Desperate Mrs 1
Desperate Mrs Karya Agustine Bagian 1
?Desperate Mrs. By: Agustine BAB 1 Hatiku gelisah. Sudah sekitar setengah jam aku menunggu di sini, di luar ruang kerja Papa. Ia sedang berbincang dengan seorang rekan kerjanya dan memintaku untuk menunggu di luar. Padahal sekarang aku seharusnya sudah berada di sana, di tempat Seth. Pacarku itu sedang mengadakan pertunjukan dengan seluruh anggota bandnya.
Aku menarik nafas lalu melihat layar ponselku untuk melihat jam. Aku sudah terlambat sepuluh menit dan tidak ada tanda-tanda Papa akan keluar dari ruangannya. Apa yang Papa dan rekannya itu bicarakan? Apa Papa sengaja membuatku menunggu seperti ini agar aku tidak datang menemui Seth. Kurasa tidak, aku yakin Papa sama sekali tidak mengetahui apa-apa tentang Seth dan seluruh kehidupan pribadiku di luar rumah.
Kira-kira lima menit kemudian, pintu ruang kerja Papa terbuka dan keluarlah seorang lelaki tua seusia Papa dari ruangan itu. Aku segera bangkit dan melihat ke arahnya. Lelaki tua itu tersenyum ramah ke arahku dan aku membalasnya dengan senyuman paling manis yang ku punya. Ia adalah rekan kerja Papa dan aku harus menghormatinya karena ini berhubungan dengan kelancaran dan masa depan pekerjaan Papa.
Saat lelaki tua itu pergi, aku perlahan mengetuk pintu ruang kerja Papa dan segera masuk. Berlari kecil ke arah Papa yang masih duduk di singgasananya. Sebuah kursi empuk yang dapat berputar di balik meja kerjanya. Aku langsung saja mencium pipi kanan Papa, aku tahu ini hanya sebuah basa-basi. Aku sudah terlalu terlambat.
"Papa, kenapa membuatku menunggu lama sekali?" aku merengek ke arah Papa, tapi ia hanya menjawab dengan sebuah senyuman hangat.
"Apa kau sedang terburu-buru?" tanya Papa, membuatku sedikit gugup dengan pertanyaannya. Tapi, aku tahu Papa akan selalu mempercayaiku.
"Ya, aku ada janji dengan seorang teman. Oh iya, ada apa Papa menyuruhku untuk menunggu? Apa ada sesuatu?"
Lagi-lagi Papa tersenyum dan menarik nafas. Ia meraih tanganku.
"Tidakkah kau rindu pada Papamu ini?" Papa menaikkan kedua alisnya, menunggu jawabanku. Apa yang ia bicarakan? Tentu saja aku merindukannya. Papaku adalah lelaki yang paling aku cintai di dunia ini setelah itu, Seth mengikuti di peringkat kedua dan barulah Andrew, kakakku yang kadang menyebalkan itu berada di peringkat ketiga.
"Apa yang Papa katakan? Tentu saja aku merindukanmu, Papa." aku mendekap leher Papa dan aku dapat merasakan Papa tersenyum. Ia menarikku dari pelukannya.
"Itulah kalimat yang sudah ku tunggu sejak kemarin, Sayang."
Papa tersenyum lalu membuka laci meja kerjanya. Ia tampak mengambil sesuatu dari dalamnya. Ah, aku yakin itu adalah oleh-oleh untukku.
"Ini hadiah spesial untukmu. Sebagai ungkapan rasa maaf karena sudah meninggalkanmu begitu lama."
Papa memberikanku sebuah kotak yang terbungkus kertas warna-warni. Aku tidak tahu apa isinya tapi yang pasti harganya pasti sangat mahal.
"Terima kasih, Papa." aku memeluk Papa untuk yang kedua kali sambil melirik ke arah jam dinding. Sudah sepuluh menit lagi berlalu. Aku benar-benar harus pergi sekarang.
"Papa, aku harus pergi, aku sudah benar-benar terlambat." aku mengecup pipi Papa dan berlari kecil ke arah pintu.
"Kau tidak mau membuka hadiahmu dulu, Sayang?" tanya Papa sedikit berteriak, tapi aku sudah hampir mencapai pintu.
"Ya, Papa nanti aku akan membukanya. Sampai ketemu saat makan malam nanti."
*** Aku berlari ke bawah dan langsung masuk ke dalam mobilku. Sebuah mobil berwarna biru muda yang sudah ketinggalan jaman. Sebenarnya saat awal membeli mobil ini, Papa memberikanku uang yang cukup untuk membeli sebuah mobil Sport yang mewah, tapi aku lebih memilih membeli mobil bekas ini dan menghabiskan sisa uangnya untuk bersenang-senang dengan Seth dan teman-temanku yang lain.
Untuk masalah sisa uang pembelian mobil, Papa tidak pernah menanyakannya. Uang itu tidak berarti apa-apa untuknya. Aku tahu Papa sangat menyayangiku, begitu pula sebaliknya.
Aku langsung saja tancap gas dan mengendarai mobilku dengan cepat ke arah pusat kota. Untung saja jalanan tidak terlalu macet, jadi aku bisa sampai ke tempat tujuan tanpa harus memakan waktu terlalu lama.
Aku sampai di sebuah gedung besar yang dinding luarnya dipasangi papan iklan dan televisi berlayar lebar. Aku memarkir si Biru di tepi jalan dan langsung berlari ke dalam. Ternyata di dalam sudah penuh sesak. Dan, saat aku masuk, Seth dan teman-temannya sedang tampil. Aku langsung saja berusaha menyeruak ke dalam barisan penonton dan berhasil sampai di tengah. Aku tahu banyak orang yang memandangiku dengan kesal karena aku memaksa masuk ke tengah mereka. Tapi aku tidak perduli. Aku harus berada di barisan dimana Seth bisa melihatku dengan jelas.
Seth Logan adalah pacarku. Kami bertemu sekitar setahun yang lalu, saat ia selesai melakukan pertunjukkan. Salah seorang temanku, Ashley mengajakku untuk pergi menemui Seth dan teman-temannya. Awalnya hanya dari seorang fans yang sekedar meminta tanda tangan dan foto bersama, lalu beberapa hari kemudian, Ashley mengatakan padaku bahwa Seth meminta nomor teleponku. Awalnya aku ragu tapi aku tidak bisa membohongi diriku bahwa aku memang menyukai si Gitaris itu sejak pertama kali melihatnya. Seth itu super sexy!
Seth menjadi orang pertama yang menghubungiku, lalu dengan beberapa pertemuan setelahnya, aku mengakui bahwa lelaki ini benar-benar luar biasa. Aku selalu senang berada di sekitarnya. Ia bisa memecah ketegangan dan segala kekakuan yang ku dapatkan di rumah. Dengan segala macam kemewahan dan juga wibawa Papa, Seth membawaku ke dunia nyata. Dunia dimana aku bisa mabuk-mabukan, tertawa lepas dan menggila bersama ia dan teman-teman bandnya.
Aku tahu Seth bisa melihatku sekarang. Ia tersenyum kecil sambil terus memainkan gitarnya. Sementara gadis-gadis di sekitarku kebanyakan meneriaki nama Ronnie, si Vokalis. Entah mengapa ketampanan Seth bertambah seribu kali setiap aku melihat ia memainkan gitarnya itu.
Tak berapa lama, lagu yang mereka mainkan selesai dan gemuruh suara tepuk tangan memenuhi seluruh ruangan itu. Seth dan teman-temannya segera bergerak menuju belakang dan aku dengan susah payah menyusul mereka. Aku sudah tidak sabar ingin memeluk Seth.
*** Aku benci saat-saat seperti ini. Hanya untuk menyusul Seth ke belakang saja tubuhku harus terombang-ambing karena penuh sesak oleh gadis-gadis sialan yang ingin berfoto dan meminta tanda tangan mereka. Bahkan, saat aku berhasil sampai ke belakang pun aku masih harus menunggu beberapa menit lagi, menunggu mereka semua selesai melayani para fans itu.
Aku duduk di sebuah kursi panjang sambil memainkan ponselku. Tak lama, aku dikagetkan dengan suara seseorang.
"Kau terlambat lagi, Mrs Logan?"
Aku menengadahkan kepalaku. Seth sudah berdiri di sana. Dengan senyuman manis dan sebelah alisnya terangkat. Wajahnya yang berkeringat membuatku benar-benar ingin memeluknya sekarang. Aku bangkit dan segera memeluknya. Aroma tubuh lelaki ini benar-benar menenangkan.
Aku melepas pelukanku, masih dengan kedua lengan melingkar di lehernya, aku menatap Seth.
"Aku minta maaf, Mr Logan. Kau tahu, Papa baru saja kembali dari luar kota dan ia memintaku untuk menunggu," hanya Seth dan Ashley yang tahu identitasku yang sebenarnya di luar rumah, "kau tidak marah, kan?" aku mengecup bibir Seth. Ia tersenyum.
"Bagaimana bisa aku marah padamu. Kau selalu memenuhi isi kepalaku." jawab Seth. Kami berdua tersenyum lalu aku kembali mengecup bibir dan pipinya.
Tiba-tiba kami dikagetkan dengan suara seorang gadis belasan tahun. Salah satu "pengganggu".
"Hai Seth, boleh aku minta tanda tanganmu?" tanya gadis itu. Seth hanya menjawabnya dengan senyuman lalu mengambil sebuah buku dan pulpen dari tangan gadis itu. Saat Seth memberikan tanda tangannya, aku dan gadis itu beradu pandang. Ia menatapku seolah-olah aku adalah seorang wanita murahan. SIALAN. Aku adalah pacar Seth dan gadis ingusan ini menatapku dengan pandangan jijik. Apa yang salah dengan dunia ini?
Selesai memberikan tanda tangan dan berfoto dengan gadis itu, Seth menarik tanganku menuju keluar lewat pintu belakang gedung. Dalam acara itu Seth dan bandnya memainkan total tiga lagu dan saat aku sampai tadi, itu adalah penampilan terakhir mereka. Ya, aku tahu, aku datang terlalu terlambat tadi.
Sesampainya di luar, Seth menatapku, "Kau bawa si Biru?"
Aku mengangguk, "Ya, tentu saja."
"Kalau begitu biar dia di sini, kita pergi dengan mobilku saja."
Aku tidak tahu kemana Seth akan membawaku setelah ini, tapi asalkan aku bisa terus bersamanya, aku sama sekali tidak keberatan walau ke ujung dunia sekalipun. Aku begitu mencintai lelaki ini.
*** BAB 2 Sepulang dari pertunjukan Seth mengajakku ke sebuah pantai dan kami menghabiskan sisa hari dengan mengobrol banyak hal. Selalu menyenangkan berada di dekat orang yang kita sayangi, bukan begitu? Dan yah, aku begitu menyayangi Seth-ku ini.
Saat hampir malam, Seth sebenarnya ingin mengajakku ke tempat salah satu temannya. Mereka sedang mengadakan pesta tapi aku mengatakan padanya kalau aku harus segera kembali ke rumah. Aku sudah berjanji pada Papa kalau kami akan makan malam bersama. Walau Papa dan Andrew sangat sibuk bekerja di kantor, kami bertiga tidak pernah melewatkan waktu makan malam bersama. Ritual itu sudah kami lakukan jauh sebelum mendiang ibuku meninggal.
*** "Kau pergi kemana tadi siang, Sayang?"
Papa membuka pembicaraan. Aku tahu Papa akan menanyakan hal itu.
"Aku main ke rumah Ash. Dia memintaku untuk menemaninya karena ia kesepian."
Aku tahu Andrew sedang melirik ke arahku sambil menahan tawa. Kenapa wajahnya tiba-tiba jadi aneh begitu? Apa ia mengetahui sesuatu?
"Apa kau tidak memiliki teman lain selain si Ashley itu, Anna?" tanya Andrew. Aku tahu ia sedang mengejekku.
"Aku punya banyak teman, tapi hanya Ash yang kurasa cukup asyik untuk diajak bersahabat, Andy." jawabku dengan nada datar. Aku kembali menyuap makanan ke dalam mulutku dengan malas.
"Sudahlah, Andy. Aku malah lebih senang jika adikmu itu bergaul dengan Ashley. Gadis itu anak yang baik. Lagipula, aku selalu khawatir kalau akan ada laki-laki di luar sana yang menggoda Anna."
Andrew terdiam mendengar jawaban Papa. Ia tahu Papa sangat menyayangiku. Dan, apapun yang aku katakan Papa akan selalu membelaku.
Untuk beberapa saat kami bertiga terdiam. Menikmati makan malam kami. Sekitar sepuluh menit kemudian, Papa bangkit dari kursinya dan mengatakan,
"Anna, temui aku di ruang keluarga selepas ini. Ada hal yang ingin ku bicarakan denganmu."
Papa beranjak pergi meninggalkanku dan Andrew yang masih asyik menikmati makanan kami.
"Kau tahu apa yang akan Papa katakan padamu?" bisik Andrew. Ia menatap padaku.
"Aku yakin Papa hanya akan membahas masalah pesta ulang tahunku. Kau lupa ya, minggu depan adalah ulang tahunku yang ke 23."
"Kau tidak berpikir kalau mungkin Papa akan menyampaikan hal lain?"
"Seperti?" "Menikahkanmu dengan rekan bisnisnya yang berusia 65 tahun."
Andrew tertawa. Lebih tepatnya menertawaiku. Aku memicingkan kedua mataku, memandangi sikap Andrew yang menyebalkan itu.
Mana mungkin Papa akan menjodohkanku dengan seseorang. Apalagi dengan rekan bisnisnya yang berusia lebih tua dari Papa. Dan, kalau pun hal itu terjadi aku akan menolaknya mentah-mentah. Aku tahu Papa pasti akan mendengarkanku dan mengerti. Aku hanya akan menikah dengan Seth.
Suatu hari nanti aku akan mengenalkan Seth pada Papa. Seth laki-laki yang sangat baik dan sopan. Aku yakin Papa akan menerimanya. Ya, aku akan mengenalkan Seth pada Papa, tapi nanti jika waktunya sudah tepat.
*** Aku berjalan ke arah ruang keluarga. Tempat dimana Papa sudah menungguku. Aku tidak merasa khawatir sama sekali. Aku yakin Papa hanya akan membahas tentang persiapan pesta ulang tahunku minggu depan. Dan, dugaanku benar.
"Aku sudah menyiapkan sebuah pesta ulang tahun untukmu, Sayang. Pesta yang sangat megah."
Megah. Seperti biasa. "Aku akan membuat pesta ulang tahunmu kali ini menjadi pesta yang berkesan, Anna. Karena mungkin ini akan menjadi pesta ulang tahunmu yang terakhir di rumah ini."
Apa yang Papa katakan? Aku benar-benar tidak mengerti. Atau jangan-jangan apa yang tadi Andrew katakan itu benar. Papa akan menikahkan ku dengan seorang lelaki tua bangka? Oh, itu tidak mungkin terjadi. Kalau sampai itu terjadi, aku bersumpah akan kabur sejauh mungkin dari sini.
"Apa maksud Papa?" tanyaku waspada. Seperti biasa, Papa hanya tersenyum tenang. Aku selalu menyukai senyuman Papa. Senyumannya itu sangat hangat dan menenangkan.
"Aku berniat untuk mengundang beberapa rekan bisnisku ke acara ulang tahunmu, Anna. Dan mungkin akan ada beberapa tokoh penting kota ini juga yang akan datang. Aku ingin mengenalkanmu dengan salah seorang rekan bisnisku."
Ucapan Papa benar-benar membuat kakiku lemas dan seluruh tubuhku meremang. Apa benar Papa akan menjodohkanku dengan seorang lelaki tua? Sejauh yang aku tahu, rekan bisnis Papa memang kebanyakan semuanya sudah tua. Dan, kalaupun ada yang sedikit muda, mereka pasti sudah menikah dan mempunyai anak berusia minimal empat tahun. Oh Tuhan, jangan lakukan itu, please.
"Tapi untuk apa, Papa? Aku tidak mau berkenalan dengan siapapun." kali ini nada bicaraku agak sedikit keras. Aku protes.
"Tenang, Anna sayang. Aku hanya ingin kau berkenalan dengan lelaki ini. Setelah bertemu dan melihatnya nanti, kau yang akan memutuskan. Aku tidak akan memaksamu, Sayang."
"Aku makin tidak mengerti. Memutuskan tentang hal apa, Papa?"
Ingin sekali aku pergi dari tempat ini sekarang. Aku takut akan mendengar hal menakutkan lainnya.
"Sudah jangan dipikirkan. Semua ini tidak seburuk pikiranmu, Anna. Kau tidak perlu mengkhawatirkan apapun. Pesta ulang tahunmu sudah ku atur sedemikian rupa. Kau hanya perlu menyiapkan keperluanmu sendiri. Seperti biasa."
"Iya, Papa." Hanya dua kata itu yang bisa keluar dari bibirku saat ini. Aku tidak tahu lagi harus berkata apa. Pikiranku penuh dengan wajah-wajah rekan bisnis Papa yang pernah bertemu denganku. Mereka semua rata-rata sudah tua. Kira-kira rekan bisnis Papa yang mana yang akan dikenalkan padaku nanti? Membayangkannya saja sudah membuatku merinding. Apakah semua yang Andrew katakan itu benar?
*** Seminggu kemudian ... Seperti yang Papa janjikan padaku sebelumnya, pesta ulang tahunku malam ini memang sangat megah dan meriah. Aku memakai sebuah gaun berwarna biru muda yang terbuat dari sutra berkilau, dengan bagian bawah yang melebar. Gaun itu dipesan khusus oleh Papa untuk acara ulang tahunku ini.
Saat pertama kali aku menuruni tangga, aku melihat para tamu sudah menyebar di setiap sudut ballroom. Tampak ada beberapa rekan bisnis Papa, walikota, hakim dan jaksa, kepala polisi dan beberapa temanku dan juga teman Andrew yang tidak bisa ku ingat namanya satu per satu.
Papa benar-benar membuat pesta yang mewah untukku. Tepat di tengah ruangan ada sebuah kue ulang tahun besar bertingkat dengan namaku sebagai hiasannya. Di meja-meja besar disediakan berbagai macam makanan mewah. Para pelayan berseragam hitam putih hilir mudik membawa nampan, menawarkan hidangan dan juga berbagai jenis minuman yang mengalir tanpa henti.
Saat aku sampai di bawah, aku tahu semua mata memandangiku. Aku adalah bintang utama malam ini. Dan, aku langsung saja berjalan ke arah Papa yang sudah menungguku dengan senyuman hangatnya.
"Anna, oh anakku sayang. Kau cantik sekali malam ini," Papa memelukku dengan sangat erat. Aku selalu menyukai aroma parfum Papa, "selamat ulang tahun, Sayang." Papa mengecup keningku.
Acara terus berjalan sesuai rencana, dan seusai acara utama yaitu tiup lilin dan potong kue, sekarang semua orang bebas melakukan apapun. Kebanyakan dari mereka mengobrol dengan teman masing-masing dan menikmati hidangan.
Aku berdiri di sudut ruangan, seorang diri. Aku bersumpah kalau rahangku ini sangat sakit karena sejak tadi aku harus terus memaksakan senyum pada semua tamu yang kebanyakan tidak ku kenal. Ini adalah pesta ulang tahunku tapi aku merasa sangat asing di sini. Mataku menelusuri setiap sudut ruangan, berusaha mencari siapa rekan bisnis Papa yang kira-kira akan dikenalkan padaku nantinya.
Tak berapa lama, Papa menghampiriku. Ia datang dengan seorang lelaki muda di sampingnya. Lelaki itu berusia sekitar 30 tahun. Ia tampak sangat tampan mengenakan setelan jas berwarna hitam legam.
"Hei Anna, perkenalkan ini adalah Sebastian Agustine. Rekan bisnis yang ingin ku kenalkan padamu."
APA?!!! Papa pasti bercanda. Aku tidak percaya Papa mempunyai seorang rekan bisnis seperti ini. Lelaki di hadapanku itu sangat muda dan tampan. Kulitnya berwarna perunggu, rambutnya berwarna coklat dan wajahnya ...
Ia memiliki rahang yang tegas, tulang pipi yang tinggi, alis yang tebal, seulas bibir tipis yang jika ia tersenyum, aku bisa lemas dibuatnya. Tatapan dari kedua mata abu-abunya itu, sangat dalam dan tajam. Lelaki itu adalah simbol dari kesempurnaan.
Sebastian mengulurkan tangannya padaku dan aku membalas jabatan tangannya. Telapak tangannya yang halus itu menggenggam tanganku dengan kuat, tapi tidak menyakitkan.
"Halo, Nona Savannah Worthington."
Suara Sebastian membuat darahku mendesir. Sial, apa yang terjadi? Tidak Anna, kau tidak boleh seperti ini, sadarlah, kau hanya milik Seth, miliknya satu-satunya.
"Halo, Tuan Sebastian Agustine, senang bertemu denganmu."
Aku memberikan senyuman termanisku. Aku lakukan agar Papa senang melihatnya.
"Aku juga senang bertemu denganmu. Selamat ulang tahun."
Tiba-tiba saja Sebastian memberikanku sebuah hadiah dalam kotak yang dibalut pita besar. Aku menerimanya dan mengucapkan terima kasih.
"Oh ya, Tuan Worthington, sayang sekali aku harus pergi sekarang." Sebastian berpaling pada Papa, "masih ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan malam ini. Ngomong-ngomong, pestanya sangat luar biasa. Terima kasih untuk undangannya."
Mereka berjabat tangan. Entah mengapa, aku merasa sedikit menyesal karena Sebastian harus pergi begitu cepat. Bukan karena aku jatuh cinta pada lelaki ini, bukan, tapi itu hanya karena aku menyukai sosoknya yang tampan. Aku adalah penyuka makhluk tampan. Aku menyukai artis-artis tampan. Seth-ku tak kalah tampan maka itu aku memacarinya.
Hihihi, aku merasa geli hati sendiri.
"Oh sayang sekali, Sebastian. Tapi, baiklah mungkin kita bisa bertemu lagi di waktu dan kesempatan yang lain." Papa tersenyum, seperti biasa senyuman yang sangat ramah dan hangat.
"Tentu, Tuan Worthington, tentu." Sebastian berpaling padaku, "sekali lagi ku ucapkan selamat ulang tahun, Nona Savannah. Selamat malam."
Sebastian membungkuk dan mengecup punggung tanganku dengan sangat lembut sementara satu tangannya lagi di belakang tubuhnya. Ya Tuhan, what a gentleman! Seth bahkan tidak pernah melakukan ini padaku. Malam ini adalah malam ulang tahun terbaikku. Tanganku dikecup oleh seorang malaikat yang jatuh dari khayangan!
Dengan keadaan setengah sadar akibat perlakuan Sebastian padaku barusan, aku melihat Papa dan Sebastian berjalan menjauhiku dan menghilang di antara kerumunan orang-orang.
Baru ku sadari, aku sudah senyam-senyum sendiri dari tadi. Benar-benar idiot! Saat aku melihat sekeliling untuk memastikan apakah ada orang yang melihat, aku mendapati Andrew sedang berdiri di sudut lain, sedang memandangiku sambil menahan tawa yang hampir pecah di bibirnya. Aku memicingkan kedua mataku padanya. Seketika tawa Andrew pecah setelah melihat wajahku. Sialan, Andrew benar-benar menyebalkan!
*** BAB 3 Keesokan harinya, sepeninggal Papa dan Andrew ke kantor, aku langsung pergi ke apartemen Seth. Ia tampak sedang tidur saat aku pertama kali datang, itu terlihat saat ia membukakan pintu untukku. Seth hanya memakai boxer, wajah dan rambutnya tampak acak-acakan. Tapi, tetap saja ia begitu mengagumkan di mataku. Sekejap bayangan tentang pesona Sebastian Agustine hilang dari ingatanku.
"Ayo cepat mandi sana. Dasar Pemalas!"
Aku sedikit mendorong bagian belakang tubuh Seth yang berjalan ke arah sofa dengan malas. Ia kembali meringkuk di sofa, mencoba kembali tidur.
"Ya Tuhan Seth, ayolah. Bukankah hari ini kau ada latihan?"
Aku mengguncang-guncang tubuh Seth, dan akhirnya lelaki itu menyerah juga. Ia bangun dan duduk dengan malas.
"Kau tahu, aku baru tidur jam enam tadi pagi." suara Seth terdengar serak.
"Kau tidak bilang padaku kalau ada jadwal manggung. Maafkan aku. Kau pasti masih ngantuk ya?"
Seth mengusap wajahnya dengan telapak tangan lalu tersenyum ke arahku. Ia tahu aku sedang merasa bersalah.
"Tidak apa-apa. Oh ya, bagaimana pesta ulang tahunmu semalam?" tanya Seth. Ia mengusap wajahku dengan ibu jarinya.
"Meriah. Seperti biasa." aku menarik nafas, "andai kau ada di sana semalam. Suatu hari aku akan mengenalkanmu pada Papa. Aku berjanji."
Seth tersenyum, "Iya, Sayang. Nanti kalau waktunya sudah tepat."
Seth langsung berdiri dan pergi menuju kamarnya lalu terdengar suara pancuran air. Dan, beberapa menit kemudian Seth kembali dengan pakaian rapi.
"Ayo ikut aku, aku belum makan dari semalam. Perutku lapar sekali."
*** Aku dan Seth pergi ke sebuah kedai kopi yang berada tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Di sana ternyata ada Ashley yang sudah sampai lebih dulu. Ia duduk seorang diri di sudut ruangan sambil menikmati kopi, saat aku memasuki kedai ia dengan mudah bisa langsung melihatku. Aku tidak memiliki janji dengannya. Pertemuan ini hanya sebuah kebetulan.
Aku dan Seth terpaksa harus menghampirinya. Padahal, saat ini aku sangat ingin berbincang berdua saja dengan Seth. Aku begitu merindukan lelaki ini. Ada banyak hal yang ingin kuceritakan padanya. Tapi, tidak mungkin kan aku tidak menghampiri Ashley, aku tidak ada masalah sama sekali dengan gadis ini.
"Ash, kau di sini rupanya."
Ashley tampak senang melihat kehadiranku dan Seth.
"Hei, Anna." Ashley bangkit dan memelukku sesaat. Aku duduk di meja yang sama dengan Ashley. Tapi, belum sempat Seth duduk, ponselnya sudah berdering. Aku memperhatikannya yang berjalan menjauhiku dan Ashley.
Beberapa saat kemudian, Seth kembali dengan terburu-buru.
"Anna, aku harus segera pergi. Latihan dimulai lebih awal. Bye!"
Tanpa mau menunggu jawabanku, Seth langsung saja mencium keningku dan beranjak pergi keluar kedai. Apa-apaan dia itu? Dia bahkan belum memesan makanan sama sekali. Padahal tadi ia bilang belum makan dari semalam.
"Latihan?" suara Ashley membuatku sadar dari lamunan. Aku mengangguk dengan malas.
"Payah! Kau tahu, aku begitu merindukannya sejak terakhir kami bertemu seminggu yang lalu. Ia terlalu sibuk dengan band-nya itu. Menyebalkan."
Ashley tersenyum melihatku. Ia tahu aku merasa sangat kecewa pada Seth saat ini.
"Tipikal anak band. Seharusnya kau sudah tahu kalau semua akan seperti ini sebelum memutuskan untuk berpacaran dengannya. Kau harus rela berbagi. Berbagi apapun dan dengan siapapun. Maksudku, kau harus rela berbagi Seth mu itu karena ia adalah konsumsi publik."
Oh, apa yang Ashley katakan? Mendengar ucapannya itu membuat kupingku terasa panas. Aku sangat mencintai Seth. Sejak kecil aku selalu mendapatkan apa yang ku mau, hanya untuk diriku sendiri. Dan sekarang, aku harus berbagi dengan para penggemarnya yang kebanyakan gadis remaja itu. Ini benar-benar gila!
Tapi, harus ku akui bahwa apa yang Ashley katakan memang benar. Pekerjaan Seth yang menuntutnya seperti itu.
"Oh iya, Anna. Maaf semalam aku tidak datang ke pesta ulang tahunmu. Tiba-tiba saja perutku sakit. Aku buang-buang air sejak kemarin siang."
"Tidak apa-apa, Ash. Lalu bagaimana keadaanmu sekarang?"
"Lebih baik. Mom sudah memberiku obat. Lalu, bagaimana pestanya?"
"Seperti biasa. Meriah." jawabku singkat. Pandanganku terus saja menatap ke meja. Sambil memutar-mutar ponsel di tanganku. Aku masih belum bisa menghilangkan perasaan kesalku karena Seth pergi begitu saja tadi.
"Anna ..." suara Ashley tiba-tiba jadi berbisik, "ada seorang laki-laki duduk di belakangmu. Kau jangan menoleh ke arahnya sekarang."
Ashley menatapku memberi peringatan. Beberapa kali Ashley melirik ke arah laki-laki itu.
"Sepertinya ia sedang memperhatikan kita. Apa kau mengenalnya?"
Aku menoleh ke belakang. Tampak ada seorang lelaki duduk seorang diri di meja yang berjarak beberapa meter dari tempatku dan Ashley. Lelaki itu berpakaian normal seperti pengunjung yang lain. Dengan pakaian santai dan kacamata yang bertengger di kepalanya.
Saat aku menoleh dan memperhatikannya, lelaki itu tampak sedang memainkan ponselnya. Tidak ada yang mencurigakan dari sosoknya. Aku berpikir kalau lelaki itu pasti hanya lelaki iseng yang tidak tahan melihat dua orang wanita duduk di sebuah kedai kopi. Ia pasti hanya ingin menggoda kami. Ashley terlalu berlebihan.
"Ash, aku pergi dulu. Selera makanku sudah hilang sekarang. Nanti ku hubungi lagi ya?" aku bangkit dari kursi tapi sebelum aku melangkahkan kaki, Ashley memanggilku dan berbisik,
"Anna, hati-hati ..." Ashley tampak serius dengan perkataannya, kedua matanya lagi-lagi melirik ke arah lelaki itu.
*** Aku sampai di rumah dengan selamat. Benar saja dugaanku, Ashley hanya terlalu paranoid. Lelaki itu pasti hanya orang iseng. Seharusnya Ashley yang perlu hati-hati karena aku yakin, setelah aku pergi tadi, lelaki asing itu pasti langsung menghampiri mejanya.
Saat aku memasuki rumah dan berlari kecil menuju kamar, tiba-tiba langkahku terhenti karena mendengar suara Papa,
"Anna, kemarilah, Sayang."
Jantungku berdegup kencang. Aku melihat sekeliling, mengapa tidak ada satupun pelayan yang memberitahuku kalau Papa sudah pulang lebih awal hari ini.
Perlahan aku berjalan ke arah Papa. Apa Papa tahu darimana aku barusan? Aku tahu itu tidak mungkin, tapi tetap saja aku merasa takut. Apapun bisa terjadi, benar kan?
"Duduklah dulu, Anna. Aku tidak akan mau berbincang dengan orang yang tidak siap dan nafas yang terengah seperti itu."
Aku duduk di sofa dengan perlahan. Papa masih duduk dengan tenang, sambil menyadarkan tubuhnya. Ia menungguku siap mendengarkan ucapannya. Mengapa sejak ulang tahunku itu Papa jadi sering bersikap lebih formal terhadapku. Membuatku sedikit tidak nyaman.
"Aku hanya ingin menanyakan perihal Sebastian. Kau sudah bertemu dan melihatnya semalam. Bagaimana menurutmu?"
Bagaimana apanya? Aku tidak mengerti.
"Sebastian lelaki yang tampan, Papa." jawabku jujur. Papa tampak tertawa kecil.
"Kalau itu, semua orang bisa melihatnya, Anna. Maksudku, apa pendapatmu tentang sosok Sebastian."
"Aku ..." aku menahan kalimatku. Berusaha mencari jawaban. Tapi, yang ada di otakku hanya jawaban-jawaban konyol yang ku rasa Papa pasti akan tertawa lagi jika mendengarnya, "aku belum tahu, Papa. Kami baru bertemu sekali dan itu pun hanya sebentar."
Papa menarik nafas dan tampak berpikir sejenak. Papa menarik tubuhnya dari sandaran dan mencondongkan tubuhnya ke arahku.
"Kau tahu, Anna. Aku berniat untuk menikahkanmu dengan Sebastian."
APA?!!! Papa pasti bercanda. Menikah dengan orang yang tidak ku kenal. No way! Apa Papa tahu siapa orang yang paling aku cintai di dunia ini? Seth, ya hanya Seth. Dan, aku hanya akan menikah dengannya, bukan orang lain, tak perduli siapapun orang itu. Aku tidak perduli apakah dia tampan, kaya, pewaris tunggal perusahaan atau apapun. Intinya aku tidak mau!!!
Papa tersenyum lembut ke arahku. Ia tahu aku tidak bisa menerima ini. Papa mendekat dan menyusul duduk di sampingku. Ia meraih tanganku dan mengusapnya lembut.
"Jangan salah paham, Anna. Aku tahu ini terdengar konyol. Aku tidak berniat menjodoh-jodohkan putri kesayanganku dengan orang asing. Tapi, ini berbeda, Anna. Aku sudah mengenal Sebastian sejak lama dan kau tahu, ia sendiri yang ingin meminangmu. Ini semua bukan kehendakku."
Aku semakin bingung dengan permasalahan ini. Kenapa Sebastian ingin meminangku? Ia seorang yang tampan dan kaya raya. Ia bisa mendapatkan wanita manapun yang jauh lebih cantik dariku. Tapi, kenapa harus aku? Padahal kami tidak pernah mengenal satu sama lain sebelumnya.
"Apa Papa tidak berpikir kalau ini aneh? Bisa saja kan dia ingin menikahiku karena ingin merebut perusahaan dan semua kekayaan Papa?"
Papa malah tertawa lebih keras lagi mendengar ucapanku. Aku tahu jawabanku konyol tapi, siapa tahu saja kecurigaanku itu benar. Zaman sekarang tidak akan ada orang yang bersikap aneh seperti yang dilakukan oleh Sebastian Agustine.
"Tidak, Anna. Sama sekali tidak seperti itu. Kau sama sekali tidak mengenal Sebastian," lagi-lagi Papa tertawa, "baiklah kalau begitu bagaimana kalau Sabtu depan kita undang ia makan malam di sini. Supaya kau bisa ngobrol lebih lama dan mengenalnya lebih dekat lagi. Beri ia kesempatan, Anna. Dan, setelah itu kau sudah harus memberikan jawabanmu padaku. Aku tidak akan memaksa kau harus menerimanya. Ku terima apapun keputusanmu, Anna. Bagaimana?"
Papa memandang penuh harap padaku.
Apa salahnya memberikan Sebastian dan Papa kesempatan, Anna. Hanya satu malam saja.
"Baiklah, Papa."
*** BAB 4 Pertemuan itu diadakan di rumahku. Sebastian datang seorang diri. Ia menyempatkan datang untuk bertemu langsung dengan keluargaku di sela-sela jadwalnya yang sangat padat. Paling tidak, itu yang dikatakan Papa tepat sebelum ia datang.
Saat pertama kali ia datang, aku seperti terhipnotis dibuatnya. Sial, benar-benar sialan! Lelaki itu tampak lebih menarik dari saat malam ulang tahunku waktu itu. Sebastian benar-benar seperti malaikat yang tidak sengaja jatuh ke bumi. Malam ini ia memakai setelan jas tanpa kancing yang dibuat khusus dengan kaos model v-neck berwarna putih di dalamnya. Ia tampak ingin sedikit lebih santai malam ini.? Jambang dan kumisnya yang mulai sedikit tumbuh menghiasi wajahnya, membuat jantungku berdebar-debar. Ia begitu sempurna.
Tapi, ada sesuatu hal yang aneh dengan sosok Sebastian malam ini. Ia tampak sedikit lebih dingin. Walaupun, tetap saja ia masih bersikap begitu ramah pada Papa dan Andrew. Sepanjang makan malam itu, aku benar-benar takut menatap kedua mata abu-abunya yang tajam dan dalam.
Bukan, bukan ketampanan dan kesempurnaan Sebastian yang membuat aku takut untuk menatapnya. Tapi, sikap dingin, keanggunannya, cara bicaranya yang sangat sopan pada Papa dan Andrew, juga cara Sebastian menatapku yang membuat aku merasa sangat ingin menghilang dari hadapannya.
Sebastian menatapku seperti seorang predator yang siap menerkam mangsanya. Aku merasa Sebastian sedang menelanjangiku lewat tatapannya. Seakan-akan Sebastian sudah mengenalku sejak lama dan bisa membaca pikiran-pikiran licik yang ada di kepalaku. Baru kali ini aku merasa sangat gugup bertemu dengan seorang lelaki. Selama ini semua orang sangat segan padaku karena aku adalah putri kesayangan seorang James Worthington. Tapi, semua hal itu tampaknya tidak berpengaruh pada Sebastian. Saat ini justru malah aku yang menciut seperti seekor kelinci di hadapannya.
Selesai makan malam dan berbincang, Sebastian mengajakku untuk pergi ke luar. Dan, Papa dengan senang hati mengizinkannya.
Bisa dibilang bahwa Sebastian memang lelaki sejati. Maksudku, dia dengan senang hati membukakan pintu mobilnya untukku dan memperlakukanku sebaik mungkin. Tapi, memangnya siapa orang yang berani tidak memperlakukanku dengan baik. Aku seorang keturunan Worthington, dan seluruh dunia tahu itu. Ayahku seorang yang berkuasa dan ia bisa menghabisimu dan seluruh keluargamu dengan sekejap mata saja.
"Kemana kita akan pergi, Tuan Agustine?" tanyaku memecah keheningan di dalam mobil. Sebastian mulai menjalankan Ashton Martin DB9 miliknya. Pertama kali aku duduk di dalam mobil milik Sebastian itu, terkadang aku merasa menyesal telah membeli Si Biru dulu. Padahal Papa sudah memodaliku untuk membeli mobil sport semacam ini. Tapi, biar bagaimana pun si mobil tua itu sudah banyak berjasa padaku.
"Kemana pun kau mau, Anna," Sebastian tersenyum ke arahku, "Oh ya, jangan panggil aku Tuan, panggil saja aku Sebastian. Aku ingin kau mulai membiasakan diri."
Tanpa ku duga sebelumnya, Sebastian berani meraih tanganku yang ada dipangkuanku. Seketika aku menoleh ke arahnya, tapi ia tampak biasa saja. Sebastian masih tampak asyik mengendarai mobilnya dan fokus pada jalanan.
Dasar otak mesum. Aku seharusnya sudah tahu dari awal kalau ada yang aneh dari lelaki ini. Pertama kali ia jalan denganku dan ia sudah berani menyentuh tanganku. Baiklah, aku akan memberinya pelajaran kali ini.
Aku mengajak Sebastian ke sebuah bar murahan yang aku yakin sekali belum pernah ia kunjungi sebelumnya. Jangankan mengunjungi tempat ini, bahkan membayangkannya saja ku rasa ia tak akan mampu. Aku ingin membuat ia tahu bahwa aku sering mengunjungi tempat kumuh seperti itu. Aku ingin membuat ia merasa ilfeel pada anak gadis James Worthington ini dan berpikir dua kali untuk menikahiku setelah ini.
Mobil mewah Sebastian benar-benar tampak salah alamat. Di sekitar tempat parkir, hanya mobilnya yang tampak masih bisa disebut manusiawi, yang lainnya tampak seperti sebuah rongsokan yang masih saja dipaksa bekerja di masa senjanya. Mirip seperti Si Biru milikku.
Saat kami memasuki bar, aku tidak percaya kalau semua mata tampak sedang memandangi kami. Memandangi sosok Sebastian tepatnya. Beberapa wanita panggilan yang biasa menjajakan diri di sana tampak sangat ingin menghampirinya, tapi mereka mengurungkan niat saat melihat Sebastian datang bersamaku.
Aku melihat ke arah Sebastian, lelaki itu tampak tenang seperti biasa. Ia sama sekali tampak tidak keberatan dengan tempat yang ku pilih malam ini. Sial.
Akhirnya kami mendapatkan sebuah meja. Meja khusus yang diberikan langsung oleh si pemilik bar. Aku semakin bingung, apa yang istimewa dari seorang Sebastian Agustine? Mengapa semua orang tampak mengenal dan menghormatinya sementara aku tidak tahu apa-apa.
Si pemilik bar memanggil pelayannya yang paling cantik untuk melayani kami berdua. Aku memesan Wine, aku sengaja memilih minuman dengan kadar alkohol rendah karena aku tidak akan membiarkan diriku mabuk malam ini. Aku tidak mau sesuatu hal aneh terjadi diantara diriku dan Sebastian. Tidak akan pernah.
Tanpa ku duga, Sebastian memilih Whiskey, minuman mahal dengan kadar alkohol tinggi. Sial, kalau dia mabuk, siapa yang akan mengantarku pulang nanti?
"Pilihan yang bagus. Kau tidak ingin mabuk malam ini?" ucapnya pertama kali. Sudah ku duga, lelaki ini memiliki kemampuan membaca pikiran seseorang.
"Malam ini kebetulan aku hanya sedang ingin Wine. Biasanya aku pesan bir."
Aku tidak bohong. Bir adalah minuman favoritku dan Seth. Selain harganya murah, bir itu mengenyangkan perut kami.
Sebastian hanya tersenyum sambil memandangiku.
"Kau tahu, Anna? Kau sangat luar biasa."
Sebastian meraih tanganku lagi dan meremasnya dengan perlahan. Tatapan matanya yang dalam membuat jantungku berdebar-debar. Belum lagi minumanku datang, tapi aku sudah merasa dimabuk kepayang dibuatnya.
Suara dentuman musik yang hingar bingar tidak menghilangkan kesan romantis dan sensual yang terpancar dari lelaki di hadapanku ini.
Sebastian mendekatkan wajahnya dan ia mencoba menciumku. Tanpa bisa mengelak darinya, aku malah terdiam, bersiap menerimanya. Tubuhku terasa kaku. Jantungku berdegup lebih cepat lagi. Tapi, saat ia sudah memiringkan wajahnya dan bibirnya hampir mendarat di bibirku, tiba-tiba ia berhenti dan segera berpaling. Tersenyum, tertawa. Lebih tepatnya menertawaiku yang sudah dengan bodohnya mengira kalau ia akan benar-benar menciumku. Brengsek! Benar-benar brengsek!
Aku berusaha mengalihkan pandanganku dari Si Brengsek ini. Aku bisa merasakan kalau wajahku merah menahan malu. Tapi, tiba-tiba saja pandanganku terpaut pada Seth. Ia dan beberapa temannya yang tidak begitu ku kenal sedang berkumpul di meja yang berjarak lumayan jauh dari tempatku. Seth tampak sedang menatapku, tapi saat aku melihatnya ia malah berpaling lagi pada teman-temannya dan kembali tertawa seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.
Kakiku lemas seketika. Apa yang aku lakukan? Mengapa aku mengajak Sebastian ke sini? Ke tempat sialan ini. Seharusnya aku mengajaknya ke restoran yang paling mahal saja karena Seth tidak mungkin akan berada di sana. Awalnya aku hanya ingin memberi pelajaran pada Sebastian tapi mengapa semua jadi begini?
Apa tadi Seth melihat saat Sebastian mencoba menciumku? Apa ia marah? Apa ia cemburu? Ya Tuhan, aku akan menjelaskan semua padanya besok. Aku berjanji.
*** Sebastian benar-benar lelaki luar biasa. Ia menghabiskan beberapa gelas Whiskey dan ia masih bisa sepenuhnya tersadar. Ia bahkan masih sanggup mengantarku kembali ke rumah dan meminta izin pulang pada Papa.
Aku sama sekali tidak meminum Wine ku tadi. Aku sama sekali tidak ingin membuat kesalahan yang akan merusak malam ini. Pertemuanku yang tidak sengaja dengan Seth saja sudah merusak semuanya.
Saat aku berjalan menuju kamar, aku mendengar suara musik saat melewati kamar Andrew. Ini pukul satu malam dan kakakku itu pasti belum tidur. Diam-diam aku membuka pintu kamarnya dan menyelinap masuk.
Saat aku sudah berhasil masuk, tampak Andrew sedang mengeringkan rambutnya yang basah, ia hanya memakai celana trainingnya, bertelanjang dada. Ia sama sekali tidak menyadari kehadiranku.
"HOLY SHIT!!!" Andrew terperanjat saat melihat bayanganku di kaca cermin. Wajahnya tampak sangat lucu. Benar-benar lucu. Aku tidak bisa menahan tawaku. Aku tahu Andrew selalu kesal saat aku menertawainya, sama seperti yang ku rasakan saat ia menertawaiku.
Jarak umur kami terpaut lima tahun tapi aku tidak tahu mengapa aku dan Andrew tidak bisa bersikap seperti pasangan adik kakak yang lain. Yang penuh cinta kasih. Sebagai calon pewaris tunggal perusahaan Papa, Andrew sangat jauh dari kata 'berwibawa'.
Aku masih terus tertawa sampai terjatuh ke atas tempat tidurnya. Wajah Andrew masih tampak kesal. Tak lama ia melempar wajahku dengan handuk yang ia pakai untuk mengusap rambutnya tadi.
"Sial! Kau membuatku kaget. Kau tidak tahu ini jam berapa?!"
Aku berusaha menghentikan tawaku dan mengatur nafas.
"Oh Andy, itu tidak penting sama sekali. Seharusnya kau lihat wajahmu saat kaget tadi. Benar-benar lucu!" aku kembali tertawa.
"Sial! Lihat saja, aku akan membalasmu nanti. Lagipula untuk apa kau masuk ke kamarku jam segini? Ku pikir kau tidak akan pulang tadi."
Tiba-tiba Andrew meraih tasku dan memeriksa isinya.
"Apa maksudmu? Aku tidak mungkin bermalam dengan Sebastian. Aku belum begitu mengenalnya."
Saat aku menoleh ke arah Andrew, ia masih tampak sibuk mengacak-acak tasku. Dengan cepat aku meraihnya kembali dari tangan Andrew.
"Kau sedang mencari apa sich?" tanyaku kesal. Aku mengumpulkan kembali isi tasku yang berceceran di atas tempat tidurnya. Andrew memang kurang ajar!
"Kondom!" Ia tertawa geli sampai berguling di atas tempat tidurnya. Persis seperti orang gila. Aku menatapnya kesal sambil merapikan isi tasku.
"Hei, aku tidak pernah membawa kondom. Kau dengar itu. Dan, kalaupun salah satu diantara kami harus membawanya, dialah orangnya." jawabku kesal. Tiba-tiba pertanyaan Andrew membuatku diam seketika,
"Apa pacarmu yang pemain band itu juga selalu membawanya?"
*** BAB 5 "Apa pacarmu yang pemain band itu juga selalu membawanya?"
Aku benar-benar kaget mendengar pertanyaan Andrew. Dari mana ia tahu tentang Seth. Ya Tuhan, apa jangan-jangan Papa juga sudah mengetahuinya.
Aku menoleh ke arah Andrew, ia tampak sedang menatapku dengan kedua alis yang bergoyang naik turun. Menunggu jawaban. Benar-benar menyebalkan.
"Bagaimana kau bisa tahu, Andy?" tanyaku penasaran.
"Tahu tentang apa? Oh ayolah Anna, aku tumbuh besar bersamamu. Aku bisa membaca semua pikiranmu. Lagipula tak ada yang salah. Selama menurutmu pemuda itu baik. Aku juga pernah seusiamu."
Ingin sekali aku memeluk Andrew saat ini. Aku tidak bisa percaya ia bisa berpikiran dewasa juga. Tapi tidak, kalau aku memeluknya, Andrew pasti meledekku lagi dan merusak suasana romantis di antara kami berdua sekarang.
"Apa Papa tahu tentang ini?" tanyaku.
"Menurutmu?" Andrew balik bertanya.
"Aku tidak tahu. Kau itu sangat sulit ditebak."
Andrew tertawa, "Tentu tidak, Anna. Kau tenang saja."
Aku tersenyum mendengar jawaban Andrew. Mungkin kali ini aku bisa mempercayainya.
"Oh iya Andy, aku sebenarnya ingin bertanya padamu tentang Sebastian. Maksudku, apa kau tahu sesuatu tentangnya?"
Aku menatap Andrew, menunggu jawabannya.
"Sebastian? Sebenarnya mudah saja mencari tahu siapa dia, Anna. Profilnya sudah banyak dimuat di majalah-majalah bisnis. Hampir semua orang tahu mengenainya."
Andrew bercanda! Semua orang kecuali aku begitu? Yang benar saja, kemana saja aku selama ini sampai tidak tahu sama sekali tentang sosok Sebastian. Apa aku terlalu sibuk memikirkan Seth yang selalu sibuk dengan band-nya? Pantas saja orang-orang di bar tadi tampak sangat menghormatinya. Aku harus lebih berhati-hati lagi lain waktu.
Desperate Mrs Karya Agustine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tolong beritahu aku semua yang kau tahu, Andy. Please ..." aku menatap Andrew dengan tatapan memelas, akhirnya ia menyerah juga.
"Sebastian adalah pemilik tunggal OneComp. Salah satu perusahaan komunikasi terbaik. Sudah banyak prestasi yang ia raih selama menjadi pimpinan di perusahaan itu. Kau jangan tanya berapa banyak kekayaan yang dimilikinya, Anna. Ia menjadi pimpinan di perusahaan itu setelah ayahnya, Tuan Fabio Agustine meninggal dunia sekitar lima tahun lalu, saat Sebastian berusia dua puluh lima. Ibunya sudah meninggal saat ia kecil dan ayahnya memutuskan untuk tidak menikah lagi. Papa dan Tuan Fabio sudah berteman sejak lama, Anna."
Aku terdiam mendengar penjelasan Andrew. Jadi, lelaki semuda Sebastian harus mengemban semua tanggung jawab yang dihibahkan padanya seorang diri. Tanpa ayah, ibu dan saudara. Ia hidup sebatang kara. Lalu mengapa ia memutuskan untuk menikahiku? Apa ia berniat untuk menjadikanku asisten pribadi kepercayaannya di kantor? Kalau memang itu alasannya, Sebastian telah memilih orang yang salah.
"Aku tidak percaya kau bisa tahu banyak tentang profilnya, Andrew."
Aku menopang daguku sambil terus memperhatikan Andrew.
"Well, ku rasa sekarang kau sudah harus mulai berhenti berlangganan Rolling Stones dan mulai membeli majalah Forbes, Anna. Biar bagaimana pun sebentar lagi kau akan menjadi istri seorang pengusaha kaya. Paling tidak, nantinya kau jadi sedikit tahu perkembangan dan apa yang sedang menjadi perbincangan di dunia yang digeluti suamimu, kan?"
"Aku tidak akan menikah dengan Sebastian, Andy. Kau tahu itu tak akan pernah terjadi."
Ucapanku lebih terdengar seperti sebuah peringatan. Andrew menarik nafas. Ia bangkit dan duduk tepat di sebelahku. Wajahnya berubah menjadi serius.
"Kau tahu, Anna. Papa adalah orang yang sangat baik. Papa selalu memberikan apapun yang kita inginkan sejak kita berdua masih kecil. Kau ingat itu, kan?"
Andrew menatapku, "Papa tidak pernah menuntut apapun darimu Anna. Begitu pula padaku. Aku tahu Papa pasti tidak akan memaksamu untuk melakukan sesuatu yang tidak kau sukai. Tapi, percayalah Anna, Papa pasti akan merasa lebih senang jika kau menerima tawaran Sebastian untuk menjadi istrinya."
Aku terdiam mendengar penjelasan Andrew. Apa Papa yang menyuruhnya untuk meyakinkanku seperti ini? Aku lelah membahas perihal Sebastian. Aku tahu semua orang ingin aku menikah dengannya.
"Entahlah, Andy. Kita lihat saja nanti," aku menarik nafas, "oh ya, sudah lama aku tidak melihatmu jalan dengan Alice. Apa semua baik-baik saja?"
Aku mencoba mengubah topik perbincangan kami. Andrew tersenyum kecut mendengar pertanyaanku tentang pacarnya.
"Kami sudah lama putus, Anna."
"Oh benarkah?" aku benar-benar kaget.
"Yeah, tapi tidak apa-apa. Aku sudah mendapat calon penggantinya."
"Serius? Siapa?" tanyaku dengan nada tak sabar sambil mengguncang tangan Andrew.
"Ashley. Temanmu."
*** Keesokan paginya, aku langsung saja pergi menemui Seth di sebuah kafe. Aku sangat takut Seth akan marah padaku, tapi kenyataannya ia bersikap biasa saja padaku. Seakan-akan tidak terjadi apa-apa semalam.
"Kau tidak marah padaku, Seth?" aku memandangi wajah Seth yang sedang asyik mengaduk-aduk minumannya. Ia tersenyum.
"Tidak apa-apa, Anna. Aku tahu kalau aku memang tidak akan pernah berakhir denganmu. Kau tahu, kita tidak sederajat."
Aku merasa bingung dengan jawaban Seth. Apa yang ia bicarakan? Sejak awal ia tahu aku sangat mencintainya.
"Maksudku, sejak pertama kali memutuskan untuk berpacaran denganmu dan mengetahui bahwa kau adalah putri seorang James Worthington, aku tahu bahwa kita tidak akan bertahan lama."
Aku terdiam mendengar ucapan Seth. Aku benar-benar mencintai Seth, tapi aku tahu apa yang ia katakan barusan memang benar adanya.
"Dan, aku senang karena kau sekarang sedang menjalin hubungan dengan seorang Sebastian Agustine. Kalian sepadan."
"Apa maksudmu, Seth? Aku tidak punya hubungan apa-apa dengannya. Semalam itu hanya ..."
"Tidak apa-apa, Anna. Kau tidak perlu menjelaskan." Seth memotong kalimatku.
"Apa kau tahu sesuatu tentang Sebastian?" tanyaku. Seth hanya tersenyum.
"Siapa yang tidak tahu Sebastian Agustine, Anna? Ia adalah bujangan paling sukses saat ini. Semua laki-laki merasa iri padanya dan para wanita berlomba-lomba untuk mendekatinya."
Siapa yang tidak tahu Sebastian Agustine? Ya, akulah orangnya.
"Semalam Andrew bercerita sedikit tentang Sebastian. Tapi, aku tidak pernah menyangka bahwa hampir orang tahu tentangnya atau paling tidak pernah mendengar namanya. Tapi, harus aku akui ia memang laki-laki yang sangat menarik, Seth."
Aku memperhatikan reaksi Seth. Apakah lelaki itu akan cemburu mendengar ucapanku barusan. Tapi, tampaknya Seth sama sekali tidak terpengaruh.
"Sebenarnya ada sesuatu yang ingin ku ceritakan padamu, Anna. Tapi, tidak di sini tempatnya."
*** Seth membawaku kembali ke apartemennya. Di sana kami berdua langsung duduk bersebelahan di sofa.
"Apa yang ingin kau ceritakan, Seth?" tanyaku memulai pembicaraan.
"Aku ingin menceritakan satu hal tentang masa laluku, Anna." jawab Seth. Wajahnya berubah menjadi serius. Aku mulai memperhatikan dan mendengarkan dengan seksama. Jarang sekali sebelumnya Seth tampak begitu serius seperti itu.
"Sebenarnya dulu Ayahku adalah seorang pengusaha yang kaya raya. Kehidupan kami sangat lebih dari kata cukup. Hingga pada suatu hari ada rekan bisnisnya yang mencoba untuk merusak segalanya. Ia mencoba untuk membeli semua aset saham ayahku tapi ayah menolak, lalu temannya itu memakai cara licik untuk merampas semua kepunyaan kami. Hingga keluarga kami bangkrut dan kami harus mulai tinggal di sebuah rumah kecil di sebuah pedesaan."
Aku menatap kedua mata Seth yang sudah mulai tampak berkaca-kaca saat mengenang masa lalunya. Ingin sekali rasanya aku memeluk Seth sekarang untuk menenangkannya.
"Ibuku terlahir sebagai orang kaya raya, Anna. Ia merasa tidak kuat menerima kenyataan bahwa Ayahku sudah jatuh miskin. Ibuku mulai sakit-sakitan dan sampai pada suatu hari ia tertidur dan tidak pernah terbangun lagi." air mata jatuh membasahi pipi Seth. Aku bisa merasakan kepedihan hatinya.
Sebenarnya aku sangat kaget mendengar cerita Seth mengenai keluarganya di masa lalu. Selama aku menjalin hubungan dengan Seth, belum pernah sekali pun ia menyinggung masalah keluarganya. Aku tidak percaya kalau Seth memiliki masa lalu yang begitu menyedihkan. Tapi, mengapa baru sekarang Seth menceritakan semuanya padaku?
"Ayahku memiliki hutang yang sangat banyak pada hampir semua temannya untuk menyambung kehidupan kami, Anna. Dan, karena tidak sanggup menanggungnya lagi, Ayahku sengaja menggantung dirinya sendiri di pohon di depan rumah kami. Itu sangat menyedihkan, Anna."
Seth mengusap air matanya, ia menatap nanar ke arahku.
"Usiaku waktu itu baru sekitar 10 tahun. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Sampai bibi dan pamanku datang dan membawaku tinggal bersama mereka."
Aku seperti terhipnotis mendengar apa yang baru saja diceritakan oleh Seth. Semua itu benar-benar seperti mimpi buruk. Sejak lahir hingga sekarang, aku menjalani kehidupan yang sangat sempurna bersama Papa dan Andrew. Tapi, ternyata di belahan dunia lain, Seth, laki-laki yang sangat aku cintai harus menjalani masa kecilnya dengan cara menyedihkan seperti itu.
"Aku benar-benar ingin membalas orang yang sudah menghancurkan keluargaku, Anna." Seth mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras.
"Apa kau tahu siapa orangnya, Seth?" tanyaku bingung. Pandanganku tidak pernah bisa lepas dari Seth.
Seth mengangguk, "Orang yang sudah menghancurkan kehidupanku sudah meninggal dunia, Anna. Tapi, sekarang kerajaan perusahaannya di pegang oleh anak laki-lakinya. Dan, aku ingin sekali menghabisinya sama seperti apa yang Ayahnya lakukan pada kami dulu."
"Siapa anak laki-laki pria itu, Seth? Apa kau mengenalnya?"
Seth berpaling memandangku dengan lekat,
"Ya, Anna. Nama anak laki-laki pria itu adalah Sebastian Agustine."
*** BAB 6 "Siapa anak laki-laki pria itu, Seth? Apa kau mengenalnya?"
"Ya, Anna. Nama anak laki-laki pria itu adalah Sebastian Agustine."
*** Hatiku seperti mencelos mendengar nama itu. Mengapa aku selalu segan setiap mendengar nama Sebastian Agustine. Mengingat betapa tampannya lelaki itu, betapa ia mempunyai kelas dan pembawaannya yang membuat setiap orang selalu segan padanya. Aku bahkan tidak yakin kalau Sebastian adalah seorang manusia. Sebastian Agustine adalah seorang dewa yang tersesat di dunia fana.
Dan sekarang, tiba-tiba saja Seth mengatakan ia ingin menghancurkan kehidupan dan segala yang Sebastian punya untuk membalas dendam atas apa yang dilakukan oleh Ayah Sebastian di masa lalu? Aku tidak yakin dengan hal itu. Sebastian adalah seorang yang berkuasa dan banyak uang sementara Seth hanyalah seorang pemain gitar dalam sebuah band yang bermain dari panggung ke panggung. Bagaimana caranya Seth akan membalaskan semua dendamnya?
"Tapi, bagaimana bisa, Seth? Kau tahu Sebastian adalah orang penting dan banyak uang. Pertahanannya tidak tertembus. Bagaimana kau akan melakukannya?"
"Bukan aku yang akan melakukannya, Anna. Tapi kau."
"Aku?!" *** Aku merasa tidak percaya dengan apa yang Seth katakan. Bagaimana bisa aku akan membalaskan dendam Seth pada Sebastian? Bahkan menatap lelaki itu saja aku tidak sanggup.
"Iya, Anna. Langkah pertama menikahlah dengan Sebastian."
"Apa kau tidak mencintaiku lagi, Seth?"
Aku memandangi Seth, aku tidak percaya semudah itu Seth melepas diriku untuk menikah dengan orang lain, hanya demi kepentingan pribadi dan dendam masa lalunya.
"Kau mencintaiku, Anna?" Seth balik bertanya.
"Dengan segenap hatiku."
"Kalau begitu, menikahlah dengan Sebastian."
*** Sepulangnya dari apartemen Seth, aku kembali ke kafe tempat aku dan Seth bertemu tadi. Pikiranku dipenuhi dengan apa yang baru saja Seth ceritakan. Aku tidak pernah menyangka bahwa Seth mempunyai masa lalu yang begitu menyedihkan bersama keluarganya dan itu semua disebabkan oleh keluarga Agustine. Aku merasa sangat kasihan pada Seth sekarang.
Beberapa menit kemudian, saat aku sedang larut dalam pikiranku, tiba-tiba ada seorang lelaki berjas hitam menghampiriku. Lelaki itu bertubuh tinggi besar dan memakai kacamata hitam.
"Nona Worthington, anda harus ikut saya sekarang."
Aku bingung dengan ucapan lelaki itu. Siapa dia? Aku belum pernah bertemu dan tidak mengenalnya sama sekali.
"Kau siapa?" tanyaku dengan nada bingung.
"Nama saya David. Saya ditugaskan oleh Tuan Sebastian Agustine untuk menjemput anda. Beliau sudah menunggu di rumahnya."
Sebastian? Apa yang lelaki itu inginkan sekarang? Mengapa ia bisa tahu kalau sekarang aku ada di sini?
Tiba-tiba saja perasaan takut menyelimuti hatiku. Tapi, siapa orang yang berani menyakiti anak gadis seorang James Worthington. Bahkan nyamuk pun enggan menyentuh kulitku.
"Ayo Nona. Kita tidak punya banyak waktu. Tuan Sebastian paling tidak suka menunggu."
"Tapi, aku bawa mobil sendiri. Biar aku mengikutimu dari belakang."
In your dream! Setelah aku masuk ke mobil aku akan langsung melarikan diri. Dasar pengawal sialan!
"Tidak, Nona. Tuan Sebastian memerintahkan saya untuk membawa anda. Untuk urusan mobil anda, biar nanti saya suruh orang mengambilnya."
Aku menelan ludah. Ternyata lelaki ini adalah seorang yang sangat patuh pada tuannya. Sebastian pasti membayarnya dengan sangat mahal.
Dengan ragu aku berdiri dan berjalan ke arah luar. Diikuti oleh David di belakang.
Aku dan David pergi ke tempat Sebastian dengan sebuah Limo berwarna hitam berkilau. Terlalu berlebihan untuk hanya sekedar menjemput seorang gadis di sebuah kafe jalanan.
*** Tak berapa lama, kami sampai di sebuah rumah yang sangat besar dan mewah. Sebuah mansion. Rumah keluargaku besar dan mewah tapi yang ini jauh lebih besar dan mewah dan luar biasa lagi. Tentu saja, Sebastian bekerja hanya untuk membiayai dirinya sendiri. Ia pasti punya banyak uang untuk membangun sebuah istana seperti ini.
Bagian depan ruang tamu rumah itu sangat megah, dengan arsitektur gaya lama yang tampak modern. Lantai marmernya berkilauan dengan warna gading, dan pilar-pilar besar di ruang tamu dengan warna serupa begitu menjulang tinggi. Ada sebuah tangga besar yang menuju ke lantai dua dengan karpet beludru berwarna merah marun di tengahnya.
Aku berdiri cukup lama di sana. Aku bukannya terpesona dengan rumah Sebastian, aku hanya sedang menebak-nebak dimana lelaki itu sekarang dan mengapa Sebastian ingin bertemu denganku. Rumah itu tampak sangat sepi dan sunyi. Yang terdengar hanya suara gemericik air dari kolam kecil yang berada di salah satu sudut ruangan.
Tiba-tiba saja aku dikagetkan oleh kedatangan seorang wanita setengah baya. Usianya kira-kira lima puluh tahun. Ia memakai setelan berwarna coklat muda. Cara berjalan dan pembawaannya sangat anggun. Saat ia semakin mendekat, aku bisa melihat ia memakai pin nama di dada sebelah kanannya.
"Selamat siang, Nona Worthington."
"Siang. Dimana Sebastian?"
"Tuan Sebastian sudah menunggu anda sejak tadi. Ia ada di ruang perpustakaannya. Ia meminta saya untuk mengantar anda ke sana setibanya anda datang. Mari saya antar."
Wanita itu memanggil Sebastian dengan sebutan Tuan. Jadi, ia adalah salah satu pelayan di rumah itu. Bisa jadi orang kepercayaan Sebastian. Andai ia tidak memakai pin nama dan memanggil Sebastian dengan sebutan Tuan, mungkin aku akan mengira wanita ini adalah salah satu anggota keluarga Agustine.
Aku diajak menuju ke sebuah ruangan, ruangan perpustakaan. Saat kami sampai, Sebastian tampak sedang mempelajari sebuah berkas. Pembawaannya tetap tenang seperti biasa.
"Tuan Sebastian, Nona Worthington sudah datang. Saya izin pamit. Permisi."
Wanita itu pergi meninggalkanku dan Sebastian berdua di ruangan perpustakaan yang besar itu. Ruangan itu dipenuhi oleh rak yang berisi buku-buku tentang dunia perbisnisan. Di sudut yang lain ada sebuah perapian untuk menghangatkan di musim dingin. Dan, ada beberapa lukisan yang tergantung di dindingnya. Lukisan seluruh anggota keluarga Agustine. Aku yakin salah satu dari lukisan itu adalah gambaran sosok Tuan Fabio Agustine. Si lelaki jahat itu. Well, aku yakin ia sekarang sudah terbakar hingga jadi debu di neraka.
Sebastian masih bergeming. Ia masih tampak sibuk dengan kertas-kertas di hadapannya. Tidak ada seorang pun yang berani mengabaikanku seperti ini sebelumnya. Tapi sekarang, aku malah harus berdiri di sini dan menunggu seorang Sebastian menyelesaikan pekerjaan yang tidak tahu kapan akan selesai.
Di ruangan itu ada sebuah sofa besar dan tampak empuk. Aku tergoda untuk duduk di atasnya.
"Boleh aku duduk?" tanyaku perlahan. Tapi, lagi-lagi Sebastian tampak acuh.
Persetan! Kakiku sudah pegal dan aku akan tetap duduk dengan atau tanpa persetujuannya. Lelaki ini memang benar-benar menyebalkan. Lihat saja nanti, aku akan membuat perhitungan denganmu Tuan Sebastian Agustine.
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku berada di ruangan itu. Ruangan yang sangat sunyi itu membuatku mengantuk dan manusia aneh yang tadi katanya mau berbicara denganku itu masih saja sibuk dengan pekerjaannya. Aku menyandarkan tubuhku ke sofa yang empuk itu. Suasana yang sangat sunyi dan sejuk itu benar-benar membuatku mengantuk.
*** Saat aku hampir saja menutup mataku, tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara ketukan di pintu. Tak lama, wanita yang tadi mengantarku masuk dan berkata,
"Tuan Sebastian, Tuan Worthington sudah datang."
Aku melihat Papa memasuki ruangan dan tersenyum ke arahku. Aku langsung saja bangkit dari sofa.
"Papa?!" ucapku dengan nada kaget. Papa mendekatiku dan mencium keningku.
"Hei, Anna. Kau sudah datang?" tanya Papa.
Melihat kedatangan Papa, Sebastian langsung saja menghentikan pekerjaannya dan bangkit dari kursinya. Ia tersenyum ke arah Papa dan berjalan menghampirinya.
Kurang ajar! Aku datang dari tadi lalu ia bersikap seolah aku tidak ada, dan sekarang saat Papa datang ia langsung saja menghentikan pekerjaannya dan dengan ramah menyambut Papa. Mau dianggap sebagai calon menantu yang baik, huh?
"Selamat siang, Tuan Worthington."
"Siang, Sebastian."
Mereka berjabat tangan dengan sangat akrab. Aku membayangkan jika memang dua orang dihadapanku ini akan menjadi mertua dan menantu, pasti akan sangat cocok. Berbeda dengan Seth, jika ia menjadi menantu Papa, ia pasti tidak akan bisa mengimbangi Papa, dalam segi apa pun.
Papa dan Sebastian duduk di sofa yang empuk, tempat aku hampir tertidur tadi. Dan, dengan ragu aku menyusul duduk di antara mereka.
"Aku tahu kau mungkin merasa bingung, Anna. Tapi, aku sengaja meminta Sebastian membawamu kemari karena ada hal yang ingin kami bicarakan denganmu. Perihal keputusanmu untuk menerima tawaran Sebastian. Kita sudah membicarakan hal ini sebelumnya berdua, bukan?"
Aku terdiam mendengar ucapan Papa. Mengapa Papa harus menanyakan hal ini di kediaman Sebastian? Apa Papa ingin aku merasa tidak enak untuk menolaknya? Diam-diam aku mencuri pandang ke arah Sebastian. Wajahnya tampak tenang menunggu jawabanku dengan sebuah senyuman yang tidak terlalu kentara.
"Aku tidak akan memaksamu untuk menjawab 'Ya', Anna. Aku hormati apa pun keputusanmu."
Aku terdiam. Berusaha mengingat kembali semua hal yang sudah terjadi sebelum ini. Ucapan Andrew terbayang di pikiranku,
"Papa tidak pernah menuntut apapun darimu Anna. Begitu pula padaku. Aku tahu Papa pasti tidak akan memaksamu untuk melakukan sesuatu yang tidak kau sukai. Tapi, percayalah Anna, Papa pasti akan merasa lebih senang jika kau menerima tawaran Sebastian untuk menjadi istrinya."
Lalu beralih pada pertemuanku dengan Seth tadi,
"Aku benar-benar ingin membalas orang yang sudah menghancurkan keluargaku, Anna."
"Siapa anak laki-laki pria itu, Seth? Apa kau mengenalnya?"
"Ya, Anna. Nama anak laki-laki pria itu adalah Sebastian Agustine."
*** Aku kembali berpaling pada Sebastian, menatap sosoknya yang tampan, keelokan paras warisan dari ayahnya. Demi Seth, orang yang aku cintai dan ketidakmampuannya untuk membalaskan dendam masa lalunya seorang diri. Dan, demi kebahagiaan Papa, lelaki yang paling ku hormati. Tanpa mengalihkan pandanganku dari Sebastian, aku memutuskan,
"Ya, Papa. Aku menerima pinangan Tuan Agustine untuk menjadi istrinya."
*** BAB 7 Pernikahan itu terjadi sebulan kemudian. Bisa dibayangkan, pesta pernikahan yang dibuat sesuai dengan selera Papa dan Sebastian itu menjadi pesta yang sangat mewah. Semuanya yang terbaik.
Gaun pengantinku dipesan dan dibuat khusus oleh perancang busana kenalan Papa yang berdomisili di Paris. Makanan dan minuman yang paling enak serta dekorasi yang sangat cantik mirip seperti pernikahan di negeri dongeng.
Aku sedang duduk di ruang ganti. Menatap pantulanku sendiri di kaca cermin. Mereka sudah mengganti pakaianku dan merias wajahku. Aku tampak begitu cantik. Pertama kali aku melihat sosok di cermin itu, aku bahkan hampir tidak percaya bahwa itu adalah diriku sendiri.
Aku duduk terdiam di depan cermin. Perasaanku benar-benar tidak karuan saat ini. Apakah aku sudah gila? Apakah keputusanku benar? Apakah aku akan menyesali semua ini? Menikah dengan seorang Sebastian Agustine pastilah bukan perkara mudah untukku. Kami begitu bertolak belakang dan ia benar-benar menyebalkan.
Tak berapa lama ada seseorang yang mengetuk pintu, Papa langsung saja masuk ke dalam ruangan. Ia tampak tertegun tidak percaya melihatku.
"Anna, apa ini benar-benar Savannah putriku?"
Perlahan Papa berjalan ke arah ku. Wajahnya merah dan matanya mulai berkaca-kaca. Belum pernah sekali pun dalam hidupku, aku melihat Papa menangis. Ia pasti merasa sangat bahagia melihatku seperti ini. Di sudut pandang ini, aku merasa tidak menyesal menerima tawaran Sebastian untuk menjadi istrinya. Selama aku bisa melihat Papa bahagia seperti sekarang.
"Papa, ayolah jangan begitu. Papa membuatku ingin menangis."
Aku mengusap air mata kebahagiaan Papa. Ia meraih lenganku dan menatapku dengan lekat.
"Jangan menangis, Sayang. Maafkan aku. Aku hanya tidak bisa percaya bahwa putri kecilku yang cengeng dulu sudah sebesar ini dan sekarang ia akan segera menikah."
Aku tersenyum mendengar ucapan Papa. Papa benar, dulu sewaktu aku kecil aku adalah seorang gadis kecil yang sangat cengeng. Aku sering sekali menangis. Saat Andrew menjahiliku, saat kucing kesayanganku mati, saat aku terjatuh dari sepeda. Dan, setiap aku menangis, Papa adalah satu-satunya orang yang datang untuk menghapus air mataku.
Dan, sekarang di saat aku akan menikah, Papa yang menangis dan sekarang saatnya aku mengusap air mata dari pipinya.
"Ya sudah, Sayang. Kita harus turun sekarang."
*** Upacara pernikahanku berjalan dengan sangat cepat dan sekarang aku sudah resmi menjadi Nyonya Agustine. Suatu hal yang masih janggal di telingaku saat para tamu undangan menyapaku dengan sebutan itu. Aku masih tidak bisa percaya kalau aku sudah menikah dengan lelaki menyebalkan ini.
Saat pesta resepsi berlangsung, aku bisa melihat dari cara para tamu perempuan menatapku. Mereka semua tampak iri melihatku. Dan, para tamu lelaki mendatangiku dan memujiku karena sudah berhasil menjadi pelabuhan terakhir seorang Sebastian Agustine.
Mereka hanya melihatku dari luar. Mereka tidak pernah mengetahui apa yang ku rasakan di dalam hatiku. Dan, apa alasan di balik pernikahanku dengan Sebastian.
Saat aku sedang berbincang dengan salah seorang tamu, aku melihat Sebastian berjalan ke arahku. Mungkin karena terlalu gugup, sejak acara dimulai aku tidak memperhatikan ia dengan seksama. Ternyata, hari ini Sebastian tampak sungguh luar biasa. Ia benar-benar seperti malaikat. Ia begitu tampan dengan memakai setelan jas berwarna hitam legam, dengan dasi, kemeja putih lengan panjang dan sebuah rompi yang melapisinya.
Aku seperti ingin pingsan melihat sosoknya. Ia begitu tampan dan entah mengapa aura ketampanannya semakin terpancar di hari pernikahan kami ini.
"Hei Nyonya Agustine, sedang apa di sini?"
Sebastian menatapku dengan tatapan menggoda. Tatapan dari kedua mata abu-abunya yang dalam dan tajam itu membuat darahku mendesir.
Tiba-tiba aku merasa gugup. Aku melihat sekeliling, berusaha mencari alasan untuk melarikan diri.
Sebastian menarik pinggulku dan berbisik di telingaku. Membuat tubuhku merinding.
"Jangan gugup begitu, Anna. Kau tidak akan bisa melarikan diri dariku. You're mine now."
*** Selesai makan malam dengan beberapa tamu penting, Sebastian langsung membawaku ke mansionnya. Saat pertama kali pintu besar itu terbuka, ternyata pelayannya yang berjumlah belasan orang sudah berjajar rapi di kedua sisi. Menyambut kedatangan kami, dengan wanita setengah baya yang waktu itu mengantarku ke ruang perpustakaan Sebastian.
"Selamat datang Tuan dan Nyonya Agustine. Saya mewakili semua yang ada di sini ingin mengucapkan selamat atas pernikahan kalian berdua."
Wanita setengah baya itu membungkukkan tubuhnya. Aku melihat Sebastian berjalan ke arahnya dan memeluknya.
"Terima kasih, Martha. Aku sangat menghargainya. Terima kasih."
Sebastian tersenyum dan melihat ke arahku.
"Anna, ini Martha. Orang kepercayaanku di rumah ini. Ia sudah mengurusku sejak kecil. Ia sudah seperti ibuku sendiri."
Aku berjalan ke arah mereka berdua dan menjabat tangan Martha.
"Selamat datang di Mansion Agustine, Nyonya. Saya yang mengurus semuanya di sini, kalau ada apa-apa jangan segan untuk bertanya pada saya."
"Senang bertemu denganmu, Martha."
Wanita itu tersenyum dengan sangat ramah padaku. Senyumannya begitu hangat. Tiba-tiba aku jadi teringat mendiang ibuku. Hari ini adalah hari pernikahanku dan ia sudah tidak ada lagi bersamaku.
Seperti bisa membaca pikiranku, tiba-tiba saja Sebastian berdehem. Membawaku kembali ke alam sadarku.
"Baiklah, ku ucapkan terima kasih pada kalian semua. Sekarang aku dan istriku ingin beristirahat. Selamat malam."
*** Kamar Sebastian tampak sangat besar dan nyaman. Dekorasinya sangat elegan. Dengan sebuah ranjang berukuran king dengan bentuk begitu indah seperti ranjang di sebuah kerajaan.
Ada sebuah perapian di sudut ruangan, sepasang sofa kecil dengan meja di tengahnya dan lampu kristal yang menggantung indah tepat di tengah ruangan.
Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan setelah ini. Maksudku, baiklah beberapa pasangan yang menikah karena saling mencintai pasti akan tak sabar menunggu malam pertama mereka. Kamar ini begitu sempurna untuk bercinta.
Tapi, bagaimana denganku? Aku berada di sini hanya karena beberapa alasan dan pertimbangan yang akhirnya membawaku ke sini. Aku tidak pernah mencintai lelaki ini. Dan, aku pun tidak yakin kalau ia juga mencintaiku. Kami hanya bertemu beberapa kali, dan mustahil sekali kalau ada lelaki tampan, kaya dan berkuasa seperti Sebastian yang langsung ingin menikahiku kalau tidak ada maksud lain di balik semua ini.
Tiba-tiba aku tersadar dari lamunanku karena aku merasakan ada seseorang yang mendekap tubuhku dari belakang. Sebastian.
Posturnya yang tinggi dan dadanya yang terasa kokoh menyentuh bagian belakangku membuat jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Ia meraih kedua lenganku dan memeluk tubuhku dari belakang. Membungkus tubuhku yang tampak sangat kerdil jika bersanding dengannya.
"Apa kau gugup, Anna?" bisik Sebastian di telingaku. Membuatku merasa geli dan merasa tidak nyaman.
Tidak pernah ku bayangkan sebelumnya dalam hidupku kalau aku akan menikah dengan seorang lelaki yang tidak ku cintai sama sekali. Dulu, jauh sebelum Sebastian tiba-tiba saja datang dalam hidupku, aku selalu membayangkan akan bercinta dengan penuh gairah di malam pernikahanku dengan Seth. Ya, hanya dengan Seth. Tapi kenyataannya justru lelaki itu yang menjerumuskanku ke dalam pernikahan ini. Ya Tuhan, cinta telah membuatku buta dan bodoh!
Sebastian mencium pipiku lalu berpindah menuju ke leherku. Hembusan nafasnya yang hangat dan mulai tidak beraturan sedikit banyak mempengaruhiku. Sial, aku benar-benar tidak bisa menghindari pesona dari anak lelaki si Iblis Fabio Agustine ini.
Aku berusaha melepas dekapan Sebastian dari tubuhku dan berhasil. Ia tampak kaget melihat penolakanku.
Saat aku berbalik menghadapnya, wajahnya sudah seperti orang yang dimabuk kepayang. Tatapannya menjadi sayu. Apa ia benar-benar tidak sabar untuk bercinta denganku.
'Oh Anna, kau jangan naif seperti itu. Kau pasti bukanlah wanita pertama yang pernah tidur dengannya dan asal kau tahu, ia pasti bersikap sama seperti itu pada setiap gadis yang akan ditidurinya. Jadi jangan besar kepala dulu. Dan kau harus ingat kalau niatanmu menikah dengannya untuk membantu Seth. Jangan lupa itu!'
Ya, hati kecilku benar. Sebastian memang brengsek! Sama seperti ayahnya.
"Ada apa, Anna?" tanya Sebastian bingung.
"Sebentar, aku mau membersihkan tubuhku dulu."
Aku segera berlari ke kamar mandi dan mengunci pintu dari dalam.
"Kau tidak ingin aku membantumu untuk menggosok punggungmu, Sayang?"
Aku mendengar suara teriakan Sebastian dari kamar tapi aku tidak menjawab. Dia benar-benar sudah gila!
Untuk beberapa saat aku memandangi wajahku di cermin washtafel. Tidak ada jalan keluar untukku sekarang. Aku tidak bisa berbalik ke belakang. Aku sudah membuat keputusan dan nasi telah menjadi bubur. Ya Tuhan, tolonglah aku ...
*** Sekitar setengah jam kemudian aku kembali ke kamar dengan menggunakan jubah mandi. Saat aku masuk, aku melihat Sebastian sedang duduk di sofa sambil menyaksikan sebuah acara di tv, dengan hanya mengenakan sebuah celana piyama yang terbuat dari sutera. Ia sudah bertelanjang dada.
Sebastian tersenyum melihat kedatanganku.
"Hei, kau sudah membuatku menunggu begitu lama."
Sebastian berjalan ke arahku. Entah mengapa kakiku selalu reflek berjalan mundur setiap lelaki itu ingin mendekatiku. Saat sudah berada tepat di hadapanku, ia langsung meraih pinggulku dan merapatkan pada tubuhnya. Lagi-lagi ia menciumi pipiku dan kembali ke leherku. Nafasku mulai tidak beraturan, merasakan apa yang dilakukannya padaku.
Aku meletakkan kedua tanganku di dadanya dan mendorong tubuhnya sedikit. Sebastian melepas ciumannya.
"Sekarang apa lagi?" tanyanya dengan nada kesal. Ya Tuhan, ia tampak jauh lebih mempesona saat ia sedang kesal.
Aku berjalan ke arah lemari pakaian. Tapi, saat aku membukanya, tidak ada pakaianku sama sekali di sana.
"Di mana pakaian-pakaianku?"
Aku kembali menutup pintu lemari dan berbalik menghadap Sebastian.
"Aku sudah menyuruh Martha membuang semuanya. Kau tahu, sekarang kau sudah menjadi Nyonya Agustine dan aku ingin kau merubah penampilanmu. Aku tidak mau kau memakai kaos oblong, jeans sobek atau kemeja lagi."
Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja Sebastian katakan. Walau itu hanya kaos oblong, jeans sobek dan kemeja, tapi harga mereka semua sangat mahal. Itu semua pakaian bermerk! Dan semua original! Dasar orang yang tidak mengerti perkembangan jaman!
"Tapi ..." aku menahan kalimatku, "tapi aku tidak bisa tidur tanpa piyamaku."
Air mata sudah hampir saja jatuh dari mataku. Aku benar-benar menyayangi seluruh pakaianku. Dan, aku hanya akan memakai pakaian yang menurutku nyaman.
Lagipula siapa dia? Papa saja tidak pernah mengatur cara berpakaianku.
Sebastian berjalan ke arahku lagi dan mengusap air mataku yang sekarang sudah meleleh di pipiku.
"Sudahlah, besok Martha akan membawakanmu pakaian-pakaian yang baru. Lagipula, malam ini kau tidak memerlukan pakaian sama sekali kan?"
Aku merasa wajahku memerah karena malu setelah mendengar ucapannya. Sebastian langsung meraih wajahku dan menciumiku dengan sangat bergairah. Nafasku mulai tidak beraturan. Apalagi saat aku merasakan nafasnya yang memburu saat menciumiku.
"Ini yang kau inginkan di bar malam itu kan, Anna?" Sebastian menatapku sambil tersenyum. Bibirku rasanya tidak bisa dikatupkan, rasanya panas sekali.
"Ya, Sebastian." jawabku, aku benar-benar sudah terhipnotis oleh pesona si Brengsek ini.
Sebastian tersenyum dan kembali menciumku. Tak lama ia membopongku tanpa melepas ciumannya dan membaringkan tubuhku di ranjang besarnya yang begitu nyaman.
"Kau pernah melakukan ini sebelumnya, Anna?" tanya Sebastian sambil berusaha melepas tali jubah mandiku dengan perlahan.
Belum sempat aku menjawab, ia kembali berkata,
"Walau aku yakin kau pernah melakukan ini sebelumnya, aku akan tetap melakukannya dengan sangat lembut padamu, Anna. Jangan khawatir."
*** BAB 8 Keesokan paginya, aku dibangunkan oleh cahaya sinar matahari yang masuk dari jendela kamar. Cahaya matahari pagi itu tepat mengenai wajahku, menyilaukan mata.
Aku sadar bahwa aku berada di kamar Sebastian. Dan, saat aku menoleh ke sisi tempat ia tidur semalam, ia sudah tidak ada. Aku tidak tahu kemana ia pergi. Aku tidak mau tahu dan tidak perduli kemanapun ia pergi.
Aku menarik selimutku sampai ke leher. Selimut ini terasa begitu nyaman. Aku merasa tidak ingin beranjak dari tempat tidur ini. Sekujur tubuhku terasa pegal dan aku merasa ingin meringkuk di sana seharian.
Tiba-tiba saja aku merasa ingin pipis. Saat aku beranjak turun, tiba-tiba aku merasakan perih di daerah sekitar pahaku. Aku kembali duduk di tepian tempat tidur, untuk meredakan rasa perihnya sebentar.
Sebastian memang orang yang brengsek! Semalam ia berjanji padaku kalau ia akan melakukannya dengan sangat lembut, tapi apa? Kenyataannya ia berbohong dan sekarang aku harus merasakan sekujur tubuhku pegal dan aku bahkan kesulitan untuk sekedar ke kamar mandi.
Perlahan aku merangkak ke arah jubah mandiku yang tergeletak di atas tempat tidur. Tapi, saat aku turun, aku melihat noda darah di atas sprei tempat tidur Sebastian. Aku bisa merasakan wajahku memerah karena malu. Itu benar-benar memalukan dan menjijikkan. Sebastian sudah mendapatkan keuntungan dariku hanya karena niatanku untuk membalas dendam padanya. Hidupku benar-benar sudah berubah menjadi sangat memalukan dan menyedihkan!
Aku menarik sprei itu dan menyembunyikannya di kolong tempat tidur. Aku tidak mau siapa pun melihat benda memalukan itu. Tidak Sebastian, tidak Martha atau siapa pun!
*** Tak lama, setelah aku kembali dari kamar mandi, tiba-tiba saja ada suara ketukan di pintu. Itu pasti salah satu pelayan karena Sebastian tidak mungkin mengetuk pintu sebelum masuk ke kamarnya sendiri.
"Ya, masuk." Pintu terbuka dan aku melihat Martha datang membawa sebuah kain sprei baru di tangannya. Ia datang bersama dua orang pelayan wanita yang masih muda dan cantik. Dua pelayan muda itu membawa beberapa pakaian baru yang dijanjikan oleh Sebastian semalam.
"Selamat pagi, Nyonya. Bagaimana istirahat anda semalam?"
Sapa Martha dengan senyumannya yang sangat ramah. Entah mengapa aku selalu menyukai kehangatan wanita ini.
'Malam yang buruk, Martha. Tuanmu benar-benar sialan. Aku sangat membencinya!'
Ingin sekali aku berkata seperti itu pada Martha dan kedua pelayan wanita itu, tapi mereka tidak pantas terkena dampak dari kekesalanku pada tuan mereka itu, bukan?
"Baik, aku beristirahat dengan sangat baik semalam." jawabku singkat.
Kedua pelayan muda itu mulai menyusun pakaian- pakaian baruku di lemari gantung.
"Saya datang membawakan pakaian-pakaian yang dipesan oleh Tuan Sebastian. Mulai sekarang jangan ragu untuk meminta apapun yang anda butuhkan pada saya atau pelayan yang lain di sini. Kami akan dengan senang hati membantu."
"Ya, Martha. Terima kasih banyak."
Selesai menyusun pakaian-pakaianku, kedua pelayan muda itu mulai merapikan tempat tidurku. Seketika jantungku berdebar dan wajahku terasa panas karena malu. Untung saja aku sudah melepas sprei menjijikkan itu sebelum mereka datang, karena kalau tidak, itu pasti akan sangat memalukan.
"Dimana sprei kotornya, Nyonya?" tanya salah satu dari pelayan muda itu. Aku dengan cepat meraihnya dari kolong tempat tidur dan menyerahkan sprei itu di tangannya.
Walau aku tahu mereka akan tetap melihat noda terkutuk itu, tapi paling tidak mereka tidak harus melihatnya di hadapanku sekarang.
"Oh iya Nyonya, sarapan sudah siap di bawah. Sekarang Tuan Sebastian sedang lari pagi. Mungkin sebentar lagi beliau kembali." ucap Martha.
Aku tidak perduli. "Iya, terima kasih banyak untuk semuanya." jawabku dengan sebuah senyuman.
Tiba-tiba saja aku dikagetkan dengan seseorang yang membuka pintu kamar dan tampak Sebastian masuk dengan terburu-buru. Ia memakai celana training panjang dengan kaos putih ketat yang memperlihatkan otot perut dan dadanya. Wajahnya tampak berkeringat.
"Selamat pagi, Tuan Sebastian. Kami permisi keluar." ucap Martha.
"Terima kasih, Martha." jawab Sebastian dengan ramah.
Martha dan kedua gadis pelayan itu pergi keluar kamar. Meninggalkanku berdua dengan tuan mereka yang menyebalkan ini.
"Hei, kenapa belum bersiap-siap, Sayang?" tanya Sebastian lalu menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Ia tampak kelelahan.
Bersiap kemana? "Kemana?" tanyaku singkat. Aku duduk di depan meja rias. Memperhatikan Sebastian dari kaca cermin.
"Apa kau tidak tahu apa yang biasa dilakukan oleh pasangan pangantin baru? Tentu saja kita akan pergi berbulan madu. Ya, itu pun jika kau berpikir kalau pernikahan ini patut untuk dirayakan. Tapi, kalau tidak pun tidak apa-apa. Mungkin habis ini aku akan langsung bersiap-siap pergi ke kantor saja."
Bulan madu? Ya Tuhan, aku tidak bisa membayangkan jika harus menghabiskan waktu lebih lama lagi dengan lelaki ini. Apalagi dalam konteks berbulan madu.
Tapi, tunggu dulu. Ku rasa ada bagusnya juga. Seseorang seperti Sebastian Agustine pasti akan mengajak pasangannya pergi berbulan madu ke sebuah tempat indah dan romantis, bukan? Ke pulau tropis seperti Bora Bora misalnya, ke Maladewa atau Hawaii! Baru satu hari menjadi istrinya dan aku sudah merasa butuh liburan. Baiklah, paling tidak aku akan memanjakan diriku dulu sebelum aku menjalankan misiku untuk membalaskan dendam Seth pada Sebastian. Sepulangnya dari "bulan madu" itu, aku baru akan menjalankan semuanya.
Tiba-tiba aku teringat Seth, sejak seminggu sebelum pernikahanku sampai sekarang, ia belum pernah lagi menghubungiku. Aku benar-benar merindukannya.
"Baiklah, aku akan pergi berbulan madu denganmu, Sebastian."
Desperate Mrs Karya Agustine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebastian tampak puas dengan jawabanku. Aku dapat melihatnya dari cermin sedang tersenyum lalu ia berjalan mendekatiku. Ia mendekapku dari belakang.
"Kalau begitu bersiap-siaplah, Sayang." Sebastian tersenyum menatapku di cermin. Tiba-tiba ia berbisik,
"Oh iya, ngomong-ngomong aku tidak percaya kalau aku sudah menikahi seorang perawan."
Ucapannya membuatku terdiam. Kalimat itu benar-benar mengenai hatiku dan membuatku malu sekali. Tentu saja aku masih perawan karena pacarku Seth bukan orang brengsek seperti dirinya itu. Dasar Sebastian Agustine brengsek!
Ada sebuah senyuman menyebalkan tersungging di bibir Sebastian dan ia langsung saja berjalan ke arah kamar mandi. Benar-benar menyebalkan ARGHHH!!!
Sepeninggalnya aku langsung mengacungkan jari tengahku ke arah pintu kamar mandi sambil berbisik,
"Fuck you!" *** Beberapa menit kemudian Sebastian keluar. Ia tampak jauh lebih segar.
"Bersiap-siaplah, Sayang. Nanti kita kesiangan."
Tanpa menunggu lama lagi aku segera berlari ke arah kamar mandi. Aku takut suatu hal aneh terjadi lagi di antara kami berdua seperti semalam.
Di dalam kamar mandi, sambil menikmati air pancuran yang membasahi tubuhku, aku sudah bisa membayangkan betapa akan menyenangkannya liburan ini. Bermain pasir dan ombak di pantai. Berjemur dan membiarkan sinar matahari menyengat kulitku.
Tanpa sadar aku terkekeh sendiri. Oh, aku benar-benar tidak sabar untuk menikmati liburan ku ini.
"PASIR DAN OMBAK, AKU DATANG!!!"
*** BAB 9 Sekitar satu jam kemudian aku turun menyusul Sebastian untuk sarapan. Selesai sarapan, salah satu supir pribadinya datang dan menghampiri kami,
"Mobil sudah siap di depan, Tuan." ucap lelaki itu.
"Iya, John. Terima kasih." jawab Sebastian dengan sebuah senyuman di bibirnya.
Sejauh aku mengenal Sebastian, aku melihat lelaki ini tampak selalu bersikap ramah pada seluruh pegawai di rumahnya. Sebastian juga sepertinya memperlakukan mereka dengan baik dan menggaji mereka dengan pantas. Itu bisa dilihat dari wajah-wajah para pegawainya yang tampak selalu senang melayaninya.
Sebastian mungkin baik pada semua pegawainya tapi dalam urusan berbisnis, aku yakin ia pasti memiliki sifat dan naluri yang kejam seperti ayahnya.
*** Tanpa aku duga sebelumnya, ternyata Sebastian memilih sebuah mobil Jeep Offroad untuk dipakai hari ini. Kenapa Sebastian memilih sebuah mobil offroad untuk ke bandara? Tapi, siapa yang perduli? Yang penting sebentar lagi aku akan menikmati indahnya pemandangan laut dan pantai. Ah, aku sudah benar-benar tidak sabar ...
Sebastian memutuskan untuk mengendarai mobilnya sendiri. Sepanjang perjalanan kami hanya terdiam.
Perasaanku mulai tidak enak saat ia mengendarai mobilnya melewati perbatasan dan ia terus saja mengendarai mobilnya hingga ke luar kota.
"Kita mau kemana, Sebastian?"
Aku menatapnya dengan bingung. Sebastian hanya menjawab dengan sebuah senyuman. Wajahnya tampak sangat bahagia. Ia meraih tanganku dan mengecupnya.
"Nanti kau juga akan tahu, Anna. Tunggu saja."
Perjalanan itu memakan waktu berjam-jam hingga membuatku ketiduran. Tiba-tiba aku dibangunkan oleh perasaan pusing dan mual yang teramat sangat karena guncangan dari mobil itu.
Aku sepenuhnya tersadar dan menyadari kalau mobil ini sedang berjalan melewati medan yang sangat terjal. Jalanannya penuh lumpur dan berbatu. Tempat itu sangat sepi dan aku melihat banyak sekali pepohonan yang tinggi menjulang di kedua sisi jalanan.
"Ini di mana, Sebastian?" tanyaku semakin bingung. Ya Tuhan, aku ingin berlibur ke daerah tropis tapi kenapa ia membawaku ke tempat seperti ini.
"Sebentar lagi kita akan sampai, Anna. Jangan khawatir. Nanti kau akan segera tahu."
Kira-kira setengah jam kemudian, setelah melewati medan terjal, penuh lumpur dan berbatu itu, akhirnya kami sampai di sebuah pondok. Pondok itu terletak tepat di tengah hutan. Tidak tampak ada pondok lain yang dibangun di daerah sini. Hanya pepohonan tinggi yang nampak di daerah sekitar.
Jangan tanya seberapa besar kekecewaanku sekarang. Tidak ada yang bisa menggambarkan betapa aku kecewa dengan tempat yang dipilih Sebastian untuk tempat bulan madu kami. Aku berharap ia akan membawaku ke luar negeri, ke sebuah pantai. Menikmati indahnya lautan. Tapi sekarang apa? Ia membawaku ke tempat terpencil yang ku rasa bahkan tidak terdaftar dalam peta. Tempat ini masih begitu alami, jalanannya terjal dan berbatu dan ku rasa curah hujan di sini cukup tinggi. Itu bisa dilihat dari jalanan yang tampak becek dan udara yang selalu berkabut.
Aku turun dari Jeep Sebastian dengan kepala pusing dan perut mual. Tapi, aku tidak bisa memuntahkan isi perutku.
Aku melihat Sebastian berlari kecil menaiki tangga rumah pondok itu. Ia tampak begitu senang.
"Selamat datang di pondok keluarga Agustine, Anna."
Sebastian tersenyum ke arahku. Ia sepertinya tahu bahwa perjalanan tadi benar-benar membuatku tersiksa. Ia berjalan ke arahku dan tiba-tiba saja menarik tanganku. Ia membawaku masuk ke dalam dan mengajakku berkeliling pondok sederhana itu.
*** Pondok itu adalah sebuah bangunan yang terbuat dari kayu. Modelnya sangat sederhana untuk dikatakan sebagai pondok keluarga Agustine. Lantainya terbuat dari kayu dan akan terdengar bunyi berderit saat diinjak. Dindingnya juga terbuat dari kayu dengan jendela-jendela kecil yang begitu sederhana.
"Ini adalah ruang tamu kita, Anna." ucap Sebastian. Ia masih menggandeng tanganku. Entah mengapa wajahnya tampak sangat senang hari ini.
Di ruang tamu itu hanya ada sebuah kursi kayu panjang dan sebuah meja. Ada sebuah tv kuno yang tampaknya hanya berperan sebagai hiasan di sana.
Sebastian berjalan ke arah salah satu ruangan. Jujur, kepalaku malah terasa semakin pusing sekarang.
"Lepaskan aku."
Aku mencoba melepas genggaman Sebastian dari tanganku. Kepalaku pusing dan perutku mual sekali.
"Lihat, ini adalah kamar tidur utama. Ada sebuah kamar lagi di sebelah sana, tapi aku biasa tidur di kamar ini setiap kali berkunjung ke sini."
Kamar itu jauh dari kata mewah. Di dalamnya hanya ada sebuah ranjang yang terbuat dari besi. Ku rasa akan sedikit terasa sempit jika ada dua orang yang tidur di atasnya. Ada sebuah jendela yang menghadap langsung ke semak belukar di belakang sana. Dan, yang paling membuatku takut adalah, ada sebuah hiasan yang sangat besar berupa kulit harimau yang tergantung di dinding. Tepat di depan ranjang.
Aku baru sadar kalau Sebastian sudah kembali ke ruang tamu. Aku menyusulnya duduk.
"Kau tahu, Anna. Ini adalah pondok peninggalan kakekku. Dulu sewaktu kakek dan ayahku masih hidup, kami sering sekali menghabiskan waktu di sini. Berburu, memancing. Tidak jauh dari sini ada sebuah danau yang cukup besar. Mungkin besok kalau cuacanya bagus, aku akan mengajakmu ke sana."
Aku terdiam memandangi Sebastian yang tampak sangat antusias menceritakan tentang tempat itu. Ia tidak tahu kalau dalam hati aku sama sekali tidak perduli. Aku menginginkan pantai dan ia malah membawaku ke hutan terpencil seperti ini. Kalau pun ia tidak mau membawaku ke luar negeri, paling tidak ia bisa membawaku ke mall untuk berbelanja, kan? Aku benar-benar menyesal sudah berharap banyak pada lelaki ini. Pengharapan memang terkadang hanya akan berujung pada kekecewaan.
"Ayahku tidak ingin kalau aku merubah struktur awal bangunan ini, Anna. Makanya aku membiarkannya apa adanya seperti ini."
Sebastian nampaknya tahu kalau aku tidak begitu tertarik dengan ceritanya. Ia mengangkat sebelah alisnya padaku dan tersenyum nakal. Ia meraih tanganku dan membimbingku agar aku duduk di pangkuannya.
"Kau tahu, Anna. Aku sangat menyukai tempat ini. Hanya di sini aku merasa bisa menyatu dengan alam dan sekejap melupakan urusan-urusanku di kantor. Aku sudah berjanji jika aku sudah menikah, aku akan membawa istriku kemari. Ku harap kau akan menyukai tempat ini, Anna."
Kepalaku sangat pusing dan entah mengapa tiba-tiba saja aku menjatuhkan kepalaku di pundak Sebastian. Aku sedang malas berdebat dengannya. Aku ingin beristirahat. Perjalanan tadi benar-benar membuatku pusing.
Sebastian menarik nafas dan bangkit dari kursi. Ia membopongku ke kamar utama dan membaringkan tubuhku di ranjang besi itu.
"Sekarang kau istirahat dulu. Nanti kalau kau sudah merasa lebih baik aku akan mengajakmu berkeliling. Bagaimana?"
Aku mengangguk. Sebastian tersenyum, menyelimutiku lalu mengecup keningku. Aku tidak tahu kalau lelaki menyebalkan seperti dia bisa bersikap manis juga. Sepertinya sikapnya itu bergantung pada keadaan suasana hatinya.
Tapi, aku tidak boleh lupa kalau dalam darah Sebastian mengalir darah seorang iblis bernama Fabio Agustine. Lelaki berhati kejam yang sudah menghancurkan keluarga Seth, lelaki yang paling ku cintai di dunia. Dan, sepulangnya dari sini, aku akan memulai semuanya ...
*** Aku terbangun karena terkejut mendengar suara hujan yang begitu deras di luar. Angin berhembus dengan sangat kencang menerpa apa saja yang dilewatinya. Sambaran kilat dan gemuruh petir bersautan membuat suasana malam di hutan yang gelap itu semakin mencekam.
Aku mencoba untuk bangkit dan duduk di tepian tempat tidur dan baru menyadari bahwa Sebastian sedang terlelap di sampingku. Tubuhku terasa sangat sakit dan kepalaku masih terasa pusing. Tempat tidur ini begitu sempit hingga membuatku kesulitan untuk bergerak. Aku sudah tertidur cukup lama sejak kami baru pertama kali datang tadi dan saat aku mengecek ponselku, sekarang sudah pukul dua pagi.
Aku mencoba untuk berpindah ke ruang tamu dan duduk di bangku kayu panjang itu. Perapiannya menyala, aku yakin pasti Sebastian yang menyalakannya sebelum ia menyusulku tidur tadi. Aku memandangi perapian itu dan terdiam. Di luar hujan masih turun dengan sangat deras. Dan, kilatan cahaya serta petir itu benar-benar membuatku takut. Aku selalu takut saat badai seperti ini.
Aku selalu membayangkan kalau Tuhan sedang murka, lalu dengan kekuatan besarnya Tuhan akan menurunkan hukuman atas dosa-dosaku selama ini lewat petir dan menyambar tubuhku hingga hangus terbakar.
Aku menarik nafas. Tempat macam apa yang Sebastian pilih untukku ini. Kalau saja ia membawaku ke pantai, hal ini tidak perlu aku alami. Aku benar-benar tidak suka tempat ini. Tidak suka!
Tiba-tiba aku teringat Seth. Ya Tuhan, aku benar-benar merindukan lelaki itu sekarang. Sudah hampir dua minggu ia tidak menghubungiku. Dan, setiap aku merindukannya, aku hanya bisa diam-diam menyaksikan video-nya bersama band-nya di Youtube. Ya, tanpa sepengetahuan Sebastian tentunya. Lelaki itu pasti akan membunuhku jika ia tahu.
Aku rindu saat aku masih bersama Seth. Saat kami bersenang-senang selepas ia manggung bersama teman-temannya. Memakan spaghetti dari mangkuk yang sama sambil menikmati bir sampai perut kami terasa mual. Berlarian di pantai dengan bertelanjang kaki. Memakai jeans sobek dan kemeja yang kebesaran di tubuhku. Mendengarkan musik gratis di toko kaset dan bernyanyi dengan suara cempreng dan keras sampai diusir keluar oleh si penjaga toko.
Ah, aku rindu masa-masa itu. Masa-masa di mana aku masih bersama orang yang ku cintai dan menjadi diriku apa adanya ...
Tapi, sekarang di sinilah aku. Duduk seorang diri di depan perapian di sebuah pondok tua. Mengenang masa-masa indah dalam hidupku bersama orang yang paling ku cintai tapi tiba-tiba kebahagiaan itu harus hilang begitu saja.
Aku tersadar dari lamunanku dan meraih ponselku. Aku berniat menelepon Seth, ia pasti belum tidur sekarang. Seth biasa terjaga sepanjang malam bersama teman-temannya. Aku menarik nafas, panggilanku tidak tersambung. Saat aku melihat layar ponselku, tidak ada sinyal sama sekali di sini. Sial!
Aku mencoba menyalakan tv tua yang ada di meja kecil di hadapanku tapi setelah aku mencoba menekan-nekan tombolnya, tv itu tidak menyala juga. Ya Tuhan, tempat ini benar-benar terkutuk!
*** Keesokan paginya, Sebastian mengajakku berjalan-jalan mengelilingi jalan setapak. Udara pagi ini cukup dingin, bahkan hampir membekukan akibat dari hujan lebat semalam. Oksigen di sekitar sini terasa tipis karena udara yang berkabut. Sepanjang perjalanan aku mendengar suara dari beraneka ragam serangga dan burung-burung yang bernyanyi. Di beberapa bagian, tampak air yang mengalir di sungai-sungai kecil yang jernih.
Sebastian terus berjalan di depanku. Ia benar-benar tampak menikmati petualangannya di daerah terpencil ini. Aku merasa kalau hanya ada kami berdua di sekitar hutan ini karena sejak kemarin aku belum pernah melihat orang lain lagi selain Sebastian.
Mungkin alam dapat merasakan aura kekesalan yang ada di dalam pikiranku sejak kemarin, sehingga tiba-tiba saja tanah yang ku injak menjadi begitu licin dan aku jatuh dengan posisi terduduk. Kakiku rasanya sakit sekali.
Aku meringis kesakitan. Dan, saat aku mau memeriksa kakiku, ternyata tangan sebelah kananku mengenai kotoran hewan saat terjatuh tadi. Benar-benar menjijikkan!
Seluruh alam semesta menertawakanku ...
"Sebastiaannnnnn!!!"
Aku berteriak pada Sebastian yang masih belum sadar kalau aku terjatuh. Ia terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Sebastian berbalik dan saat melihatku kesakitan ia segera berlari ke arahku.
"Anna, kau tidak apa-apa?" Sebastian memeriksa kakiku.
"Tidak apa-apa bagaimana? Kau tidak lihat, kakiku sakit dan tanganku ini ..."
Aku mengibas-ngibaskan tanganku yang terkena kotoran hewan menjijikkan itu. Sebastian tampak menahan tawa di bibirnya sambil memeriksa kakiku.
Entah apa yang ia lakukan pada kakiku, rasanya sakit sekali.
"Pelan-pelan! Sakit!"
Aku memekik kesakitan. Tidak bisakah ia bersikap sedikit lembut padaku? Kakiku benar-benar terasa sakit.
"Kakimu terkilir, Anna. Aku akan membawamu kembali ke pondok."
Apa?! Kakiku terkilir? Luar biasa! Kupikir "bulan madu" ini tidak bisa menjadi lebih buruk lagi.
Sebastian mulai mengangkat tubuhku dan membopongku kembali ke pondok.
*** Semenjak tragedi "kotoran hewan" yang menyebabkan kakiku terkilir pagi itu, aku jadi lebih banyak menghabiskan waktu di pondok sepi ini. Sementara Sebastian asyik berburu dan memancing. Hampir setiap hari ia membawa hewan buruan berbeda dan membawa ikan-ikan hasil pancingannya, meninggalkan aku sendirian di sini.
Suatu siang, di hari keempat kami di pondok itu, aku melihat Sebastian baru saja kembali dari danau. Ia membawa beberapa ikan besar dan wajahnya tampak bahagia. Dengan kakiku yang masih terasa sakit, aku berjalan menghampirinya. Ia tampak senang melihatku,
"Sebastian?!" ucapku dengan nada keras. Aku sudah benar-benar tidak tahan lagi.
"Hei Anna, lihat! Ini hasil pancinganku hari ini."
Aku sudah benar-benar tidak tahan berada di sini. Sambil menatapnya tajam aku berkata,
"Sebastian, aku mau pulang. SEKARANG JUGA!!!"
*** BAB 10 Beberapa hari setelah kembali dari "bulan madu" menyedihkan itu, kehidupanku dan Sebastian kembali berjalan normal. Kakiku sudah sepenuhnya sembuh setelah mendapat perawatan intensif dari dokter keluarga dan Sebastian kembali menjalani kegiatan sehari-harinya, bekerja di kantor sebagai pimpinan OneComp.
Aku sudah berjanji pada diriku sendiri kalau sepulangnya dari perjalanan itu, aku akan memulai misiku untuk membantu Seth membalaskan dendamnya pada Sebastian. Tapi permasalahannya, Seth belum juga menghubungiku sampai saat ini. Aku sama sekali tidak tahu di mana keberadaannya sekarang dan bagaimana keadaannya.
Siang ini aku memutuskan untuk keluar rumah. Aku pergi ke salah satu pusat perbelanjaan untuk menghilangkan rasa jenuhku. Menjadi seorang Nyonya Agustine tidak seperti yang kebanyakan wanita-wanita iri di luar sana pikirkan. Aku tidak selalu merasa bahagia.
Maksudku, saat kita menikah dengan orang yang paling kita cintai saja, terkadang akan ada saatnya mereka menjadi sangat menyebalkan. Lalu bagaimana denganku? Aku menikahi Sebastian hanya karena suatu hal dan sejak awal lelaki itu sudah cacat di mataku akibat ulah ayahnya di masa lalu. Jadi, apapun yang Sebastian lakukan, sebaik apapun dia, tetap saja tidak bisa merubah pola pikirku terhadapnya.
*** Selepas berkeliling dan membeli beberapa keperluan, aku duduk di sebuah kafe. Aku baru saja membeli dua buah majalah. Satu majalah Rolling Stones dan satu lagi majalah Forbes. Seperti yang pernah Andrew katakan padaku, mungkin inilah saat yang tepat untukku mulai membiasakan diri hidup di dua dunia yang berbeda.
Pertama aku mencoba membuka majalah Forbes, tapi setelah aku membolak-balik beberapa halaman, aku langsung menutupnya kembali dan mendorongnya jauh-jauh dari hadapanku. Tidak ada yang menarik perhatianku sama sekali di sana. Lagipula, tidak ada artikel yang membahas masalah Sebastian atau pun perusahaannya kali ini. Aku hanya akan membaca Forbes jika wajah Sebastian dipajang menjadi tokoh utama di sampulnya nanti.
Aku beralih pada majalah Rolling Stones yang baru aku beli. Saat pertama kali membukanya, aku langsung membolak-balik halamannya dan ya! Tuhan memang baik, aku mendapatkan apa yang ku cari selama ini.
Di majalah RS edisi kali ini memuat profil tentang beberapa band indie yang single nya sedang merajai puncak tangga lagu. Dan, salah satunya adalah King Of Midnight, band Seth dan teman-temannya. Di sana tertulis kalau single mereka yang berjudul Hey There Alabama sudah merajai puncak tangga lagu selama empat minggu berturut-turut dan sekarang mereka sedang menjalani tur ke beberapa kota untuk mempromosikan album baru mereka.
Tanpa sadar air mata sudah menggenang di pelupuk mataku. Aku merasa terharu mengetahui keberhasilan Seth dan teman-teman band nya. Aku mengenal mereka semua. Ronnie, Jack, Aaron dan Mike adalah cowok-cowok yang baik dan asyik. Dulu saat masih bersama, Seth selalu berjanji padaku kalau ia akan membawaku kemana pun ia pergi jika band nya mengadakan tur. Tapi sekarang, semua itu mustahil akan menjadi kenyataan ...
Aku meraih ponselku untuk menghubungi Seth, tapi tidak ada jawaban. Mungkin ia sekarang sedang sibuk bersama teman-temannya. Akhirnya aku memutuskan untuk menulis pesan singkat padanya. Aku berpesan agar ia meneleponku nanti jika ia ada waktu.
Aku meletakkan kembali ponselku dan menarik nafas. Aku membayangkan andai aku ada bersama mereka semua sekarang, pasti akan sangat menyenangkan.
Tiba-tiba aku merasa seperti ada orang yang sedang memandangiku. Aku bisa merasakannya dan melihatnya dari sudut mataku.
Saat aku menoleh dengan cepat, aku melihat lelaki yang sama dengan yang pernah ku temui bersama Ashley di kedai kopi waktu itu. Lelaki yang sama yang membuat Ashley begitu mengkhawatirkanku. Lelaki itu tampak sedang menatapku tanpa berkedip sedikit pun dan itu benar-benar membuatku takut. Dasar psikopat sialan!
Aku segera merapikan barang-barangku dan bergegas pergi dari tempat itu. Tapi, sebelum pergi aku membuang majalah-majalah yang baru saja ku beli tadi ke tempat sampah. Aku tidak mau Sebastian melihatku membeli majalah-majalah itu.
Aku berjalan dengan sedikit berlari ke arah lift. Tapi saat aku menoleh ke belakang, lelaki itu sudah tidak ada di tempatnya tadi.
*** Aku masuk ke dalam rumah dengan terburu-buru. Salah satu pelayan wanita yang bernama Lita seperti keheranan melihatku.
"Apa ada sesuatu, Nyonya?" tanya Lita. Aku berusaha bersikap tenang agar tidak ada lagi pertanyaan.
"Tidak ada apa-apa. Tolong ambilkan aku segelas air, Lita. Terima kasih."
Tadi di sana, saat mengetahui kalau lelaki aneh itu tiba-tiba menghilang, di lift aku langsung menelepon John dan memintanya menjemputku di depan lobby. Saat melihat John, aku langsung berjalan terburu-buru ke arahnya dan meminta John untuk menjalankan mobil. Aku berusaha bersikap biasa karena aku tidak mau John akan mencurigaiku dan menceritakan semuanya pada Sebastian.
Semua pelayan di rumah ini adalah mata ketiga untuk Sebastian. Aku tahu itu. John dan Lita adalah salah satu dari mereka.
Lita kembali dan meletakkan gelas minumanku di meja.
"Tuan Sebastian sudah sampai lebih awal, Nyonya. Beliau sedang beristirahat di kamar." ucap Lita dengan sopan.
Sebastian sudah sampai lebih dulu? Oh, great!
"Baiklah, Lita. Nanti aku akan menyusul. Terima kasih."
"Permisi, Nyonya."
Lita pergi meninggalkanku. Belum sempat aku mencicipi minumanku, tiba-tiba saja ponselku berdering. Saat aku memeriksanya ternyata ...
SETH?! Kenapa ia harus meneleponku sekarang? Di saat Sebastian sudah berada di rumah. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Di mana aku harus mengangkat panggilan dari Seth?
Aku memasuki kamar mandi yang berada di lantai bawah. Kamar mandi itu berada jauh dari ruang dapur jadi mungkin saja di sana akan aman karena para pelayan tidak akan mendengar pembicaraanku nanti.
Saat aku masuk ke dalam, panggilan dari Seth sudah mati dan aku segera meneleponnya balik. Secepat kilat Seth mengangkat panggilanku,
"Halo Anna, Sayang. Kau masih ingat aku?" sapa Seth pertama kali dengan nada suaranya yang sangat ceria.
Apa yang ia katakan? Bagaimana bisa aku melupakannya. Aku tidak pernah bisa tidur tenang setiap malam karena selalu memikirkan lelaki ini.
"Iya Seth, aku masih mengingatmu." jawabku sambil berbisik. Aku tahu kamar mandi ini kedap suara tapi tetap saja aku merasa takut kalau akan ada seseorang yang mendengarku. Apalagi kalau itu adalah Sebastian.
"Bagaimana rasanya menjadi Nyonya Agustine, Anna? Apa menyenangkan?"
Pertanyaan Seth membuat tenggorokanku terasa sakit. Aku merasa ingin menangis sekarang. Sejak dulu, Seth selalu menggodaku dengan sebutan Mrs Logan karena kami berdua selalu berpikir kalau nantinya kami akan berakhir dengan sebuah pernikahan dan aku akan menjadi istri dari seorang Seth Logan. Tapi, kenyataanya aku sekarang sudah menikah dan memakai nama belakang orang lain di belakang namaku.
"Jangan menggodaku terus Seth."
Terdengar suara tawa Seth di seberang sana.
"Baiklah, Anna. Aku minta maaf. Oh iya, kau masih berniat membantuku, kan? Kau masih ingat pembicaraan kita waktu itu? Tentang Sebastian Agustine."
"Ya Seth. Kau tahu aku selalu menunggu telepon balasan darimu."
"Maafkan aku, Anna. Aku hanya sedikit sibuk belakangan ini." Seth terdengar menyesal.
"Ya, aku tahu."
Tanpa terasa aku tersenyum. Seakan Seth bisa melihat senyumanku sekarang.
"Aku masih siap membantumu, Seth. Tapi, aku hanya tidak tahu dari mana harus memulai semuanya."
"Mulailah dari yang paling mudah dan bisa kau kerjakan sendiri, Anna. Kau mengerti maksudku? Aku tahu kau bisa melakukannya. Untuk langkah selanjutnya, biar aku yang tangani sendiri."
Aku terdiam mendengar ucapan Seth.
"Baiklah, Anna. Aku harus pergi sekarang. Mike memanggilku. Aku akan tinggalkan pesan singkat di ponselmu nanti. Aku mencintaimu, Anna. Bye!"
Seth menutup teleponnya. Aku masih berdiri mematung dengan ponsel yang masih berada di telingaku,
"Bye Seth, aku juga mencintaimu."
*** Aku membuka pintu kamar perlahan. Entah mengapa jantungku berdebar dengan sangat cepat kali ini. Ini pasti dampak dari rasa bersalahku karena baru saja menerima telepon dari Seth tadi dan sekarang aku sudah harus bertemu dengan si Tuan Besar.
Saat aku memasuki kamar perlahan, ku lihat tidak ada siapa-siapa di dalam. Tempat tidur kosong dan sepertinya juga tidak ada orang di kamar mandi. Rasa takut membuatku jadi berpikiran aneh-aneh, jangan-jangan Sebastian tadi ...
. . . . . "HAI, SAYANG!!!"
Aku berteriak sangat keras saat merasakan Sebastian tiba-tiba mendekapku dari belakang. Jantungku seperti melompat keluar dari dadaku. Kakiku benar-benar lemas, gabungan dari perasaan kaget dan lega.
Sebastian tersenyum melihat reaksiku. Ia terus mendekapku dengan erat. Ku rasa saat ini ia bisa merasakan gemuruh detak jantungku yang berdetak begitu cepat.
"Istriku ini kaget, ya?" Sebastian mencium pipiku dari belakang. Ia membalik tubuhku agar menghadap ke arahnya. Ia sedang tersenyum ke arahku, wajahnya sangat tampan.
"Dari mana saja kau, Anna? Kau membuatku menunggu begitu lama." Sebastian mengecup bibirku. Aku tahu, jika sikapnya seperti ini pasti sedang ada sesuatu hal yang diinginkannya dariku.
"Aku tadi dari mall. Ya, membeli beberapa barang. John yang mengantarku tadi." aku sangat bangga pada diriku sendiri karena bisa menjawab pertanyaannya dengan lancar.
"Lalu apa yang kau beli untukku, huh?!" Sebastian berbisik. Pandangannya tidak pernah bisa lepas dari mata dan bibirku. Seperti siap memakanku hidup-hidup.
"Aku membelikanmu ..."
"Shh, itu tidak penting. Oh iya, aku punya sesuatu untukku, Sayang. Kau mau tahu?" Sebastian menatapku dengan sebuah seringaian di bibirnya, menunggu jawaban. Tapi, sebelum aku menjawab ia sudah berjalan ke arah meja dan mengambil sesuatu untukku.
Sebuah kotak kalung. Saat Sebastian membukanya di hadapanku, tidak ada kata yang bisa aku ucapkan untuk menggambarkannya ...
Kalung itu sangat indah, ia memiliki bentuk berlian seperti buah pir dengan kalung rantai yang sederhana, keseluruhannya terbuat dari emas putih murni.
Sebastian mengangkat kalung itu dari tempatnya dan mencoba memakaikannya di leherku. Setelah selesai, ia tampak tersenyum puas.
"Sudah ku duga, ini cocok sekali untukmu, Sayang."
Sebastian membimbingku menuju meja rias untuk melihatnya sendiri di cermin. Ya Tuhan, kalung itu benar-benar indah ...
"52 berlian bulat dengan total berat 104,84 karat. Kau suka, Anna?" bisik Sebastian. Aku mengangguk dan tersenyum, melihat benda cantik itu kini sedang melingkar di leherku.
"Ini sebagai ungkapan permintaan maafku untuk bulan madu kita yang menyebalkan kemarin. Dan, aku berharap kalau setelah ini kau juga mempunyai sesuatu yang spesial untukku."
Sebastian menatapku lewat cermin. Ia menarik sleting dress-ku yang ada di belakang dengan perlahan dan mulai menciumi punggungku sambil memejamkan matanya. Seketika jantungku berdebar-debar lagi dibuatnya.
Oh ya Tuhan, aku benar-benar tidak bisa melepaskan diri dari lelaki ini. Ia begitu sempurna dan luar biasa ...
*** "Sayang, sehabis ini susul aku di ruang kerjaku. Aku ingin mempelajari beberapa berkas untuk rapat besok dengan salah satu klien penting dari Swiss. Aku ingin kau menemaniku di sana." ucap Sebastian sambil mengenakan piyama sutra berwarna hitam miliknya. Seperti mendapat sengatan dalam otakku, aku baru ingat kalau mungkin inilah saat yang tepat untukku memulai segalanya ...
Awalnya aku tidak tahu harus memulai semuanya dari mana tapi mendengar kata "rapat" dan "klien penting" aku seperti mendapat ide brillian di otakku seketika.
Beberapa menit setelah kepergian Sebastian aku bersiap-siap menyusulnya ke ruang perpustakaan yang juga merupakan ruang kerjanya, tapi sebelum ke sana, aku mampir sebentar ke ruang dapur.
Di sana aku melihat Lita sedang membuatkan minuman. Aku yakin sekali itu untuk Sebastian.
"Nyonya Anna, ada yang bisa saya bantu?" Lita tampak kaget melihatku. Ia mungkin sedikit merasa bersalah karena aku harus pergi sendiri ke dapur untuk mengambil sesuatu.
"Ya, Lita. Tolong ambilkan aku sebuah cangkir. Aku ingin membuat kopi."
"Biar saya yang buatkan, Nyonya. Kebetulan saya juga sedang membuatkan minuman untuk Tuan Sebastian. Biar nanti sekalian saya antar."
"Tidak perlu, Lita. Aku lebih senang meracik kopi sendiri."
Aku memberikan senyum termanisku pada Lita dan ia tampak tidak curiga sama sekali.
Lita beranjak untuk mengambilkanku sebuah cangkir.
"Ini, Nyonya." "Terima kasih."
Aku mulai mencoba meracik kopiku sendiri.
"Lain kali jika anda butuh sesuatu, jangan sungkan untuk mengatakannya pada saya atau yang lain, Nyonya Anna. Saya merasa tidak enak seperti ini. Kalau Martha tahu, kami semua pasti akan terkena teguran. Apalagi kalau sampai Tuan Sebastian yang tahu."
Lita tampak takut-takut. "Ya Lita, aku minta maaf. Ini tidak akan terulang lagi. Aku tidak akan membuatmu mendapatkan masalah dalam pekerjaanmu."
Kami berdua tersenyum. Aku mulai mencicipi kopi racikanku sendiri.
"Apa kau menyukai pekerjaanmu di sini, Lita?"
"Ya, Nyonya. Semua orang di sini sangat baik. Tuan Sebastian juga sangat baik."
"Apa ia pernah marah besar?"
"Pernah. Tapi, itu hanya kalau kami bekerja dengan tidak benar. Selebihnya beliau adalah orang yang sangat baik pada semua pegawainya. Oh iya, Nyonya, saya harus mengantarkan minuman ini ke ruang kerja Tuan Sebastian sebelum dingin. Permisi."
Aku memperhatikan Lita berjalan ke luar ruang dapur. Aku sengaja menunggu beberapa menit lagi sampai aku yakin bahwa Lita sudah memberikan minuman itu pada Sebastian.
*** Saat aku masuk ke dalam ruang kerja Sebastian, ia tampak sedang sibuk menuliskan sesuatu di secarik kertas. Minuman yang dibuat Lita tadi sudah berada di sebelah kirinya.
"Ku pikir kau ketiduran, Sayang."
Sapa Sebastian tanpa melihat ke arahku. Ia masih tampak sibuk menulis. Aku berjalan menghampirinya dan berpura-pura tertarik dengan pekerjaannya.
Entah mengapa hatiku merasa sangat senang dan tidak sabar saat ini karena sebentar lagi misiku yang pertama akan segera terlaksana.
"Apa yang harus aku lakukan di sini untuk menemanimu, Sebastian?" tanyaku sambil berdiri di sampingnya. Aku berusaha menahan perasaan senangku yang sepertinya akan meledak dari dalam diriku. Akhirnya setelah sekian lama, aku bisa membantu Seth untuk memberi sedikit pelajaran pada anak lelaki Fabio Agustine ini.
"Kau cukup duduk di sofa sana dan lakukan apapun yang kau mau asal jangan menganggu konsentrasiku. Kau tahu, besok aku akan mengadakan pertemuan penting untuk proyek bernilai jutaan dolar, Anna."
Jutaan dollar? Luar biasa.
"Kalau kau tidak mau terganggu kenapa memintaku kemari?"
Sebastian meletakkan pulpennya dan menatapku. Ia menarik pinggulku dan merapatkan perutku di dadanya.
"Kau tidak mau menemaniku, huh?" tanyanya dengan nada gemas, "sudah sana duduk dengan manis."
Sebastian mendorong tubuhku dan tiba-tiba saja ia menampar bokongku dengan keras dari belakang. Setelah itu terdengar ia tertawa puas. Benar-benar tidak sopan!
*** Sudah sekitar setengah jam aku menemaninya di ruangan sunyi ini. Sejak pertama kali aku ke sini, aku selalu merasa mengantuk berada di sini dan begitu pula saat ini.
Sejak tadi tak ada banyak hal yang bisa ku lakukan selain membolak-balik majalah bisnis di hadapanku ini. Dan, sejak tadi juga Sebastian belum tampak menyentuh minumannya sama sekali. Aku sudah tidak sabar.
Beberapa menit kemudian, pemandangan yang ku tunggu akhirnya datang juga. Jantungku tiba-tiba berdetak dua kali lebih cepat. Aku benar-benar tidak percaya kalau aku sudah melakukannya.
Masih sambil berkonsentrasi dengan kertas di hadapannya, Sebastian mengambil cangkir minuman itu dan meminumnya perlahan. Hatiku bersorak gembira ...
Ayo, Agustine kecil ... Ayolah, habiskan minuman itu. Habiskan semuanya sampai tetes terakhir. Minuman itu akan mengantarkanmu pada kejutan kecil yang dibawa oleh ayahmu yang jahat itu dari masa lalu ...
*** BAB 11 Keesokan harinya aku memutuskan untuk menjadi anak baik dengan tetap tinggal di rumah. Aku benar-benar tidak sabar mendengar kabar terbaru tentang Sebastian di kantornya. Terlebih tentang pertemuan penting hari ini bersama kliennya.
Aku duduk di halaman belakang. Menikmati sinar matahari ditemani oleh segelas jus jeruk segar buatan Martha. Aku tersenyum sendiri membayangkan apa yang ku lakukan semalam pada minuman Sebastian.
Semalam, saat Lita mengambil cangkir untukku, aku memasukkan obat pencuci perut dosis tinggi di minuman Sebastian. Obat itu ku perkirakan baru akan bekerja dua belas jam setelah di minum. Tepat saat Sebastian berada di kantor.
Aku tidak bisa membayangkan kalau ia akan merasakan sensasi luar biasa di perutnya itu dan harus bolak-balik ke kamar mandi. Konsentrasinya pasti akan pecah dan hal itu juga pasti akan mempengaruhi jalannya pertemuan penting hari ini.
Apakah aku jahat? Well, ini barulah permulaan. Apa yang akan aku lakukan ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang telah ayah Sebastian lakukan di masa lalu pada keluarga Seth-ku.
Oh iya, ngomong-ngomong masalah Seth, aku sudah memberi tahunya tentang langkah awal yang aku ambil dan Seth bilang ia sangat bangga padaku. Tidak ada yang lebih membahagiakan dalam hidupku kecuali mengetahui bahwa Seth merasa bahagia dan bangga padaku seperti sekarang ini.
*** Sekitar pukul lima sore, saat aku sedang berdiri menikmati matahari sore di balkon kamar, aku melihat sebuah mobil sedan Marcedes berwarna putih memasuki pintu gerbang. Sebastian telah kembali dari kantor.
Aku masih berdiri di sana, untuk memperhatikan sedikit lebih lama lagi. Supir pribadinya keluar dan membukakan pintu untuk Sebastian dan tak lama ia keluar dengan raut wajah yang mengeras. Tidak ada senyuman sama sekali di bibirnya. Kedua mata abu-abunya itu tampak tajam dan waspada.
Sesuatu yang salah telah terjadi di kantor tadi.
Aku langsung bersiap menyusulnya ke bawah. Dan, saat aku sudah berada di tangga, aku melihat para pelayan sudah berbaris di hadapan Sebastian yang sedang duduk di sebuah sofa besar.
"Nyonya Anna ada di atas, Tuan. Mau saya panggilkan?" ucap Martha. Wajah Sebastian masih tampak mengeras sambil mencoba mengendurkan dasi dari lehernya.
Jantungku tiba-tiba berdetak dengan cepat. Kenapa Sebastian langsung menanyakanku? Apa ia tahu siapa yang melakukan semuanya tadi malam?
Aku masih berjalan pelan-pelan menuruni tangga, tidak ada seorang pun yang melihatku. Semuanya sedang sibuk dengan pikiran masing-masing karena mereka tahu bahwa tuan mereka sebentar lagi akan memuntahkan laharnya.
"Tidak perlu, Martha." jawab Sebastian dengan nada datar. Tapi, tetap ada sesuatu yang menakutkan dalam suaranya.
"Aku hanya ingin bertanya pada kalian semua, siapa di sini yang bertanggung jawab atas minuman yang diberikan padaku tadi malam saat aku berada di ruang kerjaku?"
Mata Sebastian menatap mereka satu-satu. Tubuhnya tidak bergerak sama sekali tapi tatapan matanya yang tajam seperti sedang menusuk jantung para pelayan itu satu per satu.
Akhirnya aku sampai di bawah, bergabung dengan mereka semua. Aku sudah tahu kemana arah pembicaraan itu. Aku langsung saja duduk tanpa mengatakan sepatah katapun. Aura di ruangan itu begitu tegang, aku tidak mau membuat semuanya semakin memburuk yang malah akan menyeret diriku sendiri nantinya.
"Ss ... Sa ... Saya yang bertanggung jawab, Tuan."
Lita membuka mulutnya dengan gugup. Aku yakin sekali kalau semua pelayan yang lain sedang menarik nafas lega di dalam hati mereka.
"Minuman apa yang kau berikan padaku semalam?"
Sebastian belum menaikkan nada suaranya tapi tetap mengandung sebuah ancaman. Aku melihat Lita sedang menundukkan wajahnya, kalau begini aku jadi kasihan juga melihatnya.
Ramalan Prophecy 2 Siluman Ular Putih 16 Pasukan Kumbang Neraka Bourne Supremacy 11
?Desperate Mrs. By: Agustine BAB 1 Hatiku gelisah. Sudah sekitar setengah jam aku menunggu di sini, di luar ruang kerja Papa. Ia sedang berbincang dengan seorang rekan kerjanya dan memintaku untuk menunggu di luar. Padahal sekarang aku seharusnya sudah berada di sana, di tempat Seth. Pacarku itu sedang mengadakan pertunjukan dengan seluruh anggota bandnya.
Aku menarik nafas lalu melihat layar ponselku untuk melihat jam. Aku sudah terlambat sepuluh menit dan tidak ada tanda-tanda Papa akan keluar dari ruangannya. Apa yang Papa dan rekannya itu bicarakan? Apa Papa sengaja membuatku menunggu seperti ini agar aku tidak datang menemui Seth. Kurasa tidak, aku yakin Papa sama sekali tidak mengetahui apa-apa tentang Seth dan seluruh kehidupan pribadiku di luar rumah.
Kira-kira lima menit kemudian, pintu ruang kerja Papa terbuka dan keluarlah seorang lelaki tua seusia Papa dari ruangan itu. Aku segera bangkit dan melihat ke arahnya. Lelaki tua itu tersenyum ramah ke arahku dan aku membalasnya dengan senyuman paling manis yang ku punya. Ia adalah rekan kerja Papa dan aku harus menghormatinya karena ini berhubungan dengan kelancaran dan masa depan pekerjaan Papa.
Saat lelaki tua itu pergi, aku perlahan mengetuk pintu ruang kerja Papa dan segera masuk. Berlari kecil ke arah Papa yang masih duduk di singgasananya. Sebuah kursi empuk yang dapat berputar di balik meja kerjanya. Aku langsung saja mencium pipi kanan Papa, aku tahu ini hanya sebuah basa-basi. Aku sudah terlalu terlambat.
"Papa, kenapa membuatku menunggu lama sekali?" aku merengek ke arah Papa, tapi ia hanya menjawab dengan sebuah senyuman hangat.
"Apa kau sedang terburu-buru?" tanya Papa, membuatku sedikit gugup dengan pertanyaannya. Tapi, aku tahu Papa akan selalu mempercayaiku.
"Ya, aku ada janji dengan seorang teman. Oh iya, ada apa Papa menyuruhku untuk menunggu? Apa ada sesuatu?"
Lagi-lagi Papa tersenyum dan menarik nafas. Ia meraih tanganku.
"Tidakkah kau rindu pada Papamu ini?" Papa menaikkan kedua alisnya, menunggu jawabanku. Apa yang ia bicarakan? Tentu saja aku merindukannya. Papaku adalah lelaki yang paling aku cintai di dunia ini setelah itu, Seth mengikuti di peringkat kedua dan barulah Andrew, kakakku yang kadang menyebalkan itu berada di peringkat ketiga.
"Apa yang Papa katakan? Tentu saja aku merindukanmu, Papa." aku mendekap leher Papa dan aku dapat merasakan Papa tersenyum. Ia menarikku dari pelukannya.
"Itulah kalimat yang sudah ku tunggu sejak kemarin, Sayang."
Papa tersenyum lalu membuka laci meja kerjanya. Ia tampak mengambil sesuatu dari dalamnya. Ah, aku yakin itu adalah oleh-oleh untukku.
"Ini hadiah spesial untukmu. Sebagai ungkapan rasa maaf karena sudah meninggalkanmu begitu lama."
Papa memberikanku sebuah kotak yang terbungkus kertas warna-warni. Aku tidak tahu apa isinya tapi yang pasti harganya pasti sangat mahal.
"Terima kasih, Papa." aku memeluk Papa untuk yang kedua kali sambil melirik ke arah jam dinding. Sudah sepuluh menit lagi berlalu. Aku benar-benar harus pergi sekarang.
"Papa, aku harus pergi, aku sudah benar-benar terlambat." aku mengecup pipi Papa dan berlari kecil ke arah pintu.
"Kau tidak mau membuka hadiahmu dulu, Sayang?" tanya Papa sedikit berteriak, tapi aku sudah hampir mencapai pintu.
"Ya, Papa nanti aku akan membukanya. Sampai ketemu saat makan malam nanti."
*** Aku berlari ke bawah dan langsung masuk ke dalam mobilku. Sebuah mobil berwarna biru muda yang sudah ketinggalan jaman. Sebenarnya saat awal membeli mobil ini, Papa memberikanku uang yang cukup untuk membeli sebuah mobil Sport yang mewah, tapi aku lebih memilih membeli mobil bekas ini dan menghabiskan sisa uangnya untuk bersenang-senang dengan Seth dan teman-temanku yang lain.
Untuk masalah sisa uang pembelian mobil, Papa tidak pernah menanyakannya. Uang itu tidak berarti apa-apa untuknya. Aku tahu Papa sangat menyayangiku, begitu pula sebaliknya.
Aku langsung saja tancap gas dan mengendarai mobilku dengan cepat ke arah pusat kota. Untung saja jalanan tidak terlalu macet, jadi aku bisa sampai ke tempat tujuan tanpa harus memakan waktu terlalu lama.
Aku sampai di sebuah gedung besar yang dinding luarnya dipasangi papan iklan dan televisi berlayar lebar. Aku memarkir si Biru di tepi jalan dan langsung berlari ke dalam. Ternyata di dalam sudah penuh sesak. Dan, saat aku masuk, Seth dan teman-temannya sedang tampil. Aku langsung saja berusaha menyeruak ke dalam barisan penonton dan berhasil sampai di tengah. Aku tahu banyak orang yang memandangiku dengan kesal karena aku memaksa masuk ke tengah mereka. Tapi aku tidak perduli. Aku harus berada di barisan dimana Seth bisa melihatku dengan jelas.
Seth Logan adalah pacarku. Kami bertemu sekitar setahun yang lalu, saat ia selesai melakukan pertunjukkan. Salah seorang temanku, Ashley mengajakku untuk pergi menemui Seth dan teman-temannya. Awalnya hanya dari seorang fans yang sekedar meminta tanda tangan dan foto bersama, lalu beberapa hari kemudian, Ashley mengatakan padaku bahwa Seth meminta nomor teleponku. Awalnya aku ragu tapi aku tidak bisa membohongi diriku bahwa aku memang menyukai si Gitaris itu sejak pertama kali melihatnya. Seth itu super sexy!
Seth menjadi orang pertama yang menghubungiku, lalu dengan beberapa pertemuan setelahnya, aku mengakui bahwa lelaki ini benar-benar luar biasa. Aku selalu senang berada di sekitarnya. Ia bisa memecah ketegangan dan segala kekakuan yang ku dapatkan di rumah. Dengan segala macam kemewahan dan juga wibawa Papa, Seth membawaku ke dunia nyata. Dunia dimana aku bisa mabuk-mabukan, tertawa lepas dan menggila bersama ia dan teman-teman bandnya.
Aku tahu Seth bisa melihatku sekarang. Ia tersenyum kecil sambil terus memainkan gitarnya. Sementara gadis-gadis di sekitarku kebanyakan meneriaki nama Ronnie, si Vokalis. Entah mengapa ketampanan Seth bertambah seribu kali setiap aku melihat ia memainkan gitarnya itu.
Tak berapa lama, lagu yang mereka mainkan selesai dan gemuruh suara tepuk tangan memenuhi seluruh ruangan itu. Seth dan teman-temannya segera bergerak menuju belakang dan aku dengan susah payah menyusul mereka. Aku sudah tidak sabar ingin memeluk Seth.
*** Aku benci saat-saat seperti ini. Hanya untuk menyusul Seth ke belakang saja tubuhku harus terombang-ambing karena penuh sesak oleh gadis-gadis sialan yang ingin berfoto dan meminta tanda tangan mereka. Bahkan, saat aku berhasil sampai ke belakang pun aku masih harus menunggu beberapa menit lagi, menunggu mereka semua selesai melayani para fans itu.
Aku duduk di sebuah kursi panjang sambil memainkan ponselku. Tak lama, aku dikagetkan dengan suara seseorang.
"Kau terlambat lagi, Mrs Logan?"
Aku menengadahkan kepalaku. Seth sudah berdiri di sana. Dengan senyuman manis dan sebelah alisnya terangkat. Wajahnya yang berkeringat membuatku benar-benar ingin memeluknya sekarang. Aku bangkit dan segera memeluknya. Aroma tubuh lelaki ini benar-benar menenangkan.
Aku melepas pelukanku, masih dengan kedua lengan melingkar di lehernya, aku menatap Seth.
"Aku minta maaf, Mr Logan. Kau tahu, Papa baru saja kembali dari luar kota dan ia memintaku untuk menunggu," hanya Seth dan Ashley yang tahu identitasku yang sebenarnya di luar rumah, "kau tidak marah, kan?" aku mengecup bibir Seth. Ia tersenyum.
"Bagaimana bisa aku marah padamu. Kau selalu memenuhi isi kepalaku." jawab Seth. Kami berdua tersenyum lalu aku kembali mengecup bibir dan pipinya.
Tiba-tiba kami dikagetkan dengan suara seorang gadis belasan tahun. Salah satu "pengganggu".
"Hai Seth, boleh aku minta tanda tanganmu?" tanya gadis itu. Seth hanya menjawabnya dengan senyuman lalu mengambil sebuah buku dan pulpen dari tangan gadis itu. Saat Seth memberikan tanda tangannya, aku dan gadis itu beradu pandang. Ia menatapku seolah-olah aku adalah seorang wanita murahan. SIALAN. Aku adalah pacar Seth dan gadis ingusan ini menatapku dengan pandangan jijik. Apa yang salah dengan dunia ini?
Selesai memberikan tanda tangan dan berfoto dengan gadis itu, Seth menarik tanganku menuju keluar lewat pintu belakang gedung. Dalam acara itu Seth dan bandnya memainkan total tiga lagu dan saat aku sampai tadi, itu adalah penampilan terakhir mereka. Ya, aku tahu, aku datang terlalu terlambat tadi.
Sesampainya di luar, Seth menatapku, "Kau bawa si Biru?"
Aku mengangguk, "Ya, tentu saja."
"Kalau begitu biar dia di sini, kita pergi dengan mobilku saja."
Aku tidak tahu kemana Seth akan membawaku setelah ini, tapi asalkan aku bisa terus bersamanya, aku sama sekali tidak keberatan walau ke ujung dunia sekalipun. Aku begitu mencintai lelaki ini.
*** BAB 2 Sepulang dari pertunjukan Seth mengajakku ke sebuah pantai dan kami menghabiskan sisa hari dengan mengobrol banyak hal. Selalu menyenangkan berada di dekat orang yang kita sayangi, bukan begitu? Dan yah, aku begitu menyayangi Seth-ku ini.
Saat hampir malam, Seth sebenarnya ingin mengajakku ke tempat salah satu temannya. Mereka sedang mengadakan pesta tapi aku mengatakan padanya kalau aku harus segera kembali ke rumah. Aku sudah berjanji pada Papa kalau kami akan makan malam bersama. Walau Papa dan Andrew sangat sibuk bekerja di kantor, kami bertiga tidak pernah melewatkan waktu makan malam bersama. Ritual itu sudah kami lakukan jauh sebelum mendiang ibuku meninggal.
*** "Kau pergi kemana tadi siang, Sayang?"
Papa membuka pembicaraan. Aku tahu Papa akan menanyakan hal itu.
"Aku main ke rumah Ash. Dia memintaku untuk menemaninya karena ia kesepian."
Aku tahu Andrew sedang melirik ke arahku sambil menahan tawa. Kenapa wajahnya tiba-tiba jadi aneh begitu? Apa ia mengetahui sesuatu?
"Apa kau tidak memiliki teman lain selain si Ashley itu, Anna?" tanya Andrew. Aku tahu ia sedang mengejekku.
"Aku punya banyak teman, tapi hanya Ash yang kurasa cukup asyik untuk diajak bersahabat, Andy." jawabku dengan nada datar. Aku kembali menyuap makanan ke dalam mulutku dengan malas.
"Sudahlah, Andy. Aku malah lebih senang jika adikmu itu bergaul dengan Ashley. Gadis itu anak yang baik. Lagipula, aku selalu khawatir kalau akan ada laki-laki di luar sana yang menggoda Anna."
Andrew terdiam mendengar jawaban Papa. Ia tahu Papa sangat menyayangiku. Dan, apapun yang aku katakan Papa akan selalu membelaku.
Untuk beberapa saat kami bertiga terdiam. Menikmati makan malam kami. Sekitar sepuluh menit kemudian, Papa bangkit dari kursinya dan mengatakan,
"Anna, temui aku di ruang keluarga selepas ini. Ada hal yang ingin ku bicarakan denganmu."
Papa beranjak pergi meninggalkanku dan Andrew yang masih asyik menikmati makanan kami.
"Kau tahu apa yang akan Papa katakan padamu?" bisik Andrew. Ia menatap padaku.
"Aku yakin Papa hanya akan membahas masalah pesta ulang tahunku. Kau lupa ya, minggu depan adalah ulang tahunku yang ke 23."
"Kau tidak berpikir kalau mungkin Papa akan menyampaikan hal lain?"
"Seperti?" "Menikahkanmu dengan rekan bisnisnya yang berusia 65 tahun."
Andrew tertawa. Lebih tepatnya menertawaiku. Aku memicingkan kedua mataku, memandangi sikap Andrew yang menyebalkan itu.
Mana mungkin Papa akan menjodohkanku dengan seseorang. Apalagi dengan rekan bisnisnya yang berusia lebih tua dari Papa. Dan, kalau pun hal itu terjadi aku akan menolaknya mentah-mentah. Aku tahu Papa pasti akan mendengarkanku dan mengerti. Aku hanya akan menikah dengan Seth.
Suatu hari nanti aku akan mengenalkan Seth pada Papa. Seth laki-laki yang sangat baik dan sopan. Aku yakin Papa akan menerimanya. Ya, aku akan mengenalkan Seth pada Papa, tapi nanti jika waktunya sudah tepat.
*** Aku berjalan ke arah ruang keluarga. Tempat dimana Papa sudah menungguku. Aku tidak merasa khawatir sama sekali. Aku yakin Papa hanya akan membahas tentang persiapan pesta ulang tahunku minggu depan. Dan, dugaanku benar.
"Aku sudah menyiapkan sebuah pesta ulang tahun untukmu, Sayang. Pesta yang sangat megah."
Megah. Seperti biasa. "Aku akan membuat pesta ulang tahunmu kali ini menjadi pesta yang berkesan, Anna. Karena mungkin ini akan menjadi pesta ulang tahunmu yang terakhir di rumah ini."
Apa yang Papa katakan? Aku benar-benar tidak mengerti. Atau jangan-jangan apa yang tadi Andrew katakan itu benar. Papa akan menikahkan ku dengan seorang lelaki tua bangka? Oh, itu tidak mungkin terjadi. Kalau sampai itu terjadi, aku bersumpah akan kabur sejauh mungkin dari sini.
"Apa maksud Papa?" tanyaku waspada. Seperti biasa, Papa hanya tersenyum tenang. Aku selalu menyukai senyuman Papa. Senyumannya itu sangat hangat dan menenangkan.
"Aku berniat untuk mengundang beberapa rekan bisnisku ke acara ulang tahunmu, Anna. Dan mungkin akan ada beberapa tokoh penting kota ini juga yang akan datang. Aku ingin mengenalkanmu dengan salah seorang rekan bisnisku."
Ucapan Papa benar-benar membuat kakiku lemas dan seluruh tubuhku meremang. Apa benar Papa akan menjodohkanku dengan seorang lelaki tua? Sejauh yang aku tahu, rekan bisnis Papa memang kebanyakan semuanya sudah tua. Dan, kalaupun ada yang sedikit muda, mereka pasti sudah menikah dan mempunyai anak berusia minimal empat tahun. Oh Tuhan, jangan lakukan itu, please.
"Tapi untuk apa, Papa? Aku tidak mau berkenalan dengan siapapun." kali ini nada bicaraku agak sedikit keras. Aku protes.
"Tenang, Anna sayang. Aku hanya ingin kau berkenalan dengan lelaki ini. Setelah bertemu dan melihatnya nanti, kau yang akan memutuskan. Aku tidak akan memaksamu, Sayang."
"Aku makin tidak mengerti. Memutuskan tentang hal apa, Papa?"
Ingin sekali aku pergi dari tempat ini sekarang. Aku takut akan mendengar hal menakutkan lainnya.
"Sudah jangan dipikirkan. Semua ini tidak seburuk pikiranmu, Anna. Kau tidak perlu mengkhawatirkan apapun. Pesta ulang tahunmu sudah ku atur sedemikian rupa. Kau hanya perlu menyiapkan keperluanmu sendiri. Seperti biasa."
"Iya, Papa." Hanya dua kata itu yang bisa keluar dari bibirku saat ini. Aku tidak tahu lagi harus berkata apa. Pikiranku penuh dengan wajah-wajah rekan bisnis Papa yang pernah bertemu denganku. Mereka semua rata-rata sudah tua. Kira-kira rekan bisnis Papa yang mana yang akan dikenalkan padaku nanti? Membayangkannya saja sudah membuatku merinding. Apakah semua yang Andrew katakan itu benar?
*** Seminggu kemudian ... Seperti yang Papa janjikan padaku sebelumnya, pesta ulang tahunku malam ini memang sangat megah dan meriah. Aku memakai sebuah gaun berwarna biru muda yang terbuat dari sutra berkilau, dengan bagian bawah yang melebar. Gaun itu dipesan khusus oleh Papa untuk acara ulang tahunku ini.
Saat pertama kali aku menuruni tangga, aku melihat para tamu sudah menyebar di setiap sudut ballroom. Tampak ada beberapa rekan bisnis Papa, walikota, hakim dan jaksa, kepala polisi dan beberapa temanku dan juga teman Andrew yang tidak bisa ku ingat namanya satu per satu.
Papa benar-benar membuat pesta yang mewah untukku. Tepat di tengah ruangan ada sebuah kue ulang tahun besar bertingkat dengan namaku sebagai hiasannya. Di meja-meja besar disediakan berbagai macam makanan mewah. Para pelayan berseragam hitam putih hilir mudik membawa nampan, menawarkan hidangan dan juga berbagai jenis minuman yang mengalir tanpa henti.
Saat aku sampai di bawah, aku tahu semua mata memandangiku. Aku adalah bintang utama malam ini. Dan, aku langsung saja berjalan ke arah Papa yang sudah menungguku dengan senyuman hangatnya.
"Anna, oh anakku sayang. Kau cantik sekali malam ini," Papa memelukku dengan sangat erat. Aku selalu menyukai aroma parfum Papa, "selamat ulang tahun, Sayang." Papa mengecup keningku.
Acara terus berjalan sesuai rencana, dan seusai acara utama yaitu tiup lilin dan potong kue, sekarang semua orang bebas melakukan apapun. Kebanyakan dari mereka mengobrol dengan teman masing-masing dan menikmati hidangan.
Aku berdiri di sudut ruangan, seorang diri. Aku bersumpah kalau rahangku ini sangat sakit karena sejak tadi aku harus terus memaksakan senyum pada semua tamu yang kebanyakan tidak ku kenal. Ini adalah pesta ulang tahunku tapi aku merasa sangat asing di sini. Mataku menelusuri setiap sudut ruangan, berusaha mencari siapa rekan bisnis Papa yang kira-kira akan dikenalkan padaku nantinya.
Tak berapa lama, Papa menghampiriku. Ia datang dengan seorang lelaki muda di sampingnya. Lelaki itu berusia sekitar 30 tahun. Ia tampak sangat tampan mengenakan setelan jas berwarna hitam legam.
"Hei Anna, perkenalkan ini adalah Sebastian Agustine. Rekan bisnis yang ingin ku kenalkan padamu."
APA?!!! Papa pasti bercanda. Aku tidak percaya Papa mempunyai seorang rekan bisnis seperti ini. Lelaki di hadapanku itu sangat muda dan tampan. Kulitnya berwarna perunggu, rambutnya berwarna coklat dan wajahnya ...
Ia memiliki rahang yang tegas, tulang pipi yang tinggi, alis yang tebal, seulas bibir tipis yang jika ia tersenyum, aku bisa lemas dibuatnya. Tatapan dari kedua mata abu-abunya itu, sangat dalam dan tajam. Lelaki itu adalah simbol dari kesempurnaan.
Sebastian mengulurkan tangannya padaku dan aku membalas jabatan tangannya. Telapak tangannya yang halus itu menggenggam tanganku dengan kuat, tapi tidak menyakitkan.
"Halo, Nona Savannah Worthington."
Suara Sebastian membuat darahku mendesir. Sial, apa yang terjadi? Tidak Anna, kau tidak boleh seperti ini, sadarlah, kau hanya milik Seth, miliknya satu-satunya.
"Halo, Tuan Sebastian Agustine, senang bertemu denganmu."
Aku memberikan senyuman termanisku. Aku lakukan agar Papa senang melihatnya.
"Aku juga senang bertemu denganmu. Selamat ulang tahun."
Tiba-tiba saja Sebastian memberikanku sebuah hadiah dalam kotak yang dibalut pita besar. Aku menerimanya dan mengucapkan terima kasih.
"Oh ya, Tuan Worthington, sayang sekali aku harus pergi sekarang." Sebastian berpaling pada Papa, "masih ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan malam ini. Ngomong-ngomong, pestanya sangat luar biasa. Terima kasih untuk undangannya."
Mereka berjabat tangan. Entah mengapa, aku merasa sedikit menyesal karena Sebastian harus pergi begitu cepat. Bukan karena aku jatuh cinta pada lelaki ini, bukan, tapi itu hanya karena aku menyukai sosoknya yang tampan. Aku adalah penyuka makhluk tampan. Aku menyukai artis-artis tampan. Seth-ku tak kalah tampan maka itu aku memacarinya.
Hihihi, aku merasa geli hati sendiri.
"Oh sayang sekali, Sebastian. Tapi, baiklah mungkin kita bisa bertemu lagi di waktu dan kesempatan yang lain." Papa tersenyum, seperti biasa senyuman yang sangat ramah dan hangat.
"Tentu, Tuan Worthington, tentu." Sebastian berpaling padaku, "sekali lagi ku ucapkan selamat ulang tahun, Nona Savannah. Selamat malam."
Sebastian membungkuk dan mengecup punggung tanganku dengan sangat lembut sementara satu tangannya lagi di belakang tubuhnya. Ya Tuhan, what a gentleman! Seth bahkan tidak pernah melakukan ini padaku. Malam ini adalah malam ulang tahun terbaikku. Tanganku dikecup oleh seorang malaikat yang jatuh dari khayangan!
Dengan keadaan setengah sadar akibat perlakuan Sebastian padaku barusan, aku melihat Papa dan Sebastian berjalan menjauhiku dan menghilang di antara kerumunan orang-orang.
Baru ku sadari, aku sudah senyam-senyum sendiri dari tadi. Benar-benar idiot! Saat aku melihat sekeliling untuk memastikan apakah ada orang yang melihat, aku mendapati Andrew sedang berdiri di sudut lain, sedang memandangiku sambil menahan tawa yang hampir pecah di bibirnya. Aku memicingkan kedua mataku padanya. Seketika tawa Andrew pecah setelah melihat wajahku. Sialan, Andrew benar-benar menyebalkan!
*** BAB 3 Keesokan harinya, sepeninggal Papa dan Andrew ke kantor, aku langsung pergi ke apartemen Seth. Ia tampak sedang tidur saat aku pertama kali datang, itu terlihat saat ia membukakan pintu untukku. Seth hanya memakai boxer, wajah dan rambutnya tampak acak-acakan. Tapi, tetap saja ia begitu mengagumkan di mataku. Sekejap bayangan tentang pesona Sebastian Agustine hilang dari ingatanku.
"Ayo cepat mandi sana. Dasar Pemalas!"
Aku sedikit mendorong bagian belakang tubuh Seth yang berjalan ke arah sofa dengan malas. Ia kembali meringkuk di sofa, mencoba kembali tidur.
"Ya Tuhan Seth, ayolah. Bukankah hari ini kau ada latihan?"
Aku mengguncang-guncang tubuh Seth, dan akhirnya lelaki itu menyerah juga. Ia bangun dan duduk dengan malas.
"Kau tahu, aku baru tidur jam enam tadi pagi." suara Seth terdengar serak.
"Kau tidak bilang padaku kalau ada jadwal manggung. Maafkan aku. Kau pasti masih ngantuk ya?"
Seth mengusap wajahnya dengan telapak tangan lalu tersenyum ke arahku. Ia tahu aku sedang merasa bersalah.
"Tidak apa-apa. Oh ya, bagaimana pesta ulang tahunmu semalam?" tanya Seth. Ia mengusap wajahku dengan ibu jarinya.
"Meriah. Seperti biasa." aku menarik nafas, "andai kau ada di sana semalam. Suatu hari aku akan mengenalkanmu pada Papa. Aku berjanji."
Seth tersenyum, "Iya, Sayang. Nanti kalau waktunya sudah tepat."
Seth langsung berdiri dan pergi menuju kamarnya lalu terdengar suara pancuran air. Dan, beberapa menit kemudian Seth kembali dengan pakaian rapi.
"Ayo ikut aku, aku belum makan dari semalam. Perutku lapar sekali."
*** Aku dan Seth pergi ke sebuah kedai kopi yang berada tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Di sana ternyata ada Ashley yang sudah sampai lebih dulu. Ia duduk seorang diri di sudut ruangan sambil menikmati kopi, saat aku memasuki kedai ia dengan mudah bisa langsung melihatku. Aku tidak memiliki janji dengannya. Pertemuan ini hanya sebuah kebetulan.
Aku dan Seth terpaksa harus menghampirinya. Padahal, saat ini aku sangat ingin berbincang berdua saja dengan Seth. Aku begitu merindukan lelaki ini. Ada banyak hal yang ingin kuceritakan padanya. Tapi, tidak mungkin kan aku tidak menghampiri Ashley, aku tidak ada masalah sama sekali dengan gadis ini.
"Ash, kau di sini rupanya."
Ashley tampak senang melihat kehadiranku dan Seth.
"Hei, Anna." Ashley bangkit dan memelukku sesaat. Aku duduk di meja yang sama dengan Ashley. Tapi, belum sempat Seth duduk, ponselnya sudah berdering. Aku memperhatikannya yang berjalan menjauhiku dan Ashley.
Beberapa saat kemudian, Seth kembali dengan terburu-buru.
"Anna, aku harus segera pergi. Latihan dimulai lebih awal. Bye!"
Tanpa mau menunggu jawabanku, Seth langsung saja mencium keningku dan beranjak pergi keluar kedai. Apa-apaan dia itu? Dia bahkan belum memesan makanan sama sekali. Padahal tadi ia bilang belum makan dari semalam.
"Latihan?" suara Ashley membuatku sadar dari lamunan. Aku mengangguk dengan malas.
"Payah! Kau tahu, aku begitu merindukannya sejak terakhir kami bertemu seminggu yang lalu. Ia terlalu sibuk dengan band-nya itu. Menyebalkan."
Ashley tersenyum melihatku. Ia tahu aku merasa sangat kecewa pada Seth saat ini.
"Tipikal anak band. Seharusnya kau sudah tahu kalau semua akan seperti ini sebelum memutuskan untuk berpacaran dengannya. Kau harus rela berbagi. Berbagi apapun dan dengan siapapun. Maksudku, kau harus rela berbagi Seth mu itu karena ia adalah konsumsi publik."
Oh, apa yang Ashley katakan? Mendengar ucapannya itu membuat kupingku terasa panas. Aku sangat mencintai Seth. Sejak kecil aku selalu mendapatkan apa yang ku mau, hanya untuk diriku sendiri. Dan sekarang, aku harus berbagi dengan para penggemarnya yang kebanyakan gadis remaja itu. Ini benar-benar gila!
Tapi, harus ku akui bahwa apa yang Ashley katakan memang benar. Pekerjaan Seth yang menuntutnya seperti itu.
"Oh iya, Anna. Maaf semalam aku tidak datang ke pesta ulang tahunmu. Tiba-tiba saja perutku sakit. Aku buang-buang air sejak kemarin siang."
"Tidak apa-apa, Ash. Lalu bagaimana keadaanmu sekarang?"
"Lebih baik. Mom sudah memberiku obat. Lalu, bagaimana pestanya?"
"Seperti biasa. Meriah." jawabku singkat. Pandanganku terus saja menatap ke meja. Sambil memutar-mutar ponsel di tanganku. Aku masih belum bisa menghilangkan perasaan kesalku karena Seth pergi begitu saja tadi.
"Anna ..." suara Ashley tiba-tiba jadi berbisik, "ada seorang laki-laki duduk di belakangmu. Kau jangan menoleh ke arahnya sekarang."
Ashley menatapku memberi peringatan. Beberapa kali Ashley melirik ke arah laki-laki itu.
"Sepertinya ia sedang memperhatikan kita. Apa kau mengenalnya?"
Aku menoleh ke belakang. Tampak ada seorang lelaki duduk seorang diri di meja yang berjarak beberapa meter dari tempatku dan Ashley. Lelaki itu berpakaian normal seperti pengunjung yang lain. Dengan pakaian santai dan kacamata yang bertengger di kepalanya.
Saat aku menoleh dan memperhatikannya, lelaki itu tampak sedang memainkan ponselnya. Tidak ada yang mencurigakan dari sosoknya. Aku berpikir kalau lelaki itu pasti hanya lelaki iseng yang tidak tahan melihat dua orang wanita duduk di sebuah kedai kopi. Ia pasti hanya ingin menggoda kami. Ashley terlalu berlebihan.
"Ash, aku pergi dulu. Selera makanku sudah hilang sekarang. Nanti ku hubungi lagi ya?" aku bangkit dari kursi tapi sebelum aku melangkahkan kaki, Ashley memanggilku dan berbisik,
"Anna, hati-hati ..." Ashley tampak serius dengan perkataannya, kedua matanya lagi-lagi melirik ke arah lelaki itu.
*** Aku sampai di rumah dengan selamat. Benar saja dugaanku, Ashley hanya terlalu paranoid. Lelaki itu pasti hanya orang iseng. Seharusnya Ashley yang perlu hati-hati karena aku yakin, setelah aku pergi tadi, lelaki asing itu pasti langsung menghampiri mejanya.
Saat aku memasuki rumah dan berlari kecil menuju kamar, tiba-tiba langkahku terhenti karena mendengar suara Papa,
"Anna, kemarilah, Sayang."
Jantungku berdegup kencang. Aku melihat sekeliling, mengapa tidak ada satupun pelayan yang memberitahuku kalau Papa sudah pulang lebih awal hari ini.
Perlahan aku berjalan ke arah Papa. Apa Papa tahu darimana aku barusan? Aku tahu itu tidak mungkin, tapi tetap saja aku merasa takut. Apapun bisa terjadi, benar kan?
"Duduklah dulu, Anna. Aku tidak akan mau berbincang dengan orang yang tidak siap dan nafas yang terengah seperti itu."
Aku duduk di sofa dengan perlahan. Papa masih duduk dengan tenang, sambil menyadarkan tubuhnya. Ia menungguku siap mendengarkan ucapannya. Mengapa sejak ulang tahunku itu Papa jadi sering bersikap lebih formal terhadapku. Membuatku sedikit tidak nyaman.
"Aku hanya ingin menanyakan perihal Sebastian. Kau sudah bertemu dan melihatnya semalam. Bagaimana menurutmu?"
Bagaimana apanya? Aku tidak mengerti.
"Sebastian lelaki yang tampan, Papa." jawabku jujur. Papa tampak tertawa kecil.
"Kalau itu, semua orang bisa melihatnya, Anna. Maksudku, apa pendapatmu tentang sosok Sebastian."
"Aku ..." aku menahan kalimatku. Berusaha mencari jawaban. Tapi, yang ada di otakku hanya jawaban-jawaban konyol yang ku rasa Papa pasti akan tertawa lagi jika mendengarnya, "aku belum tahu, Papa. Kami baru bertemu sekali dan itu pun hanya sebentar."
Papa menarik nafas dan tampak berpikir sejenak. Papa menarik tubuhnya dari sandaran dan mencondongkan tubuhnya ke arahku.
"Kau tahu, Anna. Aku berniat untuk menikahkanmu dengan Sebastian."
APA?!!! Papa pasti bercanda. Menikah dengan orang yang tidak ku kenal. No way! Apa Papa tahu siapa orang yang paling aku cintai di dunia ini? Seth, ya hanya Seth. Dan, aku hanya akan menikah dengannya, bukan orang lain, tak perduli siapapun orang itu. Aku tidak perduli apakah dia tampan, kaya, pewaris tunggal perusahaan atau apapun. Intinya aku tidak mau!!!
Papa tersenyum lembut ke arahku. Ia tahu aku tidak bisa menerima ini. Papa mendekat dan menyusul duduk di sampingku. Ia meraih tanganku dan mengusapnya lembut.
"Jangan salah paham, Anna. Aku tahu ini terdengar konyol. Aku tidak berniat menjodoh-jodohkan putri kesayanganku dengan orang asing. Tapi, ini berbeda, Anna. Aku sudah mengenal Sebastian sejak lama dan kau tahu, ia sendiri yang ingin meminangmu. Ini semua bukan kehendakku."
Aku semakin bingung dengan permasalahan ini. Kenapa Sebastian ingin meminangku? Ia seorang yang tampan dan kaya raya. Ia bisa mendapatkan wanita manapun yang jauh lebih cantik dariku. Tapi, kenapa harus aku? Padahal kami tidak pernah mengenal satu sama lain sebelumnya.
"Apa Papa tidak berpikir kalau ini aneh? Bisa saja kan dia ingin menikahiku karena ingin merebut perusahaan dan semua kekayaan Papa?"
Papa malah tertawa lebih keras lagi mendengar ucapanku. Aku tahu jawabanku konyol tapi, siapa tahu saja kecurigaanku itu benar. Zaman sekarang tidak akan ada orang yang bersikap aneh seperti yang dilakukan oleh Sebastian Agustine.
"Tidak, Anna. Sama sekali tidak seperti itu. Kau sama sekali tidak mengenal Sebastian," lagi-lagi Papa tertawa, "baiklah kalau begitu bagaimana kalau Sabtu depan kita undang ia makan malam di sini. Supaya kau bisa ngobrol lebih lama dan mengenalnya lebih dekat lagi. Beri ia kesempatan, Anna. Dan, setelah itu kau sudah harus memberikan jawabanmu padaku. Aku tidak akan memaksa kau harus menerimanya. Ku terima apapun keputusanmu, Anna. Bagaimana?"
Papa memandang penuh harap padaku.
Apa salahnya memberikan Sebastian dan Papa kesempatan, Anna. Hanya satu malam saja.
"Baiklah, Papa."
*** BAB 4 Pertemuan itu diadakan di rumahku. Sebastian datang seorang diri. Ia menyempatkan datang untuk bertemu langsung dengan keluargaku di sela-sela jadwalnya yang sangat padat. Paling tidak, itu yang dikatakan Papa tepat sebelum ia datang.
Saat pertama kali ia datang, aku seperti terhipnotis dibuatnya. Sial, benar-benar sialan! Lelaki itu tampak lebih menarik dari saat malam ulang tahunku waktu itu. Sebastian benar-benar seperti malaikat yang tidak sengaja jatuh ke bumi. Malam ini ia memakai setelan jas tanpa kancing yang dibuat khusus dengan kaos model v-neck berwarna putih di dalamnya. Ia tampak ingin sedikit lebih santai malam ini.? Jambang dan kumisnya yang mulai sedikit tumbuh menghiasi wajahnya, membuat jantungku berdebar-debar. Ia begitu sempurna.
Tapi, ada sesuatu hal yang aneh dengan sosok Sebastian malam ini. Ia tampak sedikit lebih dingin. Walaupun, tetap saja ia masih bersikap begitu ramah pada Papa dan Andrew. Sepanjang makan malam itu, aku benar-benar takut menatap kedua mata abu-abunya yang tajam dan dalam.
Bukan, bukan ketampanan dan kesempurnaan Sebastian yang membuat aku takut untuk menatapnya. Tapi, sikap dingin, keanggunannya, cara bicaranya yang sangat sopan pada Papa dan Andrew, juga cara Sebastian menatapku yang membuat aku merasa sangat ingin menghilang dari hadapannya.
Sebastian menatapku seperti seorang predator yang siap menerkam mangsanya. Aku merasa Sebastian sedang menelanjangiku lewat tatapannya. Seakan-akan Sebastian sudah mengenalku sejak lama dan bisa membaca pikiran-pikiran licik yang ada di kepalaku. Baru kali ini aku merasa sangat gugup bertemu dengan seorang lelaki. Selama ini semua orang sangat segan padaku karena aku adalah putri kesayangan seorang James Worthington. Tapi, semua hal itu tampaknya tidak berpengaruh pada Sebastian. Saat ini justru malah aku yang menciut seperti seekor kelinci di hadapannya.
Selesai makan malam dan berbincang, Sebastian mengajakku untuk pergi ke luar. Dan, Papa dengan senang hati mengizinkannya.
Bisa dibilang bahwa Sebastian memang lelaki sejati. Maksudku, dia dengan senang hati membukakan pintu mobilnya untukku dan memperlakukanku sebaik mungkin. Tapi, memangnya siapa orang yang berani tidak memperlakukanku dengan baik. Aku seorang keturunan Worthington, dan seluruh dunia tahu itu. Ayahku seorang yang berkuasa dan ia bisa menghabisimu dan seluruh keluargamu dengan sekejap mata saja.
"Kemana kita akan pergi, Tuan Agustine?" tanyaku memecah keheningan di dalam mobil. Sebastian mulai menjalankan Ashton Martin DB9 miliknya. Pertama kali aku duduk di dalam mobil milik Sebastian itu, terkadang aku merasa menyesal telah membeli Si Biru dulu. Padahal Papa sudah memodaliku untuk membeli mobil sport semacam ini. Tapi, biar bagaimana pun si mobil tua itu sudah banyak berjasa padaku.
"Kemana pun kau mau, Anna," Sebastian tersenyum ke arahku, "Oh ya, jangan panggil aku Tuan, panggil saja aku Sebastian. Aku ingin kau mulai membiasakan diri."
Tanpa ku duga sebelumnya, Sebastian berani meraih tanganku yang ada dipangkuanku. Seketika aku menoleh ke arahnya, tapi ia tampak biasa saja. Sebastian masih tampak asyik mengendarai mobilnya dan fokus pada jalanan.
Dasar otak mesum. Aku seharusnya sudah tahu dari awal kalau ada yang aneh dari lelaki ini. Pertama kali ia jalan denganku dan ia sudah berani menyentuh tanganku. Baiklah, aku akan memberinya pelajaran kali ini.
Aku mengajak Sebastian ke sebuah bar murahan yang aku yakin sekali belum pernah ia kunjungi sebelumnya. Jangankan mengunjungi tempat ini, bahkan membayangkannya saja ku rasa ia tak akan mampu. Aku ingin membuat ia tahu bahwa aku sering mengunjungi tempat kumuh seperti itu. Aku ingin membuat ia merasa ilfeel pada anak gadis James Worthington ini dan berpikir dua kali untuk menikahiku setelah ini.
Mobil mewah Sebastian benar-benar tampak salah alamat. Di sekitar tempat parkir, hanya mobilnya yang tampak masih bisa disebut manusiawi, yang lainnya tampak seperti sebuah rongsokan yang masih saja dipaksa bekerja di masa senjanya. Mirip seperti Si Biru milikku.
Saat kami memasuki bar, aku tidak percaya kalau semua mata tampak sedang memandangi kami. Memandangi sosok Sebastian tepatnya. Beberapa wanita panggilan yang biasa menjajakan diri di sana tampak sangat ingin menghampirinya, tapi mereka mengurungkan niat saat melihat Sebastian datang bersamaku.
Aku melihat ke arah Sebastian, lelaki itu tampak tenang seperti biasa. Ia sama sekali tampak tidak keberatan dengan tempat yang ku pilih malam ini. Sial.
Akhirnya kami mendapatkan sebuah meja. Meja khusus yang diberikan langsung oleh si pemilik bar. Aku semakin bingung, apa yang istimewa dari seorang Sebastian Agustine? Mengapa semua orang tampak mengenal dan menghormatinya sementara aku tidak tahu apa-apa.
Si pemilik bar memanggil pelayannya yang paling cantik untuk melayani kami berdua. Aku memesan Wine, aku sengaja memilih minuman dengan kadar alkohol rendah karena aku tidak akan membiarkan diriku mabuk malam ini. Aku tidak mau sesuatu hal aneh terjadi diantara diriku dan Sebastian. Tidak akan pernah.
Tanpa ku duga, Sebastian memilih Whiskey, minuman mahal dengan kadar alkohol tinggi. Sial, kalau dia mabuk, siapa yang akan mengantarku pulang nanti?
"Pilihan yang bagus. Kau tidak ingin mabuk malam ini?" ucapnya pertama kali. Sudah ku duga, lelaki ini memiliki kemampuan membaca pikiran seseorang.
"Malam ini kebetulan aku hanya sedang ingin Wine. Biasanya aku pesan bir."
Aku tidak bohong. Bir adalah minuman favoritku dan Seth. Selain harganya murah, bir itu mengenyangkan perut kami.
Sebastian hanya tersenyum sambil memandangiku.
"Kau tahu, Anna? Kau sangat luar biasa."
Sebastian meraih tanganku lagi dan meremasnya dengan perlahan. Tatapan matanya yang dalam membuat jantungku berdebar-debar. Belum lagi minumanku datang, tapi aku sudah merasa dimabuk kepayang dibuatnya.
Suara dentuman musik yang hingar bingar tidak menghilangkan kesan romantis dan sensual yang terpancar dari lelaki di hadapanku ini.
Sebastian mendekatkan wajahnya dan ia mencoba menciumku. Tanpa bisa mengelak darinya, aku malah terdiam, bersiap menerimanya. Tubuhku terasa kaku. Jantungku berdegup lebih cepat lagi. Tapi, saat ia sudah memiringkan wajahnya dan bibirnya hampir mendarat di bibirku, tiba-tiba ia berhenti dan segera berpaling. Tersenyum, tertawa. Lebih tepatnya menertawaiku yang sudah dengan bodohnya mengira kalau ia akan benar-benar menciumku. Brengsek! Benar-benar brengsek!
Aku berusaha mengalihkan pandanganku dari Si Brengsek ini. Aku bisa merasakan kalau wajahku merah menahan malu. Tapi, tiba-tiba saja pandanganku terpaut pada Seth. Ia dan beberapa temannya yang tidak begitu ku kenal sedang berkumpul di meja yang berjarak lumayan jauh dari tempatku. Seth tampak sedang menatapku, tapi saat aku melihatnya ia malah berpaling lagi pada teman-temannya dan kembali tertawa seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.
Kakiku lemas seketika. Apa yang aku lakukan? Mengapa aku mengajak Sebastian ke sini? Ke tempat sialan ini. Seharusnya aku mengajaknya ke restoran yang paling mahal saja karena Seth tidak mungkin akan berada di sana. Awalnya aku hanya ingin memberi pelajaran pada Sebastian tapi mengapa semua jadi begini?
Apa tadi Seth melihat saat Sebastian mencoba menciumku? Apa ia marah? Apa ia cemburu? Ya Tuhan, aku akan menjelaskan semua padanya besok. Aku berjanji.
*** Sebastian benar-benar lelaki luar biasa. Ia menghabiskan beberapa gelas Whiskey dan ia masih bisa sepenuhnya tersadar. Ia bahkan masih sanggup mengantarku kembali ke rumah dan meminta izin pulang pada Papa.
Aku sama sekali tidak meminum Wine ku tadi. Aku sama sekali tidak ingin membuat kesalahan yang akan merusak malam ini. Pertemuanku yang tidak sengaja dengan Seth saja sudah merusak semuanya.
Saat aku berjalan menuju kamar, aku mendengar suara musik saat melewati kamar Andrew. Ini pukul satu malam dan kakakku itu pasti belum tidur. Diam-diam aku membuka pintu kamarnya dan menyelinap masuk.
Saat aku sudah berhasil masuk, tampak Andrew sedang mengeringkan rambutnya yang basah, ia hanya memakai celana trainingnya, bertelanjang dada. Ia sama sekali tidak menyadari kehadiranku.
"HOLY SHIT!!!" Andrew terperanjat saat melihat bayanganku di kaca cermin. Wajahnya tampak sangat lucu. Benar-benar lucu. Aku tidak bisa menahan tawaku. Aku tahu Andrew selalu kesal saat aku menertawainya, sama seperti yang ku rasakan saat ia menertawaiku.
Jarak umur kami terpaut lima tahun tapi aku tidak tahu mengapa aku dan Andrew tidak bisa bersikap seperti pasangan adik kakak yang lain. Yang penuh cinta kasih. Sebagai calon pewaris tunggal perusahaan Papa, Andrew sangat jauh dari kata 'berwibawa'.
Aku masih terus tertawa sampai terjatuh ke atas tempat tidurnya. Wajah Andrew masih tampak kesal. Tak lama ia melempar wajahku dengan handuk yang ia pakai untuk mengusap rambutnya tadi.
"Sial! Kau membuatku kaget. Kau tidak tahu ini jam berapa?!"
Aku berusaha menghentikan tawaku dan mengatur nafas.
"Oh Andy, itu tidak penting sama sekali. Seharusnya kau lihat wajahmu saat kaget tadi. Benar-benar lucu!" aku kembali tertawa.
"Sial! Lihat saja, aku akan membalasmu nanti. Lagipula untuk apa kau masuk ke kamarku jam segini? Ku pikir kau tidak akan pulang tadi."
Tiba-tiba Andrew meraih tasku dan memeriksa isinya.
"Apa maksudmu? Aku tidak mungkin bermalam dengan Sebastian. Aku belum begitu mengenalnya."
Saat aku menoleh ke arah Andrew, ia masih tampak sibuk mengacak-acak tasku. Dengan cepat aku meraihnya kembali dari tangan Andrew.
"Kau sedang mencari apa sich?" tanyaku kesal. Aku mengumpulkan kembali isi tasku yang berceceran di atas tempat tidurnya. Andrew memang kurang ajar!
"Kondom!" Ia tertawa geli sampai berguling di atas tempat tidurnya. Persis seperti orang gila. Aku menatapnya kesal sambil merapikan isi tasku.
"Hei, aku tidak pernah membawa kondom. Kau dengar itu. Dan, kalaupun salah satu diantara kami harus membawanya, dialah orangnya." jawabku kesal. Tiba-tiba pertanyaan Andrew membuatku diam seketika,
"Apa pacarmu yang pemain band itu juga selalu membawanya?"
*** BAB 5 "Apa pacarmu yang pemain band itu juga selalu membawanya?"
Aku benar-benar kaget mendengar pertanyaan Andrew. Dari mana ia tahu tentang Seth. Ya Tuhan, apa jangan-jangan Papa juga sudah mengetahuinya.
Aku menoleh ke arah Andrew, ia tampak sedang menatapku dengan kedua alis yang bergoyang naik turun. Menunggu jawaban. Benar-benar menyebalkan.
"Bagaimana kau bisa tahu, Andy?" tanyaku penasaran.
"Tahu tentang apa? Oh ayolah Anna, aku tumbuh besar bersamamu. Aku bisa membaca semua pikiranmu. Lagipula tak ada yang salah. Selama menurutmu pemuda itu baik. Aku juga pernah seusiamu."
Ingin sekali aku memeluk Andrew saat ini. Aku tidak bisa percaya ia bisa berpikiran dewasa juga. Tapi tidak, kalau aku memeluknya, Andrew pasti meledekku lagi dan merusak suasana romantis di antara kami berdua sekarang.
"Apa Papa tahu tentang ini?" tanyaku.
"Menurutmu?" Andrew balik bertanya.
"Aku tidak tahu. Kau itu sangat sulit ditebak."
Andrew tertawa, "Tentu tidak, Anna. Kau tenang saja."
Aku tersenyum mendengar jawaban Andrew. Mungkin kali ini aku bisa mempercayainya.
"Oh iya Andy, aku sebenarnya ingin bertanya padamu tentang Sebastian. Maksudku, apa kau tahu sesuatu tentangnya?"
Aku menatap Andrew, menunggu jawabannya.
"Sebastian? Sebenarnya mudah saja mencari tahu siapa dia, Anna. Profilnya sudah banyak dimuat di majalah-majalah bisnis. Hampir semua orang tahu mengenainya."
Andrew bercanda! Semua orang kecuali aku begitu? Yang benar saja, kemana saja aku selama ini sampai tidak tahu sama sekali tentang sosok Sebastian. Apa aku terlalu sibuk memikirkan Seth yang selalu sibuk dengan band-nya? Pantas saja orang-orang di bar tadi tampak sangat menghormatinya. Aku harus lebih berhati-hati lagi lain waktu.
Desperate Mrs Karya Agustine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tolong beritahu aku semua yang kau tahu, Andy. Please ..." aku menatap Andrew dengan tatapan memelas, akhirnya ia menyerah juga.
"Sebastian adalah pemilik tunggal OneComp. Salah satu perusahaan komunikasi terbaik. Sudah banyak prestasi yang ia raih selama menjadi pimpinan di perusahaan itu. Kau jangan tanya berapa banyak kekayaan yang dimilikinya, Anna. Ia menjadi pimpinan di perusahaan itu setelah ayahnya, Tuan Fabio Agustine meninggal dunia sekitar lima tahun lalu, saat Sebastian berusia dua puluh lima. Ibunya sudah meninggal saat ia kecil dan ayahnya memutuskan untuk tidak menikah lagi. Papa dan Tuan Fabio sudah berteman sejak lama, Anna."
Aku terdiam mendengar penjelasan Andrew. Jadi, lelaki semuda Sebastian harus mengemban semua tanggung jawab yang dihibahkan padanya seorang diri. Tanpa ayah, ibu dan saudara. Ia hidup sebatang kara. Lalu mengapa ia memutuskan untuk menikahiku? Apa ia berniat untuk menjadikanku asisten pribadi kepercayaannya di kantor? Kalau memang itu alasannya, Sebastian telah memilih orang yang salah.
"Aku tidak percaya kau bisa tahu banyak tentang profilnya, Andrew."
Aku menopang daguku sambil terus memperhatikan Andrew.
"Well, ku rasa sekarang kau sudah harus mulai berhenti berlangganan Rolling Stones dan mulai membeli majalah Forbes, Anna. Biar bagaimana pun sebentar lagi kau akan menjadi istri seorang pengusaha kaya. Paling tidak, nantinya kau jadi sedikit tahu perkembangan dan apa yang sedang menjadi perbincangan di dunia yang digeluti suamimu, kan?"
"Aku tidak akan menikah dengan Sebastian, Andy. Kau tahu itu tak akan pernah terjadi."
Ucapanku lebih terdengar seperti sebuah peringatan. Andrew menarik nafas. Ia bangkit dan duduk tepat di sebelahku. Wajahnya berubah menjadi serius.
"Kau tahu, Anna. Papa adalah orang yang sangat baik. Papa selalu memberikan apapun yang kita inginkan sejak kita berdua masih kecil. Kau ingat itu, kan?"
Andrew menatapku, "Papa tidak pernah menuntut apapun darimu Anna. Begitu pula padaku. Aku tahu Papa pasti tidak akan memaksamu untuk melakukan sesuatu yang tidak kau sukai. Tapi, percayalah Anna, Papa pasti akan merasa lebih senang jika kau menerima tawaran Sebastian untuk menjadi istrinya."
Aku terdiam mendengar penjelasan Andrew. Apa Papa yang menyuruhnya untuk meyakinkanku seperti ini? Aku lelah membahas perihal Sebastian. Aku tahu semua orang ingin aku menikah dengannya.
"Entahlah, Andy. Kita lihat saja nanti," aku menarik nafas, "oh ya, sudah lama aku tidak melihatmu jalan dengan Alice. Apa semua baik-baik saja?"
Aku mencoba mengubah topik perbincangan kami. Andrew tersenyum kecut mendengar pertanyaanku tentang pacarnya.
"Kami sudah lama putus, Anna."
"Oh benarkah?" aku benar-benar kaget.
"Yeah, tapi tidak apa-apa. Aku sudah mendapat calon penggantinya."
"Serius? Siapa?" tanyaku dengan nada tak sabar sambil mengguncang tangan Andrew.
"Ashley. Temanmu."
*** Keesokan paginya, aku langsung saja pergi menemui Seth di sebuah kafe. Aku sangat takut Seth akan marah padaku, tapi kenyataannya ia bersikap biasa saja padaku. Seakan-akan tidak terjadi apa-apa semalam.
"Kau tidak marah padaku, Seth?" aku memandangi wajah Seth yang sedang asyik mengaduk-aduk minumannya. Ia tersenyum.
"Tidak apa-apa, Anna. Aku tahu kalau aku memang tidak akan pernah berakhir denganmu. Kau tahu, kita tidak sederajat."
Aku merasa bingung dengan jawaban Seth. Apa yang ia bicarakan? Sejak awal ia tahu aku sangat mencintainya.
"Maksudku, sejak pertama kali memutuskan untuk berpacaran denganmu dan mengetahui bahwa kau adalah putri seorang James Worthington, aku tahu bahwa kita tidak akan bertahan lama."
Aku terdiam mendengar ucapan Seth. Aku benar-benar mencintai Seth, tapi aku tahu apa yang ia katakan barusan memang benar adanya.
"Dan, aku senang karena kau sekarang sedang menjalin hubungan dengan seorang Sebastian Agustine. Kalian sepadan."
"Apa maksudmu, Seth? Aku tidak punya hubungan apa-apa dengannya. Semalam itu hanya ..."
"Tidak apa-apa, Anna. Kau tidak perlu menjelaskan." Seth memotong kalimatku.
"Apa kau tahu sesuatu tentang Sebastian?" tanyaku. Seth hanya tersenyum.
"Siapa yang tidak tahu Sebastian Agustine, Anna? Ia adalah bujangan paling sukses saat ini. Semua laki-laki merasa iri padanya dan para wanita berlomba-lomba untuk mendekatinya."
Siapa yang tidak tahu Sebastian Agustine? Ya, akulah orangnya.
"Semalam Andrew bercerita sedikit tentang Sebastian. Tapi, aku tidak pernah menyangka bahwa hampir orang tahu tentangnya atau paling tidak pernah mendengar namanya. Tapi, harus aku akui ia memang laki-laki yang sangat menarik, Seth."
Aku memperhatikan reaksi Seth. Apakah lelaki itu akan cemburu mendengar ucapanku barusan. Tapi, tampaknya Seth sama sekali tidak terpengaruh.
"Sebenarnya ada sesuatu yang ingin ku ceritakan padamu, Anna. Tapi, tidak di sini tempatnya."
*** Seth membawaku kembali ke apartemennya. Di sana kami berdua langsung duduk bersebelahan di sofa.
"Apa yang ingin kau ceritakan, Seth?" tanyaku memulai pembicaraan.
"Aku ingin menceritakan satu hal tentang masa laluku, Anna." jawab Seth. Wajahnya berubah menjadi serius. Aku mulai memperhatikan dan mendengarkan dengan seksama. Jarang sekali sebelumnya Seth tampak begitu serius seperti itu.
"Sebenarnya dulu Ayahku adalah seorang pengusaha yang kaya raya. Kehidupan kami sangat lebih dari kata cukup. Hingga pada suatu hari ada rekan bisnisnya yang mencoba untuk merusak segalanya. Ia mencoba untuk membeli semua aset saham ayahku tapi ayah menolak, lalu temannya itu memakai cara licik untuk merampas semua kepunyaan kami. Hingga keluarga kami bangkrut dan kami harus mulai tinggal di sebuah rumah kecil di sebuah pedesaan."
Aku menatap kedua mata Seth yang sudah mulai tampak berkaca-kaca saat mengenang masa lalunya. Ingin sekali rasanya aku memeluk Seth sekarang untuk menenangkannya.
"Ibuku terlahir sebagai orang kaya raya, Anna. Ia merasa tidak kuat menerima kenyataan bahwa Ayahku sudah jatuh miskin. Ibuku mulai sakit-sakitan dan sampai pada suatu hari ia tertidur dan tidak pernah terbangun lagi." air mata jatuh membasahi pipi Seth. Aku bisa merasakan kepedihan hatinya.
Sebenarnya aku sangat kaget mendengar cerita Seth mengenai keluarganya di masa lalu. Selama aku menjalin hubungan dengan Seth, belum pernah sekali pun ia menyinggung masalah keluarganya. Aku tidak percaya kalau Seth memiliki masa lalu yang begitu menyedihkan. Tapi, mengapa baru sekarang Seth menceritakan semuanya padaku?
"Ayahku memiliki hutang yang sangat banyak pada hampir semua temannya untuk menyambung kehidupan kami, Anna. Dan, karena tidak sanggup menanggungnya lagi, Ayahku sengaja menggantung dirinya sendiri di pohon di depan rumah kami. Itu sangat menyedihkan, Anna."
Seth mengusap air matanya, ia menatap nanar ke arahku.
"Usiaku waktu itu baru sekitar 10 tahun. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Sampai bibi dan pamanku datang dan membawaku tinggal bersama mereka."
Aku seperti terhipnotis mendengar apa yang baru saja diceritakan oleh Seth. Semua itu benar-benar seperti mimpi buruk. Sejak lahir hingga sekarang, aku menjalani kehidupan yang sangat sempurna bersama Papa dan Andrew. Tapi, ternyata di belahan dunia lain, Seth, laki-laki yang sangat aku cintai harus menjalani masa kecilnya dengan cara menyedihkan seperti itu.
"Aku benar-benar ingin membalas orang yang sudah menghancurkan keluargaku, Anna." Seth mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras.
"Apa kau tahu siapa orangnya, Seth?" tanyaku bingung. Pandanganku tidak pernah bisa lepas dari Seth.
Seth mengangguk, "Orang yang sudah menghancurkan kehidupanku sudah meninggal dunia, Anna. Tapi, sekarang kerajaan perusahaannya di pegang oleh anak laki-lakinya. Dan, aku ingin sekali menghabisinya sama seperti apa yang Ayahnya lakukan pada kami dulu."
"Siapa anak laki-laki pria itu, Seth? Apa kau mengenalnya?"
Seth berpaling memandangku dengan lekat,
"Ya, Anna. Nama anak laki-laki pria itu adalah Sebastian Agustine."
*** BAB 6 "Siapa anak laki-laki pria itu, Seth? Apa kau mengenalnya?"
"Ya, Anna. Nama anak laki-laki pria itu adalah Sebastian Agustine."
*** Hatiku seperti mencelos mendengar nama itu. Mengapa aku selalu segan setiap mendengar nama Sebastian Agustine. Mengingat betapa tampannya lelaki itu, betapa ia mempunyai kelas dan pembawaannya yang membuat setiap orang selalu segan padanya. Aku bahkan tidak yakin kalau Sebastian adalah seorang manusia. Sebastian Agustine adalah seorang dewa yang tersesat di dunia fana.
Dan sekarang, tiba-tiba saja Seth mengatakan ia ingin menghancurkan kehidupan dan segala yang Sebastian punya untuk membalas dendam atas apa yang dilakukan oleh Ayah Sebastian di masa lalu? Aku tidak yakin dengan hal itu. Sebastian adalah seorang yang berkuasa dan banyak uang sementara Seth hanyalah seorang pemain gitar dalam sebuah band yang bermain dari panggung ke panggung. Bagaimana caranya Seth akan membalaskan semua dendamnya?
"Tapi, bagaimana bisa, Seth? Kau tahu Sebastian adalah orang penting dan banyak uang. Pertahanannya tidak tertembus. Bagaimana kau akan melakukannya?"
"Bukan aku yang akan melakukannya, Anna. Tapi kau."
"Aku?!" *** Aku merasa tidak percaya dengan apa yang Seth katakan. Bagaimana bisa aku akan membalaskan dendam Seth pada Sebastian? Bahkan menatap lelaki itu saja aku tidak sanggup.
"Iya, Anna. Langkah pertama menikahlah dengan Sebastian."
"Apa kau tidak mencintaiku lagi, Seth?"
Aku memandangi Seth, aku tidak percaya semudah itu Seth melepas diriku untuk menikah dengan orang lain, hanya demi kepentingan pribadi dan dendam masa lalunya.
"Kau mencintaiku, Anna?" Seth balik bertanya.
"Dengan segenap hatiku."
"Kalau begitu, menikahlah dengan Sebastian."
*** Sepulangnya dari apartemen Seth, aku kembali ke kafe tempat aku dan Seth bertemu tadi. Pikiranku dipenuhi dengan apa yang baru saja Seth ceritakan. Aku tidak pernah menyangka bahwa Seth mempunyai masa lalu yang begitu menyedihkan bersama keluarganya dan itu semua disebabkan oleh keluarga Agustine. Aku merasa sangat kasihan pada Seth sekarang.
Beberapa menit kemudian, saat aku sedang larut dalam pikiranku, tiba-tiba ada seorang lelaki berjas hitam menghampiriku. Lelaki itu bertubuh tinggi besar dan memakai kacamata hitam.
"Nona Worthington, anda harus ikut saya sekarang."
Aku bingung dengan ucapan lelaki itu. Siapa dia? Aku belum pernah bertemu dan tidak mengenalnya sama sekali.
"Kau siapa?" tanyaku dengan nada bingung.
"Nama saya David. Saya ditugaskan oleh Tuan Sebastian Agustine untuk menjemput anda. Beliau sudah menunggu di rumahnya."
Sebastian? Apa yang lelaki itu inginkan sekarang? Mengapa ia bisa tahu kalau sekarang aku ada di sini?
Tiba-tiba saja perasaan takut menyelimuti hatiku. Tapi, siapa orang yang berani menyakiti anak gadis seorang James Worthington. Bahkan nyamuk pun enggan menyentuh kulitku.
"Ayo Nona. Kita tidak punya banyak waktu. Tuan Sebastian paling tidak suka menunggu."
"Tapi, aku bawa mobil sendiri. Biar aku mengikutimu dari belakang."
In your dream! Setelah aku masuk ke mobil aku akan langsung melarikan diri. Dasar pengawal sialan!
"Tidak, Nona. Tuan Sebastian memerintahkan saya untuk membawa anda. Untuk urusan mobil anda, biar nanti saya suruh orang mengambilnya."
Aku menelan ludah. Ternyata lelaki ini adalah seorang yang sangat patuh pada tuannya. Sebastian pasti membayarnya dengan sangat mahal.
Dengan ragu aku berdiri dan berjalan ke arah luar. Diikuti oleh David di belakang.
Aku dan David pergi ke tempat Sebastian dengan sebuah Limo berwarna hitam berkilau. Terlalu berlebihan untuk hanya sekedar menjemput seorang gadis di sebuah kafe jalanan.
*** Tak berapa lama, kami sampai di sebuah rumah yang sangat besar dan mewah. Sebuah mansion. Rumah keluargaku besar dan mewah tapi yang ini jauh lebih besar dan mewah dan luar biasa lagi. Tentu saja, Sebastian bekerja hanya untuk membiayai dirinya sendiri. Ia pasti punya banyak uang untuk membangun sebuah istana seperti ini.
Bagian depan ruang tamu rumah itu sangat megah, dengan arsitektur gaya lama yang tampak modern. Lantai marmernya berkilauan dengan warna gading, dan pilar-pilar besar di ruang tamu dengan warna serupa begitu menjulang tinggi. Ada sebuah tangga besar yang menuju ke lantai dua dengan karpet beludru berwarna merah marun di tengahnya.
Aku berdiri cukup lama di sana. Aku bukannya terpesona dengan rumah Sebastian, aku hanya sedang menebak-nebak dimana lelaki itu sekarang dan mengapa Sebastian ingin bertemu denganku. Rumah itu tampak sangat sepi dan sunyi. Yang terdengar hanya suara gemericik air dari kolam kecil yang berada di salah satu sudut ruangan.
Tiba-tiba saja aku dikagetkan oleh kedatangan seorang wanita setengah baya. Usianya kira-kira lima puluh tahun. Ia memakai setelan berwarna coklat muda. Cara berjalan dan pembawaannya sangat anggun. Saat ia semakin mendekat, aku bisa melihat ia memakai pin nama di dada sebelah kanannya.
"Selamat siang, Nona Worthington."
"Siang. Dimana Sebastian?"
"Tuan Sebastian sudah menunggu anda sejak tadi. Ia ada di ruang perpustakaannya. Ia meminta saya untuk mengantar anda ke sana setibanya anda datang. Mari saya antar."
Wanita itu memanggil Sebastian dengan sebutan Tuan. Jadi, ia adalah salah satu pelayan di rumah itu. Bisa jadi orang kepercayaan Sebastian. Andai ia tidak memakai pin nama dan memanggil Sebastian dengan sebutan Tuan, mungkin aku akan mengira wanita ini adalah salah satu anggota keluarga Agustine.
Aku diajak menuju ke sebuah ruangan, ruangan perpustakaan. Saat kami sampai, Sebastian tampak sedang mempelajari sebuah berkas. Pembawaannya tetap tenang seperti biasa.
"Tuan Sebastian, Nona Worthington sudah datang. Saya izin pamit. Permisi."
Wanita itu pergi meninggalkanku dan Sebastian berdua di ruangan perpustakaan yang besar itu. Ruangan itu dipenuhi oleh rak yang berisi buku-buku tentang dunia perbisnisan. Di sudut yang lain ada sebuah perapian untuk menghangatkan di musim dingin. Dan, ada beberapa lukisan yang tergantung di dindingnya. Lukisan seluruh anggota keluarga Agustine. Aku yakin salah satu dari lukisan itu adalah gambaran sosok Tuan Fabio Agustine. Si lelaki jahat itu. Well, aku yakin ia sekarang sudah terbakar hingga jadi debu di neraka.
Sebastian masih bergeming. Ia masih tampak sibuk dengan kertas-kertas di hadapannya. Tidak ada seorang pun yang berani mengabaikanku seperti ini sebelumnya. Tapi sekarang, aku malah harus berdiri di sini dan menunggu seorang Sebastian menyelesaikan pekerjaan yang tidak tahu kapan akan selesai.
Di ruangan itu ada sebuah sofa besar dan tampak empuk. Aku tergoda untuk duduk di atasnya.
"Boleh aku duduk?" tanyaku perlahan. Tapi, lagi-lagi Sebastian tampak acuh.
Persetan! Kakiku sudah pegal dan aku akan tetap duduk dengan atau tanpa persetujuannya. Lelaki ini memang benar-benar menyebalkan. Lihat saja nanti, aku akan membuat perhitungan denganmu Tuan Sebastian Agustine.
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku berada di ruangan itu. Ruangan yang sangat sunyi itu membuatku mengantuk dan manusia aneh yang tadi katanya mau berbicara denganku itu masih saja sibuk dengan pekerjaannya. Aku menyandarkan tubuhku ke sofa yang empuk itu. Suasana yang sangat sunyi dan sejuk itu benar-benar membuatku mengantuk.
*** Saat aku hampir saja menutup mataku, tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara ketukan di pintu. Tak lama, wanita yang tadi mengantarku masuk dan berkata,
"Tuan Sebastian, Tuan Worthington sudah datang."
Aku melihat Papa memasuki ruangan dan tersenyum ke arahku. Aku langsung saja bangkit dari sofa.
"Papa?!" ucapku dengan nada kaget. Papa mendekatiku dan mencium keningku.
"Hei, Anna. Kau sudah datang?" tanya Papa.
Melihat kedatangan Papa, Sebastian langsung saja menghentikan pekerjaannya dan bangkit dari kursinya. Ia tersenyum ke arah Papa dan berjalan menghampirinya.
Kurang ajar! Aku datang dari tadi lalu ia bersikap seolah aku tidak ada, dan sekarang saat Papa datang ia langsung saja menghentikan pekerjaannya dan dengan ramah menyambut Papa. Mau dianggap sebagai calon menantu yang baik, huh?
"Selamat siang, Tuan Worthington."
"Siang, Sebastian."
Mereka berjabat tangan dengan sangat akrab. Aku membayangkan jika memang dua orang dihadapanku ini akan menjadi mertua dan menantu, pasti akan sangat cocok. Berbeda dengan Seth, jika ia menjadi menantu Papa, ia pasti tidak akan bisa mengimbangi Papa, dalam segi apa pun.
Papa dan Sebastian duduk di sofa yang empuk, tempat aku hampir tertidur tadi. Dan, dengan ragu aku menyusul duduk di antara mereka.
"Aku tahu kau mungkin merasa bingung, Anna. Tapi, aku sengaja meminta Sebastian membawamu kemari karena ada hal yang ingin kami bicarakan denganmu. Perihal keputusanmu untuk menerima tawaran Sebastian. Kita sudah membicarakan hal ini sebelumnya berdua, bukan?"
Aku terdiam mendengar ucapan Papa. Mengapa Papa harus menanyakan hal ini di kediaman Sebastian? Apa Papa ingin aku merasa tidak enak untuk menolaknya? Diam-diam aku mencuri pandang ke arah Sebastian. Wajahnya tampak tenang menunggu jawabanku dengan sebuah senyuman yang tidak terlalu kentara.
"Aku tidak akan memaksamu untuk menjawab 'Ya', Anna. Aku hormati apa pun keputusanmu."
Aku terdiam. Berusaha mengingat kembali semua hal yang sudah terjadi sebelum ini. Ucapan Andrew terbayang di pikiranku,
"Papa tidak pernah menuntut apapun darimu Anna. Begitu pula padaku. Aku tahu Papa pasti tidak akan memaksamu untuk melakukan sesuatu yang tidak kau sukai. Tapi, percayalah Anna, Papa pasti akan merasa lebih senang jika kau menerima tawaran Sebastian untuk menjadi istrinya."
Lalu beralih pada pertemuanku dengan Seth tadi,
"Aku benar-benar ingin membalas orang yang sudah menghancurkan keluargaku, Anna."
"Siapa anak laki-laki pria itu, Seth? Apa kau mengenalnya?"
"Ya, Anna. Nama anak laki-laki pria itu adalah Sebastian Agustine."
*** Aku kembali berpaling pada Sebastian, menatap sosoknya yang tampan, keelokan paras warisan dari ayahnya. Demi Seth, orang yang aku cintai dan ketidakmampuannya untuk membalaskan dendam masa lalunya seorang diri. Dan, demi kebahagiaan Papa, lelaki yang paling ku hormati. Tanpa mengalihkan pandanganku dari Sebastian, aku memutuskan,
"Ya, Papa. Aku menerima pinangan Tuan Agustine untuk menjadi istrinya."
*** BAB 7 Pernikahan itu terjadi sebulan kemudian. Bisa dibayangkan, pesta pernikahan yang dibuat sesuai dengan selera Papa dan Sebastian itu menjadi pesta yang sangat mewah. Semuanya yang terbaik.
Gaun pengantinku dipesan dan dibuat khusus oleh perancang busana kenalan Papa yang berdomisili di Paris. Makanan dan minuman yang paling enak serta dekorasi yang sangat cantik mirip seperti pernikahan di negeri dongeng.
Aku sedang duduk di ruang ganti. Menatap pantulanku sendiri di kaca cermin. Mereka sudah mengganti pakaianku dan merias wajahku. Aku tampak begitu cantik. Pertama kali aku melihat sosok di cermin itu, aku bahkan hampir tidak percaya bahwa itu adalah diriku sendiri.
Aku duduk terdiam di depan cermin. Perasaanku benar-benar tidak karuan saat ini. Apakah aku sudah gila? Apakah keputusanku benar? Apakah aku akan menyesali semua ini? Menikah dengan seorang Sebastian Agustine pastilah bukan perkara mudah untukku. Kami begitu bertolak belakang dan ia benar-benar menyebalkan.
Tak berapa lama ada seseorang yang mengetuk pintu, Papa langsung saja masuk ke dalam ruangan. Ia tampak tertegun tidak percaya melihatku.
"Anna, apa ini benar-benar Savannah putriku?"
Perlahan Papa berjalan ke arah ku. Wajahnya merah dan matanya mulai berkaca-kaca. Belum pernah sekali pun dalam hidupku, aku melihat Papa menangis. Ia pasti merasa sangat bahagia melihatku seperti ini. Di sudut pandang ini, aku merasa tidak menyesal menerima tawaran Sebastian untuk menjadi istrinya. Selama aku bisa melihat Papa bahagia seperti sekarang.
"Papa, ayolah jangan begitu. Papa membuatku ingin menangis."
Aku mengusap air mata kebahagiaan Papa. Ia meraih lenganku dan menatapku dengan lekat.
"Jangan menangis, Sayang. Maafkan aku. Aku hanya tidak bisa percaya bahwa putri kecilku yang cengeng dulu sudah sebesar ini dan sekarang ia akan segera menikah."
Aku tersenyum mendengar ucapan Papa. Papa benar, dulu sewaktu aku kecil aku adalah seorang gadis kecil yang sangat cengeng. Aku sering sekali menangis. Saat Andrew menjahiliku, saat kucing kesayanganku mati, saat aku terjatuh dari sepeda. Dan, setiap aku menangis, Papa adalah satu-satunya orang yang datang untuk menghapus air mataku.
Dan, sekarang di saat aku akan menikah, Papa yang menangis dan sekarang saatnya aku mengusap air mata dari pipinya.
"Ya sudah, Sayang. Kita harus turun sekarang."
*** Upacara pernikahanku berjalan dengan sangat cepat dan sekarang aku sudah resmi menjadi Nyonya Agustine. Suatu hal yang masih janggal di telingaku saat para tamu undangan menyapaku dengan sebutan itu. Aku masih tidak bisa percaya kalau aku sudah menikah dengan lelaki menyebalkan ini.
Saat pesta resepsi berlangsung, aku bisa melihat dari cara para tamu perempuan menatapku. Mereka semua tampak iri melihatku. Dan, para tamu lelaki mendatangiku dan memujiku karena sudah berhasil menjadi pelabuhan terakhir seorang Sebastian Agustine.
Mereka hanya melihatku dari luar. Mereka tidak pernah mengetahui apa yang ku rasakan di dalam hatiku. Dan, apa alasan di balik pernikahanku dengan Sebastian.
Saat aku sedang berbincang dengan salah seorang tamu, aku melihat Sebastian berjalan ke arahku. Mungkin karena terlalu gugup, sejak acara dimulai aku tidak memperhatikan ia dengan seksama. Ternyata, hari ini Sebastian tampak sungguh luar biasa. Ia benar-benar seperti malaikat. Ia begitu tampan dengan memakai setelan jas berwarna hitam legam, dengan dasi, kemeja putih lengan panjang dan sebuah rompi yang melapisinya.
Aku seperti ingin pingsan melihat sosoknya. Ia begitu tampan dan entah mengapa aura ketampanannya semakin terpancar di hari pernikahan kami ini.
"Hei Nyonya Agustine, sedang apa di sini?"
Sebastian menatapku dengan tatapan menggoda. Tatapan dari kedua mata abu-abunya yang dalam dan tajam itu membuat darahku mendesir.
Tiba-tiba aku merasa gugup. Aku melihat sekeliling, berusaha mencari alasan untuk melarikan diri.
Sebastian menarik pinggulku dan berbisik di telingaku. Membuat tubuhku merinding.
"Jangan gugup begitu, Anna. Kau tidak akan bisa melarikan diri dariku. You're mine now."
*** Selesai makan malam dengan beberapa tamu penting, Sebastian langsung membawaku ke mansionnya. Saat pertama kali pintu besar itu terbuka, ternyata pelayannya yang berjumlah belasan orang sudah berjajar rapi di kedua sisi. Menyambut kedatangan kami, dengan wanita setengah baya yang waktu itu mengantarku ke ruang perpustakaan Sebastian.
"Selamat datang Tuan dan Nyonya Agustine. Saya mewakili semua yang ada di sini ingin mengucapkan selamat atas pernikahan kalian berdua."
Wanita setengah baya itu membungkukkan tubuhnya. Aku melihat Sebastian berjalan ke arahnya dan memeluknya.
"Terima kasih, Martha. Aku sangat menghargainya. Terima kasih."
Sebastian tersenyum dan melihat ke arahku.
"Anna, ini Martha. Orang kepercayaanku di rumah ini. Ia sudah mengurusku sejak kecil. Ia sudah seperti ibuku sendiri."
Aku berjalan ke arah mereka berdua dan menjabat tangan Martha.
"Selamat datang di Mansion Agustine, Nyonya. Saya yang mengurus semuanya di sini, kalau ada apa-apa jangan segan untuk bertanya pada saya."
"Senang bertemu denganmu, Martha."
Wanita itu tersenyum dengan sangat ramah padaku. Senyumannya begitu hangat. Tiba-tiba aku jadi teringat mendiang ibuku. Hari ini adalah hari pernikahanku dan ia sudah tidak ada lagi bersamaku.
Seperti bisa membaca pikiranku, tiba-tiba saja Sebastian berdehem. Membawaku kembali ke alam sadarku.
"Baiklah, ku ucapkan terima kasih pada kalian semua. Sekarang aku dan istriku ingin beristirahat. Selamat malam."
*** Kamar Sebastian tampak sangat besar dan nyaman. Dekorasinya sangat elegan. Dengan sebuah ranjang berukuran king dengan bentuk begitu indah seperti ranjang di sebuah kerajaan.
Ada sebuah perapian di sudut ruangan, sepasang sofa kecil dengan meja di tengahnya dan lampu kristal yang menggantung indah tepat di tengah ruangan.
Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan setelah ini. Maksudku, baiklah beberapa pasangan yang menikah karena saling mencintai pasti akan tak sabar menunggu malam pertama mereka. Kamar ini begitu sempurna untuk bercinta.
Tapi, bagaimana denganku? Aku berada di sini hanya karena beberapa alasan dan pertimbangan yang akhirnya membawaku ke sini. Aku tidak pernah mencintai lelaki ini. Dan, aku pun tidak yakin kalau ia juga mencintaiku. Kami hanya bertemu beberapa kali, dan mustahil sekali kalau ada lelaki tampan, kaya dan berkuasa seperti Sebastian yang langsung ingin menikahiku kalau tidak ada maksud lain di balik semua ini.
Tiba-tiba aku tersadar dari lamunanku karena aku merasakan ada seseorang yang mendekap tubuhku dari belakang. Sebastian.
Posturnya yang tinggi dan dadanya yang terasa kokoh menyentuh bagian belakangku membuat jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Ia meraih kedua lenganku dan memeluk tubuhku dari belakang. Membungkus tubuhku yang tampak sangat kerdil jika bersanding dengannya.
"Apa kau gugup, Anna?" bisik Sebastian di telingaku. Membuatku merasa geli dan merasa tidak nyaman.
Tidak pernah ku bayangkan sebelumnya dalam hidupku kalau aku akan menikah dengan seorang lelaki yang tidak ku cintai sama sekali. Dulu, jauh sebelum Sebastian tiba-tiba saja datang dalam hidupku, aku selalu membayangkan akan bercinta dengan penuh gairah di malam pernikahanku dengan Seth. Ya, hanya dengan Seth. Tapi kenyataannya justru lelaki itu yang menjerumuskanku ke dalam pernikahan ini. Ya Tuhan, cinta telah membuatku buta dan bodoh!
Sebastian mencium pipiku lalu berpindah menuju ke leherku. Hembusan nafasnya yang hangat dan mulai tidak beraturan sedikit banyak mempengaruhiku. Sial, aku benar-benar tidak bisa menghindari pesona dari anak lelaki si Iblis Fabio Agustine ini.
Aku berusaha melepas dekapan Sebastian dari tubuhku dan berhasil. Ia tampak kaget melihat penolakanku.
Saat aku berbalik menghadapnya, wajahnya sudah seperti orang yang dimabuk kepayang. Tatapannya menjadi sayu. Apa ia benar-benar tidak sabar untuk bercinta denganku.
'Oh Anna, kau jangan naif seperti itu. Kau pasti bukanlah wanita pertama yang pernah tidur dengannya dan asal kau tahu, ia pasti bersikap sama seperti itu pada setiap gadis yang akan ditidurinya. Jadi jangan besar kepala dulu. Dan kau harus ingat kalau niatanmu menikah dengannya untuk membantu Seth. Jangan lupa itu!'
Ya, hati kecilku benar. Sebastian memang brengsek! Sama seperti ayahnya.
"Ada apa, Anna?" tanya Sebastian bingung.
"Sebentar, aku mau membersihkan tubuhku dulu."
Aku segera berlari ke kamar mandi dan mengunci pintu dari dalam.
"Kau tidak ingin aku membantumu untuk menggosok punggungmu, Sayang?"
Aku mendengar suara teriakan Sebastian dari kamar tapi aku tidak menjawab. Dia benar-benar sudah gila!
Untuk beberapa saat aku memandangi wajahku di cermin washtafel. Tidak ada jalan keluar untukku sekarang. Aku tidak bisa berbalik ke belakang. Aku sudah membuat keputusan dan nasi telah menjadi bubur. Ya Tuhan, tolonglah aku ...
*** Sekitar setengah jam kemudian aku kembali ke kamar dengan menggunakan jubah mandi. Saat aku masuk, aku melihat Sebastian sedang duduk di sofa sambil menyaksikan sebuah acara di tv, dengan hanya mengenakan sebuah celana piyama yang terbuat dari sutera. Ia sudah bertelanjang dada.
Sebastian tersenyum melihat kedatanganku.
"Hei, kau sudah membuatku menunggu begitu lama."
Sebastian berjalan ke arahku. Entah mengapa kakiku selalu reflek berjalan mundur setiap lelaki itu ingin mendekatiku. Saat sudah berada tepat di hadapanku, ia langsung meraih pinggulku dan merapatkan pada tubuhnya. Lagi-lagi ia menciumi pipiku dan kembali ke leherku. Nafasku mulai tidak beraturan, merasakan apa yang dilakukannya padaku.
Aku meletakkan kedua tanganku di dadanya dan mendorong tubuhnya sedikit. Sebastian melepas ciumannya.
"Sekarang apa lagi?" tanyanya dengan nada kesal. Ya Tuhan, ia tampak jauh lebih mempesona saat ia sedang kesal.
Aku berjalan ke arah lemari pakaian. Tapi, saat aku membukanya, tidak ada pakaianku sama sekali di sana.
"Di mana pakaian-pakaianku?"
Aku kembali menutup pintu lemari dan berbalik menghadap Sebastian.
"Aku sudah menyuruh Martha membuang semuanya. Kau tahu, sekarang kau sudah menjadi Nyonya Agustine dan aku ingin kau merubah penampilanmu. Aku tidak mau kau memakai kaos oblong, jeans sobek atau kemeja lagi."
Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja Sebastian katakan. Walau itu hanya kaos oblong, jeans sobek dan kemeja, tapi harga mereka semua sangat mahal. Itu semua pakaian bermerk! Dan semua original! Dasar orang yang tidak mengerti perkembangan jaman!
"Tapi ..." aku menahan kalimatku, "tapi aku tidak bisa tidur tanpa piyamaku."
Air mata sudah hampir saja jatuh dari mataku. Aku benar-benar menyayangi seluruh pakaianku. Dan, aku hanya akan memakai pakaian yang menurutku nyaman.
Lagipula siapa dia? Papa saja tidak pernah mengatur cara berpakaianku.
Sebastian berjalan ke arahku lagi dan mengusap air mataku yang sekarang sudah meleleh di pipiku.
"Sudahlah, besok Martha akan membawakanmu pakaian-pakaian yang baru. Lagipula, malam ini kau tidak memerlukan pakaian sama sekali kan?"
Aku merasa wajahku memerah karena malu setelah mendengar ucapannya. Sebastian langsung meraih wajahku dan menciumiku dengan sangat bergairah. Nafasku mulai tidak beraturan. Apalagi saat aku merasakan nafasnya yang memburu saat menciumiku.
"Ini yang kau inginkan di bar malam itu kan, Anna?" Sebastian menatapku sambil tersenyum. Bibirku rasanya tidak bisa dikatupkan, rasanya panas sekali.
"Ya, Sebastian." jawabku, aku benar-benar sudah terhipnotis oleh pesona si Brengsek ini.
Sebastian tersenyum dan kembali menciumku. Tak lama ia membopongku tanpa melepas ciumannya dan membaringkan tubuhku di ranjang besarnya yang begitu nyaman.
"Kau pernah melakukan ini sebelumnya, Anna?" tanya Sebastian sambil berusaha melepas tali jubah mandiku dengan perlahan.
Belum sempat aku menjawab, ia kembali berkata,
"Walau aku yakin kau pernah melakukan ini sebelumnya, aku akan tetap melakukannya dengan sangat lembut padamu, Anna. Jangan khawatir."
*** BAB 8 Keesokan paginya, aku dibangunkan oleh cahaya sinar matahari yang masuk dari jendela kamar. Cahaya matahari pagi itu tepat mengenai wajahku, menyilaukan mata.
Aku sadar bahwa aku berada di kamar Sebastian. Dan, saat aku menoleh ke sisi tempat ia tidur semalam, ia sudah tidak ada. Aku tidak tahu kemana ia pergi. Aku tidak mau tahu dan tidak perduli kemanapun ia pergi.
Aku menarik selimutku sampai ke leher. Selimut ini terasa begitu nyaman. Aku merasa tidak ingin beranjak dari tempat tidur ini. Sekujur tubuhku terasa pegal dan aku merasa ingin meringkuk di sana seharian.
Tiba-tiba saja aku merasa ingin pipis. Saat aku beranjak turun, tiba-tiba aku merasakan perih di daerah sekitar pahaku. Aku kembali duduk di tepian tempat tidur, untuk meredakan rasa perihnya sebentar.
Sebastian memang orang yang brengsek! Semalam ia berjanji padaku kalau ia akan melakukannya dengan sangat lembut, tapi apa? Kenyataannya ia berbohong dan sekarang aku harus merasakan sekujur tubuhku pegal dan aku bahkan kesulitan untuk sekedar ke kamar mandi.
Perlahan aku merangkak ke arah jubah mandiku yang tergeletak di atas tempat tidur. Tapi, saat aku turun, aku melihat noda darah di atas sprei tempat tidur Sebastian. Aku bisa merasakan wajahku memerah karena malu. Itu benar-benar memalukan dan menjijikkan. Sebastian sudah mendapatkan keuntungan dariku hanya karena niatanku untuk membalas dendam padanya. Hidupku benar-benar sudah berubah menjadi sangat memalukan dan menyedihkan!
Aku menarik sprei itu dan menyembunyikannya di kolong tempat tidur. Aku tidak mau siapa pun melihat benda memalukan itu. Tidak Sebastian, tidak Martha atau siapa pun!
*** Tak lama, setelah aku kembali dari kamar mandi, tiba-tiba saja ada suara ketukan di pintu. Itu pasti salah satu pelayan karena Sebastian tidak mungkin mengetuk pintu sebelum masuk ke kamarnya sendiri.
"Ya, masuk." Pintu terbuka dan aku melihat Martha datang membawa sebuah kain sprei baru di tangannya. Ia datang bersama dua orang pelayan wanita yang masih muda dan cantik. Dua pelayan muda itu membawa beberapa pakaian baru yang dijanjikan oleh Sebastian semalam.
"Selamat pagi, Nyonya. Bagaimana istirahat anda semalam?"
Sapa Martha dengan senyumannya yang sangat ramah. Entah mengapa aku selalu menyukai kehangatan wanita ini.
'Malam yang buruk, Martha. Tuanmu benar-benar sialan. Aku sangat membencinya!'
Ingin sekali aku berkata seperti itu pada Martha dan kedua pelayan wanita itu, tapi mereka tidak pantas terkena dampak dari kekesalanku pada tuan mereka itu, bukan?
"Baik, aku beristirahat dengan sangat baik semalam." jawabku singkat.
Kedua pelayan muda itu mulai menyusun pakaian- pakaian baruku di lemari gantung.
"Saya datang membawakan pakaian-pakaian yang dipesan oleh Tuan Sebastian. Mulai sekarang jangan ragu untuk meminta apapun yang anda butuhkan pada saya atau pelayan yang lain di sini. Kami akan dengan senang hati membantu."
"Ya, Martha. Terima kasih banyak."
Selesai menyusun pakaian-pakaianku, kedua pelayan muda itu mulai merapikan tempat tidurku. Seketika jantungku berdebar dan wajahku terasa panas karena malu. Untung saja aku sudah melepas sprei menjijikkan itu sebelum mereka datang, karena kalau tidak, itu pasti akan sangat memalukan.
"Dimana sprei kotornya, Nyonya?" tanya salah satu dari pelayan muda itu. Aku dengan cepat meraihnya dari kolong tempat tidur dan menyerahkan sprei itu di tangannya.
Walau aku tahu mereka akan tetap melihat noda terkutuk itu, tapi paling tidak mereka tidak harus melihatnya di hadapanku sekarang.
"Oh iya Nyonya, sarapan sudah siap di bawah. Sekarang Tuan Sebastian sedang lari pagi. Mungkin sebentar lagi beliau kembali." ucap Martha.
Aku tidak perduli. "Iya, terima kasih banyak untuk semuanya." jawabku dengan sebuah senyuman.
Tiba-tiba saja aku dikagetkan dengan seseorang yang membuka pintu kamar dan tampak Sebastian masuk dengan terburu-buru. Ia memakai celana training panjang dengan kaos putih ketat yang memperlihatkan otot perut dan dadanya. Wajahnya tampak berkeringat.
"Selamat pagi, Tuan Sebastian. Kami permisi keluar." ucap Martha.
"Terima kasih, Martha." jawab Sebastian dengan ramah.
Martha dan kedua gadis pelayan itu pergi keluar kamar. Meninggalkanku berdua dengan tuan mereka yang menyebalkan ini.
"Hei, kenapa belum bersiap-siap, Sayang?" tanya Sebastian lalu menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Ia tampak kelelahan.
Bersiap kemana? "Kemana?" tanyaku singkat. Aku duduk di depan meja rias. Memperhatikan Sebastian dari kaca cermin.
"Apa kau tidak tahu apa yang biasa dilakukan oleh pasangan pangantin baru? Tentu saja kita akan pergi berbulan madu. Ya, itu pun jika kau berpikir kalau pernikahan ini patut untuk dirayakan. Tapi, kalau tidak pun tidak apa-apa. Mungkin habis ini aku akan langsung bersiap-siap pergi ke kantor saja."
Bulan madu? Ya Tuhan, aku tidak bisa membayangkan jika harus menghabiskan waktu lebih lama lagi dengan lelaki ini. Apalagi dalam konteks berbulan madu.
Tapi, tunggu dulu. Ku rasa ada bagusnya juga. Seseorang seperti Sebastian Agustine pasti akan mengajak pasangannya pergi berbulan madu ke sebuah tempat indah dan romantis, bukan? Ke pulau tropis seperti Bora Bora misalnya, ke Maladewa atau Hawaii! Baru satu hari menjadi istrinya dan aku sudah merasa butuh liburan. Baiklah, paling tidak aku akan memanjakan diriku dulu sebelum aku menjalankan misiku untuk membalaskan dendam Seth pada Sebastian. Sepulangnya dari "bulan madu" itu, aku baru akan menjalankan semuanya.
Tiba-tiba aku teringat Seth, sejak seminggu sebelum pernikahanku sampai sekarang, ia belum pernah lagi menghubungiku. Aku benar-benar merindukannya.
"Baiklah, aku akan pergi berbulan madu denganmu, Sebastian."
Desperate Mrs Karya Agustine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebastian tampak puas dengan jawabanku. Aku dapat melihatnya dari cermin sedang tersenyum lalu ia berjalan mendekatiku. Ia mendekapku dari belakang.
"Kalau begitu bersiap-siaplah, Sayang." Sebastian tersenyum menatapku di cermin. Tiba-tiba ia berbisik,
"Oh iya, ngomong-ngomong aku tidak percaya kalau aku sudah menikahi seorang perawan."
Ucapannya membuatku terdiam. Kalimat itu benar-benar mengenai hatiku dan membuatku malu sekali. Tentu saja aku masih perawan karena pacarku Seth bukan orang brengsek seperti dirinya itu. Dasar Sebastian Agustine brengsek!
Ada sebuah senyuman menyebalkan tersungging di bibir Sebastian dan ia langsung saja berjalan ke arah kamar mandi. Benar-benar menyebalkan ARGHHH!!!
Sepeninggalnya aku langsung mengacungkan jari tengahku ke arah pintu kamar mandi sambil berbisik,
"Fuck you!" *** Beberapa menit kemudian Sebastian keluar. Ia tampak jauh lebih segar.
"Bersiap-siaplah, Sayang. Nanti kita kesiangan."
Tanpa menunggu lama lagi aku segera berlari ke arah kamar mandi. Aku takut suatu hal aneh terjadi lagi di antara kami berdua seperti semalam.
Di dalam kamar mandi, sambil menikmati air pancuran yang membasahi tubuhku, aku sudah bisa membayangkan betapa akan menyenangkannya liburan ini. Bermain pasir dan ombak di pantai. Berjemur dan membiarkan sinar matahari menyengat kulitku.
Tanpa sadar aku terkekeh sendiri. Oh, aku benar-benar tidak sabar untuk menikmati liburan ku ini.
"PASIR DAN OMBAK, AKU DATANG!!!"
*** BAB 9 Sekitar satu jam kemudian aku turun menyusul Sebastian untuk sarapan. Selesai sarapan, salah satu supir pribadinya datang dan menghampiri kami,
"Mobil sudah siap di depan, Tuan." ucap lelaki itu.
"Iya, John. Terima kasih." jawab Sebastian dengan sebuah senyuman di bibirnya.
Sejauh aku mengenal Sebastian, aku melihat lelaki ini tampak selalu bersikap ramah pada seluruh pegawai di rumahnya. Sebastian juga sepertinya memperlakukan mereka dengan baik dan menggaji mereka dengan pantas. Itu bisa dilihat dari wajah-wajah para pegawainya yang tampak selalu senang melayaninya.
Sebastian mungkin baik pada semua pegawainya tapi dalam urusan berbisnis, aku yakin ia pasti memiliki sifat dan naluri yang kejam seperti ayahnya.
*** Tanpa aku duga sebelumnya, ternyata Sebastian memilih sebuah mobil Jeep Offroad untuk dipakai hari ini. Kenapa Sebastian memilih sebuah mobil offroad untuk ke bandara? Tapi, siapa yang perduli? Yang penting sebentar lagi aku akan menikmati indahnya pemandangan laut dan pantai. Ah, aku sudah benar-benar tidak sabar ...
Sebastian memutuskan untuk mengendarai mobilnya sendiri. Sepanjang perjalanan kami hanya terdiam.
Perasaanku mulai tidak enak saat ia mengendarai mobilnya melewati perbatasan dan ia terus saja mengendarai mobilnya hingga ke luar kota.
"Kita mau kemana, Sebastian?"
Aku menatapnya dengan bingung. Sebastian hanya menjawab dengan sebuah senyuman. Wajahnya tampak sangat bahagia. Ia meraih tanganku dan mengecupnya.
"Nanti kau juga akan tahu, Anna. Tunggu saja."
Perjalanan itu memakan waktu berjam-jam hingga membuatku ketiduran. Tiba-tiba aku dibangunkan oleh perasaan pusing dan mual yang teramat sangat karena guncangan dari mobil itu.
Aku sepenuhnya tersadar dan menyadari kalau mobil ini sedang berjalan melewati medan yang sangat terjal. Jalanannya penuh lumpur dan berbatu. Tempat itu sangat sepi dan aku melihat banyak sekali pepohonan yang tinggi menjulang di kedua sisi jalanan.
"Ini di mana, Sebastian?" tanyaku semakin bingung. Ya Tuhan, aku ingin berlibur ke daerah tropis tapi kenapa ia membawaku ke tempat seperti ini.
"Sebentar lagi kita akan sampai, Anna. Jangan khawatir. Nanti kau akan segera tahu."
Kira-kira setengah jam kemudian, setelah melewati medan terjal, penuh lumpur dan berbatu itu, akhirnya kami sampai di sebuah pondok. Pondok itu terletak tepat di tengah hutan. Tidak tampak ada pondok lain yang dibangun di daerah sini. Hanya pepohonan tinggi yang nampak di daerah sekitar.
Jangan tanya seberapa besar kekecewaanku sekarang. Tidak ada yang bisa menggambarkan betapa aku kecewa dengan tempat yang dipilih Sebastian untuk tempat bulan madu kami. Aku berharap ia akan membawaku ke luar negeri, ke sebuah pantai. Menikmati indahnya lautan. Tapi sekarang apa? Ia membawaku ke tempat terpencil yang ku rasa bahkan tidak terdaftar dalam peta. Tempat ini masih begitu alami, jalanannya terjal dan berbatu dan ku rasa curah hujan di sini cukup tinggi. Itu bisa dilihat dari jalanan yang tampak becek dan udara yang selalu berkabut.
Aku turun dari Jeep Sebastian dengan kepala pusing dan perut mual. Tapi, aku tidak bisa memuntahkan isi perutku.
Aku melihat Sebastian berlari kecil menaiki tangga rumah pondok itu. Ia tampak begitu senang.
"Selamat datang di pondok keluarga Agustine, Anna."
Sebastian tersenyum ke arahku. Ia sepertinya tahu bahwa perjalanan tadi benar-benar membuatku tersiksa. Ia berjalan ke arahku dan tiba-tiba saja menarik tanganku. Ia membawaku masuk ke dalam dan mengajakku berkeliling pondok sederhana itu.
*** Pondok itu adalah sebuah bangunan yang terbuat dari kayu. Modelnya sangat sederhana untuk dikatakan sebagai pondok keluarga Agustine. Lantainya terbuat dari kayu dan akan terdengar bunyi berderit saat diinjak. Dindingnya juga terbuat dari kayu dengan jendela-jendela kecil yang begitu sederhana.
"Ini adalah ruang tamu kita, Anna." ucap Sebastian. Ia masih menggandeng tanganku. Entah mengapa wajahnya tampak sangat senang hari ini.
Di ruang tamu itu hanya ada sebuah kursi kayu panjang dan sebuah meja. Ada sebuah tv kuno yang tampaknya hanya berperan sebagai hiasan di sana.
Sebastian berjalan ke arah salah satu ruangan. Jujur, kepalaku malah terasa semakin pusing sekarang.
"Lepaskan aku."
Aku mencoba melepas genggaman Sebastian dari tanganku. Kepalaku pusing dan perutku mual sekali.
"Lihat, ini adalah kamar tidur utama. Ada sebuah kamar lagi di sebelah sana, tapi aku biasa tidur di kamar ini setiap kali berkunjung ke sini."
Kamar itu jauh dari kata mewah. Di dalamnya hanya ada sebuah ranjang yang terbuat dari besi. Ku rasa akan sedikit terasa sempit jika ada dua orang yang tidur di atasnya. Ada sebuah jendela yang menghadap langsung ke semak belukar di belakang sana. Dan, yang paling membuatku takut adalah, ada sebuah hiasan yang sangat besar berupa kulit harimau yang tergantung di dinding. Tepat di depan ranjang.
Aku baru sadar kalau Sebastian sudah kembali ke ruang tamu. Aku menyusulnya duduk.
"Kau tahu, Anna. Ini adalah pondok peninggalan kakekku. Dulu sewaktu kakek dan ayahku masih hidup, kami sering sekali menghabiskan waktu di sini. Berburu, memancing. Tidak jauh dari sini ada sebuah danau yang cukup besar. Mungkin besok kalau cuacanya bagus, aku akan mengajakmu ke sana."
Aku terdiam memandangi Sebastian yang tampak sangat antusias menceritakan tentang tempat itu. Ia tidak tahu kalau dalam hati aku sama sekali tidak perduli. Aku menginginkan pantai dan ia malah membawaku ke hutan terpencil seperti ini. Kalau pun ia tidak mau membawaku ke luar negeri, paling tidak ia bisa membawaku ke mall untuk berbelanja, kan? Aku benar-benar menyesal sudah berharap banyak pada lelaki ini. Pengharapan memang terkadang hanya akan berujung pada kekecewaan.
"Ayahku tidak ingin kalau aku merubah struktur awal bangunan ini, Anna. Makanya aku membiarkannya apa adanya seperti ini."
Sebastian nampaknya tahu kalau aku tidak begitu tertarik dengan ceritanya. Ia mengangkat sebelah alisnya padaku dan tersenyum nakal. Ia meraih tanganku dan membimbingku agar aku duduk di pangkuannya.
"Kau tahu, Anna. Aku sangat menyukai tempat ini. Hanya di sini aku merasa bisa menyatu dengan alam dan sekejap melupakan urusan-urusanku di kantor. Aku sudah berjanji jika aku sudah menikah, aku akan membawa istriku kemari. Ku harap kau akan menyukai tempat ini, Anna."
Kepalaku sangat pusing dan entah mengapa tiba-tiba saja aku menjatuhkan kepalaku di pundak Sebastian. Aku sedang malas berdebat dengannya. Aku ingin beristirahat. Perjalanan tadi benar-benar membuatku pusing.
Sebastian menarik nafas dan bangkit dari kursi. Ia membopongku ke kamar utama dan membaringkan tubuhku di ranjang besi itu.
"Sekarang kau istirahat dulu. Nanti kalau kau sudah merasa lebih baik aku akan mengajakmu berkeliling. Bagaimana?"
Aku mengangguk. Sebastian tersenyum, menyelimutiku lalu mengecup keningku. Aku tidak tahu kalau lelaki menyebalkan seperti dia bisa bersikap manis juga. Sepertinya sikapnya itu bergantung pada keadaan suasana hatinya.
Tapi, aku tidak boleh lupa kalau dalam darah Sebastian mengalir darah seorang iblis bernama Fabio Agustine. Lelaki berhati kejam yang sudah menghancurkan keluarga Seth, lelaki yang paling ku cintai di dunia. Dan, sepulangnya dari sini, aku akan memulai semuanya ...
*** Aku terbangun karena terkejut mendengar suara hujan yang begitu deras di luar. Angin berhembus dengan sangat kencang menerpa apa saja yang dilewatinya. Sambaran kilat dan gemuruh petir bersautan membuat suasana malam di hutan yang gelap itu semakin mencekam.
Aku mencoba untuk bangkit dan duduk di tepian tempat tidur dan baru menyadari bahwa Sebastian sedang terlelap di sampingku. Tubuhku terasa sangat sakit dan kepalaku masih terasa pusing. Tempat tidur ini begitu sempit hingga membuatku kesulitan untuk bergerak. Aku sudah tertidur cukup lama sejak kami baru pertama kali datang tadi dan saat aku mengecek ponselku, sekarang sudah pukul dua pagi.
Aku mencoba untuk berpindah ke ruang tamu dan duduk di bangku kayu panjang itu. Perapiannya menyala, aku yakin pasti Sebastian yang menyalakannya sebelum ia menyusulku tidur tadi. Aku memandangi perapian itu dan terdiam. Di luar hujan masih turun dengan sangat deras. Dan, kilatan cahaya serta petir itu benar-benar membuatku takut. Aku selalu takut saat badai seperti ini.
Aku selalu membayangkan kalau Tuhan sedang murka, lalu dengan kekuatan besarnya Tuhan akan menurunkan hukuman atas dosa-dosaku selama ini lewat petir dan menyambar tubuhku hingga hangus terbakar.
Aku menarik nafas. Tempat macam apa yang Sebastian pilih untukku ini. Kalau saja ia membawaku ke pantai, hal ini tidak perlu aku alami. Aku benar-benar tidak suka tempat ini. Tidak suka!
Tiba-tiba aku teringat Seth. Ya Tuhan, aku benar-benar merindukan lelaki itu sekarang. Sudah hampir dua minggu ia tidak menghubungiku. Dan, setiap aku merindukannya, aku hanya bisa diam-diam menyaksikan video-nya bersama band-nya di Youtube. Ya, tanpa sepengetahuan Sebastian tentunya. Lelaki itu pasti akan membunuhku jika ia tahu.
Aku rindu saat aku masih bersama Seth. Saat kami bersenang-senang selepas ia manggung bersama teman-temannya. Memakan spaghetti dari mangkuk yang sama sambil menikmati bir sampai perut kami terasa mual. Berlarian di pantai dengan bertelanjang kaki. Memakai jeans sobek dan kemeja yang kebesaran di tubuhku. Mendengarkan musik gratis di toko kaset dan bernyanyi dengan suara cempreng dan keras sampai diusir keluar oleh si penjaga toko.
Ah, aku rindu masa-masa itu. Masa-masa di mana aku masih bersama orang yang ku cintai dan menjadi diriku apa adanya ...
Tapi, sekarang di sinilah aku. Duduk seorang diri di depan perapian di sebuah pondok tua. Mengenang masa-masa indah dalam hidupku bersama orang yang paling ku cintai tapi tiba-tiba kebahagiaan itu harus hilang begitu saja.
Aku tersadar dari lamunanku dan meraih ponselku. Aku berniat menelepon Seth, ia pasti belum tidur sekarang. Seth biasa terjaga sepanjang malam bersama teman-temannya. Aku menarik nafas, panggilanku tidak tersambung. Saat aku melihat layar ponselku, tidak ada sinyal sama sekali di sini. Sial!
Aku mencoba menyalakan tv tua yang ada di meja kecil di hadapanku tapi setelah aku mencoba menekan-nekan tombolnya, tv itu tidak menyala juga. Ya Tuhan, tempat ini benar-benar terkutuk!
*** Keesokan paginya, Sebastian mengajakku berjalan-jalan mengelilingi jalan setapak. Udara pagi ini cukup dingin, bahkan hampir membekukan akibat dari hujan lebat semalam. Oksigen di sekitar sini terasa tipis karena udara yang berkabut. Sepanjang perjalanan aku mendengar suara dari beraneka ragam serangga dan burung-burung yang bernyanyi. Di beberapa bagian, tampak air yang mengalir di sungai-sungai kecil yang jernih.
Sebastian terus berjalan di depanku. Ia benar-benar tampak menikmati petualangannya di daerah terpencil ini. Aku merasa kalau hanya ada kami berdua di sekitar hutan ini karena sejak kemarin aku belum pernah melihat orang lain lagi selain Sebastian.
Mungkin alam dapat merasakan aura kekesalan yang ada di dalam pikiranku sejak kemarin, sehingga tiba-tiba saja tanah yang ku injak menjadi begitu licin dan aku jatuh dengan posisi terduduk. Kakiku rasanya sakit sekali.
Aku meringis kesakitan. Dan, saat aku mau memeriksa kakiku, ternyata tangan sebelah kananku mengenai kotoran hewan saat terjatuh tadi. Benar-benar menjijikkan!
Seluruh alam semesta menertawakanku ...
"Sebastiaannnnnn!!!"
Aku berteriak pada Sebastian yang masih belum sadar kalau aku terjatuh. Ia terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Sebastian berbalik dan saat melihatku kesakitan ia segera berlari ke arahku.
"Anna, kau tidak apa-apa?" Sebastian memeriksa kakiku.
"Tidak apa-apa bagaimana? Kau tidak lihat, kakiku sakit dan tanganku ini ..."
Aku mengibas-ngibaskan tanganku yang terkena kotoran hewan menjijikkan itu. Sebastian tampak menahan tawa di bibirnya sambil memeriksa kakiku.
Entah apa yang ia lakukan pada kakiku, rasanya sakit sekali.
"Pelan-pelan! Sakit!"
Aku memekik kesakitan. Tidak bisakah ia bersikap sedikit lembut padaku? Kakiku benar-benar terasa sakit.
"Kakimu terkilir, Anna. Aku akan membawamu kembali ke pondok."
Apa?! Kakiku terkilir? Luar biasa! Kupikir "bulan madu" ini tidak bisa menjadi lebih buruk lagi.
Sebastian mulai mengangkat tubuhku dan membopongku kembali ke pondok.
*** Semenjak tragedi "kotoran hewan" yang menyebabkan kakiku terkilir pagi itu, aku jadi lebih banyak menghabiskan waktu di pondok sepi ini. Sementara Sebastian asyik berburu dan memancing. Hampir setiap hari ia membawa hewan buruan berbeda dan membawa ikan-ikan hasil pancingannya, meninggalkan aku sendirian di sini.
Suatu siang, di hari keempat kami di pondok itu, aku melihat Sebastian baru saja kembali dari danau. Ia membawa beberapa ikan besar dan wajahnya tampak bahagia. Dengan kakiku yang masih terasa sakit, aku berjalan menghampirinya. Ia tampak senang melihatku,
"Sebastian?!" ucapku dengan nada keras. Aku sudah benar-benar tidak tahan lagi.
"Hei Anna, lihat! Ini hasil pancinganku hari ini."
Aku sudah benar-benar tidak tahan berada di sini. Sambil menatapnya tajam aku berkata,
"Sebastian, aku mau pulang. SEKARANG JUGA!!!"
*** BAB 10 Beberapa hari setelah kembali dari "bulan madu" menyedihkan itu, kehidupanku dan Sebastian kembali berjalan normal. Kakiku sudah sepenuhnya sembuh setelah mendapat perawatan intensif dari dokter keluarga dan Sebastian kembali menjalani kegiatan sehari-harinya, bekerja di kantor sebagai pimpinan OneComp.
Aku sudah berjanji pada diriku sendiri kalau sepulangnya dari perjalanan itu, aku akan memulai misiku untuk membantu Seth membalaskan dendamnya pada Sebastian. Tapi permasalahannya, Seth belum juga menghubungiku sampai saat ini. Aku sama sekali tidak tahu di mana keberadaannya sekarang dan bagaimana keadaannya.
Siang ini aku memutuskan untuk keluar rumah. Aku pergi ke salah satu pusat perbelanjaan untuk menghilangkan rasa jenuhku. Menjadi seorang Nyonya Agustine tidak seperti yang kebanyakan wanita-wanita iri di luar sana pikirkan. Aku tidak selalu merasa bahagia.
Maksudku, saat kita menikah dengan orang yang paling kita cintai saja, terkadang akan ada saatnya mereka menjadi sangat menyebalkan. Lalu bagaimana denganku? Aku menikahi Sebastian hanya karena suatu hal dan sejak awal lelaki itu sudah cacat di mataku akibat ulah ayahnya di masa lalu. Jadi, apapun yang Sebastian lakukan, sebaik apapun dia, tetap saja tidak bisa merubah pola pikirku terhadapnya.
*** Selepas berkeliling dan membeli beberapa keperluan, aku duduk di sebuah kafe. Aku baru saja membeli dua buah majalah. Satu majalah Rolling Stones dan satu lagi majalah Forbes. Seperti yang pernah Andrew katakan padaku, mungkin inilah saat yang tepat untukku mulai membiasakan diri hidup di dua dunia yang berbeda.
Pertama aku mencoba membuka majalah Forbes, tapi setelah aku membolak-balik beberapa halaman, aku langsung menutupnya kembali dan mendorongnya jauh-jauh dari hadapanku. Tidak ada yang menarik perhatianku sama sekali di sana. Lagipula, tidak ada artikel yang membahas masalah Sebastian atau pun perusahaannya kali ini. Aku hanya akan membaca Forbes jika wajah Sebastian dipajang menjadi tokoh utama di sampulnya nanti.
Aku beralih pada majalah Rolling Stones yang baru aku beli. Saat pertama kali membukanya, aku langsung membolak-balik halamannya dan ya! Tuhan memang baik, aku mendapatkan apa yang ku cari selama ini.
Di majalah RS edisi kali ini memuat profil tentang beberapa band indie yang single nya sedang merajai puncak tangga lagu. Dan, salah satunya adalah King Of Midnight, band Seth dan teman-temannya. Di sana tertulis kalau single mereka yang berjudul Hey There Alabama sudah merajai puncak tangga lagu selama empat minggu berturut-turut dan sekarang mereka sedang menjalani tur ke beberapa kota untuk mempromosikan album baru mereka.
Tanpa sadar air mata sudah menggenang di pelupuk mataku. Aku merasa terharu mengetahui keberhasilan Seth dan teman-teman band nya. Aku mengenal mereka semua. Ronnie, Jack, Aaron dan Mike adalah cowok-cowok yang baik dan asyik. Dulu saat masih bersama, Seth selalu berjanji padaku kalau ia akan membawaku kemana pun ia pergi jika band nya mengadakan tur. Tapi sekarang, semua itu mustahil akan menjadi kenyataan ...
Aku meraih ponselku untuk menghubungi Seth, tapi tidak ada jawaban. Mungkin ia sekarang sedang sibuk bersama teman-temannya. Akhirnya aku memutuskan untuk menulis pesan singkat padanya. Aku berpesan agar ia meneleponku nanti jika ia ada waktu.
Aku meletakkan kembali ponselku dan menarik nafas. Aku membayangkan andai aku ada bersama mereka semua sekarang, pasti akan sangat menyenangkan.
Tiba-tiba aku merasa seperti ada orang yang sedang memandangiku. Aku bisa merasakannya dan melihatnya dari sudut mataku.
Saat aku menoleh dengan cepat, aku melihat lelaki yang sama dengan yang pernah ku temui bersama Ashley di kedai kopi waktu itu. Lelaki yang sama yang membuat Ashley begitu mengkhawatirkanku. Lelaki itu tampak sedang menatapku tanpa berkedip sedikit pun dan itu benar-benar membuatku takut. Dasar psikopat sialan!
Aku segera merapikan barang-barangku dan bergegas pergi dari tempat itu. Tapi, sebelum pergi aku membuang majalah-majalah yang baru saja ku beli tadi ke tempat sampah. Aku tidak mau Sebastian melihatku membeli majalah-majalah itu.
Aku berjalan dengan sedikit berlari ke arah lift. Tapi saat aku menoleh ke belakang, lelaki itu sudah tidak ada di tempatnya tadi.
*** Aku masuk ke dalam rumah dengan terburu-buru. Salah satu pelayan wanita yang bernama Lita seperti keheranan melihatku.
"Apa ada sesuatu, Nyonya?" tanya Lita. Aku berusaha bersikap tenang agar tidak ada lagi pertanyaan.
"Tidak ada apa-apa. Tolong ambilkan aku segelas air, Lita. Terima kasih."
Tadi di sana, saat mengetahui kalau lelaki aneh itu tiba-tiba menghilang, di lift aku langsung menelepon John dan memintanya menjemputku di depan lobby. Saat melihat John, aku langsung berjalan terburu-buru ke arahnya dan meminta John untuk menjalankan mobil. Aku berusaha bersikap biasa karena aku tidak mau John akan mencurigaiku dan menceritakan semuanya pada Sebastian.
Semua pelayan di rumah ini adalah mata ketiga untuk Sebastian. Aku tahu itu. John dan Lita adalah salah satu dari mereka.
Lita kembali dan meletakkan gelas minumanku di meja.
"Tuan Sebastian sudah sampai lebih awal, Nyonya. Beliau sedang beristirahat di kamar." ucap Lita dengan sopan.
Sebastian sudah sampai lebih dulu? Oh, great!
"Baiklah, Lita. Nanti aku akan menyusul. Terima kasih."
"Permisi, Nyonya."
Lita pergi meninggalkanku. Belum sempat aku mencicipi minumanku, tiba-tiba saja ponselku berdering. Saat aku memeriksanya ternyata ...
SETH?! Kenapa ia harus meneleponku sekarang? Di saat Sebastian sudah berada di rumah. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Di mana aku harus mengangkat panggilan dari Seth?
Aku memasuki kamar mandi yang berada di lantai bawah. Kamar mandi itu berada jauh dari ruang dapur jadi mungkin saja di sana akan aman karena para pelayan tidak akan mendengar pembicaraanku nanti.
Saat aku masuk ke dalam, panggilan dari Seth sudah mati dan aku segera meneleponnya balik. Secepat kilat Seth mengangkat panggilanku,
"Halo Anna, Sayang. Kau masih ingat aku?" sapa Seth pertama kali dengan nada suaranya yang sangat ceria.
Apa yang ia katakan? Bagaimana bisa aku melupakannya. Aku tidak pernah bisa tidur tenang setiap malam karena selalu memikirkan lelaki ini.
"Iya Seth, aku masih mengingatmu." jawabku sambil berbisik. Aku tahu kamar mandi ini kedap suara tapi tetap saja aku merasa takut kalau akan ada seseorang yang mendengarku. Apalagi kalau itu adalah Sebastian.
"Bagaimana rasanya menjadi Nyonya Agustine, Anna? Apa menyenangkan?"
Pertanyaan Seth membuat tenggorokanku terasa sakit. Aku merasa ingin menangis sekarang. Sejak dulu, Seth selalu menggodaku dengan sebutan Mrs Logan karena kami berdua selalu berpikir kalau nantinya kami akan berakhir dengan sebuah pernikahan dan aku akan menjadi istri dari seorang Seth Logan. Tapi, kenyataanya aku sekarang sudah menikah dan memakai nama belakang orang lain di belakang namaku.
"Jangan menggodaku terus Seth."
Terdengar suara tawa Seth di seberang sana.
"Baiklah, Anna. Aku minta maaf. Oh iya, kau masih berniat membantuku, kan? Kau masih ingat pembicaraan kita waktu itu? Tentang Sebastian Agustine."
"Ya Seth. Kau tahu aku selalu menunggu telepon balasan darimu."
"Maafkan aku, Anna. Aku hanya sedikit sibuk belakangan ini." Seth terdengar menyesal.
"Ya, aku tahu."
Tanpa terasa aku tersenyum. Seakan Seth bisa melihat senyumanku sekarang.
"Aku masih siap membantumu, Seth. Tapi, aku hanya tidak tahu dari mana harus memulai semuanya."
"Mulailah dari yang paling mudah dan bisa kau kerjakan sendiri, Anna. Kau mengerti maksudku? Aku tahu kau bisa melakukannya. Untuk langkah selanjutnya, biar aku yang tangani sendiri."
Aku terdiam mendengar ucapan Seth.
"Baiklah, Anna. Aku harus pergi sekarang. Mike memanggilku. Aku akan tinggalkan pesan singkat di ponselmu nanti. Aku mencintaimu, Anna. Bye!"
Seth menutup teleponnya. Aku masih berdiri mematung dengan ponsel yang masih berada di telingaku,
"Bye Seth, aku juga mencintaimu."
*** Aku membuka pintu kamar perlahan. Entah mengapa jantungku berdebar dengan sangat cepat kali ini. Ini pasti dampak dari rasa bersalahku karena baru saja menerima telepon dari Seth tadi dan sekarang aku sudah harus bertemu dengan si Tuan Besar.
Saat aku memasuki kamar perlahan, ku lihat tidak ada siapa-siapa di dalam. Tempat tidur kosong dan sepertinya juga tidak ada orang di kamar mandi. Rasa takut membuatku jadi berpikiran aneh-aneh, jangan-jangan Sebastian tadi ...
. . . . . "HAI, SAYANG!!!"
Aku berteriak sangat keras saat merasakan Sebastian tiba-tiba mendekapku dari belakang. Jantungku seperti melompat keluar dari dadaku. Kakiku benar-benar lemas, gabungan dari perasaan kaget dan lega.
Sebastian tersenyum melihat reaksiku. Ia terus mendekapku dengan erat. Ku rasa saat ini ia bisa merasakan gemuruh detak jantungku yang berdetak begitu cepat.
"Istriku ini kaget, ya?" Sebastian mencium pipiku dari belakang. Ia membalik tubuhku agar menghadap ke arahnya. Ia sedang tersenyum ke arahku, wajahnya sangat tampan.
"Dari mana saja kau, Anna? Kau membuatku menunggu begitu lama." Sebastian mengecup bibirku. Aku tahu, jika sikapnya seperti ini pasti sedang ada sesuatu hal yang diinginkannya dariku.
"Aku tadi dari mall. Ya, membeli beberapa barang. John yang mengantarku tadi." aku sangat bangga pada diriku sendiri karena bisa menjawab pertanyaannya dengan lancar.
"Lalu apa yang kau beli untukku, huh?!" Sebastian berbisik. Pandangannya tidak pernah bisa lepas dari mata dan bibirku. Seperti siap memakanku hidup-hidup.
"Aku membelikanmu ..."
"Shh, itu tidak penting. Oh iya, aku punya sesuatu untukku, Sayang. Kau mau tahu?" Sebastian menatapku dengan sebuah seringaian di bibirnya, menunggu jawaban. Tapi, sebelum aku menjawab ia sudah berjalan ke arah meja dan mengambil sesuatu untukku.
Sebuah kotak kalung. Saat Sebastian membukanya di hadapanku, tidak ada kata yang bisa aku ucapkan untuk menggambarkannya ...
Kalung itu sangat indah, ia memiliki bentuk berlian seperti buah pir dengan kalung rantai yang sederhana, keseluruhannya terbuat dari emas putih murni.
Sebastian mengangkat kalung itu dari tempatnya dan mencoba memakaikannya di leherku. Setelah selesai, ia tampak tersenyum puas.
"Sudah ku duga, ini cocok sekali untukmu, Sayang."
Sebastian membimbingku menuju meja rias untuk melihatnya sendiri di cermin. Ya Tuhan, kalung itu benar-benar indah ...
"52 berlian bulat dengan total berat 104,84 karat. Kau suka, Anna?" bisik Sebastian. Aku mengangguk dan tersenyum, melihat benda cantik itu kini sedang melingkar di leherku.
"Ini sebagai ungkapan permintaan maafku untuk bulan madu kita yang menyebalkan kemarin. Dan, aku berharap kalau setelah ini kau juga mempunyai sesuatu yang spesial untukku."
Sebastian menatapku lewat cermin. Ia menarik sleting dress-ku yang ada di belakang dengan perlahan dan mulai menciumi punggungku sambil memejamkan matanya. Seketika jantungku berdebar-debar lagi dibuatnya.
Oh ya Tuhan, aku benar-benar tidak bisa melepaskan diri dari lelaki ini. Ia begitu sempurna dan luar biasa ...
*** "Sayang, sehabis ini susul aku di ruang kerjaku. Aku ingin mempelajari beberapa berkas untuk rapat besok dengan salah satu klien penting dari Swiss. Aku ingin kau menemaniku di sana." ucap Sebastian sambil mengenakan piyama sutra berwarna hitam miliknya. Seperti mendapat sengatan dalam otakku, aku baru ingat kalau mungkin inilah saat yang tepat untukku memulai segalanya ...
Awalnya aku tidak tahu harus memulai semuanya dari mana tapi mendengar kata "rapat" dan "klien penting" aku seperti mendapat ide brillian di otakku seketika.
Beberapa menit setelah kepergian Sebastian aku bersiap-siap menyusulnya ke ruang perpustakaan yang juga merupakan ruang kerjanya, tapi sebelum ke sana, aku mampir sebentar ke ruang dapur.
Di sana aku melihat Lita sedang membuatkan minuman. Aku yakin sekali itu untuk Sebastian.
"Nyonya Anna, ada yang bisa saya bantu?" Lita tampak kaget melihatku. Ia mungkin sedikit merasa bersalah karena aku harus pergi sendiri ke dapur untuk mengambil sesuatu.
"Ya, Lita. Tolong ambilkan aku sebuah cangkir. Aku ingin membuat kopi."
"Biar saya yang buatkan, Nyonya. Kebetulan saya juga sedang membuatkan minuman untuk Tuan Sebastian. Biar nanti sekalian saya antar."
"Tidak perlu, Lita. Aku lebih senang meracik kopi sendiri."
Aku memberikan senyum termanisku pada Lita dan ia tampak tidak curiga sama sekali.
Lita beranjak untuk mengambilkanku sebuah cangkir.
"Ini, Nyonya." "Terima kasih."
Aku mulai mencoba meracik kopiku sendiri.
"Lain kali jika anda butuh sesuatu, jangan sungkan untuk mengatakannya pada saya atau yang lain, Nyonya Anna. Saya merasa tidak enak seperti ini. Kalau Martha tahu, kami semua pasti akan terkena teguran. Apalagi kalau sampai Tuan Sebastian yang tahu."
Lita tampak takut-takut. "Ya Lita, aku minta maaf. Ini tidak akan terulang lagi. Aku tidak akan membuatmu mendapatkan masalah dalam pekerjaanmu."
Kami berdua tersenyum. Aku mulai mencicipi kopi racikanku sendiri.
"Apa kau menyukai pekerjaanmu di sini, Lita?"
"Ya, Nyonya. Semua orang di sini sangat baik. Tuan Sebastian juga sangat baik."
"Apa ia pernah marah besar?"
"Pernah. Tapi, itu hanya kalau kami bekerja dengan tidak benar. Selebihnya beliau adalah orang yang sangat baik pada semua pegawainya. Oh iya, Nyonya, saya harus mengantarkan minuman ini ke ruang kerja Tuan Sebastian sebelum dingin. Permisi."
Aku memperhatikan Lita berjalan ke luar ruang dapur. Aku sengaja menunggu beberapa menit lagi sampai aku yakin bahwa Lita sudah memberikan minuman itu pada Sebastian.
*** Saat aku masuk ke dalam ruang kerja Sebastian, ia tampak sedang sibuk menuliskan sesuatu di secarik kertas. Minuman yang dibuat Lita tadi sudah berada di sebelah kirinya.
"Ku pikir kau ketiduran, Sayang."
Sapa Sebastian tanpa melihat ke arahku. Ia masih tampak sibuk menulis. Aku berjalan menghampirinya dan berpura-pura tertarik dengan pekerjaannya.
Entah mengapa hatiku merasa sangat senang dan tidak sabar saat ini karena sebentar lagi misiku yang pertama akan segera terlaksana.
"Apa yang harus aku lakukan di sini untuk menemanimu, Sebastian?" tanyaku sambil berdiri di sampingnya. Aku berusaha menahan perasaan senangku yang sepertinya akan meledak dari dalam diriku. Akhirnya setelah sekian lama, aku bisa membantu Seth untuk memberi sedikit pelajaran pada anak lelaki Fabio Agustine ini.
"Kau cukup duduk di sofa sana dan lakukan apapun yang kau mau asal jangan menganggu konsentrasiku. Kau tahu, besok aku akan mengadakan pertemuan penting untuk proyek bernilai jutaan dolar, Anna."
Jutaan dollar? Luar biasa.
"Kalau kau tidak mau terganggu kenapa memintaku kemari?"
Sebastian meletakkan pulpennya dan menatapku. Ia menarik pinggulku dan merapatkan perutku di dadanya.
"Kau tidak mau menemaniku, huh?" tanyanya dengan nada gemas, "sudah sana duduk dengan manis."
Sebastian mendorong tubuhku dan tiba-tiba saja ia menampar bokongku dengan keras dari belakang. Setelah itu terdengar ia tertawa puas. Benar-benar tidak sopan!
*** Sudah sekitar setengah jam aku menemaninya di ruangan sunyi ini. Sejak pertama kali aku ke sini, aku selalu merasa mengantuk berada di sini dan begitu pula saat ini.
Sejak tadi tak ada banyak hal yang bisa ku lakukan selain membolak-balik majalah bisnis di hadapanku ini. Dan, sejak tadi juga Sebastian belum tampak menyentuh minumannya sama sekali. Aku sudah tidak sabar.
Beberapa menit kemudian, pemandangan yang ku tunggu akhirnya datang juga. Jantungku tiba-tiba berdetak dua kali lebih cepat. Aku benar-benar tidak percaya kalau aku sudah melakukannya.
Masih sambil berkonsentrasi dengan kertas di hadapannya, Sebastian mengambil cangkir minuman itu dan meminumnya perlahan. Hatiku bersorak gembira ...
Ayo, Agustine kecil ... Ayolah, habiskan minuman itu. Habiskan semuanya sampai tetes terakhir. Minuman itu akan mengantarkanmu pada kejutan kecil yang dibawa oleh ayahmu yang jahat itu dari masa lalu ...
*** BAB 11 Keesokan harinya aku memutuskan untuk menjadi anak baik dengan tetap tinggal di rumah. Aku benar-benar tidak sabar mendengar kabar terbaru tentang Sebastian di kantornya. Terlebih tentang pertemuan penting hari ini bersama kliennya.
Aku duduk di halaman belakang. Menikmati sinar matahari ditemani oleh segelas jus jeruk segar buatan Martha. Aku tersenyum sendiri membayangkan apa yang ku lakukan semalam pada minuman Sebastian.
Semalam, saat Lita mengambil cangkir untukku, aku memasukkan obat pencuci perut dosis tinggi di minuman Sebastian. Obat itu ku perkirakan baru akan bekerja dua belas jam setelah di minum. Tepat saat Sebastian berada di kantor.
Aku tidak bisa membayangkan kalau ia akan merasakan sensasi luar biasa di perutnya itu dan harus bolak-balik ke kamar mandi. Konsentrasinya pasti akan pecah dan hal itu juga pasti akan mempengaruhi jalannya pertemuan penting hari ini.
Apakah aku jahat? Well, ini barulah permulaan. Apa yang akan aku lakukan ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang telah ayah Sebastian lakukan di masa lalu pada keluarga Seth-ku.
Oh iya, ngomong-ngomong masalah Seth, aku sudah memberi tahunya tentang langkah awal yang aku ambil dan Seth bilang ia sangat bangga padaku. Tidak ada yang lebih membahagiakan dalam hidupku kecuali mengetahui bahwa Seth merasa bahagia dan bangga padaku seperti sekarang ini.
*** Sekitar pukul lima sore, saat aku sedang berdiri menikmati matahari sore di balkon kamar, aku melihat sebuah mobil sedan Marcedes berwarna putih memasuki pintu gerbang. Sebastian telah kembali dari kantor.
Aku masih berdiri di sana, untuk memperhatikan sedikit lebih lama lagi. Supir pribadinya keluar dan membukakan pintu untuk Sebastian dan tak lama ia keluar dengan raut wajah yang mengeras. Tidak ada senyuman sama sekali di bibirnya. Kedua mata abu-abunya itu tampak tajam dan waspada.
Sesuatu yang salah telah terjadi di kantor tadi.
Aku langsung bersiap menyusulnya ke bawah. Dan, saat aku sudah berada di tangga, aku melihat para pelayan sudah berbaris di hadapan Sebastian yang sedang duduk di sebuah sofa besar.
"Nyonya Anna ada di atas, Tuan. Mau saya panggilkan?" ucap Martha. Wajah Sebastian masih tampak mengeras sambil mencoba mengendurkan dasi dari lehernya.
Jantungku tiba-tiba berdetak dengan cepat. Kenapa Sebastian langsung menanyakanku? Apa ia tahu siapa yang melakukan semuanya tadi malam?
Aku masih berjalan pelan-pelan menuruni tangga, tidak ada seorang pun yang melihatku. Semuanya sedang sibuk dengan pikiran masing-masing karena mereka tahu bahwa tuan mereka sebentar lagi akan memuntahkan laharnya.
"Tidak perlu, Martha." jawab Sebastian dengan nada datar. Tapi, tetap ada sesuatu yang menakutkan dalam suaranya.
"Aku hanya ingin bertanya pada kalian semua, siapa di sini yang bertanggung jawab atas minuman yang diberikan padaku tadi malam saat aku berada di ruang kerjaku?"
Mata Sebastian menatap mereka satu-satu. Tubuhnya tidak bergerak sama sekali tapi tatapan matanya yang tajam seperti sedang menusuk jantung para pelayan itu satu per satu.
Akhirnya aku sampai di bawah, bergabung dengan mereka semua. Aku sudah tahu kemana arah pembicaraan itu. Aku langsung saja duduk tanpa mengatakan sepatah katapun. Aura di ruangan itu begitu tegang, aku tidak mau membuat semuanya semakin memburuk yang malah akan menyeret diriku sendiri nantinya.
"Ss ... Sa ... Saya yang bertanggung jawab, Tuan."
Lita membuka mulutnya dengan gugup. Aku yakin sekali kalau semua pelayan yang lain sedang menarik nafas lega di dalam hati mereka.
"Minuman apa yang kau berikan padaku semalam?"
Sebastian belum menaikkan nada suaranya tapi tetap mengandung sebuah ancaman. Aku melihat Lita sedang menundukkan wajahnya, kalau begini aku jadi kasihan juga melihatnya.
Ramalan Prophecy 2 Siluman Ular Putih 16 Pasukan Kumbang Neraka Bourne Supremacy 11