Pencarian

Pulang 1

Pulang Karya Leila S. Chudori Bagian 1


Prolog Jalan Sabang, Jakarta, April 1968 Malam sudah turun, tanpa gerutu dan tanpa siasat.
Seperti jala hitam yang mengepung kota; seperti segalon
tinta yang ditumpahkan seekor cumi raksasa ke seluruh per?
mukaan Jakarta. Seperti juga warna masa depan yang tak bisa
kuraba. Di dalam kamar gelap ini aku tak mengenal matahari, bu?
lan, atau arloji. Tetapi kegelapan yang mengepung ruangan ini
penuh dengan aroma bahan kimia dan rasa cemas.
Sudah tiga tahun Kantor Berita Nusantara, tempatku be??
kerja, dibersihkan dari kutu dan debu seperti kami. Tentara
adalah disinfektan. Kami, kutu dan debu yang harus dibersihkan
dari muka bumi. Tanpa bekas. Kini sang kutu mencari nafkah
di Tjahaja Foto di pojok Jalan Sabang.
Aku menyalakan lampu merah untuk mengecek beberapa
film yang tengah digantung. Mungkin ini sudah jam enam,
ka?rena aku bisa mendengar sayup suara adzan Magrib yang
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 1
PU LANG me?nyelip melalui kisi pintu. Aku membayangkan suasana se?
panjang Jalan Sabang, suara bemo yang cerewet, opelet yang
bergerak dengan malas, derit becak dan kelenengan sepeda
yang simpang-siur menyeberang, serta penjual roti yang me?
nye??rukan dagangannya. Aku bahkan bisa membayangkan
be??ta?pa angin meniupkan aroma sate kambing yang di??ba?
kar Pak Heri di pojok Jalan Sabang dan Asem Lama. Aku
bisa membayangkan dia tengah mengulek kacang tanah lalu
mencampurnya dengan kecap manis dan irisan bawang merah.
Dan aku masih ingat betapa sahabatku, Dimas Suryo, akan
mempelajari dan membahas bumbu kacang tanah Pak Heri
dengan intens sama seperti dia membicarakan bait-bait puisi
Rivai Apin. Semua kerewelan di luar itu biasanya ditutup dengan
bunyi siulan gerobak Soehardi, penjual kue putu langganan
kami yang senantiasa berhenti di depan Tjahaja Foto. Selain
aroma sate kambing Pak Heri, suara siulan itulah yang bisa
menembus memasuki kamar gelap. Biasanya kamar gelap
ini bisa mengalihkan suara-suara melalui warna hitam yang
mematikan. Tetapi bunyi dan aroma kue putu itu selalu ber?
hasil mengetuk pintu dan jendela. Itu pertanda aku harus
keluar dari ruang yang tak mengenal waktu ini.
Hari ini, entah mengapa, aku enggan melangkah keluar.
Aku sudah bisa membayangkan ruangan di luar tampak seperti
dunia yang muram: lampu neon yang menyiram lantai dan
lemari kaca; Soehardjo dan Liang yang meladeni pengunjung
yang mengambil hasil cetak foto atau memotret pas foto. Yang
belakangan ini adalah sumber mata pencaharian kami yang
tertinggi sejak dua tahun lalu. Hampir setiap hari, paling tidak,
ada sepuluh sampai lima belas orang yang harus membuat
surat keterangan tidak terlibat Gerakan 30 September yang
butuh pas foto. Bunyi siulan dari gerobak kue putu itu masih memanggil-
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 2
LEILA S. CHU DO RI manggil. Aku masih juga belum bergerak. Aku merasa bunyi
siulan itu bercampur dengan siul seorang lelaki. Perlahanlahan aku mendengar langkah tegap yang memasuki toko
kami. Kini aku tak tahu mana yang lebih ribut: siulan gerobak
kue putu atau debar jantungku.
"Selamat malam, Pak."
"Selamat malam," terdengar suara Adi Tjahjono, pemilik
toko Tjahaja Foto. "Bisa bertemu dengan Pak Hananto?"
Aku tak mendengar jawaban Adi. Aku membayangkan dia
agak curiga. Aku menduga tamunya berjumlah tiga orang; atau
mungkin mereka berempat. "Boleh saya tahu siapakah kalian?"
"Saya saudara sepupunya dari Jawa Tengah," terdengar
su?ara lelaki lain yang lebih halus dan terpelajar.
Adi terdiam. Aku tahu, Adi Tjahjono terpaksa takluk pada kehalusan dan
tata krama lelaki yang mengaku "sepupunya dari Jawa Tengah"
itu. Tetapi aku tak mendengar apa pun. Aku membayangkan
dia mencoba berpikir, berlama-lama.
"Hananto Prawiro, Pak," terdengar suara lain yang lebih
berat dan menekan. Seolah-olah jika Adi Tjahjono masih
menggunakan taktik mengingat-ingat, si suara berat itu akan
segera mendekat dan mencekiknya.
Di dalam kamar gelap, aku berdiri tidak bergerak dan
tak juga merancang siasat. Aku masih mendengar siulan ge?
robak putu yang kini seperti memainkan "Miroirs" dari Ravel.
Mengapa bukan "Bol?ro", aku tak paham. Mungkin "Miroirs"
selalu berhasil mencerabut rasa sentimentalitas.
Kamar gelap tak memiliki jendela. Jadi kalau pun aku
ingin menyelinap keluar dan lari, aku harus menggunakan
pintu, dan itu berarti secepat apa pun langkahku mereka akan
mengepungku dari segala arah. Tetapi aku memang sudah tak
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 3
PU LANG berminat hidup dalam perburuan. Bukan karena kehidupan
yang tak nikmat dan melarat. Bukan pula karena aku sudah
kehilangan gelora perlawanan. Tetapi kabar yang terakhir
kudengar, Surti dan anak-anak sudah dipindahkan dari Guntur
dan Budi Kemuliaan. Pada satu titik aku harus berhenti. Bukan
karena aku tak percaya lagi pada perjuangan. Te?tapi aku
ingin Surti dan ketiga anakku bisa hidup aman. Paling tidak,
aku berutang pada mereka selama tiga ta?hun hidup da?lam
perburuan. Terdengar derit pintu. Kenapa aku selalu saja lupa memi?
nyaki engsel itu. Suara Adi yang menyampaikan kedatangan
"sepupu dari Jawa Tengah" tergerus oleh siulan gerobak putu.
Aku tak terlalu mendengar pernyataannya, tapi aku tahu isinya.
Aku harus menyerahkan diri.
Kami saling memandang. Aku bisa melihat air mata yang
mengambang di pelupuk mata Adi. Aku tahu, dia tak berdaya.
Aku mengangguk dan mengambil jaketku. Hari ini tanggal 6
April 1968. Kulirik lenganku. Aku baru ingat, arlojiku sudah
kuberikan pada Dimas. Kudengar dia, Nug, dan Risjaf sedang
bersembunyi di Peking. Titoni 17 Jewels itu mungkin akan
membantunya lebih tepat waktu. Aku hanya mengamati warna
pergelangan tanganku yang belang.
Keempat "tamu dari Jawa Tengah" itu langsung menyam?
but kedatanganku. Dan entah bagaimana, keempatnya serentak
berdiri mengelilingiku dengan tangan terselip di balik jaket.
Tepatnya, mereka mengepungku sembari bersiap menembak
jika aku menyelinap dan lari. Salah satu dari mereka, mungkin
pemimpinnya, menghampiriku.
"Bapak Hananto, saya Lettu Mukidjo," dia tersenyum.
Dialah yang bersuara sopan dan penuh tata krama tadi. Kini
aku bisa melihat matanya yang bercahaya. Dia tersenyum puas.
Dari senyumnya itu selintas aku menangkap silau gigi emas
yang menyeruak melalui bibirnya. Aku tahu, dia puas karena
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 4
LEILA S. CHU DO RI ain aku adalah butir terakhir rangkaian yang mereka buru. Ratusan
teman-temanku sudah mereka tangkap sejak perburuan yang
dimulai tiga tahun lalu. "Mari ikut kami."
Lettu Mukidjo sungguh beradab, padahal aku sudah
siap digelandang dan ditendang kanan kiri. Menurut kabar
kawan-kawan, mereka penasaran sekali mencari aku hingga
me?nyebutku Sang Bayang-bayang. Aku mengangguk dengan
tenang dan melangkah diiringi keempat lelaki berbaju sipil
yang pamit pada Adi Tjahjono.
Malam telah turun. Tanpa gerutu dan tanpa siasat. Aku
mengikuti mereka menghampiri dua buah mobil yang diparkir
di depan Tjahaja Foto: Nissan Patrol dan Toyota kanvas. Lettu
Mukidjo, pemilik gigi emas, mempersilakan aku menumpang
jip Toyota kanvas. Aku membayangkan wajah Surti, Kenanga,
Bulan, dan Alam. Dan entah mengapa, dari seluruh kawankawanku, hanya wajah Dimas Suryo yang terus-me?nerus
mengikutiku. Ketika mesin mobil dinyalakan, aku me?nebarkan
pandangan ke seluruh malam di Jalan Sabang: gerobak kue
putu Soehardi, sate Pak Heri, warung bakmi godog, dan
terakhir lampu neon Tjahaja Foto yang berkelap-kelip. Untuk
terakhir kalinya. Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 5
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 6
ain DIIM ASS SSU YOO Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 7
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 8
Paris, Mei 1968 Dia muncul seperti selarik puisi yang belum selesai.
Di antara ribuan mahasiswa Sorbonne yang baru saja
mengadakan pertemuan, aku melihat dia berdiri di bawah
patung Victor Hugo. Rambut berwarna brunette, tebal,
berombak, melawan arah tiupan angin. Hanya ada beberapa
helai rambut yang dengan bandel melambai-lambai menutupi
wajahnya. Tapi, di tengah gangguan rambutnya yang menebarnebar ke sana kemari, aku melihat sepasang mata hijaunya
yang mampu menembus hatiku yang tengah berkabut. Hanya
sekilas mata itu menyapu ke arahku. Sedetik. Dua detik.
Setelah itu dia kembali sibuk memberi instruksi pada beberapa
mahasiswa yang mengelilinginya. Aku hampir yakin, dia
menyembunyikan senyumnya.
"Benarkah angin tak sedang mencoba
menyentuh bibirnya yang begitu sempurna"
Tapi angin bulan Mei kembali mengoyak-ngoyak ram?
but?nya. Cahaya matahari musim semi memang mencoba
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 9
PU LANG bertanding dengan sisa angin Paris. Dengan jengkel dia me?
ne?pis rambutnya; tidak dengan gerakan lentik seorang penari,
tidak pula dengan gaya seorang perempuan kenes yang bergeliat
mencoba menarik perhatian lelaki. Ini gerakan perempuan
yang tak sabar dengan gangguan kecil. Tubuhnya teguh dan
matanya tak mudah luluh. Dari jauh dia menyaksikan tingkah
laku beberapa rekan mahasiswa. Dia memiliki sepasang mata
yang tersenyum, meskipun bibirnya tetap terkulum. Sesekali
dia menggigit bibir bawahnya. Lalu mengecek arlojinya. Hanya
beberapa menit kemudian dia bertolak pinggang.
Seorang lelaki membawakan sebotol bir 1644 untuk dia;
lelaki berambut keriting, berkacamata. Mungkin kalau tidak
sekumuh itu dia termasuk lelaki Prancis yang tampan. Namun
aku yakin dia belum mandi sejak kemarin, sama seperti ribuan
mahasiswa Sorbonne lain yang mengadakan pertemuan untuk
menggelar protes atas ditahannya mahasiswa University of
Paris di Nanterre dan menentang penutupan kampus itu untuk
sementara. Aku bisa mencium udara bulan Mei yang penuh dengan
bau sangit tubuh yang jarang bertemu air. Bau mulut yang tak
bertemu odol bercampur dengan aroma alkohol, menguarkan
semangat perlawanan yang tak tertandingkan.
Aku iri. Aku cemburu. Pertarungan di Paris saat ini sungguh
jelas keinginannya. Jelas siapa yang dituntut dan siapa yang
menggugat. Perseteruan ini antara mahasiswa dan buruh
melawan pemerintah De Gaulle. Di Indonesia, kami akrab
dengan kekisruhan dan kekacauan tetapi tak tahu siapa kawan
dan siapa lawan. Kita bahkan tak tahu apa sesungguhnya
yang dicita-citakan oleh setiap pihak yang bertikai, kecuali
kekuasaan. Betapa porak-poranda. Betapa gelap.
Ada dua helai surat itu di saku jaketku. Sudah sejak awal
tahun semua yang dianggap terlibat Partai Komunis Indonesia
atau keluarga PKI atau rekan-rekan anggota PKI atau bahkan
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 10
LEILA S. CHU DO RI tetangga atau sahabat yang dianggap dekat dengan PKI diburuburu, ditahan, dan diinterogasi. Dik Aji menceritakan begitu
banyak kisah suram. Banyak yang menghilang. Lebih banyak
lagi yang mati. Surat pertama ditulis oleh adikku, Aji, yang isinya melarang
kami untuk pulang. Aji rajin menceritakan setiap kali teman,
tetangga, suami tetangga, atau kenalan, tersapu tentara.
Tetapi berita di dalam surat terbaru ini tak kukehendaki
ke?datangannya. Aku selalu berharap Mas Hananto jangan
pernah tersapu. Ternyata berita buruk itu tiba juga. Mas Hananto saha?
batku, atasanku, dan rekanku berdiskusi; suami Surti serta
ayah Kenanga, Bulan, dan Alam, akhirnya ditangkap di
tempatnya bekerja di Jalan Sabang sebulan lalu.
Tiba-tiba saja Paris berkabut. Hatiku gelap. Aku tak berani
membuka surat kedua. Aku tahu, surat kedua dari Kenanga,
puteri sulung Mas Hananto, akan membuatku semakin lum?
puh. Sungguh ganjil. Seharusnya malam itu para tentara men?
jeratku di Jakarta. Tetapi sekarang aku di sini, di tengah
ribuan maha?siswa Prancis yang bergelora. Di tengah jeritan
mereka aku mencium bau parit Jakarta bercampur aroma
cengkih kretek dan kepulan kopi hitam. Kilatan sinar di mata
mahasiswa Prancis ini mengingatkan kawan-kawan di Jakarta.
Kilatan mata dan semangat yang berbuih. Suara garang yang
penuh tuntutan untuk masyarakat yang lebih adil meski kelak
sebagian dari mahasiswa idealis itu akan menjadi bagian dari
kekuasaan. Semangat ini yang terpancar dari sepasang mata milik
sang perempuan brunette. Mata yang saat ini sedang menatap
Si Keriting Kacamata yang belum mandi. Kedua bola mata
hijaunya seperti mencotot keluar. Lelaki kumel itu tampak
jeri lalu meninggalkan sang perempuan. Dia membawa botol
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 11
PU LANG birnya, menenggak isinya, dan seketika lupa akan hasratnya
pada perempuan cantik itu.
Aku ingin sekali menghampiri perempuan itu. Pasti mata
hijaunya itu terdiri dari hijau daun anggur dan biru Samudra
Hindia. Aku ingin sekali berlindung di balik warna-warna
sejuk itu. Duduk-duduk atau bahkan celentang di atasnya,


Pulang Karya Leila S. Chudori di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seolah-olah warna hijau matanya adalah hamparan rumput
milikku dan warna biru aqua itu adalah langit yang terhampar
memayungiku. Aku ingin sekali bertanya, siapa gerangan yang melukis
warna hijau biru bola matanya? Siapa pula yang memahat
tubuhnya yang melekuk dan membelok begitu sempurna?
Badan dan mataku seolah sudah berangkat meng?ham?
pirinya, tetapi kakiku seperti kaki para narapidana yang akan
dieksekusi mati. Terikat rantai besi. Di antara embusan angin
musim semi Paris yang menderu-deru, yang mengejek rasa
jeriku, aku menatap sepasang kaki sialan yang mogok ini.
Tiba-tiba aku melihat sepasang kaki lain, sepasang kaki
yang mengenakan sepatu kets berwarna biru tua dan celana
jins pudar. Perlahan pandanganku naik ke atas. Dan mata hijau
campur biru itu kini berada di hadapanku. Begitu dekat.
"?a va."1 Mata hijau biru itu bisa tersenyum.
Dia datang seperti selarik puisi yang sudah genap. Meleng?
kapi nafasku yang mendadak terhenti.
"?a va." *** Vivienne Devereaux dan aku dengan cepat menjadi dua titik
yang melekat menjadi satu garis yang merayap, menyusuri pori1 Apa kabar.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 12
LEILA S. CHU DO RI pori tubuh Paris. Hanya beberapa pekan setelah pertemuan
pertama yang sekejap malam itu, alam mempertemukan kami
kembali di Rue de Seine. Aku tengah menatap deretan poster
penuh warna dan format yang menyelimuti Rive Gauche.
Aku kembali terlempar pada semangat kawan-kawan pelukis
di Indonesia yang gemar menggunakan warna-warni yang
mencolok: kuning kunyit, merah kesumba, atau ungu kebiruan
dengan corak yang beragam. Tetapi ada juga pelukis-pelukis
yang bertahan dengan lukisan teknik cukil kayu yang segera
saja mengingatkan aku pada beberapa karya seniman Eropa
Timur. Poster-poster ini terasa galak dan membentak, meski
aku harus menerjemahkan artinya untuk beberapa saat. Toute
la Presse est Toxique; La Lutte Continue....
"Perjuangan diteruskan...."
Ah, suara itu. Dia lagi. Vivienne berdiri di sampingku
lengkap dengan bola mata berwarna hijau dan bibir yang selalu
kubayangkan akan sempurna jika dikatup oleh bibirku.
Vivienne tersenyum dan menunjuk poster yang menam?
pilkan siluet enam orang dengan tulisan La Lutte Continue.
"Ini artinya ?Perjuangan diteruskan?," kata Vivienne dengan
manis menggunakan bahasa Inggris.
"Ah, semangat mahasiswa dan buruh bersatu?"
"Semangat seluruh rakyat Prancis," kata Vivienne tegas.
Aku mengangguk, tapi Vivienne menanggapi keraguan di
wajahku. Dia mengajakku ke salah satu warung kopi terdekat.
Vivienne memesan kopi untuk kami berdua. Kopi di Paris selalu
tersedia dalam cangkir mungil yang lebih cocok digunakan
untuk menyimpan sebutir berlian. Kali pertama mencobanya,
aku hampir terjengkang. Aromanya terasa kaya lemak dan luar
biasa legit. Apa yang mereka masukkan ke dalam kopinya?
Sekilo gula dan segalon susu?
Kini, kesekian kalinya sesapan pertama krim kaya lemak
itu menyentuh lidahku. Lagi-lagi aku tersedak. Ada apa dengan
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 13
PU LANG kopi wangsa Eropa ini? "Kenapa? Tidak suka?" Vivienne menyadari aku menelan
kopi itu dengan susah payah.
"Kamu mesti mencoba kopi dari Indonesia. Kami mem?
punyai ratusan, mungkin ribuan, macam kopi," kataku agak
berlebihan. Entah kenapa aku ingin dia terkesan dengan
tempat asalku. Pastilah dia, seperti juga orang Prancis lainnya,
belum tahu banyak tentang l?Indon?sie.
Vivienne tersenyum mendengarkan celotehanku tentang
kopi toraja, kopi mandailing, kopi tubruk, dan kopi luwak.
Aku menceritakan asal-usul kopi yang terbungkus kotoran he?
wan bernama luwak itu. Vivienne kelihatan mencoba sopan
dan tidak ingin menertawakan aku. Dia tak percaya. Aku bisa
membaca dari sepasang mata hijau yang mempertanyakan
bagaimana seekor binatang bernama luwak bisa menelan biji
kopi dan menyulapnya menjadi lezat. Apalagi setelah kusebut
kopi luwak sebagai kopi yang demikian dahsyat hingga pada
hirupan pertama kita seperti mencapai orgasme pagi. Vivienne
tertawa terpingkal-pingkal.
"Kamu sungguh membuat aku lupa tentang negaraku
yang porak-poranda ini," katanya terengah-engah di antara
derai tawa dan air matanya yang menyembul. Aku tergetar
mendengar rangkaian tawanya yang merdu.
"Porak-poranda?"
Vivienne mendadak berhenti tertawa.
"Kawan-kawan kami diserang polisi. Kampus ditutup dan
para politisi bingung."
Dia bukan mengeluh. Dia mengucapkan itu semua seperti
membaca fakta saja. Aku menyaksikan bibir Vivienne yang berceloteh. Dia
sungguh tak tahu arti porak-poranda di negeriku. Pasti berita
tentang Indonesia hanya memakan tempat sekadarnya di
harian Le Monde dan Le Figaro. Mereka memahami Indonesia
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 14
LEILA S. CHU DO RI dalam konteks sebagai sebuah negara di Asia Tenggara, yang
pada peta letaknya tak jauh dari Vietnam (bagi orang Prancis,
negara Asia yang dikenalnya hanyalah Vietnam dan Cina). Bagi
Vivienne dan kawan-kawannya yang tengah dibakar gelora,
kesia-siaan perang Vietnam adalah titik awal segala gerakan
generasi muda di Amerika dan Eropa. Jangankan mendengar
nama Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka. Jangan pula
menyebut peristiwa berdarah 30 September 1965, karena me?
reka masih pada tahap harus membuka peta untuk mencari
letak Indonesia. Vivienne terus saja menceracau tentang asal mula keingin?
an mahasiswa Nanterre yang kemudian berkembang menjadi
gerakan mahasiswa yang gigantik yang diikuti oleh para buruh.
Aku tak tahan. Aku tahu betul, jika Vivienne mengetahui apa
yang terjadi di Indonesia, dia akan menghentikan ceracaunya.
Tapi aku juga tidak (atau belum) ingin berbicara tentang
lautan darah di tanah airku. Bagaimana caranya menghentikan
celoteh ini? Aku memutuskan untuk pindah duduk ke samping
Vivienne. Aku mengambil dagunya yang lancip dan cantik.
Betul juga. Dia berhenti mencericit dan matanya yang hijau
membesar. Aku membaca gairah di sana. Akhirnya, kutu?tup
bibirnya dengan bibirku. Dan tanpa kopi luwak, kami meng?
alami pencapaian orgasmik melalui ciuman yang tak hentihentinya.
*** Selama beberapa bulan kemudian, Vivienne dan aku
berlagak seperti para fl?neur2 yang berjalan-jalan karena ingin
menikmati langkah kaki dan kota Paris. Revolusi Mei 1968
tiba-tiba seperti tak lagi bersisa. Prancis kembali menjadi
2 Pengelana. Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 15
PU LANG negara yang flamboyan meski tetap santun dan teratur.
Selama itu pula Vivienne tak memaksaku untuk bercerita
tentang diriku. Dia tak banyak?atau tepatnya, belum berani?
bertanya tentang sejengkal dua jengkal sejarah hidupku. Dan
aku sudah tahu banyak tentang dirinya.
Vivienne adalah anak bungsu keluarga Deveraux yang
berdomisili di Lyon. Kakak lelakinya, Jean Deveraux, sudah
lama bekerja sebagai tenaga sukarela Palang Merah di beberapa
negara Afrika.Dua sepupunya, Marie-Claire dan Mathilde, ber?
sama Vivienne menempuh pendidikan di Sorbonne. Mereka
adalah trio brunette galak yang suaranya terdengar lantang
selama demonstrasi bulan Mei. Bedanya, sementara MarieClaire yang bertubuh penuh itu gemar sekali memeluk siapa
saja yang ditemuinya, Mathilde justru selalu memandang
semua orang dengan mata penuh curiga.
Vivienne jelas seorang perempuan cerdas yang kepan?
dai?annya dipupuk oleh kehidupan keluarga intelektual kelas
menengah Prancis yang mementingkan pencapaian akademik.
Tetapi kecerdasan di Prancis, atau bahkan di seluruh Eropa,
mudah ditemukan di mana-mana. Yang membedakan Vivienne
dari kedua sepupunya adalah kepekaannya. Vivienne segera
saja paham bahwa sikapnya yang terbuka padaku itu tidak
otomatis mendapat barter sejarah hidupku. Dia menyadari,
kedatanganku ke Paris bukan karena aku adalah bagian dari
keluarga bourgeoisie yang sibuk mengutip Albert Camus
sebagai bagian dari kekenesan. Dia tahu betul, ada sesuatu
yang memaksaku berhenti dan tertahan di Eropa. Mungkin
dari caraku menghitung lembaran franc dengan hati-hati atau
karena aku hanya bisa berlama-lama di toko buku bekas tanpa
membeli. Dia sungguh perempuan yang penuh pengertian.
Tetapi yang luar biasa dari tubuh padat sintal berambut
brunette itu adalah, Vivienne tak memaksa aku untuk segera
mengeluarkan seluruh rinci sejarah kehidupanku versi
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 16
LEILA S. CHU DO RI ensiklopedik. Dia sengaja membiarkan aku meneteskannya
sedikit demi sedikit dari botol ingatanku.
Sebagai seorang pendatang baru, aku hanya akrab dengan
arah Metro area apartemenku yang kumuh dan beberapa
warung makanan Vietnam, yang lebih mirip dengan makanan
Indonesia dan Cina dibanding makanan Eropa yang sangat
hemat bumbu. Vivienne kemudian menawarkan diri untuk
mengantarku ke Biblioth?que Nationale di Palais Mazarin.
Dengan menggunakan kartu anggotanya kami meminjam
beberapa buku sastra dan politik. Perpustakaan itu begitu besar,
dan aku masih merasa terlalu kikuk untuk berani mengarungi
seluruh lantai. Aku berjanji akan ke sana sendirian, suatu
hari. Vivienne mengajakku mengelilingi bagian Paris yang tak
terlalu mahal untuk kantong pengelana sepertiku (aku belum
tahu bagaimana menyebut diriku: Pelarian? Pengelana?
Pengangguran? Atau agar sedikit lebih bermartabat: Penulis?
Wartawan tanpa koran?). Kami?yang terdiri dari aku
bersama tiga sahabatku yang bising?sudah mengunjungi Le
Grand Palais, gereja Notre Dame, dan menyusuri ?le SaintLouis. Kami berlagak seperti pengelana romantis yang siap
mencomot nama lokasi di Paris dalam (calon) sajak atau
novel kami. Padahal kami hanyalah sekelompok korban
politik Indonesia yang bertingkah seperti turis yang pura-pura
berhemat. Mungkin menertawakan diri sendiri adalah cara
kami bertahan. Entahlah. Berjalan-jalan menyusuri urat nadi Paris bersama
Vivienne tentu saja menjadi sebuah pencerahan. Mungkin
karena Vivienne adalah seorang perempuan maka dia lebih
paham dengan tubuh Paris. Tapi bukankah sastrawan seperti
Ernest Hemingway bisa menyusun huruf dan menata cinta
(meski belakangan, seperti biasa, berantakan) tentang Paris,
A Moveable Feast. Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 17
PU LANG Aku tak tahu apakah Paris menjadi sebuah perayaan yang
senantiasa bergerak seperti yang diutarakan Hemingway.
Untuk kami, Paris pertama-tama adalah Terre d?Asile. Sele?
bihnya, Sungai Seine, toko Shakespeare & Co, atau bahkan
bangku panjang di ?le Saint-Louis tempat pertama kali kami
berciuman begitu panjang, adalah suatu pengalaman yang da?
tang secara tak terduga. Jika Paris sebagai Terre d?Asile adalah
sebuah kebutuhan, maka hal-hal yang terseret bersama tubuh
dan jiwa Paris kemudian menjadi bagian tubuh kami.
Aku sudah sering menyusuri sebelah kanan Sungai Seine,
yang dianggap sebagai sisi yang populer dan disukai turis.
Kami berempat?Mas Nug, Tjai, Risjaf, dan aku?pernah saling
berjanji ingin menikmati seluruh Prancis sebelum bisa pulang
ke tanah air (entah kapan).
Tetapi Vivienne malah memperlihatkan bagian menarik di
sebelah kiri Sungai Seine yang terdiri dari deretan warung buku
bekas. Vivienne bahkan memperkenalkan aku pada Monsieur
Antoine Martin, seorang pensiunan polisi yang mencintai
sastra sedemikian dalam hingga bersedia duduk di warungnya
membacakan beberapa penggal novel Alain Robbe-Grillet dan
Marguerite Duras atau puisi karya Ren? Char. Pertunjukan
kecil-kecilan itu berhasil menarik pengunjung untuk membeli
buku-buku bekas yang dijualnya dengan harga cukup murah.
Hari-hari yang kami isi sebagai fl?neur ini sedikit demi
sedikit menyuburkan kosakata Prancisku. Semula kamus
otakku hanya terdiri dari kata oui atau non atau ?a va. Karena
Vivienne yang memaksa menambah sepuluh kata Prancis ke
dalam lemari kosakataku setiap hari, maka aku mulai belajar
bahasa jelita ini dengan serius. Tetapi, sebetulnya, ada satu
hal lebih penting yang menyebabkan tak henti-hentinya aku
melekat padanya. Matanya. Aku ingin sekali terjun ke dalam
matanya yang hijau itu, dan terkubur selama-lamanya di situ.
Dan bibir Vivienne adalah sepotong puisi yang belum selesai.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 18
LEILA S. CHU DO RI Aku yakin, hanya bibirku yang bisa menyelesaikannya menjadi
sebuah puisi yang lengkap.
*** Jakarta, Agustus 1968 Mas Dimas, Mas Hananto terjaring oleh empat orang intel bulan
April lalu. Kami mendapat kabar ini dari Pak Adi Tjahjono.
Kami tak tahu ke mana mereka membawa Mas Hananto.
Mungkin dia dibawa ke Guntur. Tapi ada juga yang memberi
informasi, dia dibawa ke Gunung Sahari IV. Kami belum
mendengar kabar apa pun dari dia.
Mbak Surti yang sejak peristiwa 65 terus-menerus
diinterogasi di Guntur, kini juga dibawa, Mas. Dia tidak
mau meninggalkan Kenanga, Bulan, dan Alam. Alam adalah
putera bungsu Mas Hananto yang baru berusia tiga tahun.
Akhirnya tiga anak itu diboyong bersama Mbak Surti ke
Jalan Budi Kemuliaan. Kenanga menyaksikan hal-hal yang
rasanya terlalu keji untuk anak usia 14 tahun. Bayangkan
bagaimana pula nasib kedua adiknya, Bulan yang masih
berusia enam tahun dan Alam yang masih kecil sekali? Ini aku


Pulang Karya Leila S. Chudori di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sertakan surat dari Kenanga untukmu. Menurut Kenanga,
Mas Hananto pernah berpesan bahwa Mas Dimas adalah
ayah kedua bagi mereka. Saya tak kuat membacanya, Mas.
Sekali lagi Ibu menekankan sebaiknya Mas Dimas
tetap di Eropa saja. Kami sudah merasa lebih tenang di
Jakarta. Perburuan semakin mengganas, bukan hanya
pada mereka yang dianggap komunis, atau ramah kepada
PKI. Kini keluarga atau sanak famili pun kena ciduk. Ada
yang dikembalikan, ada yang hilang begitu saja, ada yang
dihanyutkan ke sungai. Kebetulan Ibu dan aku hanya sempat
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 19
PU LANG dipanggil beberapa kali ke Guntur, tetapi kami diperbolehkan
pulang setelah seharian menjawab pertanyaan yang ituitu saja. Kebanyakan pertanyaan mereka berkisar tentang
kegiatan Mas Dimas dan apakah kami mengenal Mas
Hananto, Mas Nug, Bung Tjai, dan Bung Risjaf. Mereka
juga berkali-kali bertanya apa yang dilakukan Mas Dimas
di Peking beberapa tahun lalu. Bahkan, entah bagaimana,
mereka tahu bahwa seharusnya yang berangkat ke Santiago,
Havana, dan Peking adalah Mas Hananto.
Saat diinterogasi, aku bisa mendengar suara teriakan
orang-orang yang disiksa. Suara mereka melengking
menem?bus langit-langit. Dan aku hanya bisa berharap
jeritan mereka tiba ke telinga Tuhan. Apa yang disaksikan
dan didengar Kenanga jauh lebih mengerikan, Mas. Bacalah
suratnya dan tolong balas segera.
Jakarta sudah menjadi neraka. Doakan kami.
Adikmu, Aji Suryo *** Di suatu malam, di sebuah sepi, aku sudah tak tahan.
Ketika bulan bersembunyi dari salah satu lorong sempit di ?le
Saint-Louis, aku menarik dagu itu.
"Kamu tampak gelisah akhir-akhir ini," kata Vivienne.
"Aku mendengar kabar dari Jakarta."
Vivienne mengajakku duduk di sebuah bangku panjang.
Bangku yang kelak kuanggap begitu bersejarah.
"Bisakah kau menceritakan padaku? Percayakah kau
padaku?" Akhirnya dia berani juga melontarkan pertanyaan itu.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 20
LEILA S. CHU DO RI Pertanyaan tentang sejarahku yang penuh bercak darah.
"Peut-?tre,"3 aku menjawab seadanya, karena tak ingin
tubuhnya yang sudah melekat ke tubuhku itu menjauh.
Aku menyentuh bibirnya sekilas. Kulihat sepasang mata
hijau yang menyala dengan hasrat. Dia kemudian menarikku
dan kami berciuman begitu panjang. Aku merasa Vivienne
sudah memasuki seluruh hatiku, pori-poriku, dan jantungku.
Kalaupun aku diam, aku tahu, Vivienne sudah bisa menangkap
rasa pahit darah dan liurku. Dan pada saat itulah, aku tahu,
aku ingin merelakan Vivienne perlahan menguak tirai hitam
sejarahku. Aku mengeluarkan surat dari Kenanga Prawiro, puteri
sulung Mas Hananto. Aku mencoba menerjemahkan surat itu
ke dalam bahasa Prancis dengan kosakata yang terbatas.
Jakarta, Agustus 1968 Om Dimas yang saya sayangi,
Saya menulis ini ketika kami akhirnya diberi kesempatan
bertemu dengan Eyang Putri. Eyang Putri memberi pesan
bahwa Om Aji akan mengirim surat kepada Om Dimas dan
saya bisa menitip sekaligus dalam satu amplop.
Kami sedih. Tapi kami tak ingin hancur. Bulan April
lalu mereka membawa Bapak dan sejak itu kami tak pernah
bertemu beliau. Tak jelas Bapak ditahan di mana.
Itulah sebabnya, waktu mereka mau menahan Ibu, kami
semua diboyong. Ibu tak ingin berpisah dengan kami. Kami
juga tak ingin berpisah dengan Ibu. Bulan tampaknya tak
terlalu paham bahwa kita semua sedang berada di rumah
tahanan. Apalagi Alam. Ada beberapa om-om tentara yang
cukup baik pada kami memberikan mainan pada Alam.
3 Mungkin. Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 21
PU LANG Kami dibawa ke sebuah kantor?saya lupa namanya,
sebuah singkatan?di daerah Budi Kemuliaan. Kenanga
ingat sekali daerah ini karena pernah diajak berjalan-jalan
melihat pembangunan Monumen Nasional yang belum juga
selesai itu, Om. Di tahanan ini, Ibu ditanya terus-menerus. Setiap hari.
Sampai capek. Sampai kedua mata Ibu bengkak dan wajahnya
kehitaman. Sementara Ibu ditanya dari pagi sampai malam,
saya mendapat tugas menyapu, membersihkan beberapa
ruangan setiap pagi. Om, semula saya tidak tahu fungsi ruangan itu. Awalnya
saya hanya membuang abu dan puntung rokok saja. Tetapi
keesokan harinya saya harus mengepel bekas darah kering
yang melekat di lantai. Saya yakin banyak sekali yang disiksa
di sini karena saya mendengar suara jeritan orang-orang.
Laki-laki, perempuan. Banyak sekali. Bergantian.
Sebulan yang lalu saya menemukan cambuk ekor
pari yang masih berbekas darah. Saya terkejut. Gemetar.
Menangis tak habis-habis. Saya tidak bisa langsung bercerita
pada Ibu karena beliau tampak lelah dan sempat menderita
demam untuk beberapa lama. Saya jadi susah makan karena
mual-mual. Saya juga melihat dari lorong ada beberapa laki-laki
seusia Bapak yang digiring dengan wajah berlumuran
darah. Kenapa orang-orang ini disiksa? Dan kenapa mereka
bolak-balik mewawancarai Ibu saya dengan pertanyaan yang
sama? Saya sempat mendengar mereka membentak-bentak
Ibu dengan pertanyaan yang dibolak-balik saja: apakah
Ibu mengetahui kegiatan Bapak. Kegiatan kawan-kawan
Bapak. Apakah Ibu ikut dalam rapat-rapat Bapak. Apakah
Bapak pernah bercerita tentang kegiatannya dan seterusnya.
Mereka tampak selalu murka dan tak mampu berbicara
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 22
LEILA S. CHU DO RI dengan volume yang normal. Selalu harus berteriak.
Saya sedih dan takut. Bulan masih kecil dan cuma ngintil
saya ke mana-mana. Alam masih sangat kecil, jadi sesekali
mereka membiarkan Ibu menyusui Alam, meski setelah itu
Ibu harus kembali ke ruang untuk ditanya dan dibentakbentak.
Semoga Om Dimas baik-baik saja. Dulu Bapak pernah
berpesan, jika terjadi ada apa-apa saya harus melaporkan
pada Om Dimas. Hormat saya, Kenanga Prawiro *** Vivienne menatapku dengan mata yang basah. Untuk
waktu yang lama, kami berpelukan tanpa berkata-kata.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 23
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 24
PU LANG HANANTO PRAWIRO Di malam yang gerah itu, kami sama-sama duduk di
lantai apartemen Vivienne, tak melakukan apa-apa. Mataku
langsung saja merasa akrab dengan ruangan yang tak terlalu
luas itu. Buku, buku, dan buku. Selain karya-karya Simone de
Beauvoir, kulihat ada beberapa karya sastrawan Prancis lain
serta karya penulis Inggris, Irlandia, Jepang, Cina, dan India
yang bertebaran di sana-sini. Tetapi mataku agak terpaku pada
A Portrait of the Artist as a Young Man dan Ullyses karya
James Joyce. Seluruh buku wajib pemikiran politik Karl Marx
ada di satu rak khusus. Pada rak lain aku juga menemukan
semi-otobiografi Ayn Rand, We, the Living, dan novelnya yang
kontroversial, The Fountainhead. Dengan segera aku paham,
Vivienne, seperti juga aku, adalah seorang pengembara. Dia
ingin mengetahui dan memahami berbagai macam pemikiran
yang lahir pada setiap masa yang penting tanpa harus mampir
dan berhenti untuk menikmati pesona. Hm. Aku sungguh ingin
menerkam Vivienne dan tak melepasnya lagi selama-lamanya.
Vivienne membuka jendela apartemennya selebar mung?
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 25
PU LANG kin. Ia hanya mengenakan t-shirt tanpa lengan. Keringat yang
membasahi leher jenjangnya malah membuat aku ge?li?sah.
Dia mengambil dua botol bir Alsace yang dingin dan mem?
berikannya kepadaku. Vivienne mereguk bir itu seperti tak
ada hari esok. Aku bisa melihat urat lehernya yang kebiruan
ikut menggelegak seperti tengah berebutan meraup bir yang
mengalir ke dalam kerongkongannya dan sebagian tumpah
ke leher. Tetesan bir yang ikut bercampur dengan keringat
itu membuat aku berpikiran kurang ajar; aku sungguh ingin
menjilat leher jenjang itu.
Vivienne menyadari itu. Dia berhenti minum dan mena?
tapku sembari tersenyum mengganggu. "Ceritakan tentang
Indonesia...." Aku terdiam. Aku tak tahu bagaimana memulai kisah ten?
tang Indonesia. Dari keluargaku? Dari situasinya yang porakporanda? Dari Bung Karno yang semakin lama semakin tak
jelas arah politiknya? Apakah dia mencintai kawan-kawan di
sebelah kiri? Apa yang dia inginkan dari Nasakom? Dan semua
kawan-kawan di Jakarta yang terus-menerus mempersoalkan
kehadiran Bung Karno di Halim Perdanakusuma pada
saat peristiwa berdarah itu terjadi? Bagaimana aku bisa
menceritakan segala teka-teki ini pada Vivienne? Atau aku
hanya cukup memulai dari obsesiku dengan kisah-kisah
wayang? Isi gudang sejarah negaraku memang berantakan luar bia?
sa. Vivienne kembali menenggak Alsace dari botol tetapi tidak
menelannya. Dia duduk di atas pangkuanku dan menciumku
hingga bir yang disimpan dalam mulutnya mengalir ke
mulutku. Tiba-tiba saja aliran bir itu membuat seluruh butir
darahku berpesta pora, meloncat-loncat kian kemari dan
menyeruduk setiap sendi tubuh. Aku mencoba menahan diri
sekuat tenaga agar Vivienne tidak merasakan butir darahku
yang sedang jumpalitan. Tapi mana mungkin. Vivienne duduk
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 26
LEILA S. CHU DO RI di atas pangkuanku. Aku mulai panik. Tapi darahku bergelora. Tak bisa tidak,
akhirnya aku menjilati leher dan dadanya yang penuh keringat
dan tetesan bir Alsace. Di mataku, seluruh tubuh Vivienne
seolah ingin meledak keluar dari ikatan t-shirt yang terlalu
pas itu. Dan di mataku yang saat ini sudah tak punya sopansantun, kakinya yang panjang seperti meronta ingin keluar
dari penjara celana jins yang mengikatnya.
Vivienne jarang mengenakan bra di musim panas. Se?be?
tulnya aku sudah protes karena aku terpaksa menatap pu??
ting?nya di balik t-shirt yang menantang birahiku. Kurang
ajar. Bukankah aku harus konsentrasi untuk merancang masa
depanku di Paris? Segala sesuatu yang berlokasi di balik t-shirt
itu sungguh sialan. Akhirnya aku melancarkan gugatan serius agar dia menge?
nakan bra. Agar aku tenang tidak bergejolak.
Jawabannya? "Kau pernah merasakan betapa tak nyamannya menge?
nakan bra di hari sepanas ini? Nih," dia menyorongkan bra
berwarna merah ke depan hidungku.
Aku tak berkutik. Ludahku di kerongkongan terhadang,
tidak bisa ke mana-mana. Aku tak tahu apakah Vivienne menyadari betapa aku tak
tenang melihat putingnya yang menonjol di balik t-shirt itu.
Kenapa perempuan sering keji terhadap kami kaum lelaki?
Akhirnya aku memutuskan untuk berterima kasih saja kepada
alam dan segala yang mengitarinya yang membuat musim
panas di Paris begitu membakar hingga Vivienne menolak
mengenakan bra. Ini membuat segala proses jadi serba mudah
dan kilat. Tanpa harus mengucapkan puisi atau kalimat
cerdas dari salah satu buku yang kami baca, Vivienne dan aku
sudah saling berlomba melucuti baju. Begitu saja kami saling
menyerang dan membanting. Paris panas dan kami membara.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 27
PU LANG Hanya dalam beberapa menit kami sudah celentang telan?
jang di atas lantai memandang langit-langit apartemen. Ini
sebuah malam yang gerah di bulan Agustus. Dan di malam ini,
percintaan kami begitu hebat hingga terjadi berkali-kali.
"Pernahkah kau mencoba rokok kretek?" tanyaku.
Vivienne merebahkan kepalanya di atas dadaku, "Belum.
Aku mendengar dari Mathilde, dia membelinya di Amsterdam.
Katanya luar biasa."
Aku merogoh kantong jaketku dan mengorek-ngorek, "Ah,
masih ada sisa." Aku menemukan beberapa batang rokok kretek
dan menyalakan salah satu sembari mengisapnya bergantian
dengan Vivienne. "Ada rasa manis apa gerangan?" Vivienne tampak menik?
mati. "Cengkih yang dihancurkan," kataku mencoba menekan
ra?sa rindu pada aroma cengkih dan segala yang berbau
Indonesia. "Seharusnya sekalian menghirup kopi luwak," tiba-tiba
saja aku menyebut nama yang berbahaya itu. Merindukan
sesuatu yang eksotis di tengah Eropa dalam keadaan miskin,
sama saja dengan mengoyak hati. Indonesia dan segala yang
berhubungan dengannya seharusnya kututup dan aku kubur?
meski untuk sementara?agar aku bisa meneruskan hidup.
Pada saat itulah, aku seolah mendengar suaraku sendiri
yang membawa Vivienne ke Jakarta empat tahun lalu.
Jakarta, Desember 1964 Sebatang rokok kretek seperti sebuah pertanda bagi
kami. Setelah debat politik yang berkepanjangan, kami biasa
menutupnya dengan kopi hitam legam dan rokok kretek di
Pasar Senen. Saat ini, Jakarta bukan sebuah kota yang tenang dan
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 28
LEILA S. CHU DO RI nyaman. Kantor Berita Nusantara yang terletak di Jalan Asem
Lama seolah menarik garis demarkasi di antara kami: mereka


Pulang Karya Leila S. Chudori di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang bekerja sama dengan PKI, yang simpati pada PKI, yang
bergiat dengan kesenian Lekra, atau yang sekadar doyan
ngobrol dengan seniman Lekra. Di ujung spektrum adalah
mereka yang gerah dengan apa pun yang berbau kiri, atau
rekan-rekan yang sering berdiskusi dengan kelompok Pak
Natsir, seperti Bang Amir. Aku termasuk yang sembarangan.
Aku terpesona pada segala yang dicita-citakan Karl Marx.
Semua buku-buku Mas Hananto kubaca dengan hikmat.
Aku rajin ikut mendengarkan diskusi Mas Hananto dengan
kawan-kawannya di ruang redaksi di Jalan Asem Lama,
atau tak jarang juga kami meneruskan perdebatan sembari
ngopi di warung Kadir Pasar Senen. Tapi aku juga merasa
asyik dan nyaman berbincang dengan Bang Amir tentang
agama dari sisi spiritualisme.
Tapi rasa pesona itu berhenti pada sosok tubuh, bukan
jiwa. Jika Mas Hananto dan Mas Nug percaya bahwa masih
ada sesuatu yang virtuous dalam sosialisme, aku menemukan
banyak titik lemah dalam setiap teori. Aku menyampaikan
pada Mas Hananto bahwa memang ada hal-hal yang harus
dipegang pemerintah, seperti soal kesehatan atau layanan
publik. Tetapi ada beberapa hal yang lebih kupercayakan
untuk ditangani pihak partikelir.
Belakangan aku mulai merasakan panas di Jakarta, di
mana-mana. Bahkan aku ingat betul pada perang urat saraf
yang terjadi antara seniman Lekra yang menekankan karya
seni yang melibatkan persoalan sosial dan seniman nonLekra yang menekankan kebebasan dan kemanusiaan.
Bagiku karya sastra pada akhirnya adalah persoalan
cahaya dari hati. Cahaya karya itu tidak datang dari tema
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 29
PU LANG atau dari kisah penderitaan buruh atau petani. Cahaya itu
datang dari kemampuan karya itu untuk menyentuh batin
pembacanya. Dalam soal ini aku sangat berbeda pendapat dengan Mas
Hananto. Hananto Prawiro. Dia bukan hanya atasanku tetapi juga sahabatku.
Mungkin sesekali dia ingin menjadi mentorku. Tetapi dalam
kenyataan, Mas Hananto yang menjabat redaktur Luar
Negeri selalu saja sibuk meminjami aku buku-buku yang
diharapkan akan membuka wawasanku, yang dianggapnya
agak dikotori semangat borjuasi. Novel seperti Madame
Bovary atau naskah drama seperti Waiting for Godot dan
semua karya-karya James Joyce selalu diejeknya sebagai
karya-karya yang "asyik dengan diri sendiri".
"Self-indulgent! Sama sekali tidak menyentuh bumi; sama
sekali tak mempersoalkan perbedaan kelas dan kemiskinan,"
kata Mas Hananto suatu hari sembari menunjuk beberapa
babak novel A Portrait of the Artist as a Young Man.
"Stephen Dedalus sedang mencari diri melalui agama
dan kesenian. Saya rasa itu proses yang wajar saja," kataku
mencoba menjelaskan dengan rasa sia-sia. Aku membaca
novel itu berkali-kali dan belum pernah dilanda rasa bosan.
Dedalus sosok yang tragis sekaligus lucu. Yang terlalu serius
dengan dirinya sendiri. Tapi Mas Hananto tak bisa melihat
humor pahit dalam karya-karya seperti ini.
Pendapat Mas Hananto sudah terlalu sering diulangulang hingga jika telingaku bisa bicara, pastilah dia berteriak
betapa klisenya pendapat itu. Oh, terminologi realisme sosial
sedang menjadi barang sakti. Siapa saja yang ingin menjilat
Pemimpin Redaksi yang sangat dekat dengan petinggi Partai
Komunis Indonesia itu, tinggal sebut realisme sosial atau kutip
beberapa kalimat dari novel The Mother karya Maxim Gorky
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 30
LEILA S. CHU DO RI lalu berlagak seolah sudah membaca seluruhnya, pastilah si
penjilat masuk dalam lingkaran-satu klik sang pemimpin.
Untukku, The Mother?yang sudah diterjemahkan
Pramoedya Ananta Toer menjadi Ibunda?sungguh membo?
sankan. Itulah karya yang terlalu mementingkan sub?stansi
dan tak peduli pada gaya dan eksekusi penulisan. Kalau mau
meri?butkan substansi belaka, aku menyarankan mereka ja?
ngan berlagak jadi novelis atau penyair. Tulis saja pidato
atau esai propaganda. Mas Hananto pernah mengatakan, aku adalah seorang
Wibisono, adik Rahwana yang hatinya memihak kepada
Ramayana. Aku tak tahu siapa yang menjadi Rahwana dan
siapa yang menjadi Rama dalam politik Indonesia. Yang aku
tahu, Mas Hananto menganggap pendirianku tak mudah
ditebak. Sejujurnya, aku merasa seperti Bima yang sangat
mencintai Drupadi tapi harus pasrah karena Arjuna selalu
menjadi titik hasrat perempuan sejagat. Tetapi referensi Bima
ini tak ada urusannya dengan politik Indonesia, melainkan
lebih pada soal masa lalu cintaku.
Mas Hananto tahu, cara untuk mendekatiku bukan
dengan memerangi dan membantah seleraku. Dia tahu aku
mudah menertawakan novel-novel yang katanya membela
rakyat. Aku pernah bertanya kembali, bukankah kita harus
membela kemanusiaan, bukan hanya rakyat kelas bawah
saja? Kenapa kita tak menamakannya saja: merangkul
humanitas dalam diri kita. Mas Hananto hanya tertawa
terkekeh-kekeh. Tetapi, berbeda dengan Mas Nug yang sering
jengkel dengan kerewelanku, Mas Hananto tampak mencoba
memaklumiku seperti seorang abang sulung yang tengah
mendidik adik bungsunya yang tengil.
Itulah sebabnya, meski ada demarkasi di antara para
pengagum atau pengikut PKI dan non-pengikut, aku, yang
lebih mirip zona netral Swiss, juga berdiskusi dengan Bang
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 31
PU LANG Amir dan teman-temannya. Bang Amir, wartawan di Kantor
Berita Nusantara, sangat kritis terhadap Bung Karno?kritis
karena presiden kami ini terlalu mesra dengan pimpinan
PKI, dan juga karena M. Natsir dipenjara.
Posisiku membuat aku sering tidak nyaman dengan per?
gulatan dua kelompok di kantor, terutama kare?na Pemimpin
Redaksi adalah kepala suku kelompok Mas Hananto dan
Mas Nug yang dianggap kiri. Ketika Bang Amir yang sangat
vokal dan salah satu wartawan kami yang terbaik itu malah
disingkirkan ke bagian pemasaran dan iklan, aku bukan
hanya merasa heran, tetapi terhina. Tentu saja pemasaran
dan iklan adalah bagian yang sangat penting dalam
perusahaan apa pun. Tetapi Bang Amir adalah wartawan
andalan kami. Dialah yang paling luwes dan dikenal oleh
semua kalangan partai?kecuali Partai Komunis Indonesia
yang biasa menjadi narasumber Mas Hananto?dan yang
menulis dengan cepat dan efektif, sesuai fitrah tulisan sebuah
kantor berita. "Kenapa mesti merasa terhina?" suara Mas Hananto
agak meninggi ketika aku mempertanyakan keputusan para
petinggi memindahkan Bang Amir.
"Karena aneh, Mas. Dia dipindahkan begitu saja. Tak ada
alasan yang tepat. Terlihat betul ini pemindahan politis. Betul
kan Mas? Kalau betul, itu keputusan yang tidak tepat."
Mas Hananto memandangku dengan wajah masam,
meski dia tak menyangkal.
"Memang apa yang tidak politis dalam hidup?"
Aku benci setiap kali pertanyaanku dibalas dengan
pertanyaan. Dia boleh saja menjadi atasan, mentor, dan
seniorku dalam banyak hal. Tetapi tidak berarti dia selalu
benar. Tentu saja segalanya politis. Tapi ?membuang? Bang
Amir dengan alasan apa pun?dan itu pasti alasan yang
politis?bukan tindakan yang benar. Tidak adil.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 32
LEILA S. CHU DO RI "Dalam setiap perjuangan, Mas, kita harus siap dengan
beberapa gerunjal yang membutuhkan pengorbanan."
He? Apa-apaan, dia tiba-tiba merasa sedang berpidato
seperti Bung Karno. Apa urusannya perjuangan dan pembuangan Bang
Amir? Janganlah kau coba-coba berfilsafat untuk suatu
persoalan keseharian. Mas Hananto tampak tak nyaman
dengan roman mukaku yang mengkerut. Aku bukan sekadar
tak nyaman. Aku dilanda kemarahan. Hananto tahu, semakin
dia meladeniku, pertengkaran kami akan semakin meningkat.
Dia pergi meninggalkanku begitu saja.
Sore itu aku memutuskan mengunjungi rumah Bang Amir
di Salemba. Sebuah rumah di gang yang kecil dan teduh.
Saidah, isterinya yang berambut panjang, ikal, dan bersuara
seperti seorang ibu yang tak pernah marah, mempersilakan
aku duduk dan menyediakan teh panas.
"Bang Amir sedang Magriban. Sebentar ya, Mas."
Aku mengangguk. Kulihat Capita Selecta karya M. Natsir
dan beberapa buku lain berserakan di atas meja dengan
sebuah buku dan pena yang tertutup. Aku tahu, Bang Amir
sudah lama menjadi pengikut Masjumi. Dari jauh aku
memperhatikan betapa santun dan tulusnya sosok Pak
Natsir, meski pemahamanku tentang pemikirannya belum
terlalu mendalam. Sesekali jika kami berbincang, Bang
Amir menyatakan harapannya agar Pak Natsir keluar dari
penjara Malang. Sayang pembicaraan belum sempat tunai
karena kami lantas didera penulisan berita.
"Dimas Suryo..."
Suara Bang Amir dalam, seperti penyanyi Rahmat
Kartolo. Terkadang aku berbincang dengan dia hanya
karena ingin mendengar alunan suaranya yang berat dan
dalam itu. Tetapi, isi pembicaraan?selain pernyataan kritis
terhadap gaya manajemen Pemimpin Redaksi yang doyan
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 33
PU LANG berkelompok?dan pemikiran-pemikirannya juga tak kalah
menarik. Perkawananku dengan Bang Amir inilah yang
menyebabkan aku dianggap ?zona netral Swiss? di kantor.
Aku berdiri menyambutnya dan kami bersalaman dengan
hangat. Aku menahan diri untuk tak mengatakan aku kaget
melihat dia sudah menghilang dari ruang redaksi. Tetapi,
aku merasa Bang Amir paham kedatanganku disebabkan
rasa solidaritas sesama redaktur. Dia juga paham bahwa
aku sangat marah dengan keputusan Pemimpin Redaksi
yang memindahkannya tanpa alasan yang jelas. Entah
bagaimana, kami malah berbincang-bincang ke sana kemari
dengan asyik sambil menikmati kopi tubruk dan beberapa
batang rokok kretek, tanpa menyentuh topik sial itu sedikit
pun. Bang Amir malah bercerita bagaimana dia bertemu
dengan Saidah; bagaimana kali pertama mereka bertemu di
perkawinan kawan, mereka saling menatap dan langsung
jatuh cinta. Bagaimana dia tahu, selama ada Saidah
marabahaya apa pun akan selalu bisa diatasi. "Termasuk
soal aku dipindahkan ke bagian pemasaran," Bang Amir
akhirnya masuk ke teritori tabu itu. "Aku salat dan bersyukur
Tuhan memberikan Saidah di sampingku, Mas. Tanpa dia,
aku akan jadi kapal oleng. Dengan dia, aku bisa tenang dan
seimbang." Bang Amir kemudian segera keluar lagi dari teritori itu
dan malah berbicara soal spiritualisme dengan serius.
"Saya percaya, Allah memberi rizki kepada saya dengan
menyisakan sepetak ruang kecil di hati hamba-Nya. Dalam
sepetak ruang suwung, sebuah gelembung kekosongan,
yang hanya diisi antara saya dan Dia, di sinilah saya selalu
mencoba memahami apa yang terjadi, Dimas."
Aku tak terlalu memahami soal ?suwung? dan ?gelembung
kekosongan? itu, tetapi aku terpesona dan larut ke dalamnya
seperti bubuk cokelat cocoa yang begitu saja menyatu dalam
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 34
LEILA S. CHU DO RI air panas. Entah karena suara Bang Amir yang merdu atau
karena kata-katanya, aku terdiam.
"Kau belum mau berumah tangga, Mas?" tiba-tiba dia me?
lemparku pada dunia profan sembari menyeruput kopinya.
Aku tersenyum. Tiba-tiba bayangan Surti berkelebat.
Bersinar. Cemerlang. Dapur dengan aroma kunyit. Ciuman
yang menenggelamkanku ke dasar bumi. Aku terkejut.
Kenapa pula wajah itu muncul di saat seperti ini, di saat
aku sedang jengkel dengan Hananto?
"Aaah, kau kelihatan sudah punya seseorang. Cantik?
Siapa, Mas?" Aku tersenyum, menggeleng.
"Tidak Bang, aku betul-betul masih sendiri. Barangkali,
suatu hari." "Jangan takut kau, Mas. Kau akan bertemu dengan Sai?
dah-mu," dia tersenyum bijak seperti seorang abang kepa?da
adiknya. Aku tak tahan dengan ketulusannya. Aku berdiri,
mohon diri, dan memeluknya. Aku meninggalkan rumahnya
sembari berjalan mencari becak. Hatiku terasa diganduli besi.
*** Suatu malam, kami menyelesaikan penulisan berita lebih
dini daripada biasa. Ternyata kami sudah bisa menyelesaikan
pekerjaan pada jam sepuluh. Semula aku merencanakan
untuk mencari makan malam, lalu pulang. Tetapi Mas
Hananto memberi isyarat agar aku ikut bersamanya. Ketika
aku bertanya tujuan kami, Mas Hananto tersenyum dan tetap
memegang setir jip Nissan Patrol yang dia sayangi itu. Aku
tak mendesaknya. Sepanjang jalan Mas Hananto bercerita
bagaimana dia dan Mas Nug kini sudah meningkatkan
frekuensi berkorespondensi dengan orang-orang penting di
sekeliling Andr?s Pascal Allende.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 35
PU LANG "Keponakan Salvador Allende?" tanyaku seperti orang
dusun yang mendengar nama selebriti.
"Ya," dia tersenyum, "dan pendiri Movimiento de Izquierda
Revolucionaria." Aku terdiam dan sama sekali tak berani (atau tak ingin)
bertanya isi korespondensi mereka.
Mobil Mas Hananto berhenti di Jalan Cidurian, Menteng.
Aku terdiam. Aku tahu, itu adalah markas Lekra. Kulihat dari
kejauhan beberapa orang tengah duduk dan saling berdiskusi
dengan santai. "Mas...," aku berbisik.
"Tenang, aku ingin kamu mengenal kawan-kawan. Dan


Pulang Karya Leila S. Chudori di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku juga ingin memberikan sebuah buku untukmu."
Aku duduk di antara sembilan atau sepuluh orang yang
sedang berbincang dengan santai di sana. Tak terasa kami
terus saja menghabiskan kopi dan rokok hingga tengah
malam. Setelah selesai, Mas Hananto mengantarku ke tempat kos.
Dia menyerahkan sebuah buku berjudul Tikus dan Manusia
karya John Steinbeck yang diterjemahkan oleh Pramoedya
Ananta Toer dari bahasa asli Of Mice and Men.
"Ini milikku, ambil saja," kata Mas Hananto.
Aku terdiam, tak bisa mengucapkan terima kasih.
"Setelah kau membacanya, aku ingin tahu apakah bagimu
realisme sosial masih sesuatu yang tak menarik."
*** "Apa yang terjadi dengan Hananto dan keluarganya?"
Suara Vivienne menyentak, mengembalikan aku pada Paris
tahun 1968. Aku tak bisa menjawab. Vivienne paham bahwa
ceritaku masih memiliki babak-babak pahit sebelum akhirnya
aku mengumumkan nasib Mas Hananto.
Aku kembali menatap bola matanya yang hijau dan meraih
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 36
LEILA S. CHU DO RI wajahnya. Aku berdiri dan segera saja menyadari betapa
polosnya tubuhku. Kulirik Vivienne yang tampak mengamati
kakiku, lalu dadaku. Dia tersenyum.
"Surti dan anak-anak Mas Hananto masih dalam tahanan."
"Kenanga?" "Ya, puteri sulungnya."
"Nama yang cantik."
"Kenanga adalah nama bunga. Bulan adalah la lune. Alam
berarti la nature yang bungsu, baru berusia tiga tahun," aku
merepet sambil mengenakan celana dan menyembunyikan
wajahku. Aku belum ingin memberitahu Vivienne bahwa
nama-nama itu adalah nama-nama yang kuberikan saat kami
berkhayal. Dan "kami" berarti aku dan Surti.
"Hananto?" kata Vivienne.
Aku tak menjawab. Kepul rokok kami melingkar-lingkar
membawa kami ke dunia yang penuh kabut.
"Mas Hananto adalah mata rantai terakhir yang akhirnya
diringkus. Sebagian besar redaksi Kantor Berita Nusantara
disapu habis. Yang tersisa adalah kelompok Islam atau
kelompok sekuler yang dianggap menentang komunis. Juga
sudah pasti yang dekat dengan tentara."
Aku duduk. Terdiam. Masih menghitung jumlah lingkaran
rokok yang melingkar-lingkar tak putus-putus.
"Ada konferensi jurnalis di Santiago dan Peking," kataku
mencoba memberi konteks sejarah dalam ceritaku yang
meluncur sedikit demi sedikit. "Seharusnya Mas Hananto
yang berangkat ke sana bersama Mas Nugroho karena dia
yang senior dan lebih paham persoalan. Tetapi," aku terdiam,
dan Vivienne menanti dengan tatapan tak sabar, "saat itu Mas
Hananto berhalangan. Ada pekerjaan yang bertumpuk dan ada
urusan pribadi yang harus diselesaikan. Jadi aku menggantikan
Mas Hananto mendampingi Mas Nug. Mereka ingin betul aku
belajar banyak dari konferensi itu."
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 37
PU LANG Kini jari-jari Vivienne menyisir rambutku.
"Seandainya dia berangkat...dia tak akan tertangkap,"
kataku tiba-tiba merasa kedinginan. Aku mengenakan keme?
jaku. Masih juga terasa dingin. Musim apakah ini? Aku sudah
lupa. "Belum tentu!" Vivienne mengerutkan kening.
"Kenapa tidak?"
"Karena alam tidak bekerja demikian. Kalau Mas Hananto
yang berangkat, maka segala yang terjadi saat itu ikut
berubah. Kita tak tahu apa yang terjadi. Bisa saja jadi kau yang
tertangkap,bisa juga tidak."
"Aku akan merasa tenang jika aku yang ditangkap. Aku
tidak punya keluarga."
"Kau mempunyai Ibu dan Aji, adikmu."
Aku tak menjawab. Aku tahu Vivienne ingin menghiburku.
Dia memang perempuan yang baik dan lembut hati. Tetapi aku
sama sekali tak akan bisa terhibur setiap kali mengingat nasib
Surti dan anak-anaknya. Batang rokokku sudah habis.
Vivienne menyalakan rokok kretek yang baru untukku. Dia
mengisapnya, lalu memberikannya padaku.
*** Kawasan Triveli, Jakarta 5 September, 1965
Ini batang rokok yang kelima. Lama betul Mas Hananto
bergulat dengan perempuan itu. Aku melirik arloji. Sudah
pukul dua pagi. Kalau rokok ini sudah habis dan dia belum
juga beres nafsunya, aku akan pulang meninggalkannya.
Aku tak peduli jika besok dia menggerutu. Surti adalah
perempuan yang cantik, nyaris sempurna. Tak ada alasan
apa pun bagi Hananto untuk mengkhianati bunga seindah
Surti. Tingkah laku Hananto tak bisa kupahami. Tetapi,
karena aku bersahabat, aku terpaksa tahu bahwa Hananto
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 38
LEILA S. CHU DO RI mempunyai kekasih di mana-mana.
Ini kali ketiga aku terpaksa mengantar Mas Hananto
me?nemui Marni di tempat kos-nya di kawasan Triveli. Dia
mem?butuhkan aku karena aku adalah tameng bagi Surti.
Akhirnya dia keluar juga dari tempat kos Marni.
Berkeringat dan penuh senyum puas. Cengar-cengir meng?
hampiriku di warung rokok tempat dia memarkir mobilnya.
Bangsat! "Kenapa?" tanyanya sambil merokok.
"Kenapa apanya?"
"Kenapa wajahmu mengkerut?"
"Ini terakhir kali aku mengantar kau bergulat dengan
perempuanmu itu!" "Kenapa?" "Aku bukan kacungmu. Dan aku tak mau berpura-pura di
hadapan Surti." Wajah Hananto datar. Aku tahu, dia selalu pandai me?
nyem?bunyikan emosi. Dia hanya mengisap rokoknya. Kami
berjalan menuju mobil tanpa berkata apa-apa. Langit Jakarta
kosong tanpa bintang, sama seperti isi hatiku. Aku mengasihi
Mas Hananto. Dan aku menyukai perempuan. Tapi, bagiku,
kalau saja aku sudah beristeri, apalagi beristeri perempuan
seindah dan semulia Surti, berarti aku sudah memilih.
"Apa istimewanya Marni?" tanyaku mencoba memecah
keheningan. Hananto tersenyum. Dia tahu aku tak bisa berlama-lama
menyimpan kemarahan. "Dia membuat sel-sel tubuhku ber?
gerak dengan cepat," katanya dengan mata berbinar-binar.
"Jadi Mas Hananto mencintai dia?"
Hananto kini menyeringai, senyum yang selalu mem?buat
darahku melesat ke ubun-ubun karena itu menun?jukkan dia
sangat yakin dengan kata-katanya. Yakin bahwa apa yang
dijalaninya tidak menimbulkan persoalan bagi orang lain.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 39
PU LANG "Surti adalah isteri, pendamping hidup. Dengan Marni,
aku merasakan nafsu kaum proletar yang bergelora."
Duk! Hananto tiba-tiba sudah terjengkang. Aku tercengang
karena tak menyangka kepalan tangan kananku akan ber?
gerak begitu cepat dan mendarat di rahangnya.
*** "Attends une seconde!"1 tiba-tiba suara Vivienne
memotong layar masa laluku. Aku tersentak. Vivienne tampak
memandangku dengan wajah penuh tanda tanya.
"Kenapa kamu begitu marah?"
Suara Vivienne menuntut. Suaraku mogok di tenggorokan.
Bagaimana menjelaskan soal Surti pada Vivienne? Setangkai
melati yang tak pernah layu itu?
"Kamu marah karena kau pernah mencintai Surti!"
Kini aku yang terjengkang. Tepatnya terpana karena heran
bagaimana perempuan Prancis yang cantik ini bisa membaca
sesuatu yang tersirat. Berjilid-jilid sudah ceritaku meluncur tentang Jakarta dan
situasi politik di dalamnya, Vivienne selalu mendengarkan
tanpa suara. Baru kali ini dia memotong kisahku. Dengan
tegas. Hm. Aku mengering-ngeringkan tenggorokanku.
"Surti dan aku dulu pernah dekat...."
"Surti adalah kekasihmu di masa lalu," Vivienne mengo?rek?
si kalimatku, "dan kau marah karena Hananto memper?main?
kan perempuan yang pernah kau cintai." Vivienne menatap?
ku, seolah ingin mengecek apakah masih ada sisa-sisa kasihku
pada Surti. "Atau mungkin...kau masih mencintainya."
"Saat itu, aku hanya merasa Mas Hananto menyia-nyia?
1 Tunggu dulu. Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 40
LEILA S. CHU DO RI kan perempuan yang mencintai dia. Yang sudah memberikan
Kenanga dan Bulan untuk dia," kataku dengan jujur, meski
sengaja menghindar dari pertanyaannya.
Vivienne masih menatapku menyembunyikan senyum.
"Itu masa muda, Vivienne. Setiap orang punya masa lalu,"
aku meyakinkan Vivienne agar matanya yang hijau itu tidak
meredup. "Sungguh. Kini aku menghormati dan menyayangi Surti
seperti saudara. Dia adalah isteri Mas Hananto."
Vivienne nampak tak yakin. Aku sendiri tak yakin. Aku tahu,
setiap kali aku menyebut nama Surti hatiku masih bergetar dan
teriris. Mendengar nama Kenanga, Bulan, dan bahkan Alam, si
bungsu yang tak pernah kukenal itu, tetap membuat jantungku
berlompatan. Itu adalah nama-nama pemberianku. Aku tak
pernah tahu apakah Mas Hananto menyadarinya.
Tapi Vivienne memerintahkan dengan nada yang menekan
agar aku meneruskan ceritaku.
Kawasan Triveli, Jakarta, 5 September 1965
Hananto hanya mengusap rahangnya yang kesakitan.
Penjaga warung yang tertidur sama sekali tak terganggu
oleh keributan kami. "Mas...." Hananto mengelakkan wajah, menghindar dari pan?dang?
an mataku. "Kau belum selesai urusannya dengan Surti."
Aku tak menjawab. Percuma berpanjang-panjang ketika
kami sama-sama mendidih. "Jam berapa ini," aku menggumam karena tiba-tiba
saja ba?danku terasa rontok. Lututku seperti kehilangan
tempurung. "Sudah jam tiga pagi," Mas Hananto melirik arlojinya,
sebuah arloji Titoni 17 Jewels yang dia perlakukan seperti
jantung kedua, yang selalu saja melekat di lengannya.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 41
PU LANG "Makanya aku sudah bilang, beli arloji di Pasar Senen sana.
Tiap kali kau harus bertanya orang."
Nadanya memang menggerutu, tetapi aku tahu Hananto
sudah tak marah. Rahangnya pasti masih sakit. Aku duduk di
bemper mobilnya. "Mas, ini terakhir kali aku mencampuri urusanmu. Tapi
hidup di antara keluargamu dengan Marni dan perempuan
lainnya, menunjukkan kau tak konsisten."
Hananto mengambil sebungkus rokok dari warung dan
menawarkan sebatang kepadaku. Dia memberi isyarat agar
aku naik ke mobilnya. Jalan-jalan di Jakarta sudah sepi. Di dalam mobil juga
sangat hening dan hanya terisi oleh asap rokok.
Tak terasa kami sudah berada di depan arena proyek
Monumen Nasional yang masih berantakan karena belum
selesai dibangun. Aku sendiri tak tahu kapan monumen ini
akan selesai. "Jadi, menurutmu, aku tidak konsisten?" tiba-tiba
Hananto bergumam. Ini pertanyaan aneh, terutama untuk lelaki seperti
Hananto yang sangat yakin pada ideologi yang dipilihnya
dan perempuan yang mendampingi hidupnya.
"Ya Mas, kalau sudah berkeluarga. Sebuah keluarga
membutuhkan stabilitas dan konsistensi. Kalau mau meman?
jakan impuls, Mas, jangan kawin. Jangan membuat orang
lain menderita." Hananto melirik, "Ini bukan karena Surti?"
"Kamu tahu betul ini sama sekali tak ada hubungannya
dengan Surti," kataku tegas.
Dia memandangku serius, "Jadi, aku tidak konsisten, dan
kau merasa yakin dengan posisimu sekarang? Kau merasa
konsisten? Kau merasa tahu apa yang kau inginkan? Dalam
politik? Dalam kehidupan pribadimu?"
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 42
LEILA S. CHU DO RI Aku terdiam. Aku yakin itu hanya retorika.
"Kau menolak masuk ormas. Apalagi masuk partai.
Kau menolak memihak. Kau mengkritik Lekra tapi kau juga
mengkritik para penandatangan Manifes Kebudayaan."
"Ya, lalu?" aku menatap Hananto, menantikan dia
melanjutkan gerutunya. " Apa maumu, Dimas? Lihat kehidupan pribadimu. Kau
juga tak punya keinginan jelas. Apa karena hatimu masih
tertambat pada masa lalu, atau karena kau terlalu menyukai
masa bujanganmu?" Sekarang aku tidak paham, Hananto jengkel karena
aku tak mau memihak atau karena dia menuduh aku masih
mempunyai perasaan pada Surti?
Kenapa kita harus bergabung dengan salah satu kelompok
hanya untuk menunjukkan sebuah keyakinan? Lagipula,
apakah mungkin keyakinan kita itu sesuatu yang tunggal?
Sosialisme, komunisme, kapitalisme, apakah paham-paham
ini harus ditelan secara bulat tanpa ada keraguan? Tanpa
rasa kritis? Aku melirik tanpa memuntahkan seluruh pertanyaanku.
Hananto masih menyetir sambil sesekali mengusap rahang?
nya. Malam itu kami tak berkata-kata lagi hingga mobil jip
Hananto berhenti di depan tempat kosku. Aku tak tahu apa
penyelesaian debat kami malam itu.


Pulang Karya Leila S. Chudori di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yang aku tahu, mulai keesokan harinya hingga seminggu
kemudian kami puasa bicara. Di kantor, Hananto berbicara
seperlunya tanpa memandangku. Rahang dan pipinya mulai
bengkak dan biru. Dari jauh dia tertawa-tawa dengan Mas Nug dan
Pemimpin Redaksi. Aku berusaha tak peduli dengan kasakkusuk mereka. Aku tak pernah menduga bahwa pembicaraan
mereka bertiga kelak akan menentukan perjalanan hidupku,
nasibku, hingga masa depanku di sini yang terdampar di Paris.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 43
PU LANG "Dimas," Mas Nug melambaikan tangannya agar aku
menghampiri mejanya. *** "Kau dikirim ke Eropa?"
"Tidak. Konferensi itu konferensi di Santiago dan Peking."
"Yang satu di Amerika Latin, sesudah itu kau terbang ke
Cina?" "Vivienne, rute kehidupanku panjang sekali. Aku bahkan
sempat ke Kuba sebelum akhirnya ke Cina lalu ke tanah
Eropa," kataku menjenguk ke luar jendela. Paris dan Jakarta
seperti perbandingan antara air kelapa muda dan air selokan
yang hitam. *** Warung Kopi Jalan Cidurian, Jakarta,12 September,
1965 "Aku tidak tahu apa-apa soal IOJ, lalu kenapa mesti
diselenggarakan di Santiago," aku melempar amplop cokelat
besar ke atas meja warung kopi di pojok Jalan Cidurian. Ini
adalah kalimat panjang pertama yang kulontarkan setelah
kami berpuasa bicara. Amplop besar itu berisi undangan
konferensi para wartawan di Cile.
Hananto yang sedang menghadapi segelas kopi panas
pura-pura tuli. Dia menyeruput kopinya dengan bunyi yang
berisik, bunyi yang aku benci. Bebunyian orang yang sengaja
ingin membuat aku jengkel.
Aku duduk di sampingnya. Antara heran dan sekali lagi
ingin meninjunya. "Ini undangan untukmu, Mas. Kenapa mesti aku yang
pergi?" Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 44
LEILA S. CHU DO RI Hananto menunduk menatap kopinya. Tidak menjawab.
"Aku tidak bisa bahasa Spanyol. Aku tidak pernah ikut
kegiatan wartawan apa pun tingkat internasional. Aku tak
tahu apa yang harus kukatakan dalam sebuah konferensi
seperti ini," kataku merepet, gugup, dan marah karena dia
seenaknya melempar tugas seberat itu padaku.
"Keputusan Pemimpin Redaksi. Kau harus menemani
Mas Nug," Hananto bergumam.
Segelas kopi hitam begitu saja disediakan di hadapanku.
"Namanya saja IOJ, International Organization of
Journalists, ya pasti bahasa pengantarnya bahasa Inggris.
Ini konferensi tahunan para pimpinan media. Masing-masing
ada topik yang harus dipresentasikan," Hananto menyesap
kopinya lagi tanpa mau menatapku.
"Ini bagus untuk pengalaman. Teman-teman dari Harian
Rakjat juga akan ke sana," kata Mas Hananto mencoba
rasional, "Risjaf juga kita kirim ke Havana untuk urusan
Organisasi Asia-Afrika."
Aku terdiam. Dalam keadaan biasa pasti aku akan
bergurau dengan Risjaf membayangkan dia akan mencoba
setiap cerutu Kuba yang ditemuinya. Tapi, ini situasi yang
kelam. Ada sesuatu yang disembunyikan Mas Hananto.
"Kenapa bukan kau saja yang pergi, Mas?"
"Mas Nug sudah memutuskan kau yang mendampingi
dia mewakili kantor kita."
Mas Hananto tetap tak mau menatapku. Dia memandang
kopi hitamnya dengan seksama seolah ada seorang perem?
puan miniatur yang tengah tetiduran di pinggir cangkir
seperti seekor puteri duyung.
"Suhu Jakarta semakin naik. Kami mendengar banyak
gerakan di kalangan elite partai dan petinggi militer.
Pemimpin Redaksi merasa sebaiknya aku di Jakarta."
Aku terdiam. Baru kali ini aku mendengar Mas Hananto
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 45
PU LANG menguraikan sesuatu yang terdengar begitu ?internal?.
Tapi aku merasa ada hal lain yang dia sembunyikan.
"Nah, dari Santiago, kau sempatkan bergabung dengan
Risjaf di Ha?vana dan kawan-kawan untuk Konferensi
Wartawan Asia-Afrika di Peking," kata Hananto memberikan
penjelasan lebih lanjut. Aku masih tak mau bereaksi. Dan aku masih tak ingin
mereguk kopi yang disediakan di hadapanku.
Hananto melirik. Dia tahu aku tak akan patuh begitu
saja sebelum dia membeberkan duduk perkara yang
sesungguhnya. "Mulut kau itu kalau sudah mutung, mencibir ke depan.
Sudah bisa digantung kuali," katanya menggerutu.
Aku menanti dia bercerita. Tetapi Hananto tetap asyik
dengan asap rokoknya. Taik.
Aku berdiri dan meninggalkan secangkir kopi yang siasia dan selembar amplop cokelat berisi tiket dan undangan
ke Santiago itu di meja warung. Baru saja aku melangkah,
Hananto memanggilku dengan suara serak terpaksa.
Aku duduk kembali, masih dengan bibir mancung ke
depan. Hananto kelihatan setengah jengkel dan sedih. Aku
betul-betul tak paham apa yang sedang berkecamuk dalam
dirinya. "Aku harus tetap di Jakarta, Dimas...."
Aku menelan ludah. Untuk pertama kali aku melihat
air mata mengambang di pelupuk mata Hananto. "Surti
akan membawa anak-anak ke rumah orangtuanya," suara
Hananto terdengar parau. Aku terdiam. Aku tahu betul Kenanga dan Bulan sangat
dekat dengan Hananto. "Ada apa?" Hananto tidak menjawab. "Soal Marni?" Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 46
LEILA S. CHU DO RI Hananto menghela nafas. "Aku sedang berusaha meng?
halangi niat Surti. Karena itu, aku tak bisa pergi ke luar
kota atau ke luar negeri dulu. Urusan keluarga harus aku
beres??kan. Kalau perlu, aku tak akan ke kantor hingga
Surti meng??ubah keputusannya dan bersedia bertahan."
Aku meng???ambil amplop cokelat itu tanpa banyak bicara. Aku
me??ne??puk bahunya, meyakinkan bahwa semuanya akan baikbaik saja.
Hananto melepas arloji kesayangannya. "Selama meng?
ikuti konferensi, kau harus tepat waktu," dia menyodor?kan?
nya padaku. Aku tak bisa menolak. Malam itu Hananto sulit dibantah.
Aku menerima benda itu dan langsung mengenakannya.
"Setelah aku pulang nanti, aku yakin kalian sudah ber?
baik kembali," aku mencoba menghibur. "Tak mungkin Surti
me?ning?galkanmu, Mas. Dia hanya sedang marah saja. Per?
cayalah." Hananto mengangguk. Itulah kali terakhir aku bertemu dengannya.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 47
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 48
PU LANG SURTI ANANDARI Bagi warga Paris, musim semi berarti perubahan gaya.
Mungkin dengan selendang tipis berbunga yang membalut
leher; mungkin dengan sepatu semata kaki berwarna marun
atau topi kotak-kotak; mungkin dengan blus satin putih
membelai seluruh lengan. Bagi lelaki yang tak peduli dengan
mode sepertiku?kecuali itu berarti menutup tubuh agar tak
kedinginan?Paris pada musim apa saja adalah panggung
mode terbesar di dunia. Mereka tak merancangnya. Mereka
memang terdiri dari warga perancang sekaligus model. Mereka
tidak berlagak seperti peragawati. Mereka semua memang
warga yang hidup dengan penuh gaya. Menurutku, kosakata
haute couture hanyalah tipu daya industri yang berkonspirasi
dengan para desainer untuk mendapatkan duit berlipat ganda.
Tak lebih. Jadi musim apa pun di Paris, kita tak akan bisa
membedakannya karena semua warga Parisian terlihat begitu
modis dan luar biasa teliti dalam penampilan.
Dengan segala kemewahan dan mahkota yang disandang
Paris sebagai "The City of Light" ada satu hal yang tak dimiliki
Paris: bunga anggrek dan bunga melati.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 49
PU LANG ain Restoran Tanah Air di Rue de Vaugirard adalah sebuah
pulau kecil yang terpencil di antara Paris yang penuh gaya dan
warna. Kecil dibanding Caf? de Flore di Saint-Germain-desPr?s yang sejak abad ke-19 menjadi tempat tokoh sastra dunia
dan para intelektual berdiskusi, makan sup, dan minum kopi.
Restoran Tanah Air menyajikan makanan Indonesia yang
diolah serius dengan aroma bumbu dari Indonesia: bawang,
kunyit, cengkih, jahe, serai, dan lengkuas. Tetapi mungkin ini
semacam "Le Flore" buat kami para eksil politik Indonesia,
yang mengisi hidup dengan memasak makanan untuk para
pelanggan dan berpuisi pada malam hari, mengenang tanah
air yang kami kenal sebelum tahun 1965. Di sinilah aku duduk
bersama mereka: Risjaf, sahabatku yang paling tampan, jantan,
berambut ombak, berhati lurus dan tulus; Nugroho Dewantoro,
lelaki asal Yogyakarta yang berkumis Clark Gable dan selalu
gembira serta berhati baja; Tjai Sin Soe (yang terkadang
dikenal dengan nama Tjahjadi Sukarna) yang lekat dengan
kalkulator di tangan kirinya jauh melebihi nyawanya sendiri,
lebih banyak berbuat, berpikir cepat daripada coa-coa.
Setiap kali menjelang tengah malam, saat tamu-tamu
pu?lang, Tjai sibuk menghitung uang yang masuk dengan
kalkulator dan membagikan uang tips; Mas Nug mengecek
apakah selu?ruh ma?kan?an yang dibekukan sudah masuk ke
dalam almari pendingin; Risjaf memastikan seluruh kursi
dan meja sudah bersih dan mengganti poster acara jika sudah
berakhir; sementara Bahrum dan Yazir membersihkan piring,
gelas, mangkuk, sendok, garpu, dan pisau yang kotor.
Risjaf baru saja menyalakan televisi stasiun CNN yang
menyajikan beberapa detik pemberitaan bahwa Presiden
Soeharto terpilih lagi menjadi Presiden Indonesia ketujuh kali.
Kami tidak heran dan lelah. Berita itu seperti bunyi denging
nya?muk di senja hari di Solo. Tetapi sebetulnya yang menarik
adalah pemberitaan demonstrasi mahasiswa dan media di
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 50
LEILA S. CHU DO RI Indonesia yang mulai berani cerewet, karena kabinet baru
yang dibentuk Presiden berisi kroni dan puterinya sendiri.
Kami saling memandang. Risjaf mematikan televisi.
Badan lelah ini lebih baik dielus oleh kenangan yang
halus ketika kami semua masih polos dan percaya pada cinta.
Kami pun semua selonjor di ruang atas dan menikmati "Als
de Orchidee?n Bloeien" dari harmonika Risjaf. Bergetar dan
mengiris hati. Jika lagu "Anggrek Moelai Timboel" itu menembus seluruh
Paris yang tengah bersemi, maka kami semua teringat se?tang?
kai anggrek lain bernama Rukmini. Kami terdiam mengenang?
se?buah peristiwa tepat 45 tahun silam, sembari perla?han meng???????
hirup rum yang menghangatkan badan.
Jakarta, Januari-Oktober 1952
Ketiga dara cantik itu adalah bunga yang membuat Ja?
kar?ta menjadi bercahaya. Ningsih adalah setangkai mawar
merah dengan rona yang mencolok dan menggetarkan jan?
tung lelaki. Rukmini adalah anggrek ungu yang tak pudar
oleh segala musim. Sedangkan Surti Anandari, dia adalah
bunga melati putih yang meninggalkan harum pada bantal
dan seprai. Lelaki mana pun yang jatuh hati padanya tak lagi
bisa berfungsi tanpa bertemu dengannya.
Mereka adalah tiga mahasiswi yang bercahaya pada ta?
hun pertama Faculteit Sastra dan Filsafat, Universiteit Indo??
nesie di Jakarta. Kami yang sudah duduk di tahun ketiga
tentu saja dengan sok tahu dan sok senior menggoda-goda
mereka. Surti, Ningsih, dan Rukmini menyewa kamar kos di
Jalan Cik Di Tiro, sedangkan aku, Tjai, dan Risjaf sudah tiga
tahun berdiam di rumah kos di Jalan Solo. Di seberang tempat
kos kami adalah rumah Pak Bustami yang juga memiliki dan
menyewakan paviliun kumuh miliknya kepada Mas Nugroho
dan Mas Hananto yang sehari-hari sudah mulai bekerja di
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 51
PU LANG Kantor Berita Nusantara. Sesekali Tjai, Risjaf, dan aku suka
juga berkumpul di paviliun yang lumayan luas itu sekadar te?
tiduran atau bermain catur di atas dipan yang penuh bang?
sat. Kedua lelaki dewasa itu sering meminjamkan kepada
kami pelbagai buku: dari buku puisi penyair Eropa hingga
buku jorok berisi gambar perempuan dan lelaki yang saling
"menye??rang" dari segala sisi. Risjaf dengan mata terbelalak
mem??bolak-balik halaman buku jorok karena tak percaya tu?
buh? pe?rempuan bisa selentur itu. Mas Nug semakin sering
me?????min?jamkan buku-buku jorok yang lain karena menikmati
re?ak?si Risjaf yang polos. Jelas di antara kami, Risjaf adalah
le?laki tercakep tapi paling tidak berpengalaman dalam soal
pe??rempuan. Semula aku tak begitu tertarik memburu tiga dara maha?
siswi baru yang terlihat terlalu ceria dan terlalu manis itu.
Penampilan mereka rapi, priayi, dan tak mengenal kesu?
sahan dunia. Aku bahkan pernah melihat Surti dijemput
ayahnya yang mengendarai mobil Fiat 1100 berwarna putih
mulus. Dari jauh aku bisa mengkonfirmasi kekhawatiranku:
Surti adalah anak keluarga dr. Sastrowidjojo yang berdiam
di Jalan Papandayan, Bogor, daerah kaum priayi elite
yang dipayungi pepohonan rimbun. Sebuah keluarga yang
turun-temurun dokter terkemuka, yang ikut ber?peran besar
meletakkan fondasi rumah sakit CBZ. Bahwa Surti tidak
mengikuti jejak ayahnya untuk sekolah di Fakul?tas Kedok?
teran, pasti ada perjuangannya sendiri. Tapi men?dengar
cerita Mas Nug dan Mas Hananto tentang latar bela?kang
Surti, aku tak ingin repot dan sama sekali tak menu?naik???an


Pulang Karya Leila S. Chudori di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keinginanku untuk berkenalan dengan dia.
Problemnya, Risjaf tertarik betul pada Rukmini yang bi?
bir?nya merah merekah dan sesekali melontarkan kata-ka?ta
dengan nada judes. Semakin Rukmini celometan mengejek
Risjaf, semakin lelaki itu penasaran. Akhirnya, demi Risjaf,
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 52
LEILA S. CHU DO RI yang membawa-bawa nama Rukmini hingga ke alam mimpi
(aku sering terbangun karena igauannya yang berisik), aku
memutuskan untuk mengajak tiga dara can?tik berkencan
bersama-sama teman-temanku.
Semula ketiga dara sama sekali tak memberi balasan atau
lirikan apa pun. Mereka lebih menyibukkan diri berbincang
dengan para mahasiswa Faculteit Hukum yang gemar me?
nyi???tir ayat-ayat hukum (Untuk apa coba? Siapa yang mau
in?de?hoy sembari mendengarkan kitab undang-undang yang
masih kebelanda-belandaan itu? Bukankah lebih mena?rik
ke?ahlian kami menyitir bait puisi?). Tetapi aku tahu, dari
tingkah mereka yang berlagak acuh tak acuh itu, paling ti?
dak Surti sering menyembunyikan senyum. Sesekali aku
me?nangkap matanya yang berbinar seperti bintang itu me?
li?rikku, dan dia segera mengalihkan perhatian saat pan?dang?
an kami bertumbuk. Sejak itu aku tahu, dialah bunga melati
yang ingin kupetik dan kusimpan di hatiku.
Suatu hari, kuselipkan ke dalam jari-jemarinya sebait
puisi karya Lord Byron, She Walks in Beauty, sebelum dia
melang?kah ke kelas. "She walks in beauty, like the night/of
cloudless climes and starry skies...." Aku pergi melangkah
begitu saja tanpa menghiraukan panggilannya karena
khawatir dia tak menyukai puisi yang kukutip itu. Ternyata
keesokan harinya dia menyelipkan balasan, sepotong syair
Elegi karya Rivai Apin: Apa yang bisa kami rasakan, tapi tak
usah kami ucapkan/Apa yang bisa kami pikirkan, tapi tak usah
kami katakan.... Bukan saja puisi itu menggetarkan tetapi sepotong kertas
itu meruapkan harum melati.
Untuk beberapa hari kemudian, komunikasi kami hanya?
lah saling bertukar puisi tanpa banyak bicara. Terka?dang aku?
memberikan sehelai kertas berisi potongan adegan romantis
dari drama William Shakespeare, Romeo dan Juliet, yang
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 53
PU LANG kemudian dibalas dengan potongan puisi dari Keats: Bright
star, would I were steadfast as thou art/Not in lone splendour
hung aloft the night. Surti Anandari bukan hanya setangkai melati; dia adalah
bintang terang di tengah malam.
Pada suatu ketika, aku menantinya keluar dari ruang?
an kuliah. Seperti biasa Surti sudah menyiapkan tela?pak
tangannya untuk kuberi sepotong kertas ber?isi puisi atau
potongan adegan drama. Aku tersenyum. Begitu ia meng?
ayunkan tangannya, aku menangkap dan meng?geng?gam?nya.
Surti terkejut dan menghentikan lang?kahnya. Ia menatapku
penuh tanya. Aku mendekatkan bibirku ke telinga??nya, "Aku
ingin bersamamu. Selamanya."
*** Hubunganku dengan Surti pada bulan-bulan pertama
berjalan seperti yang dialami pemuda dan pemudi di masa
itu: santun, manis, dan bersahaja. Setiap kali nafas kami
sudah saling mendekat, setiap kali pula Risjaf dan Tjai
mendehem-dehem agar kami menjauh lagi. Surti dan kawankawannya sesekali bertandang ke tempat kos kami sekadar
membawa penganan, berbincang barang beberapa detik,
lalu permisi pulang karena "tak elok jika perempuan terlihat
menghampiri sarang lelaki".
Setiap kali Surti, Rukmini, dan Ningsih mampir, tiba-tiba
saja tetangga depanku duo ganteng Mas Nugroho dan Mas
Hananto merasa perlu bertandang untuk meminjam gelas
atau piring (yang setelah itu sama sekali tak digunakannya)
atau pura-pura membantuku membuat nasi goreng. Jelas
mereka ikut-ikutan meriung di tempat kos kami karena
kehadir?an ketiga bunga cantik itu, bukan karena nasi
gorengku yang sangat disukai masyarakat mahasiswa Ja??lan
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 54
LEILA S. CHU DO RI Solo. Dengan lihainya Mas Nug dan Mas Hananto berpurapura menemaniku merajang cabe, mencampurkan terasi dan
kupyuran minyak jelantah, sembari wara-wiri menggoda
tiga dara itu yang diakhiri dengan tawa sipu-sipu mereka.
Risjaf dan Tjai saling memandang geram tak berdaya. Kami
bertiga adalah mahasiswa hijau; mereka lelaki dewasa yang
sudah tahu cara memelihara kumis se?demikian rupa agar
terlihat seperti Clark Gable.
Dari berlagak meminjam gelas atau "membantu Dimas
masak" di tempat kos kami, Mas Nug dan Mas Hananto ber??
hasil menjerat tiga dara itu untuk mampir ke paviliun busuk
mereka. Mas Nug, yang tentu saja punya duit berlebih diban?
ding mahasiswa seperti kami, sering memamerkan piringan
hitam miliknya, dan karena itu ketiga kembang kampus
bersedia berdiam agak lama di paviliun mereka untuk men?
dengarkan satu atau dua lagu Sam Saimun. Mas Nug su?dah
pasti akan ikut bersenandung dengan suaranya yang sama
sekali tidak kenal nada, hingga merusak keagungan suara
Sam Saimun. Kadang-kadang ketiga dara tertawa-tawa
men???dengarkan gurauan Bing Slamet dan Adi Karso dari ra?
dio?milik Mas Hananto yang memasang saluran RRI.
Untuk sesaat aku mengira Mas Hananto tertarik pada
Rukmini yang berbibir merah. Aku menyadari betapa Risjaf
kelojotan namun tak berani memperlihatkan kecem?bu???ru?an??
nya. Belakangan, aku baru menyadari ternyata Mas Hananto
membantu Mas Nugroho untuk mencari tahu ten?tang? Ruk?
mini. Persaingan merebut hati Rukmini antara Risjaf dan
Mas Nugroho semakin meningkat dan memanas. Dan sebagai
saha?bat, aku berniat mendukung Risjaf.
"Dimas, pinjamkan aku buku-buku puisimu," Risjaf
dengan gelisah mengobrak-abrik meja kerjaku.
Lelaki kelahiran Riau yang begitu tampan, berambut
ombak, dan bertubuh tinggi besar itu sibuk mengorek-ngorek
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 55
PU LANG rak bukuku untuk mencari buku puisi, padahal dia sendiri
sebetulnya adalah perwakilan dari segala kejantanan. Dia
tak membutuhkan puisi apa pun untuk menaklukkan Rukmini.
Sepasang mata Risjaf memancarkan ketulusan yang dalam.
Aku mencengkeram bahu Risjaf dengan jengkel, "Sjaf!
Rukmini sudah sejak awal menyukaimu. Tak perlu kau ber?
puisi-puisi dengannya. Ajak saja pergi, berkencan...."
Risjaf menatapku tanpa berkedip, "Kau memang pandai
bercakap, Dimas. Aku tak tahu harus mengucapkan apa se?tiap
kali bertemu dengan Rukmini. Jantungku berhenti ber?detak."
Ah, Risjaf..... Aku menyuruhnya duduk dan bernafas. Dia duduk di
tepi tempat tidurku dengan patuh. Rambutnya yang tebal
ber???gelombang itu awut-awutan. Butir-butir keringat sebe?
sar kelereng menghiasi dahi dan mengalir ke pipinya. Risjaf,
lelaki Melayu baik hati yang sama sekali tak menyadari ke?
tam??panannya. "Risjaf, kau tatap mata Rukmini dan sampaikan dengan
tenang bahwa kau ingin mengajaknya pergi."
Risjaf menganga, "Ke mana?"
Astaga...mengapa wajahnya yang tampan itu berubah
menjadi dungu? "Ya pergi. Berkencan. Nonton film Solo di Waktu Malam di
bioskop Metropole, atau makan di Tan Goei, minum es krim
Baltik. Atau, kalau mau yang lebih hemat, jalan-jalanlah
sana ke Zandvoort." Risjaf masih menganga dan mengulang-ulang kata
Zandvoort. Zand...voort. "Cilincing!" aku setengah membentaknya.
"Ah, kau saja yang bicara pada Rukmini, Mas," kini dia
memelas sekali. Ya ampun. Selama dua jam penuh penderitaan kuberi kursus kepada
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 56
LEILA S. CHU DO RI lelaki tampan yang rada bodoh dalam soal perempuan ini.
Risjaf mengangguk-angguk sembari mencatat dengan giat
tempat-tempat yang bisa dikunjungi bersama Rukmini. Dia
segera mandi, mengganti kemejanya dengan hem warna
biru polos. Rambut diberi minyak dan disisir rapi. Notes yang
berisi kuliahku tadi dimasukkan ke dalam saku celana, seo?lah
itu bisa membantunya berbicara dengan lancar.
Malam itu, aku sedang ?libur?. Surti tengah berakhir pekan
dengan orangtuanya di Bogor. Kuberi restu pada Risjaf agar
upayanya berhasil. Hanya setengah jam kemudian ku?dengar
suara ketuk pintu yang lemah. Ada apa?
Risjaf masuk dengan lunglai seperti topo dapur yang
lecek. Dia menunduk dan langsung saja ngabruk ke tepi tem?
pat tidur. "Kenapa Sjaf?" "Aku ke tempat kos-nya di Cik Di Tiro...."
"Lalu?" "Dia pergi." "Ya kan bisa ke sana besok-besok, Sjaf."
"Dia pergi dengan lelaki lain, Mas!" Risjaf menyentakku.
Aku terdiam. Hatiku mendadak copot, lepas dari eng?sel?
nya. Risjaf menatapku; matanya berwarna merah. Mungkin
dia marah atau mungkin dia terluka. Suara Risjaf terdengar
perlahan, tetapi seperti ledakan bom di telingaku.
"Ibu kos mengatakan dia pergi bersama seorang lelaki
bernama Nugroho." Malam itu kubiarkan Risjaf menggeletak di tempat ti?dur?
ku, memainkan harmonikanya mengulang-ulang lagu yang
sama: "Als de Orchidee?n Bloeien". Setelah dia memainkan
kelima kalinya, aku hampir saja merebut harmonika itu
karena telingaku sudah mulai membusuk. Tetapi kulihat air
matanya mengambang, maka kuurungkan maksudku. Lewat
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 57
PU LANG tengah malam, sang Anggrek tak juga "timboel". Masih dalam
hem biru yang sudah lecek itu akhirnya Risjaf tertidur sambil
mendengkur. Aku tidur di atas lantai menatap langit-langit.
Insomnia menderaku. Ada hal-hal tentang perempuan yang
tidak aku pahami. *** Untuk pekan-pekan berikutnya, aku menemani Risjaf ke
ma?na-mana. Ke kampus, ke perpustakaan, ke pasar Senen, ke
Me??tro??pole. Ke mana saja, asal dia jangan diajak ke tepi sungai
atau tepi sumur, karena lagak lagunya memperlihatkan seo?
rang lelaki yang sudah tak ada harapan hidup. Aku bahkan
harus menemaninya jika dia berjalan melalui paviliun
Nugroho, ka?rena entah bagaimana kumpulan ludahnya
sudah siap dimun?cratkan. Cuih! Aku mencoba toleransi
dengan kemarahan gaya Risjaf. Toh dia meludah di jalan,
bukan ke wajah Mas Nugroho. Dan Risjaf bukan tipe lelaki
yang bisa menunjukkan kema?rahannya secara terbuka. Dia
juga tahu, Rukmini belum pernah jadi miliknya. Apa haknya
untuk ma?rah? Tapi ini tak bisa dibiarkan selamanya. Masalahnya,
Nugroho juga tidak sensitif terhadap Risjaf yang hatinya
te?ngah retak. Beberapa kali Rukmini mampir ke pavi?liun
seberang. Meski hanya untuk beberapa detik, kami bisa me?
nyaksikan itu semua dengan nyata. Risjaf segera masuk ke
dalam kamarnya, menimbun diri dengan berbagai diktat ku??
liah tanpa ingin keluar lagi.
Aku sempat mengutarakan masalah ini kepada Surti,
yang ter??nyata dibalas dengan nada heran, "Risjaf menyukai
Ruk?mini?" "Ya. Kau tak tahu?" aku menggerus bawang merah, cabe
merah, bawang putih, dan sekerumpulan kunyit dengan ga?
nas, seolah merekalah yang membuat Rukmini pergi dari
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 58
LEILA S. CHU DO RI Risjaf. Di hari Minggu siang itu aku berjanji memasak ikan
pindang serani untuk menghibur hati Risjaf yang masih
saja didera dukalara. Ini resep masakan ibuku yang biasa
menghibur aku dan Aji di kala kami sedih karena rindu Bapak
yang se?ring bepergian. Aku berharap mungkin saja Risjaf
cepat be?res dan perhatiannya beralih ke perempuan lain. Tjai
sedang ke?na giliran menemani Risjaf untuk meminjam diktat
ke salah seo?rang kawan sementara aku memasak ditemani
Rukmini. Potongan ikan bandeng, butir-butir bawang merah, tomat
hijau, dan daun jeruk sudah kurapikan di satu sisi. Kini aku
sedang menggerus beberapa potong kunyit, cabe merah, dan
bawang putih itu dengan penuh semangat. Kulitku mengu?
ning. Gerumpulan bumbu kuning kunyit dan merah cabe ber?
muncratan. Surti menghampiriku dan memegang tanganku.
"Bagaimana Rukmini bisa mengetahuinya, Mas?" dia me?
ng?elus-elus tanganku. "Setiap kali bertemu, Risjaf mema?tung
kaku seperti kena setrum," kata Surti tersenyum. "Aku ya?kin
Rukmini tak menyadari perasaan Risjaf."
Aku berhenti menyiksa kumpulan bumbu itu dan meng?u?
sap dahiku. Ah.... "Apakah Rukmini menyukai Mas Nug?"
"Kelihatannya begitu, Mas." Surti mengambil sepotong
kunyit dan membantu menggilasnya. Tapi cara dia meng?
gilas lebih lembut, tanpa suara, seakan membujuk bum?bubumbu itu untuk merelakan diri hancur dan bersatu padu
demi sebuah rasa yang bisa tenggelam dalam lidah. Aku
menatap tangan Surti yang tengah memegang ulekan batu
dan seolah mengelus-elus bumbu itu. Aku menelan air liur.
Tubuhku jadi tegang. Aku tak paham apa yang terjadi. Sama
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 59
PU LANG sekali tak mengerti mengapa aku bergairah.
"Yang jelas," kata Surti sambil terus menggerus, yang se?
makin membuat aku tegang dan tak berkutik, "Mas Nug be?
rani mengutarakan isi hati. Juga Mas Hananto. Mereka le?


Pulang Karya Leila S. Chudori di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

laki yang memahami apa yang mereka inginkan."
Memang kedua lelaki itu sudah dewasa dan sialan betul.
Mas Nug dan Mas Hananto sudah bekerja, meski aku tahu
me?reka tak pernah sampai menjadi sarjana. Mas Nug sempat
belajar Sinologi seusai menyelesaikan Algemene Middelbare
School. Tapi pendidikan tinggi itu tak diselesaikannya. Se?
dang??kan Mas Hananto juga hanya beberapa tahun belajar
di Faculteit Hukum. Aku juga tak yakin apakah Mas Han me??
nyelesaikan hingga sarjana. Apa pun tingkat pendidikan me?
reka, Mas Nug dan Mas Han lebih berpengalaman menak?luk?
kan perempuan. Tidak adil jika kami harus bersaing de?ngan
mereka berdua. Tak seyogianya mereka mengincar para
maha??siswi. Tunggu dulu....
"Mas Hananto? Mas Han juga mengejar Rukmini?"
Surti terdiam. Menatapku dengan kedua bola matanya
yang jernih. Pipinya terkena bercak bumbu kunyit dan cabe
me?rah. Lalu dia berlagak sibuk menggerus bumbu lagi.
Astaga! "Dia mengajakmu berkencankah?"
"Aku menolaknya," Surti mengelus tanganku, "bukankah
hatiku milikmu." "Surti...." "Dimas, jangan ragu, dan jangan lagi kau bertanya ten?
tang Hananto. Aku di sini bersamamu."
Aku mendekatinya. Aroma kunyit itu me??ruap dari
tubuhnya. Aku mengusap warna kuning di pipi????????nya.
"Aku ingin kau menjadi ayah dari anak-anakku," katanya
dengan satu kalimat yang begitu yakin.
"Jika perempuan kita beri dia nama Kenanga," kata???ku.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 60
LEILA S. CHU DO RI "Kalau lelaki?"
"Kita beri nama Alam."
Warna kuning pada pipinya masih bersisa. Aku men?ci?
um??nya. Kuambil dagunya dan kubenamkan bibirku selamalamanya. Sukar untuk menahan ketegangan tubuh ini. Bibir
Surti begitu empuk dan manis seperti es krim Baltik. Sulit pu?
la untuk berhenti menanamkan lidahku ke segala lekuk tu??
buhnya. Ke lekuk dadanya. Ke putingnya yang tegang. Ke??
ti???ka Surti mengeluarkan suara nafas tertahan, aku tak ingin
dan tak bisa berhenti. Jika Risjaf menuntut ikan pindang se?
rani pe?li?pur lara itu, aku akan mengatakan ada guncangan
gempa?bu??mi yang merontokkan dapur kami. Kuangkat Surti
ke atas me?ja dapur. Seluruh tubuhku sudah tertanam ke
dalam tu???buhnya. Selama-lamanya. Selama-lamanya.
*** Aku sering mengucapkan kata ?selamanya?. Aku gemar
me?ng?????ucapkan ?selalu?. Terutama jika sudah dalam keada?an
te??lan??jang. Mungkin perlu diingat, jangan pernah mengucap??
kan apa pun saat kita bercinta, karena ekstase selalu mem??
buat kita lupa menginjak bumi dan lupa cita-cita. Bagi me?re?
ka yang sudah terlalu mengenalku, sesungguhnya aku ada????
lah an?ti??tesa dari segala yang pasti dan konstan. Apa yang
pernah ditu?duhkan Mas Hananto kelak?bahwa aku tak
pernah ber???sedia menentukan pilihan (politik atau bahkan
jodoh)?mung??kin ada benarnya. Aku seperti sebuah kapal
yang eng?gan berlabuh selama-lamanya. Setiap kali aku ber?
hen?ti, aku su?dah gatal untuk pergi lagi.
Setelah percintaan yang menyebabkan dapur hancur
berantakan itu, aku tahu tuntutan Surti. Suatu hari aku harus
berani membuhulkan cintaku pada sesuatu yang lebih pasti.
Tetapi, benarkah aku harus berhenti sekarang? Bukankah
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 61
PU LANG masih begitu banyak pelayaran ke berbagai pelabuhan? Laut
masih begitu luas, buku-buku seakan tak kunjung selesai
kubaca. Apakah kita sudah harus mengambil jeda dalam per?
jalanan yang masih panjang ini. Saat menulis, aku tak suka
titik. Aku gemar tanda koma. Tolong jangan perintahkan aku
untuk berhenti dan tenggelam dalam stagnansi. Jangan.
Aku rasa Surti mulai menyadari kegelisahanku. Paling
tidak dia tahu, ketika masa kuliahku sudah akan berakhir,
aku sibuk menimbun diri dengan buku-buku sastra dan dik?tat
kuliah. Mas Hananto beberapa kali meminjamkan kepadaku
buku-buku milik perpustakaan. Pernah suatu kali, dia me?
min??jamkan buku-buku karya Leo Tolstoy milik is?teri salah
satu kawannya yang menurut dia sangat tergila-gila pada???
nya. Mas Hananto mengatakan dia tetap berkawan baik
de??ngan pasangan Belanda itu. Tetapi "anak gadisnya yang
baru kuliah di Amsterdam sungguh cantik," katanya dengan
mata berbinar. Aku tidak memusingkan petualangan asmara
Mas Hananto yang liar, yang menyantap sekaligus ibu dan
anak itu. Aku terus mengubur diriku dalam tumpukan bukubuku milik Mas Hananto dan diktat kuliah. Seharusnya aku
tak heran jika mendadak saja Surti mampir di tempat kos.
"Dimas...." Wajah Surti begitu serius. Kedua matanya yang berbin?
tang itu tampak bersinar. "Ayah dan ibuku akan mengadakan
makan malam dengan beberapa paman dan tante. Ada juga
kenalan keluarga kami, dokter Bram Janssen yang sedang
berkunjung. Aku ingin kau berkenalan dengan mereka."
Ha? Kenapa? Kenapa? Perlukah? Sekarang? Ayah dan ibunya? Di Jalan Papan?
dayan, Bogor? Dr. Bram Janssen? Lalu ada Paman dan
Tante? Kerongkonganku gatal sekali. Aku tak paham. Aku
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 62
LEILA S. CHU DO RI masih ingin mendalami begitu banyak buku; begitu banyak
pemi?kir???an; mengarungi berbagai lautan dan benua. Apakah
aku harus bertemu dengan orangtuanya sekarang? Kita
berlabuh sekarang? Aku menatap Surti. Hatiku sibuk mengucapkan berba?gai
kalimat protes, tetapi bibirku terkatup. Surti, Surti, bagai?
mana aku bisa menghadapi keluargamu yang terdiri dari
dokter-dokter itu? Nyempil di antara mereka memegang ge?
las anggur di ruang tamu sembari membicarakan Indone???
sia yang tak kunjung berangkat maju? Lalu apa yang ha??
rus kubicarakan dengan Ayah, Ibu, juga Paman, dan Tante?
Itu semua hanya berkecamuk dalam hatiku. Tetapi, Surti
yang sudah mulai mengenalku bisa membaca pikiranku. Air
matanya mengembang. Dia meninggalkan tempat kosku.
*** Setelah pembicaraan undangan makan malam tak
berbalas itu, aku sulit bertemu Surti. Aku sibuk dengan ujian
akhir dan Surti selalu menghindar di kampus. Aku juga tak
terlalu berupaya untuk memaksanya bertemu denganku. Aku
me?mu?tuskan, setelah urusan kuliah beres dan wisuda, aku
akan mengunjungi Surti. Saat itu, aku ingin berkonsentrasi.
Hingga akhirnya suatu hari aku ke paviliun seberang
untuk meminjam kamus Mas Hananto. Pintu paviliun ter?bu?
ka seperti biasa. Aku nyelonong dan memanggil nama Mas
Hananto dan Mas Nug. Tak terdengar suara apa pun. Pin?
tu? kamar Mas Hananto tertutup. Tumben. Aku mengetuk.
Tak ada jawaban. Aku membukanya. Entah kenapa hatiku
berdebar dengan ribut. Mas Hananto tengah melingkarkan
kedua tangannya ke bahu seorang perempuan yang sedang
duduk di meja kerjanya. Aku tak bisa melihat wajah perem?
puan itu, karena tertutup tubuh Mas Hananto. Tapi aku se?
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 63
PU LANG gera mencium aroma melati. Aku segera menutup pintu itu
ge?du??brakan. Hatiku berdegup cepat. Nafasku memburu. Aku
me?langkah dengan cepat meninggalkan paviliun dengan
dipan penuh bangsat itu. Aku bersumpah pada diriku, aku tak akan lagi menginjak
paviliun berisi dua lelaki pengkhianat itu.
Di dalam kamar, aku menatap langit-langit, sementara
Risjaf berulang-ulang memainkan "Als de Orchidee?n Blo?e?ien"
pada harmonikanya. Sesaat dia berhenti dan me?noleh.
"Mas...." "Ya...." "Kita bakar paviliun Pak Bustami?"
Aku menoleh dan sedikit terhibur dengan tawaran berbau
brotherhood itu. "Tak usah." Ketika Risjaf mau memainkan harmonikanya lagi, aku
meneruskan, "Kita bunuh saja kedua lelaki jahanam itu."
Risjaf dan aku tertawa. Kami terhibur dengan fantasi
hi?tam itu. Tak mudah untuk menghapus nama Surti da?lam
hidupku. Bukan hanya karena aku gemar memasak dan
dapur kami menjadi tempat yang terlalu menyiksaku. Untuk
beberapa pekan pertama, aku melihat Surti di dekat kompor,
di atas piring, di dalam kuali. Yang paling sering kuli??hat dia
duduk di atas pisau setiap kali aku mengiris bum?bu-bumbu:
bawang merah, bawang putih, dan kunyit itu.
Tentu saja sebagai seorang lelaki biasa yang patah hati,
aku mencoba mengatasinya dengan cara klise: meniduri ber?
bagai perempuan. Setiap kali segalanya selesai, aku merasa
mual dan bodoh. Kebetulan pula, situasi di Jakarta semakin
kisruh sehingga kami jarang melihat Mas Nug maupun Mas
Hananto. Meski mereka statusnya masih membantu Kantor
Berita Nusantara, ternyata Mas Hananto dan Mas Nug di?bu?
tuhkan membantu liputan setelah peristiwa 17 Oktober 1952,
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 64
LEILA S. CHU DO RI saat moncong meriam diarahkan ke Istana. Seandainya aku
tak sedang puasa bicara dengan mereka, pastilah aku sudah
memaksa untuk ikut ngintil dan mendengarkan se?mua ke?
ramaian politik itu. Menjadi wartawan, bagiku ada?lah ja?lan
yang tak bisa ditolak. Wartawan adalah profesi yang mem?
perlakukan kekuatan kata sama seperti koki mengguna?kan
kekuatan bumbu masakan. Maka untuk beberapa bulan, kami jarang bertemu dan
ber?tegur sapa karena jadwal yang sama-sama pa?dat. Pada
saat-saat itu, baik Risjaf dan aku sama-sama menyi?buk?kan
diri. Risjaf dengan buku-bukunya. Aku dengan pe?rem???puan,
buku, mengatur bumbu di dapur sembari men?coba mengingat
konsep cinta perempuan dan lelaki dalam Maha??bharata.
Drupadi. Seluruh kakak beradik Pandawa adalah suaminya. Te?ta?
pi adalah Bima yang selalu ingin melindunginya dari Kica?
ka maupun Dursasana. Yang tragis bagi Bima, Drupadi
jauh lebih mencintai Arjuna. Aku betul-betul tak tahu dan
tak per?nah mencari tahu apakah Surti jauh lebih mencintai
Mas Hananto daripada aku. Tetapi aku tahu, dia membuat
pilihan. Aku lebih tak tahu lagi mengapa sampai detik ini, setelah
bertemu dengan Vivienne yang jelita dan meni?kahi?nya,
hatiku masih bergetar setiap kali mengenang Surti. Barang??
kali aku sudah telanjur memberikan hatiku padanya. Untuk
selama-lamanya. *** Dan 45 tahun kemudian, tiupan harmonika Risjaf masih
saja sayup-sayup menembus Paris di musim semi: "Als de
Orchidee?n Bloeien"....
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 65
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 66
PU LANG TERRE D?ASILE "jangan pulang koma tunggu sampai tenang
titik ibu dan aku baik-baik koma hanya diminta
keterangan titik" aji suryo Hanya diminta keterangan. Itulah bunyi telegram
yang dikirim adikku pekan kedua setelah prahara September
1965. Bulan September 1965, Mas Nugroho dan aku adalah
dua dari banyak wartawan yang diundang menghadiri
kon?fe?rensi International Organization of Journalists di
San?tiago, Cile. Meski Jakarta sudah memanas, penuh asap
desas-desus tentang Dewan Jenderal dan pertikaian tingkat
ting?gi di kalangan elite militer, kami berangkat tanpa rasa
was-was. Paling tidak, aku sama sekali tidak merasa itulah
hari ter?akhirku di tanah air. Kami berdua berangkat seperti
halnya kami menjalankan tugas biasa dan berpamit dengan
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 67
PU LANG kedataran dan kewajaran yang nyaris tanpa upacara.
Aku merasakan sedikit keganjilan pada tingkah laku Mas
Hananto. Beberapa pekan sebelum keberangkatan, aku ber?
kelahi dengannya. Aku meninju wajahnya karena aku benci
melihat cara dia menyia-nyiakan Surti. Mas Hananto me?nu?
duh aku masih mencintai Surti, sesuatu yang tak pernah aku
kon??firmasi bahkan pada diri sendiri. Tetapi yang jelas, aku
ber?angkat ke Santiago demi Surti.
Mas Hananto yang seharusnya berangkat, memilih me???
ne??tap di Jakarta untuk membereskan masalah perka?wi?n????an???
nya yang tengah terguncang. Ini persoalan kelakuan Mas
Ha?nanto yang gemar bergonta-ganti ranjang dengan pel?
bagai perempuan. Semula aku sangat enggan karena su?????dah
berbulan-bulan kami mengikuti arah perubahan po?li?tik di
beberapa ne?gara Amerika Latin. Aku tahu betul, Mas Hananto
dan Mas Nug berkorespondensi dengan orang??-?orang di seke?
liling Andr?s Pascal Allende, kepo?na???kan Salvador Allende,
yang men??dirikan Movimiento de? Izquierda Revolucionaria.
Aku tak pernah merasa diriku ada?? di spektrum kiri betul
seperti me?reka. Aku adalah sel yang? bebas. Untuk apa aku
ke sana. Begitu Mas Hananto mengatakan Surti mengancam
akan mening?gal?kan rumah dan membawa ketiga anak
mereka, aku tak mem???bantah lagi. Tiba-tiba kemarahan dan
kepedihan Surti yang tak terucapkan menguasaiku. Segala
penderitaannya dalam diam menjadi suara yang keras dalam
tubuhku. Aku tahu, per?soalannya bukan hanya petualangan
ran?jang Mas Hananto, me?lainkan karena Surti merasa
dikhia?????nati dan di??tolak oleh suaminya sendiri. Kepadaku Mas
Hananto seca?ra kurang ajar menga?takan, "Surti adalah iste?
ri, pen?dam??ping hi?dup. Dengan Marni, aku merasakan nafsu
kaum proletar yang bergelora."
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 68


Pulang Karya Leila S. Chudori di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

LEILA S. CHU DO RI Aku juga sadar betul, tak mungkin Mas Hananto menya?
takan kalimat bangsat itu pada perempuan semulia Surti.
Tetapi aku mengenal Surti hingga seluruh nafas dan poriporinya. Betapa pekanya dia pada setiap kata dan laku lelaki
yang dicintainya. Surti pasti tahu. Ada sesuatu di dalam diri
Surti, mungkin keagungan dan keindahannya yang di mata
Mas Hananto terasa begitu ?tinggi?, yang tak pernah bisa
dia gapai. Sesuatu yang begitu sublim, yang di mata Mas
Hananto dianggap sebagai unsur ?borjuasi?, yang membuat
Mas Hananto gerah dan menolak, lantas memutuskan run?
tang-runtung dengan perempuan-perempuan lain di Triveli.
Aku tak ingin melihat mereka berpisah karena kesiasiaan. Akhirnya aku mematuhi keinginan Mas Hananto agar
dia bisa membereskan perkawinannya segera. Tak pernah
kuduga, aku terbang untuk tak kembali lagi.
*** Di Santiago, di tengah konferensi itu, kami mendengar
dari ketua panitia Jose Ximenez tentang meletusnya peristiwa
30 September. Kami terpana. Sama sekali tidak menduga
ada peristiwa sekeji itu. Berkali-kali aku meminta Mas Nug
mengulang apa yang dia dengar dari Ximenez. Jenderaljenderal diculik? Dibunuh?
Untuk beberapa malam yang tegang, kami tidak makan,
tidak tidur, dan didera kegelisahan tak berkesudahan. Sem?
bari mengisi perut dengan berbotol-botol anggur yang terusmenerus dikirim tuan rumah yang menyampaikan so?li??
daritas, kami tak berhenti mencoba menghubungi keluar????ga
dan kawan-kawan. Kantor Berita Nusantara tentu saja sa?
lah satu yang digeledah dan diobrak-abrik karena dianggap
sangat kiri. Barangkali mereka menyangka kami menyimpan
do?kumen penting atau entah apa. Namanya juga tentara,
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 69
PU LANG se?e?kor semut pun bisa dianggap sebagai harimau garang.
Mas Nug mengatakan seluruh isi kantor kami hanya bukubuku, tum?pukan kertas, dan mesin ketik belaka. Kami juga
diberitahu se?ba?gian besar redaksi dimintai keterangan se?
dang?kan Pemim?pin Redaksi digelandang entah ke mana.
Setelah 12 hari yang menegangkan, barulah aku mene?
rima telegram: Ibu dan Aji menghiburku dengan mengatakan
mereka "hanya diminta keterangan". Pada tahun 1965,
"hanya? diminta keterangan" memiliki elemen teka-teki: bisa
saja hanya diinterogasi, bisa juga disetrum. Sejarah?meski
tak tertulis?membuktikan, untuk tiga tahun be?ri?kut?nya
setelah 1965, Indonesia memiliki beberapa tahap ke?kejian:
perburuan, penunjukan nama, penggeledahan, pe??nang??kap?
an, penyiksaan, penembakan, dan pembantaian. Karena itu,
kalimat "hanya diminta keterangan" tampaknya harus diang??
gap sebuah berkah. Sudah pasti Ibu dan Aji di?inte?ro?gasi habishabisan. Sudah pasti rumah kami di Solo dige?ledah. Bukubuku Bapak almarhum, buku-bukuku yang tak bisa kubawa
ke Jakarta karena tak akan muat di tempat kos-ku di Jalan
Solo diobrak-abrik. Mungkin saja foto Bapak dipecahkan.
Entah?lah. Aji tak ingin bercerita dengan rinci saat ini. Kabar
yang mengerikan adalah Mas Hananto menghilang dan dia
masuk daftar orang-orang yang paling diburu. Seharusnya
aku tak heran ketika men?dengar tentara mengangkut Surti
dan anak-anak ke Guntur. Kata Aji, Surti masih boleh pulang
untuk kemudian kem??bali lagi keesokan harinya. Itu semua di?
lakukan sembari membawa anak-anaknya. Kelak, tiga tahun
kemudian, horor bagi keluarga Hananto belum juga selesai
karena tentara tak kunjung mene?mu??kan Mas Han. Surti dan
ketiga anaknya dibawa ke Budi Kemu?liaan dan berdiam di
sana berbulan-bulan karena pi?hak ten?tara merasa dia pasti
tahu lokasi suaminya. Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 70
LEILA S. CHU DO RI Aji adalah adik yang berbudi. Berbeda denganku, dia
anak sekolahan yang patuh pada sistem dan tak ingin me?
nyulitkan keluarga. Tetapi begitu putih hatinya, dia selalu
berupaya mem??buat segala yang sulit menjadi sederhana agar
ibu kami tak bersusah hati. Dia sangat pandai menenangkan.
Aku ber?syu??kur Ibu didampingi oleh Aji dan Retno, isteri Aji
yang in?dah di hati. Aji tahu betul, aku berada di sini bukan
karena melarikan diri dari bencana, tetapi karena ini sebuah
garis hidup yang aneh dan tak terduga (aku sengaja belum
ingin meng???gunakan kata ?nasib?). Dia tahu, aku tak pe?duli
dengan mara?bahaya dan ingin segera kembali ke Ja?kar?
ta atau Solo, meski itu berarti aku bakal kena ciduk. Kare?
na itulah Aji mengetuk kawat sebisa mungkin, hampir dua
pekan setelah peristiwa 30 September meledak. Betapa bera?
ninya dia. Betapa nekatnya dia mengirim telegram di saat
situasi di tanah air sangat panas dan penuh curiga. Aku ta?
hu betul bagaimana terbelahnya kota Solo saat itu: mereka
yang mendukung "Dewan Revolusi" yang di belakangnya
ada Walikota Solo, dan mereka yang mendukung "Dewan
Jenderal". Paling tidak itu yang dilaporkan Aji padaku saat
aku masih di Jakarta. Perang urat saraf itu, menurut reporter
Kantor Berita Nusantara di Solo, tecermin dari perang poster
di mana-mana. Sementara itu, aku tahu Mas Nug kehilangan kontak de?
ngan Rukmini dan putera mereka, Bimo, yang baru berusia
setahun. Mas Nug cukup yakin Rukmini pasti aman me?
ngungsi ke rumah orangtua atau kakaknya.
Hanya beberapa saat setelah itu, Mas Nug dan aku memu?
tuskan untuk bertemu dengan Risjaf di Havana, Kuba, se?suai
rencana semula. Kami terbang dengan perasaan masygul.
Di Havana, di mana hidup terasa seperti festival dansa yang
meriah, kami malah murung dan tenggelam dalam ber??gelas-
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 71
PU LANG gelas rum. Padahal rombongan kami disambut baik oleh tuan rumah
Havana yang tengah mempersiapkan konferensi Orga???
nisasi Setiakawan Rakyat Asia-Afrika untuk tahun 1966.
Risjaf membantu ka??wan-kawan pengurus organisasi itu. Di
Havana, kami men?dengar tewasnya beberapa petinggi PKI.
Namun nama Mas Hananto masih juga tak terdengar. Dia
masih berhasil menye?linap.
Dari hari ke hari, bahkan setiap tiga jam, kami men?de?
ngar berbagai berita buruk silih berganti. Anggota par?tai
komunis, keluarga partai komunis atau mereka yang diang?
gap simpatisan komunis diburu habis-habisan. Bukan hanya
ditangkap, tapi ter??jadi eksekusi secara besar-besaran di sean?
tero Indonesia, bu??kan hanya di Pulau Jawa. Berita-berita
ini muncul seperti sketsa-sketsa yang digambarkan oleh
mun?cratan darah. Secara serentak kami disergap insomnia
berkepanjangan. Bahkan Risjaf yang gampang tidur itu kini
melotot sepanjang malam. Aku masih mencoba mencari cara untuk menghubungi
Mas Hananto dan Surti tanpa membahayakan mereka. Teta?
pi ka?wan-kawan di Havana mengatakan segala macam hu?
bungan dan koneksi ke Indonesia bisa membuat keluarga
ka?mi sema?kin diburu tentara. Lalu jatuhlah bom berikutnya:
paspor Indo???nesia kami dicabut.
Kami menjadi sekelompok manusia stateless. Sekelompok
orang tanpa identitas. Kejadian ini begitu mengejutkan
hingga aku tak mem?punyai waktu barang sedetik pun untuk
Topeng Hitam Kelam 1 Balada Padang Pasir Karya Tong Hua Manusia Setengah Dewa 2
^