Pencarian

Adat Muda Menanggung 2

Adat Muda Menanggung Rindu Karya Bagindo Saleh Bagian 2


Matahari sudah menyingsing, menyorotkan cahaya bertelau-telau antara pohon-pohon. Burung-burung bernyanyi dengan nyaring sambil menari-nari dengan riang- gembira, menyambut kedatangan cahaya matahari yang terang-temerang itu. Kumbang-kumbang sudah beterbangan mencari seri bunga, sedang kupu-kupu berpindah-pindah dari bunga ke bunga mengipas-ngipaskan sayapnya, seperti sinar lampu mercusuar di waktu malam. Segalanya itu jadi perhatian Nurlela. Terpikir di hatinya bahwa makhluk itu lebih senang hidupnya daripada dia.
Tak lain kerja binatang itu hanya beriang-riang saja; tidak seperti dia .... Rasakan hendak menangis ia memikirkan nasibnya yang malang itu. Tambahan pula hilang-hilang dalam hatinya memikirkan bapaknya. Bagaimana, jalan untuk melepaskannya, hingga sekarang belum didapatnya akal.
Dalam bermenung dan masygul itu, tiba-tiba tampak olehnya Ahmad masuk pekarangan mengambil jalan samping. Nurlela terkejut. Darahnya tersirap melihat anak muda itu. Tapi ia pura-pura tak mengindahkan saja.
"O, Ahmad, engkau mengejutkan aku."
"Maafkanlah aku kalau begitu. Aku berjalan di sini karena aku sudah berkali-kali mengetuk pintu, tak ada jawaban. Sangkaku ada apa-apa yang terjadi di rumahmu. Maklumlah suasana sekarang, segala-galanya mungkin terjadi," kata Ahmad sambil duduk pula di kursi kebun itu dan memandang Nurlela.
"Betulkah begitu" Syukurlah kalau engkau khawatirkan aku dapat celaka," jawab Nurlela tersenyum mengejek dan mengajuk hati Ahmad.
"Tentu saja aku khawatir, kalau engkau dapat celaka."
"Aku percaya, tapi apa sebabnya?" tanya Nurlela indah tak indah.
"Sebabnya aku tak tahu! Entah karena hatiku selalu ingatkan engkau, entah karena apa."
"Engkau ingatkan aku?" kata Nurlela mencemooh.
"Dalam hal ini jangan Adik berpura-pura. Anak kecil sekalipun mengerti akan maksudku, apalagi engkau. Aku tahu hatimu dingin selama-lamanya kepadaku. Aku tahu, aku mengharapkan hujan dari langit, kehendakku terlalu tinggi. Akulah orang yang tak tahu diuntung. Tetapi apa dayaku Nurlela, wajahmu, rupamu, tak hilang-hilang dari dalam hatiku. Aku mengerti, engkau tak setara dengan aku. Mana dapat cenderawasih berkumpul dengan gelatik, emas dengan loyang?"
"Jangan sedalam itu benar katamu," kata Nurlela. "Segalanya itu menambah sedih hatiku. Sindiran-sindiran
yang engkau paparkan kepadaku membual hancur lebur hatiku. Nyata benar dalam kata-katamu meninggi-ninggikan aku, meletakkan aku bukan pada tempatnya, padahal engkau tahu siapa aku."
"Segalanya itu aku ucapkan untuk melepaskan rindu hatiku. Cinta kepadamu tak dapat kuhilangkan dengan mudah. Mungkin ucapan-ucapanku tak teratur, hal itu karena hati rindu pula. Kalau engkau selamanya tak memberi harapan, aku sangat kecewa. Maksudku, engkau akan kuminta kepada Ibu, akan teman hidupku."
"Kalau memang hatimu begitu kepadaku, celaka dua belas sudah. Hendaklah segera engkau hilangkan," kata Nurlela.
"Mengapa begitu?" tanya Ahmad kecewa.
"Karena aku gadis pedansa, pantangan engkau benar, bukan?"
"O, begitu" Sangkaku engkau menolak," katanya merasa lega.
"Lagi pula engkau orang kuno pendirian. Jadi nanti tak sesuai haluan kita sebagai suami istri! Menjadi racun dunia dalam pergaulan."
"Engkau katakan aku orang kuno" kata Ahmad sambil tertawa keras. "Segalanya akan baik nanti, hanya yang pokok engkau setuju dengan permintaanku. Bukankah engkau telah setuju, kalau sekiranya cacat yang engkau katakan itu, hilang padaku" Aku akan tunduk pada adikku!"
"Siapa mengatakan aku setuju?" kata Nurlela sambil tersenyum memandang Ahmad.
Ahmad agak cemas tampaknya mendengar kata Nurlela. Hal itu nyata kepada Nurlela.
"Katamu itu membuat sedih hatiku, Nurlela," kata Ahmad.
"Pikirku Ahmad, kalau engkau sudah timbang buruk baiknya dan telah bulat pikiranmu, kehendakmu mungkin disetujui Ibu. Tapi aku! Mana boleh jadi, kalau bapakku tak ada. Karena itu aku sendiri berikhtiar supaya Bapak tentu hitam putihnya lebih dulu, baru aku memikirkan apa-apa," kata Nurlela dengan sedih. Seolah-olah memberi sedikit harapan kepada Ahmad.
Ahmad tunduk berpikir mendengar kata Nurlela. Hatinya girang karena harapannya tak putus. Sesudah pembicaraan itu selesai, ibu Nurlela datang dari pasar. Ahmad akan pulang, tapi ditahan mereka. Sehari-harian ada di situlah Ahmad; mengobrol perkara suasana sekarang, perkara Medan dan lain-lain. Petang hari baru ia pulang.
Bab 9 Mencari Keterangan Karto seorang kawan Ahmad bekerja di kantor Kempetai. Ahmad berhasrat benar mengunjungi Karto. Sebaiknya ia datang ke rumahnya, supaya merdeka berbicara, tapi ia tak tahu tempat tinggalnya. Karena itu pada suatu hari pagi- pagi ia pergi ke kantor Kempetai tempat Karto bekerja itu. Tidak sembarang orang dapat masuk ke sana, karena kantor itu dijaga oleh anggota tentara Jepang yang lengkap dengan senjatanya. Dengan jantung berdebar-debar Ahmad masuk pekarangan kantor itu.
Dua orang anggota tentara penjaga menahan Ahmad. Sambil membelalakkan mata serta menodongkan senapang, serdadu-serdadu bertanya: "Heh, mau pigi mana?"
Dengan membongkokkan diri tanda hormat, Ahmad menjawab: "Saya ingin menemui kawan saya yang bekerja di sini."
"Urusan apa," kata penjaga dengan merengut dan membelalakkan mata.
"Urusan apa saya tak tahu, sebab saya disuruh datang kemari." Ahmad terpaksa berbohong supaya jangan dicurigai.
"O, begitukah! Kamu disuruh datang?"
"Ya," kata Ahmad.
"Siapa namanya?"
"Karto yang menjadi tolok(Juru Bahasa) di sini."
Serdadu memandang dengan tajam dan lalu menyerahkan Ahmad kepada temannya yang kemudian membawanya kepada Karto. Karto tercengang melihat Ahmad datang itu, tapi dipersilakannya duduk di depannya. Setelah mereka itu hanya berdua saja, Karto berkata:
"Ahmad, mengapa kemari engkau dalang?"
"Aku tak tahu tempat tinggalmu, sedang aku perlu benar hendak bicara dengan engkau," kata Ahmad.
"Serdadu-serdadu Jepang yang menjaga itu galak-galak. Banyak orang yang ditampar, sebab salah mengerti. Tapi apa maksudmu kepadaku?" tanya Karto.
"Maksud saya akan menanyakan seorang kawan yang ditawan, sejak bala tentara Jepang masuk!"
"Urusan tawanan itu tak tahu aku," kata Karto. "Tapi memberi sedikit keterangan saja di mana orang itu ditawan, barangkali mungkin?" tanya Ahmad kecewa. "Siapa namanya?"
"Pak Mohambing, orang Menado," jawab Ahmad. "Pak Mohambing," kata Karto termenung berpikir-pikir. "Di mana ia ditawan?" tanyanya pula.
"Itulah yang akan saya tanyakan. Sampai sekarang belum saya ketahui," jawabnya.
"Umurnya kira-kira berapa tahun?" "lima puluh tahun," jawab Ahmad. "O, ya, orangnya agak tinggi bukan?" "Ya betul, adakah engkau tahu di mana dia ditawan?" tanya Ahmad.
Tunggu sebentar," kata Karto serta mengambil buku besar yang kemudian dibuka, dan diperhatikannya tiap-tiap nama yang tertulis di situ. Setelah dapat yang dicarinya, buku itu ditutup lalu ia berkata: "Ya, Pak Mohambing umur kira- kira lima puluh tahun; serdadu Belanda, ia ditawan di Kamp Cideng Barat."
"Terima, kasih. Tapi dapatkah Saudara menolong atau menunjukkan jalan untuk mengeluarkan Bapak Mohambing dari tempat tawanan itu"
"Perkara itu saya tak tahu. Itu wewenang pemerintah Jepang. Saya hanya menjadi tolok saja di sini. Tapi kamu harus ingat, bahwa orang tawanan itu tak dapat keluar begitu saja, kecuali kalau perang sudah berhenti dan Jepang kalah."
Ahmad kecewa sedikit mendengar kata Karto. Ahmad bertanya pula: "Bolehkah kami bertemu dengan dia?"
"Itu pun sulit, tak mungkin! Tapi apa sangkut pautmu dengan Mohambing itu, maka kamu bersusah payah benar mencari keterangan?"
"Sangkut paut cara keluarga tak ada. Sebab ia orang Menado aku orang Medan. Tapi bukan karena keluarga saja kita menolong orang. Ada juga karena persahabatan dan karena budi," kata Ahmad.
"Berbahaya bagimu berhubungan dengan orang tawanan. Mustahil kamu akan dapat melepaskan dia. Mungkin kamu terseret pula ke dalam bahaya. Pemerintah tentara Jepang ini tampaknya tak punya dewan pengadilan, yang mengadili perkara. Semua perkara diserahkan kepada Kempetai. Berapa banyak orang mati diazab di sini. Mati dipukul, dipotong, diinjak tak berbilang lagi. Karena itu Saudara, nasihat saya: jangan engkau teruskan pekerjaan ini. Jangan dicari-cari penyakit. Bila engkau sudah berurusan dengan Kempetai, akan nyata benar apa yang aku katakan ini. Sekali lagi hentikan kerjamu ini," kata Karto.
"Sampai ke hati kecilku saya berterima kasih kepadamu beribu-ribu kali; kesan kata-katamu menyatakan kepada saya engkau seorang sahabat yang baik. Tapi engkau harus tahu pula, bahwa saya tak hendak berhenti di tengah jalan. Sekali menolong, tetap menolong! Sekalipun saya harus berkorban besar. Saya berasa puas kalau saya bekerja untuk dia sampai Pak Mohambing keluar."
"Aku agak heran mengapa engkau demikian," kata Karto.
"Karena itulah saya tetap mengharapkan pertolonganmu. Sekarang saya minta diri hendak pulang. Kalau saya hendak bertemu lagi dengan engkau di mana saya harus datang?" kata Ahmad.
Karto mengunjukkan alamat rumahnya. Setelah itu, mereka berpisah.
Bab 10 Dalam Duka Ada Sukanya Pula
Penghidupan di Jakarta makin lama makin susah. Beras, makanan yang utama benar hampir tak ada. Orang yang biasa makan nasi, kebanyakan berganti makanan dengan rebus singkong, tiwul, gaplek, dan kue-kue dari singkong. Ubi-ubian dan bangsa kacang-kacangan sudah memuncak pula harganya. Pakaian orang tak teratur lagi. Baju dan celana goni sudah tak asing lagi. Orang minta-minta makin hari makin banyak; bergelandangan di mana-mana. Bangkai ayam yang hanyut di kali Ciliwung, dipungut gembel-gembel yang biasa tidur di kolong jembatan untuk dimakan. Di dalam kamp tawanan kabarnya sampai-sampai orang makan cecak, lipas, dan lain- lain. Demikian sulitnya penghidupan di zaman Pemerintahan Jepang. Sangat menyedihkan! Tapi Jepang sendiri senang- senang hidupnya. Perbedaan hidup mereka dengan rakyat seperti bumi dan langit. Apa pula yang akan disusahkannya" Semua serba ada. Kecurangan Pemerintah Jepang ini terasa menimbulkan penderitaan yang luar biasa bagi rakyat. Tapi sebaliknya, rakyat banyak pula yang bertambah insaf; pedih hati pada penjajah Jepang. Semangat rakyat makin berkobar- kobar; ingin bebas dari penjajah. Akan tetapi perasaan itu mereka tahan saja; hidup dalam hati laksana api dalam dedak, tak kelihatan makannya. Bergerak takutkan bedil dan bayonet. Perasaan dibelenggu oleh momok Jepang. Kesulitan hidup seperti itu menekan Nurlela pula. Iba hatinya melihat ibunya yang sudah tua itu. Makanan tak sempurna lagi, karena sulitnya bahan makanan. Dari hari ke sehari penghidupan Nurlela bertambah susah.
Mencatut karcis seperti dulu tak dikerjakannya lagi, sebab berbahaya benar bagi seorang anak gadis. Banyak sudah gadis-gadis yang dikurung Jepang atau hilang, dijadikan gula-gula tentara Jepang. Sungguh penuh a/ab zaman Jepang itu! Banyak ibu bapak berurai air mata, menangisi gadisnya yang suci dilarikan Jepang. Siapa akan menolong" Ada juga yang pulang kembali, sesudah beberapa hari hilang, tapi sudah rusak binasa .... Sebab itu banyak ibu bapak yang mengawinkan anaknya buru-buru, karena takut diambil Jepang ....
Hari terus-menerus hujan saja. Dari pagi sampai petang, bersambung dengan malam, hujan tak berhenti-henti. Nurlela hendak keluar tak jadi. Malam itu ia duduk dengan ibunya di serambi rumahnya dalam gelap; merenungkan kesusahan yang dideritanya. Sedang mereka bermenungan itu, tiba-tiba terdengar suara "Assalamualaikum" dari dalam gelap itu.
"Wa'alaikum salam," jawab Nurlela dan ibunya serentak. Mata mereka memandang ke arah suara itu. Seorang laki- laki pakai celana pendek, kemeja hitam, kopiah usang naik tangga membawa keranjang. Ia terus saja masuk rumah seperti orang yang sudah biasa di sana. Nurlela dan ibunya menurutkan dari belakang, sambil menduga-duga dalam hati, siapa gerangan orang itu. Setelah sampai di ruang tengah, di tempat yang terang, berkatalah orang itu:
"Lupa Ibu agaknya kepadaku. Bukanlah begitu, Nurlela?" Nurlela melihat dengan tegas, kiranya yang datang itu, Ahmad.
"Mengapa engkau begini amat?" tanya Nurlela tertawa. "Sangkaku serdadu Jepang," kata ibunya.
"Aku sudah melarat Bu, lihatlah pakaian tak karuan lagi," kata Ahmad.
"Biarlah pakaianmu begitu, asal engkau sehat-sehat saja," kata Nurlela tersenyum
"Agak cemas hatiku kalau-kalau engkau tak mau menerima aku dalam keadaan buruk begini," kata Ahmad sambil tertawa dan memandang Nurlela.
"Entah apa sebabnya gerangan, engkau bertambah manis tampaknya berpakaian begini," jawab Nurlela tersenyum simpul.
"Wah tak ada gobangan,(Uang logam segobang = 2 1/2sen) kata Ahmad tertawa.
"Tapi hatiku iba melihat engkau melarat, akibat pemerintah Jepang ini."
"Biarlah aku melarat asal jangan engkau dan Ibu," kata Ahmad tersenyum.
"Ah, Nak mana ada orang yang senang akan pemerintahan Jepang" Nurlela dari pagi mau keluar, tapi hujan saja," kata ibu Nurlela.
"Apa perlunya Nurlela keluar Bu?" tanya Ahmad.
"Ah engkau pura-pura tak tahu, bukankah sekarang makanan susah didapat?"
'Jadi belum pada makan dari pagi?" tanya Ahmad.
"Pagi-pagi sudah, tapi sore ini ...," kata Nurlela.
"Kalau begitu kebetulan benar Nurlela, bukalah keranjang itu, di situ ada makanan," kata Ahmad.
Tak malu-malu Nurlela membuka keranjang itu. Dikeluarkannya dari dalamnya 3 lonjor roti besar, 1 belik mentega, 5 kg beras, 1 butir kelapa, sebungkus kopi, 3 potong kepala ikan kakap, sebotol minyak kelapa, sebungkus cabai, bawang, dan lain-lain.
"Di mana kau dapat barang-barang ini" ini suatu hadiah yang luar biasa pentingnya bagi kami sekarang, berfaedah benar bawaanmu ini," kata Nurlela dengan girang.
"Syukurlah," kata Ahmad.
Ibu Nurlela segera pergi ke dapur memasak. Ahmad dan Nurlela tinggallah berdua mengobrol.
"Di mana kau dapat sekalian itu?" tanya Nurlela sekali
lagi. "Dari tempat kerjaku. Aku sekarang jadi kuli masak," jawab Ahmad.
"O, mengapa ikan itu kepalanya saja!" tanya Nurlela.
"Ya, sebab daging ikan untuk tuanjepang. Hanya kepala juga yang dibagi-bagikan," jawab Ahmad.
"O ya, aku pun maklum carajepang, tapi bukankah lebih baik engkau bekerja di kantor daripada jadi kuli?"
"Apa sebabnya?" tanya Ahmad.
"Timbanganku pekerjaanmu sekarang tidak sepadan dengan kepandaianmu," kata Nurlela.
"Untuk sementara; apa oleh buat," kata Ahmad. "Tapi adakah engkau tahu di mana bapakmu ditawan?"
"Sampai kini aku belum mendapat kabar. Siapa akan memberi kabar" Yang kami tunggu-tunggu sehari-hari, kabar daripadamu; lain tidak. Engkau tak ada mendengar kabarnya?" jawab Nurlela.
"Sayang Adik Nurlela, aku belum dapat membawa kabar yang membesarkan hatimu tentang Bapak. Tapi dengan perantaraan kawan, aku dapat keterangan bahwa Pak Mo- hambing ditawan di Kamp Cideng Barat. Itulah sebabnya aku jadi kuli masak. Sebab, dengan jalan begitu aku dapat masuk ke kamp itu, mengantar ransum dengan oto gerobak untuk tawanan."
"O, begitu?" kata Nurlela tercengang. "Adakah engkau bertemu Bapak di sana?"
"Tentu Nurlela. Itulah sebabnya aku kemari malam ini memberitahukan engkau," kata Ahmad.
"Bagaimana keadaannya," kata Nurlela dengan harap- harap cemas.
"Sehat, hanya badannya agak kurus, tapi kini tiap hari aku suruhkan makanan tambahan kepadanya. Girang benar ia bertemu dengan aku! Ditanyakamiya engkau dan Ibu. Tergenang air matanya mengingatkan engkau."
"Ya Allah, aku sangat berhutang budi kepadamu. Engkau telah menolong aku. Aduh bapakku, kapan kiranya berjumpa pula. Sampaikan sembah sujudku kepadanya," kata Nurlela dengan mata meleleh.
"Insya Allah. Tapi dia berpesan agar engkau pindah ke rumah Tuan Van der Heyde di Menteng. Sebab Van der Heyde itu mati dalam tawanan. Harta bendanya ditanam di pekarangan belakang rumahnya itu. Nanti akan diberikan denah pekarangan rumah itu, bila engkau sudah ada di situ. Denah itu diserahkan Van der Heyde kepada Bapak, waktu ia akan meninggal," kata Ahmad.
"Segala kabar yang engkau bawa ini membuat aku gila kegirangan. Tak dapat kugambarkan gembira hatiku," kata Nurlela. Ia bangkit lalu berlari ke dapur. Tanpa malu- malu kepada Ahmad, dipangku-pangkunya ibunya karena girangnya.
Orang tua itu kaget; tercengang melihat tingkah laku anaknya memangku-mangku dia.
"Eh engkau kenapa ini. Eh, eh, bisa Ibu jatuh kalau begini," katanya heran.
Dengan gembira Nurlela berbicara kepada ibunya hal ihwal bapaknya. Ibu Nurlela hilang pula susahnya mendengar kabar yang baik itu, sedang Ahmad senang hatinya melihat tingkah laku dua beranak itu. Ia merasa puas karena telah dapat menggirangkan hati Nurlela.
"Tapi pindah ke rumah Van der Heyde tak mungkin," kata Nurlela setelah ia duduk kembali dekat Ahmad.
"Apa sebabnya?" tanya Ahmad tercengang.
Rumah itu ditempati Jepang! Siapa pula yang berani mengusir Jepang," kata Nurlela.
"Sayang benar, coba kalau engkau dapat pindah ke situ, tentu dapat pula kau miliki barang-barang yang terpendam itu," kata Ahmad kecewa.
"Perkara harta itu bagiku tak penting benar, sekalipun aku sekarang dalam kekurangan. Hanya yang penting, bapakku harus keluar secepat mungkin. Aku akan bekerja untuk bapakku, sekalipun aku akan ditembak Jepang," kata Nurlela sambil memandang Ahmad.
"Hal itu serahkan saja kepadaku. Pekerjaan itu untuk perempuan sangat berbahaya. Karena itu aku tak suka engkau bekerja demikian. Segalanya itu akan beres nanti, sekarang kita sudah dalam perjalanan ke jurusan itu. Hal itu tak boleh digelosang(Dikerjakan buru-buru) saja. Kita harus banyak sabar dan mencari pikiran yang baik, karena pikir itu pelita hati," kata Ahmad.
"Aku akan bekerja juga untuk Bapak."
"Tak perlu; biarlah aku sendiri, asal engkau suka menurut kehendakku."
"Apa maksudmu," tanya Nurlela menduga Ahmad.
"Maksudku sebenarnya tak berat untuk kaukabulkan."
"Ya, apa" Katakanlah," desak Nurlela.
"Ah, belum juga mau berhenti bicara ke situ," kata Nurlela dengan suara setengah menangis. "Kalau tak juga berhenti aku lari dari sini."
Dalam jawaban itu, tahulah Ahmad, bahwa sungguh pun Nurlela berkata begitu, tapi hatinya remuk redam pula. Hanya sebagai kebiasaan perempuan yang budiman, taklah ditampakkan kelemahan hatinya.
Tak ada keluar perkataan sepatah juga, yang membukakan perasaan hatinya. Sesungguhnya goyang imannya. Tapi untung dalam kesulitan itu, ibunya datang mengatakan "nasi sudah sedia." Mereka bangkit dan pindah ke kamar makan. Ibu Nurlela duduk di kepala meja. Nurlela dan Ahmad duduk berhadapan.
Meja yang bundar telur itu dialas dengan kain putih tebal. Di atasnya terhidang gulai bersantan kepala lauk yang masih mengepul asapnya. Sederet dengan itu terletak pula dendeng balado ikan. Dua macam itu saja lauk pauknya.
"Wah Bu! Ini hebat benar Bu! Di Medan yang biasa begini. Di sini tak pernah bertemu. Sudah lama saya tak mengenyam makanan seperti ini," kata Ahmad.
"Kalau begitu, makanlah kenyang-kenyang Nak Ahmad. Ibu memang sengaja memasak begini. Tak dapat Ibu menyuguhkan yang lain-lain," kata ibu Nurlela tersenyum.
Sambil makan, ibu Nurlela bertanya: Adakah mungkin bapak Nurlela keluar, Nak Ahmad."
"Buat keluar berterang-terang susah, Bu," kata Ahmad.
"Kalau begitu selamanya saja dia ditawan?"
"Kami sedang berikhtiar supaya ia dapat keluar."
"Bagaimana ikhtiarmu?"
"Bapak Mohambing telah ada rancangan hendak lari dari tempat tawanan."
"Lari" Lari ke mana" Kalau hanya di sini juga ia tentu akan tertangkap pula. Lebih berbahaya lagi dari sekarang!" kata ibu Nurlela kebingungan.
"Maksud Pak Mohambing hendak meninggalkan Jakarta; hendak pergi ke Menado atau ke Medan. Tentu Jepang di sana takkan tahu ihwalnya," kata Ahmad.
"Tapi pekerjaan itu amat berbahaya, sebab kamp-kamp dijaga dengan kuat. Lagi pekerjaan itu menghendaki uang banyak. Dari mana kita dapat uang?"
"Itulah sebabnya, Ibu dan Nurlela disuruh pindah ke Menteng; ke rumah tuan Van der Heyde yang meninggal itu. Di situ ada uang dan barang emas intan dikubur; kepunyaan Van der Heyde kepada Pak Mohambing dengan denah pekarangan rumah itu sekali," kata Ahmad.
"Rumah itu aku tahu," kata Nurlela. Tapi kami lak mungkin pindah ke situ, sebab diisi Jepang. Melihat pakaiannya berpangkat juga Jepang yang tinggal di situ. Tapi cobalah minta denah itu pada Bapak. Boleh kucoba menjalankan lakon ke jurusan itu."
"Apa yang akan engkau kerjakan?" tanya Ahmad.
"Kalau denah itu sudah di tanganku, aku akan minta pekerjaan di situ," menjadi babu cuci. Aku tentu diterima!"
"Oh, hal itu berbahaya bagimu, karena Jepang umumnya kurang ajar kepada perempuan-perempuan muda. Tak mungkin Dik Nurlela, hal itu mengkhawatirkan aku," kata Ahmad dengan tak enak hati.
'Jangan engkau cemburu saja dahulu. Aku pun ada akal untuk menyingkirkan maksiat-maksiat itu. Aku percaya akan diriku; aku dapat menjalankan lakon ini dengan beres," kata Nurlela dengan tetap hati.
Ahmad diam saja. "Bagaimana juga engkau perempuan muda yang
"Aku akan berdaya sekuat-kuat tenaga; aku akan siap dengan senjata tiap hari!" kata Nurlela dengan sungguh- sungguh.
"Yakinkah engkau takkan binasa?" tanya Ahmad.
"Yakin." "Kalau engkau dipaksa, apa dayamu?"
"Dia akan binasa lebih dahulu."
"Kalau begitu beres sudah pekerjaan kita," kata Ahmad sambil mengeluarkan sepotong kertas dari kantong celananya. Kertas itu diperlihatkannya: "Ini denah dan pekarangan rumah itu."
Mereka sama-sama memperhatikan denah itu. Nurlela mempelajari letak-letak rumah dan pekarangan. Tahulah ia di mana barang-barang itu terpendam.
"Sekarang," kata Ahmad. "Teranglah olehmu tempat barang-barang itu dikubur. Bekerjalah Adik Nurlela dengan hati-hati, sebab kalau Adik binasa, semua akan ikut musnah."
"Mulai sekarang, akan kuturut nasihat Abang."
"Kok Abang," kata ibunya tersenyum.
"Habis, dia selalu memanggilku Adik, jadi kujawab dengan Abang, supaya setimpal," kata Nurlela tersenyum melihat ibunya.
"Kenapa tidak kakak saja?" tanya ibunya tersenyum.
"Abang lebih mumi, lebih indah, lebih cocok untuk dia," jawab Nurlela memandang Ahmad dengan cemooh mulutnya.
Ahmad girang mendengar kata-kata Nurlela dengan ibunya. Suara yang merdu, senyum yang bermain di bibir makin menawan hatinya.
Ibunya memperhatikan saja fiil kedua anaknya itu. Tampak pada firasatnya, Ahmad kena pesona Nurlela. Matanya menunjukkan cinta yang setia.
Puas hatinya mendengar irama kata-kata Nurlela, seolah- olah suatu bujukan yang merayu membelai-belai sukma jejaka yang sedang merindu. Sungguh halus dan bijaksana Nurlela!
"Bu, besok saya tentu bertemu pula dengan Pak Mohambing. Apa akan saya katakan" Bagaimana keputusan itu: ke Medankah kita menyingkir atau ke Menado?"
"Timbangan Ibu lebih baik ke Medan saja. Rasanya takkan susah kita di situ."
Ahmad bermohon diri dan pergi setelah berjabat tangan dengan Nurlela. Hatinya lega riang gembira.
Bab 11 Pendapat Ibu Sepanjang pandangan Ibu, Ahmad menaruh minat kepadamu, Nurlela. Dapat Ibu lihat dari fiil perangai dan tingkah lakunya," kata ibu Nurlela setelah Ahmad pergi. "Maksud Ibu sudah Ibu katakan padamu dahulu, bahwa Ahmad tak sedikit juga cacatnya akan menantu Ibu, karena engkau sudah cukup umur untuk bersuami. Tetapi engkau harus pula hati-hati bergaul dengan anak muda, apalagi kalau anak muda itu sedang merinduimu."
"Bicara Ibu membingungkan aku. Tadi Ibu katakan mau mengambil Ahmad akan menantu Ibu. Kemudian Ibu seolah-olah melarang aku bergaul dengan dia, bukankah itu membingungkan?" kata Nurlela.
"Melarang engkau bergaul dengan dia, tidak, hanya menyuruh engkau berhati-hati."
"Berhati-hati bagaimana maksud Ibu?" tanya Nurlela.
"Engkau harus tahu batas pergaulan dengan anak muda- muda. Engkau harus pandai menjaga diri. Bila engkau diserang godaan cinta. Perkataan pemuda-pemuda yang sedang dimabuk cinta, berbisa, murni-murni, lemah lembut, sangat manis didengar dan membukakan hati, penuh puji sanjung yang menarik dan meruntuhkan iman. Hal itulah yang Ibu kiaskan tadi. Ingat-ingat bergaul, jangan sampai bunga layu sebelum dipetik."
"Gadis-gadis ceroboh, hina dipandang lelaki! Tak ada harga sepeser pada sisi laki-laki, gadis-gadis yang mau dibegini- begitukan. Derajat perempuan terletak pada kekukuhan mempertahankan cinta," kata ibu Nurlela meresapkan kata- katanya pada anaknya.
"Aku tak mengerti kata-kata Ibu," kata Nurlela pura- pura.
"Engkau tak mengerti mendengar kataku" Benar-benar engkau tak mempunyai sifat bijaksana, tak tahu engkau kilat beliung sudah ke kaki, kilat kaca sudah ke muka. Kini terpaksa Ibu katakan terus terang saja. Banyak gadis-gadis bergaul kurang berhati-hati dengan laki-laki, sebab kurang mendapat nasihat dan kurang pengalaman. Oleh karena gadis-gadis itu orang baru, belum ada pengalaman, mudah tertipu, lekas percaya saja mendengar kata laki-laki merayu- rayu hatinya dengan cinta. Karena itu ia binasa, jadi korban cinta. Lihatlah contohnya seorang anak muda terpelajar mula-mula berkenalan dengan Sitti Mahrun. Tentu engkau tahu Kadir yang tampaknya seorang anak muda terpelajar, mula-mula berkenalan dengan Sitti Mahrun waktu sama- sama menonton tonil. Hati Mahrun tertarik pada Kadir, sebab Kadir memang cakap dan gagah. Kadir pun menaruh minat pada gadis itu. Sesudah berkenalan itu sering mereka berjalan berdua-dua saja malam hari. Makin erat pertalian batin kedua mereka. Karena sama-sama cinta, mereka berjanji erat akan jadi suami istri. Alangkah girang hati Sitti Mahrun akan mendapat suami yang cakap. Tapi suatu kali ia diajak Kadir, mandi-mandi di Cilincing Tanjung Priuk. Waktu mandi-mandi itu, di dalam air, badan Mahrun dipegang- pegang oleh Kadir yang mengajar berenang. Kadang-kadang dijulangkannya. Senang benar hati Mahrun melihat tingkah laku Kadir, yang menunjukkan kasih sayang padanya. Tapi apa terjadi akhirnya" Setelah berhenti di gubuk pemandian, Kadir memaparkan cintanya. Dirayu-rayunya Mahrun dengan kata-kata yang lemah-lembut hingga perawan itu lemah, tak berdaya menolak kemauan Kadir. Bukankah engkau sudah tahu sekarang. Mahrun sudah bunting tiga bulan. Laki-laki itu sekarang sudah hilang saja, entah ke mana perginya. Ia tak mau kawin dengan perempuan yang dihinakannya itu. Mahrun dapat malu besar dan menyesali kelakuannya sendiri. Tapi apa gunanya lagi, sebab: sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna.
"Ah, aku ...," kata Nurlela. Tapi ibunya terus bicara: "Kini anakku, mengertilah engkau akan maksud bicara Ibu. Sebab gadis terpelajar sekarang banyak yang tak mengindahkan nasihat orang tua. Merasa pandai sendiri dan bebas. Tapi engkau harus mengerti apa nasihat Ibu dan apa tujuannya. Di sekolah orang dapat belajar, berhitung, menulis, membaca, dan lain-lain, tapi insaf akan diri, pikiran-pikiran ke jurusan keamanan ketabahan hati menyingkirkan godaan, jarang sekali dipelajari. Dalam pergaulan hendaknya kita matang oleh nasihat-nasihat yang baik, masak pelajaran, tahu di buruk baik, tahu di langit tinggi. Jika berjalan dipeliharakan kaki, berkata peliharakan lidah. Hal yang di atas itu haru satu contoh saja Ibu kemukakan. Tapi cukup untuk jadi pedoman bagimu! Sebab engkau gadis yang tak ada pengalaman. Bagi Ibu tak ada larangan, engkau bergaul dengan laki-laki, asal engkau tahu batas, hati-hati dan jangan melampaui batas. Dalam segala soal engkau harus waspada."
Nurlela termenung mendengar nasihat ibunya. Contoh yang dikatakan ibunya itu memang sudah diketahuinya. Sungguh-sungguh dapat malu besar Sitti Mahrun! Kejadian itu sudah menjadi buah bibir orang. Laki-laki keparat itu tak muncul-muncul lagi, sedang Mahrun tak diaku lagi oleh familinya, sebab kelakuannya merusak nama baik famili dan memberi malu orang tua.
"Kasihan aku kepada Sitti Mahrun, Bu," jawab Nurlela.
"Apa sebab engkau kasihan kepada orang yang begitu?" tanya ibunya.
"Sebab dia menjadi korban kelurusan hati. Belum dialaminya sekali juga begini 'begitu itu. Sebab, sebagai kata Ibu, gadis-gadis itu, orang baru, ibarat katak di bawah tempurung. Sangkanya tempurung itu langit. Demikian juga gadis baru, percaya saja mendengar kata-kata yang manis yang keluar dari mulut laki-laki durjana. Sebab ia baru, gadis yang belum tahu apa-apa. Sungguh sulit bagi seorang gadis: jika salah sekali, akan salah selamanya; tak dapat diperbaiki lagi," kata Nurlela menghela napas.
"Itu benar! Itulah sebabnya Ibu peringatkan anakku supaya berjalan peliharakan kaki, berkata peliharakan lidah. Petunjuk orang tua-tua ini jangan engkau sia-siakan. Sekalipun aku ingin bermenantukan Ahmad, tapi kalau ada kejadian kurang enak atas dirimu dalam pergaulan, sudah cukup bagi Ibu akan membuangkan diri, lari darimu. Biar mati berkalang tanah, daripada menanggung .... Ibu tak suka anak Ibu bercela namanya biar sebesar rambut dibelah tujuh pun," kata ibu Nurlela menginsafkan anaknya.
Nurlela takjub mendengar buah kata-kata ibunya. Banyak kata-katanya yang berisi dan tinggi nilainya.
"Kini sudah tiba waktunya akan memberi nasihat kepadamu. Sebab engkau sudah besar, sudah cukup umur. Ibu menunaikan kewajiban seorang ibu kepada anaknya yang berangkat besar. Pesan dan kata-kata Ibu mudah-mudahan menjadi hadis bagimu hendaknya yang akan melepaskan engkau dalam kesulitan. Jangan engkau lengah mengingat- ingat, supaya engkau jangan tersesat. Sekarang hari telah jauh malam, sudah waktunya tidur," kata ibu Nurlela sambil berdiri lalu pergi ke kamarnya. Ia merasa senang, karena termakan benar kepada anaknya kata-katanya itu.
Di pembaringan Nurlela tiada mau juga tertidur. Matanya nyalang dan berbaring resah. Pikirannya melayang- layang. Perkataan ibunya masih terngiang-ngiang di telinganya. Ia tersenyum ketika bayangan Ahmad terlintas dalam khayalnya. Senyum dan mata Ahmad yang bersinar-sinar memandang menjadikan jantung Nurlela berdebar-debar. Dicobanya menghilangkan semua itu.
"Ibu khawatir aku bergaul dengan dia. Ibu khawatir aku dekat dia. Rupanya tak percaya Ibu, aku tak dapat dipermainkan Ahmad. Patut Ibu berpendapat begitu, karena Ahmad memang menarik hati. Seorang pemuda yang gombang, berani, dan patut jadi pelindungku. Ia berani berkelahi membelaku seperti kinantan bersabung dalam gelanggang. Memang orang seperti itulah yang kuidam- idamkan, dan kukehendaki jadi suamiku. Tapi... apakah aku akan menyerah kepadanya" Tidak! Sekalipun akan putus tali jantungku merindukan dia, taklah aku mau menonjolkan diriku. Dialah yang harus datang kepadaku, bukan aku. Tapi sekalipun dia menghamparkan rindu dendamnya kepadaku, sekalipun hatiku remuk redam pula menanggung rindu, tapi nasihat ibuku tetap kupegang teguh; takkan kulanggar. Wahai Ahmad takkah jelas olehmu bagaimana rasa hatiku! Hal ini akan kututup rapat. Tingkahmu, fiilmu, perangaimu, menarikku. Serasi sudah aku denganmu. Sepadan dengan cita-citaku, memang itu yang kucari akan kawan hidupku. Tapi sabarlah menanti. Sebelum itu, takkan Abang miliki. Apalagi Ibu melarang aku jangan royal kepadamu. Nasihat Ibu itu penjaga diri. Taklah aku sebagai gadis-gadis yang tak menurut pesan orang tua. Tak pula aku akan membukakan isi hatiku kepadamu, kalau belum sampai waktunya. Kau menanti aku, aku menantimu; bersama-sama sabar, menurut bunyi pepatah: "biar lambat asal selamat, takkan lari gunung dikejar."
Aku merindukan dia, dan ia merindukan aku pula. Penyakitkah cinta rindu itu" Memang, orang menamakan rindu suatu penyakit. Tapi aku merasa, menanggung rindu inilah yang seenak enaknya dalam hidup manusia. Merindu kekasih yang merindukan kita pula. Aduh senangnya! Betul kata pepatah: "Adat muda menanggung rindu. Tiap-tiap pemuda dan putri yang cantik, kalau tak menanggung rindu, hidupnya hampa tak merasa lezat muminya perasaan masa muda. Cinta rindu dendam itulah pakaian anak muda, suatu nikmat yang tak ada tandingan nilainya."
Demikianlah Nurlela melamun sebelum tidur, asyik merindukan Ahmad. Dalam ayunan rindu dendam itu ia tertidur, bermimpikan surga kayangan bersama-sama bidadari yang cantik indah. Bersenda gurau dalam taman bunga yang semerbak.
Bab 12 Mengambil Harta Tependam Pagi harinya, Nurlela pergi pula kerja. Hatinya kurang enak saja. Didapatinya Kaneko tak masuk kerja hari itu. Ia tinggal di rumah; tidur-tidur di kursi panjang di pekarangan belakang. Mak Minah pergi ke pasar agaknya, sebab tak ada kelihatan. Kaneko melihat Jenap datang tersenyum simpul, tapi Jenap waswas dan khawatir saja, namun ia terus bekerja. Menyapu dan membereskan perkakas rumah, meja kursi bagaimana patut letaknya. Setelah selesai sekalian diambilnya cucian; dibawanya ke kamar mandi akan dicuci; memang itulah yang utama jadi pekerjaannya. Semua kerja dan gerak- gerik Jenap selalu diturutkan Kaneko dengan matanya. Sebentar-sebentar ia tersenyum-senyum sendirian seperti bajingan dalam komedi gambar yang sedang menjalankan tipu muslihatnya. Jenap gemetar tubuhnya melihat tingkah laku Kaneko demikian. Berdiri bulu romanya apalagi orang lain tak ada di rumah, selain dari mereka berdua saja. Tapi ia terus juga bekerja dengan rajin sambil mengharap-harap, Mak Minah lekas datang. Tapi yang diharapnya tak muncul juga. Ia terus bekerja mencuci pakaian, sekalipun hatinya rusuh dan bimbang saja. Tapi alangkah terkejutnya waktu ia menoleh, terlihat Kaneko berdiri di ambang pintu kamar mandi. Terbang semangatnya. Kaneko menyangka Jenap suka saja kepadanya, sebab ia orang besar dan apalagi Jenap bujangnya, orang gajiannya. Tak ragu-ragu ia berkata: "Jenap, kerjalah di kamar saya dulu."
Jenap terdiam dan kemudian ia menjawab: "Kerja ini tanggung, saya sudahkan dulu."
"Sudah Bang, tapi belum dikerjakan," jawab Nurlela.
"Kalau begitu, keija segera akan selesai. Dengan Bapak Mohambing, Abang sudah bertemu. Lari dari Kamp, agaknya taklah begitu sukar. Karena Kamp Cideng Barat dipagar dengan dinding bambu yang dianyam saja. Gampang diretas. Lusa pekerjaan meretas barang itu hendaknya selesai. Pada hari kedatangan Jenderal Toyo, hendaknya Bapak sudah keluar. Sebab, hari itu diadakan pesta besar di Kamp, untuk menghormati kedatangan jenderal itu. Esok harinya kita dapat hendaknya menumpang kapal ke Singapura dan terus ke Medan. Sebab itu kita harus siap dari sekarang. Di Cirebon sudah ada teman yang akan menolong kita," kata Ahmad.
Nurlela dan ibunya girang mendengar kabar itu. Hanya hatinya iba juga meninggalkan kawan-kawannya di Jakarta.
"Kalau begitu kita akan berangkat meninggalkan Jakarta," kata Nurlela.
"Ya menunggu apa lagi, makin lekas makin baik," kata Ahmad.
"Kalau begitu Bu, patut juga aku pergi menghadiri perkawinan si Corrie besok malam sebagai pertemuan yang penghabisan dengan Corrie dan Manopo," kata Nurlela.
"Timbangan Ibu begitu juga ganti melihat penghabisan di Jakarta, ganti mengucapkan selamat tinggal," kata ibunya.
"Abang Ahmad sebenarnya kebetulan datang. Besok aku ajak Abang ke rumah si Corrie menghadiri pesta kawinnya," kata Nurlela sebagai perintah saja.
Sementara itu ibunya pergi ke dapur.
"Tentu di situ ada pesta dansa yang ramai," kata Ahmad tersenyum.
"Benar, Abang. Kita juga harus ikut berdansa. Tapi orang- orang yang mengajak aku berdansa, lebih dulu akan minta izin kepada Abang, sebab Abang yang membawa aku. Aku katakan ini supaya Abang jangan salah sangka."
"O, begitu adatnya! Tapi aku tak begitu suka kepada dansa," kata Ahmad.
"Aku memang tahu, Abang anak muda kuno. Hendaknya Abang berkenalan dengan perempuan alim yang tak pemah membuka kepala seperti perempuan Arab yang selamanya terkurung saja. Sampai kini hati Abang tetap kuno, belum berontak kepada adat lama yang sudah tetap kuno, belum berontak kepada adat lama yang sudah kaku itu. Sekalipun Abang tamat H.B.S. (Hampir sama dengan SMA sekarang.), tapi pergaulan Abang macam pergaulan kuno. Hal ini nyata sekali pada pendirian Abang," kata Nurlela.
"Kita boleh maju, tapi jangan terlalu maju. Tiap perbuatan yang keterlaluan dilarang agama," kata Ahmad.
"Jangan kita memandang hal itu dari satu jurusan saja. Kita manusia diberi Allah akal akan menimbang segalanya. Hukum- hukum agama pun harus kita timbang dengan akal yang waras, jangan diturut secara membabi buta saja. Baik menurut pendapat, diterima; mana yang tidak masuk akal, kita buang. Bukankah begitu menurut agama" Bukankah orang yang beragama itu orang yang balig lagi berakal" Karena akal dapat digunakan menimbang buruk baik hukum agama itu. Seperti kata Abang tadi, laki-laki bergaul dengan perempuan dilarang agama. Tetapi pergaulan yang bagaimana yang dilarang?" kata Nurlela.
Ahmad agak heran juga mendengar buah pikiran Nurlela, sehingga ia diam saja.
Oleh karena itu, Nurlela berkata lagi dengan lembut suaranya.
"Besok tentu Abang akan suka menemani aku ke rumah Conie, bukan" Aku tak berteman.
"Tidakkah Adik malu berjalan bersama Abang?" kata Ahmad bersenda gurau.
"Malu" Menurut timbanganku Abang tak kurang dari pemuda-pemuda yang kukenal. Kata Ibu, Abang sepadan benar dengan aku," jawab Nurlela tersenyum.
"Demikian kata Ibu?" tanya Ahmad.
"Ya," kata Nurlela tersenyum.
"Katamu bagaimana?"
"Kataku, Abang harus dibelikan obat peluntur dulu, supaya terbuang karat-karat kunonya," kata Nurlela tertawa sambil melihat pada Ahmad.
"Obat peluntur?"
"Ya," kata Nurlela, "supaya Abang jangan banyak pantang dalam pergaulan. Sebab sangkaku Abang terpaksa saja menerima permintaanku. Entah karena malu entah bagaimana. Abang sangat menjunjung tinggi gadis-gadis alim yang tak pernah keluar dari kurungan. Tapi adat itu sudah kaku dan kuno, Bang. Harus dibarui. Pemuda-pemuda harus giat meretas jalan-jalan yang akan ditempuh putri-putri Indonesia ke arah kemajuan. Karena zaman sekarang gadis- gadis tak harus dibelenggu dan dikurung seperti zaman Raden Ajeng Kartini. Bagaimana pailitnya dikurung itu, tentu Abang sudah membaca dalam buku Kartini 'Habis Gelap Terbitlah Terang' dalam surat-surat kepada seorang sahabatnya."
"Tapi kemajuan perempuan-perempuan sekarang banyak yang tiru-tiruan. Maju minum rokok, maju mencat bibir, duduk di restoran dengan bertumpang kala, meniru- niru bintang-bintang film Amerika. Ya, zaman sekarang seolah-olah perempuan telah meninggalkan sifat perempuan yang murni. Bagaimana juga, perempuan yang bercat pipi dan bibirnya, tampaknya tak murni lagi, apalagi perempuan perokok dan yang duduk tak tertib di restoran-restoran.
Agaknya kemajuan demikian sudah sesat," kata Ahmad sambil tertawa keras, hingga Nurlela tak dapat pula menahan tertawanya.
"Hal itu perkara lain. Aku tak bermaksud demikian," kata Nurlela sambil mengejek manis dengan mulutnya.
"Adik Nurlela, maksud orang tua melarang gadisnya keluar, supaya anaknya jangan sampai terjerumus ke dalam jurang yang salah. Supaya anaknya tinggal bersih selama- lamanya di mata orang banyak."
"Ya, hal itu aku mengerti tapi cara mengurung gadis demikian, Abang setuju?"
"Kabarnya orang-orang Tionghoa dulu di Tiongkok, anak-anak perempuan sengaja dibuat kecil kakinya, supaya perempuan itu jangan cepat berlari, dan selamanya tinggal di rumah saja," kata Ahmad.
"Bukankah itu terlalu?" kata Nurlela.
"Sudah banyak contoh-contoh, gadis-gadis yang merdeka menjadi korban kemerdekaan itu. Kemudian menyesal, menangis beriba hati tapi apa gunanya" Itulah sebabnya orang tua yang cinta pada anaknya melarang gadisnya keluar. Sedia payung sebelum hujan," kata Ahmad tersenyum.
Setelah terdiam sebentar Ahmad bermohon pulang.
"Tapi Abang besok datang, bukan?" tanya Nurlela.
"Abang akan tunduk kepada Adikku, apa kata Adikku akan Abang turut." Sambil tersenyum, Ahmad menjabat tangan gadis itu. Jawaban itu mengandung rahasia-rahasia yang tak tertulis. Nurlela senang dan girang mendengar kata Ahmad itu. Sedang berjabat tangan itu ia tersenyum dan berkata: "Selamat malam dan selamat jalan, Abangku."
"Tidak lama, sebentar saja," kata Kaneko,
"Kain saya lagi basah," kata Jenap.
"Tidak apa, ayo mari," katanya. Ia hendak memegang tangan Jenap; untung ketika itu terdengar bunyi oto berhenti di depan rumah. Dua orang opsir Jepang masuk pekarangan. Kaneko dengan cepat meninggalkan mangsanya.
"Kurang ajar," kata Jenap dalam hati. "Sangkanya aku akan menurut saja. Sekalipun aku akan ditembaknya, aku takkan menyerah. Besok saya takkan datang kemari lagi."
Disudahkannya cuciannya buru-buru, sedang ketika itu Kaneko meladeni tamunya. Dengan segera diambilnya sekop dan dibawanyake tempat barang-barang itu terkubur. Hati-hati digalinya tanah itu, tapi barang itu tak ada. Nurlela kecewa. Dilihatnya benar-benar gambar rumah dan pekarangan itu. Tak salah memang di situ tempatnya. Karena itu digalinya lagi, tiba-tiba tampak satu kotak yang dibungkus dengan kain. Kotak itu diangkatnya. Lubang segera ditimbunnya sebab barangkali masih ada barang-barang dalamnya. Dengan cepat kotak itu dibungkusnya sebab ia segera akan pulang. Tapi alangkah kecewanya. Kaneko tampak menuju kepadanya. Rasa habis harapannya, lemah anggotanya, tapi untung Kaneko belum melihat dia; buru-buru peti itu disembunyikan dekat pagar. Sudah itu dengan cepat ia masuk kamar mandi pura-pura membasuh kaki tangannya. Kaneko datang menyuruh dia memasak kopi untuk tamu. Jenap merasa beruntung. Segera ia bekerja. Hari sudah tinggi jua, tapi Mak Minah tak kunjung datang. Jadi amat banyak kerjanya. Sesudah menyediakan kopi, masak nasi dan lain- lain. Kemudian ia disuruh menyiangi ikan kakap besar. Agak heran juga memikirkan cara memasak makanan Jepang itu. Ikan itu dicuci bersih-bersih, sisiknya dibuang. Tak dimasak lagi ikan itu, ditaruh dalam pinggan besar lonjong bersama semangkok kecap, bawang, lada, dan bumbu-bumbu lain, dan dihidangkan di atas meja makan. Itulah suatu makanan yang enak bagi orang Jepang. Demikianlah Jenap asyik bekerja sehari-harian dengan pikiran tak tetap. Tapi setelah hari senja, saat dia akan pulang sudah tiba, tiba-tiba Kaneko datang dan berkata kepadanya: "Jangan pulang sekarang; tak ada orang. Sebentar lagi tamu besar datang. Nanti dikasih persennya."
Sebelum Jenap menjawab, Kaneko sudah pergi.
"Saya disuruhnya tidur di sini. Tak mungkin, saya musti pulang, apalagi saya sudah janji dengan Ahmad akan datang menghadiri pesta kawin si Corrie. Tentu Ahmad akan menunggu dan apa pula Ibu kalau aku tak pulang. Apa pula akan terjadi kalau aku tidur malam Ini di sini," kata Jenap dalam hati.
Hari malam, bulan terbit menerangi alam dengan lemah lembut cahayanya. Hati Jenap makin susah melihat hari makin lama makin malam itu, sedang ia hendak buru-buru pulang; membawa barang yang berharga itu, yang akan ditunjukkan pada ibunya dan Ahmad.
Pada senja itu pula, Ahmad sudah ada dalam perjalanan ke rumah Nurlela. Bercelana wol berkemeja ungu kain Kasmir; bersiul-siul kecil dengan girangnya. Hatinya senang gembira sebab sebentar lagi ia akan berjalan dengan si dia. Memang sudah lama jalan berdua itu diidamkannya. Disengajanya benar memakai pakaian rapi, supaya Nurlela bersenang hati, agar setara dengan dia.
Setelah sampai ke rumah Nurlela ia terus masuk saja sebab perasaannya sudah karib dengan orang rumah itu. Tak ada malu- malunya lagi. Tetapi ia heran karena tak ada orang di rumah. Di mang tengah sepi. Ia pergi ke kamar makan, di situ pun sunyi. "Ke mana orang rumah ini" Apa sudah pergi Nurlela dengan ibunya ke rumah Corrie?" Tanya Ahmad dalam hatinya. Mustahil! Sebab rumah tak dikunci. Dicarinya seluruh mang rumah. Tak ada pula. Dipanggilnya Nurlela dan ibunya berganti-ganti. Tak ada yang menyahut. Hatinya sudah tak senang lagi. Ia berbalik ke jalan besar. Tiba-tiba tampak olehnya pada kelok jalan orang berdiri. Didekatinya sambil berkata: "O Ibu, mengapa Ibu di sini" Saya lihat rumah kosong saja."
"O, engkau Ahmad! Adikmu Nurlela sampai kini belum pulang; hari sudah pukul 8 malam. Di rumah hati Ibu tak senang, karena pikiran kepada anak itu saja," kata ibu Nurlela.
"Ya Allah, Nurlela belum pulang" Tapi marilah Ibu pulang. Biarlah aku mencari ke rumah tempat kerjanya," kata Ahmad.
Setelah diantarkannya ibu Nurlela ke rumah, Ahmad pergi dengan segera ke Menteng. Rumah tempat Nurlela bekerja itu tampak terang benderang karena cahaya lampu listrik berpuluh-puluh watt. Di situ kelihatan banyak anggota tentara Jepang bersuka-sukaan, minum-minum, karena mereka malam itu bergirang hati, merayakan penyambutan kedatangan Jenderal Toyo. Jenderal itulah kepala angkatan perang Jepang yang masyhur dan amat ulung. Dialah yang mengalahkan seluruh negara di Asia Timur Raya.
Itulah sebabnya Jenap tak dapat pulang malam itu. Ia harus melayani tamu-tamu makan minum bersuka-sukaan di rumah Kaneko. Tapi sungguhpun dia bekerja, hatinya tak senang, mengingat barang simpanannya, perjanjian ke rumah si Corrie dan ingat akan ibunya yang pasti bersusah hati karena ia belum pulang.
Tiba-tiba Ahmad masuk pekarangan. Opsir-opsir Jepang itu pada berdiri melihat orang masuk pekarangan. Dengan segera Kaneko turun cepat mendapatkan Ahmad.
"Mengapa kamu berani masuk di sini?"
"Saya perlu benar bertemu dengan Jenap yang bekerja di sini," jawab Ahmad.
"Perlu apa?" "Dia harus pulang lekas. Ibunya sakit keras," kata Ahmad.
"Belum bisa! Ia banyak kerja," kata Kaneko.
"Kalau begitu saya minta izin bertemu dengan dia sebentar," kata Ahmad.
"Jangan lama-lama."
Jenap sudah melihat Ahmad berkata-kata dengan Kaneko. Setelah ia bertemu, dibisikkannya kepada Ahmad dengan cepat, bahwa barang-barang itu sudah diambilnya, tapi belum dibawa keluar. Dengan segera diserahkannya pada Ahmad supaya dibawanya buru-buru ke luar. Ahmad bingung kalau- kalau ia ketahuan membawa barang-barang itu. Barang itu segera dibungkusnya dengan selendangjenap.
"Ayo! Mari pulang bersama-sama."
"Abang keluar saja dulu dan tunggu aku dekat pasar Boplo. Kalau tidak begitu mungkin ketahuan."
"Cepat ya!" "Ya, Bang," kata Nurlela.
Ahmad berjalan cepat-cepat membawa peti kecil itu. Tapi waktu ia akan keluar pekarangan, kelihatan oleh Kaneko yang berkata: "Heh berhenti dulu! Itu apa?" Ahmad tak mengindahkan kata Kaneko itu. Ia terus saja berjalan cepat- cepat. Karena itu Kaneko marah. Diburunya Ahmad. Tapi Ahmad dengan sigap bersembunyi di balik pagar. Untung tak tampak oleh Kaneko. Tatkala Kaneko maju terus, ia keluar dan diambilnya jalan lain. Kaneko sangat marah karena Ahmad tiba-tiba hilang saja. Buru-buru ia balik mendapatkan Jenap. Tapi Jenap pun tak ada. Sebab sementara Kaneko mengejar Ahmad, ia sudah keluar pula. Bukan terkira-kira marahnya! Ia mengomel-ngomel tak karuan. Segera juga Ahmad dan Nurlela bertemu. Dengan becak mereka terus pulang. Alangkah besar hati ibu Nurlela setelah melihat mereka sampai di rumah. Nurlela menceritakan kepada ibunya sebab-sebab ia terlambat pulang dan mengatakan, bahwa barang-barang itu sudah dapat dibawanya. Ibunya berbesar hati dan dengan segera peti kecil itu dibuka di ruang lengah. Isinya" Barang-barang emas dan permata intan berlian. Barang-barang itu diserahkan semua kepada Ahmad, supaya dijadikan uang. Tapi Ahmad meninggalkan sepasang kerabu berlian untuk dipakai Nurlela.
"Lebih baik jual saja semua," kata Nurlela. "Aku tak perlu kerabu berlian, asal bapakku lekas keluar dan bertemu kembali."
Barang-barang ini tak berapa yang akan dijual, hanya sekadar ongkos saja. Bapak Mohambing barangkali besok akan lari, sebab besok Jenderal Toyo dalang di Jawa. Kantor- kantor tutup. Semua orang diperintahkan mengelu-elukan sepanjang jalan."
"Besok kesempatan yang baik bagi Bapak Mohambing keluar dari tawanan," katanya mengulang. "Aku sendiri dilarang Bapak datang ke sana, sebab melakukan hal itu lebih baik sendiri saja. Demikian katanya. Aku disuruhnya menunggu di rumah dan sedia dengan karcis kereta api yang akan berangkat jam 4 sore. Jadi kita harus siap sedia, tak boleh lalai dan lengah. Bersiaplah sebelum itu. Pergi ke rumah si Corrie malam ini tak mungkin; pertama sebab hati tak senang, kedua sudah telat. Bagaimana pendapat Adik Nurlela?" kata Ahmad.


Adat Muda Menanggung Rindu Karya Bagindo Saleh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau begitu yang baik kata Abang, aku hanya menurut. Tapi Abang jangan pergi dulu. Kami takut tinggal di rumah," kata Nurlela.
Bab 13 Ibu Bapak Ahmad Tak Setuju
Malam itu Ahmad pulang dengan hati puas. Karena menurut perasaannya Nurlela pun membalas cintanya, sekalipun tak nyata benar. Bukankah kebanyakan perempuan pandai menyimpan rahasia" Demikian pula Nurlela selalu menyimpan rahasia hatinya. Tapi bagi Ahmad walau bagaimanapun juga Nurlela berahasia kepadanya, jelas juga kelihatan padanya. Sedang pikirannya melayang kepada Nurlela itu, kakinya berjalan terus. Tak lama sampailah ia ke rumahnya. Ketika Ahmad masuk di kamar, dilihatnya sepucuk surat di atas meja. Setelah diamat-amatinya sebentar, dirobeknya sampul surat itu, lalu dibaca.
Anakda AHMAD Surat anakanda, sudah ayahda terima. Ayahda sangat kecewa membaca isinya, karena anakanda akan meminta seorang gadis Menado akan istii anakanda. Ibumu tak dapat membenarkan maksudmu itu. Sebab, kalau anakda kawin di negeri orang Ibu akan jarang-jarang melihat anakda. Jadi anakda berarti tak suka berkumpul dengan orang tua. Hal itu tak dapat diizinkan.
Apalagi kami sudah mereka-reka perudingan dengan orang tua Sita Asma. Tentu anakda tahu Sila Asma bukan" Dia sekarang sudah jadi gadis remaja putri. Pandai menjahit dan melukis, pandai menekat menerawang. Gunting- menggunting, jahit-menjahit sudah mahir. Masak-memasak pun pandai pula. Bukankah itu utama sekali bagi seorang wanita"Kepalanya tak pernah terbuka; selalu tertutup dengan kerudungan. Alim, dan sembahyangnya tak pernah tinggal. Seorang gadis yang beriman, seorang putri yang seindah- indahnya di kota Medan. Dalam perundingan kami dengan ibu bapaknya, kami sudah sepakat akan mendudukkan anakda dengan Sita Asma. Tapi rundingan ini belum kami putuskan, karena menunggu kabar dari anakda dahulu. Karena itu anakda pulanglah lekas, supaya segera dijadikan perkawinanmu dengan Siti Asma. Kalau lambat tak dapat ayahanda menanggung. sebab banyak benar anak muda yang meminta Sita Asma. Pulanglah anakda, lebih lekas lebih baik. Bersama ini ada ayahda kirim uang seribu rupiah buat ongkos.
Ayahda, Surat itu dibacanya berkali-kali. Demikianlah tiga berulang-ulang. Terharu hatinya, bingung pula! "Sita Asma," kata hatinya. "Tak salah Ayah mengambil dia akan menantu. Sedangkan masa dulu saja sudah tampak tanda-tanda bahwa Sita Asma akan menjadi kembang kota Medan, apalagi kini setelah remaja putri. Sayang benar kalau ini tak jadi. Tapi bagaimana halku dengan Nurlela" Jauh betul beda fiil perangai kedua gadis itu. Sita Asma seorang gadis alim, orang patuh menurut agama, sembahyang tak pernah tinggal. Sedangkan Nurlela gadis pedansa."
"Memang di daerah Medan, gadis yang berpendidikan agama, gadis yang nomor satu. Gadis yang tak tahu agama bercela di sana. Sita Asma bukan saja tahu seluk beluk agama, tapi juga rupawan. Tak seorang gadis menandingi dia di Medan. Kalau kesempatan ini tak kuambil, kapan lagi masanya?" Tetapi, Ahmad mengeluh: "Tetapi kalau aku kawin dengan dia, adakah aku akan berbahagia" Adakah hatiku tetap tenteram" Ah, mustahil! Aku tak mungkin melupakan Nurlela! Akan kupaksa mematikan api rinduku kepadanya" Adikku, wahai Adikku Nurlela, engkau tak tahu perasaanku sekarang! Pantangku berdansa menjadi duniamu, Sita Asma seorang yang menurut agama; gadis yang mengerti halal dan haram, pilihan ibu bapak yang pantas. Tetapi aku tak mungkin cinta padanya. Belum pernah mencintai dia. Hanya engkau Nurlela yang bersarang dalam hatiku! Senyumanmu, matamu, tingkah lakumu, tak hilang-hilang dalam hatiku. Tetapi akan kutetapkan memilih antara engkau dan Siti Asma. Aku tidak akan melupakan sesuatu pekerjaan dalam kebimbangan."
Diambilnya kertas lalu menyurat, membalas surat ayahnya.
Yth. Ayahanda dan Ibunda. Surat ayahda anakda baca dua tiga kali sampai anakda mengerti benar maksud-maksud Ayah dan Ibu. Pilihan Ayahda dan Ibunda, meminang Sita Asma untuk anakda, adalah suatu pilihan orang tua, yang sebaik-baiknya. Tapi Ayahda, dengan terus terang saja anakda kabarkan, tak mungkin anakda membuka pertalian batui anakda dengan Nurlela, gadis yang anakda kemukakan dalam surat anakda dulu. Sekalipun anakda terima pertunangan mi tapi hati anakda selamanya akan bhnbang saja. Kasihan anakda kepada Sita Asma, kalau sekiranya jadi anakda kawm dengan dia. Kasih sayang yang didapatnya adalah kasih sayang terpaksa saja, karena hati anakda sudah terlekat kepada orang lain.
Ampun dan maaf anakda minta kepada Ayahda dan Ibunda, karena anakda tetap bercita-cita hendak meminta
Nurlela akan kawan hidup anakda. Anakda minta sekali lagi persetujuan Ayahda dan Ibunda dalam hal kami mi. Kami akan datang bersama ibu bapaknya kemari.
Demikian supaya Ayahda dan Ibunda maklum.
Hormat, anakda, Esok harinya sesudah pembicaraan malam itu, Nurlela yang berpakaian serba buruk seperti perempuan desa, mulai bekerja di Menteng di bekas tempat tinggal Van der Heyde. Orang Jepang yang diam di situ bernama Kaneko, berumur kurang lebih 60 tahun. Pangkatnya letnan satu pada tentara Jepang. Tapi ketika itu ia jadi pemimpin atau kepala suatu kantor Pemerintah Jepang di Jakarta. Dialah yang menerima Jenap sebagai babu cuci, merangkap babu dalam, di rumahnya. Jenap itulah nama samaran Nurlela.
Kaneko menyuruh Jenap tidur di situ saja. Ia tak perlu lagi pulang. Tapi Jenap belum suka. Katanya, ibunya dalam keadaan sakit dan perlu dijaga tiap malam. Dengan alasan itu Jenap boleh pulang tiap-tiap sore.
Lain dari Jenap yang bekerja di situ, ada lagi seorang perempuan tukang masak yang dipanggil orang Mak Minah. Jenap dan Mak Minah sajalah pekerja di situ. Pekerjaan Jenap taklah berat, hanya sebagai pembantu Mak Minah. Hanya adat Jepang tak menyenangkan hati Jenap. Kaneko, di rumah hampir telanjang bulat. Sebab, ia hanya pakai kain cawat ala Jepang. Lebih cela dari cawat orang Dayak. Melayani Jepang yang setengah telanjang itulah yang memualkan hati Jenap. Baru sehari saja Jenap bekerja, ia sudah merasa mual. Tapi apa boleh buat! Pekerjaan itu dikerjakannya juga; tak lain karena ingin membela bapaknya. Mak Minah dirapatinya, untuk bertanya seluk beluk keadaan di rumah itu. Hari itu juga diketahuinya tempat terkubur barang-barang Van der Heyde. Penghidupan di rumah Kaneko memang berlebih- lebihan. Makanan lebih dari cukup. Malahan tak termakan lagi; banyak dibuang mubazir saja. Jepang umumnya mementingkan diri sendiri atau bangsanya. Jarang berhati sosial dan sangat tebal rasa kebangsaan. Segala tindakannya untuk Pemerintah Jepang. Segalanya itu diperhatikan Jenap. Panas hatinya akan kelobaan dan serakah Jepang itu. Tetapi ia bekerja terus dengan rajin.
Kaneko senang sekali melihat Jenap. Senyum simpul bermain di bibirnya. Ia melihat Jenap seperti kambing melihat rumput hijau. Amat manis tutur bahasanya kepada Jenap kalau meminta ini, menyuruh itu. Tingkah laku Kaneko penyayang benar kepada perempuan muda, memang sudah lama diketahui Mak Minah. Tapi sekali itu ia amat kasihan kepada Jenap. Ia merasa sayang kalau Jenap jadi kurban begitu saja. Karena itu ia berkata kepada Jenap dengan hati jujur, mengandung rasa kasihan.
"Jenap mengapa engkau di sini bekerja?"
"Apa salahnya Bu," jawab Jenap.
"Salahnya" Tidakkah terasa olehmu" Sangka Ibu engkau tentu mengerti. Bekerja di sini berbahaya bagimu. Engkau seorang gadis yang masih bersih, cantik dan menarik hati. Adakah engkau mengerti kata Ibu" Tuan Kaneko usianya saja yang tua, tapi hatinya muda; tua-tua kelapa, makin tua makin berminyak. Ia bergembira benar melihat engkau. Itu sebabnya Ibu katakan berbahaya bagimu, sebab engkau anak gadis, belum tahu apa-apa," kata Mak Minah.
"Saya bekerja di sini takkan lama Bu."
"Biar begitu takkan baik juga."
"Hanya dua tiga hari saja," kata Jenap.
"Kalau begitu apa maksudmu yang sesungguhnya," kata Mak Minah.
"Nanti saya katakan," sahut Jenap.
Sementara itu Kaneko memanggil Jenap menyuruh membersihkan tempat tidurnya. Jenap menurut dan asyik bekerja pura-pura tak tahu ada orang memperhatikan dia. Hari itu taklah kejadian apa-apa. Petang harinya setelah ia pulang dan berada dekat ibunya kembali, ia amat girang. Sesudah mandi ia duduk bersama-sama ibunya di pekarangan belakang. Segalanya diceritakannya kepada ibunya hal ihwal di rumah Kaneko. Kemudian ibunya memberikan surat dari Corrie, yang meminta Nurlela besok malam datang ke rumahnya untuk menghadiri pesta perkawinannya dengan Manopo.
"Tak mungkin aku pergi," kata Nurlela kepada ibunya.
"Tak baik begitu," kata ibunya.
"Pesta itu bergirang-girang, sedang kita dalam susah," kata Nurlela.
"Perkara susah takkan habis-habisnya, Engkau pergi atau tidak, kesusahan akan tetap ada. Lain perkara kalau engkau tidak pergi, kesusahan tersingkir. Kasihan kepada Corrie, kalau engkau tak pergi," kata ibunya.
Ketika itu pintu diketuk orang. Ahmad masuk. Pakaiannya tidak seperti kuli, tapi rapi.
Nurlela tersenyum. Ahmad bertanya dengan girang: "Dik Nurlela sudah bekerja?"
"Sudah Bang, berkat doa selamat saja," jawab Nurlela tersenyum melihat Ahmad.
"Syukur Alhamdulillah. Tapi sudah Adik ketahui tempat simpanan itu?" kata Ahmad.
Bab 14 Lari dan Pertemuan Pagi-pagi sekali bendera Jepang sudah dipasang orang pada tiap-tiap rumah seluruh Jakarta Raya. Berkibaran ditiup angin menghiasi jalan-jalan, gang-gang sekitar Jakarta. Itulah tanda penghormatan besar atas kedatangan Panglima perang Jepang, Jenderal Toyo, yang mengunjungi Jakarta atau tanah Jawa umumnya. Rakyat harus mengelu-elukan memperlihatkan suka cita dan girang gembira atas kedatangan panglima besar itu. Memang seluruh Asia Timur Raya sudah ditaklukkan Jepang. Tak ada yang menang berperang dengan tentara Negara Matahari Terbit itu; mereka menjadi jago dalam perang darat di Asia Timur.
Makin tinggi hari makin penuh jalan seluruh Jakarta Raya dibanjiri penonton. Pegawai-pegawai kantor berkumpul dan berbaris sepanjang jalan Gunung Sahari, yaitu jalan yang akan dilalui jenderal besar itu. Dari udik-udik orang menurun ke kota, ingin meliliat Jenderal Toyo yang masyhur itu. Stasiun Ikada lapangan Gambir dihiasi dengan daun- daun bendera-bendera kecil yang dirangkaikan dengan tali- temali. Di pintu gerbang untuk masuk dibuat gaba-gaba dan di depan stadion diadakan pula mimbar yang tinggi, untuk jenderal itu berpidato, memberi wejangan dan nasihat-nasihat pada rakyat dalam lingkungan pemerintahan Jepang di Asia Timur Raya. Semua orang harus berkumpul pula di lapangan itu mendengarkan pidato jenderal itu. Tidak peduli panas terik harus berdiri menunggu dan mendengarkan pidato itu. Tidak sedikit orang pingsan, karena tak kuat menahan panas matahari dan hawa orang-orang yang berdesakan. Antara lain jenderal itu berkata: Jepang Indonesia sama-sama keturunan. Jepang saudara tua Indonesia, Indonesia akan merdeka kelak di kemudian hari!!!
Orang-orang bertepuk tangan dengan ramainya karena girang mendengar Indonesia akan merdeka kelak kemudian hari. Rakyat girang mendengar kemerdekaan yang dijanjikan itu.
Sementara orang ribut mengelu-elukan kedatangan Jenderal Toyo itulah, Bapak Mohambing lari dari tempat tawanan, karena penjagaan tak begitu rapi. Pukul 11 ia sudah sampai di rumahnya; bertemu dengan anak istrinya.
Taklah dapat dikabarkan bagaimana girangnya pertemuan itu. Nurlela bercucuran air mata, melihat bapaknya sudah kurus kering. Tapi rasa syukur dan besar hatinya, bertemu dengan bapaknya tak dapat dikatakan. Hari itu juga mereka tergegas pergi ke stasiun dan menumpang kereta api ke Cirebon. Dari sana berlayar ke Singapura terus ke Belawan.
Rombongan itu dikepalai oleh Ahmad. Delapan hari kemudian masuklah kapal Singapura ke pelabuhan Belawan. Langsung dan tenang kapal berlayar mendekati pelabuhan. Ketika itu amatlah ramainya di pelabuhan Belawan. Orang- orang berjejal-jejal menunggu kedatangan kapal itu. Setelah sauh diturunkan, orang berebut-rebut turun, dulu-mendahului, bersicepat ke stasiun Belawan memburu kereta yang akan terangkat ke Medan.
Demikian pula Ahmad dan Pak Mohambing dengan menjinjing dan memikul kopor kulit masing-masing, sedang Nurlela dan ibunya mengiring dari belakang. Ketika mereka sampai di stasiun kebetulan kereta hendak segera berangkat. Barulah senang hati mereka setelah berada di alas kereta api.
Tiba-tiba Ahmad berkata: "Lebih baik kita terus saja ke Jalan Manggalan tempat ibu bapak saya."
"Jangan dulu ke situ, antarkan saja kami ke Jalan Puri. Rasanya di situ ada rumah yang patut untuk kami," kata ibu Nurlela.
"Buat apa ke rumah orang lain Bu, karena rumah ibu bapak saya ada cukup untuk Ibu sekeluarga. Saya merasa malu kalau Ibu menumpang di rumah orang," kata Ahmad kecewa karena semula sudah diharapnya famili itu akan bertempat di rumah ibu bapaknya.
"Anak Ahmad belum tahu apa yang terkandung dalam hati Ibu. Biarlah Ibu di Jalan Puri dulu. Nanti Ibu sendiri akan datang ke Jalan Manggalan mendapatkan bapakmu," kata ibu Nurlela.
"Ya, lebih baik begitu," kata Pak Mohambing menguatkan kata istrinya.
"Bagaimana juga Ahmad meminta, famili itu belum dapat mengabulkan. Demikian akhirnya mereka diantarkan Ahmad ke Jalan Puri. Baru mereka sampai ke situ, orang rumah girang benar akan pertemuan dengan Batiniah ibu Nurlela, yang sudah puluhan tahun tak bertemu itu. Malam itu diadakan selamatan besar, tanda bergirang. Tetangga dan kenalan lama Fatimah datang berkunjung melihat Fatimah, setelah bercerai sekian lama itu. Riuh bertanya ini dan itu untung-perasaian selama ini.
Setelah sekalian tamu pulang dan rumah sudah sepi, berkatalah Sarijah penunggu rumah itu kepada Ibu Fatimah. "Kebetulan benar Ibu datang. Jadi saya tak susah-susah lagi mencari orang akan penunggu rumah ini. Tadinya saya bingung kepada siapa rumah ini dipertaruhkan karena saya berdua suami, dengan kapal yang akan datang ini hendak berangkat ke Jawa. Berhari-hari saya berpikir-pikir kepada siapa rumah ini diserahkan. Kepada saudara Ibu. Tengku Mahmud, belum bulat hati saya. Itulah sebabnya saya girang benar Ibu datang. Kini dapat saya serahkan kembali rumah ini dengan perkakasnya, demikian pula segala perabotan dapur semua yang Ibu tinggalkan dulu itu. Saya berdua suami mengucapkan banyak teruna kasih, karena kami diberi tempat beberapa tahun untuk diam di rumah ini dengan cuma-cuma saja.
"Ah Sarijah, jangan begitu. Diamlah engkau di sini. Ibu tak suka engkau pindah karena Ibu. Bagi Ibu, mudah mendapat rumah di Medan sini," kata ibu Nurlela.
"Bukan karena Ibu datang kami berangkat, tapi sudah kami rancang lebih dahulu," kata Sarijah.
Nurlela yang dari tadi diam saja mendengarkan merasa heran memikirkan rumah itu. Siapakah yang punya ramah besar itu, ibunyakah" Didorong hasratnya, berkatalah ia: Siapakah yang punya rumah ini, Mbak," tanyanya kepada Sarijah.
Pertanyaan itu dijawab Sarijah dengan manis: "O, ya Bu, dari tadi saya pandang-pandang juga Adik ini serupa benar mukanya dengan Ibu, bukankah ia anak Ibu?" tanyanya sambil melihat ibu Nurlela.
Ibu Nurlela menganggukkan kepala.
"Ya Dik, rumah ini rumah ibumu. Dulu semasa Ibu masih muda dan baru kawin dengan Pak Mohambing, saya disuruh menempati rumah ini karena Ibu mau pergi ke Jawa. Sekarang orang yang punya sudah datang. Rumah ini saya serahkan kepada ibumu kembali," kata Sarijah.
"O begitu?" kata Nurlela.
Alangkah girang hatinya mendengar kabar itu. Tapi agak heran ia, karena ibunya tak pernah mengatakan kepadanya ia ada punya rumah.
Ibunya tersenyum saja melihat anaknya. Tampak padanya anaknya bergirang hati.
Dua hari sesudah itu, berangkatlah Sarijah dengan suaminya. Hari itu pula Nurlela membersihkan rumah itu, mengatur perkakas-perkakas, membersihkan pekarangan dan lain-lain. Ia amat senang tinggal di rumah besar itu, lebih- lebih lagi karena rumah itu adalah rumahnya sendiri. Besar hatinya tak terkira seolah-olah menarik lotre.
Perkakas rumah diatur letaknya. Disusun sebaik-baiknya sehingga sedap dipandang mata. Ibu bersenang hati melihat, kerja Nurlela itu.
Beberapa hari kemudian mereka tiga beranak duduk di mangan belakang. Nurlela berkata kepada ibunya: "Mengapa Abang Ahmad sejak pergi malam itu, sampai kini tak datang lagi kemari Bu?"
"Ibu tak tahu sebab-sebabnya. Tapi maklumlah anak bertemu dengan orang tua yang sudah lama bercerai," kata ibunya.
"Dulu di Jakarta kata Ibu, bapak Ahmad itu kakak Ibu," kata Nurlela.
"Benar anakku, Mahmud itu kakak Ibu yang tua."
"Kalau begitu mengapa kita tak datang ke situ, mengunjungi mamang anakda itu?"
"Ya, kita akan pergi ke sana; kalau tidak sekarang besok," jawab ibunya. Nurlela ingin benar hendak melihat pamannya itu. Karena itu ditunggunya waktu itu dengan sabar dan girang hati.
Adapun Ahmad, sesudah mengantarkan famili Nurlela tempo hari itu, minta permisi kepada Nurlela dan ibunya, hendak pergi ke Jalan Manggalan ke rumah orang tuanya. Ia berjanji kepada Nurlela akan datang esok harinya dan berjanji pula kepada Nurlela akan berjalan-jalan melihat-lihat kota Medan.
Pukul 9 malam, ia sampai di rumah orang tuanya. Ibu bapak-nya tercengang melihat kedatangan anaknya yang tiba-tiba itu.
Sungguhpun hari malam, berdatang juga famili-famili dan tetangga melihat Ahmad yang sudah lama meninggalkan kampung halamannya itu. Sampai esok harinya tak putus- putusnya orang memanggil dia makan ke rumahnya masing- masing. Ahmad merasa malu tak membawa oleh-oleh dari Jakarta, untuk famili-famili itu. Tak ada sangkanya bahwa ia akan disambut orang demikian. Rumah ibunya penuh tiap hari oleh handai tolan yang datang melihat orang pulang merantau itu. Sita Asma yang cantik beserta ibu bapaknya pun datang. Memang patut jua ia datang, sebab jalan famili kepadanya. Dengan senyum simpul ditegurnya Ahmad, menanyakan keadaan kota Jakarta. Memang, ia sudah biasa bergaul dengan Ahmad di masa kecilnya dulu. Berkocak iman Ahmad melihat Sita Asma. Sungguh cantik jelita! Pilihan orang tuanya tepat benar! Sampai ketika itu Sita Asma belum kawin sebab masih menunggu Ahmad. Demikian cita-cita Tengku Mahmud bapak Ahmad itu. Ia berasa sayang, kalau Ahmad anak yang disayanginya itu tak kawin dengan Asma.
Esok harinya Ahmad dipanggil ibu bapaknya untuk urusan perkawinannya dengan Sita Asma. Setelah ia duduk, berkatalah bapaknya: "Ahmad, langkah baik benar kedatangamnu ini. Karena bapak dan ibumu selalu menunggu- nunggumu, supaya dapat dilangsungkan perkawinanmu dengan Sita Asma. Agaknya engkau sudah melihat dia kemarin."
Termenung Ahmad mendengar dan kemudian berkata dengan hormatnya.
"Dulu, dalam surat anakda kepada Bapak, anakda mengatakan bahwa anakda lelah berjanji dengan seorang anak gadis Menado."
Belum sampai ia meneruskan kata-katanya, ibunya menyela pembicaraan: "Ahmad, aku kurang suka kalau engkau kawan dengan orang, lain dari orang Deli. Ingatlah, engkau orang berbangsa di sini. Mengapa akan kawin dengan gadis Menado.
"Apa tak ada gadis yang pantas di sini untukmu" Jangan anakda, Sita Asma cukup baik untukmu."
"Anakda sudah berjanji Bu, anakda tak mungkin memungkiri janji. Janji itu harus anakda tepati," kata Ahmad dengan harapan.
"Bukankah Sita Asma melebihi rupa, maupun kepandaian gadis Menado itu?"
"Rupa dan kepandaian itu belum dapat Ibu Bapak bandingkan, karena Ibu belum melihat, gadis Menado itu. Tetapi timbangan anakda, dalam soal perkawinan, bukan rupa dan kepandaian itu yang penting, hanya kesesuaian, kecocokan, keakuran suami istri, itulah yang utama, kata Ahmad.
"Telah yakin engkau, bahwa engkau takkan, cocok bergaul dengan Sita Asma?" tanya bapak Ahmad.
"Itu belum dapat pula anakda pastikan," kata Ahmad.
"Kalau belum, tak salahnya engkau turut kata orang tua. Sita Asma adalah pilihan famili untukmu," kata Tengku Mahmud.
"Anakda harus menepati janji, Pak.
"Dengan Siti Asma engkau harus kawin, sekalipun engkau akan kawin lagi nanti dengan gadis Menado itu, Bapak takkan melarang," kata bapak Ahmad.
"Jadi anakda akan beristri dua?"
"Ya, apa salahnya?"
"Tak mungkin Pak, maafkan anakda. Beristri dua anakda tak pandai. Itu pangkal perselisihan, bunga perkelahian, menyakitkan hati perempuan. Anakda tak suka berbuat begitu, anakda tak mau menyakiti hati istri," kata Ahmad.
Ketika Tengku Mahmud akan menjawab kata-kata Ahmad, datang seorang ke serambi belakang mengatakan ada tamu. Tengku Mahmud membenarkan pakaiannya, kemudian segera keluar. Setelah sampai di langkan, tercengang dan kemudian ia memandang kepada tamu itu, yaitu Fatimah, adiknya. Fatimah bersujud, ia menyembah, bersimpuh dan minta ampun, serta memegang kaki abangnya. Bapak Mohambing berbuat demikian juga. Nurlela heran melihat kejadian itu. Tengku Mahmud tak berkata juga. Mulutnya seolah-olah terkunci.
"Ampunilah kami dua laki-istri Kakanda Mahmud atas kesalahan Dinda dulu itu." Tengku Mahmud diam saja. Ia ingat ketika adiknya dilarangnya berlayar ke Jawa masa dulu. Sebab ia tak suka berpisah, karena adiknya itulah yang tahu kepadanya, yang akan diharapnya menyelenggarakan rumah pusakanya. Larangannya itu tak diindahkan adiknya. Iba benar hatinya kepada adiknya yang tak menurut kata itu. Tapi kini, melihat adiknya bersimpuh minta ampun itu, runtuh juga hatinya. Ia teringat masa kecilnya. Adiknya itulah yang sangat disayanginya. Sekarang dengan tangisnya menyimpuh minta ampun kepadanya. Sedih ia melihat adiknya sudah tua. Sayang seorang kakak kepada adik beramuk dalam hatinya. Dengan tergenang air mata berkata ia: "Sudahlah Fatimah, berdirilah. Aku takkan mengingat-ingat lagi kejadian yang sudah-sudah. Engkau adikku, tetap adikku untuk selama-lamanya. Engkau pulang sekarang ini menggirangkan hatiku, sekalipun engkau sudah banyak kesalahan kepadaku. Sekarang engkau tak boleh pergi-pergi lagi, tinggal mendiami rumah pusaka kita, sedang saudara-saudaramu yang perempuan sudah tak ada lagi."
Mendengar kata saudaranya itu melelehlah air mata di pipinya, air mata kegirangan. Besar hatinya tak dapat digambarkan. Sedang menangis itu ia memandang kepada anaknya dan berkata: "Hai Nurlela, alangkah kurang bijaksanamu! Begitu lama engkau diam saja tak tahu engkau apa yang mesti engkau buat.
"Aku belum tahu, Bu, hatiku sedih benar! Terharu melihat kejadian ini," kata Nurlela setengah menangis pula.
"Inilah paman kandungmu yang pemah aku katakan kepadamu."
Mendengar itu, segera ia mengunjamkan lututnya: menyembah di depan mamaknya.
Dengan tangis terisak-isak dan air mata tergenang ia menengadah. Pamannya ditentangnya dengan matanya yang bagus itu. Dengan tangan tersusun ke atas berkata:
"Ampunilah saya Mamanda, kalau tampak pada Mamanda, kemenakanda kurang sopan. Hati kemenakanda terharu melihat Mamanda dan Ibu. Sedih dan pilu rasa hati kemenakanda. Sangka kemenakanda dulu Ibu telah menggusarkan hati Mamanda. Tiap hari Mamanda disebut- sebut Ibu akan minta ampun. Tak dapat dikatakan besar hati kemenakanda mendengar perkataan Mamanda pada Ibu. Apalagi kemenakanda baru saja lepas bersedih hati yang tak terkira pula."
Mendengar perkataan Nurlela dengan suara yang menarik, lemah lembut dan bijaksana itu, Tengku Mahinud terbit sayangnya. Ditariknya gadis kemenakannya itu dekat- dekat. Dipandangnya, nyata mata kaumnya yang demikian sinarnya. Alangkah indah paras pada pemandangannya. Badan lemah semampai dipalut kulit yang maha halus kuning langsat.
"Masya Allah Fatimah, ini anakmu, kemenakanku?" tanyanya tercengang heran sambil menggelengkan kepalanya,
"Ya Mamanda, kemenakanda seoranglah anak Ibu."
"Tadi engkau katakan lepas susah, apakah pula yang engkau susahkan selama ini?"
"Sejak Jepang datang, kami susah Mamanda. Bapak ditawan. Baru beberapa hari ini dapat melarikan diri. Semua itu atas pertolongan Abang Ahmad."
"Siapakah Abang Ahmad itu?"
"Bukankah Abang Ahmad itu anak Mamanda?" kata Nurlela.
"Ooo," katanya berteriak, "engkaukah yang dikatakannya gadis Menado?" tanya Tengku Mahmud terbelalak matanya.
"Ya, tak salah Mamanda!" kata Nurlela-tersenyum.
"Ahmad!" teriak Tengku Mahmud dengan keras kepada anaknya dengan air mata berlinang.
Ahmad terkejut mendengar suara bapaknya yang keras itu. Bergegas ia pergi mendapatkan bapaknya bersama ibunya. Baru saja sampai bapaknya sudah bertanya: "Tahukah engkau siapa ini?" Tengku Mahmud menunjuk kepada Nurlela,
Ahmad tercengang melihat Nurlela beserta orang tuanya ada di situ.
"Ini Adik Nurlela Pak, inilah anak gadis Menado yang anakda kabarkan kepada Bapak."
"Salah sekali kaukatakan gadis Menado. Ia gadis Deli asal berasal, kaumku, kemenakan-kandungku. Dialah yang akan mewarisi pusaka datuknya," kata Tengku Mahmud kepada anaknya dengan girang.
Ahmad heran mendengar, karena ia belum tahu ujung pangkalnya.
"Mengapa Abang bingung" Dulu, di kamar makan, di ruang kami di Jakarta, Abang mengatakan seorang adik Mamanda, Fatimah, pergi ke Jawa: Bukankah adik mamanda itu ibu kita?"
"Ya Allah, Adik Nurlela, begitu?" teriak Ahmad girang.
"Ya, jadi Abang anak pamanku."
"Ya, bagaimana baik kata Dik Nurlela-lah, Abang menurut. Tapi sangka Abang, Nurlela tak dapat bergerak lagi, halangan telah tersingkir, gadis Menado yang cantik, akan tetap jadi adik Abang selama-lamanya," kata Ahmad sambil tertawa girang dan tak malu-malu. Nurlela dipangkunya di hadapan bapaknya itu, karena sangat suka citanya.
Tengku Mahmud maklum anak dan kemenakan sayang menyayangi. Hatinya besar melihat anak dan kemenakan berkasih-kasihan itu. "Memang patut Ahmad tertarik pada kemenakanku ini," katanya hatinya. Demikianlah akhir pertemuan itu.
Dil3ma 3 Duka Lara Karya Bois Terkoyaknya Raja Digdaya 2
^