Pencarian

Ksatria Putri Tionggoan 6

Mulan Ksatria Putri Tionggoan Karya Effendi Wongso Bagian 6


menggemeletuk. Wajahnya yang ramping dan keras itu
memerah. Ia belum menjawab pertanyaan Bao Ling. Keenam
parewa lainnya sudah mengerubunginya di samping dan
belakang tubuhnya. Mereka semua mengambil ancang-ancang
untuk menebas, mengibas-ibaskan golok mereka seperti kipas
para rani Istana. "Kamu tidak perlu tahu saya siapa!" sahut pemuda bertaucang
itu akhirnya. Bao Ling tersenyum memanas-manasi pemuda parewa itu.
"Kalau begitu, atas alasan apa kalian hendak membunuh
421 saya?!" "Jangan banyak cingcong!" teriak pemuda berwajah keras itu
marah. "Hari ini, kami akan memenggal kepalamu!"
"Silakan. Tapi, saya ingin tahu siapa majikan kalian yang tega
mengirim anjing-anjing buluk seperti kalian untuk mencoba
menggigit saya!" Pemuda parewa bertaucang itu tidak dapat mengendalikan
dirinya lagi. Emosinya yang sedari tadi membahang telah
membakar hatinya. Diserangnya Bao Ling dengan golok
terhunus ke depan. Ia berlari sekencang-kencangnya,
menyeruduk seperti kerbau liar yang bertanduk golok.
"Kurang ajar kamu, Setan Istana Da-du!"
Tindakannya itu diikuti oleh enam parewa lainnya yang
mengenakan seragam merah bata serupa jubah rahib Shaolin.
Mereka semua memberondong Bao Ling dengan tebasantebasan golok. Bao Ling memutar tombaknya di leher sekaligus
menangkis tebasan golok mereka. Seiring dengan gasingan
tombaknya itu, ia merunduk dengan satu kaki sebagai
penyangga badan, lantas kakinya yang lain berputar menyusur
tanah sebelum terangkat mendepak-depak seperti ekor
kalajengking. Dua parewa terpelanting terkait kaki lampai Bao Ling. Tetapi
mereka segera bangkit dengan sikap salto, dan kembali
422 mengayunkan golok ke arah kepala Bao Ling. Namun rupanya
Bao Ling sudah mengantisipasi gerakan balasan mereka.
Tombaknya yang menggasing di leher itu mendadak
dibenturkannya ke tanah. Hanya sekedip mata tombak itu
memantul elastis dari tanah dan terbang mengarah serupa
bumerang, menghantam kepala kedua parewa itu dengan
sangat keras. Kedua parewa itu limbung dan jatuh ke tanah bersamaan
dengan memantulnya kembali tombak itu ke tangan Bao Ling.
Bao Ling menangkap tombaknya dengan sigap, lalu ia melompat
dengan tubuh terbalik, berdiri di atas gagang tombaknya yang
merancap tanah. Gerakannya itu sertamerta menghindari satu
tusukan golok pemuda bertaucang yang mengarah cepat dari
belakang punggungnya tadi. Rupanya ia sudah mengetahui
bakal gerakan-gerakan dan jurus-jurus lawan-lawannya.
Lalu masih berdiri dengan sikap terbalik di atas udara, ia pun
leluasa melancarkan tendangannya yang memutar-mutar seperti
propeler, yang menyapu wajah dan kepala musuh-musuhnya.
Keempat parewa berseragam merah bata yang menyerangnya
dari samping dan belakang tadi terkulai ke tanah tepat ketika
kaki Bao Ling kembali menjejaki tanah.
Hanya pemuda bertaucang itulah yang dapat menghindari
tendangan kerasnya. Ia tadi berkelit gesit, melompat ke samping
423 dengan gerakan salto, dan kembali berdiri setelah sepakan
bertenaga itu hanya menggaru angin.
Menyadari musuhnya terdesak, Bao Ling tidak mengendurkan
serangannya. Ia kembali melompat gingkang , dan sesekali
memantul pada batang pepohonan sembari mengibas-ibaskan
ujung tombaknya yang lancip dan tajam itu ke arah kepala para
parewa yang berusaha bangun. Alhasil, kibasan tombaknya
menghalau tindakan para parewa yang hendak bangkit dari
tanah dan memungut golok mereka yang terlempar barusan.
Pemuda bertaucang itu semakin mengalap. Ia menebasnebaskan goloknya dengan mimik frustasi. Ia mencoba
membantu sahabat-sahabatnya yang terdesak tidak berdaya
dengan menyongsong tubuh Bao Ling yang sesaat kini tengah
berada di udara. Namun jurusnya sudah tidak terarah karena
kehilangan konsentrasi dan kelelahan. Goloknya menancap di
sebatang pohon ketika ia mengarahkan senjata tajamnya itu
sekuat tenaga ke arah pinggang Bao Ling yang kini tengah
melandaikan dirinya ke tanah.
Tiiiing! Daun telinganya bergerak ketika sebuah lentingan golok yang
nyaring terdengar merancap dan menggemeletar pada sebatang
pohon. Tanpa melihat pun ia sudah tahu apa yang terjadi.
Tak ada pengampunan lagi!
424 Intuisinya yang tajam akibat asah basir pertarungan heroik telah
menebarkan aroma darah. Ia melengos sebentar ke belakang ketika satu kakinya
menyentuh tanah. Dengan entakan keting pada tanah pula, ia
terpantul kembali ke udara serta berputar gemulai bak sehelai
bulu ayam putih sebelum tombaknya yang panjang merancap
dada musuhnya. Pemuda bertaucang itu mati dengan tangan
yang masih memegang gagang goloknya. Ia belum sempat
melepaskan rancapan senjata tajamnya yang lebar mengilap
tersebut dari batang pohon ketika tombak Bao Ling dengan
cepat melubangi dada dan merobek jantungnya di balik sebilah
tulang iganya yang patah.
"Ketua Wu Kuo!"
Seorang parewa berteriak histeris, bangkit berdiri lalu memungut
goloknya yang terpental tidak jauh dari tempatnya terjerembab
tadi. Ia berlari kesetanan ke arah Bao Ling yang masih
merancapkan tombak ke dada musuhnya yang sudah tak
bernapas lagi. Tetapi langkah parewa yang hendak membunuhnya itu terhenti
sebelum goloknya yang tajam itu mencacah badannya. Tombak
yang tadi merancap di jasad Wu Kuo telah berpindah ke dada
parewa yang beringas itu sesaat setelah melayang secepat kilat.
Tubuh anak muda itu ambruk tak bernyawa. Goloknya jatuh
425 mendenting membentur tanah bersama debum keras tubuhnya
yang liat. Bao Ling melompat ke arah jasad parewa yang sudah membujur
kaku di tanah itu, menarik tombaknya dari tubuh musuhnya yang
mati dengan sepasang mata membuka. Para parewa lainnya
berdiri secepat mungkin, lalu menghambur kabur
menyelamatkan diri masing-masing di sela-sela pepohonan
dalam kekelaman malam, tanpa memungut golok serta busur
dan karpai anak panah mereka lagi saat melihat pemimpin dan
salah seorang sahabat mereka tewas mengenaskan.
Bao Ling menghela napas panjang.
Didekatinya mayat pemuda bertaucang yang dipanggil dengan
nama Wu Kuo tadi. Diamatinya seksama wajah saring dan keras
itu. Kali ini ia bukan merupakan salah satu prajurit dari Istana
Da-du seperti Zhung Pao Ling. Namun, ia yakin mereka adalah
para suro dari dalang yang sama. Sebuah konspirasi yang kini
berkembang lebih jauh dengan melibatkan dirinya. Tak ada
barang bukti apa-apa yang dapat membongkar risalah misterius
itu. Semuanya nihil ketika ia mencoba merogoh sesuatu di
dalam saku pakaian jasad pemuda itu.
Ia berjalan dengan benak sarat ke arah tempat persembunyian
kedua gadis yang hanya sekali ditemuinya di tengah hutan Hwa
petang tadi. Diam-diam dibuntutinya kedua gadis itu tadi karena
426 penasaran dengan identitas diri yang mereka rahasiakan
kepadanya. Ia yakin kedua gadis itu bukan rakyat jelata atau
pengelana seperti yang mereka katakan. Diikutinya kedua gadis
itu sampai berhenti di tengah hutan karena penyerangan yang
dilakukan para parewa tersebut.
"Kita sudah aman, Nona-Nona!" ujar Bao Ling setelah tiba di
sebatang pohon tempat kedua gadis itu bersembunyi. Di sana, ia
mengempaskan dirinya duduk menyandar pada batang pohon.
Ia merasa lelah. Benaknya mulai dipenuhi beban psikis.
"Te-terima kasih, Prajurit Bao!" balas Fang Mei lirih. "Anda
sudah menyelamatkan nyawa kami."
Bao Ling memalingkan kepalanya, menengok ke balik batang
pohon besar yang disandarinya. Ia tersenyum. Dilihatnya kedua
gadis itu meringkuk seperti kelinci yang menggigil kedinginan
seusai diguyur hujan dalam hutan.
"Bukan kalian yang menjadi sasaran pembunuhan tadi," jelas
Bao Ling. "Tapi sayalah yang menjadi target mereka."
Sergah Fang Mei terpotong. "Ta-tapi...."
"Mereka hanya salah sasaran, menyangka kalian adalah saya,"
jelas Bao Ling, tampak berusaha menenangkan.
Fang Mei terdiam. Ia belum dapat mengatasi keterkejutannya. Sesaat lalu ia serasa
mati. Nyawanya seolah-olah mengambang di udara ketika
427 melihat Putri Yuan Ren Xie dihujani anak-anak panah oleh
orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Kuda Sang Putri
pun mati terancap sebilah anak panah. Mengempaskan Sang
Putri sampai tak sadarkan diri.
Dan seandainya saja mereka tidak ditolong oleh prajurit kurir
yang berasal dari Istana Da-du itu, entah apa yang akan terjadi
dengan nasib mereka. Firasatnya memang menjadi kenyataan.
Hutan asing dan rimba bukanlah tempat yang aman untuk
melakukan perjalanan jauh. Setiap saat nyawa mereka dapat
terancam. Putri Yuan Ren Xie yang pongah dan keras kepala itu
memang telah termakan oleh kesombongannya. Ia kena batunya
sendiri. Diliriknya Putri Yuan Ren Xie yang sudah siuman tetapi masih
tampak lunglai, dan berbaring berbantalkan pahanya.
"Putri, kita sekarang sudah aman!" bisik Fang Mei sembari
mengusap peluh di dahi Putri Yuan Ren Xie dengan pipah lebar
lengan bajunya yang menjuntai serupa kipas. "Musuh-musuh
yang menyerang kita secara misterius tadi telah kabur. Dua
orang malah mati dibunuh Prajurit Bao."
Daun telinga Bao Ling bergerak, menegak menangkap kalimat
Fang Mei. Tetapi senyap malam tidak dapat melamur suara
bisikan itu sehingga kalimat serupa mantra itu menyihirnya untuk
segera takluk dan berlutut di hadapan kedua gadis itu.
428 "Ma-maafkan saya, Tuan Putri!" ujar Bao Ling terbata-bata. "Sasaya tidak tahu kalau Anda semua adalah Putri!"
Fang Mei tersenyum. "Saya bukan Putri. Saya hanya dayang
Istana Kiangsu. Yang Putri adalah...."
Bao Ling masih berlutut. Diliriknya bibir Fang Mei yang bergerak
miring mengaba, menunjuk Putri Yuan Ren Xie yang masih
berbaring di pahanya sebagai Tuan Putri itu dengan ekor
matanya tanpa berani mengangkat muka. Ia masih menunjukkan
sikap terkejut. "Tapi...." "Sudahlah, Prajurit Bao. Tidak usah berlutut begitu. Seharusnya
kamilah yang menyampaikan rasa terima kasih kepada Anda
karena telah menyelamatkan nyawa kami," papar Putri Yuan
Ren Xie, akhirnya mengungkap jelas identitas mereka yang
sebenarnya. Ia masih berbaring di atas paha Fang Mei. Ia
merasa risih dihormati sedemikian rupa di luar protokoler Istana
Kiangsu. "Kami berdua memang bukan rakyat jelata. Saya Yuan
Ren Xie dan...." "Saya Fang Mei. Dayang. Bukan Putri," timpal Fang Mei ceriwis,
memintas kalimat Putri Yuan Ren Xie yang belum rampung.
"Kami dari Istana Kiangsu. Putri Yuan Ren Xie adalah putri
tunggal Pangeran Yuan Ren Qing, saudara kandung Kaisar
Yuan Ren Zhan." 429 Bao Ling semakin merundukkan kepala. "Ma-maafkan saya,
Putri. Saya telah berlaku kurang santun terhadap Anda!"
"Berdirilah, Prajurit Bao. Tidak usah berlutut begitu," balas Putri
Yuan Ren Xie lalu tersenyum di akhir kalimatnya. Ia berusaha
bangun dari berbaring. Fang Mei memapahnya kembali untuk duduk bersila di hadapan
Bao Ling yang belum berani menyudahi sujudannya. Fang Mei
terkikik. Menahan tawa dengan telapak tangannya.
"Tapi, selama ini saya telah bersikap kurang santun terhadap
Anda, Putri," urai Bao Ling dengan lugu. "Saya pantas dihukum
mati." "Tidak ada alasan untuk menghukum mati Anda, Prajurit Bao,"
sahut Putri Yuan Ren Xie teduh. "Saya hanya ingin Anda
mematuhi perintah saya."
"Saya siap melaksanakan semua perintah, Putri!"
"Bagus." "Apa yang dapat saya lakukan untuk Putri?"
"Kawal kami ke Ibukota Da-du."
"Saya siap mengawal Anda, Putri. Saya siap menjaga
keselamatan Putri." "Bagus. Eh, tapi jangan bilang siapa-siapa ya kalau kami berdua
ini adalah kerabat Istana Kiangsu. Saya harap Anda bermasa
bodoh bila bertemu siapa saja yang ingin mencari kami berdua."
430 "Maaf, Putri. Untuk apa?!"
"Jangan membantah. Ini perintah!"
"Ba-baik. Saya akan laksanakan perintah Putri."
Fang Mei tertawa keras. Ia tidak dapat menahan geli yang
menggelitik hatinya lagi. Putri Yuan Ren Xie menghardiknya
supaya diam dengan satu anggukan pada kepala. Namun gadis
jangkung itu tetap tertawa terbahak-bahak dengan suara falseto.
Mengabaikan bahasa tubuh Putri Yuan Ren Xie yang tengah
jengah karena akhirnya meminta pengawalan yang sempat
ditampiknya mati-matian di awal pertemuan mereka petang tadi.
Bab 35 Adakah mara yang lebih bara
dari maharana serupa Yakkha Alavaka
yang bengis menakutkan dan congkak?
Wahai, Raja Diraja dan para Satria taklukkanlah ia jinakkan dengan kesabaran
dan kekuatan putih nurani
Karena inilah kemenangan sempurna
yang bermuasal dari saif kebajikan
431 - Bao Ling Elegi Yakkha Alavaka ***

Mulan Ksatria Putri Tionggoan Karya Effendi Wongso di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ceruk langit duha semakin mengelam. Sisa pendar terang
keperakan yang menyapa hangat kerut-merut tanah sudah
sedari tadi tenggelam di horizon barat. Sepagi tadi hanya
terdengar derau angin yang menyapu dedaunan pada serumpun
bambu di bawah sana. Sesekali pula terdengar kicau rajawali
dengan birama triolnya yang syahdu. Satu-satu, lepas dan
melengking, sampai membaur lalu menghilang di atmosfer
langit. Lalu pada akhirnya keheningan seperti raga tanpa nyawa.
Menangkup alam sampai gulita bergelung, dan kembali tanpa
lelah mengiramakan gerus khas malam. Derik jangkrik, siulan
angin padang, koak unggas; adalah denyut rutin kekelaman.
Bilangan malam itu pulalah yang menemaninya kini.
Pekat melentuk partikel binar di matanya.
Noktah-noktah putih bertabur basir pada langit yang tadi
membiru-jingga ketika ia mendongak. Setiap sebentar nokturia
memaksa kakinya ke salah satu bilik tinja di sisi buram Tembok
Besar. Dan kala ia menjongkok, maka langit menjadi satusatunya obyek sauh matanya.
Satu-dua di antara gemintang berlompatan seolah menari. Nun
jauh pula di sana, mega nan memutih tampak kelabu seperti
432 khatifah domba Mongol yang mulai mengusang. Dari waktu ke
waktu, komposisi visual itu mengiramai kesendiriannya. Selalu.
Pada tembok-tembok dan gawir beku yang berlumut serta basa.
Khidmat itu diresapinya takzim. Menggantikan tabuh galau yang
senantiasa mendetak pada jantungnya. Kali ini tak ada
maharana, sehingga bulir-bulir embun sisa fajar kemarin
merupakan kilau jauhar yang tak berbanding.
Tak sadar ia tersenyum. Tetesan darah itu sejenak berganti menjadi butir berlian pada
galur landung dedaunan. Api-api yang melelatu dan membakar
perkampungan penduduk kini telah padam. Tak ada bau tengik
kayu yang kobong mengarang, yang menyeruak di antara
reruntuhan rumah para jelata. Di matanya, ranggas bara itu telah
menjadi sigi di sepasang bahu tubuh panjang Tembok Besar.
Indah. Seperti mute pada mahkota Sang Kaisar.
"Atas nama Dewata dan Naga yang perkasa, diberkatilah Yuan
dan prajurit Fa Mulan!"
Tetapi selamanya tidak berlangsung dengan lama.
Serangkai kalimat aubade menggugah kedamaian itu sesaat
setelah derap kuda terdengar melambat di ujung tendanya. Lima
pasang gerit gesekan sepatu prajurit jaga pada tanah pun
melamur, seperti membiarkan lelaki tersebut masuk ke area
barak Tembok Besar. Dan ketika ia gegas beranjak dari
433 tempatnya yang najis dan making tadi, serta memalingkan
kepalanya ke arah suara santun tersebut setibanya di samping
tendanya, hatinya mulai dirayapi gundah.
Tan Tay?! Ia mengusap wajah. Prajurit intelijen yang bertugas pada pos pengawasan Tembok
Besar itu pasti datang bukan tanpa musabab. Garizal
keprajuritan sontak mengembuskan praduga karu dalam
benaknya, meski sepasang sepatu kulit rusa pemuda bertubuh
atletis itu belum menyentuh bayang pucuk tenda yang menubir
pada tanah. Ia menghela napas berat. Udara nokturnal menghimpit paru-parunya. Keyakinannya
menegas pada wajah lesi yang mengarah lima tindak dari kuda
kelabu yang menyampir di sebatang ek dengan dedaunannya
yang menggimbal. "Ada indikasi kalau kaum nomad Mongol akan melakukan
penyerangan, Asisten Fa!"
Maharana! Helaan napas Fa Mulan terdengar seperti dengus. Pemuda itu
sudah mengabarinya hal terburuk yang bakal melanda
Tionggoan tidak lama setelah ia berdiri tepat di dot bayang
tenda. 434 "Maafkan saya dengan berita buruk itu, Asisten Fa."
"Tidak. Tidak apa-apa."
Fa Mulan mengangkat telapak tangannya mengaba 'tidak apaapa'. Tetapi rahangnya mengeras. Berita mendadak dari Tan
Tay itu menggamangkan hatinya.
"Saya prihatin soal rencana penyerangan Mongol itu, Asisten Fa.
Mudah-mudahan Anda dapat mengatasi hal itu."
"Terima kasih atas aktualitas beritamu. Saya tidak tahu apa yang
bakal terjadi seandainya kamu tidak cepat-cepat dan tanggap
melaporkan pergerakan musuh di daerah perbatasan ini, Tan
Tay!" "Sudah menjadi tugas saya, Asisten Fa."
Fa Mulan menggigit bibirnya.
Diam-diam, disyukurinya tindakannya yang berani mangkir ke
Festival Barongsai. Keputusannya untuk tidak menghadiri
undangan pihak Istana Da-du dalam acara akbar Festival
Barongsai memang merupakan tindakan yang tepat.
Sehari setelah Bao Ling berangkat kembali ke Ibukota Da-du, ia
pun langsung mendapat kabar buruk dari salah satu prajurit
intelijen yang bertugas memantau perbatasan TionggoanMongolia. Bahwa Tionggoan akan diserang dalam waktu dekat
oleh pasukan Mongol pimpinan Gengkhis Khan.
"Kamu yakin, Tan Tay?" tanya Fa Mulan, lebih sekedar
435 mempertegas pertanyaannya ketimbang ketidakyakinannya.
Prajurit intelijen itu mengangguk tegas. "Saya yakin, Asisten Fa.
Kurang lebih tiga puluh mil dari sini, mereka sudah menyiapkan
armada perang berkuda yang hanya menunggu perintah untuk
menyerang. Tenda-tenda yang mereka dirikan di daerah
perbatasan juga merupakan salah satu bukti kalau mereka
memang sedang berencana untuk menyerang Tionggoan."
"Sudah saya duga," desis Fa Mulan, gelisah dengan kabar buruk
rencana penyerangan pasukan Mongol ke Tionggoan.
"Beberapa bulan yang lalu saya pernah bertarung dengan
seorang jasus Mongol. Tapi anehnya, dia sepertinya tidak
memihak pada apa yang akan dilakukan oleh pemimpin tertinggi
Mongol, yang notabene merupakan ayah angkatnya sendiri.
"Maksud Anda...."
"Saya pernah mendapat informasi tentang penyusunan kekuatan
oleh pasukan Mongol di perbatasan dari seseorang yang
mengaku anak angkat Genghis Khan, setelah bertarung
dengannya di sini." "Maaf, saya belum paham, Asisten Fa."
"Ceritanya panjang. Kalau ada waktu, saya akan menceritakan
ihwal hal itu. Sekarang, kita harus segera mengantisipasi
pergerakan Mongol. Cepat himpun dan perkuat pengawasan
intelijen yang ada di daerah perbatasan. Awasi semua jalan
436 masuk. Saya akan koordinasikan hal ini kepada Kapten Shang.
Kalau bisa, hari ini juga kamu ke Ibukota Da-du. Tolong
sampaikan kawat kepada Jenderal Gau Ming untuk melapisi
perbatasan Tembok Besar ini dengan armada baru. Saya
berfirasat kalau kaum nomad Mongol itu akan menyerang secara
besar-besaran. Lebih besar ketimbang armada pasukan
pemberontak Han dulu."
"Tapi...." "Tidak ada waktu lagi untuk menjelaskan perihal anak angkat
Genghis Khan yang bernama Kao Ching itu, Tan Tay. Sekarang,
saya akan menyiagakan semua prajurit setelah menyampaikan
keadaan genting ini kepada Kapten Shang. Setelah itu, mungkin
saya akan langsung turun ke daerah perbatasan untuk mematamatai pergerakan pasukan Mongol. Menakar kekuatan mereka.
Saya pikir itulah salah satu upaya terbaik untuk dapat
mengetahui inti kekuatan mereka. Dengan begitu, suatu saat kita
dapat menandingi besarnya armada tempur mereka. Atau,
mungkin ada strategi jitu yang akan kita terapkan setelah
meraba sebatas mana kekuatan kaum nomad Mongol itu. Nah,
lekaslah berangkat ke Ibukota Da-du. Mumpung kita masih ada
waktu mempersiapan diri menangkal pasukan Mongol." Prajurit
intelijen itu keluar dengan langkah setengah berlari. Di luar, ia
langsung menuju ke arah kudanya. Menunggangi lalu
437 menggebah sekuat tenaga kuda yang senantiasa membantunya
dalam bertugas itu. Ia harus secepat mungkin ke Ibukota Da-du.
Sementara itu Fa Mulan keluar tenda dengan napas memburu.
Ia memang berfirasat kalau suatu saat perkataan Kao Ching
kepadanya tempo hari akan menjadi kenyataan. Tinggal
menunggu waktu saja, maka kekuatan mahadahsyat Mongol
akan menyerang Tionggoan seperti nasar-nasar yang
menghitam di langit. Angin menerbangkan rambutnya ketika ia menyongsong dari
arah berlawanan sesaat setelah menyibak daun tendanya. Ia
serupa walet yang terbang rendah, menggelepak oleh buih tuba
yang diteteskan pada sepasang gendang telinganya.
Tidak ada yang tahu kapan badai maharana itu akan memporakporandakan Tionggoan lagi. Namun ia sudah dapat mendengar
denyut kematian yang diembuskan seperti taifun, lalu selang itu
akan terdengar nyanyian pilu dari tangis sufi yang rapuh.
Fa Mulan masih berlari. Meredam amarahnya dalam guyur bayu dari arah yang
berlawanan. Bayi-bayi akan kehilangan ibu-ibu mereka. Lalu, tak
ada lagi yang dapat menyuplai bantat makanan untuk
menghidupi jiwa-jiwa rapuh itu. Ajal tinggal sejengkal. Sebab
setiap tetes air kehidupan dari puting susu ibu itu terhenti oleh
maharana. Mereka akan kelaparan dan terkapar mati. Lalu,
438 sebagian dari bayi-bayi itu akan terjebak dalam reruntuhan. Dan
terbakar mutung menjadi abu.
"Maaf, Kapten Shang," ujar Fa Mulan, masih dengan suara
terengah begitu menyibak daun tenda Shang Weng, yang hanya
berjarak sepuluh kaki dari tendanya di sebelah barat. "Saya
mengganggu istirahat Anda."
Shang Weng berdiri dari berbaring.
Sertamerta terbangun saat daun tendanya tersibak disertai
sapaan Fa Mulan yang gopoh tak galib. Disambutnya gadis itu
yang masih berdiri terpaku di bawah tapal batas tenda dengan
berjalan tatih akibat kejur nadi betisnya belum normal
mengalirkan darah sampai ke matakaki. Aura unggun yang
menjingga di luar tenda membaur di salah satu sisi wajah galau
gadis itu. Pasti ada sesuatu yang tidak beres kali ini, pikirnya.
"Ada apa, Mulan?" tanyanya dengan suara sember.
"Saya barusan mendapat informasi dari prajurit intelijen Tan Tay.
Menurutnya, kaum nomad Mongol sudah menghimpun kekuatan
untuk menyerang Tionggoan. Saya kemari untuk berkoordinasi
dengan Anda. Apa tindakan kita selanjutnya?" jawab Mulan
dengan respirasi yang mulai menormal.
Wajah Shang Weng mengerut.
Sebelah wajahnya yang tertimpa sinar dari lampu minyak samin
439 semakin menonjolkan gemurat di sekitar leher dan rahangnya. Ia
sudah tahu kapabilitas tempur pasukan Mongol. Kaum nomadia
itu lebih berbahaya dibandingkan pasukan pemberontak Han
pimpinan Han Chen Tjing. Kehidupan dan lingkungan alam yang
keras telah membentuk rakyat Mongol itu menjadi bangsa yang
kuat. Beberapa negeri gurun di luar Tionggoan telah ditaklukkan.
Dan hal itu merupakan salah satu bukti ketangguhan armada
perang berkuda milik Mongol.
"Saya pikir, kita harus mengambil tindakan sendiri tanpa
meminta delegasi markas besar militer Yuan lagi," Shang Weng
menyolusi, mencoba mengusir keresahan hatinya dengan keluar
mengangin-anginkan badannya. "Saya tidak ingin kelambanan
menjadi pangkal kekalahan Yuan atas Mongol."
"Ya, saya pikir memang harus begitu. Berinisiatif sendiri tanpa
melalui perintah Jenderal Gau Ming yang lelet," akur Fa Mulan
sembari mengekori langkah Shang Weng setelah turut keluar
dari tenda atasannya tersebut. "Sebab kalau tidak, mungkin
pasukan Mongol akan menyerang pasukan kita tanpa didugaduga."
"Ya, benar. Tidak ada waktu lagi untuk menghubungi markas
besar militer Yuan di Ibukota Da-du, Mulan," tegas Shang Weng,
berjalan mondar-mandir dan bolak-balik per tiga langkah di luar
tendanya. 440 "Betul, betul. Apalagi, Istana Da-du sibuk dengan persiapan
penyambutan Festival Barongsai."
"Itulah salah satu alasan, mengapa pasukan Mongol menyerang
pada saat-saat pihak Istana Da-du mengadakan pesta akbar
tersebut." "Salah satu bentuk kelemahan adalah, memandang remeh
kekuatan lawan, juga optimisme yang berlebihan terhadap
kekuatan sendiri dan kurangnya konsentrasi untuk mawas
sehingga menganggap enteng lawan. Itulah yang kini terjadi
dengan militer Yuan. Setelah memenangkan pertempuran di
Tung Shao, para atase militer lupa diri. Malah bereuforia dengan
pesta akbar yang sama sekali tidak membawa faedah apa-apa
bagi negara - kecuali gengsi dan sebentuk pengakuan yang
masif." "Kalau begitu, kita harus mengantisipasi pergerakan pasukan
Mongol yang sudah memadati daerah perbatasan."
"Selayaknya memang begitu."
"Tapi, saya kurang yakin kalau prajurit-prajurit kita dapat
membendung pasukan Mongol yang berjumlah besar. Ingat,
mereka adalah armada perang berkuda. Mobilitas mereka
sangat tinggi. Saya pesimis kalau prajurit Divisi Kavaleri Fo
Liong dapat melumpuhkan mereka."
"Saya sependapat dengan Anda, Kapten Shang. Mereka pasti
441 sudah belajar dari kekalahan pasukan pemberontak Han yang
takluk oleh prajurit Divisi Kavaleri Fo Liong . Mereka pasti akan
mengantisipasi kekuatan tercanggih divisi tempur Yuan. Jadi
kalau mereka nekat menyerang, pasti bukan tanpa bekal apaapa."
"Betul. Saya memang telah memprakirakan hal itu. Divisi
Kavaleri Fo Liong bukan tanpa kelemahan. Apalagi senjata dan
amunisi Divisi Kavaleri Fo Liong sangat terbatas. Kalau mereka
dapat meredam divisi baru kita itu, maka dapat dipastikan
mereka dapat menaklukkan kita, dan akan melewati Tembok
Besar ini untuk kemudian menyerang Ibukota Da-du."
"Ah, saya tidak menyangka akan dihadapkan kembali pada
prahara baru, legiun asing yang hendak menyerang integritas
Tionggoan!" Fa Mulan menghela napas panjang bersamaan satu dengusan
napas yang keluar dari lubang hidung Shang Weng. Dieluselusnya gagang Mushu-nya. Sejenak memejamkan matanya
untuk meredam galau yang tengah berkecamuk di dadanya.
Tanah Tionggoan seolah dikutuk oleh langit. Tanah babur yang
setiap saat dinestapai maharana.
Ah, kapankah Tionggoan dapat damai sejahtera tanpa


Mulan Ksatria Putri Tionggoan Karya Effendi Wongso di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maharana?! resahnya dalam hati.
"Malam ini juga saya akan menyiagakan seluruh prajurit dari
442 semua divisi," sahut Shang Weng berapi-api. "Saya sendiri akan
menghadang mereka di garis depan!"
"Tidak! Biar saya saja, Kapten Shang. Anda lebih dibutuhkan
untuk menitah. Tanpa komando, apalah artinya armada perang
Yuan?!" tolak Fa Mulan, juga dengan suara yang berapi-api.
"Bukankah hal itu serupa galiung tanpa nahkoda?!"
"Saya adalah pemimpin tertinggi armada perang di sini. Jadi,
sayalah yang memimpin prajurit di garis depan."
"Saya tidak ingin bertengkar soal itu sehingga mengabaikan misi
semula kita dalam memberangus pergerakan musuh."
"Saya yakin kemampuan kamu. Pertempuran di Tung Shao telah
membuktikan ketangguhan kamu. Tapi, saya tidak ingin
menempuh risiko kehilangan prajurit tangguh semacam kamu.
Yuan boleh kehilangan sejuta prajurit. Namun Yuan tidak boleh
kehilangan seorang Fa Mulan!"
"Anda terlampau hiperbolik, Kapten Shang!"
"Tapi, saya benar-benar tidak ingin kehilangan kamu!"
"Jangan egois. Nyawa saya sudah saya serahkan sepenuhnya
untuk negara dan rakyat Yuan sejak mendaftar sebagai prajurit
wamil. Mana boleh Anda mengklaim kalau nyawa saya hanya
untuk Anda seorang diri."
"Saya sayang sama kamu, Mulan."
"Enyahkan romantisme cengeng pada saat Tionggoan di
443 ambang maharana!" "Tapi...." "Kalau dalih melarang saya berada di garda depan pertempuran
semata karena rasa cinta Anda yang demikian besar terhadap
saya, maka Anda salah besar, Kapten Shang!"
"Tapi...." "Rasanya sangat tidak etis menempatkan kepentingan pribadi di
atas kepentingan negara, apa pun dalih yang
melatarbelakanginya. Kalau itu sampai terjadi, maka sampai
kapan pun saya tidak akan pernah dapat memaafkan Anda.
Sampai mati pun dan menjadi arwah sekalipun, saya tidak
pernah dapat tenang."
"Tapi...." "Maaf, Kapten Shang. Saya tidak pernah bermaksud menentang
perintah Anda. Saya tidak pernah merasa melawan kehendak
Anda. Tapi, tolong. Jangan selalu menempatkan saya pada
posisi yang paling istimewa di hati Anda. Saya tidak ingin
menjadi batu beban di dalam setiap liuk lafaz Anda. Saya tidak
ingin menjadi simbol Yuan. Perang, dan seperti juga
kemenangan-kemenangan pertempuran kita di Tung Shao
bukanlah andil saya. Semua itu merupakan proses predestinasi
yang, entah datangnya tiba-tiba. Saya yakin, setiap orang pasti
tidak ingin mengharapkan perang terjadi. Perang, bagi saya tak
444 ubahnya ajang pembantaian antarmanusia yang sama sekali
tidak memiliki makna apa-apa. Ketika saya menjadi wamil, yang
ada di dalam hati dan pikiran saya hanya satu. Hanya satu,
yakni membela negara Yuan. Bukan berperang dengan segala
atribut berbau kematian tersebut, Kapten Shang."
Shang Weng terdiam. Napasnya meladung. Kalimat-kalimat yang disampaikan Fa
Mulan barusan menohoknya. Seharusnya ia memang tidak
boleh menempatkan kepentingan diri sendiri di atas kepentingan
negara. Sebagai prajurit, ia seolah-olah telah zindik dari amar
negara. Seharusnya, ia malu karenanya. Tetapi rasa cinta yang
dalam terhadap gadis itu selalu menggebah kepatriotismenya itu
menjadi galur. Ia memang telah dibutakan oleh cinta!
"Mulan...." "Saya tidak ingin Anda membuang-buang waktu lagi, Kapten
Shang. Jangan sampai kasus miris Tung Shao - antisipasi yang
terlambat - terulang lagi karena kelambanan atase militer Yuan
yang tidak tanggap menangkap serangan musuh yang
mendadak seperti taifun."
"Tapi...." "Lebih baik saya berangkat sekarang, menyongsong musuh di
perbatasan...." "Ja-jangan...."
445 "Maaf, Kapten Shang! Saya akan berangkat sekarang juga!"
Shang Weng menelan ludahnya dengan susah payah. Dilihatnya
gadis itu berlari ke dalam tendanya. Seperti walet yang terbang
rendah, sesekali menukik di antara cadas dan gawir. Ia tahu,
sebentar lagi Fa Mulan akan keluar dari sana, menenteng
pedang Mushu-nya dan sangu secukupnya untuk bekal
menghadapi pertempuran melawan kaum nomad Mongol di
perbatasan. Namun aneh. Lerai itu melekat di kerongkongannya seperti lekat
lumpur pada dinding dan tubir. Tak ada suara yang menggebah
dan meledak seperti guntur untuk mengurungkan niat gadis yang
sangat dicintainya menyusur lapak ajal. Ia membatu atas
ketidakberdayaannya tersebut.
Digelengkannya kepala dengan lunglai.
Gadis itu memang sekokoh karang.
Bab 36 Adakah suara semerdu genta
di pegunungan Shongsan atau gemerisik air yang mengalir dari lembah Henan
lalu bermuara pada bening hatimu?
tataplah rembulan dari balik tektum Shaolin
446 ada cahya mengaurora membias putih serupa lotus nirwana
- Bao Ling Litani dari Shaolin *** Gemerincing pepontoh yang terbuat dari sekati emas di
pergelangan tangan kanannya selalu mengirama setiap
mengikuti liuk tubuhnya. Namun tiap sebentar nada serupa
denting lonceng kecil itu melengang saat tangan kurus tersebut
senggang tak bergerak. Culim gading itu menyentuh gigir
bibirnya yang adun. Matanya memejam menikmati mariyuana
yang membasuh hangat paru-parunya.
Riuh lazim yang membirama pada suhian yang disinggahinya
mendadak melenyap oleh senyap. Lelaki-lelaki hidung belang
menyingkir. Gajak defaitisme telah menjadi kemafhuman bila
pemuda berkulit halus itu bertandang ke sana. Sebasung prajurit
telah memagari tempat itu ketika kereta tandunya mengarah ke
sana. "Yang Mulia...."
Kelopak mata pemuda itu membuka sebentar di antara tabir
asap beraroma senggeruk yang menggelimun di kamar terasri
suhian. Baunya yang sengak menembus dinding-dinding beku di
empat sudut ruang meski daun jendela langkan di samping
447 ranjangnya mementang lebar. Di bawah sana, riuh aktivitas
masyarakat kota masih berputar seperti siklus. Tetapi ia tidak
peduli sebab dedaunan bernila kenikmatan itu telah melunturkan
kesadarannya. Dan menulikan sepasang gendang telinganya
meski sepotong sapaan sehalus satin itu telah berulang kali
membentur indera pendengarannya.
Mucikari bertubuh besar itu mendekat dengan langkah jinjit
tanpa gerus. Tak sedikit pun terdengar bunyi kerak pada papan
loteng. Tetapi ia nyaris tersuruk karena terlalu membungkuk.
Namun ia telah sigap berdiri tegak seusai bunyi lebap, lalu
berhenti sejenak sembari membenarkan letak kondenya yang
bergeser letak. Bibirnya memekar paksa kala sepasang mata
sayu yang tergolek soak di atas mohair seberharga emas
permata itu meliriknya dengan rona ganjil.
Satu kamar khusus untuk Pangeran Yuan Ren Long, lengkap
dengan seperangkat perabot tipikal Istana Da-du telah
disiapkanya sejak lama. Selama ini tidak ada yang kurang.
Semuanya istimewa. Juga permintaan-permintaannya yang
irasional. Tetapi hari ini wajah pemuda puak Istana Da-du itu
yang mengerut tua sebelum waktunya tersebut semakin
mengerut. Nyaris tidak ada senyum sejak memasuki bingkai
pintu suhian. Kontrasisasi yang telah menyulur antara
kemegahan jauhar dan jiwa-jiwa nan rapuh pada setiap nadi di
448 dalam tubuhnya. Apa ada yang salah? pikirnya gamang. Kenapa Sang Pangeran
tidak pernah puas dengan segala sesuatu yang terbaik, yang
dipersembahkan kepadanya dengan segenap jiwa?!
Ia yang rucah memang tidak pantas bicara panjang-lebar untuk
mengungkapkan dalih pembenaran atas nama apapun. Terlebihlebih membela diri. Wajahnya yang pucat magel itu mengerut
kecewa karena tidak diacuhkan sejak kalap murka ditumpahkan
kepadanya beberapa saat barusan. Seantipati apapun ia
terhadap pemuda bertubuh jerangkong itu, ia mesti terus
menyenangkan hati Sang Pangeran. Maka senyumnya tak boleh
menguncup barang sedetik pun. Sebab tidak ada apologi
untuknya bila Sang Pangeran murka. Putra sulung kaisar
penguasa Tionggoan itu sangat jauh dari apologetis.
"Yang Mulia...."
Pemuda itu kembali memejamkan matanya. Setiap hari. Setiap
waktu. Asap bertuba itu telah merangsa tubuhnya. Mendeklinasi
otaknya sehingga mengimbesil. Tidak ada sosok tegap
berlamina di Istana Da-du dari seorang putra mahkota pewaris
tunggal takhta naga. Semuanya sirna oleh kenikmatan sesaat.
Erotisasi babur yang meledak-ledak pada nafsu purba yang
membangkitkan birahi ganjil. Seperti epidemi dengue yang
menjalar cepat dan mematikan setiap sel-sel darah merah di
449 dalam tubuhnya. Entah berapa bocah perempuan yang telah
menjadi korbannya. "Yang Mulia...."
"Berengsek!" Tiba-tiba Pangeran Yuan Ren Long mengempaskan culim
mariyuananya. Ia berdiri dari berbaring. Menggabruk meja kecil
di samping ranjang. Sebuah tekoan dan cawan perak di atas
meja terpelanting, dan menumpahkan arak istimewa di
dalamnya. Perempuan bertubuh besar itu terlompat karena
kaget. Ia seperti lampion kertas yang melempem ciut karena
dikoyak air hujan di luar beranda rumah.
Secara tidak sengaja panggilannya itu telah mencucuh amarah
tanpa alasan Pangeran Yuan Ren Long. Sepasang pengawal
khusus Sang Pangeran berpaling setelah menatap ke arah yang
berlawanan, berjaga-jaga sebagaimana lazimnya untuk
mencegah segala kemungkinan soe terburuk yang dapat
menimpa tuan mereka. Mereka seperti anjing-anjing yang lihai
mengendus dan senantiasa setia menjaga majikannya.
"Kapan kamu dapat menyediakan saya lagi barang segar, Li
Chun?!" teriak Pangeran Yuan Ren Long murka. "Setiap kalau
saya datang, yang kamu sodorkan daging busuk dan bangkai!
Cih, kamu pikir saya ini apa?!"
Perempuan gemuk bernama Li Chun itu menggelemetar.
450 "Maafkan hamba, Yang Mulia. Tapi, apa yang telah hamba
serahkan kepada Anda adalah gadis-gadis perawan terbaik di
desanya masing-masing."
"Apa?!" ledak Pangeran Yuan Ren Long dengan sepasang mata
membola merah. "Terbaik kamu bilang?!"
"Ampun, Yang Mulia. Tapi, gadis-gadis itu tidak ada yang
berusia di atas tiga belas tahun!"
"Jangan membantah!" Pangeran Yuan Ren Long kembali
menggabruk meja sehingga pepontoh di pergelangan tangannya
menggemerincing hebat. "Ingat, lain kali jangan sodori saya
bangkai busuk begitu!"
Li Chun sudah hampir kelengar. "Am-ampun, Yang Mulia. Hamhamba paham, hamba paham," balasnya cepat dengan suara
tercekat. "Hamba tidak akan mengulangi perbuatan hamba yang
bodoh ini lagi, Yang Mulia."
"Nah, saya tidak mau tahu. Pokoknya, besok kamu sudah harus
menyediakan saya gadis cilik sesuai permintaan saya. Bukannya
bangkai-bangkai busuk seperti tadi! Kalau sampai besok tidak
ada, maka bersiap-siaplah untuk kehilangan kepala. Mengerti?!"
"Ba-baik, Yang Mulia," angguk Li Chun dengan keringat yang
menetes deras di sekujur tubuhnya. "Hamba akan
melaksanakan perintah Yang Mulia. Hamba tidak akan
mengecewakan Yang Mulia lagi. Hamba pasti akan mencarikan
451 gadis-gadis cilik yang jauh lebih cantik."
"Bagus," seru Pangeran Yuan Ren Long dengan suara melunak.
"Nah, sekarang keluarlah. Jangan ganggu saya lagi. Cepat
laksanakan perintah saya sebelum saya berubah pikiran."
Li Chun pamit setelah membungkuk dalam-dalam. Ia berjalan
dengan langkah mundur seperti seekor undur-undur sampai di
bawah bingkai pintu. Sementara itu Pangeran Yuan Ren Long
melanjutkan madat. Ia berbaring separo berselonjor di atas
ranjang, menikmati asap tuba yang kembali membuai pikirannya
sampai melanglang ke negeri penuh bunga.
Hari ini memang tidak ada gadis cilik yang menjadi obyek
pelampiasan seks Sang Pangeran. Lima gadis yang telah
disodorkan mucikari suhian itu kepadanya tadi ditolaknya
mentah-mentah. Salah satu gadis yang baru jalan sepuluh
malah dicampakkan dan dicakar sampai dadanya yang tanpa
gundukan serta baru ditumbuhi puting serupa noktah berwarna
kecoklatan itu berdarah. Satu gadis lainnya yang bertubuh
ringkih ditendang sampai terjengkang. Salah satu tulang iganya
patah. Gadis cilik itu menjerit dan menangis kesakitan, namun
tidak lama karena Li Chun sudah membekap mulutnya dengan
selendang satinnya, dan menyeretnya dengan cara menjambak
rambutnya keluar dari kamar Sang Pangeran. Ketiga gadis cilik
lainnya menahan tangis mereka. Keluar perlahan-lahan setelah
452 diseret setengah paksa oleh Li Chun yang sudah masuk kembali
ke kamar Sang Pangeran. Gadis yang ditendang tadi sudah
pingsan. "Li Chun sialan! Sundal kamu!" teriaknya tadi ketika menolak
gadis-gadis cilik yang rata-rata masih berusia di bawah tiga
belas. "Binatang apa yang kamu sodorkan kepada saya, hah?!
Mereka semua bukan orang! Mereka semua babi! Babi! Najis,
najis!" Pemuda berwajah lesi itu tidak meminati gadis cilik yang telah
disiapkan Li Chun jauh-jauh hari. Padahal, kelima gadis cilik itu


Mulan Ksatria Putri Tionggoan Karya Effendi Wongso di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merupakan anak-anak petani yang diculik oleh para suro, orang
suruhan Li Chun di desa-desa dan dusun-dusun miskin. Mereka
adalah anak-anak perawan yang masih kecil-kecil. Selain
menculik, kadang-kadang Li Chun juga membeli anak-anak
gadis itu dengan imbal sekarung beras atau beberapa potong
daging babi pada penduduk papa desa miskin yang tengah
dilanda busung lapar. Beberapa orangtua memang sengaja
menjual anak gadis mereka kepada tuan tanah atau cukong dari
kota. Mereka terpaksa melakukan hal itu demi kelangsungan
hidup anak gadis mereka sendiri. Tidak jarang di antara mereka
mafhum kalau anak gadis mereka kelak akan dijadikan pelacur
di suhian dan gadis penghibur di kedai-kedai arak di kota.
Tetapi, entah setan apa yang merasuki pikiran Pangeran Yuan
453 Ren Long hari ini. Ia tidak suka dan menampik gadis cilik yang
masih polos serta belum pula akil-balig itu. Masih untung mereka
tidak dibunuh di tempat. Biasanya kalau hati Sang Pangeran
sedang riang, maka ia akan membawa pulang gadis-gadis cilik
itu, dan menempatkan mereka di bungalo salah satu Istana Dadu. Memanjakan mereka seperti permaisuri. Lalu setelah itu, bila
hasrat libidonya yang eksplosif meletup-letup, maka ia akan
mengumpulkan gadis-gadis cilik pilihannya untuk disiksa di
sebuah ruang khusus yang telah ia buat sebelumnya. Di sana,
satu per satu bocah perempuan itu dicemeti sampai berdarahdarah. Biasanya mereka akan diikat pada sebuah bolide serupa
kincir air pada kolam buatan, lalu diputar berpusing timbultenggelam sampai gadis cilik tersebut menjerit-jerit bahkan
sampai pingsan. Perbuatan bejat itu selalu dilakukannya selama berjam-jam
sampai ia merasa puas. Dinikmatinya setiap jerit giris dan
teriakan kesakitan pada saat cemetinya menyambuk munjung
pantat gadis-gadis cilik yang disiksanya tersebut. Ia akan
terbahak-bahak kesenangan, jeda sejenak kala merasa lelah lalu
minum arak sampai mabuk. Beberapa gadis cilik lainnya diikat
pada dinding ruang yang lembab dan basah. Pakaian mereka
dirobek pada bagian payudara dan vagina. Setelah puas
menyambuk, maka ia akan menjilat-jilat dan menggigit puting
454 payudara mereka yang baru tumbuh seperti sepasang jamur
kecil. Juga menusuk-nusuk secara vulgar lubang kemaluan
gadis-gadis cilik itu dengan jemarinya - bahkan dengan gagang
pedang dan gotri-gotri. Di antara mereka biasanya ada yang
langsung mati karena kesakitan. Setelah itu, ia akan
mengsanggamai jasad gadis cilik yang telah meninggal belum
seberapa lama akibat azab dan siksaannya yang biadab. Yang
beruntung tidak mati, biasanya akan mengalami pendarahan
pada vagina dan anus mereka. Namun biasanya gadis-gadis
cilik tersebut tidak dapat bertahan hidup lama. Luka infeksi pada
sobekan vagina maupun anus mereka akibat ulah pedofilia
Pangeran Yuan Ren Long menjadi penyebab utama kematian.
Jasad-jasad gadis cilik itu biasanya dibuang begitu saja di
pinggir hutan atau di sungai.
Dan hal tersebut telah menjadi rutinitasnya selama bertahuntahun semenjak menginjak usia akil balig. Toga tanpa batas
sebagai pewaris takhta yang digenggamnya seperti
mengesahkan setiap tindakannya. Ia tidak peduli seberapa
banyak korban dari perbuatan maksiatnya. Ia menghalalkan
segala cara untuk memuaskan nafsu inferiornya seolah-olah
anak-anak gadis yang menjadi korbannya bukan manusia.
Setelah itu maka ia mencampakkan mayat-mayat mereka begitu
saja di tepi hutan atau dalam sungai. Selang berikutnya
455 onggokan mayat tersebut akan mendetritus dirangsa belatung.
Sebagian lagi akan menjadi santapan binatang buas di hutan.
Tabir asap mariyuana masih menutupi wajahnya. Sebagian zat
hasil oksidasi itu bergelung-geleng serupa ular kahyangan.
Beberapa lagi menyerupai halimun okultis yang berangsur
membentuk dewi rancak di benaknya. Ia menikmati zat adiktif
yang menjalari urat-urat syarafnya dengan mata memejam.
Imajinasinya leluasa membentuk virtual yang diingininya.
Kadang-kadang ia menjadi burung yang bebas terbang di awanawan. Kadang-kadang ia menjadi seorang kaisar di antara raja
diraja, dan menguasai seluruh dunia dengan segala isinya.
Kadang-kadang, ia menjadi penguasa persilatan dengan
adikong-adikong di sampingnya. Tetapi ia paling senang
memvisualisasikan dirinya menjadi makhluk perkasa serupa
gergasi yang dapat menyetubuhi seribu gadis cilik dalam
semalam tanpa mengalami ejakulasi sekali pun.
Dari hari ke hari zat adiktif tersebut telah merangsa sel-sel
kelabu pada otaknya tanpa disadarinya. Mariyuana telah
membentuknya menjadi makhluk hipofremia. Akal sehatnya jauh
melanglang tanpa arah. Dari waktu ke waktu ia menimbun dosa
atas perbuatannya yang jalang. Dari waktu ke waktu ia telah
menimbun musuh tanpa disadarinya. Musuh-musuh yang
menyimpan kesumat karena ulah batilnya yang merenggut
456 nyawa-nyawa kecil bagian dari keluarga mereka.
Tinggal menunggu waktu saja sampai hari pembalasan itu tiba.
Bab 37 Apakah berahi lebih laknat
daripada anjing-anjing adikong
yang menjilati tuannya sang parafrenia?
berangas itu mendetak seperti derap-derap kuda dari kejauhan
di lorong-lorong kelam kota
Ada kelana menghisab deru
dari paruh waktu yang tinggal sepenggal
hingga maut mengendus serupa pelacak
hipokrisi rana baginya adalah hipofremia
lapak ajal bagi sang dara
- Bao Ling Elegi Pangeran Yuan Ren Long
*** Adalah gerakan bawah tanah dan mason bernama Perkumpulan
Naga Muda yang hendak membunuh Pangeran Yuan Ren Long.
Sepak-terjang putra sulung Kaisar Yuan Ren Zhan itu sudah
sangat meresahkan masyarakat di pedalaman dan dusun-dusun.
Setiap hari terjadi penculikan anak perempuan. Selang
457 berikutnya, anak perempuan tersebut diketemukan telah tewas
mengenaskan dengan kondisi jasad yang memprihatinkan.
Kebanyakan di antara jasad-jasad itu sudah membusuk. Vagina
dan anus mereka robek oleh benda tumpul yang sengaja
dirancap untuk meruyak cupu kecil tanpa pubis itu.
"Saya bersumpah akan membunuh laknat itu atas nama Dewata
di langit!" sumpah Ta Yun berapi-api dengan wajah beringas dan
mengeras. "Saya akan menghabiskan keturunan Yuan! Saya
akan meruntuhkan Kekaisaran Yuan!"
Seorang pemuda berbadan tegap menghampirinya di samping
meja usang dalam sebuah rumah tua separo rubuh yang
dijadikan markas mereka selama ini. Beberapa pemuda,
bertampang kasar dan bercambang turut melangkah, mendekati
Ta Yun yang masih mengepalkan telapak tangannya menahan
geram. "Ketua Ta, apa tindakan kita selanjutnya?" tanya pemuda
berbadan tegap itu. "Kita tunggu perintah dari Jenderal Shan-Yu," Ta Yun menjawab
diplomatis. Seorang pemuda menyanggah dengan nada tidak sabar. "Tapi,
kita tidak dapat membiarkan anak-anak perempuan kita menjadi
korban terus menerus, Ketua Ta!"
Ta Yun mengangkat kepalanya, menatap tajam seperti hendak
458 menentang mata pemuda berwajah kasar yang menuntut tadi.
Pemuda itu hanya membalas menatap sebentar. Hanya
sebentar karena ia menundukkan kepalanya dalam-dalam
seperti kura-kura yang menyusup dalam karapaksnya setelah
melihat binar benci di kedalaman mata ketua Perkumpulan Naga
Muda tersebut. Ia tidak berani bersirobok mata dengan Ta Yun
yang masih menyisakan amarah perihal ulah tak manusiawi
salah satu putra Kaisar Yuan Ren Zhan. Sungguh. Pemuda
berambut gimbal sepinggang itu tidak senang ditantang dengan
pertanyaan begitu. "Tentu, tentu! Kita tidak dapat membiarkan binatang buas itu
berkeliaran, dan memakan korban terus-menerus!" tanggapnya
dengan nada berapi-api. "Tapi, kita tidak boleh bertindak
gegabah. Kalau tindakan kita tanpa dilandasi rencana terlebih
dahulu, itu sama saja dengan mengirim nyawa!"
"Betul, Ketua Ta. Saya sependapat dengan Anda. Kita harus
bersabar sebelum melakukan gerakan penghancuran," timpal
salah seorang yang berdiri pada jejeran baris belakang. Ia
tampak lebih dewasa meskipun usianya masih sebaya dengan
pemuda-pemuda yang hadir dalam pasamuan di rumah separo
rubuh itu. Ta Yun mengangguk-angguk.
Melekuk senyumnya karena berhasil menghimpun kekuatan
459 jelata di daerah pedalaman dan dusun-dusun. Juga beberapa
ratus anggota keluarga miskin perkotaan untuk melakukan
makar terhadap Kekaisaran Yuan.
Siasatnya berhasil. Ia berhasil menebarkan simpati pada klan Perkumpulan Naga
Muda - sebuah klan hasil bentukannya selama di Ibukota Da-du
bersama Jenderal Shan-Yu yang berkendali di belakang layar. Ia
pun berhasil menumbuhkan sikap antipati pada Kekaisaran
Yuan yang dianggap tiran dan bengis. Kasus tragis pembunuhan
korban-korban pedofilia gadis cilik yang dilakukan Pangeran
Yuan Ren Long telah membakar amarah penduduk, dan hal itu
mengandili bergabungnya mereka di Perkumpulan Naga Muda.
Perkumpulan Naga Muda memang merupakan kendaraan politik
Ta Yun dan Jenderal Shan-Yu untuk membunuh Kaisar Yuan
Ren Zhan. Klan tersebut juga setali tiga uang dengan Kelompok
Topeng Hitam pimpinan Han Chen Tjing - salah seorang tokoh
jelata paling berpengaruh di suku Han. Setelah pasukan
pemberontak Han gagal menaklukkan Ibukota Da-du dan
terpukul mundur oleh prajurit Yuan pimpinan Fa Mulan di Tung
Shao, mereka akhirnya menyusun strategi lain untuk
melenyapkan Sang Kaisar. Maka dibentuklah sebuah klan yang bergerak klandestin.
Menyusup di Ibukota Da-du. Mengikuti Festival Barongsai
460 sebagai salah satu peserta barongsai. Dan menyusun rencana
utama untuk membunuh pemimpin tertinggi Tionggoan.
Perkumpulan Naga Muda merupakan klan kolaborasi antara
rakyat jelata dan perompak ganas Kelompok Topeng Hitam
pimpinan Han Chen Tjing. Anggotanya terdiri dari pemudapemuda kampung yang sigap dan bersemangat. Mereka
bergabung dengan sukarela tanpa dipaksa.
Ta Yun membakar hati mereka dengan memaparkan kenyataankenyataan miris yang telah dilakukan oleh salah satu keturunan
Kaisar Yuan Ren Zhan. Ia juga menebarkan empati kala
menyumbangkan dan menyisihkan sejumlah uang klan
Perkumpulan Naga Muda untuk biaya pemakaman jasad-jasad
gadis cilik yang tewas di tangan seorang pedofilia imbesil,
sehingga rakyat jelata bersimpati pada klan tersebut.
Biaya penguburan tersebut merupakan sumbangsih yang sangat
besar bagi rakyat miskin di pedesaan. Pemakaman yang layak
merupakan upaya terakhir keluarga korban untuk menghormati
almarhumah gadis-gadis cilik tak berdosa tersebut. Dalam setiap
acara pemakaman, Ta Yun selalu hadir. Di sana ia kembali
membakar rakyat dengan propaganda antipemerintah. Juga
sebagai ajang penerimaan anggota baru klan Perkumpulan
Naga Muda. Ta Yun sangat cerdik memanfaatkan situasi.
461 Ia memancing di air keruh. Ia tahu, jasus atau prajurit intelijen
pemerintah sibuk mengawasi para peserta Festival Barongsai
sehingga tidak menyadari kehadiran klan klandestin baru yang
sudah mengakar di Ibukota Da-du. Mereka juga lebih
memusatkan perhatian pada pengawasan di daerah perbatasan
saja. Jadi untuk sementara ia dan klan Perkumpulan Naga Muda
berada pada posisi yang sangat aman. Selain itu ia memilih
markas di sudut kota, di sebuah rumah tua tak berpenghuni.
Jauh dari pikuk dan aktivitas urban masyarakat perkotaan.
"Ketua Ta, saya dengar kabar kalau Pangeran Yuan Ren Long
sering main ke rumah bordil 'Teratai Emas', tidak jauh dari Istana
Da-du," celetuk seorang pemuda bertubuh kurus dengan
penampilan tidak terurus. Bajunya tidak terkancing sehingga
dada tipisnya tampak menonjolkan tulang rusuknya yang serupa
jeroang. "Dari sanalah dia menjemput anak-anak perempuan itu
untuk kemudian diboyong ke Istana Da-du."
"Saya sudah tahu itu, A Yong," kata Ta Yun, melirik sekilas ke
pemuda ringkih dan kotor itu, lalu menatap bergantian pemuda
lain yang berada di deretan terdepan darinya. "Setiap minggu dia
pasti ke sana. Rupanya, mucikari pemilik suhian itulah yang
menjadi perantara. Dia menyuplai gadis-gadis cilik itu kepada
Pangeran Yuan Ren Long. Perbuatan itu sungguh keterlaluan.
Tapi, jangan khawatir, Saudara-Saudara. Saya sudah
462 menugaskan beberapa orang mata-mata untuk mengetahui
gerakan perempuan jalang itu. Juga dari mana dia mendapatkan
gadis-gadis cilik tersebut. Kalau tertangkap tangan, saya pasti
akan membunuh dia di tempat!"
Semua pemuda yang hadir di dalam pasamuan tersebut tampak
menganggukkan kepala. Beberapa di antara mereka manggutmanggut puas atas jawaban Ta Yun yang akan menyikapi
secara tegas tindakan tak berprikemanusiaan Pangeran Yuan
Ren Long. "Saya dengar juga, hari ini merupakan jadwal Pangeran
Berengsek itu mengunjungi rumah bordil 'Teratai Emas', Ketua
Ta," timpal pemuda dekil itu kembali.
"Ya, saya tahu," angguk Ta Yun, sengaja mengeraskan
suaranya ketika mengatakan 'tahu' tadi. Agaknya ia ingin
menegaskan posisi dirinya yang serbatahu kepada anggotaanggota bawahannya, buah dari kadar solipsismenya yang
berlebihan. "Tapi, kita tidak dapat sembarang bertindak. Di sana,
Pangeran Trocoh itu dikawal oleh adikong-adikong tangguh.
Lagipula, ada beberapa puluh prajurit yang menjaga pintu
gerbang masuk suhian. Jadi, tidak mudah menyusup ke sana
tanpa perhitungan yang matang dan cermat."
Pemuda ceking yang bernama A Yong itu menyanggah. "Tapi,
bukankah kita dapat menyamar sebagai tamu suhian atau
463 apalah, Ketua Ta?" "Tidak gampang. Tetamu dan pelanggan tetap yang hadir di
sana saja diusir jika Pangeran Yuan Ren Long hadir di sana.
Mereka baru dapat berkunjung lagi saat Pangeran Busuk itu
meninggalkan suhian. Semua minuman ataupun makanan untuk
Pangeran Bejat itu diawasi ekstra ketat. Adikong-adikongnya


Mulan Ksatria Putri Tionggoan Karya Effendi Wongso di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan mencicipi terlebih dahulu minuman ataupun makanan yang
disodorkan kepadanya sebelum si Cabul itu sendiri menikmati
minuman dan makanan itu," urai Ta Yun, melipat tangannya di
dada dengan sikap tengil.
"Maaf, Ketua Ta," sergah seorang pemuda yang berwajah kasar
dan bercambang tadi. "Kalau begitu, selamanya kita tidak akan
pernah dapat membunuh Pangeran Berengsek itu! Bukankah
hari ini merupakan saat yang tepat untuk membunuh Laknat
Jalang pembunuh anak-anak perempuan itu?! Kalau Anda
mengulur-ulur waktu, saya khawatir Pangeran Berengsek itu
akan menjadi-jadi, merajalela membunuh anak-anak gadis yang
tidak berdosa. Dan, kita tidak pernah akan dapat membunuhnya
jika selalu diliputi rasa cemas dan takut!"
Emosi Ta Yun mengubun kembali.
Digabruknya meja usang di depannya sampai papan meja
tersebut patah. Partikel debu tampak mengepul seperti asap dan
menabir di depan wajahnya yang memerah.
464 "Saya tidak takut! Saya tidak takut! Dia pasti mati di tangan
saya!" teriak Ta Yun dengan suara mengideofon. "Tidak ada
yang akan lolos dari tangan saya! Kalian pikir saya tidak geram
apa?! Kalian pikir saya tidak peduli terhadap tindakan brutal
Pangeran Busuk itu?! Saya ingin membunuhnya! Saya ingin
mencincang-cincang dia! Tapi, belum saatnya! Belum saatnya!"
Peserta pasamuan diam membisu.
Hanya terdengar derak papan meja yang patah di akhir guntur
kalimatnya tadi. Sekarang tak ada yang berani bicara atau
menyanggah. Darah muda pemimpin mereka itu kerap meledakledak seperti kepundan yang setiap dapat memuntahkan lahar
amarah. Dan ia tidak akan segan-segan mendepak anggotaanggotanya yang membangkang, tidak setuju dengan jalan
pikirannya. Ambang sunyi tidak berlangsung lama. Ada suara gabrukan
pada daun pintu usang di samping tempat pasamuan
berlangsung. Seorang pemuda berwajah persegi dengan hidung
bercupa besar seperti cingur babi masuk dengan napas
terengah-engah di tengah daun pintu yang terpentang.
"Ce-celaka, Ketua Ta!" sahutnya keras-keras, masuk di ruangan
pasamuan. Ta Yun mencodakkan kepalanya setelah menunduk beberapa
saat lamanya tadi, menatap repihan papan kayu yang patah oleh
465 gabrukan tinjunya tadi. Disambutnya pemuda yang berbaju
kumal dan penuh debu itu.
"Ada apa, A Seng?!" tanya Ta Yun tegas dan berwibawa.
Pemuda yang bernama A Seng itu menghela napas panjang,
berusaha menormalkan suaranya yang menggemeletar.
Diruyupkannya mata sesaat sebelum menjawab.
"Chiang Kok dan Ma Wing menerobos masuk ke dalam rumah
bordil 'Melati Emas'. Mereka berdua bermaksud membunuh
Pangeran Yuan Ren Long yang hari ini bertandang ke sana!"
Rahang Ta Yun mengeras. Gerahamnya menggemeletuk sehingga terdengar seperti derak
sisa pada bilah papan meja usang yang patah tadi. Pemudapemuda lainnya semakin mendekat, seperti semut yang
menyerubungi gula. "Kurang ajar!" tukas Ta Yun, meletupkan amarahnya yang belum
menyurut. "Mereka berdua itu sok jagoan! Heh, dipikirnya
membunuh Pangeran Busuk itu semudah membunuh anjing
buluk apa?!" "La-lalu, kita harus berbuat apa sekarang, Ketua Ta?!" tanya A
Seng gugup. Tubuhnya masih menggelemetar hebat meski
sudah diwajarkannya dengan bersikap tegar.
"Mereka berdua keras kepala!" Ta Yun mengumpat seperti
menggumam, otot lehernya mengejang membentuk galur-galur
466 hijau serupa sulur daun. "Padahal, sudah berkali-kali saya
menasehati kalau tindakan kita tidak boleh dilakukan tanpa
rencana. Sekarang, mereka malah mengantar nyawa ke
hadapan Pangeran Berengsek itu!"
"Tunggu apa lagi?!" seru Ta Yun mengambil ancang-ancang
untuk lari membantu kedua anggotanya yang nekat ingin
membunuh Pangeran Yuan Ren Long. "Kita bebaskan mereka
dari suhian itu. Kenakan cadar atau topeng hitam kita. Jangan
sampai identitas diri kita terbongkar. Cepat!"
Ta Yun melompat segesit kijang. Disambarnya senjata trisulanya
yang berdiri vertikal menyandar pada dinding kusam di
belakangnya. Trisula merupakan senjata andalannya. Tombak
panjang bermata tiga itu telah banyak memakan korban di
medan laga. Masih setia menyertainya dalam serentetan
pertempuran. Pemuda yang lainnya ikut setelah mengambil
senjata masing-masing. Beberapa puluh pemuda itu
menggunakan pedang. Beberapa lagi tombak. Juga golok
maupun gada dan kapak. Mereka menghambur keluar dari markas dengan mengenakan
pakaian hitam-hitam. Beberapa pemuda langsung melompat di
atas kuda masing-masing, dan menggebah kuda tersebut
dengan sepasang tumit sehingga binatang bernapas kuat itu lari
seperti kemukus. Malam gulita jadi riuh oleh derap-derap yang
467 semakin menderas. Ta Yun mengekor di belakang.
Kudanya melangkah lambat namun pasti.
Bab 38 Ada aroma kematian pada gulita yang merayap congkak
melamur terang senandika para eling
maka berkuasalah para rana
di antara bangkai dan malam
Lalu Dewata mengutus fajar
mengusir rangda suram pada malam dan dini hari
dengan sorot dan binar matanya yang benderang
Tetapi roh-roh suro langit
dan mahardika istana masih bertempur
di antara bangkai dan malam serta kota yang kobong
Lantas terang seperti tak bermakna
sebab siang yang bergelimun gemawan kelam
tiap sebentar mencurahkan hujan airmata
- Bao Ling Kisruh Kota pada Suatu Malam
*** 468 Tidak ada mimik yang lebih jijik daripada melihat wajah mesum
puak Istana Da-du itu yang, sepanjang hari hidup berhura-hura
menghamburkan dirham untuk mengeksplotasi imajinasi
seksualnya. Lebih kotor ketimbang basir sperma kering yang
menempel pada repih himen dalam vagina korbannya, serta sisa
tinja bercampur nanah darah yang keluar dari anus jasad-jasad
gadis cilik yang telah diperkosa lantas dibunuhnya itu. Lebih bau
dan busuk dibandingkan liang vagina dan anus jasad-jasad
gadis cilik tersebut yang boyak membusuk dirancap batang
penis serupa jagung. Juga benda-benda tumpul tanpa nyawa
lainnya, yang mengsanggamai gadis-gadis cilik itu sehingga
kehilangan nyawa, dan menjadi kadaver untuk disanggamai
kembali oleh makhluk imbesil dari Istana Da-du tersebut.
Lalu pada akhirnya dendam telah membawa dua orang pemuda
ke suhian ini. Dan saat ini pula tengah bergulat melawan
pengawal-pengawal tangguh Istana Da-du.
Mereka belingsatan seperti sepasang kelelawar yang siap
mencabik-cabik mangsanya. Namun keduanya tak berdaya,
sebab angin menerbangkan mereka pada arah yang salah, di
mana sekumpulan elang siap mematuk dengan paruh dan
cakarnya yang tajam. Tombak dan pedang diarahkan pada tubuh rapuh mereka,
seperti langkisau yang datang tiba-tiba dan tanpa henti. Tetapi
469 kedua penyusup dari klan Perkumpulan Naga Muda itu masih
gesit berkelit. Mereka sudah terperangkap. Dan hanya
menggunakan sisa-sisa tenaga mereka untuk bertahan.
"Pangeran Berengsek!" Ma Wing berteriak, berupaya membakar
hatinya yang menciut karena terdesak oleh pengawal-pengawal
tangguh Pangeran Yuan Ren Long yang ternyata memiliki ilmu
silat tinggi. "Kami bunuh kamu!"
Wajah Pangeran Yuan Ren Long yang pucat semakin melesi.
Rileksisasi rutinnya terganggu. Ia hanya terpaku duduk di atas
ranjangnya tanpa bicara apa-apa. Culim gading mariyuananya
tergeletak di papan loteng saat jatuh dari tangannya karena
shock. Sama sekali tidak menyangka akan mendapat serangan
mendadak, upaya pembunuhan dirinya dari dua orang sinting
yang nekat menerobos masuk pagar betis prajurit di dalam
suhian. Gadis-gadis penghibur menjerit-jerit ketakutan.
Suasana suhian melantak oleh ulah dua pemuda yang
menerobos masuk hendak membunuh tamu agung Pangeran
Yuan Ren Long yang bertandang hari ini. Tidak ada gelak tawa
para gadis yang mengundang birahi untuk diayuti para lelaki
hidung belang. Hasrat syahwat itu mendadak menyurut seperti
inereksi pada penis. Semuanya berubah menjadi ketakutan.
Sementara itu di luar orang-orang sudah berkerumun di pinggir
470 jalan, keluar dari hunian mereka masing-masing. Menyaksikan
keributan yang mendadak meriuh di dalam suhian. Riuh tak galib
yang biasanya berasal dari tetamu yang birahi seperti bulbul di
bubungan, mengoak-ngoak berisik meruyak atmosfir malam
mencari pasangan betinanya.
"Ayo, keluar kamu pengecut! Tahunya hanya membunuh anakanak perempuan!" timpal Chiang Kok, menjerit dengan suara
memarau. "Kalau berani hadapi kami!"
Namun, upaya mereka akhirnya kandas di tengah pertarungan.
Emosi dan amarah telah mencelakakan diri mereka sendiri.
Upaya balas dendam tanpa rencana malah menghancurkan
raga mereka. Ajal kini tinggal sejengkal. Kawruh yang sebatas
telah dimatikan oleh bahang yang menggeliat liar di ubun-ubun.
Kelinci tak akan pernah menang bila berhadapan langsung
dengan harimau. Tetapi hal tersebut telah serupa. Pertarungan
tidak seimbang itu hanya akan menambah tetesan darah yang
sebentar lagi akan mengotori lantai papan suhian.
Sepasang pengawal tangguh Pangeran Yuan Ren Long belum
turun tangan. Mereka berdiri dengan sikap santai di depan
bingkai pintu Sang Pangeran, dan menyaksikan dari langkan
pertarungan hidup-mati yang masih berlangsung di lantai bawah.
Mereka memang belum perlu turun membantu sebasung prajurit
Yuan yang juga memiliki ilmu silat cukup lumayan tersebut.
471 Chiang Kok dan Ma Wing memang sudah habis. Hanya roh
mereka yang belum enggan berpisah dari badan, dan masih
menempel saat cacahan-cacahan pedang dan sodokan-sodokan
ujung mata tombak mengiris otot-otot mereka. Satu sabetan
pedang prajurit Yuan sudah menembus trabekula lengan Ma
Wing. Sementara Chiang Kok sudah tertusuk tombak di bahu
sebelah kanannya. Darah sudah mengucur di mana-mana.
Namun ia masih melakukan perlawanan sekedar
memperpanjang napas yang masih mengembus lewat sepasang
cupu di hidungnya. "Kalian adalah anjing-anjing Yuan!" teriak Ma Wing, menahan
rasa sakit yang menggerogoti lengannya yang mengebas karena
telah kehilangan banyak darah.
Ia terhuyung dan menyandar pada salah satu dinding suhian.
Sebuah pigura prosa beraksara indah terlepas dari dinding oleh
oleng punggunggnya yang menggabruk. Pigura itu hancur
terinjak-injak bersamaan dengan tumbangnya tubuh ringkih Ma
Wing. Satu tusukan tombak telah memboyak otot perutnya. Memburai
sebagian ususnya yang menjuntai keluar seperti trematoda
dalam genangan lumpur merah. Kepalanya terantuk di lantai,
tepat di samping satin dasar kaligrafi prosa yang sangat indah
itu, yang kini lecek dan memburam oleh darah yang berpropulsi
472 dari mulutnya. Matanya menutup sesaat sebelum puisi yang
tersalin dalam satin putih itu membayang lalu berangsur
melamur dari benak untuk selama-lamanya.
Ke manakah sepasang angsa itu pergi
sementara biru air di Sungai Yangtze
terus mengalir dan kanopi daun bambu yang mekar di gigir memanggil-manggil
Oh, cintaku angsa putih nan gemulai pagi akan bercerita tanpa elegi
dan dendang sukacita telah ditiupkan para penggembala
lewat serunai bambu kuning
yang melantun tanpa henti
di antara kemuning hamparan lalang
Kemarilah angsa-angsaku Sebab di sini ada cinta yang platonis
Pemuda itu mengembuskan napasnya yang terakhir dengan
wajah separo menyeringai. Seperti tersenyum dan tenang.
Mungkin reaksi sakit yang tak tertahankan. Mungkin juga karena
dibuai lena estetika yang termaktub dalam lektur prosa itu.
Tetapi ia memang telah binasa. Sungguh-sungguh mati dikoyak
oleh tombak dan pedang prajurit-prajurit Yuan serupa taring nan
473 tajam anjing-anjing dan serigala-serigala hutan, sehingga roh
badan halus pergi meninggalkan raganya. Lalu roh tersebut
akan melayang-layang entah ke mana, dan tak akan pernah
kembali pada tubuh kasarnya yang rusak oleh pertempuran
barusan. "Ma Wing!" teriak Chiang Kok saat melihat Ma Wing tergeletak
dan terbujur mati di salah satu sudut suhian.
Namun teriakannya terhenti oleh sabetan pedang yang kembali
meruyak dadanya. Tubuhnya limbung. Tetapi ia tidak mau
terkapar, dan tetap bertahan berdiri meskipun prajurit-prajurit
Yuan terus menebas-nebaskan pedang mereka ke
punggungnya. Ia mati berdiri dengan pedang yang menyangga
tubuhnya. Matanya terbuka. Tidak menutup. Seolah-olah sebuah
penegasan bahwa ia tidak pernah kalah dalam pertempuran ini
meskipun rohnya telah pula berpulang ke langit, dan Sang Dewa
Kematian telah mencatat namanya dalam loh batu sebagai salah
satu penghuni akhirat. Setelah mengetahui kedua penyerang misterius itu tewas di
tempat dari kedua pengawal tangguhnya, maka Pangeran Yuan
Ren Long memberanikan diri keluar dari kamarnya. Di atas
langkan loteng ia melihat ke bawah. Kedua pemuda yang
hendak membunuhnya sudah mati dengan tubuh tercabik-cabik.


Mulan Ksatria Putri Tionggoan Karya Effendi Wongso di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu seperti harimau yang mengaum, ia berteriak seolah
474 mengekspresikan kegembiraannya atas terbunuhnya pemudapemuda yang ingin menghabisi nyawanya.
"Cepat panggil Li Chun! Panggil dia menghadap saya, dan
penggal kepalanya di hadapan saya!"
Tak lama setelah mengeluarkan perintah dengan nada gusar,
mucikari pemilik suhian itu pun terdengar menjerit-jerit
ketakutan. Ia meratap seperti seorang ibu yang ditinggal mati
anak tunggalnya. Empat orang prajurit Yuan bertubuh besar
seketika mematuhi perintah tuannya tersebut. Mereka
melangkah dengan sigap ke arah suara tangisan itu.
Li Chun menggigil ketakutan di bawah salah satu meja seperti
seekor tikus gurun yang bersembunyi dari puluhan ekor ular
kobra yang hendak mematuknya.
Dua orang prajurit Yuan tampak menyeret dengan kasar
perempuan bertubuh besar itu supaya keluar dari kolong meja.
Masing-masing prajurit Yuan itu memegang satu lengan mucikari
suhian tersebut. Dua prajurit lainnya mengikuti dari belakang.
Tubuh Li Chun yang bergelambir tampak serupa babi yang
mengiuk-ngiuk mencium aroma kematian dari golok penjagal. Ia
diseret jauh sampai di tengah ruang. Di sana ia diberdirikan.
Setelah tegap berdiri, tungkai kaki dan punggungnya ditendang
agar memosisi melutut di hadapan Pangeran Yuan Ren Long,
yang berdiri dengan sikap jumawa di atas langkan loteng.
475 "A-ampun, Yang Mulia! Ampun! Ham-hamba tidak menduga
kalau hari ini ada penyusup yang masuk dan hendak membunuh
Anda!" sahut Li Chun terbata-bata.
"Alasan mati! Kamu bertanggung jawab atas serangan terhadap
saya hari ini! Kamu tidak becus mengawasi tempat ini!" teriak
Pangeran Yuan Ren Long sembari berkacak pinggang. "Kamu
harus menerima sanksi berat atas upaya pembunuhan diri saya
tadi itu!" Li Chun meraung-raung ketakutan sampai celananya membasah
oleh urinnya sendiri. "Ta-tapi Yang Mulia...."
"Prajurit," seru Pangeran Yuan Ren Long tanpa belas kasihan.
"Penggal kepalanya!"
Lalu satu sabetan pedang telah memisahkan kepala perempuan
itu dari badannya. Kepalanya jatuh menggelicir seperti buah
kelapa tua, menggelinding melewati kaki-kaki kursi, dan berhenti
kala membentur salah satu kaki meja di sisi dinding. Darah yang
mengalir kental dari pangkal lehernya yang terpenggal serupa
kuah bubur kacang merah, selazim makanan yang biasa
disantap para prajurit Yuan di medan pertempuran.
"Gantung kedua mayat anjing-anjing Han itu di tengah kota!"
perintah Pangeran Yuan Ren Long bengis. "Supaya mereka
semua tahu, apa akibatnya bila coba-coba melawan saya!"
"Siap, Yang Mulia!" teriak adikong-adikong itu serempak.
476 Pangeran Yuan Ren Long tertawa terbahak-bahak seperti anak
kecil yang asyik dengan sebuah permainan. Lantas, seakanakan tidak pernah terjadi apa-apa, ia kembali masuk ke dalam
kamarnya. Berbaring dan melanjutkan memadat.
Para prajurit Yuan segera membersihkan suhian. Lalu mereka
menggantung kedua mayat pemuda Han itu di balai kota setelah
membuang tubuh dan kepala Li Chun di pinggir hutan. Tempat
biasanya mereka membuang mayat-mayat gadis cilik yang telah
diperkosa dan dibunuh oleh Pangeran Yuan Ren Long.
Bab 39 Duhai sang jelita Putri Yuan Ren Xie yang diukir sang malam
serupa lektur prosa di atas satin
Tersenyumlah sebab kembang pada taman telah memekar
jangan kuncupkan riang serupa tembang lara para rana
- Bao Ling Duhai Sang Jelita *** Ong Chen Hwa ternganga. Dirinyalah yang pertama-tama
melihat dan mendapati kedua mayat sahabatnya itu tergantung
477 di balai kota. Kedua jasad anggota klan Perkumpulan Naga
Muda tersebut nyaris tidak berbentuk lagi serupa daging babi
asap. Keduanya tergantung dengan tubuh telanjang di dua pilar
tiang kayu setinggi lima belas kaki.
Badan mereka tergantung pada temali yang mengikat di pangkal
leher. Dan pada masing-masing tubuh yang mulai melebam dan
membiru itu ada secarik kain putih yang bertulisan: 'Anjing-anjing
Han. Mati serupa bangkai akibat melawan Yuan'. Tergantung di
antara selangkangan masing-masing jasad itu. Terikat pada
pangkal pelir masing-masing mayat tersebut.
Airmatanya menitik. Kudanya menyampir di samping dinding
sebuah rumah tua. Sahabat-sahabatnya yang lain tiba tidak
lama setelah ia berusaha ke tempat mayat-mayat itu digantung,
di antara luberan manusia yang menyaksikan dari bawah.
Tetapi langkahnya tertahan. Ada tangan tegap yang sigap
menghentikan niatnya untuk membebaskan mayat-mayat
Chiang Kok dan Ma Wing yang tergantung tidak jauh dari
tempatnya berada. "Jangan gegabah!" teriak seseorang di belakangnya.
Ong Chen Hwa menyahut tanpa memalingkan wajah. Ia sudah
tahu si empunya suara. "Tapi, kita tidak dapat membiarkan
Pangeran Berengsek itu menginjak-injak harga diri kita sebagai
bangsa Han, Ketua Ta!"
478 Ta Yun mengibaskan tangannya setelah melepas cekalannya
pada bahu pemuda bermata bola itu. "Persetan dengan harga
diri kalau pada akhirnya kita semua akan mati konyol! Ingat,
jangan mengulangi kesalahan Chiang Kok dan Ma Wing!"
"Tapi, saya tidak dapat membiarkan jasad-jasad mereka
digantung terus-menerus di atas sana, dan sebentar lagi pasti
akan membusuk!" "Saya juga tidak ingin hal itu terjadi. Tapi kalau kamu maju ke
depan, maka kamu akan masuk perangkap mereka. Kamu akan
mencelakakan kita semua kalau sampai tertangkap."
"Mati pun saya rela, Ketua Ta!"
"Bukan persoalan mati atau hidup, A Hwa! Tapi, ini menyangkut
keselamatan semua anggota klan Perkumpulan Naga Muda.
Tahu apa akibatnya kalau kamu tertangkap?! Kamu akan disiksa
sampai mengaku dan membeberkan semua nama anggota klan
kita. Bukan saja anggota barongsai kita akan dicekal, tapi kita
semua juga akan dipenggal!"
"Ini kesalahan kita, Ketua Ta!" seru Ong Chen Hwa menentang.
"Kita terlalu lamban menyelamatkan mereka!"
Ta Yun mengepalkan tangannya. "Bukan kesalahan kita! Semua
itu merupakan kesalahan mereka. Chiang Kok dan Ma Wing-lah
bertindak tanpa perhitungan. Mereka tidak pernah berkonsultasi
kepada klan Perkumpulan Naga Muda kalau akan menyerang
479 Pangeran Yuan Ren Long di rumah bordil 'Melati Emas' hari ini!"
"Tapi...." "Bersabarlah, A Hwa," hibur Ta Yun, menepuk-nepuk pundak
salah satu anggotanya. "Saat ini kita tidak dapat berbuat apaapa untuk menyelamatkan mereka. Menjelang Festival
Barongsai, prajurit Yuan memang telah disiagakan untuk
berjaga-jaga. Mereka terlalu banyak dan tampak berkeliaran di
mana-mana. Rupanya kita harus menyusun siasat baru untuk
dapat membunuh Pangeran Berengsek itu. Chiang Kok dan Ma
Wing merupakan tumbal. Mudah-mudahan kesalahan yang
menyebabkan kematian mereka, dapat kita tebus dengan
memenggal kepala Pangeran Berengsek itu di kemudian hari."
Ong Chen Hwa mengangguk mafhum. Emosinya sedikit mereda.
Benaknya yang tadi dipenuhi amarah berangsur menjernih. Apa
yang disampaikan pemimpin klan Perkumpulan Naga Muda
tersebut memang benar. Mereka tidak boleh bertindak
sembarangan atau kematian dan nyawa yang sia-sia menjadi
taruhannya. Ia akhirnya mengikuti nasehat Ta Yun untuk tidak bertindak
gegabah, mengurungkan niatnya yang semula hendak
menerobos kerumunan massa, lalu melawan puluhan prajurit
Yuan yang berjaga-jaga di bawah pilar-pilar tiang di mana
mayat-mayat Chiang Kok dan Ma Wing tergantung. Mereka
480 semua akhirnya mundur kembali ke markas. Dan lebih memilih
membiarkan jasad-jasad sahabat mereka itu tetap tergantung
dan membusuk sampai beberapa hari ketimbang terpancing
masuk ke perangkap musuh.
Yuan masih terlalu kuat dan tangguh untuk dilawan.
Bab 40 Lalu aku melihat gemintang bercahya
seperti lelatu yang berkobar dari Naga Api
inikah maklumat dari Langit?
Ada satria pada padang nan tandus
menatap gemintang serupa basir pasir
seorang diri lalu ia seperti membilang
rana-rana yang telah merenggut nyawa-nyawa
sebanyak noktah perak di langit
- Fa Mulan Refleksi Satria pada Padang Tandus
*** Fa Mulan mengendap dari balik serumpun bambu.
Daerah itu memang sudah dipenuhi oleh pasukan Mongol.
Seratus kaki dari tempatnya mengintai memang telah
terpancang tenda-tenda serupa cendawan raksasa. Di mana481
mana ada lidah unggun yang meranggas, sesekali terdengar
suara menggemeretak serta menebarkan bau abnus gosong
yang menusuk-nusuk hidung.
Angin yang berembus semilir menyertakan sisa aroma khas
kambing guling Mongol. Bau itu menyeruak bersama wangi arak
dan dadih kuda, dibawa sang bayu sampai di ujung hidungnya.
Fa Mulan menyandarkan bahunya di salah satu batang bambu.
Duduk menjinjit sembari mengamati suasana barak musuh
dengan mata mawas. Dadanya berdegup kencang. Armada
besar berkuda itu jauh lebih berbahaya daripada nasar-nasar
yang menghitam di langit. Tionggoan sesungguhnya di ambang
bahaya. Lima puluh kaki bukanlah jarak yang aman untuk mengamati
gerak-gerik kaum nomad itu. Sebab pada jarak itulah beberapa
puluh prajurit Mongol tengah meronda, hilir-mudik sepanjang
barak menjaga keamanan tenda-tenda dan pasukan yang
sedang beristirahat. Namun Fa Mulan memberanikan dirinya
mendekat. Ia ingin mendeteksi seberapa besar kekuatan armada
perang Mongol. Diseretnya langkah kakinya dengan gerak hati-hati. Sebab
reranting dan dedaunan yang mati mengerontang di tanah
merupakan musuh tak bernyawa. Setiap bunyi derak pada tanah
merupakan awal petaka. Maka dihindarinya bahaya dengan
482 berjalan jinjit. Dilewatinya beberapa puluh jajaran batang bambu yang jenjang
merimbun dan bisu di pangkal hutan bambu, lalu menelusup di
bahu tanah lapang sehingga berangsur dapat menangkap
dengan jelas barak Mongol. Masih awas pula matanya yang
menyipit menangkap beberapa pasukan berkulit legam matang
tengah duduk bersila serta bertepuk-tepuk tangan di sekeliling
sebuah lidah unggun. Menyuarakan himne bariton yang tak ia
pahami maknanya. Tetapi rupanya gulita malam belum pekat benar menangkup
seluruh tanah dari terang basir gemintang. Juga cahaya yang
meredup dari bulan separo di langit tengah. Sehingga sosoknya
yang kamuflase oleh balutan satin hitam masih tampak di mata
para prajurit jaga Mongol.
"Hei, siapa itu?!" teriak salah seorang prajurit jaga.
"Eh, dia lari masuk ke dalam hutan bambu," timpal prajurit jaga
yang lainnya dengan suara lantang.
Fa Mulan terkesiap. Teriakan salah seorang prajurit jaga Mongol itu menggugah
malam yang senyap sehingga riuh mengundang perhatian
seperti koak bulbul yang garing. Pasukan Mongol yang sedang
mengaso sontak keluar beramai-ramai.
Lalu Fa Mulan seperti terbang, menjauhi barak musuh yang kini
483 sudah menyemut dengan pasukan Mongol. Ia melompat seperti
katak, dari satu dahan bambu ke dahan bambu berikutnya.
Ratusan pasukan Mongol mengejarnya dengan golok dan
tombak yang terhunus hendak mencacah tubuhnya.
"Jangan lari!" teriak prajurit jaga yang lainnya sembari terus
mengejar Fa Mulan. Memang tidak ada satu pun prajurit Mongol yang dapat
menandingi kecepatan dan lesatan larinya. Dengan gingkang
dan Taichi Chuan yang dipelajarinya semasa kanak-kanak dulu,
kemampuan beladirinya memang jauh di atas rata-rata para
prajurit Mongol itu. Tetapi masalahnya ia tidak ingin takabur.
Sehebat apapun seseorang pastilah ia memiliki kelemahan.
Apalagi dalam situasi yang sangat tidak menguntungkan seperti
sekarang. Seekor harimau akan takluk bila menghadapai jutaan
koloni semut. Subtil itu yang sering didengung-dengungkan para
pebijak di dalam dunia persilatan. Dan ia mematuhi semua itu
demi keselamatan dirinya sendiri.
Fa Mulan masih terus berlari di antara dahan-dahan batang
bambu. Pasukan Mongol yang mengejarnya hanya dapat mengerubung,
lalu menyebar dalam kelompok-kelompok kecil dan menutup
beberapa jalan keluar dari hutan bambu tersebut sehingga
484 mencegah upaya kabur buronan mereka.
Menyadari jalan keluar dari hutan bambu telah ditutup, Fa Mulan
memilih bersembunyi di atas salah satu dahan batang bambu. Di
bawahnya tampak sepuluh orang prajurit Mongol berdadap
sedang menebas-nebas golok mereka ke segala arah di balik
rerumpun gulma dan dedaunan bambu.
Seorang prajurit mengarahkan sinar lentera yang dibawanya ke
segala arah. Tetapi lentera kecil mereka tidak cukup kuat
menyinari area persembunyiannya sehingga untuk beberapa
saat ia dapat bernapas lega, dan menunggu sampai prajuritprajurit Mongol itu menjauh agar ia dapat mengendap kabur
meninggalkan daerah musuh.
"Sialan! Orang itu kabur seperti menghilang tiba-tiba," umpat
seorang prajurit Mongol berstola kelabu. "Pasti bukan orang
biasa!"

Mulan Ksatria Putri Tionggoan Karya Effendi Wongso di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkin. Tapi siapa, ya?" tanya seorang prajurit lainnya
dengan nada penasaran. "Barangkali mata-mata musuh."
"Ya, jelas mata-mata. Kalau bukan, mana mungkin orang
tersebut mengendap-endap seperti maling."
"Ah, jangan-jangan kamu tadi salah lihat."
"Tapi, saya lihat seperti orang."
"Jangan-jangan musang atau rusa."
485 "Entahlah." "Hah, atau jangan-jangan hantu?!"
"Hus, jangan sembarangan ngomong! Ini hutan bambu, tahu?!"
"Habis, gelap. Mana saya tahu siapa yang tampak mengendapendap tadi. Ya, sudah. Coba kita cari sekali lagi, mengitari
daerah sebelah barat."
"Ayo." Kesepuluh prajurit tersebut meninggalkan area
persembunyiannya. Fa Mulan melompat turun saat sinar lentera
telah melamur dan berangsur menghilang dari pandangannya,
berganti dengan cahaya patah-patah dari bulan separo yang
suram, yang menelusup di antara celah-celah tipis rimbun
dedaunan. Namun ia tidak dapat sertamerta keluar dari jalan
masuk tadi lagi. Sebab di sana telah tampak sepuluh prajurit
Mongol lain yang mementang jalan, yang juga tengah mencaricarinya.
Untuk dapat keluar dari hutan bambu itu maka tidak ada cara
lain yang dapat ditempuh selain bertarung dengan mereka.
Tetapi Fa Mulan masih menimbang-nimbang. Barangkali
tindakannya itu akan memancing amarah panglima perang
Mongol, dan mempercepat penyerangan mereka ke Tionggoan.
Lalu akhirnya ia masih harus menunggu sampai prajurit-prajurit
Mongol tersebut berlalu, dan membiarkan dirinya tetap terkurung
486 di dalam hutan bambu dekat barak kaum nomad Mongol
tersebut. Tetapi ia tersentak ketika dilihatnya prajurit-prajurit
Mongol itu mengarah ke arah utara hutan bambu. Berjalan
menjauhi dirinya seiring derik jangkrik di sela-sela gulma.
Napasnya tertahan. Langkah-langkah para prajurit yang menirus dari matanya lebih
menakutkan ketimbang klaustrofobia yang menghinggapi benak
setiap manusia. Digigitnya bibir. Ia terlalu ceroboh meninggalkan
Khan tidak terlalu jauh dari hutan bambu ini. Ia terlalu gegabah
menyertakan Khan ke arena tempur. Seharusnya ia sudah dapat
menerka hal terburuk yang akan dialami oleh kuda
kesayangannya itu. Tetapi ia terlalu percaya diri dan terlalu
berani memata-matai pihak Mongol sampai ke barak mereka
seorang diri. Padahal Shang Weng sudah mati-matian
menahannya di pos pengawasan binara Tembok Besar. Ia
memang terlalu keras kepala.
Sepasang kakinya melemas.
Ia merosot bertekuk lutut di tanah, memegang sebatang bambu
menahan limbung tubuhnya. Restan ketakutan masih
membayang di benaknya. Oh, Khan yang malang! pekiknya dalam hati. Semoga Dewata
melindungi Khan! Sungguh. 487 Disesalinya keputusannya yang membahang. Patriotisme
memang akan terasa sia-sia bila dilakukan tanpa kontemplasi. Ia
telah bertindak salah. Kini ia terjebak di sarang musuh. Dan baru
sekali ini merasakan ketakutan yang luar biasa. Ketakutan akan
kehilangan sesuatu yang amat dicintainya sejak kanak-kanak
dulu. Khan belahan jiwanya! "Hei, kuda siapa ini?!"
Tubuh Fa Mulan menegak. Telinganya mendengung seolah-olah dikitari ribuan tawon.
Suara bariton seorang prajurit yang menyapu keheningan hutan
bambu menggigilkan tubuhnya. Ia berdiri dari berlutut.
Respirasinya mengembang tak wajar. Jantungnya berdetak
seperti tabuh nekara. Memukul-mukul sampai dinding dadanya
seakan-akan hendak pecah.
Khan tidak boleh mati! jeritnya dalam hati.
Lalu ia keluar dari tempat persembunyiannya, hendak
menyelamatkan kuda hitam kesayangannya tersebut. Tetapi
langkahnya tertahan saat tumitnya terangkat sejengkal dari
tanah. Lompatan gingkang nya gagal oleh sebuah cekalan pada
bahunya. Ada sebuah cakar berlengan kokoh yang menariknya
kembali turun ke tanah. Fa Mulan sontak menebas si Pencekal bahunya itu dengan
488 pukulan telapak begitu kakinya menjejaki tanah. Ia memukul
mengikuti gasingan tubuhnya, dari arah samping ke belakang
punggung badan. Namun orang itu mengelit dinamis dengan
mengayang seperti batang bambu yang menyusur tanah ditiup
angin lantas kembali menegak dengan tubuh tegap. Cacah
telapak tangannya gagal menebas kepala orang yang berbadan
proporsional itu. Rupanya ia berhadapan dengan seseorang
yang memiliki ilmu silat tinggi.
Orang itu pasti bukan prajurit biasa, pikir Fa Mulan.
Menyadari tebasan telapak tangannya hanya menerpa angin, Fa
Mulan mulai melancarkan serangan yang lebih dahsyat. Ia harus
segera melumpuhkan orang itu agar dapat menolong Khan. Ia
langsung menggunakan jurus Telapak Fa-nya, salah satu jurus
andalan keluarganya para pemarga Fa.
Pemuda yang menghentikan langkahnya untuk menolong Khan
tadi juga mengambil ancang-ancang menyambut serangan Fa
Mulan. Ia mengulurkan tangan kirinya ke depan, menelapak dan
lurus sejajar dengan wajahnya yang menggelap karena gulita.
Sementara tangan kanannya mengepal nyaris menempel di
samping pipinya membentuk jurus serupa pedanuh dengan
sepasang kaki yang membentuk kuda-kuda.
Tidak lama kemudian Fa Mulan sudah melesat cepat seperti
anak panah yang terlontar dari busur. Dengan menghimpun
489 seluruh tenaga ke sepasang telapak tangannya, ia mulai
melakukan tebasan-tebasan ke titik mematikan dari tubuh
pemuda itu. Ia menusuk-nusukkan telapaknya ke arah bagian
ulu hati pemuda itu. Satu titik lemah yang paling rentan dan
mematikan. Namun pemuda itu terlalu tangguh untuk ditaklukkan meskipun
Fa Mulan sudah menggunakan jurus-jurus mautnya. Kali ini ia
serius ingin menghabisi pemuda itu. Ia tidak ingin membuangbuang waktu bertarung dengan kungfu tingkat dasar hanya
untuk melumpuhkan. Khan dalam bahaya besar. Ia tidak ingin kuda belahan jiwanya itu terbantai oleh prajurit jaga
Mongol. Itulah yang membahangkan amarahnya, dan ingin
segera mengakhiri pertarungan dengan menggunakan jurus
pamungkas. Tetapi kali ini lawannya bukan keroco, orang yang
memiliki ilmu silat rendah. Pemuda itu tidak dapat diremehkan.
Semakin kalap ia melancarkan pukulan, ia malah terdesak oleh
tangkisan-tangkisan efektif pemuda itu yang berbalik dan
berubah menjadi serangan balasan.
Jurus Telapak Fa yang digunakannya ternyata belum dapat
melumpuhkan pemuda itu. Beberapa kali telapak tangannya
membentur pepohonan, dan hanya menyisakan ngilu di sekujur
lengannya. Sedikit frustasi, ia langsung menggunakan jurus
490 andalannya yang lain, Tinju Bunga Matahari.
Jurus yang digunakannya tersebut lebih lembut ketimbang
Telapak Fa. Jurusnya kali ini pun lebih akurat karena tidak
semata-mata mengandalkan telapak tangan dan lengan sebagai
penebas serta pemukul, tetapi lebih variatif karena jurusnya kali
ini ditunjang dengan tendangan-tendangan yang meliuk.
Fa Mulan balik menyerang.
Ia sedikit di atas angin. Pemuda itu terundur beberapa langkah
ke belakang. Ia kesulitan menangkis tendangan Fa Mulan yang
berputar-putar di udara, dan sesekali mencangkul ke arah
kepalanya. Tinju kepalan tangannya yang keras dan bertubi-tubi
pun dapat ditepis oleh Fa Mulan dengan taktis. Jurus yang
diilhami dari geletar dan kedinamisan bunga matahari yang
diciptakannya tersebut memang menyulitkan pemuda itu.
Beberapa kali tinjunya itu terperangkap ke dalam jemari tangan
Fa Mulan, lalu selang berikutnya kepalan tangannya yang
meninju itu seperti terbelit oleh tangan Fa Mulan.
Dan ketika tubuh pemuda itu terentak maju oleh tarikan tangan
Fa Mulan, maka seketika pula itu tangan Fa Mulan yang lainnya
segera menumbuk dadanya. Pemuda itu terempas, terjerembab
di tanah. Tetapi ia tidak ambruk. Tubuhnya yang tegap segera
bangkit setelah jatuh. Lalu ketika berhadap-hadapan saat masing-masing mengambil
491 posisi kuda-kuda, Fa Mulan baru dapat menangkap jelas wajah
pemuda itu. Sertamerta mulutnya ternganga. Sama sekali tidak
menyangka dapat bertemu kembali dengan pemuda yang
pernah bertarung dengannya beberapa bulan lalu.
"Nona Fa?!" Ada teriakan bernada pekik mendahului sebelum Fa
Mulan membuka pelepah bibirnya.
Fa Mulan mengernyitkan keningnya. "Pendekar Kao?!"
"Kenapa Anda dapat kemari, Nona Fa?!" tanya pemuda yang
bernama Kao Ching itu dengan nada heran.
"Saya...." Kao Ching memintas. "Hei, sebaiknya kita tidak bicara di sini.
Saya khawatir pasukan Mongol akan menemukan Anda. Mudahmudahan mereka tidak mendengar suara pertarungan kita
barusan." "Ta-tapi, Khan...."
"Khan? Siapa dia?"
"Nama kuda saya. Saya harus menyelamatkan kuda saya itu!"
Kao Ching kembali menarik bahu Fa Mulan. "Jangan! Jangan ke
sana. Berbahaya. Nona Fa pasti akan tertangkap kalau ke sana.
Di sana banyak prajurit Mongol."
"Ta-tapi kuda saya...."
"Jangan khawatir. Orang Mongol sangat mendewakan kuda.
Mereka tidak akan membunuh kuda Anda, Nona Fa."
492 "Tapi, Khan pasti...."
"Tidak usah cemas begitu, Nona Fa. Kuda Anda pasti dibawa ke
tenda istal. Saya janji akan membebaskan kuda Anda setelah
diri Anda sendiri selamat. Saya akan menjelaskan kepada
prajurit jaga bahwa, kuda tersebut merupakan kuda saya yang
tersesat di dekat barak, sehingga mereka tidak akan curiga
kalau kuda tersebut adalah milik jasus Yuan. Sekarang, cepat
sembunyi sebelum pasukan Mongol menemukan Anda di sini.
Untuk sementara waktu, Anda dapat bersembunyi dengan aman
di tempat saya di sebelah timur dalam hutan bambu ini. Setelah
menginap sampai malam ini, besok fajar Anda sudah dapat
kembali ke markas Anda di pos pengawasan Tembok Besar."
Pemuda itu menarik tangan Fa Mulan setengah paksa,
meninggalkan area tengah hutan bambu. Ia sedikit lega setelah
mendengar janji pemuda berdarah Mongol itu kepadanya.
Mereka berdua berjalan dengan langkah separuh mengendap.
Cepat. Namun tetap berusaha bersikap mawas menghindari
beberapa tumpukan dedaunan yang dapat menyebarkan suara
riuh kala terinjak. Setelah kurang lebih tiga ratus kaki berjalan dari tengah hutan
bambu, mereka akhirnya berhenti di depan sebuah gubuk
bambu beratap rumbia. Ada gagak yang hinggap dan bertengger
di cangkrang bambu samping gubuk sewaktu Kao Ching
493 mendorong pintu. Sesaat sepasang daun pintu tua itu berderit
seirama dengan koak parau dari tembolok unggas berbulu hitam
tersebut. Suaranya yang sember dan patah-patah seperti
mengartikulasi keberadaan baureksa yang bergentayangan di
dalam hutan bambu. Daun pintu serupa jaro itu terpentang.
Di dalam masih menyala sebuah penerangan dari lampu minyak
samin. Fa Mulan masuk mengikuti langkah pemuda itu yang
sudah menyeret satu bangku bambu untuknya.
"Nona Fa...." "Panggil nama saya saja, Pendekar Kao," pintas Fa Mulan.
"Mulan." Kao Ching tersenyum. Dua kawah kecil di sudut bibirnya
terbentuk natural dan manis. "Baik, Mulan."
"Gubuk ini...."
Kao Ching berdeham. "Gubuk ini dulunya milik sepasang petani
rebung. Tapi sejak tanah lapang di seberang hutan bambu ini
dijadikan markas oleh pasukan Mongol, mereka pun mengungsi
ke tempat lain. Di gubuk inilah saya tinggal, menjauhi pasukan
Mongol yang pongah. Saya sengaja tidak tinggal di tenda barak
karena saya ingin menghindari peperangan. Rasanya lebih
tenang hidup menyendiri di sini. Pikiran dan perasaan saya lebih
tenteram. Saya dapat bermeditasi tanpa terganggu oleh hiruk494
pikuk militan barak," jelasnya panjang-lebar.
Fa Mulan mengangguk-angguk lalu menyisir suasana di dalam
gubuk kecil itu dengan matanya. Tidak ada apa-apa selain
sebuah meja dengan sepasang bangku yang terbuat dari
bambu. Di sudut kiri gubuk yang berlantai tanah tersebut,
terdapat amben bambu beralas majun setinggi keting. Di atas
amben terlihat balok bantal dari batang bambu berlapis kain
serupa yang sudah sobek dan mengumal. Dinding-dinding
gubuk nyaris kosong tak tercantol apa-apa selain sebuah busur
bergagang mohair dan karpai anak panah dari kulit rusa.
"Saya prihatin dengan situasi yang semakin menegang di daerah
ini. Petani-petani angkat kaki dari hutan bambu ini. Tidak ada
ketenangan lagi. Ah, sebagai Mongol saya merasa bersalah
karena secara tidak langsung telah mengganggu ketenteraman
penduduk di hutan bambu ini."
Fa Mulan mengangguk. Dilihatnya binar pada sepasang mata bola yang meredup di
hadapannya. Penyesalan dan keprihatinan yang tulus bermuasal
dari nurani. Pemuda itu memang prajurit resi.
"Maafkan saya," sesal Fa Mulan, menggugah keterdiaman yang
mengambang di dalam gubuk. "Saya sudah mengganggu barak
Mongol." "Tugas yang membawa Anda kemari," tukas Kao Ching. "Itu
495 bukan kesalahan Anda pribadi."
"Tapi, saya ada dalam posisi jasus, Pendekar Kao."
"Jasus lawan bukan berarti musuh, apalagi ditimpali dengan
sebilah pedang tanpa musabab."
"Seharusnya Anda dapat menangkap saya. Bukannya malah
menghindarkan saya dari sergapan pasukan Mongol tersebut."


Mulan Ksatria Putri Tionggoan Karya Effendi Wongso di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau saya ingin menangkap Anda, sedari tadi saat Anda
masuk ke hutan bambu ini, Anda pasti sudah saya tangkap
basah sedang mengintai barak Mongol."
"Oh, ternyata sudah sedari tadi Anda mengetahui keberadaan
saya di hutan bambu ini, Pendekar Kao?"
"Ya. Tapi saya sama sekali tidak menyangka kalau orang yang
mengintai barak Mongol itu adalah Anda, Mulan."
"Kenapa Anda tidak menangkap saya?"
"Korelasinya apa?"
"Saya ini pihak yang berseberangan dengan Anda. Saya
merupakan musuh Mongol."
"Tapi saya tidak pernah menganggap Anda musuh."
"Kenapa? Bukankah saya ini telah mengintai kekuatan armada
perang Mongol, dan suatu ketika pasti akan membocorkan data
itu kepada pihak Yuan? Saat ini saya merupakan orang yang
paling berbahaya bagi pasukan Mongol."
"Lalu, apakah dengan menangkap Anda akan membawa
496 perubahan signifikan untuk kesejahteraan rakyat Mongol?"
Fa Mulan terkesiap. Dipejamkannya mata meresapi sejenak
keteduhan dalam kalimat-kalimat pemuda itu. Masih adakah
prajurit resi seperti Kao Ching di dunia ini? batinnya sembari
menghela napas panjang kemudian.
"Maksud Anda?" tanyanya, ruap ekspresi yang tidak
memerlukan jawaban sebenarnya.
Kao Ching mengangkat kepalanya sejurus. "Seperti yang sudah
saya katakan kepada Anda sewaktu kita bertarung di pos
pengawasan Tembok Besar dulu, bahwa saya tidak setuju
dengan perang. Perang tidak membawa faedah apa-apa bagi
Mongol maupun Yuan. Perang adalahlah destruktifitas yang
hanya akan menghancurkan kedua belah pihak. Menang jadi
arang, dan yang kalah menjadi abu. Jadi, untuk apa saya
menangkap Anda?" "Tapi...." "Anda memiliki alasan untuk mengintai, seperti yang pernah
saya lakukan dulu, memata-matai Yuan dan jasus Mongol
sendiri di daerah perbatasan Tembok Besar. Saya yakin Anda
tidak bermaksud batil. Saya percaya Anda adalah prajurit darwis.
Prajurit sejati yang resi."
"Saya tidak seagung apa yang Anda maksud, Pendekar Kao,"
tolak Fa Mulan, tersenyum di ujung kalimatnya.
497 Kao Ching tertawa. "Ya, mungkin tidak serealis itu. Tapi, paling
tidak Anda adalah prajurit yang berhati baik."
Fa Mulan turut tertawa. "Kalau baik, saya tidak akan menjadi
prajurit wamil. Tapi saya akan menjadi pertapa, mengajarkan
kebenaran dan kebajikan kepada semua manusia."
"Mengejawantahkan kebenaran dan kebajikan tidak harus
menjadi resi. Sebagai prajurit yang bersenjatakan pedang dan
tombak, tidak berarti Anda tak dapat mengaplikasikan kebajikan
kepada semua orang. Prajurit yang gagah berani dan penuh
dengan pengorbanan merupakan wujud resi dalam bentuk lain.
Prajurit yang demikian tidak akan memandang perang sebagai
alternatif destruktif untuk mencapai tujuan tahana yang anani.
Tapi perang adalah proses akumulasi sebuah cita-cita murni
tanpa bahang ambisi. Perang untuk mempertahankan negara
dan memperjuangkan rakyat kecil yang tertindas adalah sahih.
Bukankah begitu, Mulan?"
Gadis berambut bukung itu mengangguk. "Tapi, sesungguhnya
Andalah prajurit resi itu, Pendekar Kao."
Kao Ching menggelengkan kepalanya pelan. "Saya hanya
pengelana gurun, Mulan."
"Apa bedanya dengan saya yang prajurit biasa?" aku Fa Mulan
merendah sembari menggambarkan maksud kalimatnya dengan
mengarahkan telunjuknya ke dadanya.
498 Mereka terbahak. Fa Mulan sejenak melupakan harab yang bakal memporakporandakan dua kubu, Tionggoan dan Mongolia. Juga ripuh
tentang Khan, kuda kesayangannya. Ia menghela napas,
menghirup udara dingin dari selusupan dedaunan bambu dan
gulma yang membawa renyai embun ke cupu hidungnya.
Satu orang prajurit sejati seperti Kao Ching memang tidak terlalu
berpengaruh apa-apa terhadap perkembangan kebajikan di
tanah babur Tionggoan. Tetapi ia yakin itu adalah awal mula
kebajikan yang mulai menunas di tanah kerontang Tionggoan.
Dan hal itu merupakan sebagian kecil dari mimpinya yang
sempurna. *** Nyanyian rerimbun daun bambu yang diembus angin masih
menyentuh dinding-dinding gulita. Suara itu menelusup di antara
gulma dan reranting. Beberapa partikel itu menghilang ke
senyap langit. Lalu sebagian kecil masuk ke dalam gubuk,
membelai indera pendengaran kedua anak manusia itu dalam
syahdu birama malam. Kao Ching mengungkap terus-terang. "Beberapa hari lagi
pasukan Mongol akan menyerang Yuan, Mulan!"
"Saya sudah tahu dari jasus Yuan yang sudah lama mengintai di
daerah ini. Terima kasih atas risalah Anda, Pendekar Kao,"
499 tanggap Fa Mulan, memejamkan matanya sesaat.
Kao Ching menarik napas panjang. "Saya prihatin atas rencana
penyerangan Mongol itu, Mulan."
"Mungkin semua itu takdir. Saya pun gamang. Pada akhirnya
rakyat jugalah yang akan menderita akibat perang. Ah, kita
harus bagaimana lagi?!" sahut Fa Mulan resah.
"Yah, saya pun sudah pasrah, Mulan. Saya tidak memiliki
legitimasi apa-apa mengurungkan niat ayah angkat saya untuk
menyerang Tionggoan. Beliau sudah dibahang ambisi, sebentuk
jumawitas setelah berhasil menaklukkan beberapa daerah
gegurun dan kota kecil di luar Tionggoan."
"Ya, sudahlah, Pendekar Kao. Maharana tak mungkin dielakkan
lagi. Saya hanya bisa berharap semoga semuanya lekas
berlalu." "Ya, semoga semuanya lekas berlalu."
Fa Mulan mengembuskan napas keras.
Ia menundukkan kepala, menatap lantai tanah merah di dalam
gubuk sebagai reaksi kerisauannya. Pandangannya mengitari
kaki-kaki meja, dan berhenti pada jendul di sisi dalam
sepatunya. Tiba-tiba, kelopak matanya meruak. Tertuju fokus
pada benda yang menyisip di antara matakaki dan batas sepatu.
Ia teringat sesuatu yang sudah lama menyertainya ke mana pun
juga. 500 Belati 'Rajawali Satu'! "Belati 'Rajawali Satu'!" serunya tanpa sadar.
Kao Ching terperangah. Menatap lamat gadis yang berseru
tanpa sadar di hadapannya. Ia seolah mendengar swara dari
svargaloka. Matanya berbinar-binar. Permata belahan jiwanya
yang hilang karena kecerobohannya telah teridentifikasi melalui
gadis yang tengah duduk di hadapannya.
"Belati 'Rajawali Satu'?!" tanyanya mendesis. "Kenapa Anda bisa
tahu perihal belati tersebut?!"
Fa Mulan mengeluarkan belati milik Kao Ching yang terjatuh
saat bertarung dengannya di pos pengawasan Tembok Besar
lalu, yang selalu disimpannya pada sisi sebelah dalam lapiknya.
Kao Ching menahan napas ketika melihat kilau keemasan belati
yang beberapa saat menghilang darinya. Ia mengembuskan
napas. Sungguh. Dewata seolah mengutus gadis itu untuk
menyerahkan kembali belahan jiwanya yang hilang.
"Belati ini milik Anda, Pendekar Kao!" sahut Fa Mulan,
menyodorkan belati bersarung emas itu kepada pemiliknya yang
semula. "Jatuh tercecer saat kita bertarung dulu. Saya
menemukannya, dan selalu membawanya ke mana pun saya
pergi. Saya berharap suatu saat belati ini akan kembali kepada
pemiliknya. Dan ternyata belati ini memang berjodoh dengan
Anda. Nampaknya belati ini sangat berarti buat Anda. Betul,
501 bukan?" Kao Ching mengangguk dalam-dalam, menerima belati
bersarung emas yang diangsurkan Fa Mulan kepadanya di atas
meja. Dipandanginya lamat-lamat belati itu setelah berada di
tangannya. Membolak-balik mata belati yang tajam serta
mengilap tersebut beberapa saat setelah mengeluarkannya dari
sarungnya yang estetik. "Terima kasih, Mulan. Terima kasih karena Anda telah
menyimpan belati saya dengan baik. Belati ini merupakan benda
wasiat mendiang ayah kandung saya kepada saya. Sebenarnya
ada dua. Belati yang lainnya, yang bernama 'Rajawali Dua' telah
diberikan kepada Auw Yang Kauw," ucapnya berterima kasih,
lalu menjelaskan muasal belatinya tersebut.
"Auw Yang Kauw?" Fa Mulan bertanya penasaran. "Siapa dia,
Pendekar Kao?" Kao Ching memaparkan. "Auw Yang Kauw adalah saudara
angkat setaklik saya yang kini tinggal di Kiangsu. Dia
sebenarnya totok Mongol. Tapi dia memakai nama Tionggoan
seperti saya sejak lahir."
Ranah Tiga Warna 2 Caesar And Cleopatra Karya G. Bernard Shaw Ugly Phobia 1
^