City Of Bones 1

The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare Bagian 1


] Pandemonium Nyawa mereka berapi"api seperti nyala lilin, dan dapat
dipadamkan semudah lilin juga.
"Kamu pasti bercanda," kata tukang pukul itu sambil
menyilangkan tangan di dadanya yang bidang. Dia memelototi
seorang pemuda. Pemuda itu memakai jaket merah berisleting.
Si tukang pukul lalu menggelengkan kepalanya yang telah
dicukur habis. "Kamu tidak boleh membawa benda itu ke
dalam sini." Sekitar lima puluh remaja yang mengantre di luar
Klub Pandemonium memiringkan badan ke depan untuk
menguping. Antrean masuk ke klub untuk semua umur
memang selalu panjang dan lama, terutama pada hari Sabtu.
Biasanya tidak ada hal menarik terjadi di antrean. Si tukang
pukul pasti langsung berang dan mengurus siapa pun yang
tampak hendak membuat masalah.
Clary Fray yang berusia lima belas tahun sedang mengantre
bersama Simon. Kedua sahabat itu ikut memiringkan tubuh
mereka seperti orang-orang lain. Mereka berharap bisa
mendapat sedikit hiburan.
"Ah, ayolah," pemuda itu mengangkat benda yang
sedang dipermasalahkan ke atas kepalanya. Benda itu tampak
seperti pedang kayu yang ujungnya mencuat. "Ini bagian
dari kostumku." Si tukang pukul menaikkan alisnya, "Memang kostumrnu
apa?" Pemuda itu cengar"cengir. Menurut Clary, penampilan
pemuda itu cukup normal untuk ukuran Pandemonium
karena nama klub itu sendiri berarti kekacauan. Rambut
pemuda itu dicat biru elektrik, dan berdiri tegak seperti
tangan-tangan gurita yang sedang tersetrum, tapi dia tidak
memakai tato di muka atau batangan logam di telinga dan
bibirnya. "Aku pemburu vampir." Pemuda itu menekan pedangnya.
Pedang itu melesak masuk seperti rumput dibengkokkan.
"Ini mainan. Cuma karet busa. Lihat, kan?"
Clary memperhatikan bahwa mata pemuda itu lebar,
tapi warna hijaunya terlalu terang. Warnanya seperti rumput
musim semi yang tahan dingin. Mungkin itu lensa kontak
berwarna, pikir Clary. Si tukang pukul tiba-tiba bosan. Dia mengangkat bahu,
"Terserahlah. Masuk sana."
Pemuda itu meluncur melewatinya, cepat seperti belut.
Clary menyukai gerakan bahunya dan cara pemuda itu
menggoyangkan rambutnya. Ibn Ciary punya kata yang
cocok untuknya, yaitu cuek.
"Kamu pikir dia imut, kan?" tanya Simon pasrah.
Clary menyikut rusuk Simon, tapi tidak menjawab.
Di dalam, klub itu penuh asap dari bunga es. Lampu-iarnpu
warna bermain-main di lantai dansa, mengubahnya menjadi
dunia dongeng berwarna biru dan hijau asam, merah muda
hangat dan emas. Pemuda berjaket merah tadi tersenyum saat mengusap
pedang panjang setajam silet di tangannya. Tadi itu mudah
sekali. Cukup sedikit tudung pesona di pedangnya supaya
terlihat tidak berbahaya. Dengan memberi sedikit tudung
pesona lagi di matanya saat si tukang pukul menatapnya,
dia sudah masuk. Bisa saja dia masuk tanpa masalah seperti
itu, tapi di situlah serunya. Dia suka membodohi kaum
fana, melakukannya di tempat terbuka tepat di depan mata
mereka, dan membuat waiah mereka yang seperti domba
menjadi kosong. Bukan berarti manusia tidak ada gunanya. Mata hijau
pemuda itu memindai lantai dansa. Di sana ada lengan"lengan
IangSing berbalut secarik sutra atau bahan kulit berwarna
hitam. Lengan-lengan itu timbul tenggelam di dalam asap-
asap yang berputar saat para fana berdansa. Gadis-gadis
menggoyangkan rambut panjang mereka, pemuda-pernuda
mengayunkan pinggul mereka yang berbalut kulit dan badan
mereka yang terbuka gemilap karena keringat. Gairah hidup
membanjiri mereka, dan menjadi gelombang energi yang
memabukkan pemuda itu. Dia mencibir. Mereka tidak mengetahui betapa ber-
untungnya mereka. Mereka tidak mengetahui bagaimana
rasanya menyambung hidup di dunia yang sudah mati. Di
sana matahari bergantung lemas di langit bagaikan apel
yang terbakar. Nyawa mereka herapi-api seperti nyala lilin,
dan dapat dipadamkan semudah lilin juga.
Dia mencengkeram pedang yang dibawanya dengan lebih
kuat, dan mulai melangkah keluar dari lantai dansa ketika
ada seorang gadis melepaskan diri dari kerumunan pedansa
dan mulai berjalan ke arahnya. Dia memandanginya.
Gadis itu cantik untuk ukuran manusia. Rambutnya ham-
pir sehitam tinta dan matanya segelap arang. Ia mengenakan
gaun yang menyentuh lantai seperti yang biasa dipakai para
wanita di masa lalu. Renda bergoyang"goyang di lengannya
yang ramping. Pada lehernya terdapat rantai perak tebal
yang digantungi liontin merah gelap seukuran genggaman
bayi. Pemuda itu hanya perlu menyipitkan matanya untuk
mengetahui bahwa liontin itu asli. Asli dan berharga.
Mulutnya mulai berair saat gadis itu mendekatinya.
Energi kehidupan berdenyut darinya seperti darah dari luka
yang terbuka. Gadis itu tersenyum. Saat melewatinya, gadis
itu memberi isyarat dengan matanya. Pemuda itu berbalik
untuk mengikutinya. Desis bayangan kematian gadis itu
sudah terkeeap di bibir pemuda itu.
Ini selalu mudah. Dia dapat merasakan kekuatan kehidupan
gadis yang menguap-uap. Kekuatan itu mengaiiri pembuluh
pemuda itu bagaikan api. Manusia memang sangat bodoh.
Mereka memiliki sesuatu yang sangat berharga, tapi hampir
tidak menjaganya sama sekali. Mereka menyia-nyiakan hidup
mereka demi uang, sepaket narkoba, atau senyuman orang
asing yang mempesona. Gadis itu mirip hantu pucat yang keluar dari asap
berwarna. Ia mencapai dinding dan berbalik, mengangkat
roknya sambil nyengir ke arah pemuda itu. Di balik rok
itu, ia mengenakan sepatu but ketat setinggi paha.
Pemuda itu mendekatinya. Kulit si pemuda serasa
tertusuk"tusuk, sementara keberadaan gadis itu semakin dekat.
Dari dekat, gadis itu tidak begitu sempurna. Si pemuda bisa
melihat maskara di bawah matanya dan keringat membuat
rambutnya lengket ke lehernya. Bau kematiannya sudah
tercium, yaitu bau busuk kecurangan. "Kena kau," kata
pemuda itu. Senyum tenang tersungging di bibir sang gadis. Ia
bergeser sehingga pemuda itu dapat melihat bahwa tadi
ia bersender ke pintu yang tertutup. Tulisan DILARANG
MASUK KE GUDANG dicat asal-asalan dengan warna
merah. Gadis itu meraih pegangan pintu, memutarnya, lalu
masuk ke dalamnya. Si pemuda sekilas melihat tumpukan kotak dan kabel-kabel
kusut di dalam gudang. Itu gudang penyimpanan. Pemuda
itu melirik ke belakang. Tidak ada yang memperhatikannya.
Justru lebih baik kalau gadis itu memang menginginkan
privasi. Pemuda itu menyusul ke dalam ruangan tanpa menyadari
bahwa dia sedang dikuntit.
"Jadi," kata Simon, "musiknya bagus juga, kan?"
Clary tidak menjawab. Mereka berdansa atau apa pun
kata yang cocok. Mereka melenggak"lenggok ke depan dan
belakang, lalu sesekali menyergap lantai seakan-akan salah
seorang di antara mereka telah menjatuhkan lensa kontak.
Di sekitar mereka ada sekelompok remaja laki-laki yang
memakai korset metalik dan sepasang pemuda keturunan
Asia yang sedang bermesraan dengan penuh gairah. Rambut
pasangan itu dicat dan kini kusut menjadi satu. Seorang
pemuda dengan tindikan bibir dan ransel beruang teddy
membagikan tablet ekstasi herbal gratis. Celana parasutnya
mengepak"ngepak terkena embusan dari mesin angin.
Clary tidak terlalu memperhatikan sekelilingnya. Matanya
tertuju kepada pemuda berambut biru yang tadi berusaha
masuk ke klub. Pemuda itu berkeliling di antara keramaian
seakan-akan sedang mencari sesuatu. Caranya bergerak
mengingatkan Clary akan sesuatu...
"Aku sendiri," Simon melanjutkan, "sangat menikmati
musik ini." Kelihatannya aneh. Seperti biasa, Simon menyangkut
di klub seperti jempol bengkak. Masalahnya, dia memakai
jins dan kaus tua bertulisan MADE IN BROOKLYN di
depannya. Rambutnya cuma diberi gel rambut dan berwarna
cokelat tua, bukan hijau atau merah muda. Kacamatanya
bertengger bengkok di ujung hidungnya. Dia lebih pantas
masuk ke klub catur daripada klub bertema penyerahan diri
kepada kekuatan kegelapan seperti Pandernonium.
"Mmm, hmm," kata Clary. Ia tahu persis bahwa Simon
ikut datang ke Pandemonium hanya karena Clary menyukai
klub ini. Padahal, Simon menganggap klub ini membosankan.
Bahkan Clary sendiri tidak yakin mengapa ia menyukainya.
Mungkin baju dan musiknya membuat suasana seperti
di alam mimpi, di dalam kehidupan orang lain, bukan
kehidupan Clary yang membosankan. Tapi ia selalu terlalu
malu untuk berbicara dengan orang selain Simon.
Si pemuda berambut biru keluar dari lantai dansa. Dia
tampak agak tersesat seakan"akan belum menemukan apa
yang sedang dicari. Clary bertanya"tanya apa yang akan
terjadi kalau ia ke sana dan berkenalan, lalu menawarkan
diri untuk mengantarnya berkeliling. Mungkin pemuda itu
hanya akan memandanginya. Atau mungkin dia juga malu.
Mungkin dia bersyukur dan senang, tapi berusaha tidak
menunjukkannya. Laki-laki memang biasa bersikap begitu,
tapi Clary bisa tahu. Mungkin...
Si pemuda berambut biru mendadak tegak, perhatiannya
tertuju kepada sesuatu, seperti anjing pemburu bersiaga.
Clary mengikuti garis pandangannya, dan melihat gadis
bergaun putih itu. Oh, ya, pikir Clary. Ia berusaha tidak berasa seperti
balon pesta yang kempis. Pasti itu yang dicari. Gadis itu
menawan. Clary pasti senang menggambar gadis seperti
itu, kalau ia tidak sedang merasa dengki. Badannya tinggi
dan selangsing pita. Rambutnya hitam panjang dan jatuh
dengan anggun. Bahkan dari jarak sejauh ini, Clary dapat
melihat liontin merah di sekeliling tenggorokannya. Warnanya
berdenyut tersorot lampu lantai dansa seperti jantung yang
terpisah dari badan. "Aku merasa," Simon melanjutkan lagi, "bahwa malam
ini, D] Bat bermain lebih hebat daripada biasanya. Kamu
setuju?" Clary memutar matanya dan tidak menjawab. Simon
membenci musik trans. Perhatian Clary tertuju kepada gadis
bergaun putih itu yang kini membelakangi tangga. Di antara
kegelapan, asap, dan kabut buatan, gaun pucatnya bersinar
bagaikan mercusuar. Tidak heran pemuda berambut biru
itu mengikutinya bagaikan terkena sihir. Perhatian pemuda
itu terlalu banyak tersita sehingga tidak memperhatikan
apa pun lagi di sekelilingnya, bahkan dua sosok gelap
bersepatu berat yang mengikutinya. Mereka menyelinap di
antara keramaian. Clary memperlambat dansanya dan memandangi mereka.
Matanya baru saja dapat menangkap bahwa sosok"sosok
itu adalah pemuda bertubuh tinggi dan berbaju hitam.
Entah bagaimana, ia tahu bahwa mereka sedang mengikuti
si pemuda berambut biru. Itu terlihat dari cara mereka
melangkah di belakangnya, cara mereka mengamati dengan
penuh hati-hati, dan gerak"gerik mereka yang menyelinap.
Clary mulai memahaminya. "Sementara itu," Simon menambahkan, "aku ingin
memberitahumu bahwa akhir"akhir ini aku sengaja memakai
baju perempuan. Aku juga tidur dengan ibumu. Aku pikir
kamu harus tahu itu."
Gadis itu mencapai dinding, dan membuka pintu bertulisan
DILARANG MASUK. Ia memberi isyarat kepada pemuda
berambut biru itu untuk mengikutinya, maka mereka meluncur
ke balik pintu. Ada pasangan menyelinap ke pojokan gelap
di klub untuk bermesraan bukan hal yang baru kali pertama
dilihat oleh Clary. Tapi hal yang membuatnya aneh adalah
ada orang mengikuti mereka.
Clary berjinjit, mencoba melihat dari atas keramaian.
Kedua pemuda itu telah berhenti di pintu dan tampak
berunding. Clary dapat melihat bahwa yang satu berambut
pirang, yang satu lagi berambut gelap. Si pirang mengambil
sesuatu yang panjang dan tajam dari dalam jaketnya. Benda
itu berkilau di bawah cahaya lampu stroboskop alias lampu
cepat. Itu pisau. "Simon!" Clary berteriak, lalu mencengkeram lengan
sahabatnya itu. "Apa?" Simon kaget. "Aku tidak benar"benar tidur dengan
ibumu, tahu. Aku cuma berusaha menarik perhatianmu. Bukan
berarti ibumu tidak begitu menarik untuk seumurannya."
"Kamu lihat orang-orang itu?" ia menunjuk dengan liar
sehingga hampir menusuk seorang gadis berkth hitam yang
berdansa di dekat situ. Gadis itu memelototinya dengan
galak. "Maaf. Maaf!" Clary berbalik kepada Simon. "Kamu
lihat dua laki-laki di sana" Di dekat pintu?"
Simon mengedipkan mata, lalu mengangkat bahu, "Aku
tidak melihat apa"apa."
"Ada dua orang... Mereka mengikuti cowok yang
berambut biru..." "Yang kamu pikir imut itu?"
"Ya, tapi bukan itu intinya. Yang pirang mengambil
pisau..." "Kamu yakin?" Simon memandanginya, lalu mengge-
lengkan kepala. "Aku masih tidak melihat siapa"siapa."
"Aku yakin." Tiba"tiba saja Simon menegakkan bahunya, "Aku akan
mencari penjaga keamanan. Kamu di sini saja." Dia melangkah
menjauh dan mendorong menembus keramaian.
Clary berbalik tepat ketika si pirang menyelinap ke
balik pintu Dilarang Masuk, lalu temannya membuntuti
tepat di belakangnya. Clary melihat ke sekeliling. Simon


The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih mencoba menyeberangi lantai dansa, tapi belum ada
kemajuan. Bahkan jika Clary menjerit sekarang, tidak akan
ada orang yang mendengarnya. Ketika Simon sudah kembali,
hal buruk mungkin telah terjadi.
Sambil menggigit bibir bawahnya keras-keras, Clary
mulai mendesak menembus keramaian.
"Siapa namamu?"
Gadis itu berbalik dan tersenyum. Cahaya redup di gudang
itu jatuh melalui jendela tinggi berjeruji yang tercoreng debu.
Ada banyak sampah seperti tumpukan kabel listrik bersama
lampu disko kaca yang sudah rusak dan kaleng-kaleng cat
yang sudah dibuang. "Isabelle," kata gadis itu.
"Nama yang bagus," pemuda itu mendekatinya. Dia
melangkah dengan hati-hati di antara kabeI-kabel untuk
berjaga-jaga kalau ada yang masih hidup.
Di redupnya cahaya, gadis itu tampak setengah trans-
paran. Ia terbungkus warna putih bagaikan bidadari. Pasti
menyenangkan untuk menjatuhkannya...
"Aku belum pernah melihatmu sebelum ini."
"Kamu bertanya apakah aku sering datang ke sini?"
ia terkikik sambil menutupi mulut dengan tangannya. Ada
semacam gelang di pergelangannya, tepat di bawah manset
gaunnya. Kemudian saat ia mendekat, pemuda itu melihat
bahwa itu bukanlah gelang, melainkan pola yang ditinta ke
kulitnya, yaitu matriks garis-garis yang berputar-putar.
Pemuda itu membeku, "Kamu..."
Dia tidak sempat menyelesaikannya. Gadis itu bergerak
secepat kilat, menyerangnya dengan tangan terbuka. Pukulan
ke dadanya itu pasti telah membuatnya megap-megap kalau
pemuda itu manusia. Pemuda itu sempoyongan.
Sekarang ada sesuatu di tangan gadis itu, yaitu belitan
cambuk yang berkilau keemasan saat dilepaskan. Cambuk
itu menampar mata kakinya sehingga pemuda itu tersentak
jatuh. Dia jatuh ke lantai sambil menggeliat. Sakitnya terasa
jauh di dalam kulit. Gadis itu tertawa, berdiri di atas pemuda itu. Dengan
kepala pening, pemuda itu berpikir bahwa seharusnya dia
sudah tahu. Tidak ada gadis manusia yang mau memakai
gaun seperti yang dikenakan Isabelle. Ia memakainya untuk
menutupi kulitnya. Seluruh kulitnya.
Isabelle menyentak cambuknya sehingga terkunci kembali.
Senyumnya berkilauan bagaikan air beracun. "Dia milik
kalian sekarang." Tawa rendah terdengar di belakangnya. Badan pemuda
itu diangkat, lalu dilemparkan menabrak pilar beton.
Tangannya ditarik ke belakang pilar, lalu pergelangannya
diikat dengan kawat emas. Saat dia meronta-renta, seorang
pemuda berjalan ke samping tiang. Dia juga rupawan
seperti Isabelle. Matanya yang berwarna kuning kecokelatan
berkilauan seperti serpihan batu amber.
"Jadi," kata pemuda baru itu. "Ada lagi yang
bersamamu?" Si rambut biru dapat merasakan darah berlinang di
balik logam yang terlalu menjeratnya sehingga pergelangan
tangannya licin. "Yang lain apa?"
"Ayolah." Pemuda itu mengangkat tangannya, dan
lengan baju gelapnya tergelincir. Rune1 telah ditintakan di
sekujur pergelangan tangan, punggung tangan, dan telapak
tangannya. "Kamu tahu siapa aku."
Jauh di dalam tengkorak si rambut biru, rangkaian
giginya yang kedua mulai bergemeretakan.
"Pemburu Bayangan," iblis itu berdesis.
Pemuda itu menyeringai lebar. "Kena kau," katanya.
Clary mendorong pintu gudang sampai terbuka, lalu masuk
ke dalamnya. Untuk sesaat, ia mengira gudang itu telantar.
Jendela yang ada terletak tinggi dan berjeruji. Dari situ
"no atau karakter yang berhubungan dengan ilmu sihir
terdengar suara samar jalanan di luar, klakson mobil, dan
deeit rem. Ruangan itu berbau eat lama dan ada lapisan
debu tebal menutupi lantai. Jejak sepatu menandainya.
Tidak ada siapa-siapa di sini, Clary menyadarinya saat
melihat ke sekeliling dengan bingung. Ruangannya dingin,
padahal di luar ada kehangatan bulan Agustus. Punggungnya
beku akibat keringat. Ia maju, lalu kakinya terjerat kabel-
kabel listrik. Sepatu kain yang ia pakai terbelit kabel-kabel
itu. Ia menunduk untuk membebaskannya.
Tiba-tiba ia mendengar suara. Ada tawa seorang gadis,
diikuti suara pemuda yang menjawabnya dengan tajam.
Ketika Clary berdiri, ia melihat mereka.
Rasanya seakan-akan mereka mendadak muncul dalam
sekejap mata. Ada seorang gadis bergaun putih. Rambutnya
yang hitam terurai di punggungnya seperti rumput laut
basah. Gadis itu bersama dua pemuda. Pemuda yang
tinggi berambut hitam juga. Satu orang lagi lebih kecil dan
berambut terang. Rambutnya bersinar bagaikan kuningan
di redupnya cahaya dari jendela yang terletak jauh tinggi
di atas sana. Dia berdiri dengan tangan masuk ke dalam
kantongnya dan menghadap si anak punk alias pemuda
berambut biru tadi. Si rambut biru diikat ke pilar. Sepertinya dia diikat
dengan benang piano. Tangannya tertarik ke belakang,
pergelangan kakinya diikat. Wajahnya tegang akibat rasa
sakit dan takut. Jantung Clary berdentam-dentam. Ia segera bersembunyi
di balik pilar beton terdekat dan mengintip dengan tajam.
Ia melihat si pirang mondar-mandir dengan tangan tersilang
di depan dadanya. "Jadi," kata si pirang. "Kamu belum beri
tahu kami apakah ada makhluk sejenisrnu lagi di sini."
Makhluk sejenisma" Clary bertanya-tanya dia sedang
berbicara tentang apa. Mungkin Clary sedang tidak sengaja
melihat semacam perang antargeng.
"Aku tidak mengerti maksudmu," kata si rambut
biru. Nada suaranya seperti orang sakit, tapi tetap
meyakinkan. "Maksudnya iblis lain," pemuda hera mbut gelap berbicara
untuk kali pertamanya. "Kamu pasti tahu iblis itu apa,
kan?" "Iblis," si pirang berbicara dipanjang"panjangkan sambil
menulis kata iblis di udara dengan jaringnya. "Oleh agama,
iblis didefinisikan sebagai penghuni Neraka, pembantu
Setan. Tapi perlu dimengerti bahwa, berdasarkan Kunci,
iblis dianggap membuat fitnah dan dengki di dalam jiwa,
kekuatan, atau prinsip yang berasal dari dimensi lain..."
"Cukup, ]ace," kata gadis itu.
"Isabelle benar," pemuda yang berjaket menyetujui. "Di
sini tidak ada yang butuh pelajaran ilmu tentang makna,
atau ilmu tentang iblis."
Mereka gila, pikir Clary. Benar"benar gila. Iblis." Dimensi
lain" Apa sih yang sedang terjadi"
Jaee mendongak dan tersenyum. Ada yang keras di dalam
gerak tubuhnya. Clary jadi teringat film"lilm dokumenter
tentang singa yang pernah ia tonton di Discovery Channel.
Itu seperti hewan-hewan famili kucing mendongak dan
mencium bau mangsanya. "Isabelle dan Alec pikir aku
terlalu banyak bicara," katanya. "Kamu juga pikir aku
terlalu banyak bicara?"
Si pemuda berambut biru tidak menjawab. Mulutnya
masih bergerak. "Aku bisa memberi informasi," katanya.
"Aku tahu di mana Valentine berada."
]ace melihat Alec sekilas. Alec mengangkat bahu.
"Valentine sudah mati," katanya. "Makhluk ini sedang
mempermainkan kita."
Isabelle menggoyang rambutnya. "Bunuh saja, Jace,"
katanya. "Dia tidak akan memberi tahu kita apa-apa."
]aee mengangkat tangannya. Clary melihat cahaya redup
memercik dari pisau aneh yang dipegang ]ace. Pisau itu
tembus cahaya, mata pisaunya sejernih kristal dan setajam
pecahan kaca. Pemuda yang terikat jadi panik. "Valentine sudah
kembali!" dia memprotes. Ditarik"tariknya tali yang mengikat
tangannya di punggung. "Seluruh penghuni Alam Kematian
tahu itu. Aku juga tahu. Aku bisa memberi tahu kalian di
mana dia berada..." Mendadak amarah membara di mata ]ace yang semula
dingin. "Demi Malaikat, setiap kali kami menangkap salah
satu dari kalian, dasar brengsek, kalian pasti mengaku
tahu di mana Valentine berada. Yah, kami juga tahu. Dia
di Neraka. Sekarang kamu...," Jace menarik sebilah pisau
panjang dari ikat pinggangnya, ujungnya memercik bagaikan
segaris api, "kamu bisa bergabung dengannya di sana."
Clary tidak tahan lagi. Ia keluar dari balik pilar. "Berhenti!"
teriaknya. "Kalian tidak boleh melakukan ini!"
Jace berputar. Dia begitu terkejut sampai-sampai pisaunya
terlepas dari tangan dan bergemerencing di lantai beton.
Isabelle dan Alec juga berbalik. Ekspresi mereka sama-sama
heran. Si rambut biru membeku dengan mulut ternganga.
Alec yang bicara duluan. "Apa ini?" tuntutnya. Dia
menatap Clary, lalu teman-temannya seakan"akan mungkin
mereka tahu Clary sedang melakukan apa di situ.
"Itu cewek," kata Jace yang berusaha tenang kembali.
"Kamu pasti sudah pernah lihat cewek, Alec. Adikmu juga
cewek." Jaee maju selangkah mendekati Clary. Pemuda itu
mengerjap, belum bisa mempercayai apa yang sedang dia
lihat. "Cewek fana," katanya setengah kepada diri sendiri,
"dan ia bisa melihat kita."
"Tentu saja aku bisa melihat kalian," kata Clary. "Aku
kan tidak buta." "Oh, tapi kalian memang buta," kata ]ace sambil
membungkuk untuk mengambil pisaunya. "Kalian tidak tahu
saja." Dia berdiri, lalu berkata, "Sebaiknya kamu keluar
dari sini kalau tidak mau kena masalah."
"Aku tidak akan pergi," kata Clary. "Kalau aku pergi,
kalian akan membunuhnya." Ia menunjuk pemuda berambut
biru itu. "Itu benar," ]aee mengakui. Dia memutar-mutar
pisau di antara jemarinya. "Apa pedulimu kalau aku
membunuhnya?" "Ka"karena..." suara Clary bergetar. "Kamu tidak boleh
membunuh orang." "Kamu benar," kata ]ace. "Kamu tidak boleh membunuh
orang." Dia menunjuk si rambut biru yang matanya menyipit.
Mungkin dia sudah pingsan. "Hei, anak kecil. Itu bukan
orang. Mungkin dia kelihatan seperti orang dan bicara seperti
orang dan berdarah seperti orang. Tapi itu monster."
"jaea," kata Isabelle memperingatkan. "Cukup."
"Kamu gila," kata Clary. Ia berbalik. "Aku sudah
memanggil polisi, tahu. Sebentar lagi mereka sampai."
"Ia bohong," kata Alec, tapi wajahnya tampak ragu.
"Jaee, apakah kamu..."
Alec tidak sempat menyelesaikan kalimatnya. Pada saat
itu, si rambut biru melolong dengan suara yang memekikkan
telinga. Dia mengoyak ikatan yang menahannya ke pilar,
lalu menerjang Jace. Mereka berguling di tanah. Si rambut biru menerkam
Jaee dengan tangan yang berkilauan seperti berlapis logam.
Clary mundur, hendak lari, tapi kakinya terjerat kabel
sehingga terjatuh dan nafasnya tersembur keluar. Ia dapat
mendengar Isabelle menjerit. Setelah berguling, Clary melihat
si rambut biru menduduki dada Jace. Darah memancar dari
ujung cakarnya yang seperti pisau cukur.
Isabelle dan Alec berlari ke arah mereka. Isabelle
mengacungkan cambuk. Si rambut biru menyerang Jace
dengan cakarnya yang seperti mata pisau dipanjangkan.
Jace mengangkat tangannya untuk melindungi diri. Cakar
itu pun membabat tangannya. Darahnya memercik. Si
rambut biru menyergap lagi, tapi tiba-tiba Isabelle melecut
punggungnya. Si rambut biru menjerit. Dia melolong dengan
suara tinggi, lalu jatuh.
Secepat Iecutan cambuk Isabelle, Jace berguling. Darah
memancar dari tangannya. ]ace memancangkan pisaunya
ke dalam dada si rambut biru. Cairan hitam meledak di
sekitar pangkal pisaunya. Iblis itu jatuh melengkung ke
lantai, berdeguk-deguk, dan berputar-putar.
Dengan wajah kesakitan, ]ace berdiri. Kaus hitamnya
menjadi lebih hitam di beberapa tempat, basah karena
darah. Dia menunduk melihat makhluk yang kejang"kejang
di kakinya, lalu membungkuk dan mencabut pisaunya.
Pangkal pisaunya licin terkena cairan hitam.
Mata si rambut biru berkilat"kilat. Matanya membara
memelototi Jace. Dia berdesis, "Biarlah. Yang Terabaikan
akan menghabisi kalian semua."
Jace menggeram. Mata iblis itu menjuling. Tubuhnya
mulai menyentak dan mengejang sambil mengisut, melipat,
mengecil dan terus mengecil sampai lenyap tak berbekas.
Clary berjuang untuk berdiri. Ditendangnya kabel listrik
yang membelit kakinya. Ia mulai berbalik untuk pergi. Tidak
ada yang memperhatikannya. Alec sedang memeriksa Jace.
Dia menahan lengan dan menarik baju _]ace untuk melihat
lukanya. Clary berbalik untuk lari, tapi jalannya diblokir oleh
Isabelle. Ada cambuk di tangannya. Emas di cambuk itu
ternoda oleh cairan hitam. Isabelle mengibaskannya kepada
Clary sehingga ujung cambuk itu membungkus pergelangan
gadis itu erat-erat. Clary tertahan karena kesakitan dan
terkejut. "Fana kecil bodoh," gertak Isabelle. ?"Cara-gara kamu,
hampir saja ]ace terbunuh."
"Dia gila," kata Clary. Ia mencoba menarik tangannya.
Cambuk itu malah semakin menggigit kulitnya. "Kalian
semua gila. Kalian pikir kalian ini siapa" Regu pembunuh"
Polisi akan?" "Polisi tidak akan tertarik kecuali kamu bisa menunjukkan
iasadnya," kata ]ace. Sambil membuai tangannya yang
terluka, dia berjalan ke arah Clary. Dengan berhati"hati dia
menyeberangi lantai yang dipenuhi kabel. Alec mengikutinya.
Wajahnya mengerut marah. Clary melirik titik di mana tubuh pemuda itu menghilang
tadi. Ia diam saja. Tidak ada bekas di sana, bahkan setitik
darah pun. Tidak ada yang bisa menunjukkan bahwa pemuda


The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu pernah hidup. "Ketika mati, mereka kembali ke dimensi asalnya," kata
]ace. ?"Kalau-kalau kamu penasaran."
" ace." Alec mendesis. "Hati-hati."
Jace menarik tangannya menjauh. Bintik"bintik noda
darah membuat wajahnya seperti setan. ]ace masih membuat
Clary teringat seekor singa karena sama-sama lebar, bermata
terang, dan berambut pirang keemasan. "Ia bisa melihat
kita, Alec," katanya. "Ia sudah terlalu banyak tahu."
"Jadi kamu mau aku melakukan apa terhadapnya?"
tanya Isabelle. "Lepaskan dia," kata Jace dengan tenang. Isabelle
menatapnya dengan terkejut, hampir marah, tapi ia tidak
membantah. Cambuknya perlahan terlepas. Lengan Clary
terbebas. Ia menggosok pergelangannya yang sakit dan
bertanya-tanya bagaimana ia bisa keluar dari sini.
"Mungkin kita harus membawanya pulang bersama
kita," kata Alec. "Taruhan, Hedge pasti ingin berbicara
dengannya." "Tidak mungkin kita membawanya ke Institut," kata
Isabelle. "Dia kaum fana."
"Benarkah?" tanya Jace lembut. Nada lembutnya lebih
buruk daripada dengusan Isabelle atau kemarahan Alec.
"Kamu pernah berurusan dengan iblis, hei gadis kecil"
Berjalan dengan warlockz, mengobrol dengan Anak"anak
Malam3" Pernahkah kamu..."
"Namaku bukan gadis kecil," Clary menyela, "dan aku
sama sekali tidak mengerti apa yang kamu bicarakan."
Benarkah" tanya sebuah suara di belakang kepalanya.
Tadi kamu melihat cowok itu lenyap begitu saja. Sudah
felas, jare tidak gila. Izu harapanmu saja.
"Aku tidak percaya bahwa..., bahwa iblis ada, atau apa
pun yang kamu?" "Clary?" itu suara Simon. Clary berputar. Simon berdiri
di depan pintu gudang. Salah seorang tukang pukul yang
tadi mengecap tangan pengunjung sekarang berdiri di
samping Simon. 2 Manusia setengah iblis 3 Julukan bagi vampir "Kamu tidak apa-apa?" Simon berusaha melihatnya
menembus keremangan. "Kenapa kamu sendirian di sini?" dia
bertanya. "Apa yang terjadi dengan orang"orang yang"tahu
kan, yang membawa pisau?"
Clary memandangi Simon, lain melihat ke belakang. Di
sana masih ada ]ace, Isabelle, dan Alec. Kaus Jace masih
berdarah-darah dan pisaunya masih di tangannya. Dia
menyeringai kepada Clary, lalu mengangkat bahu setengah
meminta maaf setengah meledek. Jelas-jelas dia tidak terkejut
bahwa baik Simon maupun si tukang pukul tidak dapat
melihat mereka. Entah bagaimana, Clary juga jadi tidak bisa melihat
mereka. Perlahan ia berbalik kepada Simon. Pasti ia terlibat
aneh, berdiri sendirian di gudang kosong yang lembab
dengan kaki terjerat kabel plastik berwarna cerah. "Aku
kira mereka ke sini," ia berkata pelan. "Tapi sepertinya
tidak. Aku minta maaf."
Clary mengalihkan matanya dari Simon. Ekspresi
sahabatnya itu berubah dari khawatir menjadi malu. Clary
melihat si tukang pukul yang tampak kesal.
"Aku benar"benar minta maaf, Si."
Di belakangnya, Isabelle terkikik.
"Aku tidak percaya ini," Simon ngotot ketika Clary dengan
putus asa berusaha memanggil taksi. Mereka sedang berdiri di
pinggir jalan. Para pembersih jalan telah menyusuri Orchard
saat mereka di dalam klub. Sekarang jalanan menjadi hitam
akibat air berminyak. "Aku juga," Carly setuju. "Pasti ada taksi. Ke mana
orang"orang pergi di tengah malam Rabu begini?" Ia berbalik
kepada Simon sambil mengangkat bahu. "Menurutmu kita
akan lebih beruntung di Jalan Houston?"
"Bukan taksinya," kata Simon. "Kamu. Aku tidak percaya
kamu. Aku tidak percaya orang-orang yang membawa pisau
itu menghilang begitu saja."
Clary mendesah. "Mungkin memang tidak ada orang yang
membawa pisau, Simon. Mungkin aku cuma mengkhayalkan
semua itu." "Tidak mungkin." Simon mengangkat tangannya ke
atas kepala, tapi taksi yang mendekat hanya mendesing
melewatinya dan mencipratkan air kotor. "Aku lihat wajahmu
saat masuk ke gudang itu. Kamu kelihatan benar-benar
ketakutan, seperti baru melihat hantu."
Clary memikirkan ]aee yang bermata mirip singa. Ia
melirik pergelangan tangannya yang masih bergaris merah
bekas belitan cambuk Isabelle. Bukan, bukan bantu, pikir
Clary. Maia]: lebih aneh lagi.
"Tadi cuma salah lihat," katanya. Clary sudah lelah.
Ia heran kenapa ia tidak memberitahukan yang sebenarnya
kepada Simon. Tentu saja, Simon akan menganggapnya
gila. Lagipula, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya",
sesuatu tentang darah hitam yang menggelembung di
sekitar pisau Jace, sesuatu di dalam ucapannya Pernahkah
kamu mengobrol dengan Amk-anak Malam." Clary ingin
menyimpannya sendiri. "Uh, tadi itu kesalahan yang luar biasa memalukan,"
kata Simon. Dia melirik klub itu di belakangnya. Di depan
pintunya masih ada antrean yang mengular sampai ke depan
blok. "Sepertinya mereka tidak akan pernah mengizinkan
kita masuk ke Pandemonium lagi."
"Memangnya kamu peduli" Kamu kan benci Pande-
monium." Clary mengangkat tangannya ketika ada wujud
kuning meluncur cepat ke arah mereka di antara kabut. Kali
ini, taksi itu berdecit di tengah pojokan mereka. Sopirnya
menekan klakson untuk menarik perhatian mereka.
"Akhirnya, kita beruntung juga." Simon membuka pintu
taksi dan masuk duduk di kursi belakang yang dilapisi
plastik. Clary mengikutinya sambil menghirup bau-bau
yang akrab di hidungnya, yaitu asap rokok tua, kulit, dan
semprotan rambut. "Kami mau ke Brooklyn." Simon berkata kepada sopir
taksi, lalu kembali kepada Clary. "Dengar ya, kamu tahu
kan kamu bisa cerita apa saja kepadaku?"
Clary ragu sejenak, lalu mengangguk. "Tentu, Simon,"
katanya. "Aku tahu."
Ia menutup pintu. Taksi itu pun melaju ke dalam
kegelapan malam. 2 Pandemonium Apa yang akan kamu iakakan kalau melihat sesuatu
yang tidak bisa dilihat orang lain"
Sang Pangeran Kegelapan duduk mengangkangi kuda
hitamnya. Mantel musangnya berkibar di punggungnya.
Gelang emas melingkari rambut pirangnya. Wajahnya
yang rupawan menjadi dingin akibat amarah pertempuran,
dan... "Dan tangannya tampak bagaikan terong," Clary
menggerutu jengkel kepada dirinya sendiri. Gambarnya tidak
bagus. Sambil mendesah, ia merobek kertas itu dari buku
sketsanya, meremasnya, lalu melemparkannya ke dinding
kamar tidurnya yang berwarna oranye. Lantainya sudah
dikotori banyak bola kertas. Itu tanda bahwa pasti ide
kreatifnya tidak mengalir seperti yang ia harapkan.
Untuk keseribu kalinya, Clary berdoa supaya bisa
lebih mirip ibunya. Apa pun yang digambar, dilukis, atau
disketsa oleh ]ocelyn Frey pasti cantik dan bagaikan tidak
membutuhkan usaha untuk membuatnya.
Clary menarik headphone dari telinganya, sehingga
memotong lagunya hand Steppin' Razor. Lalu ia menggosok
pelipisnya yang terasa sakit. Saat itulah ia menyadari bahwa
dering telepon yang keras dan tajam menggema di apartemen.
Setelah melemparkan buku sketsanya ke kaSur, ia melompat
dan berlari ke ruang keluarga. Di sana ada telepon merah
retro yang diletakkan di meja dekat pintu depan.
"Ini Clarissa Fray?" Suara di ujung telepon sana terdengar
akrab, tapi tidak langsung bisa dikenali.
Clary memainkan kabel teleponnya dengan gugup.
"Yaaa?" "Hai, aku salah satu hooltgan, preman membawa pisau
yang bertemu denganmu semalam di Pandemonium" Yah, aku
khawatir telah meninggalkan kesan yang buruk. Aku harap
kamu mau memberiku kesempatan untuk memperbaikinya
sehingga..." "SIMON," Clary menggelegar. Ia menjauhkan gagang
telepon dari telinganya ketika tawa Simon pecah. "Itu sangat
tidak lucu?" "Lucu kok. Kamu saja yang tidak bisa melihat
lucunya." "Sial." Clary mendesah. Ia bersandar ke dinding. "Kamu
tidak akan tertawa kalau kamu di sini waktu aku pulang
semalam." "Kenapa bisa begitu?"
"Ibuku. Ia tidak senang kita pulang terlambat. Ia marah.
Kacau sekali." "Apa" Itu kan bukan salahmu kalau semalam ada macet!"
Simon protes. Dia sendiri anak bungsu dari tiga bersaudara
sehingga salah satu indranya sudah sangat terasah, yaitu
ketidakadilan di dalam keluarga.
"Yah, begitu, ia tidak memandangnya seperti itu. Aku
telah mengecewakannya. Aku membuatnya sedih. Aku
membuatnya cemas. Bla bla bla. Aku adalah kutukan di
dalam hidup ibuku," Clary berkata menirukan rincian kata-
kata ibunya dengan tepat, tapi ditambah sekilas denyutan
rasa bersalah. "Jadi, kamu sedang dihukum?" Simon bertanya dengan
suara yang agak terlalu keras. Clary dapat mendengar
gemuruh suara rendah di belakangnya. Orang"orang saling
berbicara. "Aku belum tahu," kata Simon. "Pagi ini ibuku pergi
bersama Luke dan mereka belum kembali. Kamu sedang
di mana" Di tempatnya Eric?"
"Ya. Kami baru saja selesai berlatih." Ada bunyi simbal
dari belakang Simon. Clary mengemyit. Simon melanjutkan,
"Nanti malam Erie membaca puisi di Java Jones." Dia
menyebutkan sebuah tempat minum di ujung jalan rumah
Clary. Tempat itu biasa menyelenggarakan live music
di malam hari. "Semua anggota band akan ikut untuk
mendukungnya. Kamu mau ikut?"
"Ya, baiklah." Clary berhenti. Ia menarik kabel telep onnya
dengan gelisah. "Tunggu, tidak bisa."
"Guys, bisa diam tidak?" Simon berteriak. Suaranya
terdengar samar. Mungkin Simon menjauhkan telepon dari
mulutnya. Sahabatnya itu langsung kembali", tapi terdengar
jengkel. "Tadi itu artinya ya atau tidak?"
"Aku tidak tahu." Clary menggigit bibirnya. "Ibuku
masih marah gara-gara malam. Aku tidak yakin aku mau
membuatnya marah dengan meminta sesuatu lagi. Kalau
nanti aku mendapat masalah, aku tidak mau itu gara"gara
puisi payahnya Eric."
"Ayolah, tidak sejelek itu kok," kata Simon. Erie adalah
tetangga sebelahnya. Mereka berdua sudah saling mengenal
hampir seumur hidup. Mereka memang tidak sedekat Simon
dan Clary, tapi mereka telah membentuk sebuah band rock
di awal kelas dua bersama teman"teman Eric, yaitu Matt
dan Kirk. Dengan penuh keyakinan, mereka berlatih bersama
di garasi orang tua Eric setiap Sabtu.
"Lagipula, ini bukan permintaan besar," Simon menam-
bahkan. "Ini cuma acara puisi, lima blok dari rumahmu.
Aku kan tidak sedang mengajakmu datang ke pesta liar di
Hobokenl. Ibumu bisa ikut juga kalau mau."
"PESTA LIAR DI HOBOKEN!" Clary mendengar
seseorang berteriak, mungkin suara Eric. Ada bunyi simbal
dipukul lagi. Clary membayangkan ibunya datang mende-
ngarkan Eric membaca puisi. Gadis itu langsung bergidik
ngeri. "m", Jersey "Entahlah. Kalau kalian semua ada si sana, aku rasa
ibuku akan ketakutan."
"Kalau begitu, aku akan datang sendirian. Aku iemput
kamu, jadi kita bisa berjalan ke sana bersama-sama, baru
bertemu teman"teman yang lain di sana. Ibumu tidak akan
keberatan. Ibumu sayang padaku."
Clary tertawa. "Pantas saja seleranya aneh."
"Tidak ada yang begitu," Simon memutuskan telepon
di tengah teriakan teman"teman bandnya.
Clary menutup telepon dan melihat ke sekeliling ruang
keluarga. Bukti darah seni ibunya ada di mana"mana. Ada
tumpukan bantal beledn di atas sofa merah gelap. Di dinding,
ada lukisan-lukisan Jocelyn. Semuanya dibingkai dengan
hati-hati. Kebanyakan lukisannya adalah pemandangan
seperti jalanan berangin di keramaian kota Manhattan yang
diterangi cahaya keemasan, suasana musim dingin Taman
Prospect di Brooklyn, kolam berpinggiran kelabu dengan
lapisan es putih bagaikan renda.
Di atas mantel yang menutupi perapian, ada bingkai berisi
foto ayah Clary. Namanya Jonathan Frey. Dia pria berambut
terang dengan wajah tangguh. Di foto itu, ayah Clary sedang
memakai seragam militer dan di sudut matanya ada garis
tawa. Dia prajurit yang berjasa dan bertugas seberang lautan.
]ocelyn menyimpan beberapa medali Jonathan di sebuah
kotak kecil di tempat tidurnya. Bukan berarti medali itu
berguna ketika Jonathan menabrak pohon dengan mobilnya
di luar Albany, pusat kota New York. Gara"gara kejadian
itu, dia meninggal bahkan sebelum putrinya lahir.
]ocelyn tidak pernah berbicara tentang ayah Clary. Ada
ukiran inisial nama Jonathan di kotak itu. Di dalamnya ada
medali dan pita penghargaan, cincin kawin, dan sejumput
rambut pirang. Kadang"kadang _Iocelyn membuka kotak,
lalu memegang sejumput rambut itu dengan sangat lembut
sebelum mengembalikannya dan mengunci kotak itu lagi
dengan hati-hati. Bunyi kunci diputar di pintu depan, menyadarkan
Clary dari lamunannya. Buru-buru ia duduk di sofa dan


The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengambil buku yang ditumpuk oleh ibunya di uiung meja.
Ia berusaha tampak asyik membaca. Jocelyn menganggap
membaca merupakan hiburan keramat, dan biasanya tidak
mengganggu Clary kalau gadis itu sedang membaca, bahkan
meskipun hendak membentaknya.
Pintunya terbuka dengan keras. Ternyata Luke yang
datang. Tangannya penuh membawa sesuatu yang tampak
seperti papan pengumuman besar berbentuk persegi. Saat
Luke meletakkannya, Clary melihat bahwa itu adalah kotak-
kotak kardus yang dilipat rata. Luke berdiri, lalu berbalik
kepada Clary sambil tersenyum.
"Hai, Pam"hai, Luke," kata Clary. Sekitar setahun
yang lalu, Luke meminta Clary berhenti memanggilnya
Paman Luke. Katanya, dia jadi merasa tua dan teringat
cerita Uncle Tom's Cabinz. Luke juga mengingatkan dengan
lembut bahwa dia bukanlah paman Clary, melainkan hanya
teman dekat ibunya. 2 Novel amiperbudakan karya Harriet Beecher Stews yang diterbikan pada tahun
1852. "Mama di mana?" tanya Clary.
"Sedang memarkirkan truk," kata Luke. Dia meluruskan
tubuhnya yang semampai sambil mengerang. Luke memakai
seragamnya yang biasa, yaitu jins tua, kemeja flanel, dan di
ujung hidungnya ada sepasang kacamata berlingkaran emas
yang sudah bengkok. "Ingatkan aku lagi. Kenapa gedung
ini tidak punya lift?"
"Karena sudah tua, dan berkarakter," Clary langsung
menjawab. Luke menyeringai. "Kotak"kotak itu untuk apa?" tanya Clary.
Seringai Luke lenyap. "Ibumu ingin mengepak beberapa
barang," katanya sambil menghindari pandangan Clary.
"Barang apa?" tanya Clary lagi.
Pria itu melambai, ?"Barang-barang tidak berguna yang
berantakan di rumah. Membuat rumah penuh. Kamu tahu
kan ia tidak pernah membuang barang. Jadi, kamu sedang
apa" Belajar?" Dia mengambil buku dari tangan Clary dan membacanya
keras-keras, "Dunia masih dikerumuni bermacam"macam
makhluk yang telah dibuang oleh pemikiran yang lebih
bijaksana. Peri dan goblin, hantu dan iblis, semua masih
berkeliaran di?" Luke menurunkan buku itu dan menatap
Clary dari balik kacamatanya. "Ini untuk sekolah?"
"The Golden Bougb" Tidak. Sekolah masih libur dua
minggu lagi." Clary mengambil buku itu dari Luke lagi.
"Ini punya ibuku."
"Aku punya firasat," kata Luke. The Golden Bougb
adalah buku kajian perbandingan mitologi dengan agama.
Apa maksud Luke" Clary mengembalikan buku itu ke meja karena merasa
tidak nyaman. "Luke?"
"Hmm?" Buku itu telah terlupakan. Luke sedang
menggeledah kotak perkakas yang berada di dekat perapian.
"Ah, ini dia," katanya sambil menarik tembakan plester
oranye dari plastik. Dia memandanginya dengan penuh
kepuasan. "Apa yang akan kamu lakukan kalau melihat sesuatu
yang tidak bisa dilihat orang lain?"
Tembakan pita itu jatuh dari tangan Luke, dan menimpa
perapian yang berubin itu. Dia berlutut untuk mengambilnya
tanpa menatap Clary. "Maksudmu seperti kalau aku menjadi
satu"satunya saksi kejahatan?"
"Bukan. Maksudku, kalau ada orang lain di sekitar,
tapi cuma kamu yang bisa melihat sesuatu. Seakan-akan
itu tidak kasatmata bagi semua orang kecuali kamu."
Luke ragu-ragu. Dia masih berlutut sambil mencengkeram
tembakan plester yang bengkok di tangannya.
"Aku tahu ini kedengarannya gila," Clary mengucapkannya
dengan gugup. "Tapi?"
Luke berbalik. Matanya yang sangat biru menatapnya
dengan penuh kasih. "Clary, kamu seniman seperti ibumu.
Itu artinya kamu melihat dunia dengan cara yang berbeda
dari orang lain. Ini berkahmu. Kamu bisa melihat kecantikan
dan kengerian dari hai-hal biasa. Ini tidak membuatmu
menjadi gila, hanya berbeda. Tidak ada yang salah dari
menjadi berbeda." Clary menarik kakinya dan meletakkan dagunya di
lutut. Di dalam pikirannya, ia melihat gudang itu, cambuk
emas Isabelle, pemuda berambut biru yang berteriak"teriak
dan keiang-kejang menjelang ajalnya, lalu mata ]ace yang
berwarna kuning kecoklatan. Kecantikan dan kengerian.
Clary bertanya, "Kalau ayahku masih hidup, menurutmu
dia juga akan menjadi seniman?"
Luke terkesiap. Sebelum Luke bisa menjawabnya, pintu
mengayun terbuka. Ibu Clary masuk ke dalam ruangan. Hak
sepatu butnya berkeletak-keletuk di lantai kayu berpelitur.
]oeelyn memberikan serangkaian kunci mobil. Kunci-kunci
itu bergemerencing. Kemudian ia berbalik untuk menatap
putrinya. Jocelyn Frey adalah wanita yang bertubuh langsing dan
padat. Rambutnya sedikit lebih gelap daripada Clary dan
dua kali lebih panjang. Sekarang rambutnya dipilin menjadi
simpul merah tua yang ditusuk dengan pulpen grafit supaya
tidak jatuh. Ia memakai baju kerja yang ternoda cat di
sana"sini. Di baliknya ada kaus berwarna lavender. Ia juga
memakai sepatu but untuk mendaki yang solnya dilekati
cat minyak. Mata bininya berkilauan dari balik kacamata
hitam kuno yang terlalu besar.
Orang selalu berkata kepada Clary bahwa ia mirip ibunya,
tapi Clary sendiri tidak merasa begitu. Satu"satunya yang
mirip dari mereka adalah bentuk tubuh. Mereka sama-sama
langsing, berdada kecil, dan berpinggang sempit.
Clary tahu ia tidak secantik ibunya. Untuk menjadi
cantik, kamu harus ramping dan tinggi. Kalau kamu
sependek Clary yang cuma 150-an em, kamu imut. Bukan
cantik atau rupawan, melainkan imut. Dengan rambut
seperti wortel dan wajah penuh bintik"bintik, Clary seperti
boneka Raggedy Ann, yaitu boneka kain berbaju biru"putih
dengan rambut dari benang merah, sedangkan ibunya seperti
boneka Barbie. Jocelyn bahkan punya cara berjalan yang cantik sehingga
orang menoleh ketika ia melintasi. Sebaliknya, Clary selalu
tersandung. Orang hanya menoleh ketika Clary meluncur
saat terjatuh di dekatnya.
"Terima kasih sudah membawakan kotak"kotanya," ibu
Clary berkata kepada Luke sambil tersenyum.
Luke tidak balas tersenyum. Perut Clary terasa tidak
enak. Ia tahu ada yang tidak beres.
Jocelyn berkata, "Maaf tadi makan waktu lama sekali
untuk cari tempat parkir"pasti ada sejuta orang di parkiran
hari ini..." "Ma?" Clary menyela. "Kotak"kotak ini untuk apa?"
Jocelyn menggigit bibirnya. Luke memberi tanda dengan
matanya ke arah Clary. Dia bermaksud mendesak Jocelyn
tanpa suara. Dengan tangan gugup, Jocelyn mendorong
juntaian rambut ke belakang telinganya. la duduk di sebelah
Clary. Dari dekat, Clary dapat melihat bahwa ibunya sangat
lelah. Ada bayangan bulan separuh di bawah matanya.
Matanya tampak kurang tidur.
"Ini ada hubungannya dengan yang tadi malam?" tanya
Clary. "Tidak," kata ibunya dengan cepat, tapi kemudian
menjadi ragu. "Mungkin sedikit. Seharusnya kamu tidak
melakukan yang kamu perbuat semalam. Kamu tahu lebih
baik?" "Dan aku sudah minta maaf. Ini untuk apa" Kalau
Mama sedang menghukumku, sudahi sajalah."
"Aku tidak sedang menghukummu," kata ibunya. Suaranya
sekaku kawat. Ia melirik Luke. Pria itu menggelengkan
kepalanya. "Beri tahu dia, ]ocelyn," katanya.
"Bisakah kalian bicara tidak seakan-akan aku tidak ada
di sini?" Clary berkata dengan marah. "Dan apa maksudmu,
beri tahu aku" Beri tahu aku apa?"
Jocelyn mendesah. "Kita akan berlibur," katanya.
Ekspresi wajah Luke segera kosong bagaikan kanvas
yang catnya dihapus bersih.
Clary menggelengkan kepalanya. "Jadi itu maksudnya"
Kalian akan berlibur?" Ia membenamkan dirinya ke dalam
sofa. "Aku tidak mengerti. Apa masalahnya?"
"Kurasa kamu tidak mengerti." Dengan gugup, ]ocelyn
memainkan pinggiran selendangnya. "Maksudku, kita semua
akan berlibur. Kita bertiga, maksudku kamu, aku, dan Luke.
Kita akan pergi ke rumah pertanian."
"Oh." Clary melirik Luke, tapi pria itu menyilangkan
tangannya di dada dan memandang ke luar jendela. Rahang
Luke terkatup erat. Clary penasaran apa yang membuatnya kesal. Luke
menyukai rumah pertanian tua yang terletak di daerah utara
New York. Dia sendiri yang membeli dan memperbaikinya
sepuluh tahun lalu. Kapan pun dia mau, Luke bisa pergi
ke sana. "Berapa lama?" tanya Clary.
"Sepanjang sisa musim panas," kata ]oeelyn. "Aku
membawa kotak"kotak ini kalau-kalau kamu mau mengepak
buku, persediaan melukis..."
"Sepanjang sisa musim panas." " Clary duduk tegak karena
marah. "Aku tidak bisa, Ma. Aku sudah punya rencana.
Simon dan aku akan membantu pesta sekolah. Aku harus
ikut banyak rapat dengan kelompok seniku, dan masih ada
10 pertemuan lagi untuk belajar di kelas seni Tisch."
"Aku menyesal tentang Tisch. Tapi hal"hal lain bisa
dibatalkan. Simon akan mengerti, begitu pula kelompok
senimu." Clary menangkap nada suara ibunya yang sekeras batu.
Clary menyadari bahwa ibunya serius. "Tapi aku yang
bayar kelas seni itu! Aku sudah menabung setahun penuh!
Mama sudah janji..." Ia berpaling kepada Luke. "Katakan
kepadanya! Katakan kepadanya bahwa ini tidak adil!"
Luke tidak beralih dari jendela meskipun pipinya bergerak
sedikit. "la ibumu. la yang berhak memutuskan."
"Aku tidak mengerti." Clary berpaling kepada ibunya
lagi. "Kenapa?"
"Aku harus pergi, Clary," kata ]ocelyn. Sudut"sudut
mulutnya bergetar. "Aku butuh kedamaian, kesunyian, untuk
melukis. Dan uang kita tipis sekarang..."
"Kalau begitu, jual saja beberapa saham Papa lagi," kata
Clary dengan marah. "Itu yang biasanya Mama lakukan,
kan?" Jocelyn tersentak. "Itu sulit?"
"Begini, kalau Mama mau pergi, terserah. Aku tetap
tinggal di sini tanpa Mama. Aku bisa bekerja. Aku bisa
mendapatkan pekerjaan di Starbucks atau macam itu. Kata
Simon, mereka selalu mencari pekerja. Aku sudah cukup
umur untuk mengurus diri sendiri..."
"Jangan!" Suara Jocelyn yang tajam membuat Clary
melompat. "Aku akan menebus uang kelas senimu, Clary.
Tapi kamu ikut dengan kami. Tidak ada pilihan. Kamu
terlalu muda untuk tinggal sendirian di sini. Sesuatu bisa
saja terjadi." "Seperti apa" Apa yang bisa terjadi?" Clary menuntut
jawaban. Ada suara barang jatuh. Clary berbalik dan terkejut
melihat Luke telah menjatuhkan lukisan berbingkai yang
dulu susah-payah dia bawa dari bawah. Jelas-jelas terlihat
marah, Luke merapatkannya ke dinding. Saat dia berdiri,
wajahnya muram. "Aku pergi."
Jocelyn menggigit bibirnya. "Tunggu." Ia mengejar Luke
ke depan pintu, dan berhasil menyusulnya saat pria itu
meraih gagang pintu. Clary berputar di sofa, mencuri dengat ibunya yang
buru"buru berbisik. "...Bane," Jocelyn berkata. "Aku sudah
mencoba meneleponnya terus-menerus selama tiga minggu
belakangan. Kotak suaranya berkata dia sedang di Tanzania.
Aku harus bagaimana?"
"]ocelyn..." Luke menggelengkan kepalanya. "Kamu
tidak bisa bergantung kepada dia selamanya."
"Tapi Clary..."
"Bukanlah Jonathan," Luke berdesis. "Kamu berubah
sejak peristiwa itu terjadi, tapi Clary bukanlah Jonathan."
Apa bubungan ayahku dengan masalah ini." pikir Clary
bingung. "Aku tidak bisa menyuruhnya di rumah terus, melarangnya
keluar... Ia tidak akan terima."
"Tentu saja tidak!" Luke terdengar sangat marah. "Ia
bukan peliharaan, ia sudah remaja. Hampir dewasa."
"Kalau kita pergi ke luar kota?"
"Bicaralah kepadanya, ]ocelyn." Suara Luke terdengar
tegas. "Aku serius." Dia meraih pegangan pintu.
Pintu mengayun terbuka. Jocelyn memekik.
"Oh" Tuhan!" Luke berseru.
"Sebenarnya, ini cuma aku," kata Simon, "meskipun
pernah ada yang berkata bahwa kemiripan kami memang
mengejutkan." Ia melambai kepada Clary dari pintu. "Kamu
siap?" Jocelyn menurunkan tangannya dari mulut. "Simon,
tadi kamu menguping?"
Simon mengerjap. "Tidak. Aku baru saja sampai." Dia
menatap wajah _]ocelyn yang pucat, lalu wajah Luke yang
muram. "Ada masalah" Sebaiknya aku pergi saja?"
"Jangan repot-repot," kata Luke. "Aku rasa kami sudah
selesai." Dia mendorong Simon supaya minggir, lalu segera
menuruni tangga dengan langkah-langkah keras. ]ocelyn
tersentak saat pintu di bawah sana dibanting.
Simon menunggu di pintu. Dia tampak tidak yakin.
"Aku bisa kembali lagi nanti," katanya. "Sungguh. Tidak
masalah ko ." "Mungkin itu..." Jocelyn mulai bicara, tapi Clary sudah
berdiri.

The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Biarkan saia, Simon. Kita berangkat," kata Clary.
Ia mengambil tas selempangnya dari gantungan di dekat
pintu. Ia menyandangnya di bahu, lalu memandangi ibunya.
"Sampai jumpa nanti, Ma."
Jocelyu menggigit bibirnya. "Clary, tidakkah kamu
berpikir kita harus membicarakannya?"
"Kita akan punya cukup waktu untuk bicara ketika
sedang "berlibur" kata Clary dengan kejam. Ia merasa puas
saat melihat ibunya tersentak. "Jangan menunggu"nunggu,"
Clary menambahkan. Ia pun merenggut lengan Simon, dan
setengah menyeretnya meniauh dari pintu.
Simon mengetukkan kakinya, tampak minta maaf
kepada ibu Clary dari balik bahunya. _]ocelyn tampak
kecil dan sedih di depan pintu, tangannya diremas menjadi
satu. "Bye, Ibu Fray!" Simon memanggil. "Semoga sore ini
menyenangkan!" "Oh, diam sajalah, Simon," Clary mendengus, lalu
membanting pintu di belakang mereka sekaligus memotong
iawaban ibunya. "Ya ampun, nanti tanganku lepas," Simon mempmtes saat
Clary menyeretnya menuruni tangga. Sepatunya berbunyi keras
setiap kali melangkah dengan marah di tangga kayu itu.
Clary melirik ke atas, setengah mengira bahwa ibunya akan
melotot dari sana, tapi pintu apartemen masih tertutup.
"Maaf," Clary bergumam, lalu melepaskan tangan
Simon. Clary berhenti di anak tangga terbawah, sehingga
tas selempangnya terayun dan menabrak pinggulnya.
Clary tinggal di Park Slope di bagian barat Brooklyn.
Rumahnya adalah brownstone, yaitu rumah deret yang
terbuat dari bata. Seperti kebanyakan brownstone di Park
Slope, rumah Clary dulunya didiami oleh sebuah keluarga
kaya raya. Bayangan kebesaran rumah itu di masa lalu masih
dapat dibuktikan dari tangga putar, jalan masuk pualam
yang sudah pecah-pecah, dan kisi"kisi jendela yang tinggi.
Sekarang rumah itu dibagi menjadi beberapa apartemen
terpisah. Clary dan ibunya tinggal di tingkat tiga. Mereka berbagi
dengan seorang penghuni lainnya, yaitu seorang wanita tua
yang menjalankan toko psikis di lantai dasar apartemen. Ia
jarang keluar dari situ, padahal jarang ada pengunjung. Plang
emas yang dipasang di pintu menyatakan dirinya sebagai
Madam Dorothea, Parama! dan Pembawa Wahyu.
Bau kemenyan yang tebal dan manis semerbak tercium
dari pintu yang setengah terbuka ke serambi. Clary dapat
mendengar suara komat-kamit bernada rendah.
"Senang melihat bisnisnya meledak," kata Simon. "Padahal
sulit menjadi peramal yang mapan di zaman sekarang."
"Harus ya kamu menyindir semua hal?" Clary
mendengus. Simon mengerjap kaget. "Aku kira kamu suka kalau
aku melucu dan ironis."
Clary baru hendak menanggapi ketika pintu Madam
Dorothea terbuka penuh. Seorang pria melangkah keluar. Dia
tinggi dan berkulit seperti warna sirup maple. Matanya hijau
keemasan seperti mata kucing, dan rambut hitamnya kusut.
Dia tersenyum menyilaukan kepada Clary, memamerkan
deretan gigi putihnya yang tajam. Setelah melangkah ke
pintu depan, Clary melihat bahwa kakinya telanjang dan
kukunya melengkung menjadi cakar.
Clary mendadak pusing, dan merasa akan pingsan.
Simon meliriknya dengan tidak tenang. "Kamu baik"baik
saja" Kamu kelihatan nyaris pingsan."
Clary mengerjap kepadanya. "Apa" Tidak, aku baik"
baik saja." Simon tidak mau menyerah. "Kamu kelihatan seperti
baru saja melihat hantu."
Clary menggeleng. Ia ingat baru saja melihat sesuatu
yang menggodanya, tapi ketika ia berusaha berkonsentrasi,
hal itu menggelincir bagaikan air. "Bukan apa-apa. Aku
kira tadi aku melihat kucingnya Dorothea, tapi aku rasa
itu cuma tipuan cahaya."
Simon memandanginya. "Aku belum makan apa-apa seiak kemarin," ia me-
nambahkan dengan sikap bertahan. "Sepertinya aku jadi
berlebihan." Simon merangkul bahu Clary dengan lembut, "Ayo,
aku traktir kamu makan."
"Aku tidak percaya ibuku bisa seperti itu," Clary berkata
untuk keempat kalinya. Ia mengejar sepotong guacamole3
di piringnya dengan ujung nacho4. Clary dan Simon sedang
makan di warung makan Meksiko. Lubang di dindingnya
bertulisan Ndahe Mama. "Seakan-akan menghukumku setiap
minggu tidak cukup buruk. Sekarang aku akan diasingkan
sepanjang sisa musim panas."
"Yah, kamu tahu kan, ibumu memang kadang"kadang
seperti itu," kata Simon. "Itu sudah seperti bernafas baginya."
Simon menyeringai sambil mengunyah burritoj sayur.
"Oh, tentu saja, teruslah melucu," kata Clary. "Bukan
kamu yang akan diseret ke antah berantah sampai entah
kapan, hanya Tuhan yang tahu..."
"Clary," Simon menyela omelannya. "Bukan aku
yang sedang membuatmu kesal. Lagipula, ini pasti tidak
permanen." "Bagaimana kamu bisa tahu itu?"
"t dari tumbukan alpukat dan potongan bawang
4 Potongan tortilla (reli jagung) yang dilapisi keiu dan lada, lalu dipanggang
5 Tepung tortilla yang digulung dan diberi isi
"Yah, karena aku mengenal ibumu," kata Simon setelah
berpikir sejenak. "Maksudku, kau dan aku sudah berteman
selama berapa, sepuluh tahun sekarang" Aku tahu ibumu
memang kadang"kadang seperti itu. Nanti ibumu akan
berpikir dengan lebih jernih."
Clary menyisihkan lada dari piringnya dan menggigit
ujungnya sambil merenung. "Benarkah begitu?" katanya.
"Kamu tahu ibuku" Kadang-kadang aku penasaran apakah
ada orang yang memang tahu."
Simon mengerjapkan mata kepadanya. "Aku tidak
mengerti maksudmu." Clary menghirup nafas untuk mendinginkan mulutnya
yang membara. "Maksudku, ibuku tidak pernah bicara
banyak tentang dirinya sendiri. Aku tidak tahu apa-apa
tentang kehidupannya sebelum ini, atau keluarganya, atau
tentang bagaimana ibuku bertemu dengan ayahku. Ibuku
bahkan tidak punya foto pernikahan. Seakan-akan hidupnya
baru dimulai ketika aku lahir. Itu jugalah yang dikatakan
ibuku selalu kalau aku bertanya tentang ini."
"AW." Simon tersentuh. "Itu manis sekali."
"Tidak," Clary memutuskan. "Itu aneh. Aneh kan kalau
aku tidak tahu apa-apa tentang kakek-nenekku. Maksudku,
aku tahu orang tua ayahku tidak bersikap baik kepada ibuku,
tapi mereka tidak mungkin sejahat itu kan" Orang macam
apa yang bahkan tidak mau bertemu cucunya sendiri?"
"Mungkin ibumu membenci mereka. Mungkin mereka
kasar atau semacam itu," Simon mengusulkan. "Ibumu kan
punya bekas luka." Clary memandangi Simon. "Ibuku punya apa?"
Simon menelan burtito semulut penuh. "Bekas-bekas
luka tipis itu. Ada di seluruh punggung dan tangannya. Aku
pernah melihat ibumu memakai baju mandi, tahu kan."
"Aku tidak pernah sadar ada bekas luka," kata Clary.
"Aku rasa kamu cuma membayangkannya."
Siman memandanginya dan tampak hendak menga-
takan sesuatu. Tapi ponsel Clary berbunyi dari dasar tas
selempangnya. Bunyinya terdengar meraung dan menuntut
untuk segera diangkat. Clary mengambilnya, memandangi
ncmor yang berkedip-kedip di layarnya, lalu mengerutkan
dahi. "Dari ibuku."
"Aku bisa tahu itu dari tampangmu. Kamu akan bicara
dengannya?" "Tidak sekarang," kata Clary. Perutnya terasa digigit rasa
bersalah yang sudah akrab dengannya. Ponsel itu berhenti
berdering dan diangkat oleh kotak suara. "Aku tidak ingin
bertengkar dengannya."
"Kamu selalu bisa tinggal di rumahku," kata Simon.
"Selama yang kamu mau."
"Yah, kita lihat nanti kalau ibuku sudah tenang."
Clary menekan tombol kotak suara di ponselnya. Suara
ibunya terdengar tegang, tapi jelas bahwa ia mencoba
melunak. Sayang, maaf aku mendadak menyodorkan
rencana liburan itu kepadamu. Ayo pulang supaya kita
bisa membicarakannya. Clary menutup telepon sebelum pesan itu berakhir.
Ia merasa semakin bersalah tapi masih marah pada wak-
tu bersamaan. "Ibuku mau membicarakannya," Clary
melaporkan. "Kamu mau bicara dengannya?"
"Aku tidak tahu." Clary meugusapkan punggung tangan ke
matanya. "Kamu tetap akan pergi ke pembacaan puisi?"
"Aku sudah berjanji untuk datang."
Clary berdiri sehingga kursinya terdorong ke belakang.
"Kalau begitu, aku ikut kamu. Aku akan menelepon ibuku
kalau acaranya sudah selesai." Tali tas selempangnya tergelincir
ke lengannya. Simon mendorongnya kembali ke posisi semula,
jemarinya merayapi bahu Clary yang telanjang.
Udara luar seperti sp ons berembun. Kelembaban membuat
rambut Clary keriting dan kaus biru Simon lengket ke
punggungnya. "Jadi, bagaimana kabar bandmu?" tanya Clary. "Ada
yang baru" Waktu aku telepon kamu, banyak yang berteriak-
teriak di latar belakang."
Wajah Simon menjadi lebih cerah. "Semuanya hebat,"
katanya. "Kata Matt, dia tahu seseorang yang bisa mema-
sukkan kami ke Scrap Bar. Kami juga membicarakan nama
bandnya lagi." "Oh ya?" Clary menyembunyikan senyumnya. Scrap Bar
adalah bar kecil yang dulu menjadi tempat berkumpulnya
bintang rock terkenal. Tapi bandnya Simon belum pernah
benar-benar menghasilkan musik apa pun. Mereka sering
duduk-duduk di ruang keluarga rumah Simon, mereka
bertengkar tentang rencana nama band dan logonya.
Kadang"kadang Clary penasaran apakah ada di antara
mereka yang benar-benar bisa memainkan alat musik. "Apa
pilihan namanya?" "Kami sedang memilih di antara "Sea Vegetable Con-
spiraey"6 dan *Rock Solid Panda?"
Clary menggelengkan kepalanya. ?"Dua-duanya
parah." "Erie menyarankan "Lawn Chair Crisis's."
"Mungkin Eric harus tetap bermain video game."
"Tapi kalau begitu, kami harus mencari pemain drum
baru." "Oh, itukah yang Eric lakukan" Aku pikir dia cuma
mengemis uangmu dan berkeliaran di sekolah, tebar pesona
kepada cewek-cewek untuk membuat mereka terkesan dengan
berkata dia anggota ban ."
"Tidak juga," kata Simon cepat"cepat. "Erie sudah
memulai lembaran baru. Dia punya pacar. Mereka sudah
berpacaran selama tiga bulan."
"Bisa dianggap menikah," kata Clary. Ia melangkah di
dekat pasangan yang mendorong balita di kereta dorong. Anak
perempuan di situ memakai jepitan rambut. Ia menggenggam
boneka pixie9 yang bersayap dengan warna safir bergaris
emas. Dari ujung mata Clary, rasanya ia melihat sayap itu
mengibas. Ia segera memalingkan kepalanya.
& Komplotan Sayuran Laut
7 Panda Seketas Batu & Kemelut Kursi Pekarangan
9 Semacam peri "Itu artinya," Simon melanjutkan, "tinggal aku anggota
band yang tidak punya pacar. Kamu tahu kan, itulah alasan
utama masuk band. Untuk memikat cewek."
"Aku pikir semuanya demi musik."
Seorang pria bertongkat memotong jalan Clary. Pria
itu berjalan menuju Jalan Berkeley. Clary berpaling karena
takut kalau ia melihat seseorang terlalu lama, mereka akan
menumbuhkan sayap, tangan tambahan, atau lidah panjang
bercabang seperti ular. "Lagipula, siapa yang peduli kalau kamu punya
pacar?" "Aku peduli," kata Simon dengan muram. "Dalam waktu
dekat, yang tidak punya pacar tinggal aku dan Wendell si
pesuruh sekolah. Dan bau Wendell seperti bau pembersih
kaca Windex." "Setidaknya kamu tahu dia masih kosong."
Simon melotot. "Tidak lucu, Fray."
"Selalu ada Sheila 'Si Tali Kulit' Barbarino," Clary
menyarankan. Clary pernah duduk di belakangnya di
pelajaran matematika waktu kelas sembilan. Setiap kali
Sheila menjatuhkan pensilnya, dan itu sering terjadi, Clary
terpaksa melihat celana dalam Sheila muncul dari balik
celana jinsnya yang super rendah.
"Dia itu yang Eric keneani selama tiga bulan belakangan
ini," kata Simon. ?"Sementara itu, Eric menyarankan bahwa
aku hanya harus memilih cewek mana di sekolah yang
berbudi paling mantap dan mengajaknya kencan pada hari
pertama sekolah." "Eric itu babi mesum," kata Clary. Mendadak ia tidak
ingin tahu gadis mana di sekolah yang dianggap berbudi
paling mantap oleh Simon. "Mungkin kamu beri nama
bandmu Geng Babi Mesum saja."
"Ada hubungannya," Simon tampak tidak terganggu.
Clary memandangnya dengan heran. Tas selempang-
nya bergetar saat ponselnya meraung. Ia merogoh saku
berisietingnya. "Ibumu lagi?" tanya Simon.
Clary mengangguk. Ia dapat membayangkan wajah
ibunya, kecil dan sendirian di pintu apartemen mereka.
Sesal membentang di dadanya.
Ia melirik Simon. Sahabatnya itu sedang menatapnya
penuh perhatian. Wajahnya begitu akrab sehingga Clary


The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa menggambarnya di dalam mimpi. Clary membayangkan
minggu-minggu sepi tanpanya nanti, lalu memasukkan
teleponnya ke dalam tas lagi.
"Ayo," kata Clary. "Kita hampir telat ke acaranya."
3 Pemburu Bagangan Pernyataan cinta itu membuatku geli,
terutama ketika tidak terbaias.
Eric sudah siap di panggung ketika mereka tiba di Java
Jones. Dia mondar"mandir di depan mikrofon dengan mata
tertutup. Ujung rambutnya dicat merah muda demi acara
ini. Di belakangnya, Matt tampak membatu. Temannya itu
sedang memukul gendang djembe dengan tak beraturan.
"Pasti akan sangat membosankan," Clary mendugauduga.
Ia menarik lengan baju Simon dan menyeretnya ke pintu.
"Kalau kita kabur sekarang, kita masih bisa selamat."
Simon menggeleng dengan tegas. "Aku cuma sampah
kalau tidak bisa memegang janji." Dia menegakkan badan.
"Aku ambilkan kopi sementara kamu carikan kursi untuk
kita. Kamu mau kopi apa?"
"Kopi saja. Hitam." seperti jiwaku."
Simon menuju bar kopi sambil menggumam sendiri
tentang efek sesuatu yang jauh lebih baik sekarang daripada
dulu. Clary mencarikan kursi untuk mereka duduki.
Kafe itu tergolong ramai untuk hari Kamis. Sebagian
besar sofa dan kursi usang sudah dipenuhi remaja yang
sedang menikmati libur di hari biasa. Harum kopi dan
rokok putih melimpah. Akhirnya Clary menemukan sebuah sofa cinta kosong
di pojokan yang gelap. Satu"satunya orang yang ada di
dekat situ hanyalah gadis pirang berbaju tank top oranye.
Ia sedang asyik bermain dengan lpod"nya. Bagus, pikir
Clary, Eric tidak akan bisa menemukan kami di sini setelah
acaranya selesai, jadi dia tidak bisa minta pendapat tentang
puisinya. Gadis pirang itu memiringkan badannya dan menepuk
pundak Clary. "Permisi."
Clary mendongak terkejut.
"Itu pacarmu?" gadis itu bertanya sambil menunjuk.
Clary mengikuti arah pandangan gadis itu dan sudah
bersiap-siap menjawab, Bukan, aku tidak kenal dia. Tapi
Clary menyadari bahwa gadis itu sedang menuniuk Simon.
Sahabatnya itu sedang berjalan ke arah mereka. Wajahnya
berkonsentrasi penuh saat berusaha tidak menjatuhkan
cangkir styrofoam yang berisi kopi.
"Oh, bukan," kata Clary. "Dia temanku."
Wajah gadis itu menjadi cerah. "Dia imut. Dia punya
pacar?" Clary ragu sejenak sebelum menjawab, "Tidak."
Gadis itu tampak curiga. "Dia homo?"
Clary selamat dari menjawab pertanyaan ini berkat
kedatangan Simon. Gadis pirang itu buru-buru beralih ketika
Simon meletakkan kopinya di meja. Simon duduk di samping
Clary dan berkata, "Sangat menyebalkan kalau cangkirnya
habis. Kalau pakai styrofoam, tanganku kepanasan." Dia
meniup jemarinya dan mengerang.
Clary berusaha menyembunyikan senyumnya saat melihat
Simon. Biasanya ia tidak pernah memikirkan apakah Simon
ganteng atau tidak. Clary pikir mata Simon berwarna hitam
indah dan tubuhnya cukup berisi sejak setahun belakangan
ini. Dan potongan rambutnya cocok...
"Kamu memandangiku," kata Simon. "Kenapa meman-
dangiku" Ada sesuatu di wajahku?"
Aku harus membawakan", pikir Clary, tapi sebagian
dari dirinya terasa menolak. Aneh. Kalau aku tidak beri
tahu, berarti aku bukan teman yang baik.
"Jangan melihat ke sana, tapi cewek pirang di sana
berpikir kamu imut," Clary berbisik.
Mata Simon melirik ke samping untuk melihat gadis
itu. Ia sedang membaca majalah komik Jepang bernama
Shonen jump. "Gadis yang memakai atasan oranye?"
Clary mengangguk. Simon tampak kaku. "Kenapa kamu berpikir
begitu?" Beri tahu dia, ayo, beri tahu dia. Clary membuka
mulutnya untuk menjawab, tapi terpotong bunyi arus balik yang
melengking. Ia mengernyit dan menutupi telinganya sementara
Eric berjuang dengan mikrofonnya di panggung.
"Maaf yang tadi itu, guys!" dia berteriak. "Baiklah,
aku Eric Churchill dan ini temanku Matt yang bermain
drum. Puisi pertamaku berjudul "Tanpa Judul?"
Eric menekuk wajahnya seakan"akan sedang menahan
sakit, lalu meraung di mikrofonnya. "Datanglah, tumbal atas
dosaku, buah pinggang yang keji! Catatlab setiap tonjolan
dengan semangat yang gersang!"
Simon merosot turun di tempat duduknya. "Tolong
jangan beri tahu siapa-siapa kalau aku kenal dia."
Clary terkikik. "Siapa yang memakai kata "buah
pinggang?" "Eric," kata Simon dengan muram. "Semua puisinya
berisi buah pinggang."
"Keriuhan adalah siksaku!" Eric meraung. "Nyeri
membengkak di hati!"
"Berani taruhan, pasti memang begitu," kata Clary. Ia
merosot di samping Simon. "Omong-omong, tentang cewek
yang tadi berpikir kamu imut..."
"Lupakan itu dulu," kata Simon. Clary mengerjap
karena terkenjut. "Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan
denganmu." "Furious Mole1 bukan nama yang bagus untuk band,"
Clary langsung berkata. "Bukan itu," kata Simon. "Ini tentang yang kita bicarakan
tadi. Tentang aku tidak punya pacar."
i Tikus Mandek Mengamuk "Oh." Clary mengangkat sebelah bahunya. "Oh, aku
tidak tahu. Ajak saia ]aida Jones berkencan," ia menyarankan.
Jaida adalah salah satu dari sedikit gadis di sekolah St.
Xavier yang disukai Clary. "Ia baik, dan ia suka kamu."
"Aku tidak mau jalan dengan ]aida."
"Kenapa tidak?" Clary merasa dirinya tiba-tiba kesal
tanpa alasan. "Kamu tidak suka cewek pintar" Masih
mencari yang bodinya mantap.?"
"Bukan dua-duanya," kata Simon. Dia tampak gelisah.
"Aku tidak ingin mengajak _Iaida berkencan karena itu tidak
adil baginya." Simon mundur. Clary memiringkan badan ke arahnya.
Dari sudut mata Clary, ia dapat melihat bahwa gadis pirang
tadi ikut memiringkan badan, jelas-jelas menguping. "Kenapa
tidak?" "Karena aku suka orang lain," kata Simon.
"Oke." Wajah Simon menghijau seperti ketika pergelangan
kakinya patah setelah main sepak bola di taman dan harus
berjalan terpincang"pincang ke rumah.
Clary heran kenapa menyukai seseorang membuatnya
sampai segelisah itu. "Kamu bukan homo, kan?"
Wajah Simon semakin hijau. "Kalau memang homo,
aku pasti berpenampilan lebih baik."
"Jadi, siapa itu?" Clary bertanya. Ia baru saja hendak
menambahkan bahwa jika Simon jatuh cinta kepada Sheila
Barbarino, Eric akan menghaiarnya. Tapi Clary mendengar
seseorang batuk"batuk dengan keras di belakangnya. Itu batuk
mengejek, semacam bunyi yang muncul kalau seseorang
berusaha tidak tertawa keras.
Clary berbalik. Duduk di sofa hijau pudar yang berjarak beberapa meter
dari Clary, ada ]ace. Dia mengenakan pakaian gelap yang
sama dengan ketika bertemu malam itu di klub. Lengannya
telanjang dan dipenuhi simbol"simbol gelap yang berpola dan
bergaris aneh. Pergelangan tangannya dililiti manset logam.
Clary dapat melihat ada pegangan sebuah pisau menonjol
keluar dari salah satu manset itu.
]ace sedang menatap Clary. Salah satu ujung mulutnya
yang sempit mencuat karena senang. Daripada karena
ditertawakan, Clary lebih merasa tidak enak lagi karena
yakin Jace tidak duduk di situ lima menit yang lalu.
"Ada apa?" Simon mengikuti arah pandangan Clary,
tapi jelas dari ekspresinya yang kosong bahwa dia tidak
bisa melihat ]ace. Tapi aku bisa melihatmu. Clary memandangi ]ace saat
berpikir demikian, lalu _Iace melambaikan tangan kurusnya
kepada Clary. Sebuah cincin berkilat-kilat di tangan kanannya.
Dia pun pergi, begitu saja.
Clary merasakan sentuhan tangan Simon di lengannya.
Simon memanggil namanya, dan bertanya apakah ada
masalah. Clary hampir tidak bisa mendengar Simon.
"Aku akan kembali," Clary mendengar dirinya sendiri
berkata. Ia bangkit dari sofa dan hampir menabrak cangkir
kopinya. Ia terburu-buru ke pintu, meninggalkan Simon
yang memandanginya. Clary menyerbu keluar pintu. Ia takut Jace telah lenyap
ke dalam gang gelap seperti hantu. Tapi _]ace ada di sana.
Pemuda itu bersandar ke dinding dengan membungkuk. Dia
baru saja mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan menekan
tombol di benda itu. Dia mendongak terkejut ketika pintu
kafe tertutup di belakang Clary.
Di bawah derasnya sinar mentari senia, rambut ]ace
tampak tembaga keemasan. "Puisi temanmu sangat payah,"
katanya. Clary mengerjap. Sejenak ia tidak sadarkan diri.
"Apa?" "Kataku, puisinya payah. Kedengarannya seperti dia
menelan kamus dan mulai memuntahkan kata"katanya
secara acak." "Aku tidak peduli tentang puisi Eric." Clary kesal. "Aku
mau tahu kenapa kamu mengikutiku."
"Kata siapa aku mengikutimu?"
"Usaha yang bagus. Kamu juga menguping. Kamu
ingin memberitahuku apa maksudmu, atau aku laporkan
ke polisi saja?" "Kamu mau laporkan apa?" kata ]ace dengan nada
menghina. "Bahwa ada orang tembus pandang yang meng-
ganggumu" Percayalah, gadis kecil, polisi tidak bisa menahan
seseorang yang tidak bisa mereka lihat."
"Namaku bukan gadis kecil," katanya menggertakkan
gigi. "Namaku Clary."
"Aku tahu," kata Jace. "Nama yang cantik. Seperti
tumbuhan dar); sage. Di zaman dulu, orang pikir kalau
makan rumput itu, mereka bisa melihat Bangsa Gaib. Kamu
tahu itu?" "Aku tidak mengerti omonganmu."
"Kamu tidak tahu banyak, ya?" kata Jace. Ada kilatan
rasa malas yang menjijikkan di matanya yang keemasan.
"Kamu seperti fana yang lainnya, tapi bisa melihatku. Ini
sebuah teka"teki."
"Apa itu fana?"
"Fana. Orang dari dunia manusia. Seperti kamu."
"Tapi kamu juga manusia," kata Clary.
"Memang," katanya. "Tapi aku tidak seperti kamu."
Suaranya tidak terdengar keras. Sepertinya dia tidak peduli
apakah Clary percaya atau tidak.
"Kamu pikir kalian lebih baik," kata Clary. "Itulah
mengapa kamu menertawai kami."
"Tadi aku tertawa karena pernyataan cinta itu membuatku
geli, terutama ketika tidak terbalas," ]ace berkata. "Dan
karena Simonmu itu salah satu fana yang paling fana yang
pernah aku temukan. Dan karena Hodge berpikir mungkin
kamu berbahaya. Tapi kalau kamu memang berbahaya,
kamu pasti tidak menyadarinya."
"Aku berbahaya?" Clary membeo dengan kaget. "Aku
melihatmu membunuh seseorang semalam. Aku melihatmu
menusukkan pisau ke bawah rusuknya, dan..." Dan aku
melihatnya menyayatmu dengan jemari setajam silet. Aku
melihatmu terluka dan berdarab-darab, dan sekarang kamu
tampak seperti tidak pemah tersentuh apa-apa.
"Mungkin aku memang pembunuh," kata ]ace. "Tapi
aku tahu siapa diriku. Bisakah kamu mengatakan yang
semacam itu?" "Aku manusia biasa, seperti yang kamu katakan. Siapa
itu Hedge?" "Guruku. Kalau aku jadi kamu, aku tidak akan secepat
itu mengecap diriku sebagai biasa." Dia memiringkan badannya
ke depan. "Aku mau lihat tangan kananmu."
"Tangan kananku?" Clary membeo. _]ace mengangguk.
"Kalau aku memperlihatkan tangan kananku, kamu akan
pergi meninggalkanku?"
"Pasti." Suara Jace terdengar senang.
Clary memperlihatkan tangan kanannya dengan segan.
Tangannya kelihatan pucat di bawah sinar yang setengah
menembus jendela. Bintik-bintik debu jadi tampak di
tulang tangannya. Entah bagaimana, Clary merasa terbuka
seakan-akan ia menarik kausnya dan menunjukkan dadanya
kepada ]ace. Pemuda itu mengambil tangan Clary dan membaliknya.
"Tidak ada apa-apa." _]ace terdengar kecewa. "Kamu tidak
kidal, kan?" "Tidak. Kenapa?"
Jaee melepaskan tangannya sambil mengangkat bahu.
"Ketika masih muda, kebanyakan anak Pemburu Bayangan
punya Tanda di tangan kanan mereka, atau kiri, kalau kidal
seperti aku. Itu rune permanen yang memberikan kekuatan
tambahan sewaktu memakai senjata." Dia menunjukkan
punggung tangannya. Clary tidak melihat ada yang berbeda
di situ. "Aku tidak melihat apa-apa," kata gadis itu.
"Kendurkan pikiranmu," dia menyarankan. "Tunggulah
sampai dia muncul. Seperti menunggu sesuatu muncul ke
permukaan air." "Kamu gila." Tapi Clary mengendurkan pikirannya
sambil menatap tangan ]ace. Ia pun melihat garis-garis kecil
melintasi tulang tangan itu, sendi"sendi jemarinya...
Tiba-tiba saja itu muncul dan menyala bagaikan tanda


The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jangan Berjalan. Ada sebuah tanda hitam seperti mata
di tangan _Iace. Clary mengedip, lalu tanda itu lenyap.
"Tato?" ]ace tersenyum bangga dan menurunkan tangannya.
"Sudah kuduga kamu bisa melihatnya. Ini bukan tato. Ini
Tanda. Ini rune yang dibakar ke dalam kulit kita."
"Dengan ini, kamu jadi bisa memakai senjata dengan
lebih baik?" Clary merasa ini sulit dipercaya, meskipun
mungkin tidak lebih sulit daripada percaya zombi itu ada.
"Tanda yang berbeda punya fungsi yang berbeda. Ada
yang permanen, tapi kebanyakan tanda akan lenyap kalau
sudah dipakai." "Itulah mengapa lenganmu tidak ditandai semua hari ini?"
Clary bertanya. "Bahkan meskipun aku berkonsentrasi?"
"Itulah jelasnya kenapa." _Iace terdengar senang kepada diri
sendiri. "Setidaknya, aku jadi tahu kamu punya Penglihatan."
Dia melirik ke angkasa. "Sudah hampir gelap. Kita harus
pergi." "Kita" Aku kira kamu akan meninggalkanku."
"Aku bohong," kata Jade tanpa terdengar malu sedikit
pun. "Kata Hedge, aku harus membawamu ke Institut. Dia
ingin berbicara denganmu."
"Kenapa dia ingin berbicara denganku?"
"Karena sekarang kamu tahu yang sebenarnya," kata
Jace. "Belum pernah ada fana yang mengetahui keberadaan
kami selama setidaknya seratus tahun."
"Keberadaan kami?" Clary membeo. "Maksudmu, orang
sepertimu. Orang yang percaya adanya iblis."
"Orang yang membunuh iblis," kata ]ace. "Kami disebut
Pemburu Bayangan. Seiidaknya, begitulah bagaimana kami
menyebut diri sendiri. Para Penghuni Dunia Bawah punya
nama"nama yang lebih buruk untuk menyebut kami."
"Penghuni Dunia Bawah?"
?"Anak-anak Malam. Warlock. Feyl. Bangsa magis di
dimensi ini." Clary menggeleng. "Jangan berhenti di situ. Aku rasa
ada juga, apa, vampir dan manusia serigala, dan zombi?"
"Tentu saja ada," ]ace memberitahunya dengan sombong.
"Meskipun zombi biasanya ada jauh di selatan. Di sana
juga ada pendeta voudun3."
?"Bagaimana dengan mumi" Mereka benar-benar ber-
keliaran di Mesir?" 2 Semacam peri berkekuatan sihir
3 Agama pribumi kuno dari Afrika Barat dan Tengah, tapi Jace mengacu kepada
cabangnya di Haiti. "Jangan konyol. Tidak ada yang percaya mumi."
"Tidak ada?" "Tentu saja tidak," ]ace berkata dengan tidak sabar.
"Dengar ya, Hodge akan menjelaskan semua ini kepadamu
ketika kamu bertemu dengannya nanti."
Clary menyilangkan tangannya. "Bagaimana kalau aku
tidak mau bertemu dengannya?"
"Itu masalahmu. Kamu bisa datang dengan atau tanpa
sukarela." Clary tidak percaya apa yang didengarnya tadi. "Kamu
mengancam akan menculikku?"
"Kalau kamu mau tampak seperti itu," Jace berkata
dengan senang, "ya."
Clary membuka mulutnya untuk memprotes dengan
marah, tapi terpotong oleh bunyi dengung yang melengking.
Ponselnya berdering lagi.
"Silakan angkat kalau kamu mau," kata ]ace berbaik
hati. Ponselnya berhenti berdering, lain berbunyi lagi. Ke-
dengarannya keras dan memaksa. Dahi Clary mengerut.
Ibunya pasti sangat cemas. Ia setengah berbalik dari Jace
dan mulai mencari-eari ponsel di dalam tasnya. Ketika ia
berhasil mengeluarkan ponselnya, itu sudah panggilan ketiga.
la mendekatkannya ke telinga. "Ma?"
"Oh, Clary. Oh, syukurlah." Punggung Clary terasa ter-
tusuk duri. Ibunya terdengar panik. "Dengarkan aku..."
"Tidak apa-apa, Ma. Aku baik"baik saja. Aku sudah
di jalan pulang..." "Jangan!" Suara ]ocelyn yang liar menjadi ketakutan.
"Jangan pulang! Kamu mengerti, Clary" Jangan berani
pulang. Pergilah ke rumah Simon, langsung pergi ke rumah
Simon, dan tetaplah di sana sampai aku bisa..."
Sebuah bunyi memotong omongannya. Ada suara sesuatu
jatuh, berdebum, sesuatu yang berat menghantam lantai.
"Ma!" Clary berteriak di telepon. "Mama tidak
apa-apa?" Bunyi bising masuk ke telepon. Suara ibu Clary menembus
bising itu, "Berjanjilah kamu tidak akan pulang. Pergilah ke
rumah Simon dan telepon Luke. Beri tahu Luke bahwa dia
telah menemukanku..." Kata-katanya terbenam oleh suara
seperti kayu patah. "Siapa yang menemukan Mama" Ma, sudah telepon
polisi" Sudah..."
Suaranya yang ketakutan terpotong oleh bunyi yang
tidak akan bisa dilupakan Clary. Ada bunyi kasar yang
merayap, lalu bunyi gedebuk. Clary mendengar ibunya
merintih sebelum bicara lagi. Suaranya tenang, tapi membuat
ngeri, "Aku sayang kamu, Clary."
Teleponnya mati. "Ma!" Clary menjerit ke ponselnya. "Ma, mama masih di
sana?" Telepon berakhir; kata layar ponselnya. Tapi kenapa
ibunya menutup telepon seperti itu" Kecuali...
"Clary," kata Jace. Itu kali pertamanya Clary mendengar
Jace menyebut namanya. "Ada apa?"
Clary tidak memedulikannya. Tergesa"gesa Clary me-
nekan tombol yang menghubungkannya ke nomor telepon
rumah. Telepon berdering sekali sebelum ada suara kaku
menjawab. Anda terhubung dengan nomor yang sudah tidak
aktif... Tangan Clary mulai gemetar tidak terkendali. Ketika ia
mencoba untuk menghubungi ibunya lagi, ponselnya tergelincir
dari genggamannya yang gemetaran, lau menghantam aspal
dengan keras. Ia berlutut untuk mengambilnya, tapi ponsel
itu sudah rusak. Retakan panjang tampak di sepanjang
layar depannya. "Sial!" Dengan hampir menangis, Clary
membanting ponselnya. "Hentikan," ]ace menariknya berdiri. "Apa yang telah
terjadi?" "Pinjamkan ponselmu," kata Clary. Ia menarik logam
lonjong hitam dari saku kaus ]ace. "Aku harus..."
"Itu bukan telepon," kata Jace tanpa berusaha meng-
ambilnya kembali. "Itu Sensor. Kamu tidak akan bisa
menggunakannya." "Tapi aku harus menelepon polisi!"
"Beri tahu aku dulu apa yang telah terjadi."
Clary mencoba menarik tangannya, tapi genggaman
]ace sangat kuat. "Aku bisa menolong kamu."
Amarah membanjiri Clary. Ada gelombang panas
menembus nadinya. Bahkan tanpa berpikir lagi, Clary
menyerang wajah Jace. Kuku-kuku Clary mencakar pipinya.
_Iace tersentak mundur karena terkejut. Clary membebaskan
diri, lalu berlari ke arah cahaya di Seventh Avenue.
Saat sampai di jalan itu, Clary berbalik. Ia setengah
berharap Jaee menyusulnya. Tapi gang itu sepi. Sejenak
Clary memandangi bayang"bayang di gang itu dengan tidak
yakin. Tidak ada yang bergerak di situ. Ia pun berbalik
dan berlari pulang. 4 Iblis Pembuas Bingkai-biagkai lukisan ibunya kini kosong
dan tampak seperti taiang-beluiaag.
Malam semakin panas, dan berlari pulang terasa bagaikan
berenang secepat mungkin di kolam berisi sup mendidih.
Di ujung bloknya, Clary terjebak lampu Jangan Berjalan. Ia
berjinjit-jinjit dengan gugup sementara lalu lintas berdesing
di sorotan cahaya lampu temaram.
Ia mencoba menelepon ke rumah lagi, tapi ]ace tidak
berbohong. Teleponnya bakanlah telepon. Setidaknya, benda
itu tidak kelihatan seperti telepon mana pun yang pernah
Clary lihat. Tombol-tombol di Sensor tidak bernomor, hanya
berupa simbol-simbol aneh, dan tidak ada layar.
Sambil berlari kecil di jalanan menuju rumahnya, ia
melihat bahwa iendela di lantai kedua menyala. Itu tanda
yang biasanya menunjukkan bahwa ibunya ada di rumah.
Oke, Clary berkata kepada diri sendiri. Semuanya baik-baik
saja. Tapi perutnya mengejang pada saat ia melangkah ke
jalan masuk rumahnya. Lampu di langit"langitnya padam.
Serambinya gelap. Bayang"bayang tampak dipenuhi gerakan
tersembunyi. Clary menggigil, tapi tetap menaiki tangga.
"Kamu pikir, kamu mau ke mana?" tanya sebuah
suara. Clary berputar, "Apa..."
Gadis itu terhenti. Matanya telah terbiasa dengan
keremangan, dan ia dapat melihat kursi berlengan yang besar.
Kursi itu terletak di depan pintu Madam Dorothea yang
tertutup. Wanita tua itu duduk menyempil di sana bagaikan
bantal yang berlebih. Di dalam keremangan, Clary hanya
dapat melihat wajah bundarnya yang diberi bedak, kipas
berenda di tangannya, dan celah hitam di antara mulutnya
ketika wanita itu berbicara.
"Ibumu," kata Dorothea, "telah membuat keributan di
atas sana. Ia sedang apa" Menggeser perabotan?"
"Aku rasa tidak..."
"Dan lampu di tangga sudah mati, kamu perhatikan,
kan?" Dorothea mengetukkan kipasnya ke lengan kursi.
"Bisakah ibumu memanggil pacarnya untuk mengganti
lampu itu?" "Luke bukan..."
"Langit"langitnya perlu dibersihkan juga. Kotor sekali.
Tidak heran sekarang hampir gelap gulita di sini."
Luke BUKANLAH penjaga ramah, Clary ingin me-
ngatakannya, tapi tidak jadi. Tetangganya yang sudah tua
ini memang begitu. Sekali-kalinya Dorothea meminta Luke
datang untuk mengganti bohlam Lampu, ia meminta Luke
melakukan seratus hal lainnya seperti mengambil belanjaan
dan memperbaiki pancuran di kamar mandinya. Bahkan, ia
pernah meminta Luke memotong sebuah sofa tua dengan
kapak sehingga sofa itu bisa dikeluarkan tanpa harus
mencopot engsel pintu. Clary mendesah. "Aku akan memintanya."
"Sebaiknya begitu." Dorothea mengibas kipasnya hingga
tertutup. Perasaan Clary bahwa ada yang salah baru bangkit
ketika ia mencapai pintu apartemennya. Pintu itu tidak
terkunci, malah menggantung terbuka sedikit. Seiris cahaya
menerobos ke luar. Dengan semakin panik, Clary mendorong
pintunya hingga terbuka. Di dalam apartemen, semua lampu menyala. Semuanya
jadi terang"benderang. Pendaran cahaya itu menusuk mata
Clary. Kunci dan tas tangan merah muda milik ibunya ada di
rak besi di dekat pintu. Ibunya memang biasa meletakkannya
di sana. "Ma?" Clary memanggil. "Ma, aku pulang."
Tidak ada jawaban. "Ma?" Ia masuk ke ruang keluarga.
Kedua jendela di situ terbuka. Sehelai gorden tipis putih
melambai di embusan angin bagaikan hantu yang gelisah.
Ketika angin berhenti bertiup dan gordennya terdiam,
Clary baru melihat bahwa bantaI-bantal telah berhamburan
ke mana-mana. Beberapa bantal terkoyak memanjang,
kapas berceceran di lantai. Rak buku roboh sehingga isinya
bertebaran. Piano bersandar di sampingnya, terbuka bagaikan
luka. Buku"buku musik kesayangan Jocelyn berserakan.
Hal yang paling menakutkan adalah lukisan"lukisan
_Iocelyn. Setiap lukisan telah dipotong dari bingkainya
dan disobek"sobek. Sobekannya berceceran di lantai. Pasti
pelakunya memakai pisau karena kanvas hampir tidak mungkin
dikoyak dengan tangan telanjang. Bingkai-bingkai lukisan
ibunya kini kosong, dan tampak seperti tulang"belulang.
Dari dalam dadanya, Clary merasa ingin menjerit.
"Ma! " ia menjerit. "Mama di mana." Mami! "
Ia tidak pernah memanggil Jocelyn "Marni" sejak
berusia 8 tahun. Jantungnya memompa adrenalin. Ia melesat ke dapur.
Di situ kosong. Pintu lemari terbuka. Botol saus Tabasco
menumpahkan cairan semerah lada di lantai linoleurn. Clary
jatuh berlutut bagaikan sekarung air. Ia tahu seharusnya ia
berlari keluar, mencari telepon, dan menghubungi polisi. Tapi
semua itu tampak jauh. Ia harus menemukan ibunya dulu,
harus memastikan bahwa ibunya baik"baik saja.
Bagaimana kalau perampok telah masuk" Bagaimana
kalau tadi ibunya berkelahi dengan mereka"
Tapi perampok macam apa yang tidak mengambil
dompet, atau TV, atau DVD, atau laptop yang mahal."
Sekarang Clary di depan pintu kamar ibunya. Sejenak
setidaknya kamar itu tampak telah dibiarkan tidak tersentuh.
Selimut bermotif bunga buatan Jocelyn terlipat rapi di atas
alas tempat tidur. Wajah Clary sendiri tersenyum dari atas
meja di samping tempat tidur. Di foto itu, Clary baru berusia
lima tahun. Ia tersenyum dengan gigi ompong. Wajahnya
dibingkai oleh rambut berwarna stroberi.
Clary mengisak di dalam dada. Ma, ia menangis di
dalam hati. Mama di mana"
Hening menjawab Clary. Bukan, bukan keheningan. Ada
bunyi yang terdengar menembus apartemen. Bulu kuduk di
tengkuknya berdiri. Seperti ada sesuatu yang dibanting. Ada
benda berat menghantam lantai dengan bunyi berdebum.
Debuman itu diikuti oleh bunyi benda yang merayap dan
menyeret diri..., dan benda itu mendekati kamar. Dengan
perut mengejang ketakutan, Clary berjuang untuk berdiri
dan berputar pelan. Sejenak Clary mengira koridornya kosong, dan merasa
lega. Lalu ia mengintip. Ada makhluk yang membungkuk di lantai. Makhluk
itu panjang dan bersisik. Sederet mata hitam rata terpasang


The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tepat di tengah-tengah tengkoraknya yang seperti kubah.
Makhluk itu tampak seperti campuran buaya dan lipan.
Hidungnya tebal dan tata. Ekornya yang melengkung sedang
mengayun-ayun dengan mengancam. Kakinya yang berjumlah
banyak sekarang merapat untuk bersiapusiap melompat.
Jerit ketakutan melesak keluar dari tenggorokan Clary. Ia
mundur sempoyongan, tersandung, dan terjatuh saat makhluk
itu menerjang ke arahnya. Clary berguling ke samping dan
makhluk itu nyaris mengenainya. Dengan meluncur di lantai
kayu, cakar makhluk itu menusuk lantai dalam-dalam.
Geraman rendah menggelembung dari tenggorokannya.
Clary berjuang untuk bangkit dan berlari ke koridor,
tapi makhluk itu terlalu cepat untuknya. Ia melompat lagi,
dan mendarat di atas pintu. Di sana makhluk itu bergantung
bagaikan laba-laba raksasa yang berbahaya. Ia memelototi
Clary dengan deretan matanya. Rahangnya terbuka perlahan,
menunjukkan sebaris taring dengan air liur kehijauan. Sebuah
lidah panjang berwarna hitam terjulur saat ia berdeguk dan
mendesis. Clary tambah ngeri saat menyadari bahwa bunyi
yang dibuat makhluk itu ternyata membentuk kata-kata.
"Anak perempuan," desisnya. "Daging. Darah. Bisa
dilahap, oh, bisa dilahap."
Makhluk itu mulai merayap perlahan di dinding.
Sebagian tubuh Clary telah membeku menjadi es. Makhluk
itu sekarang di lantai, merayap ke arahnya. Sambil mundur,
Clary meraih sebuah bingkai foto yang berat dari meja tulis
di sampingnya. Itu foto Clary bersama ibunya dan Luke
berada di Pulau Coneyi, hendak naik mobil-mobilan listrik.
Clary melemparkannya ke monster itu.
Foto itu mengenai si monster tepat di ujung bingkainya
dan memantul, jatuh ke lantai dengan suara gelas pecah.
Makhluk itu tampak tidak memperhatikan. Ia mendekati
Clary. Pecahan kaca tetinjak"injak di bawah kakinya. "Tulang,
bisa dikunyah, bisa mengisap sumsum, meminum nadi..."
Punggung Clary menabrak dinding. Ia tidak bisa mundur
lagi. Ia nyaris melompat keluar dari kulitnya saat merasa ada
getaran di pinggangnya. Sakunya. Ia memasukkan tangan ke
dalam saku, lalu menarik benda plastik yang diambilnya dari
1 Semenaniung di ujung selatan Brooktyn
Jace. Sebuah Sensor, kata ]ace. Benda itu bergetar, seperti
ponsel yang diatur untuk bergetar kalau ada panggilan.
Benda keras itu terasa sangat panas di genggaman Clary.
Ia menangkup Sensor itu saat si monster menyerang.
Monster itu menerjang Clary, menjatuhkannya ke
lantai. Kepala dan bahu Clary membentur lantai. la hendak
berbalik, tapi monster itu terlalu berat. Monster itu berada
di atasnya. Badannya berat menyesakkan dan berlendir.
Clary jadi mau muntah. "Bisa dimakan, bisa dimakan," monter itu mengerang.
"Tapi Valentine bilang itu tidak boleh. Bisa ditelan, bisa
dikecap..." Nafas panas monter itu berbau darah. Clary tidak bisa
bernafas. Rusuknya terasa bagaikan akan pecah. Lengannya
terkunci di antara tubuhnya dan tubuh si monter. Sensornya
terjepit di dalam genggaman Clary. Ia berputar, berusaha
membebaskan tangannya. "Lord Valentine tidak akan pernah tahu. Dia tidak
berkata apa-apa tentang anak perempuan. Lord Valentine
tidak akan marah." Mulutnya yang tidak berbibir berkedut
saat rahangnya membuka perlahan"lahan. Wajah Clary
disembur gelombang nafas panas yang bau.
Tangan Clary terbebas. Sambil berteriak, ia menoniok
makhluk itu. Clary bermaksud melukainya, membutakannya.
Ia hampir melupakan Sensor. Saat makhluk itu menyergap
wajahnya dengan rahang terbuka lebar, Clary menyumbatkan
Sensor ke antara giginya.
Lendir asam yang panas terasa melapisi pergelangan
Clary dan menumpahkan tetesan membara ke kulit wajah
dan tenggorokannya. Clary dapat mendengar jeritannya
sendiri seakan"akan dari tempat yang iauh.
Makhluk itu tersentak mundur karena kaget. Sensor
tersangkut di antara gigi-giginya. la menggeram marah, dan
menyentakkan kepalanya ke belakang. Clary melihatnya
menelan Sensor, dan gerakan di tenggorokannya. Aku
berikutnya, Clary berpikir dengan panik. Aku yang"
Tiba-tiba, makhluk itu mulai bergetar. Tubuhnya me-
ngejang tidak terkendali, lalu berputar menjauh dari Clary.
menjadi telentang. Kakinya yang banyak itu mengayuh-ngayuh
di udara. Cairan hitam merembes dari mulutnya.
Sambil megap-megap mencari udara, Clary berputar
dan mulai berjuang menjauh dari makhluk itu. Ia hampir
mencapai pintu ketika mendengar siulan di samping kepa Ianya.
Ia mencoba menunduk, tapi terlambat. Sebuah benda
menghantam bagian belakang kepalanya dengan keras. Clary
pun jatuh ke dalam kegelapan.
Cahaya menusuk kelopak mata Clary. Ada biru, putih,
dan merah. Terdengar bunyi lengkingan tinggi, seperti
jeritan anak kecil yang ketakutan. Clary merasa mual, lalu
membuka matanya. Ia sedang berbaring di rumput yang basah dan dingin.
Langit malam membentang di atasnya. Gemerlap sinar bintang
disapu oleh cahaya kota. ]ace berlutut di sebelahnya. Manset
perak di pergelangan tangannya memercikkan cahaya saat
dia menyobek bajunya sedikit. "Jangan bergerak."
Lengkingan itu membelah telinganya menjadi dua. Clary
membalik kepalanya ke samping dengan tidak patuh, lalu
mendapat hadiah berupa rasa sakit luar biasa yang menusuk
belakang kepalanya. la berbaring di sebidang rumput di
belakang semak mawar yang telah dirawat dengan hati-hati
oleh ]ocelyn. Semak itu menutupi sebagian pandangan Clary
ke jalanan. Ada mobil polisi dengan lampu biru-putih yang menyala-
nyala. Mobil itu parkir ke pinggir jalan dengan sirene
melengking. Sudah ada segerombolan kecil tetangga berkumpul.
Mereka memperhatikan dengan penuh ingin tahu ketika
pintu mobil membuka dan dua orang petugas berseragam
biru muncul. Polisi. Clary mencoba berdiri, tapi merasa mual lagi.
]emarinya bergetar di tanah yang basah.
"Aku sudah hilang, jangan bergerak," ]ace mendesis.
"Iblis Pembuas itu menghantam belakang lehermu. Ia
sudah hampir mati, jadi tidak terlalu parah. Tapi kita harus
membawamu ke Institut. Bertahanlah."
"Makhluk itu, monster itu..., bicara." Clary gemetaran
tidak terkendali. "Kamu kan sudah pernah mendengar iblis berbicara."
Tangan Jaee melembut saat menyelipkan sobekan bajunya
ke bawah leher Clary untuk membuat simpul. Kain itu
lengket. Clary teringat cairan berkebun yang digunakan
ibunya. Jocelyn menggunakan itu untuk melembutkan cat
dan minyak di tangannya. "Iblis di Pandemonium..., kelihatannya seperti orang."
"Itu iblis Eidolon. Pengubah wujud. Pembuas terlihat
apa adanya. Memang tidak menarik, tapi mereka terlalu
bodoh untuk memedulikannya."
"Katanya ia mau memakanku..."
"Tapi tidak. Kamu membunuhnya." Jace menyelesaikan
simpulnya dan duduk kembali.
Clary merasa lega karena sakit di belakang lehernya
telah memudar. la menghela dirinya ke posisi duduk. "Ada
polisi." Suara Clary serak seperti kodok. "Kita harus..."
"Tidak ada yang bisa mereka lakukan. Mungkin tadi
ada orang yang mendengarmu berteriak dan melaporkannya.
Satu dari sepuluh polisi bukan polisi sungguhan. Iblis juga
punya cara sendiri untuk menutupi jejak mereka."
"Ibuku," Clary bersusah payah mengucapkannya dari
tenggorokannya yang bengkak.
"Di pembuluh nadimu sekarang ada racun Pembuas.
Kamu akan mati dalam satu jam kalau tidak ikut denganku."
Jace berdiri dan mengulurkan tangan kepada Clary. Gadis
itu meraihnya sehingga ]ace bisa menariknya ke atas. "Ayo,"
kata ]ace. Dunia terasa miring. ]ace menyelipkan tangannya ke
punggung Clary supaya gadis itu bisa tegak. Pemuda itu
berbau debu, darah, dan logam. "Kamu bisa jalan?"
"Sepertinya bisa." Clary melirik semak yang sedang
dipenuhi bunga mekar. Ia dapat melihat polisi di jalanan
rumahnya. Polisi itu seorang wanita pirang bertubuh
langsing yang memegang senter di salah satu tangannya.
Saat senter itu diangkat, Clary melihat bahwa tangannya
tidak berdaging, melainkan tulang yang tajam di ujung
jemarinya. "Tangannya..."
"Aku sudah bilang, bisa saja mereka itu iblis." ]ace
melirik ke belakang rumah. "Kita harus keluar dari sini.
Bisakah kita menembus gang itu?"
Clary menggeleng. "Sudah ditembok. Kita tidak bisa?"
Kata-katanya larut menjadi batuk mendadak. Clary menutupi
mulutnya dengan tangan. Tangannya menjadi merah. la
merengek. "Jam..."
_]ace mengambil pergelangan tangan Clary clan memba-
liknya sehingga lengan bagian dalam Clary yang putih dan
rapuh terpampang di bawah cahaya bulan. Jejak pembuluh
darah biru terpeta di dalam kulitnya. Pembuluh itu membawa
racun ke jantungnya, ke otaknya. Clary merasa lututnya
roboh. Ada sesuatu di tangan ]ace, sesuatu yang tajam dan
keperakan. Clary mencoba menarik tangannya kembali,
tapi genggaman Jace terlalu keras. Clary merasa kulitnya
dicium sebuah sengatan. Ketika ]ace melepaskannya, Clary
melihat simbol hitam telah ditintakan tepat di bawah
lipatan pergelengan tangannya. Simbol itu seperti simbol
yang menutupi kulit Jace. Simbol ini seperti serangkaian
lingkaran yang tumpang tindih dan berpusat.
"Ini untuk apa?"
"Ini akan menyembunyikanmu," kata ]ace. "Untuk
sementara." Dia menyelipkan sesuatu yang Clary kita pisau
kembali ke dalam ikat pinggangnya. Itu benda silinder yang
panjang dan bercahaya. Tebalnya kira-kira sama dengan jari
telunjuk dan lonjong ke ujungnya. "Stelaku," kata _]ace.
Clary tidak bertanya itu apa. Ia terlalu sibuk bertahan
supaya tidak jatuh. Tanah bagaikan berombak naik turun
di bawah kakinya. "Jane," katanya. Ia pun rubuh ke arah _Iace.
Pemuda itu menangkap Clary seakan"akan sudah biasa
menangkap gadis pingsan, seperti telah melakukannya setiap
hari. Mungkin memang begitu.
Jace mengayun Clary ke balik lengannya, mengatakan
sesuatu yang Clary dengar seperti Perjanjian. Clary mendongak
ke belakang untuk menatap Jace, tapi hanya melihat bintang
berputar"putar di langit malam yang membentang di atas
kepalanya. Tiba"tiba semuanya terjatuh, dan bahkan lengan
]ace tidak cukup untuk menahan gadis itu.
Kunci dan Perjanjian Manusia yang meminum darah
Maiaikat menjadi Pemburu Bayangan,
begitu pula anak"anak mereka.
"Menurutmu, ia akan bisa bangun" Ini sudah tiga hari."
"Beri dia waktu. Racun iblis memang kuat, dan ia
seorang fana. Ia tidak memakai rune supaya kuat seperti
kita." "Kaum fana memang sangat mudah mati, ya kan?"
"Isabelle, kamu tahu kan, pamali berbicara tentang
kematian di kamar orang sakit."
Tiga hari, Clary berpikir perlahan. Semua pikirannya berlarian
dengan pekat dan lambat bagaikan darah atau madu. Aku
harus bangun. Namun ia tidak bisa. Mimpi menahannya, satu demi satu. Mimpi-mimpi itu
berupa sungai gambaran yang menariknya untuk ikut seperti
sehelai daun yang terombang"ambing arus.
Ia melihat ibunya berbaring di kasur rumah sakit dengan
mata memar di wajahnya yang putih. Clary melihat Luke
yang berdiri di atas setumpukan tulang. ]ace dengan sayap
malaikat tumbuh dari punggungnya. Isabelle duduk telanjang
dengan cambuk terlilit di tubuhnya bagaikan sejaring cincin
emas. Simon dengan salib terbakar di telapak tangannya.
Para malaikat iauh dan terbakar. Jatuh dari langit.
"Aku sudah bilang, ini cewek yang waktu itu."
"Aku tahu. Kecil ya, cewek ini" Kata _lace, ia membunuh
seekor Pembuas." "Ya. Aku kira ia pixie waktu kali pertama melihatnya.
Tapi ia tidak cukup cantik untuk menjadi pixie sih."
"Yah, tidak ada yang berpenampilan terbaik kalau
sedang mengandung racun iblis di pembuluhnya. Apakah
Hedge akan memanggil Para Saudara?"
"Aku harap tidak. Mereka membuatku takut. Siapa pun
yang memutilasi diri sendiri seperti itu..."
"Kita juga memutilasi diri sendiri."
"Aku tahu, Alec, tapi ketika kita melakukannya, itu
tidak permanen. Dan tidak selalu menyakitkan?"
"Kalau kamu cukup umur. Omeng"omong, di mana
Jace" Dia yang menyelamatkan cewek ini, kan" Aku pikir
Jace akan tertarik melihat kemajuannya."
"Kata Hodge,_]ace belum pernah ke sini untuk melihatnya
lagi sejak membawanya ke sini. Aku rasa Jace tidak
peduli." "Kadang"kadang aku penasaran apakah _Iace"Alec!
Lihat! Ia bergerak!"
"Aku rasa ia masih hidup akhirnya." Ada yang mendesah.
"Aku akan memberi tahu Hedge."
Kelopak matanya terasa seakan-akan dijahit tertutup. Clary
membayangkan ia dapat merasakan kulitnya terkoyak saat
mengupas matanya perlahan dan mengedip untuk kali
pertamanya dalam tiga hari.
Ia melihat langit biru yang bersih di atasnya. Ada
awan-awan putih bundar dan malaikat-malaikat tembam
dengan pita bersepuh emas mengekor dari pergelangan
tangan mereka. Aku sudah mati." ia bertanya-tanya. Apakah surga


The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benar"benar tampak seperti im"
Clary menutup mata dan membukanya lagi. Kali ini
ia menyadari bahwa apa yang sedang ia pandangi adalah
langitulangit kayu melengkung. Langit"langit itu dicat dengan
motif rococo, aliran kesenian di Prancis pada abad ke-18,
yang bergambar awan dan malaikat.
Dengan penuh kesakitan, Clary menghela diri ke posisi
duduk. Setiap bagian tubuhnya nyeri, terutama di belakang
lehernya. Ia memandang ke sekelilingnya. Ternyata ia berada
di atas tempat tidur berkain linen. Ada sebaris panjang
tempat tidur serupa dengan pegangan kepala dari logam.
Di samping tempat tidurnya ada meja dengan kendi dan
cangkir di atasnya. Gorden berenda menutupi jendela untuk menghalangi
cahaya, meskipun Clary samar-samar masih mendengar suara
lalu lintas New York yang tiada henti di luar sana.
"Jadi, kamu sudah bangun," kata sebuah suara kering.
"Hedge pasti senang. Kami semua mengira kamu mungkin
mati di dalam tidurmu."
Clary mengangkat pandangannya. Isabelle bertengger di
tempat tidur sebelah. Rambutnya yang panjang dan hitam
pekat dibelah menjadi dua kepangan yang jatuh melewati
pinggangnya. Gaun putihnya telah diganti dengan jins clan
tank top biru ketat, meskipun liontin merah masih berkedip-
kedip di tenggorokannya. Tato spiral gelapnya sudah hilang.
Kulitnya bersih tanpa cela seperti permukaan semangkuk
susu krim. "Maaf mengecewakan kalian." Suara Clary patau seperti
amplas. "Ini di Institut?"
Isabelle memutar matanya. "Adakah sesuatu yang tidak
_Iace beritahukan kepadamu?"
Clary terbatuk. "Ini Institut, kan?"
"Ya. Kamu sedang di balai perawatannya. Mungkin
juga kamu sudah menyadarinya."
Clary duduk. Mendadak rasa sakit yang menusuk membuat
Clary mencengkeram perutnya. Ia terengah-engah.
Isabelle tampak siaga. "Kamu tidak apa-apa?"
Rasa sakit itu memudar, tapi Clary menyadari adanya
rasa asam di belakang tenggorokannya dan kepalanya terasa
pening. ?"Perutku..."
"Oh, ya. Aku hampir lupa.Hodge menyuruhku memberi-
mu ini kalau kamu bangun." Isabelle meraih kendi keramik
dan menuangkan sebagian isinya ke cangkir pasangannya,
lalu memberikannya kepada Clary. Cangkir itu penuh dengan
cairan keruh yang agak beruap. Baunya seperti tumbuhan
dan sesuatu yang lain, sesuatu yang kaya dan gelap.
"Kamu belum makan apa-apa selama tiga atau empat
hari," Isabelle menjelaskan. "Mungkin itulah kenapa kamu
merasa sakit." Clary meneguknya dengan hati-hati. Rasanya enak,
kaya, dan memuaskan. Setelah meminumnya, Clary merasa
seperti ada mentega. "Ini apa?"
Isabelle mengangkat bahu. "Salah satu ramuan Hedge.
Semuanya selalu manjur." Ia meluncur ke samping meia,
mendarat di lantai dengan punggung melengkung bagaikan
kucing. "Omong-omong, aku Isabelle Lightwood. Aku
tinggal di sini." "Aku tahu namamu. Aku Clary. Clary Fray. Jace yang
membawaku ke sini?" Isabelle mengangguk. "Hedge sangat marah. Kamu
berdarah-darah sampai berceceran di sekujur karpet jalan
masuk. Kalau itu terjadi ketika orang tuaku ada di sini, ]ace
pasti dihukum." Ia melihat Clary dengan lebih taiam. "Kata
Jace, kamu membunuh seekor Pembuas seorang diri."
Gambaran seekor makhluk mirip kalajengking dengan
wajah rusak yang jahat berkelebat di benak Clary. Ia bergidik
dan menggenggam eangkirnya lebih erat. "Sepertinya iya."
"Tapi kamu seorang fana."
"Menakjubkan, ya kan?" kata Clary. Ia menikmati rasa
takjub yang tersembunyi di wajah Isabelle. "Di mana ]ace"
Dia ada di sekitar sini?"
Isabelle mengangkat bahu lagi. "Entahlah," katanya.
"Aku harus memberi tahu semua orang bahwa kamu bangun.
Hedge pasti ingin berbicara denganmu."
"Hodge itu guru Jace, kan?"
"Hedge mengajari kami semua." Ia menjelaskan. "Kamar
mandinya lewat sini, dan aku sudah menggantung beberapa
baju lamaku di rak handuk kalau kamu mau ganti baju."
Clary hendak meneguk dari cangkirnya lagi, tapi sudah
kosong. Ia tidak merasa lapar atau pening lagi. Ia jadi lega.
Ia meletakkan cangkirnya, lalu memeluk seprainya. "Apa
yang terjadi dengan bajuku?"
"Bajumu terkena banyak darah dan racun. ]ace sudah
membakarnya." "Benarkah?" tanya Clary. "Beri tahu aku, apakah dia
selalu kasar, atau hanya kepada kaum fana?"
"Oh, dia kasar kepada semua orang," kata Isabelle
sambil lalu. "Itulah yang membuatnya sangat seksi. Itu,
dan bahwa dia telah membunuh lebih banyak iblis daripada
siapa pun sebayanya."
Clary menatap Isabelle dengan bingung. "Bukankah
dia saudaramu..." Pertanyaan itu menarik perhatian Isabelle. Gadis itu
tertawa keras. "_Iace" Saudaraku" Bukan. Kamu dapat ide
dari mana?" "Yah, dia tinggal di sini bersamamu," Clary menjelaskan.
"Benar kan?" Isabelle menjelaskan. "Yah, benar, tapi?"
"Kenapa dia tidak tinggal bersama orang tuanya
sendiri?" Sejenak lalu Isabelle tampak tidak nyaman. "Karena
mereka sudah meninggal."
Mulut Clary terbuka karena terkejut. "Mereka meninggal
akibat kecelakaan?" "Tidak." Isabelle menjadi gelisah. Ia mendorong sejumput
rambutnya ke belakang telinga kirinya. "Ibunya meninggal
ketika dia lahir. Ayahnya terbunuh ketika dia berumur
sepuluh. ]ace menyaksikan semuanya."
"Oh." Kata Clary. Suaranya mengecil. "Itu gara"gara...
iblis?" Isabelle menatap kakinya. "Sebentar, sebaiknya aku
memberi tahu semua orang bahwa kamu sudah bangun.
Mereka sudah menunggu"nunggu kamu membuka mata
selama tiga hari. Oh, dan ada sabun di kamar mandi," ia
menambahkan. "Mungkin kamu ingin bersih-bersih sedikit.
Kamu agak bau." Sambil memeluk seprai, Clary melotot. "Terima kasih
banyak." "Sama"sama."
Baju Isabelle tampak konyol. Clary harus menggulung
kaki jinsnya ke atas beberapa kali supaya tidak tersandung
lagi. Kerah kausnya yang jatuh hanya menekankan bahwa
tubuh Clary kekurangan sesuatu yang akan disebut Eric
sebagai "kenihilan".
la membersihkan diri di kamar mandi kecil dengan
sebatang sabun lavender yang keras. Setelah itu, ia menge-
ringkan diri dengan handuk tangan putih yang membuat
rambut basahnya kusut, tapi harum di wajahnya. Ia mengeriap
melihat bayangannya di dalam cermin. Ada memar ungu di
pipi kiri atasnya. Bibirnya pun kering dan bengkak.
Aku harus menelepon Luke, pikirnya. Pasti ada telepon
di sekitar sini, di suatu tempat. Mungkin mereka akan
membolehkan Clary memakainya setelah ia berbicara kepada
Hodge. Ia menemukan sepatu Sketchernya diletakkan dengan rapi
di kaki tempat tidurnya. Kunci rumahnya masih terikat di
tali sepatu. Clary menyelipkan kakinya ke dalam sepatunya,
lalu menarik nafas dalam"dalam dan pergi untuk mencari
Isabelle. Koridor di luar ruang perawatan ternyata kosong. Clary
melihat-lihat dengan bingung. Kelihatannya seperti koridor
gelap yang ada di mimpi buruknya, tempat ia berlari di dalam
kegelapannya yang tak berujung. Lampu kaca berbentuk
mawar menggantung berselang-seling di dinding dari papan
kayu. Udaranya tercium seperti debu dan lilin.
Dari kejauhan, ia dapat mendengar suara samar dan
lembut, bagaikan lonceng angin digoyang oleh badai. Ia
menapaki koridor perlahan-lahan dengan tangan menyusuri
dindingnya. Kertas dinding yang jelas-jelas bergaya Victorian,
gaya arsitektur Inggris pada abad ke-19, telah pudar termakan
waktu menjadi berwarna anggur dan abu-abu pucat. Di
setiap sisi koridor ada barisan pintu tertutup.
Suara yang diikuti Clary semakin membesar. Sekarang
ia dapat mengenali bahwa itu suara piano yang dimainkan
dengan tidak beraturan, tapi kemampuannya tidak tersang-
sikan. Meskipun demikian, Clary tidak dapat mengenali
nada-nadanya. Dengan berbelok di pojok, sampailah Clary di depan
pintu. Pintu yang ini sudah tersangga supaya terbuka lebar.
Clary mengintip dan melihat sebuah ruang musik. Ada
piano besar di pojokan, dan barisan"barisan kursi dirapikan
membelakangi dinding. Di tengah"tengah ruangan ada harpa
yang terbungkus. ]ace duduk di grand piano. Tangannya yang ramping
bergerak cepat di atas tusnya. Dia bertelanjang kaki, memakai
jins clan kaus abu-abu. Rambutnya yang pirang kecokelatan
tampak acak"acakan seperti baru bangun tidur.
Saat memperhatikan gerakan tangan itu yang cepat dan
yakin di atas tuts piano, Clary teringat bagaimana rasanya
diangkat oleh tangan itu. Waktu itu lengan Jaee memeluknya
dan bintang-bintang berjatuhan di sekitar kepalanya bagaikan
hujan kertas timah. Clary pasti membuat suara karena Jace berbalik di
kursinya. Pemuda itu berkedip"kedip berusaha melihat ke
dalam kegelapan. "Alec?" katanya. "Itu kamu ya?"
"Bukan Alec. Ini aku." Clary melangkah maju ke dalam
ruangan. "Clary."
"Clary?" Tuts piano berbunyi saat Jace berdiri.
"Putri Tidur kita. Siapa yang akhirnya mencium untuk
membangunkanmu?" "Tidak ada. Aku bangun sendiri."
"Ada yang bersamamu waktu itu?"
"Isabelle, tapi dia pergi mencari seseorang..., Hedge,
aku rasa. Isabelle menyuruhku menunggu, tapi..."
"Seharusnya aku telah memperingatkannya tentang
kebiasaanmu untuk tidak melakukan apa yang disuruh."
]ace mengedip kepada Clary. "Itu baju Isabelle" Kelihatannya
konyol kalau kamu yang pakai."
"Kamu kan telah membakar bajuku."
"Itu semata-mata demi pencegahan." Dia menutup
pelindung piano yang hitam bercahaya. "Ayo, aku antar
kamu ke Hedge." Institut itu sangat besar. Ruangan itu luas seperti gua yang
tidak didesain berdasarkan rancangan denah, melainkan
secara alami mencekung dari batu yang digerus air dan
waktu. Melalui pintu-pintu yang setengah terbuka, Clary
sekilas melihat kamar-kamar mungil yang tak terhitung.
Masing-rnasing kamar itu mempunyai tempat tidur kecil,
meja, dan lemari kayu besar yang membuka. Lengkungan-
lengkungan batu menahan langit"langit yang tinggi. Banyak
di antaranya berukiran rumit dengan sosok"sosok mungil.
Clary memperhatikan adanya motiic yang berulang, yaitu
malaikat dan pedang, matahari dan mawar.
"Kenapa di tempat ini ada banyak kamar tidur?" tanya
Clary. "Aku kira ini institut penelitian."
"Ini sayap tempat tinggal. Kami menjanjikan keamanan
dan tempat tinggal bagi Pemburu Bayangan mana pun yang
memintanya. Kami dapat menampung hingga dua ratus
orang di sini." "Tapi kebanyakan kamar itu kosong."
"Orang datang dan pergi. Tidak ada yang tinggal lama.
Biasanya hanya ada kami, yaitu Alec, Isabelle, Max, orang
tua mereka, aku, dan Hedge."
"Max?" "Kamu sudah bertemu dengan si cantik Isabelle kan"
Alec itu kakak laki"lakinya. Max yang paling muda, tapi
dia sedang di luar negeri bersama orang tuanya."
"Berlibur?" "Tidak juga." ]ace ragu"ragu. "Kamu dapat menganggap
mereka sebagai..., sebagai duta besar asing, dan ini sebuah
kedutaan, semacam itu. Sekarang mereka ada di negara
asal Pemburu Bayangan. Mereka sedang mengusahakan
negosiasi perdamaian yang sangat sulit. Max dibawa karena
dia masih sangat muda."
"Negara asal Pemburu Bayangan?" Kepala Clary berputar.
"Apa namanya?" "Idris." "Aku belum pernah dengar."
"Pasti belum." Suara _Iace kembali terdengar sok kuasa.
"Kaum fana tidak mengetahuinya. Ada penangkis atau
mantra pelindung di seluruh perbatasannya. Kalau kamu
mencoba melintasi Idris, kamu hanya akan otomatis terkirim
ke perbatasan lainnya. Kamu tidak akan tahu apa yang
telah terjadi." "Jadi Idris tidak masuk ke dalam peta apa pun?"
"Tidak ada di peta kaum fana. Supaya tidak bingung,
kamu anggap saja itu negara kecil di antara Jerman dengan
Prancis." "Tapi di antara Jerman dengan Prancis tidak ada apa-
apa. Kecuali Swiss."
"Tepat sekali," kata Jane. "Letaknya di utara Swiss."
Kejutan Di Shock Street 2 Strawberry Shortcake Karya Ifa Avianty Kelelawar Hijau 12
^