Pencarian

Victory 1

Victory Karya Luna Torashyngu Bagian 1


Victory Karya: Luna Torashyngu Raka membuka selimut yang nutupin badannya sejak semalam. Sambil memicingkan matanya yang masih setengah terbuka, dia berusaha menajamkan pendengaran, kayak ngedenger sesuatu. Suara bel" tanya Raka dalam hati.
Sayup- sayup memang tetdengar suara bel rumahnya. Suara itulah yang membangunkan cowok tersebut dari alam mimpinya. Raka melihat jam yang tergantung pada dinding kamarnya. Pukul delapan lewat dikit!
Siapa sih yang iseng mainin bel!!" Ngeganggu orang tidur aja! gerutu Raka. Dia memang baru tidur setelah subuh, karena nonton pertandingan sepak bola di TV. Mumpung lagi libut kenaikan kelas, dia berniat untuk tidur sampai siang. Tadinya Raka membiarkan suara bel itu. Mungkin aja rumah akan dikira kosong, dan tamu yang tak diundang itu cepat pergi. Dugaannya benar! Beberapa saat kemudian suara bel berhenti. Raka menarik napas lega, kemudiak menarik selimutnya, bermaksud tidur lagi. Tapi baru matanya hendak terpejam kembali, suara bel itu terdengar lagi. Ya ampuun!! jerit Raka dalam hati.
Siapa sih!" Emang tuh orang gak ada kerjaan lain selain ngegangguin orang tidur!" Dengan mata masih setengah terpejam, Raka mencoba bangkit dari tempat tidurnya. Terhuyung- huyung dia membuka pintu kamarnya di lantai atas. Dan karena belum sepenuhnya kembali ke alam nyata, Raka sempat menabrak meja kecil di ruang tengah. Dia mengerang kecil menahan sakit.
"Iyaaa tunguuu...!!!" teriak Raka kesal sambil mengusap- ngusap lututnya yang terbentur meja. Lumayan sakit.
Raka menuju pintu depan rumahnya, dengan membuka pintu dengan wajah siap perang. Dia bermaksud "menyemprot" orang dibalik pintu, nggak peduli siapa dia. "Ini rumah Raka, kan""
Raka yang siap marah jadi melongo. Di depannya berdiri cewek berambut pendek dan bertopi merah. Cewek itu mengenakan T-shirt putih dibungkus jajet jins biru, sama dengan celana jinsnya, dan sepatu kets putih. Di samping cewek itu tergeletak ransel ukuran besar.
"Heh! Kok bengong" Bener ini rumah Raka"" tegur cewek itu lagi.
Raka baru tersadar. "Lo Raka""
"Iya. Emang kenapa""
"Kenapa lo gak jemput gue""
"Jemput lo"" Raka heran dengan pertanyaan cewek di depannya.
"Papa udah ngasih tau lo, kan" Atau lo pura- pura lupa""
Selagi Raka kebingungan, cewek itu nyelonong masuk ke rumahnya.
"Eh.... " "Ya udah, lupain aja! Asal lo ntar bisa jawab kalo Papa nanyain."
Papa" Raka semakin heran. Tiba- tiba dia teringat sesuatu. Jangan- jangan... "Lo Oti" Victory""
Giliran cewek itu menatapnya dengan pandangan heran. "Lo bener- bener gak tahu siapa gue"" "Lo Oti""
"Iyalah! Siapa lagi!!""
Raka menepuk keningnya. Sekarang dia baru inget. "Jadi lo bener- bener lupa ama pesen Pqpa""
"Pesen" Pesen apa" Ayah emang pernah bilang kalo lo mau dateng, tapi gak bilang kapan... " "Lho" Bukannya Papa nelfon tadi malem" Yang nerima Ai, adik lo."
Ai" Pantes aja! Semalam Raka pulang larut malam, dan Ai udah tidur. Pasti adiknya itu lupa nyampein pesan ayahnya. "Kenapa lo gak telepon kesini""
"Males! Lagian gue emang udah niat mo cari sendiri alamat rumah ini! Itung- itung keliling Bandung! Lumayan, tiga kali nyasar."
Oti menyapukan pandangannya ke sekeliling rumah.
"Eh, gue haus nih... boleh minta minum, kan""
Raka hendak beranjak, tapi Oti menahannya.
"Biar gue ambil sendiri. Dapurnya dimana""
"Tuh di belakang..." Raka menunjuk ke arah belakang rumahnya. Oti melangkah menuju dapur, meninggalkan Raka yang masih diam.
Raka atau lengkapnya Raka Pradana Putra, tinggal berdua dengan adiknya Airin Vastyana, atau biasa yang dupanggil Ai, yang masih duduk di kelas dua SMP di rumah yang mereka tempati sejak kecil. Saat Raka berusia lima tahun, ayah- ibu mereka memutuskan bercerai, karena ayahnya ketahuan selingkuh dengan janda beranak satu yang tinggal di Jakarta. Ayah Raka kemudian menikah dengan wanita itu dan pindah ke Jakarta meninggalkan rumah, ibu, Raka, dan Ai yang waktu itu baru berusia kurang dari setahun.
Setelah bercerai, ibunya bertekad menghidupi kedua anaknya sendiri tanpa mau menikah lagi. Beliau berha
sil menyekolahkan Raka hingga bangku SMA. Sementara ayah dan istri barunya kemudian pindah ke London, Inggris, karena oleh perusahaan tempatnya bekerja ayah Raka diangkat menjadi kepala cabg di sana.
Dua tahun yang lalu ibu Raka meninggal dalam kecelakaan lalu lintas saat akan berangkat kerja. Raka dan adiknya sangat terpukul saat itu. Untunglah ayah Raka tetap menanggung biaya hidup Raka dan adiknya. Bahkan ayahnya pernah meminta mereka pindah ke London, atau Jakarta, ke tempat paman Raka. Tapi Raka menolak. Selain nggak ingin ninggalin sekolahnya disini, dia juga belum bisa sepenuhnya memaafkan tindakan ayahnya dulu, juga belum bisa menerima wanita yang sekarang menjadi ibu tirinya. Ayah Raka nggak bisa maksa. Dia hanya rutin setiap bulan mengirim uang untuk biaya hidup Raka dan Ai. Walaupun begitu Raka nggak ingin menggantungkan diri dari uang kiriman ayahnya. Karena itu selain sekolah, dia juga kerja freelance sebagai penyiar salah satu radio swasta di Bandung. Sejauh ini dia merasa masih bisa mengatur waktu antara sekolah dan mengurus rumah, bergantian dengan adiknya.
Beberapa waktu yang lalu ayahnya menelepon, dan bilg anak wanita yang dinikahinya akan ngelanjutin sekolah di Bandung. Ayah Raka menyuruh dia tinggal bareng Raka dan Ai.
Mulanya Raka sempat keberatan, tapi ayahnya terus mendesak.
"Ayah minta tolong agar kau bisa mengawasi dia seperti kau mengawasi Ai! Kata kakeknya dia agak nakal waktu di SMP. Makanya ayah agaka khawatir kalo dia tinggal ama temennya, seperti rencana semula. Lagi pula dia kan bisa menemani Ai kalo malam. Kamu tidak khawatir Ai sendirian kalo kamu siaram malam"" Ayah yakin nanti kalian bisa akrab." Raka gak bisa menjawab lagi. Dia hanya mengiyakan apa yang dikatakan ayahnya. Apalagi ayahnya berjanji akan menaikkan uang bulanan mereka (lumayan, apalagi di zaman harga barang- barang pada naek akibat kenaikan BBM, sedang gaji Raka sebagai penyiar gak ikut-ikutan naek). Yah, mudah- mudahan saja Oti nanti gak ngerepotin. "Hei!!" teguran Oti membuyarkan lamunan Raka.
Oti udah duduk di sofa ruang tamu. Topi merahnya dilepan dan diletakkan di meja, sehingga rambutnya yang gak lebih dari leher itu tergerai bebas. "Ada apa" Kok bengong"" tanya Oti.
"Nggak! Nggak ada apa- apa!" jawab Raka menutupi rasa terkejutnya. Untung Oti gak bertanya lebih lanjut.
"Sorry ya kalo gue nyelonong aja! Abis gak tahan nih! Hausss...," kata Oti sambil mengusap-usap tenggorokannya.
"Gak papa kok." Raka memandangi Oti yang sedang minum.
Cewek itu sungguh diluar bayangan Raka. Ketika ayahnya mengatakan Oti akan tinggal disini, yang terbayang di benak Raka adalah kerepotan mengawasi cewek ABG yang feminim dan sedikit manja, kayak Ai. Tapi Oti lain. Gayanya aja kayak laki- laki. Ayahnya emang mengatakan Oti agak nakal. Tapi kenakalan kayak apa, ayahnya gak menjelaskan. Mudah- mudahan cuma kenakalan remaja biasa, bukan menjurus pada hal- hal yang negatif. "Tas lo masukin kamar aja," ujar Raka. "Oya, kamar gue dimana"" "Nggg... di kamar bawah."
Raka menunjuk pintu sebuah ruangan yang terletak di dekat ruang tengah.
"Di situ"" "Iya."
Setengah jam berlalu. Raka yang udah nggak ngantuk lagi langsung aja cibang- cibung di kamar mandi. Dia ada janji ke rumah temannya. Sejenak hatinya sempat bimbang. Apa dia mesti ninggalin Oti yang baru datang sendirian di rumah" Gimana kalau ada apa- apa" Kalau Ai datang" Apa Oti bisa dipercaya" Begitu banyak pertanyaan dalam benaknya. "Otiiii...." panggil Raka. Nggak ada jawaban.
"Otiii...." Raka mengulangi panggilannya.
Tetap sepi. Dengan penasaran Raka menuju kamar Oti. Pintu kamar setengah terbuka. "Ot... " ujar Raka lirih di depan pintu. Dia nggak langsung masuk. Takut kalau- kalau misalnya Oti lagi ganti baju. Bisa heboh ntar!
Tetap nggak ada jawaban. Akhirnya Raka memberanikan diri masuk kamar. Dan apa yang dilihatnya benar- benar di luar dugaan.....
Di tempat tidur yang belum dipasang seprai, Oti diam terlentang. Raka agak mendekat. Ternyata Oti ketiduran dengan pakaian masih sama ketika dia datang, hanya jaket dan sepatunya aja yang dile
pas. Raka melihat wajah Oti. Butiran keringat segede jagung menetes di wajahnya. Mungkin dia kecapekan. Isi ranselnya aja belum sempat dikeluarkan. Melihat itu, Raka nggak tega ninggalin Oti sendirian di rumah.
"Hallo, Hendri" Ini gue, Raka! Sori gue gak bisa pergi sekarang! Ada perlu dirumah. Ntar siang aja kalo adik gue udah pulang, gue ke rumah lo," kata Raka di ujung telepon.
Harapan Raka agar kedatangan Oti nggak ngerepotin dirinya ternyata nggak terwujud. Baru saja Oti pindah, malemnya ayah Raka menelepon. Awalnya cuma nanyain kabar Oti, dan minta Raka biat ngebantu anak itu saat pertama kali masuk SMA barunya. Tapi pas menanyakan kamar Oti, dan Raka menjawab di bawah, ayah Raka langsung nggak setuju. Setengah memaksa ayahnya minta Raka tukeran kamar dengan Oti. Alasannya nggak baik cewek tidur di kamar bawah sendirian, juga biar kamar Oti dekat dengan kamar Ai. Mulanya Raka keberatan. Selain kamar yang dibawah lebih kecil, dia juga males mindahin barang-barangnya, dan menata ulang kamar barunya. Karena ayahnya terus mendesak, terpaksa Raka setuju. Emang, dari dulu Raka nggak bisa membantah apa yang dikatakan ayahnya. Begitulah, pagi harinya Raka langsung kerja bakti memindahkan barang- barangnya ke kamar bawah. Bener- bener bikin capek, apalagi barang- barangnya tergolong banyak, dari yang umum seperti baju, komputer, dan CD player, sampai barang- barang aneh kayak aksesoris dan pernak- pernik, serta barang- barang "ajaib" lainnya. Ai sampe ngakak melihat kakaknya bolak- balik naik- turun tangga sambil bawa barang- barang. Kayak mau ngungsi aja. Yang bikin Raka sebel, Oti sama sekali nggak ngebantu. Dia malah pegi keluar bareng Ai yang mau pergi ke rumah temennya. Katany sih mau jogging bentar, sekaligus mengenal daerah sekeliling kompleks tempat tinggalny yang baru. Sok akrab bener tuh anak! Tapi nggak disangka, ternyata Ai langsung akrab dengan kakak tirinya. Tadi malem mereka ngobrol lama sekali di kamar Ai sampe cekikikan. Mungkin karena selana ini Ai nggak punya kakak cewek, jadi dia bisa langsung akrab dengan Oti.
Sampai hampir jam sembilan Oti belum balik juga, sehingga Raka terpaksa kerja sendirian. Dia sempat khawatir juga, jangan- jangan tuh anak nyasar! Raka nggak mencoba menghubungi HP Oti, karena cewek itu gak bawah HP. Raka tahu, karena tadi dia yang mindahin HP Oti ke kamar atas.
Palingan kalau ada apa- apa dia nelepon kesini! batin Raka mencoba menenangkan dirinya sendiri. Lagi pula kayaknya Oti tipe gadis yang suka jalan- jalan dan bertualang. Tapi gimana kalo dia kenapa- kenapa dan gak bawa tanda pengenal, sedangkan orang- orang di sekitar sini belum tahu tentang Oti" Raka juga yang repot nantinya.
Saat Raka sedang membayangkan hal itu, pintu depan terbuka. Oti masuk sambil menenteng kantong plastik hitam. Di kupingnya tergantung sepasang earphone yang terhubung dengan ipod yang digantung di lengam kirinya.
"Udah beres" Kok malah duduk- duduk"" sapa Oti sambil melepaskan earphone-nya. Raka mendengus. Dateng-dateng langsung nuduh! Nggak tahu apa baju udah basah kuyup keringetan kayak gini!"
Oti meletakkan kantong plastik yang dibawanya di meja makan. "Barang- barang gue udah di atas"" tanya Oti lagi. "Udah!" jawab Raka pendek.
Oti tersenyum melihat raut muka Raka yang kusut.
"Thanks ya!" katanya sambil menaiki tangga. Di tengah- tengah anak tangga, dia berhenti. "Eh, gue tadi beli bubur ayam di depan. Tapi gue gak tahu lo doyan bubur ayam apa nggak, jadi gue cuma beli satu. Sori ya! Gue ngasih tahu ini supaya gak ilang aja tuh bubur di meja! Abis laper berat nih! Gue mo mandi dulu," lanjutnya.
Kirain mau ngasih! batin Raka kesal. Soalnya dia juga lapar banget. Apalagi tadi habis kerja rodi.
"Kok kamar gue masih berantakan sih!""" teriak Oti dari kamar atas. Kali ini hilang kesabaran Raka.
"Beresin aja sendiri! Itu kan kamar lo! Udah gue bantuin juga!!!" teriak Raka nggak kalah kerasnya.
Oti nggak menjawab, sehingga beberapa saat suasana menjadi hening. Dengan kesal Raka menuju kamar barunya di dekat ruang tengah, yang juga masih berantakan. Kerja bakti bab
ak kedua dimulai lagi! Penderitaan Raka belum hilang. Saat sekolah udah dimulai, dia harus ngnterin Oti dulu di hari pertamanya sekolah. Lagi- lagi dia didesak ayahnya. Oti gak satu sekolah ama Raka. Dia sekolahnya di SMA Yudhawastu. Oti sendiri sebenarnya juga bersedia pergi sendiri tanpa diantar. Tapi dia juga didesak ayahnya untuk diantar Raka.
Begitulah, pagi- pagi Raka udah ngebut dengan motornya, berboncengan dengam Oti. Memasuki kompleks SMA Yudhawastu, Raka memperlambat laju motornya. Beberapa meter dekat pintu gerbang, dia berhenti. Suasana di sekitar sekolah emang masih sepi. Maklum baru jam enam. Oti emang harus datang lebih awal karena sebagai murid baru dia harus ikut MOS. Sebenarnya menurut Oti sendiri, MOS cuma bahasa kerennya perpeloncoan! "Kata Ai lo juga jadi panitia MOS di sekolah lo, ya" Kok gal pergi pagi- pagi"" tanya Oti membuka kebekuan. Dia melihat beberapa siswa panitia MOS berjaga di depan pagar. Itu bisa dilihat dari pita item yang melingkar di lengan kanan seranggam SMA mereka. Kayak orang berkabung aja.
"Udah nggak. Gue sekarang jadi PP," jawab Raka singkat. "PP" Apaan tuh" Pulang- pergi"""
"Pengawas panitia. Gue ngawasin panitia, kalo- kalo ada yang nggak sesuai ama aturan." "Oooo... gitu, kayak provost" Sekolah lo jauh gak dari sini"" tanya Oti lagi. "Tadi di perempatan Achmad Yani, belok ke kiri...."
"Jauh"" "Lumayan. Emang kenapa"" "Gak, pengin tahu aja."
Sewaktu hendak masuk area sekolah, Oti dicegat dua panitia, seorang di antaranya cewek. "Kamu siswa baru"" tanya panitia itu dengan suara setengah membentak dan wajah sengaja digalak-galakin. Mungkin biar keliatan berwibawa, sambil memandang ke seluruh tubuh Oti yang masih pake seragam SMP. Iseng, Raka memperhatikan panitia cewek itu. Wajahnya lumayan juga. Setelah ngebentak Oti, panitia cewek itu bahkan sempat melirik ke arah Raka, dan buru-buru memalingkan wajah saat tahu Raka memandang dirinya.
"Iya," jawab Oti pendek.
Karena jaraknya cukup jauh, Raka nggak bisa mendengar apa yang dibicarakan Oti dan kakak kelasnya. Apalagi keadaan mulai rame dengan anak-anak baru lain yang udah mulai datang. Tapi kemudian Raka melihat salah seorang panitia cewek mencekal tangan Oti dan membawanya masuk ke sekolah. Ada apa ini" tanya Raka dalam hati.
Dan Raka menemukan jawabannnya saat melihat anak-anak baru yang lain. Selain memakai seragam SMP asal masing-masing, mereka juga memakai aksesoris yang rada-rada "aneh". Yang cewek rambutnya dikepang dua dan diikat pita merah dan ijo, sedang yang cowok pake kaus kaki sepak bola setinggi lutut dengan warna merah di kaki kanan dan ijo di kaki kiri. Mereka juga bawa tas sekolah yang dibuat dari karung beras dan tali rafia sebagai gantungannya, yang menurut Raka pasti merupakan tugas dari panitia. Pantes aja panitia tadi ngebentak Oti.Oti kan nggak pake apa-apa selain seragam SMP-nya. Tas sekolahnya juga tas ransel biasa. Pokoknya kayak mo berangkat sekolah biasa aja. Raka nggak tau apa Oti emang nggak tau soal ini, atau pura-pura nggak tau. Lagian menurut Raka tuh anak terlalu cuek pas pendaftaran ulang, padahal biasanya di situ murid udah dikasih tau harus ngapain dan bawa apa pas masuk di hari pertama.
Raka tersenyum membayangkan hukuman yang bakal diterima adik tirinya itu. Biar tau rasa dia! kata Raka dalam hati.
**** Oti emang bener-bener bandel. Setelah hari pertama MOS dia nggak pakr aksesoris dan semua ketentuan yang disyaratkan untuk anak baru, hari-hari berikutnya dia sering datang terlambat masuk. Alasannya sederhana, dia nonton TV sampai larut malam. Cewek itu baru nongol di sekolah pas mo bel masuk, padahal peserta MOS diwajibkan hadir satu jam sebelumnya, buat apel pagi dan pemeriksaan tugas di lapangan. Kontan aja sesampainya di sekolah, cewek itu sering menjadi sasaran panitia yang udah "setia" nungguin di gerbang sekolah. Tapi Oti cuek aja. Saking cueknya, beberapa kakak kelasnya yang cewek gemas melihat kelakuan Oti, bahkan ada yang berniat menculiknya, dan memermaknya habis-habisan. Untung aja hal itu dicegah Bayu dari kelas 2 IPS 3, sang ketua MOS.
"Saat ini MOS kita sedang diawasi ketat! Jangan berbuat sesuatu di luar acara yang dapat merusak pelaksanaan MOS ini!" ujar Bayu mengingatkan anggota panitia lain. Bayu nggak cuma mengingatkan anak buahnya. Dia juga aktif mengontrol setiap anggota panitia lainnya. Oti sering ketemu Bayu, karena ruang eksekusi bagi peserta yang dianggap bersalah berdekatan dengan posko panitia, selain itu Bayu juga sering ada di ruang eksekusi. Karena sering ketemu lama-lama Oti jadi suka melihat wajah Bayu yang emang agak imut itu. Bahkan saking sukanya, kadang-kadang Oti sengaja bikin kesalahan agar dibawa ke ruang eksekusi, dengan harapan dapat ketemu Bayu. Karena itu dia kecewa berat kalo ternyata Bayu lagi nggak berada di posko.
Ternyata Bayu salah satu anggota panitia yang jadi favorit, baik di kalangan peserta MOS cewek, atau sesama panitia, bukan hanya Oti. Karena itu nggak heran kalo dari hari ke hari, ruang eksekusi makin ramai oleh anak-anak baru yang melakukan pelanggaran. Dan hampir seluruhnya yang melakukan pelanggaran cewek, termasuk Oti. Ada-ada aja pelanggaran yang dilakukan, bahkan sampai ada yang mengaku kelupaan pake pita!
"Pantes aja lo betah masuk ruang eksekusi," komentar Ticka salah seorang teman sekelas Oti saat mereka lagi istirahat.
Oti nggak langsung menjawab. Dia masih asyik makan pisang goreng sebagai sarapannya (padahal udah hampir jam sepuluh! Tapi karena Oti tadi gak sempet sarapan, dia menganggap itu sebagai sarapan) sambil duduk di aalah satu koridor sekolah agak terpisah dengan teman-temannya yang berkumpul. Oti nggak peduli dengan keadaan di sekelilingnya, termasuk empat cewek anggota panitia yang berdiri nggak jauh dari tempatnya dan terus memandang tajam ke arahnya sambil sesekali berbisik, seolah-olah sedang mengawasinya. Tiba-tiba Ticka menyikut Oti, dan menggerakkan kepala, seolah menunjuk empat panitia itu. Oti melihat ke arah yang ditunjuk Ticka; kemudian melanjutkan makan. "Gue udah tahu! Biarin aja," hawab Oti pendek.
Beberapa saat kemudian, sepotong pisang goreng udah pindah ke dalam perutnya. "Lo masuk ruang eksekusi"" tanya Oti setelah selesai makan. Ticka mengangguk.
"Gue penasaran, kenapa cewek-cewek kayak lo sengaja bikin pelanggaran."
"And"" "Pantes aja doi jarang ada di lapangan, ternyata lebih sering ngejogrok di situ," "Maksud lo, Kak Bayu"" "Siapa lagi..."
Diam sejenak. Ticka kembali melanjutkan makannya. "Emang lo naksir Kak Bayu"" tanya Ticka. "Enak aja!" sambar Oti.
"Abis... " "Gue seneng aja ngeliat dia. Orangnya tenang, kalem, tapi keliatan berwibawa. Gue juga seneng ngeliat mukanya yang imut itu," kata Oti. "Sma aja! Itu namanya naksir, kata Ticka.
"Belum tentu. Sampe sekarang gue gak mau mikirin soal cowok! Gue belum mau pacaran," sergah Oti.
"O ya" Kenapa"" tanya Ticka.
"Males aja... "
"Males atau lo lagi naksir cowok lain"" tanya Ticka dengan nada menggoda. Oti nggak menjawab pertanyaan itu. Pandangannya sedang tertuju ke arah empat panitia cewek yang sedari tadi mengawasinya. Saat itu di depan keempat cewek itu; lewat seorang anak baru berambut panjang dikepang yang membawa baki berisikan dua gelas kopi panas. Oti mengenalnya sebagai Laras, salah seorang teman sekelasnya yang juga jadi "target" para cowok kakak kelasnya. Dia sendiri nggak begitu mengenal Laras, karena selain beda kelompok, Laras juga sangat pendiam dan agak pemalu. Keempat panitia cewek itu berpandangan melihat Laras lewat depan mereka.
"Heiii!!" suara keras terdengar dari arah empat cewek panitia itu. Bersamaan dengan itu Laras terlihat terjatuh di antara mereka. Baki berisi gelas kopi panas yang rencananya akan disuguhkan untuk para guru di ruang guru tergeletak di lantai, sedang gelasnya pecah berantakan. Tumpahan kopi menyebar kemana-kemana, termasuk ke baju putih yang dikenakan Laras dan keempat panitia cewek tersebut.
"Vi, baju lo..." kata salah satu dari empat panitia cewek itu sambil menunjuk pakaian temannya.
Yang ditunjuk, seseorang berambut panjang dan agak kemerah-merahan memang sedang melihat pakaiannya. Emang, dibanding tiga temannya, dia pal
ing banyak terkena tumpahab air kopi, karena posisinya saat itu tepat berhadapan dengan Laras. "Iiiih...," serunya jijik.
Kemudian dia memandang Laras yang setengah berjongkok menahan sakit karena tangannya terkena pecahan gelas.
"Kurang ajar!!" cewek rambut panjang itu menarik Laras hingga berdiri, kemudian langsung menamparnya dengan keras sehingga tubuh Laras terhuyung.
"Ma...ma...af, Kak!" kata Laras terbata-bata sambil menahan tubuhnya agar tak terjatuh. Tapi rupanya cewek berambut panjang itu gak puas dengan jawaban Laras. Dia kembali menarik kerah baju Laras.
"Enak aja lo minta maaf! Lo kira baju gue bisa bersih kalo lo minta maaf"" katanya dengan suara keras, yang membuat perhatian seluruh orang yang mendengarnya tertuju pada mereka. Anggota panitia lain berdatangan. "Ada apa"" tanya salah satu cowok anggota panitia.
"Ini ada anak baru numpahin kopi. Tumpahannya kena ke kita-kita! Liat tuh, baju Revi paling banyak kena," jawab salah satu dari empat cewek panitia, yang rambutnya pendek. Cewek berambut panjang yang bernama Revi terus memaki Laras yang hanya bisa diam tertunduk.
"Dasar tolol! Gak punya mata, ya!! Cantik-cantik buta!!! Lo punya masalah ama gue!!"" maki Revi. Anggota lain berusaha menenangkan Revi, sementara Laras mulai nggak bisa menahan isak tangisnya.
"Udah, udah..." salah satu anggota panitia yang bernama Bowo mencoba menetralisir keadaan.
Revi memegang tangan Laras.
"Lo ikut ke ruang eksekusi sekarang!" ujarnya ketus.
"Rin! Bawa dia ke ruang eksekusi! Gue mo ngebersihin baju gue dulu!!" lanjutnya kemudian pada salah seorang temannya sambil menarik tubuh Laras yang tengah terisak. Anggota panitia lain nggak ada yang dapat nencegah hal itu. "Laras nggak salah!! Kenapa dia harus dibawa ke ruang eksekusi!""
Sebuah suara terdengar di antara kerumunan orang. Oti menyeruak di antara kerumunan, dan berdiri di samping Laras, memandang tajam ke arah Revi.
"Bukan Laras yang salah," Oti mengulangi ucapannya.
"Apa maksud lo!" Berani amat lo ikut campur!!" bentak Revi.
"Laras jatuh karena ada yang ngejegal kakinya," jawab Oti berusaha tenang, meski sebetulnya kepalanya udah panas melihat cara Revi memperlakukan Laras. Dia nggak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Laras jika cewek itu sampai masuk ruang eksekusi bersama empat panitia cewek yang tadi sengaja menjegalnya.
"Ngejegal kakinya" Maksud lo kita-kita sengaja ngejegal dia!!"""
"Kalian sendiri yang berkata gitu."
Revi tergagap karena terjebak perkataannya sendiri.
"Enak aja lo nuduh!!" Buat apa kita-kita ngejegal dia!!"" Lo liat sendiri gue kena tumpahan kopi!!"
"Nggak tau ya... tapi yang jelas saya melihat sendiri kakak ini melintangkan kakinya tepat saat Laras lewat." Oti menunjuk Rina, teman Revi yang berambut pendek. Kontan aja Rina melotot. "Enak aja lo nuduh gue!!"
Selesai berkata, tangan kanannya melayang hendak menampar Oti. Tapi Oti mendahului menangkap tangan Rina.
"Lo berani ngelawan panitia!!" bentak Rina lagi.
"Kalo nggak salah kenapa harus takut!!" Lagian saya nggak ngelawan panitia, tapi ngelawan segelintir orang yang mengatasnamakan panitia MOS untuk kepentingan pribadi...!!" jawab Oti nggak kalah membentak. Dia nggak bisa menahan diri lagi.
Suara Oti yang keras membuat anak baru lainnya yang tadinya nggak berani mendekat jadi maju mendekati tempat kejadian.
Rina berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman Oti. Dia mempergunakan tangan kirinya untuk membantu tangan kanannya, tapi sia-sia. Bahkan Oti memakai jarinya untuk menekan urat nadi Rina, sehingga Rina menjerit kesakitan.
"Udah, udah... cukup!" Bowo kembali maju menengahi. "Victory! Lepaskan!
Oti menuruti kata-kata Bowo. Dia melepaskan cengkeraman tangan kirinya. Rina mundur sambil memegangi tangan kanannya yang masih kesakitan. Tampak bekas merah di sekitar pangkal urat nadinya.
Revi hendak maju, tapi ditahan Bowo yang berbadan besar.
"Revi cukup! Jangan bikin keributan!" seru Bowo. Matanya memandang ke arah ruang guru. Beberapa orang guru yang mendengar seperti ada suara ribut-ribut mula
i keluar dan memandang ke arah tempat itu.
"Tapi dia berani ngelawan panitia!! Dia harus dikeluarin dari acara MOS!!" Bowo memandang Oti dan Laras bergantian. "Benar ucapanmu itu"" tanya Bowo pada Oti. "Yang mana, kak""
"Bahwa kau melihat kejadian sesungguhnya""
Oti mengangguk. "Laras" Kamu merasa dijegal""
Laras nggak menjawab. Dia hanya menunduk sambil menahan isak tangisnya. "Udah jelas anak itu boong!!" sentak Rina. Bowo menoleh ke arah Rina.
"Gue bilang cukup! Hormati gue sebagai seksi keamanan!" kali ini suara Bowo agak keras. Rina dan teman-temannya langsung terdiam. Bowo melihat jam tangannya.
"Waktu istirahat udah hampir habis! Sebaiknya kita selesaikan masalah ini di posko! Peserta yang lain cepat kembali ke kelas masing-masing, demikian juga panitia kembali bertugas! Kami minta beberapa sukarelawan peserta untuk membersihkan pecahan gelas dan tumpahan kopi! Victory dan Laras, ikut ke posko!" akhirnya Bowo mengambil keputusan. Kerumunan itu pun membubarkan diri. Oti merangkul Laras yang masih tertunduk. Dia melihat baju Laras yang terkena tumpahan kopi, dan lutut serta telapak tangannya yang berdarah.
"Kak!" Bowo yang berjalan di depan Oti menoleh. "Ada apa""
"Boleh minta waktu untuk membersihkan baju Laras dan mengobati lukanya"" Bowo melihat ke sekujur tubuh Laras. "Baiklah, lima belas menit cukup"" Oti mengangguk.
"Wi... " Bowo memanggil seseorang.
Salah satu anggota P3K bernama Dewi mendekat.
"Dia butuh obat," katanya pada Dewi.
"Dia akan mengawasi kalian. Jangan curi-curi kesempatan. Setelah selesai, kami tunggu di posko," kata Bowo pada Oti dan Laras.
"Baik, Kak... "
"Hei... " Raka duduk di antara teman-temannya di depan kelas mereka. Keringat membasahi sebagian wajah dan badannya. Terang aja, karena dia abis maen futsal pas jam istirahat. Apalagi matahari hari ini bersinar terik.
"Tisu, Ka"" tawar Nensie, salah satu teman sekelasnya. "Makasih, Sie! Lo makin cantik aja," jawab Raka. "Basi...," sahut Nensie sambil mencibir.
Raka tertawa mendengar ucapan Nensie. Pandangannya tertuju pada kegiatan MOS yang sedang berlansung. Anak-anak baru sedang latihan baris-berbaris kayak mo jadi tentara aja. Tiba-tiba pandangan Raka tertuju pada seorang cewek berambut panjang dan mengenakan topi hitam yang bertindak sebagai panitia. "Eh... itu kan Ajeng!!" kata Dodi yang duduk di sebelah Raka.
"Mana"" "Tuh yang pake topi hitam!"
Maka seketikaa itu juga riuh rendahlah suara dari anak kelas XII IPA 1. Mereka bersuit-suit atau berteriak memanggil-manggil nama Ajeng, cewek kelas XI IPS 1 yang merupakan salah satu cewek favorit di SMA 14. Walau begitu kegiatan MOS tetep aja berlangsung, nggak terpengaruh kegaduhan yang terjadi di depan kelas XII IPA 1. Raka sempat melihat muka Ajeng yang agak tertutup topi memerah, dan dia menjadi agak salah tingkah. Setiap gerakannya selalu dikomentarin teman-teman cowok Raka. Beberapa panitia cowok yang juga anak kelas dua cuma diam aja, nggak bereaksi terhadap aksi yang jelas-jelas mengganggu kegiatan MOS. Selain kalah jumlah, mereka pun segan berurusan dengan anak-anak kelas tiga. Bisa panjang urusannya.
"Ssst... jangan ribut! Kedengeran guru bisa berabe..." Agus yang menjabat Ketua Murid mengingatkan teman-temannya.
Mendengar ucapan Agus, suara riuh agak mereda.
"Iya nih! Kayak gak pernah liat cewek aja...," sambung Astuti yang biasa dipanggil Tute. "Pernah sih! Tapi liat yang kinclong kayak gitu kan jarang...," jawav Satya seenaknya.
Kontan aja sebuah jitakan mendarat di kepalanya.
"Norak kalian! Cewek gitu aja diributin! Apa hebatnya" Liat aja, jalannya juga kayak bebek," tukas Eva sambil menunjuk ke arah Ajeng.
"Eh... cewek emang harusnya jalannya gitu. Kalian aja para cewek yang menyalahi kodrat!" celetuk Satya lagi sambil tertawa.
"Apa lo bilang!!" Mo gue jitak lagi"" Tute yang emang termasuk salah satu cewek tomboi di kelas XII IPA 1 bersiap-siap mengepalkan tangannya. Siap menjitak Satya. "Ampun, Te... kepala gue bukan samsak tauuu!!"
Melihat Tute yang tomboi, Raka jadi teringat pada Oti. Sed
ang apa cewek itu sekarang" Pasti juga sedang digojlok kakak-kakak kelasnya.
Setelah seminggu acara MOS yang melelahkan, akhirnya Oti mulai masuk sekolah seperti biasa. Walau begitu masih ada ganjalan. Oti merasa Revi dan gengnya masih membencinya. Kalo ketemu, mereka selalu memandangnya dengan sinis, seakan jijik. Oti sih cuek aja, karena merasa nggak salah. Selain dengan Revi cs, hubungan Oti dengan para kakak kelas lainnya yang dulu menjadi panitia MOS cukup baik, bahkan Oti lebih dikenal oleh kakak-kakak kelasnya dibanding teman-teman lainnya. Mungkin itu karena sifatnya yang gampang bergaul. Selain itu namanya melambung saat MOS karena keberaniannya melawan Revi cs, yang di kalangan SMA Yudhawastu dikenal dengan nama kelompok Fiesta. Oti sendiri baru tahu belakangan bahwa anggota Fiesta ditakuti anak-anak se-SMA Yudhawastu, terutama ceweknya. Siapa yang berurusan dengan mereka pasti akan repot. Bahkan anak-anak cowoknya pun segan. Konon kabarnya Fiesta punya banyak kenalan anak cowok sekolah lain yang masuk kategori "trouble maker". Nggak jelas dimana kenalnya. Mungkin anak-anak itu mereka kenal di diskotek, karena keempat cewek anggota Fiesta senang clubbing. Pernah ada seorang anak kelas tiga yang bercanda kelewat batas hingga membuat Wida, salah satu anggota Fiesta mukanya kayak kepiting rebus karena malu. Besoknya dia dikeroyok anak sekolah lain pas pulang sekolah sampe babak belur. Walaupun nggak ada bukti, tapi hampir semua orang menduga ini ulah Fiesta.
Walau Oti udah banyak mendengar kabar mengenai Fiesta, dan banyak yang menasihatinya agar berhati-hati karena dia pernah mempermalukan mereka, tapi sampai saat ini belum ada tanda-tanda Fiesta akan membuat gara-gara dengannya. Oti sendiri gak ambil pusing. Dia tetap bertindak wajar di sekolah. Tetap belajar seperti biasa, sering ketiduran di kelas, dan suka telat (sampe harus berulang kali nyogok Mang Icang, penjaga sekolah pake duit lima ribuan biar pintu belakang sekolah dibuka, jadi dia masuk tanpa melalui guru piket yang selalu standby di pintu depan, yang pasti akan ngasih dia hukuman). "Kayaknya mereka takut ama lo, Ot! Mereka udah tahu lo jago karate," kata Ticka saat berada di kantin.
"O ya"" jawab Oti tak acuh sambil melahap jajanannya, mi bakso campur batagor (bayangin aja, gimana tuh rasanya")!
"Tapi lo hati-hati aja... soalnya gue liat tatapan Revi ama yang lainnya kalo ngeliat ke lo, kayaknya benci banget."
Oti nggak bereaksi. Melihat sikap Oti yang rada-rada cuek; Ticka jadi kesal sendiri. Emang enak dicuekin"
"Otiiii!!!" teriaknya di dekat telinga Oti, mengagetkan Oti dan seisi kantin yang siang itu penuh. Kontan belasan pasang mata menatap ke arah mereka. Ticka emang punya sifat hampir sama dengan Oti. Suka nggak liat-liat sikon kalo gokilnya kumat!
"Apaan sih!" Kuping gue bisa budek tahu!" protes Oti.
"Lo gue ajak ngomong kok cuek aja sih""
"Siapa yang cuek" Gue dengerin kok!" kata Oti.
"Tapi kok diem aja""
"Emang gue harus ngapain" Pura-pura kaget" Nunjukin wajah takut""
"Paling nggak kasih komentar atau tanggapan kek, jadi gue nggak ngerasa ducuekin," kata Ticka sebal.
Oti diam sejenak. "Lo mo tahu komentar gue"" tanyanya. Ticka mengangguk.
"Sejujurnya... EMANG GUE PIKIRIN!""!!" balas Oti nggak kalah kerasnya di telinga Ticka. Kali ini giliran Ticka yang kaget. Kembali belasan mata menatap ke arah mereka. "Sori, kami lagi latihan drama..." Laras yang bersama Oti dan Ticka berdiri meminta maaf sambil memberikan alasan.
"Kalian apa-apaan sih" Bisa pelan nggak"" ujar Laras lirih pada Oti dan Ticka. "Sori, Ras! Abis dia nih yang mulai duluan," jawab Oti sambil menunjuk Ticka. Laras hanya geleng-geleng melihat kelakuan kedua temannya. Sejak kejadian di MOS dulu, Laras jadi akrab dengan Oti dan Ticka. Bahkan mereka bertiga akhirnya menjadi sahabat karib. Laras yang dulu pemalu, pendiam, dan sedikit tertutup kini menjadi sedikit terbuka, karena pergaulannya dengan Oti. Hanya pada Oti dan Ticka, Laras dapat menceritakan isi hati dan pikirannya, apalagi kalo ada masalah, walau kadang-kadang masukan dari Ot
i dan Ticka bukan bikin masalahnya beres, malah tambah kacau. Oti pun senang bersahabat dengan Laras, karena orangnya yang polos dan selalu berbicara apa adanya. Dan satu lagi, Laras sering nraktir Oti dan Ticka. Bagi Oti itu berkah, karena dengan begitu dia dapat menghemat uang bulanannya. Kabarnya Laras anak orang kaya. Ayahnya pengusaha besar di Jakarta, sedangkan disini Laras tinggal bersama neneknya. Oti sendiri nggak peduli Laras anak orang kaya atau nggak. Yang penting Laras ikhlas nraktir dia, dan dia sendiri nggak pernah minta. Selalu Laras yang nawarin. Dia juga temenan ama Laras bukan karena dia anak siapa, tapi karena Laras enak diajakin temenan. Lagipula walaupun anak orang kaya, penampilan Laras tetap sederhana, sama kayak Oti, Ticka, atau anak-anak lainnya. Bahkan sampai sekarang Laras masih pake angkutan umum seperti angkot atau bus untuk pulang-pergi sekolah, sama kayak yang lain. Itu salah satu faktor yang membuat Oti senang temenan ama Laras. "Heh! Kol malah ngelamun"" suara Laras membuyarkan lamunan Oti. "Eh... nggak kok, Ras," elak Oti.
"Hayooo... Kalian lagi mikirin apa" Kok kompak sih ngelamunnya"" Oti dan Ticka saling pandang.
"Emang lo tadi juga ngelamun" Kok niru sih"" tanya Oti. "Idiiiihh!! Siapa yang niru lo" Sori ya...," sahut Ticka sengit. "Emang lo ngelamunin apa"" tanya Oti. "Emang gue harus kasih tahu lo"" kata Ticka galak. "Emang gue nggak boleh tahu"" tanya Oti lagi.
"Emang lo mo tahu"" Ticka masih balas bertanya. "Emang... "
"Udah-udah." kembali Laras melerai.
Dia nggak habis mengerti dengan kesua sahabatnya itu. Setiap ngumpul pasti ada aja yang diributin, sampai ke hal-hal yang kecil. Lagi pula, baik Oti maupun Ticka masing-masing nggak mau ngalah. Jadinya suasana bisa rame kayak pasar. Tapi kadang-kadang Laras menyukai suasana kayak gini, sebab dapat mengundang keceriaan. Cuman dia harus siap-siap pasang urat malu, diliatin banyak orang.
"Udah mo masuk nih. Kalian udah selesai"" tanya Laras.
"Udah," kata Oti.
"Gue udah dari tadi...," kata Ticka.
"Ya udah..." Laras bangkit dari tempat duduknya. "Biar Laras yang bayar," ucap cewek itu seperti biasa.
"Eh,... jangan, Ras!" Tiba-tiba Oti memegang tangan Laras, berusaha mencegah Laras.
Kontan aja Laras dan Ticka memandang Oti dengan pandangan heran.
"Tumben lo gak mau dibayarin" Lagi banyak duit lo"" tanya Ticka sambil menempelkan
telapak tangan kanannya ke kening Oti. "Gak panas kok."
Oti menepis tangan Ticka. "Emangnya gue stuip!""
"Iya, Ot, kok tumben"" tanya Laras.
"Maksudnya gue, jangan ragu-ragu hee... hee... hee...," jawab Oti sambil memamerkan senyumnya, yang bagi Ticka dan Laras lebih merupakan senyuman iblis.
"Sialan! Kirain nggak mau dibayarin! Gue kira ada malaikat apa yang masuk ke lo," sahut Ticka.
"Iya nih...," jawab Laras sambil geleng-geleng, lalu dia melangkah menuju tempat pembayaran.
"Kakak lo kok gak pernah kesini lagi"" tanya Ticka saat menunggu Laras. "Lo nggak pernah dianterin lagi."
Oti sedikit mendelik mendengar pertanyaan Ticka. "Emangnya gue anak kecil" Harus dianter-anter segala""
"Yeee... cuman nanya kok! Jangan sewot gitu dong!"
"Dia kan juga masuk pagi, kalo ngantar gue dulu dia bisa terlambat. Emang kenapa lo nanyain Raka" Lo naksir dia ya"" tanya Oti. "Enak aja. Emang gue gak boleh nanya"" "Abis... tumben."
"Dia udah punya cewek"" tanya Ticka lagi. "Tuh kan... lo naksir dia! Gue bilangin loh!"
"Oti! Nanya aja!!" Ticka agak panik menghadapi tuduhan Oti. Wajahnya udah memerah. Gak kalah ama warna saus tomat yang ada di hadapannya.
"Naksir juga gak papa kok. Wajar, kan"" jawab Oti kalem. "Kata Ai sih dulu Raka punya cewek waktu kelas satu sampe kelas dua. Tapi terus Ai gak tahu status hubungan mereka, dan dia nggak pernah nanyain. Kayaknya sih putus, abis katanya mereka nggak pernah saling kontak lagi," lanjutnya.
Ticka hanya manggut-manggut mendengar kata-kata Oti.
**** "OKE, para KQ-mania, nggak terasa waktu udah hampor nunjukin jam dua belas tengah malam. Dan itu berarti tuntas juga kebersamaan kita dalam Your Night untuk
malam ini. Kita berjumpa lagi besok, terima kasih atas kebersamaan para KQ-mania, and get a better day tomorrow with Qly 103.2 Mhz, see you..."
Sebuah lagu berirama mellow mengiringi kata-kata Raka. Raka melepaa headset di kepalanya. Dan menguap sebentar.
"Udah ngantuk ya, Ka"" tanya Dewo yang bertugas sebagai operator siaran mendampingi Raka ketika cowok itu keluar dari ruang siaran.
"Iya, Mas. Tadi pulang sekolah ada pelajaran tambahan, jadi gak sempet istirahat." "Oke deh! Met istirahat aja!"
"Sama-sama, Mas." Raka mengambil jaket kulitnya yang tergantung di kursi pada salah satu sudut ruangan. Raka tahu Dewo nggak akan langsung pulang seperti dirinya. Dia masih akan mengatur dan me-mixing beberapa lagu, karena Qly FM, radio tempatnya bekerja emang siaran 24 jam, walaupun acara yang dibawakan Raka merupakan acara terakhir hari ini. Seterusnya Qly FM hanya memutar lagu-lagu hingga menjelang pagi, dan Dewo bertugas mengatur lagu-lagu tersebut.
*** Setengah jam kemudian Raka sampe di rumahnya. Pasti udah pada tidur! batin Raka melihat keadaan rumahnya yang gelap.Selama ini setiap pulang malam, Raka sebenarnya selalu waswas neninggalkan adiknya sendirian di rumah, apalagi itu terjadi hampir setiap hari. Karena itu di studio, dia selalu menyempatkan diri menelepon adiknya, memastikan semua baik-baik aja. Sejak kedatangan Oti, rasa waswas itu sedikit berkurang. Paling nggak sekarang ada yang nemenin Ai di malam hari. Walaupun begitu ada sesuatu yang masih mengganjal hatinya. Menurut ayahnya, sewaktu SMP Oti sering keluyuran dan pulang malam. Raka khawatir kelakuan Oti akan sama di sini. Walaupun ayahnya udah mengingatkan Oti agar mengubah kelakuannya, tapi Raka masih sangsi. Apalagi kini dia jauh dari pengawasan orang yang lebih tua. Nggak ada yang perlu ditakutinya. Kalo sekarang Oti selalu ada di rumah sepulang sekolah, mungkin aja karena belum begitu mengenal daerah Bandung, atau belum begitu mengenal teman-teman barunya. Lalu, apakah nanti kebiasaannya akan menular ke Ai" Ai yang sangat alim dan masih polos itu" Mudah-mudahan nggak. Apalagi Raka melihat Ticka dan Laras, teman-teman baru Oti, sepertinya bertipe cewek-cewek alim yang nggak suka macem-macem. Mungkin aja adik tirinya itu emang udah berubah.
Dengan kunci yang dibawanya, Raka membuka pintu depan. Lampu ruang tamu emang udah dimatikan. Tapi masih ada cahaya, seperti cahaya TV. Dan benar aja. Oti masih asyik nonton TV. Dia sama sekali nggak terusik dengan kehadiran Raka.
"Lo belum tidur"" tanya Raka. Mendengar pertanyaan Raka baru Oti menoleh.
"Udah pulang"" dia balik bertanya. Basi! pikir Raka. Terang aja dia udah pulang. Kalo nggak, masa sih sekarang dia ada di sini"
"Kalo lo belum tidur, kenapa gak bukain pintu" Jadi gue gak perlu pakai kunci cadangan. Lo denger suara motor gue, kan"" "Ooo, itu lo" Gue kirain tukang ojek."
Enak aja dia ngomong! Hari udah malam dan Raka nggak mau berdebat dengan Oti. Dia udah ngantuk. Raka segera menuju kamarnya. Tapi nggak lama kemudian dia kembali menghampiri Oti.
"Eh, lo minjem CD player gue"" tanya Raka.
"O iya, tadi gue beli CD baru, jadi gue pinjem CD player lo sebentar," kata Oti. "Ya udah, sekarang kembaliin ke kamar gue," kata Raka.
"Sekarang" Besok aja deh! Males nih ngangkatnya. Kan lumayan berat, gak bisa sekali angkat."
"Enak aja! Tadi lo mau minjemnya. Sekarang disuruh ngembaliin gak mau. Lagian kenapa gak pinjem punya Ai sih"" tanya Raka.
"Bukan gitu. Sekarang kan udah malem. Punya Ai tadi lagi dipake. Ya gue pake aja yang lagi nganggur. Lagian apa lo butuh sekarang" Kalo lo butuh ambil aja sendiri. Tapi keluarin dulu CD gue, and kalo lo pinjem jangan dulu. Gue belum selesai ngedengerinnya," kata Oti. Pengin rasanya Raka mencekik cewek di hadapannya. Tapi dia masih bisa menahan diri. Raka kembali ke kamarnya.
"Eh, tunggu... " Suara Otu menghentikan langkah Raka. "Ada apa"" tanya Raka tanpa menoleh. "Lo besok sibuk nggak"" tanya Oti. "Emang kenapa""
"Pulang sekolah anterin gue beli CD player, ya" Tadi gue udah bilang Papa, dn Papa setuju. Sekalian gue juga mo
beli TV buat di kamar."
"Kenapa harus ama gue" Lo kan bisa sendiri. Barangnya minta dianter aja ke rumah," kata Raka.
"Bukan soal bawanya. Kali aja lo tahu toko yang murah di Bandung. Kan lumayan bisa ngirit. Lagian lo kan agak ngerti barang-barang elektronik. Biar gue gak salah beli." Raka terdiam sejenak mendengar ucapan Oti. "Gak bisa. Besok gue ada pelajaran tambahan, abis itu langsung siaran."
"Kalo gitu lo bisanya kapan" Hari minggu bisa"" tanya Oti.
"Kayaknya gue sibuk terus. Gak ada waktu buat nemenin lo belanja," jawab Raka lalu melanjutkan langkahnya, meninggalkan Oti yang hanya bisa melongo mendengar jawaban kakak tirinya.
*** Oti sedang berada dalam angkot yang membawanya ke sekolah, ketika pandangannya tertuju pada mobil kijang perak yang berhenti di pinggir jalan dengan kap mesin terbuka. Dia merasa mengenal pemilik mobil itu.
Kak Bayu! batin Oti. Keliatannya Bayu mengalami kesulitan. Oti segera meminta angkot berhenti dan turun nggak jauh dari mobil Bayu. Cewek itu segera menghampiri Bayu. "Kenapa, Kak"" tanya Oti. Bayu agak kaget melihat Oti udah ada di dekatnya. "Eh, kamu. Kenapa bisa disini"" Bayi balik bertanya.
"Tadi Oti liat Kakak dari angkot. Kayaknya kakak lagi ada masalah, makanya Oti turun, siapa tahu bisa membantu."
"Iya nih." Bayu menggaruk-garuk kepalanya yang nggak gatal dengan tangannya yang keliatan kotor terkena oli. "Tapi aku nggak yakin kamu bisa bantu. Gak tahu kenapa nih mobil tiba-tiba ngadat. Untung masih sempet minggir."
"O ya"" Oti mendekati kap mesin mobil Bayu. "Emang matinya gimana""
"Tiba-tiba aja mesinnya batuk-batuk, tersendat. Jadi aku pinggirin aja. Eh habis itu gak bisa distarter lagi."
Oti menjulurkan tangannya ke mesin mobil.
"Eh, kamu mo ngapain" Emang kamu bisa"" tanya Bayu heran.
"Liat aja," kata Oti.
"Kamu yakin bisa"" tanya Bayu lagi. Bukan apa-apa dia takut mesin mobilnya malah jadi makin rusak.
"Coba dulu, Kak." Oti menoleh ke arah Bayu. "Alat-alatnya dimana"" tanyanya. "Sebentar." Bayu berjalan ke belakang mobil. Sementara itu Oti melepaskan tas sekolahnya dan menaruhnya di jok depan. Setelah Bayu membawa alat-alat yang diperlukan, cewek itu mulai mengutak-atik mesin mobil Bayu, diikuti tatapan heran kakak kelasnya itu. "Kunci dua belas...," pinta Oti. Tangannya menggapai ke belakang. Bayu terenyak sejenak, kemudian mengambilkan apa yang diminta Oti. "Ada lap, nggak""
Sekitar dua puluh menit Otik ngutak-atik mesin mobil Bayu. Bayu juga nggak tau apa yang dilakukan cewek itu.
"Mobilnya jarang diservis, ya"" tanya Oti sambil mendongak. "Emang apa yang rusak"" Bayu balik bertanya.
"Gak ada. Cuman karburatornya sedikit kotor. Juga saringan udara dan busi. Nggak heran kalo campuran udara yang dibutuhkan mesin jadi terhambat. Terus ada kabel ke aki yang udah terkelupas, jadi agak susah distarter." Bayu hanya mengangguk. "Coba sekarang Kakak starter."
Bayu segera ke belakang kemudi. Dia mencoba dua kali baru mesin mobilnya bisa hidup. "Oti udah coba bersihin saringan udara dan busi. Juga nyambung kabel aki yang terkelupas. Tapi masih kurang, karena itu mesin masih tersendat-sendat. Karburatornya harus dibersihin juga, dan itu lebih baik dilakukan di bengkel. Ribet kalo di sini," kata Oti menjelaskan sambil mengelap tangannya yang kotor.
Beberapa menit kemudian cewek itu sudah berada dalam mobil, di samping Bayu yang meluncur mulus menuju SMA Yudhawastu. Oti melirik jam tangannya. Sekolah udah masuk sekitar lima menit yang lalu. Yah, terpaksa nyogok Mang Icang lagi nih! pikirnya.
"Kita bakal kena hukuman nih..." Bayu seakan-akan bisa membaca pikiran Oti. Cewek itu mengangguk. Bayu nggak mungkin bisa masuk lewat pintu belakang karena dia bawa mobil.
Tapi Oti yakin Bayu akam lolos dari hukuman. Reputasi dia di sekolah kan cukup baik, selain itu dia juga salah satu pejabat OSIS.
"...sori udah ngerepotin and bikin kamu telat," lanjut Bayu.
"Gak papa kok! Masa ada orang kesusahan gak ditolong," jawab Oti sambil tersenyum.
"Ngomong-ngomong, dari mana kamu tahu mengenai mesin mobil"" tanya Bayu.
"

Victory Karya Luna Torashyngu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ooo itu. Tetangga Oti di Jakarta ada yang punya bengkel mobil. Sejak kecil Oti sering main ke sana, jadi sedikit tau mengenai mesin mobil," Oti menjelaskan.
"Gitu... kirain kamu pernah buka bengkel, atau jadi montir...," balas Bayu sambil tertawa. Oti bukannya marah, malah ikut tertawa.
"Yah, mungkin itu akan Oti lakukan kalo lagi gak punya duit."
*** Raka sedang duduk di sudut lobi radio Qly, ketika melihat seseorang yang dikenalnya memasuki lobi.
Ajeng" batin Raka. Cewek berambut panjang yang baru memasuki lobi itu keliatan bingung. Matanya merambah sekeliling ruangan, mencari sesuatu. Lobi radio Qly emang sepi karena sekarang jam istirahat. Bahkan mbak resepsionis yang ada di depan ruangan pun gak ada. Raka segera menghampiri Ajeng yang masih berdiri di depan lobi.
"Ajeng... " Mendengar namanya dipanggil, Ajeng menoleh. Sejurus kemudian cewek itu mengerutkan dahi, dia mengenal Raka sebagai kakak kelasnya, walaupun nggak begitu dekat.
"Kok bengong sih" Raka, anak XII IPA 1," ujar Raka sambil mengulurkan tangan. Ajeng membalas uluran tangan Raka.
"Ada keperluan apa ke sini, Jeng""
Suara Raka begitu lembut, beda saat dia bersama teman-temannya. Ajeng merasa pernah mendengar suara itu sebelumnya, tapi dimana"
"Eh, ini... disini tempat jual tiket konser 'Qlyvaganza Parties', kan"" tanya Ajeng.
"Iya sih, tapi... Eh, kamu mo nonton acara itu""
"Bukan Ajeng, tapi adik Ajeng. Dia yang pengin nonton."
"Oooo..." Mendengar jawaban Ajeng, Raka hanya mengangguk.
"Belinya dimana"" tanya Ajeng lagi.
"Ya sebetulnya disini. Tapi yang jual tiketnya kebetulan lagi gak ada tuh," kata Raka. "Kok bisa gitu sih""
"Biasanya setiap hari sih ada. Tadi pagi juga kayaknya masih ada. Gak tahu sekarang ngilang ke mana. Lagi makan kali. Kalo mau tungguin aja," kata Raka lagi.
Ajeng hanya menggigit bibir bawahnya. Wajahnya yang putih basah karena keringat. "Kamu dari sekolah"" tebak Raka, melihat seragam yang masih dipakai Ajeng. "Iya. Dari latihan paskibraka di sekolah, Ajeng langsung kesini." "Pantes kamu keliatan capek gitu. Kenapa gak adik kamu aja yang beli sendiri"" "Dia nggak bisa. Makanya nitip ke Ajeng," jawab Ajeng.
Raka nggak bertanya lebih lanjut. Dia ngajak Ajeng duduk di lobi. Beberapa karyawan dan penyiar Qly FM yang kebetulan lewat tersenyun penuh arti pada Raka.
"Raka, lima belas menit lagi siaran!" kata Dewo yang kebetulan lewat di depan Raka. Dasar sirik! Nggak bisa liat orang seneng sedikit aja! gerutu Raka dalam hati.
"Iya, Mas...," jawab Raka sedikit dongkol. Dewo sempat melirik ke arah Ajeng sambil tersenyum. Walau usianya udah mulai nginjak kepala tiga dan sudah punya bini, tapi cewek secakep Ajeng, mubazir kalo nggak diperhatiin bener-bener.
"Kamu penyiar"" tanya Ajeng sambil memandang Raka kagum.
"Cuman freelance. Buat nambah-nambahin uang jajan."
"Pantes Ajeng kayaknya pernah denger suara kamu, cuman Ajeng lupa dimana..." "Kamu sering ngedengerin Qly""
"Adik Ajeng. Hampir setiap hari. Jadi kalo Ajeng di rumah, kadang- kadang ikut ngedengerin juga. Nickname kamu Squall, ya""
Raka nggak menjawab pertanyaan Ajeng. Dia hanya memandang cewek itu. Setiap penyiar Qly punya nickname atau nama samaran saat siaran. Katanya sih biar lebih akrab dengan pendenger. Dan nama samaran Raka adalah Squall, yang dia ambil dari tokoh dalam game Final Fantasy favoritnya. Setiap penyiar nggak boleh ngasih tau nama samarannya ke pendengar kalo nggak perlu. "Iya, kan"" desak Ajeng. Raka hanya mengangguk pelan.
"Berarti kamu penyiar favori adik Ajeng. Dia paling suka Squall," kata Ajeng gembira.
"Wah... " Raka jadi salah tingkah. Dia hanya dapat menggaruk-garuk kepalanya.
"Gak nyangka tetnyata Squall anak SMA 14 juga," kata Ajeng.
"Berarti adik kamu anggota KQ"" tanya Raka.
"Apa tuh KQ"" Lho, kok Ajeng malah balas bertanya.
"Kanca Qly. Semacam fans club untuk para pendengar Qly. Biasanya setiap minggu mereka ngumpul di sini, atau ngadain kegiatan," kata Raka menerangkan. "Kayaknya nggak tuh," kata Ajeng.
"Kenapa"" Kali ini giliran Ajeng nggak menjaw
ab pertanyaan Raka. *** Oti lagi main futsal di lapangan basket sekolah bareng cowok-cowok kelasnya ketika Ticka memberi tanda dari pinggir lapangan.
"Ada apa"" tanya Oti sambil mendekat ke pinggir lapangan. Di dekat Ticka ada Dea, temen sekelas mereka. Napasnya kedengaran naik-turun, kayak abis lari marathon. Saingan ama Oti yang juga ngos-ngosan.
"Gawat, Ot! Kamu harus cepet datang...," kata Dea sambil berusaha mengatur napas. "Ada apa sih""
"Rika... dia lagi dikerjain ama Fiesta!" "Dikerjain" Emang gara-garanya kenapa""
"Gak tahu. Tadi pas Dea lewat, Rika sedang dikelilingi anggota Fiesta di kantin. Dea lihat rambut Rika sampai ditarik-tarik. Kasian banget. Kayaknya dia mo nangis. Karena itu Dea cepet- cepet cari kamu!"
Mendengar laporan dari Dea, hati Oti jadi panas.
"Kayaknya gue sekali-kali harus ngasih pelajaran ama cewek-cewek borju kayak mereka." Tanpa pikir panjang Oti langsung lari ke arah kantin di belakang sekolah.
"MAMPUS gue!" Berkali-kali Oti menepuk keningnya. Laras dan Ticka yang duduk di hadapan Oti hanya menggeleng-geleng melihat kelakuan teman mereka.
"Minum dulu, Ot." Ticka menyodorkan sebotol fruit tea yang ada di meja. Oti menyedot minuman itu. Saat itu mereka bertiga sedang berada di food court Bandung Indah Plaza. Biasa, jalan-jalan dulu sepulang sekolah.
"Kenapa gue bisa sebodoh ini nerima tantangan dia"" Oti seakan bertanya pada dirinya sendiri. Dia seperti menyesali sesuatu. Pandangannya menerawang ke depan, seperti mengingat sesuatu. Oti ingat kejadian pas istirahat, saat dia menghampiri anghota Fiesta yang lagi memojokkan Rika, teman sekelasnya, di kantin sekolah. Dia sempat perang kata-kata dengan Revi cs. Bahkan Oti sempat dikeroyok anggota Fiesta. Tapi tentu saja mereka bukan tandingan Oti yang gitu-gitu pemegang sabuk hitam karate. Oti berhasil menampar muka Rina, menendang Winda hingga jatuh, mendorong Amy, dan memuntir lengan Revi ke belakang, hingga berteriak minta ampun. Beberaoa anak cowok yang berada di tempat itu segera melerai perkelahian.
"Jangan kira karena kalian kakak kelas, kalian bisa seenaknya! Apalagi cuman karena masalah sepele!" bentak Oti keras.
"Lo juga! Jangan lo kira mentang-mentang jago karate, lo bisa main pukul seenaknya. Apa cuman itu kebiasaan lo" Mukulin orang" Kasian banget lo jadi cewek kalo cuman itu yang lo bisa!" balas Revi nggak kalah kerasnya sambil memegangi lengan kanannya yang sakit. "Jangan cari alasan! Kalian yang bikin gara-gara!"
"Lo kira gue takut ama lo" Kalo aja bukan jago karate, lo sama sekali gak ada apa-apanya! Dandan aja lo gak bisa!"
"Kurang ajar!" Oti hendak maju, tapi beberapa siswa cowok menahannya. Butuh dua orang untuk menahan cewek itu.
"Kalo lo gak terima gue bilang begitu, buktiin dong! Kita bertanding di bidang yang gue juga bisa, biar fair! Lo berani"" tantang Revi.
Oti menenangkan diri sejenak.
"Baik. Gue terima tantangan lo. Lo kira gue takut!""
"Lo ingin bertanding apa"" tanya Revi.
"Terserah! Lo yang nentuin," tantang Oti.
"Baik kalo begitu." Revi memandang sekelilingnya, kayak mencari sesuatu. Tiba-tiba wajahnya tersenyum licik.
"Kita bertanding itu!" telunjuk cewek bertubuh tinggi itu menunjuk salah satu sudut kantin di belakang Oti yang ditempelin berbagai macam selebaran dan poster. Oti menoleh ke arah yang ditunjuk Revi. "Apa"" tanya Oti.
"Baca aja postet berwarna-warni itu. Yang paling gede." tunjuk Revi. Oti membaca tulisan besar pada poster yang tertempel di situ:
PEMILIHAN PUTRI SMA SE-INDONESIA
Membaca judul poster tersebut, raut wajah Oti berubah. Dia kembali menatap ke arah Revi. "Lo udah rencanain hal ini ya"" tanya Oti.
"Gimana" Lo berani" Kalo takut atau nggak sanggup, bilang aja. Gue bisa kok milih jenis pertandingan lain," sahut Revi dengan wajah angkuh.
Melihat wajah Revi yang angkuh itu, nyali Oti yang menciut tiba-tiba bangkit lagi. Kalo dia bilang nggak sanggup, pasti Revi akan merasa menang. Dan Revi pasti akan memilih pertandingan lain yang lebih nguntungin dirinya.
"Gimana" Kok diem" Berani nggak" Gue ras awalaupu
n lo cewek, lo gak bakal berani ikut acara kayak gitu. Iya, kan""
Semua yang berada di situ terdiam. Mereka semua memandang Oti, menunggu jawaban dari mulutnya. Oti kembali menatap wajah Revi.
"Gue terima tantangan lo!" jawab Oti yakin. Jawaban yang membuat raut wajah Revi sedikit berubah.
"Lalu apa yang didapat pemenangnya"" tanya Oti.
"Yang kalah harus mengikuti apa yang diperintahkan si pemenang tanpa kecuali. Gimana"" "Apa pun"" tanya Oti.
"Ya. Apa pun. Semua yang ada di sini jadi saksi," kata Revi. "Oke!" sahut Oti mantap.
"Baik. Ini peraturannya. Siapa yang masuk final dan posisinya lebih baik dari yang lain, dia pemenangnya. Nggak perlu jadi juara," tegas Revi. "Gimana kalo nggak ada yang masuk final"" tanya Oti. "Pertandingan dianggao seri. Setuju"" "Setuju," kata Oti.
Revi mendekatkan tubuhnya ke arah Oti.
"Tapi gue yakin bakal masuk final. Gue udah biasa soal beginian. Tapi lo" Foto lo gak dibuang juri ke tempat sampah aja udah untung," ujar Revi lirih. Oti melotot. "Gue tunggu lo! Sebaiknya lo cepat daftar. Pendaftaran hampir ditutup," lanjut Revi. Kemudian dia meninggalkan tempat tersebut diikuti anggota Fiesta yang lain. Meninggalkan Oti yang masih terpaku di tempat.
*** "Ot... " Suara di sampingnya membuyarkan lamunan Oti. "Kok malah bengong sih"" tanya Laras. "Iya. Ada apa""
"Nggak. Gue cuman ingat kejadian tadi." desah Oti pelan. "Harusnya tadi gue nggak kebawa emosi. Gue nggak sadar Revi mau ngejebak gue. Dia kan dendam ama gue."
"Sebaiknya lo sekarang jangan mikirin soal itu, Ot. Udah terlambat. Kalo minta Revi ngebatalin pertandingan ini, lo akan semakin jatuh di mata dia," kata Ticka.
"Siapa bilang gue mau ngebatalin!""
"Lebih baik kita mencari jalan bagaimana agar lo masuk final. Itu aja dulu. Lo udah catat pengumumannya, Ras"" tanya Ticka. Laras mengangguk kemudian mengeluarkan buku tulis dari tas sekolahnya.
"Revi benar. Pendaftaran ditutup kurang dari seminggu lagi," ujar Laras. "Kalo kata Laras sih, sebetulnya masih untung Revi menantang kamu ikut pemilihan putri SMA," lanjutnya. "Kok untung sih Ras"" protes Ticka.
"Iya. Coba kalo dia ngajak pertandingan masak, menjahit, san sejenisnya. Oti nggak mungkin mempersiapkan diri dalam waktu singkat," jawab Laras. Ticka tersenyum mendengar jawaban Laras yang lugu, demikian juga Oti walau agak ditahan. Mereka semua tahu bagaimana kemampuan Oti memasak. Prestasi terbaiknya hanya mampu membuat telur mata sapi tanpa hangus. Itu pum dengan bantuan Ai yang emang bisa masak. "Kalo menurut gue sih Revi gak bakalan nantang Oti sejenis itu. Gue yakin tuh anak juga gak bisa masak dan lain sebagainya." Ticka kembali menoleh ke Oti. "Gue kira ini juga kesempatan bagus biat lo ngejatuhin keangkuhan Fiesta, terutama Revi. Bayangkan seandainya lo bisa ngalahin Revi dalam bisang yang dia bangga-banggakan, yaitu kecantikannya. Gue yakin dia pasti malu tujuh turunan," lanjut Ticka memberi semangat pada Oti, walau sebetulnya dia sendiri nggak yakin.
"Tapi lo kan tahu siapa Revi. Biar orangnya kayak gitu, dia tuh model. Dari SMP dia udah sering ikut kontes-kontes kayak gitu, dan selalu dapat juara," jawab Oti.
"Lo jangan putus harapan gitu. Yang penting lo berusaha semampu lo. Lagi pula yang gue denger, pemilihan putri SMA ini beda dengan kontes-kontes yang sering diadain di majalah-majalah. Yang dinilai bukan cuman kecantikan, tapi juga intelektualitas dan sikap. Jadi lo masih ada harapan. Gue ama Laras juga akan selalu ngebantu lo. Iya nggak, Ras"" tanya Ticka.
Laras mengangguk. "Thanks ya," kata Oti.
"Kalo begitu sekarang kita siapin segala yang dibutuhkan untuk mendaftar. Kita harus cepat." Ticka membaca catatan Laras. "Lo punya foto close-up, nggak" Ukuran 4R, atau negatifnya juga boleh." Oti menggeleng.
"Gue nggak pernah difoto kayak gitu. Kalo foto gue pas lagi pertandingan karate atau lagi study tour pas SMP ada. Itu bisa dipake""
Ticka mendesah pelan mendengar jawaban Oti. Dia memandang Laras, seolah pikiran mereka sama. Banyak yang harus dilakukan untuk membantu Oti. "Mungkin Laras bisa bantu," u
jar Laras pendek. *** Acara "Qlyvaganza Parties" berlangsung semarak. Acara yang digelar radio Qly di Lapangan Saparua Bandung itu dipadati ribuan ABG dan generasi muda yang selama ini merupakan segmen utama pendengar Qly yang merupakan salah satu radio swasta terbesar di Bandung. "Qlyvaganza Parties sendiri merupakan acara multievent. Ada panggung musik, bazar, dan berbagai macam permainan. Raka sendiri sebenarnya nggak begitu antusias ama acara-acara kayak gini. Kalo boleh disuruh milih, dia lebih baik tidur di rumah hari minggu ini. Tapi karena seluruh penyiar Qly diwajibkan hadir, maka terpaksa dia datang juga. Seneng juga sih bisa sekalian cuci mata, ngecengi cewek-cewek cakep dari sekolah lain. "Ka, kamu nggak ada kegiatan, kan"" tanya Tari yang bertugas sebagai koordinator humas dan informasi. Raka emang lagi berdiri di dekat stan informasi, karena sama sekali nggak tahu harus ngapain. Dia nggak termasuk panitia. "Emang kenapa, Mbak""
"Tolong jaga disini dulu. Aku ada perlu sebentar."
"Yaaaa... Mbak... Raka kan bukan panitia. Yang lain pada kemana""
"Gak tahu tuh. Pada ngilang semua. Kamu jagain dulu aja, aku cuman sebentar kok. Emangnya kamu mo kemana sih" Kata Mas Yudhi, nanti siang ada acara jumpa penyiar. Kamu harus ada."
"Tapi ntar kalo ada yang minta informasi" Raka kan gak tahu apa-apa."
"Alaaa.... paling mereka minta jadwal acara. Kasih aja selebaran yang ada di meja. Semuanya udah lengkap kok."
Terpaksa Raka duduk mendekam di balik meja informasi. Iseng dia membaca berbagai macam brosur yang berada di meja.
"Raka"" Raka menoleh. Ajeng berada di depan meja informasi. Rambutnya yang panjang memakai bando warna merah muda, sama dengan warna bajunya, hingga dia keliatan cantik banget. "Eh, Ajeng. Kamu dateng juga kesini"" tanya Raka sedikit kaget. "Iya. Ajeng nganterin adik Ajeng." "Adik kamu" Mana adik kamu""
Ajeng menoleh ke samping, kemudian beranjak dari meja informasi. Beberapa saat kemudian cewek itu kembali sambil mendorong kursi roda yang diduduki seorang cewek berusia sekitar tiga belas-empat belas tahun. Wajah cewek itu mirip Ajeng, tapi rambutnya dipotong lebih pendek.
"Ayu, katanya mau tahu siapa Squall"" kata Ajeng sambil menunjuk Raka. Raka sejenak menatap Ajeng. Tampak bibir Ajeng yang mungil bergerak mengucapkan kata "Sori" tanpa suara.
Ayu memandang Raka. "Benar Kakak adalah Squall"" tanya Ayu. Raka mengangguk. Wajah Ayu kelihatan tersipu menahan malu.
*** "Saat umur delapan tahun, Ayu jatuh dari pohon. Nggak lama kemudian dia kena demam hebat. Suhu badannya sangat tinggi. Setelah itu, kedua kakinya gak bisa digerakkan lagi," tutur Ajeng. Wajahnya menampakkan kesedihan yang mendalam. Raka yang duduk di sampingnya hanya dapat menatap wajah cewek itu. Dari ucapan Ajeng, keliatan dia sangat menyayangi adiknya. Sementara itu, Ayu kelihatan asyik menonton acara musik, nggak jauh dari mereka.
"Kamu tentu sangat sayang ama adik kamu," ujar Raka. Ajeng mengangguk. "Hanya kami berdua anak Mama dan Papa. Sejak kecil kami berdua biasa bermain bersama. Ayu sempat shock setelah tahu dirinya lumpuh. Butuh waktu lama buat ngembaliin kepercayaan dirinya. Itu juga belum sepenuhnya berhasil. Sampe sekarang dia masih nggak mau bermain dengan teman-teman sebayanya. Sepulang sekolah, Ayu lebih banyak mengurung diri di rumah."
Ucapan Ajeng itu membuat pandangan Raka terhadap cewek itu berubah. Dia sama sekali nggak nyangka Ajeng yang menjadi inceran setiap cowok di kelasnya ini punya cerita yang mengharukan. Raka jadi simpati pada Ajeng.
"Jadi itu sebabnya kamu selama ini belum punya cowok"" Nggak tahu kenapa pertanyaan itu terlontar dari mulutnya. Ketika sadar Raka menyesali kebodohannya. Shit! batinnya. Gimana kalo Ajeng marah"
Tapi Ajeng ternyata nggak marah. Dia cuman tersenyum mendengar pertanyaan Raka. "Mungkin itu salah satunya. Waktu Ajeng selalu tersita buat sekolah, latihan paskibra, dan nemenin Ayu. Ajeng nggak punya waktu lagi buat pacaran. Apa lagi kalo ternyata cowok Ajeng nanti nggak mau ngerti keluarga Ajeng, keadaan Ayu. Bagi Ajeng, Ayu s
egala-galanya... " "...dan kamu tahu, akhir-akhir ini, salah satu yang dapat membangkitkan kepercayaan diri Ayu adalah kamu. Mendengar suara kamu di radio dapat membuat Ayu selalu ceria dan sejenak dapat melupakan kekurangannya," kata Ajeng kemudian sambil menatap Raka.
*** Oti lagi ngerjain PR (atau lebih tepatnya, nyontek PR punya Laras) di perpustakaan sekolah saat Bayu menghampirinya.
"Katanya kamu mau ikut pemilihan putri SMA"" tanya Bayu lirih.
"Rupanya gosipnya udah nyebar, ya"" jawab Oti tanpa mengalihkan pandangan.
"Kenapa, Ot""
Oti menoleh menatap wajah Bayu. "Kakak nggak setuju Oti ikut acara kayak gitu""
"Bukan begitu. Ku dengar kamu bertaruh dengan Revi. Benar"" tanya Bayu.
Oti nggak menjawab pertanyaan Bayu, malah kembali mengerjakan PR-nya.
"Apa Saat itu keadaan salon emang nggak begitu ramai. Hanya ada sekitar tiga atau empat pelanggan.
"Kamu yakin dia bisa membantu Oti"" tanya Ticka.
"Pasti. Kata Ibu, Salon Tante Wijaya termasuk yang terbaik di Bandung. Salon ini juga berkembang atas usahanya dari bawah."
Seorang wanita setengah baya, tapi masih berpenampilan menarik, keluar dari salon. "Laras, ya"" tanya wanita tersebut.
"Tante... " "Kamu sudah besar sekarang..." Tante Wijaya memegang pundak Laras. Diam-diam Oti dan Ticka memerhatikan wajah wanita di hadapan mereka ini. Mereka menduga usia Tante Wijaya pasti hampir sama dengan ibu mereka. Tapi wajah Tante Wijaya masih terlihat kencang, dan masih menampakkan sisa-sisa kecantikannya.
"Terakhir kali Tante liat kamu saat kamu berusia tujuh tahun... Sekarang kamu sudah demikian cantik, sama seperti ibu kamu," puji Tante Wijaya.
"Ah, Tante bisa aja. Tante juga masih cantik..." Laras balas memuji. Tapi Oti dan Ticka dapat melihat wajah Laras memerah.
"Baiklah. Kemarin Ibu kamu udah nelepon. Katanya temen kamu ada yang mau ikut kontes kecantikan""
"Bukan kontes kecantikan, Tante, tapo pemilihan Putro SMA...," kata Laras. "Sama saja... Sebentar..."
Tante Wijaya memanghil sebuah nama. Nggak lama kemudian muncullah cowok berambut panjang yang diikat ke belakang. Walaupun dia cowok, tapi gaya jalannya lebih mirip cewek. Sangat feminim.
"Ini Iwan. Dia yang akan membantu kamu. Maaf, Tante nggak bisa menangani langsung, karena kesibukan Tante. Tapi jangan khawatir. Iwan yang terbaik di seluruh salon milik Tante. Dia sering mendandani peserta kontes kecantikan..." Tante Wijaya menerangkan. Laras hanya mengangguk. Dia tahu, wanita kayak Tante Wijaya yang punya beberapa salon di Bandung pastilah sangat sibuk. Mau menemui mereka aja udah merupakan kehormatan tersendiri.
Laras menerima jabat tangan Iwan.
"Jadi ini anaknua. Hmmm... cantik juga. Tinggal tambah sedikit make-up biar nggak keliatan pucat di depan kamera, bisa kalo untuk masuk final. Bahkan mungkin bisa dapat nomor," ujar Iwan dengan gayanya yang khas sambil mengamati wajah Laras.
"Bukan Laras yang mau ikut, Om, eh Kak, eh..." Laras jadi kelihatan kikuk.
"Iwan. Panggil aja Iwan. Jadi siapa" Kamu"" Iwan menunjuk Ticka. Ticka menggeleng.
"Lalu"" Pandangan Iwan dan Tante Wijaya tertuju pada Oti yang berdiri di belakang Laras dan Ticka. "Kamu"" tanya Iwan lirih sambil menunjuk Oti. Secara bersamaan Oti dan kedua sahabatnya mengangguk. Iwan mengamati tubuh Oti mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki, dan sebaliknya berulang-ulang dengan tatapan nggak percaya. Tante Wijaya juga terkejut. Semula dia juga menyangka yang akan ikuy kontes adalah Ticka.
"Gimana, Tante" Bisa, kan" Untuk sementara ini usahakan agar bisa lolos ke final dulu," tanya Laras pada Tante Wijaya.
"Gimana, Wan" Bisa"" Tanye Wijaya balik bertanya pada Iwan.
"Enggg... mungkin...," jawab Iwan dengan nada ragu. Pikirannya dipenuhi berbagai macam pikiran melihat penampilan Oti yang lebih mirip cowok.
*** Oti, yang baru kali ini masuk salon kecantikan, tersiksa ketika wajahnya dirias. Beberapa kali Iwan menegurnya karena banyak bergerak. Oti sendiri sebetulnya sedikit risi wajahnya diobrak-abrik, apalagi oleh cowok, walaupun Iwan "agak lain" dari cowok biasany
a. Kalo bukan ingat dirinya lagi dirias, pengin rasanya dia matahin tangan Iwan yang berani memegang-megang wajahnya. Ticka dan Laras cuman cengengesan melihat kelakuan Oti yang menurut mereka kayak "cacing kepanasan". Ticka bahkan beberapa kali menggoda Oti, membuat Oti semakin banyak bergerak.
Setelah dirias untuk keperluan foto, Oti langsung dipotret di studio foto. Menjelang malam baru cewek itu pulang. Tubuh Oti serasa mau rontok. Bagi cewek itu, duduk dirias lebih melelahkan daripada bertanding karate. Selain itu Oti merasa mukanya bertambah berat karena kosmetik yang masih menempel.
Ai yang membukakan pintu rumah kaget melihat wajah Oti yang lain dari biasanya. "Jangan komentar," kata Oti sebelum Ai sempat membuka mulut. Ai mengurungkan niatnya bertanya. Dia hanya memandang kakak tirinya dengan heran. Oti langsung menuju kamarnya di lantai atas. Keinginannya kini cuma satu. Dia pengin cepat mandi dan menghapus kosmetik tebal pada wajahnya, kemudian pergi tidur.
**** Pagi-pagi kelas XII IPA 1 udah heboh karena Ajeng lewat depan kelas. Nggak cuman itu. Ajeng bahkan berhenti di depan pintu kelas.
"Cari siapa, Jeng"" tanya Husni, yang pagi-pagi udah siap mejeng di depan kelas dengan rambut mengilap dan dibentuk ke atas. Kesannya biar mirip ama gaya Mohawk-nya David Beckam yang sempet beken itu. (walau kalo diliat lagi dengan seksama, lebih mirip tikus kecebur got hi...hi...hi...) "Raka ada""
"Raka" Kok nyari dia" Mending ama gue aja... Dia belum dateng tuh" "Ada apa Jeng""
Raka tau-tau udah ada di belakang Ajeng. Dia baru datang, masih menggendong tas sekolahnya.
Melihat kedatangan Raka, Husni mengangkat tangannya lalu masuk ke kelas. Malu berat dia. "Hai. Ajeng pengin ngomong sebentar. Bisa""
Raka mengangguk. Kemudian mereka berdua berjalan menjauh dari pintu kelas. Menghindari tatapan mata "buaya" para cowok kelas XII IPA 1 lainnya yang siap mengintai.
"Makasih kamu udah nemenin Ajeng di acara kemarin, dan bikin Ayu gembira," kata Ajeng membuka percakapan. Raka hanya mengangguk mendengar ucapan cewek itu.
"Kamu ke sini cuman mau ngomong itu""
"Bukan. Ini sebenarnya pesan Ayu. Ayu ngundang kamu datang ke rumah, dia pengin masak spesial buat kamu." Ajeng emang pernah cerita adiknya itu pinter masak, bahkan lebih pinter dari dirinya. "Kapan"" tanya Raka.
"Kapan aja kamu ada waktu. Nanti Ajeng kasih tahu Ayu," kata Ajeng.
Raka menggigit bibir bawahnya, seolah-olah memikirkan sesuatu.
"Gimana" Kamu bisa" Ayu sangat mengharapkan kedatangan kamu. Ajeng nggak punya nomor telepon kamu, jadinya harus langsung nemuin kamu," ujar Ajeng seolah memohon.
Raka menatap mata Ajeng. Dia nggak tega melihat sorot mata cewek berambut panjang itu.
"Baiklah, gimana kalo besok siang sepulang sekolah"" kata Raka.
"Besok"" tanya Ajeng
"Iya. Kamu nggak bisa"" tanya Raka.
Ajeng terdiam sejenak. "Bisa kok," ujar cewek itu akhirnya.
"Mana alamat rumah kamu"" Raka mengeluarkan secarik kertas dari tas sekolahnya dan memberikannya pada Ajeng yang kemudian menuliskan alamat rumahnya, lengkap dengan nomor teleponnya.
"Kalo mau datang, telepon dulu," kata cewek itu sambil menyerahkan alamatnya pada Raka. Raka mengangguk.
*** Setelah Ajeng pergi dan Raka kembali pada teman-temannya, kerusuhan kecil terjadi di kelas. Kali ini Raka yang mendapat pertanyaan bertubi-tubi dari teman-temannya. "Gila, Ka, kapan lo kenal ama Ajeng"" "Curang! Lo kok curi start sih!"" "Apa sih yang kalian omongin"" "Janjian ya""
Menanggapi derasnya pertanyaan yang ditujukan padanya, Raka cuman nyengir. "Iya. Gue janji kencan ama Ajeng," jawab Raka kalem sambil menunjukkan secarik kertas yang berisi alamat rumah Ajeng, yang kontan jadi rebutan yang lain, kalo Raka nggak buru-buru masukin ke kantong celananya.
*** Keluarga Ajeng ternyata menerima kehadiran Raka secara terbuka. Kebetulan ibu Ajeng sedang ada di rumah. Wanita itu menyambut kehadiran Raka dengan ramah, sehingga cowok itu merasa betah, apalagi Ajeng yang cantik seperti bidadari (nggak jelas apa Raka udah pernah liat bidadari sebelumnya) ju
ga selalu menemaninya. Menjelang sore baru Raka pulang.
Raka memasuki rumahnya sambil bersiul gembira. Hatinya membuncah. Dengab menerima undangab makan dari Ayu, dia jadi lebih dekat dengan Ayu. Raka sekarang udah nggak canggung lagi ngobrol dengan cewek itu. Mereka juga ngobrol dan bercanda bersama adik Ajeng. Dan yang lebih bikin Raka seneng, Aheng minta dia menemaninya ke toko buku besok, sepulang sekolah. Kelihatannya cewek itu nggak canggung naik motor bersama Raka, dengan risiko mukanya yang mulus terkena debu di jalan, kepanasan, atau kehujanan kalo tiba-tiba Bandung diguyur hujan seperti yang terjadi dalam beberapa hari ini. Ai yang lagi asyik nonton TV di ruang tamu heran dengan sikap kakaknya yang baru pulang. "Lagi happy ya, Kak" Kencannya pasti sukses," tebak Ai.
"Hush! Anak kecil gak usah ikut campur!" jawab Raka sambil menuju kamarnya. Ai hanya terkekeh mendengar jawaban kakaknya.
"O ya Kak! Tadi Kak Oti mau pakai printer di komputernya, tapi kok nggak bisa" Kak Oti tadi pesen supaya Kak Raka ngebenerin, soalnya dia mau nge-print tugas malam ini," kata Ai lagi.
Enak aja nyuruh-nyuruh orang! Baru juga nyampe! umpat Raka dalam hati. "Oti sekarang mana""
Ai hanya mengangkat bahunya. "Mana Ai tahu. Tadi sore Kak Oti pergi, katanya sih cuman bentar. Tapi sampai sekarang belum balik. Sebelum pergi sih ada temen Kak Oti yang nelepon. Cowok. Kayaknya mereka janjian deh."
Setelah mengganti pakaian, Raka segera menuju kamar Oti di lantai atas. Kamarnya ternyata nggak dikunci. Sejenak Raka memandang kamar yang dulu menjadi kamarnya itu. Tampak tertata rapi. Sebuah stereo set terletak di sudut kamar, dan di sebelah tempat tidur Oti terdapat meja komputer. Oti nggak jadi beli TV untuk kamar. Sebagai gantinya dia membeli stereo set dab seperangkat komputer, tentunya setelah merayu ayahnya supaya ngasih subsidi tambahan untuk membeli barang-barang itu. Raka menghampiri komputer milik Oti dan memghidupkannya. Terang aja nggak bisa, driver-nya Kan belum ada! batin Raka. Printer yang dipakai Oti milik Raka, sebab menurut Raka, cukup satu printer aja dipakai berdua. Raka mengeluarkan CD driver yang dibawanya, kemudian memasukkan ke CD-ROM komputet Oti. Hanya butuh beberapa menit bagi orang kayak dia yang mengerti seluk-beluk komputer untuk memasukkan driver printer-nya ke komputer Oti. Kini saatnya mencoba apakah printer-nya udah dapat berjalan di komputer Oti. Raka menyelusuri daftar file yang dimiliki Oti yang dapat digunakan ngetes printer. Saat itu matanya melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Apa ini" tanya Raka dalam hati.
*** Ternyata hari ini bukan Raka aja yang ngerasa happy. Oti juga. Sejak siang tadi dia jalan bareng Bayu. Oti akhirnya nggak bisa nolak ajakan Bayu buat jalan, karena sebenarnya dia juga suka ama cowok itu. Mereka berdua nonton film di bioskop, makan, dan jalan-jalan di mal. Karena itu sepulangnya ke rumah, wajah cewek tomboi itu tampak berseri-seri. Malam ini udara Bandung terasa panas. Raka yang udah pengin tidur, terpaksa mengurungkan niatnya. Matanya nggak mau terpejam. Karena itu dia memutuskan nonton TV di ruang tengah. Siapa tahu dirinya bisa ketiduran di depan TV.
Jam menunjukkan pukul 23.00. Dengan remote di tangannya, Raka mencari saluran TV yang masih siaran. Nasibnya sial. Nggak ada acara yang disukainya. Yang ada berita tengah malam dan acara bincang-bincang. Ada saluran yang nayangi film, tapi film yang diputar film kacangan. Film yang isinya tembak-tembakan melulu, yang menurut Raka udah ketahuan yang mana penjahatnya dari awal cerita.
"Belum tidur"" sebuah suara terdengar di belakang Raka. Ternyaa Oti berada di sana. Cewek itu mengenakan T-shirt bergambar Dora the Explorer dan celana pendek selutut. "Panas. Gue gak bisa tidur. Lo sendiri kenapa belum tidur"" "Gue lagi ngerjain sesuatu," kata Oti. "Apa" Tugas"" tanya Raka.
"Want to know aja...," jawab Oti sambil melihat ke arah TV yang sedang menyiarkan acara musik.
"Eh, jangan diganti dulu! Ada Ayumi-Hamasaki!" seru Oti ketika dilihatnya Raka hendak mengganti saluran TV.
"Tapi itu kan lagu Jepang," kata Raka. "So What" Gue seneng lagu-lagu Jepang kok."
"Emang lo ngerti bahasanya"" tanya Raka.
"Emang harus ngerti buat bisa nikmatin lagunya," Oti malah balas bertanya.
Oti duduk di karpet, di samping Raka. Agak mendesak, sehingga Raka terpaksa bergeser ke samping.
"Sori," kata Oti singkat.
Beberapa saat lamanya mereka terdiam, menonton acara di TV. "Bukannya lo lagi ada kerjaan"" tanya Raka.
"Lagi refreshing dulu. Suntuk juga kan kelamaan di depan komputer," kata Oti. "Komputernya gak dimatiin"" tanya Raka. "Biarin aja. Ntar juga gue balik lagi."
Enak aja bilang gitu! Boros listrik tahu! gerutu Raka dalam hati. "Eh, thanks ya udah bikin komputer gue bisa nge-print," ujar Oti.
"You're welcome. Kenapa lo gak nge-print di komputer gue" Kan kamar gue gak dikunci. Kalaupun dikunci, Ai pegang kunci duplikatnya."
"Gak ah. Males mindahin file-nya. Gue nggak punya disket, dan belum beli flashdisk. Lagian ntar kalo ada apa-apa dengan komputer lo, gue lagi yang ketempuhan. Gue kan rada-rada gaptek."
Raka pengin bicara tentang apa yang dia temukan di komputer Oti, tapi Oti yang lebih dulu angkat bicara.
"Kata Ai lo lagi hapoy" Abis kencan""
"Lo sendiri" Bukannya lo juga abis kencan"" Raka balas bertanya.
"Kok ditanya bales nanya sih""
"Kalo iya kenapa"" Raka malah balas bertanya lagi.
"Ya, nggak apa-apa aja." Oti jadi salah tingkah sendiri. Cewek itu menggaruk-garuk rambutnya lalu meneguk air putih di gelas yang dibawanya. Raka menoleh ke arah Oti. Tumben hari ini Oti bersikap manis kepadanya. Diam-diam dia memerhatikan adik tirinya. Entah kenapa dia merasa ada yang berubah di wajah Oti. Raka merasa wajah Oti sedikit lebih putih dan terlihat lebih bersinar dari biasa. Rambutnya yang agak panjang diikat karet ke belakang, makin menampakkan kecantikan wajahnya. Raka nggak tahu wajah Oti udah dipermak habis-habisan di salon buat ngikutin pemilihan putri SMA. Lama-lama Oti merasa Raka sedang memerhatikan dirinya. "Ada apa"" tanyanya sambil menoleh.
"Nggak. Nggak ada apa-apa kok." Rangga cepat memalingkan mukanya.
"Lo kelihatannya capek. Kenapa gak tidur aja," kata Oti mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Sebentar lagi."
Kemudian mereka terdiam kembali. Menonton acara TV yang ada di hadapan mereka. Raka tampak canggung setelah Oti memergoki ia sedang mencuri pandang ke arahnya.
"Ayah pernah bilang, supay lo jangan selaku pulang malam. Gue disuruh ngawasin lo," kata Raka akhirnya, membuka pembicaraan lagi.
"Emang gue anak kecil harus diawasin!"" sergah Oti.
"Bukan gitu. Lo kan baru di sini, wajar ding kalau... "
"Papa cerita kalau gue di Jakarta suka ngeluyur, pulang malem, dan lain sebagainya"" tiba-tiba Oti memotong pembicaraan Raka. Raka menatap Oti, kemudian mengangguk. "Papa selalu nganggap gue masih kecil...," lanjutnya. "Semua orang tua pasti begitu...," kata Raka.
"Tapi Papa nyuruh Oom dan Tante untuk selalu mengawasi gue dengan ketat. Padahal ke Dio, Papa nggak seketat itu." Dio adik Oti berumur sepuluh tahun, anak hasil perkawinan ayah Raka dengan ibu Oti, yang selalu dipanggil Raka dengan sebutan Rante Heni. Tidak seperti Oti, Dio ikut ayah-ibunya ke London dan bersekolah di sana.
"Mungkin karena Dio cowok, beda ama lo.lagi pula lo kan jauh dari mereka," kata Raka.
"Apa bedanya" Gue bisa jaga diri kok. Kalau alasan Papa, gue akan berbuat macem-macem di luar, emangnya lo gak bisa" Ai nggak bisa""
"Jangan bawa-bawa gue atau Ai. Ai gak kayak lo." kata Raka galak.
"Gue tahu. Gue cuma ngebandingi aja. Lagian Papa bukan Papa kandung gue, kenapa malah lebih rese ngurusin gue. Kenapa nggak anak-anaknya aja dia urus""
Kata-kata Oti kontan memancing emosi Raka. Dia kembali teringat kejadian yang lalu, saat perceraian ayah-ibunya. "Masih mending Ayah mau ngurusin lo! Kalau inget perlakuan dia pada Ibu, demi ibu lo..." kata Raka dengan suara meninggi. "Jangan bawa-bawa Mama gue!" suara Oti tak kalah kerasnya.
"Kenapa nggak" Ibu lo yang ngehancurin keluarga ini! Ngebikin gue ma Ai kehilangan Ayah!"
"Lo..." Oti hampir aja melayangkan tang
an kanannya, hendak menampar Raka, kalau aja nggak ingar siapa yang ada di hadapannya.
"Udah malem, gue nggak mau ribut-ribut. Jadi lo gak mgarepin kehadiran gue di sini" Fine!
Gue akan pergi! Gue juga sebetulnya gerah tinggal di sini," kata Oti tegas.
"Mau pergi kemana" Gimana kalau Ayah tanya"" tanya Raka mulai cemas.
"Mau kemana itu urusan gue. Lo jangan sok nguatirin gue. Kalau Papa tanya, bilang aja itu atas kemauan gue, jadi lo nggak merasa jadi satpam buat ngawasin gue!" Sehabis berkata demikian Oti beranjak dari duduknya, dan langsung menuju kamarnya di lantai atas, meninggalkan Raka yang terdiam.
*** Pagi harinya, guncangan keras melanda sekujur tubuh Raka, membuatnya terbangun. Ternyata Ai yang melakukannya.
"Ada apa" Kamu nggak tahu kakak baru tidur jam tiga tadi!""
"Bangun, Kak! Kak Oti pergi dari rumah!" kata Ai, membuat Raka melonjal dari tidurnya.
"Apa" Yang bener""
"Bener. Nih dia ninggalin surat."
Raka merebut surat yang dipegang Ai, dan membacanya.
Seperti yang gue bilang, gue pergi. Lo nggak perlu khawatir, gue pasti bisa jaga diri. Ntar kalo gue udah dapet tempat tinggal, gue akan kasih tahu Papa dan Mama. Kalau Papa tanya, bilang aja gue lagi nginep di rumah temen. Buat Ai, baik-baik ya! Gue pergi sama kayak gue datang, karema itu titip dulu barang-barang gue yang lain, ntar gue akan ambil kalu udah dapet tempat tinggal. Semoga nggak ngerepoti lo.
Oti Aneh juga Oti! Kabur dari rumah tapi masih mikirin barang-barangnya! batin Raka. "Emang apa yang Kakak omongi ama Kak Oti semalem" Kakak berantem ama Kak Oti"" tanya Ai. Raka hanya diam sambil memandang kertas di hadapannya. "Kakak harus cari Kak Oti dan membujuknya kembali kemari. Kalo Ayah sampe tahu hal ini, Ayah pasti marah," lanjut Ai.
"Tapi... " "Pokoknya, apa pun yang Kakak lakukan yang bikin Kak Oti tersinggung, Kakak harus minta maaf, dan membujuk Kak Oti pulang sebelum Ayah tahu!"
*** Bisa ditebak, ketika Ayah Raka menelepon pagi harinya dan tahu kalau Oti pergi dari rumah, Raka dimarahi habis-habisan.
"Kamu tahu kenapa Ayah suruh Oti tinggal di rumah itu"" tanya ayah Raka setelah puas memarahi anak cowoknya. "Tidak sekadar tinggal di rumah itu. Ayah ingin kalian menumbuhkan ikatan persaudaraan di antara kalian. Oti bukan saudara sedarah kalian, jadi mungkin kalian masih merasa asing satu sama lain. Itulah sebenarnya alasan utama Ayah. Ayah ingin semua anak Ayah, baik anak kandung maupun anak tiri, hidup rukun sebagai saudara. Ayah tidak membeda-bedakan kalian, karena itu kalian juga jangan saling membedakan. Kamu mengerti maksud Ayah""
Terus terang, selama ini Raka nggak bisa membantah apapun yang dikatakan ayahnya. "Pokoknya Oti harus kembali. Ibunya belum tahu akan hal.ini," tegas ayahnya. "Kalau dia nggak mau"" tanya Raka.
"Bujuk dia. Jangan khawatir, Ayah tahu sifat Oti. Sifatnya hampir sama denganmu. Sebentar lagi dia akan melupakan kejadian ini. Ayah juga akan membujuknya melalui handphone.
*** Terpaksa hari ini Raka pulang lebih cepat. Pelajaran terakhir dia bolos. Alasannya sakit. Dan Raka pun ngejogrok di depan SMA Yudhawastu, menunggu bel pulang.
Begitu sekolah berakhir, Raka melihat Oti keluar dari halaman sekolah bareng Ticka dan Laras.
"Ntar deh gue pikir-pikir dulu. Tapi lo bener-bener minta maaf, kan"" jawab Oti setelah Raka minta dia pulang ke rumah.
"Lo jangan mulai lagi dong...," kata Raka kesal.
Dalam hati sebetulnya Oti geli juga melihat wajah Raka yang kelihatan kusut itu. Dia bisa menebak, pasti kakak tirinya abis dimarahi ayahnya dan dipaksa membujuknya pulang. Tadi ayahnya juga telah membujuknya lewat HP. Sebetulnya kekesalan Oti udah hilang, apalagi melihat wajah Raka kayak gitu. Tapi tiba-tiba sifat jailnya kumat lagi. Dia pengin ngerjain Raka lebih dulu.
"Gimana ntar deh. Sekarang gue ada perlu ama Laras dan Ticka," katanya.
Saat Oti hendak beranjak pergi, Raka memegang lengannya. "Tapi lo ntar balik, kan"" tanya cowok itu.
"Kata gue juga liat ntar. Tergantung mood gue. Udah ah!" Oti menepiskan tangan Raka dan melangkah menin
ggalkan Raka yang hanya terpaku di tempatnya.


Victory Karya Luna Torashyngu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Laras pergi dulu, Kak," kata Laras saat lewat di depan Raka.
"Ras, tolong kamu bujuk dia," pinta Raka pada Laras. Laras menatap wajah Raka.
"Laras usahakan."
"Thanks ya," kata Raka. Laras hanya tetsenyum.
Raka nggak tahu sebetulnya Oti juga kena marah ayahnya. Dan sama seperti Raka, gadis itu juga nggak bisa membantah apa yang dikatakan ayahnya. Karena itu Oti sebenarnya udah mutusin akan balik ke rumah Raka sore nanti, walau Raka nggak memintanya.
*** Peluk dan cium dari Ticka dan Laras menyambut Oti di sekolah begitu dia datang. "Selamat, lo masuk final, Ot!" kata Ticka dengan ekspresi gembira, sambil menyerahkan amplop yang dibawanya pada Oti. Amplop itu emang dialamatkan ke rumah Ticka, karena Oti nggak ingin Raka dan Ai tahu bahwa dia mengikuti acara pemilihan putri SMA. Amplop itu berisi surt yang menyatakan dia lolos ke babak final. Juga terdapat kertas lain yang berisikan jadwal dan tata cara mengikuti babak final, dan daftar finalis berdasarkan abjad.
Namanya sendiri berada di urutan ke-18 dari 20 finalis yang berhak masuk final. Oti juga melihat nama Revi berada di urutan kedua belas. Dia juga masuk! batin Oti.
"Revi masuk juga tuh!" ujar Ticka. Oti mengangguk. "Udah gue bilag, kan" Lo pasti bisa kalo lo mau," lanjut Ticka.
"Kini kedudukan kalian masih seri, karena sama-sama masuk final," Laras menambahkan. Ekspresi wajah cewek itu keliatan biasa aja. Nggak menampakkan kegembiraan yang berlebihan kayak Ticka.
"Kok lo gak gembira sih" Lo gak seneng masuk final"" tanya Ticka melihat ekapresi Oti yang biasa aja, nggak menunjukkan kegembiraan.
"Eh, seneng... seneng kok! Abis gue harus ngapain""
"Ya setidaknya kasih ekspreai gembira kayak gue kek..."
"Emang harus"" tanya Oti.
"Ya harus dong...!!" tegas ticka.
"Udah... udah." Laras melihat bibit-bibit "perang" di antara Oti dan Ticka. "Selanjutnya, gimana, Ot" Lo masih mau terus maju, kan"" tanya Laras kemudian. Oti terdiam sejenak, kemudian mengangguk.
"Tentu aja. Gue gak akan kalah ama ratu kesiangan itu, maju terus pantang mundur...," kata Oti mantao. Semangatnya muncul lagi.
"Bagus." Laras menepuk pundak Oti. "Kalo begitu nanti siang kita ke tempat Tante Wijaya lagi."
"Nanti siang"' tanya Oti.
"Iya. Kamu harus bersiap sejak dini. Ingat, pemilihannya sebulan lagi."
Oti nggak menjawab. Wajahnya seketika itu juga berubah. Dia hanya dapat membayangkan wajahnya kembali diacak-acak Iwan.
*** Tante Wijaya dan Iwan, yang mendengar kabar lolosnya Oti ke babak final, nggak bisa menutupi rasa terkejutnya. Terutama Iwan yang hanya bisa geleng-geleng kepala, seakan nggak percaya kabar itu.
"Jadi bagaimana, Wan"" tanya Tante Wijaya sambil tersenyum pada Iwan. "Ya... mungkin seperti yang kita bicarakan, Tante," jawab Iwan. "Ada apa, Tante"" tanya Laras bingung. Demikian juga Oti dan Ticka.
"Begini... Tante pernah berbincang-bincang dengan Iwan mengenai kemungkinan seandainya Oti masuk final...," Tante Wijaya menjelaskan. "Dan Tante maupun Iwan berpendapat, jika Oti ingin berhasil di final nanti, bukan hanya penampilan wajah dan rambut yang harus diubah."
"Maksud Tante""
"Biasanya dalam pemilihan semacam itu bukan hanya wajah dan bentuk tubuh yang dinilai. Gaya berjalan, cara berbicara, bahkan cara duduk pun ikut dinilai." Mendengar ucapan Tante Wijaya, ketiga cewek di depannya berpandangan. "Jadi maksud Tante, Oti harus mengubah cara bicara dan gaya jalan Oti"" "Yaaa... seperti itulah...," jawab Tante Wijaya.
"Emang kenapa" Ada yang salah dengan cara bicara dan gaya gaya jalan Oti"" "Bukan salah. Taoi namanya juga pemilihan untuk wanita. Tentu juri akan menilai berdasarkan standar wanita normal," jawab Iwan. Oti membelalakkan matanya ke arah penata rias itu.
"Gue kira Iwan bener, Ot. Kalo mau menang, lo harus mengubah gaya jalan ama bicara lo. Jangan kayak preman gitu," kata Ticka.
"Habis gimana lagi. Orang dari dulu gaya gue begini kok. Susah kan ngubahnya." "Kalo mau berusaha pasti bisa," jawab Tante Wijaya. Oti, Laras, dan Ticka kembali mem
andang wanita itu dengan heran.
"Nanti Iwan yang akan melatih Oti. Bukan begitu, Wan"" tanya Tante Wijaya sambil melirik Iwan, yang tampaknya sedang berpikir keras bagaimana cara mengubah gaya Oti- rasanya itu mission impossible.
Sejak saat itu, setiap akhir pekan Oti selalu mendapat latihan khusus dari Iwan, satu hal yang membuatnya tersiksa.
"HAH" Siaran langsung pemilihan putri SMA"" Tyas, kepala bagian siaran Qly FM mengangguk
"Iya. Ini baru pertama kali diadakan. Rencananya pemilihan Putri SMA ini mau berformat sama dengan pemilihan Putri Indonesia atau Miss Universe. Ada masa karantina segala. Dan karena finalnya diadakan di Bandung, rencananya radio kita akan nyiarin secara langsung acara itu dari Hotel Horison, dua minggu lagi. Itu masih sejalan dengan kebijakan radio ini, yang segmennya kawula muda. Dan Mas Yudhi merasa nggak ada salahnya kita nyiarin acara kayak gitu, karena banyak sisi yang bisa kita gali, nggak hanya dari segi penampilan pesertanya. Mas Yudhi udah dapet konfirmasi dari panitia. Tinggal masalah teknis aja." "Tapi kenapa harus Raka yang menjadi host-nya" Raka kan nggak tahu apa-apa tentang kontes-kontes kayak gitu," protes Raka.
"Habis siapa lagi" Kata Mas Yudhi kamu yang cocok. Kamu kan masih SMA, jadi masih dekat dengan kehidupan sekolah. Lagi pula kamu kan nggak sendiri. Ada Andini juga. Kalian bisa bekerja sama dan mengisi satu sama lain," kata Tyas tegas.
Raka menggaruk-garuk kepalanya yang nggak gatal, seolah berat mengiyakan permintaan Tyas.
"Mau, ya" Ada uang insentifnya loh! Lumayan buat nambah-nambah uang saku kamu. Lagi pula di sana pasti banyak cewek cakep. Kamu bisa puas ngecengi mereka. Soal materi gak perlu dipikirin. Gak beda kok ama acara outdoor lainnya. Paling tinggal melaporkan jalannya pemilihan dan apa yang terjadi di situ, serta sedikit wawancara dengan para penonton dan peserta jika memungkinkan. Juga ada sedikit ada sedikit kuis, dan mungkin nanti akan ada polling untuk memilih putri SMA favorit pilihan pendengar Qly. Gimana" Kamu mau, kan"" Dengan berat hati Raka terpaksa mengangguk. "Iya deh, Mbak..."
*** Ada yang berubah pada Oti. Paling nggak itulah yang dirasakan Raka beberapa hari ini. Adik tirinya itu jadi lebih kalem di rumah. Gaya bicaranya pun agak berubah. Sekarang Oti nggak lagi meledak-ledak kalo ngomong. Dia terkesan lebih kalem, dan berbicara seperlunya. "Lo gak papa, kan"" tanya Raka saat mereka berdua sedang di ruang tengah. Malem ini dia emang nggak ada jadwal siaran, sehingga bisa berada di rumah dari sore. Terus terang, Raka jadi khawatir jika sikap Oti nggak kayak biasanya. Dia takut jika perubahan sikap Oti itu menyangkut dirinya. Bisa-bisa dia kena marah ayahnya lagi.
"Maksud lo"" Oti balas bertanya. Ai yang berada di dekat mereka menghentikan kegiatannya mengerjakan tugas sekolah, dan melihat kedua kakaknya dengan was-was. Dia takut bakal timbul perang dunia lagi.
"Gue liat akhir-akhir ini lo agak pendiam. Gak kayak biasany. Lo sakit" Atau ada masalah"" tanya Raka.
Oti menatap tajam ke arah Raka. Demikian juga Raka. Saat itulah Raka baru menyadari wajah Oti sedikit berubah. Entah bagian mana, tapi kini wajah Oti kelihatan lebih cerah. Oti sendiri heran karena perhatian Raka.
"Emang iya" Gue nggak ngerasa tuh. Sikap gue biasa-biasa. Ai! Emang gue berubah"" Ai hanya mengangkat bahu, kemudian meneruskan pekerjaannya. Tapi diam-diam dia tersenyum geli melihat kelakuan Oti. Ai tahu apa yang sebenarnya terjadi. Oti lagi latihan untuk penampilannya di malam final pemilihan putri SMA. Kata Iwan, dia harus sedikit ngontrol dirinya dan jangan asal bicara. Ai tahu kakaknya masuk final dari majalh remaja milik temannya. Oti sendiri udah mengakui hal itu dan minta Ai nggak bilang kepada Raka. "Bener"" Raka kayak nggak yakin.
"Bener. Lo jangan khawatir deh. Gue gak ada apa-apa kok! Mungkin aja gue sedikit capek." "Ya udah kalo begitu. Gue kira lo sakit."
"Nggak. Tapi thanks ya lo udah merhatiin gue," kata Oti sambil tersenyum. Baru kali ini Raka melihat senyum Oti begitu manis.
Mereka berdua kembali tenggelam dal
am kesibukannya masing-masing. Oti nonton acara TV, sedang Raka membaca koran hari ini.
"Eh, gue mo bilang Senin depan gue mo nginep di rumah temen seminggu," kata Oti tiba-tiba.
"Seminggu" Ngapain""
"Hmmm... nemenin temen gue yang ditinggal nyokap-bokapnya ke luar kota seminggu. Dia takut tinggal di rumah sendirian, jadi tolong minta gue nemenin dia." "Tapi sampai seminggu" Di rumah Laras atau Ticka"" tanya Raka khawatir. "Bukan di rumah mereka. Ini temen gue yang lain. Cewek."
"Nggak ada teleponnya""
"Ada sih... Tapi buat apa" Kalo lo perlu kan bisa nelepon ke HP gue. Gue juga ntar bilang ke Papa kok! Lo jangan khawatir deh. Gue nggak bakalan macem-macem. Just stay." Raka kembali menatap tajam ke arah Oti, seolah ada sesuatu yang ingin dikatakannya. "Lo mau masuk karantina buat pemilihan putri SMA, kan"" tanya Raka. Pertanyaan itu membuat Oti terenyak karena di luar perkiraannya.
"Da... da... dari mana lo tahu"" Oti menoleh ke arah Ai yang sedang menatap ke arahnya. Ai hanya menggeleng, tanda bukan dia yang ngomong ke Raka.
"Qly FM akan menyiarkan secara langsung pemilihannya. Dan gue yang jadi host-nya. Saat liat nama finalisnya, gue liat nama lo. Tadinya gue nggak percaya. Tapi data diri lo ngejelasin semuanya. Lagi pula berapa banyak sih cewek yang namanya Victory Febriani"" Raka menjelaskan. Oti hanya terdiam mendengar penjelasan Raka. Wajahnya sedikit memerah. "Kenapa lo gak terus terang ke gue"" tanya Raka lagi. "Abis kalo gue terus terang..."
"Gue nggak ngizinin" Lo belum bilang ke Ayah, kan"" tanya Raka. Oti menggeleng.
"Walau gue masih belum percaya lo ikut acara yang kayak gitu, dan apa apa alasan lo ikut, tapi gue gak berhak ngelarang lo ikut kegiatan apapun, selama kegiatan itu bener. Gue pikir, sikap lo selama ini berhubungan dengan acara itu, kan"" kata Raka. Tumben dia bisa ngomong kayak gitu.
"Ya. Tapi lo jangan khawatir. Gue cuman latihan kok," kata Oti. "Kenapa ayah dan ibu lo gak dikasih tahu""
"Kenapa ya" Mungkin gue pikir, mereka, terutama Papa akan ngelarang gue jika dikasih tahu. Lo tahu kan sifat Papa" Papa pasti beralasan kegiatan itu akan mengganggu sekolah gue. Apalagi gue harus bolos sekolah seminggu. Makanya, gue rencananya mau ngasih tahu kalo acara itu udah selesai. Syukur-syukur kalo gue menang."
"Emang lo yakin bakal menang"" Raka mengamati Oti dengan seksama. Menurutnya, hanya keajaiban yang membuat Oti bisa menang. Masuk fianal juga udah untung. "Selalu ada kemungkinan, kan" Jadi lo setuju gue ikut karantina"" Raka menghela napas. "Gimana ya"" ujarnya ragu-ragu.
Ai yang melihat semua itu jadi ikut-ikutan tegang. Keringat mengalir di wajahnya, menantikan jawaban kakaknya.
"Tapi tadi lo bilang...," Oti udah siap merajuk.
"Tapi gue nggak tanggung jawab kalo Ayah tau hal yng sebenarnya dan marah, walau gue nggak bakal ngomong ke Ayah," kata Raka. "Jadi lo setuju"" tanya Oti senang.
Raka mengangkat bahu. "Abis mau gimana lagi" Udah tanggung sih lo sampe final." "Asyyiiikk!!" tanpa sadar Oti memeluk Raka yang ada di sampingnya. Ai ikut menarik napas lega. Ternyata sikap kakaknya nggak seperti dugaannya semula. "Sori...," kata Oti saat tersadar dan melepaskan pelukannya. Wajahnya memerah lagi. Demikian juga Raka. Walau mereka adik-kakak, tapi pelukan tadi membawa sedikit perasaan aneh di antara merwka berdua. Apalagi wajah mereka sebelumnya belum pernah sedekat itu. Mungkin karena mereka berdua bukan saudara kandung.
"Jadi, lo akhir-akhir ini pulang malem karena latihan buat acara itu"" tanya Raka.
Oti mengangguk. "Tapi sebenarnya gue jadi gak pede nih, karena tahu lo mo datang," "Emang kenapa"" tanya Raka penasaran. "Lo pasti kaget ngeliat gue nanti," kata Oti.
Terus terang, Raka sebenarnya juga penasaran ingin melihat Oti pake gaun pas pemilihan nanti. Suatu hal yang belum pernah dilihatnya selama ini. Jangankan gaun, rok aja Oti nggak punya. Raka jadi geli membayangkan Oti pake gaun. Dia benar-benar nggak bisa membayangkannya.
"Kenapa senyum-senyum"" sergah Oti.
"Nggak. Gak papa kok! Persiapan lo udah beres"" tanya Raka.
"U dah. Gue dibantu Ticka dan Laras."
"Pantes aja wajah lo rada berubah. Sedikit..."
"Sedikit apa" Sedikit cantik ya"" jawab Oti ge-er.
"Sedikit aneh!" sahut Raka sambik tertawa.
"Enak aja!" kata Oti galak. Ia lalu beranjak dari duduknya. "Udah ah! Gue mo ngerjain PR dulu. Ntar kemaleman lagi!" katanya lalu melangkah ke kamarnya di lantai dua. "Ot!" panggil Raka lagi. "Ada apa""
"Boleh gue tahu alasan lo ikut acara itu" Sebab gue tahu siapa lo. Ikut pemilihan putri SMA bukan salah satu hobi lo. Pasti ada hal lain yang menyebabkan lo sampai nekat ikut acara kayak gitu."
Oti berhenti sejenak. Tanpa menoleh dia lalu berkata, " Kalo gue kasih tahu, berarti gue harus ngebunuh lo saat ini juga." Kata-kata Oti persis seperti dalam film-film action. Ai hanya cekikikan mendengar jawaban Oti tersebut. Oti pun melanjutkan langkah menuju kamarnya.
*** Baru dua hari Oti pergi, Raka merasa ada sesuatu yang hilang di rumahnya. Nggak tau kenapa keadaan rumah menjadi sepi. Saat Oti ada di rumah, sering terdengar teriakannya yang cempreng. Anak itu emang rame. Apalagi kalo lagi nonton TV. Baik film atau acara lainnya, pastj ada aja komentar tentang acara tersebut yang keluar dari bibir mungilnya. Saking seringnya sampai Raka harus selalu mengingatkan Oti, apalagi kalo udah larut malam. Sekarang Oti lagi nggak ada. Kalo nonton TV, Raka paling cuma bareng Ai. Ai sangat pendiam kalo nonton TV. Biasanya dia nonton sambil belajar atau ngerjain PR. Nonton TV dalam suasana sunyi membuat mata cepat ngantuk. Beberapa kali Raka ketiduran di depan TV.
"Kakak kangen ama Kak Oti"" tanya Ai yang tiba-tiba berada di belakang Raka, yang siang itu lagi berdiri di depan pintu kamar Oti. Raka kaget. Dia nggak mengira adiknya udah pulang sekolah.
"Enak aja... siapa yang kangen" Ntar dia kege-eran lagi," bantah Raka.
"Trus kenapa Kakak berdiri sambil ngeliatin pintu kamar Kak Oti""
"Enngg... Kakak lagi nyari CD Kakak. Di kamar Kakak gak ada, jadi Kakak pikir mungkin ada di kamar Oti. Makanya Kakak mau masuk ke kamarnya."
Jawaban Raka rupanya nggak berhasil menghapus kecurigaan di wajah Ai. Dia memandang kakaknya dengan tatapan nggak percaya, kemudian pergi ke kamarnya.
Sepeninggal Ai, Raka merenungi perkataan adiknya barusan. Apa benar dia rindu ama Oti" Dia sendiri nggak yakin. Raka kemudian beranjak menuruni tangga. Tanpa sepengetahuannya, Ai mengintip tingkah laku Raka melalui pintu kamarnya yang sedikit terbuka.
Jangan-jangan Kak Raka..." batin Ai.
*** Besok acara puncak Pemilihan Putri SMA se-Indonesia. Tapi malam ino Oti nggak bisa memejamkan mata. Udara dalam kamarnya terasa panas. Padahal kamar di Hotel Horison itu dipasangi AC. Oti memandang Risma, teman sekamarnya yang berasal dari Sumatera Barat. Dia kelihatan sudah pulas. Mungkin kecapekan, karena kegiatan mereka selama masa karantina sangat padat. Selain harus mengikuti berbagai macam penilaian dan pengarahan dari panitia, kadang-kadang para finalis melakukan kunjungan ke tempat para sponsor, atau ke tempat wisata di sekitar Bandung. Oti sebetulnya menganggap acara-acara kayak gitu sangat ngebosenin. Tapi demi persaingannya dengan Revi, terpaksa dia harus mengikuti semua acara itu. Oti sendiri sering ketiduran di tengah-tengah acara, sehingga sering mendapat peringatan dari panitia. Dan kalau dia kena marah panitia, Revi pasti tersenyum penuh kemenangan, mengejeknya.
Tiba-tiba Oti teringat sesuatu. Dia mengambil tas tangan yang dipinjamnya dari Laras. Dari dalam tas, dia mengambil HP-nya. HP-nya dalam keadaan mati sejak pagi, karena panitia melarang para finalis ngehidupin HP saat mengikuti acara, dan saat semua acara udah selesai, Oti lupa menyalakannya lagi.
Begitu dinyalakan, benda itu berbunyi menandakan pesan-pesan yang masuk saat dimatikan. Begitu keras dan banyaknya bunyi yang keluar membuat Oti risi sendiri. Dia menoleh ke arah teman sekamarnya. Untung saja tidur temannya itu nggak terganggu suara HP tersebut. Oti membaca pesan-pesan yang sebagian besar merupakan telepon dari teman-temannya saat HP-nya mati. Ada juga pesan dari Bayu ya
ng memberinya semangat. Oti cuma tersenyum membaca pesan-pesan tersebut. Ternyata teman-temannya masih menaruh perhatian kepadanya. Pesan yang terakhir menarik perhatiannya. Pesan itu dikirim kurang dari satu jam yang lalu, dari no hp seseorang yang amat sangat dikenalnya, Raka!
Entah apa yang mendorongnya, jari tangan Oti menekan no HP Raka. Terdengar nada tunggu beberapa saat, sebelum terdengar suara Raka.
"Halo... " Oti cepat memutuskan hubungan telepon. Ia jadi salah tingkah sendiri. Ia sendiri nggak tahu kenapa Raka yang dihubunginya, bukan temannya yang lain, atau bahkan Bayu. Padahal ada pesan Bayu yang meminta Oti menghubunginya kalo ada kesempatan. Bagaimana kalo tadi Raka cuman iseng aja menghubungi HP-nya" Pasti Raka akan menertawakannya. HP-nya berbunyi lagi. Oti melihat nomor yang tertera pada display. Nomor HP Raka. Kenapa Raka meneleponnya lagi" Apa ada hal penting" Beberapa saat lamanya Oti membiarkan HP-nya berbunyi.
"Bunyi HP siapa"" tanya Risma yang terbangun mendengar suara HP Oti.
"Maaf, ini HP-ku," jawab Oti sambil meraih HP-nya. Risma hanya mengucek matanya sebentar, lalu kembali ke alam mimpi.
"Halo... " "Oti" Kenapa tadi dimatiin"" Terdengar suara Raka di seberang.
"Nggak papa. Lo tadi nelepon gue""
"Yup. Lo udah tidur"" tanya Raka.
"Belum," jawab Oti.
"Gue ada di bawah," kata Raka.
"Di bawah"" tanya Oti.
"Di aula hotel yang mau dipake buat pemilihan besok. Nyiapin alat-alat buat siaran. Tadi Ai nitip nanyain kabar lo. Lo baik-baik, kan"" tanya Raka.
Ai" Kenapa Ai yang nanyain kabarnya" Kenapa bukan Raka sendiri"
"Ot"" "Iya... gue baik-baik aja. Salam buat Ai," kata Oti. "Lo udah ngantuk" Mo tidur"" tanya Raka lagi. "Belum," kata Oti.
Menembus Kabut Berdarah 1 Dewa Arak 61 Raja Iblis Tanpa Tanding Leukimia Kemping 3
^