Pencarian

Misteri Anak Anak Iblis 2

Misteri Anak Anak Iblis Karya Abdullah Harahap Bagian 2


Bobby menatap. Bertanya pelan:
"Mama lagi bugil ya?"
"Ya, Tuan Muda. Maka itu..."
Sepasang mata bocah itu bersinar-sinar.
"Bobby jadi pingin lihat!"
"Hei....." "Apa salahnya, Mbok? Ibu Bobby sendiri ini!"
Anak itu bersikeras. "Salah sih tidak. Tetapi..."
Bobby sudah pergi. Berlari-lari kecil di koridor kehalaman belakang. Cepat sekali bayangan anak itu sudah lenyap. Tinggal suaranya yang terdengar dihalaman belakang, memanggil-manggil:
"Mama, Mama!Bobby datang, Mama, Bobby mau cium Mama.....!"
Sumirah angkat tangan. Menyerah.
"Mau apalagi? Anak itu pun laki-laki juga!"
Teringat pada kaum lelaki, Sumirah pergi ke ruang depan. Pintu mobil ditutupkannya. Sewaktu hal itu dilakukan Sumirah, suaminya yang sudah membuka kap depan mobil, langsung saja membantingkan kap itu menutup kembali. Tinjunya diacungkan ke arah Sumirah.
"Kunci sekalian!"
"Akang yang suruh!"
Sumirah menjawab teriakan jengkel suaminya.Diputarnya anak kunci.Berdetak-detak.Terus menghilang ke dapur. Untuk menyiapkan hidangan makan siang. Tanpa mengetahui maksud baiknya menahan sang suami di luar sana, justru merupakan suatu kesalahan besar yang lama setelahnya, akan terus ia sesali.
*** Saat suara Bobby menyentuh kendang telinganya,Maria sedang menelentang di permukaan kolam, dibagian yang paling dalam. Terapung, diam. Dan disaat Bobby berkata memohon:
"Naik dong, Mama..."
Yang disusul pengulangan kalimat sebelumnya:
"Bobby mau cium Mama!"
Ketika itulah, liontin pada kalung yang melingkari leher jenjang Maria, bergetar tiba-tiba. Tidak perlahan seperti biasa. Getaran itu kuat, langsung menyentak.Entah tahu entah tidak Maria, warna kuning emas pada lambang liontin itu telah berubah menjadi hitam,semakin hitam, sampai kemudian tampak legam. Ada bias kemerah-merahan memancar dari dua titik kecil,mungkin tak lebih besar dari dua titik debu. Yakni dimasing-masing kepala ganda lambang ular pada liontin tersebut. Tak ubahnya dua titik mata yang menyorot tajam, bahkan sinar merahnya mampu mengatasi kilaunya mata-mata berlian di pinggiran liontin.Masih dalam pakaian seragam sekolahnya, si bocah berusia tujuh tahun di tepi kolam, memandang kuatir pada sosok telanjang yang tetap mengambang diam dipermukaan air. Lekuk-lekuk indah dari tubuh ibunya tidak lagi terpikirkan. Yang ia pikirkan, adalah apa yang dengan ngeri ia keluarkan melalui suara tanya yang tersendat:
"... Mama... masih hidup... bukan?"
Tubuh mengambang itu tetap diam.Hanya arahnya yang terus berubah, mengikuti gerak sapuan angin di permukaan air kolam. Bobby menggagap:
"Jangan mempermainkan Bobby, Mama...!"
Ucapan si bocah serempak membuka kelopak mata Maria yang sebelumnya terpejam rapat. Tubuhnya bergerak dalam liukan indah dan dalam sekejap yang terlihat di permukaan air tinggal kepala sebatas leher,serta dua lengan yang terentang lurus ke kiri ke kanan.Lengan-lengan itu tidak digerakkan sebagaimana mestinya. Begitu pula kedua kaki yang masih jauh daridasar kolam, menggantung diam begitu saja meski wujudnya tampak aneh karena gerakan arus dalam kolam.Bobby membelalak.
"Hebat! Gaya apa sih, Mama?"
Diantara oleh jarak sekitar tujuh meter, Bobby melihat bibir ibunya menggerimit terbuka. Disusul oleh suara bisikan sayup-sayup sampai:
"Mau mencoba, Bobby?"
"Jelas dong!" "Nah. Terjunlah!"
Bobby tidak saja lega. Ia juga bersemangat tinggi.Pakaian seragamnya tahu-tahu sudah ditanggalkan,dilempar kemana saja. Ia hanya menemui sedikit kesulitan melepas sepasang sepatunya. Lalu, dengan hanya bercelana dalam, iapun terjun ke kolam dengan teriakan gembira. Berenang lurus dan terampil ke arah ibunya.Suara halus menyentuh kendang telinga Maria:
"Jangan biarkan ia mendekatimu!"maria tahu-tahu sudah menyelam. Berputar-putar disepanjang tepi, nyaris menyentuh dasar kolam. Merasa ditantang, si bocah pun ikut menyelam. Tetapi belum satu putaran, ia sudah naik ke permukaan. Mengambil nafas. Ibunya menyusul. Naik ke permukaan, namun tampaknya bukan untuk mengambil nafas. Melainkan cuma memandangi anaknya, tanpa mengatakan apa-apa.Bobby-lah yang berkata:
"Bobby belum lama belajar menyelam, Mama. Bobby belum kuat..."
Kemudian ia melihat sesuatu. Liontin ibunya.Warnanya aneh sekali. Sinarnya, lebih aneh lagi.
"Hei. Apakah Mama...."telinga Bobby menangkap bisikan tajam:
"Kejarlah Mama. Kalau berhasil tangkap Mama, Bobby boleh....cium Mama!"
Kemudian Maria berenang. Tak tentu arah. Dengan gaya berganti-ganti tidak tetap pula. Bobby mengikuti sebentar, berenang ke tepi untuk berpegangan pada palang besi, begitu ia tahu tenaganya mulai terkuras.lbunya-lah kini yang mendekatinya. Tidak terlalu dekat.Tetapi cukup untuk memperlihatkan sinar di matanya.Sinar mengejek. Ucapannya lebih menyakitkan lagi:
"Baru sebegitu, sudah menyerah. Itukah anak Papa? Seorang pengecutkah anak papa?!"
Anak Papa.Bayangan almarhum ayahnya seketika muncul dipelupuk mata Bobby. Duduk gagah diatas punggung seekor kuda, dielu-elukan begitu banyak orang.Bayangan kuda lenyap, digantikan sebuah mobil dengan variasi warna menyolok, membelok di tikungan tajam sebuah arena balap. Lagi-lagi, dielu-elukan banyak orang. Bobby senantiasa mengagumi ayahnya.Dan ayahnya senantiasa berkata padanya:
"Kelak, kau pasti mampu seperti Papa. Tetapi kau harus lebih berani....!"
Ibunya lenyap dari permukaan air.Bobby mencari-cari dengan matanya. Sosok tubuh ibunya meliuk-liuk gemulai, teramat indah malah,dengan latar belakang dasar kolam putih keperak-perakan. Tanpa sekalipun muncul ke permukaan,ibunya sesekali menoleh dari bawah air. Dan tersenyum kepadanya.Senyuman mengejek.Bobby sakit hati.Lehernya kemudian terdongak, sewaktu Bobby meng-ambil nafas. Lalu terdengar bunyi sesuatu. Seperti kaca pecah. Bobby yang sakit hati, tidak perduli. Ia kemudian menyelam.Sumirah-lah penyebab gangguan kecil tadi. Tanpa sengaja, ia telah menjatuhkan sebuah mangkok kristal ke lantai. Pelayan itu melompat terkejut. Secara naluriah ia mengintip cemas keluar jendela dapur.Sambil berharap, majikannya tidak mendengar bunyi jatuhnya mangkok gulai itu.Maria tidak kelihatan. Tetapi ia sempat melihat Bobby,pas sewaktu Bobby menyelam kedalam air.Ia kemudian mundur dari jendela. Dan kembali terkejut, waktu mendengar suara lengkingan bel,disusul gedoran di pintu depan. Dengan marah Sumirah pergi ke sana. Ia melihat suaminya ribut diluar jendela. Minta dibukai pintu.Sumirah berbalik, menunggingkan pantat kearah suaminya. Terus bergegas ke dapur. Lantai yang centang perentang harus segera ia bersihkan selagi Nyonya dan Tuan Muda-nya masih asyik berkecimpung di kolam.Tidaklah mengherankan, mengapa Sumirah tidak mengetahui bahwa dua menit kemudian Maria menyembul dipermukaan kolam lantas berenang ketepi. Di sana ia menggapaikan tangan keatas, untuk menarik sebuah kasur renang, setelah itu kembali ketengah kolam. Kejap berikutnya, ia sudah berpindah keatas kasur.Dengan liukan indah.Ia kemudian menelungkup. Santai. Kedua tangannya dibagian depan menekuk bantalan kasur renang. Dengan begitu ia dapat melihat kebawah. Ke bagian dalam kolam. Terlihat seorang bocah mungil masih menyelam.Tetapi gerakannya sama sekali tidak teratur. Beberapakali tangan bocah itu menggapai kearah tepi, namun gagal, atau salah arah. Jelas sudah, tenaga pisik dan kemampuan paru-paru bocah kecil sepeti dia, tidak baik dipaksakan terus menyelam, menyelam, dan menyelam.Dalam kemarahan pula!
Mendekati dasar kolam, bocah itu tampak menggelepar.Gerakan tangan maupun kakinya lambat laun melemah. Kemudian berhenti sama sekali. Tubuh kecil itu lantas semakin terbenam, kemudian terkulai diam didasar kolam yang paling dalam. Dengan mulut terbuka.Dan sepasang mata juga terbuka.Menatap kearah ibunya.Dengan tatapan hampa.Maria meluruskan bantalan kasur tenang. Sekilas terlihat liontinnya, seperti mengabur. Maria memper-hatikan lagi. Lalu wujud liontinnya kembali menjelas.Dengan warnanya yang kuning emas, pandangan sekilas tadi, mungkin pengaruh cahaya matahari yang berbenturan dengan riak air kolam.
"Hem. Pastilah mataku salah lihat!" desah Maria, pelan.Seraya membetulkan letak kalung yang melingkari lehernya. Kepalanya kemudian direbahkan di bantalan kasur renang.Mata dipejamkan.Tak lama kemudian, Maria sudah tertidur.
*** BAB 9 Bis antar pulau yang ditumpangi Zulham hari itu,ngebut lebih gila lagi dari bis sebelumnya, yang kemudian bernasib naas itu. Seorang dua penumpang memang berani juga menegur. Namun supir bis,agaknya bukan hanya bersifat pendiam. Mungkin malah tuli.Zulham tak berminat meramaikan suasana.Yang penting, usahakan tetap terjaga dan waspada.Tiap kali kantuk menyerang, sebisanya Zulham melawan. Dan toh, perjalanan mereka dengan bis Patas yang lari atau mengambil tikungan seperti kesetanan itu, lancar-lancar saja.Satu-satunya gangguan yang dirasakan Zulham hanya ketika bis singgah disekitar Rajabasa. Memberi kesempatan para penumpang makan siang atau sholat buat yang mau sholat. Waktunya, sekitar tengah hari.Zulham baru saja meninggalkan musholla, ketika seorang bocah laki-laki menggamit perempuan yang berjalan disebelahnya, tidak jauh dari kamar mandi umum.Bocah itu berkata lucu:
"Tahu nggak, Tante? Penumpang berblue-jean itu naksir sama Tante!"
Si Tante menegur: "Husy! Jangan sembarangan ngomong ah!"
"Sumpah, Tante. Coba dengar apa kata orang itu..."
Zulham masuk ke rumah makan.Sebelumnya, ia begitu lapar. Kini, begitu enggan rasanya Zulham menyuapkan makanan ke mulut. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya dengan tiba-tiba.Bocah tadi. Entah mengapa, langsung mengingatkan Zulham pada seorang bocah lain yang kira-kira seusia,mungkin sama manja maupun nakalnya.Terngiang apa yang pernah diucapkan bocah itu pada Zulham:
"... jelas-jelas Mama naksir Oom. Jadi, tunggu apa lagi?"
Pertanyaan itu setengah menuntut.Zulham sampai menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak semudah itu, Bobby. Masih ada beberapa hal yang kau mungkin agak sukar untuk memahami..."
"Bobby tahu!" Anak itu menukas. "Oom tak mau menikahi Mama, karena Mama Bobby itu janda!"
"Eh, jangan.sewot dulu ah....!"
Dilain ketika, entah kapan dan dalam kesempatan apa.Bobby yang belum menyerah juga, berkata setengah marah pada Zulham:
"Gila, Oom. Apa dia pikir dia cukup pantas untuk Mama?"
"Dia siapa, Bobby?"
"Laki-laki yang suka petantang-petenteng kalau mengapeli Mama itu..."
"Hei. Dia bukan petantang-petenteng, Bobby!" tegur Zulham dengan tertawa.
"Gayanya sudah pembawaan.Maklum, petinju..."
"Dan Oom ini karateka!"
"Lantas?" "Bobby yakin, Oom dapat mengalahkan dia!"
"Untuk apa, Bobby?"
"Biar dia kapok. Dan batal kawin sama Mama!"
"Hei. Mamamu juga naksir sama dia. Mamamu malah tampak bahagia. Jadi..."
Bocah itu dengan tangkas menyela:
"Bobby yang tak bahagia!"
Dan sebelum Zulham sempat membuka mulut, si bocah sudah nyerocos lagi,
"Lagi pula, Bobby tahu betul siapa Mama. Jika Oom lamar Mama sore ini juga percaya deh, Mama akan bilang good-bye pada jagoan kampung itu!"
"Nah. Kau mulai lagi ya..."
"Habis, Oom sih jual mahal. Oom tahu nggak apa yang Bobby doakan setiap kali mau tidur?"
"Apa?" "Semoga pacar Mama Bobby mati sebelum kawin dengan Mama!"
"Astagfirullah, Bobby! Doa macam apa pula itu!!"
Bobby kemudian memang menerima salah. Entah perasaan bersalahnya diterima Tuhan entah tidak, yang pasti, sebulan sebelum Maria menikah dengan sipetinju, calon suami Maria mendapat pukulan hook yang telak di rahangnya. Lawannya bertinju memang tersohor dengan pukulan mematikan. Calon suami Maria terhempas di matras. Tak bangkit-bangkit sampai ia dibawa ke rumah sakit. Dan meninggal dunia beberapa hari setelahnya.Maria mengunci diri selama satu minggu.Ketika ia mau membuka pintunya kembali, Bobby-lah yang pertama-tama berlari ke arahnya.Di luar dugaan semua orang yang menyaksikan, Maria menghindari anaknya. Lantas mendesis, mengejutkan:
"Kau! Kau anak pembawa bencana!"
Tidak ada yang menyalahkan Bobby. Malah semua:mengasihani.Yang disalahkan, adalah Maria. Terutama, karena pada waktu-waktu tertentu, Maria secara tetap mengunjungi dukun, yang selalu silih berganti.Zulham yang banyak tahu masa lalu keluarga Maria,tidak bisa menyalahkan Maria. Tetapi usahanya untuk menjauhkan Maria dari kepercayaan yang keliru itupun juga sia-sia saja. Maria sudah teramat jauh menjerumuskan dirinya kepada hal-hal yang bersifat tahayul. Yang perlahan tetapi pasti, menjauhkan Zulham pula dari sisi Maria.Bobby yang malang.Bocah itu tidak pernah tahu, mengapa Zulham tidak mungkin menikahi Maria. Urusan dukun, itu bisa dinomor-duakan. Namun ada hal lain yang mustahil dikesampingkan begitu saja. Dan betapa sulitnya untuk menjelaskan pada seorang bocah...
Pengeras suara berbunyi menggeretak.Ada panggilan untuk para penumpang. Bis Patas yang ditumpangi Zulham, sudah siap untuk meneruskan perjalanan. Zulham bangkit dari kursinya. Dan tak lama kemudian bis sudah berpacu. Entah ke jurusan mana. Entah mengejar apa. Zulham acuh-acuh saja.Ia tidak takut bis gila itu bakal tabrakan pula.Atau terjerumus ke jurang dalam.Yang mengganggu sangat pikirannya, adalah mengapa ia tiba-tiba merasa seperti kehilangan sesuatu. Yang hilang itu, ia tidak tahu apa. Pun, bagaimana. Sekeras upayanya Zulham mengingat-ingat. Sia-sia saja. Dan tetap saja perasaan kehilangan itu mengganggu.Di kampus, Tarida ikut merasakan hal yang sama.Bedanya, Tarida tidak membuang-buang tempo dengan hanya duduk-duduk dalam kegelisahan saja. Selesai mata kuliah terakhir siang itu, ia beritahu ketua kelompoknya bahwa ia berhalangan menghadiri responsi. Setelah itu ia bergegas meninggalkan kampus,memanggil sebuah taksi yang kebetulan lewat.Tetapi Tarida tidak terus ke rumah tempatnya kost,sebagaimana ia niatkan semula. Pada supir taksi, ia memberikan alamat rumah Maria, sahabatnya. Ia punya firasat. Perasaan tak enak itu bersumber di sana.Benar saja. Belum juga taksi berhenti di rumah yang dituju, Tarida sudah dilanda teror. Di sekitar rumah itu tampak banyak orang berkerumun. Di halaman tampak sebuah mobil ambulan. Itu saja sudah cukup mengejut-kan. Namun demikian, Tarida masih dihadiahi kejutan lain.Yakni, kehadiran mobil-mobil polisi!
*** BAB 10 Waktu untuk bermuram durja sudah berlalu. Tiba saatnya untuk bergembira. Bis memasuki pelabuhan Bakauheni, dan tidak lama kemudian sudah diparkir dengan nyamannya di atas sebuah kapal ferry. Zulham bergumam senang:
"Rasanya seperti sudah tiba dirumah!"
Hampir semua penumpang bis naik ke dek. Mungkin untuk menyaksikan matahari yang sebentar lagi akan turun menari-nari di permukaan air selat Sunda.Zulham memilih tetap tinggal didalam bis. Pikiran bahwa rumah sudah dekat, membuat semua kegelisa-han dan ketegangan Zulham harus menyingkir untuk sementara.Sekarang yang ada hanyalah keinginan untuk rilek,beristirahat barang sejenak.Zulham menurunkan sandaran kursi ke belakang. Kaki dilunjurkan selepas-lepasnya. Kemudian tidur.Matahari sudah bertukar tempat dengan rembulan,sewaktu Zulham terjaga. Sekelilingnya gelap, sedikit remang-remang. Sedetik dua Zulham sempat terheran-heran. Entah sejak kapan dan bagaimana, para penum-pang sudah menempati kursinya masing-masing.Kebanyakan malah sudah tidur. Tetapi mengapa begitu banyak cahaya diluar jendela bis?
Ada pula bayangan gedung-gedung bertingkat, lampu-lampu mobil....
Oh,oh Zulham rupanya bukan terbangun di tengah laut.Melainkan di jalan toll Tangerang!
Zulham kian gembira, setelah dari kondektur bis ia memperoleh keterangan bahwa bis Patas itu akan meneruskan perjalanan ke Surabaya dan berhenti sebentar di pangkalan mereka, Pulo Gadung. Berarti lewat Slipi. Percetakan yang mencetak majalah kebanggaan Zulham jelas dilewati. Di salah satu blok percetakan, terletak kantor redaksi malam majalah itu,dan selalu banyak rekan berkumpul disitu.Hemm, tak ada salahnya singgah di percetakan sebelum pulang ke rumah. Apalagi setelah Zulham mengingat-ingat tanggal dan hari. Besok, adalah deadline untuk majalah mereka. Zulham masih punya kesempatan untuk meminta beberapa halaman penerbitan minggu depan. Tetapi, untuk itu Zulham perlu mesin tik.
"Mesin tik!" terbayangkan oleh Zulham. Pemimpin Redaksi mereka dengan gayanya yang khas itu: Bila sedang bingung, suka mengulang-ulang kalimat yang diucapkan lawan bicaranya.
"Betul. Punyaku tertinggal di bis."
Itulah jawab Zulham nanti. Santai, tentu saja.
"Tertinggal di bis!"
"Betul. Dan untuk mengambilnya kembali aku perlu sebuah linggis...
" "Linggis!" "Sayangnya, satu-satunya linggis yang ada... dipakai mengeluarkan orang yang terjepit. itu pun, terpaksa harus mengorbankan sepotong kakinya..."
"Terjepit... sepotong kaki..."
Nanti, disitulah Zulham baru berhenti. Salah besar menunggu sampai Pemimpin Redaksi naik darah.Zulham pasti ditendang jauh-jauh. Maka ia harus cepat-cepat bersikap lebih serius dan memberitahu bahwa kotak mesin tik beserta isinya, terjepit di antara kap depan bis dan batang besi kaki kursi di sebelah supir. Selain gepeng berat, mesin tik Zulham itu pastilah remuk sudah. Dan ia tidak berminat dibebani benda rongsokan itu sampai ke Jakarta, hanya untuk dijual kiloan.
"Untuk jelasnya, bis yang kutumpangi mencium pantat truk di Baturaja!"
Zulham tentunya pula harus menceritakan seluruh kejadian seutuhnya jika bisa.Untuk itu, barangkali akan diperlukan tempo untuk berjam-jam. Tetapi Zulham akan dengan sukarela mengorbankan waktu untuk sahabat-sahabatnya.Anggap saja, sebagai pengganti sekantong souvenir yang minggat tanpa kabar berita setelah peristiwaykecelakaan itu terjadi. Setelah mana nanti Zulham akan mengakhiri ceritanya dengan khidmat:
"Malaikat masih berbaik hati..."
Dalam kenyataan, setelah turun dari bis dan tersuruk-suruk menggotong barang bawaannya masuk ke kantor redaksi malam majalah mereka, Zulham hanya mampu bertahan sekitar sepuluh menit. Tidak tampak batang hidung Pemimpin Redaksi yang ingin dia kerjain.Namun toh pemunculan Zulham disambut hangat. Ia juga dikerumuni, sesuai impiannya. Banyak pertanyaan yang dikeluarkan. Tetapi yang paling banyak keluar justru dari mulut Zulham sendiri.Rupanya, suasana kantor sudah berubah tidak sampai seminggu sebelum ia kembali ke Jakarta. Sedemikian besar perubahan itu, sehingga Zulham mencak-mencak sewaktu ia menyimpan begitu saja di atas meja pribadinya, barang bawaannya. Termasuk tas yangsemula diharapkan Zulham berisi dinamit, namun kini tampaknya bakal tak lebih dari mercon afkiran yang hanya pantas dibuang ke comberan.Ia meninggalkan pesan pada penjaga malam:
"Tembak siapa saja yang coba-coba mendekati mejaku!"
Salah seorang rekan yang dapat memahami gejolak perasaan Zulham, mengikuti ke pintu keluar.
"Lang-sung ke rumah. Itulah yang terbaik kau lakukan, Zul....."
"Nanti! Setelah aku berbicara dengan boss kita!"
"Mantan, Zul. Dia 'kan...."
Zulham membalik, hampir memukul rekannya jika tidak keburu sadar situasi apa yang mereka hadapi.Lantas mengeluh:
"Aku tak bisa melangkahi beliau begitu saja..."
"Aku pun tak ingin, Zul. Tetapi kau tahu sendiri. Aku harus menyuapi mulut seorang isteri dan tiga orang anak!"
Zulham memaksakan senyum. Setelah menepuk pundak sahabatnya dengan penuh pengertian, ia kemu-dian pergi ke jalan besar, dan tiga menit kemudian ia sudah duduk di sebuah taksi yang meluncur ke rumah boss mereka. Mantan, kata temannya tadi.Zulham mengusap wajahnya tanpa sadar.
"Tuhanku.Disebelah mana kaki ini harus berpijak?"
*** Sumirah menangis sesenggukan.
"Sayalah yang berdosa.Padahal setelah saya menjatuhkan mangkok di dapur,suami saya menggedor-gedor, minta dibukain pintu.Jika saja aku tidak berkeras kepala dan menuruti kemauan suami.... Tuan Muda Bobby masih mungkin disela-matkan! Dan Nyonya, aduh! Saya telah menjerumus-kannya! Saya terlalu banyak bicara pada polisi!"
Asep yang duduk di sebelahnya. hanya diam merunduk. Sedih.Tarida memandangi suami isteri itu dengan iba. Tarida juga merasa bersalah. Jika saja ia lebih bersabar ketika menerima telepon Sumirah, mungkin...
Ah, tetapi apa gunanya? Maka, lebih ditujukan pada dirinya sendiri,ia berkata pada Sumirah:
"Sudahlah, Mirah. Apa yang sudah terjadi tidak mungkin lagi dirubah..."
Sumirah terus saja mengisak,
"Saya sungguh tak patut diampuni!"
Tarida menggamit lengan Asep, yang segera mengerti.Asep lalu berdiri. Lunglai. Lalu membantu isterinya bangkit, kemudian membimbingnya meninggalkan ruang tamu. Setelah isak tangis Sumirah semakin menjauh.Tarida menghela nafas berat dan dalam. Lantas mengeluh:
"Sungguhkah tidak ada jalan lagi yang bisa ditempuh?"
Tamu mereka malam itu seorang pria tengah baya berpakaian rapih dan perlente menyelesaikan catatannya di sebuah buku yang kemudian ditutupkan. Baru setelahnya ia menyahuti Tarida:
"Nona punya saran?"
"Sebagai pengacaranya, Anda tentu lebih mengetahui keuangan Maria, Pak Sumadi. Dan Anda pasti tahu,Maria lebih dari mampu!"
"Bicara tentang uang, Nona Tarida,
" sang tamu berkata tenang, menghanyutkan.
"Begitu banyak hal yang dapat kita raih dengan uang. Tetapi selalu ada saat dimana uang tidak mampu berbuat apa-apa."
"Jika demikian, saya bersedia jadi penjamin Maria!"dengus Tarida, bernafsu.Sang tamu mengurai senyuman tipis.
"Nona salah mengerti. Prosedur tahanan luar tidak berlaku untuk sebuah kasus pembunuhan."
Tarida gemetar. "Maria bukan..."
"Polisi berpendapat lain, Nona Tarida."
"Bagaimana dengan Anda sendiri?"
"Tentu saja saya harus berpihak pada klien saya."
"Dan?" "Untuk itulah saya datang malam ini. Mencari tahu,keterangan apa saja yang telah kalian bertiga berikan pada pihak berwajib. Nona cukup berhati-hati. Tetapi Asep, terutama Sumirah, terlepas dari mereka sadari atau tidak;justru telah memberatkan majikan mereka.Namun masih ada beberapa celah dimana saya bisa masuk untuk menarik keuntungan buat klien saya.Dengan catatan, klien saya mau bekerjasama..."
Berhenti sebentar, pengacara itu tampak menyandar dikursinya. Dengan wajah berubah muram. Lanjutan kata-katanya terdengar kurang bergairah,
"... justru disitulah hambatan muncul!"
Tarida setengah berbisik tak percaya:
"Dia... menolak bekerjasama?"
"Menolak tidak. Menyetujui pun bukan."
"Aneh!" "Persis. Aneh! Baik dalam tingkah laku maupun ucapan-ucapannya. Polisi pemeriksa telah mengakui terus terang pada saya, bahwa mereka sendiri dibuat geleng-geleng kepala..."
Tanpa dikehendaki, bulu kuduk Tarida merinding tegak.
"Maria...." "Tidak patut saya menceritakan apa yang saya temui dan apa yang saya dengar di kantor polisi, Nona Tarida. Kelak nona bakal melihat sendiri setelah sahabat Nona nanti boleh dikunjungi. Tetapi saya akan blak-blakan saja. Justru karena kondisinya yang sedemi-kian rupa, saya melihat jalan untuk menjauhkan sahabat Nyonya dari penjara.Menjauhkan. Bukan melepaskan!"
Tarida hampir menangis. Dokter Anwar sudah mengisyaratkannya.Si pengacara menutup kesimpulannya dengan sebuah maklumat:
"Maria kita nyatakan menderita penyakit jiwa."
Air mata Tarida akhirnya tersibak juga.
*** BAB 11 "Tengah malam begini! Waras tidak otakmu, Zul?!"
Gerutuan kasar itu mengiringi terbukanya pintu sebuah rumah. Rumah berukuran sedang, tidak megah. Perabotan yang tampak di dalam pun tidak mewah. Orangtua yang membukakan pintu untuk Zulham, postur tubuhnya pun sedang-sedang saja. Tampil seadanya pula.
"Mengapa Bapak lakukan itu?!"
Zulham balas menggerutu. Sengit, malah.
"Pertanyaanku belum kau jawab!"
Sekilas, lewat bahu lelaki umuran itu mata Zulham menangkap sebuah buku tebal, terbuka diatas meja. Ia awasi lagi wajah tuan rumah. Lalu:
"Aku tahu Bapak belum tidur. Buktinya, Bapak masih mengenakan kacamata baca....."
"Alasan itu tidaklah memberi hak untukmu menggang-gu ketenangan orang lain!" dengus si orangtua.Cemberut. Namun toh, sambil daun pintu ia bukakan juga lebih lebar.
"Ayo. Masuklah. Aku paling benci jika bau busuk selokan di depan itu menyesaki seisi rumahku!"
Zulham menyelinap ke dalam. Juga sambil mendengus.Tak puas.
"Tega nian Bapak melakukannya. Tanpa memberitahu aku lebih dulu!"
Tuan rumah menutup pintu.
"Apakah aku harus?"
Tanpa menunggu komentar, Zaenudin, tuan rumah,berjalan terus melewati kursi yang dipilih Zulham untuk menghenyakkan pantat. Orangtua itu pergi kepintu sebuah kamar yang setengah terbuka. Melongok-kan kepala ke dalam.
"Biarkan sajalah sajadah itu, Bu.Tolong buatkan minuman. Kita kedatangan tamu tak diundang, nih!"
"Si anak badung, pasti!" terdengar sahutan riang seorang perempuan.
"Keluar juga akhirnya dia dari hutan belantara mengerikan itu, ya. Syukurlah..."
"Menurut aku sih, Bu. Baiknya dia tetap tinggal disana. Lebih cocok untuk orang pemarah seperti dia!"
Dari kamar itu, terdengar tawa renyai dan enak didengar telinga. Tetapi Zaenudin sedikit pun tidak tersenyum. Ia balik lagi keruang tamu. Pura-pura tidak melihat Zulham yang bermerah telinga karena diledek.Zaenudin menjemput buku terbuka di atas mejanya,ditutupkan, sebuah ensiklopedi. Yang kemudian ia tutupkan dengan ekstra hati-hati di rak buku berbentuk siku. Tinggi dan lebarnya nyaris memenuhi dua sisi tembok ruang tamu. Jika banyak orang mengatakan isirak yang tersusun rapi dan terawat baik itu termasuk barang mewah, maka rak buku itulah satu-satunya kemewahan yang dimiliki tuan rumah.Acuh tak acuh si tua mengambil kursi yang berhadapan dengan Zulham. Mengusap kepalanya yang sudah setengah botak. Lalu melipat serta menyimpan kacamatanya di meja itu juga. Sedemikian hati-hati,seakan kuatir lelangit rumah akan menjatuhinya. Baru kemudian menoleh pada Zulham. itu pun dengan wajah datar-datar saja.
"Nah. Tadi kau bertanya mengapa aku melakukannya. Ada yang lain?"
Masih terpengaruh apa yang ia dengar di percetakan,Zulham pun mengeluh:
"Bapak mestinya tidak menyerah secepat itu..."
Zaenudin menggeleng-geleng.
"Justru nyaris terlambat,Zul."
Zulham menatap, terkejut.
"Separah itu?" "Masa iya kau tidak tahu!"
"Hanya meraba-raba. Begitu pula anak-anak lain. Kami semua toh tidak terlalu buta melihat bahwa oplah majalah kita dari tahun ke tahun semakin turun. Tetapi seperti halnya aku sendiri, mereka tidak tahu banyak..."
Zaenudin tersenyum. Samar.
"Jika ini sebuah kekeliruan, biarlah kuterima. Tetapi sampai kapan pun,pendirianku tidak akan pernah berubah. Bila seorang bapak berbahagia, anak-anak harus ikut menikmati kebahagiaan itu. Namun sebaliknya. Jika seorang bapak terperangkap dalam kesukaran, ia harus mengatasinya sendiri. Anak-anak, jalan terus. Karena jalan yang akan mereka tempuh masih teramat panjang. Penuh kerikil dan berdebu, seperti yang tadi kau lewati sebelum membelok ketempat pertapaanku ini..."
Kalimat terakhir ini dibumbui Zaenudin dengan seringai lebar.
"... dan air untuk membuat minuman ini,
" suara lain menimpali.
"Percayalah. Suci hama!"
Diatas meja,sudah terhidang minuman dan penganan ringan.Perempuan yang menghidangkannya tampak lebih muda sekitar 10 tahun ketimbang suaminya. Tubuhnya singset, dan bekas bekas kecantikan masih terpateri disudut wajahnya. Hanya sedikit orang yang tahu,termasuk Zulham, perempuan itu lahir dua tahun lebih dulu dari suaminya. Mata yang senantiasa bening,walaupun si suami pernah bermaksud menikahi perempuan lain, yang kemudian dibatalkan sendiri oleh Zaenudin dengan penuh penyesalan. Masih ada daya tarik lain. Gurat bibirnya. Gurat yang tampak bagai tersenyum, jika pun ia sedang naik darah. Konon lagi jika perempuan itu tersenyum sungguhan, seperti yang kini ia sunggingkan untuk Zulham.Ia menyapa dengan sindiran lembut:
"Oh, Nak. Wajahpun tampak seperti habis dirampok orang!"
Si suami menimpali: "Periuk nasinya memang lagi dibuntang banting orang..."
"Masih ada perluk lain, Nak. Masih ada perluk lain..."senyuman perempuan itu, seperti juga matanya,memancarkan belas kasih.Zulham tersenyum.
"Terimakasih, Bu. Tetapi, ya. Periuk lama tetap lebih enak dipakai..."
Mata bening itu pun membelalak. Tetapi terlambat.Zaenudin pun sewot pada Zulham.:
"Kau! Berani benar kau mengutip kata-kata yang pernah kuucapkan pada isteriku!"
Lalu, pada isterinya: "Dan kau! Pura-pura ngomong ke anak bawang ini... padahal kau bermaksud menyindirku! Masih ada periuk lain, hem! Kau pikir aku tak akan berani mencobanya sekali lagi, he?!"
"Rongsokan seperti Bapak, mana laku dijual?"
Sang isteri menjawab kalem.
"Lagipula, siapa yang lebih dulu ngomong soal perluk. Hayo!"
Zaenudin terjengah.Mengusap-usap botaknya sebentar. Lantas bergumam kecut:
"Iya... Iya..."
Mau tak mau Zulham tertawa bergelak.Selagi tertawa, sekilas tampak olehnya isteri itu saling menukar senyum samar. Tahulah Zulham bahwa ia telah memakan umpan mereka begitu saja. Kedua orangtua yang baik hati itu sebenarnya tengah berusaha menentramkan Zulham yang muncul dirumah itu dengan pikiran kalut dan wajah yang kusut.Tawa Zulham pun terhenti sendiri.Namun tidak disertai sakit hati. Meski, toh ia memaki:
"Sialan!" Si perempuan tersenyum. Dengan pikirannya yang bermadu itu.
"Nah. Sekarang, Ibu dapat pergi tidur dengan nyaman. Kalian berdua, berkoteklah terus.Sampai tahun depan pun boleh-boleh saja!"
Sebelum perempuan itu memutar langkah, Zulham cepat mencegat:
"Tahukah lbu?" "Apa, Naik?" Mata bening itu menatap. Alangkah sejuknya.
"Tiap kali bertemu lbu, tiap kali pula aku jatuh cinta."
Zulham mengakui terus terang.
"Aduh... Sebentar lagi aku akan bermimpi indah,agaknya!"
Setelah berkata demikian, perempuan itupun berlalu kekamarnya. Meninggalkan suami dan tamu mereka,sama termangu. Masing-masing dengan pikirannya.Masing-masing sampai lupa, bicara apa mereka tadi dan tidak tahu harus bicara apa mereka sekarang.Orangtua itulah yang lebih dulu menemukan diri.
"Itulah dia ibumu, Zul. Tanpa dia, entah jadi apa aku sekarang ini. Dialah yang membuatku untuk tetap bertahan hidup. Tak menjadi soal, bahwa dia mandul.Tak mampu memberiku keturunan..."
Zulham diam saja.Ia tahu, orangtua di depannya, kalau berbicara tidak sekedar buka mulut saja. Selalu ada tujuan akhirnya.Terbukti kemudian, setelah orangtua itu meneruskan.
"Tetapi Tuhan Maha Pemurah. Dia tetap mengaruniai anak-anak untukku. Banyak sekali malah. Kadang-kadang ada yang pergi. Tetapi selalu saja ada yang datang mengganti. Beberapa tetap bertahan. Tak menjadi soal, apakah aku akan tetap mampu menghi-dupi mereka atau tidak. Anak-anak yang tidak banyak tingkah. Yang kutahu benar apa yang kukehendaki dari mereka. Siapa nyana... kini mendadak mereka semua harus pergi."
Pernyataan panjang Zaenudin diakhiri dengan keluhan lemah sembari menyandarkan tubuhnya di kursi.Gairah hidupnya jelas tengah digerogoti orang dari luar.Zulham ikut terpengaruh. Namun segera menemukan bantahan yang pas:
"Bukan mereka yang pergi, Pak Zein. Bapaklah yang meninggalkan mereka!"
Mata tua itu tak berani menatap.
"Terutama kau, Zul."
"Aku toh datang. Malam ini. Dan aku berjanji, akan datang lebih sering."
Zulham berujar tulus. "Tidak sambil mencak-mencak, eh?"
Orangtua itu menyeringai, tanpa menyembunyikan kebahagiaan dibalik sinar matanya.Kemarahan Zulham sudah reda. Kini ia lebih mampu mengendalikan diri.
"Bapak sudah lihat contoh penerbitan majalah kita untuk penerbitan mendatangi?"
Seringai Zaenudin meredup.
"Majalah mereka. Bukan kita."
"Sudahlah, Pak Zein. Siapa pun tahu, jiwa dan kasih sayang Bapak masih tertinggal di sana!"
Orangtua itu terdiam. "Aku sudah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri,Pak. Pertama, motto TEGAKKAN YANG BENAR,LURUSKAN YANG SALAH. Motto itu sudah dihapus!"
"Aku sudah diberitahu, sebelum mereka mengambil alih."
Zaenudin memaksakan seringai di bibir tuanya.
"Lagipula, apa yang kemudian kita peroleh selama sekian belas tahun? Puji-pujian, lebih banyak palsu.Kenyataannya, kita semakin dikucilkan. Seperti Sabda Rasulullaah, semakin sering kita berbicara tentang:kebenaran semakin kita dijauhi orang. Sudah dijauhi,kita masih juga ditegur, diteror oleh telepon yang ampuh dan keramat pula .Dan, berapa kali penerbitan kita terancam dibunuh mati, Zul? Padahal ancaman itu:sebenarnya tidak perlu. Dari hari ke hari, kita tuh sudah semakin sekarat..."
Zaenudin mengumpatkan kata-kata tak jelas.Kemudian mengeluh panjang.
"Kau tadi menanyakan, mengapa aku menyerah. Bukan terpaksa, Zul. Tetapi aku harus. Aku tidak takut pada mereka. Yang aku takutkan, anak-anak. Ratusan jumlahnya. Rata-rata sudah berkeluarga pula.Jumlahnya menjadi ribuan. Ribuan orang yang harus bertahan hidup. Jadi apalah artinya seorang Zaenudin yang sudah kenyang hidup, bahkan tua renta pula?"
Zulham terhenyak.Dan menyesali caranya datang tadi ke rumah ini.Mestinya ia sudah tahu. Dan menuruti nasihat rekannya di percetakan tadi. Lebih bijaksana pulang kerumah. Beristirahat sejenak, setelah itu berpikir, baru kemudian bertindak.
"Oh ya, Zul..."
Samar-samar telinga Zulham menangkap suara tuan rumahnya.
"Tadi pun kau bertanya. Mengapa kau tidak kuberitahu lehih dulu.Seperti tadi kujawabkan, aku tidak harus bukan? Penawaran mereka sudah sejak lama. Aku yakin kau ada mendengar. Aku bertahan, Zul. Mencoba bertahan.Mungkin aku pun berharap, Tuhan tiba-tiba membulak-balik permukaan bumi,lantas oplah majalah kita melejit lagi keatas. Seperti dulu, oplah terbesar dinegeri tercinta ini. Nyatanya, kita semakin terpuruk.Baru setelah itu, aku beradu tawar dengan mereka. Dan setelah ada keputusan pasti yang ditandatangi secara syah dan resmi, baru anak-anak kuberitahu. Dan mempersilahkan mereka menentukan pilihan sendiri.Kau sedang di hutan-hutan Sumatera waktu itu, Zul.Tetapi... Seperti halnya kepada anak lain, untukmu juga kusisihkan sebagian dari apa yang telah kuperoleh sebagai imbalan kepergianku. Kubilangi mereka,anggap saja pemberian ala kadarnya itu sebagai pengganti kata-kata perpisahan..."
Tiba disitu, barulah Zulham mampu buka mulut.
"Kuingatkan, Pak Zein. Jangan coba-coba sodorkan kemukaku!"
Orangtua itu tersenyum arif.
"Sesuai dugaanku."


Misteri Anak Anak Iblis Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Zulham meneruskan tak peduli.
"Bapak sendiri yang mendidikku selama ini, agar tidak menjual sebuah prinsip. Atau menikmati hasil penjualan dari sebuah prinsip!""Hei..."
"Maaf. Aku tidak bermaksud mengatakan Bapak telah melakukannya. Aku kini sadar. Bapak lebih mememikirkan anak-anak. Maaf pula jika tadi aku datang bagai orang kesurupan. Aku yakin, Bapak pun akan bertingkah serupa, jika melihat apa yang mereka kerjakan..."
"Tolong katakan, Zul."
"Bentuk majalah kita yang selama ini indah dan sudah baku, mereka rubah dalam bentuk tabloid. Itu sih,masih oke. Yang membuatku lupa diri, ruangan untuk artikel dan berita, nyaris habis dimakan foto-foto ukuran ekstra besar. Aku naik pitam bukan karena jatah untuk tulisanku dengan sendirinya tidak punya tempat. Tetapi, itu tuh. Di tiap halaman, selalu ada dada, kalau tidak paha. Dengan judul-judul memerahkan telinga pula. Sudah berita atau artikel cuma secomot-secomot, isinya pun kebanyakan mengenai urusan rumah tangga orang. Bahkan sampai urusan dapur seorang wanita pelacur. Dan karikaturnya, ampun! Sudah tidak memperdulikan seni keindahan dan ciri khas sindiran, ini sengaja garis-gairisnya dibuat bengkok-bengkok supaya menyerupai angka-angka. Ditambah sekian rumus-rumus, ramalan-ramalan untuk apa yang mereka sebutkan nomor-nomor jitu yang bakal keluar pada penarikan undian mendatang. Masih ada lagi.Misalnya..."
"Sampah!" Zaenudin berujar. Datar, dan tenang. Tidak terusik seujung rambut pun.
"Semuanya sampah belaka. Tetapi, Zul. Jaman memang telah berubah.Agaknya, sampah sekarang ini sudah menjadi dagangan yang laku keras. Dan, para pengaisnya, lagi naik daun..."
Zulham sudah akan membuka mulut, ketika telpon berdering. Menyentakkan mereka berdua.Karena ia yang paling dekat dengan meja telepon,Zaenudin-lah yang lebih dulu mengangkatnya.
"Hallo?Ah, kau kiranya... Apa... Wah, yang benar saja... Hernya, dia masih disini. Sebentar..."
Gagang telepon disodorkan kearah Zulham.
"Untukmu.Dari Joko, penjaga kantor kita... Eh, bekas kantor kita,di percetakan!"
Zulham bangkit dari duduknya.Mengambil alih telepon, dan begitu ia sahuti, diseberang suara terdengar suara gempar:
"Bisa datang kemari secepatnya, Oom Zul?"
"Apa yang terjadi?"
"Mengerikan. Sungguh tak masuk diakal... semuanya berantakan sekarang. Polisi baru saja pergi, tetapi..."
Zulham terperanjat. Berkata kaget:
"Hei, aku tidak serius ketika menyuruhmu untuk menembak..."
"Tidak seorang pun menyentuh bahkan mendekati meja Oom Zul. Senjataku pun tidak pernah disentuh... Ada angin ribut... gempa dan... Lebih baik datang dan lihat sendiri...."
Entah mengapa, pundaknya merinding. Bencana.Itulah yang seketika menyeruak pikirannya. Sekali lagi,ditujukan pada dirinya. Paling tidak, memaksanya untuk terlibat dalam bencana itu!
Setengah jam berikutnya, ia tiba di percetakan.Dugaannya, tidak keliru.
*** BAB 12 Bangunan megah dan luas itu, masih tegak ditempatnya.Kokoh dan tampak sedikit sombong dalam jilatan rem-bulan dan lampu-lampu merkuri yang mengitarinya.Dilihat dari luar, tenang dan damai. Didalam, riuh dan penuh kegiatan. Terutama dinihari ini, di blok ketiga yang kata mereka telah dilanda angin ribut dan gempa.Yang mengherankan, angin ribut dan gempa itu tidak sedikit pun menyentuh dua blok lainnya. Gudang perbekalan dan penyimpanan aman-aman saja. Tidak terasa getaran samasekali. Di blok satunya lagi,memang getaran itu terasa nyata, mana gaduh pula.Tentu saja. Disitu terdapat mesin-mesin raksasa yang bergerak, terus bergerak, nyaris tanpa mengenal istirahat. Ada angin ribut dan gempa?
Mereka yangsibuk di dua blok itu, ketika diberitahu, hanya mencibir tak percaya.Lain halnya dengan blok terakhir. Yang pintu gerbangnya mengarah ke jalan raya. Di situ berlokasi kantor-kantor berbagai media cetak, yang baik siang maupun malam, tidak pernah sepi. Tidak sampai dua jam sebelumnya, salah satu kantor disitu, telah diharam jadahkan Zulham. Saat ia memasukinya lagi sekarang,jika ia mau, bolehlah Zulham menari-nari gembira seraya berteriak-teriak histeris.Nyatanya, di sana sini ia hanya tertegun dan tertegun memandang tercengang, menggeleng tak percaya,bahkan mengusap dada segala.Di mana-mana yang tampak hanyalah keberantakan semata. Yang paling porak poranda, adalah kantor paling belakang di blok itu. Kantor dimana selama beberapa tahun, Zulham sering makan dan tidur. Yang dua jam sebelumnya, ia sudah berjanji tak akan sudi lagi menginjakkan kaki.Sepanjang blok perkantoran itu sampai ke tepi jalanraya, yang terlihat hanyalah sampah dan sampah.Sungguh, sampah-sampah menakjubkan. Dengan wujud berbagai bentuk dan rupa. Misalnya, kertas.Mulai dari serpihan sampai lembaran utuh surat kabar,sampai majalah yang masih terjilid. Hampir sama banyaknya dengan pecahan atau serpihan kaca. Yang tadinya bekas gelas, piring, mangkuk, lapis meja, bufet,pintu atau jendela. Begitu pula pecahan papan atau potongan kayu, sebagian diantaranya masih memperli-hatkan sisa-sisa bentuk asalnya semula... entah itu kursi, meja, atau rak. Belum lagi keranjang, tong,kardus-kardus dan banyak lagi benda-benda lainnya yang biasa ditemukan di sebuah perkantoran, yang menyeramkan, di sana sini terlihat pula ceceran darah...
Zulham tidak bisa membayangkan, berapa banyak diperlukan orang, berapa lama diperlukan tempo,lantas kesabaran. Yakni, untuk memisahkan sampah-sampah yang masih mungkin terpakai, dengan sampah yang semurni-murninya sampah. Belum lagi;memikirkan berapa banyak dokumen penting yang hancur bahkan hilang...Zulham tersentak.
"..... Tasku!" Kesibukan manusia disekitarnya, suara-suara teriakan marah, atau keluh kesah berkepanjangan, bahkan ada yang masih bisa tertawa.... tentu saja menelan desahan Zulham yang lirih. Namun, begitu melihat Zulham yang celingak-celinguk dengan wajah pucat,Joko yang berdiri disampingnya seketika menggamit:Zulham dan mengajaknya pergi ke salah satu sudut.Zulham nyaris tidak mengenali meja kerjanya.Atau, bekas meja kerja.Pelapis kacanya sudah jadi serpihan yang berserakan dilantai. Dua kaki patah. Sebagian papan meja itu berbelah-belah. Tempat dimana mestinya terdapat laci,kosong melompong. Mantan meja kerjanya itu setengah menungging ke tembok.Joko mengangkat sebelah kaki, dengan mana ia mendorong meja itu pelan-pelan. Seketika meja itu terbalik, dengan suara berderak. Dan dibawah mana meja itu tadi menungging, tampaklah ransel dan tas koper Zulham. Dan tampaklah menyembul ujung:sepotong celana dalam. Bekas pakai yang belum sempat dicuci. Membuat Zulham yang melihatnya terpaksa harus nyengir. Kemudian cengirannya hilang perlahan-lahan setelah melihat hal lainnya.Tas koper yang tadinya bersih mulus, tampak begitu kotornya. Kulit luarnya robek disana-sini. Penyok-penyok dibeberapa bagian tas itulah yang menggiriskan perasaan Zulham. Ia sudah dapat membayangkan bagaimana nasib benda-benda yang tersimpan di dalam tas. Terutama, kamera. Plus perlengkapannya: tele lens,zoom, lampu-lampu blitz...
Agaknya, mesin tik yang ditinggalkannya di Baturaja,merindukan teman-teman untuk mendampingi.Zulham mengangkat tas itu dengan tangannya yang gemetar. Tampaknya, tidak ada yang mengganggu tas itu. Nomer-nomer seri kuncinya tidak ada yang berubah. Toh, Zulham tetap saja merasakan dukacita yang dalam.
"Heran!" Joko nyeletuk. "Dia... bisa bertingkah. Galak pula!"
Zulham menatap, tak mengerti.
"Lihat benjolan ini?"
Joko menunjuk ketulang pipinya sendiri. Mata Zulham mengikuti. Tulang pipi Joko yang kiri, tampak membengkak kebiru-biruan.
"Masih ada lagi. Ini..."
Joko membuka kancing-kancing baju seragamnya. Memperlihatkan memar-memar di dada,iga, lambung. Bajunya dikancingkan kembali. Lalu bertanya dengan suara bergetar:
"Ingin tahu bagaimana aku mendapatkan semua ini, Oom Zul?"
Zulham melupakan kesedihannya.
"Ayolah. Kau ceritakan apa yang sebenarnya terjadi...."
Joko kemudian bercerita. Dari awal sampai akhir.Di sebuah warung kopi pinggir jalan.
*** Sekitar dinihari, angin dingin yang tidak biasa, bertiup memasuki blok perkantoran. Tarjo yang sedang mengoreksi hasil zetting IBM bergumam menggigil.
"Hiih. Ini bukan lagi dingin namanya...!"
"Nenekku pernah bilang..."
Rausin, penata letak yang guyonnya sering keterlaluan itu, menimpali.
"Yang begini ini angin kiriman iblis. Tahu kirimannya darimana?"
"Pasti bukan dari neraka."
"Memang bukan. Neraka 'kan penuh kobaran api!"
"Dari Kutub Utara, ya?"
"Salah!" "Lantas, Iblis ngirimnya dari mana dong?!"
Rausin menyeringai. "Dari pantatnya!"
"Kok tidak berbau......"
"Namanya juga kentut iblis!"
Rausin tertawa ngakak.Saat itulah, seseorang, berteriak marah.Joko yang kebetulan berdiri di luar pintu, menggerak-gerakkan otot tangan dan kaki supaya tidak merasa terlalu dingin menoleh terkejut. Teriakan itu ternyata berasal dari kantor paling depan, di dekat pintu gerbang. Seseorang tampak berlari keluar, mengejar kertas-kertas yang berhamburan. Terbang kian kemari.Sebelum Joko sempat menyadari, apa yang terjadi, dikantor-kantor lainnya muncul keributan yang susul menyusul. Di mana-mana terdengar teriakan marah,seruan terkejut, umpatan kasar. Terlihat pula orang-orang melompat untuk menangkap atau berlari untuk mengejar sesuatu. Namun semakin banyak saja yang berhamburan, lalu diterbangkan angin, yang bertiup semakin kencang. Dan bukan lagi hanya kertas...
Tarjo sampai menjatuhkan kursi sewaktu melompat untuk menangkap settingan naskah yang baru dikorek-sinya. Ketika Joko berlari masuk untuk membantu,kepala Joko disambar kotak kardus yang melesat kearah pintu. Ia keburu berkelit dan selamat. Rausin hanya tegak terpaku, dengan wajah pucat.Kemudian Tarjo ikut terpaku diam. Begitu pula Joko.Suara-suara berteriak, berseru, mengumpat di kantor-kantor lainnya, pun melenyap. Serempak. Padahal angin ribut itu masih menghantam kian kemari,menghumbalangkan dan menerbangkan apa saja.Penyebabnya tidak lain, getaran-getaran pada lantai dimana kaki mereka semua berpijak. Mula-mula samar saja, lantas tahu-tahu bergetar kuat. Menggoncangkan dinding-dinding kantor. Bahkan meja-meja berat bergeser, lalu seperti terangkat-angkat. Apa saja yang dari kaca, mulai pecah, bahkan papan, kemudian...Entah siapa dan dari sebelah mana, seseorang berseru ketakutan:
"Gempa!" Disusul: "Keluar! Keluar semua! Keluar!"
Keadaan semakin bertambah kacau dan hingar bingar.Tarjo sudah berlari meninggalkan kantor.Rausin bermaksud mengikuti. Tetapi ia kalah cepat oleh sebuah kursi yang terangkat dari lantai lantas, terbang melesat kearah Rausin dan kemudian menghantam kepalanya. Rausin terhuyung. Muka dan kepalanya berdarah. Joko meski panik, masih sempat menghambur kearah Rausin. Pemuda itu untungnya masih mampu berdiri bahkan berlari mengikuti Joko yang memegangi tangannya, tetapi kaki Joko terantuk sesuatu.Pegangannya lepas. Namun Rausin terus saja berlari,entah kemana. Joko yang sempat terjatuh cepat-cepat bangkit untuk lari menyelamatkan diri.Pada waktu ia bangkit, sesuatu melesat melewati tubuhnya, lalu jatuh ke lantai membentur ambang pintu. Dalam paniknya, Joko masih sempat mengenali apa itu kiranya. Tas koper, yang dipercayakan Zulham kepadanya. Secara naluriah Joko menyambar tas itu.Pas ketika tas itu bergeser menjauh oleh sedotan angin bertenaga besar yang sekaligus menarik tubuh Joko keluar pintu.Joko sempat terhumbalang, tetapi mampu tegak kembali. Tas dipeluknya erat-erat, sembari berjuang melawan kekuatan angin, yang terkadang menyedot,lain kali bagai menghempaskannya.Lambat laun, disadari oleh Joko, tubuhnya semakin mendekati pintu gerbang di depan sana. Jika ia terseret arus angin atau siapa tahu, diterbangkan lalu terhempas di jalan raya...Joko bertambah panik. Bahkan ngeri.Tanpa sadar, ia mulai menjerit-jerit minta tolong. Lalu ketika keputusasaan mulai mencekam dirinya, Joko tertolong. Bukan oleh seseorang. Melainkan oleh tiang penyanggah bingkai pintu gerbang. Tiang besi yang tegak kokoh, tak tergoyahkan. Refleks Joko bereaksi.Sementara tangan yang satu masih menggenggam pegangan tas, tangan lainnya cepat menyambar tiang.Tubuh Joko sedikit terputar, lalu punggungnya menghempas sesuatu. Tembok gedung. Di situlah, Joko bertahan. Dengan punggung merapat ke tembok gedung dan sebelah tangan merangkul tiang pintu gerbang. Ia terbebas dari sedotan angin dahsyat itu.Angin yang bersiut, dan marah. Joko tidak perduli. Ia juga tidak takut tertimpa oleh runtuhan gedung.Karena semakin mendekati pintu gerbang, permukaan bumi tempat kaki Joko bertahan, semakin terasa melemah getarannya.Bahkan ketika ia selamat dalam perlindungannya sekarang, getaran itu telah berhenti, sama sekali.Tinggal hempasan angin yang masih terasa. Dalam kemarahan yang semakin menggila. Salah-satu hempa-sannya, menarik tas di tangan Joko. Karena semangat-nya sudah kembali, Joko lantas melawan tarikan itu.Tarik menarik pun terjadi.Lalu Joko terheran-heran. Sepertinya, ada tangan-tangan gaib menggerakkan tas itu. Belum habis kehera-nan Joko, tas di tangannya mulai bertingkah.Mula-mula seperti melompat-lompat dalam genggamanJoko. Kemudian, tas itu menghantam lambungnya,mundur, lalu menghantam iga, terus dada, terakhir, tas itu menampar wajahnya.Hantaman keras, tamparan menyakitkan untuk menggerakkan tas.Tak ada siapa-siapa di dekat Joko, untuk menggerakkan tas. Yang ada, hanya tangannya sendiri, yang masih menggenggam....
Astaga! Tangannya sendirikah? Bingung dan ngeri, Joko merenggangkan cengkeraman tangannya pada pegangan tas. Kemudian melepaskan-nya sama sekali.Tas itu tidak jauh ke tanah. Mungkin tak sempat. Angin telah menyedotnya dengan kuat. Melayang, terbang diudara malam, sepasang mata Joko membelalak takjub,mengawasi bagaimana tas itu melesat lurus kearah sebuah mobil yang sedang diparkir di tepi Jalan sejajar pintu gerbang. Bias lampu-lampu merkuri menerangi samar-samar bagian dalam mobil yang gelap. Ada sesosok tubuh disana. Duduk tenang-tenang dibelakang kemudi. Mungkin menunggu seseorang, atau barangkali sengaja berhenti disana menunggu sampai badai angin mereda.Dan, tas justru melesat ke jendela sebelah kiri pengemudi.Joko ingin berteriak memperingatkan orang itu. Namun yang mampu dikeluarkan Joko hanyalah keluhan lemah belaka. Ia sudah siap menunggu bunyi kaca jendela mobil terhantam, pecah.
Oh, tidak. Jendela mobil itu justru memang terbuka.
"Celaka! Kepala orang itu bakal..."
Syukurlah, orang itu membungkuk. Atau barangkali tas sudah menghantam kepalanya?
Oh, tidak lagi! Karena orang yang ada dibelakang kemudi sudah duduk lurus kembali. Dan tas melayang keluar jendela mobil.Dilemparkan dengan marahnya. Jatuh terhempas didekat pintu gerbang. Menggeletak, diam.Mobil itu kemudian bergerak perlahan. Kemudian berlalu.Perlahan tetapi pasti, badai angin pun ikut berlalu. Dijalan raya mobil-mobil dan sepeda motor saling berpacu dengan raungan mesin yang memekakkan telinga.Kontras dengan suasana blok perkantoran. Mendadak sunyi sepi. Samar-samar, terdengar suara berisik mesin-mesin dari arah blok percetakan. Kemudian,banyak orang mulai keluar entah dari mana memasuki blok perkantoran. Suara-suara manusia pun mulai terdengar. Makin lama makin ramai. Ada seseorang menjerit. Dan orang lainnya menangis seperti kesakitan...
Sejenak, Joko linglung.Kemudian ia membungkuk. Menjemput tas di dekatnya.
"...anehnya, dia tak bertingkah lagi!" desah Joko, seraya memandang kearah tas dekat ransel di meja warung kopi itu. Zulham ikut menatap. Namun keprihatinan akan nasib barang-barang miliknya yang mungkin penyok itu, tidak lagi terasa. Perasaan lain, mengusik lebih keras.Ada sesuatu menghampiri dirinya. Entah apa dan mengapa, ia belum tahu. Tetapi ia harus mencari tahu.Karena sesuatu itu pastilah betapa jahatnya dan keji.Yang disetiap langkahnya untuk mendekati Zulham,meninggalkan bencana-bencana mengerikan. Itulah yang dia rasakan. Meski, hampir tidak masuk diakal Zulham sendiri!
".... setelah menelpon Oom, saya lantas berpikir-pikir!"
Joko meneruskan. Sisa kopi di gelasnya ia habiskan dengan wajah memperlihatkan bahwa ia tidak menikmati citarasa yang mengaliri lidahnya.
"Apa anehnya tingkah tas itu dibanding keanehan-keanehan lain. Mencengangkan lagi. Penyebab bencana di blok perkantoran seujung rambut pun tidak menyentuh dua blok lain. Lalu mereka bilang, angin ribut dan gempa itu hanya perbuatan orang jahat tukang tenung!"
Zulham memikirkannya.Tetapi akal sehat serta otaknya tidak menerima.Lagi-lagi Joko yang membuka mulut:
"Terus, Oom. Adalagi yang bilang, blok dimana perkantoran itu berdiri,dahulunya konon bekas pekuburan..."
Zulham menghela nafas. "Tambah kopinya, Pak Joko?"
Dijawab dengan pertanyaan pula:
"Oom mengantuk?"
"Hanya lelah." "Astaga... Saya baru ingat. Oom baru pulang dari perjalanan jauh. Belum sempat istirahat..."
*** Tiba di rumah Zulham kembali harus kehilangan waktu istirahatnya. Seisi rumah gempar menyambut kepulangannya. Tetapi Zulham sedikit terhibur oleh kegembiraan dan kehangatan yang ia didapatkan dari mereka. Dan untuk kesekian kalinya, ia relakan diri untuk menghadapi sekian banyak pertanyaan. Mana simpang siur lagi.Bunyi bedug dari masjid menyelamatkan Zulham.Pamannya mengajak ke Masjid. Zulham menolak.Katanya:
"Aku sholat di kamar saja."
Pamannya mengangguk paham, kemudian meninggal-kan rumah. Bibi Zulham mengingatkan kedua anak perempuan mereka agar segera berhenti mengganduli Zulham.
"Biarkan abang kalian pergi ke kamarnya.Jangan lagi ada yang mengganggu!"
Sepupu-sepupu Zulham yang sedang meningkat remaja itu pada protes, tetapi akhirnya menyerah. Bahkan mereka bantu mengangkatkan barang bawaan Zulham.Lantas meninggalkan kamar, seraya mengancam Zulham agar nanti kalau sudah istirahat, Zulham harus melanjutkan obrolan mereka yang terputus tadi.
"Atau, aku tidak akan sudi lagi menyetrika baju Abang!"
Nurmala berkata sengit.Rosida tidak mau mengalah:
"Dan, harus menyapu sendiri kamar Abang!"
Ancaman-ancaman yang menyenangkan!
Zulham ingin tertawa, namun betapa sukarnya. Berada sendirian di kamarnya, sel-sel otak Zulham kembali pada berlari-lari, tanpa arah yang jelas. Sampai kusut sendiri. Air hangat untuk mandi yang disediakan oleh bibinya, sedikit menggendurkan. Lantas bersujud menghadap Ilaahi, memohon petunjuk dan kekuatan.Pelan-pelan mengembalikan ketenangan pikirannya.Lupakan semua itu untuk sementara, dan melompatlah ke tempat tidur.Rosida menyimpan ransel dekat pintu. Tetapi Nurmala telah menyimpan tas koper Zulham justru diatas tempat tidur. Sebelum menyingkirkan tas itu ke tempat lain, Zulham mengawasinya sebentar. Lalu iseng saja,ia merapikan kulit pembungkus tas yang robek disana-sini. Salah satu bidang yang robek, sukar dirapatkan. Pada saat itulah ia melihatnya. Diterangi lampu kamar yang benderang, robekan pembungkus kulit itu ternyata mustahil dirapatkan. Karena pinggiran kulit yang robek, tampak mengeriting,warnanya pun kehitam-hitaman. Seperti halnya kulit yang beradu dengan api, atau hawa panas berkekuatan tinggi. Busa pelapis disebaliknya lebih nyata lagi kehangusannya.Antara sadar dan tidak, jari jemari Zulham mengoreki robekan busa yang sepertinya bekas hangus itu.Tersentuhlah kemudian, baja tipis, pembungkus utama tas kopernya.Robek juga!
Zulham berdebar. Nomor-nomor seri kunci tas kopernya segera diputar ke netral. Lalu tutup tas ia sentakkan terbuka. Firasat mengejutkan menggerakkan pikiran Zulham untuk mengabaikan saja semua dokumen dalam map, kamera serta perlengkapannya,rol-rol film, pesawat rekam ukuran mini dan sebagainya.Perhatiannya langsung dipusatkan ke satu arah.Sebuah tas tangan perempuan. Dan apa yang ia harapkan untuk ia lihat, memang terlihat.Tas tangan itu pun robek. Malah kulit tas itu sampai melepuh. Tangan Zulham semakin gemetar saja ketika tas tangan itu diambilnya perlahan-lahan. Isinya ia tumpahkan ke tempat tidur. Ia tidak merasa perlu mengingat semua isinya. Zulham hanya ingin memastikan keberadaan satu benda saja. Yang secara tidak patut, sempat dipakainya tanpa hak. Lalu begitu ia menyadari keteledorannya, mengembalikan benda itu ke tempat yang semestinya.Firasat Zulham terbukti benar.Benda itu sudah raib.Tidak perduli bagaimana caranya dan siapa yang meng- ambilnya. Yang pasti, kalung dengan liontin bertatahkan berlian itu telah hilang. Liontin dengan lambang ular berkepala ganda.Tanpa dia kehendaki, membayang seketika di pelupuk mata Zulham kesunyian malam ditengah hutan belantara. Sebuah mobil tak bertuan, terdampar disana.Zulham membuka pintu mobil itu. Lampu dalam segera menyala. Temaram. Lalu dari balik tumpukan pakaian yang centang-perenang menggeliat keluar seekor ular besar, panjang, bersisik hitam legam.Seekor ular berkepala ganda.Menatap kearah Zulham dengan dua pasang bintik-bintik mata yang berlinang-linang.
*** BAB 13 (maaf jilid 13 isinya sama dengan jilid 12)
*** BAB 14 Zulham terhenyak di pinggir tempat tidur. Lemas.Perasaan bersalah melecut pikirannya. Zulham bukan saja telah memakai barang milik orang lain, tanpa hak.Barang itu kini bahkan sudah hilang lenyap. Diluar kekuasaannya Zulham memang. Namun tetap harus dipertanggung-jawabkan!
Zulham adalah Zulham.Menyesal atau marah-marah memang sifat alami manusia. Tetapi, menyesali diri berlama-lama, bukanlah sifat Zulham. Dan, biarkanlah kemarahan ini menguasai dirimu. Nanti akan kau lihat bahwa pada akhirnya kau tidak akan memperoleh apa-apa.Peredaran darah disekujur tubuh Zulham yang sempat membeku, kembali mengalir. Otaknya mulai bekerja.Otot dan syaraf pun lantas bereaksi. Perlahan-lahan Zulham bangkit dari duduknya. Ia kemasi barang-barang yang berserakan di tempat tidur. Dengan menyisihkan selembar Kartu Tanda Penduduk atas nama Tenny Puspasari sejenak lamanya, ia amati pasfoto wanita di kartu tersebut. Sebelumnya, Zulham sudah beberapa kali melakukan hal yang sama.Semakin Zulham mengenali wajah itu, semakin kekaguman pada kehalusan dan kelembutan yang terpancar dari wajah Tenny.Jika kemudian timbul ketertarikan dalam diri Zulham sebagai seorang laki laki, itu wajar-wajar saja adanya.Yang tidak wajar adalah perasaan lain yang ikut membonceng. Perasaan menyayangi. Terutama,keinginan untuk melakukan sesuatu yang dapat membuat bibir mungil itu tersenyum bahagia. Entah mengapa, perasaan dan keinginan itu terus mendera.Sehingga lambat laun berkembang menjadi semacam kewajiban yang harus Zulham selesaikan sampai tuntas.
"Aneh juga!" Zulham bergumam lirih.Ia membuang jauh-jauh pikiran yang agak mengganggu itu. Lalu kini ganti membenahi isi tas kopernya sendiri. Sedikit pun Zulham tidak berminat lagi pada tumpukan map-map, foto-foto, gulungan rol film maupun benda-benda lain yang merupakan hasil liputan sewaktu Zulham menjalankan tugas kewarta-wanannya nun jauh salah satu pelosok Sumatera.Semuanya dikeluarkan lalu disimpan semau hatinya dimeja kerja dekat jendela kamar tidur. Kamera serta perlengkapannya saja yang tetap ia biarkan di dalam tas. Disusun hati hati, untuk memberi tempat yang luang dan nyaman pada tas tangan Tenny Puspasari.Kamera dan perlengkapannya akan diantarkan Zulham ke studio langganannya. Untuk diservis dan, jika ada komponen yang rusak supaya segera diganti. Begitu pula tas koper, Zulham tahu pada siapa ia harus menyerahkannya. Bukan untuk diperbaiki. Melainkan untuk diperiksa, diteliti penyebab kerusakannya yang begitu rumit bahkan misterius. Jika perlu, dengan menggunakan mikroskop. Betapa kuat hasrat Zulham untuk mengetahui bagaimana...
Ada kilau gemerlapan di pojok dalam tas.Zulham memungut hati-hati. Lalu didekatkan kecahaya lampu. Tiga butir mata berlian yang besar,masing-masing mendekati biji kacang hijau. Dengan bentuk dan potongan yang sama.Zulham tidak berpikir mengenai harga. Yang ia pikirkan hanyalah, bahwa benda dimana semestinya batu permata itu tersimpan, memang ada dan nyata.Bukan sekedar halusinasi. Dan benda itu telah diambil paksa oleh seseorang. Tak perduli siapa, bagaimana dan mengapa. Yang pasti dan senyatanya, benda itu hilang.Meskipun sekarang Zulham beruntung masih menemukan sebagian dari apa yang hilang itu. Zulham tidaklah lantas bersorak gembira. Justru perasaan bersalahnya semakin terlecut.Zulham menarik keluar selembar foto diatas meja dari pembungkus plastiknya. Ke pembungkus mana batu-batu mulia itu ia masukkan, kemudian disimpan pada tempat yang ia perkirakan cukup aman: dalam loketnya. Setelah itu ia bersalin pakaian, mengenakan sepatu, lalu keluar dari kamar dengan menjinjing tas disatu tangan dan KTP Tenny Puspasari ditangan lainnya.Di luar kamar ia berpapasan dengan bibinya yang memandang heran. Di ruang duduk, pamannya yang sudah kembali dari masjid dan tengah menikmati kopi susu sambil membaca harian pagi, juga menatap heran.Terlebih-lebih setelah mata sang paman menatap tas koper yang wujudnya tidak karuan itu. Namun orangtua itu tidak mengutarakan sepatah kata pun juga. Ia kembali memusatkan perhatiannya ke suratkabarnya.Zulham langsung berjalan ke pesawat telepon, dengan pesawat mana ia kemudian berkomunikasi ke luar.Diperlukan waktu menunggu beberapa saat. Baru setelahnya ada hubungan, mengucapkan salam, lalu memastikan nomor telepon yang ia hubungi tidaklah salah sambung, lantas pada orang yang menyambut teleponnya ia minta berbicara dengan Tenny Puspasari.Saat itulah sang paman mengangkat muka.Tergerak ingin tahu.Zulham berbicara di telepon:
"... siapa saya tidaklah penting. Tetapi saya menyimpan barang milik Zus Tenny yang harus saya kembalikan padanya... oh,begitu. Memang itulah maksud saya menelepon. Maaf,jika saya telah mengganggu sepagi ini, dan... Baiklah.Saya akan datang secepatnya kesana. Terima kasih!"
Zulham menyimpan gagang telepon.Memutar tubuh untuk pamit. Dan menyadari sesuatu dibalik sinar mata pamannya yang tidak keburu menghindar. Zulham tersenyum. Riang, ia menggoda orangtua itu:
"Tenang saja Paman. Jika kita ada umur panjang, percaya saja deh. Akan kupersembahkan calon isteriku kepada paman..."
Lawan bicaranya membelalak. Zulham menyeringai, lantas meralat kalimatnya tadi:
"Maksudku, kuperkenalkan. Tetapi bukan dia orangnya..."Ya. Bukan Tenny Puspasari orangnya.Zulham merasa pasti. Tetapi mengapa ia merasa pasti?
"Jangan berlama-lama, Zul!"
Sang paman akhirnya buka mulut.
"Oh. Calon sih banyak, hanya..."
"Yang kumaksud, Nak. Kau jangan pergi berlama-lama!"
Orangtua itu menjelaskan dengan sabar.
"Kau baru saja pulang dari perjalanan jauh. Kau mau memaksakan diri sih... Boleh-boleh saja. Yang jadi masalah, aku masih saja tidak kuat menahan sebal jika didekatku ada orang sakit yang merintih-rintih sengsara."
Suara lain, tahu-tahu sudah nimbrung:
"... yang paling baik, Pak. Seret lalu ikat dia di tempat tidur. Beres!"
Bibi Zulham mendekat lalu dari baki memindahkan meja duduk, segelas kopi susu dan mangkok berisi dua butir telur rebus. Juga ples-ples berisi bubuk garam dan merica. Si suami memandang penuh minat, lantas menggapaikan tangan ke mangkok berisi telur rebus.Belum juga tersentuh, mangkok itu sudah menjauh.
"Tadinya memang jatah Bapak,
" isterinya mengomel.
"Yang dua butir lagi, sedang direbus oleh Rosida..."
Lalu pada Zulham: "Ada yang gatal?"
Zulham berhenti menggaruk kepala.Kemudian duduk untuk menikmati sarapan paginya.Telur rebus diletakkan ke pinggiran sebuah gelas kecil.Ke gelas mana telur setengah matang itu dimasukkan,diaduk dengan bumbu, lantas dengan gerakan sengaja dilambat-lambatkan, disendok ke mulut. Sedikit-sedikit,mata dipejam-pejamkan pula.Sang Paman hanya mampu memandang saja.Dengan iri.Syukurlah, Rosida segera muncul untuk mengantarkan bagiannya. Melihat tas koper yang wujudnya berantakan itu, Rosida berkata:
"Tadi malam pun aku sudah berpikir. Pasti tas Abang itu tersenggol kereta api. Heran ya, Abang masih hidup...!"
Hidup, memang terkadang menyenangkan.Puas saling menggoda, Zulham kemudian pergi kegarasi, masuk ke mobil mini bus miliknya, disebelah mobil sedan milik pamannya. Mesin dipanaskan, turun lagi, membuka pintu garasi lalu pintu gerbang depan. Ia merentang-rentangkan lengan dan kaki sebentar,meliuk-liukkan pinggangnya sampai terdengar bunyi berkeretak lemah, menghirup hawa sejuk pagi hari dengan perasaan lebih nyaman dan gembira.Waktu mengeluarkan mobilnya ke halaman dan berputar menuju gerbang, di teras ia melihat sosok bibinya memperhatikan dengan gundah. Zulham melambai dengan mulut tersenyum. Bibinya balas melambai, namun tidak ikut tersenyum.Perempuan itu kemudian masuk ke dalam rumah.Rosida sudah menghilang lagi di dapur, hanya si suami saja yang masih tetap duduk di kursi semula, telah pula asyik dengan surat kabarnya. Menyadari sang isteri tetap memperhatikan, si suami mengangkat muka.Tanpa menunggu pertanyaan, ia sudah paham apa yang menjadi masalah. Lalu, setelah menghela nafas iapun berujar:
"Mengapa pula aku mencegah dia? Semua juga tahu. Sekali Zulham ingin bergerak, maka ia akan terus bergerak. Siapa pun tidak bisa menahan!"
Kembali menyimak ke surat kabarnya, ia mengakhiri:
"Dinamis.Itulah Zulham. Dan aku beruntung menjadi pamannya!"
"Tetapi, Pak..."
"Hem?" Sambil si suami tetap menekuni bacaannya.
"Aku didatangi firasat yang..."
Kalimat sang isteri dihentikan oleh komentar pendek sisuami:
"Perempuan....!"
Menjengkelkan. Tentu saja.Si isteri pun minggat ke dapur. Larut dibawa perasaan dan firasat kewanitaannya. Disebelahnya, Rosida sibuk mengiris rempah-rempah, sambil menyanyikan lagu cinta yang waktu itu lagi trendi.
"...senyum manismu... pertama kali kita bertemu... Aduhai lembutnya tutur kata.."
"...diamlah!" Mulut Rosida mengatup seketika. Lalu ia berpaling.Bukan menghadap ke ibunya. Ibunya pun ikut berpaling. Di pintu dapur, ayah Rosida berdiri tegang dan pucat. Tangannya masih memegang surat kabar yang tadi dibacanya.Dari mulut laki-laki setengah baya itu, terdengar suara menggagap:
"... kalian dengar? Nama anak itu...Bobby... apakah...."
"Anak yang mana, Ayah?"
Mulut itu terus menggagap,
"... dan, inisial ibu si anak,kata mereka em-em... Bisa saja dia itu Maria...."
"...Magdalena, " Rosida melanjutkan kata-kata ayahnya,tanpa sadar.
"Memangnya ada apa sih. Ayah bikin kaget orang saja!"
Rosida tanpa sengaja melihat ke surat kabar ditangan ayahnya. Dan terbaca olehnya sebuah judul dalam hurup-hurup cetak besar:
"IBU MUDA JELITA DIDUGA MEMBUNUH ANAK KANDUNG"
Rosida melompat ke pintu. Suratkabar dirampas dari tangan ayahnya, tanpa minta ijin lebih dulu. Ibunya hanya berdiri, bengong. Sementara sang ayah tahu-tahu sudah lenyap dari ambang pintu. Hanya bunyi langkahnya saja yang terdengar. Berlari-lari menuju pintu depan rumah. Seraya memanggil-manggil:
"Zul? Tunggu sebentar, Zulham. Ada yang...Zul?!"
Agaknya lupa, ponakannya sudah lama berlalu.
*** BAB 15 Lima menit setelah meninggalkan ujung toll Jagorawi,Zulham menemukan jalan yang ia cari. Terselip diantara tembok tinggi dua buah rumah atau mungkin bungalow. Jalan menurun yang tidak seberapa lebar.Hanya pas untuk dua buah mobil berpapasan, itu pun harus sambil mengurangi kecepatan. Tetapi mulus,dihotmix. Nyaman pula dalam kendaraan karena belokan-belokan ditata tidak terlalu tajam, dengan panorama indah terhampar penuh pesona dibagian yang tanahnya terbuka. Dengan syarat, pikir Zulham,anggap kita belum pernah melihat alam Sumatera.Setelah berhenti sejenak untuk bertanya-tanya pada seorang pejalan kaki yang kebetulan berpapasan,tibalah Zulham dibagian jalan lurus dan panjang.Sesuai penjelasan si pejalan kaki, mendekati akhir jalan lurus itu, Zulham melihat sebuah pintu gerbang besar dari lembaran besi yang dicat warna orange. Nomor yang tertera pada pada penyangga gerbang, cocok dengan nomor rumah yang tercantum pada KTP yang dikeluarkan lalu disimpan kembali oleh Zulham di saku kemejanya.Zulham berhenti lalu turun.Mencari sebentar dengan matanya, lalu ia tentukan lobang persegi pada lembaran besi warna oranye,sejajar bahunya Zulham menjulurkan tangan ke depan menembus lubang terbuka itu, dan menekan bel yang ada di situ. Membayangkan ada sabetan golok dari balik lembaran besi, lantas pergelangan tangannya lenyap seketika. Zulham pun bergegas menarik mundur tangan yang dicintainya itu.Bel itu disambut sebuah suara.Bukan musik lembut atau ning nong yang monoton,melainkan gonggongan keras seekor anjing, jauh dari sebelah dalam pintu gerbang.Gonggongan itu pun dengan segera sudah berhenti diam. Namun toh Zulham sempat merasa miris juga.Sadar, belum pernah ia teringat untuk belajar ilmu tentang menangkal serangan seekor anjing, yang selain besar dan galak, sedang marah pula.
"Baiknya sih... urusanku cepat selesai. Dan disini, bukan didalam sana,
" dalam hati Zulham berharap. Ngeper.Ada bunyi gemerincing dibalik pintu gerbang. Lalu bunyi sesuatu berderak. Zulham melompat terkejut.Lalu mundur dua langkah, mendekati pintu mobil.Diam-diam meyakinkan, pintu mobil itu tidak ia kunci sebelum turun sehingga jika perlu, ia dapat melompat masuk kedalam untuk mengamankan diri.Gemerincing rantailah yang terdengar tadi.Dan bunyi berderak, ternyata suara pintu kecil di sudut kiri lembaran pintu gerbang. Zulham pun pasang kuda-kuda untuk merenggut terbuka pintu mobil.
Lalu... Bukan sosok anjing setinggi pinggang yang muncul.Melainkan sosok manusia, tingginya pun tidak melebihi pundak Zulham. Tetapi, jangan buru-buru menarik nafas lega. Lelaki itu boleh pendek, namun kekar.Dengan otot-otot mencuat kencang dari balik baju kaus serta celana jean ketat yang membungkus tubuh yang penuh vitalitas itu. Dibawah rambut yang dicukur model tentara, terpampang seraut wajah persegi.Dahinya kuat, sorot matanya keras, tulang pipi kukuh,dagu pun liat, dan melihat tarikan bibir orang itu,bukan mustahil Charlie Chaplin akan buru-buru cari makan dengan cara lain saja.
Belum cukup? Dengarlah suaranya. Sudah dalam, serak;dan kering pula:
"Mau bertemu siapa?!"
Wah! Tetapi karena yang dia hadapi jelas manusia biasa juga seperti dirinya, Zulham sedikit lebih tenang. Tanpa mengabaikan kewaspadaan, ia perlihatkan harga dirinya. Lewat jawaban pendek:
"Zus Tenny. Sudah ada janji!"
Dahi yang keras itu berkerut. Tidak segera berkomentar.Sama seperti sebelumnya Zulham menelepon ke alamat ini, orang yg menyahutinya terdiam sejenak. Bedanya,Zulham tidak tahu, apakah diamnya orang yang menerima teleponnya juga disertai kerutan di dahi.Pertanyaan lagi:
"Anda siapa?!" Lumayan: Anda. Bukan, kau.Zulham tambah berani.
"Ada atau tidak?"
Barulah setelah itu ada sahutan,yang nadanya bukan kalimat tanya.
"Bukalah pintu gerbang, Johan..."
Suara yang itu bersiul dari balik pintu gerbang. Tidak terlalu dekat. Malah agak sayup-sayup sampai.Lelaki yang dipanggil dengan nama Johan itu mengang-kat pundak.
"Ya. Jika Bi Esih sudah angkat bicara, siapa yang berani membantah?"
Masih kalimat tanya, memang. Tetapi selagi Johan membuka pintu gerbang, Zulham menangkap dua hal.Pertama, suara bernada tinggi itulah yang menerima telepon Zulham pagi tadi. Kedua, Johan menaruh segan, paling kurang menurut perintah pemilik suara,dengan seketika. Ini membawa perubahan pada gaya pembicaraan Johan.
"Kadang-kadang ada truk besar lewat disitu..."
Dagu itu gerakkan kearah jalan.
"Lebih baik dibawa ke dalam."
Zulham memundurkan mobil, untuk kemudian mema-suki jalan kerikil diantara rerumputan dan tanaman hias. Dengan pepohonan pinus di kiri kanan jalan,diatur berselang-seling sehingga sinar matahari tidak akan mengganggu kenyamanan pada orang yang melaluinya. Pepohonan mangga dan rambutan juga tampak dibagian lain, kemudian patung-patung, air mancur yang mengalir deras dan bening seperti kaca.Semua itu melengkapi sebuah rumah gedung besar dan tampak megah, arsitekturnya merupakan kombinasi dari dua jaman berbeda. Zulham memarkir mobilnya dipekarangan yang cukup untuk menampung paling sedikit sepuluh mobil. Saat itu hanya ada satu mobil didekatnya, sebuah sedan rakitan terbaru, dari merk yang Zulham tidak berani mengimpikannya. Dua lainnya tampak sekilas lewat pintu garasi yang menganga terbuka. Salah satunya minibus yang lebih besar dari punya Zulham, namun tetap saja membuat mobil Zulham seakan baru saja memasuki halaman parkir;yang salah.Selagi turun dari mobil, diam-diam Zulham menyesali mengapa ia selalu mengabaikan teguran Rosida.
"Dicuci setahun sekali! Andai mobi Abang punya hak suara...!"
Seorang wanita menunggu Zulham diambang masuk beranda. Tubuhnya sedang-sedang saja tetapi tampak semampai dibalik pakaian rumah yang rapi serta serasi:dengan suasana disekitar. Umurnya sukar ditebak.Tetapi pasti sudah melewati 40 an atau mungkin sudah mendekati 50. Namun satu hal membedakan ia dengan orang pertama yang menyambut kedatangan Zulham di tempat itu. Perempuan itu menunggu dengan senyuman manis.Namun pikiran Zulham tengah dipenuhi oleh sosok lain. Sosok yang belum jelas dan tidak utuh. Betapa tidak sabar Zulham untuk segera bertemu dengannya.Melihat dirinya seutuhnya. Bukan hanya sekedar raut wajah lembut dengan tatap mata yang seperti minta:dilindungi itu. Zulham lebih tidak sabar lagi untuk mengetahui, mengapa Zulham mendadak terikat pada wanita yang malah belum pernah dikenalnya itu.Sedemikian meluap-luap hasrat Zulham untuk bertemu muka dengan Tenny Puspitasari. Sehingga sambil turun dari mobil ia langsung saja main sambar tas di tempat duduk sebelahnya. Lumrah. Kebiasaan seseorang memang sering mengikuti orang itu kemana pun ia pergi. Yang tidak lumrah adalah perubahan di wajah siperempuan tengah baya yang menunggu di beranda.Perempuan itu tidak lagi tersenyum. Melainkan tercengang, meski masih dalam batas-batas yang sopan.Arah tatap mata kebingungan itulah yang menyadarkan Zulham. Zulham pun menggerutu samar-samar. Lantas buru-buru mengembalikan tasnya ke dalam mobil. Wujud benda itu betapa menyebalkan,sehingga tong sampah pun pasti enggan menampung-nya. Seperti habis disenggol kereta api, kata Rosida.
Sialan! Zulham mengeluarkan tas tangan warna abu-abu,dengan mana ia kemudian bergegas naik ke beranda.Ada rona terkejut di mata si perempuan tengah baya ketika melihat apa yang dipegang Zulham, sepintas,tubuhnya yang kecil semampai itu seperti bergetar.Sebuah pemandangan sepersekian detik saja, dan Zulham menganggap yang tampak sepintas itu hanyalah tipuan mata belaka. Senyum sopan itu kini disertai ajakan ramah:
"Silahkan masuk."
Zulham melangkah ke ambang pintu yang terbuka.Satu langkah, dua langkah, tenang dan penuh kepercayaan diri. Langkah ketiga, barulah mengendor.Jatuhnya di lantai pun tak ubahnya daun yang gugur.Teramat perlahan, seperti takut mengganggu orang yang tertidur pulas. Sayangnya sang makhluk yang dilihatnya bukanlah sedang tertidur. Gerakannya pun nyaris tidak terlihat. Dari posisi rebah ke posisi tegak,diatas empat kakinya yang kokoh. Zulham benar.Tetapi sungguh betapa celakanya kebenaran itu: tinggi mahluk memang sebatas pinggang Zulham. Mata galak,moncong terbuka mempertontonkan taring-taring runcing mengkilat. Siap merobek, tak peduli yang harus dirobek itu lembaran baja.Mahluk itu tidak menggonggong, kini.Ia hanya menggeram. Geraman yang seakan tertelan,untuk kelak muncul lagi dalam sebuah impian yang paling buruk.Suara lunak menyebut sebuah nama, disusul perintah:
"Rudi? Masuk!" Zulham tidak berani berpaling. Konon pula, bukan namanya yang disebut. Ia tetap mengawasi makhluk itu, tanpa berani berkedip. Ia coba tersenyum kearahnya. Karena terlalu dipaksa geraham Zulham malah kaku. Ketika mahluk itu menggeram lagi Zulham pun mengatupkan geraham, ekstra hati-hati.
"Kau dengar tidak Rudi?"
Zulham masih belum berani berpaling kearah pemilik suara, entah diarah mana Zulham tak perduli. Zulham tidak boleh lengah. Benar saja, mahluk itu mulai bergerak-gerak. Otot-otot pahanya yang kokoh tampak bergetar. Tas kecil di tangan Zulham digenggam kuat.Siap dipukulkan. Atau, dipakai melindungi pergelang-an tangan. Konon, bagian itulah yang paling pertama diserang. Atau justru leher.Tetapi mahluk itu sudah memutar tubuh besarnya. Lalu berjalan melintasi ruang tengah kearah sebuah pintu lainnya. Disana ia membalik lagi 180 derajat,memandang galak sejenak kearah Zulham. Baru kemudian rebah diatas keempat kakinya di lantai.Si perempuan tengah baya berkata disampingnya:
"Silahkan duduk, Tuan."
Zulham mengangkat sebelah kaki. Pelan saja. Namun cukup membuat terangkat sangat cepat. Matanya mengancam. Zulham menurunkan kakinya ke tempat semula."Kopi atau teh, Tuan?"
"...teh." Perempuan itu melintasi ruang tengah pula, berhenti sebentar di pintu lainnya. Mengawasi mahluk yang tidak mengalihkan perhatiannya dari Zulham. Siperempuan mengangkat pundak, kemudian menghi-lang dibalik pintu. Ada helaan nafas di ruang tengah itu. Lalu suara lunak tadi terdengar lagi:
"... Oh. Aku masih disini, Jalius. Maaf, barusan Rudi bertingkah agak tidak biasa. Sampai dimana kita tadi... Begini saja,Jalius. Urusan negosiasi itu kulimpahkan sepenuhnya padamu.... Tidak. Jangan hari ini. Besok saja kaumelapor ke kantorku. Satu jam setelah waktu makan siang... Ya, ya... Boleh juga. Dan Jalius, tolong beritahu Nadia untuk membereskan urusan dengan kantor pajak. Apa... toh. Aku merasa lebih sehat sekarang.Terimakasih, Jalius. Sampai besok siang!"
Terdengar bunyi gagang telepon berdetak lembut ditempat penyimpanannya. Helaan nafas lagi. Lantas suara langkah-langkah kaki mendatangi. Dan,muncullah dia di pintu. Seraut wajah yang selama beberapa hari belakangan ini seakan menyertai Zulham kemana pun Zulham pergi. Kalimat pertamanya untuk Zulham adalah:
"Astaga. Saya kira Anda sudah duduk dari tadi..."
Zulham mempelajari sekilas sosok tubuh yang berdiri didepannya. Lantas menyeringai. Tersipu-sipu.
"Dobberman Anda... saya lagi asyik mengaguminya!"
"Rudi! Itulah yang mengherankan. Entah mengapa...Eh, mari duduk!"
"Terima kasih."
Zulham menggerakkan kaki. Tidak ada reaksi apa-apa,kecuali dengusan pelan dari hidung sang mahluk.Zulham mengambil tempat disebuah kursi yang besar dan empuk. Langsung menyandar. Mengendurkan syaraf serta otot-ototnya yang tegang dari tadi. Si gadis melirik sebentar ke anjing ras yang masih mendekam dipintu lainnya. Dobberman itu melengking lemah,menurunkan kepalanya diatas kaki-kaki depannya.Seakan menyesal. Si gadis menggelengkan kepala.kemudian mengambil tempat duduk disebelah kiri Zulham.Dia tidak semungil yang kubayangkan, Zulham membathin. Mungkin benar dia baru sembuh dari sakit,tetapi dia tampak tidak lemah. Bukan type orang yang suka mencari perlindungan dibalik punggung orang lain. Barangkali Zulham telah keliru menilai gambaran Tenny Puspitasari yang hanya ia kenal melalui foto diselembar KTP saja.Gadis itu rupanya tahu dirinya sedang dinilai. Ia tersenyum samar-samar, lantas buru-buru mengingat-kan:
"Esih memberitahu saya bahwa Anda menyimpan sesuatu. Dan....".
Gadis itu berhenti sampai di situ. Ia telah melihat apa yang dari tadi dipegang tamunya. Zulham tersadar. Tas tangan wanita abu-abu itu ia letakkan diatas meja duduk. Dan ketika ia sodarkan kearah tuan rumah,gadis itu seketika mengejang ditempat duduknya.
"Agaknya, Anda langsung mengenali..."
Zulham menggumam.Suara ramah tadi berubah datar dan dingin:
"Dimana Anda menemukannya?"
"Sebaiknya diperiksa dulu, Nona. Apakah ini memang tas Anda. Apakah isinya..."
"Dimana?!" Zulham pun tersinggung. Ia paling tidak suka ditekan.
"Sebentar, Nona. Saya kira Anda tentu lebih tahu dimana Anda meninggalkan tas ini. Mengapa Anda meninggalkannya begitu saja disebuah tempat terasing.... saya sendiri pun ingin tahu. Banyak hal telah saya alami karenanya..."
Di pelupuk mata Zulham membayang kegelapan dan kesunyian di tengah hutan. Ada mobil tak bertuan...
tumpukan pakaian.... ular yang menakjubkan... mobil lainnya datang... kemudian membawa pergi ular itu...
bis tabrakan... gedung percetakan... tas koper Zulham rusak berat, dan...
Zulham mengeluarkan loket dari saku celananya.Kantong plastik bekas pembungkus foto, ia keluarkan dan diletakkan dekat tas. Sinar matahari pagi yang mengintip dari jendela, langsung memantulkan warna bening itu. Zulham mendengus tak sabar.
"Saya juga penasaran mengenai sesuatu yang ada kaitannya dengan butir-butir berlian ini!"
Ada langkah-langkah kaki mendekat.Esih muncul membawa minuman. Ia sudah akan meletakkan di meja, sewaktu ia melihat tas tangan warna abu-abu itu. Esih menegun. Wajahnya berubah pucat pasi. Bahkan suaranya bernada ketakutan:
"Oh.Bukankah..."
Esih kemudian menatap Zulham.Menatap dengan pandangan ngeri. Seakan yang dilihatnya adalah hantu seseorang yang sudah mati dilindas truk. Perempuan itu berjuang keras menguasai diri.Dan akhirnya mampu juga ia meletakkan cangkir-cangkir berisi minuman meski dengan tangan-tangan gemetar. Kemudian setelah melirik-lirik lagi ke tas tangan itu, ia memutar tubuh. Lantas berlalu tanpa menoleh-noleh lagi ke belakang. Langkahnya, jelas agak limbung.Seolah terpengaruh oleh kelakuan pelayannya, si gadis ikut-ikutan pula membayangkan kengerian di sinar matanya. Mata yang menatap tidak berkedip ke batumulia yang terus saja bersinar semakin gemerlap itu. Ia menggagap,
"... itu, tampaknya adalah..."
"Bagian dari sebuah kalung..."
Zulham memberitahu.Mulai bingung sendiri dengan situasi ganjil yang dihadapinya.
"Kalung! Dan tentunya milik... Tenny..."
Gadis itu mengerang.Tekanan suara tuan rumah ketika menyebut nama Tenny, seketika menyentak-nyentakkan pikiran Zulham. Ia pun terbawa latah.
"Anda..." "Rani... saudara kembar Tenny. Rani Pusparini..."
Gadis itu memberi tahu. Namun tampak seperti tidak menya-dari, bahwa ia tengah memperkenalkan diri. Pandang-an matanya nanar menatap ke tas tangan di depannya.Lurus ke kulit tas yang robek... dan robekan itu seperti tidak wajar. Tanpa berpaling dari robekan itu, ia berujar getir.
"Oh. Katakanlah segera... Jangan biarkan aku tersiksa berlama-lama. Katakan... bahwa firasatku benar. Kalung itu sudah..."
Setengah terpana Zulham menyahut tak sadar:
"Hilang!" Tubuh si gadis meliuk keras. Lalu mendadak tersandar lemas di kursinya. Menyangka gadis itu pingsan,Zulham bangkit. Ada suara geraman marah. Zulham tahu apa yang menggeram itu. Ekor matanya bahkan sempat menangkap bayangan sosok mahluk disana itu,serempak berdiri. Zulham mendekati si gadis.Menepuk-nepuk pundaknya dengan lembut.
"Nona? Nona Rani...."
Rani Pusparini membuka kelopak matanya.
"Aku baik-baik saja...."
Tetapi sudut-sudut matanya membasah.
"Ada yang dapat saya bantu?"
Zulham bertanya kuatir.Gadis itu menangkupkan wajah di kedua telapak tangannya yang tampak bergemetaran.
"Pergilah!" "Tetapi, Anda..."
Gadis itu mulai terisak. "Tolonglah. Tinggalkan aku sendirian!"
Zulham bimbang.Geraman tadi terdengar lagi, lebih keras. Zulham berpaling. Tampak mahluk disana itu melengkungkan tubuhnya yang besar. Sepasang matanya berkilat-kilat buas. Yang aneh, dia tidak terus menyerbu. Ia seperti memberi kesempatan pada Zulham, untuk memilih.Zulham pun tidak bimbang lagi.
"Oke, Oke. Aku akan pergi!"
Zulham sendiri tidak tahu kepada siapa ucapan itu ia tujukan. Pun ia tidak merasa perlu untuk bersikap hati-hati pada mahluk disana itu. Ia langsung berjalan kearah pintu depan. Tanpa sekali pun menoleh kebelakang, ia tiba dengan segera di mobilnya.Waktu mobilnya mendekati pintu gerbang, sosok lain muncul dari rimbunan mawar. Johan, dengan sebuah gunting besar di tangannya. Tubuhnya yang pendek tetapi luar biasa kekar, hanya berdiri mematung.Mengawasi kepergian Zulham.
"Bahkan sorot mata tukang kebun itu pun mengandung misteri!"
Zulham mengeluh.Ada suara klakson menyentak garang. Moncong sebuah truk besar tahu-tahu muncul di depan Zulham. Relleks,Zulham membanting setir. Begitu pula truk tadi. Truk itu menghantam sebuah pilar rendah. Tetapi Zulham lolos.Seseorang berteriak-teriak marah di belakangnya.Zulham malah tancap gas. Sudah terlalu banyak kesulitan dan keanehan yang ia hadapi. Zulham memang ingin memukul seseorang, tetapi bukan supir truk itu.
***

Misteri Anak Anak Iblis Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

BAB 16 Tiga hari sebelumnya, insiden kecil menimpa Rani Pusparini sewaktu menghadiri jamuan makan malam disebuah hotel berbintang lima. Selesai berdansa dengan seorang relasi, ia temukan tempat duduknya semula sudah diisi sosok tubuh seseorang. Tenny Puspasari. Sosok saudara kembarnya itu hadir dalam wujud transparan, tembus pandang.Tenny tidak berbicara apa-apa pada Rani, hanya airmatanya saja yang tampak menggenang. Tetapi dibalik genangan itu, tampak mata Tenny menuntut. Menuntut sebuah pembalasan dendam... setelah mana sosok transparan itu retak berkeping-keping. Kemudian lenyap menghilang... sepotong demi sepotong.Sebelum potongan terakhir menghilang, Rani sudah tidak ingat apa-apa lagi. Ketika matanya kemudian terbuka, Rani sudah terbaring diatas ranjang salah satu kamar di hotel tersebut. Ia ditunggui beberapa kenalan yang berwajah kuatir. Lalu seorang dokter berkata menghibur, namun dengan pernyataan menyakinkan:
"Tidak ada yang salah pada organ-organ tubuhmu. Kau hanya terlalu lelah..."
Istirahat total, itulah yang dilakukan Rani Pusparini.Dan ia baru saja pulih dari shock mengejutkan itu,ketika si pemuda datang menemuinya. Jelas kehadiran pemuda itu semata-semata karena itikad baik. Anak muda itu memperlihatkan sesuatu, lalu menjelaskan sesuatu yang lain. Tanpa menyadari bahwa apa yang ia perlihatkan dan ia jelaskan bukan saja mengingatkan Rani pada pukulan mengejutkan tiga hari sebelumnya.Anak muda itu bahkan menghadiahi Rani sebuah pukulan tambahan. Yang menyakitkan.Lantas semuanya berantakan. Terutama sekali apa yang sempat dilihat Rani Puparani dibalik sinar mata pemuda itu, pertamakali mereka beradu pandang. Apa yang dilihat Rani telah menambah semangat dan melecut gairahnya yang sempat padam. Ia yakini sepenuhnya pada apa yang telah ia buat. Karena Rani merasakan jantungnya langsung berdenyut-denyut pula.
Dan...Terdengar geraman lembut disamping tempat duduknya. Dengusan-dengusan nafas berat, lantas sesuatu yang lunak, basah, tetapi hangat menjilati pipi Rani. Ternyata Rudi, yang lidahnya disapukan dengan hati-hati. Mengeringkan air mata di wajah tuannya.Tangan Rani menggapai tengkuk mahluk besar itu.Mengusap-usap teratur, sebagai pengganti ucapan terimakasih. Sekaligus memberitahu Rudi, bahwa ia tidak perlu dicemaskan benar. Kepala doberman besar itu lantas mundur menjauhi wajah Rani. Kemudian duduk diatas dua kaki belakangnya yang kokoh, seraya melengking lemah. Sekali panjang lalu pendek-pendek.Rani akhirnya mampu tersenyum juga.
"Aku sudah tahu, Rudi. Setelah aku melihat ke mata anak muda itu.Kau pun tentu telah melihat dan membauinya, bukan? Lantas kau tak senang. Kau tahu anak muda itu... tidak beritikad jahat terhadapku. Namun kau... toh tidak menyukainya."
Rani Pusparani menatap lurus ke mata anjing ras itu. Senyuman bibirnya tampak menggoda.
"Mengaku sajalah, Rudi.
Diam-diam kau takut terhadapnya, bukan?"
Dengkingan hewan itu terdengar lagi.Pendek dan hanya satu kali. Setelah mana Rudi melonjorkan dua kaki depannya di lantai, lalu menaruh kepalanya di situ. Kelopak matanya dipejamkan pula,seakan bosan.Melihat kelakuan Rudi, senyum di bibir Rani Pusparini melebar lepas.
"Bagus. Aku merasa lebih gembira sekarang, Rudi. Lucu, bukan? Kau takut padanya,tanpa anak muda itu mengetahui. Begitu pula sebaliknya. Ah, ah... masih kuingat apa jawabannya sewaktu kutanyakan mengapa ia belum duduk. Asyik mengagumimu... inilah yang dia bilang!"
Rudi mendengus. Tak senang.Rani tidak mendengarkan. Perhatiannya telah beralih pada tas tangan warna abu-abu diatas meja duduk.Rani mengenal tas itu, memperhatikan sekilas robekan tak wajar pada kulit luar tas. Baru setelah itu isi tas dikeluarkan, kemudian jari-jemari Rani memilah-milahnya di permukaan meja. Selesai memeriksa, ia bergu-mam sendiri.
"Nah, semuanya ada disini. Kecuali satu.Yang harus selalu dibawa seseorang, kemana pun ia pergi..."
Ia merenungkannya sejenak lantas tersenyum gembira.Baru setelah melihat robekan tadi sekali lagi, kegembira-annya meredup hilang. Dengan sangat hati-hati Rani Pusparini mendekatkan telapak tangannya pada robekan tersebut. Disentuhkan pelan-pelan dengan kelopak mata dipejamkan, bibir pun kumat kamit tidak jelas.Seketika, tas tangan itu dijatuhkan Rani.Rudi mengangkat kepalanya. Lalu mendengus kuatir,sewaktu mata Rudi menangkap bayangan cemas diwajah tuannya. Memang hanya sedetik dua. Tetapi pandangan sekejap itu cukup untuk membuat Rani menghentikan sikapnya yang berpura-pura bosan.Rani menyandar di tempat duduknya.Berusaha keras menenangkan diri.
*** Di dapur rumah besar itu, lagi-lagi Esih keliru mengambil atau mengerjakan apa yang ia maksudkan,yang ini lebih parah dari sebelumnya.Benar ia telah meletakkan butir telur supaya terbuka.Benar pula telur mentah itu ia masuklah ke katel penggoreng yang menteganya sudah mulai panas.Tetapi Esih menjatuhkan ke katel itu selain telur, juga kulitnya sekalian. Dan ia baru menyadari setelah gorengannya siap dipindahkan ke piring.Andaikata Esih awas, tentulah Johan akan melempar-kan sarapan paginya langsung ke muka Esih.Esih mengeluh. Kompor gas ia padamkan, lalu duduk terhenyak di sebuah bangku, dengan wajah kusut dan pikiran kacau.
"... tidak mungkin!"
Ia berkeluh kesah sendirian.
"Tidak seorang pun yang tahu Tenny pergi kesana. Tenny pasti selamat...!Lagipula... bukankah ia didampingi calon suaminya yang begitu pemberani... Oh mungkin mereka tersasat.Lantas ada rampok..."
Esih terperanjat sendiri.
"Jangan.Jangan rampok. Barangkali hanya..."
"Esih!" ada panggilan sayup.
"Yang penting, mereka bukan terperangkap oleh..."
"Esih!" panggilan itu makin nyata.Esih terlompat dari bangku. Malah bangku itu sampai terguling jatuh. Esih mengabaikannya, lantas meninggalkan dapur sambil berusaha mengatur napas, supaya dirinya lebih tenang.la tidak melihat Rudi di tempat semula.Esih baru melihatnya setelah ia tiba di ruang depan.Rudi duduk di dekat kursi tuannya, dan tampak waspada. Dan jika mahluk itu tengah menguatirkan sesuatu, Esih senantiasa berusaha agar tidak terlalu dekat padanya. Esih lantas mendekat, setelah lebih dulu memutari kursi yang tadi diduduki tamu mereka.
Oh.oh. Jadi tamu itu sudah pergi, pikir Esih setelah ekormatanya pun tidak lagi melihat bayangan mobil minibus itu di halaman depan.Esih menunggu dengan tertib.Tampaknya sang majikan tidak melihat kehadirannya.Karena gadis itu tengah memandang kearah lain.Pandangan mata si gadis begitu jauh, menembus tembok, menembus alam lepas diluar sana. Alam lepas yang sulit ditentukan batas-batasnya yang pasti.Namun Rani mengetahui kehadiran Esih. Tanpa menoleh, ia berkata:
"Tolong dibenahi, Esih. Kemudian simpan di kamar Tenny..."
Mencuri sekilas pandang, Esih segera mengetahui maksud majikannya. Ia lantas berjongkok untuk membenahi meja. Esih melihat, tas tangan itu kini terbuka. Isinya berserakan, entah siapa yang menyerakkan. Bukan urusan Esih. Namun sewaktu tangannya menyentuh segepok uang kertas yang masih terikat pada label bank yang mengeluarkannya, sempat juga Esih membelalak.
Oh, oh. Andai ini punyanya sendiri...
"Oh ya, Esih. Uang itu masukkan ke amplop. Letakkan di mejaku!"
"Baik Non." "...budi baik orang patut kita hargai..."
Rani Pusparini terus berbicara. Entah pada Esih, entah pada dirinya sendiri. Tidak jelas.
".....tetapi apa yang telah kita berikan? Perlakuan yang tidak pantas... Bahkan ia belum sempat meminum tehnya!"
Teh di cangkir tamu memang masih utuh. Esih meng-geleng tak mengerti.
"Anak muda tadi, Esih. Sudah sepatutnya aku menya-takan penyesalan yang dalam..."
Sepasang mata Esih berkilat.
"Non Rani akan menemuinya lagi. Segera?"
Barulah setelah menangkap kegairahan tersembunyi didalam suara pelayannya, Rani menoleh. Memandang sejenak, ia kemudian tersenyum. Manis, walau kata-kata yang ia keluarkan agak pahit.
"Aku memahami perasaanmu pada Tenny, Esih. Terlepas dari kenyataan bahwa kau agak membedakan aku dengan saudara kembarku... aku tetap menghargai perasaanmu.Bersabarlah, Esih. Mungkin belum saatnya kau bisa mendengar lebih banyak tentang perihal Tenny..."
Esih terenyuh. "Non Rani..." "Bukankah kau yang menerima telepon anak muda itu pagi tadi, Esih?"
"Benar, Non." "Apakah ia memberitahu nomor teleponnya. Atau..."
Kilatan dibalik mata Esih meredup perlahan.
"Tadi Non tidak menanyakan...?"
Rani meneruskan lirih. "Jangankan alamat. Bahkan nama anak muda itu pun lupa kutanyakan!"
Kelopak mata Maharani memejam sejenak. Lalu kemudian membuka lagi, dan mata itu tampak bersinar ceria.
"Tak apa. Dia yang akan datang menemuiku..."
"Non... yakin?"
"Dia pasti datang, Esih. Karena... dia harus!"
Esih semakin tidak mengerti, namun perasaan itu ia simpan untuk dirinya sendiri.
"Non jadi berangkat?"
Seperti diingatkan pada sesuatu yang terlupakan, Rani Pusparani meluruskan duduknya. Semangat hidupnya seolah muncul dengan tiba-tiba saja.
"Aku tetap masuk kantor hari ini, Esih. Tetapi sebelum itu aku harus bersemadhi lebih dulu. Sekitar satu jam. Selama aku dikamar, aku tidak mau diganggu oleh panggilan telepon atau pun tamu. Beritahu itu pada Johan..."
"Saya, Non..." Rani Pusparani menunggu sampai pelayannya berlalu dari ruangan itu. Kemudian ia memandang lurus kemata Rudi yang juga tengah melihat kearahnya.Binatang itu rupanya memahami situasi. Instingnya yang peka telah bereaksi seketika.
"Kau tetap disana, Rudi. Tetapi bantulah aku!"
Rudi tidak mendengking. Pun tidak mendengus.Mereka sudah saling mengerti.Rudi hanya memandang kepergian majikannya dari ruangan itu. Sepasang matanya bersinar aneh. Rudi duduk tegak menunggu.Sementara itu Rani melintasi ruang tengah, kemudian masuk ke dalam kamar tidurnya, tanpa lupa mengunci pintu dari dalam. Ia menanggalkan pakaian resminya,untuk kemudian diganti dengan sehelai gaun terusan longgar. Tanpa lengan... dan tepi bawahannya hanya sebatas pertengahan paha. Ia lewati ranjang besar disebelah kirinya, sebuah ranjang besi model antik,berkelambu sekelilingnya. Kelambu warna merah jambu, sprei maupun sarung-sarung bantal juga merah jambu.Rani Pusparani berjalan ke meja rias.Rambutnya digerai lepas, bahkan kemudian diacak-acak. Lalu dari rak dibawah meja rias berlapis kacabening, ia rahup setumpuk cat bibir, kemudian bedak,krem pelapis dasar dan entah apa lagi. Yang pertama ia poles adalah bibir. Dengan polesan ungu. Setebal-tebalnya...
Sementara Esih meninggalkan pintu dapur untuk pergi menemui Johan di pekarangan depan, Rani Pusparinipun meninggalkan tempat duduknya di depan cermin.Wajahnya yang semula mulus cemerlang sungguh sukar dikenali sekarang. Karena wajah itu sudah dipenuhi polesan cat warna warni yang serba kontras.Begitu pula sebagian lengan dan batang pahanya.Dari sebuah meja sudut ia menyambar tempat lilin yang terbuat dari perunggu. Lilin dinyalakan, kemudian Rani Pusparini yang berdandan luar biasa mengherankan itu, berjalan ke sebuah pintu di sisi lain tembok kamar tidurnya. Ketika pintu dibuka, bukan kamar mandilah yang terlihat. Kamar mandi terletak disebelah berlawanan.Kamar di sebelah dalam pintu itu tidak seberapa lebar.Tidak pula berjendela, maupun ventilasi untuk keluar masuk angin. Dan begitu pintu ditutupkan kembali seketika kamar itu berubah gelap gulita dan hanya diterangi sinar lilin yang meliuk-liuk lemah... temaram,remang-remang.Cahaya yang sudah lemah itu toh masih juga tertelan oleh warna dinding-dinding maupun lantai yang merah pekat, semerah darah yang mulai membeku.Namun masih cukup untuk menerangi beberapa pasang mata yang melotot memperhatikan. Dari dinding-dinding tembok ruangan. Topeng-topeng besar berbagai rupa dan bentuk dengan mulut sama lebar,menyeringai. Kejam dan buas.Rani berjalan ke bagian tembok yang agak menjorok kedalam. Cahaya lilin seketika menerangi seperangkat instrumen musik yang serba lengkap. Rani lantas mengoperasikan instrumen itu yang seketika memancarkan sinar-sinar lampu listrik bervoltase lemah dari beberapa bagian instrumen.Setelah menekan tombol "on", jari jemari lentik berkuku lancip warna merah dadu, menyentuh lalu memutar tombol pengeras suara. Awalnya pelan dan lembut saja.Kemudian, alunan musik yang menakjubkan dalam tempo singkat telah memenuhi isi ruangan. Oleh sentakan panas dan liar dari nada-nada yang biasa terdengar di pedalaman benua hitam Afrika. Sosok tubuh Rani bergetar-getar. Topeng-topeng disepanjang dinding pun bergetar. Bahkan dinding tembok pun ikut pula bergetar. Rani Pusparini dengan hati-hati menyimpan tempat lilin di salah satu sudut. Nyala lilin lantas menerangi sebuah patung yang berdiri tegak,tidak tergoyahkan suara hingar bingar disekelilingnya.Patung itu berwarna hitam pekat namun berkilat-kilat karena tidak pernah lalai diminyaki. Patung itu sedikit lebih tinggi dari tubuh Rani, tetapi jauh lebih besar dan kekar. Tetapi sinar lilin yang lemah tak berdaya itu tidak mampu memperlihatkan apakah patung itu berbentuk manusia atau binatang, begitu pula dengan jenis kelaminnya.Sebentar kemudian Rani sudah berlutut di depan patung. Kedua lengan terangkat lurus ke atas, seakan ingin menggapai setinggi mungkin. Lalu dari mulut Rani Pusparini terdengar suara samar-samar diantara sentakan musik liar dan hingar.
"Maruta maruti... yang berjalan bersama angin dan hujan... Ooo, Durga Dewi yang menabur butir-butir darah di taman penuh cinta dan birahi. Dengar dan kabulkanlah permohonan hambamu yang hina dina ini..."
Tubuh atas Pusparini kemudian meliuk, lalu menyentak-nyentak ke kiri ke kanan, atau berputar,seirama dengan hentakan musik yang telah berganti keirama mistis, namun tidak kalah liar, khas musik puja puji di kuil-kuil tua di sebelah selatan India.Tarikan kecapinya melilit-lilit, hentakan gendangnya mendentum-dentum menggetarkan jantung.Di luar pintu kamar tertutup itu suasana tenang dan tenteram saja. Bahkan desir angin menyapu rimbunan pepohonan pun terdengar nyata. Rupanya kamar istimewa itu kedap suara. Tidak heran jika dipekarangan Esih ngobrol dengan Johan tanpa merasa terganggu.
"... aku tidak tahu kemana perginya Non Tenny, BiEsih,
" Johan sedang mengomel. "Tetapi jangan lantas kau berpikir aku tidak menguatirkan keselamatan diri Non..."
"Sayangnya, kau tidak berusaha menahan anak muda itu..."
"Aku tidak mengetahui maksud kehadirannya. Lagipula, apa hakku menahan dia?"
"Setidak-tidaknya..."
Pembicaraan mereka terhenti. Keduanya seketika sama berpaling ke arah rumah. Dari mana terdengar lolongan lirih namun bernada tinggi, menyayup sebentar kemudian muncul lagi dengan nada lebih tinggi.Yang melolong itu adalah Rudi.Masih tetap duduk di dua kaki belakangnya, sekujur tubuh mahluk itu tampak bergetar. Begitu pula kepala yang moncongnya lurus diarahkan ke langit-langit,tanpa sekalipun diturunkan. Otot-otot leher maupun tenggorokannya bergerak menyesuaikan diri dengan irama lolongannya. Lolongan yang juga disesuaikan dengan getar-getar irama yang tertangkap oleh indera pendengaran Rudi yang teramat peka. Yang mampu meraba, merasa, lantas menyatu dengan getaran-getaran yang hanya Rudi tahu, berasal dari balik kamar sempit dan kedap suara itu.Bertambah tinggi lolongan Rudi, bertambah liar pula liuk tubuh Rani Pusparini di kamar pemujaannya.Setiap liukan selalu menyentuh bagian-bagian tertentu di tubuh patung yang kini telah dirangkul gadis itu dengan kuat. Dari mulut Rani yang terengah-engah,sesekali terdengar ratap permohonan, kesedihan. Dan juga kemarahan.Sekali lagi, hanya Rudi yang tahu dan mendengar.Lolongannya semakin mendayu-dayu.Di pekarangan depan Esih bergidik tak senang.
"Bersemedhi katanya....!"
Johan angkat bahu. "Akan kututup pintu gerbang."
Lalu, Johan melangkah pergi.Esih puh kembali pula ke dapur. Di sana, ia sempat merinding. Berpikir, hawa sekitar begitu dinginnya,suasana pun betapa sunyi sepi. Esih duduk diam-diam di bangku. Tak berani bergerak. Seperti takut, gerakan sekecil apa pun pasti menimbulkan suara yang akan membuat dirinya melompat terkejut.Jika saja Esih tahu bunyi berkecak-kecak di salah satu ruangan rumah besar itu...
Dan, tubuh Maharani yang bergoyang mengikuti hentakan musik Bali yang membuat suasana di kamar sempit itu tambah dirasuki bau magis. Yang semakin menggiris oleh rintihan Rani Pusparini yang terputus-putus, disusul jeritan-jeritan lengking dan menyentak-nyentak, sampai akhirnya sekujur tubuh gadis itu menggelepar. Lalu pelan-pelan meluncur turun, dalam liukan mempesona.Kemudian rebah di lantai yang basah oleh butir-butir keringat.Mengejang sebentar. Tersengal-sengal mengutarakan ratapan jiwanya:
".....aku mendengar, Durga Dewi!Aku mendengar.....!"
Di dekat kaki patung, lilin pun meliuk pelan. Lalu padam. Dan di ruang depan, suara lolongan Rudi melemah, kemudian hilang. Kepalanya turun,direbahkan perlahan-lahan diatas kaki-kaki depannya.Nafas mahluk itu memburu. Dan sepasang matanya tampak kemerah-merahan. Mata yang kemudian meredup dan terus meredup.Di kamar tidur Rani Pusparini terdengar bunyi pintu dibuka lalu ditutupkan. Rudi menutupkan kelopak matanya. Malas. Tetapi pendengarannya yang peka membuat telinga Rudi terangkat tegak. Agaknya menunggu, siapa tahu ada perintah untuknya.Ternyata bukan untuk Rudi. Karena yang terdengar berikutnya dari kamar tidur tuannya adalah bunyi dial telepon diputar, lalu suara Rani yang lelah namun tegas
"kita.... harus berkumpul. Di tempatku. Beritahu yang lain..." sepi sejenak. Lalu.
"Benar. Bahkan dia sudah melangkah terlalu jauh. Dan sudah waktunya dia kita hentikan..."
Sepi lagi. Baru setelahnya terdengar suara membujuk.
"Jangan dulu patah semangat. Situasinya kali ini berbeda. Ada petunjuk. Kali ini kita tidak akan dan tidak boleh kuulangi, tidak boleh gagal lagi. Atau kita yang akan dihancurkannya!"
Di tempatnya rebah tubuh besar Rudi menyentak.Sepasang matanya bersinar-sinar merah. Dan, marah Rudi menggeram pelan, tetapi kejam. Kepalanya kemudian rebah, dengan kelopak mata mengatup.Satu menit berikutnya Rudi sudah tertidur pulas.
(tambahan dari editor : waduh... ceritanya masih mengambang kok udah tamat ya? mungkinkah ada session 2 lanjutannya? )
Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1394177657302863
dan Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel
http://cerita-silat-novel.blogspot.com
Sampai jumpa di lain kisah ya !!!
Situbondo,28 Agustus 2018
Terimakasih TAMAT Langit Runtuh 1 Azab Dan Sengsara Karya Merari Siregar The Fantasy Area 1
^