Pencarian

Bumi Manusia 7

Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer Bagian 7


Gambaran nenek-moyangku yang belum lagi sempat berwajah menjadi buyar, digantikan oleh perasaan yang mengaduk dalam dada, memeras airmata lebih deras. "Restui anak ini, anak darahmu, anak kesayanganmu. Lindungi dia dari malapetaka, dari aniaya, fitnah dan dengki, karena dia anak kesayanganku, kulahirkan dia dengan penderitaan nyaris mati......"
'Bunda!" kurebahkan badan ke lantai dan kupeluk lututnya.
'...... aku tinggal hidup untuk menyaksikan hari ini. Inilah anak darahmu sendiri. Dekatkan dia pada kebesaran dan kejayaan.".
Kurasai tangan Bunda tergeletak di atas punggungku. Dan Bunda telah berhenti dari sedannya. Ia betulkan letak dudukku, letak untaian melati pada leher dan rangkaian bunga dalam genggaman. Dengan ujung kebaya ia seka airmataku. Dibenarkannya tegak daguku yang terlalu tinggi.
"Bersamadi, Gus, bersamadi sendiri, tanpa bantuanku."
Tamu berdatangan memenuhi ruangdepan, ruangdalam dan tarub. Hatiku masih mengurusi kesan-dalam yang ditinggalkan Bunda dalam melakukan upacara menjelang naik puadai pengantin. Tak pernah aku lihat pengantin pria mengalami upacara demikian. Boleh jadi improvisasi Bunda sendiri. Boleh jadi memang upacara khusus untuk putra yang dianggap mursal oleh keluarga; tapi tidak oleh ibunya. Kommer yang mendapat undangan pribadi khusus datang lima menit sebelum "jam tujuh. Dengan langkah tegap ia mendapatkan aku, mengulurkan tangan dan menjabat mesra, kemudian menyalami Annelies, kembali padaku, bilang: "Dengan perkawinan ini, Tuan Minke, lenyap sudah mulut kotor orang luar sana. Bukan itu saja. Tuan sudah selesaikan dengan baik apa yang Tuan sudah mulai.
Selanjutnya, kan kita bakalnya bisa bekerjasama ""
"Tentu saja, Tuan, dengan senanghati. Kita bisa jadi sekutu yang baik. Dan terimakasih atas ucapan selamat Tuan."
Ia seorang Indo yangramah. Dari darah Eropa hanya bentuk kepala dan mancung hidung yang diwarisinya. Sisanya Pribumi, mungkin juga pedalamannya. Ia jauh lebih tua daripadaku, mungkin beda sepuluh atau limabelas tahun. Gerak-geriknya gesit. Dari wajahnya nampak ia seorang yang biasa hidup di luar rumah. Jean Marais dan May, Telinga dan Mevrouw, datang dengan andong sewaan. Magda Peters, teman teman sekolah yang lain pada berdatangan dengan andong sewaan pula.
Nijman dan istri datang dengan kereta sendiri. Tuan Direktur dan para guru lain tidak ada yang datang.
Mereka diwakili oleh surat ucapan selamat yang dibawa oleh Magda Peters. Pada jam tujuh kurang satu menit datang tilgram dari Miriam, Sarah dan Herbert de la Croix. Dan aku kembali heran, dari Mama mereka tahu tentang perkawinan ini. Robert Suurhof tidak kelihatan sebagaimana sudah kuduga sebelumnya. Para nasabah Mama berdatangan seperti rayap. Perkara belakangan ini yang memunculkannya sebagai bintang pengadilan boleh jadi telah menjadi iklan yang menarik dan berhasil untuk perusahaannya.
Dokter Martinet dengan luwesnya bertindak sebagai pengacara. Pada jam delapan tepat ia . angkat pidato dengan fasihnya. Mula-mula dikisahkannya percintaan kami berdua yang menghadapi badai besar, sebuah badai yang baru ditemuinya dalam kisah percintaan yang pernah dikenalnya cukup baik untuk dibukukan. (Justru karena pidatonya itu aku susun pengalamanku sampai menjadi naskah ini). "Kisah ini hanya satu-satunya," ia meneruskan pidatonya, tak mungkin terulang." Dokter yang fasih itu sebentar membikin pendengarnya diam terpukau, kemudian gelak-gelak. Semua yang dianggapnya penting diberinya tekanan dengan gerak-gerak tangan. Sayang ia tak -bicara Melayu, maka banyak juga yang tak mengerti. Selesai dengan kisah percintaan kami dengan indahnya ia membelok pada soal lain yang tak terduga:
"Sekarang lihatlah potret yang tergantung di atas puadai mempelai yang berbahagia ini."
Dengan gerak tangan yang tak kurang indahnya ia antarkan pandang hadirin pada potret Mama di atas kami berdua.
Lukisan itu, ia menerangkan, tak lain dari gambar seorang wanita Pribumi yang memang luarbiasa untuk jamannya, Nyai Untosoroh, seorang wanita cerdas, ibu pengantin wanita dan mertua Tuan Minke. Ia seorang pribadi cemerlang, seorang nahkhoda yang tak bakal membiarkan kapalnya rusak di tengah peayaran. Apalagi tenggelam. Dengan kenachodaannya sajalah peristiwa berbahagia sekarang ini bisa terjadi, bersatunya kegemilangan wanita dan kecekltan bakat seorang pujangga muda. Dengan kenakhodaannya dua pasang tangan akan bergandengan seumur hidup, menempuh kehidupan gemilang di depan mereka
Tahukah para hadirin siapa yang melukis potret hebat di atas itu " Seorang pelukis berbakat! Bukan pelukis sembarang pelukis. Kalau diperhatikan betul nampak pelukisnya benar tahu jiwa yang dilukis. Ia mengagungkannya. Aku kira kata-kataku ini tidak keliru. Kan demikian, Tuan Jean Marais " Ya, para hadirin, pelukisnya seorang Prancis, negeri yang punya tradisi besar di bidang seni. Tuan Marais, silakan berdiri.....
Nampak olehku Telinga menolong Jean Marais berdiri, dan hadirin bersorak gegapgempita. Orang Prancis itu kemerahan malu dan segera duduk di tempatnya kembali. v
Pidato pendek itu sungguh membelai kami. Juga terasa ia sedang melancarkan propaganda untuk Mama dan Jean Marais.
Dari tempatku nampak Darsam berpakaian serba hitam berdiri di sesuatu jarak. Kumisnya lebat melintang, bapang. Matunya berkeliaran. Tak ada parang padanya. Yakin aku, ada pi-sau-pisau Herder berselitan di balik bajunya.
Nyai Ontosoroh, mertuaku, duduk di belakang tabir di belakang puadai, menangis tiada henti-hentinya. Bunda berdiri di samping manantunya dan terus-menerus mengayunkan kipas dari bulu merak.
Di belakang tabir pula para tamu wanita diurus oleh Mevrouw Telinga. Di bawah kaki kami berdua makin lama makin tinggi tumpukan hadiah entah dari siapa saja." Sedang karangan bunga berjajar di samping-menyamping kami. Makin lama makin panjang.
Pada jam sembilan malam pesta untuk penduduk kampung dimulai dengan terdengarnya gamelan Jawa-Timuran; tayub. Antara sebentar terdengar derai soraksorai. Para pendekar anak-buah Darsam telah diperintahkan menjaga agar tak ada terjadi kerusuhan atau perkelahian. Dan tuak disediakan, mengalir tiada putusnya. Pada jam setengah sepuluh para tamu mulai pada pulang. Mula-mula sekali Dokter Martinet karena ada panggilan orang sak.t Barang enam detik setelah itu datang seorang pemuda! berpakaian serba hitam. S.sirannya mengkilat. Sebuah setangan fantasi menghiasi kantong-atasnya. Seutas rantai mas menunjukkan adanya arloji mas di dalam sakunya. Ia berjalan tegap
gagah, diantara para hadirin yang bersiap menuju ke tempat kami duduk. Tisak keliru, ia Robert Suurhof.
Dengan sangat sopan ia ulurkan tangan mengucapkankan selamat. Kemudian pada Annelies-
"Maafkan, agak terlambat, Mevrouw ia membungkuk lebih sopan. "Kami gembira kau datang, Rob" kataku
"Maafkan semua yang sudah lalu', Minke " katanya tanpa mengurangi kesopanannya seakan ia bukan teman sekolah.
Tanpa menunggu jawaban ia keluarkan sebentuk cincin emas bermata berlian yang sangat, sangat besar, diambilnya tangan istriku dan mengenakannya pada jarinya. Ia putar cincin tu sehingga permata terlindung dalam genggaman. Kemudian ia membungkuk tangan itu, seperti dalam roman jaman tengah. Menurut perkiraanku ia terlalu lama mencium tangan itu. Kemudi ia mengisarkan badan padaku. "Aku tidak menyalahi janji, Minke; aku sangat mengagumi lebih daripada yang sudah-sudah," dan ia serahkan kotak terikat pita jambu padaku. "Ini kenangkenangan untukmu pada hari perkawinanmu. Semoga berbahagia untuk selamalamanya.'
'Terimakasih, Rob, untuk kebaikan dan perhatianmu." Pada kesempatan ini aku pun hendak minta diri," ia melirik pada Annelies. "Akan belayar ke Eropa, meneruskan ke Hukum.
"Selamat belayar, selamat belajar, semoga berhasil." Ia berjalan gagah menggabungkan diri pada teman-temannya yang pada bersiap hendak pulang. Magda Peters dengan mata berkaca-kaca datang minta diri. ia jabat tanganku eraterat:
"Betapa inginku mengikuti perkembanganmu dalam tiga tahun mendatang ini. Tak apalah. Kalau pada suatu kali kalian datang ke Eropa......... ingat-ingat alamatku." Ia berjalan cepat-cepat meninggalkan kami.
Tuan Telinga dan istri, Jean Marais dan anak, tidak pulang. Mereka menginap. Juga Jan Dapperste. Malah yang belakangan mi sibuk mengangkuti hadiah ke kamar pengantin di loteng dan mendaftari nama dan alamat para penghadiah. Di dalam tumpukan hadiah terdapat juga kiriman dari Miriam, Sarah dan Herbert de la Croix. Tak ada yang tahu siapa pembawanya. Secarik kecil surat yang terselip, tulisan Miriam, menyatakan
Malu kiranya kau mengundang kami", Atau bolehi jadi kami kurang begitu sesuai, sahabat " Ingin kami jadi pengapit bidadaari yang dimashurkan rupawan itu. Apa boleh buat. Kami hanya bisa mengucapkan selamat, dan jangan lupakan korespondensi kita. Selamat, salam dan puji-pujian untuk istrimu. Dalam bungkusan Sarah terdapat surat khusus: Aku akan pulang lebih dulu ke Eropa, Mmke. Beruntung sempat mengucapkan selamat pada hari perkawinanmu. Adieu!
Sampai berjumpa lagi di Eropa."
Dalam hadiah Juffrouw Magda Peters terdapat beberapa buku dan sebuah brosur tanpa nama pengarang dan tanpa nama penerbit, juga tanpa tahun terbit. Di dalam brosur terdapat tulisan' "Untuk seorang pengantin seperti kau, Minke, yang paling tepat adalah buku yang tidak setiap orang dapat memiliki, dan kupilih di antara yang akan sangat kau sukai. Kalau kau membaca tulisan ini, aku sudah akan sampai di rumah, terlalu sibuk untuk mengenangkan kebahagiaan seorang murid tersayang. Selamatlah kalian bersama-sama membangun kehidupan gemilang. Kalau pada suatu kali kebetulan kau terkenang pada gurumu yang buruk tapi tulus ini, Minke, ingatlah, di dunia ini ada orang yang berbesarhati pernah mempunyai seorang murid yang mengikuti jejak humanis besar Multatuli. Sekarang ini, Minke, Pemerintah Hindia telah memerintahkan aku meninggalkan Hindia, bahkan menunjuk kapal Inggris yang harus kutumpangi besok. Adieu!"
"Bacalah olehmu sendiri ini, Jan," kataku pada Dapperste. "Guru kita." "Ada apa, Mas "".
"Akhirnya benar juga desas-desus itu. Pemerintah mengusir Magda Peters. Kan mengharukan, Ann " Menghadapi kesulitan begitu besar masih juga memerlukan menengok kita "" "Diusir dari Hindia," bisik Jan setelah membacanya. "Ya, dan kau justru tak mau meninggalkan Jawa. Mau kau berbuat untuk kami, Jan "" "Tentu, Mas, dengan senanghati."
"Mau kau menguntapkan Juffrouw Magda sampai ke kapal atas nama kami berdua, Mama dan kau pribadi " Juga atas nama Bunda " Orang sebaik itu tak boleh dan tidak patut dilepas dalam kesepian."
Sebuah bungkusan kecil panjang ternyata berisi tangkai pena yang indah dengan pena keemasan. Secarik kartu pos dengan lukisan sendiri tulisi dengan huruf cetak. "Salam dan selamat sejahtera pada sepasang merpati, Minke dan Annelies Mellema, dengan harapan sudi apalah kiranya memaafkan dan melupakan seorang tak dikenal bernama : Si Gendut.
Hadiah itu jatuh ke lantai. "Mas!" tegur Annelies.
Jan Dapperste memungut benda itu
"Untuk kau itu, Jan," kataku Kartuoos d ngan sendiri itu kumasukkan dalam kantong" aku maih harus memutuskan akan kuhancurkan atau kusimpan untuk perksrsyang mungkin diadili kemudian.
Hari telah jam satu lewat. Jan Dapperste telah delesai dengan pekerjaannya. Ia keluar dari kamar setelah mengucapkan selamat malam sebagai penutup hari itu. Kuhampiri Annelies:
"Sekarang kau istriku, Ann." "Dan kau suamiku, Mas." -
Pintu diketuk Aku melompat dan membukakan. Mama masuk dengan mata bengkak, kenyang menangis. Ia dekati kami dan tak bisa bicara. Kami mengerti maksudnya: hendak memberikan petuah terakhir.
"Mama," aku mendahului, "kami berdua mengucapkan banyak-banyak tenmakasih atas segala yang telah Mama limpahkan pada kami, yang telah Mama usahakan, prihatinkan dan Mama pikirkan untuk kami. Kami akan tetap mengingat-ingat dan takkan melupakannya."
Ia mengangguk, kemudian keluar lagi.
Annelies menghampiri aku di bawah lampu gas. Ia ulurkan kedua belah tangannya. Ternyata ia tidak bermaksud hendak memeluk atau dipeluk.
"Cincin ini, copotlah."
Aku copot cincin mencurigakan dan cara memasangnya yang lebih mencurigakan itu. "Kau tak suka menerimanya ""
"Aku tak pernah membalas surat-suratnya."
Sekaligus menjadi jelas sikapnya selama ini. Ia mencintai Annelies tanpa sepengetahuanku. Aku perhatikan baik-baik cincin itu. Memang mas dua puluh dua karat bermata berlian. Tak jelas berlian benar atau hanya imitasi. Untuk berlian terlalu besarTak mungkin Suurhof memiliki kekayaan sehebat itu untuk dihadiahkan. Uang sakunya aku tahu tak pernah mencapai se-"nggit dalam sebulan. Orangtuanya pun aku kenal tak dapat dimasukkan golongan mampu. Malah ibunya sendiri tak pernah kelihatan be cincin! Dan mengapa hadiah itu tidak berkotak sendiri.
Maka benda itu kumasukkan ke dalam kantong. "Kembalikan saja, Mas" "Ya, akan kukembalikan."
Malam bertambah larut. Suurhof dan Gendut terus juga mengganggu.
19. ILMU PENGETAHUAN MAKIN BANYAK MELAHIRKAN Keajaiban. Dongengan leluhur sampai pada malu tersipu, tak perlu lagi orang bertapa bertahun untuk dapat bicara dengan seseorang di seberang lautan. Orang Jerman telah memasang kawat laut dan Inggris sampai India! Dan kawat semacam itu membiak berjuluran ke seluruh permukaan bumi. Seluruh dunia kini dapat mengawasi tingkah-laku seseorang. Dan orang dapat mengawasi tingkah-laku seluruh dunia. Tetapi manusia tetap yang dulu juga dengan persoalannya. Terutama dalam perkara cinta.
Lihat saja kotak yang ada dalam kantongku ini sebuah kotak karton keras dilapis linen hitam. Kecuali dua orang tak ada yang tahu apa isinya: aku sendiri dan Robert Suurhof. Bukan harta bukan uang, bukan permata, juga bukan azimat. Hanya selembar surat seorang manusia yang patah cinta kepada manusia lain yang justru mendapatkannya. Apa boleh buat, dunia modern tak mampu mendirikan sekolah untuk jadi ahli dalam memenangkan cinta.
"Minke, sahabatku," tulisnya dengan huruf tangan besar-besar namun masih nampak pena di tangannya gemetar.
Ia minta maaf sebesar-besar maaf telah melakukan perbuatan tidak adil, juga tidak jujur, bahkan dengki. Aneh, tulisnya, dasar perbuatan itu bukan kejahatan, justru cinta yang tulus dan berharap pada Juffrouw Annelies Mellema. Ia bercerita telah lima kali melihat Annelies, hanya tak pernah mendapat kesempatan bicara, bahkan bersalaman pun hampir-hampir tidak. Ia akui telah jatuh cinta dan tak dapat menanggungkan kenyataan H menanggung kesakitan melihat si Minke dengan mudah dapat memasuki rumah dan hati Annelies. Bukannya ia putusasa ia mengaku tak kenal putusasa. Ia masih tetap berpengharapan. Selalui berbagai jalan ia telah mengirimkan beberapa pucuk surat Selembar pun tak berbalas. Ia tak mampu melupakan
Sekarang semua sudah berakhir bagiku. Bagi kalian justru suatu permulaan. Aku mengakui masih tetap belum rela. Tak ada jalan lain untuk melupakannya daripada meninggalkan Hindia. Ya, Minke, aku harus belajar melupakan. Walau demikian jangan hendaklah hubungan kita dirusakkan oleh kesalahan-kesalahanku di waktu yang sudah........" .
Dua puluh hari setelah perkawinan kami datang surat dan Colombo. Juffrouw Magda Peters memberitakan, ia telah bela-yar dengan Robert Suurhof. Ia menjadi kelasi kapal, dan nampaknya sangat malu. Juffrouw menasehatinya, bahwa itu tidak tepat; kelasi bukanlah pekerjaan hina untuk lulusan H.B.S., apalagi ia punya maksud keras untuk meneruskan sekolah.
Bersamaan dengan itu datang pula surat dari Sarah, memberitakan kebagusan' Singapura dengan jalan-jalannya yang bersih dan lebar, ramai, namun tanpa debu, dan kapal-kapal yang begitu banyak seakan pelabuhan tak punya ruang cukup. Jauh lebih banyak kapal di sini daripada yang pernah dilihatnya di Amsterdam. Juga lebih banyak daripada di Rotterdam, tulisnya.
Sebaliknya surat Assisten Residen B. memberitahukan, permohonannya pada Pemerintah Hindia Belanda agar Pemerintah membantu aku meneruskan sekolah ke Nederland telah ditolak, sekali pun angka-angkaku cukup tinggi. Syarat utama dari Pemerintah: budi-pekerti. Dan itu aku tak memenuhi, tulisnya.
Itu juga buah kemajuan ilmu-pengetahuan. Sampai-sampai budi-pekertiku telah diberi tera mati tak bisa ditawar. Mula-mula oleh sekolahan. Kemudian oleh beritaberita tentang jalannya sidang. Memang aku tidak mengharap banyak dari orang lain, namun tera mati itu benar-benar menyakitkan. Tak pernah aku merugikan orang lain. Juga tak pernah mengurangi nama baik seseorang. Tak pernah menggelapkan barang orang. Juga tak pernah bergerak di bidang kontra-bande. Bagaimana harus membela diri terhadap penghakiman tak semena-mena ini " Barangkali hanya Jean Marais saja yang mengajarkan: harus adil sudah sejak dalam pikiran. Ternyata orang Eropa sendiri, dan bukan orang sembarangan pula, yang justru berbuat tidak adil dalam perbuatan.
Buah dunia modern itu juga barangkali telah membikin diri terbawa oleh kawatlaut buatan Jerman ke Eropa........
Tiga bulan telah lewat. Pekerjaanku sehari-hari hanya menulis di kantor menemani Mama, kadang juga membantunya.
Jan Dapperste telah menerima surat ketetapan Gubernur Jendral melalui Residen Surabaya. Sekarang namanya: Panji Darman. Ia mulai terbebas dari nama Dapperste yang terbenci itu. Lambat-laun pribadinya memang berubah ke arah sebagaimana ia sendiri kehendaki. Ia menjadi periang, suka bekerja, dan hatinya terbuka. Pada mulanya ia membantu Mama di kantor, kemudian dipindahkan ke kantor Tuan Doornenbosch, ikut mengurus perusahaan rempah-rempah.
Sebulan lagi telah lewat. Bunda telah dua kali menengok kami. Lima bulan telah lewat. Sarah de la Croix telah dua kali menyurati. Miriam memberitakan, ia juga akan pulang ke Eropa menyusul kakaknya. Tuan Herbert de la Croix akan tinggal seorang diri di gedung keresidenan yang besar dan sunyi itu, maka dimintanya aku lebih sering menulis. I^HB
Enam bulan telah lewat. Dan terjadilah apa yang harus terjadi: Annelies dipanggil (bersama Nyai) menghadap Pengadilan Putih. Siapa takkan terkejut " Sekali lagi Pengadilan. Sekarang Annelies dapat panggilan utama. .
Mereka berdua berangkat. Aku tinggal untuk menggantikan pekerjaan Mama. Memang tak banyak yang kukerjakan, hanya beberapa surat balasan pada tangsi militer dan kantor pelabuhan serta para pemborong makanan untuk kapal, mencatat pesanan-pesanan baru dan mutasi alamat. Tapi yang sulit adalah mengebaskan diri dari gangguan bekas Kompeni yang ingin merajuk Mama.
Mama sendiri pernah kusaksikan empat kali mengebaskan mereka. Serdadu-serdadu bekas Perang Aceh yang pada bergelandangan itu nampaknya banyak membicarakan Nyai di antara mereka sendiri, kemudian pada mencoba berpetualang untuk mendapatkan janda Mellema yang kaya-raya. -
Padaku sendiri datang seorang Indo, mengaku bekas Vaan-drig*, pernah dikaruniai bintang perunggu, katanya, mendapatkan sepuluh hektar tanah pertanian di pinggiran kota Malang sebagai bagian dari pensiun, dan ingin berkenalan dengan Mama. siapa tahu nantinya bisa ber-engko. Pada akhir pertemuan, orang yang mengaku bekas vaandrig itu minta pertolonganku untuk menyampaikan semua itu pada Nyai. Kalau berhasil, ia menjanjikan, ia bersedia memberikan hadiah apa saja yang aku pinta. Ini juga bagian dari pekerjaanku sekarang. Ia pergi lupa memperkenalkan namanya.
Selebihnya aku menulis untuk S.N.v/d D.
Sudah lebih tiga jam mereka pergi. Makin lama makin menggelisahkan. Tulisan kuhentikan. Setiap datang andong susu aku keluar menengok.
Empat jam telah lewat. Yang kutunggu-tunggu baru datang: kereta Mama. Dari jauh sudah kudengar suara Nyai:
"Minke, cepat!"
Aku lari menjemput di tangga rumah. Mama turun lebih dulu. Mukanya merahpadam. Ia mengulurkan tangan pada Annelies yang masih di dalam. Dan keluarlah istriku, pucatpasi bermandi airmata, membisu. Begitu turun ia terus menubruk dan merangkul aku.
"Bawa naik!" perintah Mama padaku, kasar.
Ia berjalan lebih dulu dengan langkah cepat dan masuk ke dalam kantor. "Kau berkelahi dengan Mama "" tanyaku. Ia menggeleng. Tetap tak ada suara keluar dari mulutnya. Aku bawa ia naik ke loteng. Badannya dingin.
"Mengapa Mama nampak marah ""
Ia tak menjawab. Dan ia menolak kubawa ke loteng. Dengan matanya ia minta didudukkan di sitje ruang depan. : "Kau sakit, Ann "" dan ia menggeleng. "Ada apa kau ini "" dan duga-sangka, bonekaku yang rapuh ini terserang gangguan, membikin diri jadi bingung. "Biar aku ambilkan minum."
Ia mengangguk. Aku ambilkan untuknya kan air dengan gelas. Ia minum, dan nampaknya sesak dadanya turun.
"Darsam!" pekik Mama dari kantor.
Aku lari mencari pendekar Madura itu. Kudapatkan dia di hendak mencabuti bagianbagian kumis yang tak dike-"Mengapa kau tak tidur saja, Ann "" tegur nyai cepatcepat. Istriku menggeleng. Mama masih nampak merah padam. "Apa sudah teijadi, Ma ""
Darsam memberi tabik pada Nyai dan keluar dan kantor. Nampaknya sudah ada kereta tersedia, karena secepat itu pula terdengar rodanya menggiling kerikil jalanan melewati depan kantor.
Mama tak mengindahkan pertanyaanku, pergi ke jendela; berseru keluar: "Cepat! Hati-hati!" ia berbalik menghampiri Annelies, mengusap-usap rambutnya dan menghiburnya, "Kau tak usah memikirkannya. Biar kami urus sendiri, Ann, aku dan suamimu." Kemudian padaku, "Akhirnya datang juga, Nak, Minke, Nyo, yang aku kuatirkan selama ini. Aku tak tahu banyak tentang hukum. Tapi kita harus mencoba melawan dengan segala daya dan dana."
"Ada apa semua ini, Ma ""
Ia sodorkan padaku surat-surat, salinan dan asli, berasal dari Pengadilan Amsterdam, cap-cap dari*Biro Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Jajahan, Kementerian Kehakiman. Pada bagian teratas tumpukan salinan surat Ir. Maurits Mellema dari Afrika Selatan kepada ibunya, Amelia Mellema-Hammers, yang memberikan kuasa pada yang belakangan untuk mengurus hak waris dari mendiang Tuan Herman Mellema, ayahnya, yang telah terbunuh mati di Surabaya, sebagaimana pernah diketahuinya beritanya dari surat ibunya. Kemudian salinan surat Amelia Mellema-Hammers atas nama anaknya, Ir. Maurits Mellema dan dirinya sendiri, memohon pada Pengadilan Amsterdam untuk menguruskan hakhaknya atas harta-benda mendiang Tuan Herman Mellema.
Selanjutnya: salinan surat-menyurat antara Pengadilan dan Kejaksaan Surabaya dengan Pengadilan Amsterdam, berkisar pada ada-tidaknya akta perkawinan antara mendiang Herman Mellema dengan Sanikem, ada-tidaknya surat wasiat mendiang sebelum meninggal, keputusan-keputusan Pengadilan dalam peristiwa yang dilakukan oleh Ah Tjong, penegasan tentang hilangnya Robert Mellema, salinan akta-akta pengakuan anak "J" Herman Mellema atas Annelies dan Robert, duaduanya anak yang dilahirkan oleh Sanikem berdasarkan keterangan resmi Kantor Catatan Sipil Surabaya. Kemudian salinan surat-menyurat antara Akontan Nyai dengan Pengadilan Surabaya, yang ri!nya berkisar pada penolakan Akontan tersebut untuk memberikan keterangan tentang kekayaan Boerderij Buitenzorg tanpa seijin yang berwenang. Salinan Kantor Pajak tentang jumlah pajak yang telah dibayar oleh perusahaan. Salinan Kantor Tanah tentang luas dan daerah perusahaan. Laporan Kantor Pertanian dan Kehewanan tentang jumlah sapi dan keadaannya. Kubacai surat-surat itu lembar demi lembar di bawah pandangan Mama dan Annelies seakan mereka mengharapkan pen-dapatku. Dan aku sama sekali tak tahumenahu tentang salah satu saja dari perkara yang terkandung dalam surat-menyurat salinan itu. Bahkan tak pernah terbayang olehku akan adanya surt-surat semacam ini di atas dunia ini. Dan tak pernah tahu ada orang yang dibayar untuk menuliskannya. Kemudian menyusul salinan surat-surat resmi keputusan Pengadilan Amsterdam.
Isi: memutasikan keputusannya pada Pengadilan Surabaya. Secara ringkas berbunyi: Berdasarkan permohonan dari Ir. Maurits Mellema dan ibunya, Mevrouw Amelia Mellema-Hammers, anak dan janda mendiang Tuan Herman Mellema, melalui advokatnya Tuan Mr. Hans Graeg, berkedudukan di Amsterdam, Pengadilan Amsterdam, berdasarkan surat-surat resmi dari Surabaya yang tidak dapat diragukan kebenarannya, memutuskan menguasai seluruh harta-benda mendiang Tuan Herman Mellema untuk kemudian karena dalam perkawinan antara Tuan Herman Mellema dengan Mevrouw Amelia Mellema-Hammers tidak diadakan syarat-syarat menjadi dua bagian; separoh untuk Mevrouw janda Amelia Mellema- Hammers yang jadi haknya sebagai istri yang syah, dan separohnya lagi dibagi antara anak-anak syah/diakui sebagai warisan. Tuan Ir. Maurits Mellema sebagai anak syah mendapat bagian 4/6 x 1/2 harta peninggalan; Annelies dan Robert Mellema sebagai anak yang diakui masing-masing mendapat 1/6 x 1/2 harta peninggalan. Berhubung Robert Mellema dinyatakan belum ditemukan baik untuk sementara atau pun untuk selama-lamanya, warisan yang jadi haknya akan dikelola oleh Ir. Maurits Mellema. Pengadilan Amsterdam telah juga menunjuk Ir. Maurits Mellema menjadi wali bagi Annelies Mellema, karena yang belakangan ini dianggap masih berada di bawah umur, sedang haknya atas warisan, sementara ia dianggap belum dewasa, juga dikelola oleh Ir. Maurits Mellema. Dalam menggunakan haknya sebagai wali, melalui advokatnya, Mr. Graeg telah mensubstitusi-kan kuasa pada confrere-nya, seorang advokat di Surabaya, yang mengajukan gugatan terhadap Sanikem alias Nyai' Ontosoroh dan Annelies Mellema kepada Pengadilan Putih di Surabaya tentang perwalian atas Annelies dan pengasuhannya di Nederland.
Rasanya aku menjadi pingsan membacai surat-surat resmi dengan bahasa yang dipergunakan begitu aneh. Sedikit dari isinya dapat kupahami benar: tak mengandung perasaan manusia I menganggap manusia-manusia hanya sebagai inventaris. "Mama tidak bilang apa-apa pada mereka. "Begini, Nak, Minke, Nyo, advokatku sudah ada di sana sebelum kami berdua datang. Dialah yang menguruskan surat-su-rat salinan ini. Di hadapan hakim dia pula yang menyampaikan isi dan keputusan Pengadilan Amsterdam. Juga memberikan penjelasan-penjelasan."
Dalam mendengarkan itu terngiang kata-kata Bunda: Belanda sangat, sangat berkuasa, namun tidak merampas istri orang seperti raja-raja Jawa. Apa sekarang, Bunda " Tidak lain dari menantumu, istriku, kini terancam akan mereka rampas, merampas anak dari ibunya, istri dari suaminya, dan hendak merampas juga jerihpayah Mama selama lebih dari dua puluh tahun tanpa mengenal hari libur. Semua hanya didasarkan pada surat-surat indah jurutulis-jurutulis ahli, dengan tinta hitam takluntur yang menembus sampai setengah tebal kertas. "Nampaknya harus ada batuan dari ahlihukum, Ma." "Mr. Deradera akan segera datang, kiraku."
Nama aneh itu sempat juga memasuki persoalanku yang sudah cukup banyak dan ruwet.
"Mr. Deradera Lelliobuttockx ..........
Untuk waktu agak lama kuhafal dan kucoba menuliskan namanya. Belum pernah aku bertemu dengannya pribadi. Mama sering datang padanya untuk urusan hukum. Menurut gambaran-ku tentunya ia bertubuh tambun dan besar seperti Tuan Mellema, berbulu lebat dan pirang. Dari namanya ia kubayangkan lebih mendekati sebangsa jin. Pasti ahlihukum ampuh. "Apa Mama tidak memprotes keputusan itu "" "Memprotes " Lebih dari itu menyangkal. Aku tahu mereka orang Eropa, dingin, keras seperti tembok. Kata-katanya mahal. Dia anakku, aku bilang. Hanya aku yang berhak atas dirinya. Aku yang melahirkan, membesarkan. Hakim itu bilang: Dalam surat-surat disebutkan Annelies Mellema anak akuan Tuan Herman Mellema. Siapa ibunya, siapa yang melahirkan . tanyaku. Di dalam surat-surat itu disebutkan perempuan sanikem alias Nyai Ontosoroh, tapi......... Akulah Sanikem. Baik, katanya, tapi Sanikem bukan Mevrouw Mellema Aku bisa ajukan saksi, kataku, akulah yang telah melahirkan dia. Dia bilang.
Annelies Mellema berada di bawah Hukum Eropa Nyai tidak. Nyai hanya Pribumi. Sekiranya dulu Juffrouw Annelies Mellema tidak diakui Tuan Mellema, dia Pribumi dan Pengadilan Putih tidak punya sesuatu urusan. Nah, Minke, betapa menyakitkan! Jadi aku bilang, aku akan sangkal keputusan itu, dengan advokat siapa saja yang mampu. Silakan, katanya dingin. Annelies hanya menangis dan menangis, sampaisampai aku lupa pada soal-soal lain."
Ia menarik nafas dalam. "Semestinya kau tadi juga datang, Nak, Nyo. Kau akan bisa bela istrimu dan kepentinganmu, biar pun tidak di dalam sidang. Dia, hakim itu, toh punya anak dan istri juga."
Aku yakin semua orang akan dapat mengerti perasaanku waktu itu: gemas, marah, jengkel, tapi tak tahu apa harus aku perbuat. Ternyata dalam hal ini aku hanya bocah kecil yang masih beringus.
"Aku bilang juga: anakku ini sudah kawin. Dia istri orang. Orang itu hanya tersenyum tak kentara dan menjawab: dia belum kawin. Dia masih di bawah umur. Kalau toh ada yang mengawinkan atau mengawininya, perkawinan itu tidak syah. Kau dengar itu, Minke, Nak " Tidak syah."
Ma "" Malahan aku diancam melakukan pelanggaran tidak melaporkan perkawinan yang tidak dibenarkan itu, dianggap bersekutu dalam pemerkosaan." Kantor sunyi. Tak ada langganan datang.
Kami bertiga terdiam. Hanya seorang advokat yang pandai dan jujur boleh jadi bisa melakukan sangkalan atas keputusan Pengadilan Amsterdam itu. Uh, Pengadilan Amsterdam! Sama sekali belum pernah melihat kami. Bagaimana bisa sebuah Pengadilan Putih pula, dengan orang-orang yang sangat, sangat terpelajar dan berpengalaman mengurusi keadilan, bisa bekerja memperlakukan hukum yang begitu berlawanan dengan perasaan hukum kami " Dengan perasaan keadilan kami " "Aku belum sampai bicara tentang pembagian peninggalan yang sama sekali tak menyebut-nyebut tentang hakku. Memang tak mencukupi surat-surat padaku yang membuktikan perusahaan mi milikku. Aku hanya mencoba mempertahankan Annelies. Hanya dia yang teringat olehku waktu itu. Kami hanya berurusan dengan Annelies, katanya. Kau seorang nyai, Pribumi, tak ada urusan dengan Pengadilan ini," dan Mama mengenakkan gigi, geram.
Akhir-akhirnya," katanya kemudian dengan suara rendah, persoalannya tetap Eropa terhadap Pribumi, Minke, terhadap diriku. Ingat-ingat ini: Eropa yang menelan Pribumi sambil menyakiti secara sadis. E-ro-pa..... hanya kulitnya yang putih, ia mengumpat, "hatinya bulu semata.
"Dan advokat itu orang Eropa juga, Ma ""
"Hanya pengabdi uang. Bertambah banyak uang kau berikan padanya, bertambah dia jujur padamu. Itulah Eropa."
Aku bergidik. Seluruh tahun-tahun pelajaran di sekolah di-jungkir-balikkan oleh seorang nyai dalam hanya tiga kalimat pendek.
Annelies telah tertidur kelelahan dari ketegangan emosi dengan badan tertelungkup di atas meja. Kuhampiri dan kubangunkan:
"Mari pindah ke atas, Ann."
Ia menolak pergi duduk tegak lagi di kursinya. "Tidur saja, Ann, biar kami urus kau sebaik-baiknya," pinta Mama, dan ia menurut.
Aku antarkan ia ke loteng, kuselimuti dan kuhibur: "Mama dan aku akan bekerja keras, Ann." |
Ia hanya mengangguk, dan aku tahu benar: mulutku telah membohonginya aku tak tahu sesuatu tentang seluk-beluk hukum, bagaimana pula hendak bekerja keras " "Aku tinggal dulu, ya Ann ""
Ia mengangguk lagi. Tapi tak sampaihati diri meninggalkannya dalam keadaan seperti itu seperti ikan yang sudah ada dipenggorengan. Betapa mengibakan nasib boneka rapuh, istriku ini. Nampak benar ia telah kehilangan kemauan untuk berbuat sesuatu.
"Panggilkan Dokter Matfinet, ya Ann " Ia mengangguk.
Aku turun dan kusuruh seorang memanggilkan dokter keluarga itu. Marjuki kulihat melarikan bendi menuju ke arah Surabaya. | Di kantor Mama sedang berhadapan dengan seorang lelaki Eropa, bertubuh kecil seperti kelingking, mungkin hanya setinggi pundakku, kurus dan gepeng. Kepalanya botak licin, matanya agak sipit. Ia berkacamata kodok. Mama memperhatikannya membacai surat-surat dari Pengadilan Amsterdam untuk Annelies. Itu rupanya Meester Deradera Lelliobuttockx. Jelas ia bukan sebangsa jin. Dan dialah ahlihukum MEama selama ini.
Heran juga mengapa Mama masih mau berurusan dengan-nya. Kan di depan hakim dia telah tidak berbuat apa-apa " Aku perhatikan mereka berdua. Mama memang sudah tidak semerah tadi, Gerak-geriknya pun lebih tenang.
Minke, inilah Tuan Deradera..... dan kami berkenalan "Ini Minke, suami anakku, menantuku.
"Ah-ya, sudah banyak kudengar tentang Tuan. Bolehkah aku menyelesaikan mempelajari kembali surat-surat ini dahulu "" dan tanpa menunggu jawaban ia kembali pada pekerjaannya.
Orang sebesar kelingking, dengan muka penuh bekas ledakan gunung jerawat itu sampai berapa kekuatannya menghadapi kesewenangan dan keperkasaan dan kedinginan hukum dan keadilan Eropa " Dan kalau dia orang Eropa pada siapa akan berpihak "
Dan ia pelajari kertas-kertas itu lembar Jemi lembar, membalik-balik dan membacanya kembali.
Mama sekarang mondar-mandir menyelesaikan pekerjaannya, bahkan sendiri menyugukan minuman. Ahlihukum itu tetap tenang mempelajari berkas salinan seakan tak ada terjadi sesuatu di sekelilingnya.
Pada akhirnya, sejam kemudian, ia tumpuk surat-surat itu' dan ditindihnya dengan batu hitam, batu penindih. Ia merenung penting, menyeka muka dengan setangan, mendeham sembari menatap aku, kemudian pada Mama, dan ia tak bicara apa-apa. "Jadi bagaimana Tuan LeIliobuttockx "" tanya Mama, "oh, maafkan, tak tahu aku bagaimana harus menyebut nama Tuan dengan benar."
Ia tersenyum pendek saja yang ternyata karena ompongnya: "Oh, tak apa-apa, itu hanya nama untuk tandatangan. Nyai, jangankan tidak bisa disebut orang, tidak disebut pun tak mengapa."
"Tuan masih bisa berolok-olok dalam keadaan kami seperti ini, Tuan Lelliobuttockx!
Kami sudah pada setengah gila begini ""
"Memang begitu, Nyai, kalau soalnya hukum, orang tak perlu mengubah perasaan atau airmuka. Walhasil sama saja, apa orang tertawa, berjingkrak atau menangis meraung-raung. Dia tetap yang menentukan, hukum itu."
"Jadi kami akan kalah dalam perkara ini ""
"Lebih baik tidak bicara tentang kalah, Nyai," kata advokat itu dan tangannya mulai menggerayangi surat-surat itu kembali. "Kita belum lagi mencoba. Maksudku, harap Nyai tetap tenang dan dingin seperti hukum itu juga. Semua perasaan takkan ada pengaruhnya. Semua kemarahan dan kekecewaanakan sia-sia. Tuan dengar " tiba-tiba ia hadapkan mukanya padaku. "Tuan mengerti Belanda dengan baik ""
"Dengar, Tuan."
"Semua ini menyangkut nasib istri dan perkawinan Tuan. Mereka memang lebih kuat. Kita akan mencoba, artinya kalau Nyai dan Tuan punya kepercayaan, bahwa keputusan ini harus disangkal, paling sedikit pelaksanaannya bisa ditunda." Pada saat itu juga aku mengerti, kami akan kalah dan kewajiban kami hanya melawan, membela hak-hak kami, sampai tidak bisa melawan lagi seperti bangsa Aceh di hadapan Belanda menurut cerita Jean Marais. Mama juga menunduk. Ia justru yang lebih daripada hanya mengerti. Ia akan kehilangan semua: anak, perusahaan, jerih-payah dan milik pribadi.
"Ya, Minke, Nak, Nyo, kita akan melawan," bisik Mama. Dan tiba-tiba ia kelihatan menjadi tua, berjalan lesu pergi ke loteng untuk melihat anaknya. Meester Deradera Lelliobuttockx kembali tenggelam dalam berkas surat yang tadi juga. Kecurigaanku pada ahlihukum sebesar kelingking ini membuncah sehingga aku awasi tangannya, jangan-jangan ia copet satu-dua lembar kertas-kertas itu. Satu jam lagi berlalu. Mama turun lagi dan masuk ke kantor, duduk di sampingku di hadapan juris itu.
"Apa masih perlu dipelajari, Tuan "" tanyanya dengan suaranya yang dulu berpribadi.
Orang itu mengangkat kepala, menahan senyum, berkata:
Kita bisa coba, Nyai." Tuan tak punya keyakinan menang." Kita bisa coba," ia mulai hendak teruskan bacaannya. Mama mengambil surat-surat itu daripadanya: "Honorarium terakhir Tuan akan diantarkan ke rumah. Seamat sore. Mr. Deradera Lelliobuttockx berdiri, mengangguk pada kami kemudian diantarkan oleh Darsam pulang ke kota. Minke, kita akan lawan. Berani kau, Nak, Nyo "" Kita akan berlawan, Ma, bersama-sama."
Biar pun tanpa ahlihukum. Kita akan jadi Pribumi pertama yang melawan Pengadilan Putih, Nak, Nyo. Bukankah itu suatu kehormatan juga "" Aku tak punya sesuatu pengertian bagaimana harus melawan, apa yang dilawan, siapa dan bagaimana. Aku tak tanu alat-alat apa sarananya. Biar begitu: melawan! Berlawan, Mama, berlawan. Kita melawan.
Kalau Annelies bisa kau bikin bangun untuk melawan, dia takkan jatuh-bangun dalam kesakitan dan ketidakmampuan. Dia akan jadi teman-hidup terbaik bagi seorang suami seperti kau.
Dalam menunggui Annelies kulepas pikiranku untuk mendapatkan gambaran tentang segala yang sedang dan telah terjadi.
Ir. Maurits Mellema dan ibunya, bagaimana pun memang beralasan mendendam Herman Mellema. Apa kemudian nyatanya " Mereka tidak mendendam harta peninggalannya, bahkan menginginkan seutuhnya tanpa satu sen pun boleh lolos. Jadi: pada dasarnya mereka sudah mengharapkan kematian papa Annelies. Mereka sudah menyertai dan membenarkan perbuatan Ah Tjong dalam batin mereka. Dan mereka takkan dihukum karena itu. Kehidupan batin dan perasaan tak ada disebutkan dalam surat-surat resmi.
Benar, ini tak lain dari perkara bangsa kulit putih menelan Pribumi, menelan Mama, Annelies dan aku. Barangkali ini yang dinamai perkara kolonial sekiranya penjelasan Magda Peters benar *perkara menelan Pribumi bangsa jajahan. Tiba-tiba aku teringat pada golongan liberal yang menghendaki keringanan terhadap penderitaan pihak Pribumi seperti yang pernah disindirkan oleh guruku 'itu. Juga yang dikehendaki S.D.A.P.* Ah, Juffrouw yang budiman. Aku menyesal tak antarkan kepergianmu. Kalau kau masih di Surabaya, tentu kau akan mengulurkan tangan. Paling tidak memberi petunjuk, membantu kami. Dan kau pasti akan lakukan dengan senanghati.
Melalui Magda Peters memancar duga-sangka yang mungkin terlalu khayali: ia diusir dari Hindia untuk memudahkan pelaksanaan keputusan Pengadilan Amsterdam. Barangkali kau tidak diusir, hanya disingkirkan dari perkara yang bakal dilaksanakan. Duga-sangka mi mengambil bentuk yang lebih jelas: semua memang sudah diatur sebelumnya oleh persekutuan setan antara Maunts-Amelia dengan Pengadilan Amsterdam. Dan kalau benar Magda Peters dismgkirkan, Tuan Direktur Sekolah dan para guru HBS lah yang paling tahu keakraban kami berdua. Kalau duga-sangka khayali itu benar: semua adalah sandiwara setan untuk dapat menganiaya orang secara sadis. Maka juga lulusku sebagai' nomor dua untuk seluruh Hindia (nomor satu tidak mungkin) kurang-lebih adalah juga suatu sandiwara, hanya dibikin-bikin untuk menyenangkan golongan liberal atau S.D.A.P. Bolehkah aku punya duga-sangka semuluk itu Aauican sudah pikiranku sebagai terpelajar " Tidakkah aku terlalu bodon dan terlalu muda untuk boleh berdugasangka demikian ! Aku timbang dan timbang. Tak bisa lain, aku cenderung untuk membenarkannya. Pemecatanku dari sekolah, penarikan kembali pemecatan, penutupan diskusi-sekolah, pengusiran Magda Peters, campur-tangan Tuan Assisten Residen B., undangan yang diumumkan oleh Tuan Direktur Sekolah di hadapan pesta lulusan, juga ketidakhadirannya sendiri dan para guru dalam pesta perkawinan laini, malahan hanya diwakili dengan sepucuk surat
yang dibawa oleh Magda Peters......... Tidak, aku tidak terlalu bodoh juga tidak terlalu muda untuk mengerti. Satu-sama-lain bersangkut berpilin untuk memenangkan Maurits Mellema terhadap Pribumi Sanikem, anak dan menantunya, harta dan bendanya.
"Kau sudah dapatkan pikiran, Nak, Nyo ""
"Ma sore ini, kalau tidak meleset, akan terbit tulisanku yang pe"tuna dalam rangkaian ini. Kalau akal waras tak menyambut, Ma, kita kalah, Ma. Kita membutuhkan waktu."-
"Jangan pikirkan kekalahan, kata Deradera, pikirkan dulu perlawanan yang sebaik mungkin, sehormat mungkin. Deradera benar, hanya motifnya lain. Dia hanya menghendaki uang lebih banyak. Buaya kerdil itu.
"Kita akan berpaling pada golongan liberal, Ma."
Sore itu juga kukirimkan kawat pada Herbert de la Croix, berseru-seru pada hatinuraninya untuk perkara kami. Juga pada Miriam.. Apabila tak ada yang mau mendengarkan, tahulah aku: omongkosong saja segala ilmu-pengetahuan Eropa yang diagungkan itu. Omongkosong! Pada akhirnya semua akan berarti alat hanya untuk merampasi segala apa yang kami sayangi dan kami punyai: kehormatan, keringat, hak, bahkan juga anak dan istri.
Malam itu Mama dan aku duduk menunggui Annelies yang kembali harus dibius oleh Dokter Martinet agar bisa tidur. Dokter itu sangat prihatin melihat pasien dan ibu serta menantunya, yang terikat ketat oleh nasib buruk bikinan manusia, jauh diutara sana.
"Aku hanya seorang dokter, Nyai. Tak tahu hukum. Tak tahu soal politik," katanya menyesali diri.
Dia adalah orang kedua yang mengucapkan kata politik. "Memang patut aku minta maaf sebesar-besarnya tak dapat
berbuat sesuatu untuk meringankan penderitaan Nyai. Tak ada padaku teman-dekat orang besar, karena memang tidak pernah punya keanggotaan suatu kamar bola. Dan betapa kecilnya dokter itu menampilkan dirinya. "Sahabat-sahabatku hanya mereka yang membutuhkan pertolongan yang bisa aku berikan.
"Tapi Tuan merasa perlakuan terhadap kami ini tidak adil bukan "" tanya Mama. "Bukan hanya tidak adil. Biadab!"
Itu pun mencukupi, Tuan Dokter, kalau keluar dari hati tulus. Maafkan, aku tak ada kemampuan
Ia tinggalkan kami dengan wajah begitu prihatin. Di pintu ia berkata dengan nada keluh:
"Tadinya aku sangka: satu-satunya kesulitan dalam hidup
hanya urusan pajak. Tak pernah aku tahu ada kesulitan semacam ini di bawah kolong langit."
Ia hilang dalam kegelapan diantarkan oleh Darsam Sudah lima jam kawat pada Assisten Residen B. dan putrinya dikirimkan. Lima jam! Jawaban belum juga tiba Apa Her-bert dan Minam de la Croix sedang tak ada di rumah I Atau mereka justru mentertawakan kami sebagai Pribumi "
"Ya, Nak, Nyo, memang kita harus melawan. Betapa pun baiknya orang Eropa itu pada kita, toh mereka takut mengambil risiko berhadapan dengan keputusan hukum Eropa, hukumnya sendiri, apalagi kalau hanya untuk kepentingan Pribumi. Kita takkan malu bila kalah. Kita harus tahu mengapa Begini Nak Nyo, kita, Pribumi seluruhnya, tak ..bisa menyewa advokat
Ada uangpun belum tentu bisa . Lebih banyak lagi karena tak ada keberanian. Lebih umum lagi karena tidak pernah belajar sesuatu. Sepanjang hidupnya Pribumi ini menderitakan apa yang kita deritakan sekarang ini. Tak ada suara, Nak, Nyo membisu seperti batu-batu kali dan gunung, biarpun dibelah-belah jadi apa saja. Betapa ramianya bila mereka bicara seperti kita. Sampai-sampai langit pun mungkin akan roboh kebisingan.
Mama sudah mulai melupakan perasaannya sendiri. Ia telah menempatkan perkara itu jadi persoalan pikiran,-telah meninggalkan hati sendiri dan keluarga, telah menyangkut batu-batu kali, gunung batu cadas dan kapur, yang berserakan di seluruh bumi Jawa di seluruh Hindia, niereka yang bermulut tapi tak bersuara, dan tetap ada hati di pedalaman diri.
Dengan melawan kita takkan sepenuh kalah dan nada ucapannya adalah pengetahuan bakal kalah.
"Mereka tak kenal malu, Ma."
"Malu bukan urusan peradaban Eropa," Mama membeliak padaku seperti memarahi. "Kau yang selama ini sudah bergaul dengan mereka, bagaimana kau bisa bicara seperti itu " Kau, Nak, Nyo, sebagai Pribumi, mestinya dan harusnya malu punya pikiran seperti itu. Jangan sekali-kali bicara soal malu tentang orang Eropa. Mereka hanya tahu mencapai maksud-maksudnya. Jangan kau lupa, Nak, Nyo." "Baik, Ma," jawabku mengakui keunggulannya. Tentang benar-tidaknya tentu soal lain lagi.
"Aku tak pernah bersekolah, Nak, Nyo, tak pernah diajar mengagumi orang Eropa. Biar kau belajar sampai puluhan tahun, apa pun yang kau pelajari, jiwanya sama: mengagumi mereka tanpa habis-habisnya, tanpa batas, sampai-sampai orang tak tahu lagi dirinya sendiri siapa dan di mana. Biar begitu memang masih lebih beruntung yang bersekolah. Setidak-tidaknya orang dapat mengenal bangsa lain yang punya cara-cara tersendiri dalam merampas milik bangsa lain. "Ya, Mama," jawabku menampung kegusarannya yang mulai bangkit kembali. Mertuaku mengambil koran dari atas meja. Di dalamnya termuat tulisanku, dan ulasan dari Redaksi. "Tulisanmu ini begitu lunak, seperti tulisan gadis pingitan. Belumkah kau menjadi keras dengan pengalaman-pengalaman keras belakangan ini " dan sekarang " Keras tak dapat ditawar " Minke, Nak, Nyo," ia lanjutkan dengan bisikan, seakan ada orang lain lagi yang sedang mengintip kami. "Sekarang kau tulis dalam Melayu, Nak. Koran Melayu tentu lebih banyak dibaca orang." "Sayang, Ma, tak bisa menulis Melayu.'
"Kalau sekarang tak bisa, biar orang lain menterjemahkan untukmu. Sekaligus muncul Kommer dalam pikiranku.
"Baik, Mama," jawabku segera.
"Perkawinanmu syah menurut Hukum Islam Membatalkan adalah menghina Hukum Islam, mencemarkan ketentuan yang dimuliakan ummat Islam..... Ah, betapa aku impikan perkawinan syah. Tuan selalu menolak. Ternyata karena ia masih ada istri yang syah. Sekarang anakku kawin syah, jauh lebih tinggi daripadaku sendiri. Dan tidak diakui."
Akan kukerjakan sekarang, Ma. Mama tidur saja.
Dan ia berangkat tidur. Langkahnya tetap tegak seperti panglima yang belum kalah. Pagi jam tiga lewat sepuluh. Tulisanku hampir selesai. Dari kesunyian subuh terdengar derap kuda, makin lama makin mendekat, masuk ke pelataran kami. Tak lama kemudian Darsam memanggil-manggil dari bawah jendela. "Tuanmuda, bangun!"
Di bawah, dalam temaram lampu minyak di tangan Darsam kulihat berdiri bersama seorang Indo Eropa dalam seragam opaspos. Ia mengangkat tabik, bertanya dalam Melayu:
"Tuan Minke " Ada tilgram dari Tuan Assisten Residen B."
Dengan girangnya ia pergi lagi membawa persen satu ketip. Derap kudanya semakin lama semakin menjauh dalam selingan keruyuk ayam.
"Tuanmuda terlalu banyak kerja. Sudah subuh. Tidur, Tuanmuda. Nanti masih ada hari lain."
Ia sama sekali tak tahu apa sedang terjadi. Hanya dapat dirasakan ia sedang gelisah melihat segala kesibukan. Uh, Darsam, seribu orang seperti kau, dengan dua ribu parang sekaligus, takkan mampu menolong kami. Bukan soal daging dan baja, Darsam. Ini soal hak, hukum dan keadilan tak dapat kau lindungi dengan silat dan parangmu. Tiba-tiba datang bantahan: kau harus adil sudah sejak dalam pikiran, Nyo! Jangankan Darsam yang berparang dan pendekar, batu-batu bisu pun bisa membantumu kalau kau mengenal mereka. Jangan sepelekan kemampuan satu orang, apalagi dua!
"Baik, aku tidur, Darsam."
"Ya, tidurlah, Tuanmuda. Hari baru, kemungkinan baru."
Betapa bijaksana orang berbaju hitam itu. Aku naik ke loteng dan kubaca tilgram: "Minke, akan datang juris kenamaan dari Semarang. Lusa.
a. Jemput di stasiun. Kereta expres. Salam pada Nyai dan Annelies. Miriam dan Herbert."
Bunda! Bunda! akhirnya seruanku didengarkan orang juga. Dan kau sama sekali belum mendengar persoalannya. Tidurlah nyenyak, Bunda. Aku takkan bangunkan kau. Juga sekarang. Dan di sini putramu yang tersayang ini tidak akan lari. Dia akan bertahan dan melawan. Dia bukan kriminil, Bunda. Menantumu yang tersayang tak boleh dirampas. Dia akan persembahkan padamu cucu-cucu yang kau inginkan, biar kelak kau akan bisa hadiri perkawinan mereka sebagai Jawa.....___ Tulisan tentang pelanggaran terhadap Hukum Islam oleh hukum Putih dalam tulisan Belanda muncul dalam S. N. v/d D. Dalam Melayu muncul dalam koran Melayu- Belanda. Dua-duanya terbit pada sore yang bersamaan. Tuan Maarten Nijman sendiri datang ke rumah untuk menyampaikan nomor bukti. "Selama ini Tuan telah membantu kami dengan baik. Sekarang giliran kami membantu dengan sebaik mungkin," katanya. "Bantuan lain, bagaimana kami harus ringankan beban Tuan dan keluarga, kami memang tak dapat lakukan. Seluruh Staf Redaksi dan para pekerja menghargai perlawanan Tuan, dan bersympati sepenuh dan sejujur hati pada Tuan semuda itu, seperti pipit dirundung badai, tapi toh melawan. Orang lain akan patah sebelum mencoba, Tuan Toollenaar." Ia meminjam potret Annelies untuk diumumkan. "Kalau mungkin juga gambar Tuan dan Nyai. Dari Mama ia mendapat selembar gambar besar istriku berpakaian Jawa dengan berlian dan mutiara bertaburan.
"Hanya sayang gambar ini-tidak bisa segera diumumkan. Harus menunggu barang dua bulan," Nijman menerangkan. "Hindia masih rimba belantara. Di sini belum ada pabrik klise yang bisa menyalin gambar ini ke dalam timah. Sinkografi belum dikenal di sini. Klise gambar ini akan kami bikin di Hong-kong. Kalau Hongkong tak bisa melayani saking banyaknya pesanan dari Asia Tenggara, terpaksa harus dibikin di Eropa. Lebih lama lagi. Kalau ini berhasil bukan saja pengaruhnya akan lebih besar, juga kitalah yang pertama-tama di Hindia akan memuat potret dengan klise timah, bukan kayu, bukan batu.
Ia bicara banyak, mohon diperkenalkan dan bertemu dengan Annelies sendiri. Dan kami menolak dengan alasan ia sakit.
"Apakah Mevrouw Annelies sudah mengandung "" tanya Nijman. "Maafkan pertanyaan ini. Nampaknya memang tidak patut, tapi bisa mengubah keadaan. Boleh jadi bisa membatalkan keputusan Tuan Ir. Maurits Mellema, sekali pun tidak akan menggugurkan keputusan Pengadilan Amsterdam."
Annelies mengandung " Tak terpikirkan. Aku tak dapat menjawab. Mama juga tidak, malah mengembalikan lontaran pandang padaku.
Setelah ia pergi datang Kommer, juga membawa nomor bukti korannya. "Nyai, Tuan," katanya, "tulisan ini akan segera masuk ke Kampung-kampung. Kami sewa orang untuk membacakan pada Penduduk kampung. Orang akan merubung dia dan mendengarteil. Lima belas lembar khusus digarisi pensil merah telah dikirimkan pada para ulama Islam terkemuka. Mereka harus ikut bicara. Malam ini juga akan kucoba mendengarkan pendapat mereka. Nyai dan Tuan takkan berdiri sendiri. Anggaplah Kom-mer ini sebagai sahabat keluarga dalam kesulitan." ' l^H Dengan satu bendi kami berdua pergi ke Surabaya. Ia turun cn Ounungsari. Aku terus ke stasiun menjemput advokat yang tak kuketahui namanya itu. Kommer, sebelum kutinggalkan menjabat tanganku dari luar bendi. Matanya menyala bersemangat dengan tugas kemanusiaan itu. Kemudian ia lambaikan tangan, dan bendiku terus berjalan.
Advokat yang kujemput ternyata seorang setengah baya Ia seorang yang nampak tenang dan banyak senyum, suka mendengarkan, tidak seperti Meester Deradera Lelliobuttockx. Ia bernama......... aku takkan sebutkan namanya sekarang ini. Ia seorang terkenal dan hartawan karena prakteknya sebagai advokat dan pokrol gilang-gemilang, namanya pun sering disebut dalam perkara-perkara besar. Ia menginap di rumah kami. Semalam-malaman ia memnela an berkas Annelies, dan minta disewakan dua orang juru tulkis untuk menyalin semua dokumen tsb. Panji Darman, dahulu Jan
Daperste, dan aku bertindak sebagai Juru Tulis.
Ternyata aku ditolak karena tulisan tanganku buruk dan banyak melakukan kesalahan. Maka malam itu Darsam harus mencari seorang jurutulis BPM yang datang membawa tinta khusus untuk naskah resmi.
Tuan ... (yang ini aku tak berani menyebutkan namanya, dan siapa tahu dalam perkara ini tidak berhasil, maka akan merugikan prakteknya) mempelajari semua sampai pagi. Jurutulis yang dua orang itu menyalin dia kopi setiap naskah. Pada jam enam pagi para jurutulis pergi ke tempat pekerjaan masing-masing dan harus disewa jurutulis baru
Pada jam tujuh pagi, Tuan ... mulai menuliskan surat panjang yang disalin beberapa kopi oleh para juru tulis baru.
Dengan salah satu kopi suratnya ia berangkat ke Pengadilan Eropah di Surabaya bersama Darsam. Pada malam hari baru ia datang dan terus tidur. Tak ada yang kami ketahui apa yang terjadi di Pengadilan.
Berita sore itu, yang dimuat oleh Kommer, mengabarkan datangnya ulama-ulama memprotes keputusan Pengadilan Amsterdam di Surabaya, memprotes Pengadilan Amsterdam dan pelaksanaannya nya oleh Pengadilan Surabaya Mereka mengancan hendak membawa persoalan ini pada Mahkamah Agama Islam di Betawi. Dan mereka diusir oleh Polisi yang didatangkan untuk keperluan itu. . Komentar yang nampaknya ditulis oleh Kommer sendiri menganjurkan, seyogyanya pihak yang berkuasa bersikap lebih bijaksana menghadapi para ulama yang dihargai, dihormati, dimuliakan, dan didengarkan oleh para pemeluk Islam di daerah ini. Adalah berbahaya bermain-main dengan kepercayaan rakyat, jauh lebih berbahaya daripada, mempermain-mainkan kawula yang tidak berdaya atau pun merampas hak-milik dan anak bini mereka.
Untuk kedua kalinya Kommer muncul sebagai sahabat. Ia begitu pandai menjurubicarai kami, keadaan kami dan 'keadaan umum. Begitu sederhana dan mengharukan kata-katanya, namun mantap dan sarat. Dan, bukan tanpa risiko. S.N. v/d D. telah memuat percakapan antara Nijman dengan Nyai. Lebih dua puluh tahun aku membanting tulang, mengembangkan, mempertahankan dan menghidupi perusahaan ini, baik dengan atau tanpa mendiang Tuan Mellema. Perusahaan ini telah kuurus lebih baik daripada anak-anakku sendiri. Sekarang semua akan dirampas daripadaku. Sikap, penyakit, dan ketidak mampuan mendiang Tuan Mellema telah menyebabkan aku kehilangan anak-pertamaku. Sekarang seorang Mellema lain akan merampas bungsuku pula. Dengan menggunakan kekuatan Hukum Eropa orang menghendaki aku tertendang dari segala yang jadi hakku dan jadi kekasihku. Kalau itu dimaksud dengan sengaja terhadap kami, aku hanya bisa berkata begini: apakah guna sekolah-sekolah didirikan kalau toh tak dapat mengajarkan mana hak mana tidak, mana' benar dan mana tidak " Dan percakapannya denganku ditulisnya begini:
Kami kawin atas kemauan sendiri, yang disetujui oleh o-rangtua pihak perempuan. Diri kami adalah kepunyaan kami sendiri, bukan milik siapa pun, setelah perbudakan secara resmi dihapus pada 1860 secara undang-undang, sejauh yang pernah diajarkan dalam Nederlandsch-Indische Geschiedenis*. Dengan akan dilaksanakannya perampasan terhadap istriku daripadaku sesuai dengan keputusan Pengadilan, bertanyalah aku pada nurani Eropa: Adakah perbudakan terkutuk itu akan dihidupkan kembali " Bagaimana bisa manusia hanya ditimbang dari suratsurat resmi belaka, dan tidak dari wujudnya sebagai manusia " * Nederlandsch-Indische Geschenidenis (Belanda:) Sejarah Hindia Belanda. Kemudian interpiu dengan Dokter Martinet: Sudah agak lama aku mengenal keluarga ini. Jadi dapat kuketahui kondisi kesehatan Annelies Mellema sejak sebelum mau pun setelah kawin. Dengan hati berat terpaksa kukatakan anak ini sangat mencintai suaminya, ibu dan lingkungannya. Ia sangat terpaut pada ketigatiganya, keputusan Pengadilan Amsterdam itu, bila benar akan dilaksanakan akan bisa merusak hidup wanita muda cantik ini karena kekacauan emosi. Sampai sekarang Mevrouw Annelies masih harus dibius. Ia telah kehilangan kepercayaan akan adanya keamanan, kepastian dan jaminan hukum. Jiwanya kini terjejali oleh ketakutan dan ketidakme-nentuan. Apakah aku harus terus-menerus membiusnya sedang di luar kamarnya ada matari, ada tawa dan ada suka " Mengapa bidadari muda ini harus jadi bulan-bulanan keputusan-keputusan yang tidak punya sangkutpaut dengan kehidupan dan kebahagiaannya " Sebagai dokter aku tak berani bertanggungjawab bila harus terus-menerus membiusnya.
Advokat dari Semarang, Tuan........, membacai semua yang ada tentang perkara kami. Ia membuat catatan tetapi tak bicara apa-apa. Kami pun tak mengganggunya dengan pertanyaan. Di sorehari ia membacai juga koran dari kota-kota lain. Setelah itu baru ia membuka suara tentang banyak hal, dan:
"Kita harus tabah, Nyai......., Tuan......"
Dan pada keesokanharinya ia kembali ke Semarang. Kami tertinggal tanpa tulangpunggung seorang juris, tanpa alat pelawan langsung terhadap keputusan Pengadilan. " "Baik, Mama, yang tertinggal sekarang hanya pena," dan menulislah aku, berseru-seru, berpidato, mengeluh, meraung, mengumpat, mengerang, menghasut.
Kommer menterjemahkan dan membagi-bagi tulisan itu pada penerbitan-penerbitan yang menyediakan ruangan. i Dan bukan tanpa hasil. v^^H Mahkamah Agama di Betawi mengeluarkan pernyataan: perkawinan kami syah dan dapat dipertanggungjawabkan, tidak dapat diganggu-gugat. Sebaliknya beberapa koran kolonial mengejek, memaki dan melecehkan. Koran Nijman dan Kommers sibuk menyingkat pernyataan-pernyataan tsb. , 'M Pada waktu Annelies, istriku, bonekaku yang rapuh itu, terbaring seperti mayat di ranjangnya, Surabaya berada dalam demam persoalan tentang dirinya, tentang Nyai dan aku. Apa yang telah diusahakan Kommers sejak mula terjadi peristiwa ini nampaknya semakin berkembang. Korannya dibaca dan dibacakan di kampung-kampung, didengarkan oleh rombongan-rombongan besar orang. Tanpa melalui mata sendiri, tapi melalui kuping dan mulut perseoalan menjalar-jalar menjadi masalah umum.
Akhirnya Darsam mengetahui juga duduk-perkara tanpa pernah bertanya pada kami. Ia giat membaca koran Melayu dengan bantuan anak-anaknya.....
Sekali lagi Annelies dan Nyai mendapat panggilan dari Pengadilan. Annelies sendiri tidak mungkin. Hanya Mama dan aku yang berangkat tanpa disertai seorang advokat. Istriku dijaga khusus oleh Dokter Martinet. .'
Hakim itu langsung menanyakan di mana Annelies Mellema.
"Sakit. Dalam perawatan Dokter Martinet. "Ada dibawa surat keterangan dari Tuan Dokter " Aku terkejut mendengar jawaban Nyai yang kasar: "Apa Pengadilan juga sudah memutuskan mulutku tak dapat dipercaya ""
"Baik," jawab hakim dengan wajah merah. "Nyai semestinya bisa lebih sopan." : "Apa masih perlu orang yang akan kehilangan segalanya bersikap sopan menghadapi kehilangannya " Katakan saja apa hendak Tuan maui."
Hakim itu sengaja menghindari pertengkaran dengan perempuan Pribumi. Ia mengalah, "Baik. Di tanganku sekarang ada keputusan dari Pengadilan Surabaya untuk Juffrouw Annelies Mellema, anak akuan mendiang Tuan Herman Mellema. Menurut keputusan, Juffrouw Annelies Mellema akan diangkut dengan kapal dari Surabaya lima hari yang akan datang."
"Dia sakit," bantah Mama.
"Di kapal ada dokter-dokter pandai."
"Aku menyangkal pemberangkatannya," bantahku. "Aku suaminya." "Kami tidak punya urusan dengan siapa pun yang mengaku atau tidak mengaku sebagai suaminya. Juffrouw Annelies Mellema masih gadis, tidak bersuami." Setan yang satu ini memang tak bisa diajak bicara. Ia mengeluarkan arloji kantong, bangkit dari kursi dan meninggalkan kami.
Dengan marah tak terkira kami berdua meninggalkan gedung itu. Mama kupersilakan pulang dulu. Aku menghubungi Nijman dan Komrners, menyampaikan berita, bahkan ikut menyusun, bergantian ditempat mereka masing-masing, sampaisampai ikut menyusun huruf-huruf kapital di dalam percetakan.
Sore itu juga berita-berita itu terbit.
Dokter Martinet kudapati bersama Nyai sedang menunggu istriku di dalam kamar. Dua-duanya duduk diam-diam, menekur. Tak ada di antara mereka nampak ada keinginan bicara.
Keesokanharinya terjadi keajaiban.
Keputusan Pengadilan Surabaya menerbitkan amarah banyak orang dan golongan. Serombongan orang Madura, bersenjata parang dan sabit besar, clurit, telah mengepung rumah kami, menyerang orang Eropa dan hamba negeri yang berusaha memaki pelataran kami.
Di jalanan lalulintas memerlukan berhenti untuk menonton apa yang sedang terjadi di tempat kami.
Seorang Madura, berpakaian serba hitam, berjalan mondar-mandir dengan baju terbuka, menampakkan dadanya, seakan sengaja disediakan untuk melawan dan menerima risiko. Ujung ikat kepalanya menjulur panjang jatuh di atas bahu. Dari jendela kamar Annelies terdengar mereka tak henti-hentinya mengutuk dan menyumpahi keputusan Pengadilan Putih sebagai perbuatan kafir, durhaka, terkutuk dunia dan akhirat. Dari pagi benar sampai jam sebelas siang mereka menguasai pelataran sekitar rumah kami. HBI
Seluruh pekerjaan perusahaan berhenti. Para pekerja bubar ketakutan dan pulang ke kampung masing-masing.
Dua regu Veldpolitie* datang dalam iring-iringan kereta berkuda Gubermen. Dari kejauhan telah terdengar lonceng kuningan yang mereka bunyikan terus-menerus dari semua keretanya. Tanpa menghiraukan orang-orang Madura kereta-kereta itu langsung memasuki pelataran. Dari kamar kami dapat kulihat beberapa orang Madura menyerampangkan arit-besarnya pada kaki-kaki kuda. Dua buah kereta lepas dari kekangan, memasuki taman, tercebur ke dalam kolam angsa. Dari keretakereta yang berhasil dapat dihentikan orang berseragam dan berkerabin melompat turun, menghalau orang-orang Madura. Yang dihalau tak sudi meninggalkan pelataran. Pertempuran terjadi.
Dari tempatku kulihat dua orang agen rubuh bermandi darah. Orang-orang seragam akhirnya kewalahan dan meletuskan senjata ke udara.
Di sana-sini nampak orang Madura menggeletak, juga bermandi darah. Komendan Veldpolitie, seorang Totok, memaki-maki anak buahnya yang meletuskan senapan. Sebongkah batu melayang di udara dan mengenai pelipisnya. Ia terhuyung-nuyung, jatuh, tak bangun lagi. Seorang Belanda hitam, yang nampaknya menggantikan kedudukannya, berteriak memberi perintah untuk menghalau lebih keras. Lengannya terbabat parang dan secepat kilat bajunya menjadi coklat. Dengungan orang-orang yang menyerukan kebesaran Tuhan tak terkirakan seramnya. Tapi pada akhirnya mereka terhalau dan melarikan diri ke segala penjuru yang mungkin, Dirumputan dan pelataran bergeletakan tubuh-tubuh bermandi darah. Satu Pasukan Maresose, baru menyelesaikan latihan di Malang, didatangkan untuk menggantikan Veldpolitie, yang dianggap tidak mematuhi perintah karena telah meletuskan senapan sekali pun hanya ke udara. Oleh Maresose* Veldpolitie dimakimaki dan diperintahkan, segera pergi dan menarik dua kereta yang tercebur dalam kolam angsa.
Satu rombongan campuran antara orang Madura dengan yang bukan menyerbu ke pelataran. Nampaknya mereka mengira masih Veldpolitie yang melakukan penghalauan. Melihat Maresose yang menghadapi, mereka jadi ragu. Sebagian bahkan telah melarikan diri sebelum memasuki pelataran. Memang seluruh Hindia gentar pada Maresose, pasukan khusus terdiri dari serdadu pilihan Tentara Hindia Belanda. Dalam memadamkan kerusuhan mereka hanya menggunakan penggada karet, tak menggunakan senjata-api atau pua tajam. Mereka terkenal sebagai kumpulan pendekar.
Dari jendela kulihat topi bambu mereka yang hijau daun dengan lencana singa dari kuningan mengkilat turun-naik di tengah-tengah rombongan" penyerbu baru. Peluit mereka ramai menjerit jerit dan Peggada mereka berputar, menghantam dan menetak, menyerampang dan menyambar. Perkelahian antara penggada dengan senjata tajam dan tumpul itu berjalan kurang lebih setengah jam. Dua orang Maresose tewas di tempat.
Pagi hari itu juga rombongan penyanggah dihalau. Dan sebagai peristiwa Darsam ditangkap dan dibawa entah kemana.
Setelah reda Sersan Hammerstee menggedor-gedor pintu hendak masuk. Mama membuka dan menghadang jalan. "Nyai Ontosoroh "" tanyanya dalam Melayu; "Tak ada urusan dengan Maresose."
"Komplex sini akan dijaga Marsose."
"Tak ada urusanku. Tak ada yang menginjak rumahku tanpa ijinku." Aku, Sersan Maresose Hammerstee datang untuk minta ijin . Tak ada ijin kuberikan."
Kalau begitu kami berkemah di pelataran."
Nyai membanting pintu, menguncinya dari dalam, dan agak lama berdiri di belakangnnya. Menengok padaku ia berkata:
"Sekali kau beri hati, dia akan kurangajar. Jangan kuatir. iakkan ada akibatnya. Mereka tak punya surat-surat tentang rumah ini. Mereka hanya percaya pada suratsurat. Apa Dun kehebatannya semua takkan berarti tanpa surat. Kertas lebih menentukan, lebih kuasa." suaranya pahit.
Dari jendela pula kulihat Dokter Martinet ganti diusir oleh Sersan Hammerstee, setelah sejenak mereka bertengkar di pintu gerbang Suara mereka tak terdengar dari tempatku. Hanya gerak-gerik mereka menunjukkan Martinet hendak masuk melihat pasien tapi ditolak. Ia bersikeras.
Kemudian nampak Dokter itu naik lagi ke atas dokar dan berangkat Sekarang Annelies harus kami rawat tanpa dokter.
Pada sore hari Annelles Pelahan-lahan mulai sadar dari biusan Ia buka matanya yang besar, melihat ke kiri dan kanan seakan baru menjenguk dunia untuk pertama kali, kemudian menutupnya lagi dan setelah itu membukanya lagi.
Ann, Annelies," panggilku
Ia pandangi aku. Bibirnya terbuka, pucat tanpa darah Tak ada suara keluar. Aku ambil susucoklat dan aku minumkan. Ia meneguk diam-diam sampai separo, berhenti dan duduk di ranjang. Mama duduk diam-diam mengawasinya. Mama bangun dan keluar dari kamar.
Pada mulanya aku menduga ia pergi kebelakang untuk mengawasi pengurusan sapi." Dan tak lama kemudian terdengar suaranya setengah memekik dalam Belanda: Setiap orang boleh pergi ke Nededand' mengapa aku tidak".
Aku menjenguk keluar dan di persada sana Nyai sedang bicara dengan seorang Eropa Totok yang sedang bertolak pinggang. Suaranya terlalu pelan untuk dapat kutangkap. Orang itu sebentar menggeleng, kadang mengacukan jari. "Apa ruginya Tuan, kalau kuantarkan anakku sendiri " Aku gunakan uang sendiri, bukan uang siapa pun."
Tamu itu menggeleng lagi.
"Di mana bisa aku dapatkan aturan tertulis aku tak boleh antarkan anak sendiri "" Tamu itu nampak menggerakkan tangan, tapi badannya tidak.
"Surat cacar " Surat kesehatan " Sampai sekarang anakku belum punya. Dia malahan sedang sakit. Disuntik di kapal " Aku pun bisa lakukan di kapal."
Aku tinggalkan mereka berdua di persada sana. Annelies nampak berusaha hendak turun dari ranjang. Aku bantu dia berjalan. Kubawa dia ke belakang jendela, karena itulah tempat kegemarannya. Dan lama kami berdiri di situ. Ia diam saja dan tak tahu aku harus bicara apa. Tapi berdiam-diam terus pun tak mungkin. Aku paksakan:
"Tak pernah kau sampai ke gunung sana, Ann " Dari sana akan nampak seluruh Wonokromo dan Surabaya. Kita akan ke sana pada suatu kali." Gunung itu sendiri tidak kelihatan, tertutup oleh gumpalan mendung dan mega, seperti kopisusu yang tak sempurna aduk-annya, dibikin oleh tangan pemalas. Awan tergantung rendah menutup hutan di kejauhan sana yang biasanya nampak hijauhitam. Pada jarak-jarak yang tak dapat kuperhitungkan kadang melesit lidah petir, sekejap merajai langit, mega dan mendung, untuk kemudian hilang entah ke mana. Alam punya kesibukan sendiri.
Dan di sampingku istriku menghembuskan nafas panjang melalui mulut. Mama masuk lagi. Ia duduk di kursi yang tadi, diam-diam tanpa bicara, seakan tak ada terjadi sesuatu. Waktu aku menoleh padanya aku lihat ia melambaikan tangan memanggil. Annelies kutinggalkan di belakang jendela. .
"Minke, kaulah yang menyampaikannya padanya, keberangkatannya tinggal tiga hari lagi."
Aku yang harus menyampaikan, karena aku suaminya. Memang kewajibanku - kewajiban yang belum juga aku lakuKan karena kesibukan yang kejar-mengejar itu. Annelies harus tahu. kita kalah, terlindas tanpa bisa membela diri apalagi melawan. Di kejauhan sana alam tetap suram dan semakin suram dengan kerjapan kilat. Di bawah jendela kami kolam angsa menderita kerusakan dan tetap tak dibetulkan. Sebuah kampung perusahaan, yang biasanya nampak dari tempat kami dengan bocah-bocah pada bermain, kini sunyi, tak ada tanda-tanda kehidupan Aku hampiri istriku. Kuletakkan tangan pada bahunya. Kutempelkan pipiku pada pipinya yang dingin. Seluruh keberanianku pada waktu itu kukerahkan. "Ann!" ia tak menoleh, juga tidak memberikan reaksi. "Ann, Annelies, istriku, mau kau dengarkan aku ""
Ia tak menggubris. Jari-jari tangan kirinya menggaruk lehernya pelan-pelan. Leher yang indah itu, tertutup oleh rambutnya yang tertekuk ke atas, adalah lebih sempurna dari pada alam di luar sana.
Tinggal tiga hari lagi kami berkumpul. Dia akan berangkat, kekasihku ini, bonekaku .yang cantik tiada bandingan ini. Apa bakal terjadi dengan dirimu nanti, Ann " Dan bagaimana dengan diriku " Adakah kau akan seperti kilat jatuh jauh di sana itu, mengerjap sekejap, merajai keliling, untuk kemudian hilang buat selama-lamanya " Seseorang yang tidak tahu-menahu dirimu tiba-tiba telah menghakimi dan menghukum kau begini. Seseorang lain, juga tak tahu-menahu akan memisahkan kau dari kami, dan semua yang kau cintai. Kau begini kurus dan pucat, Ann. Mama dan aku pun sudah menjadi begini ceking.
Betapa mengibakan kau, Ann, secantik ini, namun tak sempat menikmati kecantikan dan kemudaan sendiri.
"Kau tak mau mendengarkan Ann "" ia tetap tak menggubris. Kau suka pada gunung di sana itu, Ann ""
Ia mengangguk tak kentara, mengiakan.
"Semestinya kita sudah pernah berkuda ke sana, ya Ann "
Pan Mama akan tinggal di rumah. Hanya kita berdua, Ann." bekali lagi ia mengangguk tak kentara.
Ann, BaWuk sering meringkik menanyakan kau di mana,
Ia menunduk. Dengan gerak sangat lambat ia menoleh padaku dan matanya yang seperti sepasang kejora kelihatan me-ngimpi. Mulutnya tetap membisu, mengeluarkan bau obat.
Nampaknya Mama tak dapat lagi menahan perasaannya.


Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terdengar olehku ia tersedan-sedan dan mehinggalkan kamar. Barang sepu uh menit kemudian ia masuk lagi membawa seorang Eropa lain. Ia berjalan langsung menuju ke tempat kami.
Dokter Gubermen" katanya tanpa menyebut nama, datang untuk memeriksa kesehatan Juffrouw Annelies Mellema." Mevrouw, bantahku. Ia tak menggubris; Dituntunnya istriku dan didudukkan ditempat tidur. Dikeluarkan stetoskop dari saku baju-panjang dan mulai memeriksa Dengan mata melotot kemudiin ia meneliti desakan darah, meneleng ke langit-langit. Memasukkan stetoskop kedalam saku lagi. Memeriksa mata istriku. Setelah itu ia membaui nafas yang keluar dari hidung dan mulutnya, ia menggeleng. Mama melihatkan semua itu dengan diam-diam. Dokter Gubermen itu menyuruh pasiennya berbaring.
"Nyai! Mengapa kowe biarkan anak ini dibius begitu hebat tanyanya pada Mama dalam Melayu kasar.
Apa perlu Tuan se8era tinggalkan rumah "" balas Nyai dalam Malayu bernada dan cara lebih kasar lagi.
"Verdomme, apa kowe misih tidak mengerti " Aku dokter Gubermen." Jadi kowe mau apa "" bentak Mama.
Kowe bisa dituntut, hei. Juga Dokter Martinet. Awas!" Bikin tuntutan di rumah kowe sendiri, tidak perlu di sini. Tidak perlu banyak mulut di sini. Pintuku masih berengsel!" Dokter Gubermen itu menjadi merah padam. Ia alihkan pandang padaku. "Kowe ikut dengar," katanya, "kowe jadi saksi omongannya, hei " Pintu memang belum dipaku," kataku. Nyai dan aku datang pada Annelies dan membangunkannya untuk makan.
Dia lemah, terlalu lemah. Biarkan tidur. Jantungnya. Jangan ganggu," perintah Dokter Gubermen.
Kami turunkan Annelies dari ranjang dan kami dudukkan di kursi sitje. Aku ambilkan makan, Ann. Jangan gubris siapa dan apa pun." Ia mengangguk lemah.
Dokter itu menghampiri aku dengan sikap mengancam, juga memang mengancam: Kowe coba-coba lawan perintahku, hei "" Aku lebih kenal istriku daripada orang luar," jawabku dalam Melayu, tanpa memandangnya.
"Baik," katanya dan keluar dari kamar. "Awas!" "Mengapa kau tak mau bicara, Ann "" ia tetap diam saja.
"Kau mau dengarkan aku, Ann " Dokter gemblung itu sudah tak ada. Jangan takut. Kuikuti matanya yang terarah pada jendela dan melepas pandang ke arah gununggemunung yang masih juga tertutup mega dan mendung. Mama mengawasi perbuatanku tanpa bicara.
Annelies mengunyah pelan, sangat pelan, setiap kali ragu menelan. Plp belakangku Mama terdengar bicara, lebih pada diri sendiri:
"Dulu Maurits membangkit-bangkit soal dosa darah. Sekarang dia tuntut hasil dosa darah ini. Dulu kukira dia seorang nabi yang suci....."
"Tak ada guna diingat, Ma," kataku tanpa menoleh.
"Ya, ingatan kadang menyiksa. Memang tak ada guna mengingat. Kau sudah sampaikan, Nak, Nyo ""
"Belum, Ma." "Bicaralah kau, Ann. Sudah lama kau tak bersuara."
Annelies memandangi aku. Ia tersenyum. Tersenyum! Annelies tersenyum! Mama membelalak heran, kau mulai baik, Ann, pekikku dalam hati.
Mama bangkit dari tempatnya, merangkul anaknya, menciuminya, berkomat-kamit: "Dukacitaku lenyap karena senyummu, Ann, juga suamimu. Keterlaluan, kau tak mau bicara selama ini," .dan airmatanya berlinangan.
Annelies mengedip pelahan, begitu pelahan, seakan segan membukanya lagi. Dokter Martinet pernah bilang: kesulitan pada dia ialah karena ia berusaha mengukuhi yang ada -secara tegang. Ia tak hendak lepaskan apa yang telah digenggamnya. Tapi bisa jadi suatu krisis akan menyebabkan ia. lepaskan semua pegangannya dan ia bisa tidak peduli terhadap segala apa yang ada dan terjadi. Pada tingkat mikah perkembangan istriku sekarang " Aku tak tahu. Dokter Martinet tak boleh datang menengok. Kata-katanya yang terakhir: Kalau Annelies dapat diyakinkan untuk menyerah pada keadaan, ia akan selamat. Dan bagaimana keadaannya sekarang".
Dokter tahu' Mama tak tahuBetapa jauhnya kau'
Selama dalam perawatan Martinet ia dalam keadaan, sebagaimana dikatakannya, tetap bergayutan tegang pada yang ada selama p Kita semua kalah, katanya lagi, semua usaha patah, sedang Annelies tak mau mengerti semua ini. la nampak tak pernah berontak, tapi pedalamannya bosah-basih jadi medain perang tidak menentu.
Hanya pembiusan saja dapat menyelamatkannya dari kerusakart pedalaman. Kalau tidak, bisa terjadi; tak ada sesuatu pun yang punya harga lagi baginya. Sebaliknya: dia bisa menjadi tidak berarti bagi siapa pun. Tuan Mellema .....ingat. Maka itu, kalau dia sadar, usahakan bicara terus-menerus tentang apa saja, yang bagus-bagus, indah, berpengharapan, menyenangkan:
Dan tugasku sebagai suami memberitakan kenyataan pahit itu: tiga hari lagi! dan dia takkan dibius. Dokter Martinet telah dilarang datang.
Dokter itu juga pernah bilang: Annelies telah melewati ma-sa-gentingnya. Itu dikatakannya beberapa waktu sebelum kami kawin. Sekarang masa genting itu datang lagi. Juga sekali ini bukan aku dokternya, katanya, tapi Tuan, suaminya, orang yang dicintainya. Usahakan Tuan berangkat menyertainya ke Neder-land. Nyai akan kuat mengongkosi: seratus duapuluh gulden. Baginya tidak mahal. Mereka telah menolak kami untuk pergi mengantarkan.
Usahakan, kata Dokter Martinet, dengan jalan dan cara apa pun. Jangan sia-siakan hidup istri Tuan yang masih sangat muda ini. Dia takkan hidup tanpa Tuan. Sekarang Tuanlah satu-satunya gantungan baginya.
Kurasa sudah kuusahakan segala yang aku bisa, dan aku kalah. Pengadilan Amsterdam tak terlawankan. Pengadilan Putih Surabaya menyatakan: kami berdua tak ada sangkut-paut dengan istriku. Nyai sendiri dengan cekatan telah memerintahkan Panji Darman, dahulu Jan Dapperste, untuk belayar "mengurusi perdagangan rempah-rempah" di Nederland, menemani Annelies sebagai wakilku. Nyai telah melarangnya datang ke Wonokromo untuk menghindari kecurigaan. Dan Agen Maatschappij Nederland dengan cerdiknya telah menempatkannya nanti dalam kabin kias dua di samping kabin Annelies. Agen itu pula yang telah menguruskan anti-datum untuk surat kesehatannya.
Wajah istriku sudah seperti batu pualam pahatan, seakan syaraf mukanya telah terputus dari pusat otak. Tak ada gerak, tak ada expressi apa-apa, dan tetap tak bicara. Dan segala sudut dan segi" telah kucoba untuk menyampaikan hari keberangkatannya. Itu pun gagal.
Ia makan tak lebih dari empat sendok, kemudian taK mau membuka mulut. Entah sudah berapa kali Nyai keluar-masuK kamar dengan gugup. Sekali waktu kamar itu kosong tiada siapapun kupeluk istriku dan kuberanikan membisikkan pada kupingnya.
"Ann, kita kalah, Ann, kami akan menyertai kau belayar ke Nederland, tapi mereka melarang. Ann, kau dengar aku, Ann ""
Ia tetap tak menanggapi. "Aku tak tahu bagaimana pikiranmu. Ketahuilah, Ann, Jan Dapperste akan mewakili Mama dan aku. Tiga hari lagi dia akan iringkan kau belayar sampai ke Eropa. Jangan kecilhati, ya Ann. Kalau kau telah tiba, Mama dan aku pun akan segera menyusul." ^IH Dan Annelies tetap tak punya perhatian. Namun telah kulakukan tugas berat itu sebagai suami, tugas yang sama sekali tidak sempurna kutunaikan: dia belum juga menanggapi. Berapa kali harus kuulangi pemberitahuan ini " Aku ciumi dia. Juga tidak menanggapi. Mungkinkah benar Dokter Martinet; ia dalam keadaan telah melewati masa genting dan kini mulai melepaskan segala dari dirinya " Untuk kesekian kali Mama masuk. Sekarang menyampaikan tilgram dari Herbert de la Croix dan surat dari Bunda.
Assisten Residen B. itu menyampaikan penyesalan telah mengirimkan seorang advokat yang ternyata gagal. Ia ikut ber-dukacita dan bersympati pada kami. Dalam tilgramnya yang panjang ia juga menyatakan: keputusan Pengadilan Amsterdam tidak adil. Ia telah menilgram Gubernur Jendral, menyatakan akan mengundurkan diri dari jabatannya bila keputusan Pengadilan Amsterdam tetap dilaksanakan. Juga ia kirimkan tilgram protes pada Kementrian Kehakiman, dan tanpa , hasil dijawab pun tidak. Maka ia akan mengundurkan diri dan kembali ke E-ropa bersama Miriam. Dan Annelies sendiri " Ia masih tetap kehilangan perhatian terhadap segala. Dan aku bicara dan bicara, bercerita dan bercerita. Dan ia tetap tak mau bicara. Mendengarkan pun barangkali tidak. Aku bawa dia ke ranjang kembali dan aku baringkan, dan aku sendiri berbaring di sampingnya. Beruntung juga aku mengenal banyak cerita dan dongengan nenek-moyang. Itu pun sudah habis kurawi. Dari cerita Eropa Putri Genoveva saja paling tidak sudah empat kali, Perjalanan Gulliver dua kali, Baron van Munchausen dua kali, Klein Duimpje mungkin lebih dari empat kali. Belum lagi dongengan kancil. Suaraku sendiri sudah parau. Itu pun masih harus ditambah dengan pengalaman sendiri yang cukup lucu. ,
Dengan memeluk istriku aku mendongeng dan mendongeng, mulut kudekatkan pada kupingnya suatu cara yang ia sukai. Waktu aku terbangun, malam ternyata telah lewat, kamar telah terang oleh cahaya siang. Namun kelelahan itu belum juga terhalau oleh tidur yang tak kuketahui sampai berapa lama. Dan kusadari: Annelies memeluk aku, menciumi dan membelai-belai rambutku. Aku tergagap bangkit. "Ann, Annelies!" seruku. Aku pegangi pergelangan tangannya dan kurasai denyutan jantungnya tidak lagi selambat kemarin.
"Mas!" jawabnya.
Betulkah Anneliesku mulai bicara " Atau hanya impianku saja " Aku gosok mataku. Hei, kau mimpi, jangan ganggu aku! Tapi mataku melihat istriku tersenyum. Mukanya pucat, giginya kotor. Dan matanya tidak ikut tersenyum. "Ah, Annelies, Anneliesku! Kau sudah baik, Ann!" aku peluk dan ciumi dia. Tak siasia jerih-payahku selama berhari-hari belakangan ini.
"Makan sudah tersedia, Mas, mari makan," katanya lunak, tepat seperti dulu. Aku pandangi dia. Benarkah Dokterf Martinet: jiwanya goyah, mentalnya tidak tumbuh secara wajar " Kuawasi matanya. Dan mata itu kuyu. Bibirnya masih tersenyum, tapi mata itu tetap tidak ikut tersenyum, bahkan seakan telah jadi juling. "Mama!" teriakku. "Annelies sudah baik." Dan Mama tidak muncul. : Tanpa membersihkan diri aku duduk menghadapi makan siang di dalam kamar. Tak ada sendok-garpu atau pun piring di depanku. Hanya ada di depan Annelies. Sudah berubahkah ingatannya, ataukah aku seorang yang harus makan " Ia mulai menyendok makanan dan disuapkan padaku. "Aku bisa menyuap sendiri, Ann. Kaulah yang makan, mari aku suapi."
Ia tidak makan, hanya menyuapi aku juga. Dan aku harus pengunyah dan menelan. Ia tak boleh tersinggung itu aku tahu betul sampai kenyang.
Mengapa kau suapi aku begini ""
Sekali dalam hidup biarlah aku suapi suamiku," ia terdiam dan tak mau bicara lagi.........
20. HARI INI HARI TERAKHIR.
Perusahaan telah macet sama sekali. Maresose telah melarang siapa saja memasuki pelataran perusahaan. Hanya pemeliharaan dan pemerahan sapi diperbolehkan bekerja terus.
Protes Mama tidak didengarkan.
"Nyai tidak rugi," bantahnya, "semua biaya ditanggung oleh yang di Nederland sana." Banyak surat berdatangan. Dan tak ada kesempatan untuk membalas. Membaca pun tak ada waktu. Koran yang dikirimkan Nij man bertumpuk tanpa kena singgung. Mama, aku, apalagi Annelies, dikenakan larangan keluar rumah, kecuali untuk mandi dan ke belakang. Jadi kami terkena tahanan-rumah.
Dari kemah-kemahnya di pelataran para serdadu Maresose keluar hanya untuk mengusiri orang yang menggerombol di pinggir jalan sana, yang menyatakan sympatinya pada kami, barangkali, atau hanya untuk menonton saja. Annelies kelihatan agak normal walau kurus, pucat matanya mati. ' "Ceritai aku tentang negeri Belanda menurut cerita Multatu-li dulu," tiba-tiba ia meminta. .
"Adalah sebuah negeri di tepi Laut Utara sana......," aku mulai sekenanya, "tanahnya rendah maka dinamai Negeri Tanah Rendah Nederland, atau Holland." Sampai di sini aku tak mendapatkan sambungannya. Matanya yang mengimpi itu tetap kuyu begitu aneh mengawasi aku, seperti aku ini kadal jenis baru berbuntut biru yang baru dilihatnya dalam hidupnya "Karena tanahnya rendah orang bosan selalu memperbaiki tanggulnya, maka jadi kebiasaan mereka meninggalkan negerinya, mengembara, Ann, untuk mengagumi negeri-negeri lain yang tinggi Kemudian menguasainya tentu. Dinegeri Tinggi itu penduduknya mereka bikin rendah, tak sedikit pun mendekati ketinggian tubuh mereka." "
"Ceritai aku tentang laut."
Seorang wanita Eropa berpakaian dan bertopi serba putih masuk tanpa mengetuk pintu. Nyai dan aku membiarkannya, toh kamar kami belakangan ini dimasuki siapa saja, toh dia hanya akan mengganggu kami bertiga.
"Empat jam lagi kau akan melayari laut, dan laut, dan laut, Sayang," pendatang itu membuka suara, mengambil-alih tugasku' "Ikan tiada terkirakan banyaknya. Ombak, riak, alun, buih dan busa. Juffrouw akan naik kapal besar, indah, melintasi samudra, Sayang, memasuki terusan Suez, berpapasan dengan kapal-kapal lain. Kalau berpapasan, Sayang, kap&l Juffrouw akan bersuling. Yang lain juga akan bersuling. Pernah melihat Gibraltar " A, kota karang itu pun akan Juffrouw lalui. Setelah itu, beberapa hari kemudian, Juffrouw akan menginjakkan kaki di bumi leluhurmu sendiri. Pasirnya kuning gemerlapan, bunga-bungaan, semua yang Juffrouw kehendaki. Menyenangkan. Tak lama lagi musim gugur akan tiba. Dedaunan akan berguguran...... Betapa akan senangnya, dalam asuhan abang sendiri, sarjana, insinyur, kenamaan, terhormat dan dihormati. Betapa akan senangnya........ Kalau tidak suka, yah, barangkali hanya setahun-dua,
Juffrouw sudah boleh menentukan hidup sendiri. Ya, Juffrouw, Mas, aku lebih suka pada ombak, pada busa dan pada gelombang daripada kapal dan Nederland......"
"Tidak, Sayang," pendatang itu menyela, "di Nederland ada segalanya. Semua saja yang Juffrouw inginkan bisa diperoleh." Mas, apakah ada kekurangan sesuatu di sini "" Tidak, Ann. Kau punya segalanya di sini. Kau berbahagia di sini." "Kalau di Nederland sana ada segalanya," Mama menama bahi dengan berang, "untuk apa orang Eropa datang kemari ""
"Nyai, jangan sulitkan pekerjaanku. Siapkan pakaiannya."
"Bukan, bukan hanya pakaian," Mama mulai menjadi bengong, "juga perhiasannya, juga buku bank-nya, juga surat pengakuan ayahnya, juga doa ibu dan suaminya." "ingatkah Mama pada cerita Mama
Ann, cerita apa maksudmu "
Mama meninggalkan rumah untuk selama-lamanya Ya' Ann, mengapa ""
Ya, Ann." "Di mana kopor itu sekarang, Ma "Tersimpan dalam kamar sepen, Ann." "Aku ingin melihatnya." Mama pergi untuk mengambilnya. "Waktunya sudah semakin dekat, Juffrouw," perempuan Eropa itu menyela. Baik Annelies mau pun aku tak menanggapi. Dan Mama datang membawa kopor seng kecil, coklat, berkarat, peot, de-kung dan cembung di sana-sini. Annelies segera menyambutnya. "Dengan kopor ini aku akan pergi, Mama, Mamaku." "Terlampau kecil dan buruk. Tidak pantas, Ann." * "Mama, dengan kopor ini dulu Mama pergi dan bertekad takkan kembali lagi. Kopor ini terlalu memberati kenangan Mama. Biar aku bawa, Mama, beserta kenangan berat di dalamnya. Aku takkan bawa apa-apa kecuali kain batikan Bunda. Hanya kopor ini, kenangan Mama, dan batikan Bunda, pakaian pengantinku, Ma. Masukkan sini, sembah-sungkemku pada Bunda B..... Aku akan pergi Ma, jangan kenangkan yang dulu-dulu.
Yang sudah lewat biarlah berlalu, Mamaku, Mamaku sayang."
"Kereta sudah menunggu di luar, Juffrouw," pendatang Eropa itu menengahi lagi. "Apa maksudmu, Ann""
"Seperti Mama dulu, Ma, juga aku takkan balik lagi ke rumah ini." "Ann, Annelies, anakku sayang," seru Mama dan dipeluknya istriku. "Bukan Mama kurang berusaha, Ann, bukan aku kurang membela kau, Nak..... Mama tenggelam dalam sedu-sedan penyesalan. Juga aku. "Kami berdua sudah lakukan semua, Ann," tambahku. "Jangan, jangan, menangis, Ma, Mas, aku masih ada permintaan, Ma, jangan menangis."
"Katakan, Ann, katakan," Mama mulai menggerung. "Ma, beri aku seorang adik, adik perempuan, yang akan selalu manis padamu...."
Mama semakin menggerung. "..... begitu manis, Ma, tidak menyusahkan seperti anakmu ini...... sampai....." ; "Sampai apa, Ann ""
"..... sampai Mama takkan lagi merasa tanpa Annelies ini.'
"Ann, Ann, anakku, betapa tega kau bicara begitu. Ampuni kami tak mampu membela kau, ampuni, ampuni, ampuni."
"Kenangkan kebahagiaan itu saja, ya Mas, jangan yang
"Ayoh!" seru seorang lelaki Indo dari pintu. "Sudah dua menit terlambat berangkat." "Mari, Sayang, Juffrouw," perempuan Eropa itu menuntun Annelies. Sekaligus Annelies tenggelam dalam pembisuan dan ketidakpedulian. Kehormatannya yang sebentar tiba-tiba lenyap. Ia berjalan lambat-lambat meninggalkan kamar, menuruni tangga dalam tuntunan perempuan Eropa itu. Badannya nampak sangat rapuh dan terlalu lemah.
Aku dan Mama lari memapahnya menggantikan perempuan itu. Tetapi lelaki Indo dan perempuan Eropa itu menolak kami. Di bawah tangga telah berkerumun Maresose.
Dan kami dihalau tak boleh mendekat! Maka kami hanya dapat melihat makhluk tersayang itu dituntun seperti seekor sapi, dan berjalan lambat-lambat, anaktangga demi anaktangga.
Mungkin begini juga perasaan ibu Mama diperlakukan oleh Mama dulu karena tak mampu membelanya dari kekuasaan Tuan Mellema. Tapi bagaimana perasaan Annelies " Benarkah dia sudah melepaskan segalanya, juga perasaannya sendiri " Aku sudah -tak tahu sesuatu. Tiba-tiba kudengar suara tangisku sendiri. Bunda, putramu kalah. Putramu tersayang tidak lari, Bunda, bukan kriminil, biar pun tak mampu membela istri sendiri, menantumu. Sebegini lemah Pribumi di hadapan Eropa " Eropa! kau, guruku, begini macam perbuatanmu " Sampai-sampai istriku yang tak tahu banyak tentangmu kini kehilangan kepercayaan pada dunianya yang kecil dunia tanpa keamanan dan jaminan bagi dirinya seorang. Hanya seorang. Aku panggil-panggil dia. Annelies tidak menjawab. Menoleh pun tidak. "Aku akan segera menyusul, Ann," pekikku.
Tanpa jawab tanpa toleh. "Juga aku, Ann, besarkan hatimu!" seru Mama, suaranya parau, hampir-hampir tak keluar dari kerongkongan.
Juga tanpa jawab tanpa toleh.
Pintu depan di persada sana dibuka. Sebuah kereta Gubernur -telah menunggu dalam apitan Maresose berkuda. Mama dan aku tak diperkenankan melewati pintu itu.
Sekilas masih dapat kami lihat Annelies dibantu menaiki Kereta. Ia tetap tak menengok, tak bersuara.
Pintu ditutup dari luar. Pintu ditutup dari luar.
Sayup-sayup terdengan roda kereta menggiling kerikil, lama makin jauh, jauh akhirnya tak terang lagi. Annelies dalam pelayaran ke negeri di mana Sri Ratu Whilelmina bertahta.
Kami menundukkan kepala di belakang pintu. "Kita kalah, Ma," bisikku.
"Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat hormatnya. Buru
Lisan, 1973. Tulisan, 1975.
Copyright " topmdi " Personal Website This template downloaded form
Pendekar Kembar 12 Pendekar Rajawali Sakti 93 Bidadari Dasar Neraka Sukma Pedang 5
^