Pencarian

Kemelut Tahta Naga 13

Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp Bagian 13


Kiu bun Te-tok yang dipimpin Hap Lun sendiri.
Hap Lun benci tugas pembantaian itu, namun ia
tak dapat menolak perintah Kaisar yang tegastegas berpesan agar jangan satu-pun yang
ketinggalan hidup. Para pemain musik dan
penari-penari yang disewa dari sebuah
kelompok kesenian itupun terpaksa ikut
dikorbankan dalam api. Pasukan yang mengepung di bawah loteng
kaget ketika melihat selembar besi lempengan
pelapis dinding tiba-tiba copot dan melayang
keluar. Mereka berlari-lari menghindari benda
itu, namun tiga orang perajurit agak terlambat
dan merekapun berteriak ngeri tertimpa
lempengan besi itu. Bukan saja berat, tapi juga
panas karena sudah bebeberapa jam
terpanggang api . 1459 Itulah "harga" pertama yang harus dibayar
Yong Ceng. Namun seperti di manapun dan
kapanpun, "harga" itu tidak dibayar sendiri oleh
Yong Ceng yang tengah enak-enak duduk di
istananya , melainkan oleh kaum bawahan yang
hanya menjalankan perintah.
Menyusul dari atas loteng itu meluncur
turun sesosok "manusia api" yang memutar
golok. Itu bukan lain ada Lah Pun-seng Hweshio yang jubahnya terjilat api .
Para pemanah dan penembak segera beraksi.
Namun karena barisan mereka masih agak
kacau gara-gara jatuhnya lempengan besi tadi,
maka bidikan mereka jadi kurang cermat.
Sementara panah atau peluru yang terarah ke
tubuh Pun-seng Hwe-shio telah tersapu
goloknya yang diputar rapat-rapat.
Pun-seng Hwe-shio bertenaga besar, namun
bukan seorang ahli meringankan tubuh. Maka
begitu sampai di tanah, ia agak sempoyongan
dan terguling guling. Tapi ia tidak cidera berat,
hanya lecet, malahan api yang membakar
1460 pakaiannya jadi padam dan hanya sedikit
meninggalkan luka kulit yang melepuh.
Begitu melompat bangun, Pun-seng Hweshio tidak mau memberi kesempatan para
perajurit untuk memasang kembali panah
mereka atau mengisi kembali bedil-bedil
mereka. Sekali goloknya berkelebat, dua korban
jatuh. Berkelebat lagi, dan tiga korban lagi
ditambahkannya. Para perajurit jadi agak kacau. Sebagian
segera meletakkan busur atau bedil mereka,
mengganti dengan tombak dan pedang untuk
mengeroyok Pun-seng Hwe-shio.
"Mana si murid durhaka In Ceng itu"!" teriak
Pun-seng Hwe-shio beringas. "Suruh si
pengecut itu keluar untuk mempertanggungjawabkan kekejamannya.!"
Seorang perwira bersenjata Kui-thau-to
(golok kepala setan) yang tebal dan berat,
segera membacok. Agaknya dia bangga akan
kekuatannya juga. Tapi begitu goloknya
membentur golok Pun-seng Hwe shio, goloknya
terpental dan menancap di tubuh seorang peraj1461
Sekali goloknya berkelebat, dua korban jatuh.
Berkelebat lagi, dan tiga korban lagi
ditambahkannya. 1462 uritnya sendiri. Si perwira sendiri jatuh
terjengkang. Sementara itu, dari atas loteng susulmenyusul melompat keluar untuk berusaha
hidup, daripada terpanggang mentah-mentah di
dalam loteng. Beberapa orang yang melompat
keluar itu langsung disambut panah atau
peluru, sehingga yang sampai ke tanah hanyalah
tubuh tidak berikut nyawanya. Setidak-tidaknya
kematian mereka berharga sebatang panah atau
sebutir peluru. Memang sangat murah, tapi
tidak gratis. Ada yang sampai di tanah dalam keadaan
hidup, namun kaki atau punggungnya patah,
sehingga mereka dengan kejam langsung
dihabisi oleh para perajurit. Namun yang
berhasil sampai di tanah tanpa kurang suatu
apapun, segera menjadi serigala-serigala
kelaparan yang secara kalap menerjang
pasukan kerajaan. Begitulah terjadi pertempuran hebat di halaman Hong-thian-lau
yang sudah menjadi obor raksasa itu.
1463 Namun ada juga orang yang tidak berani
melompat turun, lebih suka mati Seperti laronlaron. Mereka rela memberikan nyawa mereka
secara gratis kepada Yong Ceng.
Meskipun para pendekar serta Pun-seng
Hwe-shio melawan mati-matian, tetapi para
perajurit berjumlah ribuan. Maka para
pendekarpun bertumbangan satu satu.
Saat pembantaian dahsyat itu berlangsung,
Yong Ceng berada di loteng tingkat sembilan,
tingkat paling atas, dari pagoda yang
dibangunnya untuk kaum Ang-ih-kau. Didampingi Liong Ke Toh dan beberapa pelayan
yang membawa nampan makanan kecil. Sedang
para pengawalnya berjaga di bagian bawah
pagoda. Dari tempat setinggi itu, Yong Ceng dapat
melihat ke arah Hong-thian-lau. Dilihatnya
kobaran api yang begitu besar sehingga di arah
itu seakan-akan hendak terbit fajar. Tiba-tiba
Yong Ceng merasa bahwa nama Hong- thian lau
(Loteng Langit Merah) benar-benar cocok,
1464 sebab sekarang mampu mewarnai langit sesuai
dengan namanya. (Bersambung Jilid XXIV) 1465 1466 KEMELUT TAHTA NAGA Karya : STEFANUS S.P. Jilid XXIV Mata Yong Ceng bersinar-sinar, bibirnya
menyunggingkan senyuman, dan ia bergumam,
"Selamat jalan saudara-saudaraku yang
budiman. Mudah-mudahan kalian akan kerasan
di tempat kalian yang baru"
la benar-benar santai menikmati pemandangan itu, sambil makan minum. Tidak
ada yang lebih berarti baginya kecuali semakin
kokohnya kekuasaannya , dengan cara apapun.
Tidak lama kemudian, Hap Lun, Panglima
Kiu bun Te-tok, berlutut di hadapannya dan
melaporkan bahwa semua "sudah dibereskan"
sesuai dengan perintah, tidak tersisa
seorangpun. Tentang jumlah perajurit yang
tewas, Hap Lun tidak melaporkannya, sebab
1467 tahu bahwa hal itu tidak disukai Kaisar.
Perajurit kan memang digaji untuk mampus"
Yong Ceng tertawa puas mendengar laporan
itu, sedangkan Hap Lun meremang bulu
tengkuknya. Sedang Liong Ke Toh lain lagi. Dengan muka
berseri-seri ia suguhkan secawan arak ke
hadapan Kaisar, sambil berkata, "Hamba
mengucapkan selamat, Tuanku. Kini habislah
orang-orang yang selalu mengusik Tuanku
dengan tuntutan tuntutan mereka yang tidak
masuk akal. Sekali lagi, selamat, Tuanku."
Yong Ceng menerima cawan itu dan
diteguknya dengan amat puas. Kalau musuhmusuh dalam negeri sudah dibereskan , ia akan
segera memukul keluar perbatasan untuk
meluaskan wilayah. Jing-hai harus diamankan,
suku-suku di Asia Tengah harus ditundukkan
seperti jaman dinasti Tong dulu. Tibet yang cu
ma "setengah takluk" akan dibuatnya jadi takluk
sepenuhnya. Annam juga harus diberi "jeweran"
karena upetinya sering terlambat datang,
mentang-mentang sudah punya teman baru,
1468 Perancis. Makao akan dibiarkan dulu, sebab
Portugis yang bercokol disana dianggapnya
masih berguna. Setelah itu, tiba gilirannya
untuk menggasak musuh-musuh lama , Rusia di
utara dan Jepang di timur.
"Hemm,kerajaanku kelak akan lebih luas dari
yang pernah digelar oleh Jengish Khan. . . ."
Seteguk lagi ia menikmati arak-nya, lalu
kepada seorang pelayan tua yang mnnjadi jurutuIisnya, ia bertanya, "Apakah surat untuk
panglima-panglima di propinsi sudah kau
kirimkan?" "Sudah hamba kirimkan dengan penunggang-penunggang kuda tercepat, Tuanku,"
sahut si juru tulis. "Sekarang tentu sudah tiba di
tangan para panglima di propinsi-propinsi."
Yong Ceng tersenyum puas dan mengangguk-angguk. Ternyaia, pada hairi yang sama Yong Ceng
juga membuat gebrakan diseluruh negeri,
termasuk di Lia-tong wilayah asal orang-orang
Manchu sendri. Itu disebutnya "pembersihan' .
Bukan saja para pendekar penentang yang
1469 ditangkapl, juga para sastrawan atau pujangga
yang syairnya-syairnya dianggap "menggoyahkan kesejahteraan dan keamanan",
semua dibabat sekali. Di antara pujangga
terkenal yang ikut dibabat itu termasuk Lu Liu
Liang, ayah dari Lu Se Nio, sahabat karib Yong
Ceng sendiri dimasa muda. Tapi golok algojo
cuma bergerak dari atas, tak kenal sahabat atau
bukan sahabat . Perlawanan timbul, namun perlawanan yang
tidak kompak karena bergerak sendiri-sendiri,
maklumlah mereka tidak siap akan adanya
"pembersihan" itu. Sebaliknya tentang pemerintah keluar semua dengan kekuatan
penuh. Maka perlawananpun dapat dihabisi
dengan gampang. Darah tertumpah di seluruh negeri .
Namun penghancuran terbesar terjadi di
gunung Siong-san, tempat berdiri nya Kuil Siaulim-si, yang dianggap sebagai "sumber tuntutan
penghapusan diskriminasi" itu. Laksaan tentara
dikerahkan. 1470 Pun-bu Hwe-shio dan para pendeta Siau-Iimsi melawan dengan gigih, namun perlawanan itu
dipatahkan dengan makan korban jiwa
bertumpuk-tumpuk di kedua belah pihak. Lalu
api dinyalakan, Siau-lim-si habis menjadi abu,
termasuk Pun-bu Hwe-shio dan pendeta
pendeta yang bertahan di situ.
Praktis sekali cara Yong Ceng "memperabukan" gurunya dan saudara-saudara
seperguruannya. Sebagian besar pendeta-pendeLa Siau-lim-si
berhasil melarikan diri untuk menyelamatkan
kitab-kitab berharga, kitab agama maupun kitab
silat. Mereka lari ke selatan, ke kuil Siau-lim si
cabang Hok-kian. Kejutan yang dilakukan Yong Ceng itu
memang berhasil mengkocar-kacirkan perlawanan dalam negeri. Para penentang
kehilangan sebagian besar dari kekuatan
mereka, dan kekuatan yang terpecah-pecah itu
bukan lagi ancaman yang berarti melainkan
hanya gangguan-gang-guan kecil.
1471 Lalu mata serigala Yong Ceng mulai menoleh
ke Hwe-Iiong-pang. KaIau

Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siau-Iim-pai dianggap "biang keladi tuntutan tidak masuk
akal", maka Hwe-liong-pang kebagian tuduhan
"komplotan Pangeran In Te" atau "persembunyian para buronan".
* * * Hong-thian-lau sudah menjadi tempat yang
menakutkan. Disitu hanya ada puing-puing dan
mayat-mayat. Ketika malam tiba, tempat itu
menjadi seperti tidak ada orang lewat, sebab
mereka takut diganggu hantu penasaran. Orangorang yang kemarin masih berbangga bagai
"sahabat lama Si Liong-cu", sekarang
bergelempangan beku dengan malang nya.
Ketika malam makin sepi, tiba-tiba salah satu
mayat itu bergerak-gerak sedikit, lalu duduk
dan akhirnya berdiri. Terlihat lah kemudian
bentuk tubuhnya yang tinggi besar, muka hitam
dan kepala gundul. Pakaiannya sudah robek1472
robek atau terbakar api sebagian, namun masih
bisa dikenali sebaga jubah pendeta berwarna
kelabu Pun-seng Hwe-shio, Ternyata ia tidak mati.
Dalam pertempuran tadi dia roboh luka-luka,
namu lawan-lawannya mengira I asudah mati
sehingga tubuhnya tidak diusik lagi. Maka
nyawanya itu benar-benar nyawa saringan.
Begitu ia siuman, matanya disuguhi
pemandangan mengerikan di sekitarnya, dan
hidungnya dipaksa mencum bau "daging bakar"
yang tidak merangsang selera. Sebab itu bukan
daging kambing atau lembu, melainkan daging
manusia. Darah Pun-seng Hwe-shio menghangat. Ia sudah mendapat jawaban untuk
kebimbangannya selama ini. Yong Ceng sudah
menjawab. Janjinya keadilan dan kesederajatan,
yang diberikannya kematian dan kehancuran.
Ingin rasanya Pun-seng Hwe-shio mencekik
Yong Ceng malam itu juga, namun akal sehatnya
memperingatkan bahwa itu percuma. Keadaan
takkan tertolong. Yong Ceng pasti akan
berlindung di belakang barlsan pengawalnya
1473 yang berlapis-lapis. Amukan Pun-seng Hwe-shio
takkan berarti lain daripada bunuh dir i .
Akhirnya Pun-seng Hwe-shio dapat menemukan akal sehatnya. "Bukan sekarang,
tapi kelak, murid durhaka itu akan menerima
ganjarannya." Dengan badan terasa remuk, Pun-seng Hweshio berjalan tertatih-tatih meninggalkan
tempat itu. la memilih lorong-lorong yang sunyi,
kadang-kadang harus bersembunyi kalau
berpapasan dengan perajurit peronda. Dalam
keadaan tiga perempat mati seperti itu, Punseng Hwe-shio sadar bahwa seorang perajurit
yang berilmu silat paling rendah pun akan bisa
membunuhnya dengan satu bacokan saja.
Menjelang fajar, Pun-seng Hwe-shio berhasiI
menerobos keluar tembok kota Pak-khia
dengan cara merayap lewat saluran air kotor.
Tiba di luar kota, barulah ia dapat duduk
dengan tenang, berusaha memulihkan kekuatan
tubuhnya, sambil memikirkan rencana selanjutnya. "Aku harus kemball ke Siong-san
1474 unfuk memberitahu kepuda Pun-bu Su-heng
bahhwa Yong Ceng tidak bisa diharapk lagi."
Sama sekali ia belum tahu bahwa kuil itu
juga sudah jadi abu bersama Pun-bu Hwe-shio
dan ratusan pendeta lainnya. Hari kejadiannya
sama dengan hari pembantaian di Hong-thianlau. Pada saat Hong-thian-lau menjadi obor
raksasa, hari itu juga kuil Siau-lim-si menjadi
crematorium raksasa. Ketika kemudian Pun-seng Hwe-shio mulai
berjalan lagi, ia melihat di sepanjang jalan
banyak didirikan pos-pos pengawasan yang
dikawal ketat. Orang-orang yang berlalu-lalang
diperiksa, yang mencurigakan langsung
ditangkap. Rupanya Yong Ceng ingin
"pembersihan" nya benar-benar berhasil, tidak
setengah-setengah. Pun-seng Hwe-shio tidak berani lewat jalan
besar, itu sama saja dengan mencari penyakit. la
berjalan menyusup nyusup hutan, menyusuri
ladang-ladang dan jalan setapak, menuruni dan
merambat naik lereng-lereng berbatu tajam
Akhirnya ia memasuki wilayah Ho-lam.
1475 Firasatnya semakln tidak enak karena dekat ke
Siong-san, terlihat penjagaan tentara kerajaan
yang semakin ketat. Di mana-mana yang
kelihatan hanyalah orang-orang berseragam
merah biru yang kepalanya memakai capingcaping berhias benang merah, tangan
memanggul tombak atau pedang.
Karena dorongan rasa ingin tahunya, ia
memutuskan untuk masuk kota Teng-hong
untuk mencari keterangan, yang sedikit
menyerenpet bahaya. Dengan menyamar
sebagai seorang bungkuk yang kepalanya
memakai caping petani. ia tertatih-tatih
mendekati pintu gerbang kota Teng-hong yang
dijaga sekelompok perajurit bersenjata lengkap.
Ternyata perajurit-perajurit itu cerdik juga
menggunakan kesempatan. Asal kelihatan ada
seorang lewat yang nampaknya berduit, orang
itu segera dihentikan dan dituduh "dicurigai
sebagai pemberontak" dan diancam masuk
penjara. Daripada masuk penjara, orang-orang
itu lebih suka merogoh kantorg untuk menyuap
para penjaga, lalu rereka dibiarkan lewat,
1476 dengan demikian "pembersihan" yang dilakukan Yong Ceng itu pun memberikan
tambahan rejeki kepada para prajurit.
Orang lewat yang kelihatannya tak berduit.
Dibiarkan lewat begitu saja. Meskipun tetap
diawasi dengan tajam. Dari mereka, apanya
yang bias diperas." Sambil berjalan, diam-diam Pun-seng Hweshio menghitung, bahwa untuk beberapa tahun
mendatang, kekuasaan Yong Ceng akan tetap
kokoh. Lalu Pun-seng Hwe-shio ingat seorang
murid Siau-lim-pai lainnya, Ni Keng Giau, yang
menjadi Panglima Tertinggi Kekaisaran.
Mungkinkah Ni Keng Giau kelak bias dibujuk
berbalik melawan Yong Ceng. Ataukan Ni Keng
Giau jangan-jangan sudah sama busuknya
dengan kakak seperguruannya."
Pun-Seng Hwe-Shio melihat keadaan kota
Teng-hong jauh lebih sepi dari biasanya. Banyak
pintu tertutup rapat. Ada juga warung yang
buka, namun pengunjungnya sedikit sekali.
Orang-orang di jalan juga sedikit. Kota itu
dicekam ketakutan. 1477 Tengah Pun-Sen Hwe-shio mencari-cari
orang yang bias diminta keterangan, tiba-tiba
dari ujung jalan Nampak seseorang yang
berlari-lari kencang dengan diburu sekelompok
perajurit. "He, maling dari Siau-lim-si, kembalikan rot
yang kau curi!" teriak perajurit-perajurit itu.
Hati Pun-sen Hwe-shio jadi panas, mana ada
orang Siau-lim-si mencuri roti" Namun ketika ia
memperhatikan orang yang diburu itu, alangkah
terkejutnya. Ia berjalan sempoyongan sambil
menggerogoti sepotong roti murahan dengan
rakusnya. Keliatan memang betul-betul kelaparan. Yang mengejutkan, karena orang itu
memakai jubah pendeta Siau-lim-s- biarpun
sudah kotor dan robek-robek, dan Pun-Sen
Hwe-shio mengenalnya sebagai Hian-tong Hweshio, murid mendiang Pun-hoat Hwe-shio, adik
seperguruan Pun-seng Hwe-shio. Jadi benarbenar ada seorang pendeta Siau-lim-pai
nyolong roti! Agaknya Hian-tong Hwe-shio tidak kuat
berlari lagi. la tersusul. Seorang perajurit
1478 menyerampang kakinya dengan tangkai tombak
sehingga Hian-tong Hwe-shio terguling, rotinya
yang sudah berkurang beberapa gigitan itu
terlepas dan jatuh di jalanan yang berdebu.
Namun Hian-tong Hwe-shio mati-matian
berusaha meraih kembaIi roti itu. "Gaya" nya itu
sungguh merupakan pemandangan tidak sedap
di mata Pun-seng Hwe-shio sampai bertingkah
macam itu" Lebih heran lagi, karena perwira yang
memimpin pengejaran itu juga dikenalnya
sebagai bekas murid Siau-lim dari golongan
bukan pendeta, namanya The Yan Ki. Dulu ia
bersikap hormat kepada pendeta-pendeta Siaulim-si, kenapa sekarang sikapnya begitu kasar"
Dalam benak Pun-seng Hwe-shio tiba-tiba
muncul perasaan tajam, mungkinkah wihara
Siau lim-si sudah menjadi Hong-thin-lau kedua"
Biarpun tubuhnya digebuki dan ditendangi,
Hian-tong Hwe-shio tetap mati-matian berusaha meraih roti itu.
The Yan Ki itulah yang paling ber semangat
menghajar, "Anjing gundul, kuilmu sudah ditum
1479 Agaknya Hian-tong Hwe-shio tidak kuat berlari
lagi. la tersusul. Seorang perajurit menyerampang
kakinya dengan tangkai tombak sehingga Hian-tong
Hwe-shio terguling 1480 pas, kau masih juga berani berkeliaran mencuri
makanan?" Pun-seng Hwe-shio terkejut mendengar
ucapan itu. Lupa akan penyamaran-nya, tibatiba ia melompat maju dan sekali cengkeram
saja tubuh The Yan Ki telah diangkatnya
terkatung-katung di udara. Sambil mengguncang-guncang tubuh itu, ia bertanya
dengan bengis, "Coba ulangi kata-karamu tadi ,
kuil mana yang sudah ditumpas dan oleh
siapa?" Bukan main kagetnya The Yan Ki karena
uwa-guru yang paling ditakutinya itu tiba-tiba
muncul di hadapannya dan langsung bersikap
sebengis itu. la bingung untuk menjawab.
Mengetahui watak Supeknya yang berangasan,
ia khawatir kalau menjawab terang-terangan
akan langsung dibanting mampus di tempat i-tu
juga. Sementara itu, melihat munculnya Pun-seng
Hwe-shio, lupalah Hian-tong Hwe-shio akan roti
yang "diperjuang-kan" nya sejak tadi. la
menangis dan berkata serak, "Supek, kuil kita
1481 telah dibakar habis oleh tentara kerajaan! Punbu Supek dan ratusan pendeta lainnya ikut
tewas! The Yan Ki ikut membakar dan
menghancurkan kuil!"
Hian-tong Hwe-shio tak sempat meneruskan bicaranya, sebab seorang perajurit
membacoknya mampus tanpa ampun.
Pun-seng Hwe-shio terlongong tak percaya
mendengar ucapan Hian-tong Hwe shio
sebelum mati tadi. Namun sesaat kemudian,
kesedihan dan kemarahanlah yang menguasai
dirinya. Tubuh The Yan Ki diguncangnya
semakin keras, dan pertanyaannya memekakkan telinga, "Benar-kah itu" Benarkah
itu !": Bibir The Yan Ki bukan merah namun putih,
karena takutnya, namun suaranya masih keluar
juga, "Su.......pek, sabar.... aku.... aku hanya
menjalan-kan tu.... tugas dan Supek, jangan!"
Itu teriakan terakhir The Yan Ki. Pun-seng


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hwe-shio dengan kalap memegang sepasang
kaki The Yan Ki lalu dipentangnya kuat-kuat.
Separuh tubuh The Yan Ki dilempar ke utara,
1482 separuh-nya lagi ke selatan, sedang tubuh Punseng Hwe-shio sendiri mandi darah sehingga
tampangnya menyeramkan sekali.
Perajurit-perajurit lainnya menjadi ngeri.
Ketika Pun-seng Hwe-shio melangkah mendekati mereka, mereka lebih suka kabur
ketakutan. "Orang gila"Orang gila!" teriak mereka.
Pun-seng Hwe-shio sendiri memang sudah
diambang kegilaan karena peristiwa-peristiwa
yang dialaminya berturut-turut.
la mengejar perajurit-perajurit yang ketakutan itu. Dua perajurit yang paling
belakapg berhasil disambar dan kepala mereka
dibenturkan satu sama lain sehingga retak.
Masih belum puas, ia mengejar kencang dan
satu perajurit lagi berhasil diringkusnya, lalu
dilemparkan ke atas sekuat tenaganya. Tubuh
malang itu melayang sampai melewati atap
rumah di pinggir jalan, terhempas di bagian lain
dalam keadaan patah. Tengah Pun-seng Hwe-shio mengamuk,
muncullah empat orang berseragam pengawal
1483 gubernuran Ho-lam. Merekalah jagoan-jagoan
pilihan yang tanpa gentar segera mengurung
Pun-seng Hwe-shio Dua orang dari mereka bertubuh pendek
sekali, sehingga ketika berhadapan dengan Punseng Hwe-shio, mereka jadi kelihatan seperti
sepasang anak kucing yang manis berdiri di
hadapan seekor beruang raksasa.
Namuh mereka bukan kucing-kucing jinak,
melainkan dua bersaudara Ki Ki-ong dan Ki
Beng yang dijuluki Siang-sat-ai-jin (Sepasang
Manusia Pendek Yang Kejam). Tangan kanan
masing-masing memegang sabit beracun,
tangan kiri mereka berkuku panjang-panjang
dan beracun pula. Tanpa gentar mereka menghadang Pun-seng
Hwe-shio. "Kau pendeta Siau-lim-si?" tanya Ki Kong
dengan mata yang berkedip-kedip "lucu".
Seperti anak-anak kecil saja mereka, namun
bagi yang sudah mengenal kekejaman mereka
berdua, mereka tidak kelihatan lucu lagi.
1484 "Benar!" sahut Pun-seng Hwe-shio menggemuruh. "Siapa yang membakar kui itu"!"
Jawaban Ki Beng melenceng jauh dari
pertanyaannya, "Kau harus mampus!"
Lucu juga orang bertubuh kecil itu
menggertak Pun-seng Hwe-shio yang tinggi
besar. Namun mereka berdua bukan cuma
menggertak, juga langsung turun tangan.
Kedua orang pendek itu bergerak serempak
dan alangkah cepatnya serangan mereka.Ki
Kong meluncur untuk membabat sepasang kaki
Pun-seng Hwe-shio dengan sabit beracunnya,
sementara kuku-kuku tangan kirinya mencengkeram keselakangan Pun-seng Hweshio. Sedangkan Ki Beng melompat untuk
menyabit leher dan mencakar mata.
Ketika Pun-seng Hwe-shio mengelak
mundur, Ki Beng tiba-tiba meluncur turun
untuk mengincar lambung si pendeta dengan
sabitnya. Ki Kong merendahkan tubuhnya,
kelihatan hendak menyerang bagian bawah,
namun tiba-tiba melompat keatas untuk
1485 membacok kepala. Begitulah serangan mereka
berganti-ganti arah dan serba tidak terduga.
Kembali Pun-seng Hwe-shlo mendoyongkan
tubuh. Namun ketika sepasang manusia kerdil
iiu hendak menyusun serangan ketiga, Pun-seng
Hwe-shio mendahului menyerang dengan
sabetan telapak tangan ke lambung Ki Kong
yang tengah melayang. Kim-kong-sau-hong (Si
Malaikat Menyapu Puncak Gunung) .
Menghadapi serangan bulasan, Ki Kong dan
Ki Bong tetap bekerja dengan rapi. Mereka
berlompatan berpental ke kiri kanan, yang satu
mencoba memecah perhatian, yang lainnya
hendak membuka serangan dari arah lain.
Tetapi sekali Hong-gu-kun-hoat (Silat
Kerbau Gila) Pun-seng Hwe-shio "dibuka", maka
serangannya mengalir bagaikan bendungan
jebol. Itulah jurus-jurus yang hanya menyerang
dan memaksa lawan memperhatikan keselamatan diri nya leblh dulu.
Semakin deras serangan Pun- seng Hwe-shio,
semakin pecah kerja-sama kedua saudara itu.
1486 Kini mereka kebingungan harus melindungi
nyawanya sendiri-sendiri.
Memang, sedikit saja tubuh Pun-seng Hweshio tergorcs sabit atau kuku dua saudara Ki itu,
Itu alamat Pun-seng Hwe-shio bakal mampus.
Tapi kedua saudara Itu sulit mendapat
kesempatan itu, setiap kali merekalah yang
terancam oleh pukulan yang dapat mencopot
kepala ataupun tulang rusuk berantakan. Maka
pontang-pantinglah sepasang manusia kejam
menyelamatkan hidupnya. Namun dipihak musuh masi ada dua jagoan
lagi. Seorang yang berdandan sebagai Tojin
(imam), menanti kesempatan baik, lalu ia tibatiba melompat tinggi untuk menyabetkan
senjatanya yang berupa hud-tim (kebut
pertapa) Lebih dulu Pun-Seng Hwe-shio mendesak
sepasang manusia pendek sampai kocar-kacir,
bahkan Ki Beng sampai terguling-guling dengan
wajah pucat karena pundaknya terserempet
tinju si pendeta yang seberat gunung runtuh itu.
1487 Kemudian Pun-seng Hwe-shio melompat
menyongsong si To-jin dengan dua tinju
dijotoskan sejajar dengan tipu Siang-Iiong-juthai .(Sepasang Naga Keluar Dari Lautan) .
Si To-jin kaget sekali, karena serangannya
dibarengi serangan pula. Karena tubuhnya
tengah meiayang, tak ada kesempatan
menghindar lagi, tukar-menukar serangan
terjadi di tengah udara. Bulu-bulu hud-tim si
To-jin memecahkan baju di pundak Pun-seng
Hwe-shio, sebaliknya sepasang tinju Pun-seng
Hwe-shio bersarang telak di dada si Tojin .
Si hwe-shio merasa pundaknya seperti
digigit nyamuk, sebaliknya si To-jin merasa
dadanya dijatuhi batu sebesar kerbau dari
langit. Tubuh si Tojin langsung jatuh dan
meringkuk di tanah seperti seekor udang.
Selesai dalam segebrakan .
Pun-seng Hwe-shio kemudian dengan kalap
menerjang ke arah jago gubernuran yang satu
lagi. Orang itu tinggi besar, berjenggot panjang,
matanya besar mencorong, mukanya merah,
senjatanya golok Koan-to, sehingga ia mirip
1488 Koan Kong dalam cerita Sam-kok. Hanya nyali
nya saja yang tidak sama dengan Koan Kong,
semuanya sudah sama. Melihat Pun seng Hweshio melangkah ke arahnya, buru-buru
diletakkannya senjatanya, lalu ia berjongkok
sambil memeluk kepalanya dan meratap-ratap,
"Ampun Toa-suhu! Ampun Toa-suhu!"
Pun-seng Hwe-shio jadi kasihan, maka orang
itu hanyalah dibentaknya sehingga lari terbiritbirit. Sedangkan dua saudara Ki juga sudah
kabur. Begitulah empat jagoan gubernuran Holam itupun dipukul mundur semua, kecuali si
To-jin yang tidak bisa mundur kalau tidak di
gotong. Namun ratusan perajurit. kemudian muncul
mengepung tempat itu. Bagaimana pun
tingginya kepandaian Pun-seng Hwe-shio, dia
tidak akan bisa menerobos kepungan rapat itu,
biarpun seandainya ia dapat membunuh banyak
lawan. Tetapi pendeta itu rupanya sudah nekad,
dengan matanya yang liar ia menatap perajurItperajurit yang mengepungnya.
1489 Perajurit-perajurit yang paling depan
menjadi ngeri melihat tatapan mata itu. Begitu
sang komandan menyuruh menyerang, orangorang paling depanlah yang akan mati paling
dulu. "Lepaskan panah!" teriak sang komandan .
Perintah itu setidak-tidaknya lebih ringan
daripada kalau disuruh maju dalam pertempuran jarak dekat mengha-dapi lawan
yang demikian menakutkan.
Ratusan batang panah dan lembing segera
dihujankan ke tubuh Pun-seng Hwe-shio.
Pendeta itu menyambar sebatang lembing
untuk segera diputar kencang, menangkis
semua Panah dan lembing. Untunglah di antara perajurit itu tidak ada
yang membawa bedil. Rupanya Yong Ceng
khawatir kalau pasukan di daerah terlalu kuat
akan membahayakan pemerintah pusat, maka
pasukan di propinsi-propinsi tidak diperkenankan mempunya bedil. Hanya
pasukan di Ibukota serta pasukan yang sedang
1490 berperang sajalah yang boleh memanggul
senjata api itu. Biarpun tidak ada bedil, toh hujan panah dan
lembing yang tak habis-habisnya itu membuat
Pun-seng Hwe-shio lama-lama tangannya
pegal.karena harus menangkis terus. Ketika
gerakannya kendor sedikit saja, sebatang panah
menancap di lengan kirinya.
"Keparat busuk!" teriaknya, biarpun ia
seorang pendeta. Tapi Pun-seng Hwe-shio belum ditakdirkan
mati hari itu. Ketika hampir saja ia kehabisan
tenaga, muncul seorang pendeta tua dari atap
rumah dipinggir jalan, turun ke dekat Pun-seng
Hwe-shio. Hwe-shio itu beralis putih panjang,
begitu juga kumis dan jenggotnya, wajahnya
tidak garang seperti Pun-seng Hwe-shio,
bahkan Nampak lembut. Wajahnya lebih lembut, namun ilmunya
justru lebih hebat dari Pun-seng Hwe-shio.
Sepasang lengat jubahnya yanglebar itu
melambai seperti sepasang bendera, namun
menimbulkan guncangan udara yang menyapu
1491 rontok berpuluh-puluh panah dan lembing.
Padahal lembing-lembing itu cukup berat
bobot-nya, namun kini tersapu seringan batang
batang jerami dihembus angin.
Melihat siapa yang datang itu, Pun-seng
Hwe-shio berseru dengan perasaan meluapluap, "Suheng... kuil kita ..... telah...... telah......"
Penolong itu bukan lain adalah Pun-khong
Hwe-shio yang terkenal dalam Tai - lik-kimhong-ciang (Tangan Malaikat Berkekuatan
Besar). Dikalangan persilatan, hanya ada
beberapa gelintir orang yang sanggup
menghadapi pukulannya. "Aku sudah tahu," jawab Pun-khong Hweshio tenang. "Cepat kita pergi dari sini...." Sambil
bicara, sepasang lengan jubahnya kembali
"berkibar" menerbitkan taufan dahsyat.
Beberapa perajurit yang berdiri agak dekat
bahkan terguling roboh, sementara debu terang
kat naik menutupi pemandangan.
Namun tidak gampang lolos dari kepungan
perajurit yang begitu banyak. Atas perintah si
komandan, para perajurit kini nekad menyerbu
1492 dengan pedang dan tombak, bukan lagi sekedar
melemparkan panah atau lembing.


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sadar akan kemarahan adik-sepergu
ruannya, Pun-khong Hwe-shio membisiki Punseng
Hwe-shio, "Sebisa-bisanya hindari
pembunuhan Sute,jangan manjakan dendammu.
Mereka hanya orang-orang yang diperintah,
sedang yang paling bertanggung-jawab jauh ada
di Pak-khia sana....."
Hampir saja Pun-seng Hwe-shio membantah
bahwa para perajurit itupun telah memeras dan
menggebuki rakyat. Namun ia tidak sempat
berbantahan lagi, sebab ujung-ujung senjata
telah mengerumuninya dari segala jurusan.
Kedua pendeta tua itu kemudian bertempur
dengan hebat untuk mencari jalan keluar. Punkhong Hwe-shio dengan sepasang lengan
jubahnya membuat barisan perajurit tumpang
tindih. Pun-seng Hwe-shio mencoba memenuhi
anjuran kakak seperguruannya untuk tidak
membunuh, lembing rampasannya tidak
digunakan untuk menusuk, melainkan "Hanya"
menggebuk. Tetapi "hanya" untuk ukuran Pun1493
seng Hwe-shio jauh bedanya dengan "hanya"
nya orang lain. Banyak prajurit roboh, tidak
mati, namun patah tulang rusuknya atau remuk
pundaknya atau muntah darah dan seumur
hidup menderita sesak napas.
Saat itu, kembali dua orang kakek kakek
seolah melayang turun dari langit, ke tengahtengah para perajurit, dan mereka langsung
merobohkan banyak orang dengan totokantotokan kilat mereka. Kehebatan mereka tak
perlu diherankan lagi, sebab merekalah Ketua
Hwe-liong-pang Tong Lam Hou dan si bek.as
panglima Hui- liong-kun Pak KiongLiong.
Dengan munculnya mereka, biarpun pasukan
itu jumlahnya dilipatkan dua juga takkan
berhasil membendung mereka. Berturut-turut
mereka berempat melompat ke atas genteng,
lalu kabur bagaikan terbang ke arah luar kota
Teng-hong. Para perajurit melongo melihat
empat orang itu, seolah empat dewa yang
terbang saja. Ada "dewa taufan", "dewa api",
"dewa salju" dan satu "dewa muka hitam" yang
tenaganya hebat sekali. 1494 Tiba di tembok kota, Tong Lam Hou Pak
Kiong Liong dan Pun-khong Hwe-shio segera
melompat turun dengan ringan-nya. Tapi Punseng Hwe-shio yang bertubuh berat dan tidak
ahli dalam ilmu meringankan tubuh, tidak
berani melompat begitu saja dari tempat
setinggi itu. la copot jubahnya yang lebar untuk
dipegang keempat sudutnya, ialu melompat
turun dengan "parasut" darurat itu. Maka
biarpun ia sempoyongan sampai ketanah, tetapi
tidak usah harus patah kak i nya.
Di luar kota, mereka bergabung dengan In
Tong serta tiga murid Siau-lim pai yang tadinya
mengikuti Pun-khong Hwe-shio. Merekalah CiSian Ci-Hian dan Ci-seng Hwe-shio. Tadinya
mereka lima orang, namun yang dua orang
sudah tewas di kota Yu-pin, menjadi korban
Hiat-ti-cu . Tiba di sebunh bukit belukar di luar kota
Teng-hong, barulah mereka berhenti berlari.
Luka-luka Pun-seng Hwe-shio juga mulai
diobati. 1495 Di tempat itulah Pun-seng Hwe-shio
bercerita tentang apa yang terjadi di Hong-thi
an-lau, tanpa ada yang ditutup-tutupi lagi. Yong
Ceng yang selama ini diharapkan oleh pihak
Siau-lim-pai untuk menjadi raja yang baik,
malahan menjadi raja yang amat bengis. Siaulim-pai membayar mahal untuk kesalahan
perhitungan ini. Maka ketika Pak Kiong Liong kemudian
mengajak agar para pendeta Siau-lim-pai itu
mendukung Pangeran In Te saja, para pendeta
itu ragu-ragu. Mereka dulu sudah tertipu oleh
Yong Ceng, kini mereka khawatir tertipu lagi
oleh In Te. Maka mereka menolak ajakan Pak Ki ong
Liong itu, dengan alasan akan lebih dulu
mencari murid-murid Siau-lim-pai yang lari
tercerai-berai itu, untuk dikumpulkan lagi .
Pak Kiong Liong paham bahwa alasan itu
hanya dibuat-buat, para pendeta itu rupanya
takut akan terkecoh untuk kedua kalinya.
Namun urusan pendirian masing-masing, Pak
1496 Kiong Liong tidak bisa memaksa mereka untuk
sependapat dengannya. Malah, dalam suatu kesempatan berbicara
empat mata, Pun-khong Hwe-shio memperingatkan Tong Lam Hou agar hati-hati
dalam sikapnya mendukung In Te, juga harus
hati-hati terhadap murid-nya, In Tong. Menurut
Pun-khong Hwe-shio, bagaimanapun Yong Ceng,
In Tong dan In Te berasal dari "satu cetakan"
sehingga barangkali saja punya kesamaan
dalam watak buruk. Namun Tong Lam Hou hanya tertawa saja
mendengar peringatan itu. la anggap pendeta
tua itu sedang amat kecewa terhadap Yong
Ceng, sehingga mencurigai pula semua saudarasaudaranya Yong Ceng. Lalu Tong Lam Hou
menjelaskan bahwa In Tong adalah "murid yang
baik", sedang sifatnya yang agak kejam itu "bisa
dimaklumi" akibat pernah disiksa dalam
penjara. Nanti sifat-sifat buruk itu perlahanlahan agar dihapuskan.
Pun-Khong Hwe-shio akhirnya hanya bias
menarik manarik napas menghadapi kekukuh1497
an sikap ketua Hwe-liong-pang itu. la hanya
berharap agar kelak Hwe-liong-pang jangan
sampai mengaIami nasib seburuk siau-lim-pai.
"Dulu kami sudah tertipu oleh Yong Ceng"
pikirnya. "Apakah Pak kiong Goan-swe kelak
juga akan terkecoh oleh In Te, dan Tong Pangcu
oleh In Tong" Betapa sulitnya meyakinkan
mereka. Tapi bukakah dulu kami juga sulit
mengubah pandangan terhadap Yong Ceng"
Pun-hoat Sute malah sampai membunuh diri di
depan Tong Pangcu hanya untuk mencegah
perjalanannya ke Pak-khia. Apakah kami yang
tua-tua ini harus selalu dikecoh oleh anak-anak
istana itu?" Sementara itu, karena mengkhawatirkan
keadaan Hwe-liong-pang, maka Tong Lam Hou,
Pak Kiong Liong dan In Tong segera berpamitan
dari pendeta-pendeta Siau-lim-si itu pulang ke
Tiau-im-hong. Beberapa hari kemudian, ketiga orang itu
sudah masuk ke propinsi Se-cuan. Pemandanganpun mulai berubah. Kalau di
wilayah tengah banyak gunung dan lembah,
1498 maka di Se-cuan banyak dataran rumput luas.
Daerahnya subur, sehingga dijuluki "gudang
beras" namun sekaligus "gudang malapetaka".
Kenapa" Sebab dalam tiap perebutan
kekuasaan, gudang beras ini lalu dijadikan
rebutan oleh pihak-pihak yang berperang.
Ketika itu, Tong Lam Hou bertiga sedang
berjalan perlahan lewat sebuat jalan kecil yang
sepi. Di sebelah kanannya ada tebing yang
hamper tegak lurus, kerapun sulit memanjat ke
atas. Sedang di sebelah kiri adalah tebing
Sungati Bu-sia yang curam. Sungai itu kecil saja,
namun kalau orang sampai terjerumus ke situ
pastilah mampus. Bukan mati tenggelam, tapi
mati karena tubuhnyahancur oleh batu-batu
tajam di dasar sungai atau di permukaan tebing.
Maka biarpun gemericik sungai Bu-sia
terdengar merdu. Tak ada yang berselera untuk
menjenguknya ke bawah karena takut
tergelincir. Tengah ketiga orang itu berjalan enak-enak,
tiba tiba dari sebelah depan terdengar teriakan
"Tolong.........tolong....."
1499 Ketiganya segera bergegas ke arah suara itu.
Maka terlihatlah seseorang bergelantungan di
tebing sungai Bu-sia. Seorang yang agaknya
tukang mencari kayu, sebab di pinggir jalan ada
seonggok kayu bakar dan sebuah kampak.
Rupanya orang itu berjalan kurang hati hati dan
tergelincir, untung tangannya sempat menyambar sebatang pohon untuk bergantung.
Tetapi pohon itupun semakin melengkung oleh
beban tubuhnya, nampaknya sebentar lagi akan
patah. "Biar kutolong dia," kata Tong Lam Hou.
Namun Pak Kiong Liong merasa was-was,
mencurigai orang itu. Hanya saja ia tidak
memberitahukan kepada Tong Lam Hou, sebab
sahabatnya itu terlalu polos, sehingga
peringatannya tentu takkan digubris. Tong Lam
Hou terlalu gampang mempercayai orang,
apalagi orangnya kelihatan menderita.
Karena Pak Kiong Liong mengkhawatirkan
sahabatnya itu, maka ia mendahului Tong Lam
Hou dan berkata, "Biar aku saja yang
1500 menolongnya. A-hou. Kau waspada saja
keadaan sekitar sini...."
Tong Lam Hou pikir sama saja apa-kah
dirinya yang menolong orang itu atau Pak Kiong
Liong, pokoknya orang itu tertolong. Namun ia
geli juga mendengar pesan Pak Kiong Liong
untuk waspada, ia anggap Pak Kiong Liong
sudah kejangkitan penyakit orang-orang Pakkhia yang selalu berprasangka kepada siapapun.
Sementara itu Pak Kiong liong dengan hatihati juga menuruni tebing sungai itu untuk
mendekati si tukang kayu. Makin dekat dan
makin jelas melihat, makin curigalah Pak Kiong
Liong. Pakaian orang itu memang pakaian orang
desa, namun matanya tajam berkilat-kilat. KuIit
tubuhnya tidak gelap kasar seperti umumnya
orang sederhana yang berada di bawah terik
matahari setiap hari, melainkan halus namun
kekar. Dilihatnya pula, pohon kecil tempatnya
bergantung itu memang melengkung-lengkung,
tapi tidak kelihatan hendak patah, menandakan
orang itu mampu menguasai berat badannya
1501 dengan baik. Ini benar-benar tukang kayu
istimewa. Sesaat setelah dekat, Pak Kiong Liong
mengulurkan tangannya sambil berkata,
"sahabat, peganglah tanganku"."
"Terimakasih," sahut si tukang kayu dengan
terengah-engah yang dibuat-buat. "Siapakah
tuan ?" Pak Kiong Liong berbohong untuk mencoba
bagaimana reaksi orang itu, "Aku Tong Lam Hou
dari Tiau-im-hong"."
Bibir si "tukang kayu" tiba-tiba menyeringai
kejam, "Terimakasih atas pertolonganmu?"
Tangannya menyambut uluran tangan Pak
Kiong Liong, namu dengan cengkraman amat
kuat yang langsung mengarah ke urat nadi yang
melumpuhkan. Andaikata yang bertindak menolong tadi
adalah Tong Lam Hou. Pasti sudah masuk
perangkap. Bukan karena ilmunya rendah,
namun karena tidak berprasangka apapun.
Namun Pak Kiong Liong sudah waspada sejak
1502 semula, tenaga dalama Hwe-Liong-sin-kang
dikerahkan sampai keujung jarinya.
Si "tukang kayu" berhasil mencengkram
keras tangan itu, namun kemudian ia menjerit
kaget dan buru-buru menarik tangannya
kembali. Rasanya seperti memegang sepotong
besi merah habis dibakar. Sekaligus ia sadar
bahwa perangkapnya sudah terbongkar. Ia
lepaskan peganganya dan tubuhnya meluncur
turun ke sungai Bu-sia, tapi tidak hancur
terhempas karena bagaikan seekor burung saja
kakinya menjejak-jejak tebing dan sampi
dibawah dengan ringannya.
"Hem, dia sebenarnya ingin mencelakai Ahou," piker Pak Kiong Liong lalu tubuhnyapun
meluncur turun tidak kalah pesatnya utuk
membekuk orang itu. Dari atas tebing, Tong lam Hou dan In Tong
menyaksikan kejadian itu Tong Lam Hou
menarik napas, "Hem, memang aku yang


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gegabah, hamper saja aku yang menjadi korban
perangkap tadi. 1503 Sementara itu, dari tepian Sungai Bu-sia
yang tak terlihat dari atas tebing, telah
terdengar bentakan-bentakan orang bertempur.
Agaknya Pak Kiong Liong tidak cuma
menghadapi satu orang, melainkan tiga atau
empat orang. Kata Tong Lam Hou, "In Tong, kita harus
membantu pamanmu itu, ayo kita turun ...
Sementara In Tong sendiri tengah tergoda
oleh bisikan yang semakin keras dalam hatinya,
"Inilah peluang emasmu. Inilah peluang
emasmu. Inilah." Tiba-tiba dari atas tebing di sebelah kanan
jalan itu gemuruhlah suara dua buah batu besar,
sebesar kerbau bunting, meluncur ke arah guru
dan murid itu. "In Tong, awas!" dalam detik-detik
berbahaya itu Tong Lam Hou tetap
mencemaskan nasib muridnya, ditariknya In
Tong masuk ke sebuah cekungan tebing yang
cukup aman, lalu Tong Lam Hou sendiri
mengerahkan seluruh kekuatannya untuk
1504 memukul batu-batu yang nyaris meremukkannya itu. Batu-batu itu berbobot ratusan kati, lagipula
meluncur dari atas sehingga kekuatannya hebat
sekali. Namun Tong Lam Hou tidak
memukulnya secara langsung, melainkan
memotong dari samping hanya untuk
mengubah sedikit arahnya. Kedua buah batu
itupun menggelundung masuk Sungai Bu-sia
dengan suara gemu ruh. Selagi perhatian gurunya terpusat keatas
tebing, menunggu serangan berikutnya, diamdiam tangan In Tong merogoh kedalam
jubahnya dan mengeluarkan sepucuk pistol
buatan Portugis. Pistol yang tiap hari
diminyakinya, di ganti bubuk mesiunya dan
diisi peluru agar kalau tiba saatnya digunakan,
tidak akan mengecewakan. Hanya ada satu
peluru, dan tidak boleh gagal....
In Tong yang berada tepat di belakang
gurunya itu menyembunyikan pistol di bawah
lengan jubahnya yang lebar. Lalu jari nya
menarik pelatuknya. 1505 Batu-batu tadi memang tidak meng-gelundung
sendiri, tetapi digelundungkan oleh dua orang
anggota Hiat-ti-cu yang memang ditugaskan untuk
membunuh Ketua Hwe-liong-pang.
1506 Batu-batu tadi memang tidak menggelundung sendiri, tetapi digelundungkan oleh
dua orang anggota Hiat-ti-cu yang memang
ditugaskan untuk membunuh Ketua Hwe-liongpang.
Dua orang di atas tebing itu kecewa bahwa
Tong Lam Hou selamat dari lemparan batu
mereka. Tapi mereka terke-ut ketika
mendengar dari jalan kecil itu ada suara
ledakan senjata api. Lalu terlihat tubuh Ketua
Hwe-Iiong-pang itu jatuh tertelungkup dengan
punggung berlubang oleh peluru, namun
penembaknya tidak nampak dari atas tebing,
karena berada cekungan di bawah tebing.
Kedua Hiat-ti-cu di atas tebing itu saling
berpandangan, yang satu bertanya, "Siapa yang
menembaknya?" "Mungkin salah satu dari teman kita"
"Bagus, tugas kita kali ini benar benar sukses
Hwe-liong-pang tanpa Tong Lam Hou akan
seperti ular tanpa kepala."
1507 "Ayo kita turun dari jalan tadi, untuk
membantu teman-teman kita membantai Pak
Kiong Liong. Kita beruntunq sekali hari ini."
Di jalan kecil itu, biarpun hanya habis
menarik sebuah pelatuk yang begitu kecil,
namun In Tong merasa tenaga-nya terkuras
habis. Itu bukan lain karena ketegangannya.
Dilihatnya tubuh gurunya tertelungkup tak
bernyawa. Sekilas ada juga kenangannya selama
menjadi murid Ketua Hwe-liong-pang itu.
Gurunya selalu menyayanginya, menurunkan
ilmunya dengan tekun, memperhatikan
kemajuan ilmunya. Dan kini ia menarik pelatuk
pistolnya justru di saat gurunya sedang
melindunginya dari batu batu yang jatuh dari
atas tebing. Mata In Tong basah juga sedikit, gumamnya
lirih, "Maafkan aku, Suhu, semua ini kulakukan
demi cita-citaku. Kalau aku menjadi Kaisar
kelak, akan kubangun sebuah kuil termegah di
negeri ini untuk menghormati arwah suhu.."
Memang lebih gampang membangunkan
monumen untuk seorang pahlawan setelah
1508 mati, daripada menghargainya selagi masih
hidup. Nasib Tong Lam Hou ternyata sama
dengan nasib sahabatnya, Pun-bu Hwe-shio,
dikhianati murid-murid terpercayanya. Tong
Lam Hou hanya "sedikit lebih beruntung" dari
Pun-bu Hwe-shio karena akan dibangunkan kuil
termegah buat arwahnya....
Setelah ia tenang kembaIi, diangkatnya
tubuh gurunya untuk dibawa ke Tiau-im-hong
yang tidak jauh lagi. Pistolnya dibuang ke
sebuah jurang. Sambil berjalan, otaknya mulai
mengarang cerita apa yang akan dikatakannya
kepada orang-orang Hwe-liong-pang nanti.
la berjalan terus, tak peduli di bawah Sana
masih kedengaran suara pertempuran yang
seru. la harapkan Pak Kiong Liong mampus saja,
namun kelak ia takkan membuatkan kuil
untuknya, malah di atas kuburannya,akan
dibangun kakus umum untuk para gelandangan.
Bencinya kepada pamannya itu meresap sampai ke tulang sungsum.
In Tong yang membawa mayat Tong Lam
Hou itupun tiba di markas Hwe-liong-pang
1509 sambil menangis, dan disambut dengan
tangisan pula. Dengan suara "amat sedih" (sebenarnya ia
memang agak sedih juga), ia bercerlta tentang
pembantaian di Hong-thian-lau yang didengarnya dari Pun-seng Hwe-shio, pembakaran wihara Siau-lim-si, lalu babak
terakhir ia berka-ta, "Kami bertiga dihadang
para algojo Hiat-ti-cu. Suhu secara licik
ditembak dari belakang, sedang paman Pak
Kiong Liong dikeroyok dan terjerumus ke dalam jurang......."
Berbohong yang baik adalah yang dicampur
kenyataan sedikit-sedikit, dan In Tong ahli
dalam "meramu" ini. Ceritanya dipercaya,
seluruh Hwe-liong pang berkabung.
Yang paling sedih adalah Tong Gin Yan dan
Pak Kiong Eng, mereka masing-masing
kehilangan sekaligus ayah dan ayah mertua
mereka. Begitu pula si kembar Tong San Hong
dan Tong Hai Long yang sekaligus kehilangan
kedua kakek mereka. 1510 Dalam urusan menunjukkan kesedihan, In
Tong tidak mau kalah. Siang malam ia berada
dekat dua peti jenazah di aula. Satu peti jenazah
yang benar-benar berisi tubuh Tong Lam Hou,
satunya lagi hanya berisi barang-barang milik
Pak Kiong Liong, sebab kata In Tong, "Mayat
paman Pak Kiong Liong jatuh ke dalam jurang
yang sangat dalam dan tak bisa diketemukan. . .
In Tong juga tidak doyan makan, setiap hari
ia hanya makan setengah mangkuk bubur tanpa
lauk pauk di hadapan orang-orang Hwe-liongpang. Tapi kalau sendirian dalam kamarnya, dia
menghabiskan lima mangkuk dan satu ekor
ayam panggang utuh. Ketika kedua peti itu dimakamkan, Tong Gin
Yan dan Pak Kiong Eng malahan nampak tabah,
sedang In Tong justru kelihatan yang "paling
susah dihibur". Di depan kuburan ia bersumpah
akan mencincang Yong Ceng biarpun kakaknya
sendiri. *** 1511 Menurut adat, masa berkabung adalah tiga
tahun. Tetapi Hwe-liong-pang tidak bisa
menunggu selama itu tanpa pimpinan. "Gerakan
Pembersihan" sedang dilakukan Yong Ceng
diseluruh wilayah kekaisaran tentu Hwe-liongpang merupakan satu sasaran. Maka tidak boleh
tanpa pimpinan. Maka tiga hari seteiah pemakamaman
seluruh Hiang-cu, Tong-cu, Hutong-cu dan
keluarga Ketua Hwe-liong-pang berkumpul di
aula untuk memilih Ketua baru.
Ada dua calon kuat, yaitu Tong Gin Yan dan
In Tong. Orang yang mendukung Tong Gin Yan
berpendapat bahwa putera Tong Lam Hou itu
tepat sebagai Ketua baru, karena pembawaannya tenang dan selalu berpiklr
dengan dingin. Sedang yang mendukung In
Tong berpendapat bahwa di saat gawat seperti
itu Hwe-liong-pang memerlukan seorang pimplnan yang tegas dan cepat bertlndak, dan In
Tong dianggap memenuhi syarat itu.
Hampir sehari penuh berdebatan berlangsung, namun berdasarkan perbadingan
1512 suara, masih tetap leblh banyak yang memilih
Tong Gin Yan. Bagaimanapun In Tong adalah
orang baru yang belum sampai tiga tahun
menjadi anggota Hwe-liong-pang, biarpun dia
murid dari Ketua yang lama.
Namun atas usul Tong Gin Yan sendiri, untuk
dari menghindarkan Hwe-liong-pang perpecahan, ia ingin mengangkat In Tong
sebagai Hupang-cu (wakil ketua). Inilah jabatan
baru yang belum pernah ada sejak Hwe-liongpang didirikan oleh kakek Tong Lam Hou dulu,
Tong Wi Siang. Tetapi demi kekompakan Hweliong-pang, usul Tong Gin Yan itu dite rima juga.
Tetapi, ketika orang-orang di aula itu belum
bubar, tiba-tiba dari luar ruangan terdengar
suara dingin, "Seorang yang tega menembak
gurunya sendiri dari belakang, mana boleh
menjadi wakil Ketua Hwe-liong-pang?"
Semua orang terkejut dan menoleh ke arah
pintu. Munculah dari situ seorang kakek tua
berpakaian robek-robek dan ada bekas-bekas
luka di tubuhnya. In Tong terkejut sampai
mukanya pucat. 1513 Itulah Pak Kiong Liong yang dikabarkan nya
"masuk jurang dan mayatnya tidak diketemukan". Pak Kiong Eng sendiri tercengang. Setelah
yakin bahwa yang berdiri di ambang pintu itu
bukanlah hantu, dia berlari memeluknya sambil
berseru, "Ayah !"
Menyusul Tong Gin Yan dan tokoh-tokoh
Hwe-liong-pang lainnya mengerumuni Pak
Kiong Liong untuk menanyakan hal yang
sebenarnya terjadi. Sementara ribuan mggota
Hwe-liong-pang lainnya menjadi gempar dan
membanjir masuk ke aula itu.
Saat itulah In Tong merasa dirinya dalam
bahaya karena kedoknya akan terlucuti. Secepat
ia bisa, ia berlari ke arah jendela untuk
melarikan diri. la akan menggunakan suasana
ribut itu untuk menyelamatkan diri lebih dulu.
Namun Pak Kiong Liong senantiasa
mengawasinya, buru-buru ia mendorong tubuh


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anak perempuannya yang masih memeluknya,
lalu tubuhnya bagaikan seekor elang raksasa
melompati kepala ba-nyak orang Hwe-1iong1514
pang untuk mengejar In Tong. Bentaknya,
"Pangeran, pertanggung-jawabkan dulu perbuatanmu !" In Tong sadar, sekali tertangkap, habislah ia
menjadi sasaran kemarahan orang-orang Hweliong-pang. Karena takutnya, tenaganya seolah
berlipat ganda. la mendorong-dorong dan
menyusup ke arah orang-orang Hwe-liong-pang
yang kacau balau, sehingga mereka tumpang
tindih. Ketika mendengar bentakan pamannya
sudah dekat di belakangnya, In Tong tiba-tiba
mencengkeram dua orang anggota Hwe-liongpang untuk dilemparkan sekuatnya ke arah Pak
Kiong Liong. Kalau In Tong tak peduli
keseiamatan orang-orang Hwe-liong-pang,
maka Pak Kiong Liong sebaliknya. la harus lebih
dulu menyambut dua tubuh yang dijadikan
"senjata rahasia" itu agar kepala mereka tidak
terhempas ke lantai. Maka In Tong jadi punya
waktu tambahan beberapa detik untuk
menyusup-nyusup di an tara orang-orang yang
simpang-siur itu . 1515 Memang semua orang Hwe-liong-pang
bermaksud menangkap In Tong, namun para
calon penangkap ini malah saIing bertabrakan
sendiri karena gesitnya In Tong menyusupnyusup.
Orang-orang Hwe-liong-pang yang semula
mendukung In Tong kini justru paling geram
dan paling sengit mencoba menangkap In Tong.
Mereka malu karena merasa bersalah pernah
mendengarkan ha sutan In Tong.
Tetapi In Tong sendiri sadar, tidak mungkin
terus menerus kucing-kucingan macam itu.
Ketika melihat Tong Hai Long di dekatnya,
tanpa pikir panjang lagi In Tong melompat
untuk menangkapnya. Seorang anggota Hwe-liong-pang berseru
memperingatkan bocah itu, namun anggota itu
segera retak tempurung kepalanya karena
jotosan In Tong. Tong Hai Long sendiri tahu diri-nya diserang,
namun bocah tanggung itu dengan berani malah
menyongsonqkan pedangnya sambiI membentak, "Orang tak kenal budi! Kakek
1516 menolongmu berkali-kali, kau malah berbuat
keji kepadanya!" Tapi In Tong bergerak jauh lebih cepat,
telapak tangannya berhasil menebas pergelangan tangan Tong Hai Long sehingga
pedang bocah itu jatuh. Serempak tangannya
yang lain menerkam dengan Kim-na-jiu
(menangkap dan memelintir), dalam sekejap
Tong Hai Long berhasil diringkusnya, sepasang
tangan dibelakang punggungnya dan ditekan
kepunggung. Seorang anggota Hwe-liong-pang dengan
berani mencekik In Tong dari belakang untuk
menolong Tong Hai Long. In Tong mengeraskan otot-otot lehernya
yang terlatih itu, sehingga cekikan itu hampir
tak berpengaruh. Dengan dua tangan tetap
mencengkeram Tong Hai Long, la membungkuk
sambil menyepak rendah ke belakang. Itulah gerakan
Kau-tui-hoan-tui (Menekuk lutut Menyepak ke Belakang) ajaran Tong Lam Hou,
yang klni malah dlgunakan untuk membunuh
1517 seorang anggota Hwe-liong-pang sendiri yang
selakangannya remukk. Teriak In Tong, "Berhenti semuanya! Atau
aku bunuh bocah ini..!"
Telapak tangan kanannya dipasang di
tengkuk Tong Hai Long. Siapapun tahu
kekuatan tangan itu, sekali tebas tentu tulang
leher Tong Hai Long akan di patahkannya.
Hiruk-pikuk reda, semua mata diarahkan
kepada In Tong dan tawanannya. Kedok In Tong
sebagai "murid yang baik" atau "calon
pemimpin yang gagah berani" dan sebagainya
kini sudah dilucuti habis-habisan. Sejam yang
lalu pendukung-pendukungnya masih menatap
dengan kagum, kini seisi ruangan itu menatap
dengan benci dan muak. Sementara itu, Tong Hai Long berseru,
"Jangan hiraukan aku! Balaskan sakit hati
kakek!" Sedangkan Pak Kiong Liong menyindir,
"Hemm, beginikah pengecutnya seorang yang
bercita-cita menjadi raja" Menurut penilaianku,
1518 Yong Ceng yang busuk itupun masih sedikit
lebih baik daripadamu, In Tong!"
In Tong kena juga oleh ucapan itu. Kalau
perbuatannya yang rendah itu kelak tersebar
luas, sulitlah mendapat dukungan bagi
"perjuangan" nya. Dulu Yong Ceng berhasil
mendapat dukungan karena bertopeng sebagai
pendekar yang berwatak jantan sehingga
dihargai orang. Namun detik-detik itu bagi In
Tong yang penting adalah tetap hidup dan
berhasil selamat. Kalau mati, ia hanya akan
menjadi kaisarnya cacing-cacing dalam tanah.
Tanpa mengendorkan cengkeramannya atas
diri Tong Hai Long, In Tong berkata, "Paman
Pak Kiong Liong, kau menuduhku membunuh
Suhu, mana buktinya?"
Sambil berkata, In Tong menyeret
tawanannya semakin dekat ke pintu.
Pak Kiong Liong paham maksud In Tong,
namun ia benar-benar tak berdaya bertindak
karena tidak mau mempertaruhkan keselamatan cucunya. Satu-satunya cara
1519 hanyalah mengajak perang mulut, sambil
menunggu kesempatan yang mengun tungkan.
"Pangeran ingin bukti" Ketika aku bertempur
di bawah tebing Sungai Bu-sia, aku mendengar
di atas ada tembakan. Setelah lawan-lawanku
lari, tak jauh dari tempatku bertempur
kutemukan benda ini, yang dibuang oleh Pangeran."
Pak Kiong Liong mengeluarkan sebuah pistol
berukir buatan Portugis yang sudah tak
berpeluru. Benda itu dilemparkannya ke lantai.
Beberapa orang Hweliong-pang mengenal
benda itu sebagai milik In Tong, karena di
gagang pistol terukir pula nama In Tong.
Pak Kiong Liong melanjutkan kata-katanya,
"Sayang, akupun luka-luka dalam pertempuran
itu, sehingga perjalananku menjadi lambat
sekali dan tak sempat menghadiri pemakaman
A-hou. Tapi aku sebagai sahabatnya, puas bisa
melucuti kedok muridnya yang berkhianat ini,
dan menyelamatkan Hwe-liong-pang dari tipu
dayanya!" 1520 Caci maki segera memenuhi ruangan itu, dan
In Tong masih mati-matian menyangkal,
"Bohong! Bohong!"
Tapi Pak Kiong Liong terus menyudutkannya, "Semua orang Hwe-liong-pang tahu,
bahwa Tong Lam Hou tak semudah itu dibunuh
dengan senjata api. Di Pak-khia berpuIuh-puIuh
bedilpun tak ada yang bisa mengenainya
satupun. Kalau dia sampai berhasil ditewaskan
oleh senjata api, itu aku yak in karena ditembak
dari belakang dan oleh orang yang tidak
dicurigai sama sekali!"
Tong Gin Yan merah padam mukanya dan
gemeretak giginya. Jadi In Tonglah yang
membunuh ayahnya" Seandainya Tong Hai
Long tidak sedang dijadikan sandera, Tong Gin
Yan ingin menerkam dan merobek-robek muka
In Tong. Sementara itu, karena kalap setelah tersudut,
In Tong berteriak-teriak. "Paman, kenapa kau
menghalangi aku" Kenapa paman hanya
menyayangi adinda In Te, padahal aku juga
keponakanmu?" 1521 Dalam kata-katanya yang serabutan itu, ia
menelanjangi dirinya sendiri, tercetuslah
maksud sebenarnya untuk mencapai citacitanya"dengan memperaalat Hwe-liong-pang.
"Nah, kau sudah mengaku?" Kata Pak Kiong
Liong penuh kemenangan. In Tong sadar bahwa
mulutnya telah "bocor" menunjukkan hatinya.
Dalam nekadnya, la berkata tanpa tedeng alingaling lagi. "Bangsat tua Pak Kiong Liong,
agaknya apapun tidak blsa bersembunyi darl
mata malingmu Baik, aku terang-terangan.
Kalau In Si, In Ceng, In Gi dan In Te boleh
berebutan tahta, kenapa aku tidak boleh"
Memang aku akan memimpin Hwe-liong-pang
menduduki tahta. Saudara-saudara Hwe-liongpang yang setuju dengan cita-citaku, marilah
bergabung dengan aku untuk menuju jaman
keemasan yang". "
Kata-kata selanjutnya tak terdengar lagi,
karena tenggelam dalam suara caci-maki orang-orang Hwe-liong-pang yang tak tertarik
oleh ajakannya. Orang-orang Hwe-liong-pang
1522 hanya tertarik untuk membalaskan sakit hati
ketua lama mereka. In Tong kini merasa sendirian ditengah
serigala-serigala itu, cita-citanya rasanya sudah
kandas. Tanpa sadar, pegangannya atas Tong
Hai Long agak kendor. Tong Hai Long merasakan itu. Tiba-tiba ia
membungkuk dengan gerakan Ling-yo-kui-kak
(Kambing gembel melepaskan tanduk) sambil
menyentak lepas tangannya yang dipegang
musuh. Masih ditambah ia manumit jempol kaki
In Tong keras-keras. Lalu menggulingkan diri
sejauh-jauhnya. Ia lepas!
In Tong dengan marah hendak menangkap
kembali Tong Hai Long, tetapi kedua orang tua
bocah itu sudah melompat menghalangi. Demi
hidupnya, In Tong merubah arah untuk kabur
secepatnya lewat pintu Pak Kiong Liong dengan geram hendak
mengejarnya, namun saat itu terjadilah
kegemparanlain. Seorang anggota Hwe-liong-pang berlari
terengah-engah datang, didepan pintu ia langs1523
sambil menyentak lepas tangannya yang dipegang
musuh. Masih ditambah ia manumit jempol kaki In
Tong keras-keras. Lalu menggulingkan diri sejauhjauhnya. Ia lepas!
1524 ung berteriak, "Kite diserang pasukan....."
Kalimatnya tidak selesai sebatang panah
menembus punggungnya. Kemudian panah-panah lainnya me-nyusul,
panah-panah api yang langsung menimbulkan
kobaran api di segala sudut markas Hwe-liongpang itu.
Dalam keributan itu, tak ada lagi yang
memperhatikan Pangeran In Tong yang segera
menghilang. Tong Gin Yan sebagai Ketua baru segera
mengatasi hiruk-pikuk anggota-anggotanya,
"Bertahan di aula, sampai memungkinkan
menyusun kekuatan untuk menyerang balik !"
"Omong kosong!" dari arah pintu terdengar
suara mengejek. Lalu muncullah Hap To si
komandan Hiat-ti-cu yang membawa tombak di
tangannya. "Kalian sudah seperti ikan dalam
jaring! Menyerahlah baik-baik, supaya jangan
bernasib seperti Siau- lim-si!"
Di belakang Hap To, selain ada puluhan jagojago Hiat-ti-cu, juga ada ribuan perajurit dari
1525 gubernuran Seng-toh yang "dipinjam" oleh Hap
To. Melihat Pak Kiong Liong juga ada di situ, Hap
To langsung menghadapinya. Dalam keadaan
biasa ia gentar juga kepada Pak Kiong Liong,
namun karena ia sudah mendapat laporan dari
anak buahnya yang bertugas menghadang di


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tebing sungai Bu-sia bahwa Pak Kiong Liong
terluka, maka Hap To memberanikan diri
melawannya. Slapa tahu bisa mengalahkannya,
blar mengurangi kebanggaan Kim Seng Pa
saingannya di istana yang amat dibencinya itu.
Dengan gerakan Liong-leng-hong-bu (Naga
Melingkar, Burung Hong Menari), Hap To
langsung memainkan Jit-seng-jio hoat (llmu
Tombak Tujuh Bintang) yang lincah.
Pak Kiong Liong memang agak kaget, merasa
kepandaian lawannya jauh meningkat dibandingkan dulu-dulu. Namun ia tetap
meladeninya dengan tangan kosong.
Hap To begitu yakin akan kemenangannya
kali ini, sehingga ketika Tam Tai Liong,
wakilnya, mendekatinya untuk membantu, ia
1526 menolak, "Tidak usah kau bantu aku, Tam Tai
Hucong-koan. Cari lawan lain saja. Pak Kiong
Goan-swe ini teman lamaku!''
Sambil mclompat mundur, Tam Tai Liong
berpikir, ''Kebetulan, kalau kau mampus
dibunuh Pak Kiong Liong, maka kursi Congkoan akan kududuki
Sementara Itu, anak-buah Hap To telah
membanjlr masuk dan menyerbu dengan sengit,
kaum Hiat-ti-cu bercampur aduk dengan
perajurit-perajurit gubernuran Se-cuan.
Orang-orang Hwe-liong-pang juga melawan
dengan gigih, sehingga berkobarlah pertempuran sengit. Mulanya pertempuran
hanya di aula, lalu melebar ke kedua halaman
samplng, lalu melebar lagi kemana-mana,
sampai seluruh markas Hwe-liong-pang itu
akhirnya merata dengan suara gemerincing
senjata dan teriakan-teriakan.
Tong Gin Yan maju paling depan bersama
dua orang Hiang-cu, masing-masing Ui-binpeng-hou Hu Se Hiong dan Ko Seng Hwe-shio.
1527 Ko Seng Hwe-shio yang biasanya lemah
lembut itu, tiba-tiba bertempur dengan bengis
sekali. Toyanya berputar dengan kekuatan
besar, para perajurit yang diterjangnya roboh
berpelantingan. Ternyata Ko Seng Hwe-shio
marah karena dia adalah murid asal Siau-lim-si
yang sudah dibumi hanguskan itu. Siau-lim-si
adalah sumber ilmunya, sedang Hwe-Iiong-pang
adalah wadah perjuangan nya. Sedangkan Tong
Gin Yan juga telah dihadang Tam Tai Liong yang
bersenjata tiat-koai itu. "Kau tentu pemimpin
baru dari gerombolan bandit Hwe-liong-pang
ini, baiklah, kuringkus kau lebih dulu!"
Sambil bicara, tongkat melengkung berujung
tajam itu langsung hendak mengait ke leher
Tong Gin Yan. Tong Gin Yan menunduk sambil
melangkah maju dengan kaki bersilang,
pedangnya balas menikam ke pinggang Tam Tai
Liong sama cepatnya. Tam Tai Liong melompat ke atas dan
mengincar punggung, namun Tong Gin Yan
membalik dengan gerakan Pek-ho-keng-ih
(Bangau Putih Menyisik Bulu) untuk mengelak
1528 dan sekaligus menebas ke pergelangan tangan
musuh dengan ketepatan yang tinggi.
Saling gebrak itu mengingatkan kedua belah
plhak bahwa mereka masing-masing sudah
ketemu tandingan berat. Ko Seng Hwe-shio yang tengah melabrak
para perajurlt itupun kemudian melawan dua
anggota Hiat-ti-cu, masing-masing Ya-hing-kuilong (Serigala iblis Pengembara malam) Im Bu
To yang bersenjata toya serta Tiat-kak-lok
(Kijang Bertanduk Besi) Kang Hui Kok yang
bersenjata kau-lian-jio (Tombak Berkaitan).
Ko Seng Hwe-shio yang tengah penasaran
buat Siau-lim-pai itu menerjang siapapun yang
ada di depannya asalkan berseragam perajurlt
musuh. Lebih dulu toyanya dihantamkan ke
arah Im Bun To dengan tipu Thai-san-ap-teng
(Gunung Thai-san Menimpa Kepala).
Im Bun To juga memegang toya yang berat,
menandakan diapun bertenaga besar. Namun ia
tidak berani menangkis, hanya melompat
mundur. Sedangkan Kang Huai Ok dari samping
1529 sudah mengangkat tombaknya, siap membantu
rekannya itu. Ko Seng Hwe-shio mengubah geraknya
menjadi Oh-liong-boan-jiu (Naga Hitam melilit
Pohon), toyanya mendatar menyerampang
pinggang Kang Huai Ok. To ya berat itu tidak
gampang diubah arah nya, namun Ko Seng Hweshio dapat seenaknya saja mengubah-ubah
arahnya seolah-olah yang dipegangnya Itu
hanya sebatang rotan saja. Ini mengejutkan kedua lawannya.
Begitulah, semua orang sudah menemukan
lawannya masing masing, beribu-rlbu orang.
Tokoh berilmu ditandingi tokoh berilmu, anakbuah ditandingi anak-buah.
Namun faktor jumlah ikut menentukan pula.
Para penyerbu yang- dibawa Hap To itu
berjumlah jauh lebih banyak dari orang-orang
Hwp-liong-pang, sehingga perlahan-lahan mereka berhasil mendorong mundur pihak
Hwe-liong-pang terus menerus.
Pihak penyerbu berguguran, pihak yang
bertahan juga berguguran. Di pihak Hwe-liong1530
pang, kelihatan Sung-bun-siau (Seruling
Berkabung) Oh Kian Keng agaknya harus
berkabung buat diri nya sendiri dan tak bisa lagi
meniup serulingnya. Tubuhnya terpaku di tembok oleh sebatang tombak, sementara di
sekitarnya bergelimpanganlah korbankorbannya, hasil amukannya sebelum ia gugur
tadi. Tldak Jauh daripadanya, Siang Ko-an Long
masih melawan gigih, tapi sekujur tubuhnya
sudah luka-luka juga Melihat keadaan pihaknya yang kurang
menguntungkan, Tong Gin Yang berpikir kalau
bersikeras melawan terus tentu akan tertumpas
habis dan jatuh korban bertumpuk-tumpuk.
Sambll tetap melawan Tam Tai Liong, rupanya
ia juga sempat memperhatikan keadaan anak
buah nya dl sekitarnya. Ketlka melihat Lu Kan San bertempur di
dekatnya, Tong Gin Yan memanggi, "Saudara Lu
kemari !" Tong Gin Yan bukannya mohon bantuan
untuk mengeroyok Tam Tai Liong, melainkan
1531 memerintahkan, "Coba kau Iihat kebun
belakang dan kutunggu laporan-mu!"
"Baiklah," sahut Lu Kan San. La tahu bahwa
Ketuanya memerintahkan mempersiapkan jalan
untuk mengundurkan diri sebelum tertumpas
habis. Pertempuran berlangsung terus, dan ketika
Lu Kan San datang kembali untuk berteriak
bahwa "kebun belakang" sudah siap, maka Tong
Gin Yan bersuit nyaring. Isyarat itu diteruskan
bersambung, sampai seluruh anggota Hwe-liong
pang yang bertempur di manapun mendengar
dan memahaminya. Maka separoh lebih anggota Hwe-liong-pang
yang masih tersisa itupun bergerak bagaikan air
surut, memenuhi perintah Ketua mereka, lewat
kebun belakang. Gerakan mundur serempak Itu tidak
tercegah oleh pasukan kerajaan. Pasukan
kerajaan memang berkekuatan lebih besar
untuk mampu menekan, tapi tidak mampu
mencegah gerakan mundur itu. Apa lagi para
pemimpin Hwe-liong-pang yang berilmu tinggl
1532 itupun mundur paling akhir untuk melindungi
anak-buah mereka dari belakang.
Pak Kiong Liong tengah bertempur sengit
melawan Hap To, namun dapat mendengar
isyarat Itu dan diam-diam menyetujui tindakan
menantunya itu. Itu tindakan bijaksana,
menyelamatkan kekuatan yang masih tersisa
daripada melawan hancur-hancuran hanya
untuk memperoleh sebutan "gagah berani".
Dalam pertempurannya, Pak Kiong Liong
sebenarnya sudah mulai berhasil mengekang
dan menekan permainan tombak Hap To. Kalau
diberi kesempatan barang limapuluh jurus lagi,
tentu Hap To a-kan dikaIahkannya. Namun Pak
Kiong Liong tidak mau ditinggalkan sendirian dl
situ oleh orang-orang Hwe-liong-pang.
"Kau beruntung tidak mati di tanganku," kata
Pak Khong Liong sambil melompat meninggalkan arena. Harusnya Hap To tahu diri, behwa
pertempuran tadi sudah membuktikan keunggulan ilmu Pak Kiong Liong atas dirinya.
Tapi kemarahan dan kesombongan 1533 membutakan matanya dari kenyataan Itu. la
berteriak, "Jangan lari, Pak Kiong Liong! Kau
kira kau sudah menang dariku" Masih ada
beberapa jurus hebatku yang akan membuat
tubuhmu penuh lubang.!"
"Kelak saja kau tunjukkan padaku, supaya
agak bagus," ejek Pak Kiong Li ong. "Kalau
sekarang, paling-paling ya hanya begitu-begitu
saja." Sementara itu, bagaikan "parit" yang dibuka
bendungannya, orang-orang Hwe-liong-pang
lari ke belakang gunung, sebuah lereng terjal
yang menjadi "sarapan sehari-hari" dalam
latihan mereka. Pasukan Hap To tidak sanggup
mengejar, sebab lereng belakang itu ternyata
juga penuh perangkap. Agak-nya, jalan mundur
itu sudah lama disiapkan pihak Hwe-Liongpang. sejak mereka sadar sudah masuk "daftar
hitam"nya Yong Ceng.
Karena lolosnya sebagian orang-orang HweLiong-pang itu, Hap To melampiaskan
kemarahannya dengan membakar habis markas
Hwe-Liong-pang. Maka pemandangan di atas
1534 gunung Tiau-im-hOng itu tak ada bedanya
dengan pemandangan di atas Siong-san
beberapa saat yang lalu, saat Siau-lim-si dibakar
habis. Dari kejauhan, sisa-sisa orang Hwe-Liongpang itu dengan geram dan masygul melihat
kobaran api itu. Bahkan ada yang menangis,
sebab yang terbakar Itu adalah rumah keluarga
besar mereka. Tong Gin Yan menghibur mereka, "Jangan
berlarut-larut terbawa perasaan. Hal yang tak
terhindari ini harus kita hadapi dengan
semangat yang tetap menyala namun tetap
terkendali oleh akal sehat pula. Kalian
berpencaranah. Hwe-liong-pang tidak bubar,
namun untuk sementara akan bersembunyi di
bawah tanah sambil menyusun kekuatan,
sambil menunggu saat kebangkitan kembali
yang tepat." Bicara sampai di sini, tak terasa mata Tong
Gin Yan berkaca-kaca dan suaranya bergetar.
Berat juga berpisah dengan orang-orang yang
sekian lama di satukan oleh suka duka bersama1535
bertahun-tahun. "Kita memang akan berpencaran, saudara-saudara, tapi tidak begitu
dengan semangat kita.."
"Selamat berpisah, Pang-cu. Kami yakin
kelak kita akan bangkit kembali....."
"Kita semuanya yakin. Jagalah diri kalian
baik-baik, kita akan sering bertukar-kabar......."
Tahun tahun itu adalah tahun-tahun
kemenangan Yong Ceng. Jit-goat-pang, Siau-limpai dan Hwe-liong-pang sudah ditaklukkan.


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pangeran In Te juga sudah dikirim ke Jing-hai
dan Yong Ceng yakin Ni Keng Giau akan
mematuhi pesan rahasianya. Kekuasaan Yong
Ceng semakin kokoh, semakin terasa. Keras dan
dingin. Tapi permainan belum selesai. Setelah
menabur, biasanya lalu menuai bukan"
TAMAT Yogyakarta, 27 Januari 1987
1536 BERSAMBUNG KE KEMELUT TAHTA NAGA BAGIAN 2.
22 JILID 1537 Pelangi Dilangit Singosari 3 Akar Asap Neraka Karya Arswendo Atmowiloto Jalan Bandungan 2
^