Pencarian

The Ring Of Solomon 6

Bartimaeus 4 The Ring Of Solomon Karya Jonathan Stroud Bagian 6


dihiasi dengan kesederhanaan yang sangat terbuka yang membuatnya terasa lebih intim.
Terdapat permadani berornamen melapisi lantai, tapi lantainya sendiri dibuat dari kayu cedar
gelap alih-alih marmer. Dindingnya dicat putih sederhana, tidak ditempeli hiasan sama sekali.
Hanya ada jendela persegi panjang yang menampakkan langit malam. Disamping jendela,
beberapa rak kayu menampilkan koleksi gulungan kuno; dibelakangnya, pada meja tulis, tertata
perkamen-perkamen, berbagai macam pena stilus dan botol-botol berisi tinta berbagai warna.
semua itu mengingatkan Asmira pada ruangan di atas aula latihan tempat pertama kali ia
mempraktekkan pemanggilannya.
Selain ranjang, dan kursi tempat si pria menungguinya, terdapat dua meja kasar lagi dari kayu
tebangan yang melengkapi perabotan di ruangan itu. Dua meja itu diposisikan di sisi seberang
kursi si pria, dalam jangkauan tangan.
Agak jauh di belakangnya, sebuah jalan lengkung terbuka di dinding, tapi dari posisi Asmira
duduk, ia tidak dapat melihat kemana jalan itu menuju.
"Aku menunggu," kata si pria. Dia membuat suara kenyutan dengan lidahnya. "Mungkin kau
lapar" Mau makan sesuatu?"
Asmira menggelengkan kepalanya.
"Kau mestinya lapar. Kau gemetaran sejak tadi. Minum anggur ini, paling tidak."
Si pria menunjuk ke meja di kanannya. Di atasnya ada sejumlah wadah tanah liat, satu diisi
buah-buahan, satunya roti, pada yang satunya lagi berisi setumpuk tinggi makanan laut " ikan
asap, tiram-tiraman, cincin kalamari.
Para tamuku mengatakan bahwa sotong itu baik untuk kesehatan." Si pria berkata. Saat dia
berbicara, dia menuangkan secangkir anggur. "Tapi sekarang, ini, minumlah dulu ?" dia
mengulurkannya pada Asmira, memberikan cangkir itu padanya. "Ini aman untuk diminum, aku
tidak membubuhkan semacam mantra pemikat pada yang satu ini."
Asmira memandanginya dalam kebingungan " kemudian matanya melebar oleh rasa
keheranan dan takut. Sepasang mata gelap berkilat. "Ya, benar sekali," katanya. "Aku adalah dia. Tidak terlalu mirip
dengan yang sudah kau lihat, boleh jadi. Ayolah, ambillah. Kau sebaiknya menikmatinya selagi
masih bisa. Rasanya tak mungkin kau hidup untuk mencicipi yang lain."
Serasa mati rasa Asmira menggapai dan mengambil piala itu darinya. jemari pria itu panjang,
kukunya dipotong dan digosok. Jari terkecilnya memiliki bilur merah terang melingkar, tepat
dibawah ruas ke dua. Asmira menatap warna merah itu. "Cincin itu ?"
"Ada di sini," kata si pria. Dia memberi isyarat asal-asalan ke meja di ki-rinya. Di tengahnya
terdapat pelat perak, dan di pelatnya terletak sebuah cincin emas, bertatahkan batu hitam kecil.
Asmira menatapnya, kemudian menatap si raja, kemudian cincin itu lagi.
"Dengan upaya amat keras kau berhasil datang kemari hanya demi benda amat kecil ini." raja
Solomon tersenyum saat dia berbicara, tapi senyumnya adalah senyum kelelahan dan
senyuman yang keras. "Kau berhasil mencapainya lebih jauh daripada kebanyakan, tapi
akhirnya akan sama saja. Sekarang, dengarkan aku. Aku akan menanyakanmu pertanyaan
lain, dan kau akan membuka mulut masam milikmu itu dan menjawabnya dengan bersemangat
dan baik, atau aku akan mengambil Cincin dan memakainya, dan kemudian" Well, apa yang
menurutmu akan terjadi" Hasil akhirnya akan sangat tergantung pada jawabanmu pastinya, dan
tidak akan ada yang berbeda, dan kujamin kau tidak akan lagi sekurang ajar dan secantik
dirimu saat ini. kesakitan yang diberikannya padaku bahkan turut membuatku ingin melakukan
hal semacam itu, tapi sudah terlambat, aku capek, dan sejujurnya agak terkejut saat
menemukanmu di ruanganku. maka: minumlah yang banyak anggur ini dan pusatkanlah
pikiranmu. Kau datang untuk membunuhku dan mencuri Cincin ini " itu tak salah lagi. Aku cuma
ingin tahu sisanya. Pertama: siapa namamu?"
Asmira sedang mengkalkulasi jarak dari ranjang menuju kursi. Saat dia berdiri, Asmira dapat
dengan mudah melompat sejauh itu; dia bisa menyerang lengan kiri pria itu saat dijulurkan
untuk menggapai Cincin, merebut belatinya dan menjegalnya. Dalam keadaan duduk,
bagaimanapun juga, akan sangat sulit. Asmira cukup cepat untuk bisa memblok tangannya, tapi
rasanya tidak akan semudah kelihatannya.
"Siapa namamu?"
Asmira kembali focus padanya dengan ogah-ogahan. "Cyrine."
"Darimana kau berasal?"
"Himyar." "Himyar" Begitu kecil dan jauh?" sang raja mengerutkan wajahnya. "Tapi aku tidak punya
apapun urusan di negeri itu. Siapa, tepatnya, yang kau layani?"
Asmira merendahkan pandangannya. Dia tidak punya jawabannya. identitas palsunya tidak
dipersiapkannya untuk tertangkap dan diinterogasi. Dalam keadaan semacam itu, dia tidak
mengira akan tetap hidup.
"Kesempatan terakhir."
Dia mengangkat bahu dan berpaling.
Raja Solomon menghantam lengan kursi dengan lengannya dalam ketidaksabaran yang dingin.
Dia meraih cincinnya, menyelipkannya di jarinya dan memutarnya sekali. Ruangan itu menjadi
gelap. Terdengar degungan; udara bergerak seperti massa padat, menghempaskan Asmira
kebelakang melewati ranjang. Dia bertumbukan dengan tembok.
Saat Asmira membuka matanya, suatu sosok kehadiran berdiri disamping sang raja, jauh lebih
hitam dari bayangan. Kekuatan dan teror memancar dari sosoknya bak panas memancar dari
kobaran api yang sangat besar. Dari suatu tempat dalam kegelapan itu, Asmira dapat
mendengar gulungan-gulungan dan perkamen-perkamen berkibaran dan terhempas dari rakraknya.
"Jawab aku!" suara sang raja mengguntur. "Siapa kau" Siapa tempat kau mengabdi" Bicara!
Kesabaranku sudah sampai pada batasnya!"
Sang hadir bergerak ke arah Asmira. Asmira menjerit, jerit ketakuatan menuju kematian. Ia
jongkok gemetar ketakutan hebat ke tempat tidur. "Namaku Asmira! Aku datang dari Sheba!
Aku melayani ratuku!"
Dalam sekejap bentuk tubuh di depannya hilang. Telinga Asmira berdengung; darah mengalir
dari lubang hidungnya. Lampu-lampu di ruangan itu kembali ke nyala normal mereka. Raja
Solomon, kelabu karena keletihan atau kemarahan, mengambil Cincin dari jarinya dan
melontarkannya kembali ke dalam wadah perak.
"Ratu Balqis?" Tanyanya, menyekakan tangannya ke wajah. "Balqis" Nona muda, kalau kau
berani membohongiku ?"
"Aku tidak bohong." Asmira perlahan berjuang dengan susah payah kembali ke posisi duduk.
Airmata mengalir di matanya. Perasaannya yang dibanjiri kengerian yang membah sudah
hilang bersamaan dengan perginya Makhluk halus dari Cincin; sekarang ini ia terhuyung karena
rasa malu atas penghianatannya. Ia menatap kosong penuh rasa benci pada raja itu.
Solomon mengetuk-ketukkan jemarinya di kursi. "Ratu Balqis ?"" dia merenungkannya
kembali. "Tidak! Mengapa itu harus terjadi?"
"Aku bicara kebenaran," Asmira membantah. "Walaupun itu artinya kecil dari segi manapun,
karena kau akan membunuhku apapun yang kukatakan."
"Apa kau terkejut?" si raja kelihatan kesakitan. "Sayangku, gadis muda, adalah bukan aku disini
yang datang diam-diam untuk menancapkan pisau di punggung orang lain. Semua ini hanya
karena kau tidak cocok dengan cara normal demon-demon atau assassin sehingga
menyebapkan aku mau berbicara padamu setelah semuanya. Percayailah aku, kebanyakan
dari mereka jati dirinya sudah akan menjelaskan dengan siapa sebenarnya mereka. Tapi kau "
saat aku menemukan seorang gadis cantik tergeletak di lantai observatorium-ku, mati-matian
sampai pingsan, dengan sebuah belati perak di sabuknya dan satu lagi tertanam di lantaiku,
dan tak ada tanda-tanda jelas dari bagaimana dirinya mengelakkan diri dari para penjaga
istanaku dan apa lagi memanjat sampai kesini " harus kukatakan bahwa aku kebingungan dan
rasa ingin tahu-ku tergugah. Jadi jika kau mempunyai sebutir zarah saja rasa pengertian, maka
kau akan mengambil kesempatan dari rasa tertarikku itu, seka airmata yang tak menarik itu dan
bicaralah dengan cepat dan jelas, dan berdoalah pada terserah dewa apapun yang kau kasihi
selama ketertarikanku masih lama lama terjaga. Sewaktu aku merasa bosan," raja Solomon
berkata, "aku akan kembali kepada cincinku. sekarang, kalau begitu. Ratu Balqis mengirim
dirimu, seperti katamu tadi. Mengapa hal ini bisa terjadi?"
Saat dia sedang bicara, Asmira dengan aktif melakukan permainan men-gusap-usap wajahnya
dengan lenga baju kotornya, dan sambil berbuat begitu, menyeret duduknya beringsut ke depan
di ranjang. Serangan terakhir penuh putus asa adalah hal terakhir yang bisa diharapkannya
saat ini. Tapi ia mungkin harus perlahan sedikit lebih dekat "
Asmira menurunkan lengannya. "Kenapa" Bagaimana kau bahkan bisa menanyaiku itu?"
Wajah sang raja menggelap. Tangannya terjulur"
"Ancamanmu!" Asmira berteriak panik. "Tuntutan kejimu! Kenapa aku mesti mengerjakannya
untukmu" Sheba tak mungkin mampu menahan kekuatanmu, seperti yang kau ketahui dengan
baik, maka ratuku mengambil langkah yang dia bisa untuk menyelamatkan kehormatannya!
Kalau aku bisa sukses, negeriku akan terselamatkan! Percaya padaku, aku menyumpahi diriku
atas kegagalan ini!"
Solomon tidak mengambil cincinnya, tapi jarinya berada dekat benda itu. wajahnya tenang, tapi
dia bernapas dalam-dalam, seperti sedang kesakitan. "Ini tampaknya " sebuah pilihan
tindakan yang tidak biasa ditujukan kepada seseorang yang menawarkan pelaminan," dia
berkata perlahan. "Sebuah penolakan dapat kuterima. Assassinasi rasanya sedikit terlalu
ekstrim. Bukankah kamu berpikiran sama denganku, Asmira?"
Wajah Asmira mengerut saat dia menggunakan namanya. "Aku bukan sedang membicarakan
pernikahan. Ancamanmu menginvasi kami! Tuntutanmu pada dupa frankincense! Kau
bersumpah akan mengancurkan negeri kami saat bulan baru!"
"Ancaman yang mengerikan, sungguh."
"Ya." "Kecuali bahwa aku tidak pernah membuatnya." Dia duduk bersandar ke kursinya, ujung jari
kurus bertemu, dan menatap pada Asmira.
Asmira mengerjap. "Tapi kau melakukannya."
"Tidak juga." "Aku mendapatkannya pada perkataan ratuku. Kau pasti?"
"Dan lagi-lagi," raja Solomon berbicara, menjangkau dan mengambil daun ara dari mangkuk di
sampingnya, "Aku harus mengajarimu secara singkat cara-cara seorang raja. Mungkin, dalam
hal diplomasi, ada waktunya dimana arti dan pengertian dari perkataan raja tertentu melonggar,
atau beberapa hal tertentu tetap tidak terungkapkan dalam kata-kata, tapi saat seorang raja
melihatmu di matamu dan mengatakan bahwa sesuatu adalah seperti adanya, maka itu
memang seperti adanya. Dia tidak akan berbohong. Bahkan saat mengusulkan sesuatu yang
berarti kematian. Kau mengerti" Tatap aku."
Perlahan, dengan enggan, Asmira menatap matanya, dimana tampang-nya yang hancur adalah
satu-satunya bagian yang dapat diingatnya dari lukisan di Aula Penyihir. Semua wibawanya
yang kepala batunya ada padannya. mengabaikan dirinya sendiri, ia merajuk: "Ya, mengerti."
"Bagus. jadi sekarang kau dalam dilema."
Asmira bingung. "Ratuku ?"
"Ceritakan tentang dirimu sesuatu yang berbeda. Salah satu dari kita berbohong disini " atau
mungkin salah paham."
Nada suara yang digunakannya ringan, dan dia tersenyum sedikit saat berbicara, tapi Asmira
tersentak seakan dihantam pukulan. Secara diam-diam,, itu adalah pelecehan terang-terangan
pada semua hal yang disayanginya " sama kejamnya dengan pembakaran menara Marib.
Tujuan seluruh hidupnya " dan tujuan hidup ibunya " adalah untuk membela ratu dan,
melaluinya, seluruh Sheba. Ratu tidak boleh dipertanyakan. Apapun yang dilakukannya adalah
benar; apapun yang dikatakannya adalah suatu kebenaran. Menyatakan hal yang sebaliknya
adalah suatu ancaman pada keseluruhan struktur yang di dalamnya Asmira mendasarkan
semua tindakan dan pebuatan yang dilakukannya. Kata-kata Solomon memberinya sensasi
seakan terserang vertigo; Asmira sedang berada di tepi jurang yang dalam dan hampir jatuh ke
dalamnya. Sambil menyeret diri ke depan sedikit di tempat tidur, ia berkata, "Ratuku tidak akan
berbohong." "Mungkin dia salah paham, kalau begitu?"
"Tidak." "Well, kupikir tak ada gunanya mendapat pengertian dari budak." Solomon mengambil sebutir
anggur dari piring buah, dan mengunyahnya sambil berpikir. "Aku harus berkata aku
dikecewakan oleh Balqis. Aku mendengar cerita kalau dia cerdas dan lemah gemulai, tapi ini
perbuatan yang paling bobrok dari semuanya. Memang, apa sih yang burung hud-hud tahu"
Mereka juga berkata berkata padaku bahwa dia cantik. Aku percaya mereka mengatakan hal
yang sama tidak benarnya. Jangan pernah percaya pada burung yang bermigrasi. "
Asmira bicara penuh semangat. "Dia memang sangat cantik."
Sang raja menggerutu. "Well, ada kesempatan kecil untuk menikah sekarang. Bagaimana cara
dia mendengar rencanaku yang kejam" Apa dia mengatakannya?"
"Dari demon pengirim pesanmu."
"Yang mana bisa dikirim oleh siapa saja. Terus terang saja, anak kecil bisa memeriksanya duakali. Asmira " aku melihatmu terus menggerakkan bagian belakangmu dengan sangat perlahan
ke arahku. Hentikan itu, tolong, atau Makhluk Halus dari Cincin tadi akan melanjutkan
percakapan ini bersamamu alih-alih aku. Seperti yang sudah kau lihat, dia tidak sesopan
ataupun seramah diriku." Raja Solomon mendesah. "Kita harus menetapkan suatu kesimpulan,"
dia melanjukan, "bahwa, dirimu berada disini dalam kesalahpahaman. Apa persisnya
perintahmu?" "Membunuhmu. Mengambil Cincin, kalau aku bisa."
"Dan bagaimana jikalau kau tertangkap " seperti yang memang biasanya terjadi?"
Asmira mengangkat bahunya. "Aku akan menusukkan pisauku pada diriku sendiri."
"Itu juga perintah ratumu?"
"Dia " tidak mengatakan itu. Para pendeta wanita melakukannya."
Raja Solomon mengangguk. "Tapi Balqis tidak objektif. Dia puas kalau kau akan menyambut
kematianmu. Harus kukatakan," dia menambakan, "aku membebastugaskan wanita yang tidak
menerima proposal asliku. Pikiran seorang istri seperti itu di antara harem seseorang sudah
cukup untuk memenuhi pria manapun dengan kengerian. Aku sebaliknya mesti berterimakasih
padamu, Asmira, karena telah membuka mataku."
Amarah Asmira teraduk-aduk seakan ada cairan asam berputar-putar di perutnya. "Kenapa kau
tidak bunuh saja aku saat kau menemukanku?"
"Aku bukan orang seperti itu. Dan disamping itu, aku masih punya perta-nyaan lain. Siapa yang
membawamu naik ke atas sini?"
"Aku datang sendiri."
"Asmira kau tak pelak lagi sangat tekun, dan sangat luar biasa bagus berurusan dengan pisau,
tapi tidak satupun dari perlengkapan itu mencukupi untuk membuatmu bisa mencapai
ruanganku. Tidak ada assassin biasa?"
"Aku bukan assassin, aku pengawal turun-temurun."
"Kau harus memaafkan perkataanku, perbedaannya hampir tidak kentara. Kalau kau "pengawal"
biasa," sang raja melanjutkan, "maka seseorang dengan kemampuan sihir yang hebat pasti
telah memberimu pertolongan. Satu-satunya kemungkinan lain adalah bila kau
menyempurnakan kepandaian yang kau miliki dengan kecakapan sihir, dengan budak yang
sangat kuat di bawah kuasamu." Dia menatap Asmira dengan ekspresi skeptis.
Mata Asmira melebar. Untuk pertama kalinya sejak dia tersadar, sifat mementingkan diri sendiri
yang sejak tadi menguasainya tersingkir. Dia memikirkan Bartimaeus. Dia sudah memberinya
peringatan akan adanya perangkap; dia sudah berusaha menghentikan Asmira. Dan sekarang
Asmira tertangkap dan dia " Bartimaeus sudah mati atau pergi.
"Well, bagaimana kebenarannya, kalau begitu?" sang raja menuntutnya.
"Bagaimana caramu naik kemari?"
"Aku " datang kemari bersama makhluk halus yang kupanggil sendiri."
"Benarkah" Kalau begitu dimana dia" Aku sudah mengirim sensor kemana-mana dan tidak
menemukan apapun." "Kuduga demonmu memusnahkannya," kata Asmira.
Alis yang elegan berkerut. "Siapa dia" Marid?"
"Jin." "Oh, sekarang aku tahu bahwa kau pendusta." Sang raja menggapai dan mengambil cincinnya
dari wadah perak. "Jin biasa tidak mungkin bisa melewati semua budak-budakku di bawah
sana. Kau bukan penyihir. Tapi seorang penyihir pastinya membantumu ?" matanya menyipit,
mengeras oleh kecurigaan. "Siapa dia, kalau begitu" Salah satu penyihirku sendiri?"
Asmira mengerutkan dahi kebingungan. "Apa?"
"Hiram" Nisroch" Khaba" Ayo, kau melindungi seseorang." Sang raja melambaikan tangannya
ke jendela. "Tujuh belas serangkai tumbuh semakin tidak sabaran di menara-menara kecil
mereka di bawah sana. Mereka sangat dekat dengan sumber-sumber kekuasaan, tapi tidak
sedekat apa yang mungkin mereka harapkan! Siapa tahu, mungkin mereka bekerja secara
rahasia bergandengan tangan dengan ratu-mu. Mungkin, seperti ratumu, mereka mencari
seseorang yang muda dan gampang dibodohi, seseorang berkepala berasap, terbakar oleh
semangat otak udangnya " seseorang yang bisa menyerangku langsung atas nama mereka!"
Asmira berusaha mengatakan sesuatu, tapi suara si raja semakin mengeras; dia memajukan
duduknya di kursi. "Mungkin kau bahkan bekerja untuk mereka secara langsung! Katakan
Asmira, apa yang sudah mereka berikan padamu sehingga kau merayap ke sini dalam misi
bunuh dirimu" Cinta" Sutra" Kekayaan" Cepatlah katakan, Cincin sudah di tanganku! Bicara!
Katakan yang sebenarnya sebelum gilirannya!"
Sesaat kemarahan dan kebingungan yang berkecamuk dalam dirinya membuat lidahnya kelu.
Kemudian Asmira tertawa. Dia meletakkan anggurnya yang tak tersentuh hati-hati ke lantai dan
perlahan menjejakkan dirinya pada kakinya. "Aku sudah mengatakan kebenaran padamu," kata
Asmira. "Putar Cincinmu dan selesaikanlah."
Raja Solomon menggerising. "Duduk. Kuperingatkan " duduk!"
"Tidak." Asmira berjalan ke arahnya.
"Maka kau tidak memberiku pilihan." Solomon mengangkat tangan kirinya dan, dengan jempol
dan telunjuk kanannya, memutar lingkaran emas di kelingkingnya.
Asmira berhenti di tempatnya berdiri. Menutup matanya; darah berdesing di kepalanya "
Tak terjadi apa-apa. Dari suatu tempat, seakan dari tempat yang jauh, Asmira mendengar sang
raja menggumankan serapah.
Asmira membuka sebelah matanya. Solomon masih duduk seperti sediakala, memutar Cincin di
tangannya. Berputar dan berputar. Tidak ada entitas menyeramkan bermaterialisasi di antara
mereka. Bahkan saat Asmira menontonya, sebercak lingkaran tipis keemasan be-rubah penyok dan
lembek, menjadi agak kelabu dan amis. Terkulai di jari sang raja. Raja raja dan Asmira melotot
menatapnya dengan mulut menganga.
"Cincin kalamarinya ?" Asmira terengah.
Suara Solomon hanya setengah terdengar. "Seseorang menukarnya ?" dia mulai berbicara.


Bartimaeus 4 The Ring Of Solomon Karya Jonathan Stroud di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah ya, itu mungkin aku." Saat itu, seekor, kucing gurun kecil belang-belang berjalan dengan
santainya dari balik rak gulungan terdekat, sungutnya mengkilat, matanya berkilap, ekornya
diangkat tinggi-tinggi dalam gaya pamer yang tampak jelas. Matanya berkeliaran tak terkendali
bangga akan dirinya sendiri. Dia melangkah gontai di atas permadani dan menghentikan
kakinya di antara mereka berdua. "Satu "jin biasa" siap melayani anda," kata makhluk itu,
mendudukkan dirinya dengan rapih, dan mengibaskan ekornya melingkari kaki kucingnya. "Satu
"jin biasa?" " disini dia berhenti dan mengedip pada mereka satu per satu demi menambahkan
efek dramatis ?" yang mana, saat kalian berdua sedang sibuk bercakap-cakap seperti ikan, aku
berhasil mendapatkan Cincin itu tanpa bantuan dari siapapun."
Aku membuatnya kelihatan mudah, bukan" Tapi terus terang sebenarnya samasekali tidak
begitu. Benar, untuk masuk ke kamar ini tidak begitu sulit. Sama sekali tidak ada jebakan ataupun
penjaga, dan Solomon memunggungiku saat aku mengintip dari pintunya. Dan berjingkat ke
lemari di samping jendela itu juga dapat kulakukan dengan mudah, karena dia dan gadis itu
sedang asyik tenggelam dalam "perbincanagan" mereka yang agak menegangkan, dan
sepertinya akan membutuhkan usaha sangat keras sekedar untuk bisa melihat lalat yang
melintas dengan hati-hati.1)
1) Memang lalat adalah pilihan yang sangat tepat. Mereka sungguh sedang asyik mengobrol jadi kupikir
mereka tidak akan memperhatikan walaupun aku berubah menjadi kuda bertanduk satu yang menari
berputar-putar sambil terkentut-kentut melintasi ruangan itu.
Karena alasan itu, kugunakan sedikit akal bulus " disebabkan terutama karena sifat alamiah
Cincin itu. Kamar itu terang sekali saat aku memasukinya. Pada plane pertama saja ruangan
diterangi oleh sejumlah lampu minyak,2) tetapi pada plane-plane yang lebih tinggi, aura
gumpalan emas kecil itu melumerkan segala sesuatu di ruangan itu menjadi putih dan terang
melebihi pasir di padang pasir mesir saat tengah hari bolong. Limpahan cahayanya yang luar
biasa benar-benar membuatku sakit saat menggunakan mata batinku. Selain untuk pengecekan
kilat, aku berusaha beroprasi pada plane pertama saja.
2) Yang paling usang dan lusuh, yang, tidak diragukan lagi sengaja dipilih khusus oleh Solomon untuk
kamar tidur kecil terpoles putih redah hati " nya, agar cocok dengan perabotan gerabah tanah dan mebel
kayunya yang belum digosok. Aku bertaruh mereka dibawa kemari sesudah hari-hari kemewahannya
berakhir yang membuatnya merasa sebagai orang yang berbudi luhur dan cermat " dan oleh karena itu,
merupakan sebuah paradoks, bahkan lebih superior bagi sebagian dari kami daripada sebelumnya.
Sesungguhnya trik sulap yang kulakukan " membuat ilusi pada cincin dari cumi-cumi dan
menukarnya dengan yang asli di wadahnya " juga sangatlah mudah, paling tidak secara
prinsip. Melakukan pencurian adalah keahlian kedua jin" selalu seperti itu, yang terutama
disebabkan karena mencuri benda-benda adalah pekerjaan yang biasanya diberikan pada
kami.3) Jadi dengan gampangnya si kucing gurun berjingkat ke bawah kursi Solomon dan
menunggu sampai salah satu hinaan berbudi yang bisa membuat kejang urat dari gadis itu dan
Solomon bertemu. Segera setelah mereka berdua saling memutar bola mata dan berteriak-
teriak gusar, aku menjulurkan kakiku, menggerakkannya lebih cepat dari kedipan mata, dan
setelah berhasil aku mundur tergopoh-gopoh menuju jendela.
3) Pekerjaan paling pertamaku, senyatanya, saat aku datang ke bumi pertama kali, dalam wajah yang
masih segar dan mata berembun, adalah membuat torehan patung kesuburan di altar Dewi Cinta di Uruk.
Omong-omong soal moral, hal itu cukup banyak memberikan warna pada dua ribu tahun-ku selanjutnya.
Sewaktu cincin aslinya kudapatkan.
Yang kurasakan adalah betapa benda itu menyakitiku.
Tentu saja, wadah perak yang digunakan Solomon untuk mengamankannya sama sekali tidak
membuat rohku jadi lebih baik. Kalau benda normal biasa saja yang ada di dalamnya, aku
dengan senang hati akan menyingkir. Tapi untuk mencuri Cincin Solomon" Sedikit lepuh-lepuh
di kulit bisa kuatasi. Jadi aku mempersiapkan pinggangku yang berbulu kucing, karena bukan
cuma aku harus mendekati perak dingin menyebalkan itu, tapi kusadari bahwa Cincin yang
akan kubawa di antara gigiku juga akan membawa masalah.
Rasanya tidak seperti sensasi dingin membakar yang dimiliki perak (atau besi, atau benda
laknat lain yang menyakiti kami para makhluk halus). Rasanya jauh lebih panas dari itu,
walaupun awalnya tidak terlalu menyusahkan memang. Dimulai dengan rasa tusukan lemah
pada rohku di sekitar bagian tubuh yang memegang cincin itu. Perasaan yang sedikit f amilier "
sakit, tapi juga menyenangkan " dan dengan cepat berubah menjadi sentakan bertubi-tubi yang
lebih tajam. Saat itu si kucing gurun sudah bersembunnyi di belakang rak tumpukan gulungan,
aku merasa hampir seperti sedang ditarik dari dua arah berlawanan. Maka kuletakkan cincin itu
di lantai dan memberi hormat padanya (pada plane pertama) dengan khawatir.
Philocrates tak berbohong. Energy dunia lain berdenyut dahsyat dari cincin emas kecil itu.
Benda itu dibuat sebagai portal instan antar dimensi, dan bahkan dalam keadaan tertutup,
kurasakan semacam hembusan udara yang datangnya dari sisi seberang pintu. Sensasi
sentakan itu tepatnya adalah hal yang sama yang kurasakan kapanpun aku dibebastugaskan
dari pelayananku di dunia ini. Kemudian, tentu saja, silakan, karena saat ini aku tidak bisa
menyeberang; karena sekarang, terperangkap di bumi, membuatku lebih dari sekedar setengah
terpukul. Bahkan hanya sebentar saja memegangnya, kusadari rohku sudah mengalami
kerusakan akibat tarikan kekuatan yang terkandung di dalamnya. Aku ngeri membayangkan
apa yang akan terjadi kalau aku benar-benar memakainya.4)
4) Belum lagi mencoba untuk menggunakannya. Memutar Cincin ini mungkin akan setara dengan
membuka pintu menuju ke Dunia Lain dan menaruh roh seseorang pada tarikannya yang berkekuatan
penuh. Makhluk halus yang tertambat di bumi manapun yang mencoba hal semacam itu pasti akan
segera tercabik menjadi dua bagian. Yang mana adalah sebuah ironi dimana Phiolcretes, Azul, dan
makhluk halus resah lainnya yang mendambakan Cincin ini tidak hidup lama untuk menemukannya.
Memakainya, tidak perlu dikatakan lagi, adalah apa yang dilakaukan Solomon sepanjang hari.
Dari tempatku berada aku belum bisa melihat wajanya, tapi bahkan dari belakang bisa
kukatakan dia tak terlihat persis sama seperti saat sedang meninjau lokasi pembangunan kuil
tempo hari. Rambutnya kelabu, itu satu hal, dan ada sesuatu yang menggelisahkan dari lengan
dan tangannya yang kurus. Tak lama kusadari bahwa itu adalah harga yang harus dia bayar.
Aku memikirkannya sambil duduk menatapi cincin itu dengan perasaan tak menentu,
sementara berusaha memulihkan diriku sendiri dari sentuhannya. Di sisi lain rak, sementara ini,
argumentasi mereka menyembur dengan kekuatan penuh, baik raja maupun si gadis
meningkatkan tekanan kemarahan mereka sampai ke puncaknya yang paling tinggi. Sebagian
dari diriku masih berharap Si Saudara Tua akan lepas kendali, memunculkan afrit entah dari
mana, dan meledakkan gadis itu menjadi pecah-pecahan remah-remah kecil, jadi aku bisa
segera meninggalkan Cincin ini disini dan pulang ke rumah. Tapi harapan-harapanku terlalu
tinggi. Jelas sekali dia tidak akan melakukan itu pada makhluk halus (apalagi manusia) dari
jenis manapun di apartemen tempat tinggalnya malam ini. Dia menggantungkan diri
sepenuhnya pada ilusi " monster multi-tentakel di lorong tadi misalnya " karena dia terkenal
akan reputasinya yang menakutkan menempatkan musuh-musuhya dalam jebakan.
Demikian pula sebaliknya, kalau gadis itu benar seorang assassin sungguhan, ia akan memilih
melayangkan tendangan lengkung kejutan ke udara, membayangkan putaran yang indah di
kepalanya, lalu menjepit kepala si raja di antara pahanya sebelum mendarat dengan kaki
mengangkang. Aku bersedia memberinya banyak uang untuk menontonnya melakukan itu. Tapi
alih-alih gadis itu hanya bermuka merah dan sedikit melontarkan teriakan, dan kemudian
memutuskan untuk mengakhiri usahanya dengan sejenis tatapan bengis yang sia-sia.5)
5) Sebenarnya, aku tak pelak lagi terkesan oleh kecakapannya dalam segala hal mengenai all-round
feistiness dalam menghadapi Solomon, tanpa menghiraukan ancaman dari Cincin sang raja. Walaupun
menurutku si dia yang berdiri terakhir tanpa harapan selalu tampak sebagai yang terbaik dilihat dari sudut
pandang orang luar. Lalu Solomon dengan wajah muram memakai Cincin itu di jarinya.
Lalu dia mendapati bahwa segala sesuatu tidak selalu tampak seperti kelihatannya.
Lalu kemunculanku di ruangan itu, kasual seperti yang bisa kau bayangkan, membawa
konsekuensi yang melumpuhkan.6)
6) Kelumpuhan mungkin sedikit berlebihan. Dua bongkah batu gamping yang dipulas kasar dengan
wajah kartun akan bisa tampak jauh lebih hidup daripada Solomon dan gadis itu saat ini.
Ini sungguh momen-momen terburuk yang pernah kualami sepanjang karirku.
"Halo, Asmira," kataku gembira. "Halo, Solomon." Aku meratakan kumisku dengan kaki
kucingku. "Inilah orang pertama yang ingin mendapatkan kembali hadiahnya."
Napas tercekik terlontar dari mulut gadis itu. "Kupikir kau sudah mati."
"Gak mungkin." "Kupikir demon raksasa itu?"
"Bukan apa-apa, Cuma ilusi. Tampaknya membuat ilusi adalah spesiali-sasi keahlian Solomon."
Gadis itu bersungut-sungut marah. "Kau bilang kau menyelamatkanku darinya!"
"Kau tidak bisa mempercayai apapun yang dikatakan siapapun bukan?" aku mengedipkan mata
pada Solomon yang masih memandangiku dengan tatapan kosong dan bingung. "Kita bertemu
lagi, Oh Raja. Dalam situasi yang agak berbeda dari terakhir kali."
Hening. Well, beri dia kesempatan dulu, dia belum pernah melihat aku dalam tampang seekor
kucing sebelunya. Plus, mungkin perasaan shok masih mengguncangnya.
Aku tertawa ringan. "Tentu saja, kawan. Bartimaeus dari Uruk siap melayananimu."
"Siapa?" Ujung ekor si kucing mengkerut kusut karena jengkel. "Bartimaeus. Dari Uruk. Tidak bisakah
kau mengingat ?" Oh, Marduk Maha Besar di surga!" Dengan kecepatan pikiran si kucing
lenyap, di tempat sebelumnya dia berdiri muncul kudanil kerdil dengan rok, jemari berbongol
ditaruhnya di pinggang dengan perasaan jengkel. "Well, mungkin kau masih ingat yang ini?"
Asmira mengerjap (padaku). "Apakah itu salah satu samaranmu yang biasa?"
"Tidak. Well, sebenarnya tidak sering. Dengar, ceritanya panjang."
Solomon bicara dengan tiba-tiba. "Aku ingat dirimu! Kau salah satu jin milik Khaba! Matanya
membelalak pada si gadis. "Jadi, begitu " jadi si Mesir itu yang mengirimmu kemari ?"
Aku menggoyangkan kepalaku dengan pandangan penuh rasa kasihan. "Ngawur! Aku bukan
budak Khaba lagi! Bartimaeus dari Uruk selalu menemukan jalan untuk lolos dari
perbudakannya yang paling parah sekalipun. Tidak ada penyihir yang mampu menahanku
lama-lama! Selalu begitu dan sekali lagi aku?"
"Khaba menjebaknya dalam botol," gadis itu memotong perkataanku. "Aku mengeluarkannya.
Dia budakku sekarang."
"Secara teknis" " aku bersungut " "mungkin itu benar. Tapi keadaan itu tidak akan berlangsung
lama. Aku tahu nama lahirmu sekarang, Asmira, dan itu membawamu dalam keadaan yang
tidak menguntungkan. Jika kau masih ingin hidup lebih lama, aku menyarankan kau
membebaskanku sekarang juga."
Gadis itu mengabaikanku. Ia melangkah mendekati Solomon dan mengambil belati peraknya
yang berada di pangkuan sang raja. Si raja sendiri tidak menunjukkan usaha apapun untuk
menghentikannya. Gadis itu berdiri dekat kursi Solomon, dengan ujung senjata terarah
padanya. "Berikan cincinnya padaku, Bartimaeus," gadis itu berkata dengan kasar. "Kita pergi."
Aku berdehem. "Tunggu sebentar. "au tidak dengar apa yang barusan saja kukatakan" Aku
tahu namamu. Aku bisa menangkis Hukuman apapun yang kau lontarkan padaku."
"Kau masih tetap masih harus melakukan apa yang kukatakan, bukan" Dimana cincinnya?"
"Bebaskan aku, dan aku akan mengatakannya saat aku pergi."
"Apa" Kayak aku mau saja!"
Raja Solomon dari Israel masih duduk di kursinya, menonton kami berdua dengan sungguhsungguh. Kemudian dia berbicara tiba-tiba; suaranya lemah seperti kondisi tubuhnya, tapi
masih menyisakan nada memeritahnya yang biasa kudengar. "Bartimaeus dari Uruk, apakah
kau telah menjalankan perintah yang kuberikan padamu?"
"Perintah apa?" si kudanil melotot. "Maksudmu menyisir para bandit di guru sana" Ya, aku
sudah melakukannya, pekerjaan itu memang kulakukan, tapi itu bukanlah masalah penting
yang sedang kita bicarakan sekarang. Dengar, Asmira?"
"Katakan padaku tentang bandit-bandit itu," Solomon berkeras. "Siapa mereka sebenarnya"
Siapa yang menyuruh mereka?"
"Ehm, mereka dikirim oleh raja Edom, yang merasa kesal karena upeti tahunan dalam jumlah
besar yang kau tuntut darinya. Tapi kau pasti sepakat denganku kalau saat ini bukan waktu
yang tepat untuk?" "Upeti" Upeti macam apa" Aku tak pernah menuntut sesuatu seperti itu darinya!"
"Raja Edom berpikir kau melakukanya," kataku. "Sama halnya seperti Ratu Sheba berpikir kau
menuntut hak atas dupa frankincensenya. Semuanya terasa agak membingungkan, bukan"
Seseorang tengah berusaha melakukan hal-hal buruk di belakang punggungmu. Tapi maafkan
aku, Wahai Solomon yang agung, kau sepertinya tidak menyadari sedang dalam situasi atau
kondisi macam apa kau saat ini. Kau tanpa kekuatan. Aku baru saja mencuri cincinmu."
"Koreksi: akulah yang barusaja mencurinya," gadis itu berkata. "Aku mastermu."
"Teknisnya sekarang begitu," si kudanil bersungut lagi. "Tapi tidak akan lama lagi."
"Berikan cincinnya padaku, Bartimaeus!"
"Tidak! Bagaimana dengan pembebasannya?"
"Ayolah Bartimaeus," kata Solomon tiba-tiba. "Mengapa kau tidak berikan saja cincin itu
padanya?" Aku dan si gadis tercengang. Kami berhenti berargumentasi dan menatap si raja.
Raja Solomon meregangkan tubuh di kursinya, mengambil bagian tubuh ikan mackerel yang
masih berasap dan memasukkannya dengan cepat ke mulutnya.7) Aku bisa mengatakan
bahwa dia tidak terlihat terlalu terganggu dengan keadaan sekitarnya seperti yang mungkin kau
harapkan. 7) Bukan cincin kalamari-nya, catatan: dia kelihatan tidak terlalu mempedulikan kalamari itu lagi.
"Berikanlah padanya cincin itu," katanya lagi. "Kenapa tidak" Mengapa dia enggan
melakukannya" Kau seharusnya bertanya pada dirimu sendiri Asmira dari Sheba, mengapa
pelayanmu mengeluarkan begitu banyak keluhan hanya karena hal yang sangat sepele ini.
Tentunya dia pasti ingin segera menyelesaikan tugas yang kau berikan padanya sehingga kau
dapat membebaskannya. Dapatkah jin ini melakukannya," Solomon melanjutkan, memandang
kami berdua, satu demi satu, dengan matanya yang lelah, "seandainya dia memahami sesuatu
tentang cincin itu yang belum kau sadari" Bisakah dia melakukannya di saat yang dinginkannya
hanyalah segera menyingkir sejauh mungkin dari sini sebelum kau mendapakannya?"
Si kudanil menggembungkan pipinya dengan pasrah. Dia memang benar, tentu saja. Aku
mengibaskan kaki depanku ke arah rak gulungan terdekat. "Kau ingin cincinnya?" aku
mendesah. "Ada di bawah rak, di sisi terjauh."
Gadis itu mengerutkan dahinya padaku. "Awasi Solomon," katanya.
Ia melangkah pajang-panjang melewatiku, merunduk rendah-rendah. Suasana hening saat
jemarinya menggapai mencari-cari, lalu hembusan nafas kecil kemenangan. Aku menyipitkan
mataku kecil-kecil dan menunggu.
Jeritan; suara cincin menggelinding di lantai. Saat aku menatapnya, gadis itu tengah sibuk
menjepitkan tangannya di antara siku tanganya yang satu lagi.
"Panas! Benda itu membakar tanganku!" teriaknya. "Apa yang sudah kau lakukan, demon?"
"Aku?" "Kau melumurinya dengan sihir terkutukmu atau semacamnya!" dengan tangannya yang sehat,
gadis itu melambaikan belati perak. "Cepat tarik kembali, atau aku bersumpah?"
Saat itu juga Raja Solomon berdiri; dan walaupun (sejujurnya) dia sedang berbalut pakaian tidur
anak-anak atau malah mungkin pakaian tidur wanita, meskipun tubuhnya kurus, sekalipun
wajahnya tampak seperti itu, tanpa topeng ilusinya, tampak tua dan dipenuhi kerutan, namun
dia tetap memancarkan otoritas kuat, yang menyebabkan baik aku dan gadis itu mendadak
terdiam. "Jin ini mengatakan yang sebenarnya," katanya. "Cincin Solomon membuat
pemakainya merasakan rasa sakit, begitulah sifat dasarnya. Kalau kau ingin bukti, perhatikan
ini." Sang raja mengulurkan tangannya, memperlihatkan bekas melingkar berwarna kelabu
pucat kehitaman pada jarinya.
Gadis itu memelototinya. "A " aku tidak mengerti," katanya tergagap. "Tidak. Ini tipuan. Aku
tidak akan mendengarkanmu." Tapi meskipun begitu, ma-anya kembali mengarah ke bercak
keemasan dengan obsidian di tengahnya yang tergeletak di lantai di samping kakinya, gadis itu
tidak mengambil atau membuat gerakan apapun dengan maksud itu.
"Itu bukan tipuan," kataku, "benda itu membakarku juga." Perlu dicatat disini bahwa aku baru
saja berubah wujud menjadi sosok anak lelaki Sumeria berambut gelap, yang, walau sedikit
urak-urakan, tapi lebih bisa mencerminkan kegawatan situasi saat ini. Aku merasa bahwa ada
sesuatu yang penting sedang mendekat dengan cepat, dan aku tidak tahu keadaan seperti apa
yang akan berlangsug nantinya.
"Tapi bagaimana bisa benda itu membakar?" gadis itu berkata dengan nada suara yang
terdengar menyedihkan. "Bagaimana ratuku akan?" Aku kira cincin itu?"
Solomon berbicara degan tenang: "Izinkanlah aku memberitahukan padamu apa yang
kuketahui tentang cincin itu, Asmira. Setelah itu kau boleh melakukan apa saja yang kau
inginkan pada cincin itu " dan padaku."
Asmira bingung, ia menatap pintu, kemudian kembali mengarahkan matanya pada objek di
dekat kakinya. Ia melotot pada Solomon, lalu pada pisau di tangannya. Ia memaki bersamaan
dengan tarikan nafasnya. "Singkat saja, kalau begitu. Dan jangan ada tipuan."
"Saat aku masih muda," ucap Raja Solomon seketika, "minatku adalah pada harta benda
peninggalan masa lampau " kegemaran yang masih tersisa sampai kini 8) Aku melakukan
perjalanan ke tempat-tempat jauh dalam pencarian mereka, melakukan barter di bazaar-bazar
di Thebes dan Babylonia demi benda-benda dari masa lalu. Aku juga berkunjung ke reruntuhan
kota-kota yang dianggap sebagai yang tertua waktu itu, yang nama-nama mereka telah lama
dilupakan orang. Di salah satu situs serupa itu yang terletak di tepi tepian gurun tidak jauh dari
sungai Tigris. Aku tidak melihat apapun di tempat itu selain beberapa gundukan tertutup oleh
tanah dan pasir. Tak diragukan lagi, selama berabad-abad, kebanyakan rahasianya telah
dijarah, tapi rahasia terbesarnya " dan yang paling mengerikan " masih disana tanpa
terganggu." 8) Dengan kata lain, dia adalah penyihir tipikal, menginginkan benda-benda masa lalu terbaik gratis untuk
mendukung dan menunjang kekuatannya.
Dia berhenti, pura-pura batuk, yang agaknya (diberikan padanya oleh seorang pelawak
murahan) untuk menambah ketegangan. Aku mengamati bahwa dia berdiri dengan suatu cara
sehingga cahaya lentera memberi kesan keemasan, bak entitas surgawi, pada halo yang
muncul di sekeliling kepalanya. Dia pemain sandiwara yang baik, Solomon itu, bahkan tanpa
kekuatan dalam genggamannya.
Aku memperhatikan gadis itu juga. Dia sedang cemberut (seperti biasa), tapi syok akibat
menyentuh Cincin tadi masih mempengaruhi jiwanya, dan ia kelihatannya rela menunggu dan
mendengarkan. "Saat aku mendatangi reruntuhan itu," Solomon melanjutkan, "gempa yang terjadi baru-baru ini
telah membelah permukaan salah satu gundukannya yang terkecil. Tanahnya sudah runtuh,
membuka sebuah celah di dinding batubatanya, sebuah jalan masuk setengah runtuh dan "
dibaliknya " terdapat sebuah tangga layang masuk ke dalam bumi. Kau pasti dapat
membayangkannya dengan baik bahwa rasa keingintahuanku berkobar! Aku membuat obor,
merangkak menuju kedalamannya dan, setelah turun sampai jarak yang tak dapat kuketahui,


Bartimaeus 4 The Ring Of Solomon Karya Jonathan Stroud di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku tiba pada sebuah pintu rusak. Beberapa runtuh batu masa lalu telah memecahnya
sehingga terbuka, dan apapun sihir yang dulunya ada disitu telah lama kehabisan daya.
Kemudian aku menyelinap menuju ke kegelapannya?"
"Kau sangaa-a-a-at luar biasa beruntung ya!" teriakku. "Ruang-ruang rahasia Sumeria terkenal
akan reputasi buruknya akan perangkap! Biasanya mereka memasang segala jenis perangkap
dalam jumlah besar disana."
"Bagaimanapun aku beruntung," kata raja Solomon sakit hati," aku tidak akan menghukummu
untuk itu. Jangan memotong lagi. Aku menyelinap ke dalam, seperti kataku tadi, dan
menemukan diriku berada dalam sebuah ruangan kecil. Ditengahnya" " dia gemetaran, seperti
sedang merasakan kembali horor yang dialaminya waktu itu " "ditengahnya terdapat sebuah
kursi dari besi, dan dikursinya, terikat disitu dengan tali dan dawai kuno, sesosok tubuh
termumikan dari " aku tidak bisa memastikan apakah dia pria atau wanita, karena teror yang
amat sangat mencengkramku, dan semua yang kuinginkan pada saat itu adalah melarikan diri.
Saat aku membalikkan badan untuk keluar dari sana, aku menangkap sekilas kilatan emas
pada jarinya yang berbalut kertas. Dengan tamak aku merenggutnya dari sana; jarinya copot,
cincinnya ada di tanganku. Aku memakainya" " dia mengulurkan tangannya, sehingga sesuatu
yang berbekas di jarinya itu bersinar terang merah daging " "dan saat itu juga semacam rasa
sakit menerpaku sehingga aku terjatuh dan tidak ingat apa-apa lagi."
Solomon minum anggur lagi. Kami berdiri dalam diam. Bahkan aku tidak mencoba untuk
mengganggunya waktu itu.9)
9) Aku sedang memikirkan si mayat tak dikenal, seseorang yang harus terikat di kursi dengan Cincin di
jarinya, kemudian dengan seksama dikubur hidup-hidup. Segala kekuatan (dan kesakitan) secara harfiah
berada di ujung jarinya, yang waktu itu dipaksakan untuk menahan beban penderitaan kematian tanpa
pengharapan! Itu adalah akhir hidup yang mengerikan. Hal itu juga memberi bukti pada betapa gigihnya
para algojo zaman kuno pada waktu mereka berusaha membebaskan diri mereka dari Cincin yang
menurut dugaan orang sekarang adalah benda yang menakjubkan.
"Aku terbangun di suatu tempat dalam kegelapan yang mengerikan," sang raja melanjutkan,
"oleh rasa sakit yang membakar. Satu-satunya pikiran yang terlintas di benakku waktu itu
adalah segera melepas cincin itu. Saat aku terus-terusan gagal melakukannya, dia malah
terbelit di jariku; dalam sekejap suara lembut di bahuku bertanya padaku apa keinginanku.
Kalian boleh tidak percaya aku berharap, dengan apa yang kuperkirakan akan menjadi tarikan
napas terakhirku, untuk berada di rumah lagi. Sesaat berlalu, kepalaku berpusing " saat aku
lagi-lagi terbangun aku mendapati diriku sedang berada di atap rumahku sendiri di Jerusalem,
dengan sinar hangat sang surya menerpa tubuhku."
"Kau dipindahkan dalam sekejap?" tanpa menghiraukankan keadaan dirinya, wajah gadis itu
mengendur oleh ketakjuban. Bahkan si pemuda tampan Sumeria, yang sudah pernah melihat
dan mendengar sedikit kebenaran masa lalunya, dengan enggan mengakui dirinya terkesan.10)
10) Pemindahan materi fisik spontan adalah sangat, sangat rumit. Aku tidak bisa melakukannya. Tak
seorangpun yang pernah kukenal bisa melakukannya. Kali satu-satunya makhluk halus bisa melakukan
perpindahan dengan segera dari satu tempat ke tempat lainnya adalah saat dia sedang dipanggil, dan
kami semua terbuat dari roh. Memindahkan manusia gemuk berat super besar (seperti dirimu) bahkan
jauh lebih sulit lagi. "Dan begitulah semuanya berawal," Solomon berkata. "Well, aku harus menyingkatnya, kerena
kalian boleh menebak sendiri sisanya. Segera sesudahnya aku belajar dua hal tentang Cincin
itu. Pertama, dengan memilikinya di jariku, aku mempunyai kekuatan yang tak pernah
kumimpikan sebelumnya. Makhluk halus penghuni Cincin, yang mana sangat besar,
menyediakan budak yang tak terkira banyaknya untuk melaksanakan kehendakku. Dengan
hanya menyentuh batunya, aku memanggil mereka; dengan memutarnya, Makhluk halus itu
sendiri datang padaku. Hingga aku dapat dalam sekejap merealisasikan keinginan-keinginan
hatiku. Yang kedua, dan yang kurang menyenangkan" " disini dia menutup matanya sebentar "
"ada rasa sakit yang timbul dari penggunaan Cincin. Rasa sakit itu tak pernah berkurang
ataupun meringan. Tidak hanya itu saja: setiap kali aku menggunakannya, kekuatan-diriku
berkurang. Di awal tahun-tahun itu, saat aku masih kuat, aku menggunakannya hari-demi-hari
tanpa henti " aku membangun istana ini, aku membangun kekaisaranku, aku memaksa rajaraja di sekitarku untuk menurunkan pedang mereka dan menuntut perdamaian di tanah ini. Lalu
aku mulai menggunakan Cincin untuk menolong para penduduknya yang sangat membutuhkan
bantuan. Akhir-akhir ini" " dia berkeluh-kesah " "itu semua menjadi " lebih sulit. Bahkan
penggunaan untuk hal yang paling sederhana sekalipun membuatku kelelahan, dan aku harus
beristirahat lama untuk pemulihan. Yang mana ini disesalkan, karena ratusan yang datang
sepanjang hari ke gerbang-gerbang rumahku, memohon-mohon pertolonganku! Semakin dan
semakin aku harus bergantung kepada para penyihirku yang selalu rebut antar sesama mereka
untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan ini untukku." Dia berhenti dan terbatuk lagi.
"Kau pasti tahu," aku berkata, dan aku mengatakannya dengan cukup simpatik, karena cerita
Solomon mampu memberikan kesan-kesan baik padaku,11) "kalau beberapa dari penyihirmu
tidak terlalu " seksama seperti dirimu. Pada kenyataannya, mereka di sisi lain adalah betulbetul buruk. Ambillah Khaba, sebagai contohnya?"
11) Aku terlalu paham sedikit bagian tentang terperangkap oleh keadaan, tentang menahan rasa sakit.
"Aku tahu itu," kata Solomon. "Oleh insting, banyak dari Tujuh Belas Serangkai menjadi keji
seperti halnya kuat. Aku menjaga mereka tetap di dekatku, dan membuat mereka gugup oleh
rasa takut akan ancaman Cincin akan digunakan pada mereka. Semua itu cukup baik sebagai
sopan santun. Lebih baik begini daripada membiarkan mereka menjalankan konspirasi
melawanku dari kejauhan. Pada saat yang bersamaan, aku bisa menggunakan kekuatan
mereka." "Yeah, bagus, tapi aku tidak yakin kau mengetahui secara keseluruhan?"
Dan kemudian gadis itu tiba-tiba berada di antara kami, dengan ujung belatinya di leher raja.
"Bartimaeus," gadis itu mendesis, "Berhentilah bicara dengannya seolah dia itu sekutumu!
Ambil cincin itu. kita harus pergi."
"Asmira," raja Solomon berbicara disini. Dia tidak mengelak dari mata be-lati. "Kau sudah
mendengar ceritaku. Sekarang lihatlah wajahku. Apakah kau mau ratumu terlihat seperti ini?"
Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Dia tidak akan berbuat begitu. Dia tidak akan
memakainya seperti yang kau lakukan."
"Ah, tapi dia akan melakukannya. Dia akan menggunakannya. Atau kalau tidak akan dicuri!
Tiada di bumi ini," raja Solomon berbicara, "yang lebih diinginkan daripada Cincin itu. Dia akan
dipaksa menggunakannya, dan hal itu akan membuatnya gila, karena rasa sakit saat kau
menyentuhnya tadi, Asmira, itu tidaklah seberapa dibandingkan yang kau rasakan seandainya
kau memakainya. Cobalah. Pakaillah di jarimu. Cobalah rasakan sendiri."
Gadis itu masih tetap memegang pisaunya seperti sebelumnya. Dia tidak menjawab.
"Tidak?" Solomon berkata. "Aku tidak terkejut. Aku tidak menginginkan cincin itu ada pada
siapapun." Dia duduk ke kursinya tiba-tiba, seorang pria tua dengan wajah kisut. "Well, kau
punya pilihan. Bunuhlah aku kalau memang harus, dan membawanya ke Sheba. Kemudian
lusinan penyihir akan bertarung untuk mendapatkannya dan perang pecah di seluruh dunia.
Atau tinggalkanlah disini, dan pergilah. Tinggalkan aku bersama beban-bebanku. Aku akan
menjaga cincinnya tetap terlindung, dan dengannya melakukan hal baik yang kubisa. Aku tidak
akan menghalangi kepergianmu, untuk itu aku bersumpah."
Tadi aku berdiam diri tidak mengeluarkan cirri khasku yang biasa untuk memberi Solomon
ruang agar bisa mengeluarkan apa yang ada dalam benaknya, tapi sekarang aku mengambil
langkah tentatif ke depan. "Itu kedengaran seperti hal yang baik untukku," kataku. "Berikan
padanya cincinnya, Asmira, dan ayo per" Aw!"
Dia baru saja memutar pisaunya, mengarah padaku, jadi aura benda itu menyengat rohku. Aku
melompat sambil berteriak. Seperti tadi dia tidak mengatakan apa-apa. Wajahnya menantang,
matanya melotot. Gadis itu tidak kelihatan sedang menatapku atau Solomon lagi, tapi sesuatu
yang jauh." Aku mencoba lagi. "Dengar," kataku. "Singkirkan cincin itu dan aku akan memberimu
tumpangan ke rumah. Bagaimana, apa kita sepakat" Benar, aku tidak punya karpet besar
bagus seperti Khaba, tapi aku yakin kita bisa menemukan handuk atau serbet atau sesuatu
untukmu. Kau bisa melihat bahwa Solomon benar, ya kan" Cincin itu tidak membawa apapun
selain masalah. Bahkan orang-orang dulu tidak menggunakannya. Mereka menyegelnya di
kuburan." Tetap tidak ada yang keluar dari mulut gadis itu. Si raja duduk tenang di kursinya, menjaga
sikapnya tetap penurut penuh penerimaan, tapi aku tahu bahwa dia sedang menatap gadis itu
lekat-lekat, menggantungkan diri pada kata-katanya.
Ia melihatku; matanya terfokus padaku pada akhirnya. "Bartimaeus ?"
"Ya, Asmira." Pastinya dia sudah merasakan suatu pengertian saat ini setelah semua yang sudah kukatakan
dan dilihatnya sendiri sampai sekarang. Pastinya, sesu-dah merasakan sendiri kekuatan Cincin
Solomon, dia sudah tahu apa yang akan dilakukannya.
"Bartimaeus," katanya, "ambilkan aku Cincin itu."
"Untuk memberikannya pada Solomon?"
"Untuk dibawa ke Sheba." Wajahnya tampak keras, tanpa ekspresi. Dia berpaling dariku. Tanpa
melihat si raja, dia menyarungkan belatinya pada ikat pinggang dan berjalan menuju pintu
keluar. Memindahkan objek sekuat cincin milik Solomon dari satu tempat ke tempat lainnya adalah
tugas yang menggelikan, terutama sekali kalau kau harus berusaha menghindar dari
terpanggang saat melakukannya.
Kalau ini dunia yang ideal aku akan menaruhnya ke dalam kotak berlapis timbal, menaruh
kotaknya dalam karung, menariknya dengan rantai yang bermil-mil panjangnya di belakangku,
jadi baik rohku maupun mataku tidak menderita dengan cara apapun karena pancarannya. Alihalih aku membungkusnya dengan perkamen-perkamen mewah yang kutemukan di meja tulis
Solomon.1) Solusi ini bisa melindungiku dari akibat paling buruk akibat pancaran panasnya, tapi
bahkan walau aku sudah membungkusnya tebal-tebal, sisa-sisa auranya tetap membuatmu
merasa tidak nyaman. Aku dapat merasakan jariku tergelitik rasa geli.
1) Sekilas mereka kelihatannya diisi dengan beberapa lagu yang ditulis sang raja. Aku tidak repot-repot
membacanya tentu saja. Kelihatannya tidak baik untukku.
Gagis itu sudah keluar duluan, sambil memegangi bola dari gulungan perkamen itu dengan
sangat hati-hati, aku mengikuti tepat dibelakang punggungnya. Di depan pintu aku berhenti,
melihat ke belakang. Si raja masih duduk di kursinya seperti tadi, kepalanya tertunduk, dagu
hampir menyentuh dada. Dia terlihat tua, jauh lebih bungkuk dan keriput daripada sebelumnya.
Dia tidak menatapku atau bahkan berusaha menghentikan pencurianku. Dia tahu kalau aku
tidak bisa mengembalikan cincin ini padanya, bahkan seandainya aku ingin melakukan itu.
Tidak ada lagi yang bisa kukatakan. Aku melangkah perlahan melewati koridor, meninggalkan
sang raja duduk sendirian di kamarnya yang bercat putih.
Keluar dari ruangan utama, aku melangkah melewati kolam, melewati pintu yang menuju ruang
observasi dan kamar penyimpanan, melewati meja emas dengan semua sensasi glamournya,
dan terus menyibak tirai pintu, melewati nexus dan terus menuju balkon tadi.
Di atasku, bintang-bintang masih bertebaran dengan teratur dan indah seperti sebelumnya. Di
bawahku, cahaya dari lingkungan istana bergemerlap dibalik taman.
Gadis itu menunggu di balustrade, menatap ke selatan. Lengannya disilangkan, angin sepoisepoi mengibarkan rambut panjangnya yang hitam.
Tanpa menatapku, dia berkata: "Kau dapat cicinnya?"
"Ya, aku mendapatkannya."
"Bawa benda itu bersamaku ke Sheba. Aku tidak peduli bagaimanapun caranya. Berubah jadi
burung, atau kelelawar,atau apapun wujud aneh yang kau suka. Bawa aku dengan cepat dan
aku akan membebaskanmu begitu kita sampai." Untuk ukuran seseorang yang berhasil
melakukan sesuatu yang dianggap mustahil, dia tidak kelihatan senang. Lebih ke arah tegang
bercampur marah, kalau kau ingin aku berkata sejujurnya.
Dan gadis itu bukan satu-satunya.
Aku berkata: "Sebelum kita beranjak ke hal itu, aku ingin menanyakan sesuatu padamu terlabih
dahulu." Ia menunjuk ke bawah, ke kejauhan di selatan taman, dimana sejumlah titik cahaya masih
melintas berganti-ganti seperti gerombolan tawon yang men-gamuk. "Tidak ada waktu untuk
berbicara. Bagaimana kalau Solomon memperingatkan para pengawalnya?"
"Kita punya ini sekarang." Aku berkata dingin, mengangkat tanganku yang memegang bola
perkamen. "Benda ini akan memeberi kita waktu sebanyak yang kita mau. Kalau mereka
menemukan kita, kau dengan mudah bisa mengenakan cincin ini, iya kan" Itu akan membuat
mereka semua pergi berkemas."
Gadis itu menggelengkan kepalanya, ngeri mengingat saat dia menyentuh cincin itu. "Jangan
berkata bodoh. Aku tidak bisa melakukannya."
"Tidak" Itu kan yang kau harapkan dilakukan ratumu yang tersayang itu, ya kan" Kau pikir dia
akan bisa mengatasi rasa sakitnya?"
"Ratu Balqis," gadis itu berbicara dengan suara tanpa nada, "akan tahu apa yang harus
dilakukan." "Begitu, menurutmu?" aku melangkah mendekat. "Mungkin kau belum mengerti apa yang tadi
Solomon katakan padamu di belakang sana," kataku. "Dia tidak berbohong. Kau sudah
merasakannya sendiri kekuatan cincin itu, Asmira. Kau mendengar apa yang bisa dilakukannya.
Kau sungguh-sungguh menginginkan benda ini bebas digunakan oleh siapapun di dunia ini?"
Kemarahannya meluap sekarang, sedikit. "Solomon sudah menggunakannya! Tidak akan ada
yang berubah." "Dengar, aku bukan penggemar berat Solomon," kataku, " tapi aku bisa mengatakan, dia
melakukan yang terbaik yang bisa dilakukannya bukan hanya untuk menggunakannya. Dia
menjaga cincin ini tetap berada di sini, dan memakainya sesedikit mungkin."
Gadis itu melancarkan ejekan, bengis, tampak tidak mirip seorang gadis. "Salah! Dia
mengancam Sheba!" "Oh, ayolah!" ejekanku tak kalah bengis. "Kau tidak benar-benar percaya itu lagi kan" Aku
mendengarkan obrolan kalian berdua di belakang sana. Buat apa dia menyangkal tanggung
jawabnya" Dia menangkapmu dalam genggamannya " dia tidak perlu berbohong. Sudah jelas
ada seseorang dengan otak tinggal separuh yang melakukan konspirasi ini, yang ma?"
"Yang mana tidak relevan !" gadis itu berteriak. "Aku tidak peduli pada hal lain. Ratuku
memberiku sebuah tugas, dan aku melaksanakannya. Itulah kenyataanya. Aku harus
mematuhinya!" "Cara bicaramu mirip budak," aku menyeringai. "Kau tidak harus mematuhinya, dan di situlah
intinya. Menurut yang kutahu, Balqis adalah suri tauladan dari kebaikan yang sempurna, tapi ia
mengambil keputusan yang salah di sini. Solomon sama sekali bukan musuhmu sampai kau
menyusup ke kamar tidurnya dengan pisau itu. Bahkan sakarang pun kupikir dia akan
membiarkanmu keluar kalau kau kembalikan saja dan" Oh,lakukan apa saja yang kau suka,
nyonya muda, tapi itu tidak mengubah kebenarannya!"
Gadis itu memutar tubuh dengan bertumpu pada tumitnya sambil berdecit marah, dan melesat
melintasi balkon " tapi pada saat aku bicara, seolah dia akan menarikan sebuah tarian Arabia
primitif, dia berputar kembali dan menudingkan telunjuknya padaku. "Tidak seperti demon tidak
setia, yang berusaha berkhianat menggunakan segala cara yang bisa dia dapatkan, aku punya
ikatan suci," katanya. "Aku melakukan dengan sungguh-sungguh kewajiban yang dibebankan
padaku. Aku setia melayani ratuku."
"Tanpa berusaha mencegah kalian berdua mengacaukan segalanya," kataku. "Berapa usia
Balqis, tepatnya" Tiga puluh" Empat puluh" Tengah baya" Well, simak baik-baik, aku punya
dua ribu tahun akumulasi kebijaksanaan disini, dan walaupun aku terkadang memang salah.
Singkatnya, kupikir kau punya sesuatu yang lain dalam dirimu saat kita bertemu kali pertama di
tepi jurang tempo hari. Kecerdasan, fleksibilitas cara berpikir " Ha! Tololnya diriku ini, bukan?"
"Ini bukan tentang kecerdasan," gadis itu menggertakkan jemarinya, berusaha keras
membenarkan alasan tindakannya. "Ini tentang kepercayaan. Aku percaya pada ratuku dan
mematuhinya dalam segala hal."
"Dalam segala hal?"
"Ya." "Dalam kasus ini" " ini salah satu yang terbaik; aku sudah menunggunya selama beberap waktu
" "Kenapa kau tidak membunuh Solomon?"
Hening. Kutaruh si bola perkamen di balustrade, lebih baik, lalu kulipat tegas tanganku, aku ada
di atas angin sekarang dan tampak sangat mengesankan. Gadis itu mendengus; tangannya
gemetar karena sebab yang tidak jelas. "Well, aku tidak perlu melakukan itu. Dia lemah tanpa
cincinnya." "Tapi kau diperintahkan untuk membunuhnya. Kenyataannya itulah yang dijadikan prioritas,
kalau ingatanku benar. Cincin adalah yang nomor dua."
"Tanpa cincinnya, dia akan segera mati," kata gadis itu. "Penyihir lainnya akan mengakhirinya
segera setelah mereka menemukan?"
"Kau tidak menjawab pertanyaanku. Mengapa kau tidak membunuhnya" Kau punya pisau itu.
Atau kau bisa memerintahkanku melakukannya untukmu. Aku pernah membunuh raja
sebelumnya, banyak sekali dari mereka.2) Tapi tidak, kita malah meluncur pergi tanpa
memberinya siksaan lengan kematian atau tungku cina. Sekali lagi demi kesuksesan kita:
kenapa kau tidak membunuhnya?"
2) Empat, sebenarnya: tiga diantanya dengan ultra-dingin, sengaja menjadi korban pembunuhan politik,
yang satunya lagi karena kecelakaan yang sial yang menyebabkan anjing menggonggong, kereta mainan
anak-anak, koridor yang licin, jalan melandai pendek, dan sepanci lemak sapi mendidih. Yang satu itu
kelihatannya bisa kau percaya.
"Aku tidak bisa!" gadis itu menjerit tiba-tiba. "Puas" Aku tidak bisa melakukannya, yang
dilakukannya cuma duduk disana. Aku ingin melakukannya, saat aku mendapatkan kembali
pisauku, tapi yang dia lakukan tidak lebih dari pasrah. Dan itu membuatku?" gadis itu memaki.
"Aku tidak bisa melakukannya dengan tanganku! Solomon tidak membunuhku saat aku berada
dalam kuasanya, ya kan" Dia seharusnya bisa, tapi dia memutuskan tidak melakukanya. Sama
seperti dia, aku sudah gagal."
"Gagal?" aku menatapnya. "Itu salah satu cara mengatakannya. Cara lainnya bisa jadi?"
"Tapi itu tidak berarti," kata gadis itu. "Aku akan kembali ke Sheba membawa Cincin itu."
Wajahnya berkilat padaku dalam kegelapan, seperti bintang terang yang pucat. "Aku tidak ingin
gagal dalam hal itu."
Aku memaksa diriku berdiri. Sekaranglah waktunya untuk membuat keputusan. Ketetapan dirinya, walaupun masih diekspresikan dengan penuh semangat, membuatnya hampir tidak
berhasil; mungkin memang sudah tidak berhasil meyakinkan dirinya sendiri. Kalau aku
melakukannya dengan benar, aku membayangkan aku bisa menghentikan ini semua,
menyelamatkanku dari keharusan menempuh perjalanan penuh rasa sakit kembali ke Sheba
membawa-bawa cincin yang membakar ini. Siapa tahu, mungkin pada saat yang bersamaan
sekaligus menyelamatkan nyawa gadis itu. "Biar coba kutebak," kataku, dan sekali lagi bagus
karena aku berwujud si pengawal bertombak Sumeria dan bukan salah satu samaranku yang
tidak biasa. Sebenarnya sudah cukup sulit menelan ludah tanpa terganggu oleh imp bermata
lebar, ular bersayap, gas miasma beracun, demon berwajah empat,3) sedikit menyebutkan
diantaranya. "Kau tidak bisa membunuh Solomon," kataku, "karena dalam hatimu, kau tahu dia
memberitahumu hal yang sebenarnya tentang Sheba dan cincin itu. Tidak " tutup mulutmu
sebentar, dan dengarkan kata-kataku. Dan itu, pada gilirannya, membuatmu menyadari bahwa
ratumu yang berharga itu sudah melakukan kesalahan. Kau tidak suka mendengar
kebenarannya. Kau tidak menyukainya karena itu berarti dia mengirimmu kesini karena sebuah


Bartimaeus 4 The Ring Of Solomon Karya Jonathan Stroud di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesalahpahaman dan kau membahayakan dirimu untuk sesuatu yang sebenarnya tidak ada.
Kau tidak menyukainya karena, ratumu ternyata tidak sempurna, itu membuatmu
mempertanyakan seluruh maksud dan tujuan hidup kecilmu yang menyedihkan itu, yang
selama ini kau jalani, melakukan apa yang ratumu katakan, membahayakan hidupmu demi
dirinya, benar kan" Dan mungkin juga membuatmu mempertanyakan pengorbanan ibumu
juga." 3) Demon berwajah empat: samaran yang sekali-sekali pernah kugunakan untuk menjaga jalan-lintas di
Mesopotamia kuno. Ke-empat wajahnya adalah griffin, sapi, singa, dan kobra yang berikutnya lebih
menakutkan daripada yang sebelumnya. Aku duduk di atas pilar, sebuah gambaran kemuliaan, menatap
bengis ke semua arah dengan wajahku yang banyak. Masalahnya dimulai saat aku hendak bangun dan
berlari menyusul seseorang. Dimana aku malah jadi bingung dan selalu tersandung-sandung kakiku
sendiri, yang mana membuat anak gelandangan yang kebetulan lewat terbahak.
Gadis itu memulai, suaranya sangat lemah. "Kau tidak tahu apa-apa tentang ibuku."
Ia menutup matanya. "Ya. Dan aku melihatnya mati."
"Sama seperti kau mengharapnya terjadi padamu pada misimu kali ini juga. Sebagian dari
dirimu bahkan menginginkanya terjadi. Disini tampak sesuatu menggumpal di wajah gadis itu.
Aku menunggu dan mundur sedikit. "Jadi kapan itu terjadi?" tanyaku. "Baru saja?"
"Dulu sekali," gadis itu menatapku. Kemarahannya masih tersisa, tapi kebanyakan sudah pecah
dan runtuh, air mata menggenang di sudut-sudut matanya. "Aku baru enam tahun. Pria-pria dari
gurun, marah karena pajak, dan berusaha membunuh ratu."
"Hmm," aku merenungkannya. "Assassin menyerang ibukota. Kedengaran familiar, eh?"
Gadis itu tampak tidak mendengarkan. "Ibuku menghentikannya," katanya, "dan mereka?"
gadis itu memalingkan wajahnya ke arah taman. Masih sangat tenang di luar sana, tidak ada
tanda-tanda masalah apapun. Karena dorongan hati tiba-tiba, aku meraih bola perkamen yang
tadi kuletakkan. Pikiran bahwa aura teredam benda itu mungkin masih bisa terlihat dari
kejauhan menghantamku. Asmira bersandar pada batu pembatas, kedua tangannya terulur bebas di kedua sisi tubuhnya.
Untuk pertama kalinya dalam pertemanan kami ia tampak benar-benar tenang. Tentu saja, aku
pernah melihatnya tidak bergerak sebelumnya, tapi selalu pada waktu istirahat singkat ditengah
aksinya. Sekarang, entah karena kata-kataku atau memori masa lalunya, atau segala sesuatu
yang terjadi sampai saat ini, ia terlihat melambat, kehilangan semangat, tak tahu lagi apa yang
harus dilakukannya. "Kalau aku tidak mengambil cincin ini," suaranya terdengar dibuat-buat. "Apa yang akan
kucapai" Tidak ada. Aku masih tetap akan merasa hampa seperti yang kurasakan sekarang."
Hampa" Si pembawa tombak sumeria menggaruk dagunya yang gagah. Manusia dan masalah
mereka. Ini bukan rayuanku yang terbaik. Oh tentu saja, jelas sekali kelihatan kalau gadis itu
berusaha keras selama bertahun-tahun belakangan ini untuk meniru ibunya, hanya untuk
kemudian menemukan " pada saat kemenangannya " kalau dirinya tidak benar-benar
mempercayai apa yang telah dia lakukan. Aku tahu hal semacam ini dengan cukup baik. Tapi
melihat wajah gadis itu yang mendadak ditimpa kesedihan, aku tidak yakin darimana aku
sebaiknya melanjutkan. Membuat analisa psikologis terhadap hal ini,4) dan memberikan saran
yang membangun mungkin adalah ide yang terbaik.
4) Yaitu, observasi tidak memihak yang dengan asal-asalan dibumbui dengan sarkasme dan hinaanhinaan pribadi. Coba deh perhatikan, aku pandai dalam hal-hal begini.
"Sekarang dengarkan," aku memulai, "masih ada cukup waktu untuk mengembalikan cincin ini
pada Solomon. Dia tidak akan membalas dendam padamu. Dia selalu menepati janjinya. Plus
dia akan membebaskanmu juga, kurasa. Atau alternatif lainnya adalah, yang mungkin tidak
akan kau pertimbangkan, melemparkannya ke laut. Mengenyahkannya selamanya. Itu akan
memecahkan masalahnya dalam jangka waktu yang panjang " tak akan ada ancaman lagi
pada Sheba, ratumu tidak merasakan sakitnya " plus akan mengurangi kesengsaraan sejumlah
besar makhluk halus yang malang.
Gadis itu tidak menolak ataupun menyetujui usulku yang sensitif ini. Dia terlihat merosot, bahu
melorot, melotot ke kegelapan.
Aku mencoba lagi. ?"Kekosongan" yang kau maksudkan" kataku. "kurasa kau akan segera
menemukan penyelesaiannya. Masalahmu, Asmira, kau harus segera menemukan sesuatu
yang bisa kau?" aku berhenti berbicara karena kakhawatiran mendadak menyerangku.
Hidungku yang tampan berkedut. Mengedut lagi. Aku mengendus sekelilingku dengan
perhatian penuh. Yang kulakukan membuat gadis itu terjaga sedikit. Dia terlihat tidak se-nang. "Kau mau
mengatakan aku bau" demi Sheba yang Agung, itu bukan se-suatu yang ingin kukhawatirkan
saat ini." "Tidak, bukan kau." Mataku membelalak. Aku melihat sekeliling lorong kecil tempat kami
berada. Pilar-pilar, patung-patung, kursi-kursi yang bertebaran " semua terlihat baik-baik saja.
Tapi ada sesuatu di dekat sini yang " Uh-oh. "Dapatkah kau mencium sesuatu?" aku bertanya.
"Telur busuk?" Katanya. "Aku pikir itu dirimu."
"Itu bukan aku."
Terpicu oleh intuisi mendadak, aku menjauh perlahan dari gadis itu, melangkah perlahan dan
berdiri di tengah lorong. Dan berhenti, mengendus, mendengarkan, melangkah dedikit menjauh
lagi, mengendus lagi. Aku melangkah "
" dan berbalik sambil menghantam hingga berkeping-keping patung ter-dekat dengan detonasi.
Gadis itu menjerit; si pembawa tombak melesat terbang. Bahkan saat pecahan batu yang
berpijar masih berguling jatuh, berputar-putar, bertebaran ke segala penjuru kubah menara itu.
Aku mendarat di tengah-tengahnya, menyibakkan sedikit sisa filamen kabut lilac yang tersisa,
dan menangkap foliot menghitam dari tempat persembunyiannya dibalik alas patung yang
sekarang sudah hancur. Mencengkram otot leher hijaunya dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Gezeri," aku membentak. "Dugaanku benar. Memata-matai lagi! Well, sekarang ini kesempatan
yang baik untuk mengakhirimu sebelum kau punya kesempatan untuk?"
Si foliot perlahan-lahan menjulurkan lidahnya padaku dan menyeringai. Dia menunjuk ke
selatan. Oh tidak. Kabut itu muncul pada waktu yang benar-benar tidak tepat bagi Asmira, tepat pada saat
ketetapan hatinya telah hilang sepenuhnya dari hatinya.
Asmira hanya berdiri diam menatap kabut asap itu saat dia tumbuh makin besar dari balkon:
tornado api yang terpuntir, melintas menerangi pepohonan dan halaman rumput, menjadikan
mereka merah seperti dilumuri darah. Asmira dapat mendengar jeritan pusaran itu membelah
udara, mendengar tawa si demon kecil, mendengat teriakan mendesak dari Bartimaeus saat dia
lari mendekati Asmira "
Ia melihat dan mendengar semua itu, tapi tidak melakukan apa-apa.
Selama perjalanan menyengsarakan ini Asmira berhasil menjaga diisiplin bak besi yang
dipelajarinya selama bertahun-tahun latihan dalam kesendirian. Bahaya tempat ini,
percakapannya dengan Solomon, bahkan berhadapan empat mata dengan si makhluk halus
dari cincin " tak ada satupunn dari hal-hal itu yang membuatnya ciut. Ia mengerti sepenuhnya
pengorbanan yang harus dilakukan agar berhasil, dan ia memahami alasan dirinya mau
melakukan semua itu. Kejelasan semua itu memberinya tujuan dan tujuan memberinya
kejelasan. Dari awal Asmira menggerakkan dirinya dengan rasa tenang dan rasa berani
mengahadapi ajal. Tapi kematian itu, pada akhirnya, tidak mendatanginya " ia mendapatkan Bartimaeus. Dan
dalam sekejap sang raja berada di bawah kakinya, cincinnya ada dalam genggaman, dan
Asmira tetap selamat. Segala sesuatunya mungkin akan berjalan seperti yang sudah lama
dicita-citakannya " tapi kemudian Asmira menemukan, dengan lumayan tiba-tiba, bahwa
dirinya tidak tahu lagi apa yang harus di perbuat selanjutnya.
Bahkan sebelum ia keluar dari ruang Solomon, Asmira telah berjuang mati-matian mencegah
dirinya memikirkan apa yang telah terjadi. Cerita sang raja, ketidakberdayaannya,
penyangkalannya pada semua yang dituduhkan Asmira padanya, keadaanya yang terpuruk di
kursi " tak ada satupun dari semua itu yang diharapkannya akan terjadi; semua itu
menggoyahkan kepercayaan akan tugas yang diembannya. Dan kemudian kenyataan tentang
si cincin itu sendiri, cincin yang menurut dugaan membuat pemakainya menjadi orang paling
beruntung di dunia. Kecuali fakta bahwa dia juga membakar pemiliknya dan membuatnya
menua sebelum waktunya " Asmira memikirkan wajah solomon yang rusak, memikirkan rasa
sakit yang menerpanya saat ia berusaha mengambil cincin itu dari rak. Tidak ada satupun yang
bisa dimengerti. Rasanya segala sesuatunya terbalik.
Mulanya Asmira berusaha mengabaikan konflik di kepalanya dan berusaha menyelesaikan
misinya sebaik yang dapat dilakukannya. Tapi kemudian, ucapkan terimakasih pada
Bartimaeus, ia merasa rasa sangsi dan motivasinya lenyap di antara bintang-bintang.
Kebanyakan yang dikatakan Bartimaeus sudah diketahui Asmira sebelumnya, diam-diam,
dipendamnya dalam-dalam, bahkan sejak saat ibunya roboh di tangan para penyerang yang
tidak berperasaan, sang ratu yang seolah tak peduli. Selama bertahun-tahun Asmira berusaha
menyangkal pengetahuan itu, menutupinya dengan dedikasinya yang bergelora dan
kebanggaan pada kemampuannya. Tetapi kini, dalam kejernihan malam yang dingin, Asmira
menemukan dirinya tidak lagi mempercayai apa yang telah dilakukan dan dicita-citakannya.
Energy dan kepercayaan dirinya telah lenyap, dan kelelahan yang terakumulasi selama dua
minggu belakangan ini sekonyong-konyong muncul membebani punggungnya. Asmira
merasakan dirinya menjadi sangat berat dan kosong, seperti cangkang tanpa isi.
Di depannya datang kabut asap yang bergemuruh. Asmira hanya menontonnya.
Si jin berlari ke arahnya, menyengkram si demon kecil di leher. Di tangannya yang lain
tergengam bola gulungan perkamen. "Ini," seru si jin. "Cincinnya! Ambil! Pakai cincinnya!"
"Apa" Asmira mengerutkan dahi dengan tolol. "A" aku tak bisa melakukannya."
"Tak bisakah kau melihat" Si Khaba datang!" Bartimaeus tepat di sebelahnya sekarang, masih
dalam samaran pemuda berkulit gelap. Matanya membelalak karena cemas. Bartimaeus
menyerahkan bola itu ke tangan Asmira. "Lakukan dengan cepat! Cuma ini satu-satunya
kesempatanmu!" Bahkan dalam lindungan bungkusan kusut itu, Asmira dapat merasakan panas hebat yang
dipancarkan si cincin. Asmira menangkapnya serampangan, hampir menjatuhkan buntaklanitu
ke lantai. "Aku" Tidak " Aku tidak bisa. Kenapa bukan kau?""
"Well, aku tidak bisa, bukan?" teriak si jin. "Tarikan dunia lain akan membelah rohku jadi dua!
Pakailah! Gunakan itu! Kita cuma punya beberapa detik lagi!" si pemuda melayang, melompat
ke susunan tangga dan, sambil melipat si foliot di lengannya, menembakkan serentetan cahaya
merah pucat ke arah kabut yang mendekat. Tidak satupun serangannya yang kena sasaran:
semuanya meledak terhempas penghalang yang tak tampak, mengirim sihir-sihir gagal itu tinggi
ke udara, atau ke bawah menjadi desisan bunga api yag membuat segerombolan cemara
cypress menyala terbakar.
Asmira memungutnya dengan ragu, memegangnya pada ujung perkamen. memakainya" Tapi
Cincin adalah harta kerajaan, dipakai oleh para raja dan ratu. Siapakah dirinya sehingga berani
memakainya" Ia bukan siapa-siapa, bahkan bukan seorang pengawal yang baik " dan
disamping itu " ia memikirkan wajah Solomon yang rusak " Cincinnya membakar.
"Apa kau ingin Khaba si keji itu mendapatkannya?" Bartimaeus berteriak dari atas padanya.
"Pakai benda itu! Ah, master macam apa kau ini" Ini kesempatanmu untuk melakukan sesuatu
yang benar!" Dari lekukan lengan Bartimaeus si demon kecil hijau terkekeh mengejek. Asmira ingat
sekarang; dia salah satu makhluk Khaba. Asmira melihatnya sekilas di jurang. "Kau dapat orang
gagal rupanya, Barty," si foliot menegaskan. "Tak berguna. Apakah itu dia yang membawabawa buntalan itu sambil mengeluarkan keluhan basi di ruangan tangga" Aku bisa melihatnya
dari satu mil dari sini."
Si jin tidak menjawab tapi mengucapkan sebuah kata. Si foliot membeku dengan mulut terbuka,
diliputi jaringan asap. Sambil terus menebaki kabut itu dengan tangannya yang lain, Bartimaeus
melontarkan demon itu tinggi-tinggi, menangkapnya pada telinganya yang mengeras dan,
dengan kekuatan lengan luar biasa, membuangnya jauh-jauh ke kegelapan.
Di luar, di tengah-tengah kabut yang mendekat, seberkas denyutan ca-haya cemerlang
menyala sekali. "Asmira?" kata Bartimaeus.
Api biru menghantam balustrade, meledakkannya berantakan, mengirim si jin terbang ke
belakang terbungkus api nilakandi. Dia terbang meluncur melewati tempat bersantai,
menembus patung terdekat, menabrak kubah menara dengan kaki tangan kusut terlipat. Api
menjilat sekujur tubuhnya, melebar, lalu lenyap.
Tubuhnya berguling perlahan menuruni lekukan kubah, berguling lagi dan lagi, kemudian
tertahan di tengah batu-batu yang berhamburan.
Asmira menatap tubuh yang merosot itu, menatap buntalan di tangannya. Ia memaki tiba-tiba;
keluhannya menghilang. Dia bergumul dengan belitan-belitan perkamen, menyobeknya satusatu, merasakan panas Cincin Solomon di dalamnya bertambah panas, lebih panas lagi " dia
menjulurkan tangannya yang gemetaran"
Petir menyambar; kabut badai mendarat di balkon itu. patung-patung roboh, kepingan-kepingan
parapet melengkung, menderit, berjatuhan ke gelapnya malam. Badai itu menyapu tempat itu,
menciptakan arus udara memutar yang mengirim Asmira bersalto, berputar dan menghantam
batu pada punggungya. Bola perkamen terlepas dari tangannya, jatuh ke parapet. Bercak kecil
emas dan hitam terpantul bebas.
Badai berlalu; topan lenyap. Berdiri di tengah lingkaran lebar batu lantai yang gosong
menghitam, si penyihir Khaba melongok ke sekeliling dengan wajah kasihan.
Di punggungnya, sesuatu yang lebih hitam, lebih tinggi, melongokkan kepala. Tangan kurus
seperti kertas yang memegangi si penyihir terbuka. Jemari panjang dan meruncing seperti mie
menjulur, melentur, menuding ke arah Asmira.
"Lewat sini," sebuah suara lembut berkata.
Asmira mendapat benturan di kepalanya; parapet tampak goyah di depan matanya. Meski
begitu, dia berjuang untuk duduk dan mencari di sekelilingnya keberadaan cincin itu.
Disanalah dia " tepat di sudut, disamping retakan besar yang beruap. Dengan kepala
terhuyung-huyung, Asmira berguling ke depan, mulai merangkak mendekati Cincin.
Langkah kaki lembut mendekat, suara desiran jubah panjang hitam.
Asmira merangkak lebih cepat. Kini dia sudah bisa merasakan panas yang menguar dari Cincin
pada wajahnya. Asmira mengulurkan tangan untuk mengambilnya"
Sandal hitam menghunjam, menggencet tangannya ke lantai. Asmira terengah, menyentak
lepas tangannya. "Tidak, Cyrine," si penyihir berkata. "Tidak. Ini bukan untukmu."
Si penyihir menendang, tajam menyerempet sisi wajahnya. Asmira terguling ke belakang
karenanya, kemudian bangkit berdiri. Sebelum dia bisa mencapai ikat pinggangnya, sesuatu
mirip cakar lebih dulu mencengkeram pinggulnya, menyentakan Asmira ke atas menjauhi
tanah. Selama beberapa saat dia tidak melihat apa-apa kecuali sinar bintang berputar-putar dan
kegelapan yang memuntir, kemudian dia menemukan kembali dirinya menubruk lantai,
setengah jalan dari balkon yang tinggal reruntuhan. Cengkraman tajam itu tidak mengendur;
lengannya direnggut dengan cepat, ditekan kuat-kuat ke sisi tubuhnya. Ada sesuatu di
belakangnya. Si penyihir masih mengangkangi Cincin itu, memandanginya dengan perasaan tidak percaya.
Dia memakai tunik yang sama dengan yang dipakainya pada perjamuan makan berjam-jam
yang lalu. Wajahnya terlihat cekung, dan ada noda kecil berwarna ungu di sudut bibirnya,
sebuah kesaksian dari apa yang masuh ke sana malam ini, tapi matanya cemerlang oleh
kehebohan tingkat tinggi, dan suaranya pun bergetar saat dia bericara.
"Ini memang. Ini benar-benar " aku tidak percaya!" dia membungkuk cepat, hanya untuk
kemudian berhenti dengan ragu saat dia meresakan pancaran Cincin itu.
Dari suatu tempat di atas Asmira, sebuah suara lembut meneriakkan pe-ringatan. "Master! Hatihati! Energinya membakarku bahkan dari kejauhan. Master sayang, kau harus berhati-hati!"
Si penyihir bersuara yang merupakan campuran antara setengah tawa, setengah raungan. "Ka
" kamu kenal aku, Ammet sayang. Aku " aku suka sedikit rasa sakit." Jemarinya bergerak maju
menuju Cincin. Asmira memalingkan wajah mengantisipasi jeritannya.
Alih-alih: engahan napas, komat-kamit kutukan; dengan mata melotot dan gigi terkatup rapat,
Khaba kembali berdiri. Cincin berada di telapak tangannya.
"Master! Apa kau terluka?"
Asmira menatapnya, ia melihat, berbingkai bintang-bintang, sesosok makhluk bayangan,
duplikat siluet Khaba sendiri. Giginya ikut berpartisipasi dalam ketakutan, Asmira meronta-ronta
dalam cengkraman monster itu.
Mata si penyihir kembali memandang Asmira. "Amankan gadis itu," katanya. "Tapi jangan "
jangan dulu lukai dia. Aku memerlukan " aku perlu bicara dengannya. Ah!" si penyihir
melenguh. "Bagaimana kabar lambung si pria tua?"
Cengkraman di pinggul Asmira menguat, ia menjerit. Pada saat yang bersamaan ia merasa
penangkapnya menggerakkan ototnya memungut sesuatu di belakang mereka.
Suara lembut itu berkata lagi. "Master, aku mendapatkan Bartimaeus pula. Dia hidup."
Asmira menggerakkan lehernya sedikit, menatap si pemuda tampan menggantung lunglai
disampingnya, bergelantungan seperti kain lap bolong-bolong dalam genggaman tangan kelabu
raksasa. Uap kuning mengepul dari luka-luka di sekujur tubuhnya. Pemandangan itu
mendatangkan rasa pedih tiba-tiba dalam diri Asmira.
"Tidak mati" Semua yang terbaik." Khaba menyeret diri ke arah mereka, mengepalkan tangan
kanannya di dekat dadanya. "Kita mendapatkan penghuni pertama sangkar roh batu kita,
Ammet. Tapi pertama " gadis itu ?"
Si penyihir berhenti di hadapan Asmira dan terpaku memandanginya. wajahnya tersiksa oleh
rasa sakit; giginya menggigiti tanpa suara bibir atasnya. Tapi dia masih belum mengenakan
cincin itu. "Bagaimana kau melakukannya?" tuntutnya. "Penyihir tingkat berapa kau ini?"
Asmira mengangkat bahu. Dia menggelengkan kepalanya.
"Kau ingin Ammet mencabikmu jadi dua?" kata Khaba. "Dia gatal sekali ingin melakukannya."
"Cukup mudah." "Bagaimana dengan pertahanan Solomon?"
"Kuhindari." "Cincinnya: bagaimana caramu melepaskannya dari jarinya" Saat dia tidur?"
"Bukan. Dia bangun."
"Kalau begitu bagaimana demi Ra?"" Khaba berhenti mendadak, menatap tangannya yang
menutup kaku. Gelombang rasa sakit melintasinya; dia tampak akan kehilangan akal sehatnya.
"Well, kau harus menceritakan detailnya nanti saat aku ada waktu, tidak peduli kau
menginginkannya atau tidak. Tapi satu hal: bagaimana Solomon mati?"
Asmira memikirkan si raja yang lemah sedang duduk di kursinya. Ia berharap dia sedang
bertindak sekarang. Memanggil pengawalnya, boleh, atau meninggalkan menaranya. Asmira
menemukan dirinya berharap dia punya cukup waktu untuk melakukan itu. "Bartimaeus
mencekiknya," katanya.
"Ah. Bagus, bagus. itu lebih dari yang diharapkannya. Sekarang, Cyrine " tapi tentu, itu bukan
benar-benar namamu, bukan" Aku ingin sekali tahu apa ?" Khaba tersenyum simpul. "Well,
kita akan menemukannya, benarkan, pada waktunya nanti. Siapapun dirimu," dia melanjutkan,
"aku sangat berhutang budi padamu. Aku sangat berhasrat untuk melakukan sesuatu seperti ini
sendiri selama bertahun-tahun. Dan begitu juga dengan yang lainnya " kami sudah sangat


Bartimaeus 4 The Ring Of Solomon Karya Jonathan Stroud di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sering membicarakannya. Ah, tapi kami semua ketakutan! Kami tidak berani bertindak!
Kengerian Cincinnya terus membayangi kami. Dan sekarang, kau " dengan berkomplot
bersama " bersama jin yang sangat biasa ini, sudah mengurus semuanya!" Khaba
menggeleng-gelengkan kepalanya takjub. "Ini semua sangat luar biasa. Kukira kaulah yang
menyebabkan keributan di sekeliling ruang penyimpanan harta?"
"Ya." "Itu siasat yang baik. Kebanyakan dari kolegaku saat ini masih berkutat di bawah sana. Kalau
ini berhasil mengelabui mereka. Kau akan bisa meloloskan diri."
Bagaimana kau bisa menemukan kami?" kata Asmira. "Bagaimana cara demon hijau itu bisa?"
"Aku, Ammet dan Gezeri sudah mencari-cari dirimu setengah malaman ini, semenjak kau
merampokku. Gezeri punyai mata yang paling tajam di dunia. Dia melihat kilasan tinggi di atas
balkon ini dan, dia datang untuk memeriksanya. Aku mengikuti pandangan matanya dengan
ini." si penyihir mengulurkan sebutir batu terasah halus yang menggantung di lehernya.
"Bayangkanlah keterkejutanku saat kami menemukan bahwa itu adalah dirimu."
Pada saat itu terdengarlah suara rintihan dari belakang mereka. Seekor makhluk kecil, dilumuri
kabut merangkak keluar dengan tertegun-tegun dari dalam bukaan di lantai, melangkah maju
dengan tersentak-sentak minta maaf dan terkejut. Di atasnya si foliot hijau kecil tergeletak,
dalam keadaan menggeliat-geliat gelisah, dengan benjolan seukuran telur burung bangau di
kepaalanya. "Ohhhh, rohku." Keluhnya. "Bartimaeus itu! memberiku Mantra pembeku batu
sebelum melemparku ke pojok situ!"
Khaba mengerutkan wajahnya. "Tenanglah, Gezeri! Aku punya pekerjaan penting yang harus
dilakukan." "Badanku mati rasa semua. Ayolah, tarik ekorku. Aku tidak bisa merasakannya."
"Kau tidak akan punya ekor lagi kalau kau tidak bisa diam dan mengawasi sekitar."
"Apa kita semua mudah tersinggung?" si foliot berkata. "Tapi kalian sebaiknya juga berhati-hati,
teman-teman. Ledakan di atas sini tadi tidak mungkin terlewatkan, begitu pula aura mengerikan
yang meluber dari tanganmu itu. yang terbaik adalah tetap membuka mata kalian lebar-lebar.
Kita kedatangan tamu."
Si foliot menuding: menunjuk jauh ke arah selatan, banyak titik-titik cahaya mendekat, dan
bersama mereka datang siluet tipis, hitam, kotak, bagaikan jalan masuk damai munuju bintangbintang. Khaba menggeringsing. "Teman dan kolegaku, datang untuk mengecek Solomon.
Mereka tidak akan menyangka siapa yang memegang Cincinnya sekarang!"
"Semuanya sangat bagus," kata Asmira tiba-tiba, "tapi kulihat kau belum juga memakainya."
Asmira menjerit; si demon meremas pinggulnya penuh dendam. Khaba berkata: "Rasa sakitnya
memang sedikit " sulit dikuasai dari yang kuperkirakan. Siapa yang mengira Solomon
mempunyai kemauan sekeras ini" Tapi jangan pernah berpikir untuk mengkritikku, wanita. Aku
ini seorang lelaki penuh kekuatan. Kau, bukan siapa-siapa, pencuri tanpa nama."
Asmira menggertakkan giginya; kemarahan membeludak dari dalam di-rinya. "Salah," katanya.
"Namaku Asmira, dan ibuku dulu adalah Pengawal Pertama Ratu Sheba. Aku datang untuk
menemukan cincin itu karena negaraku berada dalam bahaya, dan walaupun aku mungkin
akan gagal, setidaknya aku bertindak dengan maksud yang lebih mulia dibandingkan engkau."
Asmira menyelesaikannya dengan dagu terangkat, mata berkobar, kepuasan liar membah dari
dalam dirinya. Keheningan bergema sebagai jawabannya.
Lalu Khaba tertawa, nadanya tinggi, suara memekik, dan dari makhluk bayangan yang
menangkapnya terdengar suara tawa yang menirukan gemanya, titinada demi titinada. Jin tak
sadarkan diri yang menggantung di sisinya berkedut dan menggigil karenanya.
Dengan upaya keras Khaba berhasil menenangkan dirinya. "Mereka datang, Ammet," katanya
segera setelah berhasil menenangkan diri. "Bersiaplah. Sayangku Asmira " sungguh nama
yang cantik, yakinlah; aku lebih suka pada Cyrine. Jadi kau dikirim oleh Sheba" Sungguh
menghibur." Dia membuka genggaman tangannya, memelototi Cincin Solomon.
"Cepatlah, bos," kata si foliot. "Si tua Hiram kesini. Dia kelihatannya marah besar."
Asmira dapat menyaksikan tangan si penyihir gemetaran saat mereka berada di dekatnya. "Apa
maksudmu, "menghibur?"" katanya.
"Karena aku tahu apa yang membuatmu datang kemari. Aku tahu mengapa Balqis sampai
mengirimmu." Mata besar berair berkilat padanya; ada keceriaan disana, seperti halnya rasa
takut. "Dan karena aku tahu kau membunuh Solomon demi sesuatu yang tidak ada."
Perut Asmira mulas. "Tapi ancaman ?"
"Bukan dia yang membuatnya."
"Pembawa pesan ?"
"Bukan dia yang mengirimnya." Khaba menghembuskan napas keras-keras saat jemarinya
menggenggam erat Cincin di tangannya. "Sisa " sisa dari Tujuh Belas Serangkai dan aku
sendiri memang sudah lama berkutat dalam transaksi pribadi tertentu, mengambil keuntungan
dari reputasi Solomon. Raja-raja picik Edom, Moab, Syria dan yang lainnya semua
bersemangat membayar upeti untuk menghindari bencana khayalan mereka. Balqis sementara
ini hanyalah yang terakhir dalam daftar. Dia " seperti yang lainnya " kaya, dan dapat dengan
mudah membayar. Ini bukanlah kehilangan yang besar baginya, dan hal itu membengkakkan
simpanan kami. Jikalau Solomon tidak menyadarinya, apalah dampaknya pada kami" Ini
adalah jenis masalah yang bahkan orang tololpun bisa melakukannya dengan baik, tentu saja.
Apalah guna punya kekuatan kalau kau tidak bisa mendapatkan sesuatu untuk dirimu sendiri?"
Si bayangan berbicara dari atas kepala Asmira. "Master " kau harus bergegas."
"Khaba!" seruan jengkel datang dari kegelapan. "Khaba " apa yang kau lakukan?"
Si penyihir mengabaikan suara itu. "Ammet sayang, aku tahu aku bicara terlalu banyak. Aku
berbicara untuk memajalkan rasa sakit. Aku harus mengecoh diriku sendiri agar dapat
memakainya. Aku tidak akan lama."
Asmira sedang memelototi si penyihir. "Pengirim pesanmu menyerang Marib. Penduduk kota
menjadi korban. Penyihir mana yang mengirimnya?"
Keringat mengucur dari kepalanya yang berkilau. Dia memegang Cincinnya di antara telunjuk
dan jempol, menggerakkannya ke arah jari tangan satunya. "Pada kenyataannya itu adalah aku.
Jangan terlalu diambil hati. Itu bisa jadi siapapun di antara kami. Dan pengirim pesannya adalah
Ammet, yang menangkapmu saat ini. hal ini ironis, tidakkah kau juga berpikiran sama, petunjuk
akan sifat si Balqis yang mudah marah itu bisa saja berakhir dengan menyebabkan kematian
pada raja tertentu yang sebenarnya tidak menyalahgunakan kekuatan Cincin" Aku tidak bisa
terlalu menekannya, aku berani menjaminnya."
"Khaba!" buru-buru turun ke parapet, gemerlapan dalam balutan jubah putihnya, Hiram sang
vizier melihat tempat kejadian dengan mata kepala penuh amarah. Dia berdiri, lengan terlipat di
atas karpet persegi kecil yang dijunjung tinggi-tinggi oleh sesosok demon berwujud manusia
berukuran super besar. Dia mempunyai rambut keemasan berkibar dan, sayap berbulu putih
yang mengepakkan udara dengan suara seperti gendering perang. Wajahnya anggun,
menakutkan, kesepian, tapi matanya sehijau zamrud. Yang tanpanya Asmira tidak akan
mengingat si tikus putih kecil.
Di belakangnya berdiri penyihir lainnya, demon lainnya, menunggu dalam kegelapan.
"Khaba!" sang vizier berseru lagi. "Apa yang kau perbuat di sini" Dimana Solomon" Dan apa "
apa yang kau pegang itu?"
Si Mesir sama sekali tidak melihatnya. Dia masih menghibur dirinya sendiri, memegang Cincin
dengan tangan gemetaran. "Setidak-tidaknya ratuku " sepertiku " bertindak dengan kehormatan," Asmira berkata. "Dia
tidak akan pernah menundukkan lehernya di hadapanmu, tidak peduli apapun ancaman yang
kau berikan!" Khaba tertawa. "Kebalikannya, dia sudah melakukan itu. kemarin dia menyiapkan kantungkantung frankincense tertumpuk siap dikumpulkan di alun-alun kota Marib. Kau bukan siapasiapa selain pion untuk dikorbankan, anak-anak, pendahuluan tak berarti yang dengan mudah
dapat ratumu buang. Karena dia sekarang menganggapmu sudah mati, dia menyiapkan
pembayarannya pada akhirnya. Itulah apa yang selalu mereka lakukan."
Kepala Asmira berputar; darah memukul-mukul telinganya.
"Khaba!" Hiram berseru. "Jatuhkan Cincinnya! Akulah yang paling senior dari Tujuh Belas
Serangkai! Aku melarangmu untuk mengambilnya. Kita semua harus berbagi dalam hal ini."
Kepala Khaba merunduk, wajahnya tersembunyi. "Ammet, aku perlu waktu. Kalau kamu bisa
?"" Asmira mengangkat wajahnya. Terhalangi airmatanya ia melihat mulut si bayangan menganga
terbuka, menampakkan barisan gigi-gigi tipis " kemudian dirinya dilontarkan ke samping ke
udara dan ditangkap lagi; kini dia menggantung tepat di sisi Bartimaeus, dengan erat pada
lengan si bayangan. "Khaba!" suara Hiram mengguntur. "Turuti, atau kami menyerang!"
Sambil masih memegang Asmira dan si jin, si bayangan memanjang melintasi balkon.
Tangannya yang bebas terulur, jemarinya panjang dan melengkung. Tangan itu melesat ke
depan, mengibas seperti cambuk. Teriris, tergelak. Kepala Hiram jatuh ke satu sisi. Badannya
ke sisi lain. Keduanya tumbang tanpa suara dari karpet dan terjun bebas menuju kegelapan.
Demon Hiram yang bersayap putih berseru kegirangan dan menghilang. Karpetnya, segera
berspiral cepat tanpa kendali dan hilang dari pandangan.
Di suatu tempat di udara di atas taman, satu di antara penyihir lainnya menjerit ngeri.
Si bayangan menyusut kembali ke balkon dan berbalik dengan penuh perhatian pada
masternya, yang sedang, membungkuk dua kali lebih rendah, melontarkan teriakan panjang,
bernada rendah. "Master tersayang, kau terluka" Apa yang bisa kulakukan?"
Khaba tidak menjawab pada awalnya; dia sedang terkurung di dunianya sendiri, kepala
direndahkan sampai menyentuh lutut. Tiba-tiba kepalanya tersentak ke atas. Tubuhnya
perlahan ditegakkan. Air mukanya berubah, mulutnya melebar memamerkan senyuman rictus
mengerikan. "Tidak ada, Ammet sayang. Kamu tidak usah melakukan apa-apa lagi untukku."
Si penyihir mengangkat tangannya. Di atas salah satu jarinya terdapat kemilat keemasan.
Disampingnya, Asmira mendengar Bartimaeus mengeluh. "Oh Hebat," katanya. "Kenapa juga
aku harus sadarkan diri sekarang."
Si mesir berbalik dan menatap langit. Dibelakangnya beberapa penyihir tampak dalam cahaya
bintang, berdiri kaku dan ragu pada karpetnya di atas kehampaan. Seorang diantaranya
meneriakkan tantangan, tapi Khaba tidak me-anggapi. Alih-alih mengangkat tangannya yang
tergenggam tinggi-tinggi, dan dengan gerakan lambat-lambat yang disengaja, memasukkan
cincin itu ke jarinya. Seperti ketika berada di ruangan Solomon, Asmira merasa telinganya teredam, seperti jika
dirinya tenggelam ke air yang dalam. Disampingnya Barti-maeus menarik nafas dari sela-sela
giginya. Bahkan bayangan yang menahan mereka mundur perlahan.
Sosok hadir berdiri di udara di sisi balkon, seukuran manusia, tapi bukan manusia; lebih pekat
daripada langit malam. "Kau bukan Solomon."
Suranya tidak keras, atau marah, tapi ringan dan tenang. Tapi bagi Asmira dia kelihatan sedikit
marah kepada sesuatu. Saat suara itu terdengar, ia tersentak ke belakang, seakan dihantam
pukulan. Asmira merasakan darah mengalir dari hidungnya.
Khaba mendengking sedih yang mungkin dimaksudkannya sebagai tertawa. "Ya, Tentu saja,
budak! Kau melayani master yang lain sekarang. Ini akan menjadi perintah pertamaku. Lindungi
aku dari semua serangan sihir."
"Dilaksanakan." Sang Sosok berkata.
"Seperti inilah," Khaba menelan ludah dengan keras; ia berdiri tegak. "Sekaranglah waktunya
menunjukkan pada dunia bahwa segalanya telah berubah," dia berteriak, "bahwa ada kekuatan
baru di Jerusalem, pastinya bukan Solomon yang lamban! Cincin ini harus digunakan!"
Saat itu, kerumunan penyihir beraksi: berkas kilatan sihir dengan cepat melintasi ruang kosong
ke arah si mesir. Sinar-sinar berkumpul di parapet, kemudian berhamburan ke segala arah;
masing-masing berubah menjadi aliran warna lembut berkilauan yang bubar seperti benih
rumput tertiup angin. "Budak dari dalam cincin!" khaba berteriak. "Kulihat kolegaku, Elbesh dan Nisroch terutama
yang ingin cepat menyerang, buatlah mereka yang tercepat menerima hukuman!"
Dua karpet, bersama dua penyihir di atasnya meledak menjadi bola api hijau cemerlang.
Reruntuhan berasap memelintir jatuh di pepohonan.
"Dilaksanakan."
"Budak dalam cincin!" suara Khaba lebih keras sekarang; tampaknya dia sudah bisa menguasai
rasa sakitnya. "Bawakan aku pasukan sebesar milik Tuthmosis III yang berarak di Nimrud!
Jauh, jauh lebih besar! Izinkan langit terbuka dan pasukanku datang padaku dan tunduk pada
perintahku! Biarkan mereka menghujani bumi menghancurkan segala yang ada di istana ini
yang berani menunjukkan sebelah tangannya padaku! Lakukan?" dia berhenti, nafas
memburu, menatap langit. "Segera dilaksanakan." Sosok itu berkata, dan sirna.
Telinga Asmira berdengung lagi; disamping itu, ia melihat sekilas Sang Sosok pergi. Asmira,
seperti Khaba, dan semua penyihir di atas karpet mereka, seperti makhluk-makhluk halus yang
membuat mereka tetap melayang, menatap suatu titik di timur taman tempat mereka berada,
tinggi di atas tembok istana. Disitu, sebuah lubang terbuka di langit, sebuah celah yang tampak
seperti roda api kalau dilihat dari sisi miringnya. Apinya melebar dari pusat dengan ganas dan
hebat, belum terdengar suara inferno turun ke bumi, atau bentuk-bentuk menakutkan yang citra
pantulannya tampak pada kubah-kubah dan pepohonan di bawah. Lubang itu masih disana,
kemudian tidak disana " sangat dekat, kemudian sangat jauh, sebuah jendela ke dunia lain.
Melalui lubang itu tampak sekumpulan noda-noda kecil, hitam, tanpa suara, dan terbang sangat
cepat. Mereka datang seperti wabah tawon atau lalat, seperti puntiran asap, bertambah tebal,
lalu tipis, lalu tebal lagi. Dan selalu berkelok-kelok, berspiral, turun mengarah ke tanah; seolah
berjalan di kejauhan, perjalanan mereka tidak tampak terlalu hebat, bagi Asmira mereka tampak
membutuhkan bertahun-tahun untuk sampai. Dan kemudian dalam sesaat, seakan penghalang
tak kasat mata telah ditembus tiba-tiba, mereka muncul dengan suara bak lautan pasir yang
mengalir deras menghujani bumi: itu adalah suara kepakan sayap demon-demon itu.
Bercak-bercak gelap itu melebar, cahaya bintang bersinar memantul pada gigi, cakar dan
paruh-paruh mereka, dan senjata-senjata bergerigi yang digenggam dengan ekor dan tangantangan mereka, langit di atas mereka menghitam oleh kemunculan bentuk-bentuk melayang,
dan cahaya bintang sepenuhnya terhalang.
Pasukan besar itu menunggu. Keheningan tiba-tiba menyeruak.
Asmira merasakan sentuhan di punggungnya.
Ia menatap " langsung ke dalam mata pemuda tampan yang tergantung disebelahnya dalam
cengkraman si bayangan. "Sekarang lihat apa hasil perbuatanmu?" katanya penuh celaan.
Rasa bersalah dan malu menerpa Asmira. "Bartimaeus " aku minta maaf. Aku sangat
menyesal." "Oh,well, itu membuat segalanya baik, ya?" kata si pemuda. "Batalion makhluk dunia lain tak
terikat, kematian dan kehancuran yang begitu besar berjatuhan dari langit ke bagian bumi ini,
Khaba yang Keji menobatkan tahtanya sendiri dalam kejayaan yang bersimbah darah, dan
Bartimaeus dari Uruk tidak lama lagi akan menemui ajalnya secara menyedihkan dengan satu
cara atau lainnya " tapi hei, setidaknya kau mengucapkan maaf. Aku memang sudah
menduganya sekarang akan jadi hari yang buruk."
"Aku minta maaf," Asmira berkata lagi. "Please, tidak kusangka semua akan berakhir seperti
ini." Ia menatap ke arah lautan padat demon di atas. "Dan " Bartimaeus, aku takut."
"Tentunya tidak. Kau" Kau pengawal yang nekat dan buruk."
"Aku tidak berpikir?"
"Tidak penting sekarang, iya kan, dalam satu hal atau lainnya" Hei, lihat " si pemarah itu
memberikan perintah. Siapa menurutmu yang akan jadi yang pertama" Aku bertaruh para
penyihir disini. Yep. Lihat mereka semua."
Berdiri di puncak parapet yang hampir runtuh, dengan lengan-lengan kurus keringnya yang
mengibas kesan-kemari, Khaba menggumamkan perintah-perintah dengan nyaring. Seketika
sebaris barisan memisahkan diri dari lapisan demon yang memenuhi langit; pusaran berbagai
macam bentuk yang bergemuruh turun dari langit dalam rangkaian gerak spiral lambat. Di
bawah, di sekitar lapisan kegelapan yang menyelimuti taman, para budak penyihir
melemparkan diri mereka mulai beraksi. Karpet-karpet bergerak zigzag ke berbagai arah,
bertemperasan ke dinding-dinding istana dalam upaya melapangkan permukaan bumi di
belakang mereka. Tapi arak-arakan demon yang turun dari langit jauh lebih cepat. Spiral
berpencar " wujud-wujud kehitaman meletup di kanan dan kiri, melucur cepat, turun menuju
sasaran mereka, yang, sambil berteriak putus asa, memanggil demon mereka sendiri untuk
bertempur. "Akhirnya datang juga para penjaga istana," ujar Bartimaeus. "Sedikit terlambat, tapi menurutku
mereka juga gak benar-benar ingin mati."
Kilatan-kilatan terang sihir " lembayung, kuning, pink, biru " meledak di seluruh penjuru taman
dan atap-atap istana saat kumpulan pasukan pertahanan kerajaan bertempur melawan
gerombolan Khaba. Penyihir-penyihir menjerit, karpet-karpet binasa menjadi bola cahaya;
demon-demon berjatuhan dari angkasa seperti bebatuan yang terbakar api, menghantam
kubah-kubah dan puncak-puncak atap, berguling-guling, bergulat dua-dua atau tiga-tiga,
berjatuhan ke air kolam-kolam danau buatan yang berkobar.
Di pucak parapet Khaba berteriak gembira. "Jadi seperti inilah seharusnya bermula! Pekerjaan
Solomon akan berakhir disini! Hancurkan istananya! Jerusalem akan jatuh! Segera Karnak akan
Berjaya kembali, bangkit sebagai ibukota dunia yang baru!"
Jauh di atas Asmira, mulut si bayangan terbuka lebar tiruan ekspresi masternya. "Ya, Bagus
Khaba, ya!" teriaknya. "Biarkan kota ini terbakar!"
Asmira merasakan cengkraman si bayangan di pinggulnya dengan jelas telah mengendur.
Fokus si bayangan sudah tidak tertuju pada tahanannya lagi, perhatiannya teralih. Asmira
menatap punggung Khaba dengan rasa tertarik yang muncul dengan tiba-tiba. Seberapa jauh
dia sebenarnya dari sini" Sepuluh kaki" Mungkin dua belas. Pastinya tidak lebih dari itu.
Perasaan tegar yang menenangkan tiba-tiba mucul menyelimuti Asmira. Ia menarik nafas
dalam lambat-lambat. Lengannya beringsut sembunyi-sembunyi ke atas; tanganya mencari-cari
ikat pinggangnya. "Bartimaeus?" kata Asmira.
"Aku harap aku punya beberapa kantung popcorn," si jin berkata. "Ini pertunjukan yang bagus,
semua ini, kalau kau sudah lupa kita pasti akan jadi bagian pertunjukan bagian keduanya. Hei
" jangan menara pualamya! Aku berdarah-darah membangunnya!"
"Bartimaeus," kata Asmira lagi.
"Tidak, kau tidak bisa berkata apa-apa, ingat" Kau bilang maaf. Katamu maaf sekali. Kau tidak
bisa lebih maaf lagi. Kita sudah membahas itu."
"Tutup mulut!" bentak Asmira. "Kita bisa memperbaiki ini. Lihat, perhatikan seberapa dekat dia"
Kita bisa?" Si pemuda mengangkat bahu. "Uh-oh. Aku gak bisa mendekati Khaba. Tidak ada serangan
sihit, ingat" Plus dia punya cincin itu."
"Oh, siapa yang peduli dengan itu?" Lengannya terangkat. Menekan kuat-kuat pinggangnya,
untuk melindungi hawa dingin benda yang diambilnya dari perhatian cengkraman tangan si
bayangan yang semakin berkurang " belati peraknya yang terakhir.


Bartimaeus 4 The Ring Of Solomon Karya Jonathan Stroud di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mata si jin melebar. Dia melirik ke arah si bayangan, yang masih bersorak-sorak dan memeram
gembira menyaksikan penghancuran dibawah. Dia menatap Asmira, lalu punggung Khaba.
"Dari sini?" Bartimaeus berbisik. "Kau pikir?"
"Tidak masalah."
"Aku tidak tahu " mungkin usulmu ini akan berhasil cukup baik."
"Pasti. Diamlah. Kau mengacaukan konsentrasiku."
Asmira perlahan memantapkan posisinya, menjaga pandangannya tetap terarah pada si
penyihir. Menarik nafas perlahan, seperti yang dicontohkan ibunya. Membidik dengan hati.
Jangan dipikirkan. Cukup rileks-kan tubuh "
Si Jin berbicara sambil terengah. "Ooh, dia bergerak. Aku tidak bisa mencegahnya berbuat
begitu." "Bisakah kau diam?"
Karpet tak bertuan melintas dihiasi dengan api merah lembayung lurus di depan Khaba, yang
melompat ke pinggir untuk menghindarinya. Si karpet menabrak menara di suatu tempat di
bawah sana; asap kabut membubung seperti pilar tinggi didepannya. Asmira memaki tanpa
suara, menguatkan diri, menaksir sudut posisi baru Khaba dari tempatnya berada,
menggerakkan pinggangnya ke balakang "
Sakarang Asmira mendapatkannya.
"Master " awas!" Gezeri si foliot, mendekat dalam selubung awannya disamping parapet,
membuat lirikan kesana-kemari; meneriakkan teriakan peringatan tiba-tiba. Khaba menoleh,
lengannya menjulur, jemarinya melebar, Asmira segera melakukan penyesuaian. Asmira
melempar belatinya. Perak berkelebat, mengiris tangan Khaba yang bergerak. Darah
menyembur; sesuatu yang tampak seperti ranting bengkok melayang jatuh. Emas berkilat pada
ujungnya yang tidak rata.
Seluruh demon di angkasa berkedip lenyap. Bintang kembali bersinar.
Khaba membuka mulutnya dan menjerit.
"Pergilah Bartimaeus!" teriak Asmira. "Ambil cincinnya! Buang ke laut!"
Pemuda di samping Asmira lenyap. Seekor burung abu-abu kecil menikam mendorong
melepaskan diri dari genggaman si bayangan.
Khaba menjerit, memegangi tangannya. Darah mengucur dari jarinya yang tidak ada.
Si bayangan menjerit amat mirip seperti masternya. Cengkramannya pada Asmira terlepas;
dengan kasar dan tiba-tiba Asmira melemparkan tubuhnya ke samping.
Si burung kecil menukik rendah, menangkap jari yang jatuh itu dengan paruhnya dan
menghilang di sudut parapet "
Asmira mendarat dengan keras pada punggungnya.
" burung api besar yang menyala-nyala melesat memasuki jarak pandang, titik keemasan
berkilau di paruhnya. Berbelok ke barat, dan menghilang di antara kepulan asap yang
membubung. "Ammet!" salak Khaba. "Bunuh dia! Bunuh dia! Bawa cincinnya kembali!" Si bayangan melayang cepat ke depan, melompat dari parapet. Sayap hitam panjang tumbuh
dari kedua sisi tubuhnya. Sayapnya mengibas naik turun dengan suara seperti Guntur.
Kemudian dia juga menghilang dalam kepulan asap. Lalu dentaman sayapnya tidak terdengar
lagi. Keheningan menerpa rumah Solomon dan sekitarnya.
Asmira berdiri goyah dengan kedua kakinya.
Uap panas sihir yang tersisa menggantung seperti kabut gelap di seputaran parapet. Istana dan
taman-tamannya tidak tampak seperti sedia kala, beberapa tempat selamat, beberapa yang
lainya terselimuti api beraneka warna. Di suatu tempat Asmira sepertinya mendengar suarasuara lemah, tapi suara-suara itu terlalu jauh darinya atau terlalu jauh dibawahnya, dan
mungkin bisa saja berasal dari dunia lain. Jalanan tampak seperti apa adanya, berantakan
dipenuhi reruntuhan batu dan potongan-potongan kayu yang menghitam.
Dan di tempatnya Asmira tidaklah sendirian.
Si penyihir berdiri di sana, enam kaki jauhnya dari Asmira, membuai dan menimang tangan
yang salah satu jarinya bunting dan menatap ke kegelapan. Bagi Asmira terlihat bawa kerutankerutan di wajahnya bertambah dalam, dan kerutan-kerutan yang lebih samar bermunculan di
kulitnya. Dia berjalan sempoyongan sedikit.
Dia berada sangat dekat dengan ujung parapet. Cuma sebuah tolakan ringan yang dibutuhkan..
Asmira melangkah tanpa suara ke arah si penyihir.
Gerakan di udara, bau telur busuk tercium. Asmira melemparkan tubuhnya terlentang ke lantai,
ayunan cakar Gezeri si foliot meleset hanya sedikit di atas lehernya. Ia merasakan perasaan
geli saat kabut lilac melintas melewatinya, kemudian Asmira sudah berdiri lagi. Si foliot berputar
dengan bertumpu pada cakarnya, membalikkan posisi tubuhya, muncul dengan cepat dari
belakang. Matanya hanya berupa segaris tipis yang diliputi kebencian, mulutnya menganga
lebar. Kait tajam di ekornya yang berputar-putar melengkung seperti pedang scimitar. Sikap
malas dan pipi merah terangnya yang biasa lenyap; berubah menjadi kumpulan cakar dan gigi
yang membungkuk siap menyerang.
Asmira menyambar bandul perak di lehernya, berdiri bersiap. Diiringi teriakan, si foliot mengirim
tembakan lecutan cahaya hijau ke dada Asmira. Asmira melompat menghindar,
menggumamkan mantra penangkal untuk menangkis serangan itu, mengirimnya dengan aman
tidak mengenai apa-apa. Asmira menggumamkan mantra penangkal lainnya. Cakram kuning
menghunjam kabut lilac, menghujaninya dengan asap panas menyengat. Si asap membelok
tajam, lalu runtuh ke parapet; Gezeri melompat melepaskan diri pada saat yang tepat, meluncur
dengan kecepatan mengerikan di sepanjang lantai batu dan memantulkan dirinya menuju wajah
Asmira. Asmira tersentak mundur; gigi lawannya mengoyak udara kosong. Lalu Asmira
menangkap leher makhluk itu dan mencekiknya, mengabaikan mulutnya yang mengatup-atup,
cakar yang melecut-lecut kesana-kemari, dan cambukan ekornya, yang dengan tiap
entakannya menusuk-nusuk lengan Asmira.
Gezeri meronta dan melawan, dan dengan kekuatan ototnya nyaris mengalahkan cengkraman
Asmira. Asmira merasa kekuatannya terus berkurang. Ia melepas bandul perak dari lehernya
dan mendorongnya kuat-kuat ke mulut lawannya yang terbuka.
Mata si foliot melebar. Dari mulutnya keluar semburan suara serak rendah, setengah keluar dari
rahangnya mengepul uap dan kukus ke udara. Tubuh si foliot membengkak, tangannya
menebas kesana-kemari semakin kuat. Asmira menghempaskan lawannya ke lantai, tubuh si
Pendekar Baju Putih 2 Pendekar Naga Putih 04 Partai Rimbah Hitam Tangan Berbisa 5
^