Pencarian

Matahari Di Batas Cakrawala 2

Matahari Di Batas Cakrawala Karya Mira W Bagian 2


Kubenturkan kepalaku ke dinding. Tapi Mas Irwan keburu menangkapku. Dia memegangiku erat-erat. Ketika aku masih meronta-ronta dengan histeris, ia terpaksa menampar pipiku.
Rasanya sakit mengembalikan kesadaranku.
" oil menangis tersedu-sedu aku terkulai dalam pelukannya.
"Wita," bisik Mas Irwan getir. Air mata menggenangi matanya., "Maafkan aku, Wita. Aku menyakitimu." Dibelainya punggungku dengan rasa bersalah. "Aku khilaf, Wita. Dua bulan aku kehilanganmu. Selama itu Aisah selalu di dekatku. Tapi aku tetap bertahan, Wita. Aku menunggumu, Aku cinta padamu...."
Ketika tangisku mulai mereda, dengan lembut didukungnya aku ke tempat tidur. Lalu ia membungkukkan tubuhnya di atas tubuhku. Mendekatkan wajahnya ke wajahku. Lalu mengangkat daguku dengan hati-hati.
Kubiarkan air mata meleleh ke pipiku. Mas Irwan menyekanya dengan ujung jarinya.
"Sumpah, Wita. Hanya sekali itu. Dan tidak lebih dari itu."
Kupalingkan wajahku ke samping. Tidak mau membalas tatapannya Tapi Mas Irwan memalingkan-nya kembali. Terpaksa aku menatapnya.
"Wita..." Matanya demikian sedih memandangku. "Maafkan aku, Wita. Maukah kau" Aku bersumpah takkan mengulanginya lagi."
Ketika aku diam saja, Mas Irwan menundukkan kepalanya lebih dalam. Dan mencoba mencium bibirku. Tapi cepat-cepat kumiringkan wajahku menghindari kecupannya.
Baru setelah kuhindari bibirnya aku sadar, aku telah menyinggung perasaannya. Mas Irwan tampak demikian terpukul.
"Maaf," desisnya tersendat. Lekas-lekas ia bangkit. Meninggalkanku menuju ke pintu.
"Mas...," panggilku separo terpaksa. Tidak tega melihatnya tersiksa begitu.
Kalau dia bersalah, dia telah menyesal. Kalau dia perlu dihukum, dia telah merasakan sendiri hukumannya. Dan kalau semua ini terjadi, sebagian pun karena kesalahanku juga.
Dua bulan aku meninggalkan suamiku. Dan di sisinya, ada seorang perempuan yang menarik! Dia toh cuma manusia biasa. Manusia yang terdiri atas darah dan daging. Bukan dewa.
Mas Irwan berhenti melangkah. Dia menoleh. Dan sekali lagi aku membaca kepedihan dalam matanya.
"Mau ke mana""
"Kau jij ik padaku, bukan"" Suaranya demikian tertekan. "Aku memang kotor. Aku tak pantas lagi untukmu."
Dia sudah memutar tubuhnya ketika aku menjerit lagi, "Mas! Jangan pergi!"
Tatkala dia tidak menoleh juga, aku melompat menubruknya.
"Jangan tinggalkan Wita, Mas!"
"Wita..." Dipeluknya aku erat-erat. Begitu eratnya seolah-olah ia tidak mau melepaskan aku lagi. "Kaumaafkan aku, Sayang""
Aku hanya dapat mengangguk.
Ya, apa lagi yang mesti kukatakan" Kalau aku jijik pada bibirnya yang telah pernah dicium Aisah,
seharusnya dia pun jijik pada tubuhku yang telah pernah dijamah Darius!
Jadi sekarang keadaan kami rupanya sudah draw. Satu-satu. Dan seperti sikapnya yang tak pernah mengungkit-ungkit hubunganku dengan Darius, aku juga tak mau mengingat-ingat lagi kesalahannya bersama Aisah.
Aku percaya Mas Irwan baru sampai di sana. Ia baru dalam tahap mencium. Belum lebih. Dan ia tidak akan mengulanginya lagi.
Mulai hari ini. aku akan menjaganya baik-baik. Takkan kutinggalkan dia sekejap pun. Bahkan ketika kami bertengkar, dan aku lari lagi ke rumah orangtuaku, hanya sehari aku tinggal di sana.
Tidak rela kubiarkan Mas Irwan sendirian di rumah. Dia milikku. Harus kupertahankan mati-matian. Takkan kuberi si Aisah kesempatan sekali lagi!
Tampaknya Mas Irwan pun benar-benar telah bertobat Sikapnya kepada gadis itu masih tetap seperti biasa. Wajar. Tidak dibuat-buat. Tapi ia tak pernah memberi hati lagi. Ia malah mengusahakan waktu lebih banyak untukku dan Nike. Tidak pernah pulang sampai larut malam lagi. Dan selalu ada waktu tersisa bagi kami untuk berduaan setiap malam. Untuk memupuk kasih sayang yang lebih mesra.
Aisah sendiri pun tampaknya telah jera. Barangkali dia bosan mengejar-ngejar Mas Irwan. Atau takut kepadaku. Atau sudah bertemu pacar baru. Pendeknya dia kelihatannya sudah tidak berbahaya
lagi. Aku sudah merasa lega. Sampai terjadi peristiwa ini.
Dia hamil. Entah dengan siapa. Bukan urusanku kalau saja suamiku tidak terlibat. Tapi di situlah letak persoalannya, Mas Irwan yang menggugurkan
kandungannya! Tentu saja mula-mula aku tidak percaya. Aku masih ingat bagaimana perasaanku waktu Letnan Usman, komandan kepolisian di kecamatan kami, datang ke rumah.
"Maaf, Dokter," katanya sopan tapi tegas. "Bapak terpaksa saya tahan."
Mula-mula kukira dia cuma main-main. Tapi melihat seriusnya sikapnya, aku juga ragu.
"Silakan duduk, Let," sambut Mas Irwan sabar.
Astaga, tenangnya dia! Terpaksa Letnan Usman duduk di kursi. Membuka topinya dengan sopan. Mengangguk hormat padaku. Lalu kembali menatap Mas Irwan.
"Menyesal, Dokter," katanya separo terpaksa. "Ini perintah."
"Soal apa, Letnan"" Aku sudah memburu tanpa dapat menahan diri lagi.
Pasti ada anak yang meninggal karena Mas Irwan salah suntik. Atau tidak tertolong lagi karena reaksi anaphylactic dari penicilinl
Aku sering mendengar cerita Mas Irwan tentang suntikan yang aneh ini. Obat yang satu ini bisa menyelamatkan nyawa. Tapi di lain kesempatan, dia juga bisa membunuhi
"Di kantor saja, Bu," sahut Letnan Usman sopan.
"Soal apa, Mas"" desakku penasaran. Kali in-pada Mas Irwan.
"Tenanglah, Wita." Mas Irwan menyentuh bahuku dengan lembut. "Jaga saja Nike. Aku pergi sebentar."
Tapi dia tidak pernah kembali lagi. Dia ditahan. Untuk alasan yang hampir tak masuk akal. Menggugurkan kandungan! Kandungan si Aisah pula! Aisah! Lagi-lagi Aisah! Apakah Mas Irwan telah melupakan janjinya dan tergoda kembali"
6 "Kak WITA!" Lain dari biasanya, Aisah menyambutku dengan tangisan di bahuku. Walaupun ingin kubenturkan kepalanya ke dinding, kutahan diriku mati-matian.
Teras terang tak sampai hatiku mendengar tangisnya. Tujuh tahun yang lalu bukankah aku juga sama bingungnya seperti dia"
"Katakan kepadaku siapa ayah anak itu, Aisah," desakku setelah tangisnya agak tenang. "Kau telah melibatkan suamiku. Aku berhak mengetahuinya."
"Dokter Irwan tidak salah, Kak Wita!" tangis Aisah berulang-ulang. "Semua salahku!"
"Katakan siapa ayah anak itu, Aisah!" desakku |agi. Tak sabar rasanya menunggu sampai ia berhenti menangis. "Katakan!"
Paman Hamid..." Aisah sesenggukan menahan
Ak' "Paman memperkosaku...."
Aku terse ntak kaget. Begitu kagetnya sampai fta*Pir pingsan.
"Pamanmu sendiri" Adik ayahmu"" sah ^nangis makin keras. M
"Hanya Dokter Irwan yang kupercaya dapat menolongku. Tapi ia juga menolak permintaanku... dia tidak mau mengeluarkan benih itu...." Aisah memelukku erat-erat dan menangis di dalam pelukanku. "Kak Wita... oh, Kak Wita, kasihanilah aku.... Apa yang mesti kuperbuat" Anak itu tidak mungkin lahir! Dia anakku, tapi juga anak pamanku! Apa kata bibiku nanti" Bibi begitu baik padaku, begitu sayang...."
"Tak mungkin pamanmu tiba-tiba saja memper-kosamu," kataku curiga. "Dia toh tidak gila. Barangkali kamu yang mulai duluan...."
'Tidak mungkin, Kak Wita! Aku dan Bang Abas sudah merencanakan kawin lari...." "Abas""
"Anak Paman Hamid yang sulung. Bibi tahu kami saling mencintai. Sebenarnya Bibi merestui percintaan kami. Tapi Paman... Oh, kejamnya dia! Aku betul-betul mencintai Bang Abas, Kak Wita! Masa tega kurusak cinta kami dengan berbuat seperti itu bersama ayahnya! Pamanku sendiri!"
Jadi Aisah adalah korban perkosaan. Korban keganasan pamannya sendiri. Mas Irwan ingin menolongnya Dan dia mengorbankan dirinya sendiri! O, begitu besarkah cintanya pada Aisah"
*** "Aku tidak akan berbuat kesalahan untuk kedua
kalinya, Wita." Tenang sekali Mas Irwan menanggapi ceritaku. Sedikit pun dia tidak memperlihatkan emosinya ketika kuceritakan kembali pengakuan Aisah itu. "Tujuh tahun yang lalu aku menolak menggugurkan kandunganmu. Akibatnya, dua kali kau hampir menemui ajalmu. Sekali ketika dukun itu mengeluarkan anakmu. Kedua kali ketika kau melahirkan Nike. Toh janin itu akhirnya gugur juga. Kalau bukan di tangan dokter yang ahli, tentu di tangan yang tidak ahli. Di tangan dukun sembarangan yang membahayakan nyawa ibunya. Mulanya Aisah pun kutolak. Lalu ia pergi menemui Mak Inah. Kau tahu apa yang akan mereka lakukan" Mengerikan, Wita. Lebih mengerikan daripada benda-benda menjijikkan yang kutemukan dalam liang rahim Aisah, mulai dari vagina sampai ke uterusnya! Dan aku yakin, bila tidak kutolong, ia akan nekat mencoba lagi dan mencoba lagi. Dia sangat mencintai Abas. Dia lebih baik bunuh diri bersama bayinya daripada harus menceritakan anak siapa yang sedang dikandungnya itu kepada Abas! Lalu pada saat terakhir, aku ingat kau, Wita. Aku ingat saat-saat aku meratap menyesali diri di sisi pembaringanmu. Dua kali dalam tujuh tahun terakhir ini, Wita. Sekali ketika kau terbaring menghadapi ajal melawan infeksi dan perdarahan yang luar biasa hebat akibat perbuatan dukunmu itu, yang berakibat rahimmu sudah tidak boleh mengandung bayi lagi. Tapi kau tetap berkeras menginginkan Nike. Kau tidak mau menggugurkanny* Kau rela mempertaruhkan nyawamu sekali
Kali ini untuk memberi kesempatan pada anakmu melihat dunia. Memberi kesempatan kepadaku untuk menjadi seorang ayah. Dan malam itu menjadi malam yang paling menakutkan dalam hidupLalu tak sengaja, malam itu kembali ke dalam ingatanku. Malam aku melahirkan Nike. Melalui suatu operasi yang sangat menegangkan....
Sejak semula sebenarnya Dokter Siregar sudah meragukan kemampuan rahimku mengandung seorang bayi. Rahimku bisa pecah sewaktu-waktu. Dan kalau itu terjadi, mautlah yang mengintai diriku.
"Ruptiira uteri bisa terjadi setiap waktu," katanya kepada Mas Irwan. Membuat suamiku tambah santer menganjurkan untuk menggugurkan saja kandunganku. "Dalam hal seperti ini, demi keselamatan ibunya, abortus therapeuticus dapat dipertimbangkan." Tapi aku telah bertekad memiliki anakku. Apa pun yang terjadi. Aku telah menghilangkan kesempatan anakku yang pertama untuk mengecap kehidupan. Aku tidak akan membiarkan anakku yang kedua kehilangan haknya untuk hidup. Nekat memang. Tapi aku masih tetap orang yang sulit dilarang. Dengan cinta sekalipun. Sia-sia Mas Irwan mengimbau kasih sayangku.
"Jika kau sayang padaku, Wita, biarkan dokter menolongmu, " katanya setiap malam, sehabis kami menikmati kebersamaan. "Biarkan mereka mengeluarkan anak itu."
"Aku menginginkannya, Mas. Kau tahu betapa aku merindukannya. Selama ini aku sudah putus
IA asa. Kukira aku tak punya kesempatan lagi untuk menjadi ibu. Sekarang kes
empatan itu datang, Mas. Tuhan sudah memberiku kesempatan satu kali lagi." Biarkan aku mencobanya."
"Tapi anak itu membahayakan jiwamu, Wita!"
"Kalau dia lahir nanti, Mas, dia juga akan membahagiakan jiwaku."
"Tapi dia belum tentu lahir, Wita! Kalau rahimmu keburu pecah sebelum dia cukup kuat untuk hidup di luar, kau telah bertaruh untuk sesuatu yang tidak ada hasilnya!"
"Tapi kalau kebalikannya yang terjadi, Mas" Kalau dia hidup, mengapa mesti kusia-siakan kesempatan itu""
"Kau memang bandel, Wita," keluh Mas Irwan putus asa. "Kau tidak sayang padaku! Kau lebih sayang anakmu daripada aku!"
"Lho!" .Aku tersenyum geli melihatnya merajuk begitu.
"Anakku kan anakmu juga, Mas. Apa kau tidak sayang padanya" Mas tidak menginginkan kita punya anak""
"Tentu saja aku kepingin." Kalau sudah begitu, biasanya Mas Irwan-lah yang mengalah. "Tapi aku tak mau kehilanganmu, Wita."
"Siapa bilang Mas akan kehilangan aku" Mas malah tambah satu pengagum, lagi. Kalau anak kita perempuan, pasti jadi sainganku nanti dalam merebut perhatianmu."
Tetapi ketika saat itu tiba, tidak seorang pun dari antara kami yang peduli lagi anak itu lelaki
atau perempuan. Karena seperti yang telah diduga oleh Dokter Siregar, jahitan pada robekan di rahim-*ku akibat abortus yang dilakukan oleh dukun itu
tidak kuat menampung bayiku sampai cukup bulan.
Ketika kandunganku berumur delapan bulan, rahimku robek kembali. Dan aku merasakan nyeri yang bukan main hebatnya di perutku. Begitu nyerinya sampai disentuh pun kulit perutku terasa sakit sekali. Apalagi terguncang-guncang dalam taksi yang membawaku malam-malam ke rumah Dokter Siregar. Dan perempuan muda yang membukakan pintu itu bukan main judesnya.
Sekilas melintas pertanyaan di benakku, apakah memang demikian sikap istri dokter yang merasa terganggu karena dibangunkan malam-malam" Tidak terharu lagikah dia melihat seorang perempuan yang pucat pasi, mengerang kesakitan separo terkulai dalam taksa yang gelap" Tidak trenyuhkah hatinya melihat kepanikan seorang suami yang menggedor-gedor pintu rumahnya"
Barangkali memang bukan salahnya. Sang nyonya sudah terlalu sering melihat pemandangan seperti ini. Dia sudah bosan dibangunkan malam-malam. Sudah biasa melihat orang-orang yang tengah menderita minta bantuan suaminya. Jadi jangan harap dia menaruh kasihan lagi. Apalagi bersimpati Tidak marah saja sudah bagus. Barangkali dia merasa pasien-pasien suaminya memang keterlaluan. Terus-menerus merongrong suaminya Mengganggu kehidupan pribadi mereka. Tidak tahu diri. Datang jam delapan malam.
"Kenapa tidak ke rumah sakit saja"" sambutnya ketus. "Di sana kan ada dokter jaga. Suami saya baru saja pulang operasi. Baru juga tidur.'*
"Tolonglah, Bu," pinta Mas Irwan separo meratap.
Ya Allah. Tidak tega rasanya mendengar Mas Irwan memohon begitu. Kalau tidak begini rasanya sakit perut ini. kalau masih dapat ditahan, ingin rasanya kupanggil Mas Irwan untuk pulang saja. Buat apa merengek-rengek begitu!
"Keadaan istri saya gawat sekali, Bu. Tolonglah katakan pada Dokter, nama saya Irwan Purwanto...."
"Tidak peduli siapa namamu. Kalau semua orang macam kalian mesti dilayani malam-malam begini, kapan Bapak bisa istirahat" Dia kan manusia juga;...".
"Siapa, Bu"" Terdengar suara Dokter Siregar dari dalam rumah.
Ingin rasanya Irwan menjerit memberitahukan kedatangannya. Atau menerobos masuk ke dalam memohon pertolongan Dokter Siregar. Disuruh mencium kakinya pun rasanya dia mau. Tapi Ibu Dokter keburu menutup pintu sebelum Irwan sempat bergerak.
"Duduk saja dulu," katanya sebelum meninggalkan Mas Irwan yang masih tertegun di luar. "Saya bilang sama Bapak."
Dengan ekor matanya, dia menunjuk sebuah kursi rotan, yang sudah tidak pantas lagi menghiasi beranda rumah semewah itu. Barangkali kursi itu khusus untuk pasien. Karena dia menganggap semua pasien sama kotornya dengan kursi itu. Jadi tidak perlu diberi kursi yang lebih bagus. Dan
tentu saja. tidak boleh duduk di kursi ruang tamunya yang empuk itu. Nanti kuman-kuman pasien itu terbawa ke dalam rumahnya!
Syukurlah tidak demikian sikap Dokter Siregar. Dia bukan saja langsung keluar menyamb
ut kami. Dia malah ikut membantuku turun dari taksi. Bersama-sama Mas Irwan. dokter yang baik hati itu memapahku ke kamar periksanya.
"Sudah kauperiksa, Wan"" tanyanya setelah aku dibaringkan di tempat tidur.
"Sudah. Dok," sahut Mas Irwan gugup. "Perutnya tegang sekali. Bagian-bagian anak jelas sekali teraba di bawah perut Nyeri tekan. Pekak hati hilang. Timpani. Dan keadaan umumnya jelek, Dok. Sangat kesakitan. Hampir shock."
"Ruptiira uteri" lapat-lapat kudengar suara Dokter Siregar setelah selesai memeriksa diriku. "Harus segera masuk rumah sakit, Wan. Siapkan darah dua liter. Wita harus dioperasi segera."
Masuk rumah sakit! Operasi! Jelas sekali kata-kata, itu menusuk telingaku. Aku sudah sangat lemah. Pusing. Kesakitan. Tetapi dalam keadaan seperti itu pun aku masih ingat bayiku! Ya Tuhan! Selamatkah dia"
"Bagaimana... bagaimana anak saya, Dok"" tanyaku lemah.
"Tenanglah, Wita." Dokter Siregar meletakkan tangannya di atas pahaku. Tangan yang meyakinkan. Tangan yang telah menyelamatkan begitu banyak
nyawa. Tangan yang memberi perasaan aman pada pasien-pasiennya. O, akan berhasilkah tangan itu menyelamatkan bayiku"
"Kami akan mengeluarkan anakmu melalui suatu operasi."
Jadi aku harus melalui pembedahan! Dan bukan itu saja. Untuk menyelamatkan jiwaku, rahimku pun harus diangkat. Rahim yang telah pecah itu tak dapat dipertahankan lagi. Aku akan menjadi seorang wanita tanpa rahim! Oh, alangkah malangnya nasibku!
"Apa boleh buat," sempat kudengar Dokter Siregar berbisik kepada Mas Irwan. "Rasanya operasi ini harus dilanjutkan dengan hysterectomi"
"Lakukan apa saja, Dok," pinta Mas Irwan gelisah tapi tegas. "Asal Wita selamat."
"Tapi jangan bunuh anakku!" Ingin aku meneriakkan kata-kata itu. Ingin menjerit. Ingin meratap. Namun yang keluar dari celah-celah bibirku hanyalah erangan. Aku sudah sangat lemah. Hampir kehabisan tenaga. Mas Irwan terpaksa menempelkan telinganya ke bibirku untuk dapat mendengar suaraku.
"Jangan biarkan mereka membunuh anak kita, Mas," rintihku dalam taksi yang membawa kami ke rumah sakit.
"Dokter Siregar tahu apa yang mesti dilakukannya, Wita," hibur Mas Irwan sambil memelukku erat-erat. Begitu rapat dekapannya sampai-sampai bibirnya terasa melekat di telingaku. "Tetapi kalau dia terpaksa memilih, sudah kukatakan padanya siapa yang harus dipilihnya."
"Tapi ini kesempatan yang terakhir untuk mempunyai anak, Mas!"
"Dan kesempatanku yang terakhir pula untuk memilikimu, Wita."
"Apakah artinya perempuan tanpa rahim, Mas!" tangisku memelas sekari. "Apalah artinya menjadi istrimu kalau tak dapat menjadi ibu anak-anakmu!"
"Wita." Mas Irwan menggenggam tanganku erat-erat. Seakan-akan ingin menyalurkan kekuatannya untuk menabahkan hatiku. "Jangan berkata begitu lagi, Wita! Apa pun yang hilang dari dirimu, kau tetap istriku! Dan aku tetap ingin memilikimu!"
*** Kami datang tepat pada saat rumah sakit yang terkenal bagus itu baru saja mengadakan pergantian tugas jaga. Tidak heran kalau sambutan yang kami terima sangat mengecewakan.
Dari perawat yang dinas sore, Mas Irwan disuruh membawa surat pengantar dari Dokter Siregar ke tempat perawat yang jaga malam.
"Kami sudah tutup,"/ kata perawat itu sambil berkemas-kemas hendak pulang. "Pergi saja ke P3K. Sekarang sudah giliran mereka."
"Di mana P3K-nya"" tanya Mas Irwan tak sabar.
Bayangan diriku yang tengah merintih meregang nyawa di dalam taksi terus-menerus menghantui
dirinya. Masih tega perawat-perawat ini menyuruhnya bolak-balik saling melempar tanggung jawab!
"Bukan di sini," sahut perawat yang melongokkan kepala di balik pintu yang baru digedor Mas Irwan itu. "Coba ke sana dulu, ya. Dokter jaganya belum datang."
"Tapi dari sana saya disuruh kemari!" geram Mas Irwan separo berteriak. "Istri saya dalam keadaan gawat! Mesti dioperasi sekarang juga!"
"Tapi buku laporannya belum diantar kemari," sanggah perawat itu lagi. "Ke sana dulu deh."
"Persetan dengan buku laporan!" Kesabaran Mas Irwan sudah betul-betul habis. "Istri saya harus dioperasi!"
"Tapi Saudara tidak bisa melanggar peraturan seenaknya!" jawab perawat itu sama kerasnya. "Ini rumah sakit. Bukan temp
at jagal. Kalau tidak ada dokter, apa Saudara yang mau mengoperasi""
"Dengar, Suster," Mas Irwan mengertak gerahamnya menahan marah, "saya juga dokter. Tapi saya tidak bisa membedah istri saya sendiri. Karena itu dia saya bawa kemari. Dalam setengah jam, Dokter Siregar sudah sampai di sini. Kalau OK belum siap, dia bisa ngamuk!"
"Di mana pasiennya"" tanya perawat itu akhirnya.
"Di mobil." "Bawa kemari." "Dia tidak bisa jalan."
"Sebentar saya ambil brankar."
Lalu dengan suara yang aduhai berisikn keluar lagi mendorong brankar.
"Mana mobilnya"" Ttu."
"Taksi kuning itu"" "Ya."
Tanpa "ba" atau "bu" lagi, perawat itu mendorong brankarnya ke dekat taksi kami.
"Angkat kemari," kata perawat itu separo memerintah kepada Mas Irwan. "Bantu istri Saudara naik ke atas brankar."
Telentang di atas usungan yang didorong cepat ke kamar periksa, kucoba mengamat-amati wajah perawat yang judes itu
Tak terlalu muda. Dan tidak pula terlalu cantik. Lantas apa yang mendorongnya bersikap sekasar itu pada pasien"
v "Saudara tunggu di luar," katanya kepada Mas Irwan sebelum menutup pintu yang memisahkan kami. Kemudian dia mulai sibuk memeriksa nadi, suhu, dan tekanan darahku.
"Panggil Dokter Hidayat, Wis," katanya selesai memeriksa. Jelas terlihat perubahan di wajahnya. "Cepat sedikit, pasien sudah dalam keadaan preshock. Nadi 100, tensi 90/70, suhu 38."
Lalu dengan gesitnya, ia mulai menyiapkan peralatan untuk infus. Dalam keadaan seperti itu, harus kuakui, dia seorang perawat yang cakap. Dan tahu sekali apa yang mesti dikerjakan. Karena j begitu dokter selesai memeriksa, infus yang diperlu- j kan telah siap. Dan cuma mereka yang mengerti, ' bagaimana cairan yang tampak sederhana itu bisa yelamatkan nyawaku.
Hampir pukul sebelas malam ketika aku didorong
' di atas brankar menuju ke kamar operasi. Sepanjang lorong panjang yang gelap dan dingin itu, Mas Irwan berjalan di sisi brankarku. Tangannya \ terasa beku menggenggam jajri-jariku. Tapi sorot matanya demikian hangat. Demikian penuh cinta.
"Doakan Wita ya, Mas," bisikku di pintu yang memisahkan kami. "Wita takut...."
"Kuatkan hatimu, Sayang." Mas Irwan menghapus air mata yang meleleh di pipiku dengan ujung jarinya. "Jangan pikirkan apa-apa lagi, ya. Tuhan akan menolong kita."
Hati-hati Mas Irwan membungkuk di atas wajahku. Dan mengecup dahiku dengan lembut. Lalu aku didorong masuk.
Sia-sia kucoba mengangkat kepalaku untuk melihat Mas Irwan. Pintu telah tertutup. Dan dia telah terpisah jauh di luar sana. Menunggu dalam kecemasan.
"Tenanglah, Bu," bujuk perawat yang mendorongku itu dengan seuntai senyum yang menyejukkan. Oh, seandainya setiap perawat semanis dia!
"Dokter Siregar sudah datang"" tanyaku lemah.
"Sedang ganti pakaian."
"Dokter anak-anaknya""
"Dokter Tardi telah dihubungi. Sebentar kemari." "Dia pintar""
"Jangan kuatir. Bu. Jarang bayi yang lolos di tangannya."
"Syukurlah." Aku menghela napas lega. Dan tidak sadar, tanganku yang tidak diinfus meraba perutku.
Aduh, sakitnya. Ingin rasanya kubuka perut ini dan melihat ada apa di dalamnya. Mengapa begini sakitnya" Tapi kalau perut ini dibuka nanti, masih hidupkah anakku"
Hati-hati perawat itu mendorong brankarku melewati deretan keran tempat mencuci tangan. Beberapa tenaga paramedis yang mengenakan jubah dan topi putih melontarkan sepotong senyum ramah setiap kali berpapasan dengan kereta dorongku.
Lalu pintu yang berper itu didorong terbuka. Dan aku dibawa masuk ke sebuah ruangan bermarmer putih yang sangat bersih. Hawa di sana begitu sejuk. Sayang, bau obat sangat memusingkan kepalaku.
Hati-hati mereka memindahkan tubuhku ke atas meja operasi. Kemudian dimulailah kesibukan-kesibukan itu.
Seorang perawat mengganti botol infusku dengan sebotol darah. Perawat yang lain mengukur tekanan darahku. Sementara laki-laki yang menjadi penata anestesi itu mulai menyuntikkan obat biusnya ke dalam pembuluh darah di lenganku.
"Mulailah menghitung, Bu," pintanya ramah. "Pejamkan mata Ibu dan tenang-tenang saja, ya.
Lalu semuanya menjadi samar. Tak kulihat lagi Dokter Siregar yang memasuki kamar operasi setelah mencuci tangannya. Tak kulihat lagi asiste
n-asistennya menyelimutkan kain-kain steril itu ke atas tubuhku. Tak kulihat lagi meja berisi alat-alat bedah yang berkilat-kilat itu didorong ke dekat kakiku... semuanya gelap....
Sekarang mereka pasti telah mulai bekerja. Dokter Siregar telah mencecahkan pisau operasinya ke atas perutku. Dia mengeluarkan bayiku. Dan mengangkat rahimku.
Lalu Dokter Tardi akan mulai berjuang menghidupkan bayiku.... Oh, besar jasa dokter-dokter yang bekerja demi kemanusiaan ini! Menyelamatkan nyawa demi nyawa yang dipercayakan Tuhan kepada mereka....
Wita! Wita! Masih dalam keadaan separo sadar kudengar Mas Irwan memanggil-manggil di dekat telingaku. Dan ketika kubuka mataku, ketika samar-samar kulihat wajah yang amat kukenal itu merunduk dekat wajanku, aku langsung ingat pada bayiku.
"Mas...," rintihku lemah. "Bagaimana anak ktta^ Mas""
"Perempuan, Wita." Suara Mas Irwan bergetar menahan tangis. Oh, Tuhan! Pertama kalinya kulihat dia menangis!
"Seorang bayi perempuan yang manis!"
"Oh, Mas Irwan!"
Ingin kupeluk dia. Ingin kurangkul. Tan masih terlalu lemah. Dan perutku terasa sakit ^ kati. Tambah menyayat kalau bergerak. Se~
"Sakit, Wit"" bisik Mas Irwan melihat kerut k sakitan di wajahku. Mukanya jadi turut menyeru-seolah-olah ikut merasakan kesakitanku.
Pelan aku mengangguk. *Tapi aku bahagia, Mas! Aku telah menjadi ibu!"
"Aku juga, Wita." Mas Irwan menciumi.pipiku sepuas-puasnya. "Kau telah memberiku kesempatan untuk menjadi seorang ayah! Tahu bagaimana rasanya, Sayang" Bangga! Begitu bangga! Seolah-olah seluruh dunia ini sudah jadi milikku!"
Sekali lagi aku ingin memeluknya. Ingin melekat di dadanya. Ingin melebur dalam kebahagiaannya. Tetapi aduh, sakitnya perut ini!
"Sakit, Mas...," erangku menahan sakit. Air mata meleleh ke pipiku.
Ya Tuhan. Hampir tak tertahankan lagi sakitnya! Ada apa lagi di dalam sini" Bukankah anakku telah lahir" Dan... rahimku! Tiba-tiba saja kesadaran itu menyentakkanku.
"Mas...," rmtihku getir. "Bagaimana... bagaimana rahimku"" "
"Jangan pikirkan apa-apa lagi, Wita."
Mas Irwan membelai pipiku dengan lembut. Tapi bagaimanapun pandainya ia menyimpan perasaannya, aku dapat melihat kesedihan di dalam matanya!
Mata itu tak dapat berdusta. Ia tak mampu menyembunyikan kepiluan hatinya dari sana.
, tak punya... rahim... lagi, Mas"" igrf memerlukannya lagi, Wita. Kita su^bagahntapun, aku tetap merasa kehilangan.
Z telah kehilangan milikku yang paling ber-h^ga sebagai perempuan, hanya karena ketololanku di masa remajaku dulu!
7 Jadi itulah alasan Mas Irwan menolong Aisah. Itulah sebabnya dia rela menanggung hukuman akibat pertolongannya mengugurkan kandungan
gadis itu. Dia tidak rela nasibku menimpa Aisah pula Dia yakin, anak itu tidak mungkin lahir. Aisah akan melenyapkannya. Dengan jalan apa pun. Termasuk membunuh dirinya sendiri.
Mas Irwan rela mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan Tuhan dan manusia. Dia sudah pasrah. Kalau mereka menganggapnya bersalah, dia rela dihukum. Tapi tidak adil membiarkannya menanggung hukuman itu seorang diri!
Paman Hamid juga bersalah. Kenapa dia tidak dihukum" Seseorang harus berani menceritakan kebenaran ini di muka umum. Baru mereka dapat mengerti motif tindakan Mas Irwan.
"Kalau kauceritakan pada mereka," kata Mas Irwan dengan tenang. "Percuma saja kutolong Aisah. Abas akan tahu anak siapa itu. Dan Aisah tak punya muka lagi untuk menemuinya."
"Tapi, kau juga harus membela dirimu sendiri,
Mas!" protesku penasaran. "Kau juga punya anak dan istri. Kalau kauceritakan yang sebenarnya kepada Pak Camat, barangkali dia bisa menolongmu."
"Dan kaupikir dia percaya" Dia malah menuduhku berbuat yang bukan-bukan kepada anaknya."
"Astaga! Dia mengira kau yang melakukannya, Mas""
"Sudahlah." Mas Irwan menyentuh tanganku dengan sabar. "Percayalah pada Tuhan, Wita. Suatu hari nanti keadilan pasti datang."
"Tapi kapan, Mas" Kapan" Sampai kapan aku dan Nike harus menunggu" Sampai kapan kita bisa berkumpul bersama-sama lagi""
"Tabahlah, Wita." Duh, tabahnya lelaki ini! Dalam penderitaan yang begini beratnya, dia toh masih dapat menghiburku! "Pulanglah. Dan jangan pikirkan apa-apa lagi. Jaga saj
a Nike baik-baik." "Mas tidak pesan apa-apa""
Dia menatapku sejenak. Lalu senyum merekah di bibirnya.
"Bawakan aku rokok," katanya malu-malu. "Sebungkus saja, ya""
Kutahan air mata keharuan yang hampir menyembul di kelopak mataku. Tetapi sebelum aku sempat memutar tubuh, air mata itu telah bergulir menuruni pipiku. Dan Mas Irwan keburu melihatnya.
"Wita." Disambarnya lenganku. Diraihnya aku kembali sehingga terpaksa bertatap muka.
Sia-sia kusembunyikan air mataku. Begitu aku menunduk, Mas Irwan segera mngangkat daguku dengan ujung jarinya.
"Jangan nangis, Wita," bisiknya lembut "Derita macam apa pun dapat kutahan, kecuali melihatmu
menangis." "Mas!" Berbareng kami saling merangkul. "Ceritakan yang sebenarnya. Mas! Ceritakan pada mereka! Sampai kapan mereka mau menahanmu di sini""
"Sabarlah, Wita. Pemeriksaan pendahuluan telah selesai. Mereka tak mungkin menahanku terus dalam ketidakpastian begini! Aku satu-satunya tenaga medis di sini. Mereka memerlukan tenagaku."
Mas Irwan benar. Selama dia ditahan, entah sudah berapa banyak pasien yang terpaksa pulang dengan kecewa Tapi kenyataan pun benar. Di daerah terpencil seperti ini, siapa pun tak dapat meragukan lagi pengaruh dan kekuasaan seorang camat!
*** Begitu banyak kesulitan datang susul-menyusul dalam hidupku akhir-akhir ini. Mula-mula Mas Irwan ditahan. Lalu Nike sakit. Tak ada pemasukan uang sama sekali. Sementara pengeluaran mengalir se-perti air
Uang simpananku sudah semakin menipis. Ngeri kalau memikirkannya. Hampir membuatku tidak bisa tidur lelap kalau malam. Jika uangku habis dan Mas irwan belum dibebaskan juga, ke mana aku harus pergi"
90 l Satu-satunya pelarian adalah rumah orangtuaku.
Meskipun mulanya Ayah tidak merestui perkawinanku dengan Mas Irwan, Ayah tidak menolak kedatanganku pada tahun-tahun pertama aku tak tahan didera kesepian di tempat ini. Ibu malah menyelundupkan perhiasan-perhiasannya diam-diam kepadaku. Walaupun pada mulanya kutolak, akhirnya terpaksa kuterima juga. Tanpa perhiasan Ibu, entah sudah jadi apa keluargaku sekarang.
Hidup toh akhirnya mengajarkan pelajaran yang paling pahit padaku. Cinta tak dapat mengubah batu menjadi nasi. Dan mengawini seorang dokter tidak lagi seenak impian ibu-ibu zaman dulu. Tapi betapapun pahitnya, aku tak pernah menyesal menjadi istri Mas Irwan. Karena semakin terbenam dalam lumpur penderitaan, semakin bercahaya pula mutiara di hatinya. Dia seorang lelaki yang patut dibanggakan. Lelaki yang untuk siapa seorang perempuan seperti aku rela menyerahkan seluruh hidupku.
"Kau telah memilihnya sebagai suamimu," kata Ayah hari itu, ketika aku melarikan diri dari tempat ini. "Sekarang kau harus konsekwen mendampinginya sebagai istrinya. Jangan mau enaknya saja. Ketika datang kesusahan lantas kabur ke rumah orangtuamu."
Sama sekali tak ada balas dendam dalam nada suara Ayah. Nasihatnya itu sama sekali tidak berbau sindiran.
Ayah benar. Walaupun Ayah tidak meyukai pilihanku, ia menghormati hakku untuk memilih. Dan
91 setelah aku bebas memilih. Ayah ingin mengajarkan untuk mempertanggungjawabkan pilihanku sendiri.
Nasihat Ayah itulah akhirnya yang mengantarkan aku kembali ke sisi Mas Irwan. Bersama-sama menentang badai yang tengah mengombang-ambingkan biduk kehidupan kami. Tetapi pada saat ombak yang paling hebat tengah melanda diriku, aku kehilangan pegangan.
Orangtuaku pindah ke Amerika. Dibawa kakakku yang menikah dengan orang asing. Aku tak punya tempat berlindung lagi. Terpaksa berjuang sendiri mengayuh bidukku ke pantai. Apalagi setelah Mas Irwan ditahan.
Aku betul-betul seperti perahu kehilangan kemudi. Lebih-lebih waktu Nike jatuh sakit lagi. Baru sebulan dia sehat, tiba-tiba badannya panas kembali.
Sebenarnya sebelum meninggalkan rumah sakit pun, Dokter Mochtar telah berpesan agar membawanya kembali ke sana. Nike harus mengalami beberapa pemeriksaan lagi. Tetapi dalam keadaan serumit ini, siapa yang ingat pada seagala macam pesan dokter"
Apalagi dalam sebulan ini Nike sudah tampak sehat. Kaki kirinya sudah berangsur sembuh. Dia rajin belajar jalan. Dan tidak pernah.rewel.
Nike seolah-olah dapat memahami kesusaha
n I ibunya. Kalau biasanya dia sangat manja, lebih-lebih kalau ada ayahnya, sekarang dia tak pernah merengek-rengek lagi. Paling-paling Nike cuma ribut menanyakan ayahnya. Dan menangis kalau tidak boleh ikut menengok Mas Irwan.
Tapi ketika dia mulai panas kembali, dan berbagai obat-obatan penurun panas tidak berhasil menyembuhkannya, aku baru teringat lagi pesan Dokter Mochtar.
"Besok kita ketemu Oom Dokter Mochtar lagi, Nike," bujukku ketika menemani Nike tidur. . Kuusap-usap kepalanya dengan penuh kasih sayang. Alangkah panasnya. Seakan-akan kompres yang kutaruh di atas kepalanya tidak berdaya sama I sekali mengusir panas itu.
Tetapi tidak seperti biasanya, Nike tidak bergairah menanggapi kata-kataku. Bukannya gembira hendak menemui dokter kesayangannya itu, dia malah menggelengkan kepalanya dengan malas, p' "Nike tidak mau ketemu Oom Doktel Mochtal!" ii "Tidak kangen"" "Nike kepingin ketemu Papa." "Kita temui Oom Dokter Mochtar dulu ya, Sayang. Baru lihat Papa."
"Nggak." Nike menggigil sedikit. Aku jadi heran. Dalam keadaan sepanas ini, kenapa dia justru menggigil" Apakah Nike kena malaria" Daerah ini memang terkenal sebagai daerah endemik malaria. "Nike mau lihat Papa dulu." "Oke, Neng." Kukecup keningnya sambil tersenyum.
"Kita lihat Papa besok, ya. Sekarang Nike bobo dulu dong."
Tapi yang terjadi sepanjang malam itu benar-benar menggelisahkan. Bukan salahku kalau keesokan paginya terpaksa kulanggar janjiku pada Nike.
93 Malam itu dia bukan hanya panas. Bukan hanya mengigau sepanjang tidurnya. Bukan hanya ngom-pol. Hidungnya mengeluarkan darah!
Mula-mula kukira hanya mimisan biasa. Sudah kusumbat lubang hidungnya dengan kapas yang dibasahi adrenalin seperti yang diajarkan Mas Irwan dulu. Soalnya di tempat ini sulit mencari daun sirih. Lebih mudah menemukan seampul adrenalin di lemari obat Tapi tatkala paginya Nike muntah-muntah, dan muntahannya berwarna hitam, aku benar-benar panik. Anak kecil yang demam memang sering mimisan. Tapi muntah darah! Aduh. takutnya aku pagi itu! Sampai lupa aku pada janjiku untuk menengok Mas Irwan!
Ya Allah. Siapa sih yang masih ingat dengan segala macam janji" Ibu mana yang tidak panik pada saat-saat seperti ini"


Matahari Di Batas Cakrawala Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ingatanku hanyalah secepatnya membawa Nike ke rumah sakit. Dan untuk membawa Nike ke sana, aku perlu menyewa perahu motor. Celakanya, tidak setiap hari ada perahu lewat di daerah kami. Kalaupun ada, pasti sudah penuh oleh orang-orang yang hendak pergi ke kota.
Jalan air memang jalan yang paling praktis di daerah ini. Karena jalan melalai darat, baru ular . dan harimau yang mampu melewatinya.
O, seandainya aku tidak harus tinggal di daerah terpencil ini, aku pasti dapat membawa Nike secepatnya ke rumah sakit! Dan selagi gelisah tidak keruan begitu, aku baru menyadari pentingnya ada rumah sakit di daerah semacam ini.
Ya, daripada membangun gedung-gedung mewah dan hotel-hotel mentereng di Jakarta, kenapa tidak
ada yang berpikir untuk membangun rumah sakit di
sini" Hanya sebuah puskesmas kecil. Itu pun dokternya sedang ditahan. Diusut. Diusut terus! Sampai kapan pasien mesti ditelantarkan" Apakah mereka masih menunggu sampai anak mereka sendiri yang sakit dan perlu pertolongan dokter" Sampai mereka merasakan artinya panik seperti yang sekarang kurasakan"
Oh, Mas Irwan! Mas Irwan!
Tak terasa air mata meleleh di pipiku. Baru sekarang kusadari mengapa engkau memilih hidup di tempat terpencil seperti ini. Baru kini kumengerti kenapa engkau tidak ribut minta ditarik ke pusat meskipun sesungguhnya ikatan dinasmu telah selesai.
Kau telah jatuh kasihan pada pasien-pasienmu di sini. Kau dapat merasakan penderitaan mereka. Kau dapat merasakan arti dirimu bagi mereka
Akulah selama ini yang selalu mendorong-dorong-mu untuk minta ditarik pulang. Sekarang baru dapat kurasakan bagaimana paniknya seorang ibu yang anaknya sedang sakit dan tidak menemukan seorang dokter pun di sini!
*** "Sudah penuh, Bu," protes pemilik perahu itu kebingungan. "Tambah satu lagi bisa karam."
Tapi dalam keadaan terdesak seperti itu, kadang-kadang otak pun jadi licik. Kusumpalkan segeng-gam uang ke tangannya. Dan sogo
kan memang jarang gagal. Di tempat seperti ini sekalipun.
Entah siapa yang akhirnya disingkirkan. Pokoknya aku dapat tempat. Dan tidak sempat lagi memikirkan siapa yang jadi korban. Apalagi memikirkan dosa atau tidaknya.
Bergegas aku pulang. Dan mempersiapkan Nike untuk berangkat hari itu juga. "Nengok Papa, Maf
Matanya yang bening itu redup menatapku. Ah, cepatnya dia berubah! Mata itu tidak sebening biasanya lagi. Mula-mula kupikir hanya karena cuaca yang agak gelap di dalam kamar.
Di luar kusadari, selaput bening mata Nike tidak putih lagi. Tidak jernih lagi. Kemerah-merahan. Semerah langit yang memayungi kami ketika I melangkah ke tepi sungai.
"Nengok Papa, Ma""
Sekali lagi Nike mendesak. Dan sekali lagi aku I membisu. Haruskah kubohongi lagi dia"
Ah, tak sampai hati rasanya. Lebih baik berterus terang. Walaupun agak menyakitkan.
"Kita ketemu Oom Dokter Mochtar dulu ya, Sayang" Bara nengok Papa."
Nike menggeleng putus asa. Belum pernah kulihat parasnya sesedih itu. Aku malah tidak menyangka anak sekecil dia dapat demikian sedihnya. 1
"Kalau udah di tana, Oom Doktel Muktal pati nggak katih Nike nengok Papa."
"Kalau begitu Papa yang akan nengok Nike, ya," bujukku pahit.
Kucoba mewarnai suaraku dengan nada-nada " cerah. Tapi sejak malapetaka-malapetaka ini beruntun menimpa diriku, tak pernah kutemukan lagi nada cerah dalam suaraku. Hilang entah ke mana.
Lebih-lebih melihat Nike tengah membenahi boneka-bonekanya, sementara aku memasukkan pakaian-pakaiannya ke kopor.
"Mau dibawa semua"" tanyaku sambil lalu ketika kulihat Nike sedang merenungi boneka-bonekanya satu per satu. "Nanti kamar Nike sesak. Mereka kan selalu berebutan mau tidur sama Nike."
Nike cuma menggeleng lemah. Tapi matanya tidak lepas-lepas memandangi boneka-bonekanya.
"Jadi yang mana yang mau dibawa"" Kumasukkan sebuah rok lagi ke dalam kopor.
Ketika tak ada jawaban juga, aku menoleh. Dan melihat Nike masih termenung mengawasi boneka-bonekanya.
Dia pasti sedang bingung memilih siapa yang boleh ikut! Maklum bonekanya begitu banyak. Mas Irwan memang terlalu. Anak cuma satu, bonekanya segudang. Harus kubantu dia memilih. Kalau tidak, sampai malam dia bisa bengong terus di situ.
"Bawa Siska saja, ya""
Kuambil boneka yang paling bagus. Paling besar. Dan tentu saja: paling baru. Pemberian ayahnya sesaat sebelum ditahan. Khusus dia titip pada seorang rekan yang kebetulan ke Jakarta.
Siska sudah kuangkat ketika kulihat Nike menggeleng.
'Tidak"" gumamku heran, '"Siska tidak dibawa" Kalau begitu siapa dong yang ikut" Rim" Atau... LiaT'
Kuletakkan Siska di tempatnya semula. Lalu kuambil boneka yang lain. Tetapi sekali lagi Nike menggeleng.
"Lia juga tidak ikut""
"Nggak ada yang ikut."
"Lho!" Ada sedikit perasaan tidak enak mampir di benakku. Tapi cepat-cepat kuusir pergi.
"Nike mau pelgi tendili. Jangan ada yang ikut."
"Lho, kok begitu"" Kuraih Nike ke dalam pelukanku. "Mama kan selalu ikut Nike" Jangan tinggal Mama sendirian dong, ya" Mama sayaaaaang sekali sama Nike."
"Ma..." Nike menengadah menatap mataku. Ketika kubalas tatapannya, ada kepedihan yang menyengat hati terpancar dari mata itu. "Nike nggak mau dituntik, Ma... takit...."
"Nggak, Sayang. Oom 'Dokter Mochtar cuma mau periksa Nike." % *'
Tapi sekali lagi aku terpaksa berdusta. Sesampainya di rumah sakit, Nike bukannya hanya disuntik, dia ditransfusi!
"Hb-nya 4, Dok," lapor laboran itu pada Dokter Itbtli^ 16000 lymphocytosis
Tentu saja aku tidak mengerti arti laporan itu.
Tapi dari ekspresi Dokter Mochtar, aku dapat menduga, artinya pasti jelek. "Minta darah pada PMI, Suster," instruksinya
pada perawat yang menyertainya. Lalu kepada laboran itu, katanya tanpa menoleh, "Ambil sekali lagi
darahnya. Akan saya lihat sendiri."
99 98 6 Pukul sebelas malam baru darah yang dipesan itu tiba di ramah sakit Nike yang sudah tidur terpaksa dibangunkan. Dan kalau tadinya aku mengira jarum transfusi itu akan dimasukkan ke pembuluh darah di lengannya seperti yang pernah kualami waktu dioperasi dulu, aku kecewa!
Pembuluh darah Nike masih terlalu kecil, dan sudah hampir collapse pula. Amat susah dicarinya. Apalagi untuk dim
asukkan sebuah jarum tranfusi, betapa pun kecilnya jarum itu.
Terpaksa Dokter Mochtar melakukan venaseksi. Membuka kulit Nike di daerah dekat mata kakinya. Mengiris dagingnya sedikit Mencari pembuluh darah yang cukup besar di sana. Dan langsung memasukkan jarum tranfusi itu ke pembuluh darahnya.
Sakitnya jangan ditanya lagi. Walaupun Nike telah disuntik dengan obat pemati rasa, tak urung ia masih menangis menjerit-jerit!
Dan aku yang tidak tahan mendengar jeritannya, apalagi melihat cara kerja Dokter Mochtar, lebih baik cepat-cepat menyingkir sebelum jatuh pingsan!
: Semalam-malaman aku menunggui Nike di sisi tempat tidurnya. Entah karena sakit, entah karena merasa dibohongi, dia sama sekali tidak mau bicara padaku. Hanya sepasang matanya menatap sayu.
"Takit, Ma...," rintihnya sambil mencoba menggerak-gerakkan kakinya yang diikat.
"Jangan digerakkan dulu, Sayang," bujukku menahan tangis. Tidak tahan melihat penderitaannya Jangankan anak kecil. Orang dewasa saja pun pegal kalau terus-menerus mesti tidur telentang seperti itu. Apalagi anak yang baru berumur empat tahun!
Ya Tuhan! Betapa berat cobaan-Mu! Ingin rasa-nya aku menggantikan Nike. Kalau harus men-I derita, biar aku saja yang sengsara, jangan anakku! "Diam-diam dulu ya, manis," bujuk Suster Ida sambil mengganti kompres di kepala Nike. Badan- " nya memang panas lagi. Tapi kata Suster Ida, sebagian demamnya disebabkan oleh transfusi darah 1 itu. "Jangan goyang-goyang dulu, ya Nanti kalau jarumnya lepas sebelum botol berisi darah itu kosong, Nike mesti ditusuk lagi."
Tapi dalam keadaan seperti itu, Nike memang sudah sulit dibujuk. Siapa pun yang membujuknya I dia tetap mengerang sambil menangis. Dan celaka-f- nya, tranfusi darah semacam ini mesti diulang tiap . dua hari. Karena dalam dua hari, jumlah butir-butir darah merah Nike sudah kembali lagi seperti sebelum ditranfusi. Dua ratus lima puluh cc darah yang dimasukkan ke dalam tubuh Nike itu hilang entah ke mana t
"Sebenarnya Nike sakit apa. Dokter"" tanyaku
antara kesah sedih, dan putus asa. "Mengapa dia mengaiami r^rdarahan seperti kttT*
"Saya tidak berani mengatakan sebelum memastikan diagnosisnya." sahut Dokter Mochtar dengan suara tertekan.
Jelas dia mencoba bersikap setenang mungkin. Tapi matanya tidak dapat berdusta. Dan melihat tatapannya, tiba-tiba saja aku merasa dingin.
"Di mana ayahnya" Dapatkah saya berbicara dengannya""
'Tidak mungkin." sahutku menggagap. "Ayahnya tak bisa kemari."
Dokter Mochtar menghela napas panjang Dan aku tak sabar menunggu sampai n mau bicara lagi.
"Katakan pada saya. Dokter. Nike sakit apa" Parahkah sakitnya"" "Jauh lebih gawat dari yang semula kita sangka." "Apa... apa maksud Dokter"" "Dia bisa meninggal karenanya" "Tidak mungkin!" teriakku hampir histeris. "Memang kejam mengatakannya" Dokter Mochtar menundukkan kepalanya. Barangkali tidak sampai hati melihat keadaanku, "Saya menyesal. Bu. Tapi saya terpaksa mengatakannya" "Dw... dia tidak bisa ditolong Jagi7" "Kami tidak memiliki obat untuk menolongnya." , "Katakan di mana saya dapat memperoleh obat' itu, Dokter!" "Ibu bisa menanyakannya di Jakarta...." "Saya akan ke sana. Dokter!"
"Tapi saya kualir... Nike tak dapat menunggu
lagi.... "Saya akan berangkat sekurang juga, Dokter! Untuk menyembuhkan Nike..." i- "Obat itu tidak menyembuhkan Nike. Hanya memperpanjang hidupnya...."
Tidak menyembuhkan! Hanya memperpanjang hidupnya! Memperpanjang penderitaannya" Oh, " Tuhan! Obat apa itu! Obat apa! Sakit apa dia" Air mata meleleh deras dari mataku. Aku hampir tak dapat bernapas. Tapi kupaksakan juga mencetuskan pertanyaan yang kubenci itu. Pertanyaan yang hampir tak sanggup kuucapkan! "Berapa lama lagi. Dokter"" "Hanya Tuhan yang tahu, Iba." Oh, jawaban yang diplomatis itu! Aku ingin jawaban yang pasti! Berapa lama lagi" Berapa lama lagi aku boleh memiliki Nike" "Menurut pengalaman kami, paling lama tiga bulan."
Tiga bulan! Ya Tuhan! Hanya tiga bulan! Aku betul-betul shock.
"Umurnya buru empat tahun, Dokter!" protesku separo berteriak.
Aku lupa. Bukan kepadanya aku harus berteriak. Bukan kepadanya aku harus memprotes,
Lalu Suster Ida membawaku duduk di bangku. Dia memaksaku minum seteguk teh panas. Terasa sepi di kepalaku ketika lambat-lambat teh itu menghangati kerongkonganku.
Aku mulai mencoba berpikir. Tiga bulan lagi. Tak ada obat yang menyembuhkan. Hanya memperpanjang hidup. Oh. Tuhan! Mereka pasti keliru. Rumah sakit kecil ini pasti salah mendiagnosis. Peralatan mereka sangat sederhana. Bagaimana mereka bisa mendiagnosis dengan fasilitas ini! "Akan kubawa Nike ke Jakarta." Kutunggu sejenak reaksi Dokter Mochtar. Tapi ia masih diam saja. Masih tegak membisu membelakangi jendela.
"Sebaiknya Ibu membawanya ke seorang hema-tologist." katanya akhirnya. "Dokter yang ahli tentang penyakit darah."
"Darah"" Bibirku menggeletar tanpa dapat ku-kuasai lagi. "Ada apa dalam darah Nike""
"Tiga kali berturut-turut saya memeriksa sediri darahnya. Ibu. Karena saya kuatir laboran saya membuat kekeliruan." Dia menatapku dengan sedih. Menunggu sebentar reaksiku. Ketika dilihatnya aku juga menunggu, dilanjutkannya dengan lebih perlahan.
"Begitu banyak sel-sel muda dalam darahnya...."
"Sel muda"" Aku merasa genggaman Suster Ida di lenganku bertambah erat. "Apa hubungannya dengan penyakit Nike" Demi Allah, Dokter! Dia sakit apa""
Kali ini Dokter Mochtar menatapku dengan iba. Menimbang-nimbang sebentar apakah aku masih cukup kuat untuk mendengar penjelasannya. Tapi ketika dia membuka mulutnya lagi, hanya sepat ah kata yang mampu diucapkannya. Itu pun dengan suara yang amat getir.
"Leukemia." 104 Leukemia! Alangkah kejamnya! Alangkah kejamnya! Nike baru berumur empat tahun! Dan dia
anakku satu-satunya! Leukemia. Tentu saja aku pernah mendengarnya. Dari Mas Irwan. Dari majalah. Dari buku. Dari
film. Tapi selalu mengenai orang lain. Bukan anakku sendiri!
Mula-mula aku cuma bisa menangis. Menjerit Memohon kepada Tuhan. Kalau Tuhan punya meja tulis, pasti hanya surat-surat permohonankulah yang bertumpuk-tumpuk di meja-Nya hari-hari belakangan ini. Tapi ketika permohonanku tidak dikabulkan juga, ketika dari hari ke hari keadaan Nike semakin parah, aku bukan hanya meminta. Aku mendesak. Memaksa. Menggerutu. Tentu saja tidak di depan Nike. Di depannya aku harus bersikap biasa! Biasa! Sebiasa mungkin!
Kucoba mengabulkan apa pun permintaannya. Kucoba mengingat-ingat apa keinginannya. Tapi pada saat aku mengharapkan Nike minta sesuatu, dia justru tidak minta apa-apa. Dan pada saat dia minta sesuatu, aku justru tidak bisa mengabulkan permintaanya yang satu itu!
"Nike mau nengok Papa, Ma." Terngiang lagi di telingaku pembicaraan kami sesaat sebelum berangkat ke rumah sakit.
"Kita ketemu Oom Dokter Mochtar dulu ya, Sayang" Baru nengok Papa."
105 "Kalau udah di tana. Oom Doktel Muktal pati nggak katih Nike nengok Papa." "Kalau begitu. Papa yang akan nengok Nike, ya.** Dan aku telah bertekad untuk menemui Mas Irwan. Menemui Pak Camat Menemui Letnan Usman. Menemui mereka. Siapa saja. Aku harus membawa orang yang paling Nike rindukan. Ayahnya sendiri.
Mereka manusia juga, bukan" Nah, mereka pasti punya perasaan! Di sini ada seorang anak kecil berumur empat tahun yang sakit kanker. Kanker darah. Leukemia!
Ya Tuhan! Mudah-mudahan saja mereka pernah dengar apa itu leukemia. Mudah-mudahan mereka tahu ganasnya penyakit itu! Mudah-mudahan mereka mengerti bagaimana perasaan seorang gadis kecil yang hampir meninggal, yang begitu ingin menemui ayahnya sebelum meninggal!
"Memang sebaiknya ayah Nike di beri tahu," sahut Dokter Mochtar menanggapi rencanaku itu. 'Tapi jangan Ibu yang pergi ke sana. Saya pikir, sebaiknya Nike jangan ditinggal." ...
"Lantas bagaimana saya harus mengabarinya, Dokter""
"Bagaimana kalau dengan surat saja""
Surat. Kalau dengan pos, masih sempatkah Mas Irwan menerimanya sebelum Nike pergi"
Tbu."," tegur Dokter Mochtar lunak.
Ketika kuangkat kembali wajahku, aku baru menyadari, dia sedang menatapku. Pasti sudah dari tadi. Dan tatapannya berbeda, amat berbeda dari biasanya.
Dari caranya menatap saja, aku merasa, dia telah mengerti. Ada sesuatu yang tidak beres dengan suamiku. Tapi sebaliknya dari mendesakku untuk berterus terang, Dokter Mochtar hanya mengajukan
satu pertany aan yang simpatik sekali. "Dapatkah saya menolong Ibu" Menghubungi
ayah Nike dengan sepucuk surat barangkali""
*** Tetapi sebelum aku dapat memutuskan untuk berterus terang atau tidak pada Dokter Mochtar, telah timbul kesulitan.
"Tak ada persediaan darah lagi," kata Dokter Mochtar pahit. "Perawat-perawat yang bergolongan darah sama dengan Nike rela mendonor lagi. Tapi mereka tidak mungkin diambil dua kali." "Darah saya saja, Dokter." "Darah Ibu O. Nike perlu darah golongan A." Jadi genaplah sudah penderitaanku. Bahkan darahku pun tidak mampu menolong Nike! Ya Tuhan. Inikah hukuman yang harus kutanggung"
Mula-mula kusia-siakan anak yang Kaupercaya-kan padaku. Sekarang Kauambil anakku yang lain. Anakku satu-satunya"!
"Jadi apa yang.harus saya lakukan, Dokter"" jeritku putus asa. "Apa""
"Besok Dokter Atmo ke Jakarta. Dia bersedia mencarikan obet untuk Nike. Tapi obat itu bukan
hanya mahal. Juga agak sukar didapat. Dan khasiatnya cuma untuk memperpanjang hidup. Bukan menyembuhkan. Tetapi bagaimanapun. Dokter Atmo ingin membelikan obat itu untuk Nike. Cuma saya kuatir. kita sudah terlambat."
*** Terlambat. Terlambat Terlambat.
Hanya sepotong kata itu yang berulang-ulang selalu memantul kembali di telingaku. Tak ada harapan lagi. Betapapun kecilnya. Oh.
"Sebagai dokter, kami tetap akan berusaha merawatnya sebaik mungkin," kata Dokter Mochtar tadi. Tapi jika ibu memilih jalan lain, terserah Ibu Wjpa."
Terserah aku! Apa lagi yang mesti kulakukan" Kalau dokter saja sudah tidak sanggup, apalagi akui
"Barangkali Ibu ingin membawa Nike ke Jakarta." Cepat-cepat Dokter Mochtar melanjutkan tatkala dilihatnya mataku bersinar marah. "Atau Ibu ingin berunding dulu dengan Bapak""
Berunding! O, alangkah terhiburnya kalau aku masih dapat berunding dengan Mas Irwan! Membagi -penderitaan ini bersamanya! Dan... ke Jakarta! Dari mana lagi aku harus memperoleh biayanya" Kalaupun aku punya uang, akan pernahkah Nike sampai ke sana"
Dari hari ke hari, keadaannya memburuk dengan
cepat. Walaupun tidak dikatakannya dengan terus terang, aku tahu. Dokter Mochtar sendiri meragukan kesanggupan Nike untuk bertahan sampai
minggu depan. Hari-harinya sudah dapat dihitung dengan jari, katanya kepada Suster Ida. Lebih baik minta Nyonya Purwanto untuk memberi tahu suaminya
Pada saat-saat terakhir, Nike memang sangat ingin menemui ayahnya. Barangkali dia yakin, ayahnya dapat menolongnya. Nike percaya, cuma ayahnya yang mampu melepaskannya dari penderitaan ini.
Angin malam yang mendesir menusuk tulang tidak sempat kurasakan lagi. Kutelusuri lorong panjang yang gelap di belakang rumah sakit itu. Di sana sepi. Amat sepi. Tapi di sini otakku terasa lebih tenang.
Nike baru saja tertidur. Dan aku merasa sesak berdiam di kamar terus. Suster Ida yang baik hati menganjurkan aku supaya pergi tidur. Dia rela menjaga Nike, tapi bagaimana aku bisa tidur" Bagaimana bisa pulas dengan kesedihan seperti ini" Lebih baik aku jalan-jalan sebentar. Kalau sudah capek, barangkali aku bisa tidur.
"Dik Wita!" tegur Bidan Narti ketika kami berpapasan di muka bangsal kebidanan. "Tumben kemari."
"Pengap, Mbak, di kamar melulu."
Dua kali menunggui Nike di rumah sakit ini, aku memang sudah kenal pada hampir seluruh karyawan di sini. Dan Mbak Narti ini kebetulan berasal dari kota yang sama dengan Mas Irwan di.,,
Jawa Tengah. Tidak heran dia jadi cepat akrab denganku. Dia kenal Mas Irwan sejak masih di sekolah dasar. Kalau sedang tidak dinas, Mbak Narti sering datang ke kamar Nike untuk mengobrol.
"Nah begitu! Jangan diam di kamar saja. Sekali-sekali jalan-jalan kemari! Nike bagaimana""
"Masih begitu-begitu juga, Mbak." Kutatap botol darah di tangannya. Dan tiba-tiba saja aku ingat Nike. Persediaan darahnya hampir habis....
"Buat siapa, Mbak""
"Pasien baru." Dengan ekor matanya Mbak Narti menunjukkan seorang perempuan muda yang tengah didorong di atas brankar menuju kamar operasi. I Seorang laki-laki muda, pasti suaminya, berjalan di sisinya dengan wajah kusut masai.
"Dioperasi, Mbak"" Mendadak aku merasa ngeri. Ingat pengalamanku sendiri waktu melahirkan Nike.
"Kehamilan di luar rahim. Perdarah
annya luar biasa hebat. Tadinya Dokter Rasyid tidak berani operasi kalau tidak ada darah barang satu liter."
"Golongan apa, Mbak""
"O" Mbak Narti menunjukkan botol darah di I tangannya. "Persediaan di PMI tinggal 500 cc." "Suaminya""
"Kebetulan golongan A. Dia sudah nangis-nangis di PMI, minta darah untuk istrinya. Tapi kalau tidak ada, mereka toh tidak bisa mengubah air menjadi darah. Tadi siang ada dua operasi di bagian bedah. Kebetulan semuanya butuh darah golongan O."
"Mbak," cetusku tiba-tiba.
110 " Mbak Narti sampai tersentak kaget. Bukan oleh
panggilanku. Tapi oleh sentuhan tanganku di lengannya. Karena tanganku ini... astaga, dinginnya!
"Bawa saya kepadanya, Mbak!" i Mula-mula Mbak Narti hanya tertegun mengawasiku.
"Darah saya O," sambungku cepat-cepat. Lalu tiba-tiba saja ia mengerti. -"Pikir dulu, Dik Wita. Jadi donor sukarela tentu saja perbuatan terpuji. Tapi bukan untukmu pada
saat-saat begini. Fisikmu sedang lelah. Mentalmu "tertekan. Kau harus menjaga Nike siang-malam. Kau bisa sakit, Dik Wita."
"Mbak," potongku tidak sabar. "Bukan hanya, istrinya yang perlu darah saya! Saya pun butuh daerah suaminya!"
Melihat laki-laki itu di sana, aku jadi teringat kepada Mas Irwan. Seperti itukah gelisahnya dia ketika menungguiku dioperasi tatkala melahirkan Nike empat tahun yang lalu"
"Lebih tenang mengoperasi orang lain daripada nunggu istri dioperasi," kata Mas Irwan dulu.
"Tahu bagaimana rasanya""
"Bagaimana"" pancingku manja.
"Dua jam lebih aku duduk menunggu di luar kamar operasi. Tidak tahu mesti berbuat apa. 'Ber111
doa saja. Kak', kata perawat yang mendorong brankarmu itu. Dia tidak tahu. aku sudah berdoa pada setiap helaan napasku'"
"Kata Dokter Siregar, operasiku cukup berbahaya. Mas. Untung dia baru bilang sesudah selesai operasi."
"Salahmu sendiri. Siapa suruh nekat."
"Eh, jadi Mas tidak kepingin punya Nike"** Sampai mendelik mataku.
"Siapa bilang" Aku juga ingin punya anak. tapi tidak mau mengorbankanmu! Tahu bagaimana rasanya mendengar kau merintih-rintih kesakitan begitu1 Rasanya lebih baik aku yang disiksa!"
"Habis terpaksa sih, Mas. Aku kepingin jadi ibu."
"Kita bisa mengangkat anak."
Aku menggeleng sambil tersenyum.
"Aku ingin anak kandung. Anak dari rahimku sendiri. O, kalau saja Mas Ir pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi ibu! Bagaimana nikmatnya merasakan sentakan-sentakan halus Nike di perutku!"
Lalu sebuah sentuhan lembut jatuh di bahuku. Menyadarkan diriku dari lamunan yang semakin menerawang jauh. Bidan Narti.
"Sekarang, MbakT' tanyaku gugup.
Terus terang, aku takut juga diambil darah. Tapi demi Nike...
Tidak perlu dulu, Dik."
Tidak perlu T' desisku bingung.
Ada yang ganjil di mata Bidan Narti. Sesuatu yang membuatku merasa tidak enak.
112 "Nyonya Bakhtiar tidak memerlukan darahmu
lagi" Tidak sengaja mulutku terbuka. Dan sebelum aku sempat menutupnya kembali, Mbak Narti telah
melanjutkan dengan lirihnya, "Dia telah meninggal."
Habislah harapanku untuk memperoleh sebotol darah Nike! Bahkan untuk orang lain pun darahku
tidak berguna! Tapi keesokan paginya, Mbak Narti datang ke kamar Nike. Dan dia membawa sebotol darah
yang sangat Nike perlukan. "Dari mana, Mbak"" tanyaku gugup. "Darah
siapa"" "Bakhtiar menepati janjinya padamu. Setelah saya ceritakan tentang Nike, dia rela menyumbangkan
darahnya." O, seandainya aku mendapat undian sekalipun, tidak segirang ini hatiku!
Bergegas aku menuju ke bagian kebidanan. Ingin kutemui laki-laki berjiwa besar itu. Mengucapkan terima kasih padanya. Tapi sesampainya di sana, ia telah pergi.
Aku hanya sempat melihat ekor mobil jenazah yang membawa jenazah istrinya sedang meninggalkan rumah sakit...
Ya Tuhan! Kuatkanlah iman laki-laki yang budiman itu! Tabahkanlah dia!
113 Begitu Nike tertidur, aku langsung menuju ke kantor rumah sakit.
"Dik Ria," tegurku pada perawat muda yang sedang sibuk menggambar kurva temperatur dalam status pasien. "Boleh pinjam pulpen dan minta
kertas selembar"" "Oh. Kak Wita," sambut Suster Ria dengan ra"Silakan. Kak. Silakan."
Dia mengambil dua lembar kertas putih dan menyodorkan bolpennya. "Ini bisa dipakai. Kak""
'Terima kasih. D ik Ria. Boleh menumpang nulis di sini T*
"Wah. silakan saja. Kak Wita. Jangan canggung-canggung. Mau tulis surat, ya"" "Buat ayah Nike."
"0..." Cepat-cepat Suster Ria menari k kan sebuah kursi untukka "Duduklah, Kak Wita. Nike tidur"**
Aku cuma mengangguk. "Mau minum, Kak Wita""
"Jangan repot-repot. Dik Ria. Biar saja."
Aku sudah ingin cepat-cepat menulis. Ingin mengabarkan apa yang terjadi pada Mas Irwan. Tapi ketika aku sudah duduk termenung menghadapai kertas kosong itu, aku tak tahu mesti menulis apa. . Aku tak sampai hati menceritakannya pada Mas Irwan! Apa yang harus kukatakan" Dari mana aku harus mulai"
Akhirnya setelah tertegun-tegun di sana selama hampir satu jam, aku berhasil juga menulis bebe114
rapa patah kata. Isinya singkat sekali. Persis tele. gram.
Tetapi sesudah menulis, aku mulai kebingungan lagi. Siapa yang mesti kumintai pertolongan menyampaikan surat ini"
Perjalanan ke kampungku dari kota ini cukup jauh. Bukan hanya jauh. Sulit Sekaligus berbahaya Aku jadi putus asa.
"Minta tolong Kak Ida saja, Kak Wita." usul Suster Ria. "Hari ini dia cuti. Nanti selesai tugas, saya antar Kakak ke rumahnya, ya""
Suster Ida! Dia memang baik. Ramah. Tapi hanya terbatas pada pelayanannya di rumah sakit! Mana mau dia berlayar seorang diri ke kampungku" Dia toh bukan apa-apaku!
Tetapi dalam keadaaan seperti sekarang, jalan apa pun akan kutempuh, betapapun sulitnya. Demi Nike, jangankan cuma menemui Suster Ida di rumahnya, menemui Raja Maut pun seandainya bisa, aku mau!
Apa boleh buat. Siang itu, dengan menebal-nebal-kan muka, aku terpaksa datang ke rumah Suster Ida.
"Kak Ida orangnya baik. Kak." Seolah-olah mengerti perasaanku, Suster Ria selalu menghiburku sepanjang jalan. "Dia pasti mau. Mudah-mudahan dia ada di rumah."
"Suaminya"" desakku ragu-ragu.
"Wah, kalau yang satu itu memang agak galak. Tapi percayalah, Kak, kalau dia tahu tentang Nike, pasti dia kasihan. Siapa yang tidak iba kepada anak yang malang seperti Nike""
115 Dan yang kutakutkan terjadi juga. Suster lda tidak ada di rumah. Terpaksa aku meminta tolong pada Suster Ria untuk menunggunya sampai pulang. Aku sendiri mesti cepat-cepat kembali ke rumah sakit.
9 Ketika kembali ke sisi Nike senja itu, aku sudah merasa waktunya hampir tiba. Saat perpisahan
sudah di depan mata. " Aku telah mengantar Nike sampai ke suatu tapal batas. Ke tempat sampai di mana aku boleh ikut. Sesudah itu, kami harus berpisah. Nike harus berjalan sendiri meninggalkanku. Dan untuk pertama kalinya, aku harus merelakan gadis kecilku yang manja itu melangkah seorang diri di jalan yang aku sendiri pun belum pernah melewatinya!
Ketika aku datang, Nike masih bisa membuka matanya. Masih bisa merintih menyambut kedatanganku. Tapi rintihannya sudah sangat lemah. Hampir tak dapat kutahan air mataku melihat keadaannya saat itu.
Tubuhnya yang kurus, dengan memar kebiru-biruan yang menodai kulitnya yang pucat di sana-sini, tampak terlalu kecil untuk ranjang sebesar itu. Alangkah cepatnya penyakit yang ganas itu menggerogoti tubuh anakku! Padahal beberapa bulan sebelumnya, Nike masih gemuk dan lucu.
Masih terbayang di mataku bagaimana lincahnya dia berlari-lari menyambut kedatangan ayahnya setiap hari! Sekarang jangankan berlari, bangun pun dia sudah tidak mampu. Dia terbaring tidak berdaya di tempat tidurnya.
Botol darah yang isinya* tinggal seperempat itu masih tergantung di sisinya. Jarum transfusi masih menghujam di kakinya. Tapi tak ada harapan lagi yang terpancar dari sana. Darah itu tidak akan mengembalikan Nike kepadaku. Darah itu hanya menyambung hidup anakku. Entah sampai kapan!
Bahkan obat yang dibawa Dokter Atmo dari Jakarta pun tidak mampu lagi memberi harapan. Tetapi bagaimanapun aku merasa berutang budi pada dokter muda yang baik itu. Dari lapangan terbang, dia langsung menuju ke rumah sakit. Hanya supaya dapat memberikan obat itu secepatnya pada Nike.
"Kenapa sebaik ini pada kami, Dokter"" gumamku terharu.
"Di Jakarta, saya juga punya anak perempuan sebesar Nike, Bu," katanya sederhana sekali. "Saya bayangkan bagaimana kalau dia yang sakit semen- , tara saya sedang bertugas di sini.
Istri saya pasti . sama bingungnya dengan Ibu. Tapi dia pasti tidak setabah Ibu. Belum pernah saya bertemu dengan wanita yang begitu tabah."
"Saya pun belum pernah bertemu dengan dokter yang sebaik Anda, Dokter Atmo," sahutku getir. "Uang yang Dokter pakai untuk membeli obat itu, entah kapan saya baru dapat mengembalikannya."
"Sebagian uang Dokter Mochtar, Bu," katanya
inalu-malu. "Entah kenapa. Biasanya dia sangat
pelit." Ketika jarum transfusi dicabut dari pembuluh darah Nike malam itu, aku sudah mempunyai firasat. Inilah barangkali kesempatan yang terakhir. Nike takkan pernah ditransfusi lagi. Keadaannya sudah sangat payah. Kalau dulu setiap habis ditransfusi Nike seolah-olah mendapat tambahan tenaga baru, kini tidak lagi. Tambah darah atau tidak, sama saja kelihatannya. Dia tetap terkulai lemah. Tidak bergerak sama sekali.
Hanya matanya selalu menatapku. Mata yang dulu bening itu! O, kini mata itu redup tidak bercahaya!
Tak ada lagi kata-kata yang dapat diucapkannya. Ia sudah sangat lemah. Ia hanya dapat merintih. Dengan rintihan yang tidak jelas pula.
Satu-satunya komunikasi yang masih tersisa adalah matanya. Mata itu seolah-olah menyuarakan isi hatinya. Mengimbau belaian kasih sayangku yang terakhir. Mengimbauku untuk memberi selamat berpisah. Dan mengimbauku untuk memanggil ayahnya.
Tapi yang dapat kulakukan malam ini hanyalah mendekapnya erat-erat. Menimangnya seperti ketika ia masih bayi dulu. Membelai-belai kepalanya dengan lembut Dan membisikkan kasih sayangku dengan semua cara yang masih dapat kulakukan.
Tampaknya, Nike pun menikmati belaian kasih ibunya yang terakhir. Dan melihat sikapnya itu, aku sadar, saatnya hampir tiba.
Malam ini. aku insaf, aku sudah harus mulai mempersiapkan Nike. Dia akan menempuh perjalanan yang amat jauh. Ke tempat yang tidak mempunyai jalan untuk kembali. Tapi aku sadar, bagi anak sekecil Nike, Tuhan pasti telah menyiapkan tempat yang sangat nyaman.
Dia masih kecil. Masih suci. Belum berdosa. Tuhan pasti sayang padanya. Dan aku sudah pasrah. Dia yang memberi, Dia pula yang mengambil. Daripada Nike menderita lebih lama, biarlah dia pulang dengan tenang ke rumah Bapaknya bila waktunya telah sampai.
Syukur siang tadi aku telah menulis surat buat Mas Irwan. Dokter Mochtar sendiri, setelah kuberi-tahu bahwa Mas Irwan sedang ditahan, memerlukan menulis sepucuk surat untuk yang berwajib di sana. Dan Suster Ida sudah menyatakan kesediaannya untuk membawa surat itu.
Aku benar-benar terharu dibuatnya. Dalam keadaan sedih ini, dukungan dan simpati segenap tenaga medis dan paramedis di rumah sakit itu terasa amat membantu.
Mereka bukan hanya merawat Nike, Mereka memanjakannya. Tanpa setahuku, mereka telah mengumpulkan uang untuk membeli sebuah boneka
buat Nike. Boneka yang sangat bagus. Yang sudah
lama didambakan Nike. Yang belum sempat dibelikan ayahnya.
Sayang, Nike sudah tak dapat memainkannya lagi. Dari tempatnya berbaring, dia hanya dapat memandangi boneka itu. Kalau dia ingin menyentuhnya, salah seorang dari perawat-perawat yang menemaninya harus membawa boneka itu ke dekat Nike.
Tapi keesokan paginya, Nike sudah tak dapat mengangkat tangannya lagi. Dia mulai kelihatan sulit bernapas, sehingga Dokter Mochtar yang terus-menerus menungguinya, menginstruksikan memberi oksigen untuk membantu pernapasannya
Dua jam lebih Dokter Mochtar dan perawat-perawatnya berjuang mempertahankan hidup Nike, Tetapi ketika darah mulai mengalir lagi dari lubang hidung dan mulutnya, aku sudah merasa, semuanya akan sia-sia.


Matahari Di Batas Cakrawala Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lebih-lebih ketika Nike mulai memuntahkan cairan hitam dari perutnya. Suster Ria yang sedang mengisap lendir yang menyekat leher Nike langsung mengucurkan air mata. Dan melihat keadaan Nike saat itu, wajah pucat seperti mayat, tubuh penuh bercak-bercak biru legam, perdarahan di sana-sini, aku tak tahan lagi.
"Hentikan semuanya, Dokter!" teriakku histeris, "Hentikan! Biarkan dia berlalu dengan tenang! Biarkan dia pergi!"
Nike sudah tidak sadarkan diri ketika pendeta muncul di kamarnya. Dan begitu pendeta itu selesai memberkati, Dokter Mochtar menjamah tanganku.
"Ucapkan selamat jalan kepadany
a," kalanya "Nike;" Kupetak anakku erat era! Anakku Buah hariku Kenanganku.
Sekarang matanya telah terpejam, lak mungkin terbuka kembali. Fak ada tag t tatapan yang me-irycjukkan itu. Tak dapat kulihat lagi matanya yang bening. Tak ada lagi rengekan yang manja itu. Dia telah diam untuk selama-lamanya "Jangan pergi dulu. Nike! Tunggu Papa'" Kuhitung napasnya yang tinggal satu-satu. Oh. Tuhan' Napas yang hangat itu: Napas gadis kecilku yang setiap malam menggelitiki leherku' Dia hampir tidak ada lagi! Dia hampir tidak bernapas'
Kucium i pipinya. Matanya, hidungnya. Ketika kucium mulutnya, aku sadar. Nike telah berangkat Dia telah pergi. Malaikat-malaikat telah menggandengnya ke surga.
"Apa ainnya mati. Mama f Seakan masih terdengar suaranya di telingaku. Suara yang polos j itu Suara yang takkan kudengar kembali.
"Mati artinya pergi meninggalkan dunia ini. Sayang." "Pelgi ke mana, MaT
"Ke surga. Sayang Ke tempat Tuhan. Ke tempat malaikat."
"Nggak Nta pulang lagi7"
Aku cuma menggeleng. Menelan ludah yang tersekat di kerongkongan.
"Wah. gimana kak" kangen lama Mama""
Sebuah lengan jatuh di bahuku. I embut aku ditariknya mundur.
"Dia sudah pergi." bisik Dokter Mochtar lirih. r Aku meronta dari pegangannya Sambil meraung kupeluk tubuh Nike. Masih hangat. Belum ada yang berubah. Kecuali tidak bergerak lagi. semuanya masih tetap seperti tadi! Seperti kemarin! Seperti dulu!
Aku menangis menjerit-jerit Dua orang perawat memapahku ke luar. Dan sebelum mereka sempat membuka pintu, pintu telah terempas terbuka. . Dari balik tirai air mata yang mengaburkan pandanganku, aku melihat Mas Irwan tegak di sana... dengan boneka di tangannya
Sekali lagi aku menjerit Tapi Mas Irwan tidak menoleh sama sekali ke arahku. Dia lari memburu tubuh Nike.
"Nike!" ratapnya memilukan hati. "Nike, ini Papa! Kau dengar, Sayang" Ini Papa! Papa datang menengokmu! Buka matamu. Sayang! Papa hawa boneka yang Nike minta! Boneka yang bisa ngompol! Lihatlah, Nike! Buka matamu. Sayang! Buka!" Makin lama kata-kata Mas Irwan makin tidak jelas. Dikaburkan oleh tangisnya yang tertahan-tahan.
"Nike! Nike! Dengarlah, Sayang! Papa sayang padamu! Papa cinta padamu! Jangan pergi. Manis! Jangan tinggalkan Papa!"
Dia masih membelai-belai kepala anaknya. Masih
menciuminya. Masih bicara padanya. Tetapi ketika mata Nike tidak kunjung terbuka, ketika dia tidak bergerak juga. Mas Irwan mulai menangis sambil memeluk tubuh anaknya erat-erat. Dan melihat Mas Irwan menangis seperti itu, aku tak tahan lagi. Aku langsung jatuh pingsan.
Di bawah sebatang pohon kamboja yang rindang, berbaringlah Nike kecil kami untuk selama-lamanya. Dalam petinya yang berwarna cokelat, ia tampak demikian mungil. Demikian lelap tidurnya. Demikian bersih wajahnya.
Kuciumi dia sepuas-puasnya sebelum peti itu tertutup untuk selama-lamanya. Sebelum aku tidak boleh menjamah lagi tubuhnya. Sebelum tanah kuburan yang dingin itu memisahkan kami.
Ah. betapa cepatnya waktu berlalu. Betapa singkatnya kesempatan yang diberikan Tuhan padaku untuk menjadi ibu. Betapa sempitnya kesempatanku untuk menimang dan memanjakan Nike.
Terasa seperti baru kemarin aku melahirkannya. Sekarang dia telah pergi kembali. Hanya selintasan dia bersama kami. Tapi selintasan yang membawa kebahagiaan. Membawa kehangatan dalam rumah tanggaku bersama Mas Irwan.
Mula-mula kami ingin memasukkan boneka-bonekanya bersama tubuh Nike ke dalam peti jena/ahnya. Tapi pada saat terakhir, aku ingat
pesannya. - "Nike mau pel g i tendili. Jangan ada yang ikut." Terpaksa boneka-boneka kesayangannya itu kami
keluarkan kembali. Terus terang, aku lebih baik tidak usah melihat lagi boneka-boneka itu. Melihat mereka, aku selalu ingin menangis lagi. Tapi kalau Nike tidak
menghendaki mereka ikut, apa boleh buat.
Aku terpaksa membiarkan boneka-boneka itu kembali ke kamar Nike. Kecuali boneka yang ter-akhir itu. Boneka yang dibawa Mas Irwan. Suamiku berkeras menyertakan boneka itu dalam peti Nike.
Biarlah, pikirku -akhirnya. Biar Nike tidak sendirian lagi. Kasihan dia seorang diri di sana. Gelap. Sepi. Lebih-lebih kalau malam. Hujan pula. <
Malam-malam aku sering men
angis sendirian. Ingat Nike. Kalau hujan begini, lebih-lebih kalau ada kilat, dia biasanya ketakutan. Dia akan lari ke kamarku. Pindah tidur ke ranjangku. Dan baru bisa terlelap kembali kalau kupeluk erat-erat. Ku lindungi dalam dekapanku yang hangat.
Sekarang siapa yang melindunginya di sana" Siapa yang akan memeluknya jika dia menangis ketakutan"
"Nike toh sudah tidak berada di sana lagi," hibur Mas Irwan setiap kali melihatku tegak melamun di depan jendela rumah kami. Menekuni butir-butir air hujan yang mengaburkan kaca jendela. Dan mencoba menembusi kegelapan di luar.
"Dia sudah aman di surga. Di sana tidak ada lagi ketakutan."
125 Mas Irwan benar. Yang ada di dalam kubur yang "i" *" cuma tinggal tubuh luarnya belaka. Nike sendiri sudah tidak berada di situ lagi. la lelah kenatali ke pelukan Bapaknya. Di tempat yang paling
aman. ... .. . . Mas lr*an sendiri sudah ditarik ke Jakarta. Ia
mengalami skorsing beberapa tahun sebelum boleh berpraktek sebagai dokter kembali. "Terlepas dari anggapan bersalah atau tidaknya tindakannya dulu. Mas Irwan menerima hukuman itu dengan pasrah. Dia terpaksa mencari pekerjaan lain untuk membiayai rumah tangga kami. Dan sebagai seorang dokter, siapa pun tahu, tidak mudah mencari pekerjaan. Selama bertahun-tahun dia hanya dididik untuk menyembuhkan orang sakit IV dak ada keahlian lain.
Untuk kembali menjadi seorang salesman, juga sudah tidak mungkin lagi. Katanya hal itu melanggar kode etik. Tidak ada perusahaan yang mau menerima seorang dokter sebagai salesmannya.
Jadi terpaksa dia belajar berdagang. Sementara Mas Irwan masih mencoba-coba dengan bidang baru-nya itu. aku mulai memberi les Inggris. Hasilnya memang tidak terlalu memuaskan. Karena kursus-kursus bahasa Inggris sedang bertumbuh seperti jamur di sini. Terpaksa aku mencari tambahan lain. Menjadi guru.
Selama itu, hidup kami benar-benar seperti mata-lTai! t f* Cakrawala" HamP* terbenam sama naJut It" SCSUdah melewati Penderitaan yang paling pahit, seperti kehilangan Nike, penderitaan126
penderitaan yang lain dapat kami lalui dengan tabah.
betapapun beratnya. Atas usul Mas Irwan, kami lalu mengangkat seseorang anak. Kekuatiranku tak dapat mencintai anak itu seperti kami mencintai Nike, ternyata tidak beralasan.
Semakin hari Nita tumbuh semakin menarik. Dia dapat memainkan boneka-boneka Nike dengan sama lucunya. Dia dapat menghibur Mas Irwan dengan kemanjaan yang sama. Dan dia mengharapkan kasih
sayang yang sama pula dari diriku. Dengan Nita di tengah-tengah kami, kami tak pernah merasa kesepian lagi. Kami berjuang menghadapi hari esok yang
lebih cerah. Sesungguhnya, matahari hidup kami memang masih di batas cakrawala. Tapi bukan matahari yang hampir terbenam. Melainkan fajar yang hampir menyingsing.
12 tamat Dendam Iblis Seribu Wajah 24 Gento Guyon 14 Kemelut Iblis Purnama Berdarah 1
^