Pencarian

Pertemuan Di Sebuah Motel 3

Pertemuan Di Sebuah Motel Karya V. Lestari Bagian 3


Delia dan Yasmin tidak menyadari kehadiran Erwin di sebelah mereka. Kalau saja Yasmin tahu, pasti ia tidak akan bercerita.
Semula Erwin mau menunggu di ruang tunggu saja ketika perawat menyilakannya masuk. Tapi kemudian ia memutuskan untuk duduk saja di tempat tidur sebelah. Mumpung tak ada pasien. Im disebabkan karena ia mendengar suara-suara percakapan. Ia merasa kemunculannya bisa menghentikan percakapan itu, tapi ia juga merasa berkepentingan untuk tahu.
Ia terkejut dan marah mendengar cerita Yasmin. Suami seperti itu sungguh tidak menghargai karunia yang diperolehnya berupa seorang istri. Padahal orang-orang seperti dirinya dan Kosmas sangat mendambakan punya istri yang baik, tapi tak kunjung dapat. Tapi lelaki yang satu itu malah menyia-nyia-kan istrinya dengan penghinaan terhadap martabatnya.
157 BAB 16 Aneh, pikir Yasmin. Dulu ia tak pernah mengira bisa menyampaikan masalahnya kepada orang lain selain dokter. Ia berpikir hanya ibunya-yang cocok. Tak ada ibu maka tak ada orang lain. Ternyata kepada Delia lain halnya. Bahkan ia bisa bercerita dengan mengabaikan rasa sakitnya Ia mengira bisa menemukan sebabnya. Ada sesuatu pada Delia yang membuatnya merasa, cocok. Sejak awal mengenalnya, ia tahu Delia orang yang care, memberi perhatian tanpa pamrih. Tapi karena saat itu ia sedang gundah, maka justru sikap orang seperti itu kepadanya tak disukainya. Ia ingin sendiri. Ia ingin mati. Kepedulian orang lain hanya jadi penghalang.
Delia mencium dahinya. Yasmin memejamkan mata dengan senang. Ia teringat ibunya.
"Bila nanti dia datang, jangan biarkan dia mengintimidasimu. Cuek saja. Apa pun yang dia katakan, jangan diambil hati. Pikirkan dirimu sendiri. Yang salah itu dia. Bukan kau," kata Delia yang merasa harus mempersiapkan mental Yasmin karena sebentar lagi suaminya akan datang.
"Aku tidak tahu mesti bagaimana menghadapinya, Kak."
"Biarkan dia bersikap lebih dulu. Kau jangan ngomong apa-apa. Lihat reaksinya. Baru pertimbangkan bagaimana sikapmu."
158 "Ya. Maukah kau memberi saran nanti"" "Yang penting, tanyalah pada hatimu." "Hatiku""
"Ya. Aku sendiri tidak tahu bagaimana memberi saran. Aku baru saja mengenalmu. Sedang sua
mimu tidak kukenal kecuali dari ceritamu. Yang bisa kusarankan dari sekarang adalah jangan menyerah. Dia suami, bukan penguasa. Jadi mumpung sekarang kau bisa beristirahat, renungkan kembali semuanya."
"Ya, Kak. Dia nggak boleh tahu bahwa aku batal bunuh diri."
"Pendeknya, yang tahu soal itu hanya kita berdua." "Jangan kasih tahu orang-orang di motel ya, Kak." "Tentu saja."
"Kasihan ya, Kak. Aku merepotkan orang lain. Mereka jadi susah." "Betul."
Di balik tirai Erwin mengerutkan kening. Jadi baik Yasmin maupun Delia cukup menyadari bahwa perbuatan seperti itu akan menyusahkan pihak motel. Tapi kenapa mau dilakukan juga"
Kejengkelannya sudah berangsur lenyap mendengar cerita Yasmin. Orang yang melakukan bunuh diri pasti punya masalah yang tak tertanggungkan hingga memilih mati sebagai kebebasan. Perihal Yasmin sudah ia ketahui, tapi Delia belum. Ia merasa heran apa yang menjadi beban bagi Delia. Pastilah lebih berat daripada beban Yasmin. Padahal Delia tampak lebih tangguh. Dia bisa memberi saran yang baik bagi Yasmin. Kenapa dia tidak melakukannya bagi diri sendiri"
"Maukah kau berjanji padaku, Yas, bahwa kau tidak akan mengulang perbuatan itu lagi"" kata Delia.
159 "Ya, Kak. Aku takut melihat setan itu. Ya, dia pasti setan, bukan"" "Kayaknya begitu."
"Dia tertawa pasti karena senang melihat kelakuanku."
"Ya. Kalau nggak senang masa tertawa."
Mau tak mau Delia merasa tergetar juga. Apakah setan itu pun akan muncul bila dia melakukan hal serupa" Apakah pengalaman Yasmin itu bisa dianggap sebagai peringatan untuknya"
Di balik tirai Erwin tersenyum tipis. Apakah Delia masih akan melanjutkan niatnya setelah mendengar cerita Yasmin" Ia berharap Delia ikut merasa ngeri. Tapi ia tidak tahan juga berlama-lama jadi pendengar. Akhirnya ia berdiri lalu berdeham-deham, kemudian menongolkan wajahnya di antara sambungan tirai.
Delia berdiri. "Kebetulan aku mau ke toilet. Duduklah," katanya memberikan kursinya kepada Erwin.
"Bagaimana keadaanmu, Yas"" tanya Erwin.
Yasmin tersipu dan menatap Erwin dengan cemas. "Kau... kau baru datang atau... sudah dari tadi"" tanyanya gugup.
Erwin berpikir sejenak. Rasanya kurang fair kalau ia berbohong. Lebih baik berterus terang agar segera ada keterbukaan.
"Aku berjanji tidak akan memberitahu siapa pun kecuali abangku sendiri," katanya serius.
"Oh!" Yasmin terkejut.
"Tapi abangku pun tidak akan memberitahu siapa pun. Kalau dia tidak tahu, dia tidak bisa membantu. Kami ingin membantumu, Yas."
"Padahal aku sudah menyusahkan. Maafkan aku, Bang."
"Sudahlah. Itu sudah nasib motelku."
160 "Maaf." "Jangan ngomong begitu. Nggak perlu. Yang penting kau selamat."
"Bang Kos pasti marah."
"Ah nggak. Dia cemas sekali memikirkan keadaanmu. Aku nelepon dia tadi. Katanya kau memberi nomor telepon salah. Jadi rumahmu nggak bisa dihubungi. Terpaksa polisi yang memberitahu suamimu."
"Maaf." "Sudahlah. Maaf terus." "Kau marah, ya""
"Nggak. Kalaupun marah sudah terobati oleh baiknya keadaanmu."
"Terima kasih. Ke mana Kak Del" Kok lama ya"" "Katanya ke toilet." "Aku takut..." "Takut sama aku""
"Bukan. Gimana kalau aku disuruh pulang sekarang kalau suamiku datang""
"Jangan khawatir. Tadi aku bicara sama dokter. Katanya dia akan menyuruhmu istirahat dua hari."
"Dua hari""
"Ya. Apakah cukup untuk merenungkan langkah selanjutnya, asal jangan mengulangi"" "Ya, cukup."
Delia kembali. Erwin berkata akan menunggu di ruang tunggu saja. Mereka harus menunggu kedatangan suami Yasmin sebelum bisa meninggalkan Yasmin.
"Kak, dia sudah tahu. Dia nguping tadi," Yasmin memberitahu.
"Dia mengakui itu""
"Ya. Tapi dia berjanji tidak akan memberitahu siapa pun kecuali abangnya."
161 Delia tersenyum. "Apakah dia menjanjikan bantuan"" "Ya."
"Bagus. Mereka memang orang baik. Jadi kau tidak perlu putus asa, Yas. Masih ada orang-orang baik di dunia ini."
"Ternyata susah sekali hidup sendiri ya, Kak" Rasanya tak ada yang peduli. Tak ada yang mau membantu. Bagaimana denganmu, Kak" Kau tabah sekali."
Delia memalingkan mukanya. Apakah dia kelihatan tabah" Tapi dia merasa seperti orang munafik. Dia menasihati Yasmin dengan kata-kata yang tak diyakinin
ya sendiri. Dia membuat Yasmin berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya, padahal dia sendiri bermaksud melakukannya.
* * * Hendri terkejut bukan main ketika dini hari pintu rumahnya digedor lalu mendapati polisi berseragam di depannya.
"Ini rumah Pak Hendri, suami Bu Yasmin""
"Betul, Pak," sahut Hendri sambil menduga-duga apa yang terjadi dengan Yasmin. Sesungguhnya ia berbohong kepada Aryo yang menelepon tadi malam. Ia tidak mencari Yasmin ke berbagai rumah sakit seperti yang dikatakannya. Ia sangat yakin Yasmin akan pulang sendiri. Jadi kenapa harus capek-capek"
Sempat muncul kekhawatiran kalau-kalau Yasmin melaporkan perselingkuhannya dengan Inem. Apalagi saat itu Inem berdiri di belakangnya. Tapi kekhawatiran berubah menjadi kecemasan ketika polisi menjelaskan maksud kedatangannya.
162 "Apakah dia meninggal, Pak""
"Katanya tidak. Saya tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang. Cepatlah ditengok."
Setelah polisi pergi, Hendri memelototi Inem yang bermaksud memberi komentar.
"Ini gara-gara kamu! Pergi sana!" bentak Hendri.
Inem sudah membuka mulutnya untuk membantah. Tapi melihat wajah garang Hendri, ia membatalkan niatnya lalu melenggang pergi. Ia kesal karena disalahkan. Padahal mereka baru saja bercinta seolah Yasmin tak pernah ada.
"Hei! Seprainya dicuci!" seru Hendri.
"Iya. Entar lagilah, Pak. Mau tidur dulu," sahut Inem tanpa menoleh.
"Aku bilang sekarang!" gelegar suara Hendri.
"Ya, ya!" Inem menciut. Tampaknya angan-angan menyingkirkan nyonya rumah tak akan berhasil. Dia hanya ban serep.
* * * Erwin menelepon Kosmas yang sudah tidak sabaran menunggu berita.
"Kami masih menunggu si suami dulu, Bang. Kalau dia datang dan Yasmin baik-baik saja, baru kami pulang."
"Udah tahu sebabnya kenapa Yasmin berbuat begitu""
"Siksaan suami."
"Waduh. Suami macam apa itu."
"Ceritanya nanti ya, Bang. Panjang. Tapi janji dulu kau tidak akan menceritakannya pada orang lain. Yang tahu hanya kita bertiga. Aku, kau, dan Del. Soalnya aku sudah berjanji."
163 "Ya, ya. Buat apa menyebar gosip. Eh, gimana Del""
"Dia kelihatan capek tapi baik-baik saja. Aneh dia itu. Punya rencana bunuh diri tapi dia justru menolong orang yang berniat sama. Dia juga membuat Yas berjanji untuk tidak mengulangi lagi. Nasihatnya pun bermutu."
"Aku tadi mikir dan menyimpulkan jangan-jangan niat Del itu ada hubungannya dengan percakapan tadi. Tentang kutukan itu dan ibu mertuanya."
"Maksudmu, dia mau bunuh diri karena dikutuk" Ah, Del bukan orang seperti itu."
"Kita nggak tahu, Win. Kalau orang sampai nekat pastilah masalahnya juga berat. Aku khawatir dia menderita sesuatu, Win."
"Penyakit, begitu""
"Ya. Jangan-jangan disantet mertuanya. Lalu dia jadi putus asa."
"Tapi dia nggak kelihatan sakit, Bang. Yang jelas sakit itu si Yas!"
"Siapa tahu" Mana kita tahu""
"Begini saja, Bang. Mumpung Del masih di sini, coba kau periksa lagi kamarnya. Siapa tahu ada informasi lain. Kita kan bisa membantu kalau bisa."
"Baik." Setelah meminta Adi untuk berjaga di kantor, Kosmas bergegas ke kamar 14. Ia membuka pintu dengan kunci yang masih ada di sakunya. Ia memeriksa tas yang ada di dalam lemari. Isinya pakaian. Dengan hati-hati ia mengeluarkannya sepotong demi sepotong dan meletakkannya di tempat tidur. Ternyata di bagian bawah terdapat setumpuk amplop cokelat ukuran kuarto yang gembung. Ia tidak sempat menghitung berapa jumlahnya. Salah satu diambilnya lalu
164 dibuka karena tutupnya tidak dilem. Isinya uang. Ia tidak mau capek-capek menghitung. Semua amplop itu sudah ditulisi kepada siapa akan dikirim, yaitu berbagai panti asuhan dan yayasan sosial di Jakarta.
Kosmas tertegun. Delia seorang dermawan" Tidak sedikit jumlah uang yang terdapat di dalam amplop-amplop itu meskipun ia tidak menghitungnya. Setelah berpikir, ia merasa tidak sulit menyimpulkan. Sebelum bunuh diri Delia akan menyumbangkan hartanya dulu. Karena itulah ia masih perlu menginap di situ. Ia belum selesai mendistribusikan sumbangannya.
Adakah hubungannya dengan sang nenek sihir"
Kosmas bertekad untuk menggagalkan niat Delia. Tidak dilakukan di motelnya, tidak pula di tempat lain.
165 BAB 17 Hendri mer asa pandangan para perawat agak lain ketika ia ia memperkenalkan diri dan bertanya perihal Yasmin. Sepertinya mereka tidak menyukainya. Ataukah ada tuduhan kepadanya" Ia jadi khawatir kalau-kalau Yasmin menceritakan perlakuannya lalu menuduhnya sebagai penyebab tindakannya. Apakah ia akan berurusan dengan polisi"
Sebelum berhadapan langsung dengan Yasmin, ia harus tahu lebih dulu supaya bisa menentukan sikap.
"Dia ditemani penolongnya, Pak. Seorang ibu dari Motel Marlin bersama pemiliknya," perawat menjelaskan.
"Siapa"" "Entahlah. Saya tidak tahu namanya. Temui saja." "Kondisinya bagaimana""
"Baik. Dia perlu istirahat. Rawat inap dua-tiga hari. Nanti akan dipindahkan ke ruang perawatan. Kalau Bapak mau tahu lebih jelas, sebaiknya temui mereka. Pasti ceritanya lengkap. Mereka sudah menunggu Bapak."
Perawat menunjukkan letak tempat tidur Yasmin. Ternyata Yasmin sedang tidur. Hendri mengamatinya dengan diam. Ia melihat slang oksigen masuk ke hidung Yasmin dan infus di lengannya. Yasmin tampak damai dalam tidurnya. Hendri tidak mau
166 membangunkan. Ia takut Yasmin tiba-tiba histeris melihatnya.
Ia keluar untuk menemui perawat. "Tidak ada yang menungguinya, Sus. Dia sedang tidur. Saya tidak mau membangunkan."
"Oh, pasti nunggunya di ruang tunggu. Mungkin mereka ketiduran. Lama sih nunggunya."
Erwin dan Delia sedang terkantuk-kantuk hingga tidak melihat kedatangan Hendri. Apalagi mereka juga tidak mengenalnya.
Perawat memperkanalkan mereka lalu pergi. Hendri mengucapkan terima kasih pada mereka. Sesudah itu ia minta cerita lengkap. Delia meminta Erwin untuk menceritakan sedang ia sendiri masuk ke dalam ruangan untuk menjenguk Yasmin. Melihat Yasmin masih tidur, ia duduk di sampingnya. Saatnya sudah tiba, pikirnya.
Yasmin membuka mata. Ia tersenyum melihat Delia.
"Masih di sini, Kak""
"Ya. Suamimu baru saja datang, Yas. Sekarang dia bicara dengan Erwin. Sebaiknya kau ketemu dia untuk melihat bagaimana reaksinya. Tenang dan tabah menghadapinya, ya" Ingat, dia tidak bisa macam-macam di sini. Bicaralah dengannya. Katakan terus terang apa penyebab kau melakukannya. Bilang kau tidak tahan diperlakukan seperti itu olehnya. Sesudah kau selesai bicara dengannya, aku akan menemuimu dulu supaya aku bisa" tahu apa yang terjadi. Apakah dia bersikap baik atau tidak. Dan bagaimana keinginanmu. Kalau kau ingin aku menungguimu, aku bersedia, Yas. Ingatlah. Kau punya teman. Kau tidak sendirian."
Yasmin mengangguk. 167 "Sudah berani" Aku panggil dia"" tanya Delia. "Ya, Kak."
Delia mencium dahi Yasmin. Lalu ia keluar menemui Erwin dan Hendri. Rupanya cerita Erwin tentang kejadian tadi sudah selesai. Mereka berdua sudah diam-diaman.
"Pak, Yasmin sudah bangun. Temuilah dia," kata Delia kepada Hendri.
Hendri bergegas masuk. Ia senang bisa lepas dari samping Erwin. Ia merasa lelaki itu membencinya dan setiap saat bisa menghajarnya. Apakah Yasmin sudah bercerita tentang keburukannya ke sana kemari" Kalau saja ia tidak ingat pada Winata dan prospek bagus di depan, pasti ia sudah marah kepada Yasmin.
Delia duduk lagi di samping Erwin. "Kita tunggu dulu sampai situasi aman, baru kita kembali ke motel."
"Aman bagaimana""
Delia menceritakan perjanjiannya dengan Yasmin.
"Baiklah," kata Erwin sambil mengamati wajah Delia. Ia memang harus menahan Delia dulu sampai Kosmas selesai memeriksa barang-barang Delia.
"Kenapa kau memandangku begitu"" tanya Delia.
"Kasihan. Kau kelihatan capek sekali. Sementara menunggu, tidurlah dulu. Nanti kubangunkan kalau si suami keluar."
"Ah, tanggung. Kayaknya nggak bakal lama."
"Kalau kembali ke motel nanti, tidurlah sepuasnya dulu. Jangan pergi bermobil, Kak. Bisa ngantuk di jalan. Jangan ambil risiko."
"Iya. Aku juga bermaksud begitu."
Dalam hati Delia berkata, kalau aku bermobil membawa uang, pasti aku hati-hati. Uang itu tidak boleh diambil orang yang tidak berhak.
168 "Maukah kau kutemani bila bepergian besok, Kak" Aku mau jadi sopirmu."
Delia tertawa. "Bang Kos bisa jengkel dong, Win."
"Ah, nggak. Dia pasti setuju. Jangan-jangan malah dia yang kepengen jadi sopirmu."
Delia memalingkan muka. "Mudah-mudahan di dalam baik-b
aik saja," katanya mengalihkan pembicaraan.
* * * Hendri duduk di kursi sementara Yasmin memalingkan muka.
"Kenapa kau berbuat begitu, Yas"" tanya Hendri pelan.
"Kau cukup tahu kenapa," sahut Yasmin dingin. "Soal itu"" "Apa lagi""
"Tapi aku nggak menyangka bisa berakibat seperti ini."
"Nggak nyangka" Jadi kau mengira aku pura-pura sakit" Kau sangat tega, Hen."
"Tapi jangan sampai beginf dong, Yas. Kita bisa membicarakannya."
"Bukannya sudah" Aku sudah mengeluh, merintih, menjerit. Tapi kau..."
Hendri membungkukkan tubuhnya, memeluk Yasmin. "Maafkan aku, Yas. Aku memang lelaki egois. Brengsek! Nggak tahu diri! Maafkan. Ampuni aku, ya""
Lalu Hendri mengangkat kepala, menatap wajah Yasmin, ingin tahu efek ucapannya.
Yasmin merasa heran. Sikap Hendri itu di luar
169 persangkaannya. Bila diukur dari kelakuan dan sikapnya sebelumnya, sepantasnya Hendri akan marah dan menuduhnya telah mempermalukan dia.
"Aku berjanji nggak akan berbuat seperti itu lagi. Aku takut sekali kehilangan kau, Yas. Aku mencintaimu. Jangan tinggalkan aku, Yas. Jangan pernah lakukan seperti itu lagi," ia memohon dengan suara mengiba-iba.
"Cinta katamu" Aneh sekali definisi cintamu itu."
"Ya. Cintaku egois. Aku menyesal. Aku benar-benar shock."
Hendri menciumi tangan Yasmin. Wajahnya begitu memelas, hingga Yasmin jatuh iba juga. Mungkinkah getaran itu masih ada" Dan cinta tak seluruhnya berubah menjadi benci" Tapi ia ingat ucapan Delia. Ia merasa kuat oleh kehadiran Delia. Jangan terbawa perasaan.
"Jangan-jangan kau ngomong begitu karena takut aku menuntutmu. Pasti polisi akan memeriksamu."
Hendri tertegun. Dalam situasi berbeda pasti ia marah mendengarnya. Tapi sekarang ia bisa bersabar karena punya motivasi. Ia tetap menganggap Yasmin orang bodoh dan cengeng dengan pikiran yang pendek. Masa begitu saja sampai mau bunuh diri" Bukankah ia punya ayah kaya" Kenapa tidak menceraikannya saja lalu kembali kepada ayahnya" Tapi sudah tentu Yasmin tidak tahu apa yang terjadi pada ayahnya.
Sekarang kata "cerai" itu pun menakutkan Hendri. Bagaimana kalau Yasmin benar-benar menceraikannya setelah tahu perihal ayahnya" Ia akan didepak jauh-jauh!
"Biarlah kau menuntutku. Aku terima. Asal kau jangan meninggalkan aku. Sekarang, setelah kejutan
170 ini, tiba-tiba aku disadarkan bahwa aku mencintaimu. Aku sadar telah memperlakukanmu dengan kejam. Aku sadar betapa bejatnya diriku ini. Beginilah manusia. Kalau sudah terancam kehilangan, baru dia sadar."
Yasmin menatap wajah Hendri. Ada air mata di sudut mata lelaki itu. Apakah ucapan itu tulus" Dan air mata itu ekspresi dari hati" Betapa sulitnya membuat perkiraan. Alangkah senangnya kalau apa yang tampak di luar itu sesuai dengan yang di dalam.
"Maukah kau menerimaku kembali, Yas" Kita akan mengawali hidup baru," ajak Hendri dengan ekspresi penuh harap.
"Tapi bagaimana dengan yang satu itu""
"Aku janji tidak akan melakukan seperti itu lagi."
"Tidak lagi" Kau sendiri bilang, seks itu segala-galanya bagi lelaki."
"Oh ya. Tapi kita bisa berusaha dengan cara yang sesuai keinginanmu. Dulu kau bilang, aku harus melakukannya dengan pelan-pelan dan lembut. Aku akan berusaha."
"Dulu kau bilang nggak bisa karena..."
"Aku akan berusaha. Kau bisa mengingatkan aku. Percayalah, Yas. Kejadian ini pelajaran berharga untukku. Kita juga bisa ke dokter. Kau pernah mengajakku, kan" Aku menyesal tidak mengikuti anjuran-mu.
"Bagaimana dengan perselingkuhanmu" Kau sering melakukannya di Motel Marlin, kan""
"Jadi itu sebabnya kau melakukannya di situ""
"Kau tidak menjawab pertanyaanku."
"Aku janji tidak akan melakukannya lagi. Semua terserah padamu. Aku nurut."
171 "Kok sekarang jadi nurut""
"Aku tidak ingin kehilangan kau."
Yasmin tertegun. Perkataan itu terasa mengangkat harga dirinya. Kalau saja memang benar. Tapi Yasmin bisa memastikan bahwa Hendri mengatakan segala hal, membujuk dengan berbagai cara, supaya ia tidak mengulangi perbuatannya. Biarpun kelak ternyata gombal belaka, setidaknya ia sudah berusaha. Kalau tidak peduli buat apa ia merendahkan diri dengan janji-janji kosong"
"Gimana dengan si Inem"" tanya Yasmin.
"Aku akan menyuruhnya
pergi. Kalau kau pulang nanti, dia sudah tidak ada lagi."
"Baiklah. Aku hargai janjimu. Sekarang, tolong panggil Kak Del. Aku mau bicara dulu. Dia mau pulang. Kasihan."
Hendri pergi ke luar untuk memanggil Delia. Saat Delia masuk, Hendri duduk tapi tidak dekat-dekat dengan Erwin. Tidak ada yang bicara duluan. Keduanya lebih suka diam.
Delia mengamati wajah Yasmin yang tampak lebih ceria. Im pertanda baik.
"Dia sudah minta maaf, Kak. Dia janji. Dia menyesal. Dia nangis."
"Kau percaya""
"Entahlah. Masih harus dilihat dulu." "Baguslah. Yang penting kau harus kuat menghadapinya."
"Kau mau pulang sekarang, Kak" Kau perlu tidur."
"Ya. Apa dia akan menungguimu""
"Mungkin, Kak. Sampai aku dipindahkan ke ruang perawatan. Besok datang lagi ya, Kak""
"Tentu," sahut Delia ringan. Besok ia masih punya waktu.
172 Dalam perjalanan pulang Erwin menyetir mobil Delia. "Jadi mereka sudah baikan"" tegas Erwin. "Untuk sementara."
"Heran. Sudah disakiti begitu, kenapa masih bertahan" Tinggalkan saja suami seperti itu," gerutu Erwin.
"Orang yang bersedia memaafkan biarpun sudah disakiti adalah orang yang mulia."
"Tahu-tahu nanti disakiti lagi."
"Mudah-mudahan dia sungguh-sungguh dengan janjinya. Besok aku besuk Yas lagi, Win."
"Sore"" "Iya dong. Sekarang istirahat dulu."
"Bangun siang ya, Del" Sudahlah, jangan ke mana-mana. Nginepnya diperpanjang aja. Nggak usah tambah bayarnya. Im sebagai tanda terima kasih kami."
"Lihat nanti saja, Win."
"Aku punya ide, Kak. Nanti malam kita kumpul lagi dan makan bersama, ya""
"Ah, apa yang mau dirayakan""
"Jelas ada, yaitu merayakan ketidakberhasilan Yasmin melakukan niatnya."
Delia tersenyum. "Masa itu perlu dirayakan""
"Masih ada lagi yang lebih penting. Yaitu merayakan sesuatu yang belum pernah terjadi sejak motel ini berdiri. Pasti bukan karena kedatangan tamu bunuh diri."
"Apa itu"" Delia ingin tahu.
"Belum pernah ada seorang penyelamat singgah di motel kami. Yaitu Kakak!"
Delia terperangah. Lalu tertawa. "Ah, kau melebih-lebihkan, Win. Itu kan kebetulan saja."
173 "Nggak juga. Kalau kau nggak singgah menjadi tamu kami, yang namanya kebetulan itu juga nggak ada."
Delia terdiam. Kau tidak tahu saja apa yang kuniatkan, pikirnya.
"Gimana, Kak" Mau, ya""
"Apakah Bang Kos sudah tahu perihal ajakanmu itu" Kan harus ada kesepakatan."
"Dalam hal itu kami pasti sepakat, Kak. Jadi mau, ya""
"Oke deh." "Terima kasih, Kak. Jadi nanti sore kita besuk Yasmin sama-sama. Pasti Bang Kos mau ikut juga. Pokoknya hari ini kau libur saja, Kak."
"Libur"" "Kan mau tidur sampai siang. Ini sudah pagi lho. Dari siang ke sore itu singkat. Mana cukup melakukan sesuatu kegiatan. Makanya tambah sehari saja."
"Lihat nanti saja deh."
"Kalau sudah janji harus ditepati, Kak."
"Apa maksudmu""
"Bahwa kau mau besuk Yasmin nanti sore dan sesudah itu makan malam bersama kami."
Delia heran. Kenapa Erwin begitu cerewet"
"Sepertinya kau nggak percaya, ya""
"Kurang," Erwin mengakui terus terang. "Aku takut..."
"Takut apa""
"Takut kau pergi diam-diam."
Delia menatap heran. "Ah, masa sih""
"Janji, ya""
"Iya. Aku janji, Cerewet!"
Erwin tertawa. Yang penting baginya Delia tidak akan melaksanakan niat bunuh dirinya pada hari ini
174 karena masih ada rencana yang perlu dilakukan Tidak ada yang bisa mengetahui apa yang akan dilakukan seseorang bila sudah berada di dalam kamar yang terkunci.
Biarpun bingung, Delia tidak menaruh prasangka. Ia menganggap Erwin lucu.
Setibanya di motel, Kosmas menyambut mereka dengan bubur ayam panas. Mereka menyantap dengan lahap sambil berbincang mengenai kejadian tadi. Tapi Delia tidak tahan berlama-lama. Ia pamit untuk tidur.
Memanfaatkan hal itu, Erwin segera memberitahu Kosmas mengenai kesepakatan yang telah dibuatnya dengan Delia.
"Bagus," Kosmas memuji. "Jadi kita masih punya kesempatan untuk berbuat sesuatu."
Lalu Kosmas bercerita tentang pemeriksaannya terhadap barang-barang Delia.
"Jelas dia mau menghabiskan hartanya dulu sebelum bunuh diri. Sepertinya kemarin dia berkeliling untuk menyumbang sana-sini tapi tidak keburu menyelesaikan semuanya."
"Kenapa dia habiskan dengan cara seperti itu" Apakah dia tidak puny
a ahli waris"" Erwin merasa sayang membayangkan hal itu.
"Kayaknya ada hubungannya dengan ibu mertuanya yang dia ceritakan semalam. Herannya, kenapa dia sampai mau bunuh diri ya" Sama sekali tidak cocok dengan kepribadiannya. Dia tidak kelihatan stres atau murung. Bahkan dia membantu Yasmin sepenuh hati. Apakah ada orang stres berbuat seperti itu" Dia lebih asyik dengan dirinya sendiri," Kosmas tak habis pikir.
"Urusan kenapa dan sebab apa itu nanti saja,
175 Bang. Yang bisa memberitahu hanya Delia seorang. Dia pasti takkan memberitahu. Yang penting buat kita adalah mencegah niatnya. Tapi caranya gimana ya" Dia kan tidak tahu bahwa kita tahu."
"Dia harus membatalkan, Win. Bukan cuma dicegah. Kalaupun tidak di sini, dia bisa melakukan di mana saja. Pindah ke hotel lain misalnya."
"Apa kausembunyikan obatnya, Bang""
"Ketahuan dong."


Pertemuan Di Sebuah Motel Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tukar isinya."
"Nggak sempat. Tukar sama apa"" Keduanya saling memandang dengan bingung. Baru kali ini mereka mengalami yang seperti itu.
176 BAB 18 Sore itu mereka bertiga pergi menjenguk Yasmin. Delia mengemudikan mobilnya. Kosmas duduk di sampingnya, sedang Erwin di belakang.
Mereka tak banyak berbicara. Delia mengemudi dengan hati-hati. Jelas ia tidak mau mati sekarang karena urusannya belum beres. Tapi ia tidak enak juga oleh kesunyian suasana.
"Bang Kos kelihatan ngantuk," kata Delia, melirik Kosmas di sebelahnya.
Kosmas tersipu. Sebenarnya ia sedang memikirkan Delia.
"Dia memang kurang tidur," Erwin yang bicara.
"Nggak juga. Aku bisa tidur di mana saja," sahut Kosmas. "Bagaimana kau sendiri, Del" Tidurnya enak""
"Oh iya. Begitu kena ranjang langsung pulas."
"Wah!" seru Kosmas takjub. Bagaimana mungkin orang yang berniat bunuh diri bisa tidur nyenyak" Saking capeknya atau memang sudah pasrah hingga tak lagi ada beban" Kemungkinan kedua itulah yang menakutkannya.
"Kulihat kau pintar membujuk dan memengaruhi seperti yang kaulakukan terhadap Yasmin," Erwin mengalihkan. "Dia langsung percaya padamu meskipun baru kenal. Kenapa kau tidak memengaruhinya untuk hal lain""
177 "Yang lain apa"" tanya Delia.
"Supaya dia berani meninggalkan suaminya."
"Apa ada alasannya""
"Kalau mendengar ceritanya, si suami tergolong seks maniak. Punya libido tinggi. Mana mungkin orang seperti itu bisa jadi jinak hanya karena istrinya pernah mencoba bunuh diri" Meskipun dia tidak lagi memerkosa Yasmin, dia akan mencari kepuasan di luar. Tidak mungkin bisa setia."
"Mungkin itu benar, Win. Tapi Yasmin berhak memutuskan sendiri. Dia yang paling tahu. Tak ada salahnya memberi si suami kesempatan. Lihat apa dia bisa menepati janjinya. Sekarang Yas sudah lebih tabah dan berani karena sudah punya teman. Punya backing gitu. Jadi tidak perlu putus asa lagi."
"Jadi menurutmu orang yang punya teman tidak perlu putus asa sampai berbuat nekat"" tegas Erwin.
"Tentu saja." "Itu pemikiran yang bagus. Jadi Yas sekarang mengharapkan dukunganmu. Bagaimana kalau kau pergi nanti" Tidakkah bisa membuatnya putus asa lagi"" tanya Erwin.
Delia tak segera menyahut. Ia berpikir dulu. Pertanyaan itu terasa mengena.
"Maksudmu aku pergi ke mana""
"Bukankah rumahmu di Bandung""
"Oh ya. Karena itu kuharap kalian mau jadi sahabat dia juga. Supaya dia tidak tergantung padaku seorang."
"Kayaknya itu sulit, Del," kata Kosmas. "Kami kan lelaki. Suaminya bisa salah sangka. Dia pun tak mungkin bisa bersikap terbuka seperti halnya kepadamu. Setelah kau berhasil membangun rasa percaya dirinya, maka sayang kalau kautinggalkan."
178 "Betul. Kemungkinan dia pun masih rapuh. Apalagi si suami belum pasti menepati janji," Erwin ganti bicara. Maksudnya sudah jelas, yaitu mengingatkan Delia akan "tanggung jawabnya" terhadap Yasmin. Bagaimana reaksi Yasmin kalau nanti tahu bahwa orang yang menyelamatkannya justru melakukan bunuh diri juga"
Delia tidak menjawab. Sampai tiba di rumah sakit ia tetap tidak memberi jawaban.
Ternyata Yasmin sendirian. Tidak tampak Hendri di sisinya. Im melegakan buat mereka hingga bisa bicara lebih leluasa.
Yasmin sangat senang melihat para penjenguknya. Ia sudah jauh lebih segar dibanding kemarin. Bicaranya pun lebih lancar dan keras.
Melihat Kosmas ia malu. "Maaf ya, Bang."
"Nggak perlu minta maaf. Bersyukurlah kau selamat," kata Kosmas.
"Ya, Bang," sahut Yasmin pelan. Kemudian cepat-cepat ia mengalihkan. Ia menunjukkan sebuah ponsel kepada Delia.
"Aku dikasih Hendri, Kak. Katanya supaya gampang berkomunikasi. Dulu dia bilang aku nggak perlu punya HP. Tapi yang ini pun bekas punya dia karena sekarang dia punya yang baru."
Erwin mencatat nomor HP Yasmin. "Memang ada bagusnya, Yas. Kami juga bisa berkomunikasi denganmu. Bukan begitu, Kak Del""
"Betul. Kapan dia datang lagi""
"Maksudmu Hendri" Nanti sepulang dari kantor. Mungkin sebentar lagi."
"Semalam dia menungguimu"" tanya Erwin ingin tahu.
179 "Ya. Dia tidur di sini. Tapi waktu itu kan sudah, pagi. Cuma beberapa jam."
Kosmas tidak ikut bicara. Dia berwajah murung. Yasmin tidak enak melihatnya.
"Bang Kos masih marah sama aku, ya""
"Ya. Aku harus mengakui itu. Kok orang muda seperti kau tidak mau menghargai hidup""
Yasmin tertegun. Demikian pula Delia.
"Tapi ini kan hidupku sendiri, Bang. Mau apa dan bagaimana adalah hakku," kata Yasmin datar, agak jengkel karena sikap Kosmas. Bukankah ia sudah menyesal dan minta maaf"
"Tentu saja itu milikmu. Bukan milik orang lain. Tapi dengan kejadian itu tidakkah terbuka matamu, bahwa sesungguhnya hidupmu masih punya arti" Masih ada orang yang peduli dengan susah payah menyelamatkan hidupmu. Ada orang yang berdoa dan berharap supaya kau bisa diselamatkan. Ada yang menangis kalau kau tidak selamat. Masa orang lain lebih menghargai hidupmu daripada kau sendiri" Kau memilih mati padahal kau tidak tahu apa yang menunggumu di alam sana! Apa kaupikir lebih enaki di sana daripada di sini" Kau tidak tahu apa-apa!"
Lalu Kosmas terdiam mendadak. Ia menyadari ucapan itu sesungguhnya tidak tertuju kepada Yasmin, melainkan Delia! Rasanya ia sudah melakukan sesuatu yang jauh melebihi kemampuannya. Sekarang ia me-nyadari ketiga orang dalam ruangan menatapnya dengan heran dan surprise. Wajahnya memerah. Lalui ia menghambur ke luar.
Delia menghela napas panjang. Ia benar-benar merasa terkena ucapan Kosmas. Bulu romanya sam pai merinding.
Erwin tidak menyangka abangnya bisa bertingkah,
180 seperti itu. Ia tahu apa yang mendorong Kosmas. Pasti Delia.
Yasmin tidak menyangka apa-apa. Ia menangis karena merasa tersentuh. "Dia marah, ya" Tapi dia benar kok. Dia benar," katanya sambil tersedu. Delia memeluknya. "Dia bersikap begitu karena simpati dan empatinya kepadamu. Dia tak ingin kau mengulanginya lagi."
"Ya. Sampaikan terima kasihku pada Bang Kos. Bilang, jangan marah lagi. Aku kan udah nyesel."
"Akan kusampaikan padanya, Yas. Tapi kau nggak perlu risau. Dia akan baik lagi," sahut Erwin.
"Sekarang bagaimana rencanamu, Yas"" Delia mengalihkan. "Sudah bicara dengan suamimu"" "Ya, Kak. Aku akan memberinya kesempatan. Dia sudah janji. Gombal apa nggak bisa ketahuan nanti."
Erwin merasa kecewa mendengarnya. Ia menatap Delia untuk memberinya isyarat. Ayolah, bujuk dia untuk tidak melakukannya.
Tapi Delia tidak memandang Erwin. "Ya, tapi kau harus mantap dengan pendirianmu, Yas. Kalau dia tidak menepati janji, jangan biarkan dia kembali menguasaimu Kalau itu sampai terjadi, apakah sudah kupikirkan apa yang akan kaulakukan""
"Belum. Aku akan melihat situasi dulu." "Baiklah. Aku senang kau sudah punya keputusan. Mudah-mudahan semuanya berjalan dengan baik." Erwin merasa sebal hingga tidak tahan lagi. Tanpa berkata apa-apa ia pergi ke luar. "Wah, Bang Erwin juga marah padaku," keluh Yasmin.
"Maklumi saja, Yas. Motel itu kan milik dia dan kosmas."
"Oh, aku sungguh menyesal telah menyusahkan
181 mereka, Kak. Apa mereka percaya aku benar-benar menyesal""
"Mereka percaya, Yas. Sekarang mereka bersikap begini kepadamu supaya kau tidak melakukannya lagi. Apa pun yang nanti dilakukan suamimu, jangan ambil jalan keluar seperti itu lagi."
"Nanti kita terus berhubungan ya, Kak" Aku pasti memerlukan saranmu lagi."
"Kalau kau perlu bantuan cepat, jangan ragu-ragu hubungi Motel Marlin. Bang Kos dan Erwin selalu siap membantumu," kata Delia dengan maksud supaya Yasmin tidak lagi terlalu bergantung kepada
nya. Bukankah dirinya tidak mungkin lagi bisa membantu Yasmin di kemudian hari"
"Tapi mereka lelaki, Kak. Malu kalau ngomong soal itu."
"Maksudku kalau ada masalah di luar itu."
"Kak, kau belum memberikan nomor teleponmu padaku. Kalau kau pulang ke Bandung nanti, ke mana harus kuhubungi""
Delia berpikir sejenak. Kemudian ia memberikan nomor telepon rumah kontrakannya. Nomor itu segera disimpan Yasmin dalam ponselnya.
"HP-nya, Kak""
"Nggak punya, Yas."
"Ah, masa pengusaha nggak punya HP""
"Bener. Tadinya punya, sekarang nggak."
"Sayang sekali. Nanti beli lagi dong, Kak."
"Ya. Nantilah. Makanya kalau nanti kau perlu bantuan cepat, hubungi Motel Marlin lebih dulu."
"Tapi kepadaku mereka nggak bilang apa-apa. Malu dong, Kak."
"Belum saja, Yas. Pada saatnya mereka akan mengatakannya nanti. Yang jelas mereka tulus. Re-
182 nungkanlah cara Kosmas memarahimu tadi. Dia seperti bapak yang memarahi anaknya. Padahal dia bisa saja tak peduli. Kenapa harus emosional""
"Mungkin juga dia berpikir akan kesusahan yang pasti dialaminya kalau aku sampai mati."
"Im wajar dong, Yas. Oh ya, ada satu hal yang ingin kutanyakan. Apakah kau masih punya orangtua atau kerabat dekat""
"Mama sudah nggak ada. Papa masih ada, tapi dia kuanggap nggak ada "
"Kenapa begitu""
Yasmin bercerita tanpa ragu. "Kalau aku mengadu kepadanya, pasti dia mengejekku, Kak. Bagaimanapun dia pasti kesal karena dimusuhi anak sendiri. Aku malu, Kak. Setelah merasakan susah baru ingat padanya."
"Kau mendendam atau malu""
"Mungkin dua-duanya. Bagaimana kalau dia mengatakan, "Rasain balasannya!" Bukankah menyakitkan sekali" Sudah jatuh ketimpa tangga pula."
"Aku tidak tahu ayahmu. Jadi sulit memberi pendapat. Tapi cobalah kaurenungkan lagi masa lalu ketika dia belum nyeleweng. Bagaimana hubunganmu dengan dia, bagaimana sikapnya kepadamu, dan segalanya yang berhubungan dengan dia. Apakah dia menyayangimu" Pernah menyayangimu" Kau juga" Memori itu pasti masih ada untuk dikenang. Jangan menilai dia dari sisi penyelewengannya karena yang itu adalah karakter dia sebagai lelaki, bukan sebagai ayah."
Yasmin termangu. Ia merasakan kebenaran kata-kata Delia. Tapi bukan itu saja. Ia teringat peristiwa malam kemarin. Sebelum ia melaksanakan niatnya mengeksekusi diri sendiri, ia ingat pada ayahnya
183 dengan cara yang berbeda. Ia pun sempat minta maaf dan menyatakan bahwa ia memaafkan ayahnya.
Delia mengamati Yasmin. Tampaknya Yasmin sudah mulai terpengaruh, pikirnya Bukankah menurut Erwin, ia pandai membujuk dan memengaruhi orang" Kesempatannya tinggal sedikit untuk melakukan hal itu. Ia harus memanfaatkan waktu yang ada. Yasmin harus segera mendapat pengganti dirinya sebagai pendukung karena ia bukanlah orang yang tepat untuk itu. Ia tidak bisa membantu Yasmin atau siapa pun, padahal Yasmin masih membutuhkan bantuan.
"Cobalah bandingkan. Ayahmu dan suamimu," Delia melanjutkan. "Kau sudah disakiti jiwa dan raga oleh suamimu sampai kau ingin mengakhiri hidupmu. Tapi setelah suamimu menyatakan penyesalan dan minta maaf padamu, kau segera memaafkan dan memberinya kesempatan. Kenapa hal yang sama tidak bisa kauberikan pada ayahmu""
"Aduh, Kak. Kau telah membuka mataku dan hatiku. Terima kasih."
Delia tersenyum bahagia. Ia memeluk Delia. Kalau ia sudah berhasil memberikan jalan keluar yang terbaik bagi Yasmin tanpa melibatkan dirinya, ia bisa mati dengan tenang!
Hendri masuk. Ia heran melihat Yasmin berpelukan dengan Delia. Kelihatannya akrab sekali. Keningnya berkerut. Ia merasa tidak nyaman karena ada orang lain yang mendapat tempat di hati Yasmin. Tentu Delia adalah penolong Yasmin. Wajar bila mereka menjadi akrab. Tapi dengan demikian ia jadi merasa tersisih. Apalagi ia yakin Delia sudah dijadikan tempat curhat oleh Yasmin.
Tentu saja ia tidak memperlihatkan perasaannya.
"Apa kabar, Kak Del"" tanya Hendri ramah.
184 "Oh, baik, Pak."
"Panggil Hendri saja," kata Hendri, memperlihatkan senyumnya yang memikat dan giginya yang bagus.
Dia memang lelaki yang tampan dan menarik, pikir Delia. Tak mengherankan Yasmin mencintainya.
"Sebaiknya aku pamit saja, Yas."
"Kok buru-buru sih, Kak"" kata Hend
ri. "Sudah lama aku di sini," sahut Delia lalu mencium pipi Yasmin.
"Sampaikan salam dan maafku buat mereka berdua, Kak," kata Yasmin. "Tentu."
Delia tahu, Kosmas dan Erwin takkan mau lagi masuk menemui Yasmin karena kehadiran Hendri.
"Kulihat mereka ada di lobi," kata Hendri sebelum Delia keluar.
Setelah Delia tidak kelihatan lagi, Hendri memeluk dan mencium pipi Yasmin. "Kau tambah segar dan cantik, Yas." Ia memuji.
Yasmin tersipu. Ia merasa pujian itu tidak sepenuhnya benar. Bukankah baru beberapa hari yang lalu Hendri mengatainya sebagai tua prematur" Tapi ia menganggap itu sebagai usaha Hendri untuk mengambil hatinya.
"Sebaiknya kau jangan terlalu dekat dengan orang-orang motel itu," kata Hendri kemudian.
"Kenapa"" "Biasanya mereka bukan orang baik-baik. Kepo-losanmu bisa dimanfaatkan."
"Siapa sebenarnya orang yang baik dan tidak baik itu, Hen""
Hendri terdiam. Ia kesal, tapi menahan diri. "Mereka penolongku. Lupa"" tegas Yasmin. "Tentu saja tidak. Aku pun berterima kasih pada
185 mereka. Tapi pantas dong kalau aku juga memintamu bersikap waspada karena mereka adalah lelaki. Aku kan manusia juga yang punya rasa cemburu."
"Baiklah. Tidak usah meributkan soal itu."
"Aku punya usul, Yas. Setelah kau pulih nanti, kita akan ke dokter sama-sama, ya" Im lho, ahli yang pernah kausebutkan itu. Oke""
Wajah Yasmin memerah. Ajakan malah yang paling menyentuh dibanding puja-puji. Ia merasa bahagia. Saat itu ia benar-benar menyadari betapa tipisnya jarak kesedihan dan kebahagiaan, kematian dan kehidupan.
Hendri tersenyum tipis. Ia tahu, kata-katanya mampu menyentuh. Ia optimis mampu memengaruhi. Yang penting baginya adalah menjaga perasaan dan tindakan. Sekarang Yasmin bukan lagi istrinya semata-mata, tapi juga anak tunggal orang yang kaya raya.
Tadi pagi, sepulangnya dari rumah sakit, ia menelepon Winata dulu. Ia memberitahu bahwa Yasmin berada di rumah sakit karena kecelakaan lalu lintas. Tapi kondisinya stabil. Ia juga tidak keberatan memberitahu nama rumah sakitnya karena yakin Winata tidak akan datang menjenguk. Seandainya Winata menyuruh Aryo atau siapa saja untuk mengecek, lelaki itu juga tidak akan mendapatkan informasi yang sebenarnya. Kondisi pasien bukanlah cerita yang gampang disampaikan kepada siapa saja.
Hendri menjanjikan akan membujuk Yasmin bila kondisinya sudah pulih seratus persen. Pasti tidak sampai sebulan.
"Apa yang kaupikirkan"" tanya Yasmin.
"Kau." Yasmin merasa senang. 186 19 Wajah murung Delia saat perjalanan pulang dari rumah sakit menjadi perhatian kedua rekannya. Kemurungan Delia menimbulkan kekhawatiran dan keprihatinan.
"Apa ada yang kaupikirkan"" tanya Kosmas.
"Nggak ada. Mana berani mikir macam-macam kalau sedang mengemudi"" sahut Delia.
"Aku saja yang nyetir, ya"" Erwin menawarkan.
"Ah, nggak apa-apa. Aku baik-baik saja."
"Lantas apa yang ada dalam pikiranmu"" Kosmas tak puas.
"Tentu saja soal Yasmin."
"Tadi kau bilang, soal itu sudah beres. Yasmin masih punya ayah dan mau berbaikan," Erwin mengingatkan.
"Tapi belum, kan" Aku khawatir juga kalau-kalau si ayah nggak peduli. Maklum, dia sudah punya istri lagi."
"Sudahlah. Kan ada kita yang menjadi temannya. Terutama kau," pancing Erwin.
"Aku tak ingin dia bergantung padaku seorang. Cuma mengandalkan aku saja."
"Kenapa"" "Im nggak baik. Kalau aku nggak ada, dia bisa kehilangan."
187 "Memangnya kau mau ke mana"" tanya Kosmas cepat.
Delia tertegun. Ia merasa dicecar.
"Aku kan orang Bandung," sahutnya. Lalu ia mengalihkan, "Bang Kos, tadi ucapanmu hebat deh."
"Oh ya" Aku pikir malah konyol."
"Nggak sangka kau bisa meledak begitu. Kau betul-betul perhatian sama Yasmin." "Sebenarnya aku berkata begitu bukan cuma untuk Yasmin seorang."
Kosmas merasa kelepasan setelah mengatakannya.
"Memangnya buat siapa lagi"" tanya Delia.
Di belakang, Erwin merasa tegang. Apakah Kosmas akan mengungkapkannya sekarang di saat Delia sedang mengemudi"
"Kami sudah berkali-kali mengalaminya. Bukan begitu, Win"" kata Kosmas.
"Betul," sahut Erwin.
"Jadi sekalian melampiaskan unek-unek"" tanya Delia.
"Kira-kira begitu."
"Seharusnya kau juga mau memahami motivasi orang bunuh diri
, Bang. Bukan semata-mata karena tidak menghargai hidup."
"Lalu apa, Del"" tanya Kosmas.
"Kematian adalah bagian dari kehidupan juga. Semua orang sudah sepakat tentang hal itu."
"Kalau itu memang benar, kematian itu merupakan bagian akhir. Sesudah itu selesai. Tak ada kehidupan lagi. Mana bisa dibilang jadi bagian dari kehidupan."
"Bagian akhir itu tetap merupakan bagian, Bang," bantah Delia. Sekarang ia bersemangat. "Banyak orang takut mati. Itu bisa saja karena mereka sangat menikmati kehidupan hingga tak mau meninggalkan.
188 Tapi ada juga orang yang takut mati padahal hidupnya menderita. Kan lebih baik mati" Jadi sebenarnya bukan karena takut hidup, tapi takut mati. Karena itu orang yang melakukan bunuh diri patut dibilang berani."
"Wah, kalau jalan pikiran seperti itu diikuti banyak orang, akan banyak masalah dan urusan yang terbengkalai," bantah Erwin.
"Kenapa begitu"" tanya Delia.
"Habis, semuanya memutuskan untuk bunuh diri saja daripada menyelesaikan persoalan. Susah dikit bunuh diri!"
"Nggak segampang itu orang bunuh diri. Butuh keberanian, Win!"
"Ah, mana bisa logika begitu dipakai" Kacaulah kehidupan ini. Yang penting, dalam menilai situasi dan kondisi adalah cara pandang!" bantah Kosmas.
"Yasmin mendapat hikmah dari upaya bunuh dirinya. Kalau dia tidak melakukannya, mana mungkin si suami menyesal"" bantah Delia.
"Ya. Dia mendapat hikmah karena ada yang menolong hingga berhasil hidup. Biarpun racun itu tidak diminum semuanya, kalau nggak cepat ditolong siapa yang tahu akibatnya" Nah, kalau dia mati, mana hikmahnya"" bantah Kosmas dengan semangat tinggi.
"Mana bisa" Biarpun mati, tetap ada hikmahnya!" Delia tak mau kalah. Kali ini ia tidak berpikir mengenai Yasmin, melainkan dirinya. Kalau dia nanti mati, Rama akan gigit jari. Itulah hikmahnya! Ganjaran bagi orang yang mata duitan.
"Apa hikmah buat yang sudah mati"" tanya Kosmas penasaran.
Erwin mendengarkan saja dengan arah pandang berpindah-pindah, ke kiri dan ke kanan. Mula-mula
189 asyik, kemudian tidak tahan. Kedua orang itu sesungguhnya punya alasan sendiri-sendiri kenapa begitu ngotot mempertahankan pendirian masing-masing.
"Sudah! Sudah!" seru Erwin sambil menggeser duduknya ke depan di antara Kosmas dan Delia. Lalu ia menepuk-nepuk pundak Kosmas. "Sabar, Bang. Nanti saja diskusinya diteruskan kalau sudah pulang."
Kosmas menarik napas panjang. Delia tersenyum. Kosmas senang melihat senyum Delia. Sesungguhnya Delia menyukai perdebatan itu. Ia juga suka argumentasi yang disampaikan Kosmas. Begitu bersemangatnya Kosmas hingga terkesan punya perhatian besar mengenai masalah itu. Sampai-sampai terpikir Kosmas ingin mencegahnya bunuh diri padahal dia tidak tahu apa-apa!
Setibanya di motel, Kosmas bertanya, "Bagaimana, Del" Mau istirahat dulu atau kita lanjutkan perbincangan tadi""
Nada suaranya menantang seperti mengajak duel!
Delia terheran-heran. Tak menyangka.
"Ayolah, Del," Erwin menyemangati. "Biar aku jadi moderator."
Erwin tahu maksud Kosmas. Bila Delia masuk ke kamar, dia sulit dicegah. Tidak ada yang tahu apa yang akan dilakukannya. Mereka berdua sudah tahu, jadi harus berupaya mencegah.
Delia bimbang sejenak. Ia sudah mengambil kepu-tusan tidak akan melaksanakan niatnya di Motel Marlin. Itu berarti pengunduran waktu. Jadi ia masih membutuhkan uang untuk keperluan hidupnya. Berarti uang yang masih tersisa tidak boleh dihabiskan. Hidup membutuhkan uang betapapun singkatnya.
"Kau capek"" tanya Kosmas. "Atau mau keluar untuk urusan bisnis" Tapi ini sudah sore."
190 "Aku nggak mau ke mana-mana. Cuma aku juga nggak mau menghambat pekerjaan kalian. Masa meladeni aku berdebat""
"Kita bisa berbicara di kantor sambil meladeni tamu," Erwin mengusulkan.
Delia memandang keduanya dengan heran. "Aku tak mengerti..."
"Ayolah. Tadi pembicaraannya menyenangkan sekali," bujuk Kosmas.
"Nanti sajalah sambil makan malam. Bukankah kalian mengundangku""
"Nanti ya nanti. Sekarang ya sekarang," desak Erwin.
"Aku mau istirahat dulu. Capek," Delia mengajukan alasan yang tak bisa dicegah.
"Sekarang belum lapar, Kak"" tanya Erwin. "Oh, belum."
"Jadi kau mau tidur lagi"" tegas
Kosmas, kecewa karena penolakan Delia "Barusan kan sudah tidur lama. Apa belum cukup""
"Kayaknya belum, Bang."
"Baiklah." Kosmas sadar tak bisa memaksa. "Tapi jangan lama-lama tidurnya. Nanti kubangunkan, ya" Jam enam""
"Ah, aku bisa bangun sendiri. Punya beker kok."
"Kalau jam enam belum keluar, kugedor pintunya, ya"" tegas Kosmas.
Delia tertawa. Lalu ia bergegas kembali ke kamarnya. Setelah menutup pintu" dan menguncinya, ia menggerutu, "Dasar cerewet!" Tapi kemudian ia tertawa sendiri. Rasanya senang juga diberi perhatian seperti itu meskipun aneh dan kurang logis. Sudah lama ia tak memperoleh perhatian dari siapa pun. Paling-paling yang diterimanya cuma basa-basi.
191 Tatapannya tertuju ke peles obat di atas meja. Diraihnya lalu dikocok-kocoknya perlahan. Crik-crik bunyinya. Benda yang akan dipakai sebagai jembatan menuju kematian. Pasti nyaman sekali bisa mati dalam tidur. Kenapa Yasmin sebodoh itu dengan memilih cara yang menyakitkan"
Muncul pikiran menggoda. Kenapa tak dilaksanakan sekarang saja" Telan isi peles itu, lalu selesai. Memang masih ada pekerjaan yang belum selesai. Sumbangan belum didistribusikan semuanya. Mungkin Kosmas dan Erwin mau membantu mendistribusikan. Alamatnya sudah tertera di amplop. Mereka pun pasti akan memaafkannya Sudah cukup sering kejadian orang bunuh diri di sini. Jadi tambahan orang satu lagi bukan masalah besar.
Ia harus maju karena tak mungkin mundur. Bukankah ia sudah tidak punya apa-apa lagi" Orang yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi sebaiknya melenyapkan diri supaya tidak membuat sesak bumi ini. Beri tempat bagi orang lain. Apalagi ia sudah berpikir dan merencanakan semuanya dengan matang. Ia tidak melakukannya dengan mendadak.
Setiap orang seperti Kosmas dan Erwin tentu punya pendapat lain karena mereka berada di sisi yang berbeda. Debat memang bisa seru kalau sudut pandang berbeda.
Biarpun tergoda oleh pikiran itu, Delia tak kunjung membuka pelesnya. Ah, janjinya dengan Kosmas jadi ganjalan. Ia pun harus memperhitungkan waktunya. Ia harus realistis. Seandainya ia menelannya sekarang, berapa lama kerjanya" Apakah jam enam ia sudah mati" Jam enam pintunya akan digedor kalau ia tidak keluar. Bila ia salah perkiraan, nasibnya akan sama seperti Yasmin. Cuma setengah mati dan dira-
192 wat di rumah sakit. Kemudian jadi tertawaan dan cemoohan orang.
Untuk kesekian kalinya ia kembali memutuskan untuk tidak melakukannya di situ. Tempat ini sudah membuat gerah. Kosmas dan Erwin tidak bisa disalahkan. Mereka berhak melindungi tempat ini dari gangguan para pencabut nyawa sendiri!
Delia merebahkan diri sambil meletakkan peles obatnya kembali ke atas meja. Tapi dudukannya tidak pas hingga peles itu menggelinding terus jatuh ke lantai, lalu menggelinding ke kolong tempat tidur. Ia membiarkan saja. Terlalu malas untuk mengambilnya. Nanti saja.
Kantuk datang. Sebelum terlelap sempat terbayang wajah Kosmas yang sangar tapi penuh perhatian. Ada keprihatinan mendalam di wajahnya. Ah, kenapa"
Delia tertidur. Tapi dalam tidurnya ia memimpikan Ratna!
* * * Kosmas dan Erwin memanfaatkan waktu untuk berunding bagaimana menghadapi Delia dalam pertemuan nanti.
"Aku takut dia tidak keluar lagi," kata Kosmas cemas. "Kalau sekarang dia menelan obatnya, pasti sudah terlambat nanti. Tapi masa sih kita membangunkannya sekarang""
Erwin pun bingung. "Barangkali kita salah, Bang," keluhnya.
"Salah gimana"" Kosmas bertambah cemas. "Mestinya kita tidak membiarkan dia masuk kamar." "Hah" Habis dia mesti diapain" Kita kan nggak bisa melarang!"
193 "Mestinya kita buka kartu aja, Bang. Terus terang kepadanya bahwa kita sudah tahu apa yang mau dia lakukan. Terserah dia mau marah atau apa. Lalu kita sita pilnya. Kita ajak diskusi, tanya masalahnya apa dan bagaimana kita bisa membantunya."
Kosmas menepuk kepalanya sendiri. "Waduh! Kenapa kau baru ngomong sekarang" Kenapa nggak dari tadi""
Erwin pun menyesal. "Habis baru sekarang kepikir. Tadi kok nggak ya" Rasanya segan bicara begitu pada orang yang kelihatan tidak punya masalah. Dia juga kelihatan ceria."
"Iya. Aku juga sama. Aku ingin meyakinkannya lewat cara l
ain. Berat rasanya memberitahu terus terang bahwa diam-diam isi lacinya sudah kuintip. Juga lemarinya. Dia pasti marah, ya""
"Pasti. Harga dirinya akan tersinggung. Lalu tanpa ba bi-bu dia segera angkat kaki dari sini. Kalau sudah begitu habislah. Tak ada" kesempatan lagi."
Kosmas tertegun. Ngeri membayangkannya. Ia melihat jam. Baru lewat setengah jam. Tapi rasanya sudah lama sekali. Keringat dingin sudah membasahi bajunya. Ia ingin sekali menangis karena cemas dan putus asa.
"Habis gimana ya, Win"" ia merengek. "Seumur hidup aku belum pernah kayak gini."
Erwin menatap abangnya penuh selidik. "Kau jatuh cinta kepadanya ya, Bang" Awal dari cinta adalah perhatian."
"Ah, tak ada gunanya mempersoalkan itu. Yang penting bagaimana cara menyelamatkan nyawanya."
"Susah, Bang. Soalnya orang yang mau kita selamatkan itu tak ingin diselamatkan!"
194 BAB 20 Ratna cukup menyadari bahwa waktu yang lewat sejak ia memberi instruksi kepada anak-anaknya baru hitungan hari. Tapi ketiadaan berita atau perkembangan membuat ia geram. Ia gampang marah-marah tanpa alasan. Anak, menantu, dan cucu menjadi sasaran. Tapi ia tetap baik kepada Ipah, pembantunya Hal itulah yang membuat Ipah bisa bertahan di situ. Gaji lumayan, makan cukup, dan pekerjaan ringan, adalah faktor lain di samping perlakuan baik yang membuat betah seorang pembantu rumah tangga.
"Sudah dapat detektifnya"" tanya Rama kepada Rama.
"Sudah, Ma. Dia sudah mulai kerja," sahut Rama, mengikuti kesepakatan saudara-saudaranya. Padahal sesungguhnya tak ada detektif yang mereka sewa. Mereka juga tak berupaya mencari detektif. Bagi mereka, sudah jelas kesia-siaan upaya semacam itu. Apa yang mau dilakukan setelah Delia. ditemukan" Mereka tidak berwenang untuk menangkapnya. Delia adalah orang bebas yang berhak pergi ke mana pun dia suka.
"Apa yang dilakukan detektif itu"" tanya Ratna.
"Dia menanyai orang-orang yang diperkirakan mengenal Del."
"Huh, itu sih cara yang lelet. Kapan ketemunya, kalau gitu."
195 Tiba-tiba Boy, putra Rama, nyeletuk, "Mestinya sih nyarinya nggak pakai orang, tapi anjing herder!" "Apa"" Ratna melotot.
Cepat-cepat Maya mengusir Boy pergi. Ia takut anaknya kena kutuk.
"Sabar saja, Ma. Sabar," bujuk Rama. Ia juga ngeri. Dalam keadaan marah, biasanya mulut Rama menjadi jahat. Lidahnya akan kehilangan kendali. Percaya atau tidak percaya, kenyataan yang dialami Delia sekeluarga sudah jelas.
""Huh, sabar! Sabaaar...!" Ratna mengomel. Mulutnya dimonyongkan. Matanya yang kecil bergerak-gerak. Hidungnya kembang-kempis.
Bagi yang tidak mengenalnya pasti akan menganggap penampilannya itu lucu. Seperti nenek-nenek yang kembali bertingkah seperti anak kecil. Proses biasa dari perubahan perilaku orang ma. Tetapi bagi orang-orang yang mengenal Rama, khususnya anggota keluarga, itu adalah ekspresi yang mengerikan.
Maka menghadapi kemarahan Rama yang paling aman adalah diam dan menerima hardikan apa pun dengan lapang dada. Tak menyahut apalagi membantah. Menatap langsung pun tak berani. Hanya menunduk saja. Menghadapi sikap seperti itu Ratna tak lagi punya alasan untuk menyumpah dan mengutuk.
Kali ini Rama sudah kehilangan kesabarannya.
"Ambilin menyan sama wadah arangnya, Pah! Arangnya dibakar ya," ia memerintahkan.
Bi Ipah selalu melaksanakan perintah tanpa bertanya untuk apa dan kenapa. Ia hanya bertanya kalau perintahnya tak jelas.


Pertemuan Di Sebuah Motel Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah mendapat apa yang diinginkannya, Ratna masuk ke kamar. Ia duduk bersila di lantai. Wadah kemenyan ia letakkan di depannya. Di atas bara
196 arang ia tebarkan kemenyan. Segera asap berbau kemenyan merambah ke segala sudut lalu keluar lewat lubang angin dan sela pintu terus ke ruangan lain. Mulut Ratna komat-kamit.
* * * "Aduh, Pa. Mama lagi bakar menyan," lapor Maya kepada suaminya.
"Ya. Aku juga menciumnya."
"Biasanya kan dia nggak pakai bakar menyan segala, ya" Kenapa sekarang pakai itu"" tanya Maya dengan ekspresi cemas.
"Entahlah. Artinya dia serius."
"Mau mengutuk siapa" Aduh, Pa, takuuut...," suara Maya meninggi.
"Tenang, Ma. Kita mah nggak usah takut. Dia kan tinggal sama kita. Masa tega mengutuk kita""
"Habis siapa" Delia""
"Siapa lagi " Tadi kan marahnya sama Del."
"Kasihan ya. Mau diapain si Del itu""
"Kita berharap yang baik saja."
"Yang baik" Cara itu kan nggak baik"" suara Maya lebih meninggi lagi.
"Ssst..., Maaa..., jangan keras-keras. Biarkan saja dia berlagak seperti dukun."
"Dia bukannya berlagak, Pa. Dia benar-benar dukun jahat!"
Dengan khawatir Rama memeluk istrinya. Ia merasakan mbuh Maya gemetar. Baru disadarinya bahwa Maya benar-benar ketakutan. Ia memeluk lebih keras sambil menepuk-nepuk punggung Maya.
"Tenanglah, Ma. Demi keluarga kita, tenanglah. Sabar."
197 Maya menangis tertahan. Rama terus menepuk-nepuknya untuk menenangkan. Akhirnya sedu sedan Maya berhenti.
"Cuek saja, Ma. Cuek, ya. Jangan diambil hati. Jangan anggap serius," bisiknya di telinga Maya.
"Maunya sih begitu, Pa. Tapi lama-lama berat juga rasanya."
"Tentu. Aku mengerti. Tapi berusahalah, Ma. Demi kita semua. Ingat anak-anak."
Kata-kata itu bisa lebih menenangkan Maya.
"Dulu dia nggak pakai menyan. Berarti ada peningkatan," keluh Maya.
"Kita harus beradaptasi juga, Ma. Pokoknya kita kan nggak ikut-ikutan. Dosanya adalah tanggungannya sendiri."
"Aku sering bergidik kalau ada di dekatnya. Dili-hatin aja udah merinding."
"Tapi kita nggak boleh larut dalam ketakutan, Ma. Bisa ambruk nanti. Makanya supaya bisa survive, kita harus berupaya sesuai kemampuan kita. Karena nggak bisa melawan, maka kita menghindar saja. Jadi bersabarlah."
Maya senang akan perlakuan Rama yang sabar dan perhatian. Ia berjanji untuk memenuhi permintaan Rama. Tapi dalam hati ia berkata dengan gemas, "Semoga nenek itu cepat mati!"
* * * Di kamar Ratna yang luas, asap menyan sudah memenuhi kamar hingga memutih seperti kabut. Tapi Ratna tidak memedulikan. Ia berkonsentrasi sepenuhnya. Sesekali ia menaburkan kemenyan di atas bara arang. Asapnya tidak putus-putus.
198 "Tuan! Tuan!" ia memanggil. Tatapannya ke arah depan. Ia memang tidak berharap bisa melihat sesuatu. Dulu pun ia tidak melihat apa-apa. Ia cuma mendengar suaranya.
Sudah berkali-kali ia memanggil, tapi tak ada sahutan. Ia hampir putus asa.
"Tuan! Tempo hari kau janji untuk datang lagi! Mana" Sudah lupa sama aku atau asyik sama orang lain""
Ia merasa sudah cukup lama menunggu janji sang Tuan. Ia tidak punya kesabaran untuk membiarkannya datang sendiri. Kapan mau datang kalau ia sudah membutuhkannya sekarang" Ia membutuhkan banyak hal. Salah satunya adalah Delia!
Ia tidak ingin jadi orang yang cuma pintar menyumpah dan mengutuk. Ia ingin lebih. Dulu ia mengutuk suaminya yang sakit-sakitan serta menghabiskan harta dan perhiasannya agar cepat mati saja. Ternyata kemudian suaminya benar-benar meninggal. Tapi saat itu ia tidak pernah berpikir bahwa kematian itu adalah akibat dari kutukannya. Bila orang sakit parah, suatu saat pasti akan meninggal juga. Sesudah itu ia mengutuk Adam dan Agus yang dianggapnya kurang ajar. Keduanya pun meninggal meskipun oleh sebab yang berbeda dan saat yang berbeda juga. Tapi kejadian berturutan itu tidak membuatnya yakin bahwa lidahnya memang bertuah. Im tentu kebetulan belaka.
Baru belakangan ini saja ia merasa memiliki kemampuan yang lebih dari biasanya. Instingnya lebih kuat. Sepertinya ia punya indra keenam. Fisiknya pun begim. Tapi bukan cuma itu yang diinginkannya. Ia ingin lebih.
"Ke mana kau, Tuan yang kupuja" Ketahuilah,
199 hanya engkau satu-satunya yang bisa memenuhi keinginan-keinginanku!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa yang sudah dikenalnya. Biarpun begitu ia terkejut karena bunyi itu menggiriskan perasaan. Ia jatuh terjengkang dengan kedua kakinya masih menekuk!
"Ha-ha-ha! Jadi kau memujaku""
Ratna cepat bangun dengan susah payah. Kakinya terasa kaku. Ia kembali ke posisi bersila.
"Ya, Tuan! Betul, Tuan! Aku memujamu!"
"Kalau begitu, kau bersedia menjadi hambaku""
"Ya." "Dan kalau kau mati, nyawamu menjadi milikku"" "Ya."
"Sudah kaupikirkan" Aku memberimu waktu cukup banyak untuk berpikir." "Sudah, Tuan."
"Baiklah. Bagus kalau begitu. Artinya kau memutuskan tanpa paksaan." "Ya, Tuan."
Suara tawa itu kedengaran lagi. Senang dan puas. Menggiriskan dan membangkitkan bulu roma.
Tapi kali ini Ratna bergeming
. Ia tidak kaget lagi atau merasa ngeri. Sebaliknya ia duduk dengan leher tegak. Ia merasakan sensasi mengaliri darahnya. Wajahnya menampakkan keinginan-keinginan dan dambaan yang membuatnya tampak ganas dan energik oleh semangat keserakahan. Pelan tapi pasti wajahnya memperlihatkan perubahan. Keriput menghilang, tinggal garis-garis tipis. Pipinya mengencang, gelambir di dagu lenyap. Dan rambutnya yang putih berubah hitam!
Ia tidak tahu apa yang terjadi pada wajahnya. Ia hanya merasakan kelainan. Tapi ia tidak berani beralih
200 dari duduknya untuk mengecek di cermin. Ia khawatir sang Tuan keburu pergi. Ia tidak akan tahu kalau hal itu terjadi.
"Tuan! Tuan! Aku ingin..."
"Aku tahu apa yang kauinginkan!" gelegar suara sang Tuan memutus perkataannya.
Sesudah itu sepi. Ratna tahu sang Tuan sudah pergi. Ia segera melompat bangun dengan enteng, lalu berlari ke cermin besar yang melekat di depan lemari pakaiannya. Di sana ia berteriak penuh kejutan. Betulkah itu dirinya yang sudah berusia tujuh puluh tahun" Itu memang dirinya, tapi dengan usia puluhan tahun lebih muda! Ia tak bosannya mengamati cermin. Ia ingat dirinya saat itu. Masih tergolong muda tapi memiliki suami yang tak punya kemampuan lagi untuk memuaskan libidonya.
Cepat-cepat ia membuka dasternya. Beha dan celana dalamnya yang melorot ia buka juga. Kini ia bugil!
Untuk kedua kalinya ia terpesona. Itu adalah tubuhnya di masa lalu. Tubuhnya indah. Padat dan kencang. Tak ada selulit. Pikirannya kembali melayang ke masa itu. Tubuhnya itu pernah mendambakan cinta tapi tak bisa diperolehnya. Untuk menyeleweng ia tak bisa karena tak punya keberanian. Maka pelan-pelan seiring waktu yang berjalan, tubuh padat dan kencang itu berangsur-angsur menjadi peot, lembek, dan bergelayut! Proses menua itu terjadi dalam kesibukannya mengurus suami yang sakit-sakitan dan tujuh orang anak! Setelah bebas dari kesibukan itu, tahu-tahu ia melihat dirinya sudah renta. Masa yang sudah lewat tak bisa diraih kembali. Ia harus menerima apa yang ada dengan amarah!
Tetapi sekarang mimpinya menjadi kenyataan.
201 Ipah duduk di lantai depan kamar Rama, tak jauh dari pintu. Tidak dekat-dekat karena takut nanti disangka menguping. Ia mendengar suara-suara. Tapi serba tak jelas. Ia mengira Ratna bicara sendiri dengan suara yang berubah-ubah. Ia takut majikannya itu sudah menjadi gila. Karena merasa berkewajiban, maka ia tetap di situ menunggui kalau-kalau Ratna perlu bantuan.
Maya sesekali melongok dari jauh. Cukup lama Rama di dalam kamar. Ia yakin Rama tidak sedang tidur karena asap kemenyan menandakan ada kegiatan di dalam kamar. Ia melihat Ipah masih duduk di depan kamar. Ia tak berani mendekat karena takut bila pada saat yang sama tiba-tiba Ratna keluar. Maka ia cuma memberi isyarat bertanya dengan tangannya kepada Ipah. Tapi Ipah menggelengkan kepala dan tangannya. Tanda tidak tahu.
Lalu pintu terbuka. "Pah!" terdengar panggilan Rama. "Nih, bawa ke belakang!"
Ipah berdiri lalu mendekat. Ia menerima wadah kemenyan yang disodorkan Rama kepadanya tanpa memandang wajah Ratna seperti sikapnya yang biasa. Tapi ia merasakan adanya kelainan. Ia memandang Rama, lalu tatapannya menjadi lekat untuk sesaat. Wajahnya penuh dengan kejutan luar biasa. Ia membuka mulut.
"A-a-aaa... u-u-uuu...," suaranya keluar dengan susah. Lalu mulurnya membuka lebih lebar, kerongkongannya bergetar. Lalu keluarlah jeritannya yang melengking! Sesudah itu ia jatuh pingsan! Wadah
202 kemenyan lepas dari tangannya, jatuh dan pecah berantakan! Arangnya berhamburan ke mana-mana.
Rama tertawa geli melihat kejadian itu. Ia membiarkan saja dan menganggapnya sebagai tontonan menarik. Sengaja ia menarik diri lebih ke pinggir supaya tidak tampak dari ruang dalam. Ia menunggu.
Maya datang dengan tergopoh-gopoh diikuti Rama. Mereka berhenti mendadak setelah melihat Rama. Pandang mereka membelalak, terkejut dan tidak percaya.
"Ma...ma"" gagap Maya, diikuti seruan Rama.
Rama tersenyum lebar dan memperlihatkan barisan giginya yang utuh, padahal semula ada beberapa yang tanggal!
Maya menjerit lalu jatuh pingsan! Hanya Rama yang masih berdiri teg
ak. Kaku sejenak. Ia memelototi ibunya. Meskipun terkejut luar biasa, ia masih bisa mengendalikan diri. Tiba-tiba ia merasa kembali ke masa lalu. Ketika itu ia masih pelajar SMU. Kira-kira seperti itulah penampilan ibunya yang sekarang dilihatnya. Tapi sekarang ia bukan lagi pelajar SMU. Ia seorang bapak dua anak, berusia empat puluhan! Yang kembali ke masa lalu bukanlah dirinya, melainkan ibunya!
Rama segera tersadar melihat Maya terkulai di lantai. Ia harus menolong istrinya. Rama tertawa sejadi-jadinya. Aduh, senang sekali!
203 BAB 21 Delia terbangun dengan kaget. Ia langsung duduk dengan wajah pucat. Keringat dinginnya bercucuran. Jantungnya berdebar kencang. Tubuhnya gemetaran. Barusan ia memimpikan Ratna! Tetapi berbeda dari biasanya, mimpinya barusan terasa begitu riil. Sepertinya ia berhadapan langsung dengan Ratna. Jadi sekarang setelah sadar, ia memandang berkeliling kalau-kalau Ratna berada di kamarnya. Setelah yakin itu memang hanya mimpi, ia kembali menjatuhkan diri di kasur.
Di dalam mimpinya ia melihat Ratna menatap marah kepadanya sambil mengulurkan kedua tangan dengan telapak tangan ke atas. "Berikan padaku!" teriaknya. Wajahnya mengerikan karena selain ekspresi kemarahan, di atas kepalanya mencuat sepasang tanduk kecil! Matanya menyala seperti memancarkan api!
Delia tahu apa yang diminta Ratna. Masih tetap sama. Tetapi baginya, memberikan itu berarti menyerah. Dan menyerah berarti membiarkan diri dikuasai.
"Tidak!" sahutnya tegas.
"Oh, tidak"" tegas Ratna. "Pelit amat sih kau! Daripada kauhamburkan buat orang lain kan lebih baik buat aku saja! Dasar jahat!"
"Aku berhak memberikan milikku kepada siapa saja!"
204 "Oh ya" Dasar busuk! Kalau begitu, kau nggak bakal mati dengan tenang! Pikirmu aku nggak tahu ya" Kau nggak bisa mati sebelum memberikan apa yang jadi hakku!"
"Kalau aku mati, baru Mama boleh ambil karena sudah jadi hak Mama!"
"Huh! Bukankah kau punya rencana mati tanpa meninggalkan apa-apa" Buat apa mayatmu bagiku""
Lalu wajah Ratna yang mengerikan itu mendekat kepadanya. Semakin lama semakin dekat hingga ia merasa akan dimakan olehnya. Delia ketakutan, tak bisa bergerak. Baru kemudian ia merasa "terlempar" kembali ke dunia nyata.
Setelah merasa lebih tenang, ia kembali memikirkan mimpi itu. Meskipun merasa aneh, ia sadar itu bukan sembarang mimpi. Sesungguhnya ia masih merasa takut kepada Ratna. Ia melawan dalam ketakutan dan ketidakberdayaan. Sekarang muncul kecemasan lain. Bisakah Ratna mencegah ia mati" Punya kemampuankah dia melakukannya" Bila Rama benar mampu, apakah itu berarti ia tidak bisa mengatur diri sendiri" Padahal ia percaya setiap orang berhak mati kapan saja ia mau karena ia memiliki dirinya sendiri.
Tubuh Delia terasa lemas. Pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab itu melelahkan otaknya. Ia tak bisa berpikir lagi. Otot-otot di tubuhnya ingin beristirahat. Maka ia pun diam dalam kekosongan dan keheningan. Dalam keadaan itu ia bisa merasakan dengan jelas denyut jantungnya dan gerak aliran darah ke sekujur tubuhnya. Kemudian perutnya berbunyi dengan irama teratur, bukan karena adanya gas, tapi karena kerja mesin pencernaan makanan. Di dalam tubuhnya sedang berlangsung proses rutin
205 pertanda kehidupan. Semua organ aktif bekerja untuk menunjang kehidupan. Kalau berhenti berarti mati.
Dalam diamnya ia menikmati gemuruh kerja organ-organ tubuhnya itu. Ia membayangkan suatu saat semua itu akan berhenti bekerja. Bermacam sebabnya. Salah satunya adalah pemaksaan atau bunuh diri! Tiba-tiba muncul rasa sayang. Ada rasa bersalah kalau ia sampai mencederai dan menghancurkannya.
Matanya menjadi basah. Lalu perlahan-lahan ototnya kembali bergerak. Kaki dan tangannya meregang. Tubuhnya bergeser untuk menyamankan posisi. Otaknya siap bekerja lagi. Ada ajakan, "Ayo kita berpikir lagi!"
Apa yang harus dilakukannya sekarang setelah menyadari kekuatan Ratna" Mimpi tadi itu adalah show of force! Jelas ia tidak bisa lagi berpegang pada keyakinan sebelumnya bahwa Ratna hanya perempuan tua yang berlidah tajam. Dari mana kekuatan yang dimilikinya itu"
Selama ini Delia meyakini bahwa kekuatan yang ber
tujuan jahat pasti dikendalikan oleh iblis. Sementara kebalikannya, yaitu yang baik, dimiliki atau berada di pihak Yang Mahakuasa. Ia memang tidak pernah berpaling kepada yang jahat karena memercayai hati nuraninya. Tapi ia pun tidak berpaling kepada-Nya.
Hal itu terjadi sejak kemalangan menimpanya berturut-turut. Ia menganggap dirinya sudah dilupakan dan ditinggalkan oleh-Nya. Jadi buat apa lagi memohon dan berdoa"
Ia percaya, sekarang ini hanya Dia yang bisa menolongnya. Tapi ia merasa malu untuk kembali memohon setelah menganggapnya sebagai kesia-siaan belaka.
206 Ternyata ingatan kepada-Nya saja mampu memberinya ketenangan. Tanpa terasa ia kembali tertidur!
Sambil menunggu tibanya jam enam, kedua bersaudara terus berbincang mencari jalan keluar bagi Delia.
"Kalau kita sudah terbuka kepadanya, sebaiknya kita ajak dia ke psikiater," Kosmas mengusulkan.
"Kukira, orang seperti Delia nggak butuh nasihat, Bang. Dia butuh sesuatu yang nyata," sahut Erwin.
"Masalahnya seperti apa saja kita nggak tahu," Kosmas berkata dengan lesu.
"Ya. Kita harus menunggu dulu. Dalam hal ini kita harus bertindak selangkah demi selangkah. Lihat reaksinya untuk menentukan reaksi kita."
"Jadi sebaiknya kita tunggu saja. Biarpun menunggu itu meresahkan."
"Bicara topik lain saja, Bang."
"Apa"" "Aku mau curhat, Bang. Begini. Aku punya perasaan khusus terhadap Yasmin." "Sudah kuduga."
"Tapi kenapa aku mesti jatuh cinta pada istri orang sementara dia sendiri kelihatannya tidak peduli padaku"" keluh Erwin.
"Jangan putus asa dulu, Win. Sekarang dia memang istri orang, tapi besok-besok kan belum tentu. Kau harus bersabar. Suaminya itu gombal. Lihat saja. Yasmin akan menderita lagi."
"Kelihatannya dia mencintai suaminya. Cinta membuat dia percaya, betapapun gombalnya omongan si suami. Kenapa yang mendapatkan cinta dari orang yang kucintai justru tidak bisa menghargai""
207 Kosmas menepuk pundak Erwin.
"Jangan pesimis, Win. Hidup ini nggak kelihatan ujungnya. Kita nggak tahu apa yang ada di sana."
"Aku juga takut dia akan mengulangi perbuatannya kalau ternyata si suami kembali berbuat jahat kepadanya."
"Kita senasib lagi, Win. Sama-sama jatuh cinta pada perempuan putus asa."
"Sama tapi tak serupa. Kau lebih beruntung, Bang. Delia bukan istri orang."
"Sekarang Yasmin memang istri orang Tapi besok belum tentu, Win."
Erwin tertawa. "Jangan-jangan kita senasib juga. Bertepuk sebelah tangan!"
"Eh, hampir jam enam tuh. Kau mandi dulu, gantian." Kosmas menepuk pundak adiknya.
Sambil menunggu Erwin selesai mandi dan menggantikannya, Kosmas mondar-mandir di depan kantor dan menatap ke arah kamar 14, berharap Delia keluar dari sana. Tamu-tamu bermunculan keluar-masuk, tapi bukan Delia.
Usai mandi kembali Kosmas mondar-mandir.
"Bang! Duduklah di sini," panggil Erwin.
"Sudah lewat sepuluh menit, Win!" Kosmas menunjuk arlojinya.
"Tunggulah barang sebentar lagi."
"Aku akan menjemputnya."
Sebelum Erwin sempat berbicara, Kosmas sudah bergegas pergi. Spontan Erwin mau mengikuti, tapi kemudian ia teringat untuk memanggil Adi dulu supaya ada yang menggantikan. Erwin khawatir Kosmas akan bertindak emosional.
Kosmas mengetuk pintu kamar 14.
"Del! Del!" ia memanggil. Mula-mula pelan, kemu-
208 dian keras. Lalu ia menyadari, ada gorden terkuak di kamar sebelah. Nanti bukan cuma gorden terkuak, melainkan penghuninya yang keluar. Satu keluar lainnya keluar juga. Bisa terjadi kehebohan. Apalagi dia pemilik motel.
Ia menghentikan ketukan dan panggilannya. Tapi semakin resah. Kenapa Delia tidak menyahut atau membuka pintu"
Erwin datang, Ia membawa kunci cadangan.
"Gimana, Bang" Kita buka saja atau mencoba lagi menggedor pintunya hingga orang-orang pada heboh""
"Buka saja! Tapi tengok dulu kiri-kanan."
Setelah memastikan lorong sepi dan gorden di kamar sebelah tertutup rapat, Erwin membuka pintu kamar dengan cara yang sudah dilakukannya sebelumnya. Risikonya besar. Kalau Delia sedang tidur, wanita itu bisa marah besar atas kelancangan mereka. Tapi risiko itu harus ditempuh.
Kosmas dan Erwin menerobos masuk. Tubuh mereka bertabrakan di ambang pintu karena mau masuk berbarengan.
Mereka melihat Delia berbaring diam. Kosmas cepat mendekati. Erwin masih ingat untuk menutup pintu kembali. Jangan sampai ada orang tak berkepentingan ikut masuk.
Delia tampak begitu diam. Ia tidak terbangun atau terusik meskipun kedua orang yang lancang itu membuat suara-suara yang cukup berisik. Tapi dadanya yang naik-turun menandakan ia masih hidup. Kosmas merasa lega sampai kemudian matanya tertuju ke meja di samping tempat tidur. Ia terkejut sekali. Peles berisi pil yang semula ada di situ sudah tak ada.
209 "Win! Lihat! Nggak ada!" ia berseru sambil menunjuk.
Erwin ikut kaget. Ia dan Kosmas menghambur ke sisi Delia. Satu di sebelah kiri, satu di kanan.
"Bangun, Del! Bangun! Ayo bangun!" keduanya berseru.
Dengan nekat Kosmas mengguncang-guncang lengan Delia. Tapi ia masih ingat untuk melakukannya dengan hati-hati. Biarpun cemas, masih ada harapan.
Sebenarnya Delia sedang tidur. Tapi tidur yang dijalaninya ini berbeda dari biasa. Begitu nyenyaknya hingga seolah berada di dunia lain. Hampir seperti koma. Pancaindranya tumpul, hampir tak berfungsi. Dalam keadaan demikian tentu saja ia sulit dibangunkan.
Optimisme Kosmas luruh. Ia menjadi panik. Guncangannya di lengan Delia makin keras. Panggilannya pun terus bersahut-sahutan dengan Erwin.
"Bangun, Del! Bangun! Jangan mati! Jangan!"
Akhirnya guncangan Kosmas yang keras berhasil membangunkan Delia. Delia membuka mata, menyipit pada mulanya. Masih bingung. Belum sempat sadar sepenuhnya, tubuhnya sudah ditarik Kosmas hingga terduduk. Sesudah itu dengan dibantu Erwin, Kosmas menurunkannya dari tempat tidur. Kedua orang itu menopang tubuh Delia, satu di kiri satu di kanan. Mereka memaksa Delia berjalan!
Mata Delia terbuka semakin lebar. Kesadarannya kembali. Setelah heran dan bingung, ia berontak dari pegangan. Tapi Kosmas dan Erwin semakin kuat memegangnya sambil menyeretnya terus berjalan keliling kamar. Delia tak mampu mengatasi tenaga dua lelaki.
"Del! Kau nggak boleh mati, tahu" Kenapa senekat
210 itu sih"" Kosmas memarahi. "Aduh, Del! Jangan begitu dong!"
Ucapan itu membuat Delia bertambah bingung. Apakah tadi ia benar-benar menelan pilnya lalu keburu ditolong Kosmas dan Erwin sebelum sempat mati"
"A-a-ada a-a-apa"" Delia setengah memaksa mulutnya untuk berbicara. Lidahnya terasa kelu. Gila benar, pikirnya. Bahkan aku tidak ingat apa yang barusan kulakukan. Siapa sebenarnya yang gila" Dirinya atau kedua orang ini"
Ia merasa lega karena Kosmas dan Erwin tidak lagi menyeretnya. Jalan-jalan sudah berhenti.
"Nah, dia sudah bisa ngomong, Win! Sekarang kita bawa dia ke rumah sakit!" kata Kosmas.
"Hah" Ke-kenapa"" Delia bicara lebih keras. Nadanya menuntut.
Kosmas bertukar pandang dengan Erwin.
"Perutmu harus dipompa, Del! Aturannya gitu, kan" Ayolah cepat!"
Delia menepis pegangan di kiri dan kanannya. Ia berhasil. Lalu ia berkacak pinggang dengan ekspresi galak.
"Memangnya perutku kenapa"" tanyanya lancar.
Sekarang giliran Kosmas dan Erwin yang bingung. Apakah mereka melakukan kesalahan"
Delia terhuyung. Ekspresi galaknya hilang. Ia merasa pusing karena jalan berputar-putar tadi. Dengan sigap Kosmas dan Erwin memegangnya, tapi. kembali Delia menepis kiri-kanan. Kosmas dan Erwin melepas pegangan. Buru-buru Delia duduk di tepi tempat tidur.
"Bagaimana perasaanmu, Del" Sudah enakan" Apa benar nggak perlu ke rumah sakit"" tanya Kosmas. "Memangnya ada-apa sih" Kalian ini kenapa""
211 "Obat di situ ke mana"" tanya Kosmas, menunjuk meja.
"Obat"" ulang Delia. Ia pun memandang ke sana. Keningnya berkerut. Ya, ke mana peles obat itu"
"Kauminum, ya"" tanya Kosmas.
Delia menggeleng. Kemudian teringat. "Masuk ke kolong," katanya, menunjuk ke bawah.
Erwin membungkuk ke arah kolong tempat tidur. "Oh ya, ini dia." Ia meraih peles obat itu, menunjukkannya kepada Kosmas, lalu mengamati peles itu. "Masih penuh," katanya. Kemudian ia memasukkannya ke dalam saku celananya.
"Hei, itu milikku!" seru Delia. "Kenapa kauambil""
Kosmas merasa lega bukan main. Jadi Delia belum meminumnya. Tapi ia tidak menyesal telah berlaku lancang. Kalau tidak melakukannya, ia akan merasa bersalah bila ternyata benar-benar
terjadi sesuatu pada Delia. Kemudian ia menjatuhkan diri, berlutut di depan Delia lalu memegang kedua tangannya.
"Del, aku mohon. Jangan bunuh diri. Apa pun masalahmu, jangan berbuat begitu. Aku dan Erwin mau menolong dengan segenap kemampuan kami. Sungguh, Del," kata Kosmas dengan suara memohon.
Erwin ikut berlutut di samping Kosmas. Ikut pula memohon, "Benar, Kak. Aku tahu kau punya masalah berat. Tapi jangan diputuskan dengan cara itu. Masih ada cara lain, kan" Kau punya pandangan luas. Aku tahu itu. Caramu menasihati Yasmin bisa membuktikan. Jangan bunuh diri, Kak. Kami tahu, kalau tidak di sini kau mungkin pindah ke tempat lain. Jangan, Kak."
"Ya, jangan lakukan, Del," sambung Kosmas.
Delia terheran-heran, menatap kedua orang di depannya bergantian. Ia mengerti maksud mereka tapi juga tidak paham.
212 "Dari mana kalian bisa tahu"" tanyanya.
"Maafkan aku, Del. Aku sudah lancang. Tapi semua itu terjadi tanpa sengaja. Kebetulan saja."
Kosmas bercerita tentang kejadian malam itu, ketika Delia dan Erwin sibuk membawa Yasmin ke rumah sakit.
"Maafkan aku. Tapi aku tidak menyesal telah berlaku lancang. Kalau tidak begitu, aku tidak mungkin bisa tahu."
Delia tertegun sejenak. "Jadi kau mengacak-acak tasku""
"Ya. Maaf, Del."
Delia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sudah. Kalian bangunlah. Duduk sini," katanya sambil menepuk-nepuk kasur di kedua sisinya.
Kosmas dan Erwin merasa lega. Jadi Delia tidak marah. Mereka segera duduk di sisi kiri-kanan Delia.
"Ya, aku maafkan kalian. Habis mau apa lagi" Sudah kejadian. Marah pun percuma. Lagi pula kalian berniat baik. Sangat baik! Akulah yang seharusnya berterima kasih. Supaya kalian lega dan plong, aku beritahu bahwa aku sudah membatalkan niatku."
"Betul, Del" Apa bukan supaya kami tidak mem-buntutimu lagi"" Kosmas setengah percaya. Segampang itukah Delia membatalkan niatnya"
"Betul. Tapi sebabnya bukan karena nasihat kalian."
"Lalu karena apa"" tanya Kosmas dan Erwin hampir berbarengan.
"Dia," sahut Delia sambil menunjuk ke atas.
"Dia"" kembali Kosmas dan Erwin bersuara berbarengan.
"Tadi aku mengalami sesuatu yang aneh. Aku dua kali tidur. Tidur yang pertama aku mimpi buruk
213 sekali. Mimpi tentang iblis. Aku bangun dengan ketakutan. Dalam keadaan itu aku teringat kepada-Nya. Sesudah itu aku merasa tenang, lalu aku tidur lagi. Tidur yang kedua itulah yang sedang kujalani ketika kalian membangunkan aku. Dalam tidur itu aku pergi jauh sekali sampai ke luar dunia ini. Itu sebabnya aku jadi susah bangun."
Kosmas dan Erwin menyimak cerita itu dengan perasaan takjub.
"Lalu kapan kau memutuskan untuk membatalkan niat itu"" tanya Erwin.
"Pada saat aku merasa tenang dan damai, sebelum aku jatuh tertidur untuk kedua kalinya."
"Jadi baru saja, kan" Ketika kita berdebat di mobil, masih adakah niat itu""
"Oh ya. Tapi aku tidak akan melakukannya di sini seperti yang kurencanakan semula."
"Oooh...," keluh Kosmas dalam-dalam.
"Aku mengerti sekarang, kenapa kalian membujukku untuk melanjutkan perdebatan. Kalian takut aku masuk ke kamar lalu..."
"Betul," potong Erwin. "Kami begitu takut. Bang Kos seperti cacing kena abu."
"Terima kasih kalian begitu memerhatikan aku," kata Delia penuh syukur.
"Aduh, lupa pesan makanan!" seru Erwin sambil melompat. "Aku pergi ya" Kalian berbincang dululah."
Setelah Erwin pergi, Delia meraih laci lalu membukanya. Ia mengambil amplop yang ditujukan untuk Kosmas. Suratnya ia keluarkan dan amplopnya ia masukkan kembali. Surat itu ia sobek-sobek hingga kecil kemudian dibuangnya ke tempat sampah.
"Aku menyesal telah menyusahkan kalian berdua," kata Delia. "Rasanya maaf saja nggak cukup."
214 "Apa kau menyesal telah memilih motel ini"" Kosmas ingin tahu. "Ya."
"Ah, aku malah senang. Bila kau memilih tempat lain, mungkin kau sudah mati. Dan Yasmin pun mati. Aku tidak pernah berkenalan denganmu. Tidak pernah tahu ada orang seperti kau. Tidak terpikirkah olehmu akan semua itu""
"Tapi bisa saja jalan nasib kita pun akan lain."
"Memang. Tapi nyatanya jadi seperti ini. Aku sama sekali tidak bisa mengerti kenapa kau, orang seperti kau, bisa memilih mati padahal hidupmu masih ber
guna." "Kadang-kadang mati itu bisa memberi kebaikan bagi yang hidup."
"Mana ada yang seperti itu" Kematian selalu menyedihkan bagi yang hidup."
"Tidak demikian dengan kematianku."
"Kau salah. Aku akan sangat bersedih. Sangat kehilangan."
"Kenapa" Aku bukan apa-apa bagimu."
"Aku mencintaimu!"
Delia terkejut. Wajahnya memanas. Tentu ia sudah menyadari perhatian Kosmas sebelumnya. Tapi kenapa harus dirinya"
"Kau ngomong begitu hanya untuk mencegah niatku. Kau masih khawatir."
"Bukan begitu. Aku harus bicara sebelum kau pergi. Waktunya singkat."
"Jangan, Bang Kos. Kau tidak tahu siapa dan bagaimana aku ini. Baru dua hari kenal, kan""
"Untuk mencintai tak perlu tahu secara detail. Im spontan."
"Ah, mana bisa. Harus tahu. Nanti rugi."
215 "Pendeknya, aku mencintaimu. Aku yakin. Aku tidak tahu apa perasaanmu padaku. Apa ada pertimbangan untung-rugi""
"Kaulah yang akan rugi, Bang! Bukan aku."
"Masalah apa yang kauhadapi, Del" Ayolah, ceritakan. Aku selalu punya waktu untuk mendengarkan."
"Aku tidak mau menyeret orang lain."
"Menyeret ke mana" Biar saja. Aku senang diseret olehmu. Itu berarti aku bisa terus mendampingimu."
"Orang seperti aku lebih baik sendirian. Kau bisa celaka kalau mendampingku."
"Aku tidak takut. Biarkan aku membantumu. Aku senang dan ingin."
"Kau orang baik, Bang. Terima kasih."
"Jadi, maukah kau menerima bantuanku dan juga cintaku"" tanya Kosmas penuh harap.
"Soal cinta aku tidak tahu, Bang. Tapi bantuan, aku mau."
"Baiklah," kata Kosmas girang. Yang penting Delia tidak menolaknya. Cinta bisa belakangan.
"Aku mau bercerita, Bang. Tapi sebaiknya Erwin juga mendengarnya. Dia ingin tahu juga, kan" Lebih baik bila dia mendengar langsung."
"Jadi kita bisa mendiskusikannya bersama-sama, ya""
Kosmas mengatakannya dengan penuh sayang hingga perasaan Delia bergetar. Mungkinkah ini solusi yang diberikan oleh-Nya" Dengan spontan ia memeluk Kosmas. Tanpa ragu-ragu Kosmas balas memeluk. Perasaannya selangit. Delia menyandarkan kepalanya di dada Kosmas lalu memejamkan mata. Ia merasa nyaman dan aman. Kosmas tidak berani bergerak.
Terdengar ketukan pintu. Lalu pintu terbuka sedikit,
216

Pertemuan Di Sebuah Motel Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hanya memunculkan kepala Erwin. Melihat pemandangan di dalam kamar, wajahnya tampak surprise. Ia tak jadi masuk.
Kebetulan posisi Kosmas menghadap pintu. Delia tidak menoleh. Mungkin tidak mendengar.. Kosmas tersenyum kepada Erwin sambil mengedipkan mata!
217 BAB 22 Setelah Hendri pulang, Yasmin meraih ponselnya. Ia memutuskan untuk mengikuti anjuran Delia. Ia akan menghubungi ayahnya. Bukan untuk minta bantuan atau memberitahu keberadaannya di rumah sakit, tapi sekadar basa-basi. Im bisa sebagai pendahuluan. Lainnya disesuaikan kemudian.
Ia masih ingat nomor telepon rumah ayahnya. Nomornya bagus, jadi gampang diingat.
Suara seorang lelaki menyambutnya. Pasti bukan ayahnya. Yasmin merasa lega karena bukan suara perempuan yang menyambutnya. Memang bisa saja itu pembantu. Tapi bisa juga ibu tirinya.
"Bisa bicara dengan Pak Winata, Pak""
"Ini siapa, ya""
"Yasmin." "Tunggu sebentar, Bu." Tak lama kemudian terdengar suara ayahnya, "Halo, Yas." Kedengaran surprise sekali. "Gimana keadaanmu" Sudah baikan" Pasti sudah ya" Kamu kecelakaan apa""
Yasmin terkejut. "Dari mana Papa tahu""
Di sana diam sejenak. "Dari Hendri. Memangnya dia nggak ngomong""
"Ngomong apa, Pa""
"Jadi belum ngomong""
218 "Ngomong apa sih, Pa" Aku kecelakaan apa katanya""
"Katanya keserempet motor."
Meskipun bingung, Yasmin lega. Jadi Hendri berbohong. Itu lebih baik daripada berterus terang. Tapi kenapa Hendri tidak berkata apa-apa tentang ayahnya"
"Jadi benar kamu keserempet motor""
"Iya, Pa." "Sekarang masih di rumah sakit" Kapan pulang"" "Satu-dua hari lagi. Disuruh istirahat. Apakah Hendri yang memberitahu Papa"" Di sana diam lagi sejenak.
"Ya. Apakah Hendri yang menyuruhmu menelepon aku""
"Nggak, Pa. Nggak ada yang nyuruh. Pengen sendiri."
"Ada apa" Perlu bantuan""
"Nggak. Cuma pengen nanya keadaan Papa."
"Hendri nggak bilang" Nggak cerita""
Yasmin mengerutkan kening. Apa yang disembunyikan Hendri darinya"
"Cerita apa sih, Pa""
"Ah, nanti tanya Hendri saja deh. Jadi kau
menelepon aku atas keinginan sendiri""
"Iya. Emangnya nggak boleh, Pa""
"Oh, tentu aja boleh. Aku senang. Terima kasih. Apa kau masih marah sama aku, Yas""
"Nggak, Pa," sahut Yasmin ringan. Aneh, pikirnya. Tidak ada lagi keraguan mengatakan itu.
"Betul begitu, Yas"" suara ayahnya kedengaran senang. "Oh, aku senang sekali. Apalagi kau menelepon sendiri, ya" Wah, nggak nyangka deh. Jadi kau memaafkan aku""
"Iya dong, Pa. Gimana keadaan Papa sekarang""
219 "Kurang baik, Yas. Tempo hari aku terserang stroke. Untung ringan. Sekarang aku pakai kursi roda karena kakiku lemah."
"Apakah Tante merawat Papa dengan baik""
"Dia sudah nggak ada, Yas. Sudah pergi dengan orang lain. Sama seperti aku dulu. Apakah kau mensyukuri aku""
Yasmin terkejut. Ternyata ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu.
"Yas! Kok diam""
"Entahlah, Pa. Aku nggak bisa jawab. Bisa iya bisa nggak. Supaya Papa tahu, sekarang aku nggak seperti dulu lagi. Perasaanku lain," Yasmin menjawab seperti apa adanya.
"Kenapa begitu, Yas" "
"Ada sesuatu yang membuka mataku."
"Oh ya" Mau ceritakan padaku""
"Wah, panjang, Pa. Baterai HP-ku bisa habis."
"Apakah itu si Hendri""
"Bukan, Pa. Aku punya teman baru. Seorang sahabat sejati. Dialah yang mendorongku supaya menelepon Papa."
"Perempuan atau lelaki""
"Perempuan dong, Pa. Namanya Delia."
"Syukurlah. Kapan-kapan aku pengen juga ketemu dia. Pasti orang yang baik."
"Habis, siapa yang ngurusin Papa sekarang""
"Ada Aryo, perawatku. Lalu istrinya Tari, pengurus rumah tangga. Masih ada dua lagi pembantu. Cukuplah."
"Anak"" "Nggak ada. Anakku cuma kau seorang." Yasmin tertegun. Cara ayahnya mengatakan itu seperti mengingatkan hubungan mereka yang tak
220 bisa digantikan orang lain. Ia merasa terharu. Arogansinya yang masih tersisa jadi lenyap.
"Yas! Si Hendri nggak datang""
"Dia baru saja pulang."
"Jadi Hendri nggak ngomong apa-apa tentang aku""
"ih, Papa kok ngulang lagi" Udah dibilangin dia nggak ngomong apa-apa. Memangnya ngomong apa, Pa""
"Terus terang, sebelum kau masuk rumah sakit aku pernah ngomong-ngomong sama dia. Aku nanyain kabarmu. Itu aja kok."
"Oh, begitu. Mungkin dia lupa nyampein."
"Ah, masa lupa" Kan baru aja. Ya sudahlah, nggak apa-apa. Tapi gini, Yas. Sebaiknya jangan tanya dia soal aku dan jangan bilang bahwa kau menelepon aku, ya" Diam-diam aja supaya dia mengira kita belum berhubungan."
"Kenapa, Pa""
"Nanti dia tersinggung."
"Masa gitu aja tersinggung""
"Ayolah janji, Yas. Nanti aku jelaskan kalau ketemu. Ceritanya panjang. Nanti baterai HP-mu habis."
"Iya deh. Janji. Mudah-mudahan aja nggak keceplosan, ya"" Yasmin tertawa.
"Ah, kamu." Winata tertawa juga. Kedengaran senang. "Nanti kalau udah sembuh betul, datanglah ke sini, Yas. Aku ingin sekali memanfaatkan sisa umurku ini dengan memperbaiki hubunganku denganmu."
"Ya. Tentu saja, Pa."
"Begini saja, Yas. Kalau kau mau datang, sendiri tentunya ya, telepon aja. Nanti Aryo bawa mobil ke sana."
"Ya, Pa." 221 "Udah dulu ya. Pengennya sih terus ngomong. Tapi kau perlu istirahat. Ingat janjimu, ya""
Sambil tersenyum Yasmin meletakkan ponselnya di meja lalu merebahkan dirinya lagi. Dalam keadaan seperti sekarang baru terasa mengherankan kenapa orang bisa menyimpan dendam begitu lama. Jalan berliku mesti ditempuh dulu sebelum orang bisa saling memberi kedamaian. Bagaimana kalau jalan itu tak bisa ditemukan"
* * * Winata bertepuk tangan sambil tertawa seperti anak kecil. Aryo menyaksikan tingkahnya sambil tersenyum.
"Bayangin, Yo! Dia nelepon sendiri tanpa disuruh atau dibujuk si Hendri. Hebat nggak tuh""
"Ya. Hebat, Pak. Padahal Pak Hendri belum ngomong apa-apa""
"Si Hendri kan bilangnya mau nunggu sampai Yas sembuh betul baru mau ngomong dan kemudian membujuknya. Tahu-tahu Yas nelepon sendiri. Kalau tahu gitu buat apa aku manggil si Hendri ya" Pakai mengancam segala, lagi. Ah, aku jadi nyesel, Yo. Kalau Yas dengar soal ancaman itu, apa dia nggak jadi marah lagi, ya""
"Nggak ah, Pak. Dia kan udah berubah. Pasti caranya melihat persoalan udah lain. Dia mau nelepon sendiri tanpa dibujuk pun udah memperlihatkan hal
itu." "Ya, dia bilang ada teman barunya bernama Delia yan
g memberinya nasihat. Kalau gitu aku berutang budi sama temannya itu. Aneh juga, Yo. Malah orang lain yang membujuk, bukan si Hendri."
222 "Nggak aneh juga, Pak. Kan Bapak udah lama sekali nggak ketemu Bu Yas. Gimana perkembangannya kan nggak tahu."
"Iya. Memang benar. Oh, aku kangen banget sama dia, Yo. Dia itu seperti anak hilang."
"Kalau nanti dia nanya soal Pak Hendri, gimana, Pak""
"Aku mau pikirin dulu. Menurutmu gimana""
"Menurutku, daripada membiarkan Pak Hendri yang ngomong, lebih baik Bapak sendiri. Bapak kan nggak tahu kalau yang dibicarakan Pak Hendri itu ada yang berubah."
"Iya. Bener juga. Tapi kita mesti lihat perkembangan situasi juga, Yo. Apakah Yas keburu datang ke sini sebelum Hendri membicarakannya atau terbalik""
"Kalau begim Bu Yas mesti datang diam-diam ke sini tanpa memberitahu suaminya."
"Tentu aja. Pasti dia udah tahu sendiri. Dia kan udah janji nggak akan bilang-bilang bahwa dia nelepon aku."
Mereka asyik membicarakan Yasmin. Winata bercerita tentang masa kecil Yasmin. Baginya, Aryo bukan cuma perawat pribadi tapi juga teman curhat dan diskusi. Sebelum ia sakit dan masih aktif bekerja, Aryo bekerja di rumah sakit. Tapi istrinya, Tati, sudah bekerja di rumah Winata sebagai pengurus rumah tangga. Ketika itu keduanya tinggal di rumah sendiri bersama anak mereka yang sudah dewasa. Setelah Winata sakit dan perlu dirawat di rumah padahal istrinya sudah pergi meninggalkannya, Aryo beralih menjadi perawat pribadi. Dia dan istrinya tinggal di situ.
Saat mereka tengah asyik berbincang itulah telepon dari Hendri berbunyi.
223 "Ini Hendri, Pa."
Wajah Winata pun menjadi tegang. Ingin tahu sekali.
"Bagaimana keadaan Yas, Hen" Kapan dia pulang""
"Sudah baik, Pa. Pulangnya besok atau lusa. Mungkin lebih baik lusa saja supaya bisa istirahat lebih lama."
"Sudah kausampaikan""
"Wah, belum, Pa. Kayaknya perlu waktu."
Winata mengerutkan kening. "Kenapa" Kan dia sudah sembuh."
"Masalahnya begini, Pa. Tadi waktu aku besuk dia, aku menyinggung soal Papa. Aku bilang, udah lama ya nggak ketemu Papa. Ada baiknya menelepon atau menjenguknya. Yasmin bilang nggak mau karena masih sebal sama Papa. Apalagi ada Tante di sini. Aku tentu nggak berani memberitahu bahwa Tante sudah pergi."
"Dia bilang begitu, ya"" kata Winata sambil melirik Aryo. Ketika Aryo menangkap tatapannya, Winata mengarahkan telunjuknya ke dahinya.
"Iya, Pa. Jadi dari penjajakan itu aku tahu perasaannya kepada Papa. Harus cari cara lain untuk membujuk."
"Atur sajalah gimana baiknya. Pendeknya jangan lebih dari sebulan," kata Winata dingin.
"Tapi ada harapan, Pa. Dia nggak bilang benci, tapi sebal. Maknanya kan lain."
"Aku tahu beres saja deh."
"Aku akan berusaha membujuknya, Pa. Tapi bukan dengan cara memaksa seperti yang Papa ajarkan itu. Justru ancaman seperti itu bisa membuat dia tambah marah. Dia keras kepala tapi tetap punya kelemahan."
Winata tak ingin bertanya macam-macam karena
224 perasaannya kesal. Padahal tampaknya Hendri masih ingin berbincang lebih lama.
"Baiklah. Sampai nanti. Aku tunggu beritanya. Sekarang aku mau dipijit. Terima kasih."
Setelah menutup telepon, Winata menggeleng-gelengkan kepala. Aryo tak bertanya. Ia hanya menunggu.
"Orang itu nggak beres, Yo! Dia mau menimbulkan kesan bahwa Yasmin susah dibujuk karena sebal sama aku. Jadi kalau nanti berhasil, pastilah dia punya nilai jual yang tinggi!"
"Dia mau jual apa, Pak""
"Entah. Pasti ada maunya. Lihat saja. Kita akan segera mendengar lagi darinya."
"Yang penting Bu Yas kan sudah baikan sama Bapak."
"Ya. Tapi aku marah sekali sama suaminya itu." "Sudahlah, Pak. Entar tekanan darahnya naik." "Aku bisa tenang kalau ingat Yas. Kasihan ya, punya suami seperti itu."
"Dia membohongi tapi juga dibohongi." Mereka tertawa.
* * * Yasmin menikmati makan malamnya berupa nasi yang diblender dengan daging giling dan sayuran yang dihaluskan. Meskipun sudah serbahalus, masih terasa perih bila ditelan. Harus sedikit-sedikit dan pelan-pelan. Kerongkongannya memang sempat terbakar, demikian pula lambungnya, waktu racun itu melewati.
Tapi untuk berbicara ia tak begitu merasakan sakit. Apalagi belakanga
n ini ia selalu ingin bicara.
225 Untunglah Hendri memberinya ponsel. Barang itu menjadi penghiburan untuknya.
Usai makan ia kembali meraih ponselnya. Ia menghubungi Motel Marlin.
"Bisa bicara dengan Ibu Delia""
"Oh, Ibu Delia sedang makan, Bu. Ini dari mana""
"Yasmin." "Oh, Bu Yasmin. Sudah sehat, Bu"" "Sudah. Terima kasih. Ini siapa ya"" "Saya Adi."
"Ke mana Bang Kos dan Bang Erwin""
"Lagi makan bersama Ibu Delia."
"Oh, begim. Baiklah. Nggak usah dipanggil. Nanti saya telepon lagi."
Yasmin membayangkan ketiga orang itu berkumpul di ruang makan. Tiba-tiba ia ingin sekali bergabung dengan mereka. Kalau hal itu sampai terjadi, pastilah suasananya berbeda.
Ia mulai berangan-angan. Kalau nanti sudah sembuh seperti sediakala, ia perlu menata ulang hidupnya. Ia ingin berubah. Tak lagi jadi katak dalam tempurung seperti dulu. Hendri tak boleh lagi melarang dan membatasi. Sekarang ia tak lagi sendiri. Ia punya ayah dan teman-teman. Situasi sudah berubah. Dirinya pun begim. Kalau sekarang ia melihat ke belakang, sepertinya ia melihat dirinya sebagai perempuan bodoh yang tak punya harga diri. Masih mending bodoh saja tapi punya harga diri. Bukan malah dua-duanya!
Ia tahu, dalam hal itu takkan mendapat dukungan dari Hendri. Meskipun menyesal dan minta maaf, tidak berarti Hendri mau mengubah semuanya. Perjuangannya akan sulit. Tapi ia sudah siap.
226 BAB 23 Rama dan semua saudaranya berikut keluarga masing-masing menjadi heboh luar biasa. Dalam waktu singkat berita menyebar di antara mereka, termasuk mereka yang tinggal di luar Jawa. Apa yang telah terjadi atas ibu mereka" Masuk kamar dalam kondisi biasa, keluar kamar berubah jadi luar biasa. Tak ada hujan tak ada angin, tiba-tiba dia berubah jadi jauh lebih muda. Penampilannya seperti ibu mereka saat mereka masih duduk di bangku sekolah!
Setelah berita tersebar, mereka datang berbondong-bondong untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Sementara dua saudara di luar Jawa minta dikirimi foto. Secepatnya mereka akan datang begitu mendapat kesempatan. Janji mereka itu segera dibalas dengan kata-kata, "Jangan lupa oleh-olehnya! Mama suka yang berkilau!"
Ratna sendiri senang ditonton dan dikomentari. Apalagi dipuji. Ia tersenyum semanis manisnya, memperlihatkan kecantikannya semasa muda. Ia ditanya dan didesak untuk menjelaskan bagaimana caranya bisa mengubah diri seperti itu. Ia menjawab, "Bukan aku yang melakukannya!"
"Habis siapa""
"Ini keajaiban! Aku orang yang beruntung!"
227 "Tapi mesti ada yang melakukannya dong. Masa simsalabim!"
"Ada aja. Kalian nggak perlu tahu." "Mama minta, ya""
"Ah, minta sama siapa" Aku sendiri kaget melihat cermin."
"Tapi Mama pakai kemenyan. Biasanya nggak," kata Rama.
"Itu buat nyari si Del," sahut Ratna terus terang.
"Apa sekarang sudah dapat, Ma""
"Oh, sudah. Dan ini bonusnya!" Ratna menunjuk wajahnya sendiri sambil tertawa.
"Ada di mana Del sekarang""
"Dia di Jakarta. Tapi nggak perlu dicari lagi. Detektif kalian itu diberhentikan saja."
"Kenapa nggak perlu dicari lagi, Ma" Apa Mama sudah mengikhlaskan dia sampai Mama dikasih bonus""
Saking penasaran dan takjub, anak-anak dan menantu melupakan ketakutan dan kengerian mereka. Tapi pertanyaan terakhir itu membuat Ratna melotot. Yang ditatap mengkeret ketakutan. Wajah manis Ratna memang melenyapkan kesan ngeri, tapi tatapannya masih tajam menusuk. Matanya masih yang dulu. Mata yang memancarkan hasrat.
"Delia nggak perlu dicari lagi karena nanti dia akan datang sendiri padaku!" kata Ratna sombong.
Ucapan ini membungkam mulut anak-anak dan menantu. Ketakutan yang dulu kembali menguasai mereka. Sekarang Ratna lebih berbahaya dibanding dulu. Kekuatan yang dimilikinya sudah tampak jelas. Apalagi dengan perubahan fisik seperti itu, dia jadi kelihatan tidak manusiawi. Masih seorang manusiakah dia"
228 "Kebetulan sekarang kita sudah berkumpul lengkap, ayo kita berpesta!" seru Ratna antusias.
Anak-anak dan menantu berpandangan. Tidak setuju, tidak suka, tapi tidak bisa membantah.
"Pesta apa, Ma"" tanya Rama. Ia membayangkan pesta ritual berdarah-darah seperti yang ditayangkan film horor.
"Kita makan-makan di restoran yang enak!"
Mereka tertegun. Pasti itu akan menjadi pesta yang murung dan mencekam. Tapi siapa yang berani membantah" Kutukan ada di depan mata. Sekarang tidak ada lagi istilah percaya nggak percaya.
"Sesudah makan, antar aku ke mal," Ratna masih belum selesai dengan tuntutannya. "Aku mau beli baju. Penampilanku yang baru tentunya membutuhkan baju yang baru! Sandal! Kosmetik! Uh, apa lagi ya""
Mereka lebih terkejut lagi. Masa depan jadi suram dengan tiba-tiba!
* * * Di ruang makan Motel Marlin, Kosmas, Erwin dan Delia sudah selesai makan. Meja sudah dibersihkan. Hanya tinggal gelas berisi air putih untuk masing-masing.
Delia bercerita tentang permasalahan yang dihadapinya.
"Nah, itulah kisahku yang malang. Percaya atau tidak. Ratna, ibu mertuaku, memang seperti nenek sihir."
"Aku nggak percaya ada orang bisa mengutuk orang lain sesukanya. Ngomong saja sih gampang. Semua orang juga bisa. Tapi nggak mungkin kejadian," kata Erwin.
229 "Ada saat aku pun tidak percaya. Tidak mau percaya. Kematian adalah takdir. Tapi pada. awalnya aku membenci dia karena mensyukuri kematian anak dan suamiku, padahal mereka adalah cucu dan anak kandungnya sendiri. Lalu beberapa kejadian, terutama belakangan ini, memperlihatkan bahwa dia memang punya kemampuan yang tidak manusiawi. Salah satu yang paling mengejutkan adalah ketika dia menanyakan sakitku. Padahal tidak ada yang tahu. Itu salah satu sebab yang memicu keputusanku untuk bunuh diri. Aku menderita penyakit mematikan. Tak lama lagi mati. Padahal aku masih punya sedikit harta. Bukankah dia akan mengambilnya nanti" Jadi itulah yang kulakukan. Semata-mata untuk mencegah dia."
"Aku akan membantumu untuk melawannya, Del. Aku percaya, Tuhan akan membantu orang yang benar. Bukankah tadi kau mengalami sendiri" Bahwa Dia sesungguhnya tidak melupakanmu""
"Ya. Aku sungguh berterima kasih pada kalian. Tapi aku tidak mau kalian dikutuk juga."
"Aku tidak takut," kata Erwin.
"Aku juga," tambah Kosmas.
"Bagaimana melawannya" Ini kan bukan perang fisik."
"Menurutku, satu-satunya cara adalah dengan berdoa dan percaya kepada-Nya. Nenek itu punya tujuan jahat. Ilmunya pun jahat. Jadi jelas kepada siapa dia menghamba," kata Erwin.
"Betul. Aku mengalaminya sendiri tadi. Pengalaman yang luar biasa. Keputusanku yang sudah begim mantap dan kuambil setelah lama berpikir ternyata bisa kubatalkan dalam waktu yang begim singkat," sahut Delia.
230 "Biarpun kau membatalkannya, jangan sesali harta yang hilang, Del," hibur Kosmas.
"Ah, nggak mungkin kusesali. Aku memang harus melakukannya. Jadi pada saat aku mati nanti, paling-paling yang tersisa tinggal sedikit. Mungkin juga malah habis. Rama tetap akan gigit jari."
"Memangnya kapan saat kau mati"" tanya Kosmas curiga.
"Bukankah aku punya penyakit yang sulit disembuhkan" Ujungnya mati, kan" Aku masih punya uang untuk keperluan mengurus diriku. Jadi aku minta tolong pada kalian untuk membantuku."
Delia mengatakannya tanpa emosi. Sepertinya dia tengah membicarakan orang lain.
Kosmas dan Erwin terbelalak.
"Apa benar penyakit itu sulit disembuhkan" Itu kau yang ngomong sendiri," bantah Kosmas.
"Kau harus periksa lagi ke dokter untuk mendapat kepastian," Erwin membenarkan. "Sebelum itu, jangan dulu berpikir yang bukan-bukan."
"Dulu aku pernah dianjurkan dokter untuk operasi pengangkatan rahim. Tapi aku tidak mematuhi. Aku mencari pengobatan alternatif. Tapi itu pun kutinggalkan setengah jalan. Beberapa hari yang lalu aku merasa nyeri lagi di tempat yang sama."
"Tidak!" seru Kosmas. "Jangan sembarangan menilai! Besok kuantar kau ke rumah sakit, ya" Jangan hanya datang ke satu dokter, tapi beberapa dokter sebagai pembanding. Siapa tahu dokter pertama kurang pintar."
Antusiasme Kosmas mengejutkan Delia.
"Betul sekali, Del," Erwin membenarkan. "Penyakit itu harus dilawan. Sama seperti nenek sihir itu. Kau tidak mau menyerah kepada si nenek sihir. Masa
231 mau menyerah kepada penyakit" Jangan-jangan penyakit itu pun perwujudan dari iblis, Del!"
Sengaja Erwin berkata seperti itu untuk membangkitkan semangat Delia yang pantang menyerah. Niatnya untuk bunuh diri itu pu
n sebenarnya adalah bentuk perlawanan versinya sendiri.
Delia termenung. Tapi ia merasakan kebenaran kata-kata Erwin. Mungkin juga ia terlalu cepat me-nyerah.
"Jadi besok kuantar kau ke rumah sakit, ya"" Kosmas membujuk. "Yang pasti akan ada tes-tes dan berbagai pemeriksaan. Semua itu harus kaujalani dengan tekun. Im bentuk perlawanan, Del!"
"Baiklah. Terima kasih, Bang."
"Jadi untuk soal itu sudah ada penyelesaiannya," kata Erwin. "Sekarang aku mau minta maaf, Kak. Sebenarnya aku telah melakukan kesalahan kepadamu. Kamar yang kautempati itu sebenarnya kamar yang dulu ditempati korban bunuh diri. Namanya Yuli."
Kosmas terkejut atas keterusterangan Erwin. Seharusnya Erwin tidak perlu mengatakan itu. Lebih baik Delia tidak tahu.
"Oh ya" Kenapa kauberikan itu padaku"" tanya Delia. Sikapnya biasa saja. Cuma heran.
"Sebelumnya aku sudah yakin bahwa kamar itu bersih. Maksudku, tidak ada apa-apanya. Aku bermeditasi di sim, mencoba merasakan kehadiran roh, kalau memang ada. Tapi suasananya tenang dan damai. Berbeda dengan sebelumnya, ketika peristiwa baru saja berlalu. Jadi kusimpulkan kamar itu sudah bersih, siap untuk dihuni lagi."
Istana Kumala Putih 14 Dewa Arak 66 Pembunuh Gelap Harpa Iblis Jari Sakti 7
^