Pencarian

Mencari Mati Di Banten 2

Mahesa Kelud - Mencari Mati Di Banten Bagian 2


Tentang diri saya, Sultan,
kiranya tidak penting. Saya seorang
gunung yang bodoh, bernama Tirta, Guru saya bernama Ki Balangnipa, diam di
Gunung Gede...." Sampai di situ orang bernama Tirta ini melirik ke samping dan
melihat bagaimana air muka Unang Gondola menjadi berubah ketika dia
menyebutkan nama gurunya. Untuk daerah barat nama Ki Balangnipa sebagai tokoh
silat memang terkenal dan disegani. Di puncak Gunung Gede tokoh kenamaan ini
mendirikan sebuah perguruan. Kalangan istana Banten sendiri termasuk Sultan dan
Patih juga pernah mendengar nama Ki Balangnipa itu.
Tirta melanjutkan kata-katanya
kembali. "Mengenai malapetaka besar yang saya katakan itu, akan saya
terangkan nanti. Lebih dahulu saya
jelaskan bahwa saya datang ke sini
juga mempunyai maksud lain yaitu untuk mengikuti sayembara....."
"Sayembara sudah selesai dan
sudah di-menangkan oleh saudara
berbaju hijau tua bernama Kuntawirya itu!" kata Patih Sumapraja.
Tirta menganggukkan kepala dan
mengulum senyum. "Saya mengerti dan saya akui saya datang terlambat karena kabar
tentang adanya sayembara tersebut baru kemarin dulu saya
dengar. Tapi meskipun demikian, dengan segala kerendahan hati saya mohon agar
Sultan mengizinkan saya untuk tetap
mengambil bagian meskipun sudah
terlambat...." "Orang gunung tidak tahu diri!"
terdengar suara memaki dari samping
panggung. Ini adalah suaranya
Kuntawirya. "Sayembara telah selesai apa kau tak punya muka dan tidak tahu
main"!" Tirta menyeringai, "Aku tidak
bicara denganmu saudara, tapi dengan Sultan Banten!"
Merahlah paras buruk dari
Kuntawirya alias Unang Gondola. Tirta berpaling pada Sultan Hasanuddin
kembali dan membuka mulut: "Ketahuilah Sultan, bila Sultan mengizinkan saya
untuk ambil bagian dalam sayembara ini maka sekaligus saya diberikan jalan
untuk menolong Banten dari malapetaka besar itu...."
Di samping sana Kuntawirya maju
ke muka, "Sultan," katanya seraya mengangkat tangan kanan ke atas. "Demi
keadilan aku minta agar orang sinting ini diperintahkan turun dari atas
panggung. Atau perlukah aku
menendangnya dari sini"!"
Sultan Banten tak bisa memberikan
jawaban dengan segera. Orang yang
mengaku bernama Tirta itu datang
terlambat dan memang tidak bisa lagi untuk ambil bagian dalam sayembara
yang sudah selesai. Tapi Sultan
memaklumi pula bahwa manusia Tirta ini bukan orang sembarangan, berilmu
tinggi bahkan mungkin lebih tinggi
dari Kuntawirya sendiri! Gunung Gede letaknya tidak dekat dari Banten dan kalau
Tirta berhasil sampai ke Banten dalam tempo dua hari sebagaimana yang
diterangkannya, dapat dibayangkan ilmu lari macam mana yang dimilikinya. Di
samping itu tadi Tirta telah pula
memperiihatkan kehebatannya yaitu
merampas keris perak yang berada di
tangan Kuntawirya, si calon Kepala
Balatentara Banten! Apakah seorang
yang akan menjadi Kepala Balatentara Banten bisa dipreteli begitu saja"
Lagi pula mengingat sikap Kuntawirya yang pongah itu maka semakin
bimbanglah hati Sultan Banten ini.
"Bagaimana pendapatmu, Paman
Patih?" tanya sang Sultan tanpa berpaling pada Patih Sumapraja.
Patih ini, yang tahu kalau Sultan
berada dalam kebimbangan segera
menjawab, "Agaknya tidak ada salahnya bilamana Kuntawirya diuji lebih dahulu
dengan orang baju putih itu, Sultan."
Sultan melambaikan tangan
kirinya. 'Tirta, kau kuizinkan untuk bertanding dengan Kuntawirya. Jika kau
kalah kau harus menghambakan diri
kepada Kuntawirya! Dan kau Kuntawirya, ini suatu ujian bagimu. Buktikanlah
bahwa kau memang benar-benar bukan
seorang Kepala Balatentara Banten yang mengecewakan. Sebaliknya jika kalah
maka kau akan menduduki jabatan
sebagai wakil Tirta, Wakil Kepala
Balatentara!" Gusarlah Kuntawirya mendengar
keputusan ini. "Apakah tidak ada kebenaran dan ke-adilan di Banten
ini"!" tanyanya sambil memandang berkeliling. Kedua matanya kemudian
menatap tepat-tepat kepada Sultan.
"Sultan, tadi Sultan sendiri yang telah memberikan keris itu kepada
saya, Sultan sendiri yang memutuskan bahwa saya telah menjadi Kepala
Balatentara Banten! Apakah keputusan tersebut dapat diubah sedemikian enak dan
mudahnya, seperti membalikkan
telapak tangan" Alangkah memalukannya!
Terlebih lagi mengingat itu adalah
keputusan seorang Raja, seorang
Sultan!" Air muka Sultan tampak memerah.
Patih Sumapraja membuka mulutnya dan berkata dengan suara keras.
"Kuntawirya, jangan bicara sembrono terhadap Sultan Banten! Sultan Banten berhak
membuat segala macam keputusan dan berhak pula merubah keputusan Itu bilamana
dianggapnya perlu! Bila kau tidak punya nyali melawan orang yang bernama Tirta
itu, turunlah dari panggung!" Bergetar kedua tinju Kuntawirya
alias Unang Gondola ketika mendengar kata-kata Sumapraja bahwa dia tidak
punya nyali untuk menghadapi Tirta!
"Patih Banten!" katanya dengan suara tak kalah keras. "Buruk-buruk begini, tapi
sepuluh manusia macam orang gunung ini masih sanggup aku hadapi!"
"Kalau begitu pertandingan bisa dimulai!" kata Patih Sumapraja pula.
Dia melambaikan tangannya dan
terdengarlah suara gong meng-gema.
ENAM TANPA menunggu lebih lama
Kuntawirya segera menyerang Tirta.
Dari angin pukulan dan tendangan yang datang dengan sekaligus Tirta maklum bahwa
lawannya tidak enteng, tapi
kalau tadi dia sanggup merampas keris perak maka walau bagaimanapun tingkat
kepandaian Kuntawirya masih berada di bawahnya. Dia melompat menjauh ke tepi
panggung dan berseru: "Sultan, harap dimaafkan kalau perbuatan saya ini
lancang. Tapi adalah lebih baik kalau keris perak murni ini untuk sementara
diletakkan kembali di tempatnya
semula!" Bersamaan dengan itu Tirta menggerakkan tangannya. Keris yang
tadi dipegangnya melesat ke udara dan jatuh di atas nampan di hadapan
Sultan. Tanpa menimbulkan suara barang sedikit pun! Semua mata memandang tak
percaya. Sultan sangat kagum dengan
kehebatan Tirta ini dan segera berkata: "Hadapi lawanmu, Tirta."
Pada saat datang sambaran angin
dari belakangnya, Tirta cepat
menggeser tubuh ke samping. Jotosan
tangan kanan yang berbahaya dari
Kuntawirya lewat di dekat kepalanya.
Sambil menekuk lutut Tirta menyodok
bagian yang lowong di pinggang lawan.
Tapi Kuntawirya tidak bodoh. Dengan
memiringkan tubuh sedikit saja dia
berhasil mengelakkan serangan itu.
Serentak dengan gerakannya ini maka
kaki kirinya membabat ke bawah perut Tirta sedang lututnya sekaligus
memapaki sodokan lawan! Namun sodokan Tirta ke pinggangnya itu cuma serangan
tipuan belaka karena dengan cepat
Tirta menarik pulang tangannya dan
sebagai gantinya kini tangan
kanannyalah yang meluncur ke pangkal leher Kuntawirya! Dalam keadaan
seperti itu tidak memungkinkan bagi Kuntawirya alias Unang Gondola untuk
merundukkan kepala mengelak serangan Tirta. Dia membuang diri ke belakang.
Untuk menghindari jotosan lawan
mengenai dadanya, laki-laki ini
mempergunakan tinju kanannya pula
untuk menyambut. Dua kepalan saling
beradu dengan dahsyat di udara. Maka kelihatanlah Kuntawirya terhuyung-huyung
jauh ke belakang sedang Tirta hanya beberapa langkah saja! Ramailah pekik sorak
orang yang banyak melihat pertandingan yang hebat ini!
Kuntawirya terkejutnya bukan main
ketika melihat bagaimana kulit
tangannya yang tadi beradu dengan
kepalan lawan kini menjadi biru
bengkak. Untuk selanjutnya dia tidak berani lagi mengadu kekuatan cara itu
dengan Tirta. Memaklumi bahwa tenaga dalam Tirta tidak berada di bawahnya, maka
dengan mengandalkan kegesitan dan kecepatan gerakannya Kuntawirya segera
melancarkan serangan bertubi-tubi. Dia harus tidak memberikan kesempatan pada
lawannya, karena sekali lawan kena
mendesak, akan payah bagi dia untuk
menghadapi. Namun kecepatan dan
kegesitan murid Resi Mintaraya itu tak ada artinya bagi Tirta. Bahkan
demikian juga ketika Kuntawirya
mengeluarkan ilmu simpanannya yang
sangat diandalkan, Tirta seakan-akan tahu
seluk-beluk ilmu silat yang
dimainkan lawannya itu! Beberapa kali tubuh Tirta berkelebat seperti lenyap dan
pada permulaan jurus ke empat saja Kuntawirya dipaksa berkenalan dengan lutut
kiri Tirta. Tubuh Kuntawirya
mental, hampir jatuh duduk di lantai panggung dan pada saat ini pula datang lagi
serangan tendangan maut dari
Tirta. Dengan jungkir balik murid Resi Mintaraya berusaha mengelakkan
serangan itu, namun celakanya begitu dia berdiri di atas kedua kakinya
kembali tahu-tahu sudah datang pula
serangan yang sangat cepat dari
lawannya, tak sanggup dielakkan! Satu-satunya jalan adalah menangkis dengan
lengan kanan. Namun serangan jotosan tangan kanan Tirta meskipun tertuju ke
kepala sasaran sebenarnya adalah
tulang iga lawan. Dengan sendirinya
Kuntawirya tertipu! "Krak!" Tulang iga Kuntawirya patah. Tubuhnya mental dan roboh tak sadarkan diri
di atas panggung! Seperti hendak runtuh langit di
atas halaman istana itu ketika
terdengar tempik sorak yang tiada
hentinya dari penonton pertandingan
menyambut kemenangan Tirta, yang
demikian hebatnya sehingga Kuntawirya yang berilmu tinggi dapat dibereskan dalam
tempo lima jurus saja! Tirta melambai-lambaikan tangannya. Setelah sorak-sorai orang banyak mereda maka dia berpaling
kepada Sultan Hasanuddin. "Sultan Yang Mulia, sekarang tiba saatnya bagi saya
untuk menerangkan malapetaka besar
yang saya katakan tadi." Tirta
menunjuk ke tubuh Kuntawirya yang
menggeletak pingsan di atas panggung.
"Sultan Yang Mulia, mungkin Sultan dan seluruh rakyat Banten yang hadir di
sini tidak tahu siapa manusia ini
adanya. Sultan dan semua orang di sini cuma mengenalnya, dengan nama
Kuntawirya! Tapi itu adalah nama palsu belaka, Sultan. Manusia ini sebenarnya
bernama Unang Gondola! Utusan rahasia Prabu Sedah dari Pajajaran, murid...."
Sampai di situ Tirta tidak dapat
meneruskan kata-katanya karena dengan sangat tiba-tiba, dari jurusan kiri
melesat bayangan biru. Dan bersamaan dengan itu terdengar suara "pess". Di atas
panggung mengepul asap putih
tebal serta berbau busuk. Tubuh Tirta dan Kuntawirya tidak kelihatan sama
sekali, tertutup oleh asap tebal itu.
Gaduhlah semua orang melihat kejadian itu. Beberapa saat berlalu. Sedikit
demi sedikit asap tebal mulai menipis.
Kemudian samar-samar kelihatanlah
Tirta duduk bersila di lantai panggung tidak bergerak-gerak. Kedua matanya
terpejam seperti seseorang yang tengah bersemadi. Pemuda ini tengah
mengerahkan tenaga batinnya untuk
menolak serangan asap putih yang busuk dan jahat yang hendak merobohkannya!
Sesudah asap aneh itu hilang sama
sekali dari atas panggung maka bahwa tubuh Kuntawirya yang tadi menggeletak
pingsan di atas panggung kini sudah
tidak ada lagi, hilang lenyap! Semakin gaduhlah orang banyak sedang pihak
kalangan istana termasuk Sultan
sendiri disamping keheranan juga
merasa cemas. Apakah sesungguhnya yang terjadi"
Waktu Tirta bicara menerangkan tentang Siapa sesungguhnya Kuntawirya maka
dari bawah panggung melesat sesosok
bayangan biru. Ini tak lain adalah
sosok tubuh dari Resi Mintaraya, guru Unang Gondola alias Kuntawirya yang
tengah menyamar itu! Sambil melompat ke atas panggung si resi sakti
mengeluarkan senjata rahasianya yaitu berupa asap tebal yang busuk sehingga
ketika mata semua orang tak melihat
apa-apa, tertutup oleh asap tebal itu, dengan cepat Resi Mintaraya membopong
tubuh muridnya dan berkelebat
meninggalkan tempat itu! Bagaimana
pula resi sakti ini sampai di kotaraja Banten" Sewaktu muridnya dikirim
menjadi utusan rahasia Sang Prabu
Sedah, Raja Pajajaran, maka diam-diam Mintaraya mengikuti perjalanan
muridnya. Unang Gondola adalah murid yang paling disayangi oleh sang resi.
Dia memaklumi bahwa di Banten bukan
sedikit terdapat orang-orang sakti,
tokoh-tokoh terkenal dunia persilatan, yang mungkin akan mencelakai muridnya itu
meskipun sang murid juga mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Karenanya
diam- diam Mintaraya mengikuti perjalanan muridnya itu. Dan ketika tadi dengan mata kepalanya sendiri
dilihatnya Unang dirobohkan lawan
serta hendak dibuka kedok rahasia
siapa dia sebenarnya maka tidak
menunggu lebih lama lagi Mintaraya
segera melompat ke atas panggung
menolong muridnya seraya melepaskan
senjata rahasia berupa asap tebal yang busuk. Senjata rahasia ini
dilepaskannya dengan dua maksud.
Pertama untuk menutupi agar tidak
seorang pun melihat dia mengangkat
tubuh Unang Gondola sehingga bisa


Mahesa Kelud - Mencari Mati Di Banten di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berlalu tanpa banyak kesukaran dan
kedua adalah untuk membunuh Tirta.
Namun untungnya Tirta memiliki ilmu
batin yang kuat sehingga berhasil
menolak bahaya keracunan dengan duduk bersila dan menutup kelima panca
inderanya. Adapun orang banyak yang
berada di sekitar panggung cepat-cepat menjauhkan diri ketika membaui asap
busuk sehingga mereka juga terhindar dari keracunan.
Perlahan-lahan Tirta membuka
kedua matanya. Dia memandang
berkeliling dan melihat betapa orang banyak yang tadi berkerubung di
sekitar panggung kini berdiri menjauhi panggung. Sedang di langkan istana
orang-orang kalangan istana yang tadi duduk sampai ke dekat tepi panggung
kini juga kelihatan menjauh sampai ke tempat duduk Sultan dan para
hulubalang! Tirta berdiri dan
melangkah ke hadapan Sultan, dia sudah maklum kalau tubuh Unang Gondola sudah
tidak ada lagi di atas panggung.
"Sultan, harap dimaafkan kalau
saya telah berlaku lengah sehingga
manusia biang malapetaka itu berhasil dibawa lari orang dari sini. Sepanjang
sepengetahuan saya, satu-satunya
manusia yang mempunyai ilmu asap
beracun itu adalah Resi Mintaraya dari gunung Halimun dan tak lain adalah
seorang Resi jahat yang menjadi guru Unang Gondola!"
Air muka Sultan Banten kelihatan
pucat. Kemudian dengan berusaha
mengulum senyum dia berkata: "Tak apa Tirta. Walau bagaimanapun kau tetap
telah menyelamatkan Banten dari
malapetaka besar. Jika kau tidak
muncul di sini, dan manusia Kuntawirya itu berhasil menduduki jabatan Kepala
Balatentara, maka celakalah Kerajaan Banten! Tirta, kau majulah. Terimalah keris
perak ini...." Di hadapan Sultan Hasanuddin
Tirta menjura lalu mengulurkan
tangannya menerima keris perak yang
berukir indah itu. Dan untuk kesekian kalinya, suasana yang tadi sunyi
senyap diliputi ketegangan yang
menggidikkan kini pecah dirobek oleh suara tempik sorak orang banyak.
TUJUH HARI itu di istana diadakan
sidang penting. Turut hadir di
antaranya adalah Raden Mas Tirta, yang sudah diangkat sejak setahun yang lalu
menjadi Kepala Balatentara Banten dan kepadanya diberikan gelaran Raden Mas.
Sidang kali ini khusus membicarakan
mengenai penyelundup-penyelundup dan mata-mata Pajajaran yang semakin
menjadi-jadi menyusup ke Banten.
Berbagai kerugian telah ditimbulkan
oleh penyusup-penyusup itu. Gudang
padi di beberapa tempat dibakar,
tangul- tanggul air dibobol dan lain sebagainya,sebegitu
jauh baru satu orang pelaku yang dapat ditangkap dan dihukum,Selain itu masih ada belasan orang
lagi berkeliaran. Seorang pemuda berpakaian
sederhana kelihatan mundar-mandir di halaman luas hadapan istana. Dia
bergerak di antara orang banyak yang lalu-lalang sehingga tidak menjadi
kecurigaan para pengawal. Namun
sesungguhnya pemuda ini seorang mata-mata Pajajaran juga adanya. Dia
langsung dikirim, atas kehendak Prabu Sedah, Raja Pajajaran. Namanya Ismaya.
Meskipun masih muda tapi tangkas dan tinggi ilmunya, cuma satu tingkat
kalahnya di bawah Unang Gondola. Mata-mata Pajajaran yang seorang ini
mendapat tugas istimewa dari Prabu
Sedah yaitu mencari berita-berita
penting dari kalangan orang-orang
istana Banten yang bisa "dibeli" dan menimbulkan kekacauan huru-hara di
Kotaraja untuk melemahkan Banten dari dalam!
Demikianlah, hari itu ketika
diketahuinya bahwa di istana sedang
diadakan sidang penting maka Ismaya
segera menuju ke sana. Tapi sidang
kali ini dijaga keras oleh para
pengawal sehingga ismaya tidak dapat menyusup mencari berita. Bukan main
kesalnya pemuda ini. Dia mundar mandir dan kedua kakinya mulai terasa pegal.
Apa yang harus dikerjakannya" Sidang sudah berjalan sejak pagi dan tentu
tak beberapa lama lagi akan segera
selesai sedang dia masih juga belum
berhasil mendapatkan keterangan barang sedikitpun! Dalam kebingungannya,
pemuda mata-mata itu akhirnya
pandangannya membentur seekor kerbau jantan besar, bertanduk runcing
melengkung, berkulit bersih mengkilap.
Di leher binatang ini tergantung
telong-telong yang terbuat dari perak sedang di atas punggungnya terkembang
sehelai permadani berkembang-kembang indah. Pada ujung ekornya diberi
rumbai-rumbai kuning. Kerbau jantan
ini tak lain adalah binatang
kesayangan peliharaan Pangeran, putra Sultan Banten. Kepada sang Pangeran,
binatang ini penurut dan mengerti
sekali. Namun bukan itu saja yang
membuat Pangeran sayang kepadanya. Ada pula sebab yang lain yaitu bahwa
binatang ini dulu pada suatu ketika
pernah menyelamatkan Pangeran dari
bahaya maut diterkam harimau di tepi hutan.
Melihat binatang ini, maka
timbullah pikiran jahat di otak Ismaya yaitu sesuai dengan tugasnya
mengacaukan dan menimbulkan huru-hara di Banten. Dengan tersenyum buruk pemuda
ini melangkah ke balik sebuah
pohon. Diambilnya sebutir batu kecil.
Dari dalam sabuknya dikeluarkannya
sejenis bubuk lalu batu kecil tadi
digosoknya dengan bubuk tersebut.
Bubuk ini adalah sejenis obat
perangsang yang membuat manusia atau binatang bisa menjadi mengamuk seperti
orang gila atau kemasukan setan!
Kerbau besar itu melangkah perlahan-
lahan dengan tegapnya sambil memamah rumput hijau yang ada dalam mulutnya.
Ismaya memandang dulu berkeliling.
Melihat tak ada satu orang pun di
dekat-dekat sana yang memperhatikannya maka dengan segera dilemparkannya
butiran batu kecil tadi ke arah hidung kerbau Pangeran.
Seperti suara geledek yang tiba-
tiba, demikianlah keras serta
panjangnya kuak kerbau tersebut.
Hidungnya mendengus-dengus. Ini
menambah mudah bubuk rangsangan
bekerja. Kerbau itu menguak lagi sekeras-
kerasnya lalu mengangkat kedua kaki
mukanya ke atas sedang ekornya
berputar-putar gesit laksana sebuah
cambuk! Kedua mata binatang itu yang tadi putih bening kini kelihatan
menjadi merah laksana saga. Dan ketika di hadapannya muncul sebuah kereta
istana yang membawa barang-barang
perbekalan dapur, ditarik oleh dua
ekor kuda hitam, tak ayal lagi kerbau yang sudah menjadi gila dan jalang itu
berlari menyongsong! Sambil
mengeluarkan suara menguak yang
dahsyat ditanduknya kedua ekor kuda
kereta tersebut. Kuda kereta meringkik tinggi lain roboh bermandikan darah.
Keretanya sendiri terbalik dan barang-barang perbekalan yang dibawa
berhamburan. Kusir kereta melompat dari kereta
yang terbalik itu, tapi karena gugup telah melompat ke hadapan kerbau yang
tengah menggila sehingga dengan
sendirinya diapun menjadi korban
ditanduk pada perutnya sehingga
ususnya berbusaian! Melihat kejadian itu maka orang yang lalu-lalang di
muka istana segera lari menjauh sambil berteriak-teriak: "Kerbau mengamuk!"
"Awas kerbau mengamuk!"
"Kerbau Pangeran mengamuk! Lari!
Awas ditanduk!" Beberapa orang prajurit bersenjatakan tom-bak yang mengawal di dekat situ segera turun tangan. Namun
mereka pun disapu semuanya hingga
roboh mandi darah oleh kerbau yang
mengamuk itu dan diinjak-injak
kepalanya! Penjinak kuda dan orang
yang biasa mengurus kerbau Pangeran
Jusuf ini dipanggil dimintakan bantuan mereka. Orang-orang inipun tidak berdaya
bahkan menerima nasib sama,
menemui ajal ditanduk! Dalam waktu
kurang dari sepuluh menit saja sudah delapan korban berkaparan di halaman luas
itu. Jerit orang ramai semakin
menjadi-jadi disertai ringkik kuda dan diatasi oleh suara menguak kerbau yang
mengamuk itu sendiri! Kotaraja menjadi puncak heboh! Meskipun semua orang
takut dan ngeri mendengar kejadian itu tapi banyak di antara mereka yang
datang berlari-lari ke sana untuk
menyaksikan kejadian itu dengan mata kepala sendiri dari kejauhan, dari
balik-balik pohon atau dari balik-
balik bangunan. Beberapa orang prajurit datang
lagi. Ada yang mencoba mendekati
binatang ini dari belakang, tapi roboh konyol kena tendangan kaki. Dua orang
yang datang dari muka dengan serentak menangkap tanduk sang kerbau. Binatang ini
menguak dan sekali saja dia
menggerakkan kepalanya maka
berpentalanlah kedua prajurit itu.
Yang satu segera meregang nyawa karena tersambar tanduk di dadanya sedang
yang satu lagi masih sempat
menyelamatkan diri. Tapi nasibnya tidak lebih baik dari kawannya tadi.
Kerbau gila itu mengejarnya dengan
cepat lalu menanduknya dari belakang!
Dalam keadaan yang kacau balau
itu beberapa orang prajurit dengan
takut-takut berani melemparkan tombak mereka dari jauh. Tiga batang tombak
meleset. Dua batang menancap di
tengkuk dan di pinggul. Kerbau itu
menguak memperlihatkan gigi-giginya
yang besar-besar lalu lari ke arah
prajurit-prajurit yang menombaknya
itu, untung saja prajurit-prajurit ini sudah lebih dahulu angkat langkah
seribu. Darah keluar dari luka kena
tombak di tubuh kerbau. Binatang ini menggeser-geserkan badannya ke tembok
istana sehingga salah satu dari tombak yang menancap di tubuhnya patah. Bagi
seekor binatang yang sedang mengamuk menggila maka terluka akan menambah
gila amuknya. Demikian juga dengan
kerbau kesayangan Pangeran ini.
Beberapa orang korban lagi jatuh di
kalangan rakyat. Dari gardu istana mendadak
kelihatan berlari seorang kepala
prajurit berpangkat rendah. Di
tangannya tergenggam sebuah keris dan prajurit yang masih muda ini segera
menerjang binatang itu. Tumit kaki
kanannya menghantam tengkuk kerbau
dari samping. Kerbau yang terhuyung-
huyung seketika lalu membalik dengan cepat dan menanduk. Gesit sekali
gerakan kepala prajurit itu sehingga dia berhasil mengelakkan serangan maut
tersebut dan bahkan menghunjamkan
kerisnya ke kening kerbau. Binatang
itu menguak. Kedua kakinya naik ke
atas, ekornya menyabat buas dan dia
membalikkan tubuhnya dengan dahsyat.
Gerakan yang tiba-tiba ini hampir saja mencelakai prajurit muda tersebut. Dia
menjatuhkan diri dan bergulingan di
tanah. Kerbau yang mengamuk memburu
dan menanduk tapi pemuda itu berguling lagi sehingga yang ditanduk hanyalah
tanah halaman istana! Tanah itu
berlobang besar! Melihat apa kini yang terjadi di
muka istana yaitu perkelahian maut
antara seorang kepala prajurit muda
dengan kerbau yang mengamuk gila, maka semakin banyaklah orang datang
berkerumun ke sana. Prajurit-prajurit yang tadinya hendak menghujani
binatang itu dengan tombak jadi
terkesiap dan tanpa menyadari mereka ikut pula menonton dari kejauhan!
Manusia lawan binatang, ini memang
satu tontonan yang luar biasa! Lupa
orang banyak itu kini betapa ngerinya korban-korban yang berkaparan di sekitar
halaman luas itu! Seorang pengawal yang tahu akan
tugasnya segera lari ke dalam istana dan memberi
laporan pada Sultan. Pangeran Yusuf terkejut sekali
mendengar bahwa kerbau peliharaan yang sangat disayanginya itu tengah
mengganas mengamuk dan telah membunuh beberapa orang prajurit serta rakyat.
Sidang dihentikan Pangeran orang yang nomer satu keluar dari istana dan
tanpa menyadari bahaya dia lari ke
halaman. "Aduh kerbauku! Kenapa kau jadi begini" Kerbauku sayang...!" seru Pangeran
seraya berlari ke arah binatang yang kini mandi darah karena tusukan-tusukan keris di tangan kepala
prajurit tadi. Kalau dulu dipanggil
seperti itu sang kerbau yang mengerti dan penurut pasti akan datang dan
menjilat-jilat tangan Pangeran. Tapi dalam keadaan mengamuk mana dia
perduli sama sang Pangeran"! Kerbau
itu menyerudukkan tanduknya ke perut sang Pangeran! Orang banyak menjerit!
Pasti berbusaian usus Pangeran itu.
Namun dengan sangat gesit sekali,
kepala prajurit tadi mendahului
gerakan sang kerbau. Dengan tangan
kirinya ditariknya lengan Pangeran.
"Maaf Pangeran! Sebaiknya menghindarlah! Kerbau ini mengamuk
gila, tak bisa dibikin jinak sekalipun oleh Pangeran sendiri!"
Pangeran terguling di tanah. Pakaiannya kotor oleh debu dan darah.


Mahesa Kelud - Mencari Mati Di Banten di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kepala prajurit tadi begitu
menyelamatkan Pangeran segera me-
ngirimkan tendangan ke tengkuk kerbau.
Binatang ini terhuyung-huyung dan
melenguh lalu menyabatkan ekornya ke muka kepala prajurit itu tapi meleset.
Tanpa disadari orang banyak yang
tadinya ngeri melihat amukan kerbau
itu kini karena saking asyiknya
melihat perkelahian antara manusia dan binatang itu jadi bersorak-sorak!
Sorak-sorai yang gegap gempita ini
menelan suara teriakan Pangeran dari ujung sana yang tiada henti-hentinya
berteriak: "Jangan bunuh kerbauku!
Jangan bunuh kerbauku!"
Beberapa tusukan keris ampuh pada
kepala agaknya masih belum melemahkan binatang yang mengamuk itu malahan dia
menggila lebih dahsyat. Sambil
mengelak gesit kian kemari kepala
prajurit tiada henti-hentinya
menusukkan kerisnya. Namun
kegesitannya itu merupakan satu kesia-siaan
belaka ketika kaki kirinya
tergelincir oleh licinnya darah yang bertebaran di tanah. Tak ampun lagi
tubuhnya terpelanting ke belakang dan bersamaan dengan itu si kerbau
menyerudukkan tanduk menyerangnya.
Orang banyak yang menonton dari
kejauhan tidak mengetahui betapa
sesungguhnya kepala prajurit itu
tengah diancam bahaya maut. Mereka
mengira bahwa dia cuma melakukan satu gerakan menjatuhkan diri untuk
menghindari serangan binatang gila
itu. Namun di antara sekian banyaknya pasang mata yang menyaksikan masih ada
seorang manusia yang memaklumi bahwa sesungguhnya kepala prajurit itu sudah
dikejar maut di depan mata! Tanpa
menimbulkan perhatian orang-orang di dekatnya, laki-laki yang juga masih
muda ini menggerakkan tangannya. Tak terlihat karena kecil dan cepatnya
maka melayanglah sebutir batu yang
menghantam dengan tepat ke mata kiri kerbau itu. Binatang ini menguak
tinggi. Matanya pecah dan kepalanya terdorong ke samping sehingga
tanduknya hanya menghantam tanah!
Kepala prajurit itu melompat dengan
cepat. Orang bersorak gemuruh. Tak
satu pun di antara mereka yang melihat lemparan batu itu tapi tidak demikian
halnya dengan si kepala prajurit yang telah tertolong jiwanya. Kepala
prajurit ini sambil melompat tadi
masih sempat melihat gerakan tangan
penolongnya! Kini prajurit itu tidak main-main
lagi. Tubuhnya berkelebat dan kerisnya menusuk kepala kerbau berulang kali.
Lambat laun binatang itu menjadi lemas juga. Tubuhnya limbung terhuyung-huyung
sedang suara menguaknya tidak sedahsyat tadi lagi. Akhirnya robohlah binatang
itu ke tanah tanpa nyawa!
Menggemuruh sorak-sorai orang banyak.
Seorang pengawal datang berlari
menyongsong kepala prajurit yang
tangkas dan berjasa besar itu.
"Saudara," kata prajurit ini. "Kau dipanggil menghadap oleh Sultan."
Sebelum melangkah kepala prajurit
itu mendekati penolongnya tadi
terlebih dahulu dan berkata berbisik:
"Sahabat, kau jangan kemana-mana.
Tunggu aku di sini."
Pemuda berpakaian putih-putih serba sederhana itu tersenyum dan
menganggukkan kepala. Kepala prajurit tadi datang menghadap Sultan yang
menyambutnya dengan gembira: "Aku bangga mempunyai seorang prajurit
sepertimu ini. Siapakah namamu?"
"Nama saya Ekawira, Sultan,"
jawab kepala prajurit itu pula.
"Hemm, dengar Ekawira. Mulai hari ini kuberi gelar Raden Mas kepadamu!
Karena jasamu yang tiada ternilai,
karena kau telah menyelamatkan
puteraku dari amukan kerbau itu dan
sekaligus juga telah menyelamatkan
korban-korban yang pasti akan jatuh, maka mulai hari ini pula kuangkat kau
menjadi Kepala Pengawal Istana! Harap jabatan itu kau terima dengan hati
puas dan jalankan tugasmu dengan
baik!" Ekawira menjura: 'Terima kasih,
Sultan. Akan saya jalankan
tugas dengan sebaik-baiknya," katanya dengan hati sangat gembira karena tiada
menduga akan diberikan pangkat
kedudukan sedemikian tingginya.
Sultan Banten melambaikan
tangannya kepada seorang pegawai
rumahtangga istana dan berkata pada
orang ini: "Berikan kepadanya pakaian angkatan sebagai Kepala Pengawal Istana."
Kemudian Sultan berpaling pada Ekawira, "Raden Mas Ekawira, tukarlah pakaianmu.
Jika sudah selesai segera kembali ke sini untuk mengikuti sidang yang tadi belum
selesai." Ekawira menjura. Parasnya
kelihatan kemerahan karena itulah
untuk pertama kalinya dalam hidupnya dia dipanggil orang dengan gelar
"Raden Mas" dan oleh Sultan pula!
Semua orang juga merasa gembira
melihat pengangkatan Kepala Pengawal Istana itu. Memang kalau melihat
kepandaian dan jasa yang telah diperbuat laki-laki muda itu sudah
sepantasnya dia diberikan jabatan
tersebut. Namun agaknya akan salah
kalau kita katakan "semua" orang merasa gembira karena rupanya ada
salah satu di antara mereka yang
merasa tidak senang dengan
pengangkatan itu. Orang ini tak lain adalah Raden Mas Tirta, Kepala
Balatentara Banten! Me-ngapa pula dia ini tidak senang" Ini tak lain ialah
karena sejak diangkat menjadi Kepala Balatentara maka sifat-sifat baik dari
Tirta lama kelamaan hilang satu demi satu, berganti dengan sifat dengki iri
hati, gila hormat dan gila kemewahan, sehingga setiap ada seseorang baru
yang diberi pangkat tinggi, meskipun masih berada di bawahnya namun karena rasa
dengkinya, dia jadi tak ubahnya seperti cacing kepanasan!
Seiesai sidang, Raden Mas Ekawira
meminta diri karena ada urusan yang
harus diselesaikannya. Cepat-cepat dia keluar dari istana. Hatinya cemas
kalau pemuda yang telah menolongnya
tadi sudah pergi karena kelewat lama menunggu. Tapi nyatanya pemuda itu masih
ada di ujung halaman istana,
menanti di bawah sebatang pohon
beringin yang sangat rindang dan
teduh. Dengan tersenyum Raden Mas
Ekawira menghampiri pemuda itu.
"Sahabat, aku berhutang nyawa
kepadamu. Namamu siapa dan kau datang
.dari mana?" Sambil bertanya itu Raden Mas Ekawira meletakkan tangan kanannya di
pundak kiri si pemuda. Pemuda ini merasakan betapa tangan yang
diletakkan di atas pundaknya laksana beban yang beratnya ratusan kati. Dia
maklum bahwa laki-laki itu tengah
menguji kekuatannya. Diam-diam si
pemuda mengerahkan tenaga dalamnya
dari pusar terus ke pundak kiri. Dan Ekawira jadi terkejut ketika merasakan
betapa pundak itu tidak tergetar sama sekali bahkan dia tak ubahnya seperti
memegang satu kepingan batu karang
yang keras membaja! Pemuda itu tersenyum: "Aku cuma seorang dusun saja Raden, yang
kebetulan datang melihat-lihat ke
Kotaraja ini dan turut menyaksikan
kegaduhan karena kerbau mengamuk tadi itu...."
Ekawira menarik tangannya dengan
cepat ketika bagaimana pundak yang
masih dipegangnya itu mendadak
mengeluarkan hawa dingin sekali yang membuat tulang-tulang tangannya sampai
terasa ngilu! "Sahabat! Rupanya kau bukan orang sembarangan. Katakan
namamu!" "Namaku Mahesa Kelud, Raden Mas,"
jawab si pemuda. "Gurumu siapa?"
"Ah, saya cuma berguru pada
seorang jago silat kampungan, Raden
Mas. Apalah artinya," sahut Mahesa.
"Hem, tak usah merendah, Mahesa.
Kalau kau cuma belajar pada guru silat kampungan mengapa kau membawa-bawa
pedang segala?" ujar Raden Mas Ekawira seraya melirik ke punggung si pemuda di
belakang mana tersembul gagang
sebuah pedang berwarna merah dan
berumbai-rumbai. "Baiklah kalau kau tak mau menerangkan siapa gurumu,"
kata Ekawira tak hendak mendesak.
'Tapi katakanlah, apakah kedatanganmu ke Banten ini disertai maksud yang
baik?" "Justru aku datang ke sini adalah untuk menghambakan diri, Raden Mas.
Kudengar terlalu banyak penyusup-
penyusup Pajajaran yang menimbulkan
huru-hara di Kotaraja ini."
"Bagus sekali, Mahesa!" kata Raden Mas Ekawira dengan gembira.
"Memang orang-orang macam kau inilah yang sangat dibutuhkan oleh Banten.
Dengar Mahesa, aku baru saja diangkat menjadi Kepala Pengawal Istana oleh
Sultan! Secara jujur dan terus terang kukatakan pangkat tinggi itu kudapat
adalah berkat bantuanmu. Di samping
itu aku maklum pula bahwa kau berilmu tinggi yang mungkin lebih tinggi
dariku. Kalau kau suka, aku tidak
ragu-ragu untuk mengambilmu jadi
pembantuku, Mahesa Kelud!"
"Terima kasih, Raden Mas. Kalau tawaran itu memang diajukan dengan
hati jujur dan kepercayaan, saya
bersedia menerimanya dan sekali lagi saya menghaturkan terima kasih," jawab
Mahesa Kelud. Saat itu lewatlah seorang
berpakaian bagus. Raden Mas Ekawira
berpaling. Yang datang ternyata adalah Raden Mas Tirta, Kepala Balatentara
Banten. "Eh, Dimas Ekawira. Kukira siapa. Hem, Dimas aku turut
mengucapkan selamat atas pengangkatanmu menjadi Kepala Pengawal istana. Tak kusangka di antara kepala
prajuritku ada seseorang yang
berkepandaian demikian tingginya.
Agaknya kau memiliki keris pusaka yang ampuh, Dimas?"
Raden Mas Ekawira cepat-cepat
menjura karena dia maklum dengan siapa dia berha-dapan. "Terima kasih atas
ucapan selamat itu Raden Mas Tirta."
Raden Mas Tirta melirik pada
Mahesa Kelud. "Eh, siapakah pemuda ini Dimas, mengapa kau bercakap-cakap
dengan pemuda dusun macam beginian?"
"Oh, saya lupa menerangkan. Dia adalah pembantu saya yang barusan saya angkat,
Raden Mas." "Hemmm... pembantumu?" desis Raden Mas Tirta seraya meneliti Mahesa Kelud dengan
pandangan mengejek. Yang dipandang cuma senyum-senyum saja
namun kedua matanya memandang dengan menyorot tajam pada Kepala Balatentara
Banten itu. Ketika Raden Mas Tirta
menatap ke mata pemuda ini, dia
membuang muka dengan sikap mencemooh padahal hatinya tergetar dan sesuatu hal
yang tidak dapat dimengerti
membuat dia tak sanggup balas menatap tantangan mata Mahesa itu!
Raden Mas Tirta berpaling pada
Ekawira, "Baiklah Dimas, dalam
kedudukanmu yang baru ini kau akan
banyak berhubungan denganku. Mudah-
mudahan kita bisa bekerja sama dalam pengabdian kita kepada kerajaan."
"Mudah-mudahan, Raden Mas."
"Nah, aku pergi sekarang."
"Baik Raden Mas."
Sesudah Kepala Balatentara Banten
itu berlalu maka Ekawira menepuk bahu Mahesa Kelud. "Dimas, marilah. Sultan
telah memberikan tempat kediaman baru untukku. Kebetulan aku memang belum
beristeri sehingga kita bisa tinggal sama-sama di sana."
"Terima kasih. Kau baik hati
sekali Raden Mas." DELAPAN SESUNGGUHNYA keadaan bisa membuat
sifat manusia yang baik menjadi buruk dan yang tadinya buruk menjadi baik.
Misalnya seseorang yang tadinya
miskin. Dalam kemiskinan dan penuh
duka derita kehidupannya dia lebih
dekat kepada Tuhan. Taat beribadat,
suka menolong sesama manusia, tinggi budi rendah hati. Tapi ketika dia
menjadi seorang kaya raya, berharta
banyak dan ber-pangkat tinggi, lupalah dia bahwa dulunya dia seorang miskin
sengsara. Kehidupan yang mewah menutup matanya terhadap segala kebaikan.
Kalau waktu miskin dulu dia tidak
kenal dengan segala macam minuman
keras, maka kini dia sangat gemar
dengan minuman macam begituan, kalau selagi hidup sengsara dulu dia tidak kenal
perjudian, maka kini dia setelah kaya raya dan berpangkat, judi macam mana yang
tidak diketahuinya" Kalau
dulu isterinya cuma satu dan dia tidak kenal paras yang cantik jelita atau
tubuh yang indah menggiurkan, maka
kini gundik-selir peliharaannya
bertebaran di mana-mana, hampir tidak terhitung jumlahnya. Terhadap orang
miskin tidak memandang sebelah mata, lupa dia bahwa dulu dia juga manusia macam
begituan. Tak ada lagi sifat
hati welas asih dan penolong! Meski harta sudah banyak, pangkat sudah
tinggi tapi dia selalu digerayangi
setan dengki dan nafsu tamak bila
melihat seorang lain hidup senang dan menduduki pangkat yang tinggi pula!
Perumpamaan di atas itu rupanya benar terjadi atas diri Tirta, yang sudah
hampir setahun lamanya mendapat gelar Raden Mas dan mendapat pangkat tinggi
sebagai Kepala Bala tentara Banten.
Sikap dan sifatnya jauh berbeda dari dahulu, laksana siang dengan malam
laksana putih di atas hitam!
Sesudah pertemuan dengan Raden


Mahesa Kelud - Mencari Mati Di Banten di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mas Ekawira serta Mahesa Kelud tadi, dia langsung menuju ke tempat
kediamannya. Kedatangan-nya disambut oleh isterinya yang pertama yaitu
Ratnawati. Kalau kita katakan isteri pertama, maka berarti ada pula yang kedua
dan ketiganya! Memang demikianlah adanya! Ternyata pangkat yang tinggi dan harta yang melimpah
telah pula membuat Tirta menjadi
seorang laki-laki mata keranjang doyan perempuan! Isteri sahnya ada tiga,
tapi selir atau gundiknya ada lima.
Kedelapan perempuan yang rata-rata
masih muda belia belasan tahun itu
tinggal serumah, diberi kamar dan
perlengkapannya masing-masing! Jumlah delapan itu baru yang kita ketahui
dengan jelas saja, jadi belum
terhitung perempuan-perempuan yang
menjadi peliharaannya yang kabarnya
tersebar di setiap kampung yang ada di Banten!
Melihat tampangnya yang asam,
seperti cuka, melihat kerut muka yang seperti parutan tahulah para isteri
dan gundik-gundiknya bahwa ada sesuatu kejadian yang tidak menyenangkan hati
Raden Mas Tirta. Kalau sudah begitu di antara perempuan-perempuan itu tidak ada
yang berani mendekat kecuali sang isteri pertama Ratnawati! Perempuan
ini pada takut karena kalau sedang
marah-marah sikap Raden Mas Tirta
kasarnya bukan main. Dari mulutnya
menyemprot kata-kata kasar dan kotor bahkan tak jarang pula dia melekatkan kaki
tangannya! "Kangmas, agaknya ada sesuatu
yang terjadi?" tanya Ratnawati.
"Ah, kalian orang-orang perempuan jangan ikut campur urusanku! Pergi
sana, tak usah menggangguku!" kata Raden Mas Tirta kasar dan keras.
Ratnawati tersenyum simpul. Dia
sudah biasa dengan semprotan macam
begituan. "Aih, kangmas Tirta. Kau ini bicara seperti aku dan yang lain-lainnya
itu bukan isteri-isteri kangmas saja. Katakanlah ada apa,
kangmas?" tanya Ratnawati dengan manja dan lemah lembut seraya mencium pipi
suaminya. Kalau sudah begini agak
dingin hati Raden Mas Tirta sedikit.
Namun suaranya tetap keras ketika
berkata: "Sialan Sultan Hasanuddin itu!"
"Sialan bagaimana, kangmas?"
tanya Ratna-wati. "Coba kau pikir, masakan seorang kepala prajurit rendahan karena
membunuh seekor kerbau gila mengamuk saja diangkat menjadi Kepala Pengawal
Istana! Sialan tidak"!"
"Siapakah kepala prajurit yang
kejatuhan bintang terang itu,
kangmas?" tanya Ratnawati pula.
"Si keparat Ekawira! Malahan dia dapat gelar Raden Mas pula! Kunyuk
benar!" "Hemmm..." gumam Ratnawati sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Memang tidak
pantas kalau prajurit rendah
macam dia diangkat untuk jabatan yang demikian tingginya. Tapi yah, apa mau
dikata" Sultan berhak menjalankan apa maunya. Lagi pula kangmas, menurut
isterimu yang bodoh ini kurasa itu
tidak akan memberi pengaruh yang buruk bagimu. Sebagai Kepala Balatentara
Banten bukankah dia berada di
bawahmu?" "Benar, tapi aku tetap tidak senang dia menduduki jabatan itu! Biar aku jadi Kepala Balatentara namun
dalam segala urusan mengenai istana, aku harus berhubungan dengan dia,
harus berunding, tak dapat lagi
mengambil keputusan sendiri!"
"Itu memang betul, kangmas. Tapi kita lihat sajalah. Manusia macam
Ekawira itu mana becus memegang
jabatan sedemikian tingginya. Dalam
waktu satu minggu saja dia pasti akan digeser atau diperhentikan!" membujuk
Ratnawati. Hati Raden Mas Tirta agak
terhibur sedikit mendengar kata-kata isterinya itu. "Dan kau tahu, Ratna,"
kata laki-laki itu pula, "Mentang-mentang sudah berpangkat tinggi kini, si
Ekawira itu mengangkat seorang
pembantu! Seorang pemuda dusun yang
tolol! Dasar, begitulah kalau orang
goblok berpangkat tinggi, pembantunya pun
dari kalangan tolol! Mereka
seharusnya jadi penggembala-
penggembala kerbau atau tukang
bersihkan kandang kuda istana!"
Ratnawati tertawa cekikikan
mendengar ucapan suaminya itu, tapi
tertawa yang cuma dibuat-buat. Saat
itu muncul seorang pengawal.
"Keparat!" maki Raden Mas Tirta.
"Ada apa kau tidak dipanggil datang menghadap?"
"Maaf Raden Mas. Tapi di luar ada seorang tamu yang hendak bertemu
dengan Raden Mas. Dia mengaku bernama Jaka Luwak."
Kalau saja pengawal itu tidak
menyebutkan nama Jaka Luwak cepat-
cepat tentu pipinya sudah kena
tamparan Raden Mas Tirta. Siapakah
gerangan manusia bernama Jaka Luwak
yang begitu memberi pengaruh kepada
sang Kepala Balatentara Banten ini"
Jaka Luwak adalah saudara atau
tepatnya kakak seperguruan dari Tirta.
"Hem... Jaka Luwak katamu" Kalau begitu suruh dia masuk, langsung
antarkan kepadaku! Cepat!"
"Kangmas, siapakah orang yang
bernama Jaka Luwak itu?" tanya
Ratnawati. Raden Mas Tirta tertawa bergelak.
"Dia adalah kakak seperguruanku, Ratna. Ilmunya lebih tinggi dan lebih lihay
dariku! Kalau dia mau kusuruh
menetap di sini, dia bisa diharapkan menjadi pembantu dan tulang
punggungku!" Tak lama kemudian dengan diantar
oleh pengawal tadi maka masuklah
seorang pemuda berkulit kuning
berbadan tegap dan bertam-pang keren.
Dia memelihara kumis kecil yang
menambah kegagahan parasnya.
"Kakang Jaka Luwak, silahkan
duduk. Tak sangka kau akan datang
menemuiku. Bagai-mana kabar guru?"
tanya Raden Mas Tirta. Pemuda bernama Jaka Luwak itu
berdiri dengan bertolak pinggang. Dia melirik pada Ratnawati, dua isteri
lainnya dan gundik-gundik adik
seperguruannya lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bukan main dimas, kau sudah
hebat sekali rupanya, sehingga tidak mau melihat kami saudara-saudaramu di
gunung Gede. Kalau aku bertemu denganmu di tengah jalan dalam pakaian kebesaran ini, pasti aku tak akan
mengenalimu! Tentang guru, beliau ada baik. Beliaulah yang menyuruh aku datang
ke sini untuk rnendampingimu."
"Bagus dan syukur kakang Jaka
Luwak. Memang seorang yang berilmu
tinggi sepertimu sangat dibutuhkan di Banten ini!"
Jaka Luwak mengambil tempat duduk
di hadapan adik seperguruannya. Raden Mas Tirta berpaling pada Ratnawati dan
berkata: "Ratna, kau dan yang lain-lainnya segera siapkan makan siang!
Aku akan makan sama-sama kakak
seperguruanku ini!" Beberapa orang gundik Raden Mas Tirta melirik genit pada
pemuda yang baru datang dan
bertampang gagah itu. Sedang Jaka
Luwak sendiri tengah memperhati-kan
Ratnawati karena memang perempuan
inilah yang paling cantik daripada
yang lain-lainnya. Jaka Luwak berpaling kepada adik
seperguruannya lalu berkata: "Dimas, waktu aku ke sini aku membawa seorang
tawanan." "Seorang tawanan?" tanya Raden Mas Tirta seraya mengerutkan
keningnya. Jaka Luwak mengangguk. "Aku
berada di pinggir kotaraja tengah
berlari menuju ke sini. Tiba-tiba
kulihat seorang pemuda berlari cepat.
Sikap dan tampangnya mencurigakan.
Kukejar dia dan kutegur. Eh, tak hujan tak angin tahu-tahu dia menyerangku.
Aku segera turun tangan dan merobohkannya dalam dua jurus. Kutotok urat kakinya agar tidak lari lalu
kupaksa dia untuk memberi keterangan.
Ternyata dia seorang mata-mata
Pajajaran dan mengaku bernama Ismaya.
Dia juga mengakui bahwa dialah yang
telah melempar kerbau Pangeran dengan sebutir batu yang dibubuhi obat
perangsang sehingga binatang itu
menjadi gila dan mengamuk! Bangsat
Pajajaran itu ada di luar sekarang."
"Sebaiknya bawa dia ke sini,
kakang," kata Raden Mas Tirta. Dia menyembunyikan rasa terkejutnya ketika
mendengar keterangan Jaka Luwak tadi bahwa kakak seperguruannya ini telah
menawan seorang mata-mata Pajajaran.
Jaka Luwak berdiri dan keluar. Tak
lama kemudian dia masuk lagi dengan
menyeret sesosok tubuh pemuda yang
mukanya babak belur bekas pukulan.
Pemuda ini dihempaskan ke lantai.
"Kakang, tolong kau lepaskan
totokannya," kata Raden Mas Tirta.
Jaka Luwak memandang dengan tak
mengerti pada Kepala Balatentara
Banten itu namun tanpa banyak tanya dia segera melepaskan totokan tawanan itu.
"Namamu Ismaya?" tanya Raden Mas Tirta.
Tawanan itu mengangguk dan duduk
men-jelepok di lantai. "Kau mata-mata Pajajaran"!"
"Betul!" jawab Ismaya tanpa ragu-ragu ataupun takut.
"Kau tahu apa artinya kalau dirimu ditawan seperti saat ini"!"
tanya Raden Mas Tirta. "Mengapa tidak" Tapi aku tidak
takut! Kalau orang-orang Banten hendak membunuhku, hendak menggaritung atau
mencincang ataupun hendak membakarku hidup-hidup aku tidak takut! Aku akan mati
tapi puluhan mata-mata Pajajaran masih banyak bertebaran di sini dan
ratusan lagi akan terus menyusup
sampai akhirnya Banten sama rata
dengan tanah! Aku tidak takut mati
karena Sang Prabu telah memberikan
hadiah yang tiada ternilai bagiku dan jaminan kehidupan untuk tujuh
turunanku! Salah satu di antara hadiah yang aku terima dari Sang Prabu adalah
keris...." Dari balik pinggangnya Ismaya mengeluarkan sebuah keris yang
keseluruhan-nya terbuat dari emas murni, gagangnya berbentuk kepala
burung garuda yang pada kedua matanya dihiasi dengan butiran berlian sebesar
jagung! Jaka Luwak dan Raden Mas Tirta
kagum bukan main melihat keris yang
indah itu. Saat itu terdengar pula
suara Ismaya kembali: "Saudara-
saudara, kalian berdua tentunya orang-orang berkepandaian tingi. Orang-orang
semacam kalian sangat dibutuhkan oleh Sang Prabu. Kalau...."
"Tutup mulutmu keparat!" bentak Jaka Luwak. Tapi kembali pemuda ini
jadi terheran-heran ketika dilihatnya adik seperguruannya melambaikan tangan dan
berkata: "Biarkan saja dia bicara terus kakang."
"Orang-orang semacam kalian,"
meneruskan Ismaya. "sangat dibutuhkan oleh Sang Prabu. Kalau kalian mau
berpihak kepada Pajajaran dan membantu Pajajaran dalam menghancur-kan Banten,
pasti kalian akan dihadiahi harta
benda dan kekayaan serta jaminan hidup yang jauh lebih besar serta mewah
dariku. Ini bukan omong kosong belaka mengingat Pajajaran jauh lebih kaya
dari Banten." Seperti yang sudah diterangkan
sebelumnya sejak dia menjabat pangkat Kepala Balatentara Banten maka Raden Mas
Tirta telah menjadi buruk dan
jahat, busuk dan iri hati, tamak serta loba gila harta dan wanita! Di samping
itu dia juga cerdik sekali. Mendengar keterangan mata-mata Pajajaran itu
diam-diam di hatinya timbullah maksud untuk mengeduk keuntungan yang
sebesar-besarnya. "Hmm... Ismaya," gumam Raden Mas Tirta. "Apakah kau masih ingin hidup?"
"Sernua orang ingin hidup. Bahkan mayat-mayat dalam kuburpun akan
berkata demikian, kalau saja mereka
bisa bicara," jawab Ismaya.
Raden Mas Tirta memencongkan
mulutnya dan mendengus. "Dengar Ismaya. Dari Sultan Banten aku sudah menerima
kemewahan hidup dan berbagai hadiah yang tiada ternilai harganya.
Jika hari ini kau kulepaskan dan kau kembali ke Pajajaran untuk memberikan
laporan kepada Rajamu maka katakanlah kepadanya bahwa aku, Kepala
Balatentara Banten akan bersedia
membantunya dengan diam-diam asal
kepadaku kelak akan dijanjikan
kedudukan sebagai Patih Pajajaran!"
"Ah, kalau cuma pangkat itu yang Raden Mas kehendaki dari Sang Prabu
Pajajaran, soal mudah, Raden Mas.
Keinginanmu pasti terkabul!" sahut Ismaya.
"Bagus, aku menjadi Patih
Pajajaran dan Banten ada di bawah
kekuasaanku," menambahkan Raden Mas Tirta.
"Mudah, itu soal mudah. Aku akan sampaikan kepada Sang Prabu,"
meyakinkan Ismaya. "Nah, kau kulepaskan sekarang.
Tapi keris emas itu tinggalkan di sini sebagai jaminan."
"Dengan senang hati Raden Mas.


Mahesa Kelud - Mencari Mati Di Banten di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan saya menghaturkan terima kasih
karena Raden Mas telah melepaskan dan memperlakukan saya dengan baik." Mata-mata
Pajajaran itu menjura lalu
memutar tubuh dan meninggalkan tempat itu.
Demikianlah, Raden Mas Tirta,
Kepala Balatentara Banten itu telah
menentukan dirinya sebagai pengkhianat besar, sebagai musuh dalam selimut.
Ini lain tidak disebabkan karena nafsu tamaknya, gila terhadap harta dan
pangkat tinggi sehingga lupa kalau
bukan karena Sultan Banten tidak akan mungkin dia mendapat ke-dudukan empuk dan
terhormat seperti saat itu, dan
ini pun masih kurang pula baginya!
SEMBILAN MALAM itu di tempat kediaman
Raden Mas Tirta diadakan pesta. Suatu pesta malam yang tidak mengundang
siapa-siapa. Pesta ini diadakan untuk menyambut kedatangan kakak
seperguruannya dan kedua sebagai
upacara selamat atas dimulainya perse-kutuannya dengan Raja Pajajaran di
mana dia pasti akan dijadikan Patih!
Bergelas-gelas minuman keras masuk ke perut Raden Mas Tirta sampai akhirnya
Kepala Balatentara Banten itu menjadi mabuk dan terkapar tak sadarkan diri di
atas kursi besar di ruang tengah.
Jaka Luwak hanya tersenyum-senyum saja melihat adik seperguruannya yang gila
pangkat itu. Sekali-kali mata pemuda ini melirik ke pintu-pintu kamar yang
berleret-leret di sebelah sana. Saat itu telah larut tengah malam dan para
isteri serta gundik Raden Mas Tirta
sudah tertidur di masing-masing kamar mereka.
Jaka Luwak memandang pada adik
seperguruannya sejurus lalu berdiri
mendekati laki-iaki itu dan menotoknya pada dada kanan. Totokan ini akan
cukup membuat Raden Mas Tirta yang tak sadarkan diri itu untuk berada terus
dalam keadaan seperti itu selama
beberapa jam. Kemudian Jaka Luwak
melangkah ke pintu kamar di ujung
kiri. Dia tahu inilah kamar Ratnawati karena tadi dilihatnya perempuan itu masuk
ke sini dan tak keluar-keluar
lagi. Dia mengetuk, tidak keras tapi cukup jelas terdengar oleh orang yang
berada di dalam. "Siapa?" terdengar suara
bertanya. Suara Ratnawati.
"Aku, dik Ratna," sahut Jaka Luwak. Suaranya bergetar karena
disertai dengan tenaga dalam untuk
mempengaruhi perempuan cantik muda
belia itu. Ratnawati yang terbaring di atas
tempat tidur merasakan dadanya
berdebar. Sejak pertemuannya pertama kali dengan kakak seperguruan suaminya itu
dia memang sudah tertarik karena secara kenyataan Jaka Luwak jauh lebih gagah
dari Tirta dan kulitnya kuning bersih pula. Sambil memegangi pakaian tidurnya
yang terbuka lebar di bagian dada, Ratnawati turun dari atas tempat tidur.
Dirapikannya dulu letak rambutnya di muka kaca rias lalu dia melangkah ke pintu. Pintu terbuka
sedikit dan perempuan itu memunculkan parasnya yang jelita. "Ada apa, Kakang
Jaka?" Mau tak mau Jaka Luwak menjadi
gugup melihat paras cantik tersebut yang berada sangat dekat dengan
kepalanya sehingga dia dapat merasakan hembusan nafas harurn Ratnawati. Dari
celah daun pintu jelas dilihatnya
bahwa Ratnawati saat itu hanya memakai baju tidur yang tipis sehingga samar-
samar dibawah sorotan lampu terang di ruang tengah dapat terlihat kulit
tubuhnya yang putih mulus. Ini
menambah rangsangan yang ada di diri Jaka Luwak. Darah panas pemuda ini
mengalir cepat-cepat "Maafkan kalau aku mengganggu
tidurmu, dik Ratna...."
"Oh, tak apa Kakang Jaka, saya
memang belum tidur. Ada apakah" Mana kangmas Tirta?" tanya Ratnawati pula.
"Itulah Dik Ratna," sahut Jaka Luwak seraya menuding ke ruang tengah.
"Dimas Tirta terlalu banyak minum sehingga mabuk dan tak sadarkan diri.
Kini terbaring di kursi besar sana.
Apakah perlu kutolong bopong ke kamar ini?"
"Ah, tidak usahlah," jawab Ratnawati. "Siapa yang sudi tidur dengan suami bau
minuman seperti dia."
Jaka Luwak tersenyum. Memang dia
sudah duga bahwa perempuan Itu akan menjawab demikian. "Apakah dimas Tirta
sering dan suka mabuk-mabuk seperti
saat ini?" tanyanya.
"Sering sekali. Dulunya dia tak pernah menyentuh minuman macam
begituan tapi sekarang sudah demikian candunya."
Jaka Luwak menggeteng-gelengkan
kepalanya Dia memancing: "Dik Ratna rnungkin kau sudah mau tidur. Biar aku
mengundurkan diri" saja...."
Semalaman ini tak bisa mataku
dipejamkan. Dari tadi aku cuma
berbaring saja. Kurasa ada baiknya
kalau kita bercakap-cakap di dalam.
Sebagai seorang ahli silat yang
kepandaiannya lebih tinggi dari
kangmas Tirta sendiri tentu kau banyak pengalaman dan kisah-kisah luar
biasa." "Ah, aku cuma orang gunung biasa saja, Dik Ratna," jawab Jaka Luwak.
Hatinya gembira sekali mendengar
ajakan itu. Tapi Jaka Luwak yang
cerdik ini tidak segera memperlihatkan rasa girangnya itu. "Dik Ratna, kalau
kita bicara di dalam sana, bagaimana jika diketahui isteri-isteri dan selir
dimas Tirta nanti?" "Mereka sudah pada tidur semua.
Kalaupun ada yang tahu mereka tidak
akan berani meng-adu. Lagi pula apa
yang harus ditakutkan" Bukankah kita cuma bicara-bicara saja?" Perempuan itu
tersenyum. Senyum manis yang membuat dada Jaka Luwak semakin
menggelora. Ketika Ratnawati membuka daun pintu lebih lebar tanpa ragu-ragu dia
segera masuk. Pintu ditutupkan
kembali. Kamar itu berbau harum semerbak. Di kamar ini terdapat sebuah meja yang dikelilingi oleh sebuah
kursi panjang dan dua buah kursi
kecil. Jaka Luwak sengaja duduk di
kursi yang panjang. Dan hati pemuda
ini semakin bergetar, darahnya semakin panas merangsang
ketika Ratnawati dengan beraninya mengambil tempat
duduk pula di sudut yang lain dari
kursi panjang. Karena perempuan ini
memakai baju tidur yang tipis sehingga dalam jarak dekat seperti itu Jaka
Luwak dapat melihat pakaian dalamnya yang berwarna merah jambu.
"Kakang Jaka Luwak, harap
dimaafkan kalau saya menerimamu dengan pakaian tidur seperti ini," kata
Ratnawati seraya melontarkan satu
lirikan tajam kegenitan. "Sayalah yang salah karena
bertamu waktu orang hendak tidur!"
jawab Jaka Luwak seakan-akan menyesali diri.
'Tapi tak apa-apa, bukankah saya
yang mengundangmu masuk ke sini?" dan kedua orang itu sama-sama tertawa.
Jaka Luwak kemudian bercerita
tentang kehidupan di Gunung Gede
selama dia menuntut berbagai ilmu
kepada gurunya Ki Balangnipa. "Tentang pengalaman, aku masih belum ada Dik
Ratna, karena aku baru saja turun
gunung dan langsung disuruh guru
kemari," kata Jaka Luwak mengakhiri ceritanya. Kemudian dia bertanya:
"Sudah berapa lamakah kau berumah tangga dengan dimas Tirta, dik Ratna?"
"Belum ada satu tahun Kakang Jaka." "Kalau begitu masih belum
mendapatkan anak?" "Sampai sekarang belum," jawab Ratnawati seraya mengusap perutnya
dengan tangan kiri. Tapi karena tangan kirinya itu tadi dipakai untuk
memegang pakaiannya di atas dada maka kini belahan pakaiannya jadi terbuka dan
kelihatanlah dadanya yang putih membusung. Untuk sejurus lamanya Jaka Luwak
terpesona oleh keindahan yang
baru pertama kali dilihatnya itu.
Kedua pipi Ratnawati kelihatan
memerah. Perempuan ini cepat-cepat
mempergunakan tangan kanannya untuk
menutup kembali pakaiannya yang
terbuka. "Dik Ratna," kata Jaka Luwak pula. "Hidupmu dengan dimas Tirta tentu bahagia
sekali bukan?" "Ya, apalah arti kebahagiaan
seorang isteri orang berpangkat yang dimadu, kakang Jaka?" ujar perempuan itu.
Tapi dimas Tirta tentu sangat
sayang kepadamu." Isteri Raden Mas Tirta menganggukkan kepala. "Namun terus terang saja, saya tidak mencintainya, kakang
Jaka." Jaka Luwak menjadi heran mendengar ucapan itu. Keningnya
berkerut. "Ah, aku benar-benar tidak mengerti dik Ratna. Kalau kau tidak
cinta, mengapa bersuamikan dia?"
"Soalnya terpaksa, kakang Jaka."
"Terpaksa bagaimana?"
"Dulunya saya seorang anak petani di desa Mantrinan, tak jauh dari tepi timur
kotaraja. Suatu hari Raden Mas Tirta datang ke sana untuk melihat-lihat dan
mengatur pertahanan Banten terhadap serangan-serangan orang-orang Pajajaran dan
bertemu dengan saya yang kebetulan hendak mengantarkan nasi
untuk ayah di sawah. Sehari sesudah
itu maka datanglah utusan Raden Mas
Tirta menemui ayah. Utusan ini datang untuk melamar saya dan membawa barang-
barang yang banyak tiada terkira. Saya tidak cinta kepadanya karena saya
sudah maklum bagaimana cara hidup
pembesar berpangkat tinggi macam dia.
Tapi siapa yang berani menolak lamaran itu" Kalau ditolak, salah-salah bisa
membawa kesulitan. Tak ada jalan lain bagi ayah ibu dan juga saya sendiri
dari pada menerima lamaran."
"Hem... begitu?" desis Jaka Luwak sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Orang tuamu sekarang di mana?"
"Tetap tinggal di desa. Tapi
kehidupan mereka sudah dijamin oleh
kerajaan. Sudah dibikinkan rumah bagus dan segala keperluan hidup tinggal
tahu ada." "Nah, orang tuamu bahagia, kaupun hidup mewah di sini, apalagi?"
"Hidup mewah belum tentu berarti bahagia, kakang Jaka," jawab
Ratnawati. "Bagaimana akan bahagia kalau suami tukang mabuk seperti itu dan kita
tidak pula cinta kepadanya...." "Ya, memang dapat dimaklumi,"
kata Jaka Luwak. "Oh, tidak kakang Jaka Luwak.
Aneh, memang. "Kau sendiri apakah juga doyan
minum, kakang Jaka?" tanya Ratnawati.
"Kalau aku doyan minum tentu aku sudah terkapar pula di kursi seperti suamimu,"
sahut Jaka Luwak. "Syukurlah, aku memang tidak suka pada orang peminum!"
"Kalau begitu rupanya kau suka
padaku karena aku tidak senang minuman keras?" tanya Jaka Luwak bergurau.
"Kakang ini pandai menggoda,"
kata Ratnawati dengan paras merah dan tersipu-sipu. Tapi dalam hatinya
perempuan muda ini tidak dapat
berdusta bahwa dia memang menyukai
pemuda gagah itu. "Dik Ratna malam sudah larut...."
"Dan kalau sudah larut memangnya kenapa?" tanya Ratnawati dengan manja seraya
senyum genit. Berdebar dada Jaka Luwak dan dia
menggeser duduknya. Dengan beraninya dipegangnya tangan Ratnawati lalu
berkata: "Malam telah larut dan kau harus tidur sedang aku harus
meninggalkan tempat ini, bukankah demikian?"
"Kakang Jaka, mengapa terburu-
buru benar" Saya sungguh- sungguh
belum mengantuk," Jawab perempuan itu seraya mempermain kan jari-jari tangan si
pemuda yang membuatnya semakin
menggelora. "Kau cantik sekali, Ratna," bisik Jaka Luwak seraya membelai pipi
perempuan itu. Ratnawati menundukkan kepala.
"Aduh, jangan menggoda kakang Jaka.
Kau tahu, di antara isteri-isteri dan para selir kangmas Tirta akulah yang
paling jelek!" "Hemmm... malahan sebaliknya,
Ratna. Kau yang kulihat paling cantik, paling jelita...."
Air muka Ratnawati kemerah-
merahan. "Benarkah itu, kakang Jaka?"
"Mengapa tidak?" sahut Jaka Luwak seraya memegang dagu perempuan itu dan
mengangkat kepalanya. Ratnawati
tersenyum kepadanya dan memejamkan
kedua matanya. Senyum dan pejaman mata yang mengundang. Dengan penuh nafsu
Jaka Luwak menarik tubuh perempuan itu lalu dipeluknya erat-erat.
"Kakang Jaka, kaupun pemuda
paling gagah yang pernah kutemui..."
bisik Ratnawati lirih. Jaka Luwak
memeluk tubuh yang indah lembut itu
lebih erat. Ciumannya menjalar mulai dari pangkal leher sampai ke seluruh muka
Ratnawati dan diakhiri dengan
pertemuan sepasang bibir mereka penuh kehangatan. Karena saat itu Ratnawati
melingkarkan kedua tangannya ke leher si pemuda maka pakaian tidurnya jadi
terbuka lepas. Dada dan perut
Ratnawati kelihatan dengan jelas.
Berkobar birahi Jaka Luwak,nafsunya
menggelora dan kedua tangannya itu
menggerayang ke setiap pelosok tubuh mulus tersebut. Ratnawati merintih
halus kegelian. "Ratna... aku... aku suka sekali padamu. Aku senang padamu..." bisik Jaka Luwak.
Pikirannya membumbung laksana sudah berada di kayangan saja saat itu.
"Hanya suka dan senang saja,
kakang Jaka?" bisik Ratnawati pula.


Mahesa Kelud - Mencari Mati Di Banten di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak... tidak hanya itu
manisku. Aku juga... aku juga cinta
padamu." "Oh, kakang Jaka. Inilah yang aku harap-harapkan selama ini...."
Ratnawati menyelinapkan kepala ke dada pemuda itu. Tiba-tiba Jaka Luwak
berdiri. Nafas pemuda itu sudah
memburu. "Ada apa, kakang Jaka?" tanya Ratnawati.
Pemuda itu tidak menjawab
melainkan menggerakkan kedua tangannya dan tahu-tahu tubuh perempuan itu
sudah ada di dalam dukungannya.
"Kakang Jaka kau ini... kukira ada apa berdiri dengan tiba-tiba," kata Ratnawati
tersenyum mesra dan memandang dengan kedua bola matanya yang mulai menguyu tanda nafsu juga
telah membakar dirinya. "Kau kuat sekali bisa mendukungku. Tapi kakang, kau mau
bawa aku ke mana?" Jaka Luwak tersenyum. Hidungnya
kembang kempis. Dia melangkah membawa Ratnawati ke atas tempat tidur.
"Kakang Jaka, kau ternyata nakaL
Aku masih belum mengantuk. Mengapa
dibawa ke tempat tidur?" ujar
Ratnawati sambil mencubit lengan Jaka Luwak. "Kakang Jaka aku...." Isteri
pertama Kepala Balatentara Banten itu tak dapat meneruskan ucapannya karena saat
itu bibirnya telah ditindih bibir Jaka Luwak. Penuh nafsu perempuan yang memang
jarang dijamah oleh suaminya
itu pejamkan kedua matanya. Lalu
dirasakannya tubuhnya dibaringkan di atas tempat tidur. Lalu terasa jari-jari
tangan Jaka Luwak membuka
pakaiannya. Malam itu pengkhianatan telah
dilakukan oleh kakak seperguruan Raden Mas Tirta. Sang istri telah berbuat
serong. Apapun alasannya dosa besar
ini kelak akan mendapat ganjaran
sangat pedih dari Yang Maha Kuasa.
TAMAT Segera Menyusul!!!!! PETAKA DI PUNCAK HALIMUN Scan/Convert/E-Book: Abu Keisel
Tukang Edit: Dewa Urakan http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Rahasia Gelang Pusaka 5 Pengemis Binal 21 Muslihat Cinta Sang Pangeran Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara 6
^