City Of Bones 2

The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare Bagian 2


"Pasti kamu pernah ke sana. Ke Idris, maksudku."
"Aku tumbuh di sana." Suara _Iace netral, tapi ada
sesuatu di nadanya yang membuat Clary tahu bahwa
pertanyaan lebih dalam ke arah sana tidak akan disambut.
"Kebanyakan dari kami berasal dari sana. Tentu saja, ada
Pemburu Bayangan di seluruh penjuru dunia. Kami harus
ada di mana"mana, karena kegiatan iblis ada di mana"mana.
Tapi bagi Pemburu Bayangan, Idris selalu menjadi "rumah","
Jane menjelaskan. "Seperti Mekah atau Jerusalem," kata Clary merenung.
"Jadi kebanyakan dari kalian tumbuh di sana, lalu ketika
tumbuh besar..." "Kami dikirim ke tempat mana kami dibutuhkan," kata
Jace pendek. "Dan ada sedikit, seperti Isabelle dan Alec,
yang tumbuh jauh dari negara asal karena di situlah orang
tua mereka berada. Dengan semua sumber daya Institut
di sini, dengan pelatihan dati Hedge..." Dia terhenti. "Ini
perpustakaannya." Mereka telah mencapai serangkaian pintu kayu me-
lengkung. Seekor kucing Persia bermata kuning berbaring
menggelung di depan mereka. Ia mengangkat kepalanya saat
mereka mendekat, lalu melolong.
"Hai, Church," kata ]aee. Dia mengelus punggung
kucing itu dengan kaki telanjangnya.
"Mreow." Kucing itu menjulingkan matanya dengan
senang. "Tunggu," kata Clary. "Alec dan Isabelle dan Max.",
cuma mereka Pemburu Bayangan sebayamu yang kamu
kenal, yang menghabiskan waktu bersamamu?"
]ace berhenti mengelus kucing itu. "Ya."
"Pasti sepi." "Aku punya semua yang aku butuhkan." _]ace mendorong
pintu hingga terbuka. Setelah ragu sejenak, Clary mengikutinya
ke dalam. Perpustakaan itu berbentuk lingkaran dengan langit"langit
meruncing sampai ke titik sudut. Kesannya perpustakaan
ini dibangun di dalam sebuah menara. Dinding-dindingnya
dipenuhi barisan buku. Rak"rak begitu tinggi sehingga
tangga-tangga tinggi yang beroda diletakkan di sampingnya
berselang"seling. Itu semua bukan buku biasa juga. Buku"buku itu diikat
dengan kulit dan beledu, dikunci dengan gembok yang
tampak kokoh dan engsel yang terbuat dari kuningan dan
perak. Punggung buku-buku itu ditaburi dengan permata-
permata tumpul yang berkilauan dan dihiasi dengan tulisan
keemasan. Mereka terlihat usang" usang yang berarti jelas
bahwa buku-buku ini tidak hanya tua, tetapi juga digunakan
dengan baik, dan dicintai.
Lantainya dipelitur kayu dan bertatahkan kepingan kaca
dan pualam, juga potongan-potongan batu yang setengah
berharga. Tatahan itu membentuk pola yang kurang bisa
diuraikan oleh Clary. Mungkin itu perbintangan, atau
bahkan peta dunianya. Ia menduga bahwa ia harus mendaki
menara dan memandang ke bawah supaya dapat melihatnya
dengan jelas. Di tengah-tengah ruangan ada meja kerja yang sangat
bagus. Meja itu diukir dari sehelai papan kayu, yaitu
potongan pohon oak yang bagus, berat, dan bercahaya
ditempa sinar selama bertahun"tahun. Papan itu bersandar
di atas punggung dua malaikat yang diukir dari kayu
yang sama. Sayap-sayap mereka disepuh dan wajah mereka
terpahat tampang menderita, seakan-akan berat pualam itu
mematahkan punggung mereka. Di balik meja itu, duduklah
seorang pria kurus dengan rambut bergaris kelabu dan
hidung yang panjang dan bengkok.
"Seorang pencinta buku, ternyata," kata pria itu. Dia
tersenyum kepada Clary. "Kamu tidak memberitahuku
tentang itu, ]ace." Jace tergelak. Pemuda itu telah berjalan ke belakangnya
dan berdiri di sana dengan tangan di dalam saku. Dia
menyeringai seperti orang marah. Seringai itu memang khas
Jace. "Kami belum banyak mengobrol selama pertemuan
kami yang singkat," katanya. "Sepertinya kebiasaan kami
membaca belum kelihatan."
Clary melotot kepada ]ace.
"Bagaimana kamu bisa tahu?" gadis itu bertanya kepada
pria di balik meja. "Bahwa aku suka buku, maksudku."
"Pandangan di wajahmu ketika melangkah masuk,"
kata Hodge. Pria itu berdiri dan mendekat dari balik meja.
"Entah bagaimana, aku ragu bahwa kamu terkesan oleh
dhika." Clary tercekik ketika Hodge bangkit. Sesaat kelihatannya
pria itu salah bentuk. Pundak kanannya berpunuk dan lebih
tinggi daripada yang satunya lagi. Ketika Hodge mendekat,
Clary melihat bahwa punuk itu sebenarnya seekor burung
yang bertengger dengan rapi di bahu Hodge. Burung itu
berbulu mengilap dengan mata hitam bersinar.
"Ini Hugo," kata pria itu sambil menyentuh burung di
pundaknya. "Hugo adalah binatang buas dan, sebagai burung,
ia tahu banyak. Sementara itu, aku Hodge Starkweather.
Aku seorang guru sejarah dan, sebagai guru, aku tidak
tahu cukup banyak." Clary tertawa kecil, lalu menjabat tangannya yang
teruiur. "Clary Fray."
"Aku merasa terhormat bisa mengenalmu," kata Hodge.
"Sebagaimana aku akan merasa terhormat kalau bisa
mengenal siapa pun yang bisa membunuh seekor Pembuas
dengan tangan telanjang."
"Bukan dengan tangan telanjangku," kata Clary dengan
janggal. Ia masih merasa aneh diberi selamat karena telah
membunuh sesuatu. "Itu punya ]ace. Yah, aku tidak tahu
bagaimana menyebutnya, tapi..."
"Maksudnya Sensorku," kata ]ace. "la menjejalkannya
ke makhluk itu. Rune di Sensor itu pasti telah tertelan.
Aku rasa aku perlu yang baru," dia menambahkan setelah
berpikir sejenak. "Seharusnya aku sudah menyebutkan hal
itu." "Ada beberapa tambahan di ruang persenjataan," kata
Hodge. Saat dia tersenyum kepada Clary, seribu garis kecil
bersinar dari sekitar matanya, seperti retakan di lukisan
tua. "Itu pikiran yang cepat. Bagaimana kamu bisa terpikir
untuk menggunakan Sensor sebagai senjata?"
Sebelum Clary mampu menjawab, sebuah tawa tajam
terdengar menembus ruangan itu. Clary telah begitu terpesona
oleh buku-buku dan teralih oleh Hodge sehingga ia tidak
melihat Alec tergeletak di kursi berlengan yang tebal di
dekat perapian kosong. "Aku tidak percaya kamu termakan
cerita itu, Hodge," katanya.
Semula Clary bahkan tidak memahami kata"katanya. Ia
terlalu sibuk memandang Alec. Seperti kebanyakan anak-anak
tunggal, Clary terpikat oleh kemiripan di antara para saudara.
Dengan disinari cahaya siang, sekarang Clary dapat melihat
dengan jelas seberapa miripnya Alec dengan Isabelle.
Mereka sama-sarna berambut hitam pekat, beralis ramping
yang naik di sudutnya. Kulit mereka sama-sama pucat dan
berwarna terang. Tapi Isabelle selalu angkuh, sedangkan Alec
terbenam di kursi seakan berharap tidak akan ada orang
memperhatikannya. Bulu matanya panjang dan hitam seperti
Isabelle. Tapi sementara mata Isabelle hitam, mata Alec biru
gelap seperti kaca botol. Mata itu menatap Clary dengan
permusuhan yang semurni dan sepekat asam.
"Aku tidak begitu yakin apa maksudmu, Alec." Hodge
menaikkan alisnya yang kelabu. Clary bertanya"tanya seberapa
tua pria itu. Ada semacam ketiadaan usia di dirinya, di
samping rambutnya yang kelabu dan matanya yang biru
pudar. Dia mengenakan setelan kain tenun tweed yang telah
disetrika dengan sempurna. Ujung segitiga sapu tangannya
menonjol dari saku dadanya.
Hodge bisa saja tampak seperti dosen yang baik hati
kalau di sisi kanan wajahnya tidak ada bekas luka yang
dalam. Clary jadi penasaran bagaimana Hodge mendapatkan
luka tersebut. "Apakah maksudmu ia tidak membunuh iblis
itu sama sekali?" tanya Hodge.
"Tentu saja tidak. Lihatlah dia. Ia seorang fana, Hodge.
Dia anak kecil begitu. Tidak mungkin ia menangani seekor
Pembuas." "Aku bukan anak kecil," Clary memotong. "Aku sudah
enam belas tahun..., yah, nanti hari Minggu."
"Seusia dengan Isabelle," kata Hodge. "Kamu tetap
menyebutnya anak"anak?"
"Isabelle berasal dari salah satu dinasti Pemburu Bayangan
terhebat sepanjang sejarah," kata Alec datar. "Gadis ini,
sebaliknya, berasal dari New Jersey."
"Aku dari Brooklyn!" Clary mengoreksinya dengan
marah. "Lantas kenapa" Aku baru saja membunuh seekor
iblis di rumahku sendiri dan kamu terlalu tolol untuk
menerimanya karena aku bukan anak kaya manja yang
busuk seperti kamu dan adikmu?"
Alec tanpa kaget. "Kamu sebut aku apa?"
"Senang melihat pertemuan ini telah menjadi permulaan
yang kuat." _]ace terdengar seperti hampir tidak dapat
menahan tawa. "Ia ada benarnya, Alec. Ada banyak kegiatan
Dunia Bawah yang berlangsung di wilayah ini, tahu kan.
Iblis jembatan dan gorong"gorong yang seharusnya kamu
awasi..." "Tidak lucu, ]ace," Alec menyela dengan marah. Dia
bangkit. "Kamu akan membiarkannya tetap di situ dan
mengata-ngataiku?" "Ya," kata _Iace dengan baik hati. "Itu ada baiknya
untukmu. Anggap saia sebagai latihan kesabaran."
"Mungkin kita memang pambatai," Alec berkata
dengan tegang. "Tapi kesembronoanrnu menghabiskan
kesabaranku." Suara ]ace menjadi dingin. "Dan sifatmu yang keras kepala
itu menghabiskan kesabaranku. Ketika aku menemukannya,
ia terbaring di lantai dengan genangan darah dan ada seekor
iblis mati di atasnya. Kalau bukan ia yang membunuh iblis
itu, siapa lagi?" "Pembuas memang bodoh. Mungkin makhluk itu
menyengat lehernya sendiri. Itu pernah terjadi."
100 "Sekarang maksudmu makhluk itu bunuh diri?" tanya
Jace. Mulut Alec merapat. "Seharusnya ia tidak berada di sini.
Kaum fana tidak dibolehkan berada di Institut, Jace, dan
ada alasan bagus untuk itu. Kalau ada yang tahu tentang
hal ini, kita akan dilaporkan kepada Kunci. Satu-satunya
alasan Hodge membiarkanmu membawanya ke sini adalah
karena kamu bilang dia telah membunuh iblis itu."
"Itu tidak benar sepenuhnya," kata Hodge. "Hukum
iuga membolehkan kita menawarkan tempat berlindung
kepada kaum fana di bawah kondisi tertentu. Seekor Pembuas
telah menyerang ibu Clary. Bisa saja Clary menjadi yang
berikutnya." Menyerang. Clary bertanya-tanya apakah ini merupakan
ungkapan halus dari "membunuh". Binatang buas di pundak
Hodge mengaok pelan. "Pembuas adalah mesin cari-dan"hancurkan," kata Alec.
"Mereka bergerak di bawah perintah warlock dan lord
iblis yang kuat. Jadi, hal apa yang menarik warlock atau
lord iblis sehingga mereka menyerang rumah tangga fana
biasa?" Ketika menatap Clary, mata Alec bersinar dengan
rasa tidak suka. "Ada ide?"
Clary berkata, "Pasti ada kesalahan."
"Iblis tidak membuat kesalahan semacam itu. Kalau
mereka mengejar ibumu, pasti ada alasannya. Kalau ia
tidak bersalah..." "Apa maksudmu, "tidak bersalah'?" Clary berkata
pelan. 101 Alec tampak tercengang. "Aku..."
"Maksudnya adalah," kata Hodge, "sangat jarang ada
iblis kuat, jenis yang bisa memerintah serombongan iblis
yang lebih rendah, tertarik kepada urusan manusia. Tidak
ada fana yang bisa memanggil iblis. Mereka tidak punya
kekuatan untuk itu. Tapi ada beberapa orang, yang nekat
dan bodoh, yang pernah meminta penyihir atau warlock
untuk melakukannya bagi mereka."
"Ibuku tidak kenal warlock mana pun. Ia tidak percaya
sihir." Sebuah pikiran muncul di benak Clary. "Madam
Dorothea yang tinggal di bawah rumah kami. Ia seorang
penyihir. Mungkin iblis mengejarnya tapi malah salah
menyerang ibuku?" Alis Hodge melesat naik ke rambutnya. "Seorang penyihir
tinggal di bawah rumahmu?"
"Ia penyihir pelindung. Cuma palsu," kata _Iace. "Aku
sudah memeriksanya. Tidak ada alasan bagi warlock mana
pun untuk tertarik kepadanya, kecuali ternyata ia ikut pasar
bola kristal nonfungsional."
"Kita kembali lagi." Hodge mengelus burung di pun-
daknya. "Sepertinya sudah waktunya kita memberi tahu
Kunci." "Jangan!" kata ]ace. "Kita tidak bisa?"
"Masuk akal untuk merahasiakan keberadaan Clary
sementara kita tidak yakin apakah ia akan membaik," kata
Hodge. "Tapi sekarang ia sudah sehat, dan merupakan
fana pertama yang melewati pintu Institut selama lebih dari
seratus tahun. Kamu tahu peraturan tentang pengetahuan
102 fana mengenai Pemburu Bayangan, ]ace. Kunci harus diberi
tahu." "Betul sekali," Alec menyetujui. "Aku bisa mengirim
pesan kepada ayahku..."
"Ia bukan fana," kata _]aee pelan.
Alis Hodge melesat naik ke garis rambutnya dan
bertahan di sana. Alec yang tadi omongannya dipotong, kini
tersedak karena terkejut. Dalam keheningan mendadak itu,
Clary dapat mendengar suara sayap Hugo berdesir. "Tapi
aku memang fana," kata Clary.


The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukan," kata Jace. "Kamu bukan fana." Pemuda itu
berbalik kepada Hodge, dan Clary melihat tenggorokannya
bergerak pelan saat ]ace menelan ludah. Anehnya, kegugupan
Jace malah meyakinkan Clary. "Semalam..., ada iblis Du'sienl.
Mereka berpakaian seperti polisi. Kami harus melewati
mereka. Clary terlalu lemah untuk berlari, dan tidak ada
waktu lagi untuk bersembunyi... Ia sudah hampir mati. Jadi
aku menggunakan stelaku..., dan memasang rune mendelin
di lengan bagian dalam nya. Aku pikir..."
"Kamu sudah gila?" Hodge menggebrak meja begitu keras
sampai"sampai Clary pikir kayunya akan patah. "Kamu tahu
apa kata Hukum tentang memasangkan Tanda pada kaum
fana! Kamu", kamu seharusnya yang paling tahu itu!"
"Tapi berhasil," kata ]aee. "Clary, tunjukkan lenganmu
kepada mereka." Sambil melirik ke arah _Iace dengan bingung, Clary
menunjukkan lengan telanjangnya. Clary ingat bahwa pada
1 Iblis versi Jemari 103 malam itu di gang, ia menatap lengan itu sambil berpikir
betapa rapuhnya. Sekarang, tepat di bawah lipatan sikunya,
ia dapat melihat tiga lingkaran pudar yang tumpang"tindih.
Garis-garis seputih ingatan bahwa sebuah luka telah memudar
seiring berlalunya waktu. "Lihat, sudah hampir hilang," kata
]ace. "Itu tidak melukainya sama sekali."
"Bukan itu intinya." Hodge hampir tidak bisa mengen-
dalikan amarahnya. "Kamu bisa saja telah mengubahnya
menjadi Yang Terabaikan."
Dua titik warna terang membara tinggi di tulang pipi
Alec. "Aku tidak percaya kamu begitu, Jace. Hanya Pemburu
Bayangan yang bisa memakai Tanda Perjanjian. Tanda itu
membunuh kaum fana..."
"Ia bukan fana. Kamu tidak mendengarkan ya" Itu
menjelaskan kenapa ia bisa melihat kita. Ia pasti punya
darah Kunci." Clary menurunkan lengannya. Tiba-tiba ia merasa dingin.
"Tapi aku tidak punya. Tidak mungkin."
"Pasti," kata _Iace tanpa melihatnya. "Kalau tidak, tanda
yang telah aku pasang di lenganmu..."
"Cukup, Jace," kata Hodge. Rasa tidak senang terdengar
jelas di suaranya. "Tidak perlu menakut-nakutinya lebih
jauh." "Tapi aku benar, kan?" Jaee bersemangat. "Itu menjelaskan
apa yang telah terjadi kepada ibunya juga. Kalau ibunya
seorang Pemburu Bayangan yang diasingkan, mungkin saia
ia punya musuh dari Dunia Bawah."
"Ibuku bukan Pemburu Bayangan!"
104 "Ayahmu, kalau begitu," kata ]ace. "Bagaimana
dengannya?" Clary balas menatap Jace dengan datar. "Dia sudah
meninggal. Ketika aku masih bayi."
Jace tersentak, tapi hampir tidak diketahui orang
lain. Alec yang menjawab. "Itu mungkin saja," dia berkata
dengan tidak yakin. "Kalau ayahnya Pemburu Bayangan,
dan ibunya seorang fana. Yah, kita semua tahu bahwa
menikahi seorang fana itu melanggar Hukum. Mungkin
mereka sembunyi"sembunyi."
"Kalau itu benar, ibuku pasti sudah memberitahuku,"
kata Clary. Meskipun demikian, ia berpikir tentang hanya
adanya selembar foto ayahnya, dan bagaimana ibunya ti-
dak pernah berbicara tentang Jonathan. Clary tahu bahwa
kata"katanya sendiri tidaklah benar.
"Tidak perlu," kata _Iace. "Kita semua punya
rahasia." "Luke," kata Clary. "Teman kami. Dia pasti tahu."
Begitu teringat Luke, rasa bersalah dan ngeri berkelebat
di benak Clary. "Sudah tiga hari..., dia pasti cemas. Aku
boleh meneleponnya" Ada telepon?" Ia berbalik kepada
]ace. "Please."
Jace ragu-ragu. Dia menatap Hodge yang mengangguk
dan bergeser dari meja. Di belakang pria itu ada globe
yang terbuat dari kuningan tempaan. Clary belum pernah
melihat globe seperti itu. Ada keanehan yang tidak kentara
di bentuk negara-negara dan benua-benua. Di samping
105 globe ada telepon hitam model kuno dengan tombol putar
keperakan. Clary mengangkatnya ke telinga. Nada angka
yang akrab di telinganya membasuh Clary bagaikan air
yang menyejukkan. Luke mengangkat telepon pada dering ketiga.
"Halo?" "Luke!" Clary bersandar ke meja. "Ini aku. Ini
Clary." "Clary." Terdengar kelegaan dari suara Luke, bersama
dengan sesuatu lainnya yang kurang bisa dikenali oleh Clary.
"Kamu baik"baik saja?"
"Aku baik," kata Clary. "Maaf aku tidak meneleponmu
sebelumnya. Luke, ibuku?"
"Aku tahu. Polisi tadi ke sini."
"Berarti kamu belum mendapat kabar darinya." Clary
kecewa. Harapan yang tersisa bahwa ibunya telah me-
ninggalkan rumah dan bersembunyi di suatu tempat kini
lenyap. Tidak mungkin ibunya tidak menghubungi Luke.
"Apa kata polisi?"
"Cuma bahwa ia menghilang."
Clay teringat polwan bertangan tengkorak, lalu
menggigil. "Kamu di mana?" tanya Luke.
"Aku di kota," kata Clary. "Aku tidak tahu di mana
tepatnya. Bersama beberapa teman. Tapi dompetku hilang.
Kalau kamu punya uang tunai, aku bisa naik taksi ke
tempatmu..." "Jangan," kata Luke pendek.
106 Telepon itu tergelincir dari pegangannya yang berkeringat.
Clary menangkapnya. "Apa?"
"Jangan," kata Luke. "Terlalu berbahaya. Kamu tidak
boleh datang ke sini."
"Kita bisa menelepon..."
"Dengar." Suara Luke keras. "Apa pun masalah yang
dimasuki ibumu, itu tidak ada hubungannya denganmu.
Lebih baik kamu tetap di mana kamu berada."
"Tapi aku tidak mau tinggal di sini." Clary mendengar
rengekan di dalam suaranya sendiri, seperti anak kecil. "Aku
tidak kenal orang-orang ini. Kamu..."
"Aku bukan ayahmu, Clary. Aku sudah pernah menga-
takannya kepadamu." Air mata terasa panas di balik mata Clary. "Maaf.
Hanya saja..." "Jangan meneleponku untuk minta tolong lagi," kata
Luke. "Aku punya masa lah sendiri. Aku tidak mau direpotkan
olehmu," dia menambahkan, lalu menutup telepon.
Clary berdiri memandangi gagang telepon. Nada hubung
mendengung di telinganya seperti lebah besar yang ielek.
Ia memutar nomor Luke lagi, dan menunggu. Kali ini
tersambung ke kotak surat. Clary membanting teleponnya.
Tangannya gemetar. Jace bersandar ke lengan kursi Alec sambil memperhatikan
Clary. "Pasti bukan kabar baik ya?"
Hati Clary terasa mengerut hingga sekecil kacang
walnut, seperti batu mungil dan keras di dalam dadanya.
10'1r Aku tidak boleh menangis, pikirnya. jangan di depan
orang"orang ini. "Aku pikir, aku perlu berbicara dengan Clary," kata
Hodge. "Berdua saja," dia menambahkan dengan tegas saat
melihat ekspresi muka ]ace.
Alec berdiri. "Baik. Karni menyerahkannya
kepadamu." "Itu tidak adil," Jace keberatan. "Akulah yang mene-
mukannya. Akulah yang menyelamatkan hidupnya! Kamu
ingin aku tetap di sini, ya kan?" dia naik banding, lalu
berbalik kepada Clary. Clary membuang muka karena tahu jika ia membuka
mulut, ia akan mulai menangis. Seperti dari kejauhan, ia
mendengar Alec tertawa. "Tidak semua orang menginginkanmu sepanjang waktu,
_Iace," kata Alec. "Jangan konyol," Clary mendengar ]ace berkata, tapi
pemuda itu terdengar kecewa. "Baiklah kalau begitu. Kami
akan ada di ruang persenjataan."
Pintu tertutup di belakang mereka dengan suara klik
yang pasti. Mata Clary tersengat seperti ketika ia berusaha
menahan air mata terlalu lama. Hodge betbaya ng di depannya,
menjadi bayangan kelabu yang samar-samar dan kacau,
"Duduklah," kata Hodge. "Sini, di atas bantal."
Clary membenamkan diri dengan penuh syukur di
atas bantal-bantal yang empuk. Pipinya basah. Ia menyeka
air matanya, lalu mengedip. "Biasanya aku tidak banyak
108 menangis," ia berkata. "Ini tidak berarti apa"apa. Aku akan
membaik dalam semenit."
"Kebanyakan orang tidak menangis ketika mereka marah
atau ketakutan, namun lebih karena mereka frustasi. Rasa
frustasimu dapat dimengerti. Kamu telah melalui masa-masa
paling penuh cobaan."
"Cobaan?" Clary menggosok matanya di keliman kaus
Isabelle. "Kamu bisa menganggapnya begitu."
Hodge menarik kursi dari balik meja, lalu menariknya
sehingga dia dapat duduk menghadap Clary. Mata Hodge
abu"abu seperti rambut dan jas Meednya, tapi ada kebaikan
di dalam mata itu. "Ada sesuatu yang bisa aku ambilkan un-
tukmu?" dia bertanya. "Sesuatu untuk diminum" Teh?"
"Aku tidak mau teh," kata Clary dengan kekuatan
yang teredam. "Aku ingin mencari ibuku. Lalu aku ingin
mencari tahu siapa yang menyerangnya, dan aku ingin
membunuh mereka." "Sayangnya," kata Hodge, "kita semua kehabisan
pahitnya balas dendam, jadi pilihannya hanya teh atau
tidak sama sekali." Clary menjatuhkan keliman kausnya yang sekarang
dipenuhi bintik-bintik basah, lalu dan berkata, "Aku harus
melakukan apa, kalau begitu?"
"Kamu bisa memulainya dengan bercerita kepadaku
sedikit tentang apa yang telah terjadi," Hodge berkata sambil
merogoh sakunya. Dia mengeluarkan sehelai sapu tangan
yang terlipat kering, dan memberikannya kepada Clary.
109 Gadis itu mengambilnya, diam-diam terkejut. Ia belum
pernah mengenal siapa pun yang membawa sapu tangan.
"Iblis yang kamu lihat di apartemenmu..., apakah itu
makhluk semacam itu yang kali pertama kamu lihat" Kamu
tidak mengetahui keberadaan makhluk"rnakhluk semacam
itu sebelumnya?" Clary menggeleng, lalu berhenti. "Sebelumnya pernah
satu, tapi aku tidak menyadarinya. Kali pertama aku melihat
Jace..." "Benar, tentu saja. Bodohnya aku sampai lupa." Hodge
mengangguk. "Di Pandemonium. Itu kali pertamanya?"
"Ya." "Dan ibumu tidak pernah menyebut"nyebut mereka
kepadamu"tidak sesuatu pun tentang dunia lain, mungkin,
yang tidak bisa dilihat oleh kebanyakan orang" Apakah
ia tampak secara khusus tertarik dengan mitos, dongeng,
legenda fantasi..." "Tidak. Ibuku benci semua itu. Ia bahkan benci Hlm
Disney. Ia tidak suka aku membaca manga"komik Jepang.
Katanya itu kekanak"kanakan."
Hodge menggaruk kepalanya. Rambutnya tidak bergerak.
"Sangat ganjil," dia bergumam.
"Tidak juga," kata Clary. "Ibuku tidak ganjil. Ia orang
paling normal di dunia."
"Orang normal biasanya tidak mendapati rumah mereka
dirampok oleh iblis," kata Hodge dengan tidak kasar.
"Mungkinkah itu kesalahan?"
110 "Kalau itu kesalahan," kata Hodge, "dan kamu gadis
biasa, kamu tidak akan melihat iblis yang menyerangmu.
Kalaupun lihat, benakmu akan memprosesnya sebagai sesuatu
yang sama sekali lain. Anjing ganas, bahkan manusia lain.
Bahwa kamu bisa melihatnya, bahwa makhluk itu berbicara
kepadamu..." "Bagaimana kamu bisa tahu makhluk itu berbicara
kepadaku?" "Jake melaporkan bahwa kamu berkata "makhluk itu
bicar "." "Makhluk itu berdesis," Clary menggigil saat meng-
ingatnya. "Katanya ia ingin memakanku, tapi aku rasa itu
tidak dibolehkan." "Pembuas biasanya berada di bawah kendali iblis
yang lebih kuat," Hodge menjelaskan. "Mereka memang
tidak begitu cerdas dan tidak terampil." Dia memiringkan
kepalanya ke samping. "Apakah ia mengatakan apa yang
dicari oleh tuannya?"
Clary berpikir. "Dia mengatakan sesuatu tentang seorang
Valentine, tapi?" Hodge tersentak ke atas, sangat keras sehingga Hugo
yang tadinya beristirahat dengan nyaman di pundaknya,
melompat ke udara dengan kaokan kesal. "Valentine.?"
"Ya," kata Clary bertanya"tanya. "Aku pernah dengar
nama yang sama di Pandemonium dari cowok itu, maksudku
iblis itu..." 111 "Itu nama yang dikenal semua orang," kata Hodge pendek.
Suaranya tenang, tapi tangannya gemetar sendikit. Hugo, di
pundaknya, menyisiri bulunya dengan tidak nyaman.
"Dia iblis?" "Bukan. Valentine adalah, dulunya, seorang Pemburu


The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bayangan." "Seorang Pemburu Bayangan" Kenapa kamu bilang
dulunya?" "Karena dia sudah mati," kata Hodge datar. "Dia sudah
mati selama enam belas tahun."
Clary memb enamkan diri di dalam bantal sofa. Kepalanya
berdenyut"clenyut. Mungkin seharusnya ia meminta tehnya
tadi. "Mungkinkah itu orang lain" Seseorang dengan nama
yang sama?" Tawa Hodge menyerupai gonggongan tanpa humor.
"Tidak. Tapi mungkin saja itu seseorang yang meng-
gunakan namanya untuk mengirim pesan." Dia berdiri
dan mendekati mejanya. Tangannya mengunci di balik
punggung. "Dan mungkin sekaranglah waktu yang tepat
untuk melakukannya."
"Kenapa sekarang?"
"Karena Piagam."
"Negosiasi perdamaian" ]ace pernah menyebutkannya.
Perdamaian dengan siapa?"
"Para Penghuni Dunia Bawah," Hodge bergumam.
Dia menatap Clary. Mulut pria itu membentuk garis rapat.
"Maafkan aku," katanya. "Ini pasti membingungkan
bagimu." 112 "Menurutmu?" Hodge bersandar ke meja sambil mengelus-elus bulu Hugo
tanpa henti. "Para Penghuni Dunia Bawah adalah mereka
yang berbagi Dunia Bayangan bersama kami. Kami selalu
menjalani hidup yang tidak damai dengan mereka."
"Seperti vampir, manusia serigala, dan..."
"Bangsa Gaib," kata Hodge. "Peri. Dan anak"anak
Lilithz, karena mereka setengah iblis, disebut warlock."
"Jadi, kalian Pemburu Bayangan ini apa?"
"Kadang-kadang kami disebut Nephilim," kata Hodge.
"Di dalam Alkitab, Nephilim disebut sebagai keturunan
manusia dan malaikat. Legenda asal-usul Pemburu Bayangan
adalah mereka diciptakan lebih dari seribu tahun yang lalu,
ketika manusia diserbu oleh serangan iblis dari dunia-dunia
lain. Seorang warlock memanggil malaikat Raziel3, yang
mencampurkan sebagian darahnya sendiri dengan darah
manusia di dalam sebuah piala, lalu memberikannya kepada
manusia untuk diminum. Manusia yang meminum darah
Malaikat menjadi Pemburu Bayangan, begitu pula anak"anak
mereka, juga anak"anak dari anak-anak mereka."
Hodge melanjutkan. "Piala itu kemudian dikenal sebagai
Piala Morta]. Mungkin legenda itu tidak nyata. Tapi yang
nyata adalah bahwa selama bertahun-tahun, ketika barisan
Pemburu Bayangan habis, dulu kami selalu bisa menciptakan
Pemburu Bayangan baru dengan menggunakan Piala itu."
"Dulu selalu bisa?"
2 Iblis wanita yang menyerang anak"anak
3 Malaikat Penjaga Rahasia
113 "Piala itu sudah tidak ada," kata Hodge. "Dihancurkan
oleh Valentine, tepat sebelum dia mati. Dia membuat api
besar dan membakar dirinya sendiri untuk menyambut
kematian bersama orang tua, istri, dan anaknya. Tanahnya
hangus menghitam. Tidak seorang pun membangun sesuatu
di sana. Mereka bilang tanah itu terkutuk."
"Benarkah?" "Mungkin. Kunci menurunkan kutukan sebagai sanksi
pelanggaran Hukum. Valentine melanggar Hukum tertinggi.
Dia melawan sesama Pemburu Bayangan dan membunuh
mereka. Dia membentuk kelompok bernama Lingkaran.
Kelompok itu membunuh lusinan saudara mereka dan
ratusan Penghuni Dunia Bawah selama Piagam terakhir.
Mereka hampir tidak bisa dikalahkan."
"Kenapa dia ingin berbalik melawan Pemburu Bayangan
yang lain?" "Dia tidak mengakui Piagam. Dia merendahkan Para
Penghuni Dunia Bawah dan merasa bahwa mereka harus
dijagal, secara keseluruhan, supaya dunia ini murni untuk
manusia. Meskipun mereka bukan iblis dan bukan penyerang,
kalau Valentine merasa mereka sudah iblis dari sananya,
itu sudah cukup." Hodge melanjutkan lagi, "Kunci tidak setuju. Mereka
merasa bantuan para Penghuni Dunia Bawah dibutuhkan
kalau kita ingin mengusir iblis untuk selamanya. Lagipula
siapa yang bisa menyangkal bahwa Makhluk Gaib tidak
boleh berada di dunia ini, padahal mereka sudah hidup di
sini lebih lama daripada kita?"
114 "Apakah akhirnya Piagam ditandatangani?"
Hodge menjelaskan. "Ya, ditandatangani. Ketika para
Penghuni Dunia Bawah melihat Kunci berbalik melawan
Valentine dan Lingkarannya untuk melindungi mereka,
mereka menyadari bahwa para Pemburu Bayangan bukanlah
musuh mereka. Ironisnya, berkat pemb erontakannya, Valentine
membuat Piagam terwujud."
Pria itu duduk di kursi lagi. "Aku minta maaf. Ini pasti
pelajaran sejarah yang membosankan bagimu. Itulah Valentine.
Seorang penghasut, pengkhayal, pria yang mempunyai
keyakinan dan daya tarik pribadi yang luar biasa. Dan
seorang pembunuh. Sekarang ada orang yang menyebut
namanya..." "Tapi siapa?" Clary bertanya. "Dan apa hubungan
ibuku dengan ini?" Hodge berdiri lagi. "Aku tidak tahu. Tapi aku harus
melakukan apa yang aku bisa untuk mencari tahu. Aku
akan mengirimkan pesan kepada Kunci dan Persaudaraan
Hening. Mungkin mereka ingin berbicara denganmu."
Clary tidak bertanya siapa itu Para Saudara Hening.
Ia sudah lelah mengajukan pertanyaan yang jawabannya
hanya membuatnya semakin bingung. Ia pun berdiri. "Aku
bisa pulang?" Hodge tampak prihatin. "Tidak, aku", aku rasa itu
tidak bijaksana." "Ada barang-barang yang aku butuhkan di sana, bahkan
kalaupun aku memang akan tinggal di sini. Baju..."
115 "Kami bisa memberimu uang untuk membeli baju"baju
baru." "Tolonglah," kata Clary. "Aku harus melihat apakah"
aku harus melihat apa saja yang tersisa."
Hodge ragu-ragu, lalu mengangguk singkat. "Kalau Jace
setuju, kamu boleh pergi berdua dengannya." Dia berbalik
menuju meja, lalu meneari-cari di kertas-kertasnya. Dia
melihat ke balik bahunya seakan menyadari bahwa Clary
masih ada di sana. "Dia ada di ruang persenjataan."
"Aku tidak tahu itu di mana."
Hodge tersenyum melengkung. "Church akan
mengantarmu." Clary menoleh ke pintu di mana kucing Persia biru
gendut itu bergelung seperti dudukan kecil. Kucing itu
bangkit saat Clary mendekatinya. Ra mbutnya beriak bagaikan
cairan. Dengan meong yang sombong, dia mengantar Clary
ke aula. Ketika Clary melirik ke balik bahunya, ia melihat Hodge
sedang terburu-buru menulisi sehelai kertas. Sedang menulis
pesan kepada Kunci yang misterius, tebak Clary. Mereka
tidak terdengar seperti orang yang menyenangkan. Gadis
bertanya-tanya bagaimana jawaban mereka nanti.
Tinta merah itu tampak seperti darah di atas kertas putih.
Dengan dahi berkerut, Hodge Starkweather menggulung
suratnya, dengan hati-hati dan teliti, menjadi berbentuk pipa.
Lalu Hodge bersiul memanggil Hugo. Burung itu mengaok
pelan, lalu mendarat di pergelangan tangannya.
116 Hodge mengernyit. Bertahun-tahun lalu, di masa Pembe-
rontakan, bahunya terluka. Bahkan beban seringan Hugo"juga
pergantian musim, pergantian suhu atau kelembaban, gerakan
lengan yang terlalu mendadak"rnembangkitkan denyutan
lama dan ingatan sedih yang sebaiknya dilupakan.
Bagaimanapun juga, ada beberapa ingatan yang tidak
pernah pudar. Gambaran"gambaran meledak dan memudar
bagaikan bohlam di balik kelopak matanya ketika dia
menutup mata. Darah dan jasad, bumi yang terinjak"injak,
podium putih yang tercemar oleh merah. Jeritan orang-orang
yang sekarat. Lahan"lahan Idris yang hijau dan berbukit-
bukit, dan langitnya yang biru tak terbatas, ditusuk oleh
menara"menara Kota Kaca.
Pedihnya kehilangan bergelombang di dalam diri pria
itu bagaikan ombak. Hodge mempererat kepalan tangannya.
Dengan sayap mengibas"ngibas, Hugo mematuk jemarinya
dengan marah sampai berdarah. Hodge membuka tangannya
dan melepaskan burung itu, yang kemudian berputar di atas
kepalanya saat dia terbang menuju langit dan lenyap.
Sambil menghilangkan rasa firasatnya, Hodge mengambil
sehelai kertas lagi. Dia tidak menyadari tetesan merah yang
menodai kertanya saat dia menulis.
11'1r 6 Yang Terabaikan Rune punya kekuatan yang hebat dan
bisa digunakan untuk kebaikan bersama,
tapi bisa juga digunakan untuk kejahatan.
Ruang persenjataan tampak benar"benar bagaimana
"ruang persenjataan" seharusnya. Dinding"dinding yang disikat
dengan logam digantungi dengan segala macam pedang,
belati, paku besar, lembing, tongkat bulu, bayonet, cambuk,
tongkat besar, sabit, dan busur. Tas-tas kulit yang halus
dipenuhi dengan panah"panah yang berjuntai dari kaitnya.
Ada juga setumpuk sepatu but, pelindung kaki, dan sarung
tangan untuk pergelangan tangan dan lengan. Tempat ini
berbau logam dan kulit dan gosokan baja.
Alec dan ]aee tidak bertelanjang kaki lagi. Mereka
sedang duduk di meja panjang di tengah-tengah ruangan.
Kepala mereka membungkuk di atas sebuah benda di antara
118 mereka. ]ace mendongak saat pintu ditutup di belakang
Clary. "Di mana Hodge?" tanya Jace.
"Menulis pesan untuk Para Saudara Hening."
Alec menahan rasa ngeri. "Ugh."
Clary mendekati meja perlahan"lahan dan menyadari
pandangan Alec. "Kalian sedang apa?"
"Memberikan sentuhan terakhir untuk ini." ]aee bergeser
supaya Clary dapat melihat apa yang diletakkan di meja.
Ada tiga tongkat sihir panjang yang memancarkan sinar
keperakan. Mereka tidak tampak tajam atau berbahaya
secara khusus. "Sanvi, Sansanvi, dan Semangelaf. Semua
ini pisau seraphz," ]ace menjelaskan.
"Mereka tidak kelihatan seperti pisau. Bagaimana kalian
membuatnya" Sihir?"
Alec tampak terkejut seakan"akan Clary menyuruhnya
memakai tutu alias sepatu balet, dan melakukan gerakan
jinjit en points di ruang masuk.
"Yang lucu dari para fana," kata ]ace tidak kepada siapa
pun yang khusus, "adalah bagaimana terobsesinya mereka
kepada sihir untuk ukuran orang yang bahkan tidak tahu
arti kata itu." "Aku tahu artinya," Clary mendengus.
"Tidak, kamu tidak tahu. Kamu hanya berpikir kamu
tahu. Sihir adalah kekuatan gelap dan berunsur, bukan
cuma tongkat sihir berkilauan dan bola kristal dan ikan
mas yang bisa bicara."
1 Anggota 9 malaikat tertinggi
119 "Aku tidak pernah bilang sampai sejauh ikan mas yang
bisa bicara, kamu..."
Jace mengayunkan tangan untuk memotong Clary.
"Hanya karena kamu menyebut seekor belut listrik berubah
jadi bebek karet, bukan berarti itu jadi bebek karet, kan"
Dan Tuhan membantu orang brengsek yang mau mandi
bersama bebek itu." "Kamu membual," Clary memperhatikan.
"Tidak," kata ]ace dengan gengsi luar biasa.
"Ya, memang," kata Alec agak tidak terduga. "Dengar,
kami tidak memakai sihir, oke?" dia menambahkan tanpa
menatap Clary. "Itu saja yang perlu kamu ketahui."
Clary ingin membentaknya, tapi menahan diri. Alec
sudah kelihatan tidak menyukainya. Jadi, tidak ada gunanya
memperkeruh rasa permusuhannya. Clary berbalik kepada
_Iace. "Hodge bilang aku boleh pulang."
Jace hampir menjatuhkan pisau seraph yang sedang
dipegangnya. "Dia bilang apa?"
"Untuk memeriksa barang-barang ibuku," Clary mengo-
reksi ucapannya. "Kalau kamu ikut bersamaku."
"Jace," Alec mendengus, tapi ]ace tidak
menghiraukannya. "Kalau kalian benar-benar ingin membuktikan bahwa ibu
atau ayahku pernah menjadi Pemburu Bayangan, kita harus
memeriksa barang-barang ibuku. Sisa barang-barangnya."
"Masuk ke lubang kelinci." Jace menyeringai bengkok.
"Ide yang bagus. Kalau kita pergi sekarang, kita bisa punya
tiga atau empat jam matahari siang."
120 "Kamu ingin aku ikut bersamamu?" Alec bertanya
saat Clary dan Jace berjalan ke arah pintu. Clary menoleh
balik ke arahnya. Alec sudah setengah beranjak dari kursi
dengan mata berharap. "Tidak." _Iace tidak berbalik. "Tidak apa-apa. Clary
dan aku dapat mengatasinya sendiri."
Pandangan Alec kepada Clary seasam racun. Clary
senang saat pintu tertutup di belakangnya.
Jace memimpin jalan di aula. Clary setengah berjoging
untuk mengimbangi langkah kakinya yang panjang. "Kamu
punya kunci rumahmu?"
Clary melirik sepatunya. "Ya."
"Bagus. Bukannya kita tidak bisa mendobrak masuk.
Tapi kalau mendobrak, kemungkinan bahwa kita akan
membangunkan tetangga menjadi lebih besar."


The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terserah kamu saja."
Mereka berhenti di depan gerbang logam yang dipasang
di ujung jalan aula. Begitu ]ace menekan sebuah tombol di
sebelah gerbang dan tombol itu menyala, Clary menyadari
bahwa itu adalah sebuah elevator. Benda itu berdetak dan
merintih saat naik untuk menemui mereka.
"Jace?" "Ya?" "Bagaimana kamu bisa tahu aku punya darah Pemburu
Bayangan" Ada cara sehingga kamu bisa tahu?"
Elevator itu tiba dengan rintihan terakhirnya. Jace
membuka gerendel, lalu menarik gerbangnya hingga terbuka.
Bagian dalamnya mengingatkan Clary akan sebuah kandang
121 burung karena semuanya dari logam hitam dan potongan-
potongan lapisan yang berhiasan.
"Aku menebak," kata Jace sambil mengunci pintu di
belakang mereka. "Sepertinya itulah penjelasan yang paling
mendekati." "Kamu menebak" Kamu pasti sangat yakin, mengingat
bahwa kamu bisa saja telah membunuhku."
Jaee menekan sebuah tombol di dinding, lalu elevator itu
mendadak bergerak dengan rintihan yang bergetar sehingga
Clary merasa kakinya gemetaran. "Waktu itu aku sudah
yakin sembilan puluh persen," kata Jace.
"Begitu," kata Clary.
Pasti ada sesuatu di suara Clary, karena Jane berbalik
untuk menatapnya. Tangan Clary melesat ke wajahnya.
Tamparan itu membuat Jace terhuyung mundur. Jace
memegang pipinya, lebih karena terkejut daripada sakit.
"Sial, untuk apa tadi itu?"
"Yang sepuluh persen lagi," kata Clary. Mereka pun
menyusuri sisa perjalanan turun sampai ke jalanan dalam
diam. Jace menghabiskan perjalanan naik kereta ke Brooklyn
dengan terbungkus di dalam amarah yang hening. Clary tetap
dekat"dekat dengan ]ace. Gadis itu merasa agak bersalah,
terutama saat ia melihat tanda merah bekas tamparannya
di pipi Jace. Clary tidak begitu keberatan didiamkan. Ia jadi punya
kesempatan untuk berpikir. Ia terus menghidupkan kembali
122 percakapannya dengan Luke, berulang-ulang di kepalanya.
Rasanya sakit memikirkan itu, seperti menggigit gigi yang
patah, tapi Clary tidak dapat berhenti melakukannya.
Agak jauh dari mereka di dalam kereta, dua remaja
putri duduk di bangku oranye sambil terkikik bersama.
Gadis-gadis semacam itu tidak pernah disukai oleh Clary di
sekolah St. Xavier, yaitu gadis-gadis yang memakai sendal
jeli merah muda dan mencokelatkan kulit. Semula Clary
bertanya-tanya apakah mereka sedang menertawainya, tapi
kemudian dengan terkejut gadis itu menyadari bahwa mereka
sedang memperhatikan _]ace.
Clary teringat gadis di kafe yang memandangi Simon.
Para gadis selalu memasang ekspresi seperti itu ketika berpikir
bahwa seseorang imut. Akibat semua yang telah terjadi,
Clary hampir lupa bahwa ]ace memang imut. Jace tidak
punya tampang cameo Alec, tapi wajah Jace lebih menarik.
Di bawah sinar matahari, matanya berwarna sirop keemasan
dan sedang" menatap tepat ke arah Clary.
]ace memiringkan sebelah alisnya. "Ada yang bisa aku
bantu?" Dalam seketika, Clary mengkhianati gendernya. "Cewek"
eewek di sebelah sana memandangimu."
Jace menghirup udara kepuasan yang lembut. "Tentu
saja," katanya. "Aku kan amat sangat menarik."
"Pernahkah kamu mendengar bahwa sifat yang paling
menarik adalah rendah hati?"
"Hanya bagi orang jelek," ]ace bergaya membocorkan
sebuah rahasia. "Seorang penurut boleh saja mewarisi
123 bumi, tapi orang yang congkaklah yang akan mendapatkan
aksi. Seperti aku." Dia mengedip kepada para gadis itu.
Mereka langsung terkikik dan bersembunyi di balik rambut
mereka. Clary mendesah. "Bagaimana mungkin mereka bisa
melihatmu?" "Memakai pesona itu sulit. Kadang-kadang kami tidak
mau repot." Kejadian dengan para gadis di kereta itu tampak membuat
suasana hati Jace membaik. Ketika mereka meninggalkan
stasiun dan menaiki bukit menuju apartemen Clary, pemuda
itu mengeluarkan salah satu pisau seraph dari kantungnya
dan mulai memutar-mutarnya di antara jemari dan tulangnya
sambil bersenandung sendiri.
"Harus ya kamu begitu?" tanya Clary. "Itu
menyebalkan." Jace bersenandung lebih keras lagi. Senandungnya keras
dan merdu, mirip Selamat Ulang Tahun dan The Battle-
Hymn of the Republicz. "Maaf tadi aku menamparmu," kata Clary.
Jace berhenti bersenandung. "Bersyukurlah kamu me"
mukulku dan bukannya Alec. Dia pasti membalasmu."
"Sepertinya dia sudah gatal untuk mendapatkan kesem-
patan itu," kata Clary sambil menendang sebuah kaleng
soda kosong supaya tidak menghalangi jalan mereka. "Tadi
Alec menyebutmu apa" Para-apa?"
2 Lagu cinta tanah air Amerika yang ditulis oleh Julia Ward Howe pada Desember
1861 dan mulai terkenal sejak Perang Sipi1 Amerika.
124 "Pambatai," kata Jace. "Itu berarti sepasang pejuang
yang berjuang bersama, yang lebih dekat daripada saudara.
Alec lebih dari sekadar sahabatku. Ayahnya dan ayahku
dulu juga parabatai ketika masih muda. Ayahnya adalah
waliku. Itulah kenapa aku tinggal bersama mereka. Mereka
keluarga angkatku." "Tapi nama belakangmu bukan Lightwood."
"Bukan," kata Jace.
Clary ingin menanyakan hal itu, tapi mereka sudah tiba
di rumahnya. Jantung Clary mulai berdebar begitu keras
sehingga ia yakin pasti bisa didengar sejauh bermil"mil.
Ada senandung di telinganya dan telapak tangannya basah
oleh keringat. Gadis itu berhenti di depan pagar tanaman
berbentuk kotak, lalu perlahan mendongak. Ia pikir akan
ada garis polisi berwarna kuning yang melingkari pintu
depan, dan pecahan kaca mengotori pekarangan. Ia kira
semuanya sudah menjadi puing"puing.
Tapi tidak ada tanda kerusakan. Disirami cahaya matahari
sore yang menyenangkan, brownstone itu tampak berpijar.
Lebah berdengung malas di sekitar semak mawar di bawah
jendela Madame Dorothea. "Kelihatannya sama saja," kata Clary.
"Dari luar." ]ace merogoh saku celana jinsnya dan
mengeluarkan salah satu alat logam yang pernah dikira
ponsel oleh Clary. "Omong"omong, itu apa?" Clary bertanya.
"Ini Sensor. Bisa menangkap frekuensi, seperti radio,
tapi ini frekuensi yang berasal dari iblis."
125 "Gelombang iblis?"
?"Kita-kira begitu." Jace memegang Sensor di depannya
saat mendekati rumah, Alat itu berbunyi klik pelan saat
mereka menaiki tangga, lalu berhenti. Jace mengerutkan dahi.
"Alat ini menangkap bekas kegiatan, tapi bisa saja itu cuma
sisa dari malam itu. Aku tidak menemukan apa pun yang
cukup kuat untuk menandakan adanya iblis sekarang."
Clary melepaskan nafas yang semula tidak ia sadari telah
ditahannya dari tadi. "Bagus," katanya. Ia membungkuk
untuk mengambil kuncinya. Saat berdiri, ia melihat goresan
di pintu. Terakhir kali ke sini, pasti terlalu gelap sehingga
ia tidak bisa melihatnya. Goresan-goresan itu tampak
seperti tanda cakar yang panjang dan bersambungan yang
digarukkan dalam-dalam ke kayunya.
Jace menyentuh lengan Clary. "Aku masuk duluan,"
kata pemuda itu. Clary ingin berkata bahwa ia tidak perlu bersembunyi di
balik ]ace, tapi suaranya tidak bisa keluar. Gadis itu dapat
mengecap rasa takut yang ia rasakan ketika kali pertama
melihat Pembuas. Rasa itu tajam dan di lidahnya terasa
seperti tembaga yang membentuk uang koin lama.
Jace mendorong pintu dengan satu ta ngan sambil memberi
isyarat kepada Clary dengan tangannya yang memegang
Sensor. Begitu berada di jalan masuk, Clary mengerjap
untuk membiasakan matanya dengan keremangan.
Bohlam di langit"langit masih mati, cahaya matahari
terhalang, dan bayang"bayang tebal membentang di lantai
yang terkelupas. Pintu Madam Dorothea tertutup rapat.
126 Tidak ada cahaya yang kelihatan dari celah di bawahnya.
Clary bertanya-tanya dengan gelisah apakah sesuatu telah
terjadi dengan wanita itu.
]ace mengangkat tangannya dan menyusurkannya di
pegangan tangga. Tangannya jadi basah dan lengket dengan
sesuatu yang tampak merah kehitaman di bawah cahaya
temaram. "Darah," kata Jace.
"Mungkin darahku." Suara Clary terdengar keeil. "Dari
malam itu." "Seharusnya sudah kering kalau memang begitu," kata
Jace. "Ayo." ]ace menuju ke lantai atas, Clary dekat di belakangnya.
Daerah di dekat tangga lumayan gelap sehingga gadis itu
salah memasukkan kunci tiga sebelum berhasil menyusupkan
kunci yang tepat ke dalam lubangnya. Jace bersandar di
atasnya. Pemuda itu memperhatikan dengan tidak sabar.
"Jangan bernafas di atas leherku," Clary berdesis.
Tangannya gemetar. Akhirnya kunci itu berputar, lalu
membuka. Jace menarik Clary mundur. "Aku masuk duluan,"
kata ]ace. Clary ragu, lalu bergeser untuk membiarkannya lewat.
Telapak tangan Clary lengket, tapi akibat telapak tangannya
sendiri, bukan akibat panas. Padahal di dalam apartemen
sejuk, hampir dingin. Angin dingin merembes dari jalan masuk
dan menyengat kulitnya. Ia merasa bulu kuduknya merinding
saat mengikuti Jace masuk menuju ruang keluarga.
12]' Ruangan itu kosong. Sangat mengejutkan. Ruangan itu
kosong sama sekali seperti ketika orang baru saja pindah.
Dinding dan lantainya telanjang, perabotannya hilang,
bahkan gordennya sudah dicopot dari jendela. Hanya kait
untuk lukisan di dinding menunjukkan di mana lukisan itu
pernah digantung. Bagaikan di alam mimpi, Clary berbalik
menuju dapur. _Iaee mengikuti Clary. Matanya yang berwarna
terang kini menyipit. Dapur itu sama kosongnya, bahkan kulkasnya tidak ada.
Begitu pula kursi, meja. Lemari dapur berdiri terbuka, dan
rak"raknya yang kosong mengingatkan Clary akan sebuah
lagu kanak"kanak. la berdeharn. "Apa yang iblis ingin
lakukan dengan microwave kami?" katanya.
Jace menggelengkan kepalanya dengan bibir tertekuk di
ujung. "Aku tidak tahu, tapi aku tidak merasakan adanya
keberadaan iblis saat ini. Menurutku, mereka sudah lama
pergi." Clary menoleh sekali lagi. Seseorang telah menghapus
noda tumpahan saus Tabasco juga, gadis itu memperhatikan
secara khusus. "Kamu sudah puas?" tanya ]ace. "Tidak ada apa"apa
di Sini." Clary menggeleng. "Aku ingin melihat kamarku."
Jaee tampak hendak mengatakan sesuatu, lalu berpikir
dengan lebih jernih. "Kalau memang harus begitu," katanya.
Dia memasukkan pisau seraphnya ke dalam saku.
Cahaya di koridor sudah mati, tapi Clary tidak butuh
banyak cahaya untuk bergerak di rumahnya sendiri. Dengan
128 Jace tepat di belakangnya, Clary menemukan pintu menuju
kamar tidurnya dan meraih kenopnya. Benda itu terasa
dingin di tangan Clary, begitu dingin sampai nyaris melukai.
Rasanya bagaikan menyentuh es dengan kulit telanjang.
Clary melihat _]ace cepat"cepat menoleh kepadanya, tapi
gadis itu sudah memutar kenop, atau berusaha melakukannya.
Kenop itu berputar pelan, hampir dengan lengket, seakan-akan
sisi lainnya tertempel sesuatu yang lengket dan kental...
Pintu itu tertiup ke depan sehingga Clary terjatuh. Ia
tergelincir di lantai dan menghantam dinding, laiu berguling
di atas perutnya. Terdengar raungan berat di telinganya saat
Clary menarik diri untuk berdiri.
_]ace yang merapat ke dinding sedang meraba-raba
sakunya. Wajahnya tampak terkejut. Menunduk di atas ]ace,
ada pria yang sangat besar seperti raksasa di cerita dongeng.
Besarnya seperti pohon oak. Sebuah kapak bermata pisau
kasar tercengkeram di tangannya yang besar dan seputih
mayat. Kain dekil dan compang"camping bergantungan di
kulitnya yang sangat kotor. Rambutnya terikat kusut menjadi
satu dan tebal karena kotoran. Dia berbau keringat beracun
dan daging busuk. Clary senang tidak bisa melihat wajah raksasa itu.
Punggungnya saja sudah cukup buruk.
Jace berhasil mendapatkan pisau seraph. Dia mengacung-
kannya, dan berteriak, "Sansanvi!"
Sebuah pisau ditembakkan dari pipa tersebut. Clary teringat
film-film kuno di mana bayonet disembunyikan di dalam
tongkat jalan. Bayonet itu dapat keluar dengan menjentikkan
129 sebuah saklar. Tapi Clary belum pernah melihat pisau seperti
itu. Warnanya sejernih kaca. Pangkalnya bercahaya. Pisau
itu sangat tajam dan nyaris seukuran lengan ]ace.
Jace menyerang, menyayat pria raksasa itu. Pria itu
mundur terhuyung"huyung sambil melenguh.
Jaee berputar, lalu berlari ke arah Clary. Dia menangkap


The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lengan Clary, menariknya berdiri, lalu mendorongnya turun
ke aula. Clary dapat melihat makhluk itu di belakang
mereka..., sedang mengikuti. Langkah"langkah kakinya
terdengar seperti alat angkat besi dijatuhkan ke lantai, tapi
mendekat dengan cepat. Setelah berlari cepat dari jalan masuk ke dekat tangga,
]ace membanting pintu hingga tertutup. Engsel pintu itu
bergoyang ken'ka hantaman yang sangat kuat menabraknya
dari dalam apartemen. Clary mundur ke arah tangga. Jace
meliriknya. Matanya bersinar dengan rasa senang yang
maniak. "Turunlah! Keluar dari..."
Ada satu hantaman lagi, dan kali ini engselnya copot
sehingga pintu itu terbang keluar. ]ace pasti sudah terbanting
kalau dia tidak bergerak begitu cepat sampai-sampai Clary
hampir tidak melihatnya. Tiba-tiba Jace sudah di anak
tangga teratas dan pisaunya membara di tangannya bagaikan
sebuah bintang jatuh. Clary melihat Jace menatapnya dan meneriakkan sesuatu,
tapi gadis itu tidak dapat mendengarnya akibat raungan
makhluk raksasa yang menyembur dari pintu yang sudah
hancur. Raungan itu tertuju ke arah Jace. Clary merapat ke
dinding saat makhluk itu melepaskan gelombang panas dan
130 bau, lalu sebuah kapak melayang, berputar di udara, mengiris
menuju kepala Jace. Pemuda itu menunduk sehingga kapak
itu menghantam pegangan tangga dan tertusuk dalam.
]ace tertawa. Tawa itu sepertinya membuat makhluk itu
semakin marah. Tanpa memedulikan kapaknya, ma khluk itu
berlari ke arah ]ace dengan tangan besarnya terangkat. ]aee
mengayunkan pisau seraph dengan melengkung, menguburkan
pisau itu hingga ke pangkalnya di dalam bahu raksasa
itu. Untuk sesaat, raksasa itu berdiri limbung. Lalu dia
mendadak maju dengan tangan terulur hendak merenggut.
_]ace buru-buru bergeser, tapi tidak cukup cepat. Tinju besar
itu menangkapnya saat si raksasa terhuyung dan jatuh. Jace
terseret jatuh. Pemuda itu berteriak sekali. Ada serangkaian
bunyi retakan keras, lalu hening.
Clary berjuang berdiri, lalu berlari ke bawah. ]ace
tergeletak di kaki tangga. Lengannya bengkok di bawahnya
dalam sudut yang tidak wajar. Di kakinya berbaringlah
raksasa itu. Pangkal pisau _Iace mencuat dari dadanya.
Sekarang dia belum mati, melainkan tergeletak lemah. Busa
berdarah keluar dari mulutnya.
Clary dapat melihat wajah makhluk itu sekarang, yang
putih seperti mayat dan kertas. Bekas-bekas luka yang parah
membentuk pola jaringan hitam di muka itu sehingga ciri-
ciri mukanya hampir tidak tampak. Rongga matanya merah
dan bernanah. Sambil berjuang supaya tidak muntah, Clary
berjuang menuruni tangga. Ia melangkahi raksasa yang
mengejang"ngejang itu, lalu berlutut di samping _Iace.
131 Jace sangat tenang. Clary meletakkan tangannya di
pundak ]ace. Kaus pemuda itu terasa lengket dengan darah.
Clary tidak tahu itu darah Jace atau darah raksasa itu.
"Jace?" panggilnya.
Mata Jace membuka. "Sudah mati?"
"Hampir," Clary berkata dengan muram.
"Sial." Dia mengemyit. "Kakiku..."
"Bertahanlah." Clary merangkak ke sekitar kepala Jace,
lalu menyelipkan tangannya ke bawah lengan pemuda itu
dan menariknya berdiri. ]ace mengerang kesakitan saat
kakinya ditarik keluar dari bawah bangkai makhluk yang
sedang mengejang-ngejang itu. Clary melepaskan Jace.
Pemuda itu lalu berjuang berdiri. Tangan kirinya tersilang
di depan dada. Clary berdiri. "Tanganmu baik-baik saja?"
"Tidak. Patah," katanya. "Bisakah kamu mengambil
sesuatu di dalam kantungku?"
Clary ragu-ragu, lalu mengangguk. "Yang mana?"
"Di dalam jaket, sebelah kanan. Ambil salah satu
pisau seraph, lalu berikan kepadaku." ]ace diam saat Clary
dengan gugup memasukkan jemarinya ke dalam saku Jaee.
Clary berdiri sangat dekat dengan pemuda itu sehingga
bisa mencium baunya yang berkeringat, bersabun, dan laki-
laki. Nafasnya menggelitik punggung lehernya. ]emarinya
menggenggam sebuah pipa. Clary menariknya keluar tanpa
menatap Jace. "Terima kasih," kata Jace. Jemari Jace menelusuri pisau
itu sebentar sebelum menyebut namanya, "Sanvi." Seperti
132 pendahulunya, pipa itu tumbuh menjadi belati berbentuk
aneh. Sinarnya menerangi wajah _Iace. "Jangan lihat,"
katanya ketika hendak mendekati tubuh makhluk yang
terluka itu. Jane mengangkat pisau itu ke atas kepalanya,
lalu menurunkannya. Darah memancur dari tenggorokannya,
menodai sepatu but ]aee. Clary memandanginya, tidak bisa
tidak melihat. Clary setengah berharap raksasa itu akan lenyap, dan
menciut sendiri seperti bocah di Pandemonium. Tapi tidak
terjadi. Udara dipenuhi bau darah yang berat dan seperti
logam. Jace membuat suara rendah. Wajahnya putih, entah
karena sakit atau jijik. "Aku sudah bilang jangan lihat,"
katanya. "Aku kira dia akan menghilang," katanya. "Kembali
ke dimensinya sendiri, kamu yang bilang."
"Aku bilang itulah yang terjadi kepada iblis ketika mereka
mati." Sambil mengemyit, ]ace mengangkat jaketnya supaya
bagian atas lengan kirinya terbuka. "Tadi itu bukan iblis."
Dengan tangan kanannya, ]ace menarik sesuatu dari ikat
pinggangnya. Itu benda yang halus dan berbentuk seperti
tongkat sihir yang dia gunakan untuk mengukir lingkaran
terpusat ke kulit Clary dulu. Saat memandanginya, Clary
merasa lengan atasnya mulai terbakar.
Jace melihat Clary memandanginya dan menyeringai seperti
hantu. "Ini," katanya, "adalah stela." _]ace menyentuhkannya
kepada tanda tinta tepat di bawah bahunya. Tanda itu
berbentuk aneh seperti bintang. Dua lengan bintang itu
menonjol keluar tak terhubung dengan sisa Tanda lainnya.
133 "Dan ini," katanya, "adalah apa yang terjadi ketika seorang
Pemburu Bayangan terluka."
Dengan ujung stela itu, ]ace menelusuri garis yang
menghubungkan kedua lengan bintang tersebut untuk
menyelesaikan rune itu. Ketika dia menurunkan tangannya,
tanda itu bersinar seperti telah digoreskan ke dalam kulitnya
dengan tinta berfosfor. Clary melihat rune itu tenggelam ke
dalam kulit ]aee seperti benda berat tenggelam ke dalam
air. Tanda itu meninggalkan bekas seperti hantu alias bekas
luka yang pucat dan tipis, hampir tidak kelihatan.
Sebuah gambaran muncul di dalam benak Clary, yaitu
punggung ibunya, saat tidak tertutup seluruhnya oleh atasan
jubah mandi. Bilah bahu ]ocelyn dan lekuk tulang belakangnya
eoreng"moreng dengan tanda"tanda pendek yang berwarna
putih. Itu seperti bayangan di dalam mimpi. Punggung
ibunya tidak seperti itu, Clary tahu. Tapi gambaran itu
menganggunya. Jace mendesah. Ketegangan akibat rasa sakit telah
meninggalkan wajahnya. Dia menggerakkan lengannya,
awalnya perlahan, lalu dengan lebih mudah. Dia menaikkan
dan menurunkannya, mengepalkan tinjunya. Tampak jelas
bahwa tangannya tidak patah lagi.
"Itu mengagumkan," kata Clary. "Bagaimana
kamu?"" "Tadi itu iratze. Rune penyembuh," kata _Iace. "Menye-
lesaikan rune itu dengan stela, membuat rune itu aktif." Dia
memasukkan tongkat langsing itu ke dalam ikat pinggangnya,
lalu memasang jaketnya kembali. Dengan ujung sepatu butnya,
134 dia mendorong mayat raksasa itu. "Kita harus melaporkan
ini kepada Hodge," katanya.
"Dia pasti panik," ]ace menambahkan seakan-akan
ketika berpikir Hodge akan cemas, pemuda itu mendapatkan
kepuasan tersendiri. Clary pikir, ]aee adalah orang yang
suka ketika sesuatu terjadi, bahkan meskipun hal buruk
yang terjadi. "Kenapa dia akan panik?" tanya Clary. "Dan itu bukan
iblis. Itulah kenapa Sensor tidak mengenalinya, kan?"
Jace mengangguk. "Kamu lihat semua luka di
wajahnya?" "Ya." "Itu gara"gara stela. Seperti yang ini." Dia menepuk
tongkat di ikat pinggangnya. "Kamu pernah bertanya apa
yang terjadi kalau Tanda diukirkan kepada orang yang
tidak punya darah Pemburu Bayangan. Satu Tanda saja
hanya akan membakarmu. Tapi banyak Tanda, yang kuat-
kuat" Diukirkan kepada daging manusia biasa tanpa garis
keturunan Pemburu Bayangan" Inilah yang kamu dapatkan."
Jace menunjuk jasad itu dengan dagunya.
Jace melanjutkan, "Rune sangat menyiksa dan menya"
kitkan. Orang yang diberi tanda akan menjadi gila. Rasa
sakit itu membuat mereka kehilangan akal sehingga mereka
menjadi pembunuh kejam yang tak berakal. Mereka tidak
tidur atau makan kalau tidak disuruh, dan mereka akan
mati, biasanya dengan cepat. Rune punya kekuatan yang
hebat dan bisa digunakan untuk kebaikan bersama, tapi
135 bisa juga digunakan untuk kejahatan. Yang Terabaikan itu
jahat." Clary memandangi ]ace dengan ketakutan. "Tapi kenapa
ada orang yang melakukannya kepada diri sendiri?"
"Tidak akan ada orang yang mau. Pasti ada yang
melakukannya kepada mereka. Oleh warlock, mungkin.
Sebagian Penghuni Dunia Bawah memang menjadi jahat.
Yang Terabaikan setia kepada siapa yang memasangkan
tanda kepada mereka, dan mereka adalah pembunuh kejam.
Mereka dapat mematuhi perintah sederhana juga. Itu seperti
mempunyai sebuah", pasukan budak." Jace melangkahi
mayat Yang Terabaikan, dan menoleh kepada Clary. "Aku
akan naik lagi." "Tapi tidak ada apa-apa di sana."
"Mungkin ada lebih banyak lagi," kata Jace seakan-
akan berharap memang ada. "Kamu tunggu di sini saja."
Dia mulai menaiki tangga.
"Aku tidak akan melakukannya kalau jadi kamu," kata
sebuah suara nyaring yang akrab. "Ada lebih banyak yang
seperti itu lagi dari tempat munculnya tadi."
Jace, yang sudah hampir sampai di anak tangga teratas,
berbalik dan memandangi asal suara itu. Begitu pula Clary,
meskipun gadis itu sudah langsung siapa yang tadi bicara.
Logat suram itu pasti tidak salah lagi.
"Madam Dorothea?" Clary berbisik.
Wanita tua itu memiringkan kepalanya dengan agung.
Ia berdiri di depan pintu apartemennya dengan memakai
baju yang tampak seperti tenda dari sutra ungu kasar.
136 ]ace masih memandanginya. "Tapi..."
"Ada lebih banyak apa?" tanya Clary.
"Yang Terabaikan," jawab Dorothea dengan keriangan
yang Clary rasa tidak sesuai dengan kondisi saat ini. Wanita
tua itu memperhatikan ke sekitar jalan masuk. "Kamu sudah
membuat kekacauan, kan" Aku yakin kamu tidak berencana
untuk membersihkannya juga. Itu sudah khas."
"Tapi kamu fana," kata Jace akhirnya menyelesaikan
kalimatnya. "Sangat jeli," kata Dorothea dengan mata bersinar.
"Kunci benar-benar telah membentukmu."
Kebingungan di wajah Jace memudar, dan digantikan
oleh terbitnya amarah. "Kamu tahu tentang Kunci?" dia
bertanya. "Kamu tahu tentang mereka, dan kamu tahu ada
banyak Yang Terabaikan di rumah ini, tapi kamu tidak
memberi tahu mereka" Keberadaan Yang Terabaikan saja
sudah merupakan pelanggaran terhadap Perjanjian..."
"Baik Kunci maupun Perjanjian tidak pernah melakukan
apa-apa untukku," kata Madame Dorothea. Matanya berkilat
dengan marah. "Aku tidak berutang apa-apa kepada mereka."
Sejenak logat New Yorknya yang muram lenyap, digantikan
oleh logat lain yang lebih tebal dan dalam. Clary tidak
mengenali logat itu. "Jace, hentikan," kata Clary. Ia berbalik kepada Madame
Dorothea. "Kalau kamu tahu tentang Kunci dan Yang
Terabaikan," kata gadis itu, "berarti mungkin kamu tahu
apa yang telah terjadi dengan ibuku?"
131r Dorothea menggelengkan kepalanya. Anting-antingnya
bergoyang"goyang. Ada rasa kasihan di wajahnya. "Nasihatku
untukmu," katanya, "lupakan saja ibumu. Ia sudah tidak
ada." Lantai di kaki Clary terasa miring. "Maksudrnu ia
sudah meninggal?" "Tidak." Dorothea mengucapkannya dengan enggan.
"Aku yakin ia masih hidup. Untuk sementara."
"Berarti aku harus mencarinya," kata Clary. Dunia telah
berhenti terasa miring. ]ace berdiri di belakangnya. Tangan
Jace memegang siku Clary seperti menahannya, rapi Clary
hampir tidak memperhatikan itu. "Kamu mengerti" Aku
harus mencarinya sebelum..."
Madame Dorothea mengangkat tangannya. "Aku tidak
mau terlibat di dalam urusan Pemburu Bayangan."
Clary mendesaknya. "Tapi kamu mengenal ibuku. Ia
tetanggamu." "Ini penyelidikan resmi dari Kunci." ]ace memotongnya.
"Aku selalu bisa kembali bersama Para Saudara Hening."
"Oh, demi..." bibir Dorothea mengedut. Ia melirik ke
pintunya, lalu kepada Jace dan Clary. "Aku rasa kalian
sebaiknya masuk," kata wanita itu pada akhirnya. "Aku
akan memberi tahu kalian sebisaku."
Dorothea mulai berjalan ke arah pintu, lalu berhenti
di ambang pintu, dan melotot. "Tapi kalau kamu memberi
tahu siapa pun bahwa aku telah membantumu, Pemburu


The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bayangan, besok kamu bangun dengan ular-ular di rambut
dan tangan-tangan tambahan."
138 "Sep ertinya itu bagus, tangan tambahan." ]ace merenung.
"Bisa membantu saat berkelahi."
"Tidak iika mereka tumbuh dari...," Dorothea berhenti
dan tersenyum kepadanya dengan kebencian, "lehermu."
"Uek," kata ]ace pelan.
"Itu benar, ]ace Wayland," kata Dorothea, lalu ia masuk
ke dalam apartemen. Tenda ungunya melayang di sekitarnya
seperti bendera yang mencolok.
Clary menatap Jace. "Wayland?"
"Itu namaku." Jace tampak terguncang. "Aku tidak
bisa bilang aku suka ia mengetahuinya."
Clary menoleh mencari Dorothea. Lampu-lampu di dalam
apartemen menyala. Bau kemenyan yang berat membanjiri jalan
masuk dan bercampur dengan bau amis darah. Baunya iadi
tidak enak. "Tetap saja, aku pikir sebaiknya kita mencoba
berbicara dengannya. Apa ruginya?" kata Clary.
"Begitu kamu telah lebih berpengalaman di dunia kami,"
kata ]ace, "kamu tidak akan menanyakan itu lagi."
139 7 Pintu Lima Dimensi Kama akan jatuh cinta kepada orang yang saiah.
Apartemen Madam Dorothea tampak dirancang sama
dengan punya Clary, meskipun wanita itu menggunakannya
dengan sangat berbeda. Jalan masuknya, yang berbau
busuk gara"gara kemenyan, digantungi gorden manik-manik
dan poster-poster astrologi. Salah satunya menunjukkan
perbintangan zodiak, yang lainnya sebuah panduan simbol"
simbol magis China, yang lainnya menunjukkan sebuah
tangan dengan jemari terentang dan setiap garis telapak
tangannya diberi label dengan hati-hati. Di atas tangan itu
ada naskah Latin yang bertulisan "In Manibus Fortuna"
yang berarti "di dalam tangan keberuntungan". Rak"rak
sempit menahan tumpukan buku di sepaniang dinding di
samping pintu. 140 Salah satu gorden manik"maniknya berderak"derak,
kemudian Madam Dorothea menyentuh kepalanya ke situ.
"Tertarik dengan cbiromancy" Ilmu untuk mengetahui
sifat dan nasib seseorang melalui telapak tangannya."
Dorothea memperhatikan pandangan Clary. "Atau hanya
ingin tahu?" "Tidak dua-duanya," kata Clary. "Kamu benar-benar
bisa meramal?" "Ibuku punya bakat yang luar biasa. Ia dapat melihat
masa depan seseorang dari tangannya atau daun di dasar
cangkir tehnya. Ia mengajariku beberapa triknya." Wanita
itu mengalihkan pandangannya kepada ]ace. "Omong-ornong
tentang teh, anak muda, kamu mau?"
"Apa?" kata ]ace yang tampak bingung.
"Teh. Teh bisa menenangkan perut dan membuat pikiran
berkonsentrasi. Minuman yang luar biasa, teh itu."
"Aku mau teh," kata Clary. Ia menyadari betapa lamanya
sejak ia terakhir kali makan atau minum sesuatu. Ia merasa
adrenalinnya terus mengalir sejak bangun tidur.
]ace mengalah. "Baiklah. Asalkan bukan teh Earl
Gray," dia menambahkan sambil mengerutkan hidungnya
yang bertulang bagus. "Aku benci baunya, bau jeruk
bergamot." Madani Dorothea terkekeh-kekeh dengan keras, lalu
menghilang di balik sebuah garden manik"manik. Gorden
itu melambai dengan lembut di belakangnya.
Clary menaikkan alisnya kepada Jace. "Kamu benci
bergamot?" 141 Jace sedang mondar"mandir di dekat rak buku yang
sempit dan memeriksa isinya. "Kamu ada masalah dengan
itu?" "Mungkin cuma kamu laki"laki sebayaku yang tahu
bergamot itu apa, apalagi bahwa itu ada di dalam teh
Earl Gray." "Yah, begitulah," kata ]ace dengan tampang yang sangat
sombong. "Aku tidak seperti laki"laki lain." Dia menarik
sebuah buku dari rak, dan menambahkan, "Lagipula, di
Institut, kami harus mengambil kelas herbologi dasar dan
manfaat medis dari tanaman. Itu waji ."
"Aku pikir semua kelasrnu seperti Penjagalan 101 dan
Penyembelihan untuk Pemula."
Jaee membalik sebuah halaman. "Sangat lucu, Fray."
Clary, yang sedang mempelaiari poster ilmu rajah tangan
itu, berbalik kepada ]ace, "Jangan memanggilku begitu."
Jace mendongak terkejut. "Kenapa tidak" Itu nama
belakangmu, kan?" Gambaran Simon terbit di balik matanya. Terakhir kali
melihat Clary, Simon memandanginya saat berlari keluar
dari Java Jones. Clary berbalik ke poster lagi. Ia mengerjap.
"Tidak ada alasannya."
"Aku mengerti," kata _]ace. Clary bisa tahu dari suara
]ace bahwa pemuda itu memang mengerti, lebih daripada
yang Clary inginkan. Ia mendengar _Iaee mengembalikan
buku ke dalam rak. "Ini pasti sampah yang ia gunakan
untuk mempengaruhi kaum fana yang percaya," kata
142 pemuda itu. Suaranya terdengar jijik. "Tidak ada tulisan
yang serius di sini."
"Hanya karena itu bukan jenis sihir yang kamu pakai..."
Clary mulai bicara dengan iengkel.
Jace mengerang dengan kesal sehingga Clary diam. "Aku
tidak memakai sihir," kata ]ace. "Simpan di kepalamu ya,
manusia bukanlah pemakai sihir. Inilah yang membuat mereka
menjadi manusia. Penyihir dan warlock bisa memakai sihir
hanya karena mereka punya darah iblis."
Clary butuh seienak untuk memikirkannya. "Tapi aku
telah melihatmu memakai sihir. Kamu memakai senjata
yang dimantrai..." "Aku memakai peralatan yang berkekuatan sihir," kata
Jace. Dia masuk ke Mode Pengajaran. "Dan hanya untuk
bisa memakainya, aku harus menempuh latihan keras. Tato
rune di kulitku juga melindungiku. Kalau kamu mencoba
memakai salah satu pisau seraph, dalam sekejap, pisau itu
akan membakarmu, mungkin membunuhmu."
"Bagaimana kalau aku memakai tato?" Clary bertanya.
"Bisakah aku memakainya?"
"Tidak," kata Jace dengan marah. ?"Tanda"tanda ini
hanya sebagian dari seluruh prosesnya. Ada tes, uji coba,
pelatihan yang bertingkat"tingkat... Dengar, lupakan saia,
oke" Menjauhlah dari pisauku. Sebenarnya, jangan sentuh
senjataku yang mana pun tanpa izinku."
"Yah, padahal aku berencana menjual semuanya di
Ebayl," Clary bergumam.
1 Nama sebuah s'rtus pelelangan yang terkenal
143 "Menjualnya di mana?"
Clary tersenyum meledek kepadanya. "Tempat mistis
berkekuatan sihir yang hebat."
Jaee tampak bingung, lalu mengangkat bahu. "Kebanyakan
mitos itu memang benar, setidaknya sebagian."
"Aku mulai mengerti itu."
Gorden manik"manik itu berderak lagi, lalu kepala
Madam Dorothea muncul. "Tehnya sudah di meja," katanya.
"Kalian tidak perlu berdiri terus di situ seperti keledai. Ayo
masuk ke ruang tamu."
"Ada ruang tamu?" tanya Clary.
"Tentu saja ada," kata Dorothea. "Di mana lagi aku
menjamu?" "Aku akan memberikan topiku kepada pelayan," kata
Jace. Madam Dorothea menatapnya dengan muram. "Kalau
kamu setengah lucu dari yang kamu kira, anakku, kamu
sudah dua kali lebih lucu daripada yang sesungguhnya."
Ia menghilang di balik gorden. Suaranya "Hmph!" yang
keras hampir terbenam oleh suara manik"manik yang
berderak"derak. Jace mengernyit. "Aku tidak begitu mengerti
maksudnya." "Sungguh," kata Clary. "Aku mengerti sepenuhnya."
Gadis itu masuk menembus garden manik-manik sebelum
Jace bisa menjawab. Ruang tamu itu begitu temaram sehingga Clary perlu
mengerjapkan matanya beberapa kali untuk menyesuaikan
144 diri. Lampu redup memperlihatkan garden beledu yang
dipasang di seluruh dinding kiri. Banyak burung dan
kelelawar yang diawetkan sudah tergantung di langit"langit
dengan kawat tipis. Manik"manik yang berkilauan mengisi
tempat mata mereka seharusnya berada. Lantainya dilapisi
permadani Persia yang berjumbai. Debu bergumpal-gumpal
di bawah kaki. Sekelompok bangku merah muda yang ada bantalnya
berkumpul di sekitar sebuah meja rendah. Setumpukan
kartu tarot yang diikat dengan pita sutra terletak di ujung
meia. Sebuah bola kristal dengan tatakan emas diletakkan di
ujung yang satunya. Di tengah-tengah meja ada peralatan teh
dari perak. Untuk menemaninya, ada sepiring roti isi yang
ditumpuk rapi, teko teh berwarna biru yang mengepulkan
aliran tipis asap putih, dan dua cangkir teh dengan tatakan
yang sesuai warnanya. Semua itu diatur dengan hati-hati di
depan bangku. "Wah," kata Clary pelan. "Kelihatannya enak." Ia duduk
di salah satu bangku. Ia senang bisa duduk.
Dorothea tersenyum. Matanya berkilau dengan humor
yang tersembunyi. "Minumlah tehnya," katanya sambil
mengangkat teko. "Susu" Gula?"
Clary menoleh kepada Jace. Pemuda itu sedang duduk
di sebelahnya dan sudah mengambil piring roti isi. Dia
memperhatikannya dengan saksama.
"Gula," kata Clary.
Jaoe mengangkat bahu, mengambil sepotong roti, lalu
meletakkan piringnya. Clary memperhatikannya dengan
145 hati-hati saat Jace menggigit roti itu. ]ace mengangkat bahu.
"Timun," katanya sebagai jawaban atas tatapan Clary.
"Aku selalu berpikir roti isi timun cocok dengan teh,
ya kan?" Madam Derothea bertanya, tidak secara khusus
kepada siapa"siapa. "Aku benci timun," kata ]ace dan menyerahkan sisa
rotinya kepada Clary. Gadis itu menggigitnya. Roti itu
dibumbui dengan jumlah mayones dan merica yang tepat.
Perutnya bergemuruh penuh syukur atas makanan pertama
yang dicicipinya sejak makan burrito bersama Simon.
"Timun dan bergamot," kata Clary. "Ada lagi yang
kamu benci yang perlu aku tahu?"
Jace menatap Dorothea dari pinggiran cangkir tehnya.
"Pembohong," katanya.
Dengan tenang, wanita tua itu meletakkan teko tehnya.
"Kamu bisa menyebutku pembohong kalau kamu mau. Itu
benar, aku memang bukan penyihir. Tapi ibuku iya."
Jace tersedak tehnya. "Itu mustahil."
"Kenapa mustahil?" Clary bertanya dengan penasaran. la
meneguk tehnya. Rasanya pahit, baunya kuat, dan asapnya
seperti tanah dibakar. Jace mengembuskan nafas. "Karena mereka setengah
manusia, setengah iblis. Semua penyihir dan warlock adalah
peranakan. Dan karena mereka peranakan, mereka tidak
bisa punya anak. Mereka steril."
"Seperti keledai," kata Clary sambil berpikir. Ia mengingat
sesuatu dari kelas biologinya. "Keledai adalah peranakan
yang steril." 146 "Pengetahuanmu tentang hewan ternak memang menge-
iutkan," kata _Iace. "Semua Penghuni Dunia Bawah punya
darah iblis, tapi hanya warlock yang merupakan anak dari
orang tua iblis. Itulah mengapa kekuatan mereka yang
paling kuat." "Vampir dan manusia serigala..., mereka punya darah
iblis juga" Kalau peri?"
"Vampir dan manusia serigala adalah hasil dari wabah
yang dibawa oleh iblis dari dimensi asal mereka. Kebanyakan
wabah iblis mematikan bagi manusia. Tapi dalam kasus
ini, mereka membuat perubahan aneh bagi orang"orang
yang terinfeksi, tanpa benar"benar membunuh mereka. Dan
peri..." "Peri adalah malaikat yang jatuh," kata Dorothea,
"dibuang dari Surga akibat keangkuhan mereka."
"Itu legendanya," kata Jace. "Ada juga cerita bahwa
mereka merupakan peranakan iblis dengan malaikat. Itu
lebih masuk akal bagiku. Kebaikan dan kejahatan, bercampur
menjadi satu. Peri secantik sebagaimana malaikat seharusnya,
tapi ada banyak kejahatan dan kekejaman di dalam diri
mereka. Dan kamu akan memperhatikan bahwa kebanyakan
dari mereka menghindari matahari tengah hari..."
"Karena yang jahat tidak punya kekuatan," kata Dorothea
dengan lembut seakan"akan ia sedang membawakan sebuah
irama kuno, "kecuali di dalam kegelapan."
]ace mengerutkan dahi ke arah wanita itu. Clary berkata,
"Seharusnya" Maksudmu malaikat tidak..."
14]' "Cukup tentang malaikat," kata Dorothea yang mendadak
terdengar praktis. "Benar bahwa warlock tidak bisa punya
anak. Ibuku mengadopsiku karena ia ingin memastikan ada
orang di sini setelah ia pergi. Aku tidak perlu menguasai sihir
sendiri. Aku hanya perlu memperhatikan dan menjaga."
"Menjaga apa?" tanya Clary.
"Apa sesungguhnya" " Sambil mengedip, wanita yang lebih
tua itu meraih sepotong roti dari piringnya, tapi ternyata
sudah kosong. Clary telah memakan semuanya. Dorothea
tergelak. "Senang melihat seorang wanita muda makan sampai
kenyang. Di masaku, gadis-gadis bertubuh tegap dan kuat,


The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukan sekurus ranting seperti zaman sekarang."
"Makasih," kata Clary. Ia memikirkan lengan Isabelle
yang seperti tongkat dan pinggulnya yang kecil. Tiba-tiha
Clary merasa dirinya sebesar raksasa. Ia meletakkan cangkir
tehnya yang kosong dengan bergemerencing.
Madam Dorothea langsung menyambar cangkir itu dan
menatapnya lekat"lekat. Alisnya yang dilukis dengan pensil
sekarang membentuk garis.
"Apa?" kata Clary gugup. "Tadi aku meretakkan
cangkirnya atau semacam itu?"
"Ia sedang membaca daun tehmu," kata Jace terdengar
bosan. Tapi dia ikut memiringkan badan bersama Clary
saat Dorothea memutar-mutar cangkir itu di jemarinya yang
tebal. Wanita itu mengerutkan dahinya.
"Apakah buruk?" tanya Clary.
148 "Tidak baik maupun buruk. Membingungkan." Do-
rothea menatap Jace. "Berikan cangkirmu," wanita tiu
memerintahkan. Jace tampak kesal. "Tapi aku belum selesai minum..."
Dorothea merenggut cangkir dari tangan Jace dan
menuangkan sisa teh ke dalam teko. Sambil mengernyit, ia
memandangi apa yang tersisa. "Aku melihat kekerasan di
masa depanmu. Ada banyak darah ditumpahkan olehmu
dan yang lainnya. Kamu akan jatuh cinta kepada orang
yang salah. Juga, kamu punya seorang musuh."
"Hanya satu" Itu kabar bagus." _]ace bersandar ke
kursinya kembali saat Dorothea meletakkan cangkirnya dan
mengambil punya Clary lagi. Wanita itu menggelengkan
kepalanya. "Tidak ada yang bisa aku baca di sini. Gambarannya
bercampur aduk tanpa arti." Ia melirik Clary. "Apakah ada
penghalang di dalam benakmu?"
Clary bingung. "Ada apa?"
"Seperti mantra yang mungkin mengunci ingatan, atau
telah menghalangi Penglihatanmu."
Clary menggeleng. "Tidak, tentu saja tidak."
Jace maju lagi dengan waspada. "Jangan terburu-buru,"
katanya. "Benar bahwa ia menyatakan tidak ingat pernah
punya Penglihatan sebelum minggu ini. Mungkin..."
"Mungkin aku cuma terlambat berkembang," Clary
mendengus. "Dan jangan mencibir, hanya karena aku
mengatakan itu." 149 Jace menggoyangkan tangannya. "Aku tidak bermaksud
begitu." "Tadi kamu mencibir, aku tahu."
"Mungkin," Jace mengakui, "tapi itu tidak berarti aku
tidak benar. Ada sesuatu menghalangi ingatanmu, aku
yakin itu." "Baiklah, kita coba yang lain saja." Dorothea meletakkan
cangkir itu, lalu meraih kartu Tarot yang dibungkus sutra.
Ia membuat kipas dari kartu itu dan memegangnya di
depan Clary. "Seluncurkan tanganmu di sini sampai kamu
menyentuh salah satu yang terasa hangat atau dingin, atau
lengket di jemarimu. Lalu tarik yang itu dan tunjukkan
kepadaku." Dengan patuh, Clary menelusurkan jemarinya di atas
kartu. Mereka terasa dingin dan licin, tapi tidak ada yang
secara khusus hangat atau dingin, dan tidak ada yang
menempel di jemarinya. Akhirnya ia memilih satu secara
acak, dan mengacungkannya.
"Kartu As," kata Dorothea. Ia terdengar bingung.
"Kartu Cinta." Clary membalik dan menatap kartunya. Kartu itu
terasa berat, dan gambar di depannya tebal karena dilukis
sungguhan. Itu gambar sebuah tangan memegang piala di
depan matahari yang bersinar dengan berkilat"kilat. Piala
itu terbuat dari emas, berukiran pola matahari kecil-kecil,
dan ditaburi batu rubi. Gaya seninya akrab bagi Clary
bagaikan nafasnya sendiri. "Ini kartu yang bagus, kan?"
tanya Clary. 150 "Tidak selalu. Hal"hal terburuk yang dilakukan oleh
manusia, mereka melakukannya atas nama cinta," kata
Madame Dorothea. Mata gelapnya bersinar. "Tapi ini kartu
yang kuat. Apa maknanya bagimu?"
"Bahwa ibuku melukiskannya," kata Clary, lalu menja-
tuhkan kartu itu ke atas meja. "Benar, ya kan?"
Dorothea mengangguk dengan wajah puas. "Ia melu-
kiskan seluruh paket kartu ini. Hadiah untukku. Bagian
kebaikannya." "Jadi, kamu bilang begitu." Jace berdiri. "Seberapa baik
kamu mengenal ibu Clary?"
Clary mendongak untuk menatap Jace. "]ace, kamu
tidak perlu..." Dorothea duduk kembali di kursinya, kartu-kartunya
membentuk kipas di depan dadanya yang lebar. "Jocelyn
tahu dulu aku apa, dan aku tahu dulu ia apa. Kami tidak
banyak membicarakannya. Kadang-kadang ia melakukan
sesuatu untukku. la melukiskan satu pak kartu ini, misalnya.
Sebagai balasannya, secara berkala aku memberitahunya
gosip dari Dunia Bawah. Ada nama yang ia minta untuk
aku perhatikan, dan aku telah melakukannya."
Ekspresi Jane tidak bisa dibaca. "Nama apa?"
"Valentine." Clary duduk tegak di kursinya. ]aee tidak berekspresi.
"Dan ketika kamu bilang kamu tahu ]ocelyn dulunya apa,
apa maksudmu" Dulu ia apa?"
151 "_Iocelyn adalah dirinya sendiri," kata Dorothea. "Tapi di
masa lalunya, ia seperti kamu. Seorang Pemburu Bayangan.
Salah satu Kunci." "Tidak," bisik Clary.
Dorothea menatap Clary dengan sedih, matanya tampak
baik hati. "Itu benar. Ia memilih untuk tinggal di rumah
ini tepatnya karena?"
"Karena ini adalah Perlindungan." _]aee menyela. "Benar,
kan" Ibumu adalah Pengendali. Ia membuat, menyembunyikan,
dan melindungi tempat ini. Ini tempat sempurna bagi
Penghuni Dunia Bawah yang sedang dalam pelarian untuk
bersembunyi. ltulah apa yang kamu lakukan, kan" Kamu
menyembunyikan para kriminal di sini."
"Kamu memang menyebut mereka begitu," kata Dorothea.
"Kamu tahu moto Perjanjian?"
"Sed lex dara lex," kata ]ace otomatis. "Hukum itu
keras, tapi itulah Hukum."
"Kadang-kadang Hukum terlalu keras. Aku tahu Kunci
akan memisahkanku dari ibuku kalau mereka bisa. Kamu
ingin aku membiarkan mereka melakukan yang sama kepada
orang lain?" "Jadi, kamu seorang filantropisz." Bibir ]ace tertekuk.
"Aku rasa kamu ingin aku percaya bahwa Penghuni Dunia
Bawah tidak membayarmu dengan cukup cakap untuk
keistimewaan Perlindunganmu?"
2 Mencintai manusia 152 Dorothea menyeringai cukup lebar untuk memperlihatkan
kilatan geraham-geraham emasnya. "Tidak semua orang bisa
diterima berdasarkan penampilannya seperti kamu."
Jace tampak tidak tergerak oleh sanjungan tersebut.
"Aku harus memberi tahu Kunci tentang kamu?"
"Jangan!" Clary sudah berdiri sekarang. "Kamu sudah
janji." "Aku tidak pernah berjanii apa-apa." Jace tampak
melawan. Dia melangkah ke dinding dan menggeser salah
satu gorden beledu ke samping. "Kamu ingin memberitahuku
ini apa?" dia bertanya.
"Itu pintu, Jace," kata Clary. Itu memang pintu yang
dipasang dengan aneh di dinding di antara dua jendela. Jelas
bahwa itu bukan pintu yang menuju ke mana pun, karena
kalau iya pasti tampak dari bagian luar rumah. Sepertinya,
pintu itu terbuat dari logam yang bersinar dengan lembut,
lebih tipis daripada kuningan, tapi seberat besi. Kenopnya
telah dibuat berbentuk mata.
"Diamlah," kata ]ace dengan marah. "Ini Portal. Benar,
kan?" "Ini Pintu Lima Dimensi," kata Dorothea sambil
meletakkan kartu Tarotnya kembali di atas meia. "Dimensi
tidak semuanya bergaris lurus, tahu kan," ia menambahkan
sebagai jawaban tatapan Clary yang kosong. "Ada lubang dan
lipatan dan sudut dan celah. Semuanya terselip-selip. Agak sulit
menjelaskannya kalau kamu belum pernah mempelajari teori
dimensi. Tapi pada dasarnya, pintu itu dapat membawamu
ke mana saja yang kamu mau. Ini adalah..."
153 "Ini lubang untuk menyelamatkan diri," kata Jace.
"Itulah mengapa ibumu ingin tinggal di sini. Jadi ia bisa
selalu pergi begitu ada peringatan."
"Kalau begitu, kenapa ia tidak..." Clary mulai bicara,
lalu berhenti karena mendadak merasa ngeri. ?"Cara-gara
aku," katanya. "Ibuku tidak akan pergi tanpaku, malam
itu. Jadi ia tetap di sini."
Jace menggelengkan kepalanya. "Jangan menyalahkan
dirimu..." Saat merasa air mata telah terkumpul di pelupuk
matanya, Clary mendorong Jace ke pintu. "Aku ingin melihat
seharusnya ia telah pergi ke mana," kata Clary sambil
meraih ke pintu. "Aku ingin melihat hendak ke mana ia
menyelamatkan diri..."
"Clary, jangan!" ]ace mencoba meraihnya, tapi jemari
Clary sudah memegang kenop. Benda itu berputar cepat di
tangannya, lalu pintu terbang terbuka seakan-akan gadis itu
mendorongnya. Dorothea susah"payah berdiri sambil berteriak,
tapi sudah terlambat. Sebelum Clary selesai bicara, ia sudah
terlempar ke depan dan jatuh ke dalam ruang kosong.
154 8 Senjata Pilihan Pada saat dia kembali, dia akan meiibas siapa pun yang
menghalangi jaianaya. Clary terlalu terkejut untuk menjerit. Sensasi yang ia rasakan
ketika jatuh merupakan bagian terburuk. _Iantungnya serasa
melayang ke tenggorokannya dan perutnya berubah menjadi
air. Clary melempar tangannya, berusaha menangkap sesuatu,
apa pun yang dapat memperlambat jatuhnya.
Tangannya menutup pada dahan. Dedaunan tersobek
di genggamannya. Ia jatuh ke tanah dengan keras. Pinggul
dan pundaknya menghantam onggokan bumi. la berbalik,
lalu menghirup udara ke dalam paru-parunya. Ia baru saja
hendak duduk ketika seseorang mendarat di atasnya.
Gaya tubrukan menghantamnya ke bawah. Sebuah kening
menghantam keningnya, lututnya mengetuk lutut orang lain.
Terperangkap di dalam lengan-lengan dan kaki-kaki, Clary
155 membatukkan rambut (bukan rambutnya sendiri) supaya
keluar dari mulutnya dan mencoba berjuang keluar dari
berat yang rasanya melumatkan dirinya menjadi rata.
"Aduh," kata Jace di telinganya. Nada suaranya gusar.
"Kamu menyikutku."
"Yah, kamu mendarat di atasku."
Jace mengangkat tubuhnya dengan bertumpu kepada
lengannya, lalu menatap Clary dengan tenang. Clary
dapat melihat langit biru di atas kepalanya, sedikit cabang
pepohonan, dan ujung rumah papan yang berwarna abu-
abu. "Yah, kamu tidak memberiku banyak pilihan, kan?"
tanya _]ace. "Tiba-tiba saja kamu melompat dengan ringan
masuk ke Portal seperti melompat dari kereta bawah tanah.
Untungnya kita tidak terlempar ke Sungai Eastl."
"Kamu tidak harus menyusulku."
"Ya, harus," kata Jace. "Kamu terlalu tidak berpeng-
alaman untuk melindungi diri sendiri di dalam situasi sulit
tanpaku." "Itu manis. Mungkin aku akan memaafkanmu."
"Memaafkanku" Untuk apa?"
"Karena menyuruhku diam."
Mata ]ace menyipit. "Aku tidak... yah, memang, tapi
waktu itu kamu?" "Lupakan saia." Lengan Clary, yang terjepit di bawah
punggungnya, mulai kesemutan. Setelah berputar ke samping
untuk membebaskan tangannya, Clary melihat rumput cokelat
1 Sungai East sebenarnya adalah selat pasang surut yang membatasi Manhattan
dan Bronx dari Queens den Brooklyn. Selat ini menghubungkan Pantai Utara
New York dengan Long Island Sound.
156 di pekarangan yang kering, pagar yang dirantai, dan lebih
banyak lagi rumah papan berwarna abu-abu. Sekarang
rumah itu terasa akrab dan membuat Clary sedih.
Clary terpaku. "Aku tahu di mana kita."
Jace berhenti berbicara dengan gugup. "Apa?"
"Ini rumah Luke." Clary duduk, mendorong ]ace
ke samping. Pemuda itu bergeser dengan anggun, lalu
mengulurkan tangan untuk membantunya naik. Clary tidak
menghiraukannya dan berjuang berdiri, lalu menggoyang-
goyangkan lengannya yang kesemutan.
Mereka berdiri di depan rumah deret kecil yang berwarna
abu-abu. Rumah itu didekap rumah-rumah deret lainnya yang
berbaris di perumahan Williamsburg. Angin sepoi-sepoi yang
tajam meniup Sungai East, menggoyang tanda yang bergantung
di bata di depan undakan. Jace membaca tulisan berhuruf
cetak itu keras-keras, "Toko Buku Garroway, Kualitas Baik,
Bekas Pakai, Baru, dan Cetakan. Sabtu Tatap."
]ace melirik pintu depan yang gelap. Kenopnya terikat
gembok yang berat. Ada surat yang sudah berusia beberapa
hari tergeletak di kesemya. Surat itu belum tersentuh. ]ace
menoleh kepala Clary. "Dia tinggal di toko buku?"
"Dia tinggal di belakang toko." Clary celingukan ke
jalanan yang kosong. Jalanan itu dibatasi di salah satu ujungnya
oleh lengkungan Jembatan Williamsburg yang membentang
di Sungai East, dan pabrik gula yang terbengkalai. Di
seberang sungai yang berarus lamban, matahari menggantung


The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di belakang gedung"gedung pencakar langit di Manhattan
151r selatan, dan menyiramkan sinarnya yang keemasan. "_Iace,
bagaimana tadi kita bisa sampai ke sini?"
"Menembus Portal," kata ]ace sambil memeriksa gembok
itu. "Benda itu bisa membawamu ke mana pun yang kamu
pikirkan." "Tapi aku tidak memikirkan tempat ini," Clary keberatan.
"Aku tidak berpikir mau ke mana-mana."
"Pasti begitu." Jace melepaskan topik itu. Dia tampak
tidak tertarik. "Jadi, karena kita sudah telanjur di sini..."
"Ya?" "Kamu mau melakukan apa?"
"Pergi, aku rasa," kata Clary pahit. "Luke melarangku
ke sini." Jace menggelengkan kepalanya. "Lalu kamu terima
saja?" Clary memeluk tubuhnya. Meskipun ada hangatnya men-
tari siang, ia merasa kedinginan. "Aku punya pilihan?"
"Kita selalu punya pilihan," kata Jace. "Kalau aku jadi
kamu, aku agak mencurigai Luke sekarang. Kamu punya
kunci rumah ini?" Clary menggeleng. "Tidak, tapi kadangukadang dia
membiarkan pintu belakangnya tidak terkunci." Ia menunjuk
ke gang sempit di antara rumah petak Luke dengan rumah
berikutnya. Tempat sampah plastik berjejer rapi di samping
tumpukan koran yang terlipat dan botol"botol soda kosong.
Setidaknya, Luke masih menjadi pendaur yang bertanggung
jawab. 158 ]ace menuruni tangga, satu langkah dua anak tangga
sekaligus, lalu mendarat di samping Clary dengan menginjak
kerikil sampai berdetak pelan. "Kamu yakin dia tidak di
rumah?" tanya Jace. Clary melihat ke pinggiran jalan yang kosong. "Yah,
truknya tidak ada, tokonya ditutup, dan semua lampunya
mati. Aku rasa dia tidak ada di rumah."
"Kalau begitu, pimpin jalannya."
Gang sempit di antara rumah"rumah petak berakhir
di pagar tinggi yang dirantai. Pagar itu mengelilingi kebun
belakang Luke yang kecil. Tanaman yang tumbuh di situ
hanya rumput yang telah menembus trotoar sampai pecah
menjadi pecahan bubuk. "Lewat atas," kata Jace. Dia memasukkan kakinya ke
celah di pagar, lalu mulai memanjat. Pagar itu berdetak-
derak dengan sangat keras sehingga Clary celingukan dengan
gugup, tapi tidak ada cahaya di rumah"rumah tetangga.
Jace membersihkan puncak pagar, dan melompat ke sisi
seberang. Dia mendarat di semak"semak dengan disertai
erangan mengerikan yang memekakkan telinga.
Sejenak Clary berpikir Jace pasti telah mendarat di
atas seekor kucing liar. Gadis itu mendengar Jace berteriak
terkejut saat mundur. Sebuah bayangan gelap keluar dari
belukar di kaki Jace, dan berlari melintasi halaman dengan
tetap merunduk. Bayangan itu terlalu besar untuk seekor
kucing. Setelah berputar supaya bisa berdiri, Jace berlari
mengejarnya. Wajah Jace tampak mematikan.
159 Clary mulai memanjat. Celana jins Isabelle tersangkut di
kawat saat Clary melangkahi puncak pagar. Bagian samping
celana itu jadi sobek. Clary sampai di tanah dengan sepatu
kain merusak debu tipis, tepat ketika Jace berteriak penuh
kemenangan. "Dapat!"
Clary berputar untuk melihat _]ace duduk di atas
penyelundup yang ceroboh itu. Tangan si penyelundup berada
di atas kepalanya. Jaee mencengkeram pergelangan tangan
orang itu. "Ayo, aku mau lihat wajahmu..." kata ]ace.
"Menyingkirlah dariku, dasar brengsek," penyelundup
itu menggertak sambil mendorong Jace. Dia berjuang untuk
duduk, kacamatanya miring.
Langkah Clary terhenti mati di tengah jalan.
"Simon?" "Ya Tuhan," kata Jace terdengar pasrah. "Padahal aku
benar-benar berharap telah menangkap seseorang yang
menarik." "Tapi apa yang sedang kamu lakukan dengan bersembunyi di
semak-semak Luke?" tanya Clary sambil menepis dedaunan
dari rambut Simon. Sahabatnya itu menerima bantuan Clary
dengan pandangan muram. Entah bagaimana, ketika Clary
membayangkan pertemuannya kembali dengan Simon ketika
semua masalah ini usai, suasana hati Simon akan lebih baik.
"Itulah yang aku tidak mengerti," kata Clary.
"Sudah, itu cukup. Aku bisa membersihkan rambutku
sendiri, Fray," kata Simon. Dia menghindar dari sentuhan
Clary. Mereka duduk di undakan serambi belakang Luke.
160 ]ace bersandar di susuran tangga dan berpura-pura tidak
menghiraukan mereka. Dia mengikir ujung kukunya dengan
stelanya. Clary ingin tahu apakah Kunci akan menyetujui
tindakannya itu. "Maksudku, Luke tahu tadi kamu di sana?" tanya
Clary. "Tentu saja dia tidak tahu tadi aku di sana," kata
Simon jengkel. "Aku tidak pernah bertanya kepadanya, tapi
aku yakin dia punya kebijakan keras tentang remaja asing
yang bersembunyi di semak"semaknya."
"Kamu bukan orang asing, dia kenal kamu." Clary
ingin menggapai dan menyentuh pipi Simon yang masih
sedikit berdarah karena tergores dahan pohon. "Tapi yang
penting kamu baik"baik saja."
"Aku baik"baik saja?" Simon tertawa dengan suara
yang tajam dan tidak senang. "Clary, kamu bisa bayangkan
apa saja yang telah aku lalui selama beberapa hari terakhir
ini" Terakhir kali aku melihatmu, kamu berlari keluar dari
Java Jones seperti kelelawar keluar dari gua, lalu kamu...
menghilang begitu saja. Kamu tidak pernah mengangkat
ponselrnu, lalu telepon rumahmu terputus, lalu Luke bilang
kamu tinggal bersama saudara di negara bagian lain. Padahal
aku tahu kamu tidak punya saudara lagi. Aku kira aku
sudah membuatmu marah?"
"Memangnya kamu sudah melakukan apa?" Clary
meraih tangan pemuda itu, tapi Simon menariknya kembali
tanpa menatap gadis itu. "Aku tidak tahu," kata Simon. "Sesuatu."
161 Jace, yang masih sibuk dengan stelanya, menahan
tawa. "Kamu sahabatku," kata Clary. "Aku tidak marah
kepadamu." "Yah, jelas-jelas kamu tidak mau repot"repot meneleponku
dan memberitahuku bahwa kamu sekarang kumpul kebo
dengan cowok dicat pirang yang ingin menjadi gotb, alias
orang aneh, yang pernah kamu temui di Pandemonium,"
Simon menjelaskan dengan pahit. "Setelah aku menghabiskan
tiga hari terakhir dengan bertanya-tanya apakah kamu
sudah mati." "Aku tidak kumpul kebo," kata Clary. Ia bersyukur
sekarang sudah gelap sehingga wajahnya yang memerah
tidak kelihatan. "Dan rambutku pirang asli," kata Jace. "Untuk dicatat
saja." "Jadi, kamu ke mana saja selama tiga hari terakhir
ini?" kata Simon. Matanya gelap karena curiga. "Kamu
benar-benar punya Adik"Nenek Matilda yang mengidap flu
burung dan perlu dirawat sampai sembuh?"
"Luke benar"benar bilang begitu?"
"Tidak, dia cuma bilang kamu dan ibumu sedang pergi
mengunjungi saudara yang sakit, dan ponselrnu mungkin
tidak mendapatkan sinyal di desa. Tadinya aku percaya dia.
Setelah dia mengusirku dari serambi depannya, aku pergi ke
samping rumahnya, dan mengintip dari balik jendela. Aku
melihat dia mengepak ransel hijau seperti akan bepergian
162 selama akhir pekan. Itulah mengapa aku memutuskan untuk
tetap di sana dan memantau keadaan."
"Kenapa" Karena dia mengepak tas?"
"Dia mengepaknya sampai penuh dengan senjata,"
kata Simon. Dia menggosok darah di pipinya dengan kerah
kausnya. "Pisau, belati, bahkan pedang. Lucunya, beberapa
senjata itu tampak seperti bersinar." Dia beralih dari Clary
ke Jace, lalu kembali lagi. Nada suaranya berakhir setajam
salah satu pisau Luke. "Jadi, kamu akan bilang aku
membayangkannya saja?"
"Tidak," Clary. "Aku tidak akan hilang begitu." lamelirik
Jace. Cahaya matahari yang hampir terbenam memantulkan
percikan keemasan dari mata ]ace. Clary berkata, "Aku
akan memberitahu Simon yang sebenarnya."
"Aku tahu." "Kamu akan berusaha menghentikanku?"
]ace memandangi stela di tangannya. "Sumpahku kepada
Perjanjian mengikatku," katanya. "Tidak ada sumpah yang
mengikatmu." Clary berbalik kepada Simon, lalu menarik nafas
dalamudalam. "Baiklah," kata gadis itu. "Inilah yang perlu
kamu ketahui." Matahari telah bergulir seluruhnya melewati cakrawala.
Serambi itu sudah gelap ketika Clary berhenti berbicara.
Simon mendengarkan penjelasannya yang panjang dengan
tenang, hanya mengemyit sedikit ketika Clary sampai ke
bagian tentang iblis Pembuas. Clary bercerita tanpa banyak
163 detail karena tidak ingin merasakan pengalamannya di
malam itu lagi. Ketika selesai bicara, Clary berdeham.
Tenggorokannya kering. Tiba-tiba ia setengah mati ingin
minum segelas air. "Jadi," kata Clary, "ada pertanyaan?"
Simon mengangkat tangannya. "Oh, aku punya perta-
nyaan. Beberapa." Clary mengembuskan nafas dengan hati-hati. "Oke,
lempar saja." Simon menunjuk Jace. "Jadi, dia adalah..., bagaimana
kamu menyebut orang seperti dia?"
"Dia seorang Pemburu Bayangan," kata Clary.
"Pemburu Iblis," ]ace menambahkan dengan sikapnya
yang kurang sabaran seperti biasa. "Aku membunuh iblis.
Tidak serumit itu sesungguhnya."
Simon menatap Clary lagi. "Sungguhan?" Mata Simon
menyipit seakan-akan dia setengah berharap Clary akan
berkata bahwa tidak ada yang benar. Mungkin _Iace sebenarnya
orang gila berbahaya yang kabur dari rumah sakit, dan
Clary memutuskan untuk berteman dengan ]ace demi
kemanusiaan. "Sungguhan." Ada ketertarikan di wajah Simon. "Dan ada vampir juga"
Manusia serigala, warlock, semua yang semacam itu?"
Clary menggigiti bibir bawahnya. "Begitulah yang aku
dengar." "Dan kamu membunuhnya juga?" Simon bertanya. Dia
mengarahkan pertanyaannya kepada ]ace. Pemuda itu sedang
164 memasukkan stelanya kembali dan memeriksa apakah ada
cacat di kukunya yang sempurna.
"Hanya kalau mereka nakal."
Selama sejenak, Simon hanya duduk dan memandangi
kakinya. Clary bertanya-tanya apakah memb ebaninya dengan
semua informasi tadi merupakan tindakan yang salah. Di
dalam dirinya, Simon mempunyai unsur praktis yang lebih
kuat daripada semua kenalan Clary. Mungkin Simon tidak
suka mengetahui hal seperti ini, sesuatu yang sama sekali
tidak mempunyai penjelasan yang masuk akal.
Clary memiringkan badannya ke depan dengan gelisah
saat Simon mengangkat kepalanya. "Itu sangat luar biasa,"
kata Simon. ]aee tampak sekaget Clary. "Luar biasa?"
Simon mengangguk dengan bersemangat sampai"sampai
ikal gelap di kepalanya bergoyang. "Seluruhnya. Ini seperti
video game berjudul Dungeons cmd Dragons, tapi nyata."
Jace menatap Simon seakan-akan sahabat Clary itu
serangga yang aneh. "Seperti apa?"
"Itu nama permainan," Clary menjelaskan. Samar"samar
Clary merasa malu. "Orang berpura"pura menjadi penyihir dan
elf, lalu mereka membunuh monster dan semacamnya."
Jace tampak terheran-heran.
Simon menyeringai. "Kamu belum pernah mendengar
tentang Dungeons and Dragons?"
"Aku pernah mendengar tentang dungeons"penjara
bawah tanah," kata _Iace. "Juga naga. Walaupun mereka
hampir punah." 165 Simon tampak kecewa. "Kamu belum pernah membunuh
naga?" "Mungkin dia juga belum pernah bertemu wanita elf
seksi setinggi 180 senti yang memakai bikini bulu," Clary
berkata dengan jengkel. "Sudahlah, Simon."
"Elf yang sebenarnya bertinggi hampir dua setengah
meter," _]ace menjelaskan. "Juga, mereka menggigit."
"Tapi vampir seksi, kan?" kata Simon. "Maksudku,
sebagian dari vampir itu cewek, ya kan?"
Clary sempat khawatir Jace akan menyergap melintasi
serambi dan mencekik Simon tanpa rasa. Namun, _]ace
tampak mempertimbangkannya. "Beberapa di antara mereka,
mungkin." "Luar biasa," Simon mengulang. Clary memutuskan
bahwa ia lebih suka bertengkar dengan Simon daripada
seperti ini. Jace meluncur dari pegangan tangga serambi. "Jadi, kita
akan mencari-cari di rumah ini atau tidak?"
Simon berdiri. "Aku ikut. Kita sedang mencari apa?"
"Kita?" kata ]ace dengan halus, tapi sinis. "Aku tidak
ingat pernah mengajakmu ikut."


The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"face," kata Clary dengan marah.
Sudut kiri mulut _Iace tertekuk. "Cuma bercanda." Jace
bergeser ke samping supaya gadis itu bisa lewat ke pintu.
"Silakan?" Clary meraba-raba mencari kenop pintu itu di dalam
gelap. Pintu itu membuka sehingga lampu serambi tergerak dan
166 menerangi jalan masuk. Pintu untuk ke toko buku ternyata
tertutup. Clary menggoncangkan kenopnya. "Terkunci."
"Coba aku saja, fana," kata Jace sambil menggeser
Clary dengan lembut. Pemuda itu mengeluarkan stela dari
sakunya, dan memasukkannya ke dalam pintu. Simon
memperhatikannya dengan agak kesal. Clary pikir, cewek
vampir sebanyak apa pun tidak akan membuat Simon
menyukai Jaee. "Dia benar"benar mengesalkan, ya kan?" Simon bergu-
mam. "Bagaimana kamu bisa tahan dengan dia?"
"Dia telah menyelamatkan hidupku."
Simon langsung menoleh ke arah Clary.
"Bagaimana..." Dengan bunyi klik, pintu itu mengayun terbuka. "Ayo
masuk," kata ]ace sambil menyelipkan stelanya kembali ke
dalam sakunya. Clary melihat tanda di pintu, tepat di atas kepalanya,
memudar saat mereka masuk ke dalam. Pintu belakang itu
membuka ke dalam gudang kecil. Cat di dindingnya yang
telanjang sudah mengelupas. Kotak"kotak kardus ditumpuk
di mana"mana. Isinya dapat diketahui dari coretan Spidol,
yaitu Fiksi, Puisi, Masakan, Minat Lokal, Roman.
"Apartemennya lewat sini." Clary berjalan menuju ke
pintu yang ia tunjukkan di ujung ruangan.
Jace menangkap tangan gadis itu. "Tunggu."
Clary menatap pemuda itu dengan gugup. "Ada yang
salah?" 16'1r "Aku tidak tahu." ]ace menyelip di antara dua tumpukan
kotak yang ramping, lalu bersiul. "Clary, mungkin kamu
ingin ke sini dan melihat ini."
Clary celingukan. Gudang itu redup. Satu"satunya
penerangan adalah cahaya serambi yang bersinar menembus
jendela. "Gelap sekali..."
Cahaya menyala dan memandikan ruangan itu dengan
sinar yang cemerlang. Simon menengok sambil mengedip.
"Aduh." Jace terkekeh"kekeh. Dia berdiri di atas sebuah kotak
yang tersegel. Tangannya terangkat. Sesuatu bersinar di
kepalan tangannya. Cahaya meloloskan diri dari jemarinya
yang tertangkap. "Suluh sihir," katanya.
Simon menggumamkan sesuatu. Clary berjuang melewati
kotak"kotak itu, mencari jalan ke arah _Iace. Pemuda itu
berdiri di balik buku"buku misteri yang ditumpuk dengan
seimbang. Suluh sihir itu melepaskan sinar yang menyeramkan
ke wajahnya. "Lihat ke situ," kata ]ace sambil menunjuk ruang yang
agak tinggi di dinding. Awalnya, Clary mengira _Iace sedang
menunjuk kepada sesuatu yang tampak seperti sepasang gagang
lampu yang dihias. Saat matanya telah menyesuaikan diri,
Clary menyadari bahwa itu sebenarnya simpul"simpul logam
yang terikat ke rantai pendek. Ujung"ujungnya tertanam ke
dalam dinding. "Apakah itu..."
"Belenggu," kata Simon sambil mencari jalan di antara
kotak"kota. "Itu, ah..."
168 "Jangan bilang yang "aneh"anehi" Clary melotot un-
tuk memperingatkan Simon. "Kita sedang membicarakan
Luke." Jace menggapai untuk menyusuri bagian dalam salah
satu simpul logam itu. Pemuda itu menumnkan tangannya,
ternyata jemarinya jadi penuh debu berupa bubuk berwarna
merah kecokelatan. "Bukan yang aneh-aneh," katanya.
"Darah. Lihatlah." _Iace menunjuk ke dinding tepat di
sekitar tempat rantai"rantai itu ditanam. Ada plester yang
tampak menonjol keluar. "Ada orang yang mencoba menarik
benda"benda itu dari dinding. Kelihatannya dia mencoba
denagn cukup keras."
Jantung Clary mulai berdetak dengan keras di dalam
dada. "Menurutmu Luke baik"baik saja?"
Jace menurunkan suluh sihirnya. "Aku rasa sebaiknya
kita mencari tahu." Pintu ke apartemen ternyata tidak terkunci. Mereka
masuk ke ruang tengah. Selain ratusan buku di tokonya
sendiri, ada ratusan lagi di dalam apartemen. Rak"rak buku
menjulang ke langit"langit. ]ilid"iilidnya dijejerkan menjadi
dua baris, setiap baris saling menghalangi.
Kebanyakan di antaranya adalah buku puisi dan fiksi,
termasuk banyak judul fantasi dan misteri. Clary teringat
dulu ia pernah menjelajahi keseluruhan dunia di dalam buku
serial fantasi Chronicles of Prydain di sini, sambil bergelung
di kursi di bawah jendela Luke saat matahari terbenam di
balik Sungai East. 169 "Aku rasa dia masih di sekitar sini," Simon berseru dari
depan pintu dapur Luke yang kecil. "Cereknya menyala dan
ada kopi di sini. Masih panas."
Clary memandang ke sekitar pintu dapur dengan tajam.
Piring"piring ditumpuk di bak cuci piring. ]aket"jaket Luke
digantung rapi di kait"kait di dalam lemari baju. Clary
berjalan menyusuri koridor, lalu membuka pintu kamar Luke
yang kecil. Kelihatannya sama seperti biasa. Tempat tidurnya,
yang berseprai abu-abu dan berbantal rata, belum dirapikan.
Ulung rak pakaiannya ditutupi dengan kain longgar.
Clary berbalik. Sebagian dari dirinya telah yakin, benar-
benar yakin. Ketika mereka masuk ke sini, tempat ini seperti
kapal pecah, dan Luke terikat, atau terluka, atau lebih parah
lagi. Sekarang ia tidak tahu harus berpikir apa.
Dengan mati rasa, Clary menyeberangi aula ke kamar
tidur tamu yang kecil. Gadis itu sering tinggal di sana ketika
ibunya pergi ke luar kota untuk bisnis. Clary dan Luke
suka begadang untuk menonton film-film horor kuno di
televisi hitam putih yang berkedip-kedip. Gadis itu bahkan
telah meninggalkan barang"barangnya seransel penuh di
sini sehingga ia tidak perlu membawa"bawanya bolak"balik
dari rumah. Tas itu punya ikatan berwarna hijau olive. Sambil
berlutut, Clary menarik tas itu keluar dari bawah kasur.
Tas itu dipenuhi pin. Kebanyakan di antaranya merupakan
pemberian Simon. Gamers Do It Better, Dara Otakuz,
Wan (gadis). Otaku merupakan istilah di dalam bahasa Jepang
yang kira"kjra berani "maniak", biasanya mengacu kepada maniak komik, kartun
Jepang, atau video game. 170 Masih Bukan Rafa. Di dalamnya ada baju-baju yang terlipat,
beberapa pasang pakaian dalam, sebuah sisir, bahkan sampo.
Syukurlah, pikir Clary, lalu menendang pintu kamar tidur
itu sampai tertutup. Cepat-cepat Clary berganti baju. Ia melepaskan baju
Isabelle yang terlalu besar dan sekarang berkeringat dan
dikotori rumput. Clary menarik tali tasnya. Tali itu bertaburan
pasir dan lembut seperti kertas yang telah dipakai. Lalu
ia memakai tank top biru dengan desain huruf-huruf
China di depannya. Clary memasukkan baju Isabelle ke
dalam ranselnya, menarik talinya hingga tertutup, lalu
meninggalkan kamar tidur. Ranselnya berguncang dengan
akrab di antara tulang bahunya. Rasanya enak memakai
sesuatu yang miliknya lagi.
Clary menemukan Jace di kantor Luke. Di situ ada
barisan-barisan buku. ]ace sedang memeriksa sebuah ransel
hijau yang tergeletak terbuka di atas meja. Seperti kata
Simon, tas itu penuh dengan senjata. Ada pisau bersarung,
cambuk yang digulung, dan sesuatu yang terlihat seperti
piringan logam berpinggiran tajam.
"Itu cakram," kata ]ace sambil menyentuhnya pelanupelan.
"Senjata Sikh"kebudayaan India. Putarkan di telunjukmu
sebelum melepaskannya. Ini seniata yang jarang ada dan sulit
dipakai. Aneh bahwa Luke punya satu," dia menambahkan.
Pemuda itu mendongak saat Clary masuk ke dalam ruangan.
"Ini biasa menjadi senjata pilihan Hodge pada masa itu.
Atau begitulah ceritanya kepadaku."
171 "Luke suka mengoleksi barang. Benda-benda seni, kau
tahu kan," kata Clary. Ia menunjuk rak di balik meja yang
berisi sebaris boneka Rusia dan India yang terbuat dari
perunggu. Termasuk di situ ada boneka kesukaan Clary,
yaitu patung dewi kehancuran dari India yang bernama
Kali. Dewi itu mengacungkan sebuah pedang dan kepala
bengis sambil mendongak ke belakang dan menutup mata.
Di samping meja ada tabir antik dari China yang diukir
dari kayu kembang mawar yang bersinar. ?"Barang-barang
yang cantik." _]ace menggeser cakram itu dengan hati"hati. Segenggarn
baju tumpah dari ujung ransel Luke seperti sudah dipersiapkan.
"Aku rasa ini milikmu."
Jace menarik sebuah benda persegi empat yang tersembunyi
di antara baju"baju. Itu sebuah foto berpigura kayu dengan
retakan mendatar yang panjang di kacanya. Retakan itu
membuat jaring sarang laba"laba di wajah"wajah yang sedang
tersenyum di situ, yaitu waiah Clary, ibunya, dan Luke.
"Itu memang milikku," kata Clary sambil mengambilnya
dari tangan _]ace. "Sudah retak," Jace mengamati.
"Aku tahu. Itu gara-gara aku. Jatuh karena aku lempar
ke iblis Pembuas." Clary menatap _]ace. Gadis itu melihat
wajah ]ace yang mulai menyadari sesuatu. "Itu berarti Luke
pernah kembali ke apartemen sejak serangan itu. Mungkin
bahkan hari ini." "Dia pasti orang yang terakhir masuk melalui Portal,"
kata Jace. "Itulah mengapa pintu itu membawa kita ke
172 sini. Kamu tidak memikirkan apa"apa, jadi kita dikirim ke
tempat terakhirnya."
"Baik sekali Dorothea memberi tahu kita tentang itu,"
kata Clary dengan marah. "Mungkin dia membayar Dorothea untuk diam. Mungkin
itu atau Dorothea lebih mempercayainya daripada kita. Itu
berarti dia mungkin tidak?"
"Guys!" Itu suara Simon. Dia berlari ke dalam kantor
dengan panik. "Ada yang datang."
Clary menjatuhkan foto itu. "Itu Luke?"
Simon mengintip ke aula, lalu mengangguk. "Benar. Tapi
dia tidak sendirian. Ada dua laki"laki bersamanya."
"Laki-laki?" Jane menyeberangi ruangan dalam beberapa
langkah. Dia mengintip dari balik pintu, lalu mengutuk
pelan. "Warlock."
Clary memandanginya. "Warlock" Tapi..."
Sambil menggeleng, Jace mundur dari pintu. "Ada jalan
keluar lain dari sini" Pintu belakang?"
Clary menggeleng. Suara langkah kaki di koridor sekarang
bisa didengar, dan memukulkan rasa takut ke dada Clary.
"Tidak ada. Cuma pintu depan, dan itu kembali ke tempat
datangnya kita." Jace melihat ke sekitar dengan mati"matian. Matanya
tertumbuk pada tabir kayu. "Masuk ke belakang situ,"
katanya sambil menunjuk. "Sekarang."
Clary meletakkan foto yang sudah retak itu ke atas
meja, lalu menyelip ke balik tabir sambil menarik Simon.
Jace tepat di belakang mereka dengan stela di tangannya.
173 Pemuda itu baru saja menyembunyikan dirinya ketika Clary
mendengar pintu mengayun sampai terbuka lebar. Ada
suara orang berjalan masuk ke kantor Luke. Suara-suara itu
terdengar dengan jelas. Tiga pria berbicara. Clary menatap
Simon dengan gugup. Simon sangat pucat.
Jace mengangkat stela di tangannya dan menggerakkan
ujungnya pelan-pelan. Dia membuat bentuk persegi di
punggung tabir itu. Saat Clary memandanginya, persegi itu
menjadi jernih, seperti kaca jendela. Clary mendengar Simon
tersedak. Suaranya sangat kecil dan nyaris tidak terdengar.
Jace menggeleng kepada mereka berdua. Dia berbicara tanpa
suara, Mereka tidak bisa melihat kita lewat sini, tapi kita
bisa mefii'aat mereka. Sambil menggigit bibirnya dengan gugup, Clary bergeser
ke pinggiran persegi itu dan mengintip. Ia menyadari bahwa
Simon bernafas di dekat lehernya.
Gadis itu dapat melihat ruangan di baliknya dengan
sempurna. Ada rak"rak buku, meja dengan ransel di atasnya,
dan Luke yang tampak kumal dan agak bungkuk. Kacamata
pria itu didorong ke atas kepalanya. Dia berdiri di dekat pintu.
Meskipun Clary tahu bahwa Luke tidak dapat melihatnya,
rasanya aneh karena jendela yang dibuat Jace seperti kaca
di ruang interogasi di kantor polisi. Kaca satu arah.
Luke berbalik untuk melihat ke depan pintu. "Ya,
silakan melihat-lihat," katanya. Nadanya berat karena berisi
sarkasme. "Senang kalian tertarik ke sini."
Ada tawa kecil yang tertahan dari sudut kantor. Dengan
kibasan tangannya yang tidak sabaran,]aee mengetuk bingkai
174 "jendelanya". Jendela itu membuka lebih lebar sehingga lebih
banyak yang kelihatan. Ada dua pria yang bersama Luke di sana. Mereka
memakai jubah kemerahan dengan tudung yang didorong
ke belakang. Salah satunya kurus dengan kumis perlente
dan jenggot mencuat. Dua-duanya berwarna abu-abu. Saat
tersenyum, pria kurus itu menunjukkan deretan gigi putih
yang menyilaukan. Pria yang satu lagi bertubuh besar dan tegap seperti
pegulat. Rambutnya yang kemerahan dipotong cepak. Kulitnya
berwarna ungu gelap dan tampak bersinar di tulang pipinya
seakan"akan telah ditarik terlalu kencang.
"Mereka itu warlock?" Clary berbisik pelan.
]ace tidak menjawab. Dia telah menjadi kaku, seke-


The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ras batangan besi. Jace takut aku akan kabur, berusaha
menghampiri Luke, pikir Clary. Gadis itu harap ia bisa
meyakinkan ]ace bahwa ia tidak akan melakukan itu. Dari
kedua pria yang memakai jubah berwarna darah nadi itu,
ada sesuatu yang menakutkan.
"Anggap saja ini lanjutan yang ramah, Graymark," kata
pria berkumis abu"abu. Senyumnya menunjukkan deretan
gigi yang begitu tajam seakan-akan sudah tercatat sebagai
bersifat kanibal. "Tidak ada yang ramah dari dirimu, Pangborn," Luke
duduk di pinggiran mejanya. Dia mengatur supaya badannya
menutup pandangan pria-pria itu dari ranselnya beserta
isinya. Sekarang karena Luke berada lebih dekat, Clary
dapat melihat bahwa wajah dan tangannya terluka berat.
175 ]emarinya terkoyak dan berdarah. Ada potongan panjang
di lehernya yang menghilang di balik kerahnya. Apa yang
telah terjadi padanya"
"Blackwell, jangan sentuh itu. Itu barang berharga,"
kata Luke dengan keras. Pria besar berkepala merah itu telah mengambil patung
Kali dari atas rak buku. Dia menyusurkan tangannya yang
setebal daging sapi di patung itu sambil menimbang-nimbang.
"Bagus," katanya.
"Ah," kata Pangborn. Dia mengambil patung itu dari
rekannya. "Dialah yang diciptakan untuk bertempur dengan
iblis yang tidak bisa dibunuh oleh dewa atau manusia mana
pun. Oh, Kali, ibuku yang berbahagia! Penyihir abdi dari
Siwa yang agung. Dalam kenikmatan yang menggila, kau
berdansa, menepuk kan tanganmu bersama-sama. Engkaulah
sem" Penggerak dari semua yang bergerak, dan kami hanyalah
mainan tanpa daya." "Sangat bagus," kata Luke. "Aku tidak tahu kamu
belajar mitos India."
"Semua mitos itu nyata," kata Pangborn. Clary merasa
tulang belakangnya menggigil sedikit. "Atau kamu sudah
lupa itu?" "Aku tidak lupa apa-apa," kata Luke. Meskipun tampak
santai, Clary dapat melihat ketegangan di garis bahu dan
mulutnya. "Aku tebak, Valentine yang mengirim kalian?"
"Memang dia," kata Pangborn. "Dia pikir, kamu
mungkin telah berubah pikiran."
176 "Tidak ada pikiranku yang perlu diubah. Aku sudah
memberitahumu bahwa aku tidak mengetahui apa-apa. Jubah
kalian bagus, omong"omong."
"Terima kasih," kata Blackwell dengan seringai licik.
"Ini dikuliti dari beberapa warlock yang telah mati."
"Itu jubah resmi Piagam, ya kan?" Luke bertanya. "Dari
masa Pemberontakan?"
Pangborn terkekeh-kekeh pelan. "Rampasan perang."
"Kalian tidak takut ada yang salah mengira kalian itu
yang asli?" "Tidak," kata Blackwell, "begitu mereka mendekat."
Pangborn mengusap pinggiran jubahnya. "Kamu ingat
masa Pemberontakan, Lucian?" katanya pelan. "Itu hari
yang hebat dan mengerikan. Ingatkah kamu bagaimana kita
berlatih bersama untuk pertempuran itu?"
Wajah Luke tertekuk. "Yang lalu biarlah berlalu. Aku
tidak tahu harus bicara apa kepada kalian, Tuan-tuan.
Aku tidak bisa menolong kalian sekarang. Aku tidak tahu
apa-apa." "%pa-apa adalah kata yang umum, sangat tidak spesifik,"
Naga Beracun 14 Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Kebakaran Burning 2
^