Mencari Warisan Ratu 1
Lima Sekawan 01 Mencari Warisan Ratu Bagian 1
LIMA SEKAWAN MENCARI WARISAN RATU petualangan baru Lima Sekawan
ciptaan ENID BLYTON diceritakan oleh Claude Voilier
ilustrasi oleh Jean Sidobre
"LES CINQ SONT LES PLUS FORTS"
by Claude Voilier Copyright Librairie Hachette 1971"All rights reserved
"LIMA SEKAWAN: MENCARI WARISAN RATU"
dialihbahasakan dari edisi bahasa Jerman "DIE BERUHMTEN 5 ALS SCHATZSUCHER"
oleh Agus Setiadi Edit by : zheraf http://www.zheraf.net DAFTAR ISI: Bab 1. Liburan Bab 2. Berkemah di Pulau Kirnin
Bab 3. Rencana Jahat Bab 4. George Bercerita Bab 5. Memulai Penyelidikan
Bab 6. Bu Killarney Bab 7. 'Mon Tresor' Bab 8. Timmy Beraksi Bab 9. Tempat Pertanian Bu Reynold
Bab 10. Pertemuan Tak Terduga
Bab 11. Perburuan Bab 12. Robert Bab 13. Tertangkap Bab 14. Penjahat Beraksi Bab 15. Akal Bu Grant Bab 16. Hidup Timmy! Bab 1 LIBURAN "Dick! Aku di sini! Ayo cepat, Anne - di situ masih ada tempat! Lekas naik,
Julian! Nanti koper-koper kami sodorkan dari bawah!" George sibuk sendiri,
sambil menunjuk-nunjuk tempat yang masih kosong dalam gerbong penumpang. Julian,
saudara sepupunya yang paling tua, tertawa geli melihat kelakuan George.
"Siap, Bu Jendral!" katanya sambil mengetukkan kedua tumit sepatunya. Ia
bersalut, lalu masuk ke dalam gerbong kereta api.
George tidak bisa sabar, seperti biasanya. Dengan rambutnya yang dipotong pendek
serta wajahnya yang tegas, ia kelihatan seperti anak laki-laki. Dan ia memang
lebih senang dikira laki-laki. Nama sebenarnya Georgina. Tapi kalau disapa
dengan nama itu, mana mau ia menoleh! Biarpun yang memanggil gurunya di sekolah,
ia tetap tidak mau menjawab. Karena itu semua menyapanya dengan George.
George sebaya Dick. Kedua anak itu sering dikira kembar oleh orang-orang yang
tidak mengenal mereka. Sedang Anne yang paling muda di antara mereka berempat.
Anak itu lemah-lembut sikapnya - seorang gadis tulen! George sering
memperlakukan saudara sepupunya itu seperti bayi saja.
George, Dick dan Anne menyusul Julian, naik ke kereta api. Dick dan Julian
menaruh koper-koper di tempat barang, di atas bangku-bangku kosong yang tadi
dilihat George. "Huhh" desah George sambil miembanting badannya ke bangku kereta. "Sebentar lagi
kereta berangkat. Untung kita bisa berlibur bersama-sama lagi, setelah begitu
lama berpisah!" "Yang lebih untung lagi, ayah dan ibumu mau menerima kami bertiga selama liburan
ini!" kata Dick bersemangat.
"Aku senang sekali berlibur di tempat kalian," kata Anne sambil mendesah puas.
"Pondok Kirrin sangat nyaman."
"Yang paling kusenangi ialah bahwa laut begitu dekat dari situ," kata Julian.
"Kita bisa sibuk terus, sehingga tidak ada waktu untuk merasa bosan! Tapi mudah-
mudahan saja ayahmu saat ini tidak sedang sibuk dengan salah satu tugas
penelitian yang rumit. Kalau ia sibuk, kita pasti harus berjingkat-jingkat lagi
kalau berjalan, supaya ia tidak merasa terganggu. Paman Quentin kalau sudah
marah galak sekali!"
Saat itu George meloncat bangkit. Ia menjulurkan tubuhnya ke luar jendela.
"Asyik! Kita berangkat," katanya sambil tertawa gembira. "Dua jam lagi kita akan
sudah sampai di rumah. Aku sudah tidak sabar lagi, ingin cepat-cepat melihat
Timmy! Selama di sekolah, aku selalu rindu padanya."
Ketiga saudara sepupunya tertawa geli.
"Kau ini tidak enak rupanya, kalau tidak ada Timmy," kata Dick mengganggu.
"Betul,"jawab George berterusterang. "Timmy itu rasanya sudah menjadi sebagian
dari diriku." "Perasaan kami juga begitu!" kata Dick. "Sebab kalau tidak begitu, kita ini
bukan Lima Sekawan namanya. Lagipula Timmy pintar sekali - mungkin lebih pintar
daripada kita!" "Itu betul! Ia sudah sering membantu kita dalam berbagai petualangan, apabila
kita sedang terpojok dan tidak tahu akal lagi. Aku juga rindu pada anjingmu itu,
George!" kata Julian sambil menganggukkan kepala.
Sementara itu kereta api meluncur terus dengan laju. George tidak tahan duduk
lama-lama. Ia berdiri lagi. Tapi karena buru-buru, terinjak olehnya kaki Dick.
George menjangkaukan tangannya, supaya jangan jatuh. Tapi sayangnya rambut Anne
yang panjang dan pirang yang terjangkau olehnya.
"Aduh !" teriak Anne kesakitan karena dijambak itu.
"Jangan lasak dong!" tukas Julian pada George. "Kau ini, seperti kena aliran
listrik saja. Duduklah dengan tenang!"
George duduk dengan segan-segan. Keningnya berkerut, sementara kedua tangannya
dibenamkan dalam-dalam di kantong celananya.
"Wah, wah! Sekarang Georgina cilik merajuk!" kata Dick menggoda.
George semakin marah mendengar dirinya disapa dengan nama yang sangat dibencinya
itu. Dengan cepat ia bangun sambil mengayunkan tangan, untuk menampar Dick. Tapi
Dick cepat-cepat mengendap, mengelakkan pukulan itu. Ia tertawa mengejek.
"Baru saja kita berjumpa lagi setelah sekian lama berpisah - masa sekarang sudah
mulai bertengkar," kata Julian menggerutu.
George duduk lagi di tempatnya dekat pintu. Mukanya masam. Ia membenamkan
tangannya lagi ke dalam kantong. Tiba-tiba ia menyentuh secarik kertas yang ada
di situ. Ia kaget, lalu cepat-cepat mengeluarken kertas itu. Ternyata surat!
"Aduh aku sampai lupa pada surat ini," gumam George. "Datangnya sebenarnya sudah
kemarin. Tapi karena begitu sibuk berkemas, aku sama sekali tidak sempat
membukanya. Ibu yang berkirim surat. Pasti isinya seperti biasa, penuh nasihat.
'Jangan sampai ketinggalan kereta api', dan macam-macam lagi!"
"Kalau begitu, suratnya sudah terlambat - karena kita sekarang sudah duduk di
kereta," kata Anne sambil tertawa. "Tapi walau begitu kaubuka saja surat itu,
George! Supaya kau bisa langsung memberikan jawabannya nanti, kalau ia menjemput
di stasiun!" George mengeluarkan surat itu dari sampulnya. Ia membacanya sekilas, lalu
berseru dengan nada kaget.
"Astaga! Ini sama sekali tidak kusangka," katanya. "Wah, wah! Kalian mau tahu
apa yang ditulis ibuku dalam suratnya ini?"
Tanpa menunggu jawaban ketiga saudara sepupunya. Ia langsung menyambung, "Kita
tidak bisa datang ke Pondok Kirrin!"
"Apa?" seru ketiga sepupunya serempak. Semuanya agak bingung. "Mana mungkin -
kita sekarang kan sudah dalam perjalanan ke sana! Lalu, apa yang kita lakukan
sekarang?" "Hari Sabtu yang lalu Kirrin dilanda angin ribut," kata George menjelaskan.
"Sebagian atap Pondok Kirrin terbang dibawa angin. Cerobong asapnya ada satu
yang roboh. Pendek kata Pondok Kirrin berantakan. Sekarang tukang-tukang sedang
sibuk bekerja di sana, sehingga tidak ada tempat untuk kita. Beberapa kamar yang
utuh, dipakai sendiri oleh orang tuaku. Jadi kita terpaksa berlibur di tempat
lain." "Tapi di mana?" tanya Dick sambil menggeleng-geleng. Kalimatnya itu tidak
terjawab untuk sementara, karena tiba-tiba George sudah meloncat lagi ke
jendela, sambil berteriak-teriak.
"Kirrin! Itu Kirrin! He- kita sudah sampai. Aku sudah bisa melihat stasiun. Itu
Ibu, berdiri di tepi peron. Wah - Timmy tidak diajaknya menjemput."
Kereta api berhenti di stasiun. George langsung membuka pintu. Ketiga sepupunya
dibiarkannya sendiri. George meloncat turun, lalu bergegas menghampiri ibunya
yang langsung dirangkul olehnya.
"Ah, Bu - senang sekali rasanya ada di rumah lagi! Bagaimana dengan Ayah" Kenapa
ia tidak ikut menjemput" Kenapa ia ditinggal" Sekarang sedang dikurung dalam
kandang, ya?" George begitu sibuknya, sehingga mencampuradukkan Ayah dan Timmy.
Sambil tertawa geli, ibunya membebaskan diri dari rangkulan putrinya yang sangat
bersemangat itu. "Aduh, bisa remuk badanku nanti kautekan," kate ibunya. "Ayahmu baik-baik saja,
tapi seperti biasa Ia sibuk dengan buku-bukunya. Aku sengaja tidak membawa
Timmy, karena aku tidak tahan mendengar keberisikan kalian apabila bertemu dia
di sini!" Sementara itu Julian, Dick dan Anne sudah turun pula, membawa koper-koper
mereka. Mereka menyalami Bibi Fanny.
"Nah, Anak-anak!" kata Bibi. "Kenapa air muka kalian kelihatan agak aneh" Ada
yang tidak beres barangkali?"
"George tadi mengatakan bahwa kami sekali ini tidak bisa berlibur di Pondok
Kirrin," kata Julian. "Kami sekarang tidak tahu ..."
"Ah - kalau soal itu, kalian tidak perlu khawatir." kata Bibi Fanny sambil
tertawa. "Kalian pasti bisa menikmati liburan, jadi tidak perlu merasa kecewa.
Tapi sekarang cepatlah! Mobil sudah menunggu! Nanti kujelaskan lebih lanjut, di
tengah perjalanan." Rombongan kecil itu pergi, keluar dan stasiun. Mereka langsung masuk ke dalam
mobil yang diparkir di depan. Bibi Fanny duduk di belakang setir.
"Kali ini kalian memang tidak bisa tinggal di Pondok Kirrin, karena sedang
diperbaiki," kata Bibi. "Karena itu aku punya usul. Bagaimana jika kalian
berkemah saja di Pulau Kirrin" Di pulau milik George! Kalian kan sudah beberapa
kali mengalami hal-hal yang mengasyikkan di sana. Nah - kali ini kalian boleh
berkemah di sana, hidup seperti orang yang terdampar di pulau terpencil. Seperti
Robinson Crusoe!" Keempat remaja itu langsung berseru-seru karena gembira.
"Asyik! Hebat! Setuju! Asyik, berkemah di pulau!"
"Ya, itu sudah kubayangkan," kata Bibi Fanny sambil tersenyum. "Dan kalau ada
apa-apa, kami kan tidak jauh. Tapi kurasa kalian takkan apa-apa di sana."
"Soal itu gampang. Kan ada perahuku. Dan sepeda kami juga masih ada," kata
George. "Makanan untuk bekal, bisa kami ambil dan desa."
"Hidup di alam terbuka sehat! Nah - itu, Pondok Kirrin sudah nampak. Yuk, kita
turun!" Di atap rumah nampak beberapa tukang sedang sibuk bekerja. Ketika mobil memasuki
pekarangan, seorang laki-laki muncul di ambang pintu. ltulah Profesor Quentin
Kirrin, ayah George. Ia menyongsong anak-anak yang turun dan mobil.
Tiba-tiba sesuatu yang besar dan berwarna kekuning-kuningan nampak melesat, lari
menuju ke arah George. Detik berikutnya wajah anak itu sudah habis dijilati.
"Tim! Timmy yang manis! Aduh, senang sekali hatiku berjumpa kembali denganmu.
Kau pasti rindu sekali padaku, ya Tim?"
Anjing itu menggonggong-gonggong dengan gembira, sambil mengibaskan ekor dengan
bersemangat. Setelah itu Timmy berganti menyambut Julian serta kedua adiknya. Sesudah upacara
penyambutan meriah itu selesai, Timmy berpaling lalu berjalan ke rumah. Yang
lain menyusul di belakangnya.
Bab 2 BERKEMAH DI PULAU KIRRIN Siang itu mereka makan dengan lahap. Joanna, juru masak keluarga Kirrin,
menunjukkan kegembiraannya atas kedatangan keempat remaja itu dengan jalan
menghidangkan makanan yang enak-enak. Dan mereka menunjukkan penghargaan mereka,
dengan jalan menyikat semuanya sampai habis.
Sehabis makan, anak-anak pergi ke Pulau Kirrin dengan perahu. Timmy tentu saja
ikut, karena tanpa dia tidak lengkaplah Lima Sekawan. Bibi Fanny dan Paman
Quentin sama sekali tidak berkeberatan jika Timmy diajak. Mereka malah merasa
lega. Karena kalau ada apa-apa nanti,Timmy pasti akan melindungi George serta
ketiga saudaranya. Daerah sekitar Kirrin sebetulnya aman. Tapi siapa tahu....
Anak-anak memasukkan bawaan mereka ke dalam perahu milik George. Setelah itu
mereka sendiri masuk dan duduk di sela-sela barang. Timmy ditugaskan untuk
mengawasi kotak yang berisi bekal makanan. Dick dan Julian mendayung bersama-
sama. George duduk di buritan sambil memegang kemudi. Anne tidak kebagian tugas.
Karena itu ia duduk-duduk saja, sambil menikmati pemandangan laut yang biru.
Burung camar terbang menyambar-nyambar sambil berteriak-teriak dengan suara
serak. Mereka sibuk mencari makan di permukaan laut yang saat itu tenang.
Pulau Kirrin terletak beberapa ratus meter di tengah teluk. Letaknya tepat
berhadapan dengan Pondok Kirrin. Di sebuah rumah perahu yang terdapat di pantai
teluk itu disimpan sepeda anak-anak dalam keadaan siap untuk dipakai. Anak-anak
gembira sekali saat itu. Mereka mulanya sama sekali tidak mengira akan berkemah
di Pulau Kirrin! Tidak lama kemudian mereka tiba di pulau itu. Mereka langsung berkeliling,
mencari tempat berkemah yang enak. Mereka sudah cukup sering datang ke situ.
Tapi setiap kali mereka selalu kagum lagi, melihat keindahan pulau milik George
itu. Kelinci-kelinci liar berlarian di tengah rumput yang panjang dan lebat.
Burung gagak terbang berkawan-kawan, berkaok-kaok mengelilingi reruntuhan puri
yang menjulang di tengah pulau.
"Kau beruntung. George - memiliki pulau seindah ini!" kata Anne sambil mendesah
kagum. "Ya, memang," kata George. "Orang tuaku baik hati, mau menghadiahkannya padaku."
Keempat remaja itu masuk ke pekarangan dalam puri, lewat di bawah suatu
lengkungan besar dari batu yang dulunya merupakan ambang pintu gerbang puri.
Ubin lantai di situ sudah pecah-pecah. Rumput tumbuh di celah-celah pecahan. Di
seberang halaman tampak gerbang ruang kesatria yang luas. Mereka masuk ke
ruangan itu. "Atap di sini masih utuh, begitu pula dindingnya," kata George. "Kalau cuaca
berubah, kita bisa berteduh di sini. Pasti tidak basah!"
"Aku lebih senang tidur di luar, dalam kemah," kata Anne dengan malu-malu.
"Perasaanku tidak enak di sini, apabila angin bertiup malam hari. Suaranya
menyeramkan!" "Penakut" kata Dick mencemooh. "Aku malah senang di sini. Kapan-kapan kita juga
perlu memeriksa sel-sel kurung di bawah tanah. Bagaimana, George?"
"Aku mau saja. Memang sudah lama kita tidak ke sana. Tapi sekarang kita pasang
dulu kemah kita. Yuk!"
Anak-anak bekerja dengan rajin. Mereka memindahkan segala perbekalan dari perahu
ke satu-satunya ruangan puri yang masih beratap dan berdinding. Mereka membuat
tempat perapian untuk memasak, di tengah pekarangan dalam. Setelah itu mereka
mencari sudut yang tidak banyak anginnya. Di situ mereka memasang kedua tenda
mereka. Malam itu mereka tidur nyenyak sekali dalam tenda. George serta ketiga sepupunya
berminpi tentang berbagai petualangan yang asyik. Sedang Timmy mimpi tentang
kelinci-kelinci liar, yang menunggu-nunggu untuk diburu olehnya.
Keesokan paginya Dick mengambil air dari suatu sumber, sementara Anne menyiapkan
sarapan. Hari pertama mereka di pulau itu berlalu dengan cepat sekali. Keempat remaja itu
asyik bermain-main dan berjalan-jalan. Cuaca hari itu cerah sekali. Matahari
bersinar di langit yang bersih tak berawan. Anak-anak kepanasan karenanya.
Berulang kali mereka menceburkan diri ke laut, untuk menyegarkan tubuh.
Siang keesokan harinya mereka pergi dengan perahu ke darat, untuk melaporkan
keadaan mereka pada Bibi Fanny dan Paman Quentin. Sekaligus mereka juga hendak
menambah perbekalan makanan yang sudah agak menyusut. Untuk itu mereka ke desa,
naik sepeda. Ah - menyenangkan sekali liburan seperti itu, pikir meneka.
Ketika sudah kembali di pulau, George yang tidak pernah bisa diam, mengusulkan
permainan sembunyi-sembunyian sampai saat makan malam.
"Aku sendiri yang bersembunyi, sedang kalian bertiga mencari," katanya.
"Taruhan, tidak akan ketemu! Tapi Timmy tentu saja harus diikat dulu. Kalau ia
dibiarkan bebas, kalian akan terlalu gampang nanti. Ia pasti bisa mengendus di
mana aku bersembunyi. Nah, aku pergi sekarang! Kalian harus menghitung dulu
sampai seratus lima puluh. Sesudah itu silakan mencari - sampai pusing!"
Tanpa menunggu lagi, George langsung lari dengan gembira. Ia membayangkan,
ketiga sepupunya pasti nanti tidak bisa menemukan tempat persembunyiannya.
George menemukan tempat itu secara kebetulan tadi pagi.
Lima Sekawan 01 Mencari Warisan Ratu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia lari menuju ke pinggir tebing yang menjorok ke depan, ke arah laut. Letaknya
di belakang puri. Sisi tebing curam sekali.
George tidak kenal takut. Dengan hati-hati ia mulai menuruni tebing itu. Ia
merangkak-rangkak ke bawah. Kira-kira setengah jalan ia sampai di suatu bagian
yang agak masuk ke dalam. George masuk ke celah tebing itu. Di situ ia memang
tidak bisa kelihatan, baik dari atas maupun dari bawah. Beberapa saat kemudian
ia mendengar suara Julian berbicara di atas tebing.
"George mestinya ada di sekitar sini," kata Julian.
"Mana mungkin!" bantah Dick. "Tanah di tepi tebing ini datar sekali. Dan tidak
mungkin George bersembunyi dalam liang kelinci."
George yang bersembunyi di bawah mereka, mendengar suara kedua saudara sepupunya
itu menjauh lagi. Ia tertawa sendiri. Ia menduga. Julian dan Dick pasti hendak
mencari ke tempat lain sekarang.
Jauh di bawah kaki George, air laut nampak kemilau kena sinar matahari musim
panas. Tiba-tiba George melihat suatu titik hitam di tengah laut. Titik itu
bergerak, mendekati pulau.
"Eh - ada perahu kemari! Mau mencari apa di sini?" pikir George.
Bab 3 RENCANA JAHAT Sementara itu perahu yang datang semakin mendekat. George melihat ada dua orang
laki-laki dalam perahu itu. Laki-laki yang mendayung, duduk dengan punggung
menghadap ke pulau. Ia bertubuh kurus jangkung. Rambutnya lebat, berwarna rnerah
nyala. Sedang laki-laki yang satu lagi bertubuh gempal. Kepalanya kekar, nyaris
persegi empat. Haluan perahu kini mencecah pasir pantai kecil yang terdapat di kaki tebing
curam tempat George sedang bersembunyi.
Dari tempatnya itu ia tidak bisa lagi melihat kedua laki-laki yang datang secara
diam-diam itu. Tapi George menyadari bahwa keduanya hendak naik ke darat.
Dugaannya ternyata benar. Sesaat kemudian ia mendengar suara mereka berbicara.
Satu di antaranya kedengaran seperti orang asing, dari logatnya.
"Hebat, Leo!" kata orang itu. "Tepat sekali kau memilih tempat ini. Di sini kita
tidak usah takut ada orang muncul dengan tiba-tiba. Jadi kita bisa berunding
dengan leluasa." "Ya, pulau ini tidak didiami orang. Pemiliknya boleh dibilang tidak pernah
datang ke sini," kata orang yang satu lagi. "Dan dinding tebing ini takkan
membocorkan rahasia kita!"
George merasa tidak enak. Ia sama sekali tidak bermaksud mendengar pembicaraan
orang lain. Karena itu ia hendak menampakkan diri, supaya kedua laki-laki itu
tahu di situ ada orang lain. Tapi dengan segera George mengurungkan niatnya,
karena saat itu juga ia mendengar kata-kata yang mencurigakan. Kini ia malah
memasang telinga. "Syukurlah," kata laki-laki yang pertama berbicara.
"Karena kejahatan yang sedang kita rencanakan, tidak boleh sampai ketahuan orang
lain!" "Kejahatan?" Orang yang bernama Leo tertawa agak mengejek. "Kenapa kejahatan"
Itu kan tergantung melihatnya dari sudut mana, Pak Herman! Bagi calon korban
kita rencana itu tentu saja merupakan kejahatan. Tapi bagi kita, sebaliknya"Leo
tertawa terbahak-bahak. "Sudah, jangan melucu lagi!" tukas laki-laki yang disebut Pak Herman. "Sudah
jelas bahwa korban kita nanti tidak akan bertepuk tangan dengan gembira. Sedang
bagi kita, aksi ini jelas menguntungkan.... Tapi masih ada beberapa hal yang
perlu kita bicarakan masak-masak. Sekarang sudah awal bulan Juli. Sedang rencana
itu akan kita laksanakan tepat tanggal 30 nanti!"
"Ya, aku tahu! Kita memang perlu merencanakan segala sesuatunya, supaya jangan
ada yang meleset nanti."
George duduk tanpa bergerak sedikit pun di tempat persembunyiannya. Seluruh
syarafnya tegang saat itu. Baginya tidak ada keragu-raguan lagi bahwa kedua
laki-laki yang ada di bawah itu sedang merencanakan salah satu tindakan jahat.
Apabila angin tidak berputar arah, mungkin ia akan masih bisa ikut mendengarkan
apa yang akan mereka rencanakan selanjutnya.
Mudah-mudahan Julian, Dick dan Anne tidak datang lagi ke situ untuk mencariku,
pikir George dengan cemas. Kalau kedua laki-laki yang di bawah mendengarsuara
mereka bercakap-cakap di atas tebing, pasti mereka akan cepat-cepat pergi dan
situ! George mendengarkan lebih lanjut, dengan perasaan tidak sabar. Kedua laki-laki
yang tidak menduga bahwa ada yang ikut mendengarkan percakapan mereka,
melanjutkan berunding. "Menurut pendapatku, aksi kita nanti itu sama sekali tidak ada bahayanya." kata
Herman, yang bersuara serak. "Apabila keteranganmu betul...."
"Tentu saja betul, Pak Herman! Aku sendiri sudah meneliti. Rumah itu terpencil
letaknya. Jarang sekali orang datang ke situ. Bahkan saat ramai-ramainya orang
berlibur di sini, masih tetap sepi. Turis pergi ke tempat lain kalau ingin
mandi-mandi di laut. Jadi kita bisa beraksi dengan tenang, tanpa risiko
diganggu!" "Aku cuma kurang senang bahwa kita harus menunggu sampai akhir bulan."
"Apa boleh buat, Pak - baru tanggal 30 itu Robert bisa membantu kita. Sedang
kita memerlukan bantuannya, agar semua bisa berjalan lancar dan tanpa risiko!"
"Aku tahu, Robert memang kita perlukan," kata Pak Herman. "Jadi apa boleh buat -
kita terpaksa menunggu selama itu."
Sementara itu Julian, Dick dan Anne sudah berkeliaran ke mana-mana, mencari
sepupu mereka yang bersembunyi.
"Keterlaluan!" umpat Dick. "Sudah dua puluh menit kita memeriksa setiap sudut
pulau ini! Tapi George masih belum juga kita temukan!"
"Kurasa ia bersembunyi dalam lorong di bawah tanah," kata Anne dengan ragu.
"Tapi aku tidak mau ikut mencarinya ke situ!"
"Jadi kauanggap ia ada di bawah tanah, Anne?" Julian menggelengkan kepala, tanda
tidak sependapat. "Menurut pendapatku, kita tidak harus mencarinya dalam puri,
melainkan di seberang pulau. Tadi aku merasa seolah-olah George lari ke arah
sana!" "Masa bodoh apa pendapatmu," kata Dick. "Pokoknya, aku mencari terus di sini.
Kau ikut, Anne?" "Tentu saja," jawab Anne.
"Baiklah," kata Julian. "Kutemani kalian sepuluh menit lagi. Apabila saat itu
George masih juga belum kita temukan, aku hendak pergi mencari ke tebing!"
Ketiga hersaudara itu mencari-cari lagi.
Tapi bagaimana dengan Timmy sementara itu" Ia diikatkan pada sebuah tonggak, di
samping tenda George. Anjing itu mengendus-endus dengan gelisah. Ternyata dari
baunya ia sudah lama tahu di mana tuannya saat itu berada! Coba ia tidak
diikatkan ke tonggak - dengan cepat George akan sudah ditemukan olehnya!
Tiba-tiba Timmy mendengking pelan. Ujung hidungnya yang hitam bergerak-gerak.
Timmy merasa takut. George terancam bahaya!
Saat itu George memang sedang gelisah. Anak itu menyadari bahwa ia telah terlalu
banyak tahu tentang rencana kedua penjahat yang sedang berunding di bawah. Jika
keduanya secara kebetulan melihatnya, pasti mereka takkan memperlakukan dirinya
dengan halus. Ia menimbang-nimbang. Kedua laki-laki yang berada di bawah takkan bisa melihat
dirinya di tempat persembunyian. Tapi tempat itu sangat sempit. Kakinya mulai
kesemutan. Kalau ia menggerakkannya lalu ada batu yang tersenggol sehingga jatuh
berguling ke bawah.... George tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi. Dengan hati-hati sekali
ia menjulurkan kaki yang kesemutan. Sementara itu ia terus berusaha menangkap
pembicaraan kedua laki-laki itu. Tapi malang baginya, angin berputar arah.
Sebagai akibatnya suara kedua orang itu hanya sayup-sayup saja sampai di
telinganya. "Wanita itu kan tinggal seorang diri saja di purinya," kata Leo saat itu. "Jadi
sama sekali tidak ada problem."
"Dasar orang sinting!" tukas laki-laki yang bernama Herman. "Salahnya sendiri
kalau dirampok nanti. Untuk apa kotak permatanya disimpan dalam rumah, tanpa
penjagaan?" Angin bertiup agak keras, sehingga George hampir-hampir tidak mendengar kalimat
yang diucapkan oleh Leo. ".... kabarnya jamrud yang benar-benar luar biasa...."
"Betulkah itu perhiasan warisan keluarga?"
"Ya...Ratu Victoria... dihadiahkan pada seorang moyang wanita di pun itu...
jasanya pada kerajaan...."
"Nekat... barang begitu disimpan di rumah... mentang-mentang daerah aman."
Angin semakin keras bertiup, sehingga percakapan kedua laki-laki itu kini sama
sekali tidak bisa didengar lagi. Tapi sudah cukup banyak yang diketahui oleh
George. Kini ia sudah yakin bahwa kedua laki-laki itu sedang merencanakan
perampokan. Tapi sayangnya, mereka sama sekali tidak menyebutkan nama wanita
yang akan menjadi korban.
George sudah hampir tidak tahan lagi meringkuk dalam tempat persembunyiannya.
Seluruh tubuhnya terasa pegal. Ia memberanikan diri, menjulurkan badan ke depan
untuk memandang ke bawah. Ah - syukurlah, pikirnya. Dilihatnya kedua laki-laki
itu berdiri, lalu mendorong perahu ke air. Saat itu angin bertiup dari arah
laut. George berhasil menangkap kata-kata yang diucapkan kedua penjahat itu,
sebelum mereka naik ke perahu.
"Kita langsung menuju ke pantai!" kata laki-laki yang bertubuh kekar.
"Baik Pak," jawab laki-laki jangkung yang berambut merah.
Jadi laki-laki berambut merah itu yang bernama Leo, kata George dalam hati.
Kalau begitu yang satu lagi pasti bernama Herman. Kelihatannya ia-lah pemimpin
di antara keduanya. George berusaha mengenali wajah Leo. Tapi saat itu hari sudah senja. George
hanya bisa melihat bentuk kepala kedua laki-laki itu saja.
Perahu kedua penjahat bergerak menjauhi Pulau Kirrin. Tapi George masih tetap
menunggu beberapa saat lagi di tempat persembunyiannya, sebelum ia berani
merentangkan tungkainya yang terasa kaku sekali.
Tiba-tiba George terkejut sendiri. Kalau Julian, Dick dan Anne merasa bosan
karena masih saja belum berhasil menemukan tempat persembunyiannya, ada
kemungkinannya mereka akan berteriak-teriak memanggilnya supaya keluar. Sedang
kedua penjahat yang saat itu belum begitu jauh, sudah jelas tidak tuli. Mereka
juga bukan orang yang bodoh. Jadi pasti mereka akan segera tahu bahwa di pulau
ada orang. Mereka tentu akan datang kembali, karena khawatir ada yang ikut
mendengarkan pembicaraan mereka tadi. Dan kalau mereka naik ke tebing untuk
memeriksa dan menemukan dirinya di situ....
George merinding karena merasa seram. Ia harus cepat-cepat meninggalkan tempat
itu. Ia merangkak keluar dari celah tebing, lalu mulai memanjat ke atas dengan
hati-hati. Kalau sedikit saja salah pijak atau berpegang, pasti tanpa ampun lagi
badannya akan terbanting ke batu-batu yang menunggu di bawah. Hiii - ia tidak
boleh memikirkan kemungkinan demikian saat itu. Ia harus memusatkan seluruh
perhatiannya untuk memanjat. Sedikit demi sedikit ia merayap naik, dengan
jantung berdebar keras. Akhirnya ia sampai juga di tepi atas tebing itu. George menghembuskan napas
lega. Kini ia sudah selamat!
Tapi ia tidak mau membuang-buang waktu. Walau jantung masih berdebar sebagai
akibat ketegangan tadi, George cepat-cepat lari menuju reruntuhan puri kuno.
Bab 4 GEORGE BERCERITA Ketika mengitari suatu semak, nyaris saja ia bertubrukan dengan Julian, yang
ternyata sedang mencari-cari dirinya di tempat itu.
"George!" seru Julian kaget."Muncul juga kau akhirnya! Di mana kau bersembunyi
selama ini" Dick dan Anne saat ini sedang mencari-cari di seberang sana! Tapi
aku dari semula sudah merasa bahwa kau akan kutemukan di sini!"
"Wah Julian - coba kau tahu..."
Walau saat itu sudah agak gelap, tapi Julian masih dapat melihat bahwa wajah
George pucat-pasi. Saudara sepupunya itu nampak seperti cemas dan bingung.
Rupanya ia baru saja kaget - karena sesuatu hal.
"Ada apa, George" Kau tidak sakit, kan?"
"Bukan sakit, tapi bingung dan cemas! Dan itu ada sebabnya!" kata George.
"Secara kebetulan saja aku tadi menjadi saksi dari suatu peristiwa yang sangat
misterius. Tapi yuk, kita kembali saja dulu - nanti kalau kita sudah berkumpul
semua, akan kuceritakan apa yang kualami tadi!"
Dengan cepat George dan Julian berjalan ke puri tua. Anne dan Dick ternyata
sudah lebih dulu ada di sana, karena tidak berhasil menemukan George di balik
pulau. Ketika mereka melihat Julian datang bersama George. keduanya berseru-
seru. "Hebat, Julian! Ternyata kau berhasil juga menemukan George?"
"Kami tadi sudah agak cemas memikirkan dirimu!" kata Anne berterus terang. Anak
itu memang cepat sekali khawatir, jangan-jangan terjadi apa-apa yang tidak enak.
"Julian hanya berhasil menemukan diriku, karena aku yang keluar dari tempatku
bersembunyi tadi. Kami nyaris bertubrukan di tengah jalan!" kata George yang
napasnya masih terengah-engah. Ia menjatuhkan diri ke rumput. "Coba aku tadi
tetap di tempat persembunyianku, biar sepanjang malam kalian mencari, takkan
mungkin bisa ketemu!"
"Alaa, aksi!" kata Dick sambil tertawa. "Kalau tempat itu benar-benar tidak bisa
ditemukan, kenapa kau tidak lebih lama bersembunyi di situ dan membiarkan kami
mencari terus"!"
"Kalau kukatakan bahwa kalian pasti takkan bisa menemukan diriku, percaya
sajalah! Kau kan tahu, aku tidak pernah bohong!"
Anne melihat gelagat yang tidak enak. Ia merasa bahwa George mulai marah karena
diganggu oleh Dick. Jangan-jangan keduanya akan bertengkar lagi sekarang,
pikirnya. Karena itu ia cepat-cepat memotong.
"Tentu saja kami percaya, George," kata Anne. "Tapi sekarang ceritakan, apa
sebabnya kau tiba-tiba meninggalkan tempat persembunyianmu itu."
George langsung lupa pada kemarahannya.
"Aku tadi menjadi saksi rencana jahat" katanya.
Ketiga sepupunya memandangnya sambil melongo.
"Rencana jahat" Apa maksudmu?"
"Ketika aku bersembunyi tadi, secara kebetulan aku mendengar pembicaraan dua
orang penjahat. Mereka sedang merencanakan perampokan. Mereka hendak merampok
harta keluarga seseorang. Tentu saja kita harus bertindak, mencegah rencana itu.
Tunggu, aku hendak melepaskan Timmy dulu. Setelah itu kuceritakan segala-
galanya!" George melihat bahwa Timmy sejak tadi sudah berusaha melepaskan diri dari tali
yang mengikatnya ke tonggak tenda. Begitu George melepaskan ikatan, dengan
segera Timmy melonjak ke arah tuannya. Nyaris saja George jatuh terguling di
terjangnya. "Tenang. Timmy! Aduh, kau ini kalau senang tidak kenal batas!" kata George
sambil tertawa-tawa. Ia menggaruk-garuk tengkuk Timmy.
.Julian dan Dick pergi mengumpulkan kayu kering, lalu menyalakan api unggun
dengan bantuan Anne. "Biarpun sekarang musim panas, tapi malam di tempat terbuka begini biasanya
dingin," kata Julian. "Dengan api unggun kita akan tetap hangat, sedang Anne
bisa menyiapkan makanan untuk kita. Sementara itu cukup waktu untuk mendengarkan
cerita George." Sementara itu hari sudah benar-benar gelap. George meletakkan dahan-dahan
kering, sehingga kobaran api semakin membesar. Dick merasa tidak sabar melihat
kelakuan sepupunya itu. "Ayo, mulai saja dengan ceritamu itu!" katanya pada George. Ia duduk di atas
sebatang kayu yang roboh, sambil menjulurkan kaki.
"Ya, betul - aku pun kepingin sekali mengetahui apa yang kaualami tadi," kata
Anne. George duduk bersila di tanah, sambil merangkul leher Timmy. Setelah itu ia
mulai menceritakan pengalamannya....
Ketiga sepupunya mendengarkan dengan penuh perhatian. Ketika George selesai
bercerita, Julian berseru dengan nada lega.
"Untung saja kedua penjahat itu tidak melihatmu!" serunya. "Jadi mereka tidak
sadar bahwa rahasia mereka sudah kita ketahui. Mereka merasa diri mereka aman!
Sedang bagi kita, hanya ada satu kemungkinan yang harus kita kerjakan. Kita
harus mencegah terlaksananya niat jahat itu!"
"Ya - kita harus cepat-cepat melaporkannya pada polisi!" kata Anne. "Ayo.
sekarang saja kita berangkat!"
Tapi George menggeleng. "Jangan konyol, Anne!" tukasnya. "Dari kedua penjahattadi, aku kan hanya tahu
nama depan mereka saja. Aku tidak tahu tempat tinggal mereka, begitu pula siapa
wanita yang akan mereka rampok. Kita pasti akan ditertawakan polisi, jika
menyampaikan laporan dengan dugaan-dugaan serta keterangan yang begitu sedikit?"
"Tapi setidak-tidaknya kita perlu memberitahu Paman Quentin!" kata Anne
berkeras. "Paman pasti tahu apa yang harus kita lakukan dalam menghadapi
kejadian seperti begini."
Lima Sekawan 01 Mencari Warisan Ratu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau ini bagaimana, Anne," kata George dengan kesal. "Jika aku melaporkan apa
yang kudengar tadi pada Ayah, ia pasti akan kembali mengatakan bahwa aku terlalu
banyak berkhayal. Jangan-jangan aku bahkan dimarahinya pula. Kau tahu sendiri,
bagaimana galaknya ayahku kalau sudah marah."
Julian memandang arlojinya, lalu berdiri.
"Ketegangan tadi mestinya membuat kau merasa lapar, George," katanya. "Yuk, kita
makan saja dulu sekarang. Sesudah itu kita rundingkan apa yang harus kita
lakukan dengan kejadian tadi. Kalau perut sudah tidak keroncongan lagi, biasanya
pikiran bisa lebih jernih."
Usul Julian itu diterima dengan suara bulat. Tapi ketika mereka sudah selesai
makan, perundingan diteruskan lagi.
"Nah," kata Julian, "apa saja yang sudah kita ketahui sampai saat ini" Kita tahu
bahwa ada dua laki-laki bernama Leo dan Herman, yang merencanakan perampokan,
dengan bantuan orang ketiga bernama Robert. Korban yang dituju seorang wanita
yang tidak kita ketahui orangnya. Wanita itu mestinya tinggal di sebuah puri.
Atau mungkin jugs rumah besar! Rumah besar kadang-kadang dinamakan puri, secara
iseng. Nah - tanggal perampokan juga sudah kita ketahui, yaitu 30 Juli. Betul
kan, George?" "Tepat! Tapi masih ada tambahan lagi. Kita juga sudah tahu bahwa para perampok
itu mengincar perhiasan yang sangat berharga. Dan wanita korban mereka tinggal
sendiri dalam purinya, yang terletak di sekitar sini."
"Itu merupakan petunjuk-petunjuk penting bagi pengusutan kita nanti," kata Dick.
"Kita kan sependapat bahwa kita akan mengadakan penyelidikan mengenainya?"
"Tentu saja!" kata saudara-saudaranya serempak.
Malam itu mereka tidak lekas-lekas tidur. Mula-mula mereka pergi ke pantai
sempit, di mana kedua penjahat tadi duduk memperundingkan rencana jahat mereka.
Dengan bantuan senter anak-anak memeriksa setiap jengkal tanah di situ. Mereka
mencari-cari sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk. Tapi mereka tidak menemukan
apa-apa di situ. Kemudian George menyuruh Timmy mencium jejak para penjahat itu,
yang nampak di pasir. Timmy mengendus-endusnya sesaat, lalu menggonggong-
gonggong dengan galak. "Ya, Timmy sudah mengerti?" seru George gembira. "Sekarang biar dari jauh pun,
ia pasti bisa mengenali meraka lagi. Ia sudah tahu bagaimana bau mereka!"
Setelah itu anak-anak kembali ke perkemahan mereka. Mereka hendak membicarakan
siasat terbaik untuk bisa mengetahui letak puri yang terpencil itu, serta siapa
wanita yang memilikinya. "Kurasa pertama-tama kita harus terlebih dulu menyelidiki, siapa wanita penghuni
puri yang dibicarakan kedua penjahat itu," kata Julian. "Atau bisa juga, puri
mana yang mereka maksudkan."
"Di daerah sini banyak sekali terdapat gedung yang besar-besar milik orang-orang
kaya," kata Anne sambil mengeluh. "Dan hampir semuanya dinamakan puri"
"Ya, betul," kata George. "Bahkan rumah yang agak besar pun, sudah disebut
'puri'" "Atau mungkin juga itu rumah besar di suatu pertanian," kata Dick. "Pokoknya,
yang jelas penyelidikan kita nanti tidak akan mudah!"
"Kita juga perlu mencari seorang wanita, yang tinggal seorang diri di rumah yang
besar," kata George. "Kita juga perlu menyelidiki apakah wanita itu menyimpan
harta warisan keluarga di rumahnya."
"Dan apakah harta itu berupa batu-batu jamrud," sambung Anne.
"Nanti kalau kita sudah berhasil mengetahui siapa calon korban Leo dan Herman,
lantas kita harus memberi tahu wanita itu tentang rencana perampokan kedua
penjahat itu. Selanjutnya bisa kita serahkan pada polisi untuk ditangani," kata
Dick. "Polisi tinggal memasang jebakan, sehingga para penjahat tertangkap tangan
sewaktu hendak melaksanakan perampokan," kata Julian.
George menggigit-gigit batang rumput, sambil berpikir.
"Sedari tadi aku sudah berpikir-pikir," katanya, "siapa sebenarnya Robert yang
dibicarakan kedua penjahat itu! Ia pun belum kita ketahui. Apa sebabnya ia hanya
bisa membantu perampokan yang direncanakan oleh Leo dan Herman pada tanggal 30
Juli saja - dan tidak pada hari-hari lainnya" Kenapa" Ah - aku capek. Lebih baik
kita tidur saja sekarang! Besok kan masih ada waktu lagi!"
Bab 5 MEMULAI PENYELIDIKAN Ketika anak-anak bangun keesokan paginya, matahari ternyata sudah agak tinggi.
Mereka bergegas pergi ke sumber untuk menggosok gigi dan mencuci muka. Setelah
itu mereka sarapan. Mereka sudah lapar lagi.
"Kau sudah menemukan jalan, George?" tanya Dick sambil mengunyah roti.
"Maksudmu, bagaimana sebaiknya kita memulai penyelidikan kita?" balas George
bertanya. "Kalau itu yang kaumaksudkan, jelas dong! Menurut pendapatku, sehabis
sarapan ini kita langsung saja pergi ke darat. Di sana kita mencari-cari
sepanjang pesisir. Puri misterius itu letaknya pasti di daerah yang tidak banyak
didatangi orang. Itu saja pasti akan sudah menyibukkan kita, untuk sementara!"
Julian langsung setuju. Menurut pendapatnya, ide itu bagus sekali. Ia juga
berpendapat bahwa mereka harus langsung berangkat sehabis makan.
"Waktu kita tidak banyak." katanya. "Menurut rencana mereka,perampokan akan
dilakukan tanggal 30 Juli. Sedang petunjuk-petunjuk yang kita ketahui untuk
memulai penyelidikan, tidak bisa dibilang jelas."
Dengan cepat keempat remaja itu membereskan sisa-sisa sarapan, lalu bergegas
pergi ke teluk kecil di mana perahu ditaruh di atas pasir.
"Untung saja kedua laki-laki kemarin itu datang ke pantai di balik pulau ini,"
kata Julian dengan lega. "Coba mereka kemari, pasti dengan segera akan tahu
bahwa mereka tidak sendiri di tempat ini"
Perahu George yang diberi nama 'Topan' ditarik masuk ke air. Setelah itu mereka
cepat-cepat berdayung ke arah darat, langsung menuju rumah perahu milik orang
tua George. Sesampai di sana perahu ditambatkan, dan mereka mengeluarkan sepeda-
sepeda mereka. George mengambil peta daerah situ yang disimpan dalam rumah perahu, lalu
membentangkannya di atas pasir yang lembut.
"Lihatlah," katanya pada ketiga sepupunya. "Kita sekarang di sini - dan ini desa
Kirrin. Kita tidak usah mencari ke arah selatan, karena pantai di situ penuh
dengan tempat-tempat pemandian yang ramai dikunjungi orang. Satu-satunya daerah
yang agak sunyi di sebelah situ hanya Padang Liar. Letaknya agak di pedalaman.
Menurut pendapatku, pertama-tama kila harus mencari gedung besar yang mungkin
disebut puri. "Ya, betul," kata Dick sambil mengangguk. "Di daerah yang namanya 'Padang Liar'
hampir tidak ada pedesaan. Atau setidak-tidaknya, pada peta ini tidak tertera
pedesaan di daerah situ."
"Di utara juga tidak," kata Julian. Dengan telunjuknya ia menelusuri garis
pesisir pada peta. "Terus sampai Tanjung St. Patrik - yang letaknya lumayan
jauhnya dari sini - pesisir daerah sini kelihatannya tidak didiami orang. Tempat
yang bagus sekali untuk perampokan."
"Itu bisa kubayangkan," kata Anne sambil bergidik. "Seorang wanita yang hidup
seorang diri di daerah yang begitu terpencil, pasti menarik minat penjahat untuk
merampoknya!" "Sudah, jangan kauteruskan - nanti kau takut sendiri," tukas George. Peta itu
dilipatnya kembali, "Nah - dari mana kita memulai penyelidikan kita sekarang?"
"Sebaiknya dari Padang Liar saja," kata Julian menyarankan. "Setelah itu kita
berbelanja di Kirrin."
Anak-anak langsung berangkat dengan sepeda. Timmy berlari-lari dengan gembira
mendampingi mereka. Di samping mengejar kelinci, ia paling suka berlomba dengan
sepeda. Sekali-sekali anjing itu menyimpang sebentar ke tepi jalan. Perbuatannya
untuk beberapa kali menyebabkan ayam-ayam berkotek-kotek ketakutan. Ada pula
kelinci-kelinci liar, yang langsung melesat masuk ke dalam liang mereka ketika
melihat Timmy.... George dan ketiga saudara sepupunya bersepeda melewati desa Kirrin yang indah,
melewati pasar dan menuju ke 'Padang Liar'.
Daerah itu sangat sunyi dan suram. Bahkan agak menyeramkan. Anne celingukan. Ia
merasa ngeri. "Hii - seram rasanya tempat ini!" katanya.
"Padahal matahari, bersinar cerah!" kata Dick. "Bayangkan bagaimana keadaannya
malam hari. Aku tidak bisa membayangkan, ada orang mau tinggal di daerah sesunyi
ini!" "Kau salah sangka," kata George. "Kenapa baru sekarang aku ingat"! Tapi memang
tidak ada lagi yang ingat pada puri tua itu! Orang sini sudah melupakannya!"
"Puri" Puri, katamu?" seru Julian bersemangat.
"Ya - dan puri itu ditinggali seorang wanita," kata George. "Seorang wanita tua
yang malang. Tapi ia tidak kaya. Pasti bukan dia yang diincar para penjahat
itu!" "Tapi kita tetap perlu melakukan pengusutan ke situ," kata Julian. "Di manakah
letak puri itu?" "Di sebelah sana...," kata George sambil menuding.
Baru saat itulah ketiga saudaranya melihat bangunan besar dan gelap, yang
terletak di atas sebuah bukit yang menjulang di tengah dataran daerah pesisir
itu. "Puri itu dulu merupakan pusat sebuah desa," kata George menceritakan. "Tapi
kemudian ada gempa bumi yang dahsyat, menimbulkan gelombang pasang. Seluruh
rumah di desa hanyut ke laut, disenrt air. Hanya puri itu saja yang masih ada,
karena letaknya lebih tinggi. Cuma itu saja yang bisa kuceritakan. Pemiliknya
yang sekarang seorang wanita. Ia masih tinggal di situ. Tapi aku tidak tahu,
apakah ia seorang diri saja, atau ada yang menemani. Tidak bisa kubayangkan ia
memiliki perhiasan yang berharga!"
"Tapi walau begitu, setiap tempat yang mungkin di 'Padang Liar' perlu kita
datangi. Kita harus mencari ke mana-mana, karena siapa tahu, mungkin di tempat
lain masih ada lagi sebuah puri!"
Tapi usaha pencarian mereka sia-sia belaka. Kecuali puri yang di atas bukit,
mereka tidak menemukan bangunan besar lainnya.
"Kurasa sebaiknya kita sekarang kembali ke desa," kata George menyarankan. "Di
sana kita minta keterangan pada James. Kalian tentunya masih ingat pada pemuda
nelayan itu, kan" Kita pernah ikut dengan perahunya, ke laut. Ia pasti mau
membantu kita!" Mereka kembali ke Kirrin. Mereka mampir sebentar di pasar, untuk membeli
perbekalan makanan. Setelah itu mereka pergi ke pelabuhan, di mana dengan segera
mereka menemukan James. Pemuda itu sedang sibuk mengecat perahunya.
"Halo, Lima Sekawan!" sapa nelayan itu, ketika melihat anak-anak datang. "Apa
kabar?" Selama beberapa saat mereka mengobrol tentang macam-macam. Kemudian Julian
mengalihkan percakapan pada wanita pemilik puri tua yang mereka lihat dari
kejauhan tadi. "Kenapa kalian ingin tahu tentang Bu Killarney?" tanya James dengan heran.
"Kasihan, tidak banyak yang bisa diceritakan mengenai dirinya. Ia kehilangan
segala-galanya... suami, anak-anak, dan juga seluruh hartanya.... Sekarang ia
hidup menyendiri, dalam purinya yang sudah mulai rusak di sana-sini. Ia jarang
sekali datang ke desa. Paling-paling untuk berbelanja saja, sekali-sekali. Aku
tidak tahu dari mana ia mendapat penghasilan. Kalau berbelanja, ia biasanya naik
bis pagi. Lalu cepat-cepat berbelanja di pasar. Orang desa semua merasa kasihan
padanya. Tapi Bu Killarney tidak suka bergaul. Ia tidak pernah mau membicarakan
kesulitannya dengan orang lain. Ia sangat tertutup, persis seperti 'Padang
Liar!'" "Wah, gawat," gumam Julian. "Ia pasti tidak mau menerima kedatangan kita nanti,
kalau ternyata memang ia wanita yang akan dirampok itu!"
Anak-anak berpamitan pada James, lalu bersepeda menyusur sisi atas tebing menuju
ke Pondok Kirrin. Sesampai di sana mereka disambut dengan hidangan makan siang yang menimbulkan
selera. Joanna sangat memanjakan mereka.
Sehabis makan anak-anak kembali naik sepeda, kini untuk memeriksa daerah sebelah
utara Kirrin. "Kita takkan mungkin bisa memeriksa semuanya dalam satu hari," kata Julian.
"Karena yang terpenting dalam pengusutan ini, jangan sampai ada yang terlewat.
Kita harus menyelidiki dengan tenang dan cermat."
Daerah sebelah utara desa Kirrin berlainan sekali pemandangannya dengan daerah
selatan. Di utara pesisir penuh dengan tebing batu terjal serta dipagari
terumbu-terumbu karang. Karenanya jarang sekali tempat itu didatangi turis atau
perahu. Oleh karena itu pula di situ hampir tidak ada tempat pedesaan. Padahal
alam di situ nampak lebih ramah, dibandingkan dengan 'Padang Liar'.
Setelah bersepeda sejauh satu kilometer, anak-anak membentuk dua kelompok.
Julian mengajak Anne melakukan pencarian ke arah barat. Sedang George dan Dick
pergi ke arah sebaliknya, bersama Timmy. Tapi di situ pun usaha mereka sia-sia
belaka. Mereka hanya melihat tempat-tempat pertanian kecil yang dihuni oleh
keluarga-keluarga. Ada juga pondok-pondok nelayan. Tapi itu pasti bukan puri
yang dicari. Sorenya mereka berkumpul lagi. Mereka sudah capek, tapi hasil sama sekali tidak
ada. Julian menyarankan agar pencarian dihentikan untuk hari itu dan mereka
kembali ke Pulau Kirrin, Tidak ada yang menolak usul itu.
Mereka pun kembali ke pulau. Di sana mereka berenang-renang sampai tiba saat
makan malam. Sebelum masuk ke tenda untuk tidur, mereka bersepakat untuk
berangkat lagi besok pagi-pagi sekali dan melanjutkan penyelidikan.
Keesokan paginya ketika niatahari masih rendah, mereka berempat sudah bersepeda
lagi menyusur daerah yang kemarin didatangi. Mereka kembali membentuk dua
kelompok, agar pencarian bisa lebih cepat. Ketika menjelang tengah hari mereka
bergabung kembali di tempat yang disepakatkan, George nampak sangat bergembira.
Matanya bersinar-sinar. Dan seperti biasa, ia ingin buru-buru bercerita.
"Menang! Aku dan Dick tadi berhasil menemukan sebuah rumah, yang mungkin akan
dirampok para penjahat itu," katanya bersemangat.
"Kami juga berhasil!" balas Julian sambil tertawa "Aku dan Anne tadi juga
mendapat keterangan tentang seorang wanita yang hidup menyendiri dan mungkin
sekali merupakan korban yang dimaksudkan para penjahat!"
Kedua kelornpok itu saling memberitakan tentang hasil penelitian masing-masing.
George mengatakan bahwa ia bersama Dick melihat villa mewah yang letaknya
tersembunyi di pagar semak yang rapat.
"Setelah itu aku mencari keterangan pada para petani di dekal-dekat situ,"
sambung Dick. "Menurut mereka, yang tinggal di situ seorang wanita. Namanya Bu
Grant. Ia tinggal seorang diri di situ. Villanya bernama 'Mon Tr sor'. Itu "bahasa Prancis, dan artinya 'Hartaku'. Kabarnya Bu Grant kaya raya. Jadi bukan
mustahil bahwa ia memiliki perhiasan yang berharga."
Kini tiba giliran Julian untuk menyampaikan laporan penyelidikannya bersama
Anne. "Kami tadi tidak menemukan villa, tapi sebuah gedung yang indah dan besar
sekali, letaknya di suatu pertanian. Secara kebetulan aku berjumpa dengan tukang
pos, lalu kutanyai macam-macam Kelihatannya ia jarang berbicara dengan orang
dalam dinasnya mengantarkan surat. Pokoknya ia gernbira sekali bisa mengobrol
sebentar dengan aku. Segala pertanyaanku dijawabnya dengan panjang lebar.
Menurut cerita tukang pos itu, pertanian itu milik seorang wanita yang kaya.
Namanya Bu Reynold. Ia tinggal seorang diri di situ. Memang ada beberapa orang
pekerja menbantunya dalam pekerjaan sehari-hari. Tapi mereka tidak tinggal di
situ. Mereka datang pagi-pagi untuk bekerja, tapi malamnya pulang ke rumah
masing-masing. Jadi Bu Reynold pun mungkin 'wanita di puri' yang dimaksudkan
oleh para penjahat. Rumahnya besar sekali - layak kalau disebut puri!"
George mengerutkan keningnya.
"Sekarang ada tiga wanita yang mungkin merupakan calon korban para penjahat
itu," katanya setengah mengeluh. "Padahal kita baru saja mulai dengan
penyelidikan kita. Kalau keadaannya begini terus ...."
Anak-anak merebahkan diri ke runput. Karena merasa lapar, mereka membuka bekal
makanan yang sengaja dibawa untuk berjaga-jaga. Setelah mengisi perut, mereka
berangkat lagi. Tiga hari lamanya keempat anak itu memeriksa setiap sudut daerah situ, sampai ke
Tanjung St. Patrick. Tapi mereka tidak menemukan bangunan lagi yang mungkin
merupakan sasaran perampokan.
Malam hari ketiga mereka berunding lagi di perkemahan mereka, sambil duduk
mengelilingi api unggun. "Mula-mula aku merasa kecil hati, karena tidak banyak petunjuk yang kita ketahui
tentang rencana perampokan," kata George. "Tapi sekarang aku sudah lebih
optimis. Soalnya kita menemukan tiga wanita saja yang kira-kira cocok dengan
petunjuk yang disebutkan kedua penjahat itu. Mereka itu Bu Killarney yang tingal
di puri tua di tengah 'Padang Liar', lalu Bu Grant dari 'Mon Tresor', serta Bu
Reynolds pemilik pertanian."
"Betul!" kata Anne sambil mengangguk. "Sekarang kita tinggal menyelidiki siapa
di antara ketiga wanita itu yang memiliki perhiasan berharga. Kalau kita sudah
tahu, kita datangi dia untuk memperingatkan agar berjaga-jaga. Beres!"
"Kurasa Bu Killarney bisa kita lupakan," kata Dick. "Ia kan sangat miskin. Mana
mungkin ia memiliki perhiasan yang berharga!"
"Jangan terlalu cepat menarik kesimpulan," kata Julian. "Kita kan sama sekali
Lima Sekawan 01 Mencari Warisan Ratu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak mempunyai bukti bahwa Bu Killarney tidak punya apa-apa. Banyak orang tidak
suka memamerkan kekayaan mereka, karena takut dirampok atau dirongrong peminta
sumbangan!" "Baiklah," kata George. "Kalau begitu kita mulai dengan mendatangi Bu
Killarney." Bab 6 BU KILLARNEY Keesokan paginya anak-anak itu melanjutkan kegiatan mereka. Tujuan mereka yang
pertama adalah puri tua di 'Padang Liar'. Mereka ingin bertemu dengan wanita
pemiliknya. Ketika mereka lewat di desa Kirrin, tiba-tiba Anne melihat seorang penjual bunga
dengan bunga yang indah-indah.
"Yuk, kita mampir sebentar," katanya pada saudara-saudaranya. "Aku ingin membeli
seberkas bunga mawar, untuk Bibi Fanny. Bibi kan selalu baik hati pada kita.
Nanti dalam perjalanan pulang kita mampir di Pondok Kirrin, untuk menyerahkan
bunga mawar itu padanya."
George, Dick dan Julian berdiri di tepi jalan sambil memegang sepeda masing-
masing. Mereka menunggu Anne, yang berjalan menuju tempat penjualan bunga. Di
depan Anne berjalan seorang wanita yang sudah tua. Gerak-geriknya sudah tidak
tangkas lagi. Tiba-tiba muncul seorang laki-laki naik sepeda motor. Jalan
kendaraan itu laju sekali, arahnya lurus menuju wanita tua yang sedang
menyeberang. Wanita tua itu berdiri di tengah jalan. Seolah-olah terpaku ia di
situ. Anne langsung sadar bahwa wanita tua itu karena takutnya tidak tahu lagi
apakah ia harus maju atau mundur. Dengan sigap Anne menyentakkan lengan wanita
itu ke belakang. Tepat pada waktunya, karena kalau terlambat sedetik saja,
wanita tua itu pasti sudah tergilas roda sepeda motor. Wanita itu mengucapkan
terima kasih dengan suara gemetar, lalu menghilang di tengah orang banyak.
Anne membeli bunga mawar, lalu bergegas kembali ke tempat saudara-saudaranya
menunggu. Kini mereka bisa melanjutkan perjalanan, mendatangi Bu Killarney.
Mereka bersepeda di jalan pedesaan, sementara Timmy berlari-lari dengan gembira
di samping rnereka. Tiba-tiba nampak debu mengepul di kejauhan. Sebuah bis yang
penuh sesak muncul,dan dengan cepat sudah melewati mereka.
"Aku benci pada kendaraan yang besar-besar seperti itu!" kata George marah-
marah. "Bahkan sapi pun takut pada mereka!"
Julian tertawa melihat saudara sepupunya marah-marah.
"Tapi bagi orang-orang yang tidak merniliki mobil atau sepeda, bis sangat
menolong kalau mereka ingin bepergian," katanya. "Ayo, kita terus! Sebentar lagi
sudah sampai." Seperempat jam kemudian mereka sudah sampai di depan puri tua yang terletak di
'Padang Liar'. Mereka menghampiri pintu gerbangnya yang besar, lalu menarik tali
lonceng yang tergantung di situ.
Sayup-sayup terdengar gema bunyi lonceng.
"Tidak ada orang," bisik Anne, setelah agak lama mereka menunggu tanpa ada yang
membukakan pintu. Tapi saat itu juga sebuah tingkap kecil yang ada pada daun
pintu terbuka. "Kalian mau apa?" tanya seseorang dengan suara agak bergetar.
"Kami ingin bertemu sebentar dengan Bu Killarney," kata Julian dengan sopan.
"Ada urusan penting!" "Aku tidak menerima tamu!" kata orang yang membuka tingkap.
"Ijinkanlah kami masuk!" kata George tidak sabaran. "Ini penting sekali,
menyangkut keselamatan diri Anda."
"Aku tidak kenal kalian. Ayo pergi!"
Setelah itu tingkap ditutup kembali.
Keempat anak itu saling berpandang-pandangan dengan perasaan kecewa.
"Hebat!' kata Dick menggerutu. "Begitulah hasilnya, jika hendak menolong orang."
Ia tidak melanjutkan kata-katanya. karena saat itu tingkap terbuka kembali.
"Tapi anak perempuan yang di belakang itu...rasa-rasanya aku seperti pernah
melihat dia," kata wanita yang berdiri di balik pintu. "Ah ya - betul juga kau
yang tadi menyelamatkan diriku! Coba kau maju sedikit, Nak... ya, ya, memang kau
yang tadi menolongku di desa. Aduh, aku tadi begitu kaget, sampai tidak sempat
mengucapkan terima kasih dengan sepantasnya. Masuklah, Anak-anak!"
Anak-anak melongo. Mereka kaget menghadapi perubahan sikap yang datang dengan
tiba-tiba itu. Sementara itu pintu dibuka dari dalam. Bu Killarney muncul dari
balik daun pintu. Ternyata ia memang wanita tua yang tadi nyaris ditubruk sepeda
motor di desa, kalau tidak cepat-cepat ditarik ke belakang oleh Anne.
Anak-anak diajak masuk ke ruang tamu yang lapang. Ruangan itu dulu pasti indah
sekali. Tapi sekarang sudah terbengkalai keadaannya.
Julian menjelaskan maksud kedatangannya bersama ketiga saudaranya. Bu Killarney
sedikit pun tidak meragukan kata-katanya, karena Julian mengatakan bahwa ia
keponakan Profesor Quentin Kirrin. Hal itu menambah bobot keterangannya.
Soalnya, Protesor Kirrin terkenal di daerah situ. Dan begitu pula halnya dengan
putrinya. "Ya, ya - bisa kubayangkan bahwa aku menjacli incaran perampok. Soalnva, aku
memang memiliki harta warisan keluarga. Dan kalian ini datang karena merasa
bahwa ada perampok yang mau mencuri hartaku itu" Sebelulnya memang terlalu besar
risikonya menyimpan harta itu di sini!"
"Jangan buru-buru gugup, Bu Killarney," kata Julian. Ia berusaha menenangkan
wanita tua yang nampak mulai bingung lagi itu.
"Menurut rencananya, perampokan itu baru akan dilakukan akhir bulan ini. Jadi
Anda masih cukup banyak waktu untuk melaporkannya pada polisi. Kecuali itu Anda
juga dapat menaruh harta itu ke tempat lain yang aman!"
"Ya, ya, kau memang benar, Nak" kata wanita tua itu. "Aku kadang-kadang suka
bingung, tidak tahu apa yang perlu dikerjakan. Aku seorang diri saja di sini, di
tengah kenangan lama. Tapi nasihatmu tadi akan kuturuti. Mungkin kalian ingin
melihat hartaku itu, ya?"
Julian dan saudara-saudaranya senang sekali, karena begitu cepat berhasil
menemukan wanita yang diduga akan menjadi korban perampokan yang sedang
direncanakan. Mereka merasa terharu menghadapi sikap percaya wanita tua itu pada
mereka sehingga ia mau bercerita tentang hartanya. Oleh karena itu mereka pun
menerima ajakan itu. Anne sudah senang saja, karena ia sangat menyukai perhiasan antik.
Dibayangkannya betapa indahnya permata jamrud itu.
Bu Killarney mengajak mereka melalui bangsal yang besar-besar serta lorong-
lorong panjang. Akhirnya mereka sampai di sebuah ruangan yang kosong sama
sekali. Di situ tidak ada perabotan. Tidak ada lukisan tergantung di dinding.
Keempat anak itu berpandang-pandangan dengan heran. Mana harta yang dimaksudkan
tadi" Wanita tua itu tersenyum, ketika melihat keempat remaja itu bingung.
Arca Dewi Bumi 1 Telapak Setan Karya Khu Lung Pendekar Asmara Tangan Iblis 2
LIMA SEKAWAN MENCARI WARISAN RATU petualangan baru Lima Sekawan
ciptaan ENID BLYTON diceritakan oleh Claude Voilier
ilustrasi oleh Jean Sidobre
"LES CINQ SONT LES PLUS FORTS"
by Claude Voilier Copyright Librairie Hachette 1971"All rights reserved
"LIMA SEKAWAN: MENCARI WARISAN RATU"
dialihbahasakan dari edisi bahasa Jerman "DIE BERUHMTEN 5 ALS SCHATZSUCHER"
oleh Agus Setiadi Edit by : zheraf http://www.zheraf.net DAFTAR ISI: Bab 1. Liburan Bab 2. Berkemah di Pulau Kirnin
Bab 3. Rencana Jahat Bab 4. George Bercerita Bab 5. Memulai Penyelidikan
Bab 6. Bu Killarney Bab 7. 'Mon Tresor' Bab 8. Timmy Beraksi Bab 9. Tempat Pertanian Bu Reynold
Bab 10. Pertemuan Tak Terduga
Bab 11. Perburuan Bab 12. Robert Bab 13. Tertangkap Bab 14. Penjahat Beraksi Bab 15. Akal Bu Grant Bab 16. Hidup Timmy! Bab 1 LIBURAN "Dick! Aku di sini! Ayo cepat, Anne - di situ masih ada tempat! Lekas naik,
Julian! Nanti koper-koper kami sodorkan dari bawah!" George sibuk sendiri,
sambil menunjuk-nunjuk tempat yang masih kosong dalam gerbong penumpang. Julian,
saudara sepupunya yang paling tua, tertawa geli melihat kelakuan George.
"Siap, Bu Jendral!" katanya sambil mengetukkan kedua tumit sepatunya. Ia
bersalut, lalu masuk ke dalam gerbong kereta api.
George tidak bisa sabar, seperti biasanya. Dengan rambutnya yang dipotong pendek
serta wajahnya yang tegas, ia kelihatan seperti anak laki-laki. Dan ia memang
lebih senang dikira laki-laki. Nama sebenarnya Georgina. Tapi kalau disapa
dengan nama itu, mana mau ia menoleh! Biarpun yang memanggil gurunya di sekolah,
ia tetap tidak mau menjawab. Karena itu semua menyapanya dengan George.
George sebaya Dick. Kedua anak itu sering dikira kembar oleh orang-orang yang
tidak mengenal mereka. Sedang Anne yang paling muda di antara mereka berempat.
Anak itu lemah-lembut sikapnya - seorang gadis tulen! George sering
memperlakukan saudara sepupunya itu seperti bayi saja.
George, Dick dan Anne menyusul Julian, naik ke kereta api. Dick dan Julian
menaruh koper-koper di tempat barang, di atas bangku-bangku kosong yang tadi
dilihat George. "Huhh" desah George sambil miembanting badannya ke bangku kereta. "Sebentar lagi
kereta berangkat. Untung kita bisa berlibur bersama-sama lagi, setelah begitu
lama berpisah!" "Yang lebih untung lagi, ayah dan ibumu mau menerima kami bertiga selama liburan
ini!" kata Dick bersemangat.
"Aku senang sekali berlibur di tempat kalian," kata Anne sambil mendesah puas.
"Pondok Kirrin sangat nyaman."
"Yang paling kusenangi ialah bahwa laut begitu dekat dari situ," kata Julian.
"Kita bisa sibuk terus, sehingga tidak ada waktu untuk merasa bosan! Tapi mudah-
mudahan saja ayahmu saat ini tidak sedang sibuk dengan salah satu tugas
penelitian yang rumit. Kalau ia sibuk, kita pasti harus berjingkat-jingkat lagi
kalau berjalan, supaya ia tidak merasa terganggu. Paman Quentin kalau sudah
marah galak sekali!"
Saat itu George meloncat bangkit. Ia menjulurkan tubuhnya ke luar jendela.
"Asyik! Kita berangkat," katanya sambil tertawa gembira. "Dua jam lagi kita akan
sudah sampai di rumah. Aku sudah tidak sabar lagi, ingin cepat-cepat melihat
Timmy! Selama di sekolah, aku selalu rindu padanya."
Ketiga saudara sepupunya tertawa geli.
"Kau ini tidak enak rupanya, kalau tidak ada Timmy," kata Dick mengganggu.
"Betul,"jawab George berterusterang. "Timmy itu rasanya sudah menjadi sebagian
dari diriku." "Perasaan kami juga begitu!" kata Dick. "Sebab kalau tidak begitu, kita ini
bukan Lima Sekawan namanya. Lagipula Timmy pintar sekali - mungkin lebih pintar
daripada kita!" "Itu betul! Ia sudah sering membantu kita dalam berbagai petualangan, apabila
kita sedang terpojok dan tidak tahu akal lagi. Aku juga rindu pada anjingmu itu,
George!" kata Julian sambil menganggukkan kepala.
Sementara itu kereta api meluncur terus dengan laju. George tidak tahan duduk
lama-lama. Ia berdiri lagi. Tapi karena buru-buru, terinjak olehnya kaki Dick.
George menjangkaukan tangannya, supaya jangan jatuh. Tapi sayangnya rambut Anne
yang panjang dan pirang yang terjangkau olehnya.
"Aduh !" teriak Anne kesakitan karena dijambak itu.
"Jangan lasak dong!" tukas Julian pada George. "Kau ini, seperti kena aliran
listrik saja. Duduklah dengan tenang!"
George duduk dengan segan-segan. Keningnya berkerut, sementara kedua tangannya
dibenamkan dalam-dalam di kantong celananya.
"Wah, wah! Sekarang Georgina cilik merajuk!" kata Dick menggoda.
George semakin marah mendengar dirinya disapa dengan nama yang sangat dibencinya
itu. Dengan cepat ia bangun sambil mengayunkan tangan, untuk menampar Dick. Tapi
Dick cepat-cepat mengendap, mengelakkan pukulan itu. Ia tertawa mengejek.
"Baru saja kita berjumpa lagi setelah sekian lama berpisah - masa sekarang sudah
mulai bertengkar," kata Julian menggerutu.
George duduk lagi di tempatnya dekat pintu. Mukanya masam. Ia membenamkan
tangannya lagi ke dalam kantong. Tiba-tiba ia menyentuh secarik kertas yang ada
di situ. Ia kaget, lalu cepat-cepat mengeluarken kertas itu. Ternyata surat!
"Aduh aku sampai lupa pada surat ini," gumam George. "Datangnya sebenarnya sudah
kemarin. Tapi karena begitu sibuk berkemas, aku sama sekali tidak sempat
membukanya. Ibu yang berkirim surat. Pasti isinya seperti biasa, penuh nasihat.
'Jangan sampai ketinggalan kereta api', dan macam-macam lagi!"
"Kalau begitu, suratnya sudah terlambat - karena kita sekarang sudah duduk di
kereta," kata Anne sambil tertawa. "Tapi walau begitu kaubuka saja surat itu,
George! Supaya kau bisa langsung memberikan jawabannya nanti, kalau ia menjemput
di stasiun!" George mengeluarkan surat itu dari sampulnya. Ia membacanya sekilas, lalu
berseru dengan nada kaget.
"Astaga! Ini sama sekali tidak kusangka," katanya. "Wah, wah! Kalian mau tahu
apa yang ditulis ibuku dalam suratnya ini?"
Tanpa menunggu jawaban ketiga saudara sepupunya. Ia langsung menyambung, "Kita
tidak bisa datang ke Pondok Kirrin!"
"Apa?" seru ketiga sepupunya serempak. Semuanya agak bingung. "Mana mungkin -
kita sekarang kan sudah dalam perjalanan ke sana! Lalu, apa yang kita lakukan
sekarang?" "Hari Sabtu yang lalu Kirrin dilanda angin ribut," kata George menjelaskan.
"Sebagian atap Pondok Kirrin terbang dibawa angin. Cerobong asapnya ada satu
yang roboh. Pendek kata Pondok Kirrin berantakan. Sekarang tukang-tukang sedang
sibuk bekerja di sana, sehingga tidak ada tempat untuk kita. Beberapa kamar yang
utuh, dipakai sendiri oleh orang tuaku. Jadi kita terpaksa berlibur di tempat
lain." "Tapi di mana?" tanya Dick sambil menggeleng-geleng. Kalimatnya itu tidak
terjawab untuk sementara, karena tiba-tiba George sudah meloncat lagi ke
jendela, sambil berteriak-teriak.
"Kirrin! Itu Kirrin! He- kita sudah sampai. Aku sudah bisa melihat stasiun. Itu
Ibu, berdiri di tepi peron. Wah - Timmy tidak diajaknya menjemput."
Kereta api berhenti di stasiun. George langsung membuka pintu. Ketiga sepupunya
dibiarkannya sendiri. George meloncat turun, lalu bergegas menghampiri ibunya
yang langsung dirangkul olehnya.
"Ah, Bu - senang sekali rasanya ada di rumah lagi! Bagaimana dengan Ayah" Kenapa
ia tidak ikut menjemput" Kenapa ia ditinggal" Sekarang sedang dikurung dalam
kandang, ya?" George begitu sibuknya, sehingga mencampuradukkan Ayah dan Timmy.
Sambil tertawa geli, ibunya membebaskan diri dari rangkulan putrinya yang sangat
bersemangat itu. "Aduh, bisa remuk badanku nanti kautekan," kate ibunya. "Ayahmu baik-baik saja,
tapi seperti biasa Ia sibuk dengan buku-bukunya. Aku sengaja tidak membawa
Timmy, karena aku tidak tahan mendengar keberisikan kalian apabila bertemu dia
di sini!" Sementara itu Julian, Dick dan Anne sudah turun pula, membawa koper-koper
mereka. Mereka menyalami Bibi Fanny.
"Nah, Anak-anak!" kata Bibi. "Kenapa air muka kalian kelihatan agak aneh" Ada
yang tidak beres barangkali?"
"George tadi mengatakan bahwa kami sekali ini tidak bisa berlibur di Pondok
Kirrin," kata Julian. "Kami sekarang tidak tahu ..."
"Ah - kalau soal itu, kalian tidak perlu khawatir." kata Bibi Fanny sambil
tertawa. "Kalian pasti bisa menikmati liburan, jadi tidak perlu merasa kecewa.
Tapi sekarang cepatlah! Mobil sudah menunggu! Nanti kujelaskan lebih lanjut, di
tengah perjalanan." Rombongan kecil itu pergi, keluar dan stasiun. Mereka langsung masuk ke dalam
mobil yang diparkir di depan. Bibi Fanny duduk di belakang setir.
"Kali ini kalian memang tidak bisa tinggal di Pondok Kirrin, karena sedang
diperbaiki," kata Bibi. "Karena itu aku punya usul. Bagaimana jika kalian
berkemah saja di Pulau Kirrin" Di pulau milik George! Kalian kan sudah beberapa
kali mengalami hal-hal yang mengasyikkan di sana. Nah - kali ini kalian boleh
berkemah di sana, hidup seperti orang yang terdampar di pulau terpencil. Seperti
Robinson Crusoe!" Keempat remaja itu langsung berseru-seru karena gembira.
"Asyik! Hebat! Setuju! Asyik, berkemah di pulau!"
"Ya, itu sudah kubayangkan," kata Bibi Fanny sambil tersenyum. "Dan kalau ada
apa-apa, kami kan tidak jauh. Tapi kurasa kalian takkan apa-apa di sana."
"Soal itu gampang. Kan ada perahuku. Dan sepeda kami juga masih ada," kata
George. "Makanan untuk bekal, bisa kami ambil dan desa."
"Hidup di alam terbuka sehat! Nah - itu, Pondok Kirrin sudah nampak. Yuk, kita
turun!" Di atap rumah nampak beberapa tukang sedang sibuk bekerja. Ketika mobil memasuki
pekarangan, seorang laki-laki muncul di ambang pintu. ltulah Profesor Quentin
Kirrin, ayah George. Ia menyongsong anak-anak yang turun dan mobil.
Tiba-tiba sesuatu yang besar dan berwarna kekuning-kuningan nampak melesat, lari
menuju ke arah George. Detik berikutnya wajah anak itu sudah habis dijilati.
"Tim! Timmy yang manis! Aduh, senang sekali hatiku berjumpa kembali denganmu.
Kau pasti rindu sekali padaku, ya Tim?"
Anjing itu menggonggong-gonggong dengan gembira, sambil mengibaskan ekor dengan
bersemangat. Setelah itu Timmy berganti menyambut Julian serta kedua adiknya. Sesudah upacara
penyambutan meriah itu selesai, Timmy berpaling lalu berjalan ke rumah. Yang
lain menyusul di belakangnya.
Bab 2 BERKEMAH DI PULAU KIRRIN Siang itu mereka makan dengan lahap. Joanna, juru masak keluarga Kirrin,
menunjukkan kegembiraannya atas kedatangan keempat remaja itu dengan jalan
menghidangkan makanan yang enak-enak. Dan mereka menunjukkan penghargaan mereka,
dengan jalan menyikat semuanya sampai habis.
Sehabis makan, anak-anak pergi ke Pulau Kirrin dengan perahu. Timmy tentu saja
ikut, karena tanpa dia tidak lengkaplah Lima Sekawan. Bibi Fanny dan Paman
Quentin sama sekali tidak berkeberatan jika Timmy diajak. Mereka malah merasa
lega. Karena kalau ada apa-apa nanti,Timmy pasti akan melindungi George serta
ketiga saudaranya. Daerah sekitar Kirrin sebetulnya aman. Tapi siapa tahu....
Anak-anak memasukkan bawaan mereka ke dalam perahu milik George. Setelah itu
mereka sendiri masuk dan duduk di sela-sela barang. Timmy ditugaskan untuk
mengawasi kotak yang berisi bekal makanan. Dick dan Julian mendayung bersama-
sama. George duduk di buritan sambil memegang kemudi. Anne tidak kebagian tugas.
Karena itu ia duduk-duduk saja, sambil menikmati pemandangan laut yang biru.
Burung camar terbang menyambar-nyambar sambil berteriak-teriak dengan suara
serak. Mereka sibuk mencari makan di permukaan laut yang saat itu tenang.
Pulau Kirrin terletak beberapa ratus meter di tengah teluk. Letaknya tepat
berhadapan dengan Pondok Kirrin. Di sebuah rumah perahu yang terdapat di pantai
teluk itu disimpan sepeda anak-anak dalam keadaan siap untuk dipakai. Anak-anak
gembira sekali saat itu. Mereka mulanya sama sekali tidak mengira akan berkemah
di Pulau Kirrin! Tidak lama kemudian mereka tiba di pulau itu. Mereka langsung berkeliling,
mencari tempat berkemah yang enak. Mereka sudah cukup sering datang ke situ.
Tapi setiap kali mereka selalu kagum lagi, melihat keindahan pulau milik George
itu. Kelinci-kelinci liar berlarian di tengah rumput yang panjang dan lebat.
Burung gagak terbang berkawan-kawan, berkaok-kaok mengelilingi reruntuhan puri
yang menjulang di tengah pulau.
"Kau beruntung. George - memiliki pulau seindah ini!" kata Anne sambil mendesah
kagum. "Ya, memang," kata George. "Orang tuaku baik hati, mau menghadiahkannya padaku."
Keempat remaja itu masuk ke pekarangan dalam puri, lewat di bawah suatu
lengkungan besar dari batu yang dulunya merupakan ambang pintu gerbang puri.
Ubin lantai di situ sudah pecah-pecah. Rumput tumbuh di celah-celah pecahan. Di
seberang halaman tampak gerbang ruang kesatria yang luas. Mereka masuk ke
ruangan itu. "Atap di sini masih utuh, begitu pula dindingnya," kata George. "Kalau cuaca
berubah, kita bisa berteduh di sini. Pasti tidak basah!"
"Aku lebih senang tidur di luar, dalam kemah," kata Anne dengan malu-malu.
"Perasaanku tidak enak di sini, apabila angin bertiup malam hari. Suaranya
menyeramkan!" "Penakut" kata Dick mencemooh. "Aku malah senang di sini. Kapan-kapan kita juga
perlu memeriksa sel-sel kurung di bawah tanah. Bagaimana, George?"
"Aku mau saja. Memang sudah lama kita tidak ke sana. Tapi sekarang kita pasang
dulu kemah kita. Yuk!"
Anak-anak bekerja dengan rajin. Mereka memindahkan segala perbekalan dari perahu
ke satu-satunya ruangan puri yang masih beratap dan berdinding. Mereka membuat
tempat perapian untuk memasak, di tengah pekarangan dalam. Setelah itu mereka
mencari sudut yang tidak banyak anginnya. Di situ mereka memasang kedua tenda
mereka. Malam itu mereka tidur nyenyak sekali dalam tenda. George serta ketiga sepupunya
berminpi tentang berbagai petualangan yang asyik. Sedang Timmy mimpi tentang
kelinci-kelinci liar, yang menunggu-nunggu untuk diburu olehnya.
Keesokan paginya Dick mengambil air dari suatu sumber, sementara Anne menyiapkan
sarapan. Hari pertama mereka di pulau itu berlalu dengan cepat sekali. Keempat remaja itu
asyik bermain-main dan berjalan-jalan. Cuaca hari itu cerah sekali. Matahari
bersinar di langit yang bersih tak berawan. Anak-anak kepanasan karenanya.
Berulang kali mereka menceburkan diri ke laut, untuk menyegarkan tubuh.
Siang keesokan harinya mereka pergi dengan perahu ke darat, untuk melaporkan
keadaan mereka pada Bibi Fanny dan Paman Quentin. Sekaligus mereka juga hendak
menambah perbekalan makanan yang sudah agak menyusut. Untuk itu mereka ke desa,
naik sepeda. Ah - menyenangkan sekali liburan seperti itu, pikir meneka.
Ketika sudah kembali di pulau, George yang tidak pernah bisa diam, mengusulkan
permainan sembunyi-sembunyian sampai saat makan malam.
"Aku sendiri yang bersembunyi, sedang kalian bertiga mencari," katanya.
"Taruhan, tidak akan ketemu! Tapi Timmy tentu saja harus diikat dulu. Kalau ia
dibiarkan bebas, kalian akan terlalu gampang nanti. Ia pasti bisa mengendus di
mana aku bersembunyi. Nah, aku pergi sekarang! Kalian harus menghitung dulu
sampai seratus lima puluh. Sesudah itu silakan mencari - sampai pusing!"
Tanpa menunggu lagi, George langsung lari dengan gembira. Ia membayangkan,
ketiga sepupunya pasti nanti tidak bisa menemukan tempat persembunyiannya.
George menemukan tempat itu secara kebetulan tadi pagi.
Lima Sekawan 01 Mencari Warisan Ratu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia lari menuju ke pinggir tebing yang menjorok ke depan, ke arah laut. Letaknya
di belakang puri. Sisi tebing curam sekali.
George tidak kenal takut. Dengan hati-hati ia mulai menuruni tebing itu. Ia
merangkak-rangkak ke bawah. Kira-kira setengah jalan ia sampai di suatu bagian
yang agak masuk ke dalam. George masuk ke celah tebing itu. Di situ ia memang
tidak bisa kelihatan, baik dari atas maupun dari bawah. Beberapa saat kemudian
ia mendengar suara Julian berbicara di atas tebing.
"George mestinya ada di sekitar sini," kata Julian.
"Mana mungkin!" bantah Dick. "Tanah di tepi tebing ini datar sekali. Dan tidak
mungkin George bersembunyi dalam liang kelinci."
George yang bersembunyi di bawah mereka, mendengar suara kedua saudara sepupunya
itu menjauh lagi. Ia tertawa sendiri. Ia menduga. Julian dan Dick pasti hendak
mencari ke tempat lain sekarang.
Jauh di bawah kaki George, air laut nampak kemilau kena sinar matahari musim
panas. Tiba-tiba George melihat suatu titik hitam di tengah laut. Titik itu
bergerak, mendekati pulau.
"Eh - ada perahu kemari! Mau mencari apa di sini?" pikir George.
Bab 3 RENCANA JAHAT Sementara itu perahu yang datang semakin mendekat. George melihat ada dua orang
laki-laki dalam perahu itu. Laki-laki yang mendayung, duduk dengan punggung
menghadap ke pulau. Ia bertubuh kurus jangkung. Rambutnya lebat, berwarna rnerah
nyala. Sedang laki-laki yang satu lagi bertubuh gempal. Kepalanya kekar, nyaris
persegi empat. Haluan perahu kini mencecah pasir pantai kecil yang terdapat di kaki tebing
curam tempat George sedang bersembunyi.
Dari tempatnya itu ia tidak bisa lagi melihat kedua laki-laki yang datang secara
diam-diam itu. Tapi George menyadari bahwa keduanya hendak naik ke darat.
Dugaannya ternyata benar. Sesaat kemudian ia mendengar suara mereka berbicara.
Satu di antaranya kedengaran seperti orang asing, dari logatnya.
"Hebat, Leo!" kata orang itu. "Tepat sekali kau memilih tempat ini. Di sini kita
tidak usah takut ada orang muncul dengan tiba-tiba. Jadi kita bisa berunding
dengan leluasa." "Ya, pulau ini tidak didiami orang. Pemiliknya boleh dibilang tidak pernah
datang ke sini," kata orang yang satu lagi. "Dan dinding tebing ini takkan
membocorkan rahasia kita!"
George merasa tidak enak. Ia sama sekali tidak bermaksud mendengar pembicaraan
orang lain. Karena itu ia hendak menampakkan diri, supaya kedua laki-laki itu
tahu di situ ada orang lain. Tapi dengan segera George mengurungkan niatnya,
karena saat itu juga ia mendengar kata-kata yang mencurigakan. Kini ia malah
memasang telinga. "Syukurlah," kata laki-laki yang pertama berbicara.
"Karena kejahatan yang sedang kita rencanakan, tidak boleh sampai ketahuan orang
lain!" "Kejahatan?" Orang yang bernama Leo tertawa agak mengejek. "Kenapa kejahatan"
Itu kan tergantung melihatnya dari sudut mana, Pak Herman! Bagi calon korban
kita rencana itu tentu saja merupakan kejahatan. Tapi bagi kita, sebaliknya"Leo
tertawa terbahak-bahak. "Sudah, jangan melucu lagi!" tukas laki-laki yang disebut Pak Herman. "Sudah
jelas bahwa korban kita nanti tidak akan bertepuk tangan dengan gembira. Sedang
bagi kita, aksi ini jelas menguntungkan.... Tapi masih ada beberapa hal yang
perlu kita bicarakan masak-masak. Sekarang sudah awal bulan Juli. Sedang rencana
itu akan kita laksanakan tepat tanggal 30 nanti!"
"Ya, aku tahu! Kita memang perlu merencanakan segala sesuatunya, supaya jangan
ada yang meleset nanti."
George duduk tanpa bergerak sedikit pun di tempat persembunyiannya. Seluruh
syarafnya tegang saat itu. Baginya tidak ada keragu-raguan lagi bahwa kedua
laki-laki yang ada di bawah itu sedang merencanakan salah satu tindakan jahat.
Apabila angin tidak berputar arah, mungkin ia akan masih bisa ikut mendengarkan
apa yang akan mereka rencanakan selanjutnya.
Mudah-mudahan Julian, Dick dan Anne tidak datang lagi ke situ untuk mencariku,
pikir George dengan cemas. Kalau kedua laki-laki yang di bawah mendengarsuara
mereka bercakap-cakap di atas tebing, pasti mereka akan cepat-cepat pergi dan
situ! George mendengarkan lebih lanjut, dengan perasaan tidak sabar. Kedua laki-laki
yang tidak menduga bahwa ada yang ikut mendengarkan percakapan mereka,
melanjutkan berunding. "Menurut pendapatku, aksi kita nanti itu sama sekali tidak ada bahayanya." kata
Herman, yang bersuara serak. "Apabila keteranganmu betul...."
"Tentu saja betul, Pak Herman! Aku sendiri sudah meneliti. Rumah itu terpencil
letaknya. Jarang sekali orang datang ke situ. Bahkan saat ramai-ramainya orang
berlibur di sini, masih tetap sepi. Turis pergi ke tempat lain kalau ingin
mandi-mandi di laut. Jadi kita bisa beraksi dengan tenang, tanpa risiko
diganggu!" "Aku cuma kurang senang bahwa kita harus menunggu sampai akhir bulan."
"Apa boleh buat, Pak - baru tanggal 30 itu Robert bisa membantu kita. Sedang
kita memerlukan bantuannya, agar semua bisa berjalan lancar dan tanpa risiko!"
"Aku tahu, Robert memang kita perlukan," kata Pak Herman. "Jadi apa boleh buat -
kita terpaksa menunggu selama itu."
Sementara itu Julian, Dick dan Anne sudah berkeliaran ke mana-mana, mencari
sepupu mereka yang bersembunyi.
"Keterlaluan!" umpat Dick. "Sudah dua puluh menit kita memeriksa setiap sudut
pulau ini! Tapi George masih belum juga kita temukan!"
"Kurasa ia bersembunyi dalam lorong di bawah tanah," kata Anne dengan ragu.
"Tapi aku tidak mau ikut mencarinya ke situ!"
"Jadi kauanggap ia ada di bawah tanah, Anne?" Julian menggelengkan kepala, tanda
tidak sependapat. "Menurut pendapatku, kita tidak harus mencarinya dalam puri,
melainkan di seberang pulau. Tadi aku merasa seolah-olah George lari ke arah
sana!" "Masa bodoh apa pendapatmu," kata Dick. "Pokoknya, aku mencari terus di sini.
Kau ikut, Anne?" "Tentu saja," jawab Anne.
"Baiklah," kata Julian. "Kutemani kalian sepuluh menit lagi. Apabila saat itu
George masih juga belum kita temukan, aku hendak pergi mencari ke tebing!"
Ketiga hersaudara itu mencari-cari lagi.
Tapi bagaimana dengan Timmy sementara itu" Ia diikatkan pada sebuah tonggak, di
samping tenda George. Anjing itu mengendus-endus dengan gelisah. Ternyata dari
baunya ia sudah lama tahu di mana tuannya saat itu berada! Coba ia tidak
diikatkan ke tonggak - dengan cepat George akan sudah ditemukan olehnya!
Tiba-tiba Timmy mendengking pelan. Ujung hidungnya yang hitam bergerak-gerak.
Timmy merasa takut. George terancam bahaya!
Saat itu George memang sedang gelisah. Anak itu menyadari bahwa ia telah terlalu
banyak tahu tentang rencana kedua penjahat yang sedang berunding di bawah. Jika
keduanya secara kebetulan melihatnya, pasti mereka takkan memperlakukan dirinya
dengan halus. Ia menimbang-nimbang. Kedua laki-laki yang berada di bawah takkan bisa melihat
dirinya di tempat persembunyian. Tapi tempat itu sangat sempit. Kakinya mulai
kesemutan. Kalau ia menggerakkannya lalu ada batu yang tersenggol sehingga jatuh
berguling ke bawah.... George tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi. Dengan hati-hati sekali
ia menjulurkan kaki yang kesemutan. Sementara itu ia terus berusaha menangkap
pembicaraan kedua laki-laki itu. Tapi malang baginya, angin berputar arah.
Sebagai akibatnya suara kedua orang itu hanya sayup-sayup saja sampai di
telinganya. "Wanita itu kan tinggal seorang diri saja di purinya," kata Leo saat itu. "Jadi
sama sekali tidak ada problem."
"Dasar orang sinting!" tukas laki-laki yang bernama Herman. "Salahnya sendiri
kalau dirampok nanti. Untuk apa kotak permatanya disimpan dalam rumah, tanpa
penjagaan?" Angin bertiup agak keras, sehingga George hampir-hampir tidak mendengar kalimat
yang diucapkan oleh Leo. ".... kabarnya jamrud yang benar-benar luar biasa...."
"Betulkah itu perhiasan warisan keluarga?"
"Ya...Ratu Victoria... dihadiahkan pada seorang moyang wanita di pun itu...
jasanya pada kerajaan...."
"Nekat... barang begitu disimpan di rumah... mentang-mentang daerah aman."
Angin semakin keras bertiup, sehingga percakapan kedua laki-laki itu kini sama
sekali tidak bisa didengar lagi. Tapi sudah cukup banyak yang diketahui oleh
George. Kini ia sudah yakin bahwa kedua laki-laki itu sedang merencanakan
perampokan. Tapi sayangnya, mereka sama sekali tidak menyebutkan nama wanita
yang akan menjadi korban.
George sudah hampir tidak tahan lagi meringkuk dalam tempat persembunyiannya.
Seluruh tubuhnya terasa pegal. Ia memberanikan diri, menjulurkan badan ke depan
untuk memandang ke bawah. Ah - syukurlah, pikirnya. Dilihatnya kedua laki-laki
itu berdiri, lalu mendorong perahu ke air. Saat itu angin bertiup dari arah
laut. George berhasil menangkap kata-kata yang diucapkan kedua penjahat itu,
sebelum mereka naik ke perahu.
"Kita langsung menuju ke pantai!" kata laki-laki yang bertubuh kekar.
"Baik Pak," jawab laki-laki jangkung yang berambut merah.
Jadi laki-laki berambut merah itu yang bernama Leo, kata George dalam hati.
Kalau begitu yang satu lagi pasti bernama Herman. Kelihatannya ia-lah pemimpin
di antara keduanya. George berusaha mengenali wajah Leo. Tapi saat itu hari sudah senja. George
hanya bisa melihat bentuk kepala kedua laki-laki itu saja.
Perahu kedua penjahat bergerak menjauhi Pulau Kirrin. Tapi George masih tetap
menunggu beberapa saat lagi di tempat persembunyiannya, sebelum ia berani
merentangkan tungkainya yang terasa kaku sekali.
Tiba-tiba George terkejut sendiri. Kalau Julian, Dick dan Anne merasa bosan
karena masih saja belum berhasil menemukan tempat persembunyiannya, ada
kemungkinannya mereka akan berteriak-teriak memanggilnya supaya keluar. Sedang
kedua penjahat yang saat itu belum begitu jauh, sudah jelas tidak tuli. Mereka
juga bukan orang yang bodoh. Jadi pasti mereka akan segera tahu bahwa di pulau
ada orang. Mereka tentu akan datang kembali, karena khawatir ada yang ikut
mendengarkan pembicaraan mereka tadi. Dan kalau mereka naik ke tebing untuk
memeriksa dan menemukan dirinya di situ....
George merinding karena merasa seram. Ia harus cepat-cepat meninggalkan tempat
itu. Ia merangkak keluar dari celah tebing, lalu mulai memanjat ke atas dengan
hati-hati. Kalau sedikit saja salah pijak atau berpegang, pasti tanpa ampun lagi
badannya akan terbanting ke batu-batu yang menunggu di bawah. Hiii - ia tidak
boleh memikirkan kemungkinan demikian saat itu. Ia harus memusatkan seluruh
perhatiannya untuk memanjat. Sedikit demi sedikit ia merayap naik, dengan
jantung berdebar keras. Akhirnya ia sampai juga di tepi atas tebing itu. George menghembuskan napas
lega. Kini ia sudah selamat!
Tapi ia tidak mau membuang-buang waktu. Walau jantung masih berdebar sebagai
akibat ketegangan tadi, George cepat-cepat lari menuju reruntuhan puri kuno.
Bab 4 GEORGE BERCERITA Ketika mengitari suatu semak, nyaris saja ia bertubrukan dengan Julian, yang
ternyata sedang mencari-cari dirinya di tempat itu.
"George!" seru Julian kaget."Muncul juga kau akhirnya! Di mana kau bersembunyi
selama ini" Dick dan Anne saat ini sedang mencari-cari di seberang sana! Tapi
aku dari semula sudah merasa bahwa kau akan kutemukan di sini!"
"Wah Julian - coba kau tahu..."
Walau saat itu sudah agak gelap, tapi Julian masih dapat melihat bahwa wajah
George pucat-pasi. Saudara sepupunya itu nampak seperti cemas dan bingung.
Rupanya ia baru saja kaget - karena sesuatu hal.
"Ada apa, George" Kau tidak sakit, kan?"
"Bukan sakit, tapi bingung dan cemas! Dan itu ada sebabnya!" kata George.
"Secara kebetulan saja aku tadi menjadi saksi dari suatu peristiwa yang sangat
misterius. Tapi yuk, kita kembali saja dulu - nanti kalau kita sudah berkumpul
semua, akan kuceritakan apa yang kualami tadi!"
Dengan cepat George dan Julian berjalan ke puri tua. Anne dan Dick ternyata
sudah lebih dulu ada di sana, karena tidak berhasil menemukan George di balik
pulau. Ketika mereka melihat Julian datang bersama George. keduanya berseru-
seru. "Hebat, Julian! Ternyata kau berhasil juga menemukan George?"
"Kami tadi sudah agak cemas memikirkan dirimu!" kata Anne berterus terang. Anak
itu memang cepat sekali khawatir, jangan-jangan terjadi apa-apa yang tidak enak.
"Julian hanya berhasil menemukan diriku, karena aku yang keluar dari tempatku
bersembunyi tadi. Kami nyaris bertubrukan di tengah jalan!" kata George yang
napasnya masih terengah-engah. Ia menjatuhkan diri ke rumput. "Coba aku tadi
tetap di tempat persembunyianku, biar sepanjang malam kalian mencari, takkan
mungkin bisa ketemu!"
"Alaa, aksi!" kata Dick sambil tertawa. "Kalau tempat itu benar-benar tidak bisa
ditemukan, kenapa kau tidak lebih lama bersembunyi di situ dan membiarkan kami
mencari terus"!"
"Kalau kukatakan bahwa kalian pasti takkan bisa menemukan diriku, percaya
sajalah! Kau kan tahu, aku tidak pernah bohong!"
Anne melihat gelagat yang tidak enak. Ia merasa bahwa George mulai marah karena
diganggu oleh Dick. Jangan-jangan keduanya akan bertengkar lagi sekarang,
pikirnya. Karena itu ia cepat-cepat memotong.
"Tentu saja kami percaya, George," kata Anne. "Tapi sekarang ceritakan, apa
sebabnya kau tiba-tiba meninggalkan tempat persembunyianmu itu."
George langsung lupa pada kemarahannya.
"Aku tadi menjadi saksi rencana jahat" katanya.
Ketiga sepupunya memandangnya sambil melongo.
"Rencana jahat" Apa maksudmu?"
"Ketika aku bersembunyi tadi, secara kebetulan aku mendengar pembicaraan dua
orang penjahat. Mereka sedang merencanakan perampokan. Mereka hendak merampok
harta keluarga seseorang. Tentu saja kita harus bertindak, mencegah rencana itu.
Tunggu, aku hendak melepaskan Timmy dulu. Setelah itu kuceritakan segala-
galanya!" George melihat bahwa Timmy sejak tadi sudah berusaha melepaskan diri dari tali
yang mengikatnya ke tonggak tenda. Begitu George melepaskan ikatan, dengan
segera Timmy melonjak ke arah tuannya. Nyaris saja George jatuh terguling di
terjangnya. "Tenang. Timmy! Aduh, kau ini kalau senang tidak kenal batas!" kata George
sambil tertawa-tawa. Ia menggaruk-garuk tengkuk Timmy.
.Julian dan Dick pergi mengumpulkan kayu kering, lalu menyalakan api unggun
dengan bantuan Anne. "Biarpun sekarang musim panas, tapi malam di tempat terbuka begini biasanya
dingin," kata Julian. "Dengan api unggun kita akan tetap hangat, sedang Anne
bisa menyiapkan makanan untuk kita. Sementara itu cukup waktu untuk mendengarkan
cerita George." Sementara itu hari sudah benar-benar gelap. George meletakkan dahan-dahan
kering, sehingga kobaran api semakin membesar. Dick merasa tidak sabar melihat
kelakuan sepupunya itu. "Ayo, mulai saja dengan ceritamu itu!" katanya pada George. Ia duduk di atas
sebatang kayu yang roboh, sambil menjulurkan kaki.
"Ya, betul - aku pun kepingin sekali mengetahui apa yang kaualami tadi," kata
Anne. George duduk bersila di tanah, sambil merangkul leher Timmy. Setelah itu ia
mulai menceritakan pengalamannya....
Ketiga sepupunya mendengarkan dengan penuh perhatian. Ketika George selesai
bercerita, Julian berseru dengan nada lega.
"Untung saja kedua penjahat itu tidak melihatmu!" serunya. "Jadi mereka tidak
sadar bahwa rahasia mereka sudah kita ketahui. Mereka merasa diri mereka aman!
Sedang bagi kita, hanya ada satu kemungkinan yang harus kita kerjakan. Kita
harus mencegah terlaksananya niat jahat itu!"
"Ya - kita harus cepat-cepat melaporkannya pada polisi!" kata Anne. "Ayo.
sekarang saja kita berangkat!"
Tapi George menggeleng. "Jangan konyol, Anne!" tukasnya. "Dari kedua penjahattadi, aku kan hanya tahu
nama depan mereka saja. Aku tidak tahu tempat tinggal mereka, begitu pula siapa
wanita yang akan mereka rampok. Kita pasti akan ditertawakan polisi, jika
menyampaikan laporan dengan dugaan-dugaan serta keterangan yang begitu sedikit?"
"Tapi setidak-tidaknya kita perlu memberitahu Paman Quentin!" kata Anne
berkeras. "Paman pasti tahu apa yang harus kita lakukan dalam menghadapi
kejadian seperti begini."
Lima Sekawan 01 Mencari Warisan Ratu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau ini bagaimana, Anne," kata George dengan kesal. "Jika aku melaporkan apa
yang kudengar tadi pada Ayah, ia pasti akan kembali mengatakan bahwa aku terlalu
banyak berkhayal. Jangan-jangan aku bahkan dimarahinya pula. Kau tahu sendiri,
bagaimana galaknya ayahku kalau sudah marah."
Julian memandang arlojinya, lalu berdiri.
"Ketegangan tadi mestinya membuat kau merasa lapar, George," katanya. "Yuk, kita
makan saja dulu sekarang. Sesudah itu kita rundingkan apa yang harus kita
lakukan dengan kejadian tadi. Kalau perut sudah tidak keroncongan lagi, biasanya
pikiran bisa lebih jernih."
Usul Julian itu diterima dengan suara bulat. Tapi ketika mereka sudah selesai
makan, perundingan diteruskan lagi.
"Nah," kata Julian, "apa saja yang sudah kita ketahui sampai saat ini" Kita tahu
bahwa ada dua laki-laki bernama Leo dan Herman, yang merencanakan perampokan,
dengan bantuan orang ketiga bernama Robert. Korban yang dituju seorang wanita
yang tidak kita ketahui orangnya. Wanita itu mestinya tinggal di sebuah puri.
Atau mungkin jugs rumah besar! Rumah besar kadang-kadang dinamakan puri, secara
iseng. Nah - tanggal perampokan juga sudah kita ketahui, yaitu 30 Juli. Betul
kan, George?" "Tepat! Tapi masih ada tambahan lagi. Kita juga sudah tahu bahwa para perampok
itu mengincar perhiasan yang sangat berharga. Dan wanita korban mereka tinggal
sendiri dalam purinya, yang terletak di sekitar sini."
"Itu merupakan petunjuk-petunjuk penting bagi pengusutan kita nanti," kata Dick.
"Kita kan sependapat bahwa kita akan mengadakan penyelidikan mengenainya?"
"Tentu saja!" kata saudara-saudaranya serempak.
Malam itu mereka tidak lekas-lekas tidur. Mula-mula mereka pergi ke pantai
sempit, di mana kedua penjahat tadi duduk memperundingkan rencana jahat mereka.
Dengan bantuan senter anak-anak memeriksa setiap jengkal tanah di situ. Mereka
mencari-cari sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk. Tapi mereka tidak menemukan
apa-apa di situ. Kemudian George menyuruh Timmy mencium jejak para penjahat itu,
yang nampak di pasir. Timmy mengendus-endusnya sesaat, lalu menggonggong-
gonggong dengan galak. "Ya, Timmy sudah mengerti?" seru George gembira. "Sekarang biar dari jauh pun,
ia pasti bisa mengenali meraka lagi. Ia sudah tahu bagaimana bau mereka!"
Setelah itu anak-anak kembali ke perkemahan mereka. Mereka hendak membicarakan
siasat terbaik untuk bisa mengetahui letak puri yang terpencil itu, serta siapa
wanita yang memilikinya. "Kurasa pertama-tama kita harus terlebih dulu menyelidiki, siapa wanita penghuni
puri yang dibicarakan kedua penjahat itu," kata Julian. "Atau bisa juga, puri
mana yang mereka maksudkan."
"Di daerah sini banyak sekali terdapat gedung yang besar-besar milik orang-orang
kaya," kata Anne sambil mengeluh. "Dan hampir semuanya dinamakan puri"
"Ya, betul," kata George. "Bahkan rumah yang agak besar pun, sudah disebut
'puri'" "Atau mungkin juga itu rumah besar di suatu pertanian," kata Dick. "Pokoknya,
yang jelas penyelidikan kita nanti tidak akan mudah!"
"Kita juga perlu mencari seorang wanita, yang tinggal seorang diri di rumah yang
besar," kata George. "Kita juga perlu menyelidiki apakah wanita itu menyimpan
harta warisan keluarga di rumahnya."
"Dan apakah harta itu berupa batu-batu jamrud," sambung Anne.
"Nanti kalau kita sudah berhasil mengetahui siapa calon korban Leo dan Herman,
lantas kita harus memberi tahu wanita itu tentang rencana perampokan kedua
penjahat itu. Selanjutnya bisa kita serahkan pada polisi untuk ditangani," kata
Dick. "Polisi tinggal memasang jebakan, sehingga para penjahat tertangkap tangan
sewaktu hendak melaksanakan perampokan," kata Julian.
George menggigit-gigit batang rumput, sambil berpikir.
"Sedari tadi aku sudah berpikir-pikir," katanya, "siapa sebenarnya Robert yang
dibicarakan kedua penjahat itu! Ia pun belum kita ketahui. Apa sebabnya ia hanya
bisa membantu perampokan yang direncanakan oleh Leo dan Herman pada tanggal 30
Juli saja - dan tidak pada hari-hari lainnya" Kenapa" Ah - aku capek. Lebih baik
kita tidur saja sekarang! Besok kan masih ada waktu lagi!"
Bab 5 MEMULAI PENYELIDIKAN Ketika anak-anak bangun keesokan paginya, matahari ternyata sudah agak tinggi.
Mereka bergegas pergi ke sumber untuk menggosok gigi dan mencuci muka. Setelah
itu mereka sarapan. Mereka sudah lapar lagi.
"Kau sudah menemukan jalan, George?" tanya Dick sambil mengunyah roti.
"Maksudmu, bagaimana sebaiknya kita memulai penyelidikan kita?" balas George
bertanya. "Kalau itu yang kaumaksudkan, jelas dong! Menurut pendapatku, sehabis
sarapan ini kita langsung saja pergi ke darat. Di sana kita mencari-cari
sepanjang pesisir. Puri misterius itu letaknya pasti di daerah yang tidak banyak
didatangi orang. Itu saja pasti akan sudah menyibukkan kita, untuk sementara!"
Julian langsung setuju. Menurut pendapatnya, ide itu bagus sekali. Ia juga
berpendapat bahwa mereka harus langsung berangkat sehabis makan.
"Waktu kita tidak banyak." katanya. "Menurut rencana mereka,perampokan akan
dilakukan tanggal 30 Juli. Sedang petunjuk-petunjuk yang kita ketahui untuk
memulai penyelidikan, tidak bisa dibilang jelas."
Dengan cepat keempat remaja itu membereskan sisa-sisa sarapan, lalu bergegas
pergi ke teluk kecil di mana perahu ditaruh di atas pasir.
"Untung saja kedua laki-laki kemarin itu datang ke pantai di balik pulau ini,"
kata Julian dengan lega. "Coba mereka kemari, pasti dengan segera akan tahu
bahwa mereka tidak sendiri di tempat ini"
Perahu George yang diberi nama 'Topan' ditarik masuk ke air. Setelah itu mereka
cepat-cepat berdayung ke arah darat, langsung menuju rumah perahu milik orang
tua George. Sesampai di sana perahu ditambatkan, dan mereka mengeluarkan sepeda-
sepeda mereka. George mengambil peta daerah situ yang disimpan dalam rumah perahu, lalu
membentangkannya di atas pasir yang lembut.
"Lihatlah," katanya pada ketiga sepupunya. "Kita sekarang di sini - dan ini desa
Kirrin. Kita tidak usah mencari ke arah selatan, karena pantai di situ penuh
dengan tempat-tempat pemandian yang ramai dikunjungi orang. Satu-satunya daerah
yang agak sunyi di sebelah situ hanya Padang Liar. Letaknya agak di pedalaman.
Menurut pendapatku, pertama-tama kila harus mencari gedung besar yang mungkin
disebut puri. "Ya, betul," kata Dick sambil mengangguk. "Di daerah yang namanya 'Padang Liar'
hampir tidak ada pedesaan. Atau setidak-tidaknya, pada peta ini tidak tertera
pedesaan di daerah situ."
"Di utara juga tidak," kata Julian. Dengan telunjuknya ia menelusuri garis
pesisir pada peta. "Terus sampai Tanjung St. Patrik - yang letaknya lumayan
jauhnya dari sini - pesisir daerah sini kelihatannya tidak didiami orang. Tempat
yang bagus sekali untuk perampokan."
"Itu bisa kubayangkan," kata Anne sambil bergidik. "Seorang wanita yang hidup
seorang diri di daerah yang begitu terpencil, pasti menarik minat penjahat untuk
merampoknya!" "Sudah, jangan kauteruskan - nanti kau takut sendiri," tukas George. Peta itu
dilipatnya kembali, "Nah - dari mana kita memulai penyelidikan kita sekarang?"
"Sebaiknya dari Padang Liar saja," kata Julian menyarankan. "Setelah itu kita
berbelanja di Kirrin."
Anak-anak langsung berangkat dengan sepeda. Timmy berlari-lari dengan gembira
mendampingi mereka. Di samping mengejar kelinci, ia paling suka berlomba dengan
sepeda. Sekali-sekali anjing itu menyimpang sebentar ke tepi jalan. Perbuatannya
untuk beberapa kali menyebabkan ayam-ayam berkotek-kotek ketakutan. Ada pula
kelinci-kelinci liar, yang langsung melesat masuk ke dalam liang mereka ketika
melihat Timmy.... George dan ketiga saudara sepupunya bersepeda melewati desa Kirrin yang indah,
melewati pasar dan menuju ke 'Padang Liar'.
Daerah itu sangat sunyi dan suram. Bahkan agak menyeramkan. Anne celingukan. Ia
merasa ngeri. "Hii - seram rasanya tempat ini!" katanya.
"Padahal matahari, bersinar cerah!" kata Dick. "Bayangkan bagaimana keadaannya
malam hari. Aku tidak bisa membayangkan, ada orang mau tinggal di daerah sesunyi
ini!" "Kau salah sangka," kata George. "Kenapa baru sekarang aku ingat"! Tapi memang
tidak ada lagi yang ingat pada puri tua itu! Orang sini sudah melupakannya!"
"Puri" Puri, katamu?" seru Julian bersemangat.
"Ya - dan puri itu ditinggali seorang wanita," kata George. "Seorang wanita tua
yang malang. Tapi ia tidak kaya. Pasti bukan dia yang diincar para penjahat
itu!" "Tapi kita tetap perlu melakukan pengusutan ke situ," kata Julian. "Di manakah
letak puri itu?" "Di sebelah sana...," kata George sambil menuding.
Baru saat itulah ketiga saudaranya melihat bangunan besar dan gelap, yang
terletak di atas sebuah bukit yang menjulang di tengah dataran daerah pesisir
itu. "Puri itu dulu merupakan pusat sebuah desa," kata George menceritakan. "Tapi
kemudian ada gempa bumi yang dahsyat, menimbulkan gelombang pasang. Seluruh
rumah di desa hanyut ke laut, disenrt air. Hanya puri itu saja yang masih ada,
karena letaknya lebih tinggi. Cuma itu saja yang bisa kuceritakan. Pemiliknya
yang sekarang seorang wanita. Ia masih tinggal di situ. Tapi aku tidak tahu,
apakah ia seorang diri saja, atau ada yang menemani. Tidak bisa kubayangkan ia
memiliki perhiasan yang berharga!"
"Tapi walau begitu, setiap tempat yang mungkin di 'Padang Liar' perlu kita
datangi. Kita harus mencari ke mana-mana, karena siapa tahu, mungkin di tempat
lain masih ada lagi sebuah puri!"
Tapi usaha pencarian mereka sia-sia belaka. Kecuali puri yang di atas bukit,
mereka tidak menemukan bangunan besar lainnya.
"Kurasa sebaiknya kita sekarang kembali ke desa," kata George menyarankan. "Di
sana kita minta keterangan pada James. Kalian tentunya masih ingat pada pemuda
nelayan itu, kan" Kita pernah ikut dengan perahunya, ke laut. Ia pasti mau
membantu kita!" Mereka kembali ke Kirrin. Mereka mampir sebentar di pasar, untuk membeli
perbekalan makanan. Setelah itu mereka pergi ke pelabuhan, di mana dengan segera
mereka menemukan James. Pemuda itu sedang sibuk mengecat perahunya.
"Halo, Lima Sekawan!" sapa nelayan itu, ketika melihat anak-anak datang. "Apa
kabar?" Selama beberapa saat mereka mengobrol tentang macam-macam. Kemudian Julian
mengalihkan percakapan pada wanita pemilik puri tua yang mereka lihat dari
kejauhan tadi. "Kenapa kalian ingin tahu tentang Bu Killarney?" tanya James dengan heran.
"Kasihan, tidak banyak yang bisa diceritakan mengenai dirinya. Ia kehilangan
segala-galanya... suami, anak-anak, dan juga seluruh hartanya.... Sekarang ia
hidup menyendiri, dalam purinya yang sudah mulai rusak di sana-sini. Ia jarang
sekali datang ke desa. Paling-paling untuk berbelanja saja, sekali-sekali. Aku
tidak tahu dari mana ia mendapat penghasilan. Kalau berbelanja, ia biasanya naik
bis pagi. Lalu cepat-cepat berbelanja di pasar. Orang desa semua merasa kasihan
padanya. Tapi Bu Killarney tidak suka bergaul. Ia tidak pernah mau membicarakan
kesulitannya dengan orang lain. Ia sangat tertutup, persis seperti 'Padang
Liar!'" "Wah, gawat," gumam Julian. "Ia pasti tidak mau menerima kedatangan kita nanti,
kalau ternyata memang ia wanita yang akan dirampok itu!"
Anak-anak berpamitan pada James, lalu bersepeda menyusur sisi atas tebing menuju
ke Pondok Kirrin. Sesampai di sana mereka disambut dengan hidangan makan siang yang menimbulkan
selera. Joanna sangat memanjakan mereka.
Sehabis makan anak-anak kembali naik sepeda, kini untuk memeriksa daerah sebelah
utara Kirrin. "Kita takkan mungkin bisa memeriksa semuanya dalam satu hari," kata Julian.
"Karena yang terpenting dalam pengusutan ini, jangan sampai ada yang terlewat.
Kita harus menyelidiki dengan tenang dan cermat."
Daerah sebelah utara desa Kirrin berlainan sekali pemandangannya dengan daerah
selatan. Di utara pesisir penuh dengan tebing batu terjal serta dipagari
terumbu-terumbu karang. Karenanya jarang sekali tempat itu didatangi turis atau
perahu. Oleh karena itu pula di situ hampir tidak ada tempat pedesaan. Padahal
alam di situ nampak lebih ramah, dibandingkan dengan 'Padang Liar'.
Setelah bersepeda sejauh satu kilometer, anak-anak membentuk dua kelompok.
Julian mengajak Anne melakukan pencarian ke arah barat. Sedang George dan Dick
pergi ke arah sebaliknya, bersama Timmy. Tapi di situ pun usaha mereka sia-sia
belaka. Mereka hanya melihat tempat-tempat pertanian kecil yang dihuni oleh
keluarga-keluarga. Ada juga pondok-pondok nelayan. Tapi itu pasti bukan puri
yang dicari. Sorenya mereka berkumpul lagi. Mereka sudah capek, tapi hasil sama sekali tidak
ada. Julian menyarankan agar pencarian dihentikan untuk hari itu dan mereka
kembali ke Pulau Kirrin, Tidak ada yang menolak usul itu.
Mereka pun kembali ke pulau. Di sana mereka berenang-renang sampai tiba saat
makan malam. Sebelum masuk ke tenda untuk tidur, mereka bersepakat untuk
berangkat lagi besok pagi-pagi sekali dan melanjutkan penyelidikan.
Keesokan paginya ketika niatahari masih rendah, mereka berempat sudah bersepeda
lagi menyusur daerah yang kemarin didatangi. Mereka kembali membentuk dua
kelompok, agar pencarian bisa lebih cepat. Ketika menjelang tengah hari mereka
bergabung kembali di tempat yang disepakatkan, George nampak sangat bergembira.
Matanya bersinar-sinar. Dan seperti biasa, ia ingin buru-buru bercerita.
"Menang! Aku dan Dick tadi berhasil menemukan sebuah rumah, yang mungkin akan
dirampok para penjahat itu," katanya bersemangat.
"Kami juga berhasil!" balas Julian sambil tertawa "Aku dan Anne tadi juga
mendapat keterangan tentang seorang wanita yang hidup menyendiri dan mungkin
sekali merupakan korban yang dimaksudkan para penjahat!"
Kedua kelornpok itu saling memberitakan tentang hasil penelitian masing-masing.
George mengatakan bahwa ia bersama Dick melihat villa mewah yang letaknya
tersembunyi di pagar semak yang rapat.
"Setelah itu aku mencari keterangan pada para petani di dekal-dekat situ,"
sambung Dick. "Menurut mereka, yang tinggal di situ seorang wanita. Namanya Bu
Grant. Ia tinggal seorang diri di situ. Villanya bernama 'Mon Tr sor'. Itu "bahasa Prancis, dan artinya 'Hartaku'. Kabarnya Bu Grant kaya raya. Jadi bukan
mustahil bahwa ia memiliki perhiasan yang berharga."
Kini tiba giliran Julian untuk menyampaikan laporan penyelidikannya bersama
Anne. "Kami tadi tidak menemukan villa, tapi sebuah gedung yang indah dan besar
sekali, letaknya di suatu pertanian. Secara kebetulan aku berjumpa dengan tukang
pos, lalu kutanyai macam-macam Kelihatannya ia jarang berbicara dengan orang
dalam dinasnya mengantarkan surat. Pokoknya ia gernbira sekali bisa mengobrol
sebentar dengan aku. Segala pertanyaanku dijawabnya dengan panjang lebar.
Menurut cerita tukang pos itu, pertanian itu milik seorang wanita yang kaya.
Namanya Bu Reynold. Ia tinggal seorang diri di situ. Memang ada beberapa orang
pekerja menbantunya dalam pekerjaan sehari-hari. Tapi mereka tidak tinggal di
situ. Mereka datang pagi-pagi untuk bekerja, tapi malamnya pulang ke rumah
masing-masing. Jadi Bu Reynold pun mungkin 'wanita di puri' yang dimaksudkan
oleh para penjahat. Rumahnya besar sekali - layak kalau disebut puri!"
George mengerutkan keningnya.
"Sekarang ada tiga wanita yang mungkin merupakan calon korban para penjahat
itu," katanya setengah mengeluh. "Padahal kita baru saja mulai dengan
penyelidikan kita. Kalau keadaannya begini terus ...."
Anak-anak merebahkan diri ke runput. Karena merasa lapar, mereka membuka bekal
makanan yang sengaja dibawa untuk berjaga-jaga. Setelah mengisi perut, mereka
berangkat lagi. Tiga hari lamanya keempat anak itu memeriksa setiap sudut daerah situ, sampai ke
Tanjung St. Patrick. Tapi mereka tidak menemukan bangunan lagi yang mungkin
merupakan sasaran perampokan.
Malam hari ketiga mereka berunding lagi di perkemahan mereka, sambil duduk
mengelilingi api unggun. "Mula-mula aku merasa kecil hati, karena tidak banyak petunjuk yang kita ketahui
tentang rencana perampokan," kata George. "Tapi sekarang aku sudah lebih
optimis. Soalnya kita menemukan tiga wanita saja yang kira-kira cocok dengan
petunjuk yang disebutkan kedua penjahat itu. Mereka itu Bu Killarney yang tingal
di puri tua di tengah 'Padang Liar', lalu Bu Grant dari 'Mon Tresor', serta Bu
Reynolds pemilik pertanian."
"Betul!" kata Anne sambil mengangguk. "Sekarang kita tinggal menyelidiki siapa
di antara ketiga wanita itu yang memiliki perhiasan berharga. Kalau kita sudah
tahu, kita datangi dia untuk memperingatkan agar berjaga-jaga. Beres!"
"Kurasa Bu Killarney bisa kita lupakan," kata Dick. "Ia kan sangat miskin. Mana
mungkin ia memiliki perhiasan yang berharga!"
"Jangan terlalu cepat menarik kesimpulan," kata Julian. "Kita kan sama sekali
Lima Sekawan 01 Mencari Warisan Ratu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak mempunyai bukti bahwa Bu Killarney tidak punya apa-apa. Banyak orang tidak
suka memamerkan kekayaan mereka, karena takut dirampok atau dirongrong peminta
sumbangan!" "Baiklah," kata George. "Kalau begitu kita mulai dengan mendatangi Bu
Killarney." Bab 6 BU KILLARNEY Keesokan paginya anak-anak itu melanjutkan kegiatan mereka. Tujuan mereka yang
pertama adalah puri tua di 'Padang Liar'. Mereka ingin bertemu dengan wanita
pemiliknya. Ketika mereka lewat di desa Kirrin, tiba-tiba Anne melihat seorang penjual bunga
dengan bunga yang indah-indah.
"Yuk, kita mampir sebentar," katanya pada saudara-saudaranya. "Aku ingin membeli
seberkas bunga mawar, untuk Bibi Fanny. Bibi kan selalu baik hati pada kita.
Nanti dalam perjalanan pulang kita mampir di Pondok Kirrin, untuk menyerahkan
bunga mawar itu padanya."
George, Dick dan Julian berdiri di tepi jalan sambil memegang sepeda masing-
masing. Mereka menunggu Anne, yang berjalan menuju tempat penjualan bunga. Di
depan Anne berjalan seorang wanita yang sudah tua. Gerak-geriknya sudah tidak
tangkas lagi. Tiba-tiba muncul seorang laki-laki naik sepeda motor. Jalan
kendaraan itu laju sekali, arahnya lurus menuju wanita tua yang sedang
menyeberang. Wanita tua itu berdiri di tengah jalan. Seolah-olah terpaku ia di
situ. Anne langsung sadar bahwa wanita tua itu karena takutnya tidak tahu lagi
apakah ia harus maju atau mundur. Dengan sigap Anne menyentakkan lengan wanita
itu ke belakang. Tepat pada waktunya, karena kalau terlambat sedetik saja,
wanita tua itu pasti sudah tergilas roda sepeda motor. Wanita itu mengucapkan
terima kasih dengan suara gemetar, lalu menghilang di tengah orang banyak.
Anne membeli bunga mawar, lalu bergegas kembali ke tempat saudara-saudaranya
menunggu. Kini mereka bisa melanjutkan perjalanan, mendatangi Bu Killarney.
Mereka bersepeda di jalan pedesaan, sementara Timmy berlari-lari dengan gembira
di samping rnereka. Tiba-tiba nampak debu mengepul di kejauhan. Sebuah bis yang
penuh sesak muncul,dan dengan cepat sudah melewati mereka.
"Aku benci pada kendaraan yang besar-besar seperti itu!" kata George marah-
marah. "Bahkan sapi pun takut pada mereka!"
Julian tertawa melihat saudara sepupunya marah-marah.
"Tapi bagi orang-orang yang tidak merniliki mobil atau sepeda, bis sangat
menolong kalau mereka ingin bepergian," katanya. "Ayo, kita terus! Sebentar lagi
sudah sampai." Seperempat jam kemudian mereka sudah sampai di depan puri tua yang terletak di
'Padang Liar'. Mereka menghampiri pintu gerbangnya yang besar, lalu menarik tali
lonceng yang tergantung di situ.
Sayup-sayup terdengar gema bunyi lonceng.
"Tidak ada orang," bisik Anne, setelah agak lama mereka menunggu tanpa ada yang
membukakan pintu. Tapi saat itu juga sebuah tingkap kecil yang ada pada daun
pintu terbuka. "Kalian mau apa?" tanya seseorang dengan suara agak bergetar.
"Kami ingin bertemu sebentar dengan Bu Killarney," kata Julian dengan sopan.
"Ada urusan penting!" "Aku tidak menerima tamu!" kata orang yang membuka tingkap.
"Ijinkanlah kami masuk!" kata George tidak sabaran. "Ini penting sekali,
menyangkut keselamatan diri Anda."
"Aku tidak kenal kalian. Ayo pergi!"
Setelah itu tingkap ditutup kembali.
Keempat anak itu saling berpandang-pandangan dengan perasaan kecewa.
"Hebat!' kata Dick menggerutu. "Begitulah hasilnya, jika hendak menolong orang."
Ia tidak melanjutkan kata-katanya. karena saat itu tingkap terbuka kembali.
"Tapi anak perempuan yang di belakang itu...rasa-rasanya aku seperti pernah
melihat dia," kata wanita yang berdiri di balik pintu. "Ah ya - betul juga kau
yang tadi menyelamatkan diriku! Coba kau maju sedikit, Nak... ya, ya, memang kau
yang tadi menolongku di desa. Aduh, aku tadi begitu kaget, sampai tidak sempat
mengucapkan terima kasih dengan sepantasnya. Masuklah, Anak-anak!"
Anak-anak melongo. Mereka kaget menghadapi perubahan sikap yang datang dengan
tiba-tiba itu. Sementara itu pintu dibuka dari dalam. Bu Killarney muncul dari
balik daun pintu. Ternyata ia memang wanita tua yang tadi nyaris ditubruk sepeda
motor di desa, kalau tidak cepat-cepat ditarik ke belakang oleh Anne.
Anak-anak diajak masuk ke ruang tamu yang lapang. Ruangan itu dulu pasti indah
sekali. Tapi sekarang sudah terbengkalai keadaannya.
Julian menjelaskan maksud kedatangannya bersama ketiga saudaranya. Bu Killarney
sedikit pun tidak meragukan kata-katanya, karena Julian mengatakan bahwa ia
keponakan Profesor Quentin Kirrin. Hal itu menambah bobot keterangannya.
Soalnya, Protesor Kirrin terkenal di daerah situ. Dan begitu pula halnya dengan
putrinya. "Ya, ya - bisa kubayangkan bahwa aku menjacli incaran perampok. Soalnva, aku
memang memiliki harta warisan keluarga. Dan kalian ini datang karena merasa
bahwa ada perampok yang mau mencuri hartaku itu" Sebelulnya memang terlalu besar
risikonya menyimpan harta itu di sini!"
"Jangan buru-buru gugup, Bu Killarney," kata Julian. Ia berusaha menenangkan
wanita tua yang nampak mulai bingung lagi itu.
"Menurut rencananya, perampokan itu baru akan dilakukan akhir bulan ini. Jadi
Anda masih cukup banyak waktu untuk melaporkannya pada polisi. Kecuali itu Anda
juga dapat menaruh harta itu ke tempat lain yang aman!"
"Ya, ya, kau memang benar, Nak" kata wanita tua itu. "Aku kadang-kadang suka
bingung, tidak tahu apa yang perlu dikerjakan. Aku seorang diri saja di sini, di
tengah kenangan lama. Tapi nasihatmu tadi akan kuturuti. Mungkin kalian ingin
melihat hartaku itu, ya?"
Julian dan saudara-saudaranya senang sekali, karena begitu cepat berhasil
menemukan wanita yang diduga akan menjadi korban perampokan yang sedang
direncanakan. Mereka merasa terharu menghadapi sikap percaya wanita tua itu pada
mereka sehingga ia mau bercerita tentang hartanya. Oleh karena itu mereka pun
menerima ajakan itu. Anne sudah senang saja, karena ia sangat menyukai perhiasan antik.
Dibayangkannya betapa indahnya permata jamrud itu.
Bu Killarney mengajak mereka melalui bangsal yang besar-besar serta lorong-
lorong panjang. Akhirnya mereka sampai di sebuah ruangan yang kosong sama
sekali. Di situ tidak ada perabotan. Tidak ada lukisan tergantung di dinding.
Keempat anak itu berpandang-pandangan dengan heran. Mana harta yang dimaksudkan
tadi" Wanita tua itu tersenyum, ketika melihat keempat remaja itu bingung.
Arca Dewi Bumi 1 Telapak Setan Karya Khu Lung Pendekar Asmara Tangan Iblis 2