Pencarian

Pendekar Banci 4

Pendekar Banci Karya Sd Liong Bagian 4


Cin Hong Ing tertegun. Sejenak kemudian ia berkata : "Selama ini aku tak tahu apakah aku masih mempunyai sanak keluarga atau tidak. Mungkin nona itu hanya kebetulan mirip dengan wajahku."
"Kalau begitu, tak usah mempedulikannya lagi, hayo kita pergi!" seru Hian-li Lim Sam Kho seraya terus menarik tangan Cin Hong Ing terus diajak loncat keluar.
Pada lain kejab suhu dan murid itupun sudah lenyap dalam kegelapan malam.
Beberapa rumah penginapan dalam kota milik seorang saja. Maka bangunan dan kamarnya hampir sama semua. Secara kebetulan, kamar yang dipakai Cin Hong Ing itu kamar bertanda huruf ?UI?
Dupa Bi-hun-hiang dari Hian-li Lim Sam Kho itu mempunyai riwayat. Ketika Hian-li Lim Sam Kho sedang pesiar ke sungai Hok-jun-kiang, tanpa sengaja ia mendapatkan sebuah kitab kecil yang sudah tak lengkap. Isinya hanya tinggal tiga lembar. Tetapi diluar dugaan, pada tiga lembar halaman itu tercantum resep rahasia dari bermacam-macam obat bius. Dari resep itulah Lim Sam Kho membuat dupa pembius Bi-hun-hiang. Betapapun sakti kepandaian orang itu tetapi apabila disembur dengan asap dupa Bi-hun-hiang, dia pasti akan rubuh tak sadarkan diri. Tetapi setelah sadar, itupun tak menderita luka apa-apa.
Sudah tentu Ui Hong Ing tak tahu malam itu kalau ia terkena asap Bi-hun-hiang. Ketika terjaga dan membuka mata ternyata matahari sudah sepenggalah tingginya. Diapun tak menyadari bahwa kamarnya sudah pindah. Itulah sebabnya ia terus keluar lalu bertanya kepada jongos tentang Tan kongcu atau Tan Su Ciau.
Sudah tentu jongos gelagapan, karena semalam waktu Cin Hong Ing datang, hanya seorang diri saja. Mengapa sekarang nona itu (Ui Hong Ing yang disangka si jongos sebagai Cin Hong Ing) ngotot mengatakan bahwa ia datang bersama seorang pemuda.
Mendengar ribut-ribut, pengurus hotelpun datang, setelah mendengar persoalannya, iapun membenarkan keterangan jongos. Bahwa nona itu (Ui Hong Ing) memang hanya datang seorang diri. Karena kewalahan, dengan marah-marah Ui Hong Ingpun segera tinggalkan rumah penginapan itu terus menuju ke gunung Ke-tiok-san.
Sekarang mari kita ikuti lagi perjalanan Cong Tik. Ternyata setelah meloloskan diri dari kejaran Hian-li Lim Sam Kho, pemuda itupun juga menuju ke gunung Ke-tiok-san.
Jarak antara Ui Hong Ing dengan Cong Tik hanya terpaut tiga-empat puluh li. Tetapi karena arahnya sama, merekapun tak berjumpa.
Ketika tiba di lembah Kupu-kupu, Cong Tik bertemu dengan Lu Kong Cu. Mereka terus bertempur.
Walaupun sebagai ketua dari partai Naga, tetapi kepandaian Lu Kong Cu ternyata kalah tinggi dengan Cong Tik. Tiga-empatpuluh jurus kemudian, Lu Kong Cu sudah terdesak.
Karena kalah, Lu Kong Cu terus bersuit nyaring dan sesaat kemudian muncullah Thiat-koan-im Li Wan.
"Perintah apakah yang ciangbujin hendak berikan kepadaku ?" seru wanita itu.
Pada saat Lu Kong Cu sedang membagi perhatian kepada Thiat-koan-im Li Wan, Cong Tik lancarkan serangan gencar. Tiga jurus kemudian Lu Kong Cu hampir celaka.
"Lekas ringkus bangsat ini !" teriaknya gopoh kepada Thiat-koan-im Li Wan.
Wanita tua itu mengiakan dan sekali ayun tali yang dipegangnya maka sebuah gelombang tenaga dahsyat segera melanda ke kaki Cong Tik. Dalam kesempatan itu Lu Kong Cupun loncat menghindar keluar gelanggang.
Cong Tik mengira kalau wanita tua yang memanggil Lu Kong Cu dengan sebutan 'ciangbujin? (ketua), hanya salah seorang bawahan Lu Kong Cu. Maka diapun tak memandang mata kepada wanita tua itu.
Memang Cong Tik tahu tentang peraturan partai Naga. Ketua partai mendapat kehormatan yang paling tinggi. Tak peduli salah seorang anak buah atau orang sebawahannya memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi tapi ia harus menghormat dan taat pada ketua. Demikian pula berlaku pada tokoh-tokoh yang lebih tua angkatannya dari ketuapun demikian juga.
Apalagi ketika Cong Tik melihat bahwa senjata dari wanita tua itu hanya seutas tali kasar, dia makin memandang rendah. Pada waktu tali menyambar, tepat ia loncat ke atas. Ia yakin tentu dapat terhindar.
Diluar dugaan Thiat-koan-im Li Wan itu lebih sakti beberapa tingkat dari Lu Kong Cu. Begitu Cong Tik loncat keatas, Thiat-koan-im Li Wan pun hentakkan tangannya dan tali yang sebesar lengan anak itupun bergeliat ke atas seperti seekor ular.
Cong Tik rasakah telapak kakinya tersambar angin, belum sempat ia menghindar, tahu-tahu betisnya terasa kesemutan dan bluk .... jatuhlah ia ... terbanting ke tanah.
Saat itu baru Cong Tik menyadari kesaktian wanita tua tetapi sudah terlambat. Tampak wanita tua itu ayun tubuhnya, hentakkan tangan dan tali mengencang lurus ke muka untuk menutuk jalan darah Cong Tik. Pemuda itupun menyerah.
Setelah berhasil meringkus Cong Tik, Lu Kong Cu segera menanyakan tentang mutiara-mutiara yang menghias pelana kuda. Dengan cerdik Cong Tik memberi keterangan bahwa mutiara-mutiara itu sudah jatuh ke tangan Raja-binatang Siang Bong. Bahkan ia menambahkan bahwa ia sendiri juga tak tahu apa gunanya mutiara-mutiara itu.
Sudah tentu Lu Kong Cu tak mau percaya tetapi Cong Tik tetap menyangkal keras. Bahwa pelana kuda itu tak berada padanya.
Karena tak berhasil mendapat keterangan, Lu Kong Cu marah. Ketika ia hendak bertindak maka Ui Hong Ingpun muncul.
Hong Ing tak tahu kalau Cong Tik sudah jatuh ke tangan Lu Kong Cu. Karena kalah bertempur dengan Lu Kong Cu, akhirnya Hong Ing mengatur siasat, mengatakan kalau pelana bertabur mutiara itu memang dia sembunyikan di bawah kaki gunung Tay-pat-san.
Tetapi Lu Lu Kong Cu bukan orang bodoh. Ia tahu bahwa salah seorang dari kedua pemuda itu tentu bohong. Maka ditangkapnya Hong Ing dan dipadunya dengan Cong Tik. Hong Ing berkeras pada keterangannya. Ia hendak menolong Cong Tik supaya jangan dibunuh Lu Kong Cu.
Dalam pembicaraan berdua dengan Cong Tik, dengan terus terang Hong Ing menerangkan tentang ketiga butir mutiara yang diambilnya itu. Ketiga mutiara itu berbunyi Ceng-bi-san, sebuah gunung.
Sudah tentu Cong Tik girang bukan kepalang. Bartahun-tahun dia tinggal di kuil Ko - liong - si ditepi telaga Jelah, propinsi Su-jwan. Dia faham sekali akan keadaan gunung dan tanah daerah itu. Iapun tahu bahwa gunung Cek-bi-san itu terletak di sebelah barat dari gunung Go-bi-san, lebih kurang dua ratusan li jauhnya.
Telah berulang kali disebut, Cong Tik itu seorang pemuda yang berparas cakap, tetapi hatinya buruk dan jahat. Jika Hong Ing berusaha untuk menolongnya dan memberi tahu tentang huruf pada ketiga butir mutiara kepadanya, adalah Cong Tik tidak menghiraukan keselamatan Hong Ing lagi. Pikirnya, hanya dua ratus li saja ia sudah dapat mencapai gunung Cek-bi-san dan mencari pusaka yang terpendam dalam guha di gunung itu. Biarlah Hong Ing dibawa Lu Kong Cu ke gunung Tay-pat-san sedang dia sendiri akan merencanakan untuk melarikan diri.
Tetapi diluar dugaan Lu Kong Cu ternyata juga manusia licin. Kuatir kalau Cong Tik secara bersembunyi akan mengikutinya maka ia segera minta kepada Thiat-koan-im Li Wan supaya 'membuang' pemuda itu ke daerah yang jauh.
Setelah Thiat-koan-im Li Wan mengawal Cong Tik, barulah secara berturut-turut sepasang manusia kate Lo Thian dan Lo Te datang, disusul pula dengan Ciok Liu Seng dan lain-lain.
Demikian asal mula dari peristiwa-peristiwa yang telah diceritakan pada jilid-jilid yang lalu. Mudah-mudahan sekarang pembaca sudah jelas dan tidak bingung lagi atas jalannya cerita yang memang agak berliku-liku ini.
Sekarang mari kita ikuti perjalanan Cong Tik yang dikawal Thiat-koan-im Li Wan.
-o0^DW^Agus Ekanto^0o- Saat itu Cong Tik sudah memiliki pengetahuan tentang huruf-huruf yang terukir pada mutiara dengan lengkap. Tetapi ia mendongkol dan geram karena tak dapat menuju ke gunung Cek-bi-san. Terpaksa ia menahan keinginannya.
Selama dalam perjalanan Thiat-koan-im Li Wan tak mau bicara sepatahpun kepadanya. Dia memaksa Cong Tik terus berjalan sehingga mencapai empat limapuluh li.
Selama itu Cong Tik mengasah otaknya untuk mencari siasat meloloskan diri. Tetapi benar-benar ia tak berdaya menghadapi wanita sakti yang tak mau bicara itu. Beberapa saat kemudian baru ia menyadari mengapa ia harus sebodoh itu.
"Li locianpwe", mulailah ia membuka mulut, "sebenarnya hendak kemanakah locianpwe akan membawa diriku ini ?"
Thiat-koan-im Li Wan menyahut dingin, "Makin jauh makin baik, ke tempat yang tak pernah dijelajah manusia."
Cong Tik tertawa. "Ada sebuah tempat" serunya "yang benar-benar tak pernah diinjak kaki manusia."
Sebenarnya Thiat-koan-im Li Wanpun belum mempunyai rencana tentang tempat pembuangan itu. Lu Kong Cu hanya suruh membuang pemuda itu jauh-jauh tetapi tak menyebutkan nama tempatnya.
"Dimana ?" seru wanita tua itu.
Melihat umpannya sudah mulai termakan, Cong Tik tertawa : "Lebih kurang duaratus li sebelah barat gunung Go-bi-san terdapat sebuah gunung Cek-bi-san. Gunung itu sebuah daerah belantara yang tak pernah dijelajah manusia".
"O, kalau begitu engkau kulempar kesana saja" seru Thiat-koan-im Li Wan.
Mendapat durian runtuh, demikian kegembiraan hati Cong Tik saat itu. Tetapi ia berusaha untuk menekan perasaannya bahkan malah pura-pura sedih.
"Li locianpwe." serunya, dengan nada beriba "Aku tak mempunyai kesalahan apa-apa terhadap locianpwe. Mengapa locianpwe hendak membuang aku ke daerah yang menyeramkan itu ?"
Thiat-koan-im Li Wan seorang wanita yang berhati kaku dan tak mengerti kelicinan lidah Cong Tik.
"Jangan banyak bicara !" bentaknya, "ayo, lekas-jalan lagi"
Thiat-koan im Li Wan belok ke barat laut menuju ke gunung Cek-bi-san. Sudah tentu Cong Tik bersorak dalam hati. Ia yakin begitu tiba di Cek-bi-san, Thiat-koan-im Li Wan tentu segera kembali ke lembah Kupu-kupu lagi. Dengan begitu dapat dipastikan, ia tentu akan memperoleh pusaka yang tercantum pada mutiara-mutiara pelana kuda itu. Tak tahu apakah pusaka itu, entah berupa harta karun ataukah kitab atau senjata pusaka, pokoknya dia tentu akan mendapatkannya.
Tetapi Cong Tik tetap bermain sandiwara. Selama dalam perjalanan tak henti-hetinya ia meratap belas kasihan agar wanita tua itu jangan membawanya ke gunung Cek-bi-san. Tetapi makin mendengar ratapan Cong Tik, makin bengis Thiat- koan-im Li Wan menolak dan tetap akan membawanya ke gunung tersebut.
Memang Cong Tik cerdik tetapi licin. Ia cepat dapat mempelajari sifat-sifat Thiat-koan-im Li Wan yang keras tetapi bodoh. Demikianlah dengan akal bulus yang licin, Cong Tik dapat memaksa Thiat-koan-im Li Wan mengantarkan ke gunung Cek-bi-san.
-o0^DW^Agus Ekanto^0o- Sekarang kita tinggalkan dulu perjalanan mereka dan marilah kita mengikuti kisah Ui Hong Ing lagi.
Setelah terlepas dari bahaya maut katak manusia, Ui Hong Ing hendak menghaturkan terima kasih tetapi penolongnya itu sudah melesat pergi.
Hong Ing benar-benar tertegun. Diam-diam ia merasa bersyukur karena telah terlepas dari katak manusia, jika tak ditolong oleh orang aneh yang tak mau ngunjukkan diri itu, jelas ia tentu sudah mati digigit katak manusia.
Makin merenungkan hal itu makin ngerilah Hong Ing. Seorang tokoh berilmu tinggi macam Ciok Liu Sengpun harus mati menghadapi katak manusia. Apalagi dia. Untung sepasang manusia kate Lo Thian dan Lo Te keburu melarikan diri. Kalau tidak mereka tentu juga mampus.
Tetapi siapakah sesungguhnya penolong itu? Mengapa dia tak mau unjuk diri? Ah, ia sungguh menyesal dan kecewa karena dengan tak dapat ngetahui siapa penolongnya itu, kelak dia tentu tak dapat membalas budi.
Tetapi karena orang itu sudah pergi, iapun tak dapat berbuat apa-apa. Saat itu malam terang dan hening. Sambil mencekal pedang Thian-liong-kiam, Hong Ing sejenak memandang ke sekeliling. Melihat beberapa sosok mayat terkapar di tanah, ia merasa tak enak hati. Segera ia ayunkan langkah akan pulang ke guha Siau-yau-tong.
-o0^DW^Agus Ekanto^0o- Manusia dalam peti. Keesokan harinya, Ui Hong Ing rasakan daya khasiat pil Jit-hoan leng-tan dalam tubuhnya sudah hampir habis. Ia rasakan badannya senyeri pada waktu dihantam batu oleh Ciok Liu Seng tempo hari. Maka ia tak dapat berjalan cepat. Semalam itu ia hanya dapat melintasi sebuah puncak gunung kecil. Bahkan ketika dipuncak gunung terpaksa berhenti, karena kepalanya pening, berkunang-kunang.
"Uh.. akhirnya ia tak dapat mempertahankan kaki dan tergelincir ke bawah. Untung lereng gunung itu merupakan padang rumput dan semak-semak pohon kecil. Tiba di kaki gunung ia tak sampai menderita luka yang berarti. Setelah menghela napas, iapun menggeliat bangun. Ia gunakan pedang sebagai tongkat untuk menopang tubuhnya dikala berjalan.
Ia paksakan langkah kakinya. Tetapi baru setengah li, matanya makin gelap, hawa murni dalam tubuhnya terasa meluap dan mulutnya haus sekali.
Pada saat ia sudah hampir tak kuat lagi, tiba-tiba ia melihat cahaya air berkilau dari sebuah parit kecil.
Hong Ing telah menyadari bahwa kali ini ia tentu mati. Menengadahkan muka ia merasa langit seperti turun kebawah menekan kepalanya. Sekeliling tempat itu, tak tampak barang seorang manusiapun juga.
Ia menghela napas panjang. "Jika mati, biarlah air parit itu menjadi bekal pengisi perutku" katanya dalam hati seraya terus menghampiri parit dan membungkukkan tubuh lalu merebahkan kepala untuk meneguk air parit. Setelah beberapa tegukan, ia rasakan kepalanya agak terang, pandang matanyapun lebih jelas.
Mengangkat kepala dan memandang ke hulu parit, serasa terbanglah semangatnya.
Parit itu berasal dari sebuah telaga. Dan telaga itu airnya dari tiga aliran air terjun yang mencurah ke bawah. Di mulut telaga yang mengalirkan air ke parit itu, tampak seekor binatang yang besar dan bulat tengah bergeliatan. Ketika memandang dengan seksama, barulah Hong Ing tahu jelas bahwa benda itu bukan lain adalah sebuah liang yang menjadi sarang ular beracun. Beberapa ekor ular tengah melingkar-lingkar saling melilit. Sungguh menyeramkan sekali. Karena sarang ular beracun itu berada dalam telaga, jelas air telaga itu tentu mengandung racun.
Bermula Hong Ing masih mengandung harapan, betapa ganaspun racun yang menyerang tubuhnya, tetapi begitu tiba di guha Siau-yau-tong suhunya tentu mampu mengobati. Dia masih mempunyai harapan hidup. Tetapi saat itu harapannya ludas semua. Tak mungkin ia dapat mencapai guha Siau-yau-tong lagi. Dan dia tentu akan mati di tengah jalan.
Walaupun dia seorang muda yang periang tetapi pada saat-saat menghadapi kematian 'di mana dia akan berpisah dengan dunia dan manusianya, mau tak mau hatinya rawan juga. Ia merasa belum lama hidup di dunia. Saat itu sedang dalam masa remaja dan dia harus dipaksa pergi meninggalkan dunia. Mau tak mau hatinya sedih dan kerongkongannyapun terasa tersekat. Ia menangis.
Tengah ia mengucurkan air mata, tiba-tiba permukaan telaga itu mengembang dua buah gelembung air. Dan ketika gelembung air itu pecah maka tampaklah sebuah peti berbentuk segi-empat mengapung di permukaan telaga.
Jika di permukaan telaga muncul sebuah peti, itu mungkin tak mengherankan. Tetapi anehnya begitu muncul peti itu dapat melambung ke atas dan meluncur jatuh ke samping Hong Ing ...
Sudah tentu Hong Ing terkejut sekali. Pikirnya, mengapa dalam menghadapi saat kematian, ia masih harus disiksa untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang aneh. Adakah Tuhan memang hendak menghukum dia ?
Melirik kearah peti itu, Hong-Ing tak melihat sesuatu yang aneh. Peti itu sebuah peti biasa.
Karena terkejut, iapun berhenti menangis. Dan lebih terkejut lagi ia, ketika saat itu dari dalam peti terdengar suara orang memaki-maki :
"Hai, siapa yang menangis itu ? Kurangajar, mengganggu latihanku saja!" ,
Mendengar peti itu berisi orang, Hong Ing makin terperanjat. la terus merangkak beberapa langkah dari peti itu tetapi matanya tetap melekat ke peti itu.
Iapun tak berani bersuara sampai beberapa saat.
Tiba-tiba orang dalam peti itu bersuara lagi :
"Tadi jelas kudengar suara orang menangis. Kalau bukan orang yang belajar silat tentu tak mungkin datang ke tempat yang begini sunyi. Walaupun berada dalam peti, tetapi apa yang kudengar tadi tentu tak salah. Jika mau menolong mengeluarkan aku dari peti ini, kedua belah fihak tentu akan mendapat keuntungan. Tetapi jika tak menghiraukan, kita berdua tentu sama menderita. Sukalah mempertimbangkan omonganku ini."
Walaupun nadanya jauh lebih ramah dari tadi, tetapi jelas nadanya masih mengunjuk kecongkakan diri. Walaupun jelas orang itu tak mampu keluar dari peti tetapi dia masih unjuk kegarangan terhadap orang.
Sebenarnya Hong Ing tak puas dengan omongan orang itu. Dia anggap lebih baik pergi saja tak usah menghiraukan. Tetapi mengingat bahwa dirinya tak lama bakal mati, sebelum mati berbuat kebaikan menolong orang, rasanya juga suatu perbuatan yang baik.
"Siapakah engkau ?" akhirnya ia berseru.
Tetapi baru Hong Ing mengucap teguran itu tiba-tiba peti itupun sudah melenting dan melayang ke arah Hong Ing.
Peti itu terbuat daripada besi, tingginya hampir satu setengah meter. Melayang di udara dan meluncur turun, sudah tentu dahsyat sekali. Bahkan tak kalah dahsyatnya dengan senjata batu besar dari Ciok Liu Seng.
Hong Ing terkejut dan bergelundungan sampai setombak lebih jauhnya. Kemudian ia memutar pedang Thian-liong-kiam dan menerjang maju. Cret, begitu terbabat, ujung peti itupun rompal. Petipun jatuh ke tanah dengan menimbulkan suara bergemerincingan yang amat keras.
"Bagus!" teriak orang dalam peti itu. Dan serentak dengan itu dari ujung peti yang rompal menyembul keluar sebuah kepala manusia, jambutnya panjang dan morat marit menutupi mukanya. Dan warna rambutnya itupun bukan hitam melainkan kuning emas. Sepintas pandang manusia itu menyerupai binatang buas.
Setelah muncul di luar, orang itu mengebas-ngebaskan kepalanya sehingga rambutnya tersiak dan tampaklah wajahnya. Ah, seorang tua yang berwajah aneh. Hidungnya besar, mulut lebar. Raut mukanya menyeramkan.
Orang tua aneh itu memandang pedang Thian- liong-kiam yang masih dicekal Hong Ing dengan mata berkilat-kilat. Kemudian menengadahkan kepala dan tertawa keras. Pelahan - lahan orang itu tadi menyembul ke atas sehingga separoh dari tubuh saat itu sudah keluar dari lubang peti yang amat sempit. Padahal lubang itu hanya cukup untuk dimasuki sebuah kepala orang. Jelas bahwa orang tua aneh itu tentu menggunakan ilmu Sut-kin-ih-kut-hwat atau ilmu Menyurutkan tulang. Suatu ilmu lwekang yang bertaraf tinggi.
Begitu badannya menyambut keluar, kedua tangan orang tua aneh itupun tampak juga, kurus dan panjang seperti bambu. Jari-jarinya runcing macam cakar dan kukunyapun panjang sekali. Dengan jari-jari yang berkuku panjang itu, tak henti-hentinya ia menutuk peti sehingga menimbul bunyi berdenting-denting. Bermula pelahan tetapi lama-lama agak cepat tetapi berirama.
Beberapa saat kemudian, ia pun menyanyi:
Tujuh tahun lamanya disimpan dalam peti besi
Kini aku bebas, gembira sekali. Ting, ting, ting ,... ting, ting, ting....
"Nona, sekarang aku tak perlu lagi mengintip langit dari dalam peti. Tak perlu pula harus berbenam dalam dasar telaga mencari makanan dari ikan-ikan kecil. Engkau ikut bergembira untuk kebebasanku atau tidak ?" serunya.
Hong Ing terkejut. Nada suara orang itu bergema seperti memenuhi udara, menusuk telinga. Tetapi demi melihat air mukanya jelas kalau orang itu bergembira sekali.
Diam-diam Hong Ing menimang. Menilik dari nyanyiannya tadi, orang tua aneh itu telah dimasukkan dalam peti selama tujuh tahun. Dia mengandalkan lubang kecil pada peti itu untuk menghisap udara dan mencari ikan kecil sebagai makanan.
Tetapi ternyata orang tua aneh itu dapat menyurutkan tulang-tulang tubuhnya hingga tak sampai menderita apa-apa dalam peti yang sekecil itu. Pun dia masih dapat loncat dan bergerak dengan lincah. Dapat dibayangkan betapa saktinya orang itu.
Tetapi bagi Hong Ing, dia tak peduli siapa orang itu, bagaimana sakti kepandaiannya. Diakan sudah akan mati. Lukanya kambuh dan sekarang ia bahkan minum air yang terendam ular berbisa. Apa gunanya ia harus memperhatikan orang itu?
"Ya, ya, aku ikut gembira." sahutnya acuh tak acuh.
Orang tua aneh itu tertawa gelak-gelak. Sret tiba-tiba tubuh orang itu menerobos keluar dari peti besi. Trang.... terdengar bunyi gemerontang keras. Kiranya kakinya masih terikat dengan rantai besi.
Begitu loncat keluar, barulah Hong Ing dapat melihat perwujudan dari orang itu.
Kepalanya kecil tetapi lengannya panjang dan kakinya pendek. Begitu lengan dijulaikan kebawah, dapat mencapai betis bawah. Pakaiannyapun aneh. Sebelah kanan segumpal kain, sebelah kiri berlubang secarik. Rompang ramping dan penuh berlumuran pakis hijau.
Melibat itu timbullah keheranan Hong Ing. Ingin ia menanyakan bagaimanakah orang itu dapat hidup dalam peti yang dimasukkan ke dasar telaga selama tujuh tahun itu.
Tetapi baru ia hendak membuka mulut, orang aneh itupun sudah berteriak:
"Budak perempuan, lekas berikan Pedang Thian-liong-kiam ditanganmu itu kepadaku!"
Hong Ing agak terkesiap ketika mendengar orang tua aneh itu dapat menyebutkan nama pedang pusaka ditangannya.
"Hendak engkau gunakan apa pedang ini?" serunya.
Sekonyong-konyong orang aneh itu marah. Sret.... tiba-tiba ia hentakkan rambutnya yang panjang dan kusut masai.
"Kalau engkau tak mau memberikan, apakah aku tak bisa mengambil sendiri ?" teriaknya marah.
Bersama dengan peti besi ia terus maju menerkam. Karena masih menderita luka, Hong Ing tak mau menghindar. Siku lengannya terasa mengencang. Jari-jari tangan orang itupun serentak menjulur lurus ke muka, mencengkeram tangkai pedang. Secepat kilat ia lepaskan tangannya dan pedang Thian-liong-kiampun sudah pindah dari tangan Hong Ing ke tangan orang tua aneh itu.
Tring, cepat pedang itu ditabaskan ke rantai kakinya. Rantaipun putus seketika. Sambil mengacungkan pedang Thian-liong-kiam, orang tua aneh itu tertawa gelak :
"Pertapa bangsat, pertapa bangsat, tujuh tahun menyiksa diriku, sekarang masakan aku tak dapat melakukan pembalasan ?"
Melihat gerak gerik orang tua itu sedemikian buasnya diam-diam Hong Ing menyesal mengapa tadi ia telah menolong orang itu. Kalau tadi ia diam saja, tentulah orang aneh itu tak mengetahui ia berada di mana. Sekarang dia sudah keluar dari peti besi dan bahkan merebut pedang pusaka Thian-liong-kiam. Sedang ia sendiri masih terluka, apalagi telah minum air beracun. Apa dayanya lagi kecuali hanya memandang orang itu.
Orang tua aneh itu gembira sekali. Dia menari-nari dan melonjak-lonjak seperti anak kecil. Sekali melonjak tubuhnya melayang sampai tiga empat tombak tingginya. Sungguh seorang tokoh yang memiliki ilmu gin-kang luar biasa sekali.
Setelah berloncatan beberapa saat, kembali ia memaki-maki :
"Pertapa bangsat, kalau tak dapat kuratakan guha Siau-yau-tong dengan tanah, hatiku tak puas!
Dua kali mulut orang itu memaki 'pertapa bangsat' sebenarnya ia tak peduli. Tapi demi mendengar orang itu hendak meratakan guha Siau-yau-tong, kejut Hong Ing bukan alang kepalang.
"Hai, siapakah yang engkau maki itu?"
"Siau Yau cinjin dari guha Siau-yau-tong, gunung ke-tiok-san!" sahut orang itu.
Hong Ing terkejut. Tetapi serentak iapun marah. Yang dimaki orang itu bukan lain adalah suhunya. Saat itu ia hendak menerjang tetapi pada lain kejab ia teringat bahwa dirinya masih menderita luka sedang orang itu terlampau sakti.
"Hm, lebih baik kuajaknya ke guha Siau-yau-tong supaya dihajar suhu" diam-diam ia menimang.
"Suhu, maafkan aku" katanya, kemudian ia menegur orang itu. "sahabat, engkau mempunyai permusuhan apa dengan pertapa bangsat itu ?"
Diam-diam Hong Ing telah menimang. Jelas ia meminum air beracun tetapi mengapa sampai saat itu ia tak mati. Ah, kemungkinan masih ada harapan hidup. Orang aneh itu hebat sekali ginkangnya. Dalam waktu, singkat tentu dapat mencapai guha Siau-yau-tong. Kalau ia dapat menggunakan siasat sehingga orang aneh itu mau membawanya ke guha Siau-yau-tong, tentulah suhunya cepat dapat memberi pertolongan kepadanya.
Orang aneh itu terkesiap, serunya: "Apa pedulimu?"
Dalam hati diam-diam Hong Ing meminta ampun kepada suhunya : "Suhu, maafkan murid. Murid hendak menyiasati orang itu supaya datang ke guha Siau-yau-tong. Oleh karena itu terpaksa aku harus sering memaki suhu. Tetapi jangan suhu marah itu hanya siasat saja. Bukan sungguh-sungguh keluar dari hati nurani murid ... "
Setelah mengucapkan kata-kata minta ampun dalam hati, barulah ia mengerutkan wajah dan beseru marah kepada orang aneh itu:
"Pertapa bangsat itu telah membunuh kedua orang tuaku, sudah tentu aku mempunyai dendam sebesar lautan dengan dia. Kalau tak dapat mencincang pertapa bangsat itu aku bersumpah, tak mau jadi orang. Kalau engkau hendak meratakan guha Siau-yau-tong, itu sih boleh-boleh saja. Tetapi bila engkau berani membunuh musuh besarku itu sehingga aku tak dapat mencincangnya, aku tentu akan membuat perhitungan dengan engkau sendiri".
Ternyata yang menjebloskan orang aneb itu ke dalam peti dan dibenamkan ke dalam telaga selama tujuh tahun tak lain adalah Siau Yau cinjin, suhu dari Hong Ing. Dan celakanya, secara tak sengaja, yang menolong dan membebaskan orang itu adalah Ui Hong Ing sendiri. Gurunya yang menghukum, Hong Ing yang mengeluarkan.
Mendengar ocehan Hong Ing, siraplah kemarahan orang aneh itu terhadap Hong Ing. Ia mengira Hong Ing juga bermusuhan dengan Siau Yau cinjin. Dengan begitu, keduanya sama-sama hendak membalas sakit hati kepada pertapa guha Siau-yau-tong itu.
"Nona kecil, tetapi tubuhmu terluka berat, tentu tak dapat melawan pertapa bangsat itu. Bagaimana engkau mampu membalas dendam kepadanya ?" seru orang aneh itu.
Hampir saja Hong Ing tak kuat menahan rasa geli hatinya. Tetapi ia terpaksa menekannya kuat-kuat.
"Hm, engkau tahu apa?" ia mendengus dingin. "ketika aku mengaduk di kuil Tang-but-to, karena paderi Tay To tak mau memberi pinjam pedang itu, terpaksa kuhajarnya. Sebenarnya masih terdapat sepuluh rahib dalam kuil itu tetapi mereka bukan tandinganku semua. Sayang saat itu banyak orang yang datang mengepung sehingga aku hanya dapat menusuk empat orang Toa-kim-kong dan menghantam delapanTay-thian-ong...."
''Nona kecil" tiba-tiba orang aneh itu menukas, "Tay To hweshio seorang paderi yang sakti. Akupun pernah mendengar namanya. Tetapi siapakah keempat Toa-kim-kong dan kedelapan Tay-thian-ong itu?"
Sebenarnya Ui Hong Ing hanya mengoceh dan membual saja. Agar orang itu percaya bahwa dia memang sakti.
"Keduabelas orang itu memang tokoh-tokoh yang baru muncul tetapi mereka memang sakti. Pulau Ki-lo-to tempat kediaman Nenek-cenderawasih-Tutul merekalah yang menghancurkannya."
"Ah" orang aneh itu mendesah,"tak kira dalam masa-masa belakangan ini banyak, bermunculan tokoh-tokoh baru. Bahkan Nenek-Cenderawasih-Tutulpun sampai menderita kekalahan."
Melihat orang aneh itu percaya akan bualannya, diam-diam Hong Ing girang.
"Sebenarnya kawanan tokoh-tokoh baru itu tak berarti apa-apa. Yang salah adalah sutitku (murid keponakan) Cenderawasih-Tutul itu sendiri".
"Hai", teriak orang aneh itu terkejut, "kiranya nona itu adik seperguruan dari li-hiap Ting Hun Yan !"
Sebenarnya belum pernah Hong Ing mendengar nama Li-hiap Ting Hun Yan, tetapi karena sudah terlanjur membual maka iapun mengangguk.
"Benar, memang kepandaian dari suci-ku itu hampir berimbang dengan aku."
"Tetapi mengapa engkau sampai menderita luka begitu parah ?" seru orang aneh itu.
"Fui !" Hong Ing mendengus geram, "apakah engkau tak tahu, bahwa seorang gagah itu sukar untuk menghadapi keroyokan orang banyak ? Sepasang tangan sukar untuk melayani puluhan tangan? Yang mengepung itu makin lama makin banyak. Diantaranya terdapat Leng-kiam Khoayhiap, Raja-binatang Siang Bong dan lain-lain tokoh sakti. Sudah tentu sukar bagiku untuk melayani mereka. Kalau aku masih dapat meloloskan diri, bukankah itu sudah suatu kelebihan ?"
Orang tua aneh itu termenung sejenak, lalu berkata: "Salah! Tadi waktu masih berada di dasar telaga, kudengar engkau menangis terisak-isak. Kalau engkau begitu sakti, mengapa engkau seorang diri menangis ditempat yang sesunyi ini?"
Hong Ing terbeliak. Diam-diam dia memaki orang aneh itu mempunyai pikiran tajam. Tetapi ia tak kehilangan akal. Setelah mengeliarkan biji matanya, ia segera membentak:
"Engkau tahu apa? Siapakah sih gurumu?"
"Guruku adalah Tu Teng Lhama, kepala kuil Ko-liong-si di telaga Jelah propinsi Sujwan. Beliau adalah kepala kuil angkatan keenam dan sudah beberapa tahun yang lalu menutup mata," sahut orang aneh itu.
"Apakah Tu Teng Lhama tak pernah menceritakan tentu suatu ilmu lwekang yang lihay disebut Sin-sip-heng-hwat ?"
Sebagai seorang tokoh yang berilmu tinggi sudah tentu orang tua aneh itu mengetahui tentang ilmu yang disebutkan Hong Ing. Ternyata walaupun dia seorang ganas, tetapi otaknya puntul. Dengan mudah dia telah masuk dalam jaring siasat Hong Ing.
Mendengar pertanyaan Hong Ing, orang aneh itu segera menjawab,
"Ya, memang ada. Apakah engkau sedang berlatih ilmu itu?"
Hong Ing mengangguk . "Benar" katanya, "pertapa bangsat itu memang sakti sekali. Dia menciptakan pukulan Thian-jiu-ciang yang berdasarkan keduapuluh delapan peredaran bintang. Setiap jurus mengandung tujuh gerak keras dan tujuh gerak isi, tujuh gerak keras dan tujuh gerak lunak dengan memiliki duapuluh delapan perubahan. Ditambah pula dengan ilmu tenaga-dalamnya yang tinggi, dikuatirkan kalian tak dapat mengalahkannya. Lebih baik kita berdua bersama-sama pergi kesana. Engkau boleh melayani dia dengan kekerasan, sedang aku walaupun sedang terluka tetapi masih dapat melakukan ilmu Hu-sin-sip-heng-hwat supaya semangatnya hilang. Dengan demikian kita dapat menyerangnya dari dua arah, keras dan lunak. Bagaimana ?"
Dahulu orang aneh itu memang pernah menderita pukulan Thian-jiu-ciang dari Siau Yau cinjin. Mendengar kata-kata Hong Ing yang begitu enak dan tepat, tergerak hatinya.
"Bagus, sekarang mari kita segera berangkat saja !" serunya serempak.
Hong Ing kerutkan dahi. "Sayang karena terluka aku kurang leluasa berjalan. Kalau tidak, tentu kita dapat tiba di guha Siau-yau-tong lebih cepat" serunya.
"Jangan kuatir" kata orang aneh itu, "Engkau boleh naik dipunggungku, akan kubawamu lari cepat."
Bahkan habis berkata orang aneh itu terus merentang kedua tangannya dan mengangkat tubuh Hong Ing dinaikkan ke atas punggungnya. Sekali bergerak, orang aneh itu sudah mencapai tiga empat meter jauhnya, kemudian setelah berlari, cepatnya bukan alang kepalang. Hong Ing merasa telinganya menderu-deru dan pohon-pohon yang dilaluinya seperti terbang melayang. Diam-diam ia girang sekali dan terus pejamkan mata, memulangkan semangat.
Dalam sehari berlari, orang aneh itu telah dapat melintasi beberapa gunung dan pada hari kedua, gunung Ke-tiok-sanpun sudah tampak disebelah muka.
Gunung Ke-tiok-san terletak ditepi laut Ji-hay. Ketika guha Siau-yau-tong hampir tercapai, semangat Hong Ing serentak timbul lagi. Saat itu lukanya makin parah sehingga bicarapun sudah tak bernafsu lagi. Dia hanya memiliki suatu harapan.
Orang aneh itupun gembira sekali setelah tiba di kaki gunung Ke-tiok-san. Dia lari makin cepat dan tak henti-hentinya bersuit. Tak berapa lama diapun sudah melintasi puncak gunung.
Gua Siau-yau-tong itu terletak disebuah tanah batu seluas satu bahu. Batu datar itu lebih besar dari permukaan puncak gunung. Setelah tiba di puncak, harus mendaki kesebuah batu karang setinggi sepuluh tombak baru tiba di guha itu.
Begitu tiba di tempat itu, si orang aneh terus enjot tubuhnya ke arah batu karang. Hong Ing ngeri dan pejamkan mata. Sekali tergelincir, pasti akan jatuh ke bawah.
Tetapi orang aneh itu tak gentar. Begitu melambung ke udara, ia pijakkan kaki kiri ke kaki kanan. Dengan meminjam tenaga pijakan itu, tubuhnya melambung lagi sampai beberapa tombak. Itulah ilmu gin-kang yang disebut Kip-kip-siang-seng atau selangkah demi selangkah mendaki ke atas.
Hong Ing membuka mata dan memandang ke atas. Walaupun sudah melambung setombak tingginya tetapi masih kurang sepuluhan tombak lagi. Kecuali mempunyai sayap, sukar kiranya untuk mencapai ke atas puncak.
Tetapi orang aneh itu rupanya sudah mempunyai rencana. Begitu melambung ke atas, sebelum tubuh meluncur ke bawah, cepat ia membacok batu karang dengan pedang Thian-liong-kiam. Berkat memegang pedang yang menyusup ke dalam karang itu, dapatlah ia menahan tubuhnya agar jangan melorot turun.
Hong Ing kucurkan keringat dingin. Ia benar-benar ngeri melihat cara orang aneh itu hendak mendaki ke atas puncak. Cepat ia berseru :
"Sahabat, jangan menempuh cara yang begitu berbahaya. Akan kusuruh pertapa bangsat itu untuk mengulurkan tali rotan bagi kita."
Orang aneh itu tertawa dingin.
"Cara itu berarti merendahkan diriku. Kalau engkau tak berada dipunggungku, gerak Ting - hong - ban - li yang kulakukan tadi tentu dapat mencapai tujuh delapan tombak tingginya.
Hong Ing tahu bahwa orang aneh itu memang tidak membual. Kip-kip-siang-seng merupakan ilmu gin-kang yang menggunakan hawa murni untuk melontar tubuh ke atas. Kalau seorang diri memang akan dapat terbang ke udara, tetapi karena harus memanggul orang, sudah tentu gerak orang aneh itu agak berat sehingga hanya dapat melambung setombak tingginya.
"Ilmu ginkangmu memang bebat" Hong Ing memuji, "sebelum menderita luka, kepandaiankupun tak terpaut jauh dengan engkau."
Orang aneh itu membeliakkan putih matanya dan berseru: "Kempitlah leherku kencang-kencang".
Setelah Hong Ing melaksanakan perintah, si orang anehpun segera jungkir balik, sambil mencabut pedang Thian-liong-kiam, tubuhnya meluncur ke atas sampai satu tombak lagi.
Yang celaka adalah Hong Ing. Karena si orang aneh jungkir balik, kepala di bawah kaki di atas, terpaksa Hong Ing harus memeluk tubuh orang aneh itu erat-erat. Jika dalam keadaan biasa, memang tak apa. Tetapi saat itu ia sedang menderita luka parah. Berjalan saja sudah susah apabila harus menggunakan tenaga, lebih . menderita lagi. Ia rasakan ruas jarinya seperti putus. Melongok kebawah, uh .... jaraknya tak kurang dari sepuluh tombak dari dasar-tanah. Ia harus memegang kencang-kencang. Sekali kendor, tubuhnya tentu akan meluncur jatuh ke bawah. Diam-diam ia memaki dirinya sendiri mengapa tempo hari ia harus melarikan diri dari guha Siau-yau-tong. Kelak sekalipun dibunuh oleh suhunya, ia tak berani lagi melarikan diri. Sejelek-jeleknya kehidupan di guha Siau-yau-tong yang sunyi senyap itu namun masih lebih baik daripada berkeliaran diluaran yang.penuh dengan bahaya-bahaya itu.
Setelah dengan susah payah menggunakan cara mendaki yang sukar itu, akhirnya dapat juga orang aneh itu mencapai puncak itu. Begitu tiba di tanah datar, Hong Ing menghela napas longgar lalu lepaskan cekalan tangannya sehingga meluncur jatuh di atas tanah. la tak ingat lagi apa yang terjadi. Ketika membuka mata ia mendengar orang aneh itu mendesis kejut. Hong Ingpun segera memandang ke muka. Hai .... iapun menjerit kaget sekali.
Kiranya dua buah bangunan dari balok dan bambu di muka guha pertapaan suhunya, sudah ambruk. Sedang yang tiga bangunan lagi, pintu dan jendelanya terentang lebar tetapi tak tampak seorangpun juga.
Selain Siau Yau cinjin dan Ui Hong Ing, yang tinggal di guha pertapaan Siau-yau-tong itu masih ada lagi seorang bujang tua yang gagu. Tetapi saat itu tiada seorangpun yang kelihatan, tidak Siau Yau cinjin tidak pula bujang gagu itu.
Melihat ruang muka guha itu ambruk, Hong Ing cemas sekah. Adakah suhunya telah menderita suatu kecelakaan ?
Terdorong oleh rasa cemas, tanpa disadari Hong Ing terus menjerit : "Suhu ! Suhu!".
Sudah tentu orang aneh itu terbeliak. "Nona kecil, siapa yang engkau panggil ?" Tetapi Hong Ing tak menghiraukannya lagi. Dengan kerahkan sisa tenaganya, ia berusaha paksakan diri untuk bangun. Dengan terhuyung-huyung ia terus lari menuju ke dalam guha.
Disebut guha tetapi sesungguhnya hanya bagian luarnya. Karena dibagian dalam guha itu sudah dibangun sehingga merupakan sebuah tempat yang cukup luas lengkap dengan ruangan-ruangan tengah dan belakang.
Ketika tiba di ruang tengah Hong Ing segera melihat seorang tua berkepala gundul tengah duduk bersila, kedua tangan diangkat lurus ke muka dada dan saat itu tengah bergerak pelahan-lahan.
Hong Ing terkejut dan keliarkan pandang ke arah lain. Dan cepat ia melihat suhunya sedang duduk terpisah pada jarak dua tombak dari orang tua gundul itu. Juga suhunya tengah mengangkat kedua tangannya lurus ke muka dada dan pelahan lahan mulai digerakkan. Siau Yau cinjin menunduk memandang ke bawah sehingga tak mengetahui akan kedatangan Hong Ing.
Melihat suhunya, meluaplah rasa sesal dan sedih hati Hong Ing. Ingin sekali ia segera memeluk kaki suhunya dan menangis untuk menumpahkan rasa sesal itu.
Karena tak kuasa menahan perasaannya, tubuh Hong Ing sampai gemetar dan kakinyapun goyah. Ia rubuh ke muka. Tetapi seketika itu, tubuhnya telah ditolak oleh semacam tenaga kuat yang tak kelihatan. Tenaga itu memancar ditengah-tengah orang tua kepala gundul dan suhunya. Dengan demikian bukan saja Hong Ing tak dapat meraih ke tempat suhunya, pun kebalikannya ia malah terlempar ke belakang sampai satu tombak jauhnya.
Pada saat itu orang aneh yang membawa Hong Ing ke guha Siau-yau-tongpun melangkah masuk. Cepat orang aneh itu menyanggapi tubuh Hong Ing sehingga tak sampat jatuh terjerembab ke belakang.
Kini Hong Ing baru menyadari bahwa suhunya sedang melakukan pertempuran adu lwekang dengan orang tua gundul itu.
Diantara berbagai pertempuran, bertempur dengan cara adu tenaga-dalam itulah yang paling berbahaya dan paling segera dapat diketahui siapa yang menang dan siapa kalah.
Jelas Siau Yau cinjin sedang mengerahkan tenaga-dalamnya untuk beradu dengan orang tua gundul itu. Jangan lagi saat itu Hong Ing sedang menderita luka parah, andaikata ia segar bugarpun tetap akan terpental apabila menerjang garis tengah kedua tokoh yang sedang adu lwekang itu.
Setelah menyanggapi Hong Ing, orang aneh itupun memandang ke arah kedua tokoh yang sedang adu lwekang dan tertawa mengekeh :
"Heh, heh, Bu Wi, kiranya engkau mendahului aku datang kemari ?" serunya.
Orang tua gundul itu mengerinyitkan pelapuk mata tetapi tak menyahut. Sebenarnya, wajah Siau Yau cinjin itu berseri bersih penuh pancaran kasih sayang. Tetapi demi melihat munculnya orang aneh itu, wajah pertapa itupun serentak berubah.
Tiba-tiba terdengar suitan nyaring, disusul dengan segulung asap biru meluncur ke udara. Tahu-tahu pertapa itu sudah lepaskan diri dari lingkaran pertempuran lwekang dan saat itu berdiri di puncak wuwungan.
Dorongan dari orang tua gundul itu luar biasa dahsyatnya. Karena Siau Yau cinjin menghindar maka tenaga dorongan itupun melancar ke muka. Bum ... dinding guha yang disudut berguguran jatuh.
Orang aneh yang membawa Hong Ing tadipun loncat ke udara menyusul Siau Yau cinjin ke puncak guha.
"Pertapa bangsat, hendak lari ke mana engkau!" serunya.
Tiba-tiba orang tua gundul itupun berbangkit dan berseru : "Susiok, kiranya engkau masih hidup, sungguh tak kukira."
Hong Ing makin terkejut. Orang tua gundul itu memiliki wajah yang aneh dan kepandaian yang sakti, tetapi ternyata dia masih menyebut susiok atau paman guru kepada orang aneh yang membawanya kesitu. Ia membayangkan betapa ngeri kepandaian orang aneh itu. Dan serentak timbullah kekuatirannya akan nasib suhunya. Dapatkah suhunya menghadapi kedua lawan yang sesakti itu.
Sejak kecil Hong Ing telah dibawa Siau Yau cinjin ke guha Siau-yau-tong dan dipeliharanya sarnpai besar. Budi Suhunya itu sungguh tak terkira besarnya. Bahwa saat itu suhunya menghadapi bahaya, iapun gelisah sekali.
Hong Ing tak sampai membayangkan bagaimana kalau andaikata suhunya sampai kalah. Walaupun taruh kata kedua musuh itu tak mengganggunya tetapi siapakah yang akan mengobati lukanya yang separah itu ?
"Siancay!" seru Siau Yau cinjin seraya merangkapkan kedua tangannya ke dada, "sungguh suatu peristiwa yang menggembirakan sekali bahwa Toho lhama sudah dapat membebaskan diri penderitaan. Kalau tak salah, sudah tujuh tahun dari lamanya Toho lhama membenam diri di dasar telaga. Selama itu tentu sudah mendapat penerangan batin, bukan?"
Ternyata orang aneh itu kepala dari kuil Ko-liong-si angkatan yang ketujuh. Kuil Ko- Liong-Si terletak ditepi telaga Jelah. Dan kepala kuil itu bernama Toho lhama. Dia terhitung paman guru dari Bu Wi lhama.Mendengar Ucapan Siau Yau cinjin, lhama itu tertawa mengekeh: '
"Heh, heh, kematian sudah di depan mata, mengapa cinjin masih unjuk kegarangan? Dendam dimasukkan ke dasar telaga selama tujun tahun, masakan takkan kubalas?"
Bum, ia hentakkan kakinya ke tanah sehingga lantai guha itu hancur berantakan. Menyusul tubuhnya terus meluncur ke arah Siau Yau cinjin.
Wut, bagaikan segulung asap, tubuh Siau Yau cinjinpun melambung ke udara dan terus lepaskan dua buah pukulan ke arah jauh. Seketika dinding belakang dari ruang guha itu pecah dan tampaklah sebuah tanah lapang yang cukup luas.
"Siancay"' seru pertapa dari guha Siau-yau-tong pula, "karena nyata engkau tak menyadari kesalahanmu, terpaksa aku tak dapat berlaku murah seperti tujuh tahun yang lalu. Toho lhama, hari ini aku terpaksa harus membuka pantangan membunuh."
Habis berkata Siau Yau cinjin terus mengeluarkan sebatang hud-tim atau kebut pertapaan.
Melihat kedua orang itu hendak bertempur, hati Hong Ingpun mulai tegang. Ia mengharap suhunya dapat menghalau kedua musuh itu.
Toho Lhama tertawa aneh. Serentak ia taburkan pedang Thian-liong-kiam dari atas membelah ke bawah. Seketika segulung sinar kuning berhamburan ke arah tubuh Siau Yau cinjin.
Sekali berputar tubuh, Siau Yau cinjinpun sudah menyelinap ke belakang Toho lhama. Ia tebarkan kebut hud-tim untuk melindungi diri tetapi tak mau menyerang.
Melihat lawan tiba-tiba lenyap dan berada dibelakangnya, Toho Lhama terkejut sekali.
Diam-diam dia mengeluh tetapipun mengagumi kesaktian pertapa itu. Pada saat ia hendak berputar tubuh ke belakang untuk menyerang, tiba-tiba Bu Wi Lhama berseru:
"'Susiok, harap berhenti dulu. Sukalah dengarkan kata-kataku."
Toho Lhama heran dan tak tahu apa yang hendak diucapkan sutitnya itu. Kuatir kalau Siau Yau cinjin menyerang dari belakang, buru-buru ia loncat ke samping sampai setombak jauhnya, lalu berseru agak marah.
"Bu Wi, engkau tidak turun tangan, mengapa hanya omong yang tak berguna saja?"
"Susiok" sahut Bu Wi Lhama, "telah kusuruh muridku bernama Cong Tik bersama burung kakak tua putih untuk mencarimu ke daerah Tionggoan. Apakah susiok sudah bertemu dengan dia ?"
"Aku dimasukkan pertapa bangsat itu ke dalam peti besi dan dilempar ke dalam telaga selama tujuh tahun. Bagaimana aku bertemu dengan orang?" teriak Toho Lhama marah.
"Susiok" kata Bu Wi Lhama pula, "karena sudah sekian lama Cong Tik tak pulang maka aku pun terpaksa turun gunung untuk mencari susiok. Aku mendapat keterangan bahwa susiok pernah bentrok dengan Siau Yau cinjin. Maka akupun segera bergegas menuju ke Siau-yau-tong sini. Tetapi karena Siau Yau cinjin tetap berkeras tak mau memberitahukan tempatmu barulah kita bertempur. Oleh karena ternyata susiok tak kurang suatu apa, marilah kita pulang saja!"
Walaupun termasuk angkatan yang lebih muda tetapi ternyata Bu Wi Lhama jauh lebih alim perangainya daripada Toho Lhama, paman gurunya itu.
Seketika berubahlah wajah Toho Lhama, "Apakah engkau hendak membantu orang luar?" bentaknya geram.
Bu Wi Lhama menghela napas :
"Ah, susiok, tindakan Siau Yau cinjin dahulu sebenarnya adalah demi kepentingan susiok sendiri. Perlu apa susiok harus membalas dendam soal sekecil itu. Bukankah hal itu melanggar pesan dari sucouw kita ?"
Toho Lhama tertawa dingin.
"Bu Wi, omongan tak berguna tak perlu diucapkan. Kita berdua bersama-sama tubuh tangan membasmi pertapa bangsat itu. Setelah itu baru aku mau pulang ke kuil dan takkan berkeliaran di luaran lagi. Atau, asal engkau jangan membantunya, aku tentu dapat menghajarnya!"
Kembali Bu Wi Lhama menghela napas panjang.
"Susiok, masih ada suatu urusan...."
"Pulanglah dulu ke kuil nanti kita bicara lagi" cepat Toho Lhama menukas, "setelah kubasmi pertapa bangsat itu, baru nanti kukatakan kepadamu. Sekarang dihadapan pertapa bangsat itu, mana aku leluasa bercerita".
Bu Wi Lhama geleng-geleng kepala lalu berkata kepada Siau Yau cinjin :
"Aku akan pergi lebih dulu, harap suka bermurah hati"
Siau Yau cinjin mengangguk. Segera ia merundukkan kebut hud-tim, bulu kuda kebut itupun berhamburan mirip dengan sekutum bunga perak.
"Toho, karena engkau tak terima, tentu selama tujuh tahun itu engkau mendapat kemajuan. Dalam bermain pedang tak perlu engkau sungkan lagi" seru Siau Yau cinjin.
Bu Wi Lhama seorang Lhama yang berilmu tinggi, baik dalam ilmu keagamaan maupun ilmu kesaktian. Dia tahu bahwa susioknya itu memang seorang lhama yang banyak melakukan kejahatan, tak memegang peraturan dan larangan kuil. Bu Wi tak mau membantunya untuk menyerang Siau Yau cinjin. Tetapi kalau ia tetap berada disitu, tentu ia tak dapat berpeluk tangan mengawasi saja apabila Toho lhama sampai terancam bahaya. Maka ia memutuskan lebih baik tinggalkan tempat itu saja. Demikian setelah menyampaikan permintaan kepada Siau Yau cinjin supaya jangan bertindak terlalu kejam terhadap susioknya, Bu Wi Lhamapun terus pergi.
Dendam kemarahan Toho Lhama karena di penjara selama tujuh tahun di bawah telaga, memang tak mungkin dihapus. Apalagi saat itu ia sedang berhadapan dengan musuh itu, sudah tentu dia tak mau memberi ampun lagi.
Sebagai penyahutan dari ucapan Siau Yau cinjin, ia terus taburkan pedang Thian-liong-kiam dalam sebuah gerak yang cepat dan dahsyat sehingga pedang itu seolah berubah menjadi ratusan batang. Kemudian pada lain saat, orang dan pedangnya seperti tergabung satu dan meluncur ke arah Siau Yau cinjin.
Melihat gerak permainan Toho diam-diam Siau Yau cinjin menyadari bahwa saat itu ilmu tenaga-dalam lawan sudah makin hebat. Tetapi bukan mundur kebalikannya pertapa dari guha Siau-yau-tong itu malah menyongsong maju menamparkan kebut hud-tim ke pedang lawan.
Setelah mengetahui bahwa Cong Tik itu murid dari Bu Wi Lhama dan sekarang Bu Wi Lhamal sudah pergi, diam-diam longgarlah perasaan hati Hong Ing. Ia duga Cong Tik tentu seluhur peribadi gurunya. Disamping itu diapun tak merasa cemas akan keselamatan suhunya menghadapi si orang aneh atau Toho Lhama.
Dalam pada itu iapun mulai mengikuti pertempuran dahsyat antara suhunya dengan Toho Lhama.
Ketika melihat suhunya hendak menampar pedang Thian-liong-kiam dengan hud-tim, Hong Ing terkejut dan berseru :
"Suhu, pedang itu tajam sekali, dapat memapas logam seperti memapas tanah liat. Harap suhu hati-hati!"
Tetapi gerakan Siau Yau cinjin luar biasa cepatnya. Hud-timpun sudah menyongsong pedang Thian-liong-kiam. Segulung bulu kuda sudah melibat pedang.
Hong Ing tercengang. Entah sudah berapa puluh kali ia telah mengambil dan bermain dengan kebut hud-tim suhunya itu. Ia tahu jelas bahwa bulu kuda pada hud-tim itu biasa saja, tak ada yang luar biasa, tak diselipi pula oleh lain-lain benda. Tetapi mengapa pedang sehebat Thian-liong-kiam tak mampu memapas hud-tim itu bahkan malah kena dilibatnya ?
Memang karena kepandaiannya masih belum tinggi, Hong Ing tak dapat mengetahui sebabnya. Memang sudah wajar , kalau ia heran mengapa pedang Thian-liong-kiam yang luar biasa tajamnya itu tak mampu memapas bulu kuda.
Tetapi tidak demikian dengan Siau yau cinjin. Sebagai seorang pertapa yang sakti, ia dapat mengetahui bahwa gerak permulaan dari Toho Lhama dalam menaburkan pedang ke kanan kiri lalu ke bawah dan ke atas tadi telah disaluri dengan tenaga-dalam. Jurus permainan pedang itu memang luar biasa hebatnya. Tiga arah telah dilingkupi sinar pedang sehingga kemanapun hendak menghindar, tentu akan tersabat.
Siau Yau cinjin tahu akan kelihayan gerak permainan pedang lawan. Maka iapun segera gerakkan hud-tim menurut gaya gerakan pedang lawan ialah ke kanan ke kiri lalu ke atas dan ke bawah. Ia menurutkan saja gerak permainan Toho lhama.
Ketika Toho Lhama merubah gerak pedangnya dari kanan ke kiri menjadi dari bawah ke atas, Siau Yau cinjinpun menirukan. Tetapi karena ia bergerak belakangan mau tak mau ada dua helai bulu hud-tim yang terpapas putus oleh pedang Thian-liong-kiam.


Pendekar Banci Karya Sd Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hong Ing terbeliak ... -o0^DW^Agus Ekanto^0o- Jilid 6 Melihat suhunya, Siau Yau cinjin, dapat menggunakan kebut hud-tim untuk melawan pedang pusaka Thian-liong-kiam, Hong Ing tercengang heran.
Tetapi tidak demikian dengan Tobo Lhama. Lhama itu tahu bahwa gerak pedangnya telah didahului oleh gerak hud-tim Siau Yau cinjin dan dikuasainya. Selanjutnya, betapapun ia hendak menggunakan jurus apa saja, asal lawan mengikuti saja gerakannya, hud-tim tentu takkan terpapas kutung. Dengan begitu sama artinya, pedang pusaka Thian Liong-kiam itu tak ada gunanya lagi.
Tujuh tahun lamanya ia menyiksa diri untuk berlatih dengan keras. Tetapi selama itu ia percaya Siau Yau cinjinpun tentu juga tidak berpeluk tangan saja. Tentu juga memperkuat diri. Jika demikian, tentulah ia yang akan menderita kekalahan nanti.
Toho lhama mulai gelisah. Segera ia putar pedang sampai tiga lingkaran. Maju dan mundur mencapai tiga tombak. Maksudnya supaya dapat melepaskan diri dari libatan hud-tim lawan.
Tetapi ternyata Siau Yau cinjin menggunakan sikap 'tenang untuk mengatasi gerak?. Jika lawan maju, ia ikut maju, lawan mundur iapun mundur.
Karena gagal untuk melepaskan diri, marahlah Toho. Diam-diam ia telah memutuskan untuk mengadu jiwa dengan pertapa itu. Sekalipun harus mati, ia tetap tak mau kalah ditangan pertapa itu.
Serentak lengan kanan diturunkan, pada saat Siau Yau cinjin mengikuti gerakannya, secepat kilat dua buah jari tangan kirinya menusuk mata Siau Yau cinjin.
Siau Yau cinjin cukup waspada. Ia miringkan kepala ke samping. Karena tusukannya luput, To-ho cepat menekuk lengannya untuk menabas kepala lawan.
Kiranya selama tujuh tahun berada dalam peti besi, ia memang melatih diri dengan keras. la dapat melatih tulang-tulangnya bergerak menurut sekehendak hatinya. Gerakan menekuk lengan dan menebas itu, memang luar biasa dan sukar diduga. Bahkan Siau Yau cinjin yang berilmu tinggi, juga tak pernah menduga. Hampir saja ia celaka terkena tebasan tangan Toho. Tetapi untunglah dalam detik-detik yang berbahaya itu ia masih sempat mengendapkan tubuh ke bawah.
Memang Siau Yau cinjin berhasil menghindarkan diri dari bahaya tetapi karena itu ia kurang cepat menguasai hud-timnya. Seketika berhamburanlah kawat-kawat perak yang halus terpapas oleh pedang Thian-liong kiam. Yang tersisa hanya sebuah kebut gundul dan tangkainya.
Girang sekali Toho lhama karena siasatnya berhasil. Tetapi Siau Yau cinjin adalah seorang pertapa sakti yang telah mencapai tingkat tinggi dalam ilmu tenaga-dalam maupun tenaga-luar. Kepandaiannya dalam ilmu menutuk jalan darah juga bukan olah-olah hebatnya.
Tanpa menunggu Toho lhama sempat merubah jurus ilmu pedangnya, Siau Yau cinjin terus songsongkan tangkai hudtim ke muka. Walaupun ujung tangkai kebut itu tak sampai mengenai lengan Toho tetapi pancaran tenaga-dalam yang disalurkan Siau Yau cinjin melalui tangkai kebut itu tetap menggempur jalan darah siku lengan Toho.
Tring .. pedang Thian-liong-kiam terlepas jatuh dari tangan Toho lhama yang kesemutan dan lunglai tak bertenaga itu. Lhama itu terkejut dan cepat-cepat membungkuk tubuh hendak menjemputnya. Siau Yau cinjin telah mendahului lepaskan pukulan Gi-tiong-gu-tou, salah sebuah jurus dari ilmu pedang Thian-jiu-ciang. Angin pukulan menderu-deru dahsyat melanda ke dada Toho Lhama.
Toho-Lhama terkejut. Kalau ia tetap meneruskan mengambil pedang, jelas ia tentu celaka. Terpaksa ia gerakkan kedua tangannya untuk menyongsong. Dengan begitu barulah ia dapat menghapus angin pukulan lawan.
Tetapi pada saat itu Siau Yau cinjinpun sudah melakukan usaha lain. Pada saat Toho lhama sibuk menghalau serangannya, Siau Yau cinjin secepat kilat melekatkan ujung tangkai hud-tim kebatang pedang Thian-liong-kiam. Sekali dihentakkan ke atas, pedang itupun mencelat ke udara dan meluncur ke tanah lagi, tepat di muka Hong Ing.
Hong Ing cepat-cepat menjemputnya dan berseru kepada suhunya : "Suhu, mengapa suhu tak mau menggunakan pedang ini untuk cepat-cepat membasmi imam jahat itu ?"
Jangankan berpaling memandangnya, menyahutpun Siau Yau cinjin tak mau. Hong Ing menyadari bahwa suhunya tentu masih marah karena dia berani diam-diam minggat turun gunung.
"Suhu, aku sudah menderita luka parah, mungkin takkan tertolong lagi" seru Hong Ing pula.
Nadanya penuh haru kerawanan. Jelaslah bahwa ia memang berduka sekali.
"Engkau melanggar perintah guru, secara diam-diam turun gunung. Engkau mencari sakit sendiri, siapa yang harus engkau sesalkan ?" sahut Siau Yau cinjin dengan nada dingin.
Hong Ing memang merasa bersalah. Ia tak dapat berkata apa-apa. Tampak suhunya dan Toho lhama terlibat dalam pertempuran yang sengit. Kali ini mereka tak menggunakan senjata, melainkan dengan adu pukulan.
Keduanya bergerak sangat cepat sekali, sehingga seolah-olah seperti dua sosok tubuh yang bergabung jadi satu. Apabila bukan karena Toho itu berkaki pendek, tubuh pendek dan Siau Yau cinjin tinggi kurus, tentu sukar untuk mengenali mana Siau Yau cinjin dan mana Toho lhama.
Kuatir kalau mengganggu konsentrasi pikiran suhunya maka Hong Ingpun diam saja dan terpaksa menahan sakitnya.
Sampai beberapa saat lamanya belum juga tampak suatu kesudahan dari pertempuran itu. Melihat itu dengan paksakan diri, Hong Ing mencekal pedang Thian-liong-kiam lalu berdiri. Maksudnya hendak membantu Siau Yau cinjin. Tetapi kedua tokoh itu bergerak secepat angin, jangankan hendak menyelinap maju, melihat saja ia sudah kunang-kunang matanya, tak dapat membedakan mana suhunya, mana Toho lhama.
Setengah jam cepat sekali sudah berlalu. Sekonyong-konyong Toho menggembor keras dan menghantam lalu berlincahan seperti terbang.
Siau Yau cinjinpun berputar-putar tubuh melingkar ke belakang lawan. Setiap kali berputar tubuh, ia tentu melepaskan sebuah hantaman. Walau pun gerak pukulannya pelahan tetapi menilik kerut wajahnya yang begitu tegang, jelas pukulannya dilancarkan dengari susah payah sekali.
Dengan sekuat usaha, Siau Yau cinjin hendak melingkar ke belakang Toho lama. Tetapi To ho mendahului dengan sebuah hantaman untuk menghadang.
Pada saat kedua angin pukulan saling beradu, tubuh merekapun berhenti bergerak. Beberapa saat kemudian baru mereka bergera-gerak dalam sebuah lingkaran tanpa sempat untuk melepaskan pukulan lagi.
Memang tenaga-dalam Siau Yau cinjin seolah tak pernah kering sumbernya. Tetapi tenaga-dalam yang dimiliki Toho lhamapun bukan main hebatnya. Dalam waktu singkat, sukar untuk mengharapkan pertempuran itu akan selesai.
Kini setelah dapat membedakan mana suhu mana musuh. Hong Ing amat gembira sekali. Ia paksakan diri untuk mengerahkan sisa tenaga-murni yang dipunyainya, setelah mengambil arah, ia terus menimpukkan pedang Thian-liong-kiam kepada Toho.
Saat itu Toho lhama sedang kerahkan semangatnya untuk mengadu tenaga-dalam dengan Siau Yau cinjin. Begitu melihat sinar pedang Thian-liong-kiam meluncur ke arahnya bermula ia terkejut. Tetapi serentak timbullah suatu rencana yang jahat. Ia gembira dalam hati. Cepat ia menyiak lengan ke atas dengan tenaga penuh. Karena tenaga lontaran Hong Ing itu amat lemah, angin dari gerak lengan Toho -lhama telah menahan pedang itu dan memaksanya berbalik meluncur kearah Siau Yau cinjin.
Siau Yau cinjin kebutkan lengan baju untuk menahan laju pedang Thian-Liong-kiam. Kemudian ia ulurkan tangan untuk menyambar pedang itu.
Sebenarnya Toho lhama juga bermaksud hendak meraih pedang pusaka itu. Tetapi ternyata ia kalah cepat. Adalah karena tangannya kalah panjang dengan Siau Yau cinjin, maka pedang itu dapat disambar Siau Yau cinjin lebih dulu.
Pada saat itu kedua tokoh tersebut sedang saling bertahan diri dengan tenaga-dalam masing-masing. Barangsiapa yang berhasil meraih pedang Thian-liong - kiam itu, dialah tentu yang akan menang.
Siau Yau cinjin terkejut karena pedang telah berada ditangan Toho lhama. Cepat ia mengganti gerak cengkeraman dengan sentikan jari. Tring, jari tengahnya menyelentik batang pedang.
Walaupun hanya sentikan jari, tetapi tenaganya tak kurang dari ratusan kati. Baru memegang pedang, tangan Toho sudah dilanda oleh gelombang tenaga yang dahsyat. Tanpa tersadar, ia tebarkan kelima jarinya lagi dan jatuhlah pedang itu ke tanah.
Saat itu Siau Yau cinjin tak mau memberi kelonggaran lagi. Serentak mengendapkan lengan kiri ke bawah, lengan bajunya segera dikebutkan melibat pedang.
Toho menyadari bahwa sekali pedang Thian-Liong-kiam itu jatuh ke tangan Siau Yau cinjin, dia tentu kalah. Cepat ia ulurkan lengannya yang panjang untuk menjemput pedang, tetapi yang kena adalah lengan baju lawan.
Cara Siau Yau cinjin hendak mengambil pedang memang hebat sekali. Pedang itu luar biasa tajamnya, jika tak disertai dengan tenaga-dalam yang sakti, tak mungkin dapat menariknya ke atas. Lain resiko lagi, pedang yang amat tajam itu dapat melambung dan menembus lengan jubah lalu jatuh ke tanah iagi.
Tetapi Toho juga hebat. Gerakan menjemput pedang sambil mencengkeraman lengan jubah lawan memang bukan olah-olah cepatnya. Kuku-kuku jarinya yang runcing berhasil merobek Lengan baju lawan.
Karena gangguan itu, terpaksa Siau Yau cinjin harus mengadakan pilihan. Melanjutkan penarikannya atas pedang Thian- liong- kiam tetapi menghadapi resiko akan tercengkeran kuku jari lawan atau melepaskannya pedang itu.
Baik Siau Yau cinjin maupun Toho lhama sama menginsyafi bahwa dalam pertempuran serapat itu, apabila lawan memiliki pedang pusaka setajam Thian-liong-kiam tentu berbahaya sekali. Siapa yang menguasai pedang itu, dialah yang bakal menang.
Setelah lengan jubahnya robek, Siau Yau cinjin segera mengulurkan tangan lurus-lurus untuk menutuk dada lawan.
Toho yang hendak menggaet pedang karena ancaman lawan terpaksa harus menjaga diri. Jika dadanya sampai tertutuk Siau Yau cinjin, celakalah dia. Terpaksa ia menekuk lengannya untuk melindungi dada, jari tengah disongsongkan pada tangan Siau Yau cinjin yang hendak memukulnya itu.
Tetapi diluar dugaan gerak tutukan jari Siau Yau cinjin menutuk dada Toho itu, hanyalah suatu gerakan kosong. Tiba-tiba ia menekuk lengannya, dibawa mengendap turun dan dengan kecepatan seperti kilat ia terus menjemput tangkai Thian-liong-kiam.
Bukan kepalang kejut Toho lhama. Tetapi diapun seorang tokoh yang berilmu tinggi luas pengalaman. Begitu melihat pedang dijemput tangan Siau Yau cinjin, cepat ia memijak batang pedang itu dan terus gunakan ilmu Cian-kin-tui atau tindihan-seribu-kati. Sudah tentu Siau Yau cinjin tak mampu mengangkatnya ke atas. Bahkan saat itu kepalanyapun terasa hendak dihantam lawan.
Karena mengendapkan tubuh menjemput pedang posisi Siau Yau cinjin berbahaya sekali. Terpaksa ia lepaskan pedang dan menangkis hantaman lhama itu, Brak, begitu saling beradu, kedua telapak tangan mereka segera melekat kembali. Mereka mengadu tenaga-dalam seperti yang tadi.
Pertarungan adu tenaga-dalam dengan saling melekatkan telapak tangan, jauh lebih berbahaya daripada adu pukulan. Adu pukulan, apabila terdesak masih dapat loncat menghindar. Tetapi adu tenaga-dalam secara melekatkan tangan itu, kalau belum mati tentu belum dapat lepas.
Keduanya tergolong ko-jiu atau jago sakti. Sudah tentu mereka mengetahui hal itu. Selekas melekatkan telapak tangan, mereka segera memancarkan tenaga-dalam masing-masing. Menilai kepandaian kedua orang itu, sumber kepandaian dari Siau Yau cinjin adalah ilmu aliran putih dari kaum agama, ditambah pula ketekunannya berlatih selama berpuluh tahun, malam memperhatikan cakrawala, ia telah berhasil menciptakan Thian-jiu-kang yang penuh perobahan dan keindahan, hawa murni dapat disalurkan bersama tenaga-dalam.
Saat itu Siau Yau cinjin tengah melancarkan jurus Hun-hoan-kan song-long atau Awan-berarak-bagai-gelombang-laut. Walaupun nama jurus itu terlalu besar daripada kenyataannya tetapi tenaga-dalam yang memancar dalam serangan itu terdiri dari duapuluh delapan gelombang. Setiap gelombang lebih dahsyat dari yang terdahulu. Isi atau kosong, keras atau lunak semua dapat timbul untuk melayani lawan.
Toho lhama segera dapatkan bahwa, daya perlawanan lawan memang hebat sekali. Betapapun cepat perubahan-perubahan yang dilancarkan, tetapi selalu Siau Yau cinjjn dapat menghadapinya.
Sepintas pandang tampaknya Toho memang lebih menang angin dalam serangan tenaga-dalam itu tetapi sesungguhnya Siau Yau memang menggunakan sikap tenang untuk menghadapi kecerdasan lawan. Akhirnya Toho menyadari bahwa apabila pertempuran itu dilanjutkan, dia tentu kalah. Tiba-tiba ia teringat akan pedang Thian-liong-kiam yang masih dipijaknya itu. Begitu kedua tangan mereka saling beradu maka keduanyapun cepat menarik pulang tangan kanan untuk melindungi tubuh masing-masing.
Tohopun segera mempergencar tekanannya dengan melipat gandakan tenaga-dalamnya sampai tiga bagian.
Atas desakan itu Siau Yau cinjinpun segera bertahan dengan tenaga-dalam lunak. Kata dalih ilmu silat 'lunak dapat mengatasi keras'. Gelombang tenaga-dalam Toho yang besar, secepat itu telah terhapus. Bukan kepalang kejut lhama itu. Maksudnya ia menekan itu hanyalah supaya Siau Yau cinjin agak lengah perhatiannya dan kesempatan itu akan digunakan untuk menjemput pedang Thian-liong-kiam. Tetapi ternyata rencananya gagal karena Siau Yau cinjin dapat menghapus tekanan tenaga-dalamnya.
Selama tujuh tahun dimasukkan dalam kotak dan dibenam di dasar telaga, digunakan Toho lhama untuk memperdalam ilmu tenaga-dalam. Dalam hal itu ia memang telah mencapai tataran yang menakjubkan.
Waktu saling melekatkan tangan dengan Siau Yau cinjin, ia sudah menyadari bahwa lawan sedang menggunakan tenaga-dalam lunak untuk melayani tenaga-dalam keras. Cepat ia mengganti pula dengan tenaga-dalam lunak tetapi secepat itu juga Siau Yau cinjin segera mengganti dengan tenaga-dalam keras. Dan lagi perobahan itu dilakukan lawan dengan cepat sekali.
Tetapi Toho lhama tak kurang akal. Ia memperhitungkan bahwa apabila ia melancarkan tenaga-dalam keras, lawan tentu lunak. Dan apabila ia merobahnya dengan tenaga-dalam lunak, lawan tentu cepat pula mengganti keras. Tetapi perubahan dari lunak ke keras itu memerlukan beberapa detik waktu.
Apa yang diperhitungkan Toho memang terbukti. Pada saat itu Siau Yau cinjin tengah mengganti tenaga-dalam lunak ke tanaga-dalam keras. Pada detik-detik pergantian itulah segera digunakan sebaik-baiknya oleh Toho.
Sesaat Toho mengganti tenaga-dalam lunak, Siau Yau cinjin segera merobah gerakannya menjadi jurus Thian-jin-te-cu atau Langit-jernih-bumi-terang. Tangan mengendap ke bawah lalu tiba-tiba menghantam ke atas.
Justeru memang itulah yang ditunggu Toho. Begitu lawan mengganti jurus geraknya, ia segera cungkilkan ujung kakinya dan pedang Thian liong-kiampun mencelat ke atas dan secepat kilat lengan kanan diangkat, kuku jarinya segera menjulur turus hendak menerkam pedang.
Kejut Siau Yau cinjin bukan alang kepalang. Ia tahu bahwa apabila pedang pusaka itu sampai jatuh ke tangan lawan, tentu berbahaya. Dan untuk menggagalkan rencana lawan itu tak lain kecuali ia harus menggunakan sebuah jurus yang luar biasa aneh tetapi berbahaya sekali.
Tangan kirinya masih melekat pada tangan kiri lawan, sedang kakinyapun segera menekan ke tanah kuat-kuat, mengantarkan tubuhnya melambung ke atas, berjumpalitan jungkir balik, kaki di atas kepala di bawah lalu secepat kilat menamparkan tangan kanan, tidak ke arah Toho melainkan kepada pedang Thian- liong-kiam.
Ketika pedang meluncur turun, sudah tentu ujung pedang di atas dan tangkainya ke bawah. Tamparan Siau -Yau cinjin itu mengandung tenaga-dalam yang hebat sekali sehingga pedang itu seperti tertekan ke bawah lebih cepat.
Saat itu Toho lhama hampir dapat mencengkeram tangkai pedang. Ia tahu bahwa dengan berjumpalitan di udara itu lawan tentu hendak melancarkan suatu siasat, tetapi ia tak peduli. Sekali pedang pusaka itu sudah berada ditangannya sekalipun Siau Yau cinjin hendak mengeluarkan ilmu yang bagaimanapun saktinya, ia tentu dapat mengatasi. Walaupun tidak dapat menusuk tetapi setidaknya ia tentu dapat mendesaknya hingga lawan kalang kabut. Dan pada saat itu ia dapat menekan lawan dengan tenaga-dalam melalui tangan kirinya.
Memang dalam pertarungan, bukan melainkan adu kesaktian saja tetapipun adu otak. Barang siapa yang cerdik dan dapat menggunakan setiap kelemahan lawan, dialah yang akan menang angin bahkan mungkin dapat mengalahkan lawan.
Toho terlalu meremehkan lawan. Baru ia hendak mengatupkan jarinya mencengkeram batang pedang. Tiba-tiba akibat dari tamparan Siau Yau cinjin, pedang meluncur lebih cepat ke bawah. Ah, Toho menjerit tertahan. Bukan tangkai yang dicengkeraman tetapi batang pedang yang luar biasa tajamnya. Kelima kuku jarinya yang panjang segera terpapas dan berhamburan jatuh ke tanah.
Toho menggerung keras. Ia masih penasaran. Cepat ia mengejarkan tangan untuk menyambar tangkai pedang. Tetapi pada saat itu pula Siau Yau cinjinpun menyusuli sebuah tamparan lagi. Wut..... pedang meluncur ke bawah lebih cepat lagi....
Setitikpun Toho tak mengira bahwa lawan akan bertindak sedemikian lincah. Jika yang tadi ia hanya menderita kehilangan kuku, kini lebih parah lagi. Ia mencengkeram tetapi iapun merasa heran mengapa pedang itu tetap meluncur jatuh ke tanah. Hal itu disebabkan karena bukan tangkai pedang yang dapat dicengkeram melainkan batang pedang pusaka yang tajam. Dan karena luar biasa tajamnya sehingga To Ho tak merasakan sakit sama sekali. Adalah setelah pedang jatuh ke tanah iapun memandang tangan kanannya, astaga.....
Kelima jari tangannya habis berhamburan jatuh ke tanah, yang tersisa hanya telapak tangan tanpa jari. Darah bercucuran seperti hujan.
Menurut ilmu pertabiban, sepuluh jari itu mempunyai hubungan dengan hati. Selekas mengetahui jarinya hilang, segera timbullah rasa sakit yang amat nyeri dalam ulu hati Toho. Ia mengaum dan meraung seperti singa kelaparan ....
Siau Yau cinjin saat itupun meluncur turun ke tanah. Karena perhatian Toho terpecah, maka dapatlah Siau Yau cinjin menarik lhama itu mundur beberapa langkah. Dalam keadaan seperti saat itu sudah tentu Toho lhama bukan lagi tandingan Siau Yau cinjin. Sekali Siau Yau cinjin lancarkan serangan maju, Tohopun terdesak mundur lagi.
Selangkah, dua langkah, tiga, empat dan sampai belasan langkah Toho lhama terhuyung-huyung mundur. Dan kini dia tiba ditepi batu besar. Selangkah mundur lagi, ia tentu jatuh ke bawah.
Selama pertarungan hebat itu, Hong Ing menyaksikan dengan penuh perhatian. Maksudnya hendak menolong suhunya tetapi bahkan malah menyibukkannya karena lemparan pedang itulah maka Siau Yau cinjin sampai melangsungkan perebutan yang dahsyat dengan Toho. Hong Ing baru dapat menghela napas longgar ketika melihat suhunya berada diatas angin dan kelima jari Toho rompal semua.
Diam-diam ia merenung. Apabila suhunya mau memberi ampun, ia berjanji akan belajar dengan sepenuh hati. Cukup mewarisi tiga bagian dari kepandaian suhunya saja, tentu ia takkan mengalami peristiwa semacam yang dideritanya ketika ia melarikan diri dari gunung.
Ketika berpaling, kejut Tobo lhama bukan kepalang. Selangkah ia mundur lagi, tentu akan jatuh dan hancur di bawah jurang. Sungguh suatu hal yang tak dinyana-nyananya. Tujuh tahun lamanya ia tersiksa dalam kotak direndam di bawah dasar telaga, selama itu ia terus tekun untuk mempelajari ilmu tenaga yang sakti tetapi tak kira ia masih belum mampu mengalahkan musuhnya. Rupanya dalam tujuh tahun itu, Siau Yau cinjin juga bertambah maju ilmunya.
Toho memperkokoh kuda-kuda kakinya. Tak mau ia mundur lagi. Tetapi karena posisinya terdesak untuk bertahan sudah tentu susah sekali. Ia harus mati-matian bertahan sehingga kepalanya basah kuyup dengan keringat. Kemudian tubuhnya juga mandi keringat. Hawa panas menguap di ubun-ubun kepala. Setengah jam lagi ia tentu sudah tak kuat. Tidak didorong jatuh oleh Siau Yau cinjin juga tentu akan kehabisan-tenaga. Sekalipun jiwanya dapat tertolong oleh obat yang mustajab tetapipun ilmu kepandaiannya pasti akan lenyap.
Makin merenung makin gelisahlah Toho. Beberapa saat kemudian tiba-tiba ia berseru: "Siau Yau cinjin, engkau sudah menjebloskan aku dalam kotak di dasar telaga selama tujuh tahun. Apakah engkau masih akan membunuh aku lagi?"
Ia berkata dengan napas terengah-engah. Sikapnya sebagai seorang kojiu sudah tak tampak lagi.
Siau Yau cinjin seorang pertapa yang tinggi budinya. Dia memiliki hati yang welas asih. Kalau tidak tentu tadi ia sudah menggunakan tigapuluh gelombang tenaga-dalam untuk menyelesaikan Toho. Dia cukup menggunakan duapuluh pancaran tenaga-dalam dan Toho sudah tak mampu bertahan lagi.
Ia tak ingin membunuh Toho, melainkan menghendaki dia supaya dapat merubah jalan hidupnya yang sesat dan kembali ke jalan yang terang. Maka sengaja ia perlambat serangannya agar Toho mempunyai waktu untuk menyadari kesalahannya.
Setelah mendengar kata-kata lhama itu, Siau Yau cinjin tertawa.
"Siancay! Bukan aku yang hendak membunuhmu tetapi engkau sendiri yang ingin mati." serunya.
Dalam hati Toho memaki kalang kabut kepada pertapa itu tetapi mendengar kata-kata Siau Yau cinjin yang longgar itu, seketika timbullah harapannya.
"Apakah maksud ucapanmu itu cinjin?" serunya.
Siau Yau cinjin tertawa : "Karena tadi engkau yang menghendaki adu tenaga-dalam, bagaimana aku dapat menolaknya? Kalau engkau tak bermaksud melukai orang, masakan orang akan melukaimu ?"
Girang sekali Toho mendengar ucapan itu, jelas dia hendak menyuruh aku menarik tenaga-dalam dan diapun takkan melanjutkan serangannya. Demikian pikirnya.
"Apakah ucapan cinjin itu sungguh-sungguh?" serunya menegas.
"Seorang pertapa, takkan bicara bohong !" sahut Siau Yau cinjin.
Toho cepat menarik pulang tenaga-dalamnya.
Ia terpaksa terhuyung mundur setengah langkah, sehingga tumit kakinya sudah berada diluar batu karang.
Tetapi ternyata Siau Yau cinjin memang tak mau menyerang lagi. Bahkan ia malah menyambar lengan Toho agar lhama itu jangan sampai jatuh ke bawah batu karang.
Pada saat itu terlintas dalam benak Toho: "Ah, ternyata Siau Yau cinjin memang seorang berbudi, tak seharusnya aku mencelakainya."
Tetapi pikiran baik itu hanya selintas dan setelah memancar dalam benaknya terus pikirannya yang jahat timbul. Dilihatnya Siau Yau cinjin tidak berjaga-jaga. Tiba-tiba ia menghantam muka cinjin itu.
Siau Yau cinjin tak menduga sama sekali kalau kebaikannya akan dibalas dengan kejahatan yang sedemikian keji. la rasakan mukanya panas. Ia terkesiap namun masih mengira kalau Toho telah menderita luka parah sehingga tubuhnya tak dapat berdiri tegak.
Untuk menjernihkan pandang matanya yang berkunang-kunang itu, Siau Yau cinjin mengangkat tangan kanannya untuk mengusap muka. Pada saat itu diam-diam Toho kerahkan tenaga-dalam kelengan kiri yang masih dicekal oleh tangan kiri Siau Yau cinjin. Dan secepat kilat, ia meronta terus balas mencengkeram pergelangan tangan Siau Yau cinjin.
Saat itu baru Siau Yau cinjin gelagapan setelah melihat gelagat kurang baik. Tetapi terlambat. Pergelangan tangannya sudah dikuasai oleh Toho. Dan lagi setelah mendapat angin, Toho tak mau memberi ampun lagi. Ia ayunkan tangan Siau Yau cinjin dan melontarkan tubuh cinjin itu ke udara.
Betapapun saktinya Siau Yau cinjin tetapi dalam keadaan yang kalah persiapan itu, terpaksa ia harus menurut. Ketika di udara ia berjumpalitan tubuh hendak menggunakan gerak Gan-loh-peng-sat atau Belibis - jatuh -di- padang - pasir. Ia hendak meluncur turun diatas batu karang.
Tetapi Toho sudah mendahului loncat menyambar pedang Thian-liong-kiam, terus diputar sederas hujan mencurah untuk menyongsong tubuh Siau Yau cinjin.
Siau Yau cinjin benar-benar tak berdaya. Cepat ia menginjakkan kaki kanan ke kaki kiri dan dengan meminjam tenaga pijakan itu ia melambung ke udara lagi.
Lontaran yang dilakukan Toho tadi menggunakan sekuat tenaganya sehingga tubuh Siau Yau sampai terlempar dua tombak di udara. Dan setiap kali Siau Yau cinjin hendak meluncur turun, Toho tentu sudah menyambutnya dengan putaran pedang Thian-liong-kiam.
Ilmu gin-kang Siau Yau cinjin memang hebat tetapi betapapun juga tak mampu ia terus menerus berada di udara. Tiba-tiba tubuh cinjin itu meluncur turun dan terus turun ke bawah jurang. Toho lari menghampiri dan melongok ke bawah. Hanya sejenak masih dapat dilihatnya tubuh pertapa itu tetapi pada lain saat sudah lenyap tertutup kabut yang memenuhi dasar jurang.
Karena girangnya Toho tertawa nyaring dan panjang.
Kebalikannya Hong Ing terkejut sekali. Tanpa disadari ia menjerit: "Suhu........! Suhu.......!"
Toho berpaling dan ketika melihat Hong Ing seketika timbullah kemarahannya. Adalah karena ditipu oleh anak itu maka hampir saja ia kehilangan jiwa ditangan Siau Yau cinjin. Maka baiklah ia lenyapkan saja anak itu. Setelah memotong secarik baju dan membungkus tanganya, ia segera tertawa sinis.
"Hola, budak perempuan, baik-baik sajakah engkau? Ternyata pertapa bangsat itu suhumu" serunya sambil selangkah demi selangkah maju menghampiri.
Melihat suhunya telah jatuh ke bawah jurang, Hong Ing nekad. Ia tak menghiraukan jiwanya lagi. Andai kata lhama itu tak menghampirinya, ia tetap akan datang untuk melampiaskan kemarahannya.
Dengan langkah terhuyung-huyung Hong Ing menyongsong maju dan tiba-tiba ia jatuh di kaki lhama itu. Suatu pikiran nekad cepat melintas dalam benaknya. Ia hendak memeluk kaki lhama itu dan bersama-sama akan menggulingkan diri jatuh ke bawah jurang. Ia hendak mati bersama lhama itu.
Tetapi tiba-tiba matanya silau oleh kilatan sinar kuning dan tahu-tahu ujung pedang Thian-liong-kiam sudah melekat di kerongkongannya.
Hong Ing mengangkat muka dan memandang lhama itu. Ingin ia mengetahui apa maksud lawan tak segera membunuhnya itu.
Toho tertawa seram, serunya : "Pertapa bangsat itu sudah mampus dan engkau begitu setia sekali kepadanya. Hayo lekas engkau susul gurumu ke neraka!"
Ujung pedang diajukan ke muka dan kulit kerongkongan Hong Ingpun sudah tertusuk.
Jatuh ke bawah jurang tentulah gurunya mati. Dan ia sendiri menderita luka yang tak mungkin dapat disembuhkan lagi. Cepat atau lambat iapun tentu mati juga. Lebih baik ia cepat mati saja daripada menderita siksaan.
Setelah merenungkan hal itu, hati Hong Ing malah makin tenang. Serentak ia pejamkan kedua mata. Ia rasakan semangatnya sudah melayang-layang. Tubuhnyapun segera melayang juga dan hanya menunggu Toho meneruskan tusukan pedangnya......
-o0^DW^Agus Ekanto^0o- Mari kita tinggalkan dulu Hong Ing yang tengah menunggu kematian itu dan mengikuti dulu perjalanan Cong Tik bersama Thiat-koan-im Li Wan yang menuju ke gunung Cek-bi-san. Setelah beberapa hari tibalah mereka dikaki gunung itu.
Selama dalam perjalanan itu Cong Tik selalu memutar otak bagaimana mencari jalan untuk melepaskan diri dari wanita sakti itu.
Gunung Cek-bi-san terletak di perbatasan Su-jwan, merupakan gunung belantara yang jarang dijelajah manusia. Sebelum tiba di gunung itu, Cong Tik sudah memperhatikan keadaan ketujuh puncaknya yang berjajar-jajar dengan urut.
Dengan jalan Cong Tik mengingat kata-kata pada mutiara itu ?belok ke selatan pada puncak yang ketujuh'. Itu berarti harus melintasi keenam puncak baru tiba di puncak yang ketujuh. Oleh karena itupun tak mau tergopoh-gopoh.
Thiat-koan-im membawanya memasuki daerah gunung dan setelah berjalan sehari, mereka telah melintasi dua puncak gunung.
Saat itu sudah menjelang petang, kabut pelangi bertebaran memenuhi langit. Sesungguhnya berhaya sekali memasuki gunung itu karena kabut beracun sedang bertebaran.
Tiba-tiba Cong Tik menjerit dan terus roboh.
Sejak kecil Thiat-koan-im Li Wan hidup di wilayah Hunlam yang penuh kabut beracun. Mungkin diseluruh dunia pegunungan Hunlam itulah yang paling banyak kabut racunnya. Dari tigabelas macam kabut beracun ada sejenis yang paling ganas. Baik binatang maupun manusia, apabila terlekat dengan kabut beracun itu dalam waktu sejam tentu akan mati menjadi segumpal cairan darab. OIeh karena itu Thiat-koan-im Li Wan faham tentang jenis-jenis kabut yang beracun.
Selekas jatuh terduduk Cong Tik terus menutup peredaran darah. Wajahnya berobak kelabu besi dan tubuhnya menggigil tak henti-hentinya.
"Locianpwe, rupanya aku terkena kabut beracun, mohon locianpwe suka menolong jiwaku!" serunya meratap.
Thiat-koan-im Li Wan percaya saja. Ia kerutkan dahi.
''Aku sih suka saja menolongmu tetapi perintah ciangbujin mana boleh dilanggar?" katanya. Ia merogoh ke dalam dada bajunya dan mengeluarkan sebuah botol kumala lalu duduk di sisi Cong Tik.
"Bubuk obat ini mustajab sekali terhadap kabut selama tiga hari, engkau tentu sembuh. Tetapi ingat, jangan injakkan kaki di daerah Hunlam lagi, kalau tidak, akupun tak dapat menolongmu"
Girang hati Cong Tik. Buru-buru ia menyambut botol itu. Dan tanpa melihat lagi, Thiat-koan-im Li Wan terus melangkah pergi. Setelah wanita tua itu sudah tak tampak, barulah Cong Tik loncat bangun dan terus menendang botol kumala itu : "Huh, nenek jahanam, siapa sudi makan obatmu!"
Dengan gembira ia terus ayunkan langkah. Tetapi baru tiga langkah, tiba-tiba terdengar angin menderu. Beberapa macam kabut berwarna berhamburan terbawa angin.
Karena kabut itu berwarna tipis maka ia tak merasa. Setelah mencium bau harum yang aneh baru ia terkejut dan seketika itu melihat dua lapis kabut merah yang tipis telah melanda dirinya. Kejutnya bukan kepalang. Jelas dia telah terkena kabut beracun. Cepat ia berhenti tetapi kepala dan matanya telah terasa berkunang-kunang, badan letih sekali, ingin tidur. Saat itu baru ia menyesal mengapa ia melemparkan obat pemberian nenek Thiat-koan-im tadi. Apa boleh buat, terpaksa ia balik kembali untuk mencari ke gerumbul semak.
Tetapi hampir setengah jam lamanya, belum juga ia berhasil menemukan obat itu. Pada hal kepalanya makin pening, haripun makin gelap.
Cong Tik menghela napas putus asa. Betapapun manusia hendak berdaya tetapi keputusan ditangan Tuhan. Tak nyana pada saat ia hampir berhasil mendapatkan pusaka itu, dia harus mati disambar kabut beracun.
Dia duduk dan menjalankan pernapasan. Didapatinya tenaga-dalamnya tak kurang suatu apa. Hanya kepalanya pening dan ingin tidur saja.
Ia pejamkan mata dan merasa tentu mati. Tetapi sekonyong-konyong ia merasa bukan duduk di tanah tetapi duduk di atas suatu benda yang agak keras. Ia paksakan diri untuk memeriksa. Seketika terkejutlah ia. Kiranya ia sedang duduk diatas kerangka tengkorak manusia. Membayangkan bahwa apabila ia rubuh binasa, beberapa bulan lagi tentu akan berubah seperti tengkorak itu. Seketika semangat untuk hidup bangkit kembali.
Serentak iapun mempunyai keyakinan bahwa obat dari Thiat-koan im itu tentu berada di sekitar tempat itu. Ia percaya nenek itu tentu tak bohong. Asal dapat menemukannya, tentu ia dapat sembuh.
Serentak ia mulai mencari lagi. Ah, kembali ia mendapatkan sebuah tengkorak manusia, lalu dua buah lagi. Yang satu menindih di atas yang lainnya. Dan girangnya bukan kepalang ketika melihat botol kecil itu berada di bawah tengkorak itu.
Selekas mengambil botol obat itu, tanpa memeriksa lebih jauh ia terus menelan isinya. Rasanya pedas sekali dan tak berapa lama badannya keluar keringat. Dan tak berapa lama perutnya sakit dan berak-berak. Memang ia merasa lemas tetapi- rasa lelahnya hilang. Ia duduk bersandar pada batu untuk beristirahat.
Rembulan bersinar terang, empat penjuru alam sunyi senyap. Tiba-tiba ia teringat akan kedua tengkorak itu. Mencurigakan sekali.
Gunung disitu merupakan daerah belantara yang tak pernah dijelajah manusia. Tetapi mengapa terdapat dua buah tengkorak manusia? Berpaling ke samping, ia melihat di tengah kedua tengkorak itu sebuah benda berkilat kilat. Tadi memang iapun sudah melihatnya, tetapi karena lebih mementingkan mencari obat maka ia tak begitu memperhatikan. Kini baru ia tahu bahwa benda itu ternyata sebatang pedang kecil yang panjangnya hanya tiga dim, pedang itu menancap pada sebuah tulang rusuk salah satu tengkorak itu.
Cong Tik segera menghampiri dan mencabut. Walaupun kecil tetapi pedang itu jelas bukan pedang biasa. Diperiksanya beberapa jenak tetapi ia tak dapat mengetahui asal usul pedang itu. Terpaksa ia menyimpan dalam bajunya.
Memeriksa tengkorak yang satunya, ternyata tujuh buah tulang rusuknya telah patah. Cong Tik menduga, kedua orang itu semasa hidupnya tentu sepasang musuh. Mereka bertempur dan mati di tempat itu.
Ia menendang kedua tengkorak itu hingga terpencar. Mungkin masih ada lain benda yang dapat ditemukan tetapi ternyata tidak ada.
Akhirnya ia memutuskan untuk segera melanjutkan perjalanan ke puncak yang ketujuh.
Lebih kurang setombak berjalan, kembali ia memijak sebuah benda. Dan ketika memandang ke bawah iapun terlongong-longong.
Ternyata yang dipijaknya itu sebuah botol kecil terbuat dari kumala. Diambil dan diamatinya lalu dibukanya, ternyata bubuk obat dalam botol itu masih penuh.
"Heran, bukankah nenek gila tadi hanya memberi aku sebotol obat? Mengapa setelah kuminum masih ada sebotol lagi ?" pikirnya penuh keheranan.
Setelah berpikir beberapa saat, baru ia tahu persoalannya. Botol obat yang diminumnya tadi tentulah berasal dari kedua tengkorak itu. Tetapi kalau menurut keterangan nenek Thiat-koan-im, ramuan bubuk obat penawar kabut racun, tiada seorangpun kecuali dia yang dapat membuat. Ah, baiklah kelak apabila mendapat kesempatan ia tanyakan saja kepada nenek Thiat-koan-im apakah nenek itu pernah memberikan sebotol bubuk obat ke pada lain orang lagi. Dari keterangan nenek itu, tentulah ia dapat menyelidiki siapakah kedua tengkorak itu.
Dengan pemikiran itu bukanlah Cong Tik hendak memberitahu kepada keluarga dari kedua tengkorak itu tetapi hanya karena ia merasa heran dengan pedang kecil mereka. Tak tahu ia bagaimana ia harus menggunakannya.
Apabila dapat mengetahui asal usul orang itu, tentu dapat mencari keterangan bagaimana menggunakan pedang kecil itu. Kesemuanya itu adalah demi kepentingan dirinya sendiri.
Hatinya makin besar, semangatnya menyala. Apabila tiba di puncak ketujuh itu, dia tentu akan mendapat keuntungan lebih banyak lagi. Demikian setelah berjalan semalam, barulah ia tiba di puncak yang ketujuh.
Sesungguhnya ia sudah tak kuat. Lebih baik ia tidur dulu baru setelah tenaganya pulih, mencari batu besar itu. Demikianlah ia segera mencari sebuah pohon besar dan tidur di atas sebatang dahan. Dilihatnya burung kakak tua putih pemberian gurunya, masih beterbangan diatas pohon. Tak berapa lama iapun jatuh pulas.
Entah berselang berapa lama, dia bermimpi buruk dan terbangun. Hampir saja ia jatuh kebawah. Saat itu ternyata matahari sudah berada di tengah udara. la merasa tenaganya sudah hampir pulih. Cepat ia loncat turun dan ayunkan langkah. Lebih kurang sejam berjalan ia melihat sebuah batu besar, tinggi dua meter, panjang beberapa tombak, mirip orang yang sedang tidur. Tepat sekali dengan yang disebut kata-kata pada mutiara 'batu besar yang mirip orang"
"Ah, itulah !" serunya gembira, siapa tahu baru ia berseru begitu, tiba-tiba dari balik batu itu terdengar suara orang menyahut : "Ya, benar memang disitu. Sayang engkaupun seperti aku, terlambat beberapa tahun, tiada gunanya".
Nadanya tinggi dan tajam jelas seorang tokoh yang memiliki tenaga-dalam hebat. Kejut Cong Tik bukan kepalang. Cepat ia mengambil pedang kecil bersiap-siap. Jika orang itu bermaksud jahat, hendak ia serang.
"Siapa itu ?" serunya.
Sebagai jawaban terdengar suara tertawa mengekeh dan sesaat kemudian muncullah seorang manusia yang aneh. Rambutnya yang kuning terurai melingkar-lingkar seperti ular sepasang lengannya panjang sekali tetapi kakinya pendak. Begitu muncul ia terus loncat ke atas batu.
"Aku, budak kecil engkau memang sial karena berjumpa dengan aku yang sedang marah. Serahkan jiwamu" serunya terus mengulurkan lengannya yang panjang hendak menyambar Cong Tik.
Cong Tik cepat menghindar ke samping. Gerakan orang itu dahsyat sekali, menimbulkan angin yang menampar muka Cong Tik sehingga sakit. Segera ia menyadari bahwa orang itu bukan lawannya. Dia hanya membekal pedang kecil yang tak tahu bagaimana penggunaannya.
Salah perhitungan, dia tentu celaka. Maka begitu menghindar ke samping ia terus lanjutkan membuang tubuhnya jumpalitan sampai setombak jauhnya. Begitu berdiri tegak ia terus berputar menyingkir sampai setombak lagi jauhnya.
Ketika memandang ke muka dilihatnya wajah orang itu menampilkan kerut keheranan dan mendesuh kaget tetapi tak mau mengejar. Anehnya lagi, burung kakaktua putih yang berada di udara itu, tiba-tiba terbang meluncur menghampiri orang aneh itu.
"Putih, jangan mengantar jiwamu" cepat-cepat ia meneriaki kakaktua itu. Tetapi burung itu malah hinggap di bahu manusia aneh, sedang orang aneh itu mengelus-elus bulunya dan tertawa : "Putih, ternyata engkau belum mati".
"Belum mati, belum mati", si Putih menirukan kata-kata orang itu.
Seketika Cong Tik teringat akan pesan suhunya Bu Wi lhama. la memberanikan diri maju menghampiri dan berseru : "Apakah aku berhadapan dengan thay-susiok ?"
Orang aneh itu mengangkat muka dan memandang Cong Tik. Ia menggerakkan tangan kanan menuding Cong Tik, sedang tangan kirinya ternyata tinggal lengan, kelima jarinya hilang semua.
"Apakah engkau muridnya Bu Wi? " serunya.
Mendengar itu serta merta Cong Tik berlutut memberi, hormat : "Thay-susiok, cucu murid menghaturkan hormat".
Orang aneh itu mengebutkan tangan dan Cong Tik segera terangkat bangun. Diam-diam pemuda itu kagum sekali atas kesaktian tenaga-dalam paman kakek gurunya atau thay-susiok.
"Thay-susiok, tak nyana kalau di tempat ini akan berjumpa dengan thay-susiok yang dengan susah payah memang hendak kucari".
Sambil berkata diam-diam ia menyimpan lagi pedang kecil ke dalam bajunya. Orang aneh itu bukan lain adalah Toho lhama, lhama yang karena bertempur dengan Siau Yau cinjin telah kehilangan kelima jari tangan kirinya.
"Tak usah banyak peradaban" serunya, "aku sudah bertemu dengan suhumu ketika berada di guha Siau-yau-tong gunung Ke-tiok-san."
Sebenarnya memang Cong Tik tak tahu mengapa paman kakek gurunya itu tiba-tiba berada disitu. Mendengar keterangannya telah pergi ke guha Siau yau-tong, timbullah dugaan Cong Tik, apakah Hong Ing yang memberitahu kepada kakek guru itu? Tentang tempat penyimpanan pusaka? Tetapi rasanya Hong Ing hanya mengetahui ketiga huruf yang berbunyi Cek-bi-san dan tak tahu tentang batu -besar yang mirip orang. Dan pula mengapa kakek gurunya mengatakan kalau sudah terlambat beberapa tahun, apakah maksudnya ?
Maka ia hanya mengiakan saja sedang dalam hati, ia sudah merencanakan apabila ada kesempatan ia hendak menyelidiki maksud paman kakek gurunya.
Setelah menanyakan nama Cong Tik, Toho segera mengajukan pertanyaan: "Mengapa engkau datang kemari? Menilik betapa bersemangat engkau tadi, tentulah engkau juga tahu akan rahasia itu ?"
Menilik nada teguran paman kakek gurunya amat bengis, segera Cong Tik teringat bagaimana ganas kakek guru itu tadi hendak menerkamnya. Apabila tiada si kakaktua putih yang segera hinggap dibahu kakek gurunya itu, tentulah sukar untuk ia mengaku sebagai cucu murid dan tentu saat itu sudah celaka. Maka Cong Tik segera menduga bahwa paman kakek guru itu tentu tahu akan rahasia pusaka di gunung Cek bisan oleh karena itu baiklah ia pura-pura mengatakan tak tahu saja.
"Thay-susiok, rahasia apa yang engkau maksudkan? Apakah mengenai berita di dunia persilatan tentang peristiwa dirampasnya barang berharga besar yang sedang dikawal oleh perusahaan piau-kiok Jin Yang di Gun beng itu.."
"Sudah, jangan teruskan!" cepat Toho menukas, "apa maksud kedatanganmu kemari ?"
"Suhu memerintahkan aku supaya mencari thay-susiok maka akupun menjelajahi seluruh pelosok negeri. Thay-susiok, mengapa engkau berada disini ?" dengan licin Cong Tik balas bertanya.
Dengan seenak hatinya Toho menyahut: "Aku mengembara ke seluruh dunia. kemana aku suka, ke situlah aku pergi".
Diam-diam Cong Tik memaki paman kakek gurunya itu seorang tua bangka yang licin. Ia segera mendesak pertanyaan lagi.
"Thay-susiok, apa maksudmu mengatakan sudah terlambat beberapa tahun tadi ? Apa yang terlambat ?"
Wajah Toho berubah gelap, sahutnya : "Perlu apa banyak bertanya ?"
Memang dalam kepandaian Toho jauh lebih sakti beberapa kali dari Cong Tik tetapi dalam soal kecerdikan otak Cong Tik lebih menang. Cepat Cong Tik dapat mengetahui bahwa thay-susioknya itu tentu juga hendak memburu pusaka yang tertera pada pelana bertabur mutiara.
"Thay-susiok, ketika tiba di gunung Tay-pat-san, seorang tua telah memberitahu kepadaku bahwa di gunung ini, di tepi batu yang mirip bentuk orang..."
Tiba-tiba rambut Toho meregang tegak, kedua biji matanya melotot dan cepat ulurkan tangan kiri menyambar lengan kanan Cong Tik.
"Aduh, thay-susiok lepaskanlah !" Cong Tik menjerit kesakitan.
"Siapa nama orang tua itu dan apa yang dikatakan kepadamu ?"
Sebenarnya Cong Tik hanya merangkai suatu cerita kosong untuk menggali keterangan dari mulut thay-susioknya. Setitikpun ia tak mengira kalau akan menderita kesakitan begitu. Buru-buru ia meminta : "Thay-susiok, sukalah lepaskan lenganku. Kepandaianku masih dangkal, tak kuat menderita cekalan thay-susiok !"
Tohopun mau melepaskan. "Orang tua itu sudah mati dan tak mengatakan namanya. Dia hanya mengatakan bahwa di puncak ketujuh dari gunung Cek-bi-san, terdapat sebuah batu besar mirip bentuk orang, tujuh langkah sebelah kanan batu itu terdapat sebuah lubang yang berisi barang. Dia tak mengatakan barang apa itu. Hanya mengatakan bahwa didunia tiada orang yang tahu rahasia itu kecuali dia seorang. Habis berkata ia terus mati karena lukanya yang parah. Thay-susiok, benarkah keterangan orang tua itu? Apakah rahasia itu benar-benar tiada orang yang tahu?"
Hatinya dikili oleh Cong Tik, Toho tertawa dingin : "Ngaco ! Kalau aku tak tahu perlu apa datang kemari!"
"Memang aku sudah percaya, boleh saja lain orang tak tahu tetapi thay-susiok yang sakti tak mungkin tak tahu. Apakah sesungguhnya rahasia itu ?"
"Engkau lihat sendiri saja " teriak Toho.
Cong Tik segera berjalan mengitari batu besar itu. Tiba dibelakangnya ia melihat duapuiuh buah guha yang berjajar-jajar dengan rapi. Setiap guha luasnya setengah meter. Dengan hati berdebar keras, Cong Tik lalu menghitung guha yang ketujuh dari sebelah kanan. Guha itu sama dengan yang lain, di tengahnya penuh ditumbuhi rumput. Ia ulurkan tangan ke dalam guha itu merogoh tetapi tak menemukan apa-apa. Ia terkejut sekali.
"Tak terdapat apa-apanya, thaysusiok !" teriak Cong Tik.
"Sudah kukatakan kepadamu" kata Toho, "kita sudah terlambat"
Ia menghentakkan kaki ke tanah dan menggeram : "Tak peduli jatuh ke tangan siapa, kalau tak dapat merebutnya, aku bersumpah tak mau jadi manusia ! Sungguh menjengkelkan pertapa bangsat itu. Bukan saja telah memenjarakan aku selama tujuh tabun, juga telah menelantarkan urusanku yang besar!"
Makin mendengar makin Cong Tik tak mengerti apa yang dikatakan thay-susioknya itu. la tahu bahwa kakek gurunya itu seorang yang limbung pikirannya. Dalam kecerdikan ia merasa dapat melebihinya.
Ternyata turunnya Toho lhama dari gunung dahulu adalah disebabkan karena suhengnya atau suhu dari Bu Wi lhama pernah mengembara ke daerah Tiong-goan dan begitu kembali ke gunung tiba-tiba sakit dan meninggal dunia. Pada saat menghembuskan napas yang terakhirnya, dia menyerahkan pimpinan biara kepada Toho. Dan juga memberitahu kepadanya bahwa dalam dunia persilatan di Tiong-goan tersiar berita tentang sebuah pelana kuda yang mengandung rahasia. Apabila dapat memperoleh pelana pusaka itu, tentu besar sekali manfaatnya.
Pada saat membicarakan hal itu, Bu Wi lhama juga hadir. Toho tergerak hatinya. Dia memang tak senang dengan pekerjaan yang hambar dalam biara. Selekas suhengnya meninggal, dia segera menyerahkah urusan biara kepada Bu Wi lhama atau murid keponakannya. Sedang dia terus turun gunung. Tetapi hampir setahun berkelana di dunia persilatan, dia tak memperoleh hasil apa-apa.
Ketika tiba di daerah Hunlam ia berjumpa dengan dua orang pria dan seorang wanita yang sedang mengadakan perundingan rahasia. Toho cepat mengetahui bahwa ketiga orang itu juga kaum persilatan. Di antaranya yang dua orang adalah suami isteri. Yang mereka bicarakan juga mengenai pelana pusaka itu. Dan rupanya ke tiga orang itu saling bertengkar. Jika pelana kuda itu benar-benar sebuah pusaka berharga bagaimana mereka hendak mengadakan pembagian ?
Toho yang bersembunyi di samping dapat mendengar jelas. Tiba-tiba ia menggerung keras dan loncat keluar. Tetapi ketiga orang itu juga bukan jago silat lemah, hanya mereka bukan tandingan Toho. Tak sampai sepuluh jurus, kedua lelaki dapat dilukai dan yang perempuan terus melarikan diri. Pada saat Toho hendak membunuh kedua orang itu, Siau Yau cinjin kebetulan lewat di situ. Ia anggap Toho keliwat ganas dan juga mengenali salah seorang korban itu sebagai seorang jago silat yang ternama juga. Dan selama ini namanya harum sebagai pendekar budiman. Siau Yau cinjin tak merelakan dan akhirnya bertempur dengan Toho.
Saat itu Siau Yau cinjin sudah berhasil melatih diri dalam Thian-jiu-kang, tak sampai enampuluh jurus, Toho dapat ditawan.
Melihat perangainya begitu buas, Siau Yau cinjin segera membawa Toho ke sebuah kota yang terdekat. Disitu dia memesan sebuah peti besi yang besar, memasukkan Toho ke dalam peti besi agar dapat merobah perangainya. Hanya sebuah lubang hawa sebesar ibu jari dilubangkan pada peti untuk pernapasan Toho. Setelah itu peti dilempar ke dalam telaga.
"Walaupun telaga ini dalam tetapi setelah satu tombak dibawah, dasarnya merupakan sebuah lubang sebesar sumur. Peti besi takkan tenggelam. Kalau engkau tak mau mati, di dalam telaga itu banyak ikannya, mereka tentu akan menyelinap masuk ke dalam lubang peti besi, dapat jadi bahan makanan. Dengan kepandaian yang engkau miliki, walaupun peti itu penuh air tetapi ia tentu mampu membawanya melambung ke permukaan air sampai setombak tingginya. Jelas engkau takkan mati. Sepuluh tahun lagi, aku akan datang melepaskanmu. Harap engkau baik-baik menjaga diri." kata Siau Yau cinjin dalam pesannya sewaktu melemparkan peti besi itu ke dalam telaga.
Setelah tujuh tahun berada dalam peti besi, tanpa disengaja Hong Ing telah menolong membebaskannya.
Selesai mendengar cerita thay-susioknya, Cong Tik segera teringat akan kedua tulang kerangka manusia tadi. Mungkin mereka adalah tulang kerangka dari kedua pria yang dibunuh Toho dulu.
Tetapi Toho hanya mengatakan kalau kedua orang itu terluka, belum mati. Dan dengan kepandaiannya yang tinggi, Siau Yau cinjin tentu dapat menyembuhkan mereka. Dengan begitu jelaslah kalau yang dalang mengambil pusaka di gunung Cek-bi-san itu tentulah mereka berdua. Tetapi mengapa keduanya mati disitu ? Apakah mereka saling berebut lalu bunuh membunuh sendiri ? Ah, mungkin. Lalu kemanakah pusaka yang diperoleh mereka itu?
Secepat kilat Cong Tikpun teringat akan pedang kecil yang disimpannya lalu bertanya: "Thay-susiok, kedua orang yang bertempur dengan engkau itu menggunakan senjata apa, apakah engkau masih ingat ?"
Toho tak tahu apa maksud pertanyaan Cong Tik. Ia hanya menjawab saja : "Sudah tentu ingat. Yang seorang menggunakan ruyung baju sembilan ruas. Tetapi yang seorang memakai senjata yang aneh".
"Apakah sebatang pedang pendek ?" karena tak dapat menahan diri, Cong Tik terus bertanya.
"Pedang kecil ?" Toho terkejut, "bukan. Dia menggunakan sepasang gelang emas yang bertabur besi runcing !"
Cong Tik terkejut, apa yang diduga ternyata benar. Karena tak leluasa menggunakan pedang kecil maka kedua orang itu menggunakan senjata lain untuk menghadapi Toho.
Tetapi Toho memberi keterangan bahwa tidak seorangpun dari kedua lawannya itu yang membawa pedang kecil. Dengan begitu menandakan bahwa pada saat itu mereka berdua masih belum memiliki pedang itu, baru belakangan saja mereka memperoleh pedang itu. Jelas pedang itu tentu diambilnya dari lubang guha yang ketujuh. Diam-diam Cong Tik girang karena liku-liku nasib telah menentukan pedang pusaka yang berbentuk kecil itu akhirnya jatuh ke dalam tangannya.
Tetapi adakah barang-barang pusaka yang terdapat dalam lubang guha hanya sebatang pedang itu saja?
Kegembiraan hati Cong Tik segera berkurang beberapa bagian. Karena walaupun sebuah pusaka yang luar biasa tajamnya tetapi pedang itu terlalu kecil sekali sehingga sukar digunakan kecuali hanya sebagai senjata rahasia yang disambitkan pada musuh.
Kemungkinan besar tentu masih ada lain-lain benda pusaka, kalau tidak berada dalam lubang guha ketujuh tentulah berada pada tulang kerangka manusia itu. Asal mencarinya lagi, tentulah ia akan menemukannya.
Mentari Senja 3 Adat Muda Menanggung Rindu Karya Bagindo Saleh Pelangi Dilangit Singosari 30
^