Pencarian

Rinduku Pada Rimba Papua 4

Rinduku Pada Rimba Papua Karya Sabine Kuegler Bagian 4


Pada suatu hari, beberapa saat sebelum liburan, aku sadar bahwa perasaan di tengah-tengah, yaitu tidak menjadi bagian yang tegas dari salah satu dunia, sangat memengaruhi kehidupanku. Hal ini menjadi masalah.
Seluruh keluarga pergi ke kota, sementara aku tinggal dengan Papa untuk menikmati beberapa hari terakhir besama orang Fayu. Papa bertanya apakah aku mau ikut dalam sebuah perjalanan. Tentu saja aku mau. Jadi kami memulai perjalanan menuju ke kelompok Sefoidi. Tuare telah menunggu di perahu untuk bergabung bersama kami dalam perjalanan ini. Aku duduk di sebelahnya di bagian depan perahu. Aku membantunya mengawasi gelondongan kayu yang mengambang, reruntuhan, serta karung pasir yang tenggelam.
Suasana di sungai begitu indah. Matahari menyinari mukaku, alam terbentang di sekitar, dan keindahan terasa di udara. Karena Mama tidak ada, Tuare memberiku beberapa batang tebu. Kami menyobek kulit luarnya dengan gigi dan menghisap habis airnya. Bibir kami mengecap dan air tebu mengalir di tangan, membuat kami lengket. Namun tak perlu khawatir. Satu celupan ke sungai dengan mudah membereskan hal ini.
Kedamaian yang menakjubkan menghampiriku, sebuah sensasi yang makin sukar kupahami. Bagiku hutan tetap sebuah tempat ajaib. Hutan adalah rumahku. Namun aku merasa rumah itu sedang terlepas dari genggamanku. Aku mencoba menahannya dengan seluruh kekuatanku, tetapi rumah itu semakin menjauh. Aku tidak tahu lagi siapa diriku dan di mana aku seharusnya berada. Waktu yang aku lewati di Barat telah banyak memengaruhiku. Aku merasa tersiksa di antara keinginan untuk tetap menjadi anak rimba atau menjadi wanita modern. Keputusan harus dibuat, lebih cepat lebih baik.
Tuare menghentikan lamunanku dengan menggoyang-goyangkan lenganku dan menunjuk ke arah sebuah pohon besar di darat. Aku cepat melihat apa yang ia maksud, yaitu ribuan sosok hitam bergelantungan di dahan.
"Apakah kau ingat? Rasanya enak kan? tanya Tuare.
"Oh, ya!" aku menghela napas pelan.
Tiba-tiba sosok-sosok tersebut bergerak dan langit dipenuhi kelelawar. Ketika melihat mereka terbang di atas kepalaku, aku bertanya pada diri sendiri mengapa aku banyak berpikir. Lagipula, inilah rumahku, keluargaku. Segalanya sama seperti dulu dan akan selalu sama. Paling tidak itulah yang ingin kupercayai.
Beberapa hari sesudah itu, liburan berakhir dan aku kembali ke Jayapura.
Perasaan "salah tempat" ini berlanjut pada masa liburan berikutnya bersama orang Fayu. Semua teman-temanku hadir untuk menyambutku. Hal ini membuatku bahagia. Namun, bahkan mereka pun seperti merasakan ada sesuatu yang salah. Mereka tidak tahu harus berbuat apa dengan perasaan itu. Karena aku juga tidak tahu harus berbuat apa, kuputuskan untuk menekan rasa tidak nyaman yang semakin besar. Aku menjalani hidup seakan-akan semuanya baik-baik saja. Seolah-olah kegembiraan masa kanak-kanak terus berlanjut tanpa pernah terputus.
Bab 36 BAYI TANPA NAMA Meskipun berpisah dari suku Fayu terasa menyakitkan, ternyata ada juga pengaruh yang berguna. Kami beranjak dewasa dalam kebudayaan Fayu, sehingga kami benar-benar menjadi bagian darinya. Sekarang aku dapat melihat kebudayaan dan adat istiadat mereka dengan lebih objektif, seperti ketika aku memancing bersama Fusai.
Fusai merajut jala dari kulit pohon dan mengajakku bergabung dengannya. Aku mengikutinya berjalan melalui hutan menuju sungai. Fusai turun ke air dan meletakkan jaringnya. Tidak lama kemudian jaring itu telah penuh dengan ikan.
Waktu kami kembali ke desa, Tuare sedang gelisah menungguku. Katanya seorang wanita telah datang ke rumah kami membawa bayi yang sedang sakit parah. Mama tidak ada di rumah, jadi mereka meminta bantuanku. Aku menggendong bayi perempuan berusia beberapa bulan itu. Ia panas tinggi. Apa yang harus kulakukan?
Pertama, aku memutuskan untuk melakukan sesuatu yang nyata, yaitu memandikan bayi yang diselimuti oleh kotoran itu. Aku isi sebuah baskom besar dengan air hangat. Namun, saat aku hendak mengambil si bayi, ayahnya masuk. Ia ketakutan karena tidak mengerti apa yang akan kulakukan terhadap anaknya. Terpikir olehku bahwa orang Fayu tidak pernah membasuh bayi mereka. Air sungai terasa terlalu dingin untuk memandikan mereka.
"Aku tidak akan menyakiti bayimu," aku mencoba menjelaskan.
"Kotoran tidak baik baginya sehingga akan kubersihkan."
Ia kelihatannya tidak setuju.
"Itu berbahaya," katanya galak sambil menunjuk ke air.
"Tidak," bantahku.
"Rasakanlah." Dengan hati-hati ia memasukkan tangannya ke dalam air. Ia kelihatan tercengang waktu merasakan kehangatan air tersebut. Setelah tarik-ulur yang panjang, akhirnya ia mengizinkanku memandikan anaknya. Sementara ibu si bayi tersebut sudah setuju sejak awal.
Semua yang melihat berkumpul dan memerhatikan cara baru ini. Kubaringkan bayi yang sakit itu di dalam air. Bayi itu kelihatan menikmatinya. Ia langsung menjadi tenang. Dari belakangku, sesekali terdengar seruan "oh" dan "ah". Orang yang menonton begitu antusias. Setelah selesai mandi, kubungkus bayi itu dengan handuk kering dan memberikannya kembali kepada ibunya. Aku bertanya apakah bayinya sudah diberi nama. "Tidak," jawabnya, "ia tidak punya gigi sama sekali."
Keesokan harinya, ibunya datang ke rumah kami untuk memperlihatkan kepadaku bahwa bayinya sudah mau makan dan tidak panas lagi. Sepanjang hari kulalui dengan gembira dan aku tertidur dengan perasaan lebih puas dari apa yang pernah kurasakan selama ini.
Foto Aku senang menjaga anak teman-teman Fayu-ku
(aku sedang memangku anak bungsu Ketua Kologwoi)
Namun ketika terbangun kesokan harinya, aku mendengar nyanyian berkabung. Aku segera mengetahui apa yang terjadi. Bayi tersebut meninggal dunia malam itu. Aku duduk di tempat tidur dan menangis. Hatiku hancur lebur karena merasa bersalah. Mengapa aku tidak melakukan lebih dari itu? Apakah yang telah aku lakukan salah? Aku merasa begitu tidak berdaya dan tanpa kekuatan. Ketika usiaku lebih muda, pandanganku mengenai kematian dan saat menjelang ajal sesuai dengan pandangan orang Fayu. Kemauan adalah peristiwa biasa, bukan dukacita yang besar. Kalau begitu, mengapa kematian ini sangat memukulku?
Kini aku menemukan diriku dalam suatu tempat yang baru. Kehidupan di Barat telah menunjukkan kepadaku sebuah pandangan yang berbeda, bahwa kematian dapat dicegah dan penyakit dapat disembuhkan. Dan sekarang aku tidak mampu menyelamatkan bayi itu. Rasa gusar yang hebat muncul di diriku.
Aku pergi ke luar. Papa telah menunggu. Ibu bayi itu menggendong bayinya yang telah meninggal sambil menyanyikan lagu berkabung orang Fayu. Lagu itu sambung-menyambung sepanjang siang dan malam. Aku tertidur dengan iringan nadanya dan terbangun oleh lagu yang sama.
Tiga hari lamanya mereka berkabung. Pada hari keriga, pasangan itu membawa bayinya ke hutan. Aku mengikutinya bersama Ohri. Kami sampai di sebuah lapangan. Ayah bayi tersebut telah membangun sebuah pondok kematian. Orang Fayu tidak lagi menyimpan jenazah di gubuk mereka. Sebagai gantinya, mereka sekarang membangun sebuah panggung yang tinggi jauh di hutan. Empat tiang panjang dipancangkan ke tanah dan panggung kecil diikatkan di bagian atasnya. Kulihat dua anak panah tersembul dari dalam tanah. Kutanyakan maknanya pada Ohri.
"Anak-anak panah itu menolong jiwanya untuk bertemu dengan kematian."
Aku memerhatikan ibu si bayi meletakkan bayinya di atas panggung. Di sisi jenazahnya, ia meletakkan satu-satunya barang milik sang bayi, yaitu handuk yang kupakai untuk membungkusnya.
Air mata mengalir di kedua pipiku. Aku merasa amat takut. Ohri menggenggam tanganku dan berbisik, "Jangan sedih, adikku. Aku tidak akan meninggalkanmu." Kugenggam tangannya erat-erat. Aku senang dia ada di sampingku.
Papa terkejut karena masa berkabung kali ini begitu pendek. Orang Fayu menerangkan bahwa mereka belum mengenal baik bayi tersebut. "Kami belum pernah mengumpulkan makanan bersamanya. Kami tidak makan bersamanya atau berbicara dengannya. Ia bahkan tidak punya gigi sama sekali."
Dalam budaya Fayu lama masa berkabung berkaitan dengan usia orang yang meninggal. Semakin tua orang yang meninggal, semakin lama masa berkabung. Apabila sesepuh suku meninggal, masa berkabung bisa berlangsung berminggu-minggu. Sisa-sisa tulang digantungkan di dalam gubuk sebagaimana kita menggantungkan foto. Aku sering mengunjungi gubuk seseorang dan diperkenalkan dengan bangga kepada tengkorak-tengkorak tersebut, "Ini pamanku. Ini kakekku, dan di sebelah sini kakak perempuanku."
Cara ini mungkin terdengar mengerikan untuk kita di Barat. Namun begitulah cara orang Fayu mengenang orang-orang yang mereka cintai.
Bab 37 SI CANTIK DAN SI BURUK RUPA
Pemandangan dari bukit kami selalu menjadi sumber kegembiraan dan keajaiban karena dapat memberi kesan bahwa Anda seakan berada di puncak dunia. Hampir setiap malam kami menikmati matahari terbenam yang memesona. Kadang-kadang aku dapat melihat kabut muncul dari dalam hutan, kelihatan misterius dan perkasa. Lebih kuat dari beribu pohon besar, kabut tersebut dengan mudahnya menenggelamkan mereka.
Aku terbangun suatu pagi, merasa ada sesuatu yang istimewa hari itu. Aku bangkit dari tempat tidur. Seisi dunia masih terlelap. Aku pergi ke dapur untuk menyiapkan kopi seperti biasa, tetapi tercengang saat melihat ke luar jendela. Tanah diselimuti warna putih.
Aku letakkan ceret kopi dan berlari ke pintu. Sebuah pemandangan indah menyambutku. Di atasku terhampar langit biru. Di kaki langit, matahari yang terbit mengirim sinarnya menyoroti jalanku. Namun, yang lebih mengherankan adalah tanah tidak terlihat. Kabut tebal menyelimuti seluruh hutan dan bukit. Aku nyaris tidak dapat melihat kakiku. Jadi aku mengambil satu langkah dengan berhati-hati, kemudian langkah berikutnya.
Aku berdiri di atas awan seperti yang pernah aku mimpikan dan rasanya sangat menakjubkan. Aku berada di puncak dunia dan begitu gembira hingga tak terlukiskan dengan kata-kata. Pemandangan ini akan kuingat selamanya. Aku berdiri di sana, menikmati suasana sampai matahari mengusir kabut.
Akhirnya aku kembali ke rumah, melanjutkan membuat kopi dan duduk di tangga luar. Ya, aku berpikir sendiri, inilah tempat yang tepat Inilah tempat aku bisa berbahagia. Namun segera setelah pikiran itu muncul, gelombang kesedihan menghantamku. Mengapa mimpiku tentang berdiri di atas awan terpenuhi saat ini? Peristiwa ini terjadi tepat saat aku merasa tidak seharusnya berada di sini lagi.
Aku kembali memikirkan masa-masa di Jerman dan tentang nenekku di Bad Segeberg. Aku ingat aroma kopi Jerman yang lebih harum dibanding kopi tubruk di tanganku. Dan rotinya! Aku benar-benar rindu roti gulung Jerman untuk sarapan pagi, dilumuri dengan selai cokelat. Aku teringat cuacanya yang dingin dan saat jalan-jalan di danau.
Lalu aku merasa bersalah. Di sinilah aku, mendambakan tanah kelahiran orang tuaku saat alam baru saja berbagi sebuah pengalaman yang lama kudamba. Tidak. Aku tidak berhak merindukan kampung halaman. Aku tidak berhak merindukan sebuah negeri asing. Ini adalah rumahku. Di sinilah seharusnya aku berada.
Apakah alam sedang mengingatkanku pada sesuatu? Apakah alam sedang menunjukkan keajaibannya untuk mengikatku selamanya? Kawan akan tetap menjadi kawan dan tidak akan meninggalkannya. Itulah peraturan yang kupelajari dari orang Fayu.
Tak lama setelah kejadian ini, aku terbangun tiba-tiba di tengah malam. Ada yang tak beres. Kucoba mendengarkan, tetapi hanya menangkap keheningan. Hutan sangat sunyi. Ini adalah tanda bahaya. Aku duduk di atas tempat tidur dengan mata masih mengantuk.
Lalu aku mendengar suara yang mengingatkanku akan lautan. Suara itu terdengar semakin dekat dan keras, bahkan berubah meraung. Ketakutan memuncak dalam diriku. Bunyinya semakin dekat, dan tiba-tiba semuanya berguncang. Lantai, dinding, tempat tidurku. Kutarik selimut sampai menutupi kepala karena yakin rumah akan runtuh. Rasanya lama sekali hingga akhirnya semua kembali tenang,
Segera aku tahu telah terjadi gempa bumi. Sebelumnya, aku telah beberapa kali mengalami hal yang sama, tetapi tidak pernah dengan kekuatan sebesar itu. Hutan seakan berubah menjadi lautan yang bergejolak dengan ombak yang susul-menyusul. Kejadian aneh ini membuatku gemetar.
Aku kembali merasa bahwa hutan tidak ingin aku pergi. Pertama kabut yang halus dan lembut, sekarang peragaan kekuatan gempa. Hutan seolah memastikan dirinya ddak dilupakan. Hutan ingin aku tak hanya memandangnya, tapi juga merasakannya di seluruh persendianku.
Pada pagi berikutnya, aku bertanya kepada Papa soal gempa bumi kemarin. "Gempa bumi apa?" tanyanya. "Pasti aku tertidur pulas." Padahal bagiku itu seperti gempa bumi terbesar abad ini, tapi Papa tidak merasakannya. Ini jelas sebuah pesan yang ditujukan untukku.
Bab 38 BISA DAN BEISA Suatu malam kami mendengarkan cerita orang Fayu mengenai asal-usul mereka. Kloru, ayah Tuare dan Bebe, menceritakan legenda itu kepada kami. Ia adalah salah seorang pendongeng terbaik yang pernah kukenal.
"Dahulu, ada sebuah desa yang luas dan dihuni banyak penduduk yang berbahasa sama," Kloru memulai. Malam itu kami sedang duduk mengelilingi api unggun sambil menunggu daging babi matang. Kloru berbicara dalam bahasa yang tidak kumengerti sama sekali. Aku bertanya kepada Papa tentang bahasa tersebut. Kloru, jelas Papa bersemangat, berbicara dalam bahasa kuno yang dulu digunakan oleh nenek moyangnya. Untuk meyakinkan dirinya tidak ketinggalan, Papa merekam cerita itu dengan alat perekam. Keahlian bahasa Papa cukup baik, sehingga ia mampu menerjemahkan bahasa kuno tersebut untukku :
Batu Bisa dan Beisa Penduduk desa hidup damai. Namun, pada suatu hari, api besar datang dari langit dan tiba-tiba muncul banyak bahasa. Setiap bahasa hanya diucapkan oleh satu lelaki dan satu perempuan, yang hanya dapat berkomunikasi satu sama lain, bukan dengan orang lain.
Begitulah, mereka tersebar ke seluruh penjuru bumi. Di antara mereka, ada seorang lelaki dan wanita bernama Bisa dan Beisa. Mereka berbicara dalam bahasa F ayu. Mereka melakukan perjalanan berhari-hari untuk menemukan rumah bani. Suatu hari, mereka tiba di tepi hutan dan hujan mulai turun. Hujan tak mau berhenti selama berhari-hari dan berminggu-minggu sehingga air terus meninggi.
Bisa dan Beisa membuat perahu dan mengumpulkan banyak binatang yang mencoba menyelamatkan diri dari air. Sambil mengayuh, mereka terus mengulang-ulang, "Hujan, berhenti! Kilat, berhentil Kami takut'.'
Namun hujan tak juga berhenti. Air bertambah tinggi sampai menenggelamkan seluruh pepohonan. Semua mati dalam banjir itu. Seluruhnya, kecuali Bisa, Beisa, dan binatang-binatang di perahu mereka.
Mereka hampir menyerah ketika beberapa hari kemudian mencapai daratan. Bisa, Beisa, dan binatang-binatang itu keluar dari perahu dan mendapati diri mereka berada di puncak bukit kecil. Sebuah gua yang menuju ke bawah tanah, terlihat di depan mereka. Mereka berlindung di dalamnya dan merasa lega.
Segera setelah itu, hujan berhenti dan air pun lenyap. Binatang-binatang menghilang ke dalam hutan, tetapi Bisa dan Beisa tetap tinggal di gua. Mereka membangun rumah dan mempunyai anak. Anak-anak ini pun beranak-pinak hingga menjadi suku besar yang dikenal sebagai suku Fayu.
Bisa dan Beisa masih hidup di sana saat ini, tetapi tidak lagi dalam wujud manusia. Mereka mengabadikan diri menjadi batu. Apakah kamu pernah melihat batu-batu di gua? Mereka duduk saling membelakang. Bila sedang punya masalah, kami mengunjungi mereka dan menceritakannya kepada mereka.
Menarik sekali, batinku. Begitu asing, tapi juga begitu akrab. Ternyata di mana-mana orang berbagi sejarah yang sama. Aku memandang ke hutan yang gelap dan membayangkan beratnya situasi Bisa dan Beisa yang sendiri mengayuh perahu di air yang dingin. Mereka pasti merasa amat tersesat, pikirku sambil beringsut mendekati Ohri.
Bab 39 PERSNELING MUNDUR Yang lebih mencengangkan, Tuare sendiri bahkan belum pernah mendengar kisah itu. Ia memang tahu mengenai sosok batu, Bisa dan Beisa, namun belum pernah mendengar legenda di baliknya. Aku selalu cenderung mengingat hal ini setiap kali memikirkan perkembangan budaya orang Fayu. Bagaimana mungkin sebuah budaya yang begitu hidup, sampai pada titik di mana budaya tersebut berhenti berkembang dan mulai mengalami kemunduran?
Salah satu tanda bahwa sebuah kelompok masyarakat atau kebudayaan berada di ambang kepunahan adalah pengetahuan yang tidak lagi diteruskan dari generasi ke generasi. Aku tetap sulit percaya bahwa tak ada satu pun orang Fayu yang ingat pada tamu-tamu kulit putih mereka pada tahun 1940-an. Kenangan tentang orang Belanda kelihatannya hilang dalam satu generasi.
Penyebabnya bukan tidak adanya waktu untuk bercerita satu sama lain. Para lelaki sering kali melewatkan hari dengan duduk-duduk. Namun, pengetahuan yang didapatkan sepanjang hidup tidak dibagi. Generasi berikutnya harus memulai dari bawah lagi. Seiring berjalannya waktu, mereka kehilangan hasrat untuk mengetahui hal-hal di luar yang dibutuhkan untuk bertahan hidup.
Tempat tinggal orang Fayu yang terputus dari pengaruh budaya luar, memperburuk pola kemunduran ini. Satu-satunya suku asing yang mereka ketahui adalah Kirikiri dan Dou. Namun karena peperangan terus terjadi, suku-suku tersebut dan budayanya tidak berbaur. Tidak ada pengetahuan baru yang diperoleh. Tidak ada ide -ide yang berkembang seputar cara meningkatkan hidup. Tidak ada seorang pun yang campur tangan dalam kebudayaan mereka.
Terkadang aku ditanya, apakah tidak lebih baik meninggalkan "kaum barbar yang suci itu" sendiri di surga mereka. Dengan begitu, mereka tidak akan tercemar oleh pengaruh buruk. Jawabanku, hidup di tengah budaya yang sangat lekat dengan tradisi saling bunuh hingga menuju titik kepunahan, bukanlah "surga". Bagaimana dapat disebut "surga" bila anak-anak terus hidup dalam ketakutan dan teror? Surga ini sudah di ambang perubahan menjadi neraka.
Haruskah kami menyerahkan orang Fayu kepada nasibnya, padahal kami tahu bahaya yang akan mereka hadapi? Kontak kami dengan mereka adalah dorongan halus dari luar guna mendorong mereka menemukan jalan hidup yang lebih baik. Kontak dengan kebudayaan lain pada akhirnya tidak bisa dihindari. Pada suatu titik, mereka tetap akan terbuka kepada dunia luar.
Pertanyaannya seharusnya, apakah tinggalnya kami bersama mereka membuat mereka lebih siap untuk menghadapi pertemuan-pertemuan dengan kebudayaan lain. Salah satu tujuan kami adalah menjembatani orang Fayu dan kebudayaan umum, sehingga mereka tidak terlalu terkejut dan lebih siap jika terjadi kontak. Pada akhirnya, hal ini memberi mereka kesempatan untuk mempertahankan kebudayaan mereka sendiri.
Bab 40 LAKI-LAKI TIDAK BAIK MELAJANG
Waktu pertama kali pindah ke lingkungan Fayu, kami bertanya-bertanya apakah ada lagu yang mereka tahu. Kami tidak pernah mendengar mereka bernyanyi. Pertanyaan ini cepat terjawab. Kami baru saja kembali dari Danau Bira dan sekali lagi barang-barang kami telah dicuri. Saat mendaftar barang-barang yang hilang, kami mendengar nyanyian dari seberang sungai. Nakire sedang bernyanyi dalam sebuah nada datar yang
"Ohhhhhhh," ia bernyanyi, "orang Fayu bagaikan burung. Ohhhh, mereka selalu mengambil dari pohon yang sama. Ohhhh, orang-orang yang jahat. Ohhhh, Klausu dan Doriso yang malang. Mereka sangat sedih
Papa sangat gembira karena menyadari bahwa orang Fayu biasa mengarang lagu yang sesuai dengan situasi mereka. Lagu tersebut hanya terdiri dari tiga nada, yang mereka gunakan untuk mengutarakan apa saja yang mereka rasakan saat itu. Musiknya tidak canggih, tetapi aku dengan cepat menyukainya. indah. dan mencari-cari barang yang hilang. Ohhh.
Penggunaan lagu mereka untuk mengungkapkan perasaan membuat orang Fayu tidak mengalami depresi atau gangguan jiwa lainnya. Perasaan segera diutarakan. Bahkan ada saat-saat tertentu untuk melepaskan emosi, contohnya lagu perkabungan. Bila lagu perkabungan telah selesai, duka benar-benar telah berakhir dan hidup kembali berjalan seperti biasa.
Bila seseorang mengalami kejadian traumatis, ia akan berbaring selama beberapa minggu di gubuknya tanpa mengucapkan sepatah kata pun, tetapi kadang kala bernyanyi berjam-jam. Anggota kelompok lainnya menyediakan makanan baginya sampai pada suatu hari ia bangun dengan trauma yang hilang. Ia memulai kembali aktivitas sehari-hari sambil tersenyum karena sudah terbebas dari rasa sakit.
Saat kami bolak-balik antara Jayapura dan Foida, keluarga kami sering kali harus terpisah di antara dua tempat itu. Papa merasa sangat berat berpisah dengan Mama. Ia rindu kepadanya dan tampak bingung tanpa kehadirannya.
Begitulah keadaan Papa suatu malam waktu ia duduk di puncak bukit. Mama harus tinggal di Jayapura karena Christian terkena malaria lagi. Orang Fayu telah pulang ke gubuk mereka. Aku duduk di dalam rumah, membaca di bawah sinar senter.
Tiba-tiba aku mendengar suara aneh dari dalam rumah. Aku menengok ke luar dan melihat Papa berdiri di sana, menyanyikan lagu berkabung tiga nada dalam bahasa
Fayu. "Ohhh, Doriso. Dimana kau, Doriso? Aku sangat kesepian. Ohhh. Ketua Kologwoi punya istri cantik, begitu juga Nakire. Ohhh, hanya aku yang sendiri. Ohhh, hatiku sangat gundah."
Aku tidak dapat menahan tawa. Ayahku terkadang benar-benar lucu. Namun, belum sempat ia memulai syair yang kedua, orang Fayu keluar dari gubuknya. Mereka merangkul dan menghiburnya, lalu ikut berkabung. "Ohhh, Doriso, cepatlah pulang. Ohhh, Doriso, suamimu membutuhkanmu. Ohhh, Doriso, ia begitu sedih. Ohhh, Doriso, cepatlah pulang." Begitulah terus sepanjang malam. Suara itu amat menyentuh dan takkan pernah kulupakan.
Ohri mampir untuk bertamu keesokan harinya. Ia ingin menunjukkan sesuatu kepadaku. Aku mengikutinya sampai ke tepi desa. Lalu ia menunjukkan sebuah gubuk yang baru selesai dibangun. "Rumah baruku," katanya bangga. Aku mengungkapkan kekagumanku secara terbuka, sebagaimana adat istiadat Fayu, dan meyakinkannya bahwa aku belum pernah melihat gubuk sebagus itu. Wajahnya berseri-seri.
Gubuk itu sederhana, namun jelas dibangun dengan cinta dan ketelitian. Seperti biasa, atapnya adalah daun rumbia. Yang tidak biasa, gubuk ini memiliki dinding. Tangga sederhana berdiri di pintu masuk. Namun yang menyentuh hatiku, Ohri telah menghias gubuknya. Hal ini jarang dilakukan orang Fayu. Lantainya dilapisi potongan bambu, kecuali pada bagian tengah yang merupakan tempat menyalakan api.
Aku tersenyum sendiri ketika sadar Ohri telah berpikir untuk berumah tangga. Ohri pasti akan menjadi seorang suami yang baik, pikirku sedikit cemburu. Namun aku bangga padanya. Ia telah banyak menderita dalam hidupnya, namun tetap menjadi tempat bersandar bagiku dan bagi banyak orang. Setiap kali aku merasa sedih, Ohri-lah yang selalu duduk di sisiku dan menggenggam tanganku. Kehadirannya membuatku damai. Ia telah menjadi bagian penung dari hidupku. Ohri adalah salah satu alasan yang membuatku bertahan dengan kehidupan hutan. Saat ini aku sangat sadar akan betapa pentingnya Ohri untukku sebagai teman dan kakak.
Bersama-sama kami berjalan pulang ke rumahku. Kutawari Ohri secangkir teh, tetapi seperti orang Fayu lainnya, ia hanya mengerutkan hidung dan berkata, "Hau" Kami duduk bersama dalam keheningan pada sebatang kayu di luar rumahku dan mengagumi pemandangan. Sejenak aku merasa berada dalam kedamaian seutuhnya. Aku tidak perlu memikirkan masa depan atau apa yang terbentang di sana. Pikiranku beralih ke Ohri. Aku berdoa agar ia mendapatkan yang terbaik dalam hidupnya.
Bab 41 KETIDAKSETIAAN DAN MASALAH HIDUP LAINNYA
Sebagaimana kejahatan pada umumnya, keddaksetiaan di antara orang Fayu dihukum dengan kematian. Namun zaman sudah berubah. Kemampuan orang Fayu untuk menemukan jalan keluar bagi masalah terus membuat kami kagum. Papa berusaha untuk tidak ikut campur dalam politik suku. Orang Fayu perlu membuat keputusan sendiri, karena "tugas" Papa di sana tidak untuk mengatur tapi untuk melayani.
Dan begitulah, aku berdiri di pinggir desa memerhatikan seorang lelaki dan seorang wanita sedang duduk di tengah tanah lapang. Tangan mereka terikat. Mereka berhubungan gelap, padahal masing-masing telah menikah.
Aku melihat dengan perasaan ingin tahu apa yang akan terjadi. Pertama, Ketua Kologwoi memberikan pidato. Ia mengatakan bahwa keduanya telah melakukan kesalahan. Ia berbicara lama sekali. Meskipun akhirnya ia berhenti juga, prosesnya masih belum berakhir. Berikutnya, Nakire berdiri dan berpidato sama panjangnya. Isinya sama dengan Ketua Kologwoi. Matahari bersinar terik di atas kepala. Sejumlah anggota suku memberikan pidato. Semua mempertegas apa yang telah dikatakan sebelumnya dan mengutuk ketidaksetiaan.
Foto 76 : Pasangan suami-istri Fayu
Akhirnya, menjelang malam, tiba saatnya bagi Ketua Kologwoi untuk mengumumkan hukumannya. Saat itu aku sudah sangat haus dan lapar. Lagi-lagi aku heran karena orang Fayu dapat bertahan begitu lama tanpa air. Aku merasa sangat kasihan pada kedua orang yang terikat di tanah itu. Mereka tidak bisa minum. Selama prosedur berlangsung, mereka sama sekali tidak mengangkat wajah mereka karena malu.
Ketua Kologwoi berdiri; ia telah membuat sebuah keputusan. Ia menyatakan, keduanya harus memberi ganti rugi. Mereka harus memberikan hadiah kepada pasangan resmi dari orang yang telah mereka ajak berselingkuh.
Pemberian ini akan berlangsung terus sampai pasangan tersebut merasa puas. Lelaki yang bersalah membawakan pisau, busur dan anak panah, serta seekor babi bagi sang suami, sampai lelaki yang dikhianati menunjukkan kepuasannya. Wanita yang bersalah memberikan sagu, jala, dan barang-barang lain kepada wanita yang dikhianati.
Ketidaksetiaan sangat jarang terjadi di hutan. Aku bertanya kepada Papa apakah ada cinta di dalam perkawinan orang Fayu. "Aku tidak tahu," jawabnya jujur. "Kecuali Nakire dan Fusai, aku belum pernah benar-benar melihat bukti adanya cinta dalam perkawinan. Mereka tidak pernah berpelukan atau berciuman di depan umum. Apabila aku meminta para lelaki untuk merangkul istri mereka untuk dipotret, mereka terkekeh-kekeh dan bertingkah layaknya anak yang pemalu."
Ingatanku melayang pada suatu waktu ketika aku melihat seorang lelaki Fayu memanah istrinya karena marah. Semuanya menunjukkan bahwa orang Fayu menikah lebih untuk kelangsungan hidup ketimbang cinta. Seksualitas ditangani dengan sangat tertutup. Apabila seorang lelaki menculik seorang wanita untuk dijadikan istrinya, mereka akan menghilang begitu saja ke dalam hutan selama beberapa hari sampai wanita tersebut menerimanya sebagai suaminya.
"Jadi apa yang dilakukan seorang lelaki yang mempunyai beberapa istri dan ingin tidur dengan salah satu istri?" aku melanjutkan bertanya pada Papa.
"Ia akan membawa wanita tersebut ke dalam hutan. Namun secara umum kebiasaan poligami telah berakhir. Lelaki tua yang biasanya mengawini para gadis sebagai istri kedua atau ketiga telah memutuskan untuk membiarkan lelaki yang lebih muda untuk menyuntingnya."
Keputusan yang bijaksana, pikirku. Dengan tersedianya lebih banyak wanita muda, persaingan menurun dan penculikan menjadi lebih sedikit. Hal ini mengurangi kebutuhan akan pembalasan dendam dan peperangan.
Namun aku sulit membayangkan suatu kebudayaan tanpa cinta antara para suami dan istri. Aku telah menonton beberapa film tentang cinta, emosi dan seks selama tinggal di Amerika. Topik-topik itu tentu ddak hanya terbatas untuk dunia Barat, bukan? Lagipula, Mama dan Papa bahagia bersama, meskipun mereka tentu punya tujuan hidup yang sama dan mencintai apa yang mereka lakukan. Semua persoalan ini menari-nari dalam pikiranku, seorang gadis berusia 15 tahun. Akhirnya aku benar-benar gembira karena aku masih terlalu muda untuk memikirkan pernikahan.
Ketua Kologwoi meninjau kumpulan barang ganti rugi dan bertanya kepada pihak-pihak yang dikhianati apakah mereka puas. Mereka memberikan tanda bahwa mereka puas dan masalahnya telah selesai?dimaafkan dan dilupakan.
Ketidaksetiaan dalam kebudayaan Fayu adalah sebuah masalah serius. Kami tidak pernah mendengar adanya hubungan gelap yang abadi. Hubungan gelap cepat diakhiri dan tak pernah terjalin kembali.
Kupikir peraturan yang tegas memang penting di lingkungan tertutup seperti itu. Tempat tinggal orang Fayu yang saling berdekatan menuntut mereka untuk bekerja sama dengan baik, menyisihkan semua dendam dan keluhan. Bila tidak, sebagai sebuah komunitas mereka akan saling menghancurkan.
Banyak pikiran yang muncul di kepalaku saat berbaring malam itu. Aku terus memikirkan mengenai masa depan dan cinta. Ketidakyakinanku dalam mengendalikan emosi hanya memperumit persoalan. Kebudayaan Fayu memiliki kumpulan peraturan yang sangat berbeda untuk urusan cinta dibandingkan kebudayaan Barat. Berhubung aku tidak tahu diriku tergolong dalam dunia yang mana, aku tidak tahu peraturan budaya mana yang cocok bagiku.
Aku duduk di kelas sebelas dan sedang bersiap untuk melanjutkan studi setelah tamat. Untuk menjalaninya, aku harus kembali ke dunia yang "beradab". Namun hanya di hutan aku merasa nyaman. Atau, apakah itu benar? Kehidupan di sini telah berubah menjadi lebih baik, sebagaimana ditunjukkan oleh jalan keluar Ketua Kologwoi. Aku merasa rindu akan sesuatu yang tak terlukiskan, sesuatu yang kelihatannya tidak dapat dicapai di sini. Di satu sisi, aku menginginkan kehidupan yang tenang di hutan. Di sisi lain, ada berbagai kemungkinan yang jelas tidak dapat diwujudkan di sini. Bagaimana mungkin aku mendapatkan pendidikan universitas di hutan? Bagaimana mungkin aku menemukan suami?
Bagaimana mungkin aku cocok dengan tempat yang tidak lagi cocok denganku?
Lagipula, bukankah aku orang Jerman? Gadis kulit putih dengan orang tua kulit putih? Kulitku jelas-jelas putih, tetapi di dalam, siapa aku? Siapa aku sebenarnya?
Bab 42 HARI MENINGGALNYA OHRI Setiap kali liburan sekolah menjelang dan saat kembali ke hutan sudah dekat, hatiku menari gembira. Pikiran gelap mengenai masa depan menghilang untuk sementara.
Kami terbang ke Kordesi dan berperahu ke hulu sungai dengan perahu aluminium kami. Chrisrian dan aku duduk di depan dan menghadap ke luar. Seperti umumnya anak muda, kami lupa memakai tabir surya. Saat kami tiba di desa, aku belum merasakan apa-apa. Namun keesokan harinya, kulitku yang terbakar sinar matahari terasa sakit sekali, sehingga aku hampir tidak dapat bergerak.
Kami berdua, Chrisrian dan aku, mendapat luka bakar matahari yang amat parah. Di beberapa bagian, kulitku berubah menjadi hitam dan mengelupas. Mama memarahi kami. Ekspresi kesakitan di wajah kami tidak membuatnya iba. Apabila kami tahu tragedi yang tengah menanti, kami tak akan meributkan luka bakar tersebut. Ajaib juga aku masih bisa mengenangnya, mengingat betapa pahitnya peristiwa yang akan terjadi selanjutnya.
Selama beberapa hari setelahnya, Mama menyadari bahwa Ohri belum datang bertamu ke tempat kami. "Aku akan turun ke desa untuk menanyakan di mana dia," kataku. Namun, pencarianku tidak membuahkan hasil. Mungkin ia telah mencuri seorang istri, pikirku sambil tersenyum. Belakangan, di hari yang sama, aku mendengar Ohri memanggil.
Aku melonjak dan pergi menuju desa untuk menyambutnya. Mama berlari di depanku; ia tahu ada sesuatu yang tidak beres. Aku melongok melewati Mama dan melihat Ohri. Ia kelihatan sangat kurus dan pucat, dan menghampiri kami dengan langkah yang lemah dan tertatih-tatih. Setelah itu ia jatuh. Tiba-tiba semua berjalan bagaikan mimpi buruk. Aku tidak lagi terlibat dalam peristiwa itu, tetapi mengamati dari jarak agak jauh.
Aku berdiri di pinggir desa tanpa dapat berbuat apa pun. Kuperhatikan Mama meletakkan kepala Ohri di pangkuannya dan mengusap pipinya dengan lembut. Aku tidak menyadari apa pun yang terjadi di sekelilingku. Christian berdiri di puncak bukit, sementara Papa berlari mendatangi Mama. Aku hanya melihat Ohri yang tak bergerak di rumput.
Mama membungkukkan badan ketika Ohri mengatakan sesuatu kepadanya. Mama berbisik ke telinga Ohri dan kakak Fayu-ku itu tersenyum dengan lemah. Tiba-tiba seluruh tubuh Ohri bergetar, lalu berhenti bergerak. Kakak Fayu-ku telah pergi untuk selamanya.
Aku jarang sekali melihat Mama menangis. Namun air matanya mulai mengalir ketika ia duduk sambil memegang Ohri. Aku terjatuh ke tanah. Waktu seakan-akan berhenti. Tidak ada yang bergerak?tidak burung-burung, angin, atau dedaunan. Aku duduk di sana dan menangis. Aku telah kehilangan kakakku, orang yang telah melalui begitu banyak malapetaka. Tanah serasa dicabut dari bawah kakiku, dan aku mulai jatuh.
Ohri meninggal karena TBC, suatu penyakit dari Barat yang ditularkan oleh seorang Dani. Ia telah berhasil menemui kami untuk yang terakhir kali. Inilah yang dikatakannya kepada Mama beberapa saat sebelum meninggal.
Hari itu adalah hari yang kelam bagi kami, hari yang tak ingin kukenang. Ohri yang berjanji untuk menemaniku selamanya, telah meninggal. Segalanya terasa seperti kehilangan makna. Segalanya yang selama ini membuatku bertahan telah tiada.
Malam itu aku memandang nyala api yang melalap gubuk yang telah dibangun Ohri dengan cinta dan harapan berikut segala sesuatu yang menjadi miliknya. Dengan linangan air mata, aku melihat sebagian dari kehidupanku sendiri terbakar. Api itu membawa pergi sebagian dari hatiku. Ohri yang telah bertahan, yang begitu baik, kuat, dan selalu penuh semangat?mengapa ia harus meninggal? Ia sangat percaya akan kehidupan. Ia ingin menikah dan memulai sebuah keluarga. Ia telah menjadi tempatku bersandar, dan ia takkan kembali.
Sakit kepala menggangguku berhari-hari dan aku mulai mengalami mimpi buruk berulang kali. Dalam mimpi, aku melihat Ohri terbakar bersama pondoknya. Api menjilat seluruh tubuhnya. Aku mendengar ia berteriak dan menangis minta tolong dan aku terus berusaha menolongnya. Namun aku tidak dapat mencapainya dan harus melihat ia terbakar. Mimpi buruk itu datang setiap malam. Setiap kali, aku mencoba menolongnya, tetapi ddak berhasil.
Saat itu hari Rabu sore, tak lama setelah kejadian itu. Aku sedang di tempat tidur, mencoba untuk memejamkan mata. Mimpi buruk di malam sebelumnya membuatku letih. Udara yang lembap rasanya tak tertahankan. Kerongkonganku menyempit dan sulit untuk bernapas.
Tidak! Tidak! Tidak! Protes muncul dalam kepalaku, tetapi aku tidak dapat membuka mulut. Mulutku menjadi sangat kering. Aku mencoba menyelamatkan Ohri kembali, tetapi kali ini api menyambarku. Aku merasakan tanganku mulai terbakar. Ketakutan muncul dalam diriku dan aku berteriak, mengamuk, berputar-putar bagaikan seekor binatang liar, mencoba memadamkan apinya. Seluruh tubuhku kesakitan, tetapi aku tetap berjuang.
Lalu aku merasakan sepasang tangan yang dingin memelukku erat. Dari jauh aku dapat mendengar suara Mama, "Sabine, Mama di sini. Berpeganglah padaku. Semuanya akan segera berlalu." Ia terus menenangkanku sampai teriakanku berubah menjadi isak-tangis. Kami duduk seperti itu sampai hari menjadi gelap.
"Aku tidak bisa tinggal di sini lagi," bisikku pada Mama.
"Aku tahu," jawabnya sedih.
Waktu ia mengesampingkan rambut yang basah dari mukaku, aku mendengar suara Papa di sampingku. Aku tidak menyadari ia telah bergabung bersama kami. "Paman Edgar menawarkan untuk membiayaimu bersekolah di sebuah sekolah berasrama di Swiss. Apakah kamu mau?" Aku mengangguk tanpa berkata apa pun.
Segalanya tiba-tiba berubah total; seluruh pandanganku berubah. Saat itu aku tidak menyadarinya. Aku hanya ingin lari sejauh dan secepat mungkin dari mimpi buruk ini. Aku harus menyingkir dari api, menyingkir dari rasa sakit, menyingkir dari dunia ini. Benar-benar menyingkir. Meski bayangan kehidupan baru membuatku takut, aku memutuskan untuk pergi. Aku siap untuk pindah ke sisi lain dunia dan menjadi diriku sendiri.
Aku melepas pandangan yang terakhir ke hutan yang tak berujung. Aku menatap pohon-pohon yang kokoh membentuk ombak hijau hingga ke kaki langit. Aku mendengarkan kicau burung-burung, bunyi serangga, dan menarik napas dalam-dalam untuk menghirup udara tropis. Dengan satu pandangan ke belakang, aku berjalan menuruni bukit.
Di belakangku, lagu berkabung suku Fayu mengalun di udara. Orang Fayu menyaksikan bagaimana seorang anak kecil yang datang kepada mereka beberapa tahun lalu, sekarang meninggalkan mereka. Mereka menangis dan berkabung. Mereka bernyanyi untuk menyatakan bahwa mereka mencintaiku dan berharap aku tetap tinggal-Tuare berdiri di depan. Aku dapat mendengar suaranya yang sangat kukenal mengalun dalam duka.
"Oh, adikku, mengapa kau tinggalkan aku?"
Aku berjalan terus. Air mata membahasi wajahku. Begitulah, pada akhir tahun 1989, aku meninggalkan hutan Papua Barat, Indonesia.
Kakakku telah berangkat beberapa tahun lalu untuk belajar seni di Inggris. Tak lama setelah aku pergi, Christian juga pergi untuk sekolah di Hawaii. Begitulah kehidupan kami tiba pada sebuah akhir. Sebagai sebuah keluarga, kami telah mengalami pasang-surut, bermain bersama, berkelahi bersama, dan saling bercerita. Kami selalu saling mencintai. Sekarang kehidupan ini terpecah karena kami tumbuh dewasa, akibat kehilangan-kehilangan yang kami derita. Sebagian dari kehidupanku telah hilang untuk selamanya.
Bab 43 RUMPUN BARUKU Aku bermimpi api mengelilingiku dan hendak melahapku. Aku mendengar teriakan Ohri dan ingin menolongnya, tetapi tidak dapat menjangkaunya. Sebuah wajah yang kesakitan, uluran tangan memohon pertolongan. Lalu semuanya lenyap dan yang kulihat hanyalah abu di tanah. Cuaca semakin dingin. Segalanya gelap. Aku mencari kehangatan, mencari cahaya. Kepanikan timbul ketika aku berusaha menghirup udara. Saat itu terasa dingin. Dingin sekali.
Aku terbangun dengan kaget, dan untuk sesaat aku tak tahu di mana aku berada. Kulihat kegelapan di sekitarku. Lalu ingatan-ingatan kembali datang; penerbangan ke Jerman, stasiun kereta api yang membingungkan, dan kereta yang saat ini membawaku ke Swiss.
Menggigil, kulilitkan mantel lebih rapat lagi ke badanku. Pemandangan alam terbentang seiring terangnya hari. Aku beruntung. Hari pertamaku sebagai orang Eropa akan menjadi hari yang cerah.
Beberapa jam kemudian, aku sampai di tujuan. Teman-teman orang tuaku menjemputku di stasiun kereta api pusat di Zurich dan mengantarku dengan mobil ke sekolah berasrama di Montreux. Kegembiraanku bertambah ketika kami tiba di Danau Jenewa.
Aku telah membaca paket informasi yang dikirim sekolah, mempelajari gambar-gambarnya dengan benar-benar mendetail. Sekolah itu adalah sebuah sekolah berasrama tingkat akhir. Aku diharapkan lulus dari sekolah lanjutan di sini, sekaligus belajar bagaimana bersikap di dalam masyarakat yang sebenarnya. "Dengan begitu kamu akan menjadi wanita yang sebenarnya," kata pamanku. Mungkin tiba saatnya untuk menghilangkan kelakuan hutanku.
Danau Jenewa dengan segala keagungannya terhampar di depan kami. Rumah-rumah menutupi tepi laut dan bukit menuju pegunungan di sekitarnya. Matahari bersinar terang, dan untuk pertama kalinya sejak tiba di Eropa aku mulai merasa sedikit lebih baik.
Tidak lama kemudian, aku berdiri di depan sebuah sekolah berasrama?sebuah istana kecil berwarna abu-abu tepat di depan danau. Tulisan "Chateau Beau Cedre" tertulis pada papan nama. Inilah rumah baruku. Sebuah pintu yang lebar, kelihatannya seperti dari Abad Pertengahan, berderit terbuka. Seorang wanita muda menyambut kami dalam bahasa Prancis. Aku tidak mengerti sepatah kata pun, jadi aku hanya tersenyum dan mengangguk.
Ia mengantarkan kami ke ruang pertama setelah masuk. Sebuah tangga yang lebar terbentang ke atas. Aku merasa seakan-akan bermimpi. Segala sesuatunya begitu bagus dan mewah. Aku belum pernah melihat sesuatu sebagus itu. Karpet yang tebal menutupi lantai; lukisan-lukisan cat minyak antik tergantung di dinding. Mebelnya kelihatan begitu mahal sehingga aku tidak berani duduk di atasnya. Aku hanya berdiri saja, terpesona dengan lingkungan baruku.
Semua urusan formalitas diurus dengan cepat dan aku diantarkan menuju kamar baruku, sebuah mangan yang luas dengan empat tempat tidur. Dua di antaranya akan diisi oleh seorang anak perempuan berkebangsaan Jerman dan seseorang berkebangsaan Australia. Sebuah pintu menuju balkon memberi pemandangan Danau Jenewa yang indah.
Rasanya seperti cerita dongeng. Kesedihan, hutan, orang Fayu, keluargaku?semua menghilang ke kedalaman alam bawah sadarku. Sayangnya, semua itu akan muncul kembali dengan cukup menyakitkan di kemudian hari. Namun untuk saat ini, aku berada di sebuah dunia yang baru dan mengasyikkan. Ada begitu banyak hal yang dapat dilihat dan dijelajahi. Aku merasa tengah memulai suatu petualangan besar dalam kehidupanku.
Saat malam menjelang aku duduk di atas tempat tidurku, diliputi pengalaman-pengalaman hari itu. Kepalaku masih pusing, tapi kuabaikan. Aku keluar ke balkon dan menatap air yang biru. Sebuah pikiran muncul begitu saja. Aku bertanya-tanya apa yang Tuare pikirkan kalau ia melihatku sekarang.
Pikiran itu kusingkirkan karena membuatku sedih. Berhenti! Aku mencaci diriku. Aku tidak mau memikirkan itu lagi. Aku ingin melupakan semuanya. Akhirnya aku berada di tempat yang seharusnya. Lagipula, kulitku putih, rambutku pirang, dan mataku hijau. Ini adalah rumah baruku; Eropa adalah asal-usul dan masa depanku. Aku memutuskan untuk mempelajari semua yang dapat kupelajari mengenai dunia baru ini. Aku ingin menjadi orang Eropa, berpikir seperti mereka, berlaku seperti mereka, dan terlihat seperti mereka. Mereka adalah rumpun baruku.
Dengan niat ini di kepalaku, aku tertidur tanpa mimpi buruk untuk pertama kalinya sejak berminggu-minggu.
Bab 44 CHATEAU BEAU GEDRE Aku menenggelamkan diriku dalam kehidupan Barat. Setelah dibesarkan di suatu tempat yang paling primitif di dunia, kini aku ingin mengalami kecanggihan
Masa belajar belum resmi dimulai. Dengan begitu, ada waktu untuk mencari tahu tentang Montreux. Aku pergi dengan beberapa anak perempuan ke sebuah supermarket. Sesuatu mencuri perhatianku. Aku tidak ingat apa itu, hanya harganya yang sepuluh Swiss francs.
Hmm, aku berpikir. Terlalu mahal. Jadi aku pergi ke kasir dan berkata kepadanya bahwa aku akan membayar lima francs untuk benda itu. Ia hanya menatapku bingung. Anak-anak lainnya, yang telah memerhatikan bahwa aku sedikit berbeda, datang dan menarikku.
"Apa yang kau lakukan, Sabine?" bisik mereka.
"Harganya terlalu mahal. Aku menawarnya agar turun," kataku seperti menerangkan sesuatu yang sudah jelas.
"Kau tidak bisa begitu. Kau harus membayar harga yang tertera di label."
Aku tidak mengerti. Menawar adalah sesuatu yang normal dalam dunia ini. Di Indonesia, kami selalu melakukan tawar-menawar harga. "Jadi, siapa yang menentukan harga suatu barang?" tanyaku.
Itu adalah tugas pemilik toko, kata teman-temanku. "Yah, itu jelas tidak adil," aku bereaksi. "Ia bisa saja menentukan harga yang terlalu mahal dan aku harus membayarnya." Anak-anak itu tidak menanggapiku.
Aku meninggalkan supermarket itu dengan marah, entah kenapa merasa dicurangi. Meskipun aku pernah berbelanja sebelumnya pada waktu kami berlibur, orang tuakulah yang selalu membayar. Karenanya, aku tak pernah memerhatikan betapa berbedanya kebiasaan di sini. Tak lama aku menemukan bahwa hal ini berlaku di segala aspek kehidupan.
Keesokan harinya, aku jalan-jalan dengan dua teman sekolahku di sepanjang Bord du Lac. Sebagaimana kebiasaan di hutan, aku tersenyum ramah kepada setiap orang yang kami lalui. Beberapa memberikan salam kembali, sementara yang lain menatapku curiga. Setelah beberapa saat, salah satu teman perempuanku bertanya bagaimana aku dapat kenal begitu banyak orang padahal baru sebentar berada di sana. Aku memandangnya bingung dan menerangkan kepadanya bahwa aku tidak mengenal satu orang pun di luar sekolah.
"Jadi, mengapa kau memberi salam kepada semua orang?" tanyanya.
"Karena memang begitu harusnya," jawabku.
Ia tertawa. "Di sini, kau hanya memberi salam pada orang yang kau kenal."
Begitulah, aku belajar peraturan baru tentang kehidupan di Barat, meskipun aku tidak dapat memahaminya. Di lain waktu, saat kami berpapasan dengan seseorang yang tidak kami kenal, aku memutuskan untuk ddak mengatakan apa pun. Namun setelah itu, aku merasa bersalah, seakan aku tidak sopan dan tidak beradab. Jika orang-orang di hutan berpapasan, mereka saling bertukar salam atau anak panah. Aku belajar bahwa seseorang bisa menjadi kawan atau lawan. Jadi lebih aman untuk menyapa.
Waktu kami kembali sore itu ke asrama, teman sekamarku telah tiba, yaitu Leslie dari Australia, dan Susanne dari Jerman. Kami segera cocok dan mengobrol sampai larut malam.
Syukurlah, Leslie cepat menangkap bahwa aku harus belajar banyak dan segera melindungiku. Dalam beberapa bulan, kami menjadi teman dekat.
Beberapa hari kemudian, aku menerima surat pertamaku dari Indonesia. Surat-surat dibagikan setiap hari sesudah makan siang. Setiap anak berharap namanya dipanggil. Aku pergi ke kamarku di atas dan membuka surat Mama. Inilah satu-satunya ikatan yang masih menghubungkanku dengan hutan.
Oh anak fajar, kebahagiaan hatiku, kamu tidak akan percaya apa yang telah terjadi pada diriku. Aku duduk dengan orang Fayu di bawah terik matahari, menulis surat yang panjang untukmu dengan kening berkeringat. Keesokan harinya, kami pergi ke Jayapura dan terkejut mengetahui bahwa suratku ketinggalan di desa. Di dalamnya, aku menjelaskan dengan gamblang bagaimana seekor lipan telah menggigit telinga Papa. Termasuk juga sebuah gambaran lucu tentang Papa yang melompat dari tempat tidur hingga hampir mencapai atap. Dengan lompatan seperti itu, dijamin ia akan meraih medali emas dalam Olimpiade mendatang.
Waktu Papa bertanya padaku keesokan harinya apa yang terpikir olehku setelah ia digigit, aku mengatakan padanya, "Aku gembira binatang itu tidak menggigitku ." Bahkan Papa pun tertawa mendengarnya. Aku adalah orang yang jujur. Jadi jujurlah padaku, Sayang.
Bagaimana kabarmu? Aku sangat merindukanmu dan tak yakin aku bisa terbiasa hidup tanpa kehadiranmu setiap hari.
Aku kembali ke teman-temanku sambil tersenyum. Dengan cerita tentang lipan itu, Mama telah berhasil membawa sedikit nuansa hutan ke Swiss. Namun Leslie hanya menatapku dengan pandangan kritis.
"Ada apa?" tanyaku.
"Kau benar-benar butuh model rambut yang baru," katanya. "Model rambutmu kelihatan kuno. Dan baju-bajumu! Kita harus lakukan sesuatu pada dandananmu." Sore itu kami pergi ke luar. Pertama ke penata rambut. Aku ingin menangis saat melihat betapa pendeknya model rambut baruku. Namun Leslie memastikan kepadaku bahwa gaya itu memang sedang jadi mode. Sesudah itu, kami pergi ke beberapa toko baju. Tak lama, gaya berpakaianku sudah mirip teman-temanku.
Kepala sekolah kami senang dengan apa yang kami lakukan. Namun akhirnya aku merasa seakan-akan seperu anak baru. Aku bahkan membeli sepasang sepatu bot setinggi betis dan dengan ujung yang runcing seperu bot koboi. Aku sangat bangga dengan barang-barang yang kubeli.
Seperti yang selalu kulakukan, setiap pagi aku meraih bot-ku dan kuguncang-guncangkan sebelum aku memakainya. Susanne dan Leslie memandangku dengan sudut mata mereka. "Sabine, apa yang kau lakukan?" tanya mereka suatu hari. Akhirnya, aku dapat mengajari mereka sesuatu. Kuterangkan bahwa serangga beracun senang bersembunyi di dalam sepatu. Berbahaya jika serangga-serangga itu udak dikeluarkan terlebih dahulu.
"Hmm... di sini tidak ada serangga yang berbahaya," Susanne tersenyum lebar.
Aku tidak memercayainya. Benar-benar tidak terbayang olehku di dalam sepatuku tidak ada serangga.
Setelah beberapa bulan, teman-temanku mencoba pendekatan lain. "Sabine," Leslie memulai, "selama berada di sini, pernahkah kau menemukan seekor serangga dalam sepatumu?"
Aku berpikir dan harus mengakui bahwa aku udak menemukannya.
"Jadi besok, mungkin kau bisa mencoba memakainya tanpa mengguncangnya terlebih dahulu," usulnya.
Keesokan harinya, aku mempertimbangkan usulnya sejenak. Untuk pertama kalinya dalam ingatanku, aku langsung mengenakan sepatuku tanpa mengguncangnya. Rasanya sangat janggal. Kupejamkan mataku dan kudorong kakiku ke dalam sepatu, menunggu sesuatu yang menyengat Namun tak ada kejadian apa pun. Kubuka kedua mataku kembali, bangga karena lulus dalam tes nyali ini.
Sabineku sayang, Kehidupan di sini sangat berbeda tanpamu. Christian sekarang sekolah di Hawaii. Setelah ia pergi, aku menyusuri rumah yang kosong dan bertanya pada diri sendiri bagaimana hidup dapat terus berjalan. Selama 20 tahun, kalian bertiga adalah hidupku. Bagiku, segala hal yang lain berada di tempat kedua di hatiku, sekali pun hal itu menyita banyak waktu dan usahaku.
Lalu, pada suatu hari aku menemukan IDE. Lagi-lagi anak-anak Fayu sedang duduk bosan, terutama mereka yang lebih tua. Belakangan aku perhatikan bahwa sekumpulan anak laki-laki telah menarik diri dari keluarga mereka dan tidak mau mendengar siapa-siapa lagi. Diro menjadi pemimpin mereka. Jadi kupikir aku harus membuka sekolah untuk orang Fayu agar mereka punya kegiatan.
Dalam kunjungan berikutnya ke Jayapura, aku membeli buku tulis, pensil, buku gambar, dan pensil warna untuk perlengkapan sekolah. Waktu kembali ke hutan, kukumpulkan semua anak-anak, kusuruh mereka berkumpul esok pagi saat matahari terbit.
Aku mengharapkan mereka tiba sekitar jam sembilan berhubung kebanyakan dari mereka harus menyusuri sungai, menyeberangi rawa, dan mendaki bukit. Seperti yang kamu tahu, perjalanan akan memakan waktu setidaknya satu jam. Namun mamamu yang malang ini benar-benar salah perhitungan. Di luar belum lagi terang, ketika aku terbangun oleh suara anak-anak yang cukup keras.
"Aduh, Klaus Peter! Bukan begitu maksudku
"Sayang"jawabnya,
"kamu lupa memberi tahu mereka untuk datang saat matahari sudah benar-benar berada di langit.
Itu adalah pelajaran pertamaku dalam mengelola sekolah. Tak punya pilihan lain, aku bangun dan menyiapkan diri untuk pelajaran pertamaku. Aku mengatur mereka untuk membentuk satu barisan dan meminta anak laki-laki yang kelihatannya berumur sekitar 10-14 tahun untuk maju. Di antaranya
adalah Tuare?yang terus-menerus menanyakan kabarmu?Klausu Bosa, Diro, Bebe, Atara, Isori, dan Abusai. Kusuruh mereka duduk dalam satu kelompok dan kukatakan bahwa mereka duduk di "Claas Tiga? (Kelas Tiga). Aku terangkan pada mereka bahwa mereka harus datang tiap pagi dalam keadaan sudah mandi. Mereka harus berangkat dari rumah waktu matahari terbit, bukan tiba di sini saat matahari terbit. Para anak laki-laki yang sering membuat gaduh itu duduk dengan tenang dan mendengarkan dengan sungguh-sungguh.
Lalu kubagi anak-anak yang lain menjadi dua kelompok: "Claas Satu (Kelas Satu) untuk yang termuda (umur 5-7) dan "Claas Dua (Kelas Dua) untuk kelompok umur menengah (8-10). Mereka semua cukup bangga dengan julukan-julukan baru mereka. Aku mendengar mereka saling berujar "Aku Claas Satu" atau "Aku Claas Dua" sambil tersenyum lebar. Mereka gembira dengan perubahan itu.
Kukumpulkan Claas Tiga di beranda baru kita : tiga belas anak laki-laki dan dua anak perempuan yaitu Doriso Bosa dan Fusai. Kamu tidak akan mengenali Doriso Bosa lagi.
Ia tumbuh menjadi gadis tercantik di desa.
Mengapa hanya dua anak perempuan?
Aku tidak tahu. Namun seperti yang kamu tahu anak perempuan cenderung lebih sedikit. Di samping itu anak perempuan yang lebih tua harus membantu ibu mereka mengambil sagu.
Sementara kelas sedang berjalan, Papa mengumpulkan sesuatu untuk para murid. Setiap orang mendapat sepotong sabun untuk mencuci baju mereka dan sepotong lagi untuk mandi sehelai kaus oblong celana pendek satu buah buku gambar dan sebatang pensil. Hari pertama sekolah kami pun dimulai.
"Kami akan ke Vevey untuk melihat-lihat. Apakah kau mau ikut?" tanya Leslie padaku.
"Ya," jawabku, dan kami pun berangkat. Tanpa kuduga, kami berhenti di halte bus.
"Ada apa?" tanyaku khawatir. "Kukira kita akan pergi ke Vevey."
"Terlalu jauh untuk jalan kaki. Jadi kita harus naik bus."
Aku melihat ke sekeliling dengan gelisah. "Ada apa, Sabine?" Leslie bertanya.
"Leslie," bisikku. "Aku belum pernah naik bus. Aku tidak tahu caranya. Aku takut." Leslie tertawa dan menerangkan dasar-dasarnya. Namun aku butuh waktu untuk berani menaiki bus itu.
Lalu lintas dan sarananya adalah masalah besar bagiku. Aku tahu tentang mobil. Namun di Jayapura, mobil berjalan sangat lambat karena jalanan penuh lubang. Di sini banyak sekali mobil, dan mereka mengendarainya dengan sangat kencang. Setiap kali menyeberangi jalan tanpa lampu lalu lintas, aku berkeringat. Aku tidak dapat memperkirakan kecepatan mobil dan takut tertabrak.
Suatu hari kami sedang berdiri di bahu jalan. Mobil berjalan kencang dari dua arah. Begitu ada celah di antara keramaian lalu-lintas itu, teman-temanku berlari menyeberang. Aku hanya berdiri ketakutan.
"Sabine, ayo," teman-temanku berteriak.
Aku menoleh ke kiri dan ke kanan dan melihat mobil berseliweran semakin banyak. Sudah lima menit, dan aku masih berdiri di tempat yang sama. Ketakutanku terlalu besar. Teman-teman berunding dan terus memberikan ide untuk membantuku menyeberang. Saran-saran itu tak ada yang menarik. Jadi aku tetap berjalan di sisi jalan tempatku berada sampai menemukan tempat penyeberangan. Belajar dari pengalaman ini, mereka tahu harus menyiapkan waktu lebih banyak jika berencana menyeberang jalan denganku. Lalu-lintas kota tetap membuatku takut sampai saat ini.
Namun dalam beberapa hal, aku mempunyai kelebihan dibanding teman-temanku. Hal ini tampak jelas dalam mata pelajaran etika di meja makan (table manner). Murid-murid memberi julukan "Madame Etiquette" kepada salah seorang guru kami. Ia mengajari kami hal-hal seperti cara berpakaian, cara menata meja makan untuk berbagai kesempatan, siapa yang harus disambut lebih dulu, cara menuruni tangga dengan anggun dan cara turun dari mobil bila sedang memakai rok pendek. Sebagai bagian dari pelajaran, Madame Etiquette akan duduk di beberapa meja dan mengkritik sopan santun kami.
Ia menggelengkan kepala melihat usahaku yang menyedihkan untuk makan secara anggun, dan ia berujar, "Sabine, kamu tidak akan menjadi wanita sempurna. Namun kamu akan bertahan karena daya tarikmu."
Aku sering tidak menyukai masakan yang disajikan, karena kebanyakan hidangan tidak kukenal. Jadi kusingkirkan saja di sekeliling piringku dengan garpu, sambil menebak-nebak makanan apa itu. Setiap hari Jumat, kami mendapat es krim sebagai pencuci mulut. Es krim adalah kesukaan sebagian besar teman-teman, termasuk aku sendiri.
Di saat seperti inilah aku dapat mendapat keuntungan karena latar belakangku. Kuperhatikan orang-orang di sini tidak memiliki perut yang kuat. Beberapa saat sebelum es krim dihidangkan, aku mulai bercerita tentang apa yang dimakan oleh orang Fayu di hutan. Atau bagaimana mereka menyimpan mayat di gubuk mereka, sementara tubuhnya membusuk. Akhirnya aku tidak hanya mendapat porsi es krimku, tetapi juga beberapa porsi tambahan. Tak lama, mereka pun menghindar dari mejaku sedap hari Jumat. Lama aku menikmati ekstra es krim, sampai akhirnya aku dilarang bercerita mengenai hutan di meja.
Madame Etiquette senang sekali dengan strategi es krimku. Ia wanita separuh baya yang telah memiliki banyak pengalaman mengajar anak perempuan. Belakangan ia mengatakan kepadaku bahwa aku anak yang istimewa. Dalam pelajaran ketiga atau keempat dengannya, kami diberi tugas membaca. Aku ingin bertanya, jadi kuangkat tanganku.
"Sabine," katanya, "kamu tak perlu mengangkat tangan. Tanya saja langsung. Seorang wanita tidak mengangkat tangannya."
"Oke," jawabku dan aku mulai lagi, "Madame Etiquette," kataku. Semua diam dan kaget. "Apa? Mengapa kalian semua melihatku seperti itu?" tanyaku bingung.
"Sabine," guru kami berkata dengan nada kaku. "Siapa namaku?"
"Madame Etiquette," jawabku dengan pasti.
Kini semua murid tertawa cekikikan. Dalam keadaan bingung aku melihat ke sekelilingku. Bahkan Madame tersayang tak dapat menahan senyumnya.
"Bukan, Sabine. Itu BUKAN namaku," katanya membetulkan. Tiba-tiba aku sadar bahwa temanku hanya memanggil dengan nama itu di belakangnya. Tidak ada yang tahu bahwa sebenarnya aku belum mengenal tradisi murid memberikan julukan kepada guru.
Madame memberitahuku namanya yang sebenarnya, tapi sesudah itu aku langsung lupa. Bagiku dan teman-teman, ia tetap Madame Etiquette, tetapi tak kugunakan di hadapannya. Itu ddak sopan.
Sementara itu, Mama juga sedang bergulat dengan masalah-masalah di sekolah
. Sabineku sayang, Minggu lalu kami sudah pindah ke sekolah yang baru. Beberapa sukarelawan membuat bangku-bangku sederhana dan kami membawa dua meja lipat dari pantai. Papa memasang drum air di sekolah supaya murid-murid bisa mandi sebelum masuk kelas.
Aku sangat tegas sejak hari pertama. Anak-anak harus mengerti bahwa belajar memerlukan disiplin. Kamu kan tahu bagaimana mamamu kalau sudah menyangkut masalah ini....
Kutuliskan nama mereka di buku tulis masing-masing. Buku itu boleh mereka bawa pulang dan dibawa kembali keesokan harinya. Aku harus memberi instruksi yang sangat jelas mengenai hal ini karena mereka belum pernah mempunyai buku tulis atau pensil sebelumnya dan tidak tahu cara merawatnya.
Kuberikan pensil berwarna ke Claas Dua dan mereka menggambar lingkaran, lonjong, dan segi empat. Anak-anak yang lebih kecil sangat gembira saat mencoba pensil mereka. Untuk kelas yang lebih tinggi, aku bawakan kelereng dari kota. Aku minta murid-murid untuk mengambil lima kelereng. Kelima belas murid itu memasukkan tangan ke dalam botol begitu saja dan mengambil segenggam kelereng tanpa dihitung. Mereka hanya punya angka sampai tiga, jadi tidak tahu apa itu angka lima. Karena itu, mereka memberikan segenggam padaku. "Segenggam adalah angka tertinggi bagi mereka setelah angka tiga.
Aku mulai mengajarkan 1-10 dalam bahasa Indonesia, setelah aku tuliskan angka-angka itu di buku tulis mereka. Aku meminta mereka menyalinnya berkali-kali. Dalam dua hari, mereka sudah menulis sebuku penuh. Mereka menulis terus-menerus sehingga aku harus memesan buku tulis terus-menerus. Aku betul-betul mengagumi kesungguhan mereka.
Aku juga melihat perbedaan yang besar dalam tingkat kepandaian murid. Abusai begitu lambat sehingga aku mempertimbangkan untuk memindahkannya ke Claas Dua, tetapi anak-anak kelas tiga datang dan memohon kepadaku agar tidak melakukannya. "Baiklah," kataku, "tapi kalian harus membantu pekerjaan rumahnya
Kulihat kemudian, seluruh anak kelas tiga duduk di bawah pohon jambu, membantu Abusai berlatih. Anak malang itu tidak punya pilihan. Mereka tidak membiarkannya pergi. Tak lama, ia pun dapat menyesuaikan dengan yang lain, la memang tetap lambat, tapi aku beri kesempatan di kelas tiga.
Aku dapat memahami masalah dengan sekolah ini. Begitu banyak hal yang sama sekali baru untukku, misalnya jadwal pelajaran. Kupandangi kertas itu, mencoba untuk mengerti. Setiap hari berbeda, dengan satu mata pelajaran pada pagi hari dan lain lagi sorenya. Yang lebih parah, tiap hari pelajaran dilakukan di ruang kelas yang berbeda-beda.
Di hutan, segalanya begitu sederhana, batinku. Mata pelajaran sama setiap hari, dan aku tinggal memutuskan mau mulai dengan matematika atau bahasa Inggris. Sekolah lanjutan di Jayapura mengajarkan lebih banyak mata pelajaran daripada di hutan. Namun gurunya tidak berganti tiap kelas dan mereka banyak membantu. Kini aku sendirian dan merasa takut. Bagaimana aku bisa mematuhi jadwal dan mengingat begitu banyak tugas sekolah sekaligus?
Orang Barat akan sulit mengerti mengapa sebuah jadwal pelajaran bisa membuatku panik. Namun sampai pada titik ini, aku tidak pernah diharuskan mengikuti jadwal yang ketat. Peraturan di hutan adalah bila aku tidak datang hari ini, aku akan datang besok pagi.
Malam itu aku bermimpi buruk lagi. Dalam mimpi itu, aku kehilangan jadwal pelajaran. Aku lari dari satu ruangan ke ruangan yang lain sambil bertanya di setiap kelas apakah aku berada di tempat yang benar. Memang pernah sekali terjadi aku lupa kelas. Aku datang terlambat dengan keringat bercucuran, dan aku dimarahi.
Setelah selesai pelajaran, aku mengumpulkan keberanian dan menghadap guru untuk minta maaf. Aku mencoba menerangkah kesulitanku mengikuti jadwal. Pada akhirnya ia menjadi guru favoritku. Wanita ini mengajar bahasa Prancis, yang bagiku mudah karena aku telah belajar begitu banyak bahasa lain. Bahasa Prancis lebih mudah dari bahasa Fayu. Saat aku punya pacar pertama yang hanya bisa berbahasa Prancis, tak ada halangan bagiku.
Sementara itu, Leslie dan Susanne meneruskan usaha mereka untuk membuatku lebih "beradab". Salah satunya dengan mengajakku bermain biliar di sebuah bar di Montreux. Aku senang belajar permainan baru ini dan permainanku termasuk bagus untuk pemula. Namun segera kutemukan masalah lain. Di sela permainan, teman-temanku membicarakan topik-topik yang sama sekali tak aku ketahui.
Siapa itu The Beatles? Siapa itu George Michael? Atau bagaimana dengan pria satunya, Elton George? Oh, bukan, Elton John. Aku juga tidak tahu sama sekali mengenai film. Satu-satunya aktor yang aku tahu adalah Tom Cruise. Seorang teman yang mengunjungiku di Indonesia memperlihatkan foto-fotonya dan mengaku mencintainya. Hal itu juga membuatku bingung. Ia ddak kenal secara pribadi. Bagaimana bisa ia jatuh cinta kepadanya? Aku tidak mengenal konsep menjadi penggemar atau tergila-gila pada seseorang dari jauh. Aku butuh waktu lama untuk memahami semua itu.
Pertama kali aku diajak ke bioskop, aku harus bertanya apa maksudnya. Leslie menarikku dan menjelaskan. Namun lama-lama aku berpikir, orang pasd mengira aku bodoh. Jadi aku memutuskan untuk memperbaikinya. Setiap hari Senin, aku pergi ke sebuah toko kecil dekat sekolah untuk membeli setumpuk majalah. Setelah berjalan beberapa minggu, penjualnya menyambut dengan memanggil namaku. Mungkin aku adalah pelanggan terbaiknya.
Aku kembali ke kamarku dan membaca semua majalah dengan saksama; melihat-lihat gambar dan mencoba menghafal nama dan wajah. Namun, saat kukira aku sudah mengejar ketinggalan, sesuatu yang baru muncul lagi. Rasanya begitu bertubi-tubi. Misalnya, aku baru saja belajar tentang sebuah grup musik rock terkenal, kemudian seseorang bertanya, "Kok kamu tidak tahu siapa Boris Becker?" Aku menghela napas panjang dan kembali ke toko untuk mencari majalah olahraga. Lalu datang lagi masalah politik, musik, penyanyi opera, dan masih banyak lagi. Apa yang disebut kebudayaan Barat seakan tak pernah berakhir. Namun tekadku sekeras baja dan aku tak mau menyerah.
Kecanggihan teknologi komunikasi lebih membuatku takut daripada nyaman. Suatu hari, ketika surat dibagikan, salah satu teman diberi tahu bahwa ia menerima sebuah faks. Sebuah faks? Apalagi itu? Aku menengok ke Leslie, yang sudah mengantisipasi pertanyaanku sambil sebelumnya menghela napas panjang. Namun kali ini aku tidak percaya pada penjelasannya.
Tidak mungkin kita bisa memasukkan kertas ke sebuah mesin dan kemudian kertas itu keluar di belahan dunia lain. Bagaimana selembar kertas bisa melewati saluran telepon? Begitu pula reaksiku ketika melihat telepon selulerku yang pertama. Seperti sebuah keajaiban.
Lambat laun, aku semakin paham betapa berbedanya dunia yang ini dengan dunia tempat aku dulu dibesarkan. Setitik keraguan menyelinap di hatiku yang mantap. Apakah aku masih bisa berhasil sebagai orang Eropa? Tugas itu terasa menyesakkan dan membuatku bingung.
Ketika aku mendapat surat lagi dari Mama, sekali lagi aku menikmati sentuhan "kehidupan normal".
Sabine, sayangku Begitu banyak hal yang ingin kuceritakan. Syukurlah helikopter hari ini datang dan bisa membawa kembali surat ini. Di sini, di negara F ayu y kadang-kadang sulit untuk mengirim surat kepadamu.


Rinduku Pada Rimba Papua Karya Sabine Kuegler di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tetap tidak bisa berbahasa F ayu sebaik Papa. Hal ini mengundang gelak tawa riuh di. sekolah. Namun, selama aku dapat menunjuk ke suatu benda atau menggambarnya di papan tulis semua bisa berjalan dengan baik. Masalahnya bagaimana aku harus menerangkan prinsip-prinsip, seperti kesetiaan, kepercayaan, dan lain-lain? Sulit menemukan kata-kata bahasa Fayu untuk prinsip yang abstrak.
Kelas matematika berjalan dengan baik. Mereka sudah bisa mengerti pelajaran dengan keleremg, apakah aku minta tiga, empat, atau enam kelereng. Aku hampiri murid-murid satu demi satu, mengulang pertanyaan yang sama sampai mereka mengerti. Jika salah satu mendapat kesulitan, aku suruh ia keluar bersama-sama murid lain untuk berlatih. Biasanya cara itu berhasil. Sekarang mereka dapat berkata kepada orang tua mereka. Hari ini aku melihat empat bab atau mereka bisa pulang dengan ceria dan berkata "Afoti, babi kita punya lima anak". Lalu mereka bisa memegang tangan ayah mereka dan menghitung kelima jarinya. Para ayah merasa bangga karena anaknya kini dapat berbuat sesuatu yang tidak mampu dikerjakan orang dewasa.
Aku mulai mengajarkan abjad ke kelas tiga. Aku sangat kagum karena mereka hanya butuh waktu satu minggu untuk belajar huruf A-J. Cukup mengesankan, ternyata anak-anak yang kesulitan dengan matematika lebih mudah mempelajari abjad. Setelah abjad, aku mulai mengajarkan suku kata. Tak lama, mereka sudah dapat membaca dan menulis nama mereka masing-masing.
Mengamati semangat mereka untuk belajar konsep baca-tulis sangatlah menyenangkan. Aku sangat bangga dengan murid-muridku. Papa menyarankanku untuk membuka kelas orang dewasa tetapi aku lebih baik mengajar anak-anak. Jadi harus ada orang lain untuk itu. Lagi pula y aku telah mengenal mereka sejak mereka masih bayi, hampir seperti aku mengenal anakku sendiri, yang kini sedang mengejar mimpi di berbagai belahan dunia. Aku harap Sabine tersayangi kamu baik-baik saja dan belajar banyak.
"Sabine, kau tahu apa kondom itu?" tanya Leslie, "guru kehidupanku" pada suatu malam.
"Susu kental?" tanyaku sambil mengantuk.
Leslie tertawa, "Bukan, bukan sesuatu yang bisa diminum. Kau pakai kondom untuk hubungan seks yang aman." "Seks yang aman? Memangnya ada seks yang berbahaya?" Kini minatku bangkit.
"Mari, akan kuperlihatkan padamu," ia berkata dan mengambil sebuah pisang. Lalu ia membuka sebuah bungkusan berbentuk segi empat, mengeluarkan isinya dan menyarungkannya ke pisang tadi. Aku memerhatikan dengan mata terbelalak ketika ia menerangkan kegunaannya.
Aku mengambil pisang yang terbungkus itu. "Tetapi ini kan lebih besar dari ... kau tahulah, apa tidak akan terlepas?"
"Sabine, berapa banyak pria telanjang yang sudah pernah kau lihat sepanjang hidupmu?" Leslie bertanya.
"Oh, tidak banyak," jawabku dengan bangga dan jujur. "Tetapi rasanya tidak akan pas dengan ukuran ini." "Maka dari itu, aku rasa kau akan terkejut nantinya," ia tertawa. Aku juga harus tertawa. Pisang yang malang itu kelihatan begitu konyol.
Bukan hanya itu yang Leslie ceritakan padaku mengenai pria dan seks. Aku tidur agak telat malam itu dan hampir tak percaya pada apa yang ia ceritakan. Mama tidak menyebut semua detailnya. Ia hanya menerangkan dari mana bayi keluar.
Ini menjadi bagian dari pendidikan sosialku, tetapi aku sadar bahwa pengetahuan saja tidak cukup. Aku harus meningkatkan kepercayaan diri. Selama ini sangat sulit bagiku untuk keluar ke tempat umum sendirian. Aku memutuskan untuk berhenti bergantung kepada orang lain dan mengerjakan segala sesuatu sendiri.
Aku menemukan sebuah bar yang elegan dan trendi, yang terletak dekat sekolahku. Bar itu buka sore hari, tetapi biasanya agak kosong hingga malam. Aku menghirup napas panjang dan masuk ke dalam. Pelayan bar sedang menyusun botol di rak untuk persiapan nanti malam. Ia tersenyum padaku. Aku duduk dan memesan jus jeruk.
Jantungku berdetak sangat keras. Pasti ia dapat mendengarnya. Kuperangi keinginanku untuk lari dan memaksa diriku tetap duduk. Walaupun pelayan bar yang ramah itu tidak bisa mendengar debar jantungku, pasti keraguanku terlihat. Ia menyodorkan semangkok kacang dan berbicara sebentar denganku. Akhirnya aku merasa lebih rileks dan kunjungan selanjutnya lebih mudah. Selama beberapa minggu, aku sering ke bar tersebut, mempraktikkan kemampuan sosialku hingga semua rasa takut hilang. Jika melihat ke masa lalu, aku sangat bersyukur orang yang aku temui waktu itu begitu ramah dan siap membantu. Hal ini membuatku merasa aman untuk waktu yang cukup lama, sebelum akhirnya kesulitan menghadangku.
Sabine tercinta, Begitu banyak yang telah berubah di rumah ini. Orang bahkan tak mungkin membandingkannya lagi dengan gubuk tua kita di sungai Klihi. Kini aku punya oven kayu sungguhan dan bisa memanggang roti. Papa memasang pa?iel matahari di atap supaya kita punya lampu listrik. Namun kami hampir tak pernah memakainya karena lampu menarik banyak serangga ke dalam rumah.
Aku masih sering mengenang masa lalu. Kami semua kehilanganmu. Orang Fayu selalu menanyakan kabarmu dan kapan kamu kembali. Fusai baru-baru ini membawakan kami sepotong besar sagu dan mengatakan betapa dulu kamu menyukai sagu, terutama dengan cacing hidup di dalamnya. Papa masih suka duduk-duduk di perapian tiap malam dengan orang Fayu. Kadang-kadang mereka saling bercerita tentang semua kenakalanmu semasa kecil. Aku tahu kapan mei'eka membicarakanmu, karena tawa mereka begitu keras.
Papa baru-baru ini juga mengatakan bahwa ia rindu kepada anak-anak. Saat ini, katanya, tidak lagi seindah ketika kamu masih di sini. Oh Sabine, aku harap kamu tidak melupakan masa ketika kamu di hutan, dan betapa pentingnya dirimu dalam hidup kami. Dirimu ibarat "garam dalam sayur.
Aku tak dapat membayangkan hidup tanpamu. Tolong j angan lupakan kami karena kami mencintaimu.
Ketika aku membaca surat Mama yang mengharukan, aku merasakan kembali kepedihan aneh yang timbul akhir-akhir ini. Hutan selalu terbayang di benakku, terutama bila aku berbaring di malam hari. Namun aku tekan pikiran dan perasaanku yang hanya akan membuatku menangis. Tidak! Aku di sini sekarang dan akan menjadi seperti orang-orang yang ada di sekelilingku. Bukankah itu tujuanku? Lagipula bukankah aku kini sudah mencoba menjadi orang Eropa? Aku singkirkan surat itu dan mencoba untuk tidak memikirkannya.
Beberapa minggu kemudian, aku punya kekasih sungguhan yang pertama. Ia adalah seorang model yang sangat menarik dan berbadan tegap. Kami bertemu saat main biliar dan seketika itu pula aku jatuh cinta, seakan-akan dialah orang paling tampan yang pernah kulihat.
Pada pertemuan kami yang kedua, ia bertanya apakah aku mau tidur dengannya. Aku agak bingung. Apakah itu biasa? Akhirnya aku berani berkata padanya bahwa itu terlalu cepat buatku. Beberapa minggu setelah itu, kami sering bertemu untuk pergi hiking dan berdiskusi tiada habisnya. Aku begitu jatuh cinta, sehingga aku menelpon nenekku untuk mengatakan aku ingin menikah dengannya.
Ia berkisah tentang cita-citanya menjadi seorang aktor. Namun, yang paling sering ia katakan adalah bahwa aku sebaiknya tidur dengannya. Lagipula, ia sangat mencintaiku dan ingin memperlihatkannya padaku. Dan aku yang berasal dari hutan, begitu naif. Jadi, akhirnya pada suatu hari, ia mendapatkan apa yang diinginkannya.
Di sekolah, aku dengan bangga bercerita pada Leslie bahwa aku sudah tidak perawan lagi. Namun ia ridak bereaksi seperti yang aku harapkan. Ia malah marah dan menyayangkan aku tidak menunggu orang yang tepat.
"Tapi dia orang yang tepat!" kataku udak mengerd. Dan itulah akhir pembicaraan.
Beberapa hari kemudian, seorang teman kelasku datang dan memberitahukan bahwa kekasihku telah menikah dan punya anak. Aku begitu kaget dan tak percaya sepatah kata pun. Tidak! Tidak mungkin! Dia ddak mungkin berbohong. Dia tidak mungkin berkhianat. Aku lari ke rumah dan masuk ke kamar mandi, satu-satunya tempat kita bisa menyendiri. Lalu air mataku mulai jatuh. Aku menangis begitu hebat hingga ddak dapat berdiri, lalu roboh di lantai kamar mandi. Aku menyumpalkan sehelai handuk ke mulutku supaya jeritku tidak terdengar. Apa yang telah aku lakukan? Pikirku berulang-ulang. Apa yang telah aku perbuat?
Apakah aku sekarang orang yang terkutuk? Dia kan kekasihku?dia telah tidur denganku. Begitulah keadaan di dunia tempat aku tumbuh dewasa. Aku tidak mengerti apa-apa lagi. Aku duduk di kamar mandi, merasa lebih tersesat dari sebelumnya.
Untuk pertama kali dalam kehidupan baruku, aku benar-benar merasa putus asa. Namun, aku tidak sungguh-sungguh tahu apa yang aku takutkan. Yang jelas, saat ini aku tahu bahwa dunia modern yang sempurna, yang kami bicarakan di hutan, hanyalah sepotong khayalan. Dunia tempatku berada sekarang adalah sebuah dunia yang sama sekali asing dan akan tetap begitu. Aku merasa terperangkap, tetapi baru akan lebih dapat mengerd betapa benarnya hal itu jauh di kemudian hari. Aku terjebak di antara dua dunia, dalam genggaman sebuah khayalan yang tidak akan menjadi kenyataan.
Delapan tahun kemudian, aku bertemu lagi dengan laki-laki itu saat sedang hendak menemui dokter di Vevey. Sambil minum kopi, ia bercerita padaku bahwa ia telah bercerai dan masih mempunyai keinginan jadi aktor. Aku heran, ia juga minta maaf padaku. "Aku sudah memaafkanmu sejak lama," jawabku. "Aku belajar banyak dari pengalamanku denganmu. " Itulah kali terakhir aku melihatnya.
Akhirnya aku keluar dari kamar mandi dan hidup berjalan terus. Leslie dan Susan pergi dan tahun ajaran baru dimulai. Aku sangat sedih kehilangan "penasihat hidupku". Tetapi aku berteman lagi dengan murid-murid baru dari Jepang, Inggris dan Denmark. Kami mengalami tahun-tahun yang menyenangkan bersama.
Aku telah menyesuaikan diri dengan cukup baik kini, meskipun penampilan bisa mengecoh. Kehidupan di Chateau Beau Cedre adalah kehidupan yang terlindung, kehidupan di dalam sangkar emas. Untungnya, kami diperlakukan seperti orang dewasa. Mereka yang berumur di atas delapan belas tahun?seperti aku?diizinkan pulang pada akhir minggu. Tetapi secara umum, suasana di sana sangat teratur. Kami mengikuti jadwal yang ketat dan selalu tahu apa yang harus dikerjakan selanjurnya.
Tahun kedua berlalu dan aku makin memendam kenangan akan rumah. Aku nyaris hidup seperti robot. Hanya rasa pedih mendalam yang kurasakan saat menerima surat dari Mama, tapi aku sengaja menyibukkan diri agar bisa melupakannya.
Pada suatu sore, aku mendapat sebuah surat pendek dari Papa:
Anakku sayang, Hampir tiap malam kami duduk mengelilingi api unggun di depan rumah pemandangan yang sungguh indah dan orang Fayu membicarakanmu. Mereka ingat ketika kamu makan buaya dan babi hutan Haf dengan mereka. Mereka sungguh ingin bertemu denganmu kembali, Tuare selalu bertanya-tanya kapan kamu akan kembali ke saudara Fayu-mu. Aku sudah mencoba menerangkan bahwa kamu sudah sangat jauh. "Saat matahari tenggelam di sini," kataku, di sana, di mana Sabine berada, matahari sedang terbit. Dan ketika ia makan sagu, kita sedang tidur Ketika aku baca surat itu, tiba-tiba aku merasa sangat rindu rumah. Aku pergi ke kamarku dan menangis. Topengku sebagai seorang gadis modem yang kubangun dengan hati-hati, mulai runtuh. Si anak rimba tak dapat lagi diabaikan. Untuk pertama kalinya sejak kedatanganku, aku dapat berpikir jernih. Aku harus kembali segera, sangat segera. Hari kelulusanku takkan lama lagi. Benar-benar waktu yang pas untuk pulang.
Tetapi seperti yang sudah sering terjadi, hidup mempunyai rencananya sendiri. Babak kegelapan menunggu di depanku, yang akan cepat kulupakan. Meski hidupku begitu terlindungi sampai saat ini, siap tidak siap aku akan segera dilempar tanpa belas kasihan ke dalam "dunia nyata". Ini adalah saatnya aku benar-benar sendiri dan hanya bisa bergantung pada diriku sendiri. Tidak ada seorang pun yang dapat menerangkan liku-liku dan bahaya dalam hidup ini. Tak ada seorang pun yang akan menggandeng tanganku untuk menyeberangi jalan. Aku sangat tidak berdaya dan sendiri dalam babak tergelap hidupku.
Bab 45 SENDIRI Sabine sayang, Terima kasih untuk foto-foto yang menye-nangkan. Aku harus bilang apa ya? Kupandangi foto-foto itu setiap hari. Bayi Sophia?sulit untuk dipercaya. Aku pasang beberapa lembar foto di dinding. Yang paling aku sukai adalah saat ia berbaring di keranjang dan kelihatan amat kuning. Rasanya aku tak sabar untuk bertemu dengannya.
Kami perlihatkan foto-foto Sophia kepada penduduk F ayu. Mereka begitu gembira ketika mereka tahu itu bayimu. Fusai menanyakan apakah seorang laki-laki telah mencurimu. Aku katakan padanya, ya, kamu memang telah dicuri, dalam arti yang sesungguhnya. Dan pria itu bahkan tidak meminta izin kepada kami. Menurut Fusai, ini tidak dapat diterima.
Sementara reaksi pertama dari Na kir e adalah, "Aku sekarang menjadi kakek
"Mengapa bisa begitu tanya Papa. Akulah kakeknya, bukan kau."
"Tetapi aku juga" jawab Nakire.
"Sabine kan anakku juga " Mereka telah mencapai kesepakatan. Nakire tersenyum lebar sekali.
Ia berpendapat kamu sebaiknya kembali segera?lagi pula ia ingin melihat cucunya.
Aku telah bertemu pria lain. Dan tidak lama setelah lulus, aku hamil. Leslie lupa bilang kepadaku bahwa kondom tidaklah selalu berfungsi dengan baik. Aku pergi ke Jerman untuk melahirkan dan duduklah aku di sana dengan Sophia-ku, tak tahu harus berbuat apa. Akhirnya aku kembali ke Swiss dan menikah dengan ayah dari anakku. Setahun kemudian aku hamil lagi dan punya anak laki-laki, Lawrence. Tak lama kemudian, kami bercerai. Dan masalah-masalah lain datang menyusul.
Aku merasa seakan diriku tenggelam dalam pasir hisap dan tak dapat bernapas. Serasa tertarik ke bawah, ke dalam pusaran beban mental yang berat dan tak dapat keluar. Kerinduan pada rimba membayangiku uap hari. Mimpi-mimpi buruk pun muncul kembali.
Satu-satunya sumber kegembiraan adalah anak-anakku. Aku mencintai mereka lebih dari apa pun, tetapi mereka jugalah yang menyebabkan aku tidak bisa kembali ke hutan. Aku tak mau meninggalkan mereka, tetapi aku tak bisa membawa mereka ke Indonesia. Jadi aku tetap tinggal di Swiss, melanjutkan sekolah dan mulai bekerja.
Aku mencoba menghadirkan topeng yang sesempurna mungkin, tetapi di dalam hati yang terasa adalah ketakutan, putus asa, dan perasaan tidak mampu?ada sesuatu yang kurang pada diriku. Aku tak pernah lagi membicarakan masa kanak-kanak dan asal usulku.
Kujalani hidup seakan dalam mimpi, mencoba untuk menyesuaikan diri. Tetapi keadaannya malah semakin buruk. Aku semakin tenggelam. Segala sesuatu dalam hidupku seakan berjalan ke arah yang salah. Aku tak lagi bisa membedakan antara kawan dan lawan. Tak ada yang jelas bagiku. Alih-alih hitam atau putih, yang ada hanyalah abu-abu.
Waktu berlalu. Aku semakin merasa seakan duduk dalam perahu kecil di tengah-tengah lautan, tanpa layar, dayung atau kemudi. Badai yang kuat mengamuk di atas kepala?kegelapan yang mengerikan berputar di sekelilingku. Petir, guntur dan ombak yang tinggi menghantamku berulang kali. Aku begitu kehilangan kendali dan dengan putus asa berpegangan pada perahu. Setiap kali ombak baru menerjang, aku merasa inilah akhir hidupku. Dan belum lagi aku dapat menjejakkan kaki, ombak berikutnya datang dan melemparku ke bawah. Jeritan minta tolongku lenyap tak terdengar karena ketakutan membuatku bisu.
Aku kehilangan semua. Rumahku, keluargaku, impianku, kegembiraanku. Segalanya hilang. Aku berjuang sendiri di sebuah dunia yang terasa asing, dengan aturan-aturan dan kebiasaan-kebiasaan yang tak bisa kupahami. Orang tuaku berada di hutan, kakak-adikku di Amerika. Rasanya seakan seseorang telah mengambilku dengan paksa dari keluargaku. Padahal aku mungkin hanya perlu menelepon mereka sebentar untuk kembali menjalin hubungan. Kalau begitu, mengapa pula aku tidak melakukannya?menelepon ke Amerika atau ke hutan melalui ibukota? Aku tak tahu pasti. Mungkin aku masih menderita gegar budaya yang mendalam?sesuatu yang terlambat kusadari. Aku tidak dapat berpikir jernih dan seakan tidak punya kekuatan untuk bersikap proaktif. Aku sungguh tak tahu apa yang terjadi padaku.
Lalu, saat aku sedang berada pada titik terendah, aku kehilangan pekerjaan. Kini aku benar-benar tak punya apa-apa, bahkan lemari es pun kosong. Suatu hari aku pulang larut malam, dan ketika aku melangkah ke dalam apartemenku yang dingin dan gelap, aku benar-benar merasa hancur. Aku jatuh di lantai dan mulai menangis. Pikiranku kacau. Ingin sekali aku mengenyahkan rasa sakit di had. Aku tidak ingin hidup lagi.
Dan kemudian aku melakukan sesuatu yang sebelumnya tak pernah terbayangkan. Kenangan akan hal itu masih menghantuiku hingga kini.. Aku merangkak ke kamar mandi, mengeluarkan silet dari alat cukur. Dinginnya benda itu di antara jari-jariku terasa menenangkan. Aku begitu dikuasai pikiran bahwa aku dapat menghentikan penderitaan ini. Di luar kesadaranku, kugores kulitku dengan silet itu. Dalam sekejap, aku merasakan sakit yang menikam. Aku duduk dan kupandangi tetesan darah yang mengalir di tangan.
Tiba-tiba aku merasa lega. Begitu menakjubkan, betapa sakit yang dirasakan oleh tubuhku dapat mengalihkan perhatianku dari kepedihan emosi. Dalam keadaan kalut, kulukai diriku berulang kali. Pergelangan tangan yang satu dan kemudian satu lagi. Kugoreskan makin dalam. Aku merasa dengan cara ini, aku dapat menyelamatkan anak-anakku, keluargaku, hidupku.
Aku memandang sekilas ke cermin dan rasa terkejut menusuk hingga ke jantung. Ada sesosok hantu menatap diriku, putih seperu kapas, dengan sorot mata mengawang dan bingung. Maskara hitam menodai seluruh wajahku.
Saat itu, kenyataan serasa menampar mukaku. Kujatuhkan silet, melihat ke sekeliling. Kedua tangan, lantai, bajuku?semua basah oleh darah. Aku mulai menjerit, aku masukkan tanganku ke dalam mulut, tetapi tak dapat membungkam diriku sendiri. Aku duduk di lantai yang dingin sampai jeritan akhirnya berubah menjadi isak tangis. Keletihan menyelimutiku. Aku hanya ingin berbaring dan menutup mata.
Dengan rasa sangat lelah, aku melihat bahwa aku masih mengeluarkan darah. Segalanya serba merah, dan anehnya terlihat cukup indah. Dalam darah yang bercucuran dari tubuhku, dapat kulihat kepedihanku ikut mengalir keluar. Bila hidupku berakhir, akan usai pula kepedihanku.
Seakan sebagai salam perpisahan, aku berdoa untuk pertama kalinya dalam waktu yang sudah teramat lama.
Doa yang telah mendampingi selama masa kanak-kanakku:
"Orang yang duduk dalam lindungan Yang Mahatinggi dan bermalam dalam naungan Yang Mahakuasa akan berkata kepada TUHAN: "Tempat perlindunganku dan kubu pertahananku, Aliahku yang kupercayai" ... Malapetaka tidak akan menimpa kamu, dan tulah tidak akan mendekat kepada kemahmu, sebab malaikat-malaikatNya akan diperintahkanNya kepadamu untuk menjaga engkau di segala jalanmu."
"Ya Tuhan, apa yang telah aku lakukan?" Kalimat ini menggema terus di kepalaku. Tiba-tiba aku benar-benar tersadar. Kuambil dua handuk dan kulilitkan kencang-kencang di pergelanganku. Semuanya terasa sakit dan pendarahan tak mau berhenu. Kutekan lukaku lebih keras lagi. Ketika akhirnya pendarahan berhend, aku bersandar ke dinding dan memejamkan mata. Handuk yang berlumuran darah masih tetap melingkar di pergelanganku.
Aku merenungkan hidupku. Segala yang telah kulihat dan jalani, berputar seperu sebuah film dalam pikiranku. Nepal, pegunungan, bintang, hutan, kaum Fayu, Tuare, Sungai Minggu, perang, kebencian, cinta, kematian Ohri, orang tuaku, dan akhirnya anak-anakku. Aku melihat kegembiraan dan kepedihan. Aku ingat tentang kehidupanku dengan kaum Fayu dan kehidupanku di sini di Eropa. Terlebih lagi aku ingat akan orang tuaku, yang telah mengajarkanku arti cinta, dan aku ingat juga akan anak-anakku tersayang.
Tiba-tiba aku menjadi bingung dengan diriku sendiri. Bukankah aku telah belajar bertahan hidup di hutan? Bukankah aku telah dapat menjembatani perbedaan antara Zaman Batu dan dunia modern dalam waktu beberapa tahun saja? Apa yang terjadi dengan kekuatanku selama ini? Di mana tekadku untuk mempertahankan hidup dan kegembiraanku akan kehidupan? Di mana diriku yang sejati? Seharusnya aku dapat belajar untuk berbahagia di dunia yang beradab ini?lagipula, bukankah ini juga bentuk lain dari hutan?
Ya Tuhan, tolonglah aku, bisikku. Aku tidak sanggup lagi. Kubiarkan kepalaku terkulai dan aku pun tertidur. Malam itu aku bermimpi lagi tentang Ohri. Tapi kali ini tidak ada pondok yang terbakar, tidak ada orang mengiba-iba minta tolong. Aku bermimpi aku berada di hutan kembali. Duduk di atas batang kayu di muka rumah, mengagumi keindahan di sekelilingnya. Ohri muncul di depanku, besar dan kuat, dengan senyum yang hangat. Ia duduk di sampingku, menggenggam tanganku, dan hanya mengatakan satu kalimat, "Aku tak pernah meninggalkanmu."
Aku terbangun keesokan harinya dengan kedamaian di dalam hati, yang sudah sekian lama tak kurasakan. Aku bangkit dan membersihkan darah yang telah mengering. Kubalut pergelanganku, kuganti pakaianku, lalu berbaring di tempat tidur. Air mataku kembali mengalir, tetapi kali ini air mata lega, bukan putus asa. Aku telah memutuskan?aku akan berjuang. Seperti yang pernah kulakukan di hutan, aku akan belajar mempertahankan hidup di sini, menjadi kuat kembali dan dapat pulang. Jalan di depanku tidaklah mudah, tetapi jalan itu akan menuju kebahagiaan. Aku ingin bangun sedap pagi dengan perasaan bahagia.
Dan aku mulai berjuang untuk hatiku?dengan target membuat keputusan-keputusan proaktif yang dapat mengembalikan hidupku ke jalur yang benar. Meski hingga kini aku masih berjuang, aku telah mendapatkan kembali keberanian dan kekuatan. Aku telah membangun hidup baru dan belajar bahwa kebahagiaan ddak datang dari luar, tetapi dari dalam hatiku sendiri.
Perjalanan untuk mencari jati diriku, ard kehidupanku dan tempatku yang sesungguhnya, terus berlanjut. Di mana pun aku berada?di hutan atau di dunia Barat? aku memutuskan untuk menemukan kebahagiaan dan kegembiraanku.
Bab 46 KEMBALI KE AWAL Bertahun-tahun telah berlalu sejak aku membulatkan tekad untuk mengatur hidupku kembali. Setelah tinggal lama di Swiss dan sebentar di Jepang, aku pindah kembali ke Jerman dua tahun yang lalu. Dalam masa berpindah-pindah itu, aku menemukan diriku yang baru beberapa kali.
Baru-baru ini aku mengurus surat-surat tanda pengenal (sama seperti kartu jaminan sosial, surat-surat ini biasanya diterbitkan pada waktu kelahiran). Petugas memberikan formulir yang diperlukan.
Tetapi setelah aku tanda tangani, ia memandangiku seakan menunggu sesuatu. Ketika aku tidak bereaksi, ia menyampaikan bahwa aku diharuskan menyerahkan surat-surat yang lama sebelum menerbitkan yang baru.
Waduh, kataku dalam hati. Terjadi lagi. Sambil menarik napas panjang, kujelaskan kepadanya seperti yang sebelumnya pernah kulakukan seratus kali kepada seratus petugas pemerintah, bahwa aku tidak mempunyai surat tanda pengenal lama untuk diserahkan. Aku tidak dilahirkan dan dibesarkan di Jerman.
Setelah menunggu sebentar, akhirnya aku mendapatkan kartu tanda pengenal kebangsaan Jerman yang pertama. Saat itu usiaku tiga puluh satu.
Ketika aku pindah ke Jerman kali ini, aku membaur dengan masyarakat tanpa merasa sebagai orang asing. Aku membeli mobil, menyewa apartemen dan mulai berjuang menembus birokrasi pemerintah Jerman. Asuransi kesehatan, asuransi jiwa, program pensiun, perjanjian sewa-menyewa, nomor pajak, televisi kabel.... Mendaftar di sini, membatalkan pendaftaran di sana, dokumen ini, formulir itu?seakan dada akhir. Semua ini adalah pengalaman baru bagiku,
tetapi aku dapat melaluinya. Kini aku tinggal di kota kecil, bertekad untuk mencari ff* kebahagiaan.
Sekarang ini aku merasakan suatu keuntungan telah dibesarkan dalam budaya Fayu. Orang Fayu sering bertanya, "Bagaimana Sabine? Apakah hatinya bahagia?" Mereka tidak bertanya seberapa besar rumahku atau berapa babi hutan yang kupunya. Kepedulian terhadapku tidak ada hubungannya dengan status sosialku. Selama aku selalu ingat akan pelajaran hidup di hutan, hidup berjalan dengan baik. Aku belajar dari mereka bahwa kita harus bisa menikmari hal-hal yang sederhana dalam hidup. Hidup ddak ditentukan oleh harta benda yang Anda punya, tetapi lebih kepada cara Anda memaknai hidup. Aku juga belajar bahwa kebahagiaan datang dari ketentraman hati, bukan dari materi. Dan untuk pelajaran-pelajaran ini aku sungguh berterima kasih.
Perubahan pada diriku terjadi ketika aku mulai menulis kisahku ini. Rasanya seperti bangun dari mimpi panjang. Setelah sekian lama, untuk pertama kalinya aku mulai mengerri diriku; penyebab aku bereaksi seperti yang pernah kulakukan dan alasan yang mendasari beberapa keputusan tertentu. Dan untuk pertama kali pula aku benar-benar dapat merasa lagi, membiarkan kenangan-kenangan masa lalu muncul ke permukaan. Sejak dua bulan terakhir, aku menghidupkan kembali masa kanak-kanakku. Aku menangis dan tertawa. Di dalam mata hatiku, aku menyaksikan lagi matahari terbit, menyeberangi sungai dengan perahu, dan menikmati alam di sekelilingku. Aku membuka foto-foto dan film-film keluarga, membaca buku-buku harianku, dan berbincang tentang kisah-kisah masa lalu dengan keluargaku.
Sekarang, aku telah sampai di bagian akhir dari buku ini. Akhirnya aku menyadari bahwa aku perlu kembali ke rumahku di hutan. Ketika aku meninggalkannya lima belas tahun yang lalu, aku bertekad untuk segera pulang. Tetapi aku tidak pernah kembali, tidak juga berkunjung. Aku terperangkap, pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, selalu dengan perasaan bahwa aku berada di tempat yang salah. Aku sadar kini, aku tidak pernah sempat mengucapkan selamat tinggal.
Aku juga belajar bahwa definisi dari rumah tidaklah mesti sebuah negara, negara bagian, atau kota, atau suatu budaya. Rumah adalah di mana hati kita berada, dikelilingi oleh orang-orang yang kita cintai dan mencintai kita.
Yang terpenting dari semua, aku mulai mengerti bahwa aku berasal dari dua dunia dan dua kebudayaan sekaligus. Dan meskipun sebagian dari diriku telah menjadi orang Barat karena telah beradaptasi dengan kehidupan dan budaya di sini, sebagian dari diriku tetap dan akan selalu menjadi anak rimba.
Sabine Sayang, Surat yang ditulis papamu yang sudah tua ini membawa kabar duka cita yang mendalam. Ketua Baou telah tiada.
Aku dikabari lewat radio bahwa Ketua Baou sakit keras. Aku langsung berencana untuk mengunjunginya. Tapi ketika aku sampai di desa, ia telah meninggal. Aku menangis sedih. Kemudian Nakire datang kepadaku dan menceritakan kisah ini.
Beberapa hari sebelum kematiannya, Ketua Baou merasa takut. Ia tahu waktunya akan berakhir. Dipafiggilnya teman yang ia percayai. Selama tiga hari ia mengakui dosa-dosanya? setiap laki-laki, wanita, dan anak yang ia bunuh. Kamu kan tahu, Sabine, pada zamannya dulu ia adalah seorang prajurit yang bengjs.
Pada akhir pengakuannya, hatinya menjadi damai. Ketika kaum Fayu yang telah berkumpul di sekitar gubuknya mulai menangis, ia berkata kepada mereka, "Mengapa kalian menangis? Kalian seharusnya berbahagia untukku karena aku akan bertemu Afou Guti, Bapak yang Agung"
"Tunggu, Ketua Baou, Klausu akan segera dating kata Nakire. Ia tahu aku baru mendarat di Kordesi. Tetapi Ketua Baou menjawab, "Mengapa aku harus menunggu Klausu? Aku sudah mengenalnya, lebih baik aku menemui Afou Guti" mengucapkan selamat tinggal kepada yang hadir, kemudian merebahkan kepalanya kembali dan pergi untuk selamanya. Aku diberi tahu, ia kelihatan sangat tenang. Akhirnya, sebelum meninggal, menemukan kedamaian yang ia cari sepanjang hidupnya.
Dan Sabine, aku berdoa agar suatu hari kamu mendapatkan kedamaian dan kebahasaanmu. Aku merindukanmu dan membayangkan sedang memelukmu erat-erat....
Papamu. Bab 47 PENUTUP Akhirnya keluargaku dapat berkumpul setelah sepuluh tahun tak bertemu. Judith dan Christian datang dari Amerika bersama pasangan masing-masing. Papa baru saja kembali dari hutan dan Mama sudah beberapa lama berada di Jerman.
Kami mengelilingi meja makan dan membicarakan rencana pembuatan buku ini. Dari luar kami bisa mendengar anak-anakku dan anak laki-laki Judith mengobrol dengan semangat dalam campuran bahasa Jerman, Inggris dan Prancis.
Mama menghela napas, "Kehadiran anak-anak kalian di sini membangkitkan banyak kenangan. Waktu kalian masih kecil dulu, tak ada yang bisa mengerti kalian, kecuali mereka yang bisa bahasa Inggris, Jerman dan Indonesia."
"Apa maksud Mama, waktu kami kecil?" Christian mengangkat alisnya dengan jenaka. "Kami masih tetap berbicara seperti itu saat bersama-sama. Dan Papa yang paling parah."
"Aku ingat surat pertama dari Papa yang kudapat setelah pergi ke Inggris," kata kakakku yang sedang hamil besar sambil tertawa cekikikan dan tangannya mengambil sepotong kue cokelat. "Aku sampai tertawa berhari-hari setelah membaca suratnya yang ditulis dalam paling sedikit empat bahasa. Rencanamu menulis buku yang seluruhnya berbahasa Jerman hebat sekali. Aku rasa aku tak mampu melakukannya."
"Ya, kita semua kan tahu, kalau Sabine sudah punya kehendak, itu harus dilaksanakan, tak peduli apa pun yang menghalanginya," kata Papa cengar-cengir.
"Apakah kau akan menceritakan saat kau melempar ular mati ke leherku?" tanya Judith.
"Dan waktu kau mengambil permen karet yang dibeli di Jerman dan kau bungkuskan ke kepalamu?" tambah Christian.
"Benar, tuh. Dan aku harus memotong semua rambutmu," Mama tertawa.
"Tapi ceritamu paling seru, Mama. Ingatkah ketika Mama membuang seember air ke atas kepala seorang prajurit?" kataku.
"Dan handukku satu-satunya kamu berikan kepadanya!" sahut Papa pura-pura jengkel.
Mama bertanya, "Apakah pernah kuceritakan kepada kalian kisah tentang betapa aku membuat Papa kaget? Waktu itu semua orang Fayu telah menuruni bukit dan desa sudah kosong, tapi Papa tidak tahu. Aku lihat Papa naik ke bukit. Cepat saja kubuka semua pakaianku. Ketika ia sampai di rumah, aku sedang berdiri di teras dengan tenangnya sambil makan sagu. Kalau saja gigi Papa palsu, pasti sudah copot karena protes moral. Aku tertawa setengah mati."
"Oh ya, dan ingat tidak waktu..."
Lama juga kami berkumpul, mengenang tentang keindahan, kesedihan, tragedi dan komedi, yang pernah kami alami. Kadang-kadang kami tertawa sampai keluar air mata, lain waktu kami duduk dalam diam dan mengenang teman Fayu kami yang telah tiada.
Kehidupan di hutan telah membekas pada diri kami. Kami merasa amat diberkahi karena mendapatkan hidup yang begitu unik dan indah. Dan kami sangat berhutang budi kepada suku Fayu yang membagi hidup dengan kami dan mau menerima kami sebagai bagian dari sukunya, walaupun kenyataannya kami berbeda warna kulit dan budaya. Mereka pantas mendapatkan penghargaan yang setinggi-tingginya.
Kerja sama dengan suku Fayu masih berlanjut hingga kini. Organisasi tempat orang tuaku bekerja, YPPM, telah mengambil alih sebagian besar usaha bantuan pengembangan? khususnya sekolah yang didirikan oleh Mama, tempat generasi muda belajar baca-tulis, matematika, dan bicara dalam bahasa Indonesia. Undang-undang di Indonesia mengharuskan semua warga negara untuk belajar bahasa Indonesia.
Suku Fayu telah menjadi suku yang penuh kedamaian. Keadaannya sekarang jauh berbeda dibandingkan dengan saat pertama kali kami bergabung. Penduduknya berkembang dan tingkat kematian bayi telah menurun tajam. Usia peluang hidup meningkat dari tiga puluh lima tahun menjadi lima puluh tahun. Dengan seluruh kekuatan dan keberanian mereka sendiri, suku Fayu telah mencapai kemajuan yang signifikan.
Yang paling kami kagumi adalah kesiapan mereka dalam menjaga suku dan tanah mereka dari orang-orang yang berniat merampas. Suku Fayu telah berhasil diberi pemahaman untuk tidak gampang percaya pada janji-janji yang dibuat oleh orang luar. Kami mencoba meyakinkan mereka bahwa tanah mereka sangat berharga dan bahwa mereka juga mempunyai hak sebagai rakyat Indonesia.
Pemerintah setempat sangat membantu usaha kami. Sebuah delegasi baru-baru ini meninjau suku Fayu?sebuah penghargaan besar untuk kami semua. Mungkin karena semua perubahan-perubahan ini, orang tuaku terus bekerja tak kenal lelah untuk mempertahankan kebudayaan Fayu yang asli dan unik. Mereka menganjurkan orang Fayu untuk meneruskan keahliannya membuat busur, anak panah, palu, batu dan jaring. Dan mereka menekankan betapa pentingnya menyampaikan kisah-kisah masa lampau, rasa memiliki pada tanah mereka, dan pelajaran bertahan hidup, kepada generasi berikutnya. Bila generasi yang terdahulu tidak menyampaikan apa yang mereka ketahui, suatu kebudayaan akan lenyap.
Suku Fayu adalah suatu suku yang unik dan istimewa. Mereka layak berbangga pada tradisi yang mereka miliki dan pada fakta bahwa di luar dugaan, mereka telah kembali menjadi kaum yang dinamis.
SELESAI LAMPIRAN A. IRIAN JAYA: BEBERAPA FAKTA MENARIK
Irian Jaya terletak di Pulau Papua, pulau terbesar ketiga di dunia (setelah Australia dan Greenland). Bagian sebelah timur dari pulau itu adalah negara Papua Nugini (PNG). Dulu, Irian Jaya (sekarang terbagi menjadi beberapa provinsi) adalah provinsi terbesar dan paling timur di Indonesia.
PENDUDUK ? Jumlah penduduk di Irian Jaya diperkirakan sekitar 1.800.000 orang.
? Penduduk asli terbagi ke dalam kira-kira 250 subkelompok. Pengelompokan didasarkan penampilan fisik dan perbedaan dalam bahasa, adat istiadat, ekspresi artistik serta aspek-aspek kebudayaan lainnya.
? Terdapat paling sedikit 250 bahasa utama yang dipakai oleh penduduk asli. Pendataan jumlah bahasa yang dipakai maupun kelompok penduduk terkendala oleh keberadaan suku-suku yang masih terisolasi seperti halnya suku Fayu. Oleh karena itu, keanekaragaman di pulau ini kemungkinan masih melebihi perkiraan yang telah disampaikan. Perhitungan saat ini, yaitu 250 bahasa, menunjukkan bahwa Irian Jaya memiliki seperempat dari jumlah bahasa yang dikenal di dunia (800 bahasa) serta bermacam-macam dialek.
KEAJAIBAN ALAM ? Irian Jaya memiliki pelabuhan alami terindah di dunia (pelabuhan Humboldt, Jayapura).
? Satu-satunya pulau tropis yang mempunyai daerah bersalju permanen, termasuk puncak gunung es yang tingginya 5.000 meter di atas danau es.
? Irian Jaya mempunyai hamparan hutan tadah hujan yang terluas di dunia (tidak termasuk Amazon). Sebagian dari hutan-hutannya begitu lebat sehingga sulit ditembus.
? Irian Jaya terkenal akan "burung-burung surga?-nya. Dari 43 jenis burung, 35 hanya bisa didapatkan di Irian Barat/Papua Nugini. Beberapa suku bangsa asb menggunakan bulu-bulunya untuk hiasan dan upacara-upacara, sebuah tren yang gemanya tercermin pada gaya berpakaian wanita-wanita Eropa. Perburuan akan bulu burung, serta kerusakan habitat akibat pengrusakan hutan, menyebabkan beberapa jenis burung tertentu dikategorikan sebagai hewan/tumbuhan langka.
? Danau Sentani yang kini berair tawar, dulunya asin. Sebagai konsekuensinya, pada suatu waktu, Anda bisa menangkap ikan todak dan ikan hiu di sana.
SEJARAH Pada tahun 1883, pulau Papua Nugini dibagi menjadi dga bagian. Belanda menuntut bagian baratnya, sementara bagian timurnya menjadi Papua Nugini Jerman di bagian utara dan Papua Inggris di bagian selatan. Belanda mulai melakukan eksplorasi besar-besaran di tahun 1898.
Perselisihan antara Belanda dan Indonesia mengenai kepemilikan Irian Jaya berlangsung terus sampai Belanda menyerahkan daerah jajahannya itu tahun 1963. Meskipun Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dari Belanda tahun 1945, mereka tidak berhasil menuntut Irian Jaya sampai referendum yang disponsori oleh PBB dilaksanakan tahun 1969.
Jendral Douglas MacArthur memakai Sentani sebagai pangkalan militer pada masa kampanye Perang Dunia EL Sebagai bukti sejarah dapat dilihat, suatu bagian di kota itu masih disebut "Kamp K", dan sebuah pantai setempat yang terkenal bernama "Basis G". Beberapa penempatan senjata mesin Jenderal MacArthur masih tetap berada di posisinya di pulau itu.
B. TOKOH, TEMPAT, ISTILAH
TOKOH Keluarga Kuegler terdiri dari orang tua Klaus dan Doris (juga dipanggil Klausu dan Doriso) dan anak-anak Judith, Sabine dan Christian (juga dipanggil Babu). Orang Nepal Kaum Danuwar Rai, suku Nepal di sekitar tempat tinggal keluarga Kuegler.
Suku-suku di hutan di Indonesia
Dani, Bauzi, Dou, Kirikiri, Doa dan Fayu. Suku Fayu terbagi lagi atas empat kelompok: Iyarike, Tigre, Tearue dan Sefoidi.
Suku Fayu 1. Ketua Baou: kepala kelompok Tigre, ketua yang paling disegani di antara semua kelompok Fayu.
2. Biya: wanita Fayu pertama yang ditolong Doris dalam persalinan. Bayinya diberi nama Doriso Bosa (Doris kecil), yang kemudian menjadi istri Tuare. A Dawai: istri pertama Nakire.
4. Diro: ia dan kedua adiknya menjadi anak yatim piatu karena Ketua Baou membunuh orang tua mereka. Qro kemudian menjadi sahabat dan penasihat Isori, anak laki-laki Ketua Baou.
5. Fusai: istri kedua Nakire dan anak perempuan ketua kelompok Tigre.
6. etua Kologwoi: ketua kelompok Iyarike.
7. Nakire: anak muda kelompok Iyarike yang tumbuh besar di lingkungan suku Dou dan menjadi guide di ekspedisi Klaus. Nakire adalah penerjemah dan penasihat Klaus dalam bidang kebudayaan Fayu.
8. Ohri: anak yatim yang menjadi bagian dari keluarga Kuegler.
9. Teau: komandan perang kelompok Iyarike.
10. Tuare, Bebe, Dihida, Abusai, Ohri, Ailakokeri dan Isori: anak-anak Fayu yang menjadi teman bermain Sabine dan Christian dari awal.
11. Ziau: ketua Fayu. Pelaku Lainnya 1. Minius: seorang anak yatim dari suku Dani yang diambil oleh keluarga Kuegler, dan ketika dewasa bekerja pada mereka.
2. John: seorang kontraktor berkebangsaan Amerika yang secara kebetulan berjumpa dengan beberapa penduduk Fayu ketika sedang menyurvei Kordesi untuk membangun tempat mendarat.
3. Herb: seorang peneliti berkebangsaan Amerika yang mendampingi Klaus dalam ekspedisi mencari jejak suku Fayu.
4. Rex: pilot berkebangsaan Amerika
Hewan-Hewan Sabine Timmy (kucing), George (tikus), Bobby (burung beo), Daddy Longlegs (laba-laba), Hanni dan Nanni (burung unta), Jumper (kanguru pohon) dan Wooly (kuskus).
TEMPAT 1. Danau Bira: sebuah basis di tengah hutan Irian Jaya.
2. Foida: desa Fayu, lokasi rumah keluarga Kuegler.
3. Irian Jaya: bagian barat pulau Papua. Irian Jaya adalah milik Indonesia.
4. Jayapura: kota semenanjung di Indonesia tempat keluarga Kuegler tinggal sebelum masuk hutan.
5. Sungai Klihi: sungai utama yang mengaliri kawasan Fayu.
6. Kordesi: desa Dou yang terletak separuh jalan antara Foida dan Danau Bira, lokasi landasan untuk pesawat kecil.
7. Patan: sebuah daerah pinggir kota di Kathmandu, Nepal, tempat Sabine dan Christian dilahirkan.
8. Polita: desa Dou dekat Kordesi.
KOSAKATA FAYU YANG DITEMUKAN DI BUKU
afou: ayah asahego: ini dapat berarti " selamat pagi", "selamat malam", "terima kasih", "sampai jumpa" dan lain-lain
awaru kaha dapat berarti "aku baik-baik saja", "aku senang" atau "aku orang baik-baik dan tidak melakukan kesalahan"
bagai : anak panah terbuat dari bambu yang digunakan untuk berburu babi hutan liar dan burung unta
di: tergantung nada, dapat berarti air, pisau atau babi hutan
fai: anak panah terbuat dari tulang kanguru yang dirancang untuk membunuh manusia
fay: buruk fu: tergantung nada, bisa batang kayu, bisa perahu
hau : tidak kaha : bagus kasbi : akar pohon yang rasanya seperti kentang
kui : tergantung nada, bisa pesan bisa pula kakek
kwa: buah roti zehai: anak panah berujung kayu yang digunakan untuk binatang kecil
UCAPAN TERIMA KASIH Pertama-tama, aku ingin menyampaikan terima kasih kepada mitra bisnisku, Britta Marks, yang telah meyakinkan diriku untuk menulis buku ini, memberikan dukungan pada proses penyusunannya, dan mengajari aku untuk merasa bangga pada masa kanak-kanakku.
Terima kasih kepada agenku, Lionel v. dem Knesebeck, karena telah membuka jalan demi eksistensi buku ini.
Terima kasih pula kepada percetakan Droemer Knaur, terutama Dr. Hans Peter Uebleis yang sejak awal memiliki keyakinan kuat pada buku ini. Juga kepada editorku, Carolin Graehl. Ia dengan anggunnya telah mengolah tata bahasa Jerman-Inggrisku menjadi sesuatu yang dapat dibaca, sambil tetap mempertahankan gaya bahasaku. Ungkapan terima kasihku kepada Susanne Klein, yang telah melimpahkan energinya untuk buku ini;
Klaus Kluge, yang mendengarkan pendapat-pendapatku tentang strategi pemasaran dengan sabar dan (biasanya) dengan senyum. Dominik Huber, untuk website-nya yang mengagumkan; dan semua pihak yang menerimaku dengan keramahtamahan, meminjamkan komputernya, dan menyediakan aku kopi serta permen (terima kasih, Barbara!)
Terima kasih juga kepada Brigit Matthies dan Ariungeral "Agf Batdelger, yang dengan penuh cinta menjaga anak-anakku, sehingga aku punya waktu untuk menulis.
Kepada keluargaku, Klaus-Peter, Doris dan Christian Kuegler, juga bibiku Ellen?terima kasih dari dasar hati karena mengingatkanku tentang detail masa kanak-kanakku. Paling utama, terima kasih kepada kakakku, Judith Kuegler Webster, yang datang jauh-jauh dari Amerika dalam keadaan hamil untuk membantuku menulis buku ini.
Dan yang terakhir, aku ingin berterima kasih kepada para pembaca. Aku berharap buku ini dapat sedikit memperkaya hidup dan menambah wawasan Anda mengenai dunia yang berbeda.
Malaikat Dan Iblis 11 Joko Sableng Malaikat Penggali Kubur Pengelana Rimba Persilatan 4
^