Kemenangan Manis 1

Merival Mall 10 Kemenangan Manis Bagian 1


Satu "Seribu dollar?" senyum merebak di wajah cantik Lori Randall,
gadis remaja enam belas tahun, saat ia menatap lembaran-lembaran
uang dalam genggamannya. Kemudian matanya yang biru beralih ke
Nora Pringle. "Rasanya aku nggak percaya. Banyak sekali yang Anda
berikan, Nona Pringle."
"Ah tidak, Lori!" bantah Nora Pringle. "Itu kan bukan hadiah,
tapi masa depanmu!"
Dalam setelan biru lautnya, Nora Pringle yang berambut abuabu itu tampak anggun?sangat berbeda dibandingkan waktu ia
mengenakan pakaian lusuh dan menyusuri Merivale Mall dengan
menenteng kantong-kantong belanjaan.
Orang-orang di Merivale sempat dibuat terkejut waktu tahu
bawa wanita yang suka keluyuran membawa tas-tas itu sebenarnya
adalah seorang wanita kaya! Dia cuma berpura-pura miskin untuk
menyelidiki dengan mata kepala sendiri bagaimana mall-nya
berkembang.
Namun keterkejutan Lori tidak berhenti sampai di situ saja,
karena saat Nora mengungkapkan siapa dia sebenarnya, dia juga
mengajak Lori bekerja sama. Tiba-tiba saja Lori mendapat seorang
pemilik modal yang bersedia memproduksi, mempromosikan serta
menjualkan hasil rancangannya.
Setelah berkonsultasi dengan kedua orangtuanya yang belum
yakin akan rencana tersebut, serta dengan Paman Mike yang sangat
mendukungnya, Lori menerima tawaran itu.
Hari ini adalah hari pertama pertemuan mereka sebagai mitra
dalam usaha 'Rancangan Lori.' Tak heran Lori merasa dirinya begitu
terlambung!
"Maaf, saya membayarmu dengan uang tunai," ujar Nora,
sambil duduk bersandar di kursi putarnya yang berwarna hijau.
"Mudah-mudahan tidak merepotkan."
Lori tertawa, kemudian memiringkan kepalanya sehingga
rambut pirangnya bergulir ke samping. "Tak apa, Nona Pringle,"
sahutnya. "Aku bisa menyimpannya di mall ini."
Lori merogoh tasnya dan mengambil dompet kulit merah
pemberian ibunya pada hari ulang tahunnya yang lalu, kemudian
memasukkan uang itu ke dalamnya.
"Saya berharap agar kerja-sama ini dapat berhasil. Kamu benarbenar berbakat, Lori." Nora menyandarkan kedua tangannya pada
lengan kursi dan menatap Lori dengan tajam. "Kalau semua berjalan
lancar, kita akan mendapat banyak keuntungan."
"Kuharap Anda benar," jawab Lori. Tetapi di balik suaranya
yang ceria, sebenarnya Lori merasa ngeri. Semua orang telah
memperingatkan dia bahwa dunia bisnis itu keras. Kalau 'Rancangan
Lori' tak berhasil, maka ia akan berhutang sebanyak itu juga pada
Nora. "Memang menakutkan," kata Nora, seakan-akan dapat
membaca pikiran Lori. "Tapi kita pasti berhasil kalau mengikuti
aturan mainnya. Pertama-tama, kita harus tawarkan pakaian-pakaian
yang menarik, namun nyaman dipakai. Kemudian kita tawarkan ke
butik-butik terkenal. Sekali mereka mengenalmu, kita bisa masuk ke
jaringan mereka yang besar. Kalau kita berpegang pada rencana itu,
kita pasti berhasil."
"Wah, terima kasih untuk memberi kepercayaan yang begitu
besar pada saya yang masih pemula ini," ujar Lori. "Semoga saya
tidak mengecewakan Anda."
"Saya tahu, kamu adalah pekerja keras, Lori. Makanya saya
mengajakmu bekerja sama. Kamu tahu, sudah lama saya
memperhatikanmu," jawab Nora. "Nah, besok sore saya akan
mengajakmu ke pabrik untuk menemui manajer produksi kami serta
para staf pendukung lainnya."
"Staf pendukung?" gumam Lori tak percaya. "Saya kira akan
ada manajer khusus untuk pembukuan."
"Tidak, saya ingin supaya kamu bisa merancang dengan tenang.
Biarlah orang lain yang mengurus soal-soal rumit seperti memotong,
menjahit, dan lain-lainnya."
"Astaga...." Sulit bagi Lori untuk menyadari nasibnya yang
begitu baik. Akhirnya ia dapat berkonsentrasi penuh pada
rancangannya.
Merancang adalah impiannya, dan sekarang ia mulai merintis
impiannya itu.
"Aku akan datang besok sepulang sekolah. Rasanya aku sudah
tak sabar lagi," kata Lori penuh semangat.
"Itu namanya semangat muda!" ujar Nora dengan tersenyum
hangat. "Kalau begitu, sampai ketemu besok. Kate!" panggil Nora
melalui pesawat interkomnya. "Tolong catat nama Lori pada
agendaku, besok pukul empat. Bye, Lori!"
"Bye, Nora Pringle?dan terima kasih." Lori tahu bahwa di
balik senyumannya, Nora Pringle sudah siap dengan setumpuk bisnis
lainnya. Tak heran ia begitu sukses, karena baginya waktu adalah
uang. Setelah mengangguk pada resepsionis, Lori meninggalkan
kantor itu, menuruni koridor dan menuju ke mall. Ia merasa fantastis!
Sampai di mall, diiringi suara musik dan orang-orang yang
berlalu-lalang di sekelilingnya, Lori tersenyum. Jantungnya berdebar
penuh rasa gembira. Ia merasa seakan-akan berada dalam sebuah roda
raksasa yang berputar dan melambungkannya tinggi sekali! Padahal ia
baru saja akan memulai!
Saat menuruni mall, senyuman masih menghias wajahnya. Lori
membiarkan pikirannya hanyut mengikuti perasaannya.
Kalau usaha 'Rancangan Lori' berjalan lancar, ia akan jadi kaya
dan terkenal. Siapa tahu ia bisa memperoleh uang untuk membayar
hipotik rumah orangtuanya. Lori tertawa geli waktu membayangkan
wajah ayahnya saat ia meletakkan uang gajinya di atas meja ayahnya.
Kemudian ia akan menyerahkan cek. Jumlahnya cukup besar untuk
menutup biaya rumahnya, pendidikan adik-adiknya di perguruan
tinggi, serta berlibur ke Karibia.
Setelah itu ia akan berangkat ke Paris, Hongkong dan New
York, untuk bergabung dengan para selebritis dari industri busana.
Melewati etalase toko-toko, ia akan melihat wajahnya terpampang di
halaman depan majalah Hot Stuff. Studio-studio film akan
memintanya untuk merancang busana bagi bintang-bintang film
terkenal. Ia akan mengajak Nick untuk menemui mereka.
Dengan uang seribu dollar di kantongnya, semua itu mungkin
saja terjadi. Semua hal yang dulu hanya berupa angan-angan
baginya....
Lori kembali ke dunia nyata waktu ia melihat gemerlapnya toko
Hobart Electronics. Coba Nick ada di sana hari ini dan tidak pergi ke
gudangnya. Tak sabar rasanya Lori menunggu tatapan rasa bangga
yang memancar dari mata Nick yang biru laut itu, saat ia menceritakan
tentang pertemuannya dengan Nora. Nick akan memeluknya erat-erat
dengan tangannya yang kokoh itu.
Sambil berjalan dan mendesah sedih, Lori mengingatkan
dirinya agar bersabar. Bukankah ia akan bertemu Nick hari Sabtu
nanti? Masalahnya, ingatan akan Nick membuat hari Sabtu terasa
begitu lama, meskipun sebenarnya hanya dua hari lagi.
Lori mempercepat langkahnya menuju ke bank. Kalau ia sudah
menyetorkan uangnya, ia akan membagi kabar itu dengan kedua
sahabatnya, Patsy Donovan dan Ann Larson.
Patsy dan Ann selalu mendukungnya sejak Lori mulai membuat
sketsa-sketsa mode di buku catatannya. Keduanya adalah inspirasinya
dalam membuat rancangan. Mereka jugalah sesungguhnya inspirasi
bagi rancangan-rancangannya yang terbaik. Tak ada yang lebih
menggembirakan Lori daripada membuat rancangan-rancangan yang
disukai Patsy dan Ann.
Sambil mengeluarkan buku tabungannya dari sakunya, Lori
sejenak merasa ragu waktu ia harus mencantumkan jumlah uang yang
ingin di tabungnya.
Saat ia akan mencantumkan angka, suatu perasaan aneh seakanakan menahan tangannya. Dengan takjub ia melihat angka yang
dicantumkannya di kolom tabungan sebesar delapan ratus dollar.
Dengan rasa tercekat, ia berpikir kembali. Memiliki uang
sebanyak itu benar-benar merupakan pengalaman baru baginya!
Bukankah gajinya sebagai kasir di Tio's Tacos tak sebanyak itu?
Kalau ia hanya menabung delapan ratus dollar, ia masih
mempunyai dua ratus dollar untuk dibelanjakan! Bolehkah ia?untuk
kali ini saja?sedikit royal?
Ya! Tanpa berpikir lagi Lori mencantumkan angka delapan
ratus dollar dan menyerahkan uang itu. Senyuman membayang di
wajah Lori. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia merasa kaya?
benar-benar kaya!
Sambil menyimpan sisa uang dalam kantong jaket satin
baseball-nya, dengan tak sengaja Lori teringat pada Danielle,
sepupunya. Danielle adalah satu-satunya orang yang dikenalnya, yang
mempunyai uang sedemikian banyaknya. Paman Mike selalu memberi
apa saja yang diinginkannya.
Dulu memang tidak demikian. Setelah Paman Mike berhasil
membangun Merivale Mall untuk Nora, barulah kehidupan Danielle
terangkat.
Pertama-tama, keluarga Sharp pindah ke Wood Hollow Hills
dan Danielle pindah ke Atwood Academy, sekolah swasta bergengsi
tempat Nick bersekolah. Sepupunya itu juga mulai suka berbelanja di
toko-toko eksklusif di lantai empat mall.
Danielle mempunyai gaya dan selera yang bagus, bahkan sejak
ia belum mampu membeli baju-baju yang mahal. Kini, setelah
sepupunya itu jadi orang kaya, seleranya semakin fantastis. Danielle
merupakan lambang kemewahan dan kelas atas.
Namun demikian, Lori tahu bahwa sepupunya itu harus
berusaha keras untuk dapat bergabung dengan anak-anak Atwood
yang suka bersaing. Bahkan seribu dollar tak ada artinya bagi gadisgadis macam Heather Barron dan Teresa Woods. Keluarga mereka
sangat kaya raya!
Yah, mungkin suatu hari nanti aku akan mempunyai uang
sebanyak itu juga, pikir Lori dengan gembira waktu ia berjalan ke
toko Cookie Connection, di mana Patsy bekerja.
Rambut Patsy yang cokelat kemerahan dan ikal sepanjang
dagunya diikat menjadi buntut kuda di bawah topi kerjanya yang
berwarna krem dan cokelat. Dia sedang sibuk membungkus makanan
yang dipesan.
Ingin rasanya Lori masuk dan melambaikan lembaran-lembaran
uang ratusan ribunya di depan mata cokelat Patsy. Ia tahu, temannya
itu pasti akan terkagum-kagum?begitulah sifat Patsy.
Namun di pintu masuk, Lori menjadi ragu. Rasanya kurang
tepat masuk ke situ hanya untuk memamerkan betapa kayanya dia
sekarang. Lagi pula Patsy bekerja di situ dengan gaji yang kecil.
Mungkin suatu hari nanti ia akan mengatakannya, kalau mereka bisa
meluangkan waktu bersama-sama.
Begitu juga dengan Ann. Rasanya bodoh sekali menunggu Ann
selesai mengajar, hanya untuk memamerkan uangnya. Selain itu,
bukankah Nora telah memintanya untuk membawa beberapa
rancangannya besok? Lori tahu, sebaiknya ia pulang dan mulai
membuat rancangannya.
Dengan agak kecewa, Lori menuju ke pintu keluar. Di dekat air
mancur ia menengadahkan kepalanya, menatap jam raksasa yang
tergantung di situ. Hari masih terlalu pagi. Apakah tidak sebaiknya ia
menghabiskan sedikit waktu untuk menikmati kegembiraannya?
Rasanya berjalan-jalan sebentar di mall cocok baginya.
Tanpa disadari, Lori telah menaiki eskalator yang membawanya
ke lantai atas. Mungkin ia bisa cuci mata di lantai empat. Ia sudah
pernah ke sana melihat-lihat beberapa rancangan dan bahan. Tetapi itu
hanya jalan-jalan. Mana mungkin Lori membeli barang yang ada di
sana. Mana mungkin...?
Dalam eskalator yang membawanya ke lantai empat, Lori
mendesah panjang. Dirabanya uang kertas yang ada di sakunya.
Bukankah ia mampu membeli sesuatu? Lagi pula ia belum sempat
menceritakan kebahagiaannya pada kedua sahabatnya serta pacarnya.
Bukankah ia pantas merayakannya?
Tanpa disadari, Lori telah berada di depan Facades, toko
termewah di mall. Lampu neonnya yang berukir tampak begitu
menggoda. Tiba-tiba saja Lori telah membuka pintu toko itu.
Segala sesuatu di Facades tampak memukau, mulai dari
pajangan kursi beludrunya sampai lampu-lampu hiasnya dari tembaga.
Meja kasirnya bukan meja biasa, namun terbuat dari kayu mahogani
antik. Tak heran Danielle sangat menyukainya.
Sambil menyusuri lemari-lemari pajangan, menyentuh blus
satin di sini dan sweater sutera di sana, pikiran Lori melayang-layang.
Semua pakaian di situ dirancang oleh para perancang terkenal.
Siapa tahu, suatu hari nanti hasil karyanya akan dijual dalam toko
semacam ini.
Lori baru saja akan berjalan lebih jauh, waktu ia melihat baju
itu. Roknya dibuat dengan potongan princess, dibuat dari kulit yang
lembut berwarna merah. Lori mengelus kulitnya yang lembut, lalu
dipantas-pantaskannya rok itu di depan cermin antik yang ada di situ.
Kelihatannya bagus seperti yang dibayangkannya. Rok itu rasanya
pantas dibelinya untuk merayakan kegembiraannya.
Lori mengelus kulit yang lembut itu dengan sebelah tangannya,
dan dengan gugup meraih label harganya. Ia membaliknya dan
melihat angka 175 tertera di situ. Harga rok itu seratus tujuh puluh
lima dollar!
Dengan terkejut Lori melepas label harga itu dan
memperhatikan rok itu lagi. Kalau saja ia berpikir secara sadar, tentu
Lori akan mengembalikan rok itu dan bergegas keluar dari Facades.
Tak mungkin ia menghabiskan 175 dollar hanya untuk sebuah rok?
betapapun bagusnya rok itu! Tetapi ia sangat tergoda. Sambil
menggigit bibirnya, Lori melihat rok itu lagi.
Tiba-tiba perasaan yang sama dengan saat ia akan menabung
uangnya di bank mencengkamnya kembali. Tanpa mempedulikan
pikirannya yang penuh pertimbangan, Lori mendekati pramuniaga
terdekat. "Maaf," kata Lori, "di mana saya bisa mencoba rok ini?"
Tak heran Danielle selalu begitu penuh percaya diri. Punya
banyak uang memang asyik!
***********
Facades. Rasanya lebih menyenangkan di tempat ini daripada di
rumah, pikir Danielle mengenai tempat kesayangannya itu. Sejak Don
James pindah ke California, Danielle jadi lebih sering berbelanja. Ia
benar-benar menyayangi Don, dan ia sangat merindukan cowok itu.
Danielle membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk dapat
melupakan Don setelah kepindahan cowok itu. Untung ada Facades.
Untung masih ada tempat di mana ia bisa melupakan kesedihannya.
"Hai Michelle," sapa Danielle pada salah seorang pramuniaga
saat ia melangkah ke dalam toko itu. "Ada yang bagus nggak, hari
ini?" ebukulawas.blogspot.com
Sebagai langganan, Danielle mendapat pelayanan yang
istimewa di Facades?dan ini merupakan salah satu alasan mengapa ia
suka berbelanja di sana.
"Kami punya koleksi rok kulit yang baru," jawab pramuniaga
itu dengan cepat. "Rasanya pantas untukmu. Apalagi dengan postur
tubuhmu ini, semua baju kelihatan bagus."
Danielle berusaha untuk tampak sederhana, tetapi rasanya sulit.
Kecantikannya tak dapat ditutupi. Dengan rambut merahnya yang
berkilau, matanya yang hijau serta tubuh yang langsing, Danielle
benar-benar tampak sempurna.


Merival Mall 10 Kemenangan Manis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Michelle membawa Danielle melewati deretan sweater karya
para perancang dan rak pajangan berisi pakaian malam, lalu berhenti
di bagian rok kulit.
"Oh, aku suka yang merah!" pekik Danielle yang tiba-tiba
merasa riang. "Aku mau coba yang nomor enam!"
"Sebentar akan kuambilkan," jawab Michelle.
"Bagus. Aku akan melihat kalau ada blus yang cocok untuk rok
itu," ujar Danielle, lalu melangkah menuju deretan blus satin.
"Nomor enam?" ia mendengar Michelle bertanya pada salah
seorang pramuniaga lainnya.
"Ada yang sedang mencobanya," jawab pramuniaga itu. "Nah,
itu dia."
Danielle menjulurkan lehernya, dan ia nyaris pingsan. Gadis
yang baru saja keluar dari kamar pas dengan rok yang bagus itu adalah
sepupunya sendiri, Lori!
"Aku ambil yang ini," kata Lori sambil menyerahkan uang dua
ratus dollar.
Danielle terpaku di belakang rak blus satin. Rasanya ada
sesuatu yang salah. Memang, ayahnya telah menceritakan tentang
pekerjaan Lori yang bekerja sama dengan Nora Pringle, wanita
jutawan itu. Tetapi Danielle mengira bahwa usaha itu cuma kecilkecilan, semacam berjualan limun di kios.
Mana mungkin Lori berada di Facades, tempat kesayangan
Danielle, berbelanja seperti orang gila? Mana mungkin sepupunya
yang sederhana itu mampu memiliki uang tunai sebanyak itu? Apakah
dunia sudah terbalik?
Dua Mana mungkin? Danielle membuka pintu BMW putihnya yang
bernomor khusus SHARP-1, lalu duduk di atas kursi mobilnya yang
berlapiskan kulit. Kepalanya pusing memikirkan Lori berbelanja di
Facades. Danielle memasukkan kunci mobil ke dalam lubangnya,
menyalakan mesinnya dan mengeluarkan mobilnya dari lapangan
parkir. Namun bayangan Lori mengenakan rok kulit tadi, dengan
lembaran uang yang cukup banyak itu terus mengganggu pikirannya.
Danielle memperhatikan bagaimana Lori menyerahkan uangnya
lembar demi lembar pada pramuniaga toko. Perasaannya jadi aneh
karena ia lalu meninggalkan toko itu tanpa sempat menyapa.
Tiba-tiba terdengar bunyi brak yang keras dari bawah mobilnya.
Danielle menginjak rem keras-keras dan dengan kecut menyadari
bahwa ia baru saja menabrak rambu pemisah parkir!
Bagus! pikirnya sambil melangkah keluar dari mobilnya untuk
memeriksa kerusakan dan menarik napas lega. Untung tak ada yang
lecet. Sialnya, saat Danielle masuk ke dalam mobilnya kembali dan
mulai menyalakan mesin ia mendengar suara yang tadinya tak ada.
Danielle menurunkan kaca mobilnya yang menggunakan power
window dan menyimak dengan saksama.
Pasti saringannya. Terdengar suara gemuruh. Dulu Don James
pernah mengajarinya bahwa saringan berhubungan dengan knalpot
dan manipol, dan semua itu sulit untuk dibetulkan.
Duh, kenapa ia tak berhati-hati? Sekarang ia harus membujuk
ayahnya agar memberikan uang untuk membetulkan mobilnya karena
uang bulanannya telah habis untuk hal-hal yang lain.
Suara klakson mobil membuyarkan perhatian Danielle. Dari
kaca spion ia melihat mobil Jaguar hitam Teresa Woods menuju
pelataran parkir.
"Danielle, kamu nggak apa-apa?" tanya Teresa khawatir dari
balik kemudi mobilnya.
"Aku nggak sengaja menabrak rambu pemisah jalan. Nggak
apa-apa kok," jawab Danielle muram.
"Tapi suara mobilmu kok terdengar payah. Kukira suara mobil
tua, eh nggak tahunya kamu!" sahut Teresa sambil mengibaskan
rambut cokelatnya dari leher.
"Mmmm, aku cuma harus membetulkannya, itu saja," jawab
Danielle kesal. Masa BMW-nya yang bagus itu dibilang mobil tua?
meskipun sedang rusak.
"Aku ada janji dengan Ben Frye," sahut Teresa dengan mata
berbinar-binar. "Kami akan membelikan VCR untuk adiknya. Jadi aku
duluan ya. Oh!" Rupanya Teresa teringat akan sesuatu. "Apa betul
sepupumu sedang berbisnis busana dengan Nora Pringle?"
"Mungkin saja," jawab Danielle sambil mengangguk diiringi
suara mesin mobilnya yang bergemuruh.
"Kudengar dia membuat rancangan," Teresa tampak terkesan.
"Nggak tahu, deh," gumam Danielle tak acuh.
"Baik, semoga mobilmu nggak apa-apa. Suaranya berisik
sekali," ulang Teresa seolah-olah Danielle tak mendengar kalimatnya
yang pertama. "Oke, sampai ketemu."
"Sampai ketemu!" Danielle memaksakan diri untuk tersenyum
dan melambaikan tangannya.
Perjalanan menuju rumahnya yang tak jauh itu serasa tak
sampai-sampai. Bayangan Lori di Facades belum lagi hilang dari
pikirannya, kini suara mobilnya yang berisik itu mengganggunya. Ia
harus segera memberitahukan ayahnya malam itu juga. Mungkin ia
malahan akan minta dibelikan mobil baru. BMW itu rasanya mulai
membosankan.... Dan merk mobil yang kini paling bergengsi di
Atwood adalah Jaguar.
*************
"Nah, kita sudah sampai. Parkir saja di tempat yang bertanda
'Dipesan', Lori," kata Nora sambil menunjuk bangunan berwarna
kuning yang terletak di daerah industri Merivale.
Lori memarkir mobilnya dan keluar. Saat ia akan memasuki
bangunan itu, wajahnya menunjukkan rasa heran. Di pintu masuk
tampak sebuah papan bertuliskan nama-nama perusahaan yang
berkantor di situ. Tampak sebuah papan nama yang baru dicat
bertuliskan 'Rancangan Lori'.
Dengan senyum bangga di wajahnya Lori mengejar Nora yang
telah sampai di depan pintu. Lori selalu kagum pada Nora Pringle
yang penuh energi itu. Wanita itu sudah tua namun tetap gesit!
Setelah melalui koridor berwarna krem muda, Nora menunjuk
sebuah papan nama lain bertuliskan 'Rancangan Lori'. Tulisan itu
tercetak pada pintu kaca. Tiap hurufnya diwarnai dengan warna yang
berbeda. Sambil membuka pintu Nora tersenyum dan berkata, "Nah kita
sampai. Ini rumah barumu."
Di dalam ruangan Lori mendecak kagum. Ruangan itu ternyata
lebih besar daripada yang dibayangkannya. Ada sederetan meja besar,
sekitar selusin boneka peraga, papan gambar, dan mesin jahit.
Seorang wanita yang sedang menyemat potongan kain navy
mendongak dan tersenyum. Wanita lainnya yang sedang sibuk
menjahit menyapa, "Halo, Nora."
"Halo Maria. Mari sini, berkenalan dengan Lori. Kamu juga
Yvonne," panggil Nora pada seorang wanita lainnya.
"Hai," sapa Lori lembut, ia berusaha bersikap tenang sementara
jantungnya berdebar kencang.
"Saya suka karyamu Lori," ujar Maria padanya. "Bahan serta
polanya bagus sekali."
"Wah; terima kasih sekali," sahut Lori, tersanjung mendengar
pujian itu. "Apa yang sedang Anda kerjakan?" Lori tak mengira
bahwa rancangan yang diserahkannya pada Nora minggu lalu sudah
mulai dikerjakan.
"Jas hujan," jawab Yvonne. "Kami buat nomor lima sampai
enam belas dan sudah hampir selesai. Tinggal tudung vinyl-nya."
"Ah, masa!" sembur Lori. "Di rumah, proyek seperti itu akan
makan waktu tiga bulan!"
Tawa Nora terdengar di telinga Lori. "Maria dan Yvonne adalah
penjahit-penjahit handal. Cuma orang-orang ahli yang bekerja di sini."
Tak lama kemudian seorang wanita berusia kira-kira tiga
puluhan memasuki ruang kantor. Rambut hitamnya terjepit di satu
sisi, dan mata birunya yang besar memancarkan kecerdasan.
"Betty Finn!" panggil Nora. "Ini Lori Randall. Kalian berdua
akan bekerja-sama selama beberapa bulan mendatang. Betty adalah
manajer produksi kita, Lor. Dia yang bertanggung jawab untuk urusan
sehari-hari."
"Hai Lor," sapa Betty ramah. Dengan tegas ia menjabat tangan
Lori, "Senang bertemu denganmu."
"Aku juga," jawab Lori. Betty mengenakan blus merah dengan
dasi velvet hitam dan rok berwarna hitam. Jelas Nora adalah manajer
produksi yang memiliki selera sama dengan Lori.
"Mari ke kantorku, supaya kamu bisa memperlihatkan ideidemu yang terbaru," sahut Betty sambil tersenyum sopan.
Lori dan Nora mengikuti sang manajer menuju sebuah kantor
kecil yang terletak di bagian belakang ruang kerja. Tampak jarum
pentul dan potongan-potongan kain memenuhi sebuah meja kerja yang
terletak di tengah ruangan. Pada sebuah papan yang tergantung di
seberang mejanya, Betty menempelkan beberapa tiruan gambargambar Lori dan menandainya dengan pensil warna.
"Oke, Lori. Mari kita lihat," sahut Betty sambil membersihkan
meja untuk meletakkan gambar-gambar Lori.
Nah, lho, pikir Lori gugup. "Di sini ada empat disain." Lori
berusaha menekan perasaannya bahwa ia cuma seorang amatir di
antara para profesional, lalu membuka tas gambarnya.
Kedua wanita itu memperhatikan dengan saksama.
Alis mata Betty berkerut saat ia meneliti setiap disain.
"Hmmm...," hanya itu komentar yang keluar dari mulutnya.
Akhirnya ia berkata, "Semuanya bagus, Lor," dengan riang,
membuat Lori merasa lega. "Hanya saja ada satu masalah."
Lori menahan napasnya dengan rasa cemas. "Oh? Apa itu?"
" Kami memerlukan lebih banyak lagi," jelas Betty dengan
wajah serius. "Kalau kita ingin membuat penawaran yang lengkap,
maka kita harus membuat rancangan dua kali lipat lebih banyak."
"Maksudnya, Anda ingin memakai semua ini ditambah
beberapa rancangan lagi?" tanya Lori. Ia mengira bahwa apa yang
diberikannya pada Betty dapat membuat mereka sibuk selama
berbulan-bulan!
"Kami memerlukan lebih banyak rancangan lagi. Lori," suara
Betty terdengar jelas dan profesional. "Nora telah memikirkan
mengenai rancangan untuk kelas atas, dan kita harus membuat kejutan
besar. Artinya memperkenalkan koleksi rancangan yang lengkap."
"Dan kalau ada yang memesan, kita sudah harus siap," sahut
Nora setuju.
Dengan bingung Lori mengalihkan pandangannya dari Nora ke
Betty, lalu kembali ke Nora lagi. "Kapan kalian memerlukannya?"
"Paling lambat hari Senin," jawab Betty, sambil mengumpulkan
gambar-gambar yang ada di mejanya.
"Hari Senin?" tiba-tiba Lori merasa pening. Roda besar Ferris
yang dibayangkannya ternyata berputar terlalu cepat.
Betty menangkap kekhawatiran di wajah Lori. "Setelah satu
atau dua bulan, pasti semuanya akan terasa lebih ringan," tambahnya
dengan suara lembut.
Satu atau dua bulan? Tiba-tiba saja berbagai pikiran menerpa
kepalanya. Bagaimana caranya mengatakan pada Nick bahwa ia tak
dapat pergi dengannya bulan depan nanti? Seperti yang sudah-sudah,
tak ada banyak waktu yang dapat mereka lalui berdua!
Belum lagi sekolahnya.... Bukankah ia menghadapi tes sejarah
hari Senin nanti? Kapan ia bisa belajar?
Dan teman-temannya.... Bagaimana caranya mengatur waktu
untuk mereka? Lori merasa ragu, agak malu dengan usahanya sendiri.
"Sukses memerlukan pengorbanan, Lori." Seakan-akan dapat
membaca pikirannya, Nora mengulurkan tangannya dan menepuknepuk bahu Lori. "Tapi semua rancangan ini hebat. Pasti hasilnya juga
bagus nanti. Lihat saja!"
Rasa lega meliputi Lori. Nora benar. Lihat saja kesempatan
yang diperolehnya di sini! Kalau memang ada yang harus
dikorbankannya, itu adalah pantas. Nick pasti mau mengerti.
Demikian juga Patsy dan Ann, serta kedua orang tuanya. Bukankah
mereka juga menginginkan hal yang terbaik untuknya? Sekarang ini
merancang harus jadi nomor satu baginya.
"Oke. Akan kuserahkan hari Senin nanti," janji Lori, sambil
menutup tas kerjanya dengan senyum penuh keyakinan.
Kalau dia sukses, maka semua orang yang mencintainya pasti
akan bangga! Itulah yang harus dicapainya sekarang?sukses!
Tiga Mobil Danielle terdengar sangat berisik sepanjang perjalanan
pulang, namun ia tetap memikirkan suatu strategi. Kalau ayahnya
pulang dari kantor, Danielle akan bersikap ekstra manis padanya. Ia
akan menanyakan pekerjaan ayahnya hari itu, dan mendengarkan
ceritanya dengan sungguh-sungguh. Lalu, setelah ayahnya makan
malam dan beristirahat dengan santai, barulah ia akan menceritakan
tentang mobilnya.
Ayahnya pasti akan marah. Uang sakunya sudah termasuk biaya
untuk membetulkan mobil. Tetapi ternyata tak pernah cukup. Lagi
pula, siapa sih yang menyangka bahwa mobil barunya perlu
perbaikan?
Barangkali ayahnya akan mengomel, atau bahkan
membentaknya. Lalu mengatakan bahwa Danielle harus lebih berhatihati dengan mobil barunya. Namun akhirnya ia akan memberinya
uang. Begitulah yang biasanya terjadi antara Danielle dan ayahnya.
Lalu, kalau suasana hati ayahnya sedang riang, barulah ia akan
mengajukan keinginannya untuk membeli mobil baru. Pokoknya, asal
jangan mengajukannya malam ini.
Danielle tersenyum kecil saat membayangkan ayahnya
tersayang yang telah tua. Dalam banyak hal ia merasa beruntung
menjadi anak Mike Sharp. Ayahnya memang tampan, berambut tebal
abu-abu dengan rahang yang kuat. Dia juga pintar. Tak seorang pun di
Merivale memiliki rumah seperti rumahnya, yang dilengkapi dinding
serta jendela kaca di segala penjuru. Menjadi anak seorang pemborong
memang menguntungkan.
Sambil mengendarai mobilnya sepanjang Wood Hollow Hills
Danielle tak melewatkan kesempatan untuk menikmati keindahan
alam di sekitarnya. Bahkan Heather yang tinggal di istana batu
berkamar enam belas, mengatakan rumah keluarga Sharp lebih
mengasyikkan. Temannya memang benar. Danielle memasuki
pekarangan rumahnya dengan bangga, siap untuk melaksanakan
rencananya.
Sambil menarik napas lega, ia mematikan mesin mobil yang
berisik itu dan menatapnya dengan kesal. Belum ada setahun
mobilnya sudah rusak. Meskipun melanggar pemisah jalan,
seharusnya mobil BMW itu tetap kuat.
Danielle menghampiri pintu kayu oak yang berukir,
membukanya, dan menyimak. Rumahnya tampak sepi. "Ada siapa?"
sapanya, berbasa-basi. Setelah Christine, kakaknya masuk universitas,
suasana rumahnya jadi benar-benar sepi. Ibunya biasa pergi
menghadiri berbagai acara amal, atau berbelanja, sementara ayahnya
bekerja tak mengenal waktu.
Tetapi dengan terkejut Danielle mendengar suara ayahnya
menyahut, "Di ruang tamu Danielle."
Begitu Danielle masuk dan melihat kedua orangtuanya, ia tahu
ada sesuatu yang tidak beres. Ibunya duduk berselonjor kaki di sofa.
Sementara tangannya meremas-remas tisu, wajahnya tampak seperti
habis menangis.
Ya ampun! Jangan-jangan mereka baru bertengkar.
"Halo sayang," sapa ibunya dengan suara serak. "Ada berita
kecil untukmu. Kamu jangan sedih ya?"
"Biar aku yang mengatakannya Serena," potong ayahnya. Ia
berjalan mondar-mandir di atas permadani Persia yang berwarna biru


Merival Mall 10 Kemenangan Manis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tua. Kedua alisnya tampak berkerut dan wajahnya yang tampan
tampak keras. "Duduklah Dani," perintahnya sambil menunjuk ke
sebuah kursi.
Danielle duduk diam di sebuah kursi yang terdekat. Mungkin
ayahnya akan menyampaikan berita dukacita.
Namun ternyata lebih buruk lagi.
"Danielle," lanjut ayahnya dengan serak. "Proyek Ayah sedang
mengalami masalah. Belum ketahuan memang, tapi kalau hal itu
terjadi?misalnya saja, maka kita harus memperhatikan semua
pengeluaran kita. Untuk bulan ini kami minta Grace berhenti kerja,
dan ibumu telah membatalkan kontrak dengan Premier Caterer. Kamu
juga harus berkorban, Sayang."
"Apa?" bibir merah Danielle terbuka.
Ayahnya menarik napas dalam-dalam. "Uang sakumu juga akan
dikurangi setengahnya, maaf Danie."
"Setengah?" protes Danielle. "Mana mungkin, Yah. Temantemanku semua punya banyak uang!"
"Hanya itu yang bisa Ayah lakukan sekarang ini," jelas ayahnya
dengan pandangan sedih.
Duh, bagaimana dengan rencananya? "Yah," sahut Danielle.
"Sebenarnya aku tak ingin mengatakannya. Tapi begini, peredam
suara mobilku rusak karena aku menabrak sesuatu malam ini?"
Urat-urat di kening ayahnya tampak jelas. Pertanda buruk.
"Diam Dani. Ayah akan katakan sekali lagi, karena kamu belum
paham juga. Kalau proyek ini berantakan?maka barangkali?hidup
kita akan berubah drastis. Rumah ini, mobil, Atwood Academy?
semuanya terpaksa kita tinggalkan. Sudah saatnya kita
mengencangkan ikat pinggang."
Dengan putus asa Danielle memandang ayah dan ibunya
berganti-ganti. Serena Sharp tampaknya ingin menangis, sulit
menggambarkan isi hatinya. Padahal biasanya ia pandai
menyembunyikan perasaannya.
"Nah, ngerti kan," ujar ibunya dengan pilu. Ia lalu berdiri. "Ibu
mau ke atas dulu. Nanti akan kubuatkan sandwich panggang keju atau
apalah."
Danielle terpaku dan memperhatikan ibunya meninggalkan
ruangan. Matanya menatap lukisan abstrak berwarna abu-abu biru
yang tergantung di dinding Terlalu sulit untuk diungkapkan dengan
kata-kata! Apakah mereka akan menjadi miskin kembali?
"Tapi Yah, mobilku harus dibetulkan." Mata hijaunya tampak
memelas. "Boleh kan, Yah...."
"Percuma kamu minta uang untuk membetulkan mobilmu,
Danielle. Jawabannya tetap sama, tidak." Kedua mata ayahnya tampak
membara. "Lagi pula bukankah Ayah baru memberimu lima ratus
dollar? Pasti masih ada sisanya."
Danielle menggeleng sedih. "Habis, Yah," ujarnya dengan bibir
gemetar. "Aku kan nggak bisa nyetir mobil yang suaranya berisik
seperti mobil tua. Kalau begitu, pinjam saja deh, boleh kan? Nanti
akan kukembalikan."
Ayahnya menghempaskan tubuhnya di kursi. "Danielle,"
ucapnya dengan suara tegas. "Kalau kamu perlu uang, maka kamu
harus kerja. Sama seperti orang lain. Kadang-kadang Ayah pikir Ayah
terlalu memanjakanmu dengan memberimu uang terlalu banyak.
Waktu ayah seusiamu, Ayah bekerja sebagai pelayan golf dan
pesuruh. Pulang sekolah, Ayah memotong rumput di pekarangan
orang! Memang berat, tapi Ayah butuh uang, makanya harus bekerja!"
Mata Danielle berputar. Kenapa sih ayahnya begitu tidak
rasional? Siapa yang peduli dengan kejadian puluhan tahun lalu?
"Tapi Yah, temanku nggak ada yang kerja! Mereka nggak perlu
kerja!"
"Mmmm, barangkali kamu salah bergaul, Danielle. Lihat saja
sepupumu Lori. Sejak umur tiga belas tahun dia sudah kerja ke sana
kemari! Dan kelihatannya dia tak terganggu. Sekarang dia malahan
sudah mulai merintis bisnisnya sendiri. Menurut Ayah, Lori akan
berhasil baik!"
Lori, Lori, Lori! Danielle sungguh sebal bilamana ayahnya
mengungkit-ungkit nama sepupunya itu. Tetapi kali ini kedengarannya
lebih menyebalkan lagi. Apa lagi setelah ia melihat Lori di Facades
dengan uang ratusan dollar. Belum lagi pertanyaan Teresa mengenai
pekerjaan baru sepupunya itu....
Maksudnya sudah jelas: Lori adalah pemenangnya dan Danielle
adalah pecundangnya. Meskipun Danielle telah berusaha keras,
namun ia tak dapat menahan isaknya lagi.
"Kamu tak akan mati karena kerja, Dani," ujar ayahnya dengan
suara lebih lembut. "Mungkin malah ini yang terbaik untukmu."
Terbaik? Danielle masih meragukannya!
***********
Kerja.... kamar Lori tampak berantakan. Pinsil warna bertebaran
di meja, gumpalan-gumpalan kertas berserakan di lantai, dan berbagai
macam bahan memenuhi kamarnya.
Setelah sekian lama ia berusaha, baru satu rancangan yang
berhasil dibuatnya.
Dengan wajah mengernyit, Lori meraih telepon. Ia kesal karena
harus melakukan sesuatu yang terpaksa dilakukannya, namun tak ada
pilihan lain.
"Halo?"
Terdengar suara Nick menyahut dari seberang. Mendengar
suara Nick rasa lelah Lori sirna seketika.
"Ini aku," ujarnya, berharap ia berada dalam pelukan cowok itu.
"Lori, ada apa? Kamu kok kedengarannya lagi sedih."
"Oh Nick," jawab Lori sambil menghela napas sedih. "Aku
nggak bisa pergi hari Sabtu nanti. Maaf ya."
Nick terdiam beberapa saat. "Pasti ada yang serius sampaisampai kamu meneleponku pada saat-saat terakhir," ujarnya. "Ada
yang dapat kulakukan?"
Duh, betapa manisnya! Cowok lain pasti langsung marah.
"Tidak Nick. Terima kasih. Hanya saja.... duh, aku harus membuat
satu set rancangan baru untuk hari Senin. Semuanya, mulai dari jas
hujan sampai kaus kakinya. Kamu ngerti kan?"
Nick terdiam lagi. Lori menggigit bibirnya dan menunggu.
"Lori," ujar Nick dengan suara lembut. "Aku ingin kamu
senang. Sungguh. Aku mendukung pekerjaanmu yang baru. Tapi
kalau kita nggak bisa ketemu tiap malam minggu, apa artinya
hubungan kita?"
"Nick! Hubungan kita kan indah! Ini cuma untuk satu atau dua
minggu saja kok, aku janji." Bukan itu yang dikatakan Betty, tetapi
Lori masih berharap bahwa keadaan akan semakin mudah setelah
semua ini. Mana mungkin tidak? "Ini baru permulaannya, itu saja.
Maaf, ini bukan saat yang baik, tapi aku janji untuk meneleponmu
besok. Janji."
Lori kembali menunggu dengan rasa cemas sebelum akhirnya
Nick menyahut, "Oke, besok kita ngobrol lagi."
Dengan susah payah Lori menelan ludah, lalu meletakkan
gagang telepon di tempatnya. Dari ucapannya, Lori tahu Nick
berusaha menyembunyikan kekesalannya. Dan ia tak menyalahkan
cowok itu.
Airmata mulai menggenang di pelupuk matanya. Lori terisak.
Tetapi ia tak boleh menyerah, terutama saat ia harus membuat sesuatu
yang sangat berharga malam ini.
Setelah mengusap matanya, Lori meraih pinsil gambarnya lalu
kembali bekerja. Sebenarnya Nick sangat mendukung impiannya. Lori
tahu itu. Tak lama kemudian, ide membuat baju tunik membuat
semangat Lori bangkit kembali. Dengan cepat tangannya bergerak
membuat rancangan.
Hasilnya sangat memuaskan gadis itu.
Sambil mengangkat gambar itu di hadapannya Lori berkhayal,
bilamana ia terkenal nanti, maka Nick akan bangga padanya! Kalau
dia tak dapat mengerti sekarang, suatu saat pasti dia akan dapat!
*************
Kerja. Kata-kata itu membuat bulu kuduk Danielle meremang. Tetapi
setelah sekian lama tenggelam dalam kesedihan, ia sampai pada
kesimpulan yang menakutkan, menyeramkan, membuatnya depresi,
bahwa tak ada jalan lain lagi. Besok ia harus mulai mencari pekerjaan.
Ia sudah bisa membayangkan apa yang akan dikatakan Don
James kalau ia menceritakan masalahnya. "Kamu mencari pekerjaan?
Wah, sudah saatnya Red! Akhirnya kamu menghadapi dunia nyata."
Bayangan Don membuat perasaan Danielle lebih baik.
Meskipun bekerja tampaknya sesuatu yang aneh bagi Danielle
yang terbiasa berbelanja pakaian para perancang, namun ia bertekad
untuk melakukannya. Ia, Danielle Sharp, si beken di Atwood
Academy, bekerja demi uang sakunya.
Memang memalukan, tetapi apa boleh buat.
Danielle menghampiri kaca yang berbingkai putih dan
memperhatikan dirinya dengan saksama. Bayangannya di kaca
membuat semangatnya bangkit kembali. Apa pun yang menimpanya,
ia selalu tampak menarik, itu yang penting.
Lalu, bagaimana kalau ia harus mencari pekerjaan? Bagaimana
kalau Heather dan Teresa menertawakannya saat mereka tahu?
Danielle pasti dapat mengatasinya. Ia lebih cantik, lebih ulet dan lebih
pintar daripada mereka berdua. Kalau episode ini sudah lewat, siapa
tahu kerja akan menjadi mode di Atwood! Danielle akan berusaha
agar hal itu terlaksana.
Soal mencari pekerjaan, itu sih kecil. Siapa sih yang tak mau
memperkerjakan Danielle Sharp?
Empat Ini sih bukan tugas yang mudah. Lori berdiri dan memandangi
lampu neon warna oranye yang membingkai papan nama restoran
Tio's Tacos. Ia telah melewati masa-masa yang menyenangkan di
tempat itu. Memang, ia bekerja keras di tempat itu. Berlari ke sana
kemari saat tempat itu dipenuhi pengunjung, dan berdiri berjam-jam
saat sepi.
Namun, bekerja di situ merupakan pengalaman yang
menakjubkan, pikir Lori dengan bangga. Dan yang paling
menyenangkan adalah tamu-tamunya.
Isabel Vasquez, Judy Barnes, Jimmy si tukang cuci piring?
mereka semua membuat suasana kerja di Tio's Tacos tak terlupakan.
Lori tahu ia pasti akan merindukan semua itu. Tetapi lebih dari
segalanya, ia akan merindukan Ernie Goldbloom?pemilik Tio itu
sendiri. Sambil menarik napas dalam-dalam, Lori menghampiri pintu
masuk. Ernie berada di dapur sedang berbicara dengan Isabel.
Kepalanya yang botak membuat Lori mudah mengenalinya dari
belakang. Mungkin Ernie dan Isabel sedang membuat rencana untuk
menghadapi serbuan malam minggu itu.
Waktu mendekati Ernie, Lori merasa kkawatir kalau-kalau lakilaki itu akan marah mendengar keinginannya yang tiba-tiba untuk
berhenti. Ia memang pantas bersikap begitu, pikir Lori. Namun apa
pun yang akan terjadi, Lori harus berhenti. Apa boleh buat.
"Hai Isabel. Hai Ernie. Mmm Ernie?" potong Lori, sambil
tersenyum semanis mungkin. "Dapatkah aku bicara dengan Anda
sebentar? Berdua?"
"Tentu." Dengan wajah keheranan Ernie melemparkan lap
piringnya dan membawa Lori melewati dapur menuju kantornya.
"Ada apa?" ia bertanya begitu mereka sampai di dalam.
Lori menghindari tatapan mata Ernie, lalu berkata, " Ernie, aku
tahu ini mendadak sekali, tapi aku harus berhenti." Nah, ia telah
mengatakannya. Dan kini ia tinggal berharap semoga Ernie mau
mengerti. "Kamu mau berhenti...?" gumamnya sedih.
Dengan sedih Lori mengangguk. "Pekerjaanku sebagai
perancang membuatku sibuk sekali."
Ernie menghela napas dan menggaruk bagian belakang lehernya
dengan satu tangannya. "Mmmm, baik, kupikir itu bagus... apa pun
yang akan kau lakukan. Tapi rasanya sulit sekali mencari
penggantimu. Tak banyak anak yang mempunyai sifat baik
sepertimu."
"Pasti ada dong Ern," ujar Lori, sambil menundukkan kepala.
"Tidak," jawab Ernie perlahan.
"Maaf, aku tak memberitahu sebelumnya."
Ernie mengangkat tangan untuk menghentikan omongan Lori.
"Jangan khawatir. Pergilah?jadilah anak jenius dan sambutlah masa
depanmu yang gemilang. Tapi jangan lupakan kita-kita yang miskin
ini kalau kamu sudah kaya nantinya."
Lori tertawa. "Jangan bercanda ah," pintanya. "Usahaku masih
kecil-kecilan, kok."
Ernie menyipitkan matanya dan mengangguk bijak. "Tak lama
lagi," ramal Ernie sambil tersenyum sedih. "Kamu akan jadi terkenal.
Ini?ambillah untukmu." Ernie menyerahkan selembar uang dua
puluhan dollar pada Lori. "Anggap saja hadiah perpisahan."
"Trims Ernie. Tak usahlah."
Namun Ernie tak peduli. Ia memasukkan uang itu ke dalam
celemek Lori. "Semoga sukses Lori," ujarnya. "Sekali-sekali mampir
ke sini makan taco ya? Di tempat lamamu ini."
"Baik. Aku janji." Lori merasakan air menggenangi matanya
saat ia menjabat tangan atasannya itu.
"Semoga sukses, Lor." Bagai seorang pelatih, Ernie menepuknepuk punggung Lori dengan penuh kasih, lalu kembali ke dapur.
Lori menuju lokernya yang terletak di belakang toko. Perlahanlahan ia melepaskan isolasi yang merekatkan fotonya yang sedang
tersenyum bersama Nick. Mereka berada di ruang tamu orangtuanya,
sebelum pergi ke acara dansa sekolah.
Kemudian ada novel pemberian Ann Larson beberapa minggu
lalu. Ia telah membaca setengahnya sebelum proyek 'Rancangan Lori'
dimulai. Lori juga mengambil sepatu cadangannya yang disimpannya
di situ bilamana ia harus lembur.
Namun keputusan yang diambilnya cukup membuatnya sedih,
apa lagi saat ia melepaskan celemek Tio's Tacos yang berwarna
oranye dan bertuliskan Day-Glo. Meskipun warna oranyenya sudah
agak kusam, namun benda itu telah menemani Lori melewati hariharinya yang penuh suka dan duka di tempat itu.
"Kata Ernie kamu berhenti, ya?" Mata Isabel membesar dan
menatapnya cemas, saat gadis itu menyembulkan kepalanya ke ruang
belakang. "Ya," jawab Lori perlahan.
"Pekerjaanmu sukses, ya?"
"Iya, aku jadi sibuk dibuatnya," jawab Lori sambil tersenyum
lembut. Lalu, setelah memandang celemeknya sekali lagi, ia
menggantungkannya pada kaitan di dinding. "Aku akan
merindukanmu Isabel. Dan semua yang ada di sini."
"Kami juga akan kehilanganmu. Tapi Lor," sahut Isabel penuh
semangat, "kami semua bangga sekali padamu!"
Lori tersenyum hangat, lalu keduanya saling berpelukan.
"Lori, kalau kamu sudah terkenal nanti, mau nggak janji
sesuatu?" tanya Isabel, sambil menyentuh lengan Lori dengan lembut
sebelum gadis itu melangkah pergi. "Tentu dong," jawab Lori. "Apa
itu?"
"Buatkan rancangan seragam untuk Tio, ya?"
Dalam hal itu Lori dan Isabel sama-sama sependapat. Selama
berbulan-bulan bekerja di Tio's mereka sering menertawakan celemek
mereka. Itulah salah satu bahan tertawaan yang paling lama di Tio's.
"Aku janji." Kemudian Lori melambai sambil melangkah ke
luar. Ernie tampak sibuk di kasir, namun ia masih sempat
melambaikan tangan. Sekali lagi Lori memandangi ruangan yang


Merival Mall 10 Kemenangan Manis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penuh kenangan itu sebelum ia meninggalkan tempat itu menuju ke
mall. "Hei! Kayaknya aku kenal deh sama kamu!" Terkejut Lori
melihat Patsy Donovan yang menatapnya dengan gembira.
"Patsy! Hai!" Bertemu Patsy benar-benar menyenangkan?
sayang ia harus bergegas membuat rancangan baru.
"Kamu lagi libur, ya? Mana seragammu?" tanya Patsy ingin
tahu. Lori memandang topi cokelat chip temannya, dan perasaan
bersalahnya timbul. "Duh Patsy, kamu pasti nggak akan percaya. Aku
baru saja berhenti dari Tio's."
"Yang benar!" pekik Patsy. "Kok tiba-tiba, sih?"
"Terpaksa. Soalnya sudah terlanjur. Lagi pula Nora sudah
memberiku uang muka seribu dollar."
Sesaat Patsy tak mampu berkata-kata. Lalu katanya dengan
terharu. "Waduh Lori! Hebat sekali!" Ia pun merangkul dan memeluk
Lori dengan erat.
"Gimana kabarmu?" tanya Lori setelah mereka melepas
pelukan. "Kayaknya sudah lama kita nggak ngobrol!"
"Wah," desah Patsy, sambil memiringkan kepalanya. "Hidupmu
menyenangkan, sedang hidupku membosankan."
"Patsy! Apa-apaan sih!" protes Lori.
"Mmm, sepertinya hubunganku dan Irv akan mengalami babak
baru," sahut Patsy nakal.
Wajah Lori berubah bingung. "Apa artinya?"
"Kamu ada waktu, nggak? Tak mudah menjelaskannya. Tadi
malam kami pergi ke Overlook, dan dia begitu... lain deh." Patsy
memandang Lori penuh arti.
Mata biru Lori melebar. Irv Zalaznick, pacar Patsy dikenal
sebagai cowok yang baik di Merivale.
"Mau ke O'Burgers?" Patsy menawarkan.
"Aduh..." Lori menolak dengan rasa menyesal. "Aku sudah janji
untuk kerja sepanjang pagi dan malam...."
"Wow, ayo deh," bujuk Patsy lagi.
Sambil mengernyitkan keningnya, Lori menggelengkan kepala.
Ia tak suka melihat kekecewaan di mata temannya, tetapi ia tahu,
begitu mereka mulai ngobrol, bisa jadi jam-jam berlalu tanpa terasa.
Seperti biasanya.
"Aku nggak bisa." Lori menghela napas. "Aku telepon saja
nanti malam. Kamu ada di rumah nggak?"
Patsy tampak gembira mendengarnya. "Irv mengajak nonton,
tapi aku baru pulang sekitar jam sebelas."
"Bagus," sahut Lori sambil tersenyum. "Nanti kita ngobrol di
telepon ya?"
"Ngerumpi di telepon kan keahlianku. Kamu tahu kan," canda
Patsy. "Siapa tahu ada berita baru setelah kencan nanti malam."
"Oke, sampai nanti!" Lori membelai tangan sahabatnya dengan
penuh kasih, lalu bergegas meninggalkan mall.
Sambil menyandang tas di punggungnya, Lori melewati Hobart
Electronics. Lori tahu Nick takkan datang sebelum jam dua belas.
Namun melihat toko itu membuat Lori sedih.
Bagaimanapun asyiknya mengobrol di telepon, ia tetap saja
merindukan kehadiran Nick malam ini...
***********
Danielle duduk sendirian di ruang makan, di bawah cahaya
lampu gantung Skandinavia. Matanya menatap baris-baris iklan di
hadapannya dengan pandangan kosong. Jam di ruang sebelah
berdentang sepuluh kali.
Keadaan benar-benar kacau balau! Danielle masih sulit
mempercayai apa yang menimpanya hari ini. Ia bukan cuma
mengalami nasib sial sekali, tetapi dua sekaligus!
Sambil mengelus rambut merahnya ia teringat kejadian yang
tadi menimpanya. Ia mendatangi tempat penitipan anak di mana ia
bekerja tahun lalu, dengan keyakinan bahwa mereka memerlukan
tenaganya. Tetapi Danielle terkejut waktu direkturnya mengatakan
bahwa semua posisi telah terisi.
Lalu ia datangi kantor ayahnya! Ayahnya tak percaya saat ia
mengatakan bahwa ia ingin mencari pekerjaan. Begitu Danielle
menjelaskan bahwa ia serius, ayahnya melontarkan jawaban yang
sama dengan jawaban direktur tempat penitipan anak. Bahkan darah
dagingnya sendiri menolaknya!
Danielle mengetuk-ngetukkan jemarinya yang terawat rapi di
meja dan berusaha memusatkan perhatian pada iklan-iklan yang
terbentang di hadapannya. Amarah dan frustasi membuat matanya
berkabut! Biasanya ia akan menyuruh Grace untuk membawakan
minuman dingin. Tetapi Grace tak ada. Sementara itu ibunya sibuk
menyesali diri di ruang atas hingga tak sempat memperhatikan apa
yang dilakukan Danielle saat ini.
Hei, Red? Ngapain murung? Bangkit dong! Pasti ada yang bisa
kamu lakukan! Danielle seolah mendengar suara Don James
mengusiknya. Sambil bersandar di kursinya, Danielle tersenyum kecil
dan mendesah sedih.
Lalu ia meraih koran itu lagi. Ada beberapa halaman iklan yang
tertulis dengan huruf-huruf yang sangat kecil. Semuanya ditulis
dengan singkatan yang semula tidak dipahami Danielle. Berpeng?ia
tahu arti singkatan itu: hanya dibutuhkan yang berpengalaman.
Hampir semua iklan mencantumkan tulisan itu.
Dengan sedih Danielle menurunkan koran itu. Satu-satunya
pengalaman yang dimilikinya adalah belanja! Ia dilahirkan untuk
menghabiskan uang, bukan mencari uang!
Tiba-tiba matanya menangkap tulisan yang dicarinya: Peng tdk
ptng. Danielle meneruskan membacanya. P/W utk penerima tamu,
ramah, penamp. mnrk, suara bgs, gaji memuaskan, lamaran lwt pos
atau datang hari Minggu. Bisa segera mulai. Tercantum juga
alamatnya.
Danielle menandai iklan itu dengan lingkaran dan membacanya
lagi perlahan. P/W berarti paruh-waktu. Bagus. Kesempatan yang
bagus. Tak ada yang lebih menyenangkan daripada Danielle, kalau ia
lagi mau. Suaranya merdu.. Bukankah Don pernah mengatakan bahwa
suaranya seperti penyiar TV yang mengiklankan parfum tertentu?
Cocok. Nggak salah lagi! pikir Danielle. Dan yang terakhir, gaji
memuaskan. Nah, itulah yang diharapkannya.
Pekerjaan ini memang untuknya. Danielle dapat merasakannya.
Tak heran ia tak berhasil mendapatkan pekerjaan hari ini. Rupanya
sesuatu yang lebih baik telah menunggunya!
***********
Lori mendongak menatap jam, dan mengerjapkan matanya.
Sudah lewat jam satu! Berapa lama sudah ia tertidur?
Dua gambar rancangannya telah siap waktu Lori menatap meja
kerjanya. Yang satu adalah jaket dengan klep di pundak dan sederetan
kancing. Sedang yang lainnya adalah baju pesta dengan kerutan dan
hiasan di bagian punggungnya. Semua yang dikerjakannya malam itu
berserakan di kakinya.
Nick! Seharusnya Lori meneleponnya... juga Patsy! Perasaan
malu melanda Lori. Mengapa ia bisa lupa? Teman macam apa ia?
Terhuyung-huyung Lori bangkit dari meja kerjanya, dan
membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Ia harus segera tidur.
Besok ia harus menelepon mereka dan meminta maaf sebesarbesarnya. Ia harus berusaha membereskan urusannya dengan mereka.
Sambil berbaring Lori berusaha menenangkan diri. Namun tak
berhasil. Meskipun lelah, ia tak dapat tidur.
Yang paling sulit akan selesai hari Senin nanti, ujarnya berulang
kali pada dirinya sendiri. Yakin sajalah....
Lima Dengan rasa letih Lori menaiki tangga eskalator. Matanya
memperhatikan jam besar dekat air mancur yang tampaknya semakin
mengecil. Sudah lewat tengah hari. Sepanjang pagi ia sibuk berkutat
membuat gambar-gambar hingga otot-otot lehernya terasa kaku.
Barulah ia sadar bahwa ia perlu beristirahat.
Setiba di rumah nanti setelah menyelesaikan gambarnya, ia
akan menelepon Nick dan Patsy. Seharusnya ia menelepon mereka
tadi pagi, tetapi Lori begitu asyik meneruskan gambarnya sampaisampai ia tak memperhatikan waktu berlalu.
Idenya adalah empat setelan atas bawah yang dapat dipadupadankan. Bajunya bergaris-garis diagonal, demikian pula celana
pendeknya, namun garis-garis pada celana arahnya berlawanan.
Hasilnya begitu mempesona. Setelan padu-padan itu tentunya
akan lebih irit bagi gadis-gadis remaja kalau mereka membeli
keempatnya sekaligus.
Ide jenius itu timbul pagi hari. Setelah selesai menggambarnya,
barulah Lori merasakan kaku di lehernya.
Sambil menaiki eskalator, Lori berusaha menyingkirkan
perasaan bersalahnya pada Patsy dan Nick. Alasan bahwa ia tak punya
waktu semalam kurang tepat. Namun mengatakan bahwa ia lupa
tampaknya lebih buruk lagi.
Jantungnya berdebar kencang saat Lori sampai pada akhir
eskalator. Mungkin juga ia terlalu keras pada dirinya sendiri. Lagi
pula sekarang ini ia harus berkonsentrasi penuh pada rancangannya
yang baru. Ia pasti dapat memanfaatkan sedikit inspirasinya.
Sesampai di lantai empat Lori menikmati kemewahan di
sekelilingnya dengan rasa lega. Akhir-akhir ini tempat ini serasa
membuat hidupnya lebih santai. Bahkan sakit di lehernya terasa
hilang. Ini bisa menjadi kebiasaan, batin Lori waktu ia menjejakkan
kakinya di Facades.
Ia membawa cukup banyak uang. Di lantai bawah, saat masuk
ke dalam mall, Lori menuruti godaan hatinya untuk mengambil
uangnya lagi di mesin ATM. Tampaknya perasaan Lori Randall?si
gadis kaya muncul kembali.
Di dalam butik gadis pramuniaga itu tampak masih
mengenalinya. "Hai," sapa Lori perlahan saat wanita itu
menganggukkan kepalanya dengan gembira pada Lori. Lalu Lori
mulai menjelajahi dunia indah yang dipenuhi aneka macam warna itu.
Ia berhenti dan meraba blus sutera dengan lukisan tangan bunga
mawar yang merambat ke bagian atas lengannya. Lukisan pada
pakaian...nah, mungkin ide itu dapat digunakan pada rancangannya.
Seorang wanita tampak sedang membuka bungkusan sweater
angora dekat etalase kaca. Saat wanita itu menjauh, Lori membungkuk
lalu merabanya. Bahan angora itu terasa begitu lembut bagaikan
rambut malaekat. Senyum penuh khayal membayang di wajah Lori.
Facades benar-benar merupakan dunia yang lain?tempat di mana
impian menjadi kenyataan. Tak heran Danielle sangat menyukai
tempat itu.
Saat mengalihkan pandangannya, Lori melihat sederetan blus
satin berwarna gading. Sambil menghampiri tempat itu Lori terus
mengingatkan dirinya bahwa ia hanya akan mencari inspirasi. Tetapi
betapa sulitnya. Blus-blus berwarna gading itu tampak begitu
menggoda untuk dikenakan dengan rok kulit merahnya.
Ia memerlukan sesuatu yang dapat dipadankan dengan rok
barunya, pikir Lori. Sambil memegang baju nomor enam, Lori
berkaca di cermin yang terdekat. Keren sekali. Sentuhan satin pada
lehernya terasa menggoda. Blus itu cocok benar. Pengetahuannya
tentang disain membuatnya paham akan hal itu.
Ia harus membelinya.
Bukankah selama ini ia begitu sibuk merancang? Lagi pula ia
telah kehilangan waktu kencannya dengan Nick, selain juga kurang
tidur tadi malam?
Rasanya cukup pantas membeli satu blus lagi.
"Akan kubayar kontan," ujar Lori pada kasir, sambil
menyerahkan baju satin tadi.
"Baik," jawab pramuniaga tadi dengan gembira. "Harganya
tujuh puluh enam dollar empat puluh sen termasuk pajak."
Tanpa berkedip Lori segera mengeluarkan uangnya. Ia
menikmati saat-saat yang menyenangkan itu dan rasanya benar-benar
fantastis. Masih ada waktu untuk menghadapi dunia yang nyata nanti.
***********
Saat Danielle selesai berdandan dan keluar dari rumahnya, jam
telah menunjukkan pukul satu lewat. Kuharap lowongan itu masih
ada, doanya sambil memandang jam di dashboard mobilnya.
Harus ada, ia meyakini dirinya. Pekerjaan itu cocok untuknya,
Danielle merasa yakin. Ia memiliki semua persyaratan yang diminta.
Mengenai penampilannya? bahkan ia sendiri mengagumi dirinya.
Sambil memeriksa penampilannya sekali lagi di kaca spion, Danielle
merasa puas. Ia benar-benar menarik.
Sampai di tempat yang dituju, Danielle menatap tak percaya.
Dibacanya sekali lagi alamat yang tertera. Rupanya itu alamat sebuah
kantor pemakaman!
Danielle duduk di kursi sambil memandang bangunan bergaya
Victoria itu. Kantor pemakaman bukanlah tempat yang tepat untuk
memulai sebuah karir. Bukan ide yang bagus.
Namun di lain pihak, pikir Danielle sambil bersandar pada setir
mobilnya, kalau ia bekerja di tempat ini, tak seorang pun akan tahu.
Mana ada sih, pekerjaan lain yang begitu terpencil tempatnya?
Setelah mematikan mesin mobil, Daielle segera menyisir
rambutnya dan membetulkan lipstik warna merahnya dengan tisu.
Kemudian ia menyemprotkan parfum Fallen Angel di tubuhnya.
Setelah menarik napas dalam-dalam, ia melangkah keluar dari mobil.
Ia butuh pekerjaan, dan bekerja di sini masih lebih baik dibandingkan
menyiapkan hamburger di tempat umum.
Lagi pula usaha pemakaman telah menjadi hal yang umum
akhir-akhir ini. Selain itu, bukankah lowongan itu untuk penerima
tamu dan bukannya petugas pemakamam!
Setelah membuka pintu besar, Danielle disambut seorang
wanita tengah baya dengan pakaian biru navy-nya yang norak,
dilengkapi dengan kalung mutiara yang malah menambah
penampilannya lebih norak lagi. Rambut cokelatnya yang sederhana
sama sekali tak punya model, sementara sepatu yang dikenakannya
tampak kuno.
"Kamu datang untuk pemakaman Hendrik?" ia bertanya dengan
lembut. Senyuman menghiasi wajahnya.
"Tidak!" gumam Danielle. "Mmm... aku datang, untuk kerja."
"Oh iya. Lowongan itu," sahut wanita itu sambil mengangguk
penuh pengertian. "Pak Rivici sekarang ada di kantornya. Ruangannya
melewati kamar jenazah?pintu pertama di sebelah kanan."
Kamar jenazah? Sekujur tubuh Danielle merinding. Ia berusaha
untuk tidak berpaling waktu melewati kamar itu. Sungguh mengerikan
membayangkan mayat-mayat yang terbaring di situ menunggu
kedatangan sanak keluarganya.
Setelah melewati kira-kira selusin rangkaian bunga, Danielle
sampai di pintu kantor.
"Selamat siang, saya mau melamar pekerjaan," ujarnya pada
seorang pria di belakang meja.
Pria itu menatap Danielle dengan matanya yang pucat dan
melemparkan senyum yang membuat bulu kuduk Danielle meremang
kembali. "Selamat datang," sapanya. "Saya Rivici, pemilik perusahaan
ini. Nama Anda nona...."
"Danielle Sharp," gumam Danielle, kedua matanya menatap
lelaki itu.
Pak Rivici mengenakan setelan hitam, yang membuat kulitnya
yang putih tampak semakin pucat. Saat Pak Rivici menatapnya,
Danielle merasa yakin bahwa lelaki itu menghabiskan banyak


Merival Mall 10 Kemenangan Manis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

waktunya di antara jenazah-jenazah dan keluarganya. Kedua matanya
memancarkan pandangan yang penuh rasa prihatin.
"Aku mencari asisten yang bisa bekerja beberapa jam setiap
hari," jelas Pak Rivici. "Apakah kamu pernah kerja di kantor?"
Tentu saja belum. "Mmm," sahut Danielle. "Di iklan tertulis
tidak diperlukan yang berpengalaman, tapi aku pernah kerja di kantor
ayahku beberapa waktu." Memang ia berbohong. Satu-satunya hal
yang pernah dilakukannya di kantor ayahnya adalah menunggu ibunya
selesai berbelanja sewaktu ia masih kecil.
Namun Pak Rivici tampak senang. "Kamu diterima kalau kamu
mau. Tugasmu adalah menjawab telepon dan mengurus administrasi
kantor. Aku ingin mengantar kamu berkeliling, tapi aku benar-benar
lagi sibuk?karena ada yang harus kukerjakan. Bisakah kamu mulai
sekarang?"
"Sekarang?" tanya Danielle tergagap. "Hari ini?" Ia memang
berharap segera memperoleh pekerjaan, tetapi tidak secepat itu dan di
tempat itu! Namun tak ada pilihan lain lagi. Semakin cepat ia bisa
memperoleh uang, semakin baik.
"Mmm...oke. Baiklah," ujarnya berusaha tersenyum.
Seharusnya ia gembira. Bukankah ia baru saja memperoleh pekerjaan?
"Yang ini perlu dicatat menurut abjad," ujar Pak Rivici, sambil
menyerahkan setumpuk kertas dari mejanya. "Mudah kan?" katanya
sambil melemparkan senyumnya yang seram. "Selamat bekerja, Nona
Sharp. Akan kutunjukkan ruang kerjamu."
Ia mengantarkan Danielle menuju ke sebuah meja antik kecil
berwarna putih di sebuah ruangan yang sunyi dan jauh dari tempat
penerimaan tamu. "Kamu akan sendirian di sini. Tak seorang pun
yang akan mengganggumu." Sambil tersenyum dingin ia
meninggalkan Danielle dengan pekerjaannya.
"Huh...." Danielle menghembuskan napas ketakutannya kuatkuat. "Gawat juga nih...."
Ya, kelihatannya memang gawat, padahal sebenarnya tidak.
Tampang Pak Rivici memang menakutkan, dan tempat itu sendiri
membuatnya merinding. Bau bunga yang tercium oleh Danielle justru
menambah rasa seram. Danielle berusaha untuk tidak memikirkan hal
itu. Suara organ yang terdengar dari pemakaman di ruang bawah
membuat Danielle membayangkan bahwa para pengusung jenazah itu
datang untuk menjemputnya setiap saat!
"Selamat bekerja, Danielle," ujarnya pada dirinya sendiri,
berusaha mengusir rasa panik yang tiba-tiba timbul. "Ingat, semua ini
demi uang!"
***********
Lori melihat jam di pergelangan tangannya. Ya ampun! Sudah
pukul satu tiga puluh. Ia telah bertekad untuk mulai bekerja lagi pada
jam dua. Tetapi betapa menyenangkan beristirahat di tempat ini, dan
sungguh berbeda dengan meja kerjanya di rumah. Kalau saja ia bisa
beristirahat lebih lama lagi....
Tetapi tidak. Ia harus tegas pada dirinya sendiri. Dan ia harus
kembali bekerja. Ia baru saja membeli makan siangnya di luar, tetapi
sekarang ia harus pergi!
"Lori!" terdengar suara merdu memanggilnya. Saat itu juga Lori
tahu itu adalah Ann Larson.
Tiba-tiba ia dilanda rasa panik. Ia senang bertemu dengan Ann
Larson, tetapi ia sudah beristirahat terlalu lama.
Lori berusaha melawan keinginannya untuk menghindar, ia
membalik dan melambaikan tangan pada temannya. Rambut cokelat
Ann terkepang seperti biasanya. Mata abu-abunya berbinar senang
pada Lori saat gadis itu berlari menghampirinya.
Di belakang Ann tampak Patsy Donovan dengan wajah
cemberut. Rambut cokelatnya yang keriting menutupi sebagian
wajahnya yang tampak sedih dan kecewa. Lori menyadari bahwa
Patsy tak menyapanya sama sekali.
"Hai," sapa Lori, sambil menuruni eskalator. "Patsy, maaf aku
tak meneleponmu tadi malam. Aku begitu sibuk dengan
pekerjaanku?"
"Nggak apa," ujar Patsy dengan mata yang memancarkan rasa
sedih. Lori mengernyitkan keningnya. Betapa teganya ia membuat
temannya itu kecewa. "Aku sibuk sekali?" ia berusaha menjelaskan.
"Aku tahu," potong Patsy, "Kamu sudah cerita."
"Kamu nggak marah kan?" tanya Lori.
"Nggak," gumam Patsy. Jelas ia berdusta. Lori memutar
otaknya mencoba mencari kata-kata yang dapat mencairkan suasana.
Tetapi tak berhasil. Ia malahan merasa bagai seorang idiot di antara
kedua sahabatnya.
"Hei, kita kan mau makan. Mau ikutan, nggak?" Ann
menatapnya dengan penuh harap, hingga Lori hampir tergoda untuk
ikut. Tetapi tak mungkin.
"Maaf... aku nggak bisa." Rasanya begitu sulit untuk
melepaskan diri dari Patsy dan Ann. Coba tadi ia meninggalkan
Facades lebih dini!
" Wow," keluh Ann dengan polos. "Lori, dari dulu kamu
memang pekerja keras, tapi ini sih keterlaluan. Sudah seminggu aku
nggak ketemu kamu. Kamu nggak pernah istirahat, ya?"
"Nggak juga," ujar Lori. "Aku harus membuat satu set
rancangan baru untuk hari Senin besok!"
"Kamu kerja di mana, sih? Facades?" tanya Patsy sinis,
sementara mata cokelatnya menatap tajam pada tas belanjaan yang
dibawa Lori.
"Oh! Ini? Aku baru beli baju, itu saja," jelasnya, wajahnya
merona merah. Patsy, Lori dan Ann biasanya suka mengejek gadisgadis yang berbelanja di Facades. Dan kini ia membawa tas belanjaan,
padahal ia baru saja mengatakan bahwa ia tak punya waktu.
"Oh, aku tahu," sahut Ann, senyumnya lenyap. "Ayo deh Pats,
aku lapar, nih. Kamu gimana?"
"Sama," ujar Patsy sambil melemparkan pandangan kecewanya
pada Lori. "Sampai ketemu, Lori. Kabari ya, kalau kamu sudah nggak
sibuk lagi."
Dengan wajah merah karena malu, Lori menatap kepergian
kedua sahabatnya. Sebagian dari dirinya ingin benar mengejar mereka,
merangkul keduanya dan meminta maaf. Tetapi sebagian lagi dari
dirinya terlalu malas untuk bergerak.
Akhirnya mereka menghilang di sudut. Dengan hati yang pedih,
Lori memaksakan diri untuk keluar.
Mengapa ia mesti pergi ke Facades dan bukannya menemui
kedua sahabatnya? Apakah ia merasa malu dengan sukses dan uang
yang diperolehnya?
Apa yang sebenarnya terjadi? Dan yang lebih penting lagi?
kalau ia sudah berhasil, apakah ia masih akan mempunyai teman?
Enam Dengan gusar Lori memasukkan buku-buku catatannya ke
dalam loker, mengeluarkan tas gambarnya, dan membanting pintunya
kembali. Ini benar-benar hari yang buruk baginya. Bukan cuma itu
saja! Sambil bergegas melintasi lapangan parkir, Lori berusaha
melupakan semua yang dialaminya di sekolah. Masih diingatnya
bagaimana Patsy dan Ann saling bertukar pandang penuh arti waktu
Lori duduk bersama mereka di kantin. Selama makan siang itu,
ketiganya hanya duduk dengan kaku sambil menunggu bel berbunyi.
Sungguh menyakitkan.
Belum lagi ulangan sejarahnya. Ia setengah tertidur selama
ulangan itu. Lori cuma bisa berharap bahwa jawaban atas pertanyaan
pilihan gandanya betul semua. Sedangkan pada bagian esai, ia bahkan
tak tahu topiknya. Siapa sih Bismarck?
Lori membuka pintu mobilnya lalu menjatuhkan diri di kursi.
Meskipun ia sempat tidur nyenyak selama tiga jam, namun itu tidak
menambah baik suasana hatinya.
Namun semangatnya mulai timbul kembali saat ia menjalankan
mobil meninggalkan lapangan parkir sekolah menuju pabrik, tempat
usahanya yang menjanjikan masa depan yang cerah!
Ia berhasil. Ia telah berhasil menciptakan satu set 'Rancangan
Lori' hanya dalam waktu tiga hari. Lori menepuk-nepuk tas gambar
yang terletak di sampingnya dengan rasa bangga. Rancangan yang
diberikannya pada Betty benar-benar bagus. Paling tidak, begitulah
anggapannya. Namun sesaat Lori merasa ragu. Bagaimana kalau Betty
Finn tak sependapat?
Dengan tak sabar ia menunggu lampu merah, dan berharap
Betty memahami rancangan terbarunya. Memang agak berbeda
dengan rancangannya yang lain, lebih wah, dan menurut Lori?lebih
santai. Rancangannya kali ini berupa blus panjang dengan tali di
bagian bahunya, dan yang satunya memakai ritsleting di bagian depan
dengan potongan leher diagonal yang berani. Ada juga celana panjang
dengan hiasan kantong di bagian luar, serta rok bertaburan manikmanik.
Bahkan ide rancangannya itu timbul tidak seperti biasanya. Ia
tidak menunggu datangnya ilham, tetapi ia mulai dengan mencoretcoret begitu saja. Malahan hari Minggu kemarin, ia tak henti-henti
menggambar, satu demi satu. Ternyata, bakat tersembunyinya muncul
juga. Ia menemukan berbagai ide dan pola, juga mengubah celana
pendek berselempang menjadi celana brokat berenda.
Beberapa rancangannya meniru ide dari apa yang dilihatnya di
Facades?salah satu jaket denimnya berlukiskan bunga di bagian
kerahnya? tetapi kebanyakan merupakan idenya sendiri. Lori
mengagumi kepandaiannya merancang.
Tetapi kerja keras dan kurang tidur telah meminta
pengorbanannya juga. Setelah menyerahkan hasil rancangannya pada
Betty, ia berniat untuk segera pulang, dan tidur sampai pagi.
Saat melihat pabrik yang ada di depannya, jantung Lori
berdetak dua kali lebih cepat. Tak lama lagi ia akan mengetahui hasil
rancangannya. Setelah memarkir mobilnya Lori masuk ke dalam
gedung. Ia mengepit rancangannya erat-erat, dengan pandangan penuh
harapan. Saat membuka pintu kantor, Lori merasa yakin semua orang
dapat mendengar detak jantungnya.
Betty sedang menelepon di ruangannya. Lori berusaha
menenangkan diri dengan berjalan mondar-mandir memperhatikan
hasil karya para penjahit. Sungguh fantastis menyaksikan
rancangannya terwujud. Ide-ide yang semula hanya ada dalam gambar
kini menjelma menjadi kenyataan, lengkap hingga ke detilnya.
Betapa bangganya Lori! 'Rancangan Lori' merupakan hal yang
paling menyenangkan baginya. Tiba-tiba saja keraguannya hilang.
Mungkin saja teman-temannya gusar, atau hubungannya dengan Nick
meregang, bahkan matanya layu karena kecapaian ? namun semua
pengorbanan itu ada harganya. Pada usianya yang baru enam belas
tahun ia berhasil membuat sebuah pabrik mewujudkan rancangannya!
"Kamu bawa sesuatu?" tanya Betty sambil menyembulkan
kepala dari pintu kamar kerjanya.
"Ya dong," sahut Lori bangga.
"Ayo masuk!"
Lori masuk ke ruang kerja Betty, meletakkan tas gambar di atas
meja, lalu membukanya.
"Cepat sekali," puji Betty sambil memperhatikan gambar
pertama dengan penuh semangat.
"Trims," sahut Lori sambil tersenyum penuh harap. "Kuharap
Anda suka."
"Hmmm...." Betty memperhatikan seluruh gambar tanpa
mengeluarkan sepatah kata pun atau mengangguk. Wajahnya tampak
serius sementara mata cerdiknya menyimak seluruh gambar dengan
saksama. Duh, pikir Lori, dia tahu persis bagaimana membuat orang
gelisah. "Eeem...ya, ya...," gumam Betty. Kemudian ia mengatakan
sesuatu yang membuat Lori tersenyum. "Apa betul umurmu baru
enam belas tahun? Saya suka semuanya!"
Lori menutup matanya dan mendesah lega. "Untunglah!"
akunya. "Kalau tidak, bisa-bisa aku mati."
"Semuanya begitu alami!" puji Betty. "Malah lebih bagus
daripada rancanganmu yang pertama, yang juga saya sukai. Begini
Lori, dengan rancangan yang ini dan yang itu, saya yakin kita pasti
berhasil. Nah, sekarang coba jelaskan mengenai hiasan-hiasan itu."
Tiba-tiba saja kelelahan yang dirasakan Lori lenyap seketika. Ia
segera duduk di sebuah bangku, lalu menjelaskan tentang berbagai
hiasan yang akan membuat baju itu tampak unik.
Sambil mendengarkan, Betty memperhatikan semua rancangan
satu demi satu. "Begini...," gumamnya sambil meraih sebuah gambar,
lalu yang lainnya.
"Ada yang salah?" tanya Lori perlahan, jantungnya berdetak
keras. "Begini, saya suka semua rancangan ini. Tetapi saya
memikirkan hiasan-hiasannya. Tambalan-tambalan pada rok, kancing
logam pada jaket itu. Bukannya saya tak suka, tapi semua hiasan itu
membuat harganya jadi mahal. Ingat, target kita adalah para gadis
remaja, bukannya orang dewasa, tahu maksudnya?"
"Oh..." Lori menelan ludah. "Berarti Anda tak bisa
memakainya?"
"Nggak juga." Betty kembali duduk di kursinya lalu menarik
napas dalam-dalam. "Kita masih bisa menggunakannya?dengan
beberapa penyesuaian."
Lori tahu Betty berusaha untuk tetap lembut. "Apa maksudmu
dengan penyesuaian?" tanya Lori pada manajer itu dengan cemas.
"Perubahan," jelas Betty. "Seperti ini, misalnya," jelas Betty
sambil mengambil sebuah gambar lalu menyerahkannya pada Lori.
"Bisa nggak manik-manik ini kita ganti?"
Lori mengerutkan keningnya. "Kupikir... bagaimana kalau
diganti dengan pita?" usul Lori dengan suara lemah.
"Nah, begitu!" sahut Betty, sambil meraih gambar itu dari
tangan Lori dan menuliskan kata ganti pita di atasnya. "Bagaimana
dengan yang lainnya? Kita bisa mengubahnya?tetap menarik, namun
dengan harga yang terjangkau pembeli."
Lori mengangguk lalu bangkit dari kursinya. "Akan kucoba,"
gumamnya. "Bagus! Setelah ini selesai, kita mulai dengan pakaian pesta."
"Pakaian pesta?" ulang Lori heran. "Pakaian pesta seperti apa?"
"Apa Nora belum mengatakannya padamu?" tanya Betty
bingung. "Nora telah mengadakan rapat dengan konsultan peneliti
pasar. Menurut konsultan itu kita harus membuat satu set rancangan
yang berbeda, kalau kita ingin merebut pasaran para remaja. Kira-kira
tiga atau empat rancangan yang menarik."
"Kapan Anda membutuhkannya?" tanya Lori berusaha untuk
memahami informasi baru itu.
"LCLB," jawab Betty. Kening Lori berkerut bingung, lalu Betty
menjelaskan, "Lebih cepat lebih baik."
"Baiklah," sahut Lori cemas. Bukankah ia telah berjanji pada
Nora untuk bekerja sebaik-baiknya? Tak mungkin ia menyerah begitu
saja. "Oh! Saya lupa memberitahumu!" suara Betty terdengar ceria.
Wah, ada pekerjaan apa lagi?
"Ada iklan mengenai perusahaan kita dalam Merivale Monitor
minggu ini. Mungkin terbit hari ini atau besok. Kata Nora, ia telah
menyimpan beberapa lembar untukmu."
"Bagus," ujar Lori sedikit ceria.
"Nah, selamat bekerja!" kata Betty sambil membalik-balik
tumpukan bon pengiriman barang saat telepon berdering.


Merival Mall 10 Kemenangan Manis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Rancangan Lori, sebentar ya," ujar Betty melalui telepon. Lalu
sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Lori ia berbisik,
"Rancanganmu hebat, Lori. Maju terus."
"Trims," jawab Lori senang. Untung ia suka merancang. Ia pasti
akan terikat dengan meja gambarnya selama beberapa hari mendatang.
Nah, siapa yang tak iri padanya? Ia, dalam usianya yang enam
belas tahun sudah memiliki perusahaan sendiri! Nasibnya benar-benar
baik! Apa yang dialaminya bagai dalam mimpi!
**********
Nah, pikir Danielle sambil mengetuk-ngetukkan pinsil Kantor
Pemakaman di atas mejanya yang berlapiskan kain tebal berwarna
hijau. Nggak terlalu buruk, aku masih bisa mengatasinya. Nggak
masalah. Ini adalah hari keduanya bekerja. Hari Minggu terasa begitu
membosankan, dan hari ini ia sudah lebih dekat sehari mendekati
gajian tiba.
Memang, ia harus melewati "kamar jenazah" untuk menuju ke
kantornya. Namun Danielle tak perlu menengok ke dalamnya. Yang
paling menyeramkan di kantor ini, pikirnya, malahan bukan orang
mati. Tetapi Pak Rivici, yang tampangnya benar-benar menyeramkan.
Untunglah laki-laki itu banyak menghabiskan waktunya di
ruang bawah tanah, entah apa yang dikerjakannya. Danielle berusaha
memusatkan perhatian pada pekerjaannya. Everhart harus diletakkan
setelah Everett... Fagan sebelum Fenley....
Apa sih yang dilakukan Pak Rivici di ruang bawah tanah?
Katanya, di ruang bawah itu mayat-mayat disiapkan, entah apa
maksudnya. Gemetar karena ketakutan Danielle memutuskan bahwa
ia takkan peduli apa yang terjadi di sana. Kadang-kadang perlu juga
bersikap cuek.
Danielle nyaris melompat dari kursinya waktu telepon berbunyi
dan membuyarkan khayalannya. Ia mengangkat gagang telepon, lalu
memperdengarkan suaranya yang merdu.
"Halo, Kantor Pemakaman Rivici. Ada yang dapat saya bantu?"
Suara wanita yang terdengar histeris di seberang telepon itu
mengatakan ingin bicara dengan Pak Rivici segera. Ia tak bisa
ditelepon kembali. Wah-wah.
Tak ada pesawat intercom di tempat itu, yang berarti Danielle
Sharp untuk pertama kalinya terpaksa menginjakkan kakinya... ke
ruang bawah tanah.
Danielle menarik napas dalam-dalam dan berjalan takut-takut
mendekati pintu yang terbuat dari kayu oak. Ia berusaha mengubur
ketakutannya dengan meyakinkan dirinya bahwa semua itu baik-naik
saja. Tetapi sia-sia.
"Pak Rivici, telepon untuk Anda," panggilnya ke bawah tangga.
Namun tak ada jawaban. Danielle mendehem, lalu mencoba lagi.
"Maaf, Pak Rivici?" Tetap tak ada jawaban.
Suaranya mulai serak setelah panggilan untuk yang ketiga
kalinya. "Pak Rivici?" lengkingnya, ketakutan. Ia terpaksa turun ke
bawah. Sambil menyilangkan tangannya ke depan untuk melindungi
diri, Danielle menuruni tangga berkarpet yang bunyinya berkeriatkeriut. Ruangan itu tak terlalu gelap dengan cahaya remang-remang.
Ada tiga meja besar di bawah lampu, dan di atas salah satunya
terbujur tubuh tertutup selimut bergaris-garis biru putih, dari ujung
kaki hingga kepala. Pemandangan itu membuat Danielle berdoa lebih
gencar lagi.
"Pak Rivici? Anda di situ?" tanya Danielle parau.
Mata hijau Danielle terpaku menatap meja. Dengan ketakutan ia
melihat tubuh itu bergerak-gerak! Ia tidak bermimpi?selimut itu
bergerak-gerak!
Selimut itu terjatuh... dan sesosok tubuh di baliknya duduk dan
menatap Danielle. Itu Pak Rivici!
"Ada apa Danielle?" ia bertanya, sambil menggosok-gosok
matanya yang pucat. "Aku baru tidur sebentar. Danielle? Kamu ke
mana?" ebukulawas.blogspot.com
Tetapi Danielle tak mampu menjawab lagi.
Ketakutannya telah membungkam mulutnya. Ia berlari secepat
mungkin. Danielle menaiki anak tangga, menuju ke pintu langsung ke
arah BMW-nya. Kemudian ia membanting pintu mobil dan
menguncinya. Mobilnya menderu meninggalkan tempat itu. Ia
memang membutuhkan pekerjaan? tetapi bukan yang mengerikan
seperti itu!
Tujuh Kenapa sih, bisnis busana begitu rumit? Dalam perjalanan
pulang, pikiran Lori dipenuhi dengan berbagai pertanyaan itu. Ia tak
bisa menemukan jawabannya. Ia cuma harus kembali berkutat,
membuat beberapa perubahan, kemudian merancang pakaian pesta.
Lori mencengkeram Setir mobilnya kuat-kuat. Sesampai di
rumah ia akan meminta izin kedua orangtuanya untuk tidak makan
malam bersama mereka tetapi ia akan makan di kamarnya sendiri.
Dengan demikian ia bisa menghemat waktunya selama empat puluh
lima menit. Ia juga bisa bangun cepat esok paginya lalu bekerja lagi
selama dua jam sebelum sekolah....
Untuk teman-temannya, Lori berniat memberikan sesuatu pada
mereka setelah semua ini usai. Apakah itu, ia belum tahu. Dan ia tak
punya waktu untuk memikirkannya sekarang.
Sambil mendesah dengan rasa kesal, Lori menginjak pedal rem
di lampu merah. Dari sudut matanya ia menangkap tulisan besar pada
kaca Rental Tuxedo Richard. Tertulis di situ, CUCI GUDANG
PERLENGKAPAN PRIA.
Mungkin perasaannya sedang kacau, namun Lori langsung
memasang lampu untuk membelokkan mobilnya memasuki lapangan
parkir toko itu. Ia keluar, sambil berharap tidak menghabiskan banyak
waktu di toko itu.
"Halo..." panggilnya pada seorang pramuniaga bertubuh tinggi
yang berdiri di bagian belakang toko. "Di mana tuxedo yang dijual?"
"Di sini, silakan." Lelaki itu membawanya menuju bagian
pakaian-pakaian resmi. "Ini dia," ujarnya sambil menghentikan
langkahnya dekat sebuah rak panjang berisi bermacam-macam tuxedo
dalam berbagai warna.
"Semuanya baru. Kebanyakan malah belum pernah dipakai.
Pembeli remaja pria memang jarang sekali."
Lori menyentuh sebuah setelan berhiaskan kain satin di bagian
kerahnya, ia menyukainya. Kalau ia menghilangkan bagian bahu serta
kerahnya, lalu menjahitnya kembali dengan model kerah tanpa bahu...
kemudian, jika ia merancang celana atau rok mini satin untuk
dipadankan dengan atasan itu? setiap gadis pasti akan tergoda untuk
memakainya dalam pesta! Ide yang jenius. Lori yakin!
"Anda mau nomor berapa?" tanya pramuniaga itu saat Lori
sedang memperhatikan beberapa setelan.
"Mm..." dengan cepat Lori memutar otaknya.
"Aku tertarik nomor sepuluh sampai enam belas. Berapa yang
Anda punya?" Lori tahu bahwa pakaian laki-laki ukuran besar bisa
dirubah untuk para gadis, karena masih ada bagian yang bisa
dipotong. "Nomor sepuluh sampai enam belas? Coba saya lihat... ada tiga
puluh enam."
Bagus! Tiga buah rancangan, dan masing-masing dua belas!
"Kubeli semua," ujar Lori dengan riang. Tuxedo tanpa bahu!
Inilah pakaian pesta paling jenius yang pernah didengarnya!
Meskipun itu berarti ia harus kerja lebih keras lagi, apa
salahnya? Lori mulai menyukai setiap saat dalam hidupnya!
***********
Sambil mengendarai mobilnya yang bersuara berisik, persis
seperti gunung berapi yang siap meletus, Danielle merasa benar-benar
kecewa. Satu-satunya pekerjaan yang diperolehnya, lepas dari
tangannya hanya dalam waktu satu setengah hari.
Mengapa, oh mengapa ayahnya yang begitu kaya raya dan bisa
memberi apa saja yang diinginkannya kini harus merenggut semua itu
kembali? Dalam suasana hati yang kacau balau Danielle mengarahkan
mobilnya memasuki Merivale Mall. Keningnya berkerut saat melihat
pemisah jalan yang telah merusak mobilnya. Mengapa harus ada
pemisah jalan sialan itu? Tak ada gunanya!
Danielle keluar dari mobilnya lalu menghampiri eskalator
utama. Ia mengharap ada keajaiban dalam hidupnya, saat ini juga.
Meskipun ia tak mempunyai uang, namun ia ingin mengunjungi
Facades. Saat memasuki mall, Danielle merasa seakan-akan sudah
berabad-abad lamanya ia tidak menginjakkan kakinya di Facades.
Kini ia seperti Lori, sepupunya yang terus bekerja tanpa sempat
bersenang-senang. Danielle bertekad untuk memperhatikan gaya
sepupunya itu.
Saat Danielle menaiki eskalator menuju ke lantai paling atas, ia
diliputi perasaan lega. Di sinilah tempatnya?sebagai langganan
tentunya. Kedatangannya di Facades di lantai empat agak menarik
perhatian. "Nona Sharp! Halo! Ke mana saja?" tanya Michelle.
"Oh, aku lagi sibuk," dusta Danielle.
"Jaket sutera yang Anda tanyakan tiba hari ini!"
"Oh, mana?" tanya Danielle riang.
"Pasti Anda menyukainya," ujar wanita itu sambil mengantar
Danielle menuju ke tempat pajangan.
Begitu Danielle melihatnya ia tahu Michelle benar. Jaket itu
sungguh menarik. Ukurannya besar, dilengkapi kantong besar dan
kerah berumbai. Dirancang dengan warna-warna yang menarik.
"Aku suka sekali," gumam Danielle, sambil meraih salah
satunya yang berwarna biru dan menyodorkannya pada Michelle.
Dengan bantuannya Danielle mengenakan jaket itu. Rasanya seperti
miliknya saja.
"Berapa harganya?" Mata Danielle menatap lekat bayangannya
yang cantik di kaca. Bukankah ayahnya belum menarik kartu
kreditnya. Ia bisa saja membelinya tanpa ketahuan.
"Murah kok. Dua ratus dua puluh dollar."
Danielle memandang bayangannya kembali dalam cermin.
Kemudian kejeniusannya dalam matematika mulai bekerja. Kalau ia
bisa memperoleh empat dollar setiap jamnya?untuk menjadi dua
ratus dua puluh dollar... berarti ia harus bekerja selama lima puluh
lima jam! Belum lagi biaya kerusakan mobilnya.
Tidak. Sambil mendesah sedih Danielle menatap jaket itu sekali
lagi. Hidup ini benar-benar kejam.
"Aku tak suka lengannya," ujarnya berbohong. Tetapi sebelum
ia melepaskan jaket itu ia mendengar suara-suara yang tak asing lagi
di belakangnya.
"Ooo, Danielle! Keren sekali!"
"Kamu jadi membelinya, kan?"
Danielle memutar tubuhnya dan melihat Teresa Woods datang
menghampirinya. Ia mengenakan topi baret dan jaket besar berwarna
merah. Di belakangnya tampak Heather Barron yang berambut hitam.
Anting-anting peraknya bersinar gemerlap.
"Ke mana aja sih kamu?" tanya Teresa pada Danielle. "Kami
mencari-cari di sekolah."
"Kami menelepon hari Sabtu untuk mengajakmu belanja,"
tambah Heather.
"Oh," sahut Danielle perlahan. "Aku ada, kok." Perlahan-lahan
ia melepas jaket itu lalu menyerahkannya pada si pramuniaga.
"Hei kenapa?" tanya Teresa penasaran. "Kamu harus
membelinya! Jaket itu pas banget untukmu!"
Heather meraih jaket itu dari tangan pramuniaga sambil
tersenyum. "Dia pasti membelinya. Gila kalau nggak."
"Terserah kalian," ujar pramuniaga itu sambil tersenyum,
sebelum menyingkir.
"Nah, Danielle," ujar Heather dengan nada suara bagai
penengah. "Warnanya bagus. Modelnya oke. Bahannya juga bagus.
Kenapa nggak membelinya?"
"Lengannya aneh," sahut Danielle, berharap teman-temannya
takkan mengusiknya lagi.
"Lihat nih," ujar Teresa dengan suara tegas. "Buktikan."
Danielle menelan ludah, mencoba kembali jaket itu, lalu
melengkungkan bahunya. "Lihat? Nggak enak kan?"
"Danielle, jujur deh," tanya Heather licik. "Masalah uang kan?"
Jantung Danielle berdebar keras. Dari senyuman licik yang ada
di wajah kedua temannya itu, Danielle tahu mereka tentu menyangka
ucapannya benar. Memang, dulu Danielle mengalami masalah
keuangan? masa lalunya itu tak mungkin dihapus. Namun situasinya
kini jauh lebih buruk. Apa Teresa dan Heather mengetahuinya juga?
"Oh, aku sih punya uang," dusta Danielle riang. "Cuma aku
memang nggak berniat belanja hari ini." Alasannya terdengar aneh,
juga untuk telinganya sendiri. Namun hanya itu yang dapat
dilakukannya. Untunglah Teresa dan Heather tidak memperhatikan.
Perhatian mereka telah tertuju pada hal lain. Sweater angora telah
menarik perhatian mereka.
"Aku suka deh, bagus nggak?" tanya Heather sambil
mengangkat sweater hitam itu di depan dadanya.
"Bagus," gumam Danielle. Kalau ia menunjukkan
ketertarikannya akan sweater itu pada mereka, maka ia akan selamat.
"Kenapa kamu nggak mencoba juga yang warna putih?"
"Oh! Ngomong-ngomong Danielle," ujar Teresa, sambil
membalik-balik rok di rak. "Kamu sudah baca belum, artikel
mengenai sepupumu di Monitor hari ini?"
Danielle terpana. "Lori?" sahutnya pura-pura tenang sembari
membalik-balik baju. "Belum, aku belum melihatnya."
"Tentang bisnisnya. Ternyata boleh juga. Aku nggak tahu dia
punya pabrik sendiri dan sebagainya."
Lori punya pabrik? Mulut Danielle terasa kering.
"Ia pimpinan perancangnya?bahkan mungkin perancang
termuda di Amerika," lanjut Teresa.
Danielle tak tahan lagi. "Ya ampun! Aku harus sudah harus di
rumah kalau catering datang!" dustanya lagi sambil melirik jam
tangan emasnya yang bertaburkan berlian. "Sampai ketemu besok
ya?" Tanpa menunggu jawaban lagi ia segera menghambur keluar dari
Facades. Dengan wajah murung Danielle berlari menuruni tangga
berjalan, berusaha menahan air matanya.
Hidupnya telah terjungkir, hanya gara-gara kontrak sialan itu.
Sungguh tak adil!
Kalau saja ia mendapat pekerjaan, ia bisa ikut dengan temantemannya, sampai proyek ayahnya beres kembali?kalau bisa. Kalau
saja ia bekerja, ia bisa terus belanja dengan mereka, demi gengsinya.
Danielle menyeka matanya lalu meninggalkan eskalator dan
bertekad mencari sesuatu. Sesuatu yang akan menghasilkan uang.
Saat itu ia melihat pengumuman bertuliskan: DICARI
SEORANG KARYAWAN, PENGALAMAN TAK PENTING.
Danielle berhenti di depan pengumuman itu dengan terisak.
Betapa nasib telah menertawakannya! Pengumuman yang baru saja
dilihatnya itu terpampang di jendela kaca Tio Tacos, tempat di mana
ia takkan mau menginjakkan kakinya. Apa pun yang terjadi!
"Tidak," sumpahnya dalam hati. "Lebih baik aku mengemis.
Aku tak sudi kerja di situ!"
*************
"Lori...? Lori sayang, bangun!" Suara lembut ibunya


Merival Mall 10 Kemenangan Manis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuyarkan mimpi Lori. Ia bermimpi kamarnya dipenuhi berbagai
pakaian yang hilir-mudik di sekitarnya, mengelilinginya....
"Hai, Bu." Dengan mata kabur Lori melihat jam plastik yang
terletak di atas mejanya. Sudah lewat tengah malam. "Sepertinya aku
ketiduran."
Lori meluruskan tubuhnya, menggosok kedua matanya dan
meraih pinsil gambarnya. Ia akan menyelesaikannya lalu
membereskannya.
"Lori, Ibu kkawatir melihatmu." Wajah ibunya menatapnya
penuh kekhawatiran saat wanita itu memasuki kamarnya lalu duduk di
samping tempat tidurnya. "Juga ayahmu. Tampaknya semua ini terlalu
berat untukmu."
"Nggak kok, Bu! Betul!" protes Lori.
Ibunya tampak tak yakin. "Lori, maksud Ibu bukan karena
kamu tak sempat bertemu teman-temanmu selama beberapa hari ini,
atau janjimu yang berantakan dengan Nick. Tapi, bagaimana caramu
mengerjakan tugas-tugas sekolahmu? Ibu lihat kamu tak punya waktu
lagi untuk belajar."
"Bu, aku mohon!" pinta Lori. "Cobalah untuk mengerti. Mereka
ingin aku membuatnya, tapi semua itu kan ada tujuannya. 'Rancangan
Lori' merupakan kesempatan yang hanya bisa kuperoleh sekali seumur
hidupku! "
Ibunya berdiri dan mendesah panjang. "Bukan maksud Ibu
kamu harus berhenti, sayang. Tapi kami khawatir. Sudahlah, matikan
lampumu dan tidurlah."
"Baik Bu," sahut Lori seraya mengangguk.
"Dan Lori, ini bukan kesempatan yang langka. Pasti
kesempatan itu akan datang lagi suatu waktu, percayalah." Ibunya
merangkul bahu Lori dengan lembut, lalu meninggalkan ruangan.
Sambil mendesah lega Lori memperhatikan ibunya keluar.
Sungguh beruntung memiliki ibu yang penuh kasih sayang?kalau
saja beliau mengerti! Kesempatan seperti ini takkan datang lagi. Tak
mungkin! Delapan Dasar sial, gerutu Danielle sambil berjalan meninggalkan
antrian di kantin dengan membawa nampan berisi makanan. Tampak
Heather dan Teresa berdiri sambil melambaikan tangan, menunjuknunjuk ke tempat duduk favorit mereka di bagian belakang kantin itu.
"Yuu-huu! Danielle!" panggil keduanya, hampir serentak.
"Ke sana, ya!" Sambil pura-pura tersenyum Danielle menuju ke
meja itu. Apa yang dialaminya dengan mereka di Facades kemarin
benar-benar suatu siksaan. Kini ia harus memikirkan suatu alasan
untuk tidak ikut belanja dengan mereka sepulang sekolah.
Dengan tegang Danielle menimbang-nimbang alasannya. Jika ia
mengatakan hal yang sebenarnya, ia sudah dapat mengira apa yang
akan terjadi. Pertama-tama, keduanya akan menunjukkan sikap purapura bersimpati, kemudian berubah menjadi dingin, diikuti dengan
penghinaan. Tak lama kemudian cewek-cewek top di sekolah itu
takkan mau lagi bergaul dengannya. Bukannya ia sok tahu, namun
Danielle pernah menyaksikan hal demikian menimpa seorang gadis
lain di Atwood. Sambil melangkah mendekati meja, Danielle bertekad
takkan membiarkan hal seperti itu menimpanya.
"Hei Dan. Coba tebak. Kami punya ide bagus lho," ujar Teresa.
"Ingat nggak sweater angora yang ada di Facades? Gimana kalau kita
masing-masing membeli satu dengan warna yang berbeda, dan
memakainya pada pestaku dua minggu mendatang?"
"Asyik nggak!" sela Heather.
"Boleh juga tuh!" sahut Danielle pura-pura senang sambil
meletakkan nampannya di meja. "Tapi apa nggak gatal rasanya?"
"Gatal? Angora?" tanya Heather.
Danielle meraih sandwichnya. "Aku tahu, tapi angora
membuatku gatal," ujarnya sambil mengangkat bahu acuh tak acuh.
Teresa tampak tak percaya. "Pakai saja baju lengan buntung di
dalamnya," sarannya sambil mencibir.
"Danielle, boleh aku tanya?" tanya Heather sambil tersenyum
licik. "Tentu," jawab Danielle tangkas sambil membuka bungkusan
sandwich tunanya.
"Apa bukan karena masalah uang?" mata biru Heather yang
dingin menatap Danielle dengan saksama. "Maksudku, kalau betul aku
nggak keberatan meminjami kamu uang."
"Bukan itu, Heather," tukas Danielle kesal. "Maaf saja,
menurutku angora itu gatal."
Suasana di meja itu berubah menjadi kaku. Teresa menatap ke
langit-langit lalu menggigit sandwich salad udangnya. Sementara itu
Heather meraih jus strawberinya dengan sinar mata nakal.
Mereka tak percaya! Ia harus mencari akal sekarang juga! "Tapi
gatal atau tidak," lanjut Danielle santai, "asyik juga ya memakai
sweater kembar di pesta." Tinggal bagaimana caranya mencari uang!
"Bagus!" pekik Heather. "Wah pasti keren, deh!"
"Tapi aku nggak bisa beli sekarang," lanjut Danielle dengan
mimik kecewa. "Ibuku meminta aku cepat-cepat pulang karena temantemannya akan datang, dan...eh! Apa tuh yang dipakai Brenda
Wagner?"
Secepat kilat Heather dan Teresa menjulurkan leher mereka ke
arah seorang gadis Atwood yang baru saja meninggalkan antrian.
"Wah... wah. Lihat deh, roknya," bisik Teresa.
Berhasil, pikir Danielle lega. Kini tinggal mencari pekerjaan
untuk mendapatkan uang guna membayar sweater itu.
***********
Dengan nampan di tangan, Lori berjalan mengitari ruang makan
di Merivale High. Hari ini ia harus mengatakan sesuatu pada Patsy
dan Ann?ia telah berjanji pada dirinya.
"Hai," sapanya tenang sambil berjalan menghampiri tempat di
mana mereka biasa duduk. Dengan hati kecut ia melihat Joan
Wallman menduduki kursinya, sementara semua kursi lainnya telah
terisi. "Hai, Lori," sapa Patsy datar sambil berpaling sekilas dari
sandwich kalkunnya.
"Hai," sambung Ann sambil mengangguk.
"Ada tempat?" tanya Lori. Hanya karena Patsy dan Ann marah
padanya, tidak berarti ia harus tersingkir dan persahabatan mereka
putus. Lori sangat menyayangi kedua sahabatnya itu, dan demikian
pula mereka.
"Ya, ada kok," jawab Patsy perlahan sambil menggeser
duduknya. "Trims," gumam Lori seraya duduk.
Namun pembicaraan tak berlangsung seperti apa yang
diharapkannya. Joan sibuk menceritakan cowoknya? yang tidak
dikenal Lori ?sementara Patsy dan Ann menyimak dengan serius.
Dengan kaku Lori menghadapi sandwichnya. Lagi-lagi ia tak
tahu apa yang akan dikatakannya. Dengan adanya orang lain di situ ia
tak dapat menceritakan duduk permasalahannya.
Bel berbunyi, dan Lori merasa seolah-olah ia baru mengalami
makan siang terlama di Merivale High.
"Sampai nanti, Lori," ujar Ann sambil menumpuk nampan
kosongnya.
"Bye, Lori," sahut Patsy.
"Bye." Dengan perasaan kosong Lori mengikuti temantemannya meninggalkan kantin menuju kelasnya.
************
"Selamat berbelanja!" seru Danielle di lapangan parkir Atwood
Academy. Syukurlah Heather dan Ann percaya pada bualannya
mengenai teman-teman ibunya, pikir Danielle lega.
"Bye, Dani. Nanti kami pilihkan sweater yang cocok untukmu!"
pekik Heather. Rambut hitamnya yang berkilauan melambai-lambai
ke luar dari jendela kaca jaguar Teresa yang terbuka.
Danielle berdiri di samping mobilnya, pura-pura mencari kunci
sambil menunggu mobil Teresa hilang dari pandangannya. Tentu saja
ia tak ingin keduanya mendengar suara mesin mobilnya yang berisik.
Semua tahu, naik mobil dengan peredam suara rusak sama saja
dengan naik mobil gerobak.
Akhirnya ia membuka pintu dan duduk di dalamnya. Suara
berisik langsung terdengar begitu Danielle menghidupkan mesinnya.
Huuh! Keluhnya frustasi seraya mengarahkan mobilnya keluar dari
lapangan parkir Atwood pulang ke rumahnya. Bagaimana caranya ia
mendapat pekerjaan?
Sambil mencengkeram kemudi erat-erat, Danielle menarik
napas berat. Harus ada jalan keluar. Pasti ada lowongan pekerjaan
yang khusus entah di mana ? pekerjaan yang mencantumkan
namanya. Ia harus mendapatkannya ? meskipun ia harus mengetuk
setiap pintu yang ada di Merivale.
Namun saat terbayang bahwa ia harus turun ke tingkat
masyarakat yang rendah, Danielle menghentikan angan-angannya. Ia
tak jadi mengetuk setiap pintu. Karena ia tak sudi mengetuk pintu
Tio's Tacos.
Danielle baru saja akan membelok saat menyadari bahwa ia
baru saja melewati perpustakaan. Di tempat itu ada pusat informasi
pekerjaan. Ada sebuah papan buletin dengan segudang
pengumuman? kebanyakan berisi kartu-kartu nama mengenai
penawaran jasa. Danielle pernah menyewa seseorang untuk
mengetikkan makalahnya melalui papan buletin itu. Sambil menginjak
pedal rem, ia membelokkan mobilnya memasuki lapangan parkir
perpustakaan itu dan berhenti. Siapa tahu ia bisa menemukan
pekerjaan yang tepat di tempat itu!
Di dalam, pada 'Bagian Pusat Informasi Pekerjaan' Danielle
mulai memperhatikan setiap pengumuman. Di awal pengumuman
kebanyakan iklan mencari tenaga-tenaga dengan keahlian dan
pendidikan khusus. Insinyur pertamanan. Pekerja sosial dengan gelar
sarjana. Ahli fisioterapi.
Tak ada lowongan baginya.
Danielle melangkah ke dalam lobi dan meneliti papan buletin.
Ia mengabaikan pengumuman berisi lowongan sebagai pembersih
rumah ?tak baik bagi kuku-kukunya. Ia juga mengabaikan lowongan
sebagai penjual keliling? terlalu umum. Bayangkan, kalau dia harus
muncul di depan rumah keluarga Woods menjual buku-buku
ensiklopedia.
Baru saja Danielle akan menyerah, ia melihat sebuah
pengumuman.
Dicari: pengasuh anak untuk mengasuh tiga anak kecil yang
periang. Bersikap hangat, penyayang, sabar dan bisa menghibur anakanak. Lima dollar per jamnya. Kerja malam hari, diharap memiliki
kendaraan sendiri. Segera.
Ada nomor teleponnya, tetapi Danielle tidak menyalinnya.
Namun ia merobek pengumuman itu, sehingga orang lain tak bisa
mendapatkannya. Senyuman lebar menghiasi wajahnya saat ia
memasukkan kertas itu dalam sakunya lalu menghampiri telepon.
Pengasuh anak merupakan pekerjaan yang menyenangkan. Lagi
pula ia menyukai anak kecil, dan mereka juga menyukainya. Tahun
lalu, saat ia bekerja sebagai sukarelawan di Pusat Penitipan Anak,
mereka selalu berteriak-teriak gembira setiap kali ia muncul. Anakanak perempuan ingin seperti dirinya. Dan di sana ia mengurus sekitar
delapan sampai sembilan anak pada saat yang bersamaan. Tiga anak
bukan masalah!
Dengan gembira Danielle menghampiri telepon umum yang ada
di luar perpustakaan lalu memutar nomornya.
"Halo?" terdengar suara seorang wanita.
"Saya membaca iklan Anda tentang pengasuh anak?"
"Oh ya!" seru wanita itu girang. "Saya memasangnya pagi ini.
Kamu penelepon pertama."
Dan yang terakhir, batin Danielle riang. "Mmm, saya tertarik
dan punya banyak pengalaman dengan anak kecil. Kalau Anda perlu
referensi, Anda bisa menghubungi Pusat Penitipan Anak Merivale
Pusat, saya bekerja di sana tahun lalu...."
"Wah, itu tempat yang bagus. Saya punya teman yang
menitipkan anaknya di sana. Apa saya mencantumkan gajinya lima
Mencari Warisan Ratu 1 Pendekar Rajawali Sakti 200 Bencana Tanah Kutukan Pedang Naga Kemala 16
^