Pencarian

Clurit Bata Putih 2

Clurit Bata Putih Karya Suparto Brata Bagian 2


ini kepada orang lain. Lebih baik kau pendam sendiri. Jangan hendaknya terjadi seperti
Jawawi. Engkau belum lagi siap dengan kepandaianmu, telah kepergok berhadapan dengan
musuhmu yang sakti! Maka nasihatku hindarilah pergaulan dengan Haji Bakri. Atau
janganlah bergaul dengan perempuan, sementara waktu!"
Hm! Tapi gadis cucu Haji Jen tadi telah mengetahui halku!" sela Jabodin.
"Oh, dia lain lagi. Tidak masuk perempuan yang kumaksud! yang harus kau hindari adalah
perempuan semacam Patimah. Kau kenal Patimah? Ah, itu, perempuan yang menyaksikan
pembunuhan Jawawi bersamamu itu !"
"Dan dia molek!" ucap Jabodin berbisik-bisik seorang diri.
"Ya, molek! Justru kemolekannya itulah senjatanya yang menakjubkan guna memadamkan
kesaktian! Maka hati-hatilah.....!"
"Siapa tadi, namanya ?" tanya Jabodin.
"Patimah!" tegas Cak Tojib.
"Ah, bukan! yang kumaksud cucu Haji Jen tadi," kata Jabodin.
"Aaaah, kau ini, Din! Siapa pula yang kau sebut? molek tadi? Ooookk! Jabodin. Din!" ujar
Cak Tojib dengan gemas memikirkan sikap Jabodin yang berlagak seperti orang dungu.
Hari Kamis rasanya amat lama! Harapan bertemu dengan gadis molek itupun lama pula.
Besok baru hari Sabtu. Lalu Minggu. Senen. Selasa ..... ah, masih lama! Pergi ke Pandegiling
ada dua keharuan, belajar pencak dari orang sakti dan bertemu dengan dia! Jabodin
terkenang-kenang saja pertemuan pertama jam tiga malam, malam Jumat yang lalu!
Malam Jumat Haji Jen menyuruh Jabodin datang kerumahnya. Itupun waktu malam, jika
orang telah sepi. Tapi hati Jabodin tidak betah bertahan sampai hari perjanjian. Sudah dilela
lela dengan berjalan mengitari kota, menyusuri kampung, namun seringkali kakinya mau
membelok ke Pandegiling saja. Seringkali pikirannya tergoda Ya, dengan Haji Jen ia berjanji
datang hari Kamis malam Jumat, tetapi dengan cucunya, bukankah ia tidak berjanji apa??
Boleh saja datang pada hari sebelumnya! Akhirnya jebol pertahanannya. Diturutinya desakan
hatinya yang menggo dam didadanya. Belum lagi Selasa, belum lagi Senin, hari Minggu
petangnya, kakinya telah dibiarkannya melangkah terayun-ayun kearah selatan, menuju
kampung Pandegiling! Hm, langkah yang malang! Pikiran tergoda oleh kemolekan
perempuan, itulah langkah naas! Cak Tojib telah memperingatkan, jangan dekat-dekat sama
perempuan! Perempuan membawa celaka! Jabodin tak ingat nasihat Cak Tojib. Ia lena.
Bertamu kerumah Haji Jen sebelum hari perjanjian bermaksud ke temu perempuan molek!
Dan bukan perempuan saja yang ditemuinya, tetapi kemalangan juga !
Cucu Haji Jen yang menjatuhkan iman Jabolin bernama Burjani. Baik Haji Jen maupun ayah
gadis itu juga orang Madura aseli, tetapi telah lama meninggalkan pulau asalnya. ayah
Burjani bahkan telah lama tinggal disemenanjung Melaju. Hanya kiriman hartanya jugalah
yang tetap berlangsung untuk tiap rumah tangga Haji Dico, menantu dan jucunya. Namun ibu
Burjani, seorang perempuan terpelajar asli Gresik, bukanlah orang yang suka berpangku
tangan. Meskipun kiriman' belanja dari suaminya cukup, se masih juga bekerja membuat
penganan dan barang dagangan lainnya. Makanan tahan lama seperti juada ijas dikerjakan
sendiri dirumah dan dijualnya dipas Gresik. Sebab itu pagi benar rumah Haji Jen sudah pada
bangun mematangkan segala sesuatunya. Bersamaan waktunya dengan terbitnya matahari
biasanya datang orang yang membawakan penganan itu ke Gresik. Tapi tidak jarang pula
Burjani atau ibunya datang ke Gresik, mengurusi dagangan. Berbeda dengan Patimah seorang
yang manja dan menyibukkan diri pada pergaulan dan pergerakan, maka Burjani tekun
membantu ibunya bekerja. Seperti halnya Parimata, Burianipun termasuk seorang yang cakap
dan cekatan. Karena itu dirumahnya ia merajai. Semua orang diperintah. Bahkan kakeknya
ataupun ibunya sendiri sering kali makan perintabnya. Dan mereka biasanya menurut, sebab
Burjani sangat mereka kasihi dan dipihak yang benar pula!
Dulu, ketika Burjani belum dewasa dan perdagangan ibunya belum maju, Haji Jen serta
merta membutir perguruan pencak. Memang sejak masa mudanya pendekar Jennuri sangat
terkenal didaerah Jawa Timur. Ke Timur sampai Probolirggo kebarat sampai kendal. Tetapi
sejak kepulangannya dari Tanah Suci Mekah, kegiatannya terhenti sama sekali. Baru waktu
nyata-nyata nampak tinggalnya menetap di Tanah Melayu, ia coba membuka perguruan
pencak tetapi tidak lama, sebab Haji Jen terlalu cermat dalam memilih calon muridnya,
sehingga biaya untuk mendirikan perguruan tidak ada dan dengan murid yang diterima.
Bahkan seringkali jendatangkan heboh, atau pertengkaran. Dan masuklah perguruan itu
seorang pendekar muda belia yang berbakat, Bahrowi namanya. Mula-mula Bahrowi sering
kali pendapat pujian dari gurunya, sebab bakatnya yang baik dan cakap dalam pelajaranpelajaran. Dan ini segera nyata jika ada teman seperguruannya yang bisa menandingi
ketrampilannya. Dalam sekejap waktu saja Bahrowi telah menjadi ketua pembantu dalam
perguruan itu. Lama-kelamaan sikapnya jadi tekebur, sombong dan hanya mengandalkan
kesaktiannya. Lebih-lebih setelah Berkenalan dengan kepala polisi Van Greven, langsung
dipakai sebagai tangan kanan polisi Belanda itu. larena ketakutannya kalau kepandaiannya
dikejar atau ditandingi oleh murid-murid Haji Jen lainnya, maka dengan membawa surat
perintah Van Greven Bahrowi datang ke Pandegiling.
"Wak Ji! Ini aku bawa peritah dari Kangjeng noperaen. Perguruan pencakmu terpaksa
ditutup, karena engkau tak mampu bayar pajak, dan engkau tidak diperbolehkan lagi
menurunkan ilmumu kepada orang lain lagi, kecuali aku. Mengerti kau wak Ji?"
Haji Jen terkejut mendengar perkataan muridnya. Namun pendekar serba tahu ini mengerti
ada apa dibalik surat perintah Van Greven yang diunjukkan kepadanya. Ia mengangguk dan
tersenyum, dan kabar berhentinya mengajar olah jasmani pencak itu dikabarkan keluarganya.
Tak tersangka bahwa Burjani yang mulai besar menyambut surat perintah Van Greven itu
dengan tepuk tangan gembira.
"Bagus, bagus! Engkau harus insaf, kek, telah tua. Jangan ambil murid lagi dan mengasolah.
Aku dan ibu akan bekerja keras menegakkan rumah tangga. Jangan kuatir, tidak sia-sia ayah
menyekolahkan aku masuk Huishoutschool. Aku tahu banyak tentang masak-memasak dan
jahit-menjahit sehingga mudahlah mengerjakan sesuatu dengan mendapatkan keuntungan,
Bermain pencak, cih, suatu permainan bertaruhkan jiwa. Dan jika tidak bolah benang, jika
tidak kalah menang, itulah hasilnya pertengkaran main pencak. Kekalahan dalam pencak
seringkali ditebus dengan nyawa, dan kemenangannya dibayar dengan pemburuan dan
penantangan!" ujar gadis itu dengan anggap.
"Ha, ha, ha, wak ji! Cucu perempuanmu ini sungguh elok dan cerdas. Lain kali aku
melamarnya, boleh ja wak ji?!" ujar Bahrowi waktu mendengarkan bi cara Burjani.
Haji Jen mengerutkan dahi. Mungkin Bahrowi bermaksud bergurau dengan ucapannya itu.
Tetapi gurau yang kurangajar. Kecut hati Haji Jen memikirkan ucapan muridnya itu. Tapi
Haji Jen tak berani lagi membentak Bahrowi, sebab berdiri dibelakang Bah rowi surat kuasa
mencer Van Greven! Menyesal ia telah menurunkan begitu banyak kepandaian yang hebat
kepada pemuda ndugal itu!
(Bersambung jilid II) JILID II KEADAAN sesungguhnya kian bertambah buruk. Perintah penghentian mengajarkan ilmu
pencak yang semula disambut dengan tepuk tangan oleh Burjani, ternyata banyak
menimbulkan kesulitan-kesulitan. Batas gerak Haji Jen kian dipersempit. Untuk mengawasi
kegiatan orang tua itu, tiap hari Minggu sore Bahrowi datang ke Pandegiling, dengan alasan
mempermahir ilmu pencaknya dihadapan gurunya. Tapi pada hakekatnya ia datang pada
waktu-waktu yang tidak teratur dan bahkan lebih sering mengunjungi rumah itu, sehingga
mengganggu ketertiban rumah tangga Haji Jen.
"Wak ji, dibuka baru gelanggang adu kesaktian di Wonocolo, wak ji. Tidakkah wak ji ingin
mencoba kesaktian pendekar muda? Ayo kesana jika wak mau!" ajak Bahrowi sesekali.
Ah, Rowi, aku sudah tua. Dan tidak pantas lagi maju kepercaturan pencak. Lagi pula siapa
tahu, de ngan memperlihatkan gerakan yang kita pelajari dengan tekun dimuka umum, akan
membocorkan rahasia perguruan. Tidak Wi. Bukankah aku telah dilarang mengajarkan ilmuilmu pencak?" jawab Haji Jen dengan masgul.
"Ha, ha, ha, nah begitu, wak ji. Jangan sekali kali menurunkan kepandaianmu kepada orang
lain lagi wak ji. Jangan ambil murid baru. Jika kuketahu perbuatan itu, awas, bisa saja kau
dibuang ke Boven Digul! Ancaman! Selalu saja Bahrowi berkata dengat ancaman yang mengecilkan hati orang tua itu.
Namun Haji Jen tetap sabar dan tawakal.
Surabaya terkenal dengan pasarmalamnya yang di adakan tiap tahun sekali, selama dua
minggu. Pada waktu demikian hampir seluruh penghuni kota memerlukan datang ketempat
itu, entah sekali atau beberapa kali dalam dua pekan itu. Maka mudahlah dibayangkan betapa
berjejalnya orang di tanah lapang Canalaan itu pada hari-hari demikian. Kedai" dibangunkan
orang. Bermacam macan tontonan didatangkan dar daerah dan luar daerah. Bahkan orang dari
luar kota Gresik, Sidoarjo, pada memerlukan datang ketempat yang ramai itu.
Ibu Burjani tidak menyia-nyiakan waktu baik ini untuk mencari keuntungan. Dibukanya
warung makanan disitu dengan mengutamakan soto Madura. Soto Madura Haji Jen, menjadi
terkenal dalam tempo dekat, sebab nama Haji Jen telah bertahun-tahun dikenal orang, tapi
sebagai penjual soto tiba-tiba merebut pasaran luas pula karena kata orang juru masaknya
anak sekolah Huishoutschool! Keruan saja bukannya turunan pendekar yang suka masuk
kewarung ibu Burjani, tetapi juga para studenten gemar singgah di warung soto Madura Haji
Jen itu. Burjapi memang membantu dibelakang layar. Ia turut bekerja diwarung ibunya, tetapi ada
dibelakang, didapur. Meskipun ia seorang perawan yang elok parasnya, yang biasanya lalu
dijadikan propaganda penarik pembeli, tapi diharamkan hal itu oleh keluarga Haji Jen. Maka
Burjani tidak pernah kelihatan dari depan. Namun bagi teman sekolahnya, tidak rahasia lagi
setelah selesai makan-makan, atau waktu memesan makanan, pada menjenguk ke dapur.
"He, Ni. Sombong kau sekarang! Tidak pernah kau datang kerumahku!" selonong suara tegur
yang ramah. "Hai, kau Mah! Dengan siapa engkau? Wah.. pesiar terus, ya? Malam Minggu, malam
panjang si! Sibuk sekarang aku, Mah. Tak ada yang membantu ibu mengurusi ini. Masih giat
dalam MJMB?" (Madureese Jong Meisjes Bond) tanya Burjani pada tamunya yang
menjelonong masuk kedapur.
"Hh hm !" sahut tamunya mengiakan sambil mengangguk.
"Sama siapa kau, Mah?" tanya Burjani mengulangi.
"Biasa, Suyanto, kak Man. Ayo, kemuka! Mau nonton wajang orang. Sebentar lagi main.
Aku belum pernah menontonnya. Sekarang mumpung ada Suyanto, orang Sala dia, biarlah
diterangkan sedikit tentang cara menikmati pertunjukan itu," kata tamu Burjani tidak lain
adalah Patimah. Burjani dan Patimah teman sesekolah. Patimah lebih tinggi kelasnya. Tetapi
rasa kesukuan mempererat pergaulan mereka.
"Hai, awas, banyak murid terpikat pada guru sekarang!" ujar Burjani menggoda temannya.
Matanya mengerling. "Ah, kau nih! Jangan disamakan Suyanto dengan Bahrowi, hi hi hi. Aduuuh! Sakit
cubitanmu, Nil" seru Patimah bergurau.
"Hai, Mah! Mah! Apa lagi yang kau bicarakan dengan Burjani, Mah? Ayo, cepat sedikit.
Pertunjukan telah mulai!" seru Nariman dari depan.
Heh, ayo, Ni! Aku bergegas! Sampaikan salamku kepada si Rowi! Bukankah tiap Minggu
sore dia kerumahmu?" ujar Patimah tergesa meninggalkan Burjani.
"Heh, kau masih hafal hari-hari berlatih lagi Rowi, ya ? Ssstt, Mah. Kau kenal sama Jabodin,
orang kita?" tegur Burjani menukas.
"Jabodin?! Asal Sampang?!" tanya Patimah ter tegun
"Ya, dari Sampang!" ujarnya sambil mengerdipkan sebelah matanya, isyarat bahwa ia
gembira dengan penemuan orang baru ini.
Berdengup jantung Patimah, ujarnya : "Ada apa dengan Jabodin ?!"
"Mah! Kita kehabisan kursi nanti, Mah!" seru kakaknya.
"Tidak apa?! Kakek kenal dengan dia!" jawab Burjani dengan suara rendah. Tidak ada lagi
niatnya mengemukakan Jabodin, kecuali menanjakan apakah Patimah kenal atau tidak.
Melihat Burjani tidak mengisjaratkan hal lain, Patimah pergi dengan perasaan bertanya-tanya.
Ya, api telah bepercik pada bensin. Meskipun tontonan dipasar malam begitu indah dan
menakjubkan, meskipun orang ramai dan lampu terang benderang, tapi bagi Patimah sepi dan
gelap. Ia berjalan dipasar malam, tapi pikirannya berputar-putar ditempat lain. Jabodin
dikenal Haji Jen! Jika Burjani menjatakan bahwa dia yang kenal Jabodin kira tidak begitu
gelisah perasaan Patimah. Tetapi Burjani mengemukakan kakeknya yang kenal Jabodin! Apa
hubungan Jabodin dengan guru pencak itu? Kenalan biasa? Tak mungkin! Mereka tidak
sebaya. Tidak sepahan. Haji Jen orang kuno Jabodin anak sekolah! Mereka tidak akan ada
hubungannya kecuali dalam satu hal : pencak! Guru dan murid! Jabodin belajar pencak!
Sungguh menyeramkan! "Din! Jangan! Jangan belajar pencak!" bisik Patimah seorang diri.
"Siapa lagi belajar pencak, Mah!? Itulah peranan buta cakil, gesit, sombong, tingkahnya
melonjak-lonjak, tapi sebentar lagi akan mati kena kerisnya sendiri! Begitu bukan, To?" kata
kakak Patimah, sebentar menengok Patimah sebentar lagi menyikut Suyanto.
Keesokan harinya, hari Minggu, Patimah seperti orang bingung, tak tahu jalan. Kampungkampung dijelajah dan bertanya-tanya. Ia mencari rumah Jabodin. Ia harus ketemu dengan
Jabodin! Setelah lelah mencari, akhirnya ketemu juga tempat pemondokan Jabodin. Tapi
sayang Jabodin tidak ada dirumah Dengan putus asa dia pulang kerumahnya.
Sore harinya, Minggu sore, ia kembali lagi ketempat pemondokan Jabodin. Tapi tak ketemu
lagi! Induk semangnya tak tahu kemana pergi Jabodin. Maka jalan satu satunya pergi
kerumah Burjani, minta keterangan yang lebih jelas mengenai Jabodin. Rasanya ia
menempuh jalan yang amat jauh untuk sampai di Pandegiling, sedangkan matahari cepat
sekali meluncur keufuk barat! Tapi tekadnya bertambah kuat serentak diingat hari itu hari
Minggu sore, saat Bahrowi belajar pencak. Nanti dia bisa pulang diantar Bahrowi, tak usah
takut kemalaman dijalan seorang diri! Dipanggilnya dokar untuk mempercepat langkahnya.
Pendeknya jika seandainya tidak bisa mendapatkan keterangan dari Haji Jen sendiri tentang
hubungannya dengan Jabodin, Burjanipun tentu bisa memberikan keterangan. Karena itu ia
mengarah tiba dirumah Burjani sebelum Burjani dan ibunya berangkat ke Jaarmark, sebelum
matahari terbenam. Jabodin dengan gelisah terus saja menuju rumah Haji Jen Kian dekat rumah itu, hatinya kian
gundah. Apa gerangan nanti yang diucapkan kepada gadis pujaanja itu? Masih ingatkah dia
kepadanya? Bagaimana jika tidak? Ketika ia menghadapi Baron Balungbendo, hatinya tidak
gentar seperti ini. yang dihadapinya sekarang ini banjalah seorang perawan jelita, jantung.
nya lebih kuat berdenjut . denjut sehingga terasa memu kuli dada!
Jabodin masuk halaman rumah, kakinya terasa keri, rasanya ringan dan ingin terbang saja. Ia
mengetuk pintu, rasanya dadanya sendiri terketuk. Rumah sepi. Dimana mereka? Bagaimana
jika yang keluar kakek nja? Dan bagaimana pula jika yang keluar orang lain?
Kenaasannya belum tampak. Burjanilah yang menjawab ketukan pintunya. Dan tidak terlalu
sukar seperti yang dibayangkan semula. Burjani menyambutnya dengan tegur dan senyum
menjenangkan. "Ah, kak Jabodin. Mari masuk. He, bukankah engkau harus datang malam? Adakah
keperluanmu dengan kakek?"
"Dimana kakekmu?"
Itu, dibelakang. Beliau jarang sekali keluar kesini. Baru saja sembahyang ashar. Perlu
kupanggil kemari?" Tidak. Biar beliau ada dibelakang. Aku mau ketemu dengan yang muda-muda saja!" ujar
Jabodin dengan tersenyum. Ya, ia pandai juga tersenyum sekarang, didepan perawanrupawan pujaan hatinya.
"Ah, kau berseloroh! Mari, duduk! Lama sudah kau di Surabaya, ya? Kau telah pandai
berbahasa Jawa!" ujar Burjani.
Jabodin mengangguk. "Heh, Ni! Siapa sih namamu? Aku belum lagi tahu lengkapnya."
"Biasa. Burjani," jawabnya dengan bahasa Madura. Mereka bercakap- cakap terus dengan
bahasa Madura. Burjani memang pandai bicara. Meskipun dengan pemuda yang baru saja
kenal, ceritanya banyak juga. Ia lupa hari itu hari Minggu. Ia lupa bahwa Jabodin datang
kerumahnya yang pertama melamar menjadi murid kakeknya untuk melenjapkan Bahrowi
yang sore itu akan datang pula disitu. Karena mereka bersenda-gurau menggunakan bahasa
Madura, mereka tidak merasa asing lagi dan yang mereka bicarakanpun bukan soal-soal ilmu
pencak dan dendam kesumat yang diakibatkan. Mereka lebih cenderung bicara soal mudamudi, soal hubungan pergaulan pria dan wanita. Mereka mungkin akan bicara berlarut larut
seperti itu seterus, nya, lupa waktu lupa keadaan, andai kata tiba-tiba tidak datang seorang
pemuda berdiri diruang itu pula.
"He, Ni! Dengan siapa kau ?" tanya orang yang baru datang. Suaranya kasar. Dan
kehadirannya mengejutkan mereka yang omong-omong. Burjani menjerit terperanjat.
Jabodin berdiri tertegak. Mukanya pucat! Sedang Bahrowi, pemuda yang datang kemudian
itu, setelah melihat wajah Jabodin, tertawa gelak-gelak: "Ha, ha, ha! Heh, main apa kau sama
Burjani, heh? Bercumbu, ya!! Ha, ha, ha! Heh, aku pernah lihat rupamu! Dimana ya?
Sebentar! Ah, kau pemuda yang bersama Patimah! Ya, yang dipeluk-peluk Patimah
dilapangan pelabuhan sana, ya? Ha, ha, ha! Apa? Kau mau nantang aku sekarang? Ayoh,
tarik cloritmu! Tanganmu dipinggang, kau bawa clorit bukan? Ayoh, tarik saja! Sudah belajar
pencak sekarang kau, ya? Begitu, laki?! Jangan cuma pandai bercumbu, tapi tunjukkan
keperwiraanmu!" "Wi! Rowi! Ini tamuku, Wi! Dia ke ini bukannya mau menantang pencak, tapi mau
berbincang-bincang! denganku! Tahan nafsumu berkelahi, Wi. Tunjukkanlah kesopananmu
sedikit!" seru Burjani. Berkali-kali ia memutus perkataan Bahrowi dengan jerit dan sedu.
sedan. Tapi mata Bahrowi sudah lempang menuju mata Jabodin.
"Wi, ingat Wi! Tolong!"
Jabodin terpaksa juga mengeluarkan cloritnya. Tangannya gemetar. Memang hatinyapun
gemetar pula. Ia benar belum siap melawan Bahrowi. Ia pernah melihat betapa lawannya ini
berpencak. Bahrowi, orang pertama dari Van Greven! Sedangkan orang kedua saja, Mat
Toha, telah bisa membunuh gurunya! Sungguh tak disangkanya pertemuan ini. Tapi
bagaimanapun juga, demi kehormatannya sebagai orang laki laki, Jabodin menarik cloritnya.
Ia tidak segera menyerang.
"Ayo, serang! Ha, kurang terbuka dadaku? Nih, dada Bahrowi, turunan Sawunggaling!" ujar
Bahrowi dengan memperlihatkan dadanya tepat dimuka Jabodin.
Tapi Jabodin tetap tidak mau menyerang. Ia ingat ketrampilan jago . jago pencak,
ketrampilan Haji Jen. Kelihatan begitu mudah, begitu lena, namun tak bisa diserang dengan
jurus biasa! "Ha, tidak berani? Ha, ha, ha! Apakah aku yang harus menyerang dulu? Ya? Begitu? Baik,
baik! Siaplah kukirim ke neraka!" suara Bahrowi.
"Wi! Ya Allah, ya Tuhan! Dia tidak akan melawan, Wi! Dia tak pandai main pencak!" seru
Burjani. "Apanya tak bisa main pencak? Ia bawa clorit, Ni! Laki-laki bawa clorit bagaimana pun juga
tentu bisa mempergunakan senjata itu! Clorit bukanlah perhiasan! Ayo, coba tangkis belatiku
ini!" seru Bahrowi tak sabar lagi. Lalu dengan gerakan yang tidak begitu laju, ditusukkannya
belati yang ada ditangannya kearah Jabodin.
Meskipun tangannya gemetar, Jabodin bisa juga menggerakkan cloritnya untuk menangkis
serangan Bahrowi. Bahrowi pura-pura terpental senjatanya kena bentur.


Clurit Bata Putih Karya Suparto Brata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagus! Ada ilmumu menangkis, ya! Coba, ini, pelajaran kedua!" seru Bahrowi dengan
mengayunkan belatinya lagi. Sekali ini agak keras.
Jabodin menangkis lagi sedapatnya. Pikirannya ditata benar, agar gerakannya tidak salah. Ia
lebih dikuasai oleh pikiran yang gojah daripada naluri yang murni. Padahal nalurinya inilah
yang dulu dipuji oleh Haji Jen!
Belati Bahrowi tertangkis! Orangnya meringis, tampaklah giginya yang besar. Suaranya
menggelora: "Ah! Ha, ha, ha, ha! Hebat, hebat! Ayo, teruskan! Aku pimpin bertarung kian
lama kian cepat! Siapa tahu akhirnya kau menang? Ha, ha, ha! Bandot muda tukang men
cumbui perempuan-perempuan menang sama Bahrowi, ha, ha, ha! Hai, terima pukulan
ketiga!" Dengan tiba Bahrowi melayangkan tangannya. Kecepatannya mulai luar biasa.
Jabodin undur, sementara berusaha menangkis juga. Berhasil! Bahrowi terloncat undur!
"Nah, ini, lumajan! Awas, serangan lagi! Pinggangmu jaga!"
Bahrowi kembali menyerang. Terbentur oleh tangkisan clorit Jabodin. Undur. Menyerang
lagi. Menyerang lagi. Kian lama kian gesit. Sedang pihak Jabodin, meskipun tangkisannya
selalu berhasil, sikap hati-hatinya terlalu dipegang teguh, sehingga kelihatan kikuk sekali.
Matanya tak lepas mengawasi gerakan Bahrowi, cloritnya dipegang tangan dua dan amat
kencang genggamannya. Tiap kali Bahrowi menyerang ditangkisnya dengan gugup.
Napasnya kembang-kempis nyata dari pergerakan dadanya. Keringat mengalir. Ia insaf betul
bahwa Bahrowi hendak mempermainkannya. Entah sampai kapan, akhirnya, setelah puas
dengan permainan ini, Bahrowi akan bergerak dengan kegesitan sesungguhnya, dan matilah
Jabodin. Mungkin tubuhnya terkelapar disudut lantai. disaksikan oleh gadis kekasih hatinya!
Sangat memalukan! Tapi ia tak berani gegabah menyerang Bahrowi Akan sia-sia belaka!
Bahrowi tak terkalahkan! Satu serangan lagi. Clorit dibabitkan kekiri! Trang! Serangan lagi! Dibabitkan kekanan!
Trang! Kekiri! kekanan Lagi! Tiba-tiba, wek! Bayunya sobek. Pada dadanya! Bukan salah
jahitan, atau bahannya yang sudah tua! tetapi karena irisan belati Bahrowi! Sungguh diluar
tahunya, bagaimana Bahrowi mencoretkan belati melalui jaringan tangkisannya! Terdengar
suara Bahrowi tertawa berderai-derai, mengejek keheranan Jabodin. Lalu mulai lagi. Trang!
Trang! Trang ! Wek! "Ha, ha, ha, ha!" Dan permainan ini kian lama kian cepat, kian
berbahaya. Dari robekan baju didada Jabodin, mulai mengalir darahnya. Ah, kiranya bukan
Bahrowi yang dicabik-cablk oleh clorit Batapotih, tetapi tubuh Jabodin! Tubuh Jabodin akan
tercabik-cabik oleh belati Bahrowi, dan Jabodin mati perlahan-lahan! Wahai, ngeri rasanya!
Pada ketika serangan Bahrowi cukup gesitnya, meloncat kekiri kekanan dan keatas dengan
tangkainya sehingga beberapa kali tangkisan Jabodin sudah tidak mengena lagi, ya gerakan
Jabodin sudah tidak berguna lagi, berhentilah sebuah dokar dimuka rumah. Patimah datang.
Demi didengarnya bunyi orang berpencak diruang depan, ia bergegas menuju kesana. Indera
wanitanya menuntunnya! Sesuatu yang kurang beres terjadi disana! Tak mungkin Haji Jen
mengajarkan ilmu pencak ditempat yang begitu mudah ketahuan orang! Lagi pula, tidakkah
didengarnya isak perempuan menangis? Ya, jerit perempuan menangis bahkan! Lupa
Patimah membayar dokarnya, dan berlari-lari menjinsingkan kainnya masuk ruang muka
rumah Burjani. "Bahrowi! Ja Allah Jabodin! Berhenti! Berhenti!" serunya terus menjerbu diantara mereka
yang bertarung! "Gila kau, ya Wi! Sungguh gila perbuatanmu! Pengecut!"
Bahrowi mengetahui kehadiran Patimah, segera menyelesaikan serangannya dengan jitu, wek
wek. wek! Jabodin terdesak disudut tembok, tak bisa bergerak lagi, cloritnya dipegang
dengan tangan terkulai. Hancur robek pakaian Jabodin dicorat-ejoret oleh ujung belati
Bahrowi. Cabik dan mengalirkan darah!
Patimah datang dengan keberanian yang Ia telah biasa melihat orang berdarah atau berkelapar
luka parah. Ia seorang perempuan yang berhati tabah. Didorongnya dada Bahrowi, agar lakilaki berangasan itu undur menjauh dari Jabodin. Ia tidak takut sama sekali dengan kekasaran,
kekuatan ataupun belati ter. N hunus yang berbau darah! "Gila kau Wi, sungguh maksiat
perbuatanmu ini!" "Hai, Mah! Kau lagi yang datang! Apa pula kehendakmu?" tanya Bahrowi, setengahnya
heran melihat ketabahan gadis ini.
"Kau kira siapa musuhmu ini?" ujar Patimah dengan mata nyalang memandang tepat kemata
Bahrowi. b " Dia bawa clorit Mah! Dia orang yang membela Jawawi dulu!"
"Clorit baginya bukan senjata, tapi kenangan atas kematian temannya! Ia bukan lawanmu,
Wi! Ia tidak bisa main pencak!"
"Tapi ia bisa menangkis seranganku, Mah!"
"Bohong! Jika kau sungguh menyerangnya tak mungkin Jabodin bisa menangkisnya. In anak
sekolah bi Wi! Anak Ambachtschool!"
"Ha, ha, ha, ha! Patimah, dewi penolong! Hai, cung! Kau harus berterimakasih sama gadis
ini! Jika tidak ada dia, mampur kau, tahu? Hai, Mah. Kau cinta sama dia, Mah?"
"Tutup mulutmu, Wi!" sahut Patimah galak.
"Ai, merah padam! Tak apa, Mah! Cuma bilang kepadanya, jangan sekali mencoba belajar
main pencak! Biar umurnya panjang, dan berhasil memetik engkau, ha, ha, ha! Maaaah!
Tertawalah, Mah! Sungguh Mah, jangan boleh dia belajar pencak! Belajar jurus pertama
berarti umurnya kurang satu tahun! Heh Mah, kau tahu kegemaran pacarmu itu? Suka sekali
bercumbu sama wanita', ha, ha, ha, ha! Lihat Burjani itu, ha, ha, ha, ia pun kena bujuk
rayunya! Kau jangan cemburu, Mah! Jangan kau melarang dia belajar pencak, kiranya kau
sendiri main pencak, ha, ha, ha! Bisa gadis-gadis kenalannya kalang kabut kau amuk! Aduh!
Kau tampar aku, Mah! Permulaan yang bagus, ha, ha, ha!" ujar Bahrowi dengan mulut bacar.
Suaranya diumbar tak karuan dan ia tertawa terpingkal-pingkal karena leluconnya sendiri.
Patimah sangat jengkel hatinya. Sekali waktu ia ingin menolong Jabodin, sekali waktu panas
kupingnya mendengar ejekan Bahrowi. Maka dipukulnya pipi pemuda bacar mulut itu.
Burjapi tidak tinggal diam. Ia segera menubruk Jatodin, terus saja diraba-raba dadanya yang
merah basah. Diusapnya dengan kerudungnya. Tapi Jabodin menolak perlakuan lebih lanjut.
Tatkala itu muncullah sais dokar yang bermaksud minta bayaran. Melihat kehadiran sais itu
Patimah timbul pikirannya. "Din! Ayoh, pergi! Biarlah dia lekas pergi meninggalkan rumah
ini, Ni. Tidak baik kumpul dengan Bahrowi !" ujarnya dalam bahasa Madura.
Burjani setuju. Dan Jabodinpun menurut diapit dua anak dara meninggalkan ruang depan,
diiringi tertawa Bahrowi berderai-derai. Mari, pak. Aku naik dokarnya lagi. Ke CBZ!"
(Rumah sakit Umum Pusat) kata Patimah kepada sais dokar. Jabodin dan Patimah naik dokar.
Burjani kembali keruang muka dengan muka masam, "Hah, pacarmu direbut orang, Nil" ujar
Bahrowi. "Oh, diam, Wil Kelakuanmu sungguh tidak pantas! Kau tahu dia orang macan apa, terang
bukan jago pencak, tapi kau perlakukan begitu binal Untuk melawan orang semacam itukah
pelajaran yang diberikan kakek kepadamu? Sungguh tak bermalu!" ujar Burjani.
Tapi perkataan dara ayu yang berapi-api itu disambut dengan gelak berbahak-bahak oleh
Bahrowi! "Sungguh naik bintangnya, bandot muda itu! Dicintai sekalian gadis manis! Heh.
heh, makanya kepadaku Patimah dingin saja sikapnya! Dan kau, Ni! Bagaimana kalau
kulamar? Sungguh ini, Ni! Kan gagah aku daripada tikus pucat tadi? Kesaktian, ada padaku!
Uang, oh, kau ingin binggel (gelang pada kaki yang sering dipakai oleh perempuano Madura)
emas? Kubelikan, nanti, ha, ha, ha!"
"Bising aku Wi, bisssiiiinnggg!!!" jerit Burjani. "Mengapa kau tak bisa diam!? Kau orang
biadab Wi! Mulutmu kotor, hatimu kotor, kelakuanmu maksiat! Itu gambaran tentang dirimu!
Gagah, sakti, kaya, oh, tunggulah sebentar lagi, sifat-sifatmu itu akan luntur! Akan luntur! Itu
sifat yang tidak abadi, tahu engkau? Tunggu saja, ya! Tunggu!"
"Heh, apa maksudmu dengan tunggu? Ada orang yang mau menandingi kesaktianku? Siapa?
Siapa? Sebut namanya!" ujar Bahrowi dengan sombong dan pongah.
"Ya, tunggu saja! Meskipun tidak ada tandingnya, akan luntur sendiri oleh ketuaan dan
kepongahanmu, Wi! Tunggu saja !"
"Atau musuhku itu sekarang sedang digembleng? Ya? Barangkali pemuda pucat ini datang
kemari mau berguru kepada kakekmu, ya? Kakekmu mau mengambil murid baru!"
"Tidak! Aku tidak bilang begitu! Oh, Gusti Allah, ampunilah perkataanku!" seru Burjani
dengan menangis. "Hah, terang sekarang! Mana kakekmu, mana? Ku. hajar sekali nanti, jika betul kudengar dia
mengambil murid lagi! Ayoh, katakan! Betulkah pemuda tadi mau berguru pada kakekmu?!
Awas, tua bangka itu, berapa lagi kekuatan tenaganya!?" ujar Bahrowi dengan bengis, lalu
masuk kerumah, menemui Haji Jen.
Segala peristiwa diruang depan itu memang terjadi dengan amat cepatnya, dan rumah Haji
Jen memang luas dan sepi orang, maka huru-hara didepan tidak terdengar oleh orang
dibelakang Burjani berlari-lari mengikuti Bahrowi mendapatkan kakeknya.
"He, ji! Kau mau ambil murid beru, ja ?!" teriak Bahrowi dari jauh.
Mendengar ini dan melihat Burjani mengikuti dari belakang, Haji Jen sangat terkejut.
Diterkanya sudah, bahwa cucunya telah berkata jujur kepada Bahrowi!
"Wi, gila kau! Siapa bilang kakek mau mengajar pencak lagi? Ia sudah tua! Ia tidak
mengambil murid lagi kecuali engkau! Kek, ini tadi ada temanku datang kemari. Berjanji
sama Patimah, akan bertemu disini. Tiba-tiba datang Rowi gila ini, tidak memperkenalkan
diri, tapi menantang berkelahi! Sungguh gila, dia, kek!"
"Habis, dia bawa clorit, ji! Musuh lamaku, siapa tidak curiga! Betul ji, kau tidak mengambil
murid lagi? Awas, Ya, jika kudengar sekali saja kau mengajarkan pencak lagi, kulaporkan
pada Van Greven! Kau tentu dibuang ke Boven Digul! Salah2 karena umurmu sudah tua, kau
mati disana, dikubur disana, dan tak ada sanak saudaramu memelihara kuburmu, ha, ha, ha!"
ujar Bahrowi. Meskipun bicara Bahrowi sangat menusuk dan menghina, namun terasa bahwa masa gawat
telah lampau. Burjani telah mengemudikan dengan selamat!
Dalam dokar lain pula yang mereka perbincangkan. Jabodin berkali kali menolak diraba
dadanya. Meskipun darah berceceran, tapi ia tidak merasa lemah sebab nyatanya Bahrowi
hanya merobek-robck bajunya, dan sedikit mencoret coret dagingnya. Sama sekali tidak
melemahkan tenaganya. Lagi pula dendam hatinya kepada Patimah menjala-njala. Ya,
sesungguhnya mungkin ia diselamatkan diwanya dari serangan Bahrowi oleh perempuan itu.
Tetapi apa yang telah terjadi tadi, lebih bicara Bahrowi dan Patimah yang meskipun kasar
tetapi tidak menimbulkan dendam, sungguh menyimpulkan kebenaran perkataan Cak Tojib.
Patimah bermuka dua! Patimah punya bagian pada penyiasatan Van Greven, mungkin turut
mengatur pembunuhan Jawawi! Dendam ini yang menjebabkan Jabodin enggan ditolong
Patimah. Sungguh, Mah. Dadaku tidak apa?! Luka cuma sedikit !"
"Ya, tapi darahnya begitu banyak! Jangan angkuh engkau, Din!"
Patimah berdaya-upaya keras, dan akhirnya Jabodin. pun menurut, mereka menuju rumah
sakit. Dirumah sakit lukanya mendapat pertolongan pertama. Tidak salah kata Jabodin,
lukanya memang tidak berbahaya, sehingga seketika itu pula sesudah diobati dia
diperkenankan pulang. "Kuantarkan kau sampai kepondokmu, Din !" kata Patimah kuatir.
"Tidak usah! Justru engkau yang harus kuantar sampai dirumahmu. Hari sudah mulai
malam!" kata Jabodin.
Melihat Jabodin gagah kembali, Patimah ganti menurut. Mereka naik dokar lagi menuju
rumah Patimah. "Din. Apakah perlumu sesungguhnya kau datang kerumah Burjani tadi?" tanya Patimah
mulai melancar kan penjelidikan.
Jabodin tidak segera menyawab. Tentu saja ia tidak mau mengatakan dengan jujur, bahwa
hatinya terpikat oleh cucu Haji Jen. Tetapi iapun sukar mencari dalih lain. Maka dibiarkan
pertanyaan Patimah tak terjawab.
"Kau tidak bermaksud berguru pada kakek Burjani, bukan Din?"
Jabodin segera menggelengkan kepalanya atas pertanyaan ini.
"Sjukur, Din! Sjukur! Jangan engkau belajar pencak! Itu permainan maut! Sungguh cemas
hatiku serenta kudengar kau kenal dengan Haji Jen, guru pencak si Rowi!"
"Tapi Mah, aku telah dua kali ini dipermalukan oleh Bahtori!"
"Bahrowi, kau masih tetap saja memanggilnya Bahtori! Omong kosong! Jangan kau pikirkan
perlakuan orang gila itu! Bukan engkau seorang, hampir tiap orang diejeknya, disakiti
hatinya, diperlakukan dengan malu! Itulah pekerti Bahrowi yang terkutuk!" ujar Patimah.
"Tapi kau kenal baik dengan dia, bukan Mah?"
"Ya. Aku kenal dengan bedebah itu!" jawab Patimah dengan tetap.
Ketika engkau pulang dari Sampang bersama-sama dengan aku dan Jawawi, adakah
kepulanganmu itu diketahui pula oleh Bahrowi?" tanya Jabodin.
Patimah tampak terkejut. Matanya tajam memandangi Jabodin, menyelidik. Dan Jabodin
menanti jawab pertanyaannya dengan memandang lurus kemata Patimah. Pandang
tersenyum-senyum yang pertama sore itu dari Jabodin untuk Patimah. Patimah merasa bahwa
senyum yang dilancarkan Jabodin sekali ini tidak sewajarnya, melainkan mengandung ejekan
pahit. "Apa maksudmu dengan pertanyaan itu, Din?" tanya Patimah perlahan.
"Jadi benar kata orang, kau ikut merencanakan pembunuhan Jawawi?"
Oh! Oh!" tersentak suara Patimah mendengar tuduhan itu. "Kau, oh, Din, kau sungguh
kejam! Tidak! Aku tidak ikut urusan itu!"
"Bohong! Aku menyaksikan segala tingkah lakumu waktu itu! Kau tentu ikut merancangkan
pembunuhan kejam itu!" bentak Jabodin dengan suara kasar, sehingga sais dokar beringuut
mengejilkan diri. Jabodin bicara memaki bahasa Madura, scdang nais dokar itu telah tua dan
takut dengan orang-orang Madura yang membawa tlorit. Sais malang itu tak mengerti bahasa
Ma. dura! "Sungguh Din! Aku tak ikut merancangkan!"
Tapi setidaknya kau tahu rancangan pengadangan Patimah amat gelisah, nyata pada
pandangan matanya. Ia menelan ludah sambil mengangguk mengiakan. Wajahaja pucat
ketakutan. "Huh, tak kusangka hatimu sedemikian busuknya!" umpat Jabodin sambil meludah,
menghina. Patimah tak tahan lagi, menangis meratap dan menubruk dada Jabodin yang baru saja diobati:
"Oh, Din! Aku tak berdaya! Waktu itu, waktu itu Van Greven mengancamku! Dan
kupertimbangkan dosaku tidak terlalu berat, hanya memberi tanda bahwa Jawawi pulang kc
Sampang. Mereka tidak perlu mengintip-intip Jawawi, Asal diketahuinya aku pergi ke
Sampang berarti Jawawipun kesana. Maka pengadangan dilakukan! cuma itu, Din! Tapi
sampai sekarang aku tidak berbuat apa lagi dengan pekerjaan Van Greven! Sungguh Din!
Sumpah! Karena aku insaf permainan kotor dipihak Belanda ini. Itulah sebabnya aku selalu
melarangmu jangan belajar pencak. Bagi orang mahir main pencak hanya ada dua pilihan
hidup, berpihak kepada Van Greven yang bermain kotor itu, atau berpihak kepada yang lain
yang menjadi musuh Van Greven. yang akhir ini resikonya lebih berat, sebab akan
dirongrong secara licik oleh siasat Van Greven, seperti halnya Jawawi. Din, aku kasih
kepadamu Din. Aku sayang kepadamu. Janganlah ikut belajar pencak, tapi belajarlah
disekolah dengan tekun! Oh, Din!"
Sayang orang tidak bebas memperlakukan kehendak seluruhnya. Sayang pertengkaran itu
terjadi di jalan raya diatas dokar. Jika tidak, jika dunia ini bebas dari tata-cara peradaban,
barangkali Jabodin telah membacok perempuan molek itu dengan cloritnya! Tapi berbalikkan
dengan kehendak batinya, tangan Jabodin memegang dengan lembut kedua pundak Patimah,
Ya, gadis ini dulu pernah menggoncangkan hatinya karena keelokan tubuhnya. Sekarang dia
begini dekat, begini pasrah dan mencurahkan kasih sayangnya lagi. Tak tahan Jabodin
bertindak kejam! "Mah! Jangan menangis! Nanti kita ditonton orang! Lihatlah sais dokar itu telah kecut benar
hatinya. Tenanglah," lipur Jabodin.
Patimah yang telah biasa hidup dengan dunia keras, segera pula menguasai dirinya. Ia duduk
tegak, matanya murung memandangi Jabod?n.
"Kau maafkan daku, Din?" katanya dgn penuh harap,
Jabodin membalas pandang Patimah, menarik napas panjang dan menggelengkan kepala,
seraja ujarnya : "Entahlah, Mah. Hatiku amat kecewa mendengar kata orang bahwa engkau
menjalankan pekerjaan jahat. Penilaianku tentang dirimu menjadi lain!"
Oh!" terdengar lagi keluh Patimah. "Aku ingin menggantinya dengan seluruh jiwaku jika
bisa. Setelah dekat denganmu, maka aku tahu kebenaran, Din. Sebelumnya bagiku segala
persoalan ini bercabang dan kabur. Sungguh !"
Jabodin tidak berkata apa-apa. Ia berpikir.
"Berkatalah sesuatu, Din. Adakah pekerjaan yang bisa kukerjakan yang setimpal dengan
dosa kebodohanku yang lalu?" bisik Patimah.
Jabodin memeramkan matanya. Menemukan akal. Katanya : "Begini, Mah. Kau tahu Haji
Morgan, jago pencak dari Bata potih, gugur bertempur melawan Mat Toha, tetangga
Bahrowi? Nah, apa kata Haji Bakri tentang ini? Ia bilang Mat Toha mau mengembari
kesaktian Bahrowi! Bahrowi hanya pandai membunuh Jawawi, murid Haji Morgan, tapi Mat
Toha bisa membunuh dengan bertempur secara jujur melawan Haji Morgan. Bukankah hebat
Mat Toha itu? Ya, namanyapun sekarang amat cemerlang! Kata Haji Bakri, Mat Toha pernah
berkata, paling lambat tiga tahun lagi, kesaktiannya tentu melebihi Bahrowi! Begitu Haji
Bakri berbual kemarin".
Patimah mendengarkan dengan sungguh hati. Ya, aku tahu macamnya Haji Bakri,"
gumamnya. "Lalu, apakah yang harus kukerjakan?"
"Biasa. Ceritakanlah omongan Haji Bakri itu kepada Barohwi. Suruhlah Bahrowi waspada
terhadap kemajuan Mat Toha, karena mungkin akan ditohok lawan seiring!"
"Hanya itu saja ?"
"Ya, hanya itu saja. Dengan begitu setidaknya perhatian Bahrowi terhadap lawan lain
mungkin lena". "Yang kau maksud dengan lawan lain ialah engkau? Jadi engkau tetap akan belajar pencak,
Din?" tanya Patimah dengan selidik.
"Terpaksa, Mah. Aku sangat malu ditelanjangi di hadapanmu dan disaksikan Burjani. Malu!
Sungguh Mah, bukan aku yang memulai permusuhan. Maka doakanlah, dalam waktu tiga
tahun paling lama, aku telah jadi jantan dan tidak bisa dipermalukan lagi!"
"Dan engkau akan menantang Bahrowi? Lalu berkelahi mati-matian? Oh, Din, mengapa kita
tidak bisa hidup dengan tenang? Aku ingin dunia ini tenang dan damai, sehingga orang bisa
mengamalkan karjanya dengan sebaik baiknya!"
"Hah, kudengar suara hatimu masih murni! Segera. lah berbuat, Mah, segeralah beramal
seakan-akan engkau akan menutup mata besok pagi! Dan tuntutlah! duniamu, seakan akan
engkau akan hidup selama lamanya!" nasihat Jabodin.
Tidak terlalu lama Jabodin menantikan akibat dari anjurannya terhadap Patimah. Pada suatu
rore, Saleh datang kerumahnya mengabarkan Haji Bakri dari Kalianak, mati dibunuh Mat
Tohal "Kau tahu, Din. Haji Bakri tidak bisa main pencak! Tapi Mat Toha dengan secara licik
memancing-mancingaja agar mau bertempur melawannya. Karuan saja dalam dua tiga jurus
Haji Bakri jatuh sekarat muntah darah karena pukulan Mat Toha yang hebat itu. Tapi
tampaknya Mal Toha begitu benci terhadap orang tua itu sehingga tidak dibiarkan orang


Clurit Bata Putih Karya Suparto Brata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengangkutnya kerumah sakit.. Sebelum ia diangkat ketandu, Mat Toha berteriak dengan
nyaring sambil mencurahkan kekuatannya menyepak kepala Haji Bakri yang sedang sekarat.
Prek, hancurlah tulang dahi simalang !"
Jabodin mendengarkan dengan tenang. Bagaimanapun juga biadabnya pembunuhan itu,
Jabodin selalu ingat pertarungan Jawawi dengan Bahrowi panas di Eerste Kade. Betapa tidak
sebandingnya kekuatan mereka! Sangat tidak adil. Dan ini semua karena perbuatan Haji
Bakri juga, yang telah memancing. mancing pertarungan Jawawi dengan Bahrowi!
Jabodin jadi berguru pada Haji Jen. Dengan tekun dan rajin ia datang tiap malam Jumat larut
malam kerumah orang tua itu. Burjani selalu menunggunya sampai dia datang. Sebelum
belajar pencak, sering kali gadis ayu itu bercakap cakap dengan Jabodin, sehingga menambah
erat perkenalan keduanya. Ya, begitu mendalam Jabodin mempelajari ilmu pencak dari Haji
Jen, begitu mendalam pula menelusupnya panah asmara dihatinya.
"Din, akan menangkah kiranya engkau melawan Bahrowi?" tanya gadis cucu gurunya.
"Harus kumenangkan. Haji Jen bilang jurus-jurusku yang dasar bisa kukerjakan dengan
sempurna sehingga memudahkan tambahan ilmu jurus yang lebih tinggi dan sulit. Kata
kakekmu, aku bisa mempergunakan segala senjata dengan gerakan dasarku yang kuat dan
teratur itu, bahkan memakai tongkatpun akan berbahaya bagi lawan. Sebenarnya tak usah aku
pergi membawa clorit, sebab segala benda bisa kupergunakan jadi senjata. Tapi clorit Bata
potih peninggalan Jawawi ini sengaja kubawa kemana aku pergi, untuk menjaga sewaktuwaktu aku kepergok Bahrowi."
Burjani tersenyum. Ia mengerti tugas luhur Jawawi. Hatinya tidak berpantang mutlak dengan
permainan pencak, asal dipergunakan untuk membela keadilan dan kebenaran, demi nusa dan
bangsa. Lagi pula Burjani sendiri pun amat benci kepada Bahrowi yang berkelaku an kasar.
Ancamannya terhadap kakeknya sangat mengecilkan hatinya. Dan perlakuannya
terhadapnyapun amat kurangajar. Pernah sekali tidak setahunya Bahrowi merangkulnya
dengan gemas. Ia menjerit-jerit memukul-mukul, akhirnya menggigit. Sejak itu amat jijik ia
melihat Bahrowi, ingin menyingkirkannya sendiri dari bumi jika ia bisa. Karena itu kehadiran
Jabodin yang rajin dan tekun, serta mendapat pujian kakeknya menjadi harapan hatinya pula.
"Kau harus melenjapkan Bahrowi, Din. Dan melapor kepadaku dengan keadaanmu yang
sehat walafiat!"! sambut Burjani,
"Aku yakin begitu jadinya!"
"Lalu, setelah kau lenjapkan orang berjiwa setan itu, siapa pula yang hendak kau tandingi?"
tanya Burjani dengan selidik.
"Satu lagi musuhku yang besar. Cukup berbahaya Harus kulawan dengan pencurahan tenaga
dan fikiran!" ujar Jabodin dengan bersungguh sungguh. Keningnya yang hitam tebal
mengkerut, matanya menjalang tajam.
"Siapa? Berkelahi lagi engkau? Dengan siapa musuh mu yang lebih sakti daripada Bahrowi?"
tanya Burjani dengan cemas.
"Namanya Burjani!" katanya dengan suara besar dan irama perlahan.
"Hah ?!" ujar sicemas hati terkejut Lalu tertawa girang. Oh, akan kau lenjapkan pula aku?"
"Tidak! Tapi terang akan kuselesaikan! Sebab dendamku sudah parah!"
"Dendam apa itu, Din?" tanya Barjani dengan kenes.
"Dendam asmara !"
"Nah, jika begitu, engkau harus benar-benar pulang bertempur membawa kemenangan dulu
dari Bahrowi, dan datang menghadapi aku dengan jiwa dan raga tidak cacat!" kata gadis ini
bercanda. Dibalik kekenesannya terdengar nada penjerahan hatinya!
Tahun bertukar tahun, musim bertukar musim. Kegiatan kaum pergerakan dibidang politik
kian nyata. Di Bubutan digemakan sumpah pemuda. Sekalian kegiatan pergerakan dijuruskan
kesatu tujuan, gerakan nasional. Satu bangsa, bangsa Indonesia. Satu tanah air, tanah-air
Indonesia. Satu bahasa, bahasa Indonesia. Persatuan digalang! Namun dari pihak gopermen
tidak kurang-kurangnya aksi perlawanan. Van Greven dengan pembantu-pembantunya tidak
mau mengerti adanya kebangkitan bangsa Indonesia. Dia terus melancarkan perongrongan
licik terhadap gerakan kebangsaan. Haji Bahrum ditangkap terang-terangan secara kotor
waktu sedang mengadakan pidato penerangan di Embong Malang. Tanpa banyak usut terus
dibuang ke Boven Digul. Ya, telah beberapa orang pemimpin dari daerah Surabaya saja
ditangkap dan dikirim kepembuangan Digul, Banda, Timor, Bangka, tempat yang semakin
terkenal untuk menakut-nakuti anak kampung bermain-main.
"Hai, jangan pulang terlalu malam! Ditangkap Belanda engkau nanti, dibuang ke Timor!"
Anak2 kecil mungkin takut, tetapi orang yang berjiwa nasional tetap merasa mendapat
panggilan Ibu Pertiwi untuk membangkitkan rakyatnya. "Hiduplah bangsaku, hidup. lah
negeriku !" rakjac Indonesia mulai menggemakan suara hatinya lewat njanjian . njanjian!
GAMBAR/ILUSTRASI Begitu timbul tenggelamnya musim, begitu pula silih berganti nama-nama jago pencak, atau
jagoan sakti, muncul dipercaturan. Sebentar di Tuwowo terdengar Kasanali merajai daerah
timur laut Surabaya, lalu muncul di Kedurus Dulkahar Rajah besi mengalahkan jago pencak
pinggiran kota. Begitu seterusnya.
Pada suatu musim, muncullah nama Bandang Wonocolo. Perguruan Wonocolo sebenarnya
telah lama berjalan, tetapi nama itu sangat terkenal akhir ini karena adanya gelanggang adu
kesaktian diselenggarakan pada waktu tertentu. Digelanggang ini setiap orang sakti boleh
masuk mengadu kesaktiannya, sehingga dengan demikian orang bisa melihat siapa-siapa jago
pencak pada suatu musim, yakni orang yang menang dalam pertarungan adu sakti di
Wonocolo. Gelanggang di Wonocolo itu kian hari kian terkenal, karena pengikutnya kian
meluas, merembet sampai daerah Bangil dan Mojokerto. Dan muncullah Bandang Wonocolo,
seorang asal Buduran yang telah tiga kali berturut-turut menang dalam gelanggang. Ia
bersenjatakan golok besar, Pada musim yang keempat naas baginya. Kabar bahwa di Buduran
terdapat gerakan kebangsaan yang melawan gopermen sungguh tidak menguntungkan
baginya. Namun ia naik juga kegelanggang Wonocolo dan agaknya akan menjadi pemenang
empat musim. Satu demi satu penantangnya ditaklukkan. Ada pula yang sampai pingsan dan
luka parah. Ketika ditanya-tanya tidak ada lagi orang yang naik gelanggang, maka Bandang bersumbar :
Inilah Bandang Wonocolo! Siapa yang masih meragukan kesaktiannya silahkan naik !"
Tiba-tiba meloncatlah gcorang pemuda bersenjatakan pedang Ponorogo. Penantang baru
inipun agaknya besar mulut : Cobalah tangkis pedangku ini, Bandang. Barangkali ada
faedahnya untuk menutup mulut malamanya!"
"Ha, pemuda mana engkau begitu royal dengan ancaman'?" tanya Bandang dengan angkuh.
"Inilah Arek Surabaya sebelah timur! Jangan banyak cakap lagi, ayoh kita mengadu
kesaktian sampai napas kita habis!"
Mereka sama sama melakukan penghormatan sebagai layaknya orang hendak bermain
pencak. Lalu menyambarlah pedang Ponorogo dengan cepatnya. Penonton pada terkejut
melihat serangan awal begitu tiba-tiba tanpa beranjak-anjak dahulu. Jika tidak waspada,
tentulah musuhnya mati pada pukulan pertama itu. Tapi Bandang Wonocolo tak kurang
tepatnya menghindarkan diri. Melesat kekiri. Pedang Ponorogo mengikuti kearah kiri.
Bandang meloncat kebelakang. Diburu ke sana. Sekali ini terpaksa ditangkis dengan
goloknya, Trang! la belum sempat membalas menyerang, pedang Ponorogo itu telah
membabat tepat kepalanya. Kejam, tak berampun! Terkejut ia, kiranya lawannya begitu
trampil dan bersungguh sungguh ingin membunuhnya. Hatinya mulai cemas. Ia belum juga
sempat menyerang, sebab mata pedang itu telah menyahut-nyahut didepan hidungnya
Bandang Wonocolo yang telah empat musim merajai gelanggang, saat itu tak berdaya oleh
serangan pemuda yang gigih. Pemuda bersendjata pedang Ponorogo itu tidak banyak
meloncat. loncat, sehingga meskipun telah membuat Bandang Wonocolo penasaran dan
berkeringat kehabisan akal, ia tidak tampak napasnya berangsur-angsur. Bandang meloncat
kedepan ujung pedang lawan bermain didepan hidungnya. Meloncat kesamping, mata pedarg
lawan gencar menyerang kupingnya. Sungguh hebat gerakan tangan pemegang pedang itu,
sehingga sejak awalnya Bandang tidak sempat sama sekali mengadakan pembalasan
menyerang. Tampak sekali pertandingan ini berat sepihak. Pemuda itu jauh lebih pintar dari
rata-rata jagoan gelanggang pertarungan Wonocolo! Dan meskipun nyata ia menguasai
jalannya pertandingan, namun sikapnya sangat bengis dan gerakan pedangnya yang lincah itu
mengancam maut lawan. Tak berampun! Sungguh Bandang Wonocolo amat malang.
Agaknya kekalaharnya ini harus dialami begitu singkat, atau ditebus dengan kematiannya!
Karena benar ia tak berdaya menghadapi pemuda dari Surabaya timur itu, maka ia pun
berisyarat takluk. Isjarat pertama agaknya tidak tampak oleh pemuda itu. Maka Bandang
mengisjaratkan lagi ketaklukannya. Namun pada saat itu benar, dengan bengis pemuda
berpedang Ponorogo itu menyabetkan pedangrja kearah pangkal leher Bandang, dan dengan
teriakan ngeri, beraama pula jerit para penonton, terkulailah kepala Bandang. Darah mencurat
keluar dari lehernya. Jatuh digelanggang tak bernyawa lagi! Teriak menggugat terdengar dari
para penonton. Memang bukan sekali itu saja dalam gelanggang Wonocolo orang bertarung
sehingga mati. Tetapi kali ini nyata benar kekuatan yang tidak sebanding, sedang nafsu
membunuh terang sekali dari pihak pemuda ini! Orang semua melihat betapa Bandang
Wonocolo berusaha mengacungkan tangan tanda takluk, tapi agaknya pemuda itu tidak mau
tahu. Pemuda yang haus darah! Meskipun menang, tidak dipuji orang! Tapi agaknya memang
perasaannya mendapat gugatan begitu hebat dari penonton, ia masih juga bertepuk dada :
"Ayoh, siapa berani bertempur melawan pemuda dari Kali warong?! Lihat, orang yang
disebut sebut paling sakti dalam tiga musim, telah kuhabiskan nyawanya dalam dalam tempo
singkat. Ya, ia harus mengalami kematian, sebab ia orang pergerakan yang melawan
pemerintah! Hah, tapi itu bukan urusan kalian. Yang perlu janganlah bimbang-bimbang, jika
kurang puas dengan unjuk kesaktianku ini, segeralah naik gelanggang! Jangan cuma pandai
gugat-gugat seperti anak ayam ditinggalkan induknya !"
"Leh, aku harus maju! Pemuda ini sudah terlalu tekeburnya! Terlalu sombong! Aku harus
memberikan pelajaran dimuka umum!" ujar Jabodin kepada Saleh. Memang tiapkali ada
pertandingan adu kesaktian di Wonocolo ini, Jabodin dan Saleh tentu melihat. Sebenarnya
bukan orang orang semacam dua sahabat itu saja menonton gelanggang Wonocolo, tetapi
banyak pula orang-orang sakti lainnya hadir disana. Tetapi mereka itu sungkan ikut masuk
gelanggang, sehingga orang orang macam Bandang dibiarkan mendapatkan kemenangan.
Saleh memegangi lengan Jabodin: "Gelanggang ini bukan tempat orang semacam kau, Din".
"Ah, percuma saja aku belajar pencak jika membiarkan kekejaman dan ketidak adilan
berlangsung dimuka hidungku! Ini tadi bukanlah adu kesaktian, tetapi pembunuhan yang
direncanakan!" ujar Jabodin dengan tegas.
"Lalu, akan kau apakan pemuda itu?"
"Kita beri ajaran semestinya, bahwa di dunia ini tidak pantas orang seperti dia itu bertepuk
dada karena kelalimannya!"
Saleh terdiam. Ia tahu jiwa temannya. Tapi sekali ini ia tidak memperkenankan Jabodin
gegabah bertindak demi keadilan.
"Bagaimana Leh? Agaknya tak ada orang yang berani menegakkan keadilan lagi, meskipun
menilik teriak orang menggugat telah tercerminkan betapa jiwa peronton. Merekapun benci
dan tak sanggup menonton kebiadaban beraksi didepan matanya. Aku maju sekarang, ya?
Jika terlambat, dia akan turun dari gelanggang dengan kebesarannya!"
Saleh menarik tapas panjang, ujarnya dengan suara berat: "Baginya tidak ada urusan polisi
melakukan pembunuhan demikian! tahukah kau, Din, siapa orang itu ?"
Tentu! Dia itulah seorang jahanam, setan yang bertubuh manusia! Ia harus dilenjapkan dari
bumi naungan Tuhan, agar tidak mengacaukan masyarakat dan tidak lagi melakukan
perbuatan maksiat!" kata Jabodin dengan suara antap dan semangat menyala-nyala.
"Ya, Din Memang begitu. Tapi ia membawa surat Gopermen yang ampuh yang tak
terlawan!" "Oh, siapakah dia Leh? Cepat ceritakan!"
"Dialah pembunuh Haji Bakri! Dialah lawan guru kita kira dua tahun yang lalu. Namanya
Mat Toha...! Belum lagi selesai bicara Saleh, Jabodin telah melerat maju kegelanggang. Saleh terkejut. Ia
mengerti Jabodin meneruskan belajar pencak pada Haji Jen, tetapi selama dua tahun bergaul
ini ia jarang sekali mendengar tentang pelajaran' pencak atau tentang diri Jabodin sehingga
Saleh mengira Jabodin tidak lagi tertarik, tidak begitu bernafsu lagi tentang ilmu pencak.
Itulah sebabnya ia mencegah Jabodin untuk maju kegelanggang melawan Mat Toha.
Dibanding dengan ilmu pencak yang telah dipelajari di Bata potih, pada umumnya jago
pencak yang turun kegelanggang Wonocolo masih terlalu rendah tingkatnya. Karena itu
gelanggang Wonocolo bukan tempat pameran kesaktian bagi dirinya dan Jabodin. Tetapi
melawan Mat Toha, ia sendiri pernah menyaksikan waktu bertempur melawan gurunya.
Saleh giris juga. Baik dirinya maupun temannya jika mungkin dicegahnya dan dihindarkan
berhadapan dengan orang sakti culas seperti Mat Toha! Tapi sekarang dilihatnya gerakan
Jabodin yang gesit naik kegelanggang! Terkejut ia bukan main. Sayang jika Jabodin kena
cedera karena persoalan yang sepele, soal tak bisa menahan diri melihat kelaliman. Tapi
gerakan Jabodin kiranya mengalami kemajuan luar biasa. Maka ia hanya berharap-harap
cemas sambil berdoa semoga temannya selamat, sjukur mendapat kemenangan Jika sampai
cedera atau lebih tewas dalam gelang. gang ini, maka urusannya menjadi berabe. Tak ada
urusan apa-apa kematian yang terjadi di gelanggang Wonocolo, sebab jago yang maju adalah
tanggung jawabnya sendiri!
"Hai, tunggu dulu, jangan tergesa-gesa turun gelanggang dengan besar kepalal" seru Jabodin
ketika naik gelanggang Penonton yang semula mengira pergulatan telah selesai, selesai dengan pemenang yang
mengecewakan, kembali tertarik perhatiannya kegelanggang.
Pembunuh Bandang yang lena menengok kearah pemuda berpakaian hitam cara Madura. Ia
tidak tahu bagaimana penantangnya meloncat kegelanggang sebab tatkala itu ia sedang
tunduk hendak turun. Melihat tampang baru ini matanya menjadi berseri-seri lagi, nafsu
kegemarannya menyiksa orang kentara pada tertawanya. Mulutnya lebar, giginya besar! "Ha?
Siapa pula yang bertindak bodoh hendak melawanku ini? Ha, ha, ha, bayunya hitam,
mukanya pucat! Heh, apa yang kau andalkan naik gelanggang sini? Kau sudah lihat aku adu
kesaktian sama Bandang Wonocolo tadi? Sudah kau lihat dengan matamu yang besar itu?
Dan masih saja kau berani naik kegelanggang? Apa yang kau andalkan, heh ?!"
"Tidak begitu berarti, cuma kembang turi inilah senjataku. Sudahkah kau pernah melawan
orang yang bersenjatakan semacam ini?" ujar Jabodin dengan mengeluarkan clorit Bata
potihnya. Awas, kadang khasiatnya luar biasa hebatnya, asal yang menggunakan betul!"
Melihat clorit itu, tak tertahan pembunuh Bandang tertawa terpingkal pingkal. Hoa. haha! Ha,
ha, ha! Kembang turi? Clorit macam itu kau andalkan? Ha, ha, ha! Tahu kau, siapa aku? Ini,
kenali benar-benar, belalakkan matamu yang besar itu sampai sobek, inilah yang disebul Mat
Toha dari Kaliwaron! Tentang clorit kembang turi itu, Ich, akulah yang telah bertarung dan
membunuh guru ahli seajata clorit dari Bata potih. Haji Morgan, dus tahun yang lalu! Ini
orangnya, kau tahu? Kau anak ke marin sore mau mengandalkan kepintaranmu main clori
sama Mat Toha, huh, pikir dulu sekali lagil Pikir dulu sebelum kau melangkahkan kakimu
kegelanggang ini!." Mendengar sesumbar Mat Toha ini, terdengar teriak, heran dari para penonton. Bahkan ada
yang berseru kol pada Jabodin agar turun dan mengurungkan pertarungan itu. Sia-sia orang
melawan jagoan yang terkenal sakti itu!
Tapi Jabodin tidak mau tahu, sebutnya: "Jangan berlagak dan membuat penonton berhati
waswas! Ayoh! peganglah pedangmu erat-erat supaya senjataku ini tidak mencercah
ususmu!" Mat Toha naik darah. Cepat ia menyambarkan pedangnya kearah Jabodin. Tidak terlalu cepat
seperti waktu menyerang Bandang tadi. Ha, ha, ha, kepadamu masih kuberi kesempatan
bertakluk, Kembang turi. Lain terhadap Bandang! Ya, jangan salahkan aku karena
membunuh Bandang, sebab ia orang Buduran cecunguk dari Buduran harus lenyap kata Van
Greven! Kau masih kuberi ampun Kembangturi!"
"Apa bicaramu, silahkan! Tapi bagiku sama saja. Engkau berani membunuh, engkau harus
berani dibunuh!" ujar Jabodin dengan gayanya yang cekatan mengelakkan serangan pertama.
Lalu meloncat dan sebelum pedang Ponorogo memburunya, cloritnya telah langsung menuju
leher Mat Toha. Mat Toha terkejut.
Permainannya seperti yang dilakukan terhadap Bandang, yakni menyerang secara gencar
tanpa memberikan kesempatan lawan membalas, telah digagalkan pada awal pertarungan. Ia
terpaksa menjatuhkan diri, sebab begitu tinggi dan sigap musuhnya meloncat. Dengan
cekatan ia bangkit dan memutar pedangnya menyerbu lawan, suatu serangan yang cukup
berbahaya. Tapi Jabodin tidak gentar. Ditunggu datangnya lawan dengan sikap kuda-kuda.
Matanya kencang, napasnya tenang. Mat Toha senang lawannya menunggu datangnya
serangan, sebab ia bisa mengatur serangan dengan jitu dan seringkali berhasil. Tapi sekali ini
tak diduganya, lawannya yang tenang bisa bergerak begitu gesit. Begitu ia menyerang dengan
pedang diputar, dikirakan berantakan. lah pertahanan lawan! Tidak! Tiba-tiba lawan yang
tenang menanti datangnya serangan itu melesat, dan kaki Mat Toha terjegal. Imbangan
badannya gojah dan ia jatuh tersungkur! Terdengar suara tepuk tangan serta sorak riuh rendah
dari penonton. Mat Toha yang telah terkenal sakti dan ditakuti orang, jatuh tersungkur
digelanggang pencak Wonoco'o! Sungguh memalukan! Wonocolo tempat pengadu
ketangkasan bagi jago yang tidak begitu tinggi kesaktiannya, tapi Mat Toha bisa jatuh
tersungkur! Dengan hati berang ia bangkit, sekarang keredaan hatinya tak dapat ditahan lagi.
Dengan sengit ia membabatkan pedangnya kekiri, terus dibelokkan keatas, tiba' kembali
kekanan dan kebawah. Serangan yang luar biasa cepatnya dan luar biasa ampuhnya. Tapi
Jabodin bisa menerobos jaringan serangan orang ngamuk ini, dan menyinggungkan ujung
cloritnya pada pergelangan tangan kanan lawan. Urat nadi tercabik dan berdarah.
"Kurangajar!" seru Mat Toha. Jika tadi ia bisa dengan tenang melancarkan serangan terhadap
Bandang Wonocolo, sekarang kian goyah keyakinannya. Ia sudah luka pada urat nadinya,
jalan darah yang terpenting. Tak terkira lawannya begitu pandai mendatangkan
kelemahannya. Ia harus segera menyelesaikan pertarungan ini, sebab dengan darah jang terus
mengalir dari nadinya akan habislah kekuatannya la tidak bisa lagi bertarung dengan jangka
lama, Maka diserangnya lagi orang Madura itu dengan ke pandaian memutar pedang yang
lebih hebat. Jaboditn masih saja tenang. Ia tidak mendahului menyeranga Sikapnya selalu
menunggu serangan, tetapi jika bahaya sudah dekat, tiba-tiba ia melancarkan tangkisan atau
menghindar dengan menyertakan serangan balasan. Dengan gerakan begini ia lebih berhasil.
Sebab waktu menyerang, lawan tidak memperhitungkan pertahanannya. Mat Toba kian
marah. Serangannya kian diperhebat. la meloncat kekiri, kekanan, menjejak lantai hanji jika
perlu saja, tubuhnya berkelebat dengan cepat pedangnya berkilat bagaikan pantulan sinar
matahari pada air kocak, sehingga seluruh gerakannya hampir tak dapat diikuti oleh
pandangan mata. Mat Toha memang tinggi ilmu pencaknya. Ia dulu belajar pada seorang
guru pencak di Tanggulangin, yang terkenal dengan Warok Tanggulangin, tetapi gerakan
selanjutnya dimatargkan oleh ketekunan dirinya sendiri jadinya ternyata lebih unggul dari
gurunya. Melihat gerakan yang begitu gesit terbang melayang-layang diatas gelanggang,
orang menjadi takjub dan kuatir. Takjub akan kecepatan gerakan orang ini, dan kuatir jika
timbul lagi korban yang tidak semestinya. Namun orangpun takjub melihat gerakan gerakan
Jabodin yang tenang, dan bergerak jika perlu benar. Maka terjadilah pertarungan yang tidak


Clurit Bata Putih Karya Suparto Brata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serasi, yang satu bergerak bagaikan raksasa galak, yang lain tenang sebagai satria. Dari luka
di urat nadi yang pertama, kemudian disusul pula dengan sabikan clorit pada dadanya. Lalu,
ketika serangan Mat Toha mengancam kebawah, punggungnya dicoret dua kali oleh kembang
turi baja milik Jabodin. Tapi orang tidak segera mengetahui. Gerakan Mat Toha tetap cepat
dan menakjubkan. Pada umumnya ia terkena luka karena gerakan gesitnya juga. Besar
kecilnya lukapun tergantung kekuatan bergeraknya. Sedangkan begitu jauh, Jabodin tidak
meneteskan darah sedikitpun Pakaiannya tetap rajin. Gerak geriknya tetap bersih dan tabah.
Pertahanannya tetap tenang dan berhasil.
Pertarungan tidak bisa segera diselesaikan oleh Mat Toha. Sebab tiap kali ia menyerang
dengan sengit, tiba-tiba mencuat mata clorit yang kukuh disela-sela gerakannya. Runcing,
tajam dan kukuh! Berbahaya bagi serangannya. Dan berkali kali sudah ia terpaksa
membentur benda runcing ini sehingga dagingnya koyak, koyak. Sebegitu banyak ia
mengadakan serangan sengit dan bertubi tubi, belum juga berhasil membabat leher
musuhnya. Sedang urat nadi ditangan kanannya tidak berhenti meneteskan darah. Sekarang
bahkan pada bagian bagian tubuh lainnya tercoret atau tercabik serta mengucurkan darah
pula. Terlalu banyak darah keluar, badan rasa nya kian dingin, kian lemah. Tapi ia harus tetap
bertempur, karena lawannya belum takluk. Ia membutuhkan kekuatan khusus. Tidak
mungkin bertahan lama, Kekuatannya semangkin susut juga. Tambah lemah, tambah lemah.
Ia tidak jatuh karena luka yang ditimbulkan serangan lawan, melainkan karena perbuatannya
sendiri. Hati masih berniat melawan, kemauan masih teguh dan sengit, tapi kekuatan
badannya kian lembek, Akhiri ja gerakannya menjadi lambat. Tambah lambat tambah lambat,
lalu tidak bergerak lagi. Setelah berhenti bergerak, orang baru melihat bahwa Mat Toba luka
parah. Sekujur tubuhnya teriris-iris oleh benda runcing dan tajam. Merah dengan keringat
darah. Mulanya ia masih bisa lari mengitari Jabodin dengan pedang diacung acungkan, lalu
hanya mampu berjalan, akhirnya berdiri tegak dihadapan Jabodin. Itupun tidak tahan lama.
Tangan yang memegang pedang jatuh terkulai, Mat Toha sendiri lalu berlutut, dan paling
akhir terjungkal. Napasnya yang terakhir bisa disaksikan oleh orang banyak, dan
menyebabkan tubuh hancur kemerah-merahan itu terguling dan berhenti bergerak lagi. Hanya
darahnya juga yang masih menetes membasahi lantai gelanggang.
Jabodin telah lama menyarungkan cloritnya. Ia menghadapi tubuh berlari-lari itu dengan
pandangan matanya saja. Sampai Mat Toba terguling tak bernyawa, Jabodin berdiri tegak dan
tenang. Kemenangannya tidak dirayakan oleh tepuk tangan dan puji-pujian, karena orang
takjub dan ngeri melihat kematian Mat Toha yang perlahan-lahan. Kemudian hari orang
berkata, betapa tamaknya jagoan Mat Toha, tamak dan haus darah. Tubuhnya sudah tidak
bisa dikerjakan lagi, namun kemauannya membunuh masih kuat!
"Saudara'! Lihat kematian seorang laknat! Ia mati bukan karena perbuatanku, tapi karena
nafsunya yang jahanam juga!" ujar Jabodin. Tegas dan tenang. .. Ceritakanlah penderitaan
dan penyiksaan diri yang tidak semena ini kepada anak cucumu, bahwa beginilah akhir orang
yang nafsunya membunuh sesamanya menyala-nyala didadanya! Apa yang saudara saksikan
disini, adalah kebenaran semata-mata, bahwa nafsu setan akan mati karena nafsunya pula!
Aku tahu, masih ada lagi orang yang tidak percaya dengan kebenaran ini. Mesih ada lagi
orang yang mendewakan kepandaiannya pencak, mendewakan kesaktiannya untuk
menghancurkan lawannya dan mengumbar hawa nafsunya. Masih ada. Banyak. Satu
diantaranya tetangga orang ini! Pemuda Kaliwaron, Bahrowi namanya! Bahrowi! Adakah dia
disini? Dia juga seorang laknat yang harus kita hancurkan. Sebagai manusia yang biadab, kita
harus memberantas perbuatan perbuatan maksiat seperti yang dilakukan orang-orang seperti
Mat Toha dan Bahrowi! Demi kebajikan! Maka jika sekiranya sekarang ini Bahrowi hadir
disini, biarlah dia naik kegelanggang untuk menebus jiwanya bertanding melawan Jabodin!
Mana orang. nya? Bahrowi! Keluarlah engkau dari sembunyian! Majulah kemari! Ini
Jabodin, Jabodin orang Sampang ingin membalas dendam kawan sekampung! Bahrowi!
Keluar! Ayoh, mana orangnya! Ini dada Jabodin, pemegang clorit Bata potih!"
Bicara Jabodin dimulai dengan suasana tenang. Orang masih tercengkam oleh kematian Mat
Toha yang menghibakan hati. Dan bicara Jabodin sabar dan bijaksana. Tapi kemudian orang
menjadi resah, bahkan kecut hatinya karena sikap Jabodin yang pongah, Nama Bahrowi,
yang terlalu sukar diucapkan oleh Jabodin, telah terkenal. Ja bahkan terkenal sekali! Nama
angker yang tidak sembarang orang berani mengucapkan. Bahrowi terkenal sakti dan kuasa,
kejam tak berperikemanusiaan! Siapa yang menyebut namanya, baik secara sembarangan apa
lagi menghina, akan menanggung akibat buruknya! Nyawa orang bagi Bahrowi sama dengan
nyawa ayam, Dibunuh, disembelih, tak ada hitungannya baik secara hukum manusia maupun
akhirat! Tapi sekarang ini, disaksikan oleh banyak orang, ditempat gelanggang pencak yang
tidak berarti, Jabodin berani menyebut. nyebut dan menantangnya sekali! Sungguh luar biasa!
Orang jadi resah dan gelisah! Ada yang segera meninggalkan tempat itu karena takut
menanggung akibatnya! Tantangan Jabodin tidak terjawab. Hanya gumam keresahan hati penonton juga yang
terdengar. "Ah, sayang ia tidak ada disini! Atau mungkin ada tetapi tidak berani, sebab lawannya
Jabodin, pemegang clorit Batapotih!" kata Jabodin dengan mengejek, menjakitkan hati benar.
Setelah ditunggunya beberapa saat tidak ada jawaban, maka Jabodin turun dari gelanggang.
Beberapa orang menjongsongnya dengan kekaguman. Saleh menangkap lengan Jabodin,
wajahnya masih tampak waswas. "Sungguh diluar dugaanku, kau bisa bertarung begitu
tenang. Dan salahlah perbuatanmu menantang Bahrowi ditempat terbuka begini! Dengan ke
matian Mat Toha ini saja namamu telah menanjak dan dicap merah oleh Van Greven. Musuh
berbahaya! Lagi-lagi kau menantang Bahrowi! Ya, jika dia secara jujur berhadapan denganmu, jika
merundukmu, bagaimana? Oh, Din, awaslah. Sekarang Bahrowi tentu mencurahkan
perhatiannya untuk memburumu!" kata Saleh.
Jabodin hanya mengernjitkan kening, menanggapi peringatan sahabatnya. Ia tersenyum
ketika bilang: "Jangankan dirunduk dari belakang aku sedang berjalan, meskipun sedang
tidur lelap aku tidak takut melawan Bahrowi, Leh. Terlanjur dendam!"
Saleh tercengang. Ia ingat cerita Cak Tojib ketika bersama-sama Jalodin merunduk Haji Jen
sedang tidur, tapi tak berhasil membunuhnya. Apakah sekiranya sudah demikian saktinya
Jabodin sekarang sehingga tidak takut dirunduk sedang tidur nyenyak?
Kabar kematian Mat Toha yang sengsara sungguh menggemparkan dunia pencak. Nama jago
baru muncul, Jabodin alias Kembangturi! Jago yang sebelumnya sama sekali tak terdaftar
sebagai orang sakti. Segera setelah kabar ini sampai pada Patimah, iapun gugup pergi
kerumah Jabodin. Karena hari telah malam, maka ia mencari kawan. Seorang tamu kakaknya
yang sedang omong' diruang depan diajaknya.
"Mau kemana kau, Mah?" tanya kakaknya. "Antarkan kak, mau kerumah Jabodin," ujarnya.
Diabodin? Orang yang dikabarkan menggemparkan gelanggang pencak Wonocolo?" tanya
teman kakaknya. "Ya. Kenalkah engkau dengan dia, To?" tanya Patimah.
"Belum. Tapi tentu menyeramkan rupanya!"
"Ah, tidak. Ayo ikut aku sebentar, nanti kukenalkan!" ajak Patimah. Ia telah merasa
kakaknya enggan mengantarkan.
"Baik. Boleh, Ya, Mah?" tanya teman itu kepada kakak Patimah
"Silahkan, jika mau. Aku tak berkeberatan sama sekali. Kaupun sudah sekolah tinggi, sudah
di GH (Genrezekundige Hogereschool Fakultas Kedokteran), Pentu tahu menjaga adikku,
Yanto. Jabodin tidak seram seperti dikabarkan orang, tetapi jika ada hal-hal yang kurang baik
tolong dibetulkan!" kata kakak Patimah
Mereka naik dokar mencari Jabodin. Lama juga berdokar baru tercapai. Selama diatas
kendaraan, untuk menghilangkan risau hatinya, Patimah bertanya-tanya tentang diri Suyanto,
pengantarnya. Mereka tidak berbicara bahasa Jawa atau Madura, tetapi mengguna. han
bahasa Indonesia atau Belanda. Terdapat persesuaian pendapat tentang penggunaan bahasa
Indonesia, maka sambil memraktekkan bahasa yang belum tersebar luas itu, mereka
membicarakan juga tentang kehidupan sosial dan perjuangan pergerakan bangsa Indonesia.
Patimah masuk rumah Jabodin dengan perasaan terbakar. Jabodin tahu sudah maksud
kedatangan Patimah, maka menyambutnya dengan hati sabar dan dingin. Dibiarkannya
Patimah marah, seolah olah Jabodin adalah adiknya yang masih ingusan.
"Ha, sekarang kau bangga dengan namamu yang menjulang tinggi sebagai pendekar, ya?!
Hah, pantas! Tapi awas, jiwamu selalu terancam! Kudengar kau menantang Bahrowi pula!
Lalu apa keuntunganmu setelah bertarung begitu? Apa, coba sebut?!" Patimah bicara lantang
dalam bahasa Madura, yang tidak diketahui oleh Sajanto sama sekali artinya. Mahasiswa ini
hanya melihat ketrampilan bicara Patimah.
"Mah. Jika Bahrowi sudah kulunasi jiwanya, hatiku jadi tenang. Dunia tentulah damai,
duniaku setidaknya. Dan aku mulai hidup tenteram dan damai, seperti yang kau idamkan
bukan? Kau inginkan dunia tenteram dan damai sehingga kita bisa tenang mengamalkan
karya kita pada masyarakat! Nah, akupun bertujuan begitu. Bekerja, kawin, beranak dan
berlamal. Perbedaan pendapat kita hanyalah bahwa kau hendak menciptakan ketenangan
hidup dengan membiarkan kejahilan dan kelaliman berkembang disamping ketenteraman
dan kedamaian, sedangkan aku harus memberantasnya lebih dulu baru katemuilah
ketenteraman yang sebenarnya."
"Heh, ya kalau engkau menang. Jika kalah dan kau luka atau tewas, apa dayamu?"
"Aku yakin, keadilan dan kebenaran adalah yang terakhir mencapai kemenangan. Jika tidak
aku, tentu ada lagi orang yang berusaha menegakkan kebenaran pada masa kacau begini!
Tapi engkaupun tak perlu risau memikirkan daku. Menang atau kalahku melawan Bahrowi
tidak akan menguntungkan atau merugikan dirimu secara langsung!" kata Jabodin dengan
sabar dan tegas. Patimah merasa betapa tajamnya maksud yang dikandung dalam kalimat Jabodin yang
terakhir. Hatinya nelonjak, jantungnya berdengup cepat. Tak tertahan isak tangisnya. Ia
memandang Jabodin dengan saju, airmata membasahi pelupuknya. "Din. Kau tolakkah cinta
kasihku selama ini? Oh, jangan dijawab, kau sudah mengisyaratkan pada perkataanmu tadi!
Ah, belum berhasil kiranya daya upayaku mengembalikan kepercayaanmu kepadaku, karena
dosaku dulu itu! Sungguh terkutuk bepergianku ke Sampang dulu itu! Tapi karena itu pula
aku berjumpa dengan engkau, dengan laki laki pujaan dan kebenaran! Tanpa engkau,
sebenarnya hatiku kosong dan hidup ini hambar rasanya! Tanpa engkau, aku buta kebenaran!
Oh, Din, agaknya .....!"
"Mah! Betulkan pikiranmu! Kau bilang aku memberi isi hidupmu. Hidup yang berisi tidak
dipenuhi oleh belaian kasih sayang saja, itu racun namanya. Jadi pertemuanmu denganku
hanyalah memberi keracunan saja! Benarkan pikiranmu! Isilah hidupmu dengan perjuangan
pergerakan bangsa! Atau Ketuhanan! Lama tak kudengar engkau menyebut Tuhan! Teruskan
amalmu kepada masyarakat. Tidak akan sia-sia. Mendapatkan aku bukanlah hasil utama
dalam perbuatan amalmu selama ini, bukan? Keliru kalau begitu tujuanmu berbuat amal!"
kata Jabodin. Ia duduk didekat Patimah. Diremas remasnya tangan gadis itu untuk
memberikan kekuatan dan keyakinan baru.
Setelah berpanjang-panjang Jabodin melipur hati Patimah, kembalilah semangat hidup gadis
itu. Meskipun dengan mata merah dan suara lemah, Patimah berusaha tersenyum juga. Din.
Ada kabar baik bagimu. Van Greven dipindahkan ke Batavia. Politiknya tidak disukai oleh
pemerintahnya. Mudah-mudahan dengan ini, jiwa semangat lawanmupun luntur. Tanpa surat
perintah Van Greven kukira mati kutulah daya perjuangan cecunguk-cecunguknya, terhitung
Bahrowi!" Jabodin menyambutnya dengan tersenyum terang. "Mah. Ada kabar buruk bagimu. Bulan
Dulhijah depan ini, tepatnya tanggal 9, aku melangsungkan per kawinanku. Dengan Burjani!"
"Hah?! Mengapa kau sebutkan kabar buruk?! Oh, aku merasa berbahagia! Sungguh, Din!
Sungguh ...." Ia berkata berbahagia tetapi menangis tersedu-sedu didada Jabodin. Hatinya
hancur luluh seketika. Seben. tar cuma. Kemudian kembali lagi menguasai dirinja, karena
lipuran Jabodin juga. "Tulislah undangan yang terang, Din. Aku akan ikut mengantarkan
pengantinmu sampai di Sampang!" ujar Patimah selanjutnya. Lalu ia bermohon diri. Hatinya
hancur, tetapi keping kekuatan baru telah disusun dari reruntuhan yang lama.
"Dik, aku tak mengerti bahasa Madura. Tapi sungguh suatu drama yang bagus telah bermain
dihadapanku. Apakah persoalan sesungguhnya?" tanya Suyanto yang mengantar pulang
Patimah. Patimah menarik napas panjang. Lampu-lampu gas penerangan jalan menerangi juga wajah
gadis Madura ini remang. Terbayang wajahnya yang cakap, molek dan angkuh. Meskipun isi
kalbu sudah remuk namun ia masih duduk tegak dan kukuh. Ia tersenyum kepada teman
pengawalnya. "Maafkanlah aku, mas. Tak kuingat ada laki lain selain Jabodin.
"Kau jatuh hati kepadanya, Mah?"
Fatimah mengangguk, segera disusul menggeleng : Sekarang tidak lagi. Ia telah menjadi
milik orang lain." Kasihan." "Hm?" "Aku katakan kasihan". Wajah begini manis masih ditolaknya juga. Betapakah cantiknya
tunangan Jabodin?" bisik Suyanto. Berbisik tapi diarah cukup terdengar ditelinga gadis itu.
"Engkau merayuku, mas? Akupun membiarkan.....!"
Suyanto memegang tangan Patimah. Betapa pun banyaknya lampu penerangan kota
Surabaya, bisa jega Suyanto menggenggam tangan Patimah tanpa diketahui orang lain.
"Patimah, adikku. Kerajinanku datang ke rumahmu, bukanlah karena kakakmu. Tetapi karena
engkau juga. Tapi baru sekarang kita bisa berduaan. Aku telah memasang jaringku sejak awal
perkenalan kita ......"
Patimah mengangguk angguk. "Baik, baik, mas Suyanto. Tapi pergaulan kita nanti terutama
harus berdasarkan bekerja membangkitkan rasa kebangsaan, bahwa kita bangsa Indonesia.
Sesuai dengan pembicaraan kita waktu berangkat kerumah Jabodin tadi."
Perjalanan dari rumah Jabodin kerumah Patimah tidak memakan waktu lebih dari seperempat
jam. Dan selama itu pembicaraan perjodohan dapat diputuskan Ketika turun dari dokar,
kedua muda-mudi itu berbimbingan tangan, yang satu memiliki hati yang lain.
Perkawinan Jabodin dan Burjani dilangsungkan di Pandegiling dengan diam. Keluarga Haji
Jen masil gelisah dengan tindakan Jabodin yang lampau, yaitu menantang Bahrowi. Maka
dari itu perajaan yang se sungguhpja akan diramaikan dirumah Jabodin, di Sam pang. Mereka
telah merancangkan naik perahu layar pada hari Rabu. Patimah bekerja membantu
berlangsungnya perkawinan dengan segenap tenaganya. Ia usul agar diperkenankan duduk
seperabu dengan pengantin selagi menjeberangi selat Madura. Usul itu diterima mengingat
jasa Patimah dalam penjelenggaraan berlangsungnya perkawinan. Perahu pengantin
disiapkan tersendiri, sehingga hanya dapat diisi oleh empat penumpang dan seorang juru
layar. Maka yang menumpang disitu kecuali kedua mempelai, juga Patimah dan ibu Burjani.
Sudah siap sekaliannya?" tanya Patimah memberi aba-aba. Gadis ini sikapnya sungguh
periang dan beban. Banyak orang tua mencacad, tetapi Suyanto, calon suaminya, selalu
tersenyum senyum memujinya.
Semua perahu sudah siap. Beberapa perahu sewaa telah mulai melalui muara Kali Mas,
Kedua pengantin sudah duduk bersanding, ibu Burjanipun telah masuk. Tinggal Patimah.
Sebentar, Mah." ujar pengantin laki-laki, ketika sekaliannya telah siap berlayar. "Tolong,
pergilah kekedai diselatan itu Ambillah barang titipanku disitu. Mereka sudah tahu."
Patimah terkejut, matanya terbeliak memandang Jabodin. "Din!" serunya dengan mulut
ternganga. Ia ingat peristiwa Jawawi dahulu!
Tapi Jabudin tersenyum, menyawab dengan mengangguk: "Ya, Mah. Mereka akan
memberikan benda titipanku, mintalah saja!"
"Tapi kau sedang menjadi raja sehari, Din!" bantah Patimah. Tidak baik membawa barang
maksiat itu!" "Kita tidak boleh lena, Mah. Lagi pula Jawawi rasanya ikut naik perahu ini jika benda itu ada
disini. Lekas Mah, ambilkan!"
"Begitu setiamu kepada Jawawi, Din? Ah," uja Patimah. Sambil menggelengkan kepalanya ia
mening galkan perahu, dan berjalan kenclatan. Sebentar ke mudian ia kembali membawa
barang yang dikerudung dengan kain merah.
Hai, disuruh apa engkau oleh pengantin laki-laki?" tegur tunangannya dengan bahasa
Belanda. Di Jawa Tengah hanya dalanglah yang biasa bepergian membawa anak wayang
dikerudungi begitu, Tokoh apakah wajang yang kau bawa itu, dinda ?"
"His, bukan wajang kulit! Ini pusaka Batapotih!" jawab Patimah dengan muka masam.
Diberikannya pusaka Batapotih itu kepada pengantin laki', dan Pati mahpun masuk keperahu.
"Mas!" kata Burjani memegang tangan Jabodin, Hatinya pun cemas melihat clorit yang
diberikan Patimah. Ya, Ni. Clorit Batapotih. Lihatlah gambar tiga bata yang bertumpuk ini. Kita harus tetap
waspada, bukan Ni?" kata Jabodin dengan antap.
Burjani memeramkan mata. Menenangkan diri. Dan tersenyum. "Allah berserta pelayaran
kita man!" "Ayoh, berangkat!" seru Patimah memberi aba.
Perahu pengantin beranjak dari tepian, didorong beramai-ramai. Meluncur dimuara Kali Mas.
Juru mudi mengembangkan layar. Angin belum lagi pasang. Baru nanti pada laut terbuka
angin bertiup mengembus layar. Namun juru mudi telah mengikatkan tali-tema linya
sehingga layar terpasang lebar.
Pada waktu perahu pengatin menca pai laut, tiba? dari ujung pelabuhan Surabaya,
berkelebatlah bayangan seorang berbaju hitam, meloncat dari perahu keperahu yang sedang
bergerak dimuara Kali Mas, menuju pe rahu Jabodin.
"Hai, Mah! Aku dengar Haji Jen menjodohkan cucunya! Mana pengantinnja? Mana Burjani?
Mana pula Jabodin ? Din! Aku datang Din, datang mencabut nyawamu! Sayang kau nikmati
malam pengantinmu hanya semalam, lalu kau bawa keneraka, ha, ha, ha! Din, Bodin! Bodin
oreng Sampang be'en, ya! Ha, ha, ha!" terdengar suara lantang diantara debur ombak
memukul pantai. Suara orang yang meloncat. loncat dari perahu keperahu !
"Din! Ni! Oh, Bahrowi datang, Din!" seru Patimah gugup.
Layar telah terpasang, angin mulai menghembus. Lajulah perahu pengantin menuju laut.
Orang-orang yang melihat bayangan berkelebat pada menjerit. Perempuan menjerit lebih
panjang. Tapi Bahrowi bergerak amat cepatnya, sehingga tak seorangpun bisa menghalangi.
Dan siapa pula berani menghalangi tindak orang sakti itu? Meloncat yang terakhir sampailah
diperahu pengantin. Disepaknya juru mudi yang memegang kemudi diburitan, mencelat
masuk laut. Jeritannya mengerikan. Maka berdirilah Bahrowi ditempat juru mudi.
Ha, ha, ha, ha! Pengantin baru! Bodin, kau yang menantang aku digelanggang Wonocolo,
ya?! Heh, kiranya kau. kau juga orangnya! Bodin Din! Betul' sudah belajar pencak kau, Din?
Tapi macammu bercumbuan dengan perempuan ayu belum juga mereda, ha, ha, ha! Mah,
Patimah! Ada apa kau disini, hah? Kekasihmu dicuri Burjani, tuh! Ni! Kau pilih dia dari pada
me milih aku, ya? Sayang, sayang Sebentar lagi mati kekasihmu, Ni. Mati dikubur dilaut, ha,
ha, ha! He, Bodin. mimpi kau ja? Bangun! Aku datang Din, Bahrowi turunan Sawunggaling
datang menyemput nyawamu! Ayoh siapkan kembangturimu yang terkenal itu! Kutunggu
tunggu saat ini, huh! Bangun!" bicara Bahrowi. Mengejek benar!


Clurit Bata Putih Karya Suparto Brata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ibu Burjani telah jatun pingsan. Tak berkutik ditempatnya. Patimah tak berani meninggalkan
orang tua itu, erat dipeluknya. Burjani bingung, mau menangis saja rasanya. Sedang perahu
berlayar laju menuju tengah lautan, jauh dari perahu' lainnya. Perahu lainnya terpaksa tidak
berani mendekat, hanya mengelilingi sedapat mungkin. Pada waktu keadaan kacau dan gaduh
inilah justru Jabodin menunjukkan ketenangan yang luar biasa. Dengan tenang ia berdiri.
Sarungnya dilipat dan dieratkan ikatannya. Tak ada rasa tergesa atau tergopoh sama sekali!
Burjani, dik. Jangan takut. Saksikan suamimu berjuang mempertahankan kebesarannya! Mah,
kau juga. Lihat hasil kemajuanku sejak dua tahun yang! lalu! Kau tidak perlu takut. takut!
Tunjukkan bahwa kalian orang-orang yang berhak bangga dengan kemenangan ku, sebab aku
pada pihak yang benar !" ujar Jabodin dengan suara antap.
"Ya, berpesan pesanlah tentang pemeliharaan kuburmu, Bodin! Kutunggu sampai selesai kau
pamitan!" suara Bahrowi bergelora.
Jabodin tidak bersuara lagi. Dengan clorit ditangan ia melangkah tenang menuju keburitan,
tempat Bahrowi berdiri. Ia terus saja mendekati hingga jarak seraihan tangan. Aku sudah
siap, makhluk yang sengsara! Cuh !" ujar Jabodin sambil meludah kearah muka Bahrowi.
"Jancurit! Sungguh jantan kau menantang Bahrowi, Bodin!" seru Bahrowi seraja mencabut
belatinya, Belati itu telah digenggamnya sejak tadi, tetapi masih tersarung pada sarung
kulitnya. Sekarang berhadapan dengan Jabodin berpakaian pengantin, digigitnya sarung itu
dan terhunuslah belatinya yang tajam mengkilap. Sarung kulit disebulnya, mencelat
menampar dan muka Jabodin. "Ha, ha, ha. Sudah tebal kulitmu, Podin!?"
Dengan ujung cloritnya disobeknja baju pengantinnya pada dada, diajukan kearah Bahrowi,
maju lagi begitu dekat dengan dada terbuka. "Ini, lihat, jika kau mau tahu dada orang
Sampang! Lihat! Mau tusuk, boleh!" ujar Jabodin menirukan sikap Bahrowi tatkala dirumah
Burjani menantangnya berkelahi.
Melihat keberanian Jabodin ini Bahrowi heran tercengang-cengang! Dia, orang sakti
Bahrowi, dipameri dada terbuka demikian? Sungguh tantangan yang luar biasa! Hingga dada
Jabodin mepet menderak pada dadanya, Bahrowi tidak bergerak apa-apa. Karena herannya!
Pada hal tangan kanannya yang habis mencabut belati masih bersiap diatas bahunya. Seketika
ia sadar, belati itupun ditusukkan kearah Jabodin. Mati satu kali, kau, Din! Orang sombong !"
teriak Bahrowi dengan marahnya. Tapi elok bin ajaib, ia menusuk angin. Jabodin telah
bergandulan tiang perahu, kemudian meloncat kembali didepan Bahrowi.
"Kurang cepat sedikit gerakar mu, makhluk yang sengsara!" kata Jabodin dengan tenang dan
antap. "Awas, pinggargmul" seru Bahrowi tak sabar lagi. Ia menyerang dengan kecepatan luar
biasa. Tapi Jabodin telah lenyap lagi. Dicari ditiang perahu juga tidak ada !
Ha, ha, ha. Jongkok dibawahmu, tolol, makhluk jang....!" suara tenang tak selesai. Sebab
Bahrowi telah berputar diri, dan menyerang pula arah bawahnya. Luput! Terlihat kelebat
Jabodin berlindung kesisi tiang buritan, segera disambarnya dengan belatinya. Tidak kena!
"Awas clorit!" terdengar suara antap dan angin berdesau dari arah samping kiri. Bahrowi
meloncat menghindar, terus menyerang kearah suara. Pertarungan diburitan meringsut
ketengah. Perahu amat sempit untuk berpencak dan pasang kuda-kuda, maka hanya
kepandaian menjejakkan kaki sajalah yang menolong mereka saling merjerang dan
menghindar. Kadang karena tiupan angin yang besar, perahu miring kesebelah barat.
Perempuan telah menjerit. Tapi orang-orang yang bertarung cepat berloncatan menginjak
pinggir perahu yang sebelah timur. Perahu lurus lagi. Sekali waktu sedang Jabodin berusaha
menyelamatkan perahu dari keolengan, terdesak pula oleh serangan Bahrowi yang ganas.
Terpaksa ia meloncat masuk laut.
"Mati kau, bangsat!" seru Bahrowi dengan suara lega. Tapi kecele.
Tubuh Jabodin kelihatannya memang terjun ke air, tapi clorit kembangturi yang melengkung
berguna sekali untuk mengait layar, sehingga Jabodin jatuh tergubat diatas layar, lalu
terlempar kembali dengan dorongan angin yang kuat. Jabodin mempergunakan kesempatan
itu untuk menyerang lawannya. Tapi Bahrowi waspada, kelegaannya urung dan ia meloncat
meng hindari tubrukan orang berclorit dari udara.
GAMBAR/ILUSTRASI Sekarang nyata benar, bahwa Jabodin musuhnya telah mengalami kemajuan yang pesat sekali
selama dua tahun saja, sehingga selayaknya jika ia berani menantang-nantang ditempat
umum. Bahrowi belum pernah gagal melakukan serangan lebih dari lima kali berturut turut
dalam sejarah pertarungannya. Tapi sekali ini ia menemui lawannya yang terlalu gesit!
Menyesal ia mengapa datang keperabu ini! Mengapa tidak dicobanya dulu ditempat datar
didaratan, dimana ia mahir melaksanakan ilmunya dan bila perlu melarikan diri secara licik.
Sekarang ia tidak bisa melarikan diri. Ia sendiri memilih gelanggang, dan ternyata terjaring
masuk kubu! Pikirannya mulai goyah. Tapi masih punya harapan sebab sebegitu jauh ia
belum luka Belum ada serangan corit Jabodin yang mengenai dirinya Agaknya Jabodin tidak
pandai mengincarkan jloritnya, justru karena ketangkasan Bahrowi berkelebat. Sekali waktu
dipancingnya Jabodin dengan akal licik. Di tubruknya Burjani dan dipeluknya leher
perempuan itu dengan tangan kirinya, sedang tangan kananajt mengancam hendak menusuk.
Tapi kelicikan ini tidak tepat lagi ditrapkan disini. Burjani begitu jijik terhadap Bahrowi, dan
tahu sudah segala siasat buruknya, Begitu Bahrowi menubruknya, perempuan itu telah
menyerang dengan gigitannya, Aduh!" seru Bahrowi terpaksa melepaskan dekapannya. Dan
pada saat itu juga, Jabodin memutuskan tali layar, bambu bingkai layar tergoncang keras
memukul badan Bahrowi! Setelah bertempur sambar menyambar beberapa lamanya, perahu
pun berhenti meluncur karena layarnya putus talinya, kedua orang yang bermusuhan itu
berdiri berhadapan dengan senjata masing' ditangan. Napas keduanya mendengus dengus.
"Nah, makhluk yang sengsara! Bagaimana sekarang?! Engkau tidak bisa menelanjangi aku
lagi seperti dua tahun yang lalu. Engkau bahkan tak bisa menyerangku dengan tepat! Padahal
kau tak bisa lari lagi dari tempat ini! Apa dayamu sekarang? Makhluk yang sengsara!" kata
Jabodin dengan suara antap. Suaranya masih tetap antap meskipun napasnya tersengal sengal.
"Ha, ha, ha, ha! Oh, persetan dengan makhlukmu yang sengsara !" sahut Bahrowi meraga
risau dengan sebutan ?makhluk yang sengsara?. "Mana, akupun tidak luka? Hah, engkaupun
tak bisa mengenai sasaranmu, heh! Jangan tergesa-gesa bertepuk dada, Din, Bodin!"
Jabodin tersenyum mendengar olok Bahrowi. "Jadi sudah puas kau dengan tandinganmu?
Nah, jika demikian kau boleh memilih cara matimu sekarang. Sengaja belum kulukai kau
sekarang, karena aku ingin meminta kesadaranmu dalam menyaksikan kematianmu sendiri,
makhluk yang sengsara!"
Huh!?" terkejut Bahrowi. Kiranya kegesitan dan kesaktian yang telah dipertunjukkan Jabodin
ini tadi belum seluruhnya. Dibiarkan saja dia tak kena cedera seperti halnya babi
dipeternakkan supaya gemuk untuk kemudian disembelih! Giris hatinya! Keringat dingin
keluar! Katanya dengan gementar, dengan kesombongan yang dipaksakan : "Ha, ha, ha.
Selama kulitku masih utuh, aku akan melawanmu dengan kekuatanku. Aku tidak menyianyiakan pengalamanku selama ini. Kapan saja kau dekat, kuhantam mati. Akupun tidak
memilih mati. Bacok saja dimana kau bisa! Kata orang cloritmu sangat awas mencari
sasarannya! Ha, ha, ha. Mana buktinya, hah?!"
"Jika begitu aku yang memilihkan cara kematianmu. Tanganmu yang berbau darah, penuh
dengan noda dosa, akan kuputuskan dulu dan ku perlihatkan didepan matamu, sebelum
engkau pingsan. Sesudah itu, terimalah kematianmu yang sengsara, Bahrowi !" ujar Jabodin.
Pucat wajah Bahrowi. Begitu saktinya Jabodin sehingga bisa merencanakan kematian lawan?
Oh, mungkin, mungkin! Tangannya gementar, tak disadari tangannya yang telah membunuh
banyak orang itu gementar tak tertahan. Tapi suaranya masih juga kasar: "Lagakmu seperti
badut ketoprak! Ayoh kenai dadaku, jika cloritmu memang bermata tajam dan awas terhadap
sasarannya!" seru Bahrowi. Tapi ia tidak berani menunjukkan dadanya seperti waktu dirumah
Burjani dulu. Cepat bagaikan kilat, Jabodin menggerakkan cloritnya, dan sebelum sadar akan perbuatan
lawan, baju Bahrowi pada bagian dadanya telah cabik'. Melihat ini, muka Bahrowi kian pucat
pasi sebagai cendawan dibasuh! Tiba terasa sendi tulangnya lemah tak berdaya, belati
ditangan terkulai tak berjiwa! Ia menyadari lawannya memang sanggup memperlakukan dia
seperti yang dikatakan tadi! Kesadaran ini menggagapi perasaannya, menjalar keseluruh alat
perangsangnya! Mulutnya terasa kering, tak berludah terkancing kaku tak bisa dipakai bicara
atau sesumbar! "Mah, lihat itu wajah sahabat kita! Ternyata ia lebih pengecut daripada Jawawi. Jawawi mati
dalam keberanian. Ia tetap melawan meskipun tahu lawannya jauh lebih pandai dan kejam
bukan main. Tapi ini, lihat, belum lagi luka parah, sudah mati kaku ketakutan! Ni, apakah
engkau ingin urun memberi pelajaran orang gugah ini sebeum menghadapi kematiannja?"
kata Jabodin. Cloritnya masih digenggam, namun ia melipatkan kedua tangannya didadanja,
"Masja'allah, mas! Segeralah lunasi jiwanya, dan masukkanlah raganya dalam laut! Tak usah
mati di Digul, kiranya bisa saja orang mati tanpa kubur sehingga keluarganya tak hina
memeliharanya!" ujar Burjani. Ia melancarkan kata pembalasan juga!
Wi, acungkan saja tanganmu! Biarlah noda' yang ada padanya lepas dari badanmu!" ujar
Patimah kepada Bahrowi. Tanpa disadarinya Bahrowi mengangkat tangannya yang memegang belati pelan. Jago
pencak yang tak ada taranya kesaktiannya tahun yang lalu, hari ini mengacungkan tanganaja
untuk dipancung. "Ha, ha, ha! Diperintah oleh perempuan, ia menurut! Inikah pendekar jarig disebut-sebut
sebagai tangan kanan mencer Van Grevca?" gelak Jabodin menirukan pekerti Bahrowi tatkala
berhadapan dengan Jawaw di Eerste Kade. Lalu, crok. Terdengar suara tangan putus kena
babatan clorit. Lengan yang mengacung, tak ada tangannya lagi ujungnya. Menetes darah
keluar. Sedang tangan Jabodin yang kiri telah menggenggam ujung belati. Pangkalnya masih
dicengkeram oleh potongan tangan!
Terdengar perempuan' menjerit. jerit tak tahan melihat siksaan ini. Mata Bahrowi sendiri
terbeliak melihat potongan tangan yang memegang tangkai belati! Lalu dengan berteriak
keras, Bahrowi menyerbu Jabodin. Dengan amat trampilnya Jabodin menggerakkan cloritnya,
dan hancur luluhlah tubuh Bahrowi dihujam bulu ayam baja itu. Clorit Bataporih akhirnya
mengenai sasarannya juga! Badan Bahrowi tidak sampai jatuh kelantai perahu. Dengan
mudahnya disepak oleh Jabodin terjun masuk laut. Air yang biru, dikacau deburan badan
berdarah. Tubuh Bahrowi yang tak bernyawa lagi, perlahan menyelam kelaut. Tak bernyawa
tetapi masih begerak gerak juga! Kian lama kian dalam, air biru ternoda oleh warna-warna
merah, Setelah nyata Bahrowi tidak kembali lagi, Jabodinpun membuang belati yang
tergenggam oleh tangan puntung, Dibuang masuk laut. Lalu dilihatnya clorit yang dipegangi
oleh tangan kanannya. Penuh darah. Juga tiga batu merah bertumpuk sebagai tanda dipangkal
senjata itu, berlumur darah! Clorit itu telah disimpannya selama tiga tahun lebih, sebagai
benda keramat. Untuk keperluan inilah clorit itu disimpan. Sekarang besi melengkung itu
berlumur darah. Selesai menunaikan tugas. Tidak keramat lagi. Tidak berguna lagi. Dengan
perasaan jijik benda antep itu dibuangnya kelaut. Dengan cepat menuju dasarnya. Selesai
membuang benda terkutuk itu, Jabodin mengibas-ngibaskan kedua belah tangannya, seakanakan selesai sudah tugas kewajiban. nya dan sekarang membersihkan diri. Ditariknya tali
layar yang putus, dikembangkan layar, dan bahterapun melaju lagi menuju pulau Madura,
pulau harapan nya! Ia melangkah ketengah perahu mendapatkan mempelai belahan hatinya.
"Ni, kekasihku! Aku datang tak bercacad, rochani maupun jasmani!" ujarnya kepada Burjani.
Disambut dengan senyum manis oleh mempelai ayu.
Heh, Din! Tolong ini! Ibu belum sadar! semangat, bu! Sadarlah, dunia sudah bersih dari
tangan kotor!" ujar Patimah berusaha menyadarkan ibu Bur. jani.
Sementara itu perahu-perahu kerabat datang mendekati mereka serta mengabarkan segala
sesuatunya. Mereka bersenang hati dan bergembira setelah mengetahui tidak terdapat hal-hal
yang menguwatirkan diperahu pengantin. Bahkan perihal lenyapnya Bahrowi dari masyarakat
akan mereka rahasiakan, sehingga tidak ada pengusutan yang berlarut-larut !
Juru mudi yang tadi basah kujup karena terjun kelaut ditendang Bahrowi, telah berganti
pakaian, dan kembali menjalankan tugasnya. Sebentar kemudian terdengar orang ini
bersenandung lagu-lagu Madura: "Lilik.....!"
Apakah percaturan dunia pencak berhenti dengan lenyapnya jago pencak Bahrowi dan
pendekar pendian Jabodin? Tidak. Sebab berpencak bagaimanapun juga sexuai benar dengan
jiwa gerakan kebangsaan, oleh kewaspadaan dalam menjaga diri! Apakah orang kerabat
pengantin Jabodin berhasil menjimpan rahasia kematian Bahrowi? Tidak. Sebab bangkai
gajah tak dapat ditutup dengan njiru! Mulutpun saling berbicara dan bersambung. Maka
dalam waktu yang singkat orangpun mengerti kemana lenyapnya pendekar gigih yang tak
terkalahkan itu, pendekar dari Kaliwaron. Lalu bermunculan pendekar-pendekar baru
menantang Jabodin. Sul diantaranya seorang pendekar kawakan bernama Aluw bekas anak
buah Van Greven. Dengan pedang nya ia mengkilap dan mata membelalak, kumis tebal, Alus
berteriak teriak: "Mana Jabodin?! Ayoh, tandingi aku Aku menuntut balas, bela pada
sahabatku Bahrowi!" Tapi tak ada jawaban dari Jabodin. Jabodin telah tunduk oleh janjinya, ia tidak akan
menggunakan kepandaiannya pencak lagi untuk bertarung, setelan kematian Bahrowi. Ia
bersama isterinya telah mengikuti jejak mertuanya, merantau entah kemana, tetapi orang
berbahagia. Sebab kedua pasangan suami isteri itu orang-orang yang rajin bekerja. Dan hanya
dengan bekerja ini mereka jadi bahagia. Bukan karena pencak.
Perihal Aluwi kemudian ditangkap oleh penggawa Van Greven karena membunuh orang
dengan menyalah-gunakan wewenangnya yang tidak berlaku lagi, lalu lebih banyak
menghabiskan waktu dari sisa hidupnya dipenjara, sampai akhir hidup.
TAMAT Surabaya 15 Mei 1967 Panglima Gunung 9 Fear Street - Sagas Ix Hati Seorang Pemburu Heart Of The Hunter Pembalasan Dewa Pedang 2
^