Pencarian

Legend 3

Legend Karya Marie Lu Bagian 3


Anak tangga pada bangunan ini pasti dulunya adalah ba gian dari lorong tangga, tapi sekarang terbuka ke arah luar. Aku berdiri dan berjalan terpincang-pincang menuruni tang ga satu per satu, berhati-hati agar tidak tergelincir dan jatuh terjerembap ke air. Apa pun yang semalam Tess laku kan padaku tampaknya mulai bekerja. Meskipun pinggang ku masih terasa perih membakar, rasa sakitnya sedikit
156 berkurang dan upayaku untuk berjalan tidak perlu sekeras kemarin. Aku sampai ke bagian bawah gedung lebih cepat dari yang kuduga. Tess mengingatkanku pada Metias, pada bagaimana dia merawatku sampai sehat kembali pada hari pelantikannya menjadi tentara.
Tapi, saat ini aku tidak bisa mengenang Metias. Aku ber deham dan kembali berkonsentrasi pada langkahku untuk sampai ke tepi danau.
Matahari telah terbit cukup tinggi sekarang. Sinarnya membuat seluruh danau bermandikan cahaya emas yang suram, dan aku bisa melihat segaris daratan kecil yang memisahkan danau ini dari Samudra Pasiik.
Aku berjalan turun ke lantai bangunan yang sejajar dengan permukaan air. Semua dinding di lantai ini telah run tuh, jadi aku bisa berjalan lurus ke ujung bangunan dan mencelupkan kakiku ke air. Saat aku melongok ke dalam danau, kusadari bahwa perpustakaan tua ini masih berlanjut beberapa lantai ke bawah. (Mungkin tinggi bangunan ini lima belas lantai, dilihat dari kedudukan bangunanbangunan lain di pantai serta daratan yang melandai dari garis pantai. Kira-kira ada enam lantai lagi di bawah air.)
Tess dan pemuda itu duduk di puncak bangunan beberapa lantai di atasku, jauh dari jarak pendengaran. Aku kembali menatap cakrawala, mendecakkan lidah, dan menyalakan mikrofonku.
Terdengar suara gemeresik di earpiece-ku. Sedetik ke - mu dian, aku mendengar sebuah suara yang tidak asing. Miss Iparis" kata homas. Apa itu kau"
157 Aku di sini, gumamku. Aku baik-baik saja. Aku ingin tahu kau ke mana saja, Miss Iparis. Aku sudah mencoba mengontakmu selama 24 jam terakhir. Tadinya aku sudah siap mengirim pasukan untuk mencarimu dan kita berdua tahu betapa senangnya Komandan Jameson kalau aku melakukan itu.
Aku baik-baik saja, ulangku sambil merogoh saku dan me ngeluarkan bandul Day. Aku mendapat luka kecil da lam pertarungan Skiz. Bukan luka serius.
Kudengar homas mendesah. Kau tidak akan mematikan mikrofonmu lagi dalam waktu lama seperti itu. Kau dengar" katanya.
Baik. Kau menemukan sesuatu"
Aku melirik sekilas ke atas, ke tempat si Pemuda sedang mengayun-ngayunkan kaki. Aku tak yakin. Sepasang remaja laki-laki dan perempuan menolongku dari kekacauan Skiz. Yang perempuan membalut lukaku. Untuk sementara waktu aku tinggal bersama mereka sampai aku bisa berjalan lebih baik.
Berjalan lebih baik" suara homas meninggi. Luka kecil seperti apa yang kau dapat"
Hanya tusukan pisau. Bukan masalah besar. homas mem buat suara tercekik, tapi aku mengabaikannya dan te rus bicara. Ngomong-ngomong, bukan itu masalahnya. Pe muda yang menolongku membuat bom debu yang bagus untuk membawa kami keluar dari kerumunan orang-orang
158 Skiz. Dia punya kemampuan. Aku tidak tahu siapa dia, tapi aku akan mendapat lebih banyak informasi.
Kau pikir dia Day" tanya homas. Kelihatannya Day bukan pemuda yang berkeliaran untuk menyelamatkan orang.
Kebanyakan kejahatan Day dulu menyangkut keselamatan orang. Hampir semua, kecuali kejahatannya terhadap Metias. Aku menghela napas panjang. Tidak. Kurasa tidak. Aku merendahkan suara sampai nyaris berbisik. Saat ini yang terbaik adalah tidak membuat homas curiga, kalau tidak dia bisa datang ke sini sendiri sambil memimpin sepasukan tentara. Komandan Jameson akan langsung memecatku dari kelompok patrolinya kalau kami melakukan sesuatu yang mahal seperti itu, tanpa memberi kesempatan padaku untuk mengajukan pembelaan. Di samping itu, kedua penyelamatku telah menolongku keluar dari masalah besar. Tapi, mungkin me reka berdua tahu sesuatu tentang Day.
Selama beberapa saat, homas hanya diam. Aku mendengar suara-suara ribut di belakangnya, gemeresik ganggu an radio, dan kemudian suara samarnya yang sedang ber bi cara dengan Komandan Jameson di kejauhan. Dia pasti se dang memberi tahu Komandan tentang lukaku, bertanya pada nya apakah aman membiarkanku tetap di sini sendirian. Aku men desah sebal. Seperti aku tidak pernah terluka saja.
Setelah beberapa menit, dia kembali. Berhati-hati lah. homas berhenti sejenak. Komandan Jameson bi lang, kau teruskan misimu kalau lukamu tidak terlalu meng gang gu. Saat ini dia sibuk dengan patrolinya. Tapi ku per ingat-
159 kan kau: kalau mikrofonmu padam lagi selama lebih dari beberapa jam, aku akan mengirim pasukan untuk mencarimu tak peduli hal itu akan membongkar penyamaranmu. Mengerti"
Susah payah kutahan rasa jengkel. Komandan Jameson tidak percaya aku bisa menyelesaikan misi ini ketidak tertarikannya tersirat dalam setiap kata yang homas sam paikan. Sedangkan homas & jarang-jarang dia begitu tegas pa daku. Aku hanya bisa membayangkan betapa frustrasinya dia dalam beberapa jam ini.
Ya, Sir, sahutku. Tidak ada respons dari homas. Aku menengadah dan melihat pemuda itu lagi. Kuingatkan diriku untuk memperhatikannya lebih dekat saat aku kem bali ke atas. Aku tidak boleh membiarkan luka ini mengganggu ku.
Kumasukkan kembali bandul Day ke saku, lalu beranjak naik.
Aku mengamati penyelamatku sepanjang hari ini ketika aku mengikutinya berkeliling sektor Alta. Kucatat segalanya dalam pikiranku, tak peduli betapa kecilnya detail itu.
Misalnya, dia berhati-hati memperlakukan kakinya. Ke pin cang annya memang sangat tidak kentara sehingga luput dari pengamatanku waktu dia berjalan di sebelah Tess dan aku. Hal itu kulihat saat dia duduk atau bangun dia sedikit ragu ketika menekuk lutut. Mungkin itu adalah luka serius yang tak pernah benar-benar sembuh atau luka kecil
160 yang didapatnya baru-baru ini salah satu dari itu. Habis jatuh, barangkali.
Itu bukan satu-satunya luka yang dia miliki. Dia me - nger nyit waktu menggerakkan lengannya. Setelah dia be be - rapa kali melakukannya, aku sadar bahwa dia pasti ter lu ka di lengan atasnya sehingga kesakitan kalau me reg ang kannya terlalu ke atas atau ke bawah.
Wajahnya berbentuk simetris sempurna, campuran Ang lo dan Asia, tampan meskipun coreng-moreng oleh ko tor an. Mata sebelah kanannya lebih pucat sedikit daripada yang kiri. Awalnya kupikir itu hanya tipuan cahaya, tapi aku me lihat nya lagi saat kami melewati sebuah toko roti untuk me nga gumi roti-roti yang ada di sana. Aku bertanya-tanya ba gai mana bisa matanya berbeda. Apa dia terlahir begitu"
Ada hal lain yang kuperhatikan: betapa familiernya dia dengan jalanan-jalanan yang jauh dari sektor Lake, seakan-akan dia bisa berjalan di situ dengan mata tertutup; betapa lincah jari-jarinya waktu dia meluruskan kerutan di pinggang bajunya; betapa dia memperhatikan bangunanbangunan yang ada seolah-olah sedang menghafalnya.
Tess tidak pernah memanggilnya dengan nama. Seperti mereka memanggilku Nona , mereka tidak menggunakan panggilan apa pun untuk mengidentiikasi siapa dia. Saat aku mulai lelah dan pusing karena berjalan, dia menyuruh kami semua berhenti, lalu mencarikanku air waktu aku beristirahat. Dia bisa merasakan kelelahanku meski aku tidak berkata apa-apa.
161 Siang menjelang. Kami terhindar dari sengatan panas matahari dengan menghabiskan waktu di dekat pasar di bagian termiskin sektor Lake. Dari bawah tenda yang me naungi kami, Tess memicingkan mata ke arah kios-kios. Jarak kami dari kios-kios itu sekitar lima belas meter. Dia ra bun jauh, tapi entah bagaimana dia bisa membedakan antara penjual buah dan tukang sayur. Dia juga bisa tahu dari melihat berbagai wajah, mana yang punya uang dan mana yang tidak. Aku mengerti itu karena aku bisa melihat perubahan kecil di mukanya kepuasannya saat me ngenali sesuatu atau rasa frustrasinya ketika tak mam pu melakukannya. Bagaimana kau melakukannya" tanyaku. Tess melirik sekilas padaku pandangannya kembali fokus. Hmm" Melakukan apa"
Kau rabun jauh. Bagaimana kau bisa melihat banyak hal di sekitarmu"
Selama beberapa saat, Tess kelihatan kaget, kemudian terkesan. Di sampingnya, kulihat si Pemuda menatapku se saat. Aku bisa membedakan warna meski terlihat sedikit ka bur, sahut Tess. Misalnya saja, aku bisa melihat koin pe rak Notes menyembul keluar dari dompet pria itu. Dia menge dik kan kepala ke arah salah satu pembeli di kios. Aku mengangguk. Kau sangat pintar.
Wajah Tess merona dan dia menunduk menatap sepatunya. Sesaat, dia terlihat sangat manis sampai aku tak bisa menahan tawa. Segera saja aku merasa bersalah. Bagaimana aku bisa tertawa secepat ini setelah kematian kakakku" Mereka
162 berdua ini punya cara aneh untuk membuatku kehilangan ketenanganku.
Kau cepat tanggap, Nona, dengan tenang si Pemuda berkata. Pandangannya terpancang ke arahku. Aku jadi tahu bagaimana kau bertahan hidup di jalanan.
Aku hanya mengangkat bahu. Cuma itu satu-satunya cara, kan"
Pemuda itu mengalihkan pandangan. Aku menghela napas. Aku sadar bahwa aku membeku di tempatku berdiri saat dia menatapku.
Mungkin kaulah yang harus mencuri makanan untuk kita, bukan aku, lanjutnya. Para pedagang selalu lebih percaya pada perempuan, terutama yang sepertimu. Apa maksudmu"
Kau tahu maksudku. Aku tak bisa menahan senyum. Seperti halnya kau. Sementara kami duduk untuk mengawasi kios-kios, aku mencatat dalam hati. Aku masih bisa tinggal bersama mereka berdua semalam lagi, sampai kondisiku cukup baik untuk berburu informasi tentang Day. Siapa tahu mereka berdua bisa memberiku petunjuk.
Saat sore tiba dan panasnya matahari mulai berkurang, kami kembali ke tepi perairan dan mencari tempat untuk bermalam. Kulihat di sekelilingku cahaya lilin mulai menyala, mulai dari jendela berkaca sampai jendela tak berkaca. Di sana-sini, penduduk setempat menyalakan api kecil di se panjang pinggiran gang kecil. Polisi-polisi shif malam me mulai ronda mereka.
163 Sekarang, sudah lima malam aku di sini. Aku masih belum terbiasa dengan dinding-dinding yang hancur, jemuran pakaian usang di balkon-balkon, sekelompok pengemis muda yang mengharapkan makanan dari orang lewat & tapi paling tidak, aku sudah tidak meremehkan semua itu. Aku malu waktu teringat malam pemakaman Metias, saat aku meninggalkan sepotong besar daging steak tak tersentuh di piringku tanpa pikir panjang.
Tess berjalan di depan kami dengan langkah riang, sepe nuh nya tak terpengaruh oleh sekelilingnya. Aku bisa mend e ngarnya samar-samar menggumamkan sebuah nada. Waltz Elector, bisikku, mengenali lagu itu. Dari samping, si Pemuda melirikku sekilas. Dia nyengir. Sepertinya kau penggemar Lincoln, ya"
Aku tidak bisa memberitahunya bahwa aku punya semua ko pi lagu-lagu Lincoln dan beberapa memorabilia dengan tan da tangannya. Aku juga menontonnya menampilkan la gu-la gu politik secara langsung di perjamuan makan kota. Dan, aku tahu dia pernah menulis sebuah lagu untuk me nge nang se tiap jenderal Republik yang pergi ke medan pe rang. Alih-alih mengatakan semua itu, aku tersenyum. Ya, ku rasa begitu.
Dia membalas senyumku. Giginya sangat bagus, gigi terbagus yang kulihat sepanjang aku berada di jalanan. Tess suka musik, sahutnya. Dia selalu membawaku melewati bar-bar di sekitar sini dan berdiri di dekatnya agar dia bisa men dengarkan lagu apa pun yang diputar di dalam. Entahlah. Hal-hal cewek.
164 Satu setengah jam kemudian, lagi-lagi si Pemuda menyadari kelelahanku. Dia memanggil Tess dan memimpin kami menuju salah satu gang kecil, di mana banyak tempat sampah logam besar di antara dua dinding. Dia mendorong salah satu di antara tempat sampah itu agar ada ruang un tuk kami. Lalu, dia berjongkok di belakangnya, memberi isyarat pada Tess dan aku untuk duduk, dan mulai membuka kan cing rompinya.
Wajahku memerah. Syukurlah sekeliling kami gelap. Aku tidak kedinginan dan tidak berdarah, ujarku padanya. Tetaplah pakai bajumu.
Pemuda itu menatapku. Kupikir mata cerahnya akan ter lihat lebih redup pada malam hari, tapi alih-alih be gitu, matanya malah memantulkan cahaya yang datang dari jendela di atas kami. Dia terlihat geli. Siapa yang membicarakan-mu, Manis" Dia melepas rompinya, melipatnya rapi, lalu menaruhnya di samping salah satu roda tempat sampah. Tess duduk dan merebahkan kepala di atas nya begitu saja, seolah-olah itu kebiasaan lama.
Aku berdeham. Tentu saja, gumamku, mengabaikan tawa pelan si Pemuda.
Tess masih terjaga dan mengobrol dengan kami, tapi segera saja kelopak matanya memberat hingga akhirnya dia jatuh tertidur dengan kepala di atas rompi si Pemuda. Aku dan pemuda itu tenggelam dalam keheningan. Kubiarkan pandanganku tetap tertuju pada Tess.
Dia kelihatan sangat rapuh, bisikku.
Yeah & tapi dia lebih tangguh dari kelihatannya.
165 Kutatap dia sekilas. Kau beruntung dia bersamamu. Pandanganku turun ke kakinya. Dia melihat gerakan mataku dan cepat-cepat membetulkan posisi tubuhnya. Dia pasti sangat membantu merawat kakimu.
Dia sadar aku memperhatikan pincangnya. Luka ini sudah lama sekali kudapat. Dia bimbang, kemudian memu tus kan untuk tidak bicara lebih jauh tentang hal itu. Ngo mong-ngomong, bagaimana lukamu sendiri"
Aku mengibaskan tangan. Tidak apa-apa. Namun, aku menggertakkan gigi waktu mengatakannya. Berjalan se harian sama sekali tidak membantu, dan rasa sakit itu kembali menyebar dengan cepat.
Pemuda itu melihat ketegangan di wajahku. Kita harus mengganti perbanmu. Dia berdiri dan, tanpa membangunkan Tess, dengan cekatan ditariknya segulung perban putih dari saku gadis itu. Aku tidak bisa melakukannya sebaik dia, bisiknya. Tapi lebih baik aku tidak membangunkannya.
Dia duduk di sebelahku dan membuka dua kancing ba wah kemejaku, lalu menggulungnya ke atas sampai dia bisa melihat perban di pinggangku. Kulitnya menyentuh ku litku. Kucoba untuk tetap fokus pada tangannya. Dia me narik sesuatu yang terlihat seperti pisau dapur pendek dari be la kang sepatu botnya (pegangan perak tanpa motif, ping gir an nya sudah usang dia sudah sering menggunakan pisau itu sebelumnya. Sebuah benda lebih susah diselami daripada pakaian).
Sebelah tangannya berada di perutku. Meskipun jarijarinya tebal dan mengeras karena bertahun-tahun hidup
166 di jalanan, sentuhannya sangat lembut dan hati-hati sampai aku merasa pipiku memanas.
Tahan sebentar, gumamnya. Dengan hati-hati, dia meng angkat perbanku dengan menggunakan pisaunya. Aku me ngernyit.
Sedikit tetesan darah masih merembes dari luka tusuk an pisau Kaede, tapi syukurlah, tidak ada tanda-tanda in feksi. Tess tahu apa yang dia lakukan. Pemuda itu melepas sisa perban lama dari pinggangku, menyingkirkannya, lalu membalutkan perban baru.
Kita di sini sampai pagi, katanya sembari bekerja. Seharusnya hari ini kita tidak berjalan terlalu banyak tapi kau tahu, menjauhkanmu dari orang-orang Skiz bukan ide buruk.
Sekarang, aku tak bisa menahan diri untuk tidak menatap wajahnya. Pemuda ini pasti hampir tidak lulus Ujiannya. Namun, itu tidak berarti apa-apa. Dia tidak bersikap seperti anak jalanan yang putus asa. Dia punya banyak sisi lain yang membuatku ingin tahu apakah dia selalu tinggal di sektor-sektor kumuh.
Saat ini dia menatapku, memperhatikanku sedang mem - pe l ajari dirinya, dan selama sesaat berhenti melakukan kegiat an nya. Sedikit emosi rahasia melintas cepat di matanya. Suatu keindahan misterius. Pastinya dia juga punya per ta nya - an-pertanyaan yang sama tentangku, bagaimana aku bi sa me nge tahui begitu banyak detail hidupnya. Bahkan, mung - kin dia bertanya-tanya hal apa lagi yang berikutnya akan
167 ku temukan. Sekarang, dia begitu dekat dengan wajahku sam pai-sampai aku bisa merasakan napasnya di pipiku. Aku me nelan ludah. Dia mendekat sedikit.
Sekejap, kupikir dia akan menciumku.
Kemudian, dia segera mengalihkan pandangan ke lukaku. Tangannya menyentuh pinggangku selama dia bekerja. Kusadari bahwa pipinya juga merah jambu. Dia sama bergairahnya denganku.
Akhirnya, dia mengencangkan ikatan perban, merapikan kemejaku lagi, lalu menjauh. Dia bersandar ke dinding di sebelahku sambil meletakkan tangannya di lutut. Capek"
Aku menggeleng. Mataku menjelajahi jemuran pakaian beberapa lantai di atas kepala kami. Kalau kami kehabisan perban, di sanalah aku bisa mendapat yang baru. Kupikir lusa aku bisa meninggalkan kalian, kataku setelah diam se jenak. Aku tahu, aku memperlambat gerakan kalian.
Namun, aku merasakan gelombang penyesalan saat kata-kata itu keluar dari mulutku. Aneh. Aku tidak mau mening gal kan mereka secepat ini. Ada sesuatu yang membuat nyaman bersama Tess dan pemuda ini, seolah-olah ketiadaan Metias tidak seluruhnya membuatku kehilangan orangorang yang peduli padaku.
Apa yang kupikirkan" Pemuda ini adalah orang dari sektor kumuh. Aku sudah dilatih untuk menghadapi lakilaki seperti ini, untuk tidak dekat-dekat dengan mereka. Kau akan pergi ke mana" tanyanya.
168 Kufokuskan kembali pikiranku. Suaraku dingin dan te nang. Ke timur, mungkin. Aku lebih terbiasa dengan sek tor-sektor dalam.
Pemuda itu tetap menatap ke depan. Kau bisa tinggal lebih lama, kalau yang akan kau lakukan hanya mengembara di jalanan di tempat lain. Petarung hebat sepertimu akan ber guna bagiku. Kita bisa cepat mendapat uang dalam per tarungan Skiz dan berbagi jatah makanan. Berdua akan lebih baik.
Dia menawarkan ide ini dengan tulus, membuatku ter se nyum. Kuputuskan untuk tidak bertanya kenapa dia sen diri tidak ikut dalam pertarungan Skiz. Trims, tapi aku lebih suka bekerja sendiri.
Dia tidak membantah. Cukup adil. Dan bersamaan dengan itu, dia menyandarkan kepala ke dinding, mendesah, lalu menutup mata. Selama sesaat aku memperhatikannya, menunggunya kembali membuka mata briliannya menatap dunia. Tapi, dia tidak melakukannya. Setelah beberapa waktu, kudengar napasnya berubah teratur dan kulihat kepalanya terkulai. Aku tahu dia sudah tidur.
Aku berpikir untuk menghubungi homas. Tapi, aku se dang tidak ingin mendengar suaranya, entah kenapa. Besok saja, hal pertama yang kulakukan. Kusandarkan punggung ke dinding dan menengadah, melihat jemuran pakaian di atas kami. Dari kejauhan terdengar suara orang-orang shif malam dan iklan-iklan JumboTrons yang biasa. Malam itu
169 damai, seperti berada di rumah. Keheningan membuatku berpikir tentang Metias.
Kupastikan suara tangisku tidak membangunkan Tess dan pemuda itu.[]
SEMALAM AKU HAMPIR MENCIUM GADIS ITU.
Tapi, tidak ada untungnya jatuh cinta pada seseorang dari jalanan. Itu adalah hal lemah yang paling tidak boleh kau lakukan, saat kau punya keluarga yang sedang dikarantina atau anak yatim piatu yang membutuhkanmu.
Namun & sebagian diriku masih ingin menciumnya, tak peduli betapa hal itu mungkin akan mengacaukan segalanya. Gadis itu dapat menguraikan detail dari jarak jauh ( Bingkai jendela lantai tiga di gedung itu pasti dipungut dari tempat sampah di sektor orang kaya. Terbuat dari kayu ceri yang kuat. ). Dalam satu lemparan pisau, dia dapat me nu suk hotdog di kios tanpa penjaga. Aku bisa melihat ke cer dasannya pada setiap pertanyaan yang dia tanyakan pa da ku dan setiap observasi yang dilakukannya. Tapi pada saat bersamaan, ada kepolosan yang membuatnya sa ngat berbeda dengan kebanyakan orang yang pernah kutemui. Dia tidak sinis atau lesu. Hidup di jalanan tidak meng hancur kannya. Sebaliknya, malah menguatkannya. Seperti aku.
Sepanjang pagi, kami kembali mencoba berbagai kesem pat an untuk mendapat uang polisi naif untuk dicopet, barang-barang di tempat sampah untuk dijual lagi, petipeti tak terjaga di dermaga untuk dibongkar dan ketika se mua nya selesai, kami menemukan tempat baru untuk
171 ber malam. Kucoba memfokuskan pikiran pada Eden dan pada uang yang harus kukumpulkan sebelum terlambat, tapi alih-alih begitu, aku malah memikirkan cara-cara baru untuk mengacaukan kampanye perang Republik. Aku bisa menyusup ke dalam salah satu zeppelin, menyedot bahan bakarnya yang berharga, kemudian menjualnya ke pasar atau membagi-bagikannya ke orang yang membutuhkan. Aku bisa menghancurkan semua zeppelin sebelum lepas lan das ke medan perang. Atau, memotong aliran listrik ke Ba talla atau ke lapangan udara hingga mati semua. Pikiranpikir an itu menyibukkanku.
Tapi terkadang, waktu aku mencuri pandang ke arah si Gadis atau merasakan tatapannya padaku, tanpa daya pi kiranku langsung melayang memikirkan dirinya.[]
h amPir Pukul 20.00. s ekurang kurangnya 80" F ahrenheit .
Aku dan pemuda itu duduk bersama-sama di gang kecil lain sementara Tess tidur tak jauh dari sini. Lagi-lagi si Pemuda memberikan rompinya pada Tess. Aku memperhatikan saat dia mengikir kukunya dengan pinggiran pisaunya. Sekali ini dia melepas topinya dan menyisir rambutnya yang kusut.
Suasana hatinya sedang bagus. Kau mau minum sedikit" tanyanya padaku.
Sebotol anggur lezat berada di antara kami. Itu barang murahan, mungkin terbuat dari buah anggur lunak yang tum buh di laut. Tapi, pemuda itu bersikap seolah-olah anggur tersebut adalah yang terbaik di muka bumi. Tadi sore dia telah mencuri sekotak botol dari sebuah toko di sektor Winter dan menjual semuanya seharga 650 Notes kecuali yang satu ini. Caranya membujuk orang-orang tak pernah berhenti membuatku kagum. Kecerdasannya sebanding dengan mahasiswa-mahasiswa cemerlang di Drake.
Aku mau kalau kau juga minum, kataku. Tidak boleh me nyia-nyiakan barang curian bagus, kan"
Dia nyengir mendengarnya. Aku menontonnya menusuk kan pisau ke sumbat botol, meletupkannya lalu meneguk
173 isinya. Dia menyeka mulut dengan jempol dan tersenyum pa daku. Enak, katanya. Minumlah.
Kuterima botol itu dan menyesapnya sedikit, lalu kukem balikan padanya. Rasa asin tertinggal di mulut, seperti yang sudah kuduga. Setidaknya itu mengurangi rasa sakit di pinggangku.
Kami melanjutkan bergantian tegukan besar untuknya, sesapan kecil untukku sampai dia menyumbat kembali botol itu, kelihatannya mau menyimpannya saat dia merasa kesadarannya mulai menumpul. Meski demikian, matanya terlihat lebih berkilat, dan iris birunya mencerminkan kilauan yang indah.
Mungkin dia tidak akan membiarkan dirinya kehilangan fokus, tapi aku tahu anggur itu membuatnya rileks. Jadi, ka takan padaku, kuputuskan untuk bertanya. Kenapa kau sangat butuh uang"
Pemuda itu tertawa. Apa pertanyaan itu serius" Tidakkah kita semua ingin lebih banyak uang" Memangnya kau per nah punya cukup uang"
Kau mau menjawab semua pertanyaanku dengan per - ta nya an"
Dia tertawa lagi. Namun waktu dia bicara, suaranya ber nada sedih. Kau tahu, uang adalah hal terpenting di du nia ini. Uang bisa memberimu kebahagiaan, dan aku tak pe duli apa yang orang lain pikirkan. Uang akan membuatmu bisa mem beli pertolongan, status, teman, keamanan & semua hal.
174 Kuperhatikan pandangannya yang menerawang. Kelihat an nya kau benar-benar terdesak harus punya banyak uang.
Kali ini dia memandangku geli. Kenapa tidak" Kau mung kin sudah tinggal di jalanan selama aku. Seharusnya kau tahu jawaban pertanyaan itu, kan"
Aku menunduk, tidak ingin dia tahu yang sebenarnya. Kurasa begitu.
Selama beberapa saat, keheningan menyelimuti kami. Pemuda itu yang bicara duluan. Saat melakukannya, ada kelembutan dalam suaranya sehingga mau tak mau aku menatapnya. Aku tak tahu apakah ada yang pernah mengata kan ini padamu, dia mulai. Wajahnya tidak merona dan matanya tidak berpaling dariku. Aku merasa memandang se pasang lautan yang satunya sempurna, sedangkan yang lainnya sedikit beriak. Kau sangat menarik.
Penampilanku sudah sering dipuji sebelumnya, tapi tidak dalam nada suara seperti ini. Dari semua hal yang dia katakan, aku tak tahu kenapa kalimat ini membuat pertahanan ku runtuh. Tapi yang lebih mengejutkanku adalah aku mem balasnya tanpa berpikir, Aku juga bisa mengatakan hal yang sama tentangmu, aku berhenti sebentar. Kalauka lau kau tidak tahu.
Cengiran kecil menghiasi wajahnya. Oh, percayalah. Aku tahu.
Aku tertawa. Senang mendengar kejujuran. Aku ti dak bisa mengalihkan tatapan darinya. Akhirnya, aku me nam - bah kan, Kupikir kau terlalu banyak minum anggur, Te-
175 man. Kubuat suaraku seringan yang kubisa. Sedikit tidur akan mem buatmu baikan.
Kata-kata itu baru saja keluar dari mulutku saat si Pe mu da mencondongkan tubuh dan memegang pipiku. S e luruh latihan yang pernah kudapat mengajarkan untuk me na han tangannya dan memitingnya ke tanah. Tapi, saat ini aku tidak melakukan apa-apa, kecuali duduk diam. Dia menarikku ke arahnya. Aku menarik napas sebelum dia men ciumku. Begitu lama.
Dia menarik diri duluan. Kami saling tatap dalam kehe ningan liar, seolah tidak ada salah satu dari kami yang bisa memahami apa yang baru saja terjadi.
Kemudian, dia mendapatkan ketenangannya kembali, dan saat aku berjuang untuk mengembalikan ketenanganku sendiri, dia bersandar di dinding belakangku sambil mendesah.
Maaf, gumamnya. Dia menatapku dengan pandangan nakal. Aku tak bisa menahannya. Tapi setidaknya sudah se le sai.
Aku memandanginya sedikit lebih lama, masih tak mam pu bicara. Otakku menjerit agar aku mengumpulkan pikiran. Pemuda itu masih menatapku. Kemudian dia ter senyum, seolah-olah memahami efek seperti apa yang ditimbul kan nya, lalu berpaling. Aku mulai bernapas lagi.
Saat itulah aku melihat gerakan yang menyentakkanku sepenuhnya kembali ke tempat ini: sebelum dia berbaring untuk tidur, dia mencengkeram sesuatu di sekeliling lehernya. Itu seperti gerakan otomatis yang tidak dia sadari.
176 Ku pan dangi lehernya, tapi aku tidak melihat sesuatu yang ter gantung di sekelilingnya. Tadi dia mencengkeram suatu ka lung ba yang an, suatu perhiasan kecil atau tali bayangan.
Dan saat itulah, dengan perasaan muak, aku teringat bandul di sakuku. Bandul Day.[]
SAAT SI GADIS AKHIRNYA TERTIDUR, KUTINGGALKAN dia ber sa ma Tess untuk pergi mengunjungi keluargaku lagi. Uda ra yang lebih dingin menjernihkan pikiranku. Waktu aku su dah cukup jauh dari gang kecil itu, aku menghela na pas panjang dan mempercepat jalanku. Seharusnya aku tidak melakukannya, kataku pada diri sendiri. Seharusnya aku tidak menciumnya. Terutama, seharusnya aku tidak se nang karena sudah melakukan itu. Tapi aku senang. Aku masih bisa merasakan bibirnya di bibirku, kulit wajah dan lengannya yang lembut dan halus, sedikit getar di tangannya. Aku telah mencium banyak gadis cantik sebelumnya, tapi ti dak ada yang seperti ini. Aku ingin lagi. Aku tak percaya tadi aku menarik diri duluan.
Sudah tak berguna lagi memperingatkan diri untuk ti dak jatuh cinta pada orang dari jalanan.
Sekarang, aku memaksa diri berkonsentrasi untuk ber te mu John. Kuabaikan tanda X aneh di pintu rumah ke luar ga ku dan langsung menuju papan lantai yang ada di sam ping serambi. Lilin-lilin berpendar di birai jendela ka mar. Ibuku pasti tidur larut karena menjaga Eden. Selama be be rapa waktu, aku berjongkok dalam kegelapan, me no leh se ben tar untuk memeriksa jalanan yang kosong, ke mu dian me nying kirkan papannya dan berlutut.
178 Ada sesuatu yang bergerak dalam kegelapan di seberang jalan. Aku terdiam sesaat dan memicingkan mata. Tidak ada apa-apa. Ketika aku yakin tidak melihat siapasiapa, kurendahkan kepala lalu merangkak pelan di bawah serambi.
John sedang menghangatkan sup di dapur. Tiga kali ku keluarkan siulan pelan yang terdengar seperti suara jangkrik. Aku harus melakukannya beberapa kali sampai John mendengarnya dan membalikkan tubuh. Kemudian, aku beranjak dari serambi menuju pintu belakang rumah, tem patku bertemu kakakku dalam kegelapan.
Aku punya 1.600 Notes, bisikku sambil menunjukkan kan tong uangnya. Hampir cukup untuk beli obat. Bagaima na Eden"
John menggelengkan kepala. Keresahan di wajahnya membuatku gelisah, karena dialah yang selalu kuharapkan untuk menjadi yang terkuat di keluarga kami. Tidak baik, ujar nya. Berat badannya turun lagi. Tapi, dia masih sadar dan mengenali kita. Kurasa dia masih punya beberapa ming gu.
Aku mengangguk dalam diam, tidak ingin memikirkan kemungkinan kami kehilangan Eden. Aku janji akan se g e ra mendapat uangnya. Yang kubutuhkan hanya satu keberuntungan lagi untuk menerobos rumah sakit, lalu kita akan dapat obatnya.
Berhati-hatilah, pintanya. Dalam kegelapan, kami terlihat seperti anak kembar. Rambut yang sama, mata yang sama. Ekspresi yang sama. Aku tidak mau kau menempat kan diri dalam bahaya yang tak seharusnya. Kalau ada
179 cara yang bisa kulakukan untuk menolongmu, aku akan me laku kannya. Mungkin kapan-kapan aku bisa menyelinap ber samamu dan
Aku memandangnya marah. Jangan bodoh. Kalau para tentara menangkapmu, kalian semua mati. Kau tahu itu. Wa jah frustrasi John membuatku merasa bersalah ka rena lang sung menolak bantuannya. Aku lebih cepat de ngan ca ra ini. Serius. Lebih baik hanya satu dari kita yang ada di luar mencari uang. Tak ada gunanya kalau kau mati.
John mengangguk meskipun aku tahu masih ada yang mau dia katakan. Aku berbalik untuk menghindarinya. Aku harus pergi, kataku. Aku akan menemuimu lagi se ce pat - nya. []
D ay Pasti BerPikir aku suDah tiDur . t aPi tengah malam aku melihatnya bangun dan pergi, jadi aku mengikutinya. Dia pergi ke zona karantina, masuk ke sebuah rumah dengan tanda X bergaris, dan muncul lagi beberapa menit kemudian.
Itu sudah cukup. Aku memanjat atap sebuah bangunan dekat situ. Di sana, aku meringkuk dalam bayang-bayang cerobong asap dan menyalakan mikrofonku. Aku sangat marah pada diriku sendiri karena tidak bisa meredakan getaran dalam suaraku. Aku telah membiarkan diriku terpesona oleh orang terakhir yang kuinginkan.
Mungkin Day tidak membunuh Metias, aku berkata pada diri sendiri. Mungkin orang lain yang melakukannya. Ya Tu han apa sekarang aku sedang mengarang alasan untuk me lin dungi pemuda itu"
Aku sudah bertingkah seperti orang idiot di depan pembu nuh Metias. Apakah jalanan di Lake telah membuatku ber ubah menjadi gadis yang sangat naif" Apakah aku baru saja mempermalukan kenangan tentang kakakku" homas, bisikku. Aku menemukannya. Ada semenit penuh bunyi gemeresik sebelum aku men de ngar homas menjawabku. Anehnya, saat dia menja-
181 wab, suaranya terdengar netral. Bisakah kau ulangi, Miss Iparis"
Kemarahanku meluap. Kubilang aku menemukannya. Day. Dia baru saja mengunjungi sebuah rumah di zona ka ran tina Lake, sebuah rumah dengan tanda X bergaris di pintunya. Terletak di sudut Figueroa dan Watson.
Apa kau yakin" kini suara homas terdengar lebih was pa da. Kau benar-benar yakin.
Kuambil bandul dari sakuku. Ya. Tidak salah lagi. Ada keributan di ujung sana. Suara homas sekarang ber se mangat. Di sudut Figueroa dan Watson. Di situlah ada kasus wabah yang tidak biasa, yang rencananya mau kami periksa pagi ini. Kau yakin itu Day" dia bertanya lagi. Ya.
Truk medis akan ada di rumah itu besok. Kami akan mem bawa penghuninya ke Rumah Sakit Pusat.
Kalau begitu bawalah pasukan tambahan. Aku ingin bantuan saat Day muncul untuk melindungi keluarganya. Aku teringat cara Day merangkak di bawah papan lantai. Dia tidak punya waktu untuk membawa mereka keluar, jadi ke mung kin an dia akan menyembunyikan mereka di suatu tempat di rumah itu. Kita harus membawa mereka ke sayap rumah sakit Aula Batalla. Jangan sampai ada yang terluka. Aku ingin mereka di sana untuk kita tanyai.
Kelihatannya homas kaget dengan nada suaraku. Kau akan mendapat pasukan yang kau minta, ujarnya. Dan aku sangat berharap kau baik-baik saja.
182 Rasa bibir Day, ciuman kami, dan tangannya yang membelaiku seharusnya semua itu jadi tidak ber arti lagi sekarang. Lebih buruk daripada tidak berarti. Aku baikbaik saja.
Aku kembali ke gang kecil sebelum Day sadar aku meng hi lang.[]
DALAM TIDURKU YANG CUMA BEBERAPA JAM SEBELUM fajar, aku memimpikan rumah.
Setidaknya, tempat itu terlihat seperti rumah yang ku ingat. John duduk bersama ibuku di ujung meja makan, mem bacakan sebuah kisah dari buku tentang cerita-cerita lama Republik. Ibu mengangguk menyemangatinya saat dia berhasil membacakan satu halaman penuh tanpa ada kata atau huruf yang tertukar. Aku tersenyum pada mereka dari tem patku berdiri di dekat pintu. John adalah yang paling ku at di antara kami, tapi dia punya kesabaran, satu sifat Ayah yang tidak kuwarisi. Di ujung lain meja, Eden se dang menggambar sesuatu di kertas. Dalam mimpiku, Eden selalu sedang menggambar. Dia terus menunduk, tapi aku tahu dia juga mendengarkan cerita John karena dia ter tawa pada saat yang tepat.
Kemudian, aku sadar bahwa si Gadis berdiri di samping ku dan aku menggenggam tangannya. Dia tersenyum pa daku, membuat ruangan ini dipenuhi cahaya. Aku balas ter se nyum.
Aku ingin kau bertemu ibuku, kataku padanya. Dia menggeleng. Saat aku melihat lagi ke meja makan, John dan Ibu masih di situ, tapi Eden sudah tidak ada.
Senyum si Gadis memudar. Dia menatapku dengan ta tap an sedih. Eden sudah mati, ujarnya.
184 Suara sirene dari kejauhan membuatku terbangun. Beberapa saat lamanya, aku tetap terbaring diam dengan mata terbuka, berusaha agar bisa bernapas lagi. Mimpi ku masih terasa sangat jelas di pikiranku. Kufokuskan per hatian ke suara sirene untuk mengalihkan pikiran. Kemu dian, aku sadar bahwa yang kudengar bukan raungan sirene polisi biasa, juga bukan sirene ambulans. Itu adalah sirene truk medis militer yang digunakan untuk membawa tentara yang terluka ke rumah sakit. Sirene tersebut lebih keras dan lengkingannya lebih tinggi daripada sirene yang lain karena truk militer mendapat prioritas utama.
Tapi, tidak ada tentara terluka kembali ke Los Angeles. Mereka dirawat di perbatasan medan perang. Di sini, truk-truk ini digunakan untuk mengangkut kasus-kasus wabah yang tidak biasa ke lab, sebab peralatan di sana lebih leng kap.
Bahkan, Tess mengenali suara itu. Mau ke mana me - re ka" tanyanya.
Entah, sahutku, lalu duduk dan menatap sekeliling. Si Gadis terlihat sudah bangun cukup lama. Dia duduk beb e r apa meter dariku, punggungnya bersandar ke dinding. Ma tanya menatap ke jalan, wajahnya menunjukkan dia se dang berkonsentrasi. Kelihatannya dia tegang.
Pagi, aku menyapanya. Pandanganku tertuju ke bibirnya. Benarkah semalam aku menciumnya"
Dia tidak menatapku. Ekspresinya tidak berubah. Rumah keluargamu ditandai, kan"
Tess memandangnya terkejut. Aku membelalak pada si Gadis dalam diam, tak tahu bagaimana harus merespons.
185 Ini pertama kalinya ada orang selain Tess yang berbicara tentang keluargaku.
Semalam kau mengikutiku. Aku tahu seharusnya aku marah tapi aku tidak merasakan apa-apa selain kebingung an. Dia pasti mengikutiku bukan karena penasaran. Aku kaget betul-betul syok karena dia bisa membuntutiku tanpa suara.
Namun, pagi ini ada sesuatu yang berbeda pada si Gadis. Tadi malam dia sangat tertarik padaku sebagaimana aku sangat tertarik padanya tapi hari ini dia menjauh mundur. Apa aku sudah melakukan sesuatu yang membuatnya marah"
Si Gadis menatapku lekat-lekat. Untuk inikah kau me - nyimpan semua uang itu" Obat wabah"
Dia mengujiku, tapi aku tidak tahu kenapa. Ya, jawabku. Kenapa"
Kau terlambat, katanya. Karena hari ini patroli wabah datang untuk membawa keluargamu pergi. []
a ku tiDak Perlu mengatakan leBih Ba nyak lagi untuk mem bujuk Day pergi. Truk medis itu, hampir bisa dipastikan me nuju Figueroa dan Watson, sudah datang seperti yang ho mas janjikan.
Apa maksudmu" tanya Day. Keterkejutan belum melan da nya. Apa maksudmu, mereka datang untuk membawa keluargaku" Dari mana kau tahu"
Jangan bertanya. Kau tidak punya waktu untuk itu. Aku bimbang. Pandangan mata Day terlihat sangat ketakutan sangat rapuh dan mendadak hal itu meruntuhkan se mua kekuatanku untuk membohonginya. Kucoba mengem bali kan kemarahan yang kurasakan semalam. Aku me lih atmu mengunjungi zona karantina keluargamu sema lam, dan aku mendengar beberapa penjaga berbicara ten tang operasi hari ini. Mereka menyebut-nyebut sebuah rumah dengan tanda X bergaris. Aku sedang mencoba menolongmu dan kuberi tahu kau untuk pergi sekarang juga.
Aku telah mengambil keuntungan dari kelemahan ter be sar Day. Dia tidak ragu-ragu, tidak berhenti untuk mem per tanya kan apa yang kukatakan, bahkan tidak bertanya-tanya kenapa aku tidak langsung memberitahunya. Alih-alih begitu, dia segera melompat bangun dan berlari
187 ce pat ke arah bunyi sirene itu. Herannya, aku merasakan rasa ber salah yang pedih. Dia percaya padaku dengan bo doh nya, juga dengan sepenuh hati, benar-benar percaya pa da ku. Faktanya, aku tak tahu apakah ada orang yang dengan sebegitu mudahnya memercayai apa yang kukatakan. Bah kan, Metias pun rasanya tidak.
Rasa takut mulai terpancar di mata Tess seiring kepergian Day. Ayo, kita ikuti dia! serunya. Dia melompat ber di ri dan menggandeng tanganku. Dia mungkin butuh ban tuan kita.
Tidak, bentakku. Kau tunggu di sini. Aku yang akan meng ikutinya. Tetap diam seseorang akan kembali un tuk mu.
Aku tidak repot-repot menunggu balasan Tess sebelum aku lari ke jalan. Saat aku menoleh sekilas, kulihat Tess ber diri di gang kecil itu dengan tatapan terpancang pada so sok ku yang semakin menghilang. Kupalingkan kepala kem bali. Yang terbaik adalah menjauhkannya dari semua ini. Kalau hari ini kami menangkap Day, apa yang akan terjadi padanya" Aku membuat suara klik dengan lidahku untuk me nya la kan mikrofon.
Terdengar gemeresik sesaat di earpiece kecilku, kemu dian aku mendengar suara homas. Katakan padaku, ujar nya. Apa yang terjadi" Kau di mana"
Sekarang Day sedang menuju Figueroa dan Watson. Aku mengikutinya.
homas menarik napas. Baik. Kami sudah menyebar. Sampai bertemu sebentar lagi.
188 Tunggu sebentar jangan sampai ada yang terluka tapi sambungan sudah terputus.
Aku berlari cepat di sepanjang jalan meski lukaku berde nyut protes. Day tidak mungkin pergi terlalu jauh dia ha nya kurang dari setengah menit di depanku. Kuarahkan langkah ke tempat Day pergi malam sebelumnya, yaitu ke selatan menuju Stasiun Union.
Ternyata benar, tak lama kemudian aku melihat kilasan topi usang Day di tengah keramaian, jauh di depanku.
Seluruh kemarahan, ketakutan, dan kecemasanku kini tertuju ke kepalanya. Aku harus memaksa diri menjaga jarak di antara kami sehingga dia tidak tahu aku mengikutinya. Sebagian diriku mengingat caranya menyelamatkan aku da ri pertarungan Skiz, betapa dia telah menolongku me nyembuh kan luka yang membakar di pinggangku, betapa lembut nya tangannya. Aku ingin menjerit padanya. Aku ingin membencinya karena membuatku sangat bingung. Cowok bodoh! Suatu keajaiban kau bisa begitu lama menghindar dari pemerintah tapi sekarang kau tak bisa sembunyi, tidak ketika keluarga atau temanmu dalam bahaya.
Aku tidak bersimpati pada penjahat, kuperingatkan diri sendiri keras-keras. Hanya ada dendam untuk dibalas.[]
BIASANYA, AKU BERTERIMA KASIH PADA BANYAKNYA orang di jalan-jalan Lake. Mudah untuk menyusup di antara mereka sehingga kau bisa melepaskan diri dari orang yang membuntutimu atau ingin bertarung denganmu. Aku tak ingat sudah be rapa ba nyak aku memanfaatkan kesibukan jalanan ini un tuk ke untunganku sendiri. Tapi, hari ini mereka hanya mem per lambatku. Meskipun lewat jalan pintas di sepanjang tepi danau, aku hanya bisa sedikit mendahului suara sirene. Tak akan ada kesempatan untuk berlari lebih jauh lagi sebelum aku tiba di rumah keluargaku.
Aku tidak punya waktu membawa mereka keluar, tapi aku harus mencobanya. Aku harus sampai di tempat mereka sebelum para tentara.
Adakalanya, aku berhenti sejenak untuk memastikan truk itu masih melaju ke arah yang kupikir mereka tuju. Ter nya ta mereka benar-benar menuju langsung ke arah ling kung an tempat tinggal kami. Aku berlari lebih kencang. Bah kan, aku tidak berhenti ketika tanpa sengaja me nab rak seorang pria tua. Dia tersandung dan jatuh ke aspal.
Maaf! seruku. Aku bisa mendengar dia berteriak pa d a ku, tapi aku tidak berani membuang waktu dengan me no leh lagi.
Aku berkeringat saat sudah dekat ke rumah. Keadaan di sana masih sunyi dan diberi garis batas sebagai bagian
190 dari karantina. Aku mengendap-endap melewati jalan bela kang sampai aku berdiri di pagar belakang yang rusak. Lalu, pelan-pelan aku menyelinap masuk melalui lubang, me nyingkirkan papan lepas, dan merangkak di bawah seram bi. Bunga daisy air yang kuletakkan tempo hari ma sih ada di sana, tak tersentuh. Namun, bunga-bunga itu su dah layu dan mati.
Dari celah lantai, aku bisa melihat ibuku duduk di sam ping tempat tidur Eden. Tak jauh dari situ, John sedang membilas pakaian dalam sebuah baskom. Tatapan ku se - gera beralih pada Eden. Kondisinya kelihatan memburuk seolah-olah semua warna dirampas dari kulitnya. Na pas nya pendek dan parau, sangat keras sehingga aku bisa mendengarnya dari bawah sini.
Pikiranku menjerit mencari solusi. Aku mampu menolong John, Eden, dan ibuku lari sekarang juga, dengan risiko bertemu dengan patroli wabah atau polisi. Mungkin kami bisa mencari perlindungan di tempat-tempat aku dan Tess biasa bersembunyi. John dan ibuku jelas cukup kuat untuk berlari. Tapi bagaimana dengan Eden" John hanya bisa meng gendongnya selama beberapa waktu. Mungkin aku bisa mencari cara untuk menyelinap ke kereta kargo, lalu me nolong mereka keluar dari daerah pedalaman menuju & suatu tempat, entahlah.
Jika patroli itu benar-benar mencari Eden, John dan Ibu pun bisa meninggalkan pekerjaan mereka dan kabur. Mereka tetap akan dikarantina, apa pun yang terjadi. Aku da pat membawa mereka ke Arizona, atau mungkin Te xas
191 Barat. Barangkali setelah beberapa waktu berlalu, pa t roli wabah tidak akan repot-repot mencari mereka lagi.
Selain itu, bisa saja aku sudah salah dalam memulai bisa saja si Gadis salah dan patroli itu bukan datang untuk keluargaku. Aku masih bisa menabung untuk obat wabah Eden. Seluruh kecemasanku pun sia-sia.
Namun dari kejauhan, aku mendengar suara sirene truk medis semakin keras.
Mereka memang datang untuk membawa Eden. Kubulatkan tekad. Aku buru-buru keluar dari bawah se ram bi dan berlari cepat menuju pintu belakang. Dari luar sini aku bisa mendengar suara truk medis lebih jelas. Mereka se makin dekat. Kubuka pintu belakang , lalu berderap me nuju ruang keluarga.
Aku menghela napas panjang.
Kemudian kutendang pintunya, menyeruak ke dalam cahaya.
Ibuku memekik kaget. John berbalik, menghadap ke arahku. Selama beberapa saat, kami berdiri di sana, saling menatap satu sama lain, tak yakin harus melakukan apa.
Ada apa" Melihat ekspresiku, wajah John memucat. Apa yang kau lakukan di sini" Ceritakan apa yang terjadi. Dia mencoba memantapkan suaranya, tapi dia tahu ada se suatu yang benar-benar salah sesuatu yang benar-benar serius yang membuatku terpaksa menampakkan diri di ha dap an seluruh keluargaku.
Kulepas topi usangku, membuat rambutku terurai tu run berantakan. Ibu menutup mulut dengan kedua ta ngan nya yang diperban. Matanya berubah curiga, lalu me le bar.
192 Ini aku, Bu, kataku. Daniel.
Kusaksikan berbagai emosi berbeda melintas di wajah nya ketidakpercayaan, kesenangan, kebingungan sebelum beliau maju selangkah. Dia menatapku dan John ber gan tian. Aku tidak tahu mana yang lebih membuatnya ter gun cang & apakah fakta bahwa aku masih hidup atau bahwa John tampaknya mengetahui semua ini. Daniel" bisiknya.
Sangat aneh rasanya mendengar beliau menyebut na ma lamaku lagi. Buru-buru kupegang kedua tangan Ibu yang terluka. Tangan itu bergetar.
Tidak ada waktu untuk menjelaskan, kucoba mengabai kan ekspresi yang tampak di matanya. Warna mata itu biru cerah dan dulu mengandung sorot kuat seperti ma ta ku, tapi kini kesedihan memudarkannya. Bagaimana aku menghadapi Ibu yang mengira aku sudah bertahunta hun tewas"
Mereka datang untuk membawa Eden. Ibu harus menyem bunyi kannya.
Daniel" Jemarinya menyingkirkan helaian rambut da ri wa jahku. Mendadak aku kembali jadi anak kecil. Danielku. Kau hidup. Ini pasti mimpi.
Kupegang bahunya. Bu, dengar. Patroli wabah sedang menuju kemari dan mereka mengendarai truk medis. Apa pun virus yang menjangkiti Eden & mereka akan membawanya pergi. Kita harus menyembunyikan kalian semua.
Ibu mempelajari situasi sejenak, lalu mengangguk. Be liau mendahuluiku ke tempat tidur Eden. Dari dekat, aku bisa melihat mata gelap Eden entah bagaimana telah
193 meng hitam. Tidak ada pantulan apa pun di sana. Ngeri, kusadari warna hitam itu disebabkan iris matanya berdarah. Dengan hati-hati, aku dan Ibu membantu Eden duduk. Panas kulitnya terasa membakar. John mengangkat Eden ke bahunya dengan lembut seraya membisikkan kata-kata penenang.
Eden mendengking kesakitan. Kepalanya terkulai ke satu sisi, bersandar di leher John. Hubungkan dua sirkuit itu, dia bergumam.
Di luar, suara sirene masih berdengung pasti sekarang mereka berada kurang dari dua blok dari sini. Aku bertukar pandang putus asa dengan ibuku.
Di bawah serambi, bisiknya. Tidak ada waktu untuk lari.
Baik aku maupun John tidak membantah. Ibu menggeng gam tanganku erat-erat. Kami keluar lewat pintu belakang. Setibanya di luar, aku berhenti sesaat untuk meme riksa arah dan jarak kelompok patroli. Mereka hampir sampai. Aku segera menuju serambi dan menggeser papannya.
Eden duluan, bisik Ibu. John membuat posisi Eden nya man di bahunya, lalu berlutut dan merangkak ke dalam. Berikutnya aku menolong Ibu masuk, kemudian bergerak ce pat menyusul. Kubersihkan semua jejak yang kami ting gal kan di tanah, lalu dengan hati-hati mengembalikan papan ke tempatnya semula. Kuharap aku melakukannya dengan cukup baik.
Kami berdesakan di sudut tergelap tempat kami hampir tidak bisa melihat satu sama lain. Kupandangi se ber kas cahaya yang datang dari celah. Cahaya itu me nyi nari tanah
194 dan aku bisa melihat bunga daisy air yang kelopak nya sudah kusut. Selama beberapa saat, sirene truk medis terdengar jauh mereka pasti sedang berbelok di suatu tempat kemudian tiba-tiba saja, suara itu menghilang, disusul bunyi langkah berat bersepatu bot.
Berengsek. Mereka telah berhenti di depan rumah ka mi dan siap mendobrak masuk.
Tetap di sini, bisikku. Kupilin rambutku ke atas dan ku masukkan lagi ke dalam topi. Aku akan keluar untuk me nyingkirkan mereka.
Tidak. Itu suara John. Jangan keluar. Terlalu berbahaya.
Aku menggeleng. Terlalu berbahaya bagi kalian kalau aku tetap di sini. Percayalah. Aku mengedipkan mata ke Ibu, yang berusaha keras mengendalikan ketakutannya sam bil men ceritakan sebuah kisah pada Eden. Aku ingat be tapa Ibu selalu kelihatan tenang saat aku kecil, dengan sen yum lem but dan suara teduh. Aku mengangguk pada John. Aku akan kembali.
Di atas, kudengar seseorang mengetuk pintu. Patroli wabah, sebuah suara berseru. Buka pintunya!
Buru-buru aku menuju papan, berhati-hati meng ge ser - nya beberapa meter, kemudian keluar dengan su sah pa yah. Setelah itu, kugeser lagi papan tersebut ke tem pat nya. Pa gar rumah kami melindungiku dari kelompok pa t roli itu, tapi melalui lubang di pagar aku bisa melihat pa ra ten tara me nunggu di luar pintu. Aku harus bertindak ce pat. Sa at ini me reka tidak akan menduga seseorang akan me nye - rang balik.
195

Legend Karya Marie Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku berlari cepat tanpa suara ke bagian belakang rumah, mendapatkan pijakan kaki yang bagus pada sebuah batu bata lepas, lalu melentingkan tubuh ke depan. Kucengkeram pinggiran atap rumah kami, kemudian berayun ke atasnya.
Para tentara tidak bisa melihatku di sini karena tertutup cerobong asap kami yang lebar dan bayangan gedung yang lebih tinggi di sekitar. Tapi, aku bisa melihat mereka dengan baik.
Faktanya, pemandangan di bawah membuatku ter tegun. Ada yang salah di sini. Paling tidak kami punya ke sempatan kecil melawan seorang patroli wabah. Namun, ada lebih dari selusin tentara di depan rumah kami. Ku hitung sekurang-kurangnya ada dua puluh, mungkin lebih. Semuanya mengenakan masker putih yang terikat kencang di wajah mereka. Beberapa orang memakai masker gas penuh me nutupi wajah. Dua jip militer diparkir di samping truk me dis. Di depan salah satu jip itu, seorang tentara wanita ber pang kat tinggi dengan topi komandan berumbai merah se dang berdiri menunggu. Di sebelahnya ada seorang pria be ram but gelap berseragam kapten.
Dan di depan pria tersebut, tak bergerak dan tak terlindungi, si Gadis berdiri.
Dahiku berkerut, bingung. Mereka pasti telah menangkap nya dan sekarang mereka menyuruhnya melakukan se suatu. Itu berarti mereka pasti juga sudah menangkap Tess. Aku mencari-cari dalam kerumunan itu, tapi Tess tidak ter lihat di mana pun. Aku kembali menatap si Gadis. Dia
196 tampak tenang, tak terganggu oleh lautan tentara yang menge lilinginya. Dia mengencangkan masker di mulutnya.
Seketika aku sadar kenapa dari awal si Gadis tampak sangat tidak asing. Matanya. Mata gelap dengan kilatan emas itu. Kapten muda bernama Metias. Aku melarikan diri darinya pada malam aku menyusup ke Rumah Sakit Pu sat Los Angeles. Gadis itu punya mata yang sama persis de ngan nya.
Metias pasti kerabatnya. Seperti dia, si Gadis pasti bekerja untuk pihak militer. Aku tak percaya aku bisa sebodoh itu. Seharusnya aku menyadari ini lebih awal. Cepat-cepat kupindai wajah para tentara lain, ingin tahu apakah Metias di sini juga. Tapi, aku hanya melihat si Gadis. Mereka mengirimnya untuk memburuku. Dan sekarang karena kebodohanku, dia mengejarku tepat sampai ke keluargaku. Bahkan, bisa jadi dia sudah mem bunuh Tess. Kupejamkan mata aku telah memercayai gadis ini, telah tertipu sampai menciumnya. Aku bahkan ja tuh cinta padanya. Pikiran itu membuatku buta oleh kema rah an.
Bunyi dentaman keras terdengar dari rumah kami. Aku mendengar teriakan, lalu jeritan. Para tentara sudah me n e mu kan keluargaku mereka menghancurkan papan lantai dan mengeluarkan ketiganya.
Turunlah! Kenapa kau bersembunyi di atap" Tolong mereka! Namun, hal itu hanya akan menunjukkan hubungan me reka denganku, dan takdir mereka akan selesai sampai di situ. Lengan dan kakiku terasa beku.
197 Kemudian, dua orang serdadu bermasker gas muncul dari belakang rumah sambil menggiring ibuku di antara mereka. Tak jauh di belakangnya ada tentara-tentara menahan John, yang berteriak-teriak agar mereka melepaskan ibuku. Sepasang petugas medis keluar terakhir. Mereka mengikat Eden ke tempat tidur dorong dan membawanya menuju truk medis.
Aku harus melakukan sesuatu. Dari dalam saku, ku keluarkan tiga peluru perak yang Tess berikan padaku pe lu ru hasil penerobosan ke rumah sakit. Kupasang salah satu pe luru itu di katapel sementaraku. Kenangan waktu aku ber umur tujuh tahun melempar bola salju berapi ke markas be sar polisi melintas di pikiranku. Kemudian, kubidik katapel tersebut ke salah seorang tentara yang sedang me me gangi John, kutarik karetnya sejauh mungkin, lalu ku tem bak kan.
Peluru itu menggores lehernya sangat keras sehingga aku bisa melihat percikan darah sebagai imbasnya. Serdadu tersebut roboh sambil mencengkeram maskernya ketakut an. Segera saja serdadu-serdadu lain mengarahkan se na pan mereka ke atap. Aku merunduk tak bergerak di ba lik ce robong asap.
Si Gadis melangkah maju. Day. Suaranya bergema di ja lanan. Aku pasti gila karena berpikir mendengar rasa sim pati dalam suaranya. Aku tahu kau di sini, dan aku tahu kenapa. Dia menunjuk John dan ibuku. Eden sudah menghilang ke dalam truk medis.
Sekarang, ibuku tahu aku adalah penjahat yang dilihat nya dalam iklan-iklan peringatan di JumboTrons, tapi
198 aku diam saja. Kupasang peluru lain ke katapelku, lalu ku arahkan pada si Gadis.
Kau ingin keluargamu selamat. Aku paham itu, lanjutnya. Aku sendiri ingin keluargaku selamat.
Aku menarik karet katapel.
Suara si Gadis menjadi lebih memohon, bahkan mendesak. Sekarang, aku memberimu pilihan untuk me nye lamatkan keluargamu. Tunjukkan dirimu. Tolong. Tidak akan ada yang terluka.
Salah satu dari tentara-tentara yang berdiri di dekatnya mengangkat senapan lebih tinggi. Releks, kuayunkan katapelku ke arahnya dan langsung kutembakkan. Peluru me ngenai lututnya, membuatnya terjungkal ke depan.
Para tentara yang lain menembakiku. Aku semakin me runduk di balik cerobong asap. Bunga api beterbangan. Aku menggertakkan gigi dan memejamkan mata tak ada yang bisa kulakukan dalam situasi ini. Aku mati kutu.
Saat rentetan tembakan itu berhenti, aku mengintip dari balik cerobong. Kulihat si Gadis masih berdiri di sana. Komandannya melipat lengan. Si Gadis bergeming.
Lalu, aku melihat komandan itu melangkah maju. Waktu si Gadis mulai protes, dia mendorongnya ke samping. Kau tidak bisa berada di situ selamanya, dia berteriak pa daku. Suaranya jauh lebih dingin daripada suara si Gadis. Dan kau tahu kau tidak akan meninggalkan keluargamu untuk mati.
Kupasang peluru terakhir ke katapelku dan kubidikkan tepat ke arah wanita itu.
199 Sang Komandan menggelengkan kepala karena kebisuan ku. Oke, Iparis, ujarnya pada si Gadis. Kita sudah men coba taktikmu. Sekarang, mari kita coba taktikku. Dia me noleh pada kapten berambut gelap dan mengangguk sekali. Habisi dia.
Aku tak punya waktu untuk menghentikan apa yang ter jadi selanjutnya.
Si Kapten mengangkat senapannya dan membidikkannya ke arah ibuku. Kemudian, dia menembak kepalanya.[]
w anita yang DitemBak thomas Belum roBoh ke tanah saat aku melihat pemuda itu melompat turun dari atap. Aku membeku. Ini salah. Seharusnya tak ada seorang pun yang terluka. Komandan Jameson tidak mem beri tahuku bahwa dia berniat membunuh orang di ru mah ini seharusnya kami membawa mereka semua ke Aula Batalla untuk ditangkap dan ditanyai. Tatapanku se gera beralih ke homas, ingin ta hu apakah dia merasakan ke ngeri an yang sama denganku. Tapi, wajahnya tetap tanpa ekspresi dan senapannya masih terangkat.
Tangkap dia! perintah Komandan Jameson. Pemuda itu mendarat di atas seorang serdadu dan membuat serdadu itu jatuh di bawah siraman butiran tanah. Kita akan memba wanya hi dup-hidup!
Pemuda yang kini kutahu adalah Day mengeluarkan jeritan pilu dan menyerang serdadu terdekat saat para tentara mengepungnya. Entah bagaimana dia berhasil meraih senapan serdadu itu, meskipun serdadu lain langsung menjatuhkan senapan tersebut dari tangannya.
Komandan Jameson memandangku, lalu menarik pistol dari ikat pinggangnya.
Komandan, jangan! seruku, tapi dia mengabaikan aku. Bayangan Metias melintas di pikiranku.
201 Aku tidak akan menunggu sampai dia membunuhi pasukanku, Komandan balas berteriak padaku. Kemudian, dia membidik kaki kiri Day dan menembak. Aku mengerjap. Tembakan itu meleset dari target (Komandan membidik tem purung lututnya) tapi mengenai daging paha sebelah luarnya. Day memekik kesakitan, lalu terjatuh di tengahte ngah lingkaran tentara. Topinya terlempar dari kepala, ram but pirangnya terurai. Seorang serdadu menendangnya cukup keras untuk membuatnya pingsan. Kemudian, mereka mem borgolnya, menutup mata serta menyumbat mulutnya, dan menyeretnya ke salah satu jip yang menunggu.
Butuh beberapa saat bagiku untuk mengalihkan perhati an pada tawanan lain yang kami bawa dari rumah itu, yakni seorang pria muda yang mungkin kakak atau se pupu Day. Dia sedang menjeritkan kata-kata yang tak bisa dimeng erti ke arah kami. Para tentara mendorongnya masuk ke jip kedua.
Dari balik maskernya, homas menatapku dengan pandang an setuju, tapi Komandan Jameson hanya mengerutkan dahi. Aku bisa melihat kenapa Drake mengecapmu sebagai pembuat masalah, ujarnya. Ini bukan kuliah. Kau tidak bo leh mempertanyakan tindakanku.
Sebagian diriku ingin minta maaf, tapi aku terlalu terpa ku pada apa yang baru saja terjadi terlalu marah atau kha watir atau lega. Bagaimana dengan rencana kita" Dengan segala hormat, Komandan, kita tidak pernah sepakat untuk membunuh penduduk sipil.
202 Komandan Jameson tertawa tajam. Oh, Iparis, sa hutnya. Kita akan ada di sini semalaman kalau terus bernego siasi. Kau lihat kan cara ini jauh lebih cepat" Lebih bisa mem bu juk target kita. Dia berpaling. Tidak masalah. Se ka rang, waktunya kau naik ke jip. Kembali ke markas. Dia mem beri isyarat cepat dengan tangannya dan homas me n e riak kan perintah. Tentara-tentara yang lain segera kem bali ke posisi masing-masing. Komandan naik ke jip per ta ma.
homas menghampiriku dan menyentuh ujung topinya. Selamat, June. Dia tersenyum. Kurasa kau benar-benar ber hasil. Luar biasa! Kau lihat tampang Day tadi"
Kau baru saja membunuh orang. Aku tak dapat menatap homas, tak mampu bertanya padanya bagaimana dia bisa menjalankan perintah dengan sebegitu butanya. Pandanganku terarah pada tempat jenazah wanita itu di aspal. Petugas medis sudah mengelilingi tiga serdadu yang terluka, dan aku tahu mereka akan ditempatkan dengan hati-hati di truk me dis dan dibawa kembali ke markas besar. Namun, je na zah wanita itu terabaikan, tiada yang peduli. Beberapa kepala melongok ke arah kami dari rumah-rumah lain di se pan jang jalan. Beberapa dari mereka melihat mayat itu dan segera memalingkan muka, sementara yang lainnya te tap menatap homas dan aku takut-takut.
Sebagian kecil diriku ingin tersenyum melihat pemand ang an itu, merasakan kegembiraan karena telah membalas dendam atas kematian kakakku. Aku terdiam sebentar, tapi perasaan itu tak kunjung muncul. Tanganku terkepal, lalu
203 membuka lagi. Genangan darah di bawah wanita tersebut mu lai membuatku muak.
Ingat, kataku pada diri sendiri, Day membunuh Metias. Day membunuh Metias, Day membunuh Metias.
Kata-kata itu bergaung kosong tak meyakinkan di pi kiranku.
Yeah, ujarku pada homas. Suaraku terdengar seperti orang asing. Kurasa aku benar-benar berhasil. []
Bagian Dua H" H" H" DUNIA TERASA KABUR. AKU INGAT SENAPAN DAN SUARA- SUARA keras, serta percikan air di atas kepalaku. Beberapa kali aku mengenali suara anak kunci berputar dan bau da rah seperti logam. Wajah-wajah bermasker gas me natap ku. Seseorang tidak berhenti menjerit. Ada sirene truk medis yang terus berdengung sepanjang waktu. Aku ingin mematikannya, maka kucoba menemukan tombolnya. Namun, lenganku terasa aneh, tak bisa kugerakkan. Rasa sa kit yang luar biasa di kaki kananku membuat mata dan pipi ku basah oleh air mata. Mungkin seluruh kakiku sudah tidak berfungsi.
Momen ketika si Kapten menembak ibuku terus ter - ulang di kepalaku, seperti ilm yang berhenti pada adeg an yang sama. Aku tak mengerti mengapa ibuku tidak menghin dar. Aku berteriak padanya untuk bergerak, merunduk, me la ku kan apa pun. Tapi, Ibu hanya berdiri di sana sampai pe luru mengenainya dan dia roboh ke tanah. Wajahnya meng arah tepat padaku tapi itu bukan kesalahanku. Bukan.
Kekaburan yang kurasakan berubah fokus setelah lama se kali. Sudah berapa lama, empat atau lima hari" Sebulan, mung kin" Entahlah. Saat akhirnya aku membuka mata, kulihat diriku berada di dalam sebuah sel kecil tanpa jendela
208 de ngan empat dinding logam. Tentara-tentara berdiri di sa lah satu sisi sebuah pintu besi. Aku meringis kesakitan. Lidahku rasanya pecah-pecah dan kering. Air mata sudah mengering di kulitku. Sesuatu yang seperti borgol logam men jepit tanganku erat di belakang kursi. Butuh beberapa saat bagiku untuk sadar bahwa aku duduk.
Rambutku terurai di depan wajah seperti pita berserabut. Darah menodai rompiku. Mendadak, rasa takut mencekam ku: topiku. Aku ketahuan.
Kemudian, kurasakan sakit di kaki kiriku. Rasanya le bih buruk dari apa pun yang pernah kurasakan, bahkan le bih sakit dari ketika pertama kali lututku itu patah. Aku ber ke ringat dingin. Pandanganku mulai berkunang-kunang. Pada saat itu, aku akan memberikan apa pun untuk sebutir obat penghilang rasa sakit, es untuk menyingkirkan rasa pa nas membakar di pahaku yang terluka, atau bahkan pe luru lain untuk mengeluarkanku dari kesengsaraan ini. Tess, aku mem butuhkanmu. Kau di mana"
Meskipun begitu, saat aku memberanikan diri menatap ke bawah, kulihat pahaku terbalut perban kencang yang ba sah oleh darah.
Salah seorang tentara melihatku bergerak. Dia mene kankan tangannya ke telinga. Dia sudah bangun, Koman dan.
Beberapa menit atau mungkin beberapa jam kemudian, pintu besi itu terayun membuka. Komandan yang mem beri perintah untuk membunuh ibuku melangkah ma suk. Dia mengenakan seragam lengkap dengan jubah,
209 dan len cana tiga-panah miliknya bersinar perak di bawah lam pu neon.
Ada listrik. Pasti aku ada di gedung pemerintah. Dia mengatakan sesuatu pada tentara di sisi lain pintu. Kemudian, pintunya kembali menutup, dan dia berjalan san tai ke arahku sambil tersenyum.
Aku tak yakin apakah warna kemerahan kabur yang mem bayang di penglihatanku disebabkan oleh rasa sakit di kakiku atau kemarahanku atas kehadirannya.
Sang Komandan berhenti di depan kursiku, kemudian mencondongkan wajahnya dekat ke wajahku. Anakku sa yang, ujarnya. Aku bisa mendengar kegelian dalam su a ra nya. Aku sangat bersemangat waktu mereka bilang kau sudah bangun. Aku langsung datang untuk melihatmu de ngan mata kepalaku sendiri. Kau seharusnya merasa sa ngat ber untung para petugas medis bilang kau bebas wa bah, bah kan setelah menghabiskan waktu dengan pasien ter infeksi yang kau sebut keluarga itu.
Aku menyentakkan diri ke belakang dan meludah ke arah nya. Bahkan, gerakan ini saja cukup membuat kakiku ge me tar karena rasa sakit yang membara.
Kau benar-benar pemuda yang tampan. Dia memberiku seulas senyum beracun. Sayang sekali kau memilih hidup sebagai kriminal. Kau tahu" Kau bisa menjadi sele britis dengan wajah seperti itu dan mendapat vaksinasi wa bah gratis setiap tahun. Bukankah itu bagus"
Kalau tidak sedang diikat, aku bisa mencabik-cabik ku lit wajahnya sekarang juga. Mana saudara-saudaraku"
210 Sua raku serak. Apa yang sudah kau lakukan pada Eden"
Komandan itu hanya tersenyum lagi dan menjentikkan jari ke arah para tentara di belakangnya. Perca ya lah kalau kukatakan aku akan senang tetap tinggal di sini dan mengobrol denganmu, tapi ada sesi latihan yang harus kupimpin. Lagi pula ada seseorang yang lebih ingin bertemu denganmu daripada aku. Akan kubiarkan dia mengambil alih sekarang. Si Komandan pun keluar begitu saja tanpa bicara lagi.
Kemudian, aku melihat orang lain seseorang yang lebih kecil, dengan potongan tubuh yang lebih halus memasuki sel diiringi bunyi kibasan jubah berwarna hitam yang dipa kainya. Butuh semenit bagiku untuk mengenali dia. Tiada lagi celana panjang robek atau sepatu bot berlumpur; pun tiada kotoran di wajahnya. Gadis itu bersih mengilap, de ngan rambut hitamnya dikuncir tinggi. Dia mengenakan se ra gam bagus: epolet emas bersinar di puncak seragam militernya, tali putih tersimpul di sekeliling bahunya, dan len cana dua-panah tersulam di kedua lengannya. Jubahnya men juntai sepenuhnya hingga ke kaki, menyelimutinya da - lam ba lut an hitam berhiaskan emas. Simpul Canto yang rumit membuat bagian atas bajunya terikat erat di tem pat.
Aku terkejut karena dia terlihat sangat muda, bahkan lebih muda daripada saat pertama kali aku bertemu de ngannya. Sudah jelas Republik tidak akan memberikan pangkat setinggi itu begitu saja pada gadis seusiaku. Ku ta tap mu lut nya bibir yang sama dengan yang kucium dulu kini di poles berkilau. Sebuah pikiran ganjil melintas, mem buat-
211 ku ingin tertawa. Seandainya gadis ini tidak menyebabkan ibu ku meninggal dan aku ditangkap, seandainya aku tidak mengharapkan dia mati, aku akan menganggapnya benarbenar sangat memesona.
Dia pasti sudah tahu dari wajahku bahwa aku me ngenali nya. Kau tentu sama bergairahnya denganku ka rena kita bertemu lagi. Kau boleh menyebutnya kebaikan ekstrem sebab akulah yang meminta agar kakimu diper ban, ujar nya keras. Aku ingin kau bisa berdiri saat ek sekusi mu, dan aku tidak mau kau mati karena infeksi se belum aku selesai denganmu.
Trims. Kau sangat baik. Dia mengabaikan kesinisanku. Jadi. Kau adalah Day.
Aku diam saja. Si Gadis menyilangkan lengan dan menghadiahiku ta tap an tajam menusuk. Meskipun begitu, kupikir aku se ha rus nya memanggilmu Daniel. Daniel Altan Wing. Aku ber hasil mengorek cukup banyak dari kakakmu John.
Saat dia menyebutkan nama John, aku mencondongkan tubuh ke depan dan seketika menyesali tindakan itu karena rasa sakit langsung meledak di kakiku. Katakan padaku di mana saudara-saudaraku.
Ekspresinya tidak berubah. Dia bahkan tidak berkedip. Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka lagi. Dia maju beberapa langkah. Di sini langkah-langkahnya tenang, tepat dan berhati-hati. Tidak diragukan lagi dia adalah orang dari kalangan atas Republik dan dia menyamarkannya dengan baik sekali di jalanan. Hal itu membuatku tambah marah.
212 Beginilah cara kerja di sini, Mr. Wing. Aku akan menanyai mu sebuah pertanyaan, dan kau akan memberiku sebuah jawaban. Mari kita mulai dari yang mudah. Berapa umur mu"
Pandangan kami bertemu. Seharusnya aku tidak me nye la mat kanmu dari pertarungan Skiz itu. Seharusnya ku biarkan kau mati.
Si Gadis menatapku, kemudian mengambil senapan dari ikat pinggangnya dan memukul wajahku keras. Se lama sedetik, aku hanya bisa melihat cahaya putih yang membuta kan rasa darah memenuhi mulutku. Aku mendengar se suatu berbunyi klik, lalu merasakan logam yang dingin me nyentuh pelipisku.
Jawaban yang salah. Biar kujelaskan. Kau beri aku satu jawaban salah lagi, dan akan kupastikan kau bisa men de ngar kakakmu John menjerit dari sini. Kau beri aku ja wab an salah yang ketiga, dan adikmu Eden akan mengalami nasib yang sama.
John dan Eden. Setidaknya mereka berdua masih hidup. Kemudian, dari suara gema kosong pada kokangan senapannya, kusadari bahwa senapan itu tidak terisi. Rupanya dia hanya ingin memukulku dengan senapan ini.
Si Gadis tidak menyingkirkan senapannya. Berapa umur mu"
Lima belas. Begitu lebih baik. Si Gadis menurunkan senapannya sedikit. Saatnya untuk beberapa pengakuan. Apakah kau bertanggung jawab atas penerobosan di Bank Arcadia" Tempat sepuluh-detik. Ya.
213 Dan kau pasti juga bertanggung jawab atas pencurian 16.500 Notes di sana.
Kau benar. Apakah kau bertanggung jawab atas perusakan di De partemen Pertahanan Dalam Negeri dua tahun lalu, dan penghancuran mesin dua zeppelin perang"
Ya. Apakah kau membakar satu dari sepuluh jet tempur seri F-472 yang ada di pangkalan udara Burbank sebelum me reka berangkat ke medan perang"
Aku cukup bangga dengan yang satu itu. Apakah kau menyerang seorang taruna yang berjaga di pinggir zona karantina sektor Alta"
Aku mengikatnya agar bisa mengantarkan makanan ke beberapa keluarga yang dikarantina. Tidak penting.
Si Gadis terus mempertanyakan aksi-aksiku di masa lalu, beberapa di antaranya hampir-hampir tidak kuingat. Ke mudian, dia menyebut satu aksi lagi, kejahatanku yang pa ling akhir.
Apakah kau bertanggung jawab atas kematian s eorang kapten patroli kota dalam penyusupanmu ke Ru mah Sakit Pusat Los Angeles" Apakah kau mencuri obat-obat an di sana dan terjun dari lantai tiga"
Kuangkat daguku. Kapten yang bernama Metias. Dia memandangku dingin. Ya. Dia kakakku. Jadi, inilah alasan kenapa dia memburuku. Aku menghela napas panjang. Aku tidak membunuh kakakmu aku tidak bisa. Tidak seperti kawanmu yang gatal menembak, aku tidak membunuh orang.
214 Si Gadis tidak membalas. Selama beberapa saat, kami saling membelalak. Ada simpati aneh yang kurasakan sedikit. Segera saja rasa itu kubuang jauh-jauh. Aku tidak bo leh merasa kasihan pada seorang agen Republik.
Dia memberi isyarat pada salah satu dari tentara-tentara yang berdiri di dekat pintu. Potong jari tawanan di sel 6822.
Aku hendak menerjang ke depan, tapi borgol dan kursi ini menghentikanku. Rasa sakit meledak di lututku. Bagi se seorang seperti dia yang sangat berkuasa atasku, aku tidak dapat melakukan apa-apa untuk mencegahnya.
Ya, aku bertanggung jawab atas penyusupan itu! te riak ku. Tapi, aku sungguh-sungguh waktu kubilang aku tid ak membunuhnya. Kuakui aku melukainya ya aku harus ka bur, dan dia mencoba menghentikanku. Tapi, tidak mung kin pisauku menyebabkan lebih dari luka di bahu. To long aku akan menjawab pertanyaan-pertanyaanmu. Se jauh ini aku sudah menjawab semuanya.
Si Gadis menatapku lagi. Tidak mungkin lebih dari luka di bahu" Mungkin seharusnya kau periksa ulang. Ada kemarahan yang dalam di matanya, sesuatu yang membuat ku terperanjat. Kucoba mengingat malam waktu aku meng hadapi Metias saat dia mengarahkan senapannya pa da ku dan aku mengacungkan pisauku padanya. Aku me lem par pisau itu ke arahnya & dan mengenai bahunya. Aku yakin akan hal itu.
Yakinkah aku" Setelah beberapa saat, si Gadis menyuruh serdadu yang tadi untuk tetap di tempatnya. Menurut ba sis data
215 Republik, dia melanjutkan, Daniel Altan Wing su dah mati lima tahun lalu karena terkena cacar di salah satu kamp buruh.
Mendengar itu aku mendengus. Kamp buruh. Yeah, benar, dan Elector juga terpilih secara adil pada setiap pemilu. Gadis ini & entah dia benar-benar percaya semua omong kosong buatan itu atau dia hanya mengejekku. Satu ingatan lama berusaha menyeruak ke permukaan sebuah jarum disuntikkan ke dalam salah satu mataku, sebuah tempat tidur dorong terbuat dari logam dan seberkas cahaya di atas kepala tapi ingatan itu lenyap secepat datangnya.
Daniel sudah mati, sahutku. Sudah lama sekali aku meninggalkannya.
Kurasa saat itulah kau memulai kejahatan-kejahatan kecilmu sambil berkelana di jalanan. Lima tahun. Kelihat annya dulu kau belajar untuk selalu berhasil meloloskan diri. Ke mudian, kau mulai membiarkan pertahananmu me nu run, benar, kan" Apakah kau pernah bekerja untuk se se orang" Atau pernahkah seseorang bekerja untukmu" Apakah kau pernah berhubungan dengan kelompok Patriot"
Aku menggeleng. Sebuah pertanyaan mengerikan mun cul di benakku, sebuah pertanyaan yang terlalu takut untuk kukemukakan. Apa yang sudah dia lakukan pada Tess"
Tidak. Mereka pernah mencoba merekrutku, tapi aku lebih suka bekerja sendiri.
Bagaimana caramu kabur dari kamp buruh" Bagaimana akhirnya kau bisa meneror Los Angeles, padahal se harusnya kau bekerja untuk Republik"
216 Jadi, inilah yang Republik pikirkan tentang anak-anak yang gagal dalam Ujian. Apa itu penting" Toh aku di sini se karang.
Kali ini aku membuatnya marah. Dia menendang kursi ku ke belakang sampai tidak bisa mundur lagi, lalu menghempaskan kepalaku ke dinding. Pandanganku dipenuhi bin tang-bintang.
Kuberi tahu kenapa itu penting, desisnya. Itu penting karena kalau kau tidak kabur, sekarang kakakku ma sih hidup. Dan, akan kupastikan tidak ada lagi penjahat kotor jalanan yang dimasukkan ke kamp buruh bisa kabur dari sistem sepertimu jadi skenario ini tak akan pernah ter ulang lagi.
Aku tertawa di depan wajahnya. Rasa sakit di lutut ku hanya menambah kemarahanku. Oh, jadi itu yang kau kha watirkan" Sekelompok peserta Ujian yang mem be rontak dan bisa menghindari kematian mereka" Kum pul an anak sepuluh tahun itu kelompok berba haya, ya" Kuberi tahu kau, kau salah melihat fakta. Aku ti dak membunuh kakakmu. Tapi, kau membunuh ibuku. Sa ma saja kau menem bakkan senapanmu langsung ke ke pa la nya!
Wajah si Gadis mengeras tapi di balik itu aku bisa melihat suatu keraguan sesaat, dan dia terlihat seperti gadis yang kutemui di jalanan. Dia mencondongkan tubuh ke arahku, sangat dekat sampai bibirnya menyentuh telingaku dan aku bisa merasakan napasnya di kulitku. Punggungku menggigil.
Dia merendahkan suaranya menjadi bisikan yang ha nya bisa didengar olehku. Aku menyesal soal ibumu.
217 Ko man dan ku sudah berjanji padaku bahwa dia tidak akan me lukai penduduk sipil mana pun, tapi dia tidak memenuhi janjinya. Aku .... Suaranya gemetar. Sebenarnya dia terdengar sedikit meminta maaf, seolah-olah hal itu akan memban tu. Kuharap aku bisa menghentikan Thomas. Kau dan aku adalah musuh, tidak salah lagi & tapi aku tidak meng - harap kan hal seperti itu terjadi. Lalu, dia menegakkan tu buh dan berpaling. Sudah cukup untuk saat ini.
Tunggu. Dengan usaha keras, kutelan kemarahan dan kujernihkan tenggorokan. Pertanyaan yang membuatku ta kut memikirkannya keluar dari mulutku sebelum aku sem pat menghentikannya. Apa dia masih hidup" Apa yang su dah kau lakukan padanya"
Si Gadis memandangku sekilas. Ekspresi di wajahnya memberitahuku bahwa dia tahu betul siapa yang kubicarakan. Tess. Apa dia masih hidup" Kukuatkan diri untuk men de ngar yang terburuk.
Tapi alih-alih begitu, si Gadis hanya menggelengkan ke pala. Aku tak tahu. Aku tidak tertarik padanya. Dia meng ang guk ke arah salah seorang tentara. Jangan beri dia air selama sisa hari ini dan pindahkan dia ke sel di ujung lorong. Mungkin besok pagi temperamennya akan menurun. Rasanya aneh melihat serdadu itu memberi hormat pada seseorang yang begitu muda.
Dia membiarkan Tess tetap menjadi rahasia, kusadari hal itu. Demi aku" Demi Tess"
Kemudian si Gadis pergi, dan aku ditinggalkan sendirian di sel dengan para tentara. Mereka melepaskanku dari kursi, menyeberangi ruangan, lalu keluar. Kuseret kakiku
218 yang luka, berjalan pelan di lantai. Aku tidak bisa menahan air mata yang terus mengalir. Rasa sakit ini membuatku pu sing, seperti tenggelam di danau tak berdasar.
Para tentara membawaku menyusuri lorong luas yang seakan-akan bermil-mil jauhnya. Tentara di mana-mana, begitu juga dokter-dokter yang memakai goggle dan sarung tangan putih. Pasti aku berada di bangsal medis, ke mungkinan karena kakiku.
Kepalaku merosot ke depan. Aku tidak bisa menahannya lagi. Dalam pikiranku, aku melihat gambaran wajah ibuku saat dia terbaring roboh ke tanah. Aku tidak melakukannya, aku ingin berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar. Rasa sakit di kakiku yang terluka datang lagi.
Setidaknya Tess aman. Kucoba mengirimkan sinyal pe r ingatan padanya lewat pikiran, memberitahunya untuk ke luar dari California dan lari sejauh yang dia bisa.
Saat kami sudah setengah jalan menyusuri lorong, ada yang menarik perhatianku. Sebuah nomor kecil berwarna merah angka nol tercetak dengan gaya yang sama seperti yang telah kulihat di bawah serambi rumahku dan di bawah lereng tepi danau sektor kami. Tanda itu ada di sini.
Aku menoleh agar bisa melihatnya lebih jelas saat kami melewati pintu ganda tempat angka itu tercetak. Pintu ter sebut tidak punya jendela, tapi seseorang bermasker gas dan berpakaian putih masuk ke situ dan aku melihat sekilas pemandangan di dalam. Aku hanya melihat samar-samar karena kami terus berjalan tapi aku berhasil menangkap satu hal. Sesuatu di dalam kantung besar di atas tempat
219 tidur dorong. Sesosok tubuh. Ada tanda X merah pada kan tung itu.
Kemudian, pintu tersebut kembali menutup, dan kami melanjutkan perjalanan.
Serentetan gambar mulai melintasi pikiranku. Angkaangka berwarna merah. Tanda X bergaris di pintu rumah keluargaku. Truk medis yang membawa Eden pergi. Mata Eden hitam dan berdarah.
Mereka menginginkan sesuatu dari adikku. Sesuatu yang berkaitan dengan penyakitnya. Kubayangkan tanda X bergaris itu lagi.
Bagaimana kalau bukan kebetulan Eden terjangkit wabah itu" Bagaimana kalau bukan kebetulan saat ada siapa pun yang terjangkit"[]
m alam itu , kuPaksa Diriku mengenakan gaun saat menghadiri sebuah pesta dansa dadakan ber sama homas sebagai pendampingku. Pesta besar tersebut diselenggarakan untuk merayakan ditangkapnya seorang pen jahat berbahaya, dan untuk memberikan penghargaan bagi kami karena telah mem bawanya ke pengadilan. Para ten tara beranjak membu ka kan pintu untukku saat ka mi datang. Beberapa yang lain nya memberi hormat padaku. Ke lom pok-kelompok peja bat militer lain yang sedang me ngo b rol tersenyum pada ku saat aku lewat, dan namaku di bi cara kan pada hampir se tiap percakapan yang kudengar. Itu si Gadis Iparis .... Dia terlihat sangat muda .... Baru lima belas tahun, Sobat .... Elector sen diri terkesan ....
Beberapa kalimat lainnya sarat rasa iri. Tidak sehebat yang kau pikirkan .... Sudah jelas Ko man dan Jameson-lah yang berhak atas penghargaan ini .... Dia cuma anak kecil ....
Meski begitu, tak peduli bagaimana nada suara mereka, topiknya adalah aku.
Kucoba berbangga diri. Waktu aku dan homas berke liling ruang dansa yang mewah dengan meja-meja perjamu an dan lampu-lampu kristal yang tak terhitung banyaknya ini, kubilang padanya bahwa penangkapan Day telah mengisi lubang kosong dalam hidupku yang disebabkan oleh
222 kematian Metias. Namun, bahkan saat aku mengatakannya, aku tidak memercayainya. Segala sesuatu di sini entah ba gai - mana terasa salah, segala sesuatu tentang ruangan ini seolah-olah semuanya hanya ilusi yang akan hancur kalau aku menjulurkan tangan dan menyentuhnya.
Aku merasa salah & seperti aku telah melakukan hal yang sangat buruk dengan mengkhianati pemuda yang per caya padaku.
Aku senang kau sudah lega, kata homas. Setidaknya Day berguna dalam satu hal.
Rambut homas disisir hati-hati ke belakang, dan dia terlihat lebih tinggi daripada biasanya dalam balutan seragam kapten berumbai tanpa cela. Dia menyentuh lenganku dengan sebelah tangannya yang bersarung tangan. Sebelum pembunuhan ibu Day, aku pasti sudah tersenyum padanya. Sekarang, aku merasa dingin dengan sentuhannya. Kutarik lenganku menjauh.
Day berguna dalam memaksaku memakai gaun ini. Aku ingin berkata begitu, tapi alih-alih demikian, aku hanya me li cin kan kain gaunku yang sudah licin. Baik homas mau pun Komandan Jameson mendesakku untuk memakai sesuatu yang bagus, tapi tidak ada yang mengatakan kenapa harus begitu. Komandan Jameson hanya melambaikan tangan tak peduli waktu aku bertanya padanya. Sekali saja, Iparis, ujarnya, lakukan apa yang disuruh dan jangan mem per ta nya kannya. Kemudian, dia mengatakan sesuatu ten tang ke j utan, kehadiran tak terduga dari seseorang yang sa ngat ku pedulikan.
223 Selama beberapa saat yang tak masuk akal, kupikir yang dia maksud adalah kakakku. Bahwa entah bagaimana Metias hidup kembali dan aku akan melihatnya pada perayaan malam ini.
Sekarang ini kubiarkan homas mengarahkanku berke liling di antara kelompok jenderal-jenderal dan para bang sa wan.
Akhirnya, aku memilih sebuah gaun sair berkorset yang dilapisi berlian-berlian kecil. Sebelah bahuku ditutupi renda, dan sebelahnya lagi tersembunyi di balik selendang sutra pan jang. Rambutku dibiarkan tergerai lurus rasanya tidak nyaman bagi seseorang yang menghabiskan kebanyakan hari-hari latihannya dengan rambut terikat aman, jauh dari wajah. Adakalanya homas menatapku sekilas, dan pipi nya merona merah jambu. Tapi, aku tidak melihat apa masalah nya. Sebelumnya aku sudah pernah mengenakan gaun yang lebih bagus, dan yang satu ini rasanya terlalu modern dan berat sebelah. Gaun ini bisa membeli makanan yang pantas selama berbulan-bulan bagi seorang anak di sektor kumuh.
Komandan bilang padaku, besok pagi mereka akan men jatuhkan vonis untuk Day, homas berkata beberapa sa at setelah kami selesai menyapa seorang kapten dari sektor Eme rald.
Saat nama Komandan Jameson disebut, aku memalingkan wajah, tidak yakin apakah aku ingin homas menilai reaksiku. Kelihatannya Komandan sudah lupa dengan apa yang terjadi pada ibu Day, seolah-olah dua puluh tahun telah
224 berlalu. Tapi akhirnya, kuputuskan untuk bersikap sopan. Kutatap homas lagi. Begitu cepat"
Lebih cepat lebih baik, kan" Nada tajam yang tiba-tiba muncul dalam suaranya membuatku heran. Dan kalau memikirkan dulu kau terpaksa menghabiskan waktu bersama komplotannya & aku terkejut dia tidak membunuhmu wak tu kau tidur. Aku homas berhenti, kemudian memu tuskan untuk tidak melanjutkan kalimatnya.
Aku mengingat-ngingat kehangatan ciuman Day, juga caranya membalut lukaku. Sejak penangkapannya, aku sudah memikirkan hal ini ratusan kali. Day yang membunuh kakak ku adalah penjahat yang kejam dan bengis. Tapi, siapa Day yang kutemui di jalanan" Siapa pemuda ini, yang mem ba haya kan keamanannya sendiri untuk seorang gadis yang tidak dikenalnya" Siapa Day yang begitu sedih atas ke mati an ibunya" Kakak yang mirip dengannya, John, tidak ter lihat seperti orang jahat saat aku menanyainya di sel dia menawarkan hidupnya untuk menggantikan Day, me na war kan uang yang disembunyikannya agar Eden bebas. Ba gai mana mungkin seorang penjahat berdarah dingin men jadi bagian dari keluarga ini"
Ingatan saat Day terikat di kursinya dan kesakitan karena luka di kakinya membuatku marah sekaligus bingung. Aku bisa saja membunuhnya kemarin. Aku bisa saja mengisi senapanku dengan peluru, menembaknya, dan selesai sudah. Tapi, kubiarkan senapanku kosong.
Semua penipu jalanan itu sama saja, homas melanjut kan, mengulangi apa yang kukatakan pada Day di selnya.
225 Apa kau sudah dengar" Kemarin, adik Day yang sakit itu mencoba meludahi Komandan Jameson. Mencoba mengin fek si nya dengan wabah termutasi apalah yang dideritanya.
Masalah adik Day bukan sesuatu yang kuselidiki. Beri tahu aku, ujarku, berhenti berjalan untuk menatap ho mas. Sebenarnya apa yang diinginkan Republik dari anak itu" Kenapa dia dibawa ke lab rumah sakit"
homas merendahkan suaranya. Aku tidak bisa bilang, itu rahasia. Tapi, aku tahu bahwa beberapa jenderal dari me dan perang datang untuk melihatnya.
Keningku berkerut. Mereka datang hanya untuk melihatnya"
Yah, kebanyakan dari mereka ke sini untuk mengadakan rapat tentang beberapa hal. Tapi, mereka menganggap penting untuk datang ke lab.
Kenapa orang dari medan perang tertarik pada adik Day"
homas mengangkat bahu. Kalau ada yang perlu kita dengar, para jenderal akan memberi tahu kita.
Beberapa saat kemudian, kami dicegat oleh seorang pria besar dengan bekas luka dari dagu ke telinganya. Chian. Dia menyeringai lebar saat melihat kami dan meletakkan sebelah tangan di bahuku.
Agen Iparis! Malam ini adalah milikmu. Kau bin tangnya! Kuberi tahu kau, Sayangku, semua orang yang pangkat nya lebih tinggi membicarakan penampilanmu yang luar biasa. Terutama komandanmu dia berbicara tentangmu
226 seolah-olah kau putrinya sendiri. Selamat atas promosimu dan hadiah kecil yang bagus itu. Dengan 200.000 Notes, kau bisa membeli lusinan gaun mewah.
Aku mengangguk sopan. Anda sangat baik, Sir. Chian tersenyum, membuat bekas lukanya berubah ben tuk. Dia menepukkan kedua tangannya yang bersarung tangan. Seragamnya memiliki cukup banyak lencana dan bintang kehormatan yang bisa menenggelamkannya ke dasar laut. Yang mengejutkan, salah satu dari lencana itu adalah ungu dan emas, yang berarti Chian pernah menjadi pahlawan perang meskipun sulit bagiku untuk percaya dia pernah mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan rekannya. Hal itu juga berarti dia telah kehilangan salah s a tu anggota tubuhnya. Tangannya tampak utuh, jadi dia pasti mempunyai kaki palsu. Sudut condongnya yang tak kentara membuatku tahu bahwa dia memperlakukan kaki kirinya dengan hati-hati.
Ikut aku, Agen Iparis. Dan kau juga, Kapten, perintah Chian. Ada seseorang yang ingin bertemu kalian.
Pasti orang itu adalah Komandan Jameson. homas tersenyum penuh rahasia padaku.
Chian memimpin kami melewati aula perjamuan dan me nyeberangi lantai dansa, menuju satu bagian besar ru an gan ini yang dibatasi tirai tebal angkatan laut. Tiang ben dera Republik ditaruh di kedua ujung tirai, dan saat kami mendekat, kulihat bahwa di tirai itu juga terdapat pola samar ben dera tersebut.
227 Chian mengangkat tirai itu untuk kami, kemudian menurunkannya lagi setelah kami melangkah ke dalam.
Di sana ada dua belas kursi beledu yang diatur menjadi sebuah lingkaran. Pada setiap kursi, duduk seorang pejabat dalam seragam hitam lengkap. Bahu mereka dihiasi epolet emas berkilauan, menyesap minuman dari gelas-gelas bagus. Aku mengenali sedikit dari mereka. Beberapa di antaranya adalah jenderal dari medan perang yang sama dengan yang tadi homas sebutkan.
Salah satu dari orang-orang itu melihat dan menghampiri kami. Seorang pejabat muda mengikuti tak jauh di be la kang nya. Tapi, saat keduanya meninggalkan lingkaran itu, orang-orang lain dalam kelompok tersebut berdiri dan mem bungkuk ke arah mereka.
Pejabat yang lebih tua itu bertubuh tinggi, dengan rambut abu-abu di pelipisnya dan rahang seperti dipahat. Kulitnya terli hat pucat dan sakit. Dia mengenakan monokel berbingkai emas pada mata kanannya. Chian berdiri tegak dengan si kap siap dan saat homas melepaskan lenganku, kulihat dia me lakukan hal yang sama. Pria itu melambaikan tangan, dan se mua orang kembali rileks.
Akhirnya, sekarang aku mengenalinya. Kalau dilihat se cara langsung, beliau tampak berbeda dengan potretpot ret nya atau tampilannya di layar JumboTrons kota, di ma na warna kulitnya terlihat lebih terang dan tanpa kerut. Ku sa dari juga bahwa ada banyak pengawal tersebar di antara para pejabat itu.
228 Orang ini adalah Elector Primo kami.
Kau pasti Agen Iparis. Bibirnya tertarik ke atas melihat ekspresi tertegunku, tapi ada sedikit kehangatan dalam senyumnya. Beliau menjabat tanganku cepat dan erat. Tuantuan ini menceritakan hal-hal hebat tentangmu bahwa kau seorang genius. Dan yang lebih penting, kau memasukkan salah satu dari penjahat kita yang paling mengganggu ke pen jara. Jadi, kurasa pantas kalau aku memberimu ucapan se lamat secara pribadi. Kalau kita punya lebih banyak anak muda berjiwa patriot sepertimu, dengan pikiran setajam pi kiranmu, kita pasti sudah menang melawan Koloni sejak lama. Setuju" Beliau berhenti untuk melihat sekeliling ke yang lain, dan setiap orang menggumamkan persetujuan. Kuucapkan selamat padamu, Sayang.
Aku menundukkan kepala. Suatu kehormatan besar bisa bertemu dengan Anda, Sir. Kegembiraan bagi saya untuk melakukan apa yang saya bisa demi negeri ini, Elector. Aku kagum pada betapa tenangnya suaraku.
Elector memberi isyarat pada pejabat muda di sam pingnya. Ini putraku, Anden. Hari ini adalah hari ulang tahunnya yang kedua puluh, jadi aku berpikir untuk mengajaknya ke perayaan yang menyenangkan ini.
Aku menoleh pada Anden. Dia sangat mirip dengan ayah nya, bertubuh tinggi (188 cm) dan sangat terlihat agung, dengan rambut keriting gelap. Seperti Day, dia memiliki darah Asia. Tapi tidak seperti Day, matanya hijau dan ekspresinya tidak dapat ditebak. Dia memakai sarung tangan penerbangan berwarna putih dengan lapisan emas
229 yang rumit, pertanda dia telah menyelesaikan latihan pilot tempur. Dia kidal. Lambang Colorado terukir di kancing manset emas pada lengan tuksedo militer hitamnya, yang berarti dia lahir di sana. Rompi dalamnya merah tua, dengan dua baris kancing. Dia mengenakan tanda pangkat angkatan udara miliknya, tidak seperti Elector.
Anden tersenyum melihat tatapan lekatku. Dia membung kuk sempurna ke arahku, lalu meraih tanganku. Alihalih menjabatnya seperti yang Elector lakukan, dia mendekatkan tanganku ke bibirnya dan mengecup punggung ta ngan ku. Aku malu karena hatiku rasanya melompat.
Agen Iparis, ujarnya. Selama beberapa saat, tatapannya tertuju padaku.
Suatu kehormatan, sahutku, tak yakin apa lagi yang harus kukatakan.
Putraku akan mengajukan diri untuk posisi Elector dalam pemilu musim semi mendatang. Elector tersenyum pada Anden, yang membungkuk. Tidakkah kau pikir itu menarik"
Kalau begitu saya harap dia beruntung dalam pemilu meskipun saya yakin dia tidak akan membutuhkannya.
Elector tertawa kecil. Terima kasih, Sayang. Sekarang sudah selesai. Agen Iparis, silakan nikmati malam ini. Kuharap kita punya kesempatan bertemu lagi. Kemudian dia berbalik. Anden mengikuti di belakangnya. Bubar, seru Elector sembari dia pergi.
Chian mengantar kami keluar dari area bertirai, kembali ke ruang dansa utama. Aku bisa bernapas lagi.
230 P ukul 1.00. s ektor r uBy . 73" F ahrenheit Di Dalam .
Setelah perayaan selesai, homas menemaniku kembali ke apartemen tanpa bicara sepatah kata pun. Selama beberapa saat, dia berlama-lama di depan pintu.
Aku yang pertama memecah keheningan. Terima kasih, kataku. Tadi itu menyenangkan.
homas mengangguk. Yeah. Sebelumnya aku tak pernah melihat Komandan Jameson begitu bangga pada salah satu prajuritnya. Kau anak emas Republik. Tapi kemudian, dia langsung diam lagi. Dia sedang tidak senang, dan entah bagaimana aku merasa bertanggung jawab.
Kau tidak apa-apa" tanyaku.
Hmm" Oh, aku tidak apa-apa. homas mengusap ram but nya yang licin. Sedikit gel menempel di sarung tangan nya. Aku tidak tahu putra Elector akan ada di sana.
Kulihat ada emosi misterius di matanya kemarahan" Kecemburuan" Emosi itu mewarnai wajahnya, membuatnya terlihat jelek.
Aku mengangkat bahu. Kita bertemu Elector. Kau percaya itu" Malam tadi adalah malam yang sukses. Aku senang kau dan Komandan Jameson meyakinkanku untuk memakai sesuatu yang bagus.
homas menatapku. Dia tidak tampak terhibur. June, aku bermaksud untuk bertanya padamu & . Dia bim bang. Saat kau bersama Day di sektor Lake, apakah dia mencium mu"
231 Aku tertegun. Mikrofonku. Begitulah caranya dia tahu mikrofonku pasti menyala waktu kami berciuman, atau mungkin aku tidak mematikannya dengan benar. Kupandang homas. Ya, jawabku mantap, dia melakukannya.
Emosi yang sama dengan yang tadi kembali ke matanya. Kenapa dia melakukan itu"
Mungkin karena dia menganggapku menarik. Tapi, se bagi an besar karena dia minum anggur murahan. Aku meng ikuti nya saja sebab aku tidak mau merusak misiku se telah berhasil sejauh itu.
Kami berdiri dalam keheningan selama beberapa waktu. Kemudian, sebelum aku bisa protes, salah satu tangan ho mas yang bersarung tangan membelai daguku dan dia men condongkan tubuh untuk menciumku.
Aku menarik diri sebelum dia berhasil melakukannya tapi kini tangannya berada di sekeliling leherku. Aku terkejut pada penolakan kuat yang kurasakan. Saat ini yang kulihat di depanku hanyalah seorang pria dengan da rah di tangannya.
homas menatapku lama. Kemudian, akhirnya, dia me lepaskanku dan bergerak menjauh. Aku bisa membaca ketidaksenangan di matanya. Selamat malam, Miss Iparis. Dia buru-buru menyusuri lorong sebelum aku sempat meres pons. Aku menelan ludah. Tentu saja aku tidak akan ter seret masalah kalau menolak dicium waktu berada di ja lan an, tapi tak perlu seorang genius untuk melihat betapa marahnya homas barusan. Aku ingin tahu apakah dia akan
232 menindak informasi ini dan, jika demikian, tindakan apa yang akan dilakukannya.
Aku memperhatikannya menghilang, kemudian membuka pintu dan perlahan melangkah ke dalam.
Ollie menyambutku dengan bersemangat. Kubelai dia dan kubiarkan dia keluar menuju emperan belakang apartemen, lalu kulepas gaun berat sebelah itu dan langsung man di. Setelah usai, kukenakan baju tanpa lengan berwarna hi tam dan celana pendek.
Sia-sia saja kucoba tidur. Terlalu banyak yang terjadi hari ini & interogasi Day, bertemu Elector Primo serta put ra nya, dan juga kejadian dengan homas. Pemandangan terbu nuh - nya Metias kembali dalam pikiranku tapi saat aku mengulanginya di benakku, kulihat wajahnya berubah menjadi wajah ibu Day. Aku mengucek mata, merasa berat dalam kelelahan. Berbagai informasi berputar dalam pikiranku. Aku berusaha memprosesnya, tapi setiap melakukan itu, ku dapati semuanya campur aduk di tengah-tengah. Kucoba membayangkan pikiranku seperti berkas-berkas data yang tertata rapi di sebuah kotak kecil, masing-masing diberi label dengan jelas. Meski begitu, malam ini pola seperti itu tidak dapat dimengerti dan aku terlalu lelah untuk menyederhanakannya.
Apartemen ini terasa kosong dan asing. Hampir saja aku merindukan jalanan sektor Lake. Pandanganku jatuh ke sebuah kotak kecil di bawah meja, yang penuh berisi uang 200.000 Notes yang kudapat karena berhasil menangkap Day. Aku tahu seharusnya kutaruh kotak itu di tempat yang
233 lebih aman, tapi aku tidak sanggup menyentuhnya. Setelah beberapa saat, aku turun dari tempat tidur, mengambil segelas air, lalu menuju komputerku. Kalau aku tidak tidur, sebaiknya kulanjutkan menyelidiki latar belakang dan buktibukti kejahatan Day.
Kusentuhkan jari di layar, minum seteguk air, kemudian kumasukkan kode izinku untuk mengakses Internet. Kubuka dokumen yang dikirimkan Komandan Jameson padaku. Isinya penuh dengan hasil-hasil scan, foto-foto, serta artikelartikel koran. Setiap kali aku melihat benda-benda seperti ini, suara Metias terngiang dalam pikiranku.
Beberapa teknologi kita dulu lebih baik, dia memberitahuku. Sebelum ribuan pusat data tersapu banjir. Dia akan mengeluarkan desahan mengejek, kemudian mengedipkan mata padaku. Kebiasaanku menulis jurnal dengan tangan tidak buruk, kan"
Sekilas, sebelum mulai membaca dokumen-dokumen baru, kulihat lagi informasi-informasi yang sudah kubaca. Pikiranku memilah detail-detail itu.
nama Kelahiran : DaniEL aLtan Wing umur/Jenis kelamin : 15/L; SEBELuMnYa DianggaP SuDaH Mati PaDa uSia 10 taHun
tinggi: 155 CM Berat: 67 Kg
golongan Darah: O Rambut: PiRang, PanJang. FFaDL. Mata: Biru. 3a8EDB.
Kulit: E2B279 Etnis yang Dominan: MOngOLia
234 Menarik. Langka sekali untuk negara yang kami ketahui sudah punah dari pelajaran di sekolah dasar.
Etnis Kedua: KauKaSia Sektor: LaKE
ayah: taYLOR aRSLan Wing. SuDaH Mati. iBu: gRaCE Wing. SuDaH Mati.
Waktu membaca itu, pikiranku berhenti sejenak. Lagi-lagi aku membayangkan wanita yang roboh di tanah da lam genangan darahnya sendiri. Buru-buru kutepis bayang an itu.
Saudara: JOHn SuREn Wing, 19/L EDEn BataaR Wing, 9/L
Halaman-halaman berikutnya diisi penjelasan detail kejahatan-kejahatan Day dulu. Kucoba membaca sekilas semuanya secepat yang kubisa, tapi akhirnya aku tak bisa menahan diri untuk berhenti pada yang terakhir.
Menyebabkan Kematian: KaPtEn MEtiaS iPaRiS
Kupejamkan mata. Ollie merengek di kakiku seolaholah dia tahu apa yang kubaca, kemudian dia menggosokkan hidungnya menyentuh kakiku. Sambil melamun kuletakkan sebelah tangan di atas kepalanya.


Legend Karya Marie Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

235 Aku tidak membunuh kakakmu. Itu yang Day katakan padaku. Tapi, sama saja kau menembakkan senapanmu langsung ke kepala ibuku.
Kupaksa diri melihat dokumen lain. Bagaimanapun, aku sudah mengingat semua laporan kejahatan Day dari de pan sampai belakang.
Kemudian, ada sesuatu yang menarik perhatianku. Aku menegakkan tubuh. Dokumen yang ada di depanku sekarang menampilkan skor Ujian Day. Dokumen itu adalah se buah kertas hasil scan dengan cap merah besar di atasnya, sa ngat berbeda dengan cap biru terang yang dulu kulihat di lem bar jawabanku.
DaniEL aLtan Wing Skor: 674/1500 tiDaK LuLuS
Ada sesuatu dari angka itu yang menggangguku & 674" Aku tidak pernah mendengar ada orang yang mendapat nilai serendah itu. Seseorang yang kukenal di sekolah dasar tidak lulus hal itu tidak dapat dielakkan, tapi skornya mendekati 1000. Kebanyakan skor anak-anak yang gagal adalah seperti 890. Atau 825. Hampir selalu 800 lebih. Dan, mereka adalah anak-anak yang memang sudah diperkirakan akan gagal, anak-anak yang tidak peduli atau tidak berkapasitas. Tapi 674"
Dia terlalu pintar untuk itu, kataku dengan napas ter tahan. Kubaca lagi dokumen itu, kalau-kalau aku me lewat kan sesuatu. Tapi, angka itu tetap di sana. Tidak mung-
236 kin. Day sangat logis dan memiliki cara bicara yang baik. Dia juga dapat menulis dan membaca. Seharusnya dia lulus tes wa wan cara dalam Ujiannya. Dia adalah orang paling tang kas yang pernah kutemui seharusnya dia jagoan pada tes isik Ujian. Dengan nilai tinggi pada kedua bagian itu, mes ti nya tidak mungkin dia mendapat nilai lebih rendah dari 850 memang masih gagal, tapi lebih tinggi daripada 674. Dan, dia hanya akan mendapat skor 850 kalau tidak meng isi seluruh tes tertulisnya.
Pelangi Di Langit Singosari 13 Pendekar Slebor 09 Manusia Dari Pusat Bumi Pedang Keadilan 12
^