Pencarian

Daun Jatuh Tak Penah 1

Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye Bagian 1


DAUN YANG JATUH TAK PERNAH MEMBENCI ANGIN
oleh Tere-Liye GM 401 01 10 0021 Desain dan ilustrasi sampul oleh eMTe
? PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Barat 29"37
Blok 1, Lt. 4"5 Jakarta 10270 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
anggota IKAPI Jakarta, Juni 2010 Cetakan kedua: Oktober 2010
264 hlm; 20 cm ISBN: 978 - 979 - 22 - 5780 - 9
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan
4 Daun yang jatuh tak pernah membenci angin"
Dia bagai malaikat bagi keluarga kami. Merengkuh aku,
adikku, dan Ibu dari kehidupan jalanan yang miskin dan
nestapa. Memberikan makan, tempat berteduh, sekolah,
dan janji masa depan yang lebih baik.
Dia sungguh bagai malaikat bagi keluarga kami.
Memberikan kasih sayang, perhatian, dan teladan tanpa
mengharap budi sekali pun. Dan lihatlah, aku membalas
itu semua dengan membiarkan mekar perasaan ini.
ain Ibu benar, tak layak aku mencintai malaikat keluarga
kami. Tak pantas. Maafkan aku, Ibu. Perasaan kagum,
terpesona, atau entahlah itu muncul tak tertahankan
bahkan sejak rambutku masih dikepang dua.
Sekarang, ketika aku tahu dia boleh jadi tidak pernah
menganggapku lebih dari seorang adik yang tidak tahu
diri, biarlah". Biarlah aku luruh ke bumi seperti sehelai
daun" daun yang tidak pernah membenci angin meski
harus terenggutkan dari tangkai pohonnya.
5 6 Pukul 20.00: Saat Semuanya Berawal
Malam ini hujan turun lagi. Seperti malam-malam yang lalu.
Menyenangkan. Membuat suasana di luar terlihat damai menen?
te?ramkan. Tidak deras benar. Hanya gerimis. Itu pun jarang-ja?
rang, tetapi cukup untuk membuat indah kerlip lam?pu.
Aku menghela napas panjang. Tanganku pelan menyentuh
kaca yang berembun. Dingin seketika menyergap ujung jari,
mengalir ke telapak tangan, melalui pergelangan, menerobos
siku, bahu, kemudian tiba di hatiku.
Membekukan seluruh perasaan.
Mengkristalkan semua keinginan.
Malam ini, semua cerita harus usai.
*** 7 Dari lantai dua toko buku paling besar di kota ini, kalian bisa
melihat dengan leluasa pemandangan jalan besar yang ramai per?
sis di depannya, juga jalan paling besar di kota ini. Jalan itu
dibe?lah pembatas setinggi satu jengkal. Ada lampu putih bundar
se?tiap beberapa meter di pembatas jalan itu, serta pot semen
de?ngan rumpun bunga, meskipun terlihat tak cukup rimbun.
Lampu putih bundar itulah yang terlihat indah. Berbaur dengan
ra?tusan siluet cahaya lampu mobil.
Dinding tembok toko buku ini diganti seluruhnya menjadi
kaca-kaca tebal. Berdiri tepekur di sini, kalian bak masuk da?lam
sebuah akuarium. Bebas memandang, bebas dipandang. Arsi?
tektur gaya avant-garde. Kaca, bukan beton, menjadi pilih?an
terbaik pembatas ruangan.
Di seberang jalan berjejer rapi gerai fotokopian yang besar
ain dan modern. Lampu neon puluhan watt, meja panjang untuk
menerima fotokopian, dan karyawan-karyawan berseragam terli?
hat jelas dari atas sini. Beberapa orang berpenampilan sebagai?
ma?na layaknya mahasiswa, terlihat menunggu di kursi putar
tinggi. Mungkin menunggu fotokopian untuk bahan ujian be?sok
lusa. Mungkin pula menunggu hujan reda.
Ada sebuah motor merapat. Dua penumpangnya turun sam?bil
melepas jas hujan. Sepasang. Yang wanita berkerudung pu?tih.
Yang lelaki merengkuh bahunya. Mereka masuk ke salah satu
gerai fotokopian. Tak mungkin mereka akan memfotokopi
"undangan pernikahan" di gerai itu, tetapi cukup sudah untuk
mengerti betapa mesranya mereka.
8 Aku menghela napas panjang.
Beberapa angkot biru seperti biasa berhenti di bibir jalan
semaunya. Menurunkan penumpang semaunya. Membuat lebih
pan?jang lagi kemacetan malam ini. Sopir angkot itu sedikit pun
tak peduli, meski klakson mobil di belakangnya menyalak buas.
Penumpang juga semaunya mengembangkan payung sebe?lum
kaki melangkah turun dari mobil. Membuat penumpang lain
yang terkena terpaan payung mengomel.
Namun, ada yang diuntungkan oleh kejadian itu. Beberapa
remaja tanggung yang bergerombol di seberang jalan yang hen?
dak menyeberang. Angkot yang berhenti semaunya itu mem?
bantu mereka. Bergeraklah iringan ketawa-ketiwi itu. Malam
Minggu. Mereka punya banyak alasan untuk keluar rumah.
Warung-warung tenda makanan memadati jalan sepanjang
mata memandang. Dipenuhi anak muda yang datang dua-tiga.
Cua?ca dingin dan rinai hujan membuat kepulan asap dari kuali
nasi goreng, tungku bakar sate, panci soto, dandang ayam sayur,
dan puluhan jenis masakan lainnya amat mengun?dang selera.
Sayang, malam ini aku sama sekali tidak lapar!
Dari lantai dua ini, kalian juga bisa melihat pekerja konstruksi
ba?kal town square dua ratus meter di sisi kiri gerai fotokopian
tadi. Lampu besar bekerlap-kerlip dari belalai peralatan yang
menarik-turunkan besi-besi, batu bata, dan bahan bangunan
lainnya. Para pekerja yang memakai helm tak peduli dengan hu?
jan. Mereka sedang mengejar target peresmian enam bulan lagi.
Bersaing dengan dua pusat perbelanjaan lainnya yang serempak
di?bangun. 9 Kota ini maju sekali, meskipun itu harus dibayar dengan ber?
ba?gai ketidaknyamanan. Siapa yang peduli"
Di depan sana juga terlihat dua toko cuci-cetak foto. Sebenar?
nya pemiliknya satu. Alasan bisnis, terpaksa dibelah dua. Toko
sebelah kanan menjadi dealer resmi raksasa negatif film dan ka?
me?ra dari Negeri Sakura. Toko sebelah kiri menjadi authorized
dealer raksasa negatif film dan kamera dari Amerika. Beberapa
re?maja berkumpul ramai di sana. Mungkin hendak foto close-up.
Bela?kangan audisi menyanyi, model, bintang sinetron, dan berba?
gai reality show di teve marak lagi. Dan foto penuh gaya mutlak
menjadi jalan pembuka. Mimpi-mimpi kehidupan.
Lima belas menit aku masih berdiri menatap keramaian di
sebe?rang jalan. Toko buku ini memutar lagu ringan dengan tem?
po lambat. Licik memang. Lagu jenis itu disengaja. Juga oleh
keba?nyakan toko-toko retail modern besar lainnya, seperti super?
market dan toserba. Apalagi kalau bukan untuk menyugesti pe?
ngun?jung sehingga berbetah-betah berkeliling dan belanja lebih
ba?nyak. Berbeda kalau kalian datang ke restoran cepat saji. Mereka
akan memutar lagu-lagu cepat. Mengondisikan agar kalian ma?
kan cepat-cepat dan segera enyah dari restoran mereka. Karena
ada banyak tamu yang membutuhkan meja kosong sedang me?
nung?gu di luar, apalagi saat lunch hour atau dinner, musik yang
mere?ka putar semakin cepat.
Sama culasnya dengan toko buku ini.
Aku tak tahu gerai fotokopian itu sedang memutar lagu apa.
Yang pasti, pasangan tadi sekarang duduk saling merapat di de?
10 pan meja panjang. Saling berhadapan. Bersitatap. Berbicara de?ngan gerak tubuh yang begitu mudah dimengerti. Tak
memedulikan ta?tapan karyawan berseragam, apalagi mahasiswa
yang duduk di kur?si tinggi sebelahnya. Mesra. Aku menelan
ludah. Itu berarti mu?sik cinta.
Ah, sudahlah! *** Setiap malam aku datang ke toko buku ini.
Sudah menjadi ritual seminggu terakhir. Satpam toko yang
mata?nya selalu menatap tajam sudah mengenaliku. Mbak-mbak
yang rajin merapikan buku-buku di rak juga sudah tahu. Terma?
suk dua kasir di dekat eskalator yang berjaga bergantian.
Aku membeli satu buku setiap kali ke sini. Bukan buku yang
hen?dak kubaca. Anggap saja sebagai tiket harga masuk karena
te?lah menggunakan lantai dua mereka sebagai tempat menum?
pah?kan segala perasaan. Tempatku tepekur mengenang segalanya.
Se?mua masa lalu itu. Tempat ini menyenangkan. Berjalan-jalan di sepanjang rak buku. Menyentuh satu-dua
buku. Membaca sampul belakangnya, membuka-buka buku yang
ti?dak dibungkus plastik. Menatap pengunjung lain yang sibuk,
se?dikit-banyak membantuku berdamai dengan perasaan masa
lalu. Tempat ini benar-benar berarti banyak bagiku. Menyimpan
ke?nangan penting. "Sendirian, Mbak?" seorang karyawan cowok toko buku basa11
11 basi menegurku. Dia pura-pura membenahi tumpukan bukubelajar-membaca yang sebenarnya sudah sempurna tersusun rapi
dua langkah di sebelah kananku.
Aku menyeringai datar. Pertanyaan itu pura-pura. Aku tahu
persis. Dia tahu, seperti karyawan toko buku lainnya, setiap ma?
lam aku datang ke sini selalu sendirian.
Jadi buat apa bertanya"
Buat apa" Akhirnya malam ini dia berani juga menyapa. Aku
tahu seminggu terakhir dia selalu mencuri-curi pandang. Purapura berada di sekitarku saat aku berdiri menatap pemandangan
di luar. Dia pasti sudah meneguhkan hati sepanjang sore hanya
untuk mengeluarkan suara dan raut muka setegang ini. Membu?
juk hatinya sepanjang minggu agar berani menegur seorang gadis
yang memesonanya. Tak ada salahnya memberikan hadiah atas keberaniannya.
Maka aku tersenyum tipis, teramat tipis malah, sedikit menoleh
meski tak menatap matanya. Lantas dengan cepat kembali me?man?dang ke depan.
Aku sama sekali tak berselera diganggu olehnya.
Cowok itu menarik napas pelan. Tersenyum tanggung. Lantas
un?dur diri pelan-pelan. Menunduk.
*** Aku tak tahu bagaimana kehadiranku setiap malam di toko
buku ini bisa menarik perhatiannya. Dan mungkin membuatnya
resah sepanjang minggu terakhir.
12 ain Sama tidak mengertinya saat salah seorang teman lamaku,
Adi, melakukan sesuatu yang lebih gila lagi daripada sekadar
sapaan co?wok tadi setahun silam. Di toko buku ini juga.
Waktu itu sama seperti sekarang, musim hujan. Hujan deras
tu?run membungkus kota ini. Suara jutaan butir air yang meng?
hun?jam bumi terdengar keras hingga ke dalam. Adi yang "kebe?
tulan" menemaniku berkeliling mencari novel karangan seseorang
tiba-tiba menarik tanganku.
"Ada yang ingin kutunjukkan padamu!" Adi menatapku serius.
Wajahnya tegang dan cemas, sama seperti cowok yang tadi.
"Apa?" Aku mengernyitkan dahi, tidak berselera.
"Ayo!" Adi menyeretku, enggan menjelaskan.
Aku terpaksa mengikuti. Tarikan tangannya mengencang.
Turun ke lantai satu, aku membuntuti dengan tatapan sema?
kin heran saat dia terus menuju hingga keluar toko buku.
"Mau ke mana?" aku bertanya penasaran.
Adi tak menjawab. Dia melangkah menuju pelataran depan
toko buku sambil tetap menarik tanganku.
"Payungnya!" Aku mencoba bertahan. Maksudku hendak
meng?ambil payung di penitipan barang. Pelataran itu sedang
bun?cah oleh air hujan. Bagaimana mungkin menerabasnya"
Adi menoleh menggeleng. Tak usah.
Aku semakin bingung. Adi berhasil menarikku ke dalam tum?
pah ruahnya hujan yang membasahi tepi jalan Margonda. Basah
ku?yup. Dia memegang lenganku. Kami berdiri berhadapan. Aku
tak me?ngerti apa maksud semua ini. Orang-orang yang berdiri
13 di se?panjang jalan sambil membawa payung memperhatikan
kami. Orang-orang yang berdiri dan menatap di lantai dua toko
buku, yang di bawah di lobi toko buku, yang di gerai fotokopian
seberang, dan yang duduk di warung tenda... menatap kami
lamat-lamat. "Tahukan kau, aku bisa menghentikan hujan ini!" Adi berte?
riak meningkahi suara air menimpa bebatuan dan suara klakson
mo?bil yang memenuhi macet jalanan.
Aku menggeleng. Bukan tidak percaya ucapan anehnya. Tetapi
me?mohon. Tolong hentikan kekonyolan ini, aku mendesah dalam
hati sambil menyibak rambut panjangku yang basah menutupi
mata. "Hujan". Berhentilah!" Adi berteriak. Mukanya mendongak
ke atas. Tak memedulikan wajah protesku yang hendak sesegera
mung?kin kembali ke dalam.
"Apa yang kaulakukan!" aku mendesis.
Adi sekali lagi berteriak ke langit. Tidak peduli. Aku berusaha
mele?paskan pegangan tangannya. Dia justru mencengkeramku
ken?cang. Menurunkan dongakan kepalanya.
"Ketahuliah, Tania, aku bisa menghentikan hujan ini". Tetapi
itu hanya bisa kulakukan jika aku tidak sedang dengan seseorang
yang kucintai". Dan malam ini aku sepertinya tidak bisa meng?hen?tikannya"." Adi serius menatapku.
Aku terperangah. Lima detik berlalu ganjil sekali. Menyeringai
aneh. Maksud semuanya jelas sudah. Dan semua itu konyol.
Aku mengibaskan tangan Adi dengan paksa. Lantas tak peduli
14 beranjak berlari meninggalkannya sendirian kembali ke dalam
toko buku. "Tania!" Adi beteriak parau terduduk di bawah hujan sana.
Mem?buat orang-orang yang menonton kami menyeringai sambil
mene?lan ludah. Adegan menarik. Mungkin sepanjang sisa malam nanti lebih
dari layak menjadi bahan perbincangan mereka saat bertemu
orang lain. "Drama" lima menit di depan toko buku terbesar


Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kota ini. *** Aku tahu aku cantik. Tubuhku proporsional. Rambut hitam le?
gam nan panjang. Menurut seseorang yang akan penting sekali
ain da?lam semua urusan malam ini: "Mukamu bercahaya oleh sesuatu,
Tania". Kecerdasan berpikir, kedewasaan, dan penjelmaan positif
atas semua pengalaman hidupmu". Dan tahukah kau, matamu
rius".." mis?terius. Semua cowok suka wanita yang memiliki mata miste?
Aku tertawa mendengar penjelasan itu. Tawa yang bahagia.
Ba?hagia karena dia memujiku. Jangankan sebuah pujian, tatapan
ma?tanya saja sudah cukup membuatku riang sepanjang hari, se?
pan?jang malam. Ah! Sayang semuanya tidak seperti yang kubayangkan.?
Ada banyak pria lain selain Adi dan cowok penjaga rak tadi
yang tertarik padaku. Namun, haruskah mereka bertingkah seim?
15 pulsif itu" Maksudku, tidak bisakah mereka menahan diri untuk
ti?dak berlebihan seperti itu"
Mungkin bagi cowok penjaga rak tadi tabiatnya barusan tidak
ber??lebihan, dia hanya ingin mengajak berkenalan. Namun, tak
bisa??kah ia menahan diri untuk tidak mengganggu orang yang
jelas-jelas tidak ingin diganggu"
Sungguh malas menceritakan satu per satu tingkah laku aneh
co?wok-cowok yang mendekatiku dengan berbagai kejadian lain?
nya. Mungkin nanti akan kuceritakan satu-dua jika ada hubung?
annya dengan urusanku malam ini, itu pun dengan syarat jika
ha?tiku sedang senang. Menghela napas panjang, melirik pergelangan tangan. Sudah
jam delapan. Itu berarti hampir setengah jam aku hanya berdiri
me??mandang siluet jalanan yang penuh cahaya. Memandang se?
mua?nya. Teringat foto-foto dalam diagframa lambat itu.
*** Toko buku ini penting. Selalu penting.
Toko buku ini menjadi penanda perjalanan sepuluh tahun
ter??akhir hidupku yang penuh warna.
Tonggak indah yang akan selalu kukenang.
Sepuluh tahun silam di toko inilah untuk pertama kalinya aku
bisa merasakan janji masa depan yang baik. Merasakan ke?senang?an
kanak-kanak yang sempurna. Merasakan betapa nyaman memi?liki
seseorang yang memperhatikan dan melindungimu. Seseorang.
16 Kalian tak akan pernah menyangka, seperti apa rupa Tania
sepu?luh tahun silam saat masuk ke toko buku ini untuk per?
tama kalinya. Tania yang melangkah gemetar ragu-ragu. Tania
yang mulutnya terbuka sempurna membentuk huruf O. Malu
me?natap sekitar, dan takut sekali memecahkan barang-barang
yang dipajang. Padahal, bukankah di sini satu pun tidak ada ge?las dan piring"
Kata Ibu, "Tania, hati-hatilah di sana! Kita harus mengganti
se?tiap barang yang rusak karena kita sentuh! Jaga adikmu, jangan
nakal".." Aku menelan ludah sedikit ragu dan banyak takut
men?dengar pesan Ibu sebelum berangkat. Dengan apa kami akan
meng?ganti barang yang aku pecahkan"
Waktu itu, seseorang mengajakku ke toko buku ini. Umurku
baru sebelas tahun. Adikku enam tahun. Hari itu sempurna
istimewa. Hari yang akan kuingat selalu. Semua detailnya!
Sore itu, Ibu menggosok tubuh hitam dekilku. Menggunakan
sampo banyak-banyak di rambutku yang mengeriting dan bau
kare?na terkena sinar matahari seharian.
Adikku Dede lebih lama lagi berkutat di sumur. Tubuhnya
jauh lebih kotor. Ibu memberikan pakaian terbaik yang disimpannya dalam
bun?talan plastik di atas para-para kardus. Baju terbaik" Baju itu
su?dah lusuh dan bau (baju itu terbaik karena tak pernah disen?
tuh bertahun-tahun). Aku senang saja memakainya. Dede bah?
kan banyak menyimpul senyum.
Kami tidak "makan malam" bersama seperti biasa, hanya Ibu
yang menghabiskan nasi bungkus yang dibeli dari warung sebe?
17 lah. Nasi bungkus dengan tiga potong tempe plus sambal terasi.
Jam tujuh teng, seseorang itu datang menjemput. Dia tertawa
ke?cil saat melihatku dan Dede sudah berdiri rapi menunggu di
de?pan rumah kardus kami.
Adikku Dede tersipu malu saat dipuji oleh dia ("Lihatlah! Ter?
nya?ta kau keren sekali."). Aku juga malu-malu dengan "penam?
pilan baru" itu ("Dan kau cantik sekali, Tania!"). Ya Tuhan! Itu?
lah pertama kalinya dia memujiku. Dan aku sungguh malu. Aku
ingat, terakhir memakai baju sebaik ini tiga tahun silam. Saat
pu?lang kampung berlebaran. Saat Ayah masih hidup. Saat kehi?
dup?an kami masih berjalan normal. Tiga tahun berlalu, baju itu
su?dah kekecilan, membuat aku dan adikku terlihat tidak nyaman
ma?lam itu. Tetapi siapa yang peduli"
Adikku banyak bertanya sepanjang perjalanan. Seseorang itu
ha?nya tertawa menjelaskan itu-ini, menjawab segala pertanyaan
Dede. Kami naik angkutan umum. Untuk pertama kalinya sete?
lah tiga tahun, aku dan adikku naik angkot membayar ongkos?
nya, meskipun itu dibayari. Selama ini justru di angkot, metro?
mi?ni, atau bus kotalah aku dan adikku mencari uang.
Dia membawa kami ke toko buku. Toko buku paling besar di
kota kami. Aku gentar saat masuk ke ruangan besar yang pe?nuh
cahaya. Menginjak lantai keramik yang terlihat licin. Bagaimana
ka?lau aku tergelincir dan menabrak rak-rak itu" Membuat pecah
ba?nyak barang" Takut ditatap pandangan penjaga toko. Bukankah
se?mua penjaga toko selama ini buru-buru mengusir aku dan adikku
saat mendekati pintu masuk toko mereka" Malu sekali berjalan di
18 an?tara banyak pengunjung yang lebih wangi, lebih rapi, dan lebih
se?galanya. Dia menggenggam jemariku. Mantap. Sebelah kiri memegang
bahu Dede. Dia menatapku dengan pandangan itu. Tatapan yang
en?tah bagaimana membuatmu mulai percaya diri. Dia tersenyum
ha?ngat menenangkan. Aku bisa merasakannya. Membalas se?
nyum?nya. Malu-malu. Kami berkeliling di lantai satu untuk membeli berbagai per?
leng??kapan sekolah. Ribut Dede memilih tasnya. Adikku mengo?
tot minta dibelikan bolpoin, padahal besok dia kan baru masuk
kelas satu, hanya boleh memakai pensil. Aku terkesima melihat
cara dia membujuk Dede soal pensil tersebut. Caranya meman?
dang adikku, mengelus rambutnya, tersenyum, dan berkata pelan
men?jelaskan sungguh memesona. Bahkan Ibu tak sepandai itu
mem?bujuk Dede kalau adikku sudah merajuk.
Apalagi aku! Pernah Dede marah tidak mau pulang saat kami
tiba di terminal ujung kota. Hari sudah menjelang malam. Dede
keukeuh bertahan di sana. Terpaksa aku dan adikku menginap
di emperan pos jaga polisi. Ibu cemas menunggu di rumah. Ha?
nya gara-gara Dede ingin membeli es mambo, dan aku tidak
bisa membelanjakan uang penghasilan kami hari itu. Dede me?
ra?juk sepanjang malam. Aku tidak bisa menjelaskan dengan baik
ke Dede soal uang itu, hanya berkali-kali bilang bahwa Ibu mem?
bu?tuhkannya untuk berobat, jadi tidak boleh jajan.
Dia mengusap pelan rambutku saat melanjutkan keliling un?
tuk membeli peralatan lainnya. "Rambut Tania habis disampo,
19 ya?" Menyadarkanku dari lamunan. Aku tersipu malu. Dede su?
dah mau mengalah "hanya" membeli krayon.
Aku membuntuti langkah mereka berdua di depan. Menatap
pun?dak kokohnya dari belakang. Menatap siluet tubuhnya yang
be?gitu menenangkan. Menjanjikan masa depan. Seketika semen?
jak detik itu aku berikrar dalam hati. Bersumpah sungguh-sung?
guh: Apa pun yang akan dikatakannya, apa pun yang diucapkan?
nya akan selalu kuturuti. Apa pun itu!
Kami lebih lama lagi di lantai dua.
Lantai buku! Membeli buku-buku pelajaran kelas empat SDku. Membeli buku belajar membaca untuk Dede. Kemudian
ber?henti di depan kaca-kaca besar dinding ruangan tersebut.
Sama seperti yang kulakukan sekarang.
Dia mengangkat Dede tinggi-tinggi agar bisa melihat ke luar
jen?dela. Aku menjinjitkan kaki agar bisa melihat leluasa dari
ba?lik rak. Tinggi badanku waktu itu baru 140 senti. Kami me?
na?tap siluet jalan yang ramai. Saat itu gerai fotokopian belum
se?keren sekarang. Toko cuci-cetak foto itu malah belum ada. Ja?
lan besarnya belum dipartisi rapi. Mobil-mobil masih bisa melaju
de?ngan kecepatan normal. Jangan tanya soal town square dan
se?bagainya. Belum ada. Sekitar sepuluh menit kami bergerombol menatap pe?man?
dangan. Dan itu terasa menakjubkan bagiku. Lampu-lampu yang
terlihat, orang-orang yang berlalu-lalang. Toko-toko sebe?rang
jalan yang ramai. Warung tenda yang dipenuhi pembeli. Se?
muanya menakjubkan. Ah, ternyata ada banyak kehidupan dan kesibukan di dunia
20 ini. Berbeda sekali dengan yang selama ini aku jalani. Dan aku
tiba-tiba merasakan dia telah memberi kami janji kehi?dupan
yang lebih baik. Gambaran masa depan yang lebih indah.
Walau hanya sejenak mengajak kami menatap kesibukan di
luar "akuarium" tersebut, aku bisa merasakan energi kesenangan
yang besar dari pemandangan tersebut. Aku mengerti apa mak?
sud?nya melihat sejenak sepotong kehidupan di depan sana. Apa
tujuannya mengajak aku dan adikku berdiri sesaat.
Berhenti sejenak. Menatap sekitar. Itu selalu memberikan kita
ins?pirasi! *** Bagaimana aku bertemu dengan dia"
Ah ya, ini perlu dijelaskan lebih dulu.
Malam yang dingin di atas bus kota. Dua minggu sebelum
dia mengajak kami ke toko buku. Hujan turun deras di sepan?
jang jalan. Membungkus kota kami. Memaksaku mengeluarkan
suara lebih kencang. Adikku memukul kencrengannya dengan
le?mah. Dede sudah lelah. Sejak pagi dia tidak henti bernyanyi.
Aku membujuknya tadi sebelum naik ke bus itu untuk lebih
ber?semangat. Tetapi adikku sudah lelah. Lihatlah! Dia sudah
ba?nyak menguap. Maka aku membiarkannya saja.
Hari ini kami sedang sial. Sebenarnya hingga sore tadi, sete?
lah naik dari satu bus ke bus yang lain, dari satu metromini ke
me?tromini yang lain, aku dan Dede sudah dapat kurang-lebih
sem?bilan belas ribu. Jumlah yang banyak. Tetapi di terminal tadi,
21 ada kakak-kakak yang mabuk memaksa meminta uang. Dia men?
ceng?keram leher Dede. Aku bisa saja berteriak. Tetapi cengke?
ram?annya keras sekali, membuat muka Dede pucat pasi tak bisa
menge?luarkan suara aduh lagi. Mengerikan. Terpaksa kuberikan
se?mua uang yang ada di kantong kiriku. Itu separuh penghasilan
menga?men kami seharian, sepuluh ribu.
Malam sudah larut. Hampir jam delapan. Aku memutuskan
un?tuk pulang, meskipun dengan uang seadanya. Ibu tidak per?
nah mengomel berapa pun uang yang kami bawa pulang. Jadi
kami naik bus jurusan ini. Bus kota penuh oleh orang-orang
yang baru pulang kerja. Sebenarnya itu kabar baik buat setiap
penga?men, sayangnya mereka sudah banyak yang tertidur kele?
lah?an. Jadi tak terlalu memperhatikan.
Aku bernyanyi lebih keras.
Sudah empat lagu, bus hampir tiba di tujuan akhirnya. Cu?
kup. Aku mengeluarkan kantong plastik lecek bekas permen.
Meng?edarkannya dari depan ke belakang. Berharap kebaikan
se?dang bersemayam di hati orang-orang yang sedang kelelahan
terse?but. Adikku mengintil mengikuti. Kencrengan tutup botol
ma?suk kantong celana kumuh.
Namun, baru setengah jalan. Oh, Ibu, ada paku payung terge?
le?tak di tengah-tengah bus. Aku tak tahu bagaimana paku pa?
yung tersebut ada di situ. Bagian tajamnya menghadap ke atas
be?gitu saja, dan tanpa ampun seketika menghunjam kakiku yang
se?helai pun tak beralas saat melewatinya.
Aku mengaduh. 22 "Ada apa, Kak?" Dede bertanya sambil menguap menahan
kantuk. Adikku juga bertelanjang kaki.
Aku menahan tangis. Jongkok. Meletakkan kantong plastik
yang baru berisi empat-lima recehan. Membalik telapak kaki
ka?nan?ku. Paku payung itu cukup besar. Sempurna tertanam da?
lam telapak kakiku. Tanganku gemetar mencabutnya. Perih.
Darah muncrat. Orang-orang di sekitar hanya satu-dua yang memperhatikan.
Me?natap sambil menyeringai datar tak peduli. Menatap sejenak
lan?tas tidur kembali. Dede langsung berseru ngeri. Mundur. Da?
rah yang keluar cukup banyak. Aku mendadak takut melihatnya,
terus mengaduh sakit. Pedih.
Saat itulah seseorang itu menegur.
Ya Tuhan! Seseorang itu menegurku.
Aku ingat sekali saat menatap mukanya untuk pertama kali.
Dia tersenyum hangat menenteramkan. Mukanya amat menye?
nang?kan. Muka yang memesona oleh cahaya kebaikan. Kakak
itu menggunakan kemeja lengan panjang berwarna biru, rapi
se?perti penumpang bus lain yang pulang kerja. Umurnya paling
juga baru dua puluh tahunan.
"Jangan ditekan-tekan," dia menegurku yang justru panik me?
men?cet-mencet telapak kaki.
Aku menatapnya bingung. Terus harus diapakan"
Dia beranjak dari duduknya, mendekat. Jongkok di hadapan?ku.
Mengeluarkan saputangan dari saku celana. Meraih kaki ke?cil?ku
yang kotor dan hitam karena bekas jalanan. Hati-hati mem?ber?
sihkannya dengan ujung saputangan. Kemudian membung?kusnya
23 perlahan-lahan. Aku terkesima, lebih karena mena?tap betapa
putih dan bersihnya saputangan itu.
"Kamu seharusnya pakai sandal," dia berkata sambil mengikat
per?ban darurat tersebut.
Aku hanya meringis. Bagaimana kami bisa membeli sandal"
Dia tersenyum, menyeka ujung mataku.
Saat kami akan turun, dia memberikan selembar uang sepu?
luh ribuan, "Untuk beli obat merah."
Dede berseru riang mene?ri?manya. Aku hanya mengangguk,
menunduk, "Terima kasih!"
*** Besok pagi-pagi Ibu mengganti perban itu dengan lap dapur,
sa?putangan itu dicuci. "Mungkin laku dijual, ya?" Entah Ibu me?
mi?kirkan apa. Aku dan Dede harus kembali "bekerja", meskipun dengan kaki
pin?cang. Sebenarnya luka itu tidak serius. Aku hanya takut
meng?injakkan bagian yang luka. Takut berdarah lagi.


Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kami menggunakan rute yang sama lagi seperti kemarin. Su?
dah seminggu ini kami menyukai rute tersebut. Penumpang
bus?nya tidak terlalu ramai (maksudnya tidak berdesakan. Susah
meng?amen kalau penumpangnya saja sudah terlalu berdesakan).
Saing?an pengamen lain di rute itu juga tidak terlalu banyak.
Hari itu tidak ada kakak-kakak preman yang minta-minta
uang di terminal. Tetapi aku tetap pulang malam. Penghasilan
kami hari ini sedikit sekali.
24 Dan tahukah kalian, saat kami naik bus yang sama untuk pu?
lang seperti kemarin malam, seseorang itu berada di sana. Mene?
gur kami. Tersenyum. Seolah-olah sudah menunggu.
Dia mengeluarkan dua kotak. Melambaikan tangan meminta
kami mendekat. Aku dan Dede melangkah ke arahnya, berdiri
di depan kursinya, urung memulai pertunjukan kencrengan tu?
tup botol. Dede malah memasukkan "alat musik" ke saku celana.
Lagi-lagi menguap. Kotak itu ternyata berisi dua pasang sepatu baru.
"Pakailah!" Aku menatapnya ragu-ragu. Adikku Dede sudah sejak tadi
me?reng?kuh sepatu itu dengan tangannya. Penumpang lain mena?
tap kami tertarik. Dia hanya membalas tatapan penumpang lain
de?ngan senyuman. "Ayo, pakailah"."
Aku menurut. Duduk jongkok memakai sepatu tersebut.
Gemetar tanganku mengenakan kaus kaki. Berkali-kali gagal
meng?ikatkan tali sepatu. Sudah lupa. Dia membantu Dede. Aku
meli?rik menirunya. Lucu sekali melihat penampilan kami malam itu. Pakaian
yang robek dan kumuh, rambut dekil dan kotor, badan hitam
yang bau, memakai sepatu mahal dan kaus kaki putih bersih.
Teta?pi Dede tidak peduli. Adikku mematut-matut kakinya de?
ngan bangga. Membuat lajur tengah bus layaknya catwalk.
Dia tersenyum. Aku dan adikku malam itu tidak jadi mengamen di bus kota
terse?but. Sepanjang sisa perjalanan lebih banyak dihabiskan ber?25
25 bin?cang dengannya. Dede banyak tertawa mendengar lelucon ka?
kak itu. Dan aku entah tiba-tiba merasa dekat sekali dengan?nya.
Seperti menemukan bagian yang hilang dalam kehidupan kami.
Ayah, kakak lelaki, atau entahlah. Saat itu aku berpikir. Ber?doa.
Semoga kakak yang baik ini menjadi bagian dalam hi?dup kami.
Dan sungguh Tuhan, aku tidak tahu apakah itu kabar baik
atau buruk, ternyata Engkau mendengarnya.
*** Semenjak itulah aku tahu namanya: Danar Danar. Nama yang
aneh, itu komentar Dede. "Nama Oom kok bisa dobel begitu?"
Dia hanya tertawa kecil, pura-pura meninju bahu adikku.
Orang di sekitar kami malas mendengarkan pembicaraan terse?
but. Satu-dua yang berusaha tidur bahkan sedikit terganggu
de?ngan celetukan riang Dede (adikku tak pernah bersuara pelan;
sel?alu cekikikan ribut tak peduli sedang di mana; apalagi habis
da?pat sepatu baru; lupa dengan kantuknya).
Aku ikut memanggilnya dengan sebutan Oom, meski usianya
pa?ling baru dua puluh lima tahun. Meniru adikku. Malam itu
dia mengantar kami pulang ke rumah kardus dekat sungai di
jalan akses kota. Ibuku takut bercampur bingung melihat keda?
tang?annya. Tetapi dia bertanya lebih banyak dibandingkan perta?
nyaan Ibu. Dia amat menyenangkan. Ibu yang selama ini selalu curiga pada orang-orang asing, apa?
lagi pada petugas, malam itu berbicara banyak dengannya. Dede
26 masih sibuk mematut sepatunya di depan kami. Berlari ke sana
kemari. Ibu sibuk meneriakinya. Kalau tidak, rumah kardus
kami bisa roboh. Dan ajaib, mulai besok kehidupan kami berubah.
Esok pagi selepas subuh, Ibu mengatakan beberapa hal kepa?
da?ku dan Dede. Salah satunya yang paling kuingat dan seketika
mem?buatku berlonjak gembira, aku akan kembali sekolah. Dede
juga akan disekolahkan. Ibu tersengal haru saat mengatakan itu.
Bah?kan menangis. Mendekap kami erat.
"Tetapi siapa yang akan membayarinya?" Aku tersadarkan dari
kegem?biraan sesaat. Jangankan sekolah, tiga tahun terakhir ini,
ma?kan saja kami susah. "Oom Danar"," Ibu berkata pelan sambil menyeka sudut
mata?nya. Tersenyum. Kepala Ibu mendongak ke langit-langit rumah kardus kami.
Aku tahu kenapa Ibu mendongak. Ibu menahan air matanya
agar tidak tumpah. Mulut Ibu entah membisikkan apa.
Dia benar-benar menjadi malaikat kami. Demi melihat keba?
ha?giaan di rona muka Ibu, malam itu seketika aku berikrar da?
lam hati. Bersumpah! Dia akan selalu menjadi orang yang paling
kuhormati setelah Ibu. Selalu.
Beberapa hari kemudian. Aku dan adikku masih mengamen seperti biasanya. Dia rajin
me?ngunjungi rumah kardus kami dua kali seminggu selepas pu?
lang kerja. "Oom kerja di mana?" Dede bertanya padanya suatu ketika,
sambil memainkan dasi yang ada di saku kemeja.
27 Hari itu dia mengenakan kemeja biru kotak-kotak itu lagi.
"Bekerja di gedung yang tinggiiii sekali!" dia menjawab sambil
tersenyum. "Oh, Dede kira Oom jadi dokter!"
"Dokter?" "Kan waktu itu Oom ngobatin luka Kak Tania"."
Dia tertawa kecil. Menggeleng.
"Kata Ibu, Dede harus sekolah kalau ingin hebat seperti Oom
Danar" Bener, ya?" Adikku mengonfirmasi bujukan Ibu selama
dua hari terakhir. Dede memang tidak terlalu antusias dengan
kata "bersekolah".
Dia mengangguk mantap. Pura-pura memukul bahu adikku
lagi. Ibuku tersenyum di pojok rumah kami. Menyiapkan bung?
kus?an makanan yang dibawa Oom Danar tadi.
"Ah iya, Oom punya sesuatu buat Dede!"
Adikku terlonjak riang (padahal belum jelas benar apa sesuatu
itu). Dia mengeluarkan sesuatu dari kantong plastik di sebelah?
nya. Aku akhirnya tahu beberapa waktu kemudian, nama per?
main?an yang diberikannya ke adikku itu adalah Lego. Kalian
me?nyusun balok-balok beraneka warna dan ukuran hingga
membentuk satu benda. Balok-balok itu rumit. Malam itu Dede tidak tuntas menyelesaikan Lego-nya. Teta?pi
adikku senang sekaligus penasaran. Sam?pai lupa makan. Aku
dan Ibu sih sibuk menghabiskan bung?kus?an yang dibawanya.
Sudah lama kami tidak makan seenak ma?lam itu.
28 *** Dua minggu kemudian, kami pergi ke toko buku ini. Toko buku
terbesar di kota kami. Berkeliling membeli perlengkapan se?kolah.
Minus sepatu, karena dia sudah membelikannya waktu di bus
kota dulu. Minus seragam merah-putih, karena Ibu sudah me?
mesannya pada tetangga tukang jahit dua hari lalu.
Setelah lelah berkeliling hampir dua jam, dia mengajak kami
ma?kan di salah satu kedai ayam goreng yang ada di toko buku
itu. Aku menelan ludah. Dulu aku hanya berjalan di sepanjang
ja?lan menatap iri anak-anak yang ada di restoran tersebut (adik?
ku juga pernah merajuk setengah hari ingin makan di situ; dan
aku lagi-lagi tidak bisa membujuk Dede). Aku tak pernah ber?
mim?pi suatu hari akan masuk ke dalam, menikmati semuanya
bak putri kesayangan orang kaya.
Dia lagi-lagi menggenggam tanganku menenangkan.
Rakus Dede menghabiskan dua porsi besar. Aku hanya terse?nyum malu melihat adikku. Mendesahkan napas, ini makan be?
sar kami setelah tiga tahun terakhir. Dia terus menyemangati
Dede untuk menghabiskan pesanan ketiga.
Ah! Malam itu semuanya berubah.
Tiga tahun lalu Ayah meninggal karena TBC. Kami waktu
itu hidup lebih beruntung, meski Ayah hanya kuli bangunan.
Aku, Ibu, dan Dede tinggal di kontrakan kecil, bukan di rumah
kar?dus yang selalu tampias saat hujan deras turun. Setidaknya
aku dan Dede saat itu tak perlu bekerja.
Aku masih sekolah. Adikku tiga tahun.
29 Saat ayahku meninggal, semuanya jadi kacau-balau. Setelah
tiga bulan menunggak, kami terusir dari kontrakan tersebut. Ibu
pon?tang-panting mencari tempat berteduh. Tak ada keluarga
yang kami miliki di kota ini. Jika pun ada, mereka tak sudi wa?lau sekadar menampung. Dan akhirnya sampailah kami pada
pi?lihan rumah kardus. Aku berhenti sekolah. Jangankan sekolah, untuk makan saja susah. Ibu bekerja sera?
but?an, apa saja yang bisa dikerjakan, dikerjakan. Sayang Ibu le?
bih banyak sakitnya. Semakin lama semakin parah. Kata orangorang yang membuat parah sakit Ibu bukan semata-mata karena
fis?iknya, lebih karena beban pikirannya. Aku tak tahu pasti apa?
kah itu benar. Yang pasti dan benar akhirnya aku dan Dede
ter?paksa bekerja: menjadi pengamen. Membawa kencrengan dari
tutup botol. Menyanyikan lagu-lagu dewasa. Berangkat pagi-pagi.
Pulang malam-malam. Ditem?pa kehidupan jalanan.
Bagiku tak masalah. Demi Ibu, menyenangkan saja melakukan
se?muanya. Hanya sekali-dua aku pernah menelan ludah sedih
saat melihat serombongan anak sekolah yang naik ke metromini.
Itu dulu, saat masih bulan-bulan pertama aku mengamen. Sete?
lah enam bulan, mimpi itu sudah benar-benar berhasil kuenyah?
kan. Saatnya untuk bekerja.
Tiga tahun lamanya aku dan Dede menjalani kehidupan di ru?
mah kardus itu. Mengenal hampir semua tikungan jalan kota.
Ha?fal mati semua bangunan yang berderet memenuhinya. Seha?fal
kami dengan jumlah tumpukan sampah di dekat rumah kar?dus.
Rumah kardus dengan sebatang pohon linden di sebelahnya.
30 Pukul 20.15: Pertama Kali Aku Mengenal
Perasaan Itu Aku menyeka sudut mataku yang berair.
Tidak. Aku sudah berjanji kepada Ibu untuk tidak pernah
me?nangis. Apalagi menangis hanya karena mengingat semua ke?
nangan buruk itu. Semuanya sudah berlalu.
Aku tidak akan menangis. Aku menghela napas, menarik telapak tangan yang menyentuh
bing?kai kaca pengganti tembok lantai dua toko buku. Dingin.
Lima belas menit berlalu. Tanganku terasa kelu. Menyibak anak
ram?but yang mengenai ujung mata.
Hujan di luar menderas. Orang-orang yang tadi berjalan di
ping?gir jalan besar dan tidak peduli dengan gerimis tersebut,
seka?rang buru-buru berlarian mencari tempat berteduh.
Warung-warung tenda ramai oleh orang-orang yang merapat.
Juga selasar depan toko-toko sepanjang jalan.
31 Sebuah mobil masuk ke pelataran parkir gerai fotokopian di
sebe?rang jalan. Yang cowok keluar dari sisi kanan, buru-buru
me?ngembangkan payung berwarna merah. Tergesa ke pintu kiri
de?pan. Membukakan pintu untuk teman wanitanya. Lantas mem?
bim?bing pasangannya keluar. Mereka sepayung berdua menuju
sa?lah satu gerai fotokopian.
Aku mendesis, apakah tempat fotokopian sekarang sudah
men?jadi tempat asyik nan romantis untuk bermalam minggu"
Pa?sangan yang ceweknya berkerudung putih tadi juga masih du?duk nyaman di sana. Semakin mesra berbincang satu sama lain.
Apa?kah fotokopian sudah menambah variasi pemandangan seper?
ti akhir pekan di atrium town square manalah yang penuh de?
ngan sepasang kekasih" Sudahlah! Aku buru-buru menolehkan
pan?dangan dari gerai fotokopian tersebut.
Jalanan semakin mengular. Macet semakin parah. Cahaya lam?pu jalan membasuh jalan. Beradu dengan bunyi klakson dan
de?ngus sebal. Ah, setidaknya ada positifnya macet malam ini.
Per?tunjukan ratusan cahaya lampu.
Dua orang satpam toko buku di bawah mengembangkan pa?
yung hitam besarnya. Tidak peduli hujan yang menderas, mere?ka
tetap disiplin dan telaten memeriksa setiap mobil yang me?lewati
gerbang toko buku. Mengangkat tangan memberi hor?mat, menya?
pa setiap mobil lewat. Membuka kap belakang, meng?arahkan
cermin besar ke kolong mobil, dan seterusnya. Hujan deras ini
tidak meng?ganggu sedikit pun konsentrasi mereka.
Mereka pekerja keras. 32 *** Aku juga pekerja keras. Esok harinya setelah dari toko buku ini bersamanya, jadwalku
ber?ubah seratus delapan puluh derajat. Pagi-pagi aku berangkat
ke sekolah. Masuk jam tujuh teng. Sekolahku dekat dengan
rumah kardus. Berangkat bersama adikku. Jalan kaki.
Benar-benar gaya saat kami pertama kali bergabung dengan
upa?cara bendera hari Senin di lapangan sekolah. Apalagi saat
aku diperkenalkan ibu guru di kelas. Semuanya terasa indah.
Aku akhirnya kembali sekolah.
Jam dua belas teng, aku buru-buru pulang ke rumah kardus
di bantaran kali. Melempar tas dan buku sembarangan. Makan
siang secepat mungkin. Langsung mengganti kostum dan
mengambil ken?crengan tutup botol. Kami mengamen hingga
sore hari. Me?mi?lih rute jarak dekat.
Sebelum magrib kami sudah pulang. Makan malam bersama
Ibu, lan?tas dengan penerangan lampu teplok yang kerlap-kerlip
ditiup angin, aku belajar. Belajar hingga larut malam.
Ada banyak hal yang harus kukejar. Aku sudah tiga tahun
ter?tinggal. Tiga tahun sia-sia! Dan karena aku sudah berikrar
akan selalu menuruti kata-kata dia, maka saat dia mengusap
ram?butku malam itu sebelum pulang dari toko buku, dan berka?
ta pelan: "Belajarlah yang rajin, Tania!", aku bersumpah untuk
me?lakukannya. Sumpah yang akan membuat seluruh catatan pendidikanku
ke?lak terlihat bercahaya. Sempurna!
33 Ibu sibuk mengingatkanku untuk beranjak tidur. Aku menja?
wab?nya singkat belum mengantuk. Setiap setengah jam sekali
Ibu menyuruh tidur. Dan aku selalu menjawabnya sama. Ibu
akhir?nya menguap lebar, memutuskan kembali merebahkan ba?
dannya, tidur di samping Dede yang sudah sejak tadi terlelap.
Malam ini adikku nyaris menyelesaikan Lego-nya. Dede juga
sudah bisa menghafal semua abjad. Bayang?kan, hanya dalam
waktu satu hari. Hari pertamanya sekolah. Aku bergumam,
bagaimana mungkin adikku tidak hafal, kalau se?panjang
mengamen tadi dia selalu berdengung seperti lebah me?nyebut
satu per satu huruf-huruf tersebut sambil menabuh ken?crengan.


Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menggangguku bernyanyi. Seharusnya aku tadi me?nya?nyikan
lagu anak-anak belajar membaca; kan lebih cocok de?ngan
kebutuhan Dede. Lagu itu sayangnya tak pernah menarik pe?
numpang bus kota untuk memberikan uang.
Dia tidak memaksa kami berhenti mengamen, meskipun aku
tahu uang yang diberikannya kepada Ibu jauh lebih banyak da?ri?pada semua penghasilan kami selama sebulan digabung. "Biar?
lah, asal tidak mengganggu sekolah!" Dia tersenyum kepada Ibu
saat menga?takan itu. Entah apa alasannya. Ibu hanya menurut.
Lagi pula, aku tidak mau disuruh berhenti begitu saja
mengamen. Kan ada waktu yang tersisa sepulang sekolah.
Belakangan ini, kondisi kesehatan Ibu juga membaik. Sembuh
begi?tu saja tanpa perlu diobati. Kalau begitu benarlah kata
orang-orang dulu, Ibu sekarang sedang bahagia, kondisinya mem?
baik sendiri. Seminggu kemudian Ibu mulai bekerja, menjadi tukang cuci
34 di salah satu laundry mahasiswa. Penghasilannya menjadi buruh
cuci, ditambah dengan mengamen kami setengah hari, plus uang
pem?beriannya lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan
kami. Karena itu, sebulan kemudian Ibu memutuskan pindah
mengon?trak di sebuah kamar sederhana.
Dia menyetujuinya. Malah sebenarnya dialah yang menyaran?
kan ke Ibu. Dede senang dengan kamar berdinding tembok tersebut. Seti?
dak?nya adikku bisa memukul-mukulnya dengan aman, kebiasa?
an?nya kalau sedang riang belajar. Kan repot kalau dia memukulmu?kul dinding kardus rumah kami selama ini. Bisa roboh! Dan
yang lebih penting bagiku, kami tak perlu lagi belajar di bawah
lam?pu teplok kedap-kedip. Aku sekarang belajar di bawah pene?rangan bohlam 40 watt.
Kehidupan kami membaik. Karena setiap pagi harus mandi
sebe?lum berangkat sekolah, aku dan adikku sudah tidak kotor
dan dekil lagi. Ibu juga membelikan beberapa baju baru (bekas)
buat kami. Juga untuk Ibu sendiri yang selama setahun terakhir
ha?nya memakai baju itu-itu saja.
Dia rajin seminggu dua kali singgah sebentar di kontrakan
baru. Membawakan makanan, buku-buku untukku, dan permain?
an buat adikku. Aku dan Dede selalu menunggu kunjungan
terse?but. Duduk di depan kontrakan menatap kelokan gang. Me?
nung?gu jadwal kedatangannya setiap Selasa dan Jumat malam.
Berseru senang saat siluet tubuhnya terlihat di ujung gang. Lan?
tas berlari-lari menyambutnya.
Dia hanya tertawa. Mengelus rambutku. Pura-pura meninju
35 bahu adikku. Kemudian menyalami Ibu. Tahukah kalian, dia
se?lalu mencium tangan Ibu. Amat hormat pada Ibu. Dulu Ibu
risi sekali. Bagaimana mungkin seseorang yang banyak memban?
tu kami malah mencium tangannya. Tetapi belakangan Ibu ter?
biasa. "Aku tidak pernah beruntung memiliki Ibu!" dia berkata
sam?bil tertawa lebar. Aku dulu tidak tahu dan tidak peduli apa
maksud kalimat itu. Aku dan adikku lebih peduli dengan kesenangan yang datang
ber?sama kunjungannya. Bungkusan dan oleh-oleh yang dibawa?
nya. Juga mendengar cerita dan melihat tertawanya.
"Kalau sudah selesai semua, nanti bilang pada Oom!" Itu kata?
nya saat kunjungan rutin di akhir bulan kedua, ketika Dede
me?laporkan Lego itu tinggal sedikit lagi yang belum diselesai?
kannya. "Dede dapat hadiah, kan?" Mata adikku bekerjap-kerjap ber?ha?
rap. Dan dia tersenyum mengangguk. Membuat kegembiraan
lang?sung tumpah ruah di kontrakan. Walaupun belum jelas be?nar
apakah adikku bisa menyelesaikan permukaan terumit terse?but.
Aku memperlihatkan dengan bangga kertas ulangan matema?
tika?ku tadi siang. Dia tersenyum mendekap bahuku yang duduk
di sebelahnya, berbisik lembut
"Kau anak yang pintar, Tania! Amat pintar!"
Ibu hanya tersenyum, duduk di kursi plastik pojok ruangan.
Telingaku mengembang. Pujian itu membuatku memeluknya.
Sepertinya kami sudah lama tidak sesenang malam itu. Dia
mem?bawa sekotak donat. Dan Dede lebih banyak berceloteh
ser?ta memainkan donat tersebut dibandingkan memakan?nya.
36 "Oom". Kenapa donat tengahnya bolong?"
*** Oh ya, meski masih mengamen selepas pulang sekolah, sekarang
setiap hari Minggu aku dan Dede libur mengamen. Karena se?
tiap hari Minggu dia mengajak kami datang ke rumahnya. Ru?
mah itu kontrakan. Jauh lebih besar dan bagus dibandingkan
ka?mar kontrakan kami. Halamannya luas, dan dia tinggal sendi?
rian di sana. Kata dia, dulu dia pernah tinggal bersama tiga te?
mannya sejak mahasiswa. Sayang ketiga-tiganya sudah menikah
dan pindah (satu temannya malah menikah waktu masih ku?
liah). Bukan besar dan bagusnya rumah itu yang membuat aku dan
adik?ku betah, melainkan karena setiap hari Minggu dia
membuka kelas mendongeng di rumahnya, di ruang?an depan
yang dipenuhi jejeran lemari. Lemari itu penuh buku. Setiap
Minggu pukul 08.00 ruangan itu selalu ra?mai oleh anak-anak.
Anak-anak sekitar rumah kontrakannya. Se?paruhnya kukenali
sebagai teman sekolahku sendiri.
Dia bercerita. Membacakan dongeng yang ada di buku atau
menceritakan kisah lain secara langsung. Menyenangkan sekali
berkumpul de?ngan anak-anak lain mendengarkan dia bercerita.
Dia amat pan?dai bercerita, jauh lebih pandai dibandingkan
kakek-nenek di kam?pung waktu mereka masih hidup dan aku
kebetulan libur Le?baran di sana dulu.
Anak-anak seperti biasa selalu berteriak "Lagi! Lagi!" setiap
37 tiba di ujung cerita. Anak-anak juga berebutan duduk di dekat?
nya. Tapi semenjak aku ikutan, akulah yang selalu menguasai
po?sisi itu. Bukan adikku. Aku senang duduk di sana. Tertawa
le?bar saat dia mengusap rambutku.
Semua cerita selesai menjelang pukul 12.00. Dan anak-anak
ber?anjak pulang. Dia meminjamkan buku-buku dalam lemari
ter?se?but kepada kami. Tanpa perlu repot-repot mencatatnya.
Sia?pa saja bisa mengambil sendiri. Dan terserah mau dikembali?
kan kapan. Dia tidak peduli kami akan mengembalikannya atau
ti?dak. Lemari itu selalu penuh.
Nanti belakangan aku tahu sebuah rahasia besar, dia ternyata
pan?dai menulis cerita, menulis buku-buku. Beberapa di antara
ki?sah yang diceritakan ke kami ternyata berasal dari buku yang
ditulisnya sendiri. Juga novel-novel dewasa yang aku sukai
selama ini. Dialah yang menulisnya.
Aku ingat sekali, sore hari Minggu itu seperti biasa aku dan
adik?ku pulang lebih lama dibandingkan anak-anak lain. Aku dan
Dede bermain komputer di ruang tengah. Dia duduk sambil
me?nge?tik sesuatu di laptopnya. Sambil memelototi layar kom?
puter, Dede melaporkan bahwa dia baru saja menyelesaikan
seluruh Lego tersebut. Dengan muka bangga dan riang, adik?ku
menuntut janji hadiahnya.
Setelah berpikir sejenak, dia menyebutkan dengan ringan ha?
diahnya: "Dunia Fantasi!"
*** 38 Minggu depan, selepas kelas mendongeng yang selesai lebih ce?pat daripada biasanya, aku, Ibu, dan adikku pergi ke Dunia
Fan?tasi. Tempat yang selama ini hanya menjadi mimpi. Bahkan
saat Ayah masih hidup sekalipun.
Siang itu dia mengajak teman wanitanya. Namanya Ratna.
Aku memanggilnya "Kak Ratna", karena teman wanitanya terse?
but memintanya demikian, "Panggil saja Kak Ratna ya, Tania!"
Kak Ratna tersenyum menggeleng saat Dede tidak mau me?
mang?gil "Kak Ratna", malah memanggilnya "Tante Ratna".
Keberatan. "Kan Oom Danar dipanggil Oom, jadi Tante juga harus di?
pang?gil Tante Ratna!" Dede mengotot membela logikanya.
Dia hanya tertawa melihat Kak Ratna yang berlepotan ber?
argu?mentasi dengan adikku. Ibu tersenyum. Soal berdebat, adik?
ku nomor satu. Tidak ada yang bisa mengalahkan Dede. Hanya
dia yang bisa membujuk Dede.
Kak Ratna amat cantik, rambutnya panjang, dan pakaiannya
mo?dis. Seperti artis-artis itu. Badannya wangi. Mukanya bermake-up tipis. Cantik sekali. Sepanjang kami di Dunia Fantasi,
Kak Ratna selalu berdiri di sebelahnya. Berjalan bersisian, ber?
gan?dengan tangan. Mesra.
Seketika hati kecilku tidak terima. Sakit hati! Bukankah sela?
ma ini kalau kami pergi entah ke mana, akulah yang lengannya
digeng?gam" Akulah yang pundaknya dipegang" Akulah yang
kepa?lanya diusap. Itu jelas-jelas posisiku!
Aku benci sekali. Hari itu aku mulai mengenal kata cemburu!
39 Usiaku menjelang sebelas tahun. Adikku enam tahun. Dan
dia dua puluh lima tahun. Aku cemburu.
Namun, tak ada yang peduli dengan perasaanku. Dede sibuk
ber?lari ke sana kemari memainkan berbagai wahana. Ibu benarbe?nar kerepotan mengendalikannya.
"Biarkan saja, Bu. Biar Dede tumbuh menjadi anak yang ber?
tang?gung jawab"." Dia menenangkan Ibu. Maka Dede benarbe?nar bebas sesore itu. Berlarian ke sana kemari. Percaya diri.
Se?kali-dua kali Dede melaporkan bahwa dia ditolak untuk naik
permainan tertentu. "Memangnya tinggi Dede kurang, apa?" Sirik adikku mengadu?
kan wahana yang menolaknya.
Dia hanya tersenyum, tangannya tidak mengucek rambut atau
pura-pura meninju bahu Dede seperti biasa. Bagaimana akan
mengu?cek rambut Dede kalau sekarang tangannya digenggam
erat oleh "ce?wek artis" itu" Aku mendengus sebal. Memangnya
dia akan ka?bur ke mana, sampai sebegitu lengketnya"
Ibu lebih banyak berbincang dengan mereka berdua. Aku me?
mu?tuskan duduk di sekitar. Mendeprok di atas tegel taman.
Me?natap keramaian. Lampu-lampu mulai menyala. Orang-orang
se?makin ramai. Kenapa aku justru merasa sepi"
Pembicaraan mereka sayup-sayup terdengar.
"Kenapa kalian belum menikah" ".sudah cocok!"
"Ah, Ibu bisa saja. Aku belum genap tiga tahun kerja".
Ratna juga baru lulus dua tahun lagi."
"Kalian pasangan yang serasi benar."
"Aku yang beruntung". Danar baik."
40 Aku menghela napas. Benci sekali dengan pembicaraan itu.
Me?natap Ibu sirik. Kenapa sih Ibu akrab dengan Kak Ratna"
Aku mengeluh dalam hati sambil mengusap anak rambut yang
menu?tupi mata. Ditiup angin sore. Beranjak berdiri, aku melang?
kah men?dekati adikku yang sekarang sibuk memukul kepala
berang-berang. "Naik Bianglala yuk!"
Dede menoleh padaku. Menyeringai. Terganggu. Aku menun?
juk Bianglala yang terang benderang oleh cahaya lampu. Adikku
tak terlalu tertarik. Masih sibuk memukuli berang-berang di de?
pan?nya. Tanganku mengeluarkan dua batang cokelat yang tadi
di?berikan Kak Ratna. Adikku berpikir sejenak, melihat cokelat
ba?tang di tanganku. Tertawa. Tertarik.
Kami berdua melangkah ke Bianglala. Sebenarnya aku ingin
meng?ajak dia naik ke sana. Memintanya menjelaskan bagai?man
cara kerjanya hingga Bianglala ini terus berputar. Teta?-pi tak
mungkin kulakukan saat mereka sedang asyik berbincang se?perti
itu. Aku dan Dede berlari-lari kecil bergabung ke antre?an.
Rambutku yang tadi dikepang dua oleh Ibu mengayun ke kiri
dan ke kanan. Dede merajuk karena aku berlari terlalu cepat.
Meng?-an?cam kembali ke berang-berangnya. Aku menambahkan
satu batang cokelat lagi.
Ah, semua ini seharusnya terasa menyenangkan.
*** 41 "Kenapa kalian tidak mengajak Ibu, Kak Ratna, dan Kak Danar
naik Bianglala?" Kak Ratna bertanya sambil tersenyum, waktu
kami makan malam bersama di salah satu kedai makanan yang
ba?nyak tersedia di Dufan.
"Kak Ratna lagi asyik ngobrol dengan Ibu". Tania takut
meng?ganggu," aku menjawab pelan, sambil mengunyah sop ja?
gung. Masih panas di mulut. Aku tetap mengunyah, tidak
peduli. Ada yang lebih panas di hatiku.
"Pemandangannya bagus?"
Aku mengangguk. "Kami bisa lihat Tante Ratna, Ibu, dan Oom dari atas sana!"
Dede menyela sambil mengelap pipinya yang berlepotan sup.
Adik?ku masih memanggil "tante", dan aku senang dengan keban?
delan Dede. "Oh ya?" "Iya, Ibu dan Oom terlihat kecil sekali". Tante Ratna malah
nggak kelihatan." Tertawa (adikku sengaja ngomong itu).
Aku tak mengikuti lagi pembicaraan itu. Hatiku telanjur sirik
meli?hat Kak Ratna yang sekarang menyendok sup jagung dari
mang?kuk dia. Lihatlah. Dia dan Kak Ratna semangkuk berdua.
Kenapa harus sebegitunya coba" Kan Kak Ratna bisa saja
am?bil mangkuk yang lain" Mengganggu saja! Tetapi sepertinya
dia sedikit pun tidak merasa terganggu. Malah terlihat senang
de?ngan tawa lebarnya. Waktu itu aku tidak berpikiran tentang perasaan yang anehaneh. Sedikit pun tidak. Aku hanya merasa sebal dengan sese?
42 orang yang tiba-tiba mengambil semua posisiku. Yang pertama
soal berjalan bergandengan. Yang kedua soal bicara. Bukankah
se?lama enam bulan terakhir akulah yang selalu diajak berbincang
olehnya saat bepergian bersama" Yang ketiga soal tempat duduk
saat makan. Harusnya posisi Kak Ratna sekarang ada?lah tempat
dudukku. Yang keempat semangkuk berdua!
Malam itu aku pulang ke kamar kontrakan kami dengan pe?ra?
saan jengkel yang tak bisa kumengerti. Entah apa maksud se?mua?
nya. Aku masih terlalu kecil untuk mengerti perasaanku sen?diri.
*** Beruntung kejadian di Dunia Fantasi dengan cepat terlupakan.
Se?makin hari, aku semakin sibuk dengan kegiatan keseharianku.
Si?buk belajar, mengejar ketinggalan tiga tahun, juga sibuk meng?
ajari Dede berhitung. Adikku belakangan suka bertanya hal-hal
yang tidak menyambung. "Kak, kenapa angka nol itu harus se?perti donat" Dede bisa saja menulisnya dengan bentuk lain kan,
seperti segi tiga" Memangnya ada yang melarang?"
Sibuk bekerja, kami masih mengamen setengah hari.
Sibuk membantu Ibu berbenah-benah di kamar.
Selama itu kabar baik dan kabar buruk datang silih bergan?ti.
Saat kenaikan kelas, guru-guru di sekolah memutuskan untuk
lang?sung menaikkanku ke kelas enam. Loncat setahun. Kata
mere?ka, aku "terlalu pintar". Itu kabar baiknya. Ibu menangis
43

Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

haru saat pembagian rapor, namaku disebut sebagai murid yang
tertinggi nilai rapornya. Aku tersenyum tipis maju ke barisan
de?pan. Tersenyum tipis" Ya, hanya tersenyum tipis.
Karena dia tidak datang. Dia sedang menunggui Dede di rumah sakit. Itu kabar
buruknya. Sudah dua minggu Dede terkena demam berdarah.
Tadi pagi Ibu memaksakan diri untuk menemaniku mengam?
bil rapor. Aku enggan pergi untuk mengambil rapor. Kan bisa
kita ambil kapan saja" Aku tidak mau meninggalkan Dede, mes?
ki?pun dia ada di sana, menunggui. Lagi pula tidak penting lagi
meng?ambil rapor kalau dia tidak melihatku secara langsung,
bang?ga dengan nilai-nilai dan pujian itu.
"Masa kritis Dede sudah lewat. Amat penting Ibu menemani
Tania mengambil rapornya". Ada banyak hal positif dari itu".
Tania juga bisa sekalian ambil rapor Dede, kan?" Dia membujuk
Ibu (dan aku). Maka kami terpaksa berangkat dari rumah sakit.
Dede ranking empat di kelas, meski tidak ikut ulangan umum
ka?rena sakit. Dan itu cukup untuk membuat adikku ceria sepan?
jang sisa hari di atas tempat tidur dengan pergelangan tangan
di?infus. Dede menunjukkan lebar-lebar rapornya dengan bangga,
kare?na aku sebelumnya dengan jail bilang Dede tidak akan naik
kelas. "Kita jadi makan-makan, kan?" Dede menuntut janjinya.
"Memangnya Dede sudah boleh makan yang enak-enak?" Dia
meng?goda, mengangkat bahu.
44 Aku tertawa setuju mengolok Dede. Ibu hanya tersenyum.
Dede memasang wajah aneh. Kecewa. Dia hanya tertawa.
Setahun berlalu cepat. Benar-benar tidak terasa.
*** Foto Kak Ratna dan dia dalam ukuran besar sekarang terpajang
di rumahnya. Aku tidak terlalu peduli lagi. Setidaknya kalau
Kak Ratna tidak bersama kami, Kak Ratna tidak mengganggu
ke?bersamaan kami. Sepanjang hari Minggu, aku tak pernah me?
li?hat Kak Ratna datang ke kontrakannya.
Jadi hari itu sempurna milikku.
Usiaku dua belas tahun. Adikku tujuh tahun. Dia dua puluh
enam tahun. Aku tumbuh seperti anak remaja lainnya. Sekalidua Ibu malah pernah memujiku cantik. Adikku biasanya menye?
la, "Cantik apanya" Rambut panjang. Kuku panjang. Untung
Kak Tania nggak punya lubang di belakang." Dede tertawa se?
nang. Aku melemparnya dengan bantal.
Sekarang aku naik pangkat di kelas mendongeng hari Minggu.
Dia memilih beberapa anak yang lebih besar untuk bercerita ke
anak-anak yang lain. Dan salah satunya aku. Menyenangkan
"men?jadi" dia. Meniru caranya bercerita. Meniru semuanya. Dan
aku pikir anak-anak yang lain senang dengan ceritaku.
"Kau pandai bercerita, Tania! Amat pandai," dia memujiku
sore itu. Aku tersenyum malu.
"Nggak, lebih asyik kalo Oom Danar yang cerita," Dede mem?
45 protes pujiannya. Aku menjulurkan lidah ke arah adikku. Da?sar
perusak suasana! Adikku hanya menyeringai.
Aku dan adikku sekarang juga tidak lagi mengamen. Semen?
jak aku lompat naik kelas enam, Ibuku tidak bekerja di tempat
laundry mahasiswa itu lagi. Ibu menjual kue-kue kecil. Kue-kue
kam?pung. Ibu memang pandai membuatnya. Kue sederhana itu
terli?hat begitu menggiurkan. Bentuknya dibikin aneh-aneh. Rasa?
nya" Wuih, kue bikinan Ibu selalu top.
Meskipun tidak mengamen, aku dan adikku tetap sibuk. Mem?
ba?ntu Ibu membuat kue-kue itu, mengantarkannya ke tetangga,
warung-warung, toko-toko, juga beberapa koperasi di kampus.
Bah?kan aku menitipkannya di salah satu gerai makanan di toko
buku. Aku menerima pembayarannya, mencatat titipan, bahkan
disu?ruh Ibu membuat catatan penjualan di buku, dan lain seba?
gai?nya. Usaha kue itu maju sekali. Beberapa bulan kemudian Ibu ha?
rus mengajak dua anak tetangga untuk membantu di hari-hari
ter?tentu. Pokoknya aku belum pernah melihat Ibu sesibuk itu.
Tentu saja semua modal usaha kue itu dari dia. Termasuk
soal saran bentuk kue-kuenya. Dia sedikit pun tidak meminta
ba?gian dari penjualan. Tidak sekali pun meminta Ibu untuk me?
ngembalikannya. Hanya tersenyum lebar saat Ibu memberikan
bung?kusan kue untuknya. Dede senang dengan kue-kue itu, badannya semakin membe?
sar setahun terakhir. Aku tak pernah membayangkan badannya
akan membengkak seperti ini. Dulu adikku kurus kering saat
ber?lari-lari mengejar bus kota yang berhenti. Aku sebenarnya
46 juga kurus, tetapi tetap saja kurusan Dede. Rasanya kalau adik?
ku harus naik-turun lagi dari satu bus kota ke bus kota yang
lain untuk mengamen, Dede tak akan sanggup walau setengah
hari. Keberatan badan. *** Enam bulan kemudian aku justru benci kata "kesibukan"!
Gara-gara itu, belakangan dia semakin jarang singgah di kon?
trak?an kami saat pulang dari kantornya. Seminggu sekali. Dua
ming?gu sekali. Lantas hanya sebulan sekali. Padahal saat-saat
be?r?kunjungnya selalu menyenangkan buat aku dan adikku.
Malam-malam duduk di depan kontrakan berlalu percuma.
Me?nanti siluet tubuhnya di ujung gang hanya menjadi sia-sia.
Jad?wal mingguannya tidak ada lagi. Semuanya kacau-balau.
Pernah sekali dalam sebulan ini dia singgah, tetapi itu hanya
menge?luh pada Ibu bahwa dia lelah.
"Banyak kerjaan, Bu". Lembur."
Ibu hanya menatap prihatin sambil menyerahkan minuman
pa?nas. Ibu memang sudah menganggapnya seperti anak sendiri.
Oh ya, Ibu dulu nikahnya telat. Nikah umur tiga puluhan. Seka?
rang saja umur Ibu sudah kepala empat. Makanya bagi Ibu, dia
di?anggap anak tertua dalam keluarga.
Aku dan Dede hanya duduk melihatnya di pojok kamar. Tadi
Ibu bilang jangan ganggu dia dengan berbagai pertanyaan. "Oom
Danar lagi capek!" Itu pesan Ibu. Padahal aku ingin segera mem?
per?lihatkan hasil ujian kursus bahasa Inggris-ku, A+. Apalagi
47 Dede, adikku sejak tadi tak tahan ingin menagih janji mainan
Lego yang baru. Kami hanya menggaruk-garuk rambut. Tidak
ta?han untuk mendekat. Oh ya, selain sekolah, aku juga sekarang kursus bahasa
Inggris. Ibu menurut saja semua usulnya. "Tania sudah pandai
membagi wak?tunya, Bu. Dia akan tumbuh jadi anak yang bisa
diandalkan! Tania bisa ambil beberapa kursus." Aku senang
mendengar dia meng?ucapkan kalimat itu. Ibu hanya tersenyum
mengangguk meng?iyakan. Sudah tiga bulan aku kursus bahasa Inggris.
Malam itu berlalu. Aku kecewa. Menyimpan hasil ujian itu
de?ngan sebal dalam tas sekolah. Mungkin hari Minggu bisa
diper?lihatkan. Di kelas mendongeng.
Hari-hari berlalu dengan cepat.
Suatu hari Ibu pernah bilang bahwa dia tak perlu lagi mem?
beri?kan uang sekolah buat kami, karena Ibu sudah mampu
meng??urus semuanya. Dia hanya tersenyum, menggeleng. "Ibu
ta?bung saja". Kita tidak tahu apa yang terjadi esok atau lusa,
kan" Uang yang dari kue dijadikan modal lagi saja"." Ibu lagilagi me?nurut. Aku tak mengerti benar dengan kata apa yang
akan ter?jadi esok atau lusa itu.
Meskipun kata "kesibukan" menyebalkan, aku sebenarnya te?
tap bertemu dengannya seminggu sekali. Saat kelas mendongeng.
Maka setiap hari Minggu tiba, aku dan Dede menyambutnya
de?ngan senang. Itu menjadi pengganti kunjungan malamnya.
Kami berboncengan sepeda menuju kontrakannya. Sepeda itu
ha?diah atas Lego yang lebih rumit lagi yang diselesaikan adikku
48 se?bulan lalu. Saking rumitnya, Dede butuh waktu empat bulan
un?tuk menyelesaikannya. Sebenarnya kalau dia minta bantuanku,
mung?kin cuma butuh waktu seminggu.
Pagi itu aku membawa sebungkus besar kue-kue. Dia seperti
biasa sudah duduk di ruangan itu. Mengenakan kemeja biru
kesu?kaannya. Beberapa anak-anak sudah datang mengelilingi
(tak ada yang berani duduk di posisiku). Aku membuka bung?
kus?an kue tersebut. Kami beramai-ramai mencicipinya.
"Yang buat Kak Tania lho!" adikku berseru bangga menyela
dari kicau keributan. Untuk urusan membanggakan sekaligus
men?cela kakaknya, Dede bisa diandalkan.
Dia menatapku tersenyum, bertanya lewat tatapan mata berca?
ha?yanya. Aku malu mengangguk.
"Kau pintar membuatnya, Tania."
Itu pujian ketiganya selama satu setengah tahun terakhir. Dan
demi menatap mata bercahaya itu, aku segera berjanji dalam
hati: setiap minggu aku akan selalu membawakan kue buatanku
un?tuknya; dan" dan aku hanya akan membuat kue untuknya.
Meskipun lagi-lagi Dede menceletuk (meralat pujiannya tadi),
"Tapi lebih enakan buatan Ibu, Oom!"
Aku melempar Dede dengan potongan kue kering.
49 Pukul 20.21: Daun yang Jatuh Tak Pernah
Membenci Angin Masa lalu yang menyenangkan.
Satu setengah tahun lewat amat cepat. Aku menghela napas.
Menyelipkan rambut di sela-sela telinga. Terus menatap ke de?
pan. Berdiri termenung di dekat kaca pembatas toko buku pa?
ling besar kota ini. Sebuah mobil bakery lewat di jalan yang semakin riuh oleh
hu?jan. Aku tersenyum. Dulu Ibu pernah bercita-cita punya mo?
bil seperti itu. Usaha kue kami maju sekali. Enam bulan kemu?
dian Ibu bahkan perlu menambah lagi beberapa karyawan. Kami
sudah pindah ke kontrakan yang lebih besar, meskipun tak se?be?sar kontrakannya. Setidaknya di kontrakan baru tersebut, aku
dan adikku mendapatkan kamar dengan dua tempat tidur terpi?
sah. Tidak tidur bertiga lagi!
50 Malam ini, entah sudah berapa kali aku tersenyum, menyeri?
ngai sendirian berdiri di balik kaca jendela lantai dua toko buku.
Dan tahukah, itulah yang aku lakukan sepanjang seminggu ter?
akhir ini. Menatap pemandangan yang sama di depan. Menge?
nang kenangan yang sama. Aku seperti kaset yang memutar
ulang semua kejadian itu.
Setiap malam, selama seminggu terakhir.
Orang-orang di seberang sana belum beranjak juga dari tem?
pat?nya. Hujan deras membuat mereka berbetah diri. Dua pasang?
an di gerai fotokopian tadi jangan-jangan malah berharap hujan
tak pernah berhenti. Agar mereka punya waktu berbincang lebih
lama. Bersenda gurau lebih lama. Mereka jangan-jangan berharap
mesin fotokopian rusak, listriknya korsleting, dan sebagainya.
Seorang mbak-mbak penjaga rak buku lewat di depanku. Me?
ne?gur (ingin lewat di depanku). Aku tersenyum seadanya. Ber?
anjak setengah langkah mundur. Memberikan celah baginya.
Mbak itu tersenyum ("Terima kasih!").
Aku membalikkan badan sejenak. Menatap keramaian lantai
dua toko buku. Keramaian yang tadi kubelakangi. Orang-orang
me?madati lantai dua toko buku. Hujan! Beberapa dari mereka
se?benarnya hanya mencari tempat berteduh. Sekalian berteduh,
se?kalian melihat-lihat. Beberapa anak kecil berumur dua-tiga belas tahun berge?rom?
bol berdiri mengelilingi rak yang di atasnya bertumpuk buku
de?ngan genre remaja. Remaja" Aku tersenyum.
51 *** Sebulan sekali kami selalu menyempatkan pergi ke toko buku ini
bersama. Dia, aku, dan Dede. Dan aku menyukai rak bagian re?maja
itu. Dulu penulisnya masih terbatas. Jenis bukunya terba?tas pula.
Itu-itu saja. Tetapi itu cukup memadai menjadi bacaan di sela-sela
kesibukan belajar dan bekerja mengantar kue bikinan Ibu.
Dede paling suka membeli komik.
Dia sedikit pun tidak keberatan seberapa banyak kami mem?
be?li buku. Bahkan Dede pernah menenteng sekantong plastik
pe?nuh komik. "Asal nilai kamu nggak turun!" Dan Dede meng?
ang?guk mantap. Soal menepati janji, Dede sama seperti aku, bisa
di?banggakan. Yang susah adalah membuatnya bersepakat di awal
de?ngan janji tersebut. Sekecil itu Dede paham betul soal tawarme?nawar janji.
Aku ingat, dulu aku paling benci membaca buku yang cerita?
nya sedih-sedih. Dulu aku pikir cerita di buku itu terlalu meng?
ada-ada. Bagaimana mungkin kesedihan akan beruntun menimpa
ka?lian" Lagi pula mana ada cerita yang bisa mengalahkan kese?
dih?an keluarga kami sebelum mengenal dia"
Kami sudah cukup menderita selama tiga tahun itu. Tinggal
di rumah kardus. Ke mana-mana bertelanjang kaki. Dan harus
be?kerja dari pagi hingga malam di jalanan. Kesemua itu bahkan
bisa menjadi novel sedih yang sempurna. Tak ada lagi situasi
yang lebih buruk daripada masa lalu tersebut. Sudah cukup.
Namun, aku keliru. Situasi yang menyenangkan itu ternyata berubah amat cepat.
52 Si?tuasi yang buruk lima tahun silam itu masih bisa berubah mem?
buruk! Tiga bulan sebelum aku lulus SD. Ibuku jatuh sakit.
Sakit parah. Dia amat repot membawa Ibu ke sana kemari. Dua kali pin?
dah rumah sakit. Dokter tak butuh waktu lama untuk memvonis
Ibu: kanker paru-paru stadium IV. Selama ini tidak terdeteksi,
karena Ibu sedang bahagia. Kebahagiaan itu menutup kondisi fi?
sik?nya. Batuknya selama dua tahun tak pernah datang lagi. Ma?sa?lahnya, meski perasaan bahagia bisa mengalahkan penyakit,
fis?ik badan memiliki batasnya.
Dan malam itu Ibu jatuh sakit begitu saja.
Aku panik seketika. Belum pernah kulihat perubahan fisik
sedrastis itu. Dua minggu dirawat di rumah sakit, kondisi Ibu
sudah mengenaskan. Satu bulan kemudian cepat se?ka?li muka
Ibu putih memucat, bibir membiru. Dua minggu kemudian tu?
buh Ibu sudah layu mengurus, kurus kering. Dan cahaya tu?buh
Ibu mendadak berubah menyedihkan sedemikian rupa.
Usaha kue-kue Ibu terhenti. Tidak ada yang bisa mengganti?
kannya. Sehari-hari selepas sekolah, pekerjaan Dede dan aku
ha?nya menunggui Ibu di rumah sakit. Bahkan kami sering
membo?los kare?na tak mau meninggalkan Ibu sendirian.
Dia selalu datang setiap pulang kerja, menemani kami me?
nunggui Ibu. Kembali rajin bersama kami. Kak Ratna dua-tiga
kali juga datang dengan membawa sekantong jeruk. Aku enggan
mengomentari, hanya hatiku yang berseru sebal, "Siapa pula yang
bisa makan jeruk dalam kondisi seperti Ibu!" Tetapi adikku mau
menghabiskannya. 53

Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku sibuk memikirkan banyak kemungkinan buruk. Dan satu
dari semua kemungkinan buruk itu cukup sudah untuk membu?
nuh semua kegembiraan kami selama ini.
Ya Tuhan, aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi
jika Ibu tidak kunjung sembuh. Dalam doa-doa aku hanya me?nye?but kesembuhan Ibu. Aku tak ingin kehilangannya. Lihatlah
apa yang akan terjadi kalau dia pergi. Aku sering menangis sam?
bil memeluk tubuh Ibu yang semakin mengecil.
Tertidur sambil mendekapnya.
Dede hanya banyak mengeluh, "Kapan Ibu pulang" Dede pe?
ngin makan kue." Ibu hanya menatap lemah dengan mata yang
rong?ganya sudah cekung sedemikian rupa.
*** Pagi itu Ibu tiba-tiba tak sadarkan diri.
Hari Minggu. Kami semua sedang berkumpul di sisi ranjang
Ibu, termasuk Kak Ratna. Suster dan dokter berlarian membawa
Ibu ke ruang gawat darurat. Aku dan Dede berlari mengiringi
ran?jang Ibu yang didorong terburu-buru.
Aku tak tahu apa masalahnya. Tetapi aku menangis tertahan
sepanjang lorong. Mereka membawa Ibu ke dalam ruangan yang
diba?tasi kaca. Seorang suster tersenyum tegas melarang aku ma?
suk. "Aku ingin bersama Ibu!" aku membentak suster itu.
Dede berdiri di belakangku. Ikut melotot melawan, seperti
bia?sa siap memukul siapa saja yang menghalangi kakaknya.
54 Suster itu entah mengatakan apa. Memegang bahuku. Menyu?
ruh?ku menunggu di luar. Aku tak mendengarkan, sekali lagi
berteriak, berontak merangsek ke dalam. Dede mengangkat ta?
ngan?nya benar-benar hendak memukul.
"Aku ingin masuk ke dalam!" Aku semakin kalap.
Beruntung dia meraih bahu kami sebelum "keributan" itu ter?
ja?di. Menarik badanku. "Kita bisa lihat dari sini, kan"." Dia menatapku dalam-dalam.
Mengusap mataku dengan ujung saputangannya.
"Tapi" tapi Tania ingin di dalam bersama Ibu!"
"Kita hanya akan mengganggu dokter."
Aku ingat, suster tadi juga bilang soal kata "mengganggu". Dan
aku segera marah kepada dia. Bagaimana mungkin aku di sana
akan mengganggu" Aku sekadar berdiri. Hanya menatap Ibu
dari jarak dekat! Kata itulah yang justru menggangguku. Aku
ingin berteriak kepadanya. Tetapi aku ingat dengan janjiku dulu,
aku tak akan pernah melawannya, tak akan pernah". Maka sete?
lah terisak beberapa saat aku mengalah duduk mendeprok di
lan?tai lorong rumah sakit. Bersandarkan dinding. Dede ikut du?
duk di sebelahku, walau tak mengerti benar apa situasinya.
Entah apa yang dilakukan orang-orang berseragam putih terse?
but. Hingga menjelang sore mereka tidak keluar-keluar dari ka?
mar Ibu. Juga hingga malam datang menjelang. Malah semakin
ramai dokter-dokter yang lain.
Aku menolak mentah-mentah saran Kak Ratna yang ingin
meng?antar kami pulang. Aku meneriaki Kak Ratna keras sekali.
55 Kak Ratna tidak marah, bahkan berkaca-kaca matanya. Dan dia
mem?biarkan kami kali ini. Sekitar jam sembilanan, saat aku dan
adik?ku jatuh tertidur di lorong itu, dengan ditutupi selimut yang
diba?wa Kak Ratna, aku mendengar keributan di sekitar kami.
Aku pelan-pelan terbangun.
"Bagaimana mungkin" Kalian harus melakukan apa saja agar
dia bisa sembuh!" Dia menekan suaranya sedemikian rupa agar
ti?dak terdengar kami. Tetapi kalimat itu masih terdengar dengan
into?nasi amat serius. "Kami sudah berusaha, Mas Danar". Semuanya sudah
terlam?bat. Benar-benar terlambat."
"Terlambat bagaimana!" Dia berseru mengeras. Dokter itu
menggelengkan kepalanya. Terdengar suara berdebam. Dia entah
su?dah memukul apa; mungkin dinding ruangan.
"Kau lihat." Dia menarik tangan dokter itu kasar keluar ruang?
an. Menunjuk kami yang tertidur di balik selimut.
"Kau lihat siapa yang akan kehilangan kalau dia meninggal.
Anak-anak itu tak punya siapa-siapa lagi selain dia. Ya Tuhan,
la?kukanlah apa saja aku mohon"." Suaranya parau.
Dokter itu hanya mendesah.
"Bahkan sekalipun dibawa ke Singapura juga percuma, Mas
Danar. Semuanya sudah terlambat". Paling lama mungkin hing?
ga besok bisa bertahan"."
Dia menahan napasnya. Mencoba mengendalikan emosinya.
Memegang dinding kaca. Kaca itu bergetar oleh tangannya. Aku
ikut terisak. Meski tidak mengerti banyak.
Kabar itu terdengar teramat menyakitkan.
56 Dede yang ikut terbangun menyentuh tanganku, bertanya po?
los dengan muka mengantuk dan pipi berbekas iler.
"Ada apa, Kak?"
*** Esok paginya kami bolos sekolah.
Dia juga tidak berangkat kerja. Kak Ratna pagi-pagi datang
mengantarkan pakaian ganti. Menyuruh kami mandi di kamar
man?di rumah sakit. Kak Ratna bahkan sibuk membantu Dede
berganti pakaian. Dia sibuk menelepon beberapa kali entah ke
mana (mungkin menelepon kantornya, mungkin menelepon seko?
lah kami). Jam delapan tepat, dokter akhirnya membiarkan aku dan
Dede masuk ke dalam ruangan itu. Adikku menatap dengan
mata penuh kemenangan ke arah suster yang galak melarang
kami masuk semalam. Ibu siuman, dan ia ingin bertemu denganku.
Menyedihkan melihat berbagai slang dan belalai peralatan
dok??ter melilit kepala dan badan Ibu. Dede hanya tertunduk
diam, ca?haya kemenangan tadi segera menghilang dari mata bu?
lat?nya. Aku mendekat menyentuh jemari tangan Ibu yang tinggal
tu?lang. Ibu tersenyum tipis, dengan sisa tenaganya.
"Bagaimana keadaan Ibu?" aku bertanya pelan.
Ah, pertanyaan itu juga aku contoh dari dia. Dia selalu berka?
ta se?perti itu setiap kali bertemu seseorang. Bagaimana ka?bar?mu"
57 Dan menurutku itu pertanyaan yang amat menyenang?kan. Ka?
lian tidak penting menanyakan pertanyaan apa pun lain?nya saat
pertama kali bertemu dengan seseorang selain bertanya apa ka?
bar. Ibu hanya menggeleng. Buruk sekali.
"Mendekatlah, Tania...," Ibu berbisik lirih. Aku beranjak men?
ain de?kat ke muka Ibu. Tempat tidur itu tinggi. Dede memegang
ujung bajuku di belakang. Berjinjit.
"Maukah kau mendengar sebuah cerita?" Ibu berkata sedikit
ter?se?ngal. Batuk. Aku mengangguk. Ibu terdiam sejenak. Menghela napas panjang.
"Dengarkan Ibu, Sayang" Dulu sekali" pernah ada dua
anak ke?cil". yang satu perempuan". adiknya laki-laki" Mereka
anak yang baik, pintar, penurut, dan berbakti" Sayang,
kehidupan ka?dang tidak selalu baik dengan orang-orang baik"."
Ibu ter?-diam. Matanya mulai basah.
Aku menunduk. Menebak-nebak apa maksud Ibu.
"Ayah mereka meninggal saat mereka masih berusia delapan
dan tiga tahun". Dan ibunya tak memiliki apa-apa selain kepal
ta?ngan yang lemah". Mereka terpaksa hidup susah". Tetapi
ke?dua anak itu tetap tegar". Tumbuh menjadi anak-anak yang
bisa diandalkan. Tumbuh menjadi anak-anak yang mandiri de?
ngan segala kepolosannya".
"Tiga tahun lamanya mereka terhinakan dalam kehidupan".
Dan saat kehidupan sedikit berbaik hati kepada mereka" se?mua?
nya berubah lagi! Kehidupan amat kejam"."
58 Ibu mengatur napasnya yang mulai tersengal. Batuk. Ada len?dir merah di mulutnya. Aku mengambil tisu. Mengelapnya. Ibu
me?natapku lemah berterima kasih. Menghela napas". (aku ikut
me?narik napas panjang). "Lima tahun setelah kematian ayah mereka, ibunya juga me?
ning?gal". Tepat ketika janji masa depan yang baik itu tiba".
Me?ninggalkan mereka benar-benar sendirian sekarang". Mening?
gal?kan anak-anak yang seharusnya lebih banyak menghabiskan
wak?tu untuk bermain". Bukan bekerja dan menanggung beban
hi?dup orang dewasa". Bukan menanggung beban pikiran yang
be?lum tiba masanya".
"Tetapi anak-anak itu bukan anak-anak biasa, Tania". Mere?
ka bisa melanjutkan hidup mereka dengan tabah" tegar" dan
mem?banggakan. Mereka tumbuh menjadi orang-orang yang ber?gu?na". Membanggakan". "
Ibu mulai menangis sekarang. Tersendat. Dede tetap memain?
kan ujung jari tangannya di bajuku. Tak mengerti semua ini.
Aku mulai mengerti maksud Ibu.
"Yang perempuan tumbuh menjadi gadis cantik, Anakku"..
Pin?tar sekali". Bisa melakukan banyak hal seperti anak-anak
dari keluarga normal lainnya". Yang laki-laki juga tumbuh ga?
gah dan berguna". Sama pintarnya". Berkat bimbingan kakak?
nya"." Mataku mulai berkaca-kaca.
"Tahukah kau, Tania". Gadis cantik itu adalah kau". Ibu
ber?mimpi tadi malam melihat kau sungguh tumbuh dewasa".
Meli?hat kau cantik sekali dengan rambut panjang hitam le?
59 gam". Kau menatap Ibu sambil tersenyum lebar, menatap kehi?
dup?an ini dengan yakin". Begitu membanggakan"."
Ibu benar-benar menangis sekarang. Lama. Tersengal. Aku
meng?genggam jemarinya gemetar. Tertunduk ikut menangis.
"Berjanjilah, Nak"." Ibu berusaha keras meneruskan kali?
matnya. "Berjanjilah, kau akan selalu menjaga adikmu". "
Aku bergetar mengangguk. "Berjanjilah, Nak". kau tak akan pernah menangis sesulit
apa pun keadaan yang akan kauhadapi"."
Aku menyeka air mataku. Mengangguk lagi.
"Ketahuilah, ini akan menjadi tangisan Ibu yang terakhir".
Tadi malam Ibu bermimpi ayahmu datang menjemput". Ibu
akan pergi". Selamanya! Ya Tuhan, semua takdir-Mu baik".
Se?mua kehendak-Mu adalah yang terbaik". Dan aku menyerah?
kan nasib kedua anakku kepada-Mu". Kau baik sekali mem?
pertemukan kami dengan seseorang sebelum kematianku". De?
ngan malaikat-Mu! Aku terisak semakin dalam.
"Berjanjilah, Nak". Ini akan menjadi tangismu yang terakhir
pula"." Gemetar tangan Ibu membelai jemariku.
"Kau tak boleh menangis demi siapa pun mulai detik ini".
Kau tak boleh menangis bahkan demi adikmu sekalipun"."
Aku mengangguk. "Kecuali, kecuali demi dia". Kecuali demi dia"." Ibu mena?tap?
ku amat lemah sambil tersenyum ganjil untuk terakhir kali?nya.
Aku tak tahu apa maksudnya. Karena sekejap kemudian Ibu
60 su?dah jatuh tertidur. Aku berteriak panik. Dia dan Kak Ratna
ber?lari tergesa masuk ke dalam ruangan.
Ibu pingsan lagi. *** Hari itu Senin. Seminggu sebelum usiaku tepat tiga belas tahun.
Adik?ku delapan tahun. Dan dia dua puluh tujuh. Aku tidak
per?caya angka tiga belas membawa sial, takdir, sore itu Ibuku
me?ninggal. Pergi selama-lamanya dari kami.
Ibu tak pernah bangun lagi dari pingsannya.
Aku terduduk di lantai keramik rumah sakit. Menggigit bi?bir
keras-keras agar air mataku tidak tumpah. Tanganku men?ceng?
keram seprai tempat tidur Ibu. Dede hanya menatap bi?ngung
Ibu yang ditutupi kain putih di sekujur tubuhnya.
Sore itu juga Ibu dibawa pulang ke kontrakan. Dua tahun
ter?akhir karena kehidupan kami berjalan normal di kontrakan
baru, tetangga sekitar ramai melayat. Apalagi Ibu selalu berbaik
hati setiap hari membagikan kue-kuenya.
Aku hanya duduk termangu. Tidak mampu bersuara sedikit
pun di sudut ruangan kontrakan. Mengenakan kerudung hitam
yang diberikan Kak Ratna. Adikku duduk bingung menatap tu?
buh Ibu yang terbungkus ketat kain kafan. Semua mata meman?
dang bersedih ke arahku dan Dede.
Kak Ratna duduk di sebelahku, matanya sembap menahan
ta?ngis. Dan untuk kali itu aku berdamai dengannya. Membiarkan
61 dia memeluk bahuku. Dede berkali-kali menarik tanganku, ber?
ta?nya hal-hal yang tidak bisa kujelaskan.
"Kak". Kenapa Ibu dibungkus?"
Aku hanya menggeleng lemah. Usianya delapan tahun, dan
dia belum mengerti benar tentang kata "kematian".
Malam harinya selepas magrib, Ibu langsung dikuburkan. Dia
memutuskan untuk menguburkan secepat mungkin, "Tak baik
membiarkan Ibu terlalu lama menunggu". Lagi pula tak ada
ke?luarga dekat yang harus ditunggu."
Malam itu langit cerah. Sudah sebulan penuh kota kami digu?
yur hujan, tetapi sekarang bulan purnama sempurna bertakhta
di atas sana. Diiringi jutaan bintik bintang gemintang. Malam
yang ganjil. Jemari kecilku gemetar menaburkan bunga melati.
"Kak, kenapa Ibu ditimbun tanah?"
Sejauh ini aku berhasil menahan air mataku tidak tumpah.
Te?tapi berbagai pertanyaan adikku benar-benar membuatku sulit
bernapas. "Kak, kenapa Ibu dikubur?" Dede bertanya semakin panik.
Orang-orang beranjak pulang dari pekuburan. Dede yang ber?
ba?gai pertanyaannya belum dijawab merajuk tidak mau pulang.
"Dede mau pulang bersama Ibu!" Adikku mengotot bandel,
ber?teriak. Membuat keheningan pemakaman itu pecah seketi?
ka. Tinggallah kami berempat di sana. Aku juga tak mau pulang.
Aku ingin tidur di sana bersama Ibu. Malam beranjak semakin
ma?tang. Bau bunga sedap malam menusuk hidung.
62 "Kita harus pulang"," dia membujuk aku dan adikku. Dede
meng?geleng tak mau. Mencengkeram tanah merah di depannya.
Mem?buat kotor celananya.
Mataku mulai berkaca-kaca. Janji itu teramat berat. Aku su?
dah tak tahan lagi. Aku ingin menangis sekencangnya. Kenapa
Ibu harus pergi" Kenapa Ibu meninggalkan aku dan adikku
sendi?rian" Dia dan Kak Ratna terdiam beberapa saat kemudian. Mem?
biar?kan kami tetap jongkok di samping tanah merah pusara Ibu


Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

de?ngan pikiran masing-masing. Nyamuk mulai berdenging ramai
di atas kepala. Lima belas menit kemudian, tangannya lembut menyentuh
pun?dakku dan bahu adikku. Menghela napas panjang.
"Dengarkan Oom"," suaranya lirih membujuk.
Kami tetap tak menoleh. "Bagi Oom, kalian sama sekali tidak terlalu kecil untuk me?
ngerti". Kalian sudah besar". Jadi Oom anggap kalian akan
men?ge?rti apa yang akan Oom katakan"." Dia berhenti sejenak.
Aku mengelap ingusku. "Ketahuilah, Tania dan Dede". Daun yang jatuh tak pernah
mem?benci angin". Dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja.
Tak melawan. Mengikhlaskan semuanya. Tania, kau lebih dari
dewa?sa untuk memahami kalimat itu". Tidak sekarang, esok
lusa kau akan tahu artinya". Dan saat kau tahu apa artinya,
semua ini akan terlihat berbeda. Kita harus pulang, Tania."
Aku menelan ludah. Tertunduk.
"Dan, Dede". bukankah Oom pernah ikut bersamamu saat
63 me?ngu?bur si ikan cupang" Ibu juga tak akan pernah kembali
se?perti si ikan cupang. Dia sudah pergi ke tempat yang paling
in?dah". Surga yang sering Oom ceritakan setiap hari Minggu".
Ibu akan bahagia di sana"."
"Tetapi kenapa Ibu tidak mengajak Dede!" adikku memotong
dengan suara terisak, berusaha mengibaskan tangan dia. Kakinya
se?makin menghunjam dalam di atas tanah merah.
"Karena Ibu sedang menyiapkan banyak hal di sana". Seperti
saat pagi-pagi Ibu menyiapkan sarapan buat Dede dan Tania".
Nan?ti kalau sudah siap, kita juga akan pergi ke sana suatu
saat". Sekarang kita hanya akan mengganggu saja.
"Ibu akan datang seperti saat membangunkan kalian pagi-pagi
un?tuk bersiap berangkat sekolah". Tetapi sebelum waktunya
tiba, kita harus pulang ke rumah malam ini". tidur yang nye?
nyak, esok pagi bangun melanjutkan kehidupan". Suatu hari
nan?ti kita akan bertemu lagi dengan Ibu". Dia pasti menjem?
put." Hening di pekuburan. "Ayo"." Sedikit memaksa dia mengangkat lenganku. Aku tak bisa me?
la?wannya, aku sudah bersumpah. Tapi Dede melawan.
Beberapa saat kemudian dia terpaksa menggendong Dede
yang berontak sekuat tenaga. Kami tertatih menuju mobil Kak
Ratna yang diparkir di tepi pekuburan.
Kak Ratna membimbingku pelan-pelan. Pulang.
64 Pukul 20.26: Setelah Ibu Pergi!
Aku menghela napas panjang. Lima menit hanya berdiri terdiam
di sini. Di lantai dua toko buku terbesar kota kami.
Di luar sana hujan tak kunjung mereda juga tak lalu mende?
ras. Semua masih pada posisinya masing-masing. Pasangan di
ge?rai fotokopian. Kesibukan di toko cuci-cetak. Warung-warung
ten?da makanan. Hanya jalanan di depan yang terus berganti for?
ma?si. Mobil merayap dengan kipas air kaca depan terus berderit.
Kiri-kanan. Kanan-kiri. Membuang bulir air yang tak pernah
berhenti menimpa kaca. Mobil beringsut seperti keong.
Sebuah Kijang bergambarkan lambang sebuah maskapai pener?
bang?an lewat. Mungkin mobil antar-jemput untuk pilot dan
pra?mugari maskapai itu. Aku seketika teringat rentetan ke?jadian
berikutnya. Berbagai kejadian yang membanggakan.
65 Berbagai kejadian yang menyedihkan.
Setelah Ibu pergi. *** Sebenarnya dua bulan sebelum Ibu meninggal, aku mengurus
ber?kas beasiswa ASEAN Scholarship. Beasiswa yang memberikan
ke?sempatan untuk melanjutkan pendidikan junior high school
atau SMP di Singapura. Itu semua adalah ide dia. Aku menurut saja. Ibu waktu itu
yang masih sehat hanya mengangguk, meskipun berkata pelan
sam?bil tersenyum, "Nak Danar, rasanya Ibu sulit membayangkan
Tania bisa bersekolah di sana. Di luar negeri. Bersekolah lagi
saja sudah syukur." Dia hanya tertawa kecil. Aku paling senang melihat ekspresi seperti itu dari wajahnya.
Raut muka yang konstruktif. Meyakinkan. Menenangkan.
Ekspresi yang tulus. Bukan raut muka tawa basa-basi. Dan itu
ba?nyak memotivasiku. Aku sempat ikut berbagai tahapan tes beasiswa itu, hingga
final assessment, dia selalu mengantar dan menemani selama
ujian. Mem?bantu banyak melewati berbagai tes yang melelahkan.
Mulai dari ujian tertulis (ini paling gampang), menggambar,
menjawab ber?bagai pertanyaan tentang kesukaanku, hingga
wawancara (ini pa?ling susah).
Tetapi semenjak Ibu masuk rumah sakit dan kemudian me?
66 ning?gal, semua itu terlupakan. Aku sama sekali tak memikirkan
se?perti apa hasilnya"tidak penting lagi, bukan"
Kami sibuk membenahi rencana hari-hari berikutnya.
Sehari setelah Ibu meninggal, aku dan adikku pindah ke kon?
trak?annya. Kontrakan Ibu dikosongkan ("Biar mereka bisa segera
melu?pakan semua kejadian menyakitkan ini," itu katanya kepada
Kak Ratna saat berbenah-benah pindah). Kak Ratna membantu
ba?nyak proses kepindahan itu.
Aku dan adikku belum juga bisa berdamai dengan situasi
baru seminggu kemudian. Meskipun amat menyenangkan tinggal
ber?samanya. Aku masih mengingat raut muka Ibu dengan sem?
pur?na dan adikku banyak bertanya soal Ibu, yang lagi-lagi tak
bisa kujelaskan. Dia sekarang berangkat kerja lebih siang dan pulang lebih
ce?pat agar memiliki waktu bersama kami lebih banyak. Kami
sekarang setiap malam makan di luar. Dua minggu ter?akhir
berganti-ganti dari satu warung tenda ke warung tenda lain.
Bahkan pengamen yang sering mondar-mondir di sepanjang ja?
lan ingat pada kami. Bagaimana tidak ingat. Kehadiran kami kontras sekali. Aku
dan adikku yang hanya berdiam diri saja. Tersenyum seadanya
me?nanggapi cerita lucu darinya. Makan dengan malas, dan ba?nyak termenung berdua. Dan dia yang banyak bergurau mengo?
men?tari segala hal, berusaha setulus hati menghibur.
Sekali-dua kali Kak Ratna ikut makan bersama. Kali ini Kak
Ratna makan di piringnya sendiri. Aku juga selalu diberi posisi
67 duduk di sebelah dia. Tetapi aku tak peduli dengan posisi du?
duk (yang memang hakku itu).
Aku kangen Ibu. "Tania sudah daftar SMP di mana?" Kak Ratna bertanya sua?tu malam.
Aku dan dia bertatapan. Urusan itu tak terpikirkan sela?ma dua
minggu terakhir. Terlalu sibuk memikirkan hal lain.
"Eh, aku belum sempat mendaftarkannya." Dia mengusap mu?
ka?nya. Sedikit menyesal.
"Kalau begitu, biar besok aku saja yang mengantarnya". Daf?
tar di SMP dekat SD-nya Dede saja, kan?" Kak Ratna menawar?
kan diri. Aku hanya diam. Tidak banyak komentar. Dede sibuk meng?
aduk es jeruknya. Sama sekali tak disentuh oleh bibirnya.
"Boleh. Besok kamu jemput saja". Tania besok jalan bareng
Kak Ratna, ya". Dede juga ikut Kak Ratna."
Aku hanya diam. Dede mendengus kecil di dalam gelasnya
(Tante Ratna!). *** Beruntungnya aku tak perlu diantar Kak Ratna untuk mendaftar
SMP keesokan paginya. Aku juga tak perlu repot-repot
membujuk Dede agar ikut (sejak tadi malam Dede menolak
mentah-mentah untuk menemani). Pagi-pagi telepon itu datang
ke kontrakan. Dari sekretariat beasiswa.
Application guaranteed! 68 Aku tak tahu harus bahagia atau sebaliknya. Kabar itu sedikit
pun tidak mengubah ekspresi mukaku. Malah aku tambah sedih
saat menyadari itu sama saja aku akan pergi sendirian. Mening?
galkan Dede, meninggalkan pusara Ibu, meninggalkan dia. Me?
ning?galkan semuanya. Malamnya kami merayakan keberhasilan tersebut dengan
jalan-jalan di toko buku ini. Sudah hampir tiga bulan kami tidak
ke sana. Terakhir sebelum Ibu sakit. Suasana keramaian toko
buku selalu membuat aku dan adikku merasa jauh lebih nyaman.
Me?natap pemandangan dari lantai dua ke seluruh jalan mem?
berikan energi kesenangan buatku (juga buat Dede). Semua itu
memberikan inspirasi. Dan dia membuka "rahasia kecil" itu.
"Kamu pernah baca buku ini, kan?" Dia menunjukkan sebuah
do?ngeng. Aku mengangguk. Buku itu bagus. Favoritku malah.
Aku menyimpannya di dekat tempat tidur. Selalu kubaca ber?
ulang-ulang. "Akulah yang menulisnya." Dia tersenyum.
Aku tak mengerti, menatapnya bekerjap-kerjap.
Bukan karena tak percaya. Tetapi sungguhkah"
"Bukankah". di sana yang menulisnya berbeda?"
Dia tersenyum sambil mengusap rambut hitam legamku yang
ma?lam itu kubiarkan tergerai. Menyengir kecil.
"Yaa". Itu nama lainnya, Tania. Nama samaran". Alias."
"Seperti nama cewek!" Dede menceletuk di sebelah. Itu cele?
tuk?an adikku pertama kali semenjak kematian Ibu (suasana toko
buku ini membantu banyak suasana hati Dede).
69 Aku tertawa. Dia ikut tertawa.
"Berarti ini juga tulisan Oom!" Dede menyerahkan sebuah
buku tebal. Juga ada nama itu di sana. Itu novel dewasa. Dia
meng?angguk pelan. "Tetapi jangan bilang siapa-siapa". Yang tahu cuma kita berti?
ga". Rahasia." Aku terpesona, lupa untuk mengangguk. Berarti tiga buku
kole?k?si terbaikku ditulis oleh seseorang yang amat berarti. Benarbenar kejutan. Dan malam itu aku berjanji dalam hati: akan
mem?baca seluruh buku yang pernah dan akan ditulisnya.
Malam itu juga, aku dan adikku berdamai banyak hal. Kami
benar-benar baru pulang ke rumah kontrakannya larut malam.
Dia iseng sekali mengajak aku dan Dede naik ke atas toko buku.
Sem?bunyi-sembunyi menyelinap dari petugas toko. Lantas du?
duk di atap paling tinggi.
Menatap seluruh kota yang bercahaya.
"Tania, kehidupan harus berlanjut. Ketika kau kehilangan se?
ma?ngat, ingatlah kata-kataku dulu. Kehidupan ini seperti daun
yang jatuh". Biarkanlah angin yang menerbangkannya". Kau
harus berangkat ke Singapura!"
*** Dan saat keberangkatan ke Singapura tiba, aku akhirnya menu?
ruti semua kata-katanya. Dia benar. Lagi pula aku kan sudah
ber?sumpah akan menuruti kata-katanya.
Dede akan tetap tinggal bersamanya. Dia akan meminta ban?
70 tuan ibu-ibu tetangga untuk mengurus adikku saat dia beker?ja.
Ibu-ibu tetangga juga sekalian akan mengurusi segala keper?luan
rumah lainnya. Kak Ratna juga akan membantu mengawasi
Dede, yang langsung ditolak mentah-mentah oleh adikku, "Dede
nggak mau diurus-urus Tante Ratna! Dede nggak suka!" Dia
ter?tawa. Aku tak pernah membayangkan sekolah sejauh itu. Singapura!
Lima tahun silam malah aku tidak sekolah sama sekali. Lihatlah,
de?ngan tubuh yang mungil, aku akan sendirian di negeri orang.
Te?tapi dia selalu meyakinkan. "Kau anak yang bisa diandalkan,
Tania. Selalu. Kau akan tumbuh besar dan cantik di sana".
Pintar membanggakan!"
Mendengar kata "besar dan cantik", aku berpikir tentang ba?
nyak hal. Benar-benar banyak hal.
Maka dengan meneguhkan hati, bersama empat anak-anak
lain?nya dari Indonesia, pagi itu aku menjejakkan kaki ke gar?ba?
rata pesawat. Itu penerbanganku yang pertama. Saat itu umurku
tiga belas tahun. Adikku delapan tahun. Dia dua puluh tujuh
tahun. Aku memeluk adikku erat. Dede tidak banyak bertanya. Lebih dari tiga malam dia men?
je?laskan banyak hal kepada Dede. Soal kepergianku. Soal tang?
gung jawab. Soal kedewasaan. Dan kalian tak akan pernah
men?duga bahkan bayi pun bisa mengerti sebuah penjelasan. Apa?
lagi penjelasan darinya. Aku tidak menangis. Pertama, aku sudah berjanji pada Ibu
untuk tidak menangis selamanya. Kedua, perjalanan terse?but
71 bukan sesuatu yang menyedihkan. "Semua ini mem?bangga?kan,
Tania. Aku akan bilang ke semua orang yang kukenal bahwa kau
anak yang bisa dibanggakan"." Dia memelukku erat. Dan demi
itu, andai kata bisa, aku tak ingin melepaskan pelukan?nya.
Kak Ratna ikut memujiku. Untuk pertama kalinya, saat me?
man?dang dia dan Kak Ratna bergantian, aku tiba-tiba merasa
satu level lebih baik dibandingkan "cewek artis" ini. Aku le?bih
pintar, seperti yang dikatakannya.
*** Waktu berjalan cepat. Hari-hariku penuh dengan hal-hal baru di Singapura. Aku
me?mang masih teramat muda saat tiba di sana, maka Kedutaan
Besar Indonesia menyiapkan mentor tersendiri. Ibu-ibu gen?dut.
Orangnya jauh dari asyik. Terlalu banyak mengatur. Sok disip?lin
dan pencinta peraturan. Tetapi aku senang-senang saja.
Aku mulai mengenal banyak cara untuk berhubungan de?ngan
dia. Jarak ini sedikit pun tidak mengganggu. Dan favoritku ten?tu
saja: chatting. Cepat sekali aku belajar internet. Bagaimana ti?dak
cepat, kalau seluruh kelas tempat aku sekolah dijejali kom?pu?ter.
Bahkan kamar tidur di asramaku terpasang komputer de?ngan
monitor layar datar. Aku anak terkecil di kelas. Ada dua puluh anak di sana. Seba?
gian besar tampang mereka China, beberapa berwajah Melayu,
satu-dua rada-rada bule. Tetapi akulah yang paling terlihat
berbeda. Em?pat temanku dari Indonesia lainnya dimasukkan ke
72 dalam kelas yang berbeda. Sebulan pertama di sana aku
kesulitan berko?mu?nikasi. Lebih banyak memakai gerak tangan
dan mimik muka. Kursus bahasa Inggris itu ternyata tidak
banyak memban?tu. Padahal nilaiku selalu A.
Semua itu kulaporkan melalui chatting kepadanya. Hampir


Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

se?tiap hari aku online. Menunggu dia masuk kerja dan siap di
de?pan meja kerjanya. Saking sibuknya aku melaporkan banyak
hal, aku malah jarang menanyakan kabar Dede. Apalagi mena?
nya?kan kabar Kak Ratna. Tania: Kemarin Tania dapat hasil quiz math. Nilainya 95.
Ada lima anak yang dapat 100. Tania kecewa
sekali. Maibelopah: Tak masalah. Kau tetap anak yang paling pintar.
Be?sok lusa kan bisa dapat 120. :-)
Tania: Yee nggak mungkinlah. Nilai maksimalnya 100.
Maibelopah: Kalau begitu, berharaplah agar lima anak tadi
cuma dapat 80. :-) Kau dapat 100, ya kan"
Tania: Yee, jahat! Tapi amin. :p
Maibelopah: :-) Tania: Semalam Miss Gendut marah-marah lagi di
dorm. Maibelopah: Kenapa"
Tania: Si Adi tidur larut malam, ngajakin kami main PS.
Maibelopah: Si Adi yang bandel itu" Yang suka mengganggumu"
Tania: Ya, si Adi yang jail. Miss Gendut sampai ngamuk.
73 Maibelopah: Ah, kalau soal tidur larut malam, dulu Ibu juga akan
marah, kan" Kursorku berkedip lama. Ibu" Aku tiba-tiba teringat Ibu.
Tania: Tania kangen Ibu". Lama dia tidak menjawab. Aku tidak tahu bahwa dia juga
se?dang berpikir. Tadi dia benar-benar kelepasan mengetik kata
Ibu. Maibelopah: Aku juga kangen Ibu. Semalam aku sempat bermim?pi
ketemu Ibu. Dia titip salam buatmu. Ibu terlihat bahagia.
Dia bilang, kau anak yang membanggakan di sana.
Amat mem?banggakan. Aku tahu dia berbohong. Hanya saja menyenangkan membaca
"kali?matnya". Tania: Tania ingin bermimpi ketemu Ibu".
Kursorku berkedip lama. Sejenak, dia tidak menuliskan apa
pun. Maibelopah: Bagaimana dorm-nya" Asyik, kan"
Tania: Asyik. Tania suka :-), kecuali Miss G-nya.
Maibelopah: Kau makan tepat waktu ya! Tidur cukup!
74 Tania: Siap, Bos! Dilaksanakan. :-) Kan makannya sudah
dise?dia?kan di dorm kalau malam. Pagi dan siang
di sekolah. Semua?nya beres. Yang ngurus Miss G.
Maibelopah: Tuh kan, ada baiknya juga Miss G! :-)
Tania: Iya sih. :-) Hm. Maibelopah: Tadi aku transfer uang. Bisa ambil lewat bank sana".
Kalau kau nggak ngerti, minta bantuan Miss G,
pasti dia mau bantu. Tania: Uang sakunya cukup. Nggak usah ditransfer.
Maibelopah: Nggak pa-pa, buat keperluan lain. Atau kalau nggak
bisa, ditabung aja, ya" Kita nggak pernah tahu apa
yang akan terjadi esok lusa. :-)
Kalimat itu lagi. Aku menghela napas. Tersenyum. Menurut.
*** Dua minggu kemudian, saat kami chatting lagi, ternyata Dede
ikut?an. Aku "berbincang" banyak dengan adikku, meskipun lebih
ba?nyak menunggunya. Dede berlepotan menulis di atas tuts
kom?puter. Dede memang lebih jago memainkan mouse-nya, atau
stick game, menghajar monster.
Kak Ratna juga ikut-ikutan. Aku entahlah senang saja me?
nang?gapinya. Basa-basi menanyakan kabar. Kak Ratna bertanya
ba?nyak hal. Dan waktu berjalan bagai desingan peluru. Hari demi hari
me?rang?kai tahun. Tahun demi tahun berlalu dipilin hari. Rutini?
75 tas chatting itu tak berkurang. Hanya berganti jam. Sekarang
be?rganti jadi malam hari. Dia online dari rumah. Aku juga lebih
ba?nyak berhubungan dengan adikku. Kata Dede mereka sudah
pa?sang koneksi internet di rumah.
Sekejap mata! Tiga tahun kemudian. Umurku sudah enam
be?las tahun. Adikku sebelas tahun. Dia tiga puluh tahun.
Komunikasi via satelit itu membantuku menjalani hari-hari
si?buk?ku. Aku bertanya banyak hal kepadanya. Dan dia menjadi
ibu, teman, kakak, sekaligus ayah untukku. Menasihati banyak
hal (dia tak pernah langsung bilang seperti apa; dia selalu menga?
ta?kannya lewat sebuah cerita). Memotivasiku untuk terus belajar.
Meng?ingatkan untuk menjaga kesehatan, "Jangan lupa makan
te?pat waktu, Tania!" Bahkan membantuku memilihkan pakaian
un?tuk acara-acara resmi (ada banyak sekali acara formal yang
ha?rus kuhadiri sepanjang tahun).
Satu tahun pertama aku belum bisa dengan sempurna melu?
pa?kan kenangan atas kematian Ibu yang menyedihkan. Pembica?ra?an kami sekali-dua membahas tentang kenangan lama itu (dan
dia pandai mengalihkan pembicaraan). Memasuki tahun kedua,
wak?tu benar-benar menjadi obat yang sempurna. Semua bisa
dibi?lang berjalan normal seperti sediakala (aku lebih ba?nyak
meng?habiskan waktu dengan berkonsentrasi belajar menge?jar
nilai anak-anak lain yang jauh lebih pintar).
Fisikku tumbuh luar biasa. Dulu waktu masuk di kelas junior
high school tersebut aku anak terkecil, sekarang aku tum?buh
melampaui mereka. Menurut buku yang kubaca, anak perem?
puan memang tumbuh lebih cepat. Tinggiku sudah menca?pai
76 156 senti. Dan aku lebih terlihat seperti anak SMA. Ram?but?ku
tergerai panjang. Aku juga bertanya banyak tentang urusan "fisik" ini kepada dia
via chatting. Ada banyak buku tentang kesehatan remaja yang ku?
baca, tetapi aku tetap butuh seseorang untuk membicarakan?nya.
Dan dia menjadi pengganti Ibu sekaligus teman yang baik. Ta?hun
kedua lebih banyak dipenuhi oleh pertanyaan seputar itu. Dia sa?
bar menjelaskan banyak hal. Satu-dua kali Kak Ratna ikut online.
Dan aku lagi-lagi tak terlalu keberatan bertanya padanya. Ter?
utama hal-hal pribadi. Kak Ratna menyenangkan menjawab?nya.
Adikku Dede juga menceritakan kesibukan sekolahnya. Dia
jauh lebih pandai menggunakan komputer sekarang. Terkadang
kami main game online. Yang pasti, rutin sebulan sekali aku
meng?irimkan paket permainan Lego dari Singapura.
Dan tiga tahun lewat bagai kejapan mata.
Aku lulus urutan kedua dari seluruh siswa di sekolah. Nomor
satu untuk dua puluh dua penerima ASEAN Scholarship seluruh
ne?gara. Hasil yang hampir sempurna. Janji yang selalu kupegang.
Aku akan belajar sebaik mungkin. Dia sebenarnya berjanji akan
datang saat graduation day.
Sayang dia sedang di Tokyo.
Oh ya, aku lupa cerita, dia juga maju sekali dalam kariernya.
Dua tahun terakhir dipromosikan menjadi manajer pemasaran.
Ka?rena induk perusahaanya di Jepang, dia sering bepergian ke
sana. Aku selalu bertanya apakah dia menggunakan pesawat
yang transit di Singapura. Apakah dia pernah sekali-dua bisa
men?dapatkan tugas di Singapura. Terus terang aku rindu.
77 Entah bagaimana aku harus menjelaskan perasaan itu.
Bagian inilah yang tak pernah aku diskusikan di internet.
Pera?saanku. Maka selama tiga tahun itu, aku memendam semua?
nya dalam-dalam. Tak tahu harus berbagi dengan siapa. Tak
me?ngerti harus menceritakannya pada siapa. Aku kangen ibu?ku,
aku kangen adikku, tetapi entahlah, kenapa aku jauh lebih ka?
ngen kepadanya. Berharap bertemu! Menatap wajahnya yang
me?nyenangkan tersenyum kepadaku. Melihat ekspresi wajahnya
yang tertawa lebar. Aku benar-benar rindu. Maka bayangkanlah betapa tak sabarnya aku menunggu ming?gu depannya. Seminggu setelah graduation day junior high schoolku. Saat masa berliburku setelah tiga tahun tiba.
Saat aku akhirnya bisa pulang ke Depok.
*** Ketika tiba di bandara, dia dan Dede sudah berdiri menjem?putku
di lobi kedatangan luar negeri (tidak ada Kak Ratna di sana, dan itu
kabar baik buatku). Aku berlari riang. Membiarkan saja koper-ko??
perku tertinggal. Meloncat berteriak kecil langsung memeluknya.
Orang-orang menoleh ke arah kami. Aku tak peduli.
Hatiku serasa buncah! Benar-benar tak terkatakan.
"Kau benar-benar sudah berubah, Tania!" dia berkata sambil
ter?se?nyum. Aku tidak melepaskan pelukan. Ya, aku sudah men?
jadi "gadis" seperti wanita lainnya.
Aku sibuk melihat wajahnya lamat-lamat.
78 Dia sedikit pun tidak berubah. Hanya garis mukanya yang
ter?lihat lebih tegas dan berkesan. Adikkulah yang berubah ba?
nyak. Dede tumbuh amat cepat. Tingginya sekarang sedaguku.
Di?ban?dingkan tiga tahun lalu saat tingginya hanya sedadaku, itu
ber?arti akselerasi pertumbuhannya jauh lebih cepat dibandingkan
aku. "Kak Tania, bawa Lego-nya, kan?" Dede menarik bajuku. Se?
ka?rang adikku kelas enam, lebih cepat setahun, sama denganku
dulu, guru-guru di SD menaikkannya lompat dua tingkat.
Aku buru-buru melepaskan genggaman tanganku di bahunya.
Ter?ingat titipan Dede. Berlari kecil mengambil koper di bela?
kang. Dia tertawa. Rambutku tidak dikepang. Aku potong pen?
dek sebahu sebelum pulang. Di Singapura sedang mode seperti
itu. Meskipun tetap kubiarkan hitam legam tidak dicat seperti
remaja Singapura lainnya. Terlihat sehat. Aku benci melihat
orang-orang yang mengecat rambutnya. "Hanya orang-orang yang
beram?but jeleklah yang mengecatnya." Itu kukatakan kepada Anne,
te?man semejaku saat kelas tiga di junior high school itu.
Aku menumpahkan lima permainan Lego di tangan Dede.
Dia tertawa kecil melihat kelakuan kami.
"Yee." yang ini Dede sudah pernah main," adikku protes.
"Kamu kan nggak bilang di e-mailmu mau minta yang mana."
Aku mengotot tak peduli, tanganku memegang lengan dia (se?
benarnya akulah yang tidak sempat memilihkannya; terburuburu waktu berangkat tadi pagi). Dia mendorong koperku keluar
ban?dara. Tak ada Kak Ratna, kan" Jadi dia tak akan mengganggu
banyak. Aku mengambil posisi itu.
79 Dede hanya mengomel di belakang (mengomeli Lego-nya).
Kami naik ke mobil barunya yang keren.
"Lho, mobilnya beda dengan buatan perusahaan" Memangnya
bo?leh pakai merek lain?" aku bertanya saat membuka pintu de?pan. Dia hanya tertawa mengangkat bahu.
Saat itulah, meskipun sama sekali tak kusadari, aku sudah
benar-benar bukan anak remaja lagi. Umurku baru enam belas,
tetapi cara berpikir, kecerdasan, wawasan, dan bagaimana menyu?
sun kalimatku sudah setara dengan gadis dewasa tiga tahun di
atas?ku. Dan yang lebih penting dari itu semua, aku sudah ber?
ubah menjadi gadis yang "cantik dan dewasa".
Seperti katanya dulu. *** Ternyata, dia dan Dede sudah tidak tinggal di kontrakan lama.
Dia setahun terakhir membeli tanah dua ratus meter dari jalan
be?sar itu. Tidak jauh dari kontrakan sebelumnya. Tanahnya luas.
Ba?ngunannya baru tiga perempat selesai, tetapi sudah terlihat
ben?tuknya. Bulat seperti stoples tinggi. Keren.
"Kenapa nggak bilang-bilang?" aku protes.
"Sengaja". Kata Oom Danar, biar surprise!" adikku menjawab
san?tai di kursinya, masih sibuk memainkan salah satu Lego yang
ku?bawakan. Mobil memasuki halaman depan.
Malam itu, menyambut kedatanganku, dia membuat acara
ke?cil di halaman depan yang luas. Tetangga-tetangga Ibu dulu
diun?dang. Juga tetangga rumah baru sekarang. Juga anak-anak
80 ke?las mendongeng. Ada banyak anak-anak yang baru kukenali,
jum?lah mereka sekarang tambah banyak.
Terlihat sekali dia membanggakanku di depan tetangga. Dan
aku sering tersipu malu. Tak banyak berkata, meskipun sungguh
aku senang dipuji olehnya. Aku menatap siluet wajah menyenang?
kan itu yang ditimpa api unggun yang tadi dihidupkan Dede.
Se?menjak detik itu, aku memperbarui banyak hal dalam hati.
Termasuk tentang perasaan itu.
*** "Kenapa Kak Ratna semalam tidak ikut acara syukuran?" aku
pe?lan menanyakan itu di meja makan esok paginya. Penasaran.
Bo?leh saja kan aku bertanya"
Dia hanya menggeleng pelan. Menyeringai tersenyum.
"Oom Danar tuh sudah putus dengan Tante Ratna," Dede
san?tai berucap di sebelah sambil menyendok bubur ayam sa?
rapan?nya. Tertawa. Dia juga ikut tertawa kecil. Meskipun bukan tawa menyenang?
kan yang selama ini aku kenal.
Aku entah harus ikut tertawa atau sedih. Ah, seharusnya aku
kan bisa bertanya dulu ke adikku. Dede tentu tahu semua hal
ten?tangnya. Pertanyaan langsung seperti ini mungkin menggang?
gu?nya. Tetapi sudahlah, aku sudah telanjur bertanya.
Siang itu kami mengunjungi pusara Ibu. Makam Ibu terlihat
in?dah. Di pinggirannya tertulis kalimat itu waktu dia membujuk
kami agar pulang dari pemakaman malam-malam.
81 "Dede yang menuliskannya". Meskipun Dede nggak ngerti
apa maksudnya," adikku menjelaskan santai.
Kami tertawa bersama. "Bohong! Tahu nggak, Dede bahkan punya buku harian yang
pe?nuh puisi sekarang." Dia meninju pelan bahu adikku.
"Yeee" Oom Danar kok bocorin rahasia orang. Curang. Dede
kan juga mau seperti Oom Danar, pakai nama samaran," Dede
protes sam?bil menarik kemejanya. Hari ini dia memakai kemeja
lengan pen?dek berwarna biru.
Aku tahu itu warna kesukaannya (juga menjadi warna kesu?
ka?anku sekarang). Dan kami menghabiskan banyak waktu di depan pusara Ibu
mem?bicarakan banyak hal. Tertawa banyak hal (sebenarnya lebih
ba?nyak menertawakan Dede). Berharap Ibu juga tertawa melihat
kami dari surga sana.

Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jemari tanganku menyentuh guratan kalimat tersebut. Terse?
nyum. Dia teramat benar waktu itu!
*** Malamnya kami pergi ke toko buku ini.
Karena Kak Ratna sepertinya sejauh ini benar-benar telah
me?nyingkir dari kehidupannya, aku berkuasa penuh. Berjalan di
sam?pingnya "semesra mungkin" saat berkeliling di lantai dua toko
buku tersebut. Adikku hanya mengintil di belakang. Bahkan aku
juga berharap adikku menghilang jauh-jauh.
Salah seorang penjaga toko senior (yang sudah bekerja lama)
82 mengenaliku. Dan tentu saja juga mengenali dia dan Dede, "Ini,
Tania dulu yang sering ke sini, kan" Tania yang berkepang dua?"
Aku mengangguk. "Waduh, sudah sebesar ini". geulis pisan!"
Aku menyeringai senang. Tersenyum. Geulis, kan!
Dia lagi-lagi bilang soal Singapura. Bercerita dengan bangga
kepa?da karyawan itu. Aku senang sekali. Memegang lengannya
erat-erat. Kami berdiri lama menatap pemandangan di seberang jalan
be?sar dari kaca lantai dua. Jika orang melihat kami di luar, mere?
ka pasti menyangka aku amat serasi menjadi "seseorang" baginya.
Aku tersenyum kecil dalam hati.
Gerai fotokopian di seberang jalan sedang direnovasi. Toko
cuci-cetak foto itu mulai dibangun. Baru fondasinya. Partisi jalan
se?dang dikerjakan. Bahan bangunan teronggok di sana-sini. Lam?
pu-lampu jalan bersinar terang.
Oh ya, aku lupa satu hal. Sekarang ke mana-mana dia mem?
ba?wa kamera digitalnya. Entah sejak kapan dia suka kamera.
Nah, malam itu selepas dari toko buku itu, kami berfoto di se?
pan?jang jalan. Dede bahkan iseng mengajak kami berpose persis
di tengah partisi jalan yang masih ditumpuk dengan batu koral
dan penanda pembatas. Foto-foto itu keren. Aku paling suka fotoku berdua dengan?
nya. Aku berdiri di sebelahnya sambil memegang lengannya.
Fo?kusnya baik. Sekeliling kami seperti membeku oleh tarian
lam?pu mobil, sementara wajahku dan dia terlihat tersenyum
indah di foto itu. 83 Kami beranjak dari sana saat malam semakin larut.
"Ibu dulu sudah menganggap Oom sebagai anak, kan?" aku
ber?kata pelan di dalam mobil ketika pulang dari toko buku dan
sesi foto-foto jalanan tadi.
"Ya?" Dia terus menatap ke depan.
"Jadi Tania" Tania sebenarnya boleh memanggil kakak saja,
kan" Kak Danar."
Dia menoleh sambil mengemudikan mobil. Menyelidik. Aku
me?masang tampang lucu seperti gambar komik-komik itu (mak?
sud?nya biar dia tidak curiga). Dia tertawa sambil menyeringai
kecil menatap wajahku, mengangguk.
"Ih, ngapain sih ganti-ganti panggilan". Mending oom daripa?
da kakak. Lebih asyik," adikku protes dari kursi belakang. Aku
me?noleh, menimpuk Dede dengan kotak tisu.
Dasar perusak suasana. 84 Pukul 20.32: Sweet Seventeen yang Indah
Itu babak baru hubunganku dengan dia.
Setidaknya menurut versiku sendiri itu babak baru hubungan
kami. Bukankah panggilan "kakak" jelas berarti lebih banyak di?
ban?dingkan panggilan "oom?"
Sayang, panggilan itu tidak seindah yang aku bayangkan.
Aku menghela napas panjang.
Hujan benar-benar menderas di luar. Tanganku dingin me?
nyen?tuh kaca yang semakin basah bagian luarnya, terkena tam?
pias air diterpa angin. Lantai dua toko buku terbesar kota ini
semakin ramai pengunjung. Orang-orang yang terjebak tidak
bisa ke mana-mana. Lampu-lampu dari bakal town square bekerlap-kerlip. Kesi?buk?
an yang teratur. Warung-warung tenda semakin mengepulkan
uap makanan yang mengundang selera. Lebih banyak pengun?
85 jung yang demi hujan ini perutnya terasa berbunyi. Lapar se?ma?
kin lapar. Tidak lapar jadi lapar.
Aku benar-benar tidak lapar malam ini.
Satu angkot biru berhenti di seberang jalan. Dua orang ber?
lon?catan buru-buru dari pintu depan. Berlarian dengan menutup?
kan tangan di atas kepala. Meski jaraknya cuma sepuluh meter,
de?ngan hujan seperti ini cukup sudah untuk membuat mereka
ku?yup bagian atas. Mereka hanya tertawa-tawa. Tidak peduli basah. Lagi-lagi
pa?sangan lainnya. Sambil mengibaskan tangan dan pakaian, mere?
ka menuju gerai fotokopian itu. Jadi sudah ada tiga "mempe?lai"
di sana. Hanya menunggu petugas yang akan menikahkan saja,
aku mendesis. Membalikkan badan lagi ke dalam ruangan, kuamati ruangan
toko buku tersebut. Di sana, di tumpukan buku yang lainnya,
se?g?erombol remaja masih ramai berceloteh. Ah, masa remaja
yang pe?nuh dengan kisah. Ribut memuja bintang luar negeri,
ri?but meng?gosipkan seseorang, ribut memajang foto pujaan, ru?
suh membincangkan gaya berpakaian, mode, dan tetek bengek
re?maja lainnya. Aku" Aku dulu tak pernah ribut seperti mereka.
*** Aku seumuran mereka saat kembali lagi ke Singapura. Aku ha?
nya sempat berlibur di Depok sebulan. Dan di pengujung bulan
86 itu, harus buru-buru balik lagi. ASEAN Scholarship menjamin
satu kursi di SMA terbaik Singapura.
Beasiswa itu berlanjut. Meskipun aku mengotot sampai mampus hendak melanjutkan
sekolah di Jakarta saja, dia pasti akan menolak mentah-mentah.
Dan karena aku sudah berjanji akan selalu menuruti semua
kata-katanya, maka daripada berdebat, dengan sukarela aku be?rang?kat lagi ke Singapura. Meskipun itu berarti tiga tahun aku
ti?dak akan bertemu lagi dengannya.
Bayangkan. Tiga tahun. Dia dan adikku mengantar ke bandara.
Aku memeluknya lama. Sungguh lama. Dan dia membiarkan?
nya saja. Tidak. Dia sudah lama tidak mengelus rambutku.
Entah apa alasannya. Dia hanya tersenyum. Berbisik tentang
beta?pa bangganya Ibu di surga.
Dengan kaki lemah aku kemudian beranjak pergi melangkah.
Men?dorong troli koperku menuju pintu masuk keberangkatan.
Baru dua langkah, tiba-tiba dia memanggilku.
"Tania, tunggu sebentar."
Aku menoleh. Dia menepuk pundak adikku. Dede buru-buru mengeluarkan
se?sua?tu dari kantong plastik yang tadi dipegangnya (tadi sepan?
jang perjalanan aku bete bertanya kepada Dede, apa isi kantong
plas?tik itu. Dede hanya menyengir, "Surprise! Kak Tania nggak
bo?leh nanya-nanya!").
Isi kantong plastik itu kotak.
Dia membuka kotak tersebut. Sepatu.
87 Ya Tuhan, aku tersentuh sekali. Snickers. Sama seperti yang
dibe?rikannya dulu waktu di bus kota. Ukurannya saja yang mem?
be?sar. Tanganku gemetar menerimanya. Aku bertahan untuk ti?
dak menangis. Mataku berkaca-kaca. Memeluknya lagi.
"Yeee". Dikasih sepatu kok nangis," adikku seperti biasa me?
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 40 Pedang Siluman Darah 24 Misteri Si Cadar Berdarah Pendekar Pengejar Nyawa 2
^