Pencarian

Assasins Credd 1

Assasins Credd Karya Oliver Bowden Bagian 1


Sementara aku kira aku sedang belajar
bagaimana caranya hidup, aku sedang
belajar bagaimana caranya mati.
"Leonardo da Vinci Obor berpendar dan memercik tinggi di menara-menara
Palazzo Vecchio dan Bargello. Hanya sedikit lampion
berkilauan di lapangan katedral"sedikit ke utara. Beberapa
juga menyinari dermaga-dermaga di sepanjang tepi Sungai
Arno. Penduduk kota ini suka beristirahat di rumah begitu
malam tiba. Meskipun sudah larut, sedikit pelaut dan buruh
pelabuhan masih dapat terlihat menembus kesuraman.
Beberapa di antara pelaut, masih berada di kapal dan perahu.
Mereka tampak tergesa-gesa untuk membuat perbaikan akhir
dan menyiapkan atau menggulung tambang dengan rapi di
geladak-geladak yang gelap dan berantakan. Sementara itu,
para buruh cepat-cepat menyeret kargo ke gudang-gudang
terdekat supaya aman. Lampu juga berkelip di rumah minum dan rumah bordil,
tapi sangat sedikit orang yang melewati jalanan. Sudah tujuh
tahun sejak Lorenzo de" Medici"yang waktu itu berusia dua
puluh tahun"terpilih memimpin kota itu. Setidaknya, dia
membawa keteraturan dan ketenangan di antara perbankan
internasional terdepan dan keluarga-keluarga pedagang dalam
persaingan ketatnya, yang telah membuat Florence menjadi
salah satu kota terkaya di dunia. Meskipun demikian, kota
itu tidak pernah berhenti berkilau, dan sesekali meluap,
sebagaimana setiap pecahannya berjuang untuk memegang
kendali. Beberapa di antara mereka berganti sekutu, beberapa
lainnya tetap menjadi musuh bebuyutan.
Pada Tahun Tuan Kami 1476, bahkan pada malam
berharum manis melati di musim semi, di mana mereka
hampir bisa melupakan bau pekat dari Arno kalau angin
mengarah ke kota, Florence bukanlah tempat teraman untuk
berkeliaran"setelah matahari terbenam.
Bulan telah timbul di langit yang kini berwarna biru
kelabu, merajai sejumlah besar bintang pengunjung. Cahayanya
jatuh ke lapangan terbuka itu, di mana Ponte Vecchio"toko"tokonya yang padat dan sudah hening"bergabung dengan
tepi utara sungai itu. Cahayanya juga menemukan sebuah
sosok berpakaian hitam, berdiri di atap gereja Santo Stefano
al Ponte. Itu seorang pria muda, baru tujuh belas tahun, tapi
tinggi dan bangga. Dia meninjau lingkungan di bawahnya
dengan tajam, lalu meletakkan sebelah tangannya dan bersiul
pelan tapi menusuk. Sebagai tanggapan siulannya ada satu,
lalu tiga, lalu selusin, kemudian setidaknya dua puluh pria
yang pemuda itu dapat hitung. Semuanya muda seperti dia
sendiri, kebanyakan di antara mereka juga mengenakan pakaian
hitam, beberapa mengenakan merah darah atau hijau. Ada
juga yang mengenakan topi atau mantel bertudung runcing
berwarna biru langit. Semuanya membawa pedang dan belati
di ikat pinggang mereka. Mereka muncul dari jalan-jalan
dan gang-gang yang gelap ke lapangan. Geng pemuda yang
kelihatan berbahaya ini menyebar. Ada keyakinan yang
sombong di dalam gerakan-gerakan mereka.
Pemuda itu menatap ke wajah-wajah yang bersemangat,
pucat di bawah cahaya bulan, memandanginya. Dia meng"angkat kepalannya ke atas kepala dengan penyambutan
yang membangkang. "Kita bangkit bersama!" dia berteriak saat mereka
juga mengangkat kepalan tangan mereka, beberapa juga
menarik senjata mereka dan mengayunkannya, lalu berteriak,
"Bersama!" Seperti kucing, pemuda itu dengan cepat menuruni
bagian depan gedung dari atap menuju tiang-tiang gereja.
Dari situ dia melompat, sehingga jubahnya melayang,
lalu mendarat dengan posisi merunduk, dengan aman di
tengah-tengah mereka. Mereka berkumpul bersama, dengan
penuh harapan. "Diamlah, teman-temanku!" Dia mengangkat sebelah
tangan untuk menghentikan seruan terakhir. Dia tersenyum
muram. "Tahukah kalian kenapa aku memanggil kalian
sebagai sekutu terdekatku, ke sini malam ini" Untuk meminta
bantuan kalian. Sudah terlalu lama aku diam saja sementara
musuh kita, kalian tahu siapa maksudku, Vieri de" Pazzi,
telah berkeliaran di kota ini sambil memfitnah keluargaku,
menyeret nama kita ke dalam lumpur, dan mencoba dengan
caranya yang menyedihkan untuk merendahkan kita. Biasanya,
aku tidak akan membungkuk kepada anjing kudisan seperti
itu, tapi?" Perkataannya itu disela oleh sebuah lemparan batu besar
tajam dari arah jembatan, dan mendarat di kakinya.
"Cukup omong kosongmu, Grullo," sebuah suara
memanggil. Pemuda itu berbalik bersamaan dengan kelompoknya
ke arah suara itu. Dia sudah mengetahui itu suara siapa.
Satu geng pemuda lainnya sedang mendekat, menyeberangi
jembatan dari sisi selatan jembatan. Pemimpinnya berjalan
dengan angkuh, berjubah merah, ditahan dengan jepitan
terhubung dengan alat lumba-lumba keemasan pada latar
biru, di atas setelan beludru gelapnya, tangannya berada pada
ujung pedangnya. Dia adalah pria tampan, penampilannya
dirusak oleh mulut yang kejam dan dagu yang lemah.
Meskipun dia agak gemuk, tidak ada keraguan atas kekuatan
di lengan dan kakinya. "Bueno sera, Vieri," pemuda itu berkata dengan sama
angkuhnya. "Kami baru saja membicarakanmu." Dia pun
membungkuk dengan kesopanan yang berlebihan, sambil
berpura-pura terkejut. "Tapi kau harus memaafkan kami.
Kami tidak menduga kau akan datang secara pribadi. Aku
pikir Pazzi selalu membayar orang lain untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan kotor mereka."
Vieri mendekat, berdiri tegak saat dia dan pasukannya
berhenti sejauh beberapa meter. "Ezio Auditore! Dasar kau
anak anjing manja! Memang keluargamu yang tukang
corat-coret kertas dan akuntan yang selalu mengadu kepada
para pengawal setiap kali ada tanda masalah yang sekecil
apa pun. Codardo!" Dia mencengkeram pangkal pedangnya.
"Takut untuk mengatasi masalahku sendiri, katamu."
"Yah, aku bisa berkata apa, Vieri, ciccione. Kali terakhir
aku melihatnya, saudarimu Viola tampak sangat puas dengan
"pegangan" aku." Ezio Auditore menyeringai lebar kepada
musuhnya, puas mendengar kawanannya terkekeh-kekeh dan
bersorak di belakangnya. Tapi dia tahu bahwa dia sudah keterlaluan. Wajah Vieri
sudah berubah ungu karena amarah. "Itu sudah cukup darimu,
Ezio, dasar "kelamin kecil"! Mari kita lihat apakah kau bisa
berkelahi sehebat ocehanmu!" Dia memalingkan kepalanya
kepada orang-orangnya, dan mengangkat pedangnya. "Bunuh
para bajingan ini!" dia mengaum.
Langsung saja batu lain berputar-putar menembus udara,
tapi kali ini tidak dilemparkan sebagai tantangan. Batu ini
sekilas memantul di dahinya, melukai kulit dan meneteskan
darah. Ketika badai batu beterbangan dari tangan para
pengikut Vieri, Ezio tersentak sejenak. Orang-orangnya
sendiri hampir tidak punya waktu untuk berkumpul sebelum
geng Pazzi sampai kepada mereka, bergerak cepat melintasi
jembatan menghampiri Ezio dan orang-orangnya. Dengan
segera, pertarungan itu begitu dekat dan cepat, sehingga
hampir tidak ada waktu untuk menarik pedang, bahkan
10 belati sekali pun, sehingga kedua geng itu saling berhadapan
dengan kepalan tinju mereka.
Pertarungan itu keras dan kejam. Ada tendangan
dan hantaman bengis terhubung dengan suara tulang
yang terkunyah"memuakkan. Sesaat kesannya mereka
imbang, lalu Ezio"yang penglihatannya agak samar akibat
aliran darah dari dahinya"melihat dua dari orang-orang
terbaiknya tersandung dan jatuh, diinjak oleh para Pazzi.
Vieri tertawa, mendekati Ezio, dan mengayunkan pedang
ke kepalanya. Tangannya menggenggam sebuah batu berat.
Ezio berjongkok sehingga ayunan itu melebar, tapi terlalu
dekat untuk dianggap aman, dan sekarang bagian Auditore
sudah mencapai titik terparah. Sebelum dia bisa berdiri, Ezio
berhasil merenggut belatinya dan mengiris dengan liar. Ia
berhasil mengenai paha Pazzi yang besar dan terlatih itu.
Pazzi berada di atasnya dengan pedang dan belati terhunus.
Belati Ezio merobek kain, sampai ke otot dan daging, lalu
Pazzi mengeluarkan raungan kesakitan dan mundur. Dia
menjatuhkan senjatanya, dan ketika darah tersembur keluar,
ia mencengkeram lukanya dengan kedua tangannya.
Ezio merangkak dengan susah payah untuk berdiri, lalu
memandang sekelilingnya. Dia dapat melihat bahwa Pazzi
telah dikelilingi orang-orangnya, mengunci mereka ke dinding
gereja. Karena merasa kekuatan kembali ke kakinya, Ezio
maju menghampiri orang-orangnya. Setelah menunduk untuk
mengelak dari sabetan pedang seorang kaki tangan Pazzi,
dia berhasil mendaratkan tinjunya tepat pada rahang pria
pendek itu. Ezio puas melihat gigi-gigi anak buah Pazzi itu
11 rontok, dan si mantan calon penyerang itu jatuh berlutut,
terkejut akibat pukulan itu. Ezio berteriak kepada orang"orangnya sendiri, untuk membangkitkan semangat mereka.
Sebenarnya pikiran Ezio berubah untuk mundur dengan
sebanyak mungkin harga diri. Di dalam perkelahian itu, dia
mendengar suara riang yang sangat keras dan akrab. Suara
itu memanggilnya dari belakang gerombolan Pazzi.
"Hei, Fratellino, kau ini sedang apa?"
Jantung Ezio berdetak lega, dan dia berhasil berkata
dengan terengah-tengah, "Hei, Federico! Sedang apa kau
di sini" Aku kira kau sedang berada di atap rumah seperti
biasanya!" "Omong kosong! Aku tahu kau sedang merencanakan
sesuatu, dan aku pikir sebaiknya aku pergi melihat apakah
adik kecilku akhirnya belajar cara menjaga dirinya sendiri.
Tapi mungkin kau butuh sedikit pelajaran!"
Federico Auditore"beberapa tahun lebih tua dari
Ezio"adalah yang tertua di antara Auditore bersaudara,
ia seorang pria besar dengan nafsu yang juga besar untuk
minuman, cinta, dan perkelahian. Federico menyerang dengan
gencar bahkan sambil berbicara, menjatuhkan dua kepala
Pazzi bersamaan dan mengangkat kakinya untuk menendang
rahang Pazzi ketiga saat melangkah menembus kerumunan
untuk berdiri bersisian dengan saudaranya, tampak tidak
terpengaruh dengan kekerasan yang mengelilinginya. Di sekitar
mereka, orang-orang mereka sendiri, menjadi bersemangat
dan menggandakan upaya mereka. Geng Pazzi, di sisi lain,
menjadi bingung. Beberapa di antara tangan-tangan galangan
12 kapal itu telah berkumpul di jarak aman untuk menonton,
dan di cahaya setengah-setengah itu Pazzi salah mengira
mereka sebagai bantuan untuk Auditore. Itu dan raungan
Federico dan tinju-tinju yang melayang, tindakan-tindakannya
segera disaingi oleh Ezio, yang besar dan cepat, membuat
mereka sangat panik. Suara Vieri de" Pazzi yang marah membubung di atas
kegemparan yang tidak teruraikan itu. "Mundur!" dia
memanggil orang-orangnya. Suaranya pecah akibat amarah
dan usaha keras. Dia menatap mata Ezio dan menggeramkan
ancaman yang tak terdengar sebelum menghilang ke dalam
kegelapan, kembali menyeberangi Ponte Vecchio, diikuti
oleh orang-orangnya yang masih bisa berjalan, dan dengan
sengit dikejar oleh para sekutu Ezio yang sekarang merasa
menang. Ezio hendak mengikuti mereka, tapi tangan kakaknya
yang kekar menahannya. "Tunggu dulu," kata Federico.
"Apa maksudmu" Kita harus mengejar mereka!"
"Kendalikan dirimu." Federico mengerutkan dahinya.
Dengan lembut dia menyentuh luka di alis Ezio.
"Ini cuma goresan."
"Ini lebih dari itu," kakaknya memutuskan. Wajahnya
serius. "Sebaiknya kita membawamu ke dokter."
Ezio meludah. "Aku tidak bisa buang-buang waktu
untuk berlari ke dokter. Lagi pula?" Dia berhenti dengan
penuh sesal. "Aku belum punya uang."
13 "Hah! Dibuang-buang untuk perempuan dan anggur, aku
tebak." Federico menyeringai, dan menepuk bahu adiknya
dengan hangat. "Tidak dibuang-buang, kataku. Lihat saja contoh
yang kau berikan." Ezio menyeringai, tapi lalu ragu-ragu.
Mendadak dia sadar bahwa kepalanya berdenyut-denyut.
"Tetap saja, tidak ada salahnya untuk diperiksa. Aku rasa
kau tidak bisa meminjamiku beberapa fiorini?"
Federico menepuk dompetnya. Tidak ada bunyinya.
"Kenyataannya, uangku sendiri agak tipis sekarang,"
katanya. Ezio menyeringai atas kebodohan kakaknya. "Jadi,
kau sudah membuang-buangnya untuk apa" Misa dan
Pengampunan Dosa?" Federico tertawa. "Baiklah. Aku tahu maksudmu." Dia
melihat sekeliling. Pada akhirnya, hanya tiga atau empat dari
orang mereka yang telah terluka cukup parah untuk tetap
berada di situ. Mereka sedang duduk, mengerang sedikit,
tapi menyeringai juga. Itu memang serangan yang keras, tapi
tidak ada yang tulangnya patah. Di sisi lain, setengah lusin
kaki tangan Pazzi berbaring tidak sadarkan diri, dan satu
atau dua di antara mereka setidaknya berpakaian mahal.
"Mari kita lihat apakah musuh-musuh kita yang sudah
jatuh ini punya harta yang bisa dibagi," Federico menyarankan.
"Bagaimanapun juga, kita lebih butuh daripada mereka,
dan aku berani bertaruh kalian bisa meringankan beban
mereka tanpa membangunkan mereka!"
14 "Kita lihat saja," kata Ezio, lalu melaksanakannya dengan
cukup berhasil. Sebelum beberapa menit berlalu, dia telah
memanen cukup koin emas untuk mengisi dompet-dompet
mereka sendiri. Ezio menoleh kepada kakaknya dengan
penuh kemenangan dan menggoyangkan kekayaan barunya
untuk menekankan hal itu.
"Cukup!" Federico berteriak. "Sebaiknya sisakan sedikit
supaya mereka bisa pulang dengan terpincang-pincang.
Bagaimanapun juga, kita bukan pencuri. Ini cuma rampasan


Assasins Credd Karya Oliver Bowden di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perang. Aku juga masih tidak suka luka itu. Kita harus
lebih cepat memeriksakannya ke dokter."
Ezio mengangguk, dan berpaling untuk meninjau lahan
kemenangan Auditore untuk terakhir kalinya. Dengan
kehilangan kesabaran, Federico meletakkan sebelah tangannya
di bahu adiknya. "Ayo," katanya. Tanpa basa-basi lagi,
dia mulai melangkah sehingga Ezio yang kelelahan akibat
perkelahian jadi kesulitan untuk mempertahankan jarak,
meskipun ketika dia sudah tertinggal terlalu jauh, Federico
akan berhenti, atau kembali ke belakang untuk menyejajari
adiknya. "Maaf, Ezio. Aku hanya ingin kita sampai ke
medico secepat mungkin."
Memang tempat itu tidak jauh, tapi Ezio sangat kelelahan.
Akhirnya mereka mencapai ruangan berbayang-bayang itu,
dihiasi dengan alat-alat dan botol-botol misterius yang terbuat
dari kuningan atau kaca, berjajar di sepanjang meja kayu
oak yang gelap dan bergantungan dari langi-langit bersama
serangkaian tanaman obat yang telah dikeringkan, di mana
15 dokter keluarga mereka itu melakukan pembedahannya. Hanya
itu yang bisa dilakukan oleh Ezio untuk tetap berdiri.
Dottore Crese paling tidak senang dibangunkan pada
tengah malam, tapi sikapnya berubah menjadi cemas begitu
lilin yang dibawanya cukup dekat untuk memeriksa luka
Ezio secara saksama. "Hmmm," dia berkata dengan serius.
"Kau sudah cukup mengacaukan dirimu kali ini, anak muda.
Tidak bisakah kalian memikirkan sesuatu yang lebih baik
untuk dilakukan daripada saling memukuli?"
"Ini masalah harga diri, dokter yang baik," Federico
menyela. "Begitu," kata dokter itu dengan tenang.
"Ini luka kecil," kata Ezio meskipun dia merasa
lemas. Federico, seperti biasanya menyembunyikan rasa cemas
di balik humor, berkata, "Tolong tambal dia sebisa mungkin,
kawan. Wajah kecilnya yang tampan ini satu-satunya kekayaan
yang dia punya." "Hei, fottiti!" Ezio membalas, menunjukkan sebuah jari
kepada kakaknya. Dokter itu tidak mengindahkan mereka. Dia mencuci
tangan, memeriksa luka itu dengan lembut, lalu menuangkan
cairan jernih dari salah satu botolnya ke sehelai kain linen. Dia
mengoles luka itu dengannya, dan rasanya sangat menyengat
sehingga Ezio hampir melompat dari kursinya, wajahnya
mengerut karena kesakitan. Kemudian sang dokter"merasa
puas karena luka itu sudah bersih"mengambil sebuah jarum
dan memasukkan benang dari usus sapi yang halus.
16 "Sekarang," katanya. "Ini akan benar-benar sakit...
sedikit." Begitu jahitannya selesai dan lukanya diperban, sehingga
Ezio kelihatan seperti orang Turki yang mengenakan sorban,
dokter itu tersenyum untuk mendukungnya. "Harganya tiga
fiorini, sekarang. Aku akan datang ke palazzo kalian beberapa
hari lagi untuk membuang jahitan itu. Artinya kalian harus
membayarku tiga fiorini lagi. Kau akan merasakan sakit
kepala yang parah, tapi akan berlalu. Cobalah beristirahat,
kalau memang sudah sifatmu! Jangan khawatir. Luka itu
kelihatan lebih parah daripada sebenarnya, dan bahkan ada
bonus. Bekas lukanya tidak akan besar, jadi kau tidak akan
terlalu mengecewakan para wanita nanti!"
Begitu mereka kembali ke jalanan, Federico merangkul
adiknya. Dia menarik sebuah botol dan menawarkannya
kepada Ezio. "Jangan khawatir," katanya saat memperhatikan
raut muka Ezio. "Ini anggur terbaik ayah kita. Lebih
baik daripada susu ibu bagi seorang pria dengan kondisi
sepertimu." Mereka berdua minum, merasakan cairan hangat
yang membara itu. "Malam yang menyenangkan," kata
Federico. "Memang. Aku hanya berharap semuanya sama
menyenangkannya dengan?" tapi Ezio menyela dirinya
sendiri saat dia melihat bahwa kakaknya mulai menyeringai
sangat lebar. "Oh, tunggu!" dia memperbaiki kata-katanya
sendiri sambil tertawa. "Memang sangat menyenangkan!"
17 "Meskipun demikian, aku rasa sedikit makan minum
tidak akan buruk untuk memperbaiki dirimu sebelum kita
pulang," kata Federico. "Ini sudah larut, aku tahu, tapi ada
kedai minum di dekat sini yang buka sampai jam sarapan,
dan?" "Kau dan oste-nya amici intimi?"
"Bagaimana kau bisa menebaknya?"
Sekitar satu jam kemudian, setelah menyantap ribollita
dan bistecca, lalu ditutup dengan sebotol Brunello, Ezio
merasa tidak terluka sama sekali. Dia muda dan segar,
dan ia merasa bahwa energinya yang hilang telah mengalir
kembali ke dalam dirinya. Adrenalin kemenangan atas
gerombolan Pazzi jelas berperan dalam kesembuhannya
yang cepat ini. "Waktunya pulang, adik kecil," kata Federico. "Ayah
pasti bertanya-tanya kita ada di mana, dan kaulah yang
dia cari untuk membantunya di bank. Untung bagiku, aku
tidak cukup pintar untuk berhitung, aku kira Ayah tidak
sabar untuk menyuruhku terjun ke politik!"
"Politik atau sirkus, tergantung caramu
membawanya." "Apa bedanya?" Ezio tahu bahwa Federico tidak keberatan sama sekali
atas fakta bahwa ayah mereka lebih memercayakan bisnis
keluarga kepadanya daripada kakaknya. Federico pasti mati
bosan kalau dihadapkan pada hidup di dalam perbankan.
Masalahnya, Ezio merasa bahwa mungkin dia akan merasa
demikian juga. Tapi untuk saat ini, hari di mana dia
18 mengenakan setelan beludru hitam dan rantai emas bankir
Florence masih jauh, dan dia memutuskan untuk menikmati
hari-harinya yang bebas dan tanpa tanggung jawab sampai
puas. Dia tidak menyadari seberapa singkatnya hari-hari
itu. "Sebaiknya kita juga bergegas," kata Federico, "kalau
kita ingin menghindari masalah."
"Mungkin Ayah khawatir."
"Tidak. Ayah tahu kita bisa menjaga diri sendiri."
Federico menatap Ezio dengan penuh perhitungan. "Tapi
sebaiknya kita bergerak." Dia berhenti. "Kau tidak sedang
ingin bertaruh, kan" Untuk balapan mungkin?"
"Ke mana?" "Sebut saja," Federico memandang melintasi kota yang
diterangi cahaya bulan ke menara yang tidak jauh di sana.
"Atap Santa Trinit". Tidak akan membuatmu terlalu lelah, dan
tidak jauh dari rumah. Tapi hanya ada satu hal lagi."
"Ya?" "Kita tidak balapan di sepanjang jalanan, tapi di atas
atap." Ezio menarik napas panjang. "OKE. Coba saja,"
katanya. "Baiklah, tartaruga kecil" Maju!"
Tanpa bicara lagi, Federico melaju, memanjat tembok
terdekat dengan semudah kadal. Dia berhenti di puncak,
tampak hampir menyeimbangkan diri di antara genting"genting merah, tertawa, lalu melaju lagi. Pada saat Ezio
telah mencapai atap, kakaknya sudah hampir 20 meter
19 lebih jauh. Ezio melaju untuk mengejarnya, rasa sakitnya
terlupakan di dalam kesenangan yang dibahanbakari adrealin
dalam pengejaran tersebut. Kemudian dia melihat Federico
membuat lompatan besar menyeberangi jeda yang hitam
pekat, lalu mendarat dengan ringan di atap datar sebuah
palazzo abu-abu sedikit di bawah tingkat palazzo tempat
asal dia melompat. Kakaknya itu berlari lebih jauh lagi, lalu
menunggu. Ezio merasakan sepercik rasa takut ketika ngarai
jalanan delapan tingkat di bawahnya membayang di depan
matanya, tapi dia tahu bahwa lebih baik dia mati daripada
ragu-ragu di depan kakaknya. Maka dia mengumpulkan
keberaniannya, lalu mengambil lompatan besar dengan
yakin. Dia melihat aspal granit diterangi cahaya bulan jauh
di bawah kakinya, saat ia melayang menyeberang di udara.
Untuk sepersekian detik dia bertanya-tanya apakah dia telah
menilainya dengan tepat, saat dinding abu-abu yang keras
tampak membukit di hadapannya. Tapi kemudian, entah
bagaimana tenggelam di bawahnya dan dia berada di atas
atap baru, memang sedikit membungkuk, tapi masih berdiri,
dan merasa bangga, meskipun terengah-engah.
"Adik bayi masih harus banyak belajar," ejek Federico.
Dia melaju lagi, menjadi bayangan yang melesat di antara
tumpukan cerobong asap di bawah awan-awan yang
bertebaran. Ezio melemparkan dirinya ke depan, hilang
di tengah keliaran momen tersebut. Jurang-jurang lainnya
membuka lebar di bawahnya, beberapa membatasi lorong
sempit, yang lainnya jalan raya yang terbuka ke dua arah.
Federico tidak tampak lagi. Mendadak menara Santa Trinit"
20 menjulang di hadapannya, terbit dari sapuan merah atap
gereja yang atapnya menjulang dengan lembut. Tapi saat dia
mendekat, dia teringat bahwa gereja itu berdiri di tengah-tengah
lapangan, dan bahwa jarak di antara atap dan gedung-gedung
sekitarnya jauh lebih besar daripada yang telah dia lompati.
Tapi Ezio tidak berani untuk ragu-ragu atau mengurangi
kecepatannya sekarang. Satu-satunya harapan adalah atap
gereja itu lebih rendah daripada atap yang akan dia pakai
untuk melompat. Kalau dia bisa melemparkan dirinya ke
depan dengan gaya dorong yang cukup, lalu benar-benar
meluncurkan dirinya ke udara, gravitasi akan melakukan
sisanya. Dalam satu atau dua detik, dia akan terbang seperti
burung. Dia mendorong pikiran apa pun tentang akibat
yang akan timbul kalau dia gagal.
Pinggiran atap yang sedang dia pijaki mendekat dengan
cepat, kemudian" tidak ada apa-apa. Dia melompat,
mendengarkan udara bersiul di telinganya, membuat air
matanya menggenang. Atap gereja itu tampak berjarak tak
terhingga. Dia tidak akan pernah mencapainya. Dia tidak
akan pernah tertawa atau berkelahi atau memeluk wanita
lagi. Dia tidak akan bisa bernapas. Dia menutup matanya,
lalu" Tubuhnya membengkok jadi dua, dia menstabilkan
tubuhnya dengan tangan dan kaki, tapi keduanya ditopang
lagi. Dia telah berhasil melakukannya, hanya beberapa
sentimeter dari pinggiran, tapi dia telah berhasil sampai di
atap gereja! 21 Tapi di mana Federico" Dia memanjat dengan susah
payah ke kaki menara dan berbalik untuk melihat jalan
yang telah dilaluinya, tepat untuk melihat kakaknya melayang
menembus udara sendiri. Federico mendarat dengan tegas,
tapi berat tubuhnya mengirim satu atau dua genting yang
terbuat dari tanah liat merah tergelincir dari tempatnya. Dia
hampir kehilangan pijakannya saat genting-genting itu meluncur
dari atap dan terlepas dari pinggiran, hancur beberapa detik
kemudian di kerikil yang keras jauh di bawah sana. Tapi
Federico telah menemukan keseimbangannya lagi, lalu dia
berdiri, pastinya terengah-engah, tapi dengan senyum yang
lebar dan bangga di wajahnya.
"Bukan tartaruga ya," katanya saat dia datang dan
menepuk bahu Ezio. "Kau melewatiku seperti kilat yang
licin." "Aku bahkan tidak tahu kalau aku sudah melewatimu,"
kata Ezio singkat sambil berusaha mengatur napasnya.
"Yah, kau tidak akan dapat mengalahkanku sampai
ke puncak menara," jawab Federico dengan pedas. Dia
mendorong Ezio ke samping, lalu mulai memanjat menara
yang pendek gemuk itu yang sedang dipertimbangkan
oleh para pastor untuk diganti dengan desain yang lebih
modern. Kali ini Federico sampai duluan, dan bahkan harus
mengulurkan tangannya kepada adiknya yang terluka, yang
mulai merasa bahwa tempat tidur pasti terasa enak. Mereka
berdua kehabisan napas, dan berdiri sampai mengumpulkan
tenaga lagi untuk melihat kota mereka, tenang dan hening
di mentari fajar yang cahayanya seperti tiram.
22 "Kita hidup enak, Dik," kata Federico dengan kekhidmatan
yang tidak khas. "Yang terbaik," Ezio setuju. "Dan semoga tidak pernah
berubah." Mereka berdua berhenti. Tidak ada yang ingin memecah"kan momen yang sempurna tersebut. Tapi setelah beberapa
saat, Federico berbicara pelan. "Semoga kita tidak pernah
berubah juga, gratellino. Ayo, kita harus kembali. Ada atap
palazzo kita. Berdoalah pada Tuhan, semoga Bapak tidak
terjaga sepanjang malam, atau kita benar-benar dihabisi.
Ayo pergi." Dia ke pinggiran menara untuk memanjat turun ke
atap, tapi berhenti ketika melihat Ezio tetap pada tempatnya.
"Apa?" tanya Federico.
"Tunggu sebentar."
"Kau sedang memandangi apa?" tanya Federico, bergabung
dengannya. Dia mengikuti pandangan Ezio, lalu menyeringai.
"Dasar setan licik! Kau tidak ingin turun ke sana sekarang,
kan" Biarkan gadis malang itu tidur!"
"Tidak" Aku rasa ini waktunya Cristina bangun."
Ezio telah bertemu dengan Cristina Calfucci sebelumnya
hanya untuk waktu yang singkat, tapi mereka sudah
tampak tidak terpisahkan, meskipun orangtua mereka masih
mempertimbangkan bahwa mereka terlalu muda untuk
membentuk ikatan serius. Ezio tidak setuju, tapi Cristina
baru tujuh belas dan orangtua gadis itu mengharapkan
23 Ezio untuk mengendalikan kebiasaan-kebiasaannya yang liar
terlebih dulu, sebelum mereka bisa mulai memandangnya
dengan lebih baik. Tentu saja, ini hanya membuat Ezio
semakin menjadi-jadi. Federico dan Ezio waktu itu sedang bersantai-santai di


Assasins Credd Karya Oliver Bowden di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pasar setelah membeli beberapa hiasan mainan untuk adik
perempuan mereka pada Hari Orang Suci, melihat gadis-gadis
cantik kota itu bersama accompagnatrice mereka saat mereka
melintas dari kedai satu ke kedai lainnya, melihat-lihat renda
di sini, pita dan gulungan sutra di sana. Tapi seorang gadis
tampak mencolok dari kawan-kawannya, lebih cantik dan
anggun daripada siapa pun yang pernah dilihat oleh Ezio
sebelumnya. Ezio tidak akan pernah melupakan hari itu,
hari disaat dia melihat gadis itu untuk pertama kalinya.
"Oh," Ezio ternganga di luar kemauannya. "Lihat! Dia
cantik sekali." "Yah," kata kakaknya yang selalu praktis. "Kenapa kau
tidak menghampirinya dan menyapanya?"
"Apa?" Ezio terkejut. "Nanti setelah aku bilang halo,
apa lanjutannya?" "Yah, kau bisa mencoba mengobrol dengannya. Apa
yang kau suka, apa yang dia suka. Tidak masalah. Lihat,
adik kecil, kebanyakan laki-laki takut pada gadis-gadis
cantik. Dan siapa pun yang benar-benar mengumpulkan
keberanian untuk mengobrol langsung mendapatkan posisi
yang lebih menguntungkan. Apa" Kalau mereka tidak ingin
diperhatikan, mereka tidak ingin sedikit mengobrol dengan
seorang pria" Tentu saja mereka mau! Omong-omong, kau
24 tidak jelek, dan kau seorang Auditore. Jadi majulah. Aku
akan membuat teman-temannya sibuk. Kalau dipikir-pikir,
gadis itu juga tidak jelek."
Ezio teringat bagaimana ia ditinggalkan sendirian
bersama Cristina, dia terpaku ke tanah, kehilangan kata-kata,
menenggak kecantikan lewat mata gadis itu yang gelap,
rambutnya yang panjang dan berwarna cokelat kemerahan,
hidungnya yang mencuat"
Gadis itu memandangi Ezio. "Ada apa?" ia bertanya.
"Apa maksudmu?" Ezio menyemburkan kata-katanya.
"Kenapa kau cuma berdiri di situ?"
"Oh" ehm" karena aku ingin menanyaimu
sesuatu." "Mau tanya apa?"
"Siapa namamu?"
Gadis itu pun memutar bola matanya. Sial, pikir Ezio,
gadis itu sudah mendengarnya. "Tidak akan ada gunanya,"
kata gadis itu. Ia pun berlalu. Ezio memandanginya beberapa
saat, lalu menyusulnya. "Tunggu!" kata Ezio sambil mengejar Cristina, ia merasa
lebih kehabisan napas daripada kalau dia baru berlari satu
mil. "Tadi aku tidak siap. Aku tidak berencana untuk
sok ganteng. Dan sopan! Dan cerdas! Tidak maukah kau
memberiku kesempatan kedua?"
Gadis itu menoleh kepada Ezio tanpa menghentikan
langkahnya, tapi ia memberi pemuda itu senyum yang paling
tipis. Ezio sudah putus asa, tapi Federico memperhatikannya
dari tadi dan memanggilnya dengan pelan, "Jangan menyerah
25 sekarang! Aku lihat ia tersenyum kepadamu! Ia akan
mengingatmu." Dengan mengumpulkan perasaan, Ezio mengikutinya.
Dengan hati-hati, Ezio berusaha supaya gadis itu tidak
menyadarinya. Tiga atau empat kali Ezio harus bergerak
cepat ke belakang kedai pasar, atau setelah ia meninggalkan
lapangan, menunduk masuk ke ambang pintu, tapi dia berhasil
mengikutinya dengan cukup sukses sampai ke depan pintu
rumah mansion keluarganya, di mana seorang pria yang dia
kenal telah menghalangi jalan gadis itu. Ezio mundur.
Cristina memandangi pria itu dengan marah. "Aku
sudah memberitahumu sebelumnya, Vieri. Aku tidak tertarik
kepadamu. Sekarang, biarkan aku lewat."
Ezio yang sedang bersembunyi, menarik napas. Vieri
de" Pazzi! Tentu saja!
"Tapi signorina, aku tertarik. Sangat tertarik, sesung"guhnya," kata Vieri.
"Kalau begitu, kau mengantre saja."
Cristina berusaha melewatinya, tapi Vieri bergerak ke
depan gadis itu. "Aku rasa tidak begitu, amore mio. Aku
telah memutuskan bahwa aku telah lelah menunggumu
untuk membuka kakimu atas kehendak sendiri." Maka
Vieri menangkap lengan gadis itu dengan kasar, menariknya
mendekat, lalu memeluknya saat Cristina berjuang untuk
melepaskan diri. "Aku tidak yakin kau memahami maksudnya," kata
Ezio tiba-tiba. Dia melangkah maju dan menatap Vieri
lekat-lekat. 26 "Ah, si anak anjing kecilnya Auditore. Cane rognoso!
Apa urusanmu" Setan bersamamu."
"Dan buon" giorno untukmu juga, Vieri. Aku minta
maaf karena mengganggu, tapi aku punya kesan tertentu,
kalau kau sedang merusak hari gadis muda ini."
"Oh begitu, benarkah" Permisi, Sayangku, aku mau
menendang orang kaya baru ini." Dengan itu, Vieri mendorong
Cristina ke samping, lalu menghampiri Ezio dengan tinju
kanannya. Ezio menghindar dengan mudah dan bergerak
ke samping, menyandung kaki Vieri ketika momentum
serangan pemuda itu membawanya ke depan, membuatnya
terjerembap di atas debu.
"Sudah cukup, Kawan?" kata Ezio mengejek. Tapi
Vieri sudah langsung berdiri, lalu menghampirinya dengan
amarah, tinju-tinju dipukulkan. Sekali dia berhasil memukul
rahang Ezio dengan keras, tapi Ezio menangkis sebuah
ayunan kiri dan memasukkan dua pukulannya sendiri, satu
ke perut, dan ketika Vieri membungkuk kesakitan, satu
lagi ke rahangnya. Ezio berbalik untuk memeriksa apakah
Cristina baik-baik saja. Terengah-engah, Vieri mundur, tapi
tangannya terbang ke belatinya. Cristina melihat gerakan itu,
lalu menjerit sebagai peringatan saat Vieri menusukkannya
ke arah punggung Ezio. Tapi karena sudah mendapatkan
peringatan, Ezio berbalik dalam waktu singkat dan menangkap
pergelangan tangan Vieri dengan kuat, lalu merenggut belati
itu darinya. Benda itu jatuh ke tanah. Kedua pria itu berdiri
berhadapan, bernapas berat.
27 "Itu saja yang kau bisa?" kata Ezio sambil menggertakkan
gigi. "Tutup mulutmu, atau demi Tuhan aku akan
membunuhmu!" Ezio tertawa. "Aku rasa seharusnya aku tidak terkejut
melihatmu memaksakan diri kepada gadis cantik yang
jelas-jelas berpikir kau itu benar-benar menjijikkan kalau
mengingat cara ayahmu memaksakan kepentingan banknya
kepada Florence!" "Dasar bodoh! Ayahmulah yang perlu diberi pelajaran
tentang kerendahan hati!"
"Sudah waktunya Pazzi berhenti memfitnah kami. Tapi
ternyata kau cuma macan ompong."
Bibir Vieri mengeluarkan banyak darah. Dia menyekanya
dengan kain lengan bajunya. "Kau akan membayar ini. Kau
dan seluruh keluargamu. Aku tidak akan melupakannya,
Auditore!" Dia meludah ke kaki Ezio, membungkuk untuk
mengambil belatinya, lalu berbalik, dan berlari. Ezio melihatnya
pergi. Ezio mengingat semua itu, sambil berdiri di atas menara
gereja dan melihat ke rumah Cristina. Dia ingat kebanggaan
yang dia rasakan saat berbalik kepada Cristina, dan melihat
mata gadis itu menyimpan kehangatan baru saat berterima
kasih kepada pemuda itu. "Kau baik-baik saja, signorina?" tanya Ezio.
28 "Aku baik-baik saja sekarang. Berkat kau. Terima kasih."
Gadis itu ragu-ragu, suaranya masih gemetar karena takut.
"Tadi kau menanyakan namaku. Yah, namaku Cristina.
Cristina Calfucci." Ezio membungkuk. "Aku merasa terhormat bisa bertemu
denganmu, Signorina Cristina. Namaku Ezio Auditore."
"Kau kenal pria itu?"
"Vieri" Jalan kami kadang-kadang bersimpangan.
Tapi keluarga kami tidak punya alasan untuk saling
menyukai." "Aku tidak ingin bertemu dengannya lagi."
"Kalau aku bisa membantu, kau tidak akan bertemu
dengannya lagi." Cristina tersenyum malu-malu, lalu berkata, "Ezio,
aku berterima kasih kepadamu dan karena itu, aku siap
memberimu kesempatan kedua, setelah awal yang buruk
tadi!" Ia tertawa lembut, lalu mencium pipi Ezio sebelum
menghilang ke dalam mansionnya.
Kerumunan kecil yang telah berkumpul untuk melihat
perkelahian tadi, kini memberikan tepuk tangan dari segala
arah. Ezio membungkuk sambil tersenyum, tapi saat berdiri
tegak kembali, dia tahu bahwa mungkin dia telah mendapatkan
seorang teman baru, tapi juga musuh bebuyutan.
"Biarkan Cristina tidur," kata Federico lagi, menarik
Ezio kembali dari lamunannya.
"Sudah cukup," kata Ezio. "Nanti aku harus bertemu
dengannya." 29 "Baiklah, kalau memang harus begitu. Aku akan
berusaha melindungimu dari Ayah. Tapi jaga dirimu baik"baik. Orang-orang Vieri mungkin masih ada di sekitar
sini." Dengan berkata begitu, Federico memanjat turun dari
menara ke atap, lalu melambung ke dalam sebuah gerobak
berisi jerami di jalanan yang ke arah rumah.
Ezio memperhatikannya, lalu memutuskan untuk meniru
kakaknya. Tumpukan jerami itu tampak sangat jauh di
bawahnya, tapi dia ingat apa yang diajarkan kepadanya,
kendalikan napasnya, tenangkan diri, lalu berkonsentrasi.
Lalu dia melompat ke udara, mengambil lompatan
terhebat dalam hidupnya sejauh ini. Sesaat dia berpikir
mungkin dia salah menilai sasarannya, tapi dia menenangkan
kepanikan singkatnya sendiri dan mendarat dengan aman
di dalam jerami. Lompatan keyakinan sejati! Dengan sedikit
kehabisan napas tapi terhibur atas keberhasilannya, Ezio
melenggang ke jalanan. Matahari baru saja muncul di atas perbukitan timur
tapi masih sedikit orang yang sudah beredar di sekitar
situ. Ezio baru saja hendak meninggalkan arah mansion
Cristina, ketika mendengar langkah kaki bergema dan Ezio
berusaha menyembunyikan diri, dia mundur ditelan bayangan
serambi gereja dan menahan napasnya. Itu tidak lain dan
tidak bukan adalah Vieri dan dua pengawal Pazzi-nya yang
berkumpul di pojokan. "Sebaiknya kita menyerah, Ketua," kata pengawal yang
lebih senior. "Mereka pasti sudah lama pergi."
30 "Aku tahu mereka ada di sekitar sini," Vieri membentak.
"Aku hampir bisa mencium bau mereka." Dia dan orang"orangnya berkeliling di lapangan gereja, tapi tidak menunjukkan
tanda-tanda untuk pergi. Sinar mentari membuat bayangan
menyusut, dan Ezio dengan hati-hati bergerak pelan ke
dalam naungan jerami lagi, lalu berbaring di sana rasanya
seperti setahun lamanya, tidak sabar untuk bisa pergi. Sekali
Vieri lewat begitu dekat sehingga Ezio hampir bisa mencium
baunya, tapi akhirnya Vieri memberi tanda dengan gerakan
tangan yang marah untuk bergerak lagi. Ezio berbaring kaku
untuk agak lama, lalu memanjat turun dan mengembuskan
napas panjang lega. Dia menepuk-nepuk debu di bajunya,
lalu segera menempuh jarak singkat yang memisahkannya
dari Cristina, berdoa supaya tidak seorang pun di dalam
rumahnya akan gempar. Mansion itu masih hening, meskipun Ezio menyangka
bahwa para pembantu sedang mempersiapkan api dapur
di bagian belakang. Dia tahu jendela Cristina yang mana,
lalu melemparkan kerikil ke daun jendelanya. Suaranya
memekakkan telinga, lalu dia menunggu dengan gugup.
Lalu daun jendela itu terbuka dan gadis itu muncul di
balkon. Gaun tidurnya menampakkan garis-garis tubuhnya
yang lezat saat Ezio memandanginya ke atas. Pemuda itu
langsung hanyut di dalam hasratnya.
"Siapa itu?" Cristina memanggil dengan lembut.
Ezio mundur sehingga gadis itu bisa melihatnya.
"Aku!" 31 Cristina menarik napas, meskipun tidak dengan cara
yang tidak ramah. "Ezio! Seharusnya aku sudah tahu."
"Aku boleh naik, mia colomba?"
Gadis itu menoleh ke belakang sebelum menjawab sambil
berbisik. "Baiklah. Tapi sebentar saja."
"Aku memang cuma butuh sebentar."
Cristina menyeringai. "Benar?"
Ezio jadi bingung. "Tidak. Maaf. Maksudku bukan
begitu! Biar kutunjukkan kepadamu?" Setelah melihat ke
sekeliling untuk memastikan bahwa jalanan itu masih sepi,
Ezio berpijak kepada lingkaran besi besar yang dipasang
ke ukiran batu di rumah itu untuk mengikat kuda, lalu
mengangkat tubuhnya ke atas. Ternyata cukup mudah
berpijak dan berpegangan pada bangunan pedesaan itu.
Dalam dua kedipan, dia telah naik ke balkon lalu gadis
itu berada dalam pelukannya.
"Oh, Ezio!" gadis itu mengembuskan napas begitu
mereka berciuman. "Lihatlah kepalamu. Apa saja yang kau
lakukan?" "Ini bukan apa-apa. Cuma goresan." Ezio berhenti, lalu
tersenyum. "Mungkin sekarang aku sudah naik, aku bisa
juga masuk?" dia berkata dengan sopan.
"Ke mana?" Ezio bersikap tidak berdosa. "Ke dalam kamar tidurmu,
tentu saja." 32 "Yah, mungkin" Kalau kau yakin cuma butuh
sebentar?" Sambil berpelukan, mereka memasuki pintu ganda itu
ke dalam cahaya hangat kamar Cristina.
Satu jam kemudian, mereka terbangun oleh cahaya mentari
yang mengalir menembus jendela, suara-suara tergesa dari
kereta dan orang-orang di jalanan. Yang paling buruk adalah


Assasins Credd Karya Oliver Bowden di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suara ayah Cristina saat membuka pintu kamar tidurnya.
"Cristina," ayahnya berkata. "Waktunya bangun,
sayang! Gurumu sebentar lagi" Setan apa ini" Dasar anak
jalang!" Ezio mencium Cristina dengan cepat tapi keras. "Wak"tunya pergi, aku rasa," kata pemuda itu. Dia mengambil
pakaiannya, lalu melesat ke jendela. Dia memanjat dinding
untuk turun, dan sedang mengenakan setelannya ketika
Antonio Calfucci muncul di balkon atas. Wajah pria itu
putih karena marah. "Perdonate, Messere," Ezio menawarkan.
"Aku akan memberimu perdonate, Messere," Calfucci
berteriak. "Penjaga! Penjaga! Tangkap cimice itu! Bawakan
kepalanya! Aku menginginkan coglioninya juga!"
"Aku sudah minta maaf," Ezio mulai bicara, tapi gerbang
sudah membuka dan para penjaga Calfucci berdatangan
dengan pedang terhunus. Sekarang dengan pakaian berantakan,
Ezio lari ke jalanan. Dia menghindari gerobak-gerobak dan
mendorong orang-orang yang menghalangi jalannya, seperti
33 pengusaha kaya berbaju hitam, para pedagang dengan warna
cokelat dan merah, orang-orang yang lebih sederhana dengan
tunik buatan rumah sendiri, dan sekali Ezio berpapasan
dengan arak-arakan gereja yang bertabrakan dengannya
tanpa disangka-sangka, sehingga dia menyenggol patung
Sang Perawan yang dibawa oleh rahib bermantel hitam.
Akhirnya, setelah berlari di lorong-lorong dan melompati
dinding-dinding, dia berhenti dan mendengarkan. Hening.
Bahkan tidak terdengar lagi teriakan dan makian yang telah
mengikutinya dari khayalak umum. Sementara para penjaga
itu, dia telah mengacak-acak mereka, dia yakin itu.
Ezio hanya berharap Signor Calfucci belum mengenalinya.
Cristina tidak akan mengkhianati Ezio, pemuda itu yakin
akan hal itu. Di samping itu, gadis itu bisa menguasai
ayahnya, yang sangat menyayanginya. Bahkan kalaupun
ayahnya tahu, Ezio merenung, pemuda itu tidak akan menjadi
jodoh yang buruk. Ayah Ezio menjalankan salah satu rumah
perbankan terbesar di kota ini, dan suatu hari nanti akan
menjadi lebih besar daripada banknya Pazzi atau bahkan,
siapa tahu, lebih besar daripada banknya Medici.
Lewat jalanan belakang, Ezio pulang. Orang pertama yang
bertemu dengannya adalah Federico. Kakaknya itu tampak
serius dan menggelengkan kepalanya dengan mengancam.
"Kau mendapat masalah sekarang," katanya. "Jangan bilang
aku belum memperingatkanmu."
34 Kantor Giovanni Auditore berada di lantai pertama dan
menghadap kebun-kebun di belakang palazzo, melalui dua
pasang jendela ganda yang membuka ke salah satu balkon
luas. Ruangan itu dilapisi kayu oak. Keindahan kayu itu
tidak kalah dengan keindahan plester hiasan di langit-langit.
Dua meja kerja saling berhadapan di ruangan itu. Meja yang
lebih besar adalah milik Giovanni, dan dinding-dindingnya
dibarisi rak-rak buku yang penuh dengan buku-buku besar
akuntansi dan gulungan-gulungan perkamen yang dihiasi
oleh segel-segel merah berat. Ruangan itu didesain untuk
mengatakan kepada siapa pun pengunjungnya, di sini kau akan
menemukan kemakmuran, rasa hormat, dan percaya. Sebagai
kepala Bank Internasional Auditore, yang mengkhususkan
35 diri untuk pinjaman dari kerajaan-kerajaan Jerman"yang
di dalamnya ada setidaknya Kerajaan Romawi Suci yang
berubah-ubah"Giovanni Auditore sangat menyadari tanggung
jawab berat di dalam jabatan yang dia pegang. Dia berharap
kedua putranya segera sadar dan membantunya menanggung
beban yang dia warisi dari ayahnya sendiri, tapi dia belum
melihat tanda itu. Bagaimanapun juga"
Giovanni memandang marah kepada putra keduanya
dari tempat duduknya. Ezio berdiri dekat di meja lainnya
yang telah dikosongkan oleh sekretaris Giovanni, supaya
mereka mendapatkan privasi. Namun yang Ezio cemaskan
adalah tanya jawab yang akan membuatnya ngilu. Sekarang
sudah menjelang siang. Dia sudah mencemaskan panggilan
itu sepanjang pagi, meskipun sempat tidur dan merapikan
dirinya. Dia rasa ayahnya ingin memberinya kesempatan
itu, sebelum melumatnya. "Kau pikir aku ini buta dan tuli, Anakku?" Giovanni
menggelegar. "Kau pikir aku tidak mendengar semua tentang
perkelahianmu dengan Vieri de" Pazzi dan kawanannya di
jembatan semalam" Kadang-kadang, Ezio, aku pikir kau
tidak lebih baik daripada dia, dan Pazzi itu musuh yang
berbahaya." Ezio hendak berbicara, tapi ayahnya mengangkat sebelah
tangan sebagai peringatan.
"Biarkan aku selesai bicara dulu." Ayahnya menarik
napas panjang. "Seakan-akan itu belum cukup buruk,
kau mengejar Cristina Calfucci, anak salah satu pedagang
36 terbaik di seluruh Tuscany1
. Tidak puas dengan itu, kau
meniduri gadis itu di tempat tidurnya sendiri! Ini tidak
bisa dimaafkan! Tidakkah kau mempertimbangkan reputasi
keluarga kita sama sekali?"
Ayahnya berhenti, dan Ezio terkejut melihat bayangan
kerjapan di mata ayahnya. Giovanni melanjutkan. "Kau sadar
apa maksud semua ini, dan kau sadar kau mengingatkanku
akan siapa, kan?" Ezio menunduk, tapi kemudian terkejut ketika ayahnya
bangun, menyeberangi ruangan, lalu memegang pundaknya
sambil menyeringai lebar.
"Dasar setan kecil! Kau mengingatkanku kepada diriku
sendiri ketika seusiamu!" Tapi Giovanni segera menjadi serius
lagi. "Jangan berpikir bahwa aku tidak akan menghukum tanpa
ampun, kalau aku sedang tidak sangat membutuhkanmu di
sini. Kalau tidak, camkan kata-kataku, aku akan mengirimmu
ke Paman Mario dan menyuruhnya merekrutmu ke dalam
resimen condottieri-nya. Itu pasti akan membuatmu sadar!
Tapi aku harus mengandalkanmu, dan meskipun sepertinya
otakmu tidak cukup pandai untuk melihatnya, kita sedang
melalui saat-saat yang penting di kota ini. Kepalamu rasanya
bagaimana" Aku lihat kau sudah melepas perbannya."
"Jauh lebih baik, Ayah."
"Jadi aku rasa tidak ada yang akan mengganggu pekerjaan
yang telah aku siapkan untukmu sepanjang hari ini?"
"Aku janji, Ayah."
Sebuah daerah di Italia tengah yang kota pusatnya adalah Florence.
37 "Sebaiknya kau pegang janji itu." Giovanni kembali
ke mejanya. Dari sebuah ruang terpisah, dia menarik
sebuah surat yang mempunyai segel pria itu sendiri, lalu
mengopernya kepada putranya, bersama dengan dua dokumen
perkamen di dalam bungkusan dari kulit. "Aku ingin kau
mengantarkan ini kepada Lorenzo de" Medici di banknya
tanpa penundaan apa pun."
"Boleh aku tahu ini tentang apa, Ayah?"
"Sebagaimana dokumen-dokumennya, kau tidak boleh
tahu. Tapi kau boleh tahu bahwa surat ini memberi informasi
terbaru tentang hubungan kita dengan Milan. Aku sudah
menghabiskan sepanjang pagi ini untuk mempersiapkannya.
Seharusnya tidak sampai sejauh ini, tapi kalau aku tidak
memberimu kepercayaan, kau tidak akan pernah belajar
bertanggung jawab. Ada rumor tentang plot melawan Duke2
Galeazzo. Itu pekerjaan kotor, aku beri tahu kau ya, Florence
tidak sanggup kalau Milan sampai kacau."
"Siapa yang terlibat?"
Giovanni memandangi putranya dengan mata menyipit.
"Mereka bilang para komplotan utamanya adalah Giovanni
Lampugnani, Gerolamo Olgiati, dan Carlo Visconti. Tapi
sepertinya Fransesco de" Pazzi kita tersayang juga terlibat,
dan di atas semua itu, ada rencana yang sepertinya meliputi
lebih dari sekadar politik kedua negara kota ini. Gonfaloniere
di sini telah memenjarakan Fransesco, tapi Pazzi tidak akan
menyukainya sama sekali." Giovanni berhenti. "Nah, aku
sudah memberitahumu jauh terlalu banyak. Pastikan surat
Komandan militer atau pemimpin sebuah negara kota.
38 ini sampai ke Lorenzo dengan cepat. Aku dengar dia mau
pergi ke Careggi dengan sangat segera untuk mencari udara
pedesaan, dan sementara kucing itu pergi?"
"Aku akan mengantarkannya secepat mungkin."
"Anak baik. Pergilah sekarang!"
Ezio pergi sendirian, menggunakan jalanan belakang
secepat mungkin, tidak pernah berpikir bahwa Vieri mungkin
masih mencarinya. Tapi mendadak, di jalanan sepi dalam
jarak beberapa menit ke Bank Medici, di sanalah dia
berdiri, menghalangi jalan Ezio. Berusaha untuk berbalik,
Ezio menemukan bahwa orang-orang Vieri menghalangi
jalan mundurnya. Dia berbalik lagi. "Maaf, babi kecilku,"
Ezio berteriak kepada Vieri, "tapi aku tidak punya waktu
untuk menyabetmu sekarang."
"Bukan aku yang akan disabet," Vieri berteriak balik.
"Kau sudah terpojok. Tapi jangan khawatir. Aku akan
mengirim sebuah karangan bunga yang cantik untuk
pemakamanmu." Orang-orang Pazzi mendekat. Tidak diragukan lagi bahwa
Vieri sudah mengetahui pemenjaraan ayahnya sekarang. Ezio
memandang sekeliling dengan putus asa. Rumah-rumah dan
dinding-dinding tinggi di jalan itu mengurungnya. Setelah
mengikat tas kecil berisi dokumen-dokumen berharga dengan
aman di tubuhnya, Ezio memilih rumah yang paling rendah
yang bisa ia raih, lalu menaiki dindingnya, mencengkeram
batu yang berpotongan keras dengan kedua tangan dan
kaki sebelum memanjat ke atap. Begitu sampai di sana,
dia berhenti sejenak untuk memandangi wajah Vieri yang
39 marah. "Aku tidak punya waktu untuk mengencingimu,"
katanya, lalu lari pontang-panting sepanjang atap sejauh
yang dia bisa, jatuh ke tanah dengan kelincahan yang baru
ditemukannya begitu dia terbebas dari para pengejarnya.
Beberapa saat kemudian, dia berada di depan pintu
bank tersebut. Dia masuk dan mengenali Boetio, salah satu
pembantu yang paling dipercaya oleh Lorenzo. Ini namanya
durian runtuh. Ezio terburu-buru menghampirinya.
"Hei, Ezio! Kenapa kau terburu-buru ke sini?"
"Boetio, aku tidak punya waktu. Ini surat dari ayahku
untuk Lorenzo." Boetio tampak serius, lalu merentangkan tangan"nya. "Ahim", Ezio! Kau terlambat. Dia sudah pergi ke
Careggi." "Berarti kau harus meyakinkan surat-surat ini sampai
di sana secepat mungkin."
"Aku yakin dia belum pergi lebih dari sekitar satu hari.
Pada hari-hari ini?"
"Aku akan mencari tahu tentang hari-hari ini! Pastikan
Lorenzo mendapatkan surat ini, Boetio, dan secara diam"diam! Secepat mungkin!"
Ketika dia telah kembali ke palazzonya sendiri, Ezio
segera ke kantor ayahnya, tidak menghiraukan makian ramah
dari Federico yang sedang bermalas-malasan di bawah pohon
di kebun, dan usaha dari sekretaris ayahnya yang bernama
Giulio untuk mencegahnya melewati pintu tertutup dari
tempat pribadi Giovanni. Di sana, Ezio menemukan bahwa
ayahnya sedang berbincang dengan serius dengan Kepala
40 Hakim Florence, yaitu Gonfaloniere Uberto Alberti. Itu tidak
mengejutkan karena kedua pria itu memang teman lama,
dan Ezio memperlakukan Alberti seperti seorang paman.
Tapi dia menangkap raut wajah serius yang mendalam pada
wajah mereka. "Ezio, anakku!" kata Uberto dengan ramah. "Apa
kabar" Kehabisan napas seperti biasanya, ya."
Ezio menatap ayahnya dengan mendesak.
"Aku sedang mencoba menenangkan ayahmu," Uberto
melanjutkan. "Ada banyak masalah, kau tahu, tapi"," dia
berbalik kepada Giovanni dan nada suaranya menjadi lebih
sungguh-sungguh, ?" ancaman sudah berakhir."
"Kau sudah mengantarkan dokumen-dokumen tersebut?"
Giovanni bertanya dengan tegas.
"Ya, Ayah. Tapi Duke Lorenzo sudah pergi."
Giovanni mengerutkan dahi. "Aku tidak menyangka
dia akan pergi secepat ini."
"Aku memberikan surat itu kepada Boetio," kata Ezio.
"Dia akan mengantarkannya secepat mungkin."
"Mungkin itu tidak cukup cepat," kata Giovanni
muram. Uberto menepuk punggung Giovanni. "Dengar," katanya.
"Itu hanya berarti satu atau dua hari. Fransesco sudah
digembok dan dikunci. Apa yang mungkin terjadi dalam
waktu singkat seperti ini?"
Giovanni tampak yakin sebagian, tapi jelas bahwa
kedua pria itu masih harus berdiskusi, dan kehadiran Ezio
tidak diinginkan. 41 "Pergi, carilah ibu dan adik perempuanmu," kata Giovanni.
"Kau harus menghabiskan waktu dengan anggota keluarga
selain Federico, kau tahu! Dan istirahatkan kepalamu itu"
Aku akan memerlukanmu lagi nanti." Dengan ayunan tangan
ayahnya, Ezio keluar. Dia berkeliaran di rumah, mengangguk untuk menyalami
satu atau dua pembantu keluarga, dan kepada Giulio yang
terburu-buru kembali ke kantor bank setelah entah dari
mana, sambil membawa seikat berkas dan tampak, seperti
biasanya, dibayang-bayangi oleh semua urusan yang dia
bawa di kepalanya. Ezio melambai kepada kakaknya yang
masih bersantai di kebun, tapi tidak merasa ingin bergabung
dengannya. Di samping itu, dia telah disuruh menemani
ibu dan adik perempuannya, dan dia tahu lebih baik tidak
melanggar perintah ayahnya, terutama setelah pembahasan
mereka sebelum ini. Dia menemukan adiknya sedang duduk sendirian
di balkon terbuka. Ada buku puisi karya Petrarch yang
terbengkalai di tangan gadis itu. Itu bisa dimengerti. Ezio
tahu adiknya sedang jatuh cinta.


Assasins Credd Karya Oliver Bowden di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ciao, Claudia," katanya.
"Ciao, Ezio. Kau ke mana saja tadi?"
Ezio merentangkan tangannya. "Tadi aku pergi untuk
urusan bisnisnya Ayah."
"Bukan itu saja, aku dengar," gadis itu menjawab dengan
pedas, tapi senyumnya samar-samar dan otomatis.
"Ibu di mana?" 42 Claudia mendesah. "Ibu pergi untuk menengok pelukis
muda yang sedang dibicarakan oleh semua orang. Kau
tahu kan, pelukis yang baru saja menyelesaikan bimbingan
dengan Verrochio." "Benarkah?" "Memangnya kau tidak memperhatikan apa pun yang
terjadi di rumah ini" Ibu membeli beberapa lukisan darinya.
Ibu percaya lukisan-lukisan itu akan menjadi investasi yang
bagus nantinya." "Itulah ibu kita!"
Tapi Claudia tidak memberi tanggapan, dan untuk
pertama kalinya, Ezio benar-benar menyadari kesedihan di
wajah adiknya. Itu membuat Claudia tampak jauh lebih tua
daripada usianya yang baru enam belas tahun.
"Ada masalah apa, sorellina?" Ezio bertanya. Dia
menduduki sebuah bangku batu di samping gadis itu.
Claudia mendesah, dan menatapnya dengan senyum
sedih. "Duccio," akhirnya gadis itu berkata.
"Ada apa dengan dia?"
Air matanya menggenang. "Aku menemukan bahwa
ternyata dia tidak jujur kepadaku."
Ezio mengerutkan dahi. Duccio sudah bertunangan
dengan Claudia, dan meskipun belum ada pengumuman
resmi" "Siapa yang memberitahumu tentang itu?" Ezio bertanya.
Dia merangkul adiknya. 43 "Gadis-gadis yang lain." Claudia menyeka matanya dan
menatap mata Ezio. "Padahal aku kira mereka temanku,
tapi aku rasa mereka senang memberitahuku hal ini."
Ezio berdiri dengan marah. "Berarti mereka cuma
harpy3 ! Lebih baik kau tidak bersama mereka."
"Tapi aku cinta dia!"
Ezio diam sejenak sebelum menjawab. "Kau yakin"
Mungkin kau hanya menyangka kau cinta. Bagaimana
perasaanmu sekarang?"
Mata Claudia mengering. "Aku ingin melihat dia
menderita, meskipun hanya sedikit. Dia benar-benar telah
melukaiku, Ezio." Ezio menatap adiknya, melihat kesedihan di mata gadis
itu, kesedihan yang menutupi kobaran amarah yang tidak
kecil. Hati Ezio menjadi sekeras besi.
"Aku rasa aku akan mengunjungi Duccio."
Duccio Dovizi tidak ada di rumah, tapi penjaga rumahnya
memberi tahu Ezio di mana untuk menemukannya. Ezio
berjalan melintasi Ponte Vecchio, lalu ke arah barat sepanjang
tepi selatan Sungai Aro ke gereja San Jacopo Soprano.
Ada beberapa kebun terpencil di dekat situ, di mana para
kekasih sesekali berjanjian. Ezio, yang darahnya mendidih
atas kepentingan adiknya, meskipun butuh bukti lain tentang
Di dalam mitologi, harpy adalah burung perempuan yang buruk rupa dan
suka mencuri. 44 pengkhianatan Duccio daripada kabar angin, mulai berpikir
bahwa dia akan segera mendapatkannya.
Cukup pasti, Ezio segera melihat pemuda pirang itu,
berpakaian rapi, duduk di atas bangku menghadap sungai,
lengannya merangkul gadis berambut gelap yang tidak dikenali
oleh Ezio. Pemuda itu bergerak maju dengan hati-hati.
"Sayang, ini cantik," gadis itu berkata sambil memegang
tangannya. Ezio melihat kilatan cincin berlian.
"Hanya yang terbaik untukmu, amore," Duccio mendeng"kur, menarik gadis itu ke arahnya untuk menciumnya.
Tapi gadis itu mundur. "Tidak secepat itu. Kau tidak
bisa membeliku. Kita belum lama bertemu, dan aku dengar
kau sudah berjanji dengan Claudia Auditore."
Duccio meludah. "Sudah berakhir. Lagi pula, Ayah bilang
aku bisa mendapatkan yang lebih baik daripada seorang
Auditore." Duccio mencubit gadis itu dengan tangannya.
"Kau, contohnya!"
"Birbante! Ayo jalan sedikit."
"Aku bisa memikirkan sesuatu yang jauh lebih menye"nangkan," kata Duccio sambil meletakkan tangannya di
antara kedua kaki gadis itu.
Itu sudah cukup bagi Ezio. "Hei, lurido porco," dia
membentak. Duccio jelas-jelas terkejut, dan berbalik, melepaskan
pegangannya pada gadis itu. "Hei, Ezio, temanku," dia
berseru, tapi ada kegugupan di dalam suaranya. Seberapa
banyak yang telah dilihat oleh Ezio" "Sepertinya kau belum
bertemu dengan" sepupuku?"
45 Karena marah dengan pengkhianatan itu, Ezio malangkah
maju dan menonjok wajah mantan temannya itu. "Duccio,
seharusnya kau malu kepada dirimu sendiri! Kau menghina
adikku, berjalan-jalan dengan" puttana ini!"
"Siapa yang kau sebut puttana?" gadis itu menggeram,
tapi dia berdiri, lalu pergi.
"Menurutku gadis sepertimu bisa mendapatkan yang lebih
baik daripada bajingan ini," Ezio memberitahunya. "Kau
benar-benar berpikir dia akan menjadikanmu lady?"
"Jangan berbicara seperti itu kepadanya," Duccio
mendesis. "Setidaknya ia lebih suka berbagi daripada adikmu
yang berpantat kecil itu. Tapi aku rasa adikmu sepayah
biarawati. Sayang sekali, bisa saja aku mengajarinya satu
dua hal, tapi?" Ezio menyelanya dengan dingin. "Kau telah mematahkan
hatinya, Duccio?" "Benarkah" Memalukan sekali."
"Makanya aku akan mematahkan lenganmu."
Gadis itu menjerit mendengar kata-kata Ezio itu, lalu
kabur. Ezio menangkap Duccio yang merintih, lalu memaksa
lengan kanan pemuda itu ke pinggiran bangku batu yang
susah payah didudukinya beberapa saat lalu. Ezio mendorong
lengan atasnya ke batu sampai rintihan Duccio berubah
menjadi tangis. "Hentikan, Ezio! Aku mohon! Aku anak laki-laki
satu-satunya!" Ezio memandangi pemuda itu dengan menghina, lalu
melepaskannya. Duccio jatuh ke tanah dan berguling. Dia
46 mengelus lengannya yang memar, dan merengek. Bajunya
yang bagus kini sobek dan kotor.
"Kau tidak pantas merepotkanku," Ezio memberitahunya.
"Tapi kalau kau tidak ingin aku berubah pikiran tentang
tanganmu itu, menjauhlah dari Claudia. Dan menjauhlah
dariku." Setelah kejadian itu, Ezio berjalan pulang. Dia berkeliaran
di sepanjang tepi sungai sampai dia hampir mencapai ladang.
Ketika dia berbalik, bayangannya memanjang, tapi pikirannya
lebih tenang. Dia tidak akan menjadi pria sejati"Ezio
memberi tahu diri sendiri"kalau dia membiarkan amarah
menguasai dirinya sepenuhnya.
Ketika sudah tiba di dekat rumahnya, dia melihat adik
lelakinya yang belum dia lihat sejak pagi hari sebelumnya.
Ezio menyambut anak itu dengan hangat. "Ciao, Petruccio.
Kau sedang apa" Kau sudah memberikan slip kepada gurumu"
Lagi pula, bukankah ini sudah lewat jam tidurmu?"
"Jangan konyol. Aku sudah besar. Dalam beberapa
tahun, aku akan bisa menonjokmu sampai muntah," kata
Petruccio. Kakak-adik itu saling menyeringai. Petruccio sedang
memegang sebuah kotak dari kayu pir berukiran di dadanya.
Kotak itu terbuka, dan Ezio melihat ada setangkup bulu-bulu
cokelat dan putih di dalamnya.
"Ini bulu elang," anak itu menjelaskan. Dia menunjuk
puncak menara di gedung di dekat situ. "Ezio, maukah kau
mendapatkannya sedikit lagi untukku?"
"Yah, kau mau apa dengan itu?"
47 Petruccio menunduk. "Ini rahasia," katanya.
"Kalau aku mengambilkannya untukmu, kau mau
masuk" Ini sudah larut."
"Ya." "Janji?" "Janji." "Baiklah, kalau begitu." Ezio berpikir, yah, aku sudah
melakukan sesuatu untuk Claudia hari ini, tidak ada alasan
kenapa aku seharusnya tidak melakukan sesuatu untuk
Petruccio juga. Memanjat menara itu sulit, karena batunya licin dan
Ezio harus berkonsentrasi untuk menemukan pegangan
dan pijakan pada sendi-sendi di antara batu-batunya.
Lebih ke atas lagi, hiasan yang dibentuk di dinding juga
membantunya. Pada akhirnya, dia butuh setengah jam,
tapi dia berhasil mengumpulkan lima belas bulu lagi. Itu
semua yang bisa dilihat oleh Ezio. Lalu dia membawanya
kepada Petruccio. "Ada satu yang ketinggalan," kata Petruccio sambil
menunjuk ke atas. "Tidur sekarang!" kakaknya menggeram.
Petruccio kabur. Ezio harap ibu mereka akan senang dengan hadiah
tersebut. Tidak butuh waktu lama untuk memahami rahasia
Petruccio. Ezio tersenyum saat dia sendiri memasuki rumah itu.
48 Pagi berikutnya, Ezio bangun terlambat, tapi lega saat
mengetahui ayahnya tidak punya urusan yang harus segera
dilakukan oleh pemuda itu. Pemuda itu berkeliaran di kebun.
Di sana dia menemukan ibunya sedang memperhatikan
karya pohon cerinya, yang mekarnya mulai memudar. Ibunya
tersenyum ketika melihat Ezio, dan memberi tanda supaya
pemuda itu menghampirinya. Maria Auditore adalah wanita
anggun dan jangkung yang berusia awal empat puluhan.
Rambutnya yang panjang hitam dikepang di bawah topi
katun halus berwarna putih suci yang pinggirannya berwarna
hitam dan emas, warna keluarga mereka.
"Ezio! Buon" giorno."
"Madre." 49 "Apa kabar" Lebih baik, aku harap." Dengan lembut,
Maria menyentuh luka di kepala Ezio.
"Aku baik-baik saja."
"Ayahmu bilang kau harus beristirahat selama
mungkin." "Aku tidak perlu istirahat, Mamma!"
"Yah, bagaimanapun juga, tidak akan ada hiburan
untukmu pagi ini. Ayahmu telah memintaku untuk mengu"rusmu. Aku tahu apa yang sedang kau rencanakan."
"Aku tidak mengerti maksud Mamma."
"Jangan main-main denganku, Ezio. Aku tahu tentang
perkelahianmu dengan Vieri."
"Dia telah menyebarkan cerita-cerita kotor tentang
keluarga kita. Aku tidak bisa membiarkannya tidak
dihukum." "Vieri sedang tertekan, apalagi sejak ayahnya dipenjara."
Maria berhenti untuk merenung. "Fransesco de" Pazzi bisa
melakukan banyak hal, tapi aku tidak pernah membayangkan
dia bisa berkomplot untuk membunuh seorang duke."
"Apa yang akan terjadi pada Fransesco?"
"Akan ada pengadilan. Ayahmu akan menjadi saksi
kunci, ketika Duke Lorenzo kita kembali."
Ezio tampak gelisah. "Jangan khawatir, kau tidak perlu mencemaskan apa-apa.
Aku juga tidak akan menyuruhmu melakukan apa pun yang
kau tidak suka. Sebenarnya, aku ingin kau menemaniku
pergi. Tidak akan lama, dan aku rasa mungkin kau akan
menikmatinya." 50 "Aku akan senang membantumu, Mamma."
"Ayo, kalau begitu. Tidak jauh."
Mereka meninggalkan palazzo dengan berjalan kaki
bersama, bergandengan, dan berjalan ke arah katedral,
ke perempatan kecil di dekatnya. Di perempatan itu, ada
banyak bengkel dan studio para seniman Florence. Beberapa
di antara bengkel atau studio itu"seperti Verrocchio dan
Alessandro di Moriano yang sedang naik daun"telah
mendapatkan julukan Botticelli merupakan tempat yang besar
dan sibuk. Di dalamnya, banyak asisten dan pembimbing
sibuk menggiling warna dan mencampur zat warna. Beberapa
lainnya melakukan pekerjaan yang lebih sederhana.
Salah satu pintu inilah yang menjadi tujuan Maria. Wanita
itu berhenti dan mengetuk. Pintunya langsung dibuka oleh
seorang pria muda tampan yang berpakaian rapi, hampir
seperti pesolek, tapi kelihatan atletis. Ada sejumput rambut
cokelat gelap dan janggut tebal. Mungkin dia berusia enam
atau tujuh tahun lebih tua daripada Ezio.
"Madonna Auditore! Selamat datang! Aku sudah
menunggu-nunggu kau."
"Leonardo, buon" giorno." Keduanya bertukar ciuman
resmi. Seniman ini pasti akrab dengan ibuku, pikir Ezio,
tapi dia menyukai penampilan pria itu. "Ini anakku, Ezio,"
Maria melanjutkan. Seniman itu membungkuk. "Leonardo da Vinci," katanya.
"Molto onorato, signore."
"Maestro." 51 "Tidak seperti itu" belum," Leonardo tersenyum.
"Tapi apa yang sedang aku pikirkan" Masuklah, masuklah!
Tunggu di sini, aku akan mencari tahu apakah asistenku bisa
mencarikan anggur untuk kalian sementara aku mengambil
lukisan-lukisanmu." Studio itu tidak besar, dan kondisinya yang berantakan


Assasins Credd Karya Oliver Bowden di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuatnya tampak lebih kecil lagi. Meja-meja ditumpuk
bersama rangka-rangka burung dan mamalia kecil, sementara
kendi-kendi berisi cairan tak berwarna yang mengandung
bermacam-macam benda organik, hingga Ezio sulit mengenali
satu pun di antaranya. Bangku kerja yang luas di belakang
menyokong beberapa kayu berukiran yang mengundang
rasa ingin tahu, dan dua kayu penyangga menahan lukisan"lukisan yang belum selesai, yang warna-warnanya lebih gelap
daripada biasanya, dan sketsa-sketsanya tidak terlalu jelas
memberikan batasan. Ezio dan Maria duduk dengan nyaman, lalu, muncul
dari ruangan bagian dalam, seorang pemuda tampan dengan
senampan anggur dan kue-kue kecil. Dia menyajikan itu
semua, tersenyum malu-malu, lalu mundur.
"Leonardo sangat berbakat."
"Aku percaya saja, Madre. Aku tidak tahu banyak
tentang seni." Ezio berpikir bahwa hidupnya akan mengikuti
jejak ayahnya, meskipun jauh di dalam dirinya, selalu ada
sifat memberontak dan petualang yang tidak cocok dengan
karakter seorang bankir Florence. Bagaimanapun juga, seperti
kakaknya, Ezio melihat dirinya sendiri sebagai pria aksi,
bukan seniman atau penilai cita rasa.
52 "Kau tahu, pengungkapan diri adalah bagian yang
sangat penting dalam memahami kehidupan, dan menikmati
sepenuhnya." Maria menatap putranya. "Sebaiknya kau
mencari cara untuk menyalurkannya sendiri, Sayangku."
Ezio tersengat. "Aku punya banyak cara."
"Maksudku, selain pelacur," ibunya menjawab dengan
pedas dan terang-terangan.
"Mamma!" Maria hanya mengangkat bahu dan mengerutkan
bibirnya. "Aku rasa baik jika kau membina pertemanan
dengan orang seperti Leonardo. Aku rasa dia punya masa
depan yang menjanjikan."
"Dari tempat kerjanya ini, aku cenderung tidak
setuju." "Jangan kurang ajar!"
Mereka terhenti oleh kembalinya Leonardo dari ruang
bagian dalam. Pria muda itu membawa dua kotak. Dia
meletakkan salah satunya ke lantai. "Maukah kau membawa
yang satu itu?" dia bertanya kepada Ezio. "Tadinya aku mau
meminta Agniolo, tapi dia harus menjaga toko. Selain itu,
aku rasa dia tidak cukup kuat untuk melakukan pekerjaan
seperti ini, kasihan."
Ezio membungkuk untuk mengambil kotak itu, lalu
terkejut dengan betapa beratnya benda itu. Dia hampir
menjatuhkannya. "Hati-hati!" Leonardo memperingatkan. "Lukisan-lukisan
di dalamnya mudah rusak, dan ibumu baru saja membayarku
cukup banyak untuk itu!"
53 "Kami pergi sekarang?" kata Maria. "Aku tidak sabar
untuk menggantung lukisan-lukisan ini. Aku telah memilih
tempat di mana aku harap kau akan menyetujuinya," ia
menambahkan kepada Leonardo. Ezio agak tertegun. Apakah
seorang seniman hijau benar-benar pantas mendapatkan
kehormatan seperti itu"
Saat mereka berjalan, Leonardo mengobrol dengan ramah,
dan Ezio merasa dikalahkan oleh pesona pria itu. Tapi ada
sesuatu tentang Leonardo yang secara naluri membuat Ezio
gelisah, sesuatu yang tidak bisa disentuh. Sikapnya yang
tenang" Rasa terpisah dari orang-orang lainnya" Mungkin
seakan-akan kepala Leonardo tertutup awan, seperti banyak
seniman lainnya, atau demikianlah yang pernah Ezio dengar.
Tapi Ezio langsung merasa, secara naluri, hormat kepada
pria itu. "Jadi, Ezio, kau melakukan apa?" Leonardo bertanya
kepadanya. "Dia bekerja untuk ayahnya," Maria menjawab.
"Ah. Seorang ahli keuangan! Yah, kau lahir di kota
yang tepat untuk itu!"
"Ini kota yang bagus untuk seniman juga," kata Ezio.
"Ada banyak pelanggan kaya raya."
"Ada terlalu banyak seniman, tapi," Leonardo menggerutu,
"sulit untuk menarik perhatian. Itulah mengapa aku sangat
berutang budi kepada ibumu. Ingat ya, ibumu punya mata
yang jeli!" "Kau berkonsentrasi pada lukisan?" Ezio bertanya saat
teringat keragaman yang telah dia lihat di studio tadi.
54 Leonardo tampak merenung. "Itu pertanyaan yang sulit.
Sejujurnya, aku merasa sulit untuk menetap pada apa pun,
sekarang aku sendirian saja. Aku memuja lukisan, dan tahu
bahwa aku bisa melakukannya, tapi" entah bagaimana aku
bisa melihat hasil akhirnya sebelum aku sampai ke sana,
sehingga kadang-kadang sulit untuk menyelesaikannya. Aku
harus didorong! Tapi bukan itu saja. Aku sering merasa
bahwa karya-karyaku kekurangan" Aku tidak tahu"
tujuan. Apakah itu masuk akal?"
"Kau harus lebih yakin kepada dirimu sendiri, Leonardo,"
kata Maria. "Terima kasih, tapi ada saat-saat ketika aku berpikir bahwa
sebaiknya aku melakukan sesuatu yang lebih praktis, sesuatu
yang mempunyai hubungan langsung dengan kehidupan. Aku
ingin memahami kehidupan" bagaimana caranya bekerja,
bagaimana semuanya bekerja."
"Kalau begitu, kau harus menjadi seratus orang sekaligus,"
kata Ezio. "Kalau saja aku bisa begitu! Aku tahu apa yang ingin
aku jelajahi. Arsitektur, anatomi, bahkan ilmu teknik. Aku
tidak ingin menawan dunia dengan kuasku, aku ingin
mengubahnya!" Leonardo sangat berapi-api sehingga Ezio lebih merasa
terkesan daripada terganggu. Pria itu tidak sedang membual.
Dia malah tampak hampir tersiksa oleh ide-ide yang mendidih
di dalam dirinya. Hal berikutnya, pikir Ezio, adalah bahwa
dia akan memberi tahu kami bahwa dia juga terlibat dengan
musik dan puisi! 55 "Kau ingin meletakkannya dan istirahat sebentar,
Ezio?" Leonardo bertanya. "Mungkin agak terlalu berat
untukmu." Ezio menggertakkan giginya. "Tidak, grazie. Lagi pula,
kita sudah hampir sampai."
Ketika mereka tiba di Palazzo Auditore, Ezio membawa
kotaknya ke aula masuk dan menurunkannya sepelan
mungkin yang bisa dilakukan oleh otot-ototnya yang sakit.
Dia pun merasa lebih lega daripada yang mau diakuinya,
bahkan kepada dirinya sendiri.
"Terima kasih, Ezio," kata ibunya. "Aku rasa kita
bisa mengurusnya dengan sangat baik tanpamu sekarang,
meskipun tentu saja, kalau kau ingin ikut menggantungi
lukisan-lukisan ini?"
"Terima kasih, Ibu. Aku rasa pekerjaan itu sebaiknya
untuk kalian berdua saja."
Leonardo membentangkan tangannya. "Sangat senang
bertemu denganmu, Ezio. Aku harap jalan kita akan segera
bersilangan lagi." "Anchi"o."
"Panggillah seorang pembantu untuk membantu
Leonardo," Maria memberi tahu Ezio.
"Tidak," kata Leonardo. "Lebih baik aku mengurus
ini sendiri. Bayangkan jika seseorang menjatuhkan salah
satu kotaknya!" Maka Leonardo menekuk lututnya, lalu mengangkat
kotak yang telah diletakkan oleh Ezio ke dalam lekukan
lengannya. 56 "Mari?" Leonardo berkata kepada Maria.
"Lewat sini," kata Maria. "Goodbye, Ezio. Kita ketemu
lagi pada makan malam nanti. Ayo, Leonardo."
Ezio memperhatikan mereka meninggalkan aula. Leonardo
ini jelas seseorang yang dihormati.
Setelah makan siang yang terlambat, Giulio datang terburu"buru"seperti yang selalu dilakukannya"untuk memberi
tahu Ezio bahwa ayahnya menginginkan kehadirannya di
kantor. Ezio tergesa-gesa mengikuti sekretaris itu menuruni
koridor panjang yang dibatasi oleh kayu oak menuju bagian
belakang mansion itu. "Ah, Ezio! Masuklah, anakku." Nada suara Giovanni
serius dan mengandung bisnis. Dia berdiri di belakang mejanya,
di mana dua surat gendut terbaring dalam bungkusan kertas
kulit dan disegel. "Mereka bilang Duke Lorenzo akan kembali besok atau
lusa paling lambat," kata Ezio.
"Aku tahu. Tapi tidak ada waktu lagi. Aku ingin kau
mengantarkan surat-surat ini ke kenalan-kenalanku, di kota
ini." Giovanni mendorong surat-surat itu melintasi meja.
"Ya, Ayah." "Aku juga ingin kau mengambil pesan yang seharusnya
sudah dibawa oleh merpati pos ke kandangnya di piazza1
di ujung jalan. Cobalah untuk memastikan tidak ada orang
yang melihatmu mengambilnya.
"Aku akan melihatnya."
Alun-alun. 57 "Bagus. Langsung kembali ke sini begitu kau selesai. Ada
beberapa hal penting yang perlu aku bahas denganmu."
"Baik, Pa." "Jadi, kali ini, jagalah sikapmu. Jangan berkelahi."
Ezio memutuskan untuk mengurus kandang merpati
dulu. Senja sudah mendekat, dan dia tahu bahwa hanya
ada sedikit orang di piazza atau alun-alun kota pada saat
itu. Sebentar kemudian, lapangan tersebut akan dikerumuni
para penduduk Florence yang sedang passegiata atau
berjalan-jalan sore. Ketika Ezio mencapai tujuannya, dia memperhatikan
beberapa grafiti di dinding di belakang dan di atas kandang.
Dia bingung. Apakah grafiti ini baru ada atau dia tidak
pernah menyadarinya sebelum ini" Dengan hati-hati telah
dituliskan sebuah bait yang Ezio kenal dari Surat Ecclesiastes
(surat dalam Kitab Perjanjian Lama yang berisi tentang
kesia-siaan hidup manusia): ORANG YANG SEMAKIN
TAHU, MENJADI SEMAKIN MENDERITA. Sedikit
di bawahnya, ada tambahan tulisan yang lebih kasar. DI
MANA SANG NABI" Tapi benak Ezio segera kembali ke tugasnya. Dia
langsung mengenali merpati yang dia cari. Itu adalah
merpati satu-satunya yang diikatkan sebuah catatan ke
kakinya. Ezio melepaskannya dengan cepat, lalu dengan
lembut meletakkan merpati itu kembali ke tenggerannya, lalu
ragu-ragu. Haruskah Ezio membaca catatan tersebut" Tidak
ada segelnya. Dengan cepat dia membuka gulungan kecil itu.
Ternyata isinya hanya satu nama, yaitu Fransesco de" Pazzi.
58 Ezio mengangkat bahu. Pasti catatan ini lebih bermakna
bagi ayahnya daripada bagi pemuda itu. Kenapa nama ayah
Vieri dan salah satu orang yang dicurigai sebagai anggota
komplotan untuk menumbangkan Duke of Milan"fakta"fakta yang sudah diketahui oleh Giovanni"punya makna
lebih tidak dapat dicerna oleh Ezio. Kecuali kalau surat itu
menandakan semacam penegasan.
Tapi Ezio harus bergegas dengan tugasnya. Setelah
menyembunyikan catatan tersebut di dalam kantong
ikat pinggangnya, dia berjalan ke alamat pada amplop
pertama. Lokasinya membuat Ezio terkejut karena berada
di daerah berlampu merah. Dia sering ke sana bersama
Federico"sebelum bertemu dengan Cristina"tapi dia tidak
pernah merasa nyaman di sana. Dia memegang pangkal
belatinya untuk meyakinkan diri saat mendekati lorong kotor
yang telah ditunjukkan oleh ayahnya. Alamat itu ternyata
merupakan sebuah kedai minum rendah, berpenerangan
buruk, dan menyajikan anggur Chianti murah untuk para
penempa tanah liat. Karena bingung harus melakukan apa setelahnya, karena
sepertinya tidak ada siapa-siapa, dia terkejut saat ada suara
di sisinya. "Kau anaknya Giovanni?"
Ezio berbalik untuk menghadapi seorang pria yang
kelihatan berantakan yang napasnya berbau bawang. Pria
itu ditemani oleh seorang wanita yang mungkin dulunya
cantik, seakan-akan sepuluh tahun yang membebaninya
telah menggosok keindahan itu hingga tak tampak. Kalau
59 memang masih tertinggal, itu ada di matanya yang jernih
dan cerdas. "Bukan, dasar idiot," kata wanita itu kepada pria tadi.
"Kebetulan saja dia sangat mirip ayahnya."
"Kau membawa sesuatu untuk kami," kata pria itu
sambil tidak menghiraukan wanita itu. "Berikan ke sini."
Ezio ragu-ragu. Dia memeriksa alamatnya. Ini tempat
yang tepat. "Serahkan, kawan," kata pria itu sambil mendekat. Ezio
mencium embusan penuh napasnya. Apakah pria itu hidup
dari bawang merah dan bawang putih"
Ezio meletakkan surat itu di tangan pria itu yang
terbuka, yang langsung menutup dan memindahkannya ke
sebuah kantong kulit di sisinya.
"Anak baik," kata pria itu, lalu dia tersenyum. Ezio
terkejut melihat bahwa senyum itu membuat wajahnya
menjadi" tampak mulia. Tapi tidak kata-katanya. "Jangan
khawatir," dia menambahkan. "Kami tidak ember." Dia
berhenti untuk melirik kepada wanita itu. "Setidaknya, aku
tidak ember!" Wanita itu tertawa dan mencubit lengan pria itu. Lalu
mereka pergi. Ezio keluar ke lorong dengan lega. Alamat pada surat
kedua mengarahkannya ke sebuah jalanan di sisi barat
Baptistry (daerah pembaptisan). Itu adalah distrik yang
jauh lebih baik, tapi sepi pada jam segini. Ezio cepat-cepat
melintasinya. 60

Assasins Credd Karya Oliver Bowden di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ada orang yang menunggu Ezio di bawah lengkungan
yang membentangkan jalanan itu. Itu seorang pria kekar
yang tampak seperti serdadu. Dia berpakaian dari kulit
khas pedesaan, tapi baunya bersih dan segar, dan wajahnya
dicukur hingga bersih. "Sebelah sini," dia memberi isyarat.
"Aku membawa sesuatu untukmu," kata Ezio.
"Dari?" "Giovanni Auditore?" Suara pria itu hanya sedikit lebih
keras daripada bisikan. "Si." Pria itu melirik ke sekelilingnya, ke bagian atas dan
bawah jalanan. Hanya tampak seorang penyala lampu agak
jauh di sana. "Ada yang mengikutimu?"
"Tidak. Kenapa harus begitu?"
"Lupakan saja. Berikan suratnya kepadaku. Cepat."
Ezio menyerahkannya. "Keadaan memanas," kata pria itu. "Beri tahu ayahmu
bahwa mereka bergerak malam ini. Dia harus membuat
rencana untuk mengamankan diri."
Ezio tersentak. "Apa" Apa yang sedang kau
bicarakan?" "Aku sudah terlalu banyak bicara. Cepatlah pulang."
Pria itu pun melebur ke dalam bayang-bayang.
"Tunggu!" Ezio memanggilnya. "Apa maksudmu"
Kembalilah!" Tapi pria itu telah lenyap.
61 Ezio berjalan dengan cepat menuju si penyala lampu.
"Jam berapa sekarang?" Ezio bertanya.
Pria itu memutar matanya, lalu menatap langit. "Pasti
sudah satu jam sejak aku bertugas," katanya. "Berarti ini
sekitar jam dua puluh."
Ezio menghitung dengan cepat. Pasti dia telah mening"galkan palazzonya dua jam sebelumnya, dan mungkin butuh
dua puluh menit untuk sampai di rumah lagi. Dia berlari.
Jiwanya merasakan firasat yang buruk.
Begitu dia melihat mansion Auditore, dia tahu bahwa
ada yang salah. Tidak ada cahaya di mana pun, dan pintu
depan yang besar terbuka. Ezio mempercepat langkahnya,
memanggil-manggil sambil berlari, "Ayah! Federico!"
Aula besar palazzo itu gelap dan kosong, tapi ada
cukup cahaya sehingga Ezio bisa melihat meja-meja terbalik,
kursi-kursi hancur, serta barang-barang tembikar dan kaca
hancur berantakan. Seseorang telah merobek lukisan-lukisan
Leonardo dan dinding, menyayatnya dengan pisau. Dari balik
kegelapan, Ezio bisa mendengar suara isak tangis. Seorang
wanita tersedu-sedu. Ibunya!
Dia mulai berjalan menuju suara itu ketika sebuah
bayangan bergerak di belakangnya. Sesuatu diangkat di
atas kepalanya. Ezio berputar dan menangkap tempat lilin
dari perak yang berat, yang dibawa oleh seseorang untuk
memukul kepalanya. Pemuda itu memuntir dengan liar, dan
penyerangnya melepaskan tempat lilin sambil menjerit. Ezio
menendang tempat lilin itu menjauh, di luar jangkauan, lalu
mencengkeram lengan penyerangnya, dan menarik orang
62 itu menuju tempat yang bercahaya. Pembunuhan sudah
terpikirkan oleh Ezio, dan belatinya sudah terhunus.
"Oh! Ser Ezio! Ternyata kau! Terima kasih, Tuhan!"
Ezio mengenali suara itu, lalu wajahnya. Itu adalah
penjaga rumah keluarganya, Annetta, wanita desa penuh
semangat yang telah bekerja untuk keluarganya selama
bertahun-tahun. "Apa yang telah terjadi?" Ezio bertanya kepada Annetta.
Dia menggenggam kedua pergelangan tangan wanita itu dan
hampir mengguncangnya karena sakit dan panik.
"Mereka datang" para penjaga kota. Mereka menangkap
ayahmu dan Federico. Mereka bahkan mengambil Petruccio
kecil, mereka mengambilnya dari pelukan ibumu!"
"Di mana ibuku" Di mana Claudia?"
"Kami di sini," terdengar suara bergetar dari bayang"bayang. Claudia mundur. Ibunya bersandar di lengan gadis
itu. Ezio mengatur sebuah kursi untuk diduduki oleh ibunya.
Di dalam cahaya temaram, dia dapat melihat bahwa Claudia
berdarah, juga bajunya sobek dan kotor. Maria tidak mengenali
Ezio. Wanita itu duduk di atas kursi, meratap dan mengayun.
Di dalam tangannya, Maria menggenggam kotak kayu pir
kecil berisi bulu-bulu yang telah diberikan oleh Petruccio
tidak lebih dari dua hari"seumur hidup"yang lalu.
"Ya Tuhan, Claudia! Kau baik-baik saja?" Ezio mena"tapnya, lalu amarah membanjirinya. "Apakah mereka?""
"Tidak" Aku baik-baik saja. Mereka sedikit mengasariku
karena mengira aku bisa memberi tahu mereka kau ada di
63 mana. Tapi Ibu" Oh, Ezio, mereka telah membawa Ayah,
Federico, dan Petruccio ke Palazzo Vecchio!"
"Ibumu sedang syok," kata Annetta. "Ketika ia melawan
mereka, mereka?" wanita itu terhenti. "Bastardi!"
Ezio berpikir dengan cepat. "Di sini tidak aman. Kau
bisa membawa mereka ke suatu tempat, Annetta?"
"Ya, ya" ke tempat saudariku. Mereka akan aman di
sana." Annetta susah payah mengucapkan kata-kata itu.
Rasa takut dan sakit membuat suaranya tercekik.
"Kita harus bergerak cepat. Para penjaga hampir pasti
akan datang lagi untuk mencariku. Claudia, Ibu" tidak
ada waktu lagi. Jangan ambil apa-apa, langsung pergilah
bersama Annetta. Sekarang! Claudia, biarkan Mamma
bersandar kepadamu."
Ezio mengantar mereka keluar dari rumah mereka
yang telah diserang. Pemuda itu sendiri, masih syok. Dia
membantu mereka berjalan sebelum meninggalkan mereka
di tangan cakap milik Annetta yang setia, yang mulai
mengumpulkan ketenangannya kembali. Benak Ezio dipenuhi
oleh semua pengaruh yang ada, dunianya diguncangkan oleh
peristiwa-peristiwa yang parah. Dengan hampir putus asa, dia
mencoba mencerna semua yang telah terjadi, dan apa yang
harus dia lakukan sekarang, apa yang harus dia lakukan
untuk menyelamatkan ayah dan saudara-saudaranya"
Langsung saja, Ezio tahu bahwa dia harus mencari
cara untuk menemui ayahnya, mencari tahu apa yang
telah menyebabkan penyerangan ini, kebiadapan kepada
keluarganya ini. Tapi Palazzo Vecchio! Mereka pasti telah
64 menempatkan orang-orangnya di dua sel kecil di menara
itu, Ezio yakin. Mungkin akan ada cara" Tapi tempat itu
dibentengi seperti sebuah menara kastil, dan ada penjaga
yang mempertahankan tempat itu, terutama malam ini.
Sambil memaksakan diri supaya tenang dan berpikir
dengan jernih, Ezio meluncur ke jalanan ke Piazza della
Signoria, memegangi dindingnya, lalu mendongak. Obor-obor
membara dari menara dan puncak benteng itu, menyinari
bunga pedang merah raksasa yang merupakan lambang kota
mereka, dan jam besar pada dasar menara. Lebih tinggi
lagi, dengan mata menjuling supaya bisa melihat dengan
lebih jelas, Ezio berpikir dia bisa mengenali cahaya samar
dari lilin panjang di jendela berjeruji dekat puncak. Ada
penjaga ditempatkan di luar pintu ganda besar palazzo, dan
lebih banyak lagi di dinding-menara bentengnya. Tapi tidak
ada penjaga yang bisa dilihat oleh Ezio di puncak menara,
yang bagaimanapun juga dindingnya berada di atas jendela
yang perlu dia raih. Ezio melewati pinggiran lapangan dari palazzo dan
menemukan jalannya ke jalanan sempit yang membimbingnya
dari piazza, sepanjang sisi utara palazzo. Untungnya, masih
ada cukup banyak orang, berjalan-jalan dan menikmati udara
sore. Ezio merasa seperti berada di dunia yang berbeda dari
mereka, bahwa dia sudah terpisah dari masyarakat, tempat
di mana ia pernah selami seperti ikan hanya sampai tiga
atau empat jam lalu. Dia merinding saat memikirkan bahwa
kehidupan masih bisa berlanjut sama teraturnya bagi semua
orang ini. Lagi-lagi, dia merasa jantungnya membengkak
65 dengan gejolak amarah yang melimpah dan rasa takut yang
mencekam. Tapi kemudian dia memusatkan pikiran dengan
tegas untuk kembali ke tugas yang sedang diembannya, dan
wajahnya menjadi sekeras besi.
Dinding yang menjulang di atasnya itu terjal dan
tingginya membuat pusing, tapi letaknya di dalam kegelapan
dan itu akan menguntungkan Ezio. Terlebih lagi, batu-batu
yang membangun palazzo tersebut dipotong dengan kasar,
sehingga Ezio akan punya banyak pegangan dan pijakan
untuk membantunya naik. Yang menjadi masalah adalah kalau
ada penjaga ditempatkan di sisi utara menara benteng, tapi
dia akan mengurusnya nanti ketika sudah waktunya. Pemuda
itu mengharapkan para penjaga berkumpul di sepanjang
bagian depan bangunan yang menghadap ke barat.
Ezio menarik napas dan melirik sekelilingnya. Tidak ada
orang lain di jalanan yang gelap ini. Pemuda itu melompat,
mengambil pegangan erat pada dinding itu, mencengkeramnya
dengan jari-jari kaki pada sepatu bot kulitnya yang lembut,
lalu mulai memanjat naik.
Begitu Ezio telah mencapai menara benteng, dia merunduk,
urat di betisnya mengencang akibat tekanan itu. Ada dua
penjaga di sana, tapi mereka membelakangi Ezio, menatap
ke arah lapangan yang hanya memiliki penerangan di
bawah. Ezio tidak bergerak untuk sejenak, sampai jelas
bahwa suara apa pun yang dia buat tidak akan membuat
mereka menyadari keberadaannya. Dengan tetap merendah,
Ezio bergegas menuju mereka, lalu menyerang, menarik
mereka, satu tangan di sekeliling masing-masing leher
66 mereka, menggunakan berat badan mereka sendiri dan unsur
keterkejutan untuk menjatuhkan mereka dari belakang. Dalam
satu detak jantung, Ezio telah membuat helm mereka terlepas,
dan memukul kepala mereka bersama-sama dengan kejam.
Mereka tidak sadarkan diri, sebelum bisa menunjukkan rasa
terkejut apa pun pada wajah mereka. Kalau hal itu tidak
berhasil, Ezio tahu bahwa dia akan memotong tenggorokan
mereka tanpa ragu-ragu sedetik pun.
Pemuda itu berhenti lagi, bernapas dengan berat.
Sekarang menaranya. Batunya berpotongan lebih rapi, dan
perjalanannya sulit. Apalagi dia harus memanjat berkeliling
dari sisi utara ke barat di mana jendela sel itu berada. Dia
berdoa supaya tidak ada orang di lapangan atau dinding
benteng yang akan mendongak. Dia tidak suka terjatuh
dari menara itu jika diakibatkan tembakan busur, setelah
memanjat sampai sejauh ini.
Sudut bertemunya dinding utara dan barat cukup keras
dan tidak menjanjikan, dan sesaat Ezio menempel di sana,
membeku, mencari pegangan yang kelihatannya tidak ada.
Dia memandang ke bawah, dan melihat jauh di bawahnya
ada salah satu penjaga yang mendongak. Ezio dapat melihat
wajah pucat itu dengan jelas. Dia dapat melihat mata pria
itu. Ezio pun menekankan dirinya ke dinding. Di dalam
pakaiannya yang gelap, dia bisa kelihatan mencolok seperti
seekor kecoa di atas taplak putih. Tapi entah kenapa pria
itu menurunkan pandangannya dan melanjutkan rondanya.
Apakah dia telah melihat Ezio" Apakah dia tidak bisa
memercayai apa yang telah dia lihat" Tenggorokan Ezio
67 berdebar-debar karena tegang. Dia hanya bisa bersantai
setelah satu menit yang panjang telah berlalu, lalu dia bisa
bernapas lagi. Setelah dengan susah payah dia tiba di tujuan, bersyukur
karena terdapat pinggiran sempit di mana dia bisa bertengger
saat mengintip ke dalam sel kecil di balik pintu. Tuhan
penuh belas kasih, pikir Ezio, saat dia mengenali sosok
ayahnya yang memunggunginya, ternyata sedang membaca
dengan cahaya lilin yang tipis.
"Ayah!" Ezio memanggil pelan.
Giovanni berbalik. "Ezio! Demi Tuhan, bagaimana kau
bisa?" "Jangan dipikirkan, Ayah."
Saat Giovanni mendekat, Ezio dapat melihat bahwa
tangannya berdarah dan memar, wajahnya pucat dan
mengerut. "Ya Tuhan, Ayah, apa yang telah mereka lakukan
kepada Ayah?" "Aku memukul sedikit, tapi aku baik-baik saja. Lebih pen"tingnya, bagaimana dengan ibu dan adik perempuanmu?"
"Sekarang aman."
"Dengan Annetta?"
"Ya." "Puji Tuhan." "Apa yang telah terjadi, Ayah" Apakah Ayah sudah
menduganya?" "Tidak secepat ini. Mereka menangkap Federico dan
Petuccio juga. Aku rasa mereka berada di sel di belakang
68 yang ini. Kalau Lorenzo ada di sini, pasti tidak seperti ini.
Seharusnya aku sudah mencegahnya."
"Ayah sedang bicara apa?"
"Tidak ada waktu untuk itu sekarang!" Giovanni hampir
berteriak. "Sekarang, dengarkan aku. Kau harus kembali ke
rumah kita. Di sana ada pintu tersembunyi di kantorku.
Ada peti tersembunyi di dalam ruangan di baliknya. Ambil
semua yang kau temukan di dalamnya. Kau dengar itu"
Semuanya! Kebanyakan di antaranya tampak aneh bagimu,
tapi semuanya penting."
"Ya, Ayah." Ezio menggeser berat badannya sedikit,
masih menempel kepada batang-batang yang melintasi jendela.
Dia tidak berani melihat ke bawah sekarang, dan dia tidak
tahu seberapa lama lagi dia bisa tetap tidak bergerak.
"Di antara isinya, kau akan menemukan sebuah surat
dan beberapa dokumen bersamanya. Kau harus membawa
mereka tanpa penundaan. Malam ini juga! Kepada Messer
Alberti?" "Sang Gonfalionere?"
"Tepat. Sekarang, pergilah!"
"Tapi, Ayah?" Ezio berjuang untuk mengeluarkan
kata-katanya, dan, berharap bahwa dia bisa melakukan
lebih dari sekadar mengirimkan dokumen, pemuda itu
bicara terputus-putus, "Apakah Pazzi berada di balik ini"


Assasins Credd Karya Oliver Bowden di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku membaca catatan dari merpati pos, katanya?"
Tapi kemudian Giovanni menyuruhnya diam. Ezio bisa
mendengar kunci diputar di pintu sel itu.
69 "Mereka akan menginterogasiku," kata Giovanni tegas.
"Pergilah sebelum mereka menemukanmu. Tuhanku, kau
anak yang pemberani. Kau pantas mendapatkan nasibmu.
Sekarang, untuk terakhir kalinya" pergi!"
Ezio bergeser dari pinggiran tembok dengan menempel
ke dinding, hingga tak terlihat saat dia mendengar ayahnya
dibawa pergi. Dia hampir tidak tahan untuk mendengarkannya.
Kemudian dia menguatkan dirinya untuk memanjat turun.
Dia tahu bahwa turun hampir selalu lebih sulit daripada naik,
tapi pada 48 jam terakhir dia telah mendapatkan banyak
pengalaman memanjat naik dan turun bangunan. Maka
sekarang dia dengan susah payah memanjat turun menara
itu, tergelincir satu atau dua kali, tapi bisa mengembalikan
pijakannya, sampai dia telah mencapai menara benteng
lagi. Dua penjaga itu masih tergeletak di mana Ezio telah
meninggalkan mereka. Durian runtuh lagi! Ezio memukul
kepala mereka bersama-sama sekeras yang dia bisa, untuk
menghindari jikalau mereka sempat sadar sementara dia
berada di menara dan membuat peringatan" Yah, akibatnya
tidak sanggup dipikirkan oleh Ezio.
Lagi pula, tidak ada waktu untuk memikirkan hal-hal
seperti itu. Ezio mengayunkan dirinya melalui menara benteng,
lalu mengintip ke bawah. Inilah intinya. Kalau dia dapat
melihat sesuatu di bawah sana yang bisa menahan jatuhnya,
mungkin dia berani melompat. Saat matanya membiasakan
diri dari keremangan, dia melihat atap kedai yang telantar
menempel ke dinding, jauh di bawah sana. Haruskah Ezio
mencobanya" Kalau dia berhasil, dia akan mendapatkan dua
70 menit yang berharga. Kalau dia gagal, setidaknya dia akan
mendapatkan masalah berupa kaki patah. Bagaimanapun
juga, Ezio harus yakin kepada dirinya sendiri.
Dia menarik napas panjang, lalu menyelam ke dalam
kegelapan. Dari ketinggian seperti itu, kemungkinan atap itu runtuh
terkena berat badannya. Tapi ternyata atap itu tetap kokoh
dan memberikan daya tahan yang cukup untuk menahan
jatuh pemuda itu. Dia berhasil turun dengan masih terengah"engah, dan akan memar sedikit pada tulang iganya pada
pagi hari besok. Dia menggelengkan kepalanya dan bergegas ke arah
yang baru beberapa jam lalu merupakan rumahnya. Ketika
dia mencapai tempat itu, dia menyadari bahwa keterburu"buruannya membuat ayahnya lupa memberitahunya di mana
pintu rahasia tersebut. Giulio pasti tahu, tapi di mana Giulio
sekarang" Untungnya tidak ada penjaga bersembunyi di sekitar
rumah, dan dia berhasil masuk tanpa rintangan. Dia
sempat berhenti semenit, di luar rumah, hampir tidak bisa
mendorong dirinya untuk menembus kegelapan ambang
pintu. Sepertinya rumah itu telah berubah, kesuciannya telah
tercemar. Lagi-lagi, Ezio harus mengumpulkan pikirannya,
mengetahui bahwa tindakan-tindakannya sangat penting.
Keluarganya bergantung kepadanya sekarang. Dia masuk ke
dalam rumah keluarganya, ke dalam kegelapan. Tidak lama
kemudian, dia berdiri di tengah-tengah kantor, dengan seram
diterangi oleh sebatang lilin. Ezio melihat ke sekelilingnya.
71 Tempat itu telah diacak-acak oleh para penjaga dan
banyak dokumen bank yang telah disita, serta kekacauan
seperti rak-rak buku yang jatuh, kursi-kursi yang terbalik,
laci-laci yang dilemparkan ke lantai, kertas-kertas berceceran,
dan buku-buku di mana-mana. Semua itu tidak membuat
tugas Ezio menjadi lebih mudah. Tapi Ezio tahu kantor
itu, dia menggunakan akalnya dan pandangan matanya
yang tajam. Dinding-dinding kantor itu tebal dan dapat
menyembunyikan sebuah ruangan di dalamnya. Namun
dia menghampiri dinding yang dipasangi perapian besar
dan mulai mencari di sana, di mana dindingnya perapian
inilah yang paling tebal.
Ezio memasang telinga bagi suara apa pun, kalau ada
penjaga yang kembali. Setelah mencari-cari, akhirnya dia
bisa mengenali garis tipis sebuah pintu yang dipasang pada
panel yang terletak sisi tangan kiri dari mantel cetakan
besar. Pasti ada cara untuk membukanya di dekat situ. Ezio
melihat dengan hati-hati pada colossi alias patung-patung
besar berukiran yang menahan mantel marmer pada bahunya.
Hidung pada salah satu sisi tangan kirinya kelihatan seperti
pernah patah, lalu diperbaiki, karena ada retakan halus di
sekitar pangkalnya. Ezio menyentuh hidung itu, ternyata
sedikit kendur. Dengan gugup, dia menggerakkannya dengan
lembut, lalu pintu mengayun ke dalam dengan pegas pada
engselnya, menyingkap sebuah koridor berlantai batu yang
mengarah ke kiri. Saat dia masuk, kaki kanannya menyenggol batu
persegi yang bergerak di bawahnya, dan dengan demikian,
72 lampu-lampu minyak yang terpasang di dinding koridor itu
secara serentak berkobar menyala. Lorongnya pendek dan
sedikit miring ke bawah, lorong itu berakhir di sebuah
ruangan berbentuk lingkaran yang dihiasi oleh gaya Siria
bukan Italia. Pikiran Ezio berkilat pada gambar yang
bergantung di ruang belajar pribadi ayahnya. Itu gambar
kastil Masyaf, yang dulunya menjadi pusat kegiatan Orde
Pembunuh Bayaran kuno. Tapi dia tidak punya waktu untuk
memikirkan apakah hiasan aneh ini mempunyai makna
khusus. Ruangan itu tidak berperabotan, dan di tengahnya
ada peti besar yang diikat oleh besi, dengan aman tersegel
oleh dua gembok berat. Ezio melihat ke sekeliling ruangan
untuk mencari apakah ada kunci di mana pun, tapi selain
hiasannya, ruangan itu polos. Ezio bertanya-tanya apakah
dia harus kembali ke kantor, atau ke ruang belajar ayahnya,
untuk mencari kunci di sana, dan apakah dia mempunyai
waktu untuk melakukannya. Tidak sengaja tangannya
mengusap salah satu gembok itu, dan pada saat itu, gembok
itu melompat terbuka. Gembok yang satu lagi juga terbuka
semudah itu. Apakah ayahnya telah memberinya kekuatan
yang Ezio tidak tahu" Apakah kunci-kunci itu diprogram
supaya memberi tanggapan kepada sentuhan orang tertentu"
Misteri menumpuk di atas misteri, tapi tidak ada waktu
untuk merenungkannya sekarang.
Ezio membuka peti itu dan melihat bahwa benda itu
terisi sebuah tudung putih, jelas sudah tua, dan terbuat dari
mungkin bahan wol yang tidak dikenali oleh Ezio. Sesuatu
mendesaknya untuk memakai tudung itu, lalu kekuatan
73 yang aneh segera melandanya. Ezio merendahkan tudung
itu, tapi tidak melepaskannya.
Peti itu berisi sebuah penjepit dari kulit, sebuah belati
retak yang terhubung kepada mekanisme aneh yang cara
kerjanya tidak diketahui oleh Ezio, sebuah pedang, sehelai
kertas kulit yang ditutupi oleh simbol, huruf, dan apa yang
kelihatan seperti bagian dari sebuah rencana, dan surat
serta dokumen yang ayahnya telah menyuruhnya untuk
membawanya ke Uberto Alberti.
Ezio mengumpulkan semua barang itu, menutup peti,
lalu mundur ke kantor ayahnya, menutup pintu rahasia
tersebut dengan hati-hati di belakangnya. Di kantor, dia
menemukan sebuah kantong dokumen yang telah dibuang,
punya Giulio, lalu menyimpan isi peti ke dalamnya, dan
mengikatkan kantong tersebut ke dadanya. Dia mengikat
pedang itu. Tanpa tahu apa gunanya koleksi benda-benda
aneh ini, dan tanpa mempunyai waktu untuk memikirkan
kenapa ayahnya menyimpan benda-benda seperti itu di dalam
sebuah ruangan rahasia, Ezio berjalan dengan hati-hati
kembali ke pintu utama palazzo.
Tapi begitu dia memasuki halaman depan, dia melihat
dua penjaga kota sedang berjalan masuk. Sudah terlambat
untuk bersembunyi. Mereka telah melihatnya.
"Berhenti!" salah satu di antara mereka berteriak, lalu
mereka berdua mulai bergegas ke arah Ezio. Dia tidak dapat
mundur. Ezio melihat bahwa mereka sudah menghunuskan
pedang. "Untuk apa kalian di sini" Untuk menangkapku?"
74 "Tidak," kata penjaga yang tadi berbicara duluan.
"Perintah kami adalah membunuhmu." Saat berkata begitu,
penjaga kedua melesat kepada Ezio.
Ezio menarik pedangnya sendiri saat mereka mendekat
kepadanya. Dan senjata baru itu tidak akrab baginya, tapi
terasa ringan dan menyatu di tangannya, seakan-akan Ezio
telah menggunakan pedang itu seumur hidup. Ezio menangkis
tusukan-tusukan pertama, kanan dan kiri, kedua penjaga itu
menikamnya pada waktu bersamaan. Percikan api beterbangan
dari ketiga pedang tersebut, tapi Ezio tahu bahwa pedang
barunya sangat kuat dengan pinggiran mata pedangnya yang
tajam dan tipis. Tepat pada detik penjaga itu menurunkan
pedangnya untuk memutuskan tangan Ezio dari bahunya,
Ezio mengelak ke kanan, di bawah pedang yang datang.
Dia menggeser keseimbangannya dari kaki belakang ke kaki
depan, lalu melompat. Penjaga itu kehilangan keseimbangan
saat tangannya yang untuk memegang pedang menubruk bahu
Ezio. Ezio menggunakan kesempatan itu untuk mendorong
pedang barunya ke atas, menghunuskan pedangnya pada
pria itu langsung menembus jantung. Berdiri tegak, Ezio
terhuyung-huyung, mengangkat kaki kirinya, lalu mendorong
mayat penjaga itu dari pedangnya. Dan berputar pada saat
yang tepat untuk menghadapi rekannya. Penjaga yang satu
lagi maju ke depan sambil meraung, menggunakan sebuah
pedang yang berat, "Bersiaplah untuk mati, traditore!"
"Aku bukan pengkhianat, begitu pula anggota
keluargaku." 75 Penjaga itu mengayunkan pedang kepada Ezio, menyobek
kain lengan kirinya sampai mengucurkan darah. Ezio
mengernyit, tapi hanya sedetik. Penjaga itu mendesak maju,
melihat sebuah kesempatan. Ezio membiarkan penjaga itu
melompat sekali lagi, lalu Ezio melangkah ke belakang,
menyandungnya, mengayunkan pedangnya sendiri tanpa
ragu dan dengan sangat keras pada leher sang penjaga itu
saat dia jatuh, dan memutuskan kepalanya dari bahunya
sebelum penjaga itu menghantam tanah.
Sejenak Ezio berdiri gemetaran di dalam keheningan
mendadak yang mengikuti pertarungan itu, napasnya berat.
Ini adalah pertama kali dalam hidupnya ia membunuh"
Benarkah ini kenyataan" Ezio mulai merasakan kehidupan
lain di dalam dirinya, yaitu kehidupan yang tampaknya sudah
mempunyai pengalaman bertahun-tahun dalam kematian.
Perasaan itu membuatnya ngeri. Malam ini membuatnya
melihat jauh ke depan melampaui usianya, tapi perasaan
baru ini sepertinya membangunkan kekuatan gelap jauh
di dalam dirinya. Ini sesuatu yang lebih dari sekadar efek
pengalaman-pengalaman mengerikan dalam beberapa jam
terakhir. Bahunya mengendur saat Ezio berjalan menembus
jalanan yang gelap ke mansion Alberti, tersentak setiap
kali mendengar suara, dan secara berkala menengok ke
belakang. Akhirnya Ezio tiba di rumah Gonfaloniere, dan
dia melihat ke bagian depan gedung itu, walau Ezio berada
di ambang kelelahan tapi entah bagaimana bisa mengalahkan
keletihannya. Dan ia melihat cahaya remang-remang di salah
76 satu jendela depan, ia mengetuk pintu dengan keras dengan
ujung pegangan pedangnya.
Karena tidak ada jawaban, Ezio mengetuk lagi dan
lagi, lebih berat dan lebih keras dengan gugup dan tidak
sabaran. Tetap tidak ada apa-apa.
Setelah ketiga kalinya mencoba mengetuk, lubang di pintu
dibuka singkat, lalu ditutup. Pintu mengayun membuka hampir
langsung sesudahnya, dan seorang pembantu bertongkat
menerimanya. Rasanya Ezio ingin menyemburkan segala
yang telah terjadi hari itu pada Alberti yang sedang duduk
di balik meja yang ditutupi oleh kertas-kertas dalam sebuah
ruangan di lantai pertama. Di belakangnya, setengah berbalik
dan duduk di sebuah kursi di dekat api yang hampir mati,
Ezio merasa dia bisa melihat seorang pria lain, bertubuh
tinggi dan kuat, tapi hanya sebagian sosoknya yang tampak,
itu pun tidak jelas. "Ezio?" Alberti berdiri dengan terkejut. "Apa yang
sedang kau lakukan pada jam segini?"
"Aku" aku tidak?"
Alberti mendekatinya dan meletakkan sebelah tangan
di pundak pemuda itu. "Tunggu, Nak. Bernapaslah dulu.
Tenangkan pikiranmu."
Ezio mengangguk. Sekarang dia merasa lebih aman,
juga lebih rapuh. Peristiwa-peristiwa pada senja dan malam,
sejak dia mengantarkan surat-surat Giovanni berkelebatan
di dalam benaknya. Dari jam tiang berbahan kuningan,
Ezio bisa melihat bahwa ini sudah dekat tengah malam.
Benarkah sekarang hanya 12 jam sejak Ezio pergi bersama
77 ibunya untuk mengambil lukisan dari sebuah studio artis"
Meskipun tidak suka, dia merasa hampir menangis. Tapi
Ezio menahan dirinya, lalu berbicara sebagai seorang
pria. "Ayah dan saudara-saudaraku telah dipenjara. Aku
tidak tahu itu atas kuasa siapa. Ibu dan adikku sedang
Kisah Para Pendekar Pulau Es 7 Siluman Ular Putih 14 Sengketa Tahta Leluhur Pusaka Wasiat Dewa 1
^