Pencarian

The White Castel 2

The White Castel Karya Orhan Pamuk Bagian 2


Di kemudian hari, dia sering mengulangi ucapannya seakan-akan kami berdua tahu apa artinya,Tapi, walaupun ucapannya terdengar tegas, dia memiliki aura seperti
seorang murid yang sedang melamun, yang mengajukan pertanyaan. Setiap kali dia berkata akan terus mencari sampai mendapatkan jawabannya, aku seakan-akan sedang mendengarkan keluhan sedu-sedan penuh amarah dari seorang kekasih yang bernasib buruk, yang bertanya mengapa semua ini terjadi pada dirinya. Pada masa itu, dia sering mengatakan hal ini: dia mengatakannya ketika mengetahui bahwa para tentara elite sedang merencanakan pemberontakan, mengatakannya setelah dia menceritakan bahwa murid-murid di sekolah dasar lebih tertarik pada bidadari daripada bintang, dan setelah membaca naskah yang harganya cukup mahal yang kemudian dilemparkannya dengan penuh amarah bahkan sebelum dia selesai membaca setengahnya, setelah berpisah dengan teman-temannya di ruangan jam di masjid yang sekarang sering ditemuinya karena sudah menjadikebiasaan saja, setelah menggigil di tempat mandi yang berisi air dingin, setelah berbaring di atas tempat tidurnya dengan buku-buku yang dicintainya tersebar di atas selimut bermotif bunga, setelah mendengar obrolan sambil lalu para lelaki yang sedang berwudu di halaman masjid, setelah mendengar bahwa armada perang Turki dikalahkan orang Venesia, setelah dengan sabarnya mendengarkan para tetangga yang datang untuk mengatakan bahwa dia sudah tua dan harus cepat menikah. Dia mengulanginya terus: dia akan terus mencari sampai mendapatkan jawabannya.
Sekarang aku mulai bertanya-tanya: siapa, yang setelah membaca apa yang kutulis sampai akhir, yang dengan sabar mengikuti semua kejadian yang kujabarkan, atau yang kubayangkan, pembaca manakah yang bisa mengatakan bahwa Hoja tidak menepati janji yang diikrarkannya"*
EMPAT PADA SUATU hari menjelang akhir musim panas, kami mendengar kabar bahwa jasad Peramal Istana Huseyn Efendi ditemukan mengambang di pantai Istinye. Pasha akhirnya memerintahkan orang untuk membunuhnya; dan si peramal, yang tidak mampu menutup mulut, telah membocorkan lokasi tempat persembunyiannya dengan mengirimkan surat kepada banyak orang bahwa Sadik Pasha akan segera mati, dan bahwa hal itu telah tertulis pada bintang di langit. Ketika si peramal hendak melarikan diri ke Anatolia, si penjagal mengejar kapalnya dan mencekik lehernya. Segera setelah Hoja mendengar bahwa semua barang milik si peramal telah disita, dia bergegas untuk bisa mendapatkan berbagai berkas dan bukunya. Untuk bisa mendapatkan semua itu, dia menghabiskan semua tabungannya untuk menyuap para penjaga. Pada suatu malam, dia membawa pulang sebuah peti besar yang berisi ribuan halaman naskah, dan setelah membaca semuanya dalam waktu satu minggu, berkata dengan geram bahwa dia bisa membuat ramalan yang lebih baik daripada si peramal istana itu.
Aku membantunya saat dia bekerja keras untuk membuktikan kata-katanya. Untuk dua risalah yang diputuskannya akan ditulisnya untuk sultan, yang diberi judul
Peri/aku Aneh Binatang Buas dan Keistimewaan Makhluk Ciptaan Aliah, aku bercerita tentang kuda dan keledai, kelinci, dan kadal yang pernah kulihat di sejumlah taman dan pedang rumput yang luas di tanah kami di Empoli. Ketika Hoja berkomentar bahwa daya khayalku terlalu terbatas, aku teringat akan kura-kura Prancis berkumisdi kolam bunga teratai kami, burung kakaktua biru yang bisa bicara dengan aksen Sisilia, dan sepasang tupai yang duduk berhadapan sambil saling mengelus bulu masing-masing sebelum kawin. Kami menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk menyusun sebuah bab yang menceritakan perilaku semut, pokok bahasan yang menarik bagi sultan, namun tidak bisa dipelajarinya karena pekarangan utama istana terus-menerus disapu,
Saat Hoja menulis kehidupan semut yang logis dan teratur itu, dia memupuk mimpi bahwa kami bisa berperan sebagai guru sultan. Karena menganggap semut hitam pribumi tidak cocok untuk tujuan ini, dia menceritakan perilaku semut merah Amerika. Hal ini memunculkan gagasan dalam dirinya untuk menulis buku yang menarik sekaligus mendidik tentang suku aborigin yang pemalas yang tinggal di negara penuh ular yang disebut Amerika dan tidak pernah mengubah kebiasaannya. Kurasa dia tidak berani menyelesaikan buku ini yang di dalamnya dia berkata, seperti yang diungkapkan kepadaku dengan amat tepe-rinci, bahwa dia juga akan menulis bagaimana seorang raja cilik yang menyukai binatang dan berburu pada akhirnya digantung di atas sebuah salib oleh orang Spanyol yang kafir karena si raja cilik itu tidak menaruh perhatian pada ilmu pengetahuan. Serangkaian gambar yang dibuat oleh seorang pelukis yang kami pekerjakan untuk memberi ilustrasi yang jelas tentang kerbau bersayap, kerbau
berkaki enam, dan ular berkepala dua, tidak memuaskan kami. "Benda nyata memang datar dan membosankan di masa lalu," ujar Hoja. "Tapi sekarang semuanya berada di dunia tiga dimensi, benda nyata memiliki bayangan. Kamu tidak menyadari hal itu" Bahkan, semut biasa pun dengan sabar membawa-bawa bayangannya di punggungnya seperti kembarannya."
Hoja tidak menerima kabar dari sultan dan memutuskan untuk meminta pasha mempersembahkan risalah tersebut atas namanya, namun kemudian dia menyesali tindakannya ini. Pasha malah menceramahinya, mengatakan bahwa astrologi adalah ilmu ramal, bahwa Peramal Istana Huseyn Efendi sudah kehilangan akalnya dengan melibatkan dirinya dalam politik, dan dia menduga bahwa Hoja kini mengincar posisi yang kosong tersebut. Dia sendiri percaya pada hal yang disebut ilmu pengetahuan, tetapi ini adalah masalah senjata, bukan soal bintang, bahwa jabatan peramal istana adalahjabatan yang berbahaya mengingat siapa pun yang menduduki jabatan itu cepat atau lambat kemudian terbunuh, atau lebih buruk lagi, tiba-tiba lenyap. Karena itulah dia tidak ingin Hoja yang disayanginya, tempatnya meminta nasihat tentang ilmu pengetahuan, menduduki posisi tersebut. Peramal istana berikutnya sudah dipastikan akan diduduki oleh Sitki Efendi, orang bodoh dan sederhana yang cocok melakukan pekerjaan itu. Dia mendengar kabarbahwa Hoja telah mendapatkan beberapa buku peramal terdahulu dan dia ingin agar Hoja tidak mengganggunya dengan permasalahan ini. Hoja menjawab bahwa dia hanya peduli pada ilmu pengetahuan dan menyerahkan kepada pasha risalah yang ingin diberikannya kepada sultan. Malam itu, di rumah, dia mengatakan bahwa dia memang hanya
peduli pada ilmu pengetahuan, tetapi akan melakukan apa pun yang perlu dilakukan untuk menerapkannya; dan langkah pertamanya adalah mengutuk pasha.
Selama bulan berikutnya kami mencoba menerka-nerka reaksi sultan cilik itu tentang berbagai binatang warna-warni khayalan kami, sementara Hoja terus bertanya-tanya mengapa dia belum juga dipanggil ke istana. Akhirnya, kami diminta ikut berburu. Kami berangkat menuju Istana Mirahor di tepi Sungai Kagithane, Hoja diminta berdiri di samping sultan, sementara aku melihat dari kejauhan. Sejumlah orang telah berkumpul. Wasit istana melakukan persiapan dengan baik: sekawanan kelinci dan serigala dilepaskan, sementara anjing pemburu sudah bersiap-siap, Kami ikut mengamati saat semua mata mengikuti seekor kelinci yang berlari menjauh dari kelompoknya dan menceburkan diri ke dalam air; dan saat kelinci itu berenang dengan panik dan berhasil mencapai tepi pantai seberang, wasit ingin segera melepaskan anjing pemburu, tapi bahkan dari jarak sejauh ini kami bisa mendengar sultan menahan pemberian izinnya dengan memerintahkan: "Biarkan kelinci itu lari." Namun, si kelinci melompat lagi ke dalam air dan seekor anjing buas di pantai seberang mengejar dan menangkapnya, tapi si wasit bergegas menyelamatkannya dari terkaman si anjing dan membawanya ke hadapan sultan. Sultan cilik itu segera memeriksa binatang itu dan bersyukur karena lukanya tidak serius. Dia memerintahkan kelinci itu dibawa ke puncak gunung dan dibebaskan. Lalu, kulihat sekelompok orang, termasuk Hoja dan orang cebol berambut merah, berkumpul di sekeliling sultan.
Malam itu Hoja menjelaskan padaku apa yang telah terjadi: sultan bertanya bagaimana mengartikan kejadian
TXI/PRC INI DI BUAT KARENA KECINTAAN SAYA MEMBACA NOVEL DI HP/PDA (ottoys@yahoo.com)
tersebut. Setelah semua orang bicara dan tiba giliran Hoja, dia mengatakan bahwa itu berarti musuh akan muncul dari tempat yang tidak diduga sebelumnya oleh sultan, tapi sultan akan selamat dari serangan itu tanpa terluka sedikit pun. Ketika saingan Hoja, antara lain Peramal Istana yang baru Sitki Efendi, mengecam penafsirannya karena menyebut-nyebut soal kematian bahkan sampai membandingkan sultan dengan kelinci sultan menyuruh mereka tutup mulut dan mengatakan bahwa dia akan memerhatikan kata-kata Hoja. Lalu, selagi mereka mengawasi seekor elang hitam yang sedang berjuang membebaskan diri saat diserang sekawanan garuda, dan melihat kematian memilukan seekor serigala yang dikerubuti sekelompok anjing pemburu, sultan menceritakan bahwa singanya telah melahirkan dua ekor bayi, seekor jantan dan seekor betina, jumlah yang sama seperti yang diramalkan Hoja. Sultan juga mengatakan bahwa dia suka gambar hewan yang dikirim Hoja, dan mengajukan pertanyaan tentang kerbau bersayap biru dan kucing merah muda yang hidup di padang rumput di dekat Sungai Nil. Hoja benar-benar mabuk oleh perasaan menang dan takut yang bercampur-baur dengan aneh.
Baru belakangan kami mendengar terjadinya keributan di istana: nenek sultan, Kosem Sultana, bersekongkol dengan para tentara elit untuk membunuh sultan dan ibunya, dan menobatkan Pangeran Suleyman, tetapi rencana itu gagal. Mereka dicekik si nenek sampai darah mengalir dari mulut dan hidungnya. Hoja mendengar semua ini dari gosip yang disebarkan orang-orang bodoh di ruangan jam masjid, dan dia terus mengajar di sekolah itu, tetapi tidak berani pergi jauh-jauh dari rumah.
Pada musim gugur, untuk sejenak dia mempertim-
bangkan untuk menekuni berbagai teori kosmografinya lagi, tetapi kehilangan semangat, Dia memerlukan sebuah observatorium; apalagi orangorang bodoh di sini tidak memedulikan bintang seperti bintang yang juga tidak memedulikan orang-orang bodoh. Musim dingin tiba, awan gelap melayang di angkasa, dan pada suatu hari kami mendengar pasha dipecat dari jabatannya. Dia juga diperintahkan untuk dicekik sampai mati, tetapi ibu sultan tidak menyetujuinya dan pasha pun diusir ke Erzinjan, dan semua harta bendanya disita. Kami tidak pernah lagi mendengar berita tentang dirinya sampai kematiannya tiba. Hoja berkata bahwa sekarang dia tidak takut pada siapa pun, tidak berutang pada siapa pun aku tidak tahu apakah dia pernah memikirkan bahwa dia mendapatkan pelajaran dariku saat dia mengatakan hal ini. Dia merasa tidak takut pada sultan cilik maupun ibunya. Dia merasa siap untuk menghadapi kematian dan kejayaan, tetapi kami duduk di rumah di antara buku-buku kami seperti domba yang tenang, mengobrolkan semut merah Amerika dan memimpikan sebuah risalah baru tentang hal tersebut.
Kami melewatkan musim dingin di rumah seperti tahun-tahun sebelumnya dan tahun-tahun sesudahnya; tidak terjadi apa-apa. Pada malam-malam dingin ketika angin utara berembus melalui cerobong dan di bawah pintu, kami duduk di lantai bawah, bercakap-cakap sampai subuh menjelang. Dia tidak lagi merendahkan diriku atau bahkan berpura-pura seakan masih memandang rendah diriku. Aku menilai sikap persahabatannya ini disebabkan oleh kenyataan bahwa tidak ada seorang pun yang mencarinya, baik dari istana ataupun dari orang-orang di kalangan istana. Kadang aku berpikir bahwa dia menerima kemiripan kami yang luar biasa ini seperti yang kurasakan,
dan aku khawatir bahwa saat dia menatapku sekarang ini dia melihat dirinya sendiri: apa yang ada dalam pikirannya" Kami telah menyelesaikan sebuah risalah baru yang panjang tentang binatang, tetapi sejak pengusiran pasha, risalah ini hanya tergeletak di atas meja karena Hoja berkata dia belum siap menghadapi orang-orang yang me miliki akses ke istana. Sesekali, seperti hari-hari yang berlalu tanpa kejadian apa pun, aku membuka-buka lembaran risalah tersebut, menatap jangkrik ungu dan ikan terbang yang kugambar, bertanya dalam hati kira-kira apa yang dipikirkan sultan bila dia membaca narasi yang menyertainya.
Barulah setelah musim semi tiba, Hoja akhirnya dipanggil ke istana. Sultan cilik itu sangat senang bertemu dengannya. Menurut Hoja, semua itu tampak jelas dari sikapnya, dari kata-katanya, bahwa sultan sudah lama memikirkannya, tetapi selalu dicegah oleh orang-orang bodoh di istana ketika ingin bertemu dengannya. Sultan menceritakan pengkhianatan neneknya, mengatakan bahwa Hoja telah meramalkan ancaman tersebut, tetapi juga meramalkan bahwa sultan akan selamat dari semua itu tanpa kurang suatu apa pun. Pada malam itu di istana, anak kecil itu tidak merasa takut sedikit pun saat dia mendengar teriakan orangorang yang ingin membunuhnya karena dia teringat bahwa anjing ganas itu tidak melukai kelinci yang sudah ada di moncongnya. Setelah melontarkan kata-kata pujian itu, dia memerintahkan agar Hoja diberi penghasilan yang berasal dari sebidang tanah yang sesuai. Hoja diperintahkan pergi sebelum sempat bercerita tentang astronomi; dia diberi tahu akan menerima hadiah itu pada akhir musim panas.
Sementara menunggu, Hoja menyusun rencana un-
tuk membangun sebuah observatorium kecil di taman, dengan mengharapkan penghasilan dari tanah itu. Dia menghitung luas tanah untuk fondasi yang harus digali dan harga peralatan yang diperlukannya, namun kali ini dia cepat sekali kehilangan semangat. Saat itulah dia menemukan sebuah naskah dengan tulisan yang sangat jelek sewaktu mengunjungi pasar loak buku, yang memuat hasil pengamatan Takiyuddin. Dia menghabiskan waktu dua bulan untuk menguji keakuratan berbagai pengamatan tersebut, tetapi pada akhirnya menyerah dengan muak karena tidak mampu menentukan kekurangan mana yang disebabkan oleh kurang canggihnya peralatan yang dimilikinya, yang mana yang disebabkan oleh kesalahan Takiyuddin, dan yang mana yang disebabkan oleh buruknya kualitas naskah itu. Yang membuatnya semakin kesal adalah kalimat yang dituliskan oleh mantan pemilik naskah itu di antara kolom-kolom trigonometri yang dihitung dengan enam puluh derajat. Pemilik sebelumnya itu, dengan menggunakan nilai numerik dari alfabet dan berbagai metode lainnya, mengemukakan pengamatannya sendiri tentang masa depan dunia: pada akhirnya seorang anak laki-laki akan lahir setelah dia menikahi empat orang wanita, sebuah penyakit akan berjangkit dan memisahkan orang jujur dan orang yang bersalah, dan tetang ganya, Bahaeddin Efendi, akan meninggal. Walaupun mula-mula Hoja terkesan oleh berbagai ramalan ini, akhirnya dia merasa tertekan. Sekarang dia membicarakan isi kepala kami dengan ketegasan yang jelas dan aneh: seakan-akan dia sedang berbicara tentang peti yang tutupnya bisa dibuka dan dia bisa mengintip ke dalamnya, atau tentang lemari di kamar kami.
Hadiah yang dijanjikan sultan tidak kunjung datang
pada akhir musim panas, ataupun saat musim dingin hampir tiba. Musim semi berikutnya Hoja dikabari bahwa daftar hadiah baru sedang dipersiapkan; dia masih harus menunggu. Pada waktu itu dia masih suka diundang ke istana, walaupun tidak sering, untuk mengemukakan tafsirannya tentang berbagai kejadian seperti pecahnya sebuah cermin, petir hijau yang menyambar lautan di sekitar PulauYassi, teko kristal berwarna merah darah yang berisijus ceri yang pecah berkeping-keping di tempatnya, dan untuk menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan sultan tentang berbagai binatang yangdiceritakan dalam risalah terakhir yang kami tulis. Setiba di rumah, dia menceritakan bahwa sultan sedang memasuki masa puber; ini adalah masa yang paling mengesankan dalam hidup seorang lelaki. Dia akan bisa menguasai anak itu sepenuhnya.
Dengan berbekal tujuan ini dalam pikirannya, Hoja mulai menulis buku baru. Dia tahu dariku tentang kejatuhan bangsa Aztec dan kisah tentang Cortez, dan bahkan masih mengingat cerita tentang raja cilik yang digantung di kayu salib karena tidak menaruh perhatian pada ilmu pengetahuan. Dia sering membicarakan kisah orang-orang tak bermoral yang dengan meriam dan peralatan perangnya, yang dengan tipu daya dan senjatanya, menyergap orang-orang terhormat yang sedang tidur dan memaksa mereka takluk; tapi cukup lama dia menyembunyikan dariku cerita yang sedang ditulisnya. Aku tahu bahwa pada mulanya dia mengharapkanaku menunjukkan ketertarikan, tapi pada hari-hari itu pikiranku yang terus dipenuhi keinginan untuk pulang, yang bisa tiba-tiba saja membuatku bermuram durja, membuatku semakin membenci dirinya. Aku menekan rasa ingin tahuku, berpura-pura tidak
memedulikan buku-buku berdebu yang pinggirannya sudah rusak, yang dibacanya karena didapatkannya dengan harga murah, dan membenci berbagai kesimpulan yang muncul dari kecerdasan kreatifnya yang tumbuh dari hal-hal yang telah kuajarkan padanya. Hari demi hari dia kehilangan rasa percaya diri, mula-mula tidak memercayai dirinya sendiri, kemudian tidak memercayaihal-hal yang dia coba tuliskan, sementara akumenyaksikan semua itu dengan kepuasan yang penuh rasa dendam.
Dia naik ke lantai atas ke ruangan kecil yang telah dijadikannya sebagai ruangan belajar pribadi, duduk di balik meja buatanku, dan berpikir. Namun, aku bisa menduga bahwa dia tidak menulis apaapa, aku tahu dia tidak mampu; aku tahu dia tidak berani menulis apa pun sebelum mendengarkan pendapatku tentang berbagai gagasannya. Bukanlah keinginan untuk memperoleh pendapatku, yang dengan pura-pura selalu diejeknya, yang membuatnya kehilangan kepercayaan akan dirinya sendiri. Hal yang ingin diketahuinya adalah apa yang "mereka" pikirkan, mereka yang seperti aku, "orang lain" yang telah mengajarkan ilmu pengetahuan padaku, yang telah menempatkan kotak itu, laci penuh hasil belajar itu, di dalam kepalaku. Apa yang mereka pikirkan bila berada dalam situasi yang dialaminya sekarang" Inilah yang selalu ingin dia tanyakan, tetapi tidak mampu membuat dirinya melontarkan pertanyaan itu. Cukup lama aku menunggu dirinya menelan gengsinya dan menemukan keberanian untuk mengajukan pertanyaan itu kepadaku! Tapi, dia tetap tidak bertanya. Tak lama kemudian, dia meninggalkan buku ini. Aku tidak bisa menebak apakah dia sudah selesai menuliskannya atau belum, dan meneruskan pemikirannya tentang orang-orang "bodoh" itu. Dia mengesampingkan ke-
yakinannya bahwa ilmu pengetahuan dasar yang layak diterapkan adalah ilmu yang menganalisis penyebab kebodohan mereka; mengesampingkan keinginan untuk mengetahui mengapa isi kepala mereka seperti itu, dan berhenti memikirkanhal itu! Menurutku, semua hal tersebutmuncul dari kegelisahannya karena tanda-tanda dukungan yang ditunggu-tunggunya dari istana tidak datang jua. Waktu berlalu begitu saja, masa puber sultan ternyata tidak menolong sedikit pun.
Tapi, di musim panas sebelum Koprulu Mehmet Pasha menjadi Wazir Agung, Hoja akhirnya menerima hadiahnya; dan hadiah itu ibaratnya sesuai dengan yang diimpi-impikannya selama ini: dia menerima penghasilan dari dua buah penggilingan di dekat Gebze dan dari dua desa berjarak sejam perjalanan dari kota itu. Kami ke Gebze pada musim panen, tinggal di rumah kami yang kebetulan kosongmelompong, namun Hoja telah melupakan waktu ketika kami tinggal di situ, hari-hari ketika dia menatap dengan sebalnya meja yang kubawa pulang ke rumah dari tukang kayu. Berbagai kenangannya tampaknya telah menguap seiring dengan bobroknyarumah tersebut. Yang jelas, sekarang dia diliputi perasaan tidak sabar yang membuatnya mustahil bisa memedulikan berbagai hal yang terjadi di masa lalu. Pada beberapa kesempatan saat mengunjungi kedua desa itu, dia menghitung pendapatan tahun sebelumnya, dan karena terpengaruh oleh Tarhunju Ahmet Pasha, yang didengarnya dari gosip teman temannya di ruangan jam di masjid, dia menyatakan sudah menemukan sistem baru untuk pembukuan yang lebih sederhana dan lebih mudah dipahami.
TXI/PRC INI DI BUAT KARENA KECINTAAN SAYA MEMBACA NOVEL DI HP/PDA (ottoys@yahoo.com)
Tapi, keaslian dan kegunaan inovasi ini, yangbahkan dia sendiri pun tidak meyakininya, tidakcukup baginya:
malam-malam yang dilewatinya,dengan duduk di taman di belakang rumah tuasambil menatap angkasa, mengingatkannya kembalipada astronomi. Aku mendorong semangatnya untukbeberapa waktu, meyakini bahwa dia akan mengembangkan berbagai teorinya selangkah lebih maju, tetapi niatnya bukanlah untuk melakukan pengamatan atau menggunakan pikirannya. Dia mengundang beberapa pemuda yang paling cerdas dari desa tersebut dan dari Gezbe untuk datang ke rumah. Dikatakannya bahwa dia akan mengajari mereka ilmu pengetahuan yang paling tinggi, laludi taman belakang menyiapkan model alam semesta yang dimintanya kuambilkan dari Istanbul, memperbaiki belnya, dan meminyakinya. Lalu, padasuatu malam, dengan antusiasme dan energi yang didapatnya entah dari mana, dengan penuh semangat dan tanpa melupakan sesuatu atau melakukan kesalahan sedikit pun, dia mengulangi teori tentang surga yang pernah dikemuka-kannya bertahun-tahun yang lalu kepada pasha dan kemudian kepada sultan. Tapi, ketika keesokan paginya kami menemukan sebuah jantung domba di depan pintu rumah, yang masih hangat dan berdarah, dengan sebuah mantra dituliskan di atasnya. Hal ini sudahcukup untuk akhirnya membuatnya melupakan semua harapannya pada para pemuda yang meninggalkan rumah pada tengah malam tanpa mengajukan satu pertanyaan pun, dan pada astronomi.
Tapi, dia juga tidak pernah berlama-lama tenggelam dalam kekecewaan. Jelas para pemuda itu bukanlah orang yang memahami peredaran bumi dan bintang, karena saat ini tidaklah penting bahwa mereka harus bisa memahaminya. Orang yang harus bisa memahaminya adalah seorang remaja yang sebentar lagi akan meninggalkan masa puber
dan mungkin dia sedang mencari kami selama kami berada di sini. Kami telah kehilangan kesempatan demi mendapatkan beberapa keping uang yang kami terima di sini setelah musim panen. Maka, kami pun membereskan segala urusan, mempekerjakan salahseorang pemuda pintar yang terlihat paling cerdasuntuk mengawasi tanahnya, dan kembali ke Istanbul.
Tiga tahun berikutnya adalah masa-masa terburuk yang kami alami. Setiap hari, setiap bulan, seperti hari dan bulan sebelumnya; setiap musim adalah pengulangan musim sebelumnya yang memuakkandan menggelisahkan: seakan-akan kami mengamati berbagai hal yang sama berulang kali dengan perasaan kecewa dan putus asa, menunggu musibah yang tidak kami ketahui. Dia masih dipanggil ke istana sesekali, dan di sana mereka mengharapkannya mengemukakan berbagai tafsirannya yang tidak berbahaya, dan masih suka berkumpul dengan teman-temannya membahas ilmu pengetahuan di ruangan jam di masjid pada setiap Kamis sore, masih suka menemui murid-muridnya di pagi hari dan memukuli mereka, walaupun tidak sesering dulu, masih suka menolak orang-orang yang datangke rumah untuk menawarkan perkawinan, walaupuntidak seketus dulu, masih tetap merasa wajib mendengarkan musik yang katanya sudah tidak disukainya lagi agar bisa berbaring dengan para pelacur, masih sering terlihat hampir tercekik karena kebenciannya pada orang-orang bodoh itu, masih suka mengunci diri di dalam kamarnya, berbaring di atas tikar yang dibentangkannya, membuka lembarannaskah dan buku-buku yang berserakan di sekelilingnya dan menunggu, menatap langit-langit selama berjam-jam.
Hal yang lebih menggemaskannya adalah kemena-
ngan Koprulu Mehmet Pasha yang didengarnya dari teman-temannya di ruangan jam di masjid. Ketika dia mengabariku tentang armada laut yang berhasil mengusir bangsa Venesia, atau bahwa Pulau Tenedos dan Limnos telah dikuasai kembali, atau bahwa pemberontak Abaza Hasan Pasha telah dikalahkan dengan telak, dia menambahkan bahwa semua ini hanyalah kesuksesankecil, geliat orang cacat yang menyedihkan yang tak lama lagi akan dikuburkan berselimutkan cairan kebodohan dan ketidak mampuan. Dia tampaknya seperti sedangmenunggu datangnya musibah yang bisa mengubah hari-hari yang menjemukan ini, yang telah menguras tenaga kami setiap kali terjadi pengulangan peristiwa. Yang lebih buruk lagi, karena dia tidak lagi memiliki kesabaran dan rasa percaya diri untuk memusatkan perhatian pada hal yang disebutnya sebagai "ilmu pengetahuan," tak ada lagi hal lain yang bisa menarik perhatiannya. Dia tidak bisa menjaga antusiasmenya atas sebuah gagasan baru lebih dari satu minggu saja, karena segera teringat pada orang-orang bodoh itu dan melupakan hal lainnya. Bukankah waktu yang dihabiskannya untuk mereka sudah cukup banyak" Apakah ada gunanya membuat dirinya lelah memikirkan mereka" Apakah masalah itu cukup berarti untuk menimbulkan amarahnya" Dan, mungkin, karena dia baru saja belajar untuk memisahkan diri dari orang lain, dia tidak bisa mengumpulkan cukup tenaga ataupun keinginan untuk menelaah ilmu ini dengan mendalam. Namun, dia mulai percaya bahwa dirinya berbeda dengan orang lain.
Kesan pertamanya muncul akibat rasa frustrasi yang amat mendalam. Sekarang, karena dia tidak bisa berkonsentrasi pada sebuah masalah untuk waktu lama, dia melewatkan waktunya seperti anak kecil manja dan bodoh
yang tidak bisa menghibur diri sendiri, berjalan dari satu ruangan ke ruangan lain di dalam rumah, naik turun tangga dari satulantai ke lantai lain, menatap keluar jendela tanpa bersemangat. Saat dia berjalan melewatiku selama aktivitasnya yang gila ini, yang tiada henti-hentinya, yang membuat lantai rumah dari kayu itu berderak dan mengerang seperti melancarkan protes, aku tahu dia berharap aku akan menarik perhatiannya dengan menceritakan lelucon, menyampaikan berbagai gagasan hebat, atau mengucapkan kata-kata yang menghibur. Namun, walaupun aku merasakan kekalahan, amarah dan kebencian yang kurasakan terhadap dirinya masih terus membara dan aku tidak berminat untuk bereaksi sedikit pun. Bahkan ketika, untuk mendapatkan jawaban dari mulutku, dia menelan kesombongannya dan menghadapi kegigihanku dengan santun, mengucapkan beberapa kata lembut, aku tetap tidak mau mengatakan apa pun yang ingin didengarnya. Saat dia mengungkapkan bahwa dia memiliki informasi dari istana yang bisa ditafsirkan dengan jelas, atau mendapatkan gagasan baru yang bisa menjadi cemerlang bila dia terus menekuninya, aku berpura-pura tidak mendengarnya atau memadamkan antusiasmenya dengan cepat dan menekankan bagian tak bermutu dari ucapannya. Aku senang melihatnya menderita dalam pikirannya yang kosong.
Tapi kemudian, dalam kehampaan itu dia menemukan gagasan baru yang dibutuhkannya, mungkin karena dia terpaku pada semua peralatannya, mungkin karena pikirannya, yang tidak bisa diam, tidak bisa melepaskan diri dari rasa tidak sabar yang terus melanda. Saat itulah aku memberinya jawaban aku ingin membangkitkan semangatnya rasa penasaranku pun muncul. Mungkin ketika semua
ini terjadi, aku bahkan mengira dia peduli padaku. Pada suatu malam, ketika langkah Hoja terdengar menuju kamarku dan berkata, seakan-akan mengajukan pertanyaan yang umum, "Kenapa aku seperti ini?" aku ingin membangkitkan semangatnya dan mencoba memberikan jawaban, Aku menjawab bahwa aku tidak tahu mengapa dia seperti itu, sambil menambahkan bahwa pertanyaan ini sering diajukan oleh "mereka", dan semakinhari semakin sering dipertanyakan. Ketikamengatakan ini, aku tidak memiliki apa pun untukmendukung pernyataan itu, tidak ada teori tertentu yang melintas di kepala, sama sekali tidak ada niat apa-apa, selain keinginan untuk menjawab pertanyaannya dengan jawaban yang diinginkannya, mungkin karena aku merasa dia akan menikmati permainan ini. Dia tercengang. Dia memandangku dengan penuh rasa penasaran, dia ingin aku melanjutkan kata-kataku. Ketika aku tetap diam, dia tidak bisa menahan diri lagi, dan memintaku mengulangi ucapanku tadi. Jadi, mereka mengajukan pertanyaan ini" Ketika dia melihatku tersenyum membenarkan kata-katanya, dia langsung marah; dia menanyakan hal itu bukan karena dia tahu "mereka" juga mengajukan pertanyaan itu, dia menanyakannya tanpa mengetahui bahwa mereka juga menanyakannya, dia tidak peduli sedikit pun apa yang mereka lakukan. Lalu, dengan nada yang aneh, dia berkata, "Seakan ada suara yang menyanyikan sebuah lagu di telingaku." Suara aneh ini mengingatkannya pada ayahnya yang tercinta, karena ayahnya pun mendengar suara seperti itu sebelum meninggal, tapi lagunya berbeda. "Suara yang kudengar terus-menerus menyanyikan lagu yang sama," ujarnya, dan seperti agak malu, lalu tiba-tiba menambahkan, "Aku adalah aku, aku adalah aku, ah!"
Aku nyaris tertawa terbahak-bahak, tetapi berusaha menahan keinginan tersebut. Bila ini lelucon yang tidak berbahaya, dia tentu tertawa juga, Tetapi, dia tidak tertawa, meskipun menyadari bahwa dia baru saja mengucapkan sesuatu yang konyol. Aku harus menunjukkan bahwa aku menyadari keanehan dan makna dari pengulangan syair lagu itu, karena saat ini aku ingin dia melanjutkan kata-katanya. Kukatakan bahwa pengulangan syair lagu itu harus ditanggapi serius; tentu saja, penyanyi yang didengarnya itu tak lain adalah dirinya sendiri. Dia pasti mendeteksi sesuatu yang dianggapnya melecehkan dari perkataanku karena dia menjadi marah: dia juga tahu hal itu; yang membuatnya tercengang adalah mengapa suara itu terus-menerus mengulangi frasa tersebut!
Dia tampak sangat gelisah sehingga tentu saja aku tidak berterus-terang padanya, tetapi sejujurnya inilah pendapatku: aku tahu, bukan hanya dari pengalamanku sendiri, tetapi dari pengalaman kakak dan adikku, bahwa pengalaman membosankan yang dialami anak kecil yang egois bisa menghasilkan hasil yang produktif atau yang sia-sia. Kukatakan bahwa yang penting bukanlah mengapa dia mendengar pengulangan syair lagu tersebut, melainkan apa artinya. Mungkin juga terpikir olehku bahwa dia merasa frustrasi karena tidak ada yang bisa dia kerjakan; dan bahwa aku bisa melepaskan diri dari tekanan kegelisahan dan kepengecutanku dengan mengamatinya. Tapi, mungkin juga saat ini aku benar-benar bisa menghormati dirinya. Bila dia bisa melakukan hal ini, sesuatu yang nyata mungkin bisa terjadi dalam kehidupan kami. "Jadi, apa yang harus kulakukan?" tanyanya pada akhirnya. Kujawab bahwa dia harus memikirkan mengapa dia seperti dirinya yang sekarang, dan bahwa aku
mengatakanhal itu bukan karena aku ingin memberinya nasihat.Aku tidak akan mampu menolongnya; ini adalah sesuatu yang harus dilakukannya sendiri. "Jadi, apa yang harus kulakukan" Melihat ke cermin?" ujarnya dengan sinis. Tapi, sepertinya kemarahannya tidak berkurang. Aku tidak berkomentar apa-apa agar dia punya waktu untuk berpikir. "Apakah aku harus melihat ke cermin?" ulangnya. Tiba-tiba aku marah, aku merasa bahwa Hoja tidak akan mampu meraih apa pun sendirian. Aku ingin dia menyadari hal ini, aku ingin mengatakannya tanpa tedeng alingaling bahwa tanpa aku, dia tidak bisa berpikir sama sekali, tetapi aku tidak berani. Seakan-akan tak peduli, kukatakan padanya untuk melihat ke cermin. Bukan, aku bukannya tidak memiliki keberanian, aku hanya tidak ingin mengungkapkan perasaanku. Dia tiba-tiba menjadi murka dan membanting pintu, berteriak sambil pergi: Kamu memang bodoh.
Tiga hari kemudian, saat aku melontarkan masalah itu lagi dan melihat dia masih ingin membicarakan "mereka", aku senang bisa melanjutkan permainan ini. Apa pun hasilnya, hal itu memberiku harapan hanya dengan melihat dirinya disibukkan oleh sesuatu. Kukatakan bahwa "mereka" memang melihat ke cermin, dan bahkan lebih sering melakukannya jika dibandingkan dengan orangorang di sini. Tidak hanya istana para raja, pangeran,dan bangsawan, tetapi rumah rakyat biasa pun dipenuhi cermin yang dibingkai dengan indahnya dan digantungkan di dinding. Bukan hanya karena ini, tetapi karena "mereka" terus-menerus memikirkan diri mereka sendiri bahwa mereka telah mengalami kemajuan dalam hal ini. "Dalam apa?" tanyanya, dengan rasa ingin tahu dan kepolosan yang membuatku heran. Kukira dia menganggap per-
kataanku dengan serius, tetapi kemudian dia menyeringai: "Jadi, menurutmu mereka menatap cermin dari pagi sampai malam!" Untuk pertama kalinya dia mengejek negeriku dan semua yang telah kutinggalkan. Dengan marah aku mencari sesuatu untuk menyakiti hatinya, dan tiba-tiba, tanpa berpikir panjang, tanpa meyakininya, kukatakan bahwa hanya dia sendirilah yang bisa menemukan siapa dirinya, tetapi dia tidak cukup berani untuk melakukannya. Sungguh menyenangkan melihat wajahnya meringis kesakitan.
Tapi, ternyata ucapanku itu harus kubayar dengan amat mahal. Bukan karena dia mengancam hendak mera-cuniku. Beberapa hari kemudian, dia menuntutku untuk menunjukkan keberanian yang menurutku tidak dia miliki. Mula-mula aku mencoba bergurau tentang hal itu. Tentu saja, seseorang tidak bisa menemukan siapa dirinya dengan memikirkannya, atau hanya dengan melihat ke cermin; aku mengatakannya karena saat itu aku marah sehingga ingin membuatnya kesal. Namun, tampaknya dia tidak percaya: dia mengancam untuk mengurangi jatah makanku, bahkan mengunciku di dalam kamar jika aku tidak membuktikan keberanianku. Aku harus mencari tahu siapa diriku dan menuliskannya. Dia akan melihat bagaimana cara aku melakukannya,
TXI/PRC INI DI BUAT KARENA KECINTAAN SAYA MEMBACA NOVEL DI HP/PDA (ottoys@yahoo.com)
akan melihat seberapa banyak keberanian yang kumiliki.*
LIMA MULA-MULA aku menulis beberapa halaman mengenai masa kecilku yang bahagia bersama kakak, adik, ibu, dan nenek di rumah kami di Empoli. Entah mengapa aku memilih untuk menuliskan berbagai kenangan ini sebagai cara untuk memahami mengapa aku ini aku. Mungkin karena terdorong oleh rasa rindu akan kebahagiaan yang kurasakan di masa itu, yang sudah hilang dari kehidupanku sekarang. Mungkin juga karena saat itu Hoja telah menekanku sedemikian rupa setelah aku melontarkan ucapan yang kuutarakan dalam kemarahanku sehingga aku merasa berkewajiban, seperti yang kurasakan saat ini, menciptakan sesuatu yang menurut pendapatku akan dipercayai dan dinikmati oleh pembaca. Tapi, pada mulanya, Hoja tidak menyukai apa yang kutulis; semua orang bisa menulis hal seperti ini, ujarnya. Ia menyangsikan bahwa hal-hal inilah yang dipikirkan orang saat mereka melihat diri mereka di cermin, karena ini tidak mencerminkan keberanian yang menurutku tidak dia miliki. Tanggapannya juga sama ketika dia membaca pengalamanku yang tiba-tiba berhadapan dengan seekor beruang saat mengikuti kegiatan berburu di pegunungan Alpen bersama ayah dan beberapa orang kakak lelakiku, dan kami dan beruang itu saling menatap untuk beberapa saat lamanya. Begitu juga
tanggapannya ketika aku menceritakan bagaimana perasaanku saat berada di samping ranjang kematian kusir kami yang diinjakinjak oleh kudanya sendiri tepat di hadapan kami: semua orang bisa menuliskan hal seperti ini.
Atas tanggapannya itu, kujelaskan bahwa orang-orang di sana hanya melakukan hal ini saja, tidak kurang tidak lebih. Ucapanku sebelumnya terlalu dibesar-besarkan, karena saat itu aku sedang marah, dan Hoja seharusnya tidak terlalu banyak berharap dariku. Tapi, dia tak menggubris kata-kataku. Aku tidak mau dikunci di dalam kamar, sehingga terus menulis berbagai gambaran yang melintas di benakku. Aku menghabiskan waktu dua bulan lamanya untuk mengingat-ingat dan menelaah kembali, kadang dengan perasaan pilu, tetapi kadang merasa bahagia, sejumlah kenangan lama seperti ini, yang walaupun bisa dianggap remeh, tetapi menyenangkan untuk dikenang. Aku membayangkan dan mengenang kembali berbagai pengalaman yang baik maupun yang buruk yang pernah kualami sebelum menjadi budak, dan pada akhirnya aku menyadari bahwa aku benar-benar menikmati kegiatan ini. Sekarang Hoja tidak perlu memaksaku menulis; setiap kali dia mengatakan tidak puas, aku pun menggali kenangan lain, menggali kisah lain yang kuputuskan lebih dahulu untuk dituliskan.
Lama sesudah itu, ketika kulihat Hoja juga senang membaca kisah yang kutulis, aku mulai menunggu kesempatan untuk menarik dirinya melakukan kegiatan ini. Untuk mempersiapkan wadahnya, aku menceritakan beberapa pengalaman yang terjadi semasa kecilku dahulu: aku menceritakan rasa takut yang berkepanjangan, malam-malam ketika aku tidak bisa tidur setelah kematian seorang sahabat sejati yang jalan pikirannya sering sama
dengan jalan pikiranku, bagaimana aku merasa takut dikira telah mati dan dikubur hidup-hidup bersamanya. Aku tidak menyangka bahwa dia benar-benar terkesan oleh hal ini! Tak lama setelah itu, aku memberanikan diri menceritakan impianku: tubuhku memisahkan diri dariku, menyatu dengan seseorang yang mirip denganku yang wajahnya tertutup oleh bayangan, dan keduanya bersekongkol untuk melawan diriku. Pada saat itu, Hoja mengatakan telah mendengar pengulangan syair lagu konyol itu lagi dan dengan semakin tegas. Saat aku melihat bahwa dia, seperti yang kuharapkan, terpengaruh oleh impianku itu, aku menegaskan bahwa menulis seperti yang kulakukan ini harus dicobanya juga. Kegiatan itu bisa melepaskannya dari antisipasi yang tiada akhirnya ini, dan dia akan bisa memahami apa yang sebenarnya telah memisahkan dirinya dari orang-orang bodoh itu. Dia berulang kali dipanggil ke istana, tapi tidak ada perkembangan yang positif dari tempat itu. Mula-mula dia menolak menuruti anjuranku untuk menulis, tetapi ketika aku memaksanya, dia menjadi penasaran, merasa malu dan bosan, sehingga akhirnya mengatakan akan mencobanya. Dia takut dianggap konyol, bahkan dengan bercanda bertanya padaku: saat kami menulis bersama-sama, apakah kami juga harus melihat diri kami bersama-sama di cermin"
Ketika dia mengatakan ingin agar kami menulis bersama-sama, aku tidak mengira bahwa dia benar-benar ingin duduk bersama-sama semeja denganku. Aku tadinya mengira bahwa sewaktu dia sudah mulai menulis, aku bisa kembali menjadi budak yang bisa bermalas-malasan. Ternyata tidak begitu. Katanya, kami harus duduk saling berhadapan di meja: pikiran kami, yang dihadapkan pada berbagai bahan tulisan yang berbahaya, akan melayang,
mencoba melarikan diri, dan hanya dengan cara inilah kami bisa mulai melangkah, hanya dengan cara inilah kami bisa saling memperkuat dengan jiwa Orhan Pamuk 112 kedisiplinan. Tapi, semua ini hanyalah alasan saja; aku tahu dia takut ditinggalkan sendirian, untuk merasakan kesepian saat sedang berpikir. Aku juga mengetahui hal ini dari caranya ketika mulai bergumam, yang cukup keras sehingga bisa kudengar, saat dia berhadapan dengan halaman kosong. Dia menunggu persetujuanku dulu mengenai apa yang akan ditulisnya. Setelah menuliskan beberapa kalimat, dia menunjukkannya padaku dengan kerendahan hati yang lugu dan semangat, layaknya seorang anak kecil: apakah hal ini pantas untuk ditulis, begitu tanyanya. Tentu saja aku menyampaikan persetujuanku.
Jadi, dalam waktu dua bulan, aku mengetahui lebih banyak hal tentang kehidupannya dibandingkan dengan yang kuketahui dalam waktu sebelas tahun terakhir ini. Keluarganya tinggal di Edirne, sebuah kota yang di kemudian hari kami kunjungi bersama-sama dengan sultan. Ayahnya mati muda. Dia ragu apakah masih bisa mengingat wajah ayahnya. Ibunya seorang pekerja keras. Dia menikah lagi setelah ayahnya meninggal. Dia punya dua orang anak dari suami pertamanya, seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Dengan suami keduanya, dia melahirkan empat orang anak lakilaki. Suami keduanya seorang pembuat selimut. Anak yang paling giat belajar tentu saja Hoja. Aku juga tahu bahwa dia anak yang paling pintar, cerdas, paling rajin, dan paling kuat di antara saudara-saudaranya; dia juga anak yang paling jujur. Dia mengenang semua saudaranya dengan penuh kebencian, kecuali saudara perempuannya, tapi dia tidak yakin apakah ada gunanya menuliskan semua ini. Aku
menganjurkannya untuk terus menulis, mungkin karena aku sudah merasakan bahwa kelak aku akan mengadopsi perilaku dan cerita hidupnya, seakan-akan itu adalah bagian dari kehidupanku sendiri. Ada sesuatu dari bahasa yang digunakannya dan cara pemikirannya yang kusukai dan ingin kukuasai. Kita pasti mencintai kehidupan yang kita pilih untuk pada akhirnya kita akui sebagai kehidupan kita; dan aku memang mencintai kehidupan tersebut. Dia menganggap semua saudaranya sebagai orang bodoh, tentu saja; mereka hanya menemuinya ketika sedang memerlukan uang; sementara itu, dia mencurahkan perhatiannya untuk belajar. Saat diterima di sekolah menengah Selimiye, dia difitnah tepat pada saat menjelang lulus. Dia tidak pernah menceritakan lagi hal itu, dan dia juga tidak pernah bercerita tentang wanita. Ketika baru mulai, dia menulis bahwa dia pernah hampir menikah, lalu dengan geram merobek-robek semua yang telah ditulisnya. Malam itu hujan turun sangat deras. Malam itu adalah malam pertama dari banyak malam mengerikan yang kualami. Dia menghina kecerdasanku, mengatakan bahwa apa yang telah ditulisnya hanyalah cerita bohong belaka, dan mulai menulis lagi dari awal. Karena dia menyuruhku duduk berhadapan dengannya dan juga menulis, aku menemaninya selama dua hari tanpa tidur sedikit pun. Dia tidak lagi memedulikan apa yang kutulis. Aku duduk di ujung meja, menyalin apa yang telah kutulis, tanpa berusaha menggunakan imajinasi sedikit pun, dan mengamatinya dari sudut mataku.
Beberapa hari kemudian, pada kertas polos mahal yang diimpor dari Timur, dia mulai menulis dengan judul "Mengapa Aku Ini Aku", tetapi dengan judul ini, setiap pagi, dia hanya menuliskan alasan mengapa "mereka"begitu dungu dan bodoh. Namun, aku masih bisa tahu bahwa setelah kematian ibunya, dia ditipu, datang ke Istanbul sambil membawa uang yang berhasil diselamatkannya dari warisannya, tinggal di sebuah rumah imam besar untuk beberapa lama, namun kemudian pergi setelah beranggapan bahwa setiap orang di sana itu bodoh dan berbahaya. Aku ingin membuatnya bercerita lebih lanjut tentang pengalamannya di rumah imam itu. Menurutku, pergi menjauhi mereka adalah sebuah keberhasilan baginya: dia mampu memisahkan dirinya dari mereka. Ketika aku mengatakan hal ini, dia malah marah, menuduhku hanya ingin mendengar cerita kotor yang bisa kugunakan kelak untuk melawannya. Katanya, aku sudah tahu terlalu banyak tentang dirinya, dan yang terpenting, semua ini telah membuatnya curiga bahwa aku ingin mempelajari berbagai hal terperinci itu di sini dia menggunakan istilah seksual yang dianggap kasar. Lalu, dia berbicara cukup lama tentang saudara perempuannya Semra, tentang kecantikannya dan suaminya yang jahat. Dia mengungkapkan penyesalannya karena sudah bertahun-tahun tidak bertemu dengannya, tetapi saat aku menunjukkan ketertarikan pada hal ini, dia mulai curiga lagi, dan beranjak ke topik lain. Setelah menghabiskan uangnya untuk membeli buku, dia tidak melakukan apaapa kecuali belajar untuk waktu yang cukup lama, kemudian bekerja sebagai penulis naskah di sana sini tetapi, orang-orang sungguh tidak tahu malu dan kemudian dia teringat pada Sadik Pasha, yang kematiannya baru saja dilaporkan dari Er-zinjan. Hoja bertemu dengannya untuk pertama kalinya pada waktu itu, dan langsung membuat pasha terpikat oleh kecintaannya pada ilmu pengetahuan. Pasha memberi Hoja pekerjaan mengajar di sekolah dasar, tetapi
pasha juga orang bodoh. Pada akhir dari kegiatan penulisan ini, yang berlangsung sekitar sebulan, pada suatu malam, dengan perasaan malu, dia merobek-robek semua yang telah ditulisnya. Berkat hal itulah, saat aku mencoba menuliskan kembali apa yang telah ditulisnya dan pengalamanku sendiri, dengan hanya mengandalkan imajinasiku, aku tidak merasa takut terkesima lagi oleh berbagai hal teperinci yang telah membuatku terpesona. Dalam letupan antusiasme yang tersisa, dia menulis beberapa halaman tulisan dengan judul "Orang-Orang Bodoh yang Kukenal Baik", tapi kemudian dia menjadi murka: kegiatan tulis-menulis ini tidak membuatnya menjadi lebih pintar; dia tidak mempelajari sesuatu yang baru, dan dia masih tetap tidak mengerti mengapa dia seperti dirinya yang sekarang. Aku telah menipunya, aku telah membuatnya memikirkan hal-hal yang tidak berguna tentang berbagai hal yang tidak ingin diingatnya. Dia akan menghukumku.
Aku tidak tahu mengapa gagasan untuk menjatuhkan hukuman ini, yang mirip dengan harihari pertama kami, begitu menyibukkan pikirannya. Kadang, aku berpendapat bahwa kepatuhanku yang pengecut ini telah membuatnya berani. Namun, saat dia mengungkapkan niatnya tentang hukuman itu, aku memutuskan untuk melawannya. Ketika Hoja sudah benar-benar muak menuliskan masa lalunya, dia berjalan mondar-mandir di dalam rumah untuk beberapa saat lamanya. Kemudian, dia menemuiku kembali dan mengatakan bahwa isi pikiran kamilah yang harus dituliskan: seseorang bisa mengamati penampilannya di cermin, maka pastilah dia juga bisa mengkaji jatidirinya di dalam pemikirannya sendiri.
Simetri analogi yang cemerlang ini juga menimbulkan semangat baru dalam diriku. Kami segera duduk lagi di
meja. Kali ini, aku juga, walaupun dengan setengah ironis, menulis "Mengapa Aku Ini Aku" di bagian atas halaman tersebut. Dan dengan segera, karena aku menilainya sebagai ciri khas kepribadianku, aku mulai menuliskan kenangan masa kecil tentang sifatku yang pemalu. Lalu, ketika aku membaca apa yang dituliskan Hoja tentang kejahatan orang lain, aku memiliki gagasan yang pada saat itu kuanggap penting, dan mengutarakannya. Hoja juga seharusnya menuliskan berbagai kesalahan yang pernah diperbuatnya. Setelah membaca apa yang kutulis, dia bersikeras bahwa dia bukan seorang pengecut. Kukatakan bahwa walaupun dia bukan seorang pengecut, dia memiliki sisi negatif seperti halnya orang lain, dan bila dia mau menyelami kesalahannya, dia pasti akan bisa menemukan jatidirinya yang sejati.
TXI/PRC INI DI BUAT KARENA KECINTAAN SAYA MEMBACA NOVEL DI HP/PDA (ottoys@yahoo.com)
Aku telah melakukan hal ini dan dia ingin menjadi seperti aku; aku bisa merasakan hal ini berkobar dalam dirinya. Aku melihatnya menjadi marah saat aku mengatakan hal tersebut, tetapi dia mengendalikan dirinya dan, dengan berusaha untuk tetap rasional, mengatakan bahwa orang lainlah yang jahat, meskipun tentu tidak semua orang. Tetapi, karena banyak orang yang tidak sempurna dan bersikap negatif, dunia menjadi gonjang-ganjing begini. Aku tidak sependapat dengannya, dan mengatakan bahwa banyak hal di dalam dirinya yang jahat, bahkan memuakkan, dan bahwa seharusnya dia menyadari hal itu. Aku menambahkan dengan berani bahwa dia sebenarnya lebih buruk daripadaku.
Itulah yang memicu dimulainya hari-hari gila dan mengerikan itu! Dia mengikat tubuhku di kursi dan duduk di hadapanku, memerintahkan aku menuliskan apa yang diinginkannya, walaupun dia sudah tidak tahu lagi apa yang diinginkannya. Vang ada dalam pikirannya hanyalah
analogi tersebut: seperti halnya orang bisa melihat penampilan luarnya di cermin, pastilah dia juga bisa mengamati isi kepalanya melalui berbagai pemikirannya. Katanya, aku mengetahui cara untuk melakukan hal itu, tetapi merahasiakannya dan tidak mau mengungkapkannya pada dirinya. Sementara Hoja duduk di hadapanku, menungguku untuk menuliskan rahasia itu, aku memenuhi lembaran kertas di hadapanku dengan berbagai cerita yang mem-0 besar-besarkan kesalahanku sendiri: aku menuliskan dengan riang masa kecilku sewaktu menjadi pencuri cilik, berbagai kebohongan karena rasa iri, caraku menipu orang lain agar aku lebih dicintai daripada kakak dan adikku, rahasia seksual di masa mudaku sehingga semakin banyak yang kutulis semakin jauh pula ceritaku menyimpang dari kenyataannya. Rasa penasaran yang rakus dan kenikmatan yang dirasakan Hoja saat dia membaca semua ini membuatku tercengang: setelah membacanya, dia menjadi semakin marah, meningkatkan hukuman kejam yang sudah dijatuhkannya, yang sudah di luar batas kewajaran. Mungkin karena tidak bisa menerima berbagai dosa masa lalu yang dirasakannya, dia pun melakukan sendiri dosa itu. Dia mulai memukuliku. Setelah membaca salah satu ceritaku yang ngawur, dia berteriak, "Dasar bajingan!" dan menghantamkan tinjunya ke punggungku dengan kemurkaan yang baru meluap setengahnya saja. Sekali atau dua kali, karena tidak mampu mengendalikan diri, dia menampar wajahku. Mungkin dia melakukan semua ini karena semakin jarang dipanggil ke istana, karena sekarang dia telah meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia tidak akan menemukan apa pun yang menarik perhatiannya, kecuali diri kami ini, mungkin juga karena perasaan frustrasinya. Tapi, semakin sering dia membaca berbagai
dosaku dan meningkatkan hukumannya yang kejam dan kekanak-kanakan, aku justru merasa semakin terlindungi oleh perasaan aman yang aneh: untuk pertama kalinya aku merasa dirinya berada dalam genggaman tanganku, Suatu kali, setelah memukuliku dengan kejamnya, aku melihat dia merasa iba padaku, tetapi perasaan iba itu adalah perasaan jahat yang sekaligus menjijikkan terhadap seseorang yang dinilai tidak setingkat dengannya: aku juga merasakan hal ini dari caranya menatapku tanpa kebencian. "Sebaiknya kita tidak menulis lagi," ujarnya. "Aku tidak mau kamu menulis lagi," tapi kemudian dia mengoreksi perkataannya sendiri, dan selama berminggu-minggu dia hanya mengamatiku menuliskan berbagai kesalahanku. Katanya, kami harus meninggalkan rumah ini, dan semakin lama dia semakin terbenam dalam kemuraman, dan melakukan perjalanan, mungkin ke Gebze. Dia hendak mengalihkan perhatiannya kembali ke pekerjaannya di bidang astronomi, dan dia sedang mempertimbangkan untuk menulis risalah yang lebih gencar lagi tentang perilaku semut. Aku kaget juga saat menyadari bahwa mungkin dia tidak akan menghormatiku lagi, sehingga untuk menjaga ketertarikannya, aku mengarang sebuah cerita lagi yang bisa mengungkapkan kejahatanku dengan sejelas- jelasnya. Hoja membacanya dengan lahap dan bahkan tidak marah; aku menduga dia hanya penasaran mengapa aku bisa begitu jahat. Dan mungkin, karena melihat sifatku yang seperti itu, dia tidak lagi ingin meniru diriku, tapi sudah puas menjadi dirinya sendiri sampai akhir hayatnya. Tentu saja dia sadar bahwa ada permainan di balik semua ini. Hari itu aku berbicara padanya seperti seorang penjilat istana yang tahu bahwa dia tidak dianggap sebagai lelaki sejati. Aku berusaha semakin membangkitkan rasa
penasarannya; apa ruginya jika sebelum pergi ke Gebze, untuk terakhir kalinya dia mencoba agar bisa memahami bagaimana aku bisa seperti aku yang sekarang ini untuk menuliskan berbagai kesalahannya" Yang ditulisnya tidak perlu hal yang sebenarnya, atau tidak perlu hal yang dipercaya orang. Bila dia melakukan ini, maka dia akan bisa memahami aku dan orang-orang yang mirip denganku, dan suatu hari nanti pengetahuan ini akan berguna baginya! Akhirnya, karena tidak mampu mengabaikan rasa penasarannya dan semua ocehanku, dia berkata akan mencobanya besok. Tentu saja, dia tidak lupa menambahkan bahwa dia melakukannya hanya karena dia menginginkannya, bukan karena termakan oleh permainanku yang konyol.
Hari berikutnya adalah hari yang paling kunikmati selama masa perbudakanku. Walaupun dia tidak mengikat lagi tubuhku ke kursi, aku menghabiskan waktu sepanjang hari duduk berhadapan dengannya sehingga bisa dengan senang mengamatinya menjadi sosok orang lain. Mula-mula, dia sangat meyakini kegiatan yang dilakukannya sehingga tidak lagi menuliskan judul konyol yang dulu selalu ditulisnya, "Mengapa Aku Ini Aku" di bagian atas halaman. Dia memiliki aura rasa percaya diri seorang anak kecil nakal yang sedang mencari-cari kebohongan yang menggelikan; aku bisa melihat sekilas bahwa dia masih berada dalam dunianya yang aman. Tapi, perasaan aman yang berlebihan ini tidak berlangsung lama; begitu pula sikap pura-pura sedih yang dianggapnya untuk kepentingan diriku. Dalam sekejap, sikap meremehkannya yang pura-pura itu berubah menjadi sikap gelisah, dan permainan ini menjadi nyata. Dia bingung dan takut saat menyalahkan diri sendiri ini, sekalipun semua itu hanyalah sebuah
kepura-puraan. Dia segera mencoratcoret semua yang telah ditulisnya tanpa menunjukkannya padaku terlebih dahulu. Tapi, rasa penasarannya telah bangkit, dan aku yakin dia malu padaku karena dia terus memaksa untuk melakukannya. Padahal, bila dia mengikuti kata hatinya dan segera bangkit dari meja, mungkin dia tidak perlu kehilangan perasaan nyamannya.
Selama beberapa jam berikutnya aku mengamati dirinya pelan-pelan mulai terbuka: berkali-kali dia menuliskan sesuatu yang penting tentang dirinya, lalu merobeknya tanpa memperlihatkannya dahulu padaku, dan makin lama makin kehilangan rasa percaya diri dan rasa hormat pada dirinya. Tetapi kemudian, dia memulainya kembali, berharap bisa mengembalikan apa yang telah dirobeknya. Tadinya, dia akan menunjukkan pengakuannya itu padaku. Ketika malam mulai tiba, aku belum melihat sepatah kata pun yang begitu ingin kubaca karena dia merobek-robek semua kertas yang sudah ditulisi dan membuangnya, dan tenaganya pun semakin terkuras. Saat dia meneriakkan berbagai hinaan padaku, mengatakan bahwa ini hanyalah permainan memuakkan ciptaan orang kafir, rasa percaya dirinya telah begitu menipis sehingga aku bahkan menjawab bahwa dia harus terbiasa untuk tidak merasa menyesal, untuk menjadi jahat. Dia bangkit dan meninggalkan rumah, mungkin karena tidak tahan diamati, dan ketika dia kembali di saat malam telah cukup larut, aku bisa tahu dari parfum yang menempel di bajunya bahwa, seperti yang telah kuduga sebelumnya, dia telah mengunjungi rumah bordil itu.
Keesokan sorenya, untuk mendorongnya agar meneruskan kegiatan tersebut, kukatakan pada Hoja bahwa pastilah dia cukup kuat untuk tidak terpengaruh oleh
permainan yang tidak berbahaya itu. Apalagi, kami melakukan ini untuk mempelajari sesuatu, bukan sekadar untuk menghabiskan waktu, dan bahwa pada akhirnya dia akan meraih sebuah pemahaman mengapa orang-orang yang disebutnya bodoh itu memang begitu. Bukankah kemungkinan untuk bisa benar-benar saling mengetahui perbedaan itu sesuatu yang cukup menarik" Seseorang akan terpesona oleh orang lain yang benar-benar mengenal jiwanya seperti mengetahui arti sebuah mimpi buruk.
Bukan sesuatu yang kuutarakan, yang disikapinya dengan sama seriusnya seperti pujian yang dilontarkan orang cebol penghuni istana, tetapi rasa aman dari siang hari yang membuatnya duduk kembali di balik meja. Saat dia bangkit malam itu, rasa percaya dirinya bahkan lebih rendah daripada hari sebelumnya. Ketika aku melihatnya pergi lagi mengunjungi rumah bordil malam itu, aku merasa iba padanya.
Jadi, setiap pagi dia akan duduk di balik meja, merasa yakin bahwa dia mampu menuliskan berbagai kejahatan yang akan ditulisnya hari itu, dan berharap bisa mendapatkan kembali berbagai hal yang telah hilang di hari sebelumnya. Lalu, setiap malam bangkit setelah meninggalkan rasa percaya diri yang tersisa darinya di atas meja. Karena sekarang dia merasa dirinya hina, tidak sanggup menatapku dengan tatapan menghina lagi, aku mengira bahwa setidaknya aku telah menemukan kesetaraan yang secara keliru kuyakini ada di antara kami berdua pada hari-hari pertama yang kami lewati bersama-sama dulu. Hal ini sungguh memuaskan hatiku. Karena dia mencurigaiku, katanya aku tidak perlu duduk dengannya di meja. Ini juga pertanda yang baik, tapi amarahku, yang telah menumpuk selama beberapa tahun lamanya,
sekarang mulai menyeruak keluar. Aku ingin membalas dendam, menyerang balik. Seperti dia, aku juga telah kehilangan keseimbangan hidup. Aku merasa bahwa jika aku bisa membuat Hoja semakin meragukan dirinya, jika aku bisa membaca beberapa pengakuan yang dengan hati-hati dirahasiakannya dariku dan dengan cara halus mempermalukannya, maka dialah yang akan menjadi budak dan pendosa di rumah ini, bukan aku. Lagi pula sudah banyak tandatanda yang mengarah ke situ: aku merasa bahwa dia, sesekali, merasa perlu mendapat kepastian apakah aku sedang mengejeknya atau tidak. Dia tidak lagi bisa memercayai dirinya sendiri, sehingga mulai mencari persetujuan dariku. Sekarang dia lebih sering menanyakan pendapatku tentang kegiatan rutin sehari-harinya: apakah pakaiannya sudah cukup rapi, apakah jawaban yang diberikannya kepada seseorang sudah benar, apakah aku menyukai tulisan tangannya, apa yang sedang kupikirkan" Karena tidak menginginkan dirinya semakin terbenam dan meninggalkan permainan ini, aku kadang-kadang mengecam diriku untuk membangkitkan semangatnya. Dia memandangku dengan tatapan yang berarti "dasar bajingan," tetapi tidak lagi memukuliku. Aku yakin dia merasa pantas dipukuli.
Aku benar-benar penasaran tentang berbagai pengakuan yang membuatnya begitu membenci dirinya sendiri. Karena aku sudah terbiasa memperlakukannya sebagai seseorang yang lebih lemah, sekalipun hanya di dalam hati, aku merasa pengakuannya itu hanya akan berisi beberapa dosa kecil yang tidak penting. Sekarang, saat aku mencoba untuk meminjamkan beberapa peristiwa di masa laluku, dan mencoba membayangkan dengan terperinci satu atau dua dari pengakuan yang tidak pernah
kubaca satu kalimat pun, entah mengapa aku tidak bisa menemukan sebuah dosa pun yang dilakukan Hoja yang bisa menghancurkan kebenaran ceritaku dan kehidupan yang kubayangkan untuk diriku sendiri. Tapi, kurasa seseorang dalam posisiku bisa belajar untuk memercayai lagi dirinya sendiri. Aku yakin bahwa aku telah mendorong Hoja untuk menemukan sesuatu tanpa dirinya sendiri menyadari hal itu, bahwa aku telah membuatnya berhadapan dengan titik lemahnya dan titik lemah orang-orang seperti dirinya, walaupun tidak dengan tegas dan jelas. Mungkin juga aku merasa bahwa tidak lama lagi akan datang hari di saat aku akan mengatakan padanya dan pada orang-orang lain tentang pendapatku mengenai mereka; aku akan menghancurkan mereka dengan membuktikan betapa jahatnya mereka. Aku yakin bahwa mereka yang telah membaca ceritaku pasti menyadari sekarang, bahwa aku telah belajar cukup banyak dari Hoja seperti dia belajar dariku! Mungkin aku berpikir seperti ini sekarang karena ketika kita sudah tua, kita akan mencari sesuatu yang lebih simetris, bahkan juga dalam cerita yang kita baca. Pastilah aku telah dikuasai rasa benci yang telah bertumpuk selama bertahun-tahun. Setelah Hoja benar-benar mempermalukan dirinya sendiri, aku membuatnya menerima kelebihanku, atau setidaknya kemandirianku, dan sambil mengejek akan kuminta kebebasanku. Aku berkhayal dia akan membebaskanku tanpa bersungut-sungut, dan membayangkan bahwa aku akan menulis buku tentang petualanganku di tengahtengah bangsa Turki jika aku sudah pulang kampung. Betapa mudahnya aku kehilangan akal sehatku! Berita yang dibawanya di suatu pagi tiba-tiba mengubah semuanya.
Wabah telah menyebar di dalam kota! Karena dia
menceritakan hal ini seakan bercerita tentang suatu tempat lain, yang lokasinya jauh,
TXI/PRC INI DI BUAT KARENA KECINTAAN SAYA MEMBACA NOVEL DI HP/PDA (ottoys@yahoo.com)
bukan di Istanbul, mula-mula aku tidak memercayainya. Aku bertanya dari mana dia mendengar berita ini, aku ingin tahu semuanya. Jumlah orang yang tiba-tiba mati semakin banyak karena alasan yang tidak jelas, diperkirakan akibat suatu penyakit. Aku bertanya, apa tanda-tanda penyakit tersebut mungkin bukan wabah. Hoja menertawakanku: aku tidak perlu khawatir, sebab bila aku mengidapnya, aku pasti akan segera mengetahuinya tanpa keraguan. Orang hanya perlu demam tiga hari untuk mengetahui bahwa dia terjangkit penyakit itu. Ada yang mengalami bengkak di belakang telinga, di bawah ketiak, di perut, muncul benjolan, lalu terserang demam. Kadang benjolan ini pecah, kadang darah keluar dari paru-paru, ada yang meninggal karena batuk dengan dahsyatnya. Dia menambahkan bahwa tiga sampai lima orang mati dari setiap distrik. Dengan gelisah, aku bertanya tentang lingkungan perumahan kami. Apakah aku belum mendengar" Tukang bangunan, yang sering bertengkar dengan semua tetangga karena ayam mereka selalu masuk melalui dinding rumahnya, telah meninggal sambil menjerit-jerit akibat demam tinggi seminggu yang lalu. Baru sekaranglah setiap orang menyadari bahwa dia meninggal akibat wabah tersebut.
Tapi, aku masih tidak mau memercayainya; di luar di jalanan semuanya terlihat begitu normal, orang-orang yang berjalan melewati jendela terlihat tenang. Aku baru percaya jika menemukan orang yang juga merasakan kecemasan seperti yang kurasakan bila memang ada wabah di sini. Keesokan paginya, ketika Hoja sudah pergi ke sekolah, aku bergegas keluar ke jalanan. Aku mencari orang-orang Italia yang telah pindah agama yang kukenal
selama sebelas tahun ini. Salah seorang dari mereka, yang memiliki nama baru Mustafa Reis, sudah berangkat ke dermaga; yang lainnya, Osman Efendi, mula-mula tidak mengizinkan aku masuk, walaupun aku menggedor pintunya seakan-akan ingin merubuhkannya dengan tinjuku. Dia menyuruh pelayannya mengatakan bahwa dia tidak ada di rumah, tetapi akhirnya menyerah dan berteriak memanggilku. Bagaimana aku masih mempertanyakan apakah penyakit itu nyata atau tidak; apakah aku tidak melihat peti-peti mayat yang dibawa di jalanan" Katanya aku takut, dan dia bisa melihatnya di wajahku. Aku takut karena aku masih menganut agama Kristen! Dia memarahiku; kita harus menjadi Muslim kalau ingin hidup bahagia di sini, tetapi dia tidak lupa untuk tidak menyentuh tanganku sebelum masuk kembali ke kegelapan rumahnya, sama sekali tidak menyentuhku. Sekarang sudah masuk waktu salat, dan saat aku melihat kerumunan orang di halaman masjid, aku ketakutan dan berlari pulang. Aku merasakan kebingungan yang melanda saat orang menghadapi musibah. Seakanakan aku sudah kehilangan masa laluku, seakanakan ingatanku sudah terkuras habis, aku seakanakan sudah lumpuh. Ketika aku melihat sekelompok orang mengangkut keranda di jalanan di lingkungan perumahan kami, aku langsung panik.
Hoja telah pulang dari sekolah; kurasa dia senang melihat keadaanku. Aku menyadari bahwa rasa takutku meningkatkan rasa percaya dirinya dan hal ini membuatku gelisah. Aku ingin kebanggaan dalam dirinya punah di saat dia tidak merasakan ketakutan itu. Sambil mencoba mengendalikan rasa cemasku, kukemukakan semua pengetahuan medis dan buku yang pernah kubaca; kuceritakan hal-hal yang masih kuingat tentang wabah dalam buku
Hippocrates, Thucydides, dan Boccacio. Dalam buku-buku itu dikatakan bahwa wabah itu menular, tetapi hal ini hanya membuatnya semakin merendahkanku dia tidak takut pada wabah tersebut. Penyakit adalah takdir Allah, bila seseorang ditakdirkan mati, diapasti akan mati. Karena itulah, percuma saja membicarakan berbagai omong kosong seperti yang kukatakan bahwa kami harus mengasingkan diri di dalam rumah dan memutuskan hubungan dengan dunia luar atau mencoba pergi dari Istanbul. Bila sudah ditakdirkan begitu, hal itu pasti akan terjadi, kema-tian akan menemukan kami. Mengapa aku begitu ketakutan" Apakah karena semua dosa yang telah kutuliskan setiap hari" Dia tersenyum, matanya berkilat-kilat penuh keyakinan.
Sampai saatnya tiba ketika kami saling kehilangan, aku tidak pernah bisa tahu apakah dia memang memercayai apa yang dikatakannya. Melihatnya begitu gagah berani membuatku merasa takut untuk sesaat, tetapi kemudian, saat aku teringat akan berbagai diskusi kami di meja, berbagai permainan mengerikan yang kami mainkan, aku menjadi skeptis. Dia berjalan mondar-mandir, mengarahkan percakapan ke berbagai dosa yang telah kami tuliskan bersama-sama, menelaah gagasan yang sama dengan sikap sombong yang membuatku geram. Kalau aku begitu takut pada kematian, pastilah aku belum menguasai kejahatan yang telah kutulis dengan demikian beraninya. Keberanian yang kutunjukkan saat memuntahkan semua dosa itu hanyalah karena perasaan tak tahu malu yang kumiliki! Padahal, Hoja merasa ragu-ragu karena sungguh-sungguh memerhatikan kesalahan yang kecil sekalipun. Tetapi sekarang dia terlihat tenang. Rasa percaya diri yang demikian dalam yang dirasakannya saat
menghadapi wabah ini telah membuatnya benar-benar yakin bahwa dia tidak berdosa.
Karena muak oleh penjelasan ini, yang kupercayai dengan bodohnya, aku memutuskan untuk berdebat dengannya. Dengan naifnya kukatakan bahwa dia merasa percaya diri bukan karena suara hati nuraninya yang jernih, tetapi karena dia tidak tahu bahwa kematian sudah sedemikian dekatnya. Aku menjelaskan bagaimana kami bisa melindungi diri dari kematian, bahwa kami jangan menyentuh orang yang telah terserang wabah itu, bahwa semua mayat harus dikuburkan dalam lubang yang dalam, bahwa semua orang harus meminimumkan hubungan antara satu dan yang lain, dan Hoja jangan pergi ke sekolah yang didatangi banyak orang itu.
Tampaknya hal terakhir yang kukatakan telah memunculkan pemikiran yang lebih buruk dari wabah itu sendiri. Hari berikutnya pada siang hari, sambil mengatakan bahwa dia telah menyentuh setiap anak satu per satu di sekolah, dia mengulurkan tangannya ke hadapanku. Ketika melihatku melangkah mundur, bahwa aku takut menyentuhnya, dia malah melangkah lebih dekat dan mencoba memelukku dengan riang. Aku ingin berteriak, tetapi seperti orang yang sedang bermimpi, aku tidak bisa menjerit. Sementara Hoja berkata, dengan keyakinan yang baru bisa kupahami di kemudian hari, bahwa dia akan mengajariku tentang perasaan tidak takut.#
ENAM WABAH ITU menyebar dengan cepat, tapi entah mengapa aku tidak bisa memahami apa yang dimaksudkan Hoja sebagai tidak takut. Namun, aku juga tidak begitu berhati-hati seperti sebelumnya. Aku tidak tahan lagi mengurung diri di dalam kamar, seperti seorang wanita tua penyakitan menatap keluar jendela selama berhari-hari. Sesekali, aku keluar ke jalanan seperti orang mabuk, mengamati para wanita yang sedang berbelanja di pasar, para pedagang yang bekerja di toko mereka, para lelaki yang berkumpul di warung kopi setelah menguburkan kerabatnya, dan berusaha untuk bertahan hidup di tengah wabah tersebut. Aku mungkin telah berhasil melakukannya, namun Hoja terus saja menggangguku.
Setiap malam dia mengulurkan tangannya padaku dan mengatakan bahwa dia sudah bersentuhan dengan banyak orang sepanjang hari. Aku hanya menunggu tanpa bergerak sedikit pun. Anda tahu bagaimana rasanya ketika dalam keadaan masih mengantuk, seekor kalajengking merayap di tubuh Anda, dan tubuh Anda menjadi kaku seperti patung seperti itulah. Jari-jemarinya tidak mirip dengan jemariku. Sambil menggerayangi tubuhku, Hoja bertanya: "Kau takut?" Aku tidak bergerak sama sekali. "Kau memang takut. Apa yang kautakutkan?" Kadang aku
merasakan dorongan untuk menepiskan tangannya dan melawannya, tapi aku tahu hal itu hanya akan membuatnya semakin marah. "Akan kujelaskan kenapa kau takut. Kau takut karena kau bersalah. Kau takut karena kau bergelimang dosa. Kau takut karena kau memercayaiku lebih daripada aku memercayaimu,"
Dan, dialah yang memaksa kami duduk saling berhadapan di meja dan menulis lagi bersama-sama. Sekarang, sudah waktunya menuliskan mengapa kami adalah kami. Tetapi, lagi-lagi dia hanya menulis mengapa "orang lain" begitu. Untuk pertama kalinya dia dengan bangga menunjukkan apa yang telah ditulisnya. Ketika aku tahu bahwa dia mengharapkanku merasa terhina oleh apa yang telah ditulisnya, aku tidak bisa menyembunyikan rasa muakku dan mengatakan bahwa dia tidak ada bedanya dengan orang-orang bodoh yang ditulisnya, dan bahwa dia akan mati mendahuluiku.
Aku memutuskan saat itu bahwa ramalan ini adalah senjataku yang paling ampuh, dan mengingatkannya pada kerja kerasnya selama sepuluh tahun, pada tahun-tahun yang dihabiskannya menekuni berbagai teori kosmografi, pada berbagai pengamatannya tentang surga, yang harus dibayar dengan mengorbankan daya penglihatannya, pada hari-hari saat dia tak henti-hentinya menekuni buku yang dibacanya. Sekarang, akulah yang akan terus merecoki-nya; kukatakan betapa bodohnya dia untuk mati sia-sia, padahal dia bisa menghindari wabah itu dan terus hidup. Dengan mengatakan semua ini, aku bukan saja memperbesar keraguannya, melainkan juga hukumanku. Aku bisa merasa bahwa saat membaca apa yang kutulis, sepertinya dia menemukan kembali rasa hormatnya padaku yang telah hilang selama ini.
Jadi, untuk melupakan kenangan buruk, pada hari-hari itu aku memenuhi halaman demi halaman dengan berbagai mimpi indah yang sering kualami, bukan hanya mimpi di malam hari, melainkan juga ketika tidur siang. Karena ingin segera melupakan semuanya, begitu terbangun, aku langsung menuliskan semua mimpi itu, dan dalam mimpi itu berbagai tindakan dan arti menjadi satu, berusaha keras untuk membuat tulisanku menjadi puitis. Aku bermimpi ada sejumlah orang yang tinggal di hutan di dekat rumah kami, yang berhasil memecahkan berbagai misteri yang kami coba pahami selama bertahun-tahun, dan jika kami berani memasuki kegelapan hutan itu, kami akan berteman dengan mereka. Bayangan kami tidak hilang dengan terbenamnya matahari, tetapi memulai kehidupannya sendiri, menguasai ribuan hal kecil yang seharusnya kami kuasai saat kami tidur dengan tenangnya di tempat tidur yang sejuk dan nyaman. Orang-orang tiga dimensi yang cantik dalam dongeng yang muncul dalam mimpiku melangkah keluar dari bingkainya dan bergabung bersama kami; ibuku, ayahku, dan aku menyetel sejumlah mesin di halaman belakang rumah kami untuk melakukan berbagai pekerjaan untuk kami ....
Hoja tidak menyadari bahwa semua mimpi ini adalah jebakan licin yang akan menyeret dirinya memasuki kegelapan ilmu pengetahuan yang mematikan. Tetapi, dia terus saja menanyaiku, menyadari bahwa dia kehilangan rasa percayanya sedikit demi sedikit setiap kali bertanya: apakah arti semua mimpi konyol ini, benarkah aku mengalaminya" Maka, aku mulai menerapkan hal-hal yang akan kami terapkan pada sultan bertahun-tahun kemudian. Aku menarik kesimpulan dari impian kami tentang masa depan: sudah jelas bahwa sesudah terjerat oleh
pesona ilmu pengetahuan, seseorang tidak bisa melepaskan diri darinya seperti dia tidak bisa menyelamatkan diri dari wabah penyakit itu. Jelas sekali candu ini telah berhasil mencengkeram Hoja, tetapi aku masih bertanya-tanya tentang mimpinya! Dia mendengarkan, mengejekku dengan terang-terangan, tapi karena dia menelan kesombongannya dengan mengajukan berbagai pertanyaan, dia tidak bisa terlalu membangkitkan rasa benciku; dan aku bisa merasakan bahwa jawabanku telah memperbesar rasa penasarannya. Ketika aku melihat keseimbangan sikap Hoja akibat wabah itu mulai goyah, kegentaranku akan kematian tidak berkurang, tetapi setidaknya aku tidak merasa sendirian dalam rasa gentar ini. Tentu saja aku menderita menerima semua siksaan yang dilancarkannya setiap malam, tapi sekarang aku menyadari bahwa usahaku tidak sia-sia. Ketika dia mengulurkan tangannya ke hadapanku, kukatakan bahwa dia akan mati mendahu-luiku, dan mengingatkannya bahwa orang yang tidak takut adalah orang yang tidak mengerti, bahwa tulisannya tidak akan pernah selesai, bahwa impianku yang dibacanya hari itu dipenuhi rasa bahagia. TXI/PRC INI DI BUAT KARENA KECINTAAN SAYA MEMBACA NOVEL DI HP/PDA (ottoys@yahoo.com)
Namun, bukan ucapanku yang memunculkan permasalahan, tetapi hal lain. Suatu hari, ayah salah seorang murid di sekolahnya datang berkunjung. Perawakannya kecil dan penampilannya lugu serta rendah hati, dan dia berkata tinggal di lingkungan perumahan kami. Aku mendengarkan, meringkuk di sebuah sudut seperti seekor kucing rumah yang mengantuk, sementara mereka berbicara cukup lama tentang ini dan itu. Lalu, tamu kami tiba-tiba mengemukakan hal yang dari tadi sudah ditahantahan-nya: sepupunya dari pihak ayah telah menjanda musim panas yang lalu, saat suaminya terjatuh dari atap yang
sedang diperbaikinya. Sepupunya itu didatangi banyak pelamar, tetapi tamu kami terus memikirkan Hoja karena dia mendengar dari tetangganya bahwa Hoja sedang mempertimbangkan untuk melamar seseorang. Reaksi Hoja lebih beringas daripada yang kuduga: dia mengatakan bahwa dia tidak ingin menikah, tapi bila ingin menikah pun, dia tidak ingin menikahi seorang janda. Mendengar jawaban ini, sang tamu mengingatkan kami bahwa Nabi Muhammad saw. pun tidak berkeberatan dengan status janda Siti Khadijah, bahkan menikahinya sebagai istri pertamanya. Hoja berkata bahwa dia sudah pernah mendengar tentang janda ini, dan wanita itu sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan Siti Khadijah, bahkan dengan kelingkingnya sekalipun. Ketika mendengar hinaan ini, tamu yang aneh dan sombong itu ingin membuat Hoja mengerti bahwa Hoja pun bukan sosok berharga dan mengatakan bahwa walaupun dulu dia tidak memercayainya, para tetangga mengatakan bahwa Hoja benar-benar sudah tidak waras. Tidak ada yang menganggap positif kegemarannya memandangi bintang, kegemarannya mengotak-atik lensa dan membuat jam yang serbaaneh. Dengan kebencian seorang pedagang yang sedang mengecam barang yang hendak dibelinya, tamu kami menambahkan bahwa para tetangga juga mengatakan Hoja menyantap makanannya di meja seperti orang kafir, bukan duduk bersila di lantai; dan setelah menghamburkan uangnya untuk membeli banyak buku, dia melemparkannya ke lantai dan menginjak-injak halaman yang memuat nama Nabi Muhammad saw. Selain itu, karena tidak mampu meredam kejahatan yang bersemayam dalam dirinya dengan menatap bintang selama berjam-jam, Hoja suka berbaring di tempat tidurnya di siang hari sambil
menatap langit-langit yang kotor, mengalami kenikmatan seksual bukan dengan wanita, tetapi hanya dengan anak laki-laki, bahwa aku adalah kembarannya, bahwa dia tidak berpuasa pada bulan Ramadhan, dan bahwa wabah itu terjadi akibat perbuatannya.
Setelah mengusir tamu itu, perilaku buruk Hoja semakin menjadi-jadi. Aku menyimpulkan bahwa kepuasan diri yang dirasakannya karena memiliki perasaan yang sama dengan orang lain, atau karena dia berpura-pura begitu, sekarang telah berakhir. Karena ingin memberikan tamparan terakhir kepadanya, kukatakan bahwa orang yang tidak takut pada wabah itu sama bodohnya dengan lelaki tadi. Dia menjadi gelisah, tetapi berkata bahwa dia juga tidak takut pada wabah itu. Apa pun alasannya, aku menilai bahwa dia mengatakan semua itu dengan jujur. Dia benar-benar gugup, tidak bisa melakukan apa pun dengan tangannya, dan terus mengulangi syair lagu, yang akhir-akhir ini sudah dilupakannya, tentang "orang-orang bodoh" itu. Setelah malam tiba, dia menyalakan pelita, meletakkannya di tengah-tengah meja, dan berkata bahwa kami harus duduk. Kami harus menulis.
Seperti dua orang perjaka yang saling menceritakan nasibnya untuk melewatkan waktu di malam-malam musim dingin yang tiada akhir, kami duduk berhadapan di meja, mencoretkan sesuatu di halaman kosong di hadapan kami. Sungguh gila! Pada pagi harinya, setelah membaca apa yang telah dituliskan Hoja tentang mimpinya, kuanggap dirinya lebih konyol daripadaku. Dia menuliskan sebuah mimpi yang meniru impianku, tetapi seperti semua tulisannya yang dibuat jelas, ini adalah khayalan yang belum pernah diimpikan sama sekali: di dalam mimpinya, kami ini bersaudara! Dia merasa pantas berperan sebagai kakak,
sementara aku mendengarkan ceramah ilmiahnya dengan patuh. Keesokan paginya, saat kami sarapan, dia bertanya tentang gosip para tetangga yang mengatakan bahwa kami ini saudara kembar. Pertanyaan ini menyenangkan hatiku, tapi tidak membuatku bangga; aku tidak memberikan komentar apa pun. Dua hari kemudian, dia membangunkanku di tengah malam untuk mengatakan bahwa kali ini dia benar-benar memimpikan impian yang ditulisnya kemarin. Mungkin memang benar, tetapi entah mengapa aku tidak peduli. Malam berikutnya, dia mengakui bahwa dia takut pada wabah itu.
Karena merasa tertekan dengan terus terkurung di dalam rumah, aku pergi ke jalanan saat menjelang senja. Tampak anak-anak memanjat pepohonan di taman dan meninggalkan sepatunya yang berwarna-warni di tanah; para wanita yang sedang mengobrol sambil mengantre di sumber air tidak lagi terdiam saat aku berjalan melewati mereka; pasar dipenuhi pembeli; tampak perkelahian di jalanan dan orang-orang berusaha melerainya, sementara yang lain asyik menonton. Aku berusaha meyakinkan diri bahwa wabah itu telah berakhir, tetapi ketika melihat beberapa peti mati digotong keluar dari halaman Masjid Be-yazit, aku langsung panik dan bergegas pulang. Ketika aku masuk ke kamar, Hoja berseru: "Kemarilah dan lihatlah ini." Dengan mengenakan kemeja yang tidak dikancingkan, dia menunjuk ke sebuah benjolan merah di bawah pusarnya. "Banyak sekali serangga berkeliaran." Aku mendekat dan mengamati dengan lebih saksama. Memang sebuah bintik merah, agak bengkak, seperti gigitan serangga, tapi mengapa dia menunjukkannya padaku" Aku takut mendekatkan wajahku lebih dekat lagi. "Gigitan serangga," ujarnya, "betul 'kan?" Dia menyentuh benjolan itu dengan
ujung jarinya. "Atau gigitan kutu?" Aku terdiam, tidak mengatakan bahwa aku belum pernah melihat bekas gigitan kutu seperti itu.
Aku mencari-cari alasan untuk tetap berada di taman sampai matahari terbenam. Aku menyadari bahwa aku tidak boleh tinggal di rumah ini lebih lama lagi, tetapi tidak tahu harus pergi ke mana. Dan, bintik itu memang terlihat seperti bekas gigitan serangga, tidak sejelas dan selebar benjolan akibat wabah. Tetapi, beberapa waktu kemudian, pikiranku berubah. Mungkin karena aku berjalan-jalan di taman di tengah-tengah tanaman yang sedang berbunga, sepertinya bintik merah itu akan membengkak dalam waktu dua hari berikutnya, terbuka seperti sekuntum bunga dan meletus, dan Hoja akan mati, dengan kesakitan. Aku berkata dalam hati bahwa mungkin bintik itu sebuah abses karena pencernaan, tetapi ah bukan, tampilannya seperti gigitan serangga. Rasanya saat itu aku kenal jenis serangga yang menggigitnya, pastilah salah satu jenis serangga terbang besar yang hidup di malam hari di daerah tropis, tetapi nama makhluk seperti bayangan hantu itu tidak juga mampu kuingat.
Ketika kami duduk untuk makan malam, Hoja mencoba berpura-pura gembira, bergurau, menggodaku,tetapi dia tidak bisa mempertahankan sikap ini terlalu lama. Kemudian, setelah kami menyelesaikan makan malam tanpa banyak bicara, dan malam yang sunyi dan tanpa embusan angin itu telah menjadi kelam, Hoja berkata, "Aku merasa tidak enak. Pikiranku terasa berat. Ayo kita duduk di meja dan mulai menulis." Tampaknya, inilah satu-satunya cara untuk mengalihkan perhatiannya.
Tetapi, dia tidak bisa menulis. Dia duduk terdiam mengamatiku dari sudut matanya sementara aku menulis
dengan tenangnya. "Apa yang kautulis?" Kubacakan betapa tidak sabarnya aku pulang ke rumah untuk berlibur, mengendarai kereta kuda, setelah tahun pertamaku di sekolah teknik. Tetapi, aku menyukai sekolah dan teman-temanku. Kubacakan betapa aku merindukan mereka ketika duduk sendirian di tepian sungai, membaca buku yang kubawa untuk mengisi liburan itu. Setelah hening sekejap, Hoja, yang seakan hendak membocorkan sebuah rahasia, tiba-tiba berbisik, "Apakah mereka selalu hidup bahagia di sana?" Kurasa dia langsung menyesali pertanyaannya, namun dia masih tetap menatapku dengan rasa penasaran yang kekanak-kanakan. Aku juga berbisik: "Aku bahagia sekali!" Guratan rasa iri terlihat melintas di wajahnya, namun tidak berbahaya. Dengan malu-malu, dan canggung, dia memaparkan ceritanya. TXI/PRC INI DI BUAT KARENA KECINTAAN SAYA MEMBACA NOVEL DI HP/PDA (ottoys@yahoo.com)
Ketika Hoja berumur dua belas tahun sewaktu tinggal di Edirne, ada suatu masa ketika dia sering pergi menemani ibu dan saudara perempuannya ke rumah sakit di dekat Masjid Bezayit untuk mengunjungi kakeknya yang mengidap penyakit perut. Pada pagi hari, ibunya menitipkan adik lakilakinya, yang masih terlalu muda untuk berjalan, di rumah tetangga, lalu membawa Hoja, saudara perempuannya, dan semangkuk puding yang sudah disiapkan sebelumnya, dan mereka pun berangkat. Perjalanan itu pendek, namun menyenangkan, menyusuri jalanan yang teduh dipayungi deretan pohon poplar. Lalu, kakeknya mendongeng pada mereka. Hoja menyenangi semua dongeng itu, tetapi lebih menyukai rumah sakit dan selalu berlari melintasi halaman dan lorong-lorongnya. Pada suatu kunjungan, dia mendengar alunan lagu sedang dimainkan untuk para pasien sakit jiwa, di bawah cahaya lampion di ruang kubah yang besar. Juga terdengar suara air,
air yang mengalir, dan dia berjalan melalui sejumlah kamar tempat menyimpan sejumlah botol dan guci yang berwarna-warni cemerlang. Pada suatu saat lainnya dia tersesat, mulai menangis, dan mereka membawanya ke setiap ruangan di seluruh rumah sakit sebelum akhirnya menemukan kamar kakeknya, Abdullah Efendi. Kadang ibunya menangis, kadang ibunya mendengarkan cerita lelaki tua itu bersama anak perempuannya. Lalu, mereka pulang sambil membawa mangkuk kosong yang dikembalikan kakek, tetapi sebelum mereka sampai ke rumah, ibunya selalu membelikan mereka hatva dan berbisik, Ayo kita makan sebelum ketahuan orang lain. Mereka pergi ke tempat persembunyian di dekat sungai di bawah pohon poplar, lalu ketiganya duduk dengan kaki berjuntai di dalam air, makan tanpa sepengetahuan orang lain.
Setelah Hoja selesai bercerita, ruangan menjadi hening, membuat kami berdua merasa canggung, tapi sekaligus juga membuat kami semakin akrab seperti layaknya kakak-beradik. Untuk beberapa saat lamanya Hoja tidak memedulikan ketegangan yang menggantung di udara. Lalu, setelah pintu besar di rumah tetangga dibanting menutup dengan kerasnya, dia berkata bahwa di saat itulah untuk pertama kalinya dia merasa tertarik pada ilmu pengetahuan, karena terinspirasi oleh para pasien dan botol serta guci yang berwarna-warni dan timbangan, yang dapat menyembuhkan mereka. Tapi, setelah kakeknya meninggal, mereka tidak pernah lagi ke tempat itu. Hoja selalu bermimpi bahwa dia akan tumbuh dewasa dan kembali ke situ sendirian, tetapi pada suatu tahun, Sungai Tunja yang mengalir melalui Edirne meluap tanpa ada peringatan sebelumnya, dan para pasien dipindahkan dari tempat tidurnya, semua ruangan dipenuhi air got yang
kotor dan keruh. Dan, ketika akhirnya air bah itu surut, rumah sakit tetap terkubur selama bertahun-tahun di bawah lumpur bau yang tidak bisa dibersihkan.
Ketika Hoja kembali terdiam, saat-saat keakraban kami pun menguap. Dia bangkit dari duduknya, dan dari ujung mataku tampak bayangannya mondar-mandir di dalam ruangan. Lalu, sambil mengambil pelita dari tengah meja, dia melangkah ke belakangku, sehingga aku tidak bisa melihatnya maupun bayangannya. Aku ingin membalikkan tubuh dan melihatnya, tetapi tidak melakukannya; seakan aku takut, takut melihat sesuatu yang berbau kejahatan. Sejenak kemudian, ketika mendengar suara baju yang dilepaskan, aku berbalik dengan perasaan gelisah. Dia sedang berdiri di hadapan cermin, telanjang dari pinggang ke atas, dengan berhati-hati mengamati dadanya dan tubuhnya di bawah terpaan cahaya pelita. "Ya Tuhan," ujarnya, "bisul apakah ini?" Aku tetap terdiam. "Ayo cepat lihat ini." Aku tidak bergerak. Dia berteriak, "Aku bilang ke sini!" Dengan perasaan takut, aku mendekatinya seperti seorang murid yang hendak dihukum.
Aku belum pernah berada begitu dekat dengan tubuhnya yang telanjang; aku tidak menyukainya. Pada mulanya, aku ingin bisa percaya bahwa inilah alasannya mengapa aku tidak sanggup mendekatinya, tetapi aku tahu bahwa aku takut pada bisulnya itu. Dia juga tahu. Namun, karena ingin menyembunyikan perasaan takut itu, aku mendekatkan kepala dan menggumamkan sesuatu, mataku menatap bagian yang membengkak itu, radang itu, seperti seorang dokter. "Kamu takut 'kan?" ujar Hoja pada akhirnya. Untuk membuktikan bahwa aku tidak takut, kudekatkan kepalaku semakin dekat. "Kamu takut bisul ini benjolan penyakit itu 'kan?" Aku berpura-pura
tidak mendengar kata-katanya, dan baru saja akan mengatakan bahwa ada serangga yang telah menggigitnya, mungkin serangga aneh yang sama yang pernah menggigitku dulu, entah di mana, tapi nama makhluk itu tetap saja tidak teringat olehku. "Sentuh, cepat!" ujar Hoja. "Tanpa menyentuhnya, bagaimana kamu bisa tahu" Sentuh aku!"
Ketika dilihatnya aku tidak mau menyentuhnya, dia tampak gembira. Dia mengulurkan jemarinya yang digunakannya untuk menyentuh bisul itu ke wajahku. Ketika melihatku melangkah mundur dengan muak, dia tertawa terbahak-bahak, mengejekku karena takut pada gigitan serangga biasa, tetapi kegembiraan itu tidak berlangsung lama. "Aku takut mati," ujarnya tiba-tiba. Dia seakan sedang membicarakan hal lain. Dia lebih tampak marah, bukan malu; mirip amarah orang yang telah dikhianati. "Kamu tidak punya bisul seperti ini" Kamu yakin" Ayo buka kemejamu sekarang juga." Karena dipaksa, aku membuka kemeja seperti seorang anak kecil yang tidak mau disuruh mandi. Ruangan itu terasa panas, semua jendela tertutup, tetapi embusan angin dingin bertiup entah dari mana; mungkin dinginnya cermin yang membuat tubuhku menggigil, entahlah. Karena malu dengan tubuhku, aku melangkah menjauhi bingkai cermin. Sekarang, kulihat wajah Hoja dipantulkan saat dia mendekatkan kepalanya ke bayangan tubuhku di cermin. Dia mendekatkan kepalanya yang besar yang dikatakan semua orang mirip dengan kepalaku ke arah tubuhku. Dia melakukan ini untuk meracuni semangatku, tiba-tiba pikiran itu melintas di benakku; tetapi, aku tidak pernah melakukan hal itu kepadanya. Justru sebaliknya, selama ini aku selalu merasa bangga telah menjadi gurunya. Walaupun tidak masuk
akal, sejenak aku yakin bahwa kepala berjanggut itu, yang tampak mengerikan di bayangan cahaya pelita, bermaksud hendak mengisap darahku! Rupanya aku begitu terpengaruh oleh berbagai cerita horor yang kugemari sewaktu kecil dulu. Sambil memikirkan ini, aku merasakan jarinya meraba perutku; rasanya aku ingin melarikan diri, ingin memukulkan sesuatu ke kepalanya.
"Kamu tidak punya bisul satu pun," ujarnya. Dia melangkah ke belakang tubuhku dan memeriksa ketiak, leher, belakang telingaku. "Di sini juga tidak ada, sepertinya serangga itu belum menggigitmu."
Sambil meletakkan tangannya di bahuku, dia melangkah maju dan berdiri di sampingku. Dia bertindak seakan teman lama yang telah mengetahui rahasiaku yang paling dirahasiakan. Sambil meremas tengkukku dari kedua sisi dengan jarinya, dia menarikku ke arahnya. "Ayo, mari kita becermin bersama-sama." Aku melihat ke cermin, dan di bawah sinar pelita yang redup kulihat kemiripan di antara kami berdua. Aku teringat betapa tercengangnya aku saat pertama kali melihatnya sewaktu menunggu di rumah Sadik Pasha. Saat itu aku melihat seseorang yang kukira pasti diriku; dan sekarang menurutku dia juga pastilah seseorang yang mirip denganku. Kami berdua adalah orang yang sama! Ini sepertinya adalah kenyataan yang sudah jelas adanya. Seakan aku terbelenggu dengan erat, tangan terikat, tidak mampu bergerak. Aku membuat gerakan untuk menyelamatkan diri, seakan untuk meyakinkan bahwa ini adalah diriku, Dengan cepat aku mengelus rambut. Tapi, dia meniru gerakanku dan melakukannya dengan begitu sempurna, tanpa mengganggu simetri bayangan di dalam cermin. Dia juga meniru penampilanku, gerakan kepala, meniru kengerian yang tidak sanggup
kulihat di dalam cermin. Tetapi, karena kaku oleh rasa takut, aku tidak bisa mengalihkan pandangan. Lalu, dia terlihat gembira seperti anak kecil yang menggoda temannya dengan meniru semua kata dan gerakannya. Dia berteriak bahwa kami akan mati bersamasama! Omong kosong, pikirku. Tapi, aku juga takut. Ini adalah malam yang paling mengerikan yang pernah kulalui bersamanya.
Lalu, dia mengatakan bahwa dia merasa takut pada wabah itu sejak dulu. Semua yang dilakukannya hanyalah untuk mengujiku, seperti saat dia mengamati para penjagal Sadik Pasha menuntunku untuk membunuhku atau saat orang-orang menganggap kami mirip satu sama lain. Lalu, dia mengatakan bahwa dia telah menggenggam jiwaku. Sama seperti saat sebelum dia meniru semua gerakanku, apa pun yang kupikirkan, dia mengetahuinya, dan apa pun yang kuketahui, dia sedang memikirkannya! Ketika dia bertanya apa yang sedang kupikirkan saat itu, aku tidak bisa memikirkan apa pun kecuali dirinya dan berkata bahwa aku tidak bisa memikirkan apa-apa, tapi dia tidak mendengarkanku. Dia berbicara bukan untuk mengetahui sesuatu, tapi hanya untuk menakut-nakutiku, untuk bermain-main dengan rasa takutnya sendiri, membuat aku ikut merasakan beban rasa takut tersebut. Aku merasa bahwa semakin dia merasakan kesepiannya, semakin besar keinginannya untuk mencelakakanku. Ketika dia menyentuhkan jarinya di wajah kami, saat dia mencoba menyihirku dengan horor berupa kemiripan kami dan dirinya tampak semakin bersemangat dan gelisah jika dibandingkan denganku, kurasa dia ingin melakukan sesuatu yang jahat. Aku berkata dalam hati bahwa dia tetap menahanku di depan cermin, mencengkeram tengkukku, karena dia tidak sanggup melakukan kejahatan ini secara
langsung, tapi dia sepertinya tidak terlihat gila ataupun tidak berdaya. Dia memang benar, aku juga ingin berkata dan melakukan semua hal yang dia katakan dan lakukan. Aku iri padanya karena dia bisa mengambil tindakan, sementara aku tidak bisa, karena dia bisa bermain-main dengan rasa takut pada wabah itu dan pada cermin.
Tapi, walaupun rasa takutku begitu kental, walaupun aku yakin bahwa aku baru saja melihat sesuatu tentang diriku yang belum pernah kusadari sebelumnya, entah bagaimana aku tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa semua ini hanyalah sebuah permainan belaka. Jarinya di leherku telah melemas sedikit, tetapi aku tidak melangkah keluar dari bingkai cermin. "Sekarang aku seperti dirimu," ujarnya. "Aku tahu semua yang kautakutkan. Aku telah menjadi dirimu". Aku mengerti apa yang dikatakannya, tetapi terus mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa ramalan ini, yang sebagian bisa kupastikan memang benar, sungguh konyol dan kekanak-kanakan. Dia mengatakan bisa melihat dunia ini seperti yang kulihat. "Mereka," katanya lagi, sekarang akhirnya dia bisa memahami pemikiran "mereka", bagaimana perasaan "mereka". Dengan membiarkan pandangannya menerawang ke balik cermin, dia terus mengoceh untuk beberapa lama, melihat sekilas ke bayangan di atas meja, gelas, kursi, dan berbagai benda yang diterangi oleh cahaya pelita. Dia berkata bahwa sekarang dia bisa mengatakan berbagai hal yang sebelumnya tidak bisa dikatakannya karena dulu dia belum mampu melihatnya, tetapi menurutku dia salah: semua kata-katanya sama, begitu pula berbagai bendanya. Satu-satunya yang baru hanyalah perasaan takutnya, tapi tidak, itu juga bukan. Yang baru adalah bentuk pengalaman takutnya. Tapi, bagiku, bahkan ini pun, yang
tidak bisa kujelaskan dengan tepat sekarang, adalah sesuatu yang diletakkannya di depan cermin, sebuah tipuan barunya. Dan, karena juga enggan menyingkirkan permainan ini, pikirannya seperti melayang kembali ke benjolan merah itu, mengajukan pertanyaan: apakah ini disebabkan oleh gigitan serangga atau tanda penyakit mematikan tersebut"
Dia berbicara beberapa saat lamanya, katanya dia ingin melanjutkan apa yang tadi kulakukan. Kami masih berdiri setengah telanjang di depan cermin. Dia akan menjadi diriku, dan aku menjadi dirinya, dan untuk bisa melakukannya, kami cukup bertukar pakaian dan dia mencukur janggutnya, sementara aku membiarkan janggutku tumbuh lebat. Pemikiran ini membuat kemiripan kami di cermin tampak lebih mengerikan. Perasaanku semakin tidak karuan ketika dia mengatakan bahwa aku akan membebaskan dia: dia bicara dengan penuh semangat tentang apa yang akan dilakukannya jika sudah kembali ke negeriku dengan menjadi diriku. Aku ngeri saat menyadari bahwa dia ingat semua hal yang telah kuceritakan padanya tentang masa kecil dan masa mudaku, sampai ke hal yang paling teperinci, dan dari berbagai perincian ini dia telah menciptakan sebuah negeri yang aneh dan fantastis menurut seleranya sendiri. Kehidupanku sekarang sudah di luar kendaliku, diarahkan sekehendak hatinya, dan aku merasa tidak ada yang bisa kulakukan, selain mengamati dengan pasif apa yang terjadi pada diriku dari kejauhan, seakan sedang bermimpi. Tetapi, perjalanan yang akan ditempuhnya untuk menuju ke negeriku sebagai diriku dan kehidupan yang akan dijalaninya di sana terasa aneh dan naif, sehingga aku tidak sepenuhnya memercayainya. Pada saat yang sama, aku tercengang oleh logika ber-
bagai rincian khayalannya: aku merasa seakan-akan aku pun mengatakan bahwa ini semua bisa saja terjadi, kehidupanku bisa saja terjadi seperti ini. Lalu, aku menyadari bahwa aku merasakan sesuatu yang lebih mengesankan tentang kehidupan Hoja untuk pertama kalinya, namun belum mampu mengungkapkan apakah hal itu. Sambil dengan penuh kebingungan mendengarkan apa yang akan kulakukan di kampung halaman yang kurindukan selama ini, aku hanya bisa melupakan rasa takut akan wabah tersebut. TXI/PRC INI DI BUAT KARENA KECINTAAN SAYA MEMBACA NOVEL DI HP/PDA (ottoys@yahoo.com)
Tapi, hal ini tidak berlangsung lama. Sekarang, Hoja menginginkan aku mengatakan apa yang akan kulakukan saat menjadi dirinya. Pikiranku sudah sangat lelah karena harus mempertahankan pose aneh seperti itu sedemikian lamanya, berusaha meyakini bahwa kami tidak mirip dan bahwa benjolan itu hanyalah gigitan serangga, sehingga tidak ada yang bisa kupikirkan sama sekali. Ketika dia terus memaksa, aku teringat bahwa aku pernah berencana untuk menuliskan berbagai kenanganku setelah pulang kampung. Ketika kukatakan bahwa pada suatu hari nanti aku mungkin akan membuat cerita bagus tentang petualangannya, dia menatapku sebal. Aku tidak mengenalnya sebaik dirinya mengenalku bahkan sebenarnya aku tidak mengenalnya sama sekali! Sambil mendorongku, dia berdiri sendirian di depan cermin: saat dia menjadi diriku, dia memutuskan apa saja yang akan terjadi padaku! Dia berkata bahwa bengkak itu adalah benjolan penyakit: aku akan mati. Dia menggambarkan betapa parahnya penderitaanku sebelum mati. Perasaan takut ini, yang tidak aku antisipasi karena aku tidak menyadari ini akan muncul, pasti akan lebih buruk daripada kematian. Selagi mengatakan bagaimana aku akan mati tersiksa akibat penyakit
Sepasang Ular Naga 21 Pendekar Bodoh 3 Setan Selaksa Wajah Kekayaan Yang Menyesatkan 3
^