Silence 2

Hush Hush Trilogy Buku 3 Silence Karya Becca Fitzpatrick Bagian 2


ceritakan secara lengkap.
"Oh, ya, Scott," katanya ragu-ragu. "Soal itu."
"Pada malam aku menghilang, dia mengantarkan
Volkswagen tua ke rumahku. Kau lupa menceritakan
bagian ini" Atau mungkin kau mengira itu tidak terlalu
menarik atau mencurigakan" Aku tidak menyangka kau
menutup-nutupi cerita yang mengarah ke penculikanku,
Vee." Sepertinya dia menggigit bibir. "Aku harus mengakui
beberapa hal." "Misalnya bahwa aku ditembak?"
"Aku tidak ingin menyakitimu," katanya terburu-
buru. "Yang kau alami itu sangat traumatis. Lebih dari
traumatis. Seribu kali lebih parah. Teman macam apa
aku jika menutup mata?"
"Dan?" "Oke, oke. Kudengar Scott memberimu mobil.
Kemungkinan untuk meminta maaf karena kelakuannya
yang kurang ajar." 100 "Jelaskan." "Masih ingat ketika kita di sekolah dasar dulu" Ibu
kita selalu mengatakan, kalau seorang anak lelaki
menggodamu, berarti dia menyukaimu" Well,
menyangkut hubungan antara lelaki dan perempuan,
Scott tidak pernah naik dari kelas tujuh."
"Dia menyukaiku." Nada bicaraku ragu-ragu. Aku
tidak berpikir Vee berbohong lagi. Apalagi setelah aku
mendesaknya. Tetapi sepertinya ibuku sudah bicara
dengannya lebih dulu dan mencuci otaknya sehingga
dia percaya bahwa aku kelewat rapuh untuk mendengar
fakta yang sebenarnya. Karena jawaban Vee terkesan
mengambang. "Cukup untuk membelikanmu mobil, yeah."
"Apakah aku berhubungan dengan Scott sebelum
aku diculik?" "Satu malam sebelum kau menghilang, kau me-
nyelinap ke dalam kamarnya. Tapi kau tidak menemukan
sesuatu yang menarik selain tanaman mariyuana yang
sudah layu." Akhirnya, kami memperoleh titik terang. "Apa yang
aku cari?" "Aku tidak tahu. Kau mengatakan Scott itu
berandalan. Hanya itu bukti yang kubutuhkan untuk
membantumu menyelinap ke sana."
101 Aku tidak meragukan penjelasannya. Vee memang
tidak pernah membutuhkan alasan untuk melakukan
sesuatu yang bodoh. Sayangnya, sering kali aku juga
begitu. "Hanya itu yang kutahu," kata Vee berkeras. "Aku
berani sumpah." "Jangan menyembunyikan sesuatu dariku lagi."
"Apakah ini berarti kau memaafkanku?"
Aku merasa jengkel, tapi yang mengecewakannya,
aku bisa memahami niat Vee melindungiku. Itulah
gunanya sahabat, kataku dalam hati. Dalam situasi
lain, aku mungkin mengagumi sikapnya. Dan kalau
aku menjadi dia, mungkin aku akan tergoda untuk
melakukan hal yang sama. "Kita seri."
Tiba di kantor administrasi, aku mengira harus
melewati proses yang lamban. Jadi aku terkejut ketika
sekretaris sekolah melihat kedatanganku dan, setelah
melihatku untuk yang kedua kalinya, berkata, "Oh!
Nora. Apa kabar?" Sambil mengabaikan simpati yang berlebihan dalam
suaranya, aku berkata, "Aku ingin mengambil jadwal
mata pelajaranku." "Oh. Ya, ampun. Secepat ini" Tidak ada yang
menyangka kau akan kembali secepat ini. Kau tahu
itu, Sayang" Bahkan tadi pagi aku dan beberapa staf
membicarakanmu. Kami menyangka kau butuh satu-dua
102 minggu untuk?" Dia berusaha keras mencari kata yang
bisa diterima. Tetapi tidak ada kata yang tepat untuk
kondisi yang kualami. Pulih" Menyesuaikan diri" Jauh
sekali. "Terbiasa." Dia seperti orang yang memegang
papan bertuliskan, Aduh, gadis yang malang! Kau
malang sekali! Aku harus bersikap halus kepadanya.
Aku menumpangkan siku ke meja dan memajukan
badan. "Aku sudah siap untuk kembali. Itu yang
penting, bukan?" Karena suasana hatiku menjadi suram,
aku menambahkan, "Aku senang karena sekolah ini
mengajarkanku untuk tidak mendengarkan pendapat
siapa pun kecuali pendapatku sendiri."
Dia seperti orang yang ingin mengatakan sesuatu,
tapi tidak jadi. Kemudian dia menelisik map-map di atas
mejanya. "Biar aku cari dulu. Rasanya aku menaruhnya
di sini.... Ah! Ini dia." Sekretaris itu menarik selembar
kertas dari salah satu map dan menyerahkannya
kepadaku. "Semuanya oke?"
Aku memeriksa jadwal mata pelajaranku. Sejarah
AS, bahasa Inggris, kesehatan, jurnalisme, anatomi dan
fisiologi, orkestra, dan trigonometri. Sepertinya aku
membuat wasiat untuk masa depan diriku sendiri ketika
aku mendaftarkan mata pelajaran tahun lalu.
"Oke," kataku, melampirkan ransel ke pundak, dan
mendorong pintu kantor. 103 Koridor di luar tidak terlalu terang. Lampu neon
di langit-langit memantulkan cahaya muram ke lantai
yang mengilap. Ini adalah sekolahku, kataku dalam
hati. Di sinilah tempatku. Dan pada akhirnya semua
keanehan itu akan sirna. Pasti begitu. Meskipun yang
menjengkelkannya, aku masih harus mengingatkan
diriku sendiri bahwa sekarang aku siswi kelas tiga.
Pasalnya aku tidak ingat telah menyelesaikan kelas dua.
Bel berbunyi. Dalam sekejap, pintu-pintu terbuka
dan koridor dibanjiri siswa. Aku terdesak oleh arus
murid yang berlomba-lomba ke kamar mandi, loker,
dan mesin soda. Tetapi aku tetap mengangkat dagu
dan mengarahkan pandangan lurus ke depan. Aku
merasa mata mereka tertuju kepadaku ketika kami
berpapasan. Kemudian, seolah tidak percaya, mereka
menatapku sekali lagi dan tampak terkejut. Pastinya
mereka tahu, aku sudah kembali. Berita itu telah menjadi
buah bibir di kota ini. Tetapi melihatku secara langsung
tampaknya memantapkan fakta itu. Berbagai pertanyaan
berkecamuk dalam kepala mereka seiring tatapan mata
yang penasaran. Ke mana dia selama ini" Siapa yang
menculiknya" Kejadian apa yang menimpanya"
Dan sejauh ini, spekulasi terbesarnya adalah, apakah
benar, dia tidak bisa mengingat kejadian itu" Berani
taruhan, dia cuma pura-pura saja. Memangnya orang
bisa melupakan beberapa bulan dalam kehidupannya"
104 Aku menelisik buku catatan yang kudekap, berpura-
pura mencari sesuatu yang sangat penting. Aku bahkan
tidak menganggap kalian ada, begitu makna bahasa
tubuhku. Kemudian aku menegakkan bahu dan
memasang tampang tidak peduli. Bahkan mungkin
sombong. Tetapi di balik itu, kakiku gemetar. Aku
bergegas melewati koridor dengan satu-satunya tujuan
yang mendorongku. Sesampainya di kamar mandi wanita, aku mengunci
diri di bilik terakhir. Kusandarkan punggung ke dinding
sampai aku duduk di lantainya. Bisa kurasakan air liur
naik ke tenggorokanku. Tangan dan kakiku kebas.
Bibirku kelu. Air mata menetes di pipiku, tapi aku tidak
bisa menggerakkan tangan untuk menghapusnya.
Tak peduli seberapa keras aku memejamkan mata,
tak peduli seberapa gelap yang kupaksakan hadir dalam
batas pandanganku, aku tetap bisa melihat wajah-wajah
yang menghakimi. Aku bukan bagian dari mereka lagi.
Entah bagaimana, tanpa usaha dariku sendiri, aku telah
menjadi orang luar. Aku duduk selama beberapa menit, sampai
napasku tenang dan tangisku berhenti. Aku tidak mau
masuk ke kelas, dan aku tidak ingin pulang. Yang
kuinginkan adalah sesuatu yang mustahil. Kembali ke
beberapa bulan lalu dan memiliki kesempatan kedua.
105 Sebuah pengulangan, dimulai pada malam ketika aku
menghilang. Aku baru saja mengangkat kaki ketika kudengar
bisikan melewati telingaku bagaikan aliran udara yang
dingin. Tolong aku. Suara itu begitu pelan. Nyaris tidak terdengar.
Aku bahkan bertanya dalam hati, apakah itu hanya
khayalanku" Apalagi belakangan ini berkhayal adalah
keahlianku. Tolong aku, Nora. Mendengar namaku disebut, bulu kudukku berdiri.
Aku diam tak bergerak agar bisa mendengar dengan
jelas apabila suara itu muncul lagi. Sepertinya bunyi itu
bukan berasal dari bilik ini, tapi juga bukan dari bagian
kamar mandi selebihnya. Apabila dia selesai denganku, maka aku seperti
orang mati. Aku tidak akan bisa pulang.
Kali ini suara itu terdengar lebih kuat dan lebih
mendesak ketimbang sebelumnya. Aku menengadah.
Sepertinya suara itu melayang dari ventilasi langit-
langit. "Siapa di sana?" seruku lemah.
Karena tidak ada jawaban, aku menganggap suara
itu adalah halusinasi. Dr. Howlett telah memperkirakan
yang semacam ini bakalan terjadi. Aku menjadi gelisah.
106 Aku harus mengeluarkan diriku dari sistem ini. Aku
harus mengalihkan alur pikiranku dan mematahkannya
sebelum ia menguasai diriku.
Tanganku sudah memegang kenop pintu ketika
sebuah gambaran mendadak muncul dalam pikiranku,
mengalihkan pandanganku. Aku tidak bisa lagi melihat
kamar mandi ini. Alih-alih ubin, lantai di bawah kakiku
menjadi beton. Di atas, palang-palang logam bersaling-
silang seperti kaki laba-laba raksasa. Sebarisan pintu
berjajar di salah satu dinding.
Aku berhalusinasi sedang berada di dalam sebuah"
Gudang. Dia merobek sayapku. Aku tidak bisa pulang, rintih
suara itu. Aku tidak bisa melihat suara siapa itu. Ada lampu
bohlam di atas, menyinari conveyor belt di tengah-
tengah gudang. Selebihnya, bangunan ini kosong.
Bunyi yang monoton bergema ke seluruh pelosok
bangunan saat conveyor belt itu dinyalakan. Di tengah
kegelapan, terdengar suara yang nyaring dari sesuatu di
ujung mesin. Sepertinya benda itu ditujukan kepadaku.
"Tidak," kataku, hanya kata itulah yang bisa terpikir
olehku. Tanganku meraba-raba ke depan, berusaha
mencari pintu bilik kamar mandi. Ini hanya halusinasi.
Ibuku sudah memperingatkan yang semacam ini akan
terjadi. Aku harus menyingkirkannya dan mencari jalan
107 untuk kembali ke dunia nyata. Sementara itu, bunyi
logam yang menggores-gores sepertinya bertambah
nyaring. Aku mundur menjauhi conveyor belt sampai
punggungku menyentuh dinding semen.
Tanpa tempat untuk lari, aku melihat sebuah
kurungan logam berderak dan berkelentang di tengah
kegelapan, bergerak ke ujung cahaya. Jerujinya
memancarkan sinar biru. Tetapi bukan itu yang
menarik perhatianku. Ada orang yang terkurung di
dalamnya. Seorang gadis. Tubuhnya membungkuk
lantaran kurungan itu sangat sempit. Kedua tangannya
berpegangan pada jeruji. Rambutnya yang biru-hitam,
kusut masai dan jatuh ke wajahnya. Matanya menyipit
di antara helaian rambut, dan hanya berbentuk bulatan
tanpa warna. Seutas tambang berwarna biru terang yang
menakutkan tertaut di lehernya.
Tolong aku, Nora. Aku ingin berlari keluar. Tetapi aku takut membuka
salah satu pintu. Khawatir itu hanya akan membawaku
semakin jauh ke dalam halusinasiku. Yang kubutuhkan
adalah pintuku sendiri. Pintu yang kuciptakan sekarang
juga, yang memungkinkan aku keluar dari bilik kamar
mandi sekolah ini. Jangan serahkan kalung itu kepadanya! Gadis itu
mengguncang-guncang jeruji kurungan. D ia bilang
108 kalung itu ada padamu. Jika dia mendapatkan kalung
itu, tidak ada yang bisa menghalanginya. Aku tidak
punya pilihan lagi, kecuali menceritakan segalanya!
Punggung bawah dan ketiakku basah. Kalung"
Kalung apa" Kalung itu tidak ada, kataku membatin. Baik gadis
maupun kalung itu hanyalah imajinasimu saja. Paksa
mereka keluar. Paksa. Mereka. Keluar!
Bel berbunyi. Seketika itu juga, aku tersentak dari halusinasiku.
Pintu bilik kamar mandi yang terkunci itu hanya
beberapa inci dari hidungku. MR. SARRAF PAYAH.
B.I. + J.F. = CINTA. JAZZ BAND ROCKS. Aku
mengulurkan tangan, meraba papan di depanku. Pintu
itu benar-benar ada. Aku menghela napas lega.
Terdengar suara di kamar mandi. Aku mengernyit,


Hush Hush Trilogy Buku 3 Silence Karya Becca Fitzpatrick di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tapi sepertinya itu suara obrolan yang normal dan ceria.
Melalui celah pintu, aku melihat tiga cewek berjajar di
depan cermin. Mereka merapikan rambut dan memulas
bibir dengan lip gloss. "Malam ini kita harus memesan pizza dan nonton
film," kata seorang di antara mereka.
"Tidak bisa. Malam ini hanya aku dan Susanna."
Itu adalah suara Marcie Millar. Dia berdiri di tengah,
merapikan ekor kudanya yang berwarna stroberi terang
109 ke samping, lalu menjepitnya dengan bunga plastik
merah muda. "Kau tidak ingin ibumu melihat kami" Sakitnya
hati ini." "Persis. Terima sajalah," kata Marcie.
Kedua cewek di kanan-kiri Marcie cemberut dengan
berlebih-lebihan. Kemungkinan mereka adalah Addyson
Hales dan Cassie Sweeney. Sama seperti Marcie, Addyson
adalah anggota pemandu sorak. Tetapi kebetulan aku
pernah mendengar pengakuan Marcie. Alasannya
berteman dengan Cassie hanya karena mereka sejenis.
Ikatan di antara mereka semata-mata karena gaya hidup
yang sama. "Jangan memulai," kata Marcie. Tetapi nada suara-
nya jelas-jelas menunjukkan dia bangga karena mereka
kecewa. "Ibuku membutuhkan aku. Kami akan pergi
bersama." "Apakah dia... emm... depresi?" tanya cewek yang
kurasa bernama Addyson. "Kau bercanda?" Marcie tertawa. "Dia punya
rumah. Dia masih menjadi anggota klub kapal pesiar.
Plus ayahku baru membelikannya Lexus SC10. Kereeen!
Dan aku berani sumpah, separuh cowok lajang di kota
ini sudah pernah menelepon atau mampir." Marcie
menekuk jarinya setiap kali menyebut satu poin. Dia
110 mengucapkan semua itu dengan sangat fasih sehingga
aku berpikir ini adalah hasil latihan.
"Ibumu sangat cantik." Cassie mendesah.
"Betul. Perempuan mana pun yang dilirik ayahku
pasti kalah jauh dibandingkan dia."
"Memangnya ayahmu berkencan dengan perempuan
lain?" "Belum. Mata-mata ibuku ada di mana-mana. Kalau
itu terjadi, pasti ada yang memberi tahu. Jadi," dia
beralih ke nada bicara orang yang bergosip, "apa kalian
sudah tahu" Tentang Nora Grey?"
Lututku langsung lemas. Aku pun berpegangan ke
dinding. "Dia ditemukan di pemakaman. Mereka bilang, dia
tidak ingat apa-apa," lanjut Marcie. "Kurasa pikirannya
sangat kacau sehingga dia bahkan lari dari polisi. Dia
mengira mereka berusaha menyakitinya."
"Menurut ibuku, si penculik kemungkinan mencuci
otaknya," kata Cassie. "Bisa saja seorang cowok sinting
membuatnya mengira mereka menikah."
"Iiih," seru mereka berbarengan.
"Entah apa yang terjadi, tapi kerusakannya parah,"
kata Marcie. "Sekalipun dia mengatakan tidak ingat apa-
apa, tapi di alam bawah sadarnya dia tahu kejadian yang
menimpanya. Beban ini akan menghantuinya seumur
111 hidup. Boleh jadi dia melingkari tubuhnya dengan pita
kuning bertuliskan, "Garis Polisi, Jangan Mendekat"."
Mereka cekikikan, lalu Marcie berkata, "Kembali
ke kelas, yuk. Aku tidak punya kartu izin. Sekretaris
sekolah menyembunyikannya di laci. Sialan."
Aku menunggu lama setelah mereka keluar, untuk
memastikan kamar mandi dan koridor telah kosong.
Kemudian aku membuka pintu dan berjalan cepat
melewati koridor, lalu berbelok ke pintu keluar dan
berlari kecil menuju lapangan parkir.
Di dalam VW, aku bertanya-tanya dalam hati.
Mengapa aku mengira bahwa aku bisa kembali ke
kehidupanku dan melanjutkan dari titik yang terhenti"
Karena itulah permasalahannya. Tidak ada yang
berhenti. Mereka maju tanpa aku. 112112 AkU beRSiap-Siap UntUk makan malam bersama bohemian yang lebar dan menggembung, Hank dan ibuku. Kupilih gaun
yang panjangnya nyaris menutupi lutut.
Sebenarnya gaun ini kelewat manis untuk sekadar
menghormati kedatangan Hank. Tetapi aku punya
motif tersembunyi. Malam ini ada dua target yang
harus kucapai. Pertama, membuat ibuku dan Hank
menyesal karena telah mengajakku makan malam
bersama mereka. Kedua, menunjukkan pendirianku
terhadap hubungan mereka. Aku sudah melatih ucapan
113 yang akan kukemukakan, tentunya dengan nada tinggi.
Dan semuanya akan berakhir setelah aku menyiramkan
minuman ke wajah Hank. Malam ini aku berniat
mengenakan mahkota Marcie, sang Diva Queen.
Tetapi, pertama-tama aku harus meyakinkan Ibu
dan Hank bahwa aku dalam kondisi baik untuk berada
di tengah keramaian. Seandainya aku keluar dari kamar
dengan mulut berbusa dan mengenakan T-shirt hitam
bertuliskan LOVE SUCKS, rencanaku tentu tidak akan
berjalan. Aku mandi selama tiga puluh menit. Air hangat
membasahi setiap inci tubuhku. Setelah menggosok
sampai bersih, kuoleskan kulitku dengan baby oil.
Goresan-goresan kecil yang menghiasi tangan dan
kakiku sudah sembuh dengan cepat. Begitu juga
dengan memar-memar. Tetapi goresan dan memar itu
adalah jejak bagi kehidupan yang kualami saat aku
dalam penculikan. Ditambah kulitku yang kotor saat
aku tiba di rumah sakit, kemungkinan aku disekap di
hutan. Atau suatu tempat terpencil sehingga mustahil
keberadaanku terlihat oleh orang lain. Suatu tempat yang
jauh sehingga peluangku untuk melarikan diri dengan
selamat mendekati nol besar.
Tetapi tentunya aku melarikan diri. Kalau tidak,
bagaimana aku bisa sampai di rumah" Aku semakin
berspekulasi dengan membayangkan hutan rapat yang
114 membentang di utara Maine hingga Canada. Meskipun
tak punya bukti bahwa aku ditahan di sana, itulah
perkiraanku. Aku melarikan diri, dan di luar perkiraan,
selamat. Itulah satu-satunya teoriku.
Sebelum keluar dari kamar, aku berdiri cukup lama
di depan cermin untuk meremas rambutku. Sekarang
sudah lebih panjang, tergerai menutupi separuh
punggungku dengan warna karamel yang alamiah,
berkat matahari musim panas. Jelaslah selama ini aku
berada di ruang terbuka. Kulitku memancarkan warna
tembaga, padahal sepertinya aku tidak ke salon tanning
selama waktu itu. Aku punya niat untuk membeli riasan
baru, tapi kemudian mengurungkannya. Aku tidak ingin
riasan baru menjadikan aku pribadi baru. Aku hanya
menginginkan diriku yang lama.
Aku menemui Hank dan Ibu di lantai bawah.
Samar-samar aku menilai Hank mirip boneka Ken
versi hidup, dengan mata birunya yang dingin, kulitnya
yang keemasan, dan sisi sampingnya yang tidak bercela.
Satu-satunya kekurangan Hank adalah tubuhnya agak
gempal. Ken pasti akan menang mudah kalau harus
berlomba dansa dengannya.
"Siap?" tanya Ibu. Dia juga berdandan rapi. Celana
panjang wol, blus, dan syal sutra. Tetapi aku lebih cemas
dengan yang tidak dikenakannya. Untuk kali pertama,
115 cincin kawinnya tidak terlihat. Tampak lingkaran pucat
di jari manisnya. "Aku akan membawa mobil sendiri," kataku
cepat-cepat. Hank meremas bahuku dengan lagak bercanda.
Sebelum aku bisa mengelak, dia berkata, "Marcie juga
begitu. Setelah punya SIM, dia ingin mengemudi ke
mana saja." Hank mengangkat tangan sebagai tanda
tidak keberatan. "Kita akan bertemu di sana."
Aku menahan mulut untuk mengatakan keinginan-
ku itu tidak ada hubungannya dengan SIM dalam
dompetku. Akan tetapi karena kalau aku di dekatnya,
perutku terasa mulas. Aku berbalik untuk menghadap ibuku. "Bisa minta
uang untuk bensin" Tangkinya kosong."
"Sebenarnya," kata Ibu, sambil menatap Hank
dengan sorot mata meminta dukungan, "aku sangat
berharap kita memanfaatkan kesempatan ini untuk
berbincang-bincang. Ikut saja dengan kami. Besok aku
akan memberimu uang untuk membeli bensin." Nada
bicaranya sopan, tapi jangan salah, ucapannya tidak
bisa ditawar-tawar. "Jadilah anak manis, dengarkan ibumu," kata Hank
sambil menebar senyum putih berkilau.
"Aku yakin kita punya banyak waktu untuk
berbincang-bincang saat makan malam. Rasanya tidak
116 ada masalah kalau aku menggunakan mobil lain,"
kataku. "Memang benar, tapi kau tetap harus semobil
dengan kami," kata Ibu. "Sepertinya aku kehabisan uang
tunai. Ponsel barumu itu tidak murah."
"Tidak bisakah aku menggunakan kartu kreditmu?"
Tapi aku sudah tahu jawabannya. Berbeda dengan ibu
Vee, ibuku tidak pernah meminjamkan kartu kreditnya.
Aku pun tidak punya keluwesan untuk membujuknya.
Seharusnya aku bisa menggunakan uangku sendiri.
Tetapi aku belum ingin menyerah. Sebelum dia sempat
menyemprotku, aku menambahkan, "Atau, bagaimana
dengan Hank" Aku yakin dua puluh dolar tidak ada
artinya. Benar, "kan, Hank?"
Hank tertawa, tapi aku melihat garis-garis
kejengkelan di sekeliling matanya. "Kau punya putri
yang pandai bernegosiasi, Blythe. Naluriku mengatakan
dia tidak mewarisi karaktermu yang manis dan menahan
diri." "Jangan lancang, Nora," kata ibuku. "Kau membesar-
besarkan masalah sepele. Semobil dengan kami tidak
akan membunuhmu." Aku menatap Hank, berharap dia bisa membaca
pikiranku. Jangan yakin dulu.
117 "Sebaiknya kita pergi," kata Ibu. "Kita sudah
memesan tempat untuk jam delapan. Jangan sampai
meja kita diambil orang."
Sebelum aku sempat mendebat, Hank membuka
pintu depan dan memberi isyarat supaya aku dan ibuku
keluar. "Ah, itukah mobilmu, Nora" VW itu?" tanyanya.
"Kalau sempat, mampirlah ke showroom-ku. Aku bisa
memberikanmu Celica convertible dengan harga yang
sama." "Itu hadiah dari seorang teman," kata Ibu
menjelaskan. Hank bersiul. "Hebat sekali temanmu."
"Namanya Scott Parnell," kata Ibu. "Teman lama
keluarga kami." "Scott Parnell," ulang Hank, menggosok-gosok
mulutnya. "Rasanya aku pernah dengar namanya.
Apakah aku kenal dengan orangtuanya?"
"Ibunya, Lynn, tinggal di Deacon Road. Tapi Scott
pindah musim panas ini."
"Menarik," gumam Hank. "Kau tahu dia tinggal
di mana?" "New Hampshire. Kau kenal Scott?"
Hank menepis rasa penasarannya dengan goyangan
kepala. "New Hampshire adalah kota yang sepi,"
gumamnya. Suaranya begitu lirih sehingga langsung
membuatku mual. 118 Yang tidak kalah menjengkelkannya, Hank pantas
menjadi adik ibuku. Aku tidak melebih-lebihkan. Bulu-
bulu halus menutupi sebagian besar wajahnya. Tetapi
aku bisa melihat bahwa dia memiliki rona kulit yang
menawan. Keriputnya pun sangat sedikit. Aku memang
sudah menyangka, pada akhirnya Ibu akan berkencan
lagi, atau bahkan menikah. Tetapi aku ingin dia
mendapatkan suami yang berpenampilan berbeda. Hank
Millar terkesan seperti anak SMA yang bersembunyi di
balik setelan jas abu-abu.
Sesampainya di Coopersmith"s, Hank memarkir
mobil di bagian belakang. Ketika kami turun, ponsel
baruku berbunyi. Memang, aku memberi tahu nomor
baruku kepada Vee sebelum pergi tadi.
SAY! AQ DI RMHMU. KAU DMN"
"Aku akan menyusul," kataku kepada Ibu dan Hank.
"Ada SMS," kataku sambil menggoyangkan ponsel.
Sorot mata Ibu tajam, tanda bahwa aku tidak boleh
berlama-lama. Kemudian dia menerima uluran tangan
Hank dan berjalan menuju pintu restoran.
Aku membalas SMS Vee. TEBAK AQ DMN MN Q TAHU" balasnya.
SUMPAH TDK BLNG SIAPA2"
SUMPAH 119 Dengan enggan aku menulis, MKN MLM DGN
BOKAP MARCIE. #"@#$"!&

Hush Hush Trilogy Buku 3 Silence Karya Becca Fitzpatrick di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

IBUQ KENCAN DGNNYA. PENGKHIANAT! KLO MRKA MNIKAH, KAU &
MARCIE.... MOGA2 TDK! DIA TAHU KAU SMS-AN DGNQ" tanya Vee.
TDK. MRK DI DLM, AQ DI LAP PARKIR"
COOPERSMITH"S. AQ AKAN PSN MKNAN PLNG
MAHAL. N AQ AKAN MENYIRAMKAN MNMAN
KE WJHNYA. HA! AQ AKAN JEMPUT. QT PERLU JLN2. DAH
LAMA. KANGEN! NGGA BS. balasku. IBUQ BKLAN NGAMUK.
KAU MENOLAK"! URUSAN KLUARGA. AQ KANGEN BERAT" AQ JG. U R MY BEST FRIEND.
YA IYALAH. QT KTMU DI ENZO BSOK. JAM 4"
OK. Setelah menutup telepon, aku menyeberangi
lapangan parkir dan masuk ke restoran. Cahaya di sana
temaram, dekorasinya bergaya maskulin dengan dinding
120 bata, bilik-bilik yang dilapisi kulit warna merah, dan
chandelier berbentuk tanduk. Aroma daging panggang
meruap di udara. Televisi di bar menyiarkan kabar
olahraga. "Aku datang bersama orang yang masuk beberapa
menit lalu," kataku kepada pelayan restoran. "Reservasi
atas nama Hank Millar."
Wajah gadis itu berseri-seri. "Ya, Hank baru saja
masuk. Ayahku sering main golf dengannya. Jadi aku
kenal baik dengannya. Dia seperti ayah kedua bagiku.
Aku yakin perceraian itu membuatnya menderita. Jadi,
senang rasanya melihat dia berkencan lagi."
Aku teringat ucapan Marcie bahwa ibunya punya
teman di mana-mana. Semoga saja Coopersmith"s di
luar radarnya. Kalau tidak, kabar tentang kencan ini
akan cepat tersebar. "Kurasa itu tergantung siapa yang
kau tanya," gumamku.
Senyum gadis itu memudar. "Oh! Perhatian sekali.
Kau benar. Aku yakin mantan istrinya tidak setuju.
Tidak seharusnya aku bicara seperti itu. Silakan ke arah
sini." Dia tidak mengerti maksudku, tapi kubiarkan saja.
Aku mengikutinya melewati bar, menuruni beberapa
anak tangga, dan menuju area makan yang muram. Foto-
foto hitam-putih para mafia terkenal menghiasi dinding
bata. Taplak meja terbuat dari layar kapal. Kabarnya,
121 lempengan lantai restoran ini berasal dari pepuingan
kastil di Prancis yang berdiri pada abad keenam belas.
Sepertinya Hank menyukai benda-benda kuno.
Begitu melihatku, Hank berdiri. Sopan santun
memang tak pernah lepas dari dirinya. Andai saja dia
tahu tindakan yang akan kulakukan.
"Vee yang mengirim SMS?" tanya Ibu.
Aku duduk di sebuah kursi dan mengangkat buku
menu sehingga menutupi wajahku dari Hank. "Ya."
"Bagaimana kabar Vee?"
"Baik." "Masih Vee yang dulu?" canda ibuku.
Aku mengangguk. "Kalian harus pergi bersama akhir pekan ini,"
usulnya. "Itu rencana kami."
Setelah itu, Ibu membuka buku menu. "Well!
Sepertinya lezat-lezat. Sulit sekali memilih. Kau pesan
apa, Nora?" Aku membaca kolom harga, mencari angka tertinggi.
Tiba-tiba Hank terbatuk-batuk dan melonggarkan
dasinya. Dia terlihat seperti orang tersedak. Matanya
membelalak. Aku mengikuti arah pandangannya dan
melihat Marcie Millar masuk bersama ibunya. Susanna
Millar menggantungkan kardigannya di gantungan
122 jaket yang antik. Kemudian mereka mengikuti pelayan
restoran, menuju meja keempat dari kami.
Susanna Millar duduk memunggungi kami. Aku
yakin dia tidak melihat kami. Tetapi Marcie, yang duduk
di seberang ibunya, seolah tak percaya dengan yang
dilihatnya. Gelas yang dipegangnya berhenti beberapa
inci dari mulutnya. Matanya menyerupai mata ayahnya.
Membelalak lantaran kaget. Dia menatap Hank, lalu
ibuku, dan akhirnya aku. Marcie mencondongkan badan dan berbisik kepada
ibunya. Tubuh Susanna menjadi kaku.
Perutku mulas. Rasa tidak nyaman itu menjalar
hingga ke kakiku. Marcie mendadak berdiri. Ibunya meraih tangannya,
tapi Marcie lebih cepat. Dia menghampiri kami.
"Jadi, kalian sedang makan malam bersama?"
katanya di ujung meja kami.
Hank berdeham. Dia melirik ibuku dan memejamkan
mata sekilas, meminta maaf.
"Boleh aku memberi pendapat sebagai orang luar?"
lanjut Marcie dengan nada yang dibuat sangat ceria.
"Marcie," tegur Hank, nada bicaranya khawatir.
"Karena sekarang kau bebas, seharusnya kau
berhati-hati memilih teman kencan," katanya kepada
sang Ayah. Meskipun bersikap tegar, aku melihat tangan
123 Marcie gemetar. Mungkin karena sangat marah. Tapi
anehnya, di mataku dia seperti orang ketakutan.
Dengan bibir nyaris tak bergerak, Hank bergumam,
"Kembali ke ibumu dan nikmati santapanmu. Kita
bicarakan ini nanti."
Tetapi Marcie belum mau menyerah. "Mungkin
kedengarannya kasar, tapi kata-kataku ini sangat
berguna," lanjutnya. "Sebagian perempuan mata duitan.
Mereka cuma ingin uangmu." Tatapan matanya tertuju
ke ibuku. Aku menatap Marcie dengan sorot mata penuh
permusuhan. Ayahnya adalah pedagang mobil.
Kemungkinan itu adalah pekerjaan yang sangat
hebat di Coldwater. Tapi Marcie bersikap seolah-olah
keluarganya memiliki anak-cucu yang harus didanai!
Seandainya ibuku mata duitan, seharusnya dia mencari
lelaki yang jauh lebih baik dari pedagang mobil bernama
Hank. "Lagi pula, mengapa Coopersmith"s?" lanjut Marcie
dengan nada muak yang menyelimuti gaya cerianya.
"Parah sekali. Ini restoran kami. Kami merayakan ulang
tahun di sini, juga pertemuan bisnis dan perayaan lain.
Memangnya kau tidak bisa mencari tempat lain?"
Hank memijit batang hidungnya.
124 "Aku yang memilih restoran ini, Marcie," kata ibuku
dengan suara pelan. "Aku tidak tahu ini tempat spesial
bagi keluargamu." "Jangan bicara denganku!" bentak Marcie. "Ini
antara aku dan ayahku. Jangan ikut campur."
"Oke!" kataku, berdiri dari kursi. "Aku akan ke
kamar mandi." Aku mengedipkan mata kepada Ibu,
mengajaknya ikut denganku. Ini bukan persoalan kami.
Jika Marcie dan ayahnya ingin bertengkar di tempat
umum, silakan saja. Tapi aku tidak mau duduk di sini
dan menjadi penghalang. "Aku ikut denganmu," kata Marcie tanpa terduga.
Sebelum aku sempat memikirkan langkah berikutnya,
Marcie menggamit tanganku dan menarikku ke depan
restoran. "Ada apa ini?" tanyaku ketika kami sudah agak jauh.
Aku melirik tangan kami yang bertautan.
"Gencatan senjata," kata Marcie.
Sepertinya menit demi menit semakin menarik saja.
"Oh" Berapa lama?" tanyaku.
"Sampai ayahku putus dari ibumu."
"Semoga beruntung," dengusku.
Dia melepas tanganku sehingga kami bisa melewati
koridor menuju kamar mandi wanita yang hanya
bisa dilalui satu orang. Setelah pintu kamar mandi
ditutup, Marcie memeriksa ke bawah bilik-bilik untuk
125 me-mastikan tidak ada orang lain. "Jangan pura-pura
bodoh," katanya. "Aku melihatmu tadi. Wajahmu seperti
orang yang mau muntah."
"Apa yang ingin kau katakan?"
"Kita punya kesamaan."
Aku tertawa, tapi jenis tawa yang getir dan kering.
"Takut berada satu kelompok denganku?" tanyanya.
"Lebih tepatnya cemas. Aku bukan orang yang suka
menusuk dari belakang."
"Aku tidak akan menusukmu dari belakang." Dia
menggosok-gosok pergelangan tangannya dengan tidak
sabaran. "Tidak dalam persoalan seserius ini."
"Catat, Marcie hanya menusuk dari belakang dalam
persoalan enteng." Marcie duduk di konter wastafel. Sekarang dia jadi
lebih tinggi satu kepala dariku. "Benarkah kau tidak
ingat apa-apa" Maksudku, apakah kau benar-benar
amnesia?" Tenang, tenang. "Kau menyeretku ke sini karena
ingin membicarakan orangtua kita, atau karena kau
benar-benar tertarik kepadaku?"
Dahi Marcie berkerut. "Kalau terjadi sesuatu di
antara kita... kau tidak akan ingat, "kan" Seolah-olah
itu tidak terjadi?" Dia menatapku lekat-lekat, menunggu
jawaban. 126 Aku memutar bola mata. Perasaanku semakin
jengkel. "Apa yang ingin kau katakan?"
"Ini hanya perkiraanku saja."
Aku tidak percaya ucapannya. Boleh jadi Marcie
telah mempermalukan aku besar-besaran sebelum aku
menghilang. Tetapi sekarang, dia membutuhkan kerja
sama dariku. Dia berharap aku lupa. Apa pun yang
telah dilakukannya, aku senang seandainya aku tidak
ingat. Masih banyak masalah yang harus kupikirkan
ketimbang serangan mutakhirnya kepadaku.
"Kalau begitu, benar," kata Marcie. Ekspresinya
antara tersenyum dan bingung. "Kau benar-benar tidak
ingat." Aku membuka mulut, tapi tidak tahu apa yang
harus kukatakan. Berbohong, lalu ketahuan, jauh lebih
menunjukkan rendah diriku daripada berterus terang.
"Ayahku bilang, kau tidak ingat apa pun yang terjadi
sejak lima bulan lalu. Mengapa amnesia bisa sejauh itu"
Mengapa tidak hanya sejak hari ketika kau diculik?"
Kesabaranku habis. Kalaupun aku ingin membahas
masalah ini, jelas bukan dengan Marcie. "Aku tidak
punya waktu untuk membicarakan ini. Aku akan
kembali ke dalam." "Aku hanya ingin mendapatkan informasi."
"Ini bukan urusanmu," kataku, beranjak pergi.
"Apakah kau tidak ingat Patch?" semburnya.
127 Patch. Begitu nama itu disebut, bayangan hitam
menutupi pandanganku. Bayangan itu lenyap secepat
kemunculannya. Tetapi ada kesan yang ditinggalkan.
Emosi yang tidak bisa dijelaskan. Seolah seseorang
menampar wajahku sehingga sesaat aku kehilangan
kemampuan untuk menarik napas. Sengatan itu menjalar
hingga ke tulang. Aku tahu namanya. Ada sesuatu pada
dirinya.... "Apa katamu?" tanyaku perlahan, membalikkan
badan. "Kau sudah dengar ucapanku." Matanya mengamati
diriku. "Patch."
Aku tidak sanggup menutupi raut kebingungan dan
keraguan di wajahku. "Well, well," kata Marcie. Ekspresinya tidak
sesenang yang kuduga karena melihat diriku tidak
berdaya. Seharusnya aku keluar, tapi getaran yang tak
terjelaskan membuatku tidak beranjak dari sana. Jika
aku terus bicara dengan Marcie, mungkin bayangan
itu akan kembali. Mungkin kali ini bayangan itu akan
hadir cukup lama sehingga aku bisa memperoleh sesuatu.
"Apakah kau hanya ingin berdiri saja dan mengatakan
"well, well", atau kau punya penjelasan?"
128 "Patch memberikan sesuatu kepadamu awal musim
panas ini," katanya tanpa aba-aba. "Benda itu milikku."
"Siapa Patch?" Akhirnya aku bisa mengatakannya.
Pertanyaan ini sepertinya basi, tapi aku tidak ingin
membiarkan Marcie jauh di depan sampai aku bisa
mengejarnya"paling tidak sejauh yang kubisa. Lima
bulan bukan waktu singkat yang bisa ditutupi dengan
percakapan di kamar mandi.
"Teman kencanku. Selingan musim panas."
Sekali lagi, perasaan aneh itu menyerangku. Sesuatu
yang mendekati cemburu, tapi cepat-cepat kutepis.
Mustahil aku menyukai cowok yang ditaksir Marcie.
Kriteria cowok idamannya adalah murahan, egois, dan
bebal. Semua itu tidak membuatku tertarik.
"Apa yang dia berikan kepadaku?" Memang, banyak
hal yang tidak kuingat. Apalagi bahwa pacar Marcie
memberikan sesuatu kepadaku. Teman kami berbeda.


Hush Hush Trilogy Buku 3 Silence Karya Becca Fitzpatrick di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kami tidak terlibat dalam klub yang sama. Begitu
juga dengan aktivitas ekstrakurikuler yang kami pilih.
Singkatnya, kami tidak punya kesamaan barang sedikit
pun. "Kalung." Menyadari kali ini aku tidak perlu membela diri,
aku tersenyum penuh kemenangan. "Wah, Marcie, aku
berani sumpah, kalau seorang cowok memberi perhiasan
kepada cewek lain, artinya dia selingkuh."
129 Marcie tertawa begitu meyakinkan hingga rasa mual
akibat gelisah itu muncul kembali. "Aku tidak tahu
apakah kau benar-benar tidak ingat, atau kau mencoba
melucu." Aku melipat tangan di dada untuk menunjukkan rasa
terganggu dan tidak sabar. Tetapi sebenarnya aku merasa
hatiku dingin. Dingin yang tidak ada hubungannya
dengan temperatur. Aku tidak akan bisa lari dari
kenyataan ini. Ada firasat kuat bahwa pertemuanku
dengan Marcie hanyalah awal dari kabut gelap yang
telah menanti. "Kalung itu tidak ada padaku."
"Itu karena kau tidak ingat. Tapi kalung itu ada
padamu. Mungkin tersimpan dalam kotak perhiasanmu.
Kau sudah berjanji kepada Patch untuk menyampai-
kan kalung itu kepadaku." Marcie mengulurkan
secarik kertas. "Ini nomorku. Telepon aku kalau kau
menemukannya." Aku mengambil kertas itu, tapi tidak berniat me-
nyerah dengan cepat. "Mengapa Patch tidak memberikan
langsung kepadamu?" "Kita sama-sama berteman dengan Patch." Melihat
ekspresiku yang skeptis, dia menambahkan, "Ada saat
pertama untuk semuanya, "kan?"
"Kalung itu tidak ada padaku," ulangku dengan
tegas. 130 "Kalung itu ada padamu, dan aku ingin kau
mengembalikannya kepadaku."
Mengapa dia begitu berkeras" "Kalau ada waktu
senggang, aku akan mencarinya akhir minggu ini."
"Lebih cepat lebih baik."
"Itu tawaran terakhirku, terserah kau terima atau
tidak." Marcie mengibaskan tangan. "Mengapa kau selalu
menjengkelkan?" Aku memasang senyum manis, sebagai ganti
penghinaan yang ingin kulontarkan. "Mungkin benar,
aku tidak bisa mengingat kejadian lima bulan terakhir
ini. Tapi enam belas tahun sebelumnya masih jelas dalam
ingatanku. Termasuk sebelas tahun sejak kita saling
kenal." "Jadi, ini balas dendam" Dewasa sekali."
"Ini masalah prinsip. Aku tidak percaya kepadamu,
karena kau tidak memberiku alasan untuk bersikap
sebaliknya. Kalau kau ingin mendapatkan kepercayaan-
ku, kau harus memberiku alasan."
"Kau ini bodoh sekali. Berusahalah untuk ingat.
Kalau ada satu kebaikan Patch, itulah yang menyatukan
kita. Apakah kau tahu, kau datang ke pesta musim
panasku" Tanya saja teman-temanmu. Kau datang.
Sebagai temanku. Patch membuatku melihat sisi dirimu
yang lain." 131 "Aku datang ke pestamu?" Aku langsung skeptis.
Tetapi buat apa dia bohong" Marcie benar. Aku bisa
bertanya kepada orang lain. Bodoh sekali jika dia
berbohong untuk sesuatu yang mudah dibuktikan.
Seolah bisa membaca pikiranku, Marcie berkata,
"Jangan anggap enteng kata-kataku. Sungguh. Kau
bisa tanya sendiri." Kemudian dia melampirkan tali
dompetnya ke pundak dan bergegas pergi.
Selama beberapa menit, aku hanya berdiri saja untuk
mengembalikan ketenanganku. Ada satu pikiran yang
berkecamuk dalam kepalaku. Mungkinkah Marcie
mengatakan yang sebenarnya" Apakah pacarnya"
Patch?"melelehkan gundukan es yang menumpuk
selama bertahun-tahun itu dan membuat kami berdamai"
Memikirkannya saja nyaris membuatku tertawa. Aku
har us membuktikan keben aran ucapannya. Aku
semakin menyesali memoriku yang sedang bermasalah.
Entah bagaimana, hal itu semakin memojokkan posisiku
di depan Marcie. Dan seandainya Patch adalah selingan musim
panasnya sekaligus teman kami, di mana cowok itu
sekarang" Keluar dari kamar mandi, aku tidak melihat Marcie
dan ibunya. Mungkin mereka pindah ke meja lain, atau
menunjukkan sikap kepada Hank dengan keluar dari
132 restoran ini. Bagaimanapun, aku sama sekali tidak
merasa rugi. Aku memperlambat langkah begitu meja kami
terlihat. Hank dan ibuku sedang berpegangan dan
bertatapan dengan mesra. Hank mengulurkan tangan
untuk menyelipkan rambut yang jatuh ke wajah Ibu ke
balik telinganya. Wajah Ibu merona bahagia.
Tanpa sadar, aku mundur. Aku merasa mual. Klise
sekali, tapi ini kenyataan. Masa bodoh dengan rencana
menyiram minuman ke wajah Hank. Masa bodoh
dengan rencanaku untuk berubah menjadi diva seperti
dalam kisah kepahlawanan.
Aku berlari ke pintu depan. Setelah menitipkan
pesan kepada pelayan bahwa aku meminta dijemput
Vee, aku bergegas menuju malam.
Aku menghela napas panjang. Tekanan darahku
menjadi stabil, dan pandanganku tidak kabur lagi.
Beberapa bintang berkilau di langit, meskipun ufuk barat
masih cerah karena matahari yang baru saja tenggelam.
Cuaca cukup dingin sehingga aku berharap mengenakan
baju tebal. Sebenarnya aku membawa jaket jins. Tetapi
karena terburu-buru, kutinggalkan jaket itu di sandaran
kursi. Tentu saja aku tidak akan masuk ke restoran
kembali untuk mengambilnya. Aku lebih tergoda untuk
mengambil ponselku. Tetapi kalau aku bisa bertahan
133 selama tiga bulan tanpa alat itu, rasanya tambahan satu
malam lagi tidak apa-apa.
Ada 7-Eleven beberapa blok dari sini. Meskipun
tidak bijaksana pergi malam-malam sendirian, rasanya
aku juga tidak bisa menghabiskan seumur hidupku
dalam ketakutan. Jika korban gigitan hiu bisa kembali
melaut lagi, tentunya aku bisa berjalan beberapa blok
sendirian. Area ini tergolong bagian kota yang sangat
aman dan berpenerangan baik. Aku yakin, inilah tempat
terbaik kalau aku berniat mematahkan rasa takutku.
Enam blok kemudian, sampailah aku di 7-Eleven.
Pintunya berdenting ketika aku masuk. Saking larut
dalam pikiranku sendiri, aku tidak segera menyadari
sesuatu yang tidak beres. Tempat ini sangat sepi. Tetapi
aku tahu, aku tidak sendirian. Beberapa kepala terlihat
melalui kaca jendela saat aku menyeberangi lapangan
parkir tadi. Setidaknya ada empat cowok. Tetapi mereka
semua menghilang dengan begitu cepat. Bahkan konter
depan dibiarkan kosong tanpa ada yang menjaga.
Rasanya aku tidak pernah masuk ke toko swalayan
dan mendapati konter depannya ditinggalkan. Ini sama
saja memberi jalan untuk dirampok. Apalagi sekarang
sudah malam. "Halo?" panggilku. Aku menyusuri bagian depan
toko sambil memeriksa setiap lorongnya yang berisi
aneka macam dagangan, mulai dari Fig Newtons sampai
134 Dramamine. "Ada orang di sini" Aku butuh recehan
untuk ke telepon umum."
Suara gemeresik muncul dari lorong belakang.
Tempat itu gelap, kemungkinan dekat dengan kamar
mandi. Aku memasang telinga. Dengan gelagat-gelagat
palsu yang kutemui belakangan ini, aku khawatir yang
satu ini pun hanya halusinasiku.
Kemudian terdengar bunyi lagi. Deritan pelan seperti
bunyi pintu ditutup. Aku yakin, ini bukan halusinasi.
Mungkin ada seseorang yang bersembunyi di belakang
sana. Kegelisahan membuat perutku mulas, aku bergegas
keluar. Aku menemukan telepon umum saat memutari
bangunan ini. Cepat-cepat kutekan tombol 9-1-1. Aku
hanya mendengar satu dering karena setelah itu ada
tangan terulur melewati bahuku, menekan tombol
penerima panggilan, dan putuslah hubungan.
135 AkU membalikkan badan. puluh lima kilo dibandingkan aku. Lampu- Lelaki itu lebih besar enam inci dan dua
lampu di lapangan parkir tidak mampu memberikan
penerangan sempurna hingga ke tempatku berdiri. Tetapi
aku masih mampu menangkap beberapa fitur dirinya.
Rambutnya merah, berminyak dengan gel, dan ditata
model spike. Matanya biru bening, dia mengenakan
giwang dan kalung gigi hiu. Bagian bawah wajahnya
berjerawat. Dan tank top hitam yang dikenakannya
136 menunjukkan bisepnya yang berotot dan ditato dengan
gambar naga yang sedang menyemburkan api.
"Butuh bantuan?" tanyanya sambil tersenyum tipis.
Dia mengulurkan ponselnya, kemudian merentangkan
tangan di telepon umum, menjorok ke dekatku.
Senyumnya kelewat manis sekaligus angkuh. "Aku
tidak suka melihat gadis cantik membuang uang untuk
menelepon." Melihatku tidak menjawab, dia sedikit mengerutkan
kening. "Kecuali kau menghubungi nomor bebas pulsa."
Lelaki itu menggaruk-garuk pipinya, menunjukkan dia
sedang berpikir. "Tapi nomor gratis yang bisa dihubungi
melalui telepon umum hanya... nomor polisi." Kalaupun
sebelumnya ada kesan manis dalam suaranya, sekarang
kesan itu hilang. Aku menelan ludah. "Tidak ada orang di konter
depan. Kupikir ada sesuatu yang tidak beres." Dan
sekarang aku tahu, memang ada yang tidak beres. Satu-
satunya alasan yang membuatnya peduli apakah nomor
yang kuhubungi adalah nomor petugas keamanan atau
bukan adalah karena dia tidak ingin polisi datang ke
sini. Kalau begitu, apakah dia perampok"
"Begini," katanya dengan kepala menunduk
sehingga wajahnya dekat dengan wajahku, seolah-olah
aku anak lima tahun yang harus diberi petunjuk dengan
137 lambat dan jelas. "Kembali ke mobilmu dan teruskan
perjalananmu." Ternyata dia tidak tahu, aku ke sini dengan berjalan
kaki. Tetapi pikiran itu menjadi sesuatu yang tidak
meyakinkan ketika aku mendengar suara berkeresak dari
lorong di dekat sudut sana. Kemudian aku mendengar
seseorang melontarkan sumpah serapah dan erangan
kesakitan. Ada dua pilihan di tanganku. Menerima saran si
Kalung Gigi Hiu dengan cepat-cepat hengkang, seolah-
olah aku tidak pernah ke sini, atau berlari ke pom bensin
di ujung jalan dan menelepon polisi. Tetapi rasanya
sudah terlambat untuk menghubungi polisi. Seandainya
mereka merampok, tentunya kepergianku akan mereka
manfaatkan dengan baik. Satu lagi pilihanku adalah
tetap di sini dan dengan sangat berani, atau sangat tolol,
berusaha mencegah perampokan.
"Ada apa di sana?" tanyaku dengan lugu sambil
memberi isyarat ke belakang bangunan.
"Lihat sekelilingmu," jawabnya. Suaranya lembut
dan merdu. "Tempat ini sepi. Tidak ada yang tahu
kau di sini. Bahkan tidak ada yang akan ingat kau ke
sini. Sekarang, jadilah anak yang manis. Kembali ke
mobilmu." "Aku?" 138 Dia menekankan telunjuknya ke bibirku. "Aku tidak
akan mengajukan permintaan lagi." Suaranya halus,
bahkan agak merayu. Tetapi matanya sedingin es.
"Kunciku tertinggal di konter," kataku, menyebutkan
dalih pertama yang muncul dalam kepalaku.
Dia meraih tanganku dan menuntunku ke depan
bangunan. Langkah kakinya dua kali lebih panjang
dariku sehingga aku terpaksa separuh berlari untuk
mengimbanginya. Sementara itu, pikiranku kacau. Aku
berusaha memacu kecerdasanku untuk menemukan
dalih lain apabila kebohonganku terbongkar. Aku tidak
tahu bagaimana reaksinya nanti. Tetapi aku punya satu
ide. Dan ide itu membuat perutku mulas.
Pintu berdenting ketika kami masuk. Dia menarikku
ke meja kasir dan menyingkirkan papan promo
bergambar ChapStick dan kotak plastik berisi gantungan
kunci. Kemudian dia berusaha mencari kunciku dari
satu meja kasir ke meja berikutnya dengan terburu-buru.
Mendadak dia berhenti. Matanya menatapku. "Katakan,
di mana sebenarnya kuncimu?"
Aku memacu otakku. Apakah aku sanggup men-
dahuluinya berlari ke jalan" Berapa besar kemungkinan
ada mobil yang melintas ketika aku membutuhkannya"
Dan mengapa, ya Tuhan, mengapa aku keluar dari
Coopersmith"s tanpa membawa jaket dan ponsel"
"Siapa namamu?" tanyanya.
139 "Marcie," kataku berbohong.
"Biar kuberi tahu sesuatu kepadamu, Marcie,"


Hush Hush Trilogy Buku 3 Silence Karya Becca Fitzpatrick di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

katanya sambil menyelipkan untaian rambut ke belakang
telingaku. Aku berusaha mundur, tapi dia menjepit
telingaku sebagai tanda peringatan. Jadi aku berdiri
saja, merasakan sentuhan jarinya menjalar ke lekuk
telingaku lalu ke rahangku. Dia mengangkat daguku
sehingga aku terpaksa menatap matanya yang pucat,
nyaris transparan. "Tidak ada yang berani berbohong
kepada Gabe. Ketika Gabe menyuruh seseorang berlari,
sebaiknya dia berlari. Kalau tidak, Gabe akan marah.
Dan itu sangat buruk, karena Gabe mudah naik darah.
Bahkan naik darah hanya istilah yang halus dalam hal
ini. Kau mengerti?" Aneh sekali, dia menisbahkan dirinya sebagai
orang ketiga. Tetapi aku tidak ingin memprotes
masalah bahasa. Naluriku mengatakan Gabe tidak
suka diralat. Atau dipertanyakan. "Maaf." Aku tidak
berani memalingkan wajah. Khawatir itu akan dianggap
sebagai sikap tidak hormat.
"Aku ingin kau pergi sekarang," katanya dengan
suara yang dibuat selembut beludru.
Aku mengangguk, lalu mundur. Sikutku membentur
pintu, membuat udara dingin masuk.
140 Begitu aku di luar, Gabe berseru melalui pintu kaca,
"Sepuluh." Kemudian dia bersandar ke konter depan.
Senyum samar menghiasi wajahnya.
Aku tidak tahu alasannya mengucapkan kata itu.
Tetapi aku menjaga ekspresiku sambil terus melangkah
mundur, yang sekarang semakin cepat.
"Sembilan," katanya.
Ternyata dia menghitung mundur.
"Delapan," katanya, beranjak dari konter dan
berjalan pelan ke arah pintu. Telapak tangannya
ditempelkan ke kaca, kemudian dia membuat gambar
hati dengan jarinya. Melihat ekspresiku yang ketakutan,
dia tergelak. "Tujuh."
Aku membalikkan badan dan berlari.
Terdengar bunyi mobil mendekat di jalan raya. Aku
mulai berteriak-teriak dan melambai-lambaikan tangan.
Tetapi posisiku masih terlalu jauh. Mobil itu melintas
dengan cepat, bunyi mesinnya menghilang di tikungan.
Begitu sampai di jalan, aku melihat ke kanan dan
kiri. Tanpa berpikir panjang, aku memilih arah ke
Coopersmith"s. "Siap atau tidak, aku datang," seru Gabe di
belakangku. Kupacu kakiku sekuat-kuatnya. Terdengar bunyi
jejak sol sepatuku di trotoar. Ingin rasanya aku menoleh
ke belakang untuk melihat seberapa jauh dia dariku.
141 Tetapi aku memaksa diriku untuk memusatkan pikiran
hanya ke tikungan di depan. Aku berusaha menjaga
jarakku dengan Gabe sejauh mungkin. Sebentar lagi
pasti ada mobil yang melintasi jalan ini. Pasti.
"Hanya secepat itu larimu?" jarak Gabe denganku
pastinya tidak lebih dari dua puluh kaki. Lebih
parah lagi, suaranya tidak terdengar sayup. Pikiran
menakutkan menghantuiku. Mungkin ini bukan sesuatu
yang melelahkan baginya. Dia menikmati permainan
kucing-tikus ini. Dan sementara aku semakin lelah di
setiap langkah, dia malah semakin bersemangat.
"Terus berlari!" serunya seperti orang bernyanyi.
"Tapi jangan memaksa diri. Tidak lucu kalau kau tidak
bisa melawan ketika aku menangkapmu. Aku ingin
bermain." Di depan, terdengar dengusan mesin kendaraan
mendekat. Cahaya lampu seinnya mulai terlihat. Aku
berlari ke tengah jalan, melambai-lambaikan tangan
dengan panik. Gabe tidak akan melukaiku jika ada
seorang saksi. Bukankah begitu"
"Berhenti!" teriakku, terus menggerak-gerakkan
tangan ke kendaraan yang ternyata sebuah mobil bak
terbuka. Pengemudinya melambatkan laju mobil, dan
membuka jendela. Dia lelaki paruh-baya, mengenakan
142 kemeja flanel. Baunya seperti orang yang belum lama
pergi dari pasar ikan. "Ada apa?" tanyanya. Tatapannya bergeser ke
seseorang di belakangku. Aku merasakan kehadiran
Gabe seperti celah dingin di udara.
"Cuma sedang bermain petak umpet," kata Gabe,
merangkul bahuku. Aku menepiskan tangannya. "Aku tidak mengenal
lelaki ini," kataku kepada si pengemudi. "Dia me-
ngancamku di 7-Eleven. Kurasa dia berusaha merampok
toko itu bersama teman-temannya. Ketika aku masuk,
toko itu kosong dan aku mendengar seseorang melawan
di belakang. Kita harus menelepon polisi."
Aku hendak meminjam ponsel kepada lelaki itu.
Tetapi, aku menjadi bingung karena dia memalingkan
wajahnya ke depan, tidak memedulikan aku. Kemudian
dia menutup jendela. "Kau harus menolongku!" kataku, memukul-
mukul jendelanya. Tetapi pandangan matanya tetap ke
depan. Desir dingin menari di kulitku. Lelaki itu tidak
mau menolongku. Dia akan meninggalkan aku di sini
bersama Gabe. Gabe meniru tindakanku, mengetuk-ngetuk
jendela mobil lelaki itu dengan putus asa. "Tolong
aku!" teriaknya dengan suara ketakutan. "Gabe dan
teman-temannya merampok 7-Eleven. Oh, kau harus
143 membantuku menghentikan perbuatan mereka!"
Kemudian dia terbahak-bahak hingga kepalanya
menengadah. Lelaki di dalam truk menatap kami nyaris seperti
robot. Matanya agak juling dan tidak berkedip.
"Ada apa denganmu?" kataku, mengguncang-
guncang gagang pintu mobil. Lalu aku menggedor
jendelanya lagi. "Telepon polisi!"
Lelaki itu menginjak pedal gas. Mobil itu mulai
bergerak, dan aku berlari di sampingnya dengan harapan
bisa membuka pintu. Tetapi dia mempercepat laju
mobilnya hingga nyaris membuatku terjungkal lantaran
terus berusaha mengejar. Mendadak dia melaju kencang,
dan aku tertinggal di jalan.
Aku berbalik ke Gabe. "Apa yang kau lakukan?"
Ini. Aku mengernyit saat mendengar kata itu bergema
di dalam kepalaku seperti kehadiran hantu. Mata Gabe
menghitam. Bulu-bulunya bertumbuhan. Pertama
di puncak kepala, kemudian di mana-mana. Bulu
itu tumbuh di tangannya, hingga ke ujung jari, dan
seluruh tubuhnya. Benar-benar bulu cokelat yang
tebal. Dia bergerak ke arahku dengan kaki belakang,
lalu meluruskan badan hingga tubuhnya jauh lebih
tinggi dariku. Aku melihat kilatan cakar ketika dia
mengayunkan tangan. Kemudian dia merangkak,
144 menempelkan hidung hitamnya yang basah ke wajahku,
dan mengaum"bunyinya bergema dan sarat kemarahan.
Gabe telah berubah menjadi beruang grizzly.
Saking takutnya, aku terjungkal dan jatuh. Aku
tergopoh-gopoh mundur, tanganku menyapu pinggiran
jalan yang berbatu. Aku mengambil satu batu dan
kulemparkan ke bahu beruang itu. Kuraih satu batu
lagi, lalu kuarahkan ke kepalanya. Batu itu mengenai
moncongnya. Beruang itu memalingkan kepala. Air liur
menetes dari mulutnya. Dia mengaum lagi, kemudian
mendekatiku dengan cepat.
Dengan tangannya, dia membuatku rebah di
pinggiran jalan. Dorongannya yang begitu kuat membuat
igaku berkeretak menyakitkan.
"Hentikan!" Aku berusaha menepis tangannya.
Tetapi dia jauh lebih kuat. Aku tidak tahu apakah dia
bisa mendengar atau memahami ucapanku. Aku tidak
tahu apakah ada bagian Gabe yang tersisa di dalam
tubuhnya. Belum pernah aku menyaksikan sesuatu yang
luar biasa menakutkan seperti ini.
Embusan angin membuat rambut jatuh ke wajahku.
Melalui helaian rambut, aku melihat angin membawa
bulu beruang itu. Jumputan-jumputan kecil melayang
ke kegelapan. Ketika aku mengangkat wajah lagi, Gabe-
lah yang berdiri di depanku. Senyum sadisnya seolah
mengatakan, Kau bonekaku. Jangan lupa itu.
145 Aku tidak tahu mana yang lebih membuatku
ketakutan, Gabe ataukah beruang.
"Berdiri," katanya, menarikku.
Dia menyeretku melewati jalanan sampai lampu-
lampu 7-Eleven terlihat. Otakku tidak mampu mencerna
dengan baik. Apakah dia telah menghipnotis aku
sehingga aku percaya bahwa dia berubah menjadi
beruang" Atau, apakah ada penjelasan lain" Aku tahu,
aku harus pergi dari sini dan mencari bantuan. Hanya
saja aku tidak tahu caranya.
Kami memutari bangunan, menuju lorong tempat
yang lainnya berkumpul. Terlihat dua lelaki yang mengenakan baju ala anak
jalanan, seperti yang dikenakan Gabe. Lelaki ketiga
mengenakan kaus polo berwarna hijau jeruk nipis,
dengan sulaman bertuliskan 7-Eleven dan nama B.J. di
saku. B.J. membungkuk sambil memegang tulang rusuknya
dan mengerang kesakitan. Matanya dipejamkan rapat-
rapat. Air liur menetes dari sudut mulutnya. Salah seorang
teman Gabe"yang mengenakan jaket bertudung warna
abu-abu dan kelewat kebesaran di tubuhnya"berdiri
di depan B.J. Di tangannya ada batangan besi yang
terangkat dan siap diayunkan, kemungkinan bukan
untuk kali pertama. 146 Mulutku terasa kering. Kakiku seolah terbuat dari
jerami. Mataku tak bisa lepas dari noda merah pekat
yang merembes di bagian perut kaus B.J.
"Kau menyakitinya," kataku, ketakutan.
Gabe mengulurkan tangan ke temannya, dan tongkat
besi itu diserahkan kepadanya.
"Maksudmu ini?" tanyanya, pura-pura peduli.
Diayunkannya tongkat itu ke punggung B.J. Aku
mendengar bunyi berkeretak yang membuat perutku
mual. B.J. menjerit, roboh ke samping, dan meringkuk
kesakitan. Gabe merentangkan tongkat itu di belakang
bahunya, kedua tangannya mengepit besi itu seolah
tongkat baseball. "Home run!" serunya.
Kedua temannya terpingkal-pingkal. Kepalaku
pening hingga aku nyaris muntah.
"Ambil saja uangnya dan lepaskan dia!" kataku.
Suaraku melengking seperti jeritan. Jelaslah ini kasus
perampokan. Tetapi mereka melakukannya kelewat jauh.
"Dia akan mati kalau kau pukuli terus!"
Terdengar gumaman di antara gerombolan itu.
Seolah-olah ada sesuatu yang mereka ketahui, tetapi
tidak denganku. "Mati" Mustahil," kata Gabe.
"Tubuhnya mengeluarkan banyak darah!"
147 Gabe mengangkat bahu. Ketika itulah aku tahu, dia
bukan saja kejam, tapi juga gila. "Dia akan sembuh."
"Itu tidak akan terjadi kalau kau tidak cepat-cepat
membawanya ke rumah sakit."
Gabe menggunakan sepatunya untuk mendorong
B.J., yang berguling dan menelungkup di lantai semen.
Seluruh tubuhnya bergetar seperti orang yang baru
mengalami guncangan besar.
"Kau dengar dia?" teriak Gabe kepada B.J. "Kau
harus dibawa ke rumah sakit. Aku sendiri yang akan
mengantarmu ke sana dan menurunkanmu di depan
UGD. Asalkan kau mau mengucapkan sumpah itu dulu."
Dengan susah payah, B.J. mengangkat kepala
untuk memandang Gabe dengan tatapan menusuk.
Dia membuka mulut. Kupikir dia akan mengucapkan
kata-kata yang ingin mereka dengar. Tetapi dia malah
meludah ke kaki Gabe. "Kau tidak bisa membunuhku,"
ejeknya, tapi giginya gemeretuk dan bola matanya
berbalik menjadi putih, seperti orang yang akan pingsan.
"Black"Hand"mengatakan"itu"kepadaku."
"Jawabanmu salah," kata Gabe, melempar besi
dan menangkapnya seperti tongkat seorang dirigen.
Selesai dengan permainan itu, dia memukul B.J. keras-
keras. Logam itu membentur tulang punggung B.J.,
membuatnya tersentak dan mengeluarkan jeritan yang
membuat bulu roma berdiri.
148 Aku menutup mulut dengan tangan. Tubuhku tidak
bisa bergerak lantaran ketakutan. Ketakutan akibat
pemandangan mengerikan di depanku, dan sepatah kata
yang berteriak di dalam kepalaku. Seakan-akan kata
itu meluncur dari kedalaman alam bawah sadarku dan
langsung menghantamku. Nephilim. B.J. adalah N ephilim, pikirku, meskipun kata
itu tidak ada artinya bagiku. Mereka memaksanya
mengucapkan sumpah kesetiaan.
Kesadaran itu membuatku takut. Karena aku tidak
tahu maksudnya. Dari mana aku tahu hal ini" Bagaimana
aku bisa tahu jika aku tidak pernah menyaksikan hal
ini sebelumnya"

Hush Hush Trilogy Buku 3 Silence Karya Becca Fitzpatrick di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pikiranku terpecah ketika sebuah SUV putih
meluncur ke lorong di depan. Lampu sorotnya membuat
kami semua diam tak bergerak. Perlahan Gabe
menurunkan tongkat besi dan menyembunyikannya di
belakang kaki. Entah siapa yang berada di belakang
kemudi itu. Tetapi mudah-mudahan saja dia cepat-
cepat meninggalkan tempat ini dan menelepon polisi.
Kalau sang pengemudi menjalankan mobilnya semakin
dekat lagi, well, aku sudah melihat tindakan yang bisa
dilakukan Gabe supaya orang tidak membantu.
Saat aku mencari ide untuk menyeret B.J. dari
tempat ini ketika Gabe dan teman-temannya lengah,
149 salah seorang di antara mereka bertanya kepada Gabe,
"Menurutmu mereka Nephilim?"
Nephilim. Kata itu lagi. Kali ini diucapkan dengan
jelas. Alih-alih melegakan, kata itu malah membuatku
semakin takut. Aku tahu kata itu. Dan sepertinya Gabe
dan teman-temannya pun tahu. Bagaimana kami sama-
sama tahu" Bagaimana kami bisa memiliki kesamaan"
Gabe menggeleng. "Mereka membawa lebih dari satu
mobil. Black Hand tidak mungkin melawan kita dengan
pasukan di bawah dua puluh orang."
"Kalau begitu, polisi" Mungkin itu mobil samaran.
Aku bisa mengatakan bahwa mereka salah jalan."
Caranya berbicara membuatku menduga bukan
hanya Gabe yang punya kemampuan menghipnotis.
Mungkin kedua temannya pun bisa.
Cowok berjaket abu-abu hendak menghampiri mobil
itu, tapi Gabe melebarkan tangannya. "Tunggu."
SUV itu menderu semakin dekat. Batu-batu kerikil
terlontar di bawah rodanya. Kakiku gemetar karena
gugup. Seandainya terjadi perkelahian, Gabe dan
teman-temannya akan sangat sibuk. Aku bisa menyeret
B.J. keluar dari tempat ini. Memang, peluangnya kecil.
Tetapi tetap saja sebuah peluang.
Mendadak Gabe terbahak-bahak. Dia menepuk
punggung teman-temannya. Giginya berkilau.
150 "Well-well, Sobat. Lihat, siapa yang datang ke pesta
kita." 151 Tinggi. Jins gombrong dan SUV itU beRhenti, meSinnya dimatikan. Sang Pengemudi membuka pintu. Di tengah cahaya remang, seseorang keluar. Lelaki. T-shirt putih-biru dengan
lengan baju didorong ke siku. Wajahnya tak terlihat
jelas di bawah topi baseball. Tetapi aku bisa melihat
garis rahang dan mulutnya yang tegas. Gambaran ini
membuatku tersentak seperti disengat listrik. Kilatan
hitam itu muncul kembali dalam kepalaku dengan
begitu kuatnya hingga menutupi pandanganku selama
beberapa detik. 152 "Akhirnya kau ingin bergabung dengan kami?" seru
Gabe. Si pendatang baru tidak menjawab.
"Yang satu ini keras kepala," lanjut Gabe. Dengan
ujung sepatunya, dia menyenggol B.J. yang masih
meringkuk di tanah. "Dia tidak mau mengucapkan
sumpah. Mungkin merasa dirinya kelewat bagus
untukku. Padahal cuma anak dari perkawinan
campuran." Gabe dan teman-temannya tertawa. Tetapi si
Pengemudi SUV diam saja. Kalaupun mengerti lelucon
itu, dia tidak menunjukkannya. Dengan tangan di
dalam saku, dia mengamati kami tanpa berkata-kata.
Rasanya dia menatapku agak lama, tapi aku sangat
gugup sehingga mungkin saja aku melihat sesuatu yang
sebenarnya tidak ada. "Mengapa dia di sini?" tanyanya dengan suara pelan,
sambil mengayunkan dagunya ke arahku.
"Salah tempat, salah waktu," kata Gabe.
"Sekarang dia adalah saksi."
"Aku sudah menyuruhnya pergi." Benarkah Gabe
terkesan defensif" Ataukah itu hanya perasaanku"
Inilah kali pertama seseorang meragukan otoritas Gabe.
Dan aku praktis bisa merasakan udara di sekelilingnya
bermuatan negatif. "Dan?" 153 "Dia tidak mau pergi."
"Dia akan ingat semuanya."
Gabe memutar-mutar tongkat besi dengan cepat.
"Aku bisa memastikan dia tidak akan bicara."
Mata si Pengemudi beralih ke sosok B.J. "Sama
seperti kau meyakinkan dia untuk bicara?"
Gabe mengerutkan dahi. Pegangannya pada tongkat
besi mengencang. "Kau punya ide lain?"
"Yeah. Lepaskan dia."
Gabe mengusap hidung dan tertawa seperti orang
mendengus. "Lepaskan dia," ulangnya. "Apa yang
membuatnya tidak langsung menghubungi polisi" Huh,
Jev" Kau sudah memikirkan itu?"
"Kau tidak takut polisi," kata Jev tenang. Tetapi
aku menangkap kesan menantang dalam suaranya. Ini
adalah ancaman kedua yang ditujukan secara tidak
langsung pada otoritas Gabe.
Meski berisiko, aku memutuskan ikut campur
dalam perdebatan mereka. "Aku berjanji tidak akan
bicara kalau kau membebaskanku. Tapi izinkan aku
membawanya," kataku sambil memberi isyarat ke arah
B.J. Kata-kata itu terkesan tulus, tapi sebenarnya aku
menghibur diri dengan rencana untuk bicara. Aku
tidak akan membiarkan pelaku kekerasan semacam
ini melenggang tanpa hukuman. Jika Gabe bebas,
bukan tidak mungkin dia akan kembali menyiksa dan
154 menyengsarakan korban lain. Kusingkirkan pikiran itu
dari mataku karena mendadak aku khawatir Gabe bisa
membaca isi kepalaku. "Bagaimana?" kata Jev kepada Gabe.
Rahang Gabe mengencang. "Tidak. Aku sudah
menunggu berbulan-bulan sampai dia berumur enam
belas. Aku tidak akan membiarkannya pergi."
"Akan ada yang lain," kata Jev yang terlihat santai
dengan menautkan jari di atas kepala. Dia mengangkat
bahu. "Pergilah."
"Yeah" Dan menjadi seperti dirimu" Kau tidak punya
perantara Nephil. Cheshvan ini akan menjadi waktu
yang panjang dan sepi, Bung."
"Cheshvan masih beberapa minggu lagi. Kau masih
punya waktu. Pasti akan ada yang lain. Biarkan Nephil
dan gadis itu pergi."
Gabe mendekati Jev. Hanya dalam waktu tiga detik
saja, aku tahu Jev lebih tinggi, lebih cerdas, dan lebih
pandai menjaga sikapnya tetap santai. Tetapi Gabe punya
satu kelebihan. Tubuhnya besar dan gempal. Sementara
Jev jangkung dan langsing seperti cheetah, Gabe kekar
seperti banteng. "Secepat ini kau membuat kami kecewa"
Bukankah kau punya urusan lain malam ini" Kurasa
ini bukan urusanmu. Aku muak melihatmu datang
di menit-menit terakhir dan menembakkan peluru.
155 Aku tidak akan pergi sampai Nephil ini mengucapkan
sumpah kesetiaan." Kata-kata itu lagi. "Sumpah kesetiaan". Istilah yang
samar-samar kukenal, tapi sekaligus jauh. Kalaupun
makna kata itu tersimpan dalam salah satu relung
otakku, aku tetap tidak ingat. Meski begitu aku tahu,
konsekuensinya fatal bagi B.J.
"Ini malamku," imbuh Gabe, menekankan
pernyataan itu dengan meludah ke kakinya. "Aku akan
mengakhirinya dengan caraku."
"Tunggu," sela cowok berjaket abu-abu, kaget.
"Gabe! Nephil-mu hilang!"
Kami semua menoleh ke lokasi tempat B.J. meringkuk
tak berdaya beberapa menit lalu. Hanya noda berminyak
di tanah yang menjadi tanda dia ada di sana sebelumnya.
"Dia pasti belum terlalu jauh," kata Gabe gusar.
"Dominic, kau cari ke sana," katanya kepada cowok
berjaket abu-abu sambil menunjuk ke arah lorong.
"Jeremiah, periksa toko." Cowok yang mengenakan
T-shirt putih berlari ke sudut.
"Bagaimana dengannya?" tanya Jev, menunjuk ke
arahku. "Bagaimana kalau kau pikirkan sendiri dan
kembalikan Nephil-ku?" bentak Gabe.
Jev mengangkat tangan ke batas bahu. "Oke."
156 Aku merasa perutku mulas saat menyadari waktuku
sudah habis. Jev akan pergi. Dia adalah teman, atau
setidaknya kenalan, Gabe. Itu saja sudah membuatku
gugup. Tetapi pada saat yang sama, dia satu-satunya
kesempatanku untuk bisa keluar dari sini. Hingga saat ini
sepertinya dia berpihak kepadaku. Tetapi aku akan sendiri-
an kalau dia pergi. Gabe sudah menunjukkan dengan
jelas bahwa dia adalah pemimpin. Aku tidak berani
berharap kedua temannya tidak akan membelanya.
"Kau pergi begitu saja?" teriakku kepada Jev.
Tetapi Gabe menendang belakang kakiku, membuatku
tersungkur. Sebelum aku bisa berbicara lagi, napasku
seolah terkuras dari tubuhku.
"Akan lebih mudah kalau kau tidak melihat," kata
Gabe. "Satu pukulan saja. Kau tidak akan merasakan
apa-apa lagi." Aku hendak melarikan diri, tapi Gabe menjambak
rambutku dan menyentakkan kepalaku ke belakang.
"Kau tidak bisa memperlakukanku begini!" jeritku.
"Kau tidak bisa membunuhku begitu saja."
"Diam," geramnya.
"Jangan biarkan dia membunuhku, Jev!" teriakku.
Aku tidak bisa melihat Jev. Tetapi aku yakin dia masih
bisa mendengar suaraku, karena aku tidak mendengar
SUV-nya dijalankan. Aku berguling di tanah berkerikil,
berusaha berbalik supaya bisa melihat tongkat besi itu
157 dan menyingkirkannya. Aku mengepal sekumpulan batu
untuk kulemparkan ke arah Gabe.
Tetapi tangan besarnya menerpaku, membuat dahiku
menggerus tanah. Hidungku bengkok, batu melukai pipi
dan daguku. Terdengar geraman yang memuakkan,
dan Gabe jatuh ke atasku. Di tengah rasa panik, aku
bertanya-tanya apakah dia berusaha meremukkan
tubuhku. Mungkin membunuhku saja tidak cukup. Dia
harus membuatku menderita selama mungkin. Dengan
napas terengah-engah, aku meronta di bawah tubuhnya.
Setelah berusaha keras, akhirnya aku berhasil
membalikkan badan dan memasang posisi bertahan.
Aku menyangka Gabe akan melancarkan serangan
kedua. Tetapi aku tercengang. Gabe tertelungkup di
tanah. Tongkat besi tertancap di punggungnya.
Jev menyeka keringat di wajahnya dengan lengan
baju. Di kakinya, Gabe menyumpah-nyumpah tidak
keruan dengan tubuh tersentak-sentak kesakitan.
Aku tidak percaya dia masih hidup. Tongkat besi itu
menembus tulang belakangnya.
"Kau"menancapnya," semburku di tengah perasaan
ngeri. "Dan dia tidak akan suka itu. Jadi kusarankan kau
segera pergi dari sini," kata Jev, memuntir tongkat itu
sehingga menancap semakin dalam. Dia menoleh kepada-
ku dan mengangkat alis. "Lebih cepat lebih baik."
158 Aku mundur perlahan. "Bagaimana denganmu?"
Dia menatapku cukup lama, seolah mem-
pertimbangkan sesuatu. Ekspresi penyesalan muncul
sekilas di wajahnya. Sekali lagi, aku merasakan
dentuman kuat dalam memoriku yang mengancam akan
menyambungkan jembatan itu ke segala sesuatu yang
tadinya tak terjangkau. Aku membuka mulut, tetapi
hubungan antara pikiran dan kata-kataku terputus. Aku
tidak tahu bagaimana menghubungkan keduanya. Aku
harus mengatakan sesuatu, tapi tidak menemukan kata.
"Kau bisa duduk di sana selamanya, tapi kurasa B.J.
sudah menghubungi polisi," kata Jev.
Seolah-olah mendapat aba-aba, terdengar raungan
sirene dari kejauhan. Jev mengangkat Gabe dari bawah ketiaknya, lalu
menyeretnya ke semak belukar di ujung lorong. "Di
belakang jalan, dengan kecepatan tepat, kau bisa
membuat dirimu terpisah dari tempat ini beberapa mil
dalam waktu singkat."
"Aku tidak membawa mobil."
Matanya beralih kepadaku.
"Aku berjalan kaki," kataku.
"Angel," katanya dengan nada yang mengisyaratkan
dia berharap aku bercanda.
Pertemuan sesingkat ini tentu tidak cukup untuk
menciptakan nama kesayangan. Meski begitu, detak
159 jantungku berdebar tidak keruan. Angel. Bagaimana
dia tahu nama itu menghantuiku selama beberapa hari
ini" Bagaimana aku bisa menjelaskan kilatan hitam yang
menguat dengan kedatangannya"
Dan yang paling menggelisahkan dari segalanya,
jika aku menghubungkan titik-titik itu....
Patch. Sebuah suara berbisik dari alam bawah
sadarku. Sebuah kata yang membebaskan diri dari
sangkar yang mengungkungnya. Perasaan ini kali
terakhir muncul ketika Marcie menyebut nama Patch.
Satu nama itu mengantarku ke hamparan hitam


Hush Hush Trilogy Buku 3 Silence Karya Becca Fitzpatrick di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang menenggelamkanku dari segala arah. Aku
berkonsentrasi, mataku menatap lurus ke Jev, berusaha
memahami perasaan yang tidak bisa kujelaskan. Dia
tahu sesuatu yang tidak kuketahui. Mungkin tentang
Patch yang misterius. Mungkin tentang aku. Jelas tentang
aku. Kehadirannya membuatku larut dalam emosi yang
begitu kuat untuk dianggap sebagai kebetulan semata.
Tetapi bagaimana Patch, Marcie, Jev, dan aku bisa
terhubung" "Apakah aku"mengenalmu?" tanyaku, tidak
mampu menemukan penjelasan lain.
Dia menatapku. Ekspresinya tidak berubah. "Kau
tidak membawa mobil?" tegasnya, tidak memedulikan
pertanyaanku. "Tidak," ulangku, suaraku jauh lebih pelan.
160 Dia menengadah, seolah ingin bertanya kepada
bulan, Mengapa aku" Kemudian dia memberi isyarat
dengan ibu jarinya ke SUV putih. "Naik."
Aku memejamkan mata, berusaha berpikir. "Tunggu.
Kita harus tetap di sini untuk memberikan kesaksian
kepada polisi. Kalau tidak, kita bisa dianggap bersalah.
Aku akan mengatakan kepada polisi, kau membunuh
Gabe untuk menyelamatkan nyawaku." Aku mendapat
ilham lagi. "Kita akan mencari B.J. dan memintanya
memberikan kesaksian juga."
Jev membuka pintu mobil. "Semua itu bisa dilakukan
kalau polisi bisa diandalkan."
"Apa maksudmu" Mereka polisi. Tugas mereka
menangkap penjahat. Kita bukan pihak yang bersalah.
Gabe pasti membunuhku kalau kau tidak turun tangan."
"Aku tidak meragukan bagian yang itu."
"Lalu apa?" "Ini bukan tipe kasus yang bisa ditangani lembaga
hukum." "Aku yakin pembunuhan termasuk perbuatan yang
diatur hukum!" tukasku.
"Ada dua hal," katanya dengan sabar. "Pertama,
aku tidak membunuh Gabe. Aku melumpuhkannya.
Kedua, percayalah bahwa Jeremiah dan Dominic tidak
akan menyerahkan diri secara sukarela dan tanpa
pertumpahan darah." 161 Aku hendak membantah lagi, tapi dengan sudut
mataku, aku melihat tubuh Gabe tersentak. Ajaib, dia
tidak mati. Aku ingat bagaimana dia menipu mataku
sehingga melihat sesuatu yang hanya bisa terjadi dengan
keahlian hipnotis atau sulap yang luar biasa. Apakah
dia menggunakan trik lain untuk menghindar dari
kematian" Aku mendapat firasat mengerikan bahwa ini
adalah sesuatu yang lebih besar dari yang bisa kupahami.
Tapi" Apa persisnya" "Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Jev pelan.
Aku ragu-ragu. Tetapi tidak ada waktu untuk itu.
Kalau Jev mengenal Gabe seperti yang kuduga, dia
pasti tahu tentang... kemampuan Gabe. "Aku melihat
Gabe"memainkan trik. Trik sulap." Ekpresi Jev yang
muram menegaskan bahwa dia tidak terkejut. Aku
menambahkan, "Dia membuatku melihat sesuatu yang
tidak nyata. Dia berubah menjadi beruang."
"Menyangkut kemampuan yang dimilikinya, itu
hanya puncak dari gunung es."
Aku menelan ludah. "Bagaimana dia melakukannya"
Apakah dia ahli sulap?"
"Semacam itu." "Itu hanya trik?" Aku benar-benar tidak menyangka,
sulap bisa sehebat ini. "Begitulah. Dengar, waktu kita tidak banyak."
162 Tatapanku beralih ke semak yang menutup sebagian
tubuh Gabe. Ahli sulap bisa menciptakan ilusi. Tetapi
mereka tidak bisa mengelak dari kematian. Tidak ada
keterangan logis yang menjelaskan bagaimana dia bisa
bertahan. Bunyi sirene semakin dekat. Jev mendorongku ke
SUV. "Cepat." Aku tidak bergerak. Tidak mampu. Tanggung jawab
moral menyuruhku tetap di sini"
"Kalau kau bicara kepada polisi," kata Jev, "kau
akan mati sebelum akhir minggu ini. Begitu juga setiap
polisi yang terlibat. Gabe akan menghentikan investigasi
sebelum dimulai." Aku masih diam selama dua detik lagi untuk
memikirkan sarannya. Aku tidak mesti percaya kepada
Jev. Tetapi pada akhirnya, lantaran alasan yang kelewat
rumit untuk diuraikan, aku percaya kepadanya.
Aku mengambil tempat di sampingnya. Jantungku
berdebar keras. Dia menghidupkan Tahoe. Kemudian,
dengan satu tangan di belakang kursiku, dia menoleh
untuk melihat melalui jendela belakang.
Jev memundurkan mobil ke lorong, kembali ke jalan,
kemudian melaju menuju persimpangan di depan. Di
sudut ada tanda berhenti, tapi kecepatan Tahoe tidak
berkurang. Aku berpegangan ke gagang pintu dengan
kedua tangan dan berharap setidaknya Jev menghargai
163 rambu lalu lintas. Tiba-tiba suatu siluet hitam bergerak
tertatih-tatih di jalur kami. Tongkat besi mencuat dari
punggung Gabe dengan sudut yang mengerikan. Di
tengah cahaya temaram, benda itu menyerupai anggota
tubuh yang patah. Sayap yang koyak.
Jev menginjak gas dan membawa SUV ke gigi satu.
Mobil itu melejit maju. Gabe kelewat jauh untuk bisa
membaca ekspresi Jev, tapi dia tidak menunjukkan
tanda-tanda akan bergeser. Dia bersimpuh, kakinya
ditekuk ke bawah, tangannya diangkat ke depannya
seolah-olah dia mengira bisa menahan kami.
Aku mencengkeram tali sabuk pengaman. "Kau
akan menabraknya!" "Dia akan bergeser."
Kakiku menendang-nendang, seolah ingin menginjak
pedal rem. Jarak antara Gabe dan Tahoe menipis dengan
cepat. "Jev"berhenti"sekarang!"
"Dia tidak akan mati."
Jev memacu Tahoe dengan kecepatan maksimal.
Kemudian, peristiwa itu terjadi dengan sangat cepat.
Gabe terlempar ke arah kami. Tubuhnya membentur
kaca depan yang kemudian retak sehingga terlihat seperti
jaring laba-laba. Sedetik kemudian dia menghilang dari
pandangan. Jeritan mengiang di dalam mobil. Aku sadar,
itu adalah jeritanku. 164 "Dia di atas mobil," kata Jev, kemudian menggerakkan
mobil ke trotoar, melaju di antara kursi jalan, terus
melewati pohon yang menggelayut rendah. Kemudian
dia berbelok tajam ke kiri, membuat mobil tersentak
kembali ke jalan. "Apakah dia jatuh" Di mana dia" Apakah masih di
atas?" Kutempelkan wajah ke jendela, berusaha melihat
ke atas. "Siap-siap." "Untuk apa?" teriakku, meraih gagang pintu untuk
berpegangan lagi. Aku tidak merasakan mobil direm. Tetapi Jev pasti
menekan pedal itu. Karena Tahoe berputar sebelum
berhenti. Bahuku membentur rangka pintu. Dari sudut
mata, aku melihat sebuah massa hitam melayang di
udara dan mendarat dengan anggun seperti kucing.
Sesaat tubuh Gabe tidak bergerak sama sekali. Posisinya
memunggungi kami. Jev menggerakkan Tahoe ke gigi satu.
Gabe menoleh. Rambutnya menempel ke samping
wajahnya lantaran kucuran keringat. Matanya
menatapku lekat-lekat. Mulutnya melengkung jahat.
Dia mengucapkan sesuatu seiring melesatnya Tahoe.
Meskipun aku tidak bisa membaca gerakan bibirnya,
pesan itu sangat jelas. Ini belum berakhir.
165 Aku merapatkan punggung ke sandaran kursi,
menelan udara saat Jev memacu mobil dengan kecepatan
yang aku yakin akan menimbulkan bekas ban di jalan.
166166 menepi-kan Tahoe ke bahu sebuah jalanan pedesaan JeV hanya mengemUdi SeJaUh lima blok. Sekarang sudah terlambat untuk memintanya membawaku ke Coopersmith"s. Dia telah
yang tenang, dengan barisan pohon dan ladang jagung
di kanan-kirinya. "Kau tahu jalan pulang dari sini?" tanyanya.
"Kau akan menurunkanku di sini?" Tetapi
sebenarnya yang ingin kutanyakan adalah, Mengapa
Jev, yang kemungkinan adalah bagian dari mereka,
memilih untuk menyelamatkan aku"
167 "Kalau kau cemas soal Gabe, percayalah, banyak hal
yang dipikirkannya sekarang ketimbang bersusah payah
melacakmu. Dia tidak bisa berbuat banyak sampai besi
itu bisa dikeluarkan. Aku sendiri kaget, ternyata dia
sanggup mengejar kita sejauh itu. Tapi meskipun besi
itu sudah bisa dilepaskan, dia akan mengalami sesuatu
yang hanya bisa kugambarkan sebagai mabuk berat. Dia
tidak akan punya keinginan apa pun kecuali tidur selama
beberapa jam. Kalau kau menunggu saat yang tepat
untuk membebaskan diri, inilah saat yang paling pas."
Ketika aku tidak bergerak, dia menggoyangkan
ibu jarinya ke arah kedatangan kami. "Aku harus
memastikan Dominic dan Jeremiah sudah beres."
Dia berharap aku memahami isyarat itu, tapi aku
tidak yakin. "Mengapa kau melindungi mereka?"
Mungkin Jev benar. Dominic dan Jeremiah akan
melawan polisi. Mungkin akan terjadi pertumpahan
darah. Tetapi, bukankah risikonya lebih kecil ketimbang
membiarkan mereka bebas"
Mata Jev lurus ke kegelapan di luar kaca. "Karena
aku salah satu dari mereka."
Aku langsung menggelengkan kepala. "Tidak.
Mereka pasti akan membunuhku tadi. Tapi kau kembali
untukku. Kau menghentikan perbuatan Gabe."
Alih-alih menanggapi, dia keluar dari Tahoe dan
bergerak ke pintu penumpang. Jev membuka pintuku
168 dan menunjuk ke kegelapan. "Ikuti arah ini untuk
menuju kota. Kalau ponselmu bermasalah, terus berjalan
sampai pepohonan tidak rapat. Cepat atau lambat kau
akan mendapat sinyal."
"Aku tidak membawa ponsel."
Dia terdiam sesaat. "Kalau begitu, setelah sampai di
Whitetail Lodge, pinjamlah telepon kepada resepsionis.
Kau bisa menelepon dari sana."
Aku turun. "Terima kasih karena telah me-
nyelamatkanku dari Gabe. Dan terima kasih atas
tumpangannya," kataku sopan. "Tapi lain kali, aku
tidak suka dibohongi. Aku tahu, banyak yang tidak kau
katakan kepadaku. Mungkin kau pikir aku tidak pantas
tahu. Mungkin kau pikir kau tidak mengenalku sehingga
kau tidak merasa perlu repot-repot menceritakan
segalanya. Tapi mengingat kejadian barusan, kurasa aku
berhak tahu yang sebenarnya."
Tanpa kuduga, dia mengangguk. Bukan gerakan
mantap, tapi ayunan kepala yang enggan dan mengisyarat-
kan, Baiklah. "Aku melindungi mereka karena itulah
yang harus kulakukan. Kalau polisi melihat mereka
beraksi, rahasia kami akan terbongkar. Kota ini belum
siap untuk kedatangan Dominic, Jeremiah, atau siapa
pun di antara kami." Dia mengamati aku. Matanya
yang setajam silet melembut seperti beludru hitam. Ada
sesuatu yang begitu menghanyutkan dalam caranya
169 menatapku. Aku nyaris merasakan tatapannya bagaikan
sentuhan nyata. "Dan aku belum siap meninggalkan kota
ini," gumamnya, matanya masih menatapku.
Dia mendekat. Aku merasa napasku menjadi lebih
cepat. Kulitnya lebih gelap dibandingkan aku, lebih
kasar. Dia tidak cukup indah untuk bisa dibilang
tampan. Keseluruhan dirinya adalah keras dan tegas.
Dan dia mengatakan kepadaku bahwa dia berbeda.
Bukan karena dia lain dari cowok mana pun yang ku-
kenal. Tetapi karena dia adalah sesuatu yang sepenuhnya
berbeda. Aku teringat satu kata baru yang tersimpan
dalam kepalaku sedari tadi. "Apakah kau Nephilim?"
Seolah ditonjok, tubuhnya tersentak. Waktu seolah
berhenti. "Pulanglah dan lanjutkan kehidupanmu,"
katanya. "Ikuti saranku, kau akan selamat."
Melihat perubahannya yang mendadak, aku
merasa air mataku menggenang. Dia melihatnya dan
menggeleng-gelengkan kepala sebagai tanda menyesal.
"Begini, Nora," katanya lagi, memegang pundakku.
Tubuhku menjadi kaku. "Bagaimana kau tahu
namaku?" Bulan menyembul sekilas di antara awan, membuatku
bisa menatap matanya meski sebentar. Beludru yang
lembut itu telah hilang, digantikan warna hitam yang
tegas dan tertutup. Jenis mata yang menyimpan rahasia.
Yang berbohong tanpa berkedut. Jenis mata yang apabila
170 kau menatap ke dalamnya, kau akan kesulitan untuk
melepaskan diri. Kami sama-sama berkeringat lantaran usaha
melarikan diri tadi. Dan sesuatu yang kukira adalah
aroma sabun mandi gel, melayang di antara kami. Suatu
aroma yang sekilas mengingatkanmu pada mint dan lada
hitam. Memori itu pun menyerbuku begitu cepat hingga


Hush Hush Trilogy Buku 3 Silence Karya Becca Fitzpatrick di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku merasa pusing. Aku tidak bisa mengingatnya, tapi
aku kenal aroma itu. Yang lebih meresahkan lagi, aku
tahu bahwa aku mengenal Jev. Entah bagaimana, selama
ini Jev adalah bagian dari kehidupanku. Aku tidak tahu
apakah hubungan kami hanya sekilas ataukah jauh lebih
mendalam sehingga jauh lebih menggelisahkan pula.
Karena, itulah satu-satunya penjelasan mengapa kilat
hitam itu muncul ketika aku dekat dengannya.
Terlintas dalam pikiranku, mungkin saja dia adalah
orang yang menculikku. Tetapi aku sangsi. Mungkin
karena aku tidak ingin memercayai hal itu.
"Kita sama-sama kenal, bukan?" kataku, kaki dan
tanganku seolah digelitik. "Kita sudah pernah bertemu
sebelum malam ini." Ketika Jev hanya diam, aku yakin aku tahu jawaban-
nya. "Kau tahu tentang amnesia yang kualami" Kau tahu
aku tidak bisa mengingat lima bulan terakhir" Itukah
sebabnya kau mengira bisa menjauh dengan berpura-
pura tidak mengenalku?"
171 "Ya," katanya lemah.
Jantungku berdegup lebih cepat. "Mengapa?"
"Aku tidak ingin menikammu dari belakang. Jika
Gabe mengira kita punya hubungan, dia bisa me-
manfaatkan dirimu untuk menyakitiku."
Oke. Dia sudah menjawab pertanyaanku. Tetapi
aku tidak ingin membicarakan Gabe. "Bagaimana kita
saling kenal" Dan setelah kita meninggalkan Gabe,
mengapa kau tetap berpura-pura tidak mengenalku"
Apa yang menahanmu?" Aku menunggu jawabannya
dengan perasaan gelisah. "Kau tidak ingin menjawab
pertanyaanku?" "Tidak." "Tidak?" Jev hanya menatapku. "Kalau begitu, kau pecundang yang egois." Tudingan
itu meluncur begitu saja. Tetapi aku tidak ingin menarik
kata-kataku. Mungkin saja dia telah menyelamatkan
nyawaku. Tetapi kalau dia tahu soal periode lima bulan
itu dan enggan memberitahuku, apa pun yang dia
lakukan untuk menebusnya tidak ada artinya bagiku.
"Kalau aku punya jawaban bagus untukmu,
percayalah, aku akan bicara."
"Aku sanggup mendengar kabar buruk," kataku
ketus. 172 Dia menggeleng-gelengkan kepala dan melewatiku,
menuju pintu pengemudi. Aku menarik tangannya.
Matanya menatap ke tanganku, tapi dia tidak membebas-
kan diri. "Katakan semua yang kau ketahui," kataku. "Apa
yang terjadi padaku" Siapa yang membuatku seperti ini"
Mengapa aku tidak bisa ingat lima bulan itu" Adakah
sesuatu yang sebegitu buruknya sehingga aku memilih
melupakannya?" Wajahnya tidak terbaca. Seluruh emosi dipendam
dalam-dalam. Satu-satunya tanda bahwa dia mendengar
pertanyaanku hanyalah otot rahangnya yang me-
ngencang. "Aku akan memberi satu saran. Untuk
sekali ini, aku ingin kau menerimanya. Kembali ke
kehidupanmu. Kalau perlu, mulailah dari awal. Lakukan
apa saja yang bisa membuatmu meninggalkan semua ini.
Kau tidak akan bahagia jika terus menoleh ke belakang."
"Semua ini" Aku bahkan tidak tahu apa yang kau
maksud dengan semua ini! Aku tidak bisa melanjutkan
hidupku begitu saja. Aku ingin tahu apa yang telah
menimpaku" Apakah kau tahu orang yang menculikku"
Kau tahu ke mana mereka membawaku dan mengapa?"
"Apakah itu penting?"
"Lancang sekali kau," kataku, tidak berusaha
menyembunyikan getaran dalam suaraku. "Berani sekali
kau meremehkan segala yang telah kualami."
173 "Kalau kau tahu siapa yang membawamu, apakah
itu akan membantu" Apakah itu adalah kunci yang kau
butuhkan untuk bangkit dan memulai kehidupanmu
lagi" Tidak," katanya, memberi jawaban untukku.
"Ya, itu akan menjadi kunci untukku." Jev tidak
mengerti, sedikit akan lebih baik daripada tidak sama
sekali. Separuh penuh lebih baik ketimbang kosong.
Ketidaktahuan adalah titik terendah penderitaan dan
kehinaan. Dia menghela napas, menyisir rambut dengan
tangan. "Ya, kita saling kenal," katanya, menyerah.
"Kita bertemu lima bulan lalu. Aku membawa masalah
sejak pertama kau melihatku. Aku memanfaatkanmu
dan menyakitimu. Untungnya kau punya akal sehat
dan menendangku dari kehidupanmu sebelum aku
sempat kembali untuk tahap kedua. Kali terakhir kita
bertemu, kau bersumpah akan membunuhku jika
kau melihatku lagi. Mungkin kau sungguh-sungguh,
mungkin juga tidak. Bagaimanapun, ada emosi kuat
di balik keputusanmu. Itukah yang ingin kau dengar?"
katanya menuntaskan. Aku mengerjapkan mata. Tak bisa kubayangkan,
bagaimana aku telah melontarkan ancaman yang
kejam. Kalaupun aku pernah membenci seseorang, dia
adalah Marcie Millar. Meski begitu, aku tidak pernah
mengkhayalkan kematian Marcie. Aku manusia yang
174 punya hati. "Mengapa aku berkata seperti itu" Perbuatan
buruk apa yang telah kau lakukan?"
"Aku berusaha membunuhmu."
Aku membalas tatapannya dengan sorot mata yang
sama tajam. Garis mulutnya yang menyeringai tapi tegas
mengatakan bahwa ucapannya jauh dari lelucon.
"Kau ingin mendengar yang sebenarnya, bukan?"
katanya. "Hadapi itu, Angel."
"Hadapi" Itu tidak masuk akal. Mengapa kau ingin
membunuhku?" "Sekadar untuk senang-senang. Karena aku bosan.
Apakah itu penting" Aku berusaha membunuhmu."
Tidak. Ada sesuatu yang salah. "Kalau dulu kau ingin
membunuhku, mengapa malam ini kau menolongku?"
"Kau tidak menangkap maksudku. Aku bisa saja
menghabisimu. Jadi, selamatkan dirimu. Berlarilah
secepat dan sejauh mungkin dariku." Dia berbalik sambil
mengibaskan tangan, tanda bahwa aku harus berjalan
ke arah yang berlawanan. Kami tidak akan bertemu lagi.
"Kau pembohong."
Dia menoleh, mata hitamnya menusuk. "Aku juga
seorang pencuri, penjudi, penipu, dan pembunuh.
Jarang-jarang aku berkata yang sebenarnya. Pulanglah.
Anggap saja kau beruntung. Kau punya kesempatan
untuk memulai kehidupanmu dari awal. Tidak semua
orang memiliki kesempatan itu."
175 Aku menginginkan kebenaran. Tetapi sekarang
aku malah semakin bingung. Bagaimana aku, yang
notabene seorang murid yang "lurus", bisa memiliki
hubungan dengannya" Bagaimana mungkin kami punya
kesamaan" Dia menjengkelkan... sekaligus sosok yang
paling menarik dan paling tersiksa yang pernah kutemui.
Sekarang pun aku bisa merasakan pertempuran batin di
dalam diriku. Dia jauh berbeda dariku. Dia cerdas, sinis,
dan berbahaya. Mungkin bahkan agak menakutkan.
Tetapi sejak dia keluar dari Tahoe malam ini, detak
jantungku tidak bisa stabil. Dengan kehadirannya, setiap
saraf dalam tubuhku seolah bermuatan listrik.
"Satu hal lagi," katanya. "Jangan mencariku."
"Aku tidak akan mencarimu!" bentakku.
Dia menyentuh dahiku dengan jari telunjuknya.
Kulitku langsung menghangat lantaran sentuhannya.
Aku tidak bisa menepis dugaan bahwa sepertinya dia
tidak bisa berhenti mencari alasan untuk menyentuhku.
Tetapi aku pun tidak ingin dia berhenti. "Ada suatu
bagian di dalam dirimu yang ingat. Bagian itulah
yang mencariku malam ini. Bagian itu juga yang akan
membuatmu terbunuh, kalau kau tidak berhati-hati."
Kami berhadap-hadapan, sama-sama tersengal.
Bunyi sirene sudah sangat dekat.
"Apa yang harus kukatakan kepada polisi?" tanyaku.
"Tidak ada." 176 "Serius" Lucu sekali. Aku berencana memberi
tahu mereka bagaimana kau menancapkan besi itu ke
punggung Gabe. Kecuali kau menjawab pertanyaanku."
Dia mendengus sinis. "Ancaman" Kau berubah,
Angel." Satu lagi tikaman ke bagian diriku yang lengah.
Membuatku semakin tidak mantap dan sadar diri.
Aku ingin memeras memoriku sebagai usaha terakhir
mengingat sosok dirinya. Tetapi tidak ada apa-apa di
sana. Karena tidak bisa mengandalkan memori, aku
terpaksa menggunakan senjata terakhir.
"Kalau kau mengenalku dengan baik, kau tentu
tahu, aku tidak akan berhenti mencari siapa pun yang
menculikku sampai aku menemukan mereka, atau aku
menyentuh dasar sumur," kataku.
"Biarkan aku memberi tahu, di mana dasar sumur
itu," katanya dengan nada menakutkan. "Kuburanmu.
Kuburan dangkal dan gelap yang tidak akan ditemukan
siapa pun. Tidak ada yang akan datang ke kuburanmu
dan berduka untukmu. Kau akan menghilang tanpa
bekas. Perasaan menakutkan karena sesuatu yang
misterius akan mendera ibumu. Perasaan ini akan
menghantui dirinya, mendorongnya ke tepi tebing, dan
menjatuhkannya. Alih-alih dimakamkan di pemakaman
berumput hijau di sampingmu, tempat kerabat bisa
177 mengunjungimu sampai kapan pun, dia akan sendirian.
Begitu juga denganmu. Selamanya."
Aku berdiri tegak, berusaha menunjukkan bahwa
aku tidak bisa ditakut-takuti seperti itu. Tetapi firasat
buruk membuatku mual. "Katakan semuanya, atau aku
akan melaporkanmu ke polisi. Aku sungguh-sungguh.
Aku ingin tahu di mana aku selama ini. Dan aku ingin
tahu siapa yang menculikku."
Dia menutup mulut, tertawa sendiri. Bunyinya
tegang dan lelah. "Siapa yang menculikku?" bentakku, kesabaranku
habis. Aku tidak akan pergi dari tempat ini sampai dia
mengatakan yang dia ketahui. Mendadak aku menyesal
karena dia telah menyelamatkan diriku. Aku tidak ingin
memiliki pandangan apa pun tentang dirinya, kecuali
kebencian dan kemarahan. Aku tidak akan ragu-ragu
untuk melaporkannya ke polisi jika dia menolak
menceritakan semuanya. Dia menatapku dengan matanya yang tak terbaca.
Mulutnya tersungging ke satu sisi. Bukan cemberut.
Sesuatu yang jelas-jelas lebih membingungkan dan
menakutkan. "Kau seharusnya tidak menyinggung persoalan ini
lagi. Aku sendiri tidak bisa menjaga keselamatanmu."
Kemudian dia melangkah pergi, seolah seluruh kata
yang mesti diungkapkan telah disampaikannya. Tetapi
178 aku tidak terima. Ini satu-satunya kesempatanku untuk
mengetahui bagian kehidupanku yang hilang.
Aku membanting kaki mengejarnya dan menarik
belakang bajunya begitu keras hingga robek. Aku tidak
peduli. Masalah yang kucemaskan jauh lebih besar dari
itu. "Apa maksudmu?"
Hanya saja kata-kata itu tidak keluar dengan
benar. Tertelan bersamaan dengan munculnya kait
yang sepertinya menarikku dari arah belakang dan
mengguncang-guncang tubuhku. Aku merasa dilempar
ke udara. Setiap otot tubuhku menegang, menunggu
sesuatu yang misterius. Hal terakhir yang kuingat adalah gemuruh udara
melintasi telingaku. Setelah itu, dunia menjadi hitam.
179 Kberada jagung, malam berbintang"semuanya etika membUka mata, akU SUdah tidak di jalan itu lagi. Tahoe, ladang
menghilang. Aku berdiri di dalam bangunan beton.
Tercium bau serbuk gergaji dan sesuatu yang bersifat
logam, seperti karat. Tubuhku menggigil, tapi bukan
karena kedinginan. Aku menarik baju Jev. Terdengar bunyi kain yang
koyak. Mungkin aku menyentuh punggungnya. Dan
sekarang... aku berada di dalam tempat yang sepertinya
gudang kosong. 180 Ada dua sosok di depanku. Jev dan Hank Millar.
Lega karena tidak sendirian, aku menghampiri mereka.
Mudah-mudahan saja mereka bisa memberi tahu di
mana aku dan bagaimana aku bisa sampai ke sini.
"Jev!" panggilku.
Tidak seorang pun menoleh. Tetapi mereka pasti
mendengar panggilanku. Tempat ini kosong sehingga
berbagai bunyi mudah terdengar.
Aku ingin membuka mulut lagi, tetapi mendadak
kuurungkan niatku. Di belakang mereka, muncul sebuah
kurungan berjeruji dari bawah terpal. Kemudian ingatan
itu berdatangan seperti gelombang. Kurungan. Gadis
berambut hitam mengilat. Kamar mandi SMA. Ketika
aku pingsan sesaat. Telapak tanganku basah dengan
keringat. Hanya ada satu penjelasan. Aku berhalusinasi.
Ini bukan yang pertama. "Kau membawaku ke sini untuk menunjukkan ini?"
kata Jev kepada Hank dengan nada muak. "Kau tahu


Hush Hush Trilogy Buku 3 Silence Karya Becca Fitzpatrick di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

risiko yang harus ditanggung setiap kali kita bertemu"
Jangan panggil aku untuk mengobrol. Jangan panggil
aku untuk menghiburmu. Jangan pernah panggil aku
untuk menunjukkan prestasi terbarumu."
"Sabarlah. Aku menunjukkan penghulu malaikat
ini karena aku butuh bantuanmu. Tampaknya kita
sama-sama punya pertanyaan." Dia menatap kurungan
181 itu dengan sorot mata penuh makna. "Well, dia punya
jawabannya." "Keingintahuanku tentang kehidupan itu sudah mati
bertahun-tahun lalu."
"Entah kau menginginkannya atau tidak, kehidupan
ini masih milikmu. Aku sudah mengerahkan segalanya
untuk membuatnya bicara. Tapi dia tertutup, tidak
mempan disiksa." Dia tersenyum tipis. "Buat dia bicara,
aku akan menyerahkannya untukmu. Rasanya aku tidak
perlu mengingatkan bahwa penghulu malaikat pernah
memberimu masalah besar. Seandainya ada cara untuk
balas dendam... well, rasanya aku tidak perlu bicara
lebih jauh lagi." "Bagaimana kau bisa mengurungnya?" tanya Jev
santai. Mulut Hank membentuk senyum bangga. "Aku
menggergaji sayapnya. Hanya karena aku tidak bisa
melihatnya bukan berarti aku tidak tahu letaknya.
Kau yang menanamkan ide itu. Kalau tidak, aku tidak
pernah membayangkan seorang Nephil bisa merobek
sayap malaikat." Sesuatu yang kelam melintas di mata Jev. "Gergaji
biasa tidak bisa memotong sayapnya."
"Aku tidak menggunakan gergaji biasa."
"Entah apa rencanamu, kusarankan hentikan.
Segera." 182 "Kalau kau tahu rencanaku, kau akan memohon
untuk dilibatkan. Kerajaan penghulu malaikat tidak
akan bertahan selamanya. Ada kekuatan di luar sana
yang mengalahkan kekuatan mereka. Kekuatan yang
menunggu untuk digerakkan, kalau kau tahu ke mana
harus melihat," katanya penuh teka-teki.
Dengan sikap muak, Jev berbalik untuk pergi.
"Kesepakatan kita, Bung," seru Hank.
"Ini tidak ada hubungannya dengan kesepakatan
kita." "Kalau begitu, barangkali kita perlu membuat
kesepakatan baru. Gosipnya, kau belum menemukan
Nephil yang bisa dipaksa mengucapkan sumpah.
Cheshvan tinggal beberapa minggu lagi...." Dia sengaja
menggantung ucapannya. Jev menghentikan langkah. "Kau menawarkan salah
satu anak buahmu?" "Untuk manfaat yang lebih besar, ya." Hank
merentangkan tangan, terkikik pelan. "Kau bisa memilih
yang kau suka. Bukankah penawaran ini kelewat bagus
untuk ditolak?" "Aku penasaran, bagaimana pandangan anak
buahmu kalau mereka tahu kau menjual mereka demi
mendapatkan keuntungan."
"Simpan harga dirimu. Membuatku emosi tidak
akan menyelesaikan masalah. Biar kukatakan mengapa
183 aku bisa mencapai posisi setinggi ini. Aku tidak ambil
hati terhadap apa pun. Seharusnya kau juga tidak. Jangan
biarkan persoalan ini bersifat pribadi, dan melewati
perbedaan. Kita sama-sama ingin meraih sesuatu. Bantu
aku, dan aku akan membantumu. Sesederhana itu."
Hank diam untuk memberi kesempatan berpikir
bagi Jev. "Kali terakhir kau menolak tawaranku, akibatnya
sangat fatal," imbuh Hank dengan ekspresi percaya diri
di bibirnya. "Aku tidak akan membuat perjanjian lagi denganmu,"
jawab Jev mantap. "Tapi aku akan memberi nasihat.
Lepaskan dia. Penghulu malaikat akan menyadari bahwa
dia menghilang. Menculik mungkin salah satu senjata
terbaikmu. Tapi kali ini kau melewati batas. Kita sama-
sama tahu bagaimana akhir permainan ini. Penghulu
malaikat tidak akan kalah."
"Ah, kau keliru," ralat Hank. "Mereka kalah
ketika kelompokmu jatuh ke bumi. Mereka kalah lagi
ketika kalian menciptakan ras Nephilim. Mereka bisa
kalah lagi, dan mereka akan kalah. Semua itu memberi
tambahan alasan mengapa kau harus bertindak sekarang
juga. Kita telah menangkap salah satu anggota mereka.
Dengan begitu, kita lebih unggul ketimbang mereka. Kau
dan aku bisa mengubah situasi. Bersama-sama. Tapi kita
harus bertindak cepat."
184 Aku duduk bersandar ke dinding sambil memeluk
lutut. Kubiarkan kepalaku menengadah sampai
menyentuh beton. Tarik napas dalam-dalam. Aku
pernah berhasil keluar dari halusinasi, dan aku bisa
melakukannya lagi. Mengusap butiran keringat di dahi,
aku memusatkan pikiran ke sesuatu yang kulakukan
sebelum halusinasi ini datang. Kembali ke Jev"Jev yang
sebenarnya. Buka pintu pikiranmu. Berjalanlah keluar.
"Aku tahu soal kalung itu."
Mendengar ucapan Hank, mataku terbuka. Aku
menatap kedua lelaki yang berdiri di depanku, dan
akhirnya memusatkan pandangan ke Hank. Dia tahu
soal kalung itu" Kalung yang dicari Marcie" Mungkinkah
kalung itu yang dimaksud Marcie"
Tidak, nalarku bicara. Tidak ada sesuatu pun dalam
halusinasi ini yang bisa dipercaya. Setiap detail dalam
adegan ini hanyalah ciptaan alam bawah sadarmu.
Pusatkan pikiran untuk menciptakan pintu keluar.
Jev mengangkat alis. "Sebaiknya aku tidak mengungkapkan sumberku,"
jawab Hank getir. "Jelaslah yang kubutuhkan sekarang
adalah kalung sesungguhnya. Kau cukup cerdas untuk
tahu bahwa itu menyangkut asal usulmu. Bantu aku
menemukan kalung penghulu malaikat. Apa pun yang
kau minta akan kukabulkan."
185 "Suruh saja sumbermu," kata Jev singkat, tapi ada
kesan jengkel dalam suaranya.
Hank mengatupkan bibir. "Dua Nephilim. Ter-
gantung pilihanmu, tentu saja," katanya menawar. "Kau
bisa berganti dari yang satu ke?"
Jev mengibaskan tangan. "Kalung penghulu
malaikatku tidak di tanganku lagi, kalau itu yang kau
maksud. Para penghulu malaikat mencabutnya ketika
aku dibuang." "Bukan itu yang dikatakan sumberku."
"Sumbermu berbohong."
"Sumber kedua menegaskan pernah melihatmu
memakainya musim panas lalu."
Waktu berdetak pelan sebelum Jev menundukkan
kepala. Lalu dia menengadah dan tertawa, nyaris
terkesan tidak percaya. "Kau bohong." Tawanya berhenti
tiba-tiba. "Jangan bilang kau menyeret putrimu dalam
masalah ini." "Dia melihat rantai perak di lehermu. Juni lalu."
Jev menatap Hank dengan pandangan menusuk.
"Apa lagi yang dia ketahui?"
"Tentang aku" Dia belajar. Aku tidak suka,
tapi aku terdesak. Bantu aku, dan aku tidak akan
memanfaatkannya lagi."
"Kau mengira aku peduli kepada putrimu?"
186 "Kau peduli kepada salah satu di antara mereka,"
kata Hank dengan ekspresi mencela. "Atau pernah
peduli." Rahang Jev mengencang, dan Hank tertawa. "Setelah
sekian lama, kau masih mengipasi api itu. Sayang sekali
dia tidak tahu kau ada. Omong-omong tentang putriku
yang itu, kudengar dia mengenakan kalungmu pada
bulan Juni. Kalung itu ada padanya, bukan?" Ucapannya
lebih mirip pernyataan alih-alih pertanyaan.
Jev membalas tatapan Hank dengan sama tajamnya.
"Tidak." "Menurutku itu rencana yang genius," katanya.
Nada suaranya menunjukkan dia sama sekali tidak
percaya kepada Jev. "Aku tidak mengatakan aku bisa
menghancurkannya begitu saja"dia tidak tahu apa-
apa." Hank tertawa, tapi bunyinya sumbang. "Ironis
sekali. Satu potongan informasi yang kubutuhkan
ternyata tersimpan jauh di dalam pikiran yang telah
kuhapuskan." "Sayang sekali."
Dengan satu sentakan, Hank membuka terpal
yang menutupi sangkar. Dia menendang kotak logam
itu ke tempat terang sehingga alasnya menggores
lantai. Rambut gadis itu kusut masai. Lingkaran hitam
mengelilingi matanya yang menatap liar ke sekeliling
187 gudang. Seolah-olah dia berusaha merekam setiap detail
penjaranya sebelum terpal membutakan matanya lagi.
"Well?" tanya Hank kepada gadis itu. "Bagaimana
menurutmu, Peliharaanku" Apakah kita bisa menemukan
kalung untukmu tepat pada waktunya?"
Dia menoleh ke Jev. Tidak diragukan lagi, mata
yang melebar itu menunjukkan dia mengenal orang di
depannya. Tangannya mencengkeram jeruji begitu erat
hingga kulitnya menjadi transparan. Dia melontarkan
serapah yang kedengarannya seperti "penipu". Matanya
yang marah menatap Hank dan Jev bergantian.
Kemudian mulutnya membuka dan terdengarlah raungan
yang memekakkan telinga. Dahsyatnya jeritan itu membuatku terpental.
Tubuhku menembus dinding gudang. Aku melayang
melewati kegelapan, tersandung-sandung berulang
kali. Perutku terasa bercampur aduk. Gelombang mual
menguasai diriku. Kemudian aku tertelungkup di bahu jalan. Tanganku
menggenggam kerikil. Dengan susah payah, aku beranjak
ke posisi duduk. Udara sarat dengan aroma ladang
jagung. Serangga malam berdengung di sekelilingku.
Segalanya telah kembali seperti semula.
Aku tidak tahu berapa lama aku pergi dari tempat
ini. Sepuluh menit" Setengah jam" Kulitku dibasahi
keringat. Kali ini aku menggigil lantaran kedinginan.
188 "Jev?" panggilku dengan suara parau.
Tetapi dia sudah pergi. 189 Aku tidak mungkin menelepon ibuku, sekalipun aku SeSUai petUnJUk JeV, akU beRJalan menuju White Lodge, kemudian meminjam telepon dari resepsionis untuk memesan taksi.
tidak tahu apakah dia sedang makan malam di luar atau
tidak. Aku belum siap menceritakan yang sebenarnya.
Begitu banyak suara memenuhi kepalaku. Berbagai
pikiran berkelebat dalam benakku. Tetapi aku tidak
berusaha menghentikannya. Aku seolah mati rasa akibat
berbagai peristiwa yang terjadi malam ini.
190 Sesampainya di rumah, aku naik ke kamar tidur,
kemudian berganti baju dan meringkuk di bawah
selimut. Tidak butuh waktu lama, aku pun terlelap.
Tetapi bunyi gesekan sepatu di luar pintu kamar
membuatku kaget. Sepertinya aku memimpikan Jev,
karena begitu terbangun, pikiranku mengatakan dia
ada di sini. Aku mengangkat selimut ke dagu, mengira
dia akan masuk. Ibuku membuka pintu begitu keras hingga membentur
dinding. "Dia ada di sini!" serunya sambil menoleh. "Dia
di tempat tidur!" Lalu dia menghampiriku. Tangannya
menempel di dada seolah khawatir jantungnya akan
melompat keluar. "Nora! Mengapa kau pergi tanpa
memberi tahu kami" Kami mencarimu ke mana-mana!"
Napasnya terengah-engah, sorot matanya panik.
"Aku sudah menitipkan pesan kepada pelayan
restoran, aku meminta Vee menjemputku," kataku
terbata-bata. Sekarang aku merasa telah bersikap tidak
bertanggung jawab. Tetapi di restoran tadi, saat melihat
wajah ibuku berbinar-binar di samping Hank, aku
merasa kehadiranku mengganggu mereka.
"Aku menelepon Vee! Dia tidak mengerti yang
kukatakan." Tentu saja tidak. Aku tidak meneleponnya. Gabe
muncul sebelum aku sempat melakukannya.
191 "Jangan ulangi lagi," kata Ibu. "Jangan pernah
berbuat seperti itu lagi!"
Aku menangis meskipun aku tahu itu tidak ada
gunanya. Bukan maksudku membuatnya ketakutan
atau mencariku ke mana-mana. Hanya saja, ketika aku
melihatnya bersama Hank... aku bereaksi. Sekalipun
aku sangat ingin percaya bahwa Gabe telah menghilang
dari kehidupanku untuk selamanya, ancamannya
bahwa masalah ini belum berakhir masih segar dalam
ingatan-ku. Mengapa aku menceburkan diri ke dalam
persoalan ini" Aku membayangkan, betapa akan
berbedanya malam ini seandainya aku tutup mulut dan
meninggalkan 7-Eleven begitu Gabe menyuruhku pergi.
Tidak. Tindakanku sudah benar. Kalau aku tidak
ikut campur, mungkin B.J. tidak selamat.
"Oh, Nora." Kubiarkan Ibu memelukku dan mendekapkan
wajahku ke gaunnya. "Aku hanya ketakutan, itu saja," katanya. "Lain kali


Hush Hush Trilogy Buku 3 Silence Karya Becca Fitzpatrick di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kita harus lebih hati-hati."
Papan di lorong luar kamarku berderit. Aku menoleh
dan melihat Hank bersandar ke kusen pintu. "Kau
membuat kami cukup ketakutan malam ini, Anak
Muda." Suaranya ringan dan tenang. Tetapi ada sesuatu
dalam sorot matanya. Sesuatu yang mengingatkanku
pada serigala sehingga punggungku terasa dingin.
192 "Aku tidak mau dia ada di sini," bisikku kepada
Ibu. Sekalipun halusinasi terakhirku jauh dari nyata,
tetap saja itu menghantuiku. Aku tidak sanggup berhenti
membayangkan Hank yang sedang menarik terpal dari
kurungan itu. Aku tidak bisa meredam kata-kata yang
diucapkannya. Aku tahu, aku menisbahkan ketakutan
dan kegelisahanku kepadanya. Meski begitu, aku tetap
ingin dia pergi. "Aku akan meneleponmu, Hank," kata Ibu, masih
memelukku. "Setelah Nora tidur. Terima kasih untuk
makan malamnya, dan maaf atas kehebohan malam ini."
Dia mengibaskan tangan. "Tidak apa-apa, Sayang.
Aku juga punya dram a queen sendiri di rumah.
Meskipun setidaknya, aku bisa bilang dia tidak pernah
berbuat seheboh ini." Hank terkikik, seolah-olah dia
merasa ucapannya benar-benar lucu.
Aku menunggu sampai terdengar bunyi langkah kaki
menjauh. Aku tidak tahu pasti, sejauh mana aku bisa
bercerita kepada Ibu. Terutama karena Jev mengatakan
polisi tidak bisa diandalkan. Aku khawatir kata-
kataku akan sampai ke telinga Detektif Basso. Tetapi
terlalu banyak peristiwa yang terjadi malam ini untuk
kudiamkan begitu saja. "Aku bertemu seseorang beberapa waktu lalu,"
kataku. "Setelah keluar dari Coopersmith"s. Aku tidak
mengenalnya, tapi dia bilang kami sudah saling kenal.
193 Pasti aku pernah bertemu dengannya dalam rentang lima
bulan terakhir itu. Tapi aku tidak ingat."
Pegangannya di tanganku semakin erat. "Dia
menyebutkan namanya?"
"Jev." Ibuku menahan napas sedari tadi. Tapi sekarang
dia tampak sedikit lega. Aku tidak tahu apa sebabnya.
Apakah dia mengira aku akan menyebutkan nama yang
lain" "Ibu kenal dengannya?" tanyaku. Mungkin dia bisa
memberikan keterangan tentang riwayatku dengan Jev.
"Tidak. Apakah dia mengatakan dari mana dia
mengenalmu" Di sekolah, mungkin" Atau ketika kau
bekerja di Enzo"s?"
Aku pernah bekerja di Enzo"s" Ini berita baru
buatku. Aku ingin meminta klarifikasi, tapi sorot
matanya berubah menjadi tajam. "Tunggu. Apa yang
dikenakannya?" Bahasa tubuhnya menunjukkan dia
tidak sabaran. "Bagaimana busananya?"
Aku merasa dahiku berkerut lantaran kebingungan.
"Apakah itu penting?"
Ibuku berdiri, kemudian berjalan ke pintu dan
kembali ke tempat tidur. Seolah-olah mendadak sadar
betapa resah raut wajahnya, dia berhenti di depan
meja riasku dan pura-pura mengamati botol parfum.
"Mungkin dia mengenakan seragam yang berlogo" Atau
194 mungkin busananya satu warna" Hitam... misalnya?" Ibu
jelas-jelas mengarahkanku ke satu titik, tapi mengapa"
"Dia mengenakan kaus baseball putih-biru dan jins."
Garis-garis kecemasan membentuk salur di sekeliling
mulutnya yang terkatup rapat sebagai tanda dia sedang
berpikir keras. "Mengapa Ibu tidak memberitahuku?" tanyaku.
Garis-garis kecemasan itu menyebar hingga ke
matanya. "Apa yang Ibu ketahui?" desakku.
"Ada seorang pemuda," katanya memulai.
Aku duduk lebih tegak. "Pemuda apa?" Aku
tidak sanggup menepis dugaan bahwa ibuku sedang
membicarakan Jev. Dan entah mengapa, aku berharap
dugaanku benar. Aku ingin tahu lebih banyak tentang
dirinya. Aku ingin tahu segalanya tentang dirinya.
"Dia sudah beberapa kali datang ke sini. Selalu
berbaju hitam," katanya dengan ekspresi benci yang
kentara. "Dia lebih tua darimu dan"tolong jangan salah
menilai, tapi aku tidak bisa membayangkan apa yang
dilihatnya pada dirimu. Dia DO dari sekolah, punya
masalah judi, dan bekerja di Borderline sebagai petugas
kebersihan. Bukannya aku tidak suka dengan petugas
kebersihan, tapi ya Tuhan, ini menggelikan. Seolah-olah
dia berpikir kau akan tinggal selamanya di Coldwater.
Dia tidak mungkin bisa mendukung impianmu, apalagi
195 mengimbanginya. Aku akan sangat terkejut seandainya
dia punya cita-cita masuk ke perguruan tinggi."
"Apakah aku menyukainya?" Penjelasan ibuku tidak
menggambarkan Jev, tapi aku belum siap menyerah.
"Sama sekali tidak! Kau bahkan membuatku berdalih
setiap kali dia menelepon. Akhirnya dia paham dan tidak
mengganggumu lagi. Itu tidak berlangsung lama. Paling
banter beberapa minggu. Aku membicarakan dia karena
sedari dulu aku berpikir ada sesuatu yang tidak beres
tentang dirinya. Aku juga curiga, mungkin saja dia tahu
tentang kasus penculikanmu. Bukannya ingin melebih-
lebihkan, tapi sepertinya awan hitam selalu mengikutimu
sejak kau bertemu dengannya."
"Bagaimana kelanjutannya?" Aku menyadari
jantungku berdetak dua kali lebih cepat.
"Dia meninggalkan kota ini." Ibu menggeleng-
gelengkan kepala. "Kau mengerti" Jev pasti orang lain.
Aku hanya panik, itu saja. Aku tidak akan khawatir
tentang dia," imbuhnya, mendekatiku dan menepuk-
nepuk lututku. "Mungkin dia sudah di ujung dunia
sekarang." "Siapa namanya?"
Ibuku terdiam sejenak. "Aku tidak ingat. Sepertinya
berawal dengan huruf P. Mungkin Peter." Ibuku
tertawa lebih keras dari yang seharusnya. "Kurasa itu
membuktikan betapa tidak pentingnya dia."
196 Aku tersenyum mendengar leluconnya. Sementara
itu, suara Jev bermain dalam kepalaku.
Kita saling kenal. Kita bertemu lima bulan lalu. Aku
menjadi masalah buatmu sejak kau melihatku.
Seandainya Jev dan cowok misterius dari masa laluku
ini ternyata satu, pasti seseorang tidak memberikan
cerita yang utuh kepadaku. Mungkin dulu Jev adalah
masalah. Mungkin akulah yang memilih berlari ke arah
yang berlawanan. Tetapi, sesuatu mengatakan bukan karena dia orang
yang keras dan tidak pedulian sehingga dia berusaha
keras meyakinkan aku. Tidak lama sebelum halusinasi
Geger Pulau Es 2 Raja Petir 03 Pencuri Kitab-kitab Pusaka Titah Sang Ratu 1
^