Pencarian

Sang Pengkhianat 6

Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu Bagian 6


sini tanpa perlawanan, kan?"
Dalam hati aku memuji Daniel yang tampangnya,
alih-alih berubah ketakutan, malah berubah jadi beringas.
Tapi Nikki tidak menyadari reaksi Daniel dan terus
berceloteh, "Telepon nyokap Oppa aja sekarang. Lebih
baik beliau dateng untuk selamatin Oppa dan, ehm,
mung?kin membahayakan dirinya sendiri, daripada tautau beliau disuruh ke rumah sakit untuk mengenali
muka Oppa yang udah nggak berbentuk lagi."
Mendengar ancaman Nikki, Daniel malah tertawa
meng?ejek. "Lo pikir gue gila? Sampai mati pun gue
nggak akan nyuruh nyokap gue ke sini. Kalo memang
riwayat gue harus berakhir di sini, so be it."
Tanpa terlihat takut sedikit pun, Daniel melangkah ke
luar warung. "Gimana?" tanya Les padaku. "Kita keluar juga? Nggak
mungkin kita suruh dia ngadepin semua orang gila itu
sendirian!" 399 Isi-Omen6.indd 399 Aku melirik Les. "Bukannya dia dulu saingan cinta
lo?" "Ah, sekarang kan kami udah punya pacar masingmasing," kilah Les sambil meloncat turun dari meja.
"Ayo, kita serbu keluar juga!"
"Tunggu dulu." Aku ikut meloncat turun, lalu ber?
paling pada pemilik warung. "Bang, ada tongkat atau
apa gitu yang bisa dipake buat senjata? Di depan ada
yang mau dikeroyok nih!"
"Iya, kami kenal, itu si Bos Daniel!" Waduh, rupanya
si Daniel terkenal juga! "Dia anak baik, Bos! Kami nggak
akan biarin dia celaka!"
Eh? "Maksudnya?"
"Tenang aja, Bos." Aku melongo saat si pemilik
warung dan pegawainya sudah mengeluarkan golok yang
berkilauan saking tajamnya. "Kami pasti akan ikut
berantem dan ngusir para pengacau itu dari sekolah yang
kita cintai ini!" Aku dan Les hanya bisa terperangah melihat kegagahberanian si pemilik warung. "Eh, iya, Bang."
"Ini, Bos!" Aku dan Les langsung menangkap dua
tongkat besi dari si pemilik warung sebelum kedua benda
itu menghantam kepala kami. "Ayo, kita babat habis
pengacau di luar sana!"
Buset! Orang-orang di sini memang hebat-hebat.
Bahkan pemilik warung pun ternyata jagoan.
Kami keluar dan menemukan Daniel sudah tengah
dikeroyok belasan orang sekaligus. Lawan-lawannya tidak
kuat-kuat amat, tapi Daniel hanya sendirian dan tidak
ber?senjata pula. Meski begitu, cowok itu melawan de?
ngan sekuat tenaga bagaikan harimau yang terluka.
400 Isi-Omen6.indd 400 Harus diakui, aku jadi bangga dia orang nomor dua
Erika. Melihat betapa kuatnya cowok itu, aku yakin,
dalam pertarungan yang sesungguhnya, Erika tak mung?
kin bisa menang melawan Daniel. Pasti, selama ini,
Daniel tidak pernah bersungguh-sungguh melawan Erika.
Mungkin saja dia memang tidak mengalah secara
sengaja. Pikiran alam bawah sadarnya yang menghormati
Erika yang membuatnya menahan tenaga secara spon?
tan. "Heh, Rapid Fire!"
Sebelum aku sempat bertindak, Les sudah berteriak
duluan. Yah, ini memang bagian dia. Bagaimanapun, dia
kan ketua geng motor Streetwolf yang terkenal. Aku
sendiri tidak suka basa-basi dan lebih senang langsung
main hajar saja. Sebagai teman, Les biasa bertingkah tengil dan ter?
kadang minta ditabok. Tapi kalau dia sudah serius, wi?
bawa?nya benar-benar bikin keder. Buktinya saja, kini
per?tempuran yang tengah berlangsung mendadak ter?
henti hanya karena dia meneriakkan tiga patah kata.
"Kalo kalian belum kepingin berakhir di kamar mayat,
mendingan kalian hentikan saja pertempuran yang nggak
seimbang ini," ucap Leslie sambil menyeringai. "Kalian
tau, kalian pasti kalah kalau melawan kami semua."
"Kalian semua?" tanya salah satu anggota Rapid Fire de?
ngan nada merendahkan. "Kami ini dua puluh orang!"
"Cuma dua puluh?" tanya Les dengan nada penuh
penghinaan. "Kalian tau kami ada berapa?"
Pada saat dia selesai berkata begitu, seolah-olah men?
dapat aba-aba, dari setiap warung yang ada?termasuk
warung tempat Daniel berada tadi?keluarlah pemiliknya
401 Isi-Omen6.indd 401 beserta pegawai-pegawainya, semuanya memegang senjata
berupa golok, pisau, dan berbagai senjata tajam yang
pasti?nya biasa digunakan untuk masak-memasak, tapi
kini tampak menyeramkan banget. Semuanya meman?
dang berang ke arah anak-anak geng motor itu. Bahkan
kedua tukang parkir pun ikut bergabung dengan kami
dengan tongkat besi di tangan mereka.
"Hebat," bisikku pada Les. "Lo tau dari mana mereka
semua bakal keluar?"
"Cuma nebak," Les balas berbisik. "Keren ya!"
"Lumayan." Les menyeringai, lalu berteriak lagi, "Kalo kalian pergi
sekarang juga, kami akan mengampuni kalian. Kalo
nggak, jangan salahin kami kalo nyawa kalian berakhir
hari ini. Kalian yang datang ke sini untuk mengantar
nyawa, bukan kami yang mencari kalian!"
Rasanya puas banget saat anak-anak geng motor itu
mulai mundur perlahan-lahan. Lalu, setelah agak jauh,
mereka pun lari terbirit-birit.
"Dasar pengecut!" dengusku seraya berjalan meng?
hampiri Daniel. "Bisanya cuma ngeroyok. Udah ka?yak
gini, bilang maaf pun kagak!"
"Lo kira orang-orang kayak gitu punya sopan santun?"
tanya Les nyengir. "Hai, Niel! Sepertinya hari ini lo
nggak terlalu ganteng!"
Daniel memandangi Les dengan tampang penuh di?
lema?antara sewot karena dikata-katai dan berterima
kasih karena sudah ditolong.
"Jangan ganggu dia, Les!" celaku. "Lo nggak apa-apa,
Niel?" Daniel mengangguk. "Yep. Thanks, by the way."
402 Isi-Omen6.indd 402 "No problem," anggukku.
"Kami cuma teriak-teriak aja kok," seringai Les.
"Bos!" Kami menoleh ke belakang dan melihat pemilik
warung sebelah sedang mencekal kerah belakang Nikki
seperti memegang anak kucing, sementara yang ber?
sangkutan meronta-ronta tanpa hasil. "Yang ini harus
diapain?" "Gimana kalo dijadiin steik aja, Bang?" usul Daniel
dengan tampang sengit. "Nanti gue beli semuanya terus
gue suguhin ke anak-anak preman sialan tadi!"
"Jangan!" jerit Nikki sambil menangis. Huh, jelas-jelas
itu cuma tangisan gombal! Tapi, se?andainya itu bukan
tangisan gombal pun, aku tak bakal?an merasa kasihan.
Cewek itu memang pantas ditakut-takuti seperti ini. "Nanti
saya ganti deh, kerusakan di kafe Bapak! Sungguh! Bapak
tinggal sebut berapa saja harganya, nanti akan saya bawa
duitnya siang ini juga!"
"Oh ya, itu ide bagus juga," ucap Daniel. "Daripada
gue yang bayar." "Bener ya?" ancam si pemilik warung?atau kafe, atau
apa?lah?dengan tampang sangar. "Kalau nggak, Non
nggak akan bisa nongol di sekitar sini lagi. Non bisa
lihat tadi, kami semua ini sebenarnya saling menjaga!"
"Iya, Pak, iya!" sahut Nikki sambil mengangguk-angguk
ketakutan. "Saya pasti bayar kok!"
"Oke deh, kalau begitu..."
"Tunggu." Aku berjalan mendekati cewek itu dan ber?
tanya dengan suara penuh ancaman, "Apa yang kamu
maksud tadi dengan utang masa lalu nyokap Daniel?"
"Itu... Itu urusan pribadi..."
403 Isi-Omen6.indd 403 "Jawab!" bentakku. "Kalo nggak jawab, kamu nggak
akan pernah dilepaskan!"
Nikki menatapku dengan penuh kebencian. Lalu, men?
dadak dia tersenyum. Astaga, cewek ini benar-benar me?
nyeramkan! Kenapa sih bibirnya bisa selebar itu?!
"Kalian semua nggak tau?" tanyanya sambil bergantian
memandangi aku, Les, dan Daniel. "Kalian semua benerbener nggak tau? Dasar goblok semuanya!"
Kami bertiga hanya bisa berpandangan dengan heran
sementara Nikki tertawa liar bak orang sinting.
"Daniel Yusman!" Tiba-tiba cewek itu menuding Daniel.
Oke, caranya bergerak benar-benar mengerikan. Kurasa dia
lebih mirip hantu daripada Rima. Setidaknya, Rima tampak
seperti hantu yang tak berbahaya, berbeda dengan cewek
gila ini. "Apa lo tau, lo cuma anak haram?"
Dari mulut Daniel yang ternganga, jelas dia tidak
menduga bakalan dikatai begitu oleh Nikki.
"Nyokap lo tuh pelacur! Udah punya suami, masih aja
berhubungan dengan suami orang lain! Dasar wanita
murahan!" Cewek itu meludah dengan jijik. "Sayang lo
pacaran sama Rima! Gue kepingin lihat lo pacaran sama
Valeria! Pasti seru lihat kalian inses!"
Inses? Hubungan percintaan antara saudara kandung?
Apa maksud semua ini? Apakah... ibu Daniel pernah
berhubungan dengan ayah Valeria?
Apa Daniel sesungguhnya adalah anak ayah Valeria?
"Lo bohong!" bantah Daniel dengan suara gemetar
dan wajah pucat. "Nyokap gue nggak pernah selingkuh
dari bokap gue, nggak peduli bokap gue sebrengsek apa
pun. Apalagi sama bapaknya Val! Mereka bahkan nggak
saling kenal..." 404 Isi-Omen6.indd 404 "Begitukah?" Lagi-lagi Nikki menyunggingkan seringai
lebarnya yang mengerikan. "Kenapa lo nggak tanya ke
nyokap lo, apakah dia kenal dengan Jonathan Guntur?
Nggak pernah terpikir, kenapa dengan otak lo yang paspasan, lo berhasil jadi anggota The Judges? Karena bapak
lo yang ngatur The Judges, goblok!"
"Bohong!" teriak Daniel lagi seraya menerjang ke
depan. "Lo bohong! Dasar cewek gila sialan!"
Sebelum Daniel melakukan hal yang nantinya akan
di?sesalinya, aku dan Les buru-buru menahan cowok
itu. "Tenang, Niel, tenang!" seruku. "Jangan dengerin
cewek itu! Dia cuma ngomporin lo!"
"Bener!" sambung Les. "Ngapain lo marah? Ucapan
dia nggak layak didenger! Ngapain lo terpancing dengan
usaha sia-sianya buat ngerusak nama baik nyokap lo?"
"Dia ngatain nyokap gue pelacur, sialan!" teriak Daniel
lagi sambil merangsek ke depan. Aku dan Les harus ber?
usaha sekuat tenaga supaya bisa menahan cowok itu.
"Lo mau pukul gue?" teriak Nikki dengan tampang
me?nantang. "Pukul aja! Tapi kalo lo udah tau kenyataan?
nya, jangan nyesel nantinya! Gue cuma ngasih tau lo
kebenarannya!" Sialan, cewek ini benar-benar tidak tahu ajalnya sudah
di ujung tanduk! "Bang!" teriakku pada si pemilik warung. "Lepasin dia
sekarang! Kalo nggak, bisa gawat nanti jadinya!"
Siapa pun yang melihat tampang Daniel yang me?
nyeramkan, sebentar pucat seperti kehabisan darah dan
se?bentar memerah seperti terkena darah tinggi, pasti
tahu betapa mengerikannya situasi ini. Tanpa mem?
405 Isi-Omen6.indd 405 bantah, si pemilik warung melepaskan cekalannya pada
Nikki. Dalam sekejap, cewek itu langsung melarikan diri
dengan kecepatan mengagumkan.
"Gila! Kenapa dia dilepas?" Kemarahan Daniel beralih
pada aku dan Les. "Kalian udah gila ya?!"
"Tenang dong, bro," kataku seraya melepaskan Daniel.
"Bener kata Les tadi. Lo jangan terpancing! Masa hanya
karena sedikit ucapan dari cewek manipulatif gitu, emosi
lo langsung tak terkendalikan?"
Meski masih tampak berang, aku bisa melihat ke?
marahan Daniel perlahan-lahan mereda.
"Sayang juga sih, dia dilepas," ucap Les. "Tapi apa
boleh buat. Seperti biasa, yang kita tau ya, dia nggak
ngelakuin sesuatu yang bener-bener jahat, jadi kita nggak
bisa nyerahin dia ke polisi."
"Suatu saat dia pasti ngelakuin kesalahan," kataku pe?
nuh keyakinan. "Dan setelah itu, semua ke?jahat?an yang
dia lakukan diam-diam akan terbongkar. Ber?hubung
jumlah kejahatan yang dia lakukan banyak banget, gue
nggak heran kalo dia bakalan dihukum penjara seumur
hidup." "Lebih bagus lagi kalo dihukum mati," sambung
Daniel seraya mengusap rambutnya. "Gila, kenapa dia
bisa mengarang cerita brengsek begitu? Kenapa tiba-tiba
nyokap gue dihubungkan sama bokap Val? Kalo memang
mereka saling kenal, kenapa selama ini gue nggak pernah
ke rumah Val dan demikian juga sebaliknya? Les, Val
pernah cerita sesuatu ke elo?"
"Nggak pernah tuh." Les menggeleng. "Val memang
pernah cerita sedikit soal mamanya, tapi nggak ada soal
406 Isi-Omen6.indd 406 bokapnya selingkuh, apalagi sama nyokapnya Daniel."
Sobatku itu lalu berpaling padaku. "Lo tau sesuatu?"
Aku juga menggeleng. "Nggak. Meski sejak kecil ke?
luarga gue temenan sama keluarga Val, gue nggak pernah
denger gosip yang aneh-aneh tuh tentang mereka. Tapi


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

omong-omong," aku mengerutkan alis, "gue juga nggak
per?nah denger cerita tentang mamanya Val. Rasanya se?
perti..." "Dikubur?" usul Les. "Maksud gue ceritanya, bukan
orangnya. Kalo orangnya mah, karena udah meninggal,
ya jelas udah dikubur."
"Iya, bener," anggukku. "Rasanya seperti cerita itu di?
kubur. Mungkin memang keluarga Guntur nggak pernah
mengumbar cerita tentang mamanya Val, gue juga nggak
tau. Tapi orangtua gue juga nggak pernah bergosip yang
nggak-nggak sih." "Kalo gitu, gue yakin Nikki cuma sengaja ngomong
yang aneh-aneh supaya kita semua jadi kacau lalu nge?
lepasin dia," kata Les. "Udahlah, jangan dipikirin lagi!
Kasian orang-orang yang nggak bersalah tapi kena fitnah
si Nikki! Niel, lo nggak perlu nanya yang begituan ke
nyokap lo. Bego banget, tau! Nyakitin orang yang sayang
sama kita hanya gara-gara omongan busuk orang
jahat!" "Benar kata Les," kataku seraya menepuk bahu Daniel.
"Jangan dipikirin lagi. Lebih baik kita pikirin masalah yang
ada di depan kita aja. Lo udah denger dari Erika?"
"Ya," angguk Daniel muram. Sepertinya cowok itu
tidak mampu menepis kebohongan Nikki dari pikirannya.
"Tadi pagi dia nunjukin peralatan aneh yang ditaro di
loker Aya di ruang OSIS, lengkap dengan dompetnya
407 Isi-Omen6.indd 407 yang sengaja ditaro di sana juga seolah-olah dia pelaku?
nya. Karena semua yang dia temukan itu, Inspektur
Lukas jadi nurut sama dia. Sekarang mereka sedang kerja
sama buat nangkep si Aya."
Aku terkejut. "Kok jadi nangkep si Aya?"
"Katanya, untuk membuat pelaku, atau pelaku-pelaku,
merasa di atas angin. Selain itu juga untuk melindungi
Aya yang, kalo ada insiden lagi, pasti jadi tertuduh
berikut?nya. Tapi gue nggak ikut mereka tadi, jadi gue
nggak tau hasilnya." Daniel meraba-raba kantong celana?
nya, lalu memandang ke sekeliling. Pandangannya jatuh
pada ponsel yang tergeletak di jalan. "Ah, sial! Hape gue
jadi rusak gini pula!"
"Pake hape gue aja?" tanyaku seraya merogoh ke kan?
tongku untuk mengeluarkan ponsel.
"Ah, nggak usah deh. Nggak apa-apa, kita sekarang
kembali aja ke dalam sekolah."
"Les, ada apa?" tanyaku saat melihat Les celingukan.
"Nggak, gue cuma heran," sahut Les masih tetap me?
mandangi sekitar kami. "Tadi itu kan anggota-anggota
geng Rapid Fire. Aneh banget, anggotanya ngumpul
segitu banyaknya, tapi kok nggak ada bosnya?"
"Menurut lo?" tanyaku.
"Menurut gue," kata Les dengan tampang serius, "se?
benarnya bosnya ada di sekitar sini. Kalo dipikir-pikir
lagi, tadi hanya ada setengah dari jumlah geng Rapid
Fire. Berarti ada setengahnya di tempat lain. Mungkin
untuk melaksanakan tugas lain."
"Masuk akal," anggukku. "Kalo gitu, gimana kalo kita
coba susurin aja sekolah ini? Siapa tau kita bisa nemuin
mereka!" 408 Isi-Omen6.indd 408 "Sip," sahut Les seraya menoleh pada Daniel. "Lo
ikut?" "Oke," angguk Daniel. "Gue juga nggak yakin rencana
Erika udah punya hasil. Kayaknya lebih penting ngusir
anak-anak ini dari sekolah."
"Bawa senjata, Niel," aku memungut sebuah tongkat
yang ditinggalkan oleh anak-anak Rapid Fire. "Nih, kayak?
nya bagus buat lo!" Daniel menangkap tongkat itu dengan sigap. "Thanks."
Aku mengangguk. "Ayo, kita cari anak-anak itu!"
Awalnya kami menelusuri jejak kabur anak-anak geng
motor itu. Seperti dugaan kami, mereka rupanya parkir
agak jauh dari sekolahan, tepatnya di taman kompleks
yang memang merupakan tempat mangkal anak-anak
nakal di sekolah. Bahkan Daniel sendiri juga mengaku
dulu sering menghabiskan waktu di sana.
Akan tetapi anak-anak yang kabur itu tidak ada di
situ. Artinya, mereka pasti bergabung dengan sisa geng
mereka atau, lebih tepat lagi, geng inti mereka. Kami
pun kembali ke sekolah dan menyisir daerah seputar
sekolah seraya mengendap-endap. Bukan pekerjaan yang
keren, apalagi untuk Viktor Yamada yang general manager
Yamada Bank. Semoga saja tidak ada rekan kerjaku yang
memergokiku di sini. Akhirnya, kami berhasil menemukan kerumunan anakanak geng motor itu di bagian belakang sekolah, tidak
jauh dari pohon besar yang menghubungkan bagian luar
sekolah dengan toilet cewek sekolah yang kemarin ter?
paksa kulewati. "Apa itu?" tanyaku seraya menunjuk pintu seng yang
terpatri pada pagar. 409 Isi-Omen6.indd 409 "Itu jalan masuk ke sekolah," jelas Daniel. "Biasanya,
kalo mau bolos, gue keluar-masuk lewat situ."
"Dan Erika tau?"
"Iya dong," sahut Daniel heran. "Memangnya ke?
napa?" "Sial," gerutuku. "Kemaren gue ditipu. Gue disuruh
ma?suk lewat toilet cewek."
Bukannya turut bersimpati, dua anak sialan di depan?ku
malah tampak menahan tawa. Kurasa aku memang tidak
bisa mengharapkan dua orang ini mengerti perasaan?ku
yang kacau-balau saat disuruh memasuki toilet cewek.
"Mereka nungguin orang," kata Les sambil terus meng?
intip. "Memangnya siapa yang bakalan lewat situ?"
"Gue," sahut Daniel datar. "Tapi gara-gara bareng
Nikki, tadi gue lewat jalan lain. Soalnya pintu ini me?
nembus ke kantin, dan gue nggak ingin Ibu Kantin gosip?
in gue pergi sama cewek lain selain Rima."
"Logikanya," ucapku seraya merenung, "kalo lo
menghilang dan nggak kembali ke sekolah, kemungkinan
besar akan ada yang nyusul. Erika? Karena kalian berdua
kerja bareng Inspektur Lukas, kemungkinan dia yang
akan nyusul, kan?" Daniel berpikir sejenak. "Nggak juga. Erika nggak akan
buang-buang waktu ngurusin gue. Kan dia sibuk dengan
rencananya. Kalo dia merasa ada yang nggak beres, dia
pasti akan ngabarin ke orang-orang yang bisa dia per?
caya. Kemungkinan besar, Rima."
"Ada kemungkinan juga nggak ada yang lewat, kan?"
tanya Les. "Maksud lo nggak ada yang peduli gue hilang?" Daniel
tampak tersinggung. "Nggak mungkin, sialan! Setidaknya
410 Isi-Omen6.indd 410 pasti Rima peduli. Kalo Rima ketemu Inspektur Lukas dan
nggak lihat gue, gue yakin dia akan mencari gue..."
"Udah, udah!" ucapku dengan suara tertahan. "Nggak
usah berdebat lagi! Tuh Rima bener-bener nongol!"
"Dan Val juga," sambung Les dengan tampang tegang.
"Astaga, mereka langsung ngeblokir jalan masuk gitu!"
"Gue akan diem-diem deketin mereka," ucap Daniel.
"Kalian bikin keributan di sini, oke?"
"Beres." Kami mengamati kejadian di depan mata kami itu de?
ngan tegang. "Kita bertemu lagi, Valeria Guntur." Itu dia si pe?
mimpin Rapid Fire! Meski dari jauh, dia gampang di?
kenali karena bodinya yang kelewat subur. "Sudah gue
bilang, seharusnya lo lepas tangan dari semua ini."
"Apa maksudnya?" tanyaku pada Les. "Kok sepertinya
mereka pernah ketemuan belakangan ini?"
"Mana gue tau?" balas Les dengan wajah bingung.
"Val nggak cerita apa-apa sama gue!"
Kami bisa melihat pacar Les itu berdiri dengan gaya
menantang tanpa rasa takut sedikit pun, meski dia dike?
lilingi belasan preman yang kelihatan haus darah. "Dan
sudah gue bilang, gue nggak bakalan sudi nurutin katakata lo!"
"Rupanya bikin lo babak-belur nggak cukup ya..."
"Babak-belur?" tanya Les. "Apa maksudnya? Astaga, itu
si Val beneran luka-luka! Apa dia berani nyentuh Val?
Akan gue bunuh dia!"
"Tenang, tenang!" Aku menahan Les. "Tunggu Daniel
sampe di sana dulu!"
Kami melihat Daniel berhasil menyelinap mendekat,
411 Isi-Omen6.indd 411 sementara si bos Rapid Fire yang sombong berpidato dan
semua anak buahnya memandangi bos mereka dengan
penuh pemujaan. "Gara-gara kesombongan lo, hari ini
lo akan menyaksikan gue permak temen kecil lo yang
satu ini..." "Nggak segampang itu, brengsek!"
"Sip!" seruku. "Ayo, kita beraksi..."
Sebelum ucapanku selesai, Les sudah menerjang ke de?
pan dan mulai memukuli semua orang yang dia lewati.
Sial, kalau aku tidak cepat, aku bisa tidak kebagian!
"Banyak bacot!" Kudengar si bos Rapid Fire berkata
dengan suara shock karena tidak menduga ada orang
yang berhasil mendekatinya tanpa ketahuan, padahal
begitu banyak anggota gengnya di sana. "Lo cuma satu
orang begini, bisa apa?"
"Satu orang? Yang bener aja!" teriakku seraya meng?
umumkan kedatangan kami. Setelah menghadiahi satu
orang sebuah pukulan indah dari tongkatku lagi, aku
memandangi si bos Rapid Fire yang tampaknya langsung
mengenaliku. "Tiga orang, tepatnya. Memang kami cuma
bertiga, tapi percayalah, berapa pun orang yang lo
punya, nggak akan menang deh lawan kami bertiga!"
"Leslie Gunawan!" raung si bos Rapid Fire seperti
monster jelek yang sedang cari perhatian. "Dan kacung?
nya yang jelek!" Sial, aku dikatai kacung!
Sebelum aku sempat membalasnya, Les sudah berteriak
di sampingku, "Jelekan lo ke mana-mana, kali!" Kulihat
sobatku itu mengalihkan tatapannya pada pacarnya, dan
mendadak saja wajahnya yang tadinya beringas jadi
selembut gulali. "Hai, Val! Duduk manis di sana dan
412 Isi-Omen6.indd 412 jagain Rima, ya! Sisanya serahkan pada kami aja. Biar
kami yang urus keroco-keroco murahan ini!"
Dan seperti itulah, kami membabat habis geng motor
Rapid Fire. 413 Isi-Omen6.indd 413 Aria Topan "UDAH, lo nggak usah nangis lagi."
"Nggak bisa," tukasku seraya sesenggukan. "Sekali gue
nangis, gue nggak bisa berenti dengan gampang, tau?"
"Kan gue cuma suruh lo pura-pura nangis, bukan na?
ngis beneran!" balas Erika kesal. "Gila, muka lo bengep
gitu! Orang-orang percaya kali kalo gue bilang gue
barusan nyiksa lo!" "Memang lo siksa gue!" ucapku seraya memamerkan
lenganku yang memar. "Tuh, gara-gara tadi gue kagak
bisa nangis, lo cubit gue sampe kayak gini! Gila, sampe
ungu gini dalam sekejap! Tanggung jawab lo!"
"Udahlah, gitu aja ribut. Nanti gue beliin Zambuk
deh." Cewek ini benar-benar menyebalkan. Mungkin aku
perlu balas mencubitnya. Masalahnya, kalau dia balas
lagi dengan menonjokku, aku pasti langsung roboh da?
lam sekejap. Daripada aku bertambah emosional, aku pun meng?
alihkan topik pada masalah yang lebih penting. "In?
spektur Lukas dan Bu Rita udah cabut?"
414 Isi-Omen6.indd 414 "Udah," angguk Erika. "Sekarang kita bebas ber?tindak."
"Bebas ngapain?" tanyaku. "Gue masih belum ngerti
apa yang harus kita lakukan."
"Sekarang, lo cepet kirim SMS ke dua budak lo dan
suruh mereka ke sini tanpa ketauan siapa pun."
"Oke," sahutku sementara jari-jariku mulai mengetik.
"Tapi, buat apa kita bawa-bawa budak?"
"Sebenernya sih, makin banyak orang makin bagus.
Tapi kita nggak mau ada orang jahat yang berada dalam
deretan saksi kita. Juga, kita nggak mau saksi-saksi kita
terlalu banyak sampe bikin keributan pada saat kita
sedang mengintai penjahat."
"Oh, gitu, jadi kita butuh saksi-saksi yang bisa di?
andalkan," ucapku menyimpulkan. "Kenapa kita nggak
ajak Val, Rima, dan Putri aja?"
"Jangan," geleng Erika. Mungkin hanya khayalanku
saja, tapi sejenak aku melihat secercah ketakutan di
matanya. "Mereka lagi benci-bencinya sama gue gara-gara
pertunjukan gue tadi. Takutnya kalo ketemu, mereka
malah ngajak gue berantem lagi."
"Lo tadi emang agak kelewatan sih," komentarku.
"Yah, tapi itu perlu banget!" balas Erika membela diri.
"Habis, Eliza kan lagi nguping di luar bareng Pak Rufus!
Gue harus mastiin Eliza tau gue dan Val udah saling
membenci!" "Kok lo bisa tau Eliza lagi nguping?"
"Iya dong. Kan gue yang suruh Pak Rufus ajak dia
nguping." Cewek ini memang lihai. "Lo ajak Pak Rufus se?
kongkol?"

Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ehm, nggak juga sih. Gue cuma SMS dia aja gini:
415 Isi-Omen6.indd 415 Lagi seru di kantor Bu Rita. Ajak Eliza nguping ya! Penting!
Yah, tau sendiri si Rufus keponya tingkat dewa. Begitu
dibilang penting, apalagi diajak nguping, dia pasti nggak
bakalan absen." Hmm, lebih lihai lagi dari dugaanku. Ternyata selain
makin jago akting, dia juga makin jago manipulasi.
Sepertinya dekat dengan Eliza memang membuatnya
berubah. "Oh, oke. Jadi buat apa lo bikin Eliza tau lo
dan Val musuhan? Jangan-jangan lo juga curiga Eliza
pelakunya ya? Ayo, cepet ngaku!"
"Nggak kok!" bantah Erika, tapi dalam waktu seper?
sekian detik, aku bisa melihat wajahnya kayak maling
tertangkap basah. "Ini cuma buat informasi aja. Eliza kan
suka bergosip, jadi dia bagus untuk jadi penyalur infor?
masi. Gue yakin, abis ini, semua orang akan tau gue
musuhan sama Val karena udah nuduh lo sebagai pe?
laku. Setelah itu, siapa pun yang menjadi pelaku sebenar?
nya Kasus Penjahit Manusia, pasti nggak akan anggap
gue sebagai ancaman lagi. Jadi, itu kayak semacam
dorongan supaya dia nggak perlu berhati-hati lagi. Gue
yakin, setelah semua kejadian tadi, dia pasti langsung
bertindak!" "Terus lo ngapain tetep di sini?" celaku. "Di luar sana
ada pelaku yang mau bertindak, bro!"
"Tenang, gini-gini gue lagi multitasking," Erika me?
nyeringai. "Sementara gue ngobrol sama elo, mata gue
ngelirik-lirik juga kok ke luar jendela. Dari sini, kelihatan
kan tangga turun ke bawah? Nah, tadi kan abis gue
ngobrol sama dia, Eliza naik ke atas. Berarti berita akan
menyebar di atas. Lo harus tau jalan pikiran orang-orang
ini. Berita harus nyebar, soalnya kalo nggak, itu berarti
416 Isi-Omen6.indd 416 cuma si pelaku yang tau masalah ini, dan itu berarti
gampang tertangkapnya. Tapi kalo semua ini jadi penge?
tahuan umum, siapa pun bisa jadi pelakunya. Ngerti,
kan?" Aku memandangi Erika. Lagi-lagi, cewek ini tanpa
sadar mengungkapkan bahwa dia mencurigai saudara
kem?barnya, entah sebagai pelaku atau kaki tangan
pelaku. Mungkin dia sendiri tidak terlalu yakin dengan
keterlibatan adik kembarnya itu, dan semua ini adalah
usaha sekuat tenaganya untuk membuktikan Eliza tidak
bersalah. Tapi, aku yakin sekali, dia sudah mulai men?
curigai saudara kembarnya itu.
Tapi aku tidak akan menembaknya terang-terangan
lagi seperti yang tadi kulakukan. Bisa-bisa dia malah jadi
ber?balik memusuhiku. Padahal saat ini aku membutuh?
kannya?juga rencananya yang sepertinya brilian ini.
"Nah, setelah informasi menyebar di atas," aku men?
dengar Erika terus berceloteh, "si pelaku pasti akan turun.
Soalnya, dia nggak mungkin melakukan apa pun yang
ingin dia lakukan di atas. Anak-anak kan lagi rameramenya di atas! Semuanya berusaha keluar dari kelas demi
ngintipin kita. Keren ya! Kita udah kayak seleb aja nih!"
"Iya, iya," gerutuku. "Lo dapet peran seleb keren, gue
dapet peran jadi napi seleb!"
"Sori ya, cuma ide ini yang terlintas oleh gue dalam
waktu semalem!" Meski mengucapkan maaf, wajah cewek
itu sama sekali tidak terlihat menyesal. Malahan dia
tampak menikmati situasi ini. "Pokoknya, siapa pun
yang bakalan turun nanti, pasti dia pelakunya. Jadi, kita
tinggal santai-santai di sini sambil nungguin kemunculan
si pelaku. Beres, kan?"
417 Isi-Omen6.indd 417 "Enak aja lo ngomong," cibirku. "Gimana kalo ada
yang ngasih tau siapa pun juga yang lagi ada di ba?
wah?" "Memangnya siapa yang ada di bawah?" Erika balas
bertanya. "Kegiatan olahraga aja udah ditiadakan hari
ini. Yang turun ke bawah paling anak-anak idiot yang
lagi bolos, atau temen-temen lo yang pastinya lagi ber?
usaha keras nyelamatin lo itu. Lagian, lo tau sendiri
sinyal di sekolah kita bikin keki gitu. Nggak mungkin
deh mereka chatting atau apalah dengan sinyal tersendatsendat untuk masalah sepenting ini."
Arghh, benar juga! Aku memandangi ponselku dan
melihat pesan-pesanku untuk Gil maupun OJ tidak ter?
kirim. Dasar sinyal keparat!
"Bener, kan?" seringai Erika saat melihat wajahku yang
bete berat. "Kalo mau, langsung via telepon. Tapi itu
nggak aman. Bisa aja ada yang nguping. Lebih baik
ngomong langsung seolah-olah itu pembicaraan biasa
yang nggak penting. Tapi sekali lagi, gue yakin, di bawah
nggak ada siapa-siapa..."
"Eh, itu si King!" seruku seraya menunjuk ke luar
jendela. "Oh iya!" Erika langsung merapat ke jendela seolaholah ingin bersembunyi, padahal aku yakin tak ada yang
bisa melihat ke dalam kantor ini. Jendela-jendela Bu Rita
berlapis kaca film sejenis V-Kool yang membuat bagian
luar?nya terlihat seperti cermin, sehingga orang-orang
yang berada di luar ruangan tidak bisa mengintip ke
dalam. Ruangan ini memang luar biasa. Kalau bukan
gara-gara aku jadi tertuduh kasus berat, aku tak bakalan
punya kesempatan masuk ke ruangan ini.
418 Isi-Omen6.indd 418 "Buset, lo pikir dia pelakunya?" tanya Erika padaku
yang sudah ikut-ikutan mengintip ke luar. "Sobat kita di
The Judges? Temen broken heart Hakim Tertinggi kita?
Apa dia sanggup ngelakuin perbuatan sesadis ini? Tam?
pangnya sih kayak anak-anak lemah pada umumnya!
Menurut lo kita harus ikutin dia?"
"Entahlah," sahutku. "Seperti kata lo, dia nggak punya
tampang sih. Denger-denger, Lindi juga males sama dia
karena dia kelewat lembek. Nggak kebayang dia sanggup
nyelakain orang-orang seperti Tini dan Bima yang nggak
ada hubungannya dengan dia. Mungkin dia cuma ada
urusan di bawah. Dulu kan dia kapten tim basket se?
kolah kita." "Dulu ya dulu! Sekarang apa urusan dia sama tim
basket?" Erika tampak ingin sekali keluar. "Apalagi, di
bawah kan nggak ada kegiatan apa pun! Ngapain dia
turun? Nggak mungkin dia bolos dong. Tampangnya
kayak murid teladan gitu!"
"Nggak teladan-teladan amat sih," sahutku. "Dengerdenger info, nilai-nilainya jelek banget. Dari dulu dia
memang udah nggak terlalu pinter, tapi sejak putus dari
Lindi, dia jadi kacau berat. Padahal ini kan tahun ter?
akhir dia di SMA." "Yah, dia anak The Judges gitu lho," kata Erika sinis.
"Nggak mungkin dia nggak lulus, kan?"
"Lulus sih pasti. Tapi kalo masuk universitas bagus,
gue nggak yakin juga kalo nilainya ancur banget."
Erika menatapku jengkel. "Jadi menurut lo gimana?
Kita ikutin dia atau nggak?"
"Kalo mau, harus sekarang!" ucapku. "Dia keburu
ngilang nih!" 419 Isi-Omen6.indd 419 "Oke, ayo kita keluar!"
Baru saja aku membuka pintu, tiba-tiba Erika sudah
menerkamku sehingga pintu tertutup kembali. Jantungku
serasa berhenti berdetak saat merasakan cengkeramannya
yang begitu kuat pada bahuku hingga rasanya aku nyaris
remuk. Apa semua pembicaraan kami barusan hanyalah
jebakan? Apakah sebenarnya Erika adalah pelaku sebenar?
nya? Maksudku, jejak yang kutemukan di lapangan futsal
mirip jejaknya. Jangan-jangan sekarang aku bakalan
dibekap dengan kloroform kemudian aku akan dijahitjahit...
Ya Tuhan, aku tidak mau mati, apalagi dengan cara
yang begini sadis! Aku masih kepingin hidup seribu
tahun lagi! (Aku tahu aku konyol banget karena me?
ngutip Chairil Anwar di saat-saat seperti ini, tapi itu
spontan, dan aku tidak bisa menahannya.)
Aku mendengar cewek itu mengumpat-umpat tertahan.
"Jangan keluar dulu, blo?on!"
"Tapi, lo yang suruh gue keluar tadi!" balasku pada
Erika dengan suara rada gemetar.
"Itu Eliza barusan lewat!"
Oh, ternyata karena itu aku dilarang keluar. Bukan
karena aku bakalan dibunuh. Aduh, terima kasih, Tuhan!
Horeee, aku batal mati! Namun saat menoleh pada Erika, aku melihat perasaan
cewek itu bertolak belakang dengan perasaanku. Cewek
yang biasanya selalu brutal dan songong itu kini tampak
seperti kepingin menangis. Aku tidak bisa menyalah?kan?
nya. Berbeda dengan saat melihat King tadi, di mana
kami masih menebak-nebak apakah King hanya ke?betul?
420 Isi-Omen6.indd 420 an lewat atau patut dicurigai, dalam kasus Eliza, tidak
ada keraguan lagi. Eliza pasti terlibat dalam kasus ini.
Aku bisa membayangkan, pasti hati Erika sangat han?
cur sekarang, melihat semua kecurigaannya terhadap adik
kembarnya itu akhirnya terbukti. Setelah semua usaha
keras yang dilakukannya untuk Eliza, bagaimana dia
mengorbankan teman-temannya demi berbaikan dengan
adiknya itu, dan perubahan-perubahan konyol yang dia
lakukan supaya lebih mirip dengan gaya hidup adik
kembarnya itu, ternyata Eliza sama sekali tidak ber?
ubah! Aku ingin sekali menghiburnya, tapi aku tidak tahu
apa yang bisa kuucapkan. Bagaimanapun, dari awal aku
sudah tahu Eliza bukan orang baik. "Erika..."
Alih-alih mengikuti perasaannya dengan langsung
menangis atau terpuruk, Erika memilih untuk bertindak.
"Ayo, kita ikuti dia!"
Setelah Eliza sudah lenyap dari pandangan, kami meng?
endap-endap keluar. Sepertinya para polisi juga sudah
diberitahu soal ini, karena mereka tampaknya tidak
peduli meski tertuduh utama mereka keluar dari tahanan
dengan tampang mirip napi yang sedang berusaha kabur
dari penjara. "Jangan bilang-bilang ke Inspektur Lukas dulu," bisik
Erika pada polisi-polisi itu. "Nanti biar saya yang bilang
sama dia!" Aku tidak tahu hubungan apa yang terjalin antara
Erika, si murid paling bengal di sekolah, dengan pihak
ke?polisian. Yang jelas, para polisi itu tampak patuh pada?
nya. Seandainya Erika memilih jalan hidup sebagai kri?
421 Isi-Omen6.indd 421 minal, kurasa para polisi tidak bakalan tega menangkap?
nya. Kami mengintip ke lantai bawah sebelum menuruni
tangga. Eliza tampak berjalan langsung menuju gedung
gym, sementara King berjalan entah ke mana. Baru saja
aku ingin menyimpulkan Eliza dan King tidak punya
hubungan apa-apa, aku melihat Eliza berhenti di depan
gedung gym, menoleh ke arah kepergian King, lalu me?
masuki gedung. "Menurut lo mereka bersekongkol?" bisikku pada Erika.
"Pasti," sahut Erika murung. "Lo ikutin King, gue ikutin
Eliza. Oke?" "Oke," anggukku. "Tapi sebelum ada apa-apa, lo
jangan nyari perkara dulu sama Eliza, oke?"
"Memangnya lo kira gue amatiran dari mana?" dengus
Erika. "Tenang aja. Lo sendiri jangan sampe ketangkep
ya!" Memangnya dia kira aku amatiran dari mana?
Aku berpisah dengan Erika dan mengikuti King, yang
ternyata hanya duduk di tangga depan auditorium.
Cowok itu tampak merenung, mengusap wajahnya, lalu
memejamkan mata. Apa-apaan ini? Jangan-jangan cowok
ini hanya mencari tempat khusyuk untuk berdoa, dan
tatapan yang diberikan Eliza pada King tadi hanyalah
kebetulan belaka. Mungkin cewek itu hanya ingin
meyakinkan bahwa tidak ada yang melihatnya masuk ke
dalam gedung gym. Shoot. Seharusnya aku mengikuti Eliza saja.
Baru saja aku hendak meninggalkan King, aku men?
dengarnya mengeluh keras-keras, "Lindi..."
Lindi? Kenapa dia tiba-tiba menyebut nama mantan
422 Isi-Omen6.indd 422 pacarnya itu? Apa dia masih mencintai cewek jahat yang
sudah mengkhianatinya itu?
Aku merunduk saat tiba-tiba Putri lewat. Oke, ini
benar-benar aneh! Bukannya memanggil sobatku itu dan
mengajaknya ikut serta dengan penyelidikanku, aku
malah bersembunyi darinya. Habis, mau bagaimana lagi?
Bagaimana kalau dia melambai padaku dan King me?
lihatku? Bisa-bisa semua orang kemudian saling menyapa
dan membuat keributan, lalu keinginanku untuk mem?
buntuti Eliza pun jadi buyar!
Lalu mendadak aku melihat sesuatu yang lebih aneh
lagi. Wajah King yang tadinya muram mendadak cerah saat
menyapa Putri. Aku tidak tahu apa yang mereka bicara?
kan, tapi lamat-lamat aku bisa mendengar namaku di?
sebut-sebut. Pasti inilah yang dimaksud Erika ketika
mengatakan dia menyebarkan informasi. Semua orang
kini tahu aku adalah penjahat yang kini tengah diaman?
kan dan membawa-bawa namaku dalam setiap percakap?
an. Eh, kenapa mereka mendadak pergi bersama? Apa
yang akan mereka lakukan?


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku nyaris menjerit ketika melihat King membawa
Putri menuju gedung gym. Oh, tidak! King membawa
Putri langsung ke tempat Eliza berada! Ya Tuhan, aku
bisa membayangkan semuanya sekarang! Me?reka me?
mancing Putri ke dalam gedung gym, tempat terdapat
ruang latihan panahan, dan Putri adalah atlet unggulan
nomor panahan pada Pekan Olahraga nanti!
Yang tidak kuduga adalah, rupanya King benar-benar
komplotan Eliza! Dan dari yang barusan kulihat, seperti?
423 Isi-Omen6.indd 423 nya dia adalah umpannya! Kalau dipikir-pikir lagi, de?
ngan muka lugunya yang terlihat lemah itu, King
memang merupakan umpan yang tepat. Tidak ada yang
bakalan curiga bahwa dia adalah penjahat yang tega
menjahit manusia-manusia hidup.
Apa yang harus kulakukan? Memperingatkan Putri?
Tapi kalau begitu, semua rencana Erika akan sia-sia! Tapi
kalau tidak, Putri yang akan jadi korban berikutnya!
Aku harus bagaimana?! Oke, tenang, Aya. Jangan histeris! Sekarang yang harus
kulakukan adalah mengikuti mereka, menangkap basah
mereka bersama Erika, lalu menghajar mereka habis-habis?
an untuk apa yang sudah mereka lakukan pada Putri,
juga Tini dan Bima?atau barangkali biar Erika saja yang
menghajar mereka. Bagaimanapun, aku kan sama sekali
tidak punya kemampuan bela diri. Aku bisa judo sedikitsedikit, tapi dalam pertarungan sungguhan, aku tidak
terlalu bisa diandalkan. Tapi aku bisa mengetik. Aku bisa mengirim pesan pada
Valeria dan Rima. Aku tahu sinyal di sekolah ini jeleknya
luar biasa, tapi siapa tahu pesan-pesan itu tiba. Aku harus
melakukan segala yang aku bisa untuk menolong Putri.
Aku menunggu sampai keduanya naik ke lantai atas,
barulah aku naik ke atas sambil merunduk. Sebelum men?
capai puncak tangga, aku berhenti dan mulai mengintip
lagi. Untuk berjaga-jaga, aku mengeluarkan ponselku dan
mulai menyalakan alat perekam video, lalu menaruhnya
di tempat yang ideal supaya aku tidak perlu terus-terusan
memeganginya. Ya Tuhan, si King keparat membekap Putri dengan
kloroform yang dikeluarkannya dari kantong plastik yang
424 Isi-Omen6.indd 424 disimpan di saku celananya! Dasar licik. Dia membawa
kain yang dipenuhi kloroform itu ke mana-mana, dan
tidak ada yang mencurigainya karena tampangnya yang
blo?on! Ke mana sih Erika? Bukankah seharusnya dia muncul
sekarang dan menyelamatkan Putri?
Setidaknya aku berhasil merekam adegan ini. Matilah
King sekarang! Dia tak bakalan lolos lagi!
Pintu dari ruang latihan panahan terbuka, dan sese?
orang melangkah masuk dengan gaya sok keren banget.
Itu Erika! Akhirnya! Aku baru saja ingin menampakkan diri ketika men?
dengar cewek itu menghardik, "Kenapa nggak dibawa
masuk?" Oh, sial! Aku buru-buru bersembunyi lagi, sementara
King sama sekali tidak terkejut melihat kemunculan cewek
itu. "Yah, mau gimana? Dia keburu menyadari rencana
kita!" "Dasar tolol! Ngelakuin yang gampang kayak begini
pun lo kagak bisa!" bentak cewek itu. "Cepet, bawa dia
masuk!" Shoot. Sebenarnya siapa cewek yang di depanku ini?
Tampangnya mirip dengan si kembar Guruh, tetapi aku
tidak tahu siapa tepatnya yang berada di depanku ini.
Seharusnya dia Eliza, kan? Tapi kenapa gayanya begitu
mirip Erika? Gerak-geriknya yang tomboi, gayanya yang
sok jagoan, juga cara bicaranya yang seolah-olah seluruh
dunia idiot dan hanya dia yang pintar?semua itu Erika
banget. "Dia berat banget!" King mengeluh. "Tolong bantuin
gue dong!" 425 Isi-Omen6.indd 425 "Cih, dasar lemah! Cewek ini memang berat banget!
Kayaknya berat di dosa!"
Matilah aku! Itu benar-benar Erika! Ini berarti, aku
tidak punya bala bantuan sama sekali. Aku harus meng?
hadapi tiga orang ini demi menyelamatkan Putri?dan
aku harus menyelamatkannya! Aku tidak mungkin kabur
hanya karena aku tidak bisa mengalahkan Erika, Eliza,
dan King sekaligus. Selamat tinggal, dunia. Sebentar lagi aku akan melaku?
kan misi bunuh diri demi menyelamatkan Putri, kalah
dengan sukses, dan bergabung dengan Putri dalam deret?
an korban Kasus Penjahit Manusia.
Dan tidak ada yang tahu siapa pelaku sebenarnya,
kecuali ada yang berhasil menemukan ponselku. Tapi
kurasa, dengan segala ketidakberuntungan yang kualami
hari ini, ponsel itu akan ditemukan oleh para penjahat
sialan ini, lalu dimusnahkan oleh mereka.
Erika keparat! Aku tidak menduga dia ternyata begini
jahat! Dia membuatku mengira dia adalah orang baik,
memancingku ke sini, lalu...
Tunggu dulu. Dia kan tahu aku membuntuti King.
Seharusnya dia juga tahu aku ada di sini sekarang.
Kenapa dia tidak membongkar keberadaanku?
Aku mendengar King bertanya dengan suaranya yang
blo?on. "Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang pada
dia?" "Lo balik ke kelas saja," ketus cewek itu. "Biar gue
yang handle sisanya."
"Memangnya lo mau apain dia, Ka?"
"Tentu saja menjahitnya."
Astaga, cewek itu mengeluarkan peralatan menjahitnya!
426 Isi-Omen6.indd 426 Saat melihatnya memegang jarum raksasa yang siap
dihunjamkan pada Putri, aku tahu aku tidak bisa ber?
diam diri lagi! Sekarang, aku harus bertindak!
Aku baru saja hendak bangkit ketika sebuah bola voli
meluncur ke arah cewek itu dan telak mengenai muka?
nya. "Siapa itu?" jerit King histeris seraya celingak-celinguk.
"Ini gue, Om." Kulihat kembaran Guruh yang satu lagi
muncul dari balik tumpukan peralatan olahraga. "Erika
Guruh, bos preman paling ditakuti di seantero Hadiputra
Bukit Sentul, penguasa SMA Harapan Nusantara, dan
pemilik nyawa lo saat ini!"
"Bohong!" teriak King. "Erika Guruh kan yang ini..."
Dia menoleh pada rekannya yang baru saja dihantam
bola itu. "Eliza?"
"Yep!" sahut Erika Guruh sambil berjalan mendekat
dengan gaya yang menyiratkan dia memang penguasa
sekolah ini. "Hei, Eliza! Kaget nggak, lihat gue di sini?"
Eliza, cewek yang sedari tadi kukira adalah Erika, tibatiba merangkak dengan kecepatan yang mengerikan
bagai hantu dalam film Paranormal Activity. Jarum yang
tadi dipegangnya terjatuh waktu dia dihantam bola, jadi
sekarang dia meraih gunting dengan secepat kilat.
"Jangan mendekat atau gue bunuh Put..."
Aku nyaris bertepuk tangan saat Erika menendang
muka adik kembarnya itu tanpa belas kasihan.
"Sori ya," kata Erika dingin. "Gue nggak akan biarin
lo ngelukain temen gue lagi!"
"Dia bukan temen lo!" jerit Eliza seraya menghapus
darah yang keluar dari hidungnya. "Kalian tadi berantem
gila-gilaan, dan gue tau itu bukan akting!"
427 Isi-Omen6.indd 427 "Mereka sih kagak akting," sahut Erika tenang. "Gue?
Yah, namanya kembar, kalo lo jago akting, apalagi gue!
Di antara kita berdua kan gue yang lebih hebat! Sekarang
lo tau, dalam soal akting pun, lo kalah sama gue!"
"King, pukul dia!" jerit Eliza histeris. "Hajar dia!"
Mungkin terpengaruh ketegangan dalam suara Eliza,
King lupa bahwa dia bukan lawan Erika. Cowok itu
melayangkan tinjunya dengan canggung, namun Erika
menangkis tinju itu dengan satu gerakan mantap. Oke,
meski King tidak seberapa kuat, aku tetap mengagumi
tenaga Erika yang tidak kalah dibanding cowok-cowok?
atau mungkin caranya menangkis sudah sangat ahli
sehingga bisa menghindari adu tenaga.
"Gue kira lo orang baik," kata Erika dingin. "Ternyata,
lo sama bangsatnya dengan mantan cewek lo itu!" Lalu,
dengan tangan satunya lagi, Erika menjotos muka King
kuat-kuat. "Ini buat Putri, dasar bajingan busuk!"
Di saat Erika sedang sibuk menghadapi King, Eliza
merangkak-rangkak lagi untuk mengambil gunting besar
yang tergeletak tak jauh dari Erika dan King. Tanpa
berpikir panjang lagi, aku meraih sapu yang berada di
ujung tangga, lalu menggunakan benda itu untuk
memukuli Eliza dengan membabi buta.
"Siapa lo?" teriak Eliza seraya menangkis dengan liar.
Dari sela-sela rambutnya yang acak-acakan, dia me?
mandangi?ku dengan tatapan nyalang. "Aya! Kok bisa?"
"Kenapa nggak?" balasku seraya meraih gunting besar
yang sedari tadi diincar Eliza. "Sori, semua ini cuma
sandiwara! Lo memang hebat, tapi seperti kata Erika tadi,
lo nggak akan bisa menang dari dia! Dasar cewek ja?
hat!" 428 Isi-Omen6.indd 428 Sambil terus berjaga-jaga terhadap Eliza, aku menarik
Putri hingga ke pinggir. Tidak lucu kalau dia sampai
terinjak King atau Erika yang sedang berantem. Namun
perbuatanku itu benar-benar bodoh. Tidak mungkin aku
bisa berjaga-jaga dari Eliza yang licik seraya menyeret
Putri yang, omong-omong, memang beratnya keterlaluan.
Gosipnya, orang pingsan memang lebih berat daripada
orang yang masih sadar, tapi baru kali ini aku menyadari
kebenarannya. Tubuhku terbanting ke lantai saat Eliza menerkam?ku.
Cewek itu duduk di atas perutku, dengan satu tangan
menahan tanganku yang masih memegangi sapu dan
gunting besar, sementara satu tangannya mencekik
leherku. Aku menggunakan tanganku yang masih bebas
untuk mencakar-cakar mukanya, namun semakin lama
aku semakin lemas lantaran tidak sanggup bernapas.
Kakiku menendang-nendang, tapi keduanya ditahan oleh
kaki Eliza. Tenagaku mulai melemah, dan cengkeramanku pada
sapu beserta gunting besar itu mulai melonggar. Aku bisa
merasakan gunting itu direnggut dari tanganku, dan
benda itu tiba-tiba muncul di depan wajahku.
"Sebenarnya gue milih semua ini dilakukan dengan
penuh seni," seringai Eliza di depan wajahku, namun
pandanganku mulai berkunang-kunang sehingga muka?
nya terlihat gelap. "Tapi kalo udah begini, yang penting
gue lolos dari semua ini. Sori, Ay, lo terpaksa mati de?
ngan muka bolong!" "Enak aja!" Tiba-tiba Eliza terangkat dari tubuhku. Seketika aku
menghirup udara dengan rakus hingga terbatuk-batuk.
429 Isi-Omen6.indd 429 "Ay, lo kagak apa-apa?" tanya Gil yang berjongkok di
sisi kananku, sementara OJ memandangiku dari sisi yang
satu lagi. Belum pernah aku sebahagia ini melihat kemunculan
kedua tuyulku. "Iya, gue baik-baik aja. Thanks, guys!"
"Sori, kami dateng telat," ucap OJ.
"Yang penting kalian dateng," sahutku, lalu me?
mandang ke samping dan mendapati Eliza sudah me?
nyerang Erika kembali lantaran si King sudah babak-belur
dihajar Erika. "Cepet, tolong Erika!"
"Eh, yang bener aja!" kata Gil risi. "Masa kami harus
menyerang cewek atau memukuli orang yang sudah
babak-belur?" "Yah, pokoknya lakukan sesuatu!" ucapku tak sabar.
"Ikat si King atau apalah!"
Sepertinya King mendengar ucapan kami, karena dia
langsung berlari ke arah tangga. Tapi dalam sekejap,
kedua tuyulku sudah menghadangnya.
"Sori, man," ucap OJ. "Lo nggak akan bisa kabur ke
mana-mana lagi!" "Kami nggak suka mukulin orang yang udah kalah,"
tambah Gil. "Tapi kalo lo bertingkah, jangan salahin
kami ya!" Sambil tertatih-tatih karena badanku sakit semua, aku
memungut sapuku, berdiri, lalu berkata pada King, "Dua
orang yang masih segar bugar dan satu orang yang
punya senjata sapu, melawan elo yang udah babak-belur.
Siapa pun bisa lihat siapa yang bakalan menang dan
siapa yang bakal kalah. King, biarpun lo bego, lo juga
tau kan, kapan harus menyerah?"
430 Isi-Omen6.indd 430 King menatap kami bertiga. Lalu air mata mulai
mengalir turun dari pipinya, membuat aku, Gil, dan OJ
langsung ketakutan setengah mati.
"Gue juga nggak mau ngelakuin semua ini," isaknya.
"Gue pikir gue diajak sama Erika Guruh, dan Erika
Guruh nggak pernah kalah..."
"Erika Guruh juga bukan orang jahat, bego!" ucapku
seraya menegur diriku di dalam hati karena pernah me?
ragukan kebaikan Erika. "Eliza, stop!" Aku mendengar teriakan Erika di belakang dan me?


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

noleh. Rasanya jantungku nyaris berhenti berdetak me?
lihat gunting besar yang dipegang Eliza berada tepat di
atas leher Putri. "Kalian semua pergi! Pergi semuanya!" teriak Eliza de?
ngan rambut acak-acakan. Saat ini, daripada cewek
populer, dia lebih mirip orang gila. "Kalo kalian nggak
pergi, gue akan bunuh Putri saat ini juga! Gue nggak
main-main! Terutama elo, Erika!"
"Iya, iya!" Perlahan-lahan Erika berjalan mundur.
Cewek itu tampaknya juga sudah bertarung habis-habis?
an. Sekujur tubuhnya dipenuhi luka yang pastinya ber?
asal dari gunting besar yang dipegang Eliza. Bahkan
kaki?nya terus meneteskan darah. "Tapi jangan lukai
Putri, please." "Asal kalian semua pergi, gue nggak akan lukai dia!"
sahut Eliza seraya memandangi kami semua dengan mata
nyalang. Kami semua berdiri mengumpul di tangga, termasuk
King. 431 Isi-Omen6.indd 431 "Kami akan pergi," kata Erika. "Tapi lo harus janji, lo
nggak akan melukai Putri, ngerti? Kalo lo lukai dia, lo
nggak akan punya jalan kembali lagi, Za!"
Eliza tertawa histeris. "Gue lupa sesuatu. Semua boleh
pergi, kecuali Erika. Kali ini kami akan menyelesaikan
se?mua?nya." "Za," ucap Erika perlahan.
"Kali ini harus ada satu yang mati di antara kita, gue
atau elo." Eliza menyeringai dengan senyum yang
mengingatkanku pada Nikki. "Dan kalo lo nggak mau
ber?tanggung jawab atas kematian Putri, lebih baik lo
yang mati." "Lo mau suruh gue bunuh diri?" tanya Erika tak per?
caya. "Yah, terserah lo," sahut Eliza. "Lo yang mati, atau
Putri yang mati. Itu pilihan elo."
Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang mengerikan
keluar dari belakangku, tepatnya dari bawah tangga.
Seperti monster. Sebelum aku sempat menoleh, aku
merasa tubuhku didorong ke samping?atau tepatnya
digeser, karena dilakukan dengan kekuatan yang mantap
namun lembut. Dari belakangku, keluarlah Damian Erlangga.
"Damian, bagus!" jerit Eliza dengan penuh kemenang?
an. "Ayo, bantu gue! Bantu gue habisi semua orang di
sini!" Tanpa memedulikan kami semua, Damian berjalan ke
arah Eliza. Kami semua hanya membelalak saat melihat
Damian menarik lepas gunting yang dipegang Eliza.
Kurasa Eliza juga tidak menduganya, karena dia juga
432 Isi-Omen6.indd 432 hanya menatap dengan wajah shock. Dengan satu sentak?
an keras, Damian menarik Eliza hingga berdiri. Kami
semua bisa mendengar suara Damian yang ter?dengar
bagaikan raungan binatang buas.
"Udah gue bilang, kalo sampe lo sentuh Putri, lo yang
akan mati sama gue!"
Eliza menjerit kesakitan saat Damian mendorongnya
hingga menabrak dinding?dengan kasar, tidak seperti
ketika cowok itu mendorongku tadi. Namun Eliza benarbenar luar biasa. Di saat kami semua masih me?longo
akibat kedatangan Damian yang tidak diduga-duga?dan
rasanya tidak bisa dipercaya dia menyelamat?kan Putri!?
Eliza menerobos di antara OJ dan Gil, me?nuruni tangga,
lalu melarikan diri. "Za! Tunggu!" Meski kakinya terluka, Erika masih bisa bergerak cepat.
Tanpa memedulikan kami semua, dia mengejar Eliza.
Sementara itu, aku memegang erat-erat gagang sapuku,
siap memukuli Damian kalau cowok itu mendadak
berubah jadi musuh. Tapi cowok itu hanya berlutut, lalu meraih Putri dan
me?meluknya. "Dia nggak terluka." Aku tidak tahu kepada siapa
Damian bicara, soalnya matanya masih terus tertuju pada
Putri. "Hanya pingsan akibat kloroform. Habis ini, kalian
harus membawanya pergi ke klinik, ngerti?"
"Ya," sahut Gil dan OJ serempak.
"Aya, ke sini."
Seolah-olah terhipnotis oleh suara itu, aku berjalan
meng?hampiri Damian dan Putri, lalu berlutut seraya me?
letak?kan sapuku yang konyol.
433 Isi-Omen6.indd 433 "Jaga dia baik-baik," kata Damian seraya mengangsur?
kan Putri padaku. "Gue udah bilang sama Rima, tapi
sekarang gue akan bilang juga sama elo, Aya. Kalo ada
bajingan yang berani nyakitin Putri, kalian harus ngasih
tau gue, ngerti?" Aku menatapnya lekat-lekat. "Orang yang paling nyakit?
in Putri kan elo." Damian mengalihkan tatapannya padaku, lalu ter?
senyum. "Suatu saat, kalo saatnya tiba nanti, biar Putri
yang ambil nyawa gue."
Cowok itu bangkit berdiri, lalu berjalan pergi. Saat
melewati Gil, dia menepuk bahu temannya itu dan ber?
kata, "Thanks tadi udah bilang sama gue."
"No problem," sahut Gil. "Gue ngerti perasaan elo
kok." Damian tersenyum dan mengangguk, lalu pergi me?
ninggalkan kami semua. Sementara itu, kata-katanya masih menggema di dalam
hatiku. Kalo saatnya tiba nanti, biar Putri yang ambil nyawa
gue. 434 Isi-Omen6.indd 434 Erika Guruh "ELIZA, tunggu!"
Sial, kakiku sakit banget, tapi aku tidak bisa berhenti
mengejar Eliza. Sedikit saja aku memperlambat lariku,
aku bakalan kehilangan dia. Saat ini Eliza berlari bagai?
kan orang kehilangan akal. Seolah-olah dia akan kehilang?
an nyawanya kalau dia tidak berhasil kabur dari tempat
ini. Mungkin ada benarnya juga. Jika saat ini dia ter?
tangkap lagi, dia tidak bakalan lolos dari penjara seperti
sebelumnya, dan itu bukanlah rencana masa depan yang
dia impikan. Sebenarnya bukan kakiku saja yang sakit, tapi seluruh
tubuhku. Paling sedikit tadi aku tergores gunting keparat
itu lima kali. Bisa kurasakan kaus kakiku mulai basah
akibat darah yang mengalir ke bawah. Mungkin sebentar
lagi, kalau aku tidak mendapat perawatan medis yang
layak, aku bakalan kehabisan darah.
Tapi aku tidak peduli, oke? Untuk apa aku peduli de?
ngan semua itu? Aku sudah mengambil keputusan paling
drastis dalam hidupku?membuang semua teman-teman?
435 Isi-Omen6.indd 435 ku demi berbaikan lagi dengan saudara kembarku. Tidak
kuduga, aku dikhianati lagi. Sekali lagi aku menyaksikan
sendiri, Eliza menyamar sebagai diriku untuk mencelakai
orang-orang. Aku benar-benar goblok, tidak menyadari hal ini sejak
awal. Tapi sekarang semuanya akan berakhir. Sekarang aku
akan menangkapnya, dan aku akan menyerahkannya
kepada pihak berwajib. Aku tidak tahu bagaimana
tanggapan orangtuaku. Seandainya mereka akan kembali
membenciku seperti dulu, ya sudah, aku tidak bisa apaapa lagi. Aku sudah melakukan yang terbaik.
Eliza berlari ke arah tempat parkir, dan aku langsung
menyadari apa yang akan dilakukannya. Dia mau kabur
dengan menggunakan si Butut, mobil kesayanganku!
Benar saja, cewek itu langsung menuju ke arah si
Butut. Tentu saja, dengan kaki seperti ini, aku tidak sang?
gup mengejarnya. Saat aku tiba di sana, dia sudah masuk
ke dalam, mengunci pintu, dan menyalakan mesin.
Tanpa berpikir panjang aku meloncat dan menemplok
di kaca depan mobil. "Eliza!" teriakku keras-keras supaya dia bisa mendengar?
nya. "Stop! Lo kagak bisa kabur pake si Butut! Gerbang?
nya dikunci!" Seolah-olah aku tidak ada, Eliza menjalankan mobil.
Aku meluncur jatuh ke jalanan, untungnya tidak ke de?
pan mobil, melainkan ke sampingnya, tapi tetap saja aku
berteriak kesakitan saat luka-lukaku bertemu dengan
debu jalanan. Dengan ngeri aku melihat Eliza menabrakkan si Butut
berkali-kali pada gerbang lapangan parkir, sementara
436 Isi-Omen6.indd 436 satpam yang menjaga gerbang berteriak-teriak padanya
tanpa hasil. Namun berhubung sekolah kami memang
sekolah tua?dan beberapa bagian jarang mendapat per?
baik?an?gerbang itu pun ambruk dalam tiga kali tabrak?
an, dan si Butut yang memang bandel banget meluncur
pergi dengan moncong bonyok.
Aku sudah putus asa ketika tiba-tiba terdengar derum
motor di sampingku. Saat menoleh, aku men?dapat?kan
sebuah helm disodorkan padaku. Dengan takjub, kusadari
orang yang menyodorkan helm itu adalah Val.
"Cepet bangun, bego!" teriaknya dari balik helmnya.
"Kita masih bisa ngejar dia!"
Dengan mengerahkan sekuat tenaga, aku berhasil bang?
kit berdiri, mengambil helm itu, lalu duduk di jok bela?
kang motor keren Val. Sebelum aku sempat menarik
napas, motor itu sudah menerjang ke luar lapangan
parkir diiringi sumpah serapah satpam penjaga lapangan
par?kir. "Hei!" teriakku padanya mengatasi deru motor.
"Apa?" balasnya tanpa menoleh.
"Kenapa lo bantuin gue?"
"Daniel udah ceritain semuanya." Oh. Seharusnya aku
sudah bisa menduga cowok itu rada ngember. Apalagi
dia tidak pernah bisa menyimpan rahasia dari Rima.
Tidak heran Val juga langsung tahu. "Rima juga udah
men?duga hal itu. Makanya dia nggak ikut-ikut gue
musuhin elo." "Cewek itu kok selalu tau segalanya ya?"
"Entahlah. Mungkin dia memang peramal sungguh?an."
Selama diam beberapa waktu, akhirnya aku berkata,
"Sori, buat selama ini."
437 Isi-Omen6.indd 437 Terdengar tawa dari depan. "Elo? Bilang sori? Seharus?
nya gue rekam ya!" "Nggak usah tersinggung dong. Gue serius nih!"
"Yah, sebenernya sih sekali-sekali seru juga dapet elo
se?bagai lawan," jawab Val riang. "Cuma sayang kita
nggak sempet duel ya. Padahal gue udah nggak tahan
kepingin nonjok lo barang satu-dua kali. Sayang udah
terlambat. Dengan kondisi lo saat ini, sekali gue tendang
aja, lo pasti langsung melayang ke Puncak!"
"Jangan arogan, Dik. Meski udah lagi payah gini, gue
masih sanggup ngajarin lo satu-dua jurus!"
"Yang arogan itu siapa sih, Kakak?" cibir Val. "Eh, itu
dia si Butut di depan! Bentar lagi kekejar nih!"
"Abis kita kejar, kita ngapain dong?"
"Mana gue tau?" teriak Val. "Memangnya lo kagak bisa
loncat ke atas atapnya kayak Bruce Willis, terus lo cabut
wiper-nya dan lo gebokin kacanya sampai pecah?"
"Eh, Neng!" aku balas teriak. "Yang bisa selamat se?
telah loncat ke atas atap mobil itu cuma Bruce Willis
yang ada di dalam film! Bruce Willis yang sungguhan,
kalo loncat ke atas atap mobil, ya guling-guling jatuh
juga!" "Oh, kayak elo tadi, ya?"
"Brengsek! Nggak usah diingetin, kali!"
Pada saat itu Val berhasil menyejajarkan kami dengan
si Butut. Aku bisa melihat Eliza menoleh pada kami de?
ngan ngeri, lalu tancap gas lebih kencang lagi. Sayang?
nya, seperti yang sudah pernah kualami, mau digeber
seperti apa pun, si Butut tidak bakalan bisa melewati
motor Val. Berbeda denganku, Eliza tidak segan-segan menyenggol
438 Isi-Omen6.indd 438 kami dengan si Butut. Namun Val berhasil berkelit de?
ngan lincah. "Val, lepas jaket lo!"
"Lo gila?" teriak Val dari depan. "Memangnya lo kagak
lihat? Gue lagi mempertahankan nyawa kita berdua,
man!" "Buru! Gue juga punya ide buat nyelamatin nyawa
kita berdua!" "Ya udah, lo bantu lepasin dong! Gue kagak bisa
lepasin dengan satu tangan!"
Saat Val mengulurkan satu tangannya ke belakang, aku
buru-buru melepaskan jaketnya. Pada saat itu Eliza meng?
gerakkan si Butut untuk menyenggol kami lagi, namun
sekali lagi Val berhasil berkelit, meski motor kami sempat
nyaris oleng. "Ini gara-gara ide lo yang jelek!" teriak Val dari de?pan.
"Berisik lo!" balasku. "Udah, udah! Sebelah lengan jaket
lo udah copot! Sekarang tinggal satu lagi! Ayo, buruan,
Val!" Val mengulurkan sebelah tangannya ke belakang lagi,
dan kali ini aku berhasil melepaskan seluruh jaketnya.


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Deketin motor kita ke si Butut, Val!"
Tanpa memprotes, Val melakukan perintahku. Seperti?
nya dia juga sudah bisa menduga rencanaku. Begitu
kami mendekat pada si Butut, aku mengaitkan lengan
jaket Val pada spion samping, sementara sisanya ku?
hamparkan menutupi kaca depan.
"Kabur!" teriakku, tapi tanpa aba-abaku, Val juga
sudah langsung menjauhkan motornya dari si Butut.
Val menghentikan motornya. Sambil berdiri di tepi
jalan, kami melihat mobil kesayanganku itu meliuk-liuk
439 Isi-Omen6.indd 439 tak terkendali, lalu meluncur naik ke atas trotoar dan
menabrak palang kereta api.
Meski sedih melihat kondisi si Butut, aku tidak meng?
habiskan waktu untuk meratap, melainkan langsung ber?
lari terseok-seok menuju mobil tersebut. Sialnya, sebelum
aku tiba, Eliza sudah keluar dari mobil, lalu melarikan
diri seraya menyusuri rel kereta api. Mungkin dia
mengira Val tak bakalan bisa menyusulnya dengan motor
jika dia menyusuri jalanan bermedan buruk.
Namun Val ternyata lumayan nekat. Seraya menung?
gangi motornya yang terguncang-guncang bak kuda
lumping, dia melesat mendahului kami dan berhenti di
depan Eliza. "Lo nggak akan bisa kabur lagi, Eliza," katanya pada
adik kembarku itu. "Mendingan lo nyerah aja."
Eliza berdiri menyamping, kepalanya berpaling ke kiri
dan ke kanan, bergantian memandangi aku dan Val yang
berjalan semakin dekat padanya.
"Gue nggak boleh tertangkap!" ucapnya dengan nada
histeris. "Gue bisa masuk penjara sungguhan kali ini!"
"Setelah semua yang lo lakukan, memangnya apa yang
lo harapin?" tanyaku. "Memangnya lo nggak pernah ber?
pikir, semua perbuatan jahat lo pasti bakalan mendapat
hukuman?" "Lo kira gue jahat?" bentak Eliza. "Gue cuma bantuin
orang-orang! Gue bantuin Preti yang kepingin banget
ikut serta di program pertukaran pelajar. Bersama dia,
gue singkirkan Tini. Gue bantuin Dimas yang udah benci
jadi nomor dua terus sementara Bima selalu jadi kapten.
Gue juga bantuin King yang cuma bisa masuk ke uni?
versitas pilihannya asal dia jadi Hakim Tertinggi. Lagian,
440 Isi-Omen6.indd 440 orang-orang yang gue celakai itu semuanya punya repu?
tasi buruk! Semuanya nggak disukai! Jadi kenapa gue
dibilang jahat? Yang jahat itu mereka!"
Aku ternganga. Aku tidak menduga, bahwa King
hanyalah salah satu kaki tangannya. Ternyata, untuk
setiap korban, dia memiliki partner berbeda.
"Lo kira orang yang nggak disukai itu berarti jahat?"
tanya Val dengan suara dingin menusuk. "Lo kira
mentang-mentang lo disukai, itu berarti lo baik? Itu
nggak berarti apa-apa! Lo disukai karena lo muka dua,
sementara Putri nggak disukai karena dia apa adanya.
Asal lo tau aja, sifat busuk itu nggak bisa ditutupi. Cepat
atau lambat, semua orang akan tau kebobrokan lo!"
Eliza mulai tersedu sedan. "Ka, lo harus nolongin gue!
Gue nggak mau dipenjara! Masa depan gue bisa hancur!
Ka, lo inget orangtua kita! Kalo gue dipenjara, gimana
perasaan mereka? Gimana kalo mereka jadi bahan olokolok tetangga? Lo tega ngelakuin semua itu pada me?
reka?" Oh, sial. Sejujurnya, aku paling tidak bisa menjawab
kalau dia mulai menyerangku dengan semua kata-kata
yang bernada menuduh ini. Saat ini aku hanya bisa
berdiri tanpa bisa membalas kata-katanya.
"Hei!" bentak Val. "Jangan nimpain semua kesalahan
lo pada Erika! Lo berani ngatain Erika tega ngelakuin se?
mua ini pada orangtua kalian? Lo yang tega, tau! Lo
yang hancurin perasaan orangtua kalian! Semua itu
kesalahan lo!" Betapa bersyukurnya aku memiliki teman seperti Val
pada saat-saat seperti ini. Aku ingat, dulu juga begitu.
Dulu, ketika Eliza mengkhianatiku untuk pertama kali?
441 Isi-Omen6.indd 441 nya, aku sama sekali tidak bisa melawannya. Val-lah
yang melawannya untukku. Kurasa Eliza juga menyadari kenyataan ini. Dia tak
bakalan lolos dari Val. Satu-satunya harapannya untuk
lolos hanyalah dengan menggunakan kelemahanku. Pada
saat itu juga, tiba-tiba dia menerjangku. Meski bisa meng?
antisipasinya, lantaran kakiku yang terluka, aku terpental
jatuh. Namun aku tidak jatuh sendirian?aku menariknya
jatuh juga hingga kami sama-sama terpental ke samping.
Rasanya tubuhku nyaris remuk saat tulang-tulangku ber?
temu dengan rel kereta. "Lepasin gue!" jerit Eliza sambil berusaha bangkit ber?
diri. Aku juga ikut bangkit berdiri, tapi tidak berniat me?
lepas?kannya. Dengan kedua tangan, aku mencengkeram
kedua pergelangan tangannya erat-erat. "Sori, Za. Apa
pun alasannya, gue nggak akan membiarkan lo lolos. Lo
harus ikut gue ke kantor polisi sekarang juga!"
Aku siap menghadapi pertempuran hidup dan mati,
tapi aku tidak siap dengan pemandangan di depanku.
Dengan air mata berlinang-linang di pipi, Eliza ber?tanya
padaku, "Lo tega lihat gue hancur? Lo tega lihat adik
kembar lo sendiri hancur?"
"Mau gue lihat atau kagak, lo memang udah hancur,
Za." Lamat-lamat aku mendengar Val berteriak-teriak pada?
ku, tapi aku tidak mendengarnya. Terdengar deru kereta
api yang mendekat, tapi semua itu juga terdengar begitu
jauh. Rasanya deru aliran darah di telingaku menutupi
segalanya dariku selain suara adik kembarku ini.
"Gue benci sama elo, Ka." Dari sela-sela air matanya,
442 Isi-Omen6.indd 442 Eliza menatapku dengan sinar mata penuh dendam yang
tak bakalan kulupakan seumur hidupku. "Gue selalu
benci sama elo." Selesai mengucapkan hal itu, dia mendorongku kuatkuat?dan aku merasakan tubuhku ditarik oleh Val
hingga aku menjauh dari Eliza. Dari pinggir rel kereta
api, aku hanya bisa memandang ngeri saat kereta api
yang menerjang dengan kecepatan tinggi menabrak Eliza
hingga adik kembarku itu tersungkur jatuh, dan bagai?
mana kereta itu terus melindas Eliza hingga salah satu
kakinya putus. Aku mendengar seluruh dunia menjerit. Tapi, tentu
saja, jeritan itu adalah milikku sendiri. Saat akhirnya
kereta itu lewat, aku menepiskan pegangan Val, lalu ber?
lari menghampiri mayat Eliza yang bergelimang darah.
Saat memeluk tubuh Eliza yang tidak bernyawa lagi,
sesuatu terlintas dalam pikiranku.
Sebenarnya dia tidak perlu mendorongku. Sebenarnya
dia bisa membawaku mati bersama. Tapi pada detik-detik
terakhir tadi, dia mendorongku. Mungkin dia sudah me?
lihat kedatangan kereta api itu. Mungkin dia memang
sudah berniat untuk mati. Kalau memang semua itu
benar, ini berarti, dia sudah menyelamatkan nyawaku.
Apakah aku boleh berharap, setelah semua yang ter?
jadi, di sudut hatinya, dia sebenarnya menyayangiku?
443 Isi-Omen6.indd 443 Valeria Guntur PEMAKAMAN Eliza Guruh berlangsung sepi. Setelah
semua orang tahu dialah dalang Kasus Penjahit Manusia,
tidak ada satu murid pun yang berniat datang untuk
melayat. Tidak para anggota geng populernya yang sa?
ngat banyak itu, tidak juga Nikki, yang kami yakini se?
bagai orang yang memprovokasi Eliza untuk melakukan
semua itu. Ironis sekali, yang datang ke pemakaman Eliza malah?
an lawan-lawannya. Aku dan teman-temanku?Rima,
Putri, dan Aya?juga Les, Vik, Daniel, Gil, OJ, serta Pak
Mul yang terpaksa nongol karena harus mengantar Putri
dan Aya. Tentu saja, kedatangan kami hanyalah untuk
menghormati perasaan Erika yang pasti akan sedih kalau
tidak ada orang yang nongol sama sekali.
Yah, bukannya sekarang dia tidak sedih. Kurasa sejak
detik kematian Eliza hingga sekarang, cewek itu me?
nangis terus. Tidak meraung-raung atau terisak-isak, me?
lain?kan hanya sesekali mengusap mata atau menyedot
ingus. Entah kenapa, justru itu jauh lebih terasa me?
nyedih?kan daripada menangis terang-terangan.
444 Isi-Omen6.indd 444 Aku masih belum berani juga menyinggung si Butut
yang juga sudah hancur lebur. Seharusnya Vik yang me?
nyampaikan berita buruk itu pada Erika, tapi sepertinya
cowok masam jelek itu merasa hal itu tidak penting
untuk diceritakan. "Tenang aja, nanti biar aku beliin yang baru."
Yeah, kayak dia tidak sadar hubungan love and hate
mendalam yang dimiliki oleh Erika dan si Butut.
Setelah upacara pemakaman yang sangat sederhana itu
selesai, kami diundang makan di rumah keluarga Guruh.
Yah, namanya juga acara makan setelah pemakaman,
suasana berlangsung kaku, suram, dan sama sekali tidak
menyenangkan. Untung saja makanannya, meski dipesan
dari katering, ternyata lumayan enak. Setidaknya, dalam
suasana murung itu, lumayan juga menyaksikan Gil dan
OJ berebut paha ayam. Aku sudah memutuskan untuk bicara dengan orangtua
Erika. Kali ini, si cowok masam jelek mendukungku seratus
persen. Saat aku memanggil orangtua Erika, Vik langsung
stand-by di samping Erika dengan tampang bodyguard yang
siap membela sampai mati. Sementara yang bersangkutan
hanya bisa menunduk, seolah-olah pasrah dengan nasib
apa pun yang akan diterima?nya.
"Om, Tante, sebelumnya saya minta maaf dulu se?
besar-besarnya jika saya dianggap melanggar batas. Tapi
kalo saya nggak bicara, saya takut Om dan Tante nggak
akan pernah tau kejadian yang sebenarnya. Begini." Aku
berdeham untuk mengusir rasa takut karena harus ber?
pidato di depan sepasang orangtua berwajah letih dan
penuh duka. "Saya harap, Om dan Tante nggak nyalahin
Erika atas kejadian tragis kali ini..."
445 Isi-Omen6.indd 445 "Kami mengerti." Aku terkejut saat ibu Erika me?
nyentuh tanganku. "Kami mengerti kok selama ini."
"Sebenarnya, sudah sejak kejadian dulu kami tau soal
pe?rangai Eliza yang... berbeda," sambung ayah Erika.
"Tidak, kami tau jauh sebelum itu. Waktu anak-anak
masih kecil, suatu hari Eliza pulang membawa anak
kelinci berwarna putih yang lucu sekali. Katanya dikasih
guru di sekolah, lantaran di sekolah keduanya sudah
tidak terpisahkan lagi. Saya dan istri saya menentang
anak-anak memelihara kelinci, karena punya binatang
pelihara?an kan repot, dan Erika terang-terangan bilang
dia tidak mau ikut-ikutan memelihara binatang. Tapi
Eliza bilang, dia akan memeliharanya sendiri dan ber?
tanggung jawab. Akhirnya, kami pun memberinya izin.
Beberapa minggu kemudian, saya dan istri saya pergi
ke luar kota. Saat pulang dalam kondisi letih, seperti
biasa Erika masih kelayapan di luar, sementara Eliza me?
nunggu kami dengan hidangan enak yang katanya di?
masak ber?sama pembantu di sebelah rumah. Kami
makan bersama dan menghabiskan seluruh hidangan itu.
Saya ingat, saya terkesan sekali karena hidangan daging
itu sangat enak, terlalu enak untuk dimasak oleh anak
berusia tujuh tahun. Saya bertanya pada Eliza, kenapa dia mendadak me?
masak. Ternyata jawabannya tidak terduga. Jawabnya
begini, ?Itu kan daging kelinci Liza. Abis dia nyebelin
banget, tiap hari cuma bisa ngerepotin aja. Gara-gara dia,
Liza jadi nggak bisa main ke mana-mana lagi.? Erika
memang suka merusak mainan, tapi dia tidak pernah
me?nyakiti makhluk hidup. Eliza selalu menjaga mainan?
nya baik-baik, tapi dia sanggup membunuh makhluk
446 Isi-Omen6.indd 446 hidup, bahkan memasak dan memakan binatang pelihara?
an yang tadinya sangat disayanginya."
Aku hanya bisa terpana mendengar kisah yang me?
ngeri?kan itu. "Maaf ya, Om, Tante," sela Vik mendadak. "Kalo kalian
tau semua ini, kenapa kalian nyuekin Erika waktu pertama
kalinya Eliza ketahuan melakukan kejahatan yang me?
ngerikan dulu?" Wajah kedua orangtua Erika tampak dipenuhi rasa ber?
salah. Akhirnya ayah Erika yang menjawab, "Itu karena
kami pikir, kalau Eliza merasa kami tetap mendukungnya
di masa-masa sulit, dia akan bertobat. Seandainya kami
me?nampakkan perasaan kami yang sebenarnya, bahwa
kami tahu wataknya yang buruk dan lebih membela
Erika, dia pasti akan merasa ditinggalkan dan kelakuan?
nya semakin parah." "Kalian tentu bisa melihat," tambah ibu Erika seraya
menyusut air mata. "Sehari-harinya Eliza manis sekali,
jauh lebih manis daripada anak-anak lain. Kami me?ngira
sifat jahatnya itu nggak dominan dan bisa di?tekan. Kalau
kami memberinya segala yang dia inginkan, dia nggak
akan perlu bersikap jahat lagi."
"Dengan mengorbankan anak kalian yang baik?" tanya
Vik dengan suara keras. Sepertinya dia tidak berniat me?
nyembunyikan kemarahannya sama sekali, tidak peduli


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluarga ini masih dalam suasana duka. Sejujurnya, aku
juga sama marahnya, tapi kurasa aku lebih pandai me?
nyembunyikan perasaan. "Kalo kalian punya anak, kalian akan mengerti," ucap
ibu Erika sambil menunduk. "Untuk apa mengurusi anak
447 Isi-Omen6.indd 447 yang sudah baik? Justru anak yang tidak baik yang lebih
menuntut perhatian..."
"Jadi, anak yang baik nggak butuh kasih sayang?
Nggak butuh dukungan orangtua?" sergah Vik. "Apa
kalian tau kalian membuat Erika berpikir dia udah
dibuang orangtua?nya?"
"Kami sama sekali nggak berpikir begitu," ucap ayah
Erika buru-buru. "Kami pikir, sejak kecil Erika selalu
mandiri. Apa pun yang terjadi, dia akan tetap kuat dan
berada di jalan yang benar. Sementara Eliza, kalau sikap
kami berubah sedikit saja, dia akan langsung meng?
anggap kami lebih memilih Erika daripada dia. Sejak
kecil dia memang suka selalu berkompetisi, dan sifatnya
semakin jelek kalau dia kalah."
Tiba-tiba terdengar suara Erika yang sedari tadi diam
saja. "Kalo begitu, kenapa kalian panggil aku Omen?"
Rasanya ada sesuatu yang menghunjam ke hatiku saat
melihat air muka Erika yang sedih. Seolah-olah saat ini
dia sedang berpijak pada ujung tebing. Hanya dengan
satu dorongan lagi, dia akan jatuh dan hancur berantak?
an. Orangtua Erika tampak malu.
"Itu julukan Eliza untukmu, Ka," sahut ayahnya. "Awal?
nya kami pikir itu lucu-lucuan saja, karena waktu di?
panggil Omen, kamu jadi ngambek dan gayamu lucu
sekali. Kami nggak nyangka, akhirnya itu jadi ejekan."
"Dan waktu pertama kali Erika dituduh membunuh
Eliza?" tuntut Vik. Lagi-lagi orangtua Erika menunduk.
"Kami memang percaya waktu itu Erika sanggup mem?
bunuh Eliza," aku sang ibu. "Kami pikir, karena kembar,
448 Isi-Omen6.indd 448 mereka punya sifat yang sama. Tapi sejelek-jeleknya Eliza
waktu itu, dia belum pernah mencelakai Erika. Kami
pikir, selama ini Erika memendam sifat yang lebih buruk
daripada Eliza. Seburuk apa pun Eliza, kami sayang sekali
padanya, sama seperti kami menyayangi Erika juga. Kami
nggak akan bisa menerima kalau salah satu mencelakai
yang lain." Kami semua terdiam mendengar ucapan orangtua
Erika. Meski di dalam hati aku masih tidak bisa me?
nerima perlakuan mereka pada Erika, setidaknya aku
tahu kini mereka tidak akan menyalahkan Erika lagi atas
nasib tragis yang dialami Eliza. Dan sebagai sa?habat
Erika, aku yakin sekali itu semua sudah cukup.
Saat kami pamit untuk pulang, tidak disangka-sangka
Erika ingin ikut dengan kami.
"Bukan sifat gue untuk tetep tinggal di rumah dan
bantuin orangtua gue beres-beres," katanya canggung.
"Jadi, gue boleh ikut cabut?"
"Tentu saja boleh," sahutku. "Gimana kalo abis ini,
kita ngobrol-ngobrol dulu di rumah kami?"
"Di rumah yang katanya berhantu itu?" tanya Gil
penuh semangat. "Tau dari mana kayak rumah berhantu?" Aya balas
ber?tanya dengan curiga. "Dari Damian," sahut Gil polos.
Aku yakin kami semua menahan keinginan sekuat
tenaga untuk tidak melirik ke arah Putri. Kami semua
sudah memutuskan tidak akan memberitahu Putri bahwa
Damian-lah yang menyelamatkan nyawa?nya. Kami
bahkan tidak akan bercerita soal Damian yang berkalikali mendatangi Rima dan mengancamnya ber?kali-kali,
449 Isi-Omen6.indd 449 bahwa kalau ada sesuatu yang terjadi pada Putri, dia
harus segera diberitahu (omong-omong, inilah rahasia
yang dipegang Rima, yang bahkan tidak diberi?
tahukannya pada Inspektur Lukas. Soalnya dia lebih
takut pada ancaman Damian daripada ancaman Inspektur
Lukas). Tidak ada gunanya menggembor-gemborkan ke?
baikan Damian pada Putri. Toh mereka tidak akan jadi?
an, jadi kebaikan Damian tidak bakalan membuat Putri
bahagia, melainkan hanya akan semakin menyakiti hati?
nya. "Rumah kami sama sekali nggak kayak rumah ber?
hantu kok," sahut Rima seraya tersenyum. "Nanti lihat
saja deh. Kami bahkan punya ruang duduk yang pantas
untuk menyambut tamu."
Ya, tentu saja yang dimaksudkannya adalah ruang
tamu di rumah kompleks sebelah. Kami semua percaya
Gil adalah cowok yang baik, tapi bagaimanapun, dia
teman dekat Damian yang juga polos serta tidak bisa
menyimpan rahasia. Lebih baik kami tidak terlalu banyak
mengumbar informasi padanya.
Aku lupa bahwa Erika belum pernah datang ke rumah
bernomor 47 itu. Saat akhirnya tiba di sana, dia berbisik
padaku, "Eh, rumah siapa ini?"
"Rumah yang dulu juga," sahutku. "Lo inget dulu si
Butut punya garasi yang jauh dari rumah? Nah, ini kirakira kayak gitu juga, cuma lebih keren aja. Lagian, kita
bisa ngundang temen masuk lewat sini."
"Oh," Erika diam sejenak. "Gimana kabar si Butut?"
Ditembak tiba-tiba begitu, aku tidak sempat menyusun
kata-kata yang baik. "Udah almarhum."
Erika diam lagi. "Kasian ya dia."
450 Isi-Omen6.indd 450 Aku tidak tahu siapa yang dia maksud?Eliza ataukah
si Butut. Tapi aku tahu dia butuh mendengar jawabanku.
"Ya, kita semua ikut sedih kok."
Aku segera membantu Rima dan Aya membawakan
minum dari dapur. Makanan yang ada di sini tidak
banyak, tapi kami semua juga masih kenyang setelah
makan-makan di rumah Erika.
"Jadi, gimana soal akhir Kasus Penjahit Manusia?"
tanya Erika. "Semua tertangkap?"
"Tentu dong," sahut Daniel. "Pas lo dan Val lagi, ehm,
kejar-kejaran, kami segera menggerebek para pelaku
lainnya. King memang udah ditahan sama Gil dan OJ,
sisanya Preti dan Dimas. Mereka berdua sama sekali
nggak sadar kalo perbuatan mereka udah ketauan, jadi
gampang aja diciduk."
"Jadi kalian juga langsung tau soal Preti dan Dimas
juga terlibat?" tanya Erika heran.
"Iyalah, berkat Rima," sahut Daniel bangga. "Biasalah
cewek gue, peramal gitu lho. Tapi gue serius bingung,
Rim, kok lo bisa tau sejak awal?"
"Sebenarnya awal-awal aku juga nggak terlalu yakin,"
ucap Rima. "Tapi surat di ruang ganti cewek itu me?
nunjuk?kan bahwa ada dua pelaku. Salah satunya mem?
buang surat itu di sana, berarti dia juga ada di ruang
ganti cewek pagi itu. Berarti dia temen sekelas Tini. Tapi,
kalo bukan Preti berkeras aku pelakunya, aku nggak akan
menebak dia pelaku yang satunya lagi.
"Sama seperti Preti, Dimas satu-satunya saksi yang
menyudutkan Putri. Orang-orang lain cuma ikut-ikutan
karena memang ada sosok cewek yang lewat di sekitar
situ. Seperti yang kita tau, Dimas kan penjaga gawang.
451 Isi-Omen6.indd 451 Dia satu-satunya orang yang nggak terlihat aneh kalau
sering-sering ngambil bola dari padang rumput. Kalo ada
orang lain yang sempet ambil bola, udah pasti ketauan,
ehm, Eliza sedang bekerja di situ.
"Aya pernah cerita soal jejak kaki yang dia temukan
di padang rumput. Bukan jejak Putri, tapi jejak sepatu
yang bagian belakangnya diinjak. Kita semua tau, cewek
yang biasanya pake sepatu dengan cara begitu kan Erika.
Tapi kita semua juga tau Erika nggak akan melakukan
hal ini. Jadi pelakunya pasti orang yang ingin nyingkirin
Erika. Jawabannya cuma satu, kan?"
"Terus lo udah tau Erika nggak musuhin kita dari
awal?" tanya Aya. "Nggak juga sih," geleng Rima. "Tapi aku tau Inspektur
Lukas nggak pernah mencurigai kita. Dia hanya bersikap
begitu supaya pelakunya menganggap rencananya ber?hasil.
Lalu kamu ditahan, Ay. Menurutku itu bagus ba?nget,
karena itu berarti Inspektur Lukas bisa ngawasin kamu, dan
rencana untuk nuduh kamu sebagai pelaku?nya gagal.
Karena itu ulah Erika, kupikir dia nggak mung?kin jahat."
"Jadi karena itu lo kagak belain gue waktu gue ditahan
dengan semena-mena gitu," Aya manggut-manggut.
"Maaf," ucap Rima sambil menunduk. "Aku nggak be?
rani cerita ke kalian, takut kalo semua rencana Inspektur
Lukas dan Erika jadi gagal."
"Seharusnya kamu lebih percaya pada kami, Rim," tegur
Putri. "Begini-begini aku dan Valeria kan jago akting. Justru
kamu yang paling nggak bisa akting."
Rima menunduk lebih dalam lagi. "Maaf."
"Udahlah, yang penting semua udah beres," ucapku.
"Korban-korbannya juga ternyata nggak mengalami luka
452 Isi-Omen6.indd 452 permanen kok. Memang akan ada bekas-bekas luka yang
nggak bagus, tapi setidaknya mereka ternyata nggak
buta." Ya, betul. Sesadis-sadisnya Eliza, cewek itu masih pu?
nya hati untuk menjaga supaya korban-korbannya tidak
buta. Seandainya pelakunya adalah Nikki, aku yakin
peng?lihatan korban-korban itu tak bakalan selamat.
"Yah, tetep aja, aku ingin tau kamu masih akan
ngomong gitu kalo sepanjang adegan terakhir kerjamu
cuma pingsan aja," tukas Putri.
Aku menahan tawa. Harus kuakui, peran Putri tidak
enak banget. Sudah nyaris celaka, dia juga tidak pu?nya
kesempatan beraksi. "Yang lebih penting lagi," kata Daniel, "Inspektur
Lukas juga udah dapet semua bukti yang beliau butuh?
kan. Di surat yang Rima temuin di tong sampah, ada
sidik jari Preti. Rupanya cewek itu memang ceroboh.
Dan kita berhasil nemuin sepatu yang diinjak itu di
loker Dimas di ruangan tim futsal. Sementara bukti yang
ngeberatin King..." "Bukan ngeberatin aja, tapi bukti yang sempurna
banget," sela Aya bangga. "Gue berhasil rekam video
waktu kita di lantai dua gedung gym, man! Memang sih
beberapa adegan yang tersorot cuma kaki, tapi suara?nya
jelas banget." "Iya deh, lo memang jago," gerutu Erika. "Cuma gue
bete nih, udah berkoar-koar panjang lebar waktu itu, lo
kagak nongol-nongol."
"Gue kan ngumpet," kilah Aya. "Gue nggak tau apa
yang harus gue lakukan di sana. Lo tau sendiri gue cinta
damai dan nggak suka berantem."
453 Isi-Omen6.indd 453 "Tenang aja, Ay, kalo ada adegan berantem, lo bisa
serahin ke gue," kata OJ.
"Gue juga dong!" sambung Gil buru-buru. "Tapi lain
kali jangan yang babak-belur kayak si King kemaren.
Gile, malu bener rasanya gebukin dia pas dia lagi letoiletoi?nya gitu! Mana mukanya cupu banget!"
"Halah, kalo kasih yang kuatnya kayak Erika, ntar lo
lagi yang babak-belur," cela Aya yang duduk di samping?
ku. "Lo tau nggak, cowok itu babak-belur sama Erika
padahal Erika ngadepin dua orang?"
Aku merunduk dan mendekatkan wajahku pada Aya,
lalu berbisik padanya. "Ay, lo harus nyuruh dua tuyul lo
pulang sekarang juga."
"Lho, kenapa memangnya?" tanya Aya dengan mata
tetap tertuju pada pembicaraan di depan, seolah-olah
aku dan dia sama sekali tidak berbicara.
"Ada sesuatu yang ingin gue ceritain ke kita semua,
termasuk Vik, Les, dan Daniel."
"Oke." Aya tiba-tiba menguap seraya menggeliat. "Duh,
hari yang bikin capek jiwa dan raga! Rasanya bentar lagi
gue mau tidur aja. Kalo nggak, bisa-bisa besok gue sakit
nih!" "Wah, jangan sakit dong, Ay," ucap Gil. "Mau tidur
sekarang? Perlu gue ninaboboin pake lagu ciptaan gue
yang baru?" "Lagu baru yang mana lagi?" tanya OJ dengan suara
curiga. "Judulnya Nggak Dosa, Cin, Bila Lo Hancurin Hatinya
Sampe Berkeping-keping," Gil mengumumkan dengan
bangga. 454 Isi-Omen6.indd 454 "Mendingan besok lo nyanyiin di sekolah aja deh,"
kata Aya sambil menguap. "Kayaknya yang denger lebih
hepi." "Bener juga... Eh, tapi kan besok hari Minggu!" teriak
Gil. "Iya, itulah maksud gue," sahut Aya cuek. "Makanya
kita semua hepi, soalnya nggak perlu dengerin."
"Apalagi gue," ucap OJ seraya bersungut-sungut.
"Aih, hati gue yang kini pecah berkeping-keping," kata
Gil seraya memegangi dada. "Kayaknya gue pulang dulu
deh. Yuk, OJ! Kalo gue pulang, lo harus ikut pulang!"
"Biar kalian dianter Pak Mul aja," kata Putri. "Aku
akan bilang sama Pak Mul sekarang."
Les ikut bangkit. "Kalo gitu, kami akan pulang juga.
Yuk, Vik..." "Biar kutemenin, bentar ya," ucapku seraya mendekat


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke Rima. "Tahan Daniel."
Tak lama kemudian, Aya kembali ke ruang tamu.
"Mereka berdua udah pergi. Jadi kita bisa ngobrol lagi."
"Ada apa?" Vik memandangi kami semua dengan
heran. "Kita belum mau pulang?"
"Belum, ada yang kepingin aku omongin. Ayo, semua
duduk lagi." Aku menoleh pada Aya. "Sori, Ay, bukannya
gue nggak mau ngikutsertakan mereka, tapi Gil nggak
boleh denger semua ini. Lo tau dia hopeng sama Damian.
Berhubung dia nggak akan pulang kalo OJ nggak pulang,
terpaksa deh OJ harus ikutan minggat. Nggak apa-apa,
kan?" "Ah, gue lebih seneng nggak ada mereka." Aya meng?
ibas?kan tangannya. "Abis, mereka berdua berisik banget.
Nah, memangnya apa yang kepingin lo ceritain?"
455 Isi-Omen6.indd 455 "Pertama-tama gue mau bilang ke Putri, Rima, dan
Aya," aku memandangi ketiga temanku dengan wajah
ber?seri-seri. "Kita lolos."
Sama sepertiku, wajah ketiga temanku langsung ber?
ubah girang. "Kita lolos?" pekik Aya. "Kita nggak dipindahin ke se?
kolah lain?" "Iya, hasilnya udah keluar," sahutku. "Damian dan
Nikki berhasil ngedapetin program pertukaran pelajar itu.
Tahun depan, mereka nggak akan ada di sini lagi."
"Baguslah," ucap Putri seraya tersenyum, namun kami
semua menyadari senyumnya tampak murung. "Aku
nggak akan bisa tenang kalau dua anak itu terus-terusan
ada di sekitar kita."
"Ngapain lo kepingin tenang tahun depan?" tanya Aya
heran. "Kan lo juga udah lulus!"
Ini pertama kalinya wajah Putri memerah. "Aku juga
tau itu kok. Hanya saja, kita kan semua masih tetep ber?
sama-sama. Bayangin kalo mereka tetep mengganggu
kita..." "Kami ngerti kok, Put," sela Rima sambil memegangi
tangan Putri. "Demi kedamaianmu sendiri, lebih baik dia
nggak ada." Tidak ada keraguan di antara kami, siapa "dia" yang
Rima maksud. "Apa-apaan ini?" tanya Daniel kaget. "Kalo mereka
nggak dapet program pertukaran pelajar, kalian bakalan
pindah sekolah?" "Tepatnya dipisahkan," ucapku. "Tapi ternyata terbukti,
meski awalnya semuanya kacau, kita bisa selesaikan se?
mua ini dengan baik."
456 Isi-Omen6.indd 456 "Berkat gue juga, tau!" tukas Erika.
"Iya, berkat lo juga," aku tersenyum padanya. "Jadi
bokap gue nawarin, lo mau ikut tim kami nggak?"
"Tim apaan?" Bukan hanya Erika yang menaruh per?
hati?an, melainkan juga Les, Vik, dan Daniel yang tidak
tahu-menahu tentang hal ini.
"Bokap gue ingin kita semua kerja bareng setelah
dewasa di perusahaannya," ucapku. "Jadi, kalo lo mau,
kita semua akan mulai berlatih kerja sama mulai seka?
rang." "Ah, gue kan udah kerja bareng si Ojek." Meski begitu,
tam?pang Erika tampak tertarik. Pada saat itu juga aku
lang?sung tahu, di kemudian hari, dia pasti akan ber?
gabung dengan kami. "Memangnya si Beruang Raksasa
kerja apa sih?" Semua mata tertuju ke arahku. Sepertinya, di ruangan
ini, memang hanya aku yang tahu jawabannya.
"Bokap gue kerja di bidang keamanan," sahutku tanpa
menjelaskan apa-apa. "Omong-omong soal bokap gue,
gue jadi kepingin nanya ke Daniel." Aku memandang ke
arah cowok yang barusan kusebut. "Niel, gue denger soal
Nikki ngoceh yang aneh-aneh tentang bokap dan nyokap
kita?" Wajah Daniel berubah suram. "Ah, itu hanya ocehan
Nikki. Nggak usah didengerin."
"Apaan sih? Apaan sih? Kok gue nggak tau?" Erika lang?
sung menegakkan badan. "Si Beruang Raksasa di?bilang apa
sama nyokap lo?" "Nggak apa-apa." Mungkin karena tidak ingin me?
ngecewa?kan Erika yang masih berduka, Daniel pun ber?
cerita. "Katanya nyokap gue dulu selingkuh sama bokap?
457 Isi-Omen6.indd 457 nya Val. Terus, ehm, gue dan Val sebenernya sodara
kan?dung. Tapi itu nggak bener kok! Gue udah nanya
sama nyokap gue. Kalo gue masih kecil, nyokap gue
mung?kin akan merahasiakan andai itu benar-benar ter?
jadi. Tapi sekarang gue udah gede. Andai itu bener, gue
juga nggak kenapa-kenapa, meski bakalan aneh sih kalo
gue dan Val beneran sodara tiri." Yeah, jadinya pasti
aneh banget. "Tapi intinya, itu semua nggak bener. Me?
mang nyokap gue dan bokap Val ternyata temen SMA,
tapi cuma itu aja kok."
"Yang bikin gue bingung," kata Les, "Nikki pernah
bilang semua ini menyangkut utang masa lalu. Utang
apa memangnya? Kan yang terlibat bokap Val dan
nyokap Daniel. Lalu memangnya siapa yang berutang?"
Dia memandangi Daniel. "Jangan-jangan bokap lo?"
"Nggak," geleng Daniel. "Bokap gue sekarang ada di
luar negeri, dan udah lama nggak pulang."
"Kalo gitu siapa dong?" tanya Les bingung.
"Nyokapku." Tatapan semua orang langsung tertuju padaku.
"Nyokap lo?" tanya Erika kaget. "Nyokap lo kan udah
mat... meninggal!" "Iya, gue baru tau, ternyata dia masih idup." Aku me?
mandangi Les dan Vik. "Kalian ingat beberapa waktu lalu
kalian nyelamatin aku waktu aku diculik Damian? Se?
benarnya Damian nggak melakukan apa-apa. Malah se?
benar?nya dia berusaha membebaskan gue. Makanya waktu
itu gue minta kalian untuk nggak ngapa-ngapain dia."
"Sayangnya, kami keburu emosi," kata Vik datar.
"Lo nyindir gue?" tanya Les tersinggung. "Jadi? Waktu
itu pelakunya bukan Damian?"
458 Isi-Omen6.indd 458 "Bukan," gelengku, "melainkan nyokapku. Dan omongomong, dialah dalang semua kejadian di sekolah kita sejak
kasus pertama yang dilakuin Eliza."
Dan seperti itulah, aku menceritakan segalanya.
459 Isi-Omen6.indd 459 Isi-Omen6.indd 460 Epilog Leslie Gunawan RASANYA tidak bisa dipercaya.
Ternyata ibu Val masih hidup, dan semua yang dilaku?
kannya adalah untuk mengeluarkan kemampuan Val,
ke?mudian menggunakannya untuk membalas dendam
pada ayah Val dan ibu Daniel. Sayangnya, rencananya
tidak berhasil, dan kini dia akan melampiaskannya pada
kami semua. Tidak bisa kubayangkan betapa depresinya Val bela?
kangan ini. Pantas saja dia jadi lebih jarang bicara ke?
timbang dulu. Kupikir semua itu gara-gara persahabat?
annya yang sempat putus dengan Erika. Tidak kuduga,
masalah yang membebaninya tidak hanya itu.
Aku berharap seharusnya dia lebih memercayaiku. Tapi
kurasa semua ini tidak ada hubungannya dengan
kepercayaannya padaku. Dia tidak ingin bilang karena
dia sendiri masih belum memercayai kenyataan ini, bah?
wa ibunya sendiri tega mencelakainya, bahkan sempat
menyuruh geng Rapid Fire untuk mencegatnya.
Kalau dipikir-pikir lagi, aku senang beberapa hari lalu
berhasil bikin gara-gara dengan anggota-anggota geng
461 Isi-Omen6.indd 461 motor itu hingga sebagian besar harus dirawat inap di
rumah sakit. Meski sudah beberapa malam berlalu sejak Val men?
ceritakan semua itu, aku masih saja sering memikirkan
cerita Val. Seperti malam ini, ketika aku harus pulang
lebih malam dari biasanya. Apa boleh buat, hari ini pe?
kerjaan di bengkel sedang padat-padatnya. Beberapa
mobil masuk berbarengan hari ini, sementara masih ada
yang masih diperbaiki. Dengar-dengar itu akibat tabrakan
beruntun atau semacamnya.
Saat keheningan malam mulai merambah jalan, telinga?
ku menangkap semua bunyi-bunyian yang masih ter?
dengar. Kucing yang sedang mengacak-acak tong sampah,
suara televisi dari dalam rumah, tangis bayi dari ke?
jauhan. Juga sesuatu yang lain. Oke, belakangan ini, aku selalu merasa ada yang mem?
buntutiku. Bukan hanya satu atau dua kali, melainkan
setiap malam. Namun setiap kali aku menengok ke bela?
kang, yang ada hanyalah orang-orang yang lalu-lalang
dan mengurus urusan mereka sendiri. Tidak ada satu pun
yang layak dicurigai. Rasanya seperti berada dalam adegan film horor saja.
Oke, aku hanya berkhayal. Tidak mungkin aku di?
buntuti hantu. Hantu yang kemungkinan besar mem?
buntutiku hanyalah Rima, dan kurasa dia lebih memilih
menghabiskan waktunya untuk membuntuti Daniel
daripada membuntutiku. Lagi pula, aku percaya di dunia
ini tidak ada hantu kok. Kesimpulannya, ada manusia hidup yang membuntuti?
ku. 462 Isi-Omen6.indd 462 Kali ini rasanya lebih tegang karena aku pulang lebih
malam dari biasanya. Jalan-jalan sudah sepi, sehingga
nyaris tidak ada orang lagi yang berkeliaran di tengah
jalan. Sesekali ada mobil atau motor lewat, tetapi lebih
sering aku hanya sendiri di tengah jalan. Celakanya lagi,
dalam perjalananku menuju rumah, ada beberapa jalanan
yang lampu-lampu jalannya tidak menyala. Meski biasa?
nya penglihatanku bagus, aku tetap tidak berani memacu
motorku. Aku lega banget ketika akhirnya aku tiba di depan
rumah. Berbeda dengan Val dan kebanyakan temantemannya, rumahku berada di kompleks paling kumuh
di perumahan kami?atau lebih tepatnya lagi, kompleks
kumuh di luar perumahan yang Val dan teman-teman?
nya diami. Rumah-rumah di kompleksku?termasuk
rumahku sendiri?berukuran kecil sekali, lebih tepat di?
sebut RSSSS atau Rumah Sangat Sangat Sangat Sederhana
daripada RSS alias Rumah Sangat Sederhana yang di?
sandangnya. Rumahku sendiri hanya terdiri atas sebuah
kamar sempit, satu ruang depan yang berfungsi sebagai
ruang tamu, ruang makan, dapur, dan tempat parkir
motor, serta sebuah kamar mandi dan pekarangan sempit
di belakang rumah. Kurasa daerah tempat tinggal
pengurus rumah Val masih jauh lebih mewah daripada
tempat tinggalku. Aku benar-benar berani mati memacari cewek yang
taraf kehidupannya jutaan kali lipat lebih tinggi dariku.
Aku baru saja turun dari motor ketika aku mendengar
bunyi itu lagi. Mirip bunyi motor yang hanya sesekali
menyala, tapi kali ini bunyi itu sudah berhenti, diikuti
bunyi langkah sandal. 463 Isi-Omen6.indd 463 Tunggu dulu. Bukan hanya ada satu suara, melainkan
beberapa. Atau belasan. Rupanya ada orang-orang yang kepingin mengeroyok?
ku. Aku melupakan keinginanku untuk memasuki rumah.
Lebih baik aku hadapi saja orang-orang itu. Oke, aku
tahu aku kedengarannya sok jago, tapi sebenarnya bukan
begitu. Daripada aku ngumpet di dalam rumah lalu
rumah?ku yang bobrok ini dirobohkan dan aku terpojok
di dalamnya, lebih baik aku menghadapi orang-orang ini
di luar. Setidaknya rumahku tetap aman, aku tidak
kelihat?an seperti pengecut, dan aku masih bisa mencari
jalan untuk melarikan diri.
Bukannya aku tidak takut sih, tapi hanya orang bodoh
yang tidak takut saat mengetahui dirinya akan dikeroyok
oleh belasan orang di tengah malam buta. Jelas orangorang ini sudah melakukan persiapan, sementara aku
tidak punya senjata apa pun.
Dalam kegelapan malam, aku melihat sosok-sosok men?
dekat bagaikan pasukan zombie?dengan lambat namun
pasti. Di barisan terdepan sosok itu, terlihatlah si bos
Rapid Fire yang mukanya masih lebam lantaran dihajar
Daniel seminggu lalu. Aku menyunggingkan senyum padanya. "Rupanya
masih belum cukup dihajar ya?"
"Jangan sombong, Leslie Gunawan," geram si bos
Rapid Fire. "Malam ini adalah malam kematian lo. Jadi,
jangan berlagak sombong lagi."
"Lo jangan sombong juga," balasku riang. "Kalo gue
mati, pasti gue seret lo ikut bareng gue kok."
464 Isi-Omen6.indd 464 Aku nyaris tertawa saat melihat anak bongsor itu mun?
dur dan membiarkan anak-anak buahnya memagarinya.
"Serang!" Seperti kemarin, lawan-lawanku hanyalah premanpreman murahan yang memiliki stamina payah lantaran
kebiasaan buruk yang mereka anut setiap hari. Mana kali
ini aku juga masih mengenakan helm seperti lawanlawanku. Tambahan lagi, sebenarnya aku memiliki ke?
untungan lantaran langit sudah gelap. Instingku lebih


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tajam dan kemampuan bertarungku juga jauh lebih
tinggi daripada mereka. Namun jumlah mereka terlalu
ba?nyak, dan mereka membawa senjata. Jadi aku tidak
akan malu-malu mengakui bahwa aku kepayahan.
Saat pertarungan selesai, tenagaku nyaris habis, tubuh?
ku dipenuhi banyak luka, helm yang kukenakan bahkan
sudah copot entah bagaimana caranya, tapi di sekitarku
bergelimang tubuh-tubuh yang entah disabet sen?jata
temannya atau pingsan setelah kupukuli. Setidak?nya aku
masih bisa berdiri, meski dengan kaki gemetar. Aku bisa
merasakan darah mengalir di sepanjang lengan?ku, dan
pandanganku berkunang-kunang.
Di depanku hanyalah tersisa si bos Rapid Fire. Bahkan
dalam kondisi payah begini aku bisa mencium rasa
takutnya, tapi aku tidak akan menyalahkannya. Siapa
yang tidak takut setelah melihat belasan temannya di?
bantai oleh makhluk setengah manusia setengah monster
yang sedang kalap mempertahankan nyawa?
"Pernah melihat serigala mengamuk?" tanyaku seraya
mendekat padanya. "Kepingin gabung sama temen-temen
lo di neraka?" Mendadak aku mencium bau tajam menusuk yang
465 Isi-Omen6.indd 465 tidak enak dari belakangku. Aku berbalik secepat mung?
kin, namun gara-gara tenagaku sudah habis, kecepatanku
pun jadi payah. Aku merasakan kain penuh kloroform
itu ditekan ke mulut dan hidungku, sementara di depan?
ku, berdiri dalam kegelapan, adalah Nikki dengan se?
nyum?nya yang sangat lebar dan mengerikan.
"Halo, Leslie Gunawan," ucapnya. "Sekarang lo akan
jadi milik gue." Lalu segalanya berubah gelap.
466 Isi-Omen6.indd 466 Profil Pengarang Lexie Xu adalah penulis kisah-kisah
bergenre misteri dan thriller. Seorang
Sherlockian, penggemar sutradara J.J.
Abrams, dan fanatik sama angka 47. Muse
alias dewa inspirasinya adalah F4/JVKV.
Suka banget dengan Big Bang dan Running
Man. Saat ini Lexie tinggal di Bandung
bersama anak laki-lakinya, Alexis
Maxwell. Karya-karya Lexie yang sudah beredar
adalah Johan Series yang terdiri atas empat
buku: Obsesi, Pengurus MOS Harus Mati, Permainan Maut, dan
Teror, serta Omen Series yang baru terbit 6 buku: Omen, Tujuh
Lukisan Horor, Misteri Organisasi Rahasia The Judges, Malam
Karnaval Berdarah, Kutukan Hantu Opera, dan Sang Pengkhianat.
Selain dua serial ini, Lexie juga ikut menulis kumcer Before the Last
Day dan Tales From the Dark bersama rekan-rekan penulis.
Kepingin tahu lebih banyak soal Lexie?
Silakan samperin langsung TKP-nya di www.lexiexu.com. Kalian
juga bisa join dengannya di Facebook di www.facebook.com/lexiexu.
thewriter, follow di Twitter melalui akun @lexiexu, atau mengirim
e-mail ke lexiexu47@gmail.com.
xoxo, Lexie Isi-Omen6.indd 467 Isi-Omen6.indd 468 Baca kisah seru Erika Guruh dan Valeria Guntur di buku pertama serial OMEN! Erika dan Valeria mengungkap kejadiankejadian aneh perihal
tujuh lukisan horor karya Rima Hujan. Erika, Valeria, dan Rima menyelidiki organisasi rahasia di sekolah mereka. GRAMEDIA penerbit buku utama
Isi-Omen6.indd 469 Isi-Omen6.indd 470 Di malam karnaval, jiwa Rima Hujan terancam. Sanggupkah Daniel Yusman menyelamatkannya? Erika Guruh, Valeria Guntur, Rima Hujan, Putri Badai, dan Aria Topan bersama-sama menghadapi teror yang menyerang mereka. GRAMEDIA penerbit buku utama
Isi-Omen6.indd 471 OMEN #6 File 6 : Kasus Penjahit Manusia dengan Korban Atlet-Atlet Unggulan
Pekan Olahraga Tertuduh : Kami. Yep, kalian tidak salah baca. Kami-kami yang seharusnya
menyelidiki kasus ini malah menjadi tertuduh lantaran ada
beberapa saksi yang mengatakan mereka melihat kami di tempat
kejadian. Tentu saja kami tidak sudi pasrah dengan situasi ini dan
bertekad untuk menyelidikinya. Kecurigaan kami jatuh pada dua
cewek paling jahat di sekolah kami: Nikki dan Eliza. Tambahan
lagi, kini mereka mendapat bantuan dari Damian Erlangga sang
pangeran iblis, serta mantan sobat kami yang kini menjadi musuh
bebuyutan kami: Erika Guruh.
Fakta-fakta : Pada hari-hari menjelang Pekan Olahraga, atlet badminton
unggulan sekolah kami ditemukan di lapangan badminton dalam
kondisi tidak sadar dengan mata, mulut, dan anggota badan
terjahit rapat. Saksi mata berupa sahabat korban mengatakan dia
melihat Rima berkeliaran di dekat lapangan pada saat kejadian.
Di siang hari, pada hari yang sama, kapten tim futsal ditemukan
mengalami kejadian tragis yang sama, dan kali ini orangorang melihat Putri Badai melarikan diri dari tempat kejadian.
Keesokan harinya ada "tips tepercaya" yang mengatakan Aya
akan melakukan kejahatan berikutnya, dan sebelum kami sempat
melakukan sesuatu Aya sudah ditahan polisi.
Misi kami : Menemukan pelaku sebenarnya sebelum kami dihukum untuk
perbuatan yang tidak kami lakukan.
Penyidik kasus: Valeria Guntur, Rima Hujan,
Putri Badai, dan Aria Topan
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building Blok I, Lantai 5 Jl. Palmerah Barat 29-37 Jakarta 10270 www.gramediapustakautama.com
omen 6 sang penghianat.indd 1
Medali Wasiat 11 Pendekar Rajawali Sakti 62 Tuntutan Gagak Ireng Tiga Naga Sakti 15
^