hendak melihat namanya, Zonder liefde geen geluk! (Tanpa cinta tidak berbahagia.)
"Buku saya ini Tuti. Apa mimpimu sekarang telah membaca buku Courths-Mahler pula. Dahulu engkau tertawakan saya membaca buku ini, sekarang engkau sendiri membacanya."
Muka Tuti memerah mendengar upat adiknya yang tepat itu, dan dengan senyum yang agak dibuat-buat jawabnya, jangan tidak menjawab, "Sekedar hendak mengetahui saja, apa benar yang menarik anak-anak perawan membaca buku serupa ini."
"Ah, pandai engkau menjawab," kata Maria, hendak menyentuh hati kakaknya yang tiada hendak berkata terus terang itu. "Kalau mau membacanya katakan saja mau membacanya. Habis perkara!"
Tuti tiada menjawab lagi, pura-pura tiada mendengar kata adiknya itu. Setelah beberapa lamanya duduk di kursi dekat Tuti itu, Maria berdiri seraya berkata, "Baiklah saya berbaring di atas dipan, supaya lekas hilang letih saya!"
Beberapa lamanya sunyilah dalam ruang itu. Tuti membaca buku, sedangkan Maria berbaring seraya menjalan pikirannya melamun mengenangkan kekasihnya.
Kira-kira pukul setengah delapan pulanglah Raden Wiriaatmaja. Mak
a pergikah Tuti dan Maria ke belakang menyediakan makanan. Setelah makan duduk pula mereka bersama-sama di beranda dalam: Tuti terus membaca bukunya, sedangkan Maria memutar mesin nyanyi, memainkan lagu-lagu yang sayu untuk meredakan kegelisahan hatinya menanti kekasihnya yang belum juga kunjung-kunjung datang.
Kira-kira setengah sembilan kedengaran di halaman bunyi sepeda. Maria yang dari tadi gelisah menanti-nanti, tahu sekali, bahwa yang datang itu ialah kekasihnya. Tetapi meskipun tiada terkata-katakan kegirangannya, ditahannya hatinya dan perlahan-lahan seperti orang yang antara mau dengan tiada menujulah ia ke pintu melihat ke luar. Dan pura-pura orang tiada menyangka berkatalah ia menyambut tunangannya, "O, engkau Yusuf!"
Maka teruslah ia ke luar turun ke tanah. Tahu bahwa ucapannya tiada didengar orang lain, perkataan yang mula-mula sekali keluar dari mulutnya ialah melepaskan perasaan kalbunya, "Ah, lambat benar engkau datang..."
Sama-samalah mereka naik ke rumah. Yusuf menceritakan sebab ia terlambat datang, "Kami dari pukul lima tadi rapat. Rapat memilih pengurus baru Beasiswa Setuden. Sangka saya selama-lamanya rapat itu akan dua jam, tetapi hampir setengah sembilan kami baru selesai. Sekaliannya morat-marit! Uang sudah lama tidak teratur ditagih. Kas sudah kosong dan setuden yang patut dibantu sudah sebulan tiada dapat diberi bantuan lagi. Masakan keadaan boleh dibiarkan serupa itu... "
Melihat Tuti di ruang tengah Yusuf menghentikan bicaranya dan memberi tabik kepadanya. Maria bergesa-gesa menanggalkan pelat mesin nyanyi, sebab lagu sudah habis. Maka duduklah mereka bersama-sama bertiga menghadapi meja.
Yusuf terus bercerita tentang rapat pemilihan pengurus Beasiswa Setuden itu: Bagaimana abainya pengurus yang lama memimpinnya. 3ukan salahnya orang tiada hendak menyokong, tetapi bantuan orang teledor ditagih, dan yang menjadi korban ialah setuden yang dibantu. Bulan ini mereka tiada menerima sesen jua pun, sebab kas sekosong-kosongnya. Bukankah itu sia-sia benar. Kaum setuden kita perlu dapat bantuan, sebab bangsa kita umumnya tiada kuat membelanjai anaknya belajar pada sekolah tinggi. Jika kita menghendaki banyak bangsa kita yang menuntut ilmu pada sekolah yang setinggi-tingginya di negeri kita ini kita tidak boleh tidak harus mengadakan sebuah perkumpulan beasiswa yang kuat. Pertama organisasinya harus baik."
"Berapa pada pikiranmu yang cukup bagi seorang setuden kita"" tanya Tuti.
"Bantuan kepada setuden kita menurut anggapan saya tidak usah besar. Biasanya telah lebih dari cukup, apabila mereka dapat membayar uang kuliah dan dapat pula membeli buku. Tentang makan soal kecil. Bukan sedikit di antara setuden kita yang tinggal pada pamili. Atau jika membayar makan sekalipun, bayar makan itu tiada seberapa. Kebanyakan di antara setuden kita akan tertolong benar dengan bantuan dua puluh lima rupiah(Perhitungan masa yang lalu.) sebulan, malahan kurang dari itu pun. Selebihnya biasanya dapat mereka peroleh dari orang tua mereka. Seperti sekarang ini banyak teman-teman saya yang sayup-sayup benar mendapatkan uang dari rumah. Di sisi belajar mereka harus melakukan pekerjaan ini dan itu untuk menambah belanjanya. Bukan sedikit di antara setuden yang tiada selesai pelajarannya pada waktu yang ditetapkan, oleh sebab mereka di sisi pelajarannya harus menambah pendapatannya... "
"Berapakah biasanya bantuan tiap-tiap anggota untuk beasiswa itu sebulan"" tanya Tuti menyela keterangan Yusuf itu.
"Selama ini tiap-tiap orang membayar Rp 1,00. Pada pikiran saya oleh sebab ditetapkan demikian, hanya sedikit orang yang dapat membantu beasiswa itu. Maksud kami pengurus beasiswa yang baru akan meluaskan jumlah orang yang membantu. Kami akan menetapkan bantuan sekurang-kurangnya Rp 0,25 sebulan. Orang yang sanggup membayar lebih tentulah akan lebih dibayarnya ..."
"Kalau hanya Rp 0,25 sebulan, saya hendak juga menjadi penyokong," kata Maria.
"Tentu," kata Yusuf. "Saya telah bermaksud hendak mengatakannya. Engkau berdua mesti menjadi anggota. Tetapi bukan anggota setalen. Masalah guru yang tiada mempunyai
tanggungan suatu apa hanya sanggup memberi setalen. Sekurang-kurangnya engkau berdua serupiah seorang!"
Yang akhir itu diucapkannya seraya tersenyum melihat kepada orang berdua itu. Tetapi Tuti dan Maria membantah: Tuti telah banyak harus membantu perkumpulannya dan beberapa rekening bukunya masih harus dibayarnya. Tetapi kalau lima puluh sen sebulan ia hendak juga membantu.
Maria menganggap jumlah itu terlampau besar baginya menilik kepada gajinya. "Masakan empat persen dari gaji saya akan beasiswa saja" Saya pun ada kontribusi yang lain."
"Nah, kalau begitu lima puluh sen pun jadilah."
"Tetapi uang itu harus dijemput sebelum tanggal lima tiap-tiap bulan," kata Tuti. "Kalau orang datang menagih sesudah tanggal lima akan saya suruh kembali saja. Pikiran saya orang harus memerlukan memungut kontribusi itu. Kalau tiada diperlukan, tidak pula kita perlu membayarnya. Kebanyakan perkumpulan tidak masuk uangnya, sering bukan oleh karena orang tiada hendak membayar iuran, tetapi karena iuran itu tiada baik ditagih. Tanggal sepuluh atau lima belas bulan baru datang, siapakah ada beruang lagi di rumah""
"Tetapi untuk beasiswa kami ini engkau tidak usah cemas engkau terlambat ditagih," jawab Yusuf. "Untuk rumah ini biarlah saya sendiri menjadi penagihnya."
"Ya, tetapi kalau engkau penagihnya, tentu saja boleh minta tangguh. Atau sekali-sekali tidak membayar benar..." kata Maria berolok-olok.
"Ya, kehendakmu, tetapi penagih ini akan lebih keras tagihnya dari penagih yang biasa."
Di tengah-tengah percakapan itu tiba-tiba Maria teringat, bahwa boleh jadi kekasihnya itu belum makan, lalu bertanya, "Kalau engkau dari rapat tadi terus kemari sekali, tentulah engkau sekarang belum makan. Kami di rumah ini sudah makan, tetapi mari saya lihat sebentar, kalau-kalau masih ada nasi dan gulai."
"Sudahlah tak usah," kata Yusuf. "Di rumah tentu nasi saja ditinggalkan orang."
Tetapi Maria telah berdiri dan sambil berjalan menuju ke dalam ia menjawab, "Bukankah engkau belum akan pulang sekarang juga" Malam ini malam panjang. Baiklah makan dahulu, kalau tidak lama amat perutmu kosong."
Tetapi beberapa lama antaranya ia kembali pula dan kepada Tuti katanya, "Tuti, nasi tidak ada lagi..."
"Suruh sajalah Juhro masak lagi," jawab Tuti.
Tetapi Yusuf segera menyela berkata, "Janganlah berpayah serupa itu benar. Masakan akan masak lagi sekarang sudah dekat pukul sembilan ini. Sudahlah!"
Maria masih berdiri juga. Tiada senang hatinya tiada dapat memberi makan kekasihnya itu dan ia pun mengumpat pula, "Engkau salahnya datang lambat benar. Kami sudah makan... Tetapi baiklah begini saja. Maukah engkau makan mi, boleh kusuruh belikan. Jadi ada juga alas perutmu..."
"Aa, itu jadi," kata Yusuf. "Di mana membeli mi di sini""
"Tiada berapa jauh, di pasar di ujung Gang Hauber tentu masih ada orang menjual mi sekarang," kata Tuti.
"O, ya, kalau begitu baik kita lihat saja pergi berdua berjalan ke pasar sebentar," kata Maria dengan suara yang gembira, sebab bukan saja ia akan dapat memberi kekasihnya itu makan, tetapi ia akan dapat pula berjalan-jalan dengan dia.
"Jadi, sebentar," kata Yusuf.
Maka berdirilah ia dan turunlah mereka berdua. Tuti pun tegak pula dan ia pun pergi ke luar. Ketika Yusuf dan Maria telah ke luar pekarangan turun pula ia ke bawah dan duduk di atas kursi.
Malam itu enam hari bulan. Bulan serupa sisir tersipu-sipu di balik awan yang tipis dan seluruh alam kekabur-kaburan rupanya. Dalam kekabur-ka-buran malam itu Tuti menurutkan bayang-bayang Yusuf dan Maria yang menjauh mengabur di ujung jalan. Nampak kepadanya mereka terus, tiada berbelok sekali menuju ke pasar: rupanya mereka pergi berjalan-jalan dahulu.
Melihat bayang-bayang orang berdua itu bertambah lama bertambah kabur, dan menurut mereka dengan pikirannya, mengepullah dari dasar kalbunya perasaan kehampaan dan kesepian yang dalam setahun sejak Maria bertunangan dengan Yusuf tiada berhenti-henti menderanya. Untuk kesekian kalinya dipikirkannya pula, apakah sebabnya, maka dalam waktu cinta berahi demikian dapat berubah pekerti manusia. Mengapa maka orang y
ang sedang berkasih-kasihan itu selalu hendak berdekatan, selaku tiada dapat bercerai lagi... " Maria berdekatan dengan Yusuf lain benar dari Maria sendirian di rumah. Dekat Yusuf Maria girang dan manja, suaranya halus membelai dan matanya girang bersinar. Apabila sendirian tiada tentu, sering ia duduk atau berbaring berjam-jam tiada berkata-kata.
Menurut pikirannya yang menimbang dan mengukur, sekalian pujaan itu daya nafsu belaka dan hanya mungkin terjadi pada mereka yang tiada bertujuan hidup.
Tetapi pikirannya yang terang dan nyata itu tiada pernah dapat sesungguh-sungguhnya melenyapkan perasaan kehampaan dan kesunyian di dalam hatinya. Pada ketika pikirannya agak terpica, tiada tertahanlah rasanya kekosongan dan melangitlah jiwanya menghimbau. Tiada terkata-katalah hasratnya akan penyerahan dan pujaan mereka yang menurut pikirannya tiada bertujuan hidup itu dan terbayanglah kepermaian cinta seperti terlukis dalam buku-buku Courths-Mahler sebagai sesuatu yang amat jauhnya dan tiada akan mungkin tercapai baginya. Maka terasalah kepadanya tiada sanggupnya memuja menyerah itu sebagai azab dan di tengah-tengah kekuatan dan kecakapannya sebagai seorang pemimpin pergerakan perempuan beratlah mengimpitnya perasaan kelemahan dirinya.
Dalam perjuangan antara perasaan dan pikiran yang tiada habis-habisnya itu, sesaat disesalnyalah dirinya sendiri! Suatu kesempatan sudah dibuangkan-nya; hendaklah ia dahulu memuja Hambali... Tetapi betapakah ia mungkin memuja orang yang pada matanya tiada sedikit jua pun melebihinya ... "
Tetapi mestikah ia selama-lamanya tinggal serupa ini" Dan sekejam-kejamnya pula terdengar kepadanya suara muridnya, gadis kecil, yang bergurau dengan temannya berkata, "Encik guru kita ini tidak laku-laku!"
Sampai sekarang ucapan itu tiada terlupakan olehnya. Selalu apabila ia melihat gadis itu, terasa olehnya seolah-olah hatinya tersayat sangat pedihnya. Senantiasa, senantiasa ucapan itu berbalik kembali, makin hendak dilupakannya, makin teranglah ia timbul.
"Alangkah kejamnya kanak-kanak," katanya dalam hatinya. "Segalanya nampak kepada mereka dan sesamanya tak ada yang disembunyikannya. Entah apa-apa lagi agaknya yang dibicarakan mereka tentang dia, guru mereka yang belum juga kawin-kawin."
Terasa kepadanya bagaimana anak-anak kelasnya melihat kepadanya, apabila ia bercakap-cakap dengan Supomo, guru muda yang baru enam bulan kembali dari negeri Belanda. Apa-apa pula gerangan cerita anak-anak tentang dirinya dengan guru itu.
Tetapi... betapakah pandangannya pada Supomo" Sekali-sekali terasa kepadanya, bahwa Supomo hendak bergaul dengan dia. Waktu istirahat sering ia datang ke hadapan kelasnya bercakap-cakap. Tidak, percakapan mereka biasa segalanya.
Dalam arus pikiran dan perasaannya itu, tiba-tiba terkilat pertanyaan dari dalam hatinya: Bagaimanakah kalau pada suatu hari Supomo memintanya menjadi istrinya" Adakah hatinya tertarik kepada teman sekerjanya itu"
Dengan tiada setahunya ia telah menghargai Supomo dalam hatinya: orang yang baik hati, lemah-lembut dan sopan dalam pergaulan. Tetapi meskipun ia mendapat ijazahnya di negeri Belanda, tiada ada kelebihannya dari orang lain. Orang tuanya kaya, dapat mengongkosinya ke negeri Belanda. Ia tiada bodoh dan ia mendapat ijazah hoofd-akte... Seseorang yang luar biasa ia bukan sekali-kali... Tetapi hatinya baik, sifatnya lemah-lembut dan pengasih-penyayang.
Dalam menurut arus pikirannya yang tiada bertuju itu, ditangkapnya dirinya sendiri, "Mengapakah sampai ke sana pikirannya."
Diselidikinya hatinya dan digalinya segala ingatannya: Sesungguhnya ada dirasa-rasanya, bahwa Supomo berminat kepadanya. Dan ia pun merasa, bahwa hal itu pun tiada luput dari mata murid-muridnya. Selalu apabila dalam istirahat Supomo datang ke hadapan kelasnya untuk berbicara dengan dia, nampak kepadanya, bahwa murid-muridnya yang telah besar mengawasi mereka...
Tetapi ia tiada hendak berpikir tentang itu. Datanglah apa yang hendak datang.
Dari jauh kelihatan kabur-kabur kepadanya bayang-bayang dua orang menuju ke tempatnya. Tentulah Maria dengan Y
usuf yang mesra rapat berjalan dalam kekaburan sinar bulan yang tipis diselubungi awan. Bertambah terang bayang-bayang orang berdua itu, dekat kepada rumah nampak kepadanya kedua bayang-bayang itu berkuak menjarang.
Dicobanya merasakan bahagia kedua muda remaja itu, tetapi perasaan bahagia yang dirasakannya pada orang lain itu pedih menyembilu dalam hatinya.
Di hadapan pintu pekarangan orang berdua itu melihat kepada Tuti. Yusuf berkata, "Tuti, engkau duduk di sini! Apa kerjamu"" "Tidak, duduk saja."
"Engkau rupanya telah suka melamun," ujar Yusuf dengan tiada bermaksud suatu apa. Tetapi ia tiada tahu, betapa dalamnya katanya meng-guris hati Tuti yang sedang kusut itu.
4. YUSUF dan Maria turun dari auto di Pasar Ikan dan berjalan menuju ke laut. Maria memakai yurk putih dan kepalanya ditutupi oleh tudung pandan yang amat lebar. Yusuf berpakaian setelan hijau dan bertudung topi helm putih. Amat gembira suara mereka bercakap-cakap, ringan sebagai menari kaki mereka berjejak di tanah.
Alangkah girang nampaknya seluruh dunia pada pagi Minggu itu. Di belakang mereka tertinggal kegemuruhan Pasar Ikan dan dari jauh kedengaran sayup-sayup irama laut turun-naik. Bersinar-sinar nampaknya air empang yang jernih dan menguninglah pohon-pohon di tepi laut kena cahaya matahari pagi yang girang menyerakkan sinarnya sejauh-jauhnya mata memandang.
Di belakang dan di hadapan mereka dan di seberang air banyak kelihatan manusia, berkawan-kawan laki-laki perempuan muda remaja dengan kanak-kanak. Sekaliannya girang dan senang nampaknya, ada yang membawa joran pancing dan ada yang membawa makan-makanan. Di tepi-tepi air sampai ke pematang yang menjorok ke tengah laut kelihatan orang memancing dan berjalan-jalan.
Tiada terasa bercakap-cakap, melompat dari suatu pasal ke pasal yang lain, mereka telah sampai dekat pintu masuk ke pekarangan tempat pondok di tengah pohon-pohon yang rindang daunnya. Di sana-sini orang duduk di atas bangku-bangku menghadapi minuman dan penganan. Pada buaian dan bangku jungkat-jungkit berkumpul-kumpul kanak-kanak gembira bermain-main. Dari tepi air gemuruh datang suara kanak-kanak yang mandi berkejar-kejaran dan bersimbur-simburan.
Rahasia Ciok Kwan Im 7 Detektif Stop - Teror Melanda Kelas 9a Pedang Hati Suci 9
"Ya, itulah yang saya maksud. Boleh jadi contoh tidur meninggi hari itu terlampau kecil dan tiada berarti. Saya benci kepada yang tidur meninggi hari itu, oleh sebab hal itu saya anggap sebagai suatu akibat dari suatu pendirian yang hendak enaknya saja. Dalam kita menuju ke suatu cita-cita, yang kecil-kecil itu tiada sekali-kali boleh kita lupakan. Kita harus konsek-wen, harus tetap pendirian sampai kepada pasal yang kecil-kecil pun. Terutama sekali dalam pergerakan perempuan menurut pengalaman saya, sekaliannya itu harus diingatkan dan ditunjukkan. Segala orang mau menyebutkan dirinya moderen, segala orang hendak pergi ke rapat, tetapi rapat itu bagi kebanyakan orang menjadi tempat mempertontonkan pakaian, menjadi mode-show. Dapat dihitung jumlahnya orang yang menjadi anggota sesuatu perkumpulan karena sesungguh-sungguhnya oleh keinsyafan hati."
"Saya mengerti yang engkau maksud," kata Yusuf menyela. "Keadaan seperti engkau tunjukkan itu, bukan hanya terdapat di kalangan perempuan, tetapi tidak bedanya di kalangan laki-laki. Tetapi janganlah kita menyangka, bahwa kita akan dapat melenyapkannya sama sekali."
"Sama sekali tentu tidak," sambut Tuti dengan tetap, "tetapi kewajiban kita ialah menambah sebanyak-banyaknya mereka yang insyaf itu. Kita harus menginsyafkan mereka akan perbedaan antara isi yang sebenarnya dengan kulit. Untuk itu kita harus menggambarkan dengan senyata-nyata di mana watas isi dengan kulit, di mana watas hakekat dengan rupa semata-mata. Kita harus berjuang melawan sifat pemudah yang terdapat pada bangsa kita. Di mana kita melihat orang memuja kulit, orang memuja rupa dan melupakan isi dan hakekat di situ kita harus memukulkan cambuk kita. Dalam Putri Sedar mereka yang serupa itu tidak saya kasihani, biarlah mereka ke luar daripada membanyak-banyakkan anggota yang tak ada gunanya. Biarlah mereka berkumpul dalam perkumpulan tennis, perkumpulan untuk pertemuan makan-makan dan piknik-piknik..."
"0 ya, contoh yang menyolok mata bagaimana mereka serupa itu menganggap arti perkataan moderen: Cobalah engkau berjalan pagi-pagi di lapangan tennis dan bahagian-bahagian yang banyak didiami oleh kaum bangsa terpelajar bangsa kita. Engkau akan melihat bagaimana ibu-ibu yang moderen itu asyik mengejar bola di atas taris. Di rumah babu menjaga anak dan memasak nasi."
"Saya seia dengan engkau, bahwa kita harus memisahkan kebaratan yang menjelma dalam kebiasaan menonton bioskop, bermain tennis, kegilaan akan pakaian dan perabot rumah yang indah-indah, dengan semangat Barat yang pokok bangsa Barat membangunkan kerajaan yang membelit dunia, yang menyebabkan Barat dapat menguasai alam, terbang di udara dan menyelam di laut. Tetapi dalam pada itu kita harus insyaf, bahwa
kedua-duanya itu pada hakekatnya aliran dari jiwa yang satu. Jiwa manusia bukan semata-mata terjadi dari otak yang tajam, yang tiada lain kerjanya daripada menimbang baik dan buruk. Manusia tidak dapat hidup semata-mata daripada yang baik menurut ukuran faedah dan gunanya."
"Aaah, Yusuf, bagaimana logikamu ini" Kalau hendak dipertahankan semuanya baik, pencuri pun boleh kita katakan ada faedahnya dalam masyarakat, sebab mereka menjaga supaya manusia jangan lengah. Tetapi kita sebagai golongan mereka yang insyaf menunjukkan jalan yang baru, tidak boleh sangsi-sangsi. Kita harus menyatakan sesuatu senyata-nyatanya. Sesuatu yang baik hanya mungkin baik, sesuatu yang jelek hanya mungkin jelek. Kalau kita sangsi sendiri akan apa yang kita ucapkan, bagaimanakah kita akan menunjukkan jalan kepada orang banyak... ""
Di antara mereka dengan asyik bertukar pikiran itu, keluarlah Maria dari dalam berpakaian kebaya merah berbunga putih-putih. Mukanya yang tipis berbedak itu berseri-seri, bibirnya basah kemerah-merahan, sedangkan matanya yang jelita itu semata-mata membayangkan kegirangan hatinya. Lain benar halnya dengan Tuti yang amat bersahaja rupanya dengan kebayanya yang putih dan mukanya yang tenang dan tetap.
Melihat adiknya selekas itu sudah mandi dan bertukar pakaian, terkeluar dari mulut Tuti dengan tiada sengaja, "Lekas benar engkau mandi dan berdandan sekali ini."
Mendengar kata Tuti itu memerah muka Maria, selaku seseorang yang tertangkap waktu mengerjakan sesuatu perbuatan yang disembunyikannya kepada orang banyak.
"Ah, biasa saja," katanya dengan suara selaku tidak peduli, seraya mencapai ke belakang kuduknya mengambil anyaman rambutnya dan memain-mainkannya dengan jarinya di atas pangkuannya. Tetapi bagi Yusuf tiada luput getar dalam suara Maria yang kentara dibiasa-biasakannya itu. Perasaan bahagia yang tiada terkatakan mengalir di seluruh badannya yang remaja.
Sebentar Tuti masih duduk bersama-sama dengan mereka itu, maka ia minta diri kepada Yusuf untuk menyudahkan pekerjaannya yang masih bertimbun-timbun. Kepadanya terserah menulis laporan kongres yang harus diterbitkan dalam lima belas hari ini. Demikian tinggallah Maria dengan Yusuf bercakap-cakap di luar.
Setelah Tuti masuk ke dalam terasa sekali kepada Yusuf perubahan percakapan. Dengan Tuti percakapan yang sebiasa-biasanya menjadi pertukaran pikiran, menjadi persoalan; alasan beradu dengan alasan; ia mengeluarkan pendiriannya, ia menyerang mereka yang tiada seia dengan dia. Perkataannya terpilih, susunan kalimatnya tegas dan kukuh, suaranya tetap dan pasti serta penuh kepercayaan.
Sebagai seorang yang gembira hidup dalam perkumpulan, sebagai pemuka pergerakan pemuda, percakapan yang demikian menghidupkan semangatnya, menyegarkan pikiran dan hatinya. Nikmat ia mendengar perempuan yang luar biasa itu memberikan teorinya, menggambarkan cita-citanya yang lahir dari hati kecilnya. Tuti baginya sesungguhnya perempuan yang luar biasa tetap pendiriannya dalam segala hal.
Tetapi percakapan dengan Maria sebaliknya. Baginya tak ada suatu soal jua pun. Ia melompat dari suatu pasal ke suatu pasal, dari perjalanannya dengan Rukamah kepada bagaimana ia menempuh ujiannya. Ia bertanya apa kerja Yusuf dalam libur, bagaimana orang tuanya, ia menceritakan maksudnya akan menjadi guru masuk kursus petang C.A.S. Suaranya bukan sekali-kali suara Tuti yang tetap dan tegas. Duduknya tiada senang diam, tetapi senantiasa bergerak. Sebentar-sebentar ia tersenyum dan tergelak.
Ada Yusuf membawa percakapan kepada soal pergerakan perempuan, kepada kongres perempuan di Sala, tetapi percakapan itu tiada hendak lancar. Maria terlampau banyak mengiakan saja, ia tiada mengeluarkan pikirannya, sehingga Yusuf membiarkannya pula membawa percakapan itu ke pasal-pasal yang disukainya.
Tetapi meskipun demikian tiada kurang nikmatnya ia bercakap-cakap dengan Maria. Suara gadis itu yang mesra, matanya yang memandang menyinarkan kekaguman yang timbul sendirinya, selaku mengikatnya dalam simpulan gaib yang nikmat.
"Engkau tentu belum menyarap," kata Maria kepada Yusuf meneka
n dengan suaranya yang lembut.
"Sudah di hotel tadi minum kopi dan makan roti sepotong."
"Bohong, engkau mesti menyarap bersama-sama saya. Mesti, mesti, tidak boleh tidak." Lemah sebagai cumbu bunyi suaranya, tetapi Yusuf tiada dapat menyangkal, lebih kuat dari paksaan yang keras. Habis perkataannya itu, dengan tiada menanti jawab lagi Maria telah berdiri dan masuk ke dalam.
Yusuf termenung melihat ke hadapannya dengan tiada nampak suatu apa. Sungguh bertentangan pekerti dua bersaudara itu. Kepada yang seorang ia merasa hormat dengan sepenuh-penuh hatinya. Hormat akan keberaniannya dan ketetapan hatinya, hormat akan ketajaman pikirannya, hormat akan kegembiraannya berjuang dan berkorban bagi yang terasa kepadanya mulia dan suci. Pada yang seorang lagi perasaan hormat itu diganti oleh perasaan yang gaib yang tiada terkatakan; oleh perkataannya yang bersahaja, oleh gerak badannya dan cahaya mukanya yang tiada ditahan-tahan, oleh suaranya yang mesra mencumbu dan pandangan matanya yang membelai menyinarkan kagum.
Maka dalam bermenung itu sayup-sayuplah terasa kepadanya, bahwa dalam perasaan hormatnya kepada yang seorang ada tersela tersembunyi perasaan takut.
Dan jiwanya yang muda remaja itu tertariklah kepada perasaan yang gaib, yang nikmat melamun menghanyutkan dirinya tiada tertahan-tahan...
7. MEREKA duduk berdua di atas batu besar yang hitam kehijau-hijauan oleh lumut. Yusuf berjas buka putih dan berdasi sutera yang kemerah-merahan; di bahunya tersandang tali botol termos yang tergantung pada sisinya sebelah kiri dan di tangan kanannya dipegangnya topi helm putih. Maria berbelus putih dan roknya yang pendek, tiada berapa jauh melewati lututnya, biru warnanya. Kakinya hanya dibaluti oleh kaus yang lebih tinggi sedikit dari mata kakinya, sedangkan sepatunya ialah sepatu karet putih. Di pangkuannya dipegangnya sebuah bungkusan kecil. Kedua-duanya takjub melihat ke hadapan, kepada air terjun Dago yang gemuruh bersorak terjun dari atas tebing yang rapat ditumbuhi rumpun bambu. Berputar-putar dan berombak-ombak air yang baru jatuh itu terkumpul di bawah di dalam jurang dan pada suatu tempat ia mengalir di antara batu-batu yang besar menjadi anak air yang deras Apabila angin bertiup, maka melayanglah tempias yang halus dan dingin kepada muka kedua anak muda itu.
Tiada jauh dari mereka, berdiri empat orang anak muda Belanda, dua orang laki-laki dan dua orang perempuan. Di bawah di tempat anak air bermain-main beberapa orang anak kecil Belanda, diawasi ayah-bundanya. Di atas tebing kelihatan beberapa orang anak laki-laki berpakaian pandu. Sementara itu dari atas tebing di belakang mereka senantiasa kelihatan orang datang.
Dalam libur besar serupa itu tiap-tiap hari air terjun Dago itu ramai dikunjungi orang dari Bandung, kebanyakan anak-anak muda murid sekolah rendah dan menengah yang hendak melihat tamasya air terjun yang permai itu dan hendak berjalan-jalan di rimba-rimba sekitarnya yang ditumbuhi rumpun bambu dan pohon-pohon yang rindang.
"Mengapa engkau diam saja," tanya Yusuf tiba-tiba seraya memalingkan matanya dari air terjun yang memutiara berpancaran ditiup angin, melihat kepada Maria. Maria mengangkat mukanya yang kemerah-merahan kena sinar matahari dan memandanglah kepada Yusuf agak keletihan rupanya.
"Saya agak lesu," katanya hampir-hampir tiada kedengaran dan suaranya yang halus itu menyerupai suara kanak-kanak yang mencari perlindungan pada bunda.
Mendengar jawab Maria itu segera berubah muka Yusuf, keningnya berkerut dan cemas menajam matanya memandang kepada gadis di sisinya itu, "Engkau sakit Maria...!"
Suaranya terang menyatakan, bahwa ia agak khawatir melihat rupa Maria ketika itu. Tetapi Maria menggelengkan kepalanya dengan senyum antara kelihatan dengan tiada, "Sakit tidak, tetapi saya agak letih."
"Terlampau kita paksakan tadi berjalan sejauh itu, mendaki sejak dari Bandung. Saya tiada sekali-kali ingat, bahwa badanmu tiada kuat," katanya, pula dan matanya masih khawatir mengamat-amati gadis yang ramping itu.
"Saya dari dahulu benar kurang dapat menahan letih. Kalau sa
ya sudah berlari cepat-cepat, misalnya waktu main bola keranjang di sekolah, kadang-kadang berbintang-bintang pemandangan saya dan napas agak sesak."
"Ya, perawakan badanmu benar bukan perawakan orang yang kuat. Saya salah tadi tidak ingat akan itu," kata Yusuf pula selaku menyesal. Ia pun melihat ke sekelilingnya mencari tempat duduk yang baik. Nampak kepadanya di belakang mereka di tepi tebing sebuah batu besar, lalu berkata ia kepada Maria, "Maria, kita pergi ke sana ke batu dekat tebing itu. Boleh engkau duduk bersandar sesenangmu, supaya lekas hilang letihmu."
"Ah, tidak mengapa benar, di sini pun letih saya akan hilang," sahut Maria membantah, tiada hendak melihat kelemahannya dilebih-lebihkan.
Tetapi Yusuf tidak dapat disangkal lagi, ia merasa tanggungan yang dipikulnya, "Tidak, tidak, engkau mesti duduk di sana. Tempatnya lebih baik, letihnya akan hilang sendirinya."
Ucapan yang setetap itu bunyinya tidak terlawan oleh Maria, ia pun berdirilah dan bersama-sama Yusuf ia pergi ke batu di tepi tebing itu. Yusuf menghamparkan setangan di atas batu tempat duduk Maria dan gadis itu disuruhnya bersandar kepada tebing. Sesudah itu dibukanya botol termos yang disandangnya dan diisinya cangkir tutup botol termos itu dengan teh.
Maria menyambut teh itu, tetapi oleh karena masih panas diletakkannya di sisinya di atas batu.
Yusuf mengeluarkan dua buah bungkusan roti dari sakunya dan diberikannya sebuah kepada Maria, "Marilah makan ini dahulu, badanmu akan dikuat-kannya kembali."
Ia sendiri duduklah pula di sisi sebelah kanan gadis itu dan makanlah mereka bersama-sama. Setelah habis roti mereka, Maria membuka bungkusan kertas yang dibawanya dan dikeluarkannya dari dalamnya buah anggur yang segar lezat rasanya.
Sementara itu mereka bercakap-cakap juga bertambah lama bertambah asyik, sebab lambat-laun Maria hilang letihnya.Yusuf menceritakan kebesaran alam di negeri tempat lahirnya: hutan yang berpuluh-puluh kilometer rapat menumbuhi gunung dan ngarai, tiada didiami manusia seorang jua pun. Betapa keindahan danau Ranau yang baru dikunjunginya dua minggu yang lalu. Jalan yang berbelit-belit di atas tebing di tepi tasik yang tenang, sebentar jelas kelihatan hijau membentang, dilingkungi rimba yang rapat-rapat, yang jauh di seberang mengabur dalam kabut. Sebentar hanya terkilat sedikit-sedikit dari antara celah-celah daun kayu yang rapat. Bagaimana ia dengan Sukarto sehari-harian bermain-main dengan sampan di tasik itu, tiada teringat sesuatu apa, terlengah dalam sentosa alam yang belum diusik manusia.
Bercahaya-cahaya mata Maria mendengar lukisan Yusuf tentang keindahan dan kebesaran alam di negerinya dan dalam hatinya yang mengagumi anak muda itu tergambarlah segala yang didengarnya itu sepermai-permainya dan sesempurna-sempurnanya.
"Alam yang kita lihat di sini sekarang ini tidak sedikit jua pun dapat dibandingkan dengan alam yang sebenar-benarnya. Di mana-mana kelihatan bekas tangan manusia. Pohon-pohon tiada tumbuh menurut tenaga tumbuhnya sendiri lagi. Sekaliannya telah diatur oleh manusia..."
"Tetapi, oleh itu pula lebih enak berjalan-jalan di sini. Coba misalnya jalan-jalan ini tiada dibuat orang, kalau di sini sekaliannya masih belukar dan semak yang rapat, siapakah yang hendak datang ke mari"" kata Maria, perlahan-lahan melepaskan dirinya dari pesona lukisan Yusuf tentang hutan rimba di negerinya itu. "Bagi saya tempat ini sudah cukup indahnya. Alangkah senangnya kalau saya tiap-tiap Minggu misalnya dapat berjalan-jalan di sini."
"Saya tidak sekali-kali mengatakan, bahwa tempat ini tidak indah. Apabila bagi orang yang selalu hidupnya di kota yang besar, tempat ini sesungguhnya telah cukuplah memuaskan hasrat hatinya akan alam. Tetapi bagi orang yang telah biasa melihat alam yang lebih dahsyat dan lebat dari ini, Dago ini seperti tiru-tiruan saja. Cobalah pikirkan, apakah sebenarnya air terjun yang tak sampai dua puluh meter tingginya..."
"Ya, ya, tetapi marilah kita berjalan-jalan, apa kerja kita duduk di sini lama-lama," kata Maria kepada Yusuf membelokkan percakapan.
"Berjalan-jalan" Sudah ku
atkah engkau"" Maria menyentak berdiri, seolah-olah perkataan Yusuf yang tiada percaya bunyinya itu hendak disangkalnya dengan bukti yang nyata. Seraya tersenyum dan melihat dengan lucu kepada bujang itu katanya, "Saya hendak bersecepat berlari dengan engkau naik ke atas tebing."
Yusuf tertawa, "Engkau berani bersecepat dengan saya" Saya takut nanti saya harus menggendong orang pulang ke rumah."
"Ya, saya tahu, engkau takut itu, sebab engkau tidak akan kuat menggendong saya," jawab Maria dengan tertawa mengusik Yusuf. Mukanya yang merah kena panas lebih memerah lagi menginsyafkan arti perkataan yang terlompat dari mulutnya dengan tiada diketahuinya itu. Dan kemalu-maluan dibuangkannya mukanya ke tempat lain.
"Kalau tidak letih Maria rupanya lucu benar," ujar Yusuf dengan tenang, seraya mengamati-amati pekerti Maria yang telah riang kembali itu. "Tetapi baiklah kita naik ke atas berjalan-jalan."
Ia pun berdiri pulalah. Diambilnya setangan alas Maria duduk, dikiraikan-nya beberapa kali, lalu dimasukkannya ke dalam sakunya. Maria mengambil lebih buah anggur yang terletak di atas batu dengan tangannya. Dengan tangan kirinya dipegangnya tangan Yusuf dan ditariknya berjalan naik tebing yang curam itu. Tiba di tempat yang datar dekat rumpun bambu yang lebat, mereka melihat ke jurang ke arah air terjun yang gemuruh berderau jatuh ke bawah. Lantang kelihatan lembah yang kecil tempat air mancur berderai menerjunkan dirinya serta anak air yang deras mengalir di antara batu-batu. Kecil nampaknya orang yang berjalan-jalan di bawah di anak air.
"Indah benar tempat berjalan-jalan di bawah bambu ini," kata Maria seraya memandangkan matanya mengikut jalan yang teduh di hadapan mereka. "Ini pertama kali saya berjalan ke mari. Di Jakarta tidak ada .empat berjalan hari Minggu yang sepermai ini."
"Mujur tidak ada," kata Yusuf. "Kalau ada, saya takut engkau tiap Minggu akan keletihan berjalan." Matanya bernyala-nyala melihat gadis dan bibirnya menggelungkan senyum yang Jenaka.
Maria pura-pura merengut, tetapi Yusuf lekas pula berkata, "Jangan lekas marah, orang yang lekas marah itu buruk rupanya."
"Tetapi engkau jahat benar kepadaku," kata Maria sebagai kanak-kanak yang merajuk.
Sementara itu mereka telah berjalan melangkah perlahan-lahan di jalan yang rindang dilindungi oleh daun bambu yang rapat. Bertambah lama bertambah jauh mereka dari lembah air terjun. Hanya bunyinya saja yang kedengaran lagi, bersatu dengan desir daun bambu yang melengkung berbuai-buai di atas kepala mereka. Sebentar-sebentar bunyi desir yang merayu-rayu itu disela oleh bunyi batang bambu yang ramping itu beradu berderak-derak.
Bertambah jauh kedua muda-remaja itu berjalan dengan tiada bertuju di dalam lingkungan pohon-pohon yang rindang itu. Bertambah lama bertambah meresap ke dalam hati mereka berdua kesepian alam sekelilingnya dan dari dasar jiwa mereka naik halus berkepul perasaan bahagia yang menahan kegembiraan girang hati mereka. Langkah mereka memberat dan percakapan yang riang, penuh gelak dan gurau, melembut seperti belaian yang halus.
"Mengapa engkau diam pula," kata Yusuf tiba-tiba setelah mereka beberapa lamanya berjalan dengan tiada berkata-kata. Suaranya perlahan sebagai bisik angin lalu pada senja hari.
Maria mengangkat mukanya melihat kepada Yusuf dan matanya yang besar hitam yang jelita itu berat rupanya. Senyum yang tertahan membayang pada wajahnya.
Yusuf segera membuang mukanya melihat mata gadis yang mengimbau itu. Ia menolak perasaan yang gaib mendesak dari kalbunya.
Di tepi jalan terlihat kepadanya beberapa batang kembang setahun yang lebat berbunga, "Hai, kembang setahun tumbuh di sini" Alangkah indah rupanya, sebanyak itu bunganya!"
Maria melihat kepada perdu-perdu kembang setahun yang tumbuh terpencil di bawah perdu Marygold yang gembira memuncakkan kembangnya yang kuning, "Indah benar kembangnya, saya gila akan merah keungu-unguan seperti ini!"
Belum habis katanya ia sudah menyimpang mendekati kembang setahun itu. Sambil menunjuk membelai-belai bunga yang segar-segar itu, ia berkata, "Bagaimana engkau terses
at di tengah-tengah rimba ini" Siapakah yang menanammu di sini""
Yusuf datang mendekat pula, "Tentulah ada orang membawa kembang setahun kemari, terjatuh atau dibuangkannya di sini setangkai yang sudah tua."
"Bagus benar, bagus benar," ujar Maria, tiada mempedulikan kata Yusuf, belum puas rupanya mengucapkan kekagumannya melihat kembang itu.
"Kalau kita di Jakarta, tentu saya cabut sekaliannya akan ditanam di rumah."
"Tidak usah engkau cabut, ambil saja kembangnya yang tua. Cukuplah itu ditanam!"
"O, ya, kalau begitu baiklah engkau menyimpannya, saya hendak men-cucukkannya di kelepak bajumu. Maukah engkau""
Dengan tiada menanti jawab lagi Maria telah memetik setangkai kembang merah keungu-unguan yang bulat-bulat menyerupai kancing baju itu. Maka berbaliklah ia kepada Yusuf lalu berkata, "Mari saya cucukkan!"
ia pun mendekatlah dan tangannya yang halus memegang kembang setahun itu memasukkan tangkai kembang yang permai itu di kuku belalang kelepak baju Yusuf.
Sementara itu Yusuf dengan pesat mengamat-amati gadis yang dekat di hadapannya itu; rambutnya yang hitam lebat teranyam, mukanya yang
merah bercahaya tersenyum ditahan, badannya... sebentar terasa kepadanya tangan yang halus itu gemetar pada dada bajunya. Sesuatu perasaan nikmat yang sejak dari tadi melingkungi kedua muda remaja itu datang mendorong memenuhi seluruh badannya dan sebelum ia dapat mengatur pikiran lagi, kedua tangannya telah terangkat mendekap tangan gadis yang baru selesai mencucukkan kembang pada bajunya. Dari mulutnya keluarlah ucapan, agak gemetar, tetapi nyata menyuarakan kepastian seseorang yang yakin akan kemenangannya, "Tetapi tangan ini saya hendak menyimpannya juga."
Maria tiada membantah, tetapi mukanya yang memucat ditundukkannya ke bawah dengan tiada berkata suatu apa.
Seraya melekapkan tangan gadis itu dengan tangan kirinya kepada dadanya, mesra seperti tiada hendak dilepaskannya lagi, perlahan-lahan Yusuf mengangkat muka Maria melihat kepadanya dengan tangan kanannya, "Maria, lihat saya sebentar."
Pada mata Maria nampak kepadanya berlinang air mata dan mesra meminta menggemetarlah suaranya untuk pertama kali seumur hidupnya, "Maria, Maria, tahukah engkau saya cinta kepadamu""
Badan Maria melemah jatuh ke tangan Yusuf dan seraya menengadah dengan pandangan penyerahan, keluar dari mulutnya bisik lesu hampir-hampir tiada kedengaran, "Lama benar engkau menyuruh saya menanti -katamu ..."
Tak dapat lagi ia meneruskan ucapannya, sebab Yusuf menunduk menutupkan bibirnya ke atas bibir Maria. Dan dalam curahan cinta pertama, yang menggemetarkan badan mereka yang muda remaja itu, menjauh mengaburlah keinsyafan akan tempat dan waktu ...
Sama-sama mereka berjalan, mesra berpegangan di antara pohon-pohon bambu yang sayu berdesir-desir ditiup angin. Hampir tak ada perkataan yang mereka ucapkan. Tiba di tepi air yang deras mengalir, mereka menyeberang jembatan bambu yang panjang. Seperti dua orang kanak-kanak yang karib berkawan, yang seorang lebih besar dan tangkas dari yang lain, Yusuf memimpin Maria menyeberangi jembatan yang berbuai-buai di atas air yang deras mengalir.
Tiba di seberang mereka turun ke bawah ke tepi anak air. Beberapa lamanya mereka melangkah dari batu ke batu. Di sebelah batu yang besar di tempat yang terlindung, jauh dari lalu lintasan orang, duduklah, mereka berdua. Di hadapan mengalir anak air yang deras, ringan berirama girang-gemirang berpendar-pendar, di belakang berbuai-buai daun bambu sayu merdu berbisikan cerita yang tiada habis-habisnya dan dari jauh sayup melayang di tanai angin bunyi air mancur menyerakkan mutiara ke bawah.
Sekaliannya indah dan permai seperti biasanya di tengah alam, dan indah dan permai seperti biasa pula pujuk dan cumbu asyik-maksyuk muda remaja berdua dalam limpahan perasaan cinta pertama yang penuh harapan.
8. MARIA telah menceritakan kepada Tuti, bahwa ia telah berjanji kepada Yusuf akan menjadi istrinya di kemudian hari. Kepada Tuti dan Rukamah nyata benar kelihatan perubahan pekerti Maria dalam waktu yang akhir ini. Percakapannya tentang Yusuf saja. Ingat
annya sering tiada tentu. Sebentar-sebentar ia sudah duduk melamun, tiada bergerak-gerak, sedang matanya memandang ke hadapannya. Dalam percakapan waktu berjalan-jalan atau di tengah makan sering tertangkap Maria tiada mendengar bicara orang lain.
Rukamah suka benar mengganggu saudara sepupunya itu. Meskipun sering juga Tuti turut tertawa mempermain-mainkan adiknya itu, tetapi biasanya tiadalah banyak katanya. Baginya Maria dalam keadaan mabuk asmara itu menjadi suatu soal yang sangat menarik hatinya dan hendak dipelajarinya. Payah ia memikirkan, betapa mungkin seganjil itu pekerti adiknya itu sejak ia bercinta-cintaan dengan Yusuf. Diusahakannya menyusun Maria dalam susunan pikirannya yang nyata tentang perhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat dan dalam perkawinan. Hatinya tidak senang sedikit jua pun. Kalau demikian mungkin mabuknya perempuan dibuat oleh laki-laki, sehingga tiada ada yang lain lagi yang teringat dan terpikir kepadanya, maka telah selayaknya benarlah perempuan menjadi hamba sahaya laki-laki. Perempuan hendak takluk, hendak bergantung kepada laki-laki. Itulah sebabnya, maka ia menjadi takluk, menjadi bergantung kepada laki-laki. Itulah sebabnya, maka laki-laki dapat berbuat sekehendak hatinya atas perempuan. Kalau perempuan hendak mendapat kebebasan dirinya kembali, kalau perempuan hendak berdiri sederajat dan sejajar dengan laki-laki, maka haruslah ia menguatkan dirinya dan menyatakan, bahwa ia cakap berdiri sendiri, tiada usah akan bantuan. Perempuan baru yang insyaf hanya hendak menghadapi laki-laki, apabila ia dalam segala hal mendapat penghargaan yang sama. Tiada ia hendak menengadah melihat kepada laki-laki dan dalam perkawinan bukan perlindungan yang dicaharinya, tetapi penghargaan akan kecakapannya sebagai manusia yang bebas dan cakap.
Pada suatu malam sesudah makan gadis bertiga itu berkumpul di kamar tempat tidur mereka. Tuti duduk di meja membaca buku, di sisinya duduk Rukamah menjahit. Maria berguling di tepi tempat tidur sedang membaca sebuah roman.
Di luar sejak dari petang tadi tidak berhenti-hentinya turun hujan. Beberapa lamanya Maria duduk melamun di beranda menantikan kekasihnya yang tiada juga kunjung-kunjung datang. Tiadalah terkata-kata kecewa hatinya. Sesudah makan tiadalah ia bertenaga lagi dan dilenyapkannyalah harapannya akan bersua dengan kekasihnya itu. Sebab itu diambilnya sebuah roman akan melengah-lengahkan hatinya. Tetapi dari yang dibacanya itu tak banyak yang masuk ke dalam pikirannya. Sebentar-sebentar terhenti ia membaca dan mengaburlah huruf-huruf di hadapan matanya, dan yang kelihatan kepadanya hanyalah Yusuf kekasihnya itu. Terang terbayang di matanya perjalanan mereka pergi ke Dago tiga hari yang lalu. Sekaliannya masih nampak kepadanya: air mancur yang gemuruh terjun ke dalam jurang, jalan yang lindap dilingkungi daun bambu yang berdesir-desir. Masih terdengar kepadanya suara Yusuf menyatakan cintanya kepadanya dan dicobanya mengingatkan perasaan nikmat, ketika bibirnya merasakan panas bibir kekasihnya. Betapa badan remajanya gemetar melesu dan mengabur ingatan kepada dunia.
Rukamah telah lama memperhatikan cara Maria membaca itu. Geli hatinya melihat ia tiada beralih-alih dari halaman yang di hadapnya. Beberapa kali telah dicuilnya Tuti memperhatikan Maria yang melamun menghadapi buku, tetapi Tuti sedang asyik membaca dan tiadalah ia hendak peduli. Ingin benar hati Rukamah hendak mengganggu saudara sepupunya itu, tetapi ia tiada tahu bagaimana jalannya.
Rukamah dipanggil ibunya dari kamar di hadapan kamar mereka bertiga. Bergegas-gegas ia berdiri dan pergi ke luar mendapatkan bundanya. Perempuan tua itu hanya minta tolong carikan sebuah jarum penjahit.
Ketika ia hendak masuk ke kamarnya kembali kedengaran kepadanya di luar bunyi kereta berhenti dan ia pun melihat dari pintu kaca ke jalan besar. Tampak kepadanya kereta itu berhenti di muka rumahnya. Beberapa lama antaranya turun seorang laki-laki, tetangga mereka di hadapan.
Ketika itu tiba-tiba teringat kepadanya akan mengganggu Maria. Lekas diputarnya kenop lampu listrik d
an bergesa-gesa ia masuk ke dalam, lalu berkata dengan suara yang sungguh-sungguh, "Maria, Maria, itu dia datang!"
Maria yang tiada menyangka suatu apa jua pun menggelompar-dari tempat tidur dan dalam sekejap ia sudah ke luar kamar menuju ke depan. Sementara itu Rukamah masuk ke dalam kamar pergi ke tempat penjahitannya. Tetapi belum sampai lagi ia di tempat duduknya, meletus dari mulutnya bahak yang tiada dapat ditahannya lagi. Dan ia membunguk-bungkuk memicit perutnya, lemah seluruh badannya oleh geli hatinya melihat Maria tertipu itu.
Tuti mengangkat mukanya dari bukunya, heran melihat laku Rukamah. Beberapa kali ia bertanya, apa yang ditertawakannya, tetapi gadis yang tertawa terpingkal-pingkal itu belum dapat juga menjawab. Tetapi segera mengerti juga Tuti, bahwa yang ditertawakan oleh Rukamah yang suka mengganggu itu tak lain, ialah Maria. Dan ia pun turut pula tertawa, geli mengingatkan bagaimana cepatnya Maria melompat dari tempat tidur pergi berge-sa-gesa ke luar.
Tak berapa lama antaranya kembalilah Maria ke dalam kamar, mukanya pucat merengut. Dengan suara yang gemetar oleh amarah yang ditahan-tahan, berkatalah ia kepada Rukamah, "Engkau jahat benar, Rukamah, menipu saya serupa itu... "
Lebih banyak tak dapat dikatakannya, dibantingkannya badannya di tempat tidur seraya menangis tersedu-sedu.
Melihat akibat kejenakaannya yang tiada sekali-kali disangka-sangka akan sehebat itu, hilanglah nafsu Rukamah akan tertawa. Sedih dan iba hatinya melihat saudara sepupunya itu dan menyesallah ia akan perbuatannya. Lalu
didekatinya Maria dan dibelai-belainya rambutnya seraya berkata, "Jangan marah Maria, tidak sekali-kali maksud saya menyakitkan hatimu. Saya terlanjur dan kurang pikir tadi. Diamlah! Tidak lagi saya akan mengganggu serupa itu."
"Engkau selalu mengganggu saya. Engkau tidak tahu bagaimana perasaan saya," ujar Maria tersedu-sedu.
"Tidak, tidak, saya tidak akan mengganggumu lagi, saya menyesal benar akan perbuatan saya tadi. Maafkanlah saya Maria," kata Rukamah tak dapat memilih perkataan untuk menyatakan sedih dan sesal hatinya atas perbuatannya itu. Sementara itu tangannya terus juga membelai-belai rambut Maria.
Tuti mengamat-amati kelakuan orang berdua itu. Ada kasihan hatinya melihat adiknya itu, tetapi lebih dari itu lagi terasa kepadanya betapa lemah hati Maria, betapa mudahnya ia menangis oleh sesuatu yang tiada berarti suatu apa jua pun. Sejak Maria berkasih-kasihan dengan Yusuf sesungguhnya payah ia hendak mengerti pekertinya. Pada pikirannya Maria terlampau menurutkan hatinya. Hal itu telah lama hendak ditunjukkannya kepada adiknya itu. Waktu itu selaku tidak dapatlah lagi ia menahan hatinya akan memberi nasehat kepadanya.
Ketika mulai redalah nampak kepadanya Maria tersedu-sedu dibelai oleh Rukamah, berdirilah ia pergi mendekati tempat tidur, duduk di sisi Rukamah. Ditariknya Maria perlahan-lahan supaya melihat kepadanya, lalu berkatalah ia, "Maria mengapa engkau sebodoh itu! Rukamah hanya berolok-olok. Masakan oleh yang serupa itu saja sudah menangis, engkau bukan anak-anak lagi!"
"Ya, engkau tiada tahu bagaimana perasaan saya. Bagaimana iba hati saya!" jawab Maria agak mengkal bunyinya, seraya menelan sedunya dan menghapus air matanya.
"Masakan saya tidak tahu perasaanmu. Sebab saya tahu perasaanmulah saya hendak memberi nasehat kepadamu ..." Sebentar berhenti Tuti melihat kepada adiknya itu, lalu katanya pula, "Engkau Maria terlampau menurutkan perasaanmu. Hal itu boleh berbahaya bagimu. Cintamu seperti sekarang yang tiada engkau hambat-hambat itu, akan mengaramkan engkau sendiri..."
Tuti berhenti pula sebentar, mengamat-amati Maria hendak melihat bagaimana perkataannya diterima adiknya. Maria tiada juga berkata-kata, tetapi matanya yang masih agak kemerah-merahan karena menangis itu, mulai agak liar rupanya, seolah-olah perasaan iba yang memenuhi hatinya melenyap didesak oleh perasaan amarah mendengar nasehat yang tiada pada waktu yang baik datangnya itu. Perubahan muka Maria itu tiada luput pada mata Tuti, tetapi yakin akan kebenaran dan ketulusan hatinya memberi naseh
at yang baik kepada adiknya itu, berkatalah ia, "Oleh cinta yang berlebih-lebihan, yang tiada tahu watasnya lagi seperti engkau inilah, maka perempuan menjadi permainan laki-laki. Laki-laki melihat, bahwa perempuan sangat bergantung kepadanya. Kesempatan itu dipakainya untuk keuntungannya, perempuan diperhambanya..."
Maria tiada dapat menahan hatinya lagi. Ia hendak mempertahankan dirinya. Ia tiada boleh memperkenankan cintanya kepada Yusuf dicela serupa itu. Dengan suara yang terang menyatakan tiada senang hatinya mendengar nasehat saudaranya itu, katanya, "Saya cinta kepadanya dengan seluruh hati saya. Maumu saya berbohong dan pura-pura tiada cinta kepadanya."
Tuti berbuat seolah-olah ia tidak tahu, bahwa saudaranya amarah mendengar nasehatnya. Dengan sabar dan tenang sebentar-sebentar menekan perkataannya, seolah-olah hendak menerangkan pikirannya senyata-nyatanya mungkin, berkatalah ia, "Bukan maksud saya supaya engkau berbohong dan pura-pura tiada cinta kepadanya. Tidak sekali-kali. Saya hendak menunjukkan kepadamu, bahwa cintamu yang tiada ditahan-tahan seperti sekarang ini, berarti merendahkan dirimu kepadanya. Terlampau engkau nyatakan, bahwa hidupmu amat bergantung kepadanya, bahwa engkau tidak dapat hidup lagi, kalau tiada dengan dia. Sifat perempuan yang demikian itulah yang menyebabkan maka kedudukan perempuan sangat nista dalam perkawinan."
"Ah, engkau hendak mengatur-atur orang pula. Saya cinta kepadanya.
Biarlah saya mati daripada saya bercerai dari dia. Apa sekalipun hendak saya kerjakan baginya. Saya tidak takut saya dijadikan sahaya. Saya tahu ia cinta juga kepada saya. Saya percaya kepadanya dan saya tiada sekali-kali merasa hina menyatakan cinta saya itu," jawab Maria dengan tegas mematahkan segala perkataan kakaknya yang menyakitkan hatinya yang masih luka itu.
"Engkau rupanya tiada dapat diajak berbicara lagi," kata Tuti amarah puia, mendengar jawab adiknya yang tidak mengindahkan nasehatnya, "Sejak engkau cinta kepada Yusuf, rupanya otakmu sudah hilang sama sekali. Engkau tidak dapat menimbang buruk-baik lagi. Sudahlah, apa gunanya memberi nasehat orang serupa ini." Dengan sebal berdirilah Tuti menuju tempat duduknya di tepi meja.
Maria bertambah mendidih hatinya, "Biarlah saya katamu tidak berotak lagi. Saya cinta kepadanya, ia cinta pada saya. Saya percaya kepadanya dan saya hendak menyerahkan seluruh nasib saya di tangannya, biarlah bagaimana dibuatnya. Demikian kata hati saya. Saya tidak meminta dan tidak perlu nasehatmu..." Sejurus ia berhenti melihat kepada Tuti yang berdiri meninggalkannya di tempat tidur itu. Tetapi segera disambungnya pula seolah-olah belum puas hatinya menjawab kakaknya yang mencela cintanya kepada kekasihnya itu, "Cinta engkau barangkali cinta perdagangan, baik dan buruk ditimbang sampai semiligram, tidak hendak rugi barang sedikit. Patutlah pertunanganmu dengan Hambali dahulu putus."
Muka Tuti merah sampai ke telinganya mendengar kata Maria yang pedas itu. Belum lagi ia duduk, berbaliklah ia mendekat ke tempat tidur seraya ujarnya dengan suara yang gemetar oleh amarah yang tiada terkata-kata, "Tutup mulutmu yang lancang itu, nanti saya remas."
Dan sesungguhnya hendak dilakukannya ancamannya itu, jika ketika itu tidak lekas Rukamah menahannya, menyabarkannya dengan ucapan, "Tuti, Tuti, mengapa engkau" Ingat akan dirimu!" Perlahan-lahan ditolak Rukamah, Tuti kembali ke tempat duduknya, tetapi dari mulutnya masih keluar ucapan yang marah dan kesal, "Orang hendak memberi nasehat yang baik kepadanya. Tidak membalas guna. Maumulah!"
"Engkau tidak usah mempedulikan urusan saya! Saya tidak minta nasehatmu!" jawab Maria galak melawan.
Rupa-rupanya hendak menyala pula amarah Tuti, jika Rukamah tidak berulang-ulang menyabarkannya, "Sudahlah, sudahlah Tuti, sadarkan hatimu. Nanti didengar Ibu engkau berdua berselisih. Tidak malukah engkau""
Sudah itu menyunyilah dalam kamar itu. Tuti memaksa dirinya membaca bukunya, tetapi gelisah duduknya terang menyatakan, bahwa hatinya belum reda.
Rukamah meneruskan jahitannya, tiada putus-putusnya menyesal akan olo
k-oloknya yang sehebat itu akibatnya.
Dan di tempat tidur diam telentang Maria dengan hati yang iba bercampur sebal dan amarah.
9. SEJAK dari sudah makan pukul delapan tadi Tuti mengetik dalam kamarnya. Sedikit lagi ia harus mengerjakan persiapan laporan kongres Perikatan Perkumpulan Perempuan di Sala yang terserah kepadanya. Di atas meja tulis yang penuh berserakan kertas telah tinggi tertumpuk kertas bertik yang akan dicetak. Sekarang ia hanya membuat kata pendahuluan saja lagi, sehalaman atau dua.
Sebentar-sebentar di tengah mengetik itu ia berhenti. Payah rupanya ia mencari perkataan untuk menyusun kata pendahuluan itu. Telah tiga empat kali kertas yang sudah ditiknya beberapa baris disobekkannya dan dibuang-kannya ke dalam keranjang sampah. Tetapi hatinya dikeraskannya, malam ini sekaliannya itu harus selesai. Besok hari Minggu ia tidak hendak bekerja lagi dan hari Senin tidak boleh tidak kopi laporan kongres itu akan dibawanya ke percetakan. Tetapi bertambah dikeraskannya hatinya, bertambah ragu pikirannya dan bertambah tidak senang hatinya akan kalimat-kalimat yang ditiknya itu.
Sesungguhnya Tuti sudah sangat letih lahir dan batin. Dalam dua bulan ini tak lain kerjanya daripada untuk perkumpulan. Mula-mula kongres Putri Sedar yang sangat banyak meminta tenaganya sebagai ketua cabang Jakarta yang harus mengatur kongres itu. Sudah itu kongres Perikatan Perkumpulan Perempuan di Sala pula. Dalam seminggu di Bandung sejak ia pulang dari Saia, boleh dikatakan setiap hari sebahagian yang terbesar daripada waktunya dipakainya untuk menyiapkan laporan kongres. Sekembalinya di Jakarta dalam seminggu ini pekerjaan masih itu-itu juga. Tiada sedikit juga pun ia dapat melepaskan lelahnya dalam liburnya, sedangkan lusa sekolah akan mulai pula. Sebenarnya telah terlampau berat pekerjaan yang dipikulkan orang kepadanya. Tetapi hal itu telah jamaknya demikian, sebab pergerakan perempuan kekurangan orang yang cakap serta hendak bekerja dan berkorban. Dan Tuti sendiri, meskipun ia tahu, bahwa pekerjaan yang diserahkan kepadanya itu sangat berat, ia tiada sampai hati menolaknya, apalagi karena ia was-was, pekerjaan yang sebulat itu memenuhi hatinya kelak akan terserah ke tangan orang lain, yang tiada akan bersungguh-sungguh melangsungkannya. Tetapi oleh itu pulalah ia terpaksa memakai tenaganya lebih-lebih dari biasa.
Selain daripada itu sesungguhnya benar perasaannya dalam sepuluh lima belas hari yang akhir ini agak kurang tetap. Pikirannya sering melayang-iayang, tidak tentu arahnya. Sering ia merasa dirinya gelisah, tetapi apa sebabnya tidak dapat diselidikinya. Kadang-kadang memberat rasa hatinya dan selaku menghilanglah tempat ia berpegang dan berjejak. Lemah terasa olehnya dirinya dan hilanglah kepercayaannya akan kesanggupan dan kecakapannya. Tetapi apabila ia selaku orang yang berputus asa demikian, dikumpulkannya tenaganya dan dikeraskannya hatinya: Perasaan ini harus hilang, harus hilang, saya tidak boleh dialahkannya.
Dalam waktu yang demikian dapat ia meredakan perasaannya. Tetapi kemenangannya itu tiada pernah lama, sebab musuhnya di dalam hatinya itu tiada dapat dikajinya benar-benar dengan pikirannya yang nyata. Dengan tiada setahunya ia telah terlamun pula oleh perasaan yang kabur itu. Dan dalam perjuangannya melawan musuhnya dari dalam hatinya, senantiasa terbayang kepadanya perselisihannya dengan Maria di Bandung pada malam hujan dahulu. Meskipun malam itu dapat ia menahan marahnya, diredakan oleh Rukamah, tetapi saat itu tidak dapat dilupakannya. Sampai kini masih pedih hatinya ditusuk oleh ucapan Maria yang pedas-pedas itu. Sejak itu belum sepatah jua pun ia berbunyi dengan Maria, serasa tiada dapat ia memaafkan perkataan adiknya yang kasar, sebagai jawab nasehatnya yang sesungguh-sungguhnya lahir dari kalbunya itu. Melihat Maria saja benci hatinya, apalagi jika ia sedang bersama-sama Yusuf. Gerak-gerak mereka, pandangan mereka yang berbahagia dan percakapan mereka yang mesra berbisik, tiada terlihat olehnya dan sebab itu ia selalu menjauhkan dirinya dari orang berdua itu.
Tuti terus men getik lagi. Beberapa lamanya berdetik-detik dan berderes-deres mesin tulis kena tangannya yang halus. Tetapi tiba-tiba ia terhenti pula dan tangannya dibenamkannya ke dalam rambutnya selaku orang putus asa. Berderes ditariknya kertas pada mesin tulis itu dan dikerumukkannya ke dalam keranjang sampah di bawah meja tulisnya.
Ia tidak dapat menahan dirinya lagi. Kepalanya panas dan kuat terasa olehnya urat keningnya memukul. Ia pun berdiri dan berjalan mundar-mandir di dalam kamarnya itu. Sekaliannya sempit kelihatan olehnya. Seluruh isi kamar itu selaku mati belaka. Alangkah kosong rasa hatinya! Tetapi ia tak tahu, tak dapat tahu apa yang dihasratkannya. Lemari bukunya yang bersusun-kan buku-buku yang setiap hari menjadi teman karibnya itu, pada waktu itu seperti memusuhinya dan tiadalah terkata-kata benci hatinya melihatnya.
Nafasnya menjadi sesak dan bergesa-gesalah ia pergi ke belakang. Di kamar mandi kepalanya dibasahinya sampai dingin terasa olehnya. Waktu ia masuk ke rumah kembali ia bersua dengan ayahnya yang sudah sembahyang isya. Orang tua itu menyapa mengapa ia membasahi kepalanya, tetapi pertanyaan itu tidak didengarnya.
Tiba di dalam kamarnya kembali dipadamkannya lampu, sebab ia tidak dapat melihat mesin tulis dan tumpukan kertas di atas mejanya itu lagi. Ia pun merebahkan dirinya di tepi tempat tidur dan ditutupnya matanya hendak menyenangkan hati dan pikirannya. Sekejap sesungguhnya berhasil usahanya itu. Tetapi tiada berapa lama antaranya pikirannya telah mulai berjalan pula tiada terhambat-hambat. Ia teringat akan pidato-pidato yang gembira di Sala, nampak kepadanya teman-temannya yang sepikiran dengan dia dalam perjuangan untuk memperbaiki kedudukan perempuan. Terlihat-lihat olehnya, bagaimana ia dianjung-anjung orang, setelah mengucapkan pidatonya yang berapi-api. Ia mendapat kepercayaan kongres sepenuhnya. Pikirannya diperhatikan orang benar-benar dan jaranglah usulnya yang tiada diterima. Maka bangkitlah kembali kepercayaannya akan dirinya memikirkan kelebihannya dari perempuan-perempuan yang lain ...
Di tengah-tengah mengawang dalam pelamunan tentang kecakapannya dan kelebihannya dari perempuan-perempuan lain itu, pedih rasanya tiba-tiba menyambuk mgatannya akan perselisihannya dengan Maria. Ia tidak mengerti akan perangai adiknya. Heran ia, bahwa sampai demikian perempuan dapat tertambat akan laki-laki. Maria bukan Maria lagi, ia telah menjadi bayang-bayang Yusuf. Tidak, ia tidak akan menghambakan dirinya kepada laki-laki serupa itu. Percintaan harus berdasar atas dasar yang nyata: sama-sama menghargai. Perempuan tidak harus mengikat hati laki-laki oleh karena penyerahannya yang tiada bertimbang dan bertangguh lagi. Perempuan tiada boleh memudahkan dirinya. Ia harus tahu di mana watas haknya terlanggar dan sampai ke mana ia harus minta dihormati dari pihak yang lain. Kalau tidak demikian perempuan senantiasa akan menjadi permainan laki-laki. Dan daripada menjadi serupa itu, baginya baiklah ia tiada bersuami seumur hidupnya... Belum lagi ia menjadi istri Hambali dahulu, ia sudah hendak mengatur hidupnya. Sudah berhari-hari ia bersedia-sedia menanti temannya, ketua pedoman besar Putri Sedar dari Bandung. Pada malam kedatangan teman separtainya itu benar, Hambali mengajak ia berjalan-jalan ke Serang bersua dengan orang tuanya. Tentu permintaan itu ditolaknya, ia harus menyambut temannya itu dahulu, permusyawaratan perkumpulannya lebih penting dari itu dan harus diselesaikan dahulu. Hambali berkecil hati, mengumpatnya mengatakan ia lebih memerlukan temannya daripada dia dan orang tuanya. Dijawabnya dengan tenang, bahwa yang perlu harus diperlukan. Dikatakannya, bahwa ia tidak dapat hidup terlepas dari cita-citanya, bahwa teman-teman karibnya dalam partainya lebih dari saudara terasa kepadanya. Itu perselisihan yang pertama! Hambali tidak pernah senang, apalagi ia datang ke Jakarta. Katanya Tuti sedikit benar memedulikannya, ia selalu saja bekerja untuk perkumpulannya. Perhubungan mereka tiada sedikit juga pun seperti perhubungan orang bertunangan. Sesungguhnya Tuti bukan orang yang suka membu
ang-buang waktu dan percakapan tentang hari baik, baju indah, harapan naik gaji di golongan B.B.(Bahasa Belanda = Dalam Negeri) dan sebagainya yang didengarnya dari Hambali, tidak sekali-kali menarik hatinya. Dan kalau dicobanya hendak bercakap tentang yang agak sungguh-sungguh sedikit, kelihatan kepadanya Hambali kurang memperhatikan perkataannya. Demikianlah, ketika Hambali pada suatu hari berkecil hati dan memarahinya, sebab suratnya terlampau lambat dibalas, ia berkata dengan terus terang, bahwa ia banyak pekerjaan yang lain yang lebih penting. Itu asal mulanya putusnya pertunangan mereka.
Dalam mengingatkan perhubungan dengan Hambali itu perlahan-lahan hatinya agak tenang. Sekaliannya nyata kelihatan tergambar kepadanya. Tidak, tidak, ia tidak pernah menyesal. Selalu ia berkata, apabila perkawinan menjadi ikatan baginya, bagi cita-cita dan pekerjaan hidupnya, biarlah seumur hidupnya ia tidak kawin. Hanya satu pendirian itu saja yang sesuai dengan akal yang sehat.
Dengan tiada setahunya dibantingkannya tangannya ke kasur dan dalam sekejap ia pun berdirilah. Dalam gelap ia duduk kembali di atas kursi menghadapi mejanya. Beberapa lamanya ia duduk tiada bergerak-gerak, tiada tentu apa yang hendak dikerjakannya. Maka dari jendela matanya melayang ke luar, kepada pohon mangga yang besar, yang berat dan lebar mengembangkan daunnya yang rimbun. Di sana-sini nampak kepadanya sinar bulan jatuh dari antara sela-sela daun yang rapat-rapat, terang putih rupanya di antara bayang-bayang daun yang hitam. Tuti teringat, bahwa malam itu bulan terang. Dengan tiada setahunya tangannya mencapai kepada kain jendela di hadapannya akan menguakkannya.
Seperti tiba-tiba tersadar jiwanya melihat ke permainan malam itu. Sejauh-jauh mata memandang sekaliannya tersepuh dalam sinar bulan yang putih lembut. Rumah-rumah yang putih di seberang sungai halus berkilau-kilauan dan kabur kelabu nampaknya pohon-pohon di dalam sinar. Di atas sekaliannya melengkung langit biru dalam, penuh bertaburan bintang. Hanya di sana-sini terhampar awan sutera putih, terhenti, tiada bergerak-gerak, seperti perca-perca, sisa jahitan baju berokat sutera.
Tuti menajamkan telinganya, sebab dalam kesunyian terang bulan yang mesra itu datang mengalun, sayup-sayup bunyi musik, bunyi orang bernyanyi diiringkan oleh harmonium. Perlahan-lahan suara itu datang menggetar, seperti riak air di teluk yang jauh dan dari belakangnya mengikut bunyi harmonium, hilang timbul di dalam kesunyian. Naik, naik meninggi suara nyanyian, memuncak menjadi himbauan yang putus, turun pula ia menye-rak sebagai empasan ombak yang letih di pantai yang rata. Tetapi segera pula ia datang mendorong dan melanda, tiada tertahan-tahan, tinggi mengalun dan menggelombang dalam curahan kegembiraan hati yang hasrat, beberapa lamanya, tiada akan habis-habisnya lakunya. Sebagai sedu ia menjauh, menghilang dalam kejauhan malam, meninggalkan bunyi harmonium merayu-rayu. sebentar hasrat menghimbau, sebentar sendu mengeluh.
Di dalam kesunyian malam yang mesra itu Tuti tiada setahunya terhanyut dan tergulung dalam arus lagu yang datang mengalun melamuni jiwanya. Sekalian pikirannya hilang melenyap: lupa ia akan pekerjaan yang bertimbun-timhun di hadapannya, lupa ia akan perjuangan jiwanya untuk cita-citanya dan menghalus mengabur pula perasaan gelisah yang berhari-hari mengharu kalbunya. Sekaliannya mencair menyatu dalam perasaan nikmat bahagia yang seni, yang belum pernah terasa kepadanya seumur hidupnya.
Dan ketika bunyi harmonium yang sayup-sayup jauh mengalun dalam malam yang sepi itu, sebentar meratap, sebentar mencurahkan bahagia yang mesra, hilang melenyap seperti buih riak merata di pantai, ketika itu ia sebagai terempas ke bumi dari perawangan yang tinggi. Terkejut ia terjejak kembali kakinya di tanah yang nyata dan di dasar jiwanya menghampa ingatan akan perasaan yang nikmat yang menghanyutkannya beberapa lamanya itu. Dan dalam waktu ia gelisah mencari-cari perasaan nikmat itu kembali untuk mengisi jiwanya yang tiba-tiba mengosong, kelihatan kepadanya di bawah pohon mangga dua bayang-bayang
datang menuju kepada kursi.
Pikirannya menjadi terang dan minatnya dikumpulkannya. Sekejap pun ia tidak sangsi lagi, Yusuf dengan Maria. Dan segera tersusunlah dalam pikirannya, tentulah mereka baru kembali dari berjalan-jalan di bulan terang.
Sesuatu perasaan yang ganjil datang mendesak, terasa sampai ke lehernya, sehingga sekejap payah ia mengambil nafas.
Tiba dekat meja duduklah mereka rapat berdekatan di atas kursi yang panjang, sama-sama memandang ke seberang sungai. Tetapi sebelum mereka duduk nampak kepada Tuti mereka menoleh ke belakang, ke arah kamarnya. Sayup-sayup masih kedengaran kepadanya Maria berkata, "Mengapa gelap kamar Tuti, ke mana perginya""
Tidak, mereka tidak dapat melihat Tuti di dalam kelam di kamarnya itu. Tetapi meskipun demikian, Tuti mula-mula hendak mengundurkan dirinya dari tempat duduknya itu. Tetapi suatu kekuatan yang gaib menahannya di sana mengamat-amati muda remaja berdua itu.
Tiada tahu berapa lamanya ia duduk di dalam kelam memperhatikan Yusuf dan Maria. Hanya suara mereka berbisik-bisik yang kedengaran kepadanya, tiada habis-habisnya. Bermacam-macam pikiran timbul dalam hati Tuti melihat bahagia keduanya dalam terang bulan itu, "Apa-apakah yang diceritakan mereka, tiada putus-putusnya itu"" Ada ingin hatinya hendak mengetahui percakapan mereka. Tetapi dari dalam hatinya sendiri datang mendorong pikiran, "Apa benar akan dipercakapkan oleh Maria. Tentulah tentang sekolahnya, tentang cita-citanya hendak menjadi guru, tentang pakaiannya, tentang teman-temannya. Ia tidak mengerti laki-laki yang senyata Yusuf pendirian dan tujuannya, laki-laki yang seluas itu pemandangannya dapat berjam-jam mendengarkan percakapan Maria yang tiada keruan."
Tetapi tiba-tiba ia tertangkap akan pikirannya sendiri dan dengan jelas dan nyata ia menyelidiki hatinya, "Irikah ia akan adiknya itu""
"Tidak, tidak mungkin," katanya dalam hatinya dan dengan tiada diketahuinya di dalam kegelapan kamarnya itu ia menggelengkan kepalanya.
Tapi meskipun seterang itu keputusannya, meskipun senyata itu ia menghadapi dirinya sendiri, ada sesuatu perasaan yang tiada terduga di dalam kalbunya. Bertambah dalam terasa kepadanya kehampaan hatinya dan kadang-kadang serasa hendak melemah seluruh badannya, oleh perasaan tidak tentu yang tiada dapat diketahuinya.
Segumpalan awan tipis perlahan-lahan mendekati bulan yang terang memutih berkilau di langit yang biru dalam. Perlahan-lahan diselubunginya bulan yang putih itu, kegelap-gelapan. Beberapa lamanya kaburlah cahaya putih yang tercurah ke bumi.
Melihat cahaya melindap itu Tuti memandangkan matanya ke langit, mencoba mencari bulan yang berselubungkan awan tipis. Tetapi ketika ia melihat ke hadapannya kembali kepada Yusuf dan Maria yang mengabur di atas kursi di bawah pohon mangga yang rimbun itu, ketika itu nampaklah kepadanya kedua bayang manusia itu mesra merapat dan dua muka bertemu menyatu.
Tuti memejamkan matanya. Tetapi tiba-tiba badannya gemetar dan ia lemah menyandarkan dirinya kepada kursinya, dilanda sesuatu perasaan yang maha kuat yang belum pernah dikenalinya. Tidak, ia tidak dapat melihat lagi. Dan cepat berdirilah ia menuju ke tempat tidurnya. Badannya dijatuhkannya di kasur, tiada peduli di mana terjatuh. Dan terlentang melintang terbaringlah ia di tempat tidurnya, memandang ke atas langit-langit; tetapi hanya satu yang kelihatan kepadanya: gambar kedua muka itu bertemu. Beberapa lamanya ia tiada kuasa mengatur pikirannya, tetapi tiba-tiba dapat pula ia mengeraskan hatinya: Tidak, tidak, ia tidak iri kepada adiknya. Ia tidak akan hendak menghambakan dirinya kepada laki-laki serupa Maria. Biar seumur hidupnya ia hidup seorang diri. Ia mesti tinggal perempuan yang bebas, yang dalam segala hal akan memakai otaknya yang sehat. Baginya tak ada yang mengatasi cita-citanya dan pekerjaan hidupnya.
Tetapi dalam ia melawan perasaan yang menggelombang di dalam jiwanya yang hasrat tak tentu yang dihasratkan itu, selaku terdengar di telinganya suara Maria pedas, "Cinta engkau barangkali cinta perdagangan, buruk-baik hendak engkau timbang sampai
semiligram. Patutlah pertunanganmu dengan Hambali putus."
"Patutlah putus, patutlah putus ..."
Sebagai cambuk perkataan itu berdengung-dengung di telinganya.
"Selama-lamanya akan putus, selama-lamanya ia akan berdiri seorang diri. Sebab kata Maria cintanya cinta perdagangan yang menghitung dan dan menimbang... " Tiada baikkah sikapnya itu ... " Apakah salahnya ia menghitung dan menimbang... " Tetapi ia kukuh berdiri atas kecakapannya yang luar biasa, atas kemuliaan cita-citanya yang jelas digambarkan oleh pikiran yang tajam..."
Di dalam ia meraba-raba akan mencari tempat berjejak, datang dari dalam membanjir kekuatan yang luar biasa, yang menunda menghanyutkannya tiada tertahan-tahan. Dan dalam arus yang amat kuatnya itu, ia merasa dirinya kalah. Kalah oleh tenaga asli alam, yang tiada dapat diaturnya dengan pikirannya yang tajam, dengan perhitungannya yang nyata.
Dan dalam kekalahannya itu terdengarlah kepadanya ucapan Maria yang percaya dan menyerah itu dalam arti yang lain, lebih tinggi, tiada pernah terinsyafkan kepadanya, "Saya cinta kepadanya dan nasib saya akan saya serahkan di tangannya."
Di dalam penyerahannya yang lemah bunyinya itu terasa kepadanya terkandung suara alam yang dahsyat, yang tiada berbanding dengan tenaganya yang lemah.
Dan dalam gelap di kamarnya itu dengan tiada diketahuinya tangannya menghapus air mata yang panas mengalir pada pipinya.
BAGIAN KEDUA 1. "JADI pada permulaan bulan Juli ini engkau bekerja sekali," kata istri Raden Partadiharja kepada Maria sambil ia duduk dirangkum kursi besar yang lembut berper.
Istri Partadiharja ialah adik Wiriaatmaja yang muda sekali, ada kira-kira tiga puluh dua tahun usianya. Badannya gemuk dan besar, mukanya bundar seperti bulan penuh, tiada berdagu. Meskipun air mukanya agak angkuh rupanya dan kata-katanya teliti tertahan-tahan seperti seringnya perempuan priyayi yang merasa harga dirinya, tetapi matanya yang terkecil sedikit nampaknya pada mukanya yang lebar itu, terang menyinarkan perasaan kasih sayang.
"Kalau tak ada alangan tentulah," jawab Maria, ia pun duduk perlahan-lahan di kursi besar dan berat di seberang meja di hadapan bibiknya. "Petang kemarin saya pergi pula kepada pemimpin perguruan Muhammadiyah minta keputusan yang pasti dapat atau tiada mereka menerima saya. Katanya saya akan ditempatkan pada H.I.S. di Keramat."
"Untung benar selekas itu engkau mendapat pekerjaan, belum seminggu lagi ujianmu selesai..."
"Ya," kata Maria memotong ucapan bibiknya, "tetapi bagi saya pekerjaan itu asal bekerja saja. Supaya jangan tinggal menganggur di rumah. Saya tidak sekali-kali menanya berapa gaji yang akan saya peroleh. Dua tiga puluh rupiah dibayarnya sudah cukuplah."
"Sudah cukup" Sudah lebih dari cukup!" kata istri Parta menekan kata keponakannya itu. "Berapa benarlah belanjamu" Menanti-nanti sampai tiba masanya..."
Ia pun tersenyum melihat kepada Maria, yang memerah mukanya mendengar sindiran itu.
"Tetapi," sahut istri Parta pula, "adakah dia engkau ajak datang kemari, tidak disampaikan emangmukah pesanku, bahwa engkau harus membawanya kemari juga""
Maria tahu siapa yang dimaksud bibinya dengan "dia", ialah Yusuf, tunangannya. Lalu jawabnya seperti tiada acuh, "Pesan itu disampaikan Emang, tetapi dia tidak di sini sekarang, sudah berangkat lima hari yang lalu kepada orang tuanya di Martapura, sesudah mendengar keputusan ujian saya."
"Sayang benar, saya hendak melanjutkan perkenalan dengan bakal menantu saya itu."
Pura-pura tidak mendengar ucapan bibiknya yang agak mempermain-mainkan itu, sambung Maria, "Tetapi ia tidak lama tinggal pada orang tuanya. Dua minggu lagi ia akan kembali kemari untuk menghadiri kongres Pemuda Baru."
Ketika itu datang Parta dari belakang menggendong anaknya yang bungsu yang menangis di tangannya, diiringkan oleh Tuti. Dari jauh ia telah berkata, "Dia tiada hendak dengan Tuti, sebab kasar amat. Lemas-lemas ia diciumi-nya."
Tiba dekat ibunya, Rukmini yang tersedu-sedu, mengulurkan tangannya minta diambil.
"Sayang Ibu! Zus Tuti jahat betul, sampai menangis anak Ibu dibu
atnya," cumbu istri Parta sambil menyambut anaknya yang melekapkan dirinya pada dadanya. Bekas air mata pada mukanya yang merengut itu belum lagi kering dan badannya yang kecil itu masih terlonjak-lonjak oleh sedu.
Parta dan Tuti duduk pula dekat orang berdua itu. Tuti masih berusaha membujuk Rukmini duduk di pangkuannya, "Mari, Ni duduk dengan Zus. Zus tidak jahat lagi. Ni manis betul..."
Tangannya diulurkannya hendak mengambil Rukmini dari bundanya, tetapi Rukmini belum hendak berdamai. Tangan Tuti yang hendak mengambilnya itu ditampiknya.
"Apa engkau lihat di dapur tadi, Tuti," tanya Maria kepada kakaknya dan sambil ia melihat kepada kakaknya ia berkata, "Dengan apa kami dijamu nanti, Embik ... "
"Masakan orang yang dijamu bertanya serupa itu," ujar Parta mengganggu Maria.
"Apa salahnya" Orang yang diundang akan dijamu boleh bertanya dengan apa ia akan dijamu. Bukankah begitu, Embik""
Istri Parta tersenyum saja sambil membelai-belai kepala Rukmini yang telah layuh kelihatan matanya, dan setelah menunduk sebentar melihat anaknya yang mengantuk rupanya itu, memandanglah ia kepada Maria sambil berkata selaku hendak menyenangkan hatinya, "Engkau tahu beres saja!"
Yang akhir itu dikatakannya sambil mengejapkan matanya kepada Tuti. Gigi Tuti memutih tersenyum dan kepada Maria katanya, "Embik menyediakan yang engkau sukai benar-benar. Tidak sia-sia Embik mengundang makan orang yang baru maju ujiannya."
Maria tertawa sebagai kanak-kanak yang girang, "Apa benar yang saya sukai itu" Kalau begitu saya hendak melihat ke belakang." Ia pun berdirilah dan melangkah ke dalam. Tetapi belum beberapa langkah ia berjalan kedengaran di samping bunyi sepeda dan suara kanak-kanak.
"Itu tentu Iskandar dan Ningsih pulang dari kepanduan," kata Parta.
Mendengar nama Iskandar dan Ningsih, saudara sepupunya berdua itu, Maria berbalik menuju ke depan hendak bersua dengan mereka, lupa akan maksudnya yang mula-mula. Belum lagi sampai di tangga telah kedengaran teriak mereka yang girang, "He, aceuk Maria," dan bergesa-gesa mereka datang menuju kepadanya seraya mengulurkan tangan.
Besar hati Maria melihat saudara sepupunya berdua itu. Ningsih yang baru sembilan tahun umurnya amat jelita rupanya memakai pakaian pandu yang ringkas itu: Yurk yang hijau tebal, dasi merah putih dan topi yang lebar.
"Merah benar muka engkau berdua. Dari mana tadi""
"Kami dari Periok," jawab Iskandar yang setahun lebih tua dari Ningsih, tetapi amat sigap dan kukuh badannya, telah seperti anak yang berumur empat belas tahun.
Sama-sama.mereka masuk ke dalam. Tiada berhenti-henti terdengar suara Ningsih yang nyaring dan girang bergurau dengan Maria, sebab dari dulu Maria sangat memanjakannya.
Tiba mereka di serambi dalam Parta menyapa anaknya yang tiada melepas-lepaskan tangan Maria lagi, "Ningsih, tiadakah engkau menegur Tuti ini" Kalau Ningsih sudah bersua dengan Maria, ia sudah lupa akan daratan."
Gadis kecil yang merah bercahaya-cahaya mukanya itu melihat kepada Tuti dengan tersenyum. Diulurkannya tangannya dan seraya melihat kepada adiknya yang dipangku ibunya, keluar dari mulutnya, "0, Rukmini sudah tidur. Baru menangis ia, Ibu""
Tuti melihat kepada Rukmini, lemah bergelung melekap di dada ibunya dengan mata yang terkatup agak renggang sedikit. Gemas hatinya melihat setenang dan sentosa itu kanak-kanak itu tidur, tidak memedulikan mereka bercakap-cakap sedikit juga pun. Bangkit pula inginnya hendak menggendongnya lalu katanya, "Embik, biarlah saya bawa ia masuk ke dalam, tidak senang ia tidur serupa itu."
Tidak lagi ia menantikan jawab bibiknya itu, tangannya sudah diulurkannya akan mengambil Rukmini. Hati-hati benar diangkatnya anak itu dan dipeluknya pada dadanya. Perlahan-lahan berdirilah ia menuju ke kamar. Nikmat terasa kepadanya badan kecil yang panas itu melekap pada dadanya, perlahan-lahan turun-naik menarik nafas. Dari kalbunya mengalir perasaan cinta sayang tiada tertahan-tahan. "Tadi engkau membantah-bantah," katanya dari sela giginya, sambil tiada putus-putusnya mengamat-amati anak yang senang sentosa tidur di tangannya
itu. Tidak dapat menahan hatinya lagi,
diciumnya beberapa kali pipi Rukmini yang merah berbayang urat yang halus-halus. Tiba di kamar perlahan-lahan diletakkannya Rukmini di atas tempat tidurnya yang kecil. Hati-hati diambilnya selimutnya dan dihalaunya nyamuk dari dalam kelambu. Sebentar berhenti ia melihat kanak-kanak yang tidur lelap itu. Alangkah aman dan senang rupanya. Gemas mesra dirapatkannya bibir kecil yang terbuka renggang sedikit itu dan dalam lamunan perasaan kasih sayang yang bergelora berombak-ombak diciumnya pula beberapa kali lagi anak yang tidur lelap itu di keningnya, di pipinya, di lengannya.
Perlahan-lahan ditutupnya kelambu dan dengan perasaan yang puas pergilah ia mendapatkan bibik dan pamannya. Maria telah tak ada lagi di sana, pergi mengikutkan Ningsih ke kamarnya.
"Maria orang yang beruntung," kata Parta.
"Ya, sangat beruntung," sambung istrinya. "Tadi saya dengar dari dia sendiri, bahwa ia sudah mendapat kerja pada sekolah Muhammadiyah. Habis libur ini ia akan mulai bekerja sekali."
"Tetapi bekerjanya itu sebenarnya menolong-nolong saja," kata Tuti menyela. "Muhammadiyah tiada akan sanggup membayarnya sebagai guru biasa, apalagi waktu sekarang ini."
"Ah, itu tidak usah pula. Ia belum" usah mencari nafkah bagi dirinya sendiri. Ayahmu telah senang hatinya tidak usah membayar uang sekolah saban bulan," kata Parta. "Asal ia dapat belanja sedikit-sedikit saja..."
"Sudah lebih dari cukup demikian," ujar istri Parta mengulas kata suaminya, "Lagi pula ia tidak akan bekerja selama-lamanya di sana... O, ya Tuti, pabila akan habis pelajaran tunangannya itu""
"Kalau tidak salah saya, kira-kira sembilan bulan lagi," jawab Tuti. Agak lain kedengaran bunyi suara gadis itu, seolah-olah terkejut ia mendengar kelokan percakapan itu. Berkisar ia di tempat duduknya dan dikaiskannya anak rambutnya yang menjurai ke muka di keningnya.
Tetapi perubahan suara Tuti itu tiada kentara kepada suami istri itu. Parta terus berkata, "Nah, kalau demikian, paling lama ia akan bekerja dua tahun. Kalau ia sudah bersuami tentu ia akan tinggal di rumah. Itulah kesudahannya bagi perempuan."
Muka Tuti berubah mendengar kata pamannya itu. Tahu benar ia, bahwa ucapan yang terakhir itu sengaja ditujukan kepadanya. Ia hendak berkata, hendak menjawab. Di mana-mana telah dinyatakannya keyakinannya, bahwa bukan itu tujuan hidup perempuan, tetapi saat itu ia selaku tertumbuk.
"Maria orang yang beruntung benar," kata Parta pula, seperti orang mengulang-ngulang kunyah hendak merasakan kenikmatan makanan di mulutnya. Tetapi bagi Tuti perkataan itu seakan-akan ditusukkan ke dalam hatinya. Bertambah memerah mukanya. Sesak dadanya oleh karena tiada dapat menyusun dan mencari kata. Mata suami istri yang memandang kepadanya itu adalah sebagai lembing yang tajam yang menusuknya.
Di hadapan rumah kedengaran auto berhenti. Parta mengangkat badannya dari tempat duduk dan memandang ke jalan besar, "Ya, benar, itu Engkang Wiria," katanya, lalu ia berdiri menuju ke luar, diiringkan oleh istrinya dengan Tuti.
"Lambat benar Engkang datang, sangka kami tidak jadi tadi."
"Teman lama dari Rangkasbitung, sudah lebih dari sepuluh tahun kami tidak bersua. Hampir tidak jadi saya datang kemari tadi, mujur dia sudah berjanji makan tengah hari di rumah pamilinya..."
"Tetapi sekarang Engkang datang waktu yang baik benar," kata istri Parta, "mari saya lihat di belakang sebentar Barangkali orang sudah bersedia pula."
Ia pun masuk ke dalam, tiada berapa lamanya diikutkan pula oleh Tuti, sedang Wiriaatmaja duduk bercakap-cakap dengan Partadiharja di serambi Dalam.
Di atas meja makan bundar di serambi belakang sudah terhampar alas meja yang putih jernih berkembang berkilat-kilat dan di atasnya sudah diatur piring, kobokan serta sendok dan garpu. Lima buah tempat disediakan.
Dari belakang seorang bujang perempuan berulang-ulang membawa piring yang berisi gulai dan sayur-sayuran; sekaliannya diatur oleh istri Parta bersama-sama dengan Tuti di atas, meja yang bertambah lama bertambah penuh piring dan mangkuk yang berisi bermacam-macam masak-masa
kan: Pergedel dan bistik kelihatan di sisi pedal dan sayur. Ayam, daging, otak, ikan, sekaliannya nampak terhidang. Di atas piring buah-buahan beradu warna pisang raja yang kuning besar-besar dengan warna apal yang hijau merah tua.
Dari kamar yang berpintu ke serambi belakang itu ke luar Maria dengan Ningsih. Ningsih terus menuju ke kamar mandi dan Maria datang mendekat meja makan melihat bibik dan kakaknya sibuk bersedia.
"Makan besar benar kita ini, Embik," katanya senyum bergurau kepada bibiknya itu." Lihat itu ada otak, kesukaan saya benar!"
"Ya, Embik terlampau memanjakan engkau Maria," kata Tuti dan seraya menunjuk kepada jambangan di atas bupet ia berkata, "Lihat Maria, kembang di atas bupet itu!"
Maka Maria menuju ke arah yang ditunjukkan kakaknya itu; tiba-tiba bersinarlah mukanya dan dari mulutnya keluarlah tiada tertahan-tahan, "Aduh, alangkah indahnya, anggrek!" Ia datang mendekati bupet jati yang berkilat dipoles; bercahaya-cahaya matanya mengamat-amati kembang anggrek yang lembayung permai memperagakan dirinya dalam jambangan porselin putih yang berkilat-kilat. Dan seraya tangannya perlahan-lahan membelai-belai kembang yang jelita-jelita itu berulang-ulang jernih memancar dari kalbunya yang tiada tertahan-tahan kagumnya, "Embik, bagus betul, bagus betul."
"Ya, Embik sangat memanjakan engkau, Maria. Terlampau benar," kata Tuti pula, "segala kesukaanmu disediakannya."
Tetapi ucapan Tuti dijawab oleh bibiknya dengan senyum yang agak jenaka, "Engkau jangan iri hati Tuti. Bagi engkau pun saya sediakan serupa ini, boleh jadi lebih dari ini, asal... asal..." Tiada dihabiskannya kalimatnya, hanya matanya dikejap-kejapkannya.
"Asal apa. Embik." tanya Tuti lurus saja, tiada menyangka suatu apa jua pun di balik kata bibiknya itu. Dan jangan tidak berkata saja, ujarnya. "Sayang saya tidak akan ujian lagi..."
Belum habis lagi katanya itu, bibiknya segera mengulasnya, "Tidak usah ujian, bukan itu saja waktu yang penting dan berarti dalam hidup manusia, benar tidak, Maria""
Maria melengos kepada bibiknya seraya tersenyum dengan lena. Tetapi Tuti diam seperti orang tidak mendengar; disambutnya dari bujang sebuah piring besar yang berisi sup yang beruap-uap dan setelah meletakkan sup itu di atas meja, katanya mengalihkan percakapan, "Embik, rasanya kita sudah siap, hanya air saja belum lagi."
"Pergilah engkau memanggil Bapak dan Emangmu di depan, boleh kita mulai. Rasanya sekarang hari sudah hampir setengah dua."
Setelah laki-laki berdua itu masuk, duduklah mereka berlima pada meja yang penuh berpagarkan makanan yang lezat-lezat itu. Istri Parta menghendaki Maria duduk di kepala meja, sebelah bupet, "Yang dijamu sekarang ini ialah Maria, sebab itu ia harus duduk di tempat kehormatan."
"Tentu," kata Parta. "Maria, engkau mesti duduk di sini... Ya, Tuti mengapa engkau melihat-lihat kepada saya. Hari ini sebenarnya kita makan-makan untuk Maria. Kalau engkau hendak duduk di tempat itu pula nanti, lekas-lekaslah..."
Sengaja ia berhenti di belakang perkataan "lekas-lekaslah," matanya melihat kepada Tuti yang tersenyum, tetapi segera membantah, "Embik dengan Emang dari tadi mengganggu saya saja."
Dan agak bersahaja kekanak-kanakan Parta berkata terus mengusik Tuti, "Kami tidak sekali-kali mengatakan, bahwa engkau iri hati kepada Maria. Kami hanya menghendaki, supaya kami dapat pula segera menjamu engkau di sini."
Maria tersenyum berbahagia bersama-sama dengan paman dan bibiknya. Mulut Tuti mengorak dipaksa turut tersenyum, sedangkan ayahnya diam tiada peduli akan gangguan iparnya akan anaknya yang tua itu.
Sementara mereka gembira bercakap-cakap, dipimpin oleh Parta suami-istri, sekali-sekali disela oleh Wiriaatmaja, terus juga mereka makan. Berganti-ganti piring-piring yang penuh lauk-pauk yang lezat-lezat itu berpindah dari tangan seorang ke tangan seorang, isinya bertambah lama bertambah sedikit juga."
Tengah mereka makan itu tiba-tiba kedengaran dari dalam kamar suara menangis.
"Rukmini menangis," kata istri Parta dan ia pun memanggil Ningsih mengambil adiknya yang baru bangun itu. Tetapi
Ningsih belum keluar dari kamar mandi.
Ketika itu tiba-tiba berdiri Tuti seraya berkata. "Biarlah saya mengambilnya," dan meskipun ia ditahan oleh bibiknya yang telah memanggil bujang, tetapi ia terus juga masuk ke dalam.
Rukmini telah duduk dalam tempat tidurnya. Melihat Tuti datang hendak mengambilnya, usahkan ia reda, tangisnya bertambah-tambah kuat. Di-bantingkannya badannya kembali ke atas kasur dan dengan kaki dan tangannya ditampiknya Tuti yang hendak mengangkatnya itu. Tetapi Tuti tiada mempedulikan bantahannya itu. Badan kecil yang melonjak-lonjak, menyepak-nyepak dan menggerapai-gerapai itu diangkatnya dengan kedua belah tangannya dan dibawanya ke luar kelambu.
Ketika ia hendak ke luar kamar, datang istri Parta. Mendengar anaknya menangis berteriak-teriak, ia hendak menengok sendiri. Melihat bundanya itu, Rukmini mengulurkan tangannya sekali minta diambil. Tuti menyerahkan yang bergelapar-gelapar dan berteriak-teriak digendongnya itu kepada ibunya dan tiada berapa lama antaranya diamlah Rukmini menangis, hanya tinggal lagi sedu-sedunya yang ditahan-tahan. Di serambi belakang Rukmini diserahkan ibunya kepada bujang, sebab ia terus hendak makan.
Sesaat iba juga hati Tuti melihat Rukmini tiada membantah sedikit jua pun diberikan ibunya kepada bujang itu. Mengapakah maka ia tiada hendak digendongnya" Apakah sebabnya maka ia demikian memusuhinya"
Tetapi dalam percakapan meneruskan makan itu, perasaan kurang senang itu perlahan-lahan hilang sendirinya.
Sesudah makan Wiriaatmaja, Parta dengan istrinya duduk di ruang tengah bercakap-cakap. Tuti dan Maria membunyikan mesin nyanyi dengan Ningsih dan Iskandar. Dari sana mereka pergi duduk bersama-sama di bawah pohon mangga yang besar di kebun, bermain-main dengan burung dara jagaan Ningsih dan Iskandar yang amat banyak jumlahnya.
Petang pukul setengah enam setelah mandi dan minum teh barulah orang bertiga beranak itu pulang ke rumah mereka di Gang Hauber.
2. DINDING Gedung Permupakatan berat berhias daun kelapa dan daun beringin, di sela-sela kertas merah putih. Di dinding sebelah kanan nyata dan jelas tersusun huruf perkataan Pemuda Baru, di dinding sebelah kiri terbaca Kongres Kelima. Bau daun yang segar memenuhi seluruh ruang yang girang gembira nampaknya oleh cahaya lampu listrik yang terang-benderang. Di sebelah hadapan ruang itu terlabuh layar ungu berombak-ombak.
Di antara susunan kursi dan bangku yang rapat tiada berhenti-henti berjalan pemuda laki-laki dan perempuan yang berpakaian indah-indah. Masing-masing riang dan suka; girang suara mereka bergurau, senyum dan gelak timbul tenggelam di wajah masing-masing. Kebanyakan pemuda yang sibuk itu memakai kokarda merah putih tersemat di dadanya, ialah mereka yang turut mengurus malam keramaian penutup kongres Pemuda Baru yang kelima itu.
Dari pintu yang lebar terbuka tiada berhenti-henti mengalir masuk laki-laki perempuan, kebanyakan muda remaja antara lima belas dan dua puluh lima tahun. Kebaya yang pelbagai macam warna dan modelnya disilih oleh jas pantalon yang keras berseterika dan bermacam-macam pola coraknya, menambah kegembiraan dan kegirangan pemandangan dalam ruang pertemuan yang bertambah lama bertambah penuh jua itu.
Layar Terkembang Karya St. Takdir Alisyahbana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Makin banyak orang duduk di kursi dan bangku yang bersusun itu, di luar masih senantiasa juga manusia berduyun-duyun, datang dari jalan besar. Auto yang indah-indah di sisi delman yang bersahaja berhenti di hadapan. Tiada berapa jauh dari gerbang masuk ke pekarangan susunan sepeda makin lama makin rapat jua. Orang yang datang berjalan kaki jangan dikata lagi.
Dari pintu di bawah sebelah kanan masuklah Maria ke dalam ruang. Naik ia di anak tangga dan berdirilah ia menghadapi penonton yang banyak. Berkilat-kilat rupa bajunya sutera putih dalam sinar listrik yang terang-benderang. Mata sekalian orang melihat kepadanya, sebab dalam gedung yang sarat berhias panca warna itu, bajunya yang putih bersih berkilau-kilau itu tiadalah membangkitkan perasaan bersahaja, malahan sebaliknya memancarkan sinar penarik yang menantang. Kokarda merah putih di dadanya hanya k
elihatan merahnya saja di tengah-tengah keputihan semata-mata, tetapi oleh itu kemerahannya itu lebih gembira rupanya, bersorak menarik mata.
Agak mengejap-ngejap matanya melihat kepada orang banyak, memandang dari suatu penjuru ke penjuru yang lain, seolah-olah ada yang dicarinya. Bibirnya mengorak tersenyum dan ia pun terus berjalan menuju ke arah pintu masuk, kepada Yusuf dengan Tuti yang berdiri bercakap-cakap dengan beberapa orang lain.
"Sudah lamakah engkau berdua datang"" tanyanya kepada kakaknya, sebab ia sendiri datang lebih dahulu, karena harus serta mengatur malam keramaian itu.
"Kami baru masuk benar," jawab Tuti. "Ramai benar orang datang malam ini."
"Sebab itu lekaslah engkau mencari tempat duduk! Rasanya di depan masih ada sebuah kursi yang kosong. Sebentar lagi orang mulai."
Tuti pergi ke hadapan bersama-sama Maria mencari tempat dan setelah ia duduk, kembalilah Maria kepada Yusuf, yang masih terus juga berbicara dengan temannya.
"Yusuf, lekaslah engkau bersiap. Orang telah hampir mulai," ujar Maria mengingatkan tunangannya itu, sebab mereka berdua akan serta main dalam sandiwara Sandhyakala ning Majapahit(Dikarang oleh Sanusi Pane.) yang akan dipertunjukkan kelak.
Yusuf melihat arlojinya. "Lima menit lagi pukul delapan," keluar dari mulutnya agak bergumam dan kepada kawannya katanya, "Nah, nantilah lagi!" Lalu ia pun mengikut Maria melalui kursi yang banyak itu menuju pintu di bawah di sebelah kanan.
Bertambah lama bertambah penuh jua ruang yang besar itu. Di kursi di hadapan tak ada lagi tempat yang terluang, di belakang pun telah bersesak-sesak orang duduk di atas bangku. Sementara itu masih tiada berhenti-henti juga orang datang. Kursi dan bangku ditambah sepadat-padatnya, tetapi itu pun belum cukup.
Pukul delapan betul tampil seorang anak muda keluar dari belakang layar. Dengan suara nyaring yang makin lama makin jelas membelah ke-gemuruhan dalam gedung yang penuh manusia itu diucapkannya selamat datang kepada yang hadir dan dimintanya terima kasih atas minat kepada pertemuan malam penutupan kongres itu. Sudah itu dibacakannya beberapa putusan kongres dan akhirnya diharapkannya mudah-mudahan pertunjukkan yang akan diperlihatkan malam ini akan memberi kenang-kenangan yang indah dan tiada terlupakan bagi segala yang hadir.
Tiada berapa lama setelah ia undur kembali ke balik layar yang tertutup, diiringi oleh tepuk yang ramai, maka terkuaklah pula layar yang ungu berombak-ombak itu seluas-luasnya. Ketika itu juga padamlah lampu dalam gedung itu dan di atas podium terpasanglah cahaya biru, amat dahsyat rupanya menyinari pemandangan yang kelihatan di atas podium; beberapa pasang pemuda yang berasal dari seluruh kepulauan ini, memakai pakaian negerinya masing-masing, menghadapi sebuah pedupaan yang besar memasukkan persembahan masing-masing.
Seluruh gedung itu sunyi senyap, takjub melihat pemandangan yang permai dan dalam meresap itu.
Ketika tiba-tiba layar itu tertutup kembali dan di ruang dipasang orang pula lampu, sekalian penonton selaku terbangun dari mimpi. Sekejap seperti hendak runtuh bunyi orang bertepuk, di sela oleh teriak bis-bis tiada putus-putusnya.
Tetapi meskipun sebanyak itu suara meminta, supaya pertunjukan itu diulang kembali, permintaan itu tiada diperkenankan. Dan waktu layar ungu yang berombak-ombak itu terkuak pula, mulailah pertunjukan sandiwara: Sandhyakala ning Majapahit.
Kata bermula yang diucapkan biksu berbaju kuning, meminta rahmat Syiwa-Budha bagi pertunjukan itu dan berharap supaya pekerjaan pujangga yang merasa dirinya kurang kuasa, diulas oleh darah muda, dapat sekali mengikat minat yang hadir. Segera sepi mati pulalah dalam ruang yang luas itu. Segala mata tertuju ke hadapan, sebab orang hendak mendengar tiap-tiap kata percakapan Maharesi dengan kesatria Damar Wulan yang belum damai dan berbahagia hatinya, sebelum terjawab baginya soal-soal dunia dan hidup manusia:
Apa gunanya Berahma menjadikan dunia"
Apa ada sebelum Berahma menjelma"
Siapa menjadikan Berahma"
Apa guna manusia hidup"
Mengapa ia harus mati"
Sia-sialah Mahare si menerangkan kepadanya, bahwa soal kejadian dan tujuan kehidupan tidak dapat diketahui manusia dengan sempurna. Bahwa bagi Damar Wulan tidak patut sedalam itu mengaji agama, sebab ia teruntuk menjadi kesatria.
Damar Wulan mengeluh, bahwa siang malam soal-soal itu mengelilinginya sebagai hantu menyiksa. Perasaannya sebagai orang yang memikul beban yang dipikulkan beratus-ratus zaman. Tidak ada yang tetap, yang dapat dibuat tempat berpegang, yang dapat ditujui.
Tetapi ketika bundanya menyuruhnya pergi ke Majapahit untuk menjadi kesatria, ia tiada tangguh lagi, meskipun hatinya belum reda memikirkan soal-soal yang sulit itu.
Damar Wulan semadi beberapa lamanya dan dalam semadinya itu terasa bersualah ia dengan Wisynu yang berkata kepadanya, "Akulah Wisynu yang engkau cari, aku bertakhta dalam hatimu sendiri. Dunia tidak pernah terjadi, sebab tidak pernah tidak ada. Kata, nama, sifat, sekaliannya cuma buatan manusia belaka. Sekaliannya tidak ada ketika manusia belum ada di dunia. Waktu cuma maya, cuma perbandingan yang dibuat oleh manusia antara suatu kejadian dengan kejadian yang lain. Kekuasaan atau tempat pun hanya
mimpi belaka, sebab Wisynu ada dalam hati segala benda. Dunia tidak bersifat dan tidak tidak-bersifat. Jalan manusia ke hatinya sendiri ialah Yoga, menghentikan berpikir, melenyapkan dunia maya dan menyatukan diri dengan jiwa segala benda.
Bahagian kedua ialah pertemuan Damar Wulan dengan kekasihnya An-jasmara, putri patih Majapahit. Anjasmara menyuruh kekasihnya pergi menaklukkan Wirabumi yang mendurhaka kepada Prabu Dewi Suhita. Beberapa lamanya Damar Wulan sangsi. Ia memikirkan kejamnya membunuh manusia, membangkitkan ratap dan tangis perempuan dan kanak-kanak. Lagi pula apa gunanya Majapahit ditolong, agama sudah rusak, pendeta dan kesatria tiada melakukan kewajibannya lagi terhadap kepada rakyat. Tetapi meskipun demikian dalam hatinya ia insyaf, bahwa ia tidak boleh tidak akan menurut darmanya, ia akan pergi memerangi Wirabumi.
Dalam semadi di sisi kekasihnya nampak pula kepadanya Wisynu yang berkata kepadanya, "Dalam dunia jasmani pun terkandung kehidupan. Selama hidup kehidupan jasmani pun tidak boleh ditinggalkan. Memerangi Wirabumi bukan membunuh artinya, tetapi membantu rakyat sengsara."
Lenyap Wisynu datang Dewi Kamajaya dan Dewi Ratih mengatakan kepada Damar Wulan, bahwa rahasia alam telah terbuka baginya. Tetapi tahu bukanlah bahagia. Bahagia masuk ke dalam hati, kalau jiwa sudah satu dengan Berahma, kalau cinta kepada dunia sudah tumbuh dalam hati. Sebab itu hendaklah ia melindungi yang lemah.
Perjuangan batin Damar Wulan sudah selesai. Meskipun bundanya sakit keras dan setiap saat boleh maut, ia akan terus juga memerangi Wirabumi, sebab perkara negara harus lebih diutamakan dari perkara sendiri.
Bahagian ketiga melukiskan kesabaran hati para pembesar Majapahit untuk melawan Wirabumi. Kesatria sejati tidak ada lagi, tidak seorang juga sanggup menjadi senapati mengepalai bala tentara. Majapahit tiada bertenaga lagi, sehingga Wirabumi berani menghina Prabu Dewi Suhita menyuruh datang ke Probolinggo mempersembahkan upacara kerajaan dan menjadi permaisurinya.
Damar Wulan yang dinanti-nanti datang mempersembahkan dirinya kepada Prabu. Diterangkannya, bahwa rakyat tiada senang, sebab mereka kelaparan dan diperlakukan tiada sepertinya.
Setelah habis pertunjukan bahagian ketiga, maka diadakan istirahat setengah jam. Ruang besar itu pun sibuk pulalah; ada yang berdiri berjalan-jalan, ada yang pergi minum pada bupet. Gemuruh bunyi orang bercakap-cakap.
Bahagian keempat yang dipertunjukkan sesudah istirahat melukiskan Prabu Dewi Suhita serta rakyat dan para pembesar bergirang hati menyambut Damar Wulan kembali dari medan peperangan mengalahkan Wirabumi.
Dalam bahagian kelima kaum kesatria dan kepala agama bersekongkol menjatuhkan Damar Wulan yang berdaya-upaya menyedarkan rakyat. Prabu Dewi Suhita akhirnya terbujuk oleh mereka dan Damar Wulan dihukum mati. Lenyaplah kesatria sejati yang penghabisan dan Majapahit tiada dapat tidak akan punah. Pasukan Islam sudah siap aka
n menyerang, memberi pukulan yang penghabisan kepada kerajaan. Maka tertutuplah layar setelah Menak Koncar, teman Damar Wulan yang setia menetapkan nasib Majapahit:
"Sumpah dewata menghancurkan kamu, para menteri dan kepala agama serta Majapahit, Sebentar lagi kota ini akan musna, akan tinggal bekasnya saja dan kamu, Suhita, akan meratap di atasnya. Ketika Damar Wulan, kesatria yang penghabisan, runtuh ke tanah, seri Majapahit pindah ke Bintara.
Majapahit, runtuhlah kamu!"
Pertunjukan selesailah! Maka gemuruhlah bunyi tepuk orang, menyatakan puasnya akan yang dilihatnya itu. Dari balik layar ke luar pula sebentar anak muda tadi menyatakan, bahwa sudah tertutuplah kongres Pemuda Baru yang kelima. Sekali lagi diucapkannya terima kasih kepada segala orang yang menyokong dan memperlihatkan minatnya kepada kongres itu dan diharapkan mudah-mudahan setahun lagi akan bersua pula pada kongres yang keenam.
Sekalian orang di dalam ruang yang besar itu bergeraklah. Berdegar-degar bunyi orang memindahkan kursi dan berdiri. Orang berduyun-duyun ke luar, bersesak-sesak di antara kursi-kursi dan bangku-bangku yang centang-perenang letaknya.
Tuti telah berdiri juga dari kursinya, tetapi sebaliknya dari orang banyak menuju ke pintu ke luar, ia mendekat ke arah pintu di sebelah kanan di bawah, sebab ia masih harus menantikan Yusuf dengan Maria. Lamalah baru orang berdua bertunangan itu ke luar.
Tetapi Tuti tidak merasa menanti itu, sebab ia masih takjub mengenangkan pertunjukan yang baru dilihatnya. Sesering itu ia menghadiri keramaian penutup kongres, tetapi hatinya belum pernah sekali jua pun terharu seperti melihat sandiwara Sandhyakala ning Majapahit ini. Telah kosong benar ruang yang besar itu ketika orang berdua yang ditunggunya itu datang. Maria menyandang syaal sutera yang lebar yang menutup seluruh belakangnya sampai ke atas lengannya. Di tangan kanannya dipegangnya tas. Dari jauh telah tersenyum ia melihat saudaranya dan bertanyalah ia, seperti kanak-kanak yang ingin tahu. bagaimanakah pikiran orang tentang perbuatannya, "Bagaimanakah Anjasmara tadi."
"Indah benar, belum pernah saya melihat pertunjukan yang seindah ini," ke luar dengan tulus dari mulut Tuti yang jarang memuji itu. "Engkau berdua baik benar bermain. Terutama percakapan Damar Wulan dengan Wisynu sangat meresap ke dalam hati saya. Bagus benar percakapan-percakapan sandiwara itu tadi."
Yusuf memandang kepada Tuti, agak keheran-heranan sedikit, sebab belum pernah nampak kepadanya Tuti terharu serupa itu melihat sesuatu pertunjukan. Malahan biasanya ia agak rendah memandang seni, yang menurut katanya hanya pekerjaan bagi orang yang tiada mempunyai pekerjaan yang lain.
Maria amat besar hatinya mendengar pujian saudaranya itu, sebab yang demikian jarang benar terjadi atas perbuatannya. Tuti biasanya mencela saja.
Dalam pada itu perlahan-lahan mereka berjalan menuju ke luar. Di pekarangan gedung itu masih kelihatan beberapa orang yang masih ada rupanya yang dinantikannya. Di jalan besar hanya ada sebuah delman. Beberapa lamanya mereka melihat-lihat kalau-kalau ada taxi, tetapi tiada nampak sebuah jua pun, akhirnya berkatalah Tuti, "Sudahlah, marilah kita naik delman ini, biarlah berlambat-lambat tidak mengapa!" Maka naiklah mereka ke atas delman itu.
Maria amat gembira dan tiada berhenti-henti ia bercerita tentang pertunjukan itu, tentang persediaannya, tentang kejadian sebelum dan sedang pertunjukan itu; lain daripada serta bermain, ia seorang yang turut memimpin dan mengatur. Dan berhasilnya pertunjukan yang berhari-hari memenuhi minatnya itu sangatlah membesarkan hatinya.
Tuti kelihatannya masih terharu juga; katanya tak banyak sebab perasaan dan pemandangan yang baru diperolehnya, malam itu hendak dicerenahnya benar-benar dalam hatinya.
Pemandangannya tentang seni mendapat pukulan yang hebat. Pertunjukan Sandhyakala ning Majapahit yang lain benar daripada pertunjukan yang biasa diperlihatkan pada waktu keramaian yang lain-lain, amat dalam mengguris kalbunya. Jaranglah sesuatu perasaan semesra itu memenuhi hatinya, menyamai kemes
raan perasaannya yang sehebat-hebatnya selama penghidupannya sebagai perempuan pergerakan yang melakukan pekerjaannya dengan seluruh jiwanya. Mau tak mau ia harus mengakui, betapa besarnya pengaruh seni yang dahulu sering diejekkannya itu atas jiwa manusia.
Sementara itu ketakjubannya itu bukanlah ketakjuban semata-mata. Di sisi ketakjuban akan keindahan sandiwara itu sejak dari semula ada memberat sesuatu perasaan yang kabur dalam hatinya, yang tiada dapat dikajinya benar. Dan makin lepas ia dari pesona kenikmatan melihat sandiwara itu, perasaan yang kabur itu makin terang, makin nyata berupa, sehingga lambat laun insyaflah ia, bahwa kenikmatan pertunjukan yang dilihatnya itu tiada sesuai dengan irama jiwanya sebagai perempuan yang gelisah dan suka bekerja dan tiada sesuai dengan pikirannya yang biasa menimbang baik dan buruk, berguna atau tiada berguna segala sesuatu.
Mula-mula sehabis pertunjukan tadi ia semata-mata dikuasai oleh perasaan keindahannya yang lama terpendam dan terdesak, tetapi seketika memancar ke luar tiada tertahan-tahan melihat sandiwara yang indah itu. Tetapi makin tercerenah oleh kalbunya perasaan keindahan yang tiada biasa dirasakannya itu, makin insyaflah ia, bahwa ia tiada dapat lagi menyetujuinya dan menerimanya. Akhirnya tiada dapat lagi ia menahan hatinya menyatakan pikirannya, lalu katanya, "Pertunjukan engkau berdua tadi sesungguhnya indah benar, belum pernah saya terharu seperti malam itu. Tetapi meskipun demikian hati saya tidak puas."
"Tidak puas"" jawab Maria sekali, yang masih gembira akan hasil pekerjaannya itu. "Apanya yang engkau tidak puas. Tadi katamu bagus."
"Ya, bagus, sebenarnya bagus, tetapi meskipun demikian hati saya tiada puas benar. Bagaimana engkau, Yusuf" Tidak begitu jugakah perasaanmu""
"Saya tidak mengerti, apa maksudnya," kata Yusuf
Orang berdua itu melihat kepada Tuti, yang berpikir sebentar rupanya, tetapi lalu berkata, "Sandiwara tadi bagus, sebenarnya bagus. Tetapi kebagusannya itu pada pikiran saya melemahkan hati dan tenaga ..."
Berhenti pula ia sebentar, selaku hendak mencari perkataan yang sebaik-baiknya untuk menyatakan yang terpikir kepadanya itu.
Tetapi Maria yang dalam kegirangannya akan hasil pekerjaannya malam itu segera menyangka, bahwa kakaknya itu mencari-cari saja hendak mencela pertunjukan itu, segera berkata, "Melemahkan hati" Ada-ada saja pikiranmu. Tak pernah engkau melihat perbuatan orang yang tiada tercela. Coba engkau sendiri menyusun sandiwara, supaya engkau puas benar..."
Dalam gelap di delman itu mata Tuti mendelik melihat adiknya selaku hendak diterkamnya, tetapi ditahannya hatinya, lalu berkata dengan pendek, "Kalau engkau tiada mengerti, baiklah engkau diam saja, Maria ..."
Tetapi Maria tiada gentar dan menjawab. "Bagiku bagus, ya bagus, tidak banyak cencong seperti engkau!"
Tuti tidak mempedulikan kata adiknya yang tajam itu. Dan seraya melihat kepada Yusuf, yang telah biasa mempersaksikan perselisihan orang berdua bersaudara yang amat berbeda pekertinya itu, katanya, "Ini yang saya maksud dengan melemahkan itu, Yusuf! Engkau "sendiri yang bermain Damar Wulan, jadi engkau tahu benar akan sifat Damar Wulan... Bagaimana pikiranmu tentang Damar Wulan, percakapannya yang indah itu misalnya dengan Wisynu. Sekarang, kalau saya pikirkan itu, ngeri rasanya hati saya. Penyelesaian soal kejadian dunia, soal hidup dan mati seperti diucapkan Wisynu itu, melepaskan segala tempat berpegang, menjatuhkan tempat kaki berjejak. Sebab kalau segalanya maya, habis arti segala hidup di dunia ini."
"Ya, tetapi engkau lupa," ujar Yusuf, "bahwa kemudian Wisynu berkata bahwa selama masih ada hayat dikandung badan, tiada boleh kita meninggalkan dunia maya, sebab hal itu artinya lari dari dunia. Manusia tiada boleh menolak kewajiban."
"Benar katamu demikian," jawab Tuti, "tetapi tambahan kemudian yang menunjukkan, bahwa maya ini pun tiada tercerai dari kehidupan, bahwa maya ini pun tiada boleh disia-siakan, menurut paham saya datangnya sebagai tampalan dari belakang. Sesudah ucapan yang pertama yang meniadakan dunia dan penghidupan di dunia i
ni, ucapan yang kedua yang membawa kembali ke dunia, hilanglah kekuatannya." "Hilang kekuatannya""
"Ya, hilang kekuatannya, lihatlah bagaimana sangsi Damar Wulan melakukan kewajibannya. Pada pikiran saya, meskipun tiada sengaja pengarangnya bermaksud demikian, tetapi jatuhnya Damar Wulan pada akhir sandiwara itu telah selayaknya benar, sebab sangsinya sendiri. Bukankah waktu ia menjabat pangkat ratu Anggabaya ia mendapat kesempatan yang sebaik-baiknya membersihkan negeri dari segala mereka yang tiada pada tempatnya dalam negeri" Sebaliknya daripada itu ia sendiri yang menjadi korban. Salahnya pada pikiran saya: Damar Wulan bukan lagi orang dunia ini."
"Saya mengerti, apa yang engkau maksud, tetapi jika demikian, pandanganmu itu bukan semata-mata tertuju kepada pertunjukan ini. Sebab keberatan yang serupa itu boleh dihadapkan kepada seluruh filsafat Budha, atau lebih luas filsafat India."
"Kalau filsafat India demikian sifatnya, maka tentulah terhadap kepada seluruh filsafat India. Keberatan saya itu pun terutama oleh karena filsafat yang demikian membuat manusia merasa dirinya asing dari dunia ini, sebab segala sesuatu dianggapnya bayang-bayang, dan penghidupannya tiadalah terasa kepadanya sebagai penghidupan yang sebenar-benarnya Di dunia terasa kepadanya bukan pada tempatnya lagi, jiwanya sudah di tempat yang lain. Telah sepatutnya mereka yang demikian di dunia ini tiada dapat berarti, tiada dapat membangunkan sesuatu yang berarti bagi hidup di dunia. Dan meskipun ada suruhan, supaya menyertai hidup di dunia ini, tetapi suruhan itu tiada menolong lagi. Adalah seperti orang yang sudah dibenamkan ke dalam air selucup-lucupnya, tetapi sesudah itu ditarik kepalanya ke atas air sedikit. Ia sudah terlampau lemas untuk dapat merapung dan bernafas lagi."
"Tentang hal itu saya setuju dengan engkau. Umumnya filsafat India melompat sekali menyelesaikan segala soal hidup sedalam-dalamnya. Dapat ia memberi bahagia kepada mereka yang sesuai jiwanya dengan itu, tetapi oleh karena telah terselesaikan segala soal hidup, tiadalah ada lagi bagi mereka yang demikian soal dunia. Dan di dunia tertutuplah jalan kemajuan..."
"Apalagi bagi bangsa kita hal ini harus diperhatikan benar-benar," kata Tuti tegas menambah ucapan Yusuf yang belum habis itu "Sejak dari dahulu bangsa kita gemar akan sikap menganggap dunia ini sebagai yang tiada berarti, yang fana. Dunia hanya tempat perhentian sebentar. Apa guna mengumpulkan harta" Apa guna kebesaran dan kemuliaan" Sikap yang demikian menyebabkan bangsa kita tiada berdaya, lemah berusaha dan nista kedudukannya dalam dunia. Kemiskinannya terasa kepadanya sebagai sesuatu yang layak, malahan kadang-kadang yang sebaik-baiknya. Sebab ia berharap akan kesenangan dan kemuliaan di dunia yang lain... Bangsa kita harus mendapat sikap yang lain. Dunia bukan maya, bukan tempat perhentian sebentar, yang tak usah diindahkan. Sebaliknya daripada menempuh jalan yoga menyuruh menghentikan berpikir, bangsa kita harus lebih banyak berpikir. Jiwa yang sempurna, ialah jiwa yang di dunia ini dapat kesempurnaan pula. Segala sifat dan perbuatan bukan maya dan manusia harus berdaya-upa-ya mengembangkan segala kecakapannya, sebab itulah jalan menuju kesempurnaan lahir dan batin Dari kesempurnaan hidup di dunia ini baru kita melangkah kepada kehidupan yang abadi."
"Ya, saya mengerti, saya mengerti akan keberatanmu dan maksudmu.
Tetapi apakah salahnya, kalau pertunjukan yang seindah itu sekali-sekali dilihat orang""
"Sekali-sekali tiada ada salahnya," kata Tuti, "saya pun akan merasa rugi jika saya tiada dapat melihat sandiwara yang seindah ini dan sedalam ini perasaan yang dikandungnya. Tetapi sementara itu kesangsian akan makna hidup di dunia ini, tiada boleh terlampau banyak pengaruhnya. Dan tentang pertunjukan ini, keberatan saya yang sebenar-benarnya, ialah sebab ia dipertunjukkan kepada pemuda-pemuda. Ke dalam hati pemuda ditanamnya kesangsian akan hidup. Padahal pemuda itu hendaknya gembira dan riang dan penuh kepercayaan. Irama darah pemuda mengalir tiada sesuai dengan irama yang seberat itu memikirkan
soal hidup dan mati."
"Ya, itu telah terasa juga kepada saya. Dari semula saya sebenarnya tiada setuju orang mempertunjukkan sandiwara Sandhyakala ning Majapahit pada pesta kongres ini. Tetapi sandiwara lain yang lebih sesuai tidak ada..."
"Ya, suruh Tuti membuatnya," kata Maria yang sebenarnya agak mulai mengerti mendengar maksud kakaknya itu, tetapi masih juga hendak melepaskan panas hatinya akan celaan saudaranya itu.
Perlahan-lahan delman itu telah sampai di Gang Hauber. Di hadapan rumah pada pertemuan Gang Hauber dengan Cidengweg delman itu berhenti dan turunlah mereka bertiga. Tiada berapa lama mereka mengetuk pintu, dibuka-kanlah oleh Raden Wiriaatmaja.
Yusuf pun minta permisi, sebab hari sudah hampir pukul satu tengah malam. Naiklah ia ke delman yang masih menanti di jalan menuju ke rumah nya di Sawah Besar.
3. PADA malam Minggu Tuti duduk di ruang dalam menghadapi meja membaca buku di bawah lampu. Sejak dari pukul lima petang tadi ia membaca, sebab ia seorang diri tinggal di rumah; ayahnya pergi ke rumah temannya di Gang Ketapang, sedangkan Maria pergi main tennis. Mula-mula ia duduk di halaman rumah, tetapi ketika hari telah kelam ia masuk ke dalam memasang lampu.
Ketika ia sedang lena membalik-balik buku, melihat berapa halaman lagi akan dibacanya, terbuka kamar Maria dan ke luarlah perawan itu, amat segar rupanya, baru berdandan. Rambutnya tersanggul beranyam-anyam dua buah pada belakang kepalanya. Kebayanya ialah kain pual yang berbunga merah kecil-kecil; pada ujung lengannya terkuak mengembang tepi kain merah yang dikerut-kerutkan. Demikian juga keliling lehernya sampai pinggir kebayanya bertepikan kain merah, amat manis rupanya.
Tuti mengangkat mukanya melihat adiknya itu. Takjub matanya memandang kebaya Maria yang amat manis nampaknya. Maria sesungguhnya pandai memilih pakaiannya. Tiap-tiap kebaya atau yurknya yang batu ialah kenikmatan pandangan mata. Ada-ada saja cara menyusun warna, sehingga selalu indah rupanya. Meskipun kepandaian Maria itu bukan baru diperolehnya dalam sebulan dua ini, tetapi baru dalam waktu yang akhir inilah hal itu kentara kepada Tuti, seolah-olah baru terbuka matanya untuk menghargai kepandaian adiknya itu. Kadang-kadang terasa kepadanya perasaan iri yang halus di dalam hatinya.
Maria menarik kursi dekat Tuti dan agak mengeluh duduknya ia dekat saudaranya itu, seraya berkata, "Mengapakah badan saya selalu amat letih, kalau sudah main tennis."
"Barangkali engkau tidak baik main sport," jawab Tuti melihat adiknya yang sesungguhnya agak letih rupanya, meskipun ia segar baru mandi. "Baiklah engkau suruh periksa badanmu kepada dokter. Atau berhentikan main tennis itu."
"Ah, saya tidak mau diperiksa dokter," ujar Maria. "Barangkali letih saya itu, sebab saya belum lama benar main tennis. Awak belum biasa."
Sambil ia mengucapkan perkataannya yang akhir itu, matanya melihat kepada buku yang di tangan Tuti. Agak ganjil nampak kepadanya, lalu diangkatnya buku itu hendak melihat namanya, Zonder liefde geen geluk! (Tanpa cinta tidak berbahagia.)
"Buku saya ini Tuti. Apa mimpimu sekarang telah membaca buku Courths-Mahler pula. Dahulu engkau tertawakan saya membaca buku ini, sekarang engkau sendiri membacanya."
Muka Tuti memerah mendengar upat adiknya yang tepat itu, dan dengan senyum yang agak dibuat-buat jawabnya, jangan tidak menjawab, "Sekedar hendak mengetahui saja, apa benar yang menarik anak-anak perawan membaca buku serupa ini."
"Ah, pandai engkau menjawab," kata Maria, hendak menyentuh hati kakaknya yang tiada hendak berkata terus terang itu. "Kalau mau membacanya katakan saja mau membacanya. Habis perkara!"
Tuti tiada menjawab lagi, pura-pura tiada mendengar kata adiknya itu. Setelah beberapa lamanya duduk di kursi dekat Tuti itu, Maria berdiri seraya berkata, "Baiklah saya berbaring di atas dipan, supaya lekas hilang letih saya!"
Beberapa lamanya sunyilah dalam ruang itu. Tuti membaca buku, sedangkan Maria berbaring seraya menjalan pikirannya melamun mengenangkan kekasihnya.
Kira-kira pukul setengah delapan pulanglah Raden Wiriaatmaja. Mak
a pergikah Tuti dan Maria ke belakang menyediakan makanan. Setelah makan duduk pula mereka bersama-sama di beranda dalam: Tuti terus membaca bukunya, sedangkan Maria memutar mesin nyanyi, memainkan lagu-lagu yang sayu untuk meredakan kegelisahan hatinya menanti kekasihnya yang belum juga kunjung-kunjung datang.
Kira-kira setengah sembilan kedengaran di halaman bunyi sepeda. Maria yang dari tadi gelisah menanti-nanti, tahu sekali, bahwa yang datang itu ialah kekasihnya. Tetapi meskipun tiada terkata-katakan kegirangannya, ditahannya hatinya dan perlahan-lahan seperti orang yang antara mau dengan tiada menujulah ia ke pintu melihat ke luar. Dan pura-pura orang tiada menyangka berkatalah ia menyambut tunangannya, "O, engkau Yusuf!"
Maka teruslah ia ke luar turun ke tanah. Tahu bahwa ucapannya tiada didengar orang lain, perkataan yang mula-mula sekali keluar dari mulutnya ialah melepaskan perasaan kalbunya, "Ah, lambat benar engkau datang..."
Sama-samalah mereka naik ke rumah. Yusuf menceritakan sebab ia terlambat datang, "Kami dari pukul lima tadi rapat. Rapat memilih pengurus baru Beasiswa Setuden. Sangka saya selama-lamanya rapat itu akan dua jam, tetapi hampir setengah sembilan kami baru selesai. Sekaliannya morat-marit! Uang sudah lama tidak teratur ditagih. Kas sudah kosong dan setuden yang patut dibantu sudah sebulan tiada dapat diberi bantuan lagi. Masakan keadaan boleh dibiarkan serupa itu... "
Melihat Tuti di ruang tengah Yusuf menghentikan bicaranya dan memberi tabik kepadanya. Maria bergesa-gesa menanggalkan pelat mesin nyanyi, sebab lagu sudah habis. Maka duduklah mereka bersama-sama bertiga menghadapi meja.
Yusuf terus bercerita tentang rapat pemilihan pengurus Beasiswa Setuden itu: Bagaimana abainya pengurus yang lama memimpinnya. 3ukan salahnya orang tiada hendak menyokong, tetapi bantuan orang teledor ditagih, dan yang menjadi korban ialah setuden yang dibantu. Bulan ini mereka tiada menerima sesen jua pun, sebab kas sekosong-kosongnya. Bukankah itu sia-sia benar. Kaum setuden kita perlu dapat bantuan, sebab bangsa kita umumnya tiada kuat membelanjai anaknya belajar pada sekolah tinggi. Jika kita menghendaki banyak bangsa kita yang menuntut ilmu pada sekolah yang setinggi-tingginya di negeri kita ini kita tidak boleh tidak harus mengadakan sebuah perkumpulan beasiswa yang kuat. Pertama organisasinya harus baik."
"Berapa pada pikiranmu yang cukup bagi seorang setuden kita"" tanya Tuti.
"Bantuan kepada setuden kita menurut anggapan saya tidak usah besar. Biasanya telah lebih dari cukup, apabila mereka dapat membayar uang kuliah dan dapat pula membeli buku. Tentang makan soal kecil. Bukan sedikit di antara setuden kita yang tinggal pada pamili. Atau jika membayar makan sekalipun, bayar makan itu tiada seberapa. Kebanyakan di antara setuden kita akan tertolong benar dengan bantuan dua puluh lima rupiah(Perhitungan masa yang lalu.) sebulan, malahan kurang dari itu pun. Selebihnya biasanya dapat mereka peroleh dari orang tua mereka. Seperti sekarang ini banyak teman-teman saya yang sayup-sayup benar mendapatkan uang dari rumah. Di sisi belajar mereka harus melakukan pekerjaan ini dan itu untuk menambah belanjanya. Bukan sedikit di antara setuden yang tiada selesai pelajarannya pada waktu yang ditetapkan, oleh sebab mereka di sisi pelajarannya harus menambah pendapatannya... "
"Berapakah biasanya bantuan tiap-tiap anggota untuk beasiswa itu sebulan"" tanya Tuti menyela keterangan Yusuf itu.
"Selama ini tiap-tiap orang membayar Rp 1,00. Pada pikiran saya oleh sebab ditetapkan demikian, hanya sedikit orang yang dapat membantu beasiswa itu. Maksud kami pengurus beasiswa yang baru akan meluaskan jumlah orang yang membantu. Kami akan menetapkan bantuan sekurang-kurangnya Rp 0,25 sebulan. Orang yang sanggup membayar lebih tentulah akan lebih dibayarnya ..."
"Kalau hanya Rp 0,25 sebulan, saya hendak juga menjadi penyokong," kata Maria.
"Tentu," kata Yusuf. "Saya telah bermaksud hendak mengatakannya. Engkau berdua mesti menjadi anggota. Tetapi bukan anggota setalen. Masalah guru yang tiada mempunyai
tanggungan suatu apa hanya sanggup memberi setalen. Sekurang-kurangnya engkau berdua serupiah seorang!"
Yang akhir itu diucapkannya seraya tersenyum melihat kepada orang berdua itu. Tetapi Tuti dan Maria membantah: Tuti telah banyak harus membantu perkumpulannya dan beberapa rekening bukunya masih harus dibayarnya. Tetapi kalau lima puluh sen sebulan ia hendak juga membantu.
Maria menganggap jumlah itu terlampau besar baginya menilik kepada gajinya. "Masakan empat persen dari gaji saya akan beasiswa saja" Saya pun ada kontribusi yang lain."
"Nah, kalau begitu lima puluh sen pun jadilah."
"Tetapi uang itu harus dijemput sebelum tanggal lima tiap-tiap bulan," kata Tuti. "Kalau orang datang menagih sesudah tanggal lima akan saya suruh kembali saja. Pikiran saya orang harus memerlukan memungut kontribusi itu. Kalau tiada diperlukan, tidak pula kita perlu membayarnya. Kebanyakan perkumpulan tidak masuk uangnya, sering bukan oleh karena orang tiada hendak membayar iuran, tetapi karena iuran itu tiada baik ditagih. Tanggal sepuluh atau lima belas bulan baru datang, siapakah ada beruang lagi di rumah""
"Tetapi untuk beasiswa kami ini engkau tidak usah cemas engkau terlambat ditagih," jawab Yusuf. "Untuk rumah ini biarlah saya sendiri menjadi penagihnya."
"Ya, tetapi kalau engkau penagihnya, tentu saja boleh minta tangguh. Atau sekali-sekali tidak membayar benar..." kata Maria berolok-olok.
"Ya, kehendakmu, tetapi penagih ini akan lebih keras tagihnya dari penagih yang biasa."
Di tengah-tengah percakapan itu tiba-tiba Maria teringat, bahwa boleh jadi kekasihnya itu belum makan, lalu bertanya, "Kalau engkau dari rapat tadi terus kemari sekali, tentulah engkau sekarang belum makan. Kami di rumah ini sudah makan, tetapi mari saya lihat sebentar, kalau-kalau masih ada nasi dan gulai."
"Sudahlah tak usah," kata Yusuf. "Di rumah tentu nasi saja ditinggalkan orang."
Tetapi Maria telah berdiri dan sambil berjalan menuju ke dalam ia menjawab, "Bukankah engkau belum akan pulang sekarang juga" Malam ini malam panjang. Baiklah makan dahulu, kalau tidak lama amat perutmu kosong."
Tetapi beberapa lama antaranya ia kembali pula dan kepada Tuti katanya, "Tuti, nasi tidak ada lagi..."
"Suruh sajalah Juhro masak lagi," jawab Tuti.
Tetapi Yusuf segera menyela berkata, "Janganlah berpayah serupa itu benar. Masakan akan masak lagi sekarang sudah dekat pukul sembilan ini. Sudahlah!"
Maria masih berdiri juga. Tiada senang hatinya tiada dapat memberi makan kekasihnya itu dan ia pun mengumpat pula, "Engkau salahnya datang lambat benar. Kami sudah makan... Tetapi baiklah begini saja. Maukah engkau makan mi, boleh kusuruh belikan. Jadi ada juga alas perutmu..."
"Aa, itu jadi," kata Yusuf. "Di mana membeli mi di sini""
"Tiada berapa jauh, di pasar di ujung Gang Hauber tentu masih ada orang menjual mi sekarang," kata Tuti.
"O, ya, kalau begitu baik kita lihat saja pergi berdua berjalan ke pasar sebentar," kata Maria dengan suara yang gembira, sebab bukan saja ia akan dapat memberi kekasihnya itu makan, tetapi ia akan dapat pula berjalan-jalan dengan dia.
"Jadi, sebentar," kata Yusuf.
Maka berdirilah ia dan turunlah mereka berdua. Tuti pun tegak pula dan ia pun pergi ke luar. Ketika Yusuf dan Maria telah ke luar pekarangan turun pula ia ke bawah dan duduk di atas kursi.
Malam itu enam hari bulan. Bulan serupa sisir tersipu-sipu di balik awan yang tipis dan seluruh alam kekabur-kaburan rupanya. Dalam kekabur-ka-buran malam itu Tuti menurutkan bayang-bayang Yusuf dan Maria yang menjauh mengabur di ujung jalan. Nampak kepadanya mereka terus, tiada berbelok sekali menuju ke pasar: rupanya mereka pergi berjalan-jalan dahulu.
Melihat bayang-bayang orang berdua itu bertambah lama bertambah kabur, dan menurut mereka dengan pikirannya, mengepullah dari dasar kalbunya perasaan kehampaan dan kesepian yang dalam setahun sejak Maria bertunangan dengan Yusuf tiada berhenti-henti menderanya. Untuk kesekian kalinya dipikirkannya pula, apakah sebabnya, maka dalam waktu cinta berahi demikian dapat berubah pekerti manusia. Mengapa maka orang y
ang sedang berkasih-kasihan itu selalu hendak berdekatan, selaku tiada dapat bercerai lagi... " Maria berdekatan dengan Yusuf lain benar dari Maria sendirian di rumah. Dekat Yusuf Maria girang dan manja, suaranya halus membelai dan matanya girang bersinar. Apabila sendirian tiada tentu, sering ia duduk atau berbaring berjam-jam tiada berkata-kata.
Menurut pikirannya yang menimbang dan mengukur, sekalian pujaan itu daya nafsu belaka dan hanya mungkin terjadi pada mereka yang tiada bertujuan hidup.
Tetapi pikirannya yang terang dan nyata itu tiada pernah dapat sesungguh-sungguhnya melenyapkan perasaan kehampaan dan kesunyian di dalam hatinya. Pada ketika pikirannya agak terpica, tiada tertahanlah rasanya kekosongan dan melangitlah jiwanya menghimbau. Tiada terkata-katalah hasratnya akan penyerahan dan pujaan mereka yang menurut pikirannya tiada bertujuan hidup itu dan terbayanglah kepermaian cinta seperti terlukis dalam buku-buku Courths-Mahler sebagai sesuatu yang amat jauhnya dan tiada akan mungkin tercapai baginya. Maka terasalah kepadanya tiada sanggupnya memuja menyerah itu sebagai azab dan di tengah-tengah kekuatan dan kecakapannya sebagai seorang pemimpin pergerakan perempuan beratlah mengimpitnya perasaan kelemahan dirinya.
Dalam perjuangan antara perasaan dan pikiran yang tiada habis-habisnya itu, sesaat disesalnyalah dirinya sendiri! Suatu kesempatan sudah dibuangkan-nya; hendaklah ia dahulu memuja Hambali... Tetapi betapakah ia mungkin memuja orang yang pada matanya tiada sedikit jua pun melebihinya ... "
Tetapi mestikah ia selama-lamanya tinggal serupa ini" Dan sekejam-kejamnya pula terdengar kepadanya suara muridnya, gadis kecil, yang bergurau dengan temannya berkata, "Encik guru kita ini tidak laku-laku!"
Sampai sekarang ucapan itu tiada terlupakan olehnya. Selalu apabila ia melihat gadis itu, terasa olehnya seolah-olah hatinya tersayat sangat pedihnya. Senantiasa, senantiasa ucapan itu berbalik kembali, makin hendak dilupakannya, makin teranglah ia timbul.
"Alangkah kejamnya kanak-kanak," katanya dalam hatinya. "Segalanya nampak kepada mereka dan sesamanya tak ada yang disembunyikannya. Entah apa-apa lagi agaknya yang dibicarakan mereka tentang dia, guru mereka yang belum juga kawin-kawin."
Terasa kepadanya bagaimana anak-anak kelasnya melihat kepadanya, apabila ia bercakap-cakap dengan Supomo, guru muda yang baru enam bulan kembali dari negeri Belanda. Apa-apa pula gerangan cerita anak-anak tentang dirinya dengan guru itu.
Tetapi... betapakah pandangannya pada Supomo" Sekali-sekali terasa kepadanya, bahwa Supomo hendak bergaul dengan dia. Waktu istirahat sering ia datang ke hadapan kelasnya bercakap-cakap. Tidak, percakapan mereka biasa segalanya.
Dalam arus pikiran dan perasaannya itu, tiba-tiba terkilat pertanyaan dari dalam hatinya: Bagaimanakah kalau pada suatu hari Supomo memintanya menjadi istrinya" Adakah hatinya tertarik kepada teman sekerjanya itu"
Dengan tiada setahunya ia telah menghargai Supomo dalam hatinya: orang yang baik hati, lemah-lembut dan sopan dalam pergaulan. Tetapi meskipun ia mendapat ijazahnya di negeri Belanda, tiada ada kelebihannya dari orang lain. Orang tuanya kaya, dapat mengongkosinya ke negeri Belanda. Ia tiada bodoh dan ia mendapat ijazah hoofd-akte... Seseorang yang luar biasa ia bukan sekali-kali... Tetapi hatinya baik, sifatnya lemah-lembut dan pengasih-penyayang.
Dalam menurut arus pikirannya yang tiada bertuju itu, ditangkapnya dirinya sendiri, "Mengapakah sampai ke sana pikirannya."
Diselidikinya hatinya dan digalinya segala ingatannya: Sesungguhnya ada dirasa-rasanya, bahwa Supomo berminat kepadanya. Dan ia pun merasa, bahwa hal itu pun tiada luput dari mata murid-muridnya. Selalu apabila dalam istirahat Supomo datang ke hadapan kelasnya untuk berbicara dengan dia, nampak kepadanya, bahwa murid-muridnya yang telah besar mengawasi mereka...
Tetapi ia tiada hendak berpikir tentang itu. Datanglah apa yang hendak datang.
Dari jauh kelihatan kabur-kabur kepadanya bayang-bayang dua orang menuju ke tempatnya. Tentulah Maria dengan Y
usuf yang mesra rapat berjalan dalam kekaburan sinar bulan yang tipis diselubungi awan. Bertambah terang bayang-bayang orang berdua itu, dekat kepada rumah nampak kepadanya kedua bayang-bayang itu berkuak menjarang.
Dicobanya merasakan bahagia kedua muda remaja itu, tetapi perasaan bahagia yang dirasakannya pada orang lain itu pedih menyembilu dalam hatinya.
Di hadapan pintu pekarangan orang berdua itu melihat kepada Tuti. Yusuf berkata, "Tuti, engkau duduk di sini! Apa kerjamu"" "Tidak, duduk saja."
"Engkau rupanya telah suka melamun," ujar Yusuf dengan tiada bermaksud suatu apa. Tetapi ia tiada tahu, betapa dalamnya katanya meng-guris hati Tuti yang sedang kusut itu.
4. YUSUF dan Maria turun dari auto di Pasar Ikan dan berjalan menuju ke laut. Maria memakai yurk putih dan kepalanya ditutupi oleh tudung pandan yang amat lebar. Yusuf berpakaian setelan hijau dan bertudung topi helm putih. Amat gembira suara mereka bercakap-cakap, ringan sebagai menari kaki mereka berjejak di tanah.
Alangkah girang nampaknya seluruh dunia pada pagi Minggu itu. Di belakang mereka tertinggal kegemuruhan Pasar Ikan dan dari jauh kedengaran sayup-sayup irama laut turun-naik. Bersinar-sinar nampaknya air empang yang jernih dan menguninglah pohon-pohon di tepi laut kena cahaya matahari pagi yang girang menyerakkan sinarnya sejauh-jauhnya mata memandang.
Di belakang dan di hadapan mereka dan di seberang air banyak kelihatan manusia, berkawan-kawan laki-laki perempuan muda remaja dengan kanak-kanak. Sekaliannya girang dan senang nampaknya, ada yang membawa joran pancing dan ada yang membawa makan-makanan. Di tepi-tepi air sampai ke pematang yang menjorok ke tengah laut kelihatan orang memancing dan berjalan-jalan.
Tiada terasa bercakap-cakap, melompat dari suatu pasal ke pasal yang lain, mereka telah sampai dekat pintu masuk ke pekarangan tempat pondok di tengah pohon-pohon yang rindang daunnya. Di sana-sini orang duduk di atas bangku-bangku menghadapi minuman dan penganan. Pada buaian dan bangku jungkat-jungkit berkumpul-kumpul kanak-kanak gembira bermain-main. Dari tepi air gemuruh datang suara kanak-kanak yang mandi berkejar-kejaran dan bersimbur-simburan.
Rahasia Ciok Kwan Im 7 Detektif Stop - Teror Melanda Kelas 9a Pedang Hati Suci 9