Pencarian

Cahaya Cinta 1

Cahaya Cinta Karya Cherry Aslan Bagian 1


?"CAHAYA CINTA by: cherry Aslan Lembayung senja masih menghiasi langit kala itu. Baru saja sejam yang lalu hujan berhenti mengguyur raya yang gersang. Sebuah rumah indah di kawasan asri,
kompleks kemuning, tampak tak pernah sepi oleh orang-orang berbusana hitam. Beberapa diantaranya tampak sibuk menyeka air mata yang tak henti-hentinya
mengalir. Bagaiman tidak jika seorang ulama yang bijak harus pergi kembali kesisi-Nya.
Seorang gadis berjilbab hitam tampak khusuk membaca Al-Qur an kecilnya. Bibir indahnya tak henti-hentinya mengucapkan kalam Illahi untuk sang ayah tercinta.
Meski air mata tak henti-hentinya menetes dari mata indahnya, ia tidak pernah terisak. Hanya tangis dalam diam yang rasanya lebih perih dari pada sayatan
pisau sekalipun. Disampingnya, seorang pemuda berkemeja hitam tampak turut khusyuk dalam do a dan zikirnya. Matanya sedikit basah. Wajahnya yang tampan tampak menunduk
dalam. Iapun merasakan perih yang dialami sahabat baiknya.
Sebaiknya kamu tidak ikut& . Bisik Raka saat jenazah kyai.Faqih akan dimakamkan. Gadis cantik itu menggeleng pelan.
Ini akan jadi yang terakhir kalinya aku melihat ayah, dan aku tidak ingin melewatkan hal itu. Aku ingin melihatnya ka, ujar Anna parau. Andai aku mampu,
aku ingin sekali mengangkat tubuhnya, ini akan menjadi penghormatan terakhir untuk ayah dan esok hari semuanya akan berubah, ujarnya perih. Beberapa orang
tampak menangis mendengar kata-kata yang terlontar dari gadis cantik itu. Aku harus kuat&
Insya Allah kamu kuat, ujar Raka seraya meraih pergelangan tangan Anna dan membimbingnya berjalan tepat di belakang jasad ayahnya.
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" ***
Anna masih terduduk di atas sajadahnya saat tangan lembut ibunya mengetuk pintu kamarnya yang tak terkunci.
Umi& bisik Anna seraya membuka mukenanya. Sang ibu tersenyum manis penuh kasih sayang.
Anna, akhir-akhir ini kamu sering mengurung diri nak, ujar sang ibu pelan. Anna menunduk dalam. Hatinya perih melihat lembayung hitam yang mengiasi kedua
mata ibunya. Ibu jarang melihatmu keluar kamar, tambahnya. Anna tak mampu menjawab. Karena selama ini ibunya memang tidak akan menemukannya di luar kamar,
karena ibunyalah yang mungkin tidak pernah keluar dari kamarnya.
Suatu malam ia pernah mendengar ibunya menangis di dalam kamarnya. Dan keesokan subuhnya ia melihat sosok ibunya yang tertidur di atas sejadahnya setelah
menunaikan shalat lail semalam.
Di luar ada Raka, ujarnya. Anna mengangkat wajahnya sedikit. Temuilah ia nak, sudah satu minggu kamu tidak pergi mengajar, tutur "ibunya. Anna hanya
mengaguk pelan. Anna, panggil "ibunya. Hal yang terbaik dalam hidup adalah Tawakal dan Sabar, "ujar ibunya. Anna mengerutkan keningnya tidak mengerti.
Namun ia tidak berkata apa-apa lagi. Hanya mengaguk dan berlalu.
Assalamu alaikum& salam Anna saat melihat sosok tampan Raka di ruang tamu. Senyumannya langsung merekah saat mendapati "sosok gadis cantik itu. Meski
terlihat lebih pucat dan kurus namun kecantikannya tetap tidak bisa sirna. Atau bahkan ia terlihat semakin cantik.
Walaikum salam& balas Raka. Anak-anak titip salam, Ujarnya. Anna hanya mengaguk pelan. Mereka ingin agar kamu segera kembali, lanjutnya. Anna memalingkan
wajahnya keluar jendela. Selama ini ia memang menjadi salah satu sukarelawan di panti asuhan.
Lama mereka hanya terdiam. Raka melirik jam tangannya.
Aku harus segera kembali, sebentar lagi ada kelas yang harus aku ajar, ujarnya. Anna menatapnya ragu.
Tunggu! aku ikut, ujar Anna akhirnya. Raka tersenyum manis dan mengangguk senang.
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" "***
Hujan masih mengguyur raya saat seorang gadis berlari di balik serbuannya. Ia sama sekali tidak memperdulikan air yang menyentuh setiap sudut pakaiannya.
Ia terus berlari dan berlari. Seakan ingin mengejar waktu agar tidak menghampiri sang takdir.
BRAK& Gadis itu membanting pintu dengan kasarnya. Nafasnya masih tersenggal-senggal namun ia tidak perduli. Ekor matanya terus menyapu ruangan itu, berharap
menemukan orang yang akan mengatakan padanya bahwa semuanya baik-baik saja. Namun harapan hanya tinggal harapan. Semua orang menatapnya iba. Menangisi
nasibnya yang tak seindah cerita pelangi.
Gadis itu mencoba berdiri tegap. Dihapusnya air mata yang mengalir dipipinya. Kemudian ia tersenyum tipis. Sambil mengaguk santun ia mengucapkan salam
yang sempat terlupa. Orang-orang yang berada di tempat itu langsung terdiam. Gadis itu tidak menunggu jawaban dari para tamu.
Tubuhnya yang mungil langsung memasuki kamar yang tak terkunci untuk menemui orang yang begitu disayanginya." Tubuh itu kaku. Namun mengeluarkan harum
yang menyejukan sebagaimana amalnya selama ini sebagai wanita yang solehah. Gadis itu menatap wajah ibunya dengan perih. Dirabanya wajah itu dengan sayang.
Kemudian diciumnya kening sang ibunda penuh kasih. Lagi-lagi tidak ada isakan yang terdengar. Namun siapa pun bisa melihat deraian air mata yang semakin
deras. Anna& bisik seorang wanita paruh baya. Gadis itu menoleh. Yang sabar nak, ujarnya pelan. Anna tak mampu menjawab. Rasanya seluruh kekuatannya sudah
terkuras habis. Namun ia masih tersenyum. Bahkan saat tangannya menyentuh tangan dingin sang ibunda.
Ya Allah& jika pedih ini yang terbaik untukku, ku mohon& biarkan pedih ini menjemputku kepada tawa yang abadi di surgamu& do anya pelan.
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" ***
Bagi Anna dunia sudah berbalik. Hidupnya sudah berbalik. Begitu pula nasibnya sudah berbalik. Siapapun akan iba bila melihat tatapan kosong di mata indah
itu. Bahkan sang bunga yang kerap iri atas keindahannya kini hanya bisa termenung sendiri.
Bunga cantik yang bertutur kata indah itupun menghilang. Berubah menjadi bunga layu yang tersimpan di sudut jalanan yang sepi. Tanpa tersentuh.
Anna meninggalkan segalanya. Sahabat, sekolah, rumah dan bahkan kenangannya sendiripun telah tertutup rapat. Saat ini Anna tinggal bersama bibinya yang
terkenal kikir. Namun Anna sama sekali tidak perduli. Toh baginya hidup dan mati hanyalah masalah waktu.
Dan saat bu guru baik hati itu menghilang. Berjuta kuncup itu melayu sebelum bermekaran sedikipun. Bintang-bintang kecil itupun meredup tanpa sekalipun
pernah menampakan sinarnya yang tentu akan gemilang. Berkali-kali Raka mencoba membujuknya. Namun Anna sama sekali tidak bergeming, sosoknya lebih sering
berdiam diri di atas sajadah panjangnya. Menumpahkan seluruh kelah kesahnya pada sang khalik.
""""""""" Anna, panggil pemuda itu suatu pagi. Anna menghentikan langkahnya namun tidak menoleh. Sepertinya aku kehilangan sahabatku, ujarnya pelan.
Anna tertegun sejenak. Baiklah, maaf mengganggu langkahmu nona, ujarnya seraya mundur beberapa langkah. Aku hanya berharap Allah tetap membuatmu bertawakal
kepadanya dan bersabar hanya karena diri-Nya& assalamu alaikum& bisik Raka sebelum berlalu pergi. Anna tersentak kaget saat mendengar kata-kata terakhir
Raka. Ia segera menoleh. Namun pemuda itu sudah berlalu, jauh dari jangkauannya.
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" ***
""""""""" Anna kembali. Begitu kata orang-orang yang melihatnya. Ia tersenyum, merekah mewangi selayaknya bunga senja yang tidak pernah layu. Anna sadar
tawakal dan sabar adalah yang bisa ia andalkan untuk saat ini dan seterusnya.
""""""""" Bersabarlah& karena sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar& .
""""""""" Hari itu dengan hati riang gembira ia melangkahkan kaki ke panti asuhan.
""""""""" Kak Anna, teriak seorang gadis kecil berkerudung kuning. Anna memeluk gadis itu penuh sayang.
""""""""" Ada apa sayang, kenapa kamu menangis" tanya Anna pelan. Gadis itu hanya terisak dan terus terisak.
""""""""" Cepat panggil ambulance, Raka jatuh dari lantai dua!! teriak seorang staf kantor dipanti asuhan itu.
DEG& """"""""" Anna terhenyak sesaat. Rasanya beberapa detik yang lalu jantungnya sempat berhenti berdetak.
""""""""" RAKA!! teriak Anna histeris saat tersadar dari keterkejutannya. Ia berlari mengejar mobil ambulance yang membawa Raka.
""""""""" Na, ayo ikut, Ujar Arya. Tanpa pikir panjang Anna langsung masuk kedalam mobilnya.
""""""""" Bibir indahnya tak henti-hentinya berucap tasbih.
""""""""" Ya Allah, hamba mohon& jangan biarkan diri hamba kehilangan orang-orang yang hamba sayangi untuk yang kesekian kalinya& ku mohon ya Allah&
do anya dalam hati."
2 minggu kemudian. "" " " "Anna mematung di balik kamar rawat inap Raka. Ia terus bersyukur atas keselamatan Raka hari ini dan hari-hari sebelumnya. Dan ia pun tidak lupa
mendo akan keselamatan Raka untuk detik-detik selanjutnya.
""""""""" Dia masih" tidak mau menemui nak Anna, ujar ibu paruh baya yang kerap dipanggil ibu Aminah." Anna mengaguk kecewa, namun ia tetap bersyukur
akan keselamatannya. """"""""" Aku akan kembali nanti, ujar Anna pelan sebelum berucap salam dan berlalu pergi.
""""""""" Seusai shalat lail Anna kembali ke kamar Raka. Ia berucap salam" dan memasuki kamar itu perlahan. Anna tersenyum manis saat melihat Raka yang
masih terduduk di atas sajadahnya.
" " " " " Ibu, panggil Raka pelan. Air mata Anna menetes perlahan. Ibu, panggil Raka lagi.
" " " " Raka& bisik Anna pelan. Raka langsung terdiam seribu bahasa. Wajahnya menoleh kesana kemari mencari asal suara gadis cantik itu.
""""""""" Untuk apa kamu kesini" " tanyanya sinis. Anna tidak tersinggung sama sekali dengan nada suaranya yang mungkin lebih senang atas ketidak beradaannya.
Untuk apa kamu kesini, Hah" " bentak Raka. Air mata Anna kembali menetes.
" " " " " " Aku hanya ingin menjenguk sahabatku, jawab Anna pelan.
" " " " Pergi. ujar Raka penuh tekanan. Kau sudah mengetahui semuanya, jadi sekarang pergi dan jangan pernah kembali, Tutur Raka.
""""""""" Maaf mengganggu anda tuan. Aku hanya ingin berbincang dengan sahabatku, namun rasanya aku salah orang. Maaf, tutur Anna perih. Tuan, aku hanya
ingin menitipkan salam untuknya. Aku tidak peduli ia akan mendengarkan kata-kataku atau tidak. Hanya saja aku ingin berterima kasih padanya karena memintaku
bertawakal" dan" bersabar, tutur Anna. Raka hanya menunduk dalam. Karena ia sendiri sama sekali tidak mengetahui dimana keberadaan gadis cantik itu.
""""""""" Kau masih ingin bertemu dengan sahabatmu""
""""" Tidak pernah tidak, jawab Anna. Raka tersenyum dan mengangkat wajah tampannya. Dimana kau" tanya Raka. Anna tersenyum dan menyentuh pergelangan
tangan Raka perlahan. """"""""" Mereka mengobrol banyak meski akhirnya Annalah yang kelelahan karena terus bicara. Tanpa mereka sadari waktu sudah menjemput subuh.
""""""""" Izinkan aku bermakmum kepadamu, tutur Anna.
""""""""" Tidak, kau tidak boleh bermakmum kepadaku,
""""""""" Kenapa" Apa karena kamu seorang yang buta" tanya Anna geram. Raka hanya terdiam. Apakah Allah pernah membedakan seseorang dari kekurangan fisiknya"
Jika ingatanku tidak salah, Allah tidak akan membedakan seseorang dari kekurangan fisiknya, dan hanya membedakan dari segi ketaqwaannya, tutur Anna panjang
lebar. Raka menghela nafas panjang sebelum berlalu mengambil air wudhu dengan langkah tertatih.
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" ***
""""""""" Kini Anna mempunyai tugas lain, selain mengajar di madrasah panti. Seusai bertemu anak-anak dipanti ia selalu datang menemani Raka pada senja
hingga menjelang isya. """"""""" Bagi Anna tinggal bersama Raka dan keluarganya adalah pengobat rindunya pada kedua orang tuanya. Ibu Aminah sangat menerima kehadiran gadis cantik
bertutur kata indah itu. Dan bahkan beliau selalu mencarinya jika ia tidak datang ke rumah.
""""""""" Anna,
""""""""" Ya, bi. jawabnya seraya berlari ke dapur.
""""""""" Sore ini seusai mengajar kamu harus langsung pulang,
""""""""" Memangnya ada apa" tanya Anna penasaran.
""""""""" Bibi akan mengenalkanmu dengan calon suamimu, ujar" wanita paruh baya itu ketus.
""""""""" Maksud bibi"
""""""""" Anna, kamu sudah dewasa, dan tentu kamu harus segera menikah. Bibi tidak mau kamu menjadi sorotan masyarakat karena terlambat menikah, lagi
pula bibi sudah mencarikan calon yang baik untukmu, tuturnya. Anna menatap bibinya tidak percaya.
" " " " " " " Tidak bi, Anna masih ingin mengajar dan&
" " " " " Dan apa" Bertemu dengan pemuda buta itu, hah" Anna tidak sepantasnya kamu selalu bersama dia. Lagi pula apa yang kamu harapkan dari pemuda buta
seperti dia" Bukankah itu hanya akan menjadi beban hidupmu"
" " " " " " Astagfirullah bibi, aku tidak pernah memandang seseorang seperti itu,
" " " " " Ya kalau begitu kamu harus berpandangan seperti itu mulai sekarang! kamu harus berfikir secara rasional. Pemuda itu tidak akan memberikan manfaat
untukmu, " " " " " " Tapi bi&
""""""""" Sudahlah, lekas pergi dan jangan lupa sore ini kamu memiliki janji, Anna tak menjawab, hanya sebuah kata salam yang terlontar dari bibir manisnya.
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" ***
""""""""" Dunia seakan berputar begitu cepat. Hingga sudah kembali menjemput petang yang masih tertutup lembayung selepas hujan siang ini. Anna merapihkan
bukunya dengan malas. Otaknya masih berfikir tentang kata-kata bibinya. Bagaimana mungkin bibi Lia bisa berfikiran seperti ini.
" " " " Ann, kamu ga pergi ke rumah Raka" tanya Amy teman pantinya. Anna tersenyum tipis tanpa menggeleng atau mengaguk sama sekali. Amy mengangkat bahunya
kemudian berucap salam dan berlalu pergi.
""""""""" Anna menghela nafas panjang sebelum berlalu dari panti. Betapa terkejutnya ia saat melihat sebuah mobil BMW hitam terparkir di depan rumah bibinya.
""""""""" Nah, ini dia Putri Zainna Zahratussofhia, ujar bibi Lia saat melihat sosok Anna di depan pintu.
""""""""" Wah, cantik sekali, ujar seorang ibu paruh baya. Anna hanya mengangguk santun. Oya, kenalkan ini Alan. Anak tante, ujar wanita tua itu. Lagi-lagi
Anna hanya mengangguk santun tanpa memperhatikan Alan yang terus memandangnya.
""""""""" Permisi, saya ke dalam dulu. Assalamu alaikum& ujar Anna tanpa basa-basi lagi.
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" ***
" " " " Anna, apa yang kamu lakukan, kenapa kamu masuk begitu saja" " tanya Lia ketus. Anna menutup bukunya perlahan.
""""""""" Bibi, aku tidak ingin menikah denganya, tutur Anna pelan.
""""""""" Jangan bodoh, kalau tidak dengan dia dengan siapa lagi kamu akan menikah" tanya Lia sinis. Dengan pemuda buta itu, hah" " tanyanya lagi.
" " " " " Bibi!! Bibi tidak berhak berkata begitu!!! Setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing,
""""""""" Plak&
""""""""" """"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" ***
""""""""" Senja itu tampak begitu memukau, dengan berbagai warna yang tidak bisa di gambarkan oleh kata-kata seindah apapun. Di balik itu semua, sang rembulan
tampak menunduk sayu. Cahaya indahnya seakan meragu untuk bersinar.
""""""""" Hari itu, seusai mengajar Anna menyempatkan diri pergi ke rumah sahabatnya. Sudah 2 hari ia tidak mengunjungi Raka. Entah mengapa ia seakan muak
kepada dirinya sendiri karena menerima begitu saja perjodohan ini.
" " " " " Assalamu alaikum& salam Anna. Wanita paruh baya itu langsung tersenyum senang. Anna mencium punggung tangannya santun.
""""""""" Anna, kemana saja kamu"
""""""""" Maaf" ibu, aku mempunyai suatu urusan. Raka ada" tanya Anna pelan.
""""""""" Ada, masuklah. Ia pasti senang bertemu denganmu, ujarnya. Anna tersenyum tipis dan mengaguk.
""""""""" Assalamu alaikum.
" " " " Walaikum salam, aku kira aku sudah kehilangan bunga itu, ujar Raka. Anna tersenyum dan duduk di sampingnya. Wajahnya yang cantik menatap lembayung
senja yang menyisakan sedikit warna cantik.
" " " " Hari ini aku membacakan sebuah cerita untuk anak-anak, ujar Anna pelan. Kisah tentang dua merpati yang saling menyayangi. Namun terpaksa berpisah
karena hal kecil yang menimbulkan kedengkian, lanjutnya.
""""""""" Raka, beberapa hari yang lalu seseorang datang kepadaku, memberikan sebuket bunga dan sebuah mahar, Raka tertegun sejenak namun tetap dalam
posisinya yang terlihat tenang. Aku menerima bunga itu sebagai tanda aku menerima tali silaturahmi yang mereka tunjukan, namun aku menolak mahar itu,
" " " " Jangan! potong Raka cepat. Tidak baik seorang wanita menolak sebuah lamaran, ujar Raka tenang. Anna menatapnya tidak percaya. Bahkan meski kamu
tidak menyukai mahar itu,
" " " " " " Aku kira wanita bisa memilih, tutur Anna parau.
" " " " Pilihlah yang terbaik dalam hidup ini. Jangan tatap sebelah mata atas segala sesuatu yang datang, tuturnya. Aku sahabatmu dan akan selalu begitu.
Aku akan selalu mendukungmu atas segala hal baik yang datang kepadamu, tutur Raka parau. Anna tersenyum getir.
""""""""" Meski hal itu menyakitkanku" tanya Anna pelan. Raka hanya terdiam.
""""""""" Tidak ada pernikahan yang menyakitkan, Anna&
""""""""" Tentu ada, potong Anna pelan. Saat kita menikah dengan orang yang sama sekali tidak kita cintai,
""""""""" Kalau begitu cintailah pemberi mahar itu, agar pernikahanmu kelak mendapat rahmat-Nya, tutur Raka pelan. Anna, dengarkan aku, dunia ini akan
selalu berputar. Jangan pernah menanti gurun sahara tertutup air lautan, karena saat itu terjadi takkan ada matahari yang terbit lagi untuk hari esoknya.
Dalam kehidupan slalu ada pilihan. Dan terkadang pilihan itu tidak selalu menyenangkan, tapi jika ikhlas, insya allah mendapat berkah, Raka tersenyum
tipis. Anna, kau sahabatku dan akan selalu begitu, bisik Raka pelan. Anna menghela nafas panjang mencoba menenangkan gemuruh hatinya yang begitu menyakitkan.
""""""""" Terima kasih, bisik Anna parau. Semua ini sangat berarti bagi ku, ujar Anna perih. Satu hal yang ingin ku sampaikan, mungkin esok semua
akan berubah, seperti yang kau katakan. Dunia akan selalu berputar. Dan aku tidak akan menunggu matahari berubah warna, karena aku tau meski lembayung
hujan telah menghampirinya matahari akan tetap dalam pendiriannya, Anna bangkit dari duduknya. Aku pergi, Assalamu alaikum&
" " " " " Walaikum salam& balas Raka pelan. Setetes air mata mengiringi kepergian gadis yang paling di kasihinya.
""""""""" Raka,
""""""""" Ibu&
""""""""" Ibu tidak pernah mengajarimu untuk berbohong, Raka terhenyak sesaat. Ibu kira kamu mengerti bagaimana memperlakukan seorang wanita dengan
baik, """"""""" Aku mengerti ibu, dan ini adalah yang terbaik untuknya& bisik Raka perih."
*** Anna tersenyum tipis saat melihat tingkah murid-muridnya. Kemilau cahaya senja membuat air matanya berkilauan bagaikan mutiara.
Kak. Anna harus sering-sering berkunjung, rengek seorang gadis kecil berjilbab pink. Anna memeluk gadis itu erat. Ia hanya memeluknya tanpa berkata apapun.
Kakak pergi dulu, Assalamu alaikum, ujar Anna sebelum naik ke dalam mobil calon suaminya.
Alan mengangguk santun saat tatapan matanya beradu dengan pemilik panti.
Siap pergi" tanya Alan. Anna mengaguk pelan. Dan mobil itupun melaju kencang. Membelah angin yang melambaikan berjuta rasa bintang-bintang kemilau itu.
" " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " "***
Raka masih mematung di atas sejadahnya saat sang ibunda masuk ke dalam kamarnya.
Ibu, panggil Raka. Iya Raka, ini ibu. Ibu ingin bicara, Raka membalikan wajahnya dan tersenyum manis.
Apa yang ingin ibu bicarakan" Jika tentang Anna, ku rasa sudah cukup,
Tapi& Ibu& Sudahlah. Kalaupun aku mencintainya, aku tidak akan memintanya untuk berada di sisiku. Tidak akan pernah sebagai seorang istri. Ia wanita yang baik,
ia pantas mendapatkan yang terbaik untuk menjadi pendampingnya dan mungkin itu bukanlah aku, tutur Raka tenang.
Tapi dia sangat mencintaimu,
Aku tau, tapi aku tidak ingin ia tertekan karena mencintaiku ibu. Sudah ku katakan ia patut mendapatkan yang lebih baik dari sekedar orang yang buta sepertiku,
tutur Raka. Wajah tampannya terlihat letih. Dan lagi pula aku sama sekali tidak mencintainya& tidak akan pernah, bisik Raka. Wanita paruh baya itu menatap
gadis di sampingnya dengan pilu. Namun gadis itu hanya tersenyum tipis dan mengaguk.
Assalamu alaikum, bisik gadis itu sebelum berlalu bersama kekecewaannya.
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" ***
Sabtu, 30 Januari Sebuah cerita mulai terukir dalam selembar kertas kosong. Sebuah cerita yang selalu diidamkan setiap gadis di seluruh dunia. Cerita indah tentang penghujung
cinta yang takkan terlupakan. Namun tidak bagi Anna. Gadis bermata coklat keemasan itu menatap pantulan wajahnya di cermin. Dirabanya kebaya putih yang
menutupi tubuh indahnya perlahan.
'Ya Allah ampuni hambamu ini... seharusnya ini menjadi hari yang paling membahagiakan, seharusnya hari ini dilimpahi dengan senyuman, bukan air mata seperti
ini. Tapi sungguh hamba tak kuasa meyembunyikan perih ini ya Allah...
Hamba mohon, kuatkanlah hati ini ya Allah...
Anna, sudah waktunya kamu keluar... ujar Lia. Anna mengaguk perlahan dan mengapus air matanya. Ia meraba sanggul melatinya sebelum berlalu pergi.
Ayah Ibu... restuilah Anna...
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" ***
Aminah menatap undangan biru itu perih. Nama gadis kesayangannya terukir indah di sampul depan undangan itu. Bertahun-tahun lamanya ia mengharapkan nama
sang bunga dan putranyalah yang berada di dalam satu sampul. Namun kini ia seakan terbangun dari khayal yang tak berujung. Ditatapnya pintu kamar putra
semata wayangnya yang sejak kemarin tertutup rapat. Wanita tua itu mengusap air matanya perlahan. Ia takkan pernah mengganggu putranya. Ia tau apa yang
tengah dirasakan putranya saat ini.
Bersabarlah nak... bersabarlah... dunia akan selalu berputar. Yang harus kau lakukan hanyalah sedikit bersabar... bisiknya perih sebelum memasukan undangan
itu kedalam laci. Ibu!!! teriak Raka tiba-tiba. Aminah menatapnya terkejut.
Astagfirullah Raka, ada apa" Kau mengagetkan ibu.. ujar wanita paruh baya itu.
Ibu, Subhanallah, ini adalah sebuah mukzizat dari Allah... Raka memeluk ibunya erat. Aminah masih menatapnya heran. Ibu... aku bisa melihat kembali,
aku bisa melihat, subhanallah... pekiknya riang. Aminah menatapnya tidak percaya. Wanita tua itu langsung bersujud bahagia. Ibu, ini adalah anugrah Ilahi...
aminah mengaguk setuju. Iya nak, ini adalah kuasa Allah... subhanallah, Aminah memeluk putranya haru.
Aku akan mengabari Anna, ujar Raka. Aminah langsung terdiam. Ibu ada apa"" Bukankah ini kabar gembira, ia harus tau tentang hal ini bu, ujar Raka antusias.
Aminah meghapus air matanya perlahan sebelum kembali membuka laci yang baru saja ditutupnya beberapa menit yang lalu.
" " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " ""
Gemuruh tepuk tangan membangunkan sosok Anna dari lamunannya di hari pernikahannya sendiri.
Apa kalian tidak bermalam disini dulu" tanya Lia. Alan melirik gadis disampingnya sesaat.
Biasalah, mungkin pengantin baru memang butuh privasi yang lebih, ujar ibunda Alan. Tamu-tamu yang lain tersenyum lebar. Alan mengaguk santun"dan memohon
pamit kepada seluruh tamu.
Kamu siap pergi" tanyanya pada gadis cantik yang masih membisu di sampingnya. Anna, tegur Alan sekali lagi. Anna mengaguk pelan. Alan terdiam lama
sebelum menjalankan mobilnya.
Alan melirik wajah cantik disampingnya melalui kaca spion. Sudah lebih dari 56 kilometer dari tempat tinggal Anna, dan sampai saat itu mereka masih bergelut
dengan hening. Alan tau, gadis itu tidak mencintainya sebagaimana ia mencintainya sejak pertama bertemu. Dan bukan berarti ia mengambil kesempatan untuk
menikahi gadis yang diinginkannya begitu saja, hanya saja ia merasa inilah yang terbaik untuk Anna saat ini.
Kau ingin kembali" tanya Alan saat hari mulai gelap. Anna menoleh sesaat. Ingin rasanya ia berteriak, mengiyakan pertanyaan suaminya. Namun alih-alih
berkata iya, Anna malah menggeleng pelan. Ia menyeka air matanya perlahan.
Maaf, bisiknya pelan. Alan menggenggam lembut jemari Anna disampingnya. Membuat wajah gadis itu merona dan kikuk.
Kau tidak perlu meminta maaf, ujar Alan. Hatinya terasa perih kala melihat guratan kesedihan di mata gadis yang dicintainya. Kau akan mampu melewati
semua ini, percayalah... bisiknnya lagi. ia menatap kosong jalanan dihadapannya.
Maafkan aku. Aku berjanji akan menjadi istri yang baik untukmu, Anna menangis perih di kursinya. Alan melambatkan laju mobilnya.
Terima kasih, itu sudah lebih dari cukup atas apa yang aku butuhkan selama ini. terima kasih Ann, kamu adalah satu-satunya gadis yang membuatku bergelut
dengan sebuah kata klise bermakna cinta. Aku tau, semua kisah kita terasa begitu berat penuh tekanan, tetapi kau harus tau, aku mencintaimu karena Allah
Ann. Dan aku akan selalu mencintaimu kini dan nanti. Kau harus berbahagia. Karena hanya dengan senyumanmulah kau dapat membuktikan kalau kau cukup menghargaiku
sebagai suamimu, Ka, Terima kasih... bisik Anna tak kuasa menahan tangis. Baru kali itu ia berani menatap wajah suaminya yang tampak begitu tenang menatap kelamnya malam.
Ia memang tidak setampan Raka, namun wajah itu menyiratkan kesejukan yang teramat sangat. Seketika itu juga Anna merasa begitu bersalah karena masih mencintai
orang lain, dan memalingkan wajahnya sendiri dari suaminya.
Kau harus bahagia Ann, "bisik Alan lagi. Anna mengerutkan keningnya ketika cengkraman suaminya menguat.
Kak, AWAS!!! """"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" ***
Keajaiban yang terjadi kepada kedua mata Raka tidak pernah berhenti menjadi buah bibir orang-orang di sekitarnya. Meski akhirnya perlahan-lahan kabar tentang


Cahaya Cinta Karya Cherry Aslan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kebesaran Illahi itu sedikit demi sedikit hanya menyisakan tasbih bagi yang melihatnya.
Meski berubah, Raka tetap meneruskan pekerjaanya sebagai pengajar sukarelawan dipanti asuhan. Meski kini ia tidak lagi sesering dulu berada dipanti, karena
saat ini ia tengah mengemban amanat dari seorang pengusaha darmawan asal Solo untuk menjalankan sebuah yayasan pondok pesantren. Bagi Raka anak- anak panti
itulah yang meredakan rindunya pada sang putrid yang sampai saat ini tidak pernah ia tanyakan keberadaannya. Meski dalam setiap sembah sujudnya, nama itu
adalah nama kedua setelah ibunya yang selalu ia do akan berbahagia di bawah naungan Illahi.
" " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " ""
Pelangi mulai menghiasi langit setelah hujan beberapa saat yang lalu. Bias cahayanya seakan mengiringi gelak tawa bintang-bintang kecil di dalam panti
berwarna warni itu. Seorang gadis cantik berjilbab jingga tersenyum dari kejauhan. Ia tidak habis pikir bagaimana mungkin ia baru menyadari keindahan ini
setelah sekian lama. Bagaimana mungkin ia berani menjalani waktu lalunya untuk berkuliah sedangkan disinilah ia menemukan rumahnya.
Zahra, kemarilah& bisakah kau menggantikan bibi sebentar, ada tamu yang harus bibi temui, ujar ustadzah Aisyah pemilik panti itu. Zahra langsung terbangun
dari lamunanya dan dengan kikuk berjalan melewati anak-anak yang tengah mendengarkan penjelasan Raka tentang sifat-sifat Rasulullah. Nak Raka, tidak apa-apa
kan jika umi tinggal sebentar"
Iya umi tidak apa-apa, jawab Raka.
Kak Raka, hujannya sudah berhenti& bisakah kita melanjutkan menyanyi di luar lagi" Tanya Anisa, gadis Sembilan tahun yang begitu periang. Raka melirik
jendela di sampingnya sesaat. Dahulu kala, selalu ada Anna yang bersuara merdu yang menemani mereka bernyanyi bersama. Menegaskan keindahan kuasa Illahi
yang tak terkira. Astagfirullah, bisik Raka pelan membuat Zahra yang duduk beberapa meter di sampingnya menoleh. Ya tentu, lagi pula ini ada kak Zahra, dia tentu lebih
bisa menemani kalian bernyanyi di banding kakak, ujar Raka.
Tapi kak Raka harus tetap ikut. Lagi pula biasanya juga seperti itu. Kak Anna yang bernyanyi dan kak Raka yang memainkan gitar, protes seorang bocah
kecil berkoko kuning. Zahra memalingkan wajahnya ketika nama itu kembali disebut. Ia tidak pernah bertemu dengan wanita benama Anna itu, namun sepertinya
ia sudah lama mengenal Anna dari semua memori yang terlontar lantang. Sayangnya ia tidak pernah memahami, sepenting apakan sosok Anna untuk bintang-bintang
kecil itu. Biasanya jika sudah ada yang mengungkit nama Anna, suasana rindu akan menghampiri. Mendadak semua bintang itu memandang jemari mereka yang bertautan. Menahan
tangis yang selalu dibenci Anna.
Dibalik pintu Amy menutup mulutnya keras-keras agar isak tangis itu tidak terdengar. Hatinya sakit saat menyadari kerinduan bintang itu pada sang rembulan,
terlebih ia tidak pernah bisa melakukan apa-apa untuk mereka.
" " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " ""
Zahra menatap gelap dari jendala kamarnya yang terbuka. Berkali-kali ia menghela nafas panjang menenangkan gemuruh hatinya yang tidak menentu. Pribadi
kota nya yang sudah melekat membuatnya tidak bisa berfikir jernih. Berkali-kali ia mengusap lembut sampul buku yang beberapa hari lalu ia pinjam dari
Raka. Andai ia tidak pernah berkuliah di Jakarta, mungkin disini lah ia sejak 4 tahun yang lalu menemani bibinya mengasuh bintang-bintang itu. Andai ia tidak
pernah mengikuti kekerasan kepalanya untuk meninggalkan tanah kelahirannya dan merantau jauh ke kota metropolitan itu, mungkin namanya lah yang akan selalu
di sebut bintang-bintang itu. Andai ia mengikuti kata hatinya, mungkin namanyalah yang kini terukir di hati pemuda itu& dan andai saja semua perandaian
itu menjadi nyata& """"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" ***
Aminah tersenyum manis sebelum memasuki kamar putranya yang kosong. Meski ia merasa telah kehilangan sosok putranya, ia tetap bersyukur atas segala memori
itu. Anna memang bukan gadis biasa yang dapat dilupakan dalam hitungan bulan. Bahkan sejak dua tahun kepergiannya, Aminah masih bisa mendengarkan tawa
renyahnya ketika menceritakan tentang anak-anak panti kesayangannya. Kelembutan senyumannya dan kepedihannya&
Ibu& bisik Raka tertegun di belakang ibunya.
Hm& andai ibu bisa mendengar kembali suara tawa itu& ujar Aminah seraya menutup matanya.
Ibu, tidak baik berandai-andai, bisik Raka dingin. Aminah menghapus butiran air matanya dan berlalu pergi. Ibu& maafkan aku, batinnya perih."
*** sejak kedatanganmu 3 bulan yang lalu, bibi lihat kau jadi sering melamun. Apakah kau merindukan kota Jakarta itu nak" Tanya Aisyah. Zahra segera menutup
bukunya dan menggeleng pelan. Lalu apa yang kau lamunkan"
Entahlah bi, hanya pengandaian& jawab Zahra datar.
Zahra& Aku tau bi, hanya saja rasanya begitu menyenangkan jika semua pengandaian itu bisa menjadi nyata. Mungkin saat ini aku masih bisa bersama Ayah dan Bunda,
Zahra! Maafkan aku bi& bisiknya parau sebelum menangis di pelukan bibinya. Kenyataan pahit ketika kehilangan kedua orang tuanya telah meremukan pribadi muslimah
yang terbangun di dalam diri Zahra. Hingga akhirnya bibinya lah yang kembali membantunya berdiri seperti sedia kala.
Lebih baik esok kau pergi mengunjungi ayah dan bunda, bisik Aisyah lembut.
Tidak bisa bi& aku tidak bisa menahan malu untuk berhadapan dengan mereka, aku tidak bisa bi&
Kau bisa nak, kau adalah putri mereka. Mereka akan memaafkan segala kesalahanmu asalkan kau berubah,
Aku mengerti, """"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""***
Raka mengaguk patuh dalam keheningannya. Ia melirik sosok gadis cantik yang tengah mengajar kelas lukis sesaat, kemudian kembali tertunduk dalam.
Zahra adalah gadis yang baik dan terlahir dari keluarga yang baik pula. Umi mengenal orang tuanya sejak bertahun-tahun yang lalu hingga menganggap mereka
sebagai keluarga sendiri. Ketika lulus SMA Zahra bersikeras kuliah di Jakarta meski ayah dan bundanya memintanya kuliah di Bandung menemani umi mengurus
panti. Hingga akhirnya orang tuanya meninggal setahun yang lalu dalam sebuah kecelakan pesawat menghancurkannya begitu dalam.
Dia adalah gadis yang baik Ka. Umi tau itu, dia hanya kehilangan arah. Dan dia membutuhkan orang-orang seperti mu untuk menuntunnya kembali ke jalan yang
benar, Raka& bisakah kau kembali mencintai orang lain lagi""
Raka membetulkan letak kaca matanya. Wajahnya yang tampan kembali dingin seperti biasa. Senyuman langka yang dulu selalu tampak pun tak lagi terlihat.
Ka, tegur Arya yang tengah membawa setumpuk kitab. Aku rasa Zahra bukan pilihan yang buruk, ujarnya seraya melirik sosok cantik Zahra dari balik jendela
di samping Raka. Dia memang tidak secantik Anna, namun seperti Anna, diapun memiliki sebuah daya tarik yang menyenangkan, tambahnya seraya tersenyum.
Lagi pula sampai kapan kau akan menangisi wanita yang sudah menikah"
Pertanyaan itu seakan menohok dada Raka sebegitu dalamnya hingga untuk beberapa saat ia lupa bagaimana caranya bernafas. Kenyataan itu selalu membuatnya
melamun lama dan kosong. Kau mau kemana" Tanya Arya ketika Raka mengambil kunci mobilnya.
Ada perkumpulan ketua yayasan di Bogor, jawab Raka.
Hati-hati, Ya, asalamu alaikum, Walaikum salam, jawab Arya seraya menghela nafas panjang. Ia tau kata-katanya tadi begitu tidak pantas. Namun ia lelah melihat sosok sahabatnya yang
terus menerus terpuruk dalam lukanya untuk sang bunga.
"""""""""
Zahra menghentikan langkahnya ketika berpapasan dengan Raka yang berjalan kaku di hadapannya. Baru kali ini Raka melihat kedua mata indah itu dengan seksama.
Sesegera mungkin ia langsung menundukan kembali wajahnya. Maafkan aku Zahra& batinnya pelan seraya berlalu pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Tunggu, ujar Zahra cepat. Raka menghentikan langkahnya namun tidak menoleh. Kau akan kemana"
Bogor, perkumpulan ketua yayasan, jawab Raka sedingin mungkin.
Bisakah kau tidak pergi"
Adakah alasan untukku tidak pergi" dari sudut matanya Raka bisa melihat Zahra menggeleng perlahan. Aku akan kembali, ujar Raka akhirnya. Assalamu alaikum,
Walaikum salam, jawab Zahra serak.
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""***
Bintang-bintang tampak berkilauan meski tanpa rembulan yang menemani. Seorang kakek tua duduk menghadap langit dengan sebuah cerutu yang tak terhisap di
tangan kanannya. Mata rabunnya menatap jauh kebalik kelamnya malam.
Ayah, sebaiknya segera masuk, ujar seorang wanita paruh baya. Kakek tua itu mengaguk sekali dan kembali terpaku pada langit. Seakan tengah berbincang
dengan orang yang paling dikasihinya.
Luna, apakah aku salah" Tanya kakek tua itu parau.
Kita semua merasakan hal yang sama ayah, jawab putrinya pelan.
Luna, mungkin sudah waktunya kita menyerah,
Ayah, Sepertinya aku bisa melihat senyumannya di atas sana, bisik kakek tua itu terdengah lelah. Sontak saja wanita purh baya itu langsung menangis didekat
kursi ayahnya. Tanpa mereka sadari sepasang mata yang lain turut menitikan air matanya di balik sebuah pintu yang tertutup rapat.
Wajah cantiknya tampak pucat, mata sendunya kini kehilangan binar, hanya mengisakan sisa-sisa air mata kering di sekelilingnya. Ia membelai lembut wajah
tampan yang sama pucatnya dengannya, bahkan mungkin lebih pucat.
Kak, aku mohon& sadarlah, bisiknya parau. Ia menatap berbagai mesin canggih di samping ranjang suaminya yang kaku tak bergerak. Benda-benda tak bernyawa
itu tampak begitu berharga untuknya. Meski ia sadar tidak ada yang mampu mengubah takdir yang ada. Kak, aku minta maaf karena tidak bisa menjadi istri
yang baik untuk kakak, maaf& namun andai boleh meminta dan pasti dikabulkan, aku berjanji akan mengabdikan seluruh hidupku bersamamu,
Anna& Kakek, kita tidak boleh menyerah, Anna menangis sesenggukan di pelukan kakek tua itu.
Tidak pernah ada yang ingin menyerah Ann, bisik Luna dari balik pundak ayahnya. Dia putra ibu satu-satunya. Dia begitu baik hati dan penyayang, karena
itulah Tuhan mengirim istri sebaik dirimu untuknya. Terima kasih Ann.. dan maafkan ibu yang telah membawamu dalam lubang kesedihan ini,
Ibu, tidak& ini adalah jalanku& aku tidak pantas mendengar kata-kata ibu seperti itu. Kak Alan adalah suamiku, sudah seharusnya aku disini untuk menjaganya,
karena itu lah ku mohon kakek jangan menyerah dengannya saat ini& ku mohon,
Anna& Ku mohon, """"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""***
Ann, kau akan pergi" tanya Luna keesokan paginya ketika melihat sosok cantik itu tengah rapih dengan busana muslimahnya."
Iya bu, ini adalah yayasan milik kak Alan. Aku akan menggantikan posisinya untuk sementara,
Tapi ibu dengar ayah sudah mempercayakannya pada seseorang,
Syukurlah kalau begitu. Tapi bu, aku masih ingin mengetahui jalannya rapat secara langsung,
Baiklah kalau begitu, hati-hati,
Aku akan menemui ayah dan kakek di kantor seusai rapat, Assalamu alaikum,
Wa alaikum salam, ""Luna tersenyum tipis seraya melirik putranya yang masih terbujur koma. Kau mendapatkan hal yang terindah nak& sadarlah& bisik ibu
paruh baya itu perih."
*** Pertemuan ketua yayasan yang diadakan hari itu bertempat pada sebuah aula sekolah Internasional di kawasan Bogor. Pertemuan itu bertujuan untuk membahas
beberapa kurikulum sekolah yang kabarnya akan segera diganti. Sebagai wakil dari yayasan yang tengah berkembang, dengan serius Raka mengikuti jalannya
pertemuan itu. Sepertinya saya pernah bertemu anda, ujar seorang pria berkemeja biru muda yang duduk di samping Raka ketika pertemuan itu selesai. Raka berpikir sejenak.
Maaf, tapi saya tidak bisa mengingatnya, ujarnya penuh sesal. Pria itu terkekeh pelan. umurnya mungkin tidak terpaut terlalu jauh dengan Raka, ia memiliki
mata yang cemerlang dengan senyuman khas pemuda sukses yang menawan.
Itu bukan masalah, mungkin kita hanya tidak sengaja bertemu. Saya Raihan dari yayasan pondok pesantren Darul hifzi, ujarnya seraya mengulurkan tangannya.
Raka tersenyum dan menyambut jabatan tangannya, baru sedetik ia mengenal pemuda itu, namun rasanya ia sudah menyukainya.
Saya Raka, wakil dari yayasan Al-Farizi, ujarnya.
Ah, jadi anda pemuda yang fenomenal itu& Raihan berdecak kagum. Matanya melebar. Sebuah kehormatan bisa bertemu anda di sini, ujarnya, rasa senangnya
tampak begitu jelas dari wajahnya.
Anda berlebihan. Saya hanya mewakili pemiliknya.
Tapi anda melakukan perkerjaan itu dengan sangat baik. Dari yang saya dengar anda bisa membawa murid-murid anda ke perlombaan sains internasional yang
diadakan di Jepang 3 bulan yang lalu,
Itu sepenuhnya bukan karena saya. Itu karena usaha anak-anak yang selalu giat mempelajari hal baru dan tenaga pengajar yang luar biasa, bisik Raka. Raihan
mengangguk dan menepuk bahu Raka perlahan.
Saya benar-benar merasa terhormat bisa bertemu anda di sini. Kita akan bertemu lagi, segera. Ujarnya. Raka mengernyit namun tidak melontarkan rasa herannya.
Bahkan hingga akhirnya pemuda itu mengucap salam dan berlalu pergi. Raka hanya terdiam sambil menggeleng heran.
Raihan tersenyum tipis sambil terus menatap hujan dari balik jendela di kantornya. Kemudian senyumannya melebar ketika mendengar ketukan dan suara lembut
yang mengucapkan salam di pintunya. Siluet gadis itu sedikit tetlihat dari jendela di hadapan Raihan, hingga mau tidak mau ia menoleh untuk membalas salam
kakak iparnya. Kau terlambat, bisik Raihan dingin. Anna tidak menjawab. Tapi kau tidak perlu kawatir. Ibu benar, kakek sudah mempercayakan yayasannya kepada orang
yang tepat, tambahnya seraya bangkit dari kursinya. Mau kopi" tanyanya.
Tidak, terima kasih. Jawab Anna pelan. lagi-lagi Raihan menunjukan senyuman miringnya yang menawan. Ia berjalan perlahan mengitari kantornya yang lebih
tampak seperti perpustakaan canggih dengan rak-rak buku di setiap sisi dindingnya, dan furniture terbaru yang berwarna silver dan hitam. Aku harus segera
pergi. Aku ingin bertemu dengannya, ujar Anna. Raihan menaikan sebelah alisnya, rahangnya sedikit mengeras.
Bukankah sudah ku katakan bahwa ia adalah orang yang baik. Apa kau tidak percaya padaku" tanyanya santai, namun Anna bisa merasakan nada sinis yang tersamarkan
dari suaranya. Maafkan aku, aku harus segera pargi, ulang Anna dan beranjak dari kursinya. Raihan tersenyum sarkastis. Matanya menyipit sambil terus menatap hujan yang
semakin membesar. Terserah kau, balasnya datar. Anna menghela nafas panjang dan berlalu dari ruangan itu dengan sebuah salam yang tak terjawab.
Raihan masih menyipit menatap hujan ketika pintu itu tertutup perlahan dari luar. Ia menggumamkan gerutuan pelan, melupakan salam yang harusnya ia jawab.
Matanya nanar menatap plang besar bertuliskan sekolah internasional yang ia bangun dari nol tanpa bantuan siapapun sebagai selingan dari pekerjaannya sebagai
direktur dari perusahaan baja terbesar di kawasan Anyer. Namun sepertinya tulisan sekolah internasional itu perlahan terhapus oleh hujan, terhapus begitu
saja seperti eksistensi dirinya di hati keluarganya.
Anna mendesah dan melirik jam tangannya. berkali-kali ia berdoa agar ia tidak terlambat dan menghilangkan kesempatan bertemu dengan wakil yang ditunjuk
kakeknya untuk menggantikan suaminya selama setahun belakangan ini.
Ibu Anna, panggil seorang wanita berkerudung peach. Anna menghentikan langkahnya dan menoleh. Kemudian ia tersenyum pada gadis itu. Saya pikir ibu tidak
jadi datang. Saya sudah mengatakan pada pak Raka jika ibu ingin bertemu dengannya, ujar gadis itu. Anna mengerutkan keningnya, sebelah alisnya sedikit
terangkat. Pada siapa" tanyanya ingin tahu. Gadis yang kerap di panggil Nila itu mengangkat wajahnya dan menatap sosok cantik di hadapannya dengan heran.
Pada pak Raka, wakil yang di tunjuk pak Darmawan, jawab Nila. Nah itu dia pak Raka, ujarnya lagi seraya tersenyum santun pada sosok jangkung berkemeja
abu-abu. Anna masih mengerutkan keningnya, mencoba mencerna kata-kata gadis di hadapannya ketika dengan lantang gadis itu memanggil sosok tampan yang begitu familiar
dengan dirinya. Entah disadari atau tidak, matanya membulat menatap sosok itu, entah mengapa ia merasa seperti baru saja terlepas dari ikatan tali temali
yang begitu menyesakan, hingga rasanya ia bisa kembali menemukan udara yang menyegarkan ketika matanya menatap sosok yang tengah mematung beberapa meter
di hadapannya. Senyumannya perlahan terukir, matanya sedikit kabur karena genangan air mata yang menutupinya. Kerinduannya kepada pemuda itu menyesakan
hatinya. Ia ingin berlari kepadanya, menyentuh wajahnya, memastikan bahwa sosok itu memang nyata, sosok itu bukan sekedar sosok yang hadir di mimpi-mimpi semunya.
Ia ingin menghampirinya, mengutarakan kerinduannya, mengutarakan rasa cintanya yang selama ini tak tersentuh.
Namun, rasa dingin dari benda berkilau yang melingkari jari manisnya seakan membekukan langkahnya, menohok jantungnya, menghancurkan kepala dan seluruh
angan semunya, mengguyurkan air garam pada lukanya yang tidak pernah mengering.
Ibu Anna. Panggilan gadis itu mengembalikan Anna pada kesadarannya. Perkenalkan, ini adalah pak Raka. Orang yang ditunjuk langsung oleh Pak Darmawan
untuk menggantikan pak Alan, ujarnya. Anna mengatupkan kedua tangannya, mengucapkan salam dalam diam. Tubuhnya kaku karena gejolak hatinya.
Senang akhirnya bisa bertemu anda ibu Alan, ujar Raka dingin. Anna merasakan tubuhny mulai kembali terpilin ketika mendapati tatapan dingin dari pemuda
di hadapannya. Sebisa mungkin ia mempertahankan matanya tetap awas, berkali-kali ia menarik nafas untuk menenangakan gemuruh hatinya. Ia tidak boleh menangis,
tidak boleh menangis karena hal itu.
Ia benar-benar merasa muak atas dirinya sendiri, bagaimana mungkin ia masih bisa merasakan sakit yang teramat dalam ketika bertemu dengan pemuda itu. bagaimana
mungkin setelah dua tahun lamanya perasaannya tidak pernah hilang"" Bagaimana mungkin""
Saya permisi dulu, ujar Nila seraya menginggalkan kedua atasannya di lorong gedung serbaguna yang sepi itu.
Ayo kita duduk di& Tidak! potong Anna cepat, bahkan mungkin terlalu cepat hingga membuat Raka tertegun menatapnya. Maksudku& kita tidak& mempunyai& banyak waktu& tambahnya
terbata-bata. Wajah Raka mengeras, tatapannya dingin dengan tangan yang terkepal.
Aku mengerti, ujarnya seraya bersandar di dinding. Matanya menatap lurus kedepan, berusaha sebisa mungkin mengalihkan pandangannya dari sosok cantik
di sebelahnya. Apa kabarmu" Tanya Anna mencoba memecah kekakuan diantara mereka.
Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu dan suamimu" tanyanya. Anna memalingkan wajahnya sesaat. Dengan susah payah menjaga air matanya agar tidak jatuh.
Aku baik-baik saja, dan pernikahanku luar biasa indah. Anna menggigit bibir bawahnya hingga amis itu terasa memenuhi indra pengecapannya sebelum kembali
berbicara. Alan adalah suami yang sangat baik. Tambahnya dengan suara pelan. Ia tidak tau apa yang sedang dilakukannya. Namun jiwanya yang terluka karena
penolakan Raka beberapa tahun yang lalu membuatnya ingin mengatakan semua itu.
Syukurlah kalau begitu. Aku bahagia atas kebahagiaanmu, bisiknya pelan. Wajahnya masih membeku dengan goresan mimik yang tak terbaca.
Terima kasih, jawab Anna. Sepertinya waktu kita sudah habis, bisik Anna. Raka membeku di sampingnya.
Aku pikir kau ingin membicarakan tentang yayasan, ujar Raka setenang mungkin. Anna tersenyum dan menggeleng.
Sepertinya sudah tidak perlu. Aku percaya pada keahlianmu, ujar Anna dengan senyuman manisnya. Raka hanya terdiam. Lagi pula, aku harus segera pergi&
Assalamua alaikum& Walaikum salam, jawab Raka. Anna mengangguk sekali kemudian berlalu pergi secepat mungkin. Ia sudah tidak tahan dengan desakan air mata yang memenuhi
pelupuk matanya. Ia sudah tidak tahan dengan gemuruh hatinya yang seakan memaksanya mendobrak pertahanannya. Ia sudah tidak tahan dengan semua itu&
Anna memaki dirinya sendiri. Merasa nista karena kelakuan dan perasaannya. Ia sudah bersuami, namun bagaimana mungkin ia masih memiliki perasaan itu untuk
pria lain"" Terlebih lagi, pria itu adalah pria yang menolaknya beberapa tahun yang lalu.
Raka menatap kepergian gadis cantik itu dalam diam. Telapak tangannya mulai terasa keram karena terus terkepal kuat, namun rasanya itu tidak bisa menahan
perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya.
Berkali-kali ia beristigfar, memohon ampun pada sang Khalik atas perasaan yang ia miliki. Namun iapun hanyalah manusia biasa, yang tidak bisa menghapuskan
rasa cintanya pada sang bidadari.
Raka melemparkan tinjunya dengan keras kedinding di belakangnya. Baru kali ini ia lepas kendali, dan benar-benar tidak bisa berdiri dengan kewarasannya.
Ia memaki dirinya sendiri yang dulu selalu menutup mata akan kisah pernikahan sang bidadari. Bahkan dengan angkuhnya ia tidak pernah membca nama yang bersanding
dengan nama Anna di kartu undangan pernikahannya.
Pernikahan, ya. Wanitanya kini sudah menikah. Betapa bodohnya ia masih mencintai wanita itu. betapa bodohnya&
Dengan perlahan Raka berjalan keluar dari gedung serbaguna itu. Matanya masih nanar menatap jalanan. Dengan susah payah ia mengucap tasbih untuk kembali
mengembalikan kewarasannya. Namun entah mengapa ia tetap tidak bisa menahan setetes air mata yang mengalir begitu saja.
Ini tidak tidak boleh terjadi. Aku harus menghapus semua rasa itu. Dia sudah menikah, dan dia bahagia. Aku harus menghapuskan rasaku, harus, meskipun dengan
begitu aku harus memusnahkan diriku sendiri.
*** Aminah mengerutkan keningnya ketika mendengar suara aneh dari kamar putranya. Ia mendekatkan wajahnya ke pintu kamar itu, mencoba mendengar lebih jelas
lagi suara itu. Aminah mendesah tidak percaya dengan apa yang ia dengar, namun kemudian perasaan khawatirnya lebih besar dari pada perasaan lain yang berkecamuk
dalam benaknya. Brak. Aminah membuka pintu kamar putranya dengan cepat. Mata tuanya membulat ketika mendapati sosok putranya tengah menangis di atas sajadahnya. Raka&
bisik Aminah pelan. Raka masih tertunduk, tampak khusuk dengan perbincangannya dengan sang Kuasa. Aminah menggeleng perlahan, kemudian berjalan mengahmpiri
putranya. Raka adalah pria yang kuat, ia bahkan mampu berdiri dengan kakinya sendiri sejak kecil. Ia adalah pria yang tangguh. Namun siapa sangka jika
ternyata ia pun bisa menjadi serapuh itu ketika di hadapkan degan kata klise bernama cinta itu.
Raka& Aminah menyentuh pundak putranya dengan perlahan. ia tidak memiliki keahlian apapun, namun ia adalah ibu dari pria yang tengah menangis di atas
sajadahnya itu, tanpa bertanyapun ia tau jika air mata itu tercipta karena sang bunga yang hilang entah kemana. Raka tenanglah, bisiknya pelan.
Maafkan aku ibu, bisik raka pelan. Betapa bejatnya aku karena mencintai wanita yang sudah bersuami. Betapa terkutuknya aku&
Ssstt& Raka& Aminah memeluk bahu putranya, menawarkan ketenangan yang ia sendiri tidak miliki. Mata tuanya sudah basah karena air mata yang selama ini
selalu ia sembunyikan dari putranya. Ibu mengerti. Kau memang salah, namun tidak ada yang bisa kau lakukan selain menghentikannya.
Tapi bagaimana bu" Aku tidak tau& Raka kembali mengepalkan jemarinya, merasa kesal pada dirinya sendiri.
Cintailah gadis lain. Menikahlah dengan gadis lain, dengan Zahra. Aminah menekankan seluruh kata-katanya. Ia bisa merasakan tubuh putranya menegang di
dalam dekapannya. Namun ia tidak tau apa lagi yang ia harus lakukan. Cinta itu terlalu besar diantara mereka. dan akan semakin besar di setiap harinya.
Aisah memutar-mutar kuasnya dengan malas. Malam semakin larut dan ia masih terduduk di beranda lantai dua gedung pantinya. Sudah tiga kanvas yang ternoda,
namun masih belum ada satu lukisanpun yang tercipta. Padahal esok hari ia sudah harus menyerahkannya untuk perlombaan seni lukis antar propinsi.
Kamu belum tidur nak" Tanya ummi ketika melihat salah satu putri pantinya masih bersikukuh dengan kuasnya.
Belum ummi, Aisah masih memikirkan untuk lukisan besok, Aisah tidak tau harus melukis apa.
Apa yang ada dalam pikiranmu" Tanya ummi pelan. Gadis berumur 8 tahun itu terdiam sejenak, mata jernihnya menerawang jauh ke dalam kelamnya malam.
Kebingungan, kegelisahan, ketakutan, kekhawatiran, dan kerinduan, jawab Aisah pelan. Ummi tertegun sejenak, ditatapnya gadis mungil itu dengan takjub,
sebuah jawaban yang benar-benar di luar dugaannya.
Kerinduan" Pada siapa, atau pada apa"
Kak Anna& jawabnya pelan sekali. Seketika itu juga ia langsung menundukan wajahnya, mencoba menyembunyikan air matanya yang tiba-tiba tergenang. Ummi
membelai kepala gadis itu dengan lembut.
Kalau begitu mengapa kamu tidak melukisnya, usul ummi, mata Aisah membulat, bibirnya melengkung hendak protes. Kalau kamu tidak bisa melukisnya, kamu
bisa menggambarkan sesuatu yang menurutmu bisa menggambarkan keindahannya, tambah ummi. Aisah terdiam, matanya menerawang jauh seakan mencoba untuk meraih
sosok yang sudah lama menghilang dari hadapannya. Kemudian ia kembali, dengan senyuman manis ia mengangguk pada ummi. Ummi membalas senyumannya dengan
sebuah anggukan tulus. Ia membelai kepala gadis itu dengan perlahan sebelum berlalu pergi.
*** Rumah besar itu tampak begitu kosong dan sunyi. Hingga yang terdengar hanyalah detakan jarum jam yang membisu dan suara dari monitor jantung di sebuah
kamar bernuansa biru laut. Sebuah ranjang besar bersprai putih menjadi satu-satunya benda yang memang sewajarnya berada di kamar tidur. Sedangkan benda-benda
dan peralatan lainnya menunjukan sisi rumah sakit yang mulai terasa familiar di rumah itu. Suasana hari itu begitu sepi, hingga rasanya siapapun bisa mendengar
suara tetesan cairan infusan yang tergantung di sisi kiri sosok tampan yang tengah terbujur tak berdaya itu.
Seorang gadis cantik berkerudung peach tampak berdiri di ambang pintu. Ia menyandarkan kepalanya di daun pintu yang terbuka setengah. Tangannya menggenggam
erat pegangan pintu, matanya terus menatap sosok tampan itu dengan perih.
Terkadang hidup memang memberikan sebuah pilihan yang sulit,
Anna hampir saja terjatuh karena terkejut. Buru-buru ia menegakan tubuhnya dan bergeser sedikit untuk memberikan jalan kepada sosok dokter tua yang sudah
dua tahun ini mengurus suaminya. Dokter itu berjalan perlahan melewati Anna, kemudian berhenti di samping ranjang Alan. Ia memeriksa selang infusan dan
beberapa hal lainnya dengan teliti. Dibelainya wajah pemuda itu dengan penuh kasih. Mata tuanya tampak menyiratkan kelelahan yang teramat sangat.
Ia pemuda yang baik. Aku mengenalnya sejak ia baru bisa merangkak. Saat itu, sahabatku sangat bahagia karena mendapatkan cucu pertamanya. Ia terus memotretnya,
kemudian mengirimkannya padaku yang ketika itu masih berada di Amsterdam untuk melanjutkan studiku. Aku begitu iri kepadanya karena memiliki cucu setampan


Cahaya Cinta Karya Cherry Aslan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Alan. Alan adalah sosok yang begitu baik, pemuda yang berbakti, dokter tua itu melepaskan kaca matanya yang berembun. Aku juga menyayanginya Nak, Harun
menoleh lemah kepada gadis yang masih terpaku di sudut kamar. Wajahnya yang cantik tampak pucat, begitu berbeda dengan warna peach indah yang ia gunakan.
Kami semua menyayanginya& namun karena itulah kita tidak bisa terus menahannya, bisik dokter itu. Dan setetes air mata menjadi jawaban atas perkataan
sang dokter. Ta& tapi dia suamiku& bisik Anna tercekat. Ia akan sadar dok& Anna mengepalkan kedua tangannya dengan begitu kuat, berharap bisa menahan sesak yang
mendadak menyelimuti dadanya.
Anna, sudah dua tahun&
Apa dokter menyerah" Tanya gadis itu cepat. Wajah tua Harun memucat. Ia memalingkan wajahnya. Apa dokter menyerah pada kesembuhan suamiku" ia melangkah
perlahan. kemudian berdiri beberapa langkah di hadapan ranjang suaminya.
Tapi ini hanya menyakitinya Anna, kita harus mengikhlaskannya, ujar dokter itu tanpa menatap wajah sendu sang gadis.
Anna menyentuh kaki suaminya dengan perlahan. Memijitnya dengan lembut, matanya menatap wajah yang membeku itu dengan perih. Hanya sedikit kenangan yang
ia miliki bersama suaminya. Betapa bodohnya ia, betapa naifnya ia. Andai ia tau akan seperti ini jadinya, ia tentu tidak akan pernah menyia-nyiakan sosok
Alan yang mencintainya dengan sangat tulus.
Tidak ada satu orang pun yang menyerah Anna. Hanya saja, kami semua menyayangi Alan& bisik dokter itu sebelum berlalu dari kamar Alan. Anna berjalan
kesisi ranjangnya, mengecup lembut keningnya, menghujaninya dengan air mata yang seakan tidak pernah mengering dari mata indahnya.
Apa kakak sudah tidak bisa bertahan lagi" Apa kakak akan pergi meninggalkanku" Tanya Anna. Ia menggenggam erat jemari suaminya. Sudah dua tahun lamanya
ia hanya berbincang dengan kebisuan. Menutupi kenyataan yang hadir di hadapannya, mencoba meyakini diri sendiri bahwa suatu hari nanti sosok itu akan kembali
membuka matanya dan memeluknya dengan penuh kasih.
Kakak& kalau memang kakak harus pergi aku ikhlas, bisik Anna perih.
*** Hujan di luar sana masih begitu deras. Namun keceriaan di dalam panti itu tidak pernah berkurang. Mereka bersorak riang ketika Raka datang dengan satu
mini bus yang akan membawa beberapa dari mereka untuk mengikuti lomba lukis antar propinsi di sebuah pondok pesantren modern di kawasan Bogor."
Aisah tersenyum senang ketika mendengar decakan kagum dari teman-temannya akan lukisannya.
Ini adalah gambaranku akan sosok kak Anna, ujarnya polos ketika Amy menanyakan lukisannya. Amy tercekat sejenak, namun dengan cepat ia langsung kembali
menunjukan wajah normalnya, dengan susah payah ia menyembunyikan kesedihannya.
Zahra, bisakah kau membereskan berkas-berkasnya. Aku harus pergi sebentar. Ujar Amy. Zahra yang sedari tadi hanya menonton tawa anak-anak itu di sudut
ruangan langsung mengangguk.
Amy berjalan mengitari ruang tamu itu, langkahnya sedikit tergesa seakan mengejar waktu. Jangan hubungi ia! desis Raka pelan ketika Amy berjalan melewatinya.
Sosok itu mengejang di sampingnya. Berhenti tepat di samping Raka yang berdiri mengahadap anak-anak itu. wajahnya masih menampakan sebuah senyuman, namun
matanya tampak gelap. Amy menatapnya tidak percaya.
Kau mungkin tidak memiliki perasaan. Tapi anak-anak itu merindukannya. Bisik Amy dingin. Anna adalah bagian dari mereka. tambahnya. Wajah tampan Raka
tampak mengeras. Senyumannya mendadak hilang.
Dia tidak akan datang, bisik Raka pelan namun begitu menusuk sebelum berlalu untuk membantu anak-anak itu memasukan barang-barang mereka ke dalam bus.
Amy terdiam di tempatnya, masih terpaku dalam rasa terkejutnya akan pribadi lain dari sosok sahabatnya.
*** Aku tidak akan pergi. Bisik Anna pelan. Wanita paruh baya yang berdiri di depan kamar putranya itu terdiam, tangannya masih menggenggam telepon parallelnya.
Ia menatap perih sosok putri cantik yang tengah menggenggam erat jemari putranya.
Ia tidak akan bangun Anna.
Deg& Anna merasakan tubuhnya terhempas ke pelataran karang yang begitu dalam dan tajam. Mengoyak seluruh jiwa dan raganya dalam satu hempasan.
Ibu& bisiknya perih tak percaya. Wanita itu sendiri tampak tercekat, matanya mulai kabur. Ia seakan baru tersadar dengan apa yang ia katakan. Air matanya
mulai mengalir perlahan. Ibu minta maaf& bisiknya perlahan.
*** Sejak kecil Anna sudah bermimppi untuk menjadi seorang guru. Ia mencintai sosok-sosok dengan berbagai pribadi unik yang selalu menghiasi harinya. Dan beruntungnya
ia memiliki orang tua yang mengajarinya berbagai macam hal yang mampu menuntunnya menjadi pribadi yang begitu menawan.
Siapapun mengenal sosok Anna, gadis cantik putri tunggal dari kyai Faqih yang terkenal akan kedermawanannya. Namun toh pada akhirnya, Anna terpaksa berdiri
sendiri saat ini, bahkan meskipun ia sudah berstatus menjadi istri seorang pria asal Jakarta bernama Alan itu.
Anna menggenggam erat tas tangannya. Matanya melebar melihat keramaian di hadapannya. Keramaian yang begitu familiar, seperti yang dulu selalu ia lihat
di pondok pesantren ayahnya. Bibirnya tersenyum perih ketika kembali menemukan sudut memorinya akan sang ayah. Rasa cintanya seakan tidak pernah berhenti
meskipun kedua orang tuanya sudah berlalu meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Ia melangkah perlahan, melewati beberapa mobil yang di parkir sampai keluar gerbang besar karena terlalu ramai. Dengan perlahan ia menelusuri jalan besar
yang membawanya langsung ke Gedung serba guna di jalan utama. Ada beberapa saung di setiap sisi jalannya, lengkap dengan pohon manggis dan mangga sebagai
peneduh. Suasana lapangan di depan gedung serba guna itu sudah ramai. Ada sekitar 40 anak yang tengah sibuk dengan kanvas dan kuas mereka masing-masing.
Orang-orang yang lainnya berdiri seakan memagari sang pelukis kecil, mereka berbisik-bisik tanpa mengalihkan pandangannya pada utusan mereka masing-masing.
Tiba-tiba mata indah Anna berhenti pada sosok berbusana Pink di sudut kiri lapangan itu. wajah mungil itu tampak begitu fokus dengan lukisannya. Keningnnya
berkerut, matanya menyipit ketika dengan hati-hati ia menyentuhkan kuasnya ke kanvas. Anna merasakan hatinya mulai terpilin. Ia begitu merindukan panti
asuhan yang selama ini ia jadikan tempatnya untuk belajar banyak hal. Mereka anak-anak yatim piatu, mereka mengajarkan banyak pelajaran hidup pada Anna,
seakan mempersiapkan dirinya sendiri ketika akhirnya ia harus berdiri sendiri di dunia ini, tanpa kedua orang tuanya.
Seakan merasa diperhatikan, kepala mungil Aisah menoleh perlahan. Matanya menyipit menatap kerumunan orang yang berdiri melingkari lapangan itu. ia tidak
tau siapa yang ia cari, namun hati kecilnya yang polos tampak terketuk untuk terus mencari.
Anna menahan nafasnya ketika sosok itu menoleh. Baru saja ia akan melambaikan tangannya untuk mendapatkan perhatian gadis mungil itu, namun seseorang terlebih
dahulu menarik tubuhnya keluar dari barisan penonton itu. Anna terlalu syok hingga tidak sempat memberontak. Bahkan hingga akhirnya mereka sudah jauh dari
kerumunan itu ia masih terdiam dengan kerutan di keningnya.
*** Zahra tidak mengenal gadis itu, dan ia merasa tidak perlu mengenalnya. Sosok aneh yang sejak kedatangannya hari itu sudah menjadi musuh dalam hatinya.
Zahra membenci seluruh hal yang berkaitan dengan gadis itu. Ia membenci kepedihan yang muncul setiap kali bocah-bocah di hadapannya membicarakan sosok
itu. Ia membenci binar indah yang terpancar dari mata Raka setiap kali mengenang sosok itu. ia bahkan sangat membenci senyuman sendu bibinya sendiri ketika
menceritakan sosok itu. Sosok seorang Anna yang tidak pernah ia temui sebelumnya. Sosok yang ia anggap sebagai perebut cinta dari orang-orang di sekelilingnya.
Zahra tidak mengenal Anna. Namun ketika ekor pandangannya menangkap sosok anggun yang berjalan perlahan di antara mobil itu hatinya terasa jatuh berkeping.
Sosok itu begitu cantik dalam balutan gaun muslimahnya. Matanya tampak sendu dan lembut. Kulitnya begitu halus, hingga rasanya ia ingin menyentuhnya. Bibirnya
yang indah tidak tersenyum, namun jelas membuat orang yang melihatnya ingin terus tersenyum. Anna begitu cantik, lebih cantik dari pada yang mereka katakan.
Ia begitu menawan, bagai seorang putri lemah lembut yang memiliki berjuta cahaya indah.
Entah mengapa saat itu juga ia merasakan dadanya sesak menahan tangis, di liriknya sosok tampan di sampingnya yang masih fokus pada gadis kecil berbusana
pink jauh di hadapan mereka. Ia mulai merasa takut. Takut jika semuanya akan kembali menoleh pada sang bidadari, terlebih ketika ia menyadari bahwa sosoknya
tidak mungkin bisa menggantikan sosok cantik sang bidadari di hati siapapun.
Kau mau kemana" Tanya Raka ketika Zahra beranjak dari tempatnya.
Ke toilet. Jawab Zahra datar, kemudian berlalu pergi begitu saja. Ia bisa menangkap keheranan dari sorot mata sosok di belakangnya. Namun ia sudah tidak
memiliki banyak waktu untuk membuat kebohongan lain yang mungkin lebih masuk akal.
Zahra tercekat ketika sosok cantik itu masuk ke dalam kerumunan penonton. Dengan cepat ia meraih tangan halus Anna, tepat sebelum gadis itu melambaikan
tangannya untuk mengambil fokus Aisah.
*** " Kau Anna" Anna mengerutkan keningnya ketika mendengar pertanyaan yang terlontar dari bibir gadis cantik di hadapannya.
Iya, apa saya mengenal anda" Tanya Anna hati-hati. Darah Zahra kembali berdesir. Suaranya bahkan begitu lembut dan indah. aroma tubuhnya yang begitu
harum dan menyegarkan membuat Zahra hampir saja terbuai karenanya.
Aku Zahra, ini pertama kali kita bertemu, ujarnya setenang mungkin. Aku yang menggantikan posisimu di panti, ketika kau meninggalkan panti dan anak-anak
itu begitu saja, tuturnya. Anna tercekat sejenak. Mata indahnya sedikit menyipit.
Aku tidak meninggalkan mereka begitu saja, bisik Anna dengan kerutan di keningnya. Aku
Ya, aku tau. Potong Zahra cepat. Tapi Anna, dengarlah. Jika kau datang hari ini untuk kembali meninggalkan mereka, maka aku akan menghalangimu, ujarnya.
Anna menggeleng tidak mengerti. Kau tau, selama dua tahun ini mereka berusaha bangkit tanpa dirimu. Berusaha kembali menjalani kehidupan mereka, kehidupan
panti itu. Dan aku tidak ingin setelah dua tahun yang melelahkan itu semuanya akan kembali rusak hanya karena kau menunjukan dirimu, meski hanya sedetik
saja, Anna terdiam. Matanya menatap bebatuan yang melapisi aspal di jalan utama. Mungkin dirimu tidak pernah merasakannya. Zahra menarik nafas dalam-dalam
sebelum kembali berbicara. Kau tidak pernah merasakan bagaimana sakitnya ketika kau ditinggalkan oleh orang-orang yang kau sayangi. Kau tidak pernah tau
bagaimana perihnya. Kehidupanmu sudah bahagia, kau sudah menikah dan memiliki keluarga yang sempurna. Tidak bisakah kau berhenti mengganggu kehidupan mereka.
ini akan menjadi semakin sulit ketika akhirnya kau kembali pergi untuk meninggalkan mereka lagi&
A& aku& Anna, pergilah. Bukankah kau sudah bahagia dengan keluargamu. Demi Tuhan, kau sudah menikah. Tidak bisakah kau pergi dari kehidupan anak-anak itu, pergi
dari kehidupan Raka. Berhenti menyakitinya. Ku mohon& suara Zahra begitu lirih. Begitu pelan penuh dengan kepedihan. Anna tersenyum tipis, kemudian mengangguk.
Mata indahnya tampak meredup.
Kau benar, maafkan aku. Tidak seharusnya aku datang. Bisik gadis itu pelan.
Maafkan aku, ujar Zahra.
Tidak. kau tidak perlu meminta maaf, justru aku sangat berterima kasih karena kau telah mengingatkanku. Terima kasih Zahra, bisiknya lagi sebelum berlalu
pergi. Zahra menatap kepergian gadis itu dalam diam, hatinya terasa lega sekaligus perih. Anna memang gadis yang istimewa, ia begitu sempurna baik fisik
maupun hatinya. Ia tentu bahagia dengan kehidupannya, tidak seperti kehidupannya yang berantakan.
*** Zahra! panggilan itu tidak hanya membekukan tubuh Zahra, namun juga sosok gadis cantik yang berada tidak jauh dari sana. Ia menghentikan langkahnya untuk
sesaat, hatinya kembali terpilin perih karena ingin berbalik, dan sekedar melihat wajah sahabatnya. Namun kata-kata Zahra kembali terngiang di telinganya,
hingga ia hanya tertunduk dan kembali melanjutkan langkah tertatihnya.
Raka" Zahra sedikit kikuk.
Aku mencarimu, ujar Raka pelan. Zahra menggigit bibir bawahnya, berpikir dengan keras alasan apa lagi yang akan ia berikan. Aku lihat tadi kau sedang
berbicara dengan seseorang"
Ah, bukan siapa-siapa. Aku pikir aku mengenalnya, tapi ternyata aku salah orang, jawab Zahra setenang mungkin. Raka mengernyit, namun ia tidak mempertanyakan
lagi hal itu. Ia hanya mengangguk dalam diam. Ada apa" Kenapa kau mencariku"
Hana mencarimu, dia akan tampil sebentar lagi,
Zahra memaki di dalam hatinya. Bagaimana mungkin ia bisa lupa kalau ia harus menghias kerudung Hana sebelum tampil pada perlombaan puisi sebentar lagi.
Ayo kita pergi, ujarnya seraya berjalan mendahului Raka yang masih terdiam di tempatnya, matanya menyipit ketika menangkap bayangan sosok anggun di ujung
jalan utama itu. Namun secepat kilat ia menggeleng dan menertawakan dirinya sendiri, sepertinya setelah kejadian hari itu, semua gadis di matanya akan
berubah menjadi sosok bidadari yang menawan hati itu.
*** Semuanya sudah beres pak, ujar seorang pemuda berkemeja coklat pelan. Sosok angkuh yang duduk di balik meja itu berdeham pelan. Ia terus memandang keluar
jendela, tangannya saling bertautan, wajahnya yang tampan berhias senyuman miringnya yang khas, begitu mempesona dan sinis. Pemuda berkemeja coklat itu
mengangguk penuh hormat sebelum berlalu pergi dari ruangan mewah yang terkesan kelam itu.
Dihadapan pemuda itu sebuah berkas tentang sekolah-sekolah berbasis agama islam tampak menumpuk dengan sangat rapih. Ia mendengus jijik sebelum berjalan
ke bar kecil di sisi lain kantornya. Ah& waktu yang sangat tepat untuk merayakannya. Batinnya dengan kepuasan yang tak dibuat-buat. Dengan perlahan ia
menuangkan sebotol wine ke dalam gelasnya, menyesapnya perlahan. Kemudian kembali tersenyum mencibir pada kenangan masa kecilnya.
Tok tok tok. Wajah tampannya menoleh pada pintu ketika ia mendengar ketukan itu.
Pak Reynaldi, Mr. Chad sudah datang, ujar sekretarisnya. Senyuman pemuda berkemeja hitam itu semakin melebar. Ia mengangguk sekali, kemudian mengayunkan
gelas kristalnya pada wanita itu, memintanya pergi.
Sempurna sudah semua rencananya. Lelaki tua itu tidak akan bisa berkutik. Ia akan melihat bahwa kekuatannya dalam dunia pendidikan akan segera runtuh perlahan-lahan.
Dan mereka akan mengakui kekuatannya. Ya, mereka akan mengakui kemampuannya, dalam mendapatkan apapun yang ia inginkan.
Pemuda itu menghentikan langkahnya ketika melewati lorong panjang yang berdindingkan kaca tebal. Matanya melebar ketika melihat kerumunan orang-orang di
lapangan depan gedung serba guna. Jemarinya terkepal, namun senyumannya masih begitu sinis, mencemooh gadis-gadis kecil yang tengah terpaku pada kuas dan
kanvas mereka. Tersenyum mengejek pada binar indah yang terpancar dari mata-mata penuh harap itu, semuanya itu hanya mimpi. Dan mimpi hanyalah mimpi. Kekuasaan
adalah segala-galanya. Berkali-kali ia mengucapkan kata-kata itu di dalam hatinya, kemudian berlalu pergi menuju ruang rapat tidak jauh dari ruangannya.
Namun sedetik kemudian langkahnya kembali terhenti ketika tidak sengaja ia melihat sosok anggun yang berjalan diantara mobil-mobil di jalan utama. Ia mengernyit
dan kembali menoleh. Jantungnya berdebar kencang ketika menyadari sosok itu, terlebih ketika ia melihat getaran di bahu sang gadis, yang menunjukan isakannya
yang tertahan. Pemuda itu menelan ludahnya dengan susah payah, secepat kilat ia berbalik menuju lift.
Pak Reynaldi pertemuannya& pekik Melisa ketika melihat atasannya masuk kedalam lift.
Batalkan. Jawab pemuda itu sebelum pintu lift tertutup. Melisa terpaku dalam keterkejutannya, kemudian dengan kikuk menoleh pada sosok berambut pirang
yang berdiri di depan pintu ruang rapat.
Raihan reynaldi. Bisik pria paruh baya itu pelan, wajahnya menunjukan sebuah ekspresi yang tak terbaca. Namun Melisa tau ini tidak akan menjadi awal
yang baik untuk atasannya.
*** Tunggu! pekik Raihan sesaat sebelum Anna memasuki mobilnya. Baik Anna maupun Rudi sang supir langsung menoleh padanya. Ikut denganku, ujar Raihan seraya
meraih pergelangan tangan Anna. Anna mengerutkan keningnya pada pemuda itu.
Tuan muda, tegur sosok paruh baya yang masih berdiri di samping pintu Anna. Tuan besar tidak mengizinkan anda menemui nona Anna, tuturnya, namun pemuda
bermata tajam itu tidak menggubrisnya. Tatapannya terkunci pada mata indah gadis di hadapannya.
Ikut aku. Ulangnya lebih pelan namun penuh penekanan.
Raihan" Anna menatap adik iparnya tidak mengerti. klakson mobil terdengar bersahut-sahutan di belakang mobil Raihan yang terparkir di tengah jalan. Raihan,
mobilmu, bisik Anna, namun seakan terbuat dari batu, wajah itu tetap dalam mimik yang sama, begitu dingin dan keras kepala pada pendiriannya.
Ikut aku, ulangnya, kini tampak seperti ancaman.
Tuan muda& Rudi menyentuh pergelangan tangan Raihan. Lepaskan nona Anna, ujarnya. Namun sosok itu sama sekali tidak bergerak. Anna menarik nafas dalam-dalam,
kepalanya sudah hampir pecah karena suara klakson dari rentetan mobil yang berbaris di belakang mobil Raihan.
Baik. Katanya tegas. Mata tua Rudi langsung melebar gelisah. Tidak apa-apa pak. Aku akan baik-baik saja, ujar Anna dengan lembut pada pria tua itu.
Wajah tampan Raihan langsung mencair dengan kepuasan. Senyuman miringnya kembali muncul, diiringi dengusan mencemooh pada perkataan Anna.
Anna menyipitkan matanya pada sosok tampan itu. Ia tidak tau apa yang Raihan inginkan, namun ia benar-benar sudah tidak tahan dengan perlakuan adik iparnya
yang terkadang sering di luar ambang batas. Kalau kau ingin pergi, sebaiknya cepat. Aku tidak ingin mobil di belakangmu terus bertambah banyak, ujarnya
dingin. Raihan tersenyum sarkastis kemudian menarik tangan Anna ke mobilnya. Dengan cepat membukakan pintu untuk Anna dan masuk ke kursinya sendiri.
Anna mengangguk pelan pada sosok tua Rudi yang masih ternganga di depan mobilnya.
Apa yang kau lakukan di sini" Tanya Raihan ketika ia menjalankan mobilnya.
Bukan urusanmu. Jawab Anna cepat. Matanya memandang keluar jendela. berusaha sekuat mungkin menahan air mata yang entah sejak kapan berkumpul di pelupuk
matanya. Namun hatinya yang lelah membuatnya ingin menangis dan berteriak, membuatnya ingin bersembunyi dari kenyataan.
Raihan menatap jalan di hadapannya dengan enggan, namun ia lebih tidak bisa lagi melirik sosok menawan di sampingnya yang tampak jelas tengah terluka.
Ia menggenggam erat kemudinya, mencoba fokus pada jalanan berdebu di depannya.
Ia kembali menambah kecepatannya, meskipun ia sendiri tidak tau akan membawanya kemana.
*** Pukul 16:20 Raihan menghentikan mobilnya di depan sebuah baguan yang begitu besar. Anna yang sedari tadi tertidur langsung ternganga melihat pemandangan di hadapannya.
Deburan ombak yang berada tidak jauh dari tempat mobil mereka terparkir menggelitik indra pendengarannya. Aroma asin yang membaur dengan air itu entah
mengapa membuat hatinya sedikit bersorak, bagai bocah yang baru pertama kali melihat pantai. Raihan tersenyum tipis melihat reaksi gadis di sampingnya.
Bahkan ia bisa merasakan setitik kebahagiaan di hatinya yang sudah lama membeku tak tersentuh.
Mungkin bagi beberapa orang yang baru pertama kali melihat sosok jangkung itu, mereka akan tertipu oleh senyuman menawan khas pemuda yang mendapatkan kesuksesaanya
di usianya yang masih muda. Namun untuk orang yang sudah lama mengenalnya, akan segera tertunduk takut di hadapannya. Ia memang memiliki wajah yang luar
biasa tampan dengan senyuman yang mempesona, namun tatapan matanya begitu tajam dan menusuk. Menunjukan sisi jiwanya yang membeku dalam kegelapan.
Mengapa kau membawaku kesini" Tanya Anna ketika tersadar dari keterpesonaannya.
Untuk membuatmu bahagia. Jawab Raihan santai. Anna mengerutkan keningnya pada pemuda itu. Kau terlihat bahagia Ann ketika melihat itu, ujar Raihan
dengan nada mencibir seraya menunjuk pantai dengan pandangannya. Anna menatapnya tidak mengerti, namun belum sempat ia mengutarakan keheranannya pemuda
angkuh itu sudah keluar dari mobilnya, berjalan perlahan ke pintunya, kemudian membukakan pintu di samping Anna.
Ini Vilaku, ujarnya ketika Anna kembali ternganga melihat bangunan megah di hadapannya. Kau lihat bangunan hotel itu" Tanya Raihan seraya menunjuk
bangunan yang berada beberapa kilo meter dari tempat mereka. Anna menyipitkan matanya untuk melihatnya lebih jelas lagi. Itu adalah proyek Resort terbaruku,
dan& Alan. Suaranya berupa sebuah bisikan ketika menyebutkan nama itu. Anna tercekat, entah mengapa hatinya kembali sedih mendengar nama itu.
Ahh& sudahlah, ayo masuk. Udaranya semakin dingin, ujar Raihan seraya berjalan mendahului Anna. Vila itu begitu besar dengan gerbang megah yang berhiaskan
tumbuhan-tumbuhan indah. Halamannya mampu menampung 4 mobil, ditambah garasi yang juga besar dan menyatu dengan ruang billiard yang mewah. Ada tangga kecil
yang menuju pintu utama rumah itu, tangga yang dihiasi oleh tumbuhan merambat berbunga ungu. Ayunan besar menghiasi sisi lain rumah itu, seakan di bangun
untuk senyaman mungkin untuk setiap keluarga yang datang kesana. Bagian dalam vila itu benar-benar terasa nyaman, dengan nuansa coklat dan krem yang terkesan
hangat. Ruang tamunya tidak terlalu besar, namun ruang keluarganya begitu luas dengan permadani-permadani indah berbulu lembut. Ada tangga kecil lain yang
menuju lantai dua. Secara keseluruhan vila itu tampak begitu nyaman, namun terkesan misterius.
Ini adalah rumah impianku dan Alan, ujar Raihan seraya meletakan kantung belanjaan di konter dapur. Rumah tepi pantai yang besar, dengan ayunan lebar
yang bisa membuat kami bersantai. Ujarnya seraya menatap lautan yang menjadi pemandangan di depan vila itu. Namun seiring berjalannya waktu, ketika kami
akhirnya mampu mengumpulkan uang dan membangun vila ini, ia malah meminta banyak hal padaku, Raihan tertawa mengejek. Ia meminta ruang keluarga yang
besar agar bisa menampung keluarga barunya, Raihan menoleh perlahan pada sosok Anna yang terpaku di tengah ruang keluarga itu. Tapi pada akhirnya ia
tidak pernah menggunakan tempat ini, bisik Raihan, suaranya terdengar lelah dan perih. Namun dengan piawai ia kembali menyembunyikan semua luka itu.
Oya, tidak ada makanan di sini, jadi aku membeli beberapa barang di supermarket sebelum masuk kawasan ini, ketika kau tidur. Aku tidak tau apa yang harus
ku beli. Jadi, aku hanya mengambil barang-barang ini. Ujar Raihan tidak yakin. Kau bisa memasak kan" tanyanya. Kuharap ini cukup untuk kita, karena
aku malas kalau harus memancing di hari berangin seperti ini, ujarnya lagi seraya berjalan mengitari dapur. Ia melambaikan tangannya tak acuh pada kantung
belanjaan yang tertumpuk di dapur. Anna tersenyum sambil menggeleng. Barang barang itu seperti dipersiapkan untuk sebulan lamanya.
Dengan perlahan ia berjalan ke dapur, kemudian kembali terkekeh melihat barang-barang yang di beli oleh pemuda itu. Secara keseluruhan semua yang Raihan
beli adalah makanan cepat saji yang simple dan mudah. Namun jumlahnya yang berlebihan lagi-lagi membuat Anna tersenyum sambil terus menggeleng-geleng.
Ah, dan Anna& kau boleh memilih kamar manapun. Ujar Raihan sebelum menghilang di balik sebuah pintu kamar yang berada di bagian belakang vila itu. Anna
mengangguk dan mendesah lelah. Ia berjalan perlahan mengitari ruang keluarga yang besar itu, kali ini ia tidak tertarik untuk menjelajahi tempat itu, ia
hanya ingin mencari kamar yang cocok dengannya, shalat, dan beristirahat.
Air mata Anna perlahan menetes ketika memasuki sebuah kamar bernuansa biru laut. Warna kesukaan suaminya, Alan. Dengan perlahan ia memasuki kamar itu dan
terdiam lama untuk mengenang seluruh asanya.
*** Kak Alan"! panggil Anna ketika ia menerobos masuk pintu kamar bernuansa biru itu. Air matanya langsung meleleh melihat ranjang putih itu tampak kosong,
bahkan alat-alat rumah sakit yang selama ini selalu menemani sosok suaminya juga menghilang. Kamar itu tampak begitu rapih dengan perabotan yang indah
dan baru. Sebuah lemari besar menggantikan posisi meja tempat monitor jantung yang dulu selalu menemani tidurnya. Ia menggeleng frustasi, hatinya begitu
sedih menyadari keterlambatannya.
Alan Viandhika Al-farizi, suaminya yang begitu ia cintai, sosok hangat yang hanya ia kenal beberapa saat, sosok menawan yang selama ini ia nanti. Kini
semuanya menghilang. Sosok itu menghilang dari hadapannya.
Anna menangis keras di ambang pintu, tubuhnya ambruk, terduduk lemah di atas lututnya. Ia menangis tersedu-sedu, hatinya begitu sakit menghadapi seluruh
kenyataan pahit itu. Ia mengutuki kebodohannya yang menyia-nyiakan waktunya selama ini. Ia mencintai pemuda itu, ia menyayanginya, menghormati suaminya
dengan seluruh jiwanya. Ia mencintainya. Dan ia terluka ketika akhirnya semua itu menghilang&
Aku pikir kau sudah mengikhlaskanku Anna& suara itu begitu tenang dan lembut. Anna tercekat, dengan perlahan ia menolehkan kepalanya. Matanya melebar
melihat sosok itu. Sosok tampan yang tersenyum manis kepadanya, namun tatapannya menyiratkan kepedihannya.
Kak Alan" Anna menatapnya tidak percaya. Alan mengangguk dan air mata itu menetes perlahan dari sudut matanya yang indah. Anna menggigit bibirnya untuk
menahan ledakan emosinya, dengan susah payah ia berdiri, dan berjalan tertatih pada sosok terkasihnya, sosok yang selama ini di nantinya, siang dan malam,
sosok suaminya tercinta. Kak Alan& tangis Anna pecah ketika ia jatuh pada pelukan Alan. Dihirupnya dalam-dalam aroma tubuh itu, mencoba menyatukan seluruh
kepingan hatinya yang selama ini hancur berantakan. Ia mendekap erat tubuh Alan, menumpakan seluruh kerinduannya, seluruh lukanya, seluruh penantiannya,
seluruh cintanya. Maafkan aku Ann.. bisik Alan pelan di telinga kiri gadis itu. Ia membelai lembut kepala Anna. Namun gadis itu tetap menangis, menangis dengan sangat
keras hingga membuat hatinya terpilin perih. Sesakit inikah lukamu Ann" Sedalam inikah kepedihanmu" Batinnya pedih. Ia mengecup puncak kepala Anna. Mencoba
memberikan ketenangan yang ia sendiripun tidak miliki.
Anna membenamkan wajahnya di dada bidang Alan. Menumpahkan seluruh air matanya, ia tidak peduli pada noda yang ia tinggalkan di kemeja abu-abu Alan. Ia
tidak peduli. Ia hanya ingin mendekap suaminya seperti ini. Lebih lama lagi, atau mungkin untuk selamanya.
*** Anna!! Anna bangun!! teriak Raihan panik di tengah kelamnya malam. Ia mengguncang-guncang tubuh Anna yang masih berteriak-teriak dan menangis terisak.
Wajah Raihan memucat, tubuhnya dingin karena tegang. Deburan ombak itu terdengar jelas mengiringi isakan keras Anna. Anna. Demi Tuhan bangunlah! ujarnya
frustasi. Air matanya mulai tergenang, ia benar-benar ketakutan.
Deg. Anna tersentak dari tidurnya. Matanya terbuka lebar, menatap kegelapan yang memenuhi kamarnya. Pikirannya kosong, dan jiwanya seakan mati suri.
Anna& bisik Raihan penuh syukur. Dengan perlahan Anna menggerakan bola matanya, mengintip sosok itu dari bulu matanya yang indah. Kemudian sosok itu
merosot jatuh di samping ranjang Anna. Kepalanya tertunduk di atas tangan Anna, dan ia menangis terisak. Anna masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi,
namun dengan perlahan ia menggerakan sebelah tangannya yang bebas, membelai lembut kepala itu, menawarkan sebuah ketenangan yang mustahil hadir. air matanya
perlahan menetes ketika mengingat mimpi indah itu. Mimpinya yang begitu nyata, mimpinya yang begitu indah, mimpinya tentang Alan.
*** Astagfirullah& Raka mendesah pelan seraya mengusap wajahnya. Ia menyipitkan matanya pada layar computer di hadapannya seraya kembali memfokuskan pikirannya.
Kau belum tidur Raka" Tanya Aminah ketika terbangun pukul 2 dini hari. Raka mendongkak dan menggeleng. Ada apa" tanyanya ketika melihat kerutan di
dahi putranya. Tidak apa-apa. Aku hanya sedang memikirkan Aisah dan anak-anak yang ikut lomba hari ini, ujarnya seraya menyandarkan punggungnya ke kursi. Aminah berjalan
mendekati meja kerja putranya yang berada di dekat ruang keluarga. Mereka akan menerima beasiswa di sekolah internasional jika mereka menang, bisikknya.
Aminah mengernyit kepada putranya, tidak mengerti.
Bukankah itu hal yang bagus" tanyanya.
Ibu, tapi itu sekolah internasional. Aku sudah memeriksa kurikulum sekolah itu. mereka tidak memasukan pelajaran tentang keagamaan. Mereka memang mempelajari
bahasa arab sebagai tambahan, tapi semua pelajarannya adalah pelajaran umum dan bertolak ukur pada Negara barat, tutur Raka. Matanya terus menatap layar


Cahaya Cinta Karya Cherry Aslan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

komputernya dengan lelah. Aku merasa sedikit aneh dengan sekolah ini. Mereka sama sekali tidak memasukan pelajaran keagaaman dalam sekolah mereka, tapi
mengapa mereka mengadakan perlombaan itu, dan bahkan menghadiahkan beasiswa penuh untuk pemenangnya,
Bukankah kau bilang lomba itu diadakan oleh pondok pesantren modern"
Iya, tapi bekerja sama dengan sekolah ini. Aku yakin, Raka kembali mengerutkan keningnya. Ia mencoba menghubungkan seluruh potongan-potongan pemikiran
yang sedari kemarin menggelitik kepalanya.
Raka, kau terlalu berlebihan nak. Mungkin kau lelah, sebaiknya kau istirahat. Ibu yakin mereka hanya berbuat baik.
Aku harap begitu bu, jawab Raka pelan.
Oya Raka besok ibu akan menemui ustadzah Aisha untuk meminta Zahra,
Ibu kata-kata Raka tercekat. Matanya melebar ketika melihat sosok ibunya yang dengan perlahan berjalan ke kamar mandi untuk mengambil wudhu dan menunaikan
shalat lailnya. Sekali lagi ia mendesah dan memejamkan matanya, dengan perlahan dipijitnya pangkal hidungnya, mencoba menghilangkan lelah dalam benaknya.
*** Siang itu begitu terik, namun beberapa anak tampak dengan riang mengikuti pelajaran yang diajarkan oleh Zahra. Sesekali Zahra terkekeh pelan melihat tingkah
lucu anak-anak itu. perlahan ia mulai mengerti bagaimana perasaan bibinya terhadap bintang-bintang kecil itu.
Ia gadis yang baik& bisik seorang wanita paruh baya dari balik jendela kelas yang usang. Matanya berbinar penuh pengharapan pada gadis yang tengah ditatapnya.
Aku ingin memintanya untuk Raka, bisik wanita lain yang turut menatap sosok cantik Zahra. Aisah mendesah pelan. Raka tidak bisa terus seperti ini, ia
tidak bisa terus mencintai Anna. Bisik wanita itu lagi penuh kepedihan.
Aisah tersenyum lembut seraya menatap sosok sahabatnya. Ia menggenggam erat jemari Aminah. Mengangguk pelan penuh pengertian. Aku mengerti, bisiknya
pelan. *** Apa" pekik Zahra terkejut. Mata indahnya melebar menatap sosok bibinya yang masih tersenyum lembut kepadanya. Pasti bibi bercanda. Ujarnya sambil menggeleng-geleng
tidak percaya. Ia berjalan perlahan menuju meja di sudut kiri kamarnya, tepat di sebelah meja rias dan lemari pakaian.
Tadi siang ibu Aminah sendiri yang datang kepada bibi, ujar Aisah. Matanya terus memperhatikan reaksi keponakan terkasihnya.
Bi, tapi aku tidak ingin dijodohkan, gumam Zahra pelan, matanya menatap jemarinya yang bertumpu pada tepi meja. Jantungnya berdegub sangat kencang hingga
ia khawatir jika bibinya yang duduk di ranjangnya bisa mendengarnya.
Zahra& panggil Aisah lembut. Zahra masih berdiri membelakanginya. Ini bukan perjodohan nak. Bibi tidak memaksamu. Tapi Raka memang membutuhkanmu untuk
menjadi pendamping hidupnya, bibi mengenal pemuda itu sejak dulu. Dan bibi rasa dia pantas untuk menjadi suamimu,
Nafas Zahra tercekat. Dadanya mulai terasa perih karena kebahagiaan yang meluap-luap di hatinya. Kata-kata bibinya begitu lembut, begitu manis, dan begitu
membekukan sosok Zahra. Raka& pemuda tampan berwajah rupawan itu, pemuda baik hati yang memiliki berjuta keahlian itu, dia akan menjadi suaminya. Zahra
bisa merasakan kepalanya hampir meledak karena pemikiran indah itu. Astaga& desisnya pelan.
Tapi sudah bibi katakan, bibi tidak ingin memaksakanmu. Keputusan seluruhnya ada di tanganmu. Bibi hanya menyampaikan niat baik keluarga Raka untuk mempersuntingmu.
Dan kalau bibi boleh beropini, ini adalah hal yang sangat baik nak, Aisah menarik nafas panjang ketika melihat sosok itu masih terdiam membelakanginya.
Ia mendesah dan berjalan kepintu kamar keponakannya yang sedikit terbuka. Tapi jika kau tidak mau, bibi akan mengatakannya pada mereka, ujar Aisah akhirnya.
Bibi! panggil Zahra sesaat sebelum bibinya melangkah keluar dari kamarnya. Wanita paruh baya itu menoleh dengan kerutan di dahinya. Aku& Mau& bisik
Zahra terbata-bata, wajahnya memerah, namun matanya dengan jelas menunjukan kesungguhan kata-katanya. Aisah tersenyum tipis dan mengangguk pelan.
Bibi tau, bisiknya sebelum berlalu dari kamar gadis itu.
Tubuh Zahra langsung merosot di samping mejanya. Ia terduduk lemas diatas lantai. Ia tidak tau apa yang baru saja terjadi, apa yang baru saja bibinya katakan,
dan apa yang baru saja dirinya sendiri katakan. Tapi entah mengapa dadanya terasa berdebar-debar, kebahagiaan itu seperti meluap-luap di dalam kepalanya.
Dan sesaat kemudian ia menangis tersedu di balik kedua tangannya. Menumpahkan air mata bahagia yang langsung mengguyur seluruh kekeringan di dalam hatinya.
*** Raka terpaku di depan meja kerjanya. Pikirannya dipenuhi oleh hal-hal lain di luar pekerjaannya, dan sialnya ia tidak bisa menghentikan semua itu. Bayangan
gadis itu masih menghiasi pikirannya. Ia mendesah lelah kemudian kembali memfokuskan pikirannya pada berkas-berkas yang tertumpuk di atas meja.
Lima menit kemudian, ia menyerah dan berlalu pergi dari kantor yayasan itu.
Zahra tersenyum malu-malu ketika melihat bahan yang di tunjukan oleh ibunda Raka. Ia tidak tau akan secepat ini, namun ia bisa merasakan antusiasme dari
seluruh penghuni panti itu. Terkecuali Raka," pemuda itu malah lebih sering menyibukan dirinya di kantor yayasan, dengan dalih ingin membereskan seluruh
pekerjaannya secepat mungkin, agar bisa mendapatkan waktu luang untuk acara pernikahan mereka.
Ah& pernikahan itu&
Sejak kecil Zahra selalu bermimpi akan mengadakan pesta pernikahan yang indah. Pesta mewah yang berhiaskan bunga-bunga berwarna putih yang harum dan gaun
cantik berwarna peach yang memiliki ekor panjang. Terlebih ketika ia akhirnya kuliah di Jakarta dan bergaul dengan berbagai tradisi baru. Ia tidak ingin
mengenakan kebaya, ia ingin gaun indah seperti di cerita-cerita negri dongeng. Ia ingin lambutnya di sanggul tinggi dengan hiasan mutiara cantik berwarna
biru muda. Namun seiring berjalannya waktu, mimpinya perlahan-lahan berubah. Untuk saat ini, ia merasa tidak membutuhkan seluruh kemewahan itu, cukup bersanding dengan
pria yang paling di cintainya, itu sudah lebih dari cukup.
Nah Zahra, kau lebih suka yang berwarna peach atau biru muda" Tanya Aminah, Zahra tersenyum manis.
Putih saja ibu, aku hanya ingin pesta yang sederhana namun sakral, bisiknya lembut. Aisha tertegun ketika mendengar jawaban gadis yang duduk di sebelahnya."
Dalam jangka waktu semalam dan gadis itu sudah berubah, gadis angkuh yang dulu ia kenal perlahan menghilang. Dengan perlahan ditepuknya jemari gadis itu
menunjukan rasa bangganya. Zahra kembali menunduk ketika kedua wanita itu terus menatapnya.
Ini akan menjadi pesta pernikahan yang indah sayang& bisik Aisah. Zahra menatap bibinya penuh haru. Bibi sudah berjanji kepada orang tuamu untuk membuatmu
bahagia, tambahnya lagi. Air mata Zahra menetes perlahan.
Terima kasih bi, aku sangat bahagia, bisik gadis itu dengan senyuman indah di wajah cantiknya.
*** " Anna mendesah pelan, matanya dedikit nanar menatap potongan wortel di hadapannya. sesaat kemudian Ia kembali menatap deburan ombak dari balik jendela dapur,
membiarkan air dalam panci untuk supnya mendidih lebih lama lagi. Ternyata ia salah perkiraan, ketika berbelanja kemarin Raihan juga membeli beberapa sayuran,
jadilah ia berniat untuk membuat sup untuk sarapan mereka pagi ini.
Butuh bantuan" Anna tersentak kaget, hampir saja ia menjatuhkan pisau yang tengah digenggamnya.
Rileks Ann& ujar Raihan sedikit cemas.
Kau mengagetkanku, bisik Anna. Raihan berjalan mendekati gadis itu, matanya melebar melihat potongan sayuran di hadapan Anna.
Aku pikir kau butuh bantuan, karena kelihatannya kau sangat sibuk dengan lamunanmu, ujarnya seraya mengambil pisau dari genggaman Anna. Katakan bagaimana
memotongnya, aku yang akan mengerjakan sisanya. Ujar Raihan, matanya fokus menatap wortel yang masih panjang itu, sesekali ia melirik hasil potongan Anna
yang begitu rapih di sampingnya. Tetesan air dari rambutnya menetesi permukaan wortel itu, tampaknya handuk yang tergantung di bahunya sama sekali tidak
menyelesaikan tugasnya. Anna terkekeh pelan dan kembali merebut pisau dan wortelnya. Raihan, sebaiknya kau keringkan saja rambutmu. Ini urusan wanita, kau tidak akan bisa
Ah, nona Zainna& apa anda meragukan kemampuanku" Tanya Raihan secara kembali merebut pisau dari wanita di sampingnya. Aku adalah pemegang saham terbesar
di perusahaan baja terbesar di Indonesia, bagaimana mungkin anda meragukanku untuk memotong wortel ini. Ujarnya angkuh, Anna mengernyit dengan senyuman
geli di wajah cantiknya. Sudahlah, sekarang ajari dulu bagaimana caranya. Bagaimana mungkin kau bisa memotong mereka dengan ukuran yang sama, apa kau
menggunakan penggaris" tanyanya seraya memperhatikan dua potong wortel. Anna terkekeh dan menggeleng, dengan lembut ditariknya kembali pisau itu.
Aku tidak pernah meragukan anda tuan Raihan. Aku tau anda pemuda yang sangat hebat, hanya saja setiap orang memiliki tugasnya masing-masing. Duduklah
dengan tenang, aku akan memanggilmu jika aku membutuhkan bantuanmu. Ujar Anna dengan sangat tenang. Raihan membeku di sampingnya, matanya terus menatap
sosok cantik yang begitu tenang itu. Wajahnya tampak lebih ceria, meski sesekali ia masih melamun.
Soal semalam& Anna menghentikan gerakannya yang tengah memotong daun bawang. Matanya tampak fokus menatap goresan-goresan pada daun itu, namun hatinya langsung membeku.
Maafkan aku. Bisik Anna pelan.
Tidak An, aku mengerti apa yang kau rasakan. Kita semua memiliki perasaan yang sama akan kesembuhannya. Tapi ku mohon, selama kita di sini, bisakah kau
melupakan semua itu. Anna menolehkan wajahnya pada pemuda itu, ia mengerutkan keningnya tidak mengerti. Aku tidak memintamu untuk melupakan Alan, tidak
sama sekali. Aku hanya ingin kau sedikit bersantai. Lupakan luka itu Ann, setidaknya selama kita di sini. Nikmatilah saat ini, nikmatilah untuk dirimu
sendiri. Aku hanya ingin melihatmu bahagia, Anna kembali menatap sayurannya, kemudian dengan cekatan dimasukannya seluruh sayuran itu ke dalam air yang
sudah mendidih sedari tadi. Sebisa mungkin menyembunyikan gemuruh hatinya yang menyesakan dadanya.
Raihan, panggilnya. Pemuda itu masih menunduk di samping Anna. Kau lupa membeli garam, bisik Anna, suaranya tampak tertahan. Raihan menatap sosok cantik
itu sesaat kemudian mengangguk dan berlalu pergi begitu saja.
Air mata Anna perlahan menetes, membasahi jemarinya yang masih menggenggam sisa-sisa sayuran itu. Hatinya begitu sesak.
Tiba-tiba ia mendengar deringan ponsel dari ruang tengah. Anna mengerutkan keningnya, itu bukan suara ponselnya, lagi pula ponselnya sudah mati sejak kemarin
sore. Apa Raihan tidak membawa ponselnya" Batin Anna, ia berjalan perlahan ke ruang tengah dan mengambil ponsel Raihan yang tergeletak di meja samping
tv. Tiga pesan dan lima panggilan tak terjawab.
Ponsel itu kembali berdering, dengan ragu Anna mengangkatnya.
Halo assalamu alaikum, sapanya.
Halo, Anna" Kau kah itu" suara di seberang sana tampak sangat khawatir. Anna, apa kau baik-baik saja" Apa yang pemuda brengsek itu lakuakan" kau ada
dimana, katakan nak, biar kakek menjemputmu. Ujarnya lagi.
Kakek tenanglah, aku baik-baik saja. Aku berada di anyer, di vila Raihan. Kakek tidak perlu menjemputku, biar pak Rudi saja yang datang. Jawab Anna menenangkan
lelaki tua itu. Baiklah, kakek akan menyuruh Rudi untuk segera datang. Kau berhati-hatilah nak. Tambahnya lebih tenang. Dan Ann&
Ya" Alan siuman& Bruk, tubuh Anna jatuh begitu saja di samping meja kecil itu. Ia ternganga tak percaya. Air matanya menetes perlahan. Suaminya& suami tercintanya. Ia bangun,
ia sadar. Alhamdulillah kakek& bagaimana keadaannya" Tanya Anna cemas.
Kakek akan mengirim Rudi untuk menjemputmu, bersiaplah. Bisik kakeknya pelan. Anna menangis terisak ketika akhirnya lelaki tua itu menutup teleponnya.
Ia begitu merindukan suaminya, merindukannya teramat sangat.
*** Raka tersenyum tipis ketika dua gadis mungil tampak begitu antusias dengan lukisan mereka. Aisah dan Anisa, keduanya berumur 8 tahun. Mereka memiliki wajah
yang sangat berbeda, namun entah mengapa setiap orang yang melihatnya pasti melihat kecocokan diantara kedua gadis kecil itu.
Dulu Anisa selalu mengeluh iri padanya karena Aisah memiliki nama yang sama dengan nama ibu panti asuhan mereka. Namun dengan piawai Anna selalu menenangkannya,
meyakinkan mereka bahwa mereka memiliki hal special masing-masing. Dan perseteruan gadis kecil itu pun berubah menjadi persahabatan yang positif. Anisa
tidak bisa melukis, namun dengan telaten gadis bermata indah itu mengajari sahabatnya.
Kak Raka melamun lagi" Tanya Anisa. Raka langsung terkesiap dan menggeleng perlahan. Ia tersenyum ramah pada gadis kecil di hadapannya.
Tadi siang kalian belajar apa di kelas" Tanya Raka. Anisa melirik Aisah yang masih sibuk dengan lukisannya.
Kak Amy mengajari kami bahasa arab dan matematika, jawabnya sambil mengangkat bahunya tak acuh, kemudian duduk di samping Raka. matanya masih menatap
sosok Aisah yang tengah sibuk dengan kuasnya. Apa Aisah akan memenangkan perlombaan itu kak" tanyanya pelan. Raka mengernyit dan melirik gadis di sampingnya.
Apa ia akan memenangkannya" ulang Anisa lagi, mata kecilnya menatap sosok Raka.
Raka tertegun sejenak, suara gadis itu menuntut jawabannya, namun entah mengapa matanya menyiratkan sebuah keperihan yang tidak bisa ia mengerti. Apa
kau tidak ingin ia memenangkannya" Tanya Raka. Wajah gadis itu langsung memucat. Dengan cepat ia memalingkan wajahnya, menunduk menatap jemarinya yang
bertautan di atas pangkuannya. Raka merasakan hembusan angin menerpa wajahnya, namun yang membuat tubuhnya membeku adalah gelengan gadis kecil di sampingnya.
Bukan begitu& bisik Anisa teramat pelan. Aku hanya takut jika akhirnya dia harus pergi.
Apa maksudmu" Tanya Raka tidak mengerti, sesekali di liriknya sosok Aisah yang masih sibuk dengan lukisannnya. Ia menatap pintu ruang kesenian itu dengan
ragu. Pintu itu memang terbuka, namun jika Aisah pergi ia pun tentu bisa menyadarinya.
Bukankah yang memenangkan perlombaan antara provinsi itu akan mendapatkan beasiswa penuh untuk SMP dan SMA nya di sekolah Internasional"
Raka terdiam. Aku pasti tidak akan bisa masuk ke dalam sekolah itu. Lalu kami akan terpisahkan. Aisah akan bersekolah di sana, ia akan meninggalkanku. Memiliki teman
baru, dan melupakanku. Tuturnya sedih. Raka menggeleng perlahan.
Apa kau pikir Aisah akan melakukan hal itu" Tanya Raka dengan lembut. Anisa mengangkat wajahnya, menatap sosok di sampingnya dengan matanya yang basah.
Nisa, coba lihat ini!! teriak Aisah tiba-tiba. Baik Raka maupun Anisa langsung menoleh kearahnya. Gadis berjilbab putih itu tampak menyeringai lebar
dengan hasil lukisannya, lukisan dua bunga cantik yang begitu indah. Ini kamu& katanya seraya menunjuk bunga berwarna pink. Ini aku& tambahnya ketika
menunjuk bunga berwarna ungu muda. Raka tersenyum tipis.
Aku rasa tidak& bisik Anisa pelan sebelum berlari kearah sahabatnya. Senyuman Raka semakin lebar ketika menyadari kata-kata gadis itu ditujukan kepadanya.
Ia berjalan perlahan mendekati mereka.
Mana kak Raka" tanyanya ketika berjongkok di samping Aisah.
Ini. Ujar gadis itu sambil menunjuk pagar di belakang kedua bunga cantik itu. Kak Raka selalu menjaga kami, dan mata hari ini adalah kak Anna, karena
selalu menyinari hari kami& tambahnya.
Kak Zahra" pertanyaan Anisa terlontar begitu saja. Aisah menatap lukisannya dengan sedih. Kemudian mereka bertiga hanya terdiam, bingung dengan jawaban
masing-masing yang tersembunyi dalam benak mereka.
Sudah sudah, sebaiknya kalian segera bersiap. Sebentar lagi Ashar, kalian tidak mau tertinggal jama ah kan" Tanya Raka berusaha mencairkan suasana yang
mendadak kaku itu. Anisa dan Aisah langsung mengangguk antusias, tampak terlupa sejenak dengan kisah haru tentang kerinduan mereka pada sang mentari.
Tiba-tiba ponsel Raka bergetar, dengan cepat ia merogoh sakunya.
Halo Assalamu alaikum pak Raka. pak Alan kritis, sekarang ada di rumah sakit, uajr Wisnu salah satu asisten atasannya.
Anna& desis Raka pelan. Matanya menatap kosong lukisan Aisah di hadapannya. hatinya begitu perih, bayangan gadis cantik itu menangis di samping ranjang
suaminya membuat hatinya terpilin. Tanpa mengucapkan sepatah katapun ia langsung berlalu dari hadapan kedua gadis kecil yang masih menatapnya penuh tanya."
*** Ketika usianya 10 tahun, Anna pernah merasakan ketakutan yang teramat sangat. Ketika di suatu pagi umminya mendadak limbung, tak sadarkan diri ketika tengah
memasak di dapur. Anna kecil begitu ketakutan. Ia tidak tau apa yang harus ia lakukan, saat itu ia sedang bersiap untuk pergi ke sekolah. Dengan panik
Anna mencari bantuan, meneriaki siapa saja yang berada di sekelilingnya, mencari ayahnya yang sudah pergi dari subuh tadi ke pondok pesantren.
Anna begitu ketakutan. Ia duduk di depan ruang ICCU dengan memeluk kedua lututnya, mencoba menenangkan gemuruh jantungnya yang berpacu dengan suara detak
jam. Ia tidak ingin menangis, namun jilbab ungu yang di kenakannya hari itu sudah basah. Dan ketika ia melihat ayahnya yang berjalan tertatih ke arahnya,
tangis itu tak lagi bisa terbendung. Anna menangis keras di pelukan ayahnya, menumpahkan seluruh ketakutannya. Kemudian ia tertidur, dan ketika terbangun
ia sudah berada di sisi ibunya, di kamarnya yang nyaman. Ia tidak ingat kapan ibunya keluar rumah sakit, namun senyuman itu, senyuman ibunya yang indah
kembali menenangkannya, menyiratkan bahwa semuanya akan baik-baik saja, semudah itu.
Tapi itu hanya masa lalunya. Saat ini, ketika ia kembali harus berada di depan ruang ICCU, ia tidak bisa duduk dengan memeluk kedua lututnya. Ia harus
berdiri setegar mungkin, ia harus kuat untuk suaminya.
?"Kakek?"?" panggil Anna pelan. Lelaki tua yang tengah merangkul putrinya itu menoleh. Ia membuka tangan kirinya yang kosong, menawarkan pelukan lain yang
mungkin bisa menenangkan mereka, dan meyakinkan hati mereka masing-masing jika di sini, saat ini, bukan hanya satu hati yang tengah ketakutan pada kehendak
takdir. ?"Alan sedang ditangani oleh dokter Harun. Kau tenanglah,?" ujarnya, suara tuanya begitu lemah, menunjukan kerapuhan di balik ketenangan dari sikapnya. Anna
menangis perih di bahu lelaki tua itu. Membenamkan wajahnya seperti yang tengah ibu mertuanya lakukan.
Tiba-tiba pintu ruang ICCU itu terbuka. Seorang perawat melangkah keluar. Seluruh pasang mata di tempat itu langsung menatapnya penuh harap, menunggu sebuah
kabar baik. Namun perawat itu hanya terdiam dan berlalu, membuat orang-orang yang tenagh menunggu dengan cemas itu kembali terduduk lesu.
Lima menit kemudian dokter Harun keluar dari ruangannya, ia masih mengenakan seragam hijau ruang oprasinya, mata tuanya sedikit basah, wajahnya tidak kalah
pucat dengan wajah-wajah yang tengah menunggu didepan kamar oprasi itu.
Anna langsung berdiri mengikuti kakek dan ibu mertuanya, ia berada dua langkah di belakang Luna ketika dokter itu menggeleng lelah.
?"Alan kritis,?" ujar dokter itu pelan, dengan perlahan di bukanya kaca mata tua miliknya, kemudian menyeka air mata yang sedikit menghiasi mata tuanya.
Anna merasakan pandangannya kosong seketika. Bayangan tentang mimpinya akan Alan seakan menari-nari di pikirannya. Begitu indah, begitu mengagumkan. Air
mata itu mengalir perlahan, namun wajah cantik Anna menyunggingkan sebuah senyum aneh. Tiba-tiba mual langsung menghampiri dirinya. Ia merasakan perih
di sekujur tubuhnya, ia menggigil ketakutan.
?"Ya Allah peluk aku sedikit saja?" aku tidak sanggup menghadapi ujian ini sendiri?"?" bisiknya penuh luka.
?"Anna?"?" bisikan itu membekukan tubuh Anna. Dengan kaku ia menolehkan wajahnya, dan mendapati sosok tampan yang menatapnya penuh perih. Nafas Anna mulai
tercekat, ia menggeleng perlahan kepada pemuda itu.
?"Dia tidak akan bangun,?" bisik Anna perih, dan tangis itu pun pecah berkeping.
*** Raka berlari di sepanjang lorong rumah sakit, tidak peduli pada tatapan heran orang-orang yang berpapasan dengannya. Ia terus berlari dan berlari, hingga
akhirnya langkahnya terhenti di depan ruang oprasi yang di penuhi oleh orang-orang berwajah pucat. Ia melihat dokter tua itu menggeleng, dan hatinya pun
jatuh ke lantai begitu saja ketika melihat sosok cantik itu menggigil karena menahan isak tangisnya. Gadis itu menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya,
mencoba menyembunyikan isak yang sudah terdengar sedari tadi.
?"Anna?"?" bisiknya pelan, mencoba mengambil fokus Anna. Ia benar-benar terluka melihat gadis itu menangis. Hatinya turut terpilin perih, dan ketika Anna
menoleh dengan kaku ia tau hatinya sudah hancur berkeping-keping. Gadis cantik itu menggeleng perlahan. Air matanya menetes deras, mata indahnya diliputi
oleh ketakutan yang teramat sangat.
?"Dia tidak akan bangun?"?" sebuah kata terlontar begitu saja dari bibirnya, sebelum akhirnya isakan itu pecah. Dengan cepat Raka meraih tubuh Anna, menahannya
sebelum ambruk ke lantai. Menenangkan tubuhnya yang gemetar karena isak tangis. Itu adalah kala pertama Raka melihat sosok sahabatnya menangis sedemikian
perihnya. Dan saat itu pula lah ia sadar jika hatinya sendiri takkan kembali utuh.
Luna menangis perih di samping Anna, dibelainya dengan lembut kepala menantunya itu. Namun tidak seperti ibu pada umumnya, yang akan bersikap optimis bagaimana
pun keadaannya, wanita paruh baya itu malah ikut menggeleng pada menantunya.
?"Ikhlaskan dia Anna?"?" bisiknya pelan. Anna menggeleng dalam pelukan Raka. Tangisannya bertambah keras.
?"Tidak bu. Kak Alan adalah suamiku. Aku mencintainya, bagaimana mungkin aku mengikhlaskannya" Ibu?" aku tidak mungkin?"?" Anna menatap perih sosok Luna.
?"Anna,?" Raka mencoba menenangkan sahabatnya itu.
?"Tidak Ka! Jangan pernah memintaku untuk mengikhaskannya juga. Kau pikir siapa dirimu" Kau pikir sekuat apa aku"! Aku sudah mengalami berbagai macam kepedihan.
Apa Tuhan tidak juga puas menyiksaku""!?"
?"Anna!?" Raka menatap gadis itu dengan tajam. Kedua tangannya mencengkram kedua lengan Anna.
?"Tapi aku lelah Ka?" aku lelah?"?" isaknya perih. Anna menunduk dalam, jemarinya masih bergetar, namun tubuhnya tampak begitu lelah. ?"Aku lelah. Kau lihat,
semua yang ku katakan padamu tentang keluarga yang bahagia itu hanyalah kebohongan semata. Tidak pernah ada kisah indah dalam kehidupanku Ka. Aku bahkan
belum pernah mengatakan betapa aku sangat mencintainya. Ini terlalu menyakitkan, ini tidak adil?"?" Anna menangis sesenggukan di dada Raka, matanya sebam
penuh air mata. ?"Anna, dengar. Kau harus kuat. Tetaplah kuat.?" Ujar Raka dengan penekanan di setiap kata-katanya. Tiba-tiba isakan gadis itu berhenti, ia mendonggkakan
wajahnya, menatap sosok Raka yang begitu ia rindukan. Kemudian gadis itu tersenyum tipis, kerutan di dahinya mendadak hilang, kemudian tatapan itu kosong,
dan ia pun terjatuh meninggalkan kesadarannya.
*** Zahra tersenyum manis menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia tidak tau bagaimana cara menghentikan senyumannya, namun rasanya hati itu selalu memaksanya
untuk terus tersenyum. Seperti senyumannya, rona di kedua pipinya pun tak pernah menghilang, bahkan rona indah itu akan semakin tampak setiap kali Zahra
menatap pantulan wajahnya di cermin.
?"Kau sudah menatap cermin itu lebih dari dua jam,?" tegur Amy dengan senyumannya ketika ia memasuki kamar Zahra. Zahra menolehh malu-malu. ?"Bahkan sepertinya
kau sampai tidak mendengar salam dan ketukanku,?" tambah Amy. Ia berjalan perlahan menghampiri Zahra yang berada di depan meja riasnya.
?"Maaf,?" bisik Zahra ketika Amy duduk di sampingnya. ?"Aku tidak pernah sebahagia ini sebelumnya?"?" tambahnya malu-malu. Amy terkekeh di sampingnya, ia menatap
pantulan wajah Zahra yang menunduk dari cermin.
?"Aku juga pernah memiliki rona indah itu,?" bisik Amy pelan. Zahra mengerutkan keningnya dan menoleh pada gadis cantik di sampingnya. Wajah Amy begitu tenang,
meski Zahra bisa melihat goresan lelah di beberapa sudut wajahnya. Mata indah Amy menerawang jauh menangkap asa yang takkan teraih olehnya. ?"Aku masih
begitu muda,?" tambahnya lagi, suaranya bagai aliran sungai yang mengalir lembut. ?"Aku sangat mengagungkan cinta. Bagai remaja yang baru pertama kali menemukan
bungkusan kecil berisi cinta. Semuanya begitu indah, begitu memabukan. Dan sialnya takdir tidak berpihak padaku,?"
?"Apa yang terjadi"?" Tanya Zahra cepat. Matanya menuntut penuh rasa ingin tahu. Amy terkesiap, seakan baru tersadar dari lamunanya, kemudian ia tersenyum.
?"Itu masa lalu,?" bisiknya lembut. Mereka hanya berbeda 3 tahun, namun rasanya sosok Amy begitu dewasa dengan senyuman indahnya. Zahra terdiam, ia masih
ingin mendengar cerita Amy, ia tau gadis itu sangatlah tertutup akan masa lalunya. Amy pribadi yang sangat baik hati dan lemah lembut. Ia begitu dewasa,
namun sangat mudah terpengaruh suasana. ?"Ah, aku kesini untuk memanggilmu makan malam, ayo yang lainnya sudah menunggu.?" Ujar Amy sambil menepuk jemari
Zahra diatas pangkuannya. Zahra masih tidak bergeming, bahkan hingga akhirnya sosok cantik Amy menghilang di balik pintu kamarnya.
*** ?"Semua orang memiliki masa lalu nak,?" ujar Aisah ketika keponakannya datang menemuinya untuk menanyakan kisah Amy. Zahra mengerutkan keningnya. Matanya
menyipit meminta penjelasan. Sifatnya yang terbentuk di kota metropolitan membuatnya menjadi pribadi yang keras kepala dan mudah tersinggung. Aisah terkekeh
pelan melihat wajah keponakannya yang benar-benar manja. ?"Kalau dia tidak mengatakannya padamu, itu berarti dia memang tidak ingin melakukannya.?" Ujar
Aisah. Zahra mendengus tidak percaya.
?"Bibi?" tapi aku ingin mengetahuinya.?" Tuntut Zahra keras kepala. Aisah mengehela nafas panjang. Diletakannya buku besar yang sedari tadi sedang dibacanya.
?"Kau benar-benar keras kepala.?" Ujar bibinya. Zahra langsung cemberut. ?"Dengar, bibi tidak punya hak untuk menceritakan masa lalunya padamu, atau pada
siapapun. Kalau kau ingin tau mengapa tidak kau tanyakan langsung padanya,?" ujar Aisah seraya menunjuk sosok cantik yang sedari tadi berada di ambang pintu
kamarnya. Zahra langsung menegakan tubuhnya, merasa kikuk pada sosok Amy.
?"Maaf sudah membuatmu penasaran,?" bisik Amy lembut. Ia meletakan segelas teh hangat di meja kecil samping ranjang Aisah. Kemudian duduk di kursi kecil
di hadapan Zahra. ?"Maaf, aku tidak bermaksud?"?"
?"Tidak apa-apa,?" Amy menggeleng perlahan. ?"Ini bukan hal yang ingin aku tutup-tutupi. Hanya saja, terkadang mengenangnya membuatku sedih.?" Mata wanita
itu kembali menerawang jauh ke dalam kelamnya malam. Zahra menunggunya dengan sabar. Namun hingga menit-menit itu berlalu Amy masih terus terdiam. Matanya
sedikit berair, dan ketenangan yang selama ini menghiasi wajahnya perlahan menghilang. Zahra melirik Aisah dengan cemas.
?"Amy?"?" bisik Zahra pelan.
?"Ah maaf. Zahra sepertinya aku tidak bisa menceritakannya padamu. Mungkin ummi bisa membantuku"?" Amy menatap Aisah penuh harap. Wanita paruh baya itu melirik
kedua gadis di hadapannya tanpa berkata-kata. ?"Maaf, aku pergi dulu,?" bisik Amy sebelum mengucapkan salam dan berlalu dari kamar ketua pantinya.
?"Dia juga pernah hampir menikah,?" bisik Aisah. Zahra yang sedari tadi hanya menatap pintu kamar bibinya langsung menoleh dengan kerutan di wajah cantiknya.
?"Hampir"?" tanyanya tak mengerti. Aisah terdiam sejenak, kemudian mengangguk.
?"Ya, ketika umurnya 20 tahun. Ia sempat mengandung,?"
Zahra ternganga menatap bibinya. Kenyataan yang begitu menggelitik hatinya. Hampir menikah, dan mengandung, apa dia""
?"Dulu ia adalah gadis yang sedikit bebas,?" ujar Aisah menjawab berbagai pertanyaan di benak keponakannya. Zahra meringis. ?"Dia hamil di usianya yang ke
dua puluh, kemudian pesta pernikahan itu pun disusun dalam waktu yang sangat singkat. Tapi seminggu sebelum pesta itu diadakan, calon suaminya kecelakaan.?"
Air mata Zahra menetes perlahan. ia menatap nanar sosok bibinya yang masih menerawang jauh ke memori lamanya.
?"Karena frustasi, Amy menggugurkan kandungannya.?"
?"Tidak! itu tidak mungkin. Amy tidak akan melakukan itu,?" Zahra menggeleng dengan deraian air mata membasahi kedua pipinya.
?"Tapi itulah yang ia lakukan. Hingga akhirnya Anna menemukannya, dan membawanya kesini. Kemudian Amy menyesali seluruh masa lalunya, dan berubah menjadi
pribadi yang lebih baik lagi. Dia sangat mencintai anak-anak itu,?"
?"Itu benar-benar tragis,?" bisik Zahra. Matanya menunduk menatap jemarinya yang bertautan di atas pangkuannya. Entah mengapa hatinya mulai terasa terpilin
perih. namun ia tau, ini bukan karena kisah memilukan Amy, tapi ini tentang dirinya. Tentang pernikahannya, tentang cintanya, tentang pangerannya, tentang
kehidupannya.

Cahaya Cinta Karya Cherry Aslan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

?"Bibi?" bagaimana jika Raka tidak mencintaiku"?" Tanya Zahra tiba-tiba. Aishah mengerutkan keningnya. ?"Selama ini dia tidak pernah mengatakan hal itu secara
langsung,?" Zahra mengernyit pada kenyataan itu, seakan baru tersadar dari kebenarannya.
?"Mengatakan apa"?"
?"Bahwa ia ingin menikahiku bi.?" Zahra menatap lekat-lekat kedua mata bibinya. ?"Ia bahkan tidak pernah mengatakan bahwa ia mencintaiku. Bagaimana jika akhirnya
Beruang Salju 3 Perjalanan Terindah Karya Imam Sutrisno 3600 Detik 1
^