Pencarian

Geger Pulau Es 2

Dewa Arak 49 Geger Pulau Es Bagian 2


kalau ilmu-ilmu mereka lebih patut dimiliki tokoh-tokoh aliran hitam?" tanya
Meteti setengah
memberi tahu. "Ah...! Kau benar, Melati!" sentak Dewa Arak kaget "Mengapa aku begini bodoh!
Ya! Ilmu mereka memang lebih patut dimiliki tokoh-tokoh beraliran hitam.
Serangan mereka penuh dengan tipuan. Lalu..., apa maksudmu, Melati?"
Melati tidak langsung menjawab. Pandangannya kembali dilayangkan pada
pertarungan, setelah gadis berpakaian putih itu menatap kekasihnya.
"Sewaktu kau pertama kali mendengar nama Pulau Es, dan mengetahui siapa
penghuninya... apa yang terlintas dalam benakmu tentang mereka, Kang?" Melati malah balas
mengajukan pertanyaan.
"Kau benar, Melati. Kali ini otakmu sungguh cemerlang! Kau telah memikirkan
masalah yang tidak terpikir olehku! Luar biasa! Ya! Aku baru melihat keanehannya
di sini. Pantas tadi kau mengatakan orang-orang berpakaian merah tidak cocok
menghuni Pulau Es."
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Kang,"
ujar Melati mengingatkan. "Kalau belum mendengar sendiri jawabanmu, rasanya aku
belum puas."
"Baiklah, kalau begitu. Dugaanku mereka rata-rata berusia tua, mempunyai sikap
sabar dan welas asih," jelas Arya.
"Persis! Aku pun menduga demikian, Kang!
Itu sebabnya kukatakan kalau orang-orang berpakaian merah itu tidak cocok
menghuni Pulau Es," sambung Melati mendukung dugaan
Arya. Arya tercenung mendengar ucapan Melati.
Meskipun sepasang matanya menatap ke arah pertarungan yang masih terus
berlangsung, tapi pikirannya diputar untuk mencerna ucapan-ucapan Melati.
"Mungkinkah mereka bukan penghuni pulau ini, Melati?" duga Arya tiba-tiba sambil
menatap wajah Melati lekat-lekat.
Gadis cantik itu terperanjat Dengan raut wajah bodoh, ditatapnya wajah
kekasihnya. "Kalau begitu..., mereka dari mana, Kang"
Mereka tidak mungkin berasal dari daratan yang sama dengan kita. Ciri-ciri
mereka amat aneh...." ujar Melati.
"Barangkali berasal dari salah satu pulau yang ada di dekat pulau ini. Mungkin
dari Pulau Api atau Pulau Air?" sahut Dewa Arak.
"Hehhh..."!" Melati tersentak. "Mengapa kau berpikir sejauh itu, Kang"!
Keberadaan penghuni Pulau Es saja masih merupakan tanda tanya besar. Kini kau
tambah lagi dengan Pulau Air dan Pulau Api."
"Eh..."! Kau ini lupa atau berpura-pura pikun, Melati. Bukankah berita tentang
Pulau Air dan Pulau Api itu kudapatkan darimu"! Tapi, mengapa malah kau yang
bingung sekarang"!"
ujar Arya setengah bercanda.
*** "Akh...!"
Sebuah jerit kesakitan mengalihkan perhatian Melati dan Arya. Pasangan pendekar
muda itu langsung melupakan persoalan yang tengah mereka debatkan.
Seorang anggota Perkumpulan Garuda Hitam tampak terhuyung-huyung ke belakang.
Kedua tangannya didekapkan ke perutnya yang terluka. Darah merembes dari celah-
celah jari tangan.
Dewa Arak dan Melati segera mengedarkan pandangan ke arah orang-orang berpakaian
merah. Mereka ingin tahu siapa yang telah melukai orang Perkumpulan Garuda Hitam
itu. Dan ketika pasangan pendekar muda itu melihatnya, Melati tidak kuasa menahan
jeritan. Gadis berpakaian putih itu terkejut bukan main!
Betapa tidak" Seorang lelaki berpakaian merah yang berkumis tipis, tengah
memasukkan sesuatu yang berlumur darah segar ke dalam mulutnya. Melati maupun
Arya tidak mengetahui secara pasti benda apa yang dimakan. Tapi yang jelas benda itu
berasal dari dalam tubuh anggota Perkumpulan Garuda Hitam yang terluka.
Hampir saja Melati muntah-muntah melihat pemandangan itu. Seorang manusia
memakan jantung atau hati atau ampela atau paru-paru manusia lainnya mentah-
mentah! Sungguh tidak pemah dibayangkannya! Apalagi dengan cara demikian lahap!
Orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam pun kelihatan terkejut melihat hal itu.
Hanya mereka tidak sampai menjerit seperti Melati.
Seketika itu pula pertarungan langsung terhenti. Orang-orang Perkumpulan Garuda
Hitam masih terlalu kaget untuk melanjutkan pertarungan. Sedangkan orang-orang
berseragam merah memperhatikan kesibukan kawannya. Dengan sorot mata penuh minat
dan air liur menetes, mereka memperhatikan laki-laki berkumis tipis yang asyik
mengunyah. Tapi, keadaan itu hanya berlangsung sesaat.
Begitu kekagetannya lenyap, yang tinggal dalam hati dan benak setiap anggota
Perkumpulan Garuda Hitam adalah, membalas sakit hati rekan mereka yang tewas
dengan cara demikian mengerikan. Anggota Perkumpulan Garuda Hitam yang malang
itu memang hanya mampu bertahan sebentar, kemudian mati. Dengan kemarahan yang
menggebu-gebu, orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam menghunus senjata masing-
masing. Srat srat, srat!
Sinar terang segera terpancar ketika mereka mencabut senjatanya masing-masing.
Sebatang keris berlekuk sembilan berwarna putih meng-kilat. Sejak tadi pertarungan memang
berlangsung dengan tangan kosong. Orang-orang berseragam merah itu rupanya tidak
mau kalah gertak. Mereka segera mengeluarkan senjata andalannya.
Ctar ctar ctar!
Bunyi meledak-ledak seperti halilintar terdengar susul-menyusul ketika kelima
orang berkulit kemerahan itu melecutkan cambuknya.
Seperti orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam, orang-orang berpakaian merah ini
juga memiliki senjata seragam. Senjata mereka berupa cambuk.
Bunyi ledakan itu mengagetkan orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam. Mereka
segera bergerak mundur sambil melihat senjata lawan-lawannya. Dan ketika telah
berhasil melihat secara jelas, mereka langsung bergidik ngeri!
Cambuk lawan ternyata berbeda dengan cambuk biasa. Cambuk itu mirip gada
berduri! Dari pertengahan terus ke ujung penuh dengan duri!
Tapi, perasaan kaget dan ngeri itu hanya sebentar menyelimuti hati orang-orang
Perkumpulan Garuda Hitam. Sesaat kemudian, laki-laki berbibir tebal dan hitam
yang bertindak sebagai pemimpin mengeluarkan aba-aba penyerangan.
"Serbu...!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam meluruk
maju. Keris-keris di tangan mereka siap di-hunjamkan ke tubuh lawan. Serbuan
orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam mendapat sambutan hangat dari lawan-
lawannya. Pertarungan sengit pun terjadi.
Dengan senjata-senjata andalan di tangan, pertarungan berlangsung semakin seru.
Jauh lebih ramai dan menarik dari sebelumnya. Bunyi
lecutan cambuk yang menggelegar dan desing tajam udara yang terobek keris-keris,
menye-maraki suasana pertarungan.
Kali ini, orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam tidak beruntung. Sejak mula
melancarkan serangan, mereka langsung dibuat kelabakan oleh kecerdikan orang-
orang berpakaian merah. Mereka dapat memanfaatkan kelebihan senjata yang mereka
pergunakan. Setiap kali orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam melancarkan serangan dan belum
mencapai sasaran, orang-orang berpakaian merah telah melancarkan serangan lebih
dahulu. Terpaksa orang-orang berseragam hitam itu mengurungkan maksudnya.
Kenyataan ini sangat merugikan orang-orang berseragam hitam. Sebelum senjata
mereka berhasil didaratkan di tubuh lawan, senjata lawan telah lebih dulu
melecut tubuh mereka.
Sebab daya jangkau senjata lawan lebih jauh.
Sedangkan mereka tidak berani sembarangan memapaki serangan lawan. Sasaran yang
dituju lawan sukar dapat dipastikan.
Ini tidak berlebihan. Senjata orang-orang berpakaian merah adalah senjata lemas,
hingga mudah dikendalikan. Dan lagi mereka telah amat mahir menggunakannya. Di
tangan orang-orang berseragam merah, cambuk itu mempunyai keistimewaan beraneka
ragam. Terkadang mereka menggerakkan cambuk itu secara biasa. Dilecutkan hingga
menimbulkan bunyi menggelegar. Tapi tak jarang gerakan
cambuk itu meliuk-liuk seperti ular akan menerkam mangsa. Yang lebih hebat lagi,
orang-orang yang berciri aneh itu mampu membuat tali cambuk menegang kaku dan
lurus seperti sebatang tongkat baja. Tentu untuk melakukannya dibutuhkan tenaga
dalam tinggi. Hanya dalam beberapa gebrakan orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam kewalahan.
Taktik yang semula akan mereka terapkan hancur berantakan Pupus. Semula mereka
bermaksud mengurung lawan sedemikian rupa, sehingga tidak ada jalan keluar
sedikit pun. Tapi, tidak disangka niat itu gagal. Bukan lawan yang mereka
kepung. Bahkan sebaliknya, kepungan mereka hancur berantakan. Masing-masing
berjuang keras untuk menyelamatkan selembar nyawanya.
Belum sampai sepuluh jurus bertarung, kedudukan orang-orang Perkumpulan Garuda
Hitam telah berada di bawah angin. Robohnya mereka hanya tinggal menunggu waktu
saja. Dan, itu diketahui pasti oleh Dewa Arak dan Melati. Tanpa kesulitan mereka dapat
menyaksikan jalannya pertarungan. Keduanya pun tahu kalau tak lama lagi orang-
orang berpakaian merah akan mendapat kemenangan mutlak!
Dugaan pasangan pendekar itu tepat Sebab, sesaat kemudian....
Ctarrr! Prattt!
"Akh!"
Jeritan tertahan keluar dari mulut seorang anggota Perkumpulan Garuda Hitam
ketika ujung cambuk lawan menyerempet bahunya.
Sebelum gema teriakannya lenyap, rekannya menyusul ikut menjerit Dalam sekejap,
lima orang anggota Perkumpulan Garuda Hitam terkena lecutan cambuk. Tinggal
sembilan orang yang masih mampu mengelak. Tapi, giliran mereka sudah dapat
dipastikan akan tiba.
Semua kejadian itu tidak lepas dari pandangan Dewa Arak dan Melati. Sebuah
senyuman penuh kelegaan tersungging di mulut Dewa Arak. Pemuda itu melihat
lecutan cambuk orang-orang berseragam merah tidak ada yang mengenai bagian
mematikan. Bagian yang terlecut hanya bahu atau paha.
Agaknya dugaan Dewa Arak dan Melati telah keliru selama ini. Orang-orang
berserangan merah ternyata tidak sejahat yang mereka duga.
Kenyataan serangan cambuk mereka hanya mengenai bagian yang tidak berbahaya.
Padahal, untuk mencambuk ke bagian yang berbahaya mudah saja dilakukan oleh
orang-orang berpakaian merah itu.
"Dugaan kita ternyata keliru, Melati," kata Arya, "Orang-orang berpakaian merah
ternyata tidak sejahat yang kita kira. Kau lihat sendiri, kan"!"
Tapi sebelum Melati sempat memberikan tanggapan, terdengar suara jeritan
menyayat. Seketika itu pula perhatian sepasang muda-mudi itu berpindah ke arah asal suara.
Dan mata mereka membelalak kaget
Suara jeritan itu berasal dari orang-orang
Perkumpulan Garuda Hitam yang tadi terkena cambuk. Orang-orang itu menjerit-
jerit dan menggeliat-geliat dengan raut wajah menunjukkan-rasa sakit yang
sangat. Yang membuat bulu kuduk berdiri, adanya kepulan asap yang keluar dari
bagian tubuh yang terkena lecutan cambuk.
Mula-mula sedikit dan tipis. Tapi lama-kelamaan semakin banyak dan tebal.
Kejadian yang menggiriskan hati ini pun disaksikan orang-orang Perkumpulan
Garuda Hitam lainnya. Meskipun mereka tengah bertarung hidup dan mati. Tapi, apa
yang dapat mereka lakukan" Jangankan menolong, mem-pertahankan nyawa dari
serangan ujung cambuk lawan saja sudah amat sulit. Akhimya, mereka berusaha
menulikan telinga dan mematikan perasaan akan penderitaan yang dialami rekan-
rekannya. Sedangkan Dewa Arak dan Melati menyaksikan kejadian itu dengan jelas
dan gamblang. Keduanya memperhatikan tanpa berkedlp.
"Mereka..., apa yang terjadi atas diri mereka, Kang?" tanya Melati terbata-bata.
Tarikan wajah gadis berpakaian putih itu menyiratkan rasa ngeri yang besar.
"Entahlah, Melati. Aku sendiri belum bisa memastikan. Tapi, kemungkinan besar
orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam itu tengah keracunan hebat... Sejenis racun
yang amat keji!" desis Dewa Arak penuh kemarahan.
"Racun"! Mereka terkena racun" Kapan dan bagaimana mereka dapat terkena racun
keji itu, Kang"!" tanya Melati penasaran.
"Tidakkan kau lihat dari mana keluarnya asap itu, Melati" Tempat luka-luka
cambuk"! Nah! Racun itu berasal dari cambuk orang-orang berseragam merah. Hhh...! Kini
aku tahu, mengapa mereka tidak mengarahkan lecutan cambuknya pada bagian yang
mematikan!" ujar Arya geram.
"Mengapa, Kang"!" desak Melati tidak sabar.
"Mereka tidak menginginkan orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam tewas secara
enak. Mereka ingin lawan tewas secara perlahan-lahan dan penuh penderitaan. Kita salah
duga, Melati. Orang-orang yang kita sangka malaikat ternyata iblis-iblis keji
yang berhati kejam.
Hm.... Kalau mereka tetap menyebar kekejian itu, jangan harap aku akan tinggal
diam!" mantap dan tegas Dewa Arak mengucapkan kata-kata.
Sementara itu keadaan orang-orang
Perkumpulan Garuda Hitam yang dilanda keracunan semakin menggiriskan hati. Racun
yang menyerang mereka adalah racun ganas dan keji. Racun itu membuat kulit,
daging, dan tulang mereka hancur luluh seperti lilin ter-bakar. Asap yang keluar
itu tercipta karena melelehnya daging, kulit, dan tulang mereka.
Orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam itu menanggung rasa sakit yang sangat.
Lolong kesakitan dan geliatan-geliatan tubuh mereka menjelaskan semuanya.
"Ada yang bisa kau lakukan untuk menolong
mereka, Kang?" tanya Melati. Ada nada permintaan dalam ucapannya. Gadis cantik
itu sudah tidak tahan melihat pemandangan yang terpampang di hadapannya.
"Sayang sekali, Melati. Aku tidak bisa menolong mereka. Aku tidak tahu bagaimana
mengobati orang yang terkena racun seperti itu,"
jawab Arya menyesal.
"Kalau begitu..., bagaimana kalau mereka kita bunuh saja, Kang"! Aku tidak tahan
melihatnya. Lagi pula, aku rasa mereka lebih suka mati dibunuh daripada mati
perlahan-lahan dan penuh penderitaan seperti itu," usul Melati .
"Sebuah usul yang baik, Melati." Arya memberikan tanggapan setelah termenung
beberapa saat. 'Tapi, akan lebih baik kalau rekan-rekan mereka sendiri yang
melakukannya. Di samping untuk melepaskan kita dari kesalahpahaman yang mungkin
terjadi, nyawa mereka pun dapat kita selamatkan. Aku tidak ingin mereka ikut
menjadi korban keganasannya!"
"Aku setuju, Kang!" dukung Melati.
"Kalau begitu..., mari kita selamatkan orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam
itu!" Usai berkata demikian, Dewa Arak melesat ke arah kencah pertarungan. Demikian
pula Melati. Mereka ingin menyelamatkan orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam dari incaran
maut orang-orang berseragam merah. Sungguh merupakan suatu kebetulan. Keadaan
orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam memang sudah sangat mengkhawatirkan. Mereka
terpontang- panting ke sana kemari mengelakkan serangan cambuk lima orang lawan mereka.
*** 6 "Harap kalian menyingkir! Dan urus kawan-kawan kalian. Biar kami yang mengurus
mereka!" Dalam kedudukan masih berada di udara, Dewa Arak memberi perintah. Tidak itu
saja. Di samping memberi perintah pada orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam,
pemuda itu pun memberi kesempatan pada mereka untuk melakukannya. Di saat tubuh
pemuda itu melayang mendekati kancah pertarungan, Dewa Arak dan Melati
mengibaskan kedua tangannya bertubi-tubi ke arah orang-orang berpakaian merah.
Wut, wut wut! Deru angin keras mengiringi tibanya serangan itu. Menjadikan peringatan bagi
orang-orang berpakaian merah. Mereka tahu pukulan-pukulan jarak jauh itu
mengandung tenaga dalam amat kuat. Maka, mereka pun segera menghindar. Dengan
demikian, orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam dapat dengan leluasa memenuhi
anjuran Dewa Arak. Tanpa menunggu perintah dua kali mereka ber-lompatan mundur.
Lalu, menghampiri kawan-kawannya yang terluka. Tentu saja dalam jarak yang aman.


Dewa Arak 49 Geger Pulau Es di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena mereka khawatir akan terkena percikan lelehan tubuh itu. Bukan tidak
mungkin melalui lelehan itu racun akan menular!
Beberapa saat lamanya, sepuluh orang Perkumpulan Garuda Hitam yang masih sehat
berdiri terpaku tanpa tahu harus berbuat apa.
Kalau menuruti perasaan, ingin rasanya mereka memberi pertolongan. Tapi apa
daya" Mereka tidak tahu caranya! Akhirnya mereka tertegun bingung. Sementara
kelima orang berpakaian merah telah berhasil memperbaiki keadaannya.
Tepat pada saat Dewa Arak dan Melati mendaratkan kaki.
"Siapa kalian"! Mengapa begitu berani mencampuri urusan ini"! Apakah kalian
sudah bosan hidup"!" tanya seseorang yang berkumis tipis.
Nada suaranya sarat dengan kemarahan.
"Kalian sendiri siapa"!" bukannya menjawab, Melati malah mengajukan pertanyaan.
"Beritahu dulu siapa kalian. Setelah itu, dengan senang hati kami akan
memberitahu siapa kami."
"Keparat! Wanita tak tahu diuntung! Mulutmu terlalu lancang! Rupanya kau sudah
bosan hidup, hehhh"!"
Ctarrr...! Dengan terlebih dulu melecutkan cambuknya ke udara sehingga mengeluarkan bunyi
keras yang menggelegar dan asap mengepul tipis ke atas, laki-laki berkumis tipis
yang bertindak sebagai pemimpin melancarkan serangan.
Hebat! Permainan cambuknya patut mendapat pujian. Ujung cambuk itu tidak
melecut! Tapi mematuk-matuk. Yang lebih mengagumkan, bagian yang dituju jalan darah
kematian! Ubun-ubun, pelipis, dan bawah hidung!
Melati tidak berani bertindak gegabah!
Disadarinya betapa berbahaya serangan itu.
Bukan hanya karena bagian mematikan yang dituju, tapi cambuk itu mengandung
racun yang mengerikan! Tersentak sedikit saja berarti maut! Melati menyadari
betul akan hal itu.
Karena itu, pedangnya segera dihunus. Dengan senjata andalan di tangan,
dipapaknya patukan ujung cambuk.
Prat, prat, prat!
Terdengar bunyi cukup keras ketika pedang dan cambuk berbenturan beberapa kali.
Tindakan Melati tidak terhenti sampai di situ.
Begitu serangan lawan berhasil dipatahkan, serangan balasan langsung dikirimkan.
Diiringi bunyi menggerung keras seperti naga murka, Melati menusukkan pedangnya
ke arah leher lawan.
Laki-laki berkumis tipis itu terperanjat Serangan balasan yang dikirimkan lawan
begitu cepat Dengan agak gugup tubuhnya dibanting ke tanah. Dan hasilnya memang
jitu! Serangan Melati kandas!
Tapi Melati tidak berminat membiarkan lawannya lolos. Gadis berpakaian putih itu
mengejarnya, kemudian kembali melancarkan serangan. Hingga lawan kewalahan.
Karena untuk bangkit tidak mungkin lagi, lelaki berkumis tipis itu mengelakkan
serangan dengan menggulingkan tubuh. Lagi-lagi Melati tidak tinggal diam. Dikejarnya ke
mana lawan mengelak, dan menghujani dengan serangan-serangan mematikan.
Hasilnya terpampang sebuah pemandangan yang menarik. Laki-laki berpakaian merah
terus-menerus menggulingkan tubuh, sedangkan Melati memburunya sambil
melancarkan tusukan bertubi-tubi.
Kelincahan lelaki berkumis tipis memang patut diacungkan ibu jari. Lelaki itu
mampu mengelakkan setiap serangan Melati. Hingga berlangsung beberapa jurus.
Meskipun demikian, keadaan lelaki berpakaian merah itu tetap mengkhawatirkan.
Sampai berapa lama dia dapat bertahan dengan sikapnya itu" Dan itu disadari
betul oleh pihak-pihak yang bertarung, Dewa Arak dan orang-orang berpakaian
merah lainnya. Empat lelaki berpakaian merah itu tidak berani mengambil resiko
dengan membiarkan lelaki berkumis tipis terus diburu dan dihujani serangan.
"Haaat..!"
Dengan didahului teriakan melingking nyaring, empat lelaki berpakaian merah
melompat menyerbu Melati.
Ctar, ctar, ctar!
Bunyi meledak-ledak terdengar ketika empat cambuk meluncur ke arah Melati.
Masing-masing lawan melancarkan serangan dalam bentuk yang berlainan. Melati
tidak terkejut melihat serangan mereka. Itu memang sudah
diperhitungkarmya. Pengejarannya segera dihentikan. Lalu tubuhnya dilempar ke
belakang dan bersalto menjauhkan diri. Hasilnya memang ampuh. Semua serangan
cambuk itu berhasil dipunahkan.
Jliggg! Begitu kedua kaki Melati mendarat di tanah, di sebelahnya telah berdiri Dewa
Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu tidak bisa tinggal diam melihat
kekasihnya menghadapi keroyokan lima orang lawan. Arya sadar kalau lima orang
berpakaian merah itu berkepandaian cukup tinggi.
"Sabarlah, Kisanak. Aku yakin ada kesalahpahaman di antara kita. Dan..."
Dewa Arak yang bermaksud mencegah ter-jadinya pertarungan, terpaksa menghentikan
ucapannya. Kelima orang itu tidak mempedulikan seruannya. Mereka terus merangsek
maju. Maju tidak mau pemuda berambut putih keperakan itu melakukan perlawanan.
Berbeda dengan Melati yang langsung menggunakan ilmu andalan 'Pedang Seribu
Naga', pemuda berambut putih keperakan itu tidak menggunakan ilmu 'Belalang
Sakti'. Yang dikeluarkannya ilmu-ilmu warisan ayahnya.
Ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan ilmu 'Sepasang Tangan Pembunuh Naga'
(Untuk jelasnya silakan baca Serial Dewa Arak dalam episode perdana: 'Pedang
Bintang') *** Ctar, ctar, ctar!
Bunyi menggeletar seperti halilintar menyambar terdengar, ketika lima orang
berpakaian merah meluruk ke arah Dewa Arak dan Melati. Mereka menyerbu dengan
berpencar dari berbagai arah. Orang-orang berpakaian merah tidak ingin
menghadapi lawan satu-satu.
Melihat taktik lawan, Melati langsung membalikkan tubuh. Gadis itu saling
membelakangi dengan kekasihnya untuk menghadapi kepungan lawan. Untuk menghadapi
kepungan, taktik perlawanan seperti itu memang lebih menguntungkan. Dengan
begitu, mereka berdua bisa memusatkan perhatian pada lawan yang berada di depan
dan samping mereka.
"Haaat..!"
Dibarengi teriakan menggeledek yang meng-getarkan tempat itu, lima orang
berpakaian merah melancarkan serangan. Cambuk-cambuk berduri di tangan mereka
saling mendahului mencapai sasaran. Serangan yang dilakukan berbeda-beda.
Melecut, mematuk-matuk, dan meliuk-liuk seperti ular merayap.
Pertarungan pun tidak bisa dihindarkan lagi.
Melati mempergunakan pedang sedangkan Dewa Arak menggunakan guci, yang kali ini
isinya tidak ditenggak. Karena Dewa Arak tidak menggunakan ilmu 'Belalang
Sakti'. Setelah terlibat pertarungan langsung dengan mereka, Dewa Arak dan Melati baru
mengetahui kehebatan orang-orang berpakaian merah.
Tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuhnya
tidak bisa diremehkan. Mereka pun mampu melakukan kerjasama dalam pertarungan
keroyokan. Sebuah kerjasama yang luar biasa!
Betapa tidak" Meskipun mereka berlima, tapi seperti mempunyai satu pikiran.
Mereka mampu saling mengisi satu sama lain, baik dalam pertahanan maupun
penyerangan. Dengan kerja sama begitu, serangan mereka menjadi lebih dahsyat dan
kekuatan pertahanan mereka lebih kokoh!
Semua itu dirasakan sendiri oleh Dewa Arak dan Melati. Setiap serangan mereka
selalu dipapaki tiga orang lawan. Anehnya, tenaga-lawan seperti menyatu. Hingga
kekuatan lawan berlipat ganda dan Dewa Arak serta Melati tidak bisa mengambil
keuntungan dari keunggulan tenaga mereka. Kehebatan serangan gabungan ini mampu
bertahan hingga tiga puluh jurus.
Melati dan Dewa Arak tetap terkurung.
Sementara sepuluh orang anggota
Perkumpulan Garuda Hitam yang selamat tertunduk lesu. Tubuh lima orang rekan
mereka yang tadi menjerit-jerit kesakitan kini tidak terlihat lagi. Mereka telah
tiada. Mati secara mengerikan tanpa jejak. Tubuh mereka meleleh dan terserap ke
dalam tanah. Setelah berhasil meredakan rasa sedih yang mendera, kesepuluh orang itu
mengalihkan perhatian ke arah pertempuran. Sorot mata mereka memancarkan dendam.
Tapi apa yang bisa dilakukan" Lawan terlalu kuat untuk mereka. Yang dapat
dilakukan hanya berharap
agar Dewa Arak dan Melati dapat merobohkan lawan. Sementara itu pertarungan
masih berlangsung sengit. Belum terlihat tanda-tanda pihak mana yang akan kalah.
Mendadak.... "Hey...!"
Salah seorang lelaki berpakaian merah berseru kaget Serangannya segera
dihentikan dan jari telunjuknya menunjuk ke angkasa. Melihat kelakuan rekannya,
empat orang berseragam merah lainnya pun menghentikan penyerangan dan melompat
ke belakang. Dan di saat tubuh mereka berada di udara, pandangannya diarah-kan
ke angkasa. Terlihat oleh mereka cahaya kemerahan yang gemerlapan.
Pemandangan itu pun tidak luput dari peng-lihatan Dewa Arak dan Melati. Dan,
mereka tidak menggunakan kesempatan itu untuk mendesak lawan. Dewa Arak dan
Melati tidak mau melancarkan serangan di saat lawan belum siap.
Kedua pendekar muda itu melihat betapa sikap lima lelaki berpakaian merah
berubah gelisah. Mereka tidak mempedulikan keberadaan sepasang pendekar muda itu
lagi. Sebaliknya, saling bertukar pandang sebelum akhimya melesat menuju tempat cahaya
kemerahan itu berasal.
"Keparat keji! Tunggu...!"
Orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam yang dendam atas kematian rekan-rekannya
langsung berseru mencegah, melihat orang-orang berpakaian merah melarikan diri.
Secepat itu pula mereka bergerak mengejar. Tapi orang-orang berseragam merah tidak
mempedulikan teriakan itu. Mereka terus berlari dengan kecepatan penuh. Sehingga
dalam beberapa kali lesatan, sepuluh orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam
tertinggal jauh.
Kejadian itu diperhatikan oleh Dewa Arak dan Melati. Kali ini, sepasang pendekar
muda itu tidak mencampurinya. Mereka tahu orang-orang berpakaian merah tidak
akan meladeni permintaan orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam. Maka mereka pun
mengalihkan perhatian dari sosok-sosok tubuh saling berkejaran itu. Setelah
sosok sosok itu tidak terlihat lagi, Dewa Arak dan Melati saling bertukar
pandang. "Apa yang terjadi, Kang" Mengapa orang-orang berseragam merah tiba-tiba
meninggalkan pertarungan"! Mungkinkah cahaya kemerahan tadi merupakan isyarat
dari kawan-kawan mereka yang membutuhkan bantuan"!" tanya Melati ingin tahu.
"Aku pun menduga demikian, Melati. Cahaya kemerahan itu dilepaskan oleh kawan-
kawan mereka yang meminta bantuan," ujar Arya.
"Kalau benar demikian, berarti ada bahaya yang tengah mengancam orang-orang
berpakaian merah! Tapi..., bahaya dari mana, Kang?" Melati kembali mengajukan
pertanyaan. "Hhh...! Entahlah, Melati. Tapi... eh...! Ingatkah kau akan cerita Reksa tentang
dua datuk sesat?" tanya Arya.
"Ah...! Kau benar, Kang. Pasti bahaya itu
yang tengah menimpa rekan-rekan orang-orang berpakaian merah," sahut Melati
yakin. "Kalau begitu... mari kita ke sana, Kang."
Begitu Dewa Arak menganggukkan kepala, Melati melesat dengan mengerahkan seluruh
ilmu meringankan tubuhnya. Dewa Arak pun melesat mengikuti gadis itu. Sesaat
kemudian, sepasang pendekar muda itu telah berlari bersisian menuju asal cahaya
kemerahan itu. Dewa Arak dan Melati berlari cepat sambil mengingat tempat munculnya cahaya
kemerahan di langit Tak lama kemudian, sepasang muda-mudi itu terperanjat
melihat pemandangan yang terbentang tak jauh di hadapan mereka. Sebuah bangunan
besar mirip istana! Tak teriihat jelas dari kejauhan karena permukaan tanah yang
tinggi rendah. Hingga mereka hanya melihat berupa bangunan besar.
Belum juga rasa kaget kedua orang muda itu reda, datang kejutan lainnya. Di
depan bangunan besar itu tampak banyak bergeletakan sosok tubuh. Tidak terlihat
adanya sosok yang berdiri tegak di sana. Bahkan suasana kelihatan sepi.
Melihat kenyataan ini Dewa Arak menyuruh Melati menghentikan langkah. Dengan
gerak isyarat diberitahukannya agar gadis itu jangan bertindak gegabah. Tanpa
banyak bicara Melati menurutinya. Gadis itu tidak melakukan tindakan apa pun,
hingga Dewa Arak memberi isyarat selanjutnya.
Kemudian, sepasang muda-mudi itu meng-
hampiri dengan sikap penuh waspada. Tapi kekhawatiran mereka tidak beralasan.
Sampai tiba di tempat sosok-sosok tubuh yang bergeletakan, tidak terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan.
"Sepertinya telah terjadi pertarungan di tempat ini, Kang," duga Melati pelan.
Pandangan diedarkan ke arah sosok yang bergeletakan di bawah kakinya.
"Benar, Melati," jawab Arya. Pandangannya tertuju pada sosok-sosok yang tergolek
di tanah. "Melihat keadaan mayat-mayat ini mungkin tidak hanya dua pihak yang terlibat."
Melati menganggukkan kepala membenarkan dugaan kekasihnya. Telah disaksikan
sendiri kenyataan itu. Sosok-sosok yang bergeletakan tanpa nyawa itu mengenakan
pakaian yang berlainan. Bahkan beberapa di antaranya memiliki ciri-ciri yang
unik! "Perkembangan kejadian di sini jadi demikian memusingkan," ujar Dewa Arak dengan
dahi berkernyit. "Orang-orang berpakaian merah belum kita ketahui asal-usulnya.
Kini kita jumpai orang-orang berpakaian serba putih dengan kulit kepucatan
seperti tidak pernah terkena sinar matahari."
Di antara sosok-sosok itu memang terdapat sosok yang berpakaian putih. Di
samping itu, terdapat sosok-sosok yang berpakaian hitam dan merah.
"Kakang...," sapa Melati hati-hati.
Arya mengangkat kepala menatap wajah
gadis berpakaian putih itu. "Ada apa, Melati?"
"Rupanya masih ada yang hidup, Kang," beri tahu Melati sambil menunjuk ke arah
seorang kakek berpakaian putih.
Melihat kenyataan itu, tanpa membuang-buang waktu Arya menghampiri dan
berjongkok di dekatnya.
"Apa yang terjadi, Ki?" tanya Arya segera.
Khawatir orang itu keburu mati sebelum memberikan jawaban. Sebab keadaan orang
itu sudah amat parah.
"Seorang kakek mirip monyet dan berkulit hitam... akh...!"
Sebelum sempat menyelesaikan ucapannya, kakek berpakaian putih itu menghembuskan
napas terakhir.
"Raja Monyet Muka Hitam...," Arya dan Melati hampir bersamaan. menyebutkan
julukan itu. Kemudian perlahan-lahan keduanya bergerak bangkit. Mendadak...
"Kakang...!" kembali Melati menyapa.
"Ada apa, Melati?"
"Dugaanmu tepat, Kang. Di sini ada tempat tinggal. Berarti pulau ini tidak
kosong," Melati mengalihkan pandang ke arah bangunan besar mirip istana yang
putih berkilauan. Pulau Es.
"Ya," hanya itu yang dapat diucapkan Dewa Arak. Bertumpuk-tumpuk pertanyaan mem-
bebani benaknya. Hingga otaknya sukar untuk diajak berpikir.
"Sekarang yang menjadi pertanyaan..., siapa atau lebih tepatnya kelompok mana
yang memiliki pulau ini, Kang"!" ucap Melati lagi.
"Hhh...!" Dewa Arak menghembuskan napas berat. "Itu akan kita ketahui nanti,
Melati. Saat ini lebih baik kita mencari orang-orang berpakaian merah. Kita
harus mendapat keterangan dari mereka, siapa atau kelompok mana pemilik pulau ini sebenarnya.
Aku yakin mereka mengetahuinya."
"Ke mana kita harus mencarinya, Kang.
Mereka tidak ada di sini. Dan ke mana mereka pergi, kita tidak tahu."
"Kalau begitu, sekarang kita pusatkan perhatian kita pada bangunan itu. Mudah-
mudahan di sana ada jawabnya. Malah bukan tidak mungkin mereka tengah berada di
dalam sana,"
jelas Arya sambil menunjuk ke arah bangunan besar mirip istana.
Melati mengernyitkan dahi.
"Menurutku..., mereka tidak berada di sana, Kang. Suasana di dalam sana tampak
sangat sepi. Aku lebih condong kalau bangunan besar itu kosong," ujar Melati
yakin. "Mari kita buktikan kebenarannya," Dewa Arak mengayunkan langkah memasuki
bangunan itu. Melati mengikuti di belakangnya.
Sepasang mata gadis berpakaian putih itu merayapi bangunan yang seluruhnya
tertutup es.

Dewa Arak 49 Geger Pulau Es di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil berjalan, Dewa Arak berpikir keras.
Korban yang berjatuhan cukup banyak, semuanya kurang lebih lima belas orang.
Keadaan di sekitar tempat itu pun kacau balau. Pertarungan
itu pasti berlangsung sengit. Tapi mengapa dia maupun Melati tidak mendengarnya
sama sekali" Pemuda berambut putih keperakan itu rupanya tidak tahu, bentuk dan
keadaan daratan Pulau Es telah membuat perjalanan gelombang suara dan bunyi
terhambat. Selangkah demi selangkah, pasangan
pendekar muda itu mendekati pintu gerbang yang terbuka lebar sehingga
memperlihatkan sebagian isi bangunan. Sebelum Dewa Arak dan Melati berhasil
melewati daun pintu gerbang....
"Berhenti...!"
Seruan keras terdengar. Dewa Arak dan Melati menghentikan langkah dan berbalik
dengan sikap waspada. Tepat pada saat itu, sesosok bayangan putih melesat cepat
ke arah Dewa Arak. Sosok menerjang pemuda berambut putih keperakan. Gerak
serangannya mengingatkan orang akan serbuan burung elang menerkam mangsanya.
Serangan yang tidak disangka-sangka itu mengejutkan Dewa Arak. Namun, kesigapan
membuatnya langsung bertindak. Karena tidak mungkin mengelak lagi, dipapakinya
serangan itu dengan pengerahan seluruh tenaga dalamnya.
Wut! Plak, plak..!
*** 7 Aih...!" Diiringi jeritan kaget, tubuh Dewa Arak dan sosok bayangan putih terjengkang.
Dewa Arak terhuyung-huyung ke belakang, sedang sosok bayangan putih terpental
balik. Tapi... "Hup!"
Dengan gerakan manis dan indah, Dewa Arak maupun sosok bayangan putih berhasil
me-matahkan kekuatan daya dorong tubuh mereka.
Setelah berhasil memperbaiki kedudukan, kedua orang itu kembali bersikap siaga.
Dua pasang mata saling beradu pandang. Masing-masing pihak berusaha mengukur
kemampuan lawan melalui sorot mata. Mendadak...
"Siapa kau..." Cepat katakan. ."!" ucap sosok bayangan putih dengan suara
bergetar. Sosok itu adalah seorang kakek yang sudah sangat tua. Pakaian yang dikenakannya
serba putih. Demikian pula rambut, alis, kumis, jenggot, dan cambangnya.
Kulitnya pun pucat seperti tidak pernah terkena sinar matahari.
Kesan yang timbul, kakek itu mirip mayat.
Sesaat kemudian, wajah kakek itu dilanda rasa kaget yang amat sangat. Tarikan
wajah dan desah suaranya yang menggeletar menjelaskan semua itu. Hingga Arya
heran dibuatnya.
Mengapa kakek itu nampak demikian kaget
melihatnya"
"Aku Arya dan kawanku ini Melati. Kami bukan orang jahat..," jelas Dewa Arak
jujur. Pemuda berambut putih keperakan khawatir jika kakek berpakaian putih itu salah
paham dan berprasangka buruk.
"Arya"!"
Kakek berpakaian putih mengernyitkan aiis.
Ada sorot kekecewaan pada sepasang matanya.
Kenyataan itu membuat Dewa Arak dan Melati semakin heran. Tanpa sadar keduanya
saling berpandangan. Dan, Melati menduga kakek yang berdiri di hadapan mereka
bukan orang waras!
"Berapa usiamu sekarang..., Anak Muda"!"
kakek berpakaian putih itu tampak bingung untuk memanggil Dewa Arak.
Arya dan Melati bertambah kaget bercampur heran mendengar pertanyaan itu.
"Jangan-jangan kakek ini tidak waras, Kang,"
bisik Melati. Khawatir akan terdengar kakek berpakaian putih. Dan kekhawatiran
Melati terwujud. Terbukti dari ucapan selanjutnya kakek berpakaian putih itu.
"Jangan khawatir, Bocah Ayu. Aku bukan orang gila. Aku hanya ingin tahu lebih
jelas tentang diri kawanmu ini. Boleh kan kalau aku ingin mengenalnya lebih
jauh"!"
Melati terkejut bukan main mengetahui kakek itu mendengar bisikannya. Arya pun
agak terkejut Walaupun dia tahu kalau kakek itu berkepandaian tinggi. Namun
sungguh tidak disangka pendengarannya demikian tajam, sehingga mampu mendengar bisikan halus
dalam jarak sekitar delapan tombak! Kenyataan ini membuat Dewa Arak semakin
berhati-hati. "Tentu saja boleh, Ki," jawab Arya tenang.
Pemuda berambut putih keperakan itu telah berhasil menguasai perasaannya. "Tapi,
tentu tidak adil kalau hanya aku yang mendapat pertanyaan. Aku juga ingin
mengenalmu."
"He he he...!" kakek berpakaian putih itu tertawa lunak. "Maaf. Maaf. Aku telah
berlaku kurang sopan. Kuharap kalian bisa memaklumi.
Kedatangan orang-orang yang tidak bermaksud baik ke pulauku, dan menyebar
keonaran di sana-sini membuatku kurang bisa bersikap layak terhadap kalian.
"Ah...!" Dewa Arak dan Melati berserukaget
"Jadi..., kau pemilik Pulau Es ini, Ki?" Arya berusaha memastikan setelah
berhasil me-nenangkan perasaannya.
"Benar. Aku adalah pemilik pulau ini," kakek itu mengangguk. "Namaku Sangga
Buana. Dan bangunan yang hendak kalian masuki adalah tempat tinggalku."
Sangga Buana"! ulang Dewa Arak dalam hati.
Rasanya dia pemah mendengar nama itu. Tapi Arya lupa. Kapan dan di mana nama itu
pernah didengamya. Benaknya berputar menggali seluruh ingatannya. Di saat Dewa
Arak tengah berkutat dengan ingatannya, Melati mengambil alih pembicaraan.
"Kalau kau pemilik pulau ini..., lalu siapa
orang-orang itu"!" tanya Melati sambil menunjuk ke arah sosok-sosok tubuh
berpakaian putih yang bergeletakan di sekitar tempat itu.
"Hhh...!' Kakek Sangga Buana menghembuskan napas berat. Tarikan wajahnya menyiratkan
kedukaan. Pertanyaan Melatilah penyebabnya.
Hingga gadis berpakaian putih itu merasa tidak enak.
"Maafkan aku, Ki. Bukan maksudku mem-buatmu bersedih...."
"Aku tahu!" potong kakek berpakaian putih cepat. "Aku tahu kau tidak bermaksud
demikian. Tanpa kau bertanya pun aku sudah merasa tidak nyaman. Hhh...! Mereka adalah
orang-orangku yang setia. Menemaniku di sisa umur-ku. Bagaimana aku tidak
bersedih atas kematian mereka?" Sangga Buana menunduk-kan kepala. Tampak jelas
dia merasa terpukul akan kenyataan yang dihadapinya.
Melati tidak berani mengganggu lagi. Dibiarkan saja kakek berpakaian putih itu
tertunduk. Ditengoknya Dewa Arak. Tapi pemuda berambut putih keperakan itu hanya mengangkat
bahu sambil memberi isyarat agar tidak mengganggu Sangga Buana.
Tidak lama Sangga Buana tenggelam dalam kesedihannya. Sesaat kemudian, kakek itu
mengangkat wajahnya. Tidak tampak lagi kesedihan di sana. Rupanya kakek
berpakaian putih itu telah berhasil menguasai perasaannya.
"Maafkan aku...," ucap Sangga Buana lemah.
"Aku telah bertindak cengeng di hadapan kalian...."
"Ah, tidak mengapa, Ki," jawab Dewa Arak bijaksana. "Kami bisa memakluminya.
Dan...." "Lupakan saja, Anak Muda. Oh, ya. Tadi aku belum selesai dengan pertanyaanku.
Sekarang akan kuulangi lagi. Berapa usiamu, Anak Muda"
Maaf bukannya aku bermaksud mengejekmu.
Melihat keadaan tubuh dan wajahmu, aku yakin usiamu tidak lebih dari dua puluh
lima tahun. Tapi..., mengapa rambutmu berwarna seperti itu" Apakah memang sejak lahir
rambutmu berwarna demikian?"
'Tidak, Ki," Arya menggeleng, "Warna rambutku berubah seperti ini sewaktu usiaku
hampir dua puluh tahun. Menurut guruku, ini disebabkan oleh ilmu yang
kupelajari."
"Ooo...," mulut Sangga Buana membentuk bulatan. "Lalu... berapa usiamu yang
sebenarnya, Anak Muda?"
"Sekitar dua puluh satu tahun, Ki," jawab Arya.
Sangga Buana mengangguk-angguk.
"Mengenai namamu tadi... Arya bukan"
Apakah itu nama lengkapmu?" tanya kakek itu menyelidik.
'Tidak, Ki," Arya menggeleng. "Namaku sebenarnya Arya Buana."
"Dan di dunia persilatan dikenal dengan julukan Dewa Arak, Ki," sambung Melati
bangga. "Arya Buana"!" ulang Sangga Buana setengah
terpekik karena rasa kaget yang sangat. "Apa hubunganmu dengan Tribuana?"
"Tribuana"!" ulang Arya tak kalah kaget.
"Kau mengenalnya, Ki"! Beliau adalah mendiang ayahku!"
"Mendiang"! Jadi..., maksudmu Tribuana telah meninggal dunia" Dan kau anaknya"!"
kali ini ucapan kakek berpakaian putih terdengar terbata-bata. Kakek itu dicekam
rasa tegang yang memuncak.
"Benar, Ki. Ayahku telah meninggal.
Kejadiannya sudah lama terjadi. Kalau boleh kutahu... di mana kau mengenalnya?"
tanya Arya penasaran.
*** Sangga Buana tidak segera menjawab
pertanyaan itu. Kepala malah ditundukkan.
Cukup lama hal itu dilakukannya sehingga Dewa Arak dan Melati hampir kehilangan
kesabaran menunggu. Dan sebelum kedua pendekar muda itu kehilangan kesabaran,
Sangga Buana telah mengangkat wajahnya.
Begitu melihatnya, tanpa sadar Arya dan Melati melangkah mundur.
Betapa tidak" Tarikan wajah Sangga Buana menyiratkan kemarahan yang sangat.
Dalam sorot matanya terpancar kebencian yang menggelegak. Semua itu tertuju pada
Arya! "Apa yang terjadi, Ki" Mengapa kau menatap-ku seperti itu?" tanya Arya
kebingungan. Pemuda berambut putih keperakan itu merasakan yang tidak beres. Dugaan Dewa Arak
tidak melesat. Beberapa saat kemudian....
"Kau bilang Tribuana telah meninggal"!
Hah...! Enak saja! Kau tahu, dia berhutang nyawa padaku. Aku tidak mau tahu. Apa
pun yang terjadi, hutang nyawa itu harus dibayar!"
tandas Sangga Buana geram.
Dewa Arak mengernyitkan alis. Sungguh tidak disangka akan jadi begini.
"Aku minta kebijaksanaanmu, Ki. Ayahku meninggal... dan...."
"Ayahmu memang telah meninggal! Tapi masih ada anaknya. Kaulah yang harus mem-
bayar hutang nyawa itu!" potong Sangga Buana cepat. "Bersiaplah, Arya! Ingat,
aku tidak ragu-ragu untuk membunuhmu!"
"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas berat.
"Kau terlalu mendesakku, Ki. Apa boleh buat terpaksa kuladeni kemauanmu. Asal
tahu saja, aku hanya menuruti kehendakmu!"
Mantap dan tegas jawaban Dewa Arak. Tapi tanggapan yang diberikan Sangga Buana
dengusan penuh ejekan.
Dewa Arak segera memberi isyarat pada Melati untuk menyingkir dari tempat itu.
Tanpa banyak membantah gadis berpakaian putih itu melaksanakan permintaan
kekasihnya. "Hati-hati, Kang," ucap Melati sebelum menjauhkan diri.
Dewa Arak hanya mengangguk Kemudian, mengalihkan perhatiannya pada Sangga Buana.
Kakek berpakaian putih itu telah siap. Tanpa membuang waktu lagi pemuda berambut
putih keperakan itu bersiap siaga. Diambilnya guci arak yang tergantung di
punggung. Lalu di-tuangkan ke mulutnya.
Gluk.... Gluk... Gluk...!
Terdengar suara tegukan arak melewati tenggorokan Dewa Arak. Sesaat kemudian,
terasa ada hawa hangat berputar di dalam perut pemuda berambut putih keperakan
itu. Perlahan-lahan hawa itu naik ke atas kepala.
Sekejap kemudian, kedudukan kaki Dewa Arak sudah tidak tetap lagi. Oleng ke
kanan-kiri. Ilmu
'Belalang Sari' andalannya telah siap untuk dipergunakan.
Semua gerak-gerik Dewa Arak tidak luput dari perharian Sangga Buana. Dahi kakek
berpakaian putih itu berkernyit dalam. Sangga Buana heran bukan main melihat
kelakuan Dewa Arak. Rupanya kakek itu belum pernah mendengar akan ilmu 'Belalang
Sakti' yang unik dan dahsyat.
Tapi sebagai seorang tokoh tingkat tinggi, Sangga Buana tidak berani bertindak
gegabah. Disadarinya kalau di dunia ini banyak terdapat ilmu. Tidak sedikit di antaranya
yang kelihatan aneh dan lucu, tapi mengandung kedahsyatan yang tidak terperikan.
itu, sebabnya begitu melihat tubuh Dewa Arak mulai terhuyung huyung seperti akan
jatuh kakek itu mem-persiapkan ilmunya. Tanpa ragu-ragu lagi, kakek berpakaian
putih itu mengeluarkan ilmu
andalannya. "Ssshhh...!"
Bunyi berdesis keras seperti seekor ular besar yang murka terdengar, ketika
Sangga Buana mengejangkan kedua tangannya. Kedudukan jari-jari tangannya lurus,
menegang kaku, penuh kekuatan.
Bunyi berdesis semakin keras terdengar seiring dengan juluran kedua tangannya ke
depan. Uap tipis mengepul dari sekujur tubuh Sangga Buana. Mula-mula sedikit dan
tipis, tapi makin lama makin tebal. Dan, hawa dingin menyebar dari tubuh Sangga
Buana. Inilah ilmu andalan kakek berpakaian putih itu, ilmu 'Ular Es'.
"Ssshhh...!"
Diawali bunyi desisan keras yang membuat bulu kuduk berdiri, Sangga Buana
menghampiri Dewa Arak dengan langkah-langkah silang.
Sepasang matanya yang mencorong tajam laksana mata harimau dalam gelap, merayapi
sekujur tubuh lawan. Kakek itu tengah mencari celah-celah yang akan dijadikan
sasaran. Begitu pula Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu pun segera
menghampiri lawan. Kalau lawan melangkah mantap dengan sikap penuh waspada, Dewa
Arak tidak demikian. Pendekar muda yang mempunyai julukan menggemparkan dunia
persilatan itu melangkah sembarangan. Tanpa perhitungan.
Langkahnya terhuyung-huyung seperti akan jatuh. Kelihatan lucu. Sekali kakinya
melangkah ke depan, tiga kali mundur ke belakang.
Ditambah lagi dengan tindakannya yang membuat Sangga Buana heran. Dewa arak maju
sambil terus menuangkan arak ke dalam mulutnya.
"Gluk... gluk... gluk...."
Tak lama kemudian, jarak antara mereka telah dekat Saat Sangga Buana menerjang
Dewa Arak. "Ssshhh...!"
Dengan diawali bunyi desisan yang tidak putus sejak tadi, Sangga Buana
melancarkan serangan. Kakek berpakaian putih itu membuka serangan dengan totokan
bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati!
Cit, cit, cit! Bunyi berdecit nyaring terdengar ketika tangan Sangga Buana meluncur menuju
sasaran. Bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam serangan
itu. Cepat bukan main luncuran serangan itu.
Padahal, saat itu Dewa Arak masih sibuk menenggak arak.
Tapi begitu serangan itu meluncur dekat, dengan sekali jejak tubuh Dewa Arak
melayang melewati kepala Sangga Buana. Hingga serangan-serangan itu meluncur
lewat di bawah kakinya. berada di atas, tubuh Dewa Arak berjumpalitan di udara.
Kemudian, tangan kanannya disampokkan ke arah belakang kepala Sangga Buana.
Wuttt! Sampokan Dewa Arak mengenai tempat
kosong. Sangga Buana merendahkan tubuhnya untuk menghindar. Jari-jari tangan
pemuda berambut putih keperakan lewat beberapa jari di atas sasaran. Rambut dan
pakaian Sangga Buana berkibar keras seperti dilanda angin keras. Betapa kuat
tenaga dalam yang terkandung dalam sampokan Dewa Arak.
Kegagalan serangan itu rupanya sudah diper-hitungkan Dewa Arak. Sebuah serangan
susulan segera dikirimkan. Kaki kanannya disepakkan di bawah.
Wukkk! Kali ini Sangga Buana tidak sempat
mengelak. Padahal, kaki Dewa Arak meluncur ke arah belakang kepalanya. Bila
maksud pemuda berambut putih keperakan itu tercapai, kepalanya akan hancur
berantakan. Sangga Buana tidak menginginkan hal itu terjadi.
Kakek berpakaian putih itu lalu mengulur tangan kanannya. Itu dilakukannya
sambil menolehkan kepala ke arah datangnya serangan.


Dewa Arak 49 Geger Pulau Es di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tappp! Gila! Patut diacungkan jempol kecepatan perubahan gerak Sangga Buana. Betapa
tidak" Entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu pergelangan kaki Dewa Arak berhasil
dicekalnya. Dan secepat itu pula disentakkan.
"Akh...!"
Dewa Arak memekik kaget ketika tubuhnya melayang oleh sentakan Sangga Buana.
Kejadian itu sungguh di luar dugaan, sehingga Dewa Arak tidak sempat berbuat
sesuatu. Di saat tubuh pemuda itu tengah melayang, Sangga Buana memburu sambil
melancarkan totokan yang bertubi-tubi ke arah bagian-bagian mematikan. Tapi
bukan Dewa Arak kalau dengan cara semudah itu dapat dipecundangj.
Dalam keadaan tubuh masih melayang
dipapakinya serangan-serangan Sangga Buana.
Plak, plak, plak!
Terdengar berdetak keras seperti beradunya lo gam-logam keras, ketika dua pasang
tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan. Akibatnya, tubuh kedua
orang itu terhuyung-huyung ke belakang. Setelah memperbaiki kedudukan masing-
masing keduanya kembali saling gebrak Pertarungan sengit pun tidak bisa
dielakkan lagi.
Hebat bukan main pertarungan yang terjadi antara dua tokoh yang sama-sama
berkepandaian tinggi itu. Bunyi menderu, mencicit, dan mengaung, terdengar
setiap kali tangan atau kaki Dewa Arak dan Sangga Buana bergerak. Debu mengepul
tinggi ke udara.
Melati yang menjadi penonton satu-satunya, terpaksa menyingkir lebih jauh.
Sambaran angin serangan kedua tokoh yang bertarung itu terlalu berbahaya. Hawa
panas dan dingin menyebar dari kancah pertarungan.
Sementara itu di kancah pertarungan, baik Dewa Arak maupun Sangga Buana dilibat
perasaan kagum terhadap lawan masing-
masing. Walaupun telah menduga akan kelihaian lawan, namun sungguh tidak
disangka kalau lawan akan setangguh ini. Tapi perasaan kagum yang lebih besar
melanda Sangga Buana.
Kakek itu tidak menyangka orang semuda Dewa Arak mempunyai kepandaian setinggi
ini! Kalau tidak mengalami sendiri, dia tidak akan percaya!
Kekuatan tenaga dalam, ilmu meringankan tubuh dan ilmu-ilmu andalan Dewa Arak
sungguh luar biasa.
Di dalam hati kakek itu pun terselip rasa penasaran yang mendalam. Setiap
serangan yang dikirimkan selalu dapat dipunahkan Dewa Arak dengan gerakan
uniknya. Sebaliknya serangan balasan pemuda berambut putih keperakan membuatnya
kelabakan. Serangan-serangan Dewa Arak tak ubahnya hantaman gelombang laut
susul-menyusul dan penuh kekuatan.
Yang lebih menakjubkan adalah hawa panas yang menyebar dan sekujur tubuh Dewa
Arak. Apalagi ketika pemuda berambut putih keperakan itu melancarkan serangan. Namun
dari semuanya, yang membuat kakek berpakaian putih itu kewalahan adalah
kecepatan gerak Dewa Arak. Gerakan pemuda berambut putih keperakan itu sulit
diterka. Terkadang gerakannya lemas seperti tanpa tenaga, tapi sesaat kemudian
keras dan penuh kekuatan.
Perubahan-perubahan gerak itu terlalu cepat untuk diduga. .
Temyata, Dewa Arak pun mengalami hal yang
sama! Pemuda itu merasa kesulitan mematah-kan perlawanan kakek itu. Gerakan
Sangga Buana terlampau cepat dan tiba-tiba, tapi selalu penuh dengan kekuatan!
Mirip halilintar. Di samping itu, setiap kali tangan atau kaki Sangga Buana
bergerak, menyebar hawa dingin yang sanggup membekukan otot-otot tubuh.
Untunglah, Dewa Arak memiliki tenaga panas sehingga pengaruh hawa dingin itu
tidak terlalu berpengaruh baginya.
Jurus demi jurus berlalu dengan cepat. Dalam waktu tak lama, tujuh puluh jurus
telah berlalu. Selama itu tidak nampak tanda-tanda pihak yang akan keluar sebagai pemenang.
Pertarungan masih berlangsung seimbang.
Menginjak jurus kedelapan puluh satu, Sangga Buana tidak sabar lagi. Bila
keadaan seperti itu dibiarkan terus, pertarungan tidak akan pernah berakhir.
Maka seluruh kemampuannya dikerahkan. Tenaga dalam dan ilmu meringankan
tubuhnya. Memang, sebelum itu kemampuan. tertingginya belum dikerahkan.
Hasil tindakan yang diambil Sangga Buana langsung terlihat. Tampak ketika
terjadi benturan antara mereka. Tubuh Dewa Arak terhuyung-huyung dua langkah
lebih jauh dengan seringai kesakitan di mulutnya.
Dengan mengandalkan keunggulan tenaga dalamnya, Sangga Buana berusaha keras
menekan Dewa Arak. Dipaksanya pemuda berambut putih keperakan itu terus-menerus
berbenturan tangan atau kaki. Memang bukan
pekerjaan mudah. Tapi beberapa kali hal itu berhasil dilakukan Sangga Buana. Dan
itu tercipta karena keunggulannya pula dalam ilmu meringankan tubuh.
Dewa Arak menggertakkan gigi. Baru
disadarinya kalau sejak tadi lawan belum mengeluarkan seluruh kemampuannya.
Begitu Sangga Buana mengeluarkan kemampuan tertingginya, harus diakui kalau
kakek itu masih terlalu tangguh untuknya. Perlahan-lahan dirinya berhasil
ditekan. Hingga Dewa Arak penasaran bukan main.
Tidak pernah disangka masih ada orang yang memiliki kepandaian di atasnya.
Padahal kepandaiannya telah meningkat pesat! Karena sering berlatih, dan
terutama sekali karena beberapa kali belalang raksasa masuk ke dalam tubuhnya.
(Untuk lebih jelasnya silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: 'Makhluk dari
Dunia Asing'.) Semakin lama kedudukan Dewa Arak
semakin terjepit Hanya karena keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti'nya hingga
dirinya masih mampu mengadakan perlawanan. Tapi ke-kalahannya akan tiba pula.
Haruskah belalang raksasa di alam gaib sana dipanggil untuk menghadapi Sangga
Buana"! Pertanyaan itu menggayuti hati Dewa Arak.
Plak, plak, plakkk!
Untuk yang kesekian kali, dua pasang tangan yang dialiri tenaga dalam kuat
berbenturan. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. Akibatnya,
tubuh Dewa Arak terpelanting. Tapi dengan sebuah genjotan, Dewa Arak berhasil
berdiri di tanah dengan mantap dan siap menghadapi serangan selanjutnya.
Tapi kesiap-siagaannya sia-sia. Serangan yang ditunggu-tunggu tidak muncul.
Sangga Buana tidak memburunya. Kakek berpakaian putih itu malah berdiam diri
dengan kedua tangan disedakapkan di dada. Seulas senyum lebar menghias bibimya.
Karuan saja Dewa Arak heran bercampur jengkel. Sikap Sangga Buana menunjukkan
kesan seolah-olah Dewa Arak bukan tandingan kakek itu. Dan kakek itu sengaja
memberinya kesempatan untuk memperbaiki kedudukan.
Dewa Arak tersinggung. Maka diputuskan untuk mengadakan perlawanan mati-matian.
Namun sebelum Dewa Arak sempat melancarkan serangan.
"Cukup, Cucuku," ucap Sangga Buana.
"Apa"!"
*** 8 Sebuah seruan penuh kekagetan keluar dari mulut Dewa Arak. Tarikan wajah pemuda
berambut putih keperakan itu menyiratkan keterkejutan yang sangat. Pancaran
perasaan yang sama terlihat pada sorot matanya.
"Apa katamu, Ki?" Arya mengulang per-tanyaannya dengan suara terbata-bata karena
perasaan tegang dan kaget yang melanda.
Bukan hanya Dewa Arak yang dilanda
perasaan itu. Melati pun mengalami hal yang sama. Rasa heran dan ingin tahu
membuat gadis itu mengayunkan langkah mendekati Dewa Arak dengan pandangan
tertuju pada Sangga Buana.
"Hati-hati, Kang. Jangan-jangan ini hanya tipu muslihatnya saja," beritahu
Melati ketika telah berada di sebelah kekasihnya.
"Kau benar, Melati," sahut Arya mendesah.
Seketika itu pula, perasaan tegang dan herannya berangsur-angsur mereda. Ada
kebenaran yang tidak bisa dibantah dalam ucapan Melati.
"He he-he...! Tidak bisa kusalahkan kalau kau curiga padaku, Cucuku. Kau memang
punya alasan yang kuat untuk itu. Tapi percayalah...
aku mengatakan hal yang sesungguhnya. Kau, cucuku." Terdengar lembut tapi penuh
keyakinan Sangga Buana mengatakannya.
"Tidak usah berpura-pura, Ki!" sentak Arya tegas. "Bukankah tadi kau mengatakan
ayahku berhutang nyawa denganmu, dan dengan sendirinya aku menjadi musuh
besarmu" Lalu...
mengapa sekarang kau mengatakan aku adalah cucumu"!"
"He he he...! Kau memang cucuku, Arya.
Dan..." "Tidak usah kau lanjutkan tipu muslihatmu, Ki!" potong Melati cepat. "Percuma!
Tidak akan berhasil! Kami tidak akan mempercayainya."
"Tenanglah, Bocah Ayu," Sangga Buana masih bersikap sabar. "Tahanlah emosimu.
Persoalan ini tidak akan selesai bila kita kalap.
Dinginkan kepalamu dan dengarkan baik-baik penjelasanku. Setelah itu, terserah
kau dan Arya untuk memutuskan kebenaran ucapanku."
Rupanya Melati tidak bisa dibujuk. Tapi sebelum dia sempat mengeluarkan
ucapannya, Dewa Arak telah lebih dulu menyentuh lengan-nya dan menyuruhnya
bersabar. 'Tenang, Melati. Berikan kesempatan padanya. Tidak ada ruginya mendengarkan dia
bicara," pelan dan lembut ucapan Dewa Arak.
Tidak ada alasan lagi bagi Melati untuk memotong ucapan Sangga Buana. "Terserah
kau sajalah, Kang," hanya itu jawaban yang diberikan Melati.
Melihat hal itu, Arya lalu mengalihkan perhatiannya kembali pada Sangga Buana.
"Bicara-lah, Ki. Tapi perlu kau tahu, aku tidak akan
mudah percaya dengan ucapanmu," mantap dan tegas kata-kata Dewa Arak.
"He he he...! Aku jadi lebih kagum dengan sikap yang kau ambil, Arya. Memang
seharus-nya begitu, sebelum kau memutuskan benar tidaknya sebuah berita yang kau
dengar," puji Sangga Buana. "Nah! Sekarang dengarkan baik-baik alasan yang
membuatku mengakuimu sebagai cucuku."
Sampai di sini, kakek berpakaian putih itu menghentikan ucapannya. Sangga Buana
ingin memberi kesempatan pada sepasang muda-mudi berwajah elok itu, terutama
Melati, untuk memusatkan perhatiannya pada ucapan yang akan dikatakannya.
"Sebelum kuceritakan semuanya, perlu kuberitahukan padamu kalau Tribuana bukan
musuh besarku. Alasan itu sengaja kuciptakan agar aku bisa bertarung denganmu.
Baiklah, sekarang aku akan menceritakan sesuatu yang menjadi alasanku
memanggilmu cucu. Bagaimana" Bersedia untuk mendengarkan"!" tanya Sangga Buana
sambil menatap Dewa Arak.
"Ceritakanlah," sahutnya mempersilakan.
"Kami telah siap mendengarkan."
"Puluhan tahun yang lalu, di pulau ini yang lebih terkenal dengan sebutan Pulau
Es ini, kami tinggal. Kami yang kumaksud adalah aku, permaisuriku, anakku,
pengawal-pengawal, dan panglima. Kami tinggal di bangunan itu. Istana Es,
demikian nama yang kami berikan," Sangga Buana memulai kisahnya.
Dewa Arak dan Melati tidak berkeinginan memotong cerita itu. Mereka ingin
mendengarkan kisah Sangga Buana. Sebuah cerita yang menarik tentunya.
"Kami hidup aman dan damai. Bahagia rasanya. Apalagi, saat itu anak kami tengah
lucu-lucu-nya. Dia baru berusia satu tahun.
Kami asuh dia dengan penuh kasih sayang.
Sehingga tumbuh menjadi seorang anak lelaki berusia sepuluh tahun yang bertubuh
sehat dan kuat," Sangga Buana menghentikan ucapannya untuk mengambil napas.
"Karena tempat ini ber-udara dingin, maka aku mewariskannya ilmu silat agar dia
tak mudah sakit. Anakku ternyata seorang anak yang rajin dan berbakat, sehingga
dalam usia sepuluh tahun telah mempunyai kepandaian yang cukup bisa dibanggakan.
Kami pun tidak ragu-ragu lagi melepasnya sendiri.
Jarang kami mengawasinya. Terkadang dia pergi bersama prajurit-prajurit Untuk
bermain perahu atau menangkap ikan."
Lagi-lagi Sangga Buana menghentikan cerita.
Ditelannya air liur untuk membasahi teng-gorokannya yang kering.
"Pada suatu hari, seperti biasa anakku bersama dua orang prajurit pergi ke laut
untuk menangkap ikan. Sungguh tidak kami sangka pertemuan kali itu adalah
pertemuan terakhir dengannya. Dalam perjalanan pulang dari laut mereka dicegat
oleh segerombolan bajak laut.
Secara kasar gerombolan bajak laut itu merampas ikan-ikan hasil tangkapan dua
orang prajuritku. Semula hal itu dibiarkan saja asalkan mereka tidak diganggu. Kedua
prajurit itu mengkhawatirkan keselamatan anakku.
Bajak laut itu pun mulai melakukan tindak kekerasan. Tidak hanya pada dua
pengawal kepercayaanku. Tapi juga terhadap anakku."
Untuk yang kesekian kali Sangga Buana menghentikan ceritanya. Sementara Dewa
Arak dan Melati terus mendengarkan dengan penuh perhatian. Cerita yang
disuguhkan Sangga Buana sangat menarik. Mereka terbawa tegang meskipun hanya
mendengar cerita itu.
"Melihat hal itu, kedua pengawal kepercayaanku tidak bisa tinggal diam. Mereka
pun melakukan perlawanan. Tapi karena jumlah para bajak itu banyak dan amat ahli
bertarung di laut, dengan mudah perlawanan dua orang pengawalku dipatahkan.
Perahu yang mereka tumpangi digulingkan."
"Ah...!" tanpa sadar Melati menjerit kaget
"Bagaimana nasib anakmu dan kedua pengawal itu"!"
Sangga Buana tersenyum getir.
"Salah seorang pengawalku tewas dengan tubuh penuh luka tusukan dan bacokan.
Sedangkan yang satunya selamat dan berhasil tiba di pulau ini setelah berpura-
pura mati. Setelah memberitahukan semua kejadiannya padaku, dia tewas. Luka-luka yang
dideritanya terlalu parah. Keberhasilannya bertahan hidup karena ingin
menyampaikan berita yang dibawanya," jelas kakek berpakaian putih itu.
"Bagaiman nasib anakmu, Ki?" kembali Melati mengajukan pertanyaan karena tidak
kuat menahan rasa ingjn tahunya.
"Hhh...!"
Sangga Buana menghembuskan napas berat.
Gadis berpakaian putih itu pun dapat menduga jawaban kakek itu. Dugaan Melati
tidak salah. "Anakku lenyap di lautan lepas, setelah disiksa para bajak. Pengawal
kepercayaanku yang selamat tidak tahu ke mana perginya anakku. Mendengar cerita
itu, aku bergegas ke laut dan mencarinya.
Tapi sampai lelah kumencari, menelusuri lautan lepas, tidak kutemukan anakku.
Maka kupasrahkan segalanya pada Allah. Aku yakin dia akan selamat bila Allah
menghendaki," urai Sangga Buana.
"Lalu bagaimana dengan gerombolan bajak itu, Ki" Apakah kau mencari mereka?"
lagi-lagi Melati mengajukan pertanyaan.
"Benar. Mereka kucari," jawab Sangga Buana sambil menganggukkan kepala. Ketika
kutemukan, kuhancurkan mereka semua! Tidak ada seorang pun yang kusisakan.
Bahkan sarang mereka pun rata dengan tanah!"
Suasana berlangsung hening saat Sangga Buana menghentikan ucapannya. Yang
terdengar hanya desir angin yang berhembus pelan.
Ketiga orang itu tenggelam dalam alun pikirannya masing-masing.
"O, ya, Ki. Aku hampir lupa. Sejak tadi kau tidak pernah menyebut nama anakmu.
Boleh kutahu namanya?" tanya Arya ingin tahu.
"Kau belum bisa menebaknya, Arya?" Sangga Buana balas bertanya.
Seketika itu pula Arya tertegun heran mendengar jawaban kakek itu. Ditatapnya
wajah Sangga Buana penuh selidik Wajah dihiasi senyum meskipun dalam sorot
matanya terpancar kedukaan yang mendalam. Arya tersentak!
"Jadi..., anakmu adalah... ayahku..."!" tanya Arya memastikan. Hatinya berdebar-
debar tak menentu. Berharap-harap cemas.
"Benar," jawab Sangga Buana seraya mengangguk. "Tribuana adalah anakku. Wajahnya
sangat mirip denganmu. Itu sebabnya aku terkejut ketika pertama kali melihatmu.
Kukira kau dirinya. Untung aku langsung menyadari kalau Tribuana tidak mungkin
semuda kau. Andaikata dia masih hidup, usianya sekitar lima puluh tahun."
"Tapi..., kalau benar ayahku adalah anakmu...
kau pasti mengetahui ciri-cirinya. Kebetulan aku melihat ada sebuah tanda khusus
di tubuhnya. Ketika kutanyakan, katanya tanda itu sudah ada sejak lahir. Kalau kau benar
ayahnya, kau pasti tahu tanda itu," ujar Arya.
Sangga Buana tidak segera menjawab. Kakek itu tertegun beberapa saat lamanya
dengan dahi berkerut. Kakek berpakaian putih itu tengah berusaha menggali
ingatannya. Akhirnya dia berhasil.
"Aku ingat, Arya. Di bagian punggung atas


Dewa Arak 49 Geger Pulau Es di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebelah kiri terdapat tanda merah sebesar daun telinga. Betul kan"!" ujar Sangga
Buana yakin. Kali ini Arya tidak ragu-ragu lagi mengakui Sangga Buana kakeknya.
"Kakek...!" seru Arya sambil menghambur ke arah kakek berpakaian putih itu.
Dengan tersenyum lebar, Sangga Buana mengembangkan kedua tangannya. Sesaat
kemudian kakek dan cucu yang baru bertemu untuk pertama kalinya itu berpekikan
erat. Perasaan sedih, gembira, dan haru bercampur jadi satu.
Lalu tanpa diminta, Arya menceritakan sebab-sebab kematian ayahnya. Sangga Buana
mendengarkan dengan penuh perhatian. Cerita Arya tidak dipotongnya hingga
tuntas. "Semula aku lupa, kapan dan di mana pernah mendengar nama kakek. Tapi sekarang
aku ingat, nama itu kudengar dari ayah. Walau ayah sendiri lupa, siapa pemilik
nama itu. Beliau hanya ingat nama itu dan pulau yang selalu diselimuti es dan
salju. Hanya itu yang diingat-nya," tutur Arya mengakhiri oeritanya.
"Kalau begitu..., meskipun selamat, tapi kejadian di laut telah membuat
ingatannya tentang masa lalu lenyap. Tapi aku ikhlas melepaskan kepergiannya
menghadap Allah. Dia telah menurunkan seorang anak yang demikian luar biasa. Aku
puas dan bangga dengan dirimu, Arya. Kalau tidak kugunakan siasat bahwa aku
musuh besar ayahmu, mana mungkin tadi kau mau bersungguh-sungguh menghadapi ku"
" "Ah...! Kau memang cerdik, Kek," puji Arya sambil melepaskan pelukannya.
Begitu tubuh Arya dan Sangga Buana terpisah, Melati bergegas menghampiri
kekasihnya. Sedangkan Sangga Buana melesat cepat ke dalam istana. Hingga pasangan pendekar
muda itu merasa heran. Tapi tak ada yang dapat mereka lakukan, selain menatap
punggung kakek itu dengan pandang mata penuh pertanyaan.
Tidak lama Sangga Buana pergi. Sesaat kemudian dia telah kembali. Tapi ada
kemurungan di wajahnya.
"Maukah kau menerima sebuah tugas dariku, Arya?" tanya Sangga Buana begitu dekat
Arya. "Tentu saja mau, Kek!" sambut Arya mantap.
Pemuda itu yakin tugas yang akan diberikan kakeknya tidak akan bertentangan
dengan norma-norma kebenaran. Apalagi saat itu kakeknya tengah dilibat masalah.
Terlihat kemurungan di wajahnya.
"Cari dan selidiki orang-orang yang terlibat dalam pertarungan ini. Aku yakin
mereka telah membawa lari pusaka-pusaka Pulau Es.
Sebagian dari mereka, yang berseragam merah itu, kukenal sebagai orang-orang
dari Pulau Api.
Sungguh sebuah siasat yang amat licik! Ketua-nya mengundangku datang ke Pulau
Bidadari untuk merundingkan suatu masalah. Sampai lelah kumenunggu, tidak nampak
batang hidungnya. Rupanya, dia mempergunakan kesempatan itu untuk masuk ke dalam
istanaku dan mengambil benda-benda pusaka. Sungguh licik!" maki Sangga Buana geram.
"Aku berjanji akan mendapatkan kembali pusaka-pusaka itu, Kek Tapi kalau boleh
kutahu, berupa apakah pusaka pusaka itu?"
tanya Arya. "Sepasang pedang yang bernama Pedang Matahari dan Pedang Bulan. Dan, dua buah
kitab pusaka yang berisikan pelajaran tentang Tenaga Dalam Inti Es' dan ilmu
'Ular Es'!" jawab Sangga Buana. Kemudian memberitahukan ciri-ciri semua pusaka
itu secara terperinci. "Jelas"!"
"Jelas, Kek! Sekarang juga aku akan pergi!
Ayo, Melati!"
Dewa Arak dan Melati segera melesat meninggalkan tempat itu. Tujuan mereka sudah
pasti, mencari orang yang mencuri pusaka-pusaka Pulau Es. Dan tuduhan itu jatuh
pada orang-orang Pulau Api dan Raja Monyet Muka Hitam.
Siapakah orang yang telah mengambil pusaka-pusaka Pulau Es" Dan berhasilkah Dewa
Arak mengambil pusaka leluhurnya itu"
Jawabannya ada di dalam episode yang berjudul:
'Pertarungan di Pulau Api.'
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr) Edit Teks (molan150)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com Thread Kaskus:
http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Ilmu Ulat Sutera 8 Pendekar Wanita Buta Serial Tujuh Manusia Harimau (7) Karya Motinggo Busye Kisah Sepasang Rajawali 29
^