Pencarian

Cowok Manja Merantau 7

Cowok Manja Merantau Karya Karnaufal Bagian 7


Gue menyimpan sendok dan mengangguk kepadanya.
"Apa kabar Fal"" Ujar Hanif setelah duduk di depan gue.
"Baik-baik aja kok, kamu"" Tanpa dapat gue kendalikan, gue kembali menggunakan bahasa 'akukamu'.
"Aku juga baik-baik aja..."
"Udah lama ya kita ga ngobrol berdua kayak gini..."
"Iya..." Hening. Ada jeda yang cukup lama diantara kami berdua. Gue melanjutkan makan dengan perlahan dan Hanif pun memakan camilannya dengan perlahan. Gue jengah dengan situasi seperti ini. Akhirnya gue memberanikan diri untuk membuka topik.
"Gimana kelas baru" Asik""
"Lumayan asik kok, tapi ga jauh beda sama kelas kita yang dulu." Ujarnya.
"Ya asik dong, kan kamu lagi dideketin sama cowok." Gotcha.
"..." Hanif hanya tersenyum lalu sedikit menundukkan kepalanya. "Iya..." Ujarnya lirih.
Deg!! Hati gue mencelos setelah mendengar sebuah kata yang terlontar dari mulutnya. Apa yang selama ini gue lihat dari jauh ternyata benar. Ada seseorang yang memang sedang pedekate dengan Hanif dan itu dikonfirmasi oleh Hanif secara langsung. Ada perasaan ga rela ketika mengetahui hal tersebut. Namun gue mencoba menguasai diri dan mencoba untuk tetap tenang.
"Jadi, how's the progress"" Tanya gue.
"Tanggal 16 nanti..." Hanif menghentikan omongannya.
"Ya"" "..." Hanif masih diam.
"Tanggal 16 nanti"" Gue kembali mengulang perkataan Hanif.
"Aku sama Rizal satu bulanan..."
DEG!!! Dada gue sakit dan hati gue langsung hancur, hancur menjadi jutaan keping seperti debu yang berterbangan di muka bumi. Kepala dan telinga gue pun terasa panas, bibir gue kelu dan ga bisa berkata apa-apa lagi.
It's so fucking hurts... Gue mengambil air minum lalu meneguknya sedikit, mencoba untuk mendinginkan kembali kepala dan hati yang panas. Gue ga lagi meneruskan makan karena selera makan gue hilang seketika.
"Maaf..." Ujarnya lirih.
"Kenapa"" "Udah ngasih tau itu sama kamu..."
"Bukan." Gue menggeleng. "Kenapa""
"..." Hanif menatap gue heran seakan mencari penjelasan dari gue.
"Kenapa kamu bisa move on secepat itu""
"Fal, aku..." Perkataannya terpotong.
"Rizal ada disana dan dia ngasih perhatiannya buat aku, dia udah ngebuat aku nyaman..."
"..." "Aku sadar kalo hubungan kita yang dulu udah selesai, we're done."
"Sekarang udah waktunya buat kita berdua mulai dengan yang lain." "Kamu juga harus bisa move on Fal."
"..." Gue masih terdiam sambil memain-mainkan sendok di atas nasi lalu menghela nafas. "Mungkin buat kamu, ya, ini udah waktunya buat mulai dengan yang lain."
"Kalo buat aku, mungkin belum saatnya." Ujar gue sambil menatapnya kemudian tersenyum simpul.
"Aku yakin kamu bisa Fal." Hanif memberikan gue senyuman manisnya, sebuah senyuman yang selama ini selalu gue rindukan dalam diam.
Kami berdua kemudian kembali terdiam. Gue hanya mengaduk-aduk makanan dan Hanif sibuk bersama handphone miliknya.
"Aku ke kelas duluan ya Fal, aku udah dicariin." Ujarnya sambil memasukkan handphone ke dalam saku roknya.
"Iya." Gue mengangguk.
Hanif tersenyum kemudian bangkit berdiri dan berjalan menjauhi gue. Sementara gue masih terduduk disini, menatap punggungnya yang semakin lama semakin menjauh bersama kenangankenangan manis serta mimpi yang pernah kami berdua rangkai di masa lalu...
Part 81 Perpustakaan (2) Semangat belajar gue semakin hari semakin menurun setelah mendapatkan kabar yang telah sukses membuat hati gue bingung ga karuan. Hasil ujian kemarin sudah dibagikan, ternyata gue mendapatkan beberapa buah mata pelajaran yang harus di remedial namun gue sama sekali ga memikirkan hal tersebut.
Gue bertanya sana-sini, mencoba mencari cara termudah agar gue bisa melupakan masalah yang mengganjal di hati. Semua orang yang gue tanyai ternyata memberikan sebuah jawaban yang sama, yaitu move on. Mereka ga bisa ngerasain perasaan gue sekarang kali ya" Teori itu memang gampang. Tapi kenyataannya, sudah setahun lebih gue masih menyimpan perasaan kepada Hanif.
Walaupun kini ada dua orang wanita yang bisa dibilang cukup dekat dengan gue, namun dua orang tersebut belum mampu membuat gue melupakan dirinya.
*** A month has passed. Masih belum ada tanda-tanda perubahan yang berarti dalam kehidupan gue. Gue tetap menjadi seorang Naufal yang masih memendam perasaan kepada Hanif walaupun kini dia sudah menjadi kekasih orang lain. Gue mencoba menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan untuk melupakan hal tersebut, salah satunya adalah bermain ps.
Main ps setiap hari di rumah ternyata ga ngasih dampak yang berarti. Memang, pada saat bermain ps perhatian gue teralihkan hampir seluruhnya. Namun pada saat ketika selesai bermain, voila, pikiran gue kembali melayang kepada Hanif.
Sesulit inikah untuk melupakanmu, Nif" Dan...
Semudah itukah bagimu untuk melupakanku, Nif" ***
Jam istirahat pada siang hari itu gue habiskan (atau lebih tepatnya dipaksa) untuk menemani Vanny membaca buku di perpustakaan. Dia juga menyarankan gue untuk sering-sering membaca buku. Katanya, kalo baca buku apalagi tentang sejarah itu bisa ngebuat kita sejenak melupakan masalahmasalah yang ada.
"Nih baca ini nih." Vanny memberikan sebuah buku ke hadapan gue yang sedang bengong sambil bertopang dagu.
"Males ah." "Udah lo baca aja dulu, nanti lama-lama juga bakal asik sendiri kok." Dia masih menyodorkan buku yang dipegangnya.
"Enggak, gue lagi males ngapa-ngapain." Gue menggeleng. "Sana lo aja yang baca, gue cuman nemenin lo doang disini."
"Aaah gue ga mau baca kalo lo juga ga baca!" Rengeknya.
"Jadi kita ngapain kesini kalo lo ga mau baca"" Gue menjawab sambil melihat ke arah lain.
"Biar lo ga kepikiran sama Hanif terus."
"..." Gue menggaruk tengkuk sambil menghela nafas. "Yaudah mana sini-sini." Gue mengambil buku dari tangan Vanny.
"Nah gitu dong, nih bukunya. Asik loh bukunya."
"Bentar ya, gue nyari buku yang lain dulu." Vanny melengos pergi setelah memberikan sebuah buku kepada gue.
Tangan kiri gue menopang kepala sementara tangan kanan gue membolak-balik halaman buku yang baru saja diberi olehnya. Gue terus membuka halaman demi halaman tanpa membacanya, gue hanya mencari-cari gambar yang menarik untuk dilihat. Namun setiap gue membuka halaman lainnya, yang terlihat hanyalah tulisan tanpa ada satupun gambar yang tertera. Gue bangkit berdiri dan berjalan ke arah Vanny.
"Lo gila ya Van." Gue menoyor kepalanya.
"Lo ngasih gue buku yang bagusan dikit kek, buku apaan ini ga ada gambarnya sama sekali"!" Gue berkata sambil mengangkat buku yang gue pegang.
"Iiih gue bilang lo baca dulu bukunya, baru entar komentar. Gimana sih..." Ujarnya sambil bersungut-sungut.
"Sana-sana balik lagi ke meja, gue belom dapet buku yang asik nih gara-gara diganggu elo!" Vanny mendorong punggung gue.
Gue kembali berjalan menuju meja sambil ngedumel. Setelah duduk di atas kursi, gue bengong sambil melihat cover dari buku yang berwarna biru tersebut lalu membaca resensi yang tertera di belakangnya. Gue lupa apa judul dari buku ini dan siapa tokoh utamanya.
Yang gue ingat, tokoh utama dari buku ini merupakan seorang tentara Argyll and Sutherland HighlanderSkotlandia yang pada saat itu akan pergi dari pulau Sumatera menuju Ceylon (Sri Lanka). Di tengah-tengah Samudera Hindia, kapal yang ditumpangi olehnya karam karena serangan torpedo. Dari sekian sekoci yang tersedia, hanya satu saja sekoci yang berhasil diturunkan dan kemudian disesaki oleh 100 orang lebih yang berusaha menyelamatkan diri.
Di dalam sekoci itu terdapat beberapa kaleng ransum yang dijaga ketat oleh beberapa orang. Ransum yang berjumlah sedikit tersebut harus dibagikan dengan cukup agar dapat mengisi perut seluruh penumpang sekoci.
Ternyata ransum yang tersedia di atas sekoci tersebut hanya bertahan dalam beberapa hari saja karena banyaknya orang yang harus diberi makan. Satu persatu manusia mulai berguguran, mereka semua mati karena kelaparan ataupun kedinginan pada saat malam hari tiba. Akhirnya seleksi alam tersebut hanya menyisakan beberapa orang saja, termasuk si tokoh utama.
Karena tidak ada lagi makanan yang tersisa sama sekali, orang-orang yang selamat itu pun melakukan aksi kanibalisme. Ada beberapa orang yang bergabung dan membuat aliansi untuk membunuh satu persatu orang yang menurut mereka lemah, kemudian mereka menguliti orang yang telah mereka bunuh untuk dimakan daginnya.
Membunuh atau dibunuh. Itulah sebuah kalimat yang cocok untuk menggambarkan apa yang terjadi di atas sekoci tersebut.
*** Tanpa terasa, gue semakin larut menikmati cerita ini dan gue ga sadar kalo Vanny sekarang sudah duduk di samping gue. Gue menaikkan kepala dan melihat ke arah Vanny. Dia sedang menatap gue tanpa berkedip dengan wajah tengilnya.
"Kenapa"" Gue bertanya heran.
"..." Vanny menggeleng. Dia senyam-senyum sendiri sambil bertopang dagu dan memiringkan kepalanya, menatap gue dengan ekspresi penuh kemenangan.
"Ga." "Pasti ada yang aneh sama gue. Kenapa""
"Katanya tadi ga mau baca."
"Tapi kok sekarang malah anteng"" Ujarnya sambil tetap senyam-senyum sendiri.
Gue yang merasa sedikit malu akhirnya mencoba untuk menutupinya dengan sedikit tertawa sambil meninju pelan lengannya.
"Udah diem lo! Lagi asik niiih..." Gue berkata sambil sedikit tersipu.
"Hahaha..." Vanny tertawa pelan.
"Iya, iya. Gue ga ganggu deeeh." Ujar Vanny dan kemudian dia langsung membuka buku yang dibawanya.
"..." Gue semakin tersenyum lebar lalu membuka halaman berikutnya.
Walaupun pandangan gue kini sedang menatap kata demi kata yang tersaji pada buku ini, namun pikiran gue tidak sedang berada dalam buku tersebut. Pikiran gue sedang memikirkan seseorang yang kini sedang duduk di samping gue, seseorang yang sedang membaca sebuah buku sejarah sambil menyunggingkan sebuah senyuman yang manis.
Vanny. Dia merupakan seorang cewek yang memiliki rambut panjang sebahu yang bergelombang dengan gelang berwarna putih di salah satu tangannya, seseorang yang sebelumnya sama sekali ga pernah gue duga bisa membuat gue seperti ini, seseorang yang bisa membuat gue sejenak melupakan Hanif dan melupakan rasa sakit yang pernah dibuat olehnya.
Vanny. Seseorang yang gue kagumi karena kemampuan dan sifatnya yang menurut gue uncommon, sifat yang agak sedikit berbeda dengan sifat-sifat cewek yang pernah gue kenal sebelumnya. Sifat yang, sepertinya, sudah sukses membuat gue jatuh hati kepadanya.
Ga, itu salah, gue memang sudah jatuh hati kepada Vanny.
Di dalam hati kecil gue, gue memanjatkan sebuah permintaan yang belum pernah terucap sebelumnya.
Van, Bantu gue untuk melupakan Hanif,
Dan tolong, Bantu gue untuk mengukir nama lo di hati gue.
Lo mau kan, Van" Part 82 Tertunda, Lagi dan Lagi Gue menggenggam sebuket mawar merah kesukaannya dan berjalan menuju sebuah kompleks perumahan sambil didampingi oleh seorang kawan. Gue menoleh ke samping, Ojan memegang pundak gue sambil mengangguk, dia seakan-akan memberi gue keberanian dan kekuatan agar gue bisa melakukan hal ini, melakukan sebuah hal yang semenjak dulu ingin gue lakukan.
"Gue tunggu disini Fal. Lo sendiri bisa kan ga perlu gue temenin"" Tanya Ojan saat kami berdua tiba pada pintu masuk kompleks perumahan ini.
"..." Gue tersenyum lalu menghela nafas panjang. "Gue bisa."
Setelah berkata seperti itu, gue memantapkan hati dan mulai berjalan menuju rumah Vanny, berjalan menuju rumahnya untuk mengungkapkan seluruh isi hati yang sama sekali belum pernah gue curahkan kepadanya.
Van, gue ingin lo tau apa yang gue rasakan selama ini. Gue ga bisa memendamnya lebih lama lagi.
Atau mungkin lo sendiri juga punya perasaan yang sama terhadap gue" Andai gue tau perasaan lo untuk gue itu kayak gimana... Tapi sayangnya, gue sendiri ga tau seperti apa perasaan lo kepada gue.
Hahaha... Dan sekarang, Gue ingin memberitahukan semuanya, kepada lo. I can't hold this feelings of love for any longer...
*** A few weeks ago... "Kopi" Atau cokelat"" Tanya gue pada Vanny.
"Hmmmm, hmmm..." Dia menengok ke atas dan melihat ke arah langit-langit kafe ini, rambut panjangnya yang di kuncir kuda bergerak seirama dengan gerakan kepalanya.
"Cepet dong jawabnya, pertanyaan gampang tuh." Gue mendesaknya agar buru-buru menjawab.
"..." Vanny menurunkan pandangannya lalu melipat tangannya di atas meja sambil menatap gue. "Cokelat dong!" Ujarnya dengan semangat.
"Hmmm..." Gue memainkan bibir. "Kenapa cokelat""
"Cokelat, kenapa ya" Mungkin karena rasanya manis tapi ga bikin gue gemuk."
"Kopi juga ada loh yang manis, contohnya caramel macchiato."
"Tapi tetep aja gue lebih suka cokelat daripada kopi."
"Tumben lo tanya ginian, ada apaan"" Vanny bertanya dengan heran.
"Gapapa." "Gue suka kopi dan lo suka cokelat."
"Terus apa hubungannya"" Vanny mengkerutkan kening.
"Chocolatt"." Ujar gue secara spontan.
"Hah" Apaan tuh""
"Itu gabungan dari kopi sama cokelat, chocolatt"." Ujar gue sambil tersenyum.
"Ah ga jelas lo!" Vanny melempar gue dengan tissue yang sudah diremas-remas olehnya.
"Terus kalo bunga..." Lanjut gue.
"Lo pilih mana" Mawar merah atau mawar putih""
"Merah laaah!" "Eh Fal, kok lo tanya hal-hal yang kayak gini sih" Gue ngerasa aneh loh sama pertanyaan-pertanyaan lo..."
"Hahaha, aneh gimana" Gue cuman nanya doang koook!"
"Yang beneeer""
"Iya, sumpah deh!"
"Ooooh, gue kira ada apaan."
Kami berdua melanjutkan pembicaraan dengan topik obrolan yang ringan sambil memakan makanan yang tersedia di atas meja. Dari sini gue mengetahui kesukaan Vanny lainnya selain bukubuku yang berbau dengan sejarah.
"Balik yuuu, udah jam berapa ini"" Vanny melirik sekilas ke arah jam lalu membereskan barangbarang bawaannya.
"Yeee suruh siapa coba ngajak nonton yang jam nya nanggung gini! Bentar sih, makanan gue belum abis." Gue mengambil kentang goreng lalu mengarahkannya ke dalam mulut dan mengunyahnya dengan perlahan.
Sebenarnya gue mencoba mengulur-ulur waktu. Tadinya, rencana gue saat ini adalah gue akan mengatakan perasaan gue kepada Vanny. Namun sayangnya dia langsung berdiri dan menarik hood jaket gue. Mau ga mau gue harus menunda hal tersebut.
Ternyata kesempatan itu tidak sekarang.
Mungkin lain kali, gue akan bisa mengatakannya.
Ya... Lain kali, Mungkin... *** Sepulang sekolah hari ini gue ga langsung membereskan meja yang berserakan dengan buku-buku pelajaran. Gue bangkit berdiri lalu berjalan ke arah meja Vanny.
"Van." Panggil gue sambil berjalan.
"Eh, ada apa Fal"" Vanny menoleh saat sedang memasukkan buku ke dalam tasnya.
"Nanti kita balik bareng lagi ya""
"Hah" Balik bareng"" Dia menghentikan aktivitasnya lalu memutar badannya dan menghadap ke arah gue.
"Kita kan beda arah Fal""
"Bukan, maksud gue tuh nanti kita pulang kampung bareng lagi."
"Oooh, kenapa emang" Tumben banget lo ngajakin gue." Vanny mulai memasang wajah tengil khasnya yang sukses membuat gue ingin mencubit kedua belah pipinya yang tembem.
"Sama kayak yang pernah lo bilang dulu, sekarang gue udah punya temen buat balik."
"Ga mau ah, nanti gue ditinggal tidur lagi di sepanjang perjalanan!" Ujarnya sambil cemberut.
"Ayodooong, gue janji ga akan tidur deh! Suwer!" Ujar gue sambil mengacungkan dua buah jari.
"Hahaha..." Vanny terkekeh.
"Sorry kayaknya gue ga bisa bareng lo lagi Fal baliknya."
"Yaaah..." Gue kecewa.
"Kenapa" Lo ga pulang kampung emang""
"Jangan sedih gitu dong, jelek tau muka lo kalo sok-sok sedih gitu!" Ujarnya sambil melempar gue dengan tutup pulpen.
"Jadi pas libur semester ini tuh gue balik sama bokap, pake mobil."
"Oooh." Gue membulatkan bibir sambil mengangguk.
"Hmmm gue tau nih, lo pasti bakal kesepian di kereta kan kalo ga ada gue" Iya kaaan" Ngaku lo Fal!"
"Ah, enggak kok, biasa aja ah..."
"Udah deeeh jangan bohong sama gue." Vanny kembali memasang wajah tengilnya. "Lo itu ga pandai berbohong Fal. Lo harus tau itu." Dia menoyor kepala gue sambil tersenyum lebar.
"Terserah looo!" Gue langsung membalikkan badan dan kembali berjalan ke arah meja gue diiringi dengan suara tawa renyah milik Vanny.
Sebenarnya gue udah buat rencana kalo misalkan Vanny balik lagi bareng gue, gue bakal ngomong semua perasaan gue kepada Vanny di atas kereta nanti. Gue ga mau menunda hal ini lebih lama lagi, gue ingin cepet-cepet Vanny mengetahui apa yang gue rasakan sekarang. Tapi kemudian ada sebuah pikiran lain yang muncul, ada sebuah perasaan ga setuju kalo misalkan Vanny balik bareng bokapnya. Kayak yang, duh, gimana ya cara ngejelasinnya"
Tapi... Ah, kayaknya ini cuman sebuah perasaan yang sifatnya sesaat doang. Mungkin bener apa kata Vanny barusan, ini cuman perasaan takut kesepian di atas kereta nanti dan ditambah dengan rencana gue tentang 'menyatakan perasaan kepada Vanny', atau 'penembakan', atau apapun namanya, akan tertunda lagi dalam jangka waktu yang entah sampai kapan lamanya.
Part 83 I Knew It All Along Semilir angin sore menggerakkan dedaunan sehingga mereka semua saling bergesekan dan menghasilkan suara yang terdengar lembut di telinga gue. Suara ini sedikit banyak dapat menenangkan suasana hati yang sedang tak menentu arahnya. Gue terdiam sebentar lalu memandang sebuket bunga yang gue pegang dengan tangan kanan. Ada perasaan ragu ketika melihat mawar merah yang sedari tadi masih merekah dengan indah. Sangat berbeda sekali dengan keadaan hati gue yang sangat campur aduk.
Van, kira-kira lo bakal nerima gue jadi pacar lo ga"
Sebuah pertanyaan klasik tersebut terus menerus berputar di dalam kepala dan sukses membuat jantung gue berpacu dengan cepat.
Gue ragu. Tapi, engga. Gue ga boleh berhenti sekarang. Gue ga boleh berhenti karena ada sesuatu yang memang harus gue lakukan. Gue menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan, mencoba mengatur ritme jantung gue yang sedang berdegup dengan cepat. Setelah dirasa cukup, gue kembali melangkahkan kaki menuju rumah Vanny.
Beberapa saat kemudian semangat dan keberanian yang barusan muncul seketika hilang, hampir seluruhnya, ketika gue menginjakkan kaki tepat di depan rumah Vanny.
Kedua tangan gue bergetar hebat dan kedua lutut gue langsung lemas sehingga memaksa gue untuk berjongkok di atas tanah. Pandangan gue mengabur, air mata kini sudah menggenangi pelupuk kedua bola mata gue dan kemudian mereka semua turun membasahi pipi gue yang sudah mulai panas.
Ya, gue menangis. Ya, gue memang cengeng. Ya, gue ga berani menghadapinya.
Dan ya, Karena gue bermental tempe...
*** A few weeks ago... "Ga tau Ay, gue bingung sama perasaan gue sendiri..." Gue berbicara kepada Aya yang sedang berjalan di sebelah gue sambil menyeruput minuman yang dipegangnya melalui sedotan.
Ada jeda yang cukup lama diantara kami berdua setelah gue berkata seperti itu. Kami berdua hanya diam membisu dan terus berjalan menyusuri jalanan batu yang dihiasi oleh lampu-lampu hias yang terpasang melintang pada pohon atau tiang buatan di sekitar kami.
Gerai-gerai yang menjual berbagai produk fashion ternama mulai menyalakan lampu luarnya satu persatu, hal ini menandakan bahwa malam hari akan segera tiba. Oleh karena itu, kami berdua memutuskan untuk masuk kembali ke dalam mall dan berjalan menuju sebuah tempat yang menjajakan beraneka macam donut.
"Perasaan ga enaknya emang kayak gimana"" Tanya Aya ketika kami berdua sudah duduk di atas sofa empuk dan saling berhadapan.
"Ga enaknya gimana ya" Jadi kayak ada satu hal yang mengganjal, tapi gue sendiri ga tau apa hal itu..." Jawab gue sambil menatap kedua mata Aya.
"Coba inget-inget lagi, mungkin ada sesuatu hal yang belum lo lakuin terus bisa ngebuat lo jadi kayak gini."
"Apa ya" Gue juga ga tau, gue bingung Ay." Gue menggeleng.
"Ehm..." Aya berdehem sambil membenarkan posisi duduknya.
"Lo belom pernah nembak cewek kaliii..." Ujarnya dengan memasang ekspresi yang penuh dengan teka-teki.
"..." Gue tersenyum sambil memalingkan kepala lalu berbicara. "Gue pernah nembak cewek kok, sekali, dulu."
"Siapa" Hanif""
"..." Gue mengangguk.
"Itu sih udah lama banget, Naufalku sayang..." Ujarnya dengan nada manja yang dibuat-buat sambil tersenyum.
"Jadi, gue harus nembak siapa niiih"" Gue berbicara sambil sedikit tertawa.
"Lo tau siapa yang harus lo tembak."
"..." Gue tersenyum menanggapi perkataan Aya yang sepertinya memojokkan gue.
Tapi apa yang baru saja lo katakan itu memang benar Ay. Gue memang tahu siapa yang harus gue tembak.
Bahkan, gue memang mengetahui dengan persis tentang siapa yang harus gue tembak.
Part 84 Delayed Forever Pernah ga sih lo ngerasain satu hal,
Satu hal, dimana lo ga pernah bisa atau ga pernah mampu buat mengungkapkan sebuah perasaan yang lo miliki kepada seseorang, dan sekarang elo memang benar-benar sudah tidak bisa memberitahukan hal tersebut kepadanya, dan pada akhirnya elo menyesali hal tersebut, seumur hidup.
Pernah ga sih lo ngerasain hal itu"
Ya, Karena gue pernah... *** Gue menggenggam sebuket mawar merah kesukaannya dan berjalan menuju sebuah 'kompleks perumahan' sambil didampingi oleh seorang kawan. Gue menoleh ke samping, Ojan memegang pundak gue sambil mengangguk, dia seakan-akan memberi gue keberanian dan kekuatan agar gue bisa melakukan hal ini, melakukan sebuah hal yang semenjak dulu ingin gue lakukan.
"Gue tunggu disini Fal. Lo sendiri bisa kan ga perlu gue temenin"" Tanya Ojan saat kami berdua tiba pada pintu masuk 'kompleks perumahan' ini.
"..." Gue tersenyum lalu menghela nafas panjang. "Gue bisa."
"Jangan lupa, berdoa buat dia sob." Ojan memberi wejangan kepada gue dan gue balas dengan anggukkan kepala.
Gue mulai melangkahkan kaki masuk ke dalam sebuah 'kompleks perumahan' yang sangat sepi. Di sepanjang jalan menuju tempat yang gue tuju saat ini terdapat banyak sekali pohon-pohon kamboja yang kokoh tertancap di atas tanah. Gue kemudian berhenti di depan sebuah makam sambil melihat ke arah sebuket mawar merah yang gue bawa, lalu berpikir keras tentang seberapa besar persentase yang gue punya untuk diterima oleh Vanny sebagai pacarnya.
Seandainya saja gue bisa diterima sebagai pacarnya. Ya, seandainya...
Lalu gue kembali melanjutkan perjalanan yang cukup membuat emosi gue bergejolak hebat di dalam hati. Beberapa saat kemudian, kedua kaki gue berhenti di depan sebuah gundukan tanah merah yang masih segar dan bertabur beraneka bunga-bungaan khas pemakaman.
Nisan di atas gundukan tanah merah tersebut bertuliskan sebuah nama, sebuah nama milik seseorang yang selama beberapa bulan ke belakang telah sukses membuat hari-hari gue menjadi sangat berwarna. Namun sekarang hari-hari berwarna itu telah hilang ditelan oleh sesuatu, sesuatu yang sangat gue benci, sesuatu yang bernama takdir.
*** "Van, lo bener ga mau balik sama gue besok"" Gue bertanya kepada Vanny ketika kami berdua sedang berjalan-jalan sore.
"Udah berapa kali gue jawab pertanyaan ini Fal"" Tanyanya kembali.
"Hmmm... Ga tau juga." Gue menggeleng. "Emangnya gue udah sering nanya hal ini ya""
"Bukan sering lagi Fal, malah sampe telinga gue budeg dengernya."
"Hahaha..." Gue tertawa pelan lalu menunduk.
"Kenapa sih lo tanya hal itu terus"" Tanya Vanny sambil menoleh ke arah gue.
"Kenapa ya""
"Ga tau sih gue juga." Jawab gue bohong. Jelas, gue memiliki sebuah perasaan yang ga enak tentang hal ini.
"Terus, kenapa lo nanyain gue pertanyaan itu terus-terusan""
"..." Gue menaikkan pundak.
"Yaudah kita balik aja yuk, gue laper nih." Ujarnya sambil menepuk-nepuk perutnya sendiri.
"Oke Van, eh tapi gue anter sampe rumah lo ya""
"Hahaha, tumbeeen!" Vanny meninju lembut lengan kiri gue sambil tertawa.
"Ya terserah gue dong!"
"Ayo deh ayo, biar gue ada temen pulang juga!"
Kemudian kami berdua menaiki angkot yang mengarah ke rumah Vanny sambil bercanda tawa.
Namun siapa sangka, hari itu merupakan hari terakhir gue dapat melihat senyuman dan mendapatkan canda tawa dari seorang Vanny sebelum gue pulang kampung, sebelum Vanny pergi meninggalkan gue.
Meninggalkan gue dengan sebuah senyuman dan canda tawa yang kini sangat gue rindukan keberadaannya...
*** Seketika kedua tangan gue bergetar hebat dan kedua lutut gue langsung lemas sehingga memaksa gue untuk berjongkok di atas tanah. Pandangan gue mengabur, air mata kini sudah menggenangi pelupuk kedua bola mata gue dan kemudian mereka semua turun membasahi pipi gue yang sudah mulai panas. Tangan gue mengelus lembut kepala nisan yang terukir namanya disana seraya mengucapkan sapaan.
"Hallo Van..." Ujar gue sambil sedikit terisak.
"Apa kabar lo disana" Lo baik-baik aja kan"" Gue bertanya sambil menyunggingkan senyuman.
Ada jeda ketika gue selesai berkata seperti itu. Gue ga kuasa menahan air mata yang terus menerus mengalir menuruni kedua belah pipi. Gue menengadah, mencoba menahan laju air mata agar tidak tumpah menangisi kepergian Vanny untuk selamanya.
Gue menggenggam erat nisan milik Vanny.
"Van..." "Gue..." Bibir gue bergetar.
"Gue kangen sama elo Van, gue kangen banget..." Gue berkata dengan lirih sambil memejamkan mata, dan air mata kembali membasahi pipi gue.
"Kenapa lo pergi cepet banget Van" Gue..." "Gue suka sama lo, Van, gue sayang sama lo..."
Gue berkata dengan nada yang bergetar dan seketika air mata mengalir dengan deras menuruni pipi gue. Gue udah ga kuat, gue ga bisa berkata apa-apa lagi. Gue masih sangat terpukul atas kepergian Vanny yang sangat tiba-tiba sekali.


Cowok Manja Merantau Karya Karnaufal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gue mendapatkan kabar dari teman sekelas bahwa Vanny mengalami kecelakaan mobil pada saat dia sedang berkendara dengan bokapnya. Bokap Vanny akan menyalip mobil yang berada di depannya namun tiba-tiba ada sebuah bus yang muncul dari belokan di ujung jalan. Mobil yang dikendarai oleh bokapnya saling beradu kepala dengan sebuah bus yang melaju kencang yang muncul dari arah berlawanan tersebut.
Lanjutnya, bokap Vanny meninggal di tempat kejadian dan Vanny mengalami pendarahan hebat di bagian kepalanya. Dengan harapan masih bisa tertolong, warga sekitar langsung menolong dan menelpon ambulans agar Vanny segera dibawa ke rumah sakit. Namun sayang, ternyata takdir berkata lain. Nyawa Vanny tidak bisa terselamatkan sebelum ambulans datang menjemputnya.
Gue menangis hingga bahu gue bergetar dengan hebat dan sebuket bunga mawar kesukaan Vanny yang gue bawa pun terlepas dari genggaman tangan. Gue membiarkannya tergeletak di atas tanah di samping makam Vanny dan gue menutupi seluruh wajah dengan kedua tangan.
"Udah Fal, ikhlasin." Tiba-tiba Ojan datang dan memeluk bahu gue dengan erat.
"..." Gue ga menjawabnya, gue hanya bisa menundukkan kepala sambil menutupi wajah dan tetap menangis.
"Gue yakin dia udah tau tentang perasaan yang lo punya buat dia."
"..." "Udah yuk sekarang kita pulang. Gue anterin lo sampe rumah." Ojan mengusap punggung gue lalu dia bangkit berdiri.
Gue mengambil bunga mawar yang tergeletak di atas tanah lalu menyimpannya di atas makam Vanny seraya berdoa untuknya, berdoa untuk seseorang yang sangat gue cintai dan gue sayangi, berdoa agar dia dapat selalu tenang di alam sana, dan agar kenangan akan Vanny dapat selalu gue ingat untuk selamanya...
Van, I miss your laugh, I miss your smile, I miss your voice, I miss your face, I miss you... So much...
Rest In Peace, Christina Vanny Aprilia
*** Pernah ga sih lo ngerasain satu hal,
Satu hal, dimana lo ga pernah bisa atau ga pernah mampu buat mengungkapkan sebuah perasaan yang lo miliki kepada seseorang, dan sekarang elo memang benar-benar sudah tidak bisa memberitahukan hal tersebut kepadanya, dan pada akhirnya elo menyesali hal tersebut, seumur hidup.
Pernah ga sih lo ngerasain hal itu"
Ya, Karena gue pernah... Special Part A Memoir of Her Gue memandangi langit sore yang berwarna jingga kemerahan dari halaman belakang rumah Vanny sambil memegang secangkir teh manis hangat yang baru saja gue buat. Lalu sayup-sayup terdengar lagu yang sedikit membuat gue merinding takut yang diputar dari dalam rumah. Beberapa saat kemudian, Vanny muncul dari balik pintu geser sambil membawa setoples kue kering dan sebuah buku. Gue ga tau itu buku apa, tapi gue yakin bahwa buku itu merupakan buku tentang sejarah.
Gue menolehkan kepala ke arah Vanny. Ternyata dia sudah mengganti seragam dengan kaos putih polos berlengan pendek dan kedua kakinya dibalut dengan celana jeans biru langit selutut. Seperti biasa rambutnya dikuncir kuda, namun kali ini dia tidak memakai gelang yang biasa dipakainya.
"Itu lagu apaan Van" Kok serem banget sih nadanya"" Tanya gue kepada Vanny.
"Itu lagunya Enya. Lo ga tau ya"" Jawabnya setelah menyimpan toples dan buku di atas meja kayu berwarna cokelat.
"..." Gue menggeleng.
"Bukannya Enya tuh cuman main piano doang kayak yang waktu itu lo mainin ya""
"Yeee lo kira dia cuman main piano doang apa"" Vanny terkekeh sambil duduk bersila di lantai sementara gue masih berdiri di sampingnya dan menatap ke arah taman.
"Mana gue tau Van, kan gue baru tau satu lagu itu doang yang waktu itu lo mainin di depan gue."
"Oooh, yang waktu lo lagi patah hati gara-gara Hanif kaaaan"" Vanny menengadahkan kepalanya dan menengok ke arah gue sambil tersenyum jahil dan sesekali dia menarik-narik ujung celana abuabu gue.
"Terserah elo aja..." Gue memalingkan wajah lalu mendekatkan cangkir kepada bibir.
"Ga usah sok-sok bete gitu deh, sini ikut sama gue ke dalem. Gue liatin lagu-lagu Enya ada apa aja." Dia bangkit lalu berjalan ke dalam rumah dan diikuti oleh gue yang mengekor di belakang.
Gue duduk di sofa panjang sementara Vanny duduk di depan komputer miliknya yang terletak tidak jauh dari tempat dimana gue duduk. Oiya, bokap Vanny bekerja di sebuah instansi pemerintahan. Entah beliau ditempatkan di bagian apa (dan gue ga ngerti pada saat dijelaskan oleh Vanny), beliau lebih sering pulang malam hari.
"Iiih elo mah malah enak-enakan duduk di situ, siniii katanya mau liat lagu-lagu Enya..." Gerutu Vanny.
'Gue ga mau ngeliat lagu-lagu Enya, tapi elo maksa gue buat ngeliat!' Batin gue sambil menyeruput teh lalu berjalan gontai ke arah Vanny.
"Mana lagu-lagunya""
"Nih, banyak kaaan koleksi lagu Enya gue" Gue ngoleksi hampir semua lagu Enya loh." Dia menampilkan sebuah folder yang sepertinya dibuat dengan khusus untuk lagu Enya.
"Lagu serem yang lo puter tadi itu judulnya apaan"" Gue bertanya sambil menggerakkan pointer ke atas dan ke bawah.
"Tempus Vernum."
"Ha"" Gue menoleh.
"Iya, Tempus Vernum." Ulangnya.
"..." "Jadiii..." Vanny menepuk kedua pahanya sementara gue mengkerutkan kening. "Itu tuh lagu yang liriknya pake bahasa latin terus nyeritain tentang dunia yang kita tinggali sekarang. Mulai dari alamnya, musim, pagi dan malam, daaan masih banyak lagi yang lainnya!" Dengan semangat dia menjelaskan panjang lebar namun mengabaikan gue yang sedang bengong, ga ngerti.
Entah karena Vanny melihat gue yang ga ngerti atau apa, dia tersenyum lalu mengarahkan pointer kepada sebuah lagu dan memutarnya. Dari judulnya, gue dapat mengetahui bahwa lagu itu berjudul Wild Child.
Ever close your eyes Ever stop and listen Ever feel alive
And you've nothing missing You don't need a reason Let the day go on and on
Gue terlena dengan lagu ini. Nada yang dimainkan oleh instrumen klasik serta suara lembut milik Enya telah sukses membuat perasaan gue merasa damai. Belum lama gue mendengarkan lagu tersebut, Vanny langsung memencet tombol stop dan mematikan Windows Media Player. Gue menatap Vanny dengan kesal.
"Kok dimatiin"" Gue berkata dengan ketus.
"Kok elo sewot"" Balasnya.
"..." Gue mulai gondok.
"Kenapa" Lagunya enak yaaa" Tadi katanya lagu Enya tuh sereeem..." Vanny mulai menggoda gue.
"Tau ah, terserah lo." Gue memalingkan muka seraya meminum teh manis.
Vanny tertawa kecil kemudian dia kembali memutar lagu Enya yang barusan dia matikan. Antara senang dan gengsi, senang karena gue kembali mendengarkan lagu yang enak tersebut namun gue gengsi untuk mengakui perasaan senang gue.
"Udah dooong jangan marah lagi, udah gue puter tuh lagunya!"
Gue ga menjawab dan tetap melihat ke arah layar. Beberapa saat kemudian Vanny langsung menggelitik pinggang gue sambil memasang wajah tengil. Gue mati-matian menahan tawa namun sambil tetap mempertahankan ekspresi jutek pada wajah gue.
Ternyata ga butuh waktu lama agar gue menyerah dan mengibarkan white flag kepada Vanny, gue tertawa sambil memohon ampun agar menyudahi aktivitasnya yang masih menggelitiki gue.
"Udah Van, udaaaah! Gue geliii!" Gue berkata sambil memiring-miringkan badan, menghindari setiap serangan yang dilancarkan oleh Vanny.
"Cie yang tadi marah tapi sekarang udah ketawa lagi cieee." Dia tertawa cengengesan dan sesekali menyentuh pinggang gue dengan telunjuknya.
"Udah aaaah, geli Van! Gue bete beneran baru tau rasa lo!"
Vanny tertawa terbahak-bahak. Setelah tawanya mereda, Vanny menyunggingkan sedikit senyuman lalu mengarahkan pointer kepada sebuah lagu lalu memutarnya.
Enya One By One Kali ini gue ga bisa mendengarkan lirik yang dinyanyikan oleh Enya di dalam lagu ini, berbeda dengan lagu Wild Child yang diputar sebelumnya yang liriknya masih dapat gue ikuti walaupun gue sendiri ga baca lirik aslinya. Jadi sekarang gue hanya bisa terdiam sambil menikmati setiap nada yang terdengar lewat speaker.
"One By One..."
"..." Pandangan gue masih terpaku kepada layar.
"Lo percaya ga sih kalo di dunia ini tuh ada cinta yang ga pernah mati""
"..." Gue menoleh ke arah Vanny, ternyata dia juga sedang menatap gue. "Ga tau, kenapa"" Gue menggeleng.
"Gue cuman berandai-andai, kayak lagu yang dinyanyiin Enya ini."
"..." "Gue nyoba mikir apa makna dari lagunya, terus dapet deh makna karangan gue sendiri walaupun gue ga tau makna asli dari lagu ini tuh apa."
"..." Gue membenarkan posisi duduk agar lebih nyaman untuk mendengarkan pembicaraan selanjutnya.
"Menurut gue, lagu ini nyeritain sebuah pasangan yang menjalin kasih tapi mereka berdua berpisah di tengah jalan..."
"...si cowok kayaknya yang jadi biang masalah, si cewek akhirnya pergi meninggalkan si cowok tanpa rasa sesal buat ngejar mimpinya sendiri..."
"...tapi ternyata si cewek ini ga bisa realistis, mimpi yang dikejarnya terlalu tinggi..." "...si cowok akhirnya meremehkan si cewek gara-gara obsesinya yang aneh..." "...dan pada akhirnya si cowok pergi..."
"...mereka berdua memang benar-benar berpisah..."
"..." Kerutan di kening gue semakin dalam.
"...saat menyadari hal tersebut, si cewek mulai berharap sama si cowok, berharap kalo dia ga pernah bilang 'selamat tinggal'..."
"...kenapa" Karena si cewek ini masih mencintai si cowok tersebut..."
"...dan mungkin, si cewek tuh berharap kalo kisah cinta mereka berdua di bisa diceritakan secara turun-temurun..."
"...gitu." "..." Gue menggaruk-garuk rambut.
"Ngerti ga gue ngomong apa""
"..." Gue terdiam sebentar lalu mengangguk dengan ragu.
"Ah bohong! Elo mah mana ngerti gue jelasin panjang lebar kayak gitu!" Vanny menoyor kepala gue. "Ngaku lo Fal!"
"..." Gue hanya tersenyum lebar lalu mengangguk tanpa rasa salah dan kami langsung tertawa.
Kemudian kami berdua mengganti topik obrolan yang lebih ringan agar bisa dicerna oleh otak gue yang super lemot ini sambil diiringi oleh suara teduh Enya yang sayup-sayup terdengar dari speaker. ***
Memang benar pada saat itu gue sendiri ga ngerti sama sekali tentang apa yang dijelaskan oleh Vanny. Namun sekarang, perlahan-lahan gue mulai mengerti tentang apa yang pernah dijelaskan olehnya pada saat itu.
Secara tidak langsung ternyata Vanny telah mengajarkan gue sebuah pelajaran berharga, yaitu belajar untuk menjadi lebih 'melek' serta realistis dalam menghadapi sesuatu dan bisa menghargai apa yang kita punya sekarang, sebelum kita kehilangan hal tersebut.
Satu lagi, Vanny menjelaskan bahwa si cewek yang terdapat di dalam lirik lagu tersebut menginginkan kisah cintanya untuk diceritakan secara turun temurun. Dan sekarang, gue juga ternyata memiliki sebuah keinginan yang sama dengan cewek tersebut. Gue ingin kisah gue dengan Vanny bisa gue tulis dan diceritakan secara turun temurun dengan sebuah harapan:
Agar kisah kami berdua dapat menjadi abadi, Walaupun kami berdua tidak abadi...
*** No Goodbyes For love brightens their eyes Don't say Adios, say Adios,
And do you know why There's a love that won't die" Don't say Adios, say Adios, Goodbye...
Part 85 She Came Along Kini seluruh siswa kelas XI IPA-5 telah berubah status menjadi siswa kelas XII. Kami semua kembali dipersatukan di dalam kelas yang sama yaitu kelas XII IPA-5. Tidak ada yang dipisah ataupun berpencar seperti pada kenaikkan kelas X ke kelas XI. Semuanya masih sama, mulai dari teman kelas, susunan bangku, dan bahkan susunan pengurus kelas pun masih sama.
Dari semua kesamaan yang ada, hanya terdapat dua hal saja yang berbeda yaitu kelas gue sekarang berada di lantai satu, dan tentu saja, tanpa kehadiran seseorang yang sangat gue rindukan keberadaannya di kelas ini.
Tidak ada lagi orang yang tiba-tiba datang ke meja gue sambil cengengesan, tidak ada lagi orang yang tiba-tiba ganggu jam tidur gue di dalam kelas, tidak ada lagi orang yang tiba-tiba jail kalo gue lagi ngerjain tugas pas pulang sekolah, tidak ada lagi senyuman yang biasa gue temui setiap kali gue datang ke dalam kelas, tidak ada lagi Vanny disini...
*** Bel pulang berbunyi. Gue membereskan buku yang berserakan di atas meja dengan ogah-ogahan dan memasukkannya ke dalam tas. Ojan sepertinya bingung melihat keadaan gue, dia berhenti mengerjakan tugas dan bertanya.
"Mau kemana lo""
"Balik." Jawab gue sekenanya.
"Lah, tumben bener lo balik jam segini"!"
"Mumpung ga ada tugas berat."
"Tapi kan itu ada tugas matematika tuh, lo emang ga mau ngerjain dulu""
"Males, tinggal nyontek."
Gue langsung mengambil tas dan pergi meninggalkan kelas bersama kerumunan anak-anak lainnya yang sedang berdesak-desakan di muka pintu, mengabaikan Ojan yang memanggil nama gue berulang kali. Gue berbelok lalu mendapati Hanif dan pacarnya sedang berduaan di depan kelas. Gue berhenti sejenak, bingung, antara lanjut terus dengan lempeng atau kembali masuk ke dalam kelas dan menunggu mereka berdua untuk pulang terlebih dahulu.
Tapi ternyata Hanif keburu melihat keberadaan gue. Akhirnya dengan canggung gue memutuskan untuk kembali masuk ke dalam dan duduk di atas meja di samping pintu sambil mengayunkan kaki dan menundukkan kepala, kedua tangan gue menggenggam erat ujung meja.
Belum lama semenjak gue ditinggal oleh Vanny yang merupakan satu-satunya orang yang dapat membuat gue melupakan Hanif, kini gue harus melihat Hanif yang sedang berbahagia di luar sana. Usaha gue untuk move onsepertinya sia-sia. Ada perasaan aneh yang mengaduk-aduk dada gue. Gue ga tau perasaan apa yang sedang gue rasakan sekarang, entah apakah perasaan iri ataukah rasa cemburu saat melihat mereka berdua, Hanif dan Rizal, berpacaran.
"Ga jadi balik"" Tanya Ojan setelah dia menghampiri gue.
"..." Gue menggeleng sambil tetap tertunduk.
Ojan kemudian melongokkan kepalanya keluar kelas, lalu kembali ke dalam dan menepuk pundak gue.
"Sabar sob..." "..." Gue masih diam.
Saat ini, hipotalamus di bagian dalam otak gue yang merupakan pusat kehidupan emosi gue sedang berada di dalam keadaan yang down, serta sistem limbic yang menjadi pusat perasaan senang pun seakan-akan tidak dapat bekerja dengan normal. Dengan kata lain, otak gue sedang dalam keadaan malfunction.
"Kalo gitu gue balik duluan ya, lo mau bareng ga ke depannya"" Tanya Ojan.
"..." Gue menggeleng.
"..." Ojan menghela berat nafasnya, lalu kembali menepuk pundak gue dan berjalan keluar kelas.
Masih dalam keadaan kepala yang tertunduk dan kedua tangan memegang ujung meja, gue memejamkan mata sejenak lalu menghela nafas melalui mulut dengan pelan. Seketika ingataningatan akan Vanny datang berkelebat di dalam pikiran gue.
Gue masih ingat dengan jelas bagaimana awal pertama kalinya gue berkenalan dengan Vanny di perpustakaan, saat melihatnya sedang berjalan sambil celingak-celinguk di dalam lorong kereta, pada saat kami berdua bermain musik di rumahnya, hingga gue mulai menyimpan perasaan kepadanya.
Gue tersenyum saat mengingat hal-hal tersebut.
Namun senyuman tersebut seketika menghilang dan gue langsung membuka mata pada saat gue merasakan kehadiran seseorang yang duduk di atas meja. Seseorang yang dulu pernah mengisi hari-hari gue, kini kembali berada tepat di samping gue. Gue menengadah lalu menoleh ke sebelah kiri.
Hanif juga mengikuti apa yang sedang gue lakukan sekarang: mengayun-ayunkan kaki dan kedua tangannya memegang ujung meja dengan erat, lalu dia melihat ke arah gue sambil tersenyum.
"Hallo, Fal..."
"..." Gue hanya menaikkan sebelah bibir.
"Aku turut berduka cita ya soal Vanny."
"..." Gue mengangguk lalu kembali menundukkan kepala. "Makasih..."
"Tadi kenapa ga langsung balik"" Tanya Hanif.
"..." Gue menggeleng.
"Aku tau kok, kamu ga mau jalan gara-gara ada aku sama Rizal kan"" Lanjutnya.
"..." "Kamu ga usah jawab, tadi aku udah ketemu Ojan terus dia cerita sama aku."
"..." Gue masih dalam keadaan kepala tertunduk.
"Aku yakin, Vanny udah tau perasaan kamu buat dia walaupun kamu belum pernah ngomong sama dia langsung."
"Kamu harus kuat ya Fal." Ujarnya.
"..." Gue menoleh lalu menaikkan sebelah bibir lagi, dan kemudian gue memperhatikan Hanif.
Oh, God... Hari ini Hanif terlihat sangat cantik sekali. Ga ada yang berubah dengannya. Dia masih seorang Hanif dengan rambut pendek dan senyuman teduhnya yang khas. Saat ini gue merasa tenang saat melihat senyuman Hanif, damai, sama seperti saat gue melihat senyuman tengil Vanny yang membuat gue jengkel, namun gue juga merasa tenang saat melihatnya.
Hanif mengetukkan jari-jarinya di atas meja lalu dia turun dan berdiri di depan gue, dia memegang sebelah pundak gue dengan lembut seraya berkata:
"Kamu kuat, Fal." Hanif berkata sambil tersenyum. Ya Tuhan, senyumannya manis sekali... "Aku pulang dulu ya, Fal."
"..." Gue mengangguk dan membalas senyumannya.
Hanif langsung berjalan melewati pintu kelas lalu berbelok ke kanan dan gue memperhatikan gerak langkahnya dari balik kaca. Gue melihat bahwa Hanif langsung disambut oleh Rizal yang ternyata masih menunggunya di luar. Dia mendekati Hanif dan mencubit pelan sebelah pipinya lalu mereka berdua saling melemparkan senyuman dan mulai berjalan menyusuri lorong kelas secara berdampingan, meninggalkan gue dengan perasaan aneh yang ga bisa gue gambarkan dengan katakata.
*** I had a dream My life would be so different
From this hell I'm living So different from what it seemed
Now life has killed the dream i dreamed Let me die instead...
Fantine Les Miserables Part 86 Going Lost Sudah dua hari ini gue ga pergi ke sekolah dengan alasan klise, bukan sakit, namun satu hal yang menurut gue sangat klise, yaitu malas. Gue malas untuk kembali belajar di sekolah, gue malas untuk kembali mengerjakan tugas-tugas yang sudah kembali menumpuk, gue malas untuk kembali bertemu dengan Hanif.
Selama dua hari ini pula gue habiskan dengan bermain PS di dalam rumah. Dari mulai pagi hari hingga malam hari, tangan gue hanya memegang konsol dan hampir tanpa menyentuh makanan sedikit pun. Ketika gue mulai merasa capek atau lapar, gue beranjak ke dapur dan membuat secangkir kopi sachet lalu kembali bermain PS. Mungkin, dari sinilah gue mulai mengenal yang namanya kopi. Untungnya bibi sedang pulang kampung sehingga gue dapat bebas tanpa ada orang lain yang mengawasi porsi ngopi gue yang sepertinya (agak sedikit) berlebihan.
Hari ketiga gue bolos sekolah. Masih sama dengan kegiatan pada hari-hari sebelumnya, gue tetap setia berkutat dengan permainan Elder Scrolls IV dan mencoba untuk membenahi equipment agar bisa lebih manjur dalam bertarung. Anak-anak yang suka sama game-game bertipe RPG kayak gue ini pasti ngerti gimana rasanya kalo misalkan ga punya EQ yang mumpuni. Baru jalan dikit di stage yang lebih dewa, ketemu momon, dan boom! You are dead.
Oia, gue menggunakan karakter yang berasal dari ras Redguard dan kelas Warrior karena gue sendiri lebih suka karakter yang bertarung dari jarak dekat dengan endurance yang lumayan. I choose male, of course.
Pada saat sedang menjalankan misi yang diharuskan untuk mengejar 4 orang bandit dan kalo misalkan kita selesai menjalankan misi tersebut kita akan mendapatkan armor yang edan (gue lupa nama misinya apa), terdengar ada orang yang mencoba membuka pintu pagar yang terkunci rapat. Gue mem-pause game lalu berjalan mengendap-endap dan mengintip melalui jendela.
Gue melihat ada dua orang yang sedang berdiri di balik pagar. Dari postur tubuhnya, gue mengasumsikan bahwa mereka berdua adalah laki-laki. Beberapa saat kemudian suara bel menggema di dalam rumah, namun gue tetap diam disini dan memperhatikan mereka.
Lalu tiba-tiba handphone gue yang disimpan di ruang tengah berbunyi. Dengan cepat gue berjalan dan mengambilnya dan gue melihat nama 'Ojan' yang tertulis di atas layar lalu gue mengangkat telepon tersebut.
"Bukain pager woi!"
Klik! Ojan langsung menutup telefon dari ujung sana tanpa sempat gue jawab. Gila! Nih anak satu ga ada sopan santunnya sama sekali!
Setelah gue menyimpan handphone di atas meja, gue mulai melangkahkan kaki ke depan rumah dan membukakan pagar untuk Ojan. Ternyata Ojan tidak datang sendiri, dia datang bersama Humam ke rumah gue.
"Gila lo ya bolos sampe selama ini!" Ojan menoyor kepala gue. "Mampus lo dicariin bu Rasni!" Lanjutnya.
Ojan ngeloyor masuk ke dalam tanpa berkata apa-apa lagi. Gue menoleh ke arah Humam, dia hanya mengangkat bahu dan kedua tangannya seolah-olah berkata 'ga tau.' Kemudian gue mempersilahkan Humam untuk masuk.
Humam terbilang cukup jarang datang ke rumah gue. Namun sekalinya dia menginjakkan kaki di sini, dia pasti mengambil gitar gue dan genjreng-genjreng di ruang tamu atau di teras depan. Benar saja, dia langsung mengambil gitar dari kamar gue dan duduk di kursi teras lalu menyanyikan lagu Sang Mantan milik Nidji dengan nada yang amburadul.
"Tuh anak kenapa Jan" Tumben lagunya gitu." Tanya gue kepada Ojan yang sedang duduk bersila sambil memegang stik PS.
"Elo makanya ke sekolah!" Jawabnya dengan nada tinggi sambil bermain PS. "Dia baru putus sama pacarnya, galau-galau gitu lah pokoknya. Jadi gue ajak aja dia kesini."
"..." Gue membulatkan bibir sambil mengangguk lalu duduk di lantai dan bersandar pada sofa.
"Lo ga mandi berapa lama Fal""
"Ga tau." Gue menggeleng. "Dari kemaren mungkin. Kenapa"" "Anjir pantesan lo bau kecut gini!" Ojan memindahkan posisi duduknya agak menjauh dari gue. "Mandi gih!"
"Males." Jawab gue sekenanya lalu bangkit menuju dapur.
Sambil menunggu air di dispenser menghangat, gue mendekatkan indera penciuman pada lengan sebelah kiri dan gue langsung mengernyitkan dahi. Buset! Bener apa kata Ojan. Gue harus mandi. Gue mengurungkan niat untuk membuat kopi dan kembali mematikan dispenser lalu mengambil handuk.
"Nah gitu kek." Kata Ojan setelah melihat gue berjalan menuju kamar sambil berkalung handuk.
*** "Lo kok bisa putus"" Tanya gue kepada Humam setelah gue mandi.
"..." Dia tetap memetik gitar dengan nada yang mellow.
"Dia ketauan selingkuh." Ujarnya sambil mengakhiri permainan di nada rendah.
"Ow..." Gue sedikt menaikkan kepala. "Lo sama pacar lo itu beda sekolah ya""
"Mantan pacar." Humam meralatnya sambil membaringkan gitar di lantai. "Iya, gue sama dia beda sekolah.
"..." "Padahal gue udah cinta banget sama dia..." Humam mulai curhat.
"Kenapa ya, padahal gue sama dia ga pernah ada masalah. Paling juga beda pendapat dikit, dia ingin A dan gue ingin B terus akhirnya berantem kecil. Tapi besoknya udah normal lagi." Lanjutnya
"..." "Lo juga lagi patah hati ya""
"Hmmm, bisa dibilang begitu..." "Kenapa emang""
"Ikut gue yuk, kita nge-game."
"Kan di dalem juga ada PS."
"Udah ikut aja gue, mumpung belom malem."
"Terus itu si Ojan gimana""
"Udah tinggalin aja disini." Humam menggerakkan sebelah tangannya di udara dan berdiri sambil merapikan celana abu-abunya.
"Yaudah bentar gue ke dalem dulu buat ganti baju."
Gue bangkit berdiri dan masuk ke dalam rumah lalu berganti baju. Ojan yang awalnya ga peduli dengan kehadiran gue, kini melihat gue dengan heran setelah gue berganti baju.
"Mau kemana om"" Tanya Ojan.
"Au, gue diajak si Humam keluar."
"Lo disini aja dulu, jangan balik sebelum gue balik. Benerin dulu char gue ya."
"Siap!" "Yang cakep!" Teriak gue.
Gue kemudian menghampiri Humam yang sudah stand by di atas motor dan memegang helm lebih yang sepertinya untuk gue pakai.
"Nih pake." Humam menyodorkan helm.
"Kita kemana sekarang""
"CMD." "Hah"" Ujar gue sambil menutup dan mengunci pagar.
Humam tidak menjawabnya. Setelah gue naik ke atas motor, dia langsung memacu kuda besi miliknya dengan kecepatan tinggi dan membawa gue ke tempat antah berantah yang belum pernah gue datangi sebelumnya.
*** Dia memasuki sebuah tempat yang menurut gue asing walaupun tempat ini tepat terletak di sebelah kiri dari sebuah pusat perbelanjaan elektronik yang terkenal di kota ini. Humam memarkirkan motornya di samping tangga berwarna hitam lalu melepas helm dan menoleh ke arah gue.
"Lo belom pernah kesini kan" Nah disini baru yang namanya nge-game."
Tanpa memperhatikan gue, dia berjalan menuju sebuah ruangan yang pencahayaannya agak redup dan mengantri di depan loket sementara gue tetap mengekor di belakangnya dan memperhatikan sekitar. Disini terdengar suara yang sangat berisik yang keluar dari speaker serta teriakkan-teriakkan orang-orang yang isinya mencaci maki ataupun tertawa-tawa.
Disini juga terdapat banyak sekali poster-poster yang masih asing di mata gue yang tertempel di dinding. Ada poster yang bertuliskan 'Crazy Kart', 'Perfect World', 'World of Warcraft', 'Point Blank', 'Cross Fire', dan masih banyak lagi yang lainnya.
"Nih buat lo, jangan lupa bayar ke gue." Humam menyerahkan secarik kertas lalu ngeloyor keluar.
Di dalam kertas tersebut bertuliskan username, password, duration, tanggal, harga, dan yang paling mencolok adalah tulisan di atas kertas tersebut yang bertuliskan 'Platinum' dan 'Commando Games Center'. Karena gue ga ngerti apa-apa, gue hanya bisa mengikutinya dari belakang. Kami berdua kembali memasuki sebuah ruangan yang dipenuhi oleh komputer serta orang-orang yang sedang bermain game FPS.
"Nanti kita main itu." Humam menujuk ke seseorang yang sedang bermain game FPS yang gue maksud tadi.
"Itu game apaan tuh""
"Point Blank." Humam duduk di salah satu bangku di depan komputer dan gue duduk di sebelahnya. Dia menyalakan CPU komputer dihadapannya lalu menyalakan CPU komputer di hadapan gue. Setelah memasukkan username, password, membuat ID Gemscool dan segala tetek bengek lainnya, kami berdua kini telah bermain game tersebut.
Gue hanya diberi persenjataan seadanya: K1, K2, Sniper, dan sebuah Handgun. Akhirnya gue mencoba matchperdana gue, dan gue tersenyum lebar.
I'm gonna rock this game's arse!
*** Bulp! 'Benimaru Nikado has invited you to play Dota 2.'
Sebuah notifikasi chat Steam di pojok kanan bawah layar komputer membuyarkan lamunan gue dan disusul oleh chat berikutnya.
'Ayolah kita maen, for the good ol' days.'
Gue tersenyum kecil lalu menekan Alt+Tab dan mulai mengetikkan chat untuknya.
'Kita kan beda server, gue pake server Aus terus lo pake server SEA. Gimana mau maen" Ga takut lag"'
'Kalem, lag-lag dikit gapapa deh.' 'Woke, gue log on sekarang.'
Akhirnya gue menutup aplikasi Ms. Word lalu menekan ikon 'Play' dan mulai bermain game tersebut.
Part 87 I Already Lose My Mind "Mam, ayo main lagi Mam." Gue mengajak Humam setelah pulang sekolah.
"Ayo dah, gue juga lagi pengen maen." Humam meng-iyakan ajakan gue.
Lalu kami berdua langsung berjalan ke arah parkiran motor sambil berdiskusi tentang game yang akan kami berdua mainkan. Mulai dari persenjataan baru yang dijual di store, jumlah kill/death, persentase headshot, event, dan bla...bla...bla...
Saat kami melewati kelas XII IPA-1, secara kebetulan gue berpapasan dengan Hanif yang sedang berdiri di depan pintu. Gue hanya tersenyum simpul dan sedikit mengangguk ke arahnya sambil memperbesar langkah kaki.
"Pelan-pelan woi, santai aja kali jalannya." Humam menggerutu sambil mengejar ketertinggalan.
"Lo ga liat siapa yang tadi di depan kelas itu"" Gue menunjuk ke belakang sambil melihat ke arah Humam.
"Ga usah buru-buru juga, bawa kalem aja." Dia merangkul bahu gue.
"Tenang, gue jamin sekarang kita bakal win banyak." Ujarnya sambil menggerakkan tangannya di udara.
"Ah menang-menang apaan, kemaren aja kita kalah mulu!"
"Maklum lah, elo masih cupu. Wajaaaar." Jawab Humam yang disusul dengan tawa kami berdua sambil berjalan ke arah parkiran.
Seiring dengan berjalannya waktu, gue mulai kecanduan sama yang namanya game online. Entah sudah berapa banyak pundi-pundi rupiah yang gue habiskan hanya untuk membeli voucher dan mempercantik karakter gue. Gue juga mulai mencoba bermain game-game yang lain untuk mendapatkan kepuasan dalam bermain game.
Game online memang benar-benar membuat seluruh perhatian gue teralihkan. Ga bisa gue pungkiri lagi kalo ini merupakan sebuah 'obat' yang ternyata selama ini gue butuhkan. 'Obat' ini telah sukses membuat gue untuk melupakan sejenak tentang tugas-tugas, melupakan Hanif, dan bahkan melupakan kesedihan gue akan kepergian Vanny.
Ternyata bukan hanya tiga hal tersebut yang gue lupakan, kesehatan badan gue sendiri pun terlupakan. Gue hanya makan yang sekedar 'yang-penting-makan' tanpa memperdulikan jenis makanan apa saja dan seberapa banyak makanan tersebut masuk ke dalam mulut. ***
Gue melirik jam di tangan, ternyata sudah menunjukkan pukul 8 malam. Jam yang seharusnya sudah masuk, atau bahkan sudah melewati jam makan malam. Semenjak sore hari tadi gue sama sekali belum makan apapun, dan begitu juga Humam. Kami berdua terlalu asyik bermain dan melupakan perut yang sudah meronta-ronta meminta jatahnya.
"Mam, laper ga"" Tanya gue sambil tetap memegang mouse dan keyboard sementara pandangan gue terpaku kepada layar.
"Laper nih, lo mau makan""
"Ya iyalah goblok, gue laper!" Jawab gue ketus.
"Gue nanya doang tai, nyolot amat jadi anak." Balasnya.
Ya, kami berdua kini telah menggunakan kata-kata yang sepertinya umum digunakan di tempat seperti ini.
"Mana sini duit lo, gue mau beli mie dulu." Humam bangkit dari kursi sambil menjulurkan tangannya.
"Berapaan sih harganya""
"Gatau..." Ujarnya sambil mengangkat bahu.
"Yaudah nih." Gue menyerahkan selembar uang sepuluh ribuan. "Mie goreng, dobel ya."
"Woke. Kalem ya jangan mulai dulu."
"Sip." Humam meninggalkan kursinya lalu dia berjalan keluar ruangan. Sambil menunggu Humam memesan mie, gue memutuskan untuk browsing-browsing dan membuka sosmed yang pada saat itu sedang ternama, ituloh, buku wajah. Setelah gue log in, gue melihat bahwa Aya juga sedang online. Dan beberapa saat kemudian muncul jendela chat baru yang berasal dari Aya.


Cowok Manja Merantau Karya Karnaufal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

'Malem-malem bukannya tidur malah online di warnet, pulang sana!!!'
Tanpa membalasnya, gue buru-buru log out dan menutup browser. Kalo lama-lama online, Aya pasti bakal curiga sama gue karena gue terbilang jarang dan hampir ga pernah online pada malam hari.
"Yuk, gas pol!" Humam datang dan kami berdua kembali melanjutkan permainan. ***
Belum lama setelah mie goreng pesanan kami berdua tiba, handphone Humam yang disimpan di depan monitor tiba-tiba menyala, berbunyi dan menampilkan nama yang bertuliskan 'Rumah' pada layarnya. Kami berdua saling berpandangan, lalu dia mengambil handphonenya dan berjalan keluar.
"Duh, gue harus balik sekarang nih. Gue udah dicariin." Ujarnya setelah dia kembali dari luar dan langsung membereskan segala barang bawaannya.
"Tapi kan masih ada sisa 1 jam lagi" Gimana dong""
"Gapapa deh, relain aja." "Lo mau balik ga""
"..." Gue bingung, gue masih ingin bermain. Tapi kalo misalkan gue meneruskan untuk, pasti nanti gue ga akan bisa pulang. Sekarang saja sudah malam dan kemungkinan angkot pun bakal jarang yang masih beroperasi di sekitar sini. Setelah gue berpikir sejenak, ternyata nafsu gue mengalahkan segalanya.
"Engga deh, gue disini aja. Gue masih ingin main nih."
"Kalo gitu gue duluan Fal."
"Yo, tiati Mam!"
Humam langsung melangkah dengan terburu-buru lalu menghilang dibalik pintu.
"Well, mari kita main."
*** Pagi-pagi sekali sekitar pukul 3 subuh gue merasa bahwa rasa kantuk mulai menyerang dan lebih hebat dari sebelumnya. Gue udah mulai gak fokus bermain. Kepala serasa berputar-putar setiap kali gue bangkit dari kursi. Namun gue tetap memaksakan untuk bermain.
Sekitar jam setengah lima subuh gue memutuskan untuk pulang dikarenakan rasa kantuk yang sudah sangat hebat. Gue menyambar jaket, memakainya dan langsung berjalan keluar. Seketika udara dingin menerpa wajah gue yang berminyak. Gue bergidik kedinginan, namun gue tetap paksakan berjalan menuju jalan raya dan menunggu angkot disana, masih dengan mengenakan seragam sekolah. Persetan dengan orang-orang yang melihat gue yang masih berpakaian seperti ini.
Rumah ternyata sepi. Mungkin bibi kemarin datang namun tidak mendapati gue di rumah dan akhirnya hari ini beliau tidak datang karena biasanya setiap pagi-pagi buta bibi sudah disini untuk membuatkan gue sarapan.
Gue beranjak ke dapur untuk merebus air hangat dan kembali membuat mie instan untuk sarapan. Ketika gue selesai memakan mie, gue langsung mandi dan bersiap-siap untuk ke sekolah.
"Muka lo kusut amat Fal." Tanya Ojan ketika gue datang.
"Ngantuk gue..." Gue langsung memposisikan kepala di atas buntelan jaket, tidur.
Hari ini gue belajar dengan pikiran yang ga fokus. Ga jarang juga si guru yang bersangkutan mendapati gue sedang menunduk sambil memejamkan mata. Berkali-kali gue disuruh untuk membasuh muka agar kantuk gue menghilang. Akhirnya gue mengusahakan agar dapat melek walaupun mata ini terasa perih karena menahan kantuk yang amat sangat.
*** Ternyata hal tersebut tidak membuat gue kapok. Gue sudah mengenal apa yang namanya 'dunia malam' di warnet dan ternyata hal itu membuat gue ketagihan. Hampir setiap seminggu 3x gue bermain di warnet malam-malam. Selain terbebas dari para 'bocah' yang sering ribut ga jelas, gue juga ga harus menunggu komputer untuk kosong. Selama bermain di warnet, gue pasti makan yang namanya mie instan. Dobel.
Malamnya begadang di warnet, pagi harinya stand by di sekolah. Ya, gue belajar dengan keadaan yang amburadul. Mata merah, muka lusuh, badan kaku, kepala pusing, dan ternyata ini menjadi 'bom waktu' untuk gue sendiri. Pada akhirnya gue dilarikan ke rumah sakit gara-gara terkena penyakit tifus akut karena gue terlambat mendeteksi penyakit tersebut.
Hari ke-5 gue di rumah sakit.
Gue yang sedang terlelap, terbangun karena merasakan ada sentuhan yang menyisir rambut gue dengan perlahan. Gue membuka mata dan kemudian gue mendapati dirinya sedang berdiri di samping kanan kasur, mengelus rambut gue dengan lembut sambil tersenyum.
"Hallo, Fal..."
Part 88 Murica Met Russkea Sudah dua hari ke belakang Aya selalu menyempatkan diri untuk datang dan menemani gue di rumah sakit. Kadang-kadang juga dia membawakan gue bekal makanan buatannya sendiri yang rasanya sedikit lebih (ehm) nikmat daripada obat yang gue minum. Dan sekarang, Aya kembali datang ke ruangan yang berukuran sekitar 3x3 meter ini sambil membawa sebuah kotak makan berwarna oranye cerah.
Hari ini dia datang dengan mengenakan kaos putih polos dan dibalut oleh cardigan berwarna merah muda. Seperti biasa, rambut panjangnya tergerai indah di belakang punggungnya serta kedua kakinya dibalut dengan celana jeans biru tua. Dandanan yang menurut gue simple, namun terlihat cantik.
"Bangun! Bangun!" Aya menggoyang-goyangkan badan gue.
"Aaaah, ganggu gue mulu lo." Gue menggerutu sambil menepis tangan Aya dari lengan gue yang terpasang selang infus.
"Bangun dulu, nih gue udah bawain lo makanan lagi. Ayam Teriyaki loh!" "Abis makan, minum obat, terus lo mau tidur sampe mati juga gapapa kok..." "Yang penting makanan gue abisin dulu, gue cape tau masak ginian subuh-subuh!"
Oke gue ralat perkataan gue sebelumnya. Seketika dia berubah menjadi mak lampir dan dia sudah tidak terlihat cantik lagi.
Aya kemudian menyimpan kotak makan di atas meja di samping tempat tidur lalu membantu gue untuk duduk dan kemudian mulai menyuapi gue. Entah karena lidah gue yang terasa pahit atau karena masakan Aya yang terlalu (ehm) nikmat, gue mengernyitkan dahi sambil sedikit menyipitkan mata.
"Kenapa"" Tanya Aya.
"..." Gue menelan makanan yang berada di mulut. "Lidah gue, pait..." Jawaban yang sangat diplomatis sekali.
"..." Aya tidak menjawabnya, dia hanya mengaduk-aduk Ayam Teriyaki buatannya lalu bersiap untuk
menyuapi gue kembali. "Lo tau gue masuk rumah sakit dari siapa sih"" Gue bertanya.
"..." Aya tersenyum jahil.
"Ra-ha-si-a." Dia berbicara sambil mengedipkan sebelah matanya lalu menjejeli mulut gue dengan masakan buatannya.
Aya menyuapi gue dengan telaten dan secara perlahan karena gue agak sedikit susah dalam mengunyah. Tapi kayaknya, kayaknya nih, kalo misalkan lidah gue lagi gak pahit dan gue bisa makan dengan normal, gue yakin kalo masakan Aya tuh sebenarnya memiliki rasa yang (ehm) enak.
Setelah selesai dengan acara suap-suapan yang cukup lama, Aya membereskan kotak makannya, menyambar tas lalu berpamitan kepada gue untuk pergi ke kampus.
"Gue pergi ke kampus dulu ya. Takut telat nih gue." Ujarnya sambil melirik jam yang ia kenakan. "Nanti abis kampus gue bakal kesini lagi kok..."
"..." Gue tersenyum dan mengangguk. "Makasih."
Aya mendekatkan kepalanya lalu mengecup kening gue dan tersenyum. Sedetik kemudian dia langsung membalikkan badan, berjalan menuju pintu dan menghilang setelah pintu tertutup rapat, meninggalkan gue dengan aroma parfumnya yang khas.
Setelah Aya pergi, perlahan kantuk pun datang menyerang. Mungkin karena efek obat yang baru saja gue minum. Akhirnya gue pun memejamkan mata dan pergi tidur.
*** Gue yang sedang terlelap, terbangun karena merasakan ada sentuhan yang menyisir rambut gue dengan perlahan. Gue membuka mata dan kemudian gue mendapati dirinya sedang berdiri di samping kanan kasur, mengelus rambut gue dengan lembut sambil tersenyum.
"Hallo, Fal..."
"..." Gue mengerjap-kerjapkan mata untuk memperjelas penglihatan.
"Eh, hallo juga."
Sapa gue kepada Hanif. Kemudian dia mundur satu langkah dan duduk di kursi yang pernah Aya duduki. Gue menyimpan lengan di atas dahi sambil memejamkan mata dengan rapat, kepala gue kembali terasa berputar-putar.
"Sama siapa kesini"" Gue bertanya sambil tetap memejamkan mata.
"Aku kesini sama Ojan."
"Oh..." "Sama Rizal juga."
"..." "Terus mereka berdua kemana""
"Lagi nyari makan di bawah."
"Kok ga ikut nyari makan juga"" Gue mencoba untuk tidak menyebut kata 'lo' atau 'kamu' kepada Hanif.
"Aku males naik-turun lagi, capek Fal." "Kamu kenapa bisa jadi sakit gini""
"..." Gue menurunkan lengan dari dahi menuju mata lalu menghembuskan nafas melalui mulut. "Ga kenapa-napa."
Kemudian terdengar suara pintu yang berdecit yang membuat mata gue terbuka dan kemudian disusul dengan Ojan yang datang menghampiri kami. Dia berdiri di samping kasur yang berseberangan dengan Hanif, lalu memegang lengan kasur dengan erat.
"Rizal masih makan di bawah." Ojan membuka obrolan.
"Oh..." Hanif membulatkan bibir.
"Eh, kita ngerasa d"j" vu gak""
"..." Gue hanya diam. Kenapa" Karena gue mengetahui dengan persis apa yang dimaksud Ojan melalui perkataannya yang terlontar barusan.
"Iya. Dulu, kita bertiga pernah kayak gini dan sekarang kita juga kayak gini lagi." Jawab Hanif sambil menyunggingkan sebuah senyuman.
"Engga kok, kita udah enggak kayak yang dulu lagi." Gue membuka suara. "Kita sekarang udah putus, terus kita sekarang ga cuman bertiga." "Ada Rizal yang belum keitung."
"..." "..." Hanif dan Ojan terdiam.
Gue udah ga peduli lagi tentang reaksi mereka berdua seperti apa, dan kemudian terciptalah sebuah momen dingin yang bersuhu -273.15" Celsius, 0 Kelvin. Absolute zero. I just told 'em about the truth and I don't give a fuck about it. Do ya guys feel me"
Suara pintu yang berdecit kembali terdengar dan kali ini yang masuk adalah seseorang yang sebelumnya pernah berjanji akan datang menjenguk gue lagi.
"Eh..." Aya menghentikan langkahnya dan memasang ekspresi kaget. Gue yakin dia kaget bukan karena Ojan yang menjenguk gue, melainkan karena ada sosok Hanif yang duduk di samping kasur gue. Tepat di atas kursi dimana Aya pernah duduk di situ tadi pagi.
"Sori ganggu. Gue... Engg... Ke wc dulu bentar."
Aya membalikkan badannya dengan kikuk dan berjalan cepat menuju pintu lalu menutupnya. Dan suasana kembali seperti sedia kala, kembali kepada suasana yang dingin, beku, tanpa ada seseorang pun diantara kami bertiga yang bisa mencairkannya.
Setelah beberapa menit saling berdiam diri dan bergelut dengan pikiran kami masing-masing, ada ketukan dari luar dan disusul dengan suara pintu yang berdecit. Gue pikir Aya yang kembali masuk. Namun ternyata yang masuk adalah Rizal, pacar Hanif.
Saat ini gue baru pertama kalinya bertemu dengan Rizal secara langsung. Dari penampilan luarnya, gue langsung bisa mengasumsikan bahwa dia merupakan seorang yang bersifat slengean dibalik dandanan luarnya yang terlihat metrosexual. Entahlah, gue hanya menebak-nebak saja.
"Hallo bro!" Rizal kini berdiri di samping Hanif dan mencoba mengakrabkan diri dengan gue. "Apa kabar""
"Yah, gini-gini aja." Gue menjawab sambil tersenyum setengah hati.
Rizal hanya melemparkan senyuman lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Hanif, berbisik. Pemandangan seperti ini membuat emosi gue naik-turun dan akhirnya merambat hingga ke kepala. Pusing.
"Fal, aku pulang dulu ya. Udah sore juga nih soalnya." Ujar Hanif.
"Gue balik juga ya sekalian nganter Hanif, sori nih jenguknya ga bisa lama-lama."
"Gue mau disini dulu." Ojan menimpali mereka berdua.
"Ya, hati-hati di jalan." Gue berbicara sambil memasang sebuah senyuman yang dipaksakan.
Hanif tersenyum dan kemudian mengambil tasnya lalu berjalan menuju pintu sedangkan Rizal mengambil alih tempat dimana Hanif duduk. Dia menundukkan kepalanya hingga berada tepat di samping telinga gue dan mulai berbisik dengan pelan, sangat pelan sekali hingga terasa samar di telinga gue, namun gue masih dapat mendengarnya.
"Jangan pernah deketin cewek gue lagi."
***** Kau perlakukan aku layaknya Sang kekasih hatimu Kau hancurkan mimpi
Mimpi indahku dan kau pukul keras hatiku Kecewakanku, menghilang, dan kau hanya tinggalkan luka
Lupakanlah Segala cerita Diantara kita Midnight Quickie Cerita Diantara Kita
Part 89 Murica And Russkea Held A Meeting
Hujan yang sedari tadi mengguyur hingga pukul empat sore ini, kini telah selesai dan digantikan dengan langit yang berwarna biru cerah tanpa ada satupun awan yang menghalangi. Rumputrumput di halaman rumah kini menyisakan titik-titik air bekas hujan yang menggantung di bagian ujungnya.
Halaman rumah gue sekarang disinari oleh sinar berwarna biru segar yang terpancar dari langit. Kombinasi antara sinar yang berwarna biru, hijaunya rerumputan dan ditambah dengan suara gemericik air mancur, dapat membuat pikiran siapapun yang berada disini dapat menjadi tenang dan rileks.
Sesekali juga terdengar suara 'tek-tek' dari mangkok yang dipukul oleh tukang bakso serta suara 'siulan' dari alat pembuat kue putu yang saling bersahut-sahutan dari luar rumah, namun suaranya semakin lama semakin mengecil, hilang ditelan oleh jarak yang semakin menjauh dari pendengaran.
Gue berjongkok di ujung lantai teras yang sedikit becek sambil memainkan telunjuk di atas rumput yang masih basah, mencoba menikmati suasana setelah hujan yang sepertinya sudah lama tidak gue rasakan.
Walaupun tidak ada angin yang berhembus, tetapi suhu di sekitar sini cukup untuk membuat badan gue merasa sejuk. Lalu tiba-tiba ada seseorang yang melingkarkan jaket di punggung gue. Gue sedikit kaget, lalu menoleh ke arahnya.
"Lo tuh sebenernya masih sakit, sekarang malah dingin-dinginan di luar." Omel Aya.
Semenjak gue pulang dari rumah sakit empat hari yang lalu, Aya selalu datang ke rumah untuk memantau kondisi gue walaupun gue sendiri merasa sudah sembuh total dan sudah bisa kembali bersekolah. Aya berjongkok di sebelah gue sambil memeluk kedua kakinya dan membenamkan dagu diantara kedua lututnya.
"Gimana" Masalah lo udah selesai""
"..." Gue mencabuti beberapa rumput lalu melemparnya sekuat tenaga. "Kayaknya..."
"Coba dong cerita, gue ingin tau..."
"..." Gue menghela nafas panjang, lalu mulai bercerita tentang kejadian yang baru saja gue alami beberapa jam yang lalu...
*** "Jan..." "Ngggh"" Ojan masih tetap menulis materi yang baru saja diterangkan oleh guru.
"Jan..." "Ngggghhh""
"Jan..." "Apa"!" Ojan menyimpan pulpen di atas meja dengan sedikit membantingnya.
"Ck, jadi orang tuh harus sabar mas, sabar..."
"Ya elo manggil-manggil gue terus! Udah tau gue lagi nulis!"
"Sori deh, gue cuman mau nanya doang kok."
"Nanya apaan"" Ojan mengambil pulpen lalu kembali menulis.
"Waktu lo ke rumah sakit kemaren, yang ngajak elo kesana siapa""
"..." Ojan menoleh ke arah gue sambil memainkan pulpennya. "Kenapa emang""
"Udah jawab aja."
"Hanif, kenapa""
"..." Gue menggaruk-garuk kepala, bingung.
Gue mulai bingung dengan perkataan Rizal sebelumnya. Dia berkata bahwa gue ga boleh deketdeket lagi dengan Hanif, tetapi barusan Ojan berkata bahwa Hanif yang ngajak ke rumah sakit untuk menjenguk gue.
Jadi, seharusnya siapa yang ga boleh deket-deket dengan siapa"
Untuk memastikan perkataan Ojan, sepulang sekolah hari ini gue mencoba untuk mengirimi Hanif sebuah sms yang menanyakan tentang hal tersebut.
'Nif, aku mau tanya. Yang kemarin jenguk aku di rs tuh kamu yang mau" Atau siapa"'
Tidak lama berselang, ternyata Hanif langsung membalas sms gue.
'Aku kok yang mau, kenapa"'
God dammit... Gue memegang dahi, kemudian terlintas sebuah rencana win-win solution di dalam otak. Akhirnya gue menghubungi Ojan, menceritakan seluruh kejadian di rumah sakit dan meminta sarannya tentang rencana gue.
*** Keesokan harinya gue bersama Ojan menjadi lebih sering berada di luar kelas, mengamati pintu kelas XII IPA-1, menunggu agar Rizal keluar dari sana tanpa 'pengawasan' dari siapapun, terutama dari Hanif.
Saat-saat yang ditunggu pun datang. Rizal keluar dari kelas dan berjalan menuju kantin, sendirian. Gue menoleh kepada Ojan, dia mendorong punggung gue agar mulai melangkah maju dan mendekati Rizal.
"Udah cepet, gue liatin elo dari belakang."
Kemudian gue mengikuti Rizal yang sudah berbelok di depan dan diikuti oleh Ojan yang menjaga jarak di belakang punggung gue. Ketika sampai di kantin, gue melihat bahwa Rizal sedang membeli minuman dan gue mulai mengamati keadaan kantin.
Suasana disini cukup ramai dipenuhi oleh anak-anak yang baru pulang sekolah. Jadi, kemungkinan untuk terjadinya baku hantam disini sangatlah kecil dan bahkan tidak mungkin sama sekali.
Gue menoleh ke belakang lalu mengangguk kepada Ojan dan mulai melangkah.
"..." Gue menepuk bahu Rizal yang membuatnya menoleh. "Gue mau ngomong sesuatu."
Setelah itu gue menjauhinya dan mencari meja yang kosong agar gue bisa mengobrol tanpa ganggunan dan tentunya, dengan kepala dingin.
"Mau ngomong apa"
"Gini..." Gue menggenggam kedua tangan seperti sedang berdoa dan sikut gue bertumpu kepada meja.
"Gue mau tanya."
"Kapan persisnya gue deketin Hanif""
"Masih kurang bukti kalo lo itu emang selalu deket-deket sama Hanif""
"Coba mana buktinya""
"Pertama..." Rizal mencoba mengingat-ingat.
"Waktu pulang sekolah, lo sama Hanif duduk bareng di satu meja di dalem kelas lo."
"..." "Yang kedua..."
"Waktu terakhir lo masuk ke rumah sakit. Itu apa namanya kalo bukan deket-deket""
"Cuman dua""
"..." "..." Gue memainkan bibir dan memikirkan kata-kata yang tepat agar tidak terkesan terlalu 'rude'. "Gue mau tanya lagi, boleh""
"..." Rizal mengangguk lalu meminum air mineral yang dibawanya.
"Pertama, lo kan tadi bilang Hanif duduk bareng sama gue." "Yang nyamperin duluan tuh siapa" Gue""
"Atau Hanif"" Gue memberikan sedikit penekanan saat berkata seperti itu. "..."
"Terus pas di rumah sakit."
"Gue yakin banget kalo elo diajak sama Hanif buat jenguk gue dan itu pasti keinginan Hanif sendiri. Iya kan""
"..." Terdengar suara berdecit dari botol air mineral yang dipegang oleh Rizal.
"Jadi... Sebenernya tuh siapa yang ga boleh deket-deket sama siapa""
"..." "..." "..." "Gini aja deh bro." Gue berdiri dari kursi.
"Gue yakin kalo otak lo tuh encer karena sekarang elo ada di kelas unggulan." "Otak lo masih bisa diajak mikir kan""
"..." "Dan yang terakhir, cepet balik. Udah mendung tuh." Gue menunjuk ke luar kantin yang sudah mulai gelap.
"Kalo gitu, gue duluan."
Gue berlalu meninggalkan Rizal yang masih terduduk disana, meninggalkannya dengan kemenangan besar yang baru saja gue dapatkan.
*** Hujan yang sedari tadi mengguyur hingga pukul empat sore ini, kini telah selesai dan digantikan dengan langit yang berwarna biru cerah tanpa ada satupun awan yang menghalangi. Rumputrumput di halaman rumah kini menyisakan titik-titik air bekas hujan yang menggantung di bagian ujungnya.
Halaman rumah gue sekarang disinari oleh sinar berwarna biru segar yang terpancar dari langit. Kombinasi antara sinar yang berwarna biru, hijaunya rerumputan dan ditambah dengan suara gemericik air mancur, dapat membuat pikiran siapapun yang berada disini dapat menjadi tenang dan rileks.
Sesekali juga terdengar suara 'tek-tek' dari mangkok yang dipukul oleh tukang bakso serta suara 'siulan' dari alat pembuat kue putu yang saling bersahut-sahutan dari luar rumah, namun suaranya semakin lama semakin mengecil, hilang ditelan oleh jarak yang semakin menjauh dari pendengaran.
Gue berjongkok di ujung lantai teras yang sedikit becek sambil memainkan telunjuk di atas rumput yang masih basah, mencoba menikmati suasana setelah hujan yang sepertinya sudah lama tidak gue rasakan.
Walaupun tidak ada angin yang berhembus, tetapi suhu di sekitar sini cukup untuk membuat badan gue merasa sejuk. Lalu tiba-tiba ada seseorang yang melingkarkan jaket di punggung gue. Gue sedikit kaget, lalu menoleh ke arahnya.
"Lo tuh sebenernya masih sakit, sekarang malah dingin-dinginan di luar." Omel Aya.
Semenjak gue pulang dari rumah sakit empat hari yang lalu, Aya selalu datang ke rumah untuk memantau kondisi gue walaupun gue sendiri merasa sudah sembuh total dan sudah bisa kembali bersekolah. Aya berjongkok di sebelah gue sambil memeluk kedua kakinya dan membenamkan dagu diantara kedua lututnya.
"Gimana" Masalah lo udah selesai""
"..." Gue mencabuti beberapa rumput lalu melemparnya sekuat tenaga. "Kayaknya..."
"Coba dong cerita, gue ingin tau..."
"..." Gue menghela nafas panjang, lalu mulai bercerita.
Bercerita tentang kemenangan Russkea atas Murica di dalam kancah Perang Dingin: Season 2.
All hail Mother Russkea! All hail The Holy Motherland!
Part 90 I Am Lost As To Who I Really Am Now
Penyakit yang diberikan oleh Tuhan sepertinya kurang mempan untuk menahan hawa nafsu gue sendiri. Malahan, gue menjadi seperti yang lebih 'terorganisir' dalam bermain yang namanya game online. Terorganisir disini meliputi hal seperti lebih memperhatikan asupan makanan dan istirahat yang cukup namun masih memiliki waktu untuk bermain.
Kegiatan gue setelah pulang dari sekolah adalah bermain di warnet dan itu merupakan sebuah kewajiban untuk gue sendiri. Entah apakah itu satu, dua, atau bahkan lima jam sekalipun, gue ga peduli. Yang penting gue bisa main.
Gue sudah men-setting jadwal gue untuk tetap seperti itu. Setiap hari. Bahkan pada saat hari Minggu yang notabenenya untuk berleha-leha di rumah, gue habiskan untuk duduk di depan komputer selama lebih dari delapan jam hanya untuk bermain.
Sekarang kehidupan gue hanya berlangsung di tiga tempat: rumah, sekolah dan warnet. Gue menghabiskan waktu di rumah untuk sekedar makan dan beristirahat, di sekolah untuk belajar sekenanya dan bersosialisasi semampunya, sedangkan di warnet" Gue habiskan untuk mencaci maki orang-orang lewat game yang gue mainkan.
Gue menikmati hal tersebut, atau malahan gue sangat menikmatinya.
Dan tentunya, It was quite fun!
*** Semester pertama di kelas tiga ini gue lalui dengan penuh percaya diri. Percaya diri bahwa gue akan mendapatkan nilai rapor yang baik, percaya diri bahwa gue akan bisa mendapatkan pujian dari guru tentang raport gue, percaya diri bahwa gue akan melewati semester ini dengan mudah.
UAS di semester ganjil ini telah gue lalui dan kami semua, para siswa, sedang mempersiapkan timtim olah raga yang akan bertanding di masa kosong sebelum memasuki liburan akhir semester. Ini merupakan acara yang rutin dilakukan ketika setelah ujian akhir semester selesai.
"Fal, masuk ke tim futsal ya"" Tanya Keke, seorang cewek yang menjadi ketua murid di kelas gue.
Saat ini Keke sedang mengadakan sebuah rapat kelas dan dia berada di depan, mencoba untuk membuat susunan pemain tim futsal, voli, basket, dan badminton.
"Ah engga. Ga bisa futsal gue."
"Jadi mau masuk kemana""
"Mmmm..." "Badminton deh."
"Oke, berarti nanti kamu satu tim sama Yuni ya."
"..." Gue menoleh ke arah Yuni, dia menggerakkan bibirnya tanpa suara. "Sama aku""
"..." Gue mengangguk. "Oke."
Kemudian Keke kembali melanjutkan forum dan bertanya kepada anak-anak yang lain untuk berpartisipasi dalam acara rutin tersebut. Karena gue sudah mendapatkan mendapatkan peran dalam acara tersebut, gue kembali melanjutkan aktivitas harian gue di dalam kelas: tidur di atas buntelan jaket.
*** Pekan Olah Raga Antar Kelas atau sering disebut dengan Porak kini telah selesai dan saatnya menunggu pembagian hasil dari pembelajaran selama satu semester ke belakang. Rapor gue kembali diambil oleh bokap si kembar Amel dan Aya, pak Rendra.
Sekitar pukul tujuh pagi hari ini gue sudah siap dengan mengenakan seragam putih abu yang diwajibkan oleh sekolah, lalu gue pergi menuju rumah pak Rendra yang hanya berjarak beberapa rumah saja dari rumah gue.
"Assalamualaikum."
"Waalaikum salam, masuk aja Fal." Ujar seorang wanita yang sedang menyapu di teras rumah.
"Iya bu." Gue membuka pagar lalu berjalan menghampiri wanita tersebut dan mencium tangannya. Beliau merupakan istri pak Rendra dan ibu tiri dari Amel dan Aya, ibu Darmawan. Beliau memakai nama belakang pak Rendra yaitu Rendra Darmawan. Sampai saat ini gue ga tau nama aslinya siapa, namun gue ga terlalu mempermasalahkan hal tersebut.
Ketika gue sedang mengobrol hal-hal kecil bersama ibu Darmawan, pak Rendra keluar dari rumah dan langsung mengajak gue untuk pergi ke sekolah.
"Ayo Fal, kita pergi sekarang."
Gue berpamitan kepada ibu Darmawan lalu langsung masuk ke dalam mobil. Dan beberapa saat kemudian, gue sudah berada di atas jalanan yang lumayan lengang menuju sekolah. ***
Beberapa jam setelah pengambilan rapor, gue sudah kembali berada di dalam kamar rumah dan terduduk di ujung kasur sambil memegang sebuah amplop berwarna cokelat ber-kop, sebuah amplop yang berisi rapor sementara gue. Gue memegang amplop tersebut sambil bengong dan gue teringat akan perkataan wali kelas tadi siang.
"Untuk sementara rapor Naufal belum bisa saya berikan karena sekarang sudah mendekati ujian nasional dan masih ada beberapa mata pelajaran yang nilainya harus dinaikkan, jadi untuk saat ini saya hanya bisa memberikan nilai rapor sementara yang ada di dalam amplop ini."
Dengan diperolehnya rapor sementara, gue tau, gue pasti dapet nilai yang kecil. Gue mengusap rambut lalu menjambaknya sedikit sebelum memberanikan diri untuk membuka dan melihat isi dari amplop tersebut.
Kreeeek... Bagian pinggir amplop sudah tersobek dan perlahan gue mengambil sebuah kertas A4 yang terlipat rapi yang berisikan nilai-nilai hasil belajar gue pada satu semester ini, nilai-nilai yang membuat gue menyesali kesombongan gue akan kepercayaan diri gue yang terlalu berlebihan dalam menjalani kegiatan persekolahan selama satu semester ini, nilai yang membuat tubuh gue menjadi lemas seketika.
Bukan hanya satu atau dua mata pelajaran saja yang mendapatkan nilai yang jauh di bawah batas minimal, melainkan gue mendapatkan enam buah mata pelajaran yang nilainya jeblog dan lima diantaranya merupakan mata pelajaran yang akan diujikan di ujian nasional nanti.
Gue menghela nafas panjang sambil melihat satu persatu nilai gue yang benar-benar hancur:
1. Matematika: 40 2. Fisika: 37 3. Kimia: 45 4. Biologi: 53
Dan satu buah mata pelajaran yang selama ini gue anggap remeh, yang selama ini gue anggap yang paling mudah dan selalu merasa di atas angin, Bahasa Inggris, ternyata mendapatkan nilai yang paling rendah diantara mereka semua: 35.
Gue hanya bisa duduk bengong di ujung kasur di dalam kamar yang dingin, terpaku kepada kumpulan angka-angka yang masih ditulis oleh pensil dan bukan ditulis oleh pulpen. Gue sadar, gue sudah sangat jauh menyimpang dari jalan yang dulu selalu gue tapaki. Dan sekarang gue memetik hasilnya, gue tersesat di dalam sebuah tempat yang bernama hutan penyesalan yang sangat luas dan tanpa ada penunjuk apapun yang mengarah ke jalan utama.
Now, I am lost. I am really lost...
Gue mengutuki diri sendiri karena perilaku gue sendiri yang menyebabkan semuanya menjadi seperti ini. Gue menjadi tidak berani untuk pulang pada liburan semester kali ini, gue takut untuk menghadapi reaksi kedua orang tua gue yang sudah capek-capek bekerja dan mengirimi gue perbekalan setiap bulannya agar gue bisa bertahan hidup dan diharapkan akan sukses di kemudian hari, namun ternyata gue sudah mengecewakan mereka dengan cara seperti ini.
Gue mencoba mencari sebuah alasan yang logis dan kuat agar gue bisa tetap berada disini dan sebisa mungkin tidak pulang ke kampung halaman. Dan satu buah alasan yang menurut gue kuat pun dihasilkan: ga dapet tiket buat pulang. Alasan klise yang sangat ampuh bukan"
Akhirnya gue mengambil handphone dan menelpon rumah. Tidak beberapa lama kemudian, telpon diangkat oleh suara berat dari ujung sana: suara bokap. Gue menjelaskan perihal mengenai hal tersebut, dan bokap memakluminya. Beliau berpesan agar gue tetap rajin belajar dan bisa memasuki salah satu universitas negeri yang menurut gue baik.
Dengan perasaan yang campur aduk dan setelah menghela nafas panjang yang pelan, gue mengiyakan permintaan bokap.
*** Walaupun siang sudah berganti menjadi malam, gue masih tetap berada di atas kasur sambil meremas amplop dan tangan yang lainnya sedang memegang rapor sementara. Di saat yang down seperti ini, gue menginginkan kehadiran seorang Vanny di samping gue, gue menginginkan dirinya yang bisa menyemangati gue dengan caranya sendiri yang unik, gue ingin melihat senyumannya yang dapat menenangkan hati gue, gue menginginkan dirinya agar kembali berada di kehidupan gue, gue menginginkan sosoknya, gue menginginkan Vanny.
Tapi gue sadar, gue ga bisa mengharapkan sesuatu hal seperti itu. Life goes on, dan gue harus bisa menerima kenyataan seperti ini. Akhirnya gue merebahkan badan di atas kasur, menatap langitlangit dengan pipi yang sedikit basah karena air mata.
Semoga pilihan gue untuk tetap berada di sini, berada di kota ini sebagai pengecut yang hanya bisa menyembunyikan kenyataan, bisa menghadapi setiap takdir yang datang untuk memberikan atau mengambil apapun yang diinginkannya.
Ya, Semoga... Part 91 A New Beginning" Gue mengambil handphone yang tergeletak di atas meja lalu menekan angka-angka yang merupakan nomor telepon rumah, rumah yang berada di ujung pulau sana. Sempat terlintas pikiran untuk tidak menelpon rumah, namun sepertinya gue memang harus memberitahukan hal tersebut kepada orang tua.
Tuuut...tuuut... "Hallo, assalamualaikum."
Deg! Gue mendengar suara berat milik bokap, ternyata beliau yang menjawabnya. Entah kenapa gue merasakan sebuah rasa takut yang tiba-tiba datang menghampiri setelah mendengar suaranya dari ujung sana.
"Wa...alaikum salam... Pap"" Gue menjawab dengan terbata-bata.
"Oh, ada apa kak" Sehat disana""
"Sehat pap, ngg...anu..."
"Kaka kayaknya ga bisa pulang..."
"Ya syukur kalo gitu. Kenapa ga bisa pulang" Ga ada uang buat beli tiketnya""
"Engg... Bukan, bukan... Ini loh, apa sih namanya, itu, ga dapet tiket keretanya pap..." Jawab gue bohong.


Cowok Manja Merantau Karya Karnaufal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalo tiket pesawat gimana" Udah cari""
"Ah ga mau naik pesawat pap kaka belom pernah naik pesawat, apalagi nanti naik sendirian."
"Yasudah, kalo gitu kakak baik-baik disana. Belajar yang rajin, jangan lupa shalat."
"Iya pap..." "Sebentar lagi kaka kan mau UN, banyak-banyak berdoa sama Allah biar dikasih kelancaran supaya kaka bisa masuk ke universitas yang baik."
"Kaka bisa masuk ke universitas negeri kan""
"..." Gue terdiam sebentar, lalu menghela nafas. "Iya pap. Kaka bisa."
"Pesan papah yang terakhir, jangan jadi orang bodoh. Nanti jalan kakinya lama."
"Apaan tuh pap" Kaka ga ngerti..."
"Nanti kalo kamu udah sukses, kamu pasti ngerti sendiri kok..."
"Oke pap, yaudah ya kaka pulsanya nanti abis nih." "Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Cklek! Gue menekan tombol merah pada handphone dan percakapan selesai. Dengan berakhirnya percakapan tadi, secara tidak langsung gue sudah terikat sebuah perjanjian baru kepada bokap. ***
"Kok lo ngeliatin jam itu terus""
"Kenapa emang" Jam punya gue, ga boleh gue liatin terus"" Gue berbicara sambil mengusap lingkaran luar jam dengan telunjuk.
"Tumben aja gitu, gue baru liat tingkah baru lo yang sekarang."
"Lah terus kenapa""
"Gak apa-apa Naufaaaalllll..." "Ih lo lama-lama ngeselin ya!" "..." Gue menaikkan pandangan dan menatap Aya. "Kemana aja Ay" Baru tau kalo gue itu ngeselin""
"Di hatimuuu..."
"Oiya, jam tangan elo tuh baru ya""
"Bisa dibilang baru, bisa dibilang lama."
"Kapan belinya" Kok gue ga tau sih""
"..." Gue tersenyum. "Engga beli kok, dikasih."
"Dikasih" Sama siapa""
"..." Gue hanya tersenyum sambil tetap menatap jam yang berada di tangan kanan gue.
"Hallo" Tok-tok, Naufalnya ada"" Aya mengetukkan jarinya di atas meja kayu yang berwarna cokelat tua.
"Naufalnya lagi jalan-jalan ke masa lalu."
Tidak lama berselang, ada seorang pelayan yang datang sambil membawa sebuah baki yang berisi makanan. Dengan sigap pelayan tersebut menghidangkan makanan pesanan kami berdua dan bertanya jika ada sesuatu yang kurang. Setelah gue mengkonfirmasi seluruh pesanan, pelayan tersebut tersenyum dan berjalan menjauhi meja.
"Dikasih siapa, Fal""
"Yakin lo mau tau dikasih dari siapa""
"..." Aya mengangguk.
"Kalo bisa, ceritain juga kenapa bisa dikasih."
"Beneran" Jangan nyela' gue pas lagi ngomong loh ya." Gue mengultimatum Aya sambil mengambil sendok dan mengelapnya dengan tissue.
"Deal!" Gue mempersiapkan diri untuk kembali membuka kenangan bersama Vanny melalui cerita yang akan gue sampaikan kepada Aya. Akhirnya gue memulai cerita dimana gue dikasih jam tersebut di atas kereta.
"Ah, kuwang panhang cehitanga!"
"Telen dulu mbak..."
"..." Aya menelan makanan yang berada di mulutnya lalu mengambil minuman dan menyeruputnya. "Dari awal ketemu dong, gue ingin tau."
"Beneran nih""
"..." Aya mengangguk sambil menyuapi mulutnya sendiri.
"..." Gue menghela nafas panjang, lalu menyimpan sendok di atas piring dengan posisi tertelungkup. "Jadi gini ceritanya..."
Cerita gue awali dengan pertemuan dengan Vanny di atas kereta. Gue bercerita sambil memperhatikan ekspresi Aya. Dia masih memasang wajah datar sambil memakan makanannya dan tetap memperhatikan gue. Gue melanjutkan cerita tentang momen dimana gue bermain musik di rumah Vanny dan pada tahap ini, bisa dibilang gue mulai menjadi dekat dengan Vanny.
Saat selesai bercerita tentang bagian tersebut, gue melihat perubahan ekspresi pada wajahnya. Aya terlihat menjadi ogah-ogahan dan hanya mengaduk-aduk makanan miliknya.
"Kenapa Ay" Cembokur"" Goda gue kepada Aya.
"Engga kok." Jawabnya dingin.
"Lanjutin." Aya berkata sambil menatap ke arah makanannya.
"Hahaha..." "Iya-iya gue lanjutin."
Gue melanjutkan cerita ke beberapa hari sebelum natal, hari dimana gue pulang kampung berdua bersama Vanny, hari dimana gue memberikan sebuah kado yang berisi Santa Klaus kembung kepadanya. Kini ekspresi Aya bisa dibilang mulai menjadi jutek yang dibuat-buat, namun membuat gue tertawa.
"Kenapa ketawa""
"Muka lo, lucu Ay!"
"..." Aya menyimpan sendok dan memasang wajah jutek yang lebih menyeramkan dari sebelumnya.
"Oke... Oke... Gue lanjutin."
"..." "..." "Kok diem""
"..." Gue menarik nafas panjang, lalu kembali melanjutkan cerita. "Gue pernah cerita sama elo kan kalo gue punya perasaan yang ga enak""
"..." Aya mengangguk.
"Gue udah dapet jawabannya kenapa."
"Kenapa"" "Waktu itu gue lagi di dalem kamer rumah, tidur-tiduran sambil main hp."
"..." "Tiba-tiba ada temen sekelas yang nelfon ke handphone gue. Awalnya gue kira kalo dia cuman mau nanya kapan masuk lagi. Tapi taunya bukan..." Gue mengalihkan pandangan dari wajah Aya ke arah lain.
"..." "Gue dapet kabar kalo Vanny kecelakaan."
"..." "Yang ngebuat gue makin ga nyangka, dia ngomong kalo Vanny meninggal gara-gara kecelakaan itu."
"..." "Dunia gue serasa jadi upside down..."
"Temen sekelas yang deket banget sama gue tiba-tiba diambil sama yang di atas." Gue sedikit menundukkan kepala lalu mengedipkan mata berkali-kali, menahan air mata agar tidak kembali menetes.
"..." "Padahal gue baru kenal sebentar sama dia dan gue ingin bisa kenal Vanny lebih jauh." "Tapi sayangnya gue ga bisa."
"Sekarang gue cuman bisa mengenang Vanny lewat jam tangan ini..." Ujar gue sambil tersenyum.
"..." Tidak lama setelah gue bercerita seperti itu, gue mendengar suara isak tangis seseorang dari seberang meja. Gue menengadah dan menatap Aya. Gue melihat bahwa kedua matanya sudah mulai berkaca-kaca tetapi dia tetap memasang senyuman pada bibirnya, ekspresi yang menurut gue sangat lucu sekali.
"Kenapa lo"" Tanya gue sambil sedikit tertawa.
"Gue sediiiih..." Isaknya sambil tersenyum.
"Lo lucu Ay!" "Dari jutek tiba-tiba jadi nangis, sumpah deh gue jadi pengen ketawa sendiri."
"Ih elo maaah... Udah ah..." Rengek Aya.
Gue melihat ada air mata yang mengalir di pipinya, secara reflek gue menjulurkan tangan dan mengelap air matanya menggunakan ibu jari. Perbuatan gue ternyata membuat wajah Aya memerah dan menjadi lebih lucu dari sebelumnya, hal tersebut membuat gue mencubit pelan pipinya.
"Cengeng." Gue tersenyum.
"Biarin..." Aya memanyunkan bibirnya dan memasang senyuman manja.
Lalu kami berdua melanjutkan makan dalam diam. Gue menundukkan kepala dan menatap
makanan yang terhidang dengan berjuta pikiran, lalu tiba-tiba gue tersenyum. Apa mungkin kalo gue bakalan suka, atau bahkan sayang sama Aya"
Mungkin kalo Aya tetap bersikap seperti ini kepada gue, mungkin, gue bakal suka dan bahkan sayang kepadanya. Sekarang gue hanya tinggal menunggu tanggal mainnya saja dan menikmati momen seperti saat ini.
Part 92 Red Dawn Kami berdua masih duduk di atas sofa beludru berwarna merah, menunggu pintu keluar bioskop menjadi agak sepi sehingga kami tidak perlu berdesak-desakkan saat keluar dari ruangan yang sudah mulai diterangi lampu yang menyala perlahan. Saat gue sedang menyeruput minuman soda yang tersisa, Aya mengajak gue ngobrol.
"Lo Libur sampe kapan"" Tanya Aya.
"Minggu depan juga gue udah masuk kok." Gue menyimpan gelas minuman di samping kursi. "Kalo lo gimana""
"Gue sih baru libur, masuk lagi nanti pertengahan Januari."
"Kok bisa sih" Emang beda ya jadwal libur kuliah sama jadwal libur anak sekolahan"" Gue bertanya sambil menghadapkan badan kepadanya.
Pandangan gue terhadap perkuliahan adalah sama dengan masa-masa sekolah seperti sekarang. Masuk pagi, pulang sore, ikut ekskul, dan bla...bla...bla... Yang menjadi pembeda adalah nilai yang diganti dengan IPK serta memiliki jatah liburan lebih panjang dari jadwal anak sekolahan pada umumnya.
"Yeee, beda dodol!" Aya memukul lengan gue. "Kuliah itu beda banget sama sekolah."
"Bedanya apa""
"Yaaa... Gitu bedanya. Dari jadwal masuk ke kelas aja udah beda kok." "Kadang kita masuk jam 7 sampe jam 9, terus baru masuk lagi jam 3."
"Terus-terus""
"Ah, banyak deh pokoknya!"
"Jelasin ke gue kek Ay..."
"Ga ah, gue laper."
"Astaga, bukannya tadi sebelum kita nonton tuh udah makan dulu ya sampe elo nangis di depan makanan lo"" Goda gue.
"Ish..." Kini Aya mencubit lengan gue dan mendorongnya sedikit. "Udah ah gue malu, jangan ngomongin itu lagi!"
"Yeee salah siapa coba nangis pas gue cerita"!"
"Ih elo maaah, dibilang jangan ngomongin itu lagi!"
Aya mencubit lengan gue dan kali ini lebih keras dari sebelumnya. Gue hanya tertawa melihat kelakuannya dan kemudian kami berdua mengobrol sambil berjalan menuju pintu keluar. ***
Saat kami berdua sedang berada di atas jalanan yang agak lengang, tiba-tiba perasaan gue menjadi tidak enak dan jantung gue berdegup dengan kencang sehingga membuat gue menepi ke trotoar. Hal ini membuat gue bingung, begitupun dengan Aya.
"Kenapa Fal""
"Dada gue..." "Dada lo kenapa""
"Ga tau kenapa..." Gue menggeleng sambil melepas helm.
Gue memegang dada sebelah kiri dan gue merasa bahwa dada gue berdegup dan pernafasan gue menjadi lebih cepat dari sebelumnya. Gue memiliki perasaan yang buruk mengenai hal ini, akhirnya gue menyuruh Aya untuk mengambil alih kemudi.
"Ay, lo yang nyupir gih." Gue menurunkan standar pinggir dan turun dari motor.
"Loh kok gue""
"Gapapa, udah lo aja yang bawa ya Ay."
"Ih aneh dasar."
Aya bersungut-sungut seraya mengambil alih kemudi lalu gue duduk di belakang Aya dan kami berdua melanjutkan perjalanan pulang ke rumah.
*** Gue duduk bersandar pada ujung tempat tidur. Namun lama kelamaan rasa kantuk membuat badan gue merosot dan gue memejamkan mata. Baru saja memejamkan mata sejenak, tiba-tiba terdengar seseorang yang memencet bel. Gue buru-buru turun dari kasur dan berjalan ke arah pintu rumah.
"Siapa"" Gue sedikit berteriak dan memakai sandal dengan tergesa-gesa.
Tidak ada balasan. Gue terdiam sejenak, gue berpikir bahwa ini merupakan perbuatan bocah-bocah jahil yang sering bergerombol saat melewati rumah. Untuk lebih memastikan bahwa tidak ada orang di luar, gue berjalan mendekati pagar dan mengintip keluar.
Ternyata ada seseorang yang berdiri sambil membawa koper dan membelakangi gue. Gue tidak menyapa orang tersebut dan langsung membuka gembok pagar.
"Maaf"" "..." Orang itu tidak menjawab, dia membalikkan badan lalu menatap gue dengan matanya yang sayu dan bibirnya berwarna putih pucat. Dandanannya rapi sekali seakan-akan memang sengaja untuk berdandan seperti itu. Kami berdua saling bertatapan dalam diam dan gue mencoba menerkanerka siapa orang tersebut. Gue yakin bahwa gue mengenali orang tersebut, namun siapa"
"Silahkan masuk..." Gue membukakan pagar lebih lebar.
"..." Orang itu masih tidak menajwab perkataan gue. Dia kemudian mengambil koper yang disimpan di
sampingnya lalu berjalan menjahui rumah gue. Gue memanggil orang tersebut berkali-kali namun orang tersebut tetap tak acuh. Kemudian dia berbelok di ujung jalan dan menghilang ditelan gelapnya malam.
*** Gue terbangun dengan nafas yang terengah-engah, punggung gue terasa basah oleh keringat dan kedua telapak tangan gue dingin. Gue meraba-raba sisi kasur, mengambil handphone dan melihat jam yang menunjukkan pukul satu dini hari. Gue baru sadar bahwa gue baru saja mendapat sebuah mimpi, sebuah mimpi yang buruk.
Gue langsung bangun dan mengacak-acak meja belajar, mencari pulpen dan kertas untuk menulis apa saja yang baru gue alami. Sementara tangan kanan gue sedang menulis, tangan kiri gue meraba-raba lampu yang berada di samping dan menyalakannya untuk menambah penerangan.
Beberapa saat kemudian gue sudah selesai menulis hal tersebut dan membacanya kembali sambil bersandar pada kursi. Gue memutar otak, menerka-nerka apa arti dari mimpi tersebut dan mencoba mengingat siapa orang yang berada di dalam mimpi gue.
Ingin rasanya bertanya kepada Aya tentang hal ini, tapi rasanya tidak mungkin karena tadi sore kami berdua baru saja jalan-jalan keluar dan sekarang pasti dia sedang terlelap dengan pulas. Akhirnya gue mengurungkan niatan tersebut dan berjalan ke dapur untuk mengambil air minum lalu kembali melanjutkan tidur.
*** Sekitar pukul 10 pagi gue baru bangun dan melewatkan shalat subuh (lagi) yang untuk kesekian kalinya. Gue mengucak mata lalu duduk bersandar di atas kasur, mencoba meraih kesadaran penuh sebelum mulai beraktivitas kembali. Gue mengambil handphone yang tersimpan di samping bantal dan menemukan banyak sekali missed call dari kontak yang bernama 'Rumah' dan 'Mamah' serta sms yang sangat banyak.
Karena penasaran, gue langsung menelpon nyokap tanpa melihat isi dari sms yang masuk ke dalam handphone.
Tuuut...tuuut...tuuut... "Hallo assalamualaikum, mam""
Nyokap gue tidak membalasnya. Gue hanya mendengar suara yang lumayan gaduh di ujung sana serta gue mendengar suara isak tangis dari nyokap gue satu-satunya, dan kemudian beliau memberitahukan sebuah berita yang membuat seluruh persendian di tubuh gue menjadi lemas dan membuat gue kembali menyesali keputusan yang telah gue buat.
"Kaaak..." Part 93 Destiny and Time, The Devourer of Things
Setelah menelpon nyokap, gue langsung mengepak barang bawaan seperlunya. Gue hanya membawa badan dan bawaan seperlunya saja karena hari ini gue akan pulang ke rumah.
"Pak, bandara Husein." Gue berkata kepada supir taksi yang kebetulan lewat di depan kompleks.
Setengah jam kemudian gue sudah sampai di bandara dan langsung menuju loket pelayanan konsumen untuk mencari informasi penerbangan ke Surabaya yang akan berangkat hari ini. Setelah mendapatkan info tentang jadwal dan administrasi, gue sedikit berlari menuju salah satu loket penjualan tiket di dalam bandara.
Ketika sampai di depan loket, gue langsung menepok jidat. Mampus. Gue lupa kalo ga ada duit cash. Setelah bertanya dimana lokasi ATM, gue kembali berlari untuk mengambil uang dan beberapa saat kemudian gue sudah berada di depan loket penjualan tiket.
Gue tau kalo beli secara on the spot seperti ini pasti harganya selangit. Namun gue sama sekali ga peduli tentang harga tiket, gue harus berada di rumah.
Hari ini juga. No matter how much the fucking cost is.
: "Mam, kaka udah di bandara dan udah dapet tiket pulang. Jam 3 nyampe sana. Jangan pergi dulu sebelum kaka dateng."
Gue duduk di dalam ruang tunggu, menggenggam erat handphone dengan kedua tangan dan menundukkan kepala. Gue masih ga percaya tentang rentetan hal-hal yang gue alami hari ini dan beberapa waktu ke belakang, rentetan hal-hal yang semakin membuat gue membenci akan takdir yang digariskan oleh Tuhan kepada gue.
*** Pesawat dengan nomor penerbangan GA 361 kini telah sampai di bandara tujuan. Gue langsung keluar dan mencari-cari keberadaan mas Dayat, sopir bokap yang menjemput gue di tempat ini. Setelah celingukan ke kanan dan ke kiri, akhirnya gue menjumpai sosoknya yang sedang berdiri tidak jauh dari terminal keluar bandara. Kemudian mas Dayat menghampiri gue.
"Bapak, Den..." Nadanya sedikit bergetar saat mengucapkan hal tersebut.
"Masih pada di rumah kan" Belom pada pergi kan"" Gue menggoyang-goyangkan lengan mas Dayat.
"..." Mas Dayat mengangguk.
"Cepetan mas, kita pulang sekarang."
*** Matahari sore yang bersinar hangat menyambut kedatangan gue di rumah ini. Sebuah rumah bertingkat dua yang sekarang dihiasi oleh sebuah bendera kuning yang berkibar tertiup angin sore dan terdapat banyak sekali karangan bunga yang bertuliskan 'Turut Berduka Cita'. Karangan bunga beraneka warna tersebut tersimpan rapi di depan pagar. Perabotan rumah seperti kursi dan meja juga hampir seluruhnya disimpan di luar, disimpan diantara kerumunan manusia yang berpakaian dominan hitam dan hilir mudik kesana kemari.
Gue mengenali beberapa orang diantara mereka. Ada Pak Mustopha, Ko Amyang, Ko Herman Ko Luke, dan Ci Meymey yang merupakan kolega bokap, ada tetangga-tetangga sekitar rumah, dan tentu saja saudara-saudara gue yang sudah datang dari jauh. Kakek dan nenek, om dan tante, sepupu, semuanya hadir di sini.
Dari luar rumah sayup-sayup terdengar suara orang yang sedang membaca Yasin. Gue langsung masuk ke dalam dan disambut oleh tangis haru nyokap. Gue menyalaminya dan beliau langsung memeluk gue dengan tampangnya yang kusut acak-acakan, Beliau memakai kerudung sekenanya dan di tangannya terdapat sebuah tissue yang sudah kusut sekali.
"Papah, kaaak... Papaah..." Nyokap terisak dalam pelukannya.
"Dimana sekarang papah, mam""
Beliau melepaskan pelukan dan gue kembali menatap wajahnya. Kedua mata nyokap sembab, hidung dan kedua pipinya berwarna merah, dan beliau menyiratkan sebuah ekspresi memilukan yang membuat hati gue sangat teriris pedih. Bibir gue terkunci rapat namun hati gue meronta saat melihatnya, meronta dan berteriak memberi sumpah serapah kepada siapapun yang telah membuat takdir gue menjadi seperti ini. Gue kembali memeluk nyokap untuk kedua kalinya.
Senja Di Selat Sunda 2 Kitab Ilmu Silat Kupu Kupu Hitam Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Pedang 3 Dimensi 9
^