Pencarian

City Of Bones 6

The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare Bagian 6


telah memberiku pendidikan terbaik, pelatihan terbaik.
Dia membawaku keliling dunia. London. Saint Petersburg.
Mesir. Kami suka bepergian." Matanya menjadi gelap. "Aku
belum pernah ke mana"mana sejak dia meninggal. Cuma
di New York." "Kamu beruntung," kata Clary. "Aku belum pernah
keluar dari negara bagian ini seumur hidupku. Ibuku bahkan
tidak mengizinkanku ikut acara perjalanan lapangan ke
D.C. Sekarang aku tahu kenapa," Clary menambahkan
dengan sedih. "Ia takut kamu akan panik" Mulai melihat iblis di
Gedung Putih?" Clary menggigit sepotong cokelat. "Ada iblis di Gedung
Putih?" "Tadi aku bercanda," kata ]ace. "Aku rasa ada." Dia
mengangkat bahu setelah berpikir. "Aku yakin ada yang
pernah bilang begitu."
"Aku rasa ia cuma tidak ingin aku terlalu jauh darinya.
Ibuku, maksudku. Setelah ayahku meninggal, ia banyak
berubah," kata Clary. Suara Luke menggema di benak
429 Clary. Kamu berubah sejak peristiwa itu terjadi, tapi Clary
bukanlah Jonathan. Jace memiringkan sebelah alisnya. "Kamu ingat
ayahmu?" Clary menggeleng. "Tidak. Dia meninggal sebelum aku
lahir." "Kamu beruntung," katanya. "Dengan begitu, kamu
tidak merindukannya."
Kalau orang lain yang mengatakannya, hal itu pasti
mengejutkan. Tapi tidak ada kepahitan di suara ]ace, hanya
rasa kesepian terhadap ayahnya sendiri.
"Perasaan itu bisa hilang?" Clary bertanya. "Merindu-
kannya, maksudku?" Jace menatapnya dengan miring, tapi tidak menjawab.
"Kamu sedang memikirkan ibumu?"
Tidak. Clary tidak akan berpikir begitu tentang ibunya.
"Tentang Luke, sebenarnya."
"Itu juga bukan nama aslinya sih." _Iace menggigit
apelnya sambil berpikir, lalu berkata, "Aku sudah berpikir
tentang Luke. Ada yang aneh dengan tingkahnya..."
"Dia pengecut." Suara Clary pahit. "Kamu sudah dengar
dia. Dia tidak mau melawan Valentine. Tidak bahkan demi
ibuku." "Tapi itu jelas-jelas..." Bunyi denting yang bergema
panjang menyela kata-kata _Iace. Di suatu tempat, lonceng
dibunyikan. "Tengah malam," kata Jace sambil meletakkan
pisaunya di bawah. Dia berdiri, lalu mengulurkan tangannya
430 untuk menarik Clary di sebelahnya. Jemarinya agak lengket
dengan ius apel. "Sekarang, lihatlah."
Pandangannya terpaku pada perdu hijau yang ada di
samping tempat duduk mereka tadi. Perdu itu mempunyai
lusinan kuncup bersinar. Clary hendak bertanya apa yang
seharusnya ia lihat, tapi ]ace mengangkat tangan untuk men-
cegahnya. Mata pemuda itu bersinar. "Tunggu," katanya.
Dadaunan perdu itu bergantung kaku dan tak bergerak.
Mendadak salah satu kuncup yang tertutup erat itu mulai
bergetar dan gemetaran. Ukurannya membengkak sampai
dua kali, lalu membuka dengan keras. Itu seperti menonton
film yang dipercepat tentang mekarnya bunga. Daun kelopak
bunga yang hijau lembut membuka keluar, melepaskan kelopak
bunga yang terkumpul di dalamnya. Kelopak bunga itu
bertaburan serbuk sari keemasan yang seringan bedak.
"Oh!" kata Clary. Ia mendongak dan menemukan
bahwa ]ace sedang memandanginya. "Bunga ini mekar
setiap malam?" "Hanya di tengah malam," katanya. "Selamat ulang
tahun, Clarissa Fray."
Clary merasa tersentuh dengan aneh. "Terima kasih."
"Aku punya sesuatu untukmu," kata Jace. Dia menggali
kantongnya, lalu mengeluarkan sesuatu yang dia tekankan
ke tangan Clary. Itu batu abu-abu yang agak tidak rata.
Batu itu sudah rata sampai mulus di beberapa titik.
"Hah," kata Clary sambil memutar"mutar batu itu di
iemarinya. "Tahu kan, ketika kebanyakan cewek bilang
431 mereka ingin batu besar, mereka tidak sungguh-sungguh
bermaksud batu besar secara harfiah."
"Sangat lucu, temanku yang sarkastis. Ini bukan batu,
tepatnya. Semua Pemburu Bayangan punya batu rune suluh
sihir." "Oh." Clary menatap batu itu dengan ketertarikan
baru. Ia menutupkan jemarinya di sekeliling batu itu seperti
yang pernah ia lihat Jace lakukan di gudang bawah tanah
Hotel Dumort. Ia tidak yakin, tapi ia merasa bisa melihat
secercah cahaya mengintip dari jemarinya.
"Batu ini akan membawakanrnu cahaya," kata Jace,
"bahkan di antara bayang-bayang tergelap di dunia ini dan
lain-lainnya." Clary memasukkannya ke dalam kantong. "Yah, makasih.
Kamu baik sekali memberiku sesuatu." Ketegangan di antara
mereka sepertinya sangat menekan Clary seperti udara lembab.
"Lebih baik daripada mandi Spageti di hari apa pun."
Jace berkata dengan masam. "Kalau kamu memberi
tahu informasi pribadi itu kepada siapa pun, mungkin aku
harus membunuhmu." "Yah, ketika aku lima tahun, aku ingin ibuku mem"
biarkanku berputar-putar di dalam mesin pengering bersama
pakaian," kata Clary. "Perbedaannya adalah, ia tidak
mengabulkannya." "Mungkin karena berputar"putar di dalam mesin pengering
bisa mematikan," ]ace mengingatkan, "sedangkan pasta
jarang mematikan. Kecuali kalau dibuat oleh Isabelle."
432 Bunga tengah malam sudah menggugurkan kelopaknya.
Mereka tertimbun di lantai, dan berkilauan seperti irisan
cahaya bintang. "Ketika aku dua belas, aku ingin punya
tato," kata Clary. "Ibuku iuga tidak mengabulkannya."
]ace tidak tertawa. "Kebanyakan Pemburu Bayangan
mendapatkan Tanda pertama mereka ketika berumur dua
belas. Pasti itu sudah mengalir di dalam darahmu."
"Mungkin. Meskipun aku ragu kebanyakan Pemburu
Bayangan punya tato Donatello dari Kura-kura Ninja di
bahu kiri mereka." ]ace tampak bingung. "Kamu ingin memasang kura-kura
di bahumu?" "Aku ingin menutupi bekas cacarku." Clary menarik
tali tank topnya ke samping sedikit untuk menuniukkan
tanda putih berbentuk bintang di puncak bahunya. "Lihat,
kan?" ]ace memalingkan wajahnya. "Sudah larut," katanya.
"Kita harus kembali ke bawah."
Clary menarik talinya lagi dengan canggung. Memangnya
Jace mau melihat bekas lukanya yang tolol itu"
Kata"kata berikutnya terguling dari mulut Clary tanpa
kemauan dari dirinya. "Kamu dan Isabelle pernah...,
berkencan?" Sekarang ]ace benar-benar menatap Clary. Cahaya bulan
meluluhkan warna dari matanya. Sekarang mata Jace lebih
berwarna perak daripada emas. "Isabelle?" ]ace bertanya
dengan kosong. 433 "Aku kira..." Sekarang Clary bahkan merasa lebih
canggung lagi. "Simon yang penasaran."
"Mungkin dia harus tanya Isabelle."
"Aku tidak yakin dia mau," kata Clary. "Ah, lupakan
saia. Itu bukan urusanku."
Jace tersenyum membingungkan. "Jawabannya adalah
tidak. Maksudku, pernah salah satu dari kami mempertim-
bangkannya. Tapi ia hampir seperti adikku sendiri. Pasti
aneh jadinya." "Maksudmu Isabelle dan kamu tidak pernah..."
"Tidak pernah," kata Jace.
"Ia membenciku," Clary memperhatikan.
"Tidak, ia tidak membencimu," kata _Iace. Clary jadi
terkejut. Jace menerangkan, "Kamu hanya membuatnya gugup,
karena ia selalu menjadi satu-satunya cewek di kerumunan
cowok yang memujanya. Tapi sekarang tidak begitu lagi."
"Tapi ia sangat cantik."
"Kamu juga," kata ]ace, "dan sangat berbeda dari
cantiknya Isabelle. Ia tidak bisa tidak menyadarinya. Ia selalu
ingin menjadi kecil dan manis, tahu kan. Ia kesal badannya
lebih tinggi daripada kebanyakan cowok."
Clary tidak mengomentari yang ini, karena ia tidak
bisa berkata apa-apa. Cantik. _]ace menyebut Clary cantik.
Tidak ada yang pernah menyebutnya begitu sebelum ini,
kecuali ibunya, yang tidak masuk hitungan. Semua ibu pasti
berpikir putrinya cantik. Clary memandangi Jace.
434 "Sebaiknya kita turun," kata _Iace lagi. Clary yakin ia telah
membuat pemuda itu tidak nyaman dengan memandanginya,
tapi sepertinya ia tidak bisa berhenti.
"Baiklah," akhirnya Clary berkata. Gadis itu lega
karena suaranya terdengar biasa. Ia lebih lega lagi karena
bisa berhenti menatap ]ace saat ia berputar. Sekarang bulan
berada tepat di atas kepala, dan menerangi semuanya
sehingga nyaris seperti terangnya siang.
Di antara langkahnya, Clary melihat kilau putih di
lantai. Itu pisau yang tadi Jane gunakan untuk memotong
apel. Pisau itu tergeletak ke samping. Clary segera tersentak
mundur supaya tidak menginjaknya, sehingga bahunya
menabrak bahu Jane. Pemuda itu mengangkat tangannya
untuk menegakkan Clary. Tepat ketika gadis itu berbalik
untuk meminta maaf, entah bagaimana ia sudah berada di
dalam lengan Jace, lalu pemuda itu menciumnya.
Sepertinya semula _Iaee tidak bermaksud mencium Clary.
Mulutnya terasa keras di mulut gadis itu, tak tertahankan.
Kemudian ]ace meletakkan lengannya di sekeliling Clary dan
menarik gadis itu kepadanya. Bibir Jaee melembut. Clary
dapat merasakan detak iantung pemuda itu yang cepat,
merasakan manisnya apel yang masih ada di mulutnya.
Clary mengikatkan tangannya ke rambut Jace, seperti
yang telah ingin ia lakukan sejak kali pertama melihat
pemuda itu. Rambutnya mengikal di jemari Clary. Rasanya
halus dan rapat. Jantung Clary berdentam"dentam, lalu ada
suara ramai di telinganya, seperti kepakan sayap...
435 Jace menarik diri dari Clary dengan ucapan teredam,
meskipun lengannya masih memeluk gadis itu. "Jangan
panik, tapi kita punya penonton."
Clary menengok. Bertengger di dahan pohon terdekat,
ada Hugo. Burung itu memperhatikan mereka dengan mata
hitam terang. Jadi, suara yang tadi Clary dengar memang
suara sayap, dan bukan hasratnya yang menggila. Itu
mengecewakan. "Kalau dia di sini, Hodge pasti tidak jauh di belakangnya,"
kata ]ace berbisik. "Kita harus pergi."
"Dia memata-mamt' kamu?" Clary berdesis. "Hodge,
maksudku." "Tidak. Dia cuma suka naik ke sini untuk berpikir.
Sayang sekali.., kita kan sedang menialani percakapan yang
gemerlapan." Jace tertawa tanpa suara.
Mereka berjalan turun seperti naiknya, tapi rasanya
seperti perjalanan yang berbeda sama sekali bagi Clary.
]ace memengangi tangannya, mengirimkan setruman listrik
yang menjalari pembuluh darah Clary di setiap titik di
mana pemuda itu menyentuhnya. ]emarinya, pergelangan
tangannya, telapak tangannya.
Pikiran Clary berdengung penuh pertanyaan, tapi ia
terlalu takut untuk merusak suasana kalau bertanya. Jace
akan berkata "sayang sekali", sehingga Clary rasa malam
mereka sudah berakhir, setidaknya bagian berciumannya.
Mereka sampai di pintu Clary. Gadis itu bersandar ke
dinding di sampingnya, mendongak menatap Jace. "Terima
436 kasih untuk piknik ulang tahunnya," kata Clary sambil
berusaha menjaga nada suaranya supaya tetap netral.
Jace tampak enggan untuk melepaskan tangan gadis
itu. "Kamu mau tidur ya?"
Dia cuma berusaha sopan, Clary berkata kepada diri
sendiri. Tapi lagi-lagi, ini adalah ]ace. Dia tidak pernah
sopan. Clary memutuskan untuk menjawab pertanyaan
dengan pertanyaan. "Kamu tidak lelah?"
Suaranya rendah. "Aku tidak pernah sebangun ini."
Dia menunduk untuk mencium Clary sambil mengampkan
wajahnya dengan tangannya yang bebas. Bibir mereka
bersentuhan. Awalnya ringan, lalu dengan tekanan yang
lebih kuat. Tepat pada saat itulah Simon membuka pintu
kamar tidur dan melangkah keluar.
Simon mengerjap. Rambutnya kusut dan dia tidak
memakai kacamata, tapi dia bisa melihat dengan cukup
jelas. "'Apa-apan ini?" dia bertanya dengan sangat keras,
sehingga Clary melompat dari ]ace seakan-akan sentuhan
pemuda itu membakarnya. "Simon! Kamu sedang apa" Maksudku, aku kira kamu
sedang..." "Tidur" Tadi iya," kata Simon. Puncak tulang pipinya
meniadi merah gelap menembus warna kulitnya. Biasanya
memang begitu kalau dia sedang malu atau marah. "Lalu
aku bangun dan kamu tidak ada, jadi aku kira..."
Clary tidak dapat memikirkan apa pun untuk dikatakan.
Kenapa gadis itu tidak terpikir hal ini bisa terjadi" Kenapa
tadi ia tidak berkata mereka sebaiknya ke kamar ]ace saia"
43" Jawabannya sesederhana bodohnya. Ia telah lupa tentang
Simon sama sekali. "Maaf," kata Clary, tapi tidak yakin kepada siapa ia
bicara. Di sudut matanya, ia merasa melihat Jace menatapnya


The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan amarah putih. Tapi ketika Clary menoleh kepada
]ace, pemuda itu tampak seperti biasanya. Santai, percaya
diri, dan agak besanan. "Di masa depan, Clarissa," kata ]ace, "lebih bijaksana
kalau kamu menyebutkan bahwa sudah ada laki"laki di
tempat tidurmu, untuk menghindari situasi membosankan
seperti ini." "Kamu mengajaknya ke tempat tidur?" Simon bertanya.
Dia tampak terguncang. "Konyol, ya kan?" kata ]ace. "Kita bertiga tidak akan
muat." "Aku tidak mengajaknya ke tempat tidur," Clary
mendengus. "Tadi kami cuma berciuman."
"Cuma berciuman?" Nada suara ]ace mengejek Clary
dengan rasa sakit palsunya. "Betapa cepatnya kamu mengakhiri
cinta kita." "Jaee..." Clary melihat kebencian yang bersinar di mata Jace,
maka ia berhenti. Tidak ada gunanya. Tiba-tiba perutnya
terasa berat. "Simon, ini sudah larut," kata Clary dengan
lelah. "Maaf kami membangunkanmu."
"Aku juga." Simon melangkah masuk ke dalam kamar,
lalu membanting pintu di belakangnya.
438 Senyum ]ace selunak roti panggang yang diberi mentega.
"Pergilah. Kejarlah dia. Tepuk"tepuk kepalanya dan bilang
saja dia tetaplah pria kecil super spesialmu. Bukankah itu
yang ingin kamu lakukan?"
"Hentikan," kata Clary. "Berhentilah bersikap seperti
itu." Senyum _Iace melebar. "Seperti apa?"
"Kalau kamu marah, bilang saja. Jangan berlagak seperti
tidak ada yang bisa menyentuhmu. Seakan-akan kamu tidak
bisa merasakan apa pun sama sekali."
"Mungkin kamu harus memikirkan itu sebelum men-
ciumku," kata _]ace.
Clary menatapnya dengan tidak percaya. "Aku mencium
kamu?" Pemuda itu menatapnya dengan kebencian yang berkilat-
kilat. "Jangan khawatir," katanya, "ciuman tadi juga tidak
terlalu berkesan bagiku."
Clary memperhatikannya berjalan pergi, lalu merasakan
campuran rasa ingin meledakkan tangis dengan berlari
mengejar pemuda itu untuk menendang mata kakinya. Tapi
Clary tahu kedua hal itu akan membuat ]ace puas, jadi
ia tidak melakukannya. Ia malah masuk ke dalam kamar
tidurnya dengan hati-hati.
Simon sedang berdiri di tengah-tengah ruangan. Dia
tampak tersesat. Dia telah memakai kacamatanya lagi.
Clary mendengar suara _Iace di kepalanya. Suara itu berkata
dengan iahat, Tepak-tepuk kepalanya dan bilang saja dia
tetaplah pria kecil super spesialmu.
439 Clary melangkah mendekati Simon, lalu berhenti ketika
menyadari apa yang sedang dipegang pemuda itu. Buku
sketsanya membuka ke gambar yang sedang ia kerjakan,
yaitu gambar Jace dengan sayap malaikat. "Bagus," kata
Simon. "Kelas-kelas Tisch itu pasti ada gunanya."
Biasanya, Clary akan menyuruh Simon berhenti melihat-
lihat buku sketsanya, tapi sekarang bukan waktu yang tepat.
"Simon, dengar dulu?"
"Aku tahu bahwa meraiuk ke kamar tidurmu bukanlah
gerakan yang paling mulus," Simon menyela dengan kaku,
lalu melemparkan buku sketsa itu kembali ke atas tempat
tidur. "Tapi aku harus mengambil barang"barangku."
"Kamu mau ke mana?" Clary bertanya.
"Pulang. Aku sudah terlalu lama di sini. Kaum fana
seperti aku tidak pantas berada di tempat seperti ini."
Clary mendesah. "Dengar, aku minta maaf, oke" Aku
tidak bermaksud menciumnya. Itu terjadi begitu saja. Aku
tahu kamu tidak suka dia."
"Tidak," Simon berkata dengan lebih kaku lagi. "Aku
tidak suka soda tanpa rasa. Aku tidak suka boyband pop
yang cuma bisa omong kosong. Aku tidak suka kena macet.
Aku tidak suka PR matematika. Aku benci Jace. Lihat
perbedaannya, kan?" "Dia telah menyelamatkan nyawamu," Clary mengingat-
kan. Tapi ia merasa seperti penipu. Bagaimanapun juga,
Jace telah datang ke Dumort hanya karena dia khawatir
Clary akan celaka. 440 "Detailnya," kata Simon mengakhiri. "Dia brengsek.
Aku sangka kamu lebih baik daripada itu."
Amarah Clary menyala. "Oh, sekarang kamu berlagak
tinggi dan agung kepadaku?" ia mendengus. "Kamulah
yang mau mengajak cewek berbodi paling mantap ke
pesta Fall Fling." Clary menirukan nada suara Eric yang
malas-malasan. Mulut Simon menipis dengan marah.
"Jadi, memangnya kenapa kalau kadang"kadang Jace
menyebalkan" Kamu bukan kakakku, kamu bukan ayahku,
kamu tidak harus menyukai dia. Aku tidak pernah menyukai
satu pun pacarmu, tapi setidaknya aku cukup sopan untuk
menyembunyikan itu."
"Ini," kata Simon di antara giginya, "berbeda."
"Kenapa" Kenapa bisa berbeda?"
"Karena aku melihat caramu menatapnya!" dia berseru.
"Aku tidak pernah menatap satu pun dari cewek"cewek
itu seperti itu! Mereka cuma untuk, cara untuk berlatih,
sampai..." "Sampai apa?" Dengan suram Clary tahu bahwa ia
sendiri sedang bersikap buruk. Semuanya buruk sekali.
Mereka bahkan belum pernah berkelahi sejak meributkan
siapa yang memakan kue kering Pop-Tart terakhir ketika
sedang bermain di rumah pohon. Tapi Clary tidak bisa
menahan diri. "Sampai Isabelle datang" Aku tidak percaya
kamu menceramahiku tentang ]ace ketika kamu membodohi
diri sendiri dengan Isabelle!" Suara Clary meninggi menjadi
jeritan. 441 "Aku sedang mencoba membuatmu cemburu!" Simon
berteriak balik. Tangannya mengepal di sisinya. "Kamu
sangat bodoh, Clary. Kamu sangat bodoh. Kamu tidak bisa
lihat apa-apa ya?" Clary menatap Simon dengan bingung. Maksudnya
apa sih" "Mencoba membuatku cemburu" Kenapa kamu
mencuba melakukan itu?"
Gadis itu langsung melihat bahwa itulah hal terburuk
yang pernah ia tanyakan kepada Simon.
"Karena," kata Simon dengan sangat pahit sampai-sampai
mengejutkan Clary, "aku telah jatuh cinta kepadamu selama
sepuluh tahun. Jadi aku rasa sepertinya sudah waktunya
untuk mencari tahu apakah kamu merasakan hal yang
sama kepadaku. Menurutku, ternyata tidak."
Simon seperti telah menendang perut Clary. Gadis itu
tidak bisa bicara. Udara telah terisap keluar dari paru-
parunya. Ia memandangi Simon, mencoba memberi tanggapan.
Tanggapan apa pun. Simon memotongnya dengan tajam. "Jangan. Tidak ada
yang bisa kamu katakan."
Clary melihatnya berjalan ke pintu seakan"akan gadis
itu tersetrum. Ia tidak bisa bergerak untuk menahannya,
meskipun sangat ingin melakukannya. Apa yang bisa
Clary katakan" "Aku juga mencintaimu?" Tapi ia tidak
mencintainya, ya kan"
Simon berhenti di pintu, tangannya sudah memegang
kenop, lalu berbalik untuk menatap Clary. Matanya, di balik
kacamata, tampak lebih lelah daripada marah sekarang.
442 "Kamu benar"benar ingin tahu apa lagi yang ibuku bilang
tentang kamu?" pemuda itu bertanya.
Clary menggeleng. Sepertinya Simon tidak memperhatikan. "Katanya,
kamu akan mematahkan hatiku," dia memberi tahu gadis
itu, lalu pergi. Pintu menutup di belakangnya dengan suara
klik yang tegas. Clary pun sendirian.
Setelah Simon pergi, Clary terbenam di tempat tidur dan
mengambil buku sketsanya. Ia membuai buku itu di dadanya,
tidak ingin menggambar di dalamnya, hanya membutuhkan
rasa dan bau benda-benda yang sudah akrab, yaitu tinta,
kertas, dan kapur. Ia berpikir tentang mengejar Simon, berusaha untuk
menangkapnya. Tapi apa yang akan Clary katakan" Apa
yang bisa ia katakan"
Kamu sangat bodoh, Clary, kata Simon kepadanya tadi.
Kamu tidak bisa lihat apa-apa ya."
Clary teringat ratusan hal yang telah Simon katakan
atau lakukan, lelucon yang telah Eric dan lainnya buat
tentang mereka, percakapan yang langsung terhenti ketika
Clary masuk ke dalam mangan. ]ace telah mengetahui hal
ini sejak awal. Tadi aku tertawa karena pernyataan cinta
itu membuatku geli, terutama ketika tidak terbaias. Clary
tidak bisa berhenti bertanya-tanya apa maksudnya, tapi
sekarang gadis itu tahu. Clary telah memberi tahu Simon sebelumnya bahwa ia
hanya pernah menyayangi tiga orang, yaitu ibunya, Luke,
443 dan Simon. Gadis itu jadi bertanya-tanya. Apakah mungkin,
dalam rentang waktu seminggu, kamu bisa kehilangan
semua orang yang kamu sayangi" Apakah orang sanggup
melalui hal seperti ini" Bagaimanapun juga..., dalam waktu
yang singkat itu, ketika berada di atap bersama Jace, Clary
telah melupakan ibunya. Ia telah melupakan Luke. Ia telah
melupakan Simon. Dan ia telah bahagia. Itulah bagian
terburuknya, bahwa ia telah bahagia.
Mungkin im", Clary pikir, kehilangan Simon, mungkin
inilah bakamanku karena telah egois dengan berbahagia,
bahkan meskipun hanya sejenak, ketika ibuku masih hilang.
Tidak ada yang nyata, lagipula. Mungkin _Iace memang
pencium yang pandai, tapi pemuda itu tidak benar"benar peduli
kepada Clary sama sekali. Dia sendiri telah mengatakannya
cukup jelas. Clary menurunkan buku sketsanya perlahan ke pang-
kuannya. Simon memang benar. Gambar _Iace ini bagus.
Clary berhasil menangkap garis mulutnya yang keras, dan
mata rapuhnya yang tidak pantas. Sayap-sayapnya tampak
sangat nyata, sehingga Clary membayangkan bahwa kalau
ia mengusapkan jemarinya ke situ, rasanya pasti halus. Ia
membiarkan tangannya menelusuri halaman itu, pikirannya
berkelana... Lalu tangannya tersentak mundur. Clary bengong.
_Iemarinya telah menyentuh sesuatu yang bukan kertas kering,
melainkan lembutnya bulu. Mata Clary menyorot rune yang
telah ia coretkan di sudut halaman. Rune itu bersinar, seperti
rune yang digambar oleh Jace dengan stelanya.
444 Jantung Clary mulai berdetak dengan kecepatan dan
ketajaman yang mantap. Kalau ada rune yang bisa membuat
lukisan menjadi hidup, berarti mungkin...
Tanpa melepaskan pandangannya dari gambar itu, Clary
meraba-raba mencari pensilnya. Sambil kehabisan nafas,
Clary membalik halaman baru yang bersih. Cepat"cepat ia
mulai menggambar benda pertama yang masuk ke dalam
pikirannya, yaitu cangkir kopi di meja di samping tempat
tidurnya. Sambil mengingat"ingat kelas melukisnya, Clary meng-
gambar cangkir itu dengan sangat mendetail. Goreng di
pinggirannya, retakan di pegangannya. Ketika selesai,
gambarnya tepat seperti yang bisa Clary gambar. Terdorong
oleh insting yang tidak terlalu ia mengerti, Clary mengambil
mug itu dan meletakkannya di atas kertas. Lalu, dengan sangat
hati-hati, ia mulai menggambar rune di sampingnya.
445 8 Piala Mortal Hanya satu orang yang bisa menemukan Piala Morini,
dan itu adalah Gary. Jace sedang berbaring di tempat tidurnya, berpura"pura
tidur, ketika pukulan di pintu akhirnya terlalu keras untuknya.
Dia menarik diri dari tempat tidur sambil mengernyit.
Meskipun dia berpura"pura baik"baik saja ketika berada di
rumah kaca, sekujur badannya masih sakit akibat pukulan
yang didapatkannya pada malam sebelumnya.
Dia tahu itu siapa bahkan sebelum membuka pintu.
Mungkin Simon telah berubah menjadi tikus lagi. Kali ini
Simon bisa tetap menjadi tikus terkutuk saja selamanya,
karena dirinya, Jace Wayland, sudah bersiap-siap untuk
melakukannya. Gadis itu sedang memegangi buku sketsanya. Rambutnya
yang terang melarikan diri dari kepangan. Jace bersandar
446 ke bingkai pintu sambil berusaha mengacuhkan tendangan
adrenalin yang muncul akibat melihat gadis itu. Bukan
untuk kali pertamanya Jace terheran-heran kenapa dia bisa
merasa begitu. Isabelle menggunakan kecantikannya seperti
menggunakan cambuknya. Tapi Clary bahkan sama sekali
tidak tahu bahwa dirinya cantik. Mungkin itulah kenapa.
]ace hanya terpikir satu alasan kenapa Clary ada di sini,
meskipun itu tidak masuk akal setelah apa yang dia katakan
kepada gadis itu. Kata-kata adalah senjata, ayahnya telah
mengajarinya tentang itu, dan tadi ]ace ingin melukai Clary
lebih daripada dia pernah ingin melukai gadis mana pun.
Kenyataannya, _]ace tidak yakin dia pernah ingin melukai
seorang gadis sebelumnya. Biasanya dia hanya menginginkan
mereka, lalu ingin mereka meninggalkannya.
"Jangan bilang," kata ]ace dengan cara yang dia tahu
dibenci oleh Clary. "Simon pasti telah berubah menjadi
kucing liar dan kamu ingin aku melakukan sesuatu sebelum
Isabelle membuatnya jadi syal. Yah, kamu harus menunggu
sampai besok. Aku sedang tidak bertugas." ]ace menunjuk
dirinya sendiri. Dia sedang memakai piyama biru yang


The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berlubang di bagian lengannya. "Lihat. Piyama."
Clary tampak hampir tidak mendenga tnya. ]ace menyadari
ia sedang memegangi sesuatu di tangannya, yaitu buku
sketsanya. "]ace," kata gadis itu. "Ini penting."
"Jangan bilang," kata Jaee. "Kamu punya masalah
menggambar yang darurat. Kamu perlu model telanjang.
Yah, suasana hatiku sedang tidak pas. Kamu bisa minta
441 Hodge," katanya setelah berpikir. "Aku dengar dia akan
melakukan apa pun demi..."
"JACE!" Clary menyelanya. Suara gadis itu menanjak
menjadi jeritan. "DIAM SAJALAH SEBENTAR DAN
DENGARKAN AKU!" Jace mengerjap. Clary mengambil nafas dalam, lalu mendongak me-
natapnya. Mata gadis itu penuh ketidakpastian. Dorongan
yang akrab terbit di dalam diri Jace, yaitu dorongan untuk
meiingkarkan lengannya kepada Clary dan memberitahunya
bahwa semua baik"baik saja. Jace tidak melakukannya. Dalam
pengalamannya, semua jarang baik"baik saja.
"_Iace," kata Clary dengan sangat pelan sehingga Jace
harus miring ke depan untuk menangkap kata-katanya.
"Aku rasa aku tahu di mana ibuku menyembunyikan Piala
Morta]. Ada di dalam lukisan."
"Apa?" ]ace masih memandangi Clary seakan-akan gadis itu
memberitahunya bahwa salah satu Saudara Hening sedang
menari perut di aula. "Maksudmu, ia menyembunyikannya
di belakang lukisan" Semua lukisan di apartemenmu sudah
disobek dari bingkainya."
"Aku tahu." Clary melirik melewati Jace, ke kamar
tidurnya. Tampaknya tidak ada orang lain di situ. Clary jadi
lega. "Dengar, boleh aku masuk" Aku ingin menunjukkan
sesuatu kepadamu." Jace mundur dari pintu. "Kalau memang harus
begitu." 443 Gadis itu duduk di tempat tidur. Ia menyeimbangkan
buku sketsa di lututnya. Baju yang tadi dipakai ]ace telah
dilemparkan ke atas seprai, tapi sisa ruangan itu serapi kamar
biksu. Tidak ada gambar di dinding, tidak ada poster atau
foto teman dan keluarga. Selimutnya putih dan tertarik erat
dan rata di atas tempat tidur. Ini bukan khas kamar tidur
remaja laki-laki. "Ini," kata Clary sambil membalik-balik halaman sampai
ia menemukan gambar cangkir kopinya. "Lihat ini."
]ace duduk di sampingnya sambil mendorong kaus
bekasnya. "Ini cangkir kopi."
Suara Clary terdengar jengkel. "Aku tahu ini cangkir
kopi." "Aku tidak sabar menunggu sampai kamu menggambar
sesuatu yang benar-benar rumit, seperti Jembatan Brooklyn
atau lobster. Mungkin kamu akan mengirimiku telegram
bernyanyi." Clary tidak menghiraukannya. "Lihat. Inilah yang aku
ingin kamu lihat." Gadis itu menyentuh gambarnya, lalu
dengan gerakan cepat, ia meraih masuk ke dalam kertas.
Ketika ia menarik tangannya kembali sesaat kemudian, di
situlah cangkir kopi itu, beriuntai dari jemarinya.
Clary telah membayangkan _]ace meloncat dari tempat
tidur dengan kaget, lalu memekikkan sesuatu seperti "Egad!"
Itu tidak terjadi. Clary curiga itu karena _]ace telah melihat
banyak hal yang lebih aneh lagi di dalam hidupnya, dan
karena tidak ada orang yang menggunakan kata "Egad!" lagi.
Tapi mata Jane membelalak. "Kamu bisa melakukannya?"
449 Clary mengangguk. "Kapan?" "Baru saja, di kamar tidurku, setelah..., setelah Simon
pergi." Pandangan ]ace menajam, tapi dia tidak membahasnya.
"Kamu memakai rune" Yang mana?"
Clary menggeleng sambil menelusuri halaman yang kini
kosong dengan jarinya. "Aku tidak tahu. Rune itu datang
sendiri ke dalam kepalaku, lalu aku menggambarnya tepat
bagaimana aku melihatnya."
"Rune yang pernah kamu lihat di Buku Gray?"
"Entahlah." Clary masih menggeleng. "Aku tidak
tahu." "Juga tidak ada orang yang pernah menunjukkan
kepadamu bagaimana melakukannya" Ibumu, misalnya?"
"Tidak. Aku sudah pernah bilang, ibuku selalu bilang
sihir itu tidak ada..."
"Berani taruhan, ia pasti pernah mengajarimu," Jace
menyela. "Lalu membuatmu melupakannya. Magnus memang
bilang ingatanmu akan kembali perlahan-lahan."
"Mungkin." "Tentu saja." Jace berdiri dan mulai melangkah. "Mungkin
hal ini melanggar Hukum, memakai rune seperti itu tanpa
surat izin. Tapi itu tidak jadi masalah sekarang. Menurutmu,
ibumu menyimpan Piala itu di dalam sebuah lukisan" Seperti
yang baru saja kamu lakukan dengan cangkir itu?"
Clary mengangguk. "Tapi bukan lukisan di
apartemenku." 450 "Di mana lagi" Galeri" Itu bisa di mana saja..."
"Bukan lukisan," kata Clary. "Di dalam kartu."
Jace berhenti, lalu berbalik menghadapnya. "Kartu?"
"Kamu ingat tumpukan taromya Madam Dorothea"
Kartu yang dilukis oleh ibuku?"
]ace mengangguk. "Ingat juga ketika aku menarik Kartu Piala" Setelah
itu, ketika aku melihat patung Malaikat, Piala itu tampak
akrab bagiku. Itu karena aku pernah melihatnya sebelum
ini, di dalam Kartli. Ibuku menggambar Piala ilfinrtalr ke
dalam tumpukan tarobzya Madam Dorothea."
]ace sudah mengerti. "Karena ibumu tahu Piala itu
aman di tangan seorang Pengendali, dan itulah caranya
supaya Madam Dorothea menerimanya tanpa tahu kenapa
harus disembunyikan."
"Atau bahkan kenapa ia harus menyembunyikannya
sama sekali. Dorothea tidak pernah pergi keluar, ia tidak
akan pernah memberikan kartunya kepada orang lain..."
"Ibumu juga dengan ideal telah menempatkan diri
untuk menjaga kartu itu sekaligus Madam Dorothea." ]aee
terdengar terkesan. "Cara yang bagus."
"Aku pikir juga begitu." Clary berjuang mengendalikan
keraguan di dalam suaranya. "Aku harap ia tidak menyem-
bunyikannya sebaik itu."
"Apa maksudmu?"
"Maksudku, kalau mereka telah menemukannya, mungkin
mereka tidak mengganggunya. Kalau yang mereka inginkan
hanyalah Piala itu..."
451 "Mereka pasti telah membunuhnya, Clary," kata ]ace.
Clary tahu pemuda itu mengatakan yang sebenarnya. "Ini
adalah orang-orang yang sama dengan yang membunuh
ayahku. Satu"satunya alasan ibumu mungkin masih hidup
sekarang adalah mereka tidak bisa menemukan Piala itu.
Bersyukurlah ibumu telah menyembunyikannya dengan
baik." "Aku tidak mengerti apa hubungannya ini dengan kita,"
kata Alec yang tampak muram dari balik rambutnya. Jace
telah membangimkan seluruh penghuni Institut menjelang
fajar dan menyeret mereka ke perpustakaan untuk, seperti
katanya, "memikirkan strategi bertempur".
Alec masih memakai piyama, sementara Isabelle memakai
gaun tidur. Hodge memakai setelan tweed tajamnya yang
biasa. Guru itu sedang minum kopi dari mug biru yang
sumbing. Hanya ]ace yang kelihatan benar"benar terjaga.
Matanya cerah meskipun bekas bengkaknya masih tersisa,
"Aku kira pencarian Piala itu ada di tangan Kunci
sekarang," Alec menggerutu.
"Sebaiknya kita lakukan sendiri," kata ]ace dengan
tidak sabar. "Hodge dan aku sudah mendiskusikannya dan
itulah yang kami putuskan."
"Yah," Isabelle menyelipkan kepangan berpita merah
muda ke belakang telinganya. "Aku ikut."
"Aku tidak," kata Alec. "Ada mata-mata Kunci di kota
ini yang sedang mencari Piala sekarang. Berikan informasi ke-
pada mereka dan biarkan mereka yang mendapatkannya."
452 "Tidak sesederhana itu," kata Jace.
"Memang sederhana." Alec duduk dengan dahi menger-
nyit. "Ini tidak ada hubungannya dengan kita dan semua
tentang..., kecanduanmu terhadap bahaya."
]ace menggelengkan kepala. Dia jelas kelihatan gusar.
"Aku tidak mengerti kenapa kamu melawanku dalam hal
ini." Karena dia tidak ingin kamu terluka, pikir Clary. Gadis
itu heran dengan ketidakmampuan Jace untuk mengetahui
apa yang sebenarnya dirasakan Alec. Namun lagi"lagi, Clary
sendiri telah melewatkan hal yang sama dengan Simon.
Memangnya Clary siapa sampai berbicara seperti ini"
"Dengar ya. Dorothea, pemilik Perlindungan itu, tidak
mempercaya Kunci. Pada kenyataannya, ia memb enci mereka.
Tapi ia percaya kepada kami," ]ace menjelaskan.
"Ia percaya kepadaku," kata Clary. "Aku tidak tahu kalau
kamu. Aku tidak yakin ia menyukaimu sama sekali."
]ace tidak menghiraukan Clary. "Ayolah, Alec. Pasti
menyenangkan. Pikirkan juga kejayaannya kalau kita
membawa Piala Mortal kembali ke Idris! Nama kita tidak
akan terlupakan." "Aku tidak peduli tentang kejayaan," kata Alec. Matanya
tidak pernah meninggalkan wajah ]ace. "Aku peduli tentang
tidak melakukan apa pun yang bodo ."
"Dalam kasus ini, bagaimanapun juga, _Iace benar,"
kata Hodge. "Kalau Kunci datang ke Perlindungan itu, pasti
kacau. Dorothea akan kabur bersama Piala itu dan mungkin
tidak akan pernah bisa ditemukan. Tidak, Jocelyn ielas-jelas
453 ingin hanya satu orang yang bisa menemukan Piala Mortal,
dan itu adalah Clary, dan cuma Clary."
"Kalau begitu, biar saja ia pergi sendiri," kata Alec.
Bahkan Isabelle agak kaget mendengarnya. Jace, yang
telah miring ke depan dengan tangan rata di atas meja,
berdiri tegak dan menatap Alec dengan dingin. Hanya ]ace,
pikir Clary, yang bisa tampak keren saat memakai celana
piyama dan kaus tua, tapi pemuda itu melepaskannya,
mungkin sekadar ingin melakukannya. "Kalau kamu takut
dengan sedikit Yang Terabaikan, silakan saja tinggal di
rumah," katanya pelan.
Muka Alec memutih. "Aku tidak takut," katanya.
"Bagus," kata ]ace. "Kalau begitu, tidak ada masalah,
kan?" Dia melihat ke sekeliling ruangan. "Kita semua
mengatasi ini bersama-sama."
Alec menggumamkan dukungan, sementara Isabelle
mengangguk dengan penuh semangat. "Tentu," kata gadis
itu. "Kedengarannya asyik."
"Entahlah soal asyik," kata Clary. "Tapi aku ikut,
tentu saja." "Tapi Clary," Hodge segera berkata. "Kalau kamu
khawatir dengan bahayanya, kamu tidak perlu pergi. Kita
bisa memberi tahu Kunci..."
"Tidak," kata Clary mengagetkan dirinya sendiri. "Ibuku
ingin aku menemukannya. Bukan Valentine, dan bukan
mereka juga." Ia bukan bersembunyi dari monster, Magnus
telah berkata. "Kalau ibuku benar-benar menghabiskan
454 hidupnya untuk menjauhkan Valentine dari benda ini, inilah
hal terkecil yang bisa aku lakukan."
Hodge tersenyum kepada Clary. "Aku rasa ia tahu
kamu akan bilang begitu."
"Lagipula, jangan khawatir," kata Isabelle. "Kamu
akan baik"baik saja. Karni bisa menangani beberapa Yang
Terabaikan. Mereka gila, tapi tidak terlalu pintar."
"Juga jauh lebih mudah untuk dihadapi daripada iblis,"
kata Jace. "Tidak banyak tipuan. Oh, kita perlu mobil," dia
menambahkan. "Sebaiknya yang besar."
"Kenapa?" kata Isabelle. "Kita tidak pernah perlu
mobil." "Kita tidak perlu cemas membawa benda yang tak
ternilai harganya ini. Aku tidak ingin menariknya di kereta
bawah tanah," ]ace menjelaskan.
"Ada taksi," kata Isabelle. "Dan mobil van sewaan."
Jace menggeleng. "Aku ingin situasi yang bisa kita
kendalikan. Aku tidak ingin berurusan dengan sopir taksi
atau perusahaan sewaan saat kita sedang melakukan sesuatu
sepenting ini." "Memangnya kamu tidak punya SIM atau mobil?"
Alec bertanya kepada Clary. Pemuda itu menatapnya
dengan kebencian yang terselubung. "Aku kita semua fana
punya." "Tidak ketika masih lima belas," kata Clary gusar.
"Seharusnya aku mendapat SIM tahun ini, tapi belum."
"Kamu benar"benar berguna," sindir Alec.
455 "Setidaknya teman-temanku bisa menyetir," Clary
membalas. "Simon punya SIM."
Clary langsung menyesal telah mengatakannya.
"Dia punya?" kata _Iace dalam nada suara berpikir
yang menjengkelkan. "Tapi dia tidak punya mobil," Clary segera
menambahkan. "Jadi dia biasa membawa mobil orang tuanya?" Jace
bertanya. Clary mendesah, lalu bersandar ke meja. "Tidak. Biasanya
dia membawa mobil Eric. Seperti, untuk pertunjukan atau
semacam itu. Kadang"kadang Eric membiarkannya meminjam
mobil untuk hal lain. Seperti kalau dia berkencan."
Jace mendengus. "Dia meniemput kencannya dengan


The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

van" Tidak heran dia punya banyak cewek."
"Itu mobil," kata Clary. "Kamu cuma marah karena
Simon mempunyai sesuatu yang kamu tidak punya."
"Dia punya banyak hal yang tidak aku punya," kata
]ace. "Seperti rabun jauh, potongan tubuh yang jelek, dan
kemampuan gerak yang sangat mengerikan."
"Tahu tidak," kata Clary, "banyak psikolog setuju
bahwa permusahan hanyalah ketertarikan seksual yang
diperhalus." "Ah," kata Jace gembira, "itu bisa menjelaskan kenapa
aku sangat sering bertemu orang yang kelihatannya tidak
menyukaiku." "Aku tidak tidak menyukaimu," kata Alec cepat.
456 "Itu karena rasa sayang kita sudah seperti saudara,"
kata ]ace sambil melangkah ke meja. Dia mengampil telepon
hitam dan mengulurkannya kepada Clary. "Telepon dia."
"Telepon siapa?" kata Clary untuk menguiur waktu. "Eric"
Dia tidak akan pernah meminiarnkanku mobilnya."
"Simon," kata ]ace. "Telepon Simon dan minta dia
membawa kita ke rumahmu dengan mobil."
Clary melancarkan usaha terakhirnya. "Memangnya kamu
tidak kenal Pemburu Bayangan yang punya mobil?"
"Di New York?" seringai _Iace memudar. "Dengar ya,
semua orang sedang di Idris untuk Piagam, dan lagipula,
mereka akan bersikeras untuk ikut dengan kita. Harus ini
atau tidak sama sekali."
Mata Clary bertabrakan dengan mata ]aee seienak. Ada
tantangan di dalam sana, dan lebih lagi, seakan-akan Jace
sedang menantangnya untuk menjelaskan rasa enggannya.
Dengan dahi mengerut, Clary berjalan ke meja, lalu merenggut
telepon itu dari tangan ]ace.
Gadis itu tidak perlu berpikir sebelum memutar telepon.
Nomor telepon Simon sudah seakrab nomor teleponnya sendiri.
Clary bersiap"siap untuk berurusan dengan ibunya atau
kakak perempuannya, tapi Simon sendiri yang mengangkat
telepon di dering kedua. "Halo?"
"Simon?" Hening. ]ace menatap gadis itu. Clary menutup matanya, berusaha
berpura"pura ]ace tidak ada di sana. "Ini aku," katanya.
"Clary." 45" "Aku tahu ini siapa." Simon terdengar jengkel. "Tadi
aku tidur, tahu." "Aku tahu. Masih pagi. Maaf." Clary memutar-mutar
tali telepon di jarinya. "Aku perlu minta sesuatu."
Ada hening lagi sebelum Simon tertawa suram. "Kamu
bercanda.." "Aku tidak bercanda," kata Clary. "Kami tahu di
mana Piala Mortal, dan kami sedang bersiap-siap untuk
mengambilnya. Hanya saia, kami perlu mobil."
Dia tertawa lagi. "Maaf, kamu bilang teman-teman
pembantai iblismu perlu diantar ke tugas berikutnya menuju
kekuatan kegelapan oleh ibuku?"
"Sebenarnya, aku pikir kamu bisa minta Eric untuk
meminjam mobilnya." "Clary, kalau kamu pikir aku ini..."
"Kalau kita mendapatkan Piala Mortal, aku bisa
menemukan cara untuk mendapatkan ibuku kembali.
Inilah satu-satunya alasan Valentine tidak membunuh atau
membiarkannya pergi."
Simon meniup nafas panjang. "Menurutmu pettukarannya
akan semudah itu" Clary, aku tidak tahu."
"Aku iuga tidak tahu. Aku hanya tahu ini sebuah
kesempatan." "Benda ini sangat kuat, kan" Di dalam D&Dl, biasanya
lebih baik tidak mengacau dengan benda-benda kuat sebelum
kamu tahu seluk-beluknya."
1 Dungeons and Dragons 458 "Aku tidak akan mengacau dengan benda ini. Aku
hanya akan menggunakannya untuk mendapatkan ibuku
kembali." "Itu tidak masuk akal, Clary."
"Ini bukan D&D, Simon!" Clary setengah menjerit. "Ini
bukan permainan lucu di mana hal terburuk yang terjadi
adalah peruntunganmu sedang jelek. Kita sedang berbicara
tentang ibuku, dan Valentine bisa saja menyiksanya. Dia
bisa membunuhnya. Aku harus melakukan apa pun untuk
mendapatkannya kembali..., seperti yang telah aku lakukan
untukmu." Jeda. "Mungkin kamu benar. Entahlah, ini bukan benar-
benar duniaku. Dengar, kita mau pergi ke mana tepatnya"
Jadi aku bisa memberi tahu Eric."
"Jangan bawa dia," Clary segera berkata.
"Aku tahu," Simon menjawab dengan kesabaran yang
dilebih-lebihkan. "Aku tidak bodoh."
"Kita mau ke rumahku. Ada di dalam rumahku."
Ada hening sebentar..., kali ini karena bingung. "Di dalam
rumahmu" Aku kira rumahmu penuh dengan zombi."
"Prajurit Yang Terabaikan. Mereka bukan zombi. Lagipula,
Jace dan yang lain dapat mengurus mereka sementara aku
mengambil Pialanya."
"Kenapa harus kamu yang mengambil Piala itu?" Simon
terdengar siaga. "Karena cuma aku yang bisa," kata Clary. "Jemput
kami di ujung jalan secepat mungkin ya."
459 Simon menggumamkan sesuatu yang nyaris tidak
terdengar. Kemudian dia berkata, "Baiklah."
"Clary membuka matanya. Dunia berenang di depan
matanya yang menggenang. "Makasih, Simon," katanya.
"Kamu?" Tapi Simon sudah menutup telepon.
"Aku melihat bahwa," kata Hodge, "kekuatan dilema tidak
pernah berubah." Clary menatapnya dari samping. "Apa maksudmu?"
Gadis itu duduk di dudukan jendela di perpustakaan,
sementara Hodge di kursinya bersama Hugo di lengan
kursinya. Sisa"sisa sarapan menempel di tumpukan piring di
meja pendek. Ada selai lengket, remah-remah roti panggang,
dan noda mentega. Tidak seorang pun kelihatan ingin
membersihkannya. Setelah makan siang, mereka bertebaran
untuk mempersiapkan diri, dan Clary menjadi orang pertama
yang kembali. Ini tidak mengagetkan karena ia hanya perlu memakai
jins dan kaus, dan menyisir rambutnya. Sedangkan semua
orang lain harus mempersenjatai diri dengan lengkap.
Setelah kehilangan belati ]ace di hotel, satu-satunya benda
berkekuatan gaib yang Clary punya adalah batu suluh sihir
di sakunya. "Aku sedang berpikir tentang Simonmu," kata Hodge,
"juga Alec dan ]ace."
460 Clary memandang ke luar jendela. Sekarang hujan.
Tetesan-tetesan gendut memercik di kaca jendela. Langit
abu-abu pekat. "Mereka ada hubungan apa?"
"Kalau ada perasaan yang tidak terbalas," kata Hodge,
"ada kekuatan yang tidak seimbang. Ketidakseimbangan
inilah yang mudah meledak, tapi ini bukan jalan yang bijak.
Kalau ada cinta, sering juga ada benci. Cinta dan benci bisa
hidup berdampingan."
"Simon tidak membeneiku."
"Perasaan itu bisa tumbuh, seiring waktu, kalau dia
merasa kamu memanfaatkannya." Hodge mengangkat sebelah
tangan. "Aku tahu kamu tidak bermaksud begitu, dan dalam
beberapa kasus, kebutuhan memainkan kebaikan hati. Tapi
situasi telah membuatku memikirkan hal yang lain. Kamu
masih punya foto yang pernah aku berikan?"
Clary menggeleng. "Sekarang tidak. Fotonya ada di
kamarku. Aku bisa mengambilnya..."
"Tidak." Hodge mengelus bulu Hugo yang berwarna
sama dengan kayu hitam. "Ketika ibumu masih muda, ia
punya seorang sahabat, persis kamu dan Simon. Mereka
dekat seperti saudara. Kenyataannya, mereka sering dianggap
kakak dan adik. Seiring mereka tumbuh dewasa, jelas bagi
semua orang di sekeliling mereka bahwa Lucian jatuh cinta
kepada ]ocelyn, tapi ibumu tidak pernah menyadarinya. Ia
selalu memanggil Lucian "temani"
Clary memandangi Hodge. "Maksudmu Luke?"
"Ya," kata Hodge. "Lucian selalu berpikir dia dan
Jocelyn akan bersama. Ketika ibumu bertemu dan mencintai
461 Valentine, Lucian tidak tahan. Setelah ]ocelyn menikah,
Lucian meninggalkan Lingkaran. Dia menghilang.", dan
membiarkan kami semua berpikir dia sudah mati."
"Dia tidak pernah bilang..., tidak pernah menunjukkan
apa pun yang seperti itu," kata Clary. "Selama ini, dia bisa
saja bertanya kepada ibuku?"
"Dia tahu apa jawabannya," kata Hodge sambil me-
mandang ke langit berhujan di belakang Clary. "Lucian
bukanlah orang yang suka menipu diri sendiri. Tidak, dia
cukup puas dengan berada di dekat ibumu... Mungkin dia
beranggapan bahwa seiring berjalannya waktu, perasaan
ibumu akan berubah."
"Tapi kalau Luke mencintai ibuku, kenapa dia bilang
kepada orang"orang itu bahwa dia n'dak peduli tentang apa
yang telah terjadi kepadanya" Kenapa dia menolak untuk
membiarkan mereka memberitahunya ibuku ada di mana?"
tanya Clary. "Seperti yang aku bilang tadi, kalau ada cinta, ada
juga benci," kata Hodge. "]ocelyn telah sangat melukainya
bertahun-tahun lalu. Ibumu telah berpaling darinya. Meskipun
demikian, sejak itu dia telah berpura"pura menjadi anjing
setianya. Lucian tidak pernah membantah, tidak pernah
menuntut, tidak pernah mempermasalahkan perasaannya.
Mungkin Lucian melihat kesempatan untuk membalikkan
keadaan. Untuk menyakiti ibumu sebagaimana dia telah
disakiti." "Luke tidak akan melakukan itu." Tapi Clary teringat
suara Luke yang dingin saat memberitahunya supaya tidak
462 minta tolong lagi. Clary melihat tatapan matanya yang
keras saat berhadapan dengan orang-orang Valentine.
Itu bukanlah Luke yang Clary kenal, Luke yang Clary
tumbuh bersamanya. Luke yang itu tidak akan pernah ingin
menghukum ibunya karena tidak cukup mencintai pria itu
dengan cara yang tepat. "Tapi ibuku memang menyayanginya," kata Clary. Tanpa
sadar, suaranya ternyata keras. "Hanya saja, itu tidak sama
dengan bagaimana Luke menyayangi ibuku. Memangnya
itu tidak cukup?" "Mungkin dia tidak berpikir begitu."
"Apa yang akan terjadi setelah kita mendapatkan Piala
itu?" tanya Clary. "Bagaimana kita bisa menghubungi Valentine
supaya dia tahu kita telah mendapatkannya?"
"Hugo akan menemukan dia."
Hujan menabrak"nabrak jendela. Clary menggigil. "Aku
mau ambil jaket," katanya sambil turun dari dudukan
jendela. Clary menemukan jaket tudungnya yang berwarna merah
muda dan hijau di dasar ransel. Ketika ia menariknya, ia
mendengar suara sesuatu mengerut. Itu foto Lingkaran.
Ada ibunya dan Valentine. Clary menatapnya lama sebelum
memasukkannya kembali ke dalam tas.
Ketika Clary kembali ke perpustakaan, semua telah
berkumpul di sana. Hodge duduk memperhatikan mereka
di meja bersama Hugo di bahunya. Jace berpakaian serba
hitam. Is abelle memakai but penginjak iblisnya. Alec membawa
tabung panah yang terikat di bahunya dan sarung kulit
463 penahan lengan kanannya dari pergelangan tangan sampai
siku. Semuanya kecuali Hodge diselubungi Tanda-tanda
yang baru saja dipasang. Setiap inci kulit mereka ditintakan
pola-pola yang berputar-putar.
Jace telah menarik lengan bajunya ke atas, sementara
dagunya menempel ke bahu. Dia sedang mengernyit saat
menggambar Tanda segidelapan di kulit lengan atasnya.
Alec memeriksa ]ace. "Berantakan," katanya. "Biar
aku saja." "Aku kidal," Jace mengingatkan, tapi dia bicara dengan
halus dan mengulurkan stelanya. Alec tampak lega saat
mengambilnya, seakan-akan dia tidak akan yakin telah
dimaafkan atas sikapnya sebelum ini. "Ini kan imtza dasar,"
kata _Iaee saat Alec menekuk kepala gelapnya di atas lengan
Jace. Dengan hati"hati, Alec menelusurkan garis-garis rune
penyembuh itu. Jace mengernyit saat stela itu meluncur di atas kulitnya.
Matanya setengah menutup dan tangannya terkepal erat
sampai-sampai otot"otot lengan kirinya menonjol seperti
kawat. "Demi Malaikat, Alec..."
"Aku berusaha berhatiuhati," kata Alec. Dia melepaskan
lengan Jace, lalu mundur untuk mengagumi hasil karyanya.
"Nah." Jace melepaskan kepalannya, lalu menurunkan lengannya.
"Makasih." Dia tampak merasakan kehadiran Clary,
lalu menoleh kepada gadis itu. Mata emasnya menyipit.
"Clary." 454 "Kelihatannya kalian sudah siap," kata Clary. Mendadak
Alec merona, lalu menjauh dari ]ace dan menyibukkan diri
dengan panah-panahnya. "Memang," kata Jace. "Kamu masih punya belati yang
aku berikan?" "Tidak. Aku menghilangkannya di Dumort, ingat?"
"Itu benar." _]ace menatapnya dengan senang. "Hampir
membunuh seekor manusia serigala dengan pisau itu. Aku
ingat." Isabelle, yang sedang berdiri di dekat jendela, memutar


The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

matanya. "Aku baru ingat, memang itu yang membuatmu
panas dan tergoda, ]ace. Cewek membunuhi sesuatu."
"Aku suka siapa pun yang membunuhi sesuatu," kata
Jace dengan nada suara yang sama. "Terutama diriku."
Clary melirik iam di meja dengan cemas. "Kita harus
turun. Simon bisa sampai kapan saja."
Hodge berdiri dari kursinya. Dia tampak sangat lelah, pikir
Clary, seakan"akan sudah tidak tidur selama berhari-hari.
"Semoga Malaikat menjaga kalian semua," kata Hodge.
Hugo naik dari bahunya ke udara. Burung itu mengaok
dengan keras seperti lonceng di siang hari.
Langit masih gerimis ketika Simon menarik van ke ujung
jalan, dan membunyikan klakson dua kali. Jantung Clary
melompat. Sebagian dari dirinya sudah khawatir bahwa
Simon tidak akan datang. 465 Jaee mengerj ap menembus tetesan hujan. Mereka berempat
telah berlindung di bawah cornice batu yang berukir. "Itu
vannya" Kelihatannya seperti pisang busuk."
Itu tidak bisa dibantah. Eric memang telah mengecat
vannya dengan warna corak neon kuning. Van itu pun
ditotoli dengan peot dan karat seperti percikan benda busuk.
Simon membunyikan klakson lagi. Clary dapat melihatnya
sebagai wujud kabur melalui jendela yang basah. Gadis itu
mendesah dan menarik tudungnya untuk menutupi rambut.
"Ayo pergi." Mereka berceburan melewati genangan-genangan air
yang telah terkumpul di aspal. Sepatu but besar Isabelle
berbunyi memuaskan setiap kali ia melangkah. Simon
membiarkan mesin mobilnya menyala, lalu merangkak ke
belakang untuk menarik pintu ke samping. Tampaklah jok
yang pelapisnya sudah setengah membusuk. Pegas"pegas yang
kelihatan berbahaya menonjol dari lubang"lubangnya. Isabelle
mengerutkan hidungnya. "Duduk di sini arnan?"
"Lebih aman daripada terikat ke atap," kata Simon
dengan senang, "yang merupakan pilihanmu berikutnya."
Dia mengangguk sebagai salam kepada Jace dan Alec, "Hei."
Tapi Simon benar"benar tidak menghiraukan Clary.
"Hei juga," kata Jace, lalu dia mengangkat ransel
kain yang menyimpan senjata mereka. "Ini bisa ditaruh di
mana?" Simon mengarahkan ]ace ke belakang. Di sana biasanya
Eric dan teman"temannya menyimpan peralatan musik mereka.
Sementara itu, Alec dan Isabelle merangkak ke dalam van
466 dan bertengger di jok. "Tembak!" Clary mengumumkan
saat Jace kembali ke samping van.
Alec mencengkeram busurnya yang terikat di punggung.
"Di mana?" "Maksudnya, ia mau duduk di depan," kata _]ace sambil
mendorong rambutnya yang basah dari matanya.
"Itu busur yang bagus," kata Simon sambil mengangguk
kepada Alec. Alec mengerjap. Hujan berlari turun dari bulu matanya.
"Kamu tahu banyak tentang panahan?" dia bertanya dengan
nada suara yang menunjukkan bahwa dia meragukan
Simon. "Aku belajar panahan di perkemahan," kata Simon.
"Selama enam tahun."
Tanggapan kepada pernyataan ini adalah tiga tatapan
kosong dan senyum mendukung dari Clary, yang tidak
diacuhkan oleh Simon. Dia mendongak melihat langit yang
mendung. "Kita harus pergi sebelum mulai hujan lagi."
Jok depan dilapisi bungkus Dorito dan remah-remah
Pop-Tart. Clary mendorong sampah-sampah itu sebisanya.
Simon menjalankan mobil sebelum Clary selesai, sehingga
gadis itu terlempar ke ioknya. "AW," kata Clary menegur.
"Maaf." Simon tidak menatap Clary.
Clary dapat mendengar yang lain berbicara pelan di
belakang tanpa mengajak mereka berdua. Mungkin ]ace,
Alec, dan Isabelle sedang mendiskusikan strategi dan cara
terbaik untuk memenggal iblis tanpa terkena darahnya di
sepatu but kulit barumu. Meskipun tidak ada yang membatasi
46" jok depan dengan bagian lain, Clary merasakan keheningan
yang canggung di antara dirinya dan Simon seakan"akan
mereka sendirian. "Jadi, kenapa harus "hei'?" Clary bertanya saat Simon
membelokkan mobil ke FDR parkway, yaitu jalan tol di
sepanjang sisi Sungai East.
"Apanya yang "he?"" Simon menjawab sambil menyalip
sebuah mobil sport. Pemiliknya adalah pria yang memakai
setelan rapi dan memegang ponsel. Pria itu membuat gerakan
cabul kepada mereka melalui jendela yang diwarnai.
?"Hei" yang biasa cowok"cowok bilang. Seperti ketika
kamu bertemu dengan _Iace dan Alec tadi, kamu bilang chei",
lalu mereka balas "hei". Apa salahnya dengan "halo'?"
Clary merasa melihat otot pipi Simon mengejang. ?"Halo"
itu gayanya cewek," Simon memberi tahu Clary. "Cowok
sejati itu ringkas. Singkat."
"Jadi, semakin cowok kamu, semakin sedikit yang
kamu katakan?" "Benar." Simon mengangguk. Melewatinya, Clary bisa
melihat kabut lembab yang mengambang di Sungai East,
sehingga menyelubungi tepiannya dengan kabut kelabu berbulu.
Airnya sendiri berwarna timah yang diaduk meniadi krim
kocok oleh angin mantap. "ltulah kenapa ketika jagoan-
jagoan hebat saling menyapa di dalam film, mereka tidak
bilang apa-apa. Mereka cukup mengangguk. Itu artinya,
"Aku jagoan, dan aku tahu kamu juga jagoan," tapi mereka
tidak hilang apa-apa karena mereka adalah Wolverine dan
468 Magneto. Kalau mereka menjelaskannya, getaran mereka
iadi hilang." "Aku sama sekali tidak mengerti kalian sedang bicara
apa," kata Jace dari jok belakang.
"Bagus," kata Clary. Jawabannya itu dihadiahi senyum
terkecil dari Simon saat dia memutar van ke Jembatan
Manhattan untuk menuju Brooklyn dan pulang.
Saat mereka mencapai Rumah Clary, huian akhirnya
berhenti. Benang-benang sinar matahari membakar sisa
kabut supaya pergi, dan genangan"genangan air di trotoar
mulai mengering. Jane, Alec, dan Isabelle menyuruh Simon
dan Clary menunggu di van sementara mereka memeriksa,
seperti kata _Iaee, "tingkat kegiatan iblis".
Simon memperhatikan saat ketiga Pemburu Bayangan
itu menuju jalan setapak yang dibarisi mawar. "Tingkat
kegiatan iblis" Mereka punya alat untuk mengukur apakah
iblis di dalam rumah sedang yoga?"
"Tidak," kata Clary sambil mendorong tudungnya yang
basah ke belakang, sehingga ia bisa menikmati cahaya matahari
di rambutnya yang kotor. "Sensor memberi tahu mereka
seberapa kuat iblis itu..., kalau memang ada iblis."
Simon tampak terkesan. "Itu memang berguna."
Clary berbalik menghadapnya. "Simon, tentang yang
tadi malam..." Simon mengangkat sebelah tangannya. "Kita tidak perlu
membicarakannya. Bahkan, aku lebih suka tidak."
469 "Aku cuma mau bilang satu ini." Clary bicara cepat"cepat.
"Aku tahu bahwa ketika kamu bilang kamu mencintaiku,
tanggapanku bukanlah apa yang ingin kamu dengar."
"Benar. Aku selalu berharap ketika akhirnya aku bilang
"aku cinta kamu" kepada cewek, ia akan bilang "aku tahu",
seperti Leia bilang kepada Han di Return of the jadi."
"Itu bule banget," kata Clary tidak bisa menahan
diri. Simon melotot kepadanya. "Maaf," kata Clary. "Lihat, Simon, aku?"
"Tidak," kata Simon. "Kamu yang lihat, Clary. Lihatlah
aku, dan benar-benar lihatlah aku. Bisa?"
Clary menatapnya. Menatap matanya yang gelap, bintik-
bintik berwarna lebih cerah di luar pinggiran iri matanya.
Juga alisnya yang agak timpang, bulu matanya yang panjang,
rambutnya yang gelap, senyumnya yang ragu-ragu, dan tangan
pemusiknya yang anggun. Semua itu bagian dari diri Simon,
yang merupakan bagian dari diri Clary. Kalau Clary harus
jujur, benarkah ia tidak pernah menyadari bahwa Simon
mencintainya" Atau ia hanya tidak pernah tahu apa yang
akan ia lakukan kalau memang Simon mencintainya"
Clary mendesah. "Melihat menembus tudung pesona
itu mudah" Menembus orang itu susah."
"Kita semua melihat apa yang ingin kita lihat," kata
Simon pelan. "Tidak Jace," kata Clary tidak bisa menahan diri. Ia
teringat mata ]ace yang jernih dan tanpa perasaan.
"Dia lebih daripada orang lain."
470 Clary mengernyit. "Apa yang kamu..."
"Baiklah," suara ]ace menyela mereka. Clary berputar
dengan cepat. Jace menjelaskan, "Kami telah memeriksa
keempat sudut rumah. Tidak ada apa-apa. Aktivitasnya
rendah. Mungkin cuma Yang Terabaikan, dan mereka
tidak akan mengganggu kita kecuali kita naik ke lantai
atas apartemen." "Dan kalau bertemu mereka," kata Isabelle dengan
senyum berkilau seperti cambuknya, "kami sudah siap."
Alec menyeret ransel kain berat itu dari belakang van,
lalu menjatuhkannya ke trotoar. "Aku sudah siap," dia
mengumumkan. "Ayo hajar iblis hari ini!"
]ace menatapnya dengan agak aneh. "Kamu baik-baik
saja?" "Baik." Tanpa menatap Jace, Alec meletakkan busur dan
panahnya, lalu mengambil tongkat hulu dari kayu dengan
dua belati berkilauan yang muncul dengan sentuhan ringan
jemarinya. "Ini lebih baik."
Isabelle menatap kakaknya dengan cemas. "Tapi
busurnya?" Alec memotongnya. "Aku tahu apa yang aku lakukan,
Isabelle." Busur itu tergeletak di jok belakang, bersinar di bawah
cahaya matahari. Simon meraihnya, lalu menarik tangannya
ke belakang saat ada sekelompok wanita muda mendorong
kereta bayi berjalan ke arah taman sambil tertawa. Mereka
tidak memperhatikan tiga remaja bersenjata berat yang
mendekam di samping van kuning. "Kenapa aku bisa
471 melihat kalian?" tanya Simon. "Ada apa dengan sihir tak
kasat mata kalian?" "Kamu bisa melihat kami," kata ]ace, "karena sekarang
kamu tahu kebenaran dari apa yang sedang kamu lihat."
"Yeah," kata Simon. "Aku rasa memang begitu."
Simon sedikit protes ketika mereka menyuruhnya tetap di
van. Tapi Jaee menekankan pentingnya ada kendaraan untuk
kabur yang bersiaga di pinggir jalan. "Sinar matahari bisa
mematikan iblis, tapi tidak bisa melukai Yang Terabaikan.
Bagaimana jika mereka mengejar kita" Bagaimana kalau
mobilnya diderek?" Terakhir kali Clary melihat Simon ketika berbalik untuk
melambai dari serambi adalah kaki panjangnya bersandar ke
dasbor sambil memilih-milih koleksi CD punya Erie. Clary
mendesah lega. Setidaknya, Simon aman.
Ada bau yang menerpa Clary begitu ia melangkah
masuk ke pintu depan. Bau itu hampir tidak bisa diuraikan,
seperti telur basi dan daging belatung dan rumput laut
busuk di pantai yang panas. Isabelle mengerutkan hidungnya
sementara wajah Alec menghijau. Tapi ]aee tampak seperti
sedang menghirup parfum yang langka. "Iblis pernah ke
sini," dia mengumumkan dengan rasa gembira yang dingin.
"Baru"baru ini juga."
Clary menatapnya dengan cemas. "Tapi mereka tidak
masih..." "Tidak." Jace menggeleng. "Kalau masih ada, kita pasti
merasakannya." Dia menunjuk pintu Madam Dorothea
dengan dagunya. Pintu itu tertutup erat tanpa seutas cahaya
472 pun yang mengintip dari bawahnya. "Mungkin ia harus
menjawab beberapa pertanyaan kalau Kunci mendengar ia
telah menghibur iblis."
"Menurutku, Kunci akan terlalu senang untuk mengurusi
hal itu," kata Isabelle. "Kalau dihitung-hitung, Dorothea
bisa lolos dengan lebih baik daripada kita."
"Mereka tidak akan peduli selama kita akhirnya
mendapatkan Piala itu," Alec celingukan. Mata birunya
menyapu serambi yang cukup besar, tangga melengkung ke
atas, lalu no da-noda di dinding. "Terutama kalau kita menebas
beberapa Yang Terabaikan sambil melakukannya."
]ace menggelengkan kepalanya. "Monster-monster itu
ada di lantai atas apartemen. Tebakanku, mereka tidak akan
mengganggu kita kecuali kita mencoba masuk ke sana."
Isabelle meniup sehelai rambut lengket dari wajahnya, lalu
mengernyit kepada Clary. "Kamu menunggu apa lagi?"
Clary melirik kepada Jace, yang memberinya senyum
dari samping. Majulah, kata mata pemuda itu.
Clary melintasi serambi ke pintu Dorothea. Ia melangkah
dengan hati-hati. Dengan cahaya matahari menghitam
karena debu dan lampu depan masih putus, satu"satunya
cahaya berasal dari suluh sihirnya Jace. Udaranya panas
dan menutup, dan bayangan tampak menjulang di depannya
seperti tumbuhan ajaib yang tumbuh dengan cepat di hutan
mimpi buruk. Ia mengetuk pintu Dorothea. Pertama pelan,
kemudian lebih keras. Pintu itu membuka, dan menumpahkan banyak siraman
cahaya keemasan ke serambi. Dorothea berdiri di sana. Dia
473 tampak besar dan mengesankan di dalam sapuan warna
hijau dan oranye. Hari ini turbannya berwarna kuning
neon dengan hiasan burung kenari dan potongan zigzag.
Ia memakai anting berbentuk tempat lilin kakinya yang
besar telanjang saja. Clary terkeiut. Gadis itu belum pernah


The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat Dorothea bertelanjang kaki, atau memakai apa pun
selain sendal karpetnya yang sudah usang.
Kuku jari kaki Dorothea berwarna merah muda kerang
yang sangat bagus dan pucat.
"Clary!" ia berseru, lalu menyapu Clary ke dalam
dekapan yang berlebihan. Sejenak Clary berjuang, terjebak
di dalam lautan daging berbau parfum, kain beledu, dan
ujung selendang Dorothea yang berjumbai. "Ya Tuhan,"
kata penyihir itu. Ia menggelengkan kepala sampai antingnya
berayun seperti denting angin di dalam badai. "Terakhir
kali aku melihatmu, kamu menghilang menembus Portalku.
Kamu muncul di mana waktu itu?"
"Williamsburg," kata Clary sambil mengatur nafas.
Alis Dorothea melesat ke atas. "Padahal, orang bilang
tidak ada transportasi umum yang sesuai di Brooklyn."
Ia membuka pintunya dan memberi tanda kepada mereka
untuk masuk. Tempat itu tampak belum berubah dari terakhir Clary
melihatnya. Ada bola kristal dan kartu tarot yang sama
terletak di atas meja. _]emarinya gatal ingin mengambil
kartu itu, gatal untuk membaliknya dan melihat apa yang
tersembunyi di balik permukaannya catnya yang licin.
414 Dorothea duduk dengan penuh syukur di kursi berlengan.
Ia memandangi para Pemburu Kegelapan seperti mata manik-
manik burung kenari di topinya. Ada bau nyala lilin di
piring di kedua sisi meia, tapi itu hanya sedikit menghalau
tebalnya bau amis yang meliputi setiap inci rumah itu.
"Aku rasa kamu belum menemukan ibumu?" ia bertanya
kepada Clary. Clary menggeleng. "Belum. Tapi aku tahu siapa yang
menCuliknya." Mata Dorothea berpindah dari Clary ke Alec yang
Isabelle yang sedang mengamati poster Tangan Nasib di
dinding. _Iaee tampak sangat tidak peduli dengan perannya
sebagai penjaga. Dia duduk dengan malas di salah satu
kursi berlengan. Setelah puas bahwa tidak ada barangnya
yang dirusak, Dorothea kembali menatap Clary. "Apakah
dia..." "Valentine," Clary menegaskan. "Ya."
Dorothea mendesah. "Aku juga khawatir." la memperbaiki
duduknya di bantal. "Kamu tahu apa yang dia inginkan
dari ibumu?" "Aku tahu mereka pernah menikah..."
Penyihir itu menggerutu. "Cinta menjadi masalah. Itu
yang terburuk." Jace membuat bunyi pelan yang hampir tidak terdengar,
yaitu tawa tertahan. Telinga Dorothea menajam seperti
kucing. "Apa yang lucu, nak?"
"Kamu tahu apa tentang ini?" katanya. "Cinta,
maksudku." 475 Dorothea melipat tangan putih halusnya di pangkuan.
"Lebih daripada yang kamu kira," katanya. "Aku kan sudah
membaca daun tehmu, Pemburu Bayangan" Sudahkah kamu
jatuh cinta kepada orang yang salah?"
Jace berkata, "Sayangnya, Lady Perlindungan, satu-satunya
Cinta sejatiku adalah diri sendiri."
Dorothea mengerang. "Setidaknya," kata wanita itu,
"kamut tidak perlu cemas ditolak, Jace Wayland."
"Memang tidak perlu. Kadang-kadang aku sengaja
membuat diriku ditolak, supaya tetap menyenangkan."
Dorothea mengerang lagi. Clary menyelanya. "Kamu
pasti heran kenapa kami di sini, Madam Dorothea."
Dorothea surut, lalu menyeka matanya. "Silakan," katanya.
"Kamu boleh memanggilku dengan gelar yang tepat, seperti
yang dilakukan anak ini tadi. Kamu boleh memanggilku
Lady. Dan aku rasa," ia menambahkan, "kalian datang
untuk menemaniku bersenang"senang. Itu benar?"
"Aku tidak punya waktu untuk menemani siapa pun
betsenang"senang. Aku harus menolong ibuku, dan untuk
itu, aku perlu sesuatu."
"Apa itu?" "Sesuatu yang disebut Piala Mortal," kata Clary.
"Valentine kira ibuku menyimpannya. ltulah kenapa dia
menculik ibuku." Dorothea tampak benar-benar terkejut. "Piala Malaikat?"
katanya. Rasa tidak percaya mewarnai suaranya. "Pialanya
RazieL Dia mencampurkan darah malaikat dengan darah
476 manusia dan meminumkannya kepada manusia, lalu men-
ciptakan Pemburu Bayangan pertama?"
"Benar yang itu," kata Jace dengan suara agak
kering. "Kenapa Valentine bisa berpikir ia yang menyimpannya?"
Dorothea bertanya. "]ocelyn, dan bukannya orang lain?"
Wanita itu menyadarinya sebelum Clary bisa bicara. "Karena
ia sama sekali bukan Jocelyn Pray, tentu saja," katanya.
"Ia adalah Jocelyn Fairchild, istrinya. Wanita yang semua
orang kita telah mati. Ia telah mengambil Piala dan kabur,
ya kan?" Sesuatu berkilat di balik mata penyihir itu, tapi ia
menurunkan kelopak matanya dengan sangat cepat sehingga
Clary kira mungkin itu khayalannya saia. "Jadi," kata
Dorothea, "kamu tahu apa yang akan kamu lakukan" Di
mana pun Jocelyn menyembunyikannya, Piala itu pasti tidak
mudah ditemukan, bahkan meskipun ia ingin benda itu
ditemukan. Valentine bisa melakukan hal"hal buruk kalau
mendapatkan Piala itu."
"Aku ingin menemukan Piala itu," kata Clary. "Kami
ingin?" ]ace memotongnya dengan mulus. "Karni tahu di mana
benda itu," katanya. "Tinggal masalah mengambilnya."
Mata Dorothea membesar. "Yah, di mana?"
"Di sini," kata ]ace dengan nada suara yang sangat puas
sampai-sampai Isabelle dan Alec berhenti membaca"baca di
rak buku untuk melihat apa yang sedang teriadi.
"Di sini" Maksudmu, kamu sedang memegangnya?"
47" "Tidak juga, Lady sayang," kata ]ace. Clary merasa
pemuda itu menikmati dirinya di dalam sikap yang mengerikan.
"Maksudku, Piala itu ada di kamu."
Mulut Dorothea menutup. "Itu tidak lucu," katanya
dengan sangat tajam. Clary jadi khawatir semua ini akan
kacau. Kenapa Jace harus selalu membuat orang lain
memusuhinya" "Kamu memang memegangnya," Clary segera menyela,
"tapi tidak?" Dorothea bangkit dari kursinya. Dia berdiri dengan
ketinggiannya yang penuh dan luar biasa, lalu melotot. kepada
mereka di bawahnya. "Kalian salah," ia berkata dengan
dingin. "Salah karena membayangkan aku menyimpan Piala
itu, dan karena berani datang ke sini untuk menyebutku
pembohong. Tangan Alec memegang tongkat bulunya. "Oh, ya
ampun," katanya berbisik.
Dengan bingung, Clary menggelengkan kepalanya.
"Tidak," katanya cepat"cepat. "Aku tidak menyebut kamu
pembohong, aku janji. Aku bilang, Piala itu ada di sini,
tapi kamu tidak pernah menyadarinya."
Madam Dorothea memandangi Clary. Matanya, yang
hampir tersembunyi di lipatan wajahnya, sekeras pualam.
"Jelaskan maksudmu," katanya.
"Maksudku, ibuku menyembunyikannya di sini," kata
Clary. "Bertahun-tahun yang lalu. Ia tidak pernah memberi
tahu kamu karena tidak ingin melibatkanmu."
478 "Jadi ia memberikannya kepadamu secara tersamar,"
Jace menjelaskan, "dalam bentuk hadiah."
Dorothea memandanginya dengan kosong.
Memangnya ia tidak ingat." pikir Clary dengan bingung.
"Tumpukan tarot," katanya. "Kartu yang ia lukiskan
untukmu." Pandangan penyihir itu beralih ke kartu yang berbaring
di bungkusan sutra di atas meja. "Kartu?" Ketika mata
wanita itu melebar, Clary melangkah ke meja dan mengambil
tumpukan kartu itu. Kartu-kartu itu hangat dan hampir licin.
Sekarang, seperti belum pernah bisa dilakukannya sebelum
ini, Clary merasakan kekuatan rune yang dilukiskan di
punggung kartu. Kekuatan itu berdenyut menembus ujung
iemarinya. Ia menemukan Kartu Piala, lalu menariknya, dan
meletakkan sisa kartu lain kembali ke atas meja.
"Ini dia," katanya.
Semuanya menatap Clary sambil berharap, dan benar-
benar terdiam. Perlahan Clary membalik kartu itu dan
memperhatikan hasil karya ibunya lagi. Ada tangan kurus
yang jemarinya menggenggam gagang emas Piala Mortal.
"Jace," katanya. "Berikan stelarnu kepadaku."
Pemuda itu menekankan stela itu, terasa hangat dan
hidup, ke dalam telapak tangan Clary. Gadis itu membalik
kartu itu dan menelusurkan rune yang dilukiskan di
baliknya. Setelah membuat putaran di sini dan garis di
sana, maknanya jadi berbeda sama sekali. Ketika Clary
membalik kartu itu lagi, gambarnya telah berubah dengan
halus. Jemari itu telah melepaskan genggamannya di gagang
479 Piala. Tangan itu tampak menawarkan Piala itu kepadanya,
seperti berkata, Ini, ambiiiah.
Clary memasukkan stela itu ke dalam sakunya. Lalu,
meskipun kartu itu tidak lebih besar daripada tangannya,
ia meraih ke dalamnya seakan"akan ke dalam lubang yang
besar. Tangannya menggenggam dasar Piala, lalu jemarinya
menutup. Saat Clary menarik tangannya kembali, Piala
itu tergenggam erat di tangannya. Rasanya ia mendengar
desahan pelan sebelum kartu itu, yang sekarang hampa
dan kosong, berubah menjadi abu yang terayak di antara
jemarinya. Kartu itu pun jatuh ke karpet di lantai.
480 g Abbadon Kesaiabanka sendiri, kesalahanku yang paling memilukan.
Clary tidak yakin apa yang ia harapkan. Seruan gembira"
Tepuk tangan" Tapi suasananya malah hening, lalu dipecahkan
oleh _]ace yang berkata, "Entah bagaimana, aku kira Pialanya
lebih besar." Clary memperhatikan Piala di tangannya. Ukurannya,
mungkin, seperti gelas anggur biasa, tapi jauh lebih berat.
Kekuatan terasa mengetuk-ngetuk melaluinya, seperti darah di
dalam pembuluh nadi yang hidup. "Ukurannya sempurna,"
katanya jengkel. "Oh, cukup besar kok," kata _]ace sok tahu, "tapi aku
mengharapkan sesuatu yang... kamu tahulah." Dia membuat
bentuk dengan tangannya, yaitu sesuatu yang seukuran
rumah kucing. 481 "Ini Piala Morta], ]ace, bukan Toilet Mortal," kata
Isabelle. "Kita sudah selesai" Sekarang kita bisa pergi?"
Dorothea memiringkan kepalanya ke samping. Mata
manik-maniknya bersinar dan tertarik. "Tapi Pialanya rusak" "
ia berseru. "Bagaimana bisa terjadi?"
"Rusak?" Clary menatap Piala itu dengan bingung.
Kelihatannya baik-baik saja.
"Sini," kata penyihir itu. "Biar aku tunjukkan," ia maju
selangkah ke arah Clary sambil mengulurkan tangannya
berkuku merah panjang untuk mengambil Piala. Entah
kenapa, Clary mengerut mundur. Tiba"tiba Jace berada di
antara mereka. Tangannya memegang pangkal pedang di
pinggangnya. "Maaf," kata ]aee dengan tenang, "tapi tidak ada yang
boleh menyentuh Piala Mortal selain kami."
Dorothea menatapnya sejenak, lalu kekosongan yang
aneh itu kembali ke matanya. "Nah," katanya, "jangan
terburu-buru. Valentine akan kesal kalau terjadi sesuatu
dengan Pialanya." Dengan bunyi snik pelan, ]ace mengambil pedangnya.
Ujungnya melayang tepat di bawah dagu Dorothea. Wajah
Jace sudah siaga. "Aku tidak tahu ada apa ini," kata pemuda
itu. "Tapi kami pergi sekarang."
Mata wanita tua itu bersinar. "Tentu saja, Pemburu
Bayangan," katanya sambil mundur ke dinding bertirai.
"Kalian mau memakai Portal?"
482 Ujung pedang ]ace ragu-ragu saat pemuda itu bingung.
Lalu Clary melihat rahangnya mengeras. "Jangan sentuh
itu..." Dorothea tergelak, lalu secepat kilat menyentakkan tirai
yang menggantung di dinding. Tirai itu jatuh dengan suara
pelan. Portal di belakangnya terbuka.
Clary mendengar Alec tersedak di belakangnya. "Apa
itu?" Clay hanya menangkap sekilas dari apa yang tampak di
balik pintu itu. Ada awan merah menggulung-guiung dan petir
hitam menembusnya. Juga ada wujud gelap menyeramkan
yang meluncur ke arah mereka. Jace berteriak supaya mereka
tiarap. Dia menjatuhkan diri ke lantai sambil menarik Clary
bersamanya. Clary terbaring dengan perut rata ke karpet,
lalu mengangkat kepalanya untuk melihat benda gelap itu
menyerang Madam Dorothea. Wanita itu menjerit sambil
mengangkat tangannya tinggi"tinggi.
Bukannya menjatuhkan wanita itu, benda gelap itu
membungkusnya seperti selubung. Hitamnya meresap ke
dalamnya, seperti tinta membenam ke dalam kertas. Punggung
Dorothea membungkuk dan membesar. Sekujur tubuhnya
memanjang saat ia terus tumbuh ke udara. Bahunya terentang
dan berganti bentuk. Ada bunyi denting benda terjatuh ke lantai, sehingga
Clary menunduk untuk melihatnya. Itu gelang-gelang
Dorothea, yang sudah bengkok dan rusak. Berserakan di
antara perhiasan itu, ada sesuatu yang kelihatan seperti
483 batu-batu putih. Perlu sejenak bagi Clary untuk menyadari


The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa itu adalah gigi. Di samping gadis itu, Jaee membisikkan sesuatu. Ke-
dengarannya seperti ungkapan tidak percaya. Di samping
_Iace, Alec dengan suara tercekik berkata, "Tapi tadi karnu
bilang tidak ada banyak kegiatan iblis. Ketemu tingkatnya
rendah!" "Tadi memang rendah," ]ace menggeram,
"Versi rendahrnu pasti berbeda dariku!" Alec berteriak
saat benda yang tadinya Dorothea itu melolong dan berputar.
Benda itu tampak menjalar, membungkuk, menonjol, dan
berbentuk sangat tidak serasi.
Clary membuka mata saat ]ace berdiri, dan menarik
gadis itu ke sebelahnya. Isabelle dan Alec tersandung"sandung
sambil memegangi senjata mereka. Tangan Isabelle yang
memegang cambuk sedikit gemetar.
"Jalan!" ]ace mendorong Clary maiu ke pintu apartemen.
Ketika Clary berusaha menoleh ke balik bahunya, ia hanya
melihat abu-abu tebal yang bergulung"gulung seperti awan
badai. Ada wujud gelap di tengah-tengahnya...
Mereka berempat menghambur keluar ke serambi. Isabelle
memimpin. Ia berlari ke pintu depan, mencoba membukanya,
lalu berbalik dengan wajah tercekam. "Pintunya tertahan.
Pasti dengan mantra?"
Jaee menyumpah, lalu meraba jaketnya. "Sial. Di mana
sih stelaku?" "Ada di aku," Clary teringat. Saat ia meraih sakunya,
bunyi seperti petir meledak menembus ruangan. Lantai
484 menyembul di bawah kakinya. Clary tersandung dan hampir
iatuh. Ia menangkap pegangan tangga supaya tidak jatuh.
Ketika mendongak, ia melihat lubang baru membuka di
dinding yang membatasi serambi dengan apartemen Dorothea.
Lubang itu mengelilingi pinggiran dinding yang sudah
compang"camping dengan reruntuhan kayu dan plester. Dari
lubang itu, sesuatu mendaki keluar..., menggeliat keluar...
"Alec!" _Iace berteriak. Alec berdiri di depan lubang
dengan wajah memutih dan kelihatan sangat ketakutan.
Sambil mengumpat"ngumpat, Jace berlari dan menariknya,
menyeretnya mundur tepat sebelum benda itu selesai keluar
dari dinding dan sampai di serambi.
Clary mendengar nafasnya tercekiki. Daging makhluk
itu berwarna kelabu pucat dan seperti memar. Melalui
resapan kulitnya, tulang-tulang menonjol. Itu bukan tulang
putih yang baru, melainkan tulang yang kelihatannya sudah
berada di perut bumi selama ribuan tahun.
Tulang itu hitam dan retak dan kotor. Jemarinya
terpotong-pobong dan tanpa daging. Lengannya yang berdaging
tipis punya bercak"bercak luka hitam. Dari situ, tampaklah
tulang kuning. Wajahnya tengkorak. Hidung dan matanya
seperti lubang yang telah ambruk. Jemarinya yang berkuku
tajam menyikat lantai. Ada sobekan kain yang kusut di
pergelangan tangan dan bahunya, yaitu sisa selendang sutra
dan turban Madam Dorethea. Tinggi makhluk itu hampir
tiga meter. Makhluk itu menunduk melihat keempat remaja di
bawahnya. Matanya seperti lubang kosong. "Berikan kepa-
485 daku," katanya dengan suara seperti angin meniup sampah
di aspal yang kosong, "Piala Mortal itu. Berikan kepadaku,
maka aku akan membiarkan kalian tetap hidup."
Dengan panik, Clary memandangi yang lain. Isabelle
tampak seperti perutnya dipukul. Alec tidak bergerak.
Seperti biasa, ]ace yang berbicara, "Kamu ini apa?" Suaranya
mantap, meskipun dia kelihatan lebih gemetaran daripada
yang pernah Clary lihat. Makhluk itu memiringkan kepalanya. "Aku Abbadon.
Aku adalah Iblis dari Neraka Tanpa Dasar. Milikkulah
tempat"ternpat kosong di antara dunia. Milikkulah angin
dan kegelapan yang melolong. Aku berbeda dari makhluk-
makhluk bayi yang kamu sebut iblis seperti elang berbeda
dari lalat. Kalian tidak bisa berharap mengalahkanku.
Berikan Piala itu atau mati."
Cambuk Isabelle gemetaran. "Ini Iblis Kuat," katanya.
"]ace, kalau kita..."
"Bagaimana dengan Dorothea?" Suara Clary nyaring
tanpa bisa ia hentikan. "Apa yang terjadi kepadanya?"
Mata kosong iblis itu berayun kepada Clary. "Ia hanyalah
wadah," katanya. "Ia membuka Portal, lalu aku merasukinya.
Kematiannya cepat." Pandangannya beralih ke Piala di tangan
gadis itu. "Kematianrnu tidak akan sarna."
Ia mulai bergerak ke arah Clary. ]ace menghalangi
jalannya. Pedangnya yang berkilat"kilat dipegang di satu
tangan, pisau seraph di tangan yang lain. Alec memperhatikan
Jace dengan mata ketakutan.
486 "Demi Malaikat," kata ]ace sambil memandangi iblis itu
dari atas ke bawah. "Aku sudah tahu Iblis Kuat memang
ielek, tapi tidak ada yang pernah memperingatkanku tentang
baunya." Abbadon membuka mulutnya dan mendesis. Di dalam
mulutnya ada dua baris gigi setajam kaca.
"Aku tidak yakin tentang angin dan lolongan kege-
lapan ini," ]ace melanjutkan, "baunya lebih seperti tempat
pembuangan sampah. Kamu yakin tidak berasal dari Pulau
Staten?" Iblis itu melompat kepadanya. ]ace mencambukkan
kedua senjatanya ke atas dengan kecepatan mengerikan.
Keduanya terbenam ke dalam bagian terlunak iblis itu, yaitu
perutnya. Iblis itu melnlong dan menyerangnya. Jace terpukul
ke samping seperti anak kucing dipukul kucing besar. ]ace
berguling dan berdiri, tapi Clary dapat melihat dari caranya
memegangi lengannya bahwa pemuda itu terluka.
Itu sudah cukup bagi Isabelle. Ia melesat ke depan,
lalu menyerang iblis itu dengan cambuknya. Cambuk itu
menampar kulit kelabu iblis itu, sehingga tanda merah muncul
dan darah berlinang. Tapi Abbadon tidak menghiraukannya
dan melangkah ke arah ]ace.
Dengan tangannya yang tidak terluka, Jace menarik
pisau seraph kedua. Dia berbisik, lalu pisau itu memanjang,
menjadi terang dan bersinar. Dia mengangkatnya saat iblis
itu menjulang di depannya. ]ace tampak sangat kecil di
depan makhluk itu, seperti anak kecil dimainkan oleh
monster. Tapi ]ace malah menyeringai, bahkan ketika iblis
487 itu meraihnya. Isabelle menjerit sambil mencambuk iblis itu,
membuatnya memercikkan darah tebal ke lantai...
Iblis itu menerjang. Tangannya yang setajam silet
menyerang ]ace. Pemuda itu terhuyung-huyung mundur, tapi
dia tidak terluka. Ada yang melesat di antara dia dan iblis
itu, yaitu bayangan gelap langsing dengan pisau bersinar di
tangannya. Itu Alec. Iblis itu berteriak. Tongkat bulu Alec telah menembus
kulitnya. Sambil menggeram, ia menerjang lagi. Cakar
tulangnya menangkap Alec, lalu mengayunkannya dengan
kei am sampai terlempar ke dinding yang iauh. Alec menabrak
dinding dengan bunyi detak yang mengerikan, lalu merosot
ke lantai. Isabelle meneriakkan nama kakaknya. Alec tidak bergerak.
Gadis itu menurunkan cambuk, lalu mulai berlari ke arah
Alec. Iblis itu berbalik, lalu memukul Isabelle dengan punggung
tangan sehingga gadis itu berputar ke tanah. Isabelle batuk
darah, lalu mulai berdiri. Abbadon memukulnya lagi. Kali
ini Isabelle terdiam kaku.
Iblis itu melangkah ke arah Clary.
Jace berdiri terpaku. Dia memandangi tubuh Alec yang
rubuh seperti terjebak di dalam mimpi. Clary menjerit saat
Abbadon mendekat. Gadis itu mulai menaiki tangga, tersan-
dung-sandung di anak tangga yang rusak. Stela membakar
kulitnya. Kalau saja ia punya senjata, apa pun...
Isabelle berhasil mencakar-cakar sampai duduk. Ia
mendorong rambutnya yang berdarah ke belakang, lalu
berteriak kepada ]ace. Clary mendengar namanya sendiri
488 diteriakkan oleh Isabelle, lalu melihat ]ace mengerjapkan
mata seperti tertampar sampai bangun. Jace berputar ke
arah Clary, dan mulai berlari.
Iblis itu cukup dekat sehingga Clary dapat melihat
luka-luka di kulitnya. Ada makhluk-makbluk yang merayap
di dalamnya, berusaha menggapainya...
Tapi Jace sudah sampai. Dia memukul tangan Abbadon
ke samping. Pemuda itu mengempaskan pisau seraph
ke Abbadon. Pisau itu tertancap di dada makhluk itu,
di samping dua pisau yang sudah ada di sana. Iblis itu
menggeram seakan"akan pisau itu hanya membuatnya kesal.
"Pemburu Bayangan," ia menggerarn. "Aku akan senang
membunuhmu, mendengarkan tulang-tulangrnu berderak
seperti temanmu..." ]aee melompat ke pegangan tangga, lalu melemparkan
dirinya ke Abbadon. Tenaga dari lompatan itu memukul iblis
itu ke belakang. Abbadon terhuyung"huyung. _Iace menempel
di punggungnya. Dia mengambil pisau seraph dari dada iblis
itu, sehingga darah hitam memercik. ]ace menancapkannya
lagi dan lagi ke punggung iblis itu. Bahunya dialiri cairan
hitam. Sambil menggeram, Abbadon berjalan mundur ke dinding.
]ace harus turun supaya tidak remuk. ]ace terjatuh ke
lantai, mendarat pelan, lalu mengangkat pisaunya lagi. Tapi
Ahhade"n terlalu cepat baginya. Tangan iblis itu mengibas,
menjatuhkan _Iace ke tangga. Jaee pun terbaring dengan
cakar di tenggorokannya. 489 "Suruh ia memberiku Piala itu," Abbadon menggeram.
Cakarnya melayang tepat di atas kulit _]ace. "Suruh ia
memberikannya kepadaku, maka aku akan membiarkan
mereka tetap hidup."
Jace menelan ludah. "Clary..."
Tapi Clary tidak akan pernah tahu apa yang mau
dikatakan oleh ]aee, karena pada saat itu, pintu depan terbuka.
Sejenak Clary hanya melihat cahaya terang. Kemudian, setelah
mengerjap supaya tidak silau, Clary melihat Simon berdiri
di jalan pintu. Simon. Clary telah lupa bahwa sahabatnya
itu ada di luar, hampir lupa bahwa Simon hidup.
Simon melihat Clary yang sedang meringkuk di tangga,
lalu pandangannya bergerak ke Abbadon dan Jaee. Simon
meraih ke balik bahunya. Clary menyadari bahwa Simon
memegang busur Alec, dan tempat anak panah terlilit di
punggungnya. Dia menarik panah dari situ, memasangnya, lalu
mengangkat busur itu dengan ahli, seperti telah melakukan
hal yang sama seratus kali.
Panah itu melesat bebas. Suaranya berdengung panas,
seperti tawon besar, saat menembak melewati kepala Abbadon.
Panah itu bergerak menembus atap"
Lalu jendela kaca tinggi itu berhamburan. Kaca hitam
kotor berjatuhan seperti hujan, dan melalui kaca jendela yang
telah rusak itu, sinar matahari mengalir deras. Ada banyak
sinar matahari, batang-batang keemasan yang besar menikam
ke bawah dan membanjiri serambi dengan cahaya.
Abadon berteriak dan terhuyung"huyung sambil menutupi
wajah anehnya dengan tangan. Jace memegangi tenggorokannya
480 yang tidak terluka. Ia memandangi dengan tidak percaya saat
iblis itu mengerut dan melelang di lantai. Clary setengah
berharap iblis itu akan meledak terbakar, tapi malah mulai
melipat dirinya. Kakinya rubuh ke dada. Tengkoraknya
terernas seperti kertas yang terbakar. Dalam rentang waktu
satu menit, monster itu telah menghilang seluruhnya. Hanya
bekas hangus yang tertinggal.
Simon menurunkan busurnya. Dia mengerjap di balik
kacamatanya. Mulutnya terbuka sedikit. Dia kelihatan sama
terkejutnya dengan Clary.
]ace berbaring di tangga di mana iblis itu telah me-
lemparnya. Dia berjuang untuk duduk saat Clary menuruni
tangga dan berlutut di sampingnya. " ace?"
"Aku tidak apa"apa." Jaee duduk, lalu mengusap darah dari
mulutnya. Dia terbatuk, lalu meludah merah. "Alec..."
"Stelamu," Clary menyela sambil merogoh sakunya.
"Kamu memerlukannya untuk mengobati diri sendiri?"
]ace menatap gadis itu. Wajah ]ace diterangi oleh sinar
matahari yang tumpah dari lubang baru di jendela. Dia
tampak sedang menahan diri dengan susah payah dari sesuatu.
"Aku baik"baik saja." Katanya lagi, lalu mendorong Clary ke
samping dengan agak kasar. Jace berdiri, terhuyung-huyung,
dan hampir jatuh. ltu hal jelek pertama yang pernah Clary
lihat dilakukan oleh Jaee. "Alec?" Jace bertanya.
Clary memperhatikan _]ace terpincang-pincang menyebe-
rangi serambi menuju temannya yang tidak sadarkan diri.
Kemudian gadis itu memasukkan Piala Mortal ke dalam
481 jaketnya, menarik risletingnya, dan berdiri. Isabelle telah
melangkah ke sisi kakaknya. Sekarang ia sedang membuai
dan mengelus kepala Alec di pangkuannya.
Dada Alec naik turun" pelan, tapi masih bernafas.
Simon, yang bersandar ke dinding sambil memperhatikan
mereka, tampak kosong. Clary mengelus tangan sahabatnya
itu saat melewatinya. "Terima kasih," bisik Clary. "Tadi
itu luar biasa." "Jangan berterima kasih kepadaku," kata Simon. "Tapi
kepada program panahan di perkemahan musim panas
B'nai Biri "Simon, aku tidak..."
"Clary!" ]ace memanggilnya. "Bawakan stelaku."
Simon membiarkan Clary pergi dengan enggan. Gadis itu
berlutut di samping para Pemburu Bayangan. Piala Mortal
berdentang dengan berat di sisinya. Wajah Alec putih, penuh
bercak"hercak dengan tetesan darah. Matanya menjadi biru
tidak alami. Genggamannya pada pergelangan tangan Jace
meninggalkan noda darah. "Apakah tadi aku...," Alec
mulai bicara, lalu melihat Clary, seakan-akan untuk kali
pertamanya. Ada sesuatu di wajah Alec yang tidak Clary
sangka. Kemenangan. "Tadi aku membunuhnya?"


The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wajah Jace berkerut dengan pedih. "Kamu?"
"Ya," kata Clary. "Sudah mati."
Alec menatap Clary, lalu tertawa. Darah membusa dari
mulutnya. Jace membebaskan pergelangan tangannya, lalu
menyentuhkan jemarinya ke kedua sisi wajah Alec. "Jangan,"
kata Jace. "Bertahanlah, ayo bertahanlah."
482 Alec menutup matanya. "Lakukan apa yang harus kamu
lakukan," dia berbisik.
Isabelle mengulurkan stelanya kepada Jace. "Pakai
ini." ]ace mengangguk, lalu menggambari bagian depan kaus
Alec dengan stela itu. Bahan kausnya terpisah seperti ]ace
telah mengirisnya dengan pisau. Isabelle memperhatikannya
mereka dengan mata kalut saat Jace menarik kaus itu terbuka,
sehingga dada Alec telanjang. Kulit Alec sangat putih, di
sana"sini ada tanda luka lama yang bening. Ada luka-luka
lain juga, yaitu bekas cakaran geometris, setiap lubangnya
berwarna merah dan merekah.
Dengan rahang terkatup, _Iace memakai stela itu di kulit
Alec, menggerakkannya ke atas dan ke bawah dengan lancar
berkat latihan panjang. Tapi ada yang salah. Tanda-tanda
penyembuh itu langsung hilang, bahkan ketika ]ace sedang
menggambatnya, seperti menulis di atas air.
]aee membuang stela itu ke samping. "Sial."
Suara Isabelle nyaring. "Ada apa?"
"Iblis itu menyerang Alec dengan kukunya," kata Jaee.
"Ada racun iblis di dalamnya. Tanda tidak bisa dipakai."
Dia menyentuh wajah Alec lagi dengan lembut. "Alec,"
katanya. "Kamu bisa dengar aku?"
Alec tidak bergerak. Bayangan di bawah matanya
tampak biru dan segelap memar. Kalau tidak kelihatan
masih bernafas, Clary pasti mengira Alec sudah tewas.
483 Isabelle membungkukkan kepalanya. Rambutnya menutupi
wajah Alec. Gadis itu memeluk kakaknya. "Mungkin,"
bisiknya, "kita bisa..."
"Bawa dia ke rumah sakit." Itu Simon yang berdiri di
atas mereka dengan busur berjuntai di tangannya. "Aku
akan membantu kalian membawanya ke van. Ada Metodis
di Seventh Avenue." "Jangan rumah sakit," kata Isabelle. "Kita harus
membawanya ke Institut."
"Tapi..." ?"Orang-orang di rumah sakit tidak akan tahu bagaimana
menyembuhkannya," kata _]ace. "Dia telah dilukai oleh
Iblis Kuat. Tidak ada dokter fana yang tahu bagaimana
mengobati luka seperti itu."
Simon mengangguk. "Baiklah. Ayo bawa dia ke
mobil." Untungnya, van itu tidak diderek. Isabelle membentangkan
selimut kotor di jok belakang, lalu mereka membaringkan
Alec di situ. Kepala Alec di atas pangkuan Isabelle. _Iace
di lantai di samping temannya. Kausnya ternoda gelap di
sepanjang lengan bajunya, dan dadanya ternoda darah. Darah
iblis dan manusia. Ketika Jace menatap Simon, Clary melihat
semua warna emas terhapus dari matanya oleh sesuatu yang
belum pernah gadis itu lihat. Panik.
"Menyetirlah dengan cepat, fana," kata Jaee. "Menyetirlah
seperti neraka sedang mengejarmu."
Simon pun menyetir. 454 Mereka melesat melewati komunitas Flatbush dan meroket
ke jembatan, berkejaran dengan kereta bawah tanah yang
meraung di atas air biru. Matahari terang menusuk mata
Clary, memercikkan panas ke sungai. Ia mencengkeram
joknya saat Simon mengambil jalur memb elok dari jembatan
dengan kecepatan SOkm/jam.
Ia teringat hal"hal buruk yang telah ia katakan kepada
Alec, bagaimana pemuda itu melemparkan tubuhnya ke
Abbadon, dan wajahnya yang penuh kemenangan. Clary
melihat ]ace berlutut di samping temannya. Darah meresap ke
dalam selimut. Clary jadi teringat anak laki"laki dan burung
elangnya yang mati. Cinta ada untuk menghancurkan.
Clary berbalik. Ada gumpalan keras tersangkut di
tenggorokannya. Isabelle bisa dilihat dari cermin mobil yang
sudutnya sudah jelek. Gadis itu sedang membungkus selimut
di sekeliling tenggorokan Alec. la mendongak, dan bertemu
mata dengan Clary. "Betapa jauh lagi?"
"Mungkin sepuluh menit. Simon menyetir secepat
mungkin." "Aku tahu," kata Isabelle. "Simon" apa yang telah
kamu lakukan tadi, itu hebat sekali. Kamu bergerak sangat
cepat. Aku tidak mengira seorang fana bisa berpikir seperti
itu." Simon tidak tampak terganggu oleh pujian itu saat
sampai di perempatan yang tidak diharapkan. Matanya
terpaku ke jalan. "Maksudmu menembak ke jendela tinggi"
Aku teringat hal itu setelah kalian masuk. Aku berpikir
tentang jendela tinggi itu dan kata-kata kalian bahwa iblis
485 tidak tahan terkena matahari langsung. Jadi sebenarnya,
perlu agak lama sebelum aku sadar dan bertindak. Jangan
keeil hati," dia menambahkan. "Kamu bahkan tidak akan
melihatnya kecuali memang tahu jendela itu ada di sana."
Aku tahu jendela itu ada di sana, pikir Clary. Seharusnya
aku memanfaatkannya. Bahkan kalaupun aku tidak punya
busur dan panah seperti Simon, aku bisa saja melempar
sesuatu ke sana atau memberi tahu ]ace. Clary jadi merasa
bodoh dan tidak berguna dan bebal, meskipun kepalanya
sedang kusut. Kenyataannya adalah, tadi ia ketakutan.
Terlalu ketakutan untuk berpikir dengan benar. Ia merasakan
gelombang rasa malu meledak di belakang kelopak matanya
seperti matahari kecil. Jaee berbicara. "Tadi itu tindakan yang bagus,"
katanya. Mata Simon menyipit. "Jadi, kalau kalian tidak keberatan
untuk memberitahuku..., makhluk itu, iblis itu..., dari mana
datangnya?" "Itu Madam Dorothea," kata Clary. "Maksudku, ia
berubah menjadi itu."
"Dorothea memang bukan fotomodel, tapi aku tidak
ingat kalau ia sejelek itu."
"Aku rasa ia kerasukan," kata Clary pelan sambil
berusaha merangkainya di dalam pikiran. "Ia ingin aku
memberinya Piala itu. Lalu ia membuka Portal..."
"Itu cerdik," kataJace. "Iblis merasukinya, lalu menyetubu-
nyikan sebagian besar bentuk halusnya di luar Potal, sehingga
Sensor tidak bisa menangkap sinyalnya. Jadi kita masuk
486 dengan mengira akan melawan beberapa Yang Terabaikan.
Tapi kita malah menghadapi Iblis Kuat. Abbadon..., salah
satu iblis Kuno. Raja Kaum Yang Terjatuh."
"Well, tampaknya Kaum Yang Terjatuh harus mem-
biasakan diri hidup tanpanya mulai sekarang," kata Simon
sambil membelok. "Dia tidak mati," kata Isabelle. "Jarang ada orang
bisa membunuh Iblis Kuat. Kamu harus membunuh me-
reka di dalam wujud fisik dan halus. Tadi kita hanya
menakut"nakutinya."
"Oh." Simon kelihatan kecewa. "Bagaimana dengan
Madam Dorothea" Apakah sekarang ia baik"baik saja
karena..." Simon berhenti, karena Alec mulai tercekik. Nafasnya
mengertak"ngertak di dadanya. ]ace memaki pelan dengan
sangat jahat. "Kenapa kita belum sampai juga.?"
"Kita sudah sampai. Aku cuma tidak ingin menabrak
dinding." Begitu Simon parkir dengan hati-hati di sudut
jalan, Clary melihat bahwa pintu Institut terbuka. Hodge
sedang berdiri di bingkai lengkungan.
Van itu menyentak berhenti, dan Jace melompat keluar.
Lalu dia mengangkat Alec seakan-akan beratnya tidak lebih
dari anak kecil. Isabelle mengikutinya sambil memegang
tongkat bulu kakaknya yang berdarah-darah. Pintu Institut
terbanting tertutup di belakang mereka.
Rasa lelah membanjiri Clary, lalu ia menatap Simon.
"Maaf. Aku tidak tahu bagaimana kamu akan menjelaskan
semua darah ini kepada Eric."
487 "Biar saja si Eric," kata Simon untuk meyakinkan.
"Kamu baik-baik saja?"
"Tidak segores pun. Semua orang lain terluka, tapi
aku tidak." "Itu tugas mereka, Clary," dia berkata lembut. "Melawan
iblis. Itulah yang mereka lakukan. Bukan yang kamu
lakukan." "Aku melakukan apa, Simon?" tanya Clary sambil
menatap Simon untuk mencari jawabannya. "Aku melakukan
apa?" "Yah..., kamu mengambil Pialanya," kata Simon. "Ya,
kan?" Gadis itu mengangguk, clan menepuk kantongnya.
"Ya." Simon tampak lega. ?"Sebenarnya aku tidak ingin
bertanya," katanya. "Iru bagus, kan?"
"Memang," kata Clary. Ia Deringat ibunya, lalu tangan gadis
itu bertambah erat memegang Piala. "Aku tahu itu."
Church menemui mereka di puncak tangga. Kucing itu
melolong seperti peluit tanduk, lalu membimbing mereka ke
balai perawatan. Pintu ganda itu terbuka, sehingga Clary
bisa melihat sosok Alec yang kaku di atas salah satu tempat
tidur putih. Hodge membungkuk di atasnya. Isabelle berada
di samping pria itu sambil membawa nampan perak.
Jaee tidak bersama mereka karena sedang berdiri di luar
balai perawatan. Pemuda itu bersandar ke dinding. Tangan
telanjangnya yang berdarah tertekuk di sampingnya. Ketika
458 Clary berhenti di depannya, matanya membuka. Clary melihat
bahwa biii mata ]ace telah membesar, semua warna emas
tertelan ke dalam hitam. "Bagaimana kabar Alec?" Clary bertanya selembut
mungkin. "Dia kehilangan banyak darah. Racun iblis memang
sudah biasa. Tapi karena ini Iblis Kuat, Hodge tidak yakin
penawar racun yang biasa dipakainya akan manjur kali
ini." Clary meraih untuk menyentuh lengan Jace. "Jace..."
]ace mundur. "Jangan."
Nafas Clary tersedak. "Aku tidak pernah mengingin-
kan hal buruk apa pun terjadi kepada Alec. Aku sangat
menyesal." ]aee menatap gadis itu seperti baru sadar Clary ada di
situ. "Ini bukan salahmu," katanya. "Ini salahku."
"Salahmu" ]ace, bukan..."
"Oh, memang ini salahku," katanya. Suaranya serapuh
serpihan es. "Mea culpa, mea maxima culpa."
"Apa itu artinya?"
"Kesalahanku," katanya, "kesalahanku sendiri, kesalahan"
ku yang paling memilukan. Itu bahasa Latin." ]ace menepis
sejumput rambut Clary dari dahinya sambil melamun, seperti
tidak sadar sedang melakukannya. "Bagian dari Misa."
"Aku kira kamu tidak percaya agama."
"Mungkin aku tidak percaya dosa," katanya, "tapi aku
percaya penyesalan. Kami, Para Pemburu Bayangan, hidup
dengan undang"undang, dan undang"undang itu tidak bisa
459 dilonggarkan. Kehormatan, kesalahan, penebusan dosa...
Semua itu nyata bagi kami, dan tidak ada hubungannya
dengan agama dan siapa diri kita sendiri. Inilah diriku,
Clary," kata Jace putus asa.
Jace melanjutkan, "Aku anggota Kunci. Ini mengalir
di dalam darah dan tulangku. Jadi beri tahu aku, kalau
kamu sangat yakin ini bukan salahku, kenapa hal pertama
yang terpikir olehku ketika aku melihat Abbadon bukanlah
rekan-rekan pejuangku, melainkan kamu?"
Tangan ]ace yang satu lagi juga naik. Sekarang pemuda
itu memegang wajah Clary, memenjarakannya di antara
kedua telapak tangan. "Aku tahu. Aku sudah tahu bahwa
Alec bertingkah aneh. Aku tahu ada yang salah. Tapi aku
cuma bisa berpikir tentang kamu..."
Jace membungkuk, sehingga dahi mereka bersentuhan.
Clary dapat merasakan nafas ]ace meniup bulu matanya.
Gadis itu menutup matanya, membiarkan kedekatan diri
]ace menyiramnya seperti ombak.
"Kalau Alec mati, itu seperti aku yang membunuhnya,"
kata _Iace. "Aku telah membiarkan ayahku mati, dan sekarang
aku telah membunuh satu"satunya saudara Iaki"laki yang
pernah aku punya." "Itu tidak benar," Clary berbisik.
"Ya, memang benar."
Mereka cukup dekat untuk berciuman. _Iace masih
memegang Clary dengan erat seakan-akan tidak ada yang
bisa meyakinkannya bahwa gadis itu nyata. "Clary," katanya.
"Apa yang sedang terjadi denganku?"
500 Clary berpikir, mencari-cari jawabannya..., lalu mendengar
seseorang berdeham. Ia membuka matanya. Hodge berdiri
di pintu balai perawatan. Ada noda di setelannya yang
rapi. "Aku sudah berusaha sebisaku. Dia sudah tenang,
tidak kesakitan, tapi?" Hodge menggelengkan kepalanya.
"Aku harus menghubungi Para Saudara Hening. Ini di luar
kemampuanku." ]ace mundur dengan pelan dari Clary. "Kapan mereka
ke sini?" "Aku tidak tahu." Hodge mulai menyusuri koridor. Dia
menggelengkan kepalanya. "Aku akan langsung mengirim
Hugo, tapi Para Saudara datang atas kebijakan mereka
sendiri." "Tapi untuk ini..." Bahkan ketika ]ace menyusul langkah-
langkah panjang Hodge, Clary telah putus asa di belakang


The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka. Gadis itu sampai harus meregangkan telinganya
untuk mendengar kata-kata ]ace. "Alec: bisa mati."
"Mungkin," hanya itulah tanggapan Hodge.
Perpustakaan kini gelap dan berbau hujan. Salah satu
jendela telah dibiarkan terbuka, dan sebuah genangan air
terkumpul di bawah tirai. Hugo berkicau dan melompat ke
tenggerannya begitu Hodge melangkah ke arahnya. Guru itu
hanya berhenti untuk menyalakan lampu di mejanya. "Sayang
sekali," kata Hodge sambil meraih kertas dan pena. "Kalian
tidak mendapatkan kembali Piala itu. Padahal menurutku,
itu akan membuat Alec lebih tenang dan tentu saja..."
"Tapi aku sudah mendapatkan Pialanya," kata Clary
heran. "Kamu tidak memberitahunya, _Iace?"
501 Jace mengerjap, meskipun mungkin itu karena kaget
karena lampu tiba-tiba menyala, Clary tidak tahu. "Tidak
ada waktu... Tadi aku kan membawa Alec ke atas?"
Hodge menjadi sangat kaku. Penanya berhenti bergerak
di antara jemarinya. "Piala itu ada di kamu.?"
"Ya." Clary mengeluarkan Piala itu dari kantongnya.
Rasanya masih dingin, seakan"akan logam Piala itu tidak bisa
dihangatkan oleh sentuhan tangan Clary. Batu-batu rubinya
mengedip-ngedip seperti mata merah. "Ada di sini."
Pena tergelincir dari tangan Hodge seutuhnya dan
menabrak lantai di samping kaki guru itu. Lampu menerangi
wajah Hodge yang rusak, dan menunjukkan setiap goresan
tajam di sana. Goresan itu penuh rasa cemas dan putus
asa. "Itu Piala Malaikat?"
"Benar yang ini," kata Jace. "Waktu itu..."
"Jangan pikirkan itu sekarang," kata Hodge. Dia
meletakkan kertas itu di atas meia, lalu mendekati Jace.
Dia memegang bahu muridnya. "]ace Wayland, kamu tahu
apa yang telah kamu lakukan?"
Jaee mendongak terkejut kepada Hodge. Clary menyadari
kekontrasan mereka, yaitu wajah rusak pria yang lebih tua
dan wajah pemuda yang tidak bergaris. Jumput rambut yang
jatuh di mata Jace membuatnya tampak bahkan lebih muda
lagi. "Aku tidak mengerti maksudrnu," kata ]ace.
Nafas Hodge didesiskan melalui giginya. "Kamu sangat
mirip dia." "Mirip siapa?" tanya Jace kaget. Dia belum pernah
mendengar Hodge berbicara seperti ini sebelumnya.
502 "Seperti ayahmu," kata Hodge. Lalu guru itu mendongak
ke tempat Hugo, dengan sayap hitamnya berputar"putar di
udara yang lembab, melayang"layang di atas kepala.
Hodge menyipitkan matanya. "Hagia," katanya. Dengan
kaokan menakutkan, burung itu menukik langsung ke wajah
Clary dengan cakar terentang.
Clary mendengar Jace berteriak, lalu dunia dipenuhi bulu
yang berputar"putar dan sayatan paruh dan cakar. Rasa
sakit mengembang di pipinya. Clary menjerit, lain secara
insting menutupi wajahnya dengan tangan.
Ia merasa Piala Mortal ditarik dari genggamannya.
"Tidak!" Clary berteriak ngeri sambil mencengkeram Piala
itu. Nyeri menyerang lengannya. Kakinya seperti tertarik
dari bawahnya. Ia tegelincir dan jatuh. Lututnya menabrak
lantai yang keras. Cakar menggaruk dahinya.
"Itu cukup, Hugo," kata Hodge dengan suaranya yang
tenang. Dengan patuh, burung itu berputar menjauh dari Clary.
Gadis itu tercekik, clan mengerjapkan darah dari matanya.
Wajahnya terasa tersobek"sobek.
Hodge tidak bergerak. Dia berdiri di tempatnya sambil
memegang Piala Mortal. Hugo memutarinya dengan lingkaran
naik turun yang lebar sambil mengaok pelan.
]ace... ]ace berbaring di lantai, di dekat kaki Hodge.
Dia sangat kaku, seperti tiba-tiba jatuh tertidur.
Semua pikiran lain terdorong keluar dari benak Clary.
"face!" Ternyata berbicara membuat sakit. Nyeri di pipinya
503 membuat terkejut, dan Clary bisa merasakan darah di
mulutnya. ]ace tidak bergerak.
"Dia tidak terluka," kata Hodge. Clary mulai berdiri,
bermaksud mengempaskan diri kepada guru itu, lalu
terhuyung"huyung mundur seperti telah menabrak sesuatu
yang tidak kasat mata tapi sekeras dan sekuat kaca. Dengan
marah, ia menyerang udara dengan kepalan tangannya.
"Hodge!" ia berteriak. Clary menendang dinding tak
kasat mata itu sampai hampir membuat kakinya memar.
"Jangan bodoh. Kalau Kunci tahu apa yang telah kamu
lakukan..." "Aku akan sudah lama pergi," kata Hodge sambil
berlutut di samping ]ace.
"Tapi..." Clary terpukul kaget. Ia bagai tersetrum
karena baru saja sadar. "Kamu tidak pernah mengirim
pesan kepada Kunci, ya kan" Itulah kenapa kamu sangat
aneh ketika aku bertanya tentang itu. Kamu menginginkan
Piala itu untuk diri sendiri."
"Tidak," kata Hodge, "untuk diri sendiri."
Tenggorokan Clary sekering debu. "Kamu bekerja untuk
Valentine," ia berbisik.
"Aku tidak bekerja untuk Valentine," kata Hodge. Dia
mengangkat tangan ]ace dan menarik sesuatu dari situ,
yaitu cincin berukiran yang selaiu dipakai oleh ]ace. Hodge
menyelipkannya ke jarinya sendiri. "Tapi aku memang
orangnya Valentine, itu benar."
Dengan gerakan cepat, dia memutar cincin itu tiga kali
di sekeliling iarinya. Sejenak tidak ada yang terjadi. Lalu
504 Clary mendengar suara pintu dibuka. Gadis itu secara insting
berputar untuk melihat siapa yang datang ke perpustakaan,
tapi tidak ada siapa-siapa di pintu ruangan itu. Ketika
ia berbalik, ia melihat bahwa udara di samping Hodge
berkilauan, seperti permukaan danau yang terlihat dari
jauh. Dinding udara yang berkilauan itu membelah seperti
tirai perak, lalu seorang pria jangkung berdiri di samping
Hodge, seakan-akan dia telah menyatu keluar dari udara
yang lembab. "Starkweather," kata pria itu. "Kamu memegang Piala
itu?" Hodge mengangkat Piala di tangannya, tapi diam saja.
Dia tampak lumpuh, entah karena takut atau terkejut, tidak
mungkin mengetahuinya. Clary selalu menganggap Hodge
jangkung, tapi sekarang dia kelihatan bungkuk dan kecil.
"Tuanku Valentine," kata Hodge akhirnya. "Aku tidak
menyangka kau akan datang secepat ini."
Valentine. Dia cuma sedikit mirip dengan pemuda tampan
di foto itu, meskipun matanya masih hitam. Wajahnya tidak
seperti yang Clary sangka. Wajah itu tertarik dan tertutup
ke dalam, seperti wajah pastur dengan mata sedih, Pria itu
berjalan pelan dengan setelan jasnya. Di balik mansetnya,
ada bekas-bekas luka putih yang menunjukkan pemakaian
stela selama bertahun-tahun. "Aku sudah berkata akan
datang kepadamu melalui Portal," katanya. Suaranya
bergaung, dan anehnya terdengar akrab. "Kamu tidak
percaya kepadaku?" 505 "Ya. Hanya saja... Aku kira kamu akan mengirim
Pangborn atau Blackwell, bukan datang sendiri."
"Kamu pikir aku akan mengirim untuk mengambil Piala
itu". Aku tidak bodoh. Aku tahu daya pikatnya." Valentine
mengulurkan tangannya. Clary melihat ada cincin bersinar
di jari pria itu. Itu cincin yang kembar dengan cincin ]ace.
"Berikan kepadaku."
Tapi Hodge memegang Piala itu erat-erat. "Aku ingin
janjirnu lebih dulu."
"Lebih dulu" Kamu tidak percaya kepadaku, Starkwea"
ther?" Valentine tersenyum tanpa humor. "Aku akan melaku-
kan apa yang telah kamu minta. Janji adalah janji. Meskipun
aku kaget saat menerima pesanmu. Aku tidak mengira
kamu keberatan hidup di perenungan tersembunyi seperti
ini. Kamu tidak pernah suka di medan pertempuran."
"Kamu tidak tahu bagaimana rasanya," kata Hodge
berdesis. "Setiap waktu aku merasa takut..."
"Itu benar. Aku tidak tahu." Suara Valentine sesedih
matanya, seakan-akan dia mengasihani Hodge. Tapi ada
rasa tidak suka di matanya, juga celaan. "Kalau kamu
tidak berniat memberikan Piala itu kepadaku," katanya,
"seharusnya kamu tidak memanggilku ke sini."
Wajah Hodge mengerut. "Tidak mudah mengkhianati
apa yang kamu percayai..., orang-orang yang percaya
kepadamu." "Maksudmu pasangan Lightwood, atau anak"anak
mereka?" ?"Dua-duanya," kata Hodge.
506 "Ah, pasangan Lightwood." Valentine meraih, lalu
dengan sebelah tangan, dia membelai globe kuningan di
atas meja. Jemarinya yang panjang menelusuri garis-garis
benua dan lautan. "Tapi budi apa yang mereka tanam
kepadamu" Hukumanmu seharusnya menjadi hukuman
mereka juga. Kalau mereka tidak punya keluarga yang
berkedudukan sangat tinggi di Kunci, mereka pasti telah
dikutuk bersama denganmu. Sekarang mereka bebas datang
dan pergi, berjalan di bawah sinar matahari seperti orang
biasa. Mereka bebas pulang ke rumah." Suaranya saat
mengatakan "rumah" bergetar dengan semua makna kata
itu. Jarinya telah berhenti hergerang di globe. Clary yakin
dia sedang menyentuh lokasi Idris.
Mata Hodge berpaling. "Mereka melakukan apa yang
akan semua orang lakukan."
"Kamu tidak akan melakukannya. Aku tidak akan
melakukannya. Membiarkan seorang teman menderita di
tempatku" Dan pastinya itu membuatmu merasa pahit,
Starkweather, saat mengetahui bahwa mereka dengan sangat
mudah membiarkan nasibmu seperti ini?"
Bahu Hodge menggeleng. "Tapi ini bukan salah anak"
anak. Mereka tidak melakukan apa-apa..."
"Aku baru tahu kamu sangat menyayangi anak-anak,
Starkweather," kata Valentine seperti senang dengan pikiran
itu. Nafas Hodge patau. "]ace..."
50" "Jangan bicara tentang Jace." Untuk pertama kalinya,
Valentine terdengar marah. Dia menatap sosok kaku di lantai.
"Dia berdarah," pria itu memperhatikan. "Kenapa?"
Hodge memegang Piala di depan jantungnya. Tulang
jarinya memutih. "Itu bukan darahnya. Dia pingsan, tapi
tidak terluka." Valentine mengangkat kepalanya dengan senyum senang.
"Aku penasaran," katanya, "apa yang akan dia pikirkan
tentangmu ketika dia bangun nanti. Pengkhianatan tidak
pernah indah, tapi mengkhianati seorang anak... Itu peng-
khianatan ganda, ya kan?"
"Kamu tidak akan meiukainya," Hodge berbisik. "Kamu
sudah berjanji tidak akan melukainya."
"Aku tidak pernah berjanji," kata Valentine. "Ayo, ke
marilah." Dia menjauh dari meja, menuju Hodge. Guru itu
menarik diri seperti binatang kecil yang terperangkap. Clary
dapat melihat kesengsaraannya.
"Lagipula, apa yang akan kamu lakukan kalau aku
memang berencana untuk melukainya" Kamu akan melawan-
ku" Menjauhkan Piala itu dariku" Bahkan kalaupun kamu
bisa membunuhku, Kunci tidak akan pernah mengangkat
kutukanrnu. Kamu akan bersembunyi di sini sampai kamu
mati. Seumur hidup kamu takut sekadar membuka jendela
terlalu lebar. Apa yang tidak akan kamu tukarkan demi
bebas dari rasa takut itu" Apa yang tidak akan kamu
berikan demi bisa pulang lagi?" kata Valentine.
Clary mengalihkan pandangannya. Ia tidak tahan melihat
wajah Hodge lagi. Dengan suara tercekik, Hodge berbicara,
508 "Katakan kamu tidak akan melukainya, maka aku akan
memberikan ini kepadamu."
"Tidak," kata Valentine dengan lebih pelan lagi. "Kamu
akan tetap memberikannya kepadaku." Lalu dia mengulurkan
tangannya. Hodge menutup matanya. Sejenak wajahnya seperti
salah satu malaikat pualam di bawah meja, yaitu wajah
yang kesakitan dan suram dan remuk di bawah beban
yang sangat berat. Lalu dia berbisik menyumpah dengan
menyedihkan, lalu mengulurkan Piala Morta] untuk diambil
oleh Valentine, meskipun tangannya gemetaran seperti daun
ditiup angin kencang. "Terima kasih," kata Valentine. Dia mengambil Piala
itu, lalu memperhatikannya dengan tekun. "Kamu pasti
telah membuat bibirnya Sumbing."
Hodge diam saja. Wajahnya menjadi kelabu. Valentine
membungkuk dan mengambiljace. Saat Valentine mengangkat
]ace dengan mudah, Clary melihat jaketnya yang tanpa cela
melekat erat di lengan dan punggung pria itu. Gadis itu
jadi menyadari bahwa Valentine adalah pria besar dengan
tubuh seperti batang pohon oak. Jace lunglai di lengannya,
tampak seperti anak kecil.
"Dia akan segera bersama ayahnya," kata Valentine
sambil menunduk menatap wajah _Iace yang putih. "Ke
tempatnya yang seharusnya."'
Hodge tersentak. Valentine berbalik dan berjalan menuju
tirai udara yang berkilauan tempatnya datang tadi. Dia pasti
telah membiarkan pintu Portal terbuka di belakangnya,
509 Clary menyadari. Melihat benda itu seperti melihat sinar
matahari dipantulkan oleh cermin.
Hodge mengulurkan tangan dengan memohon. "Tunggu!"
dia berteriak. "Bagaimana dengan janiirnu kepadaku" Kamu
sudah berjanji akan mengakhiri kutukanku."
"Itu benar," kata Valentine. Dia berhenti, lalu menatap
Hodge dengan keras. Guru itu tersengal dan melangkah
mundur. Tangannya memegangi dada seakan"akan sesuatu


The Mortal Instruments 1 City Of Bones Karya Cassandra Clare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyerang jantungnya. Cairan hitam merembes keluar dari
jemarinya yang renggang, dan bercucuran di lantai. Hodge
mengangkat waiahnya yang penuh luka kepada Valentine,
"Sudah selesai?" dia bertanya dengan liar. "Kutukan itu..,
sudah diangkat?" "Ya," kata Valentine. "Dan semoga kebebasanmu
membuatmu bahagia." Dengan begitu, Valentine melangkah
masuk ke tirai udara yang bersinar. Untuk sesaat, pria itu
juga tampak berkilauan, seperti berdiri di atas air. Lalu dia
menghilang, dengan membawa Jace bersamanya.
510 0 Di Lorong Tikus Kama bukankah bagian dari hidup
yang penuh luka dan pembunuhan im'.
Hodge tersengal"sengal memandangi Valentine. Kepalan
tangan guru itu membuka dan menutup di sampingnya.
Tangan kirinya disarungi cairan hitam yang telah merembes
dari dadanya. Air mukanya bercampur antara kegembiraan
yang meluap-luap dengan rasa benci terhadap diri sendiri.
"Hodge!" Clary memukulkan tangannya ke dinding
tak kasat mata di antara mereka. Rasa sakit menyerang
lengannya, tapi itu tidak ada apa-apanya dibandingkan
dengan kepedihan yang membara di dadanya. Ia merasa
seakan-akan jantungnya akan melompat keluar dari tulang
rusuknya. ]ace, ]ace, face... Kata itu menggema di dalam
benaknya, ingin dijeritkan keras-keras. Clary menggigitnya
kembali. "Hodge, keluarkan aku!"
511 Hodge berbalik, lalu menggeleng. "Tidak bisa," katanya
sambil menggunakan sapu tangannya yang terlipat rapi untuk
menggosok tangannya yang kotor. Dia kedengaran benar- r
menyesal. "Kamu hanya akan mencoba membunuhku."
"Tidak akan," kata Clary. "Aku janji."
"Tapi kamu tidak dibesarkan sebagai Pemburu Bayangan,"
kata Hodge, "jadi janjimu tidak ada artinya." Pinggiran sapu
tangannya sekarang berasap, seakan-akan telah dicelupkan ke
cairan asap, dan hitam ditangannya tidak berkurang. Dengan
dahi mengerut, Hodge tidak berhenti melakukannya.
"Tapi Hodge," kata Clary putus asa, "kamu tidak
mendengarnya tadi" Dia akan membunuh Jace."
"Dia tidak hilang begitu." Hodge sudah di dekat meja
sekarang, membuka laci, lalu mengeluarkan secarik kertas.
Dia mengambil pena dari sakunya, lalu mengetukkannya
dengan tajam ke pinggiran meja supaya tintanya mengalir.
Clary memandanginya. Hodge sedang menulis surat"
Bentrok Para Pendekar 6 Arjuna Kembar Karya Wiroatmodjo Bumi Manusia 4
^