City Of Bones 5

The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare Bagian 5


itu Simon?" "Aku cuma menebak, tapi sepertinya begitu."
"Ada satu hal lagi." ]aee berbicara dengan cukup tenang,
tapi dia sudah siaga sekarang, seperti ketika masuk ke
aparteman sebelum mereka bertemu dengan Yang Terabaikan.
"Di mana sarang mereka?"
"Apa mereka?" "Sarang vampir. Mereka pergi ke sana, kan?"
"Aku kira begitu." Magnus tampak ingin berada di
tempat lain. "Beri tahu kami di mana sarang itu."
Magnus menggelengkan kepalanya yang memakai turban.
"Aku tidak mau bermusuhan dengan Anak"anak Malam
demi seorang fana yang tidak aku kenal."
346 "Tunggu," Clary menyela. "Apa yang akan mereka
lakukan terhadap Simon" Aku kira mereka tidak boleh
melukai manusia..." "Tebakanku?" kata Magnus tidak dengan baik hati.
"Mereka mengira dia hanya tikus jinak dan berpikir pasti
lucu membunuh seekor peliharaan Pemburu Bayangan. Mereka
tidak begitu menyukai kalian, apa pun kata Piagam", dan
tidak ada larangan tentang membunuh binatang di dalam
Perjanjian." "Mereka akan membunuhnya?" kata Clary terpana.
"Tidak pasti," kata Magnus cepat"cepat. "Mungkin
mereka ingin mengubahnya menjadi anggota mereka."
"Dalam kasus itu, apa yang akan terjadi padanya?"
tanya Clary. "Yah, ketika dia kembali menjadi manusia, mereka
tetap akan membunuh mereka. Tapi mungkin kamu masih
punya beberapa jam."
"Berarti kamu harus menolong kami," kata Clary kepada
warlock itu. "Kalau tidak, Simon akan mati."
Magnus menatapnya dari atas ke bawah dengan simpati
yang tanpa emosi. "Mereka semua memang akan mati,
sayang," katanya. "Kamu pun harus terbiasa dengan itu."
Dia mulai menutup pintu. Jace mengulurkan sebelah
kakinya, dan menjepit pintu itu supaya tetap terbuka. Magnus
mendesah. "Sekarang apa?"
"Kamu masih belum memberi tahu kami di mana
sarangnya," kata ]ace.
34" "Dan aku tidak akan memberi tahu. Aku sudah
bilang..." Clary yang memotongnya. Ia maju ke depan ]ace.
"Kamu telah mengacak"acak otakku," katanya. "Mengambil
ingatanku. Tidak bisakah kamu melakukan satu hal ini
saja untukku?" Magnus menyipitkan matanya yang seperti kucing dan
bersinar. Di suatu tempat di kejauhan, Chairman Meow
menangis. Perlahan"lahan warlock itu menurunkan kepalanya,
dan mendorongnya dengan kasar ke dinding. "Hotel Durmont
tua," katanya. "Di utara."
"Aku tahu itu di mana." Jace tampak senang.
"Kita harus segera ke sana. Kamu punya Portal?" Clary
bertanya kepada Magnus. "Tidak." Dia tampak kesal. "Membuat Portal cukup sulit
dan risikonya tidak kecil bagi pemiliknya. Hal-hal buruk
bisa masuk dari situ kalau tidak ditangkis dengan tepat.
Setahuku, di New York cuma ada Portal milik Dorothea
dan Renwick. Tapi mereka berdua terlalu jauh untuk repot-
repot ke sana, itu pun kalau kalian yakin mereka akan
membiarkan kalian memakai Portalnya. Mengerti, kan"
Sekarang, pergilah." Magnus melotot ke kaki Jace yang
masih menghalangi pintu. Jaee tidak bergerak.
"Satu lagi," kata ]ace. "Ada tempat suci di sekitar
sini?" "Ide yang bagus. Kalau kamu hendak mengambil alih
sarang vampir sendirian, sebaiknya kamu berdoa dulu."
348 "Kami perlu senjata," kata _Iace ringkas. "Lebih daripada
yang sudah kami bawa."
Magnus menunjuk. "Ada gereja Katolik dijalan Diamond.
Itu bisa?" ]ace mengangguk, lalu mundur. "Itu?"
Pintu dibanting di depan muka mereka. Clary terengah-
engah seperti baru saja berlari. Ia memandangi pintu itu
sampai Jace mengambil lengannya dan mengarahkannya
menuruni undakan, dan masuk ke dalam malam.
349 4 Hotel Dumort Mungkin memang ada Tulaan, mungkin juga tidak.
Ada atau tidak ada, kita sendirian.
Di malam hari, gereja Jalan Diamond tampak berhantu.
Jendela lengkungnya yang bergaya Gothic memantulkan
cahaya bulan seperti cermin keperakan. Pagar dari besi
tempa mengelilingi bangunan dan dicat hitam gelap. Clary
menggoyang-goyang gerbang depan, tapi gembok kokoh
menahannya tetap tertutup. "Dikunci," katanya sambil
melirik ]ace di belakang.
Jace mengacungkan stelanya. "Biar aku saja."
Clary memperhatikan ]aee mengerjakan kunci itu,
melihat lengkungan punggungnya yang kurus, otot-otot
yang mengembang di bawah lengan kausnya yang pendek.
Cahaya bulan menyirami warna rambutnya, sehingga berubah
menjadi lebih berwarna keperakan daripada keemasan.
350 Gembok itu terjatuh ke tanah dengan bunyi keras, dan
menjadi bongkahan logam yang membelit. ]ace tampak
bangga dengan dirinya sendiri. "Seperti biasa," katanya,
"aku sangat ahli dalam hal ini."
Clary mendadak kesal. "Kalau sudah selesai menyelamati
diri sendiri, mungkin kita bisa kembali ke acara menyelamatkan
sahabatku sebelum darahnya terisap sampai mati?"
"Terisap sampai mati," kata Jace terkesan. "Itu ungkapan
yang besar." "Dan kamu cocok dengan ungkapan..."
"Tsk tsk," dia menyela. "Jangan bicara kasar di
gereja." "Kita belum di dalam gereja," Clary bergumam sambil
mengikuti Jaee melangkah di jalan batu ke arah pintu depan
kembar. Patung batu di atas pintu dipahat dengan cantik
menjadi malaikat yang menunduk dari tempat tertingginya.
Menara-menara tinggi yang menjulang berbayang"bayang
hitam di langit malam, dan Clary menyadari bahwa ini
adalah gereja yang telah ia lihat sebelumnya dari Taman
McCatren. Ia menggigit bibirnya. "Rasanya salah mendobrak
pintu gereja." Sosok Jaee di bawah cahaya bulan tampak tenteram.
"Kita tidak akan mendobraknya," katanya sambil memasukkan
stelanya ke dalam saku. Dia meletakkan tangannya, yang
seluruhnya ditandai hekas-bekas luka putih halus seperti
selubung renda, ke kayu pintu itu, tepat di atas gerendel.
"Atas nama Kunci," kata ]ace, "aku meminta izin untuk
masuk ke dalam tempat suci ini. Atas nama Pertarungan
351 Tiada Akhir, aku minta izin untuk menggunakan senjatamu.
Dan atas nama Malaikat Raziel, aku meminta berkahmu
atas misiku melawan kegelapan."
Clary memandangi Jace. Pemuda itu tidak begerak,
meskipun angin malam meniup rambut ke matanya. Jaee
mengerjap, dan ketika Clary hendak berbicara, pintu itu
membuka dengan suara klik dan engselnya berkeriat-keriut.
Pintu itu mengayun ke dalam dengan lembut di depan
mereka, dan membuka ke ruang gelap yang sejuk dan
kosong. Ruangan itu diterangi titik"titik api.
_]ace mundur. "Kamu duluan."
Ketika Clary melangkah ke dalam, gelombang udara
sejuk menyelubunginya, bersamaan dengan bau batu dan
lilin. Barisan bangku yang suram membentang di depan altar,
dan tumpukan lilin bersinar seperti sehelai percikan bunga
api di dinding yang jauh. Clary menyadari bahwa, selain
Institut yang memang tidak masuk hitungan gereja, ia belum
pernah benar-benar berada di dalam gereja sebelumnya.
Ia pernah melihat gereja di foto, dan melihat bagian
dalamnya di film dan anime atau kartun Jepang karena
memang secara berkala menampilkan gereja. Salah satu
adegan serial anime kesukaannya berlokasi di gereja dengan
pendeta vampir yang seperti monster. Seharusnya kamu
merasa aman di dalam gereja, tapi ia tidak merasa demikian.
Bentuk-bentuk aneh tampak berbayang"bayang kepadanya.
Ia menggigil. 352 "Dinding batunya menghindarkan panas," kata _]ace
yang melihat Clary mengigil.
"Bukan itu," kata Clary. "Kamu tahu kan, aku belum
pernah masuk gereja sebelumnya."
"Kamu pernah masuk Institut."
"Maksudku, gereja sungguhan. Untuk pelayanan.
Semacam itu." "Sungguh ya. Yah, ini bagian tengah, tempat bangku-
bangkunya. Di sinilah orang"orang duduk selama pelayanan."
Jace menjelaskan. Mereka maju. Suara mereka bergaung
di dinding batu. "Di atas sini adalah apsis. Di sinilah kita
berdiri. Dan ini altar, tempat pastur melakukan Ekaristi.
Ini selalu ada di sisi timur gereja."
]aee berlutut di depan altar. Sesaat Clary kira dia
sedang berdoa. Altar itu sendiri tinggi, terbuat dari granit
gelap, dan dihiasi dengan kain merah. Di belakangnya,
berbayang"bayang tabir berhiasan keemasan yang digambari
sosok"sosok orang suci dan martir, masing"masing memakai
piringan emas datar di balik kepalanya yang melambangkan
lingkaran cahaya. "Jace," Clary berbisik, "Kamu sedang apa?"
Pemuda itu telah meletakkan tangannya di lantai batu
dan sedang menggerak"gerakkan tangannya maju-mundur
dengan cepat, seperti sedang mencari sesuatu. Ujung"ujung
jarinya mengaduk"aduk debu. "Mencari senjata."
"Di sini?" "Tersembunyi di sini, biasanya di sekitar altar. Disimpan
untuk digunakan dalam keadaan darurat."
353 "Dan ini apa, semacam perjanjian yang kalian buat
dengan gereja Katolik?"
"Tidak sekhusus itu. Iblis sudah ada di Bumi selama
kita berada. Mereka ada di seluruh penjuru dunia, dalam
berbagai macam bentuk. Ada daemons Yunani, daevas Persia,
asura Hindu, oni Jepang. Kebanyakan sistem kepercayaan
punya semacam metode untuk menghadapi dan melawan
mereka. Pemburu Bayangan tidak bergantung kepada agama
apa pun. Sebagai balasannya, semua agama membantu kami
dalam pertarungan. Aku bisa saja pergi mencari bantuan di
kenisah Yahudi atau kuil Shinto, atau"Ah. Ini dia."
Jace menyeka debu saat Clary berlutut di sampingnya.
Di depan altar ada batu segidelapan yang salah satunya
berukiran rune. Clary mengenalinya, hampir semudah
membaca kata di dalam bahasa Inggris. Itu adalah rune
yang berarti "Nephilim".
Jaee mengeluarkan stelanya dan menyentuhkannya kepada
batu itu. Dengan bunyi mengertak"ngertak, batu itu bergeser
dan memperlihatkan ruang gelap di bawahnya. Di dalam
kompartemen ada kotak kayu panjang. Jace mengangkat
penutupnya, dan melihat benda"benda di dalamnya dengan
puas. "Ini semua apa?" tanya Clary.
"Botol air suci, pisau yang telah diberkati, belati dari
baja dan perak," kata ]aee sambil menumpuk senjata-senjata
itu di lantai di sampingnya. "Kawat elektrum. Tidak begitu
berguna saat ini, tapi selalu bagus untuk persediaan. Peluru
perak, jimat pelindung, salib, bintang Davi ?"
354 "Yesus," kata Clary.
"Aku rasa dia tidak cocok."
" ace." Clary terkejut.
"Apa?" "Aku tidak tahu, sepertinya salah untuk bercanda seperti
itu di gereja." ]aee mengangkat bahu. "Aku bukan orang yang benar-
benar percaya." Clary menatapnya dengan terkejut. "Kamu bukan?"
]ace menggeleng. Rambutnya jatuh ke wajahnya, tapi
dia sedang menilai"nilai sebuah botol berisi cairan jernih
dan tidak mendorong rambutnya kembali. Jemari Clary jadi
gatal karena ingin melakukan itu untuknya. "Kamu kira
aku alim?" tanya Jace.
"Ya." Clary ragu-ragu. "Kalau ada iblis, berarti pasti
ada..." "Pasti ada apa?" Jace memasukkan botol itu ke dalam
sakunya. "Ah," katanya. "Maksudmu kalau ada ini," ]ace
menunjuk ke bawah, ke lantai, "berarti pasti ada ini." Dia
menunjuk ke atas, ke langit-langit.
"Memang sudah semestinya. Iya, kan?"
Jace menurunkan tanga nnya, lalu mengambil sebuah belati,
dan memeriksa pangkalnya. "Aku beri tahu ya," katanya.
"Aku sudah membunuhi iblis selama sepertiga hidupku.
Aku pasti telah mengirim lima ratus dari mereka kembali
ke dimensi neraka apa pun tempat mereka telah merangkak
keluar. Dan sepanjang waktu itu, sepanjang waktu itu, aku
355 belum pernah melihat malaikat. Belum pernah mendengar
ada orang yang pernah melihatnya."
"Tapi malaikatlah yang menciptakan Pemburu Bayangan
pada awalnya," kata Clary. "Itulah yang dikatakan oleh
Hodge." "Itu jadi cerita yang bagus." ]aee menatap Clary melalui
matanya yang membelah seperti mata kucing. "Ayahku
percaya kepada Tuhan," kata pemuda itu. "Aku tidak."
"Sama sekali?" Clary tidak yakin kenapa ia mendesak


The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jace. Bahkan Clary sendiri tidak pernah berpikir apakah ia
percaya kepada Tuhan dan malaikat dan seterusnya. Kalau
ada yang bertanya, gadis itu akan menjawab bahwa ia
tidak percaya. Tapi ada sesuatu tentang ]ace, yang membuat
Clary ingin mendesaknya, memecahkan tempurung kesinisan
pemuda itu dan membuatnya mengakui bahwa dia percaya
kepada sesuatu, merasakan sesuatu, peduli terhadap sesuatu
sepenuhnya. "Biar aku jelaskan," kata ]ace sambil memasukkan
sepasang pisau ke ikat pinggangnya. Cahaya samar merembes
melalui jendela kaca yang dicat, sehingga ada petakan"petakan
warna di wajah Jace. "Ayahku percaya kepada Tuhan yang
adil. Deus voft, itulah semboyannya. Artinya "karena Tuhan
menghendakinya". Itulah semboyan para ksatria Perang Salib,
lalu mereka pergi berperang dan dijagal, seperti ayahku.
Jadi, ketika aku melihat ayahku terbaring mati di genangan
darahnya sendiri, aku tahu bahwa aku tidak berhenti percaya
kepada Tuhan. Aku hanya berhenti percaya bahwa Tuhan
356 peduli. Mungkin memang ada Tuhan, Clary, mungkin juga
tidak, tapi aku rasa itu tidak penting. Ada atau tidak ada,
kita sendirian." Hanya merekalah penumpang di kereta saat kembali menuju
utara. Clary duduk tanpa berbicara. Ia memikirkan Simon.
SekaIi-sekali ]ace meliriknya seakan ingin mengatakan sesuatu,
tapi berubah diam datar kembali.
Ketika mereka keluar dari stasiun kereta bawah tanah,
ialanan sudah sepi. Udara terasa berat dan berbau logam.
Ada toko"toko khas Spanyol yang menjual minuman anggur
dan kebutuhan sehari-hari. Ada juga tempat"tempat cuci.
Semuanya terdiam di balik pintu"pintunya yang sudah
berkerut. Setelah mencari"cari selama satu jam, akhirnya ]ace
dan Clary menemukan hotel itu di sisi jalan dengan
nomor 116. Mereka telah dua kali melewatinya karena
mengira itu cuma salah satu bangunan apartemen yang
telah terbengkalai, sebelum Clary melihat papan tandanya.
Pakunya sudah longgar, sehingga papan itu terjuntai dan
tersembunyi di balik pohon. HOTEL DUMONT adalah
nama yang seharusnya, tapi ada orang yang telah mengecat
dan mengubah N dengan R. "Hotel Dumort," kata Jace saat Clary menunjukkan
papan itu kepadanya. "Lucu."
Clary cuma pernah belajar bahasa Prancis selama dua
tahun, tapi cukup untuk memahami lelucon itu. "Du mort,"
kata gadis itu. "Hotel Kematian."
35" Jace mengangguk. Tubuhnya telah bersiaga, seperti kucing
yang melihat tikus melesat di belakang sofa.
"Tapi hotelnya pasti bukan yang ini," kata Clary.
"Semua jendelanya dipalang, dan pintunya ditembak" Oh,"
ia berhenti bicara saat menangkap tatapan ]ace. "Benar.
Vampir. Tapi bagaimana mereka bisa masuk?"
"Terbang," kata ]ace, lalu dia menunjuk lantai-lantai atas
bagunan itu. Jelas bahwa dulu hotel ini cantik dan mewah.
Batu-batu di bagian depannya dihiasi dengan anggun. Ada
pahatan tulisan melengkung dan bunga lili pedang. Hiasan-
hjasan itu sudah berwarna gelap dan terkikis waktu akibat
polusi udara dan asamnya hujan.
"Kita tidak bisa terbang," Clary merasa terdesak untuk
mengingatkan Jane. "Memang," Jace setuju. "Kita tidak bisa terbang. Kita
harus menerobos masuk." Dia mulai menyeberangi jalan
menuju hotel itu. "Terbang kedengarannya lebih menyenangkan," kata
Clary sambil terburu-buru menyusul ]ace.
"Sekarang semuanya terdengar menyenangkan."
Clary bertanyautanya apakah Jace serius ketika mengucap"
kannya. Pemuda itu tampak gembira menantikan perburuan,
sehingga Clary tidak merasa Jace semurung kata-katanya.
Dia telah membunuh lebih banyak iblis daripada siapa
pun sebayanya. Kalau dia selalu mundur dengan enggan
ketika menghadapi pertarungan, dia pasti tidak akan bisa
membunuh iblis sebanyak itu.
358 Angin hangat telah datang, dan memutar-mutar dedaunan
di pepohonan yang menghalangi bagian depan hotel. Angin
itu membuat sampah di selokan dan trotoar bergerak cepat
melintasi aspal yang sudah retak. Daerah itu terbengkalai
dengan aneh, pikir Clary. Biasanya di Manhattan selalu
ada orang lain di jalanan, bahkan pada jam empat pagi.
Beberapa lampu jalanan, yang berbaris di jalanan, tidak
menyala. Tapi salah satunya yang terdekat dengan hotel itu
memancarkan sinar kuning temaram ke jalan kecil yang
membimbing mereka ke pintu masuk.
"Jauh"jauh dari cahaya," kata ]ace sambil menarik
lengan baju Clary supaya mendekat kepadanya. "Mungkin
mereka sedang memperhatikan dari jendela. Dan jangan
melihat ke atas," dia menambahkan, tapi terlambat. Clary
sudah melirik ke atas, ke jendela-jendela pecah di lantai atas.
Sesaat gadis itu mengira telah melihat gerakan sekilas di
salah satu jendela. Ada sekilas warna putih yang mungkin
saja merupakan wajah, atau tangan sedang menutup tirai
yang berat. "Ayo." ]ace menarik Clary untuk melebur ke dalam
bayangan. Mereka mendekat ke hotel.
Rasa takut Clary meningkat. Gadis itu dapat merasakannya
dari tulang belakangnya, denyut di pergelangannya, detak
keras darah di telinganya. Dengung samar dari mobil-mobil
di kejauhan terasa sangat jauh. Suara yang ada hanyalah
bunyi sepatunya sendiri di aspal yang diseraki sampah.
Clary berharap bisa berjalan tanpa suara, seperti Pemburu
359 Bayangan. Mungkin suatu hari nanti ia bisa meminta _Iace
untuk mengajarinya. Mereka menyelip di sudut hotel ke lorong yang mungkin
dulunya adalah jalur layanan pesan antar. Lorong itu sempit
dan disesaki sampah seperti kotak kardus beriamur, botol
gelas, plastik sobek, dan benda"benda berserakan yang semula
Clary kira adalah tusuk gigi. Dari dekat, benda-benda itu
tampak seperti" "Tulang," kata Jace datar. "Tulang anjing, kucing. Jangan
lihat terlalu dekat. Kalau sedang melewati sampah vampir,
jarang ada pemandangan indah."
Clary menelan rasa mualnya. "Yah," kata pemuda itu.
"Setidaknya kita tahu sekarang kita ada di tempat yang
tepat." Kata-katanya itu dihadiahi kilatan penghargaan yang
muncul sebentar di mata Jace.
"Oh, kita ada di tempat yang tepat," katanya. "Sekarang
kita hanya harus mencari cara untuk masuk ke dalam."
Dulu pasti ada jendela di sini, tapi sudah ditembok. Tidak
ada pintu dan cerobong asap. "Ketika ini masih jadi hotel,"
kata ]ace pelan, "mereka pasti mengurus pesan antarnya di
sini. Maksudku, tidak mungkin mereka membawa barang
lewat pintu depan, dan tidak ada tempat lagi untuk parkir
dorongan barang. Jadi, pasti ada jalan masuk."
Clary teringat toko-toko kecil di dekat rumahnya di
Brooklyn. Ia pernah melihat mereka menerima pesanan,
pagi-pagi sekali ketika gadis itu sedang berangkat sekolah.
Clary pernah melihat pemilik restoran Korea membuka pintu
depan mereka, sehinga mereka bisa membawa kotak"kotak
360 berisi handuk kertas dan makanan kucing ke dalam gudang
di bawah tanah. "Pasti pintunya ada di tanah. Mungkin
terkubur di bawah semua sampah ini."
]ace, yang hanya sedetak di belakang Clary, mengangguk.
"Itulah yang aku pikirkan." Jace mendesah. "Aku rasa
sebaiknya kita memindahkan sampahnya. Kita bisa mulai
dengan kotak sampah ini." Pemuda itu menunjuk sebuah
kotak sampah besar dengan malas.
"Kamu lebih suka berhadapan dengan sekumpulan iblis,
ya kan?" tanya Clary.
"Setidaknya mereka tidak dirayapi belatung." _]ace
menambahkan setelah berpikir, "Yah, kebanyakan iblis sih
tidak. Ada satu iblis yang aku lacak di gorong"gorong di
bawah Tenninal Grand Central..."
"Ja ngan." Clary mengangkat tangan untuk memperingat-
kan. "Aku benar"benar tidak sedang berselera sekarang."
"Kali pertamanya ada cewek yang begitu kepadaku,"
kata ]ace merenung. "Tetaplah bersamaku, pasti itu bukan yang terakhir."
Sudut mulut Jace mengejang. "Ini bukan waktunya
untuk bercanda. Kita harus menyingkirkan sampah." Dia
memutari kotak sampah, lalu memegang salah satu sisinya.
"Kamu di sisi yang lain. Kita akan merobohkannya."
"Merobohkannya bisa membuat ribut," Clary beralasan,
tapi tetap mengambil posisinya di sisi lain kotak sampah
besar itu. Ini kotak sampah kota yang biasa saja. Warna
catnya hijau tua, dan ada bercak"bercak noda yang aneh.
Baunya lebih parah daripada kebanyakan kotak sampah
361 lainnya. Ada bau sampah dan bau lain, yaitu sesuatu yang
tebal dan manis. Bau itu mengisi tenggorokan Clary, sehingga
ia merasa mual. "Kita harus mendorongnya."
"Sekarang, dengar...," Jace mulai bicara, tapi tiba-tiba
ada suara dari bayangan di belakang mereka.
"Kalian benar-benar berpikir harus melakukan itu?"
suara itu bertanya. Clary membeku sambil memandang ke dalam bayangan di
ujung lorong. Sesaat ia panik. Apakah ia hanya membayangkan
suara itu" Tapi Jace iuga membeku. Wajahnya kaget. Jarang
ada yang bisa mengagetkan pemuda itu, lebih jarang lagi
ada orang yang menyelinap kepadanya. Jace menjauh dari
kotak sampah. Tangannya meluncur ke ikat pinggangnya.
Dengan suara datar, ]ace bertanya, "Ada orang di sana?"
"Dios mfof." Itu suara laki"laki yang kedengaran geli.
Dia berbicara dengan bahasa Spanyol yang cair. "Kalian
bukan dari lingkungan ini, kan?"
Dia melangkah maju, keluar dari bayangan yang paling
tebal. Wujudnya membentuk perlahan, yaitu seorang pemuda
yang tidak jauh lebih tua daripada _Iace, dan mungkin lebih
pendek 15 cm. Tulangnya tipis, dan matanya yang besar
berwarna hitam. Kulitnya berwarna madu seperti lukisan
Diego Rivera, seorang pelukis komunis terkenal dari Meksiko.
Pemuda itu memakai pantalon clan kaus putih. Rantai emas
yang mengalungi lehernya berkilau pudar saat dia bergerak
mendekati cahaya. 1 Tuhanku 362 "Bisa dibilang begitu," kata ]ace berhati-hati. Dia tidak
mengalihkan tangannya dari ikat pinggangnya.
"Seharusnya kalian tidak di sini." Pemuda itu mengga-
rukkan tangannya menembus ikal hitam yang tumpah ke
dahinya. "Tempat ini berbahaya."
Maksudnya, ini lingkungan yang jahat. Clary hampir
tertawa, meskipun tidak ada yang lucu. "Kami tahu," kata
gadis itu. "Kami cuma agak tersesat. Itu saja."
Pemuda itu menunjuk kotak sampah dengan badannya.
"Kalian sedang apa dengan itu?"
Aku tidak pandai berbohong langsung, pikir Clary.
Ia menatap _Iace yang, semoga bisa berbohong dengan
sempurna. ]ace langsung mengecewakannya. "Kami sedang mencoba
masuk ke dalam hotel. Kami pikir mungkin ada pintu
gudang bawah tanah di balik kotak sampah."
Mata pemuda itu membesar karena tidak percaya.
"Pura madrez... Kenapa kalian sampai ingin melakukan
hal seperti itu?" Jace mengangkat bahu. "Untuk iseng, tahu kan. Bersenang-
senang sedikit." "Kalian tidak mengerti. Tempat ini dihantui, terkutuk.
Membawa sial." Dia menggelengkan kepala dengan keras,
lalu mengatakan beberapa hal di dalam bahasa Spanyol.
Clary curiga kata-katanya berhubungan dengan kebodohan
anak kulit putih manja secara umum dan kebodohan mereka
2 Ibu jalang 363 secara khusus. "]alanlah bersamaku. Aku akan mengantar
kalian ke stasiun kereta bawah tanah."
"Kami tahu tempatnya," kata Jace.
Pemuda itu tertawa halus dan bergetar. "Ciawi Tentu
saia kalian tahu, tapi kalau kalian berjalan bersamaku, tidak
ada yang akan mengganggu. Kalian tidak ingin mendapat
masalah, kan?" "Tergantung," kata Jace. Dia bergerak sehingga iaketnya
terbuka sedikit untuk memperlihatkan kilatan senjata yang
dimasukkan ke dalam ikat pinggangnya. "Berapa banyak
mereka membayarmu untuk menjauhkan orang dari hotel
ini?" Pemuda itu menoleh ke belakang. Syaraf Clary berdenting
saat membayangkan mulut lorong itu dipenuhi sosok"sosok
bayangan lainnya yang berwajah putih dan bermulut merah,
dengan kilatan taring secepat percikan logam yang membentur
aspal. Ketika pemuda itu menatap ]ace lagi, mulutnya setipis
garis. "Berapa banyak siapa membayarku, chico?"
"Para vampir. Berapa banyak mereka membayarmu"
Atau ada yang lain" Mereka bilang akan menjadikanmu
salah satu dari mereka" Menawarimu hidup abadi tanpa rasa
sakit, tanpa penyakit" Itu tidak berharga. Hidup terentang
sangat panjang kalau kamu tidak pernah melihat matahari,
chica," kata ]ace. Pemuda itu tidak berekspresi. "Namaku Raphael. Bukan
chico." 3 Jelas 4 Bocah Iaki"Iaki 364 "Tapi kamu memang tahu apa yang kami bicarakan.
Kamu tahu tentang vampir?" kata Clary.
Raphael memalingkan mukanya, lalu meludah. Ketika
dia menatap mereka lagi, matanya berkilat"kilat penuh


The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kebencian. "Los vampiros, sis, binatang peminum darah itu.
Bahkan sebelum hotel ini ditutup, sudah ada cerita. Misalnya,
tawa di larut malam, hilangnya hinatang-binatang kecil,
suara-suara..." Dia berhenti, lalu menggelengkan kepalanya.
"Semua orang di lingkungan ini tahu sebaiknya menjauh,
tapi mereka bisa apa" Mereka tidak bisa menelepon polisi
dan bilang bahwa masalahnya adalah vampir."
"Kamu pernah melihat mereka?" tanya ]ace. "Atau tahu
ada orang yang pernah?"
Raphael berbicara pelan. "Dulu ada beberapa cowok,
sekelompok teman. Mereka kira mereka punya ide bagus,
yaitu masuk ke dalam hotel dan membunuh monster"monster
di dalamnya. Mereka membawa pistol, juga pisau, semuanya
sudah diberkati oleh pastur. Mereka tidak pernah keluar
dari hotel ini. Tanteku menemukan baju-baju mereka setelah
itu, di depan rumahnya."
"Rumah tantemu?" kata ]ace.
"Si. Salah satu cowok itu adalah saudaraku," kata
Raphael datar. "Sekarang kalian tahu kenapa kadang"kadang
aku berjalan di sini di tengah malam, saat berjalan pulang
ke rumah tanteku, dan kenapa aku memperingatkan kalian
untuk pergi. Kalau kalian masuk ke dalam sana, kalian
tidak akan pernah keluar lagi."
5 Para vampir, ya 365 "Temanku ada di dalam sana," kata Clary. "Kami
datang untuk menolongnya."
"Ah," kata Raphael. "Kalau begitu, mungkin aku tidak
bisa memperingatkan kalian."
"Memang tidak," kata _]ace. "Tapi jangan khawatir.
Apa yang telah terjadi kepada teman-temanmu tidak akan
terjadi kepada kami." Dia mengambil salah satu pisau
malaikat dari ikat pinggangnya, lalu mengangkatnya. Cahaya
temaram keluar dari benda itu, sehingga menerangi cekung
di bawah tulang pipinya, dan membayangi matanya. "Aku
telah membunuh cukup banyak vampir sebelumnya. Jantung
mereka tidak berdetak, tapi mereka masih bisa mati."
Raphael menarik nafas dengan tajam, lalu mengatakan
sesuatu dalam bahasa Spanyol yang terlalu pelan dan cepat
untuk dimengerti Clary. Kemudian pemuda itu maju, hampir
tersandung tumpukan plastik pembungkus yang sobek karena
terburu-buru. "Aku tahu kalian itu apa... Aku pernah
dengar tentang kalian dari padri tua di gereja St. Cecilia.
Aku sangka itu cuma cerita."
"Semua cerita itu nyata," kata Clary, tapi suaranya sangat
pelan sehingga sepertinya Raphael tidak mendengarnya. Dia
sedang menatap ]ace yang mengepalkan tangannya.
"Aku ingin ikut kalian," kata Raphael.
Jace menggeleng. "Tidak. ]elas"jelas tidak."
"Aku bisa menunjukkan cara untuk masuk ke dalam,"
kata Raphael. Jace ragu"ragu. Wajahnya jelas tampak tergoda. "Kami
tidak bisa membawamu."
366 "Baik." Raphael berjalan melewati Jace, lalu menendang
timbunan sampah yang bersandar di dinding. Ada jeruji
logam di sana, yaitu batang-batang tipis yang dilapisi karat
merah. Raphael berlutut, memegang batang-batang itu, lalu
mengangkat jeruiinya. "Inilah bagaimana saudaraku dan
teman-temannya masuk. Jalan ini menuju bawah tanah,
aku rasa." Raphael mendongak saat _Iace dan Clary bergabung
dengannya. Clary setengah menahan nafas. Bau sampah
membanjir. Bahkan di dalam kegelapan, ia bisa melihat
kecoak"kecoak merayap di atas tumpukan itu.
Senyum tipis terbentuk di sudut mulut ]ace. Dia masih
memegang pisau malaikat yang menjadi suluh sihir. Wajahnya
jadi berwarna seperti hantu. Clary teringat bagaimana Simon
memegang senter di bawah dagunya sambil menceritakan
kisah hantu ketika mereka berdua berusia sebelas.
"Makasih," _Iace berkata kepada Raphael. "Ini pasti
bisa dipakai." Wajah pemuda yang satu lagi menjadi pucat. "Masuklah
ke sana dan lakukan apa yang tidak bisa aku lakukan
untuk saudaraku." Jace memasukkan pisau seraph kembali ke ikat pinggang-
nya, lalu menoleh kepada Clary. "Ikuti aku," katanya, lalu
menyelip menembus jeruji dalam satu gerakan mulus. Kakinya
masuk duluan. Clary menahan nafas. Ia menunggu teriak
kesakitan atau terkejut, tapi hanya ada suara mendarat pelan di
tanah padat. "Tidak apa-apa," Jace berteriak ke atas. Suaranya
teredam. "Lompatlah. Aku akan menangkapmu."
36" Clary menatap Raphael. "Makasih untuk
bantuanmu." Raphael diam saia. Dia hanya mengulurkan tangannya.
Clary menggunakannya untuk memantapkan diri ketika
memiringkan badan. Jemari Raphael dingin. Raphael
melepaskannya begitu Clary terjatuh melalui jeruji. Hanya
sedetik jatuh, lalu _Iaee menangkapnya. Gaun Clary terlipat
ke paha, dan tangan ]ace menyentuh kakinya saat gadis
itu meluncur ke lengannya. ]ace langSung melepaskannya.
"Kamu baik"baik saia?" tanya Jace.
Clary menarik gaunnya ke bawah. Ia senang Jane tidak
bisa melihatnya karena gelap. "Aku baik-baik saja."
Jace menarik pisau malaikat yang bersinar temaram
dari ikat pinggangnya, lalu mengangkatnya. Dia membiarkan
cahaya penerangan dari pisau itu menyiram sekeliling mereka.
Mereka sedang berdiri di ruangan sempit berlangit"langit
rendah dengan lantai beton yang sudah retak. Petak"petak
debu menunjukkan di mana lantai itu rusak. Clary bisa
melihat sulur-sulur hitam telah mulai menjalari dinding.
Ada pintu yang membuka ke ruangan lain.
Suara jatuh yang keras membuat Clary terkejut. Ia
membalik, dan melihat Raphael telah mendarat dengan lutut
tertekuk, hanya beberapa kaki darinya. Pemuda itu telah
mengikuti mereka melalui jeruji. Dia berdiri dan menyeringai
seperti maniak. Jaee tampak marah. "Aku sudah hilang..."
"Dan aku sudah dengar." Raphael mengayungkan
tangannya. "Kalian bisa melakukan apa soal ini" Aku tidak
368 bisa keluar dari jalan kita masuk, dan kalian tidak bisa
meninggalkanku di sini saja supaya ditemukan makhluk
mati itu..., benar kan?"
"Aku sedang memikirkannya," kata Jace. Dia tampak
lelah., Clary melihat itu dengan terkejut. Bayangan di bawah
mata Jace lebih tegas sekarang.
Raphael menunjuk. "Kita harus lewat situ, ke tangga.
Mereka ada di lantai atas hotel. Kalian akan lihat." Dia
menabrak ]ace, lalu melewati jalan pintu yang sempit. ]ace
memperhatikannya, lalu menggelengkan kepala.
"Aku benar"benar mulai benci kaum fana," katanya.
Lantai bawah hotel itu seperti lubang kelinci atau labirin.
Kadang"kadang mereka menemukan gudang penyimpanan
yang kosong. Ada juga tempat cuci yang sudah terbengkalai
dengan tumpukan handuk linen di keranjang anyaman yang
sudah membusuk. Bahkan mereka pernah melihat dapur
yang tampak berhantu. Di sana ada jejeran konter stainless
steel yang membentang ke dalam bayangan.
Kebanyakan anak tangga untuk naik ke atas sudah hilang,
bukan membusuk, melainkan sengaja dipotong. Tangga itu
iadi tampak seperti ttunpukan kayu yang didesak ke dinding.
Potongan karpet Persia yang dulunya mewah melekat kepada
tangga itu seperti lumut berbulu yang bermekaran.
Tangga yang bolong itu membingungkan Clary. Vampir
punya urusan apa dengan tangga" Akhirnya mereka menemu-
kan tangga yang utuh. Tangga itu tersembunyi di belakang
tempat cuci. Para pembantu pasti telah memakainya untuk
369 membawa baju ke atas dan ke bawah sebelum ada elevator.
Debu menebal di anak"anak tangganya sekarang, seperti
lapisan bubuk salju kelabu yang membuat Clary terbatuk.
"Shh," Raphael berdesis. "Mereka akan mendengarmu.
Kita sudah dekat ke tempat mereka tidur."
"Bagaimana kamu bisa tahu?" Clary berbisik balik.
Raphael bahkan seharusnya tidak berada di sini. Siapa yang
memberinya hak untuk menggurui Clary tentang bunyi"
"Aku bisa merasakannya." Sudut mata Raphael mengejang.
Clary melihat bahwa pemuda itu juga setakut dirinya.
"Kamu bisa, kan?"
Clary menggeleng. Ia tidak merasakan apa pun selain
rasa dingin yang aneh. Setelah cekikan panasnya malam di
luar, hawa dingin di dalam hotel terasa kuat.
Di atas tangga, ada pintu yang dicatkan kata "Lobi".
Tulisan itu hampir tidak terbaca setelah bertahun-tahun
tertutup debu. Pintu itu tersemprot karat ketika Jace
mendorongnya terbuka. Clary memberanikan diri...
Tapi ruangan di baliknya kosong. Mereka berada
di serambi tinggi yang luas. Karpetnya yang membusuk
sudah sobek, sehingga tampaklah papan lantai yang sudah
pecah-pecah di bawahnya. Di tengah-tengah ruangan ini
ada tangga besar. Tangga itu meliuk dengan anggun, dan
dibarisi pegangan tangga bermutu tinggi, dan memakai
karpet mahal berwarna emas dan merah menyala. Sekarang
yang tersisa hanyalah anak"anak tangga atas yang menuju
kegelapan. Sisa tangga itu berakhir tepat di atas kepala
mereka, mengambang di udara.
370 Pemandangaan itu tampak sureal, tidak masuk akal,
seperti lukisan abstrak Magritte. Ia adalah pelukis dari
Belgia yang sangat disukai ]oceiyn. Lukisan yang ini, pikir
Clary, akan dinamai Tangga Menuju Antab.
Suara gadis itu terdengar sekering debu yang melapisi
semuanya. "Vampir punya urusan apa dengan tangga?"
"Tidak ada," kata _Iaee. "Mereka tidak perlu memakainya
saja." "Itu cara untuk menunjukkan bahwa ini tempat milik
mereka." Mata Raphael bersinar. Dia tampak bersemangat.
_]ace melihatnya dari samping.
"Kamu pernah benar-benar melihat vampir, Raphael?"
Jace bertanya. Raphael menoleh kepadanya seperti linglung. "Aku
tahu penampilan mereka. Mereka lebih pucat dan lebih
kurus daripada manusia, tapi sangat kuat. Mereka berjalan
seperti kucing dan melesat secepat ular. Mereka cantik dan
mengerikan sekaligus. Seperti hotel ini."
"Kamu pikir ini cantik?" tanya Clary terkejut.
"Kamu bisa lihat dulunya seperti apa, bertahun"tahun
yang lalu. Seperti wanita tua yang dulunya cantik, tapi
waktu telah merenggut kecantikannya. Bayangkanlah tangga
ini dulunya seperti apa, dengan lampu-lampu gas menyala
di atas dan di bawah tangga, seperti kunang-kunang di
dalam kegelapan. Baikon-balkonnya dipenuhi orang. Tidak
seperti sekarang ini, sangat..."
"Terpangkas?" ]ace menyarankan dengan kering.
371 Raphael tampak kaget, seakan"akan _Iace telah membu-
yarkan lamunannya. Dia tertawa gemetaran, lalu berbalik.
Clary menoleh kepada ]ace. "Omong-omong, mereka
ada di mana" Para vampir, maksudku."
"Di atas tangga, kemungkinan. Mereka suka di tempat
tinggi saat tidur, seperti kelelawar. Dan ini sudah dekat
matahari terbit." Seperti boneka tali yang kepalanya terikat benang, kepala
Clary dan Raphael mendongak bersamaan. Tidak ada apa
pun di atas mereka selain langit"langit yang dilukis, sudah
retak, dan sebagian menghitam seakan"akan pernah terbakar.
Pintu beratap melengkung di sisi kiri bisa membawa mereka
lebih jauh ke dalam kegelapan. Pilar-pilar di kedua sisinya
dipahat dengan motif daun dan bunga. Raphael menunduk
sehingga luka di dasar tenggorokannya, yang tampak sangat
putih di kulitnya yang cokelat, sekilas menyala seperti mata
yang mengedip. Clary penasaran bagaimana dia mendapatkan
luka itu. "Aku rasa kita harus kembali ke tangga pembantu itu,"
Clary berbisik. "Aku merasa terlalu terbuka di sini."
Jace mengangguk. "Kamu sadar kan, begitu kita sampai
di sana, kamu harus memanggil Simon dan berharap dia
bisa mendengarmu?" Mungkin rasa takut Clary tampak di wajahnya.
"Aku..." Kata-katanya terpotong oleh ieritan yang membekukan
darah. Clary berputar. 372 Raphael. Dia hilang. Tidak ada tanda di debu yang
menunjukkan di mana mungkin dia telah melangkah...,
atau diseret. Clary menggapai Jace secara refleks, tapi Jace
sudah bergerak. Pemuda itu berlari ke arah lengkungan
yang membuka ke dinding yang jauh dan bayangan di
dalamnya. Clary tidak bisa melihat apa pun kecuali kilasan
suluh sihir yang dibawa _Iace. Mereka seperti pengembara
yang dituntun menembus rawa-rawa oleh wiII-o'-tbe-w"sp,
yaitu cahaya pucat yang kadang"kadang muncul di tanah
berawa"rawa. Di balik lengkungan itu ada ruang dansa besar. Puing-
puing lantainya adalah pualam putih yang sudah retak"retak
menyerupai lautan es kutub yang mengambang. Balkon-balkon
berliku di sepanjang dinding. Pagar-pagarnya diselubungi
karat. Cermin berbingkai emas tergantung berseling"seling di
antaranya. Masing"masing cermin dimahkotai kepala cupid
yang disepuh. Jaring laba-laba melayang-layang di udara
lembab seperti selubung pengantin kuno.
Raphael sedang berdiri di tengah-tengah ruangan.
Lengannya berada di sampingnya. Clary berlari ke arahnya.
Jace mengikuti. Dia melangkah lebih pelan di belakang
gadis itu. "Kamu baik-baik saja?" gadis itu bertanya dengan
kehabisan nafas. Raphael mengangguk pelan. "Tadi aku kira aku melihat
gerakan di dalam bayangan. Ternyata tidak ada apa-apa."


The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kami telah memutuskan untuk kembali ke tangga
pembantu," kata Jace. "Tidak ada apa-apa di lantai ini."
Raphael mengangguk lagi. "Ide yang bagus."
373 Dia berjalan ke pintu, tanpa melihat apakah mereka
mengikuti. Dia baru saja mendapatkan beberapa langkah
ketika ]ace berkata, "Raphael?"
Raphael berbalik. Matanya melebar karena ingin tahu.
_Iace melemparkan pisaunya.
Refleks Raphael memang cepat, tapi tidak cukup cepat.
Pisau itu mengenainya, gaya tubrukannya memukul pemuda
itu ke belakang. Dia terjatuh dengan keras ke lantai pualam
yang retak. Di dalam cahaya temaram dari suluh Sihir,
darahnya tampak hitam. "jaea," Clary berdesis tidak percaya. Rasa syok memukul-
mukul dirinya. Jace pernah berkata dia memang benci kaum
fana, tapi dia tidak pernah...
Saat Clary berbalik untuk menghampiri Raphael, Jane
menariknya dengan brutal ke samping. Pemuda itu melompat
ke pemuda yang satu lagi untuk merenggut pisau yang
melekat di dada Raphael. Tapi Raphael lebih cepat. Dia mengambil pisau itu, lalu
menjerit ketika tangannya menyentuh pangkal pisau yang
berbentuk salib. Pisau itu bergemerencing di lantai pualam
dan sudah tercoreng warna hitam. Jace menarik bahan
kaus Raphael ke atas dengan satu tangan, dan memegang
Sanvi di tangan lainnya. Pisau itu berpendar dengan cahaya
cemerlang, sehingga Clary bisa melihat warna-warna di
tempat itu. Ada biru megah yang mengelupas dari pelapis
dinding, bintik-bintik emas di lantai pualam, dan noda
merah menyebar di dada Raphael.
374 Raphael malah tertawa. "Kamu meleset," katanya. Dia
menyeringai untuk kali pertama, menunjukkan deretan gigi
depannya yang mencuat. "Kamu meleset dari jantungku."
Jane mempererat cengkeramannya. "Kamu bergerak di
detik terakhir," katanya. "Itu tidak dihitung."
Raphael mengernyit, lalu meludah. Merah. Clary me-
langkah mundur. Rasa takutnya mulai terbit.
"Kapan kamu mengetahuinya?" Raphael bertanya.
Logatnya telah pudar. Kata-katanya lebih tepat dan sepotong-
sepotong sekarang. "Aku sudah menebak di lorong," kata Jace. "Tapi aku
tahu kamu akan memasukkan kami ke dalam hotel, lalu
berbalik kepada kami. Begitu kami melanggar wilayah, kami
sudah di luar perlindungan Perjanjian. Impas. Tapi kamu
tidak melakukannya, jadi aku pikir mungkin aku salah.
Lalu aku melihat bekas luka di tenggorokanmu itu."
Jace mundur sedikit sambil tetap menahan pisau di
tenggorokan Raphael. "Ketika kali pertama melihatmu,
aku kira itu semacam rantai untuk menggantungkan salib.
Dan memang begitu, kan" Ketika kamu pergi menengok
keluargamu" Luka bakar kecil apa yang bisa membekas,
padahal makhluk sejenismu bisa sembuh dengan cepat?"
Raphael tertawa. "Itu saja" Bekas lukaku?"
"Ketika kamu meninggalkan serambi, kakimu tidak
meninggalkan jejak di debu. Dari situ, aku tahu."
"Bukan saudaramu yang masuk ke sini mencari monster
dan tidak pernah kembali, ya kan?" kata Clary menyadarinya.
"Itu kamu." 375 "Kalian berdua sangat pintar," kata Raphael. "Tapi tidak
cukup pintar. Lihatlah ke atas," dia berkata, lalu mengangkat
sebelah tangan untuk menunjuk ke langit"langit.
Jace memukul tangan itu tanpa menoleh dari Raphael.
"Clary. Kamu lihat apa?"
Clary menaikkan kepalanya perlahan-lahan. Rasa ngeri
membeku di rongga perutnya. Bayangkanlah tangga ini
dulunya seperti apa, dengan lampu-Iampu gas menyala di
atas dan di bawah tangga, seperti kunang"kunang di dalam
kegelapan. Balkon-baikonnya dipenuhi orang. Sekarang balkon
itu dipenuhi oleh orang, berbaris"baris vampir dengan wajah
mereka yang putih mati, mulut membentang terbuka, dan
melotot ke bawah dengan bingung.
Jaee masih menatap Raphael. "Kamu memanggil mereka.
Benar, kan?" Raphael juga masih menyeringai. Darah telah berhenti
menyebar dari luka di dadanya. "Itu perlu dipermasalahkan"
Ada terlalu banyak vampir, bahkan bagimu, Wayland."
Jace diam saja. Meskipun dia tidak bergerak, dia
bernafas pendek-pendek. Clary dapat merasakan kuatnya
hasrat Jace untuk membunuh pemuda vampir itu, untuk
mendorong pisau itu menembus iantungnya, dan menghapus
seringai dari wajahnya selamanya. "Jace," Clary berkata
memperingatkan. "Jangan bunuh dia."
"Kenapa tidak?"
"Mungkin kita bisa memakainya sebagai tawanan."
Mata Jace melebar. "Tawanan?"
376 Clary dapat melihat para vampir itu. Mereka berdatangan
lebih banyak lagi, memenuhi jalan pintu yang melengkung.
Mereka berjalan sebening Para Saudara Kota Tulang. Tapi
Para Saudara tidak berkulit seputih dan tanpa warna seperti
itu, juga tidak bertangan yang melengkung menjadi cakar
di ujung-ujungnya... Clary menjilat bibirnya yang kering. "Aku tahu apa
yang aku lakukan. Angkat dia berdiri, Jace."
Jace menatapnya, lalu mengangkat bahu. "Baiklah."
Raphael mendengus. "Ini tidak lucu."
"Itulah mengapa tidak ada yang tertawa." Jace berdiri
sambil menarik Raphael ke atas dengan tetap menekankan
ujung pisaunya di antara bilah bahu vampir itu. "Aku bisa
mengoyak jantungmu dengan mudah dari punggungmu,"
katanya. "Aku tidak akan bergerak kalau jadi kamu."
Clary berbalik dari mereka untuk menghadapi wujud-
wuiud gelap yang sedang mendekat. Ia merentangkan
sebelah tangan. "Berhenti di situ," katanya. "Atau dia akan
menusukkan pisau itu ke jantung Raphael."
Gumaman melanda keramaian. Mungkin itu bisikan atau
tawa. "Berhenti," kata Clary lagi. Kali ini ]ace melakukan
sesuatu, Clary tidak lihat, yang membuat Raphael menjerit
terkeiut karena kesakitan.
Salah satu vampir melemparkan tangannya untuk
menahan rekan-rekannya. Clary mengenali vampir itu sebagai
pemuda pirang kurus beranting"anting yang telah ia lihat
di pestanya Magnus. "Ia serius," katanya. "Mereka adalah
Pemburu Bayangan." 377 Vampir lain menembus kerumunan untuk berdiri di
sebelahnya. Vampir yang ini adalah gadis keturunan Asia
berambut biru. Ia memakai rok berwarna perak timah.
Clary penasaran apakah ada vampir yang jelek atau gemuk.
Mungkin mereka tidak mau mengubah orang jelek menjadi
vampir. Atau mungkin orang jelek tidak mau saja hidup
selamanya. "Pemburu Bayangan melanggar wilayah kami," kata
vampir perempuan itu. "Mereka berada di luar perlindungan
Perjanjian. Kataku, kita bunuh saja mereka. Mereka telah
membunuh cukup banyak dari kita."
"Siapa di antara kalian yang menjadi pimpinan tempat ini?"
kata ]ace. Suaranya sangat datar. "Biarkan dia maju."
Gadis itu memamerkan gigi-giginya yang mencuat. "Jangan
gunakan bahasa Kunci kepada kami, Pemburu Bayangan.
Kamu telah merusak Perjanjianmu yang berharga dengan
datang ke sini. Hukum tidak akan melindungimu."
"Itu cukup, Lily," kata pemuda berambut pirang itu
dengan tajam. "Pimpinan kami sedang tidak berada di sini.
Ia sedang di Idris."
"Harus ada orang yang mengatur kalian sebagai wakilnya,"
_Iace mengamati. Suasana hening. Para vampir di atas ba lkon menggantung
dari pegangan pagar. Mereka memiringkan badan untuk
mendengar apa yang dikatakan. Akhirnya, "Raphael memimpin
kami," kata vampir pirang itu.
Gadis berambut biru itu, Lily, mendesis tidak setuju,
"Jacob..." 378 "Aku menawarkan pertukaran," kata Clary cepat"cepat
untuk memotong seruan marah Lily dan balasan Jacob.
"Sekarang kalian harus tahu bahwa kalian telah membawa
pulang terlalu banyak orang dari pesta semalam. Salah
satunya adalah temanku Simon."
Jacob menaikkan alisnya. "Kamu berteman dengan
vampir?" "Dia bukan vampir. Bukan Pemburu Bayangan juga,"
Clary menambahkan saat melihat mata pucat Lily menyipit.
"Cuma cowok manusia biasa."
"Kami tidak membawa manusia pulang bersama kami
dari pesta Magnus. Itu pelanggaran terhadap Perjanjian."
"Dia telah diubah menjadi tikus. Tikus cokelat kecil,"
kata Clary. "Seseorang mungkin telah mengira dia binatang
peliharaan, atau..."
Suaranya berhenti. Mereka memandangi Clary seakan-
akan gadis itu sudah gila. Rasa putus asa yang dingin
merembes ke dalam tulangnya.
"Coba aku luruskan," kata Lily. "Kamu menawarkan
untuk menukar nyawa Raphael dengan seekor tikus?"
Clary menatap Jace dengan putus asa. Pemuda itu hanya
memberi tatapan, Im' idemu. Kamu urus sendiri saia.
"Ya," kata Clary setelah berbalik kepada para vampir.
"Itulah pertukaran yang kami tawarkan."
Mereka memandangi Clary. Wajah-wajah putih itu tak
berekspresi. Dalam konteks lain, Clary pasti telah berkata
mereka tercengang. 379 Gadis itu dapat merasakan Jace berdiri di belakangnya,
dan mendengar nafasnya yang patau. Clary bertanya-tanya
apakah Jace sedang memeras otak untuk mencari tahu
kenapa dia membiarkan gadis itu menyeret mereka berdua
ke sini. Mungkin Jace mulai membencinya.
"Maksudmu tikus ini?"
Clary mengerjap. Vampir lain, pemuda kurus berkulit
hitam dan berambut gimbal, telah menembus keluar dari
keramaian. Dia sedang memegang sesuatu di tangannya,
sesuatu yang berwarna cokelat dan menggeliat"geliut dengan
lemah. "Simon?" Clary berbisik.
Tikus itu mencicit dan mulai menggelepar-gelepar dengan
liar. Vampir itu menunduk menatap dengan tidak suka kepada
hewan pengerat yang telah ditangkapnya. "Ya ampun, aku
sangka ini Zeke. Aku sampai heran kenapa tingkahnya
menyusahkan begini." Dia menggelengkan kepala, sehingga
gimbalnya berguncang. "Kataku, mereka bisa mengambilnya,
dude. Tikus ini sudah menggigitku lima kali."
Clary menggapai Simon. Tangannya ingin memeluk
sahabatnya itu. Tapi Lily melangkah di depan Clary sebelum
ia bisa mengambil lebih dari satu langkah ke arah Simon.
"Tunggu," kata Lily. "Bagaimana kita tahu kalian tidak
akan hanya mengambil tikus ini dan tetap membunuh
Raphael?" "Kami berjanji," Clary langsung berkata, lalu menegang,
menunggu mereka tertawa. 360 Tidak ada yang tertawa. Raphael menyumpah pelan
dalam bahasa Spanyol. Lily menatap curiga kepada ]ace.
"Clary," kata Jace. Suaranya memendam rasa jengkel
dan putus asa. "Apakah ini benar"benar..."
"Tidak ada sumpah, tidak ada pertukaran," kata Lily
langsung saat menangkap nada ]ace yang tidak pasti. "Elliott,
pegangi tikus itu." Pemuda berambut gimbal itu mempererat genggamannya
kepada Simon, yang membenamkan giginya dengan buas ke
tangan Elliott. "Man," katanya masam. "Itu sakit."
Clary mengambil kesempatan itu untuk berbisik kepada
Jace. "Bersumpah sajalah! Apa susahnya?"
"Bersumpah bagi kami tidak seperti bagi kalian kaum
fana," dia balas membentak dengan marah. "Aku akan terikat
selamanya kepada sumpah apa pun yang aku buat."
"Oh, ya" Apa yang akan terjadi kalau kamu
melanggarnya?" "Aku tidak akan melanggarnya. Itu masalahnya."
"Lily benar," kata Jacob. "Sumpah dibutuhkan. Bersum-
pahlah bahwa kamu tidak akan melukai Raphael. Bahkan
kalau kami memberikan tikus ini kepada kalian."
"Aku tidak akan melukai Raphael," Clary langsung
berkata. "Apa pun yang terjadi."
Lily tersenyum kepada gadis itu dengan sabar. "Bukan
kamu yang kami cemaskan." Ia menunjuk _]ace dengan
tatapannya. Pemuda itu sedang memegangi Raphael dengan erat
sehingga tulang jemarinya memutih. Keringat menggelapkan
kain kausnya, tepat di antara bilah bahunya.
381 Kata Jace, "Baiklah. Aku janji."
"Ucapkan sumpahnya," Liiy berkata cepat. "Bersumpahlah
atas nama Malaikat. Ucapkan semuanya."
Jace menggelengkan kepalanya. "Kalian bersumpah
lebih dulu." Kata-katanya jatuh ke dalam hening bagaikan batu, dan
mengirimkan riak gumaman yang menembus keramaian.
Jacob tampak prihatin. Lily marah. "Tidak bisa, Pemburu
Bayangan." "Kami punya pemimpin kalian." Ujung pisau Jace
menusuk lebih dalam ke tenggorokan Raphael. "Sedangkan
kalian punya apa di sana" Seekor tikus."
Simon, yang ditekan di tangan Elliott, mencieit marah.
Clary ingin merenggutnya, tapi gadis itu menahan diri.
"]ace..." Lily menatap Raphael. "Tuan?"
Raphael menunduk. Ikal hitamnya terjatuh untuk
menyembunyikan wajahnya. Darah menodai kerah kausnya,


The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan membasahi kulit cokelat di baliknya. "Tikus yang cukup
penting," katanya, "sehingga kalian jauh-jauh datang ke sini
demi dia. Menurutku, kamulah, Pemburu Bayangan, yang
harus bersumpah lebih dulu."
Cengkeraman Jace menjadi lebih erat dan mengejang.
Clary melihat ototnya membengkak di bawah kulit, jemarinya
yang memutih, dan sisi mulutnya saat dia melawan amarah.
"Tikus itu seorang fana," dia berkata dengan tajam. "Kalau
kalian membunuhnya, kalian akan bermasalah dengan
Hukum..." 362 "Dia berada di wilayah kami. Pelanggar wilayah tidak
dilindungi Perjanjian, kamu tahu itu..."
"Kalian membawanya ke sini," Clary menyela. "Dia
tidak melanggar wilayah."
"Masalah teknis," kata Raphael. Dia menyeringai kepada
Clary meskipun ada pisau di tenggorokannya. "Lagipula,
kamu pikir kami tidak mendengar kabar burung, berita
yang melanda Dunia Bawah bagaikan darah mengalir di
pembuluhnya" Valentine sudah kembali. Dalam waktu dekat,
tidak akan ada Piagam dan Perjanjian."
Kepala Jace tersentak ke atas. "Dari mana kamu
mendengar itu?" Raphael mengernyit dengan menghina. "Semua Penghuni
Dunia Bawah tahu itu. Dia telah membayar seorang warlock
untuk mengumpulkan segerombolan Pembuas baru seminggu
yang lalu. Dia telah membawa Yang Terabaikan buatannya
untuk mencari Piala Morta]. Ketika dia menemukannya,
tidak akan ada lagi kedamaian palsu di antara kita. Hanya
ada perang. Tidak ada Hukum yang menghalangiku dari
merobek jantungmu dan melemparkannya ke jalanan, dasar
Pemburu Bayangan..."
Itu cukup bagi Clary. Ia menukik untuk mengambil
Simon, mendorong Lily ke samping, lalu merenggut tikus
itu dari tangan Elliott. Simon merayapi lengan Clary, dan
mencengkeram lengan baju gadis itu dengan eakar-eakarnya
yang ketakutan. "Tidak apa"apa," Clary berbisik, "tidak apa-apa."
Meskipun ia tahu sebenarnya tidak demikian. Ia berbalik untuk
383 lari, tapi ada tangan menangkap jaketnya, memeganginya. Itu
tangan Lily yang kurus seperti tulang dan berkuku hitam.
Clary berjuang, tapi usahanya untuk melepaskan diri terhambat
oleh rasa takutnya kalau sampai menjatuhkan Simon. Tikus
itu menempel di jaketnya dengan cakar dan gigi.
"Lepaskan!" Clary menjerit sambil menendang gadis
vampir itu. Kakinya yang bersepatu but menendang Lily
dengan keras, sehingga vampir itu menjerit karena sakit dan
marah. Lily mengibaskan tangannya ke depan, menyerang
pipi Clary dengan kekuatan yang cukup untuk menghantam
kepalanya ke belakang. Clary terhuyung-huyung dan nyaris jatuh. la mendengar
]ace meneriakkan namanya, lalu berbalik untuk melihat
bahwa pemuda itu telah melepaskan Raphael dan sedang
berlari ke arahnya. Clary berusaha menghampiri ]ace, tapi
bahunya digenggam oleh Jacob. Jemari Jacob tertekan ke
dalam kulit Clary. Clary memekik. Suaranya hilang di dalam jeritan yang
lebih keras ketika ]ace mengambil salah satu botol kaca
dari jaketnya, laiu melemparkan isinya ke arah gadis itu.
Clary merasa siraman air yang sejuk, lalu mendengar Jacob
berteriak saat air itu menyentuh kulitnya. Asap membubung
dari jemarinya, sehingga dia melepaskan Clary sambil
melolong tinggi seperti binatang. Di dalam kekacauan itu,
Clary merasa ada orang yang menangkap pergelangan
tangannya. Ia berjuang untuk menariknya kembali.
"Hentikan, dasar idiot. Ini aku," Jace terengah-engah
di telinga Clary. 364 "Oh!" Clary kendur sesaat, lalu tegang lagi karena
melihat sosok akrab membayang di belakang ]ace. Gadis
itu menjerit, lalu Jace menunduk dan berputar tepat ketika
Raphael melompat kepadanya. Vampir itu memamerkan
giginya, dan bergerak secepat kucing. Taringnya menangkap
kaus Jace di dekat bahu dan merobek kain itu memanjang
ketika ]ace sempoyongan. Raphael menempel seperti laba-
laba. Giginya berusaha menggigit tenggorokan Jaee. Clary
merogoh tasnya untuk mencari belati yang telah diberikan
Jace" Wujud cokelat kecil melintasi lantai, melesat di antara
kaki Clary, dan melompat ke Raphael.
Raphael menjerit. Simon bergantung kuat"kuat di
lengan atas vampir itu. Gigi tikusnya yang tajam terbenam
dalam-dalam di daging Raphael. Vampir itu melepaskan
Jace, memukul-mukul ke belakang, darah menyembur
bersama searus makian dalam bahasa Spanyol tertuang
dari mulutnya. ]ace ternganga. "Dasar anak?"
Sambil mengembalikan keseimbangannya, Raphael
merenggut tikus itu dari lengannya, lalu melempar Simon ke
lantai pualam. Simon mencicit kesakitan sekali, lalu melesat
ke Clary. Gadis itu membungkuk dan menangkapnya, lalu
memeluk Simon di dada seerat yang mungkin tanpa melukainya.
Clary dapat merasakan jantung kecilnya berdentam-dentam
di jemari gadis itu. "Simon," Clary berbisik. "Simon?"
"Tidak ada waktu untuk itu. Pegangi dia." Jace telah
menangkap lengan Clary, mencengkeramnya dengan tenaga
365 yang menyakitkan. Tangan Jace yang lain memegang pisau
seraph yang berinar. "Bergeraklah."
Dia mulai setengah mendorong Clary ke pinggir keramaian.
Para vampir mengernyit menjauh dari cahaya pisau seraph
yang menyapu mereka. Semuanya berdesis seperti kucing
yang terkena air mendidih.
"Cukup berdiri sajanya!" Itu Raphael. Lengannya
mengalirkan darah. Bibirnya tertekuk dari gigi depannya.
Dia melotot kepada massa vampir yang berdesakan dengan
bingung. "Tangkap para pelanggar itu," dia berseru. "Bunuh
mereka berdua. Tikusnya juga!"
Para vampir mulai mendekati Jace dan Clary. Beberapa
di antara mereka berjalan, yang lain meluncur, yang lainnya
menukik dari balkon di atas seperti kelelawar hitam yang
mengepak-ngepak. Jace mempercepat langkahnya saat
mereka melepaskan diri dari keramaian, menuju dinding
di kejauhan. Clary menggeliat, setengah berbalik untuk
mendongak menatapnya. "Tidakkah kita seharusnya saling
memunggungi atau semacamnya?"
"Apa" Kenapa?"
"Entahlah. Di dalam film, itulah yang mereka lakukan
di dalam situasi... semacam ini."
Clary merasakan ]ace gemetaran. Apakah dia ketakutan"
Tidak, dia tertawa. "Kamu," ]ace bernafas. "Kamu memang
yang paling?" "Paling apa?" Clary naik pitam. Mereka masih mundur,
melangkah dengan hati-hati untuk menghindari perabotan
yang sudah rusak dan pualam hancur yang mengotori
366 lantai. _Iace mengangkat pisau malaikatnya tinggi-tinggi di
atas kepala mereka. Clary dapat melihat bagaimana para
vampir melingkar di sekeliling pinggiran lingkaran cahaya
redup yang dipancarkan pisau itu. Entah berapa lama ini
bisa menahan mereka. "Tidak ada," kata _]ace. "Ini bukan situasi yang tepat,
oke" Aku simpan kata itu untuk ketika kondisinya benar-
benar parah." ?"Benar-benar parah" Ini tidak benar"benar parah" Kamu
mau apa, nuklir..." Clary terhenti karena menjerit saat Lily menantang
cahaya. Ia meluncur kepada _]ace. Giginya dipamerkan
bersama geraman yang membara. ]ace mengambil pisau kedua
dari ikat pinggangnya, lalu melemparkannya ke udara. Lily
terjatuh mundur sambil menjerit panjang. Luka panjang yang
mendesis tercetak di lengannya. Saat ia terhuyung-huyung,
vampir-va mpir yang lain bergelora maju di sekitarnya. Mereka
sangat banyak, pikir Clary, sangat banyak...
Clary meraba-raba ikat pinggangnya. _]emarinya menutup
di sekitar pangkal belati. Rasanya dingin dan asing di
tangannya. Ia tidak tahu bagaimana menggunakan pisau. Ia
tidak pernah memukul siapa pun, apalagi menikam orang.
Bahkan ia bolos kelas olahraga pada hari mereka diajari
cara menangkis perampok dan penjahat seksual dengan
benda"benda biasa seperti kunci mobil dan pensil. Ia menarik
pisau itu, lalu mengangkatnya dengan tangan gemetaran.
Jendela meledak ke dalam hujan pecahan kaca. Clary
menjerit. Gadis itu melihat para vampir, yang sudah berjarak
367 selengan dari dirinya dan Jace, berputar dengan kaget. Rasa
terkejut dan ngeri bercampur di wajah mereka. Melalui jendela
yang pecah, masuklah lusinan wujud yang mengilap, berkaki
empat, dan rendah ke tanah. Bulu mereka menghamburkan
cahaya bulan dan pecahan kaca. Mata mereka sebiru api,
dan dari tenggorokan mereka keluarlah geraman yang
terdengar seperti dahsyatnya gerakan air terjun.
Serigala. "Nah, ini dia," kata Jaee, "situasinya."
368 5 Tinggi dan Kering Bukannya meiompat ke bawah,
sekarang mereka meluncur ke langit yang
bertebaran bintang. Para serigala membungkuk, rendah dan menggeram,
sedangkan para vampir tampak terpaku dan mundur. Hanya
Raphael yang masih tegak. Dia mencengkeram lengannya
yang terluka. Kausnya berlumuran darah dan kotoran. "Los
Nifzos de la Lum:," dia mendesis. Bahkan Clary, yang nyaris
tidak bisa bahasa Spanyol sama sekali, tahu apa yang dia
katakan. Anak-anak Rembulan, yaitu manusia serigala.
"Aku kira mereka saling membenci," Clary berbisik
kepada _]ace. "Vampir dan manusia serigala."
"Memang. Mereka tidak pernah saling mendatangi sarang
masingmasing. Tidak pernah. Perjanjian melarangnya." Jace
terdengar hampir marah. "Pasti ada yang telah terjadi. Ini
parah. Sangat parah."
369 "Bagaimana ini bisa lebih parah daripada kondisi kita
sebelumnya?" "Karena," kata Jace, "kita akan berada di tengah-tengah
perang." "BERANl-BERANINYA KALIAN MEMASUKI
TEMPAT KAMI?" Raphael berteriak. Wajahnya merah
menyala, dan dilapisi darah.
Serigala terbesar, yaitu monster belang dengan gigi seperti
gigi hiu, bernafas pendek"pendek seperti anjing. Saat dia
maju, di antara satu langkah dan berikutnya, dia tampak
bergeser dan berubah seperti ombak pasang dan bergelung.
Sekarang dia menjadi pria tinggi dan berotot dengan rambut
panjang yang bergantung di ikatan tali kelabu. Dia memakai
jins dan jaket kulit tebal. Ada sesuatu yang masih seperti
serigala di wajahnya yang kurus dan waspada.
"Kami tidak datang untuk menumpahkan darah," kata
serigala terbesar itu. "Kami datang untuk anak perempuan
itu." Raphael kaget, tapi berusaha tetap tampak marah.
"Siapa?" "Anak manusia itu." Manusia serigala itu melemparkan
sebelah tangannya yang kaku. Dia menunjuk Clary.
Gadis itu terlalu terkejut untuk bergerak. Simon, yang
tadi menggeliat"geliut di genggamannya, menjadi kaku. Di
belakangnya, ]ace menggumamkan sesuatu yang jelas-jelas
bernada mencela. "Kamu tidak bilang kepadaku bahwa
kamu punya kenalan manusia serigala." Tapi Clary dapat
390 mendengar sekilas dari nadanya yang datar bahwa ]ace
pun sekaget Clary. "Aku tidak kenal," kata gadis itu.
"Ini parah," kata ]ace.
"Kamu kan sudah bilang tadi."
"Rasanya pantas untuk diulang."
"Yah, tidak juga." Clary mengerut di belakang ]ace.
"face. Mereka semua menatapku."
Semua wajah menoleh ke arah Clary. Kebanyakan di
antara mereka tampak terkejut. Mata Raphael menyipit.
Perlahan dia berbalik kepada manusia serigala itu. "Kalian
tidak bisa mengambilnya," kata Raphael. "Ia telah melanggar
wilayah kami. Jadi, ia milik kami."
Manusia serigala itu tertawa. "Aku sangat senang kamu
bilang begitu," katanya. Dia pun menerjang ke depan. Di
tengah udara, badannya beriak. Dia menjadi serigala lagi.
Mantel bulunya menegak dan rahangnya membuka, siap
untuk merobek. Dia menyerang Raphael tepat di dadanya,
lalu keduanya bergulat sambil menggeram dan menggeliat
kesakitan. Dengan jawaban lolongan marah, para vampir
menyerang manusia serigala, yang menemui mereka langsung
di tengah-tengah ruang dansa.
Bisingnya tidak seperti yang pernah didengar Clary.
Kalau lukisan neraka karya Bosch punya lagu pengiring,
pasti terdengar seperti ini. Memang cocok sekali, karena
kebanyakan karya Bosch adalah lukisan relijius berkarakter
makhluk"makhluk aneh dan khayalan yang bercampur
dengan sosok"sosok manusia.
361 Jace bersiul. "Raphael benar-benar mengalami malam
yang istimewa." "Jadi apa?" Clary sama sekali tidak bersimpati kepada
vampir itu. "Apa yang akan kita lakukan?"
Jace celingukan. Mereka tertekan ke pojok oleh kerumunan
badan yang teraduk"aduk. Meskipun sekarang ini mereka
tidak diperhatikan, pasti tidak akan lama.
Sebelum Clary bisa menyuarakan pikirannya, Simon
mendadak menggeliat dengan hebat, sehingga terlepas dari


The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

genggamannya. Tikus itu pun melompat ke lantai.
"Simon!" Clary menjerit saat sahabatnya itu melesat ke
sudut dan tumpukan tirai beledu yang sudah membusuk
dan berjamur. Alis _]ace naik dengan lucu. "Apa yang sedang dia..."
Pemuda itu merenggut lengan Clary, menariknya mundur.
"Clary, jangan kejar tikus itu. Dia kabur. Memang itu yang
dilakukan tikus." Clary melotot marah. "Dia bukan tikus. Dia Simon.
Dia. juga telah menggigit Raphael demi kamu, dasar idiot
yang tidak bersyukur." Clary menarik lengannya sampai
terlepas, lalu melesat mengejar Simon. Tikus itu sedang
membungkuk di lipatan tirai, mencicit dengan bersemangat
dan mencakar-cakar ke tirai itu. Terlambat menyadari apa
yang Simon berusaha beri tahukan, Clary menarik tirai itu
ke samping. Memang licin akibat lumut, tapi di belakangnya
ada... "Pintu," Clary bernafas. "Memang kamu tikus
jenius." 392 Simon mencicit dengan sopan saat Clary menangkapnya.
Jace sudah tepat di belakangnya. "Pintu, eh" Yah, bisa
dibuka?" tanya Jace.
Clary mencengkeram kenopnya, lalu berbalik kepada
Jace dengan kecewa. "Terkunci. Atau macet," kata Clary.
]ace melemparkan diri ke pintu, tapi pintu itu tidak
bergerak. ]ace mengutuk. "Bahuku tidak akan pernah sama
lagi. Kamu harus merawatku sampai sembuh nanti."
"Dobrak saia pintunya, oke?"
]ace menatap melewati Clary dengan mata membelalak.
"Clary..." Gadis itu berbalik. Seekor serigala besar telah keluar
dari huru-hara dan berlari ke arahnya. Telinganya rata
dengan kepalanya yang sempit. Serigala itu besar, berwarna
belang abu"abu campur hitam. Lidahnya merah panjang dan
terjulur keluar. Clary menjerit. Jace melemparkan dirinya ke
pintu lagi, masih mengutuk. Clary meraih ikat pinggangnya,
menggenggam belatinya, lalu melemparkannya.
Ia belum pernah melemparkan senjata sebelumnya,
bahkan sekadar berpikir untuk melakukannya. Pengalaman
terdekatnya dengan senjata sebelum minggu ini adalah
menggambarnya. Jadi, Clary sendiri lebih terkejut daripada
siapa pun ketika belati itu terbang dengan goyah tapi tepat,
lalu terbenam ke sisi manusia serigala.
Serigala itu mendengking pelan, tapi tiga temannya sudah
berlari ke arah mereka. Salah satunya berhenti di samping
serigala yang terluka tadi, sementara yang lainnya menyerbu
ke pintu. Clary menjerit lagi ketika Jace melemparkan
363 badannya ke pintu untuk ketiga kalinya. Pintu itu terbuka
dengan ledakan derak dari karat yang mengertak dan kayu
yang patah. "Tiga kali membawa keberuntungan," ]ace terengah-
engah sambil memegangi bahunya. Dia masuk ke dalam
ruang gelap yang membuka di balik pintu yang rusak,
lalu berbalik untuk mengulurkan tangan yang tidak sabar.
"Clary, ayo." Clary menghambur mengejar Jace, lalu melempar pintu
hingga menutup tepat saat dua badan yang berat membentur
pintu itu. Ia merogoh gerendelnya, tapi sudah hilang. Pasti
gerendel itu rusak dan lepas gara-gara Jace.
"Menunduklah," kata ]ace. Ketika Clary menunduk,
stela melambai di atas kepalanya, mengiriskan garis-garis
gelap ke kayu pintu itu yang sudah berlumut. Gadis itu
mengulurkan lehernya untuk melihat apa yang diukir oleh
_Iace, yaitu lengkungan seperti sabit dan tiga garis yang
bersambungan. Itu bentuk matahari bersinar yang berarti
menahan pengejaran. "Aku kehilangan belatimu," Clary mengaku. "Maaf."
"Itu sudah biasa." Jace mengantongi stela. Clary bisa
mendengar tubrukan samar ketika para serigala melemparkan
diri ke pintu lagi dan lagi, tapi pintu itu bertahan. "Rune
ini akan mencegah mereka, tapi tidak lama. Sebaiknya kita
bergerak cepat." Clary mendongak. Mereka berada di jalan terusan
yang lembab. Seperangkat tangga sempit bisa membawa
mereka ke dalam kegelapan. Anak tangganya terbuat dari
394 kayu. Pegangan tangganya dilapisi debu. Simon mendorong
hidungnya keluar dari saku jaket Clary. Mata kancingnya
yang hitam berkelap-kelip di cahaya temaram, "Baiklah,"
Clary mengangguk kepada Jace. "Kamu duluan."
Jace seperti mau eengar"cengir, tapi terlalu lelah untuk
melakukannya. "Kamu tahu aku sangat suka duluan. Tapi
pelan-pelan," dia menambahkan. "Aku tidak yakin tangga
itu bisa menahan berat kita."
Clary juga tidak yakin. Anak"anak tangga itu berdetak
dan merintih saat mereka naik, seperti wanita tua yang
mengeluhkan rasa sakit dan nyerinya. Clary mencengke-
ram pegangan tangga untuk menjaga keseimbangan, tapi
bongkahannya terlepas di tangannya, sehingga gadis itu
memekik. Jace jadi tertawa tertahan. Pemuda itu tampak
lelah, tapi tetap mengambil tangan Clary. "Ini. Jangan
jatuh," kata Jace. Simon membuat suara yang, bagi seekor tikus, sangat
terdengar seperti dengusan. ]ace tampaknya tidak mendengar
itu. Mereka tersandung"sandung menaiki tangga secepat yang
mereka berani. Tangga itu berbentuk spiral yang tinggi, terus
naik menembus bangunan itu. Mereka melewati lantai demi
lantai, tapi tidak ada pintu. Mereka telah mencapai belokan
tak bersegi yang ketiga ketika suara ledakan yang teredam
mengguncang tangga, dan awan abu mengombak ke atas.
"Mereka telah melewati pintu," kata Jace muram. "Sial.
Aku kira itu bisa menahannya lebih lama."
"Sekarang kita lari?" Clary bertanya.
395 "Sekarang kita lari," _Iace berkata, lalu mereka berlari
secepat kilat menaiki tangga yang berdetak dan meraung
akibat berat badan mereka. Paku-pakunya meletup seperti
tembakan pistol. Mereka sudah berada di lantai lima
sekarang. Clary bisa mendengar suara zap-tap pelan dari
kaki serigala di anak"anak tangga di bawah, atau mungkin
itu cuma khayalannya. Ia tahu tidak ada nafas panas di
belakang lehernya, tapi geraman dan lolongan mereka
bertambah keras saat mereka semakin dekat. Suara itu
nyata dan mengerikan. Lantai keenam menjulang di depan kedua remaja itu.
Clary dan ]ace setengah melempar diri mereka ke sana.
Clary tersengal-sengal. Nafasnya sakit dan terasa seperti
menggergaji paru"parunya. Tapi meskipun pelan, ia berhasil
berseru gembira ketika melihat pintu itu.
Itu pintu baja yang ditumpu dengan paku, dan tersangga
terbuka dengan batu bata. Clary hampir tidak punya waktu
untuk bertanya-tanya kenapa pintu itu seperti itu. ]ace
langsung menendang pintu itu hingga terbuka, mendorong
Clary ke sana, mengikutinya, lalu membanting pintu itu
hingga menutup. Clary mendengar suara klik yang jelas
saat pintu itu terkunci di belakang mereka. Terima kasih
Tuhan, pikirnya. Lalu Clary berbalik. Langit malam berputar-putar di atasnya, berhamburan
dengan bintang seperti setangkup berlian yang goyah. Warna
langitnya bukan hitam, melainkan biru gelap yang cerah.
Itu warna menjelang fajar. Mereka berdiri di atap batu yang
396 dikelilingi cerobong dari batu bata. Ada menara air tua yang
berwarna hitam karena ditelantarkan. Menara itu berdiri di
atas mimbar yang menjulang di salah satu ujung atap itu.
Di ujung lainnya ada kain terpal yang menyembunyikan
kayu yang ditumpuk dengan kasar.
"Ini pastilah cara mereka keluar dan masuk," kata ]ace
sambil melirik ke pintu. Clary bisa melihat pemuda itu
dengan jelas sekarang di bawah cahaya pucat. Garis"garis
luka di sekitar matanya seperti bekas"bekas terpotong yang
dangkal. Darah di bajunya, kebanyakan adalah darahnya
Raphael, tampak hitam. "Mereka terbang ke sini. Bukan
berarti itu bagus bagi kita," ]ace menjelaskan.
"Mungkin ada tangga darurat," Clary menyarankan.
Bersama"sama mereka berjalan dengan hati-hati ke pinggiran
atap. Clary tidak pernah suka ketinggian, dan melihat ke
bawah dari lantai sepuluh membuat perutnya teraduk. Begitu
pula pemandangan tangga daruratnya. Tangga itu berhuk-
liuk menjadi bongkahan logam tidak berguna yang masih
menempel di sisi bagian depan hotel yang berbatu.
"Atau tidak ada," kata Clary. Ia menoleh ke pintu tempat
mereka muncul. Pintu itu dipasang ke bangunan seperti
kabin di tengah-tengah atap. Pintu itu bergetar. Kenopnya
tersentak"sentak dengan liar. Mungkin hanya akan bertahan
beberapa menit lagi, mungkin malah kurang dari itu.
Jaee menekan punggung tangannya ke matanya sendiri.
Udara kelam membelai mereka, membuat tengkuk Clary
terasa tertusuk. Ia bisa melihat keringat bercucuran di kerah
baju ]ace. Clary jadi punya harapan yang menyimpang dari
397 kondisi saat ini, yaitu turunnya hujan. Hujan akan meledakkan
gelembung panas ini seperti bisul ditusuk duri.
Jace bergumam kepada diri sendiri. "Berpikirlah,
Wayland, berpikir..."
Sesuatu mulai berwujud di dalam benak Clary. Sebuah
rune berdansa di balik kelopak matanya, yaitu dua segitiga
terbalik yang digabungkan dengan sebuah batang. Rune itu
seperti sepasang sayap"
"Itu dia," Jace bernafas sambil menurunkan tangannya.
Sesaat Clary terkejut apakah ]ace telah membaca pikirannya.
"Aku tidak percaya ini tidak terpikir sebelumnya." Pemuda
itu melesat ke ujung jauh atap itu, lalu berhenti dan menoleh
kepada Clary. Gadis itu masih berdiri bengong. Pikirannya
penuh dengan bentuk"bentuk yang berkilauan. "Ayo, Clary,"
kata Jace. Clary mengikuti ]ace. Ia mendorong pikiran tentang rune
itu dari benaknya. ]ace telah mencapai terpal dan menarik
ujungnya. Terpal itu terlepas, dan menampakkan sesuatu
yang bukan sampah, melainkan berwarna warna kuning
berkilauan, jok kulit yang telah disesuaikan, dan cat yang
gemerlapan. "Sepeda motor.?" Clary terkesiap.
Jace mengambil motor terdekat, yaitu Harley merah
gelap yang sangat besar dengan nyala keemasan di tangki
dan spatbornya. Dia mengayunkan sebelah kaki melewatinya,
lalu menoleh ke balik bahunya kepada Clary. "Naiklah."
Clary melotot. "Kamu bercanda ya" Memangnya kamu
tahu bagaimana mengemudikan benda itu" Kamu punya
kuncinya?" 398 "Aku tidak perlu kunci," ]ace menjelaskan dengan
kesabaran yang tak terbatas. "Motor ini berjalan dengan
energi iblis. Sekarang, kamu mau naik ke sini, atau kamu
mau naik motor sendiri?"
Dengan kaku Clary menyelip ke belakang ]ace. Di
suatu tempat di otaknya, sebuah suara kecil menjerit tentang
betapa buruknya ide ini. "Bagus," kata _Iaee. "Sekarang letakkan tanganmu di
badanku." Clary melakukannya, lalu merasakan otot keras
perut ]aee saat pemuda itu bersandar ke depan dan menekan
ujung stelanya ke starter. Dengan takjub, Clary merasakan
motor itu menderu hidup di bawahnya. Di dalam saku gadis
itu, Simon mencicit keras.
"Semuanya baik"baik saja," kata Clary dengan suara
yang paling menenangkan. "Jace!" Clary berseru untuk
mengatasi suara mesin motor. "Kamu sedang apa?"
]ace berteriak balik yang terdengar seperti "Mendorong
coknya!" Clary mengerjap. "Cepatlah! Pintunya..."
Sebagai isyarat, pintu atap meledak terbuka dengan suara
engselnya yang hancur dan rusak. Para serigala meruah
dari lubang itu. Mereka berlari melintasi atap langsung ke
arah mereka. Di atas mereka, terbanglah para vampir yang
berdesis dan melengking. Suara jeritan mereka, yang khas
pemangsa, memenuhi malam.
Clary merasakan lengan ]ace tersentak mundur, lalu
motor itu mendadak bergerak ke depan. Perut gadis itu
jadi terempas ke tulang belakangnya. Ia memegang ikat
399 pinggang _Iace dengan tegang saat mereka melaju dengan ban
menggelincir di sepanjang atap batu. Para serigala terpencar,
dan mendengking saat melompat ke samping.
Clary mendengar Jace meneriakkan sesuatu. Kata-katanya
tertelan bising roda dan angin dan mesin. Pinggiran atap
datang dengan cepat, sangat cepat, sehingga Clary ingin
menutup matanya, tapi matanya tertahan untuk tetap terbuka
lebar saat motor itu meluncur di atas dinding pagar, lalu
terjungkir seperti batu yang jatuh ke tanah sejauh sepuluh
lantai. Kalau Clary tadi menjerit, ia tidak ingat. Rasanya seperti
terjun kali pertama ketika naik roller coaster saat wahana
itu jatuh dan kamu merasa terlempar ke udara. Tanganmu
melambai tak berguna di udara, dan perutmu tertekan di
sekitar telingamu. Ketika motor itu membenarkan diri dengan
bunyi desis dan sentakan, Clary hampir tidak terkejut.
Bukannya melompat ke bawah, sekarang mereka meluncur
ke langit yang bertaburan bintang.
Clary menoleh ke belakang dan melihat kerumunan
vampir berdiri di atap hotel. Mereka dikelilingi oleh serigala.
Clary membuang muka. Kalau ia tidak pernah melihat hotel
itu lagi, itu terlalu awal.
Jaee berteriak, bersorak keras karena senang dan lega.
Clary condong ke depan dengan lengan erat di sekeliling
pemuda itu. "Ibuku selalu bilang, kalau aku naik motor
dengan cowok, ia akan membunuhku," Clary berseru untuk
400 mengatasi bising angin yang mendera clan gemuruh mesin


The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang memekakkan telinga. Clary tidak dapat mendengar ]ace tertawa, tapi ia
merasakan tubuhnya bergetar. "Ibumu tidak akan bilang begitu
kalau ia kenal aku," ]ace berseru balik kepadanya dengan
penuh percaya diri. "Aku pengemudi yang sempurna."
Clary terlambat teringat sesuatu. "Aku kira kalian bilang
hanya beberapa dari motor vampir yang bisa terbang?"
Dengan tangkas Jace menyetir memutari lampu lalu lintas
saat hendak berubah dari merah ke hijau. Di bawah sana,
Clary dapat melihat mobil"mobil ribut menekan klakson,
sirene ambulan meraung-raung, dan bus-bus berhenti di
halte, tapi ia tidak berani menunduk.
"Memang hanya sebagian yang bisa!" kata Jace.
"Bagaimana kamu bisa tahu ini salah satunya?"
"Aku tidak tahu!" Jace berteriak dengan riang, lalu
melakukan sesuatu yang membuat motornya naik hampir
secara vertikal ke udara. Clary memekik, lalu mencengkeram
ikat pinggang ]ace lagi. "Lihatlah ke bawah!" Jace berseru. "Menakjubkan!"
Rasa penasaran mendesak melewati rasa takut dan
pusing. Sambil menelan ludah dengan keras, Clary membuka
matanya. Mereka lebih tinggi daripada yang ia kira, dan sesaat bumi
berayun dengan pusing di bawahnya, menjadi pemandangan
kabur berisi bayangan dan cahaya. Mereka terbang ke timur,
menjauh dari taman, menuju jalan tol yang mengular di
pinggiran kanan kota. 401 Tangan Clary mati rasa dan dadanya terasa tertekan dengan
keras. Pemandangannya cantik, gadis itu bisa melihatnya.
Kota menjulang di sampingnya seperti hutan perak dan
kaca yang membubung. Kilau kelabu pudar dari Sungai East
mengiris di antara Manhattan dan sekter"sektornya seperti
bekas luka. Angin terasa sejuk di rambutnya, di kulitnya.
Rasanya sedap setelah berhari-hari panas dan lengket.
Clary juga belum pernah terbang, bahkan naik pesawat.
Jadi, ruang kosong yang luas di antara mereka dengan tanah
membuamya takut. Ia menutup mata saat mereka melaju
di atas air. Tepat di bawah Jembatan Queensboro yang
menhubungkan Manhattan dengan Queens, ]ace membelok
ke selatan, dan melaju ke kaki pulau itu. Langit telah mulai
bercahaya. Di kejauhan, Clary dapat melihat lengkungan
Jembatan Brooklyn yang berkilauan. Di belakangnya, ada
tonjolan di cakrawala, yaitu Patung Liberty.
"Kamu baik"baik saja?" ]ace berseru.
Clary diam saja, hanya mencengkeram ]ace dengan lebih
erat. Pemuda itu membelokkan motornya, lalu mereka berlayar
menuju jembatan. Clary pun bisa melihat bintang"bintang di
balik kabel"kabel penahan jembatan. Kereta api fajar sudah
berderak"derak di atasnya sambil membawa banyak penglaju
yang masih mengantuk. Clary jadi teringat betapa sering ia
naik kereta itu. Gelombang pusing membanjirinya. Ia pun
menutup mata, dan terengah-engah karena mual.
"Clary?" Jace memanggil. "Clary, kamu baik"haik
saja?" 402 Clary menggeleng. Matanya masih tertutup. Ia sendiri
di dalam gelap dan tiupan angin hanya bersama detak
iantungnya sendiri. Sesuatu yang tajam menggores dadanya.
Clary tidak menghiraukannya sampai goresan itu terasa lagi,
lebih bertubi-tubi. Setelah susah payah membuka matanya,
Clary melihat bahwa itu Simon yang kepalanya menonjol
dari kantongnya. Simon menarik-narik jaket Clary dengan
panik. "Tidak apa-apa, Simon," kata Clary susah payah
tanpa melihat ke bawah. "Itu cuma jembatan..."
Simon menggores Clary lagi, lalu menunjuk dengan
panik ke arah tepi laut Brooklyn yang menjulang di sisi
kiri mereka. Dengan pusing dan mual, Clary menoleh dan
melihat, di balik garis bentuk gudang dan pabrik, irisan
matahari terbit keemasan. Bentuknya seperti pinggiran koin
yang berkilauan. "Ya, sangat cantik," kata Clary sambil
menutup matanya lagi. "Matahari terbit yang indah."
Jace langsung kaku bagaikan tertembak. "Matahari
terbit?" dia berteriak, lalu menyentakkan motornya dengan
kasar ke kanan. Mata Clary terbuka saat mereka terlempar
ke air, yang mulai berkilauan dengan warna biru fajar.
Clary mendekat ke ]ace sebisanya tanpa melumatkan
Simon di antara mereka. "Apa jeleknya matahari terbit?"
"Aku sudah bilang! Motor ini berjalan dengan energi
iblis!" Jace menarik ke belakang sehingga mereka setinggi
air, lalu meluncur di sepanjang permukaan dengan roda
memercikkan air. Waiah Clary tersembur air. _]ace melanjutkan,
"Begitu matahari datang..."
403 Motor itu mulai terbatuk"batuk. _]ace menyumpah-
nyumpah bermacam-macam sambil memukul akselerasinya.
Motor itu menerjang ke depan sekali, lalu tercekik, tersentak-
sentak seperti kuda yang mengamuk. ]ace masih memaki-maki
saat matahari mengintip dari dermaga Brooklyn, menerangi
dunia dengan terang yang meluluhkan.
Clary dapat melihat setiap batu, setiap koral di bawah
mereka saat mereka selesai melintasi sungai terlempar ke
pinggiran sungai yang sempit. Di bawah mereka ada jalan tol
yang sudah mengepul-ngepul dengan lalu"lintas pagi. Mereka
baru saja melewatinya ketika roda mereka menyeremp et atap
truk yang lewat. Di belakangnya ada supermarket besar
dengan lahan parkir yang bertebaran sampah. "Berpengangan
padaku!" ]ace berteriak saat motor itu menyentak dan
terbatuk"batuk di bawah mereka. "Berpegangan padaku,
Clary, dan jangan biarkan..."
Motor itu miring dan menabrak aspal lahan parkir
dengan roda depan duluan. Motor itu terpelanting ke
depan, bergoyang-goyang dengan kasar, lalu tergelincir
panjang. Mereka berguncang dan terlempar ke aspal yang
tidak rata. Kepala Clary tercamuk ke depan dan belakang
dengan tenaga yang bisa mematahkan leher. Udara berbau
karet terbakar. Motor itu melambat, menggelincir sampai berhenti..., lalu
menabrak palang beton dengan kekuatan yang membuat Clary
terangkat ke udara dan meluncur ke samping. Tangannya
terlepas dari ikat pinggang Jace. Gadis itu hampir tidak
sempat menggelung diri untuk berlindung. Ketika mereka
404 menabrak tanah, Clary memeluk lengannya sekaku mungkin
dan berdoa Simon tidak akan terlumat.
Clary menabrak tanah dengan keras, lalu berteriak nyeri
karena lengannya terasa sangat sakit. Sesuatu memercik ke
waiahnya, lalu ia terbatuk saat membalik diri, berputar ke
punggungnya. Ia mencengkeram sakunya. Kosong. Clary
mencoba mengucapkan nama Simon, tapi ia kehabisan nafas.
Ia menguik ketika menghirup udara. Wajahnya basah dan
ada cairan menuruni kerahnya.
Itu darah." Clary membuka matanya samar-samar.
Wajahnya terasa seperti bengkak yang besar. Lengannya sakit
dan menyengat seperti daging mentah. Ia telah berguling
ke samping dan berbaring setengah di kubangan air kotor.
Fajar telah benar-benar datang. Clary dapat melihat sisa-sisa
motornya yang mengerut menjadi tumpukan debu yang tidak
dapat dikenali saat sinar matahari menyerangnya.
Di sanalah ]ace. Dia sedang berdiri sambil menahan
sakit. Dia mulai bergegas ke arah Clary, lalu melambat saat
mendekat. Lengan kausnya sobek dan ada bekas serempet
panjang di lengan kirinya. Wajah Jaee sepucat kertas, dan
dinaungi ikal keemasan yang kusut dengan keringat, debu,
darah. Clary bertanya"tanya kenapa Jace tampak seperti
itu. Apakah sebelah kaki Clary tergeletak entah di mana
di lahan parkir dalarn genangan darah"
Ia mulai berjuang untuk berdiri, lalu merasakan sebuah
tangan menyentuh bahunya. "Clary?"
"Simon! " 405 Sahabatnya itu sedang berlutut di sebelah Clary. Mata
Simon mengerjap seakan-akan dia juga tidak dapat mem-
percayainya. Bajunya kusut dan sangat kotor. Dia juga telah
kehilangan kacamatanya. Tapi selain itu, dia tampak tidak
terluka. Tanpa kacamata, Simon kelihatan lebih muda, tidak
berdaya, dan agak linglung. Dia menggapai untuk menyentuh
wajah Clary, tapi gadis itu tersentak mundur. "OW!"
"Kamu baik"baik saja" Kamu kelihatan hebat," kata
Simon dengan nafas tersengal. "Hal terbaik yang pernah
aku lihat..." "Itu karena kamu tidak memakai kacamatamu," kata
Clary lemah. Tapi kalau gadis itu mengharapkan balasan yang
sok tahu, ia tidak mendapatkannya. Simon malah merengkuh
Clary, memeluk gadis itu dengan erat. Baju Simon berbau
darah dan keringan dan kotoran, dan jantungnya berdetak
secepat satu mil per menit dan dia menekan memar Clary.
Meskipun demikian, Clary merasa lega dipeluk olehnya
dan mengetahui, benar-benar mengetahui, bahwa Simon
baik"baik saja. "Clary," kata Simon patau. "Aku kira" Aku kira
kamu..." "Tidak akan datang untukmu" Tentu saja aku datang,"
kata Clary. "Tentu saja."
Clary meletakkan tangannya di sekeliling Simon. Semua
tentang dirinya sangat akrab, dari kain kausnya yang
sudah terlalu sering dicuci sampai sudut tulang selangkanya
yang berada tepat di bawah dagu Clary. Simon menyebut
nama Clary, lalu gadis itu mengelus punggungnya untuk
406 meyakinkan. Ketika Clary melirik sekilas, ia melihat ]ace
membuang muka, seakan-akan cahaya matahari terbit
melukai matanya. 40" 6 Malaikat Jatuh Setengah perbatianmn lebih baik daripada
seluruh perhatian orang lain.
Hodge marah besar. Dia telah berdiri di serambi dengan
Isabelle dan Alec mengintip di belakangnya, ketika Clary
bersama Simon dan ]ace masuk terpincang-pincang. Mereka
kotor dan dilapisi darah, lalu langsung diberi ceramah yang
akan membuat ibunya Clary bangga.
Hodge tidak lupa menyisipkan bagian tentang ]ace
berbohong tentang ke mana mereka pergi, atau tentang
dia tidak akan pernah mempercayai Jace lagi. Bahkan ada
omelan tambahan, seperti melanggar Hukum, dikeluarkan
dari Kunci, dan mempermalukan kebanggaan nama kuno
Wayland. Untuk mengakhiri ceramahnya, Hodge memelototi Jace.
"Kamu telah membahayakan orang lain dengan kengototanmu.
408 Kejadian yang satu ini tidak akan aku biarkan kamu angkat
bahu saja!" "Aku tidak berniat begitu," kata Jace. "Aku tidak bisa
angkat bahu. Bahuku bergeser."
"Kalau saja sakit fisik bisa benar"benar menahanmu,"
kata Hodge dengan masam. "Tapi kamu akan menghabiskan
beberapa hari berikutnya di balai perawatan bersama Alec
dan Isabelle mondar-mandir di sekitarmu. Mungkin kamu
bahkan akan menikmatinya."
Hodge memang dua pertiga benar. Baik ]ace maupun
Simon harus tinggal di balai perawatan, tapi hanya Isabelle yang
mondar-mandir di antara mereka. Clary telah membersihkan
diri, lalu datang dua jam kemudian. Hodge telah mengobati
bengkak di lengannya, dan mandi shower selama dua puluh
menit telah membersihkan aspal dan tanah dari kulitnya,
tapi Clary masih merasa lecet dan nyeri.
Alec duduk di ambang jendela. Wajahnya seperti awan
mendung. Dia cemberut ketika pintu tertutup di belakang
Clary. "Oh, kamu," kata Alec.
Clary tidak menghiraukan Alec. "Hodge bilang dia
akan ke sini. Dia harap kalian berdua bisa menahan sisa
nyala api kehidupan kalian sampai dia tiba di sini," Clary
memberi tahu Simon dan ]ace. "Atau sesuatu seperti itu."
"Aku harap dia cepat datang," kata Jace kesal. Dia
sedang duduk di tempat tidur dengan bersandar kepada
bantal-bantal berbulu putih. Dia masih memakai bajunya
yang kotor. "Kenapa" Sakit ya?" tanya Clary.
409 "Tidak. Aku punya ambang sakit yang tinggi. Bahkan,
tidak mirip ambang, justru lebih mirip serambi yang dihiasi
dengan penuh selera. Tapi aku memang gampang bosan."
_Iace mengedip kepada Clary. "Kamu ingat di hotel pernah
berjanji bahwa kalau kita selamat, kamu akan memakai
baju suster dan memandikanku dengan spons?"
?"Sebenarnya, aku rasa kamu salah dengar," kata Clary.
"Simonlah yang menjanjikanmu mandi dengan spons."
Jace meringis melihat Simon yang tersenyum lebar ke-
padanya. "Segera setelah aku bisa berdiri lagi, ganteng."
"Aku tahu seharusnya aku biarkan kamu menjadi
tikus," kata ]aee. Clary tertawa dan menghampiri Simon. Sahabatnya itu
tampak sangat tidak nyaman dikelilingi oleh lusinan bantal
dan selimut yang ditumpuk"tumpuk di atas kakinya.
Clary duduk di pinggiran tempat tidur Simon. "Bagaimana
rasanya?" "Seperti ada orang yang memijatku dengan parutan
keju," kata Simon. Di mengernyit saat menarik kakinya.
"Tulang kakiku ada yang patah. Rasanya bengkak sekali.
Isabelle sampai harus memotong sepatuku."
"Senang ia merawatmu dengan baik." Clary membiarkan
sedikit cairan asam merayap ke dalam suaranya.
Simon condong kepadanya sambil menatap Clary lekat-
lekat. "Aku ingin bicara denganmu."
Clary mengangguk setengah enggan. "Aku ke kamarku
dulu. Datanglah setelah Hodge mengobatimu, oke?"
410 "Tentu." Simon membuat Clary terkejut dengan mengecup
pipi gadis itu. Itu kecupan kupu-kupu, yaitu bibir mengelus


The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kulitnya dengan cepat. Tapi ketika Clary menarik diri, gadis
itu ta hu bahwa wajahnya memerah. Mungkin, pikirnya sambil
berdiri, gara-gara cara semua orang memandangi mereka.
Di koridor, Clary menyentuh pipinya. Ia masih kaget.
Keeupan di pipi tidak berarti banyak, tapi itu benar-
henar bukan sifat Simon. Mungkin dia sedang mencoba
menunjukkan sesuatu kepada Isabelle" Ya ampun, pikir
Clary, mereka sangat membingungkan. Sementara itu, Jace
terus saja berlagak menjadi pangeran yang terluka. Clary
pergi sebelum Jace mulai mengeluhkan jumlah benang di
selimutnya. "Clary!" Gadis itu berbalik dengan terkejut. Alec melompat turun
ke aula untuk mengejarnya, terburu"buru untuk menyusulnya.
Dia berhenti ketika Clary berhenti. "Aku perlu berbicara
denganmu," kata Alec.
Clary menatap Alec dengan terkejut. "Tentang apa?"
Dia ragu. Dengan kulit pucat dan mata birunya, Alec
semenawan saudarinya. Tapi tidak seperti Isabelle, pemuda
itu berusaha keras untuk memperburuk penampilannya.
Sweter berjumbai dan rambut yang kelihatannya dipotong
sendiri hanyalah sebagian di antaranya. Alec seperti tidak
nyaman memakai kulitnya sendiri. "Aku rasa sebaiknya
kamu pergi. Pulang," katanya.
Clary tahu Alec tidak menyukainya, tapi tetap saia
rasanya seperti tamparan. "Alec, terakhir kali aku pulang,
411 rumahku dihuni oleh Yang Terabaikan. Juga Pembuas.
Punya taring. Tidak ada yang ingin pulang lebih daripada
aku, tapi..." "Kamu pasti punya saudara untuk menumpang tinggal?"
Suara Alec terdengar putus asa.
"Tidak ada. Lagipula, Hodge ingin aku tinggal di sini,"
kata Clary singkat. "Tidak mungkin dia begitu. Maksudku, setelah apa
yang telah kamu lakukan..."
"Apa yang telah aku lakukan?"
Alec menelan ludah dengan keras. "Kamu hampir
membuat ]ace terbunuh."
"Aku hampir... Kamu sedang bicara apa sih?"
"Berlari mengejar temanmu seperti itu... Kamu tahu
bahaya sebesar apa yang kamu timpakan kepada dia"
Kamu tahu..." "Dia" Maksudmu ]ace?" Clary memotong kalimat
Alec. "Sekadar informasi, semua ini idenya ]ace. Dia yang
bertanya kepada Magnus di mana sarang itu. Dia yang
pergi ke gereja untuk mengambil senjata. Kalaupun aku
tidak ikut bersamanya, dia tetap akan pergi."
"Kamu tidak mengerti," kata Alec. "Kamu tidak kenal
dia. Aku kenal dia. Dia pikir dia harus menyelamatkan dunia.
Dia akan senang untuk mati karenanya. Kadang-kadang
aku bahkan berpikir dia memang ingin mati, tapi itu tidak
berarti kamu harus mendukung dia melakukan itu."
"Aku tidak mengerti," kata Clary. "Jace adalah Nephilirn.
Inilah yang kalian lakukan. Kalian menyelamatkan orang,
412 membunuh iblis, mengalami bahaya. Bagaimana yang tadi
malam bisa berbeda?"
Alec kehilangan kendali. "Karena dia meninggalkanku?"
dia berteriak. "Biasanya aku bersama dia, menutupinya,
meniaganya, memastikan dia aman. Tapi kamu", kamu cuma
beban, cuma fana." Dia meludahkan kata itu seakan-akan
itu kaca cabul. "Tidak," kata Clary. "Aku bukan fana. Aku Nephilim.
Seperti kalian." Bibir Alec tertekuk di sudut. "Mungkin," katanya. "Tapi
kamu tidak pernah dilatih, tidak punya apa-apa. Kamu masih
belum ada gunanya, ya kan" Ibumu membesarkanmu di dunia
kaum fana, dan di sanalah tempatmu. Bukan di sini, dan
kamu membuat ]aee bertingkah seperti..., seperti dia bukan
salah satu dari kami. Membuatnya melangkah sumpahnya
kepada Kunci, membuatnya melanggar Hukum..."
"Sekilas berita ya," Clary mendengus. "Aku tidak
membuat ]ace melakukan apa pun. Dia melakukan apa
yang dia inginkan. Kamu harus tahu itu."
Alec menatap Clary seakan"akan gadis itu jenis iblis
menjijikkan yang belum pernah dia lihat. "Kalian para
fana benar"benar egois, ya kan" Kamu mengerti tidak sih
apa yang telah dia lakukan untukmu" Risiko pribadi apa
yang telah dia ambil" Aku tidak hanya berbicara tentang
keselamatannya. Dia bisa saja kehilangan segalanya. Dia
sudah kehilangan ayah dan ibunya. Kamu mau memastikan
dia kehilangan keluarganya yang tersisa juga?"
413 Clary menciut. Amarah membubung di dalam dirinya
bagaikan ombak hitam. Ia marah kepada Alec, karena pemuda
itu ada benarnya. Ia marah kepada semuanya dan semua
orang lainnya, yaitu kepada es licin yang telah merenggut
ayahnya bahkan sebelum ia lahir, kepada Simon yang membuat
dirinya sendiri nyaris terbunuh, kepada ]ace karena menjadi
martir tanpa memedulikan dirinya sendiri hidup atau mati.
Clary juga marah kepada Luke yang berpura-pura peduli
kepadanya, padahal semua itu hanyalah dusta.
Clary pun marah kepada ibunya karena tidak menjadi
ibu yang membosankan, biasa, dan serampangan seperti
yang pura-pura Jocelyn lakukan selama ini. Ternyata ibunya
malah orang yang sama sekali berbeda, yaitu wanita heroik
yang menakjubkan dan pemberani, wanita yang Clary tidak
kenal sama sekali. Ibunya hanyalah sosok yang tidak ada
di sini, ketika Clary setengah mati membutuhkannya.
"Kamu bicara tentang egois," Clary mendesis dengan
sangat keji sampai"sampai Alec melangkah mundur. "Kamu
tidak bisa mencemaskan orang lain di dunia ini selain
dirimu sendiri, Alec Lightwood. Tidak heran kamu tidak
pernah membunuh iblis seekor pun, karena kamu terlalu
penakut." Alec membeku. "Siapa yang memberi tahu kamu?"
" ace." Alec tampak seakan-akan Clary telah menamparnya.
"Tidak mungkin. Dia tidak akan hilang begitu."
"Dia pernah bilang kepadaku." Clary dapat melihat
betapa ia menyakiti Alec, dan itu membuat gadis itu senang.
414 Seseorang harus merasa sakit sebagai ganti sakitnya sendiri.
"Silakan gembar-gembor semaumu tentang kehormatan
dan kejujuran dan bagaimana kaum fana tidak memiliki
keduanya. Tapi kalau kamu memang jujur, akui sajalah
bahwa kamu mengamuk seperti ini hanya karena kamu
jatuh cinta kepadanya. Tidak ada hubungannya dengan?"
Alec bergerak sangat cepat, sehingga tidak bisa ditangkap
mata. Bunyi krak tajam menembus kepala Clary. Alec
telah mendorongnya ke dinding begitu keras sampai"sampai
belakang tengkorak Clary menabrak papan dinding kayu.
Wajah Alec hanya beberapa senti dari wajah Clary. Mata
pemuda itu besar dan menghitam.
"Jangan pernah," Alec berbisik dengan mulut memutih
dan membentuk garis, "mengatakan apa pun seperti itu
kepadanya atau aku akan membunuhmu. Aku bersumpah
atas nama Malaikat, aku akan membunuhmu."
Lengan Clary sangat nyeri di tempat Alec menceng-
keramnya. Clary megap-megap. Alec mengerjap seperti
baru terbangun dari mimpi, lalu melepaskan Clary. Dia
menyentakkan tangannya seakan-akan kulit gadis itu telah
membakarnya. Tanpa sepatah kata lagi, Alec berbalik dan
tergesa-gesa menuju balai perawatan. Dia berjalan terhuyung-
huyung seperti orang yang mabuk atau pusing.
Clary menggosok lengannya yang nyeri sambil meman-
dangi Alec. Gadis itu jadi terkejut atas apa yang telah ia
sendiri lakukan. Bagus, Clary. Sekarang kamu benar"benar
telah membuatnya membencimu.
415 Seharusnya ia sudah langsung tertidur, tapi meskipun
lelah, Clary tetap tidak bisa tidur. Akhirnya ia mengeluarkan
buku sketsanya dari ransel dan mulai menggambar dengan
menyandarkan kakinya di meja kecil di samping tempat
tidur. Awalnya ia membuat coretan malas, yaitu detail dari
tampak depan hotel vampir yang hampir ambruk, patung
gargoyle dengan mata menonjol. Lalu Clary menggambar
jalanan yang kosong, lampu jalanan yang memancarkan
kolam penerangan berwarna kuning, sosok bayangan berdiri
di pinggiran cahaya. Clary menggambar Raphael di dalam
kaus putih berdarah"darahnya dengan bekas luka salib di
tenggorokannya. Lalu Clary menggambar _]ace berdiri di atas
atap, menunduk menatap sepuluh lantai ke bawah.
Tidak takut, malah tertantang oleh kejatuhan itu. Bagi
_Iaee seakan-akan tidak ada ruang kosong yang tidak bisa dia
isi dengan kepercayaannya terhadap kekebalan dirinya sendiri.
Dalam mimpi Clary, ia menggambari ]ace sepasang sayap
yang terukir di belakang bahunya. Sayap itu melengkung
seperti sayap di patung malaikat di Kota Tulang.
Clary mencoba untuk menggambar ibunya, terakhir. Gadis
itu telah memberi tahu ]ace bahwa ia tidak merasa ada yang
berbeda setelah membaca Buku Gray, dan sebagian besar
itu benar. Tapi sekarang, saat ia mencoba membayangkan
wajah ibunya, ia menyadari bahwa ada yang berbeda di
dalam ingatannya tentang ]ocelyn. Ia bisa melihat bekas luka
ibunya. Tanda-tanda putih kecil yang meliputi punggung dan
bahunya seakan-akan ia telah berdiri di hujan salju.
416 Rasanya sakit mengetahui bahwa cara ia selalu melihat
ibunya dulu, seumur hidupnya, dusta belaka. Clary menyelipkan
buku sketsanya di bawah bantal. Matanya terasa hangat.
Ada ketukan di pintu. Ketukan yang lembut dan ragu.
Clary segera menggosok matanya. "Masuklah."
Itu Simon. Clary belum memperhatikan betapa berantak-
annya sahabatnya itu. Simon belum mandi. Bajunya sobek
dan ternoda. Rambutnya kusut. Dia ragu-ragu di ambang
pintu. Gaya resminya jadi aneh.
Clary bergeser ke samping supaya ada ruang untuk
Simon di atas tempat tidur. Tidak ada yang aneh tentang
duduk di tempat tidur bersama Simon. Dulu mereka saling
menginap selama bertahun-tahun. Mereka suka membuat
tenda dan benteng dengan selimut ketika masih kecil, lalu
begadang membaca komik ketika sudah lebih besar.
"Kacamatamu sudah ketemu," kata Clary. Satu lensanya
retak. "Ada di dalam kantongku. Kacamata ini muncul lebih
baik daripada yang aku kira. Aku harus menulis pesan
ke toko LensCrafters." Simon duduk dengan hati-hati di
samping Clary. "Hodge sudah mengobatimu?"
Simon mengangguk. "Ya. Aku masih merasa telah
dilindas besi roda, tapi tidak ada yang patah", tidak lagi."
Dia berbalik untuk menatap Clary. Mata Simon di balik
kacamata yang rusak adalah mata yang Clary ingat, yaitu
hitam dan serius. Mata itu dilingkari bulu mata yang digila-
gilai perempuan, tapi tidak dipedulikan laki-laki. "Clary,
41" kamu sudah datang untukku" kamu sudah mempertaruhkan
semuanya..." "Jangan." Clary mengangkat sebelah tangan dengan
canggung. "Jangan bilang begitu. Kamu pasti juga akan
melakukannya untukku."
"Tentu saja," kata Simon tanpa rasa sombong maupun
pura-pura, "tapi aku selalu berpikir bahwa begitulah yang
selalu terjadi di antara kita. Kamu tahu kan."
Clary menggeliat untuk menghadap kepada Simon. Gadis
itu bingung. "Apa maksudmu?"
"Maksudku," kata Simon. Dia tampak terkejut karena
menjelaskan sesuatu yang seharusnya sudah jelas. "Aku-
lah yang selalu membutuhkanmu lebih daripada kamu
membutuhkanku." "Itu tidak benar." Clary terkejut.
"Memang benar," Simon mengatakannya dengan ke-
tenangan yang sama membingungkannya. "Kamu selalu
tampak tidak benar"benar membutuhkan siapa pun, Clary.
Kamu selalu..., penuh. Kamu hanya butuh pensil dan dunia
khayalanmu. Sering kali aku harus mengatakan sesuatu enam,
tujuh kali sebelum kamu menjawab. Kamu begitu jauh. Lalu
kamu menoleh kepadaku dan tersenyum lucu. Aku pun
tahu tadi kamu melupakanku dan baru ingat lagi", tapi
aku tidak pernah marah kepadamu. Setengah perhatianmu
lebih baik daripada seluruh perhatian orang lain."
Clary mencoba untuk menangkap tangannya, tapi hanya
mendapatkan pergelangan Simon. Gadis itu bisa merasakan
detak nadi di bawah kulit Simon. "Aku hanya pernah
418 menyayangi tiga orang di dalam hidupku," kata Clary. "Ibuku
dan Luke, dan kamu. Aku juga telah kehilangan semuanya
kecuali kamu. Jangan pernah membayangkan kamu tidak
penting bagiku" sekadar berpikir begitu pun jangan."
"Ibuku bilang kita hanya perlu tiga orang yang dapat
diandalkan untuk mencapai aktualisasi diri," kata Simon.
Nada suaranya ringan, tapi suaranya bergetar ketika menyebut
"aktualisasi". "Katanya kamu sudah cukup teraktualisasi."
Clary tersenyum sedih kepada Simon. "Ibumu punya
kata bijak lagi tentangku?"
"Ya." Simon membalas senyumannya. "Tapi aku tidak
akan memberitahumu."
"Tidak adil berahasia begitu!"
"Siapa yang bilang dunia ini adil?"
Akhirnya, mereka saling bersandar bahu seperti ketika
masih kecil. Kaki Clary berada di atas kaki Simon. Jemari
kakinya hanya sampai di bawah lutut Simon. Mereka
berbaring dan memandangi langit"langit sambil mengobrol.
Itu kebiasaan yang tertinggal dari masa ketika langit"langit
Clary ditutupi bintang"bintang menyala di dalam gelap.
Sementara Jace berbau seperti sabun dan jeruk limau, Simon
berbau seperti seseorang yang telah berguling"guling di lahan


The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

parkir supermarket. Tapi Clary tidak keberatan.
"Yang aneh adalah," Simon mengikat ikal di rambut
Clary di sekitar jarinya, "aku sedang melueu dengan Isabelle
tentang vampir tepat sebelum semua itu terjadi. Hanya
mencoba membuatnya tertawa, tahu kan" :Apa yang membuat
419 vampir Yahudi ketakutan" Bintang perak David" Potongan
hati manusia" Cek delapan belas dolar?"
Clary tertawa. Simon tampak puas. "Isabelle tidak tertawa."
Clary teringat beberapa hal yang ingin ia katakan,
tapi tidak jadi mengatakannya. "Aku tidak yakin itu jenis
humornya Isabelle." Simon melirik Clary dari bawah bulu matanya. "Ia
pernah tidur dengan Jace?"
Clary memekik terkejut, tapi langsung diubah menjadi
batuk. la memandangi Simon. "EW, tidak. Mereka otomatis
jadi saudara. Mereka tidak akan melakukan itu." Clary
berhenti. "Menurutku juga tidak begitu sih."
Simon mengangkat bahu. "Bukan berarti aku peduli,"
katanya dengan yakin. "Pastilah kamu tidak peduli."
"Memang tidak!" Simon berguling ke samping. "Kamu
tahu kan, sebelumnya aku pikir Isabelle itu kelihatan... Aku
tidak tahu. Keren. Menyenangkan. Berbeda. Lalu, di pesta
itu, aku menyadari bahwa sebenarnya ia gila."
Clary membelalak kepada Simon. "Isabelle menyuruhmu
minum cocktail biru itu?"
Simon menggelengkan kepalanya. "Itu semua salahku.
Aku melihatmu pergi bersama Jaee dan Alec, dan entahlah...
Kamu kelihatan sangat berbeda dari biasanya. Kamu tampak
sangat berbeda. Aku jadi berpikir kamu sudah berubah,
dan dunia barumu ini akan meninggalkanku. Aku ingin
melakukan sesuatu yang bisa membuatku lebih terlihat di
420 dalamnya. Jadi ketika orang kerdil hijau itu datang membawa
senampan minuman..."
Clary mengerang. "Dasar idiot."
"Aku tidak pernah mengaku sebaliknya."
"Maaf. Rasanya parah?"
"Menjadi tikus" Tidak. Awalnya membingungkan. Tiba-
tiba aku setinggi mata kaki semua orang. Aku kira aku
telah meminum ramuan pengecil, tapi entah kenapa aku
ingin sekali mengunyah bekas permen karet."
Clary terkikik. "Bukan. Maksudku hotel vampirnya.
Di situ parah?" Sesuatu menyala di balik mata Simon. Dia membuang
muka. "Tidak. Aku tidak begitu ingat di antara pesta dan
mendarat di lahan parkir."
"Mungkin sebaiknya begitu."
Simon hendak mengatakan sesuatu, tapi tertahan
karena menguap. Penerangan ruangan itu mulai pudar.
Clary melepaskan diri dari Simon dan seprainya, lalu
bangun dan menarik gorden jendela. Di luar sana, kota
dibasuhi oleh sinar matahari terbenam yang kemerahan.
Atap Gedung Chrysler yang keperakan, lima puluh blok ke
selatan, bersinar bagaikan korek yang terlalu lama dibiarkan
menyala. "Matahari sudah terbenam. Mungkin kita harus
cari makan malam," kata Clary.
Tidak ada tanggapan. Clary berbalik, lalu melihat
bahwa Simon sudah terlelap. Lengan pemuda itu terlipat
di bawah kepalanya. Kakinya membujur. Clary mendesah,
menghampiri tempat tidur, melepaskan kacamata Simon, lalu
421 meletakkannya di meja. Entah sudah berapa kali sahabatnya
itu tertidur sambil memakai kacamata, lalu terbangun oleh
suara lensa yang retak. Sekarang di mana aku bisa tidur." Bukannya Clary
keberatan berbagi tempat tidur dengan Simon, tapi memang
hampir tidak ada ruang yang tersisa. la mempertimbangkan
untuk menepuk Simon supaya bangun, tapi pemuda itu
tampak sangat damai. Lagipula, Clary tidak mengantuk. Ia
baru saja meraih buku sketsa di bawah bantalnya ketika
ada suara ketukan di pintu.
Clary menapak dengan kaki telanjang melintasi ruangan,
lalu memutar kenop pintu dengan tenang. Itu Jace. Pemuda
itu sudah bersih memakai jins dan kaus abu-abu. Rambutnya
sudah dikeramas dan menjadi lingkaran sinar emas yang
basah. Bengkak di wajahnya sudah memudar dari ungu
menjadi abu-abu pudar, dan tangannya berada di balik
punggungnya. "Tadi kamu sedang tidur?" dia bertanya. Tidak ada
sesal di suaranya, hanya rasa ingin tahu.
"Tidak." Clary melangkah ke koridor, lalu menarik
pintu menutup di belakangnya. "Kenapa kamu berpikir
begitu?" Jace memperhatikan tank top katun berwarna biru
lembut dan celana tidur yang dipakai Clary. "Tidak ada
alasannya." "Aku di tempat tidur sepanjang hari," kata Clary, yang
secara teknis memang benar. Saat melihat Jace, tingkat
kegugupan Clary melesat naik sekitar seribu persen, tapi ia
422 merasa tidak perlu memberitahu pemuda itu. "Bagaimana
denganmu" Kamu tidak lelah?"
]ace menggeleng. "Seperti jasa pos, pemburu iblis tidak
pernah tidur. Baik ada 5051: atau hujan atau panas atau
Iamtnya malam, kami tetap..."
"Kamu akan mendapat masalah besar kalau larutnya
malam tetap bangun," Clary mengingatkan.
Jace cengar-cengir. Tidak seperti rambutnya, giginya tidak
sempurna. Sayang sekali, gigi depannya sedikit teriris.
Clary menggenggam sikunya. Koridor itu terasa dingin
dan ia dapat merasakan bulu kuduknya mulai berdiri.
"Omong-omong, kamu sedang apa di sini?"
?"Di sini' maksudnya tempat tidurmu atau "di sini"
sebagai pertanyaan spiritual besar tentang tujuan kita hidup
di planet ini" Kalau kamu bertanya apakah ini semua
hanyalah kecelakaan kosmik atau ada tujuan meta-etika
di dalam hidup ini. Yah, memang itulah misteri selama
bertahun-tahun. Maksudku, pengurangan ontologis sederhana
jelas-jelas merupakan argumen yang keliru, tapi..."
"Aku ke kamar lagi ya." Clary meraih kenop pintu.
]ace menyelip dengan gesit di antara Clary dan pintunya.
"Aku di sini," kata Jace, "karena Hodge mengingatkanku
bahwa ini hari ulang tahunmu."
Clary menghela nafas dengan jengkel. "Belum. Ulang
tahunku besok." "Tidak ada alasan untuk tidak mulai merayakannya
sekarang." 423 Clary melirik Jace. "Kamu sedang menghindari Alec
dan Isabelle." Dia mengangguk. "Mereka berdua berusaha mengajakku
bertengkar." "Untuk alasan yang sama?"
"Aku tidak tahu." ]aee celingukan di sekitar koridor.
"Hodge juga. Semua orang ingin berbicara denganku.
Kecuali kamu. Taruhan kamu pasti tidak ingin berbicara
denganku." "Tidak," kata Clary. "Aku mau makan. Aku
kelaparan." _]ace mengeluarkan tangannya dari balik punggung.
Di dalamnya ada tas kertas yang agak kusut. "Aku sudah
mengambil beberapa makanan dari dapur ketika Isabelle
tidak melihat." Clary cengar"eengir. "Piknik" Sudah agak larut untuk
ke Central Park, ya kan" Ada banyak?"
Jace mengayunkan sebelah tangannya. "Peri. Aku
tahu." "Aku mau bilang perampok," kata Clary. "Meskipun
aku kasihan kepada perampok yang menyerangmu."
"Itu sikap yang baik, aku menghargai usahamu," kata
_Iace yang tampak puas. "Tapi aku tidak berpikir tentang
Central Park. Bagaimana dengan rumah kaca?"
"Sekarang" Malam-malam begini" Bukankah...,
gelap?" Jace tersenyum seperti menyembunyikan rahasia. "Ayolah.
Aku tunjukkan kepadamu."
424 * Bunga Tengah Malam Batu ini akan membawakanmu cahaya,
bahkan di antara bayaag-bayaag tergelap.
Dalam setengah cahaya, ruangan"ruangan besar yang
mereka lewati di jalan menuju atap tampak terbengkalai
seperti seting panggung. Perabotan yang ditutup tirai putih
membayang di keremangan seperti bongkahan es menembus
kabut. Ketika Jace membuka pintu rumah kaca, baunya
menyergap Clary dengan lembut seperti langkah cakar kucing.
Ada bau tanah yang gelap dan kaya, juga bau bunga-bunga
malam yang lebih kuat dan bersabun, seperti bunga bulan,
bunga terompet malaikat putih, dan bunga jam empat. Ada
juga beberapa bunga yang tidak dikenali oleh Clary seperti
tanaman yang berkelopak mekar berwarna kuning dan
berbentuk bintang yang kelopaknya dikalungi serbuk sari
425 keemasan. Melalui dinding kaca yang memagari rumah kaca
itu, Clary dapat melihat cahaya Manhattan yang membara
seperti mutiara beku. "Wow." Clary berbalik perlahan untuk melihat pe-
mandangan itu dengan ielas. "Sangat cantik ya di sini
maiarn"maiam." Jaee cengar"cengir. "Dan tempat ini untuk kita berdua
saja. Alec dan Isabelle tidak suka di sini. Mereka alergi."
Clary mengigil, meskipun ia tidak kedinginan. "Ini
bunga apa?" Jace mengangkat bahu, lalu duduk dengan hati"hati
di samping perdu hijau yang mengiiap dan dibintik"bintiki
dengan kuncup bunga. "Tidak tahu. Kamu pikir aku
memperhatikan kelas botani" Aku tidak mau menjadi juru
arsip. Aku tidak perlu tahu hal"hal semacam itu."
"Kamu hanya perlu tahu bagaimana membunuh
sesuatu?" Jace mendongak menatapnya, dan tersenyum. Selain
mulutnya yang seperti setan, dia tampak seperti malaikat
pirang dari lukisan Rembrant, yaitu pelukis ternama dari
Belanda. "Itu benar." Jace mengambil bungkusan serbet
dari tas dan menawarkannya kepada Clary. "Aku juga,"
pemuda itu menambahkan, "membuat roti isi keju yang
lumayan. Cobalah satu."
Clary tersenyum enggan, lalu duduk berseberangan
dengan Jace. Lantai batu di rumah kaca itu terasa dingin di
kakinya yang telanjang, tapi rasanya menyenangkan setelah
berhari"hari dilanda panas yang tak tertahankan. Dari tas
426 kertas itu, ]ace mengeluarkan beberapa apel, sebatang cokelat
buah dan kacang, dan sebotol air. "Rasanya lumayan iuga,"
kata Clary mengagumi. Roti isi keju itu hangat dan agat timpang, tapi rasanya
enak. Dari salah satu kantong jaket _]ace yang tak terhitung
jumlahnya, ]ace mengeluarkan pisau berpengangan tulang
yang sepertinya bisa membelah perut beruang grizzly, yaitu
beruang cokelat besar dari Amerika Utara. Dia menggunakan
pisau itu untuk mengupas apel, lalu mengukirnya meniadi
delapan potongan yang teliti.
"Yah, ini bukan kue ulang tahun," kata _]ace sambil
menyerahkan satu bagian apel kepada Clary, "tapi semoga
ini lebih baik daripada tidak ada sama sekali."
"Aku kira tidak akan ada apa-apa di hari ulang tahunku,
jadi makasih ya." Clary menggigit apelnya. Rasanya hijau
dan dingin. "Seharusnya semua orang mendapatkan sesuatu di hari
ulang tahun mereka." ]ace menguliti apel kedua. Kulitnya
menjadi carikan panjang. "Ulang tahun harus istimewa.
Ulang tahunku selalu menjadi hari ketika ayahku bilang
aku boleh melakukan atau mendapatkan apa pun yang
aku inginkan." "Apa pun?" Clary tertawa. "Apa pun seperti apa yang
kamu inginkan?" "Yah, ketika aku lima tahun, aku ingin mandi
Spageti." "Tapi ayahmu tidak mengabulkannya, kan?"
42" "Itu dia. Ayahku mengabulkannya. Katanya itu tidak
mahal, dan kenapa tidak kalau memang itu yang aku
inginkan" Dia menyuruh para pembantu mengisi bak mandi
dengan air mendidih dan pasta. Lalu ketika sudah dingin..."
Dia mengangkat bahu. "Aku mandi di dalamnya."
Para pembantu." pikir Clary. Gadis itu bertanya, "Ba-
gaimana rasanya?" "Licin." "Pasti." Clary berusaha membayangkan Jace sebagai
anak kecil yang sedang terkikik dan terendam pasta sampai
ke telinganya. Bayangan itu tidak bisa terbentuk. Tentunya
]ace tidak pernah mengikik, bahkan meskipun baru lima
tahun. "Apa lagi yang kamu minta?"
"Senjata, biasanya," kata _]ace. "Aku yakin kamu tidak
terkejut ya. Juga buku. Aku sendiri sudah banyak membaca
buku." "Kamu tidak sekolah?"
"Tidak," kata ]ace. Sekarang dia berbicara pelan, hampir
seakan-akan mereka mendekati topik yang tidak mau dia
diskusikan. "Tapi teman"temanmu..."
"Aku tidak punya teman," kata Jace. "Selain ayahku.
Dialah segala yang aku butuhkan."
Clary memandanginya. "Tidak ada teman sama
sekali?"

The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jace memandang Clary dengan mantap. "Kali pertama
aku bertemu Alec," kata pemuda itu, "aku berumur sepuluh
428 tahun. Itulah kali pertamanya aku bertemu dengan anak
lain sebayaku. Itulah kali pertamanya aku punya teman."
Clary menjatuhkan pandangannya. Di luar kemauannya,
sekarang sebuah gambaran terbentuk di kepalanya. Clary
teringat Alec, dan bagaimana pemuda itu menatapnya waktu
itu. Dia tidak akan bilang begitu.
"Jangan menyesal untukku," kata Jane seperti menebak
pikiran Clary, padahal bukan dia yang Clary sesali. "Dia
Imam Tanpa Bayangan 11 Dewa Arak 16 Pewaris Ilmu Tokoh Sesat Geger Perawan Siluman 1
^