Pencarian

Antara Dua Hati 1

Merivale Mall 08 Antara Dua Hati Bagian 1


Satu "Selamat datang di Tio's Tacos. Mau pesan apa?" tanya Lori
Randall. Hari Senin malam itu, suasana di Merivale Mall penuh sesak.
Antrian di Tio's, di mana Lori Randall, gadis berusia enam belas tahun
itu bekerja, tampak panjang. Gadis itu tersenyum sabar saat keluarga
yang berada di depannya memperhatikan menu yang tergantung di
atas. Tampaknya mereka memerlukan waktu cukup lama untuk
memesan makanan. Lori melemparkan pandangan sekilas ke toko elektronik Hobart
yang terletak di seberang. Di depan toko itu tampak pacarnya, Nick
Hobart, sedang memindahkan kotak-kotak dari kereta dorong.
Pada saat yang sama Nick mendongakkan kepalanya dan
menatap Lori. Lori melemparkan senyum manisnya. Jantungnya
berdebar-debar. Nick kelihatan keren banget!
Mata biru Nick berbinar-binar saat cowok itu membalas
senyumnya. Ia menggerak-gerakkan tangannya membuat tanda: "Kauaku-ketemu pulang kerja nanti?"
"Ya!" balas Lori sambil menganggukkan kepalanya dari jauh.
Nick menunjuk jam tangannya, mengacungkan kesembilan
jarinya ? pertanda jam sembilan ? lalu mengedipkan matanya.
Dada Lori bergetar, suatu perasaan hangat menjalari tubuhnya.
Nick benar-benar hebat ? dia cowok paling oke yang menjadi idaman
setiap gadis. Dia begitu baik, bijaksana, dan enak untuk diajak bicara.
Telah beberapa bulan ini mereka pacaran, dan Lori tak ingin semua ini
berakhir. Setiap saat bersama Nick membuatnya seolah bermimpi.
Namun ada juga sedikit ganjalan dalam hubungan mereka. Nick
bersekolah di Akademi Atwood yang bergengsi, sementara Lori
bersekolah di SMA Negeri Merivale. Menurut tradisi Merivale, anakanak dari sekolah negeri takkan pernah berkencan dengan anak-anak
Atwood. Tetapi Lori dan Nick telah mematahkan tradisi itu. Mulamula memang sulit, namun kini semua orang telah dapat menerima
keadaan itu dengan tenang. Begitu tenangnya sehingga Lori tak sabar
lagi menunggu hingga jam sembilan.
Suara lelaki di meja kasir membuyarkan lamunan Lori. "Uh?
kami mau pesan dua chicken burrito, dua beef taco, dua kopi, yang
satu kental, yang satu lagi pakai krim tanpa gula, dan dua susu."
"Mau dimakan di sini atau dibawa pulang?"
"Dimakan di sini."
Dengan sigap Lori memasukkan pesanan itu ke dalam wadah
plastik yang tersedia di depannya, lalu menyodorkan kedua nampan
berisi makanan itu ke meja kasir dan buru-buru membuat bonnya.
Saat ia menyiapkan kopi yang dipesan, Lori melihat Teresa
Woods dan Heather Barron berada di ujung antrian di depannya. Apa
yang mereka lakukan di Tio's? Dua cewek terkaya di Merivale, Teresa
dan Heather menganggap restoran fastfood macam Tio's norak.
Restoran kelas atas, macam L'Argent-lah yang lebih cocok bagi
mereka. Wah, ada apa nih, pikir Lori. Pasti mereka merencanakan
sesuatu. Kedua gadis itu terkenal sebagai cewek culas yang suka
mempermainkan orang lain, bahkan juga teman-teman mereka sendiri,
seperti Danielle Sharp, sepupu Lori.
"Selamat datang di Tio's Tacos. Mau pesan apa?"
Saat Lori menunggu pesanan wanita yang berada di urutan
berikutnya, rasa ingin tahunya makin membesar. Teresa dan Heather
semakin mendekat. Mereka melihat-lihat menu dengan sikap angkuh.
Ya, pasti ada yang mereka rencanakan, terka Lori lagi. Tetapi apa?
Akhirnya kedua cewek Atwood itu telah berada di urutan
ketiga, dan berdiri tak jauh dari Lori. Dari jarak itu, Lori harus
mengakui bahwa Teresa benar-benar cantik. Tak seorang cowok pun
dapat menolak tatapan mata lebar Teresa yang berwarna cokelat,
rambut cokelatnya yang berkilau serta sedikit bintik-bintik yang ada di
pucuk hidungnya yang mancung. Heather pun tampak menawan?dan
keren. Rambut panjangnya yang hitam mengkilat, kedua matanya
yang biru, dan kulitnya yang putih mulus membuatnya benar-benar
menarik. Lori mengagumi wajah Heather. Kalau saja dia mau, Heather
bisa menjadi model iklan. Orang-orang pun sering mengatakan hal
yang sama tentang Lori. Namun dengan tubuhnya yang langsing, mata
biru dan rambut pirang Lori tidak pernah merasa dirinya istimewa.
Sedangkan Heather tampak menawan dan terawat. Lagipula ia pun
kelihatan sombong dan angkuh, persis seperti model majalah Vogue.
Kedua cewek Atwood itu semakin mendekat. Seperti pemain
sandiwara Teresa menoleh ke arah Heather.
"Eh sudah tahu belum, Vicki Keller kan mau kembali ke
Atwood?" tanyanya cukup keras sehingga Lori dapat mendengarnya.
Heather memasang wajah seolah-olah terkejut, "Belum tuh!
Kau serius?" "Yap!" ujar Teresa. "Aku melihatnya keluar dari kantor tata
usaha. Katanya sih ayahnya dipindahkan kembali ke Merivale dari
Roma, dan dia mulai sekolah besok."
Vicki Keller? Lori mendengarkan dengan penasaran sambil
menuangkan krim asam ke dalam gmcamole tostada. Ia tak kenal
nama itu. Muslihat apa lagi yang mereka rencanakan?
"Wow. Vicki kembali ke Atwood!" pekik Heather. "Pasti akan
jadi kejutan buat beberapa orang!"
"Pasti dong." "Eh, ngomong-ngomong"?Heather merendahkan suaranya
sambil berbisik-bisik ? "Kau pikir bekas pacarnya mau kembali
nggak ya, sama dia?"
Teresa tertawa cekikikan. "Gila! Mereka kan dulunya pasangan
paling oke. Malahan waktu Vicki pergi, cowoknya patah hati banget."
"Pokoknya mereka pasangan yang serasi banget deh."
"Dua-duanya oke. Keren?"
"Ingat nggak, cara mereka saling berpandangan!" tambah
Heather. Teresa memekik genit. Lori berusaha mengabaikan kedua cewek itu, meskipun sulit.
Kini mereka berada di urutan kedua, dan Lori tahu kedua orang itu
berusaha agar setiap kata mereka terdengar olehnya. Ia mengisi gelas
soda dengan es. Mesin penuang soda mendesis. Kedua gadis Atwood
itu mengeraskan suara mereka.
"Nah, seandainya Vicki dan cowok itu, kamu tahu kan siapa,
rujuk kembali, bagaimana nasib ceweknya yang baru?" tanya Heather.
"Cewek Merivale High itu? Wah, nggak tahu deh," ujar Teresa.
"Katanya sih, si cowok tergila-gila sama cewek itu."
"Kok bisa begitu ya? Maksudku, dia kerja di restoran fastfood,
kan?" "Katanya sih, begitu. Nggak tahu deh yang mana."
Gelas yang sedang diisi dengan root beer oleh Lori tiba-tiba
meluap. Kini ia tahu siapa yang dimaksud oleh kedua cewek itu.
Hanya ada satu cewek yang selain bersekolah di Merivale High, juga
bekerja di restoran fast food, serta punya pacar yang bersekolah di
Akademi Atwood?dan kedua cewek itu pun tahu. Itu kan aku!
jeritnya dalam hati. Tetapi apakah omongan mereka itu benar? Betulkah bekas
cewek Nick kembali lagi ke Merivale, atau apakah Teresa dan Heather
cuma ingin membuatnya panas?
Cepat-cepat Lori menyiapkan pesanannya, sambil berusaha
mendengarkan sebisanya. Ia berusaha menyimak setiap kata.
"Eh, tunggu dulu," ujar Heather lagi. "Aku berani taruhan Nick
mau kembali pada Vicki, tapi apa Vicki mau kembali ke Nick?"
"Ayo, taruhan," Teresa menganggukkan kepalanya. "Vicki kan
bilang ke Ashley, dan Ashley bilang sama Wendy, yang lalu cerita ke
aku lagi, katanya sih Vicki mau banget Nick kembali lagi ke dia.
Pokoknya, dia berharap banget deh."
"Wah, bisa pecah perang dong."
"Menurutku sih, nggak akan ada persaingan."
"Memang, sih. Siapa yang bisa nandingin Vicki?"
"Nggak bakalan ada! Apa sih kurangnya dia? Tampang oke,
penampilan oke, duit juga ada."
"Ini pesanan Anda, Pak. Terima kasih, dan selamat menikmati."
Lori berusaha keras agar suaranya tidak terdengar gemetar.
Teresa dan Heather bergerak maju menuju ke meja kasir. Tibatiba, mata keduanya melebar, pura-pura terkejut. Teresa menutup
mulut dengan tangannya, sementara mulut Heather ternganga heran.
"Aduh, Lori Randall!" pekik Heather. "Kebetulan sekali!"
Teresa melepas tangannya dari mulut. "Kami baru saja ngomongin
kamu." "Mudah-mudahan saja, omongannya yang baik-baik," ujar Lori
tanpa gairah. Ia merasa lemas. Kenapa sih, mereka memilihnya
sebagai korban malam ini?
"Baik? Oh, jelas dong," jawab Teresa berbohong. "Kami baru
saja ngomong, kalau kamu beruntung bisa pacaran sama Nick
Hobart." "Ya, beruntung sekali," timpal Heather. "Aku berani taruhan,
pacaran sama Nick pasti asyik, ya?"
"Jelas," jawab Lori dengan sedih. Mereka tampaknya menyindir
dia, dan dia tak mampu menangkisnya. Tetapi apa yang dapat
dilakukannya? Bagaimana kalau cerita tentang Vicki Keller itu benar?
Teresa menatap Heather penuh arti. "Bagus, dong. Aku minta
Coca-cola." "Aku nggak usah, deh," gumam Heather.
"Heather! Katanya kamu mau pesan sesuatu!"
"Nggak jadi, deh."
"Yah..., kalau gitu, aku juga nggak jadi deh. Ayo ya, Lori," ujar
Teresa kemudian. "Ya, sampai bertemu," tambah Heather lagi. Lalu dia berkata
lagi dengan suara yang cukup keras agar terdengar Lori. "Nggak
bakalan lama lagi, deh!" Lalu keduanya menghambur keluar, sambil
tertawa-tawa. Pipi Lori terasa panas. Pikirannya berputar-putar, apakah dia
harus mempercayai mereka? Nick tak pernah cerita tentang cewek
bernama Vicki Keller. Dari dulu, sampai sekarang. Sebaliknya,
kenapa Teresa dan Heather berbuat begitu? Sadis sekali. Tetapi karena
ia dapat mengecek cerita mereka dalam sekejap, bisa jadi cerita itu
memang benar. Tiba-tiba Lori merasa seolah-olah pundaknya dibebani sekarung
pasir. Ia membungkukkan badannya ke meja kasir dengan perasaan
hampa dan depresi berat. Kenapa sih, hal ini menimpa diriku,
keluhnya. Mengapa orang-orang selalu mengusik hubungannya
dengan Nick? ********** Seusai bekerja Lori mengendarai mobil Spitfire merahnya
melewati lapangan parkir yang kosong di Burke Park. Ia mengikuti
lampu belakang mobil Chevy Nick.
Overlook berada di pinggiran kota. Dengan pemandangan yang
indah ke arah kota, tempat itu merupakan favorit para pengendara
mobil untuk menikmati pemandangan. Meskipun belum terlalu
malam, namun beberapa mobil telah berada di sana, terparkir tak
beraturan. Lori mengikuti Nick menuju tempat yang lowong, jauh dari
yang lainnya. Mobil Spitfire Lori menderu dan mesinnya mati sebelum ia
sempat mematikannya. Bagus, pikir Lori. Mesin mobil tua yang suka
mogok ini perlu ditune-up lagi. Inilah akibatnya kalau aku jatuh hati
pada mobil bekas ini. Sambil melangkah ke luar, Lori merapatkan jaketnya. Udara
malam terasa dingin saat ia berlari ke mobil Nick. Namun udara dalam
mobil Nick terasa hangat, dan lebih hangat lagi saat Lori
melingkarkan lengannya ke leher Nick lalu menciumnya dengan
lembut. Nick mengeluh senang.
"Ih, kayak macan." Lori tersenyum.
"Memang," ujar Nick. "Makanya dijinakkan, dong."
Sambil tertawa, Lori mencium Nick lagi. Perlahan-lahan namun
penuh arti. Lori merasa perutnya bergejolak. Setelah melepas
pelukannya, Lori merasa lemas, pusing dan bahagia.
"Aku cinta padamu," bisiknya, sambil meletakkan kepalanya di
bahu Nick dan menghela napas.
"Aku juga," sahut Nick.
Mereka berdiam diri beberapa saat lamanya, dan Lori merasa
tenteram. Dalam perjalanannya ke tempat itu pikirannya dipenuhi
dengan cerita Teresa dan Heather, tetapi kini ia merasa bodoh. Tak
ada yang perlu dikhawatirkannya lagi. Tak ada sama sekali.
Nick membelai rambutnya. "Gimana keadaan di Tio's malam
ini?" ebukulawas.blogspot.com
"Sibuk," jawab Lori.
"Ada yang menarik, nggak?" tanya Nick lagi.
"Yah ? Teresa Woods dan Heather Barron mampir, tapi nggak
ada masalah kok." Wajah Nick mengeras. "Teresa dan Heather? Mau apa mereka?"
"Mereka mau bikin masalah. Mereka menyebut-nyebut nama
seorang cewek bernama Vicki Keller. Katanya dia dulu bekas
pacarmu." Nick tersedak. "Itu nggak betul, kan?" tanya Lori, sambil mengangkat
kepalanya untuk menatap Nick.
Nick mengelus rambut cokelatnya dengan sebelah tangannya.
"Uh ? Lori, ada yang mesti kukatakan."
Seketika Lori merasa angin dingin menerpa tubuhnya. Dengan
gugup ia bertanya, "Apa?"
"Begini ? sejujurnya aku merasa bersalah. Maksudku,
seharusnya aku mengatakan hal ini dari dulu-dulu. Aku tak tahu
kenapa aku nggak melakukannya ?"
"Ada apa sih, Nick!" desak Lori nyaris berteriak.
Nick menundukkan kepalanya. "Lori, dulu aku pernah punya
cewek lain." Lori merasa ingin tertawa. "Itu saja? Nick, kamu ini gimana,
sih! Maksudku, hubungan kalian sudah putus, kan?"
"Oh tentu saja! Kami sudah putus kok," jawab Nick penuh
semangat. "Nah, kalau begitu apa masalahnya?"
Nick mendesah panjang. "Masalahnya, sekarang dia mau
kembali ke sini, dan aku belum mengatakannya padamu. Seharusnya
aku menceritakannya. Aku mendapat surat dari dia dua minggu yang
lalu ?" "Dia menulis surat ke kamu?"
"Ya, dan ? yah, aku lupa," ujarnya perlahan.
Lori berusaha menahan diri. Sebagian perasaannya cukup
tenang dan rasional; tetapi sebagian lagi serasa ingin menjerit: Bekas
Pacar! Awas! Ia mencengkeram tempat duduknya sampai jari-jarinya
memutih. Sebelum ia dapat menahan diri, Lori berkata dengan gusar,
"Nick, kok kamu nggak cerita sih! Apalagi kalau dia mau kembali ke
sini?" Tenang, Lori pikirnya. Ia berusaha menahan amarahnya.
Nick mengerutkan keningnya. "Maaf ya, tapi itu nggak terlalu
penting, kan?" "Tentu saja penting," sahut Lori keras. "Coba kalau kamu nggak
cerita padaku, lalu cewek itu datang ke mall memperkenalkan dirinya
padaku. Aku kan malu?"
"Yah, aku mengerti," Nick mengaku. "Maaf ya, seharusnya aku
menceritakannya padamu."
"Nggak apa-apa, kok."


Merivale Mall 08 Antara Dua Hati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selama beberapa saat, tak seorang pun berbicara. Lori masih
merasa agak marah, meskipun ia tahu alasannya tak tepat. Nick
membungkukkan tubuhnya ke depan dan membelai pipi Lori dengan
ujung jarinya. "Lori, aku benar-benar minta maaf. Kaulah satu-satunya gadis
yang kusayangi," ujarnya dengan lembut. Matanya tampak penuh
perhatian. "Aku tahu." Lori memegang tangan Nick, lalu menghela napas
yang ditahannya sejak tadi. "Jadi, bagaimana kalau kita lupakan saja?"
"Ide yang bagus."
Lori berusaha mencari topik yang lain, tetapi pikirannya terasa
kosong. Akhirnya ia berseru," Jadi ? uh ? ceritakan dong soal
Vicki." "Apa sih, yang ingin kamu ketahui?" tanya Nick.
"Kamu senang nggak, dia kembali ke sini?"
Nick melempar pandangannya ke luar jendela, sembari
menghela napas. "Kurasa..., yah, kurasa mestinya begitu."
"Jadi, kamu suka ya?"
"Mmmm, jelas. Tentu aku suka," ujar Nick, sambil perlahanlahan berpaling ke depan lagi. "Vicki lebih suka di sini. Katanya dia
nggak suka tinggal di Roma."
Amarah Lori bangkit kembali. "Nick... apa itu berarti kamu
sudah bertemu dia lagi?"
Nick mengangguk. "Ya, hari ini. Memangnya aku belum
cerita?" Tenang, Lori! Lori mengingatkan dirinya sendiri. Jangan
terbawa emosi! "Belum, tuh. Kamu belum cerita apa-apa. Tapi nggak apa, kok,"
tambahnya cepat untuk meyakinkan Nick. Ia tak ingin memojokkan
Nick. "Ngomong-ngomong, berapa lama Vicki tinggal di Roma?"
"Setahun," jawab Nick.
Tiba-tiba sebuah pertanyaan melintas dalam pikirannya: Berapa
lama waktu yang kamu butuhkan untuk dapat melupakan cinta
lamamu itu? Tangannya terasa gemetar.
Kini Lori yang memalingkan mukanya ke luar jendela, berusaha
keras menahan amarahnya. Kalau sampai dia tidak tahu semua
kisahnya ? sekarang juga ? pasti dia takkan bisa tidur malam ini.
"Nick," ujarnya, "katakan dengan jujur, apa benar hubungan
kalian benar-benar sudah putus?"
Nick tampak terperanjat. "Hah? Kenapa kau tanyakan itu?"
Lori menggigit bibirnya. Kenapa ia mencoba membuat
masalah? "Aku tak tahu. Cuma ingin tahu saja," ujarnya. "Coba jawab ?
kau putus dengannya sebelum dia pergi ke Roma, kan?"
Katakan ya, doa Lori. Katakan kau putus dengannya sebelum
dia pergi! "Soal itu? Oh jelas." Nick duduk dengan santai dan meraih
tangan Lori. "Lori, jangan khawatir soal itu."
Lori berusaha untuk tenang juga. Namun ia tak bisa. Ada
pertanyaan lain yang masih mengganjal dalam pikirannya.
Lori, kau masih penasaran juga, batin Lori. "Nick katakan
padaku lagi." Tanpa sadar Lori memainkan jari-jarinya. "Kenapa
kamu putus dengan Vicki? Apa karena dia pergi ke Roma?"
Nick menggelengkan kepalanya. "Kami punya masalah,"
jelasnya. "Masalah?" "Lori...." "Maaf. Aku cerewet, ya. Lupakan saja deh, apa yang
kukatakan." Mereka duduk berdiam diri. Di langit, bulan bersembunyi di
balik awan. Satu-satunya suara hanya suara detikan jam di dashboard
mobil. Lori terbatuk-batuk. Mengapa dia merasa begitu tegang dan
khawatir? Nick telah menjawab semua pertanyaannya. Apa itu masih
belum cukup? Apa lagi yang diingininya?
Tiba-tiba Nick berkata, "Eh, dengar ? ada beberapa pe-er yang
mesti kukerjakan." "Kau mau pulang?" tanya Lori, tiba-tiba ia merasa sakit hati.
Padahal mereka sedang asyik berdua!
"Kalau kau tak keberatan."
"Oh, nggak apa-apa kok," jawab Lori berbohong.
Tetapi sebenarnya Lori tidak ikhlas. Ia ingin Nick memeluknya,
menciumnya, dan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja.
"Trims atas pengertianmu," ujar Nick. "Kamu benar-benar
istimewa, Lor." Ia mencium pipi Lori dengan lembut.
Lori ingin berteriak, tetapi ditahannya. Pe-er sih pe-er, katanya
dalam hati. Lagi pula dia sendiri ada kuis yang mesti dipelajarinya
juga. Meskipun ia telah mempelajarinya, namun mengulangnya
sedikit toh tidak merugikan.
Tiba-tiba, tanpa disadarinya, Lori melingkarkan tangannya ke
leher Nick dan menciumnya.
Dengan terkejut Nick menjauhkan dirinya, namun kemudian ia
balas mencium Lori. Tangannya melingkar di punggung Lori.
Saat Lori menarik dirinya, emosinya meluap. Dengan suara
gemetar ia berkata, "Nick, apa pun yang terjadi, asal kamu tahu saja
? aku mencintaimu. Selamanya."
"Aku juga," balas Nick.
Selamanya? pikir Lori heran.
Pertanyaan itu masih bergaung di telinganya beberapa menit
kemudian waktu ia mengendarai Spitfirenya menuju Burke Park.
Selamanya? Selamanya? Kenapa ia tadi tidak menanyakan hal itu
pada Nick? Mungkin ia takut mendengar jawabannya.
Dua Dengan memutar kemudi, Danielle mengarahkan BMW
putihnya menuju tempat kosong di lapangan parkir Merivale Mall.
Ia merasa begitu nyaman. Hidup ini begitu indah, pikirnya,
sambil mematikan mesin mobilnya. Segala sesuatu tampaknya
berjalan sesuai dengan yang diharapkannya. Pelajaran sekolahnya
lancar-lancar saja. Orangtuanya tidak bertengkar. Dan yang paling
asyik, dia berkencan dengan cowok paling seksi dan oke di Merivale:
Don James. Bahkan tempat parkirnya pun fantastis ? tepat di samping
pintu masuk ke mall! Sambil menarik napas, Danielle menaikkan pelindung sinar
matahari di mobilnya dan menatap bayangannya di kaca spion mobil.
Tak buruk. Rambut merahnya yang panjang indah tampak keren
dengan model kepang di belakang. Seperti biasa, kulitnya kelihatan
mulus tanpa adanya bintik-bintik?bahkan sebutir jerawat pun tak
ada. Matanya yang hijau besar berkilauan.
Beginikah rupa seorang gadis yang sedang jatuh cinta? pikirnya
dengan tersenyum malu. Keluar dari mobilnya, Danielle mengunci pintu mobil dan
menatap bayangan tubuhnya di kaca jendela. Bajunya tampak oke
juga: stocking hitam, rok kulit mini yang ketat, T-shirt putih dan jaket
kulit longgar dengan lengan tergulung.
Berani, tetapi masih cukup sopan. Cocok untuk menggoda Don.
Dengan mantap ia menyampirkan tas di bahunya lalu
melangkah masuk ke dalam.
Mall itu tampak penuh. Anak-anak SMP berjalan bergerombol.
Ibu-ibu hilir-mudik mendorong kereta belanja yang penuh barang
belanjaan. Danielle berjalan melewati deretan restoran fast food,
termasuk salah satu di mana sepupunya, Lori, bekerja. Di depannya
tampak Video Arcade, dan di dalam toko itu dilihatnya Don sedang
bermain Alien Destroyers.
Tiba-tiba Danielle berhenti. Jantungnya mulai berdebar-debar
dan telapak tangannya terasa basah. Danielle menelan ludahnya.
Mengapa dia begitu gugup? Bukankah dia tak perlu menyembunyikan
perasaannya lagi terhadap Don? Don James adalah pahlawan kota.
Bahkan teman-temannya di Atwood telah dapat menerima cowok itu.
Dia dan Don adalah pasangan paling ngetop sekarang ini, dan
disegani. Membuat para remaja Merivale iri, betul kan?
Betul. Setelah mengibaskan tangannya dua kali, Danielle berjalan
menghampiri Don. Ada sesuatu dalam diri Don, yang membuat
Danielle berdebar-debar. Mungkin karena mata gipsi-nya yang hitam
dan rambut hitamnya yang mengkilap. Mungkin juga karena sikapnya
yang cuek, penampilannya yang enak, atau rasa humornya. Mungkin
juga karena teman-temannya, segerombolan pengendara sepeda motor
yang tinggal di pinggiran kota. Tetapi ada satu hal yang pasti buat
Danielle: Don James seribu kali lebih oke daripada cowok-cowok lain
di Merivale. Danielle menghampiri cowok itu. "Hai."
Don menengadahkan kepalanya dan perlahan-lahan bibirnya
menyunggingkan senyuman, menghias wajahnya yang keras. Dalam
dua detik saja Don mampu meluluhkan hati Danielle.
"Hai," sapa Don ceria. Tampaknya ia tidak terkejut melihat
Danielle. "Apa kabar?" tanya Danielle lagi.
"Oke. Malah lebih baik."
Danielle menyukai cara cowok itu berbicara dengan manis, dan
cuek seperti itu. Ia menarik napas lebih dalam lagi dan menatap ke
layar game. "Galaxynya selamat?" ia bertanya.
"Belum, lihat saja deh. Nggak lama lagi kok...."
Setelah menarik tongkat permainan beberapa kali dan menekan
tombol tembakan, Don berhasil menyapu bersih satu skuadron kapalkapal penyerang makhluk angkasa luar. Lalu ia melepaskan peluru
kendali ke layar. Kapal induk makhluk angkasa luar itu hancur
tertembak, dan layar kembali jernih,
"Berhasil," ujarnya sambil menyandarkan tubuhnya dan
menatap Danielle. Tinggi Don kira-kira enam kaki lebih. Hari itu,
seperti biasanya, dia menggenakan celana jins belel dan T-shirt hitam
yang menempel ketat di dadanya yang bidang.
"Kenapa kemari?" tanya Don seraya melipat tangannya dan
tersenyum. "Ada obral ya, di Facades?"
"Bukan," bantah Danielle. "Asal tahu saja, yang kupikirkan
bukan cuma belanja melulu."
"Iya sih, cuma biasanya kan begitu."
Danielle meninju lengan Don perlahan. "Itu sih nggak betul.
Kamu tahu kan?" Don tersenyum. "Ya deh, Red."
"Red" adalah panggilan istimewa Don untuknya. Cowok itu
satu-satunya orang, selain ayahnya yang suka menggodanya dan
membuatnya merasa terlambung.
"Sebenarnya," ujar Danielle, sambil mencondongkan badannya
ke arah Don, "aku cuma mampir untuk menanyakan, apa rencana kita
malam ini." Don menaikkan sebelah alis matanya dan melirik Danielle
dengan mata hitamnya yang disipitkan. "Oh ya? Memangnya kita ada
janji malam ini?" ia bertanya.
"Ya nggak sih. Kita kan belum punya rencana apa-apa malam
ini. Apa kau nggak ingin melakukan sesuatu?" tanya Danielle dengan
manja. Don mengerutkan keningnya sesaat, lalu ia menganggukangguk, seolah-olah baru saja mengambil suatu keputusan.
Danielle menatap dengan gelisah. Ia tak pernah tahu apa yang
diharapkannya dari Don, dan ia lebih suka kalau ia yang membuat
keputusan. "Sebenarnya Red, aku sudah punya rencana," ujar Don
akhirnya. Danielle mengerutkan keningnya. Kenapa sih cowok ini sulit
ditebak? "Rencana apa sih?"
"Rencana biasa saja."
"Apa maksudmu?" desak Danielle lagi. "Don James, jangan
main rahasia-rahasiaan deh. Aku punya hak untuk tahu!"
"Hei, kok bisa bilang begitu?" tanya Don dengan lembut.
"Karena kita kan sudah sering pergi bareng. Makanya aku juga
punya hak." "Oh, begitu ya? Kita baru kencan beberapa kali dan kita jadi
langsung terikat," tebak Don.
Emosi Danielle meluap. "Kencan beberapa kali! Enak saja,
nyatanya Don, kita kan sudah sering pergi berdua saja," balasnya.
"Dan kencan khusus. Itu berarti nggak ada rahasia-rahasiaan lagi di
antara kita." Don menatap langit-langit. "Kencan khusus?" gumamnya. "Aku
nggak ingat tuh, kalau ada janji apa-apa denganmu."
Nah itu dia, makanya cowok ini sulit ditebak! Danielle hampir
tak percaya. Terpana, ia mencoba melihat kemungkinan yang ada.
Apa Don tak mau kencan lagi dengannya?
Atau apakah sudah ada orang lain lagi?
Memang, mereka belum pernah membicarakan soal pacaran.
Belum secara serius. Danielle tak mengira bahwa hal itu penting. Lagi
pula, toh mereka saling cocok. Don menyukainya sejak kelas enam,
dan Danielle?yah, dia makin lama makin menyukai cowok itu.
Tetapi setelah ia suka pada Don, kenapa cowok itu justru
mengelak? "Don," tanya Danielle berusaha agar suaranya terdengar jernih.
"Kamu mau mempermainkan aku ya?"
Don menggelengkan kepalanya. "Aku sih mau saja pergi
denganmu. Tapi jangan malam ini."
"Ada cewek lain ya?" desak Danielle lagi.
"Ya," ujar Don sambil nyengir. "Namanya Pe-er. Sudah kenal
belum?" "Oh," kata Danielle, "aku kira aku mengerti."
Sebenarnya Danielle tak bisa mengerti sepenuhnya. Bukankah
Don belajar teknik mesin di Marivale High? Pe-er apa yang harus
dikerjakannya? Membetulkan karburator? Atau mengganti oli?
"Trims," ujar Don dengan santai, lalu ia meletakkan tangannya
di bahu Danielle. "Ada ulangan sejarah yang sulit sekali. Jadi aku
mesti belajar semalaman."
Menyadari bahwa Don telah memenangkan permainan,
Danielle mengalihkan pokok pembicaraan. "Jadi apa rencana kita
untuk besok malam?" tanyanya ceria. "Nonton film?"
Don tertawa. "Kau nggak pernah nyerah ya, Red? Kenapa sih
terburu-buru? Kenapa nggak nunggu sampai besok saja?"
Danielle tak ingin menunggu lagi. Tidak punya cowok berarti
bencana. Dan kini, setelah dia punya cowok yang oke banget, dia
harus menunjukkannya pada semua orang.
Mereka harus membuat rencana! pikir Danielle. Menunggu
sampai datangnya nasib baik bisa berarti bencana.
Kesal karena Don tampak acuh tak acuh, Danielle
menambahkan, "Kamu tahu nggak..., kupikir kamu nggak ngerti
gimana caranya membina hubungan."
Mata Don yang pekat tampak dingin. "Red, kayaknya kamu
kebanyakan baca majalah deh," katanya.
"Oh ya?" pancing Danielle lagi. Dia tahu Don sudah mulai
kesal, tapi dia pun menginginkan jawaban.
"Yah. Lihat saja. Kau dan aku kan orang yang sangat berbeda,"
jawab Don.. "Dan aku nggak yakin kalau kita siap membina hubungan
yang lebih serius." "Nggak siap?" Danielle merasa darahnya mendidih. Nggak
siap? Sudah begitu lama ia mengharapkan cowok itu! Berapa lama
lagi dia harus menunggu? Benar-benar bodoh. Don sama sekali nggak


Merivale Mall 08 Antara Dua Hati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adil. "Oh, kalau begitu pendapatmu, lupakan saja deh!" ujarnya
dengan marah. "Sampai ketemu lagi.... setelah tahun dua ribu!"
Danielle membalikkan badannya dan melangkah pergi, namun
Don buru-buru menangkap lengannya.
"Santai Red. Kamu makan apa sih hari ini?"
"Oh nggak apa-apa. Hanya saja, kalau cowok kencan sama
cewek, dia harus meluangkan waktunya untuk si cewek itu,"
sindirnya. "Siapa bilang aku nggak?" Don balas bertanya.
"Kamu! Kamu selalu nolak semua rencana," sembur Danielle.
"Aku cuma nggak mau terlalu cepat, Dan," sergah Don
perlahan. "Cepat, lambat?apa bedanya? Bilang saja kamu nggak suka
sama aku lagi," balas Danielle lagi sambil mundur selangkah sehingga
tangan Don terkulai di sisinya.
Don menghela napas panjang. "Tingkahmu aneh sekali hari ini,
Red." Saat itu juga suatu ide tiba-tiba muncul dalam pikiran Danielle.
Dia tahu bagaimana caranya menyadarkan cowok itu! Mudah?dan
sederhana. Yang mesti dilakukannya hanyalah.
Danielle menyandarkan tubuhnya ke mesin mainan yang lain. Ia
menyilangkan tangannya dan menatap mata Don. "Oke, Don,"
ujarnya, "kalau kamu maunya pelan-pelan, nggak masalah. Aku sih
bisa saja menunggu. Tapi jangan suruh aku menunggu terlalu lama."
"Ini ancaman, Red?" Don meringis lalu melipat tangannya.
Mereka seperti dua orang yang bertolak belakang. "Mungkin kau perlu
latihan lebih banyak. Matamu memang bagus, deh."
"Ini bukan ancaman, tapi asal tahu saja," ujar Danielle,
mengabaikan pujian Don. "Kalau kamu nggak serius, aku akan dekat
dengan orang lain. Gimana?"
Mata Don menyipit. "Boleh saja, tapi kau tak dapat menipuku,
Red. Nggak ada cowok yang mau jadi 'ban serep'. Betul, nggak?"
Danielle menyeringai. "Jangan main-main. Bisa jadi cowok itu
sudah pernah ngajak aku. Tinggal menunggu jawabanku saja!"
Wajah Don mengeras. "Saingan, heh?" Ia menatap mata
Danielle dengan tajam. "Oke," ucapnya pada akhirnya, "nah, katakan
siapa namanya?" "Idih, apa urusanmu? Kan kamu yang maunya pelaaaan, ingat
nggak?" Sengaja ia memberi tekanan pada kata itu. "Maaf, aku ada
urusan. Sampai ketemu lagi kapan-kapan."
Dengan cepat Danielle membalikkan badannya dan berjalan ke
luar, menuju eskalator. Tak sulit baginya untuk sedikit berbohong.
Kini Don James boleh menebak-nebak: Apakah dia serius? Apakah
cowok itu merasa kehilangan kesempatan emas?
Dengan faktor keberuntungan?dan sedikit usaha tambahan?
tak lama lagi Don James pasti akan bertekuk lutut di kakinya.
************ "Apa yang kau katakan padanya?" tanya Heather Barron
terkejut. Teresa Woods mengejek, "Wah, bohong nih ye!"
Danielle mendengus. "Makasih deh. Aku cerita pada kalian
bukan untuk ditertawakan, tapi karena aku butuh bantuan kalian."
"Maaf deh," gumam Heather tanpa perasaan bersalah.
"Ya, maaf," tambah Teresa. "Tapi asal kau tahu saja, bilang
pada Don bahwa ada cowok lain yang suka padamu itu bahaya lho."
Danielle tak sependapat. Toh ada cowok lain yang ingin kencan
dengannya?atau akan ada, segera setelah ia memutuskan calon yang
tepat. Danielle membalikkan badannya, lalu berjalan mengitari rak
samping, dan mengambil sebuah rok. Saat itu ketiganya sedang
berbelanja di Facades, butik paling eksklusif di mall itu. Teresa dan
Heather mengikuti Danielle berjalan di antara deretan rak.
"Kamu yakin Don bakalan cemburu?" tanya Teresa.
"Memang dia cemburu," ujar Danielle mantap seraya
membalikkan label harganya. "Aku cuma ingin agar dia melihatku
pergi dengan cowok lainnya. Makanya aku minta tolong pada kalian
berdua untuk membantuku memilih cowok yang cocok. Pokoknya
cowok itu mesti yang oke deh."
Danielle yakin bahwa teman-temannya pasti berminat untuk
membantunya. Kedua sobatnya itu memang suka mempermainkan
orang. Danielle benar. Teresa menepiskan poninya yang berwarna
cokelat. "Ini baru asyiiik! Tapi Danielle, kau juga mesti mikir tentang
kemungkinan lain, dong."
Danielle mengangguk. "Yah gimana kalau Greg Gilbert?"
"Ngaco," ujar Heather sambil memilih-milih blus-blus yang
berada di rak dekatnya. "Eh, kamu belum tahu ya. Dia kan sudah
resmi pacaran sama Georgia Ross."
"Hmmm." Danielle merasa kecewa. "Gimana kalau Tim
Wyler?" "Kamu gimana sih, Dan!" pekik Teresa. "Akhir-akhir ini dia
kan sudah mantap sama Sasha Blake!"
Danielle mulai merasa bingung. Ia tak mengira rencananya
takkan berjalan begitu mulus. Kok, bisa-bisanya Heather dan Teresa
tahu semua gosip? Kok nggak ada lagi yang menyampaikan semua
informasi terakhir itu padanya?
"Oke deh, gimana kalau Ben Frye?" tanyanya jengkel.
Teresa mengertakkan giginya. "Jangan coba-coba ya, kalau kau
nggak mau berhadapan dengan aku." Sudah lama memang Teresa
naksir Ben. Ia menoleh pada Heather, sambil meledek, "Kalau Rob
Matthew gimana?" "Hati-hati deh, kamu," ujar Heather dengan suara sedingin es.
Rob adalah pujaan hati Heather, dan Danielle tak mengerti
kenapa. Cowok itu begitu loyo, seakan-akan tak punya semangat
hidup. "Cuma bercanda kok." Danielle melempar senyumnya. "Jangan
kuatir, aku bakalan jaga jarak dengan kedua orang itu. Santai sajalah."
Beberapa menit kemudian ketiganya sibuk meneliti daftar
cowok-cowok keren di Atwood. Benar-benar tugas yang melelahkan.
Tak ada calon yang oke. Yang tersisa hanyalah beberapa anak yang
kalau tak jelek, gendut, atau penerima beasiswa. Don pasti tahu kalau
Danielle hanya mau memanas-manasi saja.
"Tunggu dulu. Gimana kalau Pete O'Shay?" saran Teresa.
Heather tampak terkejut. "Pemain football itu? Teresa, jangan
konyol, ah. Cowok itu kan badak!"
"Memang sih. Tapi doi lumayan juga," timpal Teresa.
Kedua gadis itu memandang Danielle.
Danielle membayangkan cowok itu. Lumayan? Yah, bisa
dibilang begitu?kalau kau suka dengan raksasa. Pete lebih tinggi satu
kaki darinya. Berotot besi, berbadan kekar dan tangannya yang besar
itu sanggup meremukkan sekaleng soda semudah menghancurkan
gelas kertas. Selain itu, yang ada dalam otak cowok itu hanyalah football.
Beberapa kali Danielle berjumpa dengannya, namun apa yang
diomongkannya sama sekali nggak menarik.
Tapi itu nggak masalah kok, pikirnya kemudian. Percakapan
nggak penting. Yang diinginkannya hanyalah agar Don memergoki
mereka berdua; ia tak perlu tahu apa yang mereka bicarakan.
Danielle telah mengambil keputusan. Pete O'Shay-lah
pilihannya. Kalau Don melihatnya bergandengan tangan dengan
jagoan nomor satu di Atwood itu, dia akan percaya dengan ceritanya.
Dan kini yang mesti dilakukannya adalah menghubungi Pete....
********** Lapangan Akademi Atwood tampak terendam lumpur dan
genangan air. Hujan rintik-rintik turun sepanjang hari. Meskipun
cuaca tidak cerah, namun tim Cougars tetap berlatih di lapangan. Dari
pinggir lapangan Danielle memperhatikan dengan terkagum-kagum.
Kok bisa-bisanya mereka tahan?
Buru-buru matanya mencari Pete. Tak sulit: Pete adalah pemain
paling besar dalam tim itu. Tak lama kemudian pelatih regu
membunyikan peluit panjangnya. Latihan selesai. Sambil berseru lega,
para anggota tim berjalan menuju ruang loker?kecuali Pete. Tampak
sang pelatih memanggil Pete. Ada apa sih, pikir Danielle penasaran.
Mungkin?pelatih itu ingin memuji permainan Pete.
Sesaat kemudian pembicaraan mereka selesai. Sang pelatih
menepuk punggung Pete sambil melepas helm football-nya, Pete
berjalan menuju ruang loker. Meskipun ia melangkah dengan cepat,
namun wajah cowok itu tampak murung. Kepalanya tertunduk.
Danielle tak memperhatikan hal itu. Ia langsung saja berlari
menghampiri cowok bongsor itu.
"Hai Pete!" sapanya dengan riang sambil berlari mendekati
cowok itu. Pete menoleh dan berhenti. "Hai Danielle. Ngapain kamu di
sini?" tanyanya heran.
"Nonton latihan," jawab Danielle, berusaha agar suaranya
terdengar acuh tak acuh. "Kan nggak ada yang menarik untuk ditonton."
"Nggak juga sih, asal kita tahu saja, siapa yang kita tonton."
Pete tersenyum sedih. Ia mengusap rambut pendeknya yang
pirang. "Jangan gitu, Dan. Masa mau nonton aku saja kamu sampai
berhujan-hujanan begitu."
"Oh ya?" Danielle melemparkan senyum mautnya pada Pete.
"Jangan geer, ah."
Tidak biasa-biasanya Danielle bersikap begitu agresif,
meskipun untuk memancing cowok yang benar-benar ingin diajaknya
kencan. Tapi kali ini ia tak ingin membuang-buang waktu lagi.
Danielle telah memutuskan untuk langsung menyerang.
Pete menatap wajah cewek di depannya. Sesaat mata birunya
memancarkan pandangan sedih. Danielle merasa jantungnya
berdebar?tetapi hanya sedikit. Pete cukup lumayan, tetapi tidak
sekeren Don. Bibir Pete mulai menyunggingkan sebuah senyuman. "Kamu
lihat permainan terakhir, tadi?" tanyanya.
"Jelas dong." Danielle menganggukkan kepalanya. "Kamu
hebat deh." "Makasih." Pete mengangkat bahunya yang tertutup bantalan
besar. Tampaknya cowok itu senang dengan perhatian Danielle,
meskipun jelas bahwa ia ingin cepat-cepat bergabung dengan temanteman setimnya. "Aku mau mandi dulu. Sampai ketemu lagi ya?"
Begitu cowok itu membalikkan badannya, mata hijau Danielle
terbelalak lebar. Rasa-rasanya ia tak percaya! Pete pergi
meninggalkan cewek berambut merah dan paling keren di Merivale!
Ada yang salah. Mungkin pendekatan Danielle tidak tepat.
Bergegas Danielle berjalan menyusul cowok itu.
"Hei, jangan cepat-cepat dong! Aku mau ikut ke ruang loker.
Kalau kau tak keberatan, tentu saja."
"Terserah saja." Merasa heran dengan kegigihan Danielle, Pete
mengusap tapak tangannya yang berlumpur pada rompi olah raganya.
Setelah mendapat perhatian cowok itu, Danielle berusaha keras
memeras otaknya. Sesuatu terbersit dalam pikirannya?tentu saja
sesuatu tentangfootball! "Kau kelihatan hebat deh di lapangan," ujarnya sambil menatap
cowok itu dengan pandangan kagum. "Kau begitu?kuat! Aku berani
taruhan tak bakalan ada gelandang yang dapat merebut bola darimu!"
Jangan buang waktu lagi. Teman-temannya pasti akan tertawa
terbahak-bahak kalau mendengar kata-katanya tadi.
Pete balas menatapnya dengan pandangan bingung. "Justru
mereka mesti mengoper bolanya dariku, Dan. Kalau nggak, kita bisa
kalah." "Kalah? Kenapa?"
"Kan aku gelandangnya." jelasnya.
Danielle merasa wajahnya memerah. Aduh, kacau nih.
"Wah, bodoh sekali aku ini ya," ujarnya. Lalu ia merubah
taktik. Dengan mata lebar dan tampang lugu, Danielle bertanya, "Apa
yang akan kau lakukan setelah latihan, Pete? Mau pergi ke mall,
nggak?" Pete menggelengkan kepalanya. "Nggak, aku mau pulang saja.
Kenapa? Kau mau ikut?"
Jantung Danielle berdebar. "Mmm, karena kau bilang begitu?"
"Tanya Nick saja. Dia kan kerja di toko ayahnya setelah
sekolah." "Oh ya, mungkin aku bisa memintanya." Tak ada jawaban. Pete
telah melangkahkan kakinya, menjauh.
Ingin rasanya Danielle menjerit. Ini tidak seperti apa yang
diinginkannya. Tetapi ia belum menyerah. Mungkin lebih baik
mengatakannya secara langsung untuk kedua kalinya. Cepat-cepat
Danielle mengejar Pete hingga berada di depan cowok itu,
membalikkan badan dan berdiri di depannya. Serasa berdiri di depan
sebuah truk, batinnya. Pete berhenti dan menatapnya. Dengan
pelengkapan footballnya, Pete mirip seorang raksasa yang tampan dan
berotot. Danielle mendongakkan kepalanya dan tersenyum, sambil
menatap langsung ke mata Pete.
"Pete, aku senang deh kita punya kesempatan untuk ngobrol,"
ujar Danielle dengan lembut, seraya meletakkan tangannya di lengan
Pete. "Aku sudah lama ingin mengenalmu lebih dekat lagi."
Bagus! Sudut-sudut bibir Pete terangkat ke atas, membentuk
senyuman. "Ya? Wah... boleh-boleh saja, Dan."
"Kuharap, kita bisa?ngobrol-ngobrol lagi, kapan-kapan," rayu
Danielle. "Ya, tentu," jawab Pete. "Mungkin?kapan-kapan." Saat itu
juga Pete memandang ke kejauhan. Senyumnya memudar, dan cahaya
di matanya menyuram. Dengan tak percaya Danielle menatap cowok itu melangkah
pergi. Apa sih yang salah? Ada apa, ada apa?
"Sampai nanti Dan," ujar Pete sambil berjalan melintasi
lapangan. Terpana, Danielle memperhatikan Pete berjalan menuju pintu
ruang loker. Saat membuka pintu, Pete menunduk. Kepalanya nyaris
menyentuh bagian atas pintu.
Danielle hampir tak percaya. Ia telah melakukan semuanya
dengan baik. Semuanya! Pete sebenarnya memiliki banyak
kesempatan untuk mengajaknya keluar. Jelas cowok itu sedang
menghadapi masalah besar. Ya, masalah yang sangat besar. Hanya itu
dugaannya, kenapa Pete mampu menolak Danielle Sharp!
Danielle melangkah menuju mobilnya, memikirkan suatu jalan
keluar. Cepat atau lambat, ia pasti akan membuat cowok itu
mengajaknya kencan. Hanya tinggal masalah waktu saja.
Persoalannya adalah, dapatkah ia membujuk cowok itu mengajaknya
kencan dalam waktu dekat agar ceritanya pada Don terkesan benar?
Tiga Esok harinya Danielle berjalan tergesa-gesa menembus
dinginnya udara musim gugur menuju Perpustakaan Donnel di
Akademi Atwood. Udara terasa panas di dalam ruangan. Danielle
membuka scarf wol-nya dan melepas jaket denimnya.
Setelah membelok ke kiri, ia melewati deretan rak berisi
berbagai majalah dan koran baru. Di seberangnya ada rak berisi bukubuku. Ia mempunyai waktu luang selama satu jam, dan ia bermaksud
mencari bahan untuk membuat makalahnya. Topiknya adalah Warren
Harding, presiden Amerika Serikat yang kedua puluh sembilan. Bagi


Merivale Mall 08 Antara Dua Hati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Danielle, topik itu sungguh membosankan. Satu-satunya prestasi
Harding, menurut Danielle, adalah kematiannya di kantor.
Dalam perjalanan menuju ruang sejarah, Danielle melewati
ruang baca yang dibatasi kaca. Di dalamnya duduk Pete O'Shay,
terpaku menatap sebuah buku yang terbuka di depannya. Danielle
merasa gembira. Aha! Bagus! Dia sedang sendirian. Inilah
kesempatan yang ditunggu-tunggunya.
Ia ingin tahu masalah apa yang mengganggu cowok itu kemarin
dulu, dan kini dia mempunyai waktu satu jam penuh untuk mengorek
keterangan dari cowok itu. Dengan berbagai cara halus, mungkin ia
malahan dapat membuat Pete mengajaknya kencan!
Danielle membuka pintu. "Hai Pete, boleh gabung nggak?" tegurnya halus.
Pete mengangkat bahunya, acuh tak acuh. "Kalau kau mau."
Cowok itu duduk sambil menyangga kepala dengan tangannya
yang kekar pada meja yang besar. Sebuah buku teks terletak di
hadapannya. Matematika. Menatap deretan persamaan di buku itu,
mata birunya tampak kebingungan.
Jelas sekali, matematika bukan mata pelajaran yang disukai
cowok itu. Danielle meletakkan buku-bukunya, menaruh jaketnya di
meja lalu duduk di samping Pete.
"Pe-er, ya?" tanyanya.
"Bukan. Lagi belajar, kok. Ada tes kuis di periode depan." Ia
mendesah. "Pasti kamu bisa."
"Nggak mungkin. Ini kan aljabar, mata pelajaran yang paling
kubenci." Danielle melihat buku cowok itu. Pengantar Aljabar, buku
pelajaran untuk semester awal. Pete duduk di tingkat dua. Nggak
heran, dia kelihatan bingung. Cowok itu tertinggal dua tahun.
"Oh pantas," ujar Danielle dengan iba. "Kayaknya kau kelihatan
murung deh kemarin. Mikirin kuismu, ya?"
"Yah, begitulah."
"Matematika memang sulit. Aku tahu perasaanmu," ujar
Danielle berbohong. Sebenarnya ia menyukai matematika. Tetapi ia
tak mau berterus terang, takut kalau-kalau anak-anak akan
menjulukinya kutu buku. Hanya beberapa anak yang tahu kalau
Danielle telah mengambil pelajaran calculus tambahan di samping
aljabar II dan trig. "Aku benci matematika," gumam Pete. "Tapi bukan kuisnya
yang bikin aku sebal. Itu sih nggak apa-apa."
Danielle menunggu Pete menceritakan masalahnya. Dan terus
menunggu. Sial. Pete tampaknya terbenam dalam masalahnya.
Danielle harus memancingnya.
"Pete, kuharap aku dapat menolongmu," ujarnya sesaat
kemudian. "Tahu nggak, kadang-kadang ada baiknya menceritakan
masalahmu pada orang lain."
Sambil mengerutkan keningnya, Pete menyingkirkan pinsilnya
ke samping. "Terima kasih, tapi kayaknya membicarakannya sekarang
ini?takkan dapat membantuku."
"Oh, siapa tahu." Dengan lembut Danielle meletakkan
tangannya di lengan Pete. "Mungkin kita bisa memecahkan masalah
yang sesulit apa pun bersama-sama."
Danielle tahu bahwa ia sudah hampir berhasil. Sedikit dorongan
lagi, maka Pete akan menghamburkan isi hatinya. "Nggak tahu deh?"
ujar Pete ragu-ragu. Danielle memasang tampang penuh perhatian. Sambil menatap
mata Pete dengan tajam, ia mendesak, "Biarlah aku membantumu.
Aku ingin sekali membantumu."
Sorot mata Pete tiba-tiba berubah. Dengan suara direndahkan
cowok itu berkata, "Janji ya Dan, kau takkan menceritakannya pada
orang lain. Terutama sama anak-anak se-timku."
Ingin rasanya Danielle memekik gembira, tetapi ia berusaha
meredam perasaannya yang meluap. "Aku janji."
"Masalahnya, aku nggak lulus test," Pete mengaku sedih.
Cuma itu masalahnya? Danielle ingin tertawa, tetapi ia
menahannya. "Kamu pasti sedih ya, Pete. Apa yang bisa kubantu?"
"Bilang pada pelatihku untuk merubah pikirannya," tambah
Pete dengan sedih. "Katanya, kalau nilaiku nggak bertambah baik, aku
nggak boleh ikut latihan lagi."
"Oh ya?" Memangnya kenapa? pikir Danielle. Apa artinya
kalau Pete tak ikut satu atau dua game saja? Lalu Danielle teringat
obsesi cowok itu terhadap football. Ternyata football itu sungguhsungguh berarti baginya.
"Yah. Percaya nggak, aku telah terpilih untuk mengikuti seluruh
pertandingan selama dua tahun berturutan. Tapi dia tak peduli.
Katanya, peraturan tetap peraturan."
"Nggak adil dong!" ujar Danielle, pura-pura marah.
Dengan geram, Pete mendorong bukunya ke tengah meja. Buku
itu meluncur ke pinggir meja, dan akhirnya jatuh ke bawah.
Tampaknya cowok itu benar-benar sedih. Danielle menyadari hal itu,
ia lalu berdiri. Pas benar. Membantu Pete belajar matematika
bukanlah hal yang sulit. Dan setelah cowok itu lulus, ia pasti akan
mengajaknya keluar. Tak perlu diragukan lagi.
"Pete, aku nggak bisa membantu dengan bicara pada
pelatihmu," ujar Danielle, sambil bergerak perlahan mengitari meja.
"Tapi aku bisa membantumu memperbaiki nilaimu."
Pete menatapnya dengan saksama. "Oh ya? Bagimana?"
"Kita kerja sama."
"Maksudmu nyontek?" tanya Pete takut-takut.
"Bukan! Maksudku kita belajar. Aku akan membantumu
belajar." "Nggak usah. Aku sudah punya banyak pembimbing," ujar Pete
getir. "Tapi bukan aku, kan? Aku kan yang terbaik, percaya deh!"
Danielle terus mendesak, dan menunggu jawaban Pete. Danielle
Sharp membantu orang lain! Betapa bangganya. Dia pantas
mendapatkan medali, pikirnya. Tidak. Setelah berpikir kembali,
membayangkan wajah Don saat melihatnya bersama Pete cukup
membuatnya puas. Saat Danielle berhenti melangkah dan menatap
wajah Pete, senyuman di wajahnya pun lenyap.
Rupanya ada masalah dengan rencananya: Pete tidak
menyukainya. Cowok itu menatap Danielle seolah-olah cewek itu
telah menghinanya. Danielle membungkuk dan memungut buku Pete sambil
berpikir. "Pete, apa kata-kataku tadi menyinggung perasaanmu?"
tanyanya saat berdiri lagi.
Pete berdiri dan sambil membungkukkan tubuhnya melintangi
meja, ia merampas bukunya yang ada di tangan Danielle. "Aku nggak
butuh pembimbing." "Tapi, Pete. Aku kan cuma ingin membantu!" pekik Danielle
takut-takut. Tampaknya seakan-akan cowok itu ingin melemparkan
kursi-kursi di situ. "Lupakan saja. Aku tak perlu bantuanmu," geram Pete.
Kemudian cowok itu meraih jaket dan buku-bukunya, lalu bergegas
menghambur ke luar ruang baca.
Dengan terperanggah, Danielle menatap pintu kaca yang
menutup di belakang Pete. Apa sih salahnya? Dua kali sudah
rencananya terhadap Pete hancur berantakan.
Memalukan! Untung Teresa dan Heather nggak ada. Kedua
sobatnya itu pasti akan menertawakannya terbahak-bahak. Namun
akhirnya Danielle memutuskan untuk menceritakan juga hal itu pada
mereka. Ia perlu bantuan mereka untuk mencari tahu, apa
kesalahannya. Pete O'Shay benar-benar sebuah misteri baginya.
************ "Mungkin dia mengira kamu mengasihani dia," komentar
Heather. "Iya, cowok kan nggak suka dikasihani," Teresa menyetujui.
"Kupikir nggak begitu, deh," ujar Danielle. "Maksudku, coba
kalau kalian melihat tampangnya! Sepertinya aku mau mengajaknya
ke pesta kostum dan menyuruhnya berdandan seperti si Jempol Kecil."
Ketiga gadis itu sedang menikmati makan siang di ruang makan
besar Atwwood. Danielle telah menceritakan secara rinci semuanya
yang terjadi di perpustakaan.
Teresa menuangkan sebungkus gula ke dalam es tehnya. Ia
telah menuangkan tiga bungkus sebelumnya. "Aku tahu. Mungkin
Pete takut kalau kau lebih pandai darinya."
"Cowok-cowok biasanya nggak suka cewek lebih pintar
darinya," tambah Heather serius. "Mereka merasa terancam."
"Aneh benar," ujar Danielle. Untunglah Don tidak begitu.
Cowok itu selalu yakin pada dirinya sendiri. Danielle menyorongkan
wortel di piringnya. "Aku tahu ada cowok-cowok yang egonya
memang besar, tapi itu kan konyol."
"Memang sih. Namanya juga cowok!" ujar Heather lagi.
Danielle memikirkan kata-kata itu dengan saksama. Mungkin
itulah jawabannya. Cowok-cowok selalu merasa bertanggung jawab.
Mereka selalu mengira bahwa cewek-cewek membutuhkan
perlindungan mereka. Kalau ceweknya pintar, pasti si cowok nggak
merasa hebat lagi. Mungkin sebaiknya ia berpura-pura saja di depan Pete. Mulai
sekarang, ia memutuskan, ia takkan membiarkan Pete tahu bahwa ia
sebenarnya pintar. Ia akan berusaha membuat Pete merasa jenius.
Danielle menatap jamnya. "Uh-oh aku ada pelajaran nih."
"Sampai ketemu lagi Danielle," ujar Teresa.
Sambil meraih jaketnya, Danielle meletakkan nampannya ke
atas ban berjalan, yang kemudian meluncur sampai akhirnya lenyap di
ujung ruangan. Danielle sedang melintasi taman sekolah, saat ia mendengar
seseorang memanggilnya. "Danielle!" Gadis itu menoleh. Ternyata
Pak Quinn, guru kalkulusnya.
"Selamat siang, Pak Quinn," sapanya. Danielle berharap tak ada
yang memperhatikannya. Ia tak ingin orang-orang menyangkanya
'menjilat' guru-guru. "Untung ketemu denganmu. Dewan guru baru saja menetapkan
keputusan tahun ini."
"Keputusan apa?"
"Mengenai Medali Matematika Atwood. Kamu kan mau ikut
perlombaan itu, kan?" tanya beliau.
Danielle telah mendengar tentang medali matematika.
Penghargaan itu diberikan setiap tahun pada anak-anak yang berhasil
membuat pembuktian terbaik terhadap persamaan yang sulit. Tetapi
Danielle tidak berminat untuk mengikutinya. Bersaing bukanlah
gayanya. Apapun yang dilakukannya, ia ingin selalu menjadi yang
terbaik. Kalau ia mengikuti perlombaan, maka akan ada
kemungkinan?dengan "Yah, sebenarnya saya tak berniat untuk mendaftar," ia
mengaku. "Tapi kamu kan salah satu muridku yang terbaik," ujar Pak
Quinn, suaranya terdengar kecewa.
"Terima kasih, Pak." Danielle tersenyum. Senang rasanya
mendengar kabar itu. Tak banyak guru yang dapat mengatakan hal
seperti itu. "Tapi rasanya saya tidak akan mendaftar."
"Sayang sekali. Bapak kira kamu senang mengutak-atik
pembuktian ini." "Masa?" "Coba saja lihat."
Pak Quinn memasukkan tangannya ke dalam tasnya yang berisi
berbagai macam catatan. Sebagai seorang ahli matematika, ia tampak
tak terurus. Badannya tinggi dan kurus. Beliau selalu mengenakan
celana gombrang yang tidak cocok dengan blazernya. Danielle selalu
terheran-heran, bahwa gurunya itu begitu acuh tak acuh dengan
pakaian yang dikenakannya.
Akhirnya Pak Quinn mengeluarkan selembar formulir
pendaftaran, dan menyerahkannya pada Danielle. Danielle melihatnya
sejenak, lalu matanya melebar saat melihat soal persamaan tersebut.
Jari-jari tangan Danielle bergetar. Ya, soal itu cukup menarik. Ia
merasa tertantang. Suatu dorongan untuk memecahkan soal
matematika itu memenuhi pikirannya. Ia bisa terbenam dalam
keasyikan bila memecahkan persamaan yang sulit, seperti halnya
orang-orang yang kecanduan buku.
Danielle tersenyum. "Bapak betul. Soalnya cukup sulit."
"Tapi karena kamu nggak mau ikut, berarti hanya Freddie dan
Yukio yang akan bertarung memperebutkan medali," pancing Pak
Quinn dengan bercanda. "Keduanya pasti senang karena kamu nggak
ikut. Tahu nggak, mereka kan suka bilang bahwa cewek nggak
bakalan jadi juara di bidang matematika?"
Kedua mata Danielle menyipit. Freddie Archer dan Yukio
Yamamoto adalah dua anak terpandai dalam kelas kalkulus. Keduanya
benar-benar kutu buku. Untuk membuat jengkel Danielle, keduanya
sering mengatakan bahwa ahli matematika sepanjang sejarah selalu
lelaki. Sikap mereka yang sombong, selalu membuat Danielle gusar.
Ia tahu, ia memang belum bisa dikatakan hebat. Tapi siapa
tahu? Mungkin saja suatu hari nanti, ia akan sejajar dengan Isaac
Newton, Albert Einstein dan David Hilbert. Pasti Yukio dan Freddie
terpaksa menarik kembali ucapan mereka. Hampir saja Danielle
mengatakan bahwa ia akan mendaftar, waktu tiba-tiba bayangan Pete
melintas di benaknya. Kalau Pete tahu bahwa ia mengikuti kontes itu,
dia pasti takkan pernah mau mengajaknya keluar. Cowok itu terlalu
sombong. Apa yang harus dilakukannya?
************ Usai sekolah hari itu, Danielle mengendarai BMW-nya di
jalanan yang diteduhi pepohonan menuju ke rumahnya. Seperti
kebanyakan rumah di Wood Hollow Hills, kediaman keluarga Sharp
tak terlihat dari pinggir jalan. Hidup tenang tanpa gangguan adalah
penting bagi kaum elit di Merivale.
Setelah membelokkan mobilnya, barulah rumah itu kelihatan.
Besar dan modern. Rumah itu terdiri dari tiga lantai, berlapiskan kayu
berwarna terang dan alamiah serta jendela-jendela dan lubang angin
besar. Danielle menyukai rumah itu, namun kendati udaranya terasa
segar, terkadang rumah itu terasa bagaikan penjara. Hubungan kedua
orangtuanya tidak begitu mulus. Setiap kali mereka ribut, ingin
rasanya Danielle menyingkir keluar dari rumahnya itu.
Batu-batu kerikil menimbulkan bunyi gemerisik saat terlindas
ban mobil Danielle yang kemudian berhenti di pintu depan. Ia
mematikan mesin mobilnya dan melihat selembar kertas tergeletak di
jok mobilnya. Itu adalah formulir pendaftaran perlombaan. Ia tidak
mengatakan pada Pak Quinn bahwa ia berminat mendaftar, tetapi ia
pun tidak mengatakan bahwa ia tidak akan mengikuti perlombaan itu.
Setelah mengambil kertas itu, Danielle mengumpulkan bukubukunya dari kursi belakang, lalu bergegas ke dalam.
Sesaat kemudian, setelah mengganti pakaiannya dengan celana
jeans dan sweater, gadis itu duduk di atas sofa yang lembut dan
rendah dalam ruang tamu yang berlangit-langit tinggi.
Formulir itu ada dalam tangannya. Ia mempelajari persamaan
itu selama beberapa menit, lalu melemparkan pandangannya ke luar
jendela. Di halaman luar terdapat kebun yang bertingkat, kolam
renang?yang kini ditutupi dengan terpal untuk menghadapi musim
dingin?dan lapangan tenis yang kosong melompong. Pepohonan di
hutan tampak kering tak berdaun. Suasana kelihatannya tenang,
namun juga agak tandus dan terlantar.
Apa yang akan dilakukan Lori, sepupunya, kalau dia dalam


Merivale Mall 08 Antara Dua Hati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

situasi seperti ini, pikir Danielle. Hal yang bijak tentu?tapi apa?
Kalau ia mengikuti perlombaan itu, pasti ia akan dapat unjuk gigi pada
Yukio dan Freddie. Tetapi itu berarti ia akan kehilangan kesempatan
untuk mendekati Pete. Belum lagi teman-temannya yang lain.
Kalau rencananya dengan Pete gagal, maka ia takkan dapat
membuat Don cemburu! Ia tentu tak mau hal itu terjadi. Don sangat
berarti baginya, meskipun kali ini ia ingin memberi pelajaran pada
cowok itu. Kenapa hidup ini begitu berbelit-belit?
"Hai pemimpi." Danielle merasakan ciuman mendarat di atas
kepalanya. Itu adalah ayahnya.
"Hai, Yah. Sudah pulang ya," balasnya, sambil memutar
kepalanya menghadap ayahnya. "Ibu belum pulang."
"Ya, Ayah tahu. Hei, kenapa diam saja? Terlalu banyak
masalah, ya?" "Nggak juga, cuma soal matematika."
Ayahnya tertawa kecil. Suaranya terdengar hangat dan santai?
jarang-jarang ayahnya bersikap demikian. Tak diragukan lagi,
sikapnya akan berubah, begitu ibunya tiba di rumah. Pernikahan
mereka bagaikan telur di atas tanduk.
Senang melihat suasana hati ayahnya lagi cerah, Danielle
menyodorkan formulir yang dipegangnya.
Mike Sharp menggeleng-gelengkan kepalanya dengan takjub.
"Waw! Persamaan ini membuat kepalaku pusing! Bagaimana
mungkin aku mempunyai anak sehebat Euclid?"
Danielle merasa terlambung. Ia selalu senang mendapat pujian
dari ayahnya. Sayangnya beliau terkadang terlalu sibuk untuk
memperhatikannya. "Kapan pendaftaran ditutup?" tanya ayahnya.
Danielle mengangkat bahu. "Senin. Tapi aku nggak yakin mau
ikut atau nggak." "Jangan main-main! Isaac Newton dari Wood Hollow Hills
nggak ikut mendaftar?"
Danielle merasa gelisah. "Tapi Ayah nggak tahu apa yang
kumaksud. Ini kan perlombaan, dan mengikuti perlombaan rasanya
nggak enak." "Ya, ya," ujar ayahnya, sambil melepaskan dasinya. "Kamu
takut kalah, kan?" Danielle terpana. Pernyataan ayahnya benar-benar mengena
pada sasaran?menyakitkan?tetapi Danielle tak mau mengakuinya.
"Aku bukannya takut!" bantahnya lagi.
"Oh ya, kau memang takut. Kalau nggak, kamu pasti sudah
mendaftar." "Tidak. Ini kan lain," ujar Danielle perlahan, berharap ayahnya
akan mengerti. Tetapi ternyata tidak. "Lain bagaimana?"
"Ya memang lain," ujar Danielle lagi. Kenapa sih, ayahnya
begitu keras kepala? Wajah ayahnya tampak berkerut karena kecewa. "Oke."
Beliau lalu berjalan ke depan, dan melihat surat-surat yang baru
datang. Suaranya tak terdengar sama sekali. Danielle merasa tegang.
Lebih baik ayahnya marah ketimbang berdiam diri begitu.
"Yah, jangan begitu dong! Jangan diam saja," pinta Danielle
dari dalam ruangan. "Soalnya Ayah kecewa padamu."
Ingin rasanya Danielle meringkuk dalam sebuah bola kecil. Ia
ingin lenyap dan mati. Danielle merasa sedih kalau ayahnya berkata
seperti itu. Lagi pula, ayahnya memang benar. Memang perbuatan
yang bodoh untuk tidak mengikuti perlombaan itu. Kalau ia menang,
ia akan menunjukkan pada Freddie dan Yukio, siapa yang terbaik.
Lagi pula akan terkesan hebat saat ia mendaftar ke universitas.
Danielle berpikir kembali. Ia memang ingin sekali mengikuti
perlombaan itu, tetapi sebagian kecil dalam dirinya merasa takut.
Bagaimana kalau ia kalah?
Ada juga masalah Pete. Benarkah memang ada? Atau apakah ia
takut merusak rencananya dengan cowok itu, dan hanya ingin
menutup-nutupi ketakutannya saja? Bisa saja ia mengatasi masalah
Pete, dan ia yakin akan itu. Bagaimanapun juga, cowok itu bukan
siapa-siapanya. "Oke, aku ikut," ujar Danielle pada akhirnya.
"Itu baru anak Ayah," jawab Mike Sharp sambil tersenyum. Ia
berjalan menghampiri Danielle dan mengucek-ngucek rambut anak
gadisnya. "Aduh, Yah! Rambutku!"
"Jangan khawatir, masih cantik kok," goda ayahnya sambil
tersenyum nakal. Danielle tersenyum, perasaannya lega. Ayahnya bangga
terhadapnya lagi, dan tiba-tiba saja semuanya terasa begitu indah.
Setelah mengambil formulirnya, gadis itu mulai bekerja
kembali. Satu jam kemudian ia telah mengisi tiga lembar kertas penuh
dengan soal persamaan. Memang hasilnya belum memuaskan, tetapi
ia merasa yakin, bahwa ia akan dapat menemukan jawaban yang tepat.
Sebenarnya membuat soal itu merupakan tugas yang lebih berat
ketimbang rencananya untuk membuat Don cemburu. Tetapi dalam
hal itu pun ia pasti akan berhasil. Danielle merasa yakin. Don pasti
akan merasa geram, saat melihatnya bersama-sama dengan Pete, salah
seorang bintang football Atwood!
Tak sabar lagi rasanya ia menunggu saat-saat yang istimewa itu.
Sebentar lagi, Don James! pikirnya. Kau akan mendapat ganjaranmu!
Empat "Kak, dengar nggak sih?"
Lori tersentak. "Hah?" tanyanya terperanjat.
Di depannya berdiri seorang anak laki-laki berusia kira-kira
sepuluh tahun. Tangannya memegang dua lembar uang dolar yang
lusuh. "Aku mau pesan satu beeftaco dan air jeruk. Cepat, ya?"
"Oh maaf, aku tidak mendengar," Lori merasa malu. Ia tadi
pasti melamun. Cepat-cepat dibawanya pesanan itu ke nampan di
depannya, lalu cepat-cepat ia membungkus taco.
Selama dua hari ini ia seperti orang tolol saja. Waktu seseorang
memesan burrito, ia malah memberikan enchilada dengan jalapenos
ekstra. Yang meminta coca-cola malah diberinya 7-Up. Kacau semua.
Mengapa Nick tak meneleponnya? Kalau cowok itu tak segera
menghubunginya, Tio's pasti akan bangkrut karena kelalaiannya.
Tentu saja ia bisa menghubungi cowok itu, tetapi ia merasa
gengsi. "Besok kutelepon," kata Nick waktu itu. Dan ia memegang
janji cowok itu. Lori merasa bingung dan terluka. Apa yang menyebabkan Nick
tak meneleponnya? Bagaimanapun sibuknya cowok itu, ia selalu
menyempatkan diri untuk meneleponnya. Itulah yang membuatnya
menyayangi cowok itu. Nick selalu dapat dipercaya. Setia. Hingga
kini. Sampai Vicki.... Santai, Lor, ia mengingatkan dirinya. Kenapa mesti kalut. Nick
nggak menelepon?mungkin karena dia sibuk.
"Kak, taconya kok lama ya?" Aduh, berapa lama sudah anak
laki-laki itu menunggunya, sementara pikirannya sedang melayanglayang? Dengan muka merah, Lori meletakkan taco di atas nampan,
lalu mengambil es jeruk dan menyorongkan nampan itu pada anak
tadi. "Trims. Datang lagi ya?"
Wajah anak laki-laki itu berubah ceria. "Wah asyik, taco-nya
gratis!" "Oh, aku lupa. Semuanya satu dollar sembilan puluh enam sen."
"Sialan," gerutunya, sambil merogoh uangnya.
Setelah anak itu pergi, Lori membasahi kain lap, lalu mengelap
meja. Sebenarnya meja kasir masih cukup bersih, tetapi Lori terus
mengelapnya karena itu akan membuatnya sibuk. Selesai
membersihkan, Lori melemparkan pandangannya ke seberang, ke toko
elektronik Hobart. Tak ada tanda-tanda dari Nick. Mungkin ia sedang
bekerja di gudangnya di Jalan 32, tetapi ia pun tak yakin akan hal itu.
Bisa saja Nick berada di tempat lain.
Tiba-tiba Lori merasa perutnya mulas. Agar tetap sibuk, dengan
tergesa-gesa ia meraih sebuah stoples plastik besar berisi guacamole
dari lemari es di bawah counter. Sambil berkonsentrasi penuh, ia
mulai mengisi kembali wajan guacamole yang ada dalam meja
pendingin. Ia berusaha untuk tidak memikirkan Nick yang mungkin
sedang bersama-sama dengan Vicki malam ini. Tetapi ia tak sanggup.
Vicki kaya, menarik dan sering bepergian.
Mana mungkin Lori Randall yang sederhana mampu bersaing
dengan semua itu? Lori mendongakkan wajahnya, melihat
bayangannya pada tombol kuningan di atas meja pendingin. Matanya
yang biru berukuran besar, dan rambutnya yang pirang tergerai lepas.
Badannya langsing dengan pinggul yang ramping, bahu yang pas dan
tubuh yang cukup oke itu terbungkus seragam nilon oranye yang
norak itu. Bukankah dia cantik? Jelas, pikirnya?cantik, tetapi biasabiasa saja.
Hadapi kenyataan, katanya dalam hati, kamu ini nggak ada apaapanya. Cowok seperti Nick mana tertarik pada cewek macam kamu.
Mereka ingin cari pengalaman. Glamour. Cewek yang
menggairahkan. Sedang kamu cuma seperti pai apel rumahan saja.
"Hei Lor! Sadar dong, ngapain sih ngelamun!"
Lori memutar badannya, kerut di wajahnya mulai sirna. Di
depannya berdiri Patsy Donovan, salah seorang dari kedua teman
baiknya. Dulu Patsy bertubuh gendut, namun kini ia tampak langsing
dan oke. Rambut pendeknya yang cokelat bergelombang baru saja
dipotong, dan matanya yang berwarna cokelat muda tampak berbinarbinar.
"Hai Pats. Lagi istirahat ya?" tanya Lori. Patsy bekerja tak jauh
darinya, di Cookie Connection.
"Yap. Hari ini nggak terlalu ramai, ya?" komentar Patsy.
"Tak tahulah." Patsy menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu pasti tadi lagi
melamun. Kenapa sih? Mikirin Nick, ya?"
"Nggak juga, aku cuma mikirin Vicki Keller."
"Lori, rasanya nggak masuk akal deh," hibur Patsy. "Nick kan
mencintaimu." Lori menghela napas. "Aku tahu. Tapi aku selalu kuatir.
Maksudku, gimana kalau Vicki berusaha mendekati Nick lagi?"
"Mana mungkin?"
"Aku nggak tahu, tapi aku berani bertaruh pasti cewek itu pakai
minyak wangi dari Itali dan mungkin juga baju yang sensasional dari
Milan." "Benar-benar ciri khasmu, Lori." Patsy tertawa cekikikan.
"Meskipun khawatir, kamu pasti mengaitkannya dengan mode, deh."
Lori terpaksa tersenyum mendengar komentar itu. Cita-citanya
adalah menjadi perancang busana. Semoga hal itu akan terwujud
kelak. Tetapi kini ia mesti menyelesaikan SMA-nya dulu.
"Aku mesti gimana dong, Pats?" tanyanya. "Kok Nick nggak
menelponku, sih?" "Barangkali teleponnya rusak," Patsy menduga.
"Kan ayahnya punya toko elektronik! Pastinya dia punya
beribu-ribu telepon."
Patsy tersenyum kaku. "Oh ya, aku lupa. Atau mungkin dia lagi
sibuk." "Sibuk sama Vicki," tebak Lori sebal.
"Nggak mungkin! Waktu dia ketemu Vicki kemarin, dia?"
tiba-tiba Patsy menutup mulut dengan tangannya.
Tangan Lori meremas meja kasir. Untuk sesaat gadis itu merasa
sesak napas. "Patsy, kau dengar sesuatu kan?" tanyanya.
"Aku? Nggak, aku nggak mendengar apa-apa. Sumpah!"
Rasa panik menjalari tubuh Lori. "Patsy, katakan padaku,"
desaknya. "Kau kan temanku."
Patsy tampak enggan. "Yah, begini.Tapi kau jangan sedih, ya."
"Nggak. Janji."
"Kemarin, Nick ketemu Vicki di McDonald's," lapor Patsy.
"Mereka ngobrol lebih dari sejam."
Lori menahan napasnya. Stoples plastik yang dipegangnya
meluncur ke lantai, menyipratkan tanda bercak hijau guacamole pada
celemek kuningnya. "Lori, katamu kau takkan sedih!"
Ernie Goldbloom, pemilik Tio's muncul dari belakang. "Lori,
ada apa?" "Nggak apa-apa. Kurasa aku salah memberi kembalian."
"Ya, begitu saja kok sampai tumpah," Ernie menggelenggelengkan kepalanya dan berlalu.
"Ceritakan Pats," pinta Lori selesai mengelap semua tumpahan
tadi. "Nggak banyak yang bisa diceritakan," jelas Patsy. "Menurut
cerita yang kudengar, pertemuan itu tak disengaja. Nick pergi ke
McDonald's dengan teman-teman tim footballnya setelah latihan. Lalu
Vicki muncul. Itu saja."
"Tapi mereka ngobrol kan? Di mana? Di meja?"
"Di mobil Vicki."
"Oh!" "Tapi semua orang bisa melihat, kok. Nggak seperti orang yang
pergi ke Overlook, atau semacam itu. Lagi pula, sesudah itu mereka
ribut. Saat Nick keluar dari mobil Vicki, dia membanting pintunya."
Lori menggigit bibirnya. "Bagus deh. Tapi selama sejam?"
"Ada apa, Lor?" tanya Patsy. "Mereka kan nggak pernah
ketemu selama setahun lebih. Mungkin ada yang perlu diomongkan."
"Mungkin juga."
Lori membayangkan hal itu. Bagaimana seandainya bekas
cowoknya yang datang? Ingin rasanya ia tahu bagaimana perasaan
Nick saat itu. Ia tak yakin. Ia tak punya bekas cowok. Tak ada yang
seserius hubungannya seperti dengan Nick. Nick-lah cowok yang
benar-benar disayanginya.
Tak lama kemudian, seorang cewek tinggi dan langsing masuk
ke dalam Tio's. Pakaian yang dikenakannya menampakkan lika-liku
tubuhnya. Rambut panjangnya yang berwarna cokelat dijalin menjadi
kepang. Gadis itu bernama Ann Larson, sahabat Lori yang lain. Dia
bekerja sebagai intruktur senam di Body Shoppe.
"Hei, Lor. Boleh minta air, nggak?" tanyanya sambil terengahengah. "Aku nggak punya banyak waktu nih."
"Kamu datang dari tingkat tiga cuma mau minta air?" tanya
Lori sambil mengisi air. "Memangnya air di atas macet atau rusak?"
"Nggak, aku ke bawah cuma ingin menjengukmu."
"Aku baik-baik saja, kok," ujar Lori dengan sedih. "Nggak juga
sih. Tapi setidak-tidaknya masih hidup."
"Bagus deh. Syukurlah."
Lori menyodorkan air pada temannya. Nada suara Ann tadi
membuatnya was-was. "Mmm, kamu dengar sesuatu tentang Nick
ya?" "Nggak, sumpah!" sangkal Ann, seraya mengangkat jarinya
membentuk tanda sumpah. "Jangan bohong deh," desak Lori. "Terus terang saja."
"Masalahnya kecil kok, Lor. Keciiil," hibur Ann sambil
mengangkat bahunya. "Beberapa cewek Atwood ngobrol di pancuran,
itu saja. Kata mereka, Nick sedih waktu Vicki pindah ke Roma. Cuma
peristiwa kecil kok?"
"Peristiwa apa?"
"Cuma kecil, kok. Nick berdiri di lapangan dan menangis."
Lori menggeram. "Kecil? Dia menangis beneran?"
"Nggak kok, cuma air mata buaya. Maaf, maksudku itu kan
cuma gosip, kamu tahu kan? Belum tentu benar."
Lori tak tahu lagi. Kata Nick sih, dia dan Vicki sudah putus saat
cewek itu pindah. Apa Nick membohonginya? Rasanya itu bukan sifat
Nick. "Syukur deh kamu nggak begitu sedih," ujar Ann.


Merivale Mall 08 Antara Dua Hati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Coba kalau kamu lihat tadi," sela Patsy.
Lori mencondongkan tubuhnya ke meja counter. "Ann, ada
yang lain, nggak?" "Nggak ada. Dibanding cerita yang lain, itu sih nggak penting,"
ujarnya. "Apa sih, Ann?"
"Begini, waktu mandi cewek-cewek itu bilang bahwa besok ada
lelang budak di Atwood."
"Lelang apa?" "Memangnya kamu nggak tahu? OSIS yang mengadakan acara
itu setiap tahun. Cowok-cowok paling populer akan dilelang, dan
siapa yang membayar paling tinggi bisa memperoleh mereka sebagai
'budak' untuk esok harinya. Budak itu bertugas membawakan buku,
membukakan pintu? dan hal-hal yang seperti itulah."
"Ya, aku tahu. Tapi aku belum?" Tiba-tiba Lori sadar, dan
perasaan dingin menjalari sekujur tubuhnya. Ia berbisik, "Jadi Vicki
berencana untuk membeli Nick?"
"Begitu sih katanya," tegas Ann.
Patsy mengetuk-ngetukkan jarinya di meja kasir. "Jadi apa
masalahnya? Kalau seseorang jadi budakmu, belum tentu dia akan
jatuh cinta padamu."
"Belum tentu?" tanya Ann. "Ingat nggak Tracy Meeker dan
Billy Forest? Ingat, gimana mereka janjian untuk masuk ke universitas
yang sama hanya karena tak mau berpisah?"
Patsy menarik napas. "Itu sih dulu! Kau kan tak bermaksud?"
Ann mengangguk serius. "Itu dimulai pada Hari Budak. Dan?
pernah dengar kisah Cissy Caswell dan TobyMatell?"
"Ya, pasangan senior itu. Mereka sudah pacaran selama tiga
tahun," ujar Patsy. "Mereka juga?"
"Ya gitu deh." Perasaan Lori semakin kacau. "Bagus," komentarnya. "Besok
adalah 'Hari Budak', dan aku tak bisa menawar! Sial. Apa yang bisa
kulakukan?" Pada saat itu beberapa orang cewek masuk ke dalam Tio's dan
berhenti tepat di pintu. Mereka memandang Lori, tetapi tidak berusaha
mendekati meja kasir. Murid-murid Atwood, pikir Lori. Gaya mereka
berpakaian menunjukkan mereka anak Atwood. Mereka bukan anak
Merivale High. "Wah, kayaknya ada banyak pembeli tuh. Sampai ketemu lagi
nanti." "Bye, Lori," ujar Ann, sambil memberi isyarat dan melangkah
ke luar. "Kamu tahu di mana mencari aku kalau perlu," tambah Patsy
sebelum mengikuti langkah Ann.
Lori langsung menyiapkan segala sesuatu untuk para pembeli,
dan menaruh tatakan kertas di atas nampan. Saat gadis itu
mendongakkan kepalanya, kerumunan itu telah bertambah. Kira-kira
ada duapuluhan cewek?semuanya anak Atwood. Tetapi kenapa
mereka tak memesan makanan?
Tiba-tiba saja kerumunan itu membelah. Dari tengah mereka
berjalan seorang gadis cantik bermata biru dan berambut panjang
pirang. Ia mengenakan celana gombrang warna kaki, dan kaos merah
serta jaket kulit keren yang tampaknya mahal. Gadis itu berjalan
memasuki lio's bagaikan seorang ratu masuk ke ruang dansa.
"Aku minta Coca-cola."
"Kecil, sedang atau besar?" tanya Lori.
Cewek itu menatap Lori dari atas sampai ke bawah. "Yang
paling kecil." "Tujuh puluh lima sen," ujar Lori seraya menuangkan Cocacola ke dalam gelas.
Saat Lori membalikkan badannya, cewek itu tidak memegang
uang sama sekali. Tidak juga saat ia mengambilkan sedotan.
"Kamu yang namanya Lori Randall, ya?"
Di luar, kerumunan cewek-cewek tadi mencondongkan badan,
berusaha menyimak kata-kata mereka.
"Oh-iya." "Aku Vicki Keller. Mungkin kamu sudah pernah dengar."
"Oh-iya," jantung Lori berdebar kencang.
"Bagus. Senang bertemu denganmu, meskipun aku sedikit
kecewa." "Ya? Kenapa?" Lori merasa terkejut.
"Lupakan saja. Kata Nick kalian berteman ya?" tambah Vicki
lagi. Lori berusaha menguasai dirinya. Dengan tenang ia menjawab,
"Teman? Bisa dibilang lebih dari itu."
Vicki tersenyum licik. "Ya jelas. Aku nggak heran. Semua
orang tahu apa yang akan dilakukan cewek Merivale untuk menggaet
cowok." ebukulawas.blogspot.com
Kerumunan di luar berteriak, "Ooooo!"
Lori merasa darahnya mendidih. Sialan! Kini ia telah terlibat di
dalamnya. Dengan marah ia menyahut, "Asal tahu saja, kalau kamu kira
Nick pacaran denganku hanya karena?yah, karena sesuatu yang kami
belum siap, kamu keliru. Kami sama-sama saling cinta kok."
"Ya, dia memang bilang begitu."
"Oh ya?" Lori terpana. Apa dia nggak salah dengar?
"Jangan heran. Nick itu cowok yang setia, lho," ujar Vicki lagi.
"Aku tahu." Untuk sesaat Lori tak tahu apa yang harus
dikatakannya. Pembicaraan itu tidak seperti yang diharapkannya?ia
benar-benar belum siap. Akhirnya ia bertanya. "Vicki, apakah
maksudmu kamu tak keberatan Nick pacaran denganku?"
Vicki tersenyum manis. "Aku takkan ikut campur. Kalau itu
maksudmu." "Kau tidak akan?"
"Tidak. Aku tak peduli."
Beban berat yang menimpa pundak Lori seakan-akan telah
terangkat. Sulit untuk dipercaya. Apa Vicki benar-benar rela
melepaskan Nick? "Aku takkan ikut campur. Karena aku tak perlu ikut campur,"
tambah Vicki. "Kalau Nick mau nyeleweng, siapa yang peduli?
Paling-paling nggak lama lagi juga ia bosan."
Kerumunan di luar saling berbisik. Mulut Lori terbuka. Ia
tertipu! Vicki berhasil mengalahkannya dua kali!
Ini benar-benar serius. Ia tak dapat meremehkan Vicki, Lori
sadar akan hal itu. Ia menatap wajah gadis di depannya. Cantik, ya?
sangat menarik. Tetapi tatapannya dingin. Mulutnya membentuk
kekerasan dan mata birunya yang dingin mengandung tatapan kejam.
Ada juga hal lainnya. Lori perlu waktu untuk mengetahuinya.
Tetapi begitu ia menyadarinya, ia terperanjat. Ia dan Vicki begitu
mirip satu sama lainnya! Rambut pirang, mata biru?juga hal lainnya
lagi. Mereka sama-sama punya tulang pipi yang tinggi, dan bentuk
bibir yang sama. Apa mungkin ia dianggap sebagai pengganti Vicki?
Perutnya terasa melilit lagi. Lori merasa tercampak dan hancur.
Vicki pun telah menyadari kemiripan mereka. Lori merasa
seakan-akan saingannya itu dapat membaca pikirannya. "Lucu ya?"
ujar Vicki. "Sayang Nick memilih tiruan yang begitu pucat?"
"Kamu mau Coca-cola?" tanya Lori dingin. Kalau saja Vicki
tak mau, ia akan melemparkan minuman itu ke wajahnya.
"Simpan saja. Kau perlu itu untuk mendinginkan dirimu." Vicki
menyeringai. Dan sebelum Lori sempat melemparkan soda itu, cewekcewek lain telah mengelilinginya dan mereka berjalan keluar.
Kerumunan cewek-cewek itu bertepuk tangan dan mengikuti
Vicki ke luar. Sendirian, Lori berdiri kesal. Kedua tangannya
gemetaran. Perasaannya kacau.
Jelaslah bahwa Vicki ingin merebut Nick kembali. Dan itu
bukan gosip. Celakanya, saingannya itu ada di atas angin. Besok
adalah hari 'lelang budak', dan tak ada yang dapat diperbuatnya untuk
mencegah Vicky membeli Nick!
Lima Tepat jam dua belas siang, pintu-pintu Goodman Gymnasium
Atwood dibuka. Beratus-ratus anak menyerbu ke dalam. Deretan kursi
telah disediakan di lapangan basket itu, namun bangku-bangku dalam
stadion itu telah terisi penuh. Semua orang berebut untuk memperoleh
tempat duduk yang baik dalam acara 'lelang budak' tahunan itu.
Di ujung lapangan, papan tulis Plexiglas telah diangkat ke atas.
Di bawahnya terdapat panggung. Di satu sisinya terdapat sebuah
podium dan mikropon di mana Sue Tipton, ketua OSIS, berdiri sambil
memegang sebuah palu kecil. Dua baris di belakangnya duduk para
'budak' yang telah dipilih oleh panitia OSIS.
Dari bangku yang letaknya tak jauh dari depan, Danielle
mengintip dompetnya dengan gugup.
"Kalau uangmu tak cukup, nanti kupinjamkan," Teresa
menawarkan. "Nih dua dollar, rasanya cukup untuk membeli Pete."
Heather tertawa cekikikan. Gadis itu duduk di samping
Danielle. "Lucu, Teresa," bentak Danielle. "Uangku cukup kok. Lagi pula
harga Pete pasti lebih dari dua dolar."
"Ya jelas!" ujar Heather.
"Memang betul," balas Danielle lagi. "Lihat saja, dia kuat. Lagi
pula dia bisa saja membawakan buku-buku sepuluh orang sekaligus."
"Ditambah dengan satu atau dua Mercedes," ejek Teresa
sembari menyimpan uangnya.
Danielle merasa darahnya mendidih. Kenapa sih orang-orang
ini selalu meledeknya? Dia sudah cukup gugup! Heather
memperhatikan kuku-kukunya yang berwarna merah.
"Susah banget sih bikin Don cemburu," gumamnya dengan
serius. "Kenapa nggak bohong saja dan bilang kau pergi dengan
Pete?" "Yah, kita dukung deh," janji Teresa.
Danielle menggeleng-gelengkan kepalanya. "Don pasti tahu."
Teresa bertanya lagi, "Gimana kau bisa yakin kalau Don akan
memergokimu sedang jalan dengan Pete?"
"Oh, dia pasti akan tahu," jawab Danielle yakin. "Akan kubuat
supaya dia tahu." "Tapi gimana?" desak Heather lagi.
"Jangan khawatir, deh. Pokoknya akan kuatur nanti."
Sebenarnya Danielle sendiri tak yakin dengan apa yang baru
diucapkannya. Rencananya terlalu lemah. Namun ia tak punya
rencana lain lagi, jadi mau tak mau ia mesti meneruskannya.
"Eh lihat! Itu kanVicki Keller!" pekik Teresa tiba-tiba.
Dari belakang ruang olah raga Vicki melangkah masuk, diikuti
oleh kira-kira dua puluh orang temannya. Danielle tahu rencana Vicki.
Dan Danielle tahu bahwa dia pun akan berbuat begitu?dia pun tak
sudi cowok paling keren di Atwood pacaran dengan cewek dari
Merivale High. Tetapi di lain pihak Lori adalah sepupunya. Lagi pula taktik
Vicki sungguh bodoh. Benar-benar konyol untuk rebutan cowok
secara terang-terangan! "Yah, kita sudah tahu siapa yang bakal membawakan bukubuku Vicki besok," tebak Heather.
Teresa menyandarkan badannya ke depan, supaya lebih jelas
lagi. "Jangan sok tahu deh."
"Memangnya ada persaingan untuk Nick?" tanya Heather tak
percaya. "Benar. Kudengar Brenda Wagner sudah menabung uangnya."
Heather tertawa. "Lucu sekali! Cewek paling pintar Atwood
dengan Nick Hobart? Bisa bayangin, nggak!"
Danielle menggigit bibirnya. Brenda adalah pelajar penerima
beasiswa. Teresa dan Heather telah sering menjegalnya. Bagaimana
kalau mereka tahu bahwa ia juga sedang menabung? Tentu saja ia
punya uang yang cukup, namun dibandingkan dengan Heather dan
Teresa itu tak berarti apa-apa.
"Brenda bukan satu-satunya," ujar Teresa. "Kudengar Jane
Haggarty diam-diam juga naksir sama Nick. Dan dia bukan orang
miskin." "Hmmm." Heather tersenyum.
"Terus, ada kira-kira lima belas peminat lagi," lanjut Teresa.
"Dan mereka telah mengumpulkan uang? masing-masing sepuluh
dollar, katanya." "Seratus lima puluh dolar! Itu sih lebih daripada harga rekor,"
pekik Heather kagum. "Tunggu dulu, mana bisa Nick ngurusin cewek
segitu banyaknya pada saat yang bersamaan!"
"Setelah pelelangan, mereka akan berlomba menarik sedotan,"
jelas Teresa lagi. Kedua sahabatnya terus saja berceloteh. Kemudian Danielle tak
mempedulikan mereka lagi. Ia agak tersinggung karena tak seorang
pun mempedulikan perasaan Lori. Seolah-olah Nick tak punya pacar.
Tentu saja ia tak dapat membicarakan masalah itu. Ia pun tak dapat
membela cewek Merivale yang telah menggaet cowok Atwood itu.
Danielle menjulurkan lehernya untuk melihat Vicki Keller yang
berjalan menuju tempat duduk yang telah disediakan teman-temannya
di barisan pertama. Vicki menatap Nick lurus-lurus. Namun cowok itu
menunduk memperhatikan sepatunya.
Apa sih yang ada dalam pikiran cowok itu?
Nick mendengar suara-suara berkumandang di sekitarnya.
Berapa pasang matakah yang sedang memandangnya? pikirnya.
Tetapi itu tak menjadi soal. Setiap hari Sabtu pun di lapangan itu
terjadi hal yang sama. Tetapi kenapa kini tiba-tiba saja ia merasa
gugup? "Hei, si 'doi' ada di sini," ujar Ben Frye, yang duduk di
sampingnya. Ben menyikut tulang rusuk Nick.
"Siapa?" tanya Nick.
"Bekas pacarmu," jawab Ben lagi.
Oh Vicki. Sambil bersandar di bangkunya, dengan acuh tak
acuh Nick mengamati sepatunya. Tak mengherankan kalau Vicki ikut
dalam acara lelang ini. Membeli Nick memang gaya Vicky yang khas.
"Jadi, apa Lori tahu tentang lelang ini?" tanya Ben. Nick merasa
bersalah. Ia sama sekali belum bertemu ataupun berbicara dengan
gadisnya itu sejak hari Senin. Dan sekarang hari Kamis. Nick
menjawab, "Kurasa dia tahu. Kenapa?"
"Nggak heran. Kau kelihatan gugup akhir-akhir ini setiap kali
aku menyebut namanya."
Nick mengertakkan giginya. Ada maksud tersembunyi di balik
kata-kata Ben tadi, mungkin hanya Ben yang bisa mengeluarkan
komentar seperti itu. Tetapi Ben adalah teman seperjuangannya dalam
tim. Telah berulangkali ia berhasil membuat touchdown dengan
cowok itu. Ben memang benar. Namun, Nick menatap temannya itu
dengan dingin. "Asal tahu saja," ujar Nick. "Lori dan aku baik-baik saja."
"Tapi menurut Vicki nggak tuh."
"Siapa peduli dengan Vicky? Dia itu masa lalu. Dan aku capek
dan bosan dengan orang-orang yang selalu menganggap dia masih
pacarku." "Iya sih, tapi kau nggak perlu marah padaku, dong!" protes Ben.
Nick diam saja. Kenapa acara lelang ini mesti membuatnya
begitu tegang? Bukankah ini hanya acara untuk mengumpulkan dana?
Lagi pula tidak berlangsung lama. Lalu hidupnya akan kembali
normal. Dia harus menelpon Lori. *********** Di baris depan Vicki duduk dengan tegak dan tenang. Dalam
dompetnya tersedia uang lebih dari cukup untuk membayar Nick. Tak
seorang pun yang akan sanggup mengalahkannya. Dan begitu Nick


Merivale Mall 08 Antara Dua Hati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghabiskan waktu bersamanya selama seharian, mereka akan
bersama kembali untuk seterusnya. Tak akan ada yang menghalangi
mereka lagi, sekalipun si cewek manis Merivale High itu berlutut dan
memohon kepadanya.... "Selamat sore saudara-saudara," ujar Sue Tipton di mikrofon.
Suara gemuruh terdengar dalam ruangan itu. "Selamat datang dalam
acara 'Lelang Budak' yang diselenggarakan oleh OSIS. Aturan
pertama, yang mau menawar harus mengangkat tangannya dan
berteriak. Kalau dua orang menawar dengan harga yang sama, maka
panitia lelang?yaitu saya?akan menetapkan siapa yang menawar
duluan." Dari deretan bangkunya Teresa bergumam, "Yah, kita sudah
tahu. Langsung saja deh."
Heather tertawa cekikikan.
j| "Semua 'budak' harus segera dibayar begitu mereka terjual.
Lihat bendaharawan kita di belakang panggung. Itu dia. Nah, semoga
sukses dan tawarlah dengan harga yang tinggi. Dan sekarang, budak
yang pertama adalah Tina Rowe. Tina adalah bintang drama Romeo
dan Juliet produksi klub musim gugur ini, kalian pasti masih ingat,
kan?" Suara gemuruh dan tepuk tangan penonton membahana saat
Tina berdiri. Tak pelak lagi, gadis mungil berambut pirang itu
termasuk salah satu cewek paling kece di Atwood. Pikir Danielle,
gadis itu pasti sudah kehilangan akal karena mau menjadi budak.
"Berapa harga budak keren ini?" teriak Sue. "Siapa yang mulai
duluan? Apa? Lima dollar? Lima dollar?"
"Lima juta!" pekik seorang cowok dari belakang.
Semua orang tertawa. Pelelangan itu mulai berlangsung. Sue tak
mempedulikan penawaran tadi, tetapi tak lama kemudian tangan-
tangan mulai teracung ke atas. Wajah Tina berseri-seri, ia
menangkupkan tangannya di depan dada, lalu melemparkan
ciumannya pada pengunjung.
"Dasar centil," cemooh Heather.
"Nggak heran, dia kan aktris," tambah Teresa.
Akhirnya Tina terjual seharga empat puluh dollar. Danielle tak
begitu memperhatikan. Gadis itu menunggu Pete berdiri.
Saat Pete berdiri, dua puluh menit kemudian, Danielle berusaha
keras menenangkan perasaannya.
"Siapa yang mau nawar cowok ini?" teriak Sue lagi. "Ayo
cewek-cewek, ini kesempatan dalam hidup kalian! Lihat otot-ototnya!
Perlihatkan Pete!" Sambil tersenyum Pete menggulung lengan bajunya dan
melenturkan otot-ototnya. Ototnya menggelembung seperti buah
jeruk. Siulan kagum terdengar dalam ruangan itu. Danielle merasa
gelisah. Dilihatnya beberapa cewek yang berada dalam deretan di
bawahnya buru-buru menghitung uang.
"Ayo, silakan menawar. Siapa yang menawar Pete O'Shay?"
"Sepuluh dollar!" ujar seseorang.
Heather menyikut pinggang Danielle. "Ayo Dan! Tawar dong."
"Lim?" "Lima belas dollar!"
Danielle merasa wajahnya membara. Cewek lain telah
mengajukan penawaran terlebih dahulu.
"Trims Heat," gumamnya dengan masam. "Lain kali tak usah
kau bantu." Di podium Sue menganggukkan kepalanya untuk memastikan
penawaran. "Siapa yang mena?"
"Dua puluh dollar!" Seorang pelajar tahun pertama yang
bertampang manis berteriak sembari melompat. Danielle mengangkat
tangannya. "Dua puluh li?"
"Dua puluh lima!" teriak seseorang lainnya dari bawah.
Teresa menyeringai. "Maju terus, Dan."
"Diam kenapa sih!" bentak Danielle.
Harga terus melonjak hingga empat puluh dollar. Danielle
tersentak. Empat puluh adalah batas akhirnya. Lebih dari itu ia merasa
khawatir, apa pantas ia mengeluarkan segitu banyak uang hanya untuk
menggoda Don James. Sebaliknya, kalau ia tidak meneruskan rencananya, ia mesti
menghadapi kesinisan Don. Ia sudah dapat membayangkan,
bagaimana cowok itu sambil melipat tangannya akan tersenyum dan
berkata, "Nah, gimana kabarnya cowok misteriusmu? Belum ada
kencan, ya? Kasihan. Kayaknya dia nggak cukup oke untukmu."
Tidak! Ia tak akan membiarkan hal itu terjadi. Sambil melompat
Danielle mengangkat tangannya dan berteriak, "Enam puluh dollar!"
Suara gemuruh terdengar dalam ruang olah raga itu, disambut
dengan siutan-siutan ramai. Dua puluh dolar lebih tinggi daripada
tawaran sebelumnya. "Gila Pete!" teriak seseorang. "Boleh juga nih!"
Suara tawa bergema di seluruh ruangan. Sue Tipton
mengangkat palunya. "Trims Dan. Terima kasih banyak. Nah, ada
yang mau menawar lebih? Enam puluh dolar, satu?dua?" yap"
Terjual!" Suara "Huuuu!" mengikuti Danielle saat gadis itu melangkah ke
depan untuk membayar. Ia merasa terlalu malu untuk menatap Pete,
meskipun ia telah membeli cowok itu. Dan mulai sekarang dan
seterusnya semua gosip itu akan reda, pikirnya dalam hati. Tak
seorang pun akan bergosip lagi mengapa ia membuat penawaran yang
begitu agresif bagi Pete.
Beberapa menit kemudian Danielle berjalan kembali ke
bangkunya. Pelelangan terus berlanjut hingga selesai. Teresa
membayar Ben Frye sebanyak lima puluh dolar, dan tak seorang pun
heran. Desas desus bahwa Teresa sedang mendekati Ben bukanlah hal
baru lagi. Lalu akhirnya, Nick Hobart berdiri. Gemuruh tepuk tangan
terdengar memekakkan telinga. Inilah saat-saat yang ditunggu-tunggu
semua orang. "Dan sekarang yang terakhir, Nick Hobart!" Sue
mengumumkan. "Nick adalah kapten dan gelandang tim football kita.
Dia benar-benar jagoan, cowok yang keren dengan tinggi enam kaki!
Kita mulai penawaran seharga dua puluh lima dollar. Siapa mau?"
"Dua puluh lima!" teriak beberapa cewek secara serentak.
Danielle menjulurkan lehernya untuk melihat kalau-kalau
Brenda Wagner turut menawar, tetapi ia tak yakin. Berlusin-lusin
tangan teracung. "Siapa bilang tiga puluh? Tiga puluh dollar?"
Suara-suara para penawar terdengar makin seru. Dalam sekejap
tawaran telah menjadi lima puluh lima dollar. Vicki masih belum
menawar. Danielle memperhatikan. Gadis itu tampak duduk dengan
tenangnya, menunggu. Matanya menatap Nick lurus-lurus. Sementara
yang ditatap tidak membalas tatapannya.
"Lima puluh lima? Lima puluh lima?" tanya Sue.
Tak terdengar suara apa pun, lalu tiba-tiba dengan tenangnya
Vicki mengangkat tangannya dan berteriak. "Delapan puluh!"
Danielle menahan napasnya. Suara siutan terdengar bersahutsahutan. Kalau tawarannya terhadap Pete tadi cukup agresif, maka ini
benar-benar gila! Jelas-jelas Vicki berusaha menghancurkan para
saingannya. Tetapi rupanya ia tak beruntung. Seorang cewek cantik
berambut merah tua yang menawar atas nama sekumpulan temantemannya mengangkat tangannya dan berteriak, "Delapan puluh
lima!" "Siapa menawar sembilan puluh?"
"Sembilan puluh!" tawar Vicki.
Segera angka penawaran melonjak menjadi seratus dollar?
seratus dua puluh lima?seratus tiga puluh lima?seratus empat puluh
lima?seratus lima puluh! Suara sorakan bertambah riuh saat Sue
menyebutkan angka seratus lima puluh. Rekor lama telah tumbang!
Apa mungkin harganya akan melonjak lagi? Danielle menatap Vicki.
Vicki mengangkat tangannya. "Seratus lima puluh dollar!"
Seluruh pelajar bersorak cemas. Dengan panik ketua
perkumpulan cewek tadi memberi tanda tambahan uang. Dompet
dengan segera terbuka, dan uang mengalir lagi.
"Seratus tujuh puluh!" pekik salah seorang anggota
perkumpulan itu setelah menghitung uang yang berhasil dikumpulkan.
"Seratus delapan puluh!" tantang Vicki lagi.
Danielle hampir tak mempercayai pendengarannya. Di atas
panggung, Nick menggosok-gosok tangannya, merangsang para
penonton untuk menawar lebih tinggi lagi. Ia memang olahragawan
keren, tetapi Danielle tahu Nick merasa tegang.
Penawaran makin lama makin bertambah?seratus delapan
puluh lima dollar?seratus sembilan puluh? dua ratus! Suara pekikan
menggema ke langit. Suara anak-anak terdengar sangat gembira. Jelas
ada perang urat saraf antara Vicki dan kumpulan cewek-cewek itu.
Nah, siapa yang akan menyerah?
Gadis berambut cokelat kemerahan yang menjadi ketua
tampaknya khawatir. Dengan gugup ia memberi tanda meminta
tambahan uang. Danielle meraih tasnya yang terletak di bawah
kakinya. "Danielle, apa yang kau lakukan?" tanya Heather terkejut.
"Uh...nggak apa-apa. Cuma ngambil tisu." Huh, tanpa pikir
panjang nyaris saja ia membuat kesalahan.
"Kukira kau mau ikut-ikutan nyumbang untuk cewek-cewek
itu." "Untuk apa?" balas Danielle. Untuk Lori, sempat terpikir
olehnya. Tetapi jangan, terlalu bodoh. Kalau Lori ingin mendapatkan
Nick, dia harus menghadapi konsekuensinya, suka atau tidak suka.
"Dua ratus sepuluh dollar!" jerit ketua rombongan cewek-cewek
itu. Dengan tenang, Vicki menyilangkan kakinya dan mengangkat
tangannya. "Aku menawar dua ratus dua puluh lima dolar."
Terdengar suara gemuruh. Jelas-jelas ia mengalahkan
perkumpulan tadi. Beberapa lembar uang dikumpulkan lagi, namun
setelah menghitungnya, sang ketua menggeleng-gelengkan kepalanya.
Uang yang mereka kumpulkan tidak cukup.
Sue mengangkat palunya. "Dua ratus dua puluh lima, satu?
dua?terjual!" Sue lalu mengetukkan palunya. "Nick Hobart kini milik
Vicki Keller. Terima kasih, Vicki. Dan banyak terima kasih pada
kalian semua. Dengan demikian berakhirlah acara 'Lelang Budak'
yang diadakan oleh OSIS."
Dalam ruang olah raga itu, semua orang berdiri bersorak sorai.
Vicki berdiri dan melambai ke arah kerumunan anak-anak. Lalu ia
melangkah ke panggung dan dengan bangga meraih lengan Nick.
Seorang juru potret koran sekolah membidikkan kameranya. Jepret!
Teresa dan Heather saling bertukar pandang. Alis mata mereka
terangkat, Menariiiiik sekali! Di antara mereka Danielle berdiri sambil
bertolak pinggang. Ia menatap Nick yang tersenyum kaku. Apa sih,
pikirnya ingin tahu, yang ada di benak Nick saat ini?
Enam "Ini uangmu. Jangan boros-boros, ya?" ujar Ernie seraya
menyerahkan gaji Lori. "Trims, Ernie."
Lori melipat ceknya, lalu memasukkannya ke dalam
celemeknya. Biasanya ia merasa gembira. Menerima uang hasil
keringatnya sendiri membuatnya merasa bangga. Tetapi kali ini lain.
Di mana sih Nick? Hari telah hampir jam lima. Tak mungkin
cowok itu tidak bekerja di toko ayahnya selama tiga hari berturutan.
Seharusnya ia kini berada di sana. Atau, pergi menjenguknya ke Tio's.
Nick selalu mampir untuk mengatakan halo sebelum bekerja.
Di manakah gerangan cowok itu berada?
Ernie berjalan kembali ke dapur. Ann Larson menghambur
masuk dari pintu depan. Dengan enggan Lori tersenyum. Dalam baju
ungunya yang ketat, Ann benar-benar kelihatan keren.
Seperti iklan berjalan untuk Body Shoppe. Sobatnya itu
memang mempunyai waktu istirahat yang cukup banyak.
"Apa kabar?" tanya Ann.
"Baik," jawab Lori.
"Oh ya? Sepertinya kamu lagi ingin mencekik orang, deh."
Lori menatap ke bawah meja kasir. "Yah, cuma aku nggak tahu,
lehernya Vicki atau Nick."
"Kalau aku sih, pilih Vicki," ujar Ann. "Aku paling nggak tahan
sama orang macam itu. Dia kira dia bisa membeli semua orang."
"Termasuk cowok orang lain."
Lori telah mendengar hasil pelelangan itu. Yah, berita di
Merivale memang cepat tersebar, bahkan mungkin ia bisa tahu
hasilnya lebih dulu daripada Vicki. Yang paling buruk adalah
harganya: dua ratus dua puluh lima dollar! Apa yang diharapkan Vicki
dari uang itu? Keromantisan? Cinta? Jiwa Nick?
"Apa hendak dikata? Aku toh nggak bisa protes. Uangnya kan
untuk dana OSIS," ujarnya.
"Yah, apa boleh buat demi amal," ujar Ann.
Lori menarik napas. "Ann apa yang mesti kulakukan? Kalau
aku protes, kelihatannya nggak bagus. Tetapi kalau aku nggak bilang
apa-apa, orang-orang pasti mengira aku nggak peduli."
"Biar saja orang lain mau mikir apa. Kamu dan Nick kan samasama pasangan yang setia. Itu yang mesti diperhitungkan."
Lori memainkan jemarinya. "Kuharap dia ke sini?"
Saat itu juga dua orang cewek masuk ke dalam. Pasti anak-anak
SMP, tebak Lori. Salah seorang dari mereka mengenakan rok mini,
dan yang satunya memakai sapuan mousse warna biru lembut di
rambutnya. "Minta beef taco, dong," ujar yang memakai rok mini.
"Chiken Buritto untukku," tambah yang lainnya.
Lori mengambilkan pesanan mereka dan meletakkannya di atas
nampan. "Tiga dolar, dua puluh lima sen," ujarnya.
Kedua gadis itu memandangnya tanpa bergerak.
"Mau minum apa?" tanya Lori.
"Nggak deh. Ini uangnya," ujar yang memakai rok mini sambil
meletakkan uang di meja counter. Saat keduanya berjalan menuju
meja, ia berbisik pada temannya, "Apa kataku, dia nggak bakalan
nangis." "Ada apa sih," tanya Ann bingung.
Lori menelan ludahnya. "Aku tak tahu, tapi menurut perasaanku
sih urusan ini bakalan panjang."
Ann kembali bekerja, dan tak lama kemudian enam cewek
kembali masuk ke dalam. Lori mengenali beberapa di antaranya?
mereka anak-anak Atwood. Di antara cewek-cewek itu ada yang
menonton perdebatannya dengan Vicki beberapa hari sebelumnya.
Dengan cepat Lori mengambil pesanan mereka. Begitu selesai,
salah seorang gadis yang mengenakan kacamata hitam dari kulit kurakura bertanya, "Berapa semua?"
"Tiga belas dollar tujuh puluh lima sen," jawab Lori.
"Oh, nggak jadi deh. Kemurahan sih!" balasnya. "Kukira dua
ratus dua puluh lima dollar."
Kelompok cewek itu langsung tertawa riuh. Darah Lori serasa
mendidih saat mereka melangkah keluar.
Kesibukan saat-saat makan malam benar-benar tak
menyenangkan. Suasana di Tio's penuh sesak, dan Lori tahu dialah
yang sibuk di depan. Ernie tampak gembira. "Aku tak tahu apa yang
kau lakukan, Lori. Tapi teruskan," ujar Ernie. "Bisnis lagi bagus."
Hebat, pikir Lori. Matilah aku. Bagaimana mungkin aku bisa
bertahan? Waktu pulang hari itu adalah jam setengah delapan. Pukul tujuh
dua puluh lima Lori memandang ke toko Hobart di seberang. Jendela
toko ditutupi kertas-kertas yang mengiklankan VCR, tetapi di antara


Merivale Mall 08 Antara Dua Hati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedua tanda itu Lori menangkap bayangan tubuh Nick.
Tampak cowok itu sedang membubuhi label barang di depan
toko. Tiba-tiba saja Lori merasa kesal. Kenapa dia tak menengoknya?
Benar-benar sialan! Lori memutar badannya dan berjalan menuju
dapur Tio's di mana Ernie sedang menikmati kue bapelnya.
"Ernie, suasana sudah nggak ramai lagi. Bolehkah aku pulang
duluan?" "Nggak masalah. Setelah begitu sibuk sepanjang hari ini, kau
boleh melakukan apa saja yang kau mau! Tapi perhatikan dulu, apa
tempat salsanya sudah penuh?"
"Ya." Dua menit kemudian Lori berjalan ke luar. Setelah
menggantungkan seragamnya, gadis itu membasuh mukanya.
Dilepasnya ikatan rambutnya, dan meraih jaket baseballnya yang
terbuat dari kain satin berwarna pink serta celana jeansnya. Lalu ia
berjalan menyeberangi tempat orang-orang berlalu lalang, menuju
toko Hobart's. Ia tak melihat Nick. Namun ayah cowok itu, berdiri di belakang
meja kasir tempat mesin hitung.
"Selamat malam Pak Hobart. Apa Nick ada?" tanyanya.
Pak Hobart adalah seorang pria bertubuh tinggi dan tampan.
Wajahnya tak jauh berbeda dengan Nick. Hanya saja usianya dua
puluh tahun lebih tua dan tubuhnya dua puluh pound lebih berat. Mata
cokelatnya terangkat saat ia melihat Lori. "Dia lagi istirahat. Coba deh
lihat di bawah sana."
"Terima kasih."
Dengan cepat Lori berjalan melewati meja kasir, lalu langsung
ke bagian belakang, melalui pintu darurat, turun ke bawah, menuju ke
tempat yang landai. Di bawah mall terdapat lorong lebar yang
berkelok-kelok yang merupakan dok pemuatan, landaian, servis lift,
tumpukan papan-papan kayu dan kotak-kotak kosong, dan juga
barang-barang yang tak terpakai. Tempat itu adalah dunia tersembunyi
yang tidak diketahui para pembeli.
Nick duduk di pinggir gudang dekat tumpukan barang-barang
Hobart, punggungnya menghadap ke Lori. Jantung Lori berdebar
sekejap. Gadis itu melompat ke dok dan berdiri di depan cowok itu.
Nick menatapnya dengan terkejut.
"Masih ingat aku, nggak?" tanya Lori dengan tenang.
"Hai. Mmm?kukira kamu ngambek karena aku tak
menelepon," ujar Nick.
"Nggak kok." Kesal adalah istilah yang lebih tepat. "Aku cuma
ingin tahu, ada apa? Ada yang ingin kau katakan?"
Mata biru Nick tampak tersapu mendung saat ia menatap Lori.
"Nggak juga," ujarnya lalu memalingkan wajahnya.
"Gimana dengan lelang budak? Bukankah Vicki membelimu
seharga dua ratus dua puluh lima dollar!" sembur Lori kesal. Ia tak
sanggup menahan amarahnya lebih lama lagi.
Nick menatapnya dengan rasa bersalah. "Yah, harganya
memecahkan rekor," ujarnya sambil berusaha untuk tersenyum.
"Hebat nggak?" "Sama sekali nggak. Kenapa kamu nggak datang ke Tio's dan
cerita semua itu ke aku? Sampai-sampai aku mendengarnya dari orang
lain!" "Maaf, aku sibuk," ujar Nick meminta maaf. Kemudian ia
menatap lantai kembali. Sibuk dengan Vicki? Lori mengenyahkan pikiran buruk itu dari
benaknya. Tak ada gunanya mengeluarkan unek-uneknya dengan
keras. "Ya, itu benar-benar penghinaan," ujar Lori pada Nick. "Lebih
celaka lagi, anak-anak ngeliatin aku sepanjang hari. Seolah-olah aku
ini makhluk aneh di kebun binatang."
Nick mengangkat wajahnya. "Ngeliatin kamu? Kenapa?"
Oh, jadi dia nggak tahu? Lori tak percaya. "Ya, karena mereka
penasaran. Mereka dengar Vicki mau merebutmu, dan mereka ingin
tahu reaksiku. Benar-benar brengsek!"
Rahang Nick mengeras. "Itu nggak benar. Vicki nggak ngejarngejar aku."
Tetapi pandangan mata Nick tampak ragu. Lori dapat
melihatnya. "Oh ya, memang benar. Dia datang ke Tio's kemarin, dan
bilang begitu padaku."
"Jangan bercanda, ah!" mata Nick makin melebar. "Kamu
yakin?" "Nggak, aku mimpi!"
Nick mengernyitkan keningnya. "Maaf deh. Apa saja yang dia
bilang?" Lori mencoba mengingat-ingat kembali. Kebencian di mata
Vicki dengan mudah diingatnya. Tetapi kata-kata yang keluar dari
mulutnya tidak begitu diingatnya lagi. "Ya, dia bilang dia tahu tentang
kita. Katanya kau sudah cerita semuanya, secara mendetil."
Nick mengangguk. "Ada yang lain?"
"Oh tentu." Tiba-tiba Lori merasa pikirannya hampa, dengan
gugup ia menelan ludah. "Mmm? katanya ia tak keberatan dengan
kita." "Nah, itu kan membuktikan?"
"Bukan, dengar dulu dong! Katanya dia nggak perlu khawatir,
karena kau akan bosan denganku."
Nick tersenyum, kali ini sungguh-sungguh. "Itu artinya dia tak
tahu siapa aku. Atau kamu. Apa lagi?"
Lori tersipu-sipu. "Aku lagi mengingat-ingat...." Tetapi apa
yang diingatnya tiba-tiba memudar. Kelemah-lembutan Nick
membuatnya terhibur. Ia tak dapat memusatkan pikirannya lagi.
"Rasanya bukan seperti ancaman tuh," ujar Nick beberapa saat
kemudian. "Lori, kayaknya nggak ada yang perlu kamu khawatirkan,
deh." "Bukan. Masih banyak kok, yang diomongin Vicki. Cuma aku
lupa." Kenapa sih ia tak sanggup marah pada cowok itu? Lori merasa
frustasi. Ia merasa bagaikan anak kecil! Ingat nggak, Nick tak
meneleponmu selama tiga hari? katanya dalam hati. Ayo terus?tegur
lagi cowok itu! "Tapi, kenapa kamu nggak nelepon aku, sih?" desak Lori. Suara
Lori terdengar agak memaksa. "Atau mampir ke Tio's?"
"Lori, kan sudah kubilang, aku sibuk."
"Kau nggak pernah begini sebelumnya," ujar Lori lagi.
"Aku tahu, cuma?" Nick berhenti berkata-kata, ia berusaha
mencari-cari alasan lain.
Tiba-tiba amarah Lori meledak. Kenapa Nick berhenti
ngomong? "Nick, apa yang mau kau bilang?" tanyanya.
"Nggak ada," tegas Nick lagi.
"Pasti ada. Dan aku yakin pasti ada hubungannya dengan Vicki,
ya kan?" Rasanya memang menyakitkan, namun Lori berusaha untuk
mengetahuinya. "Itu nggak benar!" pekik Nick. Cowok itu lalu berdiri dan
berjalan mondar mandir. "Kalau memang itu nggak benar, coba katakan...." suara Lori
bergetar penuh harapan. "Katakan kamu nggak mencintainya lagi."
Nick memutar badannya, matanya tampak gusar. "Jangan
pernah mengancamku, Lor!" bentaknya.
Mengancam? Lori tak mempercayai pendengarannya. Apa sih
maksud cowok itu? "Nggak usah membentak-bentakku," balas Lori lagi. "Aku
bingung karena kamu nggak nelepon-nelepon."
Nick berusaha menenangkan dirinya. "Kan sudah kubilang, aku
sibuk. Kamu nggak percaya?"
"Je-jelas aku percaya!" jawab Lori dengan gugup.
"Bagus." "Jadi semua beres? Kamu mau menelepon aku lagi?" pinta Lori.
"Lori, aku nggak pernah berhenti meneleponmu!"
"Iya, kemarin-kemarin."
"Nggak! Nggak betul!" bantah Nick.
Tetapi Nick tidak menelponnya. Lori tahu benar seperti apa
bunyi dering telepon. Tangis Lori meledak. Segalanya terasa kacau. Apa pun yang
dikatakannya membuat Nick jadi marah.
Celakanya, Lori tak tahu lagi di mana kesalahannya. Jangan
bicara apa-apa lagi, katanya dalam hati. Tiap kali kau membuka
mulut, keadaan akan bertambah buruk.
********** Vicki Keller baru saja keluar dari kamar kecil di lantai pertama
Merivale Mall, saat ia mendengar suara-suara keras dari balik pintu
petugas yang terbuka. Diam-diam Vicky mendengarkan. Dua orang
sedang bertengkar. Ia bergerak mendekati pintu keluar. Gadis itu
senang apabila ada orang yang bertengkar. Kebalikan dari
Kisah Cinta Abadi 8 Jatuh Cinta Sama Lo! No Way! Karya Rere Nurlie The Ring Of Solomon 3
^