Pencarian

Pertemuan Di Sebuah Motel 5

Pertemuan Di Sebuah Motel Karya V. Lestari Bagian 5


a pun yang ditinggal duluan pasti menyesal sekali."
"Apakah atas keberuntunganmu itu kau berterima kasih kepada-Nya""
"Tentu saja. Yang kuingat paling dulu adalah Dia. Kau tahu apa yang kulakukan sebelum aku minum racun" Aku minta maaf sama Papa. Aku baru ingat ada hal yang belum kuselesaikan. Karena itu kemudian aku tak merasa segan lagi untuk menelepon dia."
"Ya. Hidup ini memang mengandung kejutan, Yas. Aku senang semua berakhir dengan baik untukmu."
"Berkat bantuanmu, Kak Del, dan Bang Kos."
"Itulah yang kumaksudkan bahwa hidup ini mengandung kejutan. Pertemuan di motelku ini telah mendatangkan kebaikan bagi semua pihak meskipun awalnya adalah kesedihan."
"Apakah perbuatanku itu mendatangkan kebaikan bagimu dan Bang Kos" Cuma menyusahkan saja."
"Ah, siapa bilang" Aku senang bisa mengenalmu, demikian pula Bang Kos."
"Bang Kos kayaknya suka sama Kak Del, ya""
"Dari mana kau tahu""
"Nah, bener, kan" Aku punya feeling kok."
"Feeling-mu tajam, ya" Ada feeling lain nggak""
Yasmin melengos. Tatapan Erwin membuatnya tak enak hati. Ia senang berbincang dengan Erwin, tapi tatapan pria itu membuatnya salah tingkah. Tentu saja ia punya feeling tentang hal itu. Tapi itu tidak patut. Dirinya bukanlah orang yang bebas hingga bisa menanggapi perhatian orang lain.
305 Sikap Yasmin itu kembali membangkitkan rasa cemburu Erwin. Apakah Yasmin tidak menyukainya barang sedikit saja" Apakah itu karena Hendri" Apakah sekarang Yasmin bisa bercinta dengan Hendri tanpa penderitaan seperti dulu, bahkan bisa menikmatinya" Apakah Hendri menggunakan pendekatan dan teknik baru" Apakah Yasmin tetap mencintai Hendri meskipun pernah diperlakukan buruk"
Yasmin heran melihat perubahan wajah Erwin.
"Kenapa, Bang" Kau kelihatan seperti orang sakit!"
Ya, aku memang sakit hati, kata Erwin dalam hati. Tapi ia menggeleng.
"Aku baik-baik kok. Tapi aku ingin tahu, Yas. Apakah teleponku setiap hari itu merupakan gangguan""
"Oh, nggak, Bang! Aku justru senang kalau ditelepon. Bila jam sembilan telepon bunyi, aku bilang, "Pasti itu Bang Erwin!"
Erwin ceria kembali. "Hei, itu mereka pulang!" seru Yasmin, lalu berlari keluar untuk menyambut.
Mobil yang membawa Delia dan Kosmas meluncur masuk halaman parkir lalu berhenti di depan kantor. Delia melambai. Kemudian Yasmin berpelukan dengan Delia.
"Sudah lama, Yas"" tanya Delia.
"Belum. Lagi ngobrol sama Bang Erwin. Kebetulan nggak ada tamu yang datang."
"Kenapa kalian nggak ngobrol saja"" Kosmas menganjurkan. "Sudah lama kalian nggak ketemu. Ngomong di telepon nggak cukup, kan""
Anjuran itu menyenangkan Delia. Demikian pula Yasmin. Keduanya punya banyak sekali bahan untuk diceritakan.
306 "Boleh kami menggunakan kamar 14"" tanya Delia.
"Tentu aja. Silakan," kata Kosmas.
"Kalau ada tamu yang mau pakai, kasih tahu aja lewat interkom."
"Ah nggak. Masih ada kamar lain."
Dengan bergandengan tangan, Delia dan Yasmin menuju kamar 14. Di belakang mereka Kosmas dan Erwin memandangi.
"Apa kaupikir mereka akan saling membuka diri"" tanya Kosmas.
"Kukira begitu. Pasti keluar semuanya, sampai tak ada yang tersisa. Kuharap aku bisa mendapat bocoran dari Delia," sahut Erwin.
"Bocoran apa""
"Tentang Yasmin."
Kosmas tertawa keras lalu memukul pelan punggung Erwin. Mereka berjalan masuk ke kantor.
"Tentang mobil Delia tadi, Win, kami sudah mendapat patokan harga," Kosmas melaporkan.
* * * Mereka benar-benar saling membuka diri. Yasmin bercerita tentang kehidupannya pasca keluar dari rumah sakit. Sedang Delia tentang masa lalu dan apa yang terjadi belakangan. Semula Delia masih ragu-ragu bercerita tentang keinginannya bunuh diri. Takut kalau-kalau berpengaruh buruk bagi Yasmin. Tapi cerita Yasmin mengesankan bahwa dia sudah lebih kuat dari sangkaannya semula.
"Ketika itu kita sama-sama orang yang sendirian, Kak. Dalam hal itu kita senasib," kata Yasmin. "Rupanya masalah "sendiri" itu selalu paling berat, ya""
307 "Bisa iya, bisa nggak. Aku sudah terbiasa sendiri. Dipaksa oleh keadaan, dan boleh dikata aku berhasil mengatasi. Pemicu keputusanmu dan keputusanku berbeda."
"Bisakah dibilang kita adalah orang-orang yang beruntung karena berhas
il lepas dari jeratan keinginan bunuh diri itu""
"Kukira begitu, Yas. Kita diberi kesempatan kedua."
"Mungkin karena itu aku bisa melihat masalah dengan pandangan beda. Benci kepada Papa sudah hilang. Dulu kalau ingat Papa pasti yang jelek-jelek melulu. Tapi sekarang beda. Bukan karena istrinya sudah pergi atau warisan menunggu. Itu karena kita jadi lebih menghargai kehidupan. Aku pernah berpikir buat apa hidup kalau menderita terus-menerus. Sekarang aku tahu, orang yang hidupnya senang terus-menerus juga tak ada."
"Kita memang pernah merasa senang. Tapi bagaimana sikapmu terhadap Hendri""
"Oh, sekarang aku sudah tidak punya rasa apa-apa lagi terhadapnya. Kalau diumpamakan makanan sih tawar bener-bener. Aku sudah tahu kemunafikannya. Biar sajalah. Karena sudah tahu, aku jadi merasa aman. Tidak takut lagi. Kami sudah pisah kamar, Kak. Dia tidak akan menyentuhku kalau aku tidak mau. Tapi aku tahu kesediaannya itu bukan tanpa sebab. Kalau aku bukan ahli waris kaya, mungkin dia tidak begitu."
Delia mengerutkan kening. "Biarpun kau sudah merasa aman, kau tidak boleh melupakan kewaspada-anmu terhadapnya, Yas. Kerelaannya itu tentu disebabkan dia punya keinginan dan rencana."
"Oh ya. Aku tahu. Tak lama lagi kami akan pindah ke rumah Papa karena kontrak rumah sudah
308 habis. Dia yang mengusulkan begitu. Daripada susah-susah cari kontrakan dan bayar mahal, kan lebih baik tinggal di sana. Rumahnya besar dan milikmu juga, kata Hendri. Itu baru pertama, mungkin ada kelanjutannya lagi. Tapi aku justru senang tinggal bersama Papa. Di sana aku punya pelindung. Hendri nggak berani macam-macam."
"Aman sih aman. Tapi kau tetap harus hati-hati."
"Tentu saja. Oh ya, gimana hubunganmu dengan Kosmas" Serius nih""
"Aku belum memberi jawaban pernyataan cintanya, Yas."
"Kau nggak mencintai dia juga""
"Entahlah. Tapi bukan itu alasan kenapa jawaban belum kuberikan. Aku tidak hirau soal cinta lagi. Bukan itu yang kucari dalam hidup ini. Aku suka dia karena pribadinya. Mungkin lebih menyenangkan kalau dia tetap sebagai sahabat saja. Tapi kayaknya nggak mungkin juga kalau salah satu pihak ingin lebih dari itu."
"Jadi kapan memutuskan""
"Aku harus membereskan masalahku dengan mertuaku lebih dulu. Kita memerlukan ketenangan dalam hidup ini, bukan""
"Kalau kau sudah memutuskan, kasih tahu aku, Kak."
"Tentu." "Bagaimana dengan ideku untuk berbisnis garmen, Kak""
"Itu bagus sekali. Nanti aku bantu dengan bekal pengalamanku. Apakah Hendri mendukung""
"Dia belum tahu. Bahkan aku belum ngomong dengan Papa. Padahal modalnya dari Papa. Siapa lagi""
309 "Aku yakin, ayahmu setuju. Dia pasti senang kau punya kegiatan. Demikian pula Hendri."
"Mudah-mudahan saja, Kak."
"Oh ya, ada satu hal yang mengganggu pikiranku. Dulu kau mengatakan masih punya rasa cinta kepada Hendri. Tentu itu yang membuatmu tak mau bercerai. Tapi sekarang kau mengaku tak ada lagi rasa cinta itu. Apa masih tak berpikir untuk bercerai saja supaya kau bisa lebih mampu menata hidupmu" Maaf ya nanya begitu."
"Nggak apa-apa, Kak. Aku tak mungkin bercerai karena sudah mengucapkan janji dan sumpah setia. Pada saat menikah dengan Hendri aku mengatakan akan menerima dia, baik ataupun buruk. Tidak ada yang bisa tahu apa yang terjadi kemudian, setelah perkawinan. Aku harus tetap menerima dia dalam suka dan duka. Jadi yang penting adalah bagaimana penyesuaiannya saja."
Delia terperangah, tidak menyangka bahwa seorang Yasmin bisa berkata seperti itu.
"Kau nggak nyangka ya, Kak"" Yasmin melanjutkan. "Baiklah, kuceritakan mengenai orangtuaku lebih dulu. Semasa mudanya, ibuku cantik, bertubuh ramping dan modis. Ayah dan ibuku pasangan serasi. Mereka rukun. Kami hidup bahagia sebagai keluarga. Kemudian terjadi perubahan pada diri ibuku. Makin lama ia makin malas merawat diri dan menjaga penampilan. Tubuhnya melar dan wajahnya tembam. Kata orang, kebanyakan perempuan akan seperti itu kalau sudah dekat menopause. Pikiran yang menjadikan orang malas berusaha. Padahal banyak perempuan seusia ibuku tetap ramping dan cantik. Tak hanya itu, ibuku tak lagi memedulikan pakaian yang dikenakannya. Dia benar-benar sleb
or. Alasannya, 310 pakai baju apa pun kalau gendut tetap saja nggak pantas. Mungkin sebagai ekses dari keadaan itu ia jadi cerewet.
"Dari situlah Papa mulai melirik perempuan lain. Apa pun alasannya, aku tidak bisa terima kelakuan Papa itu. Manusia bukanlah barang yang bisa ditukar kalau sudah usang dan tidak menarik lagi. Bukankah Papa sudah mengucapkan janji dan sumpah perkawinan yang begitu sakral" Papa janji akan tetap mencintai Mama dalam suka dan duka. Rasa cinta memang susah dipertahankan, tapi kesetiaan" Bukankah pada saat janji diucapkan orang tidak akan pernah tahu apa yang terjadi kemudian" Siapa menduga bahwa pasangannya yang semula cantik dan ramping akan berubah menjadi jelek dan gembrot" Tak selalu keduanya menjadi keriput bersama, jelek dan cerewet bersama juga, meskipun tua bersama.
"Prinsip itulah yang kupertahankan sampai aku sendiri menikah. Aku tidak menyangka Hendri bisa seganas itu di tempat tidur. Tapi bukankah Hendri juga tidak menyangka perempuan yang dinikahinya tak bisa memuaskan hasratnya""
Yasmin bertutur panjang. Delia memeluknya dengan penuh keharuan.
"Tapi dia mengkhianatimu, Yas. Dia tidak seperti dirimu."
"Itulah. Aku memang bukan dirinya. Aku tidak sama."
Sampai mereka puas berbincang, tidak ada gangguan lewat interkom.
"Makan siang di sini, Yas," ajak Delia.
Mereka kembali ke kantor. Kosmas dan Erwin sudah menunggu. Kepada Yasmin, Kosmas menunjukkan jempolnya.
311 "Apa itu"" tanya Yasmin.
"Kau tambah cakep, Yas! Tadi Erwin juga bilang begitu."
Yasmin tersenyum. "Bang Kos juga kurasan sekarang."
Kosmas tertawa senang. Ia bangga kalau ada yang mengatakan demikian. Belakangan ia memang berusaha keras menurunkan berat badannya.
Mereka makan siang bersama dalam suasana yang berbeda dibanding pertama kali melakukannya. Kali, ini gelak tawa dan canda mewarnai acara itu.
Usai makan Delia mengantarkan Yasmin pulang. Yasmin tak mau pulang sore karena tak mau terlibat konflik dengan Hendri bila pria itu mendapatinya baru pulang.
"Mobil ini tak akan jadi milikku lagi, Yas. Tapi masih bisa kupakai. Itulah untungnya," kata Delia sambil tertawa.
"Aduh, Kak. Kau sampai tak punya apa-apa lagi," Yasmin prihatin.
"Aku masih punya hati, Yas."
Mereka saling mengagumi. 312 BAB 30 Rama sangat terkejut ketika pagi itu mendadak Ratna minta diantarkan ke Jakarta.
"Nih, aku minta diantarkan ke sini." Rama menunjukkan secarik kertas yang bertuliskan nama Motel Marlin beserta alamatnya.
"Motel"" Rama terbelalak. "Ngapain ke motel, Ma""
Rama menatap wajah ibunya. Padahal biasanya ia tidak berani berbuat begitu. Ia mulai berpikir yang bukan-bukan.
"Hei! Pikiranmu ngeres ya! Dasar!" bentak Ratna.
Rama terkejut lagi, bara disadarkan bahwa ia harus berhati-hati terhadap ibunya.
"Aku punya urusan di sana. Kau nggak perlu tahu."
"Ke sana pakai apa, Ma" Pakai mobilku" Jangan deh, Ma. Udah butut gitu mana tahan dibawa ke Jakarta, Ma!"
"Kita naik kereta api! Aku udah lama nggak naik kereta. Nanti kita naik yang ekspres ya!" Ratna bersemangat sekali. "Lalu di motel ngapain""
"Aku mau nginap di sana satu malam. Aku bisa pulang sendiri. Gampang. Di sana taksi lebih banyak daripada di sini."
313 "Nginapnya sendiri"" tanya Rama bingung.
"Tentu aja atuh! Emangnya sama siapa""
"Kalau cuma mau ngerasain nginap di Jakarta mah di hotel saja, Ma. Jangan di motel. Itu mah biasanya buat orang pacaran."
"Sebodo amat!" seru Ratna. "Itu kan semau aku. Di mana kek maunya. Yang penting kamu nyiapin sangu. Aku perlu duit!"
Rama cukup kelabakan menghubungi saudara-saudaranya untuk mengumpulkan uang. Tambahan lagi waktunya mendesak. Butuhnya pagi itu juga. Mereka terpaksa memberikan. Lebih baik menguras kantong daripada kena kutukan.
Rama yang mendatangi rumah Ramli untuk minta uang sempat bertemu dengan Donna yang mau berangkat ke sekolah.
"Jangan-jangan Nenek punya janji dengan seseorang. Mau pacaran di sana," kata Donna.
"Eh, sembarangan ngomong kamu!" bentak ibunya. "Entar dia dengar. Kamu bisa celaka."
"Nggak takut, Ma. Nenek itu mesti dilawan. Jangan dibiarkan aja."
"Tapi dia itu ibu kami dan nenek kamu" kata Rama.
"Dia bukan lagi nene
kku. Sosoknya aja udah lain. Luarnya lain. Dalamnya juga."
"Kamu cuma cucu. Tapi kami ini anak yang dilahirkan olehnya. Masa melawan ibu sendiri"" kata Ramli.
"Sudahlah, Don. Kamu jangan banyak bicara," kata Mila.
"Ma, menurut Tante Del, yang kita lawan itu bukan Nenek, tapi iblis di dalamnya."
"Ala, dia bisa ngomong macam-macam karena nggak menghadapi sendiri," kata Rama.
314 "Biar sajalah. Selama Mama hanya minta uang, bisa kita usahakan. Dia toh cuma mau senang-senang," kata Ramli, lalu menyuruh putrinya cepat pergi ke sekolah.
Donna berangkat ke sekolah dengan pikiran tertuju kepada Delia. Ia bingung, apa yang mau dituju Ratna di Jakarta. Ke sebuah motel" Jadi bukan untuk mencari Delia" Lagi pula untuk apa dia mencari Delia kalau sudah yakin bahwa Delia akan datang sendiri ke sini untuk menemuinya" Delia sendiri menjanjikan hal itu.
Donna lebih memercayai teori yang diucapkannya tadi. Bahwa neneknya punya pacar dan janjian di motel itu! Mungkin pacarnya orang Jakarta. Atau mencari tempat yang jauh, tidak di Bandung, supaya tidak ada yang melihat.
Pemikiran itu membatalkan niatnya untuk menelepon Delia. Ia tidak punya uang untuk pergi ke wartel. Kalau menelepon dari rumah pasti dimarahi karena biaya telepon interlokal mahal. Lagi pula ia bisa membuat Delia resah tidak keruan. Padahal Delia juga tidak tahu seperti apa rupa Ratna sekarang. Pada suatu. saat Donna harus menelepon Delia, punya atau tidak punya uang. Ia akan mengingatkan orangtuanya pada "utang" mereka kepada Delia.
Donna melangkah dengan ringan sekarang. Ia gembira ke sekolah karena masalahnya sudah tak ada lagi. Ia sudah bisa berkonsentrasi dan mengingat dengan baik.
* * * Pagi itu Yasmin menemani Hendri sarapan. Sebentar-sebentar Hendri mengamati Yasmin.
315 "Ada apa"" tanya Yasmin.
"Kau kelihatan ceria sekali. Sampai bersinar-sinar." "Ah, masa"" Yasmin bertanya-tanya dalam hati apakah ucapan Hendri itu menjurus ke sesuatu. "Iya. Kau kelihatan cantik." "Gombal ah."
"Bener. Dulu pernah aku mengatai kau, bahwa kau ma prematur. Aku minta maaf telah berkata begim. Tapi itu memang benar. Sekarang juga benar. Bukan gombal. Ketuaan dini itu sudah hilang. Kau jadi secantik dulu, saat kita masih pacaran."
Yasmin tersenyum. Hendri sedang berupaya mengambil hati.
"Gimana Papa kemarin"" tanya Hendri.
Yasmin bingung sejenak. Kemarin ia ke Motel Marlin. Kemudian ia teringat, pasti Hendri mengecek dengan meneleponnya. Setelah mendapati rumah kosong, Hendri tentu mengira Yasmin pergi ke rumah ayahnya. Tapi sorenya dia tidak bertanya mengenai hal itu. Baru sekarang.
"Papa" Aku tidak ke rumah Papa kemarin."
"Lantas ke mana" Aku nelepon berulang-ulang, tapi kau nggak ada."
"Aku menemui Kak Del di Motel Marlin."
Hendri berhenti mengunyah. Diam sebentar. Lalu berkata dengan sikap biasa, "Oh, begitu. Lama ngobrolnya""
"Lama. Aku makan siang di sana."
"Bersama pemiliknya""
"Ya. Bang Kosmas dan Bang Erwin."
"Bagaimana keadaan mereka""
Yasmin heran atas pertanyaan itu. "Baik. Semuanya baik. Kak Del sekarang bekerja di motel itu."
316 "Lho" Katanya dia punya toko di Bandung. Ke mana tokonya""
"Dijual." Yasmin tak enak membicarakan Delia.
"Kasihan. Sekarang memang susah punya toko garmen. Di Bandung itu toko busana banyak banget. Saingan banyak. Mestinya kau bisa membantunya. Bukankah dia penolongmu""
Yasmin tak menyangka Hendri bersimpati pada Delia. Kecurigaannya lenyap. Tentu Hendri ikut senang Yasmin masih hidup saat ayahnya sedang berusaha menghubunginya. Jadi wajarlah kalau Hendri berterima kasih kepada Delia.
"Percuma, Hen. Dia sudah menjualnya lama sebelum aku mengenalnya. Ketika bertemu itu, dia memang berbohong seakan masih punya toko. Tapi itu tentu wajar. Masa bilang-bilang keadaan sebenarnya pada orang tak dikenal""
"Pasti dia terpaksa kerja di motel itu."
"Ah nggak. Dia senang dan bersemangat."
"Aku pikir motel itu bukan tempat yang layak baginya. Apa latar belakang pendidikannya""
"Sarjana akuntasi. Dia mempraktikkan keahliannya itu di motel."
"Kalau dia mau pindah kerjaan, aku bisa bantu cariin."
"Nantilah. Aku tanyakan."
"Jadi dia nggak kembali ke Bandung""
"Di sa na dia dikejar mertuanya, nenek sihir!"
Sesudah berkata begim, Yasmin terkejut. Dia sudah keceplosan bicara. Mungkin dia terpengaruh oleh perhatian yang diberikan Hendri kepada Delia.
Hendri tertawa. "Mertuanya nenek sihir" Yang suka terbang naik sapu itu""
"Tentu saja bukan."
317 "Oh, aku tahu. Dukun santet"" "Juga bukan." "Habis apa dong""
"Nggak mau ngomongin itu ah. Takut kena kutuk!"
"Wah, jadi nenek itu bisa mengutuk""
"Hati-hati kau! Nanti kaulah yang dikutuknya."
"Jadi kodok"" Hendri tertawa geli.
Yasmin ikut tertawa. Perasaannya sedang gembira. Sikap Hendri menambah kegembiraannya.
"Dia pasti dukun. Atau punya ilmu," kata Hendri lagi.
"Ya. Dia memang punya ilmu. Sudahlah. Nggak mau ngomongin dia lagi. Takut."
"Aku justru tertarik, Yas. Aku ingin ketemu dia. Orang berilmu itu kan bisa menyembuhkan orang."
"Menyembuhkan siapa"" tanya Yasmin dengan mata membesar. Ia mengira ayahnyalah yang dimaksud Hendri.
"Kita berdua." "Memangnya kita sakit apa"" Yasmin tak mengerti. Hendri tersenyum. Yasmin mengerti. Mukanya jadi memerah.
"Aku bukan nggak peduli, Yas. Aku sangat ingin mencari jalan keluar yang terbaik buat kita."
Yasmin tidak menyahut. Tentu dia tak bisa mengatakan bahwa dia sendiri lebih suka keadaan seperti sekarang saja. Tak perlu perubahan lagi.
"Kayaknya kita lebih cocok pergi ke orang pintar saja, daripada ke Dokter Zainal. Bisanya cuma ngomong doang."
"Tapi kau salah, Hen. Mertua Kak Del itu bukan dukun atau orang pintar yang bisa menyembuhkan orang."
"Kan tak ada salahnya mencoba. Siapa tahu.
318 Jangan bilang-bilang sama Kak Del tentang maksud kita. Tanya saja alamatnya. Nanti aku cari informasi ke Bandung."
Yasmin terbelalak. "Wah, kau serius!"
"Tentu saja aku serius. Aku kan ingin perbaikan. Apa kau sendiri tak ingin""
"Bukankah kita sudah sepakat""
"Ya. Tapi keadaan seperti ini nggak mungkin terus-terusan, kan" Apa kau nggak ingin punya anak, misalnya""
"Nantilah, Hen. Jangan ngomongin itu sekarang. Aku masih trauma."
"Baiklah," sahut Hendri lesu.
"Satu hal lagi, Hen. Tentang perempuan lain. Hanya soal pelampiasan, kan" Aku rela kau melakukannya. Asal dengan pengamanan. Jangan sampai ketularan penyakit."
"Ya. Terima kasih."
Hendri memikirkannya. Perkataan Yasmin itu bisa bermakna ganda, pertama, Yasmin tak lagi mencintainya. Kedua, Yasmin masih mencintainya hingga rela berkorban perasaan. Sulit menentukan mana yang benar. Sekarang ia bingung menghadapi Yasmin. Dulu ia lebih gampang menilai, karena Yasmin lugu dan mudah dibaca. Kalau Yasmin memang berubah, perubahan itu besar sekali.
Apakah Yasmin mendendam padanya" Kalau benar begitu, kenapa Yasmin tak minta cerai saja sejak dulu" Bahkan sekarang, setelah punya beking kuat dalam diri ayahnya pun dia tidak pernah menyinggung kata cerai. Kalau sudah tak suka kepadanya, kenapa tidak minta cerai saja" Hendri merasa bingung.
Dalam keadaan demikian, tampaknya seorang nenek sihir bisa sangat membantu.
319 Yasmin pun termenung setelah kepergian Hendri. Ia bertanya-tanya apa sebenarnya yang diinginkan Hendri darinya. Kalau cuma ingin memuaskan libidonya, seharusnya Hendri puas dengan kebebasannya mencari perempuan lain. Kenapa masih saja menginginkan dirinya" Benarkah Hendri ingin punya anak"
Ketika Erwin menelepon, seperti biasa, Erwin lebih banyak berbicara daripada dirinya. Ada saja yang diceritakan. Setiap hari ada sesuatu yang terjadi. Lalu Yasmin minta bicara dengan Delia.
"Kalau dia sedang nggak sibuk tentunya, Bang."
"Wah sayang. Dia ke Bandung bersama Bang Kos."
Yasmin terkejut. "Ke Bandung" Ngapain""
"Bukankah kau sudah tahu rencananya""
"Oh ya, sudah. Dia mau memberikan uang hasil penjualan mobilnya itu kepada mertuanya. Tak kusangka secepat itu. Baru kemarin ngomong soal rencana."
"Dia berpesan kepadaku untuk menyampaikan kepadamu kalau kau menelepon. Tapi saking asyiknya ngomong, aku lupa. Sori, Yas."
"Apa mereka pulang nanti sore atau bermaksud menginap di sana""
"Pulang dong." Sesudah itu ayahnya menelepon, menanyakan apakah ia mau datang. Yasmin segera menyanggupi. Daripada termenung di rumah memikirkan hal-hal yang tak bisa ia temukan jawaban
nya, lebih baik ia menemui ayahnya. Ia memang perlu bicara dengan ayahnya untuk membicarakan ide-idenya.
320 BAB 31 Kosmas menemani Delia pergi ke Bandung dengan mengendarai mobil yang dulunya milik Delia tapi sekarang sudah berpindah tangan jadi milik Motel Marlin. Mereka mengemudi bergantian. Semula Delia ingin pergi sendiri saja, tapi Kosmas mendesak dan membujuk. Alasannya masuk akal. Ia bisa berfungsi sebagai pengawal mengingat Delia membawa uang lumayan banyak. Jumlahnya dua puluh lima juta. Itu upeti untuk Ratna.
Bagi Delia jumlah uang itu kecil sekali bila dibandingkan dengan jumlah yang dibawanya dulu, ketika berangkat dari Bandung menuju Jakarta. Tetapi kondisinya tentu berbeda. Sekarang jumlah uang itu besar sekali untuknya.
"Sayang ya, Del."
Delia mengerti apa yang dimaksud Kosmas. Ia tertawa. "Mungkin aku sudah ditakdirkan menjadi Sinterklas, Bang! Tukang bagi-bagi duit!"
Kosmas tahu, ia tak boleh menyesali atau membangkitkan sesal di hati Delia. Yang paling tahu bagaimana beratnya beban yang dipikul adalah yang memikul. Tapi sebagai pengusaha yang tidak tergolong kelas besar, ia tahu betul bagaimana sulitnya mencari uang di tengah iklim usaha yang redup seperti sekarang ini. Jadi dirinyalah yang lebih menyesal
321 daripada Delia yang sudah pasrah, padahal uang yang dihamburkan Delia itu bukanlah miliknya. Kosmas sebenarnya berharap uang yang diberikannya kepada Delia sebagai hasil pembelian mobil itu tidak seluruhnya dijadikan upeti untuk Rama. Biarlah sebagian untuk Delia sendiri. Tapi Delia memasukkan semuanya ke dalam amplop. Kosmas melihat sendiri. Ah, sayang sekali.
Delia merasakan apa yang tengah dipikirkan Kosmas.
"Sudahlah. Jangan disesali, Bang. Uang masih bisa dicari. Tapi ketenangan hidup""
"Kau sepertinya yakin sekali bahwa dengan memberikan uang itu kau bisa mendapat ketenangan. Belum tentu, Del."
"Ya. Memang belum tentu. Tapi dengan memberikan itu aku tidak lagi merasa bersalah karena telah melakukan apa yang dulu kuperbuat itu. Aku perlu menenangkan diriku sendiri. Bukan dia."
"Kalau nanti dia minta lagi atau bilang belum cukup, gimana""
"Aku akan bilang tidak. Dia pasti tahu aku tidak punya uang lagi untuk diberikan."
"Benarkah dia sesakti itu, Del""
"Dari cerita Donna, memang iya. Mana ada orang biasa bisa mengubah penampilan menjadi lebih muda kecuali dengan operasi plastik""
"Aku senang kau bisa merasa tenang sekarang, Del. Apakah ketenangan juga memberikan kebahagiaan""
"Tentu saja. Di samping ketenangan, aku juga mendapat banyak hal. Aku kehilangan, tapi aku juga mendapat gantinya. Salah satunya adalah kau."
Kosmas terlonjak girang. Sampai saat itu Delia
322 belum menjawab lamarannya. Ia tidak berani mendesak meskipun optimis. Apakah kata-kata Delia itu cukup sebagai jawaban"
Delia melanjutkan kata-katanya, "Maksudku bukan cuma kau, tapi juga Erwin dan Yasmin. Tadinya aku luntang-lantung sendiri. Siapa sangka bisa mendapat sahabat banyak."
"Sahabat"" keluh Kosmas kecewa.
Delia tersenyum. Ia tak ingin mempermainkan perasaan Kosmas.
"Ya. Sahabat dan calon suami," katanya.
Kosmas tertawa gembira. "Oh, Del! Terima kasih!" serunya.
"Kok terima kasih" Aku kan nggak memberi apa-apa""
"Siapa bilang" Kau telah memberiku banyak sekali. Yang paling berharga dari semuanya adalah hatimu."
"Wah, mana bisa hatiku diberikan padamu" Hatiku tetap milikku. Ah, bercanda, Bang! Kata Erwin, kau sekarang jadi pintar ngomong. Dulu nggak begini""
"Nggak. Mungkin bakat terpendam. Baru keluar setelah bertemu orang yang cocok, yaitu orang yang bernama Delia."
Mereka tertawa. Perjalanan jadi terasa menyenangkan sekali. Ketegangan yang menunggu di depan tidak lagi mencemaskan.
"Aku ingin sekali melihat Ratna dalam penampilannya yang baru. Dulu, sewaktu almarhum suamiku masih duduk di bangku SMU, aku belum pernah melihatnya. Kata Donna, dia cantik dan tubuhnya ramping. Menantu-menantunya kalah dibanding dia."
"Biarpun luarnya kelihatan muda, dalamnya pasti tetap tua. Kayak rumah kuno yang direnovasi bagian luarnya aja."
323 Delia tertawa. Ia bersyukur karena perjalanannya ditemani Kosmas. Bila sendirian ia akan mera
sa lebih tegang. Kosmas berulang-ulang melirik Delia dengan perasaan selangit. Ah, ia sudah punya calon istri sekarang. Tapi dalam kebahagiaannya ia masih ingat kepada Erwin. Kasihan Erwin yang saat ini hanya bisa berharap.
"Perjuangan Erwin akan sulit," kata Delia.


Pertemuan Di Sebuah Motel Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi Yasmin tidak berniat pisah dari Hendri."
"Masalahnya bukan terletak pada Hendri. Yang ini lebih sulit. Dia punya prinsip tidak akan cerai karena sudah mengucapkan janji dan sumpah setia. Betapapun menderitanya, dia akan tetap berpegang pada prinsip itu."
"Ooh...," keluh Kosmas. Memang langka dan mengagumkan perempuan seperti itu, tapi tidakkah itu terlalu berlebihan"
"Tapi sebaiknya Erwin jangan diberitahu soal itu," kata Delia.
"Bukankah itu tidak fair" Lebih baik dia mundur sebelum maju terlalu jauh."
"Maksudku, jangan kita yang memberitahu. Biar Yasmin sendiri yang ngomong begim kepadanya."
"Ya. Kukira lebih baik begim. Tapiii... gimana kalau pihak Hendri yang menuntut cerai" Apakah Yasmin bersedia, atau tetap pada pendiriannya" Nggak mungkin juga ya""
"Yasmin merasa yakin Hendri tidak akan minta cerai."
"Tidakkah itu terlalu percaya diri" Padahal sebagai istri, dia tidak bisa memberikan yang diinginkan suaminya."
"Justru itu. Sudah jelas dia tidak bisa melayani
324 suaminya. Menolak, lagi. Tapi Hendri tidak pernah menyinggung soal cerai. Im karena sekarang Yasmin sudah kaya."
"Ah, sungguh menyebalkan."
Delia tahu, Kosmas sangat memerhatikan Erwin. Kosmas tidak ingin bahagia sendirian. Mungkin perannya menghadapi dua bersaudara itu menjadi lebih berat. Tapi Delia sudah siap.
Saat Kosmas dan Delia tiba di Bandung, Ratna dan Rama pun tiba di Jakarta.
Tapi Ratna tidak mau segera pergi ke Motel Marlin. Dari stasiun Gambir ia bertanya dulu kepada sopir taksi di mana mal yang terdekat, lalu minta diantar ke sana! Rama yang mendampinginya tidak berdaya membantah atau membujuk agar Rama membatalkan niatnya. Im hal yang tidak mungkin ia lakukan.
Tadinya Rama mengira- tugasnya akan cepat selesai. Setelah tiba di Jakarta, ia langsung menuju motel yang dimaksud, lalu pulang. Tak perlu mengkhawatirkan orang sesakti ibunya. Tiba-tiba sekarang ada tugas tambahan yang lebih menyebalkan lagi. Sebelumnya ia sudah mendengar tentang acara jalan-jalan bersama Rama keliling mal. Sekarang ia akan mengalami sendiri. Bukan hanya itu. Ia benar-benar merasa capek secara fisik, juga takut kalau-kalau dalam acara jalan-jalan itu Rama minta tambahan uang. Bekalnya hanya pas-pasan untuk ongkos pulang dan jajan sedikit. Bukan karena di rumah uangnya sudah habis, tapi disengaja supaya Rama tidak minta lebih dari yang sudah diberikan untuknya. Kalau ia
325 membawa uang lebih, bisa jadi diminta lagi oleh Rama.
"Jakarta itu terkenal dengan mal-malnya yang seabrek. Bagus-bagus barangnya!"
"Tapi di sini malnya gede-gede, Ma! Satu lantai saja luasnya bukan main. Mama bisa kecapekan," Rama sengaja menakut-nakuti.
Semangat Ratna malah bertambah. "Kebetulan aku mau ngetes kekuatan sendi-sendi kakiku!" serunya.
Rama cuma bisa mengeluh dalam hati. Bagaimana dengan kekuatan sendi-sendi kakinya sendiri"
Sebelum memasuki mal, Ratna mengambil ponselnya. Rama mengamati, ingin tahu siapa yang ditelepon Ratna. Dengan keheranan ia mendengar Ratna bicara dengan Maya, istrinya!
"Maya, aku dan Rama udah sampai di Jakarta. Aku mau pesan. Kalau nanti Delia datang, jangan sekali-kali beritahu aku ke Jakarta dan tujuannya apa. Cari alasan lain. Awas ya kalau kau berani kasih tahu. Pokoknya kalau Del kasih sesuatu, terima aja. Nggak usah ngomong banyak-banyak. Ngerti""
Rama tidak berani bertanya. Ia selalu berjalan di belakang Ratna, tidak di sampingnya.
Mal itu ditelusuri mereka berdua, lantai demi lantai, dari ujung ke ujung. Sebentar-sebentar mereka berhenti karena Ratna mengamati barang-barang. Lagaknya seperti orang berminat yang banyak uang. Rama menjaga jarak. Tak mau dekat-dekat. Takut diajak bicara atau dimintai pertimbangan. Ia berharap Ratna cukup tahu diri dengan memperhitungkan uang yang dimilikinya. Ia bertanya-tanya dalam hati, kenapa Ratna tidak menggunakan kesaktiannya untuk menggandakan uan
gnya atau bagaimanalah supaya
326 bisa punya banyak uang tanpa membebani anak-anaknya.
Belum selesai mal itu ditelusuri semua lantainya, sepasang kaki Rama sudah bergoyang-goyang dan matanya berkunang-kunang. Ia merasa akan jatuh pingsan setiap saat tapi mencoba bertahan. Padahal Ratna masih terlihat segar dan bersemangat. Ia berjalan ke sana kemari tanpa menengok ke belakang untuk melihat keadaan Rama. Saking cerianya, ia sama sekali tidak peduli apakah Rama masih ada di belakangnya atau tidak.
Tapi ada yang melegakan perasaan Rama. Setelah menelusuri mal itu, lantai demi lantai, Ratna cuma membeli sebuah lipstik! Padahal ia sudah memegang-megang dan merabai berbagai benda yang mahal-mahal dengan ekspresi tertarik.
Ketika diajak Rama beristirahat sambil makan siang, barulah Rama bisa memulihkan tenaganya. Tapi itu hanya sementara. Di luar dugaan Rama, penjelajahan dilanjutkan ke mal berikutnya! Rama kembali hanya bisa mengeluh. Berkali-kali muncul godaan. Bagaimana kalau ia kabur saja" Ratna berjalan tanpa menengok ke belakang. Jadi kalau ia menghilang takkan ketahuan. Kemudian ia teringat bahwa ia bisa saja melakukannya terhadap orang lain, tapi tidak pada Ratna. Entah apa hukuman yang akan dijatuhkan Ratna terhadap dirinya bila ia sampai melakukan hal itu. Maka ia hanya berharap Rama menjadi bosan sendiri supaya pemalangan itu segera berakhir.
Tetapi harapan Rama itu tidak terpenuhi. Keluar dari mal yang kedua, Rama memanggil taksi, lalu bertanya lagi pada sopir taksi di mana ada mal berikutnya! Maka pemalangan berlanjut kembali. Rama bukan saja capek di kaki tapi juga capek mata dan
327 hidung. Ia pusing melihat barang yang penuh sesak beragam dan menghirup bermacam-macam bau, dari parfum menyengat sampai kulit sepatu! Benar-benar memabukkan.
"Untunglah kita nggak pakai mobil bututmu ya. Di sini taksi banyak banget," komentar Ratna.
"Kabarnya ada juga sopir taksi yang jahat, Ma. Suka muter-muter dan ada yang merampok."
"Ah, mana mungkin ada yang berani sama aku!" kata Ratna takabur.
Rama memercayai perkataan itu.
Mereka menjelajahi mal demi mal. Ratna tak kenal lelah. Sementara Rama kelelahan. Ia merasa mendengar sendi-sendi lututnya berkeretekan seakan pada lepas berantakan. Akhirnya ia tak tahan lagi, lalu menggelosor duduk di lantai pojok ruang dan berusaha mengecilkan tubuhnya supaya tidak kelihatan mencolok.
Seorang pramuniaga buru-buru mendekat.
"Kenapa, Pak"" tanyanya cemas. Ia melihat wajah yang pucat dan tubuh yang lunglai.
"Maaf, Mbak. Boleh duduk di sini sebentar" Kaki saya sakit," kata Rama, menyeringai malu. Untuk menguatkan perkataannya ia menggosok-gosok kakinya.
"Boleh, boleh," sahut pramuniaga tadi. Tak urung ia menatap curiga sebelum menjauh. Tapi tak terlalu jauh. Ia harus mengamati. Siapa tahu orang itu hanya pura-pura, tahu-tahu mencuri.
Ratna datang tergopoh-gppoh. Ia sudah berjalan cukup jauh tanpa menyadari Rama tak ada di belakangnya. Lalu ia menemukan Rama duduk di pojok lantai dengan menekuk kedua lutut. Kepalanya disandarkan ke dinding. Rama terkejut melihat ibunya
328 menatapnya gusar. Ia bergerak untuk berdiri, tapi ternyata tidak sanggup melakukannya! Sepasang kakinya kehilangan tenaga.
"Ayo bangun, Ram!" bentak Ratna. Ditekannya suaranya supaya tidak menarik perhatian orang. Ia tidak mau jadi tontonan.
"Capek, Ma. Ngaso dulu, ya""
"Ayolah! Malu-maluin aja kamu! Masa kalah sama orang tua""
Sambil berkata begitu, Ratna menampar keras lutut Rama. Spontan Rama memekik kesakitan karena rasa nyeri yang menghantamnya. Tapi serentak ia berdiri seolah tertarik ke atas. Lalu dengan cepat nyerinya hilang. Ia cepat berjalan mengikuti Ratna yang sudah melangkah lebih dulu.
Anehnya, Rama tak lagi merasa capek. Ia bisa terus berjalan dan berjalan, baik menaiki maupun menuruni tangga tanpa lelah sedikit pun. Biarpun aneh, ia tak merasa heran. Hal itu justru membuatnya semakin takut kepada Ratna. Ia hanya menyesali, meskipun di dalam hati, kenapa tidak dari awal saja Ratna memberinya kekuatan.
Pada setiap kesempatan Rama mencuri pandang ke wajah ibunya. Apakah perilaku yang diperlihatkan Ratna sekarang
ini sama seperti dulu" Ketika itu ibunya memang galak dan cerewet. Mungkin sama, tapi ia merasa asing. Bukan semata-mata karena perubahan fisik, tapi ada sesuatu yang lain.
Tiba-tiba Ratna menoleh dan menatapnya. Rama terkejut, merasa kepergok. Seerrr... Bulu romanya berdiri.
* * * 329 Delia dan Kosmas disambut Maya dengan sikap gelisah dan gugup. Tangannya yang menyalami Delia dan Kosmas terasa dingin dan gemetar. Ia dipeluk Delia yang mencium pipinya tapi tidak membalas pelukan. Ia pasif sekali.
"Kenapa, May" Sakit"" tanya Delia.
"Ah, nggak. Nggak."
Maya sama sekali tidak memerhatikan Kosmas, meskipun menyambut uluran tangan lelaki itu. Ia cuma fokus pada Delia seorang.
Delia menatap sekeliling. Kecuali para montir yang sedang bekerja di bengkel depan rumah, sekitarnya sepi-sepi saja. Rumah itu besar, jadi kesepian amat terasa.
"Kalau kau mencari Mama, dia nggak ada. Lagi pergi," kata Maya.
"Pergi ke mana" Lama" Biar kutunggu aja. Kau tak usah menemani kami. Mungkin lagi sibuk, ya" Atau kami pergi dulu, nanti balik lagi"" tanya Delia.
"Oh, jangan, Del. Dia nginap di luar kota. Kalau kau bawa sesuatu untuknya, titipkan saja padaku. Nanti kusampaikan."
"Luar kota mana, May"" tanya Delia.
Maya menutup mulutnya. Matanya menatap dinding.
Delia sadar sikap Maya itu menandakan takkan ada informasi yang mau diberikannya. "Baiklah," katanya.
Delia membuka tas, tapi kosmas mencondongkan kepalanya lebih dekat lalu berbisik, "Apa aman bila dititipkan, Del""
Delia mengangguk. "Ya. Kukira aman," bisiknya juga.
Kosmas tak mendebat lagi. Rasanya kurang nya-
330 man menerima tatapan tak suka dari nyonya rumah. Mungkin Maya bisa menebak apa yang dibisikkannya tadi dan merasa kurang senang.
Delia mengeluarkan sebuah amplop cokelat lalu menyerahkannya kepada Maya.
"Isinya uang, May. Jumlahnya dua puluh lima juta rupiah."
"Perlu tanda terima"" tanya Maya.
"Ah, nggak perlu. Mama pasti sudah tahu, baik kedatanganku maupun isi amplop ini. Dia tak mau ketemu aku, bukan" Mungkin takut aku kaget melihat perubahan penampilannya, ya""
Maya tidak menyahut. Ia hanya tersenyum kaku. Dalam hati berkata, tentu Delia sudah diberitahu Donna. Jadi ia tidak perlu menjelaskan lagi. Ia ingat pesan Ratna yang melarangnya banyak bicara.
"Bagaimana anak-anak dan Rama, May""
"Baik. Baik. Semuanya baik." "Rama sedang keluar juga""
"Ya." "Kau kelihatan pucat, May. Sebaiknya periksa ke dokter. Mungkin kau kurang darah." "Ah, aku baik-baik saja." "Syukurlah kalau begitu."
Delia berdiri, diikuti Kosmas dan Maya. Mereka bersalaman lagi.
"Terima kasih, May. Sampaikan salam dan maafku pada Mama. Semoga Mama merasa senang dan puas," kata Delia.
"Ya. Terima kasih kembali," sahut Maya, tanpa basa-basi untuk menahan tamunya. Bahkan tampak lega karena tamunya cepat pamitan. Ia pun tidak mengantarkan kedua tamunya sampai ke pintu pagar.
Maya buru-buru masuk rumah kembali lalu me-
331 nyimpan amplop cokelat pemberian Delia ke dalam lemarinya. Ia memperlakukan benda itu seolah barang pecah belah bernilai tinggi. Kalau hilang ia bisa celaka.
Sementara itu Kosmas dan Delia melakukan perjalanan kembali ke Jakarta. Mereka sama-sama ingin cepat pulang.
"Maya tampak ketakutan. Kasihan ya"" kata Delia.
"Seharusnya dia bersimpati padamu. Setidaknya bertanya tentang keadaanmu. Bukannya setengah mengusir. Dingin amat orang itu. Bahkan menyuguhi minuman pun tidak," Kosmas kesal.
"Aku mau terpikir positif saja, Bang. Mungkin dia bersikap begitu supaya aku jangan ketemu Ratna. Dia takut aku diapa-apain."
"Sesungguhnya nenek itu ada di rumah atau nggak, ya""
"Kayaknya nggak."
"Kok yakin""
"Kalau dia memang ada di dalam dan tak mau keluar, tentu sikap Maya lebih gelisah lagi. Tatapannya juga akan sebentar-sebentar ke dalam rumah. Tapi tadi dia terus menatap lurus ke depan."
"Kalau begitu mertuamu itu memang sudah tahu kau mau datang. Jadi dia pergi untuk menghindar."
"Kenapa ya"" Delia bertanya-tanya sendiri.
"Mungkin dia tahu kau tidak sendiri. Ada aku," gurau Kosmas.
Delia tertawa. "Ya, mungkin begitu. Padahal kita ingin melihatnya, bukan""
"Sayang sekali. Apakah itu berarti dia malu dili
hat kita"" "Mana mungkin" Mestinya dia merasa bangga. Ah, sudahlah. Aku cuma ingat akan bau menyan tadi. Apa kau menciumnya juga, Bang""
332 "Ya. Jelas baunya."
"Dia memuja sesuatu. Dan yang dipuja itu memberinya apa yang diinginkannya."
"Apakah ada imbalannya"" tanya Kosmas. "Mestinya ada."
"Sebaiknya kita tidak membicarakannya." "Betul. Aku pikir juga begitu." "Sebaiknya kita bicarakan masa depan kita bersama."
"Ya. Itu lebih menyenangkan," Delia setuju. Dia memang luar biasa, pikir Kosmas untuk kese-kian kalinya.
333 BAB 32 "Sekarang kau pulang saja, Ram! Balik ke stasiun," kata Rama setelah taksi berhenti di depan gerbang Motel Marlin. Ia turun sendiri. Rama tidak membantah. Dengan taksi yang sama ia meninggalkan ibunya. Tak ada kekhawatiran. Ia juga tidak merasa perlu berpesan agar Ratna berhati-hati. Biarpun ucapan itu sekadar basa-basi, ia tetap tidak berani mengatakannya karena khawatir Rama malah marah. Terlalu banyak yang dialaminya hari itu hingga keinginannya hanya satu, yaitu cepat pulang.
Ratna melenggang di halaman parkir menuju kantor. Ia menjinjing belanjaannya di dalam tas jinjing yang berlogo nama toko bergengsi. Tangannya yang lain menjinjing tas ukuran sedang berisi pakaian ganti. Tidak berat. Padahal ia bisa menitipkan belanjaannya itu pada Rama untuk dibawa pulang supaya ia tidak repot. Tapi ia tidak mau karena ingin kelihatan sebagai perempuan berduit yang suka belanja.
"Selamat sore. Bu!" Erwin menyapa ramah. "Sore, Pak. Saya mau nginap satu malam. Besok keluar jam sembilan." "Baik, Bu."
Erwin menyodorkan buku tamu. Rama menulis namanya sebagai Ratih Sutisna dengan alamat Cianjur..
334 "Nomor telepon tolong ditulis juga, Bu."
"Nggak ada telepon. Ada juga HP."
Erwin memutuskan untuk tidak mempersoalkan.
"Bisa lihat KTP-nya, Bu" Mau dicocokkan."
Rama membuka tasnya lalu mengaduk-aduk isinya. Segera wajahnya memperlihatkan kecemasan.
"Waduh, kok nggak ada ya. Jangan-jangan ketinggalan di tas yang lain. Beginilah kalau ganti-ganti tas. Wah, gimana ya" Apa saya nggak boleh nginap di sini kalau nggak bawa KTP""
Erwin merasa iba. Melihat penampilan Rama, ia yakin perempuan ini pastilah orang baik-baik dan cukup berada meskipun datang sendirian.
"Ibu ke Jakarta ada keperluan penting""
"Ah, nggak. Jalan-jalan aja. Abis belanja. Nih." Rama mengangkat jinjingannya tinggi-tinggi agar terlihat oleh Erwin.
Erwin tertegun. Jalan-jalan sendirian. Ke Jakarta, lagi. Ia mendapat kesan perempuan ini orang yang mandiri yang sudah biasa pergi sendirian ke mana-mana.
"Bu, KTP itu penting di sini. Kadang-kadang ada razia. Yang tidak bawa KTP bisa kesulitan, ditilang dan didenda."
"Terima kasih, Pak. Ya, lain kali saya lebih berhati-hati," kata Rama dengan senyum manis.
Rama membayar, lalu Erwin menyerahkan kunci kamar. "Nomor lima, Bu."
"Terima kasih."
"Tasnya mau dibawakan, Bu"" Rama tak segera menjawab tawaran itu. Saat ia masih menimbang-nimbang, Erwin melangkah ke luar kantor lalu menengok kiri-kanan kalau-kalau ada anak buahnya yang bisa segera dipanggil. Bila di-
335 panggil lewat interkom perlu waktu sampai orangnya muncul. Tapi ia tak melihat siapa-siapa. Ia segera kembali ke kantor.
Ratna sedang berjongkok membenahi tasnya.
"Mari saya bawakan saja tasnya, Bu," Erwin menawarkan. "Nggak jauh kok."
Ratna tidak menolak tawaran itu. Ia membiarkan Erwin membawakan tasnya tapi jinjingan ia bawa sendiri. Erwin membukakan pintu kamar, menyalakan AC, lalu menjelaskan soal interkom meskipun di dinding sudah tertulis penjelasannya.
Ketika Ratna mau- memberi tip, Erwin menolak. Ia buru-buru kembali ke kantornya.
Pengalaman dengan Delia dan Yasmin membuat ia jadi terbiasa melihat perempuan yang datang menginap sendirian biarpun dari luar kota. Tak ada prasangka buruk. Mustahil orang mau bunuh diri belanja dulu. Bukan itu saja. Ia sudah pasrah sekarang. Tak usah terus-menerus mengkhawatirkan orang lain. Mereka bertanggung jawab atas diri sendiri.
Tamu-tamu berdatangan. Sesudah itu lama sepi. Lalu ada telepon dari Kosmas. Mereka dalam perjalanan pulang. Semua baik-baik saja. Ia menunggu mereka. Pikirannya mengembara.
"Aku tid ak mau mendesak Del," begitu kata Kosmas kepadanya. "Tapi bila ia menerima lamaranku, aku ingin segera menikah, Win. Usia kami berdua kan nggak muda lagi."
"Tentu saja, Bang. Tunggu apa lagi"" Erwin menyahut.
"Aku mikirin kau."
"Aku" Buat apa, Bang" Kok aku yang dipikirin" Aku kan bukan anak kecil. Masa kalau kau kawin, aku harus kawin juga. Padahal calon belum ada."
336 "Aku ingin kita berdua bisa menikmati kebahagiaan yang sama, Win."
"Nonsens, Bang! Itu kan mustahil. Kau harus cepat mengikat Delia. Jangan sampai lepas. Kan sayang."
"Mestinya kau jangan mikirin Yasmin saja, Win. Buka mata juga terhadap cewek lain. Kan masih banyak. Apalagi modalmu lebih dari cukup."
"Modal yang tak disertai nasib baik itu percuma, Bang."
"Kau pesimis." "Bukan pesimis. Tapi ngomong fakta."
Lamunannya terhenti oleh kemunculan tamu perempuan yang baru masuk tadi. Ratih dari Cianjur atau Rama.
"Saya mau nanya, Pak. Di depan banyak warung makan. Mana yang enak dan bersih""
"Oh, Ibu mau makan apa" Bisa pesan dari sini kok. Nanti dianterin ke kamar. Cuma kasih tip aja."
"Enakan makan di sana aja. Bisa lebih leluasa."
"Silakan, Bu. Hati-hati dompetnya. Mendingan bawa uang secukupnya saja."
"Memang gitu kok. Terima kasih."
Ratna melenggang pergi. Dengan kaus ketat dan celana jins pas di pinggul ia kelihatan seperti gadis muda.
Erwin menilainya sedikit genit. Mungkin saja dia bukan perempuan baik-baik. Atau seorang kekasih gelap yang janjian di tempat itu. Tapi itu bukan urusannya. Yang penting baginya tamu tidak berniat bunuh diri.
Erwin tak bisa kembali merenung. Sebuah mobil berhenti di depan kantor. Dengan keheranan ia melihat Hendri keluar. Dia sendirian saja. Hendri membawa sebuah dus pizza.
337 "Selamat sore, Mas," Hendri menyapa. "Di sini ada yang pesan pizza""
"Selamat sore. Sejak kapan kau jadi pengantar pizza""
"Sejak hari ini. Aku membawakan buat teman-teman di sini."
Erwin menerima dus yang disodorkan. Ia meletakkannya di meja sebelah belakang. "Silakan duduk, Mas," katanya menyilakan.
"Sendirian, Mas"" tanya Hendri sambil duduk.
"Iya. Kak Del sama Bang Kos ke Bandung."
"Nginap"" "Nggak. Sebentar lagi juga pulang. Mau ketemu Kak Del""
"Ah, nggak. Cuma mampir aja. Aku beli pizza buat di rumah. Sekalian aja buat di sini juga."
"Oh, begitu." Erwin masih bingung dengan keramahan Hendri.
"Nanti kami akan pindah ke rumah ayah Yasmin. Rumahnya besar. Kami menempati paviliunnya. Kepastian pindahnya akan kukabari lagi. Nanti mampirlah ke sana."
"Ah, nggak enak. Kabarnya ayah Yasmin sakit. Bisa mengganggu ketenangannya."
"Kami di paviliun. Dia di rumah besar. Tidak saling mengganggu."
"Oh, begitu. Baiklah. Nanti kuberitahu Kak Del."
"Ya. Sampaikan salamku padanya. Juga buat Bang Kosmas."
Hendri menepuk pundak Erwin dengan sikap bersahabat, lalu kembali ke mobilnya. Setelah mobil Hendri meluncur ke luar, Erwin menoleh ke belakang, menatap dus pizza. Apakah dengan keramahannya itu Hendri bermaksud mendekat dan ikut menjalin
338 persahabatan dengan mereka seperti Yasmin" Tapi Erwin tidak ingin bersahabat dengan Hendri!
* * * Setelah keluar dari pintu gerbang Motel Marlin, Hendri membelokkan mobilnya. Di saat bersamaan seorang perempuan melintas di depan mobilnya, lalu tersenggol. Perempuan itu jatuh. Orang-orang yang ada di sekitar mulai riuh mendekat. Dengan cemas Hendri buru-buru keluar dari mobilnya. Betapa leganya ia ketika perempuan itu tampak baik-baik saja.
Perempuan itu, Ratna, menerima uluran tangan Hendri. Ia berdiri dan kelihatan cukup kuat untuk tetap tegak.
"Ibu nggak apa-apa"" tanya Hendri, mengamati Ratna dari atas ke bawah.
Orang-orang sekitar yang tadinya siap untuk membuat keributan mundur dan menjauh. Mereka tidak tertarik lagi.
Rama mencoba melangkah tapi kemudian meringis. "Sakit sedikit," katanya, menunjuk kakinya.
"Baiknya kita ke dokter aja, Bu. Periksa sekalian. Apakah Ibu bawa keluarga" Suami atau anak"" tanya Hendri sambil celingukan.
"Nggak. Aku sendirian. Nginap di situ," sahut Rama, menunjuk Motel Marlin.
"Oh, sendirian""
Hendri membantu Rama masuk mobil, duduk di depan.
"Ya. Sendirian. Memangnya kenapa"" Ratna tert
awa. "Nggak apa-apa."
Hendri mulai berprasangka. Ia juga kesal. Tadi
339 perempuan ini meringis menahan sakit. Setelah duduk di dalam mobil wajahnya jadi ceria.
"Sudah berapa lama nginap di situ, Bu""
"Baru masuk tadi. Habis belanja."
"Belanja" Memangnya Ibu bukan warga Jakarta""
"Bukan. Aku dari Cianjur."
"Wah, jauh amat. Jauh-jauh sendirian ke sini hanya untuk belanja""
"Memangnya kenapa" Apakah aneh" Perempuan nggak boleh jalan sendiri""
"Bukan begitu, Bu. Biasanya perempuan segan jalan sendirian kayak Ibu. Kalau jarak dekat sih nggak apa-apa. Maklum, banyak orang suka iseng, Bu."
Beberapa kali Hendri melirik, mengamati lebih jelas wajah Ratna. Dia cukup cantik, pikir Hendri. Kulitnya putih halus. Hidungnya mancung dan bibirnya terkesan sensual. Hendri memperkirakan umurnya belum lewat empat puluh.
"Kok ngeliatin""
Hendri terkejut dan tersipu. "Maaf, Bu. Cuma pengen lihat lebih jelas aja. Tadi tempatnya gelap."
Rama tersenyum. Hendri menganggap senyum itu manis sekali. Apakah perempuan ini orang baik-baik"
"Gimana sakitnya, Bu"" "Udah mendingan."
"Pikir-pikir, heran juga ya tadi itu. Rasanya saya nyenggolnya pelan aja, tapi kok Ibu sampai jatuh ya""
"Jadi kau menuduhku pura-pura jatuh" Memangnya aku mau merampok" Mau memeras"" sembur Rama berang.
Hendri terkejut. Ia menatap Rama dan merasakan
340 sorot mata yang tajam ke arahnya. Dalam cuaca senja yang mulai gelap, sepasang mata Ratna terlihat seperti mata kucing dalam kegelapan. Tiba-tiba perasaan Hendri seolah akan diterkam. Ia menjadi ngeri. Biasanya perempuan berkuku panjang. Kalau ia sampai dicakar, bisa celaka.
"Wah, jangan marah dong, Bu. Masa gitu aja marah sih" Aku kan nggak nuduh. Yang ngomong begitu Ibu sendiri kok."
Rama cemberut. "Maaf ya, Bu""
"Ya sudah." Rama melunak.
"Tadi aku belum lihat kaki Ibu. Bisa lihat dulu nggak, Bu" Mungkin perlu obat merah atau plester. Kalau hanya itu sih aku ada," Hendri mengusulkan. Ia segan ke doker atau rumah sakit karena biayanya pasti tidak sedikit.
"Lihat aja sendiri."
Hendri meminggirkan mobilnya di tempat yang diterangi lampu. Ia menyalakan lampu mobil. Rama mengangkat kakinya lalu menaikkan kaki celananya. Betisnya kelihatan. Ada baret-baret sedikit. Hanya itu saja. Tidak ada bengkak atau luka terbuka. Hendri kembali merasa kesal. Masa cuma begitu saja sampai meringis kesakitan seperti yang tadi diperlihatkannya"
"Cuma gini aja sih cukup pakai obat merah, Bu. Ngapain ke rumah sakit" Nanti di sana Ibu diperiksa macam-macam. Dipotret segala. Terus disuntik tetanus. Dikasih obat. Biarpun nggak apa-apa, tetap aja digituin. Tahu kenapa" Supaya mereka kelihatan sibuk dan ada yang mesti dibayar!"
"Ya udah. Pakein obat merah sana. Nggak usah ke rumah sakit."
Buru-buru Hendri mengambil kotak obatnya. Ia
341 memakaikan obat merah. Tapi sempat terlintas dalam pikirannya, betapa indah betis yang dimiliki perempuan ini! Ia senang karena bisa lepas dari jeratan.
"Nah, sudah beres, Bu. Sekarang kuantarkan kembali ke motel, ya""
"Traktir makan dong. Tadi aku belum sempat makan tuh. Di sana nggak ada yang enak."
Hendri melongo. "Makannya di restoran yang enak ya. Jangan yang murahan," Rama melanjutkan.
Hendri menggerutu dalam hati, tapi tak bisa menolak. Ia sempat melihat senyum kemenangan di bibir Rama. Dirinya memang sudah diperdaya. Tapi lama-kelamaan kejengkelannya mereda. Ada sesuatu yang misterius dalam diri perempuan ini yang membuatnya menarik. Sempat terpikir, jangan-jangan dia penipu yang berniat merampoknya atau menguras uangnya dengan hipnotis seperti yang sering terjadi. Tapi ia. sudah siap dan waspada menghadapi kemungkinan itu. Orang yang siap pasti lebih kuat posisinya dibanding orang yang gampang percaya. Lagi pula ia punya keyakinan, perempuan lebih gampang dihadapi dibanding lelaki.
Ratna menunjuk sebuah restoran besar yang kebetulan dilewati. Hendri menyesal melewati restoran itu. Tapi mau tak mau ia terpaksa memenuhi keinginan Ratna. Ia menghibur diri dengan menghitung-hitung, mungkin biaya rumah sakit lebih besar daripada biaya makan.
"Tadi kau keluar dari .motel itu. Nginap di situ juga"" tanya Ratna.
"Nggak. Pemiliknya adalah temanku."
"Oh, begitu. Sudah punya istri, kan""
"Ya. Sudah," sahut Hendri.
342 "Belum punya anak, kan" Lagi ada masalah, ya""
Hendri terkejut. Nada pertanyaan itu bisa sekadar perkiraan, tapi lebih terkesan sebagai kesimpulan.
"Bagaimana Ibu bisa tahu""
"Wajahmu memperlihatkan itu."
"Ah, masa" Memangnya ada apa di wajahku""
"Ada gurat-gurat yang bercerita," sahut Rama, tenang tidak bercanda.
"Gurat-gurat" Apakah aku sudah kelihatan ma"" Hendri meraba mukanya.
"Ah, nggak. Kamu cakep kok." Rama tertawa. Semakin familier saja sikapnya.
"Baiklah. Apa yang Ibu baca di wajahku""
"Masalah seks, kan""
Kali ini Hendri ternganga. Sekarang Rama tampak lain di matanya. Perempuan luar biasa, pikirnya.
"Kok Ibu bisa tahu sih" Apakah Ibu... paranormal""
Rama hanya tersenyum lalu menghirup pelan-pelan minumannya. Ia menatap Hendri dengan ekspresi "Jangan main-main denganku!"


Pertemuan Di Sebuah Motel Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Situasi sudah berubah bagi Hendri. Perasaan dan pikirannya mengenai Rama sudah berubah total. Bukankah ia baru saja menyampaikan idenya kepada Yasmin untuk minta bantuan paranormal" Bila orang sudah kesulitan memecahkan masalah dengan cara yang wajar, tak ada salahnya berpaling pada cara yang tak wajar. Segala cara sepatutnya ditempuh.
Karena sadar Yasmin tidak tertarik, maka Hendri memutuskan untuk mendekati Delia. Itulah tujuannya datang ke Motel Marlin tadi. Barangkali ia bisa menjalin komunikasi dengan Delia hingga Delia mau memberi masukan perihal ibu mertuanya yang dikatai, nenek sihir itu. Setidaknya Delia bisa memberitahukan
343 alamat sang nenek. Selanjutnya Hendri bisa mencari informasi sendiri. Memang orang yang menyebut dirinya paranormal cukup banyak. Tapi belum tentu semuanya asli.
Tiba-tiba sekarang ia berhasil menemukan sendiri seseorang yang berilmu. Jadi ia tak perlu lagi bersusah payah mendekati Delia dan teman-temannya. Suatu kebetulan karena ia tidak menyukai mereka. Sesungguhnya ia juga merasa aneh akan peristiwa yang sepertinya kebetulan itu. Tapi sebaiknya ia tidak berpikir tentang "bagaimana mungkin", tapi bagaimana memanfaatkan keberuntungannya itu.
"Ya. Aku memang orang bermasalah, Bu. Ke dokter sudah, tapi dia cuma menyuruh bersabar. Perlu waktu dan sebagainya. Demikian pula yang dikatakan istriku. Masa suami disuruh ke orang lain, Bu."
Rama tertawa geli. "Punyamu itu memang kebesaran sih."
Hendri tertegun oleh sikap dan gaya bicara Rama yang santai tapi tidak main-main. Ia juga malu. Rasanya ia telanjang di depan Ratna. Kalau tidak begitu, mana bisa Ratna tahu" Sudah dari sononya begitu sih," sahut Hendri.
"Mau dikecilin nggak""
"Apa" Nggaaak!" seru Hendri dengan perasaan horor. Lupa akan sekeliling. Ia baru sadar kemudian setelah melihat orang-orang memandang padanya dengan heran. Wajahnya memerah karena malu. Bukan hanya karena dipandangi orang, tapi lebih-lebih karena pertanyaan Ratna.
"Kalau nggak mau, ya sudah. Aku memang nggak bawa alatnya kok," kata Rama tenang. Tidak tertawa.
344 "Aduh, Bu. Kok nakutin orang kayak gitu." Hendri benar-benar merasa takut.
"Tenang. Aku kan cuma nanya."
"Untunglah Ibu nanya dulu. Tapi kalau Ibu sungguh-sungguh mau menolong, jangan dengan cara itu."
"Sebetulnya apa yang kauinginkan" Berhubungan dengan istri, kan" Tapi kau membuatnya sakit."
"Dia itu kelewatan, Bu. Belum diapa-apain udah ketakutan."
"Awalnya kamu yang salah sih. Aku ini kan perempuan. Jadi aku solider dong sama kaumku."
"Ya, Bu. Aku memang salah. Tapi yang penting ke depannya. Bagaimana supaya bisa memperbaiki kesalahan itu. Gimana bisa harmonis kalau nggak ada hubungan seks""
"Sebenarnya keinginan kamu itu bukan karena cinta padanya, tapi karena ingin menguasainya. Baik orangnya maupun hartanya. Ya, kan""
Hendri terkejut untuk kesekian kalinya. Wajahnya sampai memucat.
Rama tertawa geli. Ia senang betul bisa membuat Hendri terkejut-kejut.
Hendri kehilangan selera makan. Ia bingung menghadapi Ratna. Tapi ia percaya betul bahwa Ratna memang punya kelebihan. Hanya ia belum tahu apakah Ratna bersimpati kepadanya atau tidak.
"Apakah Ibu kenal istriku""
Ratna menggeleng. "Kau curiga, ya"" tanyanya.
"Nggak, Bu. Pengen tahu
aja." Rama melanjutkan makan dengan lahap. Hendri mengamatinya dengan heran. Cara Ratna makan itu seperti kelaparan, hingga membuat ia merasa mual. Tapi ia tahu tidak boleh memperlihatkan perasaannya
345 kalau ingin mendapat simpati. Ia menunggu dengan sabar sampai Rama melicintandaskan piringnya.
"Ibu mau menolongku"" tanya Hendri.
"Bener nih" Serius""
"Iya, Bu. Serius."
"Tapi ada syaratnya. Di mana-mana begitu. Mana ada bantuan gratis""
"Katakan saja apa syaratnya, Bu," Hendri bersemangat.
Rama menatap Hendri. Susah payah Hendri berusaha untuk tidak bergidik. Tajamnya tatapan Rama seakan bisa menyayatnya dan menembus kepalanya. Muncul perasaan takut. Dulu ia pernah minta bantuan dukun dan orang pintar, tapi tidak sampai menimbulkan perasaan seperti itu. Ada suara tentangan. Jangan! Pergilah! Jauhi dia!
Tetapi Hendri menetap di tempatnya. Keinginan-keinginannya lebih besar daripada tentangan yang muncul.
346 BAB 33 Mobil yang dikemudikan Kosmas memasuki halaman parkir. Dari kantor, Erwin bisa melihat kedatangan mereka. Ia menyimpulkan, Delia duduk lebih dekat pada Kosmas dibanding saat berangkat. Ia mengangkat tangannya. Kedua orang di dalam mobil membalas. Kemudian mobil hilang dari pandangan Erwin karena parkir di bagian samping.
Erwin merasa lama menunggu kedatangan mereka. Apakah mereka tidak menemuinya dulu" Ataukah mereka melakukan sesuatu di dalam mobil" Berciuman dan bermesraan dulu" Ah, sepertinya mulai sekarang ia akan sering memergoki adegan mesra kedua orang itu. Teganya mereka melakukan itu di depan dirinya yang sedang merindukan bulan! Ia membayangkan betapa tersiksanya dirinya yang sendirian. Tambahan lagi ada peristiwa kedatangan Hendri barusan. Hendri sudah tampil jadi lelaki baik, perhatian, dan simpatik. Apakah dia pun sudah menjadi suami yang baik" Erwin membayangkan Yasmin dalam pelukan Hendri, lalu bermesraan. Mereka suami-istri, jadi sah-sah saja melakukannya. Erwin jadi sedih dan nelangsa.
Kosmas masuk diiringi Delia. Keduanya tampak ceria sekali.
"Kenalkan, Win! Calon istriku!" kata Kosmas, menunjuk Delia.
347 Dengan kata-kata itu Kosmas memberitahu bahwa Delia telah menerima lamarannya.
Erwin memaksa dirinya tersenyum. Ia menyalami dan memeluk mereka bergantian.
"Selamat! Selamat! Aku ikut senang!" katanya. Kemudian, untuk menutupi kegalauan perasaannya, ia menunjuk dus pizza di meja belakangnya.
"Itu ada oleh-oleh dari Hendri. Dia titip salam untukmu, Kak Del."
"Hendri"" tegas Delia heran. "Bukan dari Yasmin""
"Bukan. Dia datang ke sini sendirian. Katanya sekalian lewat lalu mampir. Dia beli pizza buat di rumah lalu beli sekalian buat di sini."
Delia meraih dus lalu membukanya. "Kalian mau"" ia menawari Kosmas dan Erwin.
Erwin menggeleng. "Nggak ah."
"Aku juga nggak."
"Wah, pada nggak mau. Aku pun nggak berselera," kata Delia. "Kasih anak-anak aja, ya""
Delia menyebut para karyawan sebagai "anak-anak".
"Ya. Sebaiknya begitu," Kosmas setuju. Delia pergi membawa dus pizza. Kosmas melongok buku tamu.
"Ada belasan tamu yang masuk hari ini. Lumayan," Erwin memberitahu.
"Wah. Ada tamu perempuan sendirian. Luar kota lagi."
"Dia masuk paling akhir. Habis belanja katanya. Besok pulang ke Cianjur. Rupanya di sana nggak ada toko."
"Nggak ada yang antar""
"Nggak ada. Tapi kita nggak perlu khawatir, Bang. Tampangnya meyakinkan."
348 "Baguslah. Mudah-mudahan nggak ada lagi yang nekat."
"Tadi katanya dia mau pergi makan di luar. Entah sudah pulang atau belum. Tapi masa sih belum" Dia kan perempuan sendirian. Ngapain lama-lama di luar sana."
Delia masuk. "Sudah makan. Win" Makan duluan aja. Sudah siap tuh. Kami berdua sudah makan di jalan."
"Baik. Aku juga mau mandi dulu." Erwin pergi.
"Kelihatannya Erwin nggak ceria ya" Kukira dia bakal menggoda kita habis-habisan," kata Delia. "Mungkin dia lagi kesal karena kedatangan Hendri."
"Ya. Mungkin begim. Makanya dia nggak mau makan pizzanya. Aku sih solider aja sama dia."
Delia melihat-lihat buku tamu.
"Oh, ada tamu baru di kamar 5! Tadi aku lewat di situ kelihatan gelap. Masa sudah tidur""
"Dia perempuan sendirian, Del. Dari Cianjur katanya. Kata Erwin tadi di
a pergi makan." "Kenapa dia nggak pesan aja ya" Rupanya dia pemberani," Delia menyimpulkan.
"Kau jaga dulu ya, Del. Aku mau bicara sama Erwin."
"Ya. Temanilah dia makan, Bang."
Kosmas melihat Erwin sedang merenung di depan piring makan yang masih banyak tersisa.
"Apa yang kaupikirkan, Win"" tanya Kosmas, lalu duduk di sisi Erwin.
Erwin tersentak kaget. "Oh, nggak. Mikir apa sih""
"Ngelamun""
"Mungkin." 349 "Apa si Hendri ngomongnya nggak menyenangkan""
"Ah nggak. Sebaliknya, dia justru bersikap simpatik."
"Apa kau nggak enak badan""
"Mungkin juga. Aku ke kamar saja, ya"" Erwin tampak senang bisa menghindar.
"Istirahatlah. Kau sudah bebas tugas, kan""
"Oh ya, Bang. Aku mau pindah ke kamar belakang."
Kosmas terkejut. "Kenapa""
"Kukira sudah saatnya kita menempati kamar sendiri-sendiri, Bang. Biar masing-masing punya privasi."
"Oh, jadi kau ingin privasi. Tentu saja terserah kau."
Erwin pergi tanpa menjelaskan lebih jauh. Kosmas merasa tidak puas. Tidak biasanya Erwin bersikap begitu. Kalau ada apa-apa pasti dia akan mengatakannya terus terang. Tidak mungkin itu mengenai dirinya dan Delia, pikir Kosmas. Delia selalu bijak dalam bersikap. Sikap Erwin itu sangat di luar dugaan. Sejak masih di perjalanan Kosmas sudah tak sabar ingin berbagi kebahagiaan dengan Erwin mengenai kepastian hubungannya dengan Delia. Ia juga ingin membicarakan rencana pernikahan. Ternyata semua itu tidak terwujud. Ia sangat kecewa. Kenapa Erwin tidak berterus terang saja mengenai perasaan dan permasalahannya"
Ia mengadukan hal itu kepada Delia. Mereka membicarakannya dengan intens.
"Aku yakin bukan kita yang mengganggu perasaannya," Delia berkata dengan pasti. "Kita kan pergi hampir sepanjang hari. Pulang-pulang dia jadi begitu.
350 Pasti ada sesuatu yang dialaminya sebelum kita tiba. Siapa lagi kalau bukan si Hendri" Pasti ada yang dikatakan Hendri perihal Yasmin. Itu yang membuatnya sedih."
"Aku sudah menanyakan hal itu kepadanya. Tapi dia tidak mengakui. Katanya si Hendri bersikap simpatik. Pasti ada yang disembunyikan. Dia malu atau segan berterus terang. Aku kecewa sekali. Biasanya dia selalu terbuka. Kalau kayak gini, aku jadi terus bertanya-tanya, salah apa ya aku ini""
"Sebaiknya jangan berprasangka dulu, Bang. Biar dia istirahat. Besok kita lihat."
"Ya. Memang hanya itu yang bisa kita lakukan. Kadang-kadang aku berpikir, apakah dia iri padaku""
"Wah, jangan mikir begitu, Bang. Itu nggak mungkin!"
"Mudah-mudahan memang begitu, Del."
Di kamarnya yang baru tapi lama, Erwin terbaring dengan wajah murung. Dalam kesendirian ia bebas berekspresi. Tak ada yang bertanya kenapa begini dan kenapa begitu. Yang menyenangkan adalah ia tak perlu mendengar suara-suara dari kantor bila ia menempati kamar di belakangnya. Bayangkan kalau ia di situ dan di kantor ada Kosmas bersama Delia. Mereka tentu tidak hanya berbincang, tapi bermesra-mesraan juga. Aduh, betapa menyebalkan.
Bagaimanapun, mulai sekarang dia dan Kosmas memang harus pisah kamar. Kalau nanti menikah, tentunya Kosmas akan sekamar dengan Delia. Lebih baik menyingkirkan diri dari sekarang daripada tersingkir kemudian.
351 Erwin merasa kemarahan menggumpal di dadanya. Ia ingin sekali meledakkannya dengan berteriak sekeras-kerasnya, tapi masih cukup sadar untuk tidak melakukannya. Entah apa yang akan terjadi bila ia berbuat begitu. Seisi motel akan berlarian keluar. Lalu dia akan dianggap tidak waras. Ia tidak mau dianggap tidak waras atau gila. Bila ia sampai dikucilkan di rumah sakit jiwa, pastilah Kosmas dan Delia yang jadi penguasa di motel ini.
Dirinya dipenuhi kebencian. Perempuan itu, Delia, telah merampas abang yang ia cintai. Mula-mula mendepaknya dari kamar depan, lalu mendepaknya keluar dari motel yang ia cintai juga. Semua yang ia cintai dirampas darinya. Sementara orang yang ia cintai pun tak mungkin bisa ia peroleh. Ia akan jadi orang paling malang di dunia. Bukankah bunuh diri adalah jalan keluar paling baik daripada menjadi orang paling malang di dunia"
Erwin terkejut lalu melompat duduk di tempat tidurnya. Keringat dingin membasahi bajunya. Ia gemetar. Oh, Tuhan, ia tidak mau bunuh
diri! Tidak! Tidak! Sesaat ketidakberdayaan menguasainya. Rasanya bodoh sekali. Pikirannya tumpul. Tidak tahu mesti berbuat apa.
Sekuat tenaga ia menjatuhkan diri ke lantai. Di lantai yang dingin ia memaksa kedua kakinya untuk menekuk. Kaku sekali. Ia bersila. Kemudian ia berupaya keras untuk bermeditasi. Susahnya bukan main. Pikirannya butek dan tumpul. Sepertinya ada selaput yang menutupi, ia harus berusaha menyingkirkan selaput itu lebih dulu. Harus bisa!
Perlahan-lahan ia berhasil menenangkan pikiran, membuang kemarahan dan kebencian, rasa iri dan terpuruk.
352 Di kamar hotel kelas melati, Ratna dan Hendri rebah berdampingan dengan tubuh telanjang, berkilau oleh keringat. Wajah keduanya memerah dengan ekspresi kelelahan tapi nikmat tak terhingga. Sesaat keduanya tak berkata-kata, merenungi momen yang barusan terlewati.
Lalu Hendri memiringkan tubuhnya dan menatap Rama dengan sorot mata takjub. Kagum dan heran.
"Ibu hebat sekali ya!" puji Hendri.
"Ala, masih panggil Ibu aja. Panggil aku Ratih!"
"Ya, ya, Ratih sayang. Aku kan mau ikut etika aja kepada orang yang lebih tua. Nanti dibilang kurang ajar."
"Jadi kau menganggapku tua""
"Bukan gitu. Tapi kau memang lebih tua dari aku, kan" Coba, berapa umurmu""
"Eh, nggak etis bertanya umur kepada seorang perempuan. Yang penting bukan umur, tapi kemampuan!"
Hendri tertawa. Ia benar-benar terpikat kepada Ratna.
"Betul sekali, Bu, eh, Ratih. Kau bisa mengalahkan perempuan yang jauh lebih muda. Lihat. Kau begitu kenyal dan liat, tapi juga elastis," kata Hendri sambil mengelus dada Ratna. Memain-mainkan putingnya dengan jarinya.
Ratna terkikik, merasa geli dan senang.
"Banyak perempuan pada meringis saat menandingi aku, bahkan istriku sampai robek-robek, tapi kau... wah, sulit digambarkan dengan kata-kata. Kau lain sendiri. Pokoknya hebat, hebat, hebat!"
353 "Sekarang kau ngomong begitu. Mulanya mah terpaksa ya""
"Oh, sori, Rat. Mana aku tahu kau sehebat ini" Kalau aku tahu, pasti aku yang mengajak, bukan diajak! Tapi aku heran juga. Bagaimana kau bisa memelihara tubuhmu sampai bisa begitu liat dan sintal" Apa kau sudah lama tidak melakukannya""
"Oh ya. Lamaaa sekali," Rama mengakui sambil tersenyum.
"Berapa lama""
"Pokoknya lamaaa."
Rama merasa geli. Kalau kuberitahu terus terang, kau pasti akan semaput, pikirnya. Bayangkan. Sudah sedemikian lamanya. Pendeknya, sudah setengah umurnya. Sampai-sampai sudah terlupakan bagaimana rasanya. Mungkin juga ketika itu libidonya sudah padam. Tapi begitu fisiknya kembali disegarkan, bagaikan tanaman layu disiram sebelum mati, maka libido itu muncul kembali. Bahkan bukan sekadar muncul, tapi menyeruak dengan ganas. Dalam diri Hendri ia mendapatkan lawan seimbang.
Mereka mengulang lagi permainan mereka. Hendri merasa terkuras, tapi Ratna bagaikan mendapat tonik penguat.
"Habis ini udahan ya, Rat. Aku bisa kering kerontang," pinta Hendri.
Rama tertawa. "Baik. Ayo kita pulang."
"Bagaimana dengan jimat penakluk yang kaujanjikan itu""
"Tentu saja akan kuberikan. Tapi aku harus membuatnya dulu. Masa simsalabim""
"Habis, kapan jadinya dan di mana aku bisa mengambilnya""
354 "Kita berhubungan lewat HP saja. Nanti kuhubungi kau."
"Jangan salah, Rat. Aku perlu sekali." "Aku tahu. Sekarang antar aku kembali ke Motel Marlin."
Setelah menurunkan Ratna di depan pintu gerbang Motel Marlin, Hendri bergegas pulang. Keinginan satu-satunya ketika itu adalah merebahkan diri di ranjang lalu tidur pulas untuk mengistirahatkan otot-ototnya yang kelelahan.
* * * Ketika Delia melewati lorong depan kamar-kamar, ia melihat dari bawah pintu kamar nomor 5 lampu di dalam ruang menyala. Berarti penghuninya sudah ada di dalam. Atau sejak tadi ada di dalam tapi baru sekarang menyalakan lampu. Yang pasti di dalam kamar itu ada kegiatan. Jadi pastilah penghuninya tidak mati.
Tadi Kosmas menyuarakan kekhawatiran tentang penghuni baru yang perempuan dan datang sendirian. Menginap hanya semalam. Tidak bawa KTP dan tidak mencantumkan nomor telepon. Lucunya, sekarang kekhawatiran semacam itu pun jadi kekhawatiran Delia juga. Padahal dulu ia berniat mati di situ. Betapa gampang dan
cepatnya kehidupan berubah.
Baru saja melewati kamar 5, Delia merasa seolah ada yang menatapnya dan mengamati gerak-geriknya. Ia cepat menoleh ke jendela. Tidak ada tirai yang tersibak atau gerakan menutup yang mendadak. Tak tampak siapa-siapa. Ia mempercepat langkah menuju kantor.
355 "Kamar lima sudah ada penghuninya. Lampunya nyala," ia melapor kepada Kosmas.
"Memangnya kenapa" Sudah terisi, kan""
"Iya. Aku mau ngecek saja apakah penghuninya baik-baik saja. Bukankah kau selalu mencemaskan tamu perempuan yang datang sendirian""
"Oh, itu. Kita memang harus menerima perubahan zaman. Kalau nanti kita punya anak perempuan, pasti lebih besar lagi kemandiriannya."
"Anak"" Kosmas merasa bicaranya terlalu lepas. "Sori, Del. Aku kelepasan ngomong."
"Sejak sekarang kita sudah harus siap menerima kenyataan bahwa kemungkinan besar kita takkan punya anak. Umurku sudah empat puluh. Kalau kau berharap punya anak, mestinya kau mengawini perempuan yang lebih muda," Delia agak emosional, tapi menyesal kemudian.
"Sungguh, aku nggak bermaksud begitu. Sori, Del."
"Ya. Aku juga minta maaf, Bang. Heran, kenapa aku jadi peka begini ya" Barangkali kita kecapekan ya, Bang""
"Barangkali begitu. Mungkin kita harus istirahat. Sebentar lagi si Adi menggantikan. Kau duluan saja, Del. Pergilah."
"Sebentar lagi. Masih ingin ngobrol. Pilar-pilar, ada baiknya juga Erwin pindah. Mungkin dia terganggu oleh pembicaraan yang berlangsung di sini."
"Dia kan sudah lama tidur di situ tanpa pernah komplain. Sepi atau berisik baginya tak jadi soal."
"Sekarang dia jadi peka. Kuharap bukan kita yang jadi penyebab."
"Bukankah kita sudah berusaha supaya dia tidak
356 merasa tersinggung atau iri" Habis gimana lagi" Bukan salah kita kalau dia jadi begitu. Salah dia sendiri kenapa tertarik pada perempuan bersuami. Istri orang dikejar-kejar."
Ucapan Kosmas yang bernada kesal itu membuat perasaan Delia tidak enak. Baru kali ini ia mendengar Kosmas bicara seperti itu perihal Erwin. Biasanya lelaki itu selalu bersikap penuh pengertian.
"Ah, hari ini melelahkan semua orang rupanya. Kelelahan memang bisa membuat orang marah-marah," kata Delia, lalu berpikir sebaiknya ia pergi saja supaya tidak muncul lagi pembicaraan emosional.
Tetapi sikap Kosmas berikutnya membuat Delia tertegun.
"Bolehkah aku menciummu, Del""
Delia tersipu. Ia merasa dirinya kuno. Ketinggalan zaman. Lupa bagaimana berpacaran.
Mereka berciuman. Kemudian Delia melepaskan diri.
"Malu, Bang. Entar ada tamu." "Kan kedengaran duluan."
Kosmas berjalan ke pintu lalu merapatkan dan menguncinya. Delia terperangah. Sebelum ia sempat berkomentar, Kosmas sudah meraihnya dan memeluknya erat-erat sampai ia merasa sulit bernapas. Kosmas menciumnya lama sekali. Biarpun Delia merasa terbuai, ia sempat heran dan terkejut kenapa Kosmas yang biasanya dingin dan terkendali sekarang menjadi panas dan lepas kontrol.
Kosmas mendekap Delia seolah mereka harus berpisah sebentar lagi.
"Mari kita ke kamar, Del," ajak Kosmas.
Delia terkejut. Bulu romanya serentak berdiri.
357 Rayuan Kosmas memang mampu menghanyutkan, tapi tidak sampai membuat ia hanyut.
"Mau apa ke kamar, Bang"" tanyanya sambil berusaha melepaskan diri.
"Kita bercinta yuk" Bukankah kita akan segera menikah" Apa bedanya sekarang dan nanti"" Kosmas berterus terang.
"Itu beda sekali, Bang! Jangan!"
"Ayolah, Del. Aku sangat menginginkannya."
Delia juga tidak tahan lagi tapi dalam artian berbeda. Sekarang ia takut. Jari-jarinya mencubit lengan Kosmas sekuat-kuatnya.
"Sadarlah, Bang!"
Kosmas mengaduh kesakitan. Serta-merta ia melepaskan dekapan. Ia mengusap-usap lengannya yang tampak merah kebiruan. "Sakit sekali, Del. Kamu sadis amat sih."
"Sori, Bang. Aku terpaksa."
"Kau tega..." Sebelum Kosmas menyelesaikan ucapannya, Delia melompat ke pintu. "Hei! Siapa di situ"" ia berseru, lalu membukanya. Tak ada sahutan. Delia cepat keluar, lalu mengamati sekitarnya. Angin malam yang dingin menerpanya. Tengkuknya kembali meremang. Tidak ada siapa pun di luar, baik di halaman parkir maupun di lorong samping deretan kamar. Kucing yang suka mengaduk-aduk tempat sampah pun tak ada. Andai
kata ada seseorang di balik pintu, seperti perkiraannya, pastilah tidak secepat itu menghilang.
"Ada apa sih"" tanya Kosmas. Wajahnya masih kelihatan memerah.
"Rasanya aku mendengar langkah orang lalu berhenti di depan pintu. Tapi nggak ada siapa-siapa."
358 "Sempat-sempatnya kau mendengar. Aku nggak dengar apa-apa."
"Sudahlah. Aku pergi saja ya."
"Maafkan aku, Del."
"Sudahlah. Nggak usah dipikirin."
Delia berlalu. Kosmas menutup muka dengan kedua tangan. Malu rasanya. Bukan hanya karena menyesali perbuatannya, tapi lebih lagi karena ditolak!
359 BAB 34 Pagi sekali, karyawan Motel Marlin mendapati kamar nomor 5 sudah kosong melompong. Tidak ada yang melihat penghuninya pergi. Orang itu juga tidak pamit lebih dulu. Memang tidak jadi masalah karena segala kewajiban administrasi sudah dia selesaikan. Mungkin karena tidak membawa kendaraan, dia lebih gampang menyelinap. Tamu yang tidak berkendaraan bisa disangka keluar makan hingga tak menarik perhatian.
Padahal Delia ingin melihat tamu yang satu itu. Rasanya ada kesamaan dengan dirinya dulu. Perempuan datang sendirian dari luar kota mau menginap. Rasanya ia ingin melihat atau menemukan kesamaan yang lain. Barangkali menarik. Setidaknya bisa memenuhi keingintahuannya. Ternyata tamu ini sama sekali tidak bermaksud bunuh diri. Ia hanya berjalan-jalan dan berbelanja. Harusnya Delia lega karena tidak ada usaha bunuh diri.
Seorang karyawan, Wati, masuk ke kamar nomor 5 untuk membersihkan dan mengganti seprai serta sarung bantal.
"Kamu lihat dia, Wat"" tanya Delia.
"Lihatnya kemarin, Bu. Waktu dia keluar untuk cari makan, katanya. Orangnya cantik juga, Bu. Kulitnya putih halus. Badannya bagus. Cuma kelihat-
360 annya nggak muda lagi. Mungkin usianya empat puluhan gitu. Pendeknya, dia menarik." "Oh, begim."
"Cuma kayaknya genit, Bu," Wati mulai bergosip. "Kata Pak Pendi yang jaga gerbang semalam, dia pulang larut diantar lelaki bermobil. Turunnya di depan gerbang, lalu jalan kaki sendirian terus ke kamarnya. Waktu disapa Pak Pendi, dia nggak menyahut. Nengok aja nggak."
"Ah, bukankah yang seperti itu sering kejadian di sini, Wat""
"Bener, Bu. Cuma ada bedanya. Biasanya yang mau gituan melakukannya di sini. Bukan di luar."
Delia tertawa. "Yah, mana kita tahu urusan orang, Wat!"
Delia membantu Wati merapikan kamar supaya siap menerima tamu berikut. Setelah beres, Wati pergi lebih dulu meninggalkan Delia di kamar itu.
Ada dorongan untuk memeriksa kamar itu lebih teliti. Siapa tahu ada yang lepas dari pengamatan. Ia tak menemukan apa-apa. Tapi perasaannya tidak nyaman. Padahal ia juga melakukan hal yang sama di kamar-kamar lain yang barusan ditinggalkan tamu.
Lalu hidungnya kembang-kempis. Bau apakah itu" Bau atau wangi" Apakah itu sejenis pewangi yang digunakan tamu untuk mengharumkan ruangan sesuai keinginan mereka" Sering kali tamu juga meninggalkan bau badan mereka yang khas. Atau bau minyak angin, obat gosok, balsem, dan sebagainya. Ada yang nyaman, ada yang menyengat.
Kemudian ia menyadari, yang tercium olehnya itu bukanlah sesuatu yang harum, tapi benar-benar bau yang memuakkan! Ia juga heran kenapa saat bersama
361 Wati tak tercium apa-apa. Ia cepat-cepat keluar untuk menghirup udara yang lebih bersih.
Erwin mendekat. "Kenapa, Kak Del""
"Di dalam sana ada bau yang nggak enak." Delia menunjuk kamar nomor 5.
Erwin terkejut. Ia mengira itu bau bangkai. Segera ia masuk ke dalam kamar. Delia menyusul di belakangnya dengan tisu menutup hidungnya.
"Bau apa ya"" Erwin mengendus-endus di tengah kamar. "Kok aku nggak mencium bau apa-apa."
Delia melepas tisu yang menutup hidungnya. "Masih ada sedikit, Win. Tidak setajam tadi. Mungkin terbawa angin karena pintu terpentang."
Mereka memeriksa semua sudut. Lalu ke kamar mandi. Mereka mundur dengan terkejut.
"Nah, bau lagi!" seru Delia.
"Ya. Aku juga menciumnya." Erwin membenarkan.
Delia merasa lega. Peristiwa Yasmin dulu ketika Delia mendengar tangisan padahal Yasmin tidak me-nangis kali ini tak sampai terulang. Kali ini Erwin bisa jadi saksi bahwa hidungnya tidak berbohong.
"Apa ada bangkai tikus, ya"" kata Delia.
"Bau bangkai nggak seperti
ini," Erwin meyakinkan. "Baunya seperti... ah, bau sumpek, atau bau orang nggak mandi setahun, atau bau ketiak, atau..."
Delia tertawa. "Ayo keluar," ajak Erwin. "Biar pintunya dipentang saja. Nanti kusuruh orang menyemprot di sini." "Pakai apa""
"Obat nyamuk saja. Biar kalah baunya dan nyamuk pada mati sekalian."
Mereka keluar dan merasa lega.
"Aneh juga ya," kata Erwin. "Kok bisa bau begitu""
362 "Betul. Begitu banyak orang keluar-masuk. Ada yang berbau, ada yang tidak. Kenapa justru yang satu itu baunya bikin kita heboh""
"Sudahlah. Nggak usah dipikirin."
Erwin meninggalkan Delia. Sepertinya ada pekerjaan penting menunggunya. Sebenarnya Delia ingin mengajaknya berbincang sejenak. Tapi melihat lagak sibuk Erwin, ia tidak berani memanggilnya. Ia ingin membicarakan kekhawatiran Kosmas semalam. Benarkah Erwin punya masalah" Tapi Erwin tidak tampak bermasalah. Biarpun demikian Delia ingin membicarakan hal lain juga. Dalam satu hal Kosmas benar. Erwin tidak menyinggung soal hubungannya dengan Kosmas. Apakah Erwin sengaja menghindari atau memang tak suka membicarakannya" Tapi itu bukan kebiasaan Erwin.
Semalaman Delia hampir tak bisa tidur memikirkan kelakuan Kosmas. Biasanya perilaku lelaki itu tak pernah agresif. Kalau mencium hanya di pipi. Memeluk pun jarang. Sepertinya dia bukan orang romantis. Kenapa semalam tiba-tiba berubah jadi ganas" Apakah kesepakatan untuk jadi suami-istri bisa membuat lelaki lupa diri"
* * * Yasmin juga memasalahkan soal bau. Ketika Hendri muncul di ruang makan untuk sarapan pagi, ia terkesiap oleh bau tak enak yang menyergap hidungnya. Ia mengamati Hendri untuk menemukan sumber bau. Tapi tidak mau dekat-dekat.
"Kenapa"" tanya Hendri. Ia juga,menunduk mengamati dirinya sendiri kalau-kalau ada yang salah.
"Kau sudah mandi dan ganti baju"" tanya Yasmin.
363 "Sudah. Memangnya kenapa sih"" "Apa kau sendiri tidak merasakan, Hen" Kau bau deh."
"Bau" Bau apa sih""
Hendri sibuk mengendus-endus dirinya sendiri Ia tidak mungkin ke kantor dengan tubuh yang bau.
"Entahlah. Pokoknya bau nggak enak. Mendingan kau mandi lagi dan ganti baju."
"Ini baju baru. Dan aku sudah mandi."
"Kalau nggak percaya ya sudah. Buat apa aku bohong" Buktikan saja di kantor nanti."
"Habis aku mesti gimana"" tanya Hendri kesal.
"Sudah kuusulkan tadi. Habis mandi dan ganti baju, pakailah deodoran. Yang banyak pakainya."
Hendri segera melaksanakan usul itu meskipun tidak begitu yakin. Ia takut juga kalau-kalau memang benar. Siapa tahu ia sendiri tidak bisa mencium. Apalagi ia teringat dengan siapa ia bercinta semalam. Seorang paranormal!
"Bagaimana kalau deodorannya nggak tahan lama lalu bau itu keluar lagi"" ia bertanya cemas.
"Heran ya. Bukankah dulu kau nggak bau"" kata Yasmin.


Pertemuan Di Sebuah Motel Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hendri cemberut. Ia merasa tersinggung.
"Sudah. Bawa aja deodorannya ke kantor. Nanti dipakai lagi. Lebih baik terlalu wangi daripada bau."
Hendri menyambar botol deodoran lalu pergi tanpa mengatakan apa pun. Yasmin tertawa diam-diam. Tapi ia termenung kemudian. Apa yang dilakukan Hendri semalam sampai tubuhnya bau" Berendam di air comberan" Ketika Hendri pulang semalam ia tidak melihatnya-karena ia sudah tidur. Hendri selalu membawa kunci sendiri.
Sepanjang pagi tidak ada telepon dari Erwin.
364 Yasmin menunggu-nunggu. Ketika jam sembilan sudah lama lewat, ia tahu percuma menunggu. Semula ia bermaksud menelepon. Kalau tidak ditelepon biarlah ia yang menelepon. Tapi ia membatalkan. Mungkin saat itu Erwin sibuk. Ada kegiatan luar biasa di motel hingga tak bisa meluangkan waktu untuk menelepon.
Yasmin tidak punya banyak waktu untuk melamun. Hari itu ia sibuk mengepak barang. Kalau semua selesai diangkut dan dirapikan, ia dan Hendri siap pindah ke rumah Winata. Paviliun di samping rumah Winata sudah dibereskan, siap menampung mereka.
Sambil mengemudikan mobilnya menuju kantor, Hendri sering-sering mengendus-endus tubuhnya sendiri. Masih bau atau tidak" Sebenarnya memang bau atau tidak" Anehnya kenapa ia tidak mencium bau yang dikatakan itu" Jangan-jangan Yasmin memperdayainya. Tapi apa untungnya buat Yasmin" Lagi pula Yasmin tak pernah berbuat begim kepadanya
. Yasmin pun tidak tahu apa yang dilakukannya semalam. Mungkin saja Yasmin menduga jelek, tapi apa yang dilakukannya bukanlah pengkhianatan. Itu sudah menjadi bagian dari kesepakatan.
Sebelum turun dari mobil, Hendri kembali mengoleskan deodoran yang dibekali Yasmin tadi. Di leher dan di ketiak. Untung saja Yasmin punya persediaan deodoran. Rasanya bodoh, tapi Hendri tidak mau mengambil risiko. Setelah selesai melakukannya, ia tak segera keluar dari mobil. Ia termenung sejenak.
Sebenarnya Yasmin orang yang baik. Hendri harus mengakui hal itu. Satu hal yang paling dihargainya dari Yasmin adalah kesediaannya untuk tidak menceritakan pada Winata apa yang terjadi di motel dan
365 kenapa ia sampai berada di rumah sakit. Bila hal itu sampai diceritakan, tentunya Winata ingin tahu kenapa Yasmin sampai berniat bunuh diri. Tentunya ada sebab-akibat. Begitu Winata tahu bahwa Hendri yang jadi penyebab, bisa dipastikan takkan ada ampun untuk Hendri. Winata akan menyepaknya jauh-jauh dan Yasmin pun tidak merasa perlu membelanya. Hal lain adalah mengenai uang lima belas juta yang dimintanya dari Winata. Ia yakin Winata menyampaikannya kepada Yasmin, tapi Yasmin tidak pernah menyinggungnya.
Begitu mendapat kesempatan, Hendri menelepon Yasmin. Ia memang biasa melakukannya untuk mengecek keberadaan Yasmin. Tapi kali itu tujuannya lain. Ia senang karena Yasmin ada di rumah.
"Yas, aku mau minta maaf karena sikapku kasar tadi pagi."
"Ya. Nggak apa-apa. Gimana baunya" Sudah hilang""
"Aku nggak tahu. Kayak apa baunya aja nggak tahu. Orang lain nggak ngomong apa-apa tuh." "Syukurlah kalau begitu." "Lagi ngapain sekarang""
"Ngepak barang. Duh, barang kita kayaknya sedikit tapi kok nggak selesai-selesai ya""
"Sudah. Jangan capek-capek. Entar aku bantuin. Aku akan pulang lebih siang."
"Ya. Baguslah kalau begitu."
Perasaan Hendri melembut tapi juga mengeras kalau ingat hubungannya dengan Yasmin. Seharusnya, bila muncul rasa sayang, ada keinginan memesrai. Itu terjadi secara spontan dan tentunya wajar. Tapi ia tidak bisa melakukannya. Ia terikat pada kesepakatan. Rasanya seperti bukan suami. Karena itu ia
366 membutuhkan bantuan perempuan bernama Ratih itu. Ratih menjanjikannya jimat pemikat. Menurut Ratih, jimat itu bisa membuat Yasmin terpikat padanya hingga tak ada lagi rasa takut. Demikian pula sakitnya akan punah. Sebaliknya, Yasmin akan menikmati bahkan ketagihan. Bila itu benar, ia bisa menguasai Yasmin sepenuhnya.
* * * Begitu tiba di rumahnya, Rama disambut oleh Rama yang tak segera berbicara melainkan mengamatinya dulu dari atas ke bawah, seakan ibunya itu orang asing yang salah masuk rumah.
"Kenapa"" tanya Rama kurang senang. Tapi khawatir juga kalau-kalau ada yang kurang beres pada penampilannya.
Rama tersipu. Tanpa sadar ia memandangi Rama, ingin menemukan sesuatu padanya yang bisa menjelaskan apa saja yang dilakukan Ratna semalaman di Motel Marlin. Tapi tentu saja Rama tidak bisa menemukan apa-apa.
"Oh, nggak, Ma. Apa Mama baik-baik aja di jalan" Nggak capek, Ma""
"Wah, aku senang banget."
"Senang ya." Hampir terlontar pertanyaan apa saja yang membuat Ratna senang. Tapi Rama sempat menahan lidahnya. Bukan saja keingintahuannya tidak akan terpenuhi, malah akan memancing kemarahan. Biarkan saja ibunya senang. Itu tentu jauh lebih baik daripada kebalikannya.
"Eh, mana titipan untukku dari Del"" tanya Rama.
Maya segera muncul membawa amplop cokelat
367 yang kemudian disodorkannya pada Rama dan selanjutnya Rama memberikannya kepada Rama.
"Isinya dua puluh lima juta, kan""
"Nggak tahu, Ma," sahut Maya dan Rama berbarengan. "Nggak lihat-lihat isinya."
"Ya. Aku tahu. Isinya masih utuh. Mana mungkin kalian berani mengutil""
Rama tertawa. Ia melenggang menuju kamarnya dengan menenteng amplop dan jinjingan belanjaan. Sedang tasnya diambil alih oleh Ipah. Kedua orang itu beriringan masuk ke dalam.
Rama bertukar pandang dengan Maya. Tiba-tiba Ratna berhenti melangkah hingga Ipah hampir menubruknya. Cepat-cepat Ipah menyisih lalu jalan duluan. Rama menoleh kepada Maya. Yang dipandang merasa gentar.
"Del datang sama siapa""
"Nggak tahu, Ma. Dikenali
n sih, tapi nggak jelas namanya." "Pacarnya""
"Nggak tahu, Ma. Dia nggak bilang."
"Nanya dong. Nggak tahu melulu," gerutu Ratna, lalu membalik tubuhnya kemudian meneruskan langkahnya.
Rama segera, menarik istrinya keluar. Sejauh mungkin dari Ratna.
"Dia kan udah tahu. Buat apa nanya," bisik Maya.
"Sudahlah. Biarin aja. Jadi isinya duit. Akhirnya si Del nyerah juga ya," bisik Rama.
"Lumayan banyak tuh. Untung aja kita nggak lihat-lihat isinya, padahal aku ingin sekali tahu. Udah menduga sih isinya duit. Cuma jumlahnya aja nggak tahu," bisik Maya.
368 "Baguslah dia dapat duit. Mudah-mudahan untuk waktu yang lama dia nggak merongrong kita," bisik Rama.
"Lihat dulu belanjanya apa, Pa. Kalau dia pakai untuk membeli emas berlian, sebentar aja juga habis." "Ah...," keluh Rama.
Kemarin sore mereka sekeluarga bisa menikmati sedikit kelegaan tanpa kehadiran Rama di rumah. Tapi mereka tetap tak berani membicarakan Ratna keras-keras. Takut kedengaran Ipah. Siapa tahu Ipah" menyampaikan nanti.
Sebenarnya mereka cukup menyadari bahwa Rama yang tampaknya serbatahu itu mungkin saja bisa tahu apa yang mereka bicarakan tanpa perlu diberitahu orang lain. Tapi mereka ingin bicara, ingin berdiskusi. Mereka berharap Rama tidak sebegitu serbatahunya sampai segala sesuatu terbuka di depannya. Mustahil tidak ada segi manusiawi sama sekali pada diri Ratna.
Di kamarnya, Rama membenahi barang-barangnya. Isi amplop cokelat tidak dijenguk, apalagi dihitung. Ia sudah meyakini isinya. Ia menyimpannya di dalam lemari.
Di luar, Ipah duduk di lantai dekat pintu. Ia terkantuk-kantuk.
Pintu terbuka. Ipah cepat berdiri. Rama muncul, menyodorkan uang sepuluh ribu.
"Mau beli apa, Bu""
"Buat kamu. Persenan."
"Terima kasih, Bu."
"Kamu masak apa tadi"" tanya Ratna.
"Sayur asem, goreng ikan jambal, sambel terasi."
"Siapin meja, Pah. Aku mau makan!"
Ipah bergegas ke dapur. Apa yang dimasaknya
369 khusus untuk Ratna seorang. Ia juga membantu Maya memasak untuk keluarganya. Semua serba terpisah. Apa yang diperuntukkan bagi Rama tidak boleh dicicipi atau diambil orang lain, meskipun orang-orang itu adalah anak, menantu, dan cucu-cucu. Tapi tidak ada masalah baginya untuk mencicipi atau mencomot masakan Maya. Memang tidak adil. Tapi tidak ada yang berani memprotes.
370 BAB 35 Kosmas sudah meminta maaf kepada Delia atas peristiwa malam hari yang memalukan itu dan Delia pun sudah memaafkan, tapi hal itu sepertinya telah menjadi cacat dalam hubungan mereka yang sulit diperbaiki. Padahal Delia sendiri bisa menerima perilaku Kosmas itu sebagai kekhilafan manusiawi yang masuk akal. Namun tidak demikian dengan Kosmas yang bersikap menjaga jarak dan selalu hati-hati seolah takut terulang lagi untuk kedua kalinya. Sikap demikian menghilangkan spontanitas dan kehangatan yang biasanya ada dalam hubungan mereka.
Kalau mereka sama-sama bekerja di kantor, Kosmas menerima tamu dan Delia mengerjakan akun-tasi, mereka lebih sering diam-diaman. Bicara seperlunya saja.
Akhirnya Delia tak tahan.
"Kau marah sama aku, Bang"" tanya Delia.
"Kenapa kau bertanya seperti itu"" Kosmas balas bertanya. Tampak heran.
Delia tertegun. Apakah Kosmas pura-pura" Padahal ia mengenal Kosmas sebagai orang yang tak suka pura-pura. Kalau bicara lebih suka langsung ke tujuan.
"Jadi nggak marah""
"Maksudmu"" Kosmas mengerutkan kening.
371 "Oooh... peristiwa itu ya" Ah, nggak dong. Kenapa mesti marah" Justru kaulah yang seharusnya marah padaku karena aku sudah berlaku kurang ajar."
Delia menjadi sedih. Apakah ia menganggap Kosmas kurang ajar" Atau Kosmas menilai dirinya sendiri seperti itu"
"Kalau kau tidak marah, kenapa sikapmu dingin seperti itu"" tanya Delia.
"Oh ya" Apakah aku dingin" Kalau aku panas, nanti malah jadi hilang kendali. Terus kurang ajar."
Delia merasa ada kesinisan dalam ucapan Kosmas. Tapi Kosmas bersikap biasa-biasa. Menengok kepadanya pun tidak. Delia yakin ada ganjalan yang dipendam Kosmas tapi tak mau diungkapkannya. Sikap seperti itu jelas bertolak belakang dengan kegembiraan yang diperlihatkannya ketika mereka dalam perjalanan pergi dan pulang dari Bandung. Ketika itu Kosmas mengutar
akan banyak rencana yang akan dilakukannya kalau mereka menikah nanti. Tapi setelah kejadian itu tak sekali pun Kosmas menyinggungnya kembali.
Pikiran itu menjengkelkan perasaan Delia. Mungkinkah Kosmas menyesali hubungan mereka" Masa ditolak saja tersinggung seperti itu. Harus diakuinya ia telah mencubit terlalu keras. Tapi kalau tidak menyakitkan, Kosmas tidak akan sadar. Apakah Kosmas sebenarnya picik" Mungkin ada sisi lain dari watak Kosmas yang belum dikenalnya. Tapi ia tidak yakin akan hal itu.
Delia memutuskan untuk curhat kepada Erwin. Sejak malam itu mereka belum punya kesempatan untuk berkumpul bertiga lalu mengobrol atau mendiskusikan sesuatu. Biasanya selalu ada sesuatu untuk dibicarakan. Masalah motel atau masalah masing-
372 masing. Kesempatan untuk berbincang itu mereka dapatkan di ruang makan pada saat makan bersama, pagi, siang atau malam. Anehnya sekarang tak ada kesempatan seperti itu. Selalu ada alasannya. Entah belum bangun tidur, lagi tidur, atau lagi sibuk. Akibatnya ia sering makan sendirian atau bersama karyawan lain.
"Win, apakah Bang Kosmas pernah cerita soal unek-uneknya tentang aku"" Delia mulai.
Erwin tampak heran. "Unek-unek apa, Kak""
"Justru itu yang mau kutanyakan. Barangkah dia curhat sama kau."
Erwin menggeleng. "Nggak ada, Kak. Emangnya ada apa sih antara kalian""
Delia merasa heran. Ia mengenal Erwin sebagai orang yang peka. Mustahil sekarang Erwin tidak menyadari adanya sesuatu yang berubah dari biasa. Tidakkah Erwin juga merindukan saat-saat akrab mereka bertiga" Sebenarnya baru hitungan hari, tapi Delia sudah merasa kehilangan. Apakah kedua orang itu tidak merasakan kehilangan yang sama"
"Ya sudahlah," Delia menyerah. "Nggak apa-apa, Win. Aku cuma merasakan adanya kerenggangan."
Delia akan berlalu, tapi Erwin memegang lengannya. Delia terkejut karena pegangan Erwin seperti cengkeraman yang kuat. Erwin merasakan sikap Delia lalu melepaskan pegangannya.
"Sori," kata Erwin. "Pasti ada apa-apa. Tak mungkin kau begitu kalau tak ada apa-apa. Kalian bertengkar""
Bukan sikap seperti itu yang diharapkan Delia. Sepertinya Erwin cuma ingin tahu. Bukan tanda perhatian. Delia tidak merasa senang.
"Sudahlah, Win. Kalau kau mau tahu, tanya aja sama Bang Kos."
373 "Bagaimana aku mau bertanya kalau tidak tahu masalahnya""
"Kalau begitu, tak usahlah bertanya."
Delia terkejut sendiri. Ia telah bersikap judes. Padahal tidak pernah begitu sebelumnya.
Erwin merengut kesal. Kemudian ia mengangkati bahu. "Ya sudah. Memangnya siapa yang ingin tahu"" katanya masa bodoh lalu ngeloyor pergi.
Delia terperangah. Ia bersandar sejenak ke dinding karena tubuhnya terasa limbung. Hampir ia berlari mengejar Erwin untuk menanyakan kenapa bersikap begitu. Tapi kemudian ia teringat bahwa ia pun bersikap tidak menyenangkan.
Erwin sebenarnya ingin tahu. Ia mendatangi Kosmas.
"Bang, ada apa sih antara kau dan Kak Del""
Kosmas mengerutkan kening. "Ada apa gimana"" ia balik bertanya.
"Aku nanya duluan kok dibalas "nanya"" sahut Erwin.
"Apakah dia mengadu padamu""
"Kalau dia memang mengadu, pasti aku tahu. Jadi nggak perlu nanya!"
"Sudahlah. Mau tahu urusan orang aja!"
Nada percakapan keduanya semakin meninggi.
"Abang bukan sembarang orang bagiku. Biasanya kita selalu terbuka. Nggak ada rahasia."
"Nggak harus begitu. Memangnya aku nggak boleh punya privasi""
"Setelah ada dia, kau sekarang punya privasi, ya""
"Kau sendiri pindah kamar. Pengen punya privasi. Nah, apa nggak sama""
"Nggak! Abang tahu semua tentang diriku!"
374 Mereka saling memandang dengan mata melotot.
Di luar kantor, Delia berdiri mendengarkan. Yang di dalam tidak melihatnya. Ia bukan sengaja mau menguping, tapi bermaksud mengambil bukunya. Ia mendengar semuanya. Perasaannya menjadi sedih dan kecewa. Ia cepat berlalu. Tak jadi masuk. Ia takut kemunculannya malah membuat kedua orang itu meledak. Ia benar-benar tak mengerti. Bukankah permasalahannya sebenarnya sepele" Kenapa hal kecil membuat keakraban dua orang yang sudah diawali sejak mereka mengenal kehidupan menjadi retak" Ataukah itu pertengkaran biasa yang bisa terjadi pada siapa pun"
Yang membuat Delia s edih adalah dirinyalah yang jadi sebab.
Ketika mendapat kesempatan, ia keluar sebentar mencari telepon umum. Ia tidak mau menggunakan telepon kantor, karena percakapannya bisa terdengar oleh Kosmas bila lelaki itu berada di kamarnya. Bisa juga terdengar oleh Erwin bila dia kebetulan berada di luar tanpa terlihat. Nanti bisa memicu konflik lain.
Delia menelepon Yasmin. Selain Kosmas dan Erwin ia masih punya seorang teman lagi untuk diajak berbagi.
"Kak Del! Tumben! Senang sekali mendengar suaramu!"
Suara Yasmin begitu ceria. Perasaan Delia jadi terhibur. Masih ada orang yang sayang kepadanya.
"Kebetulan sekali, Kak. Aku sudah pindah ke rumah Papa dua hari yang lalu. Saking sibuknya membereskan rumah, aku sampai nggak sempat memberitahu."
"Sekarang sudah beres" Barangkali aku bisa membantu."
375 "Wah, baru aja beres, Kak. Kapan mau main ke rumahku yang baru""
"Secepatnya, Yas. Aku juga ingin ketemu kau. Pengen ngomong."
Diam sejenak. Lalu dengan nada berhati-hati Yasmin bertanya, "Ada masalah, Kak""
"Sebenarnya nggak sih. Pengen curhat aja."
"Kalau gitu sekarang aja, Kak. Aku tunggu. Kebetulan Papa sudah nanyain tuh. Dia pengen sekali kenalan denganmu."
Semangat Yasmin membuat Delia tersenyum.
"Ah, jangan sekarang. Besok saja, ya""
"Besok oke. Cuti dong, supaya bisa seharian di rumahku. Kita bisa ngobrol banyak tanpa ada batasan waktu. Oh ya, Kak, ke mana aja Bang Erwin""
"Ada. Kenapa""
"Sudah beberapa hari dia nggak pernah nelepon aku lagi. Im waktu masih di rumah lama. Entah sekarang. Dia nggak tahu nomor baruku. Tapi dia kan punya nomor HP-ku."
"Nanti aku kasih tahu kau udah pindah."
"Barangkah dia udah bosan nelepon aku."
"Ah, masa" Dia nggak pernah ngomong apa-apa."
"Iya deh. Aku nggak nyalahin dia kalau nggak mau nelepon lagi. Mungkin lebih baik begitu."
Biarpun ucapan itu mengandung keikhlasan, Delia menangkap kekecewaan. Tampaknya kekecewaan mulai membayangi mereka berempat. Setelah cuaca cerah, mendung mulai datang.
* * * Delia disambut dengan pelukan oleh Yasmin. "Rumah yang bagus," puji Delia.
376 "Ayo, kita ke tempatku. Aku di paviliun.. Kalau sudah selesai ngobrol, baru kita ke rumah besar menjumpai Papa. Nggak usah buru-buru ke sana. Dia lagi latihan fisioterapi dan dipijit."
Yasmin merasakan kemurungan Delia. Ia merangkulnya dengan perasaan aneh, kenapa situasi bisa berbalik dengan cepat. Dulu dia yang murung dan putus asa sedang Delia memberi kekuatan dan penghiburan kepadanya. Sekarang jadi terbalik meskipun ia sendiri tidak merasa kuat. Ia biasa-biasa saja, hanya situasi dan kondisilah yang membuatnya kuat. Sebenarnya dulu pun kondisi. Delia tak beda dengannya. Mereka sama-sama berniat bunuh diri. Jadi sesungguhnya nilai jasa Delia kepadanya jauh lebih besar dibanding orang yang kondisi kejiwaannya normal, misalnya Erwin dan Kosmas.
Yasmin senang karena bisa mendapat kesempatan menghibur dan meredakan kesedihan Delia. Syukur-syukur bisa membantu.
Delia bercerita tentang permasalahan yang dihadapinya. Ia tidak mengharapkan Yasmin bisa memberinya jalan keluar, tapi dengan mengungkapkannya ia sudah merasa lebih ringan.
"Kenapa bisa begitu ya, Kak" Apa kau nggak merasa aneh"" tanya Yasmin.
"Aneh" Entahlah. Aku nggak mau berpikir begim. Kenyataannya aku merasa jadi orang yang telah memecah belah keakraban mereka. Padahal semula aku bangga bisa menjadi bagian dari keakraban itu. Taunya nggak."
"Mereka memang akrab dengan cara yang aneh. Satu pacaran, lainnya juga. Tapi kalau satu putus, lainnya juga ikut-ikutan. Jangan-jangan Erwin me-
377 mang nggak suka abangnya akan menikah karena dia belum dapat pacar. Dia jadi merasa tersisih."
"Aku tidak percaya dia seperti itu."
"Tapi kenyataannya begitu."
"Kuakui aku belum terlalu lama mengenal mereka. Tapi kukira bukan waktu yang menentukan dalamnya pengenalan. Mereka orang yang terbuka. Jadi cepat kenalnya."
"Entahlah, Kak. Aku susah mengenali orang kecuali pakai hati."
"Ya, aku memang tidak boleh terlalu yakin dengan penilaian terhadap orang lain. Tapi aku yakin Kosmas mencintai aku. Dia orangnya tulus. Maka aku heran kenapa dia jadi cuek. Diajak diskusi nggak mau, k
atanya nggak ada apa-apa. Tapi diam-diaman seperti menyimpan sesuatu. Kan nggak enak, Yas. Sama Erwin juga begitu."
"Makanya aku bilang itu aneh."
Delia termenung. Aneh itu sama dengan tidak wajar. Di mana letak ketidakwajarannya"
"Menurutku, kalau mereka diam-diam saja dan membiarkan kau bingung sendiri, kau harus berbuat sesuatu, Kak. Masa kau ikut arus saja" Entar jadi stres dong."
"Maksudmu aku harus melakukan sesuatu""
"Ya!" "Tapi aku tidak tahu mesti bagaimana""
"Mereka pikir kau tergantung pada mereka, makanya mereka mendiamkan saja tanpa penyelesaian. Kau harus berani untuk keluar dari sana, Kak. Jangan khawatir tak punya tempat. Tinggallah di sini. Aku akan senang sekali. Di rumah besar masih banyak kamar yang bisa kautempati. Gimana, Kak""
378 Yasmin menatap Delia, berharap mau menerima usulnya.
"Terima kasih, Yas. Kau baik sekali."
"Jadi mau, ya" Mau" Pindahlah secepatnya."
"Aku senang bekerja di sana."
"Untuk sementara saja, Kak. Lihat reaksi mereka. Terutama Bang Kos. Apakah dia mencegah dan keberatan" Ataukah dia setuju tanpa keberatan""
Delia berpikir sejenak. "Itu usul yang bagus sekali, Yas. Jalan keluar yang bagus. Tapi aku masih ingin melihat perkembangannya selama beberapa hari lagi. Kalau tak bisa diperbaiki lagi, terpaksa aku keluar. Terima kasih, Yas. Dengan adanya jalan keluar ini aku jadi lega. Nggak bingung lagi."
"Kalau begitu aku siapkan kamarmu dari sekarang. Jadi kau tinggal masuk. Ayo kita temui Papa sekarang!"
Delia berkenalan dengan Winata. Keduanya saling tatap dan mempelajari.
"Terima kasih karena kau telah membujuk Yas," kata Winata.
"Itu bukan apa-apa, Pak."
"Bagiku itu sesuatu yang besar sekali artinya. Dan seingatku, dulu Yas itu sulit punya teman. Kalau sekarang bisa punya sahabat, itu pun sesuatu yang bermakna. Aku pikir, mendapat sahabat itu seperti mendapat jodoh."
"Betul, Pak. Nasib mempertemukan kami," sahut Delia.
"Nasib"" Winata membuka matanya lebar-lebar. "Ya, kami ketemu di rumah sakit, Pa," sahut Yasmin.
Sesudah bicara Yasmin terkejut karena kelepasan. Lalu buru-buru melanjutkan, "Kak Del dirawat di
379 rumah sakit yang sama, Pa. Dia juga mengalami kecelakaan."
"Wah, sekarang sudah sembuh benar""
"Sudah, Pak," jawab Delia. Ia merasa kurang enak telah membohongi orang ma
Yasmin tersenyum saja. Sekalinya berbohong, harus jalan terus. Yang penting tujuannya, begitu ia meyakini.
"Sekarang kerja atau ibu rumah tangga"" "Saya kerja di Motel Marlin, Pak," jawab Delia. "Motel""
"Dia ngerjain akuntansi, Pa. Kak Del itu sarjana akuntansi," sahut Yasmin.
"Oh, begitu. Nanti sering-seringlah main ke sini, Del. Kalau libur ke sini saja." Winata mengundang.
"Terima kasih, Pak."
Delia berpikir, seharusnya Yasmin bicara dulu dengan ayahnya sebelum mengajaknya tinggal di situ. Biarpun rumah itu besar dan berkamar banyak, ketumpangan seseorang yang belum begitu dikenal bisa mengganggu.
Sebelum pergi Delia menyampaikan hal itu kepada Yasmin.
"Jangan khawatir. Papa pasti senang menerimamu."
Memanah Burung Rajawali 10 Musuh Dalam Selimut Karya Liang Ie Shen Penghuni Kuil Emas 2
^