Pencarian

Oliver Twist 7

Oliver Twist Karya Charles Dickens Bagian 7


"Oh, tidak. Betul, Tuan," timpal Oliver, bergidik saat sematamata teringat raut wajah si penjahat tua. "Saya melihatnya terlalu
jelas. Jadi, tidak mungkin itu cuma mimpi. Saya melihat mereka
berdua, sejelas saya melihat Anda sekarang."
"Siapa laki-laki yang satunya lagi?" tanya Harry dan Tuan
Losberne, bersamaan. "Pria yang sama seperti yang saya ceritakan kepada Anda,
yang membentak saya tiba-tiba sekali di penginapan," kata Oli"
ver. "Kami saling bertatapan dan saya bisa bersumpah itu dia."
"Mereka mengambil jalan ini?" tuntut Harry. "Apa kau ya"
kin?" "Sama yakinnya seperti saya meyakini para pria itu ada di
depan jendela," jawab Oliver, bicara sambil menunjuk ke bawah,
ke pagar tanaman yang memisahkan taman pondok dari padang.
"Pria yang tinggi melompati pagar tanaman, tepat di sana. Dan
Fagin, berlari beberapa langkah di kanannya, merangkak mele"
wati celah itu." Kedua pria tersebut memperhatikan wajah Oliver yang
sungguh-sungguh selagi dia bicara, dan sembari saling pandang,
358~ OLIVER TWIST tampaknya merasa puas dengan keakuratan hal yang dikatakan"
nya. Namun demikian, di segala arah tidak terlihat jejak langkah
orang yang kabur terburu-buru. Rumput panjang tapi tidak re"
bah terinjak-injak di mana pun, kecuali di tempat kaki mereka
menjejaknya. Sisi-sisi serta pematang selokan terbuat dari lem"
pung lembap, tapi di sana mereka tak bisa melihat cetakan sepa?""
tu atau tanda sekecil apa pun yang menandakan bahwa ada kaki
yang telah menekan tanah selama berjam-jam sebelumnya.
"Ini aneh!" kata Harry.
"Aneh," sang dokter membeo. "Blathers dan Duff sekalipun
takkan bisa memecahkannya."
Terlepas dari pencarian mereka yang jelas sia-sia, mereka ti"
dak mundur begitu saja sampai akhirnya malam menjelang dan
membuat mereka mustahil melanjutkan. Mereka pun menyerah
dengan enggan. Giles diutus ke bar-bar yang berlainan di desa,
dilengkapi deskripsi terbaik yang bisa diberikan Oliver menge"
nai penampilan serta pakaian kedua orang asing itu. Mengingat
penampilannya, Fagin cukup mencolok sehingga mudah di"i"
ngat, seandainya dia pernah dilihat tengah minum-minum, atau
luntang-lantung di sekitar sana. Namun, Giles kembali tanpa
informasi memuaskan untuk menguak misteri tersebut.
Pada keesokan harinya, pencarian kembali dilakukan dan
penye"lidikan diperbarui, tapi tidak lebih sukses. Dua hari kemu"
dian, Oliver dan Tuan Maylie pergi ke pasar kota dengan ha"
rapan dapat melihat atau mendengar sesuatu tentang kedua lakilaki tersebut di sana. Namun, upaya ini pun tidak membuahkan
hasil. Setelah beberapa hari, kejadian ini mulai terlupakan, se"per"
ti layaknya sebagian besar kejadian ketika rasa penasaran tidak
didukung dengan bukti yang menyokongnya, maka akan mati
dengan sendirinya. Sementara itu, Rose pulih dengan cepat. Dia telah mening"
galkan kamarnya dan bisa pergi ke luar. Karena sudah berbaur
sekali lagi dengan keluarganya, kehadirannya selalu menda"tang"
kan kebahagiaan ke dalam hati semua orang.
CHARLES DICKENS ~359 Namun, walaupun perubahan menggembirakan ini menun"
jukkan efek yang dapat dilihat pada lingkaran kecil tersebut, dan
walaupun suara riang dan tawa girang sekali lagi terdengar di
pondok itu, ada kalanya tampak ketegangan ganjil dalam diri
beberapa orang di sana"bahkan pada diri Rose sendiri"yang
tidak luput dari perhatian Oliver. Nyonya Maylie dan putranya
acap kali mengurung diri dalam waktu lama dan lebih dari
sekali Rose muncul dengan bekas air mata di wajahnya. Setelah
Tuan Losberne menetapkan hari keberangkatannya ke Chertsey,
geja"la-gejala ini bertambah dan menjadi jelas bahwa tengah ber"
langsung sesuatu yang memengaruhi kedamaian sang wanita
muda dan seseorang selain dirinya.
Pada akhirnya, suatu pagi ketika Rose sedang sendirian di ru"
ang makan, Harry Maylie masuk dan dengan ragu-ragu memo"
hon izin untuk bicara dengannya beberapa saat.
"Sebentar ... cukup sebentar saja, Rose," kata sang pemuda
sambil menarik kursi mendekatinya. "Yang harus kukatakan
serta harapan hatiku yang paling kudamba-dambakan sudahlah
kauketahui meskipun kau belum mendengar pernyataan dari
bibirku." Rose memucat sejak pria muda itu masuk tapi itu mung"
kin saja adalah dampak penyakit yang baru saja dideritanya. Dia
hanya menunduk. Sambil membungkukkan badan ke atas tum"
buh?"an yang ditanam di dekat sana, dia menunggu pemuda itu
meneruskan dalam keheningan.
"Aku ... aku ... seharusnya meninggalkan tempat ini, sebe"
lumnya," kata Harry.
"Memang seharusnya begitu," timpal Rose. "Maafkan aku
karena berkata begini, tapi kuharap kau pergi."
"Aku dibawa ke sini oleh kecemasan yang paling mengerikan
dan menyiksa," kata pemuda itu, "yaitu rasa takut kehilangan
orang tersayang yang kepadanyalah setiap harapan serta permo"
honanku ditumpukan. Kau sedang sekarat, terombang-ambing
antara dunia dan akhirat. Kita tahu bahwa ketika orang-orang
360~ OLIVER TWIST yang masih muda, cantik, dan baik hati dikunjungi penyakit,
jiwa murni mereka tanpa sadar dipalingkan ke rumah peristira"
hatan terakhir mereka yang cemerlang. Kita tahu"semoga
Tuhan menolong kita!"bahwa yang terbaik dan terelok di antara
kaum kita terlalu sering memudar di kala sedang mekar."
Ada air mata di mata si gadis lembut, saat kata-kata ini diu"
cap"kan. Dan ketika setetes air matanya jatuh ke bunga di bawah"
nya, kuncupnya terlihat berkilau cemerlang, menjadikan bunga
tersebut semakin cantik. Tampaknya curahan hati segar murni
gadis itu menjalin ikatan secara alami dengan hal-hal terindah
di alam. "Makhluk," lanjut sang pemuda berapi-api, "makhluk yang
perilakunya seelok serta sepolos salah satu malaikat Tuhan sen"di"
ri, menggelepar di antara hidup dan mati. Oh! Siapa yang bisa
berharap bahwa ketika dunia jauh yang menyerupai dirinya itu
setengah dibukakan untuk penglihatannya, dia akan kembali ke
nestapa dan malapetaka di dunia ini! Rose, Rose, mengetahui
bahwa kau melintas pergi bagaikan bayangan lembut yang di"
pan"carkan cahaya dari atas ke bumi ini tanpa memiliki harapan
bahwa kau akan ditinggalkan bersama orang-orang yang terpaksa
bermukim di sini, nyaris tak mengetahui satu alasan pun
mengapa kau harus bertahan di sini; merasa bahwa sepantasnya"
lah kau berada di dimensi cemerlang itu bersama sedemikian
banyak makhluk terelok dan terbaik yang telah mengepakkan
sayapnya untuk terbang lebih dahulu. Kendati demikian, berdoa
di tengah-tengah semua penghiburan ini, semoga kau dikemba"
likan kepada orang-orang yang mencintaimu"kepedihan ini
hampir terlalu berat untuk ditanggung. Aku menanggungnya
siang dan malam; dan seiring dengan itu, datanglah aliran rasa
takut dan kecemasan yang melanda, serta penyesalan egois ka"
lau-kalau kau meninggal dan tak pernah tahu betapa besarnya
cintaku padamu sehingga hampir-hampir menumpulkan per"
tim"bangan dan akal sehat dalam perjalanannya. Kau pun pulih.
Hari demi hari, dan bahkan mungkin jam demi jam, secercah
CHARLES DICKENS ~361 kesehatan datang kembali, dan bersamanya berbaurlah aliran
kecil lemah kehidupan yang meresap loyo ke dalam dirimu, me"
luap lagi hingga menjadi ombak pasang tinggi. Aku telah memper"
hatikanmu berubah dari nyaris mati hingga hidup kembali
dengan mata yang jadi buta karena semangat menjadi serta kasih
sayang mendalam. Jangan katakan kepadaku bahwa kau harap
aku kehilangan ini sebab perasaan ini telah melembutkan hatiku
terhadap seluruh umat manusia."
"Aku tidak bermaksud begitu," kata Rose sambil menangis.
"Aku semata-mata berharap kau pergi dari sini sehingga kau bisa
kembali mengalihkan perhatianmu ke tujuan yang luhur dan
mulia. Tujuan yang layak bagimu."
"Tak ada tujuan yang lebih layak bagiku"yang kelayak?""an"nya
lebih luhur daripada apa pun di dunia ini"daripada per?"juangan
untuk memenangi hati seperti milikmu," kata sang pemuda
sambil menggenggam tangan Rose. "Rose, Roseku ter"sayang!
Bertahun-tahun sudah"bertahun-tahun"aku mencin"taimu,
berharap dapat memenangi jalan menuju kejayaan, kemudian
dengan bangga pulang ke rumah dan memberitahumu bahwa
aku mengejarnya agar bisa membaginya dengan dirimu semata.
Berpikir dalam angan-anganku, betapa aku akan mengingat"kan"
mu, pada saat bahagia itu, tentang begitu banyak pertanda bisu
yang kuberikan untuk menunjukkan kasih sayang seorang anak
laki-laki, dan betapa aku akan meminta uluran tanganmu, seo"
lah untuk menebus sebuah kontrak senyap yang telah mengikat
kita berdua! Saat itu belumlah tiba. Tapi di sini, tanpa kejayaan
yang telah dimenangi, dan tanpa visi masa muda yang telah ter"
wujud, kutawarkan hati yang sudah begitu lama jadi milikmu,
dan kupertaruhkan segalanya demi kata-kata yang akan kau
utarakan untuk membalas tawaran tersebut."
"Perilakumu senantiasa baik dan mulia," kata Rose, mengenda"
likan emosi yang mengaduk-aduknya. "Agar kau percaya bahwa
aku tidaklah tak berperasaan ataupun tak tahu terima kasih,
dengarlah jawabanku."
362~ OLIVER TWIST "Apakah aku diizinkan berjuang agar layak menerimamu,
itukah jawabannya, Rose tersayang?"
"Kau diizinkan," jawab Rose, "untuk berjuang melupa"
kanku"bukan sebagai teman lama yang sangat kau sayangi,
sebab itu akan amat melukaiku"melainkan sebagai orang yang
kau cintai. Lihatlah dunia, pikirkan betapa banyak hati yang akan
dengan bangga menerimamu, yang ada di sana. Berbagi hasrat
lainlah denganku. Jika kau bersedia, aku akan jadi teman paling
sejati, paling hangat, dan paling tepercaya yang kaumiliki."
Ada jeda singkat saat Rose meluapkan air matanya dan
menutupi wajah menggunakan satu tangan. Harry masih meme"
gangi tangannya yang satu lagi.
"Dan alasanmu, Rose," kata pemuda itu pada akhirnya dengan
suara pelan. "Apa alasanmu sehingga membuat keputusan ini?"
"Kau berhak mengetahuinya," timpal Rose. "Tak ada apa
pun yang bisa mengubah ketetapan hatiku. Ini adalah tugas
yang harus kulaksanakan. Aku berkewajiban kepada orang lain,
serta diriku sendiri."
"Kepada dirimu sendiri?"
"Ya, Harry. Aku berkewajiban kepada diriku sendiri, sebagai
seorang gadis miskin tanpa teman, dengan nama yang cacat, un"
tuk tak memberi teman-temanmu alasan mencurigakan bahwa
aku telah dengan hina menyerah pada hasrat impulsifmu, dan
menempelkan diriku seperti kotoran pada semua harapan dan
rencanamu. Aku berkewajiban kepada dirimu dan cita-citamu
agar kehangatan budi baikmu yang pemurah terhadapku tidak
menjadi rintangan besar terhadap kemajuanmu di dunia."
"Jika hatimu sejalan dengan rasa tanggung jawabmu "."
"Tidak," jawab Rose, wajahnya merah padam.
"Kalau begitu, kau membalas cintaku?" ujar Harry. "Jangan
katakan apa-apa selain itu, Rose tersayang. Jangan katakan apaapa selain itu dan ringankan kekecewaan berat yang getir ini!"
"Seandainya aku bisa berkata demikian, tanpa menyakiti dia
yang kucintai," timpal Rose, "aku pasti akan "."
CHARLES DICKENS ~363 "Menerima pengakuan ini dengan reaksi yang sangat ber"
beda?" ujar Harry. "Paling tidak, jangan sembunyikan itu dariku,
Rose." "Bisa saja," kata Rose. "Tinggallah!" imbuhnya sambil mele"
paskan tangannya. "Kenapa kita harus mengulur-ulur perca"
kapan menyakitkan ini" Sangat menyakitkan bagiku, tapi
menghasilkan kebahagiaan abadi. Sebab, aku pasti akan bahagia
mengetahui bahwa aku pernah menempati tempat tinggi ter"
hormat di hatimu, yang sekarang kuhuni, dan setiap kemenang"
an yang kau raih dalam hidupmu akan menguatkanku dengan
tekad dan keteguhan baru. Selamat tinggal, Harry! Hari ini kita
bertemu untuk terakhir kali. Namun, dalam hubungan selain
yang menyatukan kita dalam perbincangan ini, kita mungkin
saja terikat lama dan bahagia, dan teriring setiap karunia yang
dapat dipinta oleh doa dari hati yang jujur dan tulus kepada
sumber semua kebenaran dan kesungguhan, semoga kau ber"
bahagia dan sejahtera!"
"Satu kata lagi saja, Rose," kata Harry. "Sebutkan alasanmu,
dengan kata-katamu sendiri. Biarkan aku mendengarnya dari
bibirmu sendiri!" "Peluang yang terbentang di depanmu," jawab Rose, "amatlah
gemilang. Bakat hebat dan hubungan kuat yang bisa membantu
mendatangkan semua kehormatan bagi seorang pria di kehi"dup"
an publik, tersedia untukmu. Tapi hubungan tersebut angkuh,
dan aku takkan bergaul dengan orang-orang yang mungkin saja
mencela ibu yang memberiku kehidupan ataupun mendatang?"
kan malu dan kecewa bagi putra seseorang yang telah sedemi"kian
baik menggantikan tempat sang ibu itu. Singkat kata," kata sang
wanita muda, berpaling saat keteguhan sementaranya mening"
galkan dirinya, "ada cacat pada namaku, yang didatangkan dunia
pada kepala-kepala tak berdosa. Aku takkan menurunkannya
kepada darah dagingku sendiri dan cemoohan tersebut takkan
menimpa siapa-siapa lagi kecuali diriku seorang."
"Satu kata lagi, Rose. Rose tersayang! Satu lagi saja!" seru
Harry, menjatuhkan dirinya di hadapan Rose. "Seandainya
364~ OLIVER TWIST aku kurang"kurang beruntung, begitu dunia akan menyebut"
nya"atau jika kehidupan damai yang biasa-biasa saja adalah
takdirku"jika aku miskin, sakit, tak berdaya"akankah kau
ber"pa"ling dariku saat itu" Ataukah kesempatanku untuk mem"
per"oleh kekayaan serta kehormatan yang melahirkan nasib keji
ini?" "Jangan paksa aku untuk menjawab," balas Rose. "Pertanyaan
tersebut tidak pernah ada, dan takkan pernah ada. Tidaklah adil,
hampir-hampir jahat, memaksaku menanggapinya."
"Jika jawabanmu sama seperti yang hampir-hampir berani
kuharapkan," balas Harry, "maka itu akan memancarkan secer"
cah kebahagiaan dalam pengelanaanku yang sepi dan menerangi
jalan di depanku. Bukanlah hal sia-sia, mengucapkan segelin"tir
kata singkat, untuk seseorang yang mencintaimu melampaui se"
ga?"lanya. Oh, Rose"atas nama kasih sayangku yang abadi dan
tak kunjung padam, atas nama semua yang telah kutanggung
demi dirimu, dan demi musibah yang kau paksakan agar kuja"
lani"jawablah satu pertanyaanku ini!"


Oliver Twist Karya Charles Dickens di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau begitu, seandainya nasibmu berbeda," timpal Rose,
"seandainya posisimu sedikit saja, tapi tidak terlalu jauh di
atasku; seandainya aku bisa membantu dan menghiburmu
dalam suasana sederhana yang damai, jauh dari sorotan serta
tidak menodai dan menghambatmu di tengah-tengah massa
yang ambisius serta terhormat, aku pasti akan terbebas dari coba"
an ini. Aku patut berbahagia, sangat berbahagia saat ini. Tapi
Harry, kuakui aku semestinya lebih berbahagia."
Berbagai ingatan tentang harapan yang telah lalu, dipu?"
puk saat masih kanak-kanak, menyesaki benak Rose selagi
menyatakan pengakuan ini. Namun, kenangan tersebut men"
datangkan air mata bersamanya, layaknya harapan lama ketika
datang kembali dalam keadaan layu dan ini membuat gadis itu
lega. "Aku tidak kuasa menampik kelemahan ini, dan ini menjadi"
kan tekadku lebih kuat," kata Rose sambil mengulurkan tangan.
CHARLES DICKENS ~365 "Aku harus meninggalkanmu sekarang, sungguh."
"Kuminta satu janji," kata Harry. "Sekali, dan hanya sekali
lagi saja"anggap saja dalam setahun, tapi mungkin saja lebih
cepat"aku boleh bicara kepadamu lagi mengenai topik ini, un"
tuk terakhir kalinya."
"Jangan paksa aku mengubah kebulatan tekadku," balas Rose
sambil tersenyum melankolis. "Takkan ada gunanya."
"Tidak," kata Harry. "Mendengarmu mengulanginya, jika
kau bersedia"mengulanginya untuk terakhir kali! Aku akan
bersujud di kakimu, tanpa memedulikan status dan perun"tung"
an yang kumiliki. Dan jika kau masih berpegang pada kete"tapan"
mu sekarang, aku takkan berusaha, lewat kata atau perbu"atan
un"tuk mengubahnya."
"Kalau begitu, silakan saja," timpal Rose. "Tikamkan sekali
saja hatiku, dan pada saat itu aku mungkin sanggup menang"
gungnya dengan lebih baik."
Gadis itu mengulurkan tangannya lagi, tapi sang pemuda
mendekapkan gadis itu ke dadanya. Setelah mengecup dahinya
yang cantik, dia bergegas meninggalkan ruangan tersebut.[]
Kepergian Harry Jadi, kau berketetapan untuk menjadi rekan seperjalanan"
ku pagi ini, ya?" kata sang dokter, saat Harry Maylie berga"
bung dengannya dan Oliver di meja makan untuk sarapan.
"Mengapa pikiran dan niatmu berubah, dalam waktu dua sete"
ngah jam saja?" "Anda takkan berpendapat begitu lagi tentangku nanti," kata
Harry, merona tanpa alasan yang kentara.
"Kuharap aku punya alasan bagus untuk berpendapat demi"
kian," balas Tuan Losberne, "meskipun kuakui, rasanya ti"dak
akan. Kemarin pagi kau memutuskan, dengan amat terbu"ruburu, untuk tinggal di sini, dan menemani ibumu ke pantai,
layaknya seorang putra yang berbakti. Sebelum tengah hari, kau
mengumumkan bahwa kau akan merasa terhormat menema?"
niku ke mana pun aku pergi, dalam perjalananmu ke London.
Dan malamnya, kau mendesakku, dengan teramat misterius,
untuk berangkat sebelum para wanita bangun. Konsekuensinya,
Oliver muda di sini ini terpaksa sarapan ketika dia semestinya
men"je?""lajahi padang untuk melacak segala jenis fenomena botani.
Sayang sekali, bukan begitu, Oliver?"
"Saya akan sangat menyesal bila tidak ada di rumah ketika
Anda dan Tuan Maylie berangkat, Tuan," timpal Oliver.
"Itu baru namanya anak baik," kata sang dokter. "Kau bo"
leh datang menemuiku ketika kau kembali. Tapi, serius, Harry,
CHARLES DICKENS ~367 apakah ada komunikasi dari sang bangsawan agung yang menye"
babkan kau tiba-tiba tak sabaran, ingin cepat-cepat pergi?"
"Sang bangsawan agung," jawab Harry, "kuasumsikan mak"
sud Anda adalah pamanku yang sangat berwibawa. Dia be"lum
berkomunikasi denganku sama sekali, sejak aku sampai di sini
atau, pada waktu seperti ini. Kemungkinan apa pun akan terjadi
untuk mengharuskanku hadir secepatnya di tengah me"reka."
"Wah," kata sang dokter, "kau memang pemuda aneh. Tapi
tentu saja mereka akan melibatkanmu ke dalam parlemen saat
pemilu sebelum Natal. Peralihan dan perubahan tiba-tiba ini
tidaklah buruk sebagai persiapan untuk kehidupan politik. Ada
sesuatu di dalamnya. Latihan yang bagus selalu bermanfaat,
entah untuk perlombaan memperebutkan kedudukan, piala,
atau taruhan." Harry Maylie terlihat seolah dia bisa saja menindaklanjuti
dialog pendek ini dengan satu atau dua komentar yang pasti
akan mengguncangkan sang dokter habis-habisan. Namun, dia
memuaskan dirinya sendiri dengan berkata, "Kita lihat saja nan"
ti," dan tidak membicarakan topik tersebut lebih lanjut. Kereta
kuda sampai di depan pintu tidak lama setelah itu. Giles masuk
untuk mengambil barang bawaan. Sang dokter yang baik buruburu keluar untuk mengawasi barang-barangnya diangkut.
"Oliver," kata Harry Maylie dengan suara pelan, "biar aku
bicara sebentar denganmu."
Oliver berjalan ke relung jendela tempat Tuan Maylie me"
mang?"gilnya; kaget sekali melihat perpaduan kesedihan serta
sema"ngat menggebu-gebu yang ditampilkan keseluruhan peri"
laku pria itu. "Kau bisa menulis dengan baik sekarang?" kata Harry sambil
meletakkan tangannya di lengan Oliver.
"Saya harap demikian, Tuan," jawab Oliver.
"Aku takkan pulang ke rumah lagi, barangkali cukup lama.
Kuharap kau mau menulis surat untukku"katakanlah dua
368~ OLIVER TWIST minggu sekali, pada hari Senin: ke Kantor Pos Besar di London.
Kau mau?" "Oh! Tentu, Tuan, saya akan melakukannya dengan bangga,"
seru Oliver, teramat senang menerima tugas itu.
"Aku ingin tahu bagaimana " bagaimana kabar ibuku dan
Nona Maylie," kata pemuda itu, "dan kau bisa memenuhi kertas
dengan cara memberitahuku ke mana saja kau berjalan-jalan.
Apa saja yang kaubicarakan, dan apakah dia"mereka, maksud"
ku"tampak senang dan baik-baik saja. Kau paham maksud"
ku?" "Oh! Sangat, Tuan, sangat mengerti," jawab Oliver.
"Aku lebih senang seandainya kau tidak menyinggung hal
ini kepada mereka," kata Harry, mengucapkan kata-katanya
tergesa-gesa, "sebab Ibuku mungkin akan jadi waswas, dan akan
lebih sering menulis surat untukku. Itu akan menyulitkan dan
membuatnya khawatir. Biarkan ini jadi rahasia di antara kau dan
aku. Jangan lupa beritahukan segalanya kepadaku! Aku bergan"
tung padamu." Oliver cukup bangga dan tersanjung karena merasa penting.
Dengan setia dia berjanji merahasiakan dan memaparkan secara
terperinci informasi yang disampaikannya. Tuan Maylie mohon
pamit, disertai banyak jaminan dari Oliver akan rasa hormat
dan keteguhannya dalam menjaga rahasia.
Sang dokter sudah berada di kereta. Giles"yang telah
ditetapkan akan ditinggal di pondok"menahan pintu agar ter"
buka dengan tangannya. Para pelayan wanita yang berada di ta"
man menonton. Harry melemparkan lirikan singkat ke jendela
berkisi-kisi, dan melompat masuk ke kereta.
"Maju!" serunya. "Yang cepat, yang kencang, kecepatan
pe?"nuh! Tak ada satu pun benda terbang yang bisa menyamai
kecepatanku, hari ini."
"Haloha!" pekik sang dokter sambil menurunkan kaca depan
dengan amat terburu-buru, dan berteriak kepada si pengendara
kereta. "Lajukan kudamu secepat kuda terbang. Apa kau de"
ngar?" CHARLES DICKENS ~369 Bergemerencing dan bising, sampai jarak menjadikan bunyi
itu tak terdengar, dan lajunya yang kencang membuatnya terlihat
sekilas saja. Kereta itu melesat di sepanjang jalan, hampir tersem"
bunyi dalam kepulan debu"kini sepenuhnya menghilang, lalu
terlihat kembali, saat objek-objek penghalang menghilang, atau
jalan kembali lurus. Saat kepulan debu terlihat lagilah mereka
yang melihatnya bubar. Namun, masih ada seorang pengamat, yang terus melekat"
kan tatapan matanya pada lokasi tempat kereta kuda itu meng"
hilang, lama setelah kereta itu sudah bermil-mil jauhnya sebab
di balik tirai putih, tempat Harry mengarahkan matanya, ada
Rose yang duduk di sana. "Dia tampaknya bersemangat tinggi dan bergembira," kata
Rose pada akhirnya. "Aku sempat khawatir dia akan sedih dan
tak bersemangat. Aku keliru. Aku sangat, sangat lega."
Air mata adalah pertanda kebahagiaan sekaligus duka. Na"
mun, air mata yang mengalir di wajah Rose, saat dia duduk mu"
ram di balik jendela, dan menatap ke arah yang sama, tampaknya
mengungkap kesedihan alih-alih kebahagiaan.[]
Pasangan Bumble uan Bumble duduk di ruang tamu rumah sosial. Mata"
nya murung mengarah pada perapian yang redup.
Karena saat itu musim panas, tak ada pendar yang lebih
terang daripada pantulan sendu sinar mentari, memantul dari
permukaannya yang dingin dan berkilau. Perangkap lalat dari
kertas menggelantung di langit-langit. Ke sanalah dia menga"
rahkan pandangannya sambil merenung muram. Dan selagi se"
rang"ga-serangga yang tak peduli itu berputar-putar mengelilingi
perangkap mencolok itu, Tuan Bumble mendesah panjang,
sementara bayang-bayang yang lebih muram menyebar di raut
wajahnya. Tuan Bumble sedang termangu. Mungkin seranggaserangga itu memunculkan satu kejadian menyakitkan di benak"
nya dari masa lalunya sendiri.
Kemuraman Tuan Bumble bukanlah satu-satunya hal yang
membangkitkan kenangan melankolis menyenangkan di dada
yang melihatnya. Tak ada yang kurang di penampilannya, dan
itu sangat berkaitan dengan sosoknya, yang mengumumkan
bahwa sebuah perubahan hebat telah terjadi dalam hubungan
cintanya. Di manakah jas berenda dan topi tingginya" Dia masih
mengenakan celana selutut, dan stoking katun berwarna gelap
di atas tungkai, tapi bukan celana pendek. Mantelnya mengem"
bang lebar, sehingga memang mirip jas, tapi, oh, sangat berbeda!
Topi tingginya yang agung digantikan dengan topi bulat seder"
hana. Tuan Bumble bukan lagi pelayan warga.
CHARLES DICKENS ~371 Ada kenaikan status dalam hidup, yang terlepas dari imbalan
substansial yang ditawarkannya, membutuhkan nilai serta mar"
tabat istimewa dari jas dan rompi yang terkait dengannya. Seorang
marsekal punya seragam; uskup punya jubah sutra; penasihat
punya toga sutra; pelayan warga punya topi tinggi. Lucuti jubah
dari sang uskup, atau topi dan renda dari si pelayan warga, apa
jadinya mereka" Manusia. Manusia biasa. Martabat, dan bahkan
juga kesucian, kadang-kadang lebih merupakan perkara jas dan
rompi daripada yang dibayangkan sejumlah orang.
Tuan Bumble telah menikahi Nyonya Corney, dan menjadi
kepala rumah sosial. Seorang pelayan warga lain telah dipilih.
kepadanyalah topi tinggi, jas berenda emas, dan tongkatnya dia
berikan. "Dan besok sudah dua bulan!" kata Tuan Bumble sambil
mendesah. "Rasanya seperti seabad."
Tuan Bumble mungkin bermaksud mengatakan bahwa dia
telah mencurahkan seluruh eksistensi kebahagiaan ke dalam
jangka waktu delapan minggu yang singkat itu. Namun desah"
annya"ada banyak makna dalam desahan itu.
"Aku sudah menjual diri," kata Tuan Bumble, melanjutkan
permenungan sebelumnya, "untuk enam sendok teh, sepasang
tang penjepit gula, sebuah poci susu, sejumlah kecil perabot
bekas, serta uang dua puluh pound. Aku bertindak sangat penuh
pertimbangan. Murah, terlalu murah!"
"Murah!" seru satu suara nyaring di telinga Tuan Bumble.
"Kau layak dibayar berapa pun. Dan aku membayarmu cukup
mahal, Tuhan tahu itu!"
Tuan Bumble menoleh, dan melihat wajah pasangannya
yang menarik. Wanita ini, yang secara tak sempurna memahami
arti keluh kesah Tuan Bumble yang didengarnya, telah berani
memberi komentar. "Nyonya Bumble, Nyonya!" kata Tuan Bumble dengan ke"
tegasan sentimental. "Apa!" seru wanita itu.
372~ OLIVER TWIST "Pandanglah aku," kata Tuan Bumble sambil memandang"
nya. Jika dia sanggup menatap mata seperti itu, kata Tuan
Bumble kepada dirinya sendiri, dia bisa menghadapi apa saja.
Ini pandangan mata yang kutahu tak pernah gagal menaklukkan
kaum papa. Jika ini gagal, berarti kekuatanku lenyap.
Entah mata yang sedikit dipelototkan sudah cukup untuk
menjinakkan kaum papa yang karena kurang makan, tidak
dalam kondisi prima, atau mantan Nyonya Corney memang
kebal dengan tatapan elang ini, adalah soal opini saja. Faktanya
adalah ibu kepala rumah tangga itu sama sekali tidak takluk
pada pandangan marah Tuan Bumble. Sebaliknya, dia menang"
gapi dengan ejekan, dan bahkan menertawakannya.
Mendengar suara yang sangat tak dia duga ini, Tuan Bumble
awalnya ragu tapi kemudian takjub. Dia lalu kembali ke kea"
daannya semula. Dia tak sadar sampai perhatiannya terjaga oleh
suara pasangannya. "Apa kau akan duduk mendengkur di sana, seharian?" tanya
Nyonya Bumble. "Aku akan duduk di sini selama yang kumau, Nyonya," timpal
Tuan Bumble. "Dan walaupun aku tidak mendengkur, aku akan
mendengkur, menganga, bersin, tertawa, atau menangis, sesuai
emosiku; sebab itu adalah hakku."
"Hakmu!" cemooh Nyonya Bumble dengan kebencian tak
terperikan. "Begitulah, Nyonya," kata Tuan Bumble. "Hak seorang pria
adalah memerintah." "Dan apa hak seorang wanita, demi Tuhan?" seru janda men"
diang Tuan Corney. "Bersikap patuh, Nyonya," Tuan Bumble menggelegar. "Al"
mar"hum suamimu yang malang seharusnya mengajarimu hal
itu. Jika demikian, dia barangkali saja masih hidup sekarang.
Kuharap dia masih hidup, pria malang!"
Nyonya Bumble melihat sekilas. Saat yang menentukan kini
telah tiba, dan hinaan yang menentukan pemegang kekuasaan
CHARLES DICKENS ~373 di antara keduanya itu, haruslah final dan meyakinkan. Segera
setelah mendengar sindiran tentang orang yang telah mening"gal


Oliver Twist Karya Charles Dickens di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan berpulang itu, dia menjatuhkan diri di kursi dan dengan je"
ritan nyaring dia menyatakan bahwa Tuan Bumble adalah lakilaki jahat berhati batu, lalu menangis tersedu-sedu.
Namun, air mata mampu menyentuh hati Tuan Bumble.
Hatinya tahan air. Bagaikan topi berang-berang tahan air yang
meningkat kualitasnya setiap kali ditimpa hujan. Mentalnya
jadi semakin kukuh dan lebih tahan banting, berkat pancuran
air mata, sebagai tanda kelemahan. Dan sejauh ini, diam-diam
menjadi pengakuan atas kekuatannya sendiri, yang mem?"bu?"
atnya senang dan tersanjung. Tuan Bumble mengamati wanita
baik itu dengan ekspresi sangat puas, dan memohon dengan si"
kap yang meyakinkan, agar dia menangis sekeras-kerasnya sebab
menangis dianggap berefek positif bagi kesehatan.
"Menangis membuka paru-paru, membersihkan wajah, me"
la?"tih mata, dan meredakan emosi," kata Tuan Bumble. "Jadi,
menangislah." Sambil bersenda gurau, Tuan Bumble mengambil topi dari
tempatnya, dan memasangnya agak miring, seperti yang dila"
kukan seorang pria saat merasa dirinya telah menegaskan supe"
r"i"oritasnya dengan sikap yang pantas. Dia memasukkan tangan
ke sakunya, lalu melenggang ke pintu dengan santai dan jenaka
yang terlihat pada penampilannya.
Selanjutnya, Nyonya Corney mencoba menangis karena itu
lebih tak merepotkan dibandingkan memukul. Namun, dia sa"
ng"at siap menguji coba aksi yang sedang dia lakukan, seperti
yang akan segera diketahui Tuan Bumble.
Bukti pertama yang dialaminya terkait fakta itu disampaikan
lewat satu bunyi berdesing, diikuti oleh topinya yang terbang
secara mendadak ke seberang ruangan. Peristiwa awal ini mene"
lanjangi kepalanya, sang wanita yang ahli, mencengkeram erat
lehernya, menghujaninya dengan pukulan (dihadapi dengan
tenaga dan ketangkasan mencengangkan) menggunakan satu
374~ OLIVER TWIST tangan. Sesudahnya, wanita itu memberi sedikit variasi dengan
cara mencakar wajah Tuan Bumble, dan menjambak rambut"
nya. Setelah menimpakan hukuman sebanyak yang menurutnya
perlu atas hinaan itu, dia mendorongnya ke kursi, yang untung
saja posisinya pas untuk tujuan itu, dan menantangnya untuk
bicara tentang haknya lagi, jika dia berani.
"Bangun!" kata Nyonya Bumble, dengan suara berkuasa.
"Dan enyahlah dari sini, kecuali kau ingin aku melakukan se"
suatu yang nekat." Tuan Bumble bangkit dengan raut wajah yang sangat penuh
penyesalan. Dia bertanya-tanya seperti apakah sesuatu yang
nekat itu. Lalu sambil mengambil topinya, dia memandang ke
pintu. "Kau akan pergi?" tanya Nyonya Bumble.
"Tentu, Sayang, tentu," timpal Tuan Bumble, bergerak lebih
cepat ke pintu. "Aku tidak berniat . . . aku pergi dulu, Sayang!
Kau bersikap begitu kasar, itu membuatku sungguh?"
Segera saja Nyonya Bumble bergegas melangkah maju, untuk
membetulkan karpet yang telah tertendang karena perkelahian
tadi. Tuan Bumble seketika melesat ke luar ruangan, tanpa men"
curahkan pemikiran lebih lanjut pada kalimatnya yang belum
selesai, meninggalkan mantan Nyonya Corney yang sepenuhnya
memegang kendali. Tuan Bumble cukup terkejut dan cukup terpukul. Dia jelasjelas memiliki bakat menjadi penggertak yang memperoleh ke"
senangan tidak sedikit dari praktik kejam yang rendah. Dan oleh
sebab itu, sesungguhnya dia adalah"tak perlu dikatakan lagi"
seorang pengecut. Ini sama sekali bukanlah upaya untuk me"
remehkan karakternya sebab banyak pejabat pemerintah, yang
sangat dihormati dan dikagumi, menjadi korban kelemahan
serupa. Komentar ini dikemukakan, tentu saja untuk memujinya
alih-alih sebaliknya, dan dengan maksud membuat pembaca
terkesan dengan kesesuaian kualifikasi yang dibutuhkan untuk
jabatannya. CHARLES DICKENS ~375 Namun, tingkat kemerosotannya belumlah sempurna. Se"
telah menjalani tur keliling rumah, dan berpikir untuk per"tama
kalinya bahwa hukum bagi rakyat miskin benar-benar terlalu
keras, dia menganggap bahwa adil kiranya bagi para laki-laki
yang melarikan diri dari istri mereka, meninggalkan mereka
menjadi tanggungan warga, sebaiknya tidak dihukum, tetapi
diberi penghargaan sebagai individu-individu berjasa yang telah
banyak menderita. Tuan Bumble sampai di sebuah ruangan tem"
pat sejumlah perempuan miskin biasanya sedang sibuk mencuci
kain linen warga, saat sebuah percakapan sedang berlangsung.
"Hmm!" kata Tuan Bumble, menunjukkan seluruh kewiba"
waannya. "Perempuan-perempuan ini tidak menghargai haknya.
Halo! Halo, yang di sana! Kenapa kalian ribut, dasar pengacau!"
Sambil mengucapkannya, Tuan Bumble membuka pintu
dan berjalan masuk dengan sikap sangat garang dan marah,
yang seketika berganti menjadi sangat malu dan gemetar, saat
matanya tanpa dia duga mendarat pada sosok istrinya.
"Sayang," kata Tuan Bumble, "aku tak tahu kau ada di sini."
"Tidak tahu aku ada di sini!" ulang Nyonya Bumble. "Apa
yang kaulakukan di sini?"
"Kupikir mereka terlalu banyak bicara saat bekerja, Sayang,"
jawab Tuan Bumble sambil melirik risau ke sepasang wanita
tua di depan bak cuci, yang sedang berbagi kekaguman akan
kerendahan hati sang kepala rumah sosial.
"Kau pikir mereka terlalu banyak bicara?" kata Nyonya
Bumble. "Memangnya itu urusanmu?"
"Tapi, Sayang?" lanjut Tuan Bumble dengan sikap tunduk
dan patuh. "Memangnya itu urusanmu?" tanya Nyonya Bumble lagi.
"Memang benar sekali bahwa kau ibu kepala rumah tangga
di sini, Sayang," Tuan Bumble menyerah, "tapi kupikir kau tak
ada di dalam tadi." "Kuberi tahu kau, Tuan Bumble," balasnya. "Kami tidak i"ngin
campur tanganmu. Kau terlalu senang mencampuri hal yang
376~ OLIVER TWIST bukan urusanmu, membuat semua orang di rumah ini tertawa,
tepat pada saat kau membalikkan punggungmu, dan menja"
dikan dirimu kelihatan seperti orang bodoh setiap jam dalam
se"hari. Pergilah, cepat!"
Tuan Bumble melihat dengan perasaan pedih, kegembiraan
kedua wanita tua papa itu. Mereka menahan tawa dengan amat
girang, lalu ragu-ragu sesaat. Nyonya Bumble, yang kesabaran"
nya tidak sanggup menoleransi penundaan, merenggut semang"
kuk air sabun, dan sambil memberi isyarat kepada Tuan Bumble
dengan menunjuk ke arah pintu, memerintahkan suaminya agar
segera pergi dengan memercikkan air sabun itu ke tubuhnya
yang gemuk. Apa yang bisa dilakukan Tuan Bumble" Dia melihat ke sekeli"
ling dengan putus asa, lalu pergi. Saat dia mencapai pintu, tawa
yang ditahan oleh dua wanita papa itu pecah menjadi tawa kecil
riang yang tak tertahankan. Inilah yang mereka inginkan. Derajat
Tuan Bumble telah turun di mata mereka. Dia telah kehilangan
wibawa dan kedudukan di hadapan orang-orang papa ini. Dia
telah terjungkal dari puncak kemegahan sebagai seorang pelayan
warga, dan jatuh ke dalam lubang hina terendah.
"Hanya dalam dua bulan!" kata Tuan Bumble, dipenuhi
pikiran yang menyedihkan. "Dua bulan! Tak lebih dari dua bu"
lan lalu, aku bukan saja penguasa bagi diriku sendiri, melainkan
penguasa semua orang di rumah sosial, dan sekarang!?"
Ini keterlaluan. Tuan Bumble meninju telinga seorang anak
laki-laki yang membukakan gerbang untuknya (sebab dia telah
mencapai portal selagi dia termenung), dan melangkah dengan
pikiran kacau ke jalanan.
Dia menyusuri satu jalan, lalu ke jalan lain, sampai olah"
raga itu meredakan dukanya. Kemudian perubahan perasaan
itu membuatnya haus. Dia melewati banyak pub. Namun pada
akhirnya, berhenti di depan satu pub di sebuah jalan kecil yang
ruang minumnya dari hasil pengintipan terburu-buru lewat ke"
rai, sedang kosong. Hanya ada seorang pelanggan. Hujan mulai
CHARLES DICKENS ~377 turun deras saat itu. Ini membulatkan tekadnya. Tuan Bumble
melangkah masuk, dan memesan minuman saat dia melewati
bar, lalu memasuki ruangan yang tadi dilihatnya dari jalan.
Pria yang duduk di sana bertubuh tinggi dan berkulit gelap,
dan mengenakan jas besar. Sepertinya dia orang asing. Dan
tampaknya, dari wajahnya yang tirus, dan kotoran berdebu di
pakaiannya, dia telah menempuh perjalanan jauh. Lelaki asing
itu memandang curiga pada Bumble saat dia masuk. Namun,
hampir tak sudi menganggukkan kepala untuk membalas sapa"
annya. Tuan Bumble punya harga diri cukup untuk dua orang"
sekalipun misalnya orang asing itu bersikap lebih ramah. Jadi,
dia meminum gin-dan-airnya dengan diam, dan membaca
koran dengan gaya sombong dan sok penting.
Namun, walau begitu"seperti yang sering kali terjadi, ketika
pria-pria dipertemukan dalam keadaan seperti itu,Tuan Bumble
merasakan, sesekali, dorongan kuat yang tak kuasa ditampiknya
untuk mencuri pandang ke arah orang asing itu. Kapan pun dia
berbuat demikian, dia memalingkan pandangan matanya, bi"
ngung karena mendapati orang asing itu juga mencuri pandang
ke arahnya. Kecanggungan Tuan Bumble ditambah dengan
ekspresi yang sangat mencolok di mata orang asing, yang tajam
dan berbinar, tapi dibayang-bayangi oleh pandangan curiga dan
tak percaya. Tak seperti apa pun yang pernah dia saksikan se"be"
lumnya, dan terasa memuakkan untuk dipandang.
Setelah mereka bertemu pandang beberapa kali dengan cara
seperti ini, si orang asing, dengan suara kasar dan dalam, me"
mecah kesunyian. "Apa tadi kau mencariku," katanya, "waktu kau mengintip
jendela?" "Rasanya tidak, kecuali kau adalah Tuan.?" Di sini Tuan
Bumble tiba-tiba berhenti. Karena penasaran ingin tahu nama
orang asing itu, dan mempertimbangkan ketidaksabarannya, dia
mungkin akan mengisi jeda itu dengan mengucapkan na"ma"nya.
378~ OLIVER TWIST "Sepertinya tidak," kata si orang asing, ekspresi yang sangat
sarkastis dari bibirnya, "atau kau sudah tahu namaku. Kau tidak
tahu. Kusarankan agar kau tidak bertanya."
"Aku tidak bermaksud jahat, anak muda," sahut Tuan Bumble
dengan wibawa. "Dan belum melakukan apa pun," kata orang asing itu.
Ada keheningan lagi yang kembali dipecah oleh si orang
asing. "Aku pernah melihatmu sebelumnya, benar?" katanya. "Pakai"
anmu berbeda saat itu, dan aku hanya berpapasan denganmu di
jalan, tapi aku seharusnya mengenalimu lagi. Kau pernah jadi
pelayan warga di sini, bukan?"
"Memang," kata Tuan Bumble terkejut. "Pelayan warga yang
terhormat." "Rupanya begitu," sahut pria asing itu sambil menganggukkan
kepala. "Saat itulah aku melihatmu. Apa jabatanmu sekarang?"
"Kepala rumah sosial," sahut Tuan Bumble, pelan dan de"
ngan mengesankan, untuk menangkal kemungkinan kalaukalau orang asing itu tidak paham. "Kepala rumah sosial, anak
muda!" "Kau mengincar sesuatu yang sama, demi kepentinganmu,
seperti sebelumnya, benar begitu?" lanjut pria asing itu sambil
menatap tajam mata Tuan Bumble, saat dia membelalakkan
mata karena kaget mendengar pertanyaan itu.
"Jangan nekat menjawab seenaknya, Bung. Aku mengenal"
mu dengan cukup baik, kau tahu."
"Kurasa, pria yang sudah menikah," jawab Tuan Bumble, me"
lindungi matanya dengan tangan, dan mengamati pria a"sing itu
dari kepala hingga kaki, dengan ekspresi bingung yang kentara,
"tidak keberatan memperoleh uang halal ketika dia bisa, lebih
dari pria lajang. Bayaran pegawai sipil tidaklah be"gitu besar se"
hingga mereka sanggup menolak sedikit pemasukan tambahan,
ketika disodorkan kepada mereka dengan cara yang sopan dan
pantas." CHARLES DICKENS ~379 Pria asing itu tersenyum, dan menganggukkan kepalanya
lagi, seolah-olah mengatakan bahwa dia tidak keliru mengenali
pria ini"lalu membunyikan bel.
"Isi gelas ini lagi," katanya sambil menyerahkan gelas Tuan
Bumble yang kosong kepada pemilik bar. "Yang kental dan pa"
nas. Kau suka yang seperti itu, benar?"
"Jangan terlalu kental," jawab Tuan Bumble sambil terbatukbatuk pelan.
"Kau mengerti apa maksudnya itu, Bos!" kata pria asing itu
datar. Pemilik pub tersenyum, menghilang, dan tak lama setelah
itu kembali sambil membawa bejana beruap. Tegukan pertama
minuman ini membuat mata Tuan Bumble berair.
"Sekarang dengarkan aku," kata pria asing itu setelah menu"
tup pintu dan jendela. "Aku datang ke tempat ini, hari ini,
un?"tuk mencarimu. Dan, berkat kesempatan yang terkadang
dilem?"parkan iblis ke hadapan teman-temannya, kau berjalan
masuk tepat ke ruangan tempatku duduk, saat aku sedang
sangat memi?"kir"kanmu. Aku menginginkan informasi darimu.
Aku tidak memintamu untuk memberikannya secara cumacuma, meskipun informasi itu cuma sedikit. Ambil itu, sebagai
permulaan." Saat bicara, pria asing mendorong dua keping koin emas
ke seberang meja ke rekannya, dengan hati-hati, seakan tidak
bersedia gemerencing uang itu terdengar dari luar. Setelah Tuan
Bumble memeriksa koin-koin itu dengan saksama, untuk meli"
hat apakah itu koin asli, dan menyimpannya, dengan amat puas,
ke dalam saku rompinya, dia melanjutkan:
"Coba ingat lagi"coba kupikir"ke masa dua belas tahun
yang lalu, musim dingin."
"Itu sudah lama," kata Tuan Bumble. "Baiklah. Sudah ku"
ingat." "Lokasinya, rumah sosial."
"Bagus!" 380~ OLIVER TWIST "Dan waktunya, malam hari."
"Ya." "Dan tempat itu, lubang gila itu, apa pun itu, tempat para
pekerja wanita yang menyedihkan menghadirkan kehidupan
dan kesehatan yang acap kali disangkal oleh diri mereka sendiri
". melahirkan anak-anak cengeng yang harus dibesarkan oleh
warga, dan menyembunyikan rasa malu mereka, terkutuklah
mereka di dalam kubur!"
"Ruang istirahat, kurasa?" kata Tuan Bumble, tidak terlalu


Oliver Twist Karya Charles Dickens di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memahami deskripsi si pria asing yang berapi-api.
"Ya," kata pria asing itu. "Seorang anak laki-laki dilahirkan
di sana." "Banyak anak laki-laki," sahut Tuan Bumble sambil meng"
geleng-geleng putus asa. "Iblis muda pengganggu!" seru pria asing itu. "Aku bicara
tentang seorang anak laki-laki. Anak laki-laki bertampang penu"
rut, berwajah pucat, yang dijadikan pekerja magang di sini, oleh
seorang pembuat peti mati. Kuharap dia sudah membuat peti
matinya, dan semoga tubuhnya membusuk di dalamnya. Dia
kabur ke London setelah itu, seperti yang kudengar."
"Oh, maksudmu Oliver! Twist muda!" kata Tuan Bumble.
"Aku ingat dia, tentu saja. Tidak ada bajingan muda yang lebih
keras kepala?" "Aku bukan ingin mendengar tentang dia. Sudah cukup aku
mendengar tentangnya," kata si pria asing, menghentikan sem"
buran kata-kata Tuan Bumble tentang sifat buruk Oliver yang
malang. "Aku ingin tahu tentang seorang wanita. Nenek tua
yang merawat ibunya. Di mana dia?"
"Di mana dia?" ujar Tuan Bumble, yang jadi jenaka garagara gin-dan-air. "Sulit dikatakan. Tak ada bidan di sana, tak
ada jurusan kebidanan di tempat yang ditujunya. Jadi, kurasa
dia kehilangan pekerjaan, begitulah."
"Apa maksudmu?" desak orang asing itu garang.
"Dia meninggal musim dingin lalu," jawab Tuan Bumble.
CHARLES DICKENS ~381 Pria itu menatapnya lekat-lekat ketika dia memberi informa"
si ini, dan walaupun dia tidak memalingkan pandangan mata"
nya selama beberapa waktu sesudahnya, tatapannya pelan-pelan
menjadi kabur dan kosong. Dia tampaknya larut dalam pikiran"
nya sendiri. Beberapa saat dia terlihat ragu, entah harus merasa
lega atau kecewa mendengar kabar ini. Namun, pada akhirnya
dia menghela napas dengan lebih ringan dan mengalihkan pan"
dangan"nya, menyimpulkan bahwa itu bukan perkara besar. Dia
pun bangkit, seolah hendak pergi.
Namun, Tuan Bumble cukup cerdik. Dia seketika melihat
bahwa sebuah peluang tengah terbuka. Peluang untuk meng"
ungkapkan suatu rahasia menguntungkan yang dimiliki be"lah"an
jiwanya. Dia ingat betul malam ketika si tua Sally meninggal,
sebab kejadian itu pantas diingat karena saat itu dia melamar
Nyonya Corney. Walaupun wanita itu tak pernah menceritakan
rahasia padanya bahwa dia adalah satu-satunya saksi mata, dia
sudah cukup banyak mendengar bahwa hal itu berhubungan
dengan kehadiran wanita tua itu, sebagai perawat rumah sosial,
sebagai bidan yang membantu ibu Oliver Twist yang masih
muda. Sambil tergesa-gesa mengingat kejadian ini, dia memberi
tahu pria asing itu, dengan gaya misterius bahwa seorang wanita
mengurung diri bersama si nenek tua itu tidak lama sebelum dia
meninggal. Wanita itu mungkin bisa, seperti yang diyakini Tuan
Bumble, mencerahkan penyelidikannya.
"Bagaimana aku bisa menemukannya?" tanya si pria asing,
mengendurkan kewaspadaannya, dan kentara sekali menun?"juk"
kan bahwa semua kekhawatirannya (apa pun itu) dibangkitkan
kembali oleh informasi ini.
"Hanya melalui aku," jawab Tuan Bumble.
"Kapan?" seru si pria asing buru-buru.
"Be-sok," jawab Bumble.
"Pukul sembilan malam," ujar pria asing itu, mengeluarkan
secarik kertas, dan menulis sebuah alamat tak jelas di samping
sungai, dengan huruf-huruf tak rapi yang menampakkan kege"
382~ OLIVER TWIST lisahannya. "Pukul sembilan malam, bawa dia menemuiku. Aku
tidak perlu memberitahumu agar merahasiakannya. Kau sendiri
punya kepentingan." Setelah mengatakan itu, dia berjalan ke pintu, sesudah ber"
henti untuk membayar minuman. Tidak lama setelah berkomen"
tar bahwa arah mereka berlainan, dia pun pergi, tanpa basa-basi
hanya mengulangi jam pertemuan keesokan malamnya.
Saat melirik alamat itu, sang fungsionaris itu sadar bahwa
tidak ada nama yang tertera. Pria asing itu belum pergi terlalu
jauh, jadi dia mengejarnya untuk bertanya.
"Apa yang kauinginkan?" seru laki-laki itu, tiba-tiba berbalik,
saat Bumble menyentuh lengannya. "Membuntutiku?"
"Hanya untuk mengajukan satu pertanyaan," kata Bumble
sambil menunjuk secarik kertas. "Nama siapa yang harus kuta"
nyakan?" "Monks!" timpal pria itu, dan dia pun buru-buru pergi.[]
Suatu Malam di Rumah Tuan Monks aat itu adalah malam musim panas yang suram, pengap,
dan mendung. Awan yang telah mengancam sepanjang
hari, menyebar berbentuk gumpalan padat uap air yang
lamban, lalu mencipta rintik hujan yang deras. Tampaknya te"
ngah mengisyaratkan akan datang badai guntur yang ganas, ke"
tika Tuan dan Nyonya Bumble, berbelok dari jalan utama kota.
Mereka menuju perkampungan kecil yang terdiri dari rumahrumah bobrok, berjarak sekitar beberapa mil. Perkampungan itu
didirikan di atas rawa-rawa rendah sarang penyakit, berbatasan
dengan sungai. Mereka berdua berpakaian usang dan lusuh yang mungkin
saja berfungsi ganda untuk melindungi tubuh mereka dari hu"
jan, sekaligus menamengi mereka dari pengamatan. Sang suami
membawa lentera meski tak memancarkan cahaya. Dia tersaruksaruk maju, beberapa langkah di depan, seakan-akan"karena
jalanan kotor"memberi istrinya keuntungan, supaya tinggal
melangkah mengikuti jejak kakinya saja. Mereka berjalan maju,
dengan diam yang dalam. Sesekali Tuan Bumble melambatkan
langkahnya, dan menolehkan kepalanya ke belakang seakanakan untuk memastikan bahwa istrinya mengikuti. Lalu, setelah
mendapati bahwa wanita itu berada dekat di belakangnya, dia
memperbaiki laju berjalannya, dan melanjutkan, dengan pening"
katan kecepatan yang signifikan, ke tempat tujuan mereka.
384~ OLIVER TWIST Lokasi ini sama sekali bukanlah tempat berkarakter mera"
gukan. Lokasi itu sudah lama dikenal sebagai pemukiman ba"
jingan kelas rendah yang berdalih macam-macam. Mereka me"
nyambung hidup dengan pekerjaan mereka, terutama dengan
merampas dan melakukan kejahatan. Pemukiman itu terdiri
dari gubuk-gubuk reyot, sebagian dibangun buru-buru meng"
gunakan batu bata longgar, yang lain dari kayu tua bekas kapal
yang dimakan rayap"berjejal-jejal tanpa ada upaya apa pun
untuk merapikan atau menatanya, dan terletak sebagian besar,
beberapa kaki saja dari pinggir sungai. Beberapa perahu bocor
ditarik ke atas lumpur, dan dipancangkan ke dinding kerdil yang
membatasi bantaran sungai. Di sana sini terdapat dayung atau
gulungan tambang. Tampaknya dulunya menandakan bahwa
para penghuni pondok-pondok yang mengibakan ini mencari
nafkah di sungai. Namun, melihat sekilas kondisi benda-benda
berserakan dan tak berguna itu, akan menyebabkan pejalan kaki
yang melintas, tanpa susah payah, berkesimpulan bahwa kenda"
raan-kendaraan itu dibuang di sana sekadar untuk dipajang alihalih betul-betul untuk dipergunakan.
Di jantung kumpulan gubuk dan sepanjang pinggiran su"
ngai, tempat loteng-lotengnya menggantung di atasnya, berdi"
rilah sebuah bangunan besar, yang dahulu digunakan se"bagai
semacam pabrik. Bangunan itu, pada masanya, mungkin saja
menyediakan lapangan kerja bagi para penghuni pemukiman di
sekitarnya. Namun, bangunan itu sudah lama porak poranda.
Tikus, cacing, dan efek kelembapan telah melemahkan dan
m"em?"?"?"busukkan pasak-pasak yang menyangganya. Sebagian be"
sar ba"ngu"nan itu telah melesak ke dalam air. Sementara sisanya,
terombang-ambing dan melengkung ke arus sungai yang gelap,
tampaknya tengah menantikan kesempatan yang pas untuk
mengikuti rekan lamanya, dan menceburkan dirinya ke dalam
nasib yang sama. Di depan bangunan bobrok inilah pasangan terpandang itu
berhenti. Saat gelegar pertama guntur di kejauhan terdengar di
udara dan hujan terus mengguyur dengan derasnya.
CHARLES DICKENS ~385 "Tempat itu semestinya berada di sekitar sini," kata Bumble,
mengamati secarik kertas yang ada di tangannya.
"Halo, yang di sana!" seru sebuah suara dari atas.
Sambil mengikuti suara itu, Tuan Bumble mengangkat ke"
pala dan melihat seorang lelaki sedang menengok ke luar sebuah
pintu, setinggi dada, di lantai dua.
"Berdiri di sana sebentar," seru suara itu. "Aku akan segera
ke sana." Dan setelah itu, kepalanya menghilang, dan pintu ter"
tutup. "Apakah itu orangnya?" tanya istri Tuan Bumble yang baik.
Tuan Bumble mengangguk mengiyakan.
"Kalau begitu, camkan yang kukatakan kepadamu," kata
sang matron, "dan berhati-hatilah, bicara sesedikit mungkin,
atau kau akan mengkhianati kita seketika."
Tuan Bumble memperhatikan bangunan itu dengan pan"
dangan penuh sesal. Dia ragu apakah mereka perlu melanjutkan
usaha itu atau tidak, tapi urung karena munculnya Monks, yang
membuka sebuah pintu kecil di dekat tempat mereka berdiri,
dan memberi tanda agar mereka masuk.
"Masuklah!" serunya tak sabar sambil menghentakkan kaki
ke tanah. "Jangan buat aku menunggu di sini!"
Sang wanita yang mulanya enggan, berjalan masuk dengan
berani, tanpa perlu dipersilakan lagi. Tuan Bumble, yang malu
atau takut ketinggalan di belakang, mengikuti. Jelas sekali dia
tak nyaman dan tanpa menampakkan harga diri tinggi yang bi"
asanya menjadi karakteristik utamanya.
"Kenapa kalian berdiri lama di sana, di bawah hujan?" ujar
Monks, berbalik, bicara kepada Bumble, setelah dia menggeren"
del pintu di belakang mereka.
"Kami"kami cuma mendinginkan diri," Bumble terbatabata, memandang takut pada Monks.
"Mendinginkan diri!" sahut Monks. "Hujan sebanyak apa
pun yang pernah turun, atau yang kelak akan turun, takkan bisa
memadamkan api neraka yang sanggup dibawa seorang pria
386~ OLIVER TWIST dalam dirinya. Kau takkan bisa mendinginkan dirimu semudah
itu, jangan kira kau sanggup!"
Setelah itu, Monks langsung menoleh kepada sang matron,
dan memicingkan matanya pada wanita itu, sehingga dia, yang
tidak mudah gentar, dengan senang hati mengalihkan pandang"
annya, dan mengarahkannya ke lantai.
"Inikah wanita itu?" tanya Monks.
"Hm! Inilah dia," jawab Tuan Bumble, sadar akan peringatan
istrinya. "Menurutmu perempuan tidak pernah bisa menjaga rahasia,
begitu?" kata sang matron, menyela pembicaraan. Saat dia bi"
cara, Monks menatapnya penuh selidik.
"Aku tahu wanita selalu menyimpan satu rahasia sampai se"
suatu terjadi," kata Monks.
"Dan apakah itu?" tanya sang matron.
"Hilangnya nama baik mereka," jawab Monks. "Jadi, ber"
dasarkan aturan yang sama, jika seorang wanita berkomplot
menyembunyikan rahasia yang mungkin dapat membuatnya
digantung atau dibuang, aku tidak khawatir dia akan memberi
tahu siapa-siapa, tidak! Apa kau paham, Nyonya?"
"Tidak," timpal sang matron, dengan wajah sedikit memerah
saat dia bicara. "Tentu saja tidak!" kata Monks. "Bagaimana mungkin?"
Setelah memberi satu ekspresi, perpaduan antara senyum
dan cemberut, kepada kedua rekannya itu, dan lagi-lagi mem"
beri isyarat agar mereka mengikutinya, pria itu bergegas menye"
berangi ruangan yang berukuran sangat luas, tapi berlangit-la"
ngit rendah. Dia sedang bersiap menaiki tangga curam yang
mengarah ke gudang di lantai atas saat kilatan terang petir
mene"robos masuk lewat sebuah celah. Diikuti gelegar guntur,
yang mengguncangkan bangunan reyot itu hingga ke pusatnya.
"Dengar itu!" dia berseru ketakutan. "Dengar itu! Suara itu
terus membahana dan bergemuruh seolah-olah bergema me?"nem"
bus ribuan gua tempat para iblis tengah bersembunyi darinya.
Aku benci bunyi itu!"
CHARLES DICKENS ~387 Dia tetap diam selama beberapa saat. Kemudian, melepas
tangannya dengan tiba-tiba dari wajahnya, memperlihatkan
ekspresi yang membuat Tuan Bumble begitu terperangah. Wa"
jah Monks berubah dan pucat.
"Kadang ini terjadi padaku," kata Monks, melihat ekspresi
ter"kejut Tuan Bumble. "Dan guntur kadang membuatku ngeri.
Ja"ngan khawatirkan aku sekarang, semua sudah berakhir kali
ini." Sambil bicara, dia memimpin jalan menaiki tangga. Sambil
terburu-buru dia menutup kerai jendela ruangan yang mereka
masuki, menurunkan lentera yang digantung pada ujung seutas
tali dan katrol yang terentang melewati salah satu palang berat
di langit-langit. Lentera itu memancarkan cahaya redup ke se"
buah meja tua dan tiga kursi di bawahnya.
"Nah," kata Monks, ketika mereka bertiga duduk, "semakin
cepat kita selesaikan urusan kita, semakin baik bagi semuanya.
Wanita ini tahu masalahnya, kan?"
Pertanyaan itu ditujukan kepada Bumble. Namun, istrinya
menyediakan jawaban, dengan cara yang menyiratkan bahwa
dia tahu betul apa masalahnya.
"Dia benar saat berkata bahwa kau bersama si nenek tua ini
di malam dia meninggal; dan bahwa dia memberitahumu se"
suatu?" "Tentang ibu dari seorang anak laki-laki yang kau singgung,"
jawab sang matron, memotongnya. "Ya."
"Pertanyaan pertama adalah, apa yang dia katakan?" kata
Monks. "Itu yang kedua," komentar si wanita dengan penuh pertim"
bangan. "Yang pertama adalah, berhargakah yang dia katakan?"
"Siapa yang bisa menjawabnya, tanpa mengetahui isinya?"
tanya Monks. "Tak ada yang lebih tahu selain dirimu, aku yakin," jawab Bu
Bumble yang tidak kekurangan keberanian, seperti yang dapat
diakui oleh rekan senasib sepenanggungannya.
388~ OLIVER TWIST "Huh!" kata Monks penuh arti, disertai ekspresi yang sangat
ingin tahu. "Apa maksudmu kau minta bayaran, hah?"
"Mungkin begitu," jawabannya pelan.
"Sesuatu yang diambil darinya," kata Monks. "Sesuatu yang
dia kenakan. Sesuatu yang?"
"Sebaiknya kau menawar," potong Nyonya Bumble. "Sudah
cukup yang kudengar, kini kuyakin bahwa kaulah pria yang ha"
rus kuajak bicara."

Oliver Twist Karya Charles Dickens di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tuan Bumble yang belum diajak berbagi rahasia melebihi
yang sudah diketahuinya sejak semula oleh belahan jiwanya,
mendengarkan dialog ini dengan leher terjulur dan mata melo"
tot, menatap istrinya dan Monks, secara bergantian, dengan rasa
takjub yang jelas terlihat. Bahkan bisa saja semakin kentara, saat
Monks dengan tegas menanyakan berapa uang yang diminta
untuk mengungkap rahasia itu.
"Berapa nilainya bagimu?" tanya sang wanita, dengan tenang
seperti sebelumnya. "Mungkin sama sekali tak bernilai; mungkin juga dua puluh
pound," jawab Monks. "Katakan, dan biarkan aku tahu yang
mana." "Tambahkan lima pound ke jumlah yang telah kausebutkan.
Beri aku dua puluh lima dalam bentuk koin emas," kata wanita
itu, "dan akan kuberi tahu kau semua yang kuketahui. Tak akan
kuberitahu sebelum kau membayarku."
"Dua puluh lima pound!" seru Monks, bersandar di kursinya
secara tiba-tiba. "Aku akan mengatakan apa pun yang kuingat," balas Nyonya
Bumble. "Lagi pula, jumlahnya tidak besar."
"Bukan jumlah yang besar untuk rahasia remeh, yang mung"
kin tak bernilai apa-apa ketika sudah diungkapkan!" seru Monks
tak sabar. "Dan yang sudah terkubur selama dua belas tahun
atau lebih!" "Perkara semacam itu disimpan rapi, dan, seperti anggur
berkualitas baik, acap kali berlipat ganda nilainya seiring ber"
CHARLES DICKENS ~389 jalannya waktu," jawab sang matron, masih mempertahankan
sikap yang sangat tak acuh. "Bicara tentang terkubur, ada orangorang yang akan terkubur mati dua belas ribu tahun yang akan
datang, atau dua belas juta, demi sesuatu yang kita berdua samasama tahu, yang pada akhirnya akan menceritakan dongengdongeng aneh!"
"Bagaimana seandainya informasimu tidak bernilai bagiku?"
tanya Monks, ragu-ragu. "Kau bisa dengan mudah mengambilnya kembali," jawab
sang matron. "Aku cuma seorang wanita; sendirian di sini; dan
tak terlindungi." "Kau tidak sendiri, Sayang, juga bukan tak terlindung,"
ujar Tuan Bumble, dengan suara gemetaran karena takut. "Aku
ada di sini, Sayang. Dan lagi pula," kata Tuan Bumble, giginya
bergemertak saat dia bicara, "Tuan Monks adalah pria yang sa"
ngat terhormat sehingga tidak mungkin melakukan kekerasan
pada pelayan warga. Tuan Monks menyadari bahwa aku bukan
pria muda, Sayang, dan juga tidak rupawan, kalau boleh ku"bi"
lang. Tapi dia sudah mendengar. Kubilang aku tidak ragu Tuan
Monks sudah mendengar, Sayang, bahwa aku adalah petugas
yang tegas, dengan kekuatan yang sangat luar biasa, sekali ama"
rahku terbangun. Amarahku hanya perlu sedikit dibangunkan.
Itu saja." Selagi Tuan Bumble bicara, dia berlagak melankolis men"
cengkeram lenteranya kuat-kuat. Lalu, dengan terang-terangan
menunjukkan lewat ekspresinya yang waswas bahwa dia me"
mang perlu dibangunkan, dan bukan cuma sedikit, sebelum
memperagakan aksi marah besar, kecuali yang dihadapinya,
tentu saja, adalah kaum papa, atau orang-orang lain yang telah
dilatih untuk menerima peragaan itu.
"Kau bodoh," kata Nyonya Bumble, "dan sebaiknya kau
tahan lidahmu." "Sebaiknya lidahnya dipotong, sebelum dia datang, jika dia
tidak bisa bicara lebih pelan," kata Monks muram. "Jadi! Dia
suamimu, ya?" 390~ OLIVER TWIST "Dia suamiku!" sang matron terkekeh, mengelak pertanyaan
itu. "Kupikir begitu, waktu kalian masuk," sahut Monks, mem"
perhatikan lirikan marah sang wanita kepada pasangannya saat
dia bicara. "Itu jauh lebih baik. Keraguanku berkurang saat
berurusan dengan dua orang, saat aku tahu hanya ada satu
kehendak di antara mereka. Aku sungguh-sungguh. Lihat ini!"
Monks menjejalkan tangannya ke saku samping dan menge"
luarkan kantung kanvas, mengambil dua puluh lima koin emas
dan meletakkannya di meja, lalu mendorongnya ke wanita itu.
"Nah," katanya, "kumpulkan uang itu dan setelah gelegar
guntur sialan yang rasanya akan meruntuhkan atap rumah ini
pergi, mari kita dengar ceritamu."
Guntur itu sepertinya memang semakin dekat, dan seolah
hampir menggetarkan dan memecah kepala mereka. Setelah
mereda, Monks mengangkat wajahnya dari meja, membung"
kukkan badan ke depan untuk mendengarkan apa yang akan
dikatakan wanita itu. Wajah ketiganya nyaris bersentuhan, saat
kedua pria itu mencondongkan badan ke atas meja kecil kare?"
na antusias ingin mendengar. Si wanita juga mencondongkan
badan ke depan supaya bisikannya terdengar. Sinar suram len"
te"ra yang digantung berpendar tepat di tubuh mereka, memper"
buruk rona pucat dan rasa cemas di wajah mereka yang karena
dikelilingi keremangan serta kegelapan pekat, terlihat amat me"
nyeramkan. "Ketika wanita ini, yang kami panggil Sally tua, meninggal,"
sang matron memulai, "dia dan aku sendirian."
"Tak adakah orang lain di sana?" tanya Monks, dalam bisik"
an lemah yang sama. "Tidak ada bedebah penyakitan atau
orang idiot di tempat tidur lain" Tidak ada siapa-siapa yang bisa
mendengar, dan yang mungkin saja memahami?"
"Tak ada seorang pun," jawab wanita itu. "Kami sendirian.
Aku berdiri sendirian di samping jasadnya ketika maut meng"
hampiri." CHARLES DICKENS ~391 "Bagus," kata Monks, menatap sang matron penuh perha"
tian. "Lanjutkan."
"Dia membicarakan seorang perempuan muda," lanjut sang
matron, "yang telah melahirkan seorang anak ke dunia ini be"
berapa tahun sebelumnya. Tidak saja di kamar yang sama, tetapi
juga di ranjang yang sama, yang saat itu ditidurinya dalam ke"
adaan sekarat." "Begitu?" ujar Monks, dengan bibir gemetar, sambil melirik
ke balik bahunya. "Sulit dipercaya! Sungguh suatu kebetulan!"
"Anak itu adalah anak yang kausebutkan kepadanya kemarin
malam," kata sang matron sambil mengangguk tak acuh ke arah
suaminya. "Ibunya dirampok oleh si perawat ini."
"Saat masih hidup?" tanya Monks.
"Saat sudah meninggal," jawab wanita itu sambil bergidik.
"Dia mencuri dari mayat, bahkan ketika masih hangat. Pada"hal,
si ibu yang sudah meninggal itu telah memohon kepadanya,
dengan napas terakhirnya, agar menyimpankan benda itu demi
si bayi." "Dia menjualnya," seru Monks, dengan penuh semangat.
"Apakah dia menjualnya" Ke mana" Kapan" Kepada siapa" Ka"
pan persisnya kejadiannya?"
"Saat dia memberitahuku, dengan susah payah, bahwa dia
melakukan ini," kata sang matron, "dia ambruk dan mening"
gal." "Tanpa mengatakan apa-apa lagi?" seru Monks, dengan su"
ara yang karena terlalu ditahan, terlihat semakin garang. "Itu
bohong! Aku tak sudi dipermainkan. Dia pasti mengatakan le?"
bih dari itu. Akan kurenggut nyawa kalian berdua, untuk men"
cari tahu." "Dia tak mengucapkan sepatah kata pun lagi," kata wanita
itu, penampilannya menunjukkan bahwa dia tak tergerak (ber"
banding terbalik dengan Tuan Bumble) oleh sikap kasar pria a"sing
itu, "tapi dia mencengkeram gaunku, dengan kasar, dengan satu
tangan, yang sebagian terkepal. Ketika kulihat bahwa dia sudah
392~ OLIVER TWIST mati, aku melepas tangannya dengan paksa, ternyata tangannya
menggenggam secarik kertas kotor."
"Isinya?" potong Monks, meregangkan tubuh ke depan.
"Tak berisi apa pun," jawab wanita itu. "Itu resi tukang ga"
dai." "Untuk apa?" tanya Monks.
"Akan kuberi tahu, saat waktunya tiba," kata sang wanita.
"Kuperkirakan bahwa dia menyimpan perhiasan itu beberapa
lama dengan harapan bisa memberinya lebih banyak uang, lalu
menggadaikannya. Selanjutnya dia menabung atau mengaisngais uang untuk membayar bunga tukang gadai tahun demi
tahun, supaya tidak terjual. Sehingga apabila terjadi sesuatu,
barang itu masih bisa ditebus. Tak ada yang terjadi dan seperti
yang kukatakan padamu, dia meninggal dengan secarik kertas
itu, lecek dan kusut, di tangannya. Jatuh temponya dua hari
kemudian. Aku juga berpikir sesuatu mungkin saja akan terjadi
suatu hari. Jadi, kutebus barang itu."
"Di mana benda itu sekarang?" tanya Monks cepat.
"Ini," jawab wanita itu. Seolah-olah lega karena terbebas dari
benda itu, dia buru-buru melemparnya ke atas meja sebuah kan"
tung kulit kambing yang nyaris tidak cukup untuk memuat jam
saku, yang langsung disambar oleh Monks. Dia membukanya
dengan tangan gemetar. Kantung itu berisi seuntai kalung emas
berliontin. Liontin itu memuat dua ikat rambut dan sebuah
cincin kawin emas sederhana.
"Liontin itu bertuliskan "Agnes" di bagian dalam," kata wa"ni"
ta itu. "Ada bagian kosong di sebelah kiri untuk nama belakang,
kemudian diikuti tanggal. Kira-kira setahun sebelum si anak la"
hir. Aku tahu itu." "Dan cuma ini?" ujar Monks, setelah memeriksa isi kantung
kecil itu dengan saksama dan penuh semangat.
"Cuma ini," jawab wanita itu.
Tuan Bumble menarik napas panjang, seolah lega mendapati
cerita itu sudah berakhir, dan uang dua puluh lima pound tidak
CHARLES DICKENS ~393 diminta lagi. Kini dia mengerahkan keberanian untuk mengelap
keringat yang menetes di hidungnya tanpa sadar, selama dialog
di atas berlangsung. "Aku tidak tahu apa-apa tentang cerita itu melebihi yang
bisa kuduga," kata Nyonya Bumble kepada Monks, sesudah
kehe"ningan singkat. "Dan aku tidak ingin tahu apa-apa, sebab
lebih aman begitu. Tapi bolehkah kuajukan dua pertanyaan ke"
pa"damu?" "Kau boleh bertanya," kata Monks, sambil sedikit terkejut,
"tapi entah aku menjawab atau tidak, itu soal lain."
"Berarti ada tiga pertanyaannya," komentar Tuan Bumble,
berusaha melucu. "Itukah yang ingin kaudapatkan dariku?" tuntut sang ma"
tron. "Benar," jawab Monks. "Apa pertanyaan selanjutnya?"
"Apa yang akan kaulakukan dengan benda itu" Bisakah ben"
da itu digunakan untuk merugikanku?"
"Takkan pernah," timpal Monks, "tak akan pula merugi"
kanku. Lihat ini! Tapi jangan bergerak selangkah pun ke depan,
atau nyawamu melayang."
Setelah mengucapkan itu, dia tiba-tiba menggeser meja ke
samping, dan menarik sebuah cincin besi pada lantai papan,
sehingga membuka sebuah tingkap besar yang berada di dekat
kaki Tuan Bumble, dan menyebabkan pria itu mundur beberapa
langkah, dengan keringat bercucuran.
"Lihat ke bawah," kata Monks sambil menurunkan lentera
ke lubang itu. "Jangan takut padaku. Aku bisa saja menjatuh"
kan kalian diam-diam, ketika kalian duduk di atasnya, jika aku
berniat begitu." Mendengar itu, sang matron mendekat ke tepi, dan bahkan
Tuan Bumble sendiri, dipicu oleh rasa penasaran, memberani"
kan diri untuk berbuat serupa. Air keruh, meluap karena hujan
lebat, mengalir deras di bawah. Semua bunyi lain menghilang di
tengah-tengah debur dan derai air yang menampar bebatuan hi"
394~ OLIVER TWIST jau berlumut. Pernah ada kincir air di bawah. Arus berbuih dan
menggelora mengelilingi beberapa tiang berkarat, dan kepingankepingan alat itu yang masih tersisa seolah melesat maju dengan
impuls baru, ketika bebas dari rintangan yang sia-sia berupaya
membendung lajunya. "Jika kau melemparkan mayat seseorang ke bawah sana, di
manakah mayat itu berada besok pagi?" tanya Monks, menga"
yun-ayunkan lentera ke depan dan ke belakang di sumur gelap
itu. "Dua puluh kilometer di hilir sungai, dan selain itu, ter"
cabik-cabik," jawab Tuan Bumble, sambil beringsut memikirkan
hal itu. Monks mengeluarkan kantung kecil dari dadanya, yang
sebelumnya dia jejalkan ke sana dengan terburu-buru. Lalu,
mengikatnya pada pemberat timah, yang awalnya merupakan
bagian dari sebuah katrol. Kemudian dia berbaring di lantai dan
menjatuhkan kantung itu ke sungai. Kantung itu jatuh lurus
dan tepat sasaran, membelah air hampir tanpa berbunyi, dan
kantung itu menghilang. Ketiganya saling bertatapan, terlihat bernapas lebih lega.
"Sudah!" kata Monks sambil menutup tingkap yang kini
tertutup ke posisinya semula. "Jika laut menyerahkan korbankorbannya, seperti kata buku, ia akan menyimpan emas dan
perak, juga sampah itu di antaranya. Tak ada lagi yang perlu kita
bicarakan, dan mari kita bubarkan pertemuan kita yang menye"
nangkan ini." "Tentu saja," sahut Tuan Bumble penuh semangat.
"Kau akan tutup mulut, kan?" kata Monks dengan ekspresi
mengancam. "Aku tidak mencemaskan istrimu."
"Kau boleh mengandalkanku, anak muda," jawab Tuan
Bumble sambil membungkuk pelan menuju tangga, dengan so"
pan santun yang berlebihan. "Demi semua orang, anak muda,
demi diriku sendiri, kau tahu, Tuan Monks."
CHARLES DICKENS ~395 "Aku lega mendengarnya, demi kebaikanmu sendiri," ujar
Monks. "Nyalakan lentera kalian! Dan menjauhlah dari sini se"
cepat yang kalian bisa."
Untunglah percakapan mereka berakhir di sini, atau Tuan
Bumble, yang telah membungkuk-bungkuk enam inci dari
tangga, akan jatuh dengan kepala lebih dahulu ke sumur tadi.
Dia menyalakan lentera yang telah dilepaskan Monks dari tali,
dan sekarang membawa lentera itu di tangannya. Tanpa berupaya
mengulur perbincangan itu, dia turun dalam keheningan, di?"?"?"ikuti
oleh istrinya. Monks berjalan paling belakang, setelah berhenti
di tangga untuk memuaskan dirinya bahwa tidak ada bunyi lain
yang terdengar selain derai hujan di luar, dan debur air.
Mereka melintasi ruangan bawah, pelan-pelan, dan dengan
hati-hati, sebab Monks terkesiap melihat setiap bayangan. Tuan
Bumble memegang lenteranya satu kaki di atas lantai, berjalan


Oliver Twist Karya Charles Dickens di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak saja dengan kewaspadaan yang mengesankan, tetapi juga
dengan langkah yang luar biasa ringan untuk pria berperawakan
sepertinya, sambil menoleh ke sana kemari dengan gugup kalaukalau ada tingkap tersembuyi. Pintu yang tadi mereka masuki
dengan lembut dilepas selotnya dan dibuka oleh Monks, setelah
bertukar anggukan dengan kenalan misterius mereka, pasangan
suami istri itu keluar menembus hujan dan kegelapan.
Mereka baru saja pergi ketika Monks, yang tampaknya
senang bukan kepalang karena ditinggalkan sendirian, memang"
gil seorang anak laki-laki yang sebelumnya bersembunyi di suatu
tempat di bawah. Menyuruh anak itu masuk lebih dahulu, dan
membawa penerangan, dia kembali ke ruangan yang baru saja
ditinggalkannya.[] Monks dan Fagin Bertukar Pikiran eesokan malamnya, sesudah pertemuan antara tiga
o"rang yang disinggung dalam bab terakhir, memba"
has perkara bisnis kecil yang dipaparkan di sana, Tuan
William Sikes, terbangun dari tidur. Sambil mengantuk dia
bertanya pukul berapakah saat itu.
Ruangan tempat Tuan Sikes mengajukan pertanyaan ini
bukanlah ruangan yang disewanya sebelum ekspedisi Chertsey,
meskipun letaknya di wilayah kota yang sama, dan berada
tidak jauh dari huniannya semula. Sebagai tempat bermukim,
ruangan ini, berdasarkan penampilannya, tidaklah sebagus
kamar sewaannya yang dulu. Apartemen itu berperabot reyot
dan butut, berukuran sangat terbatas, hanya diterangi dari satu
jendela kecil di atap dan berbatasan dengan sebuah jalan sem"
pit yang kotor. Selain itu, ketiadaan barang-barang kebutuhan
juga menandakan bahwa posisi pria baik ini di dunia sedang
merosot. Dari kurangnya perabot, dan absennya kenyamanan,
disertai hilangnya semua benda kecil portabel seperti baju ganti
serta seprai, semua mengutarakan kondisi miskin yang ekstrem.
Sedangkan keadaan Tuan Sikes sendiri, yang kuyu dan kurus,
sepenuhnya sejalan dengan gejala-gejala ini, jika memang perlu
ditegaskan. Si perampok sedang berbaring di tempat tidur. Dia ter"
bungkus mantel putihnya yang besar seperti jubah tidur, dan
memamerkan tampilan yang sama sekali tidak memperbaiki
CHARLES DICKENS ~397 ronanya yang pucat pasi karena sakit, ditambah topi tidur penuh
noda dan janggut hitam kaku yang sudah tumbuh seminggu. Si
anjing duduk di samping tempat tidurnya. Dia mengamati ma"
jikannya dengan tatapan menerawang ke masa lalu, kemudi"an
mengangkat telinganya dan mengeluarkan geraman pelan saat
sebuah suara di jalanan, atau di bagian bawah rumah, menarik
perhatiannya. Di dekat jendela, seorang wanita sedang sibuk
menambal rompi lama yang merupakan salah satu bagian dari
pakaian si perampok sehari-hari. Dia begitu pucat dan tirus
karena kekurangan dan kelelahan, sehingga jika bukan karena
suaranya saat menjawab pertanyaan Tuan Sikes, akan sangat su"
lit mengenalinya sebagai Nancy yang sama seperti yang telah
disebutkan dalam kisah ini.
"Pukul tujuh lebih," kata gadis itu. "Bagaimana perasaanmu
malam ini, Bill?" "Selemas air," jawab Tuan Sikes, dengan kutuk di mata dan
tangannya. "Kemarilah, ulurkan tanganmu, dan biarkan aku tu"
run dari tempat tidur sialan ini."
Penyakit tidak memperbaiki temperamen Tuan Sikes. Saat
gadis itu membantunya bangun dan menuntunnya ke sebuah
kursi, dia menggumamkan bermacam kutukan karena sikap ki"
kuk gadis itu, lalu menamparnya.
"Mengeluh, ya?" ujar Sikes. "Ayo! Jangan cuma berdiri me"
rengek di sana. Kalau kau tidak bisa melakukan hal yang lebih
baik daripada itu, pergi saja. Apa kau dengar aku?"
"Aku mendengarmu," jawab gadis itu sambil memalingkan
wajahnya, dan memaksakan sebuah tawa. "Fantasi apa lagi di
dalam kepalamu sekarang?"
"Oh! Kau sudah memikirkannya, ya?" geram Sikes, melihat
air mata yang bergetar di mata Nancy. "Bagus buatmu kalau kau
sudah memikirkannya."
"Wah, kau tak bermaksud mengatakan bahwa kau akan ber"
sikap kasar padaku malam ini, kan, Bill?" kata gadis itu sambil
meletakkan tangannya di bahu Tuan Sikes.
398~ OLIVER TWIST "Tidak!" seru Tuan Sikes. "Kenapa tidak?"
"Bermalam-malam," kata gadis itu, dengan sentuhan kelem"
butan seorang wanita, yang bicara dengan nada manis, bahkan
di dalam suaranya, "bermalam-malam aku bersabar mengurus
dan merawatmu, seakan-akan kau ini anak-anak. Inilah pertama
kalinya aku melihatmu bersikap seperti dirimu sendiri. Kau tak"
kan memperlakukanku seperti barusan, seandainya kau tak ber"
pikir begitu, ya, kan" Ayo, ayo katakan."
"Yah, memang," timpal Tuan Sikes, "memang aku takkan
melakukannya kalau aku tak berpikir demikian. Sialan, sekarang
gadis itu mengeluh lagi!"
"Tidak apa-apa," kata si gadis sambil menjatuhkan diri ke
sebuah kursi. "Jangan khawatirkan aku. Sebentar lagi pasti ber"
akhir." "Apa yang pasti berakhir?" tanya Tuan Sikes dengan suara
bengis. "Kebodohan apa lagi yang kaurencanakan sekarang"
Bangun dan bekerjalah. Jangan datangi aku dengan omong ko"
song perempuan." Di lain waktu, omelan ini dan nada penyampaiannya akan
menghasilkan efek yang diinginkan. Namun, karena gadis itu se"
dang benar-benar lemas dan letih, dia menyandarkan kepa"lanya
ke punggung kursi, dan pingsan, sebelum Tuan Sikes sempat
mengeluarkan beberapa umpatan yang pas, yang pada kesem?"
patan serupa, biasa digunakannya untuk menegaskan ancaman"
nya. Tidak tahu harus berbuat apa, dalam keadaan darurat
yang tak lazim ini karena histeria Nona Nancy biasanya berupa
amuk"an kasar, di mana si pasien berjuang dan meronta agar
terbe?"bas dari kondisi ini tanpa bantuan. Tuan Sikes mencoba
sedikit sumpah serapah, dan setelah mendapati bahwa metode
peng"obatan itu sepenuhnya tak efektif, dia memanggil bantuan.
"Ada masalah apa di sini, Sobat?" kata Fagin sambil mene"
ngok ke dalam. "Bisakah kau menolong gadis itu?" jawab Sikes tak sabar.
"Jangan berdiri sambil mengoceh dan meringis padaku!"
CHARLES DICKENS ~399 Disertai seruan kaget, Fagin bergegas menolong gadis itu, se"
dangkan Tuan John Dawkins (alias Artful Dodger), yang telah
mengikuti temannya yang terpandang ke dalam kamar itu,
buru-buru menjatuhkan sebuah buntalan yang membebaninya
ke lantai. Sesudah merebut sebuah botol dari genggaman Tuan
Charles Bates yang berada dekat di belakangnya, dia membuka
tutup botol itu dalam sekejap dengan giginya. Lalu, menuang"
kan isi botol ke kerongkongan si pasien, setelah sebelumnya
mencicipinya sendiri untuk mencegah kekeliruan.
"Beri dia embusan udara segar dengan puput, Charley," kata
Tuan Dawkins, "dan tampar tangannya, Fagin, sementara Bill
membuka ikatan rok dalamnya."
Upaya pemulihan bersama ini, dilakukan dengan energi be"
sar, terutama bagian yang diserahkan kepada Tuan Bates, yang
tampaknya Tuannya menganggap bagiannya dalam aktivitas ini
sebagai kegiatan menyenangkan yang tiada bandingannya, tidak
butuh waktu lama untuk menghasilkan efek yang diinginkan.
Si gadis lambat laun siuman. Dia terhuyung-huyung ke kursi di
samping tempat tidur, menyembunyikan wajahnya ke bantal,
membiarkan Tuan Sikes menghadapi para pendatang baru, yang
sedang terpukau menyaksikan penampilan mereka yang tak ter"
urus. "Kenapa, angin jahat apa yang sudah meniup kalian ke sini?"
tanyanya kepada Fagin. "Tidak ada angin jahat sama sekali, Sobat, sebab angin jahat
tidak mendatangkan kebaikan bagi siapa pun. Aku membawa
serta sesuatu yang baik bersamaku, yang setelah kau lihat pasti
akan membuatmu merasa lega. Dodger, Sobat, buka buntalan
itu, dan beri Bill hadiah kecil yang menghabiskan seluruh uang
kita pagi ini." Menuruti permintaan Tuan Fagin, Artful membuka bun"
talan yang berukuran besar dan menghamparkan taplak meja
tua. Lalu, dia menyerahkan benda-benda yang dimuatnya, satu
demi satu, kepada Charley Bates, yang meletakkan semuanya di
400~ OLIVER TWIST meja, diiringi berbagai puja puji terhadap kelangkaan dan kua"
litas nomor satunya. "Ini pai kelinci, Bill," seru pemuda itu sambil menunjukkan
senampan kue besar. "Ini makhluk yang lembut. Tungkainya
begitu lembut, Bill, sehingga tulang-tulangnya sekalipun akan
meleleh di dalam mulutmu, jadi tidak perlu diambil. Setengah
pon teh hijau seharga tujuh shilling enam sen, begitu kuat dan
manjur sehingga kalau kau mencampurnya dengan air men"
didih, tekanannya nyaris meniup tutup poci sampai lepas. Satu
setengah pon gula tebu yang dibabat orang-orang Negro untuk
dikirim ke negeri kita, hebat, kan! Dua potong roti, masing-ma"
sing seperempat loyang. Satu pon sayur segar terbaik. Sepotong
keju Gloucester, dan, untuk melengkapi semuanya, alkohol pa"
ling mantap yang pernah kauinginkan!"
Sambil mengucapkan pujian terakhir ini, Tuan Bates menge"
luarkan dari salah satu sakunya yang longgar, sebotol besar ang"
gur, yang disumbat dengan cermat. Sementara Tuan Dawkins,
pada saat bersamaan, menuangkan segelas alkohol berkadar
tinggi dari botol yang dibawanya, yang diteguk si sakit tanpa
ragu-ragu sedikit pun. "Ah!" kata Fagin sambil menggosokkan kedua tangannya
dengan teramat puas. "Kau akan sehat, Bill, kau akan sehat seka"
rang." "Sehat!" seru Tuan Sikes. "Aku mungkin saja sudah sehat
sebelum kau melakukan apa pun untuk menolongku. Apa mak"
sudmu, meninggalkan seorang pria dalam keadaan seperti ini,
tiga minggu lebih, dasar gelandangan berhati busuk?"
"Dengarkan dia, anak-anak!" kata Fagin sambil mengangkat
bahu. "Padahal kita datang untuk membawakannya benda-ben"
da indah ini." "Benda-benda ini memang cukup bernilai," komentar Tuan
Sikes. Amarahnya sedikit mereda saat dia melirik meja, "tapi apa
alasanmu, kenapa kau meninggalkanku di sini, kurang makan,
kurang sehat, kurang uang, dan sebagainya. Tak ada yang me"
CHARLES DICKENS ~401 medulikanku selama kau pergi, seolah-olah aku ini hanya seekor
anjing"Suruh dia turun, Charley!"
"Aku tidak pernah melihat anjing seriang itu," seru Tuan
Bates sambil memerintah. "Mengendus makanan seperti wanita
tua yang pergi ke pasar! Dia akan menghasilkan peruntungan
di panggung layaknya seekor anjing, dan membangkitkan su"
kacita." "Jangan berisik," seru Sikes, saat anjing itu mundur ke bawah
tempat tidur, masih menggeram marah. "Apa alasanmu, dasar
tukang tadah tua keriput, heh?"
"Aku berada jauh dari London, seminggu lebih, Sobat. Ada
pekerjaan," jawab Fagin.
"Dan bagaimana dengan dua minggu sisanya?" tuntut Sikes.
"Bagaimana dengan dua minggu sisanya yang kauhabiskan de"
ngan meninggalkanku tergeletak di sini, seperti tikus penyakitan
di lubang terkutuk ini?"
"Aku tidak punya pilihan, Bill. Aku tidak bisa menjelaskan
panjang lebar di hadapan semua orang. Tapi aku sungguh tidak
punya pilihan, aku bersumpah demi kehormatanku."
"Demi apa?" geram Sikes, dengan rasa jijik yang tak terkira.
"Kemari! Potongkan pai itu untukku, salah satu dari kalian,
anak-anak, untuk kucicipi. Atau aku akan mati tersedak."
"Jangan marah-marah, Sobat," desak Fagin kalem. "Aku ti"
dak pernah melupakanmu, Bill. Satu kali pun tidak."
"Tidak! Aku bertaruh kau tidak pernah lupa," balas Sikes
sambil menyeringai getir. "Kau berkomplot dan bersekongkol,
setiap jam selama aku berbaring dalam keadaan demam dan
menggigil di sini. Dan kau merencanakan Bill harus mela"ku?"kan
ini, dan Bill harus melakukan itu, dan Bill harus melakukan
semuanya, dengan bayaran seupil, segera setelah dia sehat kem"
bali, dan cukup miskin sehingga mau melakukan pekerjaanmu.
Kalau bukan karena gadis itu, aku mungkin sudah mati."
"Nah, ayolah, Bill," sanggah Fagin, dengan bersemangat
memburu kalimatnya. "Kalau bukan karena gadis itu! Siapa
402~ OLIVER TWIST kalau bukan Fagin tua yang malang yang sudah memungkin"
kanmu mendapatkan gadis yang begitu berguna?"
"Kata-katanya ada benarnya!" kata Nancy, buru-buru maju.
"Tinggalkan dia. Tinggalkan dia."
Munculnya Nancy membelokkan arah percakapan itu. Ke"
dua anak laki-laki itu menerima kedipan licik dari Fagin tua
yang selalu berhati-hati. Dia menyuguhi gadis itu minuman
keras yang, walau demikian, diminumnya sedikit saja. Sedang"
kan Fagin, tak seperti biasanya, menuangkan alkohol banyakbanyak, lambat laun menjadikan suasana hati Tuan Sikes lebih
baik, dengan cara menganggap ancamannya sebagai guyonan
kecil yang menyenangkan. Selebihnya, dengan cara tertawa ter"
bahak-bahak saat mendengar satu atau dua lelucon kasar yang
dia lontarkan, sesudah menenggak alkohol berulang-ulang.
"Baiklah," kata Tuan Sikes, "tapi aku harus mendapat uang
darimu malam ini." "Aku tidak membawa sekeping uang pun," jawab Fagin.
"Kalau begitu, kau punya banyak uang di rumah," sembur
Sikes, "dan aku harus mendapatkannya dari sana."
"Banyak!" pekik Fagin sambil mengangkat tangan. "Aku ti"
dak punya sebanyak?"
"Aku tak tahu berapa banyak yang kau punya, dan aku be"
rani bilang kau sendiri tidak tahu, sebab akan butuh waktu lu"
mayan lama untuk menghitungnya," ujar Sikes. "Tapi aku harus
mendapatkan uang malam ini, titik."
"Baiklah," kata Fagin sambil mendesah. "Akan kusuruh
Artful ke sana sekarang juga."
"Kau takkan melakukan sesuatu yang seperti itu," sahut Tuan
Sikes. "Si Artful terlalu pandai berkelit, dan akan lupa datang ke
sini, atau tersesat, atau ditangkap polisi dan alhasil tidak bisa
kembali, atau apa saja dalihnya, kalau kau menugasinya. Nancy
yang akan pergi mengawasi dan mengambilnya, untuk memas"
tikan. Dan aku akan berbaring tidur di sini selama dia pergi."
Setelah tawar-menawar dan berselisih panjang lebar, Fagin


Oliver Twist Karya Charles Dickens di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menetapkan kisaran uang muka sejumlah lima pound hingga
CHARLES DICKENS ~403 tiga pound empat shilling tujuh sen. Dia memprotes dengan
banyak pernyataan tegas bahwa jumlah itu hanya akan menyi"
sakan delapan belas sen baginya untuk kebutuhan rumah tang"
ga. Tuan Sikes sambil bersungut-sungut berkomentar bahwa jika
Fagin tidak bisa mendapatkan lebih, maka dia harus menemani
pria itu pulang, sementara Dodger dan Tuan Bates menyimpan
bahan-bahan yang dapat dimakan ke lemari. Kemudian Fagin
meninggalkan temannya yang pengasih, kembali ke rumah,
ditemani oleh Nancy dan kedua anak laki-laki itu. Sementara
itu, Tuan Sikes menggelepar di ranjang dan tidur untuk mengisi
waktu sampai Nancy kembali.
Akhirnya, mereka tiba di kediaman Fagin, tempat mereka
mendapati Toby Crackit dan Tuan Chitling sedang serius menja"
lani putaran kelima belas permainan kartu mereka. Tak perlu
disinggung bahwa pria yang disebut belakangan ini kalah, dan
beserta kekalahannya itu, melayang pulalah uang enam sennya
yang terakhir. Hal itu membuat teman-teman mudanya geli. Tuan
Crackit, yang rupanya entah bagaimana malu karena ketahuan
berleha-leha bersama pria yang amat inferior darinya, dalam hal
kedudukan maupun usia, menguap, dan setelah menanyakan
Sikes, mengambil topinya untuk bersiap-siap pergi.
"Ada yang datang, Toby?" tanya Fagin.
"Tak ada seorang pun yang datang," jawab Tuan Crackit sam"
bil menaikkan kerahnya. "Suasananya menjemukan sekali. Kau
seharusnya membelikanku sesuatu yang enak, Fagin, sebagai
imbalan karena sudah menjaga rumah begitu lama. Sial, aku se"
bokek anggota juri. Semestinya aku sudah pergi tidur, secepat di
Newgate, seandainya aku tidak punya niat baik sehingga berse"
dia menghibur anak muda ini. Sangat menjemukan, sumpah!"
Sambil mengucapkan kalimat itu dan semburan kata lain
semacamnya, Tuan Toby Crackit menyapu hasil kemenangan"
nya, dan menjejalkan semuanya ke saku rompinya dengan gaya
sombong, seolah secuil kecil perak derajatnya jauh di bawah
pria sepertinya. Kemudian, dia melenggang ke luar ruangan, de"
404~ OLIVER TWIST ngan keagungan dan kesopanan, hingga Tuan Chitling, melirik
kagum ke kaki dan sepatu botnya hingga hilang dari pandangan.
Dia meyakinkan rekan-rekannya bahwa enam kali lima belas sen
adalah harga yang murah untuk kesempatan ditemani pria itu,
dan bahwa menurutnya kekalahannya cuma soal kecil.
"Dasar pemuda aneh, kau ini, Tom!" kata Tuan Bates, amat
geli mendengar ucapannya.
"Sama sekali tidak," balas Tuan Chitling. "Bukan begitu,
Fagin?" "Lelaki yang sangat pintar, Sobat," kata Fagin sambil mene"
puk bahunya, dan berkedip kepada murid-muridnya yang lain.
"Dan Tuan Crackit benar-benar hebat, bukan begitu, Fagin?"
tanya Tom. "Tak diragukan lagi, Sobat."
"Dan berkesempatan ditemani olehnya adalah hal yang ter"
hormat. Bukan begitu, Fagin?" kejar Tom.
"Tepat sekali, betul, Sobat. Mereka cuma cemburu, Tom,
karena dia tidak mau menemani mereka."
"Ah!" seru Tom penuh kemenangan. "Rupanya begitu! Dia
sudah menghabiskan uangku. Tapi aku bisa pergi dan mencari
uang lagi, jika aku menginginkannya, bukan begitu, Fagin?"
"Tentu saja kau bisa, dan lebih cepat kau pergi mencari, lebih
baik, Tom. Jadi, gantilah kerugianmu sekarang juga, dan ja?"ngan
buang-buang waktu lagi. Dodger! Charley! Sudah waktunya
kalian beraksi. Ayo! Sudah hampir pukul sepuluh, dan kalian
belum mengerjakan apa pun."
Kedua anak laki-laki itu mematuhi isyaratnya, sambil meng"
angguk kepada Nancy, mengambil topi mereka, dan mening"
galkan ruangan. Dodger dan temannya yang riang menghibur
diri, saat mereka pergi dengan banyak kelakar mengenai Tuan
Chitling. Terkait pria ini, adil kiranya apabila mengatakan bah"
wa tidak ada yang menonjol atau ganjil dalam perilakunya sebab
ada banyak anak muda berdarah panas di kota yang membayar
jauh lebih mahal daripada Tuan Chitling agar terlihat sebagai
CHARLES DICKENS ~405 bagian dari komunitas terkemuka. Banyak pula pria baik (ang"
go"ta dari komunitas terkemuka yang telah disinggung sebelum"
nya) yang membangun reputasi mereka di atas fondasi yang
sama seperti Toby Crackit yang menawan.
"Nah," kata Fagin, ketika mereka telah meninggalkan ruang"
an, "aku akan pergi dan mengambilkanmu uang itu, Nancy. Ini
satu-satunya kunci untuk lemari kecil tempat aku menyimpan
beberapa benda yang diperoleh anak-anak, Sayang. Aku tidak
pernah mengunci uangku, sebab aku tidak punya sama sekali,
Sayang. Jadi untuk apa dikunci, ha ha ha, tidak ada uang yang
kusimpan. Ini bidang usaha yang menghasilkan sedikit uang,
Nancy, dan tidak, terima kasih. Tapi aku senang melihat para
pemuda di sekitarku. Kutanggung semuanya, kutanggung se"
muanya. Ssst!" katanya, buru-buru menyembunyikan kunci ke
dadanya. "Siapa itu" Dengarkan!"
Si gadis, yang duduk di balik meja dengan lengan terlipat,
tampaknya tidak tertarik dengan siapa yang datang atau me"
me?"dulikannya, siapa pun dia, datang atau pergi sampai suara
menggumam seorang pria terdengar di telinganya. Tepat saat
Nancy menangkap bunyi tersebut, dia melepas topi serta selen"
dangnya, secepat kilat, dan menjejalkan ke bawah meja. Fagin,
yang berbalik seketika setelahnya, kepadanya dia menggumam"
kan keluhan karena hawa yang panas, dengan nada malas yang
kontras sekali dengan tindakannya yang amat terburu-buru dan
sigap, yang tidak disaksikan oleh Fagin karena saat itu dia te"
ngah memunggungi Nancy. "Bah!" bisik Fagin, seakan-akan jengkel karena gangguan
itu. "Pria yang kutunggu-tunggu. Dia sedang turun. Tak sepa"
tah kata pun tentang uang selagi dia di sini, Nancy. Dia takkan
mampir lama-lama. Tak lebih dari sepuluh menit, Sayang."
Sambil menempelkan telunjuk cekingnya ke bibir, Fagin
membawa sebatang lilin ke pintu, saat langkah kaki seseorang
terdengar menapaki tangga di luar. Dia menggapai pintu, ber"
samaan dengan si tamu, yang bergegas masuk ke ruangan,
406~ OLIVER TWIST mendekati si gadis sebelum dia melihat gadis itu. Pria itu adalah
Monks. "Hanya salah seorang anak mudaku," kata Fagin, menyaksi"
kan Monks mundur, saat melihat orang asing. "Jangan bergerak,
Nancy." Si gadis mendekat ke meja, sambil melirik Monks dengan si"
kap cuek, memalingkan matanya. Namun, saat pria itu ber"balik
menghadap Fagin, Nancy lagi-lagi mencuri pandang, be"gitu
cermat dan saksama, dan begitu penuh makna, sehingga jika
ada pengamat lain di sana yang menyaksikan perubahan itu, dia
pasti nyaris tak percaya bahwa kedua ekspresi itu berasal dari
orang yang sama. "Ada kabar?" tanya Fagin.
"Luar biasa." "Dan"dan"bagus?" tanya Fagin ragu-ragu, seolah dia ta"
kut menyinggungnya bila bersikap terlalu riang.
"Lumayan," jawab Monks sambil tersenyum. "Aku cukup
tepat waktu kali ini. Biar aku bicara denganmu."
Si gadis mendekat ke meja, dan tidak menawarkan untuk
meninggalkan ruangan, walaupun dia melihat bahwa Monks
menunjuknya. Fagin, barangkali takut kalau Nancy menying"
gung keras-keras tentang uang jika dia berupaya menyingkirkan
gadis itu, dia menunjuk ke atas, dan membawa Monks ke luar
ruangan. "Bukan lubang terkutuk yang kita tempati sebelumnya,"
Nancy mendengar laki-laki itu berkata saat mereka menuju ke
lantai atas. Fagin tertawa dan memberi jawaban yang tidak ter"
dengar oleh gadis itu, sepertinya, berdasarkan derit papan, Fagin
membimbing rekannya ke lantai dua.
Sebelum bunyi langkah kaki mereka berhenti bergema di
rumah itu, si gadis telah melepaskan sepatunya. Dia mengang"
kat gaunnya yang longgar menutupi kepala, dan membungkus
lengannya di dalamnya, berdiri di dekat pintu, mendengarkan
sambil menahan napas dengan penuh minat. Saat bunyi langkah
CHARLES DICKENS ~407 kaki mereka menghilang, dia meluncur dari ruangan itu, menaiki
tangga dengan tapak kaki luar biasa lembut dan hening, lalu
lenyap dalam keremangan di atas.
Ruangan itu lengang selama seperempat jam atau lebih. Ga"
dis itu kemudian meluncur kembali ke dalam ruangan dengan
langkah yang sama senyapnya. Segera sesudah itu, kedua pria
terdengar turun. Monks langsung menuju jalanan dan Fagin
merayap ke lantai atas lagi untuk mengambil uang. Ketika dia
kembali, si gadis sedang membetulkan selendang dan topinya,
seolah-olah sedang bersiap untuk pergi.
"Kenapa, Nance!" seru Fagin, terkesiap saat dia meletakkan
lilin. "Kau sangat pucat!"
"Pucat!" Gadis itu membeo, menamengi matanya dengan
tangan, seolah untuk memandangi pria itu dengan mantap.
"Cukup parah. Apa yang telah kaulakukan pada dirimu
sendiri?" "Setahuku tidak ada, kecuali duduk di tempat sempit ini se"
lama entah berapa lama dan sebagainya," jawab gadis itu sem"
brono. "Ayolah! Biar aku cepat kembali. Itu baru baik."
Disertai satu desahan untuk tiap keping uang, Fagin me"
nyerahkan sejumlah uang itu ke tangan Nancy. Mereka ber"
pisah tanpa bercakap-cakap lagi, hanya bertukar salam "selamat
malam". Ketika gadis itu telah menapaki jalanan yang terbuka, dia
duduk di depan sebuah ambang pintu. Tampaknya, selama
beberapa saat dia larut dalam kebingungan dan tidak sang"gup
meneruskan perjalanannya. Tiba-tiba saja dia bangkit, dan
sambil bergegas ke arah yang berlawanan dengan tempat Sikes
menanti kepulangannya, dia mempercepat lajunya, hingga lam"
bat laun menjadi lari kencang. Setelah sangat kelelahan, dia ber"
henti untuk menghirup napas, dan seakan tersadar, menyesali
ketidakmampuannya menjalankan sesuatu yang ingin dila"ku"
kannya. Dia meremas-remas tangannya, dan tangisnya pun me"
ledak. 408~ OLIVER TWIST Mungkin saja air mata melegakan perasaannya, atau dia
merasa putus asa dengan kondisinya. Namun, dia berbalik dan
terburu-buru hampir sama cepatnya seperti saat menempuh
arah berlawanan. Sebagian untuk mengganti waktu yang ter"bu"
ang, dan sebagian untuk menyusul laju pemikirannya sen"diri,
dia segera saja sampai di hunian tempatnya meninggalkan si pe"
rampok. Jika dia menunjukkan keresahan ketika dia menemui Tuan
Sikes, pria itu tidak menyaksikannya. Dia hanya akan bertanya
apakah dia membawa uang. Lalu, setelah menerima jawaban ya,
dia mengeluarkan geraman puas, dan sesudah meletakkan ke"
palanya kembali ke atas bantal, dia melanjutkan tidurnya yang
telah terusik. Untung bagi Nancy bahwa kepemilikan menyebabkan Tuan
Sikes sibuk keesokan harinya dengan makan dan minum. Selain
itu, juga menimbulkan efek bermanfaat melembutkan ketajaman
perangainya. Dia tidak punya waktu ataupun keinginan untuk
bersikap terlalu kritis terhadap kelakuan dan tingkah laku gadis
itu. Dia termenung dan gugup layaknya seseorang yang hendak
mengambil langkah nekat dan berbahaya, yang membutuhkan
pergulatan hebat untuk ditetapkan. Pastilah jelas bagi mata elang
Fagin, yang barangkali akan mewaspadainya seketika. Namun,
Tuan Sikes kurang mampu mengamati, dan tidak direpotkan
selain oleh prasangka remeh yang mewujud dalam perilaku kasar
dan keras kepalanya terhadap siapa saja. Selain itu, dia sedang
dalam kondisi riang yang tak lazim, seperti yang telah disebutkan
sebelumnya. Dia tidak melihat sesuatu yang janggal dalam
tingkah Nancy. Memang dia tak ingin repot memikirkan gadis
itu sehingga sekalipun kerisauan gadis itu jauh lebih kentara,
kecurigaannya kemungkinan besar tetap takkan terbangkitkan.
Seiring berlalunya hari itu, kegelisahan Nancy bertambah.
Ketika malam tiba, dia duduk menonton selagi si perampok mi"
num-minum hingga tertidur. Ada rona pucat yang tak biasa di
pipinya dan api yang menyala-nyala di matanya, yang bahkan
disadari Sikes dengan heran.
CHARLES DICKENS ~409 Tuan Sikes yang lemah karena demam, berbaring di tempat
tidur, minum gin dicampur air panas supaya efeknya tidak ter"
lalu kuat. Lalu mendorong gelasnya ke arah Nancy supaya diisi
ulang untuk ketiga atau keempat kalinya ketika gejala-gejala ini
pertama kali disadarinya.
"Aduh, tubuhku rasanya seperti terbakar!" kata pria itu,
menopang dirinya dengan tangan saat dia menatap wajah si ga?"
dis. "Kau terlihat seperti mayat yang hidup kembali. Ada ma"
salah apa?" "Masalah!" Balas gadis itu. "Tidak ada apa-apa. Kenapa kau
memandangiku lekat-lekat seperti itu?"
"Kebodohan apa ini?" tuntut Sikes, mencengkeram lengan"
nya, dan mengguncang-guncangkannya dengan kasar. "Apa ini"
Apa maksudmu" Apa yang kaupikirkan?"
"Banyak hal, Bill," jawab gadis itu, menggigil sambil menu"
tup matanya dengan tangan. "Tapi, ya, Tuhan! Apa pentingnya
itu?" Nada riang yang dipaksakan mengiringi pengucapan katakata terakhir itu tampaknya menghasilkan kesan yang lebih
mendalam pada Sikes daripada ekspresi liar dan kaku yang men"
dahuluinya. "Kuberi tahu kau," kata Sikes, "kalau kau belum kena de"
mam, dan baru tertular sekarang, ada sesuatu yang janggal di
udara, dan sesuatu yang berbahaya pula. Kau takkan mela"ku"
kan"tidak, berengsek!"kau takkan melakukan itu."
"Melakukan apa?" tanya si gadis.
"Oh, tidak," kata Sikes, melekatkan pandangan matanya
pada Nancy, dan menggumamkan kata-kata ini kepada dirinya
sendiri, "gadis yang berhati teguh tidak boleh pergi, atau aku
pasti sudah menggoroknya tiga bulan lalu. Dia tertular demam.
Itu saja." Membentengi dirinya dengan jaminan ini, Sikes mengosong"
kan isi gelasnya sampai bersih. Lalu, disertai banyak umpatan
dan gerutuan, dia meminta obatnya. Si gadis melompat berdiri


Oliver Twist Karya Charles Dickens di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

410~ OLIVER TWIST dengan amat sigap. Dia menuangkan minuman cepat-cepat,
tapi sambil memunggungi Sikes dan memegang wadahnya saat
lelaki itu meminum isinya.
"Nah," kata si perampok, "kemari dan duduklah di sam"
ping?"ku, dan jadikan wajahmu berseri lagi. Atau aku akan meng"
ubahnya, supaya kau tak bisa mengenalinya lagi ketika kau
menginginkannya." Gadis itu menurut. Sikes mencengkeram tangan Nancy, men"
jatuhkan diri ke bantal di belakangnya sambil menatap wajah si
gadis. Matanya terpejam, terbuka lagi, terpejam sekali lagi, dan
kembali terbuka. Dia mengubah-ubah posisinya dengan gelisah.
Setelah terkantuk-kantuk lagi, dan lagi, selama dua atau tiga
menit, dan sering kali terkesiap bangun dengan ekspresi ngeri
dan menatap kosong ke sana kemari, tiba-tiba saja, saat hendak
bangkit, ia jatuh tertidur lelap. Cengkeraman tangannya me"
ngendur, lengan yang terangkat jatuh dengan lemas ke samping
tubuhnya. Dia tergeletak bagaikan orang yang sedang trans.
"Laudanum akhirnya berefek juga," gumam si gadis, saat dia
bangkit dari sisi tempat tidur, mensyukuri manfaat alkohol cam"
pur opium yang berfungsi sebagai obat tidur. "Aku mungkin
sudah terlambat sekarang."
Dia buru-buru berpakaian menggunakan topi dan selendang
sambil melihat penuh rasa takut ke sekeliling, dari waktu ke
waktu, seolah, meskipun Sikes sudah diberi obat tidur, dia men"
duga kapan saja dapat merasakan tekanan tangan berat pria itu
di bahunya. Kemudian, membungkuk lembut ke atas tempat
tidur. Dia mengecup bibir si perampok, lalu setelah membuka
dan menutup pintu kamar dengan sentuhan tanpa bunyi, dia
buru-buru meninggalkan rumah.
Tukang jaga sedang meneriakkan pukul sembilan lewat sam"
bil melintasi lorong gelap yang harus dia lewati, untuk mencapai
jalan utama. "Apa sudah pukul setengah sepuluh?" tanya gadis itu.
"Seperempat jam lagi pukul sepuluh," kata pria itu sambil
mengangkat lentera ke wajah si gadis.
CHARLES DICKENS ~411 "Dan aku tidak mungkin sampai di sana dalam waktu kurang
dari sejam atau lebih," gumam Nancy, melesat cepat melewati
pria itu, dan meluncur kencang menyusuri jalan.
Banyak toko di jalan kecil dan jalan besar yang disusurinya
sudah tutup dalam perjalanannya dari Spitalfields menuju ka"
wasan West-End London. Jam menunjukkan pukul sepuluh,
menambah ketidaksabarannya. Dia melaju menyusuri trotoar
sempit sambil menyikut pejalan kaki di kanan kiri. Hampir me"
lejit di bawah kepala kuda, menyeberangi jalanan ramai, tempat
kumpulan orang sedang tak sabar menunggu kesempatan untuk
berbuat serupa. "Wanita itu gila!" kata orang-orang, saat melihatnya melesat
menjauh. Ketika dia sampai di kawasan kota yang lebih kaya, jalanan
relatif lengang. Di sini perjalanannya membangkitkan rasa pe"
nasaran yang lebih besar dalam diri pejalan kaki yang dilewati"
nya cepat-cepat. Sebagian mempercepat langkah di belakangnya,
seakan-akan untuk melihat ke mana dia sedang terburu-buru
dengan laju tak biasa itu. Segelintir orang mendahuluinya dan
menengok ke belakang, kaget melihat kecepatannya yang tak
kunjung berkurang. Namun, mereka tertinggal satu demi satu.
Ketika dia mendekati tempat tujuannya, dia sendirian.
Tempat itu adalah hotel keluarga di jalan yang sepi tapi apik
di dekat Hyde Park. Saat cahaya terang lampu yang menya"
la di depan pintu hotel memandunya ke lokasi tersebut, jam
menunjukkan pukul sebelas. Dia mondar-mandir beberapa
langkah, seakan-akan merasa tak pasti, dan sedang membulat"
kan tekad untuk maju. Namun, bunyi itu meneguhkan hatinya,
dan dia pun melangkah masuk ke lobi. Kursi portir kosong.
Dia melihat ke sana kemari dengan sikap ragu-ragu, dan maju
menuju tangga. "Hai, Nona Muda!" kata seorang perempuan berpakaian
rapi, menengok dari pintu di belakangnya. "Siapa yang kau cari
di sini?" 412~ OLIVER TWIST "Seorang wanita yang sedang menginap di rumah ini," jawab
gadis itu. "Wanita!" jawabnya, dengan ekspresi mencela. "Wanita yang
mana?" "Nona Maylie," kata Nancy.
Si wanita muda, yang pada saat ini telah menyadari penam"
pilan gadis itu hanya menjawab dengan ekspresi yang mencela.
Lalu, dia memanggil seorang lelaki untuk meladeninya. Kepada
lelaki ini, Nancy mengulangi pertanyaannya.
"Nama siapa yang harus kusebutkan?" tanya si pelayan.
"Tidak ada gunanya menyebutkan nama," jawab Nancy.
"Ataupun urusannya?" kata lelaki itu.
"Tidak, itu juga tidak penting," timpal si gadis. "Aku harus
menemui wanita itu."
"Sudahlah!" kata si lelaki sambil mendorongnya ke pintu.
"Hentikan omong kosong ini. Pergilah."
"Aku akan hancur jika aku pergi!" kata gadis itu kasar. "Dan
aku bisa membuat keributan yang takkan kalian berdua sukai.
Tak adakah seorang pun di sini," katanya sambil melihat ke sana
kemari, "yang berkenan mengantarkan pesan sederhana untuk
seorang gadis miskin sepertiku?"
Permohonan ini berdampak pada seorang juru masak lelaki
berwajah sabar, yang sedang melihat dengan beberapa pelayan
lain. Dia melangkah maju untuk campur tangan.
"Lakukan apa yang dimintanya, Joe. Bisa, kan?" kata orang
ini. "Apa gunanya?" jawab si lelaki. "Kau tak berpendapat wani"
ta muda terhormat itu mau menemui perempuan sepertinya,
kan?" Sindiran terhadap karakter Nancy yang meragukan ini, mem"
bangkitkan amarah di dada empat pelayan perempuan, yang
berkomentar dengan berapi-api bahwa makhluk itu memalukan
kaumnya. Lalu, dengan semangat mereka menyarankan agar dia
dilempar ke luar dengan kasar, ke dalam kandang.
CHARLES DICKENS ~413 "Lakukan apa yang kau suka padaku," ujar gadis itu, me"
noleh kepada para lelaki, "tapi lakukan apa yang kuminta lebih
dahulu, dan kuminta kalian agar mengantarkan pesan ini, demi
Tuhan Yang Mahaagung."
Si juru masak berhati lembut bicara pada lelaki itu, dan
hasilnya adalah lelaki yang muncul pertama kali mengantarkan
pesannya. "Apa pesannya?" kata lelaki itu, dengan satu kaki di anak
tangga. "Bahwa seorang wanita muda sepenuh hati minta bicara
dengan Nona Maylie sendirian," kata Nancy. "Dan bahwa jika
wanita itu bersedia mendengar kata pertama saja yang perlu di"
ucapkannya, dia akan tahu haruskah dirinya mendengarkan ga"
dis itu, atau mengusirnya seperti penipu."
"Menurutku," kata laki-laki itu, "penampilanmu memang
seperti penipu!" "Kauberikan saja pesannya," kata gadis itu tegas, "dan biar
kudengar jawabannya."
Si lelaki lari ke lantai atas. Nancy menunggu, pucat dan ham"
pir kehabisan napas, dengan bibir gemetar mendengar celaan
yang terdengar sangat jelas, yang diucapkan oleh para pelayan
perempuan; dan yang meluncur semakin deras, ketika si lelaki
kembali, serta mengatakan bahwa wanita muda itu dipersilakan
naik ke lantai atas. "Tidak ada gunanya bersikap pantas di dunia ini," kata
pelayan perempuan yang pertama.
"Kuningan lebih bagus daripada emas yang telah terbakar
api," kata yang kedua.
Yang ketiga memuaskan dirinya dengan bertanya-tanya
"wanita terhormat itu terbuat dari apa", dan yang keempat men"
jadi orang pertama yang berkata, "Memalukan!" Celaan tersebut
dituntaskan oleh empat Dewi Kesuburan itu.
Nancy mengabaikan semua ini sebab ada perkara yang lebih
genting baginya. Nancy mengikuti lelaki itu dengan kaki geme"
414~ OLIVER TWIST tar, ke sebuah ruang tunggu berukuran kecil, diterangi lampu
dari langit-langit. Di sini lelaki itu meninggalkannya, dan undur
diri.[] Percakapan Aneh idup gadis itu telah dihabiskan di jalanan, di tengah
kondisi sulit dan tempat paling berisik di London.
Namun, ada sesuatu dari sifat asli perempuan itu yang
masih tersisa dalam dirinya. Ketika mendengar langkah ringan
mendekati pintu di seberang pintu yang dimasukinya, dia me"
mikirkan perbedaan mencolok yang akan segera dimuat oleh ru"
angan kecil itu. Dia merasa dibebani perasaan malu mendalam
pada dirinya sendiri, dan beringsut seolah-olah dia tidak sang"
gup berada di hadapan orang yang akan diajaknya berbincang.
Namun, perasaan yang ini dilawan dengan rasa bangga"
sifat buruk yang dimiliki makhluk terendah dan paling hina,
sama dengan mereka yang berkedudukan tinggi dan bereputasi.
Teman menyedihkan bagi pencuri dan bajingan, orang buang"
an dari sarang rendahan, rekan bagi para penghuni penjara dan
bangunan bobrok, hidup di dalam bayang-bayang tiang gan"
tungan sendiri"bahkan makhluk terpuruk ini merasa terlalu
angkuh untuk menampakkan pendar lemah perasaan feminin
yang menurutnya adalah suatu kelemahan, tapi menjadi peng"
hubung satu-satunya dengan sifat manusiawi. Rasa itu telah
dibinasakan dalam hidupnya yang memilukan sejak dia masih
kanak-kanak. Dia mengangkat mata secukupnya untuk mengamati so"
sok yang menampakkan diri sebagai seorang gadis cantik yang
langsing. Dia menatap lantai, kemudian menegakkan kepalanya
416~ OLIVER TWIST dengan kesembronoan yang palsu saat dia berkata, "Sulit me"
nemuimu, Nona. Jika aku tersinggung dan pergi seperti yang
pasti akan dilakukan banyak orang, kau pasti me"nyesal suatu
hari dan bukan tanpa alasan."
"Aku sungguh minta maaf jika ada yang berlaku kasar pada"
mu," timpal Rose. "Jangan pikirkan itu. Beri tahu aku alasanmu
ingin menemuiku. Akulah orang yang kau cari."
Nada ramahnya saat mengucapkan jawaban ini, suara yang
manis, perangai yang lembut, ketiadaan sikap pongah atau tidak
senang, membuat gadis itu terkejut sepenuhnya, dan tangisnya
pun meledak. "Oh, Nona, Nona!" katanya sambil mengatupkan kedua be"
lah tangannya kuat-kuat di depan wajahnya. "Jika lebih banyak
orang yang sepertimu, akan lebih sedikit orang yang sepertiku"
pasti " pasti!"
"Duduklah," kata Rose dengan tulus. "Jika kau sedang dalam
kemiskinan atau kesulitan, aku akan dengan senang hati meri"
ngankan bebanmu jika aku bisa"sungguh. Duduklah."
"Biar aku berdiri, Nona," kata gadis itu, masih menangis.
"Dan jangan bicara begitu ramah padaku sebelum kau lebih
mengenalku. Ini sudah larut. Apakah " apakah " pintu itu
tertutup?" "Ya," kata Rose, mundur beberapa langkah, seakan agar bisa
berada lebih dekat dengan pertolongan seandainya dia membu"
tuhkannya. "Kenapa?"
"Karena," kata si gadis, "aku hendak menyerahkan nyawaku
Petir Di Mahameru Empat 1 Pendekar Gila 12 Pembalasan Dewa Pedang Pelangi Dilangit Singosari 29
^