Pencarian

Boulevard Revenge 5

Boulevard Revenge Karya Crimson Azzalea Bagian 5


berada di lantai empat gedung khusus dokter divisi jantung.
Irina berjalan sambil memikirkan langkah selanjutnya yaitu, mengorek informasi dari anak sulung Gerard. Sekaligus mengumpulkan kembali tekad untuk membalaskan
dendamnya pada sang pemilik rumah sakit. Irina sadar selama beberapa saat dia sempat ragu karena perasaannya pada Bara. Namun balas dendam pada Gerard
adalah tujuan utama dalam hidupnya saat ini. Dia tidak bisa mundur lagi. Apapun taruhannya, dia harus berhasil melakukannya. Gerard harus hancur bersama
rumah sakit ini! pikir Irina.
Setibanya di depan ruang pribadi Braga, diketuknya pintu berwarna putih gading itu.
"Masuk" terdengar jawaban dari dalam yang mempersilahkannya untuk masuk.
Menarik dalam napasnya. Kemudian merubah ekspresi wajahnya dari keras menjadi lembut, Irina memasuki ruang kerja bertuliskan nama 'Dr.Braga Dereck Witchlock
Sp.BTKV'. Di dalamnya, Braga sedang duduk di sofa sambil membaca berkas - berkas penting dengan wajah serius. Terlihat seperti orang yang berpikir keras karena tidak
juga bisa menemukan jawabannya. Alis panjang Braga yang rapi dan sempurna itu saling bertautan saking keras otaknya berputar. Saat menyadari kehadiran
Irina, wajahnya langsung berubah ceria.
"Hai, Irina! aku pikir kamu tidak jadi datang?" ujar Braga tersenyum senang. Dia sempat mengira Irina membatalkan janji mereka.
" Maaf, tadi operasinya lebih lama dari yang aku perkirakan. Apa kamu sedang sibuk?" Irina meminta maaf. Dilihatnya tulisan 'kesalahan transplantasi jantung'
pada berkas yang sedang dipegang Braga. Tentu saja itu langsung menarik seluruh perhatian Irina.
"Ah, ini" Salah satu rekan sesama dokterku di rumah sakit cabang memberikan berkas ini. Dia meminta penilaianku tentang kasus ini" jawab Braga.
" Tentang kesalahan transplantasi jantung" Malpraktek?" tanya Irina mengarahkan pembicaraan ke arah yang diinginkannya. Kebetulan sekali ada celah yang
bisa dimanfaatkan, pikirnya.
" Iya, Kasus malpraktek. Dokternya gagal menganalisa kecocokan antara si donor dan penerimanya. Akibatnya terjadi penolakan pada jantung barunya dan pasien
meninggal karena kerusakan otak" Braga menceritakan kronologi kejadiannya.
Menahan luapan emosinya, Irina berusaha bersikap senatural mungkin. Kondisi yang barusan dijabarkan oleh Braga sama persis dengan kondisi ayahnya saat
menjadi korban malpraktek Gerard. Hanya bisa menelan mentah - mentah kepedihan hatinya, dia pun kembali mengajukan pertanyaan yang ditujukan untuk menginterogasi
laki - laki blasteran Amerika dihadapannya itu.
" Apa dulu di rumah sakit ini tidak ada kasus yang serupa" Maksudku, tentunya di setiap rumah sakit pernah mengalami kesalahan meski hanya beberapa kasus
ringan. Pernah atau tidak?" tanya Irina dengan tatapan sedalam lautan. Tidak terprediksi.
Braga terdiam memandangnya. Seakan - akan sedang mempertimbangkan setiap kata yang akan diucapkannya. Apakah dia sedang bimbang" Atau bingung karena pertanyaan
tadi menggelitiknya agar menceritakan kejadian di masa lalu yang selama ini disembunyikannya" pikir Irina.
" Setahuku tidak ada" seulas senyuman hangat terukir di wajah tampan Braga.
Tidak bisa dipercaya. Laki - laki sehangat dan sebaik Braga bisa berbohong seperti itu. Irina mengepalkan tangannya secara sembunyi - sembunyi di dalam
saku jas putihnya. " Oh, ya" kamu yakin tidak pernah ada kasus malpraktek di rumah sakit ini sebelumnya" tidak dalam rentang waktu dekat ini, misalnya 5 atau 10 tahun lalu
mungkin?" tidak puas dengan jawaban dari narasumbernya yang pertama, dipertegasnya lagi isi pertanyaannya.
Muncul keraguan di raut wajah Braga. Pertanyaan barusan seperti mengingatkannya akan suatu hal. Wajah tampannya sedikit ditekuk. Berusaha mengingat - ingat.
" Sepertinya tidak ada. Kalaupun iya, mungkin di divisi lain bukan di divisi jantung. Kenapa" apa kamu mendengar kabar mengenai malpraktek di rumah sakit
ini?" Braga menanyakan alasan pertanyaan yang tadi ditujukan padanya.
" Aku pernah mendengar tentang isu malpraktek dari salah satu suster tapi tidak tahu detail kejadian yang mereka maksud. Menurutmu, apa yang harus dilakukan
jika sampai terjadi hal seperti itu" Irina mengarang cerita agar tidak dicurigai.
" Menurutku saat ada kejadian seperti itu, kita sebagai dokter wajib mengakui dan meminta maaf yang sebesar - besarnya pada keluarga pasien. Rumah sakit
pun juga harus ikut melakukan sesuatu demi mengobati luka hati keluarga. Jangan ditutup - tutupi. Tapi terkadang hal itu sulit dilakukan karena mengakuinya
sama saja membuka aib rumah sakit. Hal itu yang sering menjadi dasar bahwa tindakan seperti mengakui dan meminta maaf menjadi opsi yang akan dihindari
oleh rumah sakit" tutur Braga.
Mengatakannya mudah. Semudah rumah sakit ini menghilangkan kasus malpraktek 10 tahun lalu selayaknya membuang debu yang langsung diterbangkan sang angin.
Tidak pernah terpikir bahwa debu tak berarti yang dibuangnya adalah manusia yang nyawanya telah terenggut tanpa mendapat perhatian sedikit pun. Pihak rumah
sakit bahkan tidak memperdulikan tangisan seorang gadis remaja yang hidupnya jadi sebatang kara akibat kesalahan medis itu. Kalian semua tidak punya hati!
rutuk hati Irina. Urat - urat di leher dan dahi Irina menegang saking kuatnya dia menahan emosi. Dia tidak bisa terima kebohongan Braga.
" Tadinya aku pikir kamu laki - laki baik. Anak yang berbakti. Tapi kenapa kamu sampai hati menutupi kebusukan ayahmu itu?" berbohong demi menyelamatkan
rumah sakit Boulevard yang agung dan makmur ini!! inikah wajahmu yang sebenarnya" Hilang sudah rasa hormatku padamu. Kalau begini aku tidak akan ragu lagi
untuk memperalatmu demi membalaskan dendamku ini, Braga!" dalam hatinya berbalik menjadi antipati pada anak sulung Gerard itu.
Kegiatan tutorial Irina pun dimulai sampai jam istirahat habis. Semenjak hari itu, secara intens keduanya selalu melakukan tutorial di sela - sela waktu
luang. Tidak hanya itu, keduanya pun sering berbincang dan bertemu diluar dari acara tutorial. Mereka sering janji bertemu di beberapa lokasi rumah sakit
hanya sekedar untuk mengobrol, bercanda atau membicarakan beberapa hal yang serius.
Irina sudah tahu sebelumnya Gerard mengatur jadwal team 1 dan team 3 untuk saling berdampingan dan seiringan dalam pekerjaan. Aturan itu justru bisa dimanfaatkannya
untuk bekerja lebih. Meski terus melakukan pendekatan secara rahasia, Irina tetap berhati - hati agar tidak tercium oleh Bara. Selama satu bulan lamanya dia terus bersabar
melakukan pendekatan sedikit demi sedikit sampai akhirnya menjadi sangat dekat. Di hari libur, keduanya sempat satu atau dua kali pergi ke tempat - tempat
yang menarik untuk didatangi.
Bagi orang yang melihat interaksi keduanya, pasti akan langsung mengira mereka adalah sepasang kekasih. Entah darimana dia bisa punya kemampuan akting
sebagus itu. Sampai bisa memasang ekpresi wajah yang sangat natural. Sedangkan di dalam hati, rasa sakit terus menyiksanya. Perpaduan antara penolakan
pada apa yang sedang dilakukannya, keinginan untuk kembali pada Bara, dan dendam yang terus mengangamuk seperti badai.
Jika Bara sampai tahu dia sedang mendekati sang kakak, apa yang akan dilakukannya" akankah dia membencinya" marah mungkin" atau justru langsung meninggalkannya
tanpa sudi melihat wajahnya lagi" yang terburuk dari yang paling buruk adalah jika Bara merestui hubungannya dengan Braga. Pergelutan hati itulah yang
dirasakan Irina selama proses penjajakan dengan Braga. Mengorbankan separuh waktunya. Sampai mengarang seribu alasan untuk menjaga agar Bara tidak curiga
dengan kedekatan mereka. Sialnya, Atthar sering memergoki kebersamaan keduanya. Pertama kali dia memergoki saat sepasang dokter bedah jantung itu keluar dari ruang kerja Braga
yang bersebelahan dengan ruang kerjanya. Azka yang merupakan rekan satu team Irina bahkan pernah tidak sengaja melihat keduanya saat sedang pergi bersama
di salah satu bioskop. Karena takut salah paham dan mengganggu, maka dia pun urung menegor keduanya saat itu. Mulai dari situ Atthar dan Azka selalu memperhatikan
tindak tanduk keduanya. Kecurigaan mereka semakin diperkuat saat melihat interaksi keduanya di lapangan. Irina dan Braga sering melakukan kontak mata saat
sedang bersama disatu tempat tindakan medis.
Dibalik sikap cool nya, Bara bukanlah laki - laki yang tidak peka. Dia menyadari adanya perubahan sikap Irina. Bertanya - tanya, kenapa asistennya itu
sering menghilang saat jam istirahat" Di waktu - waktu luang juga sering terlihat asyik dengan handphone atau malah menghilang entah kemana. Braga juga
sering terlihat absen saat makan siang di kantin padahal biasanya justru dia yang sudah ada duluan disana. Hal ini membuat Bara menaruh kecurigaan besar
pada mereka berdua. Ingin menanyakannya langsung pada Irina atau sang kakak, namun ada rasa segan karena tidak mau dianggap pencemburu. Sampai Atthar dan
Azka tertangkap basah sedang memperhatikannya dengan tatapan yang aneh saat jam makan siang.
Penasaran dengan apa yang sedang kedua dokter spesialis jantung itu pikirkan, dia pun 'menyandera' mereka dan menginterogasinya satu persatu. Dua dokter
berumur 32 tahun itu, terpaksa menceritakan apa yang mereka lihat karena takut melihat tatapan Bara yang penuh ancaman. Senior mereka yang satu ini, mungkin
lebih cocok jadi ahli interogasi untuk penjahat - penjahat kelas kakap, pikir mereka berdua.
Mendengar kesaksian Atthar dan Azka, terkonfirmasi sudah kecurigaannya selama satu bulan ini. Memang ada apa - apa antara Irina dan kakaknya. Hati dan
kepalanya menjadi panas. Tanpa perlu menahan perasaannya lagi, dia pergi menemui Irina. Menuntut penjelasan tentang apa yang terjadi sebenarnya. Azka dan
Atthar ngeri membayangkan apa yang akan terjadi antara Bara, Irina dan Braga. Mereka pun bergegas mencari Bastian untuk meminta bantuan.
Bara mencari keberadaan Irina. Tidak sengaja melewati salah satu lorong rumah sakit dan melihat gadis yang sedang dicarinya tengah asyik bercengkrama dengan
sang kakak. Bersembunyi dan secara diam - diam memperhatikan interaksi keduanya yang terlihat sangat akrab. Sangat tidak biasa baginya. Pembicaraan mereka
berakhir dengan Braga yang memberikan tiket masuk ke sebuah festival dengan maksud mengajak Irina pergi bersamanya. Jelas terdengar bahwa ajakan itu diterima
dengan senang hati. Dia ikuti Irina yang berjalan menuju kantornya. Sebelum pintu tertutup, ditahannya daun pintu dengan tangan kanan. Irina terkejut dengan kedatangan Bara,
lalu mempersilahkannya untuk masuk.
" Tumben kamu kesini" Apa ada hal serius yang mau kamu bicarakan?" Irina menanyakan maksud kedatangan Bara. Muncul secuil perasaan khawatir saat melihat
air muka Bara yang mengeras.
" Tumben katamu" Aku yang harusnya berbicara seperti itu. Apa yang sebenarnya sedang terjadi padamu" kamu mendekati Braga. Dan selama satu bulan ini kalian
berdua sangat dekat sampai pergi bersama di luar jam kerja kan" kamu itu kenapa Irina?" kamu belum memberikan jawaban padaku tapi bisa dengan mudahnya
mendekati kakakku" tanya Bara yang setengah mati menahan amarahnya.
Hati Irina Mencelos. Tidak menyangka tindakan sembunyi - sembunyinya bisa diketahui oleh Bara. Dia terpaku ditempat. Tidak bisa menjawab pertanyaan itu.
" Kenapa diam" kenapa tidak mengatakan yang sejujurnya" kamu mencintai Braga" apa karena itu juga kamu tidak bisa memberikan jawaban untukku" kamu takut
aku marah pada perasaanmu dan kakakku" jawab Irina!!" tidak bisa lagi menahan rasa sakit hatinya, suara Bara mulai meninggi. Matanya memerah saking terlukanya
oleh fakta kedekatan wanita yang dicintainya itu dengan sang kakak.
Irina menguatkan hatinya. Lalu Mendongak. Menatap kedua mata Bara.
" Benar. Aku mencintai kakakmu, Braga. Karena itu juga aku tidak bisa memberimu jawaban seperti yang kamu inginkan. Aku tidak bisa menerima cintamu, Bara"
akhirnya dia menyatakan jawabannya. Setelah mengatakannya, perasaan Irina menjadi sangat berat. Perlu mengerahkan seluruh daya yang dimilikinya agar air
matanya tidak jatuh saat itu juga.
" Jadi itu perasaanmu yang sebenarnya" kamu mencintai kakakku?" tanya Bara dengan tatapan terluka.
" Iya. Itu jawabanku untukmu. Maaf karena baru bisa mengatakannya sekarang. Aku baru memahami bagaimana perasaanku baru - baru ini. Maafkan aku" tidak
sanggup lagi memandang mata Bara, dia pun mengalihkan kedua matanya.
" Kenapa harus Braga" kenapa sejak awal kamu tidak mengatakannya, Irina?" buat apa selama ini kamu memberikan aku harapan?"" Bara tidak habis pikir. Wanita
yang ada dihadapannya saat ini terasa seperti orang lain.
" Sejak awal aku sama sekali tidak punya perasaan apa pun padamu. Kedekatan kita hanya sekedar pertemanan rekan satu kerja. Maaf jika kamu mengartikannya
lain" semakin dia mengatakan kata - kata yang menambah dalam luka hati Bara, semakin sakit pula hatinya. Rasanya ingin sekali dia menjerit saat itu. Bukan
Braga yang aku cintai!! Kamu yang aku cintai, Bara! Anggap saja itu harga yang harus dibayar demi membalaskan dendamnya.
" Jadi sekarang kamu mengatakan bahwa selama ini kamu mempermainkan aku?" begitu Irina?"" dengan napas memburu, Bara meninggikan suaranya lagi.
" Bisa kamu anggap seperti itu. Terserah padamu mau berpikiran apa tentang aku" mata Irina mulai memerah dan berkaca - kaca.
" Kalau begitu, aku benar - benar salah menilai kamu selama ini!" ujar Bara dengan suara tercekat.
" Aku juga ingin mengajukan pertukaran team. Ijinkan aku pindah ke team 3. Dimana aku bisa bersama Braga" dengan berat hati Irina mengajukan permintaan
untuk pindah team. Tidak percaya pada apa yang baru saja didengarnya, Bara berucap " sampai seperti inikah semuanya, Irina" Baiklah. Akan aku urus kepindahanmu ke team Braga
hari ini juga. Mulai besok kamu bisa berbahagia karena bisa satu team dengannya. Kamu tidak perlu bersandiwara lagi untuk menutupi hubungan kalian berdua
dihadapan semua orang atau pun dihadapanku. Aku akan melupakan perasaanku padamu. Untukku saat ini kamu adalah tambatan hati kakakku. Aku ucapkan selamat
untukmu dan untuknya. Semoga hubungan kalian berjalan baik".
Ucapan selamat Bara menorehkan luka paling dalam di hati Irina. Ketakutannya yang paling besar benar - benar telah terjadi. Dia kehilangan. Irina menatap
punggung Bara yang pergi meninggalkan ruangan. Satu - satunya kebahagian dan cintanya sudah berhasil dia usir pergi dari hidupnya. Tapi tidak dari hatinya.
Cinta ini mungkin akan ditanggungnya seumur hidup.Dunia Irina kembali seperti neraka. Air matanya mengalir deras tanpa bisa tertahan lagi. Hanya satu kata
yang bisa diterjemahkan oleh sistem otaknya saat itu. Sakit.
" Maafkan aku, Bara. Aku membohongimu agar kamu tidak ikut masuk dalam aksi balas dendamku. Jika aku harus jatuh ke dasar neraka, biarlah aku jatuh seorang
diri. Kamu tidak perlu ikut terbakar bersamaku" dalam hati Irina. Dia menangis tersedu - sedu sambil berjongkok di tengah - tengah ruangannya.
Bara berjalan menuju atap gedung. Di atas sana dilampiaskannya segala amarah yang saat itu menghimpit hatinya.
" Aaaaaaahhhhh!!!" jeritan sakit hati Bara terbawa angin yang berhembus sepoi - sepoi
" Sepertinya ada yang memberatkan hatimu. Sampai pergi sendirian ke atap hanya untuk berteriak, Bara?" suara Bastian muncul dari arah pintu
" Tanpa bertanya aku rasa kamu sudah pasti bisa mengetahuinya. Bukankah kamu memang selalu serba tahu. Termasuk segala urusanku" Bara sudah lebih dari
paham bahwa Bastian selalu bisa tahu apapun masalah yang sedang di hadapinya.
" Tentang Irina dan Braga?" tebak Bastian berdiri di sebelah Bara yang mengenggan pembatas atap kuat - kuat.
" Kamu sudah tahu mereka punya hubungan yang dekat?" tanya Bara heran kenapa dirinyalah yang paling akhir menyadari kedekatan keduanya.
" Tahu. Ayahmu bahkan memintaku untuk mendekatkan mereka. Dia berniat menjodohkan kakakmu dengan Irina. Tapi aku tidak menyukai ide itu. Aku tahu kamu
menyimpan rasa pada Irina. Untuk itulah aku sengaja membiarkan saja hubungan kalian bertiga berjalan alami seperti sekarang ini. Keputusanku tidak salah
meski hasilnya sekarang diluar dugaan. Maaf aku tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian berdua saat mencarimu tadi. Apa kamu baik - baik saja?" Bastian
mengatakan yang sejujurnya tentang rencana Gerard.
" Sangat baik sekali! Wanita yang aku cintai ternyata memilih kakakku sendiri. Mengatakan bahwa selama ini hubungan kami berdua hanya sekedar kedekatan rekan
kerja, tidak lebih. Dan yang terparahnya lagi, dia meminta pemindahan team padaku agar dia bisa bersama dengan pujaan hatinya. Menurutmu apa aku akan tersenyum
di hadapanmu sekarang dan berkata, don't worry, I am alright" Kamu tahu apa yang aku rasakan saat ini, Bastian" Aku merasa dibohongi!" luapan emosi itu
bisa dipahami oleh Basian yang juga pernah mengalaminya saat mengetahui kebohongan istrinya tentang kematian sang ayah mertua.
" Jangan pakai kepalamu untuk melihat situasi seperti ini. Gunakan hatimu untuk merasakan apa yang sedang Irina lakukan. Dibalik semua ini pasti ada maksud
lain. Aku yakin itu bukan isi hati dia yang sebenarnya" Bastian sudah tahu alasan kenapa Irina mencampakkan Bara demi Braga. Berusaha memberikan pertanda
pada sahabatnya itu. " Apa maksud kata - katamu barusan" Kamu tahu sesuatu tentang Irina?" Bara sukses menangkap isyarat yang diberikan oleh rekannya itu.
" Aku tidak berhak mengatakannya padamu. Lebih baik kamu coba selidiki sendiri jika memang dia sangat berarti untukmu. Saranku apapun yang nanti kamu ketahui,
jangan bertindak gegabah atau kehilangan kepercayaan padanya" saran Bastian.
" Apa yang harus aku selidiki kalau aku saja tidak tahu harus memulainya dari mana?" Bara bertambah bingung dengan pernyataan Bastian.
" Kamu bisa mulai dengan mendatangi tempat ini" Bastian menuliskan alamat di buku notesnya lalu merobek dan memberikannya pada Bara.
" Ini pemakaman" buat apa aku kesana?" tanya Bara bingung saat membaca alamat yang tertera di kertas.
" Disana ada makam ayah Irina. Aku sudah tuliskan detail kavlingnya juga. Kamu akan temukan jawabannya disana" tutur Bastian. Memprediksi bagaimana rekasinya
saat semua rahasia naik ke permukaan. Hanya itu yang bisa dia lakukan untuk saat ini. Biar Bara sendiri yang menentukan apa yang harus dilakukannya.
" Makam ayah Irina?" gumam Bara terkejut. Teringat bahwa Irina pernah menceritakan bahwa ayahnya meninggal akibat serangan jantung. Hal itulah yang mendorongnya
untuk menjadi dokter bedah jantung.
Sepulang dari rumah sakit, Bara segera menuju alamat yang diberikan Bastian. Dari mana sahabatnya itu bisa mengetahui semua tentang Irina" Dia yang memiliki
rasa padanya saja tidak pernah berusaha mencari tahu sampai sejauh itu.
Bara sampai di makam yang dimaksud. Turun dari mobilnya. Dengan mengambil langkah panjang, dia bergegas menuju kavling sesuai alamat yang tertulis di kertas.
Bastian sudah memberikan tanda khas makamnya yaitu bunga Forget Me Not yang selalu ada di atasnya.
Salah satu makam di tengah - tengah pemakaman memiliki ciri - ciri seperti yang digambarkan oleh Bastian. Makam yang rapi, bersih dan terawat. Rangkaian
bunga berwarna biru diletakkan tepat di dekat batu nisannya. Bunga biru yang mengandung arti memori tidak terlupakan itu terlihat masih baru. Kemungkinan
memang ada orang yang selalu datang untuk menggantinya. Lalu dihampirinya makam itu.
Bara membeku di tempat saat membaca nama yang tertera pada batu nisannya: Arya Wiguna Bin Yusuf Iskandar. Dengan mata terbelalak dia baca tanggal meninggalnya.
Tepat 6 hari setelah operasi transplantasi jantung yang pernah dilakukannya 10 tahun lalu. Di hari itulah si pasien mulai mengalami kerusakan otak akibat
perbedaan golongan darah antara donor jantung dan pasien yang menerimanya. Saat dilakukan operasi kedua baru diketahui bahwa telah terjadi kesalahan fatal.
Sayangnya kondisi pasien sudah terlampau serius dan otaknya sudah rusak parah. Karena kebodohannya itu juga yang membuat sang ibu menjadi sasaran empuk
keluarga pasien yang sakit hati sampai tewas. Kenangan itu adalah yang paling menyakitkan seumur hidupnya. Seketika itu juga tubuhnya dingin. Gemetar tangannya.
Langit seakan telah runtuh ke atas kepalanya. Duduk bersimpuh di depan makam bertabur bunga perlambang true love bernama Forget Me Not. Jiwa raganya sangat
terguncang. Inikah yang menjadi penyebabnya" pikir Bara. Apakah dia juga yang telah membunuh ibunya" Apa Irina wanita sejahat itu" Terjadi pergulatan sengit di benak
dan hatinya. Tidak mungkin Irina adalah pembunuh ibunya. Mana mungkin" Dengan tangan gemetar, dia menghubungi Bastian untuk memastikannya.
" Bas, kamu masih ada dirumah sakit atau sudah pulang" aku kesana sekarang. Ada yang mau aku bicarakan denganmu" ditutupnya sambungan telephone lalu bergegas
pergi dari sana menuju rumah Bastian. Kalau tidak segera mendapatkan kepastian tentang semua ini, aku bisa gila! Bara membatin.
Di rumah bergaya modern dengan dua lantai berhalaman luas tipe Mediteran. Tanpa mau ambil pusing memarkirkan mobilnya di garasi, Bara memasuki rumah keluarga
Denfort. Bastian sudah menyambutnya di depan pintu dan mengajaknya bicara di ruang kerja perpustakaan rumahnya. Edel sudah diberitahu oleh sang suami bahwa
akan kedatangan tamu yang mungkin saja bisa mengamuk tiba - tiba di rumah mereka. Usai menidurkan Vino di kamarnya yang berada di lantai 2, nyonya Denfort
pun ikut bergabung dalam pembicaraan mereka.
Edel membaca gerak gerik dan ekspresi Bara. Dia tahu betul itu adalah gelagat orang yang sedang shock dan terguncang. Meminta pelayan rumahnya membawakan
segelas air putih hangat untuk menenangkan Bara. Pembicaraan mereka pun dimulai.
" Aku sudah melihat sendiri apa yang kamu maksud. Karena itukah" karena itu Irina mendekati Braga" Apa sebelumnya karena itu juga dia mendekatiku?" suaranya
bergetar saking emosinya.
" Tidak semuanya benar tapi secara garis besar tebakanmu benar" Bastian menjawab. Dipandanginya wajah sahabatnya itu. Ketakutan pada kenyataan pahit yang
harus segera dihadapinya.
" Apa benar Arya Wiguna yang 10 tahun lalu kubunuh dalam operasi transplantasi jantung itu?" Apa benar Irina adalah pembunuh ibuku?" Apa benar Bas?"" suara
Bara mulai meninggi. Bertanya dengan sorot mata penuh derita.
" Bukan" jawaban singkat Bastian memukul jatuh emosi Bara yang sudah hampir sampai ke ubun - ubunnya.
" Bukan" Bagaimana mungkin bukan" Aku sendiri yang melakukan operasi itu dan aku melihat dengan mata kepalaku sendiri anak perempuannyalah yang menembak
mati ibuku!" seru Bara mengingat kejadian paling pahit dalam hidupnya.
" Apa kamu melihat wajah anak perempuan itu" Kamu melihat sendiri Irina yang menembak mati bu Delilah?" potong Edel mengambil alih pertanyaan.
Bara menelan kembali kata - katanya. Menatap bingung Edel.
" Sebelumnya kami berdua minta maaf telah menyembunyikannya darimu. Tapi kami juga tidak mungkin menceritakan sesuatu yang belum pasti. Ada kalanya kamu
lebih baik tidak tahu dulu sampai waktunya tepat" tutur ibu beranak satu itu mencoba menjelaskan.
" Apa saja yang kalian tahu" Ceritakan padaku. Aku perlu tahu semuanya. Jika memang dia bukan pembunuh ibuku, lantas siapa Arya Wiguna yang batu nisannya
aku lihat tadi?" tanya Bara. Emosinya sudah tidak menentu layaknya samudera. Terus bergejolak dengan ombak yang bergulung - gulung karena terpaan angin
yang ganas. Bastian beranjak dari kursi dan mengambil map bersampul biru lalu memberikannya pada Bara. Isinya merupakan kejutan ketiga setelah penolakan cinta dan
identitas ayah Irina. Bara terperanjat. Ditatapnya pasangan Denfort yang duduk di hadapannya dengan mata terbelalak. Bagaimana mungkin hal seperti ini
bisa terjadi" pikirnya.
" Ini?" Dia hanya bisa tercengang usai membaca isi map yang diberikan oleh Bastian.
" Iya. Seperti yang kamu baca disitu. Saat malpraktekmu terjadi, ada satu lagi malpraktek yang juga dilakukan secara bersamaan. Korban satunya itulah yang
merupakan ayah Irina" Bastian menjelaskan ulang isinya.
" Dan ayahkulah pelakunya. Jadi Irina masuk ke rumah sakit Boulevard untuk membalaskan dendamnya pada ayah. Aku dan Braga sebagai perantaranya untuk mendapatkan
informasi. Aku paham sekarang kenapa dia tidak bisa menerima cintaku dan beralih pada Braga" Bara langsung paham tujuan terselubung Irina.
" Benar. Dia beralih pada Braga karena saat kejadian itu dia yang bertindak sebagai first assistantnya" tambah Bastian memperjelas duduk persoalan yang
sedang terjadi. Anak bungsu Gerard itupun terdiam. Mencoba mencerna semua informasi yang baru saja diterimanya. Sambil memijat - mijat dahinya yang mulai berdenyut sakit,
dia menghela napas panjang. Rasa frustasi tergambar jelas di wajah tampannya. Setelah patah hati habis - habisan, dia harus kembali menelan pil pahit lain
dengan mengetahui bahwa wanita yang ia cintai menyimpan dendam pada sang ayah.
Edel dan Bastian saling bertukar pandang. Tidak tega melihat kondisi Bara yang menjadi sangat terguncang. Mereka memberikan waktu bagi Bara untuk menenangkan
dirinya. Alasan kenapa Bara bisa sampai tidak mengetahui kejadian yang sebenarnya karena saat itu Gerard memang sengaja menyembunyikannya. Dia tidak mau anak bungsunya
semakin tertekan. Sudah cukup dengan beban batin setelah melakukan malpraktek. Menurut sang ayah, Bara tidak perlu menanggung beban lainnya. Apalagi setelah
itu timbul masalah lain yaitu penculikan sang ibu oleh anak korbannya yang berujung dengan kematian.
Bastian ikut menyaksikan bagaimana Gerard menekan pihak - pihak yang mengetahui tentang peristiwa itu agar tutup mulut. Termasuk mengubah data medis ayah
Irina agar tidak teridentifikasi bahwa telah terjadi kesalahan medis. Kemudian data yang asli dia sembunyikan. Selain Gerard hanya profesor Ilyas yang
mengetahui secara detail semua kejadian malpraktek itu. Termasuk ijin untuk mengakses data terlarang tersebut, hanya sang profesor yang memiliki otoritas
penuh. Untuk bisa mengorek informasi dari seorang yang bergelar profesor bukan hal mudah. Sekalipun dilakukan oleh psikiater sehandal Edel. Resiko terbongkarnya
identitas Irina juga perlu mereka pertimbangkan. Edel mengajukan usul. Dia yang akan coba memantau Irina. Memastikan apa saja yang telah dia ketahui tentang
malpraktek itu. Jika Bara saja baru tahu bahwa 10 tahun lalu ada 2 kasus malpraktek. Tidak ubahnya dengan Irina yang kemungkinan juga belum mengetahuinya.
Bastian dan Bara akan mencoba mencari cara mengorek informasi dari profesor Ilyas.
Rasa penasaran masih menggelayut di dalam pikiran Bara. Sepanjang perjalanan pulang dia terus memikirkannya.
" Entah kenapa, aku merasa ada yang aneh pada sikap Braga. Seingatku, dia tidak pernah membahas masalah malpraktek 10 tahun yang lalu itu. Ayah juga tidak
pernah terlihat bicara sembunyi - sembunyi dengan Braga. Tidak mungkin Braga tidak mengetahui kasus ini. Dia adalah first assistant ayah saat itu. Atau
dia memang sangat pandai menutupinya" Posisiku jadi serba salah. Aku tidak mungkin membiarkan rencana balas dendam Irina berjalan sukses. Tapi aku juga
sudah tidak tahan lagi jika harus hidup menanggung penyesalan seperti ini seumur hidup. Perbuatan ayah sudah melewati batas. Anggap saja ini sebagai penebus
dosaku. Akan aku buka kasus ini. Sekalipun kelangsungan hidupku sebagai seorang dokter yang menjadi taruhannya" dalam hatinya, Bara bertekad untuk mengakhiri
permasalahan yang sempat terkubur selama 10 tahun itu. Rahasia kelam rumah sakit Boulevard.
Di sebuah rumah besar bergaya Belanda. Profesor Ilyas duduk termenung di meja kerja yang menyatu dengan perpustakaan pribadi di rumah megahnya itu. Matanya
menatap nanar layar laptop di hadapannya. Post Hypnotic Amnesia (suatu metode yang bisa digunakan dalam terapi kejiwaan dimana hipnotis digunakan sebagai
medianya. Metode terapi ini digunakan untuk menidurkan sebagian ingatan tentang suatu peristiwa yang menyakitkan pada pasien. Cara ini juga bisa digunakan
untuk mengembalikan ingatan yang sempat dilupakan oleh pasien karena depresi atau trauma. Ingatan pasien yang disembunyikan menggunakan metode ini bisa
dikembalikan lagi) , berhasil menarik penuh perhatian laki - laki berumur 50 tahun itu.
12. Jigzaw Puzzle Malam hari di kediaman keluarga Witchlock. Rumah megah dengan arsitektur classic mediteran. Dikelilingi kebun luas berkonsep garden hill dan mediteran
park. Nuansa putih dan gold menyatu dengan sempurna pada setiap detail bangunan kokoh itu. Pancuran air besar berdiri tegak ditengah putaran jalan masuk
depan. Berhias kilauan cahaya lampu membuat air yang mengalir bagaikan kristal - kristal bening yang beriringan.
Dibagian belakang, membentang perkebunan luas nan hijau. Berbagai jenis bunga sampai tanaman obat terhampar subur di tanah bergaya perkebunan Amerika.
Di salah satu sudutnya, berdiri seorang laki - laki berpostur jangkung dengan rambut kecokelatan. Mengenakan kaus berlengan panjang berwarna putih salju
dan celana panjang putih. Wajah rupawannya tampak bersih dibawah pancaran sinar rembulan. Terlihat guratan kesukaran yang nyata dan kebimbangan tersirat
di kedua matanya. Braga memandangi kumpulan bunga mawar putih. Tampak sedang ada yang mengganggu pikiran laki - laki berhidung mancung itu. Bunga mawar putih merupakan bunga
kesukaan sang ibunda. Disentuhnya bunga bermakna cinta suci itu lalu di petiknya setangkai.
"Mother. Kenapa belakangan ini aku merasa ada hal buruk yang akan terjadi" Tidak bisakah engkau memberitahuku rahasia Tuhan selanjutnya" Untukku, untuk
ayah dan untuk Bara. Ada rasa sesak yang entah dari mana asalnya. Apa aku mulai gila, Mom?" gumam Braga menatap sedih sang bunga. Curahan hati tentang
hal buruk yang akan terjadi itu memang akan menjadi kenyataan. Cepat atau lambat.
Hari itu first asistant Team 1 dan Team 3 telah ditukar. Dastan yang menggantikan posisi Irina di team 1 sebagai asisten Bara. Hal ini mengundang tanda
tanya besar di kalangan dokter divisi jantung. Isu tentang perselisihan sampai affair antara Irina, Bara, Villan dan Braga pun mencuat ke permukaan. Tidak
hanya di kalangan dokter saja sampai para staff dan perawat pun membicarakannya. Bara tidak mau ambil pusing dengan semua bisik - bisik yang merebak di
belakang punggungnya. Dia sedang fokus untuk mengumpulkan informasi terkait kasus malpraktek 10 tahun lalu. Meski harus menekan hasratnya saat berpapasan
dengan Irina atau Braga. Bara berjalan menuju ruang kerja profesor Ilyas. Langkah lebarnya berhenti tepat di depan pintu bertuliskan 'Profesor Dr.Ilyas Gustav Sp.BTKV M.Kes'. Mempertimbangkan


Boulevard Revenge Karya Crimson Azzalea di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segala kemungkinan yang akan terjadi setelah dia melangkahkan kaki masuk ke dalam. Situasi mungkin akan memburuk dan semakin tidak terkendali setelah dia
mengatakan apa yang akan dia katakan nanti. Tapi tekadnya sudah bulat untuk mengakhiri semua permasalahan tersembunyi ini. Semuanya harus selesai! Gumamnya
dalam hati. Bara pun mengetuk pintunya.
"Masuk" jawaban dari dalam.
Dia membuka pintu dan masuk. Di dalam profesor Ilyas tengah sibuk di depan laptop hitamnya. Saat melihat siapa yang datang, ia sempat terkejut. Kemudian
menatap dokter bedah jantung bertangan dingin itu dengan ekspresi senang yang sedikit dipaksakan.
" Bara. Tumben sekali kamu mengunjungiku di waktu seawal ini. Ada hal penting apa?" tanya profesor Ilyas berbasa basi. Matanya tetap tidak bisa membohongi
Bara bahwa ada kewaspadaan tersirat disinar mata hangat itu.
" Ada yang ingin saya bicarakan dengan anda, profesor. Bisa saya minta waktu anda sebentar?" Bara mengutarakan niatnya tanpa ragu.
Mimik wajah profesor Ilyas berubah serius. Mengangguk dan mempersilahkannya untuk duduk. Dihampirinya sofa berwarna cokelat kopi di seberang Bara lalu
duduk menunggu pembicaraan dimulai.
" Saya ingin menanyakan tentang kasus malpraktek 10 tahun lalu. Apakah saat itu ada dua malpraktek yang dilakukan secara bersamaan dengan nama pasien yang
sama yaitu Arya Wiguna" Benarkah seperti itu, profesor?" Bara memulai pertanyaannya.
Mendengar pertanyaan yang sudah diduganya sejak pertama kali tamu tak terduga itu menginjakkan kaki di kantornya, cukup membuatnya terkesan. Ternyata anak
ini sudah tahu. Apakah dia juga tahu bahwa Irina adalah anak salah satu korbannya" Pikiran tentang jati diri Irina terlintas dibenakknya.
" Benar. Memang saat itu ada dua kejadian malpraktek yang terjadi secara berdampingan. Ruang operasinya pun bersebelahan. Enam hari pasca operasi kedua pasien
sama - sama mengalami kerusakan otak karena ketidakcocokan golongan darah pada jantung barunya" tidak ingin menutupi apapun, dia mengatakan yang sebenarnya
pada Bara. Selama ini ia terpaksa menutupinya atas permintaan Gerard.
" Kenapa anda tidak memberitahu saya" Kenapa baru mengatakannya sekarang, profesor?" tanya Bara. Tak disangka sang profesor bisa menutupi semua ini darinya.
" Jangan salah paham dulu. Aku tidak menceritakannya padamu karena ayahmu memintaku untuk merahasiakannya darimu. Maksud pak Gerard baik. Dia tidak ingin
kamu ikut tertekan jika mengetahui ada kejadian buruk lain yang terkait dengan kasusmu" tutur profesor beranak tiga itu.
" Tapi saya berhak tahu profesor! Saya tidak suka diperlakukan layaknya anak kecil yang tidak bisa apa - apa! Lantas, ayah menutupinya sama seperti dia
menutupi kesalahanku, kan?" sahut Bara mulai meninggikan suaranya.
" Maafkan aku, Bara. Tidak ada yang berniat memperlakukanmu seperti anak kecil. Ini benar - benar hanya kekhawatiran seorang ayah pada putera bungsunya
saja. Ayahmu menutupinya bersamaan dengan menutupi kasus malpraktekmu. Seluruh data disembunyikan dan keluarga korban diatur agar tutup mulut. Serapi mungkin
kejadian ini disimpan rapat - rapat" jawab profesor Ilyas mencoba meredam emosi Bara.
" Korban pasien ayahku juga memiliki anak perempuan kan" Sama seperti anak korban yang membunuh ibuku. Anda tahu tentang dia?" pertanyaan mulai mengarah
pada Irina. " Iya. Korban satunya juga memiliki anak perempuan tapi aku tidak tahu mengenai anak ini. Yang aku tahu, hanya si anak masih berumur 17 tahun saat itu.
Kenapa kamu menanyakan tentang anaknya?" pertanyaan berbalik kembali.
" Anak itu memiliki potensi untuk kembali dan membalaskan dendamnya pada rumah sakit. Bisa sama dengan anak korban yang berhasil membunuh ibuku. Ayah terlalu
keras kepala tidak mau mengakui dan membuka kasus ini pada media. Dia terlalu cinta pada rumah sakit ini!! Itulah yang sangat aku benci! Bahkan Braga juga
ikut bungkam tentang masalah ini. Dia tahu ayah juga melakukan kesalahan. Kenapa ikut menutupinya sampai seperti ini" Apakah kematian ibu tidak cukup untuknya"
Untuk mereka berdua?"" ucap kekecewaan Bara pada kedua keluarganya.
" Braga tidak tahu apa - apa tentang masalah ini. Dia tidak ikut dalam operasi itu. Saat itu dia sedang menangani pasien lain diluar ruang operasi. Dan
ketika pasien mengalami masa kritis akibat kerusakan otak dia juga tidak ada dirumah sakit. Kamu tahu sendiri saat kematian ibumu, Braga berada di Amerika.
Jangan salahkan dia" jawabnya menjelaskan kondisi Braga.
" Braga tidak ada dalam operasi dan kejadian itu" Saat penculikan ibu terjadi sampai kematian ibu aku memang tidak bertemu dengannya tapi aku yakin saat
itu dia ada. Bukankah dia ke Amerika beberapa saat setelah kematian ibu" Apa anda tidak salah?" sahut Bara tidak percaya bahwa Braga tidak tahu.
" Dia benar - benar tidak tahu karena sedang berada di Amerika saat ibu Delilah diculik. Braga kembali ke Indonesia justru karena mendengar kabar kematian
ibu kalian" jawabnya.
" Untuk apa kakakku ke Amerika sebelum kematian ibu?" tanya Bara lagi.
" Ayahmu yang menyuruhnya ke sana beberapa saat guna menyelesaikan bisnis alat medisnya" jawab sang profesor.
Penjelasan ini justru menambah kecurigaan Bara pada sang kakak. Braga tidak tahu" Kenapa dia justru ragu pada fakta yang satu itu" Profesor Ilyas menatap
Bara. Dia paham bahwa keterangannya barusan mengipasi rasa penasaran si bungsu.
" Aku tahu kamu masih penasaran. Tapi hanya itu yang bisa aku sampaikan padamu" ujar profesor Ilyas.
" Tidak apa - apa profesor. Saya tahu anda hanya menjalankan apa yang ayah minta. Saya tidak akan membahayakan posisi anda?" Bara tidak memaksa sang profesor
untuk memberikan data lengkapnya.
Dia berdiri untuk undur diri dari sana. Berbalik kembali.
" Sebelumnya, profesor. Saya ingin menanyakan pendapat dan pemikiran anda secara pribadi tentang kejadian ini. Anda seorang profesor doktor dibidang medis.
Anda, saya dan semua yang ada disini juga sudah disumpah sebagai pelayan kesehatan untuk mengabdi kepada masyarakat. Apakah semua yang telah kita lakukan
ini tidak menyentuh hati nurani anda sebagai seorang dokter" Apakah tidak ada rasa bersalah atas dosa - dosa ini" Kita sembunyi tangan selama 10 tahun
atas kesalahan yang menyebabkan hilangnya nyawa manusia. Dua keluarga telah kita lukai perasaannya. Dua anak perempuan telah kita buat sengsara hidupnya.
Bukan hanya itu. Bahkan dibalik jas putih ini, kita tidak lebih dari seorang pecundang yang lari dari kesalahan demi menyelamatkan diri sendiri. Bagaimana
jika hal ini terjadi pada keluarga anda" Tidakkah pikiran itu ada di benak anda, profesor?" dengan suara dalam dan pandangan mata penuh sesal, Bara berusaha
membangkitkan rasa belas kasihan profesor Ilyas. Dia yakin sang profesor adalah orang yang merasa paling bersalah.
Selama beberapa detik, keduanya beradu pandang. Pergulatan batin mereka bagaikan angin ribut yang mengaum meluluhlantakkan segala penyesalan. Takut pada
apa yang akan terjadi setelah semuanya terungkap berbanding lurus dengan keinginan kuat untuk melepaskan semua rantai permasalahan ini. Tanpa perlu diberitahupun
mereka sudah paham. Paham semuanya telah salah. Sangat salah.
Bara memberi salam hormat pada profesor Ilyas lalu pergi meninggalkan laki - laki berumur 50 tahun itu untuk merenungi semua kata - kata yang barusan diucapkannya.
Ucapan yang tepat mengenai relung hati siapapun yang mendengar. Profesor Ilyas bangkit menghampiri meja kerjanya dan menghubungi seseorang melalui telepon
kantor. " Hallo. Aku profesor Ilyas. Bisa kamu ke ruanganku sebentar" ujarnya.
Bara bergegas kembali ke ruang kerjanya. Menunggu kedatangan Bastian. Saat melangkah keluar dari lift. Berdiri seorang wanita yang telah berhasil menyita
seluruh perasaan cintanya. Wanita ini juga yang telah menghancurkan hatinya habis - habisan. Mereka bertemu pandang. Kedua mata indah itu menusuk hingga
ke dasar hati. Semakin sakit rasanya, semakin besar juga rasa rindunya. Kejadian sepahit apapun tidak mengubah sedikit pun perasaan cinta pada wanita ini.
" Mengapa cinta kokohku harus hadir ditengah kami yang berlawanan" Terasa tidak mungkin untuk bisa bersatu. Dia membenciku dengan segenap jiwanya sedangkan
aku mencintainya sampai hampir mati hatiku menanggung sakitnya. Inikah balasan untuk kesalahanku, wahai Tuhan?" ungkapan hati Bara yang memandang Irina
untuk pertama kali setelah penolakan kemarin.
Irina terpaku menatap Bara. Sehebat apapun dia menyembunyikan perasaan, tetap terlihat pancaran kesengsaraan dikedua mata beningnya. Perasaan cinta semakin
berkobar untuk laki - laki ini. Genggaman pada kotak besar berisi barang - barang yang diangkutnya dari kantor lama untuk dipindahkan, bergetar gugup.
Otaknya seperti gagal memberikan signal pada sekujur tubuhnya untuk pergi dari sana karena hatinya lebih kuat meminta untuk tetap tinggal disana. Bersama
Bara. "Aku harus pergi. Memandangmu terlalu lama bisa melemahkanku. Aku bisa bertindak gila karena ingin terus bersamamu. Aku rasa, aku memang sudah mulai gila!
Gila karena sakitnya menyiksa hingga setiap sendi tulangku! Kenapa Engkau menggerakkan hatiku untuk mencintainya, Tuhan" Aku tidak berhak mencintainya
dan dia tidak seharusnya mencintaiku. Kami tidak punya jalan untuk bersama. Jalan kami berbeda. Jalanku gelap dan berduri. Dia tidak boleh ikut denganku
melewati jalan itu!" ratapan hati Irina. Matanya mulai memerah. Ingin rasanya dia memeluk laki - laki dihadapannya.
" Tiinggg!!" suara pintu lift naik terbuka menyadarkan segala lamunan. Dengan sedikit canggung dia mengalihkan pandangannya. Tergopoh - gopoh memasuki
lift yang terbuka. Lengan kanannya ditahan oleh tangan lain yang jauh lebih besar. Bara memeluk Irina dari belakang. Menundukkan kepalanya ke telinga Irina.
" Maaf. Aku minta maaf" ucapnya dengan suara rendah.
Bingung mendengar permintaan maaf Bara. Irina menoleh. Melihat sepasang mata tajam yang menatapnya dengan sedih. Melepaskan pelukannya. Tanpa mengucapkan
sepatah kata pun Bara pergi meninggalkan Irina yang terpana seorang diri.
Ruangan bernama 'Dr.Braga Dereck Witchlock Sp.BTKV' yang bertengger di depan pintunya. Giliran Bastian untuk menjalankan tugas sesuai kesepakatan.
" Hal penting apa yang ingin kamu bicarakan denganku, Bas?" tanya Braga.
" Aku ingin mendiskusikan beberapa hal. Tepatnya tentang malpraktek 10 tahun lalu. Kamu tentu ingat akan kejadian itu, bukan?" Bastian memilah setiap katanya
agar terdengar senatural mungkin.
" Malpraktek 10 tahun lalu?" tanya Braga belum bisa menangkap apa yang sebenarnya hendak dibicarakan oleh ayah beranak satu dihadapannya.
" Iya. Malpraktek yang melibatkan Bara juga ayahmu. Bukankah kamu yang bertindak sebagai asisten bedahnya?" lanjut Bastian mulai menangkap kejanggalan
pada respon Braga. " Aku. . . tidak ada disana" gumam Braga berusaha mengingat kejadian yang dimaksud oleh Bastian. Dia tidak ingat pernah tahu tentang kejadian tersebut.
" Kamu tidak ada disana" Memangnya saat itu terjadi, apa yang sedang kamu lakukan?" tanyanya lagi.
" Aku sedang menangani pasien lainnya. Apa ayah yang melakukannya" Kenapa Bara jadi bisa terlibat juga?" Braga balik bertanya.
Bastian tercengang mendengar jawaban itu. Apa yang salah dari pernyataan Braga tadi" Seperti ada gap kosong di penuturan anak sulung Gerard itu.
" Kamu benar - benar tidak tahu tentang malpraktek 10 tahun lalu yang dilakukan oleh Bara dan ayahmu?" Bastian kembali menegaskan lagi.
" Aku tidak ada disana, Bas. Saat itu aku sedang di ruang UGD menangani pasien tabrak lari yang cukup serius. Aku memang tahu bahwa ayah sedang ada operasi
jantung tapi aku tidak tahu menahu masalah malpraktek yang dilakukannya ataupun Bara" jawab Braga. Dia benar - benar bingung kenapa tidak ada yang berusaha
memberitahukannya. Bara ataupun sang ayah tidak menginformasikan apa pun.
" Unbelieveable " seru Bastian tidak dapat mempercayainya. Braga yang mereka anggap sebagai saksi mata utama justru sama sekali tidak mengetahui kejadian
itu. " Kenapa tidak ada yang membahas masalah malpraktek itu" Apa yang sebenarnya terjadi Bas?" Braga mulai ikut penasaran.
" Malpraktek itu juga yang menjadi penyebab terenggutnya nyawa ibumu, Braga" sahut Bastian dengan gamblang.
" What?" sekarang kamu memberitahuku bahwa ada satu lagi yang tidak aku ketahui selain malpraktek ayah dan Bara" What's going on here" " serunya. Kenapa
ia tidak diberitahukan sama sekali".
" Beritahu aku, Bas. Beritahu aku kejadian yang sebenarnya! Kenapa aku tidak tahu sama sekali tentang ini?" Tidak tahu ada kejadian seburuk ini terjadi
pada keluargaku!!" suara Braga mulai naik. Selama ini dia menjadi pihak yang baik - baik saja sedangkan adik dan ayahnya dalam kondisi sakit. Dia tidak
tahu. Seperti orang bodoh.
" Aku tidak berhak mengatakannya. Lebih baik kamu tanyakan pada ayahmu. Dia yang berkewajiban menceritakannya" jawab Bastian. Memberikan umpan balik untuk
menyerang Gerard secara langsung.
Diluar pintu. Irina mendengar semua percakapan kedua laki - laki lulusan Harvard itu. Sasarannya selama ini ternyata salah. Braga bukan berbohong atau
berusaha menutupi kejadian itu. Tapi dia memang tidak tahu soal malpraktek Gerard. Yang paling mengagetkannya adalah fakta bahwa justru Bara yang memiliki
keterikatan dengan kasus itu. Keadaan seperti berbalik ke posisi semula. Namun kondisinya tidak seperti dulu. Dimana dia bisa dengan bebas memanfaatkan
Bara ataupun mencoba menerkamnya dari belakang. Sekarang dia tidak akan sanggup melakukannya. Karena cinta ini. Karena cintanya pada pemuda itu yang membuatnya
menjauh. Kenapa harus Bara bukan Braga saja seperti dugaan sebelumnya" keluh Irina dalam hati. Setengah terguncang, Irina berbalik dan berlari kembali
menuju ruang kerja lamanya di lantai 3.
Di ruang kerja Irina sudah ada Edel yang telah menunggunya sejak tadi. Terkejut melihat kehadiran sahabatnya. Dia berusaha bersikap biasa.
" Hai, Rin. Aku sudah menunggumu sejak tadi. Kamu dari mana" Sedang sibuk untuk pindah ruang kerja?" sapa Edel tersenyum ramah sambil mengamati setiap
tindak tanduk teman satu sekolahnya itu. Mencoba membaca mood Irina.
" Edel" Tumben kamu mengunjungi kantorku" Biasanya kamu kesini hanya untuk datang ke kantor suamimu. Ada apa?" ujar Irina menghilangkan ketegangan.
" Ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Penting. Bisa kan?" jawabnya serius.
Melihat raut wajah serius Edel justru menambah kekhawatiran Irina. Mereka duduk di sofa. Tidak sedikit pun tatapan Edel luput dari setiap gerakannya.
" Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Irina gugup dengan cara pandang Edel.
" Apa motivasimu yang sebenarnya masuk ke rumah sakit ini?" Edel bertanya secara frontal. Tanpa basa basi.
" Maksudmu apa" Tentu saja karena aku ingin bekerja disini. Ada kamu juga. Apa lagi memangnya?" jawab Irina bertambah gelisah.
" Jangan berbohong padaku, Rin. Kamu masuk ke sini karena dendam atas kematian ayahmu kan?" ujar Edel dengan tatapan mengintimidasi.
Irina terkejut dengan tuduhan yang ditujukan padanya. Tepat sekali pada sasaran. Hanya saja dia belum siap jika sahabatnya sampai mengetahui rahasia itu.
Jiwanya yang sangat ingin berontak. Menjadi semakin terpancing untuk mengatakan apa yang sudah lama tersimpan di hatinya.
" Aku. ." Tak dapat mengatur kata - kata untuk menjelaskannya. Kepandaiannya dalam berdebat seakan menghilang tanpa bekas. Tidak ada kalimat yang bisa
digunakannya sebagai dalih jika sudah menghadapi sahabat psikiaternya ini. Hanya berdeham saja dia pasti sudah bisa mengartikan disetiap tingkatan volumenya
memiliki interpretasi yang berbeda - beda.
" Kamu tahu, kamu tidak akan bisa berbohong padaku. Aku tidak memaksamu untuk mengakui semuanya secara rinci. Yang aku minta adalah kamu mengakui niat
tidak baik atau pun segala rencana balas dendam itu. Aku dan Bastian akan bantu kamu untuk membukakannya. Kamu hanya perlu berbagi dan belajar percaya
pada kami" tutur Edel.
" Semua yang kamu katakan tadi memang benar. Aku memang menyimpan dendam yang sangat besar pada rumah sakit ini. Terutama pada pemiliknya, Gerard. Jika
kamu jadi aku, apakah kamu tidak akan sakit hati" Tidakkah kamu ingin membalaskannya seperti saat kamu membenci almarhum ayahmu itu?" Pengakuan yang sulit.
Namun akhirnya bisa meluncur lepas. Terkalahkan oleh amukan emosi hati yang selama ini tersimpan rapat di dasar hatinya.
" Hentikanlah rencanamu, Rin. Kamu yang akan hancur jika meneruskannya" Edel meminta agar sahabatnya ini bersedia menurunkan bendera perangnya.
" Kamu sudah tahu tentang apa yang dialami oleh ayahku dan aku, tapi malah menyuruhku berhenti" Apa kamu tidak merasa bahwa aku dan ayah telah mendapatkan
ketidakadilan dalam kasus ini" Apa kamu akan membela rumah sakit Boulevard meskipun salah" Begitukah, Del?" sahut Irina. Kekecewaan terkandung dalam suaranya.
" Bukan aku menyetujuinya. Maksudku, kamu bisa mendapatkan bantuan dari aku dan Bastian guna membongkar permasalahan ini. Jangan menghadapinya sendirian.
Jangan menderita sendirian. Jangan memperalat orang lain hanya demi tujuan pribadimu apalagi sampai membohongi perasaan sendiri" Edel mengutarakan semua
aspek yang perlu dia pertimbangkan.
"Bukan mauku memperalat orang lain! Bukan inginku membohongi perasaanku sendiri! Dendam ini tidak bisa aku kontrol! Tercipta karena rumah sakit ini!" seru
wanita berdarah Sunda itu. Dendam itu bukan pilihannya. Dia pun sangat menderita harus terus memikulnya. Sadar sesadar - sadarnya, bahwa semua itu mungkin
akan menghancurkan dirinya sendiri. Menghancurkan segala yang ada disampingnya. Termasuk menghancurkan laki - laki yang dicintainya.
" Apa yang terjadi sampai kamu sedendam ini, Rin" Ceritakan padaku" Edel ingin bisa mengerti perasaan Irina. Dia juga pernah mengalami kondisi dimana rasa
sakit hati menguasai seluruh pikiran dan hatinya. Hidup penuh derita. Angkara murka mengontrol hampir setiap akal dan hati nurani. Bersumber dari pengalaman
itu, membuatnya semakin tergerak untuk membantu dan mengarahkan Irina menuju jalan yang lebih terang. Sebelum sang sahabat kehilangan segalanya. Seperti
saat ia hampir saja kehilangan anak dan suaminya. Tak ingin Irina sampai kehilangan cintanya.
" Kamu mau tahu kenapa aku bisa sedendam ini pada rumah sakit Boulevard?" Akan aku ceritakan sebobrok apa masa lalu rumah sakit termasyur ini" Dengan memberikan
penekanan pada nama rumah sakitnya, dimulailah kisah pahit kehidupan Irina.
Flashback Rumah sakit Boulevard 10 tahun silam.
Ambulans memasuki pekarangan rumah sakit yang luas. Kecepatannya mengisyaratkan bagaimana kondisi pasien yang sedang dibawanya. Berhenti di depan pintu
Unit Gawat Darurat atau disingkat UGD. Para petugas unit siaga itu langsung berlari menurunkan pasien. Sigap dan terampil. Pasien adalah korban tabrak
lari. Kondisinya sangat mengenaskan. Seorang remaja perempuan berumur 17 tahun mendampingi disebelah laki - laki yang bisa langsung dipastikan bahwa itu
adalah ayahnya. Sang ayah terkapar tidak sadarkan diri bersimbah darah dari kepala sampai membanjiri kemeja biru yang dikenakannya. Gadis berambut panjang
sebahu itu hanya bisa menangis. Petugas medis memisahkan mereka agar bisa melakukan tindakan dengan lebih leluasa. Seorang dokter laki -laki berkaki panjang
berlari menghampiri dan memberikan komando pada para petugas untuk segera membawa pasien ke dalam.
" Ayah! Ayah!" Suara tangisan sang anak menggema sepanjang ruang UGD.
" Mbak tenang dulu, ya. Dokter sedang melakukan tindakan pada ayah mbak. Ayah mbak pasti baik - baik saja" Perawat membesarkan hati gadis cantik bermata
besar itu. " Tapi ayah saya benar bisa sembuh kan suster?" Gadis berkulit putih itu meminta kepastian.
" Hanya dokter yang bisa memastikannya. Kita tunggu hasil pemeriksaan dulu. Semoga semua baik - baik saja" Untunglah sang perawat adalah orang yang berpikiran
panjang. Tidak langsung mengucapkan janji - janji tidak berdasar pada keluarga pasien. Dengan hati - hati memilah katanya agar si anak tidak merasa pesimis.
Tindakan medis masih berlangsung. Terdengar suara Tenor dari balik bilik rawat " Siapkan ruang operasi! Beritahukan pada keluarga pasien!". Kemudian seorang
dokter wanita yang bertugas muncul dari balik bilik rawat dan menghampirinya.
" Bagaimana kondisi ayah saya , dok?" Tanyanya.
" Kondisinya masih bisa kita selamatkan. Hanya saja ayah anda harus dioperasi. Tulang dadanya mengalami kerusakan. Menurut hasil pemeriksaan kami, perlu
dilakukan perbaikan pada tulang dada yang patah. Ada kemungkinan mengenai organ dalam dadanya. Seperti paru - paru atau jantung. Ada keluarga yang lebih
dewasa untuk mengambil alih keputusan?" Dokter bernama Hana itu menjelaskan.
" Tidak ada. Hanya saya, dok. Kalau memang dibutuhkan, silahkan dilakukan tindakan lanjutan. Yang penting ayah saya sembuh" Setuju dengan apapun tindakan
yang harus dilakukan. " Baiklah. Suster, tolong berikan form yang harus ditanda tangani oleh keluarga pasien. Maaf saya permisi dulu" Dokter Hana pun pamit.
Dibacanya isi form dan diisinya. Tertanda Irina Haruna Yasmine selaku pihak keluarga yang menyetujui dilakukannya operasi pada pasien bernama Arya Wiguna.
Operasi dilakukan kurang lebih 2 jam. Irina hanya bisa pasrah menunggu di ruang tunggu sambil berdoa. Doa agar ayahnya bisa selamat tidak putus - putus
ia panjatkan. Tidak lama seorang dokter Hana keluar dan menghampirinya lagi.
" Maaf nona Haruna. Setelah dilakukannya tindakan perbaikan tulang dada pada bapak Arya Wiguna, kami menemukan bahwa jantung beliau mengalami kerusakan serius.
Sehingga memerlukan prosedur transplantasi jantung. Hasil pemeriksaan tadi juga berhasil diketahui bahwa ayah anda memang sebelumnya sudah mengidap penyakit
jantung koroner meski stadiumnya belum parah" Dokter Hana menjelaskan keabnormalan lanjutan pasca kecelakaan.
" Tapi bisa segera ditangani dengan transplantasi jantung itu, dok" Bisa langsung sembuh, kan?" Takut akan kehilangan sang ayah benar - benar meneror Irina.
Begitu banyak kejadian mengerikan datang bertubi - tubi. Mulai dari kecelakaan di depan kedua matanya menghantam sang ayah, operasi yang mendadak harus
dilakukan sampai berita kerusakan jantung sukses mencabik - cabik keberaniannya. Betapa ingin dia protes. Kenapa harus terjadi padanya yang sudah tidak
punya siapa -siapa" Kepada siapa dia harus meminta bantuan".
" Untuk prosedur tranplantasi jantung kita harus melakukan pengecekkan keseluruhan agar bisa menemukan donor yang cocok. Untuk sementara ayah anda akan
menggunakan alat sokong jantung sampai donor bisa ditemukan dan operasi itu bisa dilakukan. Pasien akan dipindahkan ke ruang ICU. Maaf saya permisi" Dokter
Hana pamit usai memberikan penjelasan.
Sekitar 2 hari kemudian donor telah ditemukan yang cocok. Hal ini merupakan harapan besar bagi Irina. Sebelumnya dia sudah bertemu dengan dokter yang akan
melakukan operasi transplantasi pada sang ayah. Dokter utama bernama Gerard Isaac Witchlock. Dia sudah memeriksa riwayat dokter seperti apa yang akan menangani
ayahnya kelak. Hanya karena tidak ingin resikonya menjadi bertambah besar. Reputasi Gerard benar - benar mengesankan. Irina lega begitu mengetahuinya.
Belum usai rasa kekhawatirannya, kondisi sang ayah tiba - tiba memburuk. Jadwal operasi yang baru akan dilakukan 3 hari kemudian jadi harus dimajukan menjadi
sore itu juga. Hiruk pikuk kehebohan terjadi. Dokter Gerard saat itu tidak berada di rumah sakit. Kondisi ini menjadi faktor utama kebingungan para petugas medis yang
menangani Arya. Mereka sudah menghubungi dokter Gerard tapi beliau sedang menangani pasien darurat di rumah sakit cabang. Hari itu memang dia dimintai
bantuan untuk menangani pasien pengidap tumor jantung yang berada di rumah sakit cabang Boulevard. Dokter bedah jantung lainnya sedang menangani pasien
lain yang tidak kalah seriusnya.
Irina cemas setengah mati mendengar kabar ini. Duduk gelisah di ruang tunggu. Sesekali berdiri dan berjalan mondar mandir. Gelagat umum orang yang sedang
panik tak menentu. Kru di ruang operasi yang menanti kedatangan dokter Gerard, tidak kalah cemasnya. Ditengah lantunan doa yang dipanjatkan oleh Irina,
sosok laki - laki bertubuh jangkung muncul. Mengenakan pakaian khusus operasi berwarna biru langit. Masker operasi menutupi sebagian besar wajahnya. Bola
mata kecokelatan yang sudah dikenali Irina dari pertemuan pertama dengan sang dokter keturunan Amerika itu, memandangnya dengan tatapan hangat untuk menenangkannya
lalu beranjak memasuki ruang operasi. Rasa syukur melebur jadi satu dengan rasa takut akan kegagalan operasi yang bisa saja terjadi. Dokter yang mereka
tunggu sudah hadir. Semuanya akan baik - baik saja. Semuanya akan berhasil. Kedua kalimat yang diulang - ulang dalam benaknya. Bak kaset kusut yang memutar
rekaman pada bagian yang itu - itu saja.
Tidak memakan waktu terlalu lama, operasi usai. Irina diberi kabar bahwa operasi berhasil. Mereka hanya perlu menunggu reaksi setelah pemulihan. Rasa lega
menghampiri dan ketakutannya sirnah seketika. Arya dibawa keluar menuju ruang ICU untuk pemantauan lebih lanjut.
Selang 6 hari usai proses pergantian jantung. Kondisi Arya memburuk. Terdeteksi adanya penolakan disertai kerusakan pada beberapa organ dalam lainnya.
Kerusakan itu menggerogoti hingga ke organ otak. Arya dibawa kembali memasuki ruang operasi untuk penanganan darurat. Yang mengherankan Irina saat itu,
tidak ada satu pun awak rumah sakit yang bersedia memberikan keterangan tentang apa yang terjadi pada ayahnya. Mengapa bisa kembali kritis setelah operasinya
berhasil" Pikirnya. Perasaan tidak enak mulai menggaung di benak dan hatinya. Tepat saat seorang kru operasi yang sedang bertindak di dalam ruang operasi
keluar, hawa dingin menjalar disekujur tubuhnya. Jantungnya mendesir. Oh, tidak! Gumamnya dalam hati. Firasat buruk dari yang terburuknya menjadi kenyataan.
Sang ayah meninggal dunia karena kondisi yang terus menurun pasca operasi terakhir. Benturan dari kecelakaan tempo hari telah merusak beberapa syaraf pada
otaknya. Ikhlas atau tidak ikhlas, ia harus menerima kenyaataan pahit itu. Tangis histeris Irina menggema disepanjang lorong area operasi. Di seberang
tempatnya yang sedang menangis habis - habisan atas kematian sang ayah, ada seorang anak perempuan kira - kira seumuran dengannya. Dia menatap pintu ruang
operasi dengan sorot mata berapi - api. Seakan bisa membakar pintu itu hanya dengan tatapannya. Gadis cantik berambut pendek sebahu itu berpaling dan beranjak
pergi dengan mengepalkan kedua tangannya. Ada apa dengan dia" Tanpa peduli memikirkan gadis aneh tadi, dia meneruskan tangisannya hingga suaranya serak.
Perlu tenaga ekstra untuk mengumpulkan kembali nyawa yang tercerai berai dari kabar kematian itu. Mulai terasa kejanggalan karena jasad sang ayah belum
bisa ia temui padahal sudah 2 jam berlalu. Dia ingin melihat wajah sang ayah tercinta meski sudah tidak dapat lagi dia saksikan senyuman hangat yang biasa
ia terima disituasi segenting apapun. Kabar bahwa jasadnya sudah dibawa ke ruang isolasi menambah tanda tanya besar dalam catatan keanehan kematian sang
ayah. Irina melesat menuju ruang isolasi yang dimaksud. Sampai disana pun dia masih belum diijinkan melihat jenazahnya. Ada apa sebenarnya" Aneh. Jasad
yang sudah tidak bernyawa seharusnya tidak perlu dimasukkan ke ruang isolasi. Lagipula ayahnya bukan korban pembunuhan yang perlu dilakukan proses otopsi(*)
lebih lanjut. (*)(otopsi adalah investigasi atau pemeriksaan jasad untuk menentukan sebab kematiannya. Ada dua jenis otopsi. Pertama otopsi forensik dimana proses otopsi
bertujuan untuk membantu proses penyelidikan tindak kriminal. Yang kedua otopsi klinikal, proses otopsi yang dilakukan di rumah sakit untuk bahan pembelajaran
medis). Di bagian lain ruang isolasi. Dia melihat lagi anak perempuan bersorot mata tajam saat di ruang tunggu tadi.
" Pembunuh! Kalian semua pembunuh ayahku! Lepaskan aku! Akan aku balas kematian ayahku! Kalian harus membayarnya!" Jerit gadis belia itu tengah mengamuk
histeris ditahan oleh dua orang petugas rumah sakit. Lalu dibawa pergi entah kemana. Pembunuh" Kenapa anak seusianya bisa mengatakan hal seperti itu pada
petugas medis" Apa yang terjadi" Rasa curiga menyeruak dibenaknya. Diliputi rasa ingin tahu yang tinggi, Irina mulai menyelidiki tentang kejanggalan pada
kematian ayahnya. Sampai tengah malam dia belum juga diijinkan untuk melihat jenazah ayahnya. Nasib baik menyertai pengusutan Irina. Sesampainya di depan
ruangan khusus dokter bedah jantung, tidak terlihat adanya orang disana. Dia pun masuk dan bersembunyi di salah satu celah tak terlihat lalu menutupnya
dengan gorden. Tidak lama tiga orang dokter memasuki ruangan. Mereka adalah Gerard bersama dua orang dokter senior lainnya yang tidak ia kenali. Wajah
mereka tampak tegang. " Kalian tentunya tahu kenapa aku memanggil kalian kesini" Aku ingin membahas masalah terkait kesalahan medis pada pasien bernama Arya Wiguna tadi sore.
Permasalahan ini jangan sampai bocor dan diketahui oleh pihak keluarga apalagi media dan kepolisian" kepanikan tergambar di wajah Gerard. Sekuat apapun
dia berusaha menutupinya, efek dari kecemasan tetap muncul di air wajah dan suaranya.
" Tapi bagaimana dengan petugas - petugas yang hadir saat kejadian" Data medis?" Tanya salah satu dari dua orang dokter yang tidak dikenalinya.
" Itu sudah aku urus. Mereka semua sudah kubuat bungkam agar tidak bicara. Organ jantungnya juga sudah kutukar dengan yang sesuai golongan darahnya agar
tidak terlacak jika ada proses otopsi mayat. Riwayat medisnya sudah diubah, dokter Ilyas?" tambahnya.
" Sudah, pak. Sesuai keinginan anda. Penyebab kerusakan otaknya dibuat akibat kecelakaan pertama. Data aslinya sudah saya keep untuk anda simpan. Hanya
saja, apa rencana anda selanjutnya" Anak perempuannya ngotot ingin menemui jenazah itu" jawab dokter yang dipanggil dengan nama Ilyas itu.
" Biarkan saja gadis itu menemui jenazahnya Dia juga tidak tahu soal kasus malpraktek ini. Jika ditahan terlalu lama bisa membuatnya menjadi curiga. Aku
cukup repot harus mengurus masalah satunya yang sudah terlanjur terkuak sebagian. Jangan sampai berakhir sama dengan yang itu" ujar Gerard.
" Baik pak" jawab keduanya menyanggupi.
Irina membeku di tempat mendengar pembicaraan ketiga dokter kelas atas itu. Jiwanya terguncang hebat atas kemalangan yang menimpa sang ayah. Malpraktek"
Sepenggal kata itu saja tidak pernah terbesit dibenaknya selama 17 tahun. Mengalaminya terasa seperti mimpi dengan mata terbuka lebar. Bagai terkena petir
di siang bolong, dia terduduk lemas di lantai dengan tatapan kosong. Sistem otaknya mati seketika. Bak mesin yang di turn off, tenaganya lenyap tak berbekas.
Ia berdiri lalu berjalan keluar tanpa arah. Mengikuti kemanapun kakinya membawa. Saat sadar, dia sudah berhenti di depan pintu ruang isolasi ayahnya. Mendongak


Boulevard Revenge Karya Crimson Azzalea di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memandang pintu berwarna biru itu. Amarah muncul bagai tsunami menghantam pantai. Menyadarkan akal sehatnya untuk merasakan kemarahan maha dahsyat yang
muncul membakar setiap sendi tulangnya.
Dengan amarah memuncak, Irina menerjang masuk ke ruang isolasi. Menatap liar sekeliling mencari sosok yang dicarinya. Begitu menemukannya, dia pun bergegas
menghampiri. Napasnya memburu. Air matanya tumpah tanpa disadari. Wajah pucat jenazah yang telah kaku itu, menggetarkan hati dan mengikis ketegarannya.
Sebelum kedua tangan dinginnya berhasil menyentuh sang ayah, dua orang petugas medis menarik dan membawanya keluar dari sana. Dia meronta sekuat tenaga
tanpa melepaskan pandangan dari jenazah sang ayah. Setelah dibohongi mentah - mentah, masih saja dihalangi untuk melihat mayatnya?" Alangkah kejamnya mereka!
Rutuk Irina. " Biarkan aku melihat jasad ayahku! Biarkan aku melihatnya! Kalian tidak bisa melarangku untuk bertemu dengan ayahku sendiri! Hidup atau mati! Kalian semua
penipu! Pembunuh! Tidak punya hati! Lepaskan aku! Aku hanya ingin melihatnya sebentar saja. Kumohon biarkan aku melihatnya!" Jerit tangis permohonan Irina
terdengar hingga ujung lorong. Gerard dan dokter Ilyas mendengar umpatan Irina. Merasa terancam, pemilik rumah sakit itu memutar otak dan menjalankan rencana
lainnya. Irina dilempar paksa keluar rumah sakit melalui pintu belakang setelah berusaha menerobos masuk ke ruang kerja pribadi Gerard. Menerima telepon dari tetangga
yang mengatakan bahwa ada orang yang mencarinya dirumah. Dirinya terpaksa pulang untuk memeriksa apa yang terjadi dirumahnya. Gerard telah menunggu disana.
Matanya terbelalak kaget melihat laki - laki bertubuh jangkung itu dipekarangan rumahnya yang sangat sederhana.
" Ah, Haruna. Aku sudah menunggu kedatanganmu. Mari kita berbincang sebentar" ajak Gerard dengan nada seramah mungkin. Irina sangat muak mendengar suara
itu. Sok suci! Pikirnya. " Apa yang ingin anda bicarakan dokter Witchlock yang terhormat" Anda belum puas sudah membunuh ayah saya dan membohongi semua orang tentang perbuatan
busuk anda" Anda memblokade jalan untuk menemui ayah kandung saya sendiri. Dia sudah jadi mayat. Tergeletak tidak bernyawa. Tapi masih diperlakukan sesuka
hati anda! Ayah saya berhak dikuburkan secara layak bukan dikurung dalam ruang isolasi hanya demi menyelamatkan kemegahan rumah sakit Boulevard dan leher
anda! Selain merampas nyawanya anda juga sudah merampas hak asasinya! Saya sudah mendengar semua pembicaraan anda bersama dua rekan yang sama busuknya
dengan anda. Ayah saya adalah korban malpraktek. Anda salah menggunakan donor jantung yang berbeda golongan darah. Kerusakan otak yang menewaskannya adalah
akibat dari ketidakcocokan itu, kan?"" Umpat Irina.
" Akan aku beritahukan satu hal nona Haruna. Di dunia ini tidak semua kebenaran harus diungkapkan. Ada pertimbangan - pertimbangan yang perlu ditinjau
lebih lanjut. Demi kepentingan banyak pihak terkadang harus ada yang dikorbankan. Keadilan sekalipun. Diumurmu yang masih 17 tahun mungkin jalan pikiranmu
masih sangat idealis. Baik dan buruk. Hitam dan putih. Dunia tidak sebersih cara pandangmu, nona Haruna. Sebagai wujud tanggung jawab atas kesalahanku
padamu, biaya sekolah dan hidupmu akan aku tanggung sampai kamu bisa membiayai hidupmu sendiri. Aku juga sudah menyiapkan uang kepindahanmu dari tempat
ini. Kamu bisa aku sekolahkan ke Amerika. Kamu sekarang tinggal seorang diri, bukan?" Dokter lulusan Harvard itu membeberkan semua rencana yang telah disusunnya
untuk Irina. " Setelah apa yang dilakukannya. Dia masih bisa sesombong itu" Dia merencanakan semuanya seakan - akan hidup orang sepertiku tidak lebih dari seekor lalat
yang hinggap dari satu tempat sampah ke tempat sampah lainnya. Orang ini benar - benar tidak punya hati nurani lagi! Dia tak ubahnya dari seorang iblis
berwajah malaikat!" umpatan hati Irina. Tak sudi dia sentuh uang pemberian pembunuh ini.
Karena pemberian uangnya tidak juga disambut oleh Irina, Gerard meletakkannya di teras rumah. Sebelum beranjak pergi dihampirinya gadis yang sekarang berdiri
membatu di tengah pekarangan rindang itu.
" Aku nasihati lagi satu hal. Jangan mencoba membeberkan hal apapun tentang kejadian malpraktek ini. Sekeras apapun kamu mencoba, tidak akan ada yang mempercayai
pengakuan tanpa buktimu itu. Aku punya bukti kuat yang bisa membalikkan posisimu menjadi sulit. Aku tidak mau sampai harus menjebloskan gadis remaja berusia
17 tahun ke dalam jeruji besi. Tempat sekelam itu tidak pantas dihuni gadis belia sepertimu. Jalani hidupmu dengan baik dan jangan menoleh lagi kebelakang
terutama tentang kasus ini. Jasad ayahmu akan aku antarkan ke rumah sakit cabang Boulevard di Bandung. Disana kamu bisa mengambilnya tanpa biaya sepeserpun.
Biaya penguburannya pun aku yang akan menanggungnya. Alamatnya akan aku kirimkan bersama uang penguburan. Semoga sukses dan jaga kesehatan, Haruna" Tersirat
ancaman terselubung dalam setiap kata yang diucapkan kepala keluarga Witchlock barusan. Dia melangkahkan kaki jenjangnya melewati pagar rumah Irina dan
pergi dengan sedan mewah miliknya.
Irina berdiri membeku. Tangannya mengepal. Kuku jarinya hampir melukai telapak tangannya sendiri saking kuat kepalannya. Matanya memerah tajam. Bibirnya
terkatup rapat. Bergetar. Rahangnya mengeras. Urat leher dan dahinya menegang. Napasnya memburu. Jika ada alat ukur kemarahan, mungkin hasil pengukurannya
saat itu bisa mencapai overload. Dia berbalik menyambar amplop tebal berisi uang pemberian Gerard lalu mengambil sepeda warna kuning disudut pekarangan.
Mengayuh sekuat tenaga mengejar mobil Gerard yang belum jauh dari sana.
Untungnya laju mobil Gerard masih lambat karena melewati jalan yang sempit. Dari arah samping sepeda Irina menyalipnya dan menghadang mobil berwarna hitam
itu. Reflek cekatan sang supir berhasil menghentikan laju mobil beberapa mili dari sepeda Irina. Turun dari sepeda kuningnya, Irina mengetuk bagian depan
mobil. Memberi isyarat agar Gerard keluar. Menghela napas panjang, dia pun menuruti apa maunya si penantang.
Irina menghampiri laki - laki berkulit putih itu dan meraup isi amplop cokelat ditangannya. Dilemparkannya uang kertas dalam jumlah banyak itu tepat ke
wajah Gerard. Setelah isinya habis, ditempelkannya amplop cokelat berlambang rumah sakit Boulevard ke atas mobil Gerard dengan hentakan yang cukup keras.
" Aku tidak butuh uang anda! Lebih baik kelaparan, hidup melarat, mati dalam kemiskinan daripada hidup dalam belas kasihan orang yang sudah merenggut hidup
ayahku! Simpan saja segala kekayaan anda untuk menutupi semua kebusukan anda! Aku bukan boneka yang bisa diatur lalu anda buang seperti boneka rusak ke
tanah kelahiran anda di Amerika! Aku sadar saat ini tidak memiliki apapun yang bisa digunakan untuk menjatuhkan tahta bertabur emas anda. Dibawah langit,
diatas bumi. Aku bersumpah akan membalaskan rasa sakit hati ini pada anda dan rumah sakit Boulevard yang kokoh bagai istana raja. Yang tak lekang oleh
badai dan angin ribut! Akan aku tunjukkan kejayaan tidak akan bertahan selamanya. Aku yang akan menjatuhkan anda dari kursi kekuasaan itu! Ingat baik -
baik sumpahku ini!" Sumpah kepedihan seorang anak yang terluka amat dalam berhasil mengundang petir dan hujan. Langit seperti menangisi jiwa murni nan
ceria gadis bernama lengkap Irina Haruna Yasmine. Hati bersihnya telah mati diganti dengan hati penuh dendam membara. Meleburkan kebaikan menjadi kepura
- puraan. Kehangatan menjadi kebekuan. Rasa cinta menjadi kebencian. Air hujan membasahi tubuh Irina dan Gerard. Terjadi ikatan berdarah antara keduanya.
Ikatan berbenang sakit hati, berpola dendam dan tersulam oleh kebencian.
Setelah ikrar sumpah kebencian Irina, hilang semua kabar mengenai gadis bernama belakang Yasmine itu. Bersama hilangnya jasad Arya Wiguna dari rumah sakit
cabang Boulevard di Bandung. Hilang seperti ditelan oleh bumi sama dengan kasus malpraktek yang terkubur rapat - rapat di dasar pondasi rumah sakit Boulevard.
End of flashback Kisah menyakitkan yang baru saja didengarnya barusan, cukup menyadarkan Edel bahwa sakit hati yang dirasakan oleh Irina bagai cap panas yang akan terus
membara dalam hatinya. Tidak akan hilang sampai ada air es yang mampu memadamkan lalu perlahan - lahan menyembuhkannya. Dia tahu betul luka seperti itu
akan ditanggungnya seumur hidup. Sama seperti apa yang pernah dirasakannya. Hanya Bara yang mampu menyembuhkan rasa sakit Irina. Solusi yang lebih baik
dari apapun. Adalah cinta.
" Aku sangat paham pada apa yang kamu rasakan, Rin. Kamu juga tahu aku pun pernah memendam sakit hati sedalam kamu. Tapi jangan jerumuskan dirimu dalam
kubangan lumpur. Kamu punya aku, Bastian dan Bara. Kamu tidak bisa melakukan balas dendam tanpa ikut menderita. Memang perlakuan pak Gerard sudah sangat
keterlaluan. Ayo kita buka kasus ayahmu sama - sama. Lewat jalur baik - baik akan kita bongkar semuanya. Kita tuntut keadilan untuk ayahmu. Tapi jangan
memanfaatkan perasaan orang lain apalagi mengorbankan kebahagiaanmu" Edel berusaha membujuknya agar memilih jalan yang lebih benar.
" Yang akan aku lakukan ini pasti berakibat buruk pada kalian. Aku tidak mau membawa kalian untuk jatuh bersamaku. Dengan terbongkarnya kasus ini, nasib
kalian pun akan ikut dipertaruhkan bersama jatuhnya rumah sakit Boulevard. Apa kamu, Bastian dan Bara tidak takut memikirkannya" Apalagi Bara, dia adalah
anak Gerard. Orang yang sedang aku lawan saat ini adalah ayah kandungnya. Sanggupkah dia melakukannya?" Tampik Irina.
" Bara pasti akan menolongmu. Dia pasti melawan ayahnya jika memang bersalah. Kamu harus percaya padanya. Akan aku beritahukan rahasia besar. Saat malpraktek
ayahmu terjadi, ada satu lagi kasus malpraktek yang hampir serupa. Pasien satunya adalah pengidap tumor jantung dan memerlukan operasi transplantasi jantung
secepatnya. Operasi itu berlangsung bersamaan dengan operasi ayahmu. Setelah itu selang enam hari dia juga mengalami kerusakan otak. Rupanya donor jantung
kedua pasien tertukar. Jantung bergolongan darah A seharusnya untuk dia tapi digunakan oleh ayahmu yang bergolongan darah O. Begitu pun sebaliknya. Nama
pasiennya sama - sama Arya Wiguna. Dan dokter yang melakukan operasi pada pasien bernama sama dengan ayahmu itu adalah Bara" tutur Edel menceritakan rahasia
itu dengan harapan sahabat karibnya mau memahami posisi Bara.
Kecurigaan Irina terjawab sudah. Ternyata benar ada malpraktek lain selain yang menimpa ayahnya. Tapi Bara yang menjadi pelakunya benar - benar diluar
dugaan. Itukah penyebab ketakutannya saat melakukan operasi pak Bimasakti" Itukah sebabnya Bara membenci ayahnya sendiri" Lantas, kenapa tidak sejak awal
dia membongkar kebusukan ayahnya itu" Apa dia juga sama seperti orang - orang yang bersekongkol dengan Gerard" Seribu satu pertanyaan meletup - letup di
kepala Irina. " Jangan menyimpulkan yang bukan - bukan tentang Bara. Dia punya alasan sendiri kenapa tidak membongkarnya sejak awal. Sama seperti yang ayahmu alami.
Pak Gerard bersikeras menutupi kejadian aib itu. Bara berusaha melawan tapi tidak bisa. Semua bukti sudah dimanipulasi oleh pak Gerard. Sampai suatu ketika
istrinya yaitu bu Delilah diculik oleh anak perempuan korban malpraktek Bara. Gadis itu mengancam akan membunuh bu Delilah jika pak Gerard tidak membuka
kasus malpraktek ayahnya ke media dan masyarakat. Dia juga menuntut permintaan maaf Bara, pak Gerard dan rumah sakit Boulevard padanya dihadapan semua
orang. Sayangnya kecintaan pak Gerard pada rumah sakit ini lebih besar dari cintanya pada sang istri. Tanpa memikirkan keselamatan istrinya, dia melaporkan
penculikan itu sebagai tindak kriminal dan pengancaman berencana. Saat tiba disana bersama pihak kepolisian, pak Gerard dan Bara menyaksikan kematian bu
Delilah yang ditembak mati oleh si pelaku" lanjut Edel.
" Aku pernah melihat gadis itu. Gadis bertubuh tinggi seumuran dengan kita. Dia memang sudah mengetahui duluan bahwa ayahnya adalah korban malpraktek.
Saat melihat dia yang membuatku tergerak untuk mulai menyelidiki apa yang sedang terjadi kala itu. Lalu bagaimana nasib anak itu?" Teringat pada anak perempuan
yang dilihatnya saat di depan ruang operasi dan di area isolasi. Anak perempuan bernasib sama sepertinya.
" Gadis itu ditangkap oleh polisi atas dakwaan pembunuhan berencana dan pengancaman. Karena umurnya masih 17 tahun jadi hukumannya bisa diringankan. Sayangnya
tidak ada kabar berita lagi dari anak itu selepas masa tahanannya berakhir. Kamu sudah paham kan bagaimana perasaan Bara" Dia sangat terpukul oleh kematian
ibunya. Bara merasa kesalahannyalah yang menyebabkan bu Delilah sampai tewas terbunuh. Dia juga sangat mempersalahkan pak Gerard karena keras kepala tidak
mau mengikuti kemauan si pelaku. Menurutnya memang itu yang harusnya mereka lakukan. Mengakui kesalahan dan meminta maaf atas kelalaian mereka. Oh, ya.
Satu lagi. Bara baru tahu kalau ada kasus malpraktek ayahmu. Pak Gerard tidak memberitahu Bara tentang malpraktek yang dilakukannya" tambah Edel.
Irina tertunduk memikirkan semuanya. Tentang dendamnya. Tentang fakta yang diceritakan Edel. Dan tentang Bara. Dia tahu Bara juga merupakan korban. Sekarang
dia tidak perlu lagi memanfaatkan Braga untuk tujuannya. Tapi apakah Bara akan memaafkan dan menerimanya lagi" Setelah kata - katanya tempo hari" Pasti
Bara sudah membenci dia. Bagaimana cara meminta maaf padanya" Air mata dipelupuk matanya menetes deras tanpa daya untuk ditahan lagi. Edel memeluk sahabatnya
itu dengan penuh rasa simpati.
Di ruang kerja berseberangan dengan ruang kerja Irina. Dokter utama team 1 dan team 2 sedang berbincang membahas masalah Braga. Bastian menceritakan ketidaktahuan
sang kakak tentang kedua malpraktek yang pernah terjadi. Bara menyanksikan kebenaran hal itu. Bagaimana mungkin kakaknya yang sangat dipercaya oleh sang
ayah tidak tahu menahu" Pikirnya. Ketidaktahuan Braga masih menjadi tanda tanya besar bagi keduanya.
Divisi syaraf rumah sakit Boulevard pukul 20:05. Renno tampak tengah sibuk memeriksa pasien pengidap Alzheimer (*). Usai keluar dari ruangan pasien, dia
berjalan menuju ruangannya. Mengusap tengkuk lehernya karena lelah dengan segala aktifitasnya. Teringat akan satu tugas yang terlupakan, dia pun menghentikan
langkahnya. (*) Alzheimer adalah penyakit hilangnya intelektual dan kemampuan bersosialisasi yang cukup parah untuk mempengaruhi aktivitas harian. Penderita Alzheimer
akan mengalami kemunduran intelektual dan kemampuan beraktifitas sehari - hari akibat pengerutan otak yang membuatnya terlihat semakin mengecil. Kemampuan
panca indera akan mulai mengalami disfungsi sedikit demi sedikit. Penyakit ini tidak menular. Meski belum dapat disembuhkan tapi penderita dapat dibantu
untuk menjalankan aktifitasnya).
"Ah, aku lupa. Benar - benar bodohnya!" keluh dokter berumur 32 tahun itu sambil memukul dahinya. Mengeluarkan telepon genggam dari saku dan melakukan
panggilan telepon. " Hallo. Maaf profesor. Saya lupa mengambil file pasien transfer dari cabang yang akan diterima besok. Anda masih ada diruangan" Oh, begitu ya" Anda sedang
di ruangan profesor Ilyas. Terima kasih profesor. Saya tidak akan lama diruangan anda" ujar Renno mendapatkan ijin dari kepala divisi syaraf bernama profesor
Reiner untuk mengambil data diruangannya.
Ruang kepala divisi syaraf pukul 20:30.
Renno memasuki ruang bernuansa hijau mint itu. Bergegas mencari file yang dibutuhkannya di meja sang profesor. Saat menarik map bersampul hijau gelap,
ada map lain yang ikut terjatuh hingga isinya berserakan di lantai. Tidak ingin kena omelan dari dokter kepala, Renno segera merapikannya. Tanpa sengaja
melihat isi berkas yang tengah dipungutnya. Dokter syaraf bernama lengkap Renno Alexander itu pun terperanjat. Dengan mata terbelalak dan mulut menganga
lebar, dia membaca lembar file dengan nama 'Braga Dereck Witchlock'.
Atap rumah sakit Boulevard pukul 20:35.
Bara berdiri menikmati hembusan angin malam berpayung langit penuh gugusan bintang. Pikirannya yang penat perlu penyegaran. Menghirup udara sejuk malam
itu sambil memejamkan matanya. Bara memikirkan ulang semua permasalahan yang tengah dihadapinya. Tiba - tiba sepasang tangan merengkuhnya dari belakang.
Sontak membuka lebar kedua mata Bara. Villan melingkarkan kedua tangan di dada Bara. Menyandarkan kepala di bahu lebarnya.
" Kamu sedang sedih dan kecewa kan, Bara?" gumam Villan memeluk pria yang sangat dirindukannya.
" Apa yang kamu lakukan, Villan" Lepaskan tanganmu atau aku yang akan melepaskannya" pinta Bara merasa terganggu dengan tingkah mantan tunangannya.
" Tidak bisakah kamu mulai membuka hati untukku setelah dokter Irina mengecewakanmu" Aku tahu dia lebih memilih Braga dibanding kamu" sahut wanita berpostur
tinggi semampai itu. " Kekecewaanku bukan tolak ukur untuk membuatku berpaling padamu lagi. Sudah kukatakan sejak awal. Aku tidak bisa mencintai kamu. Apapun kondisinya tidak
akan mengubah keadaan kita berdua. Perasaan cintaku pada Irina juga tidak berkurang sedikitpun meski dia memilih kakakku. Sekarang lepaskan aku, Villan!"
dia lelah harus terus menjelaskan hal yang sama pada wanita keras kepala bermarga Mogent dibelakangnya.
" Aku tidak mau! Biarkan aku memelukmu dulu. Setelah ini kamu bisa mengacuhkanku lagi. Tolong pinjamkan bahu dan punggungmu sebentar agar setelah ini aku
punya cukup kekuatan untuk melupakanmu. Aku sadar tidak ada harapan lagi untukku. Ini yang terakhir. Please" Villan memohon dengan suara lirih. Semakin
menguatkan pelukannya. Dia ingin mengingat bagaimana rasanya memeluk laki - laki yang mustahil ia dapatkan. Suatu saat jika dia tidak berhasil melupakannya.
Biarlah pelukan itu menjadi kenangan indah yang akan disimpan dalam hati.
Mendengar nada memohon dan putus asa pada suara Villan, Bara tidak tega menarik lepas kedua tangan yang memeluknya sangat erat. Dia juga tidak punya cukup
tenaga untuk membahas masalah cinta. Sekonyong - konyongnya, pintu masuk ke atap gedung terbuka lebar. Irina muncul dengan napas terengah - engah. Begitu
melihat pemandangan tidak terduga disana, matanya membelalak. Kepalanya panas berdengung. Hatinya sakit melihat Bara dalam pelukan Villan.
13. Strong Wind Bukan hanya Irina yang terkejut. Bara dan Villan sama kagetnya melihat kedatangan Irina yang tidak disangka - sangka. Secara otomatis Bara melepaskan kedua
tangan Villan. " Irina?" gumamnya menatap gadis itu. Dia tahu Irina telah salah paham melihat pelukan tadi. Villan membekap mulutnya saking terkejut. Bingung harus bagaimana
ditengah kesalahpahaman yang terjadi. Irina berbalik dan berlari pergi.
" Irinaaa!!" panggil Bara mengejarnya.
" Kenapa aku harus melihat situasi seperti tadi" Kenapa aku tiba di saat yang tidak tepat" Kenapa juga aku masih berharap Bara akan menunggu setelah perlakuan
dan penolakanku tempo hari" Bodoh. Kamu bodoh Irina! Sudah pasti dia akan melupakanmu detik itu juga. Untuk apa mengharapkan wanita yang secara terang
- terangan lebih memilih kakaknya ketimbang dia" Wajar. Sangat wajar! Satu - satunya yang saat ini tidak wajar adalah pikiranku!" sambil berlari, Irina
bergumam sendiri. Tentang betapa bodoh harapannya saat mencari Bara ke atap tadi. Berharap permintaan maafnya akan mengembalikan pria itu ke pelukannya.
Lihat apa hasilnya" Pikiran naif itu berubah jadi mimpi konyol yang berbalik menyakiti dirinya sendiri. Seperti ABG saja, rutuknya dalam hati.
" Tunggu!! Irinaa!!" suara Bara memanggilnya. Dalam satu kali sentakan, dia berhasil menggapai tangan Irina dan menarik gadis itu ke hadapannya. Dia Terkejut.
Melihat hasil perbuatannya yang bisa membuat wanita setegar Irina menangis.
" Jangan salah paham. Apa yang kamu lihat, tidak seperti yang kamu sangka. Villan hanya mengucapkan perpisahannya untuk. ." Belum selesai penjelasan terlontar
dari mulutnya, Irina sudah memotong.
" Buat apa" Perpisahan untuk apa" Lagipula kamu tidak perlu menjelaskannya padaku. Sekalipun itu memang berarti lebih untukmu dan dia, itu bukan hak ku
untuk marah. Tidak usah memikirkan perasaan atau anggapanku" ujar Irina menampik isi hatinya sendiri. Mulutnya bisa mengucapkan sejuta kalimat sangkalan
tapi matanya tidak bisa menutupi kesedihan yang tampak jelas di pelupuk matanya. Kepalanya panas. Luapan emosi mengganjal di hatinya.
" Butuh atau tidak, aku tetap akan menjelaskan kejadian yang sebenarnya padamu. Aku tidak mau kamu salah paham. Aku dan Villan tidak ada apa - apa. Apa
kamu tidak perlu memberikan penjelasan juga" Kamu ke atap tadi untuk menemuiku, kan?" Bara membalikkan pertanyaan. Dia langsung menangkap maksud kemunculan
Irina di atap tadi adalah untuk menemuinya. Hanya Bastian yang tahu dia sedang berada di atap. Itu artinya, sebelum ke atap, dia sudah mendatangi kantornya
terlebih dahulu dimana sahabatnya itu sedang membaca sisa - sisa berkas kronologi malpraktek yang masih disimpan olehnya.
" Aku, tidak mencarimu. Tadi aku cuma ingin menenangkan pikiranku tapi tidak disangka justru melihat yang tidak ingin kulihat. Maaf kalau sudah mengganggu.
Permisi" Jawab Irina lalu melengos pergi.
Bukannya marah atau bingung yang dirasakan Bara saat mendengar jawaban itu. Dia tersenyum senang karena merasakan kecemburuan Irina. Dikejarnya gadis itu
dan dihadangnya dari depan.
" Kamu cemburu?" tanya Bara. Menahan sebagian senyumnya.
" Tidak! Buat apa aku cemburu" Kamu saja yang terlalu percaya diri" sahut Irina. Ketus.
" Lalu kenapa wajahmu ditekuk dan nada bicaramu seketus itu padaku" Wajahmu sangat mudah dibaca, Irina" tambah Bara yang semakin senang melihat gadis dihadapannya
bertambah kesal. " Kamu yang salah membaca ekspresiku. Sudah. Aku ingin kembali ke kantorku. Permisi. Jangan halangi jalanku!" Bentaknya membebaskan diri dari Bara. Berjalan
buru - buru meninggalkan laki - laki jangkung yang sedang tertawa ringan akibat tingkah kekanak - kanakannya. Bara pun berjalan mengikuti Irina.
Dari belakang, Villan memperhatikan interaksi keduanya. Awan mendung mengitari bersama kesukaran yang sedang dirasakan wanita bertinggi 170an itu. Dia
tahu dirinya telah kalah telak dan tidak ada lagi celah untuk mendapatkan hati Bara. Dengan linangan air mata di kedua pelupuk mata, wanita blasteran Amerika
itu mencoba merelakan cintanya yang tidak sanggup dipertahankan lagi. Seperti melepaskan merpati yang sudah memberontak ingin terbang bebas di angkasa.
" Kamu seperti bintang. Indah tapi jauh tidak bisa aku gapai. Seperti rembulan. Mempesona tapi hanya malam yang bisa memilikimu. Seperti matahari. Bersinar
terang tapi terlalu kuat untuk kutakhlukkan. Kamu benar - benar terlihat sangat mustahil untuk aku dapatkan, Bara. Merelakanmu pergi adalah satu-satunya
opsi yang bisa aku pilih" gumam dokter anastesi team 1 itu. Bergegas pergi untuk menyudahi apa yang perlu dia sudahi. Dan menyatukan apa yang seharusnya
bersatu. Irina berjalan kembali menuju kantornya dengan perasaan kesal. Marah. Cemburu. Malu" Kenapa dirinya merasa malu" Entahlah. Yang jelas dia tidak ingin dilihat
dalam kondisi seperti itu oleh Bara. Di tengah perjalanan, ada panggilan masuk berbunyi. Melihat nomor yang tertera pada layar ponsel, dia terkejut. Dengan
ekspresi terganggu, dia mengangkatnya.
" Halo. Ada apa?" ujarnya. Nada kekesalan tidak dapat dia sembunyikan.
" Baiklah. Aku segera kesana" jawabnya mengakhiri pembicaraan. Berbalik. Menuju lokasi yang dijanjikan via telepon.
Bara kehilangan jejak Irina saat berselisih lift tadi. Memutuskan menunggu di ruangan bernama 'Dr.Irina Aruna Yasmine Sp.BTKV' yang tertulis di muka pintu
sambil menunggu kedatangan dua kolega terdekatnya.
Di atap rumah sakit Boulevard. Villan berdiri memandang kejauhan. Langit malam yang cerah dan berbintang mengingatkannya pada laki - laki yang hendak direlakannya.
Cintanya bukan untuk disambut. Jika dirunut satu persatu tentang kenangannya bersama Bara, memang tidak ada memory kebersamaan yang berarti. Tidak akan
pernah ada. Setelah melakukan kebodohan selama bertahun - tahun, bertingkah seperti anak remaja yang mengidap sakit cinta kronis, berpikir layaknya orang
idiot yang tidak bisa berpikir rasional. Dia sadar. Sesadar - sadarnya. Banyak hal di dunia yang hadir tepat di depan mata kita hanya sekedar untuk diiming
- imingi tapi tidak untuk dimiliki. Dunia kejam. Bahkan lebih kejam dari ibu tiri menurut sebagian orang yang suka melebih - lebihkan.
" Apa yang ingin kamu bicarakan denganku, dokter Villan?" suara sopran seorang wanita yang sudah familiar di telinga, tiba - tiba terdengar mendekatinya.
" Aku ingin menanyakan tentang Bara. Langsung saja pada pokok pembicaraan. Apa alasanmu menjauhi Bara" Meski cintaku padanya adalah perasaan yang tidak
berarti, tapi aku tidak buta untuk melihat bagaimana perasaanmu yang sesungguhnya pada Bara. Kenapa kamu memilih ke sisi Braga?" pertanyaan yang pasti
akan ditujukan oleh semua orang yang mengetahui kedekatan mereka berdua. Juga pertanyaan yang sangat tidak ingin dia jawab dengan jenis bahasa apapun.
Baik menggunakan bahasa internasional sampai bahasa kalbu yang abstrak sekalipun. Kenapa semua orang seperti tidak bisa memahami posisinya" Protes Irina
dalam hati. Untung saja laju kecepatan pikirannya bisa melebihi komputer pentium 4 dimana seratus alasan sangkalan dapat dia karang dengan sedikit daya.
" Tidak ada alasan khusus. Aku hanya tidak ingin menjadi pengganggu dalam hubungan siapapun. Bagaimana pun juga aku adalah perempuan. Aku paham bagaimana
perasaanmu sebagai sesama perempuan. Yang perlu dipertanyakan adalah apa yang kamu lakukan sekarang, dokter Villan. Untuk apa kamu mempertanyakan alasanku
memilih Braga" Bukankah ini yang kamu inginkan?" Tukas Irina melancarkan serangan balik pada Villan.
" Apa yang kamu lakukan justru melukai harga diriku sebagai perempuan, Irina" jawab Villan menatapnya dengan sinar mata menantang.
Tidak paham apa maksudnya, dia hanya bisa mengeryitkan dahi. Villan melanjutkan " Aku memang mengharapkan kamu dan Bara menjauh. Tidak saling dekat. Tidak
bersatu. Tapi bukan karena kamu berbelas kasihan menjauhi dia sedangkan sebenarnya perasaan kalian berdua saling bersahutan. Itu bukan pengorbanan. Bukan
juga penyelamatan. Karena sejauh apapun kamu menjauhinya, sekeras apapun kamu menyangkalnya dan sekuat apapun kamu menghindari Bara. Dia tidak akan kembali
ke sisiku. Tidak juga akan melupakanmu. Saat menyaksikan sendiri bagaimana perasaannya padamu, aku sadar kata mustahil sudah tersegel mutlak pada jalanku
untuk mendapatkan cintanya. Semutlak posisimu dihatinya".
" Tidakkah kamu terlalu pesimis memandang nasib hubunganmu dan dia?" ujar Irina.
Dia belum sadar atau tidak mau tahu" Pikir Villan. Sangat heran. Kenapa wanita yang sedang berusaha ia sadarkan ini bisa amat keras kepala" Benar - benar
seperti berusaha menjelaskan hukum - hukum fisika pada siswa jurusan sastra. Perlu kesabaran ekstra untuk melakukannya. " Kenapa kamu seakan - akan menyangkal
dan menepis perasaanmu sendiri" Semua jawaban dan bagaimananya sudah ada dalam kepalamu. Untukku, Bara adalah bintang, bulan dan matahari yang tidak tergapai.
Tapi untukmu, segala perumpamaan itu hilang. Dia ada disampingmu. Dia selalu mendukungmu. Tidak bisakah kamu melihatnya" Atau mata hatimu sudah buta" Tertutup
rapat oleh ego sejuta kilomu. Aku akui bahwa kamu berhasil menggapai bintang, merengkuh rembulan dan menakhlukkan matahariku. Jadi aku minta dengan sangat,
Irina. Jangan kamu kecewakan wanita yang sedang patah hati ini. Kembalilah pada Bara. Cintai dan bahagiakan dia. Dua hal yang tidak pernah mampu aku lakukan
untuknya. Kalau kamu, pasti bisa".
" Jika kamu sudah bersamanya, aku minta tolong lagi satu hal. Jangan meninggalkannya. Jangan menyakiti perasaannya. Please" tambah Villan dengan nada setengah
memohon. Bersamaan dengan ungkapan permohonananya, dia teringat bagaimana reaksi dan hancurnya perasaan Bara saat melihat kedekatan Braga. Waktu itu dia
tidak sengaja melihat dan mendengar penolakan Irina. Ekspresi wajah yang tidak pernah ia lihat tergambar di air muka seorang Bara. Perpaduan rasa sakit,
hancur, kecewa, bingung dan marah berkecamuk menjadi satu menghasilkan output berlabel patah hati.
Irina speechless mendengar permintaan Villan. Tidak pernah terbersit sedikitpun pikiran bahwa mantan tunangan pria yang dicintainya ini, bisa mengibarkan
bendera putih. Bahkan sekarang mengajukan permohonan padanya agar mau kembali pada sang pria pujaan. Kedua wanita yang sama - sama mencintai satu orang
pria itu saling bertatapan. Dari kedua matanya, mereka seakan bertukar pendapat. Kata - kata Villan menusuk lurus hingga ke dasar hatinya. Angin malam
berhembus menerpa wajah cantik mereka. Membelai halus. Mendinginkan jiwa.
Ruang kepala divisi syaraf. Renno membaca habis isi berkas di tangannya. Keterkejutan tidak dapat ia sembunyikan. Disambarnya map asal dari berkas itu
dan membaca berkas lainnya yang ada disana untuk mengklarifikasi apa yang baru saja dilihatnya. Hanya pada berkas itu saja terdapat hal yang menarik minatnya.
Dia bawa ke mesin fotocopy disudut ruangan untuk membuat duplikat. Setelah mengembalikan yang asli pada tempat semula, ia pun meninggalkan ruangan dengan
perasaan terguncang. " Ini mimpi atau kenyataan" Seperti menjadi salah satu tokoh dalam cerita realita berbasis tragis. Kenapa profesor Reiner bisa menyimpan berkas medical
check up dokter divisi jantung" Seharusnya ini jadi area profesor Ilyas. Apapun alasannya, yang jelas isi berkas ini sangat rahasia. Aku rasa tidak ada
satupun dari kami yang mengetahui kondisi dalam berkas ini. Siapa yang bisa aku tanya tentang ini" Bara" Braga" Atau Bastian" Jangan - jangan! Belum cukup
bukti untuk ditanyakan. Sebaiknya aku lakukan pengecekkan sembunyi - sembunyi. Bagaimana hasilnya baru aku coba tanyakan pada Edel dulu" mulut Renno berkomat
- kamit seperti orang membaca jampi - jampi. Dia sibuk memikirkan apa yang akan dilakukannya. Berjalan mondar - mandir diruangannya sendiri. Setelah lelah
mengikuti jalan pikirannya, dia pun memutuskan untuk pulang dan meneruskannya besok.
Kediaman keluarga Witchlock. Begitu sampai dirumahnya, Braga segera menuju ke kamar sang ayah di lantai 2 tanpa peduli melepas dasi atau jas hitamnya.
Dia perlu menanyakan langsung tentang masalah malpraktek yang diceritakan oleh Bastian. Menuntut penjelasan lengkap serta alasan kuat. Kenapa dia tidak
diberitahu" Braga tidak bisa terima dirinya diperlakukan seasing itu.
" Tok. Tok. Tok!" diketuknya pintu berwarna cokelat hazel. Pintu kamar tidur Gerard. Tidak lama pintu pun terbuka dan nampak wajah sang ayah yang langsung
berubah berseri - seri saat melihat putera sulungnya yang datang.
" Braga. Come in " ajaknya. Mempersilahkan masuk.
Sudah tidak bisa menahan beribu pertanyaan yang muncul di kepalanya, dia pun mengajukan pertanyaan direct. " Apa benar ayah dan Bara pernah melakukan malpraktek
10 tahun lalu pada pasien bernama Arya Wiguna?".
Seketika ekspresi wajah Gerard berubah drastis. Hatinya mencelos mendengar pertanyaan sang anak. Berbalik menatap lurus putera sulung yang lebih tinggi
beberapa centi darinya. Mengejutkan. Darimana rahasia itu bisa bocor ke telinga Braga" Pikir Gerard. Pertanyaan itu diluar prediksi radar super smart nya.
" Siapa yang mengatakan itu padamu?" tanyanya. Kehabisan kata - kata.
" Tidak penting aku tahu dari siapa. Hal yang sebenarnya penting adalah, kenapa ayah juga Bara menyembunyikannya dariku?" Aku satu - satunya yang tidak
tahu mengenai ini! Bahkan alasan kematian ibu, juga kebohongan! Ibu bukan meninggal karena penculikan bermotif pemerasan seperti yang ayah ceritakan padaku.
Ibu diculik karena orang itu sakit hati atas kesalahan Bara dan ayah! Kenapa aku tidak diberitahu?" Apa aku tidak dianggap sebagai bagian dari keluarga
ini?"" Ujar Braga memuntahkan semua kekecewaannya. Merasa jadi tidak berguna.


Boulevard Revenge Karya Crimson Azzalea di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Memang kedua hal itu tidak aku ceritakan karena tidak ingin membuatmu terlibat pada masalah ayah dan Bara. Aku merasa bisa menghandle nya sebagai wujud
tanggung jawab atas nama rumah sakit Boulevard. Tidak terpikir bahwa justru membuatnya berakhir sefatal itu. Kematian ibumu merupakan pukulan terberat
yang pernah aku alami. Bara bahkan menunjukkan tanda - tanda depresi. Tidak ada pilihan lain selain menutupi semuanya sampai saat ini. Aku minta maaf padamu,
Braga. Ini semua demi kebaikan Bara" ujar Gerard pada pria beralis panjang itu.
" Setidaknya, ayah menjelaskan padaku kejadiannya bagaimana. Kalau ini memang demi kebaikan Bara, kenapa aku tidak dilibatkan juga" Aku adalah kakak kandungnya.
Kewajiban menjaga dan menolongnya juga merupakan tanggung jawabku. Aneh rasanya jika ayah terus menyembunyikan semuanya dariku. Aku pun berhak mendapatkan
penjelasan ayah sedetail - detailnya. Baik kronologi kejadian sampai apa saja tindakan yang sudah ayah lakukan untuk mengatasinya" sambung Braga. Penasaran.
Merasa sang ayah masih menutupi banyak hal darinya. Ayahnya adalah tipe orang yang akan melakukan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.
Apalagi barusan nama sang adik ikut dibawa - bawa.
Menimbang dengan seksama segala kemungkinan. Menelaah aspek - aspek penting. Memprediksi persentase resiko serta perbandingan demi perbandingan. Pemilik
rumah sakit Boulevard itu memaparkan peristiwa 10 tahun lalu. Soal malpraktek, penculikan, kematian sang istri, ditutup dengan tindakan yang telah dilakukannya.
Braga berusaha mencerna kisah kelam itu. Bibirnya terkatup rapat. Matanya menerawang jauh. Pikirannya sibuk beroperasi untuk mengolah informasi mencengangkan
yang barus saja di input pada database dalam otaknya. RAM super cepat miliknya tidak perlu waktu lama untuk mengolah. Sayangnya, dari script program nya
yang masuk masih terdeteksi error. Ada kekurangan dan celah panjang. Entah mengapa ia merasa demikian. Ada kejanggalan pada hubungan korelasinya. Masih
terdapat tanda tanya besar pada kasus ini. Tidak semua yang disampaikan tadi merupakan kebenaran. Air muka sang ayah tampak menggelap dari sebelum membeberkan
semuanya. Tatapan misterius berkelebatan di kedua mata dinginnya. Mencurigakan. Diurungkannya niat bertanya lebih jauh. Sebab sedalam apapun dia berusaha
mengoreknya, terasa semakin kokoh benteng pertahanan sang ayah.
Kedua laki - laki bermarga Witchlock itu saling beradu strategi dalam diam. Gerard tidak menyadari bahwa dia telah menciptakan satu kubu lagi yang bersiap
melancarkan serangan lanjutan. Babak baru akan segera dimulai. Probabilitas serangan tiga arah bisa membawa keadaan menuju saat - saat krusial. Dari kubu
utama Bara, Irina, Edel dan Bastian. Dari kubu Braga. Dan dari kubu tak terduga Renno. Sekokoh apapun kursi kekuasaan, pasti akan runtuh juga jika satu
persatu orang kepercayaan membelot melawannya.
CERITANYA BERLANJUT DI BAWAH INI
content information " Ckleekk!" Suara pintu terbuka. Irina memasuki ruangannya. Keletihan tampak jelas di wajah cantik khas sundanese itu. Begitu melihat tamu yang telah menunggunya,
ia terkejut. Edel, Bastian dan Bara masih berada disana. Menatap kearahnya seperti anak kecil yang hendak menagih permintaannya. Tiga dokter spesialis
pilihan bukan anak kecil yang mudah diiming - imingi tentunya.
Hari yang panjang, pikir Irina. Dihelanya napas dalam - dalam dan duduk bersandar pada kursi kerja. Edel menghampirinya.
" Rin. Are you ok" Bisa kita bicara lagi" Bara perlu menyampaikan banyak hal padamu" ujar wanita berdarah Jawa itu.
" Aku lelah, Del. Bisa kita bicarakan lain waktu" Aku pikir, tidak ada yang perlu kubicarakan dengannya juga. Sudahlah, sebaiknya kalian bertiga pulang.
Kamu dan Bastian pasti ditunggu oleh Vino. Kasihan dia rindu pada kedua orang tuanya yang super sibuk mengurusi urusan pelikku" Irina tidak bersedia diajak
Istana Sekar Jagat 2 Pendekar Asmara Tangan Iblis Karya Lovely Dear Istana Pulau Es 22
^