The Ring Of Solomon 2

Bartimaeus 4 The Ring Of Solomon Karya Jonathan Stroud Bagian 2


delapan pasang mata suram melihat kawat yang berkibas berputar-putar.(3)
(3) Cambuk intisari : senjata andalan bagi para pendeta Ra dimasa Khufu dan piramid. Sangat bagus
untuk menjaga jin menaati perintah. Perajin Theban masih membuatnya, tapi yang terbaik ditemukan di
kuburan-kuburan kuno. Milik khaba asli " kau bisa lihat dari gagangnya, yang dililit dengan kulit budak
manusia, lengkap dengan tato yang samar.
Khaba terlihat puas dan mengembalikan cambuknya ke sabuk.
"Kemana sekarang jin sombong yang membuat berbagai macam masalah pada tuan-tuan
mereka sebelumnya?" katanya. "Hilang! Kalian patuh dan menurut, seperti seharusnya. Baiklah,
tugas kalian selanjutnya: kalian semua dipanggil untuk bekerja pada proyek pembangunan
demi Raja Solomon. Dia menginginkan kuil besar dibangun disini, sebuah bangunan megah
yang akan membuat kagum raja-raja Babilonia. Aku telah diberi kehormatan untuk melakukan
tahapan awal " sisi bukit ini harus dibersihkan dan dibuat bertingkat, dan sebuah tambang
harus dibuat di lembah di bawah. Kalian akan mengikuti rencana yang kuberikan, membentuk
bebatuan dan menariknya kesini, sebelum"ya, Bartimaeus, ada apa?"
Aku telah mengangkat tangan dengan elegan. "Kenapa menariknya" Bukankah lebih cepat
kalau menerbangkannya" Kami bisa membawa beberapa buah bersamaan, bahkan Chosroes."
Seorang jin dengan kuping kelelawar maju dari barisan dan berteriak marah. "Hey!"
Si penyihir menggelengkan kepalanya. "Tidak. Kalian masih dalam lingkup kota. Dimana
Solomon telah melarang hal-hal tidak normal disini, kalain harus menghindari melakukan sihir
dan bekerja seperti manusia. Ini akan menjadi bangunan suci, dan harus dibangun dengan hatihati."
Aku berteriak protes. "Tanpa sihir" Tapi ini akan memakan waktu bertahun-tahun!"
Mata yang berkilau melotot kearahku. "Kau mempertanyakan perintahku?"
Aku ragu, lalu memalingkan wajah. "Tidak."
Si penyihir memutar ke samping dan mengucapkan sepatah kata. Tanpa suara dan bau telur
busuk yang samar, segumpal awan pohon lilac muncul di samping Khaba dan menggantung
disana, bergetar lembut. Bermalasan disana, tangan kecilnya dibelakang kepala, duduk
makhluk berekor melingkar berkulit hijau dengan pipi bundar merah, mata berkelip-kelip dan
tatapan kurang ajar menyebalkan.
Dia menyeringai kepada kami. "Halo, kawan-kawan."
"Ini foliot Gezeri," ucap tuan kami. "Dia mata dan telingaku. Ketika aku tidak ada di lokasi
pembangunan, dia akan memberitahuku bila ada keterlambatan dan penyimpangan atas
perintahku." Seringaian si foliot melebar. "Mereka tidak akan membuat masalah, Khaba. Bersifat lembut
seperti anak domba, sebagian besar dari mereka." Menggantungkan kaki berjari gemuk
dibawah awannya, dia menendang sekali, mendorong awan diudara dalam jarak pendek.
"Masalahnya adalah, mereka tahu apa yang baik bagi mereka, kau bisa pastikan itu."
"Aku harap begitu." Khaba membuat gerakan tidak sabar. "Waktu telah terbuang! Kalian harus
mulai bekerja. Bersihkan semak belukar dan ratakan puncak bukit! Kalian tahu aturan
pemanggilan kalian. Aku ingin disiplin, aku ingin efisiensi, aku ingin dedikasi yang sunyi. Tanpa
bantahan, perdebatan atau gangguan. Buatlah kelompok empat orang. Akan kubawa rencana
pembangunan kuil dalam waktu dekat. Cukup sekian."
Dengan itu dia memutar tumitnya dan mulai berjalan pergi, gambaran kesombongan yang acuh.
Menggerakkan kaki malasnya, si foliot memandu awannya di belakang si penyihir, sambil
membuat serangkaian wajah kurang ajar melalui bahunya.
Dan tetap saja, dengan semua provokasi itu, tidak ada diantara kami yang mengatakan apapun.
Di sebelahku aku mendengar Faquarl mengeluarkan geraman tertahan di bawah nafasnya,
seakan dia mencoba untuk bicara, tapi teman budakku yang lain benar-benar diam, takut akan
balasan. Tapi kau tahu aku. Aku Bartimaeus: Aku tidak berdiam diri.(4) Aku berdehem dengan keras dan
mengangkat tanganku. (4) Sebenarnya, satu atau dua kali, saat pendeta Asiria sangat jengkel denganku mereka menusuk
lidahku dengan tanduk dan mengikatku di pos di pusat kota Nineveh. Tapi, mereka tidak
memperhitungkan kelenturan intisariku. Aku bisa memanjangkan lidahku cukup untuk istirahat di
penginapan terdekat untuk minum anggur gandum dengan santai, dan menjegal kaki pembesar yang
berjalan angkuh. Gezeri berputar; si penyihir, Khaba berputar lebih pelan. "Ya?"
"Bartimaeus dari Uruk lagi, Tuan. Aku punya keluhan."
Si penyihir mengedipkan matanya yang besar dan basah. "Keluhan?"
"Benar. Kau tidak tuli kalau begitu, yang sangat melegakan, entah bagaimana dengan masalah
fisikmu yang lain. Ini mengenai rekan kerjaku, aku khawatir. Mereka tidak sesuai harapan."
"Tidak ... sesuai harapan?"
"Ya. Pastinya mencoba untuk mengimbangi. Tidak semuanya, tentu. Aku tidak punya masalah
dengan ..." aku menoleh ke jin di kiriku, pemuda berwajah segar dengan sebuah tanduk coklat
gemuk. "Maaf, siapa namamu tadi?"
"Menes." "Menes muda. Aku yakin dia teman yang bisa diandalkan. Dan si gendut dengan kuku kuda
disana mungkin juga pekerja yang baik, untuk yang aku tahu; dia pasti mengemas cukup
intisari. Tapi beberapa yang lain ... jika kami terkurung disini berbulan-bulan untuk sebuah
pekerjaan besar ... ya, kurang lebihnya, kami tidak akan akur. Kami akan bertengkar, berdebat,
cekcok ... ambil contoh Faqural disini. Mustahil bekerja sama! Selalu berakhir dengan air mata."
Faquarl mengikik malas, menunjukkan taring berkilaunya. "Ya-a-a ... Aku harus bilang, tuan,
kalau Bartimaeus adalah pemimpi yang menjijikkan. Kau tidak boleh percaya kata-katanya."
"Tepat sekali," budak berkuku kuda menyahut. "Dia memanggilku gendut."
Jin berkuping kelelawar menimpali. "Kau memang gendut."
"Diam, Chosroes."
"Kau yang diam, Beyzer."
"Lihat?" Aku membuat gerakan menyesal. "Bertikai. Sebelum kau tahu kami akan saling
memakan. Yang terbaik adalah membebaskan kami semua, dengan pengecualian untuk
Faquarl, yang, meskipun sikapnya kurang baik, sangat hebat menangani pekerjaan. Dia pasti
baik-baik saja dan akan menjadi pelayan setia untukmu dan cukup untuk menggantikan
delapan orang." Saat ini si penyihir membuka mulutnya untuk berbicara, tapi di batalkan oleh tawa terpaksa dari
orang Nubia berperut gendut, yang maju perlahan ke depan.
"Sebaliknya," ujarnya, "Bartimaeus adalah satu-satunya yang harus tetap disini. Seperti yang
kau lihat, dia penuh semangat seperti marid. Dia juga terkenal dalam pencapaian di bidang
bangunan, beberapa masih sering terdengar sampai sekarang."
Aku merengut. "Tidak sama sekali. Aku ini menyedihkan."
"Kerendahan hati seperti ini adalah cirinya," Faquarl tersenyum. "Satu-satunya kekurangannya
adalah ketidakmampuannya bekerja sama dengan jin lain, yang biasanya di lepaskan saat dia
dipanggil. Tapi " untuk kemampuannya. Bahkan di tempat terpencil ini kau pasti pernah
mendengar Banjir Besar di Eufrat" Jadi. Pencetusnya berdiri disana!"
"Oh, sepertinya kau mau mengungkitnya, Faquarl. Peristiwa itu diberitakan dengan berlebihan.
Sebenarnya tidak ada kerugian serius dari?"
Chosroes berkuping kelelawar berteriak marah. "Tanpa kerugian" Banjir dari Ur sampai
Shuruppak, sampai hanya terlihat atap putih datar yang muncul dari permukaan air" Itu seperti
dunia telah tenggelam! Dan semuanya karena kau, Bartimaeus, membangun sebuah
bendungan melintasi sungai demi taruhan!"
"Ya, tapi aku menang taruhannya, kan" Lihatlah secara perspektif."
"Setidaknya dia bisa membangun sesuatu, Chosroes."
"Apa" Proyek bangunanku di Babilonia menjadi perbincangan di kota!"
"Seperti menara yang tak pernah kau selesaikan?"
"Oh ayolah, Nimshik " itu gagal karena ada masalah dengan pekerja asing."
Pekerjaanku selesai. Perbincangan berjalan dengan baik; semua disiplin dan konsentrasi telah
menghilang, dan si penyihir berubah menjadi bayangan ungu yang memuaskan. Semua
kesombongan juga telah hilang dari si foliot Gezeri, yang sedang menganga seperti ikan trout.
Khaba berteriak marah. "Kalian semua! Diam."
Tapi semua sudah terlambat. Barisan kami hancur menjadi pertikaian antara tinju-tinju dan jarijari yang menusuk. Ekor-ekor berputar-putar, tanduk-tanduk berkilauan di bawah sinar
matahari; satu atau dua pasang cakar di keluarkan untuk menambah serangan pemiliknya.
Sekarang, aku pernah melihat beberapa Tuan yang menyerah dalam keadaan seperti ini,
mengangkat tangan mereka di udara dan membebaskan budak-budaknya " jika hanya
sementara " hanya untuk mendapat sedikit ketenangan. Tapi orang Mesir ini keras kepala. Dia
mengambil langkah pelan kebelakang, tubuhnya memutar, mengambil cambuk intisari dari
sabuknya. Mencengkramnya dengan kuat di gagangnya dan melontarkan mantera, dia
melecutkannya sekali, dua kali, tiga kali di atas kepalanya.
Dari tiap putaran tali kulit muncul tombak bergerigi dari energi berwarna kuning. Tombaktombak terlontar, menembaki kami semua dan membakar di udara.
Di udara di bawah matahari yang panas kami terlempar, lebih tinggi dari dinding istana, terhenti
oleh penghalang berwarna kuning dari cahaya yang membakar. Jauh di bawah kami si penyihir
memutar lengannya dalam lingkaran berulang, tinggi dan rendah, semakin cepat, sementara
Gezeri melompat dan melonjak-lonjak kegirangan. Kami terbang berputar, lemah dan
menyedihkan, saling menabrak satu sama lain, terkadang dengan tanah. Hujan luka intisari
menghantui kami, mengggantung berkilauan seperti gelembung minyak di langit gurun.
Putarannya menghilang, penusuk intisari di tarik. Akhirnya si penyihir menurunkan lengannya.
Delapan benda rusak terjatuh dengan berat di bumi, kulit-kulit kami mengelupas seperti lelehan
mentega. Kami mendarat dengan kepala.
Awan debu perlahan terbentuk. Kami duduk disana berdampingan, terluka di tanah seperti gigi
patah atau patung retak. Beberapa dari kami perlahan berasap. Kepala kami setengah terkubur
di kotoran, kaki kami terangkat di udara seperti ranting patah.
Tidak jauh, awan panas bergerak, terurai, terbentuk kembali, dan dari kepulannya si penyihir
melangkah, bayangannya yang hitam dan panjang mengikuti di belakangnya. Pendaran energi
kekuningan masih memancar dari cambuknya, bergetar samar, perlahan menghilang. Di
seluruh bukit hanya ini suara yang terdengar.
Aku memuntahkan kerikil. "Kupikir dia memafkan kita, Faquarl," aku berkata parau. "Lihat dia
tersenyum." "Ingat, Bartimaeus " kita dihajar habis-habisan."
"Oh. Benar." Khaba berhenti dan memandang kami. "Ini," katanya lembut, "adalah yang kulakukan pada
budak yang melawanku sekali."
Ada jeda. Bahkan aku tidak berani bicara.
"Akan kutunjukkan pada kalian pada budak yang melawanku kedua kalinya."
Dia mengangkat tangannya dan mengucapkan sepatah kata. Setitik cahaya berkilauan, lebih
terang dari matahari, mengambang seketika di udara di atas telapak tangannya. Tanpa suara
cahaya itu membesar menjadi bola bercahaya, dilingkupi tangannya tanpa menyentuhnya "
sebuah bola yang semakin gelap, seperti air penuh darah.
Di dalam bola: sebuah penampakan, bergerak. Sebuah makhluk, pelan, buta dan dalam
kesakitan luar biasa, tersesat di tempat penuh kegelapan.
Diam, naik turun dan terperosok, kami melihat yang tersesat, makhluk yang cacat. Kami
melihatnya lama. "Kalian mengenalinya?" si penyihir berkata. "Ini adalah spirit seperti kalian, atau dulunya begitu.
Dia juga tahu kebebasan di udara terbuka. Mungkin, seperti kalian, dia menikmati membuang
waktuku, membantah tugas yang kuberikan. Aku tidak ingat, karena sudah bertahun-tahun aku
mengurungnya di penjara di bawah menaraku, dan mungkin dia juga lupa rinciannya.
Adakalanya aku memberinya rangsangan lembut hanya untuk mengingatkannya kalau dia
masih hidup; selain itu aku biarkan dia dalam penderitaan." Matanya mengedip perlahan
memandangi kami; suaranya tetap seperti sebelumnya. "Jika kalian berharap menjadi seperti
ini, silahkan membuatku jengkel sekali lagi. Jika tidak kalian akan bekerja dan menggali dan
memahat seperti perintah Solomon " dan berdoa, jika sikap kalian seperti itu, suatu saat akan
kubiarkan kalian meninggalkan bumi lagi."
Penampakan di bola semakin berkurang; bola itu mendesis dan menghilang. Si penyihir
berbalik dan pergi menuju istana. Bayangannya yang panjang dan hitam mengikuti di
belakangnya, berlompatan, bergoyang melewati bebatuan.
Tidak ada yang bersuara diantara kami. Satu per satu kami ambruk dan jatuh di debu.
Di Utara Sheba padang pasir Arabia membentang tanpa putus sepanjang seribu mil, gurun
yang sangat luas dan tanpa setetespun air dari pasir dan batu-bukit kering, berbatasan di
sebelah Barat dengan Laut Merah yang kosong. Di ujung Barat Laut, dimana semenanjung
bertemu dengan Mesir, dan Laut Merah melandai di Teluk Aqaba, terletak pelabuhan
perdagangan Eilat, sejak zaman dulu telah menjadi tempat pertemuan dari perjalanan, barang
dan laki-laki. Untuk menuju dari Sheba ke Eilat, dimana dupa mereka bisa dijual dengan
keuntungan besar di pasar-pasar lama, pedagang dupa berkelana menempuh jalan memutar
antara padang pasir dan laut, berliku-liku melalui berbagai kerajaan kecil, membayar pajak
masuk dan melawan serangan suku perbukitan dan jin mereka. Jika semua diperhitungkan
dengan baik, dengan asumsi unta-unta mereka tetap sehat dan mereka lolos dari kehancuran
besar, para pedagang bisa berharap untuk tiba di Eilat setelah enam atau tujuh minggu dalam
keadaan cukup kelelahan. Kapten Pengawal Asmira melakukan perjalanan dalam satu malam, dibawa oleh sebuah
kerucut pasir berputar. Di luar mantel pelindung, dalam kegelapan yg mencekam, badai butiran pasir memenuhi udara.
Asmira tidak melihat apa-apa; dia duduk berjongkok dengan tangan mencengkeram lutut, mata
tertutup rapat, mencoba mengabaikan suara-suara itu, dari tengah-tengah angin puyuh, secara
terus-menerus menjeritkan namanya. Ini adalah provokasi pada Spirit yang membawanya, tapi
sebaliknya sang pendeta wanita tetap kukuh. Asmira tak sedikitpun jatuh, atau hancur, maupun
robek tercerai berai, tetapi bertahan tanpa terluka; dan mendarat dengan lembut saat fajar
merekah. Dengan penuh rasa sakit, sedikit demi sedikit, ia meluruskan tubuhnya dan membiarkan
matanya terbuka. Dia duduk di puncak bukit, di tengah-tengah dari tiga cincin pasir yang
sempurna. Semak belukar kecil terlihat di sana-sini, dan pisau cukur-rumput, dan bebatuan
yang berkilau oleh cahaya matahari terbit. Seorang anak kecil telanjang berdiri di puncak bukit,
memandangnya dengan mata yang terang dan gelap.
"Disana Eilat," jin itu berkata. "Anda akan mencapainya pagi ini."
Asmira melihat, dan di kejauhan tampak sekelompok lampu gantung kuning kotor dan jauh
dalam kegelapan yg mulai terangkat, dan di dekatnya sebuah garis putih datar, tipis seperti
mata pisau, memisahkan langit dan tanah.
"Dan itu," anak itu menambahkan, sambil menunjuk, "adalah laut. Teluk Aqaba. Anda ada di
Selatan kerajaan Solomon. Dari Eilat anda dapat menyewa unta untuk membawamu ke
Yerusalem, perjalanan masih beberapa ratus mil lagi. Saya sendiri tidak dapat menjamin
keselamatan anda lebih jauh. Solomon telah membangun galangan kapal di Eilat,
memungkinkannya untuk mengatur rute perdagangan sepanjang pantai. Beberapa penyihirnya
ada disini, dan banyak spirit, yang akan waspada terhadap penyusup seperti saya. Saya tidak
bisa memasuki kota."
Asmira mulai berdiri, menghembuskan napas atas kekakuan tubuhnya. "Kalau begitu aku
ucapkan terimakasih atas bantuanmu." katanya. "Saat kamu kembali ke Marib, tolong
sampaikan terima kasihku kepada pendeta dan sang ratu tercinta. Katakan bahwa aku
berterima kasih atas bantuan mereka, dan aku akan melaksanakan tugasku dengan kekuatan
penuh yang telah menjadikanku, dan- "
"Jangan berterima kasih padaku," kata anak itu. "Aku hanya melakukan apa yang aku dipaksa
untuk lakukan. Memang kalau bukan karena ancaman Dismal Flame aku akan menelanmu
dalam sekejap, karena kamu kelihatan seperti sepotong kaktus. Sedangkan untuk ratu dan
pelayannya, menurut pendapatku ucapan terima kasihmu kepada mereka adalah salah, karena
mereka mengirim kamu ke sebuah kematian yang menyedihkan, sementara bokong mereka
terus berkembang dalam kelembutan yang mewah di istana. Namun, aku akan sampaikan
salammu." "Setan busuk!" Bentak Asmira. "Kalau aku mati, itu harus karena ratuku! Negaraku telah
diserang dan Dewa Matahari sendiri telah memberkati usahaku. Kau tidak tahu apa-apa tentang
kesetiaan atau cinta tanah air! Jadi pergilah dari sini!"
Dia menggenggam sesuatu yang menggantung di lehernya dan merapal mantra dengan marah;
pendaran cahaya kuning melanda Djinn dan membuatnya terlempar ke belakang berjungkir
balik dalam teriakan. "Itu adalah trik yg cukup lumayan," anak kecil itu berkata. "Tapi kekuatanmu lemah, dan
motivasimu bahkan lebih lemah. Dewa dan negara " apalah mereka itu selain kata-kata?"
Jin itu menutup matanya; sesaat kemudian menghilang. Angin sepoi-sepoi meniup ke selatan,
menghamburkan cincin pasir dan membuat Asmira bergidik.
Dia berlutut di samping tas kulitnya, dan mengambil dari dalam tasnya kantong air, kue yang
dibungkus dengan daun anggur, belati perak, dan mantel bepergiannya, yang ia pakai disekitar
bahunya agar tetap hangat. Tindakan pertamanya adalah minum banyak-banyak dari kantong
air, karena ia sangat haus. Selanjutnya ia makan kue dengan cepat, gigitan kecil yang efisien,
menatap ke bawah bukit, merencanakan rute ke arah kota. Lalu ia berbalik menghadap timur, di
mana Matahari baru saja terlepas dari cengkeraman Bumi. Di suatu tempat yang jauh matahari
itu menetap di Sheba yang adil juga. Kemuliaannya membutakan Asmira, kehangatannya
menimpa wajahnya. Gerakannya melambat, pikirannya kosong, kepentingan dari misinya
perlahan memudar darinya. Dia berdiri di atas puncak bukit, seorang wanita muda yang
ramping, dengan cahaya keemasan bersinar di rambut hitamnya yang panjang.
Ketika dia masih sangat muda, ibu Asmira telah membawanya ke atap istana dan mengajaknya
berjalan melingkar sehingga ia bisa melihat ke sekeliling.
"Kota Marib dibangun di atas bukit," kata ibunya, "dan bukit ini merupakan pusat Sheba
sebagaimana jantung adalah pusat tubuh. Lama berselang, Dewa Matahari telah menentukan
ukuran dan bentuk kota kita, dan kita tidak bisa membangun melampaui batas tersebut. Jadi
kita membangun ke atas! Lihat menara ada di setiap sisi" Orang kita hidup di dalamnya,
sebuah keluarga di setiap lantai, dan ketika kebutuhan muncul, kita membangun tingkatan lain
dengan batu bata lumpur. Sekarang, nak, lihat melampaui bukit. Kamu lihat bahwa semua di
sekeliling kita berwarna hijau, sementara di luarnya adalah padang pasir berwarna kuning" Ini
adalah kebun kami, yang menjaga kita semua tetap hidup. Setiap tahun salju mencair di
pegunungan dan mengalirkan aliran air yang deras sepanjang sungai kecil yang kering dan
berdebu untuk mengairi tanah kami. Ratu dari masa lalu memotong saluran untuk mengairi
sawah dengan air. Pemeliharaan saluran ini adalah tugas mereka yang paling penting, karena
tanpa mereka kita mati. Sekarang lihat ke Timur " lihatlah sederetan gunung berwarna biruputih" Itu adalah Hadhramaut, di mana tumbuh hutan kita. Pohon-pohon ini adalah sumber
daya kita yang paling berharga. Kami memanen getah mereka dan mengeringkannya ... dan
jadi apakah itu?" Asmira meloncat dan melonjak-lonjak dengan gembira, karena ia tahu jawabannya. "Dupa, Ibu!
Barang milik orang perbukitan yang bau!"
Ibunya meletakkan tangan yang laksana baja diatas kepala putrinya. "Jangan terlalu banyak


Bartimaeus 4 The Ring Of Solomon Karya Jonathan Stroud di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menari, gadisku. Seorang penjaga istana tidak melompat-lompat seperti seorang darwis,
bahkan pada usia lima tahun. Tapi kau benar. Dupa ini adalah emas kita, dan membuat orangorang kita kaya. Kami berdagang dengan kerajaan yang jauh melampaui padang pasir dan laut.
Mereka membayar dengan baik untuk itu, tetapi mereka akan mencuri jika mereka bisa. Hanya
gurun pasir Arabia, dimana para tentara tidak bisa menyeberang, yang telah melindungi kami
dari keserakahan mereka."
Asmira telah menghentikan putarannya. Ia mengerutkan dahi. "Jika musuh datang ke sini,"
katanya, "ratu akan membunuh mereka. Bukankah ia, Ibu" Dia membuat kita aman."
"Ya, anakku. Ratu kita membuat Sheba tetap aman. Dan kami sebaliknya menjaganya - para
penjaga dan Aku. Untuk itulah kita dilahirkan. Ketika kamu tumbuh besar, Asmira sayang, kamu
juga harus melindungi wanita kita yang diberkati dengan kehidupanmu " seperti aku, dan nenek
kita lakukan sebelum kita. Apakah kamu mau bersumpah?"
Asmira berusaha setenang dan seserius yang ia bisa. "Ibu, akan saya lakukan."
"Gadis yang baik. Kalau begitu ayo kita turun dan bergabung dengan saudara-saudara kita
yang lain." Pada saat itu Ratu Sheba yang lama belum terlalu gemuk untuk meninggalkan istana, dan
kemanapun dia pergi selalu ditemani oleh penjaganya. Sebagai pemimpinnya, ibu Asmira selalu
berjalan tepat di belakang sang ratu, sedekat bayangan, pedang melengkung bergantung
bebas di pinggangnya. Asmira (yang terutama mengagumi rambut ibunya yang panjang dan
bersinar) berpikir dia lebih cantik dan agung daripada Ratu sendiri, meskipun demikian ia
berhati-hati untuk tidak mengatakan hal ini kepada siapa pun. Pemikiran seperti itu bisa
dianggap pengkhianatan, dan ada tempat untuk para pengkhianat di bukit gundul di luar padang
rumput, di mana sisa tubuh mereka dipatuki oleh burung-burung kecil. Sebaliknya dia merasa
puas membayangkan hari saat ia akan menjadi pengawal pertama dan berjalan di belakang
sang Ratu. Ia keluar menuju kebun di belakang istana dan, dengan sepotong buluh,
mempraktekkan permainan pedang, membayangkan barisan demon imajinasi pada
pertempuran yang penuh dan mengerikan.
Sejak awal ia bergabung dengan ibunya di ruang pelatihan, dimana, dibawah pengawasan
mata ibu-penjaga yang awas dan dipenuhi keriput, yang sekarang terlalu tua untuk aktif bekerja,
para wanita penjaga setiap hari mengasah kemampuan mereka. Sebelum sarapan mereka
memanjat tali, berlari mengitari padang rumput, berenang di kanal-kanal di bawah dinding.
Sekarang, otot-otot mereka telah siap, mereka bekerja enam jam sehari dalam gema, di kamar
yang diterangi matahari, bertanding dengan pedang dan tongkat yg diputar-putar, berduel
dengan pisau dan tinju yang diputar-putar, melempar cakram dan belati ke arah target boneka
jerami di lantai. Asmira akan memperhatikan itu semua dari bangku, di mana ibu-penjaga
membebat luka dan memar dalam kain linen yang dilapisi dengan ramuan herbal yang
menenangkan. Seringkali dia dan gadis-gadis lain akan mengambil senjata kayu kecil ditata
untuk mereka, bergabunglah ibu mereka dalam permainan tanding yang lemah lembut, dan
memulai pelatihan mereka.
Ibu Asmira adalah yang paling berhasil dari para wanita tersebut, itulah mengapa ia menjadi
Pengawal pertama. Ia paling cepat berlari, berjuang paling keras, dan di atas semuanya
melemparkan belati yang bersinar lebih akurat daripada orang lain. Dia bisa melakukan ini
sambil berdiri, bergerak, dan bahkan saat setengah berputar, melayangkan pisau bergagang
jauh ke arah target yang telah dipilih di sepanjang lorong.
Asmira terpesona oleh hal ini. Sering kali dia berlari-lari, sambil mengulurkan tangannya. "Aku
ingin pergi." "Kau belum cukup umur," kata ibunya, tersenyum. "Ada kayu yang baik dan berbobot, jadi kamu
tidak melukai dirimu sendiri. Tidak, tidak seperti itu" - untuk Asmira telah mengambil belati dari
genggamannya " "Kamu harus memegang ujungnya dengan ringan diantara ibu jari dan
telunjuk ... seperti itu. Sekarang, kamu harus tenang. Tutup matamu, ambil nafas dalam-dalam,
bernafas perlahan-" "Tidak perlu! Perhatikan ini untuk sebuah tembakkan! Oh."
Ibunya tertawa. "Bukan upaya yang buruk, Asmira. Jika targetnya berdiri enam langkah ke
kanan dan dua puluh langkah lebih dekat, kamu akan memukulnya dengan tepat. Karena, aku
senang aku tidak memiliki kaki yang sedikit lebih besar." Dia membungkuk, memungut pisau.
"Cobalah lagi."
Tahun-tahun berlalu, Dewa Matahari telah bekerja dalam lintasan hariannya menembus langit.
Sekarang Asmira berusia tujuh belas tahun, berkaki ringan dan memiliki tatapan mata yg serius,
dan satu dari empat kapten yang baru dipromosikan dari penjaga istana. Dia unggul saat
pemberontakan terbaru dari suku perbukitan, dan secara pribadi telah menangkap pemimpin
gerilyawan dan penyihir itu. Dia sudah beberapa kali mewakili Penjaga Pertama untuk berdiri di
belakang ratu selama upacara di kuil-kuil. Tapi Ratu Sheba sendiri tak pernah sekalipun
berbicara dengannya, tak pernah mengetahui keberadaannya - hingga malam menara dibakar.
Di luar jendela, asap masih melayang di udara; dari Aula Kematian terdengar suara genderang
perkabungan. Asmira duduk di ruang kerajaan, dengan canggung memegang cangkir anggur
dan menatap lantai. "Asmira, sayangku," kata sang ratu. "Apakah kamu tahu siapa yang melakukan tindakan keji
ini?" Asmira mengangkat matanya. Ratu duduk begitu dekat dengannya hampir menyentuh lutut. Itu
adalah kedekatan yang berlebihan. Jantungnya berdebar dalam dadanya. Dia menunduk lagi.
"Mereka mengatakan, tuan putri," dia tergagap, "mereka mengatakan itu adalah perbuatan Raja
Solomon." "Apakah mereka mengatakan mengapa?"
"Tidak, tuan putri."
"Asmira, kamu boleh melihat kepadaku saat kamu berbicara. Aku ratumu, ya, tapi kita berdua
sama-sama putri Matahari."
Ketika Asmira mendongak sekali lagi, sang ratu tersenyum. Pemandangan itu membuatnya
sedikit pusing, ia menyesap anggurnya.
"Pengawal Pertama telah sering berbicara tentang kemampuanmu," lanjut sang ratu. "Cepat,
kuat dan cerdas, katanya. Tidak takut bahaya. Banyak akal, sedikit nekat ... Dan cantik juga "
aku dapat melihatnya sendiri. Katakan padaku, apa yang kamu ketahui dari Solomon, Asmira"
Ceritakan apa yang telah kau dengar?"
Wajah Asmira memerah dan tenggorokannya terasa sesak. Mungkin itu karena asap. Ia telah
menyusun rantai air di bawah menara. "Saya telah mendengar cerita-cerita yang biasa, tuan
putri. Dia memiliki sebuah istana dari batu giok dan emas, yang dibangun dalam satu malam
dengan cincin sihirnya. Dia menguasai dua puluh ribu spirit, masing-masing lebih mengerikan
daripada yang sebelumnya. Ia memiliki tujuh ratus istri - dan karenanya jelaslah ia seorang pria
yang jahat dan keji. Dia-"
Ratu mengangkat tangannya. "Aku telah mendengar ini juga." Senyumnya memudar. "Asmira,
Solomon menginginkan kekayaan Sheba. Salah satu demonnya telah menyerang tadi malam,
dan saat bulan baru - yang akan jatuh tiga belas hari lagi " serombongan besar dari cincin sihir
akan datang ke sini untuk menghancurkan kita semua."
Mata Asmira terbuka lebar penuh kengerian, dia tidak mengatakan apa-apa.
"Kecuali, itu dia," sang ratu itu melanjutkan, "Aku membayar uang tebusan. Tak perlu dikatakan,
aku tak ingin melakukannya. Itu akan menjadi penghinaan terhadap kehormatan Sheba dan
diriku sendiri. Tapi apa pilihannya" Kekuatan cincin itu terlalu besar untuk dihadapi. Hanya jika
Solomon sendiri terbunuh mungkin bahaya akan lewat. Tapi itu hampir tidak mungkin, karena ia
tidak pernah meninggalkan Yerusalem, kota yang dijaga dengan sangat baik untuk tentara atau
penyihir berharap dapat memasukinya. Namun ..." Sang ratu menghela napas berat dan
menatap ke luar jendela. "Namun aku bertanya-tanya. Aku bertanya-tanya apakah seseorang
yang bepergian sendirian, seseorang dengan kecerdasan yang cukup dan keterampilan,
seseorang yang tampaknya tidak berbahaya, namun tidak begitu - apakah orang yang mungkin
menemukan cara untuk mendapatkan akses ke sang raja ... Dan ketika dia sendirian
dengannya, ia mungkin- Ah, tapi itu akan menjadi tugas yang sulit memang."
"Tuan putri?" suara Asmira bergetar penuh hasrat, serta rasa takut pada apa yang akan dia
katakan. "Putriku, apakah ada cara agar saya dapat membantu-"
Ratu Sheba tersenyum ramah. "Sayangku, kamu tidak perlu menjelaskan lagi. Aku sudah tahu
kesetiaanmu. Aku tahu rasa cintamu untukku. Ya, sayangku Asmira, terima kasih untuk
menunjukkan hal itu. Aku percaya kau bisa."
Matahari terbit menggantung rendah di atas padang pasir Timur. Ketika Asmira berputar dan
kembali menghadap ke Barat, ia menemukan pelabuhan Eilat telah menjadi sebaran warna
putih bersih dari gedung-gedung, dan lautan menjadi garis berwarna biru langit. Di mana
benda-benda warna putih kecil menempel.
Matanya menyipit. Kapal milik Solomon yang jahat. Mulai dari sekarang ia harus berhati-hati.
Ia mengambil belati perak di samping tasnya dan menyelipkan di ikat pinggangnya,
menutupinya dari pandangan di bawah mantelnya. Saat dia melakukannya, tatapannya
mengarah ke atas: ia melihat sketsa bulan yang memudar, tergantung lemah dan seperti hantu
dalam kebiruan. Pemandangan itu memberinya pemahaman baru yang mendesak. Dua belas
hari tersisa! Dan Solomon masih sangat jauh. Mengambil tasnya, ia berlari cepat menuruni
bukit. "Perhatikan di mana kau jatuhkan kepingan itu," bentak Faquarl. "Yang terakhir itu menimpa
leherku." "Maaf." "Dan lebih baik kau pakai bawahan yang lebih panjang selama melakukannya. Aku takut
melihat ke atas." Aku berhenti memahat. "Bolehkah aku membantu jika ini model terbaru?"
"Kau menghalangi cahaya matahari. Paling tidak, bergeserlah sedikit."
Kami saling merengut. Aku bergeser seinci dengan enggan kearah kiri; Faquarl bergeser seinci
dengan marah kearah kanan. Kami meneruskan memahat."
"Aku tidak terlalu keberatan," kata Faquarl masam, "jika kita bisa melakukannya dengan benar.
Sebuah ledakan yang cepat atau dua akan menghasilkan keajaiban pada batu ini."
"Katakan itu pada Solomon," kataku. "Ini salahnya kita tidak diizinkan untuk-Aduh!" Paluku
memukul ibu jariku bukannya pahat. Aku melompat dan berjingkrak-jingkrak; sumpah
serapahku bergema di permukaan batu dan mengagetkan burung pemakan bangkai di
dekatnya. Sepanjang pagi, sejak kegelapan menyelimuti fajar, kami berdua telah bekerja keras di
tambang bawah lokasi pembangunan, menetak keluar balok pertama untuk kuil. Langkan
Faquarl berada sedikit di bawahku, jadi ia memperoleh bagian yang paling sulit. Tambang
sepenuhnya terpapar kerasnya matahari yang makin meninggi, jadi aku kepanasan dan
gampang marah. Dan sekarang ibu jariku sakit.
Aku melihat ke sekeliling: batu, kabut panas, tidak ada yang bergerak di plane yang manapun.
"Aku muak dengan semua ini," kataku. "Ini bukan soal Khaba, dan bukan juga karena foliot
kecilnya yang jahat. Aku mau istirahat." Sambil berkata demikian, si pemuda tampan
melemparkan pahat ke samping dan meluncur menuruni tangga kayu ke lantai tambang.
Faquarl kembali menjadi seorang Nubia, gemuk, gendut, berdebu dan menatap dengan marah.
Ia ragu-ragu, kemudian melemparkan peralatannya juga. Kami berjongkok bersama-sama di
bawah bayangan setengah-balok perseginya, dengan gaya malas budak di seluruh dunia.
"Kita mendapat pekerjaan teburuk lagi," kataku. "Kenapa kita tidak bisa bersama-sama
menggali fondasi dengan yang lainnya?"
Si Nubia menggaruk perutnya, memilih pecahan batu dari puing-puing di kaki kami dan
mengorek-ngorek giginya yang runcing. "Mungkin karena tuan kita sangat tidak menyukai kita.
Yang dalam kasusmu tidaklah mengejutkan, mengingat perkataanmu kemarin."
Aku tersenyum puas. "Benar."
"Berbicara tentang si penyihir," kata Faquarl. "Khaba ini: apa yang kau pikirkan tentangnya?"
"Buruk. Kau?" "Salah satu yang terburuk."
"Aku katakan sepuluh besar yang terburuk, bahkan mungkin lima besar."
"Tidak hanya dia kejam," tambah Faquarl, "tapi dia sewenang-wenang. Aku bisa menghargai
sifat kejam; dalam banyak hal aku menemukan nilai positif dari kekejaman. Tapi dia terlalu
cepat menggunakan cambuknya. Jika kau bekerja terlalu lambat, jika kau bekerja terlalu cepat,
jika kau kebetulan ada di dekatnya ketika ia merasa seperti itu - setiap kesempatan, itu pasti
keluar." Aku mengangguk. "Tepat sekali. Dia memeriksaku lagi semalam murni hanya karena
kebetulan." "Yang manakah itu?"
"Aku membuat lelucon efek suara secara sembarangan tepat saat ia membungkuk untuk
mengikat sandalnya." Aku menghela napas dan menggeleng sedih. "Benar, suara itu bergema
sepanjang dinding lembah seperti halilintar. Benar, beberapa bangsawan Spanyol yang hadir di
istana Solomon buru-buru mengubah arah untuk melawan arah anginnya. Tapi meskipun
begitu! Laki-laki tanpa rasa humor - itulah akar permasalahannya."
"Senang melihatmu masih sama seperti biasanya, Bartimaeus," kata Faquarl datar.
"Aku mencoba. Aku mencoba."
"Tapi selain beristirahat, kita harus berhati-hati dengan Khaba. Kamu ingat apa yang dia
tunjukkan kepada kita di dalam bola" Itu bisa saja salah satu dari kita."
"Aku tahu." Si Nubia selesai mengorek-ngorek giginya dan membuang pecahan batu tersebut. Bersamasama kami menatap dengan nanar ke arah getaran berwarna putih dari tambang tersebut.
Sekarang, bagi pembaca yang cuma sambil lalu membaca dialog di atas mungkin tampak
biasa-biasa saja, namun kenyataannya punya nilai sangat tinggi untuk keasliannya seperti
halnya Faquarl dan aku sudah saling berbicara tanpa terpaksa untuk (a) saling merendahkan,
(b) membuat sindiran, atau (c) melakukan percobaan pembunuhan. Ini, selama berabad-abad,
merupakan kejadian yang tidak biasa. Sebenarnya pernah ada peradaban yang telah menarik
diri mereka sendiri dari dalam lumpur, menguasai seni menulis dan astronomi, dan membusuk
secara perlahan-lahan dalam kemunduran di antara rentang waktu kami sedang mengobrol.
Kami pertama kali bertemu di Mesopotamia, selama perang tak berkesudahan antara negara
besar. Kadang-kadang kami berjuang di sisi yang sama, kadang-kadang kami berhadapan satu
sama lain dalam pertempuran. Hal ini bukanlah suatu masalah besar - itu adalah persamaan
untuk pelajaran bagi semua spirit, dan situasi jadi sedikit diluar kendali kami, karena majikan
kamilah yang memaksa kita bertindak - tapi entah bagaimana Faquarl dan aku sepertinya saling
bertemu dengan cara yang salah.
Mengapa, cukup sulit untuk dikatakan. Dalam banyak hal kami memiliki banyak kesamaan.
Pertama, kami berdua adalah Jin yang bereputasi tinggi dan memiliki asal-usul yang sangat tua,
meskipun (biasanya) Faquarl bersikeras asalnya sedikit lebih tua dariku. (1)
(1) Dalam catatannya, pemanggilan pertama Faquarl terjadi di Jericho, 3015 SM, sekitar lima tahun
sebelum awal kemunculanku di Uruk. Hal ini membuatnya, diduga, sebagai jin yang paling senior dalam
persekutuan kami. Namun, karena Faquarl juga bersumpah ia yang menciptakan huruf hieroglif dengan
cara "mencorat-coret dengan sebatang tongkat di lumpur sungai Nil" dan ia juga mengaku telah
menemukan sempoa dengan cara menusuk dua lusin imp di sepanjang cabang pohon cedar di Asia, aku
menghargai semua cerita nya dengan sedikit keraguan.
Kedua, kami berdua adalah individu yang penuh semangat, ampuh, banyak akal dan ahli dalam
perkelahian, dan lawan yang tangguh bagi majikan manusia kami. Diantara kami berdua kami
telah mencatat banyak penyihir hebat yang gagal menutup pentacle mereka dengan benar,
salah mengucapkan kata selama upacara pemanggilan kami, meninggalkan celah jalan untuk
lari pada syarat dan kondisi dalam perjanjian kami, atau sebaliknya mengacaukan proses yang
berbahaya saat membawa kita ke Bumi. Kekurangan dalam kekuatan kami, bagaimanapun
juga, bahwa penyihir yang kompeten, mengakui kualitas kami dan ingin menggunakan mereka
untuk kepentingan mereka sendiri, semakin sering memanggil kami. Hasilnya adalah bahwa
Faquarl dan aku adalah dua spirit yang bekerja paling keras pada masa itu, setidaknya menurut
pendapat kami. Jika itu semua belum cukup, kami mempunyai banyak ketertarikan yang sama untuk dibagi,
khususnya arsitektur, politik dan masakan daerah (2). Jadi satu dan lain hal kau akan berpikir
bahwa Faquarl dan aku akan baik-baik saja.
(2)Dalam pandanganku orang-orang Babilonia adalah yang paling lezat, karena kaya susu kambing
dalam makanan mereka. Faquarl lebih menyukai orang Indian yang baik
Sebaliknya, untuk beberapa alasan, kami saling berhadapan muka (3), dan selalu dilakukan.
(3)Atau moncong. Atau batang. Atau tentakel, filamen, palpi atau antena, tergantung samaran apa yang
kami gunakan. Namun, kami biasanya disiapkan untuk menyingkirkan perbedaan-perbedaan kami ketika
berhadapan dengan musuh yang sama, dan tuan kami saat ini pasti memenuhi persyaratan
tersebut. Setiap penyihir yang mampu memanggil delapan jin sekaligus jelas mempunyai
rencana yang hebat, dan cambuk tidaklah mempermudah persoalan. Tetapi aku merasa disana
ada sesuatu yang lebih padanya, bahkan daripada itu.
"Ada satu hal aneh tentang Khaba," kataku tiba-tiba. "Pernahkah kamu perhatikan-?"
Faquarl memberiku tatapan yang tajam, ia memiringkan kepalanya sedikit. Dua orang rekan
kerja kami, Xoxen dan Tivoc, kelihatan menuruni jalan kecil di dalam tambang. Keduanya
berjalan dengan susah payah dan memanggul sekop di atas bahunya.
"Faquarl! Bartimeus!" Xoxen tidak percaya. "Apa yang kalian lakukan?"
Kedua mata Tivoc berkilat dengan keji. "Mereka sedang beristirahat."
"Sini dan bergabunglah dengan kami jika kalian mau," kataku.
Xoxen bersandar pada sekopnya dan mengusap wajah dengan tangannya yang kotor. "Kalian
bodoh!" Desisnya. "Tidakkah kalian ingat nama dan sifat majikan kita" Dia tidak dipanggil
Khaba yang kejam karena kemurahan hati yang ia tunjukkan pada spirit yang suka menghindari
tanggung jawab! Dia memerintahkan kita untuk bekerja tanpa istirahat sepanjang cahaya masih
bersinar. Pada siang hari kita bekerja keras, pada malam hari kita istirahat! Apa yang ada
dalam konsep itu yang tidak kalian pahami?"
"Kau akan membuat kita semua masuk dalam kurungan intisari," geram Tivoc.
Faquarl membuat gerakan acuh. "Orang Mesir itu hanya manusia biasa, terpenjara dalam
daging yang keriput, sementara kita adalah spirit yang mulia " Aku menggunakan istilah "mulia"
dalam artian sebebas mungkin, tentu saja, termasuk Bartimeus. Kenapa harus salah satu dari
kita yang bekerja keras untuk Khaba" Kita harus bekerja sama untuk menghancurkannya!"
"Omong besar," geram Tivoc, "tapi aku perhatikan penyihir itu tidak tampak dimanapun."
Xoxen mengangguk. "Tepat sekali. Ketika ia muncul, kalian berdua akan memahat pada
kecepatan ganda, camkan kata-kataku. Sementara itu, haruskah kami laporkan bahwa balok
pertama kalian belumlah selesai" Beri tahu kami saat mereka siap untuk ditarik ke lapangan."
Berbalik memutar, mereka keluar dengan perlahan dari pertambangan. Faquarl dan aku
menatap mereka. "Teman kerja kita meninggalkan banyak permintaan," aku menggerutu. "Tidak ada
dukungan." (4) (4)Supaya adil, beberapa diantara mereka baik-baik saja. Nimshik telah menghabiskan beberapa saat
yang baik di Kanaan dan punya penilaian yang menarik tentang politik suku setempat; Menes, jin yang
lebih muda, mendengarkan dengan penuh perhatian akan kata-kata bijaksanaku; bahkan Chosroes
menanyai imp dengan bertubi-tubi. Tapi sisanya adalah pemborosan intisari, Beyzer yang sombong,


Bartimaeus 4 The Ring Of Solomon Karya Jonathan Stroud di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tivoc sinis dan Xoxen penuh kesopanan palsu, yang dalam pikiran sederhanaku adalah tiga sifat yang
sangat membosankan. Faquarl mengambil peralatannya dan dan bangkit berdiri. "Yah, kita sama buruknya dengan
mereka sejauh ini," katanya. "Kita telah membiarkan Khaba menekan kita di sekitar kita juga.
Masalahnya adalah, aku tidak melihat bagaimana cara kita akan balas melawan. Dia kuat, dia
ingin membalas dendam, dia punya cambuk terkutuk itu " dan dia juga punya ..."
Suaranya melemah. Kami saling memandang. Kemudian Faquarl mengeluarkan getaran kecil
yang diperluas di sekitar kita, menciptakan gelembung keheningan berwarna hijau. Suara-suara
samar dari atas bukit, dimana sekop-sekop teman sesama Jin kami bisa terdengar dari jarak
jauh, mendadak langsung teredam, kami hanya berdua, suara kami terisolasi dari dunia.
Meskipun begitu, aku mencondongkan tubuh mendekat. "Pernahkah kamu perhatikan
bayangannya?" "Sedikit lebih gelap daripada seharusnya?" Gumam Faquarl. "Pernah jadi sedikit lebih panjang"
Bergerak sedikit lebih lambat ketika Khaba bergerak?"
"Itu salah satunya."
Ia memasang wajah masam. "Tak ada yang terlihat di plane manapun, yang artinya ada
selubung tingkat tinggi di tempat itu. Tapi itu berarti sesuatu kan - sesuatu yang melindungi
Khaba. Jika kita akan mendapatkan dia, pertama kita perlu mencari tahu apa itu."
"Mari kita awasi terus," kataku. "Cepat atau lambat, itu akan menjauh darinya."
Faquarl mengangguk. Ia melambaikan pahat, gelembung keheningan meledak
menghamburkan pecahan tetesan kehijauan. Tanpa berkata-kata lebih lanjut, kami kembali ke
pekerjaan kami. Selama beberapa hari aktivitas berjalan lambat di lokasi kuil. Puncak bukit itu diratakan,
dihaluskan dan semak belukar dibersihkan, dan pondasi bangunan mulai digali. Jauh didalam
tambang Faquarl dan aku menghasilkan sejumlah batu kapur yang berkualitas, geometris,
simetris, dan begitu bersih sehingga raja sendiri bisa memakannya sebagai sarapan. Meskipun
demikian, itu tidak memperoleh persetujuan dari pengawas Khaba yang menjijikkan Gezeri,
yang muncul dengan tiba-tiba dari celah diatas kepala kami dan memeriksa pekerjaan kami.
"Ini barang jelek, anak-anak," katanya, menggelengkan kepala hijaunya yang berlemak.
"Banyak bagian yang kasar kedua sisinya perlu diamplas. Bos tidak akan menerimanya, ya
ampun, tidak." "Mendekatlah dan tunjukkan padaku dimana tepatnya," kataku dengan senang. "Penglihatanku
tidak seperti itu." Si Foliot melompat turun dari langkan dan melenggang di atas. "Kalian para Jin semuanya
sama. Karung bengkak besar tidak berguna, aku juluki kalian. Jika saja aku adalah tuan kalian,
aku akan lubangi kalian setiap hari dengan wabah sampar hanya pada dasar-Ah!" Selanjutnya
kata-kata bijaksana dari Gezeri berkurang untuk beberapa menit kedepan, sambil dengan
rajinnya aku mengampelas pinggiran balok menggunakan sisi kepalanya. Ketika aku selesai,
balok itu mengilap seperti pantat bayi, dan wajah Gezeri jadi datar seperti sebuah landasan.
"Kau benar," kataku. "Mereka terlihat jauh lebih baik sekarang. Juga kamu, seperti pada
kenyataannya." Si Foliot melompat-lompat dari kaki ke kaki dengan marah. "Beraninya kau! Aku akan
mengadukanmu, aku akan! Khaba sudah mengawasimu! Ia hanya menunggu sebuah alasan
yang tepat untuk menceburkanmu ke dalam Api kesedihan! Ketika aku pergi dan katakan
padanya-" "Sini, biarkan aku membantumu dengan itu." Dalam semangat filantropi, aku menangkapnya,
mengikat kedua tangan dan kakinya dengan simpul yang rumit, dan dengan sebuah sepakan
yang mengesankan menendangnya jauh tinggi di atas dinding tambang dan mendarat di suatu
tempat di lokasi bangunan. Ada suara mencicit di kejauhan.
Faquarl menyaksikan semua ini dengan geli. "Sedikit sembrono, Bartimaeus."
"Aku mendapatkan cambukan setiap hari," aku menggeram. "Sekali lagi tidak akan ada
bedanya." Namun pada kenyataannya sang penyihir itu tampak terlalu sibuk saat ini bahkan untuk
memeriksa lebih banyak. Dia menghabiskan sebagian besar waktunya di sebuah tenda di
pinggir situs, memeriksa rencana pembangunan dan berurusan dengan imp pembawa pesan
yang dikirim dari istana. Pesan-pesan ini berisi instruksi-instruksi baru yang tidak pernah ada
habisnya untuk tata letak kuil - pilar kuningan disini, lantai kayu cedar disana " yang langsung
harus Khaba masukkan ke dalam rencana. Sering kali ia keluar untuk memeriksa ulang
perubahan itu terhadap pekerjaan yang telah dilakukan sejauh ini, jadi setiap kali aku naik
menyeret balok ke lokasi, aku mengambil kesempatan untuk mempelajarinya.
Itu tidaklah sangat menentramkan.
Hal pertama yang kulihat adalah bahwa bayangan Khaba selalu mengikuti di belakangnya,
membuntuti dibelakangnya sepanjang jalan berlumpur. Ia tetap ada disana terlepas dari posisi
matahari: tidak pernah di depan, tidak ke samping, selalu dengan tenang ada di belakangnya.
Hal kedua lebih aneh lagi. Sang Penyihir sendiri jarang muncul ketika matahari berada di titik
puncaknya (5), tetapi ketika dia melakukannya, terlihat dengan jelas bahwa saat semua
bayangan lainnya berkurang hampir tidak ada, bayangannya masih tetap panjang dan ramping,
sesuatu dari malam atau dini hari.
(5) Dia lebih suka berada di dalam tendanya dan membiarkan foliot dalam bentuk budak anak laki-laki
Scythian melambaikan telapak tangan diatas kepalanya dan menyuapinya manisan dan es buah. Yang
aku rasa cukup adil. Meskipun kurang lebih sama dengan bentuk pemiliknya, bayangan itu benar-benar memanjang
dengan berbagai cara, dan terutama aku tidak suka dengan jari meruncing tipis panjangnya.
Biasanya ini bergerak bersamaan dengan gerakan si penyihir, tetapi tidak selalu. Sekali waktu,
ketika aku membantu mendorong balok menuju kuil, Khaba mengamati kita dari samping. Dan
dari sudut mataku aku seperti melihatnya, meskipun si penyihir itu menyilangkan kedua
lengannya, bayangan lengannya sekarang menyerupai belalang sembah, dikurung dengan
penuh rasa lapar dan menunggu. Aku menoleh dengan cepat, hanya untuk menemukan
bayangan lengan itu disilangkan secara normal, sama seperti seharusnya.
Seperti yang Faquarl amati, bayangan itu terlihat sama di tiap-tiap dari ketujuh plane, dan ini
tidak menyenangkan dirinya. Aku bukan seorang imp atau foliot, tapi seorang jin yang terikat
dengan perintah penuh dari setiap plane, dan biasanya aku berharap bisa melihat menembus
ilusi yang paling ajaib sekalipun. Khayalan, persembunyian, daya tarik, tabir, sebutkan saja dengan membalik ketujuh plane mereka semua akan hancur di depan mataku menjadi lapisanlapisan nyata dari gumpalan dan benang yang bersinar, sehingga aku bisa melihat kebenaran
dibaliknya. Itu sama dengan kedok spirit: tunjukkan padaku seorang anak laki-laki kecil anggota
paduan suara yang manis atau seorang ibu yang tersenyum dan akan aku tunjukkan taring
mengerikan strigo" (6) itu yang sebenarnya. (7) Hanya sedikit yang tetap tersembunyi dari
pandanganku. (6) Strigo": Jin yang berasal dari kelas yang jelek, mukanya pucat dan hanya bisa keluar pada malam
hari, dengan kebiasaan meminum darah dari makhluk hidup. Seperti Succubus, tapi tanpa lekukkan
tubuh. (7) Tidak selalu. Hanya kadang-kadang. Contohnya ibumu, benar-benar baik. Mungkin.
Tidak dengan bayangan ini. Aku tidak bisa melihat menembus tabir sama sekali.
Faquarl tidak memiliki keberuntungan yang lebih baik, seperti yang dia akui pada suatu malam
di dekat api unggun. "Ini pasti tingkat tinggi," gumamnya. "Sesuatu yang bisa menipu kita pada
tingkat ketujuh tidak mungkin seorang jin, bukan" Aku pikir Khaba membawanya bersamanya
dari Mesir. Punya ide apakah itu, Bartimeus" Kamu telah menghabiskan lebih banyak waktu di
sana daripada aku akhir-akhir ini."
Aku mengangkat bahu. "Katakombe di Karnak sangatlah dalam. Aku tidak pernah masuk terlalu
jauh. Kita harus bertindak hati-hati."
Hanya kehatian-hatianlah yang telah menyelamatkanku pada keesokan harinya. Ada masalah
dengan kelurusan dari teras candi, dan aku memanjat sebuah tangga untuk mengamatinya dari
atas. Aku tersembunyi di celah sempit di antara dua balok, dan sedang bermain dengan
waterpass dan unting-unting, ketika sang penyihir melintasiku pada tanah yang telah
dipadatkan dan keras dibawahku. Seorang imp kecil pembawa utusan datang mendekat dari
arah istana, sebuah surat resmi di kakinya, dan mencegatnya; sang penyihir berhenti,
mengambil lembaran kertas lilin di mana pesan itu ditekankan, dan membacanya dengan cepat.
Saat ia melakukannya, bayangannya, seperti biasa, terentang panjang di atas tanah di
belakangnya, meskipun matahari sudah hampir mencapai puncaknya. Sang Penyihir
mengangguk, menyelipkan lembaran kertas itu kedalam kantong sabuknya dan melanjutkan
perjalanannya; si imp, dengan bosan dan tanpa tujuan semacamnya, keluyuran kearah yang
berlawanan, sambil mengupil. Saat melakukan itu ia melewati si bayangan, semua terjadi dalam
sekejap ada gerakan kabur, suara gemeretak tajam, dan imp itu lenyap begitu saja. Bayangan
itu mengalir lalu menghilang mengikuti si penyihir, seperti menghilang dari pandangan, kepala
landungnya berputar untuk menatapku, dan pada saat itu tidak sedikitpun terlihat seperti
manusia. Dengan tangan sedikit gemetar, aku menyelesaikan pengukuran dan turun dengan kaku dari
beranda. Setelah dipertimbangkan, mungkin yang terbaik adalah menjaga diri dari Khaba si
penyihir. Aku akan menyembunyikan diriku, melakukan pekerjaanku dengan efektif, dan di atas
semua itu tidak menarik perhatian kepada diriku sendiri. Itu akan jadi cara terbaik untuk
menghindari masalah. Aku berhasil selama empat hari penuh. Kemudian bencana melanda.
Pelabuhan Eilat menjadi kejutan bagi Asmira, yang pengalamannya akan kota-kota hanya
terbatas pada kota Marib dan saudaranya kota Sirwah tiga puluh mil jauhnya melintasi padang
yang luas. Padat seperti biasa, terutama pada hari-hari perayaan, setiap saat mereka menjaga
aturan yang jelas. Para pendeta mengenakan Kirtle emas mereka, penduduk kota mengenakan
tunik putih biru sederhana. Bila orang-orang dari suku perbukitan hadir, Jubah panjang merah
coklat yang mereka pakai membuatnya dengan mudah dikenali dari pos penjagaan. Hanya
dengan sekali pandang seorang penjaga dapat menilai keramaian, dan mengantisipasi bahaya
yang bisa muncul disana. Di Eilat, tidak sesederhana itu
Jalan-jalannya lebar dan bangunan-bangunannya tidak ada yang lebih tinggi dari dua lantai.
Bagi Asmira, yang terbiasa dalam kedamaian, bayangan dingin dari menara-menara Sheba,
kota ini terlihat aneh dan tanpa bentuk, hamparan masal dinding bercat putih yang panas
membingungkan dengan gelombang manusia yang tiada henti berlalu diantaranya. Orang Mesir
kaya berbusana bagus berjalan bersama, amulet berkilauan di dada mereka; dibelakangnya
para budak membawa kotak-kotak, peti-peti harta, imp cemberut dalam sangkar yang berayunayun. Lelaki perahu berotot liat, bermata cerah, bertubuh kecil, dengan karung damar
dipunggung, terhuyung-huyung membelah keramaian berjalan melintasi kios-kios dimana para
pedagang Kushite menawarkan pelindung Jin dari perak dan Jimat spirit kepada para musafir
yang waspada. Orang Babilonia bermata hitam berdebat dengan lelaki berkulit pucat diatas
gerobak yang terbungkus kulit binatang dengan corak aneh. Asmira bahkan melihat
sekelompok rekan dari Sheba menuju utara dengan lelah dan meninggalkan jejak aroma
kemenyan Di atas atap, makhluk-makhluk diam berbentuk kucing dan burung mengawasi aktifitas yang
berlangsung. Asmira, berdiri di gerbang, mengernyitkan hidungnya dengan jijik pada sihir tanpa aturan dari
para penyihir Sang Raja. Dia membeli kacang berbumbu dari sebuah kios di dalam dinding
kota, lalu terjun berbaur dikeramaian. Arus keramaian melanda; dia ditelan oleh kerumunan.
Meskipun begitu, dia tahu kalau sedang dibuntuti bahkan sebelum dia berjalan selusin langkah.
Sengaja menoleh kebelakang, dia melihat lelaki kurus berjubah pucat bergerak dari tembok
tempatnya bersandar dan berjalan mengejarnya sepanjang jalan. Beberapa saat kemudian,
setelah dua kali mengubah arah secara acak, dia menoleh lagi dan menemukannya masih
dalam jarak pandang, berjalan lamban, memandang kakinya, tampak sangat terpesona oleh
awan debu yang ditimbulkan setiap langkahnya.
Agen Solomon " Sepertinya bukan; dia tidak melakukan hal yang bisa menarik perhatian.
Tanpa terburu-buru Asmira menyeberangi jalanan dibawah teriknya matahari dan membungkuk
dibawah tenda penjual roti. Dia berdiri diatas keranjang-keranjang dibawah bayangan,
menghirup aroma tumpukan roti. Di ujung matanya dia melihat tubuh pucat berjalan cepat
diantara para pembeli di kios tukang ikan diseberang jalan.
Lelaki tua keriput duduk berjongkok diantara keranjang roti, mengunyah khat dimulut ompong
tak bergigi. Asmira membeli roti gandum tipis darinya, kemudian bertanya: " Pak, Saya perlu
berangkat menuju Jerusalem karena urusan yang mendesak. Bagaimanakah cara tercepat?"
Si lelaki tua mengerutkan keningnya; bahasa arabnya terdengar aneh bagi si lelaki tua, hampir
tak bisa dipahami. " Dengan unta."
"Dari mana unta-unta biasa berangkat?"
"Dari alun-alun pasar, disebelah air mancur."
"Oh disitu, dimana alun-alunnya?"
Si lelaki tua merenung lama, rahangnya bergerak lambat dalam gerakan memutar. Akhirnya dia
menjawab. " Disamping air mancur."
Alis Asmira berkerut, bibir bawahnya mencibir kesal. Dia melirik kembali ke kios ikan. "Aku
datang dari selatan," katanya. "Aku tak tahu seluk beluk kota ini. Apakah unta benar-benar cara
tercepat" Kupikir mungkin " "
"Apakah kamu bepergian sendirian?" kata si lelaki tua.
"Ya." "Ah." Dia membuka mulut ompongnya dan terkekeh singkat.
Asmira menatapnya "Kenapa?"
Bahu kerempengnya terangkat."Kau masih muda, dan " bila bayangan selendangmu tidak
menyembunyikan kejutan yang tidak menyenangkan " cukup tampan. Ditambah lagi engkau
bepergian sendirian. Dari pengalamanku, kesempatanmu meninggalkan Eilat dengan selamat,
tidak perlu sampai ke Jerusalem, sangat tipis. Meskipun begitu, ketika engkau masih memiliki
nyawa dan uang, engkau sebaiknya membelanjakannya dengan bebas; itulah filosofiku.
Bagaimana dengan membeli roti yang lain?"
"Tidak, terima kasih. Aku bertanya tentang Jerusalem."
Si lelaki tua menatap menilainya. "Para pedagang budak disini hidup makmur," gumannya. "Aku
kadang berharap bisa ikut terjun dalam bisnis itu?". Dia menjilat jarinya, mengulurkan lengan
berbulu dan menyusun pajangan roti pipih di keranjang terdekat. "Cara untuk menuju
Jerusalem" Kalau engkau seorang penyihir, kau bisa terbang kesana diatas karpet" Itu lebih
cepat dari unta." "Aku bukan penyihir," kata Asmira. Dia mengatur tas kulit di bahunya.
Si lelaki tua mendengus. "Untunglah, karena jika kau terbang ke Jerusalem dengan karpet, Dia
akan melihatmu karena kekuatan cincinnya. Lalu para demon akan menangkap dan
membawamu, dan akan menjadikanmu sasaran dari semua jenis horor yang bisa
kaubayangkan. Tidak berminatkan engkau dengan sebungkus Pretzel ?"
Asmira membersihkan tenggorokannya. " Kupikir mungkin kereta kuda."
"Kereta kuda hanya untuk para ratu," kata si penjual roti. Dia tertawa, mulutnya menganga
hampa. "Dan para penyihir."
"Aku bukan keduanya," kata Asmira.
Dia mengambil rotinya dan pergi. Beberapa saat kemudian lelaki kurus dengan jubah pucat
mendorong kerumunan pembeli di kios ikan dan menyelinap menuju keramaian.
Si pengemis telah berada di luar bazaar sejak pagi buta, ketika pasangnya laut membawa kapal
ke dermaga di Eilat. Seperti biasa para pedagang membawa kantong berat terikat di sabuknya,
dimana si pengemis berusaha meringankan beratnya dengan dua cara. Raungan dan
permohonan dan bujukan menyedihkan, disertai memperlihatkan dengan bangga kaki buntung
yang telah layu, selalu membangkitkan rasa jijik yang cukup untuk mendapatkan beberapa
shikel dari keramaian. Sementara itu imp-nya, berkeliling diantara orang yang lewat, mencuri
kantong uang sebanyak yang dia bisa. Matahari bersinar terik dan bisnis berjalan baik, dan si
pengemis baru berfikir untuk pergi ke toko penjual anggur ketika dia didekati oleh lelaki kurus
dengan jubah panjang berwarna pucat. Si pendatang baru berhenti tiba-tiba, menatap kakinya.
"Aku menemukan sasaran," katanya.
Si pengemis mengerutkan kening. " Lemparkan dulu sebuah koin, baru bicara. Harus menjaga
penyamaran kita, bukankah begitu?" Dia menunggu sampai si pendatang baru melakukan
perkataannya. " Jadi, katakanlah," katanya. "Siapa lelaki ini?"
"Bukan "lelaki"; dia "wanita" ," kata lelaki itu masam. "Seorang wanita datang dari selatan pagi ini.
Sendirian. Ingin pergi ke Jerusalem. Dia sedang tawar menawar dengan pedagang unta
sekarang." "Bisa dapat banyak, begitu kan menurutmu?" kata si pengemis, memicingkan mata dari sudut
tempatnya duduk. Dia melambaikan tongkatnya marah. "Bergeserlah, kau menutupi matahari,
sialan! Aku cacat, tidak buta."
"Tidak terlalu cacat, begitu yang pernah kudengar," kata si lelaki kurus, bergerak beberapa
langkah kesamping. "Pakaiannya cukup bagus, dan dia membawa tas yang kelihatannya cukup
menjanjikan. Tapi dia sendiri juga memiliki harga yang bagus, kalau kau tau maksudku."
"Dan dia hanya sendirian?" Si pengemis menatap jalanan; dia menggaruk dagunya. "Baiklah,
rombongan karavan tidak akan berangkat sampai besok, itu suatu anugerah, jadi dia akan
menginap di kota ini suka maupun tidak, tidak perlu terburu-buru, bukankah begitu" Pergi dan
carilah Intef. Kalau dia sedang mabuk, gebuk saja sampai dia sadar. Aku akan pergi ke alunalun, mengamati, melihat apa yang terjadi disana." Si pengemis mengayunkan badannya dua
kali dan, dengan bertumpu pada tongkatnya, berdiri tiba-tiba dengan cepat dan lincah. "Tunggu
apa lagi, pergilah," dia berkata kejam. "Kau akan menemukanku di sana. Atau, kalau dia
bergerak, dimanapun panggilanku kau dengar."
Dia mengayunkan tongkatnya dan, dengan serangkaian sentakan terpincang-pincang, mulai
menyusuri jalan. Lama setelah dirinya tak terlihat, tangisan memohon sedekah masih bisa
terdengar. "Aku bisa menjual unta padamu, gadis," kata si pedagang, "tapi ini akan menjadi hal yang tidak
biasa. Suruh ayah atau saudara lelakimu; Aku akan minum teh bersama mereka dan
mengunyah khat dan membuat persetujuan yang seharusnya dibuat oleh para lelaki. Dan aku
akan mencaci maki mereka dengan sopan karena mengijikanmu keluar sendirian. Jalanan disini
tidak ramah untuk seorang gadis, seharusnya mereka tahu."
Senja telah tiba, dan cahaya oranye yang menembus kain tenda menyorot malas diatas karpet
dan bantal, dan pedagang yang duduk ditengah-tengahnya. Tumpukan tablet tanah liat,
beberapa tua dan keras, beberapa masih lembut dan baru sebagian tertutup tulisan sang
pedagang, berada di sampingnya. Diletakkan dengan hati-hati di depannya sebuah pena,
tablet, cangkir dan guci anggur. Jin penjaga bergantung dari atap tepat diatas kepalanya,
berputar lembut mengikuti gerakan angin.
Asmira menatap ke pintu tenda. Bisnis di alun-alun telah surut. Satu atau dua bayangan berlalu
cepat. Tidak ada yang tampak telah dikenalnya: tidak ada yang berjalan lambat-lambat, kepala
menunduk, menatap ujung kaki" Tetap saja, malam akan tiba; ini tidak akan berhasil jika harus
berada diluar lebih lama. Di kejauhan terdengar rengekan pengemis.
Dia berkata: "Anda akan membuat perjanjian itu denganku."
Muka lebar sang pedagang tidak berubah. Dia melihat tabletnya, dan tangannya melayang
mengambil pena. "Aku sibuk. Panggil ayahmu."
Asmira menata diri, menekan emosinya. Telah ketiga kalinya pertemuan semacam ini terjadi
sore ini dan bayangan telah semakin memanjang. Dua belas hari sebelum penyerangan ke


Bartimaeus 4 The Ring Of Solomon Karya Jonathan Stroud di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Marib, dan mengendarai unta ke Jerusalem akan membutuhkan sepuluh hari. " Tuan," katanya,
" Aku mampu membayarnya. Anda hanya perlu menyebutkan harganya."
Sang pedagang mengatupkan bibirnya; setelah beberapa saat dia meletakkan pena. "Tunjukan
pembayaranmu." "Berapa banyak yang anda inginkan?"
"Gadis, aku sedang menunggu pedagang emas dari Mesir beberapa hari kedepan. Mereka juga
akan mencari transportasi ke Jerusalem dan akan membeli semua unta yang mampu
kusiapkan. Dari mereka aku akan mendapatkan sekantung kecil debu emas, atau kepingan
kecil dari tambang-tambang di Nubia, yang akan membuat kumisku melengkung karena
gembira dan aku akan menutup tendaku sebulan dan membuat pesta di Street of Sighs. Apa
yang akan kau tunjukan dalam lima detik ini yang akan membuatku menyerahkan salah satu
unta sehat, bermata gelap milikku kepadamu?"
Sang gadis merogoh kedalam kantung jubah perjalanannya; ketika tangannya muncul, ada
sesuatu seukuran buah aprikot berkilauan di telapak tangannya.
"Ini adalah berlian biru dari hadramaut," dia berkata. "Dibentuk dan di amplas menjadi lima
puluh sisi. Orang-orang berkata Ratu Sheba memakai satu yang mirip dengan ini di hiasan
kepalanya. Sediakan unta untukku dan ini milikmu."
Sang pedagang duduk diam tak bergerak; cahaya oranye bergerak di wajahnya. Dia
memandang ke pintu tenda, dimana suara keributan pasar telah diredam. Ujung lidahnya
bergerak diantara bibirnya. Dia berkata, "Orang akan bertanya-tanya masih adakah benda
seperti itu kau miliki ?"
Asmira bergerak sehingga bagian depan jubah perjalanannya terbuka; dia meletakkan jari
diatas belati yang tergantung bebas di sabuknya.
" " tapi bagiku," lanjut si pedagang sepenuh hati, " pembayaran seperti ini lebih dari cukup!
Kita dapat langsung membuat perjanjian!"
Asmira menunduk. "Aku senang. Berikan untaku."
"Dia menuju Jalur Rempah sekarang," si lelaki kurus melaporkan. "Dia meninggalkan untanya di
alun-alun. Mereka sedang memasang perlengkapan untuk perjalanannya besok. Tanpa
melakukan penghematan sama sekali. Dengan kanopi dan lain-lainnya. Dia punya uang
didalam tasnya." Sambil berbicara, dia memainkan ujung pakaiannya, memutarnya diantara jari
jemari. "Jalur Rempah terlalu ramai." Kata si pengemis.
"Jalur Tinta?" "Cukup bagus. Empat dari kita seharusnya bisa mengatasinya."
Yang dikatakan Asmira kepada penjual roti memang benar. Dia bukan seorang penyihir. Tapi
itu bukan berarti dia tidak berhubungan dengan sihir.
Ketika dia berumur sembilan tahun, Ibu-Penjaga senior menemuinya ketika dia sedang berlatih
di lapangan. "Asmira, ikuti aku."
Mereka pergi ke ruangan sepi diatas aula latihan, dimana Asmira belum pernah kesana.
Didalamnya banyak meja dan lemari dari kayu cemara kuno, pintunya yang sedikit terbuka
memperlihatkan tumpukan gulungan papirus, tablet-tablet tanah liat dan pecahan tembikar
penuh tanda-tanda. Di tengah lantai ruangan dua lingkaran telah digambar, masing-masing
dengan bintang bersudut lima didalamnya.
Asmira mengerutkan kening dan menyibakkan rambut dari wajahnya. "Apa-apaan ini?"
Sang Ibu-Penjaga senior berumur empat puluh delapan tahun dan dulunya seorang Penjaga
Utama sang ratu. Dia telah menggagalkan tiga pemberontakan dari suku-suku di Hadramaut.
Dia memiliki bekas luka tebasan pedang, putih tipis melintang di leher keriputnya dan sebuah
lagi di dahinya, bekas luka ini dipandang dengan penuh kekaguman dan penghormatan oleh
persaudaraan ini. Bahkan sang ratu sendiri dikatakan selalu berbicara dengan kerendahan hati
kepadanya. Dia menunduk kepada gadis yang cemberut itu dan berkata ringan, " Mereka
berkata padaku latihanmu berjalan baik."
Asmira memandang gulungan papyrus yang terbuka diatas meja. Permukaannya ditutupi
tulisan rapat dan penuh ornamen " kecuali ditengah, dimana sebuah figur jahat, separuh asap,
separuh tengkorak, telah digambarkan dengan goresan tangan yang cekatan. Dia mengangkat
bahu. Sang Ibu-Penjaga berkata: "Aku telah melihatmu menggunakan pisau. Aku tak bisa melempar
sebaik dirimu ketika aku seusiamu. Tidak pula ibumu."
Gadis cilik itu tidak menatapnya, tidak pula berubah ekspresinya, tapi bahu kurusnya menjadi
sedikit kaku. Dia berbicara seperti tidak mendengarkan. "Untuk apakah semua barang-barang
sihir ini, sebenarnya?"
"Menurutmu apakah ini?"
"Ini adalah cara untuk memanggil para demon dari udara. Kupikir ini dilarang. Hanya para
pendeta yang diperbolehkan melakukannya, kata para ibu-penjaga." Matanya menyala. "Atau
kalian semua telah berbohong?"
Selama tiga tahun sang ibu-penjaga senior ini telah mendapat alasan untuk menghajar gadis ini
sampai tak terhitung berapa kali, karena membolos, ketidakpatuhan dan ejekan-ejekan.
Sekarang dia hanya berkata, "Asmira dengarlah. Aku punya dua penawaran. Satu adalah
pengetahuan, yang lainnya adalah ini" " Dia mengangkat tangannya. Diantara jari-jarinya
tergantung kalung perak; diujungnya, liontin berbentuk seperti matahari. Ketika gadis ini
melihatnya, dia terkesiap.
"Tak perlu kuberitahu kalau ini dulunya milik ibumu," kata ibu-penjaga senior. "Tidak, kau belum
bisa memilikinya. Dengarkan aku sekarang." Dia menunggu sampai si gadis mengangkat
wajahnya: tegang, bermusuhan, menahan emosinya. Dia berkata: "Kami tidak membohongimu.
Sihir terlarang untuk semua orang di Sheba kecuali para pendeta di kuil. Hanya mereka bisa
memanggil demon dengan cara-cara biasa. Dan hal ini sungguh benar! Demon itu jahat, penuh
kelicikan, berbahaya untuk semua. Pikirkan betapa suku-suku pegunungan akan sangat
bergejolak! Bila setiap kepala suku bisa memanggil Jin kapanpun dia bermasalah dengan
tetangganya, akan terjadi lusinan peperangan setiap tahunnya, dan separuh populasi akan
menemui ajal! Tapi di tangan para pendeta, Jin dapat digunakan untuk tujuan yang lebih baik "
bagaimana menurutmu penampungan air di Marib ini dibangun, atau tembok-tembok kota,
pernahkah terpikir" Setiap tahun mereka membantu memperbaiki menara-menara, dan juga
mengeruk saluran-saluran air."
Asmira berkata, "Aku tahu. Mereka melakukan pekerjaan Sang Ratu, seperti lelaki harus
bekerja diladang." Sang ibu-penjaga senior tertawa. " Begitulah. Jin sebenarnya sangat mirip dengan manusia "
berikan perlakuan tegas kepada mereka, dan jangan berikan kesempatan sedikitpun kepada
mereka untuk menyakiti dirimu, mereka memiliki beberapa kegunaan yang cukup berharga.
Tapi disinilah pentingnya. Sihir juga berguna untuk para Penjaga, dan untuk satu alasan yang
baik. Tugas kita, seluruh tujuan keberadaan kita, adalah untuk menjaga kedaulatan yang kita
miliki. Kita sebagian besar mengandalkan kemampuan tubuh kita, tapi kadang-kadang hanya
mengandalkan kemampuan tubuh tidak mencukupi. Jika demon menyerang Sang Ratu " "
"Sebuah pisau perak akan bisa mengatasinya," kata gadis itu singkat.
"Kadang-kadang, tapi tidak selalu. Seorang penjaga perlu juga pertahanan yang lain. Ada
kalimat tertentu. Asmira, mantra perlindungan sihir tertentu dan mantra-mantra lain , yang
sementara bisa melemahkan kekuatan demon tingkat rendah." Sang ibu-penjaga mengangkat
kalungnya sehingga liontin mataharinya berayun perlahan, menangkap cahaya. "Spirit
membenci perak, seperti yang kau katakan, dan jimat seperti ini memberikan kekuatan pada
mantra yang diucapkan. Aku bisa mengajarimu tentang hal ini, kalau kau menginginkannya.
Tapi untuk melakukannya, kita harus memanggill demon untuk berlatih." Dia menunjuk
sekeliling ruangan yang berantakan. "Itulah mengapa kita mendapatkan keringanan khusus
untuk mempelajari teknik-teknik itu disini."
"Aku tidak takut demon," kata gadis itu.
"Asmira, memanggil spirit sangat berbahaya, dan kita bukan penyihir. Kita belajar mantra dasar,
sehingga kita bisa menguji mantra perlindungan kita. Kalau kita terburu-buru, atau ceroboh, kita
akan membayar harga yang sangat mahal. Penjaga rendahan tidak perlu mengetahui
kemampuan ini dan aku pun tidak akan memaksamu melakukannya. Jika kau mau, engkau bisa
meninggalkan ruangan ini sekarang dan tidak akan pernah kembali lagi kesini."
Gadis itu menatap matahari kecil yang berputar-putar, cahayanya berkilau dimatanya seperti
api. "Ibuku menguasai kemampuan ini?"
"Dia menguasainya."
Asmira mengulurkan tangannya. "Kalau begitu, ajari aku. Aku akan mempelajarinya."
Ketika berjalan ke penginapan dimana dia akan menghabiskan malam, Asmira memandang
keatas diantara bangunan-bangunan gelap dibawah hamparan bintang yang berkilau. Saat dia
memandang, seberkas cahaya melintas di langit, berpijar sesaat lalu padam. Bintang jatuh"
Atau salah satu demon milik Solomon sedang menyebarkan teror ke negeri lain"
Rahangnya terkatup; kuku-kuku jarinya menusuk telapak tangan. Sepuluh hari lagi sebelum dia
akan mencapai Jerusalem " dan itupun tanpa badai gurun yang akan menghambat perjalanan
para kalifah. Sepuluh hari! Dan dihari ke dua belas Sang Cincin akan diputar dan kehancuran
akan didatangkan ke Sheba! Dia menutup mata dan mengambil nafas dalam-dalam, seperti
yang telah diajarkan untuk dilakukan ketika emosi mulai mengancam. Latihannya berhasil; dia
merasakan dirinya semakin tenang.
Ketika dia membuka mata, ada seorang lelaki berdiri di tengah jalan didepannya.
Dia membawa kain panjang diantara tangannya.
Asmira berhenti, memandang lelaki itu.
"Perlahan," kata lelaki itu. "Jangan melawan." Ketika dia tersenyum, giginya terlihat sangat
putih. Asmira mendengar langkah kaki di belakang; melirik melewati bahunya, dia melihat tiga lelaki
lain bergegas mendekat, salah satu dari mereka cacat, tongkat penopang tubuh terjepit
dibawah lengannya. Dia melihat tali, karung yang digenggam siap digunakan, pisau-pisau yang
terselip rapi di pinggang, kilau kelembaban di mata dan bibir mereka yang tersenyum. Di bahu
si cacat, imp kecil hitam duduk melingkar, meregangkan cakar kuning kotornya.
Tangan Asmira bergerak kearah pinggang.
"Perlahan," berkata lagi lelaki yang membawa kain. "Atau aku akan menyakitimu." Dia
melangkah, kemudian mendesah, jatuh kebelakang. Cahaya bintang berkilau di gagang belati
yang mencuat keluar di tengah-tengah matanya.
Sebelum dia menyentuh tanah, Asmira berputar, merunduk dibawah tangan yang berusaha
meringkusnya dan menarik pisau dari pinggang lelaki terdekat dibelakangnya. Meliuk
kesamping dari serangan sapuan kaki dari lelaki ketiga, yang berusaha melingkarkan tali di
kepalanya, dia membunuh kedua lelaki itu dengan pukulan cepat dan berputar menghadapi
lelaki keempat. Si cacat berhenti dalam jarak beberapa langkah, wajahnya mengendur karena terkejut.
Sekarang dia menggeram rendah, menjentikkan jarinya. Impnya mengepakkan sayap dan
meluncur kearah Asmira sambil menjerit. Asmira menunggunya mendekat, kemudian
menyentuh kalung peraknya, mengucapkan mantra kekuatan. Imp itu meledak dalam bola api
yang berputar-putar dan membentur dinding dalam hujan bunga api penuh kemarahan.
Sebelum apinya padam, si cacat telah pergi menjauh, tongkatnya mengetuk-ngetuk batu
jalanan dengan panik. Asmira membiarkan pisau yang telah ternoda jatuh ketanah. Dia berbalik dan melangkah
menuju tasnya, berjongkok, mengendurkan ikatannya dan mengambil pisau perak kedua.
Menjepitnya di antara jari, dia kembali memandang ke jalan.
Pengemis itu jauh sekarang, kepala menunduk, jebah melambai-lambai, terpincang-pincang
dan melompat-lompat, mengayunkan tubuhnya kedepan dengan ayunan panjang tongkatnya.
Beberapa langkah lagi dia akan sampai di belokan dan menghilang dari pandangan.
Asmira membidik dengan hati-hati.
Tak lama setelah fajar tiba, mereka yang muncul dari rumah-rumah di persimpangan Jalur
Rempah dan Jalur Tinta membuat penemuan yang mengerikan: empat mayat duduk dengan
rapi bersandar di dinding, tujuh kaki mereka terjulur berdampingan ke arah jalan. Masingmasing dikenal sebagai pedagang budak dan pengembara; dan masing-masing terbunuh
dengan serangan tunggal. Pada saat yang hampir bersamaan, rombongan unta yang terdiri dari tiga puluh pengendara
berjalan meninggalkan alun-alun Eilat dalam perjalanan menuju ke Jerusalem. Asmira berada
diantara mereka. Aku menyalahkan Beyzer atas insiden ini. Sekarang gilirannya berjaga-jaga, tapi tempatnya di
bawah pohon cemara sedikit terlalu nyaman, dengan panasnya siang dan aroma segar damar
dan Imp gemuk montok yang dipakainya sebagai bantal. Mendengkur perlahan, Beyzer tidak
menyadari bahwa Solomon sedang mendekat. Ini memerlukan usaha lebih, sebagian karena
Sang Raja bertubuh cukup tinggi, dan sebagian karena dia ditemani oleh tujuh penyihir,
sembilan pejabat pengadilan, sebelas budak, tiga puluh tiga prajurit, dan sebagian besar dari
tujuh ratus istrinya. Gesekan dari jubah mereka membuat keributan seperti hutan yang diamuk
badai, dan terlebih lagi para pejabat berteriak kepada para budak, para budak melambailambaikan kipas daun palem mereka, pedang menggantung para prajurit yang berderak-derak
dan para istri yang bertengkar tiada henti dalam selusin bahasa, Solomon dan rombongannya
sulit untuk dilewatkan. Jadi meskipun tanpa Beyzer, seluruh pekerja di kuil berhasil berhenti
tepat pada waktunya. Yang tinggal menyisakan aku.
Masalahnya, aku berada di ujung barisan; akulah yang mengangkat setiap balok batu seberat
setengah ton keluar dari tambang, melemparnya ke udara, menangkapnya di sudut dengan jari
yang terentang, memutarnya penuh gaya, kemudian melemparkannya kepada Tivoc, yang
menunggu didepan kuil. Tivoc yang kemudian memberikan balok itu kepada Nimshik, Faquarl,
Chosroes atau satu dari jin lain yang melayang disekitar tembok yang belum rampung, dalam
berbagai penyamaran aneh.(1) Setelah itu: lemparan cepat keposisi yang diinginkan, mantra
asal-asalan untuk meluruskan, dan kuil Solomon satu blok lebih dekat menuju selesai. Kira-kira
perlu tiga puluh lima detik, dari tambang ke atas tembok. Menyenangkan. Kecepatan kerja yang
akan memuaskan majikan manapun.
(1) Sebagian besar bersayap. Faquarl seperti kelelawar, Chosroes dengan sayap berbulu dan Nimshik
berkilauan dengan sisik perak ikan terbang. Xoxen, seperti biasa, selalu tampil beda: dia melompat
lompat disamping beranda dengan sepasang kaki kodok raksasa, yang artinya hampir semua balok
batunya tidak berada pada tempat seharusnya.
Kecuali Solomon. Tidak. Dia tidak mau mengerjakannya dengan cara seperti itu.(2)
(2) Hanya Tuhan yang tau kenapa dia sangat rewel dengan pekerjaan kuil ini. Diawal masa
kekuasaannya para spirit telah membangun sebagian besar Jerusalem secara serampangan untuknya,
melempar distrik permukiman baru dalam satu hari atau dua, menyembunyikan kecerobohan mereka
dalam pengerjaan dengan ilusi yang ditempatkan dengan strategis. Mereka menghabiskan waktu sedikit
lebih lama untuk membangun istana, memang diakui, dan tembok kota akan sedikit goyah jika kau
mendorong dengan sangat keras, tapi untuk kuil ini Solomon menginginkannya diselesikan tanpa campur
tangan sihir sedikitpun, dimana dalam cara pandangku seperti menghilangkan tujuan dari penggunaan jin
Kalian akan melihat bahwa keadaan di tempat pembangunan telah sangat berubah dibanding
beberapa hari pertama. Di waktu itu, dengan Khaba dan Gezeri berkeliaran, kami melakukan
semuanya dengan susah payah, ketika kami harus mempertahankan bentuk manusia. Tapi
kemudian keadaan berubah. Mungkin diyakinkan oleh kepatuhan kami, dan dengan pengerjaan
kuil yang berkembang dengan baik, sang penyihir tidak lagi terlalu sering mengunjungi kuil. Tak
lama kemudian Gezeri pun pergi. Pada awalnya, karena takut pada cambuk intisari, kami tetap
bertahan pada sopan santun terbaik. Di hari kedua, masih menggunakan alat-alat kami masingmasing, tekad kami mulai goyah. Kami mengambil voting cepat diantara kami dan, dengan
mayoritas enam melawan dua,(3) menyetujui perubahan cara dalam bekerja, yang akan dimulai
secepatnya. (3) Tivoc dan Chosroes menentang: Tivoc karena alasan rumit yang melibatkan benturan-benturan
tertentu dalam klausal 51c dari pemanggilannya; Chosroes karena dia memang pengecut
Kami segera mengatur pengintaian dan menghabiskan waktu kami dalam campuran
kemalasan, perjudian, lempar-melempar imp dan debat filosofis. Sesekali, ketika kami
membutuhkan latihan, kami melempar beberapa batu keposisinya secara sihir, hanya agar kami
terlihat sedang mengerjakan sesuatu. Ini merupakan peningkatan yang luar biasa dalam
pekerjaan harian kami. Sialnya, dalam salah satu kegiatan singkat penuh energi inilah Solomon " yang sebelumnya
tidak pernah memilih untuk mengunjungi kami " memutuskan untuk mampir. Dan terima kasih
banyak kepada Beyzer; aku tidak mendapatkan peringatan tanda bahaya.
Semua orang baik-baik saja, terima kasih banyak. Saat rombongan kerajaan datang
berkelontangan, mengobrol dan bersiap-siap untuk menghentikan langkah, teman-teman
pekerjaku dengan aman kembali ke bentuk manusianya, berdiri dengan lemah mengukir
dengan pahat seakan-akan mentega tidak akan meleleh di mulut kecil mereka yang merasa
lega. Dan aku" Aku, aku masih seekor kuda nil cebol dengan bawahan menggunakan rok,(4)menyanyikan
lagu-lagu penuh birahi tentang kehidupan pribadi Solomon dan melemparkan-lemparkan batu
raksasa ke langit saat aku memanjat keluar dari tambang di ujung lokasi pembangunan.
(4) Kuda Nil dengan rok: ini adalah referensi lucu mengarah kepada salah satu Istri Utama Solomon dari
Moab. Kekanakan" Ya. Tapi pada hari-hari sebelum percetakan ditemukan kami hanya memiliki sedikit
kesempatan untuk membuat sebuah sindiran.
Tenggelam dalam nyanyianku, aku tidak menyadari kalau ada yang tidak beres. Seperti biasa,
aku meregangkan lengan berkutil dan melemparkan batu itu.
Seperti biasa, batu itu melayang dalam lengkungan indah ke sudut kuil dimana Tivoc berdiri.
Atau dalam kasus ini tidak berdiri, karena dia sudah lama membungkuk dan bergeser dan
memberi jalan kepada Solomon untuk memeriksa serambi kuil. Dan bersama Solomon datang
juga para penyihirnya, pejabat pengadilan, prajurit, budak, dan para istri, masing-masing
berkerumun rapat agar mendapatkan perhatian dihadapan Sang Raja.
Mereka mendengar nyanyianku. Mereka menjulurkan kepala mencari-cari. Mereka melihat batu
seberat setengah ton dilemparkan kearah mereka dalam lengkungan indah. Mereka
mempunyai waktu - mungkin untuk sedikit meratap singkat - sebelum batu itu menggencet rata
mereka. Si Kuda Nil dengan rok menamparkan tangannya kemata.
Tapi Solomon hanya menyentuh Cincin di jari yang merupakan sumber dan rahasia
kekuatannya. Seluruh plane bergetar. Dan dari bumi melompat empat marid bersayap dalam
kobaran api berwarna zamrud, yang menangkap dan menahan batu itu, satu di setiap sudut,
beberapa inci dari kepala Sang Raja Agung.(5)
(5) Sedikit pamer, hal itu. Engkau hanya perlu Jin kelas menengah untuk sebuah batu seukuran itu.
Solomon menyentuh cincinnya lagi, dan dari bumi melompat sembilan belas afrit yang
menangkap istri-istrinya yang setengah pingsan dalam jumlah yang sama persis.(6)
(6) Sekali lagi, apakah engkau perlu memanggil afrit untuk menangkap para istri" Tidak, kecuali dalam
kasus istri dari Moab. Kemudian Solomon menyentuh cincinnya untuk kali ketiga, dan dari bumi melompat
segerombolan imp yang kokoh, yang menangkap kuda nil dengan rok yang diam-diam
menyelinap pergi menuju kedalam relung tambang, mengikat tangan dan kakinya dengan tali
berduri, dan menyeretnya kembali diatas tanah ke tempat dimana Sang Raja Agung berdiri,


Bartimaeus 4 The Ring Of Solomon Karya Jonathan Stroud di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengetuk-ngetukkan kaki bersandalnya dan tampak agak tidak sabar.
Dan meskipun keberanian dan ketabahan adalah ciri khasku " terkenal dari gurun Shur sampai
ke pegunungan Lebanon " si kuda nil menelan ludah ketika terguncang-guncang diatas tanah,
karena ketika Solomon menjadi tidak sabar, orang cenderung ingin tahu tentang hal itu. Dia
juga memiliki kebijaksanaan, itu benar, tapi apa yang benar-benar dihasilkan ketika dia
menginginkan sesuatu dilakukan adalah; reputasinya untuk tidak ada " penundaan " halangan,
sebuah ketidaksabaran yang mematikan. Hal itu dan Cincinnya yang terkutuk. (7)
(7) Seharusnya aku benar-benar merasa senang dia hanya menyentuh benda itu dan tidak memutarnya.
Itu adalah saat Spirit mengerikan dari cincin dipanggil ketika hal-hal yang sedang terjadi diasumsikan
akan menjadi benar-benar buruk.
Para marid menempatkan balok batu dengan lembut ke tanah dihadapan Sang Raja. Para imp
melemparku ke batu sehingga aku jatuh dengan posisi tidak terhormat, merosot menabrak batu.
Aku berkedip, duduk tegak sebaik mungkin, meludahkan kerikil dari mulutku dan berusaha
memberikan senyum kemenangan. Guman rendah penolakan datang dari kerumunan
penonton, dan beberapa istri kembali jatuh pingsan.
Solomon mengangkat tangan; semua suara terdiam.
Ini pertama kalinya aku berada didekatnya, tentu saja, dan aku harus mengakui bahwa dia tidak
mengecewakan. Dia adalah segalanya khas raja kejam Asia Barat, kalian para manusia
berusaha ingin menjadi: bermata dan berkulit gelap, rambut panjang berkilauan, dan ditutupi
dengan gemerincing perhiasan berharga lebih banyak dari perhiasan di lapak penjual permata
dengan diskon di bazar. Dia sepertinya juga memiliki gaya Mesir " matanya bercelak berat
seperti para firaun; seperti mereka, dia seolah diselubungi awan dari aroma minyak yang saling
beradu dan aroma parfum. Bau itu satu hal lain yang harusnya dikenali Beyzer lebih dahulu.
Di jarinya sesuatu bersinar begitu terang aku hampir menjadi buta.
Sang Raja Agung berdiri diatasku, jari-jarinya mempermainkan gelang di lengannya. Dia
menarik nafas berat; wajahnya tampak sedih. " Terendah dari yang rendah," dia berkata lembut,
"pelayan yang manakah kau?"
"O..tuan semoga engkau hidup selamanya, saya Bartimaeus."
Jeda waktu penuh harapan; raut muka sang raja tak berubah.
"Kita belum pernah mendapatkan kesenangan sebelumnya," aku melanjutkan,"tapi hamba yakin
percakapan penuh persahabatan akan menguntungkan kita bersama. Ijinkan hamba
memperkenalkan diri. Hamba spirit yang telah terkenal dengan kebijaksanaannya dan
berkepala dingin, yang pernah berbicara dengan Gilgamesh, dan " "
Solomon mengangkat jarinya dengan anggun, dan karena itu adalah jari yang memakai cincin,
aku seperti menyambar kembali sebanyak-banyaknya kata-kataku dan menelannya bulat-bulat.
Yang terbaik hanya diam, eh" Menunggu yang terburuk.
"Engkau salah satu biang kerok milik Khaba, aku bertanya-tanya," Sang Raja berkata sambil
merenung."dimana Khaba sekarang?"
Ini adalah pertanyaan bagus; kami juga bertanya-tanya sendiri selama beberapa hari. Tapi saat
itu ada sedikit keributan diantara para kerabat kerajaan, dan majikanku menampakkan batang
hidungnya, dengan pipi memerah dan kepala berkilau berkeringat. Dia jelas telah berlari
sekencang-kencangnya. "Solomon yang Agung," dia terengah. "Kunjungan ini " Hamba tidak tahu ?" Matanya yang berair
melebar ketika hinggap menatapku,dan dia melolong bagaikan serigala."Budak bodoh!
Beraninya kau menantangku dengan bentuk seperti ini! Raja yang Agung, mundurlah! Biarkan
hamba memperingatkan makhluk ini ?" dan dia menyambar cambuk intisari di sabuknya.
Tapi Solomon mengangkat tangannya sekali lagi. "Diamlah, penyihir! Dimanakah dirimu ketika
titahku sedang dilanggar" Aku berurusan langsung denganmu saat ini."
Khaba terhuyung mundur, dengan mulut menganga dan terengah-engah. Bayangannya,
kulihat, menjadi sangat kecil dan tidak mengancam lagi sekarang, tonjolan kecil gelap,
mengkerut di kakinya. Sang Raja berbalik kembali kepadaku. Ooh, suaranya lembut sekarang. Lembut dan mewah,
seperti bulu macan tutul. Dan karena seperti bulu macan tutul, kau tidak ingin mengelusnya
dengan cara yang salah. "Mengapa engkau mengejek perintah-perintahku, Bartimaeus?"
Si Kuda Nil Cebol membersihkan tenggorokannya. "Ehm, baiklah, menurutku mengejek
membuat hal sepele menjadi terasa sangat berat, O Tuan yang Agung. "Lupa" mungkin lebih
baik; dan lebih tidak merusak."
Satu dari penyihir Solomon yang lain, nama tidak diketahui, gemuk, wajah seperti buah tin
penyet, menghajarku dengan Spasm. "Spirit terkutuk! Sang Raja bertanya padamu!"
"Ya, ya, hamba baru akan menjawabnya." Aku menggeliat merapat ke batu. "Itu adalah
pertanyaan yang sangat mengena. Ditanyakan dengan indah. Ringkas. Menyelidik dengan" "
Aku ragu-ragu. "Apa pertanyaannya tadi?"
Solomon tampaknya memiliki bakat untuk tidak pernah meninggikan suaranya, tidak pernah
berbicara dengan cepat. Ini adalah teknik politik yang baik, tentu saja; memberinya aura
mengendalikan diantara rakyatnya. Sekarang dia berbicara padaku seperti sedang berbicara
kepada bayi yang mengantuk. "Ketika rampung, Bartimaeus, kuil ini akan menjadi tempat yang
paling suci, pusat dari agama dan kerajaanku. Untuk alasan itu, seperti telah diatur dengan
sangat jelas dalam intruksi-intruksimu, aku menginginkannya dibangun " dan aku memberikan
penekanan " dengan " sangat hati-hati, tanpa jalan pintas sihir, perilaku tidak sopan atau
bentuk-bentuk binatang"."
Kuda Nil dalam rok mengerutkan kening. "Ya ampun, siapa yang berani melakukan itu?"
"Engkau telah mengabaikan titahku satu persatu dan seluruhnya. Mengapa?"
Nah, sejumlah alasan melintas dipikiran. Beberapa alasan masuk akal. Beberapa alasan
cerdas. Beberapa menawarkan kepuasan tertentu dalam penggunaan bahasa ketika pada saat
yang sama terang-terangan berbohong. Tapi kebijaksanaan yang dimiliki Solomon akan
mengungkapnya. Aku memutuskan mengatakan yang sebenarnya, meskipun dalam nada datar
yang suram. "O Tuan yang Agung, hamba bosan dan hamba ingin pekerjaan ini cepat selesai."
Sang Raja mengangguk, gerakan yang membuat udara menjadi beraroma mawar dan melati.
"Dan lagu vulgar yang kau nyanyikan?"
"Um " lagu vulgar yang manakah itu" Banyak sekali yang hamba nyanyikan."
"Lagu tentang diriku."
"Oh, yang itu. " Si Kuda Nil menelan ludah. "Anda seharusnya tidak perlu memperhatikan hal-hal
seperti itu, O Tuanku, dst. Nyanyian vulgar tentang para pemimpin besar selalu dinyanyikan
oleh pasukannya yang setia. Ini menandakan penghargaan. Anda seharusnya mendengar
salah satu yang kami ciptakan untuk Hammurabi. Dia biasanya ikut bergabung pada
chorusnya." Dengan perasaan lega, tampaknya Solomon menerima alasanku. Dia menegakkan badan dan
memandang tajam sekelilingnya. "Adakah budak lain yang juga melanggar perintahku?"
Aku tahu yang satu ini pasti datang. Aku tidak benar-benar memandang teman-temanku, tapi
bagaimanapun aku bisa merasakan mereka mengkerut dibelakang kerumunan " Faquarl,
Menes, Chosroes dan yang lainnya " mereka semua menghujaniku dengan kesunyian,
permohonan-sepenuh hati. Aku menghembus nafas, berbicara dengan berat. "Tidak."
"Kau yakin" Tidak ada dari mereka yang menggunakan sihir" Tidak ada dari mereka yang
berubah bentuk?" "Tidak" tidak. Hanya hamba."
Dia mengangguk. "Maka mereka terlepas dari hukuman." Tangan kanannya bergerak kekiri,
kearah Cincin yang mengerikan itu.
Aku telah menundanya, tapi jelas sekali kalau sekarang adalah waktu untuk hilangnya harga
diri. Dengan ekspresi keras tertimpa musibah, si kuda nil meluncur maju bertumpu pada lutut
keriputnya. "Jangan terburu-buru Solomon yang Agung!" tangisku. "Hamba telah melayanimu
dengan setia dan sebaik-baiknya sampai hari ini. Pertimbangkanlah balok-balok batu ini "
lihatlah bagaimana hamba membentuknya kotak hampir sempurna. Sekarang lihatlah kuil ini "
saksikanlah dedikasi hamba yang mana hamba telah melintasi setiap jengkal bangunannya!
Ukurlah, O Raja! Tiga hasta persegi, hamba diperintahkan, dan tiga hasta persegi dia menjadi,
dan tidak lebih sebuntut tikuspun! (8) Aku meremas kaki-kaki depanku, bergoyang kekiri dan
kekanan. "Kesalahan hamba hari ini hanyalah akibat dari kelebihan energi dan semangat
hamba," lolongku. "Hamba bisa mengubah kualitasnya hingga Yang Mulia merasa puas, hanya
jika Yang Mulia sudi mengampuni nyawa hamba?"
(8) Sebuntut tikus: istilah teknik, ini, sesuai dengan sekitar 1/15 hasta. Unit pengukuran lain yang
digunakan Jin dimasa itu adalah "sepaha unta", selebar kusta", dan "sepanjang janggut orang Filistin".
Yah, aku menghilangkan sisanya, yang mana melibatkan banyak isak tangis, gerakan tangan
secara acak dan tangisan parau. Ini bukanlah performa yang buruk: beberapa istri (dan
beberapa prajurit) akhirnya ikut terisak, dan Solomon sendiri jadi tampak lebih angkuh dan lebih
berpuas diri dari sebelumnya. Yang memang seperti yang kurencanakan. Hal ini, hanya dengan
melihat dirinya, aku bisa melihat Solomon menggambarkan dirinya seperti bocah-bocah besar "
raja-raja Assyria dan Babilonia di timur, penguasa tangguh yang tidak meninggalkan tempat
tidurnya tanpa leher para musuh yang ditaklukan untuk diinjak-injak dalam perjalanan ke kamar
mandi. Jadi sedu sedanku diterima oleh kesombongan palsunya. Kupikir akhirnya aku berhasil.
Sang raja besar terbatuk. Si kuda nil menghentikan tangis dan memandangnya penuh harap.
"Tampilan konyolmu yang over acting telah menghiburku," kata Solomon. "Aku tidak
memerlukan pelawak atau tukang akrobat malam ini. Sebagai hasilnya aku akan mengampuni
kehidupan kecilmu" " disini dia memotong arus deras rasa terima kasihku " "dan malahan
menempatkan 'kelebihan energi dan semangat' dalam penggunaan yang tepat."
Solomon berhenti pada saat yang tidak menyenangkan ini untuk memilih berbagai macam
daging manis, anggur dan buah dari baki perak seorang pelayan. Beberapa dari istrinya yang
berada paling dekat bertarung secara halus tapi kejam diantara mereka untuk mendapatkan
kehormatan menyuapinya. Si kuda nil, menggertakan gigi dengan gelisah, mengusir lalat-lalat
dari kuping berumbainya dan menunggu.
Satu delima, lima anggur, serbat kurma-dan-pistachio dengan es melewati bibir sang raja
sebelum dia berkata lagi. "O Jin yang paling kejam dan paling hina " dan jangan memandang
kosong kesekitar, Aku berbicara padamu - karena engkau merasakan pekerjaanmu disini
sangat menjemukan, kami akan memberimu pekerjaan yang lebih bersemangat."
Aku menundukan kepalaku ketanah. "Yang Mulia, Hamba mendengarkan dan patuh."
"Jadi. Diselatan Jerusalem, melintasi Gurun Paran dan Gurun Zin, jalur perdaganganku
berjalan; disana melintas para pedagang dari Mesir dan Laut Merah, dari pedalamanan Arabia,
bahkan " meskipun sangat jarang dari yang bisa kita harapkan " dari Sheba yang misterius.
Para pedagang ini," dia melanjutkan, " membawa dupa, kemenyan, kayu berharga dan rempahrempah, serta kekayaan lain yang membawa kemakmuran untuk rakyat Israel. Dalam mingguminggu terakhir telah menjadi perhatianku bahwa banyak kafilah menemui bencana; mereka
tidak bisa melintas."
Aku menggeram bijaksana. "Mungkin kehabisan air. Itulah yang terjadi di Gurun, Kering."
"Benar, sebuah analisa yang menarik. Tapi mereka yang selamat dan mencapai Hebron
melaporkan hal berbeda: monster-monster menimpa mereka di tengah perjalanan."
"Apa, jatuh diatas mereka dan menggencet-mereka semacam itu?"
"Lebih semacam melompat-keluar-dan membantai-mereka. Monster-monster ini sangat besar,
menyeramkan dan mengerikan."
"Bukankah mereka semua begitu?" Si kuda nil mempertimbangkan. "Saranku adalah mengirim
empat itu untuk menyelidiki." Aku merujuk kepada para marid dari cincin, yang masih
berkeliaran di plane ketujuh, berdebat perlahan tentang kesegaran dari istri terdekat.
Solomon menyunggingkan senyum. "Spiritku yang tersombong, engkaulah yang harus
menyelidiki. Serangan-serangan ini jelas merupakan pekerjaan bandit-bandit yang memiliki
penyihir yang kuat diantara mereka. Sejauh ini pasukanku belum mampu melacak dalangnya.
Kau harus menyelidiki gurun-gurun, menghancurkan mereka, dan menemukan siapa berada
dibelakang kekacauan ini."
Aku ragu-ragu. "Semuanya hanya aku seorang diri?"
Sang Raja berpikir sejenak; dia telah sampai pada keputusan baru. "Tidak, engkau tidak akan
sendirian. Khaba! Majulah!"
Majikanku bergerak, menjilat, memohon. "Raja yang Agung, hamba mohon! Hamba bisa
menjelaskan ketidakhadiran hamba ?"
"Penjelasan tidak diperlukan. Aku memberimu intruksi tegas untuk mengawasi dengan ketat
pelayan-pelayanmu, dan kau telah gagal melakukannya. Aku menyalahkan dirimu untuk
kelakuan buruk Jin ini. Karena baik dirimu maupun kelompokmu tidak layak lagi bekerja di kuil
ini lebih lama lagi, kalian semua sebaiknya berangkat ke gurun besok dan tidak kembali lagi
sampai para perampok ditemukan dan ditaklukan. Apakah engkau telah mengerti hal ini,
Khaba" Bagaimana" Bicaralah!"
Si orang mesir menatap tanah; otot di pipinya berdenyut-denyut. Salah satu dari para penyihir
tertawa tertahan. Khaba mendongak; dia membungkuk kaku. "Tuan, seperti biasa hamba mengikuti persyaratan
dan kehendakmu." Solomon bergerak. Wawancaranya telah selesai. Para istri melesat menawarkan minuman,
daging manis dan wewangian; budak-budak menggerakkan tangan; para pejabat menggulung
papyrus berisi rencana bangunan kuil. Solomon berballik melangkah menjauh, dan kawanan
manusia berangkat bersamanya, meninggalkan Khaba, Kuda Nil, dan tujuh jin lain yang telah
dipermalukan berdiri diam dan muram diatas bukit
Kembali ke menaranya dengan kecepatan tinggi, Khaba turun lewat jalan rahasia ke ruang
kerja bawah tanahnya, dimana sebuah pintu terbuat dari granit hitam berdiri tertanam di
dinding. Saat ia mendekat, ia mengucapkan sebuah perintah. Dengan tidak bersuara, Spirit
yang berdiam di lantai memutar pintu hingga terbuka. Khaba lewat tanpa mengurangi
kecepatan, ia mengucapkan perintah lain dan pintu tertutup dengan cepat dibelakangnya.
Kegelapan merengkuhnya, tidak terhitung dan mutlak. Si penyihir berdiri disana selama
beberapa saat, bertahan sebagai sebuah latihan keteguhan dalam keheningan, kesendirian dan
kegelapan yang tak henti-hentinya menekan. Secara perlahan sebuah suara pelan muncul dari
dalam kerangkeng: seretan kaki, geraman lemah makhluk yang lama berdiam dalam
kegelapan, kegelisahan yang mendebarkan dari makhluk lain yang mengantisipasi cahaya dan
takut akan kekejamannya. Khaba menikmati dengan suara sedih untuk sementara, dan kemudian bangkit berdiri. Dia
memberikan perintah baru, dan sepanjang langit-langit lemari besi, para Imp yang terperangkap
dalam artefak dari seluruh dunia menyalakan suar sihir mereka. Sinar biru-hijau yang
menakutkan memenuhi ruangan, menyebar, surut, dalam dan tak terukur seperti laut.
Tempat itu luas dan berkubah, atapnya didukung dengan interval dari kolom-kolom kasar yang
melewati kabut biru hijau seperti batang-batang tumbuhan raksasa di bawah air. Di balik
punggungnya, pintu granit itu merupakan salah satu blok diantara banyak lainnya pada dinding
abu-abu besar. Diantara kolom-kolom tersebut berdiri berbagai macam alas dasar tiang dan meja-meja,
bangku-bangku, sofa dan banyak instrumen lain yang sulit dijelaskan penggunaannya. Ini
adalah jantung dari wilayah Khaba, sebuah refleksi yang rumit terhadap pikiran dan
kecenderungannya. Dia menerobos jalan melewati tempat dimana dia biasa memimpin percobaan bedah, melewati
tempat pelestarian, tersengat dengan bau asam dari natron, terus melewati tumpukan pasir
dimana proses mumifikasi dapat diamati olehnya. Ia mengitari jajaran botol, tong dan pipa kayu,
antara pot-pot bubuk herbal, laci tempat serangga, kabinet gelap dan suram berisi bangkai
katak dan kucing dan lain-lainnya yang lebih besar. Ia melewati osuari, dimana tengkorak yang
telah diberi label dan tulang-tulang dari ratusan monster duduk berdampingan dengan tulang
manusia. Khaba mengabaikan panggilan dan permintaan dari kerangkeng intisari di tengah aula. Ia
berhenti di sebuah pentacle besar, terbuat dari onyx hitam yang halus dan dipasang dalam
lingkaran besar di lantai. Melangkah ke tengahnya, ia mengambil cambuk yang menggantung
longgar di sabuknya. Ia melecut sekali ke udara kosong.
Semua suara di dalam kerangkeng terdiam.
Dalam bayangan diantara kolom, diatas pinggiran dari sinar biru-hijau, sesuatu membiarkan
dirinya diketahui lewat kegelapan yang lebih dalam dan gemeretak gigi.
"Nurgal," Khaba berkata. "Apakah itu kau?"
"Ini aku." "Sang Raja menghinaku. Dia meremehkanku, dan penyihir lain tertawa karenanya."
"Apa perduliku" Ini adalah tempat yang gelap dan dingin, dan penghuninya adalah teman yang
suram. Bebaskan aku dari ikatanku."
"Aku tidak akan membebaskanmu. Aku menginginkan sesuatu untuk kolegaku Reuben. Dialah
yang tertawa paling kencang."
"Apa yang kau inginkan untuknya?"
"Malaria." "Dan jadilah." "Jadikan selama 4 hari, memburuk setiap malam. Buat dia berbaring dalam kesengsaraan,
anggota tubuhnya terbakar, badannya menggigil; buat matanya buta, tapi biarkan dia melihat
visi dan kengerian selama jam-jam kegelapan, sehingga dia akan menjerit dan menangis
memohon untuk pertolongan yang tidak akan pernah datang."
"Kau ingin dia mati?"
Khaba ragu-ragu. Reuben si penyihir memang lemah dan tidak akan membalas, tapi jika ia
mati, Solomon bisa dipastikan akan ikut campur. Ia menggeleng. "Tidak. Empat hari. Lalu dia
sembuh." "Aku mematuhimu, Tuanku."
Khaba sekali lagi melecut cambuknya; dengan gemeretak gigi si monster yang melewatinya
menuju lubang lurus di atap, udara asam menerpa pinggiran pentacle dan membuat makhluk
dalam kerangkeng melolong dalam gelap.
Si penyihir berdiri dalam diam, menekan cambuk ke telapak tangannya secara perlahan-lahan.
Pada akhirnya ia menyembut sebuah nama. "Ammet."
Sebuah suara lembut muncul di telinganya, "Tuanku."
"Aku telah kehilangan wibawa di hadapan Rajaku."
"Aku tahu,Tuanku. Aku melihatnya. Maafkan aku."
"Bagaimana aku bisa memperolehnya kembali?"
"Itu bukan masalah mudah. Membereskan para bandit gurun itu kelihatannya bisa jadi langkah
pertama." Khaba berteriak marah. "Aku harus berada disini! Aku harus berada di pengadilan! Yang lain
akan merebut kesempatan untuk berbicara dengan Solomon dan selanjutnya menjatuhkanku.
Kau lihat wajah mereka di bukit. Hiram hampir tidak bisa menahan untuk berkokok dengan
sukacita saat dia melihatku menggeliat!" Ia mengambil napas dalam-dalam dan berbicara lebih
pelan. "Selain itu, ada urusan lain yang harus kuhadiri. Aku harus terus mengamati sang Ratu."
"Jangan sedih tentang itu," kata si suara halus. "Gezeri bisa melapor kepada anda di gurun pasir
seperti di tempat lain. Lagipula, anda telah memberikan terlalu banyak waktu untuk.... urusan
kedua anda beberapa hari terakhir " dan lihat kemana hal itu membawamu."
Si penyihir mengetatkan giginya. "Bagaimana aku bisa tahu kalau si bodoh itu akan memilih hari
ini untuk menginspeksi kuil terkutuknya" Dia harusnya memberiku pemberitahuan!"


Bartimaeus 4 The Ring Of Solomon Karya Jonathan Stroud di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia adalah pemilik Cincin. Ia tidak terikat pada anda ataupun orang lain."
"Ah! Kau pikir aku tidak tahu itu?" Khaba menggenggam cambuknya erat-erat; kukunya yang
keriting tertancap dalam di kulit manusia kuno. Ia menunduk ke depan untuk membiarkan
sesuatu memukul belakang lehernya. "Betapa aku berharap.. Aku berharap.."
"Aku tahu apa harapanmu, Tuanku yang agung. Tapi tidak aman untuk mengekspresikannya,
bahkan disini. Kau telah melihat Spirit dari Cincin itu " kau telah melihat betapa mengerikannya
ia! Kita harus sabar, percaya pada kekuatan kita. Kita akan menemukan jalan."
Si penyihir menarik napas panjang, menarik bahunya. "Kau benar, Ammet yang manis, tentu
saja kau benar. Hanya saja sangat sulit untuk berdiri disana dan melihatnya ?"
"Mari memeriksa kerangkengnya," kata suara itu menenangkan. "Itu akan menenangkanmu.
Tapi, Tuanku, sebelum kita melakukannya, aku ingin bertanya sesuatu. Bagaimana dengan
Bartimaeus?" Khaba berteriak keras. "Jin busuk itu " kalau bukan karena dia kita tidak akan diusir dari
Yerusalem! Kuda nil, Ammet! Seekor kuda nil di Gunung Kuil!" Ia berhenti sejenak, berpikir.
"Dan tidakkah kau pernah berkata," ia menambahkan pelan, "bahwa dalam wajah dan bentuk, ia
sangat mirip dengan-"
"Untungnya bagi kita," suara halus tersebut berkata, "sepertinya Solomon tidak menyadarinya."
Khaba mengangguk muram. "Well, aku sudah mengikat Bartimaeus karena dosanya, tapi diikat
saja tidak cukup! Cambuk ini terlalu bagus untuknya."
"Hamba setuju, Tuanku. Ini adalah yang terakhir. Dia melecehkan Gezeri seminggu yang lalu; ia
telah menyebabkan pertikaian yang sering di antara Jin. Dia layak mendapat hukuman yang
tepat sekarang." "Kulit terbalik, Ammet" Atau Kotak Osiris?"
"Terlalu ringan... Terlalu sementara..." Suara itu meninggi dan mendesak. "Tuanku," ia
memohon, "biarkan aku yang membereskannya. Aku lapar, aku haus, Aku belum makan sudah
sejak lama. Aku bisa menyingkirkan si menjengkelkan ini, dan memuaskan rasa laparku di saat
yang sama." Terdengar suara, basah memukul-mukul di belakang kepala si penyihir.
Khaba mendengus. "Tidak. Aku suka kau tetap lapar; hal itu membuatmu waspada."
"Tuanku, kumohon..."
"Lagipula, aku butuh semua jinku tersedia dan hidup saat kita menyisir gurun pasir mencari
penjahat ini. Hentikan rengekanmu, Ammet. Aku akan mengurusi yang ini dulu. Akan ada waktu
yang cukup untuk berurusan dengan Bartimaeus saat kita kembali ke Yerusalem..."
Suara itu keras dan kejam, terdengar dengki. "Sesuai keinginanmu..."
Postur Khaba yang sebelumnya meringkuk dan bungkuk, menegang mengingat penghinaan
nasib yang telah disodorkan padanya. Sekarang dia tersentak tegak, suaranya keras dan
menentukan. "Sebentar lagi kita akan bersiap-siap berangkat. Pertama, bagaimanapun, ada
masalah lain. Mungkin kita akan punya berita bagus pada akhirnya..."
Ia menjentikkan jarinya, berbicara dalam beberapa suku kata yang kompleks. Ada kerincingan
bel di ujung sana. Si imp bulat mengigil melawan langit-langit kubah, dan tirai di beberapa
kerangkeng yang lebih besar teracak-acak kesana kemari.
Si penyihir muncul dari kegelapan. "Gezeri?"
Dengan bau yang menyengat seperti telur busuk, sekumpulan awan berwarna ungu terbentuk
di udara disekitar pentacle. Duduklah diatas awan itu si foliot Gezeri, yang hari ini muncul
sebagai imp hijau besar, dengan telinga panjang mencuat dan hidung bengkok seperti buah pir.
Ia membuat serangkaian tanda hormat yang rumit, namun diabaikan Khaba.
"Laporanmu, budak?"
Si foliot menunjukkan sikap bosan yang tak tertandingi. "Aku sudah pergi ke Sheba seperti yang
kau perintahkan. Aku sudah berkeliling di jalan-jalannya dan tak kelihatan, mendengarkan
orang-orang. Yakinlah aku tidak membiarkan satu bisikanpun lewat dariku, tidak ada komentar
pelan yang tidak terdengar olehku!"
"Aku yakin akan hal itu " karena kalau tidak kau akan terbakar dalam Api Kesedihan."
"Itu juga pemikiranku." Si foliot menggaruk hidungnya. "Dan konsekuensinya aku mendengar
banyak sekali omong kosong. Hidup yang kalian para manusia jalani. Barang-barang yang
memenuhi otakmu yang kecil! Apa kau tidak sadar betapa singkat hidupmu, seberapa kecil
tempatmu di alam semesta yang luas ini" Namun tetap saja kau khawatir tentang mahar, gigi
palsu, dan harga unta!"
Si penyihir tersenyum muram. "Cukup tentang filsafat, Gezeri. Tak ada dari hal-hal itu yang
kukhawatirkan. Inilah yang kukhawatirkan : apa yang sedang dilakukan Ratu Balkis?"
Gezeri mengangkat bahu kurusnya. "Singkatnya : tidak ada. Tidak ada yang luar biasa,
maksudku. Sejauh yang bisa kulihat, dia melakukan rutinitas normalnya " meditasi di kuil,
pertemuan dengan pedagang, mendengarkan laporan dari orang-orangnya : semua jenis
omong kosong ratu yang biasa. Aku sudah mengendus-endus dibelakang layar, menguping
disana-sini. Apa yang kudapatkan" Tak ada. Tak ada tanda-tanda respon sama sekali."
"Waktunya tinggal 5 hari," Khaba merenung. "5 hari... Kau yakin tak ada pengumpulan pasukan"
Tidak ada peningkatan pertahanan?"
"Pasukan apa" Pertahanan apa?" Si foliot membuat ekornya berputar mengejek. "Sheba bahkan
tidak punya tentara yang layak " hanya sekumpulan gadis kurus yang berkeliling disekitar ratu.
Dan para pendetanya belum menempatkan lebih banyak selain nexus di plane kedua sekitar
istana. Bahkan satu imp bisa langsung masuk kesana."
Penyihir itu mengelus dagunya. "Bagus. Sudah jelas dia bermaksud untuk melakukan
pembayaran. Mereka semua melakukannya, pada akhirnya."
"Yeah, well, itu yang terjadi," kata si foliot, menyusut makin dalam ke awannya, "kenapa kau
tidak membebaskanku" Aku muak dengan pemanggilan jangka panjang ini. Ooh, ini memberiku
sakit kepala yang tidak akan bisa kau bayangkan. Dan pembengkakan di tempat-tempat aneh.
Ini, lihat yang disini... Ini mulai membuatku tak nyaman saat duduk."
"Kau akan kembali ke Sheba, budak," Khaba geram, menghindari matanya, "dan tetap awasi
Lembah Selaksa Bunga 7 Trio Detektif 28 Misteri Kemelut Kembar Sastrawan Cantik Dari Lembah Merak 6
^