Pencarian

The Jungle Book 2

The Jungle Book Karya Rudyard Kipling Bagian 2


terbang antara desa dan rimba. Mengapa"
Aku menari di kulit Shere Khan, tapi hatiku sangat berat.
Mulutku terluka akibat batu dari desa tapi hatiku senang,
karena aku kembali ke dalam rimba. Mengapa"
Dua hal ini bertempur di hatiku seperti ular berkelahi di
sumber air. Air keluar dari mataku, tetapi aku tertawa
saat air itu jatuh. Mengapa"
Aku bagaikan dua Mowgli, tetapi kulit Shere Khan ada di
bawah kakiku. Seisi rimba tahu telah kubunuh Shere Khan. Lihat"lihat
dengan saksama, o, bangsa Serigala!
Ahae! Hatiku berat oleh hal-hal yang tak kumengerti.
111 NyANyIAN SINGA LAUt PUtIH
OH! Diamlah, sayangku, malam telah pergi
Hitamlah air yang tadi cemerlang hijau
Bulan, di balik ombak, menunduk mencari-cari
Kita beristirahat di antara ombak bergulung galau
Saat ombak ketemu ombak, semoga lembut bantalmu
Telah lelah kau mendayungkan siripmu, beristirahatlah
Badai takkan membangunkanmu, hiu takkan menangkapmu
Tertidur nyenyak di ayunan lembut laut menggelora.
Lagu Nina Bobok Singa Laut.
SEMUA ini terjadi beberapa tahun yang lalu, di sebuah tempat
bernama Novatoshnah, di Semenanjung Timur Laut, di Pulau St.
Paul, jauh, sangat jauh di Laut Bering. Limmershin, si burung
112 wren musim dingin, menceritakan padaku saat ia terempas ke tali
temali kapal uap yang sedang menuju ke Jepang. Aku tolong dia.
Kubawa ke kabinku, kuhangatkan dan kuberi makan selama dua
hari sampai ia cukup kuat untuk terbang kembali ke St. Paul.
Limmershin seekor burung yang kecil dan aneh, tetapi ia selalu
mengatakan yang sebenarnya.
Tak seorang pun pergi ke Novastoshnah kecuali untuk suatu
pekerjaan. Satu-satunya pengunjung tetap tempat itu adalah para
singa laut. Mereka datang di bulan-bulan musim panas dalam jumlah beratus-ratus ribu dari lautan yang kelabu dan dingin. Pantai
Novastoshnah merupakan tempat paling nyaman di dunia bagi
anjing laut mana pun. Katchee Laut, si singa laut, tahu itu. Setiap musim semi ia
akan berenang, meluncur bagaikan kapal torpedo, menuju
Novastonash. Tak peduli pada saat itu ia berada di mana. Ia harus
menghabiskan waktu sebulan bertarung melawan singa-singa laut
lainnya untuk memperebutkan tempat terbaik di pantai batu karang
itu. Tempat yang sedekat mungkin ke laut.
Katchee berumur lima belas tahun, sangat besar, berkulit kelabu. Di punggungnya tumbuh bulu yang sangat mirip suri, rambut
leher, dan mulutnya penuh gigi-gigi runcing dan tajam. Jika ia
mengangkat tegak badannya dengan bertumpu pada sirip depannya, ia hampir setinggi satu setengah meter. Beratnya, kalau ada
yang cukup berani untuk menimbangnya, hampir 350 kilogram.
Sekujur tubuhnya dihias bekas-bekas luka karena pertarungannya.
Ia tak pernah bosan untuk bertarung. Biasanya ia meletakkan kepalanya ke sisi badannya, seolah takut melihat lawan. Kemudian,
tiba-tiba saja, kepala itu akan melesat ke depan bagaikan kilat.
Jika gigi-giginya yang besar-besar itu menancap di leher singa
113 laut lawannya, mungkin saja lawan bisa lolos. Tapi Katchee tak
akan membantunya. Katchee takkan pernah mengejar singa laut yang sudah dikalahkannya. Itu menyalahi Undang-undang Pantai. Ia hanya ingin
mendapatkan tempat bagi keluarganya. Tetapi ada sekitar empat
puluh atau lima puluh ribu ekor singa laut yang memperebutkan
tempat yang sama setiap musim semi. Pantai berkarang itu pada
musiom tersebut selalu hiruk-pikuk dengan suara suitan, lenguhan,
auman dan dengusan yang semuanya sangat mengerikan.
Dari puncak sebuah bukit kecil bernama Bukit Hutchinson, kita
bisa melihat tempat itu"daerah hampir enam kilometer yang penuh dengan singa-singa laut yang berkelahi. Ombak yang berkejaran ke pantai penuh dengan titik-titik hitam, kepala singa-singa
laut yang berlomba mau naik ke pantai dan ikut berkelahi. Mereka
berkelahi di bibir pantai, mereka berkelahi di pasir, mereka berkelahi di permukaan batu-batu karang yang setelah sekian abad jadi
halus oleh kehadiran mereka. Mereka berkelahi karena bodoh dan
tak punya tenggang rasa seperti juga kaum manusia.
Istri-istri mereka tak pernah tiba di tempat itu sebelum akhir
Mei atau awal Juni. istri-istri ini tentunya tak berminat untuk
dirobek-robek tubuhnya dalam perkelahian gila itu. Singa-singa
laut muda, yang berumur sekitar tiga atau empat tahun dan belum
berkeluarga, masuk lebih jauh ke dalam sekitar satu kilometer. Di
sana mereka bermain-main, merusak semua pepohonan yang ada,
berguling-guling di pasir. Mereka datang bagaikan air bah. Mereka
dinamakan holluschickie"yang artinya "bujangan". Di
Novastoshnah saja jumlah mereka ada sekitar dua ratus atau tiga
ratus ribu ekor. Katchee baru saja menyelesaikan perkelahiannya ke empat puluh lima, di suatu musim semi, ketika Matkah muncul dari laut.
114 Matkah adalah istrinya, seekor singa laut yang lembut, langsing,
bermata lembut. Katchee menggigit tengkuk istrinya, membawanya
dan menjatuhkannya di daerah kekuasaannya. "Terlambat, seperti
biasa! Ke mana saja kau?" katanya dengan kasar.
Bukan kebiasaan Katchee Laut untuk makan apa pun selama
empat bulan menjaga daerah pantainya. Ini membuatnya menjadi
pemarah. Matkah mengerti tak ada gunanya ia menjawab bentakan
itu. Ia melihat berkeliling dan berkata lembut, "Wah, kau sungguh
pintar mencari tempat. Kau berhasil mendapatkan tempat kita yang
dulu." "Kau kira mudah?" kata Katchee. "Lihat aku!"
Badannya penuh bekas cakaran, dan berdarah di dua puluh tempat. Sebuah matanya hampir terlepas, pinggangnya nyaris hancur.
"Ah, dasar kalian makhluk-makhluk jantan!" kata Matkah, mengipasi dirinya dengan sirip belakangnya. "Kalian memang tidak
waras. Kenapa tidak dirundingkan dengan baik-baik saja" Kau
seperti baru bertarung melawan Hiu Pembunuh."
"Dari sejak pertengahan Mei, kerjaku setiap hari hanya bertarung! Pantai ini sungguh menyebalkan, begitu penuh sesak musim
ini. Aku bertemu paling sedikit seratus ekor singa laut dari Pantai
Lukannon, mencari tempat tinggal dio sini. Mengapa sih mereka
harus pindah?" "Aku sering berpikir, mungkin lebih menyenangkan jika keluarga kita pindah saja ke Pulau Berang-berang, daripada ke tempat
penuh sesak ini," kata Matkah.
"Bah! Hanya kaum holluschickie yang pergi ke pulau berangberang. Kalau kita pergi ke sana, kita akan dicap pengecut! Kita
harus jaga gengsi, sayangku."
Katchee Laut membenamkan kepalanya di antara kedua bahu115
nya yang gemuk, pura-pura tidur untuk beberapa menit. Tetapi
sesungguhnya ia selalu berjaga dan bersiap-siap untuk bertarung.
Ketika para singa lasut itu sudah berkumpul dengan keluarga mereka, maka keributan mereka terdengar hingga bermil-mil jauhnya
mengalahkan debur ombak yang terdahsyat. Paling sedikit ada
lebih dari sejuta singa laut di pantai itu"singa laut tua, singa laut
ibu-ibu, bayi-bayi kecil, holluschickie" semua ribut berkelahi,
bergusur ke sana kje mari, menjerit-jerit, merangkak-rangkak, bermain-main, berhamburan masuk ke laut dan berebut naik ke darat,
memenuhi setiap jengkal pantai. Sejauh mata memandang yang
terlihat hanya singa-singa laut bergulat berkelompok-kelompok
dalam kabut. Di Novastoshnah hampir selalu berkabut, kecuali
saat matahari terbit dan membuat semuanya terlihat kemilau dan
bersirat pelangi untuk beberapa saat.
Kotick, bayi Matkah, lahir di tengah keributan itu. Tubuhnya
seakan hanya terdiri dari kepala dan bahu, dengan mata kebiruan
berair"seperti biasa terlihat pada bayi-bayi singa laut. Tetapi ada
sesuatu di kulitnya yang membuat ibunya sering memperhatikannya
dari dekat. "Katchee Laut," akhirnya ia berkata pada suaminya. "Bayi kita
akan menjadi singa laut putih."
"Cangkang tiram kosong dan rumput laut kering!" dengus
Katchee Laut. "Di dunia ini tak pernah ada singa laut putih!"
"Terserah, tetapi yang pasti sekarang akan ada," kata Matkah.
Ia kemudian menyanyikan lagu lembut yang biasa dinyanyikan
ibu-ibu singa laut pada bayi mereka:
116 "Kau tak boleh berenang sampai minggu keenam
siripmu akan membuat kepalamu terbenam
ombak musim panas dan paus pembunuh itu maut
bagi bayi-bayi singa laut
Maut bagi bayi singa laut, ingat
Sungguh sangat mematikan,
Mengayuhlah terus, jadilah kuat
Dan kau pasti akan aman O, anak samudra lepas. tENTU saja si kecil pada mulanya tak mengerti arti kata-kata
itu. Ia mengepakkan siripnya dan berguling-guling di sisi induknya, serta belajar bergeser menjauh jika ayahnya bertempur dengan singa laut lain"berguling-guling dan meraung-raung di atas
karang yang licin itu. Matkah biasanya pergi ke laut untuk mencari makanan. Si bayi hanya diberi makan dua hari sekali, tetapi ia
makan sebanyak ia bisa dan tumbuh besar dengannya.
Yang pertama dilakukannya adalah merangkak naik ke darat, di
mana ia bergabung dengan puluhan ribu bayi-bayi singa laut seumurnya. Mereka bermain-main bagaikan anak-anak anjing, tidur
di pasir yang bersih, kemudian bermain-main lagi. Singa-singa
laut tua tidak memperhatikan mereka. Para holluschickie tinggal
di daerah mereka. Para bayi itu bisa bermain sepuas hati mereka.
Ketika Matkah kembali dari mencari makanan di laut dalam, ia
langsung pergi ke tempat bermain ini. Di sana ia melolong panjang, seperti seekor biri-biri mengembik memanggil anaknya. Ia
kan terus melolong sampai didengarnya jawaban dari Kotick. Ke117
mudian Matkah akan berjalan dengan garis paling lurus menuju
bayinya, menampar kiri-kanan apa pun yang menghalanginya.
Selalu ada beberapa ratus induk singa laut mencari bayi mereka
di tempat bermain itu. Dan bayi-bayinya terus dibiarkan bergerak
sesuka hati mereka. Matkah selalu berkata pada Kotick, "Sepanjang kau tidak membenamkan diri di air berlumpur dan dapat
kudis, atau bergeser keras di pasir atau batu keras sehingga terluka, atau berenang ke laut saat ombak besar, kau akan selalu aman
di sini." Anak-anak singa laut itu belum bisa berenang, seperti juga
anak-anak manusia. Tetapi mereka sangat ingin untuk cepat-cepat
belajar. Pernah Kotick masuk ke laut dan ia terseret tergulung ke
tempat kedalaman yang di luar daerah aman. Kepalanya yang besar terjungkir terbenam dan sirip belakangnya terangkat persis seperti yang dinyanyikan ibunya. Kalau saja ombak berikutnya tidak
melemparkannya kembali ke pantai, mungkin ia sudah terbenam.
Sehabis peristiwa itu, Kotick belajar untuk merasa puas berbaring-baring saja di genangan air di pantai, menunggu ujung ombak
sedikit mengangkatnya sementara ia memainkan siripnya. Ia selalu
bersiaga, membuka mata kalau-kalau ada ombak besar datang.
Dua minggu ia belajar menggunakan siripnya. Selama itu ia hanya
berguling-guling di pasir, ke luar masuk air, terbatuk-batuk, menggeram-geram dan merangkak kembali ke pantai atasnya, dan tidur
nyenyak di pasir. Itu diulanginya beberapa kali sampai ia akhirnya
merasa yakin bahwa ia benar-benar makhluk air.
Bisa dibayangkan betapa gembiranya ia dan kawan-kawannya
saat boleh merunduk di bawah gulungan ombak, atau berselancar
di atasnya serta dibantingkan keras di pantai serta menyemburnyemburkan air ketika ombak besar masuk sampai dalam ke pantai. Atau saat mereka berdiri bertumpu pada ekor dan menggaruk118
garuk kepala seperti orang tua, atau bermain "Aku Penguasa Puri"
di batu-batu karang licin yang nyaris muncul di permukaan air.
Sekali-sekali ia juga melihat suatu sirip tipis, seperti sirip hiu,
berkeliaran dekat pantai. Ia tahu itu adalah sirip Paus Pembunuh,
si Grampus, yang suka makan singa-singa laut muda jika bisa
ditangkapnya. Melihat sirip seperti itu Kotick langsung saja melesat cepat ke pantai, sementara si sirip kemudian bergerak menjauh
pelahan, seolah tak ada keperluan apa pun ia di situ.
Akhir Oktober singa-singa laut itu mulai meninggalkan St. Paul
menuju lautan dalam. Mereka pergi berombongan"rombongan
keluarga dan suku. Tak ada lagi perkelahian memperebutkan
lahan. Kaum holluschickie bisa bermain di mana saja mereka
suka. "Tahun depan," kata Matkah kepada Kotick, "kau akan menjadi salah satu holluschickie itu. Tetapi tahun ini kau harus belajar
menangkap ikan." Mereka berenang menyeberangi Samudra Pasiik. Matkah meng"
ajari Kotick cara tidur telentang dengan sirip dilipat ke bawah dan
hanya ujung hidungnya yang muncul di luar air. Tidur seperti ini
sangat nyaman, dalam ayunan gelombang Pasiik. Saat Kotick
merasa seluruh kulitnya merinding, Matkah berkata itulah tandanya
ia mulai mengenal irasat air"perasaan merinding itu berarti
cuaca buruk akan datang dan ia harus berenang sekuat mungkin
menjauh. "Kelak kau akan tahu harus berenang ke mana," kata Matkah.
"Tapi sekarang kita akan mengikuti Babi Laut, si Lumba-lumba,
sebab ia sangat bijaksana." Serombongan lumba-lumba sedang
berenang di depan mereka, melompat naik-turun ke luar dan masuk kembali ke air. Kotick berusaha keras mengejar mereka, dan
terengah-engah bertanya pada pemimpinnya, "Bagaimana kau tahu
ke mana harus pergi?" Pemimpin rombongan lumba-lumba me119
mutar-mutar matanya dan menyelam. "Ekorku merinding, anak
muda," katanya kemudian. "Itu berarti ada badai di belakangku.
Ayo, cepat, ikut aku. Kalau kau berada di selatan Air Melekat
(maksudnya Khatulistiwa) dan ekormu merinding, itu artinya ada
badai di depanmu dan kau harus berenang ke utara. Ayolah! Airnya tidak bersahabat di sini."
Itu semua hanyalah sebagian dari banyak hal yang dipelajari
Kotick. Dan ia terus menerus belajar. Matkah mengajarinya cara
mengikuti ikan cod dan halibut di celah-celah tebing dasar laut,
merenggut ikan-ikan berbadan pipih dan panjang dari lubang-lubang mereka di antara rumput laut. Ia belajar bagaimana menghindari kerangka-kerangka kapal yang terkubur di dasar, melesat bagaikan peluru dari satu lubang jendela ke lubang jendela lainnya
mengejar ikan. Ia belajar menari di puncak ombak besar saat petir
menggelegar di langit, atau melambaikan siripnya sopan pada burung Albatros berekor tumpul dan si Elang "Kapal Perang" saat
mereka meluncur menyusuri angin. Ia belajar melompat ke luar
air hingga setinggi sekitar satu meter seperti para lumba-lumba,
dengan sirip merapat di badan serta ekor melengkung. Ia belajar
untuk tidak mengganggu ikan terbang, karena badan mereka hanya
dipenuhi tulang, belajar menyambar punggung ikan cod dengan
kecepatan tinggi di kedalaman, belajar untuk tidak berhenti jika
melihat kapal atau perahu"terutama perahu dayung.
Di akhir bulan keenam, apa yang belum diketahui Kotick
tentang perburuan ikan di laut dalam sudah tak perlu diketahuinya
lagi. Dan selama itu ia tak pernah menginjakkan siripnya di daratan.
Suatu hari, saat ia berbaring setengah tidur di kehangatan air
laut sedikit di luar Pulau Juan Fernandez, ia merasa begitu lemas
dan malas. Sesuatu yang biasa dirasakan oleh manusia saat menge120
tahui bahwa musim semi hampir tiba. Tiba-tiba saja ia teringat
pada daratan keras di pantai-pantai Novastoshnah, ribuan kilometer
dari tempat itu. Teringat olehnya berbagai permainan yang dilakukannya bersama teman-temannya, bau rumput laut, raungan singasinga laut dan perkelahian tanpa habis itu. Saat itu juga ia berbalik dan berenang menuju utara, berenang terus tanpa henti. Dan
di tengah perjalanan itu ia beretemu dengan kelompok-kelompok
lain, semuanya bergerak menuju tempat yang sama. Mereka pun
berseru-seru menyapanya, "Salam, Kotick! Tahun ini kita semua
menjadi holluschickie! Dan kita boleh menarikan Tari Api di deburan ombak di luar Lukannon, serta bermain-main di rumput
baru. Tapi, dari mana kau dapatkan kulitmu itu?"
Kulit Kotick saat itu sudah hampir putih sempurna. Sesungguhnya ia bangga akan kulit itu, tetapi ia hanya menjawab, "Ayo,
berenang lebih cepat! Aku sudah sangat rindu pada daratan!"
Akhirnya mereka tiba di pantai-pantai tempat mereka dilahirkan,
mendengarkanm lagi hiruk-pikuk singa-singa laut tua serta ayahayah mereka berkelahi dalam gulungan kabut.
Malam itu Kotick menarikan Tari Api dengan singa-singa laut
berumur setahun sebayanya. Laut memang penuh api di malammalam musim panas sepanjang Novastoshnah sampai Lukannon.
Saat itu setiap singa laut meninggalkan jejak di air bagaikan minyak terbakar saat berenang, serta kobaran api saat ia melompat.
Ombak pecah dalam pancaran sinar-sinar fosfor. Mereka kemudian
naik ke darat, ke daerah para holluschickie, berguling-guling di
antara pokok-pokok gandum liar saling bercerita apa yang mereka
lakukan saat berada di laut bebas. Mereka bercerita tentang Pasiik
seperti juga anak-anak manusia bercerita tentang hutan yang mereka jelajahi. Kalau saja ada di antara mereka yang bisa membuat
peta, peta tentang petualangan mereka di laut itu pasti tak ada
121 bandingannya. Holluschickie yang berumur tiga dan empat tahun
ramai-ramai turun dari bukit Hutchinson berteriak-teriak, "Minggir,
minggir, anak-anak! Lautan dalam dan kalian belum tahu apa isinya! Tunggu sampai kalian mengitari Semenanjung Tanduk. Hai,
kau, anak satu tahun! Dari mana kau dapat kulit putih itu?"
"Aku tidak mendapatkannya," sahut Kotick. "Ini memang kulitku asli!" Baru saja ia bergerak untuk menggulingkan holluschickie


The Jungle Book Karya Rudyard Kipling di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang bertanya itu, dua orang manusia berrambut hitam berwajah
merah muncul dari balik bukit pasir. Kotick yang belum pernah
melihat manusia terbatuk-batuk dan merundukkan kepala. Para
holluschickie itu tertegun, terdiam, melotot tak tahu harus berbuat
apa. Kedua orang manusia itu adalah Kerick Booterin, pemimpin
pemburu singa laut di pulau itu, dan Patalamon, anaknya. Mereka
datang dari desa tak lebih dari satu kilometer dari tempat para
singa laut itu. Mereka akan menentukan singa-singa laut mana
yang akan mereka giring ke tempat penjagalan"seperti menggiring domba"untuk kemudian diambil kulit mereka sebagai bahan
jaket. "Ho," seru Patalamon. "Lihat. Ada singa laut putih!"
Kerick Booterin langsung pucat wajahnya yang penuh minyak
dan asap itu. Mereka itu bangsa Aleuts, dan orang-orang Aleuts
tak pernah menjaga kebersihan. Kerick pun langsung menggumamkan doa. "Jangan sentuh dia, Patalamon. Tak pernah ada singa
laut putih sejak"sejak aku dilahirkan. Mungkin itu adalah titisan
hantu si tua Zaharrof. Ia hilang dalam badai besar tahun lalu."
"Aku tak akan mendekatinya," kata Patalamon. "Ia pasti membawa sial. Kau yakin itu si tua Zaharrof kembali ke dunia" Aku
berutang beberapa telur burung laut padanya."
"Jangan melihat ke arah dia!" kata Kerick. "Giring kelompok
122 empat tahun itu. Hari ini para pekerja mestinya bisa menguliti dua
ratus ekor. Tetapi ini baru awal musim dan orang-orang itu pekerja baru. Mungkin dapat seratus sudah lumayan. Cepat!"
Patalamon memukul-mukulkan sepasang tulang punggung anjing laut di depan sekelompok holluschickie. Mendengar suara itu
mereka langsung berhenti, mendengus-dengus. Patalamon melangkah mendekat. Kelompok itu mulaiu bergerak. Kerick menggiring
mereka untuk bergerak ke pedalaman. Semua patuh, tak ada yang
melawan atau mencoba lari kembali. Ratusan dan ratusan ribu singa laut lain memperhatikan mereka digiring. Tetapi mereka seakan tak peduli. Terus saja bermain-main. Hanya Kotick yang
bertanya-tanya. Tapi tak ada yang bisa menerangkan padanya apa
yang terjadi. Mereka hanya berkata bahwa manusia-manusia itu
selalu datang untuk menggiring pergi beberapa kelompok singa
laut selama enam minggu atau dua bulan setiap tahunnya.
"Akan aku ikuti mereka," kata Kotick akhirnya. Matanya nyaris
melotot keluar saat ia mulai menyeret badannya di belakang rombongan yang digiring itu.
"Singa laut putih itu mengikuti kita!" teriak Patalamon. "Ini
pertama kalinya seekor singa laut datang ke tempat penjagalan
tanpa disuruh." "Hush. Jangan menengok ke belakang!" kata Kerick. "Itu pasti
hantu si Zaharrof! Aku harus berbicara dengan pak pendeta tentang ini."
Jarak ke tempat penjagalan tak ada satu kilometer. Tetapi jarak
itu terpaksa ditempuh dalam waktu satu jam. Ini karena Kerick
tahu, kalau mereka bergerak terlalu cepat, geseran di bebatuan itu
akan membuat kulit mereka panas sehingga robek di beberapa
tempat sewaktu dikuliti. Karenanya mereka bergerak pelahan. Melewati Semenanjung Singa Laut. Melewati Rumah Webster. Sam123
pai akhirnya di Rumah Garam yang tak terlihat oleh para singa
laut di pantai. Kotick terus mengikuti, terengah-engah dan terus
bertanya-tanya dalam hati. Dikiranya ia telah berada di ujung dunia. Tapi ia masih bisa mendengar keributan bangsanya di kejauhan, seperti suara kereta api di terowongan.
Kerick duduk di lumut, mengeluarkan sebuah arloji timah hitam
yang tampak sangat berat dari sakunya. Ditunggunya sampai kelompok singa laut itu dingin badannya dalam waktu setengah jam.
Kotick bisa mendengar embun menetes dari pinggiran topinya.
Kemudian muncul sepuluh atau dua belas manusia, masing-masing
membawa tongkat besi sekitar satu meter panjangnya. Kerick menunjuk pada beberapa singa laut yang berkumpul di depannya itu,
yang dalam perjalanan digigiti teman-temannya atau terlalu panas.
Orang-orang tadi menendang singa-singa laut itu ke pinggir, dengan sepatu bot mereka yang terbuat dari leher walrus.
Akhirnya Kerick berkata, "Mulailah!"
Orang-orang itu menghantam kepala-kepala singa laut itu dengan tongkat besinya, secepat dan sekuat mungkin.
Sepuluh menit kemudian Kotick tak bisa lagi mengenali temantemannya. Kulit mereka dibeset dari ujung hidung sampai sirip
belakang, dibeset lepas dan dilemparkan menjadi suatu tumpukan.
Ini sudah cukup bagi Kotick. Ia berbalik dan mencongklang
(seekor singa laut bisa berlari mencongklang dengan cepat, tapi
dalam waktu yang singkat) lari menjauh ke laut. Kumis barunya
kaku ketakutan. Di Semenanjung Singa Laut, tempat beberapa singa laut besar duduk di tepi deburan ombak, Kotick terjun ke air
yang dingin dengan kedua sirip menutupi kepalanya. Ia gemetaran
di tempat itu, terengah-engah mencari udara.
"Ada apa itu?" seekor singa laut menggeram. Biasanya singa
laut besar tidak mau mencampuri urusan orang lain.
124 "Scoochnie! Ochen scoochnie!" ("Aku sendirian, sangat sendirian!") kata Kotick. "Mereka membunuh semua holluschikie di
semua pantai." Sang Singa Laut menoleh ke arah pedalaman. "Omong kosong.
Kawan-kawanmu masih ribut di sana. Mungkin kamu melihat si
Kerick tua membantai giringannya. Ia telah melakukan itu selama
tiga puluh tahun ini!"
"Sungguh seram, sungguh seram," kata Kotick, berenang mundur saat sebuah ombak melandanya. Dengan kibasan sekrup siripsiripnya, ia bisa berdiri tegak dan berhenti dekat sekali dengan
pantai berbatu-batu karang tajam itu.
"Bagus sekali untuk umur satu tahunan," kata Singa Laut itu,
memuji kepandaian Kotick berenang. "Mungkin menurut pandanganmu kejadian itu sangat menyeramkan. Tetapi bangsamu datang
kemari tahun demi tahun, tentu saja para manusia itu jadi tahu.
Kalau kau tidak mencari tempat lain, kau akan selalu dibantai."
"Apa pulau seperti itu ada?" tanya Kotick.
"Aku sudah mengikuti ikan-ikan pecak selama dua puluh tahun.
Tetapi belum juga kutemukan. Tapi, tunggu"kau kelihatannya
suka sekali berbicara pada mereka yang lebih tahu darimu"mungkin lebih baik kau pergi ke Pulau Walrus, dan bicaralah dengan
Vitch, si Walrus. Mungkin ia tahu sesuatu. Jangan terlalu banyak
bergerak. Kau harus berenang hampir sembilan kilometer. Kalau
aku jadi kamu, lebih baik aku beristirahat dulu, tidur, makhluk
kecil." Kotick merasa nasihat itu sangat baik, maka ia pun berenang
kembali ke pantainya, naik ke darat dan tidur selama setengah jam.
Tidurnya gelisah, seperti layaknya singa laut lain. Bangun tidur ia
langsung berenang menuju Pulau Walrus, sebuah pulau kecil,
rendah, penuh batu karang di sebelah timur laut Novastoshnah.
125 Pulau ini datarannya sempit, berbatu dan tempat bersarang burungburung camar. Ke sinilah kaum walrus bergerombol.
Ia merapat ke pantai, dekat si Vitch"seekor walrus Pasiik
Utara yang besar, buruk, gemuk, berlipat-lipat tubuhnya, leher
gendut, taring panjang, tak punya sopan santun kecuali kalau sedang tidur"seperti saat ini, dengan sirip belakangnya separuh di
bawah separuh di atas deburan ombak.
"Bangun!" teriak Kotick sekeras-kerasnya, sebab burung-burung
camar sangat ribut. "Hah" Ho! Hmph! Apa itu?" kata si Walrus Vitch. Dihantamnya
walrus yang ada di sebelahnya dengan gadingnya. Walrus yang ini
terbangun, menghantam sebelahnya juga"begitu seterusnya hingga semua terbangun dan melotot ke berbagai arah, kecuali arah
yang benar. "Hei, aku di sini!" teriak Kotick. Timbul-tenggelam di atas ombak nyaris mirip seekor siput.
"Ya ampun! Dikuliti kiranya aku!" teriak Vitch. Semua walrus
kini melihat pada Kotick, seperti kalau bapak-bapak tua mengantuk di sebuah pertemuan melihat munculnya seorang anak kecil.
Kotick tak ingin mendengar tentang kulit menguliti. Ia muak. Ia
berteriak, "Hei, adakah tempat singa laut bisa pergi dan tidak pernah dikunjungi manusia?"
"Pergi, cari sendiri," kata si Vitch, memejamkan matanya. "Pergi sana. Kami sedang sibuk!"
Kotick membuat loncatan lumba-lumba tinggi ke udara dan
berteriak sekuat-kuatnya, "Pemakan kerang! Pemakan kerang!" Ia
tahu si Vitch Walrus tak pernah menangkap ikan sepanjang hidupnya. Yang dimakannya hanya kerang dan rumput laut, walaupun
ia selalu berlagak gagak dan menyeramkan. Teriakan Kotick langsung disambut dan ditirukan oleh ribuan berbagai jenis burung"
126 chickies, gooverookie, epatka, burgomaster, kittiwake dan pufin"
yang selalu mencari kesempatan untuk berbuat kurang ajar.
Teriakan mereka begitu gegap gempita hingga suara meriam pun
tak bisa mengalahkan suara-suara itu. Agaknya seluruh makhluk
hidup di situ berteriak, "Pemakan kerang! Stareek (orang tua)!"
Ini membuat si Vitch Walrus berguling-guling gusar, terbatuk-batuk, mendengus-dengus.
"Nah. Kamu mau bilang tidak?" tanya Kotick kehabisan napas.
"Pergi ke Lembu Laut," kata Vitch. "Kalau ia masih hidup,
pasti ia bisa mengatakannya padamu."
"Bagaimana aku bisa mengenalinya?" tanya Kotick berenang
menyingkir. "Dia satu-satunya makhluk laut yang lebih buruk daripada Vitch
Walrus," jerit seekor camar burgomaster, terbang berputar di bawah hidung Vitch. "Lebih buruk, lebih kurang ajar! Stareek!"
Kotick berenang kembali ke Novastoshnah, meninggalkan para
camar yang terus menjerit-jerit itu. Di Novastoshnah tak ada yang
menyetujui usulannya untuk mencari tempat yang lebih tenang
bagi para singa laut. Mereka berkata bahwa memang manusia selalu menggiring pergi para holluschickie"itu memang nasib mereka.
Kalau ia tak suka melihat kejadian buruk di tempat pembantaian,
ya jangan ke sana. Tetapi tak ada di antara para singa laut itu
yang pernah melihat pembantaian itu. Itulah beda antara Kotick
dan teman-teman sebangsanya. Lagi pula, Kotick singa laut putih.
"Yang harus kaulakukan," kata si tua Katchee setelah mendengar kisah perjalanan anaknya, "adalah tumbuh besar, menjadi singa laut besar seperti ayahmu. Buatlah tempat keluargamu sendiri
di pantai. Tak akan ada yang mengganggumu. Dalam waktu lima
127 tahun kau bisa berkelahi untuk mempertahankan daerahmu." Bahkan Matkah, ibunya yang lembut itu, berkata, "Kau takkan bisa
menghentikan pembantaian itu. Pergilah bermain di laut, Kotick."
Kotick pun pergi, menarikan Tari Api, tetapi dengan hati yang
sangat berat. Musim gugur berikutnya, ia meninggalkan pantainya sesegera
ia bisa. Ia berenang sendirian, karena di kepalanya ada rencana
yang harus dikerjakannya. Ia akan mencari si Lembu Laut, kalau
tokoh itu memang ada, dan ia akan mencari pantai dengan tanah
yang keras di pulau sepi yang tak bisa dijangkau manusia untuk
didiaminya. Sendirian ia melakukan penyelidikan, menyusuri Pasiik Utara sampai Pasiik Selatan, berenang sekitar empat ratus
kilometer sehari dan semalam. Banyak pengalaman dialaminya.
Terlalu banyak untuk diceritakan. Beberapa kali ia nyaris tertangkap oleh Hiu Penjemur, Hiu Belang, dan Kepala Palu. Ia bertemu
dengan berbagai penjahat laut yang tak bisa dipercaya, yang begitu banyak berkeliaran. Ia juga bertemu dengan ikan yang luar
biasa sopannya. Dan kerang-kerang berbintik-bintik merah yang
menetap di satu tempat selama ratusan tahun dan bangga akan
tempatnya itu. Tetapi ia tak pernah menemukan Lembu Laut. Ia
tak pernah menemukan pulau yang diimpikannya.
Jika ditemukannya pantai yang bagus dan keras, dengan dataran
di belakangnya untuk tempat singa laut bermain, selalu muncul
asap kapal-kapal pemburu paus di cakrawala, memasak lemak
paus, dan Kotick tahu apa itu artinya. Atau mungkin juga ia melihat tanda-tanda singa laut pernah berkunjung ke situ dan dibantai.
Kotick tahu jika manusia pernah datang ke suatu tempat, mereka
akan datang lagi nanti. Ia bersahabat dengan seekor burung albatros berekor pendek
yang bercerita bahwa Pulau Kerguelen sangat sepi dan damai.
128 Tetapi ketika Kotick pergi ke tempat itu, dilihatnya pulau itu telah
berantakan menjadi tebing-tebing curam hitam oleh hantaman petir
dan halilintar. Ia memaksa mendekat dan melihat di tempat itu
dahulu mungkin ada permukiman singa laut. Tetapi tidak lagi.
Begitu juga ditemuinya di beberapa pulau lain yang dikunjunginya.
Burung limmershin yang menceritakan ini semua mengatakan
bahwa banyak sekali pulau yang dikunjungi Kotick. Lima musim
dihabiskannya untuk berkelana, hanya beristirahat empat bulan
setiap tahunnya di Novastoshnah. Setiap kali ia "pulang", para
holluschickie menggodanya, menertawakannya tentang pulau yang
diimpikannya itu. Ia pergi ke Gallapagos, sebuah tempat kering dan mengerikan
di Khatulistiwa. Ia hampir terpanggang di sana. Ia pergi ke kepulauan Georgia, Orkney, Emerald, pulau Nightingale Kecil, pulau
Gough, pulau Bouvet, kepulauan Crossets dan bahkan ke sebuah
pulau kecil dekat Tanjung Pengharapan. Tetapi di mana-mana Penduduk Lautan mengatakan hal yang sama. Singa laut pernah berkunjung ke pulau-pulau itu tetapi kemudian manusia datang membunuh mereka. Bahkan saat ia berenang ribuan kilometer
meninggalkan Pasiik ke suatu tempat bernama Tanjung Corrientes
(ini dalam perjalanan pulang dari Gough) ia menemukan beberapa
ratus singa laut kudisan di atas batu karang. Mereka bilang manusia telah datang juga ke tempat itu.
Ia hampir putus asa. Diputarinya semenanjung Horn untuk kembali ke pantainya. Dalam perjalanannya ke utara ia singgah di sebuah pulau yang penuh pohon hijau. Di situ ia menemukan seekor
singa laut tua yang sedang menunggu kematiannya. Kotick menangkapkan ikan untuk singa laut tua itu dan menceritakan persoalan yang dihadapinya. "Sekarang aku tak peduli," kata Kotick
129 kemudian. "Aku akan kembali ke Novastoshnah. Dan kalau nanti
aku digiring ke tempat pembantaian bersama holluschickie lainnya,
aku tak peduli lagi."
Si tua itu berkata, "Cobalah sekali lagi. Aku adalah yang terakhir dari Kelompok Rookery dari Masafuera yang dikabarkan
sudah punah. Dahulu, saat manusia mulai membunuhi singa-singa
laut dalam jumlah ratusan ribu, tersiar berita bahwa suatu hari
akan muncul singa laut putih dari Utara yang akan memimpin
bangsanya ke sebuah tempat yang tenang dan damai. Aku sudah
tua. Aku sudah tak hidup lagi untuk menyaksikan hal itu. Tapi
yang lain akan menyaksikannya. Cobalah sekali lagi."
Kotick melengkungkan kumisnya (kumisnya itu sungguh indah)
dan berkata, "Aku adalah satu-satunya singa laut putih yang lahir
di pantai ini. Dan aku satu-satunya singa laut, hitam ataupun
putih, yang pernah memikirkan untuk mencari pulau-pulau baru
itu." Hatinya bersemangat kembali. Ketika ia kembali ke
Novastoshnah musim panas itu, Matkah, ibunya, memintanya untuk segera kawin dan memangun keluarga sendiri, sebab ia sudah
bukan holluschick lagi"ia sudah menjelma menjadi sionga laut
yang seberat, sebesar, seseram ayahnya, dengan rambut putih keriting di punggungnya. "Satu musim lagi," jawab Kotick. "Ingat,
Bunda, ombak ketujuh yang paling jauh masuk ke pantai."
Aneh juga. Di kelompok itu ada seekor singa laut betina yang
juga menunda mencari pasangan kawin sampai tahun depan.
Kotick menari Tari Api dengannya di pantai Lukannon malam
sebelum ia berangkat untuk penyelidikan terakhirnya. Kali ini
Kotick berenang ke arah barat, sebab ia mengikuti jalur segerombolan besar ikan pecak"dan ia memerlukan paling tidak lima
puluh kilogram ikan setiap hari untuk menjaga kesehatannya. Ia
130 mengejar ikan-ikan itu sampai ia kelelahan. Kemudian ia tidur
melingkar di lubang-lubang di gundukan tanah di lepas pantai Pulau Copper. Ia tahu daerah itu dengan baik, maka, menjelang tengah malam, saat tiba-tiba tubuhnya serasa dibentur oleh segumpal
rumput laut, ia berpikir, "Pasang cepat sekali naik malam ini." Ia
memutar tubuh di bawah air, sementara ia membuka matanya pelahan dan meregangkan tubuh. Dan" ia terloncat bagaikan seekor
kucing, terkejut. Dilihatnya sesuatu yang sangat besar sedang
mengendus-endus di air yang dangkal, memakan pinggiran keras
rumput-rumput itu. "Demi gulungan ombak Magellan!" ia berseru di bawah kumisnya. "Makhluk laut dalam apa mereka ini?"
Makhluk-makhluk itu"sama sekali tidak seperti walrus, singa
laut, anjing laut, beruang, paus, hiu, ikan, cumi-cumi, kerang atau
apa pun yang pernah dilihat Kotick. Panjangnya sekitar enam sampai sepuluh meter, tak punya sirip belakang tetapi punya ekor
mirip sekop seolah-olah diserut dari kulit basah. Kepala mereka
bentuknya sangat tolol, mereka menyeimbangkan diri dengn ekor
berada di kedalaman air. Jika tidak sedang makan, mereka saling
mengangguk dengan khidmat, menggerakkan sirip depan bagaikan
seorang orang gemuk melambaikan tangan.
"Ahem," kata Kotick. "Apa kabar, tuan-tuan?"
Makhluk-makhluk besar itu menjawab dengan membungkukbungkuk dan melambaikan sirip mereka seperti Kodok Si Penjaga
Pintu. Saat mereka mulai makan lagi, Kotick melihat bahwa bibir
atas mereka terbelah dua, bisa terbelah hingga selebar sekitar tiga
puluh sentimeter, kemudian menutup kembali setelah dimasuki
segumpal besar rumput laut. Mereka memasukkan itu ke dalam
mulut dan mengunyah dengan tenang.
"Sungguh cara makan yang merepotkan," kata Kotick. Makh131
luk-makhluk itu membungkuk lagi. Kotick jadi hilang sabarnya.
"Baguslah," katanya. "Kalau kalian punya sendi tambahan di sirip
depan kalian, tak usah dipamerkan begitu. Aku melihat kalian
membungkuk. Tapi aku ingin tahu nama kalian." Bibir terbelah
itu bergerak dan mengernyit. Mata kehijauan menatapnya. Tetapi
mereka tidak berbicara. "Wah!" kata Kotick. "Hanya kalian lah makhluk yang pernah
kutemukan, yang lebih buruk daripada Vitch si Walrus, dan lebih
kurang ajar!" Saat itu ia tiba-tiba teringat akan jeritan burung camar burgomaster padanya, waktu ia baru umur setahun, di Pulau Walrus. Ia
terkejut sampai roboh ke belakang. Ia telah menemukan Lembu
Laut! Para lembu laut itu tenang saja melahap, mengunyah, memakan
rumput laut. Kotick mencoba bertanya dalam berbagai bahasa


The Jungle Book Karya Rudyard Kipling di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang telah dipelajarinya selama petualangannya"para penduduk
laut memang bahasanya sebanyak bahasa manusia. Tetapi lembulembu laut itu tidak menjawab. Lembu Laut memang tak bisa
berbicara. Ia hanya mempunyai enam tulang di lehernya, yang
semestinya ada tujuh. Dan kata orang, di bawah permukaan laut
ini mencegahnya untuk berbicara. Bahkan pada sesama lembu
laut. Tetapi seperti telah kita ketahui, ia memiliki sendi tambahan
di sirip depannya. Ini yang digunakan, dengan menggerakkannya
ke atas dan ke bawah, untuk "berbicara", dengan bahasa isyarat.
Ketika pagi tiba, rambut di punggung Kotick berdiri kaku,
damn kesabarannya habis tuntas. Para Lembu Laut itu bergerak
ke arah utara dengan sangat lambat, setiap saat berhenti untuk
saling membungkuk dan agaknya berunding. Kotick yang mengikuti mereka berpikir, "Makhluk yang bodohnya seperti ini pastilah sudah habis punah terbunuh sejak lama jika mereka tidak
132 menemukan tempat tinggal yang sangat aman. Apa yang cukup
baik bagi Lembu Laut pastilah cukup baik untuk Singa Laut. Hanya saja, kuharap mereka bergerak lebih cepat."
Sungguh perjalanan menyebalkan bagi Kotick. Gerombolan itu
tak pernah bergerak dengan kecepatan lebih dari enam puluh atau
tujuh puluh lima kilometer sehari. Mereka juga selalu berhenti di
malam hari, dan tak pernah bergerak jauh dari pantai. Kotick bisa
berenang memutari mereka, di atas mereka, di bawah mereka.
Tapi ia tak bisa mempercepat mereka lebih dari satu kilometer.
Makin ke utara, mereka makin sering berhenti. Setiap beberapa
jam mereka berhenti dan saling membungkuk. Kotick begitu gemas, hampir saja ia menggigit kumisnya sendiri karena kesalnya
sampai kemudian ia sadar bahwa makhluk-makhluk itu selama ini
mengikuti suatu arus air hangat. Ini membuatnya menaruh sedikit
hormat pada mereka. Suatu malam makhluk-makhluk itu membenamkan diri di air
yang berkilauan"membenamkan diri bagaikan batu-batu berat"
dan untuk pertama kali sejak menemui mereka, Kotick melihat
mereka berenang cepat. Kotick mengikuti mereka, ia heran melihat
kecepatan mereka. Tak pernah ia menduga para Lembu Laut itu
bisa berenang. Mereka bergerak menuju sebuah tebing tinggi di
pantai"tebing tinggi terjal yang kakinya jauh tenggelam di air.
Semua kemudian menyelam ke dasar laut, ke kaki tebing tadi,
sekitar empatpuluh meter dari permukaan. Sungguh perjalanan
yang terasa panjang, dan Kotick hampir kehabisan napas ketika
tiba-tiba ia muncul ke luar dari terowongan gelap yang dilalui
oleh rombongan Lembu Laut itu.
"Ya ampun!" ia berseru, saat muncul di permukaan terengahengah dan menyembur-nyembur di atas ujung terowongan itu.
"Sungguh penyelaman panjang, tetapi sangat bermanfaat!"
133 Dilihatnya para Lembu Laut itu telah berpencaran, dengan malas merumput di sepanjang pantai terindah yang pernah dilihat
Kotick. Ada pantai berbatu licin yang memanjang sampai berkilokilometer, tepat untuk menumbuhkan anak-anak singa laut. Dan
agak ke pedalaman ada bidang-bidang tanah berpasir melandai ke
pedalaman cocok untuk tempat bermain. Ada gulungan ombak
untuk tempat menari, rumput tinggi untuk berguling-guling, serta
bukit-bukit pasir jika ingin berlari naik-turun. Yang paling utama,
Kotick bisa merasakannya dari airnya, sesuatu perasaan yang tak
pernah keliru dari seekor singa laut yang berpengalaman, tempat
itu belum pernah dikunjungi manusia.
Yang pertama harus diyakinkannya adalah bahwa tempat itu cukup menyediakan ikan. Kemudian ia berenang di sepanjang pantainya, menghitung dengan gembira pulau-pulau pasir renda yang setengah tersembunyi dalam kabut yang bergulung-gulung datang.
Jauh ke arah utara, ke arah laut, berbaris gosong-gosong pasir, pulau karang rendah, beting yang akan menghalangi kapal apa pun
mendekati pantai lebih dari sepuluh kilometer. Di antara pulau-pulau itu dan daratan memanjang lautan dalam, berakhir pada tebing
terjal tadi yang didasarnya ada mulut terowongan untuk masuk.
"Ini seperti Novastoshnah, tetapi sepuluh kali lebih baik!" pikir
Kotick. "Kaum Lembu Laut ini agaknya lebih cerdas daripada
yang kukira. Manusia takkan bisa menuruni tebing itu, kalau pun
mereka datang kemari. Pulau karang, beting dan gosong pasir
menghalangi kapal masuk. Kalau ada tempat yang aman di laut,
inilah tempatnya." Ia mulai memikirkan bangsanya yang ditinggalkannya. Walaupun ia ingin segera kembali ke Novastoshnah, ia menyempatkan
diri memeriksa dengan saksama daerah baru ini, agar nanti ia bisa
menjawab semua pertanyaan.
134 Kemudian ia menyelam, memastikan tempat mulut terowongan
tadi, baru ia berenang secepat mungkin ke arah selatan. Tak suatu
makhluk pun, kecuali lembu laut dan singa laut, akan memimpikan
tempat seperti itu ada. Bahkan Kotick saat berhenti sebentar dan
menengok ke belakang ia hanya melihat tebing terjal tinggi itu. Ia
hampir tak percaya bahwa ia telah menerobos masuk lewat bawahnya.
Enam hari diperlukannya untuk terus menerus berenang pulang.
Itu pun bukan berenang perlahan. Ketika ia akhirnya naik ke darat
di Semenanjung Singa Laut, yang pertama menemukannya adalah
singa laut betina yang telah menantikannya. Singa laut betina itu
melihat dari sinar mata Kotick bahwa ia akhirnya menemukan
pulau impiannya. Tetapi para holluschickie dan semua singa laut, termasuk si
Katchee, ayahnya sendiri, menertawakannya ketika ia bercerita
tentang penemuannya. Seekor singa laut seumurnya berkata, "Ceritamu memang bagus, Kotick. Tetapi kau tak bisa begitu saja
menyuruh kita meninggalkan tempat ini. Ingat, kami semua sudah
berjuang mati-matian mempertahankannya, sementara kau sama
sekali tidak pernah berkelahi berebut lahan di sini. Selama ini kau
malah lebih memilih menjelajah lautan tanpa tujuan."
Singa-singa laut lain tertawa. Singa laut muda itu mulai menggerakkan kepalanya ke kiri ke kanan. Ia baru saja kawin tahun itu
dan sangat bangga karenanya.
"Aku tak punya lahan pertumbuhan yang bisa kupertahankan
dengan berkelahi," kata Kotick. "Aku hanya ingin menunjukkan
pada kalian sebuah tempat di mana semua akan merasa aman.
Untuk apa berkelahi?"
"Oh, kalau kau ingin mundur, yah, terserahlah," kata singa laut
muda itu, tertawa mengejek.
135 "Kalau aku mengalahkanmu, maukah kau ikut denganku?"
tanya Kotick. Sinar hijau memancar dari matanya, ia sangat marah
karena ternyata ia harus berkelahi.
"Bagus sekali," kata singa laut muda itu sembarangan. "Kalau
kau menang, aku ikut."
Ia tak bisa mengubah keputusannya itu. Sebelum ia menutup
mulutnya, kepala Kotick telah melesat maju menanamkan giginya
di leher si singa laut muda. Ia kemudian berputar membalik, menyeret lawannya ke pantai, mengguncangkannya dan membuatnya
pingsan. Kotick meraung pada singa-singa laut lainnya. "Aku telah
berusaha keras, lima musim ini. Aku telah menemukan pulau di
mana kalian akan aman. Tetapi agaknya kalau kepala kalian tidak
diseret dari leher kalian yang bodoh itu, kalian tak akan percaya.
Aku akan menghajar kalian sekarang! Bersiaplah!"
Menurut limmershin"burung yang menceritakan peristiwa
ini"belum pernah ia melihat perkelahian sehebat yang dilakukan
Kotick seperti saat ia "menghajar" kaumnya. Dan limmershin sudah melihat pertempuran singa laut puluhan ribu kali setiap tahunnya! Ia menerjang singa laut terbesar yang dilihatnya, mencengkeram lehernya, mencekiknya, membantingnya, membenturkannya
ke batu sampai singa laut jantan itu menjerit minta ampun. Ia
dilemparkan ke samping dan Kotick menyerang lawan berikutnya.
Kotick tidak pernah berpuasa empat bulan setahun seperti yang
dilakukan singa-singa laut besar lainnya. Perjalanan-penjelajahannya membuat otot-otot di tubuhnya kuat dan siap untuk bertempur.
Lebih dari itu ia tak pernah berkelahi, semua kemarahannya dicurahkannya di sini. Rambut putih di punggungnya berdiri murka,
gigi putihnya berkilauan, sungguh gagah dilihat. Si tua Katchee,
ayahnya, melihatnya berkelibat di dekatnya, menyeret singa-singa
laut tua seolah mereka hanyalah ikan-ikan pecak besar, mengham136
burkan singa-singa laut muda ke segala arah. Katchee tua berseru
mengaum, "Mungkin saja ia tolol, tetapi ia petarung terhebat di
pantai ini! Jangan serang ayahmu, anakku! Aku bersamamu!"
Kotick meraung sebagai jawaban. Si Tua Katchee maju dengan
kumis tegak dan dengusan seperti lokomotif. Matkah dan singa
laut betrina pengagum Kotick, mundur untuk mengagumi kedua
jantan mereka itu beradu. Sebuah pertarungan dahsyat, sebab tak
ada yang mau mengalah. Dan akhirnya tanpa ada yang tunduk
mereka berdua berjalan gagah berdua berdampingan di pantai,
mengaum-aum. Malamnya, saat Cahaya Langit Utara berkerdip dan menyorot
menembus kabut, Kotick naik ke sebuah batu karang, melihat berkeliling pada singa-singa laut yang masih bergelimpangan berdarah-darah. "Aku sudah memberi kalian pelajaran," katanya.
"Ya ampun!" keluh si tua Katchee, mencoba tegak, tubuhnya
penuh luka-luka. "Paus pembunuh saja tak akan bisa menghancurkan mereka seperti itu. Anakku, aku bangga padamu. Dan lebih
penting lagi, aku akan pergi ke pulaumu"kalau tempat seperti itu
memang ada." "Dengarkan aku, hai babi-babi gemuk lautan!" teriak Kotick.
"Siapa yang akan ikut aku ke Terowongan Lembu Laut" Jawab,
kalau tidak kuhajar lagi kalian!"
Terdengar gumaman naik-turun dari seluruh singa laut itu, seperti gemuruh debur ombak di pantai. "Kami ikut!" ribuan suara
berseru. "Kami akan ikut Kotick, si Singa Laut Putih."
Kotick menaruh kepalanya di antara bahunya, dan menutup
mata dengan bangga. Ia bukan singa laut putih lagi. Tubuhnya
merah kena darah dari ujung kepala hingga ke ekor. Tetapi ia tak
ingin mengeluh, atau melihat atau menyentuh luka-lukanya.
Seminggu kemudian Kotick dan pasukannya (hampir sepuluh
137 ribu holluschickie dan singa laut tua) berangkat ke utara, ke terowongan Lembu Laut. Kotick memimpin mereka. Para singa laut
yang tinggal di Novastoshnah menganggap semua yang berangkat
itu tolol. Tetapi musim semi setelah itu, ketika semua bertemu di
daerah perburuan di Pasiik, singa"singa laut pengikut Kotick men"
ceritakan betapa indahnya pantai-pantai baru di seberang terowongan Lembu Laut. Makin lama makin banyak singa laut yang pindah, walaupun memakan waktu lama karena singa laut tidak
terlalu cerdas. Mereka memerlukan waktu banyak untuk berpikirpikir. Tapi tahun demi tahun makin banyak singa laut yang meninggalkan Novastoshnah, juga pemukiman lainnya, ke pantai-pantai sepi dan terlindung tempat sepanjang musim panas Kotick
duduk, menjadi makin besar, makin gemuk dan makin kuat. Ia
duduk dengan bangga sementara para holuschickie bermain-main
di sekelilingnya, di laut yang tak pernah dikunjungi manusia.
138 LUKANNON Ini adalah lagu agung laut dalam yang dinyanyikan semua
singa laut St. Paul saat mereka berenang kembali ke pantai
permukiman mereka di musim panas. Lagu ini bagaikan
"lagu kebangsaan singa laut" yang sedih.
Kubertemu kawan-kawan di pagi hari (dan oh, tuanya aku!)
Saat ombak musim panas menggempur ribut pantai
berbatu Kudengar mereka menyanyi bersama meredam debur
ombak Pantai-pantai Lukannon"dua juta suara bersorak
Nyanyian pangkalan nyaman di pantai danau laut
bergaram 139 Nyanyian pasukan mendengus menuruni bukit pasir
Nyanyian tari yang membakar laut di tengah malam
Pantai-pantai Lukannon"sebelum pemburu kulit menyisir
Kubertemu kawan-kawan di pagi hari (aku takkan bertemu
lagi!) Mereka datang dan pergi memenuhi semua pantai
Di atas gelora buih putih, sejauh terdengar suara nyanyi
kami Menyambut pasukan pendarat kami nyanyikan beramairamai
Pantai-pantai Lukannon"gandum musim dinginnya tumbuh
tinggi Lumut-lumut berkerut didekap kabut laut meneteskan air
Panggung kami bermain, kami membuatnya halus berseri
Pantai-pantai Lukannon"tempat kami lahir!
Kubertemu kawan-kawan di pagi hari, kacau, berantakan
Manusia menembak kami di laut, memukul kami di darat
Manusia menggiring kami ke Rumah Garam bagai domba
peliharaan Tetap saja kami nyanyikan Lukannon saat pemburu
merapat Putar kemudi ke selatan, oh, Gooverooska, cepat pergi
Beritakan pada penguasa lautan cerita sedih kami
Sekosong telur hiu dilempar badai ke pantai
Pantai"pantai Lukannon tak lagi berpenghuni.
140 Rikki-tikki-tavi Di lubang yang dimasukinya
Mata Merah memanggil Kulit Keriput
Dengarkan si kecil Mata Merah berkata,
"Nag, ke luarlah dan menarilah dengan maut!"
Mata ke mata, kepala ke kepala
(Jaga ukurannya, Nag.) Ini berakhir, kalau satu tak bernyawa
(Sesuka hatimu, Nag.) Saling sambar, saling memagut
(Lari dan sembunyilah, Nag.)
Hah, serangan si maut-berkerudung luput!
INI adalah cerita pertarungan antara Rikki-tikki-tavi, seekor garangan, sendirian di kamar mandi bungalo besar di distrik
141 Segowlee. Darzee, si burung penjahit, membantunya. Chuchundra,
si tikus kesturi, yang tak pernah ke luar ke tengah lantai, hanya
merayap di dinding, memberinya petunjuk. Tetapi Rikki-tikki sendiri yang melakukan pertarungan itu.
Rikki-tikki-tavi seekor garangan"bentuknya mirip kucing dalam hal bulu dan ekornya, tetapi mirip musang dalam hal kepala
dan kebiasaannya. Mata dan ujung hidungnya yang tak pernah
diam berwarna merah muda. Ia bisa menggaruk bagian tubuhnya
yang mana saja dengan kaki yang mana saja. Ia bisa menegakkan
bulu ekornya hingga menjadi mirip sikat pembersih botol, dan
pekik peperangannya saat berlari di antara rerumputan adalah,
"Rikk-tikk-tikki-tikki-tchak!"
Suatu hari banjir musim panas membawanya hanyut dari lubang
tempat ia tinggal bersama ayah-ibunya. Banjir tersebut menghanyutkannya, menendang-nendang dan berontak, hingga masuk ke
selokan di pinggir jalan. Di sana didapatinya segumpal rumput
mengambang. Ia berpegangan terus pada rumput itu hingga akhirnya ia pingsan. Ketika ia sadar, ia terbaring di tengah jalan setapak kebun, di terik matahari, dalam keadaan sangat parah. Didengarnya seorang anak kecil berkata, "Ini ada garangan mati. Mari
kita kuburkan." "Jangan," kata ibu anak itu. "Mari kita bawa masuk dan keringkan. Mungkin ia belum mati."
Mereka membawanya masuk ke rumah. Seorang lelaki besar
mengangkatnya dengan menjepitnya memakai ibu jari dan telunjuk. Ia berkata garangan itu belum mati hanya setengah tercekik
tak bisa bernapas. Mereka membungkusnya dengan kain katun,
menghangatkannya di api kecil. Akhirnya garangan itu membuka
mata dan bersin. "Nah," kata lelaki besar itu (ia orang Inggris yang baru saja
142 pindah ke bungalo tersebut) "jangan membuat dia takut. Kita lihat
apa yang akan dikerjakannya."
Sungguh sangat sulit untuk membuat garangan ketakutan, sebab
dirinya sangat dipenuhi rasa ingin tahu, dari ujung hidung sampai
ujung ekornya. Semboyan keluarga garangan adalah "Lari dan cari
tahu." Dan Rikki-takki adalah garangan sejati. Ia memeriksa kain
penyelimut dirinya. Dipastikannya benda itu tak enak dimakan. Ia
pun lari berkeliling di atas meja. Duduk sebentar, mengatur bulunya. Menggaruk tubuhnya di sana-sini. Lalu ia meloncat ke bahu
si anak lelaki kecil. "Jangan takut, Teddy," kata sang ayah. "Itu caranya berteman."
"Ouch. Ia menggelitik daguku," kata Teddy.
Rikki-tikki mengintip ke bawah, di antara leher kemeja dan
kemeja Teddy. Dicium-ciumnya telinga anak itu kemudian ia turun
ke lantai, di mana ia duduk menggosok-gosok hidungnya.
"Ya ampun," kata ibu Teddy. "Dan itu hewan liar" Mungkin ia
jinak karena kita baik padanya."
"Semua garangan seperti itu," kata suaminya. "Kalau saja
Teddy tidak mengambilnya dari tanah, atau mencoba menaruhnya
di kurungan, ia akan berlarian keluar-masuk rumah sepanjang hari.
Ayo kita beri dia makan."
Mereka memberinya sepotong kecil daging mentah. Rikki-tikki


The Jungle Book Karya Rudyard Kipling di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sangat menyukainya. Selesai makan ia pergi ke beranda, berjemur
diri di sinar matahari, membuat bulu-bulunya kering hingga ke
akar-akarnya. Ini membuatnya merasa nyaman.
"Banyak hal yang bisa kudapatkan di rumah ini," pikirnya.
"Jauh lebih banyak yang bisa didapatkan keluargaku sepanjang
hidup mereka. Aku akan tinggal di sini dan menikmatinya."
Hari itu sepanjang hari digunakannya untuk blusukan ke segala
143 penjuru rumah. Ia hampir tenggelam di bak mandi. Hidungnya
dimasukkannya ke dalam botol tinta di meja tulis. Dan hampir
terbakar sewaktu ia menciumi ujung cerutu si orang besar, saat ia
naik ke pangkuan orang itu untuk melihat menulis itu seperti apa.
Ketika malam tiba ia berlari ke kamar Teddy untuk melihat bagaimana lampu-lampu minyak dinyalakan. Ketika Teddy naik ke
tempat tidur, Rikki-tikki ikut naik juga. Tetapi ia teman tidur yang
sangat gelisah. Setiap ada suara ia bangun dan menyelidiknya,
sepanjang malam. Ayah dan ibu Teddy datang menengok anak
mereka, dan mendapatkan Rikki-tikki duduk di bantalnya, masih
bangun. "Aku tak suka itu," kata ibu Teddy. "Jangan-jangan ia menggigit telinga Teddy."
"Tak mungkin," kata ayah Teddy. "Teddy aman dengan hewan
kecil itu, lebih aman daripada dijaga oleh anjing penjaga. Kalau
ada ular masuk kemari?"
Ibu Teddy tak ingin membicarakan hal yang begitu mengerikan.
Pagi harinya, Rikki-tikki mendatangi tempat sarapan di beranda,
bertengger di bahu Teddy. Mereka memberinya pisang dan telur
rebus. Ia duduk di pangkuan mereka bergantian, sebab seekor garangan yang terdidik selaku berharap suatu saat akan menjadi
penghuni tetap sebuah rumah, memiliki berbagai kamar untuk berlarian. Ibu Rikki-tikki (ia pernah tinggal di rumah jenderal di
Segowlee) telah dengan hati-hati mengajari Rikki-tikki apa yang
harus dilakukannya jika bertemu dengan orang kulit putih.
Sehabis sarapan Rikki-tikki pergi ke kebun untuk melihat-lihat.
Kebun itu sangat luas dan baru separuh dirawat. Di situ ada semak-semak sebesar rumah musim panas, ada mawar Marshal Niel,
ada pohon limau dan jeruk, beberapa rumpun bambu dan sekum144
pulan rumput tinggi. Rikki-tikki menjilat bibirnya. "Ini padang
perburuan yang indah," katanya. Ekornya menggelembung seperti
sikar botol memikirkan hal itu. Ia pun berlarian di kebun, mencium sana mencium sini sampai ia mendengar suara menyedihkan
di semak-semak berduri. Ternyata itu suara Darzee, burung penjahit, dan istrinya. Mereka
telah membuat sarang yang indah sekali"menggabungkan dua
lembar daun besar dan menjahit pinggirnya dengan serat-serat
kayu, kemudian diisi dengan kapas dan bulu burung muda. Sarang
itu bergoyang-goyang saat mereka berdua duduk di pinggirnya dan
menangis. "Ada apa?" tanya Rikki-tikki.
"Kami sedang sangat sedih," kata Darzee. "Salah seekor bayi
kami jatuh dari sarang kemarin. Dan Nag memakannya."
"Hm, sungguh menyedihkan," kata Rikki-tikki. "Tapi aku baru
di sini"siapakah Nag itu?"
Darzee dan istrinya hanya mundur, gemetar ketakutan, ke dalam
sarangnya tanpa menjawab karena dari arah rerumputan tebal di
pangkal semak-semak itu terdengar suara mendesis"desisan dingin dan seram yang membuat Rikki-tikki terkejut dan terlompat
tinggi mundur hingga hampir satu meter. Sedikit demi sedikit dari
balik rerumputan muncul kepala bertudung dari Nag, si ular kobra
hitam. Panjang badannya, dari ujung lidah hingga ujung ekor satu
setengah meter. Ia menegakkan sepertiga tubuhnya, bergoyang-goyang seperti batang bunga dandelion tertiup angin. Ia menatap
Rikki-tikki dengan mata ularnya yang keji, yang tak pernah menunjukkan perasaan hatinya, tak menunjukkan apa yang sedang
dipikirkannya. "Siapakah Nag?" ia berkata, mengulangi kata-kata Rikki-tikki.
"Akulah Nag. Dewa Brahma yang agung telah memberi tanda
145 pada semua bangsa kami, karena adalah kobra yang pertama memekarkan kerudungnya untuk melindungi tidur sang dewa dari
sinar matahari. Lihatlah, dan takutlah."
Ia mengembangkan tudung kepalanya. Rikki-tikki bisa melihat
tanda seperti kacamata di balik tudung itu persis seperti lubang
dan kait kancing. Untuk sesaat ia memang takut. Tetapi rasanya
tidak mungkin seekor garangan bisa merasa takut terlalu lama.
Rikki-tikki belum pernah berhadapan dengan kobra hidup, tetapi
ibunya sering memberinya makan kobra mati. Ia juga diajari bahwa tugas utama kehidupan garangan dewasa adalah bertarung dengan dan makan ular. Nag juga tahu hal itu. Sesungguhnya di
dalam lubuk hatinya yang dingin ia merasa takut.
"Hah," kata Rikki-takki, ekornya mulai mengembang lagi. "Dengan atau tanpa tanda, apakah kau pikir pantas memakan bayi
burung yang jatuh dari sarangnya?"
Nag sedang berpikir-pikir, dan ia melihat gerakan yang sangat
halus di rerumputan di belakang Rikki-takki. Ia tahu, adanya garangan di kebun berarti lambat laun ada kematian di keluarganya.
Ia ingin Rikki-takki mengurangi kewaspadaannya. Nag menurunkan kepalanya sedikit, menaruhnya di sisinya.
"Mari kita bicara," katanya. "Kau makan telur. Kenapa aku tidak boleh makan burung?"
"Di belakangmu! Lihat ke belakang!" teriak Darzee.
Rikki-tikki tahu tak guna buang waktu untuk berpaling. Ia melompat setinggi mungkin, tepat saat di bawahnya berdesis sambaran Nagaina, istri Nag yang jahat. Nagaina diam-diam telah merayap ke belakangnya saat ia berbicara tadi, untuk menamatkan
riwayat garangan ini. Rikki-tikki bisa mendengar desisan marahnya
saat serangan pertama tadi gagal. Sementara itu ia menjatuhkan
diri tepat di atas punggung kobra betina itu. Kalau saja ia sudah
146 berpengalaman, ia pasti bisa langsung menggigit punggung kobra
itu hingga putus. Tetapi sekejap ia merasa takut akan sambaran
ekor si kobra. Ia memang sempat menggigit, tetapi tidak cukup
lama. Ia telah melompat tinggi lagi, meninggalkan Nagaina robek
punggungnya dan marah. "Jahat, Darzee jahat!" kata Nag, kepalanya melesat setinggi
mungkin ke arah sarang Darzee di semak duri. Tetapi Darzee telah
membuatnya cukup tinggi sehingga di luar jangkauan ular. Sarang
itu hanya bergoyang maju-mundur.
Rikki-tikki merasa matanya menjadi merah dan panas (kalau
mata garangan menjadi merah, itu artinya ia marah), ia duduk di
ekor dan kaki belakang seperti seekor kanguru kecil. Ia melihat
ke kiri-kanan mencereceh marah. Tetapi Nag dan Nagaina telah
hilang di rerumputan. Jika seekor ular tidak berhasil dalam serangan pertamanya, ia tidak mau bercerita atau memberi tanda apa
yang akan dilakukannya kemudian. Rikki-tikki tak ingin mengikuti
mereka, karena ia juga tidak merasa yakin apakah bisa melayani
dua ekor ular sekaligus. Maka ia berlari ke jalanan berbatu di dekat rumah, untuk merenung dan berpikir. Ini persoalan yang sangat berat baginya.
Di dalam, buku-buku pengetahuan alam, sering disebutkan bahwa bila garangan berkelahi dengan ular kemudian tergigit, biasanya garangan lari dan memakan beberapa tumbuh-tumbuhan untuk
mengobati lukanya. Ini tidak benar. Kemenangan dalam perkelahian semacam itu sangat ditentukan oleh kecepatan mata dan
kecepatan kaki"serangan mematuk ular lawan kecepatan melompat garangan"dan karena mata kita tidak bisa mengikuti kecepatan serangan kepala ular, semua ini membuat kejadiannya lebih
mengagumkan daripada khasiat obat ajaib. Rikki-tikki tahu ia masih muda. Ia jadi sangat bangga telah berhasil meloloskan diri dari
147 serangan gelap dari belakang. Ini memberinya rasa percaya diri.
Ketika kemudian dilihatnya Teddy berlari mendatangi, Rikki-tikki
sudah siap untuk dibelai.
Tetapi ketika Teddy membungkuk untuk mengambilnya, sesuatyu bergerak di bawah debu. Dan sebuah suara kecil terdengar,
"Hati-hati. Aku adalah Maut." Ternyata itu Karait, ular kecil berwarna cokelat yang selalu berbaring di tanah berdebu menunggu
mangsanya. Kecil, tetapi gigitannya sama bahayanya dengan gigitan kobra. Karena kecilnya, orang tak banyak memperhatikannya,
hingga ia lebih banyak menimbulkan korban.
Mata Rikki-tikki memerah lagi. Ia maju ke depan Karait, berdiri dan bergerak-gerak dengan gaya gerakannya yang aneh, ke kiri
ke kanan, seperti yang diwariskan oleh keluarganya. Tampaknya
lucu, tetapi setiap gerakannya itu seolah diperhitungkan untuk
selalu seimbang saat ia menyerang dari sudut mana pun. Cara ini
sangat menguntungkan bila menghadapi ular. Kalau saja Rikkitikki berpengalaman, ia pasti tahu bahwa menghadapi Karait lebih
berbahaya daripada menghadapi Nag. Karait yang kecil itu bisa
bergerak lebih cepat, kalau saja Rikki-tikki tidak berhasil menggigit lehernya tepat di belakang kepala, maka Karait akan bisa
dengan cepat balas menyerang minggigit mata atau bibirnya. Rikki
tak tahu itu. Matanya merah, ia bergoyang maju-mundur mencari
saat tepat untuk menyerang. Karait menyerang lebih dahulu. Rikki
melompat ke samping dan mencoba menerjang maju. Tetapi kepala ular kecil berdebu itu melesat cepat mengancam bahunya. Rikki
terpaksa melompat tinggi, kepala itu terus mengejarnya.
Teddy berteriak ke arah rumah, "Oh, lihat ini! Garangan kita
sedang membunuh ular!" Rikki-tikki mendengar ibu Teddy menjerit, sementara ayahnya lari ke luar membawa tongkat pemukul.
Tetapi saat si ayah sampai ke tempat itu, Karait sedang menye148
rang"serangannya terlalu jauh dari sasaran, Rikki-tikki meloncat
tinggi dan mendarat di leher ular itu. Ditekannya kepala ular itu
dengan kaki depannya, dan digigitnya leher si ular sedekat mungkin dengan kepala, kemudian ia berguling menjauh. Gigitan itu
melumpuhkan Karait. Rikki-tikki sudah akan melahap si ular mulai dari ekornya seperti kebiasaan keluarganya. Tetapi kemudian
ia ingat bahwa jika perutnya kenyang, maka kecepatan seekor
garangan akan berkurang. Jika ia ingin tetap selalu siap dengan
kekuatan dan kecepatannya, ia harus menjaga dirinya tetap langsing.
Ia meninggalkan tempat itu untuk berguling-guling di debu di
bawah semak-semak pohon jarak. Dilihatnya ayah Teddy memukuli tubuh Karait yang telah mati. "Untuk apa itu," pikir Rikkitikki. "Aku telah membereskannya."
Ibu Teddy mengangkatnya dari tanah dan memeluknya, menangis
dan berkata bahwa ia telah menyelamatkan Teddy dari kematian.
Ayah Teddy berkata Rikki-tikki adalah takdir. Teddy hanya melihat
itu semua dengan mata terbelalak ketakutan. Geli juga Rikki-tikki
melihat kehebohan mereka itu, yang tentu saja tidak dimengertinya.
Rasanya lebih baik bila ibu Teddy membelai anaknya yang bermain-main di debu. Rikki benar-benar sangat gembira.
Waktu makan malamnya, berjalan mondar-mandir di antara
gelas-gelas anggur, Rikki dibiarkan makan apa saja yang diinginkannya. Mau rasanya ia makan tiga kali lebih banyak dengan
makanan-makanan yang lezat-lezat itu. Tetapi kemudian ia teringat
akan Nag dan Nagaina. Walaupun sangat senang dibelai oleh ibu
Teddy, serta duduk di bahu Teddy, ia merasa bahwa setiap saat
matanya bisa saja menjadi merah dan ia harus meloncat pergi dengan pekik peperangannya "Rikk-tikk-tikki-tchak!"
Teddy membawanya ke tempat tidur dan minta agar Rikki-tikki
149 boleh tidur di bawah dagunya. Rikki-tikki dianggap cukup jinak
untuk tidak menggigit atau mencakar. Tetapi begitu Teddy tertidur,
Rikki-tikki bangkit dan meninggalkannya untuk meronda berkeliling rumah. Di kegelapan ia bertemu dengan Chuchundra, si tikus
kesturi, sedang merayap di dekat dinding. Chuchundra seekor hewan kecil yang berhati kecil. Ia merengek-rengek dan mencicit
sepanjang malam, mencoba memutuskan untuk lari ke tengah lantai. Tetapi hal itu tak pernah dilakukannya.
"Jangan bunuh aku," kata Chuchundra, hampir menangis.
"Rikki-tikki, jangan bunuh aku."
"Kau pikir pembunuh ular sudi membunuh tikus kesturi?" tanya
Rikki-tikki kesal. "Barang siapa membunuh ular, akan terbunuh oleh ular," kata
Chuchundra dengan nada makin menyedihkan. "Dan bagaimana
aku bisa yakin bahwa suatu malam yang gelap Nag tidak akan
keliru mengira aku adalah kamu?"
"Tak mungkin," kata Rikki-tikki. "Nag di kebun, dan aku tahu
kau tak pernah pergi ke sana."
"Sepupuku Chua, si tikus, berkata padaku?" kata Chuchundra,
tetapi ia langsung berhenti.
"Apa katanya?" "Hssh! Nag ada di mana-mana, Rikki-tikki. Mestinya kau jangan berbicara dengan Chua di kebun."
"Aku tak pernah berbicara dengannya"jadi kau harus mengatakan padaku. Cepat, Chuchundra, atau" kugigit kamu."
Chuchundra duduk dan menangis sampai air matanya mengucur
dari kumisnya. "Sungguh malang aku ini," ia tersedu-sedu. "Aku
tak pernah merasa cukup berani untuk pergi ke tengah lantai.
Hssh. Aku tak boleh bercerita apa pun padamu. Apakah kau tak
mendengar, Rikki-tikki?"
150 Rikki-tikki memasang telinganya. Rumah itu sangat sangat sunyi. Tetapi ia merasa ia mendengar sebuah suara menggeser yang
sangat sangat halus"sehalus suara tawon berjalan di jendela
kaca"suara geseran kering sisik-sisik ular berjalan di lantai
bata. "Itu Nag atau Nagaina," ia berkata pada dirinya sendiri. "Agaknya merayap menuju saluran pembuangan air dari kamar mandi.
Kau benar, Chuchundra. Mestinya aku berbicara dengan Chua."
Ia cepat berlari ke kamar mandi Teddy. Tak ada apa pun di
sana. Ia pergi ke kamar mandi ibu Teddy. Di dasar tembok semen
yang kalus, sebuah batu bata telah diambil untuk membuat saluran
ke luar dari air mandi. Saat Rikki-tikki merapat pada pembatas di
mana bak mandi diletakkan, didengarnya Nag dan Nagaina berbisik-bisik di luar rumah, di bawah cahaya rembulan.
"Kalau rumah ini sudah tak berpenghuni manusia," kata
Nagaina pada suaminya, "ia pasti harus pergi, dan kebun akan
menjadi milik kita lagi. Masuklah diam-diam, dan ingat, manusia
lelaki besar yang membunuh Karait haruslah yang pertama dibunuh. Kemudian keluarlah, dan kita akan bersama-sama memburu
Rikki-tikki." "Tetapi apakah kamu yakin ada manfaatnya membunuh manusia?" tanya Nag.
"Banyak sekali. Waktu tak ada manusia di rumah itu, apakah
ada garangan di kebun" Selama rumah itu kosong, kita menjadi
raja dan ratu di kebun ini. Dan ingat, begitu telur-telur kita di kebun melon menetas, (yang mungkin saja besok) anak-anak kita
perlu ruangan untuk tumbuh yang aman."
"Belum pernah terpikir olehku tentang itu," kata Nag. "Baiklah.
Aku akan masuk. Tetapi rasanya tidak perlu memburu Rikki-tikki
setelah itu. Aku akan membunuh si lelaki besar dan istrinya. Dan
151 mungkin juga anaknya. Kemudian aku akan diam-diam ke luar.
Rumah ini akan kosong. Rikki-tikki mau tak mau terpaksa pergi."
Seluruh bulu di tubuh Rikki-tikki berdiri tegak, penuh rasa marah dan benci. Kemudian dilihatnya kepala Nag muncul di lubang
pembuangan air itu, diikuti oleh tubuhnya yang satu setengah
meter panjangnya. Walaupun merasa sangat marah, Rikki-tikki
merasa takut juga melihat besarnya ular kobra itu. Nag melingkarkan dirinya bertumpuk naik. Diangkatnya kepalanya dan ia
melihat berkeliling. Dijulurkannya kepalanya untuk melihat ke
dalam kegelapan, ke dalam kamar mandi itu. Rikki melihat mata
kobra itu berkilau dalam gelap.
"Kalau aku bunuh dia di sini, Nagaina akan tahu. Jika aku
menyerangnya di lantai terbuka, dia akan lebih beruntung. Apa
yang harus kulakukan?" kata Rikki-tikki-tavi.
Nag menggoyangkan kepalanya maju-mundur. Rikki-tiki mendengarnya minum dari guci air yang digunakan untuk mengisi bak
mandi. "Ah, leganya," kobra itu berkata. "Waktu Karait dibunuh,
lelaki besar itu membawa sebatang tongkat. Mungkin ia masih
membawa tongkat itu. Tetapi jika ia mandi besok pagi, pastilah ia
tidak membawanya. Akan kutunggu dia di sini. Nagaina"kau
mendengarku?"aku bisa menunggu di sini dalam kesejukan
sampai pagi tiba." Tak ada jawaban dari luar. Rikki-tikki menduga Nagaina telah
pergi. Nag melingkarkan dirinya, lingkaran demi lingkaran, mengelilingi lingkaran menonjol di dasar guci itu. Rikki-tikki tak bergerak sedikit pun. Setelah satu jam, ia mulai bergerak, sangat hatihati, menuju guci tadi. Nag sudah tidur. Rikki-tikki memperhatikan
punggung hitam itu, memperkirakan bagian mana yang harus diserangnya. "Jika aku tak bisa mematahkan punggungnya dalam se152
rangan pertamaku," kata Rikki, "ia pasti menyerang balik. Jika ia
menyerang balik"oh, Rikki!"
Ia memperhatikan bagian leher Nag yang besar dan tebal di
bawah tudungnya. Terlalu besar untuk satu gigitan! Dan kalau ia
menggigit di bagian ekor, Nag pasti mengamuk bagaikan gila.
"Aku harus menyerang kepalanya," pikir Rikki akhirnya. "Kepala di atas tudung itu. Dan kalau bisa kudapatkan, tak boleh kulepaskan lagi."
Rikki-tikki melompat. Kepala Nag berada sedikit di luar bibir
guci, di bawah lengkungannya. Saat gigi-giginya bertemu, Rikki
menumpukan punggungnya pada tonjolan guci untuk menahan
kepala Nag. Ini memberinya sedikit keuntungan, dan ia mempergunakannya sebaik mungkin. Sesaat kemudian ia dibanting ke kiri
ke kanan seperti seekor tikus dimainkan oleh seekor anjing. Ke
kiri ke kanan di lantai. Ke atas ke bawah. Berputar melingkar-lingkar. Tetapi mata Rikki sudah merah, dan dia terus bertahan dengan
gigitannya, walaupun Nag melecut-lecut bagaikan cambuk pedati
ke seluruh penjuru ruangan, memorial-porandakan tempat sabun,
sikat, menghantam dinding bak mandi. Rikki makin mempererat
gigitannya, berusaha terhindar dari hancur karena bantingan Nag.
Demi kehormatan bangsanya ia memilih mati dengan gigi tertancap pada musuhnya. Ia pusing, dan kesakitan, merasa seolah-olah
dirinya hancur"lalu tiba-tiba saja terdengar suara keras bagaikan
petir tepat di belakangnya. Angin panas menghantamnya pingsan
dan api terasa membakar bulunya. Si lelaki besar, ayah Teddy,
agaknya terbangun oleh suara keributannya dan menembakkan
kedua laras senapannya di kepala Nag, tepat di belakang tudungnya.
Rikki-tikki menutup matanya erat-erat. Ia yakin dirinya telah
mati. Tetapi kepala si Nag tidak bergerak. Dan ayah Teddy meng153
angkatnya serta berkata, "Ini si garangan lagi, Alice. Makhluk
kecil ini kini menyelamatkan jiwa kita."
Ibu Teddy datang, dengan muka sangat pucat, melihat sisa tubuh Nag. Rikki menyeret dirinya sendiri menuju kamar Teddy. Di
sana ia menghabiskan malam dengan mengguncang-guncang setiap
bagian tubuhnya, memeriksa apakah dirinya patah-patah menjadi
empat puluh bagian seperti yang diperkirakannya.


The Jungle Book Karya Rudyard Kipling di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika pagi tiba, ia merasa seluruh tubuhnya kaku. Tetapi ia
merasa gembira akan hasil pekerjaannya. "Kini aku tinggal menghadapi Nagaina. Ia akan lebih hebat daripada lima Nag sekaligus.
Dan entah bagaimana jika telur yang dibicarakannya itu menetas.
Ya ampun. Aku harus segera mencari tahu pada Darzee."
Tanpa menunggu sarapan, Rikki-tikki berlari ke semak belukar
tempat Darzee menyanyikan lagu kemenangan dengan sekeras
suaranya. Berita tentang kematian Nag telah tersebar, karena tukang sapu membuang bangkainya ke tempat sampah.
"Dasar kumpulan bulu bodoh," kata Rikki-tikki marah. "Apakah
ini waktu untuk bernyanyi?"
"Nag mati"Nag mati"mati!" nyanyi Darzee. "Si gagah Rikkitikki menggigit kepalanya dan tak melepaskannya! Si orang besar
datang dengan tongkat meledaknya, dan Nag terjatuh jadi dua potong! Ia tidak akan memakan anakku lagi!"
"Itu sih benar juga. Tapi di mana Nagaina?" tanya Rikki-tikki
melihat berkeliling dengan hati-hati.
"Nagaina datang ke saluran pembuangan air kamar mandi dan
memanggil Nag," kata Darzee. "Dan Nag ke luar di ujung tongkat"si tukang sapu mengambilnya dengan tongkat dan membuangnya ke tempat sampah. Ayo bernyanyi tentang si gagah bermata
merah Rikki-tikki!" dan Darzee bernyanyi sekuat suaranya.
"Kalau saja aku bisa naik ke sarangmu, akan kulemparkan se154
mua bayimu ke luar," sungut Rikki-tikki. "Kau tak pernah tahu
kapan melakukan sesuatu pada saat yang tepat. Kau memang
aman di atas sana. Tapi di bawah sini suasananya perang. Berhenti
menyanyi sekarang juga, Darzee!"
"Demi Rikki-tikki yang agung dan tampan, aku akan berhenti
menyanyi," kata Darzee. "Apa yang ingin kau tanyakan, o, sang
pembunuh Nag yang kejam?"
"Di mana Nagaina" Ini sudah tiga kali aku bertanya."
"Di tumpukan sampah dekat kandang kuda, berduka untuk Nag.
Sungguh agung Rikki-tikki dengan gigi putihnya!"
"Jangan hiraukan gigiku! Tahu tidak kau di mana Nagaina menyimpan telurnya?"
"Di kebun melon. Di ujung terdekat dengan tembok, di mana
matahari terus bersinar sepanjang hari. Nagaina menaruhnya di
sana tiga minggu yang lalu."
"Dan kau tak pernah mengatakannya padaku" Di ujung terdekat
tembok, katamu?" "Rikki-tikki, apakah kau akan memakan telurnya?"
"Tidak seperti itu, Darzee, tidak. Kalau saja kamu punya sedikit
otak, terbanglah ke dekat kandang dan pura-pura sayapmu patah.
Biarkan Nagaina mengejarmu kemari. Aku akan pergi ke kebun
melon. Kalau aku ke sana sekarang, ia akan melihatku."
Otak Darzee memang terlalu kecil untuk menyimpan beberapa
pemikiran sekaligus di kepalanya. Ia tahu bahwa Nagaina bertelur
seperti bangsanya, tetapi tak pernah terpikir olehnya bahwa cukup
adil jika ia merusak telur-telur itu. Untunglah istri Darzee cukup
cerdas. Ia tahu bahwa telur kobra berarti kobra-kobra muda nantinya. Maka ia segera terbang meninggalkan sarang, menyuruh
Darzee menghangatkan anak-anak mereka serta terus bernyanyi155
nyanyi tentang kematian Nag. Dalam beberapa hal Darzee memang mirip dengan sikap para pria manusia.
Istri Darzee terbang dan pura-pura jatuh di dekat tumpukan
sampah, di depan Nagaina. Ia berteriak, "Aduh, sayapku patah!
Anak di rumah itu melempari aku dengan batu dan mengenai sayapku hingga patah!" Ia menggelepar berusaha untuk terbang.
Nagaina mengangkat kepalanya dan mendesis, "Kau telah memberi tahu Rikki-tikki saat aku akan membunuhnya. Sungguh sangat
malang nasibmu jatuh di dekatku," ia bergerak ke arah istri
Darzee, meluncur di tanah berdebu.
"Anak itu mematahkan sayapku dengan batu!" teriak istri
Darzee. "Yah, mungkin cukup menghibur bagimu bahwa jika kau nanti
mati, aku akan menyelesaikan perhitunganku dengan anak itu,"
kata Nagaina. "Suamiku teronggok di tempat sampah pagi ini.
Sebelum malam tiba nanti anak itu akan terdiam selamanya. Apa
gunanya kau berlari" Aku pasti bisa menangkapmu. Burung tolol,
lihatlah padaku!" Istri Darzee cukup cerdas untuk tidak berbuat itu. Seekor burung yang memandang mata kobra akan begitu ketakutan hingga
takkan bisa bergerak. Maka ia menggelepar terus di tanah sambil
terus berlari menjauh, menjerit-jerit sedih. Nagaina mempercepat
larinya, mengejar. Rikki-tikki mendengar mereka berkejaran di jalan setapak dari
arah kandang kuda. Ia berlari ke ujung kebun melon dekat dinding. Di sana, tersembunyi di atas melon-melon di tempat yang
hangat, ada 25 butir telur, masing-masing sebesar telur ayam katai.
Tiap telur tidak berkulit telur putih keras tetapi terbungkus kulit
yang lunak. "Ah, aku hampir terlambat," kata Rikki-tikki. Ia bisa melihat
156 dari balik kulit pembungkus telur itu bayi-bayi kobra melingkar.
Ia tahu, begitu menetas bayi-bayi itu sanggup membunuh mamusia
atau garangan. Digigitnya puncak telur telur itu secepat mungkin,
sambil meyakinkan bahwa bayi kobra di dalamnya juga terbasmi.
Berulang kali diperiksanya kembali telur-telur yang telah
digigitnya, untuk melihat tak ada yang terlewat. Akhirnya tinggal
tiga butir telur yang ada. Rikki-tikki tertawa puas melihat itu saat
tiba-tiba didengarnya istri Darzee menjerit, "Rikki-tikki, aku membawa Nagaina ke arah rumah. Dan dia telah berbelok menuju beranda. Oh, cepat, Rikki-tikki, dia bermaksud membunuh"membunuh!"
Rikki-tikki menghancurkan dua butir telur berguling ke belakang dan ke luar dari kebun melon itu dengan membawa telur
yang ketiga. Dia berlari secepat kakinya bisa membawanya menuju beranda. Teddy, ayahnya dan ibunya ada di beranda itu sedang
makan pagi. Tetapi Rikki-tikki melihat mereka tidak makan apaapa. Mereka terdiam, mematung, dengan wajah pucat. Nagaina
terlihat melingkar di permadani dekat kaki Teddy, sekali gerak ia
akan bisa mematuk kaki anak yang tak bersepatu itu. Nagaina
bergoyang-goyang menyanyikan lagu kemenangan.
"Anak orang besar yang membunuh Nag," ia mendesis, "tenanglah, diam. Tunggu sebentar. Diamlah jangan bergerak, kalian bertiga. Kalau ada yang bergerak, aku akan menyerang. Kalau tak ada
yang bergerak, aku menyerang juga. Oh, sungguh kalian tolol,
berani membunuh Nag."
Mata Teddy terpaku pada ayahnya. Ayahnya hanya bisa berbisik, "Duduklah diam, Teddy. Jangan bergerak! Diam!"
Rikki-tikki muncul langsung berteriak, "Berpalinglah, Nagaina.
Berpalinglah dan ayo bertempur!"
"Semua ada saatnya, tunggu giliran," kata Nagaina tanpa meng157
alihkan pandangan. "Aku akan membereskan urusanku denganmu,
segera. Lihatlah semua sahabatmu ini, Rikki-tikki. Mereka terpaku
dan pucat. Mereka takut. Mereka tak berani bergerak, dan jika kau
berani maju selangkah lagi, akan kuserang mereka."
"Lihat telurmu!" kata Rikki-tikki. "Yang di kebun melon dekat
dinding. Pergi dan lihatlah, Nagaina!"
Ular besar itu menoleh sedikit. Dilihatnya telur di beranda itu.
"A-ah, berikan itu padaku!"
Rikki-tikki menaruh kedua kaki depannya di kiri dan kanan
telur itu. Matanya merah membara. "Berapa harga seekor anak
ular" Atau seekor bayi kobra" Atau seekor King Kobra muda"
Untuk ular terakhir"sangat terakhir dari keturunanmu" Bangsa
semut telah turun ke kebun melon, berduyun-duyun untuk memakannya di kebun melon."
Nagaina langsung memutar tubuhnya. Lupa segalanya gara-gara
sebutir telur. Rikki-tikki melihat ayah Teddy langsung meluncurkan
tangannya yang besar, cepat memegang bahu Teddy dan mengangkatnya melewati meja berisi cangkir-cangkir the, dan aman
dari jangkauan Nagaina. "Terkecoh! Terkecoh! Terkecoh! Rick-tick-tick!" Rikki-tikki
tergelak-gelak. "Anak itu aman dan aku, ya, akulah yang menggigit Nag di tudungnya tadi malam di kamar mandi." Ia melompatlompat dengan keempat kakinya, kepalanya begitu merendah
hingga hampir menyentuh lantai. "Aku dibantingnya kian kemari
tapi ia tak bisa melepaskan gigitanku. Ia sudah mati sebelum si
orang besar membelah badannya jadi dua. Aku, aku yang membunuh Nag! Rikki-tikki-tck-tck! Ayo, maju, Nagaina. Ayo bertempur
melawan aku. Kau takkan lama menjadi janda!"
Nagaina tahu ia sudah kehilangan kesempatan untuk membunuh
Teddy. Sementara itu telurnya ada di antara kedua kaki depan
158 Rikki-tikki. "Berikan telur itu, Rikki-tikki. Berikan telur terakhirku
itu. Aku akan pergi jauh, dan tak akan kembali lagi," ia berkata,
merendahkan tudungnya. "Ya. Kau akan pergi dan tak akan kembali. Sebab kau akan
pergi ke tempat sampah bersama Nag. Ayo, lawan aku, janda.
Orang besar itu sedang mengambil senjatanya. Lawan!"
Rikki-tikki meloncat-loncat mengelilingi Nagaina, menjaga agar
jaraknya di luar jangkauan kobra itu, matanya merah membara.
Nagaina mengumpulkan segala kekuatan dan sekali-sekali menyerang. Tetapi tiap kali ia menyerang, kepalanya menubruk lantai
beranda dan harus cepat mundur melingkar bagaikan pegas. Rikkitikki pada saat yang sama meloncat menghindar dan jatuh di belakang Nagaina. Nagaina harus berputar cepat membalik agar terus
bisa berhadapan dengan Rikki-tikki. Begitu cepat ia terus berbalikbalik, suara ekornya di lantai beranda gemersik bagaikan daun
kering ditiup angin. Rikki-tikki sendiri begitu sibuk melayani serangan Nagaina
hingga ia lupa pada telur yang diletakkannya di beranda itu. Dalam gerakannya, Nagaina makin lama makin dekat dengan telur
itu hingga akhirnya, sewaktu Rikki-tikki berhenti sesaat menarik
napas, tiba-tiba Nagaina meluncur menangkap telur itu dengan
mulutnya dan melesat menuruni tangga beranda menuju kebun.
Terlambat beberapa saat Rikki-tikki meloncat mengejar. Jika seekor kobra memutuskan untuk lari, maka ia bagaikan seekor kuda
yang dilecut cambuk di lehernya.
Rikki-tikki tahu ia harus mengejar Nagaina. Kalau tidak, semua
masalah akan terulang lagi. Nagaina lari langsung ke rerumputan
tinggi dekat semak berduri. Sambil mengejar, Rikki-tikki masih
mendengar Darzee menyanyikan lagu tololnya tentang kemenangannya. Istri Darzee lebih cerdas. Ia terbang meninggalkan sarang159
nya saat Nagaina mendekat. Dikibas-kibaskannya sayapnya dekat
kepala Nagaina. Kalau saja Darzee membantu, mungkin saja
Nagaina akan tergoda dan berbelok. Tetapi Nagaina hanya menundukkan tudungnya dan melesat maju. Walaupun begitu, saat yang
hanya beberapa detik berhenti itu membuat Rikki-tikki berhasil
mengejarnya. Ketika Nagaina melesat masuk ke lubang tikus di
tanah, yang didiaminya bersama Nag, gigi-gigi putih kecil Rikkitikki telah menancap erat di ekornya, dan ia pun tertarik masuk
ke lubang itu. Tak banyak garangan, betapapun tua dan berpengalaman, sudi mengikuti seekor kobra masuk ke dalam lubang persembunyiannya. Lubang itu sangat gelap. Rikki tak tahu apakah
di depan ada tempat bagi Nagaina untuk berbalik dan menyerangnya. Ia hanya terus mempererat gigitannya, menggunakan kaki-kakinya untuk memperlambat laju si kobra betina di tanah yang
lembap itu. Kemudian"rerumputan panjang di mulut lubang itu berhenti
bergoyang-goyang. Darzee melihat ini berkata, "Selesai sudah.
Tamat riwayat Rikki-tikki. Kita harus menyanyikan lagu kematiannya. Rikki-tikki yang gagah berani telah mati! Pastilah Nagaina
membunuhnya di dalam tanah!"
Darzee langsung menyanyikan lagu sedih yang dibuatnya seketika itu juga. Tetapi saat ia sampai pada bagian yang paling menyentuh, rumput-rumput di muka lubang itu bergerak-gerak lagi.
Rikki-tikki, dengan badan berlumuran tanah, menyeret tubuhnya
sendiri ke luar, menjilati kumis-kumisnya. Darzee langsung berhenti bernyanyi. Rikki-tikki mengguncangkan tubuhnya untuk
membuang tanah yang melekat di bulunya, dan bersin. "Selesai
sudah," katanya. "Janda itu tak akan ke luar lagi." Semut-semut
merah yang tinggal di pokok-pokok rumput mendengarnya dan
mulai berbaris turun untuk membuktikan kata-kata itu.
160 Rikki-tikki menggulung dirinya di rumput dan tertidur nyenyak"ia terus tidur hingga menjelang sore. Ia baru saja melakukan suatu pekerjaan sangat berat hari itu.
"Kini," katanya ketika akhirnya ia bangun, "aku akan kembali
ke rumah. Katakan pada si Pelatuk Merah, Darzee, dia akan mengabarkan pada seisi kebun bahwa Nagaina telah mati."
Pelatuk Merah adalah burung yang membuat suara persis seperti orang memukul-mukul belanga tembaga. Ia dianggap sebagai
pembawa berita di setiap kebun di India. Apa pun diberitakannya,
tak peduli didengarkan atau tidak. Saat Rikki-tikki berlari di jalan
di kebun itu, didengarnya suara burung itu minta perhatian, dengan bunyi seperti gung tanda makan. Kemudian suara ini diikuti,
"Ding-dong-tock. Nag telah mati"dong! Nagaina mati! Dingdong-tock!" Berita ini membuat semua burung di kebun itu
bernyanyi. Kodok-kodok ikut bernyanyi, sebab Nag dan Nagaina
makan kodok juga, di samping anak-anak burung.
Sesampainya di rumah, Rikki-tikki disambut oleh Teddy, ibu
Teddy (yang masih sangat pucat karena baru pingsan) dan ayah
Teddy. Mereka nyaris menangis untuk Rikki-tikki. Malam itu ia
boleh makan sampai penuh perutnya. Dan ia boleh tidur di tempat
tidur, di bahu Teddy. Saat malam larut, ibu Teddy datang menjenguknya.
"Ia menyelamatkan jiwa kita. Juga jiwa Teddy," kata ibu Teddy
pada suaminya. "Bayangkan. Ia menyelamatkan jiwa kita semua!"
Rikki-tikki melompat bangun. Garangan memang tak mudah
tidur nyenyak. "Oh, kalian," katanya. "Untuk apa khawatir lagi" Semua kobra
telah mati. Kalau pun masih ada, aku ada di sini."
Rikki-tikki berhak untuk bangga. Tetapi ia tak pernah lupa ke161
waspadaan. Ia terus menjaga kebun itu seperti layaknya seekor
garangan, menjaganya dengan giginya, loncatannya, kegesitannya
dan gigitannya hingga tak pernah lagi seekor kobra muncul di
kebun itu. 162 10. NyANyIAN DARzEE (Dinyanyikan untuk menghormati Rikki-tikki-tavi)
Penyanyi dan penjahit, itulah aku
Gandakan kebahagiaan hatiku
Bangga nyanyiku ke langit biru
Bangga sarangku, jahitanku
Ke atas ke bawah kunyanyikan laguku"ke atas ke bawah
kujahit sarangku Bernyanyilah untuk anak-anakmu
Angkat kepalamu, oh ibu Si jahat pengancam kita telah tiada
Terbaring di kebun tak bernyawa
Pembunuh yang mengintai itu kini lemah"terbuang di
onggokan kotoran dan sampah
163 Siapa menolong kita, siapa"
Di mana rumahnya, siapa namanya.
Rikki si gagah berani, si gagah sejati
Tikki, dengan mata bagaikan bara api
Rikki-tikki-tikki, si bercaling gading"sang pemburu dengan
mata bara tanpa tanding Para burung, ucapkan terima kasihmu
Membungkuk dalam tebarkan bulu
Pujilah dengan nyanyi bulbul yang merdu
Oh, tidak, biarkan aku yang memujanya
Dengar! Akan kunyanyikan pujian untuk si ekor botol Rikki
dengan mata membara. (Di sini Rikki-tikki menyela, menyuruhnya diam. Sisa
nyanyiannya tak tercatat.)
164 11. toomai, Bangsa Gajah Akan kuingat masa laluku, aku bosan pada rantai dan
belenggu Akan kuingat kekuatanku dulu, dan semua peristiwa di
rimba Takkan kujual punggungku pada manusia hanya seharga
seikat tebu Aku akan kembali ke bangsaku, dan keluarga serigala di
sarang mereka Aku akan pergi jauh hingga hari usai dan pagi tiba
Merasakan sentuhan angin dan angin membelai
Kan kulupakan belenggu kaki dan tiang pancangnya
Jumpa cinta lama dan bermain dengan teman ramai
165 KALA Nag, artinya Ular Hitam. Ia gajah yang telah bekerja untuk
pemerintah India selama empat puluh tujuh tahun. Pertama kali
ditangkap ia berumur dua puluh tahun. Jadi kini umurnya hampir
tujuh puluh tahun"umur yang matang bagi seekor gajah. Ia ingat
mendorong, dengan alas kulit tebal di dahinya, meriam yang terbenam macet di lumpur. Dan itu adalah di Perang Afganistan tahun
1842, saat kekuatannya belum sepenuhnya.
Ibunya bernama Radha Pyari, Radha si Kekasih, yang tertangkap dalam perburuan yang sama dengan Kala Nag. Radha selalu
bercerita, sejak sebelum taring susunya jatuh, bahwa gajah yang
takut akan selalu terluka. Kala Nag tahu nasihat itu sangat benar.
Sewaktu pertama kali mengalami melihat peluru meriam meledak
di dekatnya, ia menjerit mundur. Ia menubruk tumpukan senjata,
dan beberapa prajurit menusuk bagian tubuhnya yang lunak dengan bayonet. Karenanya sebelum berumur dua puluh lima tahun
ia memutuskan untuk tidak pernah merasa takut lagi. Ia menjadi
gajah yang paling disayangi dan dirawat paling baik di dinas
ketentaraan pemerintah India. Ia mengangkut tenda-tenda, beratnya
sekitar setengah ton, dalam perjalanan di India Utara. Ia pernah


The Jungle Book Karya Rudyard Kipling di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diangkat dengan derek sungai bermesin uap dimasukkan ke sebuah
kapal dan dibawa berlayar untuk berhari-hari, kemudian mengangkut mortir di punggungnya, di sebuah negara yang asing berbatubatu, jauh dari India. Ia menyaksikan Kaisar Theodore terbaring
Antara Budi Dan Cinta 7 Keponakan Penyihir The Magician's Nephew Karya C S. Lewis Beruang Salju 3
^