Pencarian

Bumi Manusia 5

Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer Bagian 5


Pada umumnya ia yang membuka diskusi-sekolah pada hampir setiap Sabtu sore. Ia lakukan bukan saja dengan senanghati, juga bersemangat. Setiap siswa boleh mengemukakan persoalan apa saja, umum, pribadi, berita setempat dan internasional sebagai pokok. Bila pokok dari murid tidak ada baru guru membuka pokoknya sendiri. Mereka yang tidak berminat boleh tidak hadir. Nyatanya, bila Magda Peters yang memimpin sebagian terbesar siswa dari semua kias tak ingin melewatkan, sehingga harus diadakan di aula dan semua duduk di lantai. Hanya murid pembicara yang berdiri. Para guru yang hadir juga duduk di lantai. Sebagai guru yang memimpin orang juga berdiri. Pada kesempatan demikian nampak bahwa seluruh tubuh Magda Peters memang bertotol.
Untuk dapat mencocokkan keadaan dan sikapku dengan lingkunganku, benar atau tidak anggapanku tentang diri sendiri dan kelilingku, patut kiranya kudepankan pengalamanku dalam diskusi-sekolah ini:
Aku ajukan pertanyaan tentang teori assosiasi Doktor Snouck Hurgronje. Magda Peters meneruskannya pada para siswa. Tak seorang pun tahu. Ia menoleh sopan pada para guru. Tak ada yang bergerak menanggapi. Kemudian ia sendiri bicara: "Juga aku sendiri tak tahu betul. Boleh jadi itu satu pokok "yang disarankan dalam kehidupan politik kolonial. Tahukah para siswa apa politik kolonial "" Tak berjawab. "Itulah stelsel atau tatakuasa untuk mengukuhi kekuasaan atas negeri dan hanesabangsa jajahan. Seorang yang menyetujui stelsel itu adalah orang kolonial. Bukan saja menyetujui, juga membenarkan, melaksanakan dan membelanya. Termasuk di dalamnya adalah juga mereka yang bertujuan, bercita-cita, bermaksud, berterimakasih pada stelsel kolonial. Soal pokok di dalamnya adalah masalah penghidupan. Para siswa, semua ini sebenarnya belum perlu menjadi perhatian. Untuk itu para siswa masih terlalu muda. Sekiranya hal itu dituangkan dalam karyasastra pasti akan lebih menarik, seperti telah beberapa kali para siswa diperkenalkan pada karya Multatuli. Coba, Minke, kau yang menerangkan apa itu dan bagaimana teori assosiasi Doktor Snouck Horgronjc."
Kuterangkan sekedarnya tentang apa yang pernah kudengar dan tanggapanku sendiri atas cerita Miriam de la Croix.
"Stop!" kata Magda Peters. "Pokok seperti itu belum boleh dihadapkan di depan sekolah H.B.S. Terserah kalau di luar sekolah. Itu adalah urusan Sri Ratu, Pemerintah Nederland, Gubernur Jendral dan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Sebaiknya kalau ada keinginan para siswa mencari sendiri di luar sekolah. Karena para siswa tak ada yang punya pokok, aku akan ajukan pokokku sendiri. "Baru-baru ini aku temukan sebuah tulisan tentang kehidupan di Hindia. Terlalu sedikit orang menulis tentang ini. Karena itu justru menarik perhatianku. Boleh jadi penulisnya seorang Indo-Eropa. Barangkali, kataku. Ada di antara para siswa pernah membacanya " Judulnya: UU het sehoone Leven van een mooie Boerin*. Pengarangnya bernama: Max Tollenaar."
Beberapa tangan diacungkan. Aku sembunyikan perasaanku. Max Tollenaar adalah nama-penaku. Judul asli telah diubah dan di dalamnya juga terdapat perbaikan redaksi, yang tidak semua aku 'setujui.
Juffrouw Magda Peters mulai membacakan, menempatkan tekatian dan tarikan kata sedemikian rupa sehingga suaranya menyanyi dan tulisan itu terdengar lebih indah daripada yang kumaksud. Ya, boleh dikata terdengar seperti puisi panjang, rimbun dengan haruan. Hampir orang tak berkedip mendengarkan. Dan selesai pembacaan orang melepas nafas, bebas dari cengkeraman.
"Sayang sekali tulisan ini terbit di Hindia, tentang Hindia, manusia dan masyarakat Hindia, jadi orang tidak memperkenalkan di depan kias. Nah, kalian, salah seorang tampil, memberikan uraian atau tanggapan, barangkali juga penilaian.
Sekaligus Robert Suurhof bergerak. Ia berdiri di tempatnya, kakinya direnggangkan, dipakukan pada lantai, seperti kuatir bisa rubuh diterpa angin. Semua mata tertuju padanya. Hanya aku yang sangsi.
Sebelum memulai ia menoleh pada teman-teman sekolah. Barangkali untuk mendapatkan sokongan moril.
"Sudah empat tulisan Max Tollenaar kubaca pada waktu belakangan ini. Semua tulisannya sama saja persoalan dan nafasnya, seakan pengarangnya sedang tergenggam kekuatan di luar dirinya. Ya-ya, pengarangnya sedang kena serang demam kepia-lu. Tulisan-tulisannya merupakan igauan panjang dari seorang yang tak kenal diri, lupa daratan. Aku tak kenal siapa itu Max Tollenaar. Hanya dari tulisan-tulisannya dapat kuduga siapa penulis sesungguhnya, karena aku telah jadi saksi satu-satunya dari rangkaian kejadian dalam tulisan-tulisannya.
"Juffrouw MagdaN peters, rasanya sangat berlebihan kalau tulisan demikian dibicarakan dalam diskusi-sekoiah H.B.S. Hanya bikin kotor saja, Juffrouw. Kalau aku tak salah ~ dan aku yakin tidak penulis tulisan tsb., bahkan nama keluarga pun tidak punya."
Ia diam sebentar, menebarkan pandang pada semua siswa yang sedang dijalari ketegangan. Ia angkat dagu. Matanya berbinar dengan kemenangan. Kurasai satu tembakan terakhir masih akan dilepaskan.
Juffrouw Magda Peters nampak tertegun. Matanya mengedip cepat. Dari semua orang hanya aku seorang yang tahu maksud Robert Suurfof: pembalasan dendam langsung padaku. Maka juga aku menjadi lebih mengerti: dialah sesungguhnya yang bermaksud hendak mendekati Annelies. Tak ada alasan memusuhi dan menghinakan aku di depan umum begini kalau bukan karena cemburu. Ya, sebelumnya dialah yang hendak memiliki Annelies. Ia bawa aku untuk kemegahan diri dan saksi. Mengapa aku " Karena aku Pribumi, maka ia dapat lebih gampang mem; percantik diri dengan aku sebagai perbandingan. Tepat seperti adat wanita atasan Eropa di jaman lewat yang membawa monyet kemana-mana agar kelihatan lebih cantik (daripada monyetnya). Ternyata monyet Suurhof itu justru yang mendapatkan Annelies.
"Dia, Juffrouw," Suurhof meneruskan, "Indo pun bukan. Dia lebih rendah lagi daripada Indo yang tidak diakui ayahnya.
Dia seorang Inlander, seorang Pribumi yang menyelundup di sela-sela peradaban Eropa."
la membungkuk menghormati gurunya dan juga para guru lain, kemudian duduk gelisah di lantai.
"Para siswa, Robert Suurhof telah menyatakan pendapatnya tentang penulis karangan tsb. yang kita semua tidak tahu kecuali dia sendiri. Yang aku harapkan adalah pendapat tentang tulisan ini. Baiklah. Siapa menurut dugaanmu penulis karangan ini ""
Para murid berpandang-pandangan, kemudian pandang mereka terarah pada temanteman sendiri yang bukan Totok, bukan Indo, seakan menggarisbawahi ucapan Suurhof. yang Pribumi pada menunduk. Pandangan orang sebanyak itu terasa menindas sampai ke perut.
Aku tahu muka Suurhof ditujukan padaku. Yang lain-lain mengikuti contohnya. Jangan, kata hati ini, jangan gentar. Persetan semua ini. kalau perlu aku pun bisa tinggalkan sekolah ini. Sekarang pun boleh.
Suurhof berdiri lagi. Berkata pendek: "Penulis itu ada di antara kita sekarang ini." Rupanya sassusnya telah menjalar ke seluruh sekolahan. Sekarang semua muka diarahkan padaku seorang. Aku tatap Suurhof. Seri kemenangan gemerlapan pada matanya.
"Siapa dia yang ada di antara kita, Suurhof "" tanya Juffrouw Magda Peters. Dengan tudingan Caesar ia menunjuk padaku:
"Minke!" Magda Peters mengambil setangan dari tas dan menyeka leher, kemudian dua belah tangannya. Ia nampak bimbang. Sebentar ia menoleh pada deretan para guru, sebentar padaku, sebentar pada para siswa yang duduk di lantai. Kemudian ia berjalan menghampiri para guru dan Tuan Direktur yang kebetulan hadir. Ia mengangguk kecil pada mereka, berbalik lagi ke tengah kalangan, menguakkan para siswa, dan jelas menuju ke tempatku.
Sekarang aku akan diusir, dihinakan di depan umum.
Ia berdiri sejenak di hadapanku. Nampak olehku totol pada kakinya. Dan kudengar panggilannya:
"Minke!" "Ya, Juffrouw," aku berdiri.
"Benar kau yang menulis ini "" ia tunjukkan koran S.N.-v/d D, "dengan nama-pena Max Tollenaar ""
"Apa aku bersalah karena itu, Juffrouw ""
"Max Tollenaar!" bisiknya dan mengulurkan tangan padaku. "Mari," dan ditariknya aku, dibawa menghadap pada Direktur Sekolah. Semua mata tertuju padaku. Di hadapan para guru dan Tuan Direktur aku mengangguk menghormat. Mereka membalas tak acuh. Oleh Magda Peters kemudian aku dihadapkan pada semua siswa.
Sunyi. Guru perempuan itu masih juga memegangi bahuku. Mungkin pada waktu itu aku sudah pasi tanpa mengetahui apa sesungguhnya dosaku.
"Para siswa, para guru, dan Tuan Direktur, pada hari ini kuperkenalkan, terutama pada para siswa, seorang siswa H.B.S. Surabaya bernama Minke, yang tentu sudah dikenal oleh semua. Tetapi yang kuperkenalkan bukan Minke yang sudah dikenal itu, Minke dari kwalitas lain, seorang Minke yang mahir menggunakan Belanda dalam menyatakan perasaan dan pikiran, seorang Minke yang sudah menyumbangkan sebuah karya. Dia telah mampu menulis tanpa kesalahan dalam bahasa yang bukan milik ibunya. Dia telah dapat mengedepankan sepenggal kehidupan, yang oleh orang lain, biar pun dapat dirasakan, tapi tak dapat dinyatakan. Aku bangga punya murid seperti dia."
Ia salami aku. Tak juga aku disuruhnya pergi. Apa yang terdengar sebagai pujian itu membubungkan aku semakin tinggi ke atas ujung duri. Kapak terakhir masih kutunggu jatuhnya.
"Minke! Benar kau tak punya nama keluarga "" "Benar, Juffrouw."
"Para siswa, nama keluarga hanya satu kebiasaan saja. Sebelum Napoleon Bonaparte muncul di panggung sejarah Eropa, leluhur kita, semua saja, juga tak punya nama keluarga," dan ia mulai bercerita, bahwa ketentuan Napoleon itu diundangkan di seluruh wilayah kekuasaannya. Mereka yang tidak dapat menemukan nama sebaik mungkin untuk dirinya oleh pejabat diberi sekenanya, dan orang Yahudi diberi nama hewan. "Biar begitu, para siswa, nama keluarga bukan khas Eropa atau Napoleon, yang mengambil gagasan itu dari bangsa-bangsa lain. Jauh sebelum Eropa beraflab bangsa Yahudi dan Cina telah menggunakan nama marga. Adanya hubungan dengan bangsa-bangsa lain yang menyebabkan Eropa tahu pentingnya nama keluarga," ia berhenti.
Aku masih juga berdiri jadi tontonan.
"Apa benar kau bukan Indo, Minke," suatu pertanyaan formil yang harus kubenarkan.
"Inlander, Juffrouw, Pribumi."
"Ya," katanya keras-keras. "Orang Eropa sendiri yang merasa totok 100% tidak pernah tahu berapa prosen darah Asia mengalir dalam tubuhnya. Dari pelajaran sejarah para siswa tentunya sudah tahu, ratusan tahun yang lalu berbagai balatentara Asia telah menerjang Eropa, dan meninggalkan keturunan: Arab, Turki, Mongol, dan justru setelah Romawi menjadi Kristen. Dan jangan kalian lupa, dalam kekuasaan Romawi atas bagian-bagian tertentu Eropa darah Asia, mungkin juga Afrika, meninggalkan keturunannya melalui warganegara Romawi dari berbagai bangsa Asia: Arab, Yahudi, Siria, Mesir......"
Kesenyapan masih merajalela.
Hatiku sekarang kosong tanpa isi. Hanya badanku terasa lunglai. Satu-satunya keinginan hanya duduk kembali di lantai.
"Banyak dari ilmu Eropa berasal dari Asia. Malah angka yang saban hari para siswa pergunakan adalah angka Arab. Termasuk angka nol. Coba, bisa para siswa kirakan bagaimana hitung-menghitung tanpa angka Arab dan tanpa nol " Nol pun pada gilirannya berasal dari filsafat India. Tahu kalian artinya filsafat " Ya, lain kali saja tentang ini. Nol, keadaan kosong. Dari kekosongan terjadi awal. Dari awal terjadi perkembangan sampai ke puncak, angka 9, kosong, berawal lagi dalam nilai yang lebih tinggi, belasan, dst., ratusan, ribuan......tanpa batas.
Akan lenyap sistim desimal tanpa nol, dan para siswa harus menghitung dengan angka Romawi. Nama sebagian terbesar kalian, nama pribadi, adalah juga nama Asia, karena agama Kristen lahir di Asia."
Sekarang para siswa nampak mulai gelisah di lantai.
"Kalau Pribumi tak punya nama keluarga memang mereka tidak atau belum membutuhkan, dan itu tidak berarti hina. Kalau Nederland tak punya Prambanan dan Barabudur, jelas pada jamannya Jawa lebih maju daripada Nederland. Kalau Nederland sampai sekarang tak mempunyainya, ya, karena memang tidak membutuhkan........"
"Juffrouw Magda Peters." Tuan Direktur menengahi. "Sebaiknya bubarkan saja diskusi ini."
Diskusi-sekolah bubar. Kecuali Juffrouw Magda Peters nampaknya semua sengaja menjauhi aku. Tak ada orang berseru seperti biasanya. Tak ada tawa. Tak ada yang berlarian berebut dulu. Semua berjalan tenang dengan kepala sarat penuh pikiran. Jan Dapperste, anak yang permunculannya lebih banyak Pribumi itu, berdiri pada pagar mengikuti aku dengan pandangnya. Ia selalu mengaku Indo. Hanya padaku ia pernah mengaku Pribumi. Dengan kepercayaan seorang sahabat pernah ia mengaku padaku, ia hanya seorang anak pungut pendeta Dapperste. Anak pungut! Ia sendiri Pribumi tulen. Ia bersympati padaku. Setelah aku punya bendi ia biasa minta gonceng. Sekarang pun ia nampak menjauh.
Sebaliknya Juffrouw Magda yang sekarang minta gonceng. Sepanjang perjalanan ia tak bicara. Apa pula guna bicara dalam keadaan hati dan otak penuh persoalan " Lalulintas pun tak nampak olehku. Yang terbayang hanya satu: kegusaran para siswa dan para guru pada Magda Peters. Terluka keeropaan mereka.
Sekali-dua kuketahui Juffrouw mengawasi aku dari samping. "Sayang sekali," desisnya pada angin.
Aku pura-pura tak dengar.
Bendi berhenti di depan rumahnya. Aku turun untuk membantunya sebagaimana adat Eropa. Ia mengucapkan terimakasih. Tiba-tiba:
"Mampir, Minke," dan itulah untuk pertama kali ia mengundang. Aku antarkan ia masuk ke dalam. Maka kami duduk berhadapan di sitje di ruangtengah.
"Kau luarbiasa, Minke. Jadi betul itu tulisanmu "" "Begitulah, Juffrouw."
"Tentu kau muridku yang paling berhasil. Telah lima tahun aku mengajar bahasa dan sastra Belanda. Hampir empat tahun di Nederland saja. Tak ada di antara muridmuridku dapat menulis sebaik itu dan diumumkan pula. Tentunya kau sayang padaku, bukan ""
"Tak ada guru lebih kusayangi." "Benar itu, Minke ""
"Sejujur hati, Juffrouw."
"Sudah kuduga. Kau pasti mengikuti semua pelajaranku dengan cermat, dengan otak dan hati. Kalau tidak, tidak mungkin kau bisa menulis sebagus itu. Kau tak gusar pada Suurhof, kan ""
"Tidak, Juffrouw."
"Kau betul. Kau jauh lebih berharga daripada dia. Kau telah membuktikan apa yang kau bisa.
Memang malu mendengar sanjungan seperti itu. Disuruhnya aku berdiri. "Setidak-tidaknya, Minke, jerih-payahku selama lima tahun ini ada hasilnya juga," ia tarik aku ke dekatnya.
Dengan terkejut aku telah berada dalam pelukannya, dan diciumnya aku sampai pengap. Sampai pengap!
Setiap hari aku masih memerlukan datang ke rumah Jean -menjemput atau mengantarkan May atau untuk menyerahkan order baru. Biar pun hanya untuk satudua menit. Juga kuperlu-kan menengok rumah pemondokanku.
Dengan bendi sendiri memang lebih mudah melakukan pekerjaan mencari order, menulis teks adpertensi untuk koran-le-lang, dan menulis untuk yang lain. Waktu rasanya menjadi lebih panjang.
Sampai di Wonokromo tenagaku sudah atau hampir habis dan kuperlukan tidur sebentar. Biasanya Annelies yang membangunkan, membawakan anduk bersih dan menyuruh aku mandi. Setelah itu kami duduk mengobrol, atau membaca koran terbitan Hindia atau majalah terbitan Nederland.
Di malamhari aku bekerja, belajar, atau menulis sambil menunggui Annelies di kamarnya. Kesehatannya makin pulih. Tapi ia belum mulai bekerja seperti biasa. Mama terlalu sibuk bekerja di kantor dan di belakang, tak mempunyai waktu untuk kami berdua di sianghari.
Pada malam seperti pada malam-malam belakangan ini aku duduk pada meja di dalam kamar Annelies. Ia sedang membaca Defoe Robinson Crosoe terjemahan Belanda, yang setiap halaman terbagi dalam dua kolom. Telah aku susunkan daftar buku yang harus ia baca. Semua buku remaja: Dumas dan Stevenson. Ia harus selesaikan dalam satu bulan. Dan di sampingnya tergeletak kamus tua yang tiap hari dipergunakan Mama kamus tua yang dalam sepuluh tahun belakangan ini sudah tak dapat menjawab perkembangan baru.
Aku duduk di seberangnya membaca surat Miriam dan Sarah sebelum menulis cerita yang akan berjudul Anak Ayah. Yang aku maksudkan tak lain dari Robert Mellema. Surat Miriam sekali ini semakin semarak:
Ingat kiranya kau pada yang "lain" itu " Aku telah menerima surat dari Nederland. Dari seorang teman, sahabat, yang mengenal keadaannya di Afrika selatan, di daerah Transvaal. Penulis surat itu pulang ke Nederland setelah cedera di dalam suatu pertempuran pendek. Ia sendiri pernah dalam satu kesatuan dengan yang "lain" itu. Pasukannya berada di bawah seorang komandan bernama Mellema, seorang insinyur muda yang sangat keras, berani, penuh ambisi, katanya.
Sahabat, senang sekali menerima suratnya. Sama senangnya dengan menerima kepunyaanmu. Di dalamnya, sahabat, ada suatu hal yang mungkin bisa jadi perhatianmu. Yang "lain" itu mungkin beberapa tahun saja lebih tua daripada kau. Terpanggil
oleh seruan bangsa Belanda di Afrika Selatan untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaannya dari Inggris, tanpa pikir panjang ia berangkat ke sana dan...mendapat kekecewaan besar.
Walau pun sedikit perang Afrika Selatan ada juga diumumkan dalam koran Hindia. Hanya banyak yang tidak pernah diberitakan secara wajar. Bangsa Belanda immigran di sana, sahabat aku kira gurumu tersayang Magda Peters perhatiannya terlalu sedikit tentang perang , telah menguasai penduduk asli. Pada gilirannya Belanda immigran diperintah kekuasaan Inggris, kekuasaan pendatang dari Eropa juga. Inilah kekuasaan berlapis-lapis dengan Pribumi di tempat paling bawah. Bayangkan, sahabat, kan itu sama dengan keadaan di Hindia " sejauh pernah dikatakan Papa " Memang ada perbedaan kecil, tapi tak mengurangi ujudnya. Pribumi Hindia , bukankah dikuasai para pembe-sarnya " raja-raja, sultan-sultan, dan para bupati " Pada gilirannya Pemerintah Coklat ini dikuasai oleh Pemerintah Putih. Para raja, sultan dan bupati dengan semua alatnya di sini sama dengan kekuasaan Belanda immigran di Afrika Selatan.
Sahabat, yang "lain" itu menanggung kecewa setelah tahu, perang antara Inggris dan bangsa Boer bangsa Belanda immigran itu cuma hendak memperebutkan kekuasaan mutlak atas tanah, emas, dan Pribuminya. Pemuda-pemuda Belanda yang terpanggil ke sana, dari semua penjuru dunia, ternyata hanya datang untuk cedera atau mati buat satu perkara yang tidak punya kepentingan nasional Belanda. Sedang yang "lain" itu, kata surat itu, melihat keadaan Pribumi Afrika Selatan jauh lebih buruk daripada Pribumi Hindia, jauh lebih buruk daripada di Aceh. Kalau ia membenarkan dirinya, katanya, ia merasa tak beda dengan serdadu Kompeni di Aceh.
Sungguh keinsafan yang terlambat. Itu pun karena pertemuan tak terduga dengan penduduk bukan kulit putih, juga bukan hitam, bernama Mard Wongs. Orang itu, sahabat, hanya seorang dari sekian banyak petani kaya bukan Pribumi yang bisa berbahasa Jawa. Dia dan mereka itu, biar pun berbicara Afrikan*, adalah bangsa Slameier*, sebangsamu sendiri. Mard Wongs tak lain dari nama yang sudah disesuaikan dengan bahasa Afrikan.
Semestinya, kiraku: Mardi Wongso. Dan bangsa Slameier tak lain dari keturunan Pribumi Jawa dan Bugis-Makassar-Madura, yang dahulu dibuang Kompeni ke Afrika Selatan.
Menarik, kan " Nah, sahabat, pasukan Mellema, begitu tulis teman dari Nederland itu. memasuki rumah besar Mard Wongs minta penginapan. Orang tua yang sudah serba putih itu bukan saja menolak, malah mengusir mereka dengan garang. Mellema naik pitam, mengancam hendak menembak.
Mard Wongs meradang: Apa lagi kalian, Belanda, kehendaki " Di Jawa hak-milik kami kalian rampas, kebebasan kami kalian rampas, di sini kalian mengemis minta naungan di bawah atapku. Apa kau tak pernah diajar arti perampasan dan pengemisan " Tembak! Ini dada Mard Wongs. Bayangan dari selembar daun atap dan lindungan dari sebilah papan rumah ini tak rela aku berikan. Pergi! Heran, sahabat, Mellema kalah wibawa. Dengan pasukannya terpaksa menginap di bawah langit terbuka.
Nah, peristiwa itu yang menyedarkan yang "lain". Sekarang ia tahu kebencian Pribumi Hindia terhadap Belanda. Ia insaf, regunya bukan pendukung cita mulia, hanya cita kolonial semata. Ia malu telah salah tempatkan diri. Pikirannya kacau. Ia pernah bermimpi jadi pahlawan, menyumbangkan sesuatu pada um-mat manusia. Kini ia sedang ditengah medan kezaliman.
Kasihan, yang "lain" itu.
Paginya pasukan itu melakukan penyerbuan terhadap tempat yang dikuasai oleh pasukan South African Light Horse Inggris. Orang bilang, tulis temanku itu, pasukan itu dipimpin oleh letnan W.Ch. Dari jurusan lain pasukin Boer dalam jumlah besar telah menyerang lebih dulu, dihadapi, terdesak, nyaris terkepung dan dibinasakan. Pada saat genting pasukan Mellema menyergap punggung musuh. Inggris terkejut, sibak-belah dan buyar dalam serangan-ganti dari dua jurusan. Tempat itu jatuh ke tangan Boer.
Tetapi, sahabatku, yang "lain" itu tertembak dan tertawan. Tulis temanku itu, dia mungkin diangkut sebagai tawananperang ke Inggris. Pada hari-hari terakhir itu ia tak habis-habis menyesali kebodohannya.
Maksudku menyampaikan ini, sahabat, tak lain untuk tambahan pemandangan tentang hal yang tidak banyak diumumkan di Hindia. Kan yang kau baca di koran hanya kekejaman Inggris dan kemenangan Belanda " Sebaliknya, menurut Papa, harian-harian Inggris memberitakan keganasan dan kesekakaran Belanda terhadap penduduk Pribumi. Tetap tak ada satu koran baik di Nederland, Inggris, apalagi Hindia, yang bicara tentang Pribumi Afrika Selatan. Jangan ditanya lagi tentang bangsa Slameier itu. Betul aneh dunia ini, kan "
Kiranya lebih beruntung Pribumi Jawa. Ada beberapa orang yang telah angkat bicara untuk kepentingan mereka. Ya, sekali pun suara mereka redam tenggelam dalam riuhrendah birokrasi. Malah kita belum lagi mencoba bicara dan menyoroti soal ini. Marilah pada kesempatan lain kita coba. Setuju, kan "
Nah, Minke, sahabat, jangan biarkan aku menunggu suratmu terlalu lama. Miriam de la Croix.
Surat Sarah lain lagi. Tulisnya:
Kalau Juffrouw Magda Peters tak tahu tentang teori assosia-si kami sepenuhnya dapat mengerti. Miriam dan aku pun sebenarnya tak tahu apa-apa kecuali yang pernah kami katakan itu saja. Lebih tidak.
Telah aku sampaikan pada Papa, kau tidak mengetahui sesuatu tentangnya. Ia hanya tertawa bahak, bilang begini: Kau pun takkan tahu lebih daripada itu. Kalian memang keterlaluan sebagai senior.
Setelah suratmu datang aku sampaikan pada Papa bahwa Juffrouw Magda Peters ternyata tidak tahu tentang itu. Guru-gurumu yang lain tidak memberikan keterangan. Barangkali mereka segan, mengendalikan diri, atau memang tidak tahu. Lantas apa kata Papa " Begini: Tidak setiap orang punya perhatian pada masalah kolonial, sebagaimana tidak setiap orang punya perhatian pada ilmu masak. Lagi pula dalam masa hidup kita sekarang seluruh Hindia percaya pada keagungan, kewibawaan, kebijaksanaan, keadilan, dan kemurahan Gubermen. Tak ada pengemis mati kelaparan di jalanan. Tak ada yang mati dianiaya di jalanan. Dia pun dilindungi hukum Gubermen. Tak ada orang asing mati dikeroyok, hanya karena dia orang asing. Si asing juga dilindungi hukum Gubermen.
Ada sesuatu yang rasanya patut kau ketahui. Papa telah merasani kau: Anak seperti dia patutnya meneruskan di Nederland melanjutkan ke universitas. Barangkali, Papa merasani kau, dia baik kuliah pada fakultas hukum. Kalau toh gagal kuliahnya kelak paling tidak dia akan mengerti hukum menurut makna E-ropa.
Bagaimana pendapatmu sendiri " Mungkin kiranya Pribumi bisa jadi sarjana dalam keilmuan Eropa " Terus-terang, Papa sebenarnya meragukan. Kata Papa dan kau jangan gusar seperti dulu kejiwaan Pribumi belum berkembang setinggi Eropa; terlalu mudah hilang pertimbangannya yang baik terdesak oleh rangsang berahi. Aku sendiri tak tahu benar demikian atau tidak. Kenyataan memang demikian, terutama yang terlihat pada kalangan atas bangsamu. Kau sendiri sepatutnya ikut memikirkan. Bagaimana pendapatmu "
Selain itu ada satu hal yang juga patut kusampaikan: salah seorang anak percobaan Dokter Snouck Hurgronje itu, bernama Achmad, anak Banten. Aku sampaikan ini -- siapa tahu kelak dapat berjumpa, berkenalan dan berkorespondensi....... "Mengapa mengeluh V tiba-tiba Annelies bertanya.
"Terbakar." "Apa yang terbakar T*
"Kepala. Kepalaku sendiri. Ada saja yang datang. Tak dibiarkan diri agak tenang barang sebentar dengan pekerjaan yang sudah banyak. Bacalah!" dan kusodorkan surat-surat itu.
"Bukan untukku. Mas." "Kau perlu tahu."
Annelies membacainya, lambat dan hati-hati.
"Nampaknya banyak yang sayang padamu. Sayang aku tak banyak mengerti." "Bukan sayang. Ann. Nampaknya semua ingin jadi guruku." "Kan baik mendapatkan guru ""
Kau pula, Ann! mendapatkan guru baik saja.Tak ada pengetahuan percuma. Hanya rasanya mereka nampak bernafsu melihat aku jadi orang penting karena jasa mereka. Apa sendiri mereka tak mampu lakukan untuk diri sendiri " "Guru membosankan cukup menganiaya," kataku.
"Kalau begitu tak perlu kau jawab."
"Itu pun tidak benar, Ann. Telah kubaca surat mereka. Mereka menulis untuk mendapatkan jawaban."
Dan Sarah sudah begitu keterlaluan. Tanpa malu dia mulai bicara tentang soal berahi. Minta jawaban pula. Apa dia juga menghendaki aku menelanjangi diri sendiri " Di Eropa pun hal itu bukan soal umum. Pribadi, tertutup rapat. Betapa keterlaluan gadis-gadis de la Croix ini.
Annelies meneruskan bacaannya. Nampak ia mulai tak tenang setelah mengetahui surat-surat itu dari dua orang gadis bersaudari. Ia letakkan kertas-kertas itu di meja, melipatnya baik-baik dan memasukkan ke dalam sampul semula. Ia tak memberi komentar lagi.
Agak lama kami tak bicara.
"Ann," tegurku, "Aku lihat kau sudah mulai sehat." "Terimakasih atas rawatanmu, Mas Dokter."
"Kalau begitu mulai besok, Ann, kau tak perlu teman lagi dalam kamarmu." Ia tatap aku dengan pandang curiga. "Kan kau tidak balik ke Kranggan ""
"Kalau kau masih menghendaki aku tinggal tentu saja tidak, Ann." Ia memberengut. Matanya sebentar tertuju pada surat-surat sarah dan Miriam. "Sudah keberatan menemani aku begini "" suaranya bernada tangis. "Tentu saja tidak, Ann, tidak sewaktu kau sakit."
"Haruskah aku sakit lagi ""
"Ann, apa katamu itu "" sekilas aku teringat pada keterangan Dokter Martinet. Dan aku yakin tidak mengasarinya. Segera kususulkan: "Kau harus sembuh betul, kau sangat dibutuhkan Mama."
"Apa keberatan Mas menemani begini kalau aku tidak sakit "" tanyanya gugup. "Apa kata orang nanti ""
"Apa kata orang, Mas ""
"Begini, Ann, biar aku bilangi kau: kau sudah baik sekarang. Kalau kau tak kehendaki aku pergi tentu aku takkan balik ke Kranggan. Percayalah. Aku akan tinggal di sini selama kau kehendaki. Hanya tidak di kamarmu ini tentu. Jadi mulai besok, ya Ann, aku akan tinggal dan bekerja di kamarku sendiri, di persada sana. Kalau kau merasa kesepian, kaulah yang datang || sana. Sama saja kan ""
"Kalau toh sama saja, seperti ini sajalah untuk seterusnya. Kau tinggal di sini saja." "Tapi daerah loteng ini tempat larangan kecuali untuk Mama dan kau. Kan ketentuan itu harus dihormati "" dan masih barang duapuluh kalimat lagi kuucapkan. Ia tak menengahi. Hanya matanya nampak semakin lebih menjangkau kejauhan. Annelies cemburu.
Keesokan harinya aku kunjungi Jean Marais. Dari rumah telah kusiapkan persoalan tentang Afrika Selatan. Ia dengarkan dengan diam-diam. Kemudian: "Tahu kau, Minke, sebagai orang Eropa aku sudah sangat malu telah ikut campur dalam soal kolonial. Kira-kira sama dengan orang yang kau ceritakan itu, orang yang kita sama-sama
tidak kenal. Aku telah ikut berperang di Aceh, hanya karena unitnya menduga Pribumi takkan mampu melawan, maka mereka takkan melawan. Ternyata mereka melawan, dan melawan benar tidak kepalang tanggung. Gagah-berani pula, seperti dalam banyak perang besar di Eropa. Pengalaman Aceh yang memalukan itu. Minke: alat-alat perang terbaru Eropa melawan daging manusia Aceh. Karena kau menanyakan pendapatku, aku akan menjawab, setelah itu jangan lagi ajukan soal yang menyiksa nuraniku."
Tanpa kami sadari Tuan Telinga telah ikut mendengarkan dari suatu jarak, kemudian mendekat, duduk pada meja. Nampaknya ia bersemangat untuk mencampuri. ' "Perang kolonial dalam dua puluh lima tahun belakangan ini tak lain"daripada kehendak modal, kepentingan pasaran buat kelangsungan hidup modal di Eropa sana. Modal telah menjadi begitu kuasanya, maha kuasa. Dia menentukan apa harus dilakukan ummat manusia dewasa ini."
"Perang selamanya adu kekuatan dan muslihat untuk keluar sebagai pemenang," Telinga menengahi.
"Tidak. Tuan Telinga." Marais membantah, "tak pernah ada perang untuk perang. Ada banyak bangsa yang berperang bukan hendak keluar sebagai pemenang. Mereka turun ke medan perang dan berguguran berkeping-keping seperti bangsa Aceh sekarang ini........ ada sesuatu yang dibela, sesuatu yang lebih berharga daripada hanya mati. hidup, atau kalah-menang."
"Akhirnya sama saja. Jean. adu kekuatan dan muslihat untuk keluar sebagai pemenang."
"Itu hanya akibat. Tuan Telinga. Tapi baiklah kalau memang sudah jadi pandangan Tuan. Sekarang. Tuan, sekiranya bangsa Aceh yang menang. Belanda. kalah, adakah Nederland lantas jadi milik Aceh ""
"Justru karena itu. Tuan. Aceh sendiri tahu pasti akan kalah. Belanda juga tahu pasti akan menang. Namun. Tuan,; Aceh tetap juga turun ke medan-perang. Mereka berperang bukan untuk menang. Berbeda dari Belanda. Sekiranya dia tahu Aceh sama kuat dengan dirinya, dia takkan berani menyerang, apalagi membuka medanperang. Soalnya tak lain dari pertimbangan un-tung-rugi modal. Kalau soalnya hanya menang, mengapa pula Belanda tidak menyerang Luxemburg, atau Belgia, lebih dekat dan lebih kaya ""
"Kau orang Prancis, Jean, tak punya kepentingan dengan Hindia." bumi manusia 205
"Barangkali. Setidak-tidaknya aku menyesal telah ikut serta berperang di sini." Tapi kau. seperti aku, mau menerima pensiun sekali tarik!'1
"Ya, seperti Tuan juga. Tapi pensiun itu hakku dari dia yang membawa aku ke medan-perang. Seperti Tuan juga. Aku kehilangan kakiku. Tuan kehilangan kesehatan Tuan. Itu sajalah hasil Perang Aceh untuk kita berdua. Kita kan bukan hendak bersengketa. Tuan Tdlinga ""
"Dalam pasukan dulu aku bawahan Tuan. Sekarang tidak."
"Jadi apa guna pertengkaran ini "" aku menengahi. "Aku bertanya tentang Afrika Selatan. Selamat tinggal."
Dan aku kunjungi Magda Peters. la menggeleng-geleng:
"Tentang Afrika Selatan " Apa kau mau jadi politikus "" tanyanya kembali. "Apa arti sesungguhnya dari politikus, Juffrouw ""
Sekali lagi ia menggeleng-geleng memandangi aku seperti seorang yang sedang menanggung duka. Kami berdua terpaksa terdiam.
"Nantilah kalau kau sudah lulus. Tentang itu kita bisa bicarakan dengan tenang. Sekarang belum perlu. Usahakan kau bisa lulus. Memang angkamu tidak buruk. Lebih baik bisa tulus. Ja-ng,n pikirkan yang lain-lain. Eh, Minke, apa benar dongengan entah dari mana asalnya, kau sekarang hidup dengan seorang nyai-nyai ""
"Betul, Juffrouw."
"Kan tahu pendapat umum tentang itu "" "Tahu, Juffrouw."
"Mengapa kau lakukan juga ""
"Karena tempat tinggal tidak berarti sesuatu. Lagipula apa yang disebut nyai-nyai pada luarnya, Juffrouw, tak lain dari orang terpelajar, malahan termasuk guruku." "Guru " Guru apa ""
"Bagaimana seseorang dari tiada apa-apa menjadi otodidak mengagumkan." "Otodidak dalam hal apa ""
"Pertama memimpin diri sendiri, kemudian memimpin perusahaan besar..........." Jangan membela diri dengan kebohongan."
"Rasanya Juffrouw belum pernah kubohongi."
"Tidak, kecuali sekarang ini," ia tatap aku dengan mata berkedip cepat, pertanda ia sedang berpikir keras (menurut dugaanku), "jangan kecewakan aku, Minke. Kau terpelajar. Tak Patut kembali seperti tak pernah bersekolah."
"Itulah jawabanku sebagai terpelajar, Juffrouw."
tidak kenal. Aku telah ikut berperang di Aceh, hanya karena unitnya menduga Pribumi takkan mampu melawan, maka mereka takkan melawan. Ternyata mereka melawan, dan melawan benar tidak kepalang tanggung. Gagah-berani pula, seperti dalam banyak perang besar di Eropa. Pengalaman Aceh yang memalukan itu. Minke: alat-alat perang terbaru Eropa melawan daging manusia Aceh. Karena kau menanyakan pendapatku, aku akan menjawab, setelah itu jangan lagi ajukan soal yang menyiksa nuraniku."
Tanpa kami sadari Tuan Telinga telah ikut mendengarkan dari suatu jarak, kemudian mendekat, duduk pada meja. Nampaknya ia bersemangat untuk mencampuri. ' "Perang kolonial dalam dua puluh lima tahun belakangan ini tak lain"daripada kehendak modal, kepentingan pasaran buat kelangsungan hidup modal di Eropa sana. Modal telah menjadi begitu kuasanya, maha kuasa. Dia menentukan apa harus dilakukan ummat manusia dewasa ini."
"Perang selamanya adu kekuatan dan muslihat untuk keluar sebagai pemenang," Telinga menengahi.
"Tidak. Tuan Telinga." Marais membantah, "tak pernah ada perang untuk perang. Ada banyak bangsa yang berperang bukan hendak keluar sebagai pemenang. Mereka turun ke medan perang dan berguguran berkeping-keping seperti bangsa Aceh sekarang ini........ ada sesuatu yang dibela, sesuatu yang lebih berharga daripada hanya mati. hidup, atau kalah-menang."
"Akhirnya sama saja. Jean. adu kekuatan dan muslihat untuk keluar sebagai pemenang."
"Itu hanya akibat. Tuan Telinga. Tapi baiklah kalau memang sudah jadi pandangan Tuan. Sekarang. Tuan, sekiranya bangsa Aceh yang menang. Belanda. kalah, adakah Nederland lantas jadi milik Aceh ""
"Justru karena itu. Tuan. Aceh sendiri tahu pasti akan kalah. Belanda juga tahu pasti akan menang. Namun. Tuan,; Aceh tetap juga turun ke medan-perang. Mereka berperang bukan untuk menang. Berbeda dari Belanda. Sekiranya dia tahu Aceh sama kuat dengan dirinya, dia takkan berani menyerang, apalagi membuka medanperang. Soalnya tak lain dari pertimbangan un-tung-rugi modal. Kalau soalnya hanya menang, mengapa pula Belanda tidak menyerang Luxemburg, atau Belgia, lebih dekat dan lebih kaya ""
"Kau orang Prancis, Jean, tak punya kepentingan dengan Hindia." bumi manusia 205
"Barangkali. Setidak-tidaknya aku menyesal telah ikut serta berperang di sini." Tapi kau. seperti aku, mau menerima pensiun sekali tarik!'1
"Ya, seperti Tuan juga. Tapi pensiun itu hakku dari dia yang membawa aku ke medan-perang. Seperti Tuan juga. Aku kehilangan kakiku. Tuan kehilangan kesehatan Tuan. Itu sajalah hasil Perang Aceh untuk kita berdua. Kita kan bukan hendak bersengketa. Tuan Tdlinga ""
"Dalam pasukan dulu aku bawahan Tuan. Sekarang tidak."
"Jadi apa guna pertengkaran ini "" aku menengahi. "Aku bertanya tentang Afrika Selatan. Selamat tinggal."
Dan aku kunjungi Magda Peters. la menggeleng-geleng:
"Tentang Afrika Selatan " Apa kau mau jadi politikus "" tanyanya kembali. "Apa arti sesungguhnya dari politikus, Juffrouw ""
Sekali lagi ia menggeleng-geleng memandangi aku seperti seorang yang sedang menanggung duka. Kami berdua terpaksa terdiam.
"Nantilah kalau kau sudah lulus. Tentang itu kita bisa bicarakan dengan tenang. Sekarang belum perlu. Usahakan kau bisa lulus. Memang angkamu tidak buruk. Lebih baik bisa tulus. Ja-ng,n pikirkan yang lain-lain. Eh, Minke, apa benar dongengan entah dari mana asalnya, kau sekarang hidup dengan seorang nyai-nyai ""
"Betul, Juffrouw."
"Kan tahu pendapat umum tentang itu "" "Tahu, Juffrouw."
"Mengapa kau lakukan juga ""
"Karena tempat tinggal tidak berarti sesuatu. Lagipula apa yang disebut nyai-nyai pada luarnya, Juffrouw, tak lain dari orang terpelajar, malahan termasuk guruku." "Guru " Guru apa ""
"Bagaimana seseorang dari tiada apa-apa menjadi otodidak mengagumkan." "Otodidak dalam hal apa ""
"Pertama memimpin diri sendiri, kemudian memimpin perusahaan besar..........." Jangan membela diri dengan kebohongan."
"Rasanya Juffrouw belum pernah kubohongi."
"Tidak, kecuali sekarang ini," ia tatap aku dengan mata berkedip cepat, pertanda ia sedang berpikir keras (menurut dugaanku), "jangan kecewakan aku, Minke. Kau terpelajar. Tak Patut kembali seperti tak pernah bersekolah."
"Itulah jawabanku sebagai terpelajar, Juffrouw." kan. haik bagi yang mendengar mau pun yang mengucapkan.
Tapi perbudakan telah dihapus barang tiga puluh tahun yang lalu di Hindia, Nyai," Magda Peters melayani.
"Betul. Juffrouw, selama tak ada laporan tentang adanya perbudakan. Pernah terbaca olehku masih adanya perbudakan di mana-mana di Hindia." "Dari Missie dan Zending ""
"Kira-kira keadaanku sama dengan mereka."
Agak lama Magda Peters terdiam. Ia berkedip cepat. Kemudian: "Mevrouw bukan budak, juga tidak seperti budak."
"Nyai, Juffrouw." Mama membetulkan. "Bisa saja seorang budak hidup di istana kaisar, hanya dia tinggal budak."
"Bagaimana keterangannya maka Nyai merasa diri budak "" Persoalan pribadi yang sekian lama terpendam, di hadapan wanita Eropa ini sekarang mencari jalan keluarnya, memprotes, mengadu, mengutuk, meminta perhatian, menuduh, mendakwa, mengadili sekaligus. Aku semakin gelisah mendengar. Pikiranku sekarang sibuk mencari dalih untuk cepat-cepat menghindar. Sedang Nyai justru membuka kran masalalunya.
"Seorang Eropa, Eropa Totok, telah membeli diriku dari orangtuaku," suaranya pahit mengandung dendam yang tak bakal tertebus dengan lima istana. "Aku dibeli untuk dijadikan induk bagi anak-anaknya."
Magda Peters terdiam. Aku buru-buru minta diri. Biar mereka berdiri di atas kesedaran masing-masing. Di loteng kudapati Annelies sedang membaca di belakang jendela.
"Mengapa tak turun, Ann "" "Habiskan buku ini."
"Buat apa buru-buru dihabiskan ""
"Sebenarnya aku lebih suka mendengar ceritamu sendiri. Kan Mas belum banyak bercerita padaku " Orang-orang lain saja buku-buku ini yang kau suruh. Kan kau mau menceritai aku ""
"Tentu saja." Ia meneruskan bacaannya. Mendadak berhenti, menoleh: ^ "Mengapa Mas datang kemari " Kan ini daerah terlarang T "Memanggil kau turun, Ann. Juffrouw ingin bicara."
Ia tak menjawab dan terus membaca. Kudekati. Kubelai rambutnya. Ia tak memberikan sesuatu reaksi. Waktu buku kutarik dari tangannya ternyata matanya ftidak mengikuti tarikan-Annelies tidak membaca. Ia menyembunyikan muka. "Mengapa kau, Ann " Marah "" tiada berjawab. "Tentunya bagus cerita yang kau baca."
Ia membungkuk dan pada bahunya aku rasai gigilan menahan sedan. Kuhadapkan badannya padaku. Mendadak ia merangkul dan meledak dalam tangis yang ditekan. "Mengapa kau, Ann " Kan aku tak lukai hatimu ""
Dan entah berpuluh atau beratus kalimat telah kuhamburkan untuk menghiburnya. Dan ia tak juga bicara. Ia rangkul aku erat-erat seperti takut diri ini lepas dan terbang ke langit hijau......... Annelies cemburu.
Percakapan dua orang terdengar memasuki pintu yang tak tertutup rapat itu. Makin lama makin jelas berasal dari korridor loteng. Terdengar Mama memanggil-manggil. Annelies dengan sendirinya melepaskan pelukannya. Aku keluar menjenguk. Juffrouw dan Nyai sedang menanti aku di depan pintu sebuah kamar loteng. "Juffrouw ingin melihat perpustakaan kita, Minke. Mari kau antarkan," ia membuka pintu kamar yang belum pernah aku masuki.
Kamar itu perpustakaan Tuan Herman Mellema. Luasnya sama dengan kamar Annelies. Tiga buah lemari dengan jajaran buku berjilid mewah berderet di dalamnya. Terdapat juga sebuah kotak kaca dalam lemari itu yang ternyata koleksi cangklong Tuan Mellema. Perabot semua bersih tanpa ada kotoran. Lantai tak ditutup dengan permadani, dan menampakkan geladak kayu biasa, bukan parket, juga tidak disemir. Meja hanya sebuah dengan sebuah kursi dan sebuah fauteuil. Di atas meja berdiri kaki lampu dari logam putih dengan empat belas lilin. Sebuah buku, yang ternyata bundel majalah, terbuka di atas meja.
"Bagus sekali ruangan ini, bersih dan tenang," Magda menebarkan pandang pada jendela-jendela kaca yang membabar-kan pemandangan pedalaman. "Indah sekali!" Kemudian ia langsung pergi ke meja dan mengambil bundel majalah tsb. Bertanya tanpa melihat pada siapa pun, "Siapa yang membaca Indis-ene Gids ini "" "Bacaan pengantar tidur, Juffrouw."
"Pengantar tidur!" ia membelalak pada Nyai. "Dokter menganjurkan banyak membaca sebelum tidur." "Nyai sulit tidur ""
"Ya." "Sudah lama itu Nyai tanggungkan "" "Lebih lima tahun, Juffrouw." "Dan Nyai tidak sakit karenanya "" Mama menggeleng, tersenyum.
"Lantas apa hendak Nyai cari dalam majalah ini "" "Hanya supaya bisa tidur."
"Bacaan apa lagi pengantar tidur Nyai "" tanyanya seperti jaksa. "Apa saja yang terpegang, Juffrouw. Tak ada pilihan." Magda Peters mengedip cepat lagi.
"Apa yang Nyai lebih sukai di antara semuanya "" "Yang aku dapat mengerti, Juffrouw."
"Apa Nyai tahu.tentang assosiasi Snouck Hurgronje ""
"Maaf," Nyai mengambil majalah itu dari tangan guruku, mencari-cari halaman tertentu, kemudian menunjukkan pada Magda Peters.
Guruku menyapukan pandang dengan cepat, mengangguk, menatap aku, dan: "Mengapa kau bawa assosiasi itu ke diskusi-sekolah " Kan lebih baik kau bertanya pada Nyai ""
"Hanya ingin tahu lebih banyak dari itu,"' jawabku sekali pun tak pernah tahu betul dalam rumah ini ada perpustakaan dan ada majalah yang pernah memuatnya. Magda Peters sekarang memeriksa buku-buku dalam lemari. Sebagian besar bundel majalah yang dijilid indah. Seakan ia hendak memeriksa isi kepala Nyai. Ternyata ia tidak begitu tertarik: peternakan, pertanian, perdagangan, kehutanan dan kayukayuan. Kemudian: bundel berbagai majalah wanita dan majalah umum dari Hindia, Nederland dan Jerman. Sebagian terbesar pustaka itu disapu saja dengan pandangnya. Kemudian balik lagi pada deretan bundel majalah kolonial, dan berhenti lama pada deretan sastra dunia dalam terjemahan Belanda.
"Tak ada dari sastra Belanda di sini* Nyai."
"Tuanku kurang tertarik, kecuali tulisan orang-orang Vlaam."* "Kalau begitu Nyai juga membaca buku-buku Vlaam "" "Ada juga."
"Apa sebab Tuan Mellema tak suka pada karya-karya Belanda, kalau boleh bertanya ""
"Tak tahulah, Juffrouw. Hanya dia pernah bilang, terlalu kecil-mengecil, tidak ada semangat, tidak ada api."
Magda Peters mendeham dan menelannya. Ia tak mencoba bertanya lebih lanjut. Kembali dilepaskannya perhatian pada se--i
luruh perpustakaan, seakan mencoba mengesani, ia telah mendapat gambaran sekedarnya tentang tingkat kebudayaan keluarga Mama, keluarga yang banyak dipergunjingkan di sekolahku belakangan ini.
"Boleh aku bicara dengan Annelies Mellema "" "Ann, Annelies!" panggil Mama.
Aku pergi ke kumurnya. Kudapati ia sedang duduk di belakang jendela. Pandangnya tertebar di kejauhan sana, pada gu-nung-gemunung dan hulan.
"Kau tak suka datang, Ann ""
Ia masih incmbcrcngut. Menjawab pun tidak.
"Biliklah. Tinggal saja di kamar, Ann," clan aku pergi meninggalkannya. "Ann!" panggil Nyai sekali lagi, lunak.
"Sedang tak enak badan lagi. Maafkan, Juffrouw, dia baru bangun sakit." Dua orang perempuan itu turun dari loteng ke persada sambil ramai berbincang. Aku tak tahu tentang apa saja. Sejam kemudian dengan bendi yang sama aku antarkan guruku pulang ke Surabaya.
Ia persilahkan aku duduk sebentar. Tetapi dalam perjalanan ia tak bicara. "Pertama, Minke, setelah melihat keadaan keluarga itu ingin rasanya aku sering datang ke sana. Mamamu memang luar biasa. Pakaiannya, permunculannya, sikapnya. Hanya jiwanya terlalu majemuk. Dan kecuali renda kebaya dan bahasanya, ia seluruhnya Pribumi. Jiwanya yang majemuk sudah* mendekati Eropa dari bagian yang maju dan cerah. Memang banyak, terlalu banyak yang diketahuinya sebagai Pribumi, malah wanita Pribumi. Memang betul dia patut jadi gurumu. Hanya gaung dendam dalam nada dan inti kata-katanya .... aku tak tahan mendengar. Sekiranya tak ada sifat pendendam itu, ah, sungguh gemilang, Minke. Baru aku bertemu seorang, dan perempuan pula, yang tidak mau berdamai dengan nasibnya sendiri." Ia menghembuskan nafas panjang. "Dan heran, betapa ia punya kesedaran hukum begitu tinggi."
Aku diam saja. Ada beberapa yang benar-benar aku tidak mengerti. Akan kutanyakan pada Jean kalau sempat.
"Seperti dongengan Seribu Satu Malam. Coba, ia merasa lebih tepat dipanggil Nyai. Aku kira hanya untuk membenarkan dendamnya. Memang Nyai sebutan Pribumi paling tepatuntuk gundik seorang bukan Pribumi. Dia tidak suka diperlakukan bermanis-manis. Dia tetap mengukuhi keadaan dirinya dengan kebesaran ditaburi dendam."
Aku masih juga tak menengahi. Nampaknya Mama ditampilkannya sebagai tokoh dalam buku sastra dan ia sedang menguraikan perwatakan di depan kias. "drang yang biasa memerintah, Minke, dengan bertimbang. Perusahaan lebih besar pun dia akan mampu pimpin. Tak pernah aku temui perempuan pengusaha seperti itu. Lulusan Sekolah Tinggi Dagang pun belum tentu bisa. Benar kau, seorang otodidak, sukses. Aku sudah bicara tentang segi perusahaan. God!" ia berkecapkecap. "Itu yang dikatakan lompatan historis, Minke, untuk seorang Pribumi. God, God! Mestinya dia hidup dalam abad mendatang. God!"
Aku tetap cuma mendengarkan.
"Dalam hal sastra dan bahasa tentu dia masih patut belajar padamu sekait pun belum tentu benar. Dia tak takut pada keke-> tiruan. Tabah, berani belajar dari kesalahan sendiri. God!"
Aku tetap ikuti terus kata-katanya tanpa menyela.
"Ingin aku menulis tentang keluarbiasaan ini. Sayang sekali " aku tak bisa menulis seperti kau, Minke. Benar juga katanya ta-f di: tanpa semangat, tak ada api. Keinginan aku punya, hanya keinginan. Tak lebih. Berbahagia, kau, bisa menulis. Lantas as-sosiusi itu, Minke, dia runtuh berantukan tanpa harga hanya oleh satu perempuan Pribumi, Mama-mu itu. Kalau ada barang seribu Pribumi seperti dia di Hindia ini, Hindia Belanda ini, Minke, Hindia Belanda ini, boleh jadi gulung tikar. Mungkin aku berlebih-lebihan, tapi itu hanya kesan pertama. Ingat, kesan pertama, betapa pun penting, belum tentu benar."
Ia diam sebentar, menghela nafas panjang lagi. Kedipan matanya tidak gugup. "Dia masih bisa lebih maju lagi. Sayang, orang semacam itu takkan mungkin dapat, hidup di tengah bangsanya sendiri. Dia seperti batu meteor yang melesit sendirian, melintasi keluasuan tanpa batas, entah di mana kelak bakal mendarat, di planit lain atau kembali ke bumi, atau hilang dalam ketakterbatasan alam."
"Betapa Juffrouw memuji dia."
"Karena dia Pribumi, dan wanita, dan memang mengagumkan "Silakan Juffrouw sekali-kali datang lagi."
"Sayang. Tidak mungkin."
"Kalau begitu sebagai tamuku." bumi manusia
"Tidak mungkin, Minke." "Mama memang selalu sibuk."
"Bukan itu. Nampaknya primadonna-mu itu tak suka pada ku, Minke. Maaf. Dan terimakasih atas undangan itu. Dia sa ngat mencintai kau, Minke, primadonna itu. Berbahagialah kau Mengerti aku sekarang apa arti semua pergunjingan itu."
14. AKU SUDAH MERASA TENANG DAN AMAN DI Wonokromo. Robert tak pernah kelihatan. Mama dan Annelies tak mengindahkannya. Walau begitu bukan berarti aku harus merasa telah menggantikan kedudukannya. Segala daya kukerahkan untuk mengesani orang luar rumah, aku bukan bandit, juga bukan bermaksud membandit. Dan bahwa aku hanya seorang tamu yang setiap waktu harus pergi.
Dan malam sehabis belajar ini sengaja aku tidak menulis. Ada keinginan meneruskan belajar setelah istirahat. Tak tahu aku mengapa sekarang aku rajin belajar. Ingin maju di sekolahan. Yang pasti bukan karena dorongan keluarga atau Annelies. Dorongan itu juga bukan karena surat-surat Bunda yang selai] bertanya kalau-kalau diri ini dihembalang kesulitan. Suratnya yang keempat kubalas. untuk menyatakan kelonggaranku, agar uang-bulananku sebaiknya untuk membiayai adik-adik. Surat-menyurat merupakan pekerjaan terberat. Dan semua masih tetap menggunakan alamat Telinga. Hanya untuk dan dari Miriam serta Sarah menggunakan alamat Wonokromo. Mereka yang memulai. Dan tak pernah kutanyakan dari mana mereka dapat.
Tiga soal aljabar telah kuselesaikan malam ini. Jam pendule menabuh sembilan kali. Begitu gaungnya padam pintu kamarku diketuk. Sebelum menjawab Annelies telah masuk.
"Kan menurut peraturan jam sembilan tepat kau sudah harus berbaring "" tegurku. "Tidak!" ia memberengut. "Tak mau aku tidur kalau Mas tidak lagi belajar di kamarku seperti yang sudah."
. "Kau semakin manja, Ann," dan, puh! Dokter Martinet takkan mungkin dapat mengurus pasien seorang yang sulit ini.
Aku tahu betul: dia benar tidak akan tidur sebelum kehendaknya terpenuhi seratus prosen.
"Mari naik. Ceritai aku sampai tertidur seperti biasanya." "Ceritaku sudah habis."
"Jangan bikin aku tak bisa tidur, Mas." "Mama punya banyak cerita, Ann."
"Ceritamu selalu lebih bagus," dan ia tutup semua buku dan ditariknya aku berdiri. Dokter yang patuh pada pasien ini mengikuti tarikannya, meninggalkan persada, naik ke loteng, melewati kamar Mama dan perpustakaan dan sekali lagi memasuki kamarnya. Beberapa hari belakangan ini sudah tak lagi ia kuselimuti dan klambunya tidak kuturunkan. Bagitu ia nampak semakin sehat ia harus lakukan sendiri. Ia langsung naik ke ranjang, membaringkan badan, berkata: "Selimuti aku. Mas."
"Masa kau akan terus jadi manja begini "" protesku.
"Pada siapa lagi dapat bermanja kalau bukan padamu " Nah. bercerita sekarang. Jangan berdiri saja begitu. Duduk sini seperti biasa."
Dan duduklah aku di tepi kasur, tak tahu apa harus kuper-buat di dekat dewi kecantikan yang mulai sehat ini.
"Ayoh, mulai saja cerita yang indah. Lebih bagus dari Pulau Emas dan Terculik-nya Stevenson itu, lebih indah dari Sahabat Karib Dickens. Cerita-cerita itu tidak bersuara, Mas."
Betapa aku harus selalu mengalah untuk kesehatannya. "Cerita apa, Ann " Jawa atau Eropa ""
"Maumu sajalah. Aku rindukan suaramu, kata-katamu yang diucapkan dekat kuping, sampai terdengar bunyi nafasmu."
"Bahasa apa " Jawa atau Belanda ""
"Sekarang kau sudah jadi bawel. Mas. Ceritai sudah."
Dan aku mulai mencari-cari cerita. Tak ada persiapan. Tak bisa datang begitu saja dalam pikiran. Pada mulanya teringat olehku kisah percintaan antara permaisuri Susuhan Amangkurat IV dengan Raden Sukra. Sayang terlalu mengerikan dan pasti tidak baik untuk kesehatannya. Dokter Martinet berpesan: Kau harus ceritai dia yang bagus, yang tak ada kengerian di dalamnya. Anak ini memang mengherankan, katanya lagi, biar pun tumbuh wajar, juga kecerdasannya, tapi mentalnya masih tetap bocah dari sepuluh tahun. Jadilah kau dokternya yang baik. Hanya kau bisa menyembuhkannya. Usahakan sampai dia percaya sepenuhnya padamu. Dia mengimpikan keindahan yang tak ada di dunia ini. Barangkali karena tadinya terlalu cepat dipaksa
bertanggungjawab. Dambaannya adalah suatu kelonggaran tanpa tanggungjawab. Minke, kecantikan tiada tara seperti itu tak boleh padam. Usahakan. Kalau Tuan berhasil jadi curahan kepercayaan, baru Tuan bisa dapat bangunkan kepercayaannya pada diri sendiri. Usahakanlah.
Mulailah aku bercerita sekena-kenanya. Bagaimana dongeng ini akan berakhir aku pun tak tahu. Pelaku-pelakunya akan kujambret serampangan. Biar mereka masingmasing merampungkan kisahnya sendiri.
"Di suatu negeri yang jauh, jauh sekali," aku memulai. "Kau tak diganggu nyamuk "" "Tidak. Mengapa nyamuk dimasukkan di negeri yang jauh itu "" ia tertawa dan giginya gemerlapan kena sinar lilin, sedang suaranya mendering lepas. "Di negeri yang jauh, jauh sekali itu tak ada nyamuk seperti di sini. Juga tak ada cicak merangkak pada dinding untuk menyambarnya. Bersih. Negeri itu sangat, sangat bersih."
Seperti biasa pandangnya tumpah padaku. Matanya gemilang, mengimpi, seperti kala ia sakit.
"...... Negeri itu subur dan selalu hijau. Segala apa di tanam jadi. Hama juga tak pernah ada. Tak ada penyakit dan tak ada kemiskinan. Semua orang hidup senang dan berbahagia. Setiap orang pandai dan suka menyanyi, gemar menari. Setiap orang punya kudanya sendiri: putih, merah, hitam, coklat, kuning, biru, jambu, kelabu. Seekor pun tak ada yang belang."
"Kik-kik-kik," Annelies menahan tawa kikiknya. "Ada kuda biru dan hitam," katanya pada diri sendiri, pelan.
"Di negeri itu ada putri cantik tiada bandingan. Kulitnya halus laksana beledu putihgading. Matanya gemilang seperti sepasang kejora. Tak bakal kuat orang memandangnya terlalu lama. Sepasang alis melindungi sepasang kejora itu, lebat seperti punggung bukit sana . Bentuk badannya idaman setiap pria. Maka seluruh negeri sayang"padanya. Suaranya lunak, memikat hati barangsiapa mendengarnya. Kalau dia tersenyum, tergoncang i-man setiap dan semua pria. Dan kalau tertawa gigi-putihnya nampak gemerlapan memberi pengharapan pada semua pemuja. Kalau dia marah, pandang terpusat, dan darah tersirat pada mukanya........heran, dia semakin cantik menawan......
"Pada suatu hari ia berkeliling di taman, naik seekor kuda putih......| "Siapa namanya, Mas, putri itu ""
Aku belum dapatkan nama yang tepat, karena memang belum lagi jelas cerita itu terjadi di Eropa, Hindia, Tiongkok atau Parsi. Jadi:
"..... semua bunga menunduk, meliukkan tangkai, malu karena kalah cantik. Mereka jadi pucat kehilangan seri dan warna. Kalau sang putri telah lewat baru mereka tegak kembali, menengadah pada sang surya dan mengadukan halnya, 'Ya, Dewa Bhatara Surya, mengapa kami diperlakukan begini memalukan " Bukankah dulu pernah Kau titahkan kami turun ke bumi sebagai makhlukMu yang tercantik di seluruh alam ini " dan Kau tugaskan kami memperindah kehidupan manusia " Mengapa sekarang ada yang lebih cantik daripada kami "'


Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sang Bhatara menjadi malu karena ada pengaduan itu dan segera bersembunyi tersipu di balik awan tebal. Angin menghembus, menggoyangkan semua bunga yang pada murung bersedih hati. Tak lama kemudian hujan jatuh membikin layu daundaun bunga yang berwarna-warni itu.
"Sang putri meneruskan perjalanan tanpa mengindahkan apa yang terjadi di belakangnya. Hujan dan angin memang tidak sampaihati mengganggunya. Maka sepanjang jalan orang memerlukan berhenti untuk mengaguminya......" Kulihat Annelies telah memejamkan mata. Kuambil sapu ranjang dan kuusir nyamuk untuk kemudian menurunkan klam-bu.
"Mas," panggilnya, membuka mata, dan memegangi tanganku, menegah aku meneruskan niatku.
Aku duduk lagi. Cerita terputus. Aku gagap-gagap mencari sambungannya: "Ya, sang putri berkendara terus di atas kudanya. Semua orang yang memperhatikan merasa, betapa akan berbahagia diri bila para dewa mengubahnya jadi kuda tunggangan sang putri. Tetapi sang putri itu sendiri tak tahu perasaan mereka. Ia merasa dirinya tak beda dari yang lain-lain. Ia tidak pernah merasa cantik, apalagi cantik luarbiasa tanpa tandingan."
"Siapa nama putri itu ""
"Ya "" "Namanya.....namanya.....ia mendesak. "Tidakkah namanya Annelies "" "Ya-ya-ya, Annelies namanya," dan ceritaku berbelok pada dirinya, "Pakaiannya macam-macam. Yang paling disukainya gaun-malam dari beledu hitam, yang dipakainya sebarang waktu."
"Ah!" "Sang putri merindukan suatu percintaan yang indah, lebih indah daripada yang pernah dimashurkan terjadi di antara para dewa dan dewi di kahyangan. Ia merindukan datangnya seorang pangeran yang gagah, ganteng, perwira, lebih agung daripada para dewa.
"Dan pada suatu hari terjadilah. Seorang pangeran yang dirindukannya benar-benar datang. Dia memang ganteng. Juga gagah. Hanya dia tak punya kuda sendiri. Malahan tak dapat naik kuda."
Annelies mengikik geli. "Dia datang dengan dokar sewaan, sebuah karper. Pada pinggangnya tidak tergantung pedang, karena ia tak pernah berperang. Padanya hanya ada pensil, tangkai pena dan kertas."
Annelies tertawa lagi, ditekan. "Mengapa tertawa, Ann "" "Minkekah nama pangeran itu "" "Memang Minke."
Annelies menutup mata. Tangannya tetap memegangi lenganku, takut aku tinggalkan.
"Sang pangeran itu datang, masuk ke istana sang putri seakan habis menang perang. Mereka berdua pun bercengkerama. Sang putri segera jatuh cinta padanya. Tidak bisa lain."
"Tidak," protes Annelies, "sang pangeran menciumnya lebih dahulu." "Ya, hampir sang pangeran lupa. Ia mencium sang putri lebih dulu, dan sang putri mengadu pada ibunya. Bukan mengadu supaya sang pangeran dimarahi ibunya. Mengadu agar ibunya membenarkan sang pangeran. Tapi ibunya tidak menggubris." "Sekali ini ceritamu ngawur, Mas. Ibunya bukan saja tidak menggubris. Lebih daripada menggubris. Sang ibu marah."
"Benar sang ibu marah " apa katanya ""
"Dia bilang: Mengapa mengadu " Kan kau sendiri yang mengharap dan menunggu ciumannya ""
Sekarang akulah yang tak dapat menahan tawaku. Agar tak tersinggung buru-buru ceritaku kuteruskan:
"Betapa bodohnya sang pangeran. Dia sudah dua kali ngawur. Sebenarnya sang putri memang mengharap dan menunggu ciuman."
"Bohong! Dia tidak mengharap, juga tidak menunggu. Dia sama sekali tidak pernah menduga. Seorang pangeran datang. Tidak bisa naik kuda, malah pada kuda takut. Dia datang, tahu-tahu mencium."
"Dan sang putri tidak berkeberatan. Ya, sampai-sampai sandalnya ketinggalan....." "Bohong! Ah, kau bohong, Mas," ditariknya lenganku keras-keras, memprotes jalannya kebenaran yang tidak tepat.
Dan terjatuhlah aku dalam kelunakan pelukannya. Jantungku mendadak berdebaran ibarat laut diterjang angin barat. Semua darah tersembur ke atas pada kepala, merenggutkan kese-daran dan tugasku sebagai dokter. Dengan sendirinya aku membalas pelukannya. Dan aku dengar ia terengah-engah. Juga nafasku sendiri, atau barangkali hanya aku sendiri yang demikian, sekali pun tak kusedari. Dunia, alam, terasa hilang dalam ketiadaan. Yang ada hanya dia dan aku yang diperkosa oleh kekuatan yang mengubah kami jadi sepasang binatang purba. Dan kami tergolek tanpa daya, berjajar, kehilangan sesuatu. Seluruh alam mendadak menjadi sunyi tanpa arti. Debaran jantung terasa padam. Gumpalan-gumpalan hitam bermunculan dalam antariksa hati. Apa semua ini "
Dan Annelies memegangi tanganku lagi. Membisu. Dan kami diam-diam seperti bermusuhan. Bermusuhan "
"Menyesal, Mas "" tanyanya waktu aku menghembuskan nafas. Dan aku menyesal: terpelajar yang mendapat amanat sebagai dokter. Gumpalangumpalan hitam semakin merajalela. Dan memang ada sesalan lain tanpa semauku sendiri.
Annelies menuntut jawaban. Ia duduk dan mengguncangkan badanku, mengulangi pertanyaannya. Tidak pernah kukira kekuatannya kini demikian hebat. Jawabanku hanya hembusan nafas. Lebih panjang. Ia dekatkan mukanya padaku untuk meyakinkan diri. Aku tahu ia membutuhkan jawaban itu.
"Bicara, Mas!" tuntutnya.
Tanpa melihat padanya aku bertanya: "Benarkah aku bukan lelaki pertama, Ann ""
Ia meronta. Menjatuhkan diri. Menghadap ke dinding memunggungi aku. Ia tersedan-sedan pelan. Dan aku tak menyesal telah mengasarinya dengan pertanyaan yang menyiksa.
Ia masih juga tersedan-sedan dan aku tak menanggapi. "Kau menyesal. Mas. Kau menyesal," sekarang ia menangis. Kembali aku disadarkan oleh tugasku.
"Maafkan aku," dan kubelai rambutnya yang lebat seperti ia sendiri membelai bulusuri kudanya. Ia menjadi agak tenang.
"Aku tahu," ia memaksakan diri, "pada suatu kali seorang lelaki yang aku cintai akan bertanya begitu." Ia menjadi lebih tenang dan meneruskan, "Seluruh keberanianku telah kupusatkan untuk menerima pertanyaan itu. Untuk menghadapi. Aku tetap takut, takut kau tinggalkan. Akan kau tinggalkan aku, Mas "" ia tetap memunggungi aku.
"Tidak, Annelies sayang," hibur sang dokter. "Akan kau peristri aku, Mas "" "Ya."
Ia menangis lagi. Pelahan sekali. Bahunya terguncang. Aku tunggu sampai reda. Masih tetap memunggungi ia berkata sepa-tah-sepatah dengan suara hampir berbisik:
"Kasihan, kau, Mas, bukan lelaki pertama. Tapi itu bukan kemauanku sendiri - kecelakaan itu tak dapat kuelakkan."
"Siapa lelaki pertama itu "" tanyaku dingin. Untuk waktu agak lama ia tak menjawab. "Kau mendendam padanya, Mas, "" "Siapa dia ""
"Memalukan," ia tetap memunggungi aku.
Lambat-lambat tapi pasti mulai kusedari: aku cemburu. "Binatang yang satu itu." Ia memukul dinding. "Robert!" "Robert!" jawabku bengis. "Suurhof. Mana mungkin ""
"Bukan Suurhof," sekali lagi ia memukul dinding. "Bukan dia. Mellema." "Abangmu "" aku terduduk bangun.
Ia menangis lagi. Aku tarik dia dengan kasar sehingga tertelentang. Cepat-cepat ia menutupi muka dengan lengannya sendiri. Mukanya basah kuyup. "Bohong!'tuduhku, dan seakan sudah jadi hakku penuh untuk memberlakukannya demikian.
Ia menggeleng. Mukanya masih juga tertutup lengan. Aku tarik lengan itu, dan ia meronta melawan.
"Jangan tutup mukamu kalau tak bohong." "Aku malu padamu, pada diriku sendiri." "Berapa kali kau lakukan itu ""
"Sekali. Betul sekali. Kecelakaan." "Bohong."
"Bunuhlah aku kalau bohong," jawabnya kukuh. "Kelak kau akan tahu duduk perkaranya. Apa guna hidup tanpa kau percayai ""
"Siapa lagi selain Robert Mellema ""
"Tak ada. Kau."
Aku lepaskan dia. Mulai aku pikirkan keterangannya yang menggoncangkan itu. Ini barangkali tingkat susila keluarga nyai-nyai " Hampir-hampir aku membenarkan. Tapi suara Jean Marais terdengar lagi: terpelajar harus adil sejak di dalam pikiran. Terbayang Marais menuding dan menuduh: tingkat susilamu sendiri tak lebih tinggi, Minke. Dan aku jadi malu pada diri sendiri. Dia, Annelies, tidak lebih buruk dari Minke.
Lama kami berdua membisu. Masing-masing sibuk dengan hatinya sendiri. Kemudian terdengar:
"Mas, biar sekarang saja aku ceritakan," suaranya sekarang tenang. Ia perlu dapat membela diri. Sedu-sedannya digantikan oleh ketetapan hati. Hanya matanya kembali ditutupnya dengan lengan kanan.
"Aku masih ingat hari, bulan, tahun dan tanggalnya. Kau dapat lihat pada coretan merah pada kalender dinding. Kurang-lebih setengah tahun yang lalu. Mama menyuruh aku mencari Darsam. Orang-orang bilang dia sedang ada di kampung. Aku pergi mencarinya dengan kuda kesayanganku. Kumasuki kampung demi kampung sambil berseru-seru memanggil. Mereka -orang-orang kampung itu ~ sibuk membantu mencari. Dia tak dapat kutemukan.
"Seseorang memberitahukan, dia sedang memeriksa tanaman kacang di ladang. Aku membelok ke perladangan kacang tanah. Juga di sana tak ada. Biar pun tak ada pepohonan tinggi kelihatan pun ia tidak. Pakaiannya yang selalu serba hitam sangat memudahkan pengelihatan. Dia memang tidak ada."
"Seorang bocah yang kupapasi bilang, dia ada di seberang rawa. Waktu itu baru teringat olehku: dia sedang mempersiapkan ladang percobaan baru, yang waktu itu masih semak-semak tebal. Ladang itu menurut rencana akan ditanami rumput alfalfa dan jelai untuk ternak baru yang didatangkan Mama dari Australia. Tempat itu tak nampak karena dari luar terhalangi gla-jgah."
"Ingat kau pada sisa rumpun glagah, yang aku menolak kau ajak ke sana "" "Ya," dan muncul rumpun itu, rapat dan tinggi. Memang dia menolak. Aku masih ingat ia bergidik.
"Aku belokkan kuda ke sana sambil berseru-seru memanggilnya dari seberang rawa. Tak ada jawaban. Aku masuki jalan-setapak dicelah-celah glagah. Yang" kutemukan justru Robert."
"Ann," tegur Robert dengan pandang begitu aneh. Ia buang senapan dan rentengan burung belibis hasil perburuannya sepagi. 'Darsam baru saja lewat sini,' katanya. 'Dia bilang mau menghadap Mama. Dia lupa harus menghadap pada jam sembilan pagi.' Dia sudah terlambat dua jam.
"Aku merasa lega mendapat keterangan itu. 'Dapat banyak kau hari ini "' tanyaku. Ia ambil kembali rentengan belibis dan diperlihatkan padaku. 'Ini belum apa-apa, Ann,' katanya lagi, 'biasa saja. Hari ini aku dapat binatang aneh. Turunlah.' "Ia melangkah beberapa meter dan mengambil bangkai kucing liar besar berbulu hitam. Aku turun dari kuda.
"'Bukan sembarang kucing,' katanya. 'Barangkali ini yang dinamai Macan.* .. "Aku usap-usap bulu halus kurban yang terpukul pada kepalanya itu." "Memang tidak kutembak. Sedang enak tidur melingkar di bawah pohon dan kugebuk sekali mati.'
"Tangannya yang kotor memegangi bahuku dan aku marahi. Dia merangsang aku, Mas, seperti kerbau gila. Karena kehilangan keseimbangan aku jatuh dalam glagahan. Sekiranya waktu itu ada tunggul glagah tajam, matilah aku tertembusi. Ia menjatuhkan dirinya padaku. Dipeluknya aku dengan tangan kirinya yang sekaligus menyumbat mulutku. Aku tahu akan dibunuh. Dan aku meronta, mencakari mukanya. Otot-ototnya yang kuat tak dapat aku lawan. Aku berteriak-teriak memanggil Mama dan Darsam. Suara itu mati di balik telapak tangannya. Pada waktu itu aku baru mengerti peringatan Mama: Jangan dekat pada abangmu. Sekarang aku baru mengerti, hanya sudah terlambat. Sudah lama Mama menyindirkan kemungkinan dia rakus akan warisan Papa.
"Kemudian ternyata olehku dia hendak perkosa aku, sebelum membunuh. Ia sobeki pakaianku. Mulutku tetap tersumbat. Dan kudaku meringkik-ringkik keras. Betapa sekarang kupinta pada kudaku untuk menolong. Kubelitkan kedua belah kakiku seperti tambang, tapi ia urai dengan lututnya yang perkasa. Kecelakaan itu tak dapat dihindarkan.
"Kecelakaan, Mas," dan agak lama ia terdiam. Aku tak menengahi, hanya memindahkan ceritanya dalam bayanganku sendiri.
"Kuda itu meringkik lagi, mendekat dan menggigit pantat Robert. Abangku memekik kesakitan, melompat. Kuda itu memburunya sebentar. Ia lari keluar dari glagahan. Aku pungut senapannya dan lari keluar pula. Aku tembak dia. Tak tahu aku kena atau tidak. Dari kejauhan nampak olehku celananya ber-darah-darah dan meleleh pada pipanya. Bekas gigitan kuda.
"Senapan kulempar. Badanku sakit semua. Darah terasa asin pada mulutku. Tak mampu lagi aku naik ke atas punggung Bawuk. Mendekati kampung aku paksa naik juga untuk menutupi pakaian. yang koyak-koyak....."
"Annelies!" seruku dan kupeluk dia. "Aku percaya, Ann, aku percaya." "Kepercayaan Mas adalah hidupku, Mas. Itu aku tahu sejak semula. Agak lama kami terdiam lagi. Waktu itulah aku menjadi ragu pada pesan Dokter Martinet. Dia cukup dewasa. Dia tahu membela diri walau gagal. Dia mengenal makna mati dan kepercayaan.
"Kau tak mengadu pada Mama ""
"Apa kebaikannya " Keadaan tidak akan menjadi lebih baik. Kalau Mama tahu, Robert pasti dibinasakan oleh Darsam, dan semua akan binasa. Juga Mama. Juga aku. Orang takkan menyukai perusahaan kami lagi. Rumah kami akan jadi rumah setan."
Semua kata-katanya yang belakangan terasa kuat. Tapi tiba-tiba kekuatan itu lenyap: ia memeluk aku dan menangis lagi -menangis lagi.
"Benar atau salah aku ini, Mas ""
Aku balas pelukannya. Dan tiba-tiba jantungku berdeburan diterpa angin timur. Satu ulangan telah memaksa kami jadi sekelamin binatang purba, sehingga akhirnya kami tergolek. Sekarang gumpalan hitam tidak memenuhi antariksa hatiku. Dan kami berpelukan kembali seperti boneka kayu.
Annelies jatuh tertidur. Samar setengah sadar terasa olehku Mama masuk, berhenti sejenak di depan ranjang, mengusir nyamuk, bergumam:
"Berpelukan, seperti dua ekor kepiting." Setengah jaga setengah mimpi kurasai perempuan itu menyelimuti kami, menurunkan klambu, memadamkan lilin, kemudian keluar sambil menutup pintu.
15. TEMAN-TEMAN SEKOLAH TETAP MENJAUHI. Satu-satunya yang mulai mendekat tak lain dari Jan Dapperste. Selama ini ia jadi pengagumku dan menganggap aku sebagai Mei-kind*, sebagai anak keberuntungan, anak yang takkan menemui kegagalan.
Ia rajin belajar, namun nilainya tetap di bawahku. Uang sakunya setiap hari sekolah juga dari aku. Karena sang uang saku mungkin ia menganggap aku sebagai abang sendiri. Kami duduk satu kias.
Jan Dapperste selalu menyampaikan sassus tentang diriku. Jadi kuketahui segala perbuatan jahat Suurhof terhadap aku. Daripadanya juga aku tahu, Suurhof telah mengadukan aku pada Tuan Direktur Sekolah. Perduli apa, pikirku. Kalau memang hendak pecat aku, silakan. Di sekolah ini memang aku tak dapat berbuat sesuatu. Di tempat lain " Bebas dan bisa.
Sekali Tuan Direktur memang pernah memanggil, menanyakan mengapa sekarang aku jadi pendiam dan nampak tak disukai teman-teman. Aku jawab: aku menyukai mereka semua, dan tak mungkin memaksa mereka menyukai aku. Tentu ada sebabnya mereka tak suka, katanya lagi. Tentu saja. Tuan Direktur. Apa sebabnya " tanyanya lagi. Aku tak tahu betul, jawabku, hanya tahu ada sassus tentang diriku, dari Robert Suurhof.
"Sebab kau sekarang bukan salah seorang dari mereka lagi. Bukan bagian dari mereka, tidak sama dengan mereka."
Segera kuketahui: ini isyarat pemecatan. Baik diri ini telah kupersiapkan untuk menghadapinya. Tak perlu gentar. Tak boleh meneruskan " ~ tidak apa. Sekolah akhirnya toh pemenuh jadwal harian. Kalau bisa maju baik, tidak pun tak apa. "Kami harap kau dapat memperbaiki kelakuanmu. Kau calon pembesar. Kau mendapat didikan Eropa. Semestinya dapat meneruskan sekolah lebih tinggi di Eropa. Apa kau tak ingin jadi bupati ""
"Tidak, Tuan Direktur."
"Tidak "" ia tatap aku lebih tajam. Sebentar saja. "Ah-ya, barangkali kau hendak jadi pengarang seperti telah kau mulai sekarang. Atau jurnalis. Biar begitu kelakuan patut diperlukan dalam hidup ini. Atau perlu kiranya kutulis sepucuk surat kepada Tuan Bupati B. " atau Tuan Assisten Residen Herbert de la Croix ""
"Kalau memang Tuan rasakan ada gunanya menulis tentang diriku tentu saja tak ada jeleknya."
"Jadi kau setuju kutulis surat itu ""
"Bagiku tak ada soal. Itu urusan Tuan Direktur sendiri. Tak ada sangkut-paut dengan urusanku."
"Tak ada "" ia pandangi aku lagi, lebih tajam. Kemudian terheran-heran. Meneruskan dengan ragu, "Jadi siapa kuhadapi sekarang " Minkc atau Max Tollenaar ""
"Sama saja. Tuan, dua-duanya hanya satu pribadi dengan nama berlainan." Ia suruh aku pergi dan tidak memanggil lagi.
Juffrouw Magda Peters juga nampak menjauh walau pandangnya tetap ramah, dan kutemui hanya pada waktu pelajaran saja.
Diskusi-sekolah tetap dibekukan oleh direktur.
Dan heran, apa saja bakal terjadi aku merasa tidak tergantung pada siapa pun. Rasanya diri ini kuat. Tulisan-tulisanku semakin banyak dibaca orang. Juga semakin banyak diumumkan biar pun tak mendatangkan barang sebenggol pun selama ini. Sekiranya umum mengetahui aku hanya Pribumi mungkin bubar perhatian mereka, mungkin juga akan merasa terkecoh. Hanya seorang Pribumi! Terhadap ini pun aku sudah bersiap-siap. Jan Dapperste sudah menyampaikan padaku rencana Suurhof untuk menelanjangi aku di depan umum.
Panggilan direktur sekolah bukan satu-satunya yang mengisi hidupku dalam sebulan terakhir ini. Tak lama setelah bisikan Jan Dapperste dari S. N. v/d D datang permintaan agar aku datang. Tuan Direktur-Kepala Redaksi-Penanggungjawab Koran itu ingin bertemu.
Jan Dapperste tak menolak kuajak serta, Tuan Maarten Nijman menerima kami berdua dan menyodorkan padaku surat pembaca. Tepat seperti telah disampaikan Jan: Max Tollenaar hanya Pribumi saja. Aku dah Jan mengenal tulisan itu. Ia malah mengangguk mengiakan.
"Tuan memanggil untuk mendapatkan ganti kerugian karena surat ini "" tanyaku. "Jadi surat ini benar ""
"Benar." "Memang semestinya kami menuntut," ia tersenyum manis. "Tuntutan sudah disediakan. Tuan tahu tentunya apa yang hendak kami tuntut." "Tidak."
"Tuan Tollenaar, kami tuntut jadi pembantu kami, pembantu tetap," ia sodorkan kwitansi dan kuterima honoraria dari tulisan yang sudah-gudah, sekali pun tidak banyak. "Setelah ini, sebagai pembantu tetap, Tuan akan menerima lebih banyak." "Apa yang perlu kubantukan ""
"Tulisan apa saja, Tuan, dan sukses untuk Tuan." Bendi membawa kami ke sebuah restoran. Jan Dapperste memberikan ucapan selamat dan makan dengan lahap seakan ak pernah makan seumur hidup. Yang ketiga adalah pertemuan dengan Dokter Martinet, terjadi langsung setelah kami meninggalkan restoran. Juga bersama Jan Dapperste .
Dokter itu telah menunggu di serambi dan menyatakan hanya ingin bertemu denganku.
"Dan, Dokter," sapanya, "bagaimana pasienmu "" "Baik, Dokter."
"Maksudmu ""
"Sudah semakin sehat, sudah bekerja seperti sediakala, malah sekarang banyak membaca di waktu senggang. Sudah naik kuda lagi kalau pergi ke ladang atau kampung. Jadwal bacaan yang kususun dipatuhinya. Kadang kami bertiga dudukduduk mendengarkan . musik dari phonograf."
"Betul. Sudah baik seperti nampaknya."
Dan Jan Dapperste tertinggal seorang diri di serambi. "Namoaknya " Jadi belum seperti Tuan Dokter harapkan "
"Begini, Tuan Minke. Sudah lima atau enam kali belakangan ini akumemeriksa dia. Mulanya tak begitu kuperhatikan. Setelah untuk ketiga kalinya baru kuinsafi ia selaiau bergidik dan bulu ronanya menggermang bila tersintuh oleh tanganku. Sejak itu aku mulai curiga. Ada apa dalam tubuh gadis cantik ini " Aku kira ada sesuatu yang kurang pada tempatnya di
dalam bawahsadarnya. Segera aku pelajari sesuatu. Mula-mua aku simpulkan, dia jijik padaku. Baginya permunculanku mungkin seperti permunculan seekor hewan yang memang menjijikkan. Aku bercermin. Aku pelajari wajah sendiri sampai teliti. Tidak. Aku tidak berubah selama sepuluh tahun belakangan ini kecuali tambahnya monokel pada mata-kanan. Kan wajahku normal, malah kalau pun hanya sedikit, termasuk tampan ""
"Bukan sedikit, Tuan Dokter"
"Husy, sedikit pun cukup, yang banyak ada pada kau. Itu sebabnya dia memilih kau daripada aku."
"Tuan Dokter," seruku memprotes.
"Ya, Dokter Minke," ia tertawa. "Setelah aku mengenal Tuan, baru aku tahu, dia tak bergidik karena tampangku. Rupa-rupanya dia bergidik karena kulitku. Kulit putih." "Ayahnya kulit putih. Totok."
"Ts-ts, itu baru dugaanku. Ayahnya berkulit putih. Totok. Ya. Dengarkan, Tuan kupanggil untuk membantu memecahkan soal ini. Ya, ayahnya Eropa Totok. Justru karena itu. Berapa banyak di dunia ini anak jijik pada orangtuanya " Mendalam atau dangkal, menetap atau kadang saja " Tak ada angka-angka memang, tapi ada, dan tidak sedikit. Sebabnya karena kelakuan si orangtua sendiri, misalnya. Kalau kebetulan orangtua dan anak sama kulitnya tentunya dia takkan jijik karena warna kulit."
"Annelies juga putih."
"Ya, dengan kelembutan Pribumi. Aku sendiri pernah me-ngimpi mendapatkan dia. Lucu, bukan, Dokter Minke " Sayang terlalu muda untukku. Hanya mimpi! Jangan gusar. Bukan sung-guhan. Kenyataannya dia bergidik terhadapku. Dia memang berkulit putih. Aku punya dugaan begini: pengaruh dari luar, sangat kuat tak terlawan, telah membikin gambaran salah tentang dirinya sendiri. Ia merasa seorang Pribumi yang seasli-aslinya. Boleh jadi dari ibunya ia mendapat gambaran: semua orang E-ropa menjijikkan dan berkelakuan hina. Interpiu dengan Nyai dan Annelies sendiri memberanikan aku menarik kesimpulan ini. Memang Nyai luarbiasa. Kirakira semua orang mengakui. Kan pernah kukatakan pada Tuan, dia otodidak tanpa sadarnya sendiri " dan karena itu gagal di bidang lain " Dia tak mengerti bagaimana mendidik anak-anaknya. Dia telah tempatkan anaknya di tengah-tengah konflik pribadinya sendiri. Bukan hanya kekurangan sudah kegagalan, Tuan Minke." Nampaknya percakapan ini akan menjadi panjang. Aku minta ijin keluar sebentar dan menyuruh kusir mengantarkan pulang Jan Dapperste.
"Anak yang tak tahu sesuatu itu menerima segala yang dijejalkan padanya sebagai bagian dari dirinya sendiri/' Dokter Martinet meneruskan.
"Tapi Mama bukan pembenci Eropa. Dia banyak berurusan dengan orang Eropa, malah dengan orang-orang ahli, seperti Tuan sendiri. Dia malah membacai pustaka Eropa."
"Betul. Sejauh hal itu menguntungkan kepentingannya. Coba lihat, bagaimana hubungan dia dengan Tuan Mellema " Dia memang menjadi maju karena tuannya, tapi bawahsadarnya tetap bercadang dan mencurigainya. Semua orang kalangan atas tahu riwayat tragis Tuan Mellema dan gundiknya, kecuali Annelies sendiri yang tidak tahu, barangkali. Tanpa disadarinya ia telah bentuk Annelies jadi pribadinya yang kedua. Anak itu takkan bisa jauh dari ibunya untuk bisa berinisiatif. Inisiatif akan selalu bertiup dari pihak ibu, berupa perintah yang tak bisa ditawar. Kasihan anak secantik itu. Pedalamannya kacau. Tuan Minke. Otaknya berada di dalam kepala ibunya."
Aku terlongok-longok mendengarnya. Uraian yang membelit, sulit, untuk pertama kali kutemui, tapi jelas dan menarik. Mengherankan betapa orang bisa mengintip pedalaman seseorang seperti mengintip pedalaman arloji.
"Si ibu terlalu kuat pribadinya, dilandasi pengetahuan umum mencukupi untuk kebutuhan hidupnya di tengah rimba belantara ketidak-tahuan Hindia macam ini. Orang takut berhadapan dengannya karena sudah punya prasangka bakal tak bisa berkutik dalam pengaruhnya. Aku sendiri sering kewalahan. Sekiranya dia hanya seorang nyai biasa, dengan kekayaan seperti itu. dengan kecantikan sebaik itu. dengan suami tak menentu, sudah pasti akan banyak burung kutilang berdatangan memperdengarkan kicauan indah. Tapi tidak. Benar tidak. Tak ada yang datang. Tak ada yang berkicau ~ sejauh kuketahui. Totok, In-disch, apalagi Pribumi yang jelas tak bakal berani. Mereka tahu akan menghadapi macan betina. Sekali mengaum, satu pasukan jengkerik akan buyar tunggang-langgang belingsatan." "Tuan Dokter, apa semua itu benar ""
"Tuanlah yang membantu berpikir."
"Siswa H.B.S. begini, apa patut Tuan anggap berharga untuk pekerjaan begini "" Ts-ts-ts, justru Tuan yang paling berkepentingan. Dan, Dokter Minke, apa dikira aku sedang mendongeng " Tuan terpelajar, cobalah buktikan ketidakbenaranku. Itu sebabnya Tuan diperlukan datang. Tuan lebih dekat pada mereka. Sebenarnya Tuan sendiri yang harus menyelidiki untuk bisa memahami. Aku hanya mencoba memberikan sedikit titik-tolak. Tuan telah dewasa. Lagi puja hanya Tuan yang bisa jadi dokter Annelies. Bukan Martinet ini. Dia, gadis itu, mencintai Tuan, dan cinta tak lain dari sumber kekuatan tanpa bandingan, bisa mengubah, menghancurkan atau meniadakan, membangun atau menggalang. Cintanya pada Tuan saja yang kuharapkan bisa membebaskannya dari ibunya, biar dia jadi pribadi sendiri. Dari pengamatan belakangan ini, dari igauannya, dari sinar matanya, dia menyerahkan segala pada Tuan. Itu bukan dugaan, bukan andaian......"
Uraiannya semakin menarik karena memang menyangkut kepentinganku pribadi. "Sekali dia mulai membantah ibunya, itu berarti terjadinya gerak perubahan dalam pedalamannya. Memang akibatnya kesakitan, tepat seperti pada semua peristiwa kelahiran. Nyai sendiri tanpa disadarinya telah mempersiapkan terjadinya kelahiran dalam batin anaknya: dia tidak menentang hubungan Tuan dengan anaknya, malah menganjurkan dan menyarankan, malah mendorong-dorong. Dan masih ada satu hal yang mengganjal dalam hati si gadis.**
(Mungkin ada beberapa hal atau kalimatnya yang tak tertangkap olehku karena keterbatasanku, maka tak kutulis disini).
"Annelies. pacar Tuan itu. masih punya perkara yang membebani hatinya yang rapuh selama ini. Memang semua jalan telah terbuka, dirintis oleh ibunya. Nampaknya Tuan memang pemuda yang diharapkan Nyai untuk jadi menantunyua. Tuan sendiri nampaknya menyetujui harapan itu. Biar begitu ganjalan dalam batin si gadis itu bukan tidak menegangkan. Dia telah dapat menawan hati Tuan. kalau aku tidak keliru. Semestinya dia berhak untuk berbahagia. Tetapi tidak. Tuan Minke. Dia justru sangat, sangat menderita: ketakutan kehilangan Tuan. orang yang dicintainya sejujur hatinya. Nah. kan itu suatu tumpuk penderitaan batin yang majemuk " Orang bisa jadi gila. Tuan, bukan main-main. bisa jadi miring, sinting, tak waras, kentir...." Ia berhenti bicara. Dari saku dikeluarkannya setangan dan menyeka muka dan leher. "Panas." katanya. Kemudian berdiri, pergi kepojokan dan memutar pesawat p"r kiliran angin. Setelah kitiran berputar dan mulai menyejukkan ruangan ia kembali duduk. "Bagiku, sebagai persoalan, semua ini mengasyikkan, sebaliknya terlalu mengibakan melihat kemudaan dan kecantikan seperti itu dikuasai oleh ketidakmenentuan. ketakutan-ketakutan.....Mengerti Tuan maksudku "" "Belum, Tuan, ketakutan-ketakutan itu......"
"Nanti kita akan sampai juga. Barangkali sudah sejak Hawa kecantikan mengampuni kekurangan dan cacad seseorang. Kecantikan mengangkat wanita di atas sesamanya, lebih tinggi, lebih mulia. Tetapi kecantikan, bahkan hidup sendiri menjadi sia-sia bila dikuasai ketakutan. Kalau Tuan belum mengerti juga, inilah soalnya: dia harus dibebaskan dari ketakutan, semua ketakutan itu."
"Ya, Tuan." "Jangan hanya ya-ya-ya. Tuan terpelajar, bukan yes-man. Kalau tidak sependapat, katakan. Belum tentu kebenaran ada pada pihakku, karena aku memang bukan ahli jiwa. Jadi kalau tak sependapat, katakan terus-terang agar memudahkan pekerjaan menyembuhkan dia."
"Sama sekali tidak ada pendapat, Tuan."
"Tidak mungkin. Coba katakan." Aku diam saja. "Kan sudah tak terlalu panas " Lihat, Tuan Minke, dalam kehidupan ilmu tak ada kata malu. Orang tidak malu karena salah atau keliru. Kekeliruan dan kesalahan justru akan memperkuat kebenaran, jadi juga membantu penyelidikan." -
"Betul, Tuan, tidak ada."
"Aku tahu Tuan menyembunyikan sesuatu. Terpelajar pasti punya pendapat, biarpun keliru. Ayoh, katakan."
Matanya yang kelabu bening seperti gundu itu menatap aku. Dua belah tangannya ditaruhnya di atas pundakku:
"Pandang mataku, katakan sejujur hati Tuan. Jangan sulitkan aku." Aku tatap matanya, dan karena beningnya seakan penglihatanku dapat tembus sampai ke otaknya.
"Dengan hormat, katakan. Harap jangan bikin gagal pekerjaanku " "Tuan," aku mulai mengembik, "sungguh, baru sekali mi kutemui uraian semacam ini. Aku dalam keadaan terheran-he-ran, mana bisa menyimpulkan sesuatu "
Tentang Annelies dan Mama memang pernah aku rasai ada persoalan-persoalan tertentu. Terutama tentang Robert. Menurut perasaanku, bukan dan belum pendapatku, segala apa yang Tuan sampaikan padaku, kira-kira tidak ada salahnya. Malah membuka jalan untuk mengerti. Apakah aku keliru ""
"Cukup dan tidak keliru. Di bidang ilmu rendahhati kadang diperlukan. Hanya kadang saja. Untuk menjawab pertanyaanku Tuan tak perlu rendahhati. Tapi, ya, maaf, kalau tingkahku seperti jaksa. Aku yakin, ini untuk kepentingan Tuan juga." Putaran kitiran itu sudah mulai berkurang dan ia pergi ke-pojokkan untuk melakukan pemutaran p&r lagi.
"Baik," katanya tanpa duduk. "Kalau begitu dengarkan, barangkali bisa jadi pertimbangan di rumah nanti. Mula-mula tentang ketakutan kehilangan Tuan. Soal itu sepenuhnya tergantung pada Tuan. Tak ada orang lain bisa mencampuri. Begitu dia melihat tanda-tanda Tuan akan meninggalkannya, dia akan gelisah. Maka Tuan jangan sampai memperlihatkan apalagi melakukannya. Melakukannya berarti dia akan patah." Ia ambil pensil dari atas mejatulis. "Seperti ini," dan dipatahkannya pensil itu. "Patahan pensil ini memang masih bisa dipergunakan. Patahan jiwa tidak, Tuan Minke. Kalau hidup terus orang menjadi beban semua. Kalau mati dia akan jadi sesalan. Kan sekali sudah kukatakan: Tuanlah dokternya " Bisa jadi Tuan justru pembunuhnya: bila tuan mencederai cintanya. Nah, telah kukatakan, seterangterangnya. Tanpa malu, tanpa takut, tanpa pamrih. Terserah pada Tuan, hendak jadi dokter atau pembunuh. Dengan mengatakan ini tanggungjawabku menjadi berkurang."
Sekarang ia duduk lagi. Meletakkan patahan pensil di meja. kembali ia menatap aku, barangkali untuk meyakinkan tidak bergurau.
"Ya, Tuan Dokter."
"Pada pihak lain, Tuan Minke, justru karena ia jatuh cinta pada Tuan, dia mulai lahir menjadi pribadi, sebab ia dihadapkan pada masalah yang sepenuhnya bersifat pribadi, orang lain tak bisa memberi komando. Kelahirannya sebagai bayi pribadi membikin ia jatuh sakit."
Sekarang aku sungguh-sungguh tidak mengerti. Aku tatap matanya tenang-tenang. Entah karena apa tiba-tiba timbul kecurigaanku terhadapnya sebagai orang Eropa. Nampaknya ia tahu juga gerak batinku. Buru-buru menambahi: "Sekali lagi, Tuan, belum tentu kebenaran ada pada pihakku, separoh atau pun seluruhnya. Tetapi selama Tuan belum punya pendapat sendiri ada baiknya, barangkali, semua ini jadi pegangan Tuan agar tidak bingung. Pegangan sementara. Lama ia tak teruskan ceramahnya. Kira-kira ia mulai ragu. Sungguh, aku sendiri merasa terhibur bila ia diserang keraguan. Setidak-tidaknya aku dapat menghela nafas bebas. Memang hanya kata-kata yang dicurahkannya padaku. Tapi rasanya! rasanya! rasanya diri dipaksanya jadi landasan tempat ia hantamkan palu godam menempa pengertian.
"Ya, Tuan Dokter," dengan sendirinya aku memulai, hanya sebagai alamat, aku bukan landasan tak berjiwa.
"Ya," sebutnya seperti keluh. Dan nafas berat lepas dari dadanya yang mungkin sesak oleh persoalan. "Ya, semua itu baru dugaan semata, dugaan berdasarkan sejumlah kenyataan," sambungnya membela diri , atau juga minta maaf. "Aku tak kan meneruskan sebelum Tuan pergunakan giliran Tuan. Sekarang Tuan yang bercerita padaku. Di kamar mana Tuan tidur T
Dia tahu aku tak dapat menyembunyikan maluku. Di sekolahan pertanyaan demikian, kurangajar, tak bakal orang ajukan padaku.
"Dalam ilmu, malu tidak punya harga, biar pun hanya sepersepuluh dari sepersepuluh sen. Tuan, bantulah aku, dengan kesedaran penuh. Hanya kita berdua dapat hilangkan ketakutannya yang lain lagi itu. Jadi di mana Tuan tidur "" Aku tak menjawab. "Baik. Tuan malu perasaan tanpa nilai itu. Tapi karena itu justru membenarkan dugaanku. Jadi Nyai menghendaki keselamatan putrinya. Itu sebabnya Tuan malu bercerita. Tuan lelah tinggal sekamar dengannya. Kan tidak keliru ""
Tak mampu aku melihat wajahnya lagi.
"Jangan Tuan salah sangka," katanya gupuh, "bukan maksudku hendak mencampuri urusan Tuan. Bagiku, sekali lagi, yang penting tak lain dari keselamatan Annelies sebagai pasien, dan dengan sendirinya Tuan sendiri dan Nyai. Dari Tuan hanya diharapkan bantuan. Bantuan pengertian. Dugaanku hendaknya bisa mendapat pembenaran. Hanya itu obat terbaik baginya. Rahasia pribadi Tuan dan semua pasien terjamin dan terlindungi. Aku dokter tetap, Tuan dokter sementara. Nah, berceritalah sekarang."
Untuk memberi peluang padaku untuk menata diri ia pergi ke belakang. Kemudian muncul lagi membawa limun dan menuangkannya di gelas untukku. "Mengapa Tuan sendiri yang melayani ""
"Tak ada orang lain di rumah ini. Hanya seorang diri." "Babu dan jongos pun tidak ""
"Tidak." "Semua Tuan kerjakan sendiri ""
"Pembantu bekerja tiga jam sehari, kemudian pulang." "Makan Tuan ""
"Diurus restoran. Nah, mari kita teruskan. Minum dulu. Aku tahu Tuan membutuhkan keberanian," ia tersenyum manis. Dan aku tak berani.
"Pada saat yang diperlukan," ia mulai menasihati, "Tuan harus berani belajar dan belajar berani memandang diri sendiri sebagai orang ketiga. Maksudku bukan seperti yang diajarkan
dalam ilmu bahasa saja. Begini: sebagai orang pertama Tuan berpikir, merancang, memberi komando. Sebagai orang kedua, Tuan penimbang, pembangkang, penolak sebaliknya bisa juga jadi pembenar, penyambut. Tuan yang pertama. Tuan yang ketiga siapa dia " itulah Tuan sebagai orang lain, sebagai soal," ia mengetukngetuk meja dengan ujung jarinya. "Sebagai pelaksana, sebagai orang lain yang Tuan lihat pada cermin. Nah, ceritakan sekarang tentang Tuan ketiga yang dilihat Tuan pertama dan Tuan kedua pada cermin itu."
"Apa harus kuceritakan "" sekali lagi aku mengembik. "Apa saja, dalam hubungan dengan pasien Tuan." "Bagaimana harus memulai ""
"Jadi Tuan bersedia. Mari aku pimpin memasuki persoalan. Sebenarnya bukan Tuan tidak bisa memulai, tapi Tuan yang kedua belum rela sepenuhnya. Mari kita mulai. Tuan telah hidup sekamar dengan Annelies. Ya, sekarang teruskan sendiri." "Ya, Tuan."
"Bagus. Nyai tidak pernah melarang atau marah karenanya." "Tuan Dokter tidak keliru."
"Bukan aku. Nyai yang tidak keliru. Dia lebih benar dalam menyelamatkan anaknya. Jadi nasihat itu dilaksanakannya. Nah, mari kita teruskan. Tuan tidur terpisah atau seranjang ""
"Tidak terpisah."
"Mulai kapan itu terjadi "" "Dua-tiga bulan yang lalu."
"Cukup lama untuk dapat mengetahui ketakutan-ketakutan besar Annelies. Nah, sudahkah Annelies Tuan setubuhi ""
Aku gemetar. "Mengapa gemetar " Dengarkan lebih baik: di sini persoalan lebih penting. Siapa tahu harus menghadapi peristiwa sama di kemudianhari " Perlu minum lagi "" "Maaf, Dokter, ijinkan aku ke belakang."
"Silakan," dan ia antarkan aku ke belakang.
Tak ada orang aku temui di dalam mau pun belakang rumah. Sunyi-senyap seperti kuburan.
Di kamarmandi kucuci mukaku. Kubasahi rambutku. Kura-sai kesegaran air sejuk, dan hatiku ikut sejuk karenanya. Dengan setangan kuseka air yang bertetesan. Kemudian kuperguna-kan sisir dan cermin yang ada di situ. Nah, itulah Minke ketiga.
Begitu aku duduk di hadapannya lagi segera ia meneruskan:
"Semakin Tuan berusaha menyembunyikan sesuatu, semakin tegang syaraf Tuan." Dia semakin dapat menjenguk pedalamanku. Kembali aku menjadi gugup. Dan tak ada dedaunan tempat menyembunyikan muka.
"Nah, mari. Biar terimakasihku pada Tuan semakin besar. Kan sekarang tak perlu kutanyai lagi " Bercerita saja dengan ke mauan sendiri."
Aku menggeleng. Tak mampu.
"Baik kalau Tuan masih membutuhkan penuntun. Tuan sudah tidur seranjang dengannya. Tuan sudah bersetubuh dengan* nya. Kemudian Tuan ketahui dia bukan perawan lagi. Tuan sudah didahului orang lain."
"Tuan Dokter!" aku terpekik. Tanpa sadarku syarafku tak dapat lagi menahan ketegangan dan menangis tersedu-sedu.
"Ya, menangislah, Tuan, menangislah seperti bayi, masih suci seperti pada kala dilahirkan."
Mengapa aku menangis begini " di hadapan orang lain " Bukan ibu bukan bapakku " Apa sesungguhnya aku risaukan " Barangkali tak rela rahasiaku, rahasia kami berdua diketahui orang "
"Jadi benar dugaanku. Sesungguhnya Tuan mencintai gadis itu. Kehilangan dia kehilangan Tuan. Tuan kehilangan sesuatu, dan Tuan hendak sembunyikan kekecewaan itu dari dunia. Dia bukan perawan yang suci lagi. Ya, teruskan menangis, tapi jawab pertanyaanku. Bukan pertanyaan terakhir. Adalah penting mendapat gambaran dari hubungan kelamin Annelies yang pertama kali untuk bisa mengirangirakan bagaimana pengaruh atas dirinya. Setiap hubungan seksuil pertama akan tetap terpateri dalam sanubari insan, -dan juga bisa menentukan watak seksuil-nya. Tidak, tidak, kurang tepat. Mestinya kukatakan begini: bisa menentukan watak seksuilnya di kemudianhari. Sekarang pertanyaan: Apa Annelies pernah mengatakan atau mau mengatakan siapa dia " Orang pertama itu " atau lebih tepatnya, siapa yang terdahulu daripada Tuan itu ""
"Aku tak mampu, Tuan Dokter," pekikku kesakitan.
"Tuan Minke yang ketiga yang harus dikedepankan. Juga belum pertanyaan terakhir. Siapa dia ""
Aku tak menjawab. "Jadi Tuan tahu betul siapa dia atau mereka." "Bukan mereka, Tuan Dokter, dia.** "Baiklah, dia r Ia menutup mata seperti sedang meresapkan sesuatu. Kemudian pertanyaannya yang tak acuh terdengar seperti halilintar yang menyedarkan aku: "Ya, dia. Memang Siapa dia ""
."Ah, Tuan Dokter, Tuan Dokter!"
"Baik, tak perlu disebutkan namanya. Orang itu Tuan nilai sebagai orang baik atau tidak " Maksudku bukan tindak berahinya, tingkah-lakunya sehari-hari." "Tak berani, Tuan Dokter, tak berhak menilai."
"Nampaknya semua Tuan anggap sebagai rahasia pribadi, atau rahasia keluara, atau calon keluarga Tuan. Memang mengharukan sikap Tuan setyakawan terhadap semua anggota keluarga atau calon keluarga." Ia membuang muka seakan sengaja meluangkan kebebasan untuk menggunakan mukaku sendiri. "Setidak-tidaknya aku dapat menduga siapa orang itu, ya, melihat, justru melihat dari sikap Tuan sendiri. Tuan masih muda, sangat muda, dan Tuanlah sekali pun untuk sementara ini - dokter sesungguhnya bagi Annelies. Jadi Tuan harus kuat. Tuan menyukai dia, sekiranya Tuan tak mau dikatakan mencintainya. Aku sendiri lebih suka menggunakan kata yang belakangan itu. Tuan telah mempunyai kesanggupan menerima akibat kekurangannya, bersedia bertanggungjawab atas keselamatannya. Bagaimana pun Tuan tak akan lepaskan dia, karena ribuan elang akan memunahkannya. Kecantikannya memang luarbiasa, kecantikan kreol yang memundamkan orang di negeri mana pun. Dibolak-dibalik Tuan toh akan memperistrinya. Jadilah dokter yang baik bagi dia, sekarang, kelak, dan untuk seterusnya. Semakin tua kehidupan yang dihadapi semakin majemuk, maka orang harus semakin berani untuk dapat menghadapinya."
Makin panjang ia bicara makin berjingkrak Robert Mellema dalam bayanganku, malah mel&d&k-l&d&k dan mengancam-ancam, melirik dan mengamangkan tinju. "Ya, sikap Tuan sendiri yang mengukuhkan dugaanku. Ka-jau Tuan tidak sudi membenarkan atau menyalahkan dugaanku itu, apa boleh buat.........." "Tuan Dokter, Tuan' Dokter......... abangnya sendiri, Robert Mellema." Gelas limun di tangan tuanrumah jatuh pecah di lantai. Aku melompat dari kursi dan lari keluar mendapatkan bendiku. ***
Beberapa kali Dokter Martinet masih datang berkunjung. Biasanya pada sorehari bila Nyai Ontosoroh dan Annelies sudah selesai bekerja. Mereka pun duduk di halaman depan sambil mengobrol dan mendengarkan tabung musik dari phonograf. Pada umumnya aku lihat dia sewaktu bendiku memasuki pelataran, dan setelah mandi aku pun ikut menemuinya Setelah interpiu mengguncangkan itu, tak pernah kuceritakan pada siapa pun kecuali pada buku catatanku, hormatku pa. danya semakin mendalam dan tulus. Bukan saja aku anggap dia sebagai seorang dokter yang trampil, seorang sarjana yang tinggi kemanusiaannya, juga seorang yang mampu memberi benih kekuatan baru dalam diriku. Betapa dia berusaha untuk memahami orang lain! Bukan hanya memahami mengulurkan tangan penolong sebagai dokter, sebagai manusia, sebagai guru. Ia seorang sahabat manusia penamaan yang pernah dipergunakan oleh Juffrouw Magda Peters dan kemudian ia dapat menyatakan persahabatannya melalui banyak cara. Dan setiap cara membikin orang menumpahkan kepercayaan padanya. Kadang aku merasa malu pernah mencurigainya, sekali pun itu telah jadi hakku.
Setelah lebih banyak kuperhatikan, taksiranku tentang-umurnya jadi berubah. Bukan empatpuluhan, tapi limpuluhan. Wajahnya selalu segar kemerahan, dan muda. Belum ada garis-garis usia mengotori mukanya. Setiap ucapannya menarik dan berisi, la pandai bercerita dan tanpa diketahui mencatat tanggapan orang terhadap ceritanya sebagai bahan untuk mengenal dan memahami pasien. Begitu menurut perkiraanku. Boleh jadi keliru.
Pada salah satu kunjunganku pada seorang pembesar untuk mengurus order pembikinan lukisan keluarga, kudapatkan tuan-rumah sedang membaca sebuah majalah Inggris di serambi. Waktu ia masuk untuk mengambil sesuatu majalah itu tertinggal terbuka. Kejadian itu memang suatu kebetulan. Lebih kebetulan lagi karena aku perlukan mengintip barang cetakan itu. Ada se* buah artikel Dokter Martinet di dalamnya. Judul: Awal Jaman Baru dan Gejala Pergeseran Sosial sebagai Sumber Penyakit Baru. Dalam suatu box terbaca: pengobatan tanpa mengenal latarbelakang sosial telah masuk dalam methode Jaman Tengah.
Tuanrumah datang dan majalah itu kuletakkan kembali. Sejak detik itu aku tahu, Dokter Martinet juga seorang penulis. Bukan penulis cerita seperti aku, penulis keilmuan.
Dan pada kedatangannya sore itu aku coba memperhatikan lebih baik lagi tingkahlakunya. Aku tak perlu lagi gentar padanya karena takut terintip pedalamanku- Seperti biasa ceritanya juga mengandung makna, sekali pun diucapkan sambil berkelakar. Tentang bocah kembar yang sejak kecil makan dari satu piring dan minum dari satu cawan. Begitu menginjak dewasa, biar pun wajahnya sama, mereka menjadi berlainan. Masing-masing digerakkan oleh keinginan dan impian yang berlainan. Asal keinginan dan impian sama akibat dari kenyataan yang tidak mencukupi. Dan: gambaran batin tentang diri yang berbeda, gambaran yang orang ingin menjadi.
Mula-mula aku tak mengerti maksudnya. Mama dan Annelies diam saja. Mungkin juga bosan, kalau ia tak segera menambahi:
"Seperti Juffrouw Annelies ini. Segalanya punya: uang, ibu yang menyayang, kecantikan tanpa banding, ketrampilan kerja. Tapi masih ada sesuatu yang Juffrouw rasai tidak atau belum punya. Keinginan itu harus disadari. Kalau tidak bisa jadi penyakit. Keinginan tak disadari memerintah tubuh dengan kejam, tak mengenal ampun. Perasaan dan pikiran dikuasainya, diperintahnya. Kalau tidak disadari orang bertingkah-laku seperti orang sakit bisa kacau. Nah, Juffrouw, apa yang diinginkan sebenarnya maka sampai sakit ""
"Tidak ada. Betul tidak ada."
"Dan mengapa tiba-tiba merah muka " Benarkah Jufrouw tak menghendaki Tuan Minke ""
Annelies melirik padaku, kemudian menunduk.
"Nah, Nyai, kalau boleh menyarankan, nikahkan lebih cepat mereka ini pada kesempatan pertama," ia menatap aku. "Dan Tuan Minke, Tuan kan sudah belajar berani " belajar kuat " di samping berani belajar "......"
Ia tak teruskan. Sebuah dokar sewaan datang. Kusir membantu turun seorang penumpang: Jean Marais. May melompat turun, kemudian memimpin ayahnya. Kuperkenalkan mereka pada yang lain-lain:
"Jean Marais, pelukis, perancang perabot rumahtangga, bangsa Prancis, sahabatku, tak berbahasa Belanda."
Suasana jadi berubah. Soalnya Dokter Martinet tak mengerti Melayu. Mama dan Annelies tak tahu Prancis, biar pun Dokter Martinet tahu. Hanya May dan aku yang tahu semua bahasa mereka. Dan May dengan cepatnya melengket pada Annelies. Dan Dokter Martinet mengangguk-angguk melihat keriangan Annelies mendapatkan adik sedang May mendapatkan kakak. Selintas ia menghadapkan matanya pada Jean Marais, bertanya dalam Prancis:
"Berapa anak Tuan ""
"May belum sempat bersaudara. Tuan Dokter," jawabnya dan matanya memancarkan tak senanghatinya mendapat pertanyaan itu.
Tapi Martinet dengan kebiasaan menembusi pedalamanorang itu tidak peduli, meneruskan dalam Belanda tanpa alamat tertentu:
"Kalau mungkin alangkah indah kalau mereka berdua diusahakan berkumpul. Mestinya sudah dari dulu......."
Sementara itu Annelies telah membawa May masuk ke rumah. Tak keluar lagi. Dari kejauhan terdengar tawa dan cericau mereka, kadang dalam Melayu, kadang dalam Jawa dan Belanda.
Jean Marais menggeleng mendengar suara anaknya. Wajahnya berseri. Hanya suasana kaku tetap menguasai kami suatu hal yang menyebabkan Dokter Martinet tak bersenanghati. Ia minta diri, naik ke keretanya yang menunggu di samping rumah.
"Tuan Martinet dokter pandai," kataku dalam Melayu. "Dia yang menyembuhkan Annelies. Kami sangat berterimakasih. Sedang sahabatku ini. Mama. dia datang minta ijin untuk melukis Mama, sekiranya Mama setuju dan ada waktu." "Apa guna dilukis ""
"Mevrouw," panggil Jean. "Nyai, Tuan, bukan Mevrouw."
"Minke sangat mengagumi Mevrouw......" "Nyai, Tuan."
"......sebagai wanita Pribumi luarbiasa. Dia banyak menyanjung Mevrouw, maka ..... " "Nyai, Tuan.
"______ maka kami bersepakat untuk mengabadikan dalam lukisan. Kelak, entah satu atau empatpuluh tahun yang akan datang, orang tentu akan masih tetap mengenal dan mengagumi."
"Maaf. Tak ada keinginanku untuk dikagumi."
"Dapat dimengerti. Hanya orang pandir mengagumi diri sendiri. Tapi jang mengagumi Mevrouw bukan Mevrouw pibadi, bukan justru saksi hidup pada jamannya."
"Sayang, Tuan. tidak ada kesediaanku. Berpotret pun ti-dak.w' "Kalau begitu ya, memang sayang sekal" Kalau begitu kalau begitu.... boleh kiranya memandangi M :ouw untuk dihafal dalam hati "" tanyanya sopan dan kikuk. Nyai jadi kemerahan. "Untuk kulukis kemudian di rumah ""
Pandang Nyai disapukan padaku, kemudian pada rumah, kemudian pada punggung papannama di kejauhan sana. Akhirnya pada meja kebun. Ia nampak risi, rikuh, dan salah tingkah.
Pendekar Guntur 21 Sherlock Holmes - Petualangan Enam Napoleon Candi Murca 8
^