Pencarian

Takhta Bayangan 3

Takhta Bayangan The Shadow Throne Karya Jennifer A. Nielsen Bagian 3


"Dan kau mempertaruhkan nyawamu bagi kami. Mengapa kau tidak mengirim orang lain" Kita punya prajurit-prajurit lain yang mampu melakukan penyelamatan itu."
"Aku tahu Avenia sedang mencari informasi, dan jika ada yang tertangkap, mereka akan mengeruk rencana-rencanaku dari mereka, seperti yang akan mereka lakukan terhadapmu. Tetapi kalau aku yang menjadi tahanan mereka, aku tahu dapat memberi mereka informasi persis seperti yang kuinginkan. Dan itulah yang kulakukan."
Tobias menggeleng. "Kalau kau akan berdusta, mengapa tidak kau katakan saja dari awal, sebelum mereka harus memukulimu untuk mendapatkannya?"
"Mereka tidak akan memercayaiku kalau kubuat semudah itu." Suaraku melembut ketika aku kembali merasakan pukulan dan hantaman mereka. "Mereka harus memukuliku untuk mendapatkannya sehingga mereka dapat menerima kebohongan-kebohonganku. Bagaimanapun, hal itu akan terjadi. Setidaknya kita mendapatkan sesuatu darinya." Harga untuk menyesatkan mereka sangat tinggi, begitu mahal sampai hampir membunuhku. Tetapi kami punya keunggulan sekarang dalam perang. Avenia akan menghabiskan banyak sekali energi untuk mengejar bayangan yang tidak ada.
Hanya sedikit yang dibicarakan sampai kami kembali berjalan lagi. Kemudian pikiranku tidak dapat dihindari lagi, kembali kepada Imogen. Aku berkata, "Panah itu mengenai bagian bawah bahunya, tetapi mungkin luput dari jantungnya. Jika dia selamat ketika terjatuh, mereka mungkin akan mencoba untuk menyembuhkannya, jadi mereka dapat menggunakannya untuk melawanku."
"Lalu kenapa hal itu tidak terjadi?" Tobias berkata lembut, mengetahui kata-katanya akan menambah sakitnya kesedihan yang kurasakan. "Jika dia selamat, tentu saja mereka akan menggunakannya dan bukan aku. Jadi, mengapa mereka tidak berbuat begitu?"
Aku sudah tahu jawabannya, walaupun tidak punya keberanian untuk mengucapkan kata-kata itu. Imogen telah mengatakannya sendiri ketika kami bersama. Bahkan jika dia selamat, dia akan mencoba untuk mati. Dia akan memilih itu ketimbang membiarkan dirinya menjadi senjata yang melawanku.
Tetapi pemahaman ini hanya membangkitkan rasa frustrasiku. "Mengapa dihentikannya pemanah itu" Yang harus dilakukannya hanyalah lari."
Mott mengatupkan bibir, kemudian dengan ketenangan yang sama seperti Tobias, berkata, "Imogen menghentikannya karena begitulah dia. Jangan marah pada sifat terbaik darinya." Mungkin dia benar, tetapi aku tetap tidak yakin bahwa Imogen seperti itu. Aku menunduk dan berkata, "Beri aku harapan, Mott. Adakah kemungkinan dia masih hidup?"
Dia berkuda beberapa saat, mungkin mengulangi momen itu sama seperti aku. Matanya tertutup dan wajahnya tegang. Akhirnya, dia berkata, "Aku melihatnya jatuh dari bukit, dan aku berlari ke arahnya, namun dia dengan cepat dikerumuni. Mereka menarik anak panah itu, kemudian memanggil kereta untuk membawanya."
"Kereta medis?"
Mott menggeleng perlahan, seakan gerakan sederhana itu memerlukan usaha berat. "Untuk menguburkan yang meninggal. Di sanalah mereka meletakkannya. Maaf, Jaron."
Kami berdiam diri. Sampat saat itu, aku hampir meyakinkan diri bahwa Mott mungkin melihat sesuatu yang dapat memberiku harapan, satu kemungkinan kecil bahwa Imogen selamat. Tetapi kereta itu dipanggil hanya untuk satu tujuan. Akhirnya, aku berkata, "Ibunya tinggal di Tithio, kurasa." "Begitu kita kembali ke Carthya, aku akan mengatur seorang pembawa berita untuk mendatanginya," Mott menawarkan.
"Tidak, aku yang akan melakukannya. Aku berutang kepada ibunya untuk itu." Uang garlin dalam kantongku berada di tanganku lagi. Aku mulai memainkannya pada buku-buku jariku, kemudian berubah pikiran dan menyimpannya. "Setiap bagian tubuhku sakit, Mott."
"Kau telah mengalami banyak hal. Tetapi dengan waktu yang cukup, semua luka akan sembuh."
"Maksudku bukan luka dan memar."
"Bukan itu juga maksudku."
"Oh." "Jaron, dia menyelamatkanmu karena kau harus menyelamatkan kami. Dia melakukan hal yang benar bagi Carthya. Namun hanya jika kau mengubah kematiannya menjadi suatu tujuan, dan memenangi perang ini."
Aku tahu itulah yang harus kulakukan, namun tetap saja tidak membuat tugas di depanku menjadi berkurang kemustahilannya. Aku baru mengerti sekarang bahwa terlepas dari segala rintangan, aku tetap harus berhasil.
Hanya sedikit yang diucapkan sampai aku menunjuk lapangan luas di sebelah kanan kami dan menyuruh Mott untuk menyiapkan pedangnya. Tobias mengeluarkan pedangnya juga, apa pun gunanya bagi kami. Nyaris berbisik, aku berkata, "Hati-hati. Ini Tarblade."
BAB 18 TELUK Tarblade merupakan tempat tinggal bajak laut Avenia yang tersamar dengan baik. Cukup mudah untuk dilihat dari laut, walaupun pelaut malang yang lumayan dekat untuk menemukannya pasti tertangkap dan dibunuh. Melalui darat, kebanyakan pengelana dapat melewati kamp dan tidak menyadari keberadaannya. Bahkan aku yang berada di sana hanya beberapa bulan lalu, harus berkonsentrasi untuk memastikan kami berada di tempat yang benar.
Semua yang merasa perlu untuk memasuki kamp bajak laut harus melakukannya dengan pedang terulur, bilah ke bawah, untuk menunjukkan kepada para perompak dia tidak bermaksud jahat. Aku jelas tidak bermaksud buruk, tetapi aku juga tidak mengulurkan pedangku. Aku akan berkuda masuk sebagai raja mereka.
Para bajak laut di tepi kamp langsung mengenaliku dan semua langsung bergerak. Aku mendengar teriakan-teriakan supaya Erick datang, dan orang-orang menyerukan namaku, walaupun tidak dalam nada persahabatan yang lebih kusukai.
Erick telah menjadi pemimpin para pencuri dan menjadi orang yang membawaku kepada para perompak. Pada akhirnya, aku menjadi raja bajak laut, tetapi menjadikan Erick pemimpin mereka di sini. Aku senang melihat dia masih menjadi pemimpin mereka. Berdasarkan ekspresi-ekspresi terhadapku, aku curiga satu-satunya alasan aku tetap menjadi raja bajak laut adalah karana aku tidak berada di sini untuk bisa ditantang bertarung sampai mati.
"Kau yakin tahu apa yang kaulakukan?" Mott bertanya saat kami berkuda memasuki Tarblade.
"Aku yakin tidak," jawabku. "Bersiaplah dengan pedangmu."
Penerimaanku tidak lebih hangat setelah Erick muncul dari pondoknya. Dia terlihat sama seperti pertama kali aku melihatnya beberapa bulan lalu, tinggi ramping dengan rambut merah pendek yang menipis, serta mata biru yang menusuk. Ada beberapa hal yang baru. Dia memiliki beberapa luka baru di wajahnya, bekas luka tak rata menggantikan sebaris janggut yang tercukur pendek sepanjang rahangnya. Dia menarik napas panjang ketika melihatku, kemudian menggumamkan sesuatu kepada dua orang bajak laut di dekatnya, yang pergi ke arah dapur.
"Siapa ini?" Erick bertanya kepadaku, membuat isyarat ke arah Mott dan Tobias. "Kami tidak suka pengunjung di Tarblade. Kau kan tahu itu."
"Mereka bukan berkunjung. Ini teman-temanku dan akan disambut seperti itu." Aku sangat menyadari bahaya dalam kata-kataku. Belum lagi jelas apakah aku akan disambut di sini sebagai sahabat.
Mott dan Erick berkenalan dengan anggukan sopan. Tobias mencoba, namun dia begitu cemas sehingga punggungnya lupa bagaimana caranya menekuk. Aku meluncur turun dari kuda dan berkata kepada Erick, "Kau terlihat seperti memilih sisi yang salah dalam suatu pertempuran."
"Kau terlihat lebih jelek lagi." Erick dan aku berjalan ke arah dapur juga, Mott dan Tobias menuntun kuda-kuda di belakang kami. "Mengapa kau datang?"
"Kau pasti tahu alasannya. Avenia telah memulai perang. Aku memiliki sumpah para perompak ini, kalau perang terjadi, mereka akan berperang untukku. Aku berada di sini untuk meminta mereka memenuhi janji itu."
Erick berhenti, wajahnya terpuntir oleh keraguan. "Menurutmu para bajak laut mau memberimu sumpah itu?"
"Apa pun yang mereka rasakan, mereka memberikannya, dan mereka akan memenuhinya."
"Diperlukan segala yang kumiliki untuk tetap menjadi pemimpin mereka. Jaron, aku jadi pemimpin hanya setelah beberapa hari berada di sini, dan hanya karena kau memberiku posisi itu. Mereka mungkin mematuhiku, tetapi mereka akan bersorak begitu orang lain mengambil alih tempatku. Jika mereka memiliki sedikit respek bagiku, kau pasti tahu apa yang mereka rasakan terhadapmu."
Apakah dipikirnya aku menipu diri sendiri tentang hal itu" Aku merasa amarahku timbul. "Jika kau mengetahui Carthya akan kehilangan apa saja dalam perang ini"semua yang tidak lagi kumiliki"kau akan mengerti betapa aku tak terlalu peduli apakah salah satu dari kita punya teman di sini. Kumpulkan para bajak laut, Erick. Aku akan berbicara dengan mereka langsung." "Aku akan kumpulkan mereka. Tetapi bilang pada temanmu yang berkulit gelap untuk menyiapkan pedangnya. Dia mungkin membutuhkannya." Kemudian Erick menangguk pada Tobias, yang tidak yakin dengan genggamannya pada senjatanya. "Dan katakan pada anak laki-laki itu untuk menurunkan pedangnya agar tidak melukai siapa pun. Sementara itu, makanlah sesuatu. Aku pernah melihat mayat yang terlihat lebih sehat daripadamu."
Dia memberi tanda ke meja dekat situ tempat Serena, seorang gadis dapur yang telah menolongku dalam momen paling buruk bersama para bajak laut sebelumnya, sudah menyiapkan mangkuk-mangkuk stew bagi kami. Dia tersenyum hangat kepadaku dan mengundangku duduk.
Aku duduk, bersemangat melihat makanan, Tobias di sampingku. Mott tetap berdiri dan hanya duduk ketika aku memberitahunya dia terlihat seperti ingin berkelahi. Dia menyodok sedikit stew-nya, kemudian melihat aku menghabiskan punyaku hanya dalam beberapa gigitan dan memberikan mangkuknya kepadaku. "Sekali ini jangan menentangku," katanya. "Makan saja."
Aku terlalu lapar untuk bertengkar. Dan aku hampir selesai makan semur ketika para bajak laut mulai tiba. Mott yang pertama berdiri, diikuti olehku, tak lama kemudian. Mereka berkelompok sedikit lebih bawah di lereng dari tempat kami berdiri. Aku mengenali sebagian besar dari mereka. Ini adalah orang-orang yang telah menimbulkan luka-luka di badanku begitu mereka mengetahui identitasku yang sebenarnya. Mereka juga bersorak di pihak raja mereka yang terdahulu, Devlin, ketika aku melawannya. Di satu sisi aku melihat bajak laut yang menendang kakiku yang patah ketika aku melawan Roden" rasa sakit fisik terburuk yang pernah kualami. Aku akan selalu mengingatnya.
Erick bergabung di sampingku dan berkata kepada orangorang yang berkumpul, "Tidak semua dari kalian berada di sini ketika Raja Jaron dari Carthya mendatangi para bajak laut. Tetapi kalian mendengar ceritanya, tidak diragukan lagi, dan mengetahui kekuatannya, keberaniannya?"
"Keberanian apa?" seseorang berteriak dari kerumunan itu. "Dia menyatakan dirinya adalah seorang pencuri bernama Sage. Kami akan membunuhnya kalau dia mengatakan yang sebenarnya."
"Alasan apa lagi yang lebih baik untuk berbohong?" Erick merespons. "Lupakan segala pendapatmu tentang anak laki-laki ini, apa pun perasaanmu tentang bagaimana dia menjadi raja di sini. Karena suka atau tidak, Jaron adalah rajamu. Dan kalian semua bersumpah akan mengikutinya. Dia kembali sekarang, dan dia membutuhkan bantuan kita. Aku meminta kalian semua untuk mendengarkannya." Erick berbalik ke arahku dan berkata lebih perlahan, "Kalau keadaan memburuk, aku tidak akan bisa menghentikan mereka."
Aku mengangguk, lalu melangkah maju. "Perang telah tiba di negeriku. Aku membutuhkan bantuan kalian."
"Kau meminta kami untuk berperang melawan tanah air kami sendiri?" orang yang lain berteriak.
Kemarahannya sungguh munafik. Dengan intensitas yang sama, aku menjawab, "Kau mencuri dari sesama bangsamu, menakut-nakuti keluarga mereka, dan membunuh semua yang menentangmu. Sekarang kau mau mengaku setia kepada Avenia" Aku tahu sama baiknya dengan kalian bahwa Tarblade adalah satu-satunya rumah kalian, bukan Avenia. Kalian bajak laut, dan aku rajamu. Kalau aku bilang kalian akan bertempur bagi Carthya, itulah yang akan terjadi."
"Kau tidak harus menjadi raja." Orang yang berbicara itu lebarnya hampir sama dengan tingginya, dan terlihat dipahat dari batu besar. Janggut hitam kusut jatuh dari dagunya dan setiap garis wajahnya berkerut kotor. Dalam keadaanku sekarang, dia dapat melibasku seperti ranting. Sebenarnya, bahkan dalam kondisi terbaikku, dia mungkin masih bisa melakukannya.
Erick menyela di antara kami. "Kau harus melewatiku dulu."
"Dan aku," Mott berkata, menaikkan pedang. Tobias tidak berkata apa-apa, tetapi berdiri di samping mereka dengan satu tangan di pedang.
Aku mendorong mereka semua. "Kalau mau menantangku sebagai raja, itu hakmu. Aku akan menerima tantangan itu. Tetapi tidak sekarang. Aku punya tanggung jawab terhadap Carthya, dan aku harus mengakhiri perang ini."
Gerutuan terdengar di seluruh kerumunan. Aku menarik pedang dan terkejut oleh beratnya. Mungkin dalam beberapa hari terakhir aku menjadi lebih lemah daripada yang kusadari. Namun tetap, kuangkat pedang itu tinggi-tinggi dan berharap lenganku cukup stabil untuk menunjukkan pada mereka bahwa aku dapat bertempur, kalau terpaksa.
"Kau lupa aku ini siapa?" tanyaku. "Apa yang kulakukan persis di tempat ini" Aku tidak meminta bantuan kalian. Aku tidak datang untuk berdebat apakah kalian seharusnya mematuhiku. Aku datang untuk memberi kalian perintahku, menagih sumpah setia kalian untuk mengikutiku. Sumpah sama yang kuucapkan untuk menjadi bajak laut. Artinya aku terikat untuk menjawab panggilan ketika para perompak butuh bantuan. Kalian akan memanggil semua orang yang berada di laut, dan kalian akan mengumpulkan semua perbekalan yang dibutuhkan untuk melakukan perjalanan. Erick tahu rencana-rencanaku dan aku akan bertemu kalian di medan perang."
"Kami tahu apa musuh Carthya," seseorang di ujung yang jauh berkata. "Terlalu berbahaya."
Aku menyeringai ke arahnya. "Kalau kau ingin kehidupan yang aman, kau seharusnya menjadi bidan, atau mungkin penjahit. Kecuali kalau jari yang tertusuk jarum pintal juga menggetarkan sarafmu. Aku tidak bisa menjamin bahwa semua akan selamat. Tetapi bagi mereka yang selamat, aku menjanjikan pertempuran yang layak bagi pedang bajak laut yang sesungguhnya."
Kesunyian menghinggapi kelompok itu. Perlahan-lahan sebagian dari mereka menggeserkan kaki, dan gumam pelan terdengar dalam bisikan dan helaan napas keras. Aku memutuskan untuk pergi sementara kami masih unggul.
"Tidurlah yang nyenyak malam ini. Kalian akan segera berangkat." Kemudian aku melangkah pergi tanpa menoleh ke belakang. Aku berharap telah cukup berkata-kata untuk membujuk mereka. Semakin lama mereka berdebat, semakin kecil kemungkinan mereka melakukan perintahku.
Erick berjalan bersamaku cukup lama untuk mendengar detail-detail rencana-rencanaku bagi para perompak, tetapi pertengkaran yang riuh telah meletus di belakang kami. "Kami tidak bertemu denganmu selama berbulan-bulan, dan sekarang kau datang meminta mereka untuk mati" Permintaanmu terlalu besar, Jaron."
"Aku meminta mereka untuk bertempur, dengan harapan mereka akan hidup untuk melihat kemenangan dinyatakan. Tidak lebih."
"Akan kulakukan sebisaku, tetapi sebaiknya kau membuat rencana seolah kami tidak berada di sana."
"Aku sudah punya rencana, yang bergantung kepada mereka. Bawa para bajak laut ke sana, Erick." Senyumku menjadi muram lagi. "Mereka harus menepati janji."
"Yah, bahkan seandainya mereka ingkar, aku akan menepati janjiku." Erick meraih tanganku dan menambahkan. "Apa pun yang mereka pilih, kau akan menemuiku di sana, seperti yang kauminta."
Aku menjabat tangannya, lalu berbalik untuk meninggalkan kamp, diapit Mott dan Tobias. Erick tetap tinggal untuk mengambil bagian dalam pertengkaran para perompak yang memanas. Aku tidak dapat menangkap kata-kata mereka, tetapi perintahku jelas tidak diterima sebaik yang kunginkan.
Kami menemukan kuda-kuda kami dan meninggalkan Tarblade dengan mengambil rute terpendek. Begitu Tarblade sudah aman di belakang kami, Tobias berkata, "Tolong katakan bahwa kita meninggalkan Avenia sekarang."
"Ya. Kita akan pergi ke Danau Falstan, atau apa yang tersisa darinya." Aku menguap dan mencari beberapa ide di langit yang saat itu menggelap. "Kita harus menemukan tempat untuk tidur malam ini. Tetapi kita harus berada di sana besok." Sesaat berlalu, kemudian Mott berkata. "Jaron, apa kau benar-benar berpikir para bajak laut akan datang?"
"Aku tidak tahu," gumamku. "Aku benar-benar tidak tahu."
BAB 19 ESOK paginya, Mott dan Tobias membiarkanku tidur selama yang kuinginkan, dan ketika akhirnya terbangun, aku terkejut menyadari posisi matahari yang sudah begitu tinggi.
"Kelihatannya aku masih dalam pemulihan," kataku sambil menguap panjang. "Aku berharap sudah melewatinya pada saat ini.
"Hanya setelah dua hari?" Tobias menaikkan alis. "Apa hal ini mengganggumu, ketika menyadari kau hanya manusia?"
"Sangat, sebenarnya." Aku terkekeh dan menatap Mott. "Berapa banyak makanan yang dimiliki penginapan ini" Mungkin kita mau memesan semuanya."
Dia mengangguk mendengar permintaanku, berkata bahwa dia akan meminta sebanyak yang bisa mereka berikan kepada kami, lalu pergi.
Satu jam kemudian, kami berbekal banyak makanan enak, dan melanjutkan perjalanan lagi. Butuh waktu cukup lama sebelum luka-luka yang kualami di kamp Avenia pulih, dan mungkin beberapa tidak akan pernah sembuh, tetapi aku seolah hidup kembali, dan bersemangat untuk bergabung kembali dengan pasukanku.
Setelah setengah hari perjalanan, kami menyeberang ke Carthya. Merupakan suatu kelegaan yang luar biasa berada di tanah airku lagi, dengan asumsi Avenia belum mencurinya dariku, tentu saja. Begitu berada di sana, kami mengambil kesempatan untuk beristirahat sejenak. Tobias dan aku meninggalkan kuda-kuda kami dalam penjagaan Mott, kemudian berjalanjalan ke atas bukit untuk melihat apakah kami dapat menemukan tebing yang menghadap ke Danau Falstan. Mataku lebih dahulu memandang ke horison mencari perkemahanku, tetapi kami masih terlalu jauh.
Namun demikian, benak Tobias tampaknya bergerak ke arah yang lain. "Menurutmu dia berada di mana?" dia bertanya.
"Amarinda mungkin sudah sampai ke Drylliad sekarang," kataku. "Dan kalau tidak, Harlowe akan mengirim perintahperintah untuk mencarinya di semua tempat."
"Demikian juga Vargan." Dia menggeleng, jelas marah terhadap dirinya sendiri. "Aku berjanji untuk melindunginya, dan aku gagal. Kalau sesuatu terjadi?"
"Percayalah kepadanya dia bisa melindungi dirinya sendiri. Dia pandai dan banyak akal, serta lebih kuat daripada yang diduga orang."
"Aku tahu itu semua!" Tobias nyaris meludahkan kata-kata itu kepadaku. "Aku tabu siapa dia, dan mungkin mengenalnya lebih baik daripada kau!"
Aku berbalik kepadanya dan mungkin akan berkata lebih kasar kalau kecemasan tidak terukir begitu dalam pada garisgaris wajahnya. Dengan nada yang lembut, aku hanya berkata, "Kita akan menemukannya, Tobias."
Kami hanya diam setelah itu, dan perhatianku tertuju ke bawah bukit ke jalan setapak yang terlihat seakan telah dilewati ratusan tapak kaki. Aku meragukan itu orang Carthya"komandanku tidak akan memimpin pasukan kami untuk berbaris sedekat ini ke perbatasan Avenia. Terlalu berbahaya.
Tetapi seseorang"kemungkinan tentara-tentara Avenia atau Mendenwal"baru saja melewatinya.
Kami merunduk rendah, berjaga-jaga seandainya mereka dekat, kemudian mengamati dan menunggu. Dalam beberapa menit, Mott bergabung dengan kami dan kami berdebat untuk mengikuti jejak mereka atau untuk melanjutkan ke Falstan mengambil arah yang sama sekali berbeda.
"Tunggu sebentar." Tobias mengangkat tangannya agar kami diam. "Tunggu dulu. Kau dengar itu?"
Jika aku mendengarkan baik-baik, aku mendengar sesuatu. Kedengarannya seperti erangan, berasal dari lereng bukit dari suatu tempat dekat jalan setapak di bawah.
Tobias berdiri tegak, jelas bermaksud turun untuk menyelidiki, tetapi Mott menariknya kembali.
"Kedengarannya dia terluka," Tobias mendesis. "Kita harus menolongnya kalau begitu."
"Dia musuh," Mott berkata. "Kau akan membantunya agar cukup sehat untuk kembali ke medan perang dan membunuh lebih banyak lagi orang-orang kita."
"Tetapi orang itu bukan musuh kita." Tobias menoleh ke arahku "Bukankah itu yang kaukatakan tadi, bahwa hanya raja mereka yang menjadi musuhmu?"
Aku memang berkata demikian. Tetapi apakah aku sungguh-sungguh bermaksud begitu" Jelas sangat mungkin bahwa erangan itu merupakan perangkap untuk menjebak kami, yang merupakan hal terakhir yang ingin kuhadapi. Jika kami bertemu di medan perang, orang itu dan aku akan harus terlibat dalam pertempuran saat hanya salah satu dari kami akan melenggang pergi. Tetapi jika dia terluka dan tak berdaya, di luar medan perang, apakah aku punya kewajiban untuk menyelamatkan nyawanya"
Kewajiban atau tidak, aku tidak dapat meninggalkannya sampai mati begitu saja. Selama aku bersama para bajak laut, aku telah berjanji pada diri sendiri bahwa aku tidak akan masuk ke dalam jalan gelap yang mereka ikuti. Aku tidak akan menjadi seperti mereka.
Jadi aku mengangguk memberikan izin kepada Tobias, kemudian Mott dan aku menarik pedang kami untuk menemaninya menuruni lereng bukit. Sepertinya bukan jebakan, tetapi kami tetap harus hati-hati.
Tobias lebih dulu melihat orang itu, dan aku terkejut ketika dia mulai tertawa. Kami mengejarnya dan tak kuasa untuk tidak ikut tertawa. Orang ini"seharusnya musuh-musuh"tidak lebih tua daripadaku, dan dia sebuas seekor domba yang ketakutan. Dia terjerat di perangkap pemburu yang mengikat kakinya dan menggantungnya terbalik di udara. Semua yang tidak melekat padanya telah jatuh di luar jangkauannya, termasuk pedang murahan yang kelihatannya hampir tidak cukup tajam untuk menusuk plum. Dia mengenakan seragam yang mirip dengan kami, dan pasti telah jungkir balik cukup lama sehingga wajahnya sekarang menjadi semerah rambutnya. Sungguh, ini adalah pemandangan yang menggelikan.
Ketika dia melihat kami datang, dipanggilnya kami seolah kami kawan dan berkata, "Aku memohon bantuanmu. Tolong, turunkan aku."
Aku berjalan mengelilingi daerah itu, memukuli semaksemak di dekatnya untuk meyakinkan tidak ada orang lain yang bersembunyi di sana. Dia memutarkan badannya sampai menghadap Mott, yang tertua dalam kelompok kami dan orang yang secara alami akan diduganya sebagai pemimpin.
"Aku telah berada di sini lebih dari sehari, Sir, dan rasa sakitnya menjadi tidak tertahankan. Sebagai sesama Avenia, aku memohon kepadamu untuk menolongku."
Dengan aksen Avenia, aku bertanya, "Siapa namamu?" "Mavis Tock. Ayahku seorang pembuat lilin, di selatan."
"Ah, kalau begitu kau pasti belajar bertempur darinya. Bagaimana kau sampai pada posisi ini" Apakah kau dihukum?" "Tidak."
"Apakah kau dikejar?" Aku menyipitkan mata melihatnya. "Atau apakah kau umpan?"
"Kami sedang berbaris, tetapi aku sungguh kehausan. Jadi ketika aku mendengar sungai, aku menyelinap untuk minum. Saat aku lari kembali untuk mengejar yang lain, lebih cepat daripada biasanya, aku terjerat di perangkap ini. Saat itu, semua orang sudah terlalu jauh untuk mendengar teriakan minta tolongku. Aku bahkan tidak yakin ada yang menyadari kepergianku."
Tobias mengeluarkan pisaunya dan bergerak untuk menurunkannya, tetapi aku mendorongnya kembali dengan tanganku. "Ke mana kelompokmu pergi?"
"Utara. Tampaknya, tentara-tentara Gelyn dihentikan di perbatasan oleh sebuah kelompok kecil dari Carthya. Aku dengar Gelyn bisa menang, namun Bymar tiba pada saat-saat terakhir dan menyegel kehancuran Gelyn."
Jadi Bymar telah datang" Itu berita yang luar biasa bagus dari dua arah. Artinya Roden telah mendapat kemenangan di perbatasan, dan juga bahwa Fink telah sampai ke sana dengan selamat. Namun karena Mavis masih berasumsi kami dari Avenia, aku hanya menggeleng dan berkata, "Orang-orang Carthya itu mengerikan, bukan" Apa hak mereka untuk membela diri dalam perang ini?"
Mavis mengangguk, kemudian mengerutkan kening seperti kebingungan. Dia akhirnya menyerah dan hanya berkata, "Aku benar-benar kesakitan. Dapatkan kau membantuku turun?"
Atas izinku, Mott melangkah maju dan menggunakan pedang untuk memutuskan tali di kaki anak laki-laki itu. Dia tersungkur ke tanah, dan kami langsung melihat darah di seputar mata kakinya tempat tali itu telah mengiris dagingnya.
Tobias melesat ke arahnya dan mulai memeriksa. "Bagaimana hal ini bisa terjadi?"
Mavis melihatnya dan matanya berputar, memaksanya untuk berbaring lagi. "Berjam-jam aku mencoba menggeliat supaya lepas. Memang sakit, tetapi aku tidak menduga akan separah ini.
Tobias menarik sehelai sapu tangan dari sakunya, yang kukenali sebagai milik Amarinda, dan aku bertanya-tanya mengapa dia memilikinya. Dia berlari ke arah suara air dan muncul kembali beberapa saat kemudian dengan sapu tangan yang menetes basah. Dia memerasnya, lalu berlutut di depan Mavis untuk mencuci kakinya.
"Kita harus pergi," Mott berbisik sambil membungkuk ke arahku. "Kita telah membebaskannya, dan tidak ada lagi yang harus kita lakukan."
"Bagaimana jika peranmu dibalik" Tidakkah kau akan berharap lebih banyak darinya?"
"Tentu saja." Frustrasi, Mott menendang sepatu botnya ke tanah. "Aku cuma tidak menyukai perasaan berada di jalan setapak ini, terlalu terbuka."
Aku juga tidak menyukainya, tetapi Tobias menengadah melihatku dan menggeleng. Sekarang setelah darah dibersihkan dari mata kaki Mavis, jelas bahwa lukanya benar-benar parah. Tali itu menyayat dalam ke dagingnya dan mungkin akan sangat sakit begitu kakinya dapat merasa lagi. Bahkan sekarang, Mavis mulai menunjukkan tanda-tanda menahan sakit dan memegang pahanya seolah hal itu akan mengurangi sakitnya.
Tobias berdiri dan menarikku ke samping. "Kalau kita tidak berbuat apa-apa, lukanya akan terinfeksi. Dia akan kehilangan kakinya, dan karena dia tidak akan bisa menggunakannya untuk berjalan, ada kemungkinan dia akan kehilangan nyawanya juga."
"Tidak ada yang dapat kita lakukan tentang hal itu," kataku. "Kita bisa menurunkannya, tetapi kita bukan dokter. Kita tidak punya kemampuan untuk menolongnya."
"Aku sedang mempelajari ilmu kedokteran." Tobias tersenyum lemah, hampir seperti malu mengakuinya. "Kupikir dengan kau sebagai raja kami, mengetahui cara mengobati luka merupakan ide yang bagus. Ayolah, Jaron. Biarkan aku menolongnya."
Aku mengangguk dan Tobias langsung siap bertindak, meminta Mott untuk kembali ke kuda-kuda kami mengambil kain bersih dan kantong air. Berbalik kepadaku, dia menggambarkan tanaman dengan daun tebal dan tajam yang harus dipotong dan dikumpulkan. Dia bilang ada gel di dalamnya yang diperlukan Mavis.
"Di mana dapat kutemukan?"
"Dekat air, dan di tempat yang terkena matahari."
Aku mengangguk kepadanya dan bergegas ke arah sungai. Setelah Mott dan Tobias menjagaku begitu hati-hati beberapa hari terakhir ini, rasanya membingungkan berada sendirian dan panca indraku menajam. Kami begitu dekat dengan Avenia. Tentunya orang-orang dalam kelompoknya suatu saat akan menyadari absennya Mavis dan kembali untuk mencarinya.
Aku memeriksa sekeliling, mencari tanaman yang cocok dengan deskripsi Tobias. Serta mempertanyakan keputusanku untuk menghabiskan begitu banyak waktu yang berharga di sini. Ini hal yang seharusnya dilakukan. Aku tahu itu, namun kata-kata Mott bahwa aku membuat seorang musuh menjadi kuat juga tetap ada dalam benakku. Mavis mungkin bukan tipe prajurit, tetapi bukan berarti dia tidak mampu menimbulkan masalah.
Akhirnya, aku menjelajah cukup jauh ke hilir ketika melihat tanaman yang dideskripsikan Tobias. Aku menarik pisau untuk mengumpulkan sebagian daun-daun itu, tetapi dari sudut ini, sesuatu menarik perhatianku. Kilau rubi, dipotong dalam bentuk berlian. Ini aneh.
Ketika aku berbalik untuk melihatnya, aku segera mengenali benda tempat rubi itu menempel. Sebuah sepatu, namun bukan hanya sepatu biasa. Ketika tidak ada lagi yang bisa dilakukan saat berada dalam kereta Tobias untuk melarikan diri berhari-hari yang lalu, aku telah menatap rubi yang sama selama beberapa waktu, dan aku tahu sekarang. Sepatu ini milik Amarinda. Sang putri pada suatu saat berada persis di tempat ini.
BAB 20 AKU menyambar sepatu itu dan melompat berdiri, berharap ada tanda-tanda Amarinda, atau setidaknya petunjuk di mana dia sekarang. Tidak ada indikasi berapa lama sepatu itu berada di sini atau ke arah mana dia berjalan. Apakah mungkin dia lewat sebagai tahanan tentara Mavis"
Aku memotong daun-daun, lalu lari kembali ke Tobias. Mott sudah berada di sana bersamanya dan berdiri menjaga, mendengarkan dan mengamati jika ada orang mendekat selama Tobias melanjutkan mencuci mata kaki Mavis. Aku mendorongnya dan menyorongkan sepatu itu di wajah Mavis. "Kau tahu ini datang dari mana?"
Mata Mavis membelalak, walaupun tidak jelas apakah dia mengenali sepatu itu, atau karena dia terkejut melihat sepatu wanita dengan kualitas seperti itu di tempat seperti ini.
"Aku bertanya kepadamu!" aku berteriak. "Sekarang jawab aku!"
"Kau bukan orang Avenia," dia menjawab tenang. "Cukup mudah untuk ditebak. Kau baru saja kehilangan aksenmu dan dua orang yang bersamamu ini punya aksen Carthya. Kau yang paling muda di antara mereka semua. Mengapa kau memerintah mereka?" Matanya menyapuku, terhenti sejenak di lengan atasku dengan tanda bajak laut, memar-memar yang masih terlihat di wajahku, dan pedang di tangan. "Aku tahu siapa kau... Jaron."
Jadi Mavis tidak sebodoh yang kuduga. Entah itu, atau aku tidak sepandai yang ingin kupercaya. Kedua hal itu tidak meningkatkan opini tentang diriku sendiri, atau meninggikan harapan-harapanku untuk melalui daerah ini tanpa ketahuan.
Dalam caranya yang protektif, Mott berjalan ke arah kami, tetapi aku tidak berpikir Mavis ada dalam posisi untuk mencelakaiku. Aku berlutut di sampingnya dengan sepatu masih di satu tangan dan tanaman yang sangat dibutuhkannya di tangan yang lain.
"Tolong aku," kataku. "Maka aku akan menolongmu."
Matanya tetap terfokus pada tanaman itu. "Begitu. Entah kuberitahu apa yang kuketahui tentang sepatu itu, atau kau akan membiarkanku mati. Benar, bukan" Orang Carthya tidak lebih baik daripada orang Avenia."
"Beraninya kau berkata begitu, setelah kami menyelamatkanmu walaupun mengetahui siapa kau" Kau berada di tanahku. Kau menyerang kami!"
Mavis berpaling. "Aku mengikuti perintah tanpa bertanyatanya, seperti yang seharusnya dilakukan tentara yang baik. Kau meminta hal yang sama dari tentara-tentaramu."
"Tidak, aku meminta mereka menjadi orang yang baik. Dengan demikian, jika mereka mengikuti perintah-perintahku, aku akan tahu kalau aku berbuat hal yang benar." Tobias mengulurkan tangan, dan aku menjejalkan daun tanaman itu kepadanya. "Kerjakan apa yang harus kau lakukan terhadap anak ini, lalu kita pergi."
Tetapi Tobias hanya menggenggam daun itu lebih erat. "Jika dia tahu tentang Amarinda?"
"Dia ingin mempermainkan kita. Kita lebih baik mencari jejak Amarinda sementara masih baru. Jadi balut kakinya, kemudian kita pergi."
Tobias menyobek daun-daun itu untuk mengeluarkan getah kuning lengket. Dia mengusapkan tangannya ke getah itu, lalu mengoleskannya ke kaki Mavis. Mavis melengkungkan punggung ketika getah itu menyengat lukanya, tetapi yang terburuk dari rasa sakit itu tampaknya lewat ketika Tobias membalutnya dengan kain dari kantong sadel Mott.
Tobias menyerahkan sisa daun itu kepada anak itu. "Kau harus sering memeriksa luka itu dan terus mengoleskan getah ini sampai benar-benar sembuh. Mungkin tidak sepenuhnya menghentikan infeksi, tetapi kalau melakukan seperti yang kukatakan, akan menjauhkanmu dari bahaya."
Dengan kata-kata itu, Tobias berdiri dan kami bergegas ke kuda kami. Mott bahkan mengangkat kantong sadelnya dan menemukan sisa roti, yang dilemparkannya kepada anak itu untuk dimakan. "Kau berutang kepada kami sekarang," kata Mott. "Ingat itu."
"Aku tentara paling rendah di Avenia," kata Mavis. "Aku tak bisa membalas apa pun pada sang raja."
"Kau akan menemukan caranya," kataku.
"Ayo pergi." Tobias mulai bergerak bersama kudanya. "Kita harus bergegas."
Mott dan aku mengikuti, tetapi sebelum kami pergi jauh, Mavis memanggil kami, berkata, "Kami melihat gadis yang mengenakan sepatu itu dan mengejarnya, namun dia lolos. Aku tidak tahu dia di mana sekarang, tetapi dia tidak bersama pasukan kami."
Aku menatap matanya dan mengangguk, berterima kasih. Kemudian tanpa sepatah kata, aku berbalik dan cepat-cepat menyusul Mott dan Tobias, yang sudah berjalan mencari sang putri.
BAB 21 MOTT pernah memberitahuku bahwa dia terlatih dalam mencari jejak, tetapi aku belum pernah menghargai pernyataannya itu sampai melihatnya bekerja. Begitu kami kehilangan jejak kaki Amarinda di tanah yang lembut sekitar sungai, dia turun dari kudanya dan mulai menunjukkan bagaimana caranya bekerja.
Ada beberapa hal yang sudah kumengerti"untuk mencari rumput rebah atau ranting patah yang mengindikasikan seseorang telah lewat di sana. Tetapi Mott menggunakan ranting untuk mengukur jarak langkahnya, kemudian menggunakan informasi itu untuk memperkirakan di mana tapak kakinya berada untuk menemukan jejaknya lagi. Itu pekerjaan lamban, mengharuskan kuda kami dituntun berjalan, tetapi setelah kami melakukannya beberapa lama, tapak-tapak itu mengindikasikan Amarinda berjalan, tidak berlari, dan jejak-jejak itu usianya kurang dari sehari. Jika kami terus mengikutinya, kami akan menemukan Amarinda.
Kami lanjut berjalan seperti ini selama beberapa jam, sampai matahari mulai tenggelam di langit, dan bersamanya tenggelam harapan kami untuk menemukan sang putri sebelum petang. Keputusan itu seolah dipastikan ketika kami tiba di sungai lain tanpa jejak kaki yang jelas di sisi satunya.
"Dia bisa saja berjalan di air, ke hulu atau hilir, dan keluar di mana saja." Rasa frustrasi Mott terlihat jelas. "Terlalu gelap bagi kita untuk mengikuti jejaknya sekarang. Kita sebaiknya berkemah dan mulai lagi besok."
"Kita harus terus berjalan atau dia akan semakin jauh," Tobias berkata. "Mari kita coba ke hulu. Itu akan membawanya semakin dekat ke Drylliad."
"Dan lebih dekat ke para tentara yang mengejarnya," aku mengingatkannya. "Dia sudah jauh lebih ke selatan daripada yang kuperkirakan. Dia mungkin pergi lebih jauh lagi ke selatan.
Dihadapkan dengan satu pilihan yang tidak lebih menjanjikan dibanding yang lainnya, Tobias dengan berat hati setuju untuk berkemah. Mott mempersiapkan api unggun bagi kami sementara Tobias dan aku membuat stew dari bahan-bahan yang ada. Setelah makan, kami duduk mengelilingi api tanpa banyak yang bisa diucapkan. Tobias lebih dulu pergi tidur, mendesak agar kami mulai pergi begitu terang. Mott mengikuti tidak lama sesudahnya, dan aku berbaring dekat api yang mengecil, namun tidak juga bisa terlelap. Aku seharusnya tiba di Danau Falstan hari ini, dan walaupun aku tidak menyesal menolong Mavis, dan jelas pencarian putri merupakan prioritas, aku tetap merasa terputus dari perang yang seharusnya kupimpin. Aku khawatir negeriku akan runtuh dari tengah, bahkan saat aku berkuda sia-sia mengitari pertempuran itu.
Akhirnya, aku tertidur, tetapi tidak nyenyak dan dipenuhi mimpi-mimpi buruk yang membuatku tetap siaga. Di dalamnya, Amarinda berada di punggung bukit yang sama di kamp tempat Imogen gugur, memohon agar aku mendatanginya. Memberitahuku bahwa dia pandai dan kuat, dan akan bertarung untukku. Kemudian aku mendengar desing anak panah"
Aku terbangun, kaget, dengan keringat di dahiku. Tetapi aku segera menyadari bukan mimpi yang membangunkanku. Sesuatu di dekat kami mengeluarkan suara.
Kuda-kuda terikat dekat situ, tetapi tidak persis di perkemahan kami. Suara apa pun itu, kecil saja, tetapi sesuatu jelas telah mengganggu mereka.
Sepelan mungkin, aku meraih pedangku dan berdiri. Aku menyodok Mott dan Tobias, dan ketika mereka terbangun, memberi mereka tanda untuk mengikutiku. Kami baru berjalan beberapa langkah ketika mendengar suara kuda-kuda kami berlari. Kami mengejar, Mott berlari jauh di depan Tobias dan aku. Satu dari kuda-kuda itu pasti melepaskan diri. Mott menangkapnya, dan melompat ke atas sadelnya, melesat ke depan si pencuri dan memaksanya kembali ke arah kami.
Tobias dan aku terus berlari ke arah suara itu. Aku berteriak pada Tobias untuk berlari ke kanan, sekiranya pencuri kuda itu melingkar kembali ke arah itu. Pencuri itu terus melaju, tetapi salah satu kuda kami melepaskan diri dan berbelok ke arah Tobias. Dia berhasil menyambar kekang dan menenangkan kuda itu sampai dia bisa memanjat ke punggungnya, kemudian dia juga pergi, meninggalkanku sendirian.
Tidak lama kemudian, aku tidak dapat melihatnya lagi, dan Mott sudah terlalu jauh. Aku tidak yakin ke arah mana aku harus pergi sampai beberapa menit kemudian, ketika aku mendengar Tobias berteriak, "Tolong! Aku melihatnya!"
Mereka datang ke arahku, dan aku berlari untuk memotong.
Pencuri itu akan datang ke arahku lebih dulu dan disambut oleh ujung pedangku yang tajam.
Namun bukan itu yang terjadi. Ketika Tobias berteriak meminta tolong, pencuri itu merespons.
"Tobias?" Itu suara sang putri. Masih tetap berlari maju, aku melihatnya mendekat di cahaya bulan. Amarinda telah mencuri kuda-kuda kami, dan sekarang begitu mendengar suara yang dikenalnya, dia langsung berbalik untuk berlari ke arah Tobias. Ketika mereka sudah dekat, dia meluncur dari kudanya, demikian pula Tobias. Aku cukup dekat saat itu untuk memanggilnya, tetapi sesuatu membungkamku. Entah bagaimana, reuni ini milik mereka, bukan aku. Jadi aku hanya menonton ketika Amarinda memanggil nama Tobias dan berlari untuk memeluknya. Beberapa hari lalu, ketika aku melihat mereka berdempetan bersama dalam tempat sempit di kereta untuk melarikan diri, mereka terlihat tidak nyaman dan canggung. Jelas, saat-saat itu sudah berlalu.
"Bagaimana caranya kau sampai ke sini?" putri bertanya. "Ketika kau tertangkap, kupikir...?"suaranya terbata" "kupikir mereka menghabisimu, seperti yang mereka perbuat terhadap Jaron."
Tobias melihatku di belakang mereka dan melepaskan Amarinda seakan dia membakarnya. Sambil menatapku, dia berkata, "Tuan Putri, apa yang mereka katakan kepada kita tentang Jaron itu dusta."
Lalu Tobias memutarnya menghadapku, dan dia terpana sesaat seolah tidak bisa memercayai matanya sendiri. Cahaya dari atas cukup redup, tetapi rambut cokelat panjangnya terurai kusut di punggungnya, bajunya yang bagus sobek dan bernoda, dan dia pincang karena hanya punya satu sepatu untuk dikenakan. Dia kotor dan compang-camping, serta jelas kelelahan. Meski demikian, dia tetap secantik biasanya.
"Jaron?" Dia tersuruk ke depan tak percaya. "Mungkinkah ini" Mereka bilang kau sudah mati."
"Hampir." "Tetapi bagaimana?" Amarinda saat itu cukup dekat untuk menyentuhku, dan wajahnya luluh dalam simpati. Dia mengulurkan tangan untuk menepiskan seuntai rambut dari wajahku. Rambut yang menutupi memar gelap di dahiku, hadiah pribadi dari Terrowic si penjaga. "Jaron, apa yang mereka lakukan padamu?"
Alih-alih menjawab, aku meraih tangannya dan mengecupnya, kemudian bertanya, "Ceritakan keadaanmu. Apa yang kaubutuhkan?"
Dia tersenyum. "Semua baik-baik saja, Tuanku, tetapi aku lapar."
"Kami punya makanan di perkemahan."
"Aku tahu. Aku mencium masakan itu tadi malam, dan sebenarnya, itu caraku menemukan perkemahanmu. Tetapi ketika aku tiba di sana, aku melihat seragam Avenia, dan kudakuda itu dipasangi sadel Avenia. Aku tidak tahu itu kalian. Rencanaku adalah untuk melepaskan kuda-kuda itu, dan ketika kalian semua mengejarnya, aku menyelinap ke perkemahan mencari makanan."
"Itu rencana berbahaya."
"Ya, tetapi aku sangat lapar. Dan mengambil risiko ini ternyata lebih baik daripada yang kuharapkan."
Pada saat itu, Tobias telah membawa kudanya kepada kami. Lepas dari pelukan yang baru saja dilakukannya bersama putri, dia kembali canggung ketika membantu putri menaiki sadelnya. Kemudian aku naik untuk berkuda bersamanya kembali ke perkemahan. Lengannya melingkari pinggangku, tetapi aku merasa dia berbalik untuk menatap Tobias ketika kami pergi. Hal itu memastikan kecurigaan yang telah tumbuh selama beberapa waktu dalam benakku.
Tobias dan sang putri saling mencintai.
BAB 22 MOTT bergabung dengan kami tidak lama setelah kami tiba di perkemahan, dan jelas sama leganya ketika mendapati sang putri selamat dan tak terluka. Namun aku juga menangkap dia menatapku dengan alis bertaut rendah di dahi. Jelas, dia mengerti ada sesuatu yang menggangguku, tetapi dia cukup tahu diri untuk tidak bertanya.
Kami menyalakan api lagi untuk menghangatkan Amarinda, menawarkan teh, kemudian Mott mulai memanaskan makanan baginya sementara Tobias dan aku mengorganisasi perkemahan agar nyaman dan ada privasi baginya. Aku lebih suka kalau Tobias bekerja tidak dekat-dekat denganku, tetapi tampaknya dia terlalu fokus dengan kembalinya sang putri hingga tidak menyadari amarahku. Sementara dia bekerja, putri menceritakan kepada kami kisahnya dari saat Tobias tertangkap.
"Aku tahu harus memasuki perbatasan Carthya," dia berkata sambil makan. "Tetapi mereka begitu gigih mencariku di utara, aku terpaksa pergi ke selatan. Akhirnya, aku berhasil menyeberang ke Carthya dan berharap menemukan beberapa penduduk kitai yang akan menolongku pergi ke Drylliad."
"Semua orang sudah pergi ke Drylliad," kataku. "Tidak aman bagi keluarga-keluarga untuk berada di sini. Terutama kau. Mengapa kau tidak pergi ke Bymar, seperti yang kita rencanakan?"
Nada suaraku lebh kasar daripada yang seharusnya, dan kalau dia menjawab sama kasarnya, dapat dimaklumi. Namun sebaliknya, dia melembutkan kata-katanya. "Mereka memberitahu kami kau sudah mati."
"Bisa saja begitu! Karena itulah kau harus lebih melindungi dirimu!"
"Bukan, itu artinya aku harus kembali ke istana sehingga rakyat kita dapat diyakinkan bahwa penguasa takhta masih bertahan! Jika mereka tahu untuk apa mereka berperang, orang akan terus berjuang, tetapi jika berita kematianmu tersebar, mereka akan mulai bertanya-tanya. Aku harus kembali sehingga aku dapat memberi mereka tujuan."
Aku menghentikan pekerjaanku untuk menenangkan emosi. Apa pun yang kurasakan, kata-kata seperti itu menandakan dia sebagai bangsawan yang sebenarnya. Tidak terbantahkan lagi, baik keberanian maupun keningratannya.
Tobias berkata, "Pada malam sebelum kita meninggalkan istana, kau memintanya untuk memerintah seandainya sesuatu terjadi padamu, dan untuk mempertimbangkan seorang suami dari Carthya. Dia hanya melakukan apa yang kauinginkan, Jaron."
"Sungguh?" Aku tidak memerlukan bantuannya dalam hal ini. Sudah cukup banyak "bantuannya" kepadaku. Aku merasakan amarahku kembali bangkit. "Kalian pikir ini yang aku inginkan?"
Amarinda menarik napas untuk mengatakan sesuatu, menarik perhatianku, tetapi dia tetap diam. Kami terus menatap satu sama lain sampai Mott berdiri dan berkata, "Aku akan memeriksa kuda-kuda." Dia memiringkan kepala kepada Tobias. "Kau sebaiknya membantuku."
"Kenapa?" Tobias jelas tidak tertarik untuk pergi ke mana pun. "Mereka sudah diberi makan dan minum, dan mereka diikat erat."
"Karena aku bilang kau harus ikut dan membantuku!"
Dari nada suara Mott, Tobias pasti menyadari kepergian mereka tidak ada hubungannya dengan kuda-kuda. Tetapi aku tidak luput menyadari tatapannya kepada Amarinda, penuh simpati karena Amarinda ditinggalkan sendirian bersamaku, serta menyesal karena dia tidak diizinkan tetap di sini bersamanya.
Aku membawa kayu bakar lagi ke api unggun, lalu duduk di dahan pohon yang roboh, mengawasi kayu itu terbakar. Malam ini tampaknya tak habis-habis, dan yang kuharapkan hanyalah supaya malam ini berakhir. Tidak lama kemudian, Amarinda datang untuk duduk dekatku, dan kami mengawasi api itu bersama. Sesuatu perlu dikatakan, tetapi aku tidak tabu harus mulai dari mana.
Daerah di sekitar kami terbuka seluas langit, namun tibatiba aku merasa terkurung. Jantungku berdebar, walaupun aku tidak tabu mengapa. Apakah aku marah" Tidak juga, walaupun aku punya hak untuk itu. Terluka" Ya, meski andai Amarinda percaya aku mati, rasa sayangnya terhadap Tobias tidak dimaksudkan untuk menimbulkan kesedihan bagiku. Mungkin aku merasa tidak berada di tempat yang semestinya, seakan tidak memiliki tempat di mana pun, dan tanpa seorang pun. Dalam segala kemuliaan menjadi seorang raja, aku tetap seorang anak yatim piatu jalanan yang tidak diinginkan.
Akhirnya, dia berkata, "Sementara kau bersama para bajak laut, Tobias menghabiskan banyak waktu, berusaha membantuku memahamimu."
Aku mendengus. "Ya, aku dapat membayangkan hal itu memakan waktu berjam-jam."
"Bisa dikatakan berhari-hari." Dia tersenyum kembali kepadaku, tetapi tidak bermaksud mengejek. Aku meragukan dia dapat melakukan hal yang tidak baik seperti itu. "Dia memberitahuku bahwa, ketika di Farthenwood, kau berkata tidak punya keinginan untuk menjadi raja. Benarkah itu, atau hanya bagian dari penyamaranmu sebagai Sage?"
Sebuah desah perlahan lepas dari bibirku. "Tidak ada yang lebih jujur daripada apa yang kukatakan di Farthenwood."
"Kita orang yang sangat berbeda, Jaron, tetapi dalam satu hal itu, kita begitu sama. Kau tidak pernah menginginkan mahkota, aku juga tidak. Sebenarnya, seumur hidupku, aku tidak pernah ditanya apa yang kuinginkan."
Betapa familier kedengarannya. Keluhan-keluhanku sendiri tidak jauh berbeda.
Dia melanjutkan, "Sejak dilahirkan, aku adalah putri yang ditunangkan, ditakdirkan bagi kakakmu. Ketika aku cukup besar, aku meninggalkan rumah di Bymar dan datang untuk tinggal di Drylliad, untuk mengenal Darius lebih baik. Pada akhirnya, aku memberikan emosiku untuknya dan mengantisipasi kehidupan yang bahagia di sampingnya. Kemudian suatu pagi dia tewas. Lenyap. Dan hampir secepat itu juga aku diharapkan untuk mengesampingkan semua yang pernah kurasakan terhadap Darius, untuk berpura-pura bahwa aku tidak benar-benar merasakan kehampaan dalam hati. Pada malam yang sama ketika pembunuhan Darius dipastikan, aku tiba-tiba dihadapkan pada pertunangan dengan suami yang lain, denganmu. Aku tahu seperti itulah seharusnya, tetapi aku tidak berpikir seorang pun mengerti betapa sulit menghadapimu, terlihat begitu mirip Darius namun juga berperan untuk terus-menerus mengingatkan bahwa dia sudah tiada."
"Maafkan aku." Aku merasa sungguh malu, karena begitu berkanjang dalam keinginan-keinginan dan rasa frustrasiku sehingga, selama ini, luput mempertimbangkan duka yang pasti dirasakannya.
"Tidak ada yang harus dimaafkan," katanya. "Pertunangan itu bukan kehendakmu sama seperti bukan kehendakku. Namun terlepas dari semua itu, kita membentuk suatu persahabatan. Dan ketika perang dimulai, kau menjadi orang pertama yang bertanya apa yang kuinginkan dalam hidupku. Untuk menikahimu, kalau aku mau, atau memilih jalanku sendiri. Aku berterima kasih kepadamu untuk itu. Dalam banyak hal, itu adalah cinta terbesar yang pernah diperlihatkan seseorang kepadaku." Dia menarik napas perlahan, kemudian berkata. "Kau berjanji tidak pernah berbohong kepadaku, bukan?"
"Ya." "Kalau begitu, aku harus menanyakan sesuatu dan memohon kejujuranmu sepenuhnya." Ketika aku mengangguk, dia berkata, "Sebelum kita meninggalkan istana, Kerwyn mengusulkan bahwa kau dan aku seharusnya menikah. Mengapa kau menerima usulnya?"
Aku tidak mengantisipasi pertanyaan itu dan, pada kenyataannya, hampir tidak memikirkannya sejak saat itu. Aku berjuang untuk mencari kata-kata yang tepat dan akhirnya berkata,
"Karena Kerwyn benar. Jika sesuatu terjadi kepadaku dalam perang ini, pernikahan itu menjamin peranmu sebagai ratu." Dia mengatupkan bibirnya dan kemudian berkata, "Bagimu, apakah alasan itu cukup untuk menikah?"
Dalam dunia yang sempurna, hanya ada satu alasan untuk menikah, ketika dua orang saling mencintai melebihi hidup mereka sendiri. Tetapi ada realitas hidup lain, seringnya membutuhkan kerja sama yang dibentuk alasan-alasan yang lebih praktis. Pernikahan untuk mendapatkan pencari nafkah, atau seorang tukang masak, atau teman, sering terjadi. Dan bagi banyak orang, hal itu cukup. Amarinda dan aku seharusnya menikah karena adanya traktat di antara keluarga kami. Mungkin orang menikah untuk alasan-alasan selain cinta, tetapi ketika aku memikirkannya, menikah karena traktat adalah alasan paling konyol.
"Tidak," kataku. "Aku berharap untuk menikah karena cinta, dan bukan karena alasan lain."
Dia bergeser mendekatiku dan aku merasakan kehangatan kehadirannya. Ketika dia berbicara, suaranya rendah dan lembut, "Jaron, apakah kau mencintaiku?"
Sebaiknya dia memintaku untuk memecahkan misteri alam semesta saja. Aku tidak pernah mengajukan pertanyaan itu kepada diriku sendiri karena tidak pernah membutuhkan jawaban. Sebagai bagian dari syarat-syarat untuk kembali ke singgasana, telah ditentukan bahwa aku harus menikahi sang putri. Mengapa mempertanyakan hal yang harus terjadi"
Namun hal itu terjadi"aku selalu merasa harus menikahi sang putri. Tidak pernah karena aku ingin melakukannya.
"Tentu saja aku menyayangimu." Kata-kataku seperti sebuah pengakuan dan terasa enak untuk mengakuinya. "Tetapi seperti sayangku terhadap saudara perempuan, atau sahabat. Aku tidak jatuh cinta kepadamu." Dan dengan kata-kata itu, segala kemarahan yang kurasakan terhadapnya dan Tobias lenyap. Aku tidak dapat menyalahkannya karena menahan emosi-emosi yang tidak kurasakan juga. Dan jika aku benar-benar sayang terhadapnya, harapannya akan menjadi prioritasku. Aku harus menerima bahwa kebahagiaannya datang dari orang selain aku.
Ketegangannya juga luruh. "Tobias tidak memiliki keahlian bersilat lidah sepertimu atau tangguh berpedang. Tetapi dia baik dan penyayang, dan aku menjadi diriku sendiri ketika bersamanya."
Aku tidak dapat menentang itu semua. Opiniku tentang Tobias lumayan suram ketika kami bertemu pertama kali, namun begitu dia dan aku saling mengerti, dia melayaniku sama setianya dengan yang dapat dilakukan orang lain. Bahkan, dia telah menjadi teman yang paling baik.
Aku berkata, "Dengan kepandaiannya dan posisinya sebagai regen, dia dapat memberimu kehidupan yang nyaman, walaupun bukan kehidupan bangsawan."
Dia mengangkat bahu. "Kehidupan seorang putri merupakan hadiah mulia dari raja negeriku. Namun aku tidak pernah memintanya."
"Kau selalu menjalankan peran itu dengan sempurna."
"Aku akan menjalani peran baruku dengan baik juga. Karena Tobias adalah seorang regen, kalau kami menikah, traktat antara kedua negara kita akan tetap aman."
Dan bagus juga mengetahui hal ini, jika aku masih punya negara setelah perang ini berakhir. Aku meraih tangan Amarinda dan menciumnya, tidak terlalu sedih oleh penolakannya daripada yang dapat kubayangkan. Barangkali tidak mungkin baginya menghancurkan hatiku karena dia tidak pernah memilikinya. Atau mungkin hatiku sudah hancur berkeping-keping karena kehilangan yang lebih besar.
Aku berpura-pura tersenyum, menyembunyikan beban pikiran itu. "Tobias mungkin berada di sana, bertanya-tanya apa aku akan memerintahkan eksekusinya. Kupikir akan lucu kalau kita buat dia memercayainya."
"Aku ragu dia akan menikmati lelucon itu seperti kau." Ekspresi Amarinda serius, tetapi aku yakin menangkap binar kecil di matanya.
Akhirnya, Mott dan Tobias kembali. Mott berhenti di tepi perkemahan, meminta izin untuk bergabung kembali bersama kami. Aku menduga dia telah berbicara kepada Tobias sementara mereka pergi. Karena itu, alih-alih memasuki perkemahan, Tobias berlutut di tempatnya, dengan kepala tertunduk. Jika dia menduga aku cukup marah untuk memerintahkan pemancungannya, bukan itu posisi yang tepat untuk diambilnya.
Aku berjalan ke arah Tobias, yang berkata, "Hari terburuk dalam hidupku adalah ketika mereka memberitahu kami bahwa kau tewas. Tolong percaya itu, Jaron."
"Aku percaya. Dan aku hanya bisa berterima kasih atas apa yang kaulakukan untuk menolong sang putri begitu kau mendengar berita itu. Aku merestui kalian berdua."
Tobias mengangkat kepala dan tersenyum kepada Amarinda, yang membalas senyumnya. Amarinda menoleh ke arahku. "Terima kasih, Tuanku. Kalau begitu, bolehkah aku menyampaikan selamat bagimu dan Imogen" Di mana pun dia beraeda sekarang, dia mencintaimu, Jaron. Dia ditakdirkan untukmu." Begitu nama Imogen disebut, aku mengejang dan berusaha mengingat untuk bernapas. Setiap kali teringat akan Imogen, rasanya seakan aku hanya tubuh yang hampa. Dan aku tidak tahu harus bereaksi bagaimana sekarang"tidak pernah terpikir olehku bahwa Amarinda tidak tahu.
Berdiri tidak jauh dari sana, Mott mencondongkan badan dan berbisik ke telinga Amarinda. Begitu mendengar berita itu, mulutnya ternganga dan dia mengeluarkan seruan ketakutan. Matanya membelalak dan air mata berlinang di pipinya seperti sungai duka. "Kupikir kalau kau lolos dari kamp, Imogen juga," dia terbata. "Tidak ada yang memberitahuku." Masih menggeleng-geleng, dia melangkah maju dan mendekatiku, lalu memelukku erat.
Aku tidak yakin aku yang menghiburnya, atau sebaliknya. Tetapi ketika dia menangis di bahuku, aku jadi bisa berkabung juga, dalam cara yang amat kubutuhkan. Ketika akhirnya dia melepaskanku, kesedihan itu tetap tinggal, namun aku merasa ditahirkan dari yang terburuk. Kuraih tangannya, kucium, lalu kuletakkan dalam tangan Tobias.
"Dia dari dulu berdarah bangsawan," kataku kepada Tobias. "Cintai dia seperti itu."
Tobias menunduk hormat, kemudian berkata, "Kami berutang budi kepadamu. Apa yang dapat kami lakukan untuk membalasnya?"
"Ketika di kamp Avenia, kau bertanya apakah aku hancur." Aku menarik napas panjang, dalam ingatan yang jelas akan betapa dekatnya aku dengan akhir hidupku. "Dulu. Tetapi aku sudah sembuh dan siap untuk bertarung dalam perang ini. Bantu aku untuk menang, Tobias. Vargan harus dihentikan."
BAB 23 LAMA setelah Tobias dan Amarinda tidur, aku duduk terjaga dekat api, sangat lelah tetapi tidak bisa tidur. Sementara tanganku mengusap-usap koin dalam saku, aku melihat api menari di hutan, dan asap mengulir di udara ke arah mana saja angin mengirimnya. Seperti apa rasanya, aku bertanya-tanya, menjadi sesuatu yang tertiup ke sana-sini, tanpa kehendak diri sendiri. Sejak kecil, aku selalu menjadi kebalikannya, tak henti-hentinya terpanggil untuk melawan usaha apa pun yang tampaknya disodorkan kepadaku, bahkan seandainya itu untuk kebaikanku sendiri. Betapa bodohnya aku. Aku bersumpah untuk mencoba mengubah diriku sendiri di bagian itu. Tetapi hanya kalau seluruh dunia berhenti mencoba membuatku mengubahnya.
Setelah beberapa saat membiarkanku sendirian, Mott datang untuk duduk di samping api unggun juga. Dia mengangguk pada Tobias dan Amarinda, dan dalam nada berbisik dia berkata, "Kau melakukan hal yang mulia tadi. Tadinya aku menduga kau akan lebih marah."
"Mengapa" Mereka tidak melakukan kesalahan, dan layak mendapatkan kebahagiaan."
"Kau tidak merasa seperti itu sebelumnya."
"Tidak, tetapi sekarang iya." Aku berbalik untuk menatapnya sehingga dia dapat melihat ketulusanku. "Mereka seharusnya bahagia. Mereka memiliki masa depan yang panjang." "Demikian pula kau, Jaron."
Aku mendengus pelan. Kemungkinan itu tidak ada di pihakku.
Namun Mott hanya berkata, "Jika dia ada di sini, Imogen akan mengatakan hal yang sama."
Ketika aku menutup mata, wajahnya melintas di benakku, seperti biasanya, pada saat jemarinya membelai rambutku. Lebih dari sekali ketika dalam penjara Vargan, aku bermimpi tentangnya, bahwa kami bersama-sama di suatu tempat dalam kehidupan selanjutnya dan aku memohon pengampunannya atas kesalahan-kesalahanku. Dan walaupun detail-detail mimpi itu telah surut dari ingatanku seperti ombak di pantai, aku tetap yakin dia telah berdamai denganku.
Ketika aku membuka mata lagi, aku kembali menatap Mott dan berkata, "Kurasa dia mencintaiku."
"Tentu saja. "Mengapa aku tidak menyadarinya sebelumnya?"
"Kau selalu menyadarinya. Tetapi ada sang putri, kau punya kewajiban pada yang ditunangkan."
"Itu benar." Aku mendesah dan memandangi api kembali. "Orang-orang jahat, rencana-rencana dan musuh-musuh itu hal sederhana bagiku. Tetapi persahabatan itu rumit, dan cinta tetap lebih sulit. Hal itu melukaiku lebih dalam daripada yang dapat dilakukan sebilah pedang."
"Kalau kau terluka begitu dalam, kau mencintai dengan intensitas yang sama. Cinta itu kuat, Jaron. Pada akhirnya, cinta akan membantumu memenangi perang ini."
Aku terkekeh, "Kupikir itu akan menjadi strategi baru yang bagus. Ketika musuh menggunakan pedang, aku cukup menyatakan cinta kepada mereka. Mereka akan begitu terkejut sehingga pingsan di tempat, dan kemenangan berada di tanganku." "Aku yakin kau akan jadi orang pertama yang menyatakan kemenangan dengan cara itu." Tawa lembutnya meredup ketika dilihatnya aku menjadi serius. Dia menambahkan, "Besok kita akan terjun kembali dalam perang itu. Jadi ini waktunya untuk memutuskan siapa dirimu. Akankah kau tertiup angin yang datang ke arah kita, atau berdiri dan menghadapinya?"


Takhta Bayangan The Shadow Throne Karya Jennifer A. Nielsen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seandainya saja kerumitan hidup dapat dibuat sesederhana itu. Aku menjawab, "Ini bukan angin badai."
"Ini badaimu, dan masa depan kami semua tergantung padamu sekarang. Jadi, siapakah kau" Sage, seorang anak panti asuhan yang hanya peduli dengan dirinya sendiri" Atau pangeran tidak disiplin, pemberontak, yang dikirim pergi ayahmu" Kehidupan telah menguji daya tahan, kekuatan, serta tekadmu. Kau berhasil dalam cara yang semua orang pikir tidak mungkin terjadi. Namun badai tidak pernah seburuk ini, dan entah akan menghancurkan, atau membentukmu. Ketika semua dirampas darimu, dapatkah kau tetap berdiri di hadapan kami sebagai Jaron, Raja Carthya yang berdaulat?"
Aku memejamkan mata lagi, tetapi kali ini bukan untuk membayangkan Imogen. Aku mengingat-ingat saat keluar dari kereta setelah kembali dari bajak laut, dengan badan penuh memar dan kaki patah. Saat itu sepertinya seluruh kerajaan telah datang menyambut kepulanganku. Mereka membungkuk dan memberikan hormat kepadaku sebagai Raja yang Berdaulat. Yang dimaksudkan untuk bangkit dari malam kelam dan membawa fajar bagi negeriku. Kekuatan yang melawan kami dalam perang ini sangat luar biasa. Namun jika aku tidak mendapatkan jalan keluar, kehancuran kami dapat dipastikan. Hari ketika aku tak lagi mencintai Imogen, tak lagi merindukannya, tidak akan pernah tiba. Tetapi aku harus bangkit satu kali lagi.
"Mari kita tidur," kataku kepada Mott. "Mulai besok, kita akan menyelesaikan perang ini. Kita akan menyelamatkan Carthya."
BAB 24 ESOK paginya, Mott sedang sendirian di perkemahan ketika tiba-tiba mendapati dirinya dikerubuti segerombolan tentara Avenia yang menyerbu dari segala arah, mengambil pedangnya, dan memaksanya berlutut. Lima orang itu bersenjata dan kasar, dan salah satu berkata dia harus kembali untuk mencari seorang tentara yang hilang. Mungkin Mavis.
Semua penyusup itu buruk rupa"tidak begitu aneh bagi orang Avenia, tetapi yang berbicara kepada Mott adalah yang terjelek. Matanya ditutup sebelah dan badannya kurus, rambut tak berwarna yang terlihat seperti rumput musim dingin mencuat dari tengkorak yang tak rata.
"Di mana rajamu?" orang itu bertanya.
"Tidak jauh dari sini," jawab Mott. "Dan dia tidak akan senang kalian berada di sini. Kusarankan agar kalian pergi sekarang."
Orang itu tertawa, memperlihatkan geligi yang hitam. Cukup mengejutkan bahwa masih ada gigi yang tersisa. "Salah satu dari prajurit muda kami mendapat kesulitan di dekat sini. Dia memberitahu kami mengenai kalian."
"Dia juga memberitahu kami tentang kalian," aku berkata dari atas mereka. Pagi itu, aku menaiki dahan pohon untuk bertengger di dahan yang kokoh tempat aku dapat menantikan kedatangan mereka. Mereka tidak waspada, juga tidak pintar, maka mereka luput melihatku ketika tiba. "Walaupun prajuritmu tidak mendeskripsikan bau kalian dengan benar. Dia bilang seperti sigung, tetapi menurutku itu menyinggung si sigung."
Di tanganku ada busur yang dibawa Mott. Anak panah sudah terpasang dan siap ditarik. Aku bukan pemanah terbaik, tetapi mereka cukup dekat sehingga bidikan akurat tidak akan menjadi masalah. Seseorang di tengah meletakkan sebilah pisau ke leher Mott, dan pada saat itu aku melihat teman-temannya telah menjauh darinya.
"Kau sebaiknya menjatuhkan itu sekarang, sebelum melukai dirimu sendiri." Hanya peringatan ini yang kuniatkan untuk kuberikan.
Salah satu dari orang itu berkata, "Mengapa" Meski kau di atas sana, kami masih bisa menangkapmu."
"Secara teori, bisa. Tetapi kalian tidak akan bisa." Aku memiringkan kepala ke pohon-pohon di belakang mereka. Baik Tobias dan Amarinda berada di sana. Bersama-sama, mereka memegang tali panjang yang menuruni dahan pohon, dengan simpul pemburu di ujungnya. Ketika mereka menariknya, tali itu melingkari mata kaki"mata kaki orang-orang Avenia itu, menjatuhkan mereka dan mengikat mereka bersama. Tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada Mavis, dan aku berharap mereka menghargai ironi itu. Ketika dia sadar tidak memiliki bala bantuan, orang di belakang Mott menjatuhkan pisaunya dan mengangkat tangan tanda menyerah.
Mott berdiri dan mengumpulkan senjata-senjata mereka sementara aku berayun turun dari ranting pohon dan mendarat di depan mereka.
"Kalian berjalan begitu berisik, kami tahu kalian datang satu jam yang lalu. Aku sampai bosan menantikan kalian." Lalu aku berbalik ke orang yang tadi berbicara. "Kami memancing kalian ke sini, seperti ikan diumpan cacing. Jadi, apakah kalian datang untuk menangkap kau?"
Si Napas Anyir sepertinya tidak tertarik berbicara sampai Mott membalas perbuatannya dan menyodoknya dengan pisau milik orang Avenia itu.
Dia memekik dan mengangkat kedua lengannya lebih tinggi. "Aku sudah memberitahumu, kami datang mencari anggota kami sendiri."
"Dan pasukanmu menuju ke mana" Ke Danau Falstan?"
"Aku tidak perlu menjawab seorang raja kecil," Napas Anyir mencibir.
"Baiklah, sesukamu saja."
Aku mengangguk kepada Mott untuk menyeretnya pergi, tetapi dia menggeliat dalam genggaman Mott dan berteriak kembali, "Kau tidak akan membunuhku!"
"Kau yakin" Karena aku baru saja berpikir mungkin aku ingin melakukannya."
"Biarkan aku hidup, dan aku akan memberimu informasi."
Aku berakting seakan mempertimbangkan hal itu. "Yah, kalau informasinya menarik, aku akan membiarkanmu hidup. Tetapi jika kau menghabiskan waktuku, atau berbohong kepadaku, aku tidak janji."
Matanya bergerak dari kiri ke kanan sebelum berbicara, dan ketika akhirnya dia berkata-kata, suaranya lebih perlahan daripada sebelumnya. Mungkin agar di mana pun dia berada, Raja Vargan tidak akan mendengar rahasianya dibongkar.
"Vargan mengarah langsung ke ibu kota. Mendenwal sudah berada di sana, dengan perintah untuk menghancurkan Drylliad dan semua orang dalam temboknya. Para pemenang akan bergabung dengan yang sudah berkemah di Danau Falstan untuk mengakhiri perang di sana."
Amarinda menghela napas dan meraih tangan Tobias. Aku melirik mereka, lalu Mott, mempertimbangkan apakah informasi ini benar.
"Apakah perang sudah dimulai di Drylliad?" tanyaku.
"Kalau belum, tidak akan lama lagi. Aku diberitahu kapten pengawalmu telah membentuk barisan dekat kota, dan memperkuatnya dengan pasukan-pasukan Bymar. Namun mereka tidak akan bertahan lama. Begitu kami tahu bagaimana menembus pertahanan mereka, akan mudah memasuki Drylliad."
Mataku menyipit saat aku mengamatinya. "Kurasa kau berdusta."
"Tidak! Aku mendengar ini langsung dari seseorang bernama Kippenger, salah satu komandan utama Vargan."
Kippenger. Aku ingat nama itu seperti rasa cuka di lidahku. Aku mengambil sebuah batu. "Mana tanganmu yang memegang pedang?"
Napas Anyir gemetar mendengar ancaman tak langsungku, tetapi menaikkan tangan kirinya. "Kumohon jangan lakukan itu. Katamu kau tidak akan membunuhku."
"Dan kau bilang tidak akan berbohong padaku. Kau memegang pisau dengan tangan kananmu tadi." Kuangkat batu itu lebih tinggi sekarang.
"Hanya itu yang kutahu!" Suara paniknya melompat hampir satu oktaf. "Dengar, kau akan menemui Mendenwal di sana, dan tentara-tentara rajaku bersama mereka dalam pertempuran. Dia bermaksud menghancurkan Drylliad."
Aku merengut memandangnya dan menggosok-gosok dagu, terutama karena hal itu kelihatannya membuat dia senewen. "Baiklah," aku akhirnya berkata. "Akan kubiarkan kau hidup, tetapi sebaiknya kau berharap ada orang dalam pasukanmu yang mau datang mencarimu." Lalu aku mengangguk kepada Mott. "Ikat mereka."
Sementara Mott mengikat mereka ke pepohonan di sekeliling perkemahan kami, Tobias serta Amarinda turun untuk membantunya, dan aku mengambil kuda-kuda. Kami harus pergi sekarang juga. Terakhir kali bertemu dengannya, Roden belum menguatkan perannya sebagai kapten. Jika keadaannya belum membaik, barisan-barisan di luar Drylliad tidak akan bertahan lama.
Setelah kami pergi, Mott bertanya kepadaku, "Apakah kau bermaksud untuk pergi ke Drylliad?"
"Tentu saja. Drylliad harus tetap bertahan."
"Pertempuran itu akan berbahaya," kata Amarinda. "Kau yakin siap menghadapinya?"
Sambil nyengir, aku berkata, "Aku mendapat peringatan lebih lama daripada sepuluh menit bahwa pertempuran ini akan terjadi. Dengan cara itu, aku sekarang benar-benar siap."
Kami berkuda secepat mungkin ke arah Drylliad, namun begitu kami sampai di Sungai Roving, aku berbalik kepada Tobias. "Dapatkah kau dan Amarinda pergi ke kamp di Danau Falstan?"
"Ya. Tetapi kau mengarah ke Drylliad, aku harus pergi bersamamu. Akan banyak orang yang terluka di sana, dan aku dapat merawat mereka."
"Bagaimana dengan Amarinda?" tanyaku.
"Aku dapat menolong Tobias," dia menjawab. "Biarkan aku berperan dalam perang ini."
Tatapan kami bertemu, dan aku berkata, "Perjanjian-perjanjian dalam pertunangan kita mungkin telah berubah, tetapi yang mengenai takhta, tidak. Jika sesuatu terjadi terhadapku sebelum semua ini selesai, aku membutuhkanmu untuk mengambil tampuk pimpinan sebagai ratu. Carthya membutuhkanmu, dan kau harus tetap aman."
"Aku akan menjaganya, Jaron," Tobias berjanji. "Janjiku itu juga belum berubah."
Aku balas mengangguk, lalu berkata kepada Amarinda, "Kau dan Tobias akan pergi ke kamp Falstan dan menyiapkan tenda untuk pertolongan pertama. Dalam beberapa hari, kita akan membutuhkannya, sama seperti ke tempat aku akan pergi. Perintahkan sang komandan untuk mengirim sebanyak mungkin orang yang dapat disisihkannya ke Drylliad."
Amarinda balas mengangguk kepadaku, lalu dia dan Tobias berkuda ke satu arah sementara Mott dan aku berbalik lebih jauh ke utara.
Kami berkuda cepat ke arah Drylliad, dengan dibebani pemikiran bencana yang dapat terjadi seandainya musuh memasuki dinding kota. Harlowe ditugaskan mempersiapkan pasukan untuk mempertahankan kota kalau diperlukan, tetapi pilihan-pilihannya terbatas. Banyak keluarga yang datang mencari perlindungan di dalam kota tidak berpengalaman melawan apa pun selain sekali-sekali menghadapi serigala atau anjing liar yang menyerang ternak mereka. Dan sebagian besar wanita bertugas melindungi anak-anak mereka dan orang-orang tua, yang para laki-lakinya sudah pergi berperang.
Mungkin Harlowe dapat menjalankan rencananya untuk menarik para pria dari penjara. Aku bertanya-tanya apa mereka akan berperang bagi Carthya atau meninggalkan kami begitu mendapat kesempatan. Tetapi Harlowe sudah berjanji dia tidak akan mengikutsertakan Conner sebagai bagian dari rencanarencana itu. Betapapun mendesak situasi kami nanti, aku tidak akan memercayai Conner dengan nyawaku, atau dengan nyawa rakyatku.
Hari sudah larut ketika kami mendekati bukit terakhir sebelum sampai ke Drylliad. Mott menyerukan namaku dan berhenti, memintaku untuk berhenti juga.
Dia berkata, "Aku mengawasimu sejak kita meninggalkan kamp Avenia. Kau tidak sekuat sebelumnya, aku melihat bagaimana caramu membawa pedang, dengan dua tangan sekarang, bukannya satu."
Aku hanya dapat memandang lurus ke depan. "Aku menguat setiap harinya. Lagi pula, tekadku sekuat biasanya, dan hal itu lebih berarti."
"Namun perangnya berada di balik bukit itu."
"Ya, dan kalau harus, aku akan bertarung dengan memegang pedang menggunakan dua tangan."
Dia tidak yakin. "Di mana baju perang dan perisaimu?"
"Mana punyamu?" balasku. Kulepaskan kejengkelanku dan hanya mendesah. "Raja yang baik tidak akan mengirim rakyatnya berperang kecuali dia ada bersama mereka."
"Dan pelayan yang baik tidak akan membiarkannya pergi sendirian."
Aku balas memandangnya, sangat berterima kasih. "Kau bukan pelayan, Mott. Bukan bagiku, atau pada siapa pun. Dan tidak ada siapa pun yang kuinginkan untuk pergi berperang denganku selain kau."
"Kalau begitu, kita pergi bersama," Mott berkata. "Menuju kemenangan, rajaku."
"Menuju kemenangan!"
Kami mulai bergerak lagi, dan tak lama kemudian suara pertama dari perang mencapai telinga kami. Mott dan aku saling memandang, menarik pedang kami, dan berkuda ke dalam pertarungan itu.
BAB 25 PERTAHANAN Roden dibangun kurang dari 1,5 kilometer di luar tembok Drylliad, dan terlihat begitu kami melewati punggung bukit. Walaupun tentara-tentara Bymar dan Carthya bertarung melawan tentara-tentara lain di lapangan luas di depan, Sungai Roving jauh di sebelah kanan kami menjadi semacam batas yang bagi Roden tidak boleh dilewati musuh. Sepanjang sungai itu, kanopi-kanopi lebar dari kayu dibangun untuk melindungi orang-orang ini dari panah-panah yang datang, dan tanah digali menjadi gundukan tinggi yang akan membarikade serangan-serangan dari depan. Sungai itu sempit di sini, tetapi dalam, dan kecuali dengan adanya beberapa jembatan darurat, tidak seorang pun dapat melewatinya tanpa berenang. Hal itu akan menyulitkan musuh untuk menembus penjagaan, tetapi tidak mustahil.
Aku bermaksud untuk membuatnya mustahil.
Tujuanku adalah memasuki tembok istana, atau lebih bagus lagi, mengirimkan seorang pembawa pesan ke sana. Tetapi kami harus bergegas. Jadi alih-alih terjun ke dalam panasnya pertempuran, Mott dan aku berkuda lebih jauh ke selatan, bertemu dengan beberapa orang di bagian luar. Dari apa yang dapat kulihat, mereka sebagian besar dari Mendenwal, tetapi karena kami masih berpakaian seperti orang Avenia, penjagaan mereka tidak ketat dan mereka tidak menyangka sabetan pedang kami ketika diayunkan.
Namun saat kami lebih dekat ke perbatasan, seragam yang sama itu menjadi masalah bagi kami. Kami berkuda menuju lembah kecil yang membawa Sungai Roving ke bawah dinding istana ke arah pedesaan. Kami hampir sampai ke lembah kecil itu ketika entah dari mana, segerombolan wanita datang berlari ke arah kami, menjerit dan berteriak untuk menimbulkan kebingungan dan mengalihkan perhatian. Hal itu berhasil. Beberapa wanita membawa tongkat kayu, terhubung satu sama lain oleh seuntai kain kira-kira sebesar selimut. Sebelum aku dapat bereaksi atau berganti haluan, para wanita itu berlari ke kedua sisi kudaku dan Mott. Mereka melewati kami hampir sebelum kami melihat mereka datang, dan menggunakan rentangan selimut itu untuk menjatuhkan kami berdua dari sadel.
Dengan dentuman keras, aku mendarat dengan punggungku di tanah, sementara kudaku berlari bebas. Mott berpegangan lebih baik daripada aku, tetapi para wanita itu tidak menyerah sampai mereka menariknya jatuh ke dekatku.
Lebih jauh lagi, beberapa anak perempuan yang lebih muda menangkap kuda kami dan melompat ke atas sadelnya. Kemudian sekawanan gadis-gadis yang lain mengeluarkan pedang, yang mereka tempelkan di dada kami, sementara yang lain melucuti senjata-senjata kami. Kami telah dikalahkan oleh ibuibu dan anak-anak perempuan Carthya dengan baik. Mungkin mereka seharusnya menjadi komandan-komandanku, pikirku.
Seorang wanita yang mengancamku itu tinggi dan berpakaian sederhana, serta memegang pedangnya dengan mantap. "Penyusup negeri kami, kami memberi hukuman mati kepadamu, atas nama Raja Jaro n dari Carthya. Apakah kau punya kata-kata terakhir?"
"Ya, sebenarnya aku punya." Kulucuti helm yang kugunakan sehingga dia bisa melihatku lebih baik. "Sebelum menggunakan pedang itu, kau seharusnya tahu bahwa namaku adalah Raja Jaron dari Carthya."
Dia bereaksi dengan menarik napas tajam dan mata membelalak, tanda-tanda dia mengenaliku, dan terpujilah para orang suci karena dia mengenaliku. Sambil memohon ampun, dia menarik pedangnya dari dadaku dan jatuh berlutut, demikian pula semua yang lain.
Mott datang dan membantuku bangun, kemudian aku meminta para wanita itu untuk berdiri. Yang menyapaku sebelumnya bilang namanya Dawn.
"Nama yang membawa perasaan damai dan hangat," kataku. "Orangtuamu tidak mungkin tabu apa yang mampu kaulakukan ketika mereka menamaimu."
Dia balas tersenyum kepadaku. "Beberapa tentara di sini tabu kemampuan kami, Yang Mulia. Tetapi Roden, kapten penjaga Anda, memercayakan kami untuk menjaga sungai ini. Sekiranya ada rakyat kita yang datang ke sini perlu memasuki istana, kami membawa mereka masuk melalui lorong di bawah istanamu. Tetapi orang lain tidak boleh masuk. Maafkan saya karena tidak mengenali Anda."
"Sebenarnya, aku bersyukur telah menjadi bagian dari demonstrasimu," kataku, masih menggosok-gosok punggung. "Sampai ke lubuk hati, aku kagum denganmu."
"Terima kasih, Tuan." Dawn ragu dan melihat ke para wanita yang lain. "Yang Mulia, ada rumor tentang nasib Anda di Avenia. Lord Harlowe meyakinkan kami bahwa dia melihat Anda masih hidup. Itu memberi kami harapan, tetapi tetap sangat melegakan melihat Anda dengan mata saya sendiri."
"Dilihat oleh kalian, sungguh melegakan." Kemudian, berbicara kepada semua wanita dan anak-anak perempuan mereka, aku berkata, "Adakah di antara kalian yang mau menyusuri sungai ini ke istana?" Ini jalan sama yang kutempuh beberapa bulan sebelumnya untuk merebut takhta, dan aku memvisualisasikannya dengan sempurna. "Begitu berada di dalam, kau harus memberitahu orang-orang bahwa sang raja meminta setiap tetes minyak goreng, gajih, dan mengumpulkannya di kota. Dengan aba-aba dariku, mereka akan menuangkannya ke sungai ini." "Mengapa harus membuang semua minyak kami?" seorang wanita di belakang Dawn bertanya. "Bagaimana kami dapat memasak, atau menyalakan lentera?"
"Kita akan makan makanan dingin dalam gelap kalau itu akan menyelamatkan nyawa kita," Dawn memberitahunya. "Kita akan mematuhi Raja."
"Akan kukirimkan tanda begitu aku siap," kataku. "Panah api ke udara, lurus ke atas." Aku memandang para gadis, sama tegarnya dengan ibu-ibu mereka, walaupun sebagian besar tidak lebih tua daripada Fink. "Siapa yang akan melakukan ini untukku?" Seorang gadis yang lebih kecil di bagian luar kelompok ini mengangkat tangan. Jika membandingkan wajah-wajah mereka, aku langsung tahu ini putri Dawn. Seolah memastikannya, Dawn berjalan ke arahnya dan dengan lembut mengusapkan tangan ke pundak gadis itu, lalu berlutut menatap wajahnya.
"Seharusnya tidak ada bahaya antara kami dan dinding istana," kata Dawn. "Tetap saja, kau harus berlari cepat dan jangan menoleh ke belakang. Begitu sampai di dalam, katakan kepada mereka kau punya pesan langsung dari sang raja."
Gadis itu menekuk lutut menghormat kepadaku, lalu pergi begitu cepat, aku ragu bahkan angin dapat menangkapnya. Aku berterima kasih kepada para wanita itu, kemudian kami berbalik kembali ke arah kuda-kuda kami, tetapi aku mendengar Dawn memanggil kami. Dalam kedua tangannya ada brigandine"rompi kulit berlapis rantai besi"ditandai warna biru dan emas Carthya. Punyaku agak kebesaran dan punya Mott kekecilan, tetapi jauh lebih baik daripada jaket Avenia kami yang tipis.
"Kami menjahitnya sendiri," kata Dawn sambil memasangkan punyaku. "Mungkin tidak layak bagi seorang raja, tetapi cukup bagus bagi prajurit-prajurit Carthya yang bangga."
"Hanya itu yang kuminta," jawabku, senang bisa menyingkirkan warna-warna Avenia. "Bagaimana caranya kami dapat melewati penjagaan dari sini?"
Dawn menjelaskan jalur paling memungkinkan bagi kami, lalu Mott dan aku berkuda ke arah itu, walaupun akan membawa kami ke tengah-tengah pertempuran. Mott tetap berada di depanku hampir sepanjang jalan, melindungiku dengan kekuatan beberapa orang. Aku melakukan bagianku, tetapi dia benar. Aku sering membutuhkan kedua tangan untuk memegang pedang, dan merasa lebih cepat lelah daripada yang seharusnya. Aku bersumpah di pertempuran selanjutnya, aku takkan menggunakan dua tangan untuk mengangkat pedang.
Aku tidak dapat menebak jumlah orang Mendenwal di sini, tetapi sejauh yang dapat kukatakan, Avenia tidak terlihat di mana pun. Untungnya, Carthya dibantu oleh sejumlah besar pasukan dari Bymar. Amarinda pernah berkata kepadaku bahwa tentara mereka adalah kavaleri, tetapi aku belum pernah menghargai kemampuan-kemampuan mereka sampai melihatnya dalam pertempuran.
Seorang tentara Bymar di depanku bertarung baik ke kanan-kiri kalau perlu, dan menggunakan kudanya untuk menyerang maju. Mereka beraksi sebagai suatu kesatuan, dengan kuda yang kelihatannya secara naluriah mengetahui apa yang diinginkan tuannya. Keahlianku tidak sampai separuhnya, dan aku berjanji pada diri sendiri setelah perang ini berakhir aku akan meminta pelatihan kepada orang Bymar.
Mott berseru kepada para prajurit Bymar bahwa dia berada di sini bersamaku dan kami membutuhkan bantuan mereka untuk berada di balik garis pertahanan.
Dia berbalik kepadaku. "Kaptenmu sudah memanggil untuk mundur ke balik garis pertahanan. Jembatan-jembatan di atas parit-parit akan segera diangkat, dan Mendenwal tidak akan jauh di belakang kita."
"Tunjukkan kami jalannya," pintaku.
"Bisa, tetapi tidak akan ada gunanya. Kita akan diserbu sebelum malam usai."
"Tidak," aku meyakinkannya. "Tidak akan."
Dia mendesak maju, dan dengan bantuan Mott dan aku, kami memotong sebuah jalur ke arah garis pertahanan. Walaupun aku melihat keberanian yang besar dalam pasukanku, perang itu sendiri sebenarnya merupakan keburukan dan kengerian. Aku kembali memutuskan untuk menyelesaikannya secepat mungkin.
Kami diizinkan melalui garis pertahanan tempat orangorang itu diatur untuk ronde selanjutnya dalam pertempuran. Jumlah kami berkurang, dan tidak sulit untuk menduga bahwa kalau mereka dikirim pergi lagi, sebagian besar tidak akan kembali. Namun mereka tenang dan fokus, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi. Begitu Mott dan aku berada di bawah kanopi-kanopi itu, aku segera dikenali oleh beberapa orang. Aku bertanya di mana Roden dan mereka berkata sang kapten ada di menara di pusat garis pertahanan, menunggu kesempatan terakhir untuk menaikkan jembatan-jembatan sehinga sebanyak mungkin pasukan kami dapat tiba dengan aman di sini.
"Bagaimana jika Mendenwal berhasil menyeberang?" aku bertanya kepada seseorang.
"Kapten bilang kami harus mempertahankan garis ini sama seperti kami mempertahankan perbatasan Gelyn."
"Dia benar," aku melangkah lebih dekat kepadanya dan bertanya. "Bagaimana penerimaan pasukan kalian terhadap kapten sekarang?"
Orang itu berpikir sesaat, lalu berkata, "Akan saya berikan nyawa saya untuknya, Yang Mulia."
Aku hendak bertanya lebih banyak, tetapi saat itu, Mott telah menemukan beberapa pemanah dan kami bergegas ke belakang daerah yang ramai. Aku memberitahukan rencanaku sambil berjalan, dan dengan senyum lebar mereka memberitahuku kelihatannya tidak akan berhasil, namun demikian mereka tidak sabar untuk mencobanya.
Berita menyebar cepat bahwa aku telah datang, dan seseorang mendekatiku dan berkata Kapten Roden bertanya-tanya apa aku punya perintah untuknya.
Aku bertanya, "Menurutmu berapa lama sebelum Mendenwal berada di garis-garis pertahanan kita?"
"Mereka mundur untuk bergabung dengan tentara yang lain, Tuan. Kami akan menahan mereka dengan pelontar dan pemanah kita, tetapi hal itu tidak akan bertahan lama. Kami menduga mereka akan datang dalam satu jam."
"Katakan kepada sang kapten untuk menjaga pasukan kita di balik garis-garis pertahanan ini."
"Tetapi kalau kita menunggu?"
"Ya, mari kita lakukan itu. Kita tunggu."
Dia bingung, tetapi tetap mengangguk, lalu bergegas pergi. Mott hanya tersenyum. Dia tahu apa yang kupikirkan.
Selama satu jam selanjutnya, kami mengawasi, menunggu Mendenwal datang. Dan mereka akhirnya tiba. Dalam cahaya yang meremang, kami mendengar mereka jauh sebelum kami melihat ujung helm atau lambaian warna-warna mereka. Mendenwal berbaris berjajar dan seirama sempurna. Mereka datang untuk kami. Dan mereka datang dengan cepat. Mustahil untuk mengetahui berapa banyak pasukan mereka yang tersisa, kecuali bahwa suara mereka berbaris semakin keras.
Kedatangan mereka disatukan oleh ketukan penabuh genderang di belakang. Setiap tabuhan gendang mendorong pertempuran itu lebih dekat. Genderang mereka semakin lantang dan keras. Pesan dalam ritme itu jelas. Mereka akan segera tiba di sini, dan mereka membawa kekalahan bagi kami. Orang-orang di dekatku berdiri di atas kaki yang tidak bisa diam dan sebagian bahkan melihat berkeliling, seolah bertanya-tanya ke mana mereka bisa mundur begitu Mendenwal datang. Aku bahkan mendengar satu komentar bahwa kami lebih baik lari ke istana sekarang, dan bertarung dari sana.
Tetapi pada saat itu, ritme dari barisan yang mendekat juga mengingatkanku akan lagu kebangsaan Carthya. Kemungkinan, banyak dari ibu para tentaraku menyanyikannya kepada mereka waktu kecil, seperti yang dilakukan ibuku kepadaku. Aku memanjat tangga agar menjadi lebih tinggi di atas kelompok itu, dan mulai menyanyi.
Biarkan angin bertiup, Nak Biarkan salju turun.
Biarkan bintang jatuh, Nak Akan kita jawab panggilan itu.
Yang lain bergabung denganku di bait selanjutnya, dan tibatiba tabuhan genderang yang tadi kelihatannya menakutkan sekarang menguatkan kami.
Biarkan gelap itu datang, Nak Jangan tanyakan asalnya.
Setelah perang, Nak Akan kita lihat terangnya fajar.
Mereka terus bernyanyi, juga ketika aku berbalik untuk melihat pasukan yang mendekat. Ketika kupikir saatnya tepat, aku meminta seorang pemanah mengirim sebuah panah api lurus ke udara. Apa pun yang dibawa Mendenwal bagi kami nanti, pertempuran ini belum usai.
BAB 26 WAKTU kecil, kakakku dan aku sering memahat kapal-kapal kecil dari kayu dan melayarkannya di sungai ini. Perlu lima belas menit bagi kapal-kapal itu untuk meninggalkan tembok istana mencapai perairan bagian sini. Aku berharap minyak dari Drylliad akan memiliki kecepatan yang sama.
Mendenwal butuh waktu hampir dua puluh menit untuk melewati yang terburuk dari para pemanah dan ketapel kami. Tidak ada cara untuk mengetahui kalau minyak itu sudah bergerak sejauh ini"dari jarak ini, air tidak terlihat berbeda. Tetapi waktunya cukup pas.
Para tentara Mendenwal memasuki sungai bersama-sama, seluruh deretan tentara bergerak menyeberang seirama dengan ketukan genderang mereka.
Begitu parit penuh, aku memerintahkan para pemanah untuk menyalakan anak panah dan menembakkannya. Mereka tidak membidik tentara-tentara itu"jumlah mereka terlalu banyak untuk mengenai mereka semua. Mereka membidik air.
Beberapa anak panah pertama memasuki air dan segera padam. Tetapi pemanah giliran berikutnya mendapati sepetak minyak, yang langsung menyalakan sungai seterang matahari tengah hari. Api menjalar dalam gelombang ke atas dan ke bawah sungai, membakar semua tempat yang mengandung minyak dan menjilat tentara-tentara itu dalam jalurnya. Para tentara tergopoh-gopoh melarikan diri, tetapi api tidak dapat dihentikan semudah itu. Tentara lainnya yang belum memasuki sungai berlari menghindari api yang sekarang menyebar ke darat. Dalam beberapa detik, Mendenwal tenggelam dalam kekacauan, dan pemimpin mereka mengalami kesulitan untuk kembali memegang kendali. Bunyi genderang, kuperhatikan, telah hilang.
Begitu api habis terbakar sendiri, aku mendengar Roden berteriak dari menaranya. Aku bergerak sampai dapat melihatnya, berdiri di tangga sehingga dia terlihat jelas.
"Kalian datang ke garis penjagaan ini sebagai petani, penjahit, dan pedagang," katanya. "Namun kalian berdiri di sini sekarang sebagai prajurit, membela raja, negeri, dan keluarga kalian. Tidak ada yang lebih mulia daripada nyawa mereka, dan mereka yang gugur dalam tugas akan dibawa ke akhirat dalam sayap para malaikat. Jangan ragu. Jangan bimbang. Jangan menyangsikan kita akan sukses. Aku akan merayakannya bersama kalian nanti malam!"
Dengan teriakan keras, dia lalu mengirim pasukan yang tersisa menjauh dari garis pertahanan untuk menyelesaikan perang itu. Aku tetap tertegun sesaat. Roden yang kukenal tidak banyak bicara, penuh keraguan, dan bahkan tidak akan bisa menginspirasi prajurit yang paling bersemangat sekalipun. Benarkah ucapan semacam itu keluar dari mulutnya"
Ya, tentu saja. Kilasan dari orang ini telah muncul beberapa kali ketika kami bersama di Farthenwood, bahkan ketika dia tidak menyadarinya. Aku tahu dia seperti ini, hanya tidak mengantisipasi dia akan menemukan jalannya sebaik atau secepat ini. Mungkin akan dianggap sombong jika menyelamati diri karena memilih kapten yang luar biasa, namun aku tidak dapat menahan diri. Roden pemimpin persis seperti yang kuharapkan.
Ketika aku mengangkat pedang dan mulai pergi bersama orang-orang itu, Mott memintaku tetap tinggal, demi keselamatanku sendiri. Aku memutar bola mata untuk memberitahunya aku tidak memiliki niat seperti itu, jadi tanpa menunda, dia melompati gundukan tanah di sampingku dan kami terjun ke kancah pertempuran. Pertempuran itu masih berat, tetapi jelas bahwa banyak tentara Mendenwal telah melarikan diri begitu api menyambar. Raja mereka tidak berada di sana dan para pemimpin mereka tersebar terlalu jauh sehingga tidak efektif. Kemungkinan besar banyak di antara mereka yang tidak lebih mengerti mengapa mereka berada di peperangan ini.
Dalam satu jam berikutnya, lebih banyak orang Carthya tiba dari arah yang sama dengan aku dan Mott. Tentunya, mereka adalah tentara tambahan dari kamp Falstan. Mereka masih segar dan bersemangat untuk unjuk gigi. Dengan bantuan mereka, dan dukungan berkesinambungan dari Bymar, Mendenwal segera menyerukan perintah untuk mundur, dan teriakan-teriakan kemenangan terdengar dalam pasukanku. Mendenwal mengosongkan lapangan lebih cepat daripada yang bisa kubayangkan sementara Bymar dan Carthya masih mengejar mereka.
Roden menemuiku tidak lama sesudahnya. Dia berada di punggung kuda dan terlihat sangat lelah, tetapi berdasarkan pengamatanku, dia tidak terluka. Dia memiliki seekor kuda lain bersamanya, lebih kecil, yang ditawarkannya kepadaku. Aku berkata dia seharusnya memberiku kuda yang lebih besar, yang ditungganginya, tetapi Roden ngotot dia sudah nyaman, dan kalau aku tidak mau kuda yang lebih kecil, akan dicarinya orang lain yang mau mengendarainya. Ketika kami tertawa, Mott berkata dia akan tetap tinggal dan membantu yang terluka, kemudian dia akan menemuiku di balik garis pertahanan.
Aku menaiki kuda dan Roden berkata, "Kau tidak perlu tinggal di sini malam ini. Harlowe memberitahuku apa yang kaualami di Avenia. Kau bisa beristirahat lebih baik jika aku membawamu kembali ke istana."
"Dan melewatkan semua kesenangan ini?" tanyaku. "Tidak. Aku sudah cukup lama meninggalkan pasukanku. Mereka akan melihatku di sini." Kami berkuda lebih jauh, kemudian aku bertanya, "Apakah mereka pasukanmu juga?"
Dia mempertimbangkannya sembari terdiam, dan persis ketika aku pikir dia memutuskan untuk tidak akan menjawab, dia berkata, "Mereka selalu menjadi pasukanmu, Jaron. Tetapi mereka anak buahku sekarang."
"Apa yang berubah?"
Dia mengangkat bahu. "Aku. Aku menyadari tidak bisa mengharapkan mereka menganggapku lebih baik daripada pendapatku akan diriku sendiri. Jadi, jika percaya aku terlalu muda atau bodoh atau tidak berpengalaman untuk menjadi kapten, begitulah aku jadinya."
"Jadi, apa yang kaupercayai sekarang?"
Roden menolak menjawab pertanyaan itu dan hanya terkekeh. "Aku percaya kau perlu makanan enak. Kupikir dengan cara Mott mengawasimu, dia jadi lebih peduli dengan kesehatanmu, dan akan menjejalkan pai daging di mulutmu setiap kali kau membukanya."
Aku tertawa bersamanya. "Dia mungkin ingin mencobanya, untuk mencegahku membuat masalah sepanjang waktu."
"Bukan ide buruk, tahu kan. Kita tidak punya pai daging di balik garis pertahanan, tetapi hidangan lezat akan tersedia untuk merayakan kemenangan ini."
"Bagaimana orang-orang di Drylliad" Apakah mereka punya cukup makanan?"
Roden mengangkat bahu. "Itu yang terus dikhawatirkan. Orang yang datang ke kota jauh lebih banyak daripada yang diperkirakan siapa pun, dan karena itu, kekurangan makanan terjadi. Lord Harlowe butuh lebih banyak perbekalan, tetapi kaum pria tidak bisa membiarkan dinding terbuka dan mempertahankannya sekaligus."
"Lalu bagaimana?"
"Kau bertemu para wanita di sungai, bukan?" Ketika aku mengiakan, dia melanjutkan. "Para wanita di Drylliad memberitahu kalau kami bisa mendorong pertempuran ini jauh dari dinding kota, mereka dapat menjaga jalur perbekalan terbuka. Para pria mungkin harus bertempur bagi kota ini, tetapi para wanitalah yang akan menyelamatkannya."
Mereka mengingatkanku akan Amarinda, yang telah mempertaruhkan nyawa untuk kembali ke takhta ketika aku dianggap tewas. Dan Imogen, yang memberikan nyawanya untuk menyelamatkanku. Para pria di Carthya membutuhkan waktu seumur hidup agar layak bersanding dengan para wanitanya.
Saat makan malam, para tentara saling bersulang dan memuji Roden serta namaku atas strategi-strategi yang memberi kami kemenangan ini. Aku mengangkat gelasku, tetapi bibitbibit kekhawatiran telah tumbuh dalam benakku dan pada akhirnya aku harus pergi. Aku tidak dapat menjelaskan apa yang salah, tetapi hal itu malah lebih menggangguku.
Ketika Roden mengikutiku untuk bertanya apa masalahnya, aku berkata, "Apakah rasanya pertempuran hari ini terlalu mudah?"
"Mudah?" Roden memberi tanda ke arah medan perang. "Apakah kau tahu berapa banyak orang gugur di sana" Betapa dekat kita dengan kekalahan?"
"Ya, dan aku tidak menganggapnya remeh. Tetapi rasanya ada yang salah."
Sekarang, terang-terangan marah, Roden berdiri persis di hadapanku. "Jika terasa terlalu mudah bagimu, itu karena kau meninggalkan dari perang ini terlalu lama. Setiap orang di sini bertarung mati-matian mempertahankan nyawa dan melakukan tugasnya sementara saudara-saudaranya berjatuhan di sekelilingnya. Kalau berada di sini lebih lama dari sehari, kau akan berubah pikiran mengenai betapa mudah perang ini!"
Aku hendak berdebat, tetapi dia mengentak pergi. Mott mendatangiku dan ketika aku mulai menjelaskan, dia hanya mengambil mangkuk kosongku, mendesak dia akan mengambilkan makanan lebih banyak.
Lama kemudian, akhirnya aku berhasil menemukan jawabannya, mengapa pertempuran terasa mudah. Mott sudah tidur ketika itu, demikian pula sebagian besar orang. Roden masih belum kembali, tetapi ada api unggun tidak jauh dari kami, aku menduga dia pergi ke sana. Entah dia masih marah atau tidak, aku akan membuatnya mendengarkanku.
Mott dan aku datang ke sini karena apa yang dikatakan Napas Anyir, bahwa raja Avenia bermaksud menembus pertahanan ini. Aku melihat beberapa orang Avenia dalam pertempuran, tetapi tidak banyak, dan jelas bukan sebuah pasukan. Lebih dari itu, Raja Vargan tidak di sini, apalagi tanda-tanda dari benderanya.
Mungkin Napas Anyir berbohong kepadaku, atau mungkin rencana telah berubah sejak dia mendengarnya. Apa pun itu, tidak menjadi masalah. Kami melawan Mendenwal di sini, tetapi hanya itu"sebuah pertempuran. Vargan membiarkanku mengurangi jumlah pasukan sementara dia tetap berada di latar belakang. Avenia masih berada di sana, di suatu tempat, menyebarkan kehancuran di negeriku diam-diam seperti wabah. Aku harus menemukan mereka. Karena aku tidak akan pernah bisa mengakhiri perang ini sampai berhasil mengalahkan Vargan.
BAB 27 AKU mendengar suara Roden lebih dulu sebelum melihatnya. Dia tidak berbicara lantang, tetapi yang lainnya begitu sepi dan diam. Aku menangkap namaku disebut dan diam-diam bergerak ke arahnya. Dia marah, menganggap aku menghina kemampuannya dalam pertempuran, dan aku bisa membayangkan sekarang dia berkomentar apa mengenai diriku.
Aku melihat bayangannya dengan punggung ke arah api, dan menempatkan diri di belakang dahan pohon di dekat situ tempat aku tidak akan terlihat. Samar-samar aku mengenali lawan bicaranya. Dia tentara dari Bymar yang membawa kami ke balik garis pertahanan, seorang komandan dalam seragam yang bagus, yang dipanggil Lord Orison oleh yang lain.
"Maafkan pengamatanku," Orison berkata. "Tetapi kau sama mudanya dengan rajamu. Mengapa Jaron memilihmu sebagai kapten?"
"Aku masih mengajukan pertanyaan yang sama pada diriku sendiri," Roden menjawab. "Kalau kau berhasil mendapatkan jawabannya, tolong beritahu aku."
Aku sudah menjawabnya berminggu-minggu lalu, ketika dia dan aku bertarung di hadapan para bajak laut. Siapa pun yang cukup berani mengancam Carthya akan cukup kuat untuk membelanya, kataku kepadanya. Dan aku bersungguh-sungguh. Dalam pertempuran, Roden tidak akan gentar.
"Aku hanya bertanya-tanya karena kita semua tahu betapa fokus Raja Vargan untuk menangkap rajamu. Dia jelas menunjukkan niatnya, dan kita berdua tahu apa yang akan terjadi pada Jaron jika Vargan menangkapnya lagi."
Roden mengangguk setuju, tetapi aku tidak menyukai arah percakapan ini.
Orison melanjutkan, "Jika kau harus bertanggung jawab menjalankan perang ini, bisakah kau melakukannya?"
Roden mengangkat bahu, "Jaron tidak akan membiarkan dirinya ditangkap lagi, dan dia tahu cara bertahan di medan perang."
"Ya, tetapi jika sesuatu terjadi, bisakah kau melakukannya?" Terjadi kesunyian panjang ketika Roden memikirkan hal itu. Aku bergerak mendekat, ingin sekali mendengar apa yang akan dikatakannya. Akhirnya, Roden menarik napas dan berkata, "Ketika Jaron pertama kali mengirimku ke Gelyn, aku adalah seorang anak yang membawa pedang, hanya berpura-pura menjadi kapten dari pasukanku. Tetapi setelah mengalami beberapa pertempuran yang sulit, aku bukan anak itu lagi."
Ya, dia sudah berubah. Tetapi bukan itu jawaban yang diinginkan Orison.
Setelah terdiam lagi, Roden melanjutkan. "Aku pergi ke Gelyn dengan empat puluh orang terbaik Jaron. Awalnya kupikir aku berada di sana untuk mengajar mereka bagaimana cara mematuhiku, namun sama sekali bukan itu rencananya. Sebaliknya, mereka berada di sana untuk mengajariku bagaimana memimpin mereka, untuk membuatku menjadi kapten yang diinginkan Jaron. Aku tidak akan pernah punya keberanian atau kecerdikan seperti rajaku. Tetapi ya, kalau perlu, aku akan memenangi perang ini bagi Carthya."
Mereka minum beberapa teguk tanpa suara, kemudian komandan pasukan Bymar berkata, "Aku tahu sedikit tentang Jaron, selain kisah-kisah yang diceritakan orang-orang Carthya tentangnya."
Aku memutar bola mata mendengarnya. Aku tidak mau mendapati diriku di masa lalu ditertawakan. Perang ini sudah cukup sulit; aku tidak perlu melawan masa silamku juga.
Tetapi ketika Roden bertanya cerita apa yang diketahui Orison, dia menjawab, "Aku mendengar bahwa rakyat Carthya akan mengikuti rajamu bolak-balik ke neraka. Benarkah itu?"
"Ya, dan aku akan menjadi yang pertama di antara mereka," Roden menjawab. "Aku akan mengikuti Jaron ke mana pun dia pergi, dan percaya sepenuh hati bahwa dia akan memenangi perang ini."
"Bagaimana kau bisa begitu yakin?"
Fokus Roden beralih ke api dan dia merendahkan suaranya. "Beberapa bulan lalu, Jaron berhasil bergabung dengan bajak laut Avenia. Tanda mereka ada di lengan atas kanannya. Dia berusaha menutupinya, tetapi kadang-kadang orang bisa melihatnya sekilas."
"Aku melihatnya tadi ketika dia bertarung di dekatku." Orison menjilat bibir, lalu berkata, "omong-omong, kuperhatikan kau juga punya tanda yang sama. Ada rumor bahwa Jaron adalah raja perompak."
"Dia tidak akan membicarakannya," kata Roden, "tetap rumor itu benar. Kau tahu bagaimana caranya mendapatkan gelar itu"
Orison mengangkat bahu. "Menurut cerita yang kudengar, dia bertarung dengan raja perompak dan menang, walaupun pertempuran itu berakhir dengan kakinya yang patah."
"Dia membiarkan orang-orang memercayainya, tetapi bukan itu cerita sebenarnya." Sekarang Roden menatap kawan bicaranya. "Untuk beberapa jam yang singkat, akulah raja perompak itu. Dan pertempuran tidak berakhir dengan kaki Jaron yang patah. Itulah awalnya. Jaron melarikan diri dari ruangan terkunci, memanjat dinding tebing, dan mengalahkanku dalam pertarungan, dengan kaki yang patah. Jaron mungkin akan menyerahkan hidupnya pada suatu hari, tetapi jiwanya takkan pernah bisa diambil darinya."
Orison bersiul pelan. "Mengapa dia tidak menceritakannya" Seharusnya orang-orang mengetahuinya."
"Jaron berpikir itu akan membuat pasukannya menentangku."
"Ah. Sayangnya, dia mungkin benar." Orison terdiam sesaat, kemudian bertanya, "Bagaimana bisa kau berubah dari musuh menjadi kaptennya?"
"Jaron tidak pernah menganggap kami musuh. Dia mempertaruhkan nyawanya untuk membuatku menyadarinya." Roden mengubah posisinya, sekan mendadak tidak nyaman dengan arah pembicaraan itu. "Aku berutang segalanya kepadanya."
"Sama seperti orang-orang ini berutang kepadamu. Kau masih muda, tetapi aku berharap akan melihatmu tumbuh sebagai kapten mereka. Aku percaya suatu hari nanti kau akan menjadi salah satu pemimpin terbesar di seluruh negeri."
"Hanya akan terjadi selama aku diizinkan melayani salah satu raja terhebat." Roden merenungkan hal itu sejenak, lalu berdiri. "Dia berusaha memberitahukan sesuatu kepadaku tadi. Sebaiknya aku pergi mencarinya."
Dia meninggalkan api dan menuju jalan tempat aku bersembunyi. Sekarang aku bersandar di pohon, dengan lengan terlipat dan cengiran di wajah yang aku tahu akan menjengkelkannya.
Roden menjilat bibir ketika menatapku. "Katakan padaku kau tidak mendengar semua itu."
"Salah satu raja terhebat?" Senyumku melebar. "Hanya itu" Mengapa bukan yang paling hebat?"
"Hanya akan menambah kesombonganmu, aku yakin."
"Oh ya" Menurutmu itu mungkin terjadi?"
Dia terkekeh. "Kau selalu bisa membuat segalanya jadi lebih buruk, Jaron."
"Pikiranku persis sama."
Kami terdiam sesaat sebelum dia berkata, "Aku seharusnya tidak marah tadi. Mengapa kau berpikir pertempuran ini terasa mudah?"
Gadis Serigala 1 Pendekar Bayangan Sukma 9 Racun Kelabang Putih Arus Balik 10
^