Pencarian

Geger Perawan Siluman 1

Jodoh Rajawali 11 Geger Perawan Siluman Bagian 1


GEGER PERAWAN SILUMAN Serial Silat JODOH RAJAWALI Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis
dari penerbit Serial Silat Jodoh Rajawali dalam episode:
Geger Perawan Siluman; 128 hal.
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 AWAN hitam di langit bergumpal-gumpal mem-
bungkus jagat raya. Awan hitam itu dipandangi bebe-
rapa saat oleh seorang pemuda berpakaian biru me-
wah. Pandangan matanya berkesan sayu, redup, tak
bersemangat. Raut wajah pemuda berpenampilan
bangsawan itu bagaikan sekumpulan awan di atas ke-
palanya; kusut, buram, dan simpang siur. Itu pertanda
pemuda berbadan sedikit gemuk sedang dirundung
kesedihan dalam hatinya.
Pemuda itu duduk di atas bongkahan tanah
cadas berumput tipis, di bawah sebuah pohon besar
berdaun rimbun. Sebentar-sebentar matanya meman-
dang dahan-dahan daun yang tampak kekar. Lalu
menghela nafas dalam-dalam, merasakan sesuatu
yang bergerak menyesakkan di dalam dadanya, yaitu
sebongkah luka hati yang amat memilukan.
Tangan pemuda itu memainkan ujung tam-
bang. Segulung tambang tergeletak di tanah dekat ka-
kinya. Tambang itu pun sering menjadi pusat pandan-
gan matanya. Sering diiringi suara hati yang berucap
penuh iba, "Haruskah kau yang melakukannya, tam-
bang putih?"
Setelah memandangi tambang dengan otak me-
nimbang-nimbang, akhirnya pemuda berusia sekitar
dua puluh tahun itu berdiri, lalu berusaha memanjat
pohon tersebut sambil membawa tambangnya. Tapi
karena badannya agak berat dan memang kurang ter-
biasa memanjat pohon, akibatnya tubuh itu selalu me-
rosot ke bawah jika sudah hampir mencapai cabang
pertama. Sroot...! Dia mengulang dan mengulanginya
terus. Manik-manik hias pada baju mewahnya seba-
gian menjadi rusak karena gesekan dengan batang po-
hon tersebut. Nafasnya terengah-engah kecapekan, la-
lu pemuda itu pun menunda niatnya untuk memanjat
pohon, dan duduk kembali di bawah pohon tersebut
dengan punggung bersandar seenaknya. Ia menenang-
kan nafasnya sambil matanya masih memandang lan-
git mendung yang seolah-olah sedang melecehkan ke-
sedihan hatinya.
"Biarlah langit tertutup mendung, kalau bisa
selama-lamanya. Tak perlu lagi sinar matahari me-
nembus dan menyiram ke bumi, karena bagiku sinar
matahari tak berarti lagi," pikir pemuda itu. "Bagiku sekarang ini, bunga tak
punya keindahan lagi, rembu-lan tak berguna, matahari memuakkan, bintang menji-
jikkan, orang lain menyebalkan, laut menjengkelkan,
semua kehidupan tak punya makna! Satu-satunya
yang kubutuhkan sekarang ini hanyalah kematian!
Gantung diri adalah cara mati yang lebih baik daripada
gantung kaki. Tapi... alangkah susahnya memanjat
pohon ini" Aku harus bisa sampai di atas pohon, men-
gikatkan tambang ini, lalu memasukkan kepala pada
lingkaran jeratnya, dan... matilah aku. Habis sudah
nyawaku. Lengkap sudah penderitaan ku. Puas sudah
kebencian ku pada nasibku sendiri ini!"
Pemuda yang rupanya sudah patah semangat
itu kembali berusaha memanjat pohon yang tadi. Den-
gan susah payah dan jatuh-bangun berulang-ulang,
akhirnya ia berhasil sampai di atas pohon! Ia beristirahat sebentar di sana,
karena nafasnya terengah-engah
bagai mau putus. Pada saat beristirahat itu ia melihat
ada pohon yang mempunyai dahan pertama cukup
pendek serta mudah dipanjat.
"Uuh...! Kenapa aku tidak memanjat pohon
yang itu saja" Pasti lebih mudah dan tidak membuat
lenganku beset begini"! Uh, sial!"
Pemuda itu segera mengikatkan tambangnya
pada sebuah dahan kekar. Lingkaran jerat untuk gan-
tung diri segera diturunkan. Ia tersenyum melihat
lingkaran jerat itu, lalu berkata sendiri,
"Nah, sekarang tinggal memasukkan kepala ke
dalam jerat itu, lalu aku akan mati tergantung. Aha,
menyenangkan sekali! He, he, he...!"
Pemuda itu segera turun dari pohon dengan
susah payah juga, akhirnya menjatuhkan diri setelah
sebelumnya ia menginjak sebatang dahan kecil, dan
dahan itu patah. Kraak...! Wuut...!
"Eit...!" pemuda itu menyambar dahan di atas-
nya hingga bergelayutan. Nafasnya terhempas lega, ha-
tinya berucap kata, "Untung tak sampai jatuh. Kalau aku jatuh. Kalau aku jatuh,
wah... bisa mati lho"!"
Dengan merayap sebentar ke dahan paling ba-
wah, pemuda tersebut lompat turun dan brrruk...! Ia
tak berhasil mendaratkan kedua kakinya dengan baik,
akibatnya jatuh terduduk sambil menyeringai kesaki-
tan pada tulang ekornya.
Sambil mengusap-usap tulang ekornya yang
sakit, pemuda itu dekati tali gantungan. Ia bermaksud
ingin memasukkan kepalanya ke dalam lingkaran jerat
itu. Namun yang dapat ia lakukan hanya memandangi
tali tersebut sambil menggerutu,
"Yaaah... ketinggian! Tanganku tak bisa men-
capai tali itu dan tak bisa memasukkan kepalaku ke
lingkaran jeratnya."
Pada seat pemuda tanpa kumis itu kebingun-
gan mencari cara untuk menggantung diri ke tali yang
di atasnya itu, tiba-tiba muncullah seorang pengemis
tua berpakaian compang-camping. Jalannya tertatih-
tatih karena gemetar, pakaiannya hitam bertambal-
tambal dan robek sana-sini, rambutnya abu-abu kare-
na sudah banyak beruban, usia pengemis itu sekitar
lima puluh. Dengan tongkat seukuran setinggi batas ping-
gangnya, ia melangkah bagaikan tidak menghiraukan
keadaan pemuda tersebut. Melihat kehadiran penge-
mis itu, sang pemuda pun segera memanggilnya,
"Pak, Pak...! Kemarilah sebentar, Pak...!"
Pengemis itu hentikan langkah, palingkan wa-
jah, mata sipitnya memandang dengan dahi berkerut,
kemudian ia melangkah mendekati pemuda tersebut.
Sampai di depan pemuda itu, ia berkata dengan nada
suara menghiba,
"Kasihanilah saya, Tuan. Saya belum makan
selama seminggu ini. Minta sedekah, Tuaaannn...!,"
sambil ia menadahkan tangannya.
"Aku memanggilmu kemari karena aku mau
minta tolong kamu, Pak Tua!" kata pemuda itu dengan sedikit jengkel.
"Saya pengemis, Tuan. Saya mohon bantuan
sedekah sekadarnya, Tuan. Kasihanilah saya, Tuan...,"
sambil matanya berkedip-kedip menyedihkan. Badan-
nya sedikit membungkuk dan wajahnya tertunduk.
"Pak Tua, aku tahu kau pengemis, tapi kalau
kau bisa tolong aku, maka aku pun bisa tolong kamu!"
Pengemis itu dongakkan wajah, lalu berkata,
"Apa yang harus saya lakukan untuk menolong, Tuan
Muda?" "Menjadi pembantuku!"
"Pembantu..."!" pengemis itu heran.
"Ya. Tugasmu hanya membantuku untuk laku-
kan bunuh diri."
"Hahh..."!" pengemis yang giginya hilang dua di
bagian depan itu terperangah dengan mulut terbuka,
seakan pamerkan gigi ompongnya itu.
"Aku akan memberikan upah padamu jika kau
mau membantuku, Pak."
"Upah..."!" kepalanya sedikit dimiringkan kare-na semakin heran.
Pemuda itu melepas salah satu dari tiga cincin
yang dikenakan itu, kemudian cincin emas bermata
berlian di berikan kepada pengemis itu sambil berkata,
"Nih, terimalah upah pertama sebagai ikatan
kerja sama kita." ,
"Cincin..."!" pengemis itu kian berkerut dahi dengan perasaan sangat heran, ia
pandangi cincin itu
tiada habisnya, penuh rasa kagum, takjub, senang,
dan bimbang. Lama-lama tersungging senyum di bibir
tuanya yang ditumbuhi kumis. Senyum itu semakin
lebar, semakin berubah jadi tawa pelan yang meng-
guncang-guncang tubuh, lalu pengemis itu berkata,
"Cincin ini buat aku" Hanya untuk memban-
tumu bunuh diri, aku mendapatkan cincin mahal ini"
Mengapa kau sampai bertindak sejauh ini, anak mu-
da?" Pemuda itu menatap pengemis itu sebentar,
kemudian dengan pelan ia berkata,
"Perempuan itu memang racun. Dia telah mera-
cuni hatiku dan hatiku tak mampu lagi punya seman-
gat hidup. Aku jadi kepingin mati saja."
"Tabahkan saja hati Raden."
"Aku sudah bosan jadi orang tabah, Paku Jul-
ing." "Orang sabar itu subur lho, Raden."
"Orang sabar memang subur, tapi orang tabah
pasti banyak musibah."
"Sebaiknya batalkan saja niat Raden untuk
gantung diri!"
"Tidak bisa. Pertama, aku sudah telanjur sakit
hati karena tak pernah jumpa kekasihku lagi. Kedua,
karena aku sudah telanjur diusir dari keluarga, dan
tak dianggap sebagai anak oleh orangtua ku. Ketiga,
karena cincin itu sudah ada di tanganmu, kalau aku
tak jadi bunuh diri berarti aku harus mengambil cincin
itu darimu. Apakah kau tak sayang jika cincin itu tidak jadi milikmu?"
"Sayang, Raden," jawab Paku Juling dengan so-
pan. "Karena itu, bantulah aku gantung diri di tali yang sudah kupasang itu,
Paku Juling. Angkatlah tubuhku supaya kepalaku bisa masuk ke dalam lingka-
ran jerat itu."
Pengemis itu akhirnya angkat bahu, "Ya sudah-
lah...! Itu terserah Raden. Saya sudah mengingatkan
tapi Raden tetap ngotot, saya juga terpaksa membantu
Raden, karena saya dapat upah semahal cincin ini!"
"Kau kuat mengangkat tubuhku, bukan?"
"Kalau mengangkat saya tak kuat, tapi cobalah
Raden berdiri di atas telapak kaki saya ini. Pijaklah
kaki saya ini dan saya akan angkat supaya Raden
mencapai tali gantungan itu."
Raden Balelo sedikit heran dengan maksud Pa-
ku Juling. Tetapi karena kaki Paku Juling sudah dis-
odorkan dengan bentuk jempolnya menukik ke atas,
maka Raden Balelo pun segera menginjak kaki terse-
but dengan pelan-pelan. Akhirnya ia berdiri di atas ka-
ki itu dengan satu kaki, lalu kaki tersebut bergerak pelan-pelan naik ke atas,
membuat tubuh Raden Balelo
menjadi lebih tinggi lagi.
Sempat pula Raden Balelo merasa terheran-
heran melihat Paku Juling mengangkat kakinya naik
dengan beban tubuh sebesar badan Raden Balelo.
Yang mengherankan lagi, Paku Juling tidak tampak
kerahkan tenaganya, hanya tangannya yang meme-
gangi tongkat itu tampak sedikit mengeras pada saat
mengangkat kakinya.
Dengan cara begitu, Raden Balelo berhasil
mencapai tali gantungan. Sambil masih tetap berdiri di
atas kaki Paku Juling yang naik sampai tubuhnya mir-
ing ke belakang, Raden Balelo memasukkan kepalanya
ke dalam jerat. Setelah tali jerat sudah melingkar di le-hernya, Raden Balelo
pun berkata dengan nada sedih,
"Paku Juling... lepaskan kakimu, dan selamat
tinggal...!" "Raden sudah tidak ragu lagi memilih kematian seperti ini?"
"Tidak. Aku memang lebih baik mati daripada
kehilangan gadis itu. Lekas, lepaskan kakimu biar tu-
buhku tergantung. Jaga dirimu baik-baik dan tetap te-
kunlah selama menjadi pengemis."
"Terima kasih, Raden. Selamat jalan," kata Pa-ku Juling, kemudian kakinya
bergerak turun.
Wuuut...! Jleeg...! Tubuh Raden Balelo tersentak di tali gantungan.
"Bruuukk!'
Tali itu putus tepat setelah kaki pemuda itu di-
lepaskan. "Aduuhhhhh! Kenapa tali ini bisa putus" Apa
tali ini sudah tua?"
Paku Juling ikut memperhatikan tali tersebut
yang ujung tempatnya putus cukup rata. Tak ada serat
yang berhamburan.
Paku Juling berkata, "Rasa-rasanya ada pihak
lain yang sengaja memutuskan tali ini, Raden!"
"Pihak lain mana" Yang ada di sini hanya aku
dan kau." "Tapi potongan tali yang putus karena rantas
tidak akan serata ini, Raden. Potongan ini seperti po-
tongan dengan pisau yang amat tajam. Barangkali se-
lembar daun yang terbang tadi."
"Selembar daun?" pemuda berpipi tembem se-
dikit itu merasa heran.
"Saat tubuh Raden tergantung, sepertinya saya
melihat sekelebat daun yang terbang melayang di atas
kepala Raden. Mungkin ada seseorang yang punya il-


Jodoh Rajawali 11 Geger Perawan Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mu tinggi dan bisa merubah daun menjadi pisau."
"Ah, itu rekaan mu saja! Jangan berkhayal be-
gitu, bikin bingung pikiranku saja!" sambil Raden Balelo memandangi
sekelilingnya. Demikian pula yang di-
lakukan oleh Paku Juling. Lalu, terdengar Raden Bale-
lo ucapkan kata,
"Jika memang orang lain yang memutuskan
tambang ini, lantas siapa dia orangnya, Paku Juling?"
"Aku...!" sahut sebuah suara yang ada di atas pohon beda tempat. Orang itu cepat
melesat turun dari
atas pohon dan dalam waktu sekejap sudah berada di
depan Raden Balelo dan Paku Juling. Mereka berdua
memandang dengan tercengang.
Orang tersebut ternyata seorang pemuda men-
genakan pakaian selempang dari kulit beruang coklat
yang membungkus baju putih lengan panjang dengan
sebuah pedang yang di ujungnya terdapat ukiran dua
kepala burung saling bertolak belakang tersemat di
punggung. Pemuda tampan berambut panjang tanpa
ikat kepala itu tak lain adalah Yoga; si Pendekar Raja-
wali Merah. Kepada Paku Juling, Yoga berkata, "Kau ini
orang tua apa" Ada anak muda mau bunuh diri malah
didukung, bukannya dihentikan dan disadarkan!"
Paku Juling berkata sambil bersungut-sungut,
"Aku sudah sadarkan dia, sudah nasihati dia, sudah kasih saran agar jangan
lakukan, tapi Raden Balelo
sendiri yang mendesak dan bahkan mengupah ku agar
mau membantunya. Yaaah... apa boleh buat, aku
hanya sekadar menolong saja!"
"Kau tak perlu ikut campur kesedihan hatiku,
Sobat," ucap Raden Balelo kemudian.
"Aku tidak bermaksud ikut campur, tapi aku
hanya ingin kasih tahu kamu, bahwa kematian seperti
itu adalah kematiannya orang-orang sesat! Hindarilah
kematian sesat. Sedangkan yang hidup saja tak diizin-
kan untuk bertindak sesat, mengapa yang mau mati
harus memilih jalan sesat" Bodoh amat kau ini."
"Aku sakit hati, aku kecewa dengan hidupku,
karena gadis itu meninggalkan aku. Padahal dia sudah
bilang kalau cinta padaku. Aku sedih sekali tak bisa
temui gadis itu lagi."
Yoga sunggingkan senyum dan bertanya, "Ga-
dis siapa maksudmu?"
"Gadis cantik yang bernama Lili itu!"
*** 2 SERIBU petir menyambar di wajah Yoga. Pen-
dekar Rajawali Merah sangat terkejut mendengar ja-
waban Raden Balelo. Hampir saja tangannya berkele-
bat menampar mulut pemuda yang tampak sedikit le-
bih muda darinya itu. Untung Yoga segera berpikir,
bahwa mungkin yang dimaksud Raden Balelo adalah
gadis cantik bernama Lili yang tidak mempunyai gelar
Pendekar Rajawali Putih.
"Bukan Lili guru angkatku yang dimaksud. Pas-
ti bukan!" kata Yoga di dalam hatinya. Ia pun segera tenangkan diri.
Pengemis kurus itu didekatinya dan Yoga ber-
kata pelan, "Siapa sebenarnya kalian ini" Apakah dia anak raja?"
"Aku tidak tahu," jawab Paku Juling. "Aku hanya seorang pengemis yang bernama
Paku Juling dan sedang melewati tempat ini. Lalu, kulihat Raden
Balelo mau gantung diri, dia memanggilku, menyuruh-
ku membantunya, memberi ku upah cincin ini, dan
aku cegah dia tak mau, ya terpaksa aku mendukung
rencananya."
"Kau pernah lihat gadis yang dicintai Raden Ba-
lelo itu?"
"Mana aku tahu"!" Paku Juling angkat bahu
kembangkan tangan.
Raden Balelo yang ada di belakang Yoga dalam
jarak empat langkah itu segera bergerak dekati Yoga
dan berkata, "Maukah kau menolongku, Teman?" "Menolong untuk mati?"
"Benar."
"Aku tidak tahu caranya mati, karena aku tidak
pernah mau mati. Mati gantung diri itu perbuatan
yang memalukan. Aku malu pada diriku sendiri kalau
aku membantu seseorang untuk mati gantung diri."
Raden Balelo segera melepas satu cincinnya la-
gi. Cincin emas bermata berlian lebih besar dari yang
diberikan Paku Juling itu ditaburi intan di sekeliling-
nya. "Ambillah cincinku ini sebagai upah mu jika mau menolongku untuk gantung
diri, atau mati dengan cara bagaimanapun juga!"
"Raden Balelo," kata Yoga sambil tersenyum bijak, "Kalau aku mau barang berharga
seperti cincin mu itu, aku dapat memperolehnya dalam waktu sing-kat dan jauh
lebih banyak dari yang kau berikan pa-
daku. Tapi apalah arti kekayaan jika harus biarkan se-
seorang berada di jalan sesat?"
Raden Balelo hembuskan napas jengkel. Ia
pandangi Yoga sambil mengenakan cincinnya kembali.
Matanya memandang dengan rasa kurang bersahabat.
Kemudian ia berkata,
"Kau seorang perampok?"
"Bukan. Namaku Yoga, murid mendiang Empu
Dirgantara yang bergelar Dewa Geledek, tinggal di Gu-
nung Tiang Awan. Tugasku membela kebenaran, melu-
ruskan kekeliruan, melempangkan kesesatan, mem-
basmi kejahatan."
"Ooo... kau seorang pendekar?" ucap Raden Ba-
lelo dengan sikap sinis, seakan melecehkan Yoga. "Benar. Apakah kau seorang anak
raja?" "Ya. Aku putra Raja Kandakayuda dari Kerajaan Wirawiri."
Raden Balelo mengatakan hal itu dengan rasa
bangga dan sedikit menampakkan kesombongannya.
Namun kesombongan dan kebanggaannya itu segera
surut dan wajahnya kembali dibalut kemurungan. Ia
menambahkan kata,
"Tapi... sekarang aku sudah bukan anak raja.
Aku telah diusir dari istana, dicoret dari silsilah keturunan raja Wirawiri."
Yoga dan Paku Juling hanya memandanginya,
mengikuti gerakan Raden Balelo yang duduk di gun-
dukan cadas dengan wajah penuh duka. Suara Raden
Balelo terdengar sedikit parau, mungkin karena mena-
han tangis yang semestinya tercurah pada saat ia ceri-
takan nasibnya.
"Semua kemewahan, derajat, harga diri, dan
kekuasaan yang mestinya bakal kuterima dari keluar-
ga raja, kini telah ku tinggalkan. Semuanya ku ting-
galkan demi cintaku kepada Lili. Tapi ternyata, Lili tidak pernah kujumpai lagi.
Lili tidak mau menemuiku
lagi. Dia pergi, entah ke mana, entah dengan siapa..."
Yoga menyela tanya, "Di mana gadis itu ting-
galnya?" Raden Balelo geleng-geleng kepala pelan, "Ku-
temukan dia pada saat aku berburu sebulan yang lalu.
Dia sangat cantik. Lebih cantik dari bidadari. Dia juga seorang pendekar yang
lincah dan punya keberanian
tinggi. Aku menyukainya, pada saat ia menolongku
yang hampir ditelan harimau. Dia pun waktu itu me-
nyambut rasa sukaku dengan hati bahagia. Selama sa-
tu bulan aku banyak bertemu dengannya di bawah cu-
rahan air terjun. Kami memang selalu punya janji un-
tuk bertemu lagi di sana. Kami bercumbu di sana ber-
kali-kali, menikmati kehangatan tubuh dan kemesraan
cinta. Lalu ia ingin mengajakku menikah. Kubawa ia
kepada ayahanda ku, tapi keluargaku tak suka karena
Lili bukan keturunan ningrat. Aku tetap membangkang
dengan keputusan Ayahanda, akhirnya aku diusir dan
tidak diakui sebagai anaknya lagi. Aku pergi menyusul
Lili yang lari dengan hati luka oleh sikap Ayah." Raden Balelo menarik napas
sebentar. Ia kelihatan menahan
rasa sakit di hatinya. Sesaat kemudian ia berkata lagi,
"Dua kali kutemui dia, dua kali itu juga ku per-
goki dia sedang bercumbu dengan seorang lelaki. Aku
bahkan hampir dibunuh oleh lelaki itu. Yang membua-
tku sakit hati sekali, Lili terang-terangan bergumul dan bercumbu dengan lelaki
lain di depanku. Aku melihatnya jelas-jelas di depan-mataku. Maka, ku putuskan
bahwa aku lebih baik mati daripada kelak harus meli-
hat kemesraan itu lagi. Aku sudah tidak punya hara-
pan untuk bisa menikmati hidup ini. Tanpa Lili, aku
bukanlah manusia yang punya harapan dan kebaha-
giaan. Mati adalah jalan yang terbaik bagiku."
Pendekar Rajawali Merah masih diam saja
sambil menyimpan kecemasan hati.
"Kalau aku punya ilmu silat tinggi, akan kubu-
nuh Lili dan pria itu. Tapi aku tidak punya ilmu silat
kecuali ilmu berburu. Aku pun akan kalah jika mela-
wan Lili, karena dia seorang pendekar perempuan. Ge-
larnya saja cukup seram," ucap Raden Balelo lagi
"Siapa gelar kependekarannya?" tanya Yoga.
"Pendekar Rajawali Putih!"
Blaaar...! Seolah-olah begitulah bunyi seribu
petir yang kembali bagaikan menghantam wajah Yoga
pada, saat itu. Wajah Yoga menjadi merah padam.
Hampir saja ia menghantam kuat-kuat wajah Raden
Balelo ketika pemuda itu menyebutkan gelar guru
angkatnya yang juga menjadi kekasihnya itu. Yoga
hanya cepat berpaling, memandang arah jauh menarik
napas dalam-dalam, dan menenangkan guncangan ji-
wanya. Yoga sengaja menjauh tiga langkah, mengusap
wajahnya dua kali. Menghembuskan napas lewat mu-
lut demi memburu ketenangan dan menekan luapan
amarahnya yang sudah hampir meledak itu. Dan pada
saat berikutnya, Paku Juling mendekati Yoga lalu ber-
kata pelan, "Apakah kau percaya dengan ucapannya?"
"Entahlah," jawab Yoga sangat lirih.
"Sebenarnya, aku kenal dengan nama Pendekar
Rajawali Putih. Maksudku, kenal namanya saja. Ku-
dengar dia seorang pendekar wanita yang sakti dan be-
raliran putih. Tentunya tingkah laku seorang pendekar
beraliran putih tidak serusak itu. Apalagi, kabarnya ia punya kekasih murid
angkatnya sendiri yang bergelar
Pendekar Rajawali Merah, berparas tampan, gagah,
dan juga sakti."
Yoga terkesiap, melirik Paku Juling. Tapi pada
waktu itu Paku Juling bicara dengan memandang arah
jauh, seakan menerawang pada satu perasaan yang
ada di dalam hatinya. Ia lanjutkan kata,
"Rasa-rasanya tak mungkin Pendekar Rajawali
Putih pernah bercinta dengan Raden Balelo itu, bah-
kan melakukan hal-hal tak susila di depannya. Aku
jadi sangsi dengan pengakuannya. Atau, barangkali dia
orang gila yang punya banyak khayalan?"
"Lalu, mengapa dia mau gantung diri jika hal
itu hanya sebagai bualannya saja?"
Paku Juling manggut-manggut. "Kulihat dia ju-
ga bersungguh-sungguh ingin mati. Kalau tadi tidak
kau putus tali gantungan itu, dia pasti akan mati ter-
gantung dan saat ini sudah tidak bernapas lagi."
Yoga bingung menyimpulkan kata-kata Paku
Juling, sebab hatinya sangat gundah dan diliputi oleh
kebimbangan yang menjengkelkan. Maka, Yoga pun
segera kembali dekati Raden Balelo, sedangkan Paku
Juling mengikutinya dari belakang..
"Apakah benar kau bercinta dengan Pendekar
Rajawali Putih?"
"Ya. Kau tak percaya" Aku berani sumpah dis-
ambar dua belas petir saat ini juga kalau aku berkata
bohong padamu!"
"Seperti apa ciri-ciri gadis itu sebenarnya?"
pancing Yoga. "Yaaah... Cantik, ramping, tubuhnya sekal, pa-
kaiannya merah muda, namun mengenakan jubah
longgar warna putih, dia... dia juga mempunyai pedang
yang diletakkan di punggungnya, seperti kamu. Kalau
tersenyum ada lesung pipitnya. Manis sekali."
Debar-debar jantung yang sejak tadi ada di da-
lam dada Yoga itu kali ini terasa pecah dan meledak.
Tubuh Yoga bagaikan lemas mendengar Raden Balelo
menyebutkan ciri-ciri itu. Karena Yoga tahu persis, itulah ciri-ciri guru
angkatnya yang juga kekasihnya sen-
diri. Yoga tak tahu harus melepaskan murkanya kepa-
da siapa. Karena itu ia berkata kepada Paku Juling
dengan wajah pucat, "Jaga pemuda itu, jangan sampai bunuh diri. Dia sudah tak
waras lagi," sambil Yoga membawa Paku Juling jauhi Raden Balelo. "Apa yang
diucapkan adalah sesuatu yang di luar kesadarannya.
Kasihan dia. Dia perlu seseorang yang menjaganya.
Dan kalau perlu, bujuklah dia agar kembali ke ista-
nanya!" "Mengapa kau memberi ku tugas begitu?" "Karena aku akan pergi teruskan
perjalananku, dan kare-
na kau telah menerima upah cincin berharga amat
mahal itu darinya."
Setelah berkata begitu, Yoga cepat tinggalkan
tempat tersebut tanpa pamit lagi. Ia berlari cepat den-
gan menggunakan jurus 'Langkah Bayu' yang mampu
bergerak melebihi cepatnya anak panah yang dile-
paskan dari busurnya. Zlaaap...! Zlaaap...!
Yoga seperti dihantam dengan batu sebesar gu-
nung. Nafasnya sangat sesak, sehingga ia perlu mem-
perlambat langkahnya. Bayangan cerita Raden Balelo
menghantui pelupuk matanya. Tapi hati kecilnya sela-
lu menyangkal bayangan tersebut.
"Tak mungkin Lili berbuat seperti itu. Tak
mungkin Guru Li mau bercumbu seliar itu. Guru Li
bukan gadis yang liar dan buas. Guru Li gadis yang
anggun dan bijaksana, keras dan tegas, tak mudah
tergiur oleh kemesraan pria lain, tak mudah jatuh cin-
ta pada lelaki mana pun juga. Guru Li punya harga diri
yang amat tinggi."


Jodoh Rajawali 11 Geger Perawan Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sungguh berita itu merupakan siksaan bagi ha-
ti pendekar tampan bertangan buntung itu. Hatinya
yang dicekam rindu kepada sang guru angkatnya se-
makin terasa membengkak memar di sekujur tubuh.
Yoga terpaksa harus tetap menahan dan menahannya
saja. Lili sudah sebulan lebih berada di Gua Rama
untuk pelajari ilmu 'Mata Dewa'. Gua itu ditutup batu
bertumpuk-tumpuk oleh Tua Usil, dan tidak akan di-
buka sebelum empat puluh hari lamanya. Hal itu
membuat Yoga tak bisa bertemu dengan Lili, tak bisa
melihatnya dan tak bisa menyapanya. Lalu, terbitlah
kerinduan yang amat lekat di hati Yoga.
Untuk menghilangkan rasa rindunya, Yoga
bermaksud pergi ziarah ke makam guru sejatinya, yai-
tu Dewa Geledek, yang disemayamkan di puncak Gu-
nung Tiang Awan. Tetapi seperti sial yang menunggu di
depan langkah, Yoga temukan Raden Balelo bersama
ceritanya itu. Tentu saja hati pendekar tampan pemi-
kat hati wanita itu menjadi tak tentu arah. Rindunya
bercampur murka, sehingga sejuta tanya bermunculan
menggelisahkannya.
Harapan yang tersisa hanyalah pada pusara
guru sejatinya di Gunung Tiang Awan. Yoga berharap,
setelah ziarah ke makam guru sejatinya ia bisa beroleh
ketenangan jiwa dan mampu meredam segala nafsu
amarahnya. Tetapi, agaknya menuju makam guru bukanlah
perjalanan yang mudah ditempuh dalam ketenangan
jiwa. Di perjalanan, Yoga tiba-tiba dihadang oleh dua
wanita yang muncul secara tidak bersamaan. Kedua
perempuan itu agaknya tidak saling kenal, sehingga
ketika mereka bertemu, keduanya saling pandang pe-
nuh curiga. Kemunculan itu diawali oleh seberkas sinar pu-
tih yang datang dari arah belakang Pendekar Rajawali
Merah. Tanpa menoleh lebih dulu, nalurinya bergerak
cepat, membuat tubuhnya melesat ke atas dan bersal-
to ke samping kanan dua kali. Wuuuk... wuuuk...!
Jleeg. Yoga kembali daratkan kakinya dengan tegap,
lalu pandangi arah datangnya sinar putih yang akhir-
nya mematahkan sebatang pohon itu.
Seorang perempuan yang tergolong masih mu-
da, walau Sedikit lebih tua dari Yoga itu, berdiri den-
gan pedang terhunus dan mata memandang tajam. Pe-
rempuan itu mengenakan pakaian kuning dan ram-
butnya dilepas riap. Raut mukanya yang cantik itu
menampakkan kemarahan yang terpendam. Dadanya
yang membusung itu menandakan bahwa dia bukan
perempuan yang tidak menarik bagi lelaki.
Dengan suara geram yang lembut, perempuan
itu berkata kepada Yoga yang tetap tenang meman-
danginya dengan senyum tipis.
"Melihat ciri pedangmu, pasti kau Pendekar Ra-
jawali Merah!"
"Betul," jawab Yoga. "Kau siapa?"
"Aku Lenggani, bekas istrinya Sanjaya!"
Yoga menampakkan wajah herannya, lalu ber-
kata, "Sanjaya" Aku tak kenal nama Sanjaya."
"Mungkin memang kau tak kenal, tapi keka-
sihmu yang bernama Lili: yang mengaku sebagai Pen-
dekar Rajawali Putih dan mempunyai pedang berciri
seperti pedangmu itu, pasti tahu persis tentang San-
jaya!" "Kemudian...?"
Perempuan bernama Lenggani yang berwajah
sedikit lonjong dan berkulit kuning langsat itu diam
sesaat. Tenggorokannya terasa kering sejenak manaka-
la hatinya berdebar setelah lama ia simak wajah tam-
pan Yoga itu ternyata memang punya daya getar yang
cukup kuat. Lenggani berusaha melupakan getaran
hatinya, kemudian segera berkata,
"Aku mencari Lili! Aku akan membunuhnya se-
karang juga! Katakan, di mana aku bisa temui dia!"
"Aneh...?" gumam Yoga dengan dahi berkerut.
Lalu, ia bertanya kepada Lenggani, "Untuk apa kau, mencari dia dan ingin
membunuhnya?"
"Melepaskan dendamku kepadanya, karena dia
telah membawa lari suamiku sampai sekarang!"
Kaget juga Yoga mendengar pengakuan orang
yang menahan marah itu. Ia bahkan mulai melangkah
dekati Lenggani sampai berjarak tiga langkah baru
berhenti, dan berkata,
"Lili melarikan suamimu?"
"Benar! Dia telah memikat Sanjaya, sehingga
Sanjaya tergila-gila padanya. Sanjaya tak mau peduli
lagi dengan diriku dan ia pergi mengikuti kekasih binal mu itu!"
"Aku tak percaya!" jantung Yoga berdebar-debar mendengar pengakuan tersebut. Ia
mulai gelisah dan
menahan kemarahan.
"Kau tak perlu percaya, yang penting temukan
aku dengannya. Kau pasti tahu di mana dia, karena
kau adalah kekasihnya!"
"Jika kau tahu aku kekasihnya, tentunya kau
pun tahu bahwa Lili tidak akan membawa lari suami-
mu, Lenggani!"
Makin tajam Lenggani berkata, "Mengapa tidak"
Sebelumnya dia mengenalku, menceritakan kepedihan
hatinya yang tersiksa menjadi istrimu, menceritakan
betapa dinginnya dirimu kepadanya dan tak pernah
mendapatkan kehangatan darimu. Lalu suamiku da-
tang, kami berteman, tapi ternyata dalam waktu sing-
kat dia taklukkan suamiku dan berbuat tak senonoh di
depan mata ku, setelah dia dan suamiku mengikatku
di sebuah pohon. Biadab betul gadismu itu! Karenanya
aku ingin hancurkan dia bersama Sanjaya dengan pe-
dang pusaka nenek ku ini!"
Dada Pendekar Rajawali Merah terasa retak dan
sebentar lagi jebol. Ia mencoba membantah tuduhan
itu dalam hatinya, namun yang ada hanya gemuruh
darah yang mendidih di sekujur tubuhnya. Ketika ia
ingin katakan sesuatu, tiba-tiba niatnya itu urung ka-
rena kemunculan seorang gadis yang melompat dari
atas pohon. Jleeg,..!
"Tidak! Siapa pun tidak boleh membunuh Lili,
selain aku! Ku siapkan diriku selama memburunya un-
tuk merajang habis sekujur tubuhnya!" kata gadis berpakaian merah dan bermata
bundar bening itu.
"Siapa kau"!" hardik Lenggani.
"Aku Anggita, putri Ki Lurah Prawiba!" jawab
gadis berusia sekitar dua puluh dua tahun yang me-
nyelipkan cambuk di pinggangnya. Gadis itu mempu-
nyai bulu mata lentik lebat, dan punya sikap pembe-
rani. Matanya tak segan-segan menatap Lenggani ba-
gai ingin melabraknya. Gadis bernama Anggita itu pun
berkata lagi kepada Lenggani,
"Tak kuizinkan siapa pun membunuh Lili, ka-
rena nyawa Lili adalah nyawa yang harus ku buru!"
Yoga cepat menyahut, "Mengapa kau memburu Lili?"
Anggita menampakkan dendamnya ketika men-
jawab, "Dia telah mencuri cincin pusaka milik ayahku,
dan membuat ayahku tergila-gila padanya. Sekarang
ayah ku bermaksud menceraikan ibu hanya untuk
menikahi Lili! Tapi sayang gadis itu belum muncul juga
sampai sekarang dan membawa lari cincin pusaka itu!"
Lenggani berkata, "Jika kau benar anak Lurah
Prawiba, berarti kau murid Perguruan Cambuk Ratu"!"
"Benar! Dari mana kau tahu?"
"Gurumu adalah bibiku, dan sering membang-
gakan muridnya yang bernama Anggita, anak Lurah
Prawiba!" Anggita menghela napas, rupanya mengurangi
ketegangan dan sikap bermusuhan dengan Lenggani.
Lenggani sendiri juga mulai dekati Anggita seraya ber-
kata, "Berarti kita punya satu buruan yang sama!"
"Agaknya memang begitu!"
"Kubantu kau merebut cincin milik ayahmu itu,
lalu kita bunuh bersama gadis binal yang mengaku
bergelar Pendekar Rajawali Putih itu! Apakah kau setu-
ju"!" "Kalau memang itu yang terbaik. aku setuju!"
"Paksa pemuda ini supaya memberitahukan
kepada kita di mana gadis laknat itu berada!" sambil Lenggani lemparkan
pandangan kepada Yoga. Anggita
pun menatap Yoga dengan perasaan makin lama se-
makin gundah. Getaran lembut terasa menyentuh ha-
tinya manakala ia nikmati seraut wajah tampan itu.
"Kalian menyebar fitnah untuk guru angkatku!"
kata Yoga. "Tak kuizinkan kalian melihat bayangannya sekalipun hanya sekejap!"
"Jangan memaksa kami lakukan kekerasan pa-
da mu, Pendekar Rajawali Merah! Kau akan menyesal
jika kami bertindak kasar padamu!" kata Anggita sedikit memaksakan diri untuk
bersikap keras.
"Jika memang kau ingin bersikap kasar pada-
ku, aku pun bisa lebih kasar darimu!"
"Keparat! Perlu kubuktikan kekasaran ini pa-
damu rupanya, heat!" Lenggani bergerak lebih dulu
dengan satu lompatan yang membuat pedangnya ber-
kelebat cepat hampir merobek dada Yoga. Untung Yoga
segera tersentak mundur dan cepat lepaskan pukulan
bertenaga dalam dari telapak tangannya. Pukulan itu
tidak bersinar namun membuat tubuh Lenggani bagai-
kan terhempas badai kuat. Wuuu..! Beehg...!
Suara badan terpukul kuat bersamaan dengan
melesatnya tubuh Lenggani ke belakang dan jatuh da-
lam jarak empat tombak dari tempatnya berdiri tadi.
Grussaak...! Pada saat itu Anggita lekas melompat mengi-
rimkan sebuah tendangan kipas yang membuatnya
berputar dengan cepat. Wuuusst.. ! Plaak...! Wajah Yo-
ga tertampar oleh tendangan tersebut. Yoga sempat
oleng sejenak, kemudian kembali tegak. Bersamaan
dengan itu, Lenggani melemparkan pedangnya ke arah
Yoga. Zuuut...! Weees...! Yoga bersalto ke belakang sa-
tu kali, pedang bergagang putih itu melesat melewati
sasaran. Tapi segera membentur batang pohon dan
berbalik arah memburu Yoga kembali.
Pendekar Rajawali Merah sedikit kaget melihat
pedang itu berbalik arah menuju ke tempatnya. Den-
gan cepat, Yoga segera gulingkan tubuh ke tanah, dan
kakinya segera menendang ke atas tepat kenai gagang
pedang tersebut. Taaak...!
Pedang berputar-putar sambil melenting tinggi.
Lalu, bergerak ke bawah dengan gerakan seperti anak
panah. Lurus dan cepat sekali. Jruub...! Pedang itu
pun menancap di tanah dan tak bisa bergerak lagi.
Tangan Yoga segera meraih pedang tersebut, namun
Anggita segera memekik sambil melecutkan cambuk-
nya. Taaarr...!
Tangan Yoga menjadi sasaran cambuk itu, se-
hingga dengan cepat ia menarik tangannya dan tak ja-
di mencabut pedang tersebut. Bahkan ia bergerak ke
samping dengan satu lompatan ringan yang membuat-
nya jauh dari pedang tersebut.
Namun pada saat ia daratkan kakinya ke ta-
nah, Lenggani menyerangnya dengan pukulan tenaga
dalam dari tangan kirinya. Wuut...! Sinar putih terle-
pas lagi dan menghantam tubuh Yoga. Dengan cepat
sinar itu dihantam oleh Yoga melalui kibasan dua jari
tangannya yang mengeras tegak dan mengeluarkan se-
larik sinar merah bening. Claap! Glegaaar...!
Ledakan hebat terjadi pada saat kedua sinar
saling berbenturan. Gelombangnya menghempas kuat,
membuat tubuh Lenggani kembali terjungkal ke bela-
kang dan membentur pohon. Kepala yang terbentur
pohon itu menjadi memar dan bengkak. Lenggani ke-
sakitan, sementara Yoga berusaha bangkit, karena ia
sempat jatuh berlutut dihempas gelombang ledakan
tersebut. Namun baru saja Yoga bergegas bangkit, seke-
lebat sinar menghantam kepalanya bersama dile-
cutkannya cambuk Anggita dengan gerakan cepat.
Taaar...! Sinar hijau keluar dari ujung cambuk. Yoga
tak sempat menangkis dengan pukulan tenaga dalam,
sehingga yang dapat dilakukannya adalah berguling ke
depan secepat mungkin. Wuusst...!
Tiba di bawah pohon, Yoga diserbu oleh lecutan
cambuk Anggita yang memancarkan sinar hijau berke-
lok-kelok bagai lidah cambuk itu. Taaarr...! Dan sekali lagi Yoga hanya bisa
menghindar dengan berguling di
tanah dalam satu lompatan rendah. Wuuut...!.
Blaaar...! Sinar yang mirip cambuk itu meng-
hantam pohon, lalu pohon itu tumbang seketika. Po-
tongannya nyaris menjatuhi Lenggani, sehingga Leng-
gani pun menghindar dengan satu lompatan, dan den-
gan cepat ia sambar pedang pusaka milik neneknya
itu. Wuusstt...!
Kini Lenggani dan Anggita sama-sama berdiri
dalam jarak enam langkah dari depan Yoga. Mereka
berdiri berjajar, siap dengan senjatanya, siap dengan
serangan berikutnya. Namun sebelumnya Anggita ber-
seru kepada Pendekar Rajawali Merah,
"Serahkan kekasihmu itu, atau kulenyapkan
nyawa mu sekarang juga!"
Yoga hanya menarik napas, diam beberapa saat
sambil berkata dalam hatinya, "Kedua perempuan ini benar-benar mencari Lili dan
tak segan-segan membunuh ku! Agaknya aku tak boleh main-main dengannya.
Tapi, mereka sebenarnya tidak bersalah jika benar Lili
melakukan apa yang dikatakan mereka tadi. Masalah-
nya sekarang, aku tidak tahu mana yang benar" Jika
gadis itu yang benar, aku tak berani membunuh mere-
ka. Jika Lili yang benar dan mereka memfitnahnya,


Jodoh Rajawali 11 Geger Perawan Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku butuh pengakuan dari Lili. tapi... Lili sekarang
masih ada di dalam Gua Rama! Mungkinkah ia keluar
dari dalam gua dan membuat keonaran yang amat
memalukan para mendiang guru kami itu" Ah, sial se-
kali aku ini! Aku tak bisa punya kepastian dalam ber-
tindak. Aku harus lekas-lekas pulang dan membong-
kar batu-batu penutup gua itu untuk buktikan apakah
Lili ada di dalamnya atau tidak!"
Terdengar suara Anggita berseru lagi, "Hei, ke-
napa diam saja" Atau kau ingin aku melukai wajah
tampan mu itu" Heaah...!"
Anggita menyentakkan cambuknya. Taaar...!
Cambuk bergerak cepat, bagaikan pedang panjang
yang hendak membelah kepala Yoga dari atas ke ba-
wah. Tentu saja tubuh gadis cantik berhidung man-
cung itu sambil melompat dalam melakukan jurus
cambuk membelah wajah itu. Tetapi, Yoga masih
mampu menghindar dengan satu lompatan ke kiri,
kemudian ia lepaskan jurus 'Cakar Gersang' dari ujung
jari telunjuk, berupa sinar merah berkerilap yang
menghantam perut Anggita. Claap! Beehg!
Bruuuk...! Anggita roboh, perutnya mual, kepa-
lanya amat pusing dan badannya lemas. Ia mengerang
pelan. Lenggani melihat hal itu menjadi lebih bernafsu
lagi untuk lumpuhkan Yoga, la cepat berkelebat ber-
sama pedang gagang putih itu. Tapi Yoga pun cepat-
cepat lepaskan jurus 'Cakar Gersang' lagi yang tepat
mengenai pundak Lenggani.
Claaap...! Brrruk...! Nasib Lenggani serupa den-
gan Anggita. Pada saat kedua perempuan itu terkulai
lemas, Yoga cepat tinggalkan mereka dengan satu lom-
patan yang membuat ia bagaikan menghilang.
Zlaaap...! "Harus kubuktikan, apakah Lili ada di dalam
Gua Rama atau tidak!" ucap Yoga di dalam hatinya.
*** 3 KERIMBUNAN hutan dekat sungai itu tak terla-
lu liar dan ganas. Binatang buas tak ada, kecuali
hanya ular. Mungkin itu pun hanya beberapa ekor saja
yang menjadi penghuni hutan tepi sungai. Tanaman
berbahaya pun tak terdapat di sana, kecuali hanya ta-
naman berduri di sela-sela semak belukar.
Gemerisik suara semak itu ternyata mampu
menahan langkah seorang lelaki tua berpakaian rompi
merah kumal dan celana abu-abu. Orang tersebut tak
lain adalah Cola Colo, si Bocah Bodoh. Sejak pedang
pusaka yang diwariskan kepada ibunya dan kelak
akan menjadi miliknya itu diserahkan oleh Yoga, hu-
bungan Cola Colo menjadi lebih erat lagi dengan Yoga,
Lili, dan Tua Usil, pelayan Lili itu.
Hari itu, Bocah Bodoh yang sebenarnya sudah
berusia lima puluh tahun itu, sudah pamit kepada
sang Ibu untuk pergi menemui Yoga. Sang Ibu pun
mendukung rencana Bocah Bodoh yang ingin belajar
ilmu pedang dengan Yoga. Karena itu, untuk mencapai
pondok Tua Usil, tempat Yoga dan Lili tinggal itu, Bo-
cah Bodoh menyusuri tepi sungai yang arus airnya
menuju ke lembah samping pondok Tua Usil itu.
Dalam rangka perjalanan tersebutlah, Bocah
Bodoh menjadi curiga dengan bunyi gemerisik semak
ilalang yang ada di tepi sungai tersebut. Semak ilalang itu adalah bagian dari
hutan di atas tanggul sungai.
Dan semak ilalang itu kali ini memperdengarkan suara
bisik yang mampu didengar oleh telinga Bocah Bodoh.
"Kau sungguh tampan sekali, Prabu. Hatiku
sangat terpikat dan luluh dalam pelukan mu. Oh, han-
gatnya pelukan mu, membuat aku enggan lepaskan di-
ri lagi, Prabu. Hi, hi, hi...!"
Bocah Bodoh berkerut dahi sambil meneleng-
kan telinganya, menyimak suara bisik-bisik itu. Ha-
tinya membatin, "Kalau tak salah, suara perempuan
itu seperti suaranya Nona Lili. Tapi, apakah benar
yang ada di balik semak-semak itu adalah Nona Lili..?"
Kemudian,. Bocah Bodoh mendengar lagi suara
orang berbisik, kali ini adalah suara lelaki yang sedikit
serak, "Tubuhmu indah sekali, sangat menantang keberanian ku. Baru sekarang
kulihat tubuh semulus
ini, dan... dan sehangat ini."
"Ih, jangan nakal tanganmu, Prabu. Aku geli,
hi, hi, hi...! Ah, geli...! Geli, Prabu! Hih, hi, hik...!"
Dada Cola Colo bergemuruh. Ia yakin suara itu
adalah suara seorang lelaki bersama Nona Lili yang di-
kenalnya. Tapi suara lelaki itu bukan suara Yoga. Itu-
lah yang membuat Bocah Bodoh menjadi heran. Bah-
kan menjadi penasaran dan ingin tahu apa yang dila-
kukan mereka di balik kerimbunan semak tersebut.
Maka, pelan-pelan sekali Bocah Bodoh mendekati se-
mak-semak itu, menyingkapkan daunnya helai demi
helai dengan tangan gemetar.
Mata Bocah Bodoh menjadi melebar ketika ia
berhasil mengintip apa yang dilakukan dua insan di
balik semak-semak itu. Dalam hatinya ia berucap kata,
"Itu Nona Lili..."! Oh, kenapa ia digigit bibirnya oleh pemuda itu tidak
melawan" Oh, kasihan Nona Li-li...! Dia kalah dengan pemuda itu. Oh, kenapa Nona
Lili diam saja dibekuk oleh lawannya" Seharusnya ia
bisa gunakan jurus maut untuk menghantam lawan-
nya itu, tapi... tapi... ya, ampun"! Nona Lili tidak berdaya! Ia dikuasai oleh
pemuda itu dan... dan... oh, ke
mana pakaian mereka" Jurus silat macam apa yang
mereka gunakan sehingga pakaian mereka ada di sa-
na-sini" Kasihan sekali Nona Lili. Aku harus segera
memberitahukan Tuan Yoga supaya Tuan Yo memban-
tunya!" Bocah Bodoh mundur pelan-pelan sambil me-
rangkak. Sekujur tubuhnya gemetar, karena yang ter-
bayang dalam benaknya adalah kekalahan Lili. Menu-
rutnya, jika Lili mampu dikalahkan oleh pemuda itu,
sampai seperti orang sekarat sebab digencet, apalagi
dirinya. Pasti akan mati seketika itu jika digencet oleh tubuh pemuda tersebut.
Debar-debar di dalam dada Bocah Bodoh
menghadirkan keringat dingin di sekitar wajahnya. Ke-
ringat dingin itu ada karena ia melihat kepolosan tu-
buh Lili yang putih bersih tanpa cacat sedikit pun itu.
Ia melihat tak begitu jelas, karena tertutup tubuh pe-
muda yang disangka menggulatnya dengan niat mem-
bunuh Lili. Tapi sekalipun hanya bagian-bagian terten-
tu yang bisa ditangkap oleh mata Bocah Bodoh, sudah
cukup menghadirkan debar-debar aneh yang mem-
buatnya menjadi panas dingin.
Maka, dengan cepat ia berlari menyusuri tepian
sungai. Wajahnya menjadi tegang ketika ia berpapasan
dengan Tua Usil yang sedang memancing ikan di atas
sebuah batu. Tua Usil pun segera merasa heran se-
waktu Bocah Bodoh mendekatinya dengan berkata,
"Nona Lili dalam bahaya... Nona Lili hampir ma-
ti...!" Wajah Tua Usil kian berkerut heran dan berkata, "Kau kesurupan atau
kemasukan setan?"
"Belum. Tapi aku lihat jelas."
"Lihat jelas" Kau melihat setan dengan jelas?"
"Nona Lili! Bukan setan, tapi Nona Lili!" Bocah Bodoh semakin kelihatan panik.
"Aku tak mengerti maksudmu, Bocah Bodoh!"
"Di semak-semak sana, aku melihat Nona Se-
tan, eh... Nona Lili sedang sekarat. Ia hampir mati ter-cekik ditindih lawannya
yang jahat itu. Nona Lili tidak berdaya. Ketika mulutnya digigit pemuda itu,
tangan Nona. Lili menggelepar-gelepar. Kasihan sekali."
"Ah, mana mungkin"! Nona Lili sedang berlatih
jurus baru di dalam Gua Rama! Sampai sekarang be-
liau masih di sana!"
"Aku tidak bohong, Tua Usil! Aku lihat dengan
mata kepalaku sendiri, bukan. dengan mata kakiku!
Kalau tak percaya, cobalah buktikan sendiri. Ikutlah
aku, dan kutunjukkan keadaan Nona Lili yang perlu
bantuan Tuan Yo!"
Tua Usil menjadi penasaran, kemudian mengi-
kuti Bocah Bodoh menyusuri tepian sungai dengan
berlari secepat mereka bisa. Ketika hampir tiba di tem-
pat yang dimaksud, Bocah Bodoh berbalik memandang
Tua Usil dan meletakkan jari telunjuknya di mulut.
"Sssttt...! Pelan-pelan langkahmu, jangan seper-
ti kuda kena api pantatnya!"
"Di mana tempatnya?" bisik Tua Usil.
"Itu...," Bocah Bodoh menunjuk satu tempat.
"Di bawah pohon berdaun rimbun itu. Di balik semak-semak sana kulihat Nona Lili
sedang sekarat. Kalau
tak lekas ditolong, beliau bisa mati!"
Tua Usil pun mendekati semak-semak ilalang,
menyingkapkan pelan-pelan. Dan pada saat itu, ia
mendengar suara Nona Lili-nya yang mengerang pan-
jang bagai terkena luka yang amat sakit. Daun-daun
ilalang berguncang-guncang gemerisik. Tua Usil sema-
kin melebarkan celah pandangannya dengan menying-
kapkan ilalang tersebut.
"Ooh..."!" pekik Tua Usil dalam hatinya. Mata Tua Usil melebar dan sepertinya
tak bisa kembali bergerak mengecil lagi manakala ia melihat Lili sedang
bercumbu dengan seorang pemuda. Pertarungan me-
sra itu sangat hebat, sampai mengguncangkan semua
ilalang yang ada di sekelilingnya. Tua Usil menjadi ge-
metar dan sesak napas.
Ia melepaskan pandangan matanya dari tempat
pengintaian, memandang Bocah Bodoh sejenak dengan
mata tetap mendelik. Bocah Bodoh berbisik, "Benar
kan apa kataku?" "Gawat!"
"Memang. Kalau kita terlambat memberitahu-
kan hal itu kepada Tuan Yoga, Nona Li bisa mati tak
bernyawa lagi!"
Tua Usil tertegun bengong bagaikan patung
yang matanya mendelik. Bocah Bodoh mengipas-
ngipaskan tangannya di depan mata Tua Usil agar Tua
Usil segera sadar dari keterpukauannya. Tua Usil sege-
ra sadar setelah gerakan tangan Bocah Bodoh itu tak
sengaja menyodok mata kirinya. Teeb...! Tangan itu di-
tangkap dengan satu mata terpejam perih. Tua Usil
mau memukul wajah Bocah Bodoh, tapi segera urung-
kan niat setelah terdengar suara Lili yang memekik
panjang dan keras bersama suara pemuda itu yang
menggeram. "Ayolah... Nona Li sudah semakin sekarat begi-
tu. Dia bisa mati kalau tak segera ditolong. Pemuda itu lebih jahat dari
almarhumah bibiku. Pemuda itu sedang mencekik leher Nona Li! Lekas kita temui
Tuan Yo...!" Bocah Bodoh menarik-narik tangan Tua Usil
sambil ucapkan kata-kata tegangnya itu.
Bocah Bodoh berhasil membuat Tua Usil me-
langkah tinggalkan semak-semak. Tapi kali ini langkah
Tua Usil tak bisa cepat, karena lututnya gemetar dan
urat-uratnya bagaikan lemas. Apa yang dilihatnya itu
sungguh suatu pemandangan yang tak pernah di-
bayangkan akan dilakukan oleh Nona Lili-nya itu. Tua
Usil pun jadi terbungkam untuk sesaat dengan lidah-
nya seakan tertelan masuk ke tenggorokan.
Sampai di tempat pemancingannya semula, Tua
Usil berhenti melangkah dan jatuh berlutut di pasir
sungai. Buuhg...! Nafasnya terengah-engah, seakan
sedang menggenggam nyawanya yang nyaris melayang
lewat ubun-ubunnya yang berambut putih tipis itu.
Bocah Bodoh yang sudah berlari lebih dulu terpaksa
kembali lagi temui Tua Usil sambil menarik tangannya.
"Lekaslah! Baru berlari sedekat itu kok sudah
capek" Uuh...! Payah kau, Tua Usil!"
Plook...! Tua Usil menampar pipi Bocah Bodoh
sambil berkata, "Aku bukan kecapekan, tapi lemas sekujur tubuhku melihat apa
yang dilakukan oleh Nona
Li. Sungguh tak kuduga Nona Li berbuat seperti itu
kepada pria selain Tuan Yo."
"Aku juga tak sangka kalau Nona Li bisa dibuat
tak berdaya oleh pemuda tersebut, padahal Nona Li
punya ilmu tinggi. Seharusnya Nona Li tadi hantam-
kan tangannya ke dada pemuda itu biar jebol dan mati
lawannya. Tapi dia malah meremas-remas punggung
pemuda itu. Remasannya tak membuat kulit tubuh si
pemuda menjadi koyak. Itu tandanya pemuda tersebut
lebih tinggi ilmunya daripada Nona Li. Pertarungan itu
harus segera diselamatkan, kalau tidak Nona Lili akan
mati." "Bodoh!" bentak Tua Usil. Tapi Bocah Bodoh menyangka dipanggil sehingga
ia menjawab, "Ya..." Ada apa?"
"Kubilang, kau ini goblok sekali!"
"Lho..."!" Bocah Bodoh bingung, wajahnya men-
jadi bego sekali dikatakan dirinya goblok. "Mengapa kau bilang begitu?"
"Nona Li tidak sedang bertarung dengan jurus-
jurus silat! Nona Li tidak sedang dicekik dan bukan
mau di bunuh oleh pemuda itu."
"Ah, tapi Nona Li matanya terbeliak-beliak mau
mati, dan pemuda itu tidak mau melepaskan. Bahkan
kulihat tadi mulut Nona Li dimakannya! Ih, jangan-
jangan pemuda itu pemakan daging manusia?"
Kepala Bocah Bodoh disodok dengan jari Tua
Usil. Kepala itu tersentak sekejap ketika Tua Usil ber-
kata, "Goblok! Mereka itu bukan sedang bertarung.
Itu namanya sedang bercumbu! Sedang berkasih-
kasihan. Jika mata Nona Li terbeliak-beliak, itu bukan
karena Nona Li mau mati, tapi karena merasakan ke-
nikmatan yang diberikan oleh pemuda Itu!"
"Lalu..." Lalu apa artinya pemuda itu memakan
mulut Nona Li?"
"Itu namanya mereka sedang ciuman, Tolol!"
"Ciuman kok lewat mulut?"
"Habis kalau lewat sungai takut basah!" jawab Tua Usil dengan hati dongkol


Jodoh Rajawali 11 Geger Perawan Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali. Kemudian, mereka pun bergegas menuju ke pondok. Namun sebelum
mereka mencapai pondok, mereka sudah bertemu den-
gan Yoga, yang memang mencari Tua Usil sebab di
pondok ia tidak temukan Tua Usil.
"Naaah... kebetulan!" teriak Bocah Bodoh begitu melihat Yoga.
Tua Usil segera menghantam dada Bocah Bo-
doh. Buuhg...! Ia bersungut-sungut dan membentak,
"Kalau mau teriak jangan di dekat telingaku!
Budek aku jadinya!"
"Itu Tuan Yo!"
"Iya. Yang bilang tuan tanah siapa"!" geram Tua Usil. Yoga mendekati mereka,
keributan kecil di antara mereka terhenti. Bocah Bodoh berapi-api mela-
porkan apa yang dilihatnya, dan menterjemahkan se-
mua gerakan Lili dengan pemuda itu sesuai dengan
penjelasan yang diberikan oleh Tua Usil tadi.
"Nona Lili sedang berciuman dengan seorang
pemuda, Tuan Yo! Mereka ada di balik semak-semak.
Ih, mengerikan!" Bocah Bodoh bergidik.
Yoga diam tercekat. Dadanya kembang kempis.
Ia memandangi Tua Usil, yang dipandang sedikit takut
menjelaskan maksud Bocah Bodoh. Tapi Yoga mende-
saknya dengan ucapan,
"Apa benar kata-kata si Bocah Bodoh ini, Tua
Usil?" "Hmm... eeh... Iya. Saya melihatnya sendiri tadi, Tuan." "Berciuman?"
"Iya. Berciuman," jawab Tua, Usil mengangguk
langsung menunduk.
Bocah Bodoh menambahkan kata penuh se-
mangat, "Nona Li kehilangan semua pakaiannya, Tuan.
Mungkin disihir oleh pemuda yang bernama Prabu itu,
sebab saya lihat Prabu juga kehilangan pakaiannya.
Tapi, saya kasihan melihat Nona Li terengap-engap ka-
rena ditindih oleh Prabu. Saya mau membantunya, ta-
pi..." "Di mana mereka sekarang"!" sahut Yoga dengan wajah merah padam. "Cepat
bawa aku ke sana!"
"Mari...! Mari, Tuan. Saya masih hapal tempat-
nya!" Bocah Bodoh bersemangat terus, padahal Tua
Usil merasa takut dan ngeri membayangkan kemara-
han Yoga jika melihat kekasihnya berbuat serong begi-
tu. Bocah Bodoh tidak punya rasa takut dan ngeri se-
dikit pun. Sayangnya, ketika mereka tiba di semak-semak
itu, Lili dan pemuda bernama Prabu itu sudah tidak
ada. Bocah Bodoh bingung berpaling ke sana-kemari
dengan mulut bengong dan mata lebar. "Lho... lho...
tadi mereka ada di sini kok! Sumpah, Tuan Yo. Mereka
ada di sini...! Nah, lihat... rumput-rumput ini tiduran
semua. Itu tandanya rumput-rumput itu di pakai ber-
gelut oleh Nona Lili dan Prabu tadi"
Tangan si Tua Usil menarik tubuh Bocah Bo-
doh, Mereka menjadi berada di belakang Yoga. Lalu,
mulut Bocah Bodoh diremas oleh tangan Tua Usil.
Kruues...! Bocah Bodoh menyeringai sambil kelojotan
sesaat. Tua Usil berbisik dengan nada menghardik,
"Mulutmu jangan bikin hati Tuan Yo lebih pa-
nas lagi! Tak tahukah kau bahwa Tuan Yo cinta den-
gan Nona Li" Kalau dengar laporanmu begitu, Tuan Yo
bisa marah, Nona Li bisa dibunuhnya! Ngerti"!"
Sambil mulut masih diremas tangan Tua Usil,
Bocah Bodoh mengangguk-angguk. Lalu mulut itu di-
lepaskannya. Bocah Bodoh bersungut-sungut tak be-
rani membalas Tuan Usil.
Sementara itu, Yoga menemukan beberapa
rumput yang tercabut karena remasan kuat, dan hal-
hal lain yang meyakinkan dirinya, bahwa apa yang di-
ceritakan Bocah Bodoh itu memang benar. Hati Yoga
seperti di hunjam sejuta tombak. Perih sekali. Sakitnya luar biasa saat
membayangkan apa yang dilihat Bocah
Bodoh tadi. "Tua Usil...!" panggilnya dengan suara meng-
hentak. Tua Usil tidak langsung menjawab, tapi terlon-
jak kaget dulu. Sikunya sempat menghentak mengenai
dagu Bocah Bodoh yang ada di sampingnya. Bocah
Bodoh cemberut kesakitan dan menabok punggung
Tua Usil, tapi Tua Usil diam saja. Ia segera menatap
Yoga dan Yoga pun bertanya dengan mata yang me-
mancarkan bara kemurkaannya,
"Apa benar Lili masuk ke dalam Gua Rama?"
"Benar, Tuan. Saya sendiri yang mengantarkan beliau ke sana, lalu menutup pintu
gua itu dengan bebatuan
besar hingga berlapis-lapis. Saya yakin gua itu tidak
bisa ditembus sinar matahari lagi bagian dalamnya,
Tuan." "Ikut aku ke sana dan bongkar batu itu!"
"Jangan, Tuan!".
"Aku ingin buktikan di mana Lili saat ini bera-
da!" bentak Yoga. Matanya kian tajam memandang Tua Usil. Sekalipun takutnya
bukan main, tapi Tua Usil tetap paksakan diri untuk berkata,
"Jangan, Tuan. Jangan bongkar batu-batu pe-
nutup itu. Nona" Li berpesan pada saya, bahwa batu-batu itu boleh dibongkar
setelah empat puluh hari la-
manya Nona Li ada di dalam gua itu. Jika saya mem-
bongkar batu-batu tersebut, berarti Nona Li tahu bah-
wa beliau sudah empat puluh hari berada di dalam
gua. Sekarang baru tiga puluh satu hari lewat seten-
gah hari, Tuan Yo!"
"Kalau begitu, siapa yang kau lihat di semak-
semak ini tadi"!"
"Hmm... eh... mungkin... mungkin seseorang
yang mirip Nona Li. Saya percaya, Nona Li masih ada
di dalam gua. Kalau dibongkar sekarang, sia-sia sekali
Tuan. Sudah cukup lama Nona Li tidak terkena ca-
haya, dan itu akan membuatnya memperoleh ilmu ba-
ru yang bernama ilmu 'Mata Dewa', Tuan. Jangan ga-
galkan rencana beliau, Tuan, ku mohon, jangan bong-
kar dulu batu-batu penutup gua itu...!"
Tua Usil sampai berlutut dan mencium tanah
tiga kali sebagai tanda permintaan yang amat diha-
rapkan dengan penuh segala hormat. Pendekar Raja-
wali Merah menjadi tertegun dengan memendam ke-
marahan yang tak kuat lagi ditahannya. Akibatnya
tangannya menyentak ke samping kiri, dan sekelebat
sinar merah terlepas bersama teriakan keras dari mu-
lut Yoga, "Heaaahhh...!" '
Blegaaarr...! Satu pohon yang kena sinar me-
rah, empat pohon lainnya tumbang secara bersamaan.
*** 4 BETAPA sulitnya mengendalikan hawa nafsu
pada saat-saat seperti itu. Beruntung Yoga segera la-
kukan semadi penenang jiwa, sehingga dalam sehari
semalam ia sudah berhasil kendalikan kemarahannya.
Sekarang yang ada dalam hatinya hanya sebuah tanya,
"Apa maksud kejadian-kejadian yang ku alami ini?"
Pohon buni berdaun lebar dengan buahnya yang lebat
pula, menjadi tempat berdiam diri buat Yoga, ia duduk
di bawah pohon tersebut, yang letaknya tak seberapa
jauh dari bagian depan pondok. Tua Usil dan Bocah.
Bodoh ada di dalam pondok, sedang sibuk menyiangi
dua ekor kelinci yang hendak dibakarnya sebagai san-
tapan hari itu.
Pendekar Rajawali Merah bagaikan orang yang
sedang berkabung. Renungan panjangnya membuat
wajah tampan itu berkesan muram dan tak lagi pan-
carkan sinar kegembiraannya. Yang ada dalam hati
Yoga saat itu hanyalah kecamuk batin, yang tak per-
nah diam sejak pertemuannya dengan Raden Balelo
dan pengemis Paku Juling.
"Jika apa yang dilihat Bocah Bodoh dan Tua
Usil itu adalah memang Lili, maka apa yang dikatakan
oleh Raden Balelo itu memang benar. Apa yang ditu-
duhkan oleh Lenggani dan Anggita itu juga benar
adanya. Seandainya memang begitu, lalu apa maksud
Lili bertindak sedemikian rupa" Nama pendekar raja-
wali akan hancur di mata para tokoh dunia persilatan!
Nama besar mendiang guru Dewa Geledek dan Dewa
Langit Perak juga akan musnah oleh tindakan Lili.
Nama-nama beliau tidak harum lagi, karena mempu-
nyai murid sebejad Lili! Haruskah aku bertarung
membunuhnya demi nama baik guru-guru kami, dan
aliran silat rajawali ini" Atau, haruskah kubiarkan Lili berbuat begitu,
sementara hatiku pun hancur kare-nanya?"
Seperti ada sinar tajam yang menembus dada
dan melukai ulu hati Yoga pada saat ia berkecamuk
batin seperti itu. Dicobanya menarik napas dalam-
dalam dan ditahannya beberapa saat di dalam dada,
maka rasa nyeri itu sedikit demi sedikit reda kembali.
Pendekar Rajawali Merah menerawang, membiarkan
angin teduh menerbangkan rambutnya yang panjang
tanpa ikat kepala itu. Sebagian rambut ada yang me-
lintang di depan mata, dan itu pun dibiarkannya saja.
"Barangkali saja apa yang dikatakan Tua Usil
itu. memang benar. Orang yang dilihatnya, adalah pe-
rempuan yang mirip dengan Lili. Moga-moga begitulah
kenyataan yang ada. Tapi jika dugaan itu meleset, ma-
ka aku harus memahami maksud Lili bertindak seperti
itu, seakan ia seorang gadis yang membutuhkan ke-
hangatan dan kemesraan lelaki. Oh... memalukan se-
kali. Dia menjadi liar dan keji. Mungkinkah keliaran-
nya itu dikarenakan aku kurang memberikan perha-
tian kepadanya" Mungkinkah aku tak sehangat keme-
sraan yang diharapkannya" Tapi, bukankah Lili sendiri
yang selalu bersikap dingin jika aku terlalu lama me-
meluknya" Lili sendiri yang sering membatasi diri agar
hubungan kami tidak terjerat ke dalam lumpur dosa
Alap Alap Laut Kidul 2 Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung Perguruan Sejati 10
^