Pencarian

Sabuk Kencana 6

Sabuk Kencana Ikat Pinggang Kemala Karya Khu Lung Bagian 6


Walaupun Poei Hong bertindak cukup bijaksana, namun kedua belas orang manusia berkerudung inipun merasa serba susah, sebab maju celaka mundurpun bakal celaka pula, taruh kata mereka lari dari hadapan musuh tangguh ini, sekembalinya kemarkas peraturan perkumpulan telah siap menerima tubuh mereka, bahkan kemungkinan sebelum binasa mereka akan merasakan dahulu bagaimana tersiksanya terbakar oleh api belerang.
Karena sadar bukan tandingan, mereka segera bersuit nyaring, suitan itu menandakan keadaan yang terdesak dan mohon bantuan.
Begitu nyaring suitan tadi, ditengah malam buta yang sunyi suara mengalun hingga mencapai puluhan li jauhnya.
Sebenarnya siauw-Bin-Loo-sat Poei Hong tidak ingin mengejutkan anggota perkampungan lainnya, kini dengan menggemanya suara suitan nyaring tersebut, semua orang jadi terjaga dari tidurnya, genta bahaya yang berada dalam perkampungan segera dibunyikan bertalu2 suasana ramai dan hiruk pikuk.
Bayangan manusia berkelebat silih berganti, cahaya lampu menerangi seluruh jagad, si burung hong hijau Thioo see dengan mencekal pedang berlarian datang disusul siauw Leng siauw Lan, siauw Goei serta siauw Giok yang melindungi keselamatan Tonghong Beng coe.
Menyaksikan semua orang telah bermunculan, Poei Hong kerutkan sepasang alisnya, air muka menunjukkan masgul dan murung, tapi dengan cepat ia bisa menguasai keadaan, aturnya.
"Cianpwee, harap kau suka membawa siauw Ling, siauw Lan dua orang dayang melindungi keselamatan anggota perkampungan serta isi kampung, sedangkan Adik Coe ber-sama2 siau Coei serta siauw Giok pergilah melindungi anak2 kita, perduli bagaimanapun keadaannya kalian jangan sekali2 keluar dari rumah dan tak usah pula kuatirkan keselamatanku, ingatlah baik2. Ingatlah baik2 !"
Sementara mereka masih bicara, kurang lebih dua puluh li jauhnya dari perkampungan menggema datang pula suara suitan yang tak kalah nyaringnya, gadis itu segera sadar peluang baik dengan cepat akan hilang, kalau ia tidak bereskan dahulu kedua belas orang manusia berkerudung ini mungkin posisi akan tidak menguntungkan dirinya.
Apalagi gembong2 iblis yang berada dibelakang memiliki kepandaian silat jauh lebih lihay, ia tak dapat sangsi lagi, sedikit berayal dalam melakukan tindakan berarti ancaman malapetaka buat diri sendiri. Berpikir demikian, ia lantas gertak gigi, bentaknya nyaring: "Lihat serangan !"
-oooodwoooo- Jilid : 09 ILMU Koe Lie Sin-kang atau ilmu sakti kura merekah tidak malu disebut kepandaian maha sakti, selama tiga tahun ini Poei Hong telah memanfaatkan kemujaraban dari pil kadal raksasa putih yang didapatkan digunung Bong-san tempo dulu dan berhasil menembusi kedua buah nadi penting Jien serta Tok yang ada didalam tubuhnya, tenaga lweekang kontan berlipat ganda dan jauh lebih dahsyat dari keadaan tiga tahun berselang.
Tempo dulu, didalam sekali gebrakan ia masih sanggup membinasakan Peng Pok Sin-mo, coba bayangkan saja kedua belas orang manusia berkerudung ini, meski mereka terhitung jagoan kelas wahid dalam dunia persilatan, namun sanggupkah orang2 itu menahan datangnya serangan dahsyat ini ?
"Braaak !" ditengah getaran yang sangat keras, dua sosok bayangan hitam sambil menjerit ngeri mencelat kearah belakang, mayat mereka terlempar tiga tombak dari permukaan dan roboh menerjang dinding pekarangan.
Sepuluh orang manusia berkerudung lainnya, setelah menyaksikan bagaimana rekan mereka binasa dalam mengerikan, jadi gusar berkobarkan sifat ganas serta buas mereka.
Sambil meraung keras, pedang panjang berkelebat memenuhi angkasa, disertai desiran bunga2 pedang yang menyilaukan mata, mereka serang gadis itu dengan serangan yang paling ganas, paling keji.
Siauw-Bin-Loo-sat Poei Hong tertawa nyaring, ujung baju putihnya berkelebat menyambar kesana kemari, dalam beberapa saat kemudian kembali beberapa orang manusia berkerudung pada berjatuhan mati, sehingga akhirnya tinggal lima orang belaka, pecahlah nyali mereka. Masih untung ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki lumayan sehingga berulang kali berhasil lolos dari jarum, meski demikian mereka sudah ketakutan setengah mati, sukma serasa telah melayang keluar tinggalkan raganya.
Dari gerak gerik serta serangan kelima orang ini, dengan cepat Poei Hong dapat kenali asal usulnya, tiba-tiba ia membentak keras:
"Oouw..., kiranya kalian adalah Hian-Auw Chiet-Yan tujuh walet dari Telaga Hian-Auw. Hmmm mengingat pada hari-hari biasa jarang sekali kalian melakukan kejahatan, pun Hujien suka membuka sebuah jalan hidup dan melepaskan kalian dari cengkeraman kematian. Cepat-cepatlah lepaskan diri dari ikatan organisasi kaum iblis terkutuk itu. Kalau tidak, hmm... jika terjatuh kembali ketanganku, kalian akan kubinasakan tanpa ampun. Nah sekarang pergilah."
Lima manusia berkerubung itu tidak mengucapkan sepatah katapun, setelah mengepit dua sosok mayat saudaranya, mereka menjura dalam-dalam kearah siauw-Bin-Loo-sat setelah itu ujung baju hitam berkibar ditengah malam buta, bagaikan sukma-sukma gentayangan mereka lenyap dibilik kegelapan.
Baru saja kelima orang manusia berkerudung itu berlalu, suitan nyaring telah tiba di luar perkampungan, begitu nyaring dan tajamnya jeritan tersebut sehingga sangat menusuk pendengaran.
Siauw Bin Loo Sat Poei Hong langsung mendengus dingin.
"Hmmm, setelah kalian berani mencari satroni dengan perkampungan kami, kenapa tidak cepat2 unjukkan diri untuk terima kematian? aku lihat lebih baik cepat2lah kalian ikut mendaftarkan diri didepan pintu neraka menyusul rekan2mu sebelumnya."
"Hmmm....Hmmmm.... budak busuk sombong benar kau, berani bicara besar dihadapan kami."
Bersamaan dengan suara tersebut munculkan tiga sosok bayangan hitam bagaikan hembusan angin malam, tahu2 mereka telah melesat lewati pagar pekarangan dan melayang turun keatas permukaan tanah.
Suara dari orang yang barusan bicara, Poei Hong merasa se-akan2 pernah mendengarnya disuatu tempat, hanya saja pada saat ini ia tiada waktu untuk berpikir lebih jauh, sepasang matanya yang tajam bulat menatap orang2 itu dengan bengis.
Pemimpin dari gembong iblis inipun mengenakan baju hitam kerudung hitam, hanya saja disisi mantelnya yang berwarna hitam bersulamkan benang perak, sementara diatas dadanya bersulaman empat huruf yang berbunyi "Hiong-Hun Nomor tiga," sedangkan dua orang lainnya pun mempunyai sulaman yang serupa diatas dadanya, hanya saja tulisan mereka berbunyi: "Lee-Pok Nomor lima" dan "Lee-Pok nomor enam."
Hiong Hun artinya Roh Bengis, sedangkan Lee-Pok artinya sukma ganas.
Melihat tulisan2 itu Poei Hong terkesiap sementara si burung Hong Hijau Thio see serta seluruh penjaga kampung yang hadir dalam kalanganpun merasa terjelos hatinya setelah membaca tulisan yang mengerikan itu, air muka mereka berubah hebat, hati merasa sangat tidak tenteram.
Dalam pada itu tiga gembong iblis tersebut telah tiba diluar tembok pekarangan kampung dan temukan lima sosok mayat yang bergelimpangan diatas tanah, menjumpai mayat2 itu mereka segera berpikir:
"Aaai, meski disini menggeletak lima sosok mayat tidak mungkin kedua belas orang sukma gentayangan yang dikirim datang jatuh di tangan musuh semua." Ia bisa berpikir demikian bukannya tanpa alasan yang kuat.
Haruslah diketahui dua belas orang Yoe-Leng atau sukma gentayangan yang dikirim datang ke perkampungan pa In-san-Cung malam ini terdiri dari Hian-Auw-Chiet Yan tujuh walet dari telaga Hian-Auw serta "say-Pak-Nao-Hiong Lima Manusia Bengis dari Perbatasan Utara" yang tempo hari berselang merupakan tokoh2 aliran iblis yang disegani orang, mereka masing2 memiliki ilmu silat maha sakti, meski lima orang manusia aneh dari kolong langit dewasa inipun belum tentu bisa membereskan orang2 itu didalam satu gebrakan belaka, kecuali orang itu benar2 memiliki ilmu silat maha sakti yang tiada tandingannya dikolong langit.
Ingatan tersebut laksana sambaran kilat berkelebat dalam benak tiga gembong iblis itu, tiga pasang mata dengan buas dan bengis mengawasi nyonya berbaju putih dihadapannya tajam2.
Udara malam cerah bagaikan air, cahaya rembulan menyoroti seluruh permukaan jagad, Poei Hong berdiri dengan angker serta agungnya dalam kalangan, wajahnya yang cantik serta potongan badannya yang menggiurkan menambahkan kesemaraknya pemandangan ketika itu.
Lee-Pok nomor lima yang tinggi kurus serta Lee-Pok nomor enam yang gemuk kate merasa heran dan tidak percaya, mereka tidak percaya kalau perempuan cantik laksana bidadari yang lemah lembut ini memiliki ilmu silat maha sakti yang tiada tandingannya dikolong langit.
Tanpa terasa mereka berpaling keempat penjuru, tampaklah si burung hong hijau Thio see dengan mengenakan baju warna abu-abu serta gaun hitam berdiri penuh kegusaran di sana, senjata pedangnya telah dipersiapkan dalam genggaman. "Hmmm Hmm........ kembali seorang nyonya ?"
"Apakah dalam perkampungan ini tak ada seorang lelakipun yang bisa bermain silat?" pikir mereka. "Kalau begitu, kedua belas sosok sukma gentayangan yang dikirim datang tentu sudah roboh binasa semua ditangan dua orang nyonya ini."
Sementara mereka berdua hendak menghardik, tiba-tiba terdengar Hiong-Hun nomor Tiga tertawa seram.
"Hmmm...hmm...aku kira siapakah yang begitu bernyali berani turun tangan keji terhadap dua belas sosok sukma gentayangan dari perkumpulan Yoe Leng Kauw, kiranya semua korban adalah hasil karya dari kau, siauw-Bin-Loo-sat. Hmm...hmm... tidak heran sampai jadi begini, tidak heran kalau sampai jadi begini." Ucapannya dingin, kaku, seram dan kasar sekali.
Mengetahui Nyonya cantik berbaju putih yang ada dihadapannya ternyata bukan lain adalah siauw-Bin-Loo-sat yang telah membinasakan Peng Pok sin-mo dalam sekali gebrakan serta melempar tubuh Im-Yang-Kauwcu kedalam jurang, Lee-Pok nomor Lima serta Lee-Pok nomor enam menjadi amat terperanjat, dengan air muka berubah hebat mereka mundur beberapa langkah kebelakang.
Dengan tangan kiri membereskan rambutnya yang awut-awutan, siauw-Bin-Loo-sat Poei Hong tertawa lantang, serunya:
"Mau sukma Gentayangan juga boleh, roh Bengis sukma Ganas juga sesuka, pokoknya barang siapa yang berani mencari satroni dengan perkampungan pa In-san-Cung kami, hati-hati saja dengan batok kepalanya, jangan2 bisa pulang tinggal namanya belaka."
Habis bicara, bibirnya yang kecil mungil kembali dipentangkan memperdengarkan gelak tertawa yang keras, lantang dan nyaring.
Walaupun gelak tertawa itu sangat mempesonakan hati orang, namun nada ucapan yang diutarakan membuat tiga orang manusia berkerudung itu merasakan hatinya bergidik, tanpa sadar bulu kuduk pada bangun berdiri.
Hiong-Hun Nomor Tiga tidak malu diangkat sebagai pemimpin rombongan, sepasang alis yang tersembunyi dibalik kain kerudung segera dikerutkan rapat2 lalu tertawa dingin tiada hentinya.
"Siauw-Bin Loo-sat," tegurnya kasar. "Walaupun kau membunuh orang tanpa berubah air muka, haruslah diketahui aku Hiong-Hun si Roh Bengis Nomor Tiga pun mempunyai nama jelek yang bisa mendirikan bulu roma, batok kepala siapa yang akhirnya dipenggal.... heee heeee rasanya saat ini masih terlalu pagi untuk dikatakan."
"Ooouw.... jadi kau yakin bisa menangkan diriku ?" jengek si iblis wanita berwajah Riang ini dengan alis melentik, ia tersenyum sampai dekiknya kelihatan nyata. Bersamaan dengan selesainya ucapan tersebut ia maju beberapa langkah kedepan.
Selama tiga tahun ini, Hiong-Hun si Roh Bengis Nomor Tiga mengasingkan diri dalam Cian-Ciang-Kok atau Lembah selaksa Kabut untuk meyakini ilmu pukulan Han-Pek-Tok-ciangnya lebih mendalam, cairan darah binatang berbisa yang disantapnya tiap hari sangat membantu dalam menambah tenaga lweekangnya, keberhasilannya saat ini sudah melebihi keadaan tempo dulu, meskipun demikian ia masih belum dapat menangkan keyakinan diri terhadap kepandaian sakti yang dimiliki seperti halnya dengan siauw-bin-Loo-sat Poei Hong. Tanpa sadar lagi tubuhnya mundur empat lima langkah ke belakang dengan rasa jeri.
Siauw-Bin Loo-sat terlalu licik dan pintar, pada saat itulah mendadak telapak tangannya diayun kedepan melancarkan sebuah serangan.
Air muka Hiong Hun si Roh Bengis Nomor Tiga berubah hebat, buru2 dengan memakai ilmu langkah "Hua-In-sing-Hong-sut" atau Menciptakan Bayangan Membuyarkan wujud meloncat mundur delapan depa kebelakang.
Kiranya dalam serangan barusan, nyonya muda itu sama sekali tidak menyertaikan hawa pukulan barang sedikitpun, dengan wajah mengejek serta menghina ia tertawa nyengir.
"Jangan takut, jangan takut," godanya. "Asalkan malam ini juga kalian suka mengutarakan apa tujuan kalian mencari satroni dengan perkampungan kami serta rencana keji apa yang telah disusun dibalik pembunuhan biadab terhadap Siok-Tiong-It-Liong si naga sakti dari Su Cuan serta Tian-Lam-Sam-Kiat tiga manusia perkasa dari It-Lam sekalian masing2 berada di propinsi Barat dan Selatan. Tentang batok kepala kalian itu......Hmmm....untuk sementara waktu pun Hujien akan titipkan dahulu diatas leher masing2."
Siauw-Bin-Loo-Sat ada niat untuk menggoda serta mempermainkan mereka berdua, jelas dan keji, saat ini tak pandang sebelah matapun terhadap orang2 itu.
Hiong Hun si Roh Bengis nomor Tiga yang dasarnya sudah buas, kasar, berangasan dan keji, saat ini tak dapat mengendalikan hawa amarahnya lagi, ia meraung keras, sepasang lengan tiba2 berputar membentuk satu lingkaran kemudian didorong kearah depan.
"Budak rendah, budak sialan, kau anggap loohu benar2 jeri kepadamu?" dampratnya keras.
Angin pukulan menderu-deru, hawa dingin laksana gulungan ombak menyapu keluar dengan dahsyatnya.
Merasakan datangnya serangan sangat lihay, Siauw-Bin-Loo-sat kerutkan dahinya, diam2 hawa sin-kang "Koe-Lien-Sin-Kang" disalurkan melindungi seluruh badan. Sebagai seorang manusia berwatak angkuh, tinggi hati dan sombong, ia bermaksud menjajal sampai dimanakah kehebatan tenaga lweekang yang dimiliki si orang berkerudung ini, disamping hendak menilai sampai dimana pesatnya kemajuan yang dicapai orang ini setelah berlatih giat selama tiga tahun.
Ketika angin serangan berhembus menyambar badannya, hawa dingin serasa menusuk tulang sumsum segera merembes masuk kedalam tubuhnya, seluruh badan jadi menggigil kedinginan. Diam-diam Poei Hong lantas berpikir:
"Luar biasa bangsat ini betul2 luar biasa, masih untung yang diserang adalah aku yang sudah salurkan hawa sin-kang untuk melindungi badan, kalau diganti orang lain, bukankah dia bakal mati kaku saking kedinginannya ?" Tanpa terasa ia tertawa nyaring, serunya:
"Eeeeei.... Han Peng-Tok-sha, sejak kapan kau sudah mengubah dirimu menjadi Hiong-Hun si Roh Bengis nomor tiga?"
Han-Peng-Tok-shu Chin Teng san merasa amat terperanjat, per-tama2 ia sudah dibikin kaget ketika melihat serangan Han-Peng-Tok-Kangnya yang telah dilancarkan dengan memakai tenaga delapan bagian bukan saja tak berhasil melukai pihak lawan bahkan tubuh orang pun tidak bergeming barang sedikitpun.
Begitu dahsyat tenaga lweekang pihak lawan cukup membuat hatinya jeri.
Apalagi sekarang, berada dihadapan umum asal-usulnya berhasil dibongkar pihak lawan, ia semakin jeri lagi hatinya terasa terjelos.
Si kakek Racun Es Chin Teng san salah satu dari tiga manusia beracun Biauw Kiang sam Tok mulai menyesal, ia menyesal tidak seharusnya menguntit si kakek huncwee dari gunung Bong-san datang keperkampungan pa in san cung ini untuk mencari gara2. Bukankah sekarang sama artinya mencari penyakit buat diri sendiri?
Lee Pok si sukma Ganas nomor enam meski sudah mendengar akan kehebatan siauw Bin Loo-sat, dalam hati ia masih tidak puas. Apa lagi dia bersaudara selama berada digunung Tiang-Pek-san tak pernah bertemu dengan musuh tandingan, ia tidak puas terhadap siapa pun sebelum dijajal kepandaiannya.
"Budak hina !" segera bentaknya sambil tertawa dingin. "Jangan kau bertingkah macam maknya, nih, lihat serangan !"
Bersamaan dengan bentakan itu, sepasang telapak dengan kerahkan tenaga sepuluh bagian segera didorong kedepan.
Dengan berbuat demikian, ia sudah melanggar peraturan Bu-lim, meski mereka berdiri berhadap-hadapan, namun serangannya dikala Poei Hong tidak siap terhitung pula sebagai suatu serangan bokongan.
Apa yang dipikirkan memang tepat dan hebat, siapa sangka bukan kebanggaan yang didapat, sebaliknya penghinaan serta rasa malu yang diperoleh dari kecurangan ini.
Ketika sepasang telapaknya didorong kedepan, siauw-Bin-Loa-sat cuma tertawa nyaring, lengannya yang putih bersih dikebaskan lambat-lambat.
Sungguh aneh sekali, ketika kebasan itu menyambar lewat, angin pukulan yang dahsyat laksana ambruknya gunung Thay-san itu lenyap tak berbekas, sebaliknya segulung desiran tajam dari pihak lawan, laksana gulungan ombak menghantam tepian pantai dengan ganas dan dahsyat menyapu datang.
Sekarang ia baru sadar, nama besar jagoan wanita ini bukan nama kosong belaka, hatinya terjelos kaget dan jeri.
Masih untung pengalamannya dalam menghadapi musuh amat luas, segera pikirnya:
"Kalau kubiarkan angin pukulan ini bersarang telak dibadanku, apakah aku bisa hidup..."
Dengan sekuat tenaga kakinya dijejakkan ke atas tanah, mengikuti datangnya hembusan angin pukulan ia meluncur keluar.
Tindakan tersebut memang merupakan suatu tindakan yang tepat, tapi sayang walaupun gerakannya cukup cepat, badannya masih kena tergulung juga sehingga terpental sejauh dua tombak lebih dari tempat semula.
"Brak....." badannya menumbuk diatas dinding, membuat kepala jadi pening pandangan kabur dan ber-kunang2 kendati begitu selembar jiwanya berhasil diselamatkan juga dari ancaman maut.
Sewaktu menjumpai adiknya bikin gara2 tadi, Lee-Pok si sukma Ganas nomor lima sadar, ia tentu celaka. Belum sempat ia turun tangan menghalangi saudaranya itu, sang tubuh sudah terpental jauh hingga menumbuk dinding pekarangan, ia jadi terkejut bercampur gusar.
Takut siauw-Bin-Loo-sat memburu kedepan seraya melancarkan serangan mematikan kepada saudaranya, pedang panjang segera dicabut keluar. Pergelangannya menggetar dan terciptalah serentetan bunga-bunga pedang menghadang jalan perginya.
Padahal tindakan tersebut sebenarnya tidak perlu dan tak berguna, sebab sebagai seorang jagoan terkenal, tentu saja Poei Hong tak sudi melakukan serangan dikala orang berada dalam bahaya.
Justru tindakan tersebut malah menggusarkan hati si burung hong hijau Thio See yang sedari tadi berdiri disisi kalangan, air muka nyonya itu berubah mendingin. Hardiknya:
"Bangsat tempat ini bukan tempatmu untuk main cabut golok gerakkan pedang, kau tak usah banyak bertingkah."
Bayangan tubuh berwarna abu-abu bergerak lewat, sreeeet dengan jurus "Can-Liong cay Ya" atau Panglima Naga Meluruk Rimba ia tusuk tubuh Lee Pok si sukma Ganas nomor lima dengan suatu serangan gencar.
Pedang panjang Lee Pok si sukma ganas nomor lima segera digetarkan menciptakan selapis pelangi, dengan gerakan "Leng ln Jut-siuw" atau Mega Tebal Menggulung Bukit ia tangkis datangnya ancaman itu.
"Traang...." terdengar suara bentrokan nyaring yang gegap gempita disusul percikan bunga api muncrat memenuhi angkasa, kedua orang itu sama2 tergetar keras dan meloncat mundur kebelakang untuk memeriksa senjata masing2 apakah gompel atau rusak oleh bentrokan itu.
Sepasang alis si burung hong hijau Thio see berkerut kencang, pergelangannya tergetar sampai terasa kaku, ia sadar tenaga lweekang yang dimiliki pihak lawan jauh lebih lihay setengah tingkat daripadanya, tindakannya semakin berhati2.
Lee Pok si sukma ganas nomor lima benar2 penasaran, ia tidak memberi kesempatan bagi lawannya untuk berkelit, sambil tertawa dingin jengeknya: "Budak hina, kiranya kau adalah anak murid dari partai Kun-lun."
Sembari bicara sepasang mata memandang lawannya dengan buas, napsu membunuh meliputi seluruh benaknya, ia melangkah maju, pergelangan menekan kebawah dan pedangnya sekali lagi digetarkan kedepan.
Sreeet sreeeet sreeeet....... secara beruntun ia melancarkan tiga buah serangan berantai masing2 dengan jurus "Pek-Hong-Ceng ci" atau Bangau Putih Pentang sayap "Poo-Cau-seng-Coa" atau Menyingkap Rumput Mencari Ular serta "Yu-Hong-si-soei" atau Lebah Bermain Diputik Bunga.
Si burung hong hijau Thioo see adalah seorang nyonya sudah punya umur, ia tak terhitung gadis muda lagi. Namun setelah menyaksikan si manusia berkerudung itu melancarkan jurus2 serangan yang mengarah bagian2 terlarang tubuhnya, tak urung merah padam pula selembar wajahnya karena jengah.
Dari malu ia jadi gusar, beruntun tiga jurus serangan mematikan dari ilmu Im-Liong Pat-sin suatu ilmu pedang aliran Kun-lun-Pay segera dilancarkan dengan gencar. Masing2 "Liong Cu Jut seng" atau Anak Naga Menampakkan diri, "Liong Hwie Cay Thian" atau Naga sakti terbang diangkasa serta Liong Leng Hay Lien atau Pekikan Naga Meretakkan samudra. Dengan serangan itu untuk sementara desakan lawan berhasil dibendung.
Sebenarnya ilmu pedang Im Liong Pat-sin ini merupakan suatu ilmu pedang maha sakti yang telah menggemparkan seluruh dunia persilatan, sayang tenaga dalam yang dimiliki si burung hong hijau Thio see belum sempurna, dengan begitu kehebatannya tak dapat dipancarkan sebagaimana mestinya, jikalau ilmu itu digunakan sendiri oleh suaminya sang Poocu dari benteng cian Liong-Poo Lie Kie Hwie, keadaannya tentu jauh lebih dahsyat.
Siauw Bin Loo sat yang memiliki ketajaman mata luar biasa, tentu saja dapat menyaksikan keadaan itu dengan jelas, rambutnya segera tersingkap kebelakang, ujung baju berkibar tertiup angin, sambil tertawa nyaring tiba2 ujarnya.
"Untuk menghadapi kawanan kurcaci yang tiada berarti ini, tak perlu ciau pocu susah2 turun tangan sendiri, biarlah boanpwee yang bereskan gentong2 nasi tak berguna ini."
Bersamaan dengan selesainya ucapan tersebut, pergelangan tangan diayun cepat kedepan, secara terpisah namun dahsyat ia mengirim sebuah serangan gencar kearah Hiong-Hun si Roh bengis nomor tiga serta Lee Pok si sukma ganas nomor lima.
Dua orang gembong iblis ini sadar, betapa dahsyatnya tenaga sin-kang yang dimiliki pihak lawan, mereka tak berani menerima datangnya serangan itu dengan keras buru2 ilmu meringankan tubuhnya disalurkan untuk berkelit kesamping.
Mengambil kesempatan tersebut Lee Pok si-sukma ganas nomor enam salurkan hawa murninya untuk mengobati luka yang diderita, dalam pada itu darah panas yang bergelora didalam dadanya dengan paksa berhasil diletakan kebawah, menanti ia buka mata dan menyaksikan kedua orang rekannya kena dipaksa Siauw Bin Loo-sat berada dibawah angin, ia amat gusar, senjata roda emas Siang Jiet Goat Kiem Loen-nya segera dilepaskan dari punggung dan bagaikan kalap menusuk kedepan.
Ia meraung dahsyat, dengan gerakan "Ciang Hay Lok Jiet" atau Matahari rontok Mengaduk laut, sepasang roda tersebut dibabat kearah bawah, cahaya emas berkilauan menusuk mata, desiran angin dahsyat menderu menggulung debu dan pasir.
"Nah begitu baru tepat," teriak Siauw Bin Loo-Sat sambil tertawa nyaring. "Semestinya sejak tadi kalian bertiga harus turun tangan berbareng."
Ujung baju berkibar kesana kemari, langkah kaki berkelebat ringan laksana awan yang melayang diangkasa, gerak geriknya sama sekali tidak mirip seseorang yang sedang melangsungkan suatu pertarungan sengit antara hidup dan mati.
Watak Han-Peng-Tok-Shu chin Teng San memang ganas, kasar dan berangasan. Tapi ia masih ingat sekali dengan peristiwa yang terjadi diatas puncak Pek-Yan-Gay tiga tahun berselang, menjumpai ilmu langkah pihak lawan begitu aneh, lincah dan sakti, ia lantas sadar meski dirinya memperoleh penemuan aneh yang tak terduga, tapi membicarakan kepandaian sebenarnya ia masih belum bisa menandingi kehebatan lawannya, tak kuasa lagi diam2 ia menghela napas panjang.
Ketika itulah, mendadak dalam sakunya terasa ada sesuatu makhluk sedang bergerak-gerak, alisnya langsung melentik, hawa girang meluap luap. Tangannya bergerak cepat merogoh ke dalam sakunya dan mengambil keluar suatu benda, kiranya makhluk tersebut adalah seekor ular bersisik emas.
Binatang berbisa ini banyak terdapat dilembah selaksa Kabut yang letaknya digunung Pek-In-san, racunnya sangat ganas dan mematikan, cukup tergores luka oleh sisiknya yang tajampun sukar diobati apalagi kalau sampai digigit, racun segera akan menyerang jantung dan didalam sekejap mata sang korban akan roboh dan mati dengan badan layu.
Setelah Hiong-Hun si roh bengis nomor tiga mengambil keluar ular bersisik emas yang berkepala tiga itu, kegembiraannya kembali terbayang diatas wajah, watak sombong angkuh serta tinggi hatinya kelihatan nyata tertera di depan mata, sambil menggerakkan ular bersisik emas yang memiliki tiga buah kepala itu disambar kesana kemari, leletan lidah yang merah membara menambah kengerian serta keseraman ditengah malam buta yang gelap itu.
Sebagaimana kebiasaan kaum wanita paling takut dengan ular, begitu makhluk jelek ini munculkan diri, siauw Bin Loosat merasa hatinya bergidik bulu kuduk pada bangun berdiri.
Tiba2 ia membentak gusar, pergelangan tangannya bergeletar dan sebuah ikat pinggang kumala sepanjang satu tombak telah mencekal dalam genggamannya.
Walaupun Poei Hong berada dalam keadaan gusar, namun ia tetap tertawa keras, suaranya nyaring, lantang dan merdu bagaikan paluan genta ditengah malam yang sunyi.
Hiong Hun si Roh bengis nomor tiga dengan andalkan binatang berbisa ditangannya menubruk lebih dahulu kedepan, pergelangan ditekan kebawah lantas menggetar keras, dengan jurus "Yu Liong sin-Hong" atau Naga Romantis menggoda burung hong, laksana kilat menerobos kedepan mengancam tiga buah jalan darah mematikan didada Poei Hong.
Makhluk berbisa seperti ini merupakan senjata aneh yang paling sulit dihindari lagipula masih ada sebilah pedang serta sepasang roda emas Jiet-Gwat Kiem Loen membokong datang dengan menggunakan kesempatan itu, posisi nyonya tersebut amat bahaya dan kritis sekali.
Siauw-Bin-Loo-sat tetap tertawa nyaring, kakinya melangkah sempoyongan kesana kemari meloloskan diri dari ancaman tiga macam senjata tajam pihak lawan, setelah itu pergelangan tangannya dengan lincah dan sebat menekan, menggeletar. Menggunakan jurus "Giok-Ciauw-sam-seng" atau Naga Kumala tiga kali mencuak disertai deruan angin tajam, ia serang jalan darah "Thian-Teng-hiat" serta "Thay-yang-hiat" ditubuh tiga manusia berkerudung hitam itu.
Hiong-hun si Roh Bengis nomor tiga, Leepok si sukma Ganas nomor lima serta Lee-kok si sukma Ganas nomor enam sama2 meraung gusar, mereka keteter dan terpaksa buyarkan serangan sambil meloncat kebelakang.
Dalam satu jurus siauw-Bin-Loo-sat berhasil paksa tiga orang musuhnya ngacir kebelakang, langkahnya semakin lincah, dengan ringan dan sebat ia miringkan badan kemudian berputar kencang, ikat pinggang kumala mengimbangi gerakan langkah kaki disertai gelak tawa nyaring secara beruntun melancarkan lima serangan dengan lima belas gerakan masing2 memakai gerakan "Lok In Hwee Hong" atau Mega Buyar Tersapu Taupan, "Pek An Kwan Jie" atau Bianglala putih mengalingi sang surya, "Gioksu Yauw Hong" atau Pohon pualam Datangkan Angin, serta "ciau Ciauw Li Hiat" atau Naga sakti tinggalkan sarang.
Tiga orang manusia berkerudung hitam itu terdesak makin hebat, mereka jadi repot dan meloncat kesana kemari untuk menghindarkan diri dari ancaman bahaya maut, jangan dikata membalas, mendekati tubuh nyonya muda ini-pun tidak sanggup.
Dalam hal senjata tajam, pepatah ada mengatakan satu Coen lebih panjang, satu Coen pula lebih hebat, ikat pinggang kumala itu panjangnya ada satu tombak lebih dua depa, sementara senjata tajam yang digunakan tiga orang manusia berkerudung hitam itu tidak lebih cuma empat depa, coba bayangkan saja, mana mungkin mereka sanggup mendekati tubuh lawannya.
Hiong Hun si Roh bengis nomor tiga, sejak munculkan diri kembali dalam dunia persilatan, dengan andalkan ular berbisa sisik emas berkepala tiga ini berulang kali ia mendapat hasil yang diharapkan tanpa meleset, keganasan serta kekejamannya telah mendatangkan rasa ngeri dan seram bagi jago2 yang berkelana dalam rimba persilatan.
Siapa sangka malam ini ia telah berjumpa dengan musuh bebuyutannya, bukan saja ia gagal menunjukkan kehebatan dari senjata andalannya itu, bahkan untuk mendekati pun gagal saking mendongkol dan gemasnya tiga orang gembong iblis ini sama2 berteriak aneh, jeritan lengking mereka bergema memecahkan kesunyian ditengah malam buta itu.
Pada waktu itu para penjaga kampung yang menonton jalannya pertarungan dan sisi kalangan, menjumpai Nyonya majikan mereka gagah perkasa, dimana dalam sejurus serangan telah paksa musuhnya mundur dalam keadaan mengenaskan, mereka bersorak sorai dengan gembiranya, gelak tertawa serta teriakan mengejek menggema memenuhi angkasa.
Peristiwa ini segera membangkitkan hawa gusar dalam hati tiga orang gembong iblis itu, dari malu mereka jadi marah, timbullah niat jahat dalam hatinya, dari dalam kantong terbuat dari kulit macan diraupnya segenggam senjata rahasia kemudian tiada hentinya disambit kearah siauw-Bin-Loo-sat.
Dalam sekejap mata be-ratus2 batang senjata rahasia menyambar kian-kemari dibawah sorotan sinar rembulan, cahaya biru diujung senjata menunjukan betapa beracunnya benda tadi, desiran tajam menggidikkan hati setiap orang.
Menjumpai ketiga gembong iblis ini bukan saja tidak mengikuti aturan Bu-lim dan main kerubut saja, bahkan menggunakan pula senjata rahasia beracun, hatinya makin lama semakin gusar, gelak tertawa pun semakin nyaring.
Ikat pinggang kumala ditangannya berputar dan menari semakin rapat, ketika itu mesti hujan anginpun tak bakal menembusi pertahanannya.
Ditengah suara berdentingan yang sangat ramai, seluruh golok beracun, panah beracun, piauw beracun, jarum beracun serta kelelawar beracun kena tersampok jatuh semua keatas tanah.
Menyaksikan senjata rahasia beracunnya tidak mempan terhadap lawan tangguhnya ini, Hiong Hun si Roh bengis nomor tiga menggerutuk giginya dengan gemas, tiba2 bentaknya lantang:
"Cepat mundur !"
Sejak tadi Lee Pok si sukma Ganas nomor lima serta Lee Pok si sukma ganas nomor enam sudah bikin persiapan, mendengar seruan tersebut laksana kilat mereka loncat mundur dua tombak kebelakang, pedang serta sepasang senjata roda emas Jiet Gwat Kiem Loen dilintangkan didepan dada siap menghadapi segala perubahan.
Semula siauw Bin Loo sat menduga pihak lawan telah mengucapkan kode rahasia untuk ajak kedua rekannya melarikan diri, baru saja badannya melintang siap menghadang jalan pergi mereka, tiba2 dilihatnya dari sepasang mata Hiong Hun si Roh bengis nomor tiga memancarkan cahaya buas, hatinya kaget dan kewaspadaan segera ditingkat lipat gandakan.
Sedikitpun tidak salah, ketika gembong iblis itu meloncat ketengah udara, kain mantel berwarna hitamnya segera digelembungkan sehingga mirip roda kereta, setelah itu berputar satu lingkaran dari ujung kain mantel tadi menyambarlah pelbagai macam bubuk halus berwarna merah yang segera menyebar keempat penjuru.
Angin malam berhembus lewat, dalam sekejap mata bau harum yang aneh telah menyebar rata diseluruh pelosok tempat, belasan penjaga kampung Pa-In-san-Cung masih belum sadar datangnya malapetaka bagi keselamatan jiwanya, waktu itu mereka masih mengawasi ketengah kalangan dengan pandangan keheranan.
Si burung hong hijau Thioo see adalah seorang pendekar berpengalaman, menyaksikan kejadian itu hatinya jadi cemas. Buru-buru teriaknya:
"Awas. Hati hati bubuk beracun, ayoh cepat menyingkir."
Belum habis ia berteriak, kepalanya terasa amat pening, mengikuti robohnya siauw Ling, siauw Lan serta belasan orang penjaga kampung. Perempuan gagah ini roboh, binasa ke atas tanah.
Siauw-Bin-Loo-sat Poei Hong pernah menelan pil sakti dari kadal berusia ratusan tahun sekarang iapun tutup seluruh pernapasannya. Maka dari itu tubuhnya sama sekali tidak terpengaruh oleh racun keji tadi.
Menjumpai semua orang roboh menggeletak termakan oleh bubuk beracun yang disebar lawan, hatinya terasa amat gusar, sepasang mata melotot bulat2, tenaga murni segera disalurkan ke sepasang tangan dan dengan gemasnya didorong kearah tubuh Hiong-Hun si Roh Bengis nomor tiga yang baru melayang turun keatas permukaan keras2.
Sementara tubuhnya masih melayang turun ke atas permukaan tanah tadi, menggunakan kesempatan itu Hiong- Hun si Roh Bengis nomor tiga melirik sekejap kearah siauw-Bin-Loo-sat, menjumpai nyonya muda itu tetap berdiri tegak tak gemilang, bahkan sinar matanya melotot kearahnya dengan penuh napsu membunuh, hatinya bukan saja amat terkesiap dan ngeri, bahkan ia mulai gugup. Gelagapan terhadap kenyataan yang dihadapinya.
Melihat pula datangnya serangan yang begitu dahsyat mengancam dia dikala sang tubuh masih berada ditengah udara, ia sadar dirinya tak luput dari bencana, tak kuasa lagi gembong iblis ini mengeluh: "Aduuuuh. Celaka, habislah sudah diriku."
Buru-buru tenaga murni yang dimilikinya dikerahkan semua kearah dada, lambung serta perut untuk melindungi jantung serta isi perut lainnya.
Serangan yang dilancarkan Poei Hong kali ini merupakan suatu serangan yang dilancarkan dalam keadaan gusar, kehebatannya sangat luar biasa laksana ambruknya gunung Thay-san, mirip pula mengaduknya ombak besar di tengah samudra luas.
Begitu hebat datangnya desiran tajam itu, perawakan tubuh Hiong-Hun si Roh Bengis nomor tiga yang tinggi besar sampai mencelat sejauh lima tombak ketengah udara kemudian "Braaak" menghantam dinding tembok pekarangan keras2 sampai jebol dan mencelat keluar perkampungan.
Menyaksikan bahwasanya Poei Hong musuh mereka sangat lihay, Lee-Pok si sukma Ganas nomor lima serta Lee-Pok si sukma Ganas nomor enam ketakutan setengah mati, mereka merasa sukma serasa telah melayang tinggalkan badannya, diiringi jeritan lengking yang tajam dan lantang buru2 mereka lari keluar kampung menyambar tubuh Hiong-Hun si Roh bengis nomor tiga yang hampir putus napas, kemudian bagaikan ikan yang baru lepas dari jaring buru2 melarikan diri terbirit-birit dari situ.
Dalam keadaan seperti ini, siauw-Bin-Loo-sat tidak sempat untuk mengejar kedua orang gembong iblis itu lagi, buru buru ia lari kesisi tubuh si burung hong hijau Thio see dan memeriksa napasnya.
Tapi badan si jago perempuan ini sudah mulai mendingin, napasnya telah berhenti dan sukmanya telah melayang tinggalkan raga untuk melapor kehadapan raja akhirat.
Sedangkan siauw Ling, siauw Lan beserta belasan orang penjaga perkampungan Pa-In-san-Cung lainnyapun telah mati binasa semua dalam keadaan mengerikan.
Siauw-Bin-Loo-sat benar2 merasa sedih, air mata jatuh berlinang membasahi seluruh wajahnya, dari sedih, duka dan kecewa ia jadi kalap. Gusar dan tak dapat menahan emosi.
Sambil mendongak Poei Hong tertawa tergelak dengan lantangnya.
Suara gelak tertawa tersebut penuh diliputi rasa sedih, berduka yang bukan kepalang, nyonya muda ini hendak menggunakan suara gelak tertawa yang nyaring ini untuk mengusir segala kesumpekan yang mengganjal dalam hatinya.
Sementara itu Tonghong Beng Coe, siauw Coe serta siauw Giok dengan membawa putra-putra dari Hoo Thian Heng telah keluar dari tempat persembunyian, menjumpai peristiwa berdarah yang tragis ini mereka cuma bisa menangis dan ikut bersedih hati.
-000d0w000- Bab 14 TEMPAT ini merupakan sebuah selat-sempit yang terletak amat rahasia dibukit Hoe Goe san, tak ada bayangan manusia tampak disekeliling tempat ini.
Batu cadas berserakan di-mana2, semak belukar hampir memenuhi seluruh permukaan walaupun tidak dapat dikatakan sangat luas, tetapi cukup digunakan untuk berkumpulnya ratusan orang Liok Lim-eng hiong.
Diatas langit biru yang cerah, rembulan baru saja munculkan diri menyinari seluruh jagad, belasan ekor kuda jempolan yang tinggi besar serta berbulu warna-warni mengunyam rumput hijau dengan tenangnya disebuah tanah lapang yang luas, sebagian besar kuda2 itu sudah dipersiapkan pelananya, se-akan2 binatang tadi telah siap diberangkatkan.
Mengikuti keadaan pada umumnya, dengan hadirnya manusia2 kasar ditempat itu, suasana tentu hiruk pikuk dan kacau balau. Namun suasana dalam selat ketika itu sunyi, hening dan tak kedengaran sedikit suarapun. Begitu sepi sehingga cuma terdengar suara hembusan angin serta gemerisikan daun2.
Belasan sosok bayangan manusia, berkelebat laksana sukma gentayangan ditengah tanah yang sunyi dan sepi, kemudian mereka berdiri berbareng dan suasana tetap tenang.
Pada saat itulah, tiba2 dari luar selat berkumandang datang suitan nyaring yang sangat memekikkan telinga, begitu suitan tadi menggema datang, air muka manusia2 yang hadir disana sama2 berubah hebat, rata2 mereka tunjukkan suatu sikap yang sangat aneh. Dalam sekejap mata, dari luar selat telah melayang datang dua sosok bayangan manusia.
Serentak para jago berloncatan bangun dari atas tanah setelah menyaksikan kehadiran dua orang itu, sikap serta gerak gerik mereka menunjukkan rasa hormat yang mendalam.
Seorang kakek tua berperawakan kecil pendek segera berbatuk-batuk dengan nada suara yang parau ujarnya:
"Sejak cu-wi sekalian berbakti kepada perkumpulan kami, hanya dalam beberapa hari saja telah berhasil membuat banyak jasa buat kejayaan perkumpulan Yoe-Leng-Kauw kita, bukan saja tiap rintangan serta hadangan berhasil disingkirkan, bahkan setiap tugas berhasil dilaksanakan dengan memuaskan."
"Kejadian ini bukan saja membuat Kauw-cu kita merasa sangat gembira, bahkan loohu sendiripun ikut merasa berbangga. Hanya saja..."
Berbicara sampai disitu, sepasang matanya yang tajam bagaikan mata burung elang itu menyapu sekejap kearah semua orang. Lalu terusnya:
"Tugas yang harus kita pikul mulai saat ini akan bertambah berat, setiap tokoh silat serta jago2 Bu-lim yang menganggap dirinya dari golongan putih harus dibasmi dan disingkirkan satu persatu dari muka bumi."
Pada saat itulah dari antara gerombolan manusia berkumandang suara seseorang yang besar, kasar dan parau, ia berkata:
"Tokoh-tokoh maha sakti dari kalangan Hek to yang menunjang perkumpulan kita banyak laksana awan dan hujan, jikalau kita benar2 hendak menaklukkan seluruh dunia persilatan dan berkuasa penuh diatas kolong langit, kenapa tidak secara langsung kita basmi manusia2 dari sembilan partai besar? Dengan berbuat demikian bukankah keadaan kita sama halnya membunuh ayam dan anjing dengan menggunakan golok penjagal kerbau? Suatu persoalan kecil yang di-besar2kan ?"
Si kakek kecil pendek yang berdiri ditengah kalangan sama sekali tidak dibikin jadi gusar dengan timbrungan orang ini, ia mengelus beberapa lembar kumis tikusnya, setelah itu lambat2 sahutnya:
"Pertanyaan yang diajukan Yoe Leng si-sukma gentayangan nomor dua puluh empat rasanya merupakan pertanyaan yang ingin kalian ajukan pula bukan? Loohu tempo dulupun setuju dengan tindakan seperti ini. Tetapi setelah mengalami perundingan tingkat tinggi yang berulang kali susah payah akhirnya dapat kita tarik kesimpulan bahwa rencana tersebut apabila kita jalankan terus, niscaya akan berakhir dengan keadaan seperti tokoh2 kita tempo dulu. Coba bayangkan saja selama ratusan tahun ini beberapa banyak tokoh lihay, manusia cerdik yang mempunyai cita2 tersebut, tapi siapakah diantaranya yang berhasil? mengapa mereka selalu gagal total? tahukah kalian apa sebabnya?"
"Mungkin kekuatan sembilan partai besar terlalu tangguh?"
"Bukan." "Mungkin kekuatan, serta kemampuan sendiri kurang sempurna ?"
"juga bukan." "Lalu apa sebabnya ?"
Si kakek berperawakan katai kecil itu tersenyum, kepada si kakek berperawakan jangkung dan kurus itu katanya:
"Loo-jie, kaupun ikut serta didalam melakukan perundingan tingkat atas ini, tiada halangan bukan kalau kau yang beri penjelasan kepada Cu-wi sekalian ?"
Si kakek kurus tinggi mengelus jenggot kambingnya, lalu memandang rembulan yang tergantung diawang-awang, setelah itu sahutnya:
"Menurut keputusan dari perundingan tingkat tinggi perkumpulan kita, sebab utama dari kegagalan yang dialami dalam tiap pertempuran Bu lim adalah dikarenakan hidup terpisahnya para jago serta para pemimpin dunia persilatan dipelbagai tempat. Orang-orang ini bertempat tinggal tak menentu, sering kali membuat orang yang menyusun rencana jadi gagal untuk menilai sampai dimanakah kekuatan sebenarnya yang dimiliki, karena salah tafsiran inilah sering kali kita menderita kerugian besar. Kesalahan paling besar ini selama ratusan tahun berselang hingga kini tak pernah ditemukan orang."
"Dalam ilmu berperang, Sun-zoe berkata: Banyak dihitung akan menang, kurang dihitung tidak menang, hitung yang diartikan di sini menunjukan rencana serta perhitungan kita akan kekuatan sendiri serta kekuatan yang dimiliki musuh."
"Coba kalian bayangkan saja, mereka2 yang tidak tergabung dalam sembilan Partai Besar bukan saja sikap serta tindak-tanduknya tak menentu, jejaknya pun sulit ditemukan, meski Coe Kat Liang hidup kembali pun tak bakal bisa mendapatkan akal yang tepat, dalam keadaan seperti ini tak bisa disalahkan lagi kalau berulang kali kita menderita kerugian."
"Perkumpulan kita ada perintah melakukan pembersihan lebih dahulu terhadap para perintang2 yang hidup terpencar, setelah penghalang2 dipelbagai tempat berhasil disapu bersih, kita baru menyusun kembali rencana penyerangan yang lebih jauh lagi."
"Dari sembilan partai besar, sepanjang masa mereka memiliki pendapat sendiri yang berbeda satu sama lain, meski diluar mereka kerja sama dalam hati mereka saling menaruh curiga dan tidak cocok satu dengan lainnya, asalkan kita bisa menggunakan kesempatan yang sangat baik ini dengan tepat, jangan di kata setahun, dalam setengah tahunpun kita bisa menjagoi seluruh dunia persilatan. Para tokoh silat yang berkuasa sekarang akan jadi anak buah kita, mereka akan turut perintah dan menurut kepada kita. Hal ini bukankah sangat menggembirakan ?" Bicara sampai disitu tak kuasa lagi ia mendongak dan tertawa ter-bahak2.
Sebagian besar jago yang hadir dalam kalangan ketika itu tertarik dan jadi bersemangat kembali oleh bayangan indah dimasa mendatang, diatas wajah mereka terlintaslah rasa girang yang bukan kepalang.
Suara berisik serta ribut yang agak gaduh seketika memecahkan kesunyian serta keheningan yang mencekam selat tersebut sejak tadi.
Dikala semua orang sedang saling membicarakan persoalan itu dengan gaduh, mendadak si kakek tua berperawakan pendek kecil itu bertepuk tangan keras2, lalu bersuit nyaring dan menghardik berat: "Ada perintah !"
Begitu ucapan tersebut diutarakan, suasana seketika pulih kembali dalam keheningan tak kedengaran sedikit suara pun juga.
"Hiong Hun si Roh bengis nomor dua," seru kakek itu dengan wajah kaku dan menyeramkan. Si kakek tua kurus tinggi yang berdiri bersanding dengan dirinya segera menjura dalam. "Ada," serunya mengiakan.
"Bawa Lee Pok si sukma ganas nomor tiga, nomor empat, nomor tujuh dan serta Yoe-Leng si sukma gentayangan nomor tiga belas sampai nomor dua puluh empat, malam ini juga pada kentongan ketiga berangkat perkampungan Kiok-It san- Cung. Basmi dan bunuh semua delapan belas jiwa dari keluarga sian-Hee-It Kiam Tauw Lie serta si nelayan dari sungai Goan Kang Tong su Kiat, si kakek huncwee dari gunung Bong-san Yu Boe dan seluruh pembantu yang diundang datang, jangan sampai ada diantara mereka yang berhasil loloskan diri dalam keadaan hidup2, basmi dan hancurkan mereka."
"Terima perintah," sahut si kakek tinggi kurus itu.
"Lee Pok si sukma ganas nomor satu, nomor dua serta Yoe-Leng si sukma gentayangan nomor satu sampai nomor dua- belas sekarang juga mengikuti aku berangkat keutara kekota Ham-yang," titahnya kembali.
Semua orang mengiakan, mereka segera mengenakan kain kerudung muka serta kain mantelnya, setelah itu meloncat naik keatas kuda.
Beberapa langkah si kakek pendek kecil itu berjalan kedepan, sepasang alis tikusnya mendadak berkerut, ia berhenti dan berseru kembali:
"Loo-jie, kalau Loo-sam dengan membawa anak buahnya telah kembali semua, mereka segera diperintahkan untuk berangkat ke puncak gunung Biauw Hong san di Propinsi Hoopak utara untuk menantikan tugas serta perintah baru lainnya." si kakek tinggi kurus itu mengangguk tanda mengerti.
Si kakek pendek kecil itu menunduk memandang tulisan "Hiong Hun si Roh bengis nomor satu" yang bersulam diatas dada mantel hitamnya, kemudian dengan rasa puas dan sombong ia tertawa tergelak, meloncat naik ke atas kuda kemudian membawa anak buahnya berlalu dari situ.
Sepeninggalnya Hiong Hun si Roh bengis nomor satu, Hiong Hun si Roh bengis nomor duapun membentak lirih: "Cepat ikuti diriku !"
Tampak bayangan manusia berkelebat dengan cepatnya menuju keluar selat, dalam sekejap mata mereka telah lenyap tak berbekas.
Dalam selat sempit digunung Hok Gouw san hanya tertinggal enam belas ekor kuda jempolan dimana sambil goyang2kan ekornya dengan merdeka menikmati rerumput hijau.
XXXdowXXX SAAT ini merupakan saat yang paling menyeramkan.
Perkampungan Kiok ln San cung yang terletak diluar kota Lam-yang terbenam dibalik kegelapan malam yang luar biasa, meski demikian dalam sebuah ruangan duduklah lima orang sedang berbicara dengan asyiknya.
Diantara beberapa orang itu kegembiraan si nelayan dari sungai Goan-Kang, Tong-Su-Kiat paling besar, sambil mencekal cawan kumala yang penuh berisikan arak warna hijau, ujarnya kepada si kakek huncwee dari gunung Bong san sambil tertawa ter-bahak2.
"Aku masih mengira Yap-heng hanya bisa memainkan akrobatik dalam mengepulkan asap2 huncwee yang tebal, tidak kusangka kau sudah menjelajahi hampir seluruh pelosok dikolong langit, bahkan berjiwa pendekar dan merupakan seorang kesatria yang patut dipuji, tidak kesalnya kau telah melakukan perjalanan ribuan li untuk mencarikan bala bantuan buat Tauw Loo-teku ini, bagaimanapun juga jerih payahmu ini harus dihormati dengan arak wangi, bagaimana kalau kita teguk tiga cawan arak?"
Wajah persegi empat dari Si kakek huncwee dari gunung Bong-san yang dasarnya berwarna merah, saat ini telah berubah jadi merah padam bagaikan raut muka Kwan-Kong. sambil mengelus2 jenggotnya ia menjawab:
"Tong-heng, bukannya kau tidak tahu siapakah siauwte, dalam merokok huncwee aku punya kegemaran yang sangat luar biasa, namun dalam hal minum arak aku sama sekali tidak tertarik dan tiada kebiasaan untuk meneguk terlalu banyak, lagipula kawanan iblis sebentar lagi akan menyerang kemari. Kalau sampai aku dibuat mabok, kehilangan selembar jiwa tuaku dalam keadaan tidak sadar sih tidak mengapa, tapi kalau sampai dijebloskan kedalam neraka tingkat kesembilan, si Raja Akhirat akan kebingungan seharusnya memasukkan siauw-te kejenis yang mana ?"
"Kalau dikatakan si setan arak ? bicara dalam soal keahlian sama sekali tidak berpengalaman. Kalau dikatakan si setan Huncwee? kok bau araknya begitu tebal waah....ini bisa berabe, ini bisa berabe..."
Selama beberapa hari ini si pedang tunggal dari sian-Hee-san selalu bermuram durja memikirkan ancaman yang bakal menimpa dirinya, meskipun begitu setelah mendengar gurauan dari si kakek huncwee dari gunung Bong san barusan, tak urung ia dibikin geli juga sehingga tertawa tergelak.
Si nelayan dari sungai Goan-Kang melihat ia tak berhasil paksa si kakek huncwee dari gunung Bong-san memasuki lingkungannya, sinar mata lantas dialihkan kearah Hoo Thian Heng.
"Tiga tahun berselang, sewaktu berada di puncak Pek-Yan-Gay beruntung sekali dapat menyaksikan kehebatan serta kesaktian siauw-hiap. Dalam hati aku merasa amat kagum sekali," serunya. "sungguh tak disangka tiga tahun kemudian kita bisa duduk dalam satu meja perjamuan yang sama sambil minum arak. Bukankah hal ini yang dikatakan sebagai jodoh ? maaf aku meski usianya sudah amat tua namun hendak menyebut dirimu sebagai Loote. Eeei Loo-te malam ini kita akan bersama-sama bekerja keras menghadapi kawanan iblis kurcaci. Kalau tidak meneguk tiga cawan arak, mana bisa kobarkan semangat kita untuk bertempur, mari kita teguk arak. Agar dalam pertarungan nanti bisa membunuh musuh se-puas2nya."
Mendengar ucapan itu sepasang alis Hoo Thian Heng berkerut, sebenarnya ia memang doyan minum arak. Maka dengan tanpa ragu2 diterimanya tawaran tersebut.
"Pemberian dari angkatan tua, mana boleh ditolak oleh aku dari angkatan muda ?" serunya sambil angkat cawan. "Boanpwee terima hadiah tiga cawan arak dari cianpwee."
Selesai bicara ia memenuhi tiga cawan arak dan berkali-kali diteguk masuk kedalam perutnya.
Si nelayan dari Goan-Kang Tong su Kiat amat doyan minum, tapi ia tak akan berani meneguk dengan begitu kasar macam Hoo Thian Heng sebab arak tersebut merupakan arak jempolan yang berkadar alkohol sangat besar, diam-diam ia puji akan kepolosan dari pemuda tersebut.
"Bagus, bagus, bagus sekali. Kau patut dipuji," tak terasa lagi ia berteriak sambil bertepuk tangan memuji.
Si pedang tunggal dari sai-Hee-san yang bertindak sebagai tuan rumah, tentu saja tak boleh berpeluk tangan saja untuk tidak menghormati tamunya dengan arak.
Maka iapun mencari pasangannya, sambil angkat cawan arak, ujarnya kepada Cian-Liong Poocu Lie Kie Hwie sambil tertawa terbahak-bahak.
"Nama besar thay-hiap sudah lama kami dengar dan kami kagumi, hanya sayang selama ini tak ada kesempatan untuk saling berjumpa, pertemuan ini hari benar2 membanggakan hatiku. Nama besar thay-hiap bukan nama kosong belaka. Untuk menghormati dan mengucapkan rasa terima kasihku atas kesediaan thay-hiap untuk melakukan perjalanan ribuan li datang kemari untuk memberi bantuan cayhe, ingin menghormati dirimu dengan tiga cawan arak sebagai tanda hormatku kepadamu."
Selesai bicara ia lantas meneguk habis araknya, begitu terbuka dan polos sikap sang tuan rumah.
"Kita sebagai orang2 dari dunia persilatan, sudah sepantasnya saling membantu dikala kawan ada kesulitan, tak usah Tauw-heng pikirkan didalam hati," sahut Cian-Liong Poocu Lie Kie Hwie dengan wajah serius.
Bicara sampai disitu ia merandek sejenak, lalu angkat cawan araknya dan berkata kembali:
"Kalau memang Tauw-heng bertindak demikian sungkan kepadaku, siauw-tee akan terima penghormatanmu ini dengan hati bangga."
Selesai bicara iapun meneguk habis isi arak tersebut dalam sekali tegukan.
Suasana dalam perjamuan dalam ruangan itu berjalan semakin meriah, keterbukaan sikap para jago menambah keakraban diantara mereka, gelak tertawa serta senda gurau tiada hentinya berkumandang memecahkan kesepian.
Tiba2.... dari luar jendela berkumandang datang suara tertawa dingin yang amat sinis dan menyeramkan.
Mendengar suara itu si pedang tunggal dari sian-Hee-san Tauw Khie, si nelayan dari sungai Goan-kang Tong su Kiat, si kakek huncwee dari gunung Bong-san Yoe Boe serta Cian-Liong-Poocu sama2 berubah air mukanya.
Batas waktu yang ditetapkan musuh ada kentongan kedua, tak disangka kehadiran musuh begini cepat dan sama sekali berada diluar dugaan.
Semua orang sama2 meloncat bangun dari tempat duduk, dalam beberapa kelebatan keempat orang itu telah melayang turun ditengah lapangan berlatih silat.
Ujung baju biru Hoo Thian Heng berkelebat tertiup angin, dalam beberapa langkah iapun sudah berdiri disisi kanan para jago, sinar matanya dengan tajam menyapu sekejap keliling tempat itu.
Tampaklah dihadapannya telah berdiri dua baris manusia2 berkerudung hitam, ditangan mereka sama2 mencekal senjata tajam, jumlahnya tidak lebih tidak kurang enam belas orang banyaknya.
Diantara orang2 itu berdirilah seorang manusia berperawakan tinggi kurus, wajahnya tertutup oleh kain kerudung hitam sehingga tak dapat dilihat bagaimanakah raut mukanya, hanya sepasang mata yang dingin dan tajam muncul dibalik kerudung, meski demikian bentuk serta potongan tubuhnya terasa amat dikenal sekali.
Orang itu memiliki dandanan pakaian yang aneh dan kukoay, diatas kain mantelnya yang berwarna hitam tersulam benang perak disisinya, disamping itu tertera pula tulisan "Hiong-Hun si-Roh Bengis nomor dua" didepan dadanya, keadaan serta sikapnya amat menyeramkan.
Di samping kiri serta disamping kanannya masing2 berdiri manusia berkerudung hitam yang memiliki tulisan Lee-Pok si-sukma ganas nomor tiga, nomor empat, serta nomor tujuh, sedangkan sisanya dua belas orang masing2 bertuliskan Yoe-Leng si-sukma gentayangan nomor tiga belas sampai nomor dua puluh empat.
Dari dandanan orang2 itu, Hoo Thian Heng berpikir dalam hatinya:
"Ditinjau dari huruf2 serta nomor urut yang ada didepan dada manusia2 berkerudung hitam ini, mereka tentu merupakan komplotan serta anak buah dari sebuah perkumpulan sesat yang baru didirikan serta memiliki gerak kerja yang teramat rahasia, kemudian ditinjau pula dari pandangan matanya yang terasa sangat dikenal..."
Belum selesai ia melanjutkan lamunannya, tuan rumah dari perkampungan Kiok-It-san-Cung si pedang tunggal dari sian-Hee-san Tauw Kie telah menegur dengan suara berat:
"Sahabat, malam2 buta kalian membawa anak buah menyatroni perkampungan kami, sebenarnya ada urusan apa? dapatkah kalian memberikan alasan2 yang tepat ?"
Diatas air muka Hiong-Hun si Roh Bengis nomor dua yang kurus kering dibalik kain kerudung terlintas hawa napsu membunuh yang tebal, pikirnya:
"Hmm kalian dua orang setan tua, apakah sudah lupa akan peristiwa pengejaran serta penggeledahan terhadap kami bersaudara diluar kota Hoei-swie tiga tahun berselang ?"
Teringat akan peristiwa yang sangat memalukan itu, diatas sinar matanya yang dingin dan tajam kembali terlintas napsu membunuh semakin tebal, ia mendengus dingin lalu tertawa seram.
"Oouw...tentang soal ini ? si raja Akhirat telah menetapkan kalian mati pada kentongan ketiga, siapa yang bisa menahan kalian hidup sampai kentongan lima ? Pun Hiong-Hun datang kemari atas perintah dari "Yoe-Leng-sin-Koen", kemungkinan besar nasib anda untuk hidup dikolong langit sudah ditakdirkan telah selesai, maka sengaja aku datang kemari untuk mengundang kau agar suka melanjutkan perbuatan2 ksatriamu dialam baka... sebab didunia sana sudah kekurangan manusia2 gagah macam kalian..."
Sepasang alis si pedang tunggal dari sian-Hoe san Tauw Kie berkerut kencang, meskipun dia adalah seorang pendekar berjiwa kesatria dan berwatak welas kasih, setelah diejek dan diper-olok2 oleh musuhnya dengan kata2 tidak senonoh, tak urung hatinya mendongkol juga.
Sementara ia hendak buka suara untuk menegur, terdengar si nelayan dari sungai Goan Kang Tong su Kiat sambil meraba jaring ikannya telah tertawa ter-bahak2.
"Haa...haa...haa....sebenarnya antara dunia yang nyata serta alam baka terpisahkan oleh suatu perbatasan yang tak bisa dilampaui oleh siapapun sebelum takdir tiba. Rupanya telah terjadi kebakaran hebat dalam neraka tingkat kedelapan belas sehingga kalian roh2 bengis serta sukma2 ganas berhasil ngeloyor datang kemari untuk bikin onar lagi dikolong langit.
Bagus, bagus sekali, selama banyak tahun selembar jaring ikanku yang bobrok ini belum pernah mendapat hasil lagi. Dari suara yang kau perdengarkan tadi, aku rasa kau mirip dengan kawanan ikan yang lolos dari sungai Lian-Kang, kini kalian antarkan sendiri kedalam perangkap.
Nah, tak usahlah kamu salahkan diri Loohu dan merasa penasaran dalam keberangkatanmu kembali keneraka tingkat ke delapan belas."
Seraya berkata per-lahan2 ia turunkan jaring ikannya dari atas punggung.
Beberapa patah perkataan yang diucapkan si nelayan dari sungai Goan-Kang barusan, bukan saja telah membuat air muka Hiong-Hun si Roh Bengis nomor dua berubah hebat, semua orang jago yang hadir disanapun merasa bahwa dibalik ucapan itu tentu ada maksud menunjukkan sesuatu, tak mungkin si nelayan ini bicara hanya untuk mengejek belaka.
Terutama sekali si pedang tunggal dari sian-Hee-san Tauw Kie, dia adalah salah satu diantaranya yang ikut mengejar serta penggeledahan tiga manusia beracun dari Wilayah Biauw diluar kota Hoei-swie tiga tahun berselang.
Meskipun kejadian itu sudah lewat tapi ia masih teringat dengan nyata sekali, tak kuasa lagi ia berseru tertahan.
Seruan tertahan itu sendiri tidak penting, dengan adanya kejadian ini si Hiong-Hun Roh Bengis nomor dua jadi sangat gelisah.
Alasannya ia tidak ingin peristiwa yang sangat memalukan itu dibeberkan oleh kedua orang itu dihadapan umum, meskipun saat ini ia sudah jadi Hiong-Hun si Roh Bengis nomor dua, dan tidak mirip dengan Hian-Im-Tok-shu cia Ie chong tempo dulu, sedikit banyak peristiwa ini akan merusak nama baik serta martabatnya.
Sepasang alis yang tebal dibalik kain kerudung langsung dikerutkan kencang2, tiba2 ia membentak:
"Tangkap kedua orang bajingan tua ini jangan biarkan mereka lolos dari tangan kita."
Bersamaan dengan itu, dari antara dua belas orang sukma gentayangan melayang keluar dua sosok bayangan manusia, satu langsung menubruk kearah si pedang tunggal dari sian-Hee-san sedang yang lain menubruk kearah si nelayan dari sungai Goan-Kang, jeritan laksana pekikan srigala, cengkeraman disambar keluar bagaikan hembusan angin taupan.
Si pedang tunggal diri sian-Hee-San sama sekali tidak menyangka pihak lawan bisa melancarkan serangan sesaat setelah tidak akur dalam pembicaraan, tindakan mereka sama sekali tidak mengikuti peraturan Bu-lim.


Sabuk Kencana Ikat Pinggang Kemala Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanpa banyak bicara sepasang telapaknya segera didorong kedepan menyambut datangnya serangan itu.
Cakar si manusia berkerudung hitam, itu berkelebat kesana kemari membawa deruan angin dahsyat, desiran angin serangan tiap kali mengancam bagian tubuh yang mematikan, keganasan serta kekejian jurus serangannya benar2 jarang ditemui dalam kolong langit.
Meskipun nama besar si pedang tunggal dari sian-Hoe-san Tauw Khie terkenal dalam dunia persilatan karena ilmu pedangnya yang dahsyat, namun serangkaian ilmu telapak Lok-soat-Ciang dari perguruannya pun merupakan kepandaian silat maha sakti yang jarang ditemui dalam Bu-lim, berhubung wataknya yang pendiam dan tak suka menonjolkan diri, bahkan seluruh perhatian dicurahkan dalam satu hal, maka setelah berlatih giat selama puluhan tahun lamanya, kehebatan ilmu telapaknya ini boleh dibandingkan dengan keampuhan ilmu pedangnya.
Maka dari itu meskipun ilmu cakar Tok-Pa op-san-Jiauw atau tiga belas cakar macan tutul beracun yang diandalkan manusia berkerudung itu sangat luar biasa dan kedahsyatannya serta keganasannya bukan kepalang, namun ia tak berhasil peroleh keuntungan apapun dari pihak lawannya.
Untuk sementara waktu kedua orang itu saling serang menyerang dengan serunya, susah untuk menentukan siapa menang siapa kalah. Masing-masing pihak sama2 gagah dan sama2 kosen, seluruh kepandaian yang diandalkan dikerahkan keluar untuk berusaha merobohkan lawannya dalam waktu singkat.
Dilain pihak si manusia berkerudung hitam yang menubruk kearah si nelayan dari sungai Goan-Kang keadaannya jauh lebih mengenaskan.
Si nelayan dari sungai Goan-Kang Tong su Kiat, manusia aneh yang gemar bergurau ini rasa sedikit susah dilayani, bukan saja ia kenali sekali ilmu cakar "Tek-Pa-Cap-san Jiauw" yang digunakan lawan, bahkan dari potongan badannya ia bisa menebak bahwa orang ini adalah "Hoa-Bin-Pa" atau si macan tutul berwajah kembang Chin Hoan, walaupun ia sama sekali tidak menyingkap kain kerudung yang dikenakan pihak lawan.
Chin-Nia-su Pa menjagoi diwilayah pegunungan Chin Nia sampai propinsi Su Cuan serta propinsi Siam say, pelbagai kejahatan yang terjadi disana, membunuh, merampok, memperkosa gadis serta istri orang semuanya dilakukan oleh manusia2 ini, hal ini membuat para kesatria yang bercokol didaerah sana merasa amat tidak tenteram.
Sementara itu empat saudara tersebut dengan andalkan ilmu cakarnya malang melintang tiada hentinya disana-sini, entah sejak kapan mendadak jejak mereka lenyap tak berbekas, sejak itu keempat manusia terkutuk tadi tidak pernah munculkan diri kembali dalam dunia persilatan.
Si nelayan dari sungai Goan Kang bukan saja mempunyai tabiat suka mengucapkan kata2 yang lucu dan bersenda-gurau, iapun memiliki ketajaman ingatan yang luar biasa, sejak semula ia sudah dengar dari sahabat2 Bu-lim tentang raut muka serta potongan badan bajingan2 itu, bahkan sampai kepandaian andalan mereka pun dapat dikenali dengan jelas.
Memang sejak semula ia ada maksud membinasakan bajingan ini dari muka bumi, sekarang setelah mengetahui asal-usul lawan, iapun tidak bertindak sungkan lagi.
Jaring ikannya dengan cepat disimpan kembali diatas pundak dan ilmu "Cheng-Men Chie" atau ilmu jari penggempur nadi yang tak pernah digunakanpun segera dilancarkan dengan hebat.
Ilmu jari penggempur nadi ini merupakan suatu kepandaian tingkat atas dari kalangan beragama, terutama sekali terhadap para jago yang khusus menggunakan ilmu cakar, kehebatannya semakin berlipat ganda.
Dengan digunakannya kepandaian sakti tersebut, seorang berkerudung itu mulai mengeluh. Ia keteter hebat belum sampai tiga lima jurus posisinya sudah sangat berbahaya.
Menyaksikan kehebatan lawan, orang berkerudung ini mulai jeri dan ketakutan, ia tidak mengira pihak musuh mempunyai kehebatan diluar dugaan.
Hiong-Hun si Roh Bengis nomor dua dalam menyaksikan pula bagaimana terdesaknya anak buah yang ia perintahkan turun kegelanggang sepasang alis yang tebal dibalik kain kerudung segera dikerutkan rapat2, pikirnya:
"Agaknya untuk membereskan persoalan yang ditugaskan malam ini, aku harus mengeluarkan banyak pikiran dan tenaga...."
Belum habis ia berpikir, Yoe Leng si Sukma gentayangan nomor tujuh belas tiba menjerit ngeri yang menyayatkan hati diikuti sambil mencekal lengan kanan dan air muka pucat pias bagaikan mayat meloncat mundur kebelakang, sebuah lengan kanannya telah dipukul hancur hingga cacad oleh serangan lawan.
Pada saat itulah dua sosok bayangan hitam melayang masuk kedalam kalangan, diiringi jeritan keras yang memekikkan telinga mereka langsung menubruk kearah si nelayan dari sungai Goan Kang.
Jurus silat yang digunakan kedua orang manusia berkerudung ini tiada berbeda sekali dengan kepandaian yang digunakan si macan tutul berwajah kembang chin Hoan.
Tenaga lweekang yang dimiliki si nelayan dari sungai Goan-Kang amat sempurna, ilmu jari penggempur nadipun merupakan lawan dari ilmu tiga belas cakar macan tutul beracun, namun kedua orang itupun merupakan tokoh2 sakti dari kalangan hitam, mereka dapat bekerja sama dengan erat, apalagi serangan menubruk kearahnya dengan cara mengadu jiwa untuk sesaat si kakek tua itu tak bisa bergerak banyak.
Menghadapi cara bertempur yarg tidak menghiraukan keselamatan sendiri ini, si nelayan dari sungai Goan-kang tidak berani memandang remeh, ilmu gerakan "Yoe-In-Cian Cong" atau Ikan ikan bermain petak segera digunakan bekerja sama dengan ilmu jari penggempur nadi menghadapi dua orang lawan sekaligus.
Sementara itu si manusia berkerudung yang bertempur melawan si pedang tunggal dari sian Hee-san pada mulanya ia benar2 berhasil memaksa musuh kalang kabut dan kacau dengan sendirinya. Tapi lama kelamaan mengikuti beredarnya waktu yang berlalu dengan cepat, akhirnya ia bertarung dalam keadaan seimbang. Tidak lama kemudian, ia malah dipaksa jatuh dibawah angin.
Hal ini bukan disebabkan ilmu silat yang dimiliki si pedang tunggal dari sian-Hee-san secara tiba2 memperoleh kemajuan pesat, sebaliknya dia yang harus melawan jurus2 serangan aneh yang digunakan musuh jadi kaget, gugup dan kelabakan sendiri.
Untung ilmu Lok-soat-Ciang tersebut belum digunakan segenap tenaga, maka untuk sementara iapun masih bisa menjaga diri dari bahaya maut.
Si pedang tunggal dari sian-Hee-sanpun bermain tenang, ia pusatkan segenap perhatian serta tenaganya untuk mainkan ilmu telapak Lok soat Ciang tersebut sehebat2nya, makin lama kehebatannya semakin nampak dan akhirnya tampaklah sampai dimana sebenarnya keganasan ilmu telapak itu.
Dengan kejadian ini si manusia berkerudung hitam itu semakin terdesak. Makin bertarung, hatinya makin terperanjat, peluh dingin mulai mengucur keluar membasahi badannya.
Disaat yang amat kritis itulah, mendadak ia dengar Loo-sam simacan tutul berwajah kembang chin Hoan perdengarkan jeritan ngeri yang memekikkan telinga ditengah malam buta.
la kaget tapi dengan cepat memperingatkan diri agar bertindak tenang, wajah yang hijau dibalik kain kerudung per-lahan2 berubah memerah kembali, ia berusaha membendung golakan dalam hatinya.
Si pedang tunggal dari sian-Hee-san Tauw Kie melirik sekejap kesamping, ia dapat melihat si nelayan dari sungai Goan Kang Tong-su Kiat telah berhasil memukul lawannya sampai terluka, sedang dia, ia masih belum berhasil meringkus si manusia berkerudung itu, tak terasa alisnya mengkerut ke atas.
Dengan jurus "Lok-soat-Hwie-Bok" atau Bebek terbang disinar lembayung ia pukul Yoe-Leng si sukma gentayangan nomor delapan belas hingga mencelat sejauh dua tombak dari kalangan.
Hajaran yang bersarang ditubuh manusia berkerudung hitam Yoe-Leng si sukma Gentayangan nomor delapan belas ini sungguh dahsyat sekali, terdengar ia mendengus berat. Badannya yang roboh keatas tanah tak sanggup bangun kembali. Pada saat itulah...
Sreeet Sreeet Sreeet secara beruntun meloncat keluar empat lima sosok bayangan manusia ketengah kalangan.
Kecuali dua orang manusia berkerudung yang membimbing bangun Yoe-Leng si sukma Gentayangan nomor delapan belas kesisi kalangan guna diobati, tiga orang lainnya dengan mencekal pedang dan menggetarkan senjata tersebut sehingga memancarkan cahaya berkilat langsung menusuk tubuh si pedang tunggal dari sian-Hee-san Tauw Kie dari pelbagai jurusan yang berbeda.
Cian-Liong Poocu Lie Kie Hwie siap meloncat masuk untuk membantu sahabatnya, namun si kakek huncwee dari gunung Bong-san yang menghisap huncweenya telah menghalangi niatnya.
"Jangan keburu napsu," katanya. "Kurcaci ini tidak lebih hanya manusia kelas tiga, pertunjukan bagus masih berada dibelakang, lebih baik kita nikmati dahulu keindahan serta kehebatan ilmu pedang dari Tauw-heng. Seandainya ia benar menemui bahaya, saat itu rasanya belum terlambat kalau kita turun tangan menyelamatkan jiwanya."
"Eeeehmm berbuat demikianpun rasanya tidak salah," pikir Cian Liong Poocu.
Ia lantas berpaling melirik sekejap kearah si seruling kumala kipas emas Hoo Thian Heng.
Tampak pemuda itu sambil tersenyum memandang awan putih yang bergerak diangkasa, se-akan2 terhadap pertarungan sengit antara hidup mati yang sedang berlangsung di hadapannya sama sekali tidak mendengar, ketenangan hatinya benar2 luar biasa sekali.
-0000dw0000- Jilid : 10 DALAM pada itu empat bilah pedang telah menciptakan be-ribu2 bayangan tajam serta berjuta2 kuntum bunga pedang yang menyilaukan mata, ditengah bentrokan nyaring yang sering terjadi, percikan bunga api menambah keseraman suasana ketika itu, desiran angin tajam menusuk tulang, begitu dahsyat pertarungan tersebut sampai ujung baju para penonton disisi kalangan sama-sama berkibar.
Lie Kie Hwie adalah seorang ahli dalam ilmu pedang, dengan cepat ia dapat menangkap kehebatan dalam pertarungan itu, diam2 ia kagum dan memuji akan kesempurnaan serta kesaktian ilmu yang dimiliki si pedang tunggal dari sian Hee san.
Memandang pula jurus2 serangan aneh yang digunakan tiga manusia berkerudung itu hatinya merasa amat terperanjat.
Kiranya jurus pedang yang digunakan ketiga orang itu bukan berasal dari dunia persilatan, tapi termasuk aliran Laut Timur. Menurut cerita seratus tahun berselang dari pantai laut timur telah muncul seorang pendekar aneh yang disebut Jiak-Kioe-Kiam-Khek atau si pendekar pedang bola daging Kioe Ek, orang ini punya badan yang aneh yaitu pendek dan gemuk seperti bola daging.
Selama berada didaratan Tionggoan banyak kejahatan yang dilakukannya, sehingga akhirnya ia diusir pulang kepulaunya oleh Lam-Hay siang In dari Bu-lim Jie seng sepasang Rasul dari Rimba Persilatan.
Siapapun tidak mengira kalau tiga manusia berkerudung yang hadir pada saat ini mempunyai hubungan yang sangat erat dengan makhluk aneh tersebut, tanpa sadar semua orang mulai merasakan kuatir bagi keselamatan dunia kangouw.
Mendadak terdengar jeritan ngeri yang menyayatkan hati kembali berkumandang dari arah sebelah kiri kalangan.
Dengan cepat ia berpaling, tampak sesosok bayangan hitam mencelat ketengah udara lalu terbanting ketanah dan tidak berkutik lagi, tak usah ditanya itulah hasil karya dari Goan-Kang-Gie-Hu atau si Nelayan dari sungai Goan Kang, Tong soe Kiat.
Setelah sang nelayan Tong soe Kiat berhasil menghajar roboh Yoe-Leng nomor enam belas, manusia berkerudung hitam lainnya tentu saja bukan tandingan dari jago tua ini.
Rupanya dia tahu gelagat jelek, ilmu cengkeraman Tok-Pa Cap sah Jiauw atau tiga belas cakar macan tutul beracunnya segera ditarik pulang....sreeet pedang yang tersoren di-punggung laksana kilat diloloskan.
Menyaksikan hal tersebut, sang nelayan sakti dari sungai Goan-Kang segera tertawa ter-bahak2.
"Hahaha....Hey manusia yang menyebut dirinya sebagai Chin Nia su Cay atau empat srigala dari bukit Chin-Nia kejahatan yang kalian lakukan sudah ber-tumpuk2, diantara tiga srigala tinggal kau si srigala berhidung belang saja yang masih utuh, jangan kau anggap ini hari bisa lolos dari sini dalam keadaan hidup2."
Meskipun mulutnya berkicau tiada hentinya gerakan tubuhnya sama sekali tidak kendor, langkah kakinya tetap dengan andalkan ilmu "Yu-Ih-Cian-Cong" (ikan gabus main petak) kesana kemari, suatu saat tatkala pihak lawan mengeluarkan gerakan "Yap-Teh-Ciang-Hoa" atau sembunyikan bunga didasar daun, kaki kirinya segera melangkah kemuka, dua jari tangan kanannya ditegangkan kemudian menerobos kemuka coba merampas senjata lawan.
Menyaksikan datangnya sodokan jari lawan begitu dahsyat dan cepat, air muka manusia berkerudung hitam itu berubah hebat, belum sempat ia ganti jurus mengubah gerakan jalan darah Hian-Kie-Hiat diatas dadanya sudah kena tersodok telak. la mendengus berat kemudian roboh keatas tanah mati seketika itu juga.
Melihat anak buahnya pada mati dan roboh terluka, air muka Hiong-Hun atau "Roh Bengis" nomor dua dibalik kain kerudung hitamnya berubah hebat, dia kaget berbareng gusar.
Yoe Leng nomor sembilan belas dan Yoe Leng nomor dua puluh segera enjotkan badannya mau meluruk kemuka, namun niat tersebut segera dihalangi oleh "Lee-Pok" atau sukma ganas nomor tujuh, dengan sorot mata memancarkan cahaya bengis selangkah demi selangkah ia maju mendekati sang nelayan dari sungai Goan-Kang itu.
Perawakan tubuh "Lee-Pok" nomor tujuh yang tinggi kekar serta sepasang matanya yang bulat besar bagaikan genta itu segera mengingatkan kakek tua itu akan seseorang, hatinya bergetar keras.
"Mungkinkah dia adalah gembong iblis itu?" ingatan ini berkelebat dalam benaknya disusul munculnya bayangan tubuh Ang-Hoat-Touw-To atau si Touw-to berambut merah.
Baru saja ingatan tersebut berkelebat lewat dalam benaknya, bayangan tubuh "Lee-Pok" nomor tujuh yang tinggi besar dan kekar itu sudah tiba dihadapan mukanya.
Tanpa sadar sang Nelayan dari sungai Goan Kang, Tong soe Kiat mundur satu langkah kebelakang, pikirnya dalam hati:
"Kalau dugaanku tidak salah, waah.... Bahaya sekali keadaanku, bajingan ini berhasil melatih seluruh tubuhnya jadi kebal dan tidak mempan senjata tajam, apabila ilmu "cin-Meh-cie"ku tidak berhasil menundukkan dirinya, apa dayaku ? jangan2 pamorku akan merosot ditangannya."
Meskipun berpikir begitu namun sebagai jago kawakan yang punya pengalaman luas dalam dunia kangouw hatinya sama sekali tidak jadi gentar, jaring ikan yang berada dipunggungnya segera diloloskan kemudian mendongak dan tertawa ter-bahak2.
"Haah...haah...haah...sungguh tak nyana Ang Hoat-Tauwto yang pernah malang melintang di sekitar wilayah cing-Hay dan menjagoi daerah tersebut, sekarang telah jadi pengawal setan orang lain. Oooh Kiong-hie...kiong-hie atas kehebatanmu itu."
"Tajam amat sepasang mata rase tua ini," diam2 "Lee Pok" nomor tujuh membatin dengan hati terperanjat. "Aku dengar tujuh puluh dua jurus ilmu jaring saktinya pernah malang melintang dalam Bu-lim tanpa tandingan, ingin kucoba bagaimana sih kelihayannya." Karena berpikir demikian maka dia lantas tertawa dingin seraya menjengek:
"Hey tua bangka bangkotan percuma kalau kita bersilat lidah saja dengan kata2 kosong, kau tak usah urusi siapakah aku orang tua, lebih baik cari saja keputusan siapa yang lebih kuat diantara kita berdua."
Bersamaan dengan selesainya ucapan itu, tangannya langsung diayun kemuka, maka dalam sekejap mata sebuah Bok Hie besar serta pukulannya yang panjang dan berwarna hitam berkilauan sudah disiapkan dalam genggaman.
Ia membentak keras, kaki kirinya melangkah satu tindak kemuka, pemukul Bok Hie yang ada ditangan kanan dengan jurus "Ceng-Long Khe-Koei" atau menolong situli membantu si buta segera ditotok kemuka, sedangkan Bok Hie yang ada ditangan kiri dengan disertai desiran angin tajam membabat kemuka memakai jurus "swan-saks-Tiam-Tauw" atau Mengangguk kepada batu, satu jurus dengan dua gerakan yang berbeda kehebatannya luar biasa.
Tak usah diragukan lagi kedua macam senjata tersebut terbuat dari baja murni, beratnya pun jauh melebihi ratusan kati sehingga bagi orang biasa sukar untuk menggunakannya.
Tatkala Goan-Kang-Gie-Hu atau nelayan sakti dari sungai Goan-Kang menyaksikan serangan dari "Lee-Pok" nomor tujuh atau tepatnya Ang-Hoat Tauwto dari Ceng Hay amat cepat, dahsyat dan luar biasa, diam2 hatinya terkesiap juga.
Untung dia telah bersiap sedia sejak semula, dengan begitu serangan kilat dari gembong iblis tersebut tidak sampai mengenai sasaran.
Dengan ilmu langkah "Yoe-Hie-Cian-Cong" atau Ikan main petak se-olah2 seekor ikan belut, nelayan she-Tong ini loncat kesana kemari meloloskan diri dari ancaman lawan, suatu saat ia tertawa ter-bahak kemudian dalam sekali kelebatan badannya sudah melayang delapan tombak dari tempat semula.
Sreet... jala ikannya ditebarkan kemuka dengan suatu gerakan yang manis, dalam sekejap mata daerah sekitar satu setengah tombak di-sekeliling tubuhnya terkurung dalam bayangan jalanya.
Menyaksikan betapa serunya pertarungan yang sedang berlangsung, Giok-Tek-Kim-sie suseng atau sang pelajar yang bersenjata seruling kumala kipas emas Hoo Thian Heng merasa amat kagum, batinnya didalam hati:
"Senjata Bok-Hie bertemu dengan senjata jala ikan, pertempuran yang sedang berlangsung saat ini betul2 merupakan suatu pertarungan yang seru dan jarang ditemui dalam kolong langit."
Kedua macam senjata tersebut, yang satu merupakan perlambang daripada senjata tajam jenis keras, sedang yang lain merupakan lambang dari senjata bersifat lembek, yang pertama lebih menguntungkan kalau digunakan dalam pertempuran jarak dekat sedang yang terakhir lebih cocok untuk mengiringi pertarungan jarak jauh.
Ditambah pula kedua orang itu merupakan tokoh2 dari dua golongan yang saling bertentangan yakni golongan putih dan golongan hitam, tentu saja pertarungan yang terjadi kali ini betul2 luar biasa.
Dalam pada itu suasana dikalangan pertempuran sebelah kananpun telah meningkat lebih tegang dan sengit.
Tiga pucuk pedang dari Yoe Leng nomor dua puluh dua, "Yoe-Leng" nomor dua puluh tiga dan "Yoe-Leng" dua puluh empat kendati ganas dan telengas, namun untuk beberapa saat lamanya tak sanggup meng-apa2kan pihak lawannya.
Sebaliknya sian-Hee-It-Kiam atau si pedang tunggal dari sian-Hee-san, Yauw Kie melayani serangan musuhnya dengan hati tenang dan ilmu pedang Chiet-Ciat-Liuw-Hee-Kiam-Hoatnya dimainkan sebegitu rupa sehingga seluruh tubuh pedang tersebut mengeluarkan suara mencicit yang amat memekikkan telinga, mengikuti berkembangnya cahaya pedang yang memancar keluar kekuatan daya tekannya kian lama kian bertambah dahsyat, seketika itu juga tiga orang manusia berkerudung itu keteter hebat dan terjerumus pada posisi dibawah angin, namun ketiga orang itu belum juga kapok, mereka masih bertahan terus dengan sekuat tenaga.
Melihat kekerasan kepala pihak musuhnya, sepasang alis Yauw Kie kontan berkerut, diam2 ia gelisah pula mengingat setelah melangsungkan pertempuran beberapa babak, badannya mulai terasa lelah, apalagi sekarang harus mengerahkan segenap kekuatannya untuk berjuang dan bertahan, keringat sebesar kacang kedelai mengucur keluar tiada hentinya.
Melihat kesempatan baik yang selama ini dinantikan telah tiba, tiga manusia berkerudung itu membentak keras, pedangnya berkelebat kedepan dengan memakai jurus ampuh dari ilmu pedang Lautan Timur yang disebut "Hoen Toan Bong In" atau Nyawa putus dipulau dewata, seketika itu juga cahaya pedang berkilauan memenuhi seluruh angkasa.
Menyaksikan kejadian itu sang Poocu dari benteng cian-Liong-Poo, Lie Kie Hwie jadi amat terperanjat, ia bersuit nyaring, dengan suatu gerakan yang cepat laksana sambaran kilat meloncat kedalam kalangan pertempuran, namun sayang kehadirannya masih tetap terlambat satu tindak.
Terdengar dua kali jeritan ngeri yang menyayatkan hati berkumandang memecahkan kesunyian, Yoe-Leng nomor duapuluh empat kena tersambar pedang lawan, seketika segenap pergelangan kanannya yang mencekal pedang terbabat putus jadi dua bagian, sementara lengan kiri "Sian- Hee-It-Kiam" Yauw Kie pun kena tersambar senjata musuh sehingga muncul sebuah mulut luka yang amat panjang, darah segar segera mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya.
Lie Kie Hwie mengerem tubuhnya ditengah udara, belum sempat ia bertindak sesuatu mendadak terdengar gelak tertawa yang amat menyeramkan berkumandang datang, disusul munculnya dua sosok bayangan manusia persis di depan wajahnya, kedua orang itu bukan lain adalah "Lee-Pok" nomor tiga dan "Lee-Pok" nomor empat.
Mereka mempunyai badan yang kurus dan tinggi, sedang yang lain punya perawakan yang pendek lagi kecil seperti seorang bocah cilik.
Disamping perbedaan yang amat menyolok itu, kedua orang tadipun mempunyai keistimewaan lain yaitu si manusia kate itu mempunyai kepala yang sangat gede sedangkan si jangkung kurus punya sepasang mata yang sipit sehingga kalau tidak diperhatikan dengan cermat sukar untuk menemukan mata orang itu.
Manusia aneh semacam ini akan mendatangkan kesan yang mendalam bagi siapapun yang melihat, sekilas pandang sepanjang masa sukar untuk melupakannya kembali.
Maka itu si Kakek Huncwee dari gunung Bong-san yang selama ini berdiri disisi kalangan segera tertawa ter-bahak2 setelah menyaksikan kemunculan dua manusia aneh itu, ia maju kedepan dengan langkah lebar kemudian menyapa:
"Selamat berjumpa.. selamat berjumpa sungguh tak nyana si anak jadah berwajah singa dari gunung Lau-san serta si Hakim kejam bermata sipit dari gunung Kouw-Lauw-san telah ber-sama2 datang mengunjungi perkampungan Ciok-It-san-cung kami, Hah haah..." berbicara sampai disitu, dia lantas berpaling kepada Lie Kie Hwie sang pocu dari benteng Cian-Liong-Poo dan melanjutkan:
"Malam ini kita dapat berjumpa dengan orang2 berilmu seperti mereka, hal itu menandakan betapa beruntungnya kita berdua, saudaraku bagaimana kehendakmu ? kau mau seret sihakim kejam kedalam pengadilan? ataukah hendak mempermainkan si raja singa yang sudah naik pitam ? katakanlah terus terang, tak usah sungkan2."
Diam2 Lie Kie Hwie merasa kagum bercampur kuatir terhadap sikap saudara angkatnya yang masih sempat bercanda walaupun berhadapan dengan musuh tangguh didepan mata.
Sebelum ingatan kedua berkelebat dalam benaknya, si Hakim Kejam bermata sipit yang memakai simbol "Lee-pok" nomor tiga sambil memicingkan matanya telah berjalan menuju kehadapan Bong-san Yen-shu, sebaliknya say-Bin Toojien dari gunung Lauw-san yang memakai simbol "Lee-pok" nomor empat seraya gelengkan kepalanya yang gede dan tertawa dingin tiada hentinya menyusul datang.
Sreet...... sekilas cahaya merah yang memanjang meluncur keluar dari balik mantelnya yang berwarna hitam, dan tahu2 ia sudah mengirim satu babatan kilat.
Ilmu pedang yang dimiliki gembong iblis dari kalangan hitam ini benar2 luar biasa, cukup babatan pedangnya barusan sudah menggetarkan hati siapapun yang melihat, membuat "sian-Hee-It-Kiam" Yauw Kie yang sedang merawat lukanya disisi kalanganpun ikut mengerutkan dahinya.
Dalam pada itu Lie Kie Hwie si Poocu dari benteng Cian-Liong-Poo telah bereaksi, hawa pedangnya membumbung keangkasa, dengan jurus "Liong-cu Cu seng" atau Anak Naga menampakkan diri ia balas mengirim satu babatan ganas kearah say-Bin-Toojien.
Tidak malu dia disebut sebagai seorang jagoan pedang yang besar, berbicara dari sikap maupun balasan serangan yang dilancarkan cukup dipuji dan dikagumi. Maka dari pihak perkampungan Kiok-It-san-cung pun untuk sementara waktu bisa berlega hati atas keselamatannya.
Dipihak lain, pertarungan antara Bong-san Yen-Shu melawan si Hakim Jahat bermata sipit berjalan dengan lucu dan penuh gurauan yang menimbulkan gelak tertawaan orang.
Kendati sepasang Poan-Koan-Pit yang diandalkan sang Hakim jahat bermata sipit diputar sedemikian rupa ditengah udara sehingga menimbulkan beratus-ratus cahaya tajam berwarna biru mengurung tubuh lawan rapat2 namun setiap kali pihak musuh berhasil meloloskan diri dengan suatu gerakan manis.
Bukan begitu saja, bahkan setiap kali berhasil melepaskan diri dari ancaman kalau bukan menyusup ke belakang punggung lawan untuk menowel pantatnya sambil tertawa haha hihi, tentu ia menerobos lewat bawah ketiak si Hakim jahat bagaikan seekor burung walet untuk me-ngitik2 musuhnya.
Kalau cuma meraba-raba atau menowel-nowel belaka sih masih mendingan, yang paling memusingkan kepala mulutnya nyerocos terus ngoceh tidak karuan, sebentar memuji tulang pay-kutnya yang empuk, sebentar lagi meneriakkan pantat yang montok membuat si Hakim jahat bermata sipit jadi gusarnya bukan kepalang, matanya melotot gede dan otot-otot hijau pada menonjol keluar semua.
Sayang matanya terlalu sipit, sekalipun ia sudah pentang dan melotot se-besar2nya juga percuma.
Untung wajahnya memakai kain kerudung berwarna hitam, sehingga orang lain tak perlu menyaksikan wajahnya yang lucu itu.
Hatinya benar2 gemas bercampur mendongkol, diam2 ia bersumpah apabila si kakek huncwee dari gunung Bong-san berhasil diringkus, bukan saja sekujur badannya akan dicacah dengan senjata Poan-koan-pitnya, lidah si kakek yang jahil pun akan dicabut keluar.
Tetapi, sanggupkah dia berbuat begitu? Meskipun ia telah kerahkan segenap kemampuan dan kekuatan yang dimilikinya untuk merangsek dan meneter musuhnya, namun setiap kali pihak lawan berhasil meloloskan diri bagaikan segumpal asap, kemana dia tusuk kesitu pula kakek itu menghilang.
Pemandangan semacam ini tidak lolos dari pengamatan si pedang tunggal dari sian-Hee san, Yauw Kie serta sastrawan berbaju biru berkipas emas tentu saja tak terlewat pula dari pandangan "Hiong Hoen" nomer dua, dibawah sorot sinar rembulan yang remang2 tampak wajahnya menyeringai buas sehingga nampak lebih bengis dan mengerikan. Pikirnya di dalam hati:
"Sungguh tak kusangka didalam sebuah perkampungan yang kecil ternyata bersembunyi begitu banyak jago2 Bu-lim yang berkepandaian tinggi, kalau dibiarkan begini terus dan aku belum juga mau turun tangan, bisa jadi seluruh pasukanku akan musnah disini dan aku bakal menderita kekalahan total yang memalukan."
Berpikir demikian, sinar matanya lantas dialihkan kearah pihak musuh dimana hanya tertinggal sang pelajar berbaju biru serta sian Hee-It-Kiam yang sedang merawat lukanya.
Suatu ingatan segera berkelebat dalam benaknya, ia merasa raut wajah sastrawan itu seperti pernah dikenalnya disuatu tempat, cuma ia lupa dimanakah pernah bertemu dengan orang itu.
Meski "Hiong-Hoen" nomer dua bertabiat kejam dan licik, namun sejak memperdalam ilmunya dilembah selaksa kabut dan munculkan diri kembali kedalam kalangan Bu-lim, dimana ia segera diberi kedudukan tinggi oleh Yoe-Leng sin-koen, apalagi sesudah siok-Tiong-it-Liong, ouw-pak Kheng-san ciauw-coe sekalian jago Bu-lim tidak dapat loloskan diri dari tangan jahatnya, ia semakin kepala besar dan jumawa, dianggapnya dalam kolong langit ini kepandaian silatnya yang paling lihay, maka dari itu meski hatinya sangsi namun sama sekali tidak jeri.
Dia tertawa dingin, bagaikan segulung asap hitam badannya berkelebat kehadapan sastrawan berbaju biru itu, tegurnya.
"Hey keparat cilik, tidak baik kalau nganggur terus, ayoh ikutilah diriku melepaskan otot-otot yang kaku."
Sembari berseru, sreet... sebuah pukulan telah dilepaskan, terasa gulungan angin pukulan berhawa dingin yang dahsyat dan mengerikan menghantam ketubuh Hoo Thian Heng.
Rupanya dia punya niat untuk membereskan si anak muda ini lebih dahulu kemudian baru meringkus sian-Hee-It-Kiam. Setelah dua orang jago tadi dibikin tak berkutik maka dengan leluasa dia bisa terjunkan diri kedalam kalangan pertempuran.
Dengan bantuan yang diberikan, tidak mustahil dalam sekejap mata seluruh musuh2nya bisa dipukul roboh.
Begitulah dikala ia melancarkan satu babatan dahsyat kearah Hoo Thian Heng itulah, dipihak lain "Yoe Leng" nomor tiga belas, empat belas, sembilan belas, dua puluh serta dua puluh satu, lima sosok bayangan manusia serentak terjunkan diri pula kedalam kalangan pertempuran, tak terhindarkan lagi suatu pertempuran massal yang sengit pun segera berlangsung.
Dalam pada itu si sastrawan berbaju biru Hoo Thian Heng yang diserang secara mendadak, tidak sampai keder dibuatnya, dengan kalem dan tenang ia berkelit kesamping kemudian meloncat kebelakang punggung "Hiong Hoen" nomer dua, telapak tangannya yang putih halus segera ditekan lambat2 kebawah.
Meskipun dikatakan lambat, padahal bagi orang yang berkepandaian silat amat lihay seperti dia justru hal itu merupakan suatu ancaman besar, jangan dibilang kena terhantam cukup kesenggol saja sudah dapat merontokkan tulang2 tubuhnya.
"Hiong-Hoen" nomer dua bukan anak kemarin sore, sewaktu menyaksikan serangannya mengenai sasaran kosong dan ia kehilangan jejak musuhnya, dengan pengalamannya yang luas dia lantas menduga kalau pihak lawan pasti telah menyingkir kebelakang.
Ilmu beracun Hian-Im-Tok-kangnya segera dikerahkan, sang telapak dikibaskan kebelakang dibarengi badannya berputar cepat, dalam dugaannya sang anak muda itu pasti terhajar pental oleh hantaman itu.
Siapa sangka bentrokan keras dari dua gulung angin pukulan itu hanya mengakibatkan sepasang bahu Hoo Thian Heng bergetar sedikit, diikuti badannya telah melayang mundur kebelakang dalam keadaan selamat.
Dalam serangannya barusan gembong iblis tua ini telah menggunakan tenaga dalamnya mencapai lima bagian, namun badannya terpukul mundur juga kebelakang hal ini membuat darah panasnya meluap, dengan wajah penuh kegusaran ia mendengus dingin.
"Keparat cilik, hebat sekali ilmu silatmu, coba rasain lagi sebuah pukulanku ini !" teriaknya.
Dua lengan dipentangkan kemuka, sambil mengerahkan sepuluh bagian hawa sakti "Hian-Im Tok-Kang"nya kembali ia kirim satu pukulan maut.
Hoo Thian Heng tertawa nyaring, menggunakan jurus "Thian-Wong-Loo-Mo" atau Jala langit menjaring iblis ia sambut datangnya ancaman itu.
Blumm... dengan cepat dua gulung angin serangan yang maha dahsyat itu saling membentur ditengah udara sehingga menimbulkan suara ledakan yang gegap gempita, batang pohon sama2 patah dan roboh ketanah, pasir debu beterbangan keangkasa membuat suasana berubah jadi mengerikan.
Hoo Thian Heng mengerutkan dahinya, ia tetap berdiri tegak ditempat semula tanpa bergeming barang sedikitpun juga, sebaliknya "Hiong-Hoen" nomor dua kena dihantam sampai mundur tiga langkah kebelakang, hatinya kontan terkesiap.
Haruslah diketahui tenaga pukulan "Hian Im-Tok-shu" atau si Kakek bisa dingin Cia Ie Chong dalam urutan Biauw-Kiang su-Tok empat manusia beracun dari wilayah Biauw telah berhasil melampaui kemampuan sang loo-toa, "Pek-si-Tok-shu" atau si kakek seratus bangkai Kiang Tiang Koei, apalagi sekarang bukan saja setelah berlatih giat dalam lembah selaksa kabut bahkan menelan pula pelbagai makhluk berbisa berusia ratusan tahun, tenaga dalamnya telah memperoleh kemajuan pesat.
Dengan kemampuannya sekarang jangan dibilang tubuh manusia yang terdiri dari darah daging, sekalipun sebuah batu karangpun akan hancur lebur termakan serangannya.
Tidak aneh kalau hatinya kontan jadi terkesiap setelah dilihatnya pihak lawan bukan saja tidak bergeming sama sekali oleh pukulannya bahkan dia sendiri malahan merasakan darahnya bergolak kencang dalam rongga dadanya, hal ini membuat dia jadi sadar bahwa pihak lawan adalah seorang musuh yang sangat tangguh.
"Siapakah orang ini ?" dalam keadaan terkesiap bercampur kaget suatu ingatan berkelebat dalam benaknya, ia tingkatkan kewaspadaannya kemudian dari pinggangnya ia lepaskan seekor ular berbisa Thiat-sian-Tok-Coa, sambil tertawa dingin serunya:
"Aku rasa kau bukan lain adalah si sastrawan berbaju biru berseruling kumala dan berkipas emas yang kesohor lihay, malam ini kita bisa saling bertemu muka disini, hal ini merupakan suatu kebetulan. Mumpung sudah ketemu dendam sakit hati yang pernah kau lakukan terhadap Siauw-Tang-sam Yoe sewaktu ada ditebing Pek-Yan-Gay tiga tahun berselang sudah seharusnya dibikin beres !"
Padahal, sesungguhnya antara dia dengan Liauw-tang sam-Koay sama sekali tidak terjalin ikatan maupun hubungan apapun juga, hanya saja sengaja dia berkata demikian agar bisa menutupi maksud tujuan yang sebenarnya daripada kehadirannya malam itu.
Sejak diperingatkan oleh Koe-sian sin-Poo, watak jumawa dan tinggi hati dari Hoo Thian Heng sudah banyak berkurang, mendengar ucapan itu dari dalam sakunya dia lantas ambil keluar seruling kumala serta kipas emasnya siap menantikan serangan musuh, kemudian sambil tertawa lantang sahutnya:
"Kalau dugaanku tidak meleset, aku rasa saudara tentulah Hian-Im-Tok-shu Cia Ie Chong dari empat manusia berbisa asal Wilayah Biauw yang sudah terkenal dalam dunia persilatan, bukankah begitu ?"
"Hiong-Hoen" nomer dua bungkam dalam seribu bahasa tanda membenarkan.
Sekilas senyuman menjengek dan pandang hina terlintas diujung bibir Hoo Thian Heng, ujarnya lebih lanjut:
"Menurut apa yang kuketahui, sejak dulu hingga sekarang sepuluh manusia sesat dari kolong langit adalah manusia2 kurcaci yang selalu mementingkan diri sendiri. Hmm sejak kapan sih timbul rasa persahabatan dan rasa setia kawan dalam hati kalian ?...Hoy, tahukah kau akan kabar berita adikmu "Gia-Kang Tok-shu" atau si kakek kelabang beracun Ngo Hiong Hoei ?"
"Apakah siauw-hiap pernah berjumpa dengan dirinya?"
Sambil menahan rasa geli didalam hati, Hoo Thian Heng menjawab dengan wajah serius:
"Bukan saja telah berjumpa, bahkan siauw heng telah menghantarkan dia melakukan perjalanan."
"Dia pergi kemana?"
"Menuju kealam baka."
"Apa?" Hian Im Tok-shu menjerit kalap, saking mendongkolnya ia merasakan kepalanya sakit seperti mau meledak dengan mata melotot buas dan wajah menyeringai seram ia meraung aneh, pergelangan tangannya digetarkan kemuka, ruyung lemas Thian suan-Juan-Piannya segera menciptakan diri jadi sekilas bayangan hitam yang menghantam kemuka. Bau amis yang memuakkan segera tersebar ke-mana2 membuat keadaan tambah mengerikan.
Ujung baju Hoo Thian Heng berkibar tersampok angin, sambil mencekal seruling kumala dia bersuit nyaring, kipasnya dikebaskan kemuka mengirim deruan angin puyuh, begitu turun tangan jurus mematikan segera dilontarkan tanpa sungkan2.
"Hiong Hoen" nomer dua bukanlah manusia lemah yang gampang dikecundangi, serangkaian ilmu ruyung "Leng Coa Pian Hoat" ajaran "Ban Tok Ci ong" segera dimainkan sedemikian rupa sehingga hujan dan angin sukar tembus.
Sambil melayani lawannya bertarung sengit, diam2 Hoo Thian Heng melirik kearah kalangan lain, dijumpainya sian Hee It Kiam Yauw Kie yang menderita luka sekarang telah terjunkan diri kembali kedalam kalangan pertempuran melayani musuh yang berjumlah banyak.
Sang nelayan sakti dari sungai Goan Kang mulai menunjukkan tanda2 kekalahan, situasi yang dihadapi Bong-san Yen-shupun amat kritis, sedangkan Cian-Liong Poocu kendati untuk sementara waktu masih bisa bertahan keadaannya pun mulai payah, alisnya segera berkerut.
Mendadak kipasnya dilipat dan ditarik kembali, diikuti ilmu totokan Kan Goan-cie yang lihay pun meluncur kemuka tiada hentinya.
Dalam pada itu "Hiong-Hoen" nomer dua sedang ber-siap2 melepaskan bisa racunnya, belum sempat ia bertindak sesuatu, mendadak terasalah segulung desiran angin tajam meluncur datang mengancam jalan darah "Khie-Lay hiat", ia jadi terkejut, sadar bahwa serangan tadi tak bisa dihindari lagi badannya segera menjongkok kebawah.
Dengan gerakan tersebut kendati jalan darahnya terhindar dari totokan musuh, tak urung lengan kanannya kena tersampok juga oleh desiran angin totokan lawan sehingga jadi kaku dan linu.
Ia sadar dalam keadaan seperti ini tak mungkin lagi baginya untuk meneruskan pertarungan ini, dengan gerakan keledai malas ber-guling2, ia jatuhkan diri keatas tanah kemudian bergelinding menjauhi kalangan.
Lengan kiri ditekuk, meminjam kekuatan tersebut buru2 badannya mencelat bangun, suitan tanda bahaya pun diperdengarkan berulang kali.
Mengikuti suitan tersebut segenap "Lee-Pok" serta "Yoe-Leng" yang sedang bertempur sama2 menarik diri dan mengundurkan diri kesisi Hiong Hoen nomor dua.
Rasa gusar yang bergelora dalam dada gembong iblis ini benar2 susah dilukiskan dengan kata2, dengan sorot mata bengis disapunya sekejap wajah para jago kemudian ia berseru dingin:
"Kejadian malam ini kita tunda dulu sampai lain hari. Hmm tunggu saja pembalasan kami yang lebih kejam sampai jumpa."
Diikuti bentakan nyaring, ia kerahkan ilmu meringankan tubuh Hoa-Im-san-Hong-sutnya berkelebat lebih dahulu meninggalkan tempat itu disusul para iblis lainnya, dalam sekejap mata seluruh bayangan tubuh mereka telah lenyap dari pandangan mata.
0odkzo0 Bab 15 BULAN TIGA telah berakhir, namun musim semi masih nampak indah menyelimuti jagad. Bunga2 indah bersemi, pemandangan sangat indah. Hawa terasa hangat menambah kegembiraan setiap insan manusia.
Tapi suasana dalam perkampungan Pa-In-san-cung diluar kota Kay-Hong berbeda jauh dengan keadaan disekitarnya, semua penghuninya berada dalam keadaan duka nestapa, tak kedengaran orang bernyanyi riang, tak ada orang tertawa riang, tak terdengar suara pembicaraan yang menggembirakan.
Yang terdengar hanya keluh kesah, helaan napas sedih, suara gerutu penuh kemangkelan serta pelampiasan rasa dongkol yang meluap-luap.
Jangankan orang lain, sekalipun si kakek huncwee dari gunung Bong-san yang paling lapang dada dan pada hari2 biasa paling suka bergurau kini bungkam dalam seribu bahasa dengan muka murung.
Sebaliknya Siauw-Bin-Loo-sat, Poei Hong yang selalu tersenyum simpul kendati menghadapi musuh tangguh sekarang tak kelihatan lagi senyumannya yang manis.
Hoo Thian Heng sendiri walaupun tidak mengurangi kegagahannya dahulu, namun ia lebih cemas dan gelisah daripada orang lain.
Alasannya dia malu pada diri sendiri karena tidak sanggup memenuhi harapan Bu-lim Jie-Seng yang berpesan agar dia berusaha membendung meluasnya kejahatan dalam dunia persilatan, bukan saja ia gagal membendung bahkan badai yang melanda datang semakin menghebat sehingga mengakibatkan banyak jago kenamaan jatuh korban.
Untuk beberapa saat dia dibikin sangsi terhadap apa yang harus dilakukan dalam situasi serta keadaan seperti ini.
Pergi kelembah Leng-Im-Kok untuk berjumpa dengan Jie-Seng? Ataukah terjunkan diri kedalam dunia persilatan untuk menyelidiki letak sarang manusia2 berkerudung hitam itu ?
Ia telah berpikir, seandainya dia pergi jauh meninggalkan perkampungan, seandainya gembong2 iblis itu balik kembali dan melancarkan serbuan besar2an, dalam keadaan seperti ini bagaimana akibatnya tak usah dipikirpun sudah jelas.
Oleh sebab itulah pikirannya jadi kalut dan kacau tidak karuan.
Lie Kie Hwie sendiri itu poocu dari benteng Cian-Liong-Poo paling sedih diantara rekan2nya, ia tak sangka harus berpisah untuk se-lama2nya dengan Si burung hong hijau Thio See istrinya yang tercinta, setiap hari ia duduk termenung sambil melamun yang bukan2.
Hanya Tonghong Beng Coe seorang yang kadang2 harus melupakan segala kemurungan dan kesedihan karena dibikin repot dan lelah oleh anak2nya yang mungil dan menyenangkan, kiranya kembali dia melahirkan sepasang anak kembar.
Dalam suasana seperti ini, satu2nya suara berisik yang terdengar dalam perkampungan Pa-In san-cung hanyalah tangisan bayi belaka.
Setelah hujan deras semalam, bunga2 pun mekar kembali dengan indahnya pada keesokan paginya.
Kicauan burung kurcica menambah semaraknya suasana, membuka dan melenyapkan segala kemurungan dalam perkampungan itu.
"Coba dengar burung kurcica mulai berkicau merdu, mungkin ini hari kita akan kedatangan tamu agung ?" gumam siauw-Bin-Loo-sat Poei Hong seorang diri.
"Semoga saja bukan tamu2 jahat yang tak diundang," sambung Ho Thian Heng dari samping.
Poei Hong mengerling sekejap kearah suaminya, lalu menggerutu:
"Eeei... apa yang terjadi pada dirimu? semua persoalan yang dihadapi segera dihubungkan dengan gembong2 iblis itu, rupanya nyalimu sudah dibikin pecah oleh keangkeran mereka?"
"Hmm kau anggap aku jeri terhadap mereka ?"
Orang yang berada dalam keadaan pikiran kalut dan hati mangkel, sering kali tabiatnya memang berubah jadi kasar dan seram, demikian pula keadaan Hoo Thian Heng saat ini. Mendengar ucapan yang dirasakan sebagai ejekan tadi kontan meluncurlah kata2 yang bernada keras dan ketus.
Jangan dibilang orang lain, meskipun dirinya sendiri setelah mendengar seruan tadi hatinya jadi tercengang apalagi Poei Hong sebagai seorang gadis berhati halus.
Mimpipun siauw-Bin-Loo-sat tak pernah menyangka kalau suaminya yang pada hari2 biasa selalu menyayangi dirinya, menuruti kemauannya sekarang bisa berubah sikap dan bicara kasar dengan dirinya.
Sebagai seorang gadis yang tinggi hati, tentu saja ia tak dapat menahan rasa dongkol dalam hatinya, air mata tak terbendung lagi mengucur keluar dengan derasnya, bahu bergetar keras dan isak tangis yang menyedihkan pun berkumandang memecahkan kesunyian.
Melihat istrinya menangis, Hoo Thian Heng jadi gelisah, ia gugup dan tak tahu apa yang harus dilakukan.
Sementara itu Cian-Liong Poocu Lie Kie Hwie serta Bongsan Yen-shu yang berada dalam ruangan itu saling bertukar pandangan sekejap, siapapun bungkam dalam seribu bahasa.
Lie Kie Hwie yang lebih berpengalaman dalam soal rumah tangga mengerti jelas bahwasanya sebagai orang luar lebih baik jangan ikut mencampuri urusan rumah tangga orang lain, ia segera mengerling sekejap kearah Bong-san Yen-shu seraya berseru:
"Yoe-heng, setelah air hujan membasahi seluruh jagad kemarin malam udara ditempat luar tentu rindang dan nyaman. Bagaimana kalau kita jalan2 keluar ?"
Si Kakek huncwee dari gunung Bong-san menyemburkan asap huncweenya kearah tengah udara, sambil mengetuk sisa tembakau keatas lantai ia mengangguk dan melangkah keluar dari ruangan itu.
"Apabila hian-te ada kegembiraan untuk menghirup udara segar, tentu saja aku si Lao koko dengan senang hati akan mengiringinya."
Cian-Liong Poocu tersenyum kearah Hoo Thian Heng, tanpa mengucapkan kata-kata lagi segera bertindak keluar.
Setibanya diluar pintu perkampungan, si kakek huncwee dari gunung Bong-san menarik napas dalam2, sambil mengelus jenggotnya yang terurai kebawah ujarnya lantang:
"Manusia mana yang bisa luput dari kedukaan ? loo-te, kobarkan semangatmu, kau harus tahu penjagalan besar besaran dalam Bu-lim baru mencapai taraf permulaan, kita tak boleh cepat putus asa, bangkit dan kobarkan semangat jantan kita untuk melakukan perlawanan gigih."
Dengan sinar mata sedih bercampur murung "Cian-Liong Poocu" Lie Kie Hojie melirik sekejap kearah kakak tuanya, menjumpai kegagahan serta keteguhan hatinya yang keras laksana batu karang, tanpa terasa hatinya jadi terharu, segera sahutnya:
"Pikiran siauwte pada saat inipun rada sedikit terbuka, aku sadar seandainya kami sepasang suami istri masih tetap berdiam dalam benteng Cian-Liong-Poo, niscaya seluruh keluarga kami telah terbasmi habis."
"Aaai....kematian memang melepaskan manusia dari penderitaan dan kemurungan."
Gumpalan asap putih yang disembur dari mulut Bong-san Yenshu melayang ditengah udara kemudian buyar, mendengar keluhan adik angkatnya ini, hati langsung terasa masgul dan sangat tidak enak.
"Kau tentu masih ingat bukan akan peringatan dari Bu-lim Jie-seng tatkala berkunjung ke rumahmu tiga tahun berselang?" akhirnya ia berseru.
"Aku masih ingat bukankah dia bilang bahwa Loo Pouw-sat dari gunung Altai telah meramalkan bahwa dunia persilatan akan mengalami bencana dahsyat? sungguh tak nyana apa yang dia ucapkan sekarang telah terbukti."
"Itu namanya sudah takdir!" sambung kakek huncwee dari gunung Bong-san sambil menyemburkan segumpal asap tebal, "Rupanya kau maupun aku adalah manusia yang termasuk dalam daftar mati! Sebagai seorang lelaki sejati hidup pun tak usah bergirang kenapa mati harus ditakuti? kita dua bersaudara sudah sepantasnya kalau bangkitkan semangat tempur, berjuang melawan iblis keji itu sampai titik darah penghabisan, sehingga generasi yang akan datang dapat mencontoh perbuatan yang besar....."
Ia merandek sejenak kemudian tambahnya.
"Tiga tahun telah lewat dalam sekejap mata tahun ini sudah tiba waktunya bagi putri kesayanganmu serta Gong Yu untuk tamat belajar dan turun gunung!"
Istana Pulau Es 19 Bayangan Berdarah Karya Wo Lung Shen The First Journey 2
^