Pencarian

Arus Balik 9

Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer Bagian 9


Kambing yang mengembik itu takkan mendapat umpan. Selamanya badut yang tidak lucu dihukum oleh penonton.
Ia tidak menanggapi Tholib Sungkar Az-Zubaid. Pertempuran akan segera selesai. Semua akan kembali seperti sediakala, atau semua akan tumpas tanpa ia saksikan sendiri. Sederhana.
Di dalam rumah-rumah penduduk Tuban yang suram pula orang masih juga tak habis-habis pikir tentang perbuatan Wiranggaleng. Tak ada seorang kawula yang mempunyai perasaan tidak senang terhadap Sang Patih. Orang menganggapnya bijaksana. Mengapa justru anak desa itu yang membunuhnya" Mengapa Wiranggaleng" Anak desa yang justru dicintai dan dihormati itu"
Dan orang pun terkenanglah pada masa ia diarak jadi pengantin agung dengan Idayu. Semua orang ikut bersuka cita bersama dengannya. Apakah perbuatannya yang menggoncangkan itu bukan telah diramalkan dalam jatuhnya tandu pengantin" Dan mengapa sebagai Senapati Tuban ia tidak mengerahkan pagardesa dan penduduk" Mengapa hanya balatentara yang dikerahkannya"
Dalam rumah-rumah yang suram dalam suasana yang suram pula pertanyaan-pertanyaan seperti itu tiada pernah terjawab. Maka oranghanya bisa menunggu selesainya pertempuran. Seperti halnya dengan setiap orang Tuban, gumpilan-gumpilan sejarah masalalu tentang seorang anak desa yang naik ke atas. Gajah Mada dan Ken Arok.
Tetap tak ada yang dapat meramalkan apa yang bakal terjadi. Setidak-tidaknya setiap orang percaya, pertempuran di pedalaman akan segera selesai, dan semua akan kembali seperti semula.
Yang orang tak habis-habis mengerti ialah mengapa Syahbandar Tuban, Sayid Habibuliah Almasawa, yang dicurigai dan tak disukai oleh setiap orang itu, justru menjadi semakin dekat pada Sang Adipati. Tak ada seorang pun berani menjamah kulitnya. Dan memang orang tidak tahu apa yang hidup dalam hati Sang Adipati.
Dan Idayu" Seluruh kota Tuban mengerti dia sedang tetirah ke Awis Krambil untuk melahirkan. Dan mungkin juga sudah melahirkan. Mereka semua berdoa dengan diam-diam agar anak yang dilahirkan pada waktu sekitar terjadinya pembunuhan terhadap Sang Patih tidak akan terjatuh dalam pengaruh Sang Banaspati. Semoga anak itu memang menjadi perpaduan kemuliaan antara bapak dan ibunya. Anak cinta itu semestinya jadi gemilang, lebih gemilang daripada kedua orangtuanya.
Pada hari-hari itu langit selalu bermendung, ditingkah oleh guruh dan petir. Hutan-hutan yang hijau kelam di kejauhan nampaknya sedang menggigil ketakutan menunggu datangnya taufan.
Angin tak henti-hentinya bertiup, dan kesenyapan semakin membikin hati gundah.
Di malam hari bintang yang sekecil-kecilnya pun enggan menjenguk bumi. Dan laut pun tak jera-jera berdebur, sedang hati penduduk Tuban tawar kehilangan gairah.
Tinggal Sang Adipati saja percaya: tak lain dari Syahbandar Tuban, Sayid Habibuliah Almasawa yang bisa mendatangkan persahabatan dan Peranggi dan Ispanya.
Ia merasa masih mempunyai cukup kehormatan: Ia tidak akan mengirimkan utusan sebagaimana halnya dengan raja Blambangan Giri Dahanaputra, Girindra Wardhana. Tuban tidak perlu mengakui keunggulan Malaka& .
0o-dw-o0 20. Pertempuran dan Pertempuran
Hujan jatuh tak semena-mena di atas pesanggrahan balatentara Tuban. Malam gelap-pekat. Angin kencang antara sebentar menggeleparkan atap-atap dan dinding daun kelapa setiap gubuk pesanggrahan. Bila kilat mengerjap, gubuk-gubuk itu nampak seperti sekelompok anak kucing yang mendekam putus asa kehilangan induk.
Dalam salah sebuah gubuk pesanggrahan ini sebuah pelita minyak kelapa memancari wajah dan tubuh beberapa orang yang berdiri di sekelilingnya. Setiap kali nyala pelita itu bergerak, wajah mereka yang mengelilinginya nampak berubah-ubah, seperti bukan wajah manusia tetapi makhluk menyeramkan dari alam lain. Tak ada di antara mereka tersenyum atau tertawa. Semua memusatkan pikiran dan kesungguhan mereka menegangkan suasana.
Yang telah kita hadapi dan hancurkan pada hari ini bukanlah dan belumlah seluruh kekuatan mereka, kata Kala Cuwil. Mungkin baru sebagian kecil. Malahan di mana disembunyikan meriam itu kita belum lagi tahu.
Dari bunyi ledakannya jelas disembunyikan di arah tenggara, seseorang memberikan pendapatnya.
Jelas seperti siang. Tapi meriam bisa berpindah setiap waktu.
Dia tetap akan meninggalkan bekas. Orang bisa membikin supaya tidak berbekas. Mereka takkan mempunyai cukup waktu untuk itu. Moga-moga.
Selama mereka masih menembakkan meriamnya, induk pasukan mereka belum lagi bergerak, sambung Rangkum, kepala pasukan kaki.
Dan hanya sedikit-sedikit tembakannya, Kala Cuwil meneruskan, barangkali pelurunya sangat terbatas. Mereka takkan bisa bikin sendiri. Atau, mereka bertekad untuk melakukan perang lama seperti Paregreg. Dan bila itu yang mereka kehendaki dan kita tidak bisa mengatasi, Tuban akan diterkam bahaya kelaparan. Sedang bandar akan hanya menjadi beban.
Kita akan usahakan mereka tak punya kemampuan untuk berperang lama, Banteng Wareng memperdengarkan suaranya, pedalaman kita tidak begitu subur. Daerah Tuban Kota sendiri tandus. Selama ini hanya kebesaran bandar yang diagung-agungkan. Kalau pedalaman kacau dan laut pampat, hanya kelaparan yang ada.
Semua itu benar kecuali satu yang tidak dilihat: kita inilah kunci Wiranggaleng menyarani. Kalau mereka menghendaki perang panjang, kitalah yang akan membikin pendek.
Banteng Wareng mengangkat muka. Suatu perasaan tak senang terpancar pada wajahnya. Dengan tenang ia memperdengarkan suaranya: Dan mereka bisa juga memegang kunci atas kita. Menyesal sekali Mahmud Barjah dilepas murah.
Kala Cuwil mendengus menahan kegusaran Banteng Wareng. Ia memang terkenal sebagai jurudamai yang tidak pernah berpihak, maka orang mendengarkan setiap katanya: Ikan besar umpan pun besar.
Ikan itu belum lagi kelihatan, bantah Banteng Wareng, lagi pula kita tidak sedang mengail, kita sedang berperang.
Dengarkan, kau, Rangkum, Senapati Tuban membelokkan perhatian mereka, aku minta separoh dari pasukan kaki. Berangkat malam ini juga, kau dan aku. Besok bila mereka bangun, mereka akan tahu telah terputus dari induk pasukannya sendiri!
Tak pernah ada balatentara bergerak di waktu malam, bantah Banteng Wareng.
Apakah Senapati kalian kira keturunan raja" Aturan perang Senapati kalian bukan berasal dari para raja. Apa katamu, Kala Cuwil"
Biarlah kepala pasukan kaki sendiri yang menjawab. Mereka sudah terlalu lelah, Senapatiku, jawab Rangkum. Besok mereka masih membutuhkan tenaganya sendiri. Mereka tak berkuda, tak bergajah. Biarlah mereka mengasoh. Petani-petani pedalaman itu takkan dapat lari jauh. Mereka masih ada di dekat-dekat sini, Senapatiku.
Dan Wiranggaleng tahu, hanya Senapati tidak bijaksana disangkal oleh bawahannya. Semua mengawasinya seakan mengukuhkan ketidakbijak-sanaannya. Dan jatuh hujan di atas atap daun kelapa itu kembali terdengar oleh mereka.
Senapatiku belum lagi selesaikan perbincangan ini, Banteng Wareng memperingatkan.
Aku tidak biasa bicara seperti kalian. Yang aku tahu, hari ini kita telah mendapatkan kemenangan gemilang. Senapati baru sekali ini berperang, bantahnya. Dalam seumur hidupku, balatentara Tuban hanya sekali ini turun untuk berperang. Pengalamanmu tidak lebih banyak dari aku, jawab Senapati. Dengan sendirinya tangannya terkepal jadi tinju. Bantahan ini dirasainya tidak layak setelah kemenangan gemilang hanya karena dirinya yang memerintahkan dimulainya gerakan, la telah pertaruhkan nasibnya dengan mengambil-alih kesenapatian.
Ia pandangi kepala pasukan itu seorang demi seorang. Dan ia tak mendapat sokongan. Juga Kala Cuwil tak menyokongnya.
Tak ada yang bilang mereka tak boleh mengasoh. Bukan raja pun harus tidur. Cobalah fahami maksud Senapati, katanya menyarani. Kalian memang boleh menyanggah seorang Senapati anak desa, tapi perang adalah perang.
Kepala pasukan kaki tidak menyanggah, Senapatiku. Mereka lelah, hari hujan dan gelap. Harap Senapatiku bijaksana.
Kala Cuwil! panggil Senapati. Juga kau sendiri tahu, yang paling lelah adalah pasukan kuda. sekalipun tidak dengan kakinya sendiri. Lagi pula hanya sebagian dari pasukan kaki yang dikerahkan pada hari ini. Tak sampai separoh. Bagaimana jawaban ini"
Rangkum menolak, Senapatiku, sebagaimana pada sebaliknya Senapatiku melepaskan Mahmud Barjah dari kepungan, demikian juga Rangkum melepaskan anakbuahnya untuk beristirahat, jawab Rangkum tegas.
Baik. beristirahatlah. Aku kenal daerah ini. Aku tahu pasukan kuda dan gajah tak bisa jalan pada malam seperti ini. Namun sesuatu harus kita kerjakan pada malam ini. Sekalipun kalian menolak, aku masih mengharapkan ada yang mau berangkat. Siapa siap berangkat"
Tak berjawab. Senapati masih memerlukan memandangi kepala-kepala pasukan sekali lagi untuk mendapat jawaban. Sia-sia.
Baik, katanya kemudian, Banteng Wareng, sediakan untukku seekor kuda yang segar.
Kemana Senapatiku akan pergi, seorang diri" Memutuskan mereka dari induk pasukannya. Banteng Wareng menatap Senapati dengan diam-diam. Melihat Wiranggaleng tetap pada pendiriannya, lambatlambat tapi pasti ia menjawab: Baik. Kalau begitu seluruh pasukan kuda akan bergerak mengikuti Senapatiku, malam ini juga.
Tidak. Seekor saja aku perlukan. Biar aku berjalan sendiri, dan biar kalian tahu bagaimana orang yang tak tahu aturan perang para raja ini bertarung.
Sejenak kepala-kepala pasukan itu terdiam. Banteng Wareng menatap Rangkum, dan yang belakangan ini mengangguk.
Senapatiku, jawab Rangkum, pasukan kaki akan bergerak malam ini juga, mengikuti Senapatiku.
Malam itu juga, dalam kegelapan dan hujan, pasukan itu bergerak bergandengan tangan dan lari maju bila kilat menerangi bumi barang sekejap.
Tanah berumput di bawah kaki memudahkan perjalanan. Dan mereka berjalan dan berjalan. Hujan berhenti dan curah kembali. Mereka terus berjalan melintasi padang rumput berbatu-batu, kemudian memasuki jalanan desa yang berbatu-batu pula. Hujan berhenti lagi dan bintang-bintang mulai mengintip dari sela-sela mendung. Beberapa kali ayam liar dan ayam hutan terdengar berkeruyuk. Kemudian unggas-unggasan yang lain mulai menyanyi dari segala pelosok, dan matari pun mulai memancarkan lembayung merah dari bawah bumi, jauh di timur sana.
Laskar-laskar Rajeg yang dicari ternyata tiada. Apa katamu sekarang. Rangkum" Senapatiku benar. Mereka bergerak di malam hari. Apa artinya itu, Rangkum"
Artinya, kita sudah binasa, bila mereka menyerang dengan sepenuh kekuatan, Senapatiku.
Demikianlah maka berita, laskar-laskar musuh bergerak di malam hari diterima dengan terkejut di pasanggrahan. Pada waktu itu juga gubuk-gubuk dibongkar dan semua bergerak menyusul Senapati.
Gerakan penjejakan diadakan. Bekas-bekas mereka pada siang kemarin telah terhapus oleh hujan.
Berita, bahwa Tuban terpancing turun ke gelanggang tanpa persiapan dan tanpa mengerahkan pagardesa ataupun penduduk, menerbitkan suka cita Ki Aji. Mereka akan mati kelaparan, kehujanan dan kedinginan.
Setelah magrib, di depan pendopo, di hadapan para pengikut ia memberikan wejangan pendek sebelum isya: Anak-anakku, kawulaku, sudah berkali-kali aku ajarkan pada kalian, jangan percaya pada ningrat Jawa. Mereka bilang dewa-dewa yang telah pilih mereka jadi ningrat untuk memerintah orang desa.
Semua orang tua-tua kalian tahu tentang cerita pertentangan antara ningrat dan bukan ningrat semasa Majapahit. Di Tuban aku pun sudah banyak dengar tentang itu, bahkan juga dari para nakhoda dan saudagar asing yang punya perhatian pada kejayaan Majapahit di masa silam. Juga punya perhatian, mengapa kemaharajaan yang besar itu bisa jatuh berkeping-keping dan tak mampu berdiri lagi.
Tak perlu aku ulangi pada kalian tentang Perang Paregreg. Bukankah kalian juga masih ingat soalnya karena tidak sukanya kaum ningrat pada kebijaksanaan Maharani Suhita yang masih juga mau meneruskan memberikan kekuasaan pada bukan ningrat" Dan bukankah kalian juga masih ingat, bahwa dalam kekuasaan Majapahit hampir semua pangeran itu tidak mampu melakukan sesuatu pekerjaan besar" Dan bahwa yang besar-besar hampir seluruhnya dilakukan oleh orang-orang keturunan desa"
Lebih sepuluh tahun aku telah mengabdi pada Adipati Tuban sebagai Syahbandar. Aku sudah jelajahi bandarbandar di Jawa, dari Banten sampai Panarukan. Sama saja di mana-mana: ningrat Jawa sudah lapuk, hidup hanya di bawah bayang-bayang nenek moyang yang besar.
Lihat itu raja Ciri Dahanapura Blambangan, yang menamakan diri pewaris tunggal Majapahit. Bukankah sudah diketahui semua orang dia mengemis-ngemis meriam pada Peranggi" Pada Kongso Dalbi di Malaka" Begitulah ningrat Jawa. Untuk mengambil hati Peranggi, raja Blambangan itu tak malu-malu mengaruniakan sebidang tanah dan tenaga kerja pada Peranggi-peranggi di Blambangan untuk digarap dan untuk mendirikan rumah di Panarukan dan Pasuruan. Dibiarkan mereka mendirikan rumah-rumah besar. Tak tahu malu. Apakah Islam datang pada kalian karena meriam" Dan disertai orang Arabnya sekali" Tidak! Tak ada orang Arab menyampaikan ajaran di Jawa ini, di seluruh Jawa, di seluruh benua kepulauan Nusantara ini. Orang-orang Arab datang hanya untuk memaneni jerih-payah orang lain. Islam datang dari kandungan hati mereka yang bersih, dan disambut oleh hati mereka yang bersih pula, berkembang damai seperti berkembangnya bunga jambu. Lain dengan Peranggi dengan Nasraninya. Dia datang dengan tembakan meriam, dan dengan Perangginya sekali. Islam datang tanpa meminta tanah. Mereka datang dan membutuhkan tanah.
Ia terhenti bicara, terkejut, terbatuk-batuk, melirik pada Rois dan Manan, Peranggi mualaf, membersihkan tenggorokan dan mulai lagi: Manan dan Rois datang bukan sebagai Peranggi Blambangan. Mereka berdua datang untuk jadi bagian dari kita. Untuk jadi saudara sendiri.
Dari kejauhan telah terdengar guruh bergumam dan gerimis tipis mulai turun. Kiai Benggala Sunan Rajeg tak juga berkisar dari tempat duduknya, meneruskan: Kalau Tuban telah kita kuasai, kita akan bergerak ke selatan, mengusir Hindu dan Nasrani dan Peranggi dari Blambangan. Tak ada alasan Tuban bisa mengalahkan kita. Adipati Tuban sama dengan ningrat Jawa yang lain, lemah, tak berkemauan. Ingin aman dan senang terus sampai mati, tanpa berbuat apa-apa dengan merugikan semua orang. Munafik! Lihat saja dia itu. Tak ada maharaja memerintah dia. Pasukan gajahnya kuat, lebih dua ratus tahun jadi perisai Majapahit. Mengaku Islam. Sekarang Majapahit tinggal segenggam tanah yang bernama Blambangan, jangan harapkan dia mau dan berani bergerak ke selatan. Dia malah mau meniru raja Blambangan, Girindra Wardhana, mau mengemis-ngemis persahabatan dari Peranggi, sekalipun dengan caranya sendiri. Malah anak-anaknya sendiri pada lari meninggalkannya.
Hujan mulai melebat. Dan untuk pertama kali dalam kekuasaannya di Rajeg ia mempersilakan para pengikut masuk ke dalam pendopo yang tak berdinding itu.
Dan ia terpaksa meneruskan wejangannya, karena memang belum lagi sampai pada pokok kesukaan: Demak.
Nah, ia meneruskan setelah semua mendapat tempatnya, kalian sudah tahu siapa yang menganggap dirinya Sultan Islam pertama-tama di Jawa. Kalian memanggilnya Raden Patah, bukan" Tidak, tidak sesederhana itu namanya. Lengkapnya: Sultan Sri Alam Akbar Al-Fattah. Sama sekali bukan nama Jawa. Memang dia bukan orang Jawa. Jangan dengar musafir-musafir Demak berkicau, dia ningrat Jawa, berdarah Majapahit. Bohong! Semua pemasyhuran tentang Demak oleh musafirmusafir itu bohong belaka. Ningrat Jawa sekarang ini takkan punya kemampuan membuat sesuatu yang baru, apalagi mendirikan kerajaan Islam pertama.
Aku tahu ada di antara kalian di sini bekas musafir Demak, hei, kau bekas musafir Demak, benarkah Sultan Demak orang Jawa" ia tertawa mengejek. Yang kalian sebut Sultan Demak orang itu sama sekali tidak bisa baca dan tulis Jawa, tak bisa bicara Jawa. Dia hanya bisa bicara sedikit Melayu. Anak dusun yang bodoh itu bisa baca dan tulis. Masa seorang raja Jawa tidak bisa" Bukan itu saja, kulitnya bukan kulit Jawa dan matanya bukan mata Jawa. Hei, kau bekas musafir Demak, cobalah jawab: sipit atau tidakkah Sultan Demak"
Seorang pemuda jangkung nampak memanjangkan badan dan leher dan menjawab: Sahaya belum pernah melihatnya, Ki Aji.
Bahkan musafirnya sendiri tak pernah melihatnya. Dia memang tak pernah muncul di depan umum. Dan jangan percaya kalian pada orang selama dia mengaku diri musafir Demak. Mari aku ceritai kalian: Sultan Demak memang tidak pernah muncul di depan umum. Dia takut dilihat oleh kawulanya sendiri. Karena itu dia membutuhkan musafir untuk menyebarkan kebohongannya ke seluruh Jawa. Jadi siapa gerangan, Kanjeng Sunan"
Pertanyaan itu menyebabkan orang tergugah dari kebosanan. Ada hal baru yang nampaknya bakal mereka ketahui: Itu hanya dalam kitab seorang Syahbandar. Selama ada Syahbandar di pelabuhan-pelabuhan di Jawa, orang akan dapat memperoleh keterangan yang benar tentang raja-raja Jawa sekarang ini. Itulah tambo. Kalian harus tahu tambo untuk mengetahuinya duduk perkara. Waktu kalian belum ada& , ia memulai dengan ceritanya, ada tersebut dalam kitab para Syahbandar, datanglah armada dari utara sana, memang bukan untuk menaklukkan negeri-negeri seperti Peranggi dan Ispanya, bukan untuk menaklukkan dan juga bukan untuk membajak. Mereka datang untuk menguasai perdagangan rempah-rempah. Mereka datang dengan dalih telah terusir dari negerinya dan minta perlindungan pada Majapahit. Tidak lain dari Sang Adipati Tuban yang lebih tahu bagaimana isi perjanjian itu, karena dialah waktu itu ditunjuk oleh Sri Baginda Bhre Wijaya Purnawisesa untuk melayani mereka. Mereka diperkenankan tinggal di Lao Sam sekarang dan Semarang sekarang, tetapi mereka tidak boleh memasuki perairan Maluku. Mereka boleh mendapatkan rempah-rempah hanya dari bandar-bandar di Jawa. Laksamana armada ini kalian tahu namanya: Dampo Awang. Orang hanya mengenal gelarnya: Ceng He. Memang mereka tidak seperti Peranggi dan Ispanya. Dan mereka berdagang biasa, tidak mampu menguasai perdagangan rempah-rempah seluruhnya. Mereka melalui jalan dagang dan jalan laut seperti halnya dengan kapalkapal Jawa.
Armada itu sangat besar, walau mungkin takkan sebesar armada Majapahit di masa jayanya. Dan karena waktu itu di Jawa tak ada armada besar lagi, armada itu nampaknya memang sangat besar. Orangtua kalian tahu betul tentang itu, tetapi ada banyak hal yang mereka tidak pernah tahu.
Mereka tidak menyerang, juga tidak diserang. Mereka datang dengan dalih sama di mana-mana: dagang.Mereka datang untuk menguasai perdagangan dengan jalan dagang, tidak menembak dengan meriam atau cet-bang, tidak merampas bandar orang dan tidak menumpas rajanya.
Di mana armada itu sekarang, Kanjeng Sunan, karena menurut cerita kapal Dampo Awang sendiri tenggelam di pantai Rembang.
Armada itu sendiri sudah banyak buyar di banyak bandar!
Orang berdesakan mendekat untuk tidak terganggu oleh tampias dan bunyi jatuh air di perlimbahan.
Mereka memang tidak kembali ke negeri sendiri. Mereka tersekat di sini karena di negerinya sendiri terjadi pergantian kaisar.
Berdasarkan persetujuan dengan Majapahit, dengan Tumenggung Wilwatikta, mereka membuka daerah-daerah rawa-rawa Semarang sekarang, mereka bikin jadi bandar perdagangan dengan nama Sampo Toa-lang.
Dulu orang segan singgah di sana, tidak sehat, banyak penyakit. Lama-lama ada juga yang datang dan mendapat pelayanan. Tentu tidak sebaik pelayanan Tuban sewaktu aku masih jadi Syahbandar.
Dengan jatuhnya Majapahit kelompok besar armada musafir kuatir akan terjadinya perang antara para gubernur untuk berebut jadi raja di antara mereka. Mereka kuatir perjanjian dan Tumenggung Wilwatikta itu kehilangan kekuatannya. Mereka tahu gubernur yang paling kuat adalah Arya Teja Tumenggung Wilwatikta, maka dari timurlah mereka menduga akan datangnya bahaya. Begitulah mereka bentengi pangkalannya dengan melantik sebuah kerajaan baru dekat sebelah timurnya. Kerajaan benteng Sampo Toa-lang itulah Demak.
Bukan Kanjeng Sunan, bukan begitu babad berdirinya Glagah Wangi Demak, seseorang membantah berapi-api sambil berjongkok meninggikan badan.
Bukankah kau bekas musafir Demak, Firman" Betul, Kanjeng Sunan, bukan begitu. Sungguh bukan begitu.
Memang bukan begitu yang diajarkan padamu untuk jadi musafir Demak. Coba, adakah pernah seorang raja Jawa menyebarkan musafir" Itu bukan adat raja-raja Jawa. Raja-raja Jawa biasanya hanya menyuruh pujangganya untuk membual tentang kebesarannya, tentang kemuliaan asal-usulnya. Bohong kalau dia keturunan Majapahit, anak Retna Su-banci, cucu Babah Bantong dari Gresik. Dengarkan baik-baik. Babah Ban-tong memang orang Tionghoa Islam. Nama sebenarnya Tan Go Hwat. Bapakku mengenal dia, karena beberapa kali dia memang pernah berlayar ke Malaka. Benar anaknya telah diselir oleh Sri Baginda Bhre Wijaya, tetapi tidak benar anaknya itu dihadiahkan pada Arya Damar, Adipati Palembang dan melahirkan Al-Fattah. Uh, kalian, orang Jawa. Dalam lontar kalian hanya yang itu-itu juga yang disalin. Tak ada yang baru. Bahkan tak ada orang Jawa jadi Syahbandar!
Tidak, Firman, anak ganteng. Retna Subanci tidak pernah berlayar ke Palembang. Dia pernah dibawa oleh ayahnya ke Malaka semasa masih gadis kecil. Memang dia mengandung dan mendapat anak dari raja Majapahit, tapi anak itu kemudian mati. Dia sangat menderita di dalam keputrian, hampir-hampir tak bisa dikendalikan, selalu merengek minta menjenguk orangtuanya. Sri Baginda dalam pada itu tidak terlalu suka padanya. Tanyalah pada Sang Adipati Tuban, ke mana itu Retna Subanci. Boleh jadi hanya dialah yang tahu. Anak Babah Bantong itu dikaruniakan oleh Sri Baginda kepada Adipati Tuban. Anak yang dilahirkannya di Tuban itu bernama Jaka Seca. Selanjutnya kalian tahu sendiri. Oleh ibunya sebelum meninggalnya dia diserahkan pada Gouw Eng Cu untuk dididik.
Seluruh Majelis Kerajaan Demak tidak bakal bisa bantah aku, Sultan Demak itu tak lain dari peranakan awak armada Ceng He. Itu ada dalam kitab para Syahbandar, boleh jadi juga dalam klenting-klenting di Tuban dan Lao Sam, boleh jadi juga di Semarang sendiri.
Sebentar terjadi kegaduhan dan Mohammad Firman menjawab pertanyaan dari beberapa orang di dekatnya.
Apa" sambar Sunan Rajeg yang menangkap kegaduhan itu. Betul Jaka Seca itu kemudian jadi Raden Said, sekarang Sunan Kalijaga, tahu betul bahasa Cina, maka juga ikut mengelompok di Demak. Demak dan Islam dibikin jadi satu dengarkan itu, karena kekuatan di Jawa sepenuhnya dipegang oleh pedagang-pedagang orang Islam. Apakah Sultan Demak sesungguhnya sudah setingkat keislamannya dengan Sunan Rajeg ini" Hei, kau, bekas musafir Demak, pernahkah kau mendengar Sultan Demak menyebutkan barang satu ayat dari kitab suci" Atau orang pernah bercerita tentang itu" Mengapa kau diam saja" Tak ada urusan. Urusannya hanya keselamatan Semarang.
Sikap Sunan Rajeg yang memusuhi Demak itu sudah sangat diketahui oleh umum. Mohammad Firman yang dikirimkan ke pedalaman Tuban sama sekali tidak bisa menandinginya, apalagi meyakinkannya. Ia malah tertelan oleh pengaruh Sunan Rajeg. Biar pun begitu pernyataan bahwa Sultan Demak bukan berdarah Majapahit dan peranakan awak kapal Dampo Awang sungguh menggoncangkan:
Dan melihat terjadinya kegaduhan Kiai Benggala Sunan Rajeg buru-buru melambaikan tangan untuk menenangkan: Bukan soal ini sebenarnya aku ingin sampaikan. Ialah bahwa ningrat Jawa sudah begitu lemahnya, bukan saja armada yang tersekat itu sampai dapat membuka bandar dan perkampungan besar, tapi juga tidak berdaya sesuatu melihat ada seorang bukan Jawa telah naik tahta jadi raja Islam pertama-tama. Mungkin kalian tidak tahu, Semaranglah-bandar Demak. Apakah kalian tidak malu adalah orang yang tak tahu basa dan tulisan Jawa, tak bisa bicara Jawa menjadi raja dari orang-orang Jawa"
Sampai pada puncak semangatnya kembali ia terserang oleh batuk, dan sekali ia mencoba sekuat daya untuk bertahan.
Aku pun bukan orang Jawa, orang Benggala, orang Keling. Apakah aku tak bisa bicara dan membaca Jawa" Bawa sini semua lontarmu, dan aku bisa bacakan mungkin lebih baik daripada guru-guru kalian. Dan semua isinya omong kosong belaka tanpa bisa dibuktikan. Maka aku tidak datang pada ningrat Jawa, tapi pada kaum pedagang dan petani seperti kalian, orang-orang biasa, orang desa& lain halnya dengan Sultan Demak, mendirikan kerajaan untuk jadi benteng Semarang. Islam dipergunakan dalih.
Dan lihat di ujung Barat Pulau Jawa sana. Aku kira belum ada di antara kalian pernah ke sana. Aku pernah. Di sana ada sebuah kerajaan Hindu seperti Giri Dahanapura Blambangan, Pejajaran namanya. Rajanya juga lemah seperti Girindra Wardhana. Penghasilannya melimpahlimpah, tanahnya subur dan kawulanya rajin dan patuh. Karena rajanya lemah, kekayaan tidak jadi berkah bagi orang yang lemah, malah menjadi semakin lemah karena kekayaannya. Dia pun berusaha mendapatkan persahabatan dengan Peranggi. Dia mencari persahabatan dari singa yang lapar. Bedug masjid Rajeg telah memanggil-manggil untuk bersembahyang isya.
Begitulah raja-raja di Jawa, maka semua bakal dikuasai oleh Peranggi, Sunan Rajeg meneruskan, dan itu tidak boleh. Tidak boleh. Demi Allah! dan ia memberi tekanan pada kata-katanya: Maka aku, orang Benggala, mengajukan diri untuk melindungi Jawa dari tangan najis kafir Peranggi, aku, Sunan Rajeg.
Maka itu kita harus melawan Tuban. Sekarang balatentara Tuban sedang terpancing turun ke gelanggang. Pasukan gajahnya akan punah oleh meriam kita, akan terkubur dalam perangkap, insya Allah, kita pasti menang. 0o-dw-o0
Mahmud Barjah dengan membawa dendamnya terhadap Manan dan Rois menarik pasukannya pada malam itu juga. Kalau tidak, bila seluruh tentara Tuban yang dikerahkan, dengan kuda dan gajahnya sebelum ia mempunyai persiapan kedua, pasti dan terjadi penumpasan yang tak dapat dielakkan.
Hujan deras yang turun pada malam itu telah diperhitungkannya akan menjadi pelindungnya. Balatentara Tuban tidak akan menyusul. Bila toh dilakukan juga takkan dapat menemukan.
Dengan diam-diam ia perintahkan melaksanakan rencana Manan dan Rois untuk membangunkan parit-parit penjebakan terhadap kuda dan gajah musuh. Mereka harus masuk ke dalam penjebakan untuk tumpas.
Sementara itu ia perintahkan untuk membikin jejak-jejak ke arah yang berlawanan dari jebakan yang sedang dibangun. Ia membutuhkan waktu pendek untuk rencananya itu.
Hampir-hampir ia tak percaya pada telik-teliknya yang melaporkan, tentara Tuban telah melakukan gerakan di malam hari. Ia sebarkan telik-telik baru untuk menguji laporan pertama. Dan dua-dua laporan itu tidak berbeda. Memang balatentara Tuban bergerak juga di malam hari.
Pembikinan jebakan terpaksa dilakukan siang-malam, tak mengindahkan cuaca, dan dengan hasil yang tidak memuaskan. Hujan dan air menghalangi penggalian. Namun petani-petani yang terbiasa bergaul dengan tanah dan lumpur menggali terus tanpa mengeluh. Bahkan hujan itu menghemat tenaganya dibandingkan dengan pemborosan di waktu panas. Tapi air curah itu tetap menghalangi kemajuan.
Sebagaimana halnya dengan Manan dan Rois, ia tidak menyetujui perang yang belum waktunya ini. Tapi perang telah dimulai. Kekalahan pada hari pertama ia anggap sebagai kewajaran yang harus diterima. Namun ia masih juga belum dapat berdamai dengan kekalahannya yang pertama. Ia pun belum dapat berdamai dengan nafsu segera perang dengan gampang dari Sunan Rajeg. Dan ia pun menyesali diri sendiri tak dapat mencegah semua itu, bahkan dengan diam-diam mengakui, diri sendiri ingin segera masuk ke Tuban kota sebagai pemenang, megah dikagumi oleh semua penduduk, tak ada seorang pun yang bakal memerintah, malah memerintah semua orang. Betapa lama ia sudah mengimpikan datangnya hari, semua atasannya dulu datang padanya, berlutut di bawah kakinya dan menyembah mengakui keunggulannya.
Kekalahan pertama ini menjauhkan dari impiannya sendiri. Ia harus bekerja lebih keras. Sedang Manan dan Rois itu mereka menambahi segalanya pula, karena harus berbagi pendapat dengan mereka.
Ia takkan datang melapor pada Sunan Rajeg karena kekalahan ini. Ia akan bergerak terus. Dan sekarang melakukan gerakan semu untuk mengelabui musuh untuk melindungi pembikinan jebakan. Sebelum mendapat kemenangan ia tidak akan muncul untuk melapor.
Anak buah yang membikin bekas-bekas kaki pun bekerja siang dan malam tanpa henti. Tak bisa lain: ia membutuhkan paling tidak tiga hari untuk dapat membuka pertempuran baru.
Jebakan yang dibuat menurut rencana Manan dan Rois adalah sebuah parit berbentuk tapal kuda yang bermulut luas. Pasukan kuda dan gajah musuh harus masuk ke dalam kantong tapal kuda ini. Di belakangnya akan dipasang pasukan pemanah yang akan melemparkan anak panah api dan biasa Bila kuda dan gajah telah menjadi kacau ketakutan karena api, meriam akan beraksi sehingga musuh kehilangan keseimbangan. Serangan selanjurnya tinggal pembabatan penyelesaian, dan akan dilakukan oleh bekas tentara Tuban sendiri.
Ia telah kirimkan penghubung untuk menempatkan meriam. Manan dan Rois mengikuti perintahnya. Mereka mengarahkan regu-regu pelayan dan pengawalnya. Pasukan pemanah pun telah siap di belakang tapal kuda. Tinggal gerakan pemancingan terhadap musuh yang berhari-hari mencari dengan sia-sia, masih harus dirancang dengan seksama.
Dan semua kegiatan itu melupakannya kepada pertentangan dengan Esteban dan Rodriguez, juga pada penyesalannya terhadap Sunan Rajeg dan diri sendiri. 0o-dw-o0
Pada suatu hari pasukan kaki Rangkum melihat serombongan prajurit putih melintasi jalanan negeri. Dari kejauhan nampak jumlah mereka begitu sedikit.
Pasukan kaki Tuban segera bersorak dan mengejar. Dan sorakan itu memanggil pasukan-pasukan lain untuk bergabung. Arus balatentara Tuban mengalir dari segala penjuru menuju ke tempat Mahmud Barjah telah menunggu dengan diam-diam.
Laskar Rajeg yang berjumlah kecil itu seakan lari ketakutan langsung masuk ke dalam tapal kuda, melompati tirnbunan-timbunan tanah, men-ceburi tanah, menceburi parit, menyeberanginya dan keluar dari jebakan, hilang di balik semak-semak.
Sebagian dari pasukan kaki Rangkum telah memasuki jebakan waktu di kejauhan Wiranggaleng dari atas gajah mengirimkan penghubung berkuda untuk menghentikan pasukan kaki. Dari ketinggian itu dilihatnya Rangkum sedang memasuki jebakan raksasa. Penghubung itu mencapai kepala pasukan kaki waktu ia sudah berada di tengah-tengah jebakan.
Dengan terbata-bata Rangkum memberikan perintah berhenti dan menyebar pada garis henti untuk menunggu serangan.
Banteng Wareng menyebarkan pasukannya di luar daerah jebakan untuk melakukan gerakan penyisiran.
Mahmud Barjah melihat tentara Tuban berhenti di tengah-tengah jebakan mengerti, musuh telah menyadari masuk perangkap dan tidak bisa kembali, juga tidak mungkin maju terus. Dengan hati berat ia jatuhkan perintah untuk menghujaninya dengan api dan anak-panah.
Ia lihat prajurit-prajurit Tuban mengangkat perisai sebagai payung.
Anak panah dan api berjatuhan seperti hujan, bersemburan dari balik-balik semak tanpa kelihatan pemanahnya, dan mereka sambil bersorak-sorak menggugupkan lawannya.
Banteng Wareng mengalami kesulitan dalam melakukan penyisiran. Daerah luar jebakan itu ditumbuhi dengan semak-semak telakan yang rapat dengan batangnya yang liat. Ia tak maju. Dalam semak-semak sendiri gelap kegelapan yang memuntahkan anak panah dan api. Ia tak dapat menanggulangi serangan. Ia perintahkan pasukannya mundur dengan meninggalkan banyak korban.
Melihat kegagalan ini dari atas gajahnya Wiranggaleng memerintahkan pasukan gajah menggantikan pasukan kuda.
Gajah-gajah Tuban itu tak lama kemudian lari memasuki semak-semak yang ditinggalkan oleh Banteng Wareng.
Dari atas gajahnya Senapati melihat pasukan Rangkum di dalam jebakan ini berusaha hendak mundur berpayung perisai tanpa bisa membalas. Dan dari belakang jebakan sorak-sorai tentara Rajeg semakin lama semakin bersemangat.
Kerusakan pada pasukan kaki itu cukup besar, tanpa bisa membalas, namun berhasil keluar dari tungku maut. Rangkum sendiri menderita luka pada bahunya waktu kudanya melarikan diri dari api yang sedang menandatangani, tetapi terjungkal dengan kepala pecah kena peluru meriam. Ia digotong keluar gelanggang oleh anakbuahnya.
Semak-semak yang diterjang pasukan gajah itu menjadi rata. Prajurit-prajurit Rajeg yang berada di dalamnya tak dapat melukai dan mengenai binatang-binatang itu ataupun penunggangnya, terhalang oleh semak-semak persembunyian sendiri, sorak-sorai pengunduran diri mereka terdengar riang penuh kemenangan.
Meriam tiba-tiba berhenti menembaki.
Pasukan gajah terus melakukan gerakan penyisiran. Mereka tinggal berhadapan dengan semak-semak.
Senapati mengerti berhentinya penembakan meriam disebabkan karena senjata-senjata itu juga terpaksa diundurkan.
Mahmud Barjah dengan senyum puas memerintahkan seluruh tentaranya mundur. Ia telah terhibur karena telah dapat menebus kekalahannya yang pertama. Tak ada seorang pun di antara anakbuahnya tewas atau hilang. Beberapa orang saja terkena cedera karena kecelakaan. Sekarang ia mendapatkan keseimbangannya lagi. Ia akan tidak malu lagi menghadap pada Sunan Rajeg. Kalau perlu Manan dan Rois akan dihalaunya ke tempat yang tidak berarti di mata Sunan.
Dalam perjalanan mengundurkan diri ia mulai merencanakan pembikinan parit yang tidak lengkung tapal kuda tapi lurus menghadang perjalanan musuh. Pos-pos pengintaian akan ditempatkan pada puncak pepohonan tertinggi untuk dapat melihat gerak-gerik musuhnya. Ia menyadari, ketinggian gajahlah yang menyebabkan jebakannya kelihatan dari kejauhan. Jebakan baru harus tidak kelihatan dari ketinggian. Dan terutama sekali pasukan gajah dan kuda yang harus dihancurkan.
Wiranggaleng, setelah melihat kerusakan pada pasukan kaki, segera turun dari kendaraannya dan mendatangi Rangkum.
Kepala pasukan itu sedang duduk di atas tandu waktu ia datang.
Pasukanku rusak, Senapatiku.
Benar. Tapi kau tidak kalah. Juga tidak hancur. Tidak, tidak kalah, juga tidak hancur. Masih sanggup bergerak terus.
Rangkum ternyata tidak bersedia untuk diganti. Ia hanya menginginkan kuda baru.
Dan Senapati merasa bersyukur. Ia mengerti maksud Rangkum, dia menghendaki tugas pendesakan dan penggiringan musuh diserahkan pada dirinya. Rangkum memaklumi tugasnya mendesak dan menggiring musuh sampai pada suatu titik di mana mereka tak bisa lagi menyerang, melawan, bertahan ataupun bergerak.
Ia nilai pertempuran kedua sebagai kemenangan, karena tentara Rajeg toh terdesak dan tergiring lebih ke pedalaman.
Pertemuan itu terjadi di pendopo antara Sunan Rajeg, Mahmud Barjah, Esteban dan Rodriguez.
Panglima Rajeg dengan bersemangat melaporkan tentang jalannya pertempuran dan bagaimana kemenangan diperoleh. Bahwa pasukan kaki Tuban rusak, dan tak ada sesuatu kerugian pada pihak Rajeg.
Manan dan Rois diam-diam mendengarkan dan tidak memberikan sesuatu pendapat.
Mahmud Barjah kemudian menjanjikan kemenangan gemilang dalam pertempuran ketiga. Ia telah mempunyai rencana yang masak.
Sunan Rajeg tak dapat bicara suatu apa, terbenam oleh semangat kemenangan.
Kapan pertempuran ke tiga sebaiknya diadakan, Paman Sunan" tanyanya kemudian.
Tentu kau yang lebih mengetahui daripada aku. Berperang dengan jalan penjebakan rupanya sangat baik. Teruskan saja, ia berpaling pada Esteban dan Rodriguez, bagaimana pendapat kalian, Manan dan Rois"
Pengalaman kedua ini sungguh memuaskan, Manan memuji-muji rencananya sendiri, jebakan, anak panah dan api. Bila ada ledakan-ledakan lebih banyak lebih baik, gajah takkan berani mendekat. Dia takut pada api dan ledakan.
Sayang tak cukup obat peledak dalam persediaan, susul Rois. Tidakkah Kanjeng Sunan punya tenaga yang bisa membikinnya" Barang sepuluh orang"
Sunan Rajeg menjanjikan akan memberikan tenaga itu. Sementara bahan peledak belum tersedia, perbincangan berkisar pada pencarian jalan untuk menumpas pasukan gajah. Dan Sunan Rajeg mengharap pada Manan dan Rois yang punya pengalaman perang di Afrika dan Asia untuk menyatakan pendapatnya.
Memang ada jalan yang mudah, Rois alias Rodriguez memulai. Kelemahan gajah ada pada tumitnya. Binatang yang kaku itu, dengan pandang selalu ke depan, karena kupingnya yang terlalu besar, sangat mudah diserang dengan cepat dari belakang. Sambil lari di belakangnya orang dapat mengapak tumitnya, dan dia takkan berdaya lagi untuk selama-lamanya. Ia akan menggelosot sampai mati.
Betul, Kanjeng Sunan, itu memang bukan rahasia. Semua prajurit yang berpengalaman di benua hitam tahu akan rahasia itu. Bisa dijalankan dengan mudah.
Anak kecil pun tahu kalau hanya begitu, ejek Mahmud Barjah, untuk itu tak perlu berpengalaman perang di mana-mana. Sebarkan penunggang kuda yang mahir, dan sambar tumit itu dengan kapak atau tombak& beres. Lihat, tak ada pasukan kuda pada kita. Lagi pula bukan percuma bila setiap ekor gajah Tuban diiringkan oleh paling sedikit limapu-luh prajurit kaki. Mereka bukan hanya menyerang ke depan. Mereka juga mengawal tumit gajahnya.
Tetapi Rois betul, Manan membenarkan temannya. Jawabannya memang pasukan kuda. Kalau itu ada pada kita memang mudah. Karena tiada, harus diadakan penggantinya: penyergapan mendadak dan cepat terhadap pasukan kaki pengiring sambil menghancurkan tumit binatang itu.
Di mana pengalaman perang kalian" Mahmud mengejek. Apakah kalian tak tahu setiap gajah perang dan di waktu perang semua tumitnya dilindungi dengan zirahbaja" Dengarkan, gajah perang Tuban bila berjalan, zirahnya bergerincing nyaring pada setiap langkah, seperti kopyak ki dalang. Ah-ya, mungkin di negeri-negeri lain tak demikian. Kasihan, betapa sengsaranya gajah perang di negeri orang itu.
Sunan Rajeg tertawa mendamaikan.
Kalian semua betul, katanya. Serangan cepat mendadak membongkar zirah. Tumit itu pun hancurlah.
Tidak semua orang-orang bisa membongkarnya, apalagi dengan cepat dalam serangan mendadak, Mahmud membantah.
Setiap bikinan manusia dapat dihancurkan oleh manusia. Soalnya adalah penggunaan waktu sependekpendeknya. Lihatlah, Paman Sunan, pembongkaran zirah itu sendiri memakan waktu lama di tangan bukan ahli daripada pendadakannya. Sebelum pembongkaran selesai, serangan sudah selesai. Maka serangan seperti itu bukan saja tidak akan mendapat tumit, tidak akan mendapat zirahnya, sebaliknya belalai gajah membantingnya ke bumi .
Soalnya hanya pada cara menghancurkan tumit itu, Manan berkukuh.
Dan untuk ke sekian kalinya Mahmud tak berhasil menyudutkan dua orang saingannya itu.
Pembicaraan itu terputus karena datangnya seorang penghubung: memberitakan: ada beberapa orang penunggang kuda yang diduga sedang menuju ke jurusan jebakan baru.
Halangi dan belokkan perhatiannya, perintah Mahmud Barjah. Dan setelah penghubung itu pergi, ia meneruskan, Kita harus berpanen, bukan mengasak. Lupakah zirah dan tumit gajah untuk sementara ini, Paman Sunan. Pertempuran ke tiga sedang di ambang pintu. Kita bersiap-siap.
Sunan Rajeg berpaling pada Manan, berkata: Manan, aku ikut bersama dengan meriammu.
Dan mereka pun berangkat ke medan pertempuran. 0o-dw-o0
Meriam-meriam Portugis itu telah ditempatkan pada sebuah bukit yang dirimbuni pepohonan. Tempat itu sejuk.
Peti-peti obat tertumpuk jauh dari senjata-senjata itu. Peluru-peluru besi bergeletakan seperti buah jeruk di bawah roda-roda meriam. Para pelayan pada berdiri dengan tampang angker di belakang senjatanya. Pandang mereka tertuju pada suatu titik di kejauhan di rendahan sana. Dan titik itu sebentar lagi akan jadi sasaran. Para pengawal meriam bersiaga di kaki bukit berdiri berkeliling, seperti bulu di selingkaran mata.
Manan dan Rois sedang sibuk memeriksa sepucuk di antara yang dua.
Dalam beberapa hari ini mereka tidak melaporkan yang sepucuk sudah tak diperlukan lagi, dinding kamar ledaknya telah cuwil, tebalnya tidak rata lagi. Bila dipergunakan salah-salah kamar ledak itu yang sendiri meledak.
Melihat adanya kejanggalan itu segera Sunan Rajeg menegur, mengapa hanya sepucuk saja dipersiapkan"
Musuh terlalu kecil untuk dilayani dengan dua, jawab Manan mantap.
Dari atas bukit kecil nampak pasukan kuda Tuban bergerak pelahan mengapit pasukan gajah.
Sunan Rajeg menuding ke jurusan mereka.
Mereka nampak sudah lelah mencari-cari, katanya memberi perhatian. Hajarlah dengan meriammu, biar segera tumpas!
Tidak boleh ada serangan. Kanjeng Sunan, sebelum mereka berada dalam jarak tembak. Perintah pun belum diberikan oleh Panglima Mahmud.
Aku lebih tinggi daripada Mahmud. Rois tertawa.
Dan Sunan Rajeg tersinggung mendengar tawa itu, berpaling padanya dan membentak: Tertawa.
Kita sudah menguasai medan Kanjeng Sunan, Manan cepat-cepat menengahi. Tak perlu terburu-buru bertindak. Mereka belum lagi sampai di tempat yang telah kita tentukan. Lagi pula mereka sama sekali belum tampak lelah. Kalau dalam keadaan begitu meriam ditembakkan, pasukan kuda mereka akan temukan tempat ini.
Jadi kalian tak percaya pada kekuatan balatentara Sunan Rajeg, kalian, Manan dan Rois" tetak Sunan. Ia menuding Rois dengan tongkatnya.
Beberapa orang dari pengawal meriam datang berlarian, langsung mengepung Manan dan Rois mengacukan tombak mereka.
Aku tahu apa aku kehendaki, Sunan Rajeg meneruskan bentakannya. Tidakkah kalian mengerti Sunan Rajeg harus saksikan mereka, kafir-kafir itu bergelimpangan karena meriamnya" Manan! mengapa kau diam saja"
Kanjeng Sunan, Manan datang mendekati Sunan. Seorang prajurit penembak meriam Peranggi bersumpah sehidup semati dengan meriamnya. Dia tidak boleh menembak tanpa perhitungan. Meriam adalah dirinya sendiri yang kedua. Dia harus selamatkan meriamnya bila dalam keadaan bahaya dan dia& .
Diam! bentak Sunan Rajeg, kalian bukan lagi penembak meriam Peranggi. Kalian penembak meriamku.
Sunan Rajeg terpaksa menghentikan curah katanya. Gelombang batuk tiba-tiba menyerangnya.
Keadaan itu dipergunakan oleh Manan untuk menyelamatkan keadaannya menolong Sunan Rajeg meringankan serangan batuk, dan berkata lunak: Kanjeng Sunan menghendaki kemenangan kecil tapi akan berpanen kehancuran. Kalau itu yang Sunan kehendaki, baik, kami akan menembak!
Sunan Rajeg mengebaskan diri dari tangan Manan. Berkata sengit dan menggigit: Bukan kau yang menentukan. Hanya Allah.
Rois hendak membantu temannya tetapi telah kena bentak terlebih dahulu. Ia berjalan mundur-mundur karena ditarik ke belakang oleh para pengawal meriam.
Semua Allah yang menentukan, Kanjeng Sunan, Manan masih juga membuka mulut. Semua Kanjeng Sunan, tetapi yang tahu bertanggung jawab hanyalah manusia.
Ajaran kafir. Dari mana datangnya ajaran tanggungjawab itu" Nasrani" Tak ada aku ajarkan pada kalian. Kalian pelayan meriam. Atau Sunan Rajeg sendirikah kau ini"
Sudahlah, mari kita menembak, Rois bersuara lagi dari tempatnya, dan ia mulai bersiap-siap.
Atas isyarat Sunan para pengawal meriam lari menuruni bukit dan melakukan tugasnya.
Sunan Rajeg mundur menjauh sambil menutupi dua belah kuping dengan telapak tangan. Pertikaian selesai dan tenang kembali kerindangan di bawah pepohonan itu.
Rois telah memasukkan obat ke dalam kamar ledak. Manan memasukkan peluru dari moncong meriam. Kemudian laras itu dibetulkan kedudukannya, terarah pada musuh yang bergajah dan berkuda jauh di bawah sana. Dan roda-roda meriam itu meninggalkan bekas dalam setelah digeser, di sebelahnya terbentuk bukitan tanah kecil di bawah kaki. Sumbu obat mulai dibakar.
Kiai Benggala Sunan Rajeg mundur lima langkah lagi dan semakin merapatkan tangan pada telinga. Kemudian semua orang menutup telinganya sendiri, bukan telinga orang lain. Sunan Rajeg menghadap ke arah musuh untuk melihat bagaimana mereka menerima maut dari meriamnya.
Api sumbu menjalar cepat masuk ke dalam bilik ledak. Ledakan yang menggemparkan udara dan hati manusia. Meriam itu seakan hendak melompat muncul dari bumi ke angkasa. Api menyemburat dari moncong meriam melemparkan peluru.
Dan dari atas bukit kecil itu nampak peluru terlontar itu terbang cepat membelah udara menuju ke arah balatentara musuh yang sedang bergerak
Mereka berada di luar jarak tembak& .
Mendengar ledakan meriam dan melihat peluru jatuh di hadapan pasukan gajah itu berhenti seketika. Sebaliknya pasukan kuda lari ke depan meninggalkan gajah membentuk barisan corong dan berpacu maju ke jurusan sarang meriam untuk mengepung dan membinasakannya.
Mereka sedang menuju ke mari, Kanjeng Sunan! Manan memperingatkannya.
Tembaki terus! Tidak mungkin, terlalu tipis untuk ditembak. Mereka akan terhalang oleh parit jawab Sunan Rajeg pelahan. Ayoh tembaki, tembaki terus.
Pengawal raung Rois, selamatkan Sunan Rajeg! Mahmud Barjah datang dengan kudanya. Mukanya merah-padam karena marah. Tangan kirinya memegang kendali. Tangan kanan mengayunkan cambuk kuda.
Bangsat! Pekiknya murka sambil mencambuk Manan. Yang dicambuk melompat menghindar. Siapa perintahkan menembak"
Kanjeng Sunan, jawab Rois.
Apakah kalian sudah buta" Mahmud Barjah Panglima, dengan cambuknya Mahmud menyambar kepala Rois yang juga melompat mengelak.
Mereka datang kemari! teriak Manan.
Panglima Rajeg itu mencambuk penggul kudanya dan berpacu turun untuk memimpin pertempuran. Derap kudanya makin terdengar pelan kemudian hilang sama sekali, ditelan oleh semak.
Dengan dipapah Sunan Rajeg menuruni bukit sambil berkomat-kamit. Para pengawal menaikkannya ke atas tandu, dan berangkat mereka kembali ke desa.
0o-dw-o0 Setelah diurut dengan cermat dan dapat menggunakan tangannya kembali, walaupun masih lemah, Rangkum menolak tandu. Dengan tangan kanan lemah memegangi kendali dan tangan kiri membawa cambuk perang ia memimpin kembali pasukan kakinya.
Pasukannya berbaris dalam formasi supit udang melewati pasukan gajah dan maju ke depan mengikuti jejak pasukan kuda.
Terhenti karena parit terjal, pasukan kuda yang tipis itu melambai pada pasukan kaki di belakangnya untuk melebarkan supitnya. Mereka bergerak untuk menemukan ujung-ujung parit.
Mahmud Barjah tak menghendaki mereka menemukan ujung-ujung itu. Perintah penyerangan dijatuhkan. Tetapi musuhnya tak memperdulikan serangan itu dan terus bergerak meninggalkan jebakan.
Dari balik-balik semak di seberang parit terjal bersemburan anak panah dan api dan tombak. Orang mulai bergelimpangan terluka atau mati, terinjak oleh temanteman sendiri.
Prajurit-prajurit Tuban yang telah berhasil mencapai ujung-ujung parit segera menyerang musuhnya di seberang parit. Pertempuran terjadi. Meriam Manan dan Rois berdentuman. Pelurunya berjatuhan tepat pada tempat yang telah ditentukan, di depan parit. Mereka tak berani menembaki musuh yang telah menyusup dalam semaksemak di belakang jebakan.
Dengan semangat hendak menebus kerusakan dalam pertempuran kedua, pasukan kaki Tuban sama sekali tak mengindahkan bahaya mengancam. Melalui ujung-ujung parit kiri dan kanan mereka mencurahi belakang jebakan, mendesak maju terus. Semak-semak itu bosah-basih terinjak dan tertebang. Panah tak bisa dipergunakan. Tombak mengambil alih.
Pasukan kuda mundur mengikuti pasukan kaki yang mengamuk.
Api anak panah dan tombak tak lagi beterbangan di depan parit jebakan. Di belakang pasukan kuda mengikuti pasukan gajah. Dan balatentara Tuban mendesak terus. Semak-semak yang terinjak pun ludes rata dengan tanah.
Melihat tentara Rajeg terdesak Manan segera memerintahkan mengungsikan meriam dan segala perlengkapan, obat dan peluru. Regu-regu pengangkut lari naik ke atas dan mengungsikan perlengkapan. Mereka lari ke bawah, melintasi dataran, lari sambil membawa bebannya seperti serombongan kucing menggondol anaknya sendiri. Dan pucuk meriam itu menuruni bukit dengan gampang. Manan dan Rois pun lari, sepanjang jalan sambil memaki-maki dalam bahasanya sendiri.
Tentara Rajeg yang terdesak tak mampu lagi menyusun barisan. Mereka mundur atau melarikan diri ke dalam rumpunan semak yang lebih dalam. Mahmud Barjah tak mampu lagi mengirimkan penghubung. Laskar-laskarnya terpaksa mengambil kebijaksanaan sendiri-sendiri.
Berpegangan pada pengalaman sebelumnya kini Wiranggaleng tak mau lagi kehilangan jejak musuhnya. Ia memerintahkan terus mendesak, siang dan malam. Ia tak mau tentaranya menderita lelah hanya untuk mencari-cari.
Sorak-sorai tentara Tuban yang mengguruh dari dalam semak-semak menjadi pertanda Rajeg telah terdesak dan didesak.
Sorak-sorai tentara Tuban itu terdengar semakin mendekat. Manan memerintahkan agar regu pengangkut meninggalkan medan terbuka dan masuk ke dalam hutan.
Waktu pasukan Banteng Wareng datang, mereka sudah tidak nampak kecuali bekas-bekas yang tertinggal.
Pecahan-pecahan tentara Rajeg yang bersebaran di medan terbuka segera pula melarikan diri masuk ke dalam hutan. Mereka membuangi pakaian putihnya dan segera hilang di antara kehijauan dan kecoklatan.
Tandu Kiai Benggala Sunan Rajeg tergoncang-goncang dibawa lari oleh para pemikulnya. Antara sebentar terdengar Sunan berseru-seru memperingatkan dari atas tandunya.
Dari bawah para pemikul juga memperingatkan ke atas: Ampun, Kanjeng Sunan, mereka sudah dekat dan terus lari tak peduli tandu semakin berguncangan.
Waktu derap kuda mulai terdengar, para pemikul memerlukan berhenti untuk mengambil nafas dan menengok ke belakang. Mereka tidak keliru dengar pasukan Tuban sedang berpacu mendatangi sambil menggeletarkan cambuk perang ke udara.
Dengan serta merta mereka turunkan tandu. Lari, Kanjeng Sunan, lari, lari dengan kaki sendiri. Dan larilah mereka, yang menandu dan yang ditandu, dengan kaki sendiri, masuk ke dalam hutan& . 0o-dw-o0
Matahari belum lagi tenggelam.
Banteng Wareng dan pasukannya menyisiri setiap jengkal tanah yang terbuka. Bukan lagi tentara Rajeg untuk menandingi kelajuan dan kesigapan mereka.
Pasukan kaki di bawah Rangkum kemudian datang menyusul dan memburu musuhnya masuk ke dalam hutan.
Baru kemudian nampak pasukan gajah sebagai bukitbukit daging yang menggetarkan, berlenggang dengan hidungnya.
Hutan itu sendiri terlampau lebat untuk mempertemukan dua tentara yang bermusuhan. Di bawahnya ditumbuhi semak-semak bamban dan combrang. Rotan melata datar di tanah dan menjulur melibati pepohonan tinggi mengatasi rambatannya sendiri bergumul meliliti barang apa yang dapat ditangkapnya, kemudian melambai-lambaikan puncak-puncaknya pada langit dengan penuh kemenangan dan keangkuhan.
Yang terdengar di dalam hutan hanya gemerasak kaki menerjang semak. Sorak-sorai telah padam. Unggas hutan telah dari tadi terbang melarikan diri, lupa pada kicauannya sendiri&
O0-dw-oO 21, Keributan di Bandar Tuban
Hari ini warung Yakub nampak terbuka. Langganannya hanya seorang: Tholib Sungkar Az-Zubaid Syahbandar Tuban. Ia duduk di pojokan mencangkungi cawan arak. Yakub sendiri di seberang meja dengan mata tak tenang, berdiri dengan diam-diam, bukan karena menunggu langganan yang tak kunjung datang.
Yakinkah tuan kita masih selamat dan tetap akan selamat" tanyanya dengan nada keluh tanpa kepercayaan diri.
Pertanyaan bodoh. Bukankah semua orang tahu, Syahbandar Tuban ini selalu berada di kadipaten"
Syukurlah, Tuan. Jadi sepulang sahaya keadaan masih tetap aman buat si Yakub ini"
Lebih aman daripada di pangkuan ibumu sendiri. Sahaya lebih suka berlayar lagi, Tuan. Bagaimanapun sahaya tak merasa aman lagi. Sekiranya sudah, tuan siapkan surat balasan itu&
Tak ada surat balasan Yakub .
Yakub duduk sambil menghembuskan nafas keluh. Dan Tholib Sungkar tak mempedulikannya. Mereka duduk diam-diam mengikuti pikiran masing-masing.
Ya, memang terlalu sepi, Syahbandar membenarkan keluhannya. Tapi kau hidup dari air dan dari darat, dari tuak, arak dan penipuan.
Ah, Tuan Syahbandar Tuban, hanya untuk jasa-jasa tuan si Yakub celaka ini beberapa kali harus meloloskan diri dari maut dengan pertolongan Allah saja.
Cukup baik. Tuban takkan melupakan jasa-jasamu. Bagaimana jadinya bandar ini. Tuan"
Seperti kau tak tahu saja. Sebentar lagi akan ramai kembali.
Seperti kuburan begini sepinya, Tuan. Tak mungkin hanya Tuan dengan Yakub menghabiskan arak ini. Kau belum lagi bercerita, Yakub.
Hanya satu yang sahaya dengar di Blambangan sana. Katanya Peranggi sudah menaklukkan sebuah pulau di Nusa Tenggara sana .
Dia bisa lakukan apa saja yang dia kehendaki. Kira-kira karena kapal-kapal Gresik terlalu berani menerobos ke Maluku pedagang-pedagang rakus yang bodoh itu. Kalau Peranggi membuka pangkalan baru di Nusa Tenggara, tentu untuk menghadapi mereka yang gegabah itu. Dan aku kira bukan hanya satu, tapi sudah banyak pulau yang didudukinya .
O, itu mulai kelihatan orang berdatangan, seru Yakub pelahan, tapi dari nada suaranya tetap terdengar kegelisahan hatinya.
Tholib Sungkar menengok ke arah jalan raya. Dilihatnya orang-orang itu berjalan menuju ke bandar tanpa menengok ke arah warung.
Tak ada yang singgah ke mari nampaknya. Kelihatan makin banyak saja yang datang, Tuan. Ada apa gerangan"
Tetapi Tholib Sungkar Az-Zubaid sudah mencangkungi cawannya lagi, berkata: Ada apa" Takkan ada apa-apa. Orang-orang bodoh itu. Tak tahu apa bakal terjadi. Hampir sama dengan hewan, Yakub membenarkan. Perbedaannya sudah nampak sebagai cetbang dengan meriam. Kau sudah lihat sendiri meriam itu, kan" Ya begitulah cetbang, dan begitulah meriam, Syahbandar Tuban menggeserkan tongkat dari tangan untuk bertepuk senang. Rajanya dungu rakyatnya pandir. Satu kitab pun tak pernah ditulis. Kerajaan kecil dungu begini tidak berhak hidup di jaman meriam ini, Yakub.
Memang meriam saja yang menentukan dunia sekarang ini, Tuan. Dan bangsa-bangsa dari utara sana akan selalu berada di atas mereka kelak, Tuan. Minum, Tuan araknya.
Syahbandar Tuban meneguk. Yakub kembali memperhatikan orang-orang yang makin banyak juga menuju ke bandar.
Dan biadab! Syahbandar menambahi. Arakmu cocok sekali hari ini .


Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Untuk Syahbandar Tuban terbaik, arak terbaik. Memang biadab. Tuan 1 Sang Patih, Tuan, orang ke dua, dibunuh begitu saja. Mayatnya dibiarkan menggeletak busuk di alun-alun, dirubung lalat, burung, dan dirobekrobek anjing. Dan tiada seorang Islam pun memeliharanya. Dan mereka mengaku Islam pula, Tuan.
Sudah selayaknya& orang-orang jahil, bodoh itu. Tahukah Tuan, cetbang-cetbang dipasang di sekeliling bandar, di balik semak-semak" tiba-tiba Yakub mengalihkan percakapan.
Siapa yang tidak tahu" Uh, apa artinya cetbang" Sahaya kuatir, Tuan. Keadaan begini sunyi. Sahaya lihat sendiri kapal-kapal perang Tuban pada berlabuh di Gresik. Orang-orang Gresik pada bernafsu untuk menyewanya ke Maluku.
Tentu tak ada yang menyewakan. Memang tak ada, Tuan.
Tuban hanya menunggu giliran saja. Yakub. Apa lagi yang kau kua-tirkan"
Boleh jadi Demak sana membantu.
Mula-mula Yakub hendak menuntut upah untuk keterangannya. Tak jadi. Kegelisahan sendiri dan keamanan yang tergantung pada jaminan Tholib Sungkar Az-Zubaid menyebabkan ia mengendalikan diri. Kemudian memulai dengan ragu-ragu.
Di Jepara sedang terjadi sesuatu, tuan.
Syahbandar Tuban itu pura-pura tidak berminat, tetapi matanya yang bulat itu melirik sekejab di bawah keningnya.
Tentu saja, sambutnya tak peduli untuk mencegah keluarnya upah. Masa seorang Syahbandar bisa tidak tahu" Lagi pula kau sudah terlalu banyak mendapat uang dari pundi-pundiku, katanya lagi pura-pura tidak tertarik.
Biar pun sahaya sudah banyak menerima dari Tuan. Biar pun Tuan sudah tahu, rasa-rasanya& , akhirnya Yakub tak dapat menahan nafsu untuk mendapat upah juga, rasa-rasanya Tuan perlu juga mengeluarkan barang sereal. Tidak. Tidak rugi Tuan. Yakub tak pernah merugikan orang.
Jangan terlalu rakus, Yakub, Syahbandar menasihati, katakan saja apa yang kau ketahui. Barangkali tidak cocok dengan yang kuketahui dengan sebenar-benarnya.
Suatu keributan menghentikan pembicaraan. Yakub berdiri dan gugup. Tholib Sungkar meneguk arak.
Apa itu. Tuan Syahbandar" mata Yakub menjadi liar. Lihat, Tuan, ia menuding ke jalanan. Berdua mereka keluar dari warung dan melihat kuncir Liem Mo Han di balik punggung, juga berjalan ke arah bandar.
Masyaallaaaaah! teriak Syahbandar waktu dilihatnya sebuah kapal Peranggi telah berlabuh dan mengikatkan tali pada patok dermaga. Sudah gila penunggu menara itu! teriaknya dan lari tertatih-tatih seperti orang gila menuju ke pelabuhan.
Berpuluh-puluh orang tak dikenal telah padat memenuhi dermaga. Dan Syahbandar Tuban tak dapat melihat apa yang sedang terjadi di antara padatan orang itu dengan kapal. Ia hanya dapat berteriak-teriak di belakang padatan untuk minta jalan. Di depannya orang berteriak-teriak lebih keras lagi. Ia mencoba menguak dan menerobos. Sia-sia. Dan ia sudah dapat bayangkan nakhoda dan anakbuah kapal itu sedang turun tapi dihalang-halangi oleh mereka.
Padatan orang itu kemudian diketahuinya bersenjatakan tongkat kayu.
Ia melihat Liem Mo Han menelisip di antara mereka dan menjadi bagian dari mereka. Kemudian bukan hanya punggung dan kuncirnya, juga seluruh badannya hilang di dalam kepadatan manusia itu.
Minggir! Minggir! sayup-sayup ia dengar teriak seorang Portugis dalam Melayu. Panggilkan Syahbandar. Francisco de Sa perlu dilayani.
Syahbandar tak ada! teriak yang lain menjawab. Syahbandar sudah mampus! teriak yang lain. Mendengar itu Tholib Sungkar Az-Zubaid naik pitam. Dengan tenaga lemahnya ia menguak-nguak lagi di sana dan di sini, juga tanpa hasil. Ia angkat tinggi-tinggi tongkatnya dan menegakkan bongkok berjalan kian ke mari penasaran, berteriak: Ada di sini Tuan Syahbandar! Ada di sini!
Seruan-seruan dari padatan manusia itu seperti disengaja menenggelamkan teriakannya. Ia mulai menarik dan mendorong, menyerudug dan menerobos. Kekuatannya tak mencukupi.
Sini Syahbandar, Tuan Syahbandar! pekiknya. Sekarang ia melonjak-lonjak seperti burung gereja. Dan tangannya melambai-lambai. Tongkatnya pun berkibarkibar. Dan tetap sia-sia.
Beri jalan! pekik Francisco de Sa. Portugis akan temui Sang Adipati.
Gusti Adipati tak menerima siapa pun! orang berteriak berbareng dengan berbagai cara dan nada.
Kembali kalian, Peranggi!
Ayoh, kembali! Bukan cara Portugis diperlakukan begini! pekik de Sa. Tuan Syahbandar ada di siniiiiiiii! Tholib Sungkar meraung. Ia kembali menguak dan menyibak, menyerudug dan mendorong. Tetap tanpa hasil. Buka jalan untuk Tuan Syahbandar!
Pagar manusia di depannya tidak menggubris, bahkan menengok ke belakang dan menertawakannya beramairamai.
Sekarang Syahbandar itu berseru-seru dalam Portugis: Tuan-tuan, Tuan Syahbandar ada di sini, sambil mengangkat tongkat dan melonjak-lonjak lagi seperti burung gereja.
Francisco de Sa di depan sana naik pitam. Kulitnya yang kemerahan nampak jadi coklat. Cuping hidungnya kembang-kempis.
Yesus! Bunyikan meriam! perintahnya dalam Melayu. Beri jalan! raung Jesus Laslo, pengiringnya. Kalau tidak kami akan buka dengan cara kami sendiri, dalam Melayu.
Orang bersorak-sorai menertawakan dan mengejek. Jangan ragu-ragu, perintah de Sa dalam Portugis, kembali dan bu nyikan.
Kalian Peranggi! tuding Liem Mo Han dalam Portugis, yang letak kan kekuatan pada meriam semata. Lepaskan semua pelurumu. Habiskan semua obatmu!
Siapa bicara Portugis itu" tanya Francisco de Sa melotot. Katakan pada anjing-anjing ini, Portugis akan menembak!
Kami bisa menembak kalian lebih dulu. Pergi! Tinggalkan Tuban! jawab Liem Mo Han.
Kembali orang bersorak-sorai malahan berjingkrak. Melihat pembesarnya berada dalam bahaya, awak kapal Portugis mulai mengalir turun dari kapal membawa segala macam alat yang dapat diambil. Mereka tak membawa musket.
Melihat awak kapal turun hendak menyerang padatan manusia itu mulai memainkan tongkat mereka dan mengusir, memaksa dan menyorong mereka kembali ke kapal.
Orang pun meraung-raung senang sambil memainkan tongkat.
Awak kapal yang belum mendapatkan daratan di bawah kaki bercepat masuk ke dalam kapal di bawah hujan tongkat. Juga Francisco de Sa dan Jesus Laslo tidak urung terpaksa masuk ke kapal juga.
Seseorang di antara padatan manusia itu melepaskan tali kapal. Orang makin ramai bersorak berjingkrak melambailambaikan tongkat dan tangan, berteriak-teriak.
Pergi! Ayoh pergi! Kembali ke Malaka! Kembali ke Peranggi! Tinggalkan Tuban!
Kapal celaka! Pergi! Kapal Portugis itu memasang layar. Tak ada seorang pun di antara mereka mencoba menyerbu masuk ke dalam. Dan kapal itu mulai bergerak menjauhi dermaga. Di dermaga sendiri orang terus juga meledak dan mengejek.
Francisco de Sa akan datang lagi! teriak Portugis itu. Awas!
Setelah kapal bergerak ke tengah, seperti diperintahkan oleh tenaga gaib orang-orang di dermaga itu mulai berlarian meninggalkan pelabuhan, menubruki para pedagang yang juga berlarian hendak datang berjualan. Barang-barang mereka berpelantingan kocar-kacir, ayam-ayam bebas berterbangan dan kambing dan babi mendapat kesempatan untuk ikut berjingkrak dengan majikannya.
Waktu orang-orang bertongkat sudah lenyap dari pelabuhan, para pedagang mengumpulkan barang dagangannya yang berantakan. Tak banyak jumlah mereka. Dan selain menemukan semua barang sendiri mereka menemukan juga tuan Syahbandar Sayid Habibullah Almasa-wa tertelungkup di lebuan sehabis terinjak-injak oleh orang banyak.
Seseorang menolongnya berdiri dan membersihkan lebu yang melekat pada kulit dan pakaiannya.
Tongkatku! perintahnya. Orang menemukan tongkat itu tanpa kerusakan dan menyerahkan ke padanya. Ia menerimanya dengan memberengut.
Tarbusku! perintahnya lagi.
Orang tak mengerti maksudnya, dan Syahbandar naik pitam.
Tarbus! Goblok, waktu dilihatnya tarbus itu menggeletak penyok di pinggir jalan, hilang warna merahnya berganti dengan coklat muda lebu, ia berjalan terseok-seok mendekatinya, berjongkok sambil memijit! punggung dan mengambilnya, membersihkannya dari lebu, kemudian menciumnya.
Pedagang-pedagang pada mengutuk dan memaki meninggalkan daerah bandar.
Tinggallah dia: Syahbandar Tuban Tholib Sungkar Az- Zubaid alias Sayid Mahmud Al-Badaiwi alias Sayid Habibuliah Almasawa. Ia berdiri mengenakan tarbusnya kembali berjalan terpincang-pincang bertun-jangan pada tongkatnya.
Dibalik semak-semak di luar pelabuhan cetbang-cetbang bikinan pandai besi Trantang yang bergelang-gelang itu telah ditujukan pada kapal Portugis. Dan lambat-lambat tapi pasti kapal itu mulai semakin jauh meninggalkan jarak tembak. Dari kejauhan nampak tinggi, besar, dengan ornamen haluan yang indah lagi gagah.
Dan kalau orang mengalihkan pandang dari kapal itu pada pelabuhan akan nampak olehnya seorang jangkung agak bongkok, setengah baya, bertarbus merah, berdiri seorang diri di dermaga menghadap ke laut, dan kapal Peranggi yang sedang menjauh. Dengan tangan kanan ia melambai-lambaikan tangan memanggil kembali kapal tersebut dan dengan tangan kiri bertelekan pada tongkatnya.
Kapal itu tak memperhatikannya. Dan ia menyumpahnyumpah dalam semua bahasa yang dikenalnya, dari yang paling enteng sampai yang paling mesum. Kapal itu tetap tak peduli dan semakin menjauh.
Di sini Syahbandar! Di sini Tuan Syahbandar! suaranya parau menghiba-hiba.
Sekarang imbauan Syahbandar dijawab oleh kapal. Meriam melemparkan peluru-pelurunya ke bandar. Bondongan tembakan pertama menyebabkan Tholib Sungkar Az-Zubaid terjerembab ke labuhan. Peluru-peluru mendesis ke atas kepalanya dan suara gemerasak menghancurkan atap-atap bangunan pasar. Bondongan tembakan kedua memaksa Syahbandar merangkak-rangkak sambil menyeret tongkat. Peluru-peluru itu memporakporandakan gudang-gudang pelabuhan. Ia rebahkan kembali kepalanya ke tanah, menengok ke kiri dan memanggil-manggil Tuban. Mukanya yang tipis berhidung panjang bengkung itu menghadap ke warung Yakub. Pewarung itu tidak kelihatan.
Bondongan peluru yang ke tiga membikin Tholib terpelosok pada tangannya dan terguling ia dari rangkakannya.
Sebuah di antara peluru-peluru itu masuk ke dalam warung tidak melalui pintu, melalui dinding, gemerasak menerjang papan dan gemerincing menerjang cawan-cawan arak dan barang-barang dagangan.
Bondongan tembakan ke empat membikin Syahbandar itu berhenti dari rangkakannya. Sebuah peluru jatuh di depan kamar kerja kesyahbandaran.
Kemudian Portugis menghentikan tembakannya. Dari daerah pinggiran pelabuhan cetbang-cetbang mulai menyambut kedentaman. Peluru-peluru beterbangan seperti bintang-bintang beralih berbuntut api dan berkepala ledakan, berletusan di udara atau jatuh ke laut. Tak sebutir pun mencapai sasaran.
Syahbandar Tuban nampak tak bergerak lagi. Ia diam tertelungkup di atas lebuan. Ia mengucapkan syukur Alhamdulillah, karena yakin tak ada sepasang dan sebelah mata pun jadi saksi atas kemudaratannya. Bibirnya tak henti-hentinya berkomat-kamit.
Di daerah pinggiran pelabuhan, Braja bertolak pinggang mengawasi peluru-pelurunya yang berterbangan sia-sia. Dengan sekali gerak ia mengungguli pemandangan itu. Ia kepalkan tangan jadi tinju, membalik lagi dan mengacukan tinjunya pada kapal Portugis yang makin menjauh.
Dari belakangnya ia dengar beberapa orang mulai menyumpahi pandai-pandai Trantang. Kemudian ia dengar juga yang lain mengutuki pandai-pandai peluru.
Waktu ia menengok ke belakang dilihatnya dua orang sedang tenggelam dalam bisik-bisik. Dan mereka nampak kaget terpandangi oleh pemimpinnya.
Jangan punya pikiran buruk terhadap Senapatiku, tegurnya. Memang dia orang desa namun dia lebih daripada hanya kalian. Tutup mulut kalian.
Walau demikian ia sendiri merasa berkecil hati melihat cetbang tak mampu menandingi meriam. Dan dengan perasaan itu pula ia berjalan ke bawah sebatang pohon. Dituliskannya sepucuk surat di atas lontar, menghapuskannya dengan jelaga yang tersimpan dalam daun pisang kering dalam ikat pinggangnya.
Cari Senapati sampai dapat, perintahnya pada dua orang yang tadi berbisik-bisik. Sampaikan lontar ini. Braja menunggu di tempat. Pergi.
Setelah menerima lontar, dua orang melompat ke atas kudanya, memasuki kota, kemudian ke pedalaman. 0o-dw-o0
22. Pertempuran Penentuan
Pasukan gajah itu terjebak masuk ke dalam perangkap. Parit di depannya lebur, curam dan berair. Tanah di bawah kaki terlalu berlumpur dan licin. Dari semak-semak di seberang parit anak panah api berlepasan seperti bintang beralih. Dan api yang dilemparkan itu jauh lebih besar daripada sebelumnya. Kini diketahui tentara Rajeg menggunakan alat pelempar api.
Binatang-binatang raksasa itu berlarian gugup tak terkendali.
Seperti bunyi gunung rubuh dari seberang parit beratusratus kentongan bambu dipukul berbareng.
Binatang-binatang raksasa itu bingung.
Dari kubu kayu di atas gajahnya Kala Cuwil memberi isyarat dengan tombak pimpinan, memerintahkan agar segera meninggalkan tempat itu.
Tak terdengar sorak-sorai balatentara Tuban. Sebaliknya tentara Rajeg di balik semak-semak di seberang parit bersorak dan bergalau dengan ratusan kentongan suaranya riuh rendah membelah langit. Dengan bingungnya gajah-gajah pasukan yang ditakuti itu akan membunuh pasukan kaki pengiringnya, menolak pasang dan berlari-larian liar merusak tubuh balatentara sendiri.
Mundur! Cepat mundur! pekik Kala Cuwil sambil menaik-turunkan tombak dengan kedua belah tangan.
Di sampingnya berdiri Wiranggaleng yang mencoba menembusi balik semak-semak di seberang parit dengan pandangnya.
Tak pernah pasukan gajah Tuban terusir seperti ini. Senapatiku. Dalam cerita mana pun tak pernah ada. Memalukan, gumam Kala Cuwil. Dan hanya melawan orang desa!
Husy. Bukan soal mau atau tidak, orang desa atau orang kota. Sebentar lagi meriam mereka akan menyerang. Sungguh bagus gajah-gajah ini pada berlarian.
Pasukan kaki pengiring gajah dengan ragu-ragu menjauhkan diri dari binatang-binatang yang gugup takut itu. Tanah yang licin berlumpur di bawah kaki sebentarbentar menyebabkan orang jatuh tergelincir. Gajah-gajah itu dapat menginjak mereka.
Beberapa ekor yang agak dapat dikendalikan bergerak menuju ke ujung-ujung parit untuk sampai pada musuh. Tapi Kala Cuwil dengan tombak pimpinan mencegah mereka meneruskan niatnya dan memerintah mundur sama sekali.
Waktu akhirnya binatang-binatang itu dapat diundurkan dengan susah-payah, peluru-peluru meriam berjatuhan di ujung-ujung parit yang telah dikosongkan. Peluru-peluru itu kemudian juga berjatuhan tepat di tengah-tengah medan jebakan.
Seekor gajah yang terkena pada pinggulnya tersuling sambil jatuh ke samping. Seperti dituangkan prajuritprajurit yang berada di dalam kotak kubu terlontar ke bumi dan tak bangun lagi. Binatang yang terkena itu mencoba berdiri, la jatuh lagi.
Dari seberang parit orang bersorak-sorai semakin meningkat. Sorak kemenangan.
Sebuah peluru telah menyambar kotak benteng seekor gajah. Kotak itu pecah. Talinya putus dan isinya bertumpah ke tanah sebelum kotak itu sendiri jatuh. Binatang yang kaget dan tanpa pawang itu lari, lari gila ke mana dia suka tanpa bisa dihalang-halangi.
Kala Cuwil dengan tombak pimpinan terus sibuk memberikan perintah mundur.
Gajah yang terkena peluru itu sambil bersuling-suling marah dan kesakitan mencoba lagi berdiri. Sia-sia. Sulingnya makin lama makin pelahan, kemudian terhenti dan berganti dengan suara terhisak-hisak. Dari matanya menetes airmata. Dan makin lama ia makin jauh ditinggalkan oleh yang lain-lain. Meriam berhenti menembaki.
Di luar dugaan, dengan alat-alat yang telah dipersiapkan, tentara Rajeg keluar dari semak-semak, menyeberangi parit dengan jajaran bambu, memasuki perangkap dan mulai mengejar. Anak panahnya berhamburan seperti hujan.
Banteng Wareng menghampiri gajah Senapati sebagaimana telah diperintahkan kepadanya.
Kudamu takut pada api" tanya Senapati Tuban. Takut, Senapatiku. Tapi nampaknya mereka telah berhenti bermain api. Mereka menggunakan anak panah biasa.
Keluarkan pasukanmu dari persembunyian. Gajah mundur, kau maju. Tunggu sampai sebagian terbesar mereka turun mengejar. Serang mereka dari belakang. Mereka membutuhkan waktu untuk melemparkan apinya. Gajah akan berbalik lagi.
Seperti angin Banteng Wareng lari tanpa kesulitan di atas tanah basah berlumpur untuk menjemput pasukannya yang bersembunyi di dalam hutan.
Waktu seluruh pasukan gajah telah meninggalkan medan jebakan, kecuali yang telah terkapar, dan telah keluar dari jarak tembak meriam, muncullah pasukan kuda Banteng Wareng, langsung berpacu dalam bentuk supit udang, membiarkan pasukan gajah berlalu di tengah-tengah. Mereka memasuki medan melalui pinggiran jebakan, di atas tanah basah, berlumpur dan licin. Tapi untuk kaki kuda sama sekali tiada halangan. Cambuk perang bergeletaran.
Tentara Rajeg yang sedang menyeberangi parit di atas titian bambu, segera berbalik kembali lari ke tempat asal sambil memperingatkan teman-temannya.
Di dalam jebakan tentara Rajeg tak dapat melarikan diri di atas tanah berlumpur itu. Mereka bergerak lambat seperti kepiting. Lumpur yang menghilangkan kesetimbangan. Orang berjatuhan terpeleset dalam jebakan sendiri dan jadi mangsa pedang dan cambuk perang. Pekik-jerit yang memilukan menggantikan sorak-sorai.
Dengan kembalinya pasukan gajah memasuki medan jebakan, gerakan penumpasan dimulai. Meriam tak lagi bersembunyi. Dan hujan lebat jatuh kembali.
Apa boleh buat, Wiranggaleng bergumam, penumpasan ini akan mematahkan kekuatan mereka.
Tentara Tuban pelarian belum lagi mereka turunkan, Senapatiku, Kala Cuwil memperingatkan.
Mahmud Barjah takkan sebodoh itu melepaskan anakbuah terbaik dalam pertempuran murahan begini. Dia membutuhkan untuk kemenangan dan keamanannya sendiri. Lihat Kala Cuwil, aku tak suka pada penumpasan ini tapi apa boleh buat, yang sekali tak bisa dihindari lagi. Kekalahan mereka selama ini, dan kegagalan bertubi, dengan penumpasan ini moga-moga akan mematahkan mereka sama sekali.
Tidak patut Senapati berbelas kasihan.
Mereka ini hanya petani-petani seperti aku, Kala Cuwil, yang berubah jadi pesuruh di tangan Rangga Iskak, ia menarik napas panjang. Boleh jadi ada di antara mereka itu sanak dan kenalanku sendiri.
Apa boleh buat. Ya, apa boleh buat. Dan setelah ini tinggal prajuritprajurit sejati saja masih akan berlawan.
Tergubal pada lumpur dan hujan tentara Rajeg ini terjebak dalam jebakan sendiri. Mereka tak dapat berbuat sesuatu pun sebagai prajurit dalam perang. Membawa diri sendiri pun sudah sulit.
Menjelang jatuhnya malam tentara Rajeg di dalam jebakan itu ditumpas oleh pasukan kuda Banteng Wareng dan pasukan gajah Kala Cuwil tanpa dapat melawan. Dan malam itu hujan berhenti.
Langit merah dan bulan pun mengambang dengan manisnya. Balatentara Tuban telah mesanggrah jauh dari bekas medan perang.
Pada malam seperti itu utusan Braja datang menghadap Wiranggaleng, menyampaikan beberapa lembar lontar. Mereka berdiri di luar gubuk menunggu dipanggil masuk.
Duduk di antara kepala-kepala pasukan Senapati membacanya dalam hati. Sebentar saja. Dipanggilnya dan orang utusan itu masuk, dan di hadapan para kepala pasukan ia berkata: Ketahuilah, dalam soal meriam memang belum ada yang dapat menandingi Peranggi. Kita akui kenyataan itu tanpa harus berkecil hati, Kita memang hanya punya cetbang, dan hanya itu yang kita miliki. Jangan kalian punya pikiran Senapati hendak memerintahkan kalian berperang melawan meriam Peranggi. Kita akan melawan meriam Peranggi dengan cara-cara yang nanti akan kita cari. Pasukan pengawal pasukan Braja, aku tugaskan untuk menjauhkan Peranggi dari pantai sebelum Rangga Iskak kalah, bukan untuk melawan meriam mereka. Kalau cara-cara menghadapi mereka tak juga dapat ditemukan, kelak kita akan hadapi mereka di darat. Balik kau pada Braja, sampaikan katakataku ini dan jangan ada seorang pun yang berkecil hati, hanya karena cetbang tak dapat kalahkan meriam. Setelah mereka pergi baru ia tanyai Rangkum: Bagaimana menurut perhitunganmu" Apakah tentara Rajeg sudah banyak kehilangan kekuatannya" Terlalu banyak, Senapatiku.
Tinggal berapa kiranya kekuatannya" Kira-kira masih cukup untuk bertempur dua kali. Dua kali! Senapati Tuban mengulangi. Bagaimana pendapatmu Banteng Wareng"
Melihat kuatnya tekanan yang ditindaskannya pada kita, kira-kira aku menyetujui pendapat Rangkum.
Apa pun kekuatannya, Kala Cuwil menambahi, yang tersisa sudah tidak akan lebih kuat.
Dua kali pertempuran lagi , Senapati mengulangi katakata Rangkum. Itu tidak banyak. Menurut perhitunganku mereka masih mencadangkan satu induk dengan tentara Tuban pelarian sebagai inti. Setidak-tidaknya kita menyetujui, di hadapan kita masih ada pertempuran penentuan.
Pasukan kaki mengalami banyak kerusakan hari ini, Senapatiku.
Ya, aku sudah melihat. Biar pun demikian, Rangkum, sebagian pasukan yang hari ini tidak bergerak, aku perintahkan menyisiri daerah seberang parit sampai menjelang fajar dengan menggunakan pertolongan bulan. Bila besok matahari terbit aku harap kalian sudah dapat temukan meriam-meriam itu. Pasukan-pasukan tidak beristirahat di tengah jalan sebelum fajar.
Dan pasukan kaki itu bergerak dengan pelan dan diamdiam di atas tanah yang licin berlumpur, di bawah terang bulan dan langit yang cerah.
Untuk pertama kali kekuasaannya Rangga Iskak mulai merasa hidup di bawah bayang-bayang orang lain: Mahmud Barjah. Selama jadi Syahbandar, sang Adipati pun tak pernah dirasainya sebagai atasannya, lebih banyak sebagai sekutu dan sahabat dalam mengeduk keuntungan dari laut dan bandar. Mahmud Barjah lain. Ia jelas jawabannya tetapi dengan pasukan yang ada di tangannya, ia tumbuh jadi kekuatan yang mengancam kekuasaannya. Dan ia tak berbuat sesuatu apa terhadapnya. Pasukan lebih mendengarkan dia daripada dirinya.
Sekarang Panglima Rajeg itu semakin membikin hatinya cemburu. Beberapa kali Mahmud telah menolak panggilannya. Sudah lama tak muncul di Rajeg. Ia selalu berada di tengah-tengah anakbuahnya yang berasal dari Tuban.
Rangga Iskak alias Iskak Indrajid, Kiai Benggala Sunan Rajeg merasa kewibawaannya mulai surut. Pengaruhnya terhadap penduduk, yang telah dibangunkannya siangmalam kini dengan sangat mudah tanpa kerja, diambil begitu saja oleh Mahmud Barjah.
Pernah terpikir olehnya, untuk memulihkan kewibawaannya hanya ada satu jalan terbuka baginya: menyingkirkan anak muda itu. Tetapi bagaimana jalannya" Panglima itu selalu berada di tengah-tengah anakbuahnya. Anakbuahnya dengan dia mempunyai satu ikatan nasib di hadapan Tuban, tetapi tidak punya ikatan mesra dengannya sebagai seorang Sunan. Mereka lebih dekat pada Panglimanya.
Dan dengan gemas ia menyadari, kini ia menjadi tergantung padanya tanpa semau hatinya sendiri. Balatentara Rajeg pun telah menjadi jarijari pada lengan Sunan.
Manan dan Rois, andal-andalannya selama ini, juga lebih mendengarkan Mahmud.
Dan batuk yang suka menyambar-nyambar dadanya itu pun tidak kurang memusingkan.
Bila ia renungkan segala sesuatu yang terjadi, ternyata kurang sesuai, kadang banyak pertentangan dengan segala yang diimpikannya selama ini. Dan bila ia renungkan segala yang diimpikannya, kadang ia dikejutkan oleh kenyataan, bahwa sesungguhnya maksud untuk menghalau Adipati Tuban sebagai pelepasan dendam terhadapnyalah sesungguhnya yang mendorong mengangkat diri jadi Sunan ini. Persoalan Peranggi, Hindu Blambangan, Hindu Pajajaran, Islam Demak, yang hendak ditiadakannya, hanyalah pembenaran belaka atau maksudnya yang pertama-tama.
Dan semua bangunan impian ini bisa runtuh berantakan sekali Mahmud Barjah menyentuhnya dengan sebuah saja di antara jari-jarinya. Bukan hanya kedudukan Sunan, juga tahta dan mahkota Tuban lebih dekat pada tangan Mahmud daripada Sunan.
Sekarang ia sudah mulai memastikan kalau Panglima Rajeg berhasil menaklukkan Tuban, dia tak mungkin menyerahkan tahta dan mahkota itu pada Sunan. Dia akan marak sendiri, dan pasti akan lebih busuk daripada Adipati Tuban sendiri. Dia hanya orang kecil yang tak pernah menikmati kekuasaan besar. Sekali kekuasaan besar itu tergenggam olehnya, segala nafsu-nafsu hewannya akan membuncah tanpa kendali.
Dan Rangga Iskak menilai dirinya jauh lebih baik dan jauh lebih berpengalaman, lebih berilmu daripada sepuluh atau lima puluh orang semacam Mahmud Barjah. Tahta dan mahkota Tuban lebih layak jadi miliknya. Ia tak dapat melupakan tingkahlaku Panglima waktu menghukum Manan dan Rois, hanya karena mereka berdua telah menembakkan meriam atas perintahnya. Ia masih dapat mengingat airmuka orang muda itu yang melecehkan perintahnya.
Keadaan memang berkembang tidak sebagaimana ia kehendaki.
Kalau yang itu juga yang terjadi, ke manakah dan di manakah mukaku akan kusembunyikan" Tempat yang masih terbuka untuk dapat menaungkan diri adalah Demak satu-satunya kekuasaan Islam yang nyata. Tapi musafirmusafir Demak itu tentu sudah melaporkan pada atasannya bagaimana sikap Sunan Rajeg terhadap Al-Fattah dan Semarang. Majelis Kerajaan Demak kira-kira sudah mempunyai sikap pasti akan dirinya.
Untuk menghibur diri sendiri ia harus mempunyai patokan baru, titik tolak baru, untuk menyusun kembali sikap dan perbuatan yang akan datang. Dan patokan itu ialah Rangga Iskak Kiai Benggala Sunan Rajeg adalah seorang pribadi yang lebih baik, lebih berpengetahuan dan lebih berilmu daripada siapapun di Jawa ini, maka jatuhnya tahta dan mahkota Tuban pada dirinya berarti berkah bagi seluruh kawula Tuban, untuk kemenangan Tuban dan agama. Maka semua yang menghalangi sikap dan perbuatannya adalah juga musuh yang dikalahkan dan untuk dibasmi.
Dan musuh pertama yang muncul dalam pikirannya justru Mahmud Barjah.
Dari titik tolak itu ia telah bertekad hendak meracun Panglima dengan racun Benggala yang terkenal ditakuti di banyak negeri. Ia akan meracunnya dengan hati-hati agar anakbuahnya tidak punya syak terhadap dirinya. Kalau dia sudah tersingkirkan, Manan dan Rois akan menjadi tangan kanan dan kirinya, dan semua akan beres.
Tekadnya itu terguncang, ia menjadi bimbang. Pada suatu malam tak terduga-duga Panglima Mahmud Barjah datang menghadap.
Sunan mengambil sikap yang sangat hati-hati terhadap orang muda itu. Dan ia berjanji tidak akan memberinya sesuatu bantuan bila dia membutuhkan. Ia pun berjanji takkan bertanya sesuatu tentang jalannya perang. Ia harus menegakkan kewibawaannya. Dengan mengangkat suaranya yang dianggapnya mengandung kepemimpinan ia bertanya lunak: Anakku, bukankah semestinya Tuban sudah jatuh ke tangan kita sekarang ini"
Betul, Paman Sunan, sekiranya laskar depan kita tidak terpancing oleh Banteng Wareng dalam pertempuran pertama, jawab Mahmud tenang.
Bukankah tentara Tuban yang sebenarnya terpancing" Betul, Paman, mula-mula mereka, kemudian kita. Tak bisa tidak pembicaraan akhirnya berkisar soal jalannya perang juga.
Bukankah kau belum lupa, kita harus memasuki Tuban sebelum Peranggi masuk" Itu kau sendiri yang telah tentukan. Peranggilah musuh sesungguhnya.
Tidak keliru, Paman Sunan.
Jadi kapan Tuban dapat dimasuki" , Kekuatan inti kita belum lagi bergerak.
Betul anakku, tetapi sekarang ini kita yang kena serang terus-menerus, belum pernah menyerang. Kapan kau menyerang"
Mahmud Baijah tak segera menjawab, dan Sunan Rajeg pun tak mendesaknya. Mereka berhadap-hadapan sebagai orang lain, bahkan satu sama lain seakan baru saja mengenal.
Sunan Rajeg mengawasi wajah orang muda itu, yang pada suatu kesempatan tertentu mau tak mau harus ia singkirkan, dengan jalan apapun, sehalus dan selicin mungkin. Orang ini tak akan nikmati hidup mudanya demi kemenangan ajaran. Dia akan jadi korban syahid.
Belum lagi tahu, Paman Sunan, jawab Mahmud. Tentara Tuban terus bergerak tidak menentu. Siang dan malam. Sunan diperkirakan tujuannya.
Kalau begitu tinggalkan mereka gentayangan mencari kita di perdalaman. Kita mencari jalan lain masuk ke Tuban tanpa sepengetahuan mereka. Semua tak ada yang tinggal.
Mahmud Barjah mengangkat muka dan dengan terheranheran menatap Sunan Rajeg. Ia lihat uban pamannya itu telah semakin banyak juga. Ia menguji mata orang yang lebih tua dari ayahnya sendiri itu adalah yang dikatakannya bermain-main atau bersungguh-sungguh. Tetapi ia tidak mengiakan.
Sebaliknya Sunan Rajeg melihat juga orang muda itu sudah nampak kurus, jenggot dan kumisnya kering, kotor dan mesum. Pada bibirnya tak ada lagi senyum yang melecehkan seperti dulu. Bibir itu kini selalu tertarik tegang.
Mahmud Barjah tak bicara lagi kecuali minta diri, tanpa mengatakan sesuatu apa yang hendak diperbuatnya.
Sunan Rajeg mempunyai dugaan terhadap sikapnya, pertama, orang muda itu karena pengalaman perangnya dalam waktu pendek sekali telah menjadi masak dan sedang menyiapkan dirinya menjadi gunung berapi yang tak dapat diduga kapan akan meletus dan menyemburkan lahar. Ke dua, ada kemungkinan ia sudah merasai akan datangnya ajal.
Tentang Mahmud Barjah ini ia harus menyediakan waktu khusus untuk memikirkannya dengan mendalam& .
Dengan menyampaikan gagasan mendadak di bidang ketentaraan pada Mahmud, ia merasa keunggulannya menjadi pulih. Mahmud sendiri tak pernah punya gagasan semacam itu. Dan dengan perasaan unggul yang pulih ini dengan agak senang ia menduduki tempatnya di atas permadani pendopo.
Di pelataran sana orang sudah pada duduk berjajar-jajar di atas tikar bawaan masing-masing. Suaranya kembali jadi lantang penuh kepercayaan diri dan itu berarti juga pada pertimbangan-pertimbangan semula. la telah mulai dengan gaya dan caranya yang lama. Kemudian: Mana Mohammad Firman, itu bekas musyafir Demak" Takkan bosan-bosan aku memperingatkan padamu: jangan lagi kau ikut-ikut menyebarkan kebohongan Demak. Adalah takabur menganggap semua orang bodoh tidak tahu sesuatu. Setiap orang yang takabur tidak menggunakan akal yang diberikan oleh Allah kepadanya. Ia tidak menggunakan akal karena ia tak menggunakan pancainderanya sendiri dengan baik. Lihatlah, dengarlah dengan baik segala apa di dunia ini, maka orang akan mendapat pengertian. Dari pengertian itu orang mendapat pertimbangan. Kalau tidak, seperti Demak dan musafir-musafirnya yang takabur, sebenarnya tak mau tentang mula dan tentang kemudian. Itu menyalahi nikmat yang dikaruniakan Allah kepada kita.
Kalian masih ingat waktu armada Dampo Awang benar-benar tak dapat pulang ke negerinya karena pergantian kaisar, bukan" Allah Maha Besar! Maka kapalkapal Islamlah yang kemudian berdatangan dengan damai, juga untuk berdagang rempah-rempah. Kalau armada Dampo Awang tidak kehilangan kekuatan, mungkin sekali kapal-kapal Islam tak ada kesempatan untuk datang ke mari, dan tahu akibatnya" Ialah semua penduduk Jawa ini akan masih tetap kafir jahiliah.
Alhamdulillah, yang itu tidak terjadi. Kapal-kapal Islam datang tidak untuk menaklukkan, tidak untuk menggagahi perdagangan rempah-rempah, tidak merampas dan tidak membajak. Hanya karena di jalan Aliahlah maka kapalkapal ini lebih berhasil daripada armada Dampo Awang dengan kesempatan yang sama. Kemudian Peranggi datang. Dia lakukan segala-galanya yang busuk, termasuk memenuhi apa saja dan siapa saja kecuali keuntungan. Semua dia tembaki kapal Islam, Tionghoa dan Pribumi Nusantara. Kalau semua kendaraan laut binasa hanya Peranggi yang merajai lautnya semua hamba Allah ini. Itu tidak boleh, itu menentang ketentuan Allah, maka kita tidak akan membiarkan Peranggi merajalela. Dia musuh semua bangsa dan semua negeri. Semua saudagar dan nakhoda tahu belaka itu. Dia harus dihalau. Bumi ini diciptakan Allah untuk semua bangsa, bukan untuk Peranggi saja. Kunci untuk mengalahkan Peranggi ini sederhana saja: lawan dia. Lawan kapalnya, lawan orangnya, lawan ajarannya.
Satu negeri yang tidak melawannya, tidak punya niat untuk itu, seperti Tuban, adalah sama dengan membenarkan Peranggi. Membenarkan dia berarti tidak berada di jalan Allah. Hukumnya adalah musuh. Dan negeri yang mengemis-ngemis persahabatannya, sekalipun hanya dalam hati saja, seperti Adipati Tuban, adalah musuh Allah itu sendiri, karena dia sudah bersekutu dengan iblis.
Memang kekuatan Peranggi ada pada meriamnya. Kuping kita dengar, mata kita melihat, pertimbangan kita mengakui. Maka kita memang harus bisa bikin meriam sendiri. Sebelum bikin, kita harus berusaha mendapatkannya. Dan kita telah mendapatkan dua pucuk dengan jalan yang dibenarkan oleh Allah.
Peranggi juga punya kelemahannya. Selama dia bergerak dengan kapal, maka dia pun tergantung pada bandar. Bagaimana sikap kerajaan bandar itu terhadapnya seperti Tuban" Dan bukankah setiap negeri di Nusantara ini kerajaan bandar" Kecuali Demak, dan karenanya menyerbu Jepara untuk jadi kerajaan bandar seperti yang lain-lain" Karena kerajaan yang bukan kerajaan bandar tidak pernah masuk hitungan" Kalau semua kerajaan bersikap seperti Tuban, seluruh Nusantara pasti jatuh dalam kekuasaan Peranggi. Kalian mengerti"
Dan semua pendengar menjawab mengerti. Syukur Alhamdulillah. .
Syukur Alhamdulillah, semua menggemakan. Maka semua kerajaan bandar yang tidak melawan Peranggi adalah musuh kita, ia terbatuk-batuk. Badannya melengkung, kepalanya diletakkan di atas meja rendah di hadapannya. Dan para tetua tak berani memijitinya. Hanya Mahmud Barjah yang berani lakukan itu, tetapi ia tak ada.
Tetapi ingat-ingat, tidak semua yang memusuhi Peranggi adalah sahabat kita. Orang-orang Tionghoa juga tidak suka pada mereka. Orang-orang Benggala perbegu juga tidak suka. Demak yang katanya Islam itu juga tidak suka itu. Dan mereka semua bukan sahabat kita, ia angkat tangannya untuk meyakinkan. Semua itu memang bisa bersatu melawan Peranggi, termasuk kita Perbegu, Tionghoa dan Islam. Tapi ingat-ingat hanya Rajeg kerajaan Islam pertama-tama bila Tuban jatuh. Ia terengah-engah kehabisan nafas.
Maka itu kalian lantas jadi mengerti mengapa Semarang dan Demak itu satu. Maka itu juga kalian lantas jadi mengerti mengapa kita tidak menyukai Demak. Kita lebih maju daripada Demak& . karena apa yang kita kerjakan selama ini ada di jalan Tuban, bukan di jalan Dampo Awang.
Kanjeng Sunan , seseorang menyela, putra mahkota Demak, Pangeran Sabrang Lor, sekarang Adipati Unus Jepara, telah menyerang Peranggi di Malaka. Kita sendiri belum pernah berbukti menghadapinya. Bukankah itu pertanda mereka jauh lebih maju daripada kita" Sunan Rajeg tertawa melecehkan.
Mari aku ceritai kau, hai bekas musafir Demak. Bukankah kau sudah tahu Sultan Demak Syah Sri Alam Akbar Al-Fattah alias Raden Patah itu bukan orang Jawa" Bukankah kau juga tahu, permaisurinya bukan orang Jawa sesungguhnya" anak perempuan Kiai Ampel. Apakah belum pernah aku ceritai kalian siapa Kiai Ampel" Belum, Kanjeng Sunan .
Baik. Kiai Ampel juga tak tahu bahasa Jawa seperti Sultan Demak. Sunan Rajeg ini lebih tahu, telah bicara dalam Jawa pada kalian selama ini. Dia tak tahu. Kiai Ampel itu. Sampai matinya dia mengajar dalam Melayu Gresik. Dia orang seberang, orang Campa mengakunya, orang Campa yang sudah lama tinggal di Malaka. Anak perempuannya si Aisah, sekarang permaisuri Patah, juga bukan orang Jawa. Nah, mengapa Unus itu menggunakan gelar Jawa Adipati dan disebut Kanjeng Gusti" Karena, walaupun Demak mengaku kerajaan Islam pertama-tama di Jawa, belum lagi satu turunan, kerajaan itu lebih merosot lagi jadi kerajaan Jawa biasa dengan segala gelar dan keprajaannya.
Biar begitu Peranggi telah dihadapinya, dilawannya. Nanti dulu, kau, Mohammad Firman yang berpengetahuan, ceritaku belum lagi selesai. Dengarkan baik-baik. Patah ini menamakan diri Khalifah pertama di Jawa. Gelar yang dia pergunakan gelar Parsi, dan nama ibukotanya sama sekali tak berbau Islam: Glagah Wangi, Bintoro Demak. Bagaimana bisa begitu" Karena memang tak ada sesuatu pun yang bisa diperbuatnya di luar tugas utamanya. Kalian tentu masih ingat tugas utama Demak: melindungi Semarang dari serbuan dari timur. Jadi di luar tugas utamanya semua terserah pada Majelis kerajaan, para wali, para sunan yang itupun sekarang sudah bertentangan satu sama lain. Salah seorang di antara mereka telah mereka bunuh beramai-ramai karena perselisihan berebut pengikut. Dan Sunan Kalijaga cucu Babah Bantong itu, putra Adipati Tuban, kabarnya sudah menghilang entah ke mana. Tak ada yang tahu dia bersembunyi lantaran apa. Boleh jadi ia tak mampu mengatasi perpecahan.
Tidak, anak-anakku, kita jauh, jauh lebih maju daripada Demak. Bila kita telah berhasil mendapatkan Tuban, segera akan kita ubah dengan nama tercinta dalam tarikh Nabi: Yathrib. Dan Demak akan kita majukan jangan sampai terjatuh lagi jadi kerajaan lama yang kafir. Kemudian, anakanakku, Malaka pun insya Allah akan dijadikan oleh Allah akan jatuh ke tangan kita. Jadi&
Belum lagi selesai wejangan itu, seseorang datang padanya dan berbisik pada kupingnya. Sunan Rajeg mendengarkan dengan penuh perhatian, kemudian tertawa dan bangkit berdiri sambil melambaikan tangan menyuruh semuanya bubar.
Pendopo itu sendiri tertinggal sepi sekarang. Tinggal Sunan Rajeg dan pembisiknya. Kemudian tertawa meninggalkan pendopo juga, melalui samping rumah, menuju ke sesuatu tempat. Dan mulut Sunan berkomatkamit aneh: Idayu, Idayu! Kau juga, kau!
0o-dw-o0 Mahmud Barjah telah memutuskan mengerahkan seluruh tentara Rajeg untuk memasuki Tuban dengan menempuh jalan-jalan yang belum dikuasai balatentara Tuban.
Saran Kiai Benggala Sunan Rajeg telah ia pelajari, dan kini ia laksanakan. Semua kesatuan yang terbesar ia tarik, dan ia pusatkan, dan dengan demikian meninggalkan musuhnya gentayangan mencari-cari di pedalaman tanpa perlawanan.
Dengan menembusi rimba balatentara Rajeg, termasuk meriamnya, diungsikan siang dan malam. Juga mereka yang bukan kekuatan perang mengikuti garis berat dan jauh itu untuk melakukan berbagai dinas. Setiap orang membawa perbekalan dan alat-alat sendiri.
Hujan dan dingin tak mereka hiraukan.
Allah bersama kita, Sunan Rajeg merestui. Hanya Allah yang menentukan. Nasib kita semua berada di tangan-Nya .
Maksud Barjah tahu benar, belum seluruh kekuatan balatentara Tuban telah dikerahkan oleh Wiranggaleng. Walau demikian, dari laporan-laporan para telik ia tahu, Tuban dalam keadaan kosong. Orang akan dapat berlenggang-kangkung memasukinya, langsung masuk ke dalam kadipaten dan tak perlu keluar lagi.
Ia pun mengetahui pasukan musuh yang bersenjatakan cetbang dipusatkan di balik semak-semak di pinggiran pelabuhan. Cetbang tak dapat dipergunakan untuk setiap keperluan, pikirnya juga tidak bisa dipergunakan bertahan terhadap setiap macam serangan. Ia telah temukan cara untuk menumpasnya.
Ia tahu pula dari perkiraan, masih ada kekuatan yang dicadangkan oleh Tuban. Hanya di mana cadangan itu ditempatkan itulah yang ia tidak tahu. Juga telik-teliknya tak tahu. Dari perkiraan itu pula ia menduga, cadangan itu ikut bergerak di belakang setiap gerakan. Ia hanya mengirangira kan.
Ia pun tahu perkiraan yang tidak tepat dalam perang bisa menjadi sumber bencana. Tetapi menunggu lebih lama adalah kebinasaan& .
O0-dw-oO Pagi-pagi benar waktu itu. Matahari belum juga mampu menerobosi mendung putih itu.
Dua orang sedang mendaki tangga dari selembar batang bambu utuh yang disambung-sambung sampai ke puncak pohon tertinggi di pinggir rimba. Tiga batang bambu panjangnya seluruh tangga itu. Batang pohon itu sendiri lebih dari tiga rangkulan manusia.
Sesampainya di puncak mereka segera dapat melihat pemandangan luas di bawahnya: padang rumput, hutan, sawah dan ladang sayup-sayup di kejauhan, garis-garis putih kehijauan yang tak lain dari pada jalan negeri dan jalan desa.
Ha! itu mereka! pengintai pertama berseru terangsang.
Berhari-hari ditunggu& , yang kedua menambahi. Berminggu! yang pertama membetulkan.
Berminggu. Ya. Sekarang baru kelihatan. Apa" Lihat! Lihat semua perbekalan itu. Mereka mau langsung masuk ke Tuban. Bahaya! Sedang kita masih sibuk mencari-cari . Turun! Cukup! Jangan sampai ketinggalan waktu . Nampaknya mereka berangkat malam, kata pengintai kedua. Ia bercepat-cepat menuruni tangga batang bambu.
Bagaimana pun kita akan lebih dulu sampai, jawabnya sambil juga menuruni tangga.
Jangan meremehkan, pengintai kedua memperingatkan, biarpun kita berkuda .
Sesampainya di tanah mereka mengambil kuda masingmasing yang selama itu gelisah diserang nyamuk. Mereka berpacu. Di sebuah padang rumput pengintai pertama berpesan: Sampaikan laporan ini pada pasukan kuda Maesa Wulung. Terus menghadap Senapati dan sekalian hormatku .
Mereka berpisahan. Pengintai pertama berpacu langsung ke kota. Pengintai ke dua mencambuk kuda, membelok ke kiri, melalui jalan setapak di tengah-tengah padang ilalang. Setelah padang itu dilaluinya ia menerobosi hutan kecil, kemudian sampai ke sebuah desa, yang dijaga oleh seorang prajurit. Seseorang telah mengganti kudanya dengan yang baru. Selama memasang abah-abah pengintai kedua itu berkata pada seorang prajurit yang datang menghampiri. Sampaikan pada pasukan kuda Maesa Wulung: Mereka bergerak untuk langsung memasuki Tuban dari jalan negeri. Setiap orang membawa perbekalan kutaksir untuk tiga hari. Teruskan, aku akan menghadap Senapati .
Berapa kekuatan mereka"
Membeludag. Bila tidak dihalangi, mereka akan memasuki kota pada waktu matahari tenggelam .
Ia melompat ke atas kudanya dan hilang di antara rimbunan pepohonan buah.
Prajurit yang ditinggalkan itu menyampaikannya pada dua orang prajurit lainnya, kemudian berpacu mengikuti pengintai kedua. Dan kedua orang prajurit itu berpacu pula ke jurusan lain.
Prajurit pengintai pertama yang menuju ke kota itu disambut oleh dua orang prajurit yang sudah siap dengan kudanya. Ia menyampaikan perintah pada mereka, kemudian ketiganya berangkat, menempuh jalan berlainlainan, semua dengan satu tujuan menghadap kepala pasukan pengawal, Braja.
Kembali pengintai pertama itu berpacu seorang diri. Setiap berpapasan di jalanan ia berseru-seru agar meminggir. Beberapa desa telah dilewatinya tanpa menengok. Desa-desa hilang berganti dengan hutan tipis yang rimbun dengan semak-semak petai cina.
Brenti! sayup-sayup ia dengar pekikan dari hadapan. Ia tak dapat menembusi semak-semak petai cina itu dengan matanya. Ia depis lengkipkan tubuhnya pada punggung kuda. Tangan kirinya memeluk batang leher kuda dan tangan kanan mencambuki binatang itu. agar berpacu terus, lebih cepat.
Tombak! ia dengar lagi pekikan lain.
Bersamaan dengan itu beterbangan tombak dari hadapan menyambar dari kiri jalan. Ia miringkan badan ke sebelah kanan. Juga dari sebelah kanan jalan berlayangan tombak.
Sebilah telah mengenai pinggang binatang itu, tembus sampai ke dada. Binatang itu terhenti pada suatu jarak. Dengan kedua belah kaki ia berdiri, meringkik keras. Kepalanya menengok ke kiri kemudian ke kanan, mencoba melihat tombak yang bersarang pada badannya. Ia melonjak sambil menjerit.
Tangan pengintai itu jatuh terkulai dari pelukan, jatuh ke tanah dan tak bergerak lagi. Kuda itu melihat pada tuannya yang tak bangun lagi, mendekat dan mericium-cium mukanya. Sebatang tombak lain melayang dan menyerompat iganya. Binatang itu memekik dan melarikan diri, dengan sebelah masih tertancap pada pinggul.
Orang-orang yang bersembunyi di kiri dan di kanan jalan mulai bermunculan. Tak kurang dari dua puluh. Mereka kumpulkan kembali tombak-tombak yang luput.
Berpacu secepat itu pasti membawa berita, seorang di antaranya memberikan pendapat sambil menembuskan tombak dalam tubuh pengintai dan memalui tembusan itu mencabutnya. Dalam lodong pelupuknya ada lontar, katanya lagi sembari membersihkan tombak berdarah itu dengan daun-daunan.
Lebih baik lagi, sambung yang lain. Lisan maupun tulisan tidak akan sampai. Ayuh, balik ke tempat!
Mayat pengintai pertama dilemparkan ke pinggir jalan, kemudian mereka menghilang lagi di balik-balik petai cina di kanan dan kiri jalan.
0o-dw-o0 Kedai minuman Yakub pagi itu kedatangan banyak langganan seperti kemarin atau kemarin dulu. Pertamatama karena peluru-peluru Portugis yang telah dikumpulkannya ia pajang di warungnya jadi tontonan. Kedua orang ingin mendengar cerita dari mulut pertama bagaimana warungnya dirusak oleh peluru Portugis itu. Ketiga, berita-berita yang disiarkan olehnya bersama Tholib Sungkar Az-Zubaid tentang bakal datangnya banyak, terlalu banyak kapal Peranggi, bukan untuk berperang, tapi berdagang.
Sambil melayani Yakub berkicau terus-menerus. Penutup dari semua tetap sama: betapa hebatnya meriam Portugis itu. Juga pada pagi ini.
Dan pagi itu Tholib Sungkar juga sudah menduduki bangkunya, sebuah tempat penghormatan untuknya di pojokan. Tongkatnya berdiri tersandar pada meja. Ia bertindak sebagai juru gong terhadap semua kicauan Yakub.
Warung rusak itu diperbaiki dan selesai dalam sehari. Sejak itu seorang langganan baru, selalu berpakaian seberang, berkumis bapang tanpa jenggot, selalu mengambil tempat duduk di mana ia dapat memandangi jalan raya. Ia tak pernah bicara seakan tidak mengerti Jawa atau Melayu. Pakaiannya mendekati gaya Kotabatu, berbaju dan bersarung tenunan desa yang dinila. Langganan baru itu tak lain daripada Braja.
Sungguh berbahaya bermain-main dengan Peranggi, Tholib Sungkar mengegongi. Kerajaan-kerajaan besar ditaklukkannya. Yang kecil dilindasnya. Tak boleh dia dibikin marah .
Memang begitu. Yakub meneruskan. Tak ada yang dapat menahan mereka, Tuan Syahbandar. Lihat saja pelurunya. Seratus meriam bisa gugurkan gunung yang setinggi-tingginya. Jangankan gajah yang hanya dari daging dan tulang. Sungguh menakutkan .
Setidak-tidaknya, Gusti Tuan Syahbandar, seorang langganan lain di dekat Braja menyela, di Tuban dia pernah dihina dan dihalau .
Apa" Dihina dan dihalau" seru Yakub, dihina dan dihalau katanya, Tuan Syahbandar. Janganlah itu disebut lagi. Sebutan itu saja sudah gegabah. Siapa tahu! Dan Peranggi tak akan lupakan itu. Sungguh mati .
Peranggi takkan pernah melupakan sesuatu, Tholib Sungkar mengegongi lagi.
Dihina dan dihalau! langganan itu berkukuh. Dihina dan dihalau katanya Yakub , Syahbandar itu berdiri. Diperbaikinya letak tarbus dan dipegangi tangkai tongkatnya. Taruhlah dihina dan dihalau, taruhlah itu betul. Itu yang sudah berlaku. Yang akan datang" ia mendelik pada langganan di samping Braja.
Yang akan datang" Braja ikut campur, dalam Melayu bicara untuk pertama kali, dibinasakan sama sekali .
Puh! Berapa lama Malaka jatuh" Berapa bentar Maluku dikuasai" Berapa bentar itu pulau yang terbesar di Nusa Tenggara" Dan terlalu banyak takluk sebelum dikelahi: Banda, Ambon, Temate, Halmahera, Kei, Tanimbar& .
Semua mata tertuju pada Braja. Dan orang mengawasinya baik-baik, dan tahulah orang, pedagang serba wulung nila itu tak lain daripada Braja, kepala pasukan pengawal. Ia nampak mengangguk-angguk tak acuh. Yakub dan Syahbandar terperanjat.
Suasana yang tegang itu disusutkan dan dibelokkan oleh datangnya seorang penunggang kuda. Dengan masih menuntun kudanya ia masuk ke dalam warung, mendapatkan Braja.
Semua mata mengikuti kepala pasukan pengawal yang sedang mendengarkan bisikan si penunggang kuda. Kemudian kedua-duanya meninggalkan warung. Bukankah itu Braja" seorang langganan berbisik. Bukan! seorang langganan lain yang juga belum dikenal namanya membantah. Bukan Braja. Braja aku kenal, dulu pernah aku jadi pelayannya, lima tahun .
Kata-kata itu menenangkan Yakub dan Tholib Sungkar. Tuh! Orang tak tahu persoalan, langganan yang duduk di dekat Braja tadi mengulas, pedagang biasanya lebih tahu dari petani, ini lebih dungu, ia tatap Tholib Sungkar untuk memberi simpati. Tak pernah ada memang Peranggi dibinasakan. Apalagi dengan sama sekali .
Begitulah orangnya, begitu pula nasibnya, Tholib Sungkar mulai hidup kembali.
Dan pengagungan terhadap Portugis mulai lagi. Orang di dekat Braja tadi juga ikut meramaikan, tak lagi membantah. Semua ikut serta membenarkan, menggarami, membubui. Syahbandar dan Yakub semakin bersemangat. Langganan itu pun minum lebih banyak walaupun hanya tuak murah bukan arak.
Dan Yakub dan Syahbandar nampaknya kurang cermat memperhatikan mereka. Mereka adalah prajurit-prajurit pengawal.
Percakapan itu tiba-tiba terhenti waktu seseorang berdiri terbengong mengawasi jalan raya. Orang-orang itu melihat ke jurusan jalan raya. Dan mereka melihat pemandangan ajaib.
Seekor kuda yang berlumuran darah pada iga-iganya, dengan sebatang tombak tertancap pada pinggul dan darah meleleh dari bawah mata tombak, sedang berjalan payah terpincang-pincang kesakitan entah ke tujuan mana. Tombak itu jelas bukan milik tentara Tuban. Sunan Rajeg sudah mendekati kota, seseorang memastikan. Semua langganan keluar dari warung untuk dapat memperhatikan tombak dan binatang itu.
Itu kuda tentara Tuban. Lihat tanda pada kupingnya! Ya, memang kuda tentara Tuban, orang membenarkan. Percakapan terhenti lagi waktu di jalanan mulai kelihatan rombongan petani tanpa barisan membawa pedang dan tombak tentara Tuban, juga busur dan perisai.
Itulah tentara Rajeg , bisik Tholib Sungkar megapmegap. Tak ada yang menanggapi.
Sebentar kemudian menyusul pemikul-pemikul cetbang di belakang rombongan kacau itu.
Bukan balatentara Tuban , Tholib Sungkar meyakinkan, jelas tentara Sunan Rajeg. Mereka sedang memasuki kota.
Masyaallah, Tuan Syahbandar! sebut Yakub, kita tutup kedai dengan lupa membayar minuman& .
Segera setelah menerima laporan, Braja mengerahkan pasukan pengawal. Daerah pelabuhan dikosongkannya, dan diarahkannya kekuatan-nya ke luar kota, melalui jalan-jalan yang bakal ditempuh oleh tentara Rajeg.
Pasukan pengawal itu tidak benar terdiri dari prajuritprajurit pilihan yang diambil dari pasukan-pasukan lain karena keberanian dan ketangkasan serta kecerdasannya. Setiap di antara mereka dapat mempergunakan semua macam senjata dan penunggang kuda yang mahir.
Setelah pulih dari kekecilan hati mereka menerima balasan dari Wiranggaleng, dengan pasukannya yang kecil ia bertekad untuk menghancurkan tentara Rajeg dengan berondongan cetbang sambil menunggu sampai pasukanpasukan Tuban lainnya datang membantu.
Jodoh Rajawali 26 Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Pisau Terbang Li 14
^