Pencarian

Si Angin Puyuh 2

Si Angin Puyuh Si Tangan Kilat Hong In Lui Tian Karya Gan Kh Bagian 2


"Menyerang ganas bertahan kuat, Sun-goan-kiam hoat betul betul tak bernama kosong!" demikian puji Hek-swan hong, mulut bicara dahan pohon tetap bekerja lincah, setiap jurus mengandung tipu-tipu lihay yang menyerang gencar dari berbagai penjuru, sekaligus ia lancarkan serangan puluhan jurus.
Bermula Hian king Tojin memperhatikan, umpama lwekang sendiri bukan tandingan lawan, dalam hal ilmu pedang dirinya pasti lebih unggul. Baru sekarang ia insyaf bukan saja Hek-swan hong lihay dalam ilmu pukulan, lwekangnya tinggi, ilmu pedang ternyata jauh diatas kemampuannnya juga.
Hian-king Tojin kerahkan seluruh tenaga dan lancarkan permainan pedangnya yang paling hebat, kakinya beruntun menyurut mundur delapan langkah baru berhasil mematahkan serangan berantai Hek-swan-hong, sekarang situasi berobah lagi, disamping menyerang juga menjaga diri.
Puluhan jurus kemudian kedua pihak mulai lancarkan permainan tingkat tinggi, mendesak dan menyapu bagai kera menerobos semak pepohonan, mundur seperti ular naga berlenggok, melejit tinggi laksana burung elang melayang ke angkasa, menukik seperti harimau galak menerkam mangsanya.
O^~dwkz^hendra~^O Jilid 03 Adu pedang kali ini sungguh hebat dan menegangkan, para penonton kabur pandangannya, semua menonton dengan menahan napas. Setiap samberan pedang membawa angin deras menimbulkan keresekan daun-daun pohon yang berjatuhan.
Kira-kira setengah jam kemudian permainan Hek swan hong mendadak berubah, dahan pohon di tangannya berobah lincah laksana ular hidup yang menjulurkan lidah, tiba-tiba depan lalu belakang, dilain saat dari kiri lalu menyergap dari kanan, gerak perobahannya sangat lihay dan sulit diraba.
Setiap jurus permainan Hian king Tojin seperti sudah diraba dan diketahui lebih dulu kemana juntrungannya, sehingga dengan mudah ia bergerak mendahului dan menjaga serta memunahkannya, keruan Hian-king menjadi kewalahan dan hanya bertahan saja.
Rupanya Hek-swan-hong sengaja memberi kesempatan Hian king Tojin memainkan tiga belas jurus Sun-goan-kiam-hoat. Setelah lengkap menyaksikan intisari permainan ilmu pedang lawan maka dengan mudah ia meraba jurus demi jurus serangan pedang lawan itu karena Hian-king Tojin gopok dan bukan tandingannya lagi.
Besar hasrat Hian-king Tojin memapas dahan pohon lawan namun setiap jurus permainannya selalu dikunci lebih dulu. Apalagi serangan pedang lawan selalu mengancam jiwanya pula, maka setelah bertempur sekian lama, meski memeras keringat hasratnya tetap kandas di tengah jalan.
Mendadak Hian king Tojin : "Ilmu pedang jelas aku tidak bisa menang untung pertandingan ini hanya saling ukur kepandaian saja. Andaikata aku terluka bila dapat memapas dahan pohonnya, berarti pertandingan ini seri alias sama kuat." setelah ambil keputusan, sengaja ia bergerak lamban begitu dahan pohon Hek-swan hong menutul datang, tiba tiba pedangnya melintang terus menangkis serta menyontek. tampak sinar pedang gemerdep.
Tak duga, meski perhitungan sangat muluk dan rapi, sayang sekali kejadian justru tidak memenuhi harapan, dalam kejap yang menentukan itu, Hian king Tojin merasa pergelangan tangan mendadak kesemutan, pedang panjangnya jatuh diatas batu-batu gunung dengan suara keras.
Dahan pohon yang dipetik Hek-swan-hong tadi dimana terdapat beberapa lembar daun hijau. Tatkala Hek-swan hong meloncat keluar kalangan pertempuran, tampak dahan pohon itu masih utuh seperti semula, hanya daun yang terletak di paling ujung kurang dua lembar.
Hek-swan-hong membuang dahan pohon, katanya tertawa; "Ilmu pedang bagus, ilmu pedang bagus ! Kalau orang lain tentu tak dapat memapas daun diatas dahan pohonku. Kita sama-sama menang satu jurus, anggap saja seri dan tak perlu dilanjutkan lagi."
Jengah muka Hian-king Tojin, katanya: "Terima kasih akan kemurahan tuan. Pinto benar-benar tunduk dan mengaku kalah lahir batin." ternyata tutukan ringan dahan pohon dipergelangan tangan tadi ditambah tenaga, maka Sau yang sim-meh pasti terluka, ini berarti seluruh lengan kanannya bakal cacat selama hidup tak bisa bermain pedang lagi.
Bing Ceng ho berkata; "Pertandingan pedang ini betul betul membuat mata kita terbuka ! Ilmu pedang Hek Tay-hiap betul-betul menakjupkan, demikian juga kepandaian Hian-king Totiang tiada seorang diantara kita yang dapat memadai. Kalau aku mungkin tiga jurus saja tak mampu bertahan." sebagai bangkotan Kangouw yang pandai bicara kata katanya memang enak didengar. Sengaja ia membela kehormatan dan gengsi Hian-king Tojin, hakikatnya ia bicara dari perasaan lubuk hati yang dalam.
"Bing lopiauthau, jangan tempel emas di mukaku," kata Hian king Tojin merendah, "bicara terus terang, kedatanganku dikarang kepala harimau meski diundang oleh Ciok cengcu tapi tujuanku mencari kesempatan untuk belajar kenal dengan kepandaian Hek tayhiap yang hebat luar biasa. Memangnya kau anggap aku betul betul suka membantu kelaliman? Sekarang sudah terkabul keinginanku, kalau Hek tayhiap dapat memaklumi dan suka memberi kelonggaran, segera Pinto minta diri."
Hek swan hong tertawa, ujarnya; "Maksud Totiang begitu bergebrak tadi lantas kuketahui. Aku tidak salah paham pada Totiang. Kalau sudi marilah kita ikat persahabatan !" ia ulur tangan, serta merta Hian king Tojin ulur tangan, mereka berjabatan, Hek-swan hong minta supaya tunggu lagi sementara waktu.
Sekarang tinggal urusan Piaukiok Bing Ceng-ho yang masih belum terselesaikan, kebat-kebit hati bing Ceng-ho, dari samping ia mengawasi air muka Hek-swan-hong.
Hek- swan-hong berkata, "Sebetulnya aku tidak bermaksud mempersulit perusahaan kalian. Soalnya harta benda milik Kan Goan-pek itu adalah harta benda rakyat jelata, betapapun aku tidak akan membiarkan dia menikmati harta benda yang tidak halal itu !"
Tenggelam perasaan Bing Ceng-ho, katanya tertawa getir : "Tapi celaka adalah perusahaan kita karena Kan Goan pek menuntut kepada kita."
"Bing lopiauthau tak usah kawatir," ujar Hek-swan-hong tertawa lebar. "Urusan sudah kuselesaikan beres, pihak pemerintah takkan mencari perkara kepada perusahaan kalian!"
Kejut dan girang Bing Ceng-ho namun rada sangsi, katanya: "Residen Kam mengutus seorang petugas menunggu jawaban kita di Soh-ciu, mana mungkin perkara ini dibikin selesai begitu cepat dan gampang? Bukan Losiau tidak percaya, harap tuan memberi penjelasan."
Hek-swan hong tertawa, ujarnya: "Ada sebuah bukti boleh kau lihat, tanggung kau akan lega dan senang." lalu disodorkan sepucuk surat kepada Bing Ceng-ho, diatas sampul ada cap tanda kebesaran residen Kan Goan pek. Itulah sepucuk surat perintah kepada petugas di Soh-ciu, surat itu menyatakan bahwa barang hantaran yang hilang telah dirampas kembali oleh pihak Hou-wi piaukiok, supaya penjahat di Soh ciu membatalkan perkara ini.
Keruan Bing Ceng ho kegirangan serunya; "Bagaimana duduk perkaranya?"
"Aku suruh Kan Goan-pek membuat surat itu," tutur Hek swan hong, "Kawatirkan tidak percaya sampul surat ini kucuri dari gedung bupati Soh ciu. Perkara ini sudah beres, maka sampul surat juga dikembalikan. Kau sudah lihat, cap ini bukan palsu bukan? sekarang boleh kau kembalikan kepadaku."
Hian king Tojin tertawa katanya: "Bing-lopiauthau, untuk selanjutnya bukan saja perusahaan hantaranmu tidak perlu tutup pintu, malah akan terima pahala !"
Saking girang Bing Ceng ho terbahak-bahak, dengan mulut tertawa lebar. Sambil mengembalikan sampul surat itu kepada Hek-swan hong, ia berkata: "Setelah kehilangan harta bendanya yang tidak halal Kan Goan-pek pasti tak bisa makan dan tidur, beberapa hari ini kelihatan lebih sedih dari kematian orang tuanya. Sungguh diluar dugaan kalau dia mau menarik perkara yang sudah hampir diasingkan ini."
"Sudah tentu dia tidak mau tunduk," ujar Hek swan hong, "tapi terpaksa dia harus patuh ! Kalau dibicarakan betapapun aku harus berterima kasih kepada kau, kau meninggalkan sarang Kan Goan-pek dan datang disini sehingga aku ada kesempatan turun tangan."
Ternyata setelah Bing Ceng-ho, Oh Kan dan lain lain meninggalkan gedung kediaman Kan Goan-pek baru Hek swan-hong menyelundup kekamar tidur Kan Goan-pek, rambut kepalanya digunduli, lalu meninggalkan sepucuk surat pernyataan yang sudah disiapkan sebelumnya diatas buntalannya dengan tusukan sebilah belati, dengan ancaman supaya menurun sepucuk pernyataan dengan tulisan tangannya.
Setelah jelas duduk perkaranya, sungguh senang Bing Ceng-ho sukar dilukiskan, sungguh terima kasih dan malu serta menyesal pula. Batinnya : "Tak kira Hek-swan hong begitu baik hati, perkara ini sudah selesai dan lebih beres dari harapanku semula." Maklum beberapa patah kata Hek-swan-hong tadi sudah menjaga nama baik dan gengsinya. Penjagaan gedung Residen Kan sangat kuat dan ketat, banyak jagoan-jagoan silat yang berkepandaian tinggi. Hek swan-hong berhasil menyelundup kesana, pergi datang semau gue, sudah tentu bukan karena dirinya tidak berada di rumah keluarga Kan, sehingga dia ada kesempatan turun tangan.
Kata Hian-king Tojin dengan tertawa : "Bing-lopiauthau, untuk selanjutnya kalau cari obyek kau harus lebih hati-hati, jangan asal mendapat untung saja !"
"Masa harus kau peringatkan lagi," jawab Bing Ceng-ho, "biar aku tutup pintu saja dari pada menghantar milik pejabat korup."
Sekarang tinggal urusan Lian Hou-bing yang belum beres. Lian Hou-bing masih berdiri mematung di tempatnya setelah terkena tutukan tunggal perguruan Hek-swan-hong. Kupingnya sudah tuli, namun kedua matanya masih awas. Dengan mendelong ia saksikan para kerabatnya ngacir satu persatu ada yang dilepas Hek-swan-hong, ada yang melarikan diri dengan membawa luka-luka, meski terluka tapi jiwa selamat. Kini tinggal nasib sendiri yang masih kepalang tanggung, keruan jantungnya kebat kebit. Meski mulut tak dapat bicara namun perasaan batinnya terlontar dari pandangan matanya yang jelilatan, kelihatan betapa takut dan kawatir hatinya.
Hek-swan-hong terbahak-bahak, katanya, "Keparat ini terlalu mengagulkan ilmu tutuknya dan suka mempermainkan lawan sekarang aku menghukumnya dengan caranya sendiri, semoga membuatnya kapok."
Hian-king Tojin berkata : "Walaupun nama Lian Hou-bing tidak begitu baik dikalangan hitam, namun dia bukan penjahat yang menempuh banyak dosa. Kupingnya dipapas orang ini sudah setimpal dan sesuai perbuatannya, harap Hek-taihiap mengampuninya!"
"Ucapan Totiang memang benar," kata-Hek swan-hong, "menilai dosanya memang belum setimpal dihukum mati. Tapi dia mengumbar murid berbuat jahat sepatutnya kalau diapun mendapat ganjaran."
Kata Hian-king Tojin, "Biji mata muridnya itu sudah dibikin buta oleh orang lain."
"Benar," sahut Hek-swan-hong, "aku ingin bertanya, siapakah orang itu? Apakah dia memberi pesan?"
"Seorang gadis baju putih yang rupawan," jawab Bing Ceng-ho. "Agaknya karena pertengkaran pribadi sehingga ia menghukum murid besar Lian Hou-bing dengan mengorek kedua biji matanya tapi tidak memberi pesan apa." secara singkat ia menceritakan cara bagaimana gadis itu memberi hukuman kepada Lian-Hou-bing dan muridnya.
Hek-swan-hong berpikir sebentar lalu berkata: "Murid besar itu memang jahat keliwat takaran, hukum korek biji mata terlalu ringan. Tapi Lian Hou-bing kehilangan kupingnya, hukuman ini cukup setimpal. Mengingat Totiang minta pengampunannya, baiklah biar dia pulang saja!" dua jari lengannya menyelentik, sekeping uang tembaga melesat tepat sekali mengincar Siang-ih-hiat ditubuh Lian Hou bing, kontan saja darahnya yang tertutuk bebas dan pulih kembali seperti sedia kala.
Lian Hou-bing menjemput kedua Boan-koan-pitnya, dengan mendelong ia awasi senjatanya itu, tiba-tiba menghela napas serta berkata rawan: "Berlatih sepuluh tahun lagi pun aku bukan tandinganmu, buat apa sepasang Boan-koan-pit ini? Untuk selanjutnya, biarlah di kalangan Kangouw tiada orang yang bernama Lian Hou-bing!" selesai bicara kedua senjatanya itu lantas dibuang kedalam jurang dibawah sana.
Hek-swan hong manggut-manggut, katanya: "Bagus, kaupun punya jiwa laki-laki sejati. Selanjutnya mencuci tangan mengasingkan diri saja, siapa tahu kelak kau mendapat hasil yang lebih besar!"
Begitulah sekali lagi Bing Ceng-ho serta Phoa Tin menyatakan banyak terima kasih yang tak terhingga besarnya, lalu bersama Hian-king Tojin minta diri turun gunung.
Setelah terjadi pertempuran sengit dan ramai, suasana karang kepala harimau kembali menjadi hening lelap. Tinggal Hek-swan-hong seorang yang berdiri menjublek dengan rasa riang, pakaiannya melambai-lambai tertiup angin pegunungan. Saking puas akan tindakannya ia bergelak tawa, setelah itu ia menunduk terpekur. Apakah yang tengah dipikirkan?
Dia memikirkan peristiwa. Pernah terjadi suatu ketika, ia hendak memenggal kepala seseorang buaya darat. Buaya darat ini adalah sampah persilatan, kepandaiannya cukup tinggi, rumahnya dilindungi dan dijaga banyak tukang pukul berkepandaian lumayan, penjagaan sangat ketat.
Sebelum turun tangan ia membuang banyak waktu untuk mempersiapkan segala sesuatunya dengan sempurna. Pernah ia bertemu muka secara berhadapan dengan Buaya darat itu, dia ingat betul betul wajah orang, lalu menyelidiki keadaan sekeliling rumah gedungnya buaya darat ini setiap malam tidur bergiliran dengan gundiknya yang tak terhitung banyaknya. Tapi setiap tanggal satu dan lima belas tentu tidur sendirian dalam kamar bukunya.
Dia sudah mencari tahu, jelas dan rapi sekali, percaya bahwa penyelidikannya tidak meleset, baru ia bersiap turun tangan. Tapi kenyataan hampir saja ia gagal.
Pada malam tanggal satu, cuaca sangat gelap angin menghembus kencang dengan kepandaiannya yang tinggi mudah ia menyelinap kedalam kamar buku itu, menyingkap kelambu dan baru saja pedangnya terayun hendak memenggal kepala buaya darat itu, mendadak terbang sebutir batu dari luar jendela, tepat sekali membentur ujung pedangnya, "trang," suaranya cukup keras, keruan laki-laki yang tidur diatas ranjang tersentak bangun. Melihat seorang laki-laki sengaja berdiri didepan ranjangnya, secara spontan orang itu berteriak ketakutan.
Karena kebentur oleh krikil tadi sehingga ujung pedang Hek-swan-hong mendang sedikit, tapi kalau mau dia masih bisa memenggal kepala orang, namun setelah mendengar jeritan orang seketika merandek dan melongo, pedangnya urung memenggal.
Ternyata orang yang tidur diatas ranjang bukan buaya darat yang diincarnya itu, tapi seorang duplikat yang mirip saja. Untung Hek-swan-hong kenal suara buaya darat itu, sehingga duplikat ini tidak menjadi korban secara konyol.
Pada saat itulah terjadi keributan diluar, dari arah lain terdengar orang berteriak: "Ada pembunuh, ada pembunuh! Celaka! Batok kepala Chengcu terpenggal hilang!"
Sigap sekali Hek-swan-hong mengejar keluar tampak olehnya dipuncak loteng yang paling tinggi sana tergantung batok kepala manusia, walau malam itu gelap tak ada sinar rembulan, tapi dari cahaya obor dibawah terlihat dengan jelas tak salah lagi bahwa itulah batok kepala si buaya darat itu.
Biasanya Hek-swan-hong amat bangga akan Ginkang sendiri, tapi malam itu ia tidak berhasil menemukan jejak pembunuh itu.
Kejadian kedua lebih berbahaya dan mengejutkan. Kali ini ia beroperasi di gedung Wanyen Tiang ci, komandan Gi lim-kun dari kerajaan Kim dimana ia curi konsep penyerbuan tentara Kim keselatan.
Wanyen Tiang ci adalah tokoh silat kelas wahid dikerajaan Kim, Hek swan-hong tahu bahwa kepandaian sendiri bukan tandingan lawan, apalagi gedung pejabat tinggi dari kerajaan Kim, penjagaan tentu ketat oleh dedengkot-dedengkot silat yang tak sedikit jumlah.
Salah seorang kacung dalam gedung Wanyen Tiang-ci yang tak terhitung banyaknya itu, adalah seorang murid Kaypang yang sengaja diselundupkan kedalam sebagai mata-mata. Mendapat bantuan murid Kaypang itulah sehingga Hek swan-hong berhasil mencuri konsep kemiliteran itu. Baru saja berhasil jejaknya konangan orang.
Untung orang yang memergoki perbuatannya hanya beberapa jurus saja lantas dibunuh Hek swan-hong. Tapi sebelum ajal ia sempat berteriak minta tolong. Jelas sebentar lagi seluruh busu busu istana bakal meluruk datang, betapapun tinggi kepandaian Hek swan hong, jangan harap bisa menerobos keluar.
Tepat pada waktunya itu, mendadak kelihatan jago api menjulang tinggi ke tengah angkasa gedung rasum dalam bilangan istana itu dijilat api, sudah tentu para penjaga repot menolong kebakaran, jadi tak sempat menangkap pencuri. Karena adanya keributan ini Hek-swan hong baru berhasil melarikan diri dengan leluasa.
Beberapa hari kemudian, Hek swan-hong mencari anak Kaypang yang menjadi mata-mata didalam gedung istana itu, dia kira murid Kaypang itu yang membakar gedung itu.
Tapi anak Kaypang itu berkata : "Aku malah sangka kau yang membakar. Aku mana berani? Umpama berani tapi tak mampu membakar gedung ransum tanpa diketahui orang."
Tergerak hati Hek-swan hong, tanyanya: "Adakah kau mendengar sesuatu ?"
Anak Kaypang itu berpikir dan mengingat-ingat, lalu katanya : "Pertanyaan ini membuat aku ingat. Waktu api mulai berkobar, lapat-lapat aku seperti mendengar tawa nyaring di atap gedung ransum itu."
"Apakah suara tawa seorang perempuan ?" tanya Hek-swan hong menegas.
"Tatkala itu suasana amat ribut, para Busu berteriak-teriak tangkap maling, aku sendiri ketakutan dan kawatir bagi keselamatanmu, sehingga aku tidak menaruh perhatianku akan suara tawa itu. Ya, agaknya memang melengking nyaring seperti suara perempuan." demikian murid Kaypang itu menjelaskan.
Hek swan hong maklum bahwa gadis yang pernah membunuh buaya darat itu, malam ini telah membantu dirinya lagi.
Teringat akan kedua kejadian itu, tanpa merasa Hek-swan-hong berdiri menjublek di puncak karang kepala harimau. "Mungkinkah dia pula ?"
Angin menghembus dari samping menyampok mukanya, rumput dan daun daun pohon bergesekan mengeluarkan suara. Tiba tiba tersentak sanubari Hek-swan-hong, maka ia berseru lantang : "Budak bawel dari mana yang mencampuri urusanku ? Hm orang perlu kuhukum mana boleh orang bisa ikut campur."
Belum lenyap suaranya, tiba tiba sebuah suara nyaring berkata: "Siapa yang kau maki?" sesuai dugaan semak rumput belukar sana melompat keluar seorang gadis baju putih hanya sekejap tahu tahu sudah dihadapan Hek swan-hong.
Hek swan-hong tertawa geli, ujarnya, "Kalau tidak kumaki, mana dapat memancingmu keluar? Nona, kau telah membantu aku dua kali, selama itu aku belum pernah berterima kasih kepadamu. Kali ini jangan kau tergesa gesa, mari kita bercakap-cakap."
Tiba tiba gadis baju putih itu tertawa dingin, jengeknya: "Siapa ada tempo mengobrol dengan kau? Aku hanya ingin menjajal kepandaianmu !"
"Lama sudah aku mengagumi kepandaian nona, tak perlu main jajal segala, aku mengaku kalah saja !" sahut Hek-swan hong.
"Tidak bisa! Kau tidak pandang sebelah matamu pada orang lain. Aku tahu ucapanmu bohong belaka !"
"Bicara dengan orang lain mungkin bohong terhadap nona aku bicara sungguh-sungguh!"
Dengan muka cemberut gadis itu melolos pedangnya bentaknya: "Hek-swan hong, jangan putar lidah saja, lihat pedang!"
"Aduh!" Hek swan hong berteriak, "aku bicara sungguh kau anggap cerewet, sungguh penasaran ! Ai, apa benar kau ingin bertanding?"
Gadis baju putih menjadi gusar, semprotnya: "Kalau tidak sungguh memangnya main main? Huh kau tak membalas, jangan mengeluh kau celaka." sembari bicara beruntun ia lancarkan tiga serangan lagi, setiap jurus serangannya merupakan permainan pedang yang cukup ganas dan hebat. Terpaut serambut saja hampir badan Hek-swan-hong berlobang kena tusukan.
Dirabu oleh serangan pedang yang ganas Hek-swan-hong keripuan menyelamatkan diri, aliasnya bertaut, katanya: "Untuk menghormat lebih baik menurut perintah. Kalau nona ingin bertanding pedang, terpaksa aku menunjukkan kebolehanku." maka ia mulai bergerak mematahkan serangan lawan berbareng balas menghantam, kedua telapak tangannya seperti menutup bagai mengancing bergerak memutar kedua arah yang berlawanan lalu menggencet pergelangan tangan si gadis.
Jurus ini punya nama khusus yaitu Sam-coan hwat-lun, merupakan cangkokan Siau-kim-na jiu-hoat dari Siau-lim pay mengandung inti sari Pukulan Siau-ciang dari Bu-tong pay. Inilah Khong-ciu-jip to, kepandaian tangan kosong yang punya perubahan sangat menakjupkan. Kalau gadis baju putih teruskan dengan serangannya, pasti Hek-swan-hong bisa mengubah posisinya sedemikian rupa, dari terdesak berbalik menyergap. Pada kekosongan lawan mungkin merampas pedangnya.
Diam-diam si gadis merasa kagum dan memuji dalam hati, seiring dengan gerak kakinya, pedangnya ikut bergerak merubah sasaran dengan serangan yang cukup keji pula. Tapi disamping menyerang sekarang ia cukup hati-hati melindungi diri pula. Hek-swan-hong hendak menipunya masuk perangkap, namun dia cukup cerdas untuk menempatkan diri.
Begitu kebentur lantas berpencar, begitu kesenggol terus mundur, sekejap saja mereka bertempur tiga lima puluh jurus, sedikitpun Hek-swan hong tak memperoleh keuntungan. Tapi dengan sebilah pedang tajam, si gadis melawan sepasang tangannya yang kosong, sejauh mana masih bertahan sama kuat, karuan hatinya amat gemas dan mendelu, timbul keinginannya untuk segera merebut kemenangan.
Hek-swan-hong melihat perubahan mimik mukanya yang kurang tentram, dalam hati ia berpikir : "Sebetulnya sukar aku mengalahkan dia, tapi kalau dia terburu nafsu aku akan dapat peluang malah. Tapi umpama aku bisa menang, juga berabe, lebih baik seri saja. Tapi untuk membuat seri inilah yang sulit." Terpaksa ia berpikir lagi : "Kalau tidak biarlah dia tahu diri dan mundur teratur."
Belum lenyap pikirannya, gadis baju putih telah menambah tekanan serangannya lebih gencar lagi. Hek-swan-hong sudah melihat kekosongan lawan, berbareng juga mendesak maju, bertempur selama tiga lima puluh jurus diam diam ia sudah menyelami ilmu silat gadis baju putih. Menurut dugaannya si gadis dapat meraba kemana arah serangan balasan dari pukulannya yang lihay ini, betapa juga ia tentu mundur untuk menghindar. Asal sekali mendapat inisiatif untuk turun tangan, gebrak selanjutnya tentu lawan dapat didesak dibawah angin.
Sungguh diluar perhitungannya, "ser !" tiba-tiba ujung pedang si gadis meluncur dari arah yang tak terduga, menyerang Hek-swan hong. Jurus ini adalah serangan untuk musuh yang menyelamatkan diri lebih dulu dari pada melukai lawan. Kalau Hek-Swan-hong tidak ingin gugur bersama, berbalik adalah dia sendiri yang bakal kena terdesak mundur. Untung perbendaharaan ilmu silatnya cukup kaya, kepandaiannyapun cukup matang, dilancarkan dapat ditarik kembali sesuka hati, meski kesempatan turun tangan lebih dulu telah hilang, tapi belum sampai kecundang.
Jurus pedang si gadis dilancarkan secara kebetulan dan untung-untungan, tak lain karena perobahan ilmu pedangnya rumit dan lihay, di luar perhitungan Hek-swan-hong lagi. Karuan Hek-wan-hong mengeluh dalam hati diam-diam ia menyesali kecerobohan sendiri, pikirnya; "Kusangka sudah menyelami inti sari ilmu pedangnya, tak nyana masih sukar dijajagi." serta merta timbul seleranya, batinnya : "Ilmu pedang gadis ini berbisa dengan kungfu perguruan ternama. Permainannya aneh dan menakjupkan pula, gerak perobahannya tak habis dan sulit diraba. Biarlah aku jajal sampai dimana sebetulnya tingkat kepandaiannya."
Untuk gebrak selanjutnya Hek-swan-hong lebih rajin berkelahi, seluruh kemampuannya diboyong keluar. Ilmu pukulannya juga berobah, dua jari tangan terangkap sebagai pedang, ia mulai dengan ilmu pedang untuk bermain petak dengan si gadis baju putih.
Permainan kombinasi ilmu pukulan, ilmu pedang dan ilmu tutuk yang dimainkan Hek-swan hong adalah ilmu tunggal dari perguruannya yang tak ada duanya di kalangan Kangouw. Sejak ia mengembara, belum pernah ia gunakan secara lengkap untuk menghadapi musuh, sekarang baru pertama kali ini dimainkan.
"Hah, kan begitu baru memenuhi selera!" tiba-tiba si gadis berseru.
Tangkas sekali pedang si gadis berputar, menunjuk sinar pukul barat, menuding selatan tusuk utara, hawa pedang berseliweran laksana lembayung sinar pedang berkilauan menyilaukan mata. Tapi sedikit pun Hek-swan hong tidak terpengaruh, tenang dan tabah, sebelum ujung pedang lawan menusuk, tiba-tiba pundaknya mendadak kebawah, berbareng telapak tangan kiri meraih kedepan, dengan kekerasan ia hendak rampas pedang lawan. Dalam sejurus ia lancarkan tiga macam gerakan tangan yang berbeda beda, dibanding Khong-jiu-jip-pek-to yang dimainkan tadi, entah berapa kali lebih lihay dan mengagumkan.
Diluar dugaan, serangan pedang si gadis seperti menusuk tulang pundaknya, begitu telapak tangannya mencengkeram, mendadak menusuk miring ke samping. Sudah tentu Hek swan-hong menangkap tempat kosong, jari yang menutuk dirobah menjadi jurus ilmu pedang, menusuk jalan darah Lau-kiong-hiat di telapak tangan kiri yang bergerak mengikuti ilmu pedangnya. Meski serangannya dipatahkan ditengah jalan betapapun masih dapat mengancam lawan. Tapi si gadis tidak segugup dugaannya semula, Hek-swan hong merasa angin berkesiur, tahu-tahu si gadis baju putih melesat lewat dari samping tubuhnya. Gebrak kali ini kedua pihak telah menggunakan ilmu simpanan perguruan yang sangat mempesonakan, akhirnya masih sama kuat, belum kelihatan pihak mana lebih unggul atau asor.
Sekonyong-konyong di delapan penjuru angin tampak bayangan si gadis baju putih berkelebat, ujung bajunya melambai-lambai, kuntum demi kuntum sinar pedang berhamburan simpang siur, laksana puluhan ujung pedang yang tajam menusuk tiba dari berbagai penjuru. Beul-betul tenang sekokoh gunung, bergerak selicin belut, gerak tubuhnya selincah kelinci, gerak permainan pedangnya sulit diikuti dan diraba.
Tanpa merasa Hek-swan-hong menjadi gatal dan timbul keinginan menang sendiri setelah bersuit panjang ia berkata : "Bagus, biar aku belajar kenal dengan Ginkang nona !" kakinya melangkah dengan letak Ngo heng pat-kwa, sekejap mata ia bergerak mengganti kedudukan dan puluhan posisi yang berlainan. Meski si gadis baju putih menyerang dari delapan penjuru angin sejauh itu belum dapat menyentuh ujung bajunya.
Pertempuran semakin sengit, suatu ketika pedang si gadis menjulur mengarah tenggorokan, jari tengah Hek swan hong menyentik "creng !'' tepat kena menjentik batang pedang meminjam daya jentikan ini, si gadis menutul tanah, tubuhnya melejit tinggi ke udara, di tengah udara ia jumpalitan sekali, pedangnya berputar laksana kitiran dengan dengan gaya elang menerkam kelinci, dari atas pedangnya merabu dengan tusukan dan babatan. Seluruh tubuh Hek swan hong terkurung dalam bayangan sinar pedang.
Memang tidak malu dia berjulukan si Angin Puyuh, kelihatan ia berputar seperti angin puyuh, badannya berputar mumbul keatas terus melayang dari atas kepala gadis baju putih, keduanya berkelebat lewat berlawanan arah di tengah udara tanpa tersentuh sedikit pun.
Dalam detik yang sama keduanya hinggap di tanah membalik dihadapan. Si gadis baju putih berkata; "Dengan tangan kosong kau hadapi pedangku, kepandaianmu patut dipuji. Baiklah aku sudah belajar kenal kepandaian sejati, selamat bertemu !" sikapnya kelihatan puas dan senang sekali.
Mendengar nada ucapan orang seolah-olah mengalahkan dirinya seketika Hek-swan-hong tertegun tiba-tiba terasa dadanya dingin dihembus angin pegunungan, waktu ia nunduk tampak baju didepan dadanya sudah sobek dengan tanda, terang adalah buah karya ujung pedang si gadis baju putih.
Sebentar tertegun, Hek-swan hong lantas berkata; "Nona tunggu sebentar."
Berjengkit alis lentik si gadis, katanya berpaling; "Kenapa kau tidak terima kalah?"
"Ilmu pedang nona sangat lihay dan mengagumkan, jauh diatas kemampuanku untuk ini aku mengaku kalah." demikian Hek swan-hong merendah. "Tapi ada sebuah barang jangan nona lupa membawanya pulang!"
Si gadis baju putih melengak heran, tanyanya, "Barang apa ?"
Tampak telapak tangan Hek Swan-hong menggenggam sebuah tusuk kondai kemala diulurkan kepadanya.
Seketika si gadis mengunjuk rasa malu dan merah. Tusuk kondai kemala ini adalah miliknya yang terselip disanggul rambutnya. Dia sangka dirinya menang sejurus, tak diketahui olehnya waktu berpapasan lewat tengah udara tadi, Hek-swan hong berhasil mencomot tusuk kondai kemala diatas kepalanya.
Hek-swan hong bergelak tawa, ujarnya : "Untung nona menaruh belas kasihan, kalau tidak dadaku tentu sudah berlobang. Kalau dinilai sesungguhnya kau lebih unggul dari aku, kelakuanku yang kurang sopan ini harap nona suka memaafkan !"
Setelah dipikir pikir, si gadis merasa geli sendiri, batinnya : "Cukup menyenangkan juga. Ternyata maksud hatinya sama dengan aku, cukup saling tutul saja. Lebih menakjupkan lagi karena kedua pihak melancarkan kepandaian paling tinggi, kedua pihak sama-sama tak tahu dan merasakan bahwa dirinya kecundang. Tapi kalau bergerak sungguh-sungguh, ujung pedangku belum tentu dapat menusuknya mati. Tapi tepukan tangannya dibatok kepalaku cukup menamatkan riwayatku." Maka ia berkata: "Tak usah kau menghibur hatiku. Hari ini kau tidak kalah, akupun tidak menang kita seri." sembari berkata ia tancapkan tusuk kondai di atas kepala terus putar tubuh hendak pergi.
"Nona, kenapa kau tergesa-gesa?" Hek-swan hong berteriak gugup.
"Kita sudah bertanding, aku akan pergi kearah tujuanku, dan kau terserah kau kemana. Kau masih ada urusan apa ?"
"Kita belum berkenalan bukan. Aku ber ..."
"Kau tak perlu memperkenalkan namamu, aku tahu kau bergelar Hek-swan hong."
"Itu hanya julukan kosong yang diberikan sementara kawan Kangouw." demikian sahut Hek-swan-hong tertawa.
Baru saja ia hendak menyebut nama aslinya, si gadis telah berkata lagi : "Nama itu tak lain hanya merupakan pertanda saja, kalau orang sudah menamakan Hek-swan-hong, begitu pula aku memanggil kau."
Gadis baju putih kelihatan seperti tak ingin mengenal nama aslinya, ini betul diluar dugaannya. Dalam hati Hek swan hong berkata : "Entah berapa banyak orang ingin mengetahui nama asliku. Sebaliknya dia tak suka mendengar ! Kelakuan nona ini betul-betul ganjil."
"Tiada yang perlu kautanyakan bukan? aku hendak pergi !"
Hek-swan hong menjadi gelagapan, katanya cepat : "Kenapa tak ada ? Kau panggil aku Hek swan-hong, lalu aku panggil kau apa ?"
Si gadis menggeleng kepala, katanya : "Ai, kau ini sungguh cerewet. Ya, apa boleh buat, kalau kau ingin tahu namaku, nih, biar kau tahu!" lalu ia menyingkap ujung bajunya tampak dimana tersulam seekor burung walet yang terbang ditengah angkasa.
Hek-swan-hong tersentak kaget, teriaknya melengking : "Kaulah In tiong-yan ?"
"Benar," jawab si gadis. "Tapi inipun hanya julukanku saja !"
Pertama kali Hek-swan hong mendengar nama In-tiong-yan dari mulut Kaypang Pangcu Liok Kun-lun. Namun Liok Kun-lun juga belum tahu apakah In tiong yan itu laki atau perempuan, tua atau muda.
In-tiong-yan adalah tokoh muda yang muncul kira kira dua tahun belakangan ini. Seperti juga Hek-swan hong, kaum persilatan tiada yang pernah melihat wajah aslinya. Tapi sepak terjangnya boleh dikata jauh berlainan dengan perbuatan Hek-swan-hong, malah hampir berlawanan. Pertama Hek-swan-hong melawan pihak kerajaan Kim, membunuh buaya darat dan para pembesar korup, terutama pembesar korup kerajaan Kim. In-tiong-yan juga membunuh buaya darat dan pemeras rakyat jelata, namun selama itu belum pernah terdengar ia pernah bunuh pembesar kerajaan Kim. Kedua: In-tiong yan pernah mencuri buku pelajaran pedang pihak Bu-tong-pay, Ceng seng pay, dan Siong-yang-pay. Ketiga aliran silat ini merupakan golongan lurus yang punya kedudukan tinggi di-kalangan bulim. Seumpama hanya berkelakar, kaum pendekar tentu tak mau berbuat kurang ajar terhadap ketiga Ciangbunjin dari masing2 aliran ini. Sudah tentu Hek swan-hong takkan mau melakukan perbuatan yang memalukan.
Setelah tahu kehilangan buku2 pelajaran pedang, ketiga aliran itu menemukan sebuah gambar burung walet diatas dinding. Setiap rumah buaya darat yang dibunuhnya juga selalu diberi tanda khas dari walet terbang ini. Itu berarti setiap kali ia membuat perkara selalu meninggalkan ciri khas itu, tanda gambar itu persis dengan yang dilihat oleh Hek-swan-hong tersulam di ujung baju sigadis baju putih ini.
Ketiga; Ada berapa tokoh golongan lurus yang mengetahui riwayat hidup Hek-swan-hong, meski hanya terbatas beberapa orang saja. Sebaliknya tiada seorangpun dari golongan lurus yang tahu siapakah sebenarnya In tiong-yan. Kaypang Pangcu Liok Kun-lun yang punya pengalaman luar pernah mencari tahu beberapa bulan selama itu sedikitpun tak pernah mendapat sumber penyelidikan untuk mengetahui asal-usulnya.
Maka waktu Liok Kun-lun membicarakan In tiong-yan dengan Hek-swan hong hakikatnya tak bisa memberi tahu apakah In-tiong-yan itu laki atau perempuan, tua atau muda, malah ia berpesan kepada Hek-swan-hong untuk bantu menyirapi.
Pendek kata In-tiong yan pernah membuat amal atau perbuatan baik menolong rakyat jelata, tapi pernah juga melakukan perkara buruk yang dicercah orang karena setelah beroperasi selalu meninggalkan tanda burung waletnya itu diatas dinding, maka kaum persilatan entah golongan lurus atau aliran sesat memberi julukan In-tiong-yan padanya. In-tiong yan berarti burung walet terbang ditengah mega.
Tapi perbuatan buruk yang dilakukan In tiong yan juga melulu mencuri buku pelajaran pedang dari tiga aliran lurus yang kenamaan itu saja, kecuali itu belum pernah dengar ia melakukan perbuatan keji yang memalukan.
Justru karena perbuatan buruk ini, belum pernah membunuh pembesar kerajaan Kim pula, walaupun Hek-swan-hong tahu bahwa di kalangan kangouw telah muncul seorang kosen yang lihay, tapi selama ini tiada seorangpun yang anggap dia sebagai kawan sehaluan. Dan karena inilah meski dua kali sudah ia pernah mendapat bantuan seseorang betapapun tak terpikir olehnya akan In tiong-yan.
Sekarang setelah tahu tokoh misterius ini berdiri dihadapannya, dan mengaku dirinya In-tiong-yan adanya, Hek-swan-hong menjublek malah. "Orang macam apakah In-tiong yan ini? Ai ! entah dari golongan lurus atau aliran sesat?" demikian Hek-swan-hong menduga duga.
Kecuali sulit membedakan lurus atau sesat, adapula perbedaan yang suka dipercaya oleh Hek-swan-hong. Yaitu bagaimana ia bisa mencuri buku pelajaran pedang milik Bu tong pay?
Baru saja timbul pertanyaan dalam benaknya, In-tiong-yan sudah berputar hendak pergi. Lekas Hek-swan-hong berseru: "Nona, masih ada satu hal aku minta penjelasan."
"Ada pertanyaan lekas katakan, kenapa bertele tele membosankan."
"Baik, maaf aku bicara terus terang. Buku pelajaran pedang Bu-tong, Ceng-seng dan Siong yang tiga aliran itu apakah kau yang curi?"
Berdiri alis lentik In-tiong-yan, sahutnya; "Kalau benar bagaimana?"
"Tidak bagaimana, aku hanya heran dan aneh saja !"
"Kusangka kau mendapat pesan mereka untuk minta kembali buku-buku itu."
"Pihak Ceng seng dan Siong-yang tak perlu dipersoalkan. Tapi anak murid Bu-tong pay yang berkepandaian tinggi entah berapa jumlah mana perlu tenagaku yang keroco ini? Apalagi akupun tak punya keberanian."
In-tiong-yan tertawa cekikikan, katanya: "Pintar kau putar lidah. Secara terang kau memuji aku, dibalik kata-katamu jelas kau mencercah perbuatanku."
"Aku mengagumi kau nona, masa punya pikiran begitu."
In tiong-yan mendengus, katanya: "Kau dan aku bertanding seri. Tapi kau katakan banyak murid Bu-tong pay dapat mengalahkan kau, bukankah merendahkan diriku? He-hehe, anak murid Bu tong pay lihay dan berkepandaian kosen belum tentu dapat apa-apa atas diriku."
"Ilmu pedangmu jauh lebih tinggi dari mereka, untuk apa pula kau curi buku pelajaran pedang mereka?" demikian tanya Hek-swan hong.
"Kalau timbul seleraku lantas kucuri saja, peduli amat dengan kau?"
Dalam hati Hek swan hong membatin; "Urusan besar begini dianggap main-main segala?'' tahu orang tak mau menjelaskan iapun tak enak mendesak lebih lanjut.
Terdengar In-tiong-yan cekikikan geli, ujarnya: "Kau tidak percaya ya terserah. Betapapun aka takkan memberi tahu kepada kau. Maaf aku tak dapat memenuhi permintaanmu, selamat tinggal!''
"Memangnya aku memandang rendah dan mempermainkan nona ?" ujar Hek-swan-hong.
Kata In-tiong yan : "Jangan kau kira aku curi buku pelajaran pedang mereka lantas mencuri belajar ilmu pedang mereka.''
"Untuk hal ini nona tak perlu menjelaskan, aku sudah paham. Ilmu pedang yang kau kembang tadi, setiap jurus jauh lebih sempurna dan mempunyai perkembangan khusus yang sulit dipahami, jelas sangat berbeda dengan permainan ilmu pedang mereka. Oh, ya, bukan aku suka memuji, meski ilmu pedang Bu-tong-pay cukup tinggi dan menakjupkan, mana bisa dibanding kepandaianmu !"
In-tiong yan maklum orang mengangsurkan mahkota diatas kepalanya (pujian), hatinya menjadi syuurr, katanya tertawa ; "Aku tak perlu dengar obrolan manismu. Tapi ingin aku bertanya pada kau, apa yang kau herankan ?"
Sebetulnya keheranan Hek-swan-hong bukan melulu soal pencurian buku pelajaran pedang pihat Bu-tong, Ceng seng dan siong yang oleh ln tong-yan. Yang diherankan adalah bagaimana In tong-yan dapat mengambil sesuka hatinya, seperti mengambil barang milik sendiri ?
Diam diam Hek-swan-hong berpikir : "Ditaksir dari kepandaiannya, mungkin dapat bertempur sama kuat dengan pihak Ceng-seng dan Siong yang. Tapi Ciangbunjin Bu-tong-pay Kim kong Totiang, betapapun bukan tandingannya. Jangan kata Bu-tong Ciangbun, empat murid terbesar Bu tong saja belum tentu dapat dikalahkan olehnya.
Coba pikir betapa penting dan berharga buku pelajaran pedang dari sesuatu aliran itu? Umpama Bu-tong-pay takabur, kalau buku pelajaran pedang itu tidak disimpan sendiri oleh Kim kong Totiang, pasti dilindungi keempat muridnya itu. Betapapun tinggi Ginkang ln-tiong yan, tak mungkin seorang diri leluasa mencuri dan berhasil dengan gemilang. Adakah pembantu lain yang berkepandaian jauh lebih tinggi dari dia ?'' demikian Hek-swan-hong mereka-reka.
Tengah ia kesulitan memecahkan pikiran sendiri, terdengar In-tiong yan mengucapkan selamat tinggal.
Tergerak sanubari Hek-swan-hong, teriaknya: "Nona, tunggu sebentar!"
"Ai, sungguh menyebalkan kau, kenapa kau cerewet dan bertele-tele."
"Bukan aku suka berkelakar dengan kau nona," demikian ujar Hek-swan hong tertawa, ''Ada sebuah kisah, mungkin kau senang mendengarnya."
"Aku tak punya tempo mendengar ceritamu."
"Setelah mendengar cerita ini, mungkin membawa manfaat bagi kau."
In-tiong yan jadi tertarik, sahutnya, "Manfaat apa, coba terangkan dulu.''
Kata Hek-swan-hong : "Kau punya hobby mencuri, bila ada benda yang lebih bernilai lebih sukar didapat dibanding buku pelajaran pedang Bu tong-pay, apakah kau ingin mencurinya?"
"Barang apakah itu ?" tanya In-tiong yan.
"Sejilid buku kemiliteran.'' Hek-swan-hong coba menerangkan. "Ilmu pedang hanya dapat melawan puluhan atau ratusan orang belaka, sebaliknya buku kemiliteran ini dibuat mengatur perlawanan terhadap musuh yang laksaan jumlahnya, coba kau taksir bukankah jauh lebih berharga ?''
In-tiong-yan tersenyum, katanya: "Aku toh tidak ingin jadi panglima perang. Buat apa aku belajar taktik perang?''
"Buku pelajaran pedang dari tiga aliran sudah kau curi, apa pula gunanya bagi kau?" demikian Hek-swan hong coba menghasut. "Barang yang sudah dapat dalam dunia ini, bila sudah berada ditangan sendiri, betapapun sangat menyenangkan dan menarik sekali, betul tidak ?"
In-tiong-yan terloroh-loroh mendengar kata katanya ini, serunya : "Sungguh menyenangkan kau ini. Rupanya kau minta bantuan untuk mencuri, tapi pakai akal untuk memancing seleraku. Hehehe, hal ini memenuhi seleraku malah, kalau kau menggunakan alasan yang lazim mungkin aku bosan, lain halnya dengan alasanmu ini, dapat aku menerimanya. Tapi dimana atau di tangan siapakah buku kemiliteran itu, pemiliknya tentu seorang kosen yang luar biasa, kalau tidak tak mungkin kau meminta aku bantu mencuri."
"Bukan mencuri, tapi mencari," kata Hek-swan hong, "Namun untuk mencari buku kemiliteran ini mungkin jauh lebih sulit dari mencuri.''
"Semakin sukar semakin menyenangkan dan menarik." ujar In-tiong yan, ''Baik, aku jadi ketarik dan berkeputusan untuk membantu kau mencari buku kemiliteran itu. Dimanakah buku itu disembunyikan?"
Hek-swan-hong tertawa riang, tanyanya: "Coba kau terka kenapa aku adakan pertemuan dengan dedengkot-dedengkot persilatan itu dikarang kepala harimau ini ?"
In-tiong-yan menjadi sadar, katanya : "Jadi disembunyikan diatas karang kepala harimau ini? Sambil lalu kau janjikan mereka bertempur ditempat ini supaya menghemat tenaga dan menyingkat waktu."
"Juga belum pasti berada di karang kepala harimau ini, pendeknya pasti berada di pegunungan Liang-san ini."
"Buah karya siapakah buku kemiliteran itu ?" tanya In-tiong-yan.
"Kalau kau ingin tahu, dengarkan dulu aku bercerita."
"Baik, lekaslah mulai."
"Apa kau tahu kisah tentang para pahlawan gagah dari Liang-san-pek ?"
Kisah pergerakan patriot Liang-san-pek belum genap seratus tahun, dongeng kepahlawanan orang-orang gagah dari Liang-san sudah tersebar luas di kalangan rakyat jelata.
In-tiong-yan tertawa dingin : "Seratus delapan patriot gagah Liang-san-pek bersemayam ditempat ini, mereka bergerak menurut hati nurani rakyat dan menumpas kejahatan dan kelaliman, begitu cemerlang dan menggemparkan sehingga meninggalkan penilaian tertinggi dalam catatan sejarah. Siapa tidak tahu ? Kau anggap aku perempuan pingitan yang selalu mengurung diri dalam kamar ? Seumpama gadis pingitan juga mesti tahu !"
"Benar, seratus delapan patriot gagah pahlawan Liang-san-pek itu begitu menggemparkan dengan berbagai pergerakan mereka, kenapa akhirnya mereka bubar dan tercerai berai ?"
"Perlu ditanya lagi, sudah tentu ditumpas habis oleh tentara pemerintah yang menyapu habis seluruh Liang san adalah Panglima besar kerajaan Seng utara yang bernama Thio Siok-ya, benar tidak ?"
"Tidak, kekalahan pihak Liang-san bukan karena tertumpas oleh tentara pemerintah, juga bukan kalah ditangan Thio Siok-ya."
"Keterangan ini belum pernah kudengar," demikian ujar In-tiong-yan rada heran, "lalu karena apa?"
"Tak lain tak bukan karena kesalahan Song Kang."
"Kesalahan bagaimana?"
"Waktu Thio Siok-ya pimpin tentara menyerbu Liang-san yang digunakan adalah siasat memancing musuh. Dia berhasil meringkus Giok-kilin Loh Cugi pemimpin kedua Liang-san-pek. Kelahiran Loh Cugi adalah seorang hartawan besar yang punya harta benda tak terhitung banyaknya, dasar orang kaya tak tahan kompes dan takut mati, setelah disiksa akhirnya menyerah. Dengan Loh Cugi sebagai sandera Thio Siok-ya bertindak lebih lanjut, Song Kang dituntut menyerahkan diri. Sesuai dengan jiwa Song Kang yang setia kawan untuk membebaskan Loh Cugi dia mencari akal dan pura-pura menyerah, dengan gunakan tipu menyiksa diri sendiri, harapannya setelah pihak pemerintah lepaskan Loh Cu-gi, baru meloloskan diri berkumpul kembali di Liang-san.
Sungguh diluar perhitungan, justru pura-pura menyerah ini malah masuk perangkap musuh. Jikalau tidak karena salah langkah Song Kang ini meski Loh Cu-gi betul-betul menyerah kepada musuh, betapapun takkan merugikan dan mempengaruhi posisi pihak Liang-san. Maka tadi kukatakan kekalahan pihak Liang-san, hakikatnya bukan karena tertumpas oleh tentara pemerintah. Yang terang adalah karena kesalahan Song Kang seorang!"
In-tiong yan mendengar cerita dengan asyik, katanya: "Diantara sekian banyak pahlawan gagah Liang-san, tak sedikit cerdik pandai yang genius, apakah tiada seorang yang meraba akan jebakan musuh dan membujuk Song Kang? Terutama Kunsu (penasehat militer) Go Yong yang diberi julukan Ci to-sing (kecerdikan yang melebihi bintang dilangit). Bukankah Song Kang sangat tunduk dan patuh akan nasehatnya?"
"Konon Go Yong sudah membujuk sampai mengalirkan air mata darah, namun Song kang mengukuhi pendapat sendiri, tak mau menerima nasehatnya. Akhirnya Go Yong berkata: "Kita pernah bersumpah bersama, tak bisa hidup dalam hari bulan dan tahun yang sama, biarlah mati dalam hari bulan dan tahun yang sama. Saudaraku, keberangkatanmu ini banyak celakanya daripada selamat, kau pergi pasti takkan kembali. Tapi terpaksa aku harus mengiringi kau menempuh bahaya ini. Tapi aku memohon kepadamu untuk menunda satu hari lagi." Terharu sikap setia kawan dan kebijaksanaannya, sebetulnya Song Kang sudah sepakat dengan Thio Siok-ya untuk menyerah pada hari kedua, karena syarat yang diajukan Go Yong terpaksa pemberangkatannya diundur satu hari."
"Untuk keperluan apa Go Yong minta diundur satu hari?" tanya In-tiong-yan heran.
"Waktu satu hari itu Go Yong menulis karya kemiliterannya." sahut Hek-swan-hong.
In-tiong-yan sadar duduknya perkara, katanya : "O, jadi buku kemiliteran yang hendak kau cari itu adalah buah karya Go Yong penasehat militer Liang san-pek itu?"
"Tidak salah," jawab Hek-swan-hong, "selama satu hari satu malam Go Yong menyelesaikan karyanya itu sampai dini hari. Begitu selesai Go Yong mengundang Louw Ci-sing serta menyerahkan buah karyanya itu kepadanya."
In-tiong-yan tertawa geli, ujarnya : "Banyak pilihan lain yang tepat untuk dititipi buku itu, kenapa diserahkan kepada Hwesio gila itu ?"
Hek-swan-hong berkata sungguh sungguh: "Jangan kau pandang ringan Hwesio gula-gula ini. Walau wataknya kasar dan keras, tapi dia punya otak yang cermat dan teliti, dapat dipertanggung jawabkan lagi. Wataknya sama Li Kui, polos dan jujur, setia dan royal terhadap perjuangan Liang-san-pek. Tapi tidak seceroboh dan berangasan seperti Li Kui. Maka setelah dipikir bolak balik akhirnya Go Yong merasa Hwesio gula-gula ini paling cocok."
"Seolah olah kau berada disamping Go Yong malam itu." olok In-tiong yan menggoda.
"Aku belajar dari tukang dongeng yang sering mengobral ceritanya, diberi bumbu dan ditambah kecap supaya menarik para pendengarnya."
"Bagus, tak kira kau seorang pendongeng yang cukup ahli juga, aku betul-betul terpesona oleh dongengnya, lekaslah dilanjutkan."
Go Yong menyuruh Louw Ci-sing menyimpan buku itu disatu tempat, katanya : "Sejilid buku kemiliteran ini adalah buah karyaku yang terakhir sebelum ajal, memeras seluruh himpunan jerih payahku sampai titik penghabisan. Besok pagi bersama Song-koko aku harus menemui Thio Siok-ya, harapan untuk kembali sangat kecil. Buku ini kupikir harus disembunyikan diatas gunung yang tenar, supaya tidak diwarisi generasi mendatang. Tapi jangan terpendam terlalu lama dan tak habis diketemukan orang. Kelak kerajaan Kim merupakan bibit bencana bagi Sang raja, kalau buku ini jatuh ditangan seorang patriot bangsa melawan penjajah, tentu banyak manfaat dan hasilnya. Apakah kau paham maksudku ?"
Lauw Ci-sing berkata: "Maksudmu supaya aku menutup rahasia ini. Setelah menemukan calon yang tepat, menyuruhnya menggali buku kemiliteran ini?''
Go Yong berkata: "Benar, maka sekarang juga kau harus melarikan diri, turun gunung carilah biara untuk mengasingkan diri tetap jadilah seorang ibadah yang dapat memeluk ajaran Thian. Kalau tak berhasil menemukan orang yang dapat diberi kepercayaan, kau harus mencari akal cara bagaimana supaya rahasia ini kelak dapat diwarisi oleh generasi muda!"
"Aku juga pernah dengar sebuah dongeng," begitulah In-tiong-yan menyela. "Katanya setelah Lingsan tertumpas habis Louw Ci-sing lantas mengasingkan diri dibiara Leng in-si di Hangciu. Dibawah menara Liok-hap di Hangciu sekarang masih ada sebuah patung mas dari Louw Ci sing. Pernah aku kesana mencarinya tak berhasil menemukan. Jadi menurut ceritamu tadi, dongeng itu kenyataan malah?"
"Orang yang bercerita tentang rahasia ini seperti mendengar dan menyaksikan sendiri peristiwa dulu itu. Aku lebih condong untuk mempercayai kisahnya itu."
"Kenapa Go Yong tidak menyuruh Louw Ci sing membawa serta buku itu? Sebaliknya menyuruh generasi muda untuk bersusah payah menghabiskan waktu dan tenaga untuk mencarinya ?" demikian tanya In tiong yan.
"Tatkala itu Liang san sudah diblokir ketat oleh tentara pemerintah, Go Yong sendiri juga kawatir kalau dia tak berhasil melarikan diri. Maka dipendam dalam tempat tersembunyi betapapun lebih aman dari pada dibawa-bawa."
"Kau tahu tidak, disembunyikan ditempat mana ?" tanya In-tiong-yan.
"Kalau aku tahu, tak perlu minta bantuanmu untuk mencarinya."
"Liang-san begini besar dan luas, seluruhnya ada sembilan puncak luasnya, ada delapan ratus li. Untuk mencari sejilid buku bukankah seperti menggagap jarum dalam lautan ?"
"Meskipun harapan sangat kecil, tapi masih ada sumber penyelidikan."
"Sumber penyelidikan apa ?" tanya In-tiong-yan tersipu-sipu.
Tergerak hati Hek swan-hong, katanya dengan tertawa dibuat buat : "Apakah kau tak berminat mendengar kisah Liang-san-pek sampai selesai ?"
"Begitu mengasyikkan cerita ini, masa aku tak ketarik ? Baik, soal buku itu kita kesampingkan dulu. Lanjutkan kisahmu."
Hek-swan-hong terpingkal geli mendengar nada ucapan orang yang menirukan ucapan seorang dalang, Tapi Hek-swan-hong cukup cerdik dan teliti, dari nada kelakarnya itu, lapat lapat dapat terasakan olehnya hasrat besar untuk mengetahui jejak buku kemiliteran itu.
Hek swan-hong bergelak tawa, katanya melanjutkan : "Sekarang kisah ini bercabang dua. Setelah Louw Ci-sing lari turun gunung seorang diri, hari kedua Song Kang lantas pimpin para saudaranya ke markas tentara Thio Siok ya untuk melaksanakan tipu daya 'serah menyerah' itu. Tapi masih ada dua saudara lain yang tidak mau ikut padanya."
"Siapakah kedua orang itu ?"
"Yaitu Hek-swan hong Li Kui dan Gun kang-liong Li Cun."
"Bukankah Li Kui paling setia dan patuh terhadap Song Kang?"
"Justru karena setia dan patuhnya itu mana dia harus memikirkan berusaha mencari jalan belakang Song Kang. Dia berkata: "Koko kalau kau dapat pulang syukurlah. Kalau tak pulang biarlah kugunakan kedua kapakku ini menyerbu ke ibukota mencari sang raja keparat itu menuntut supaya kalian dikembalikan!'' Kau harus tahu walaupun Li-Kui paling setia terhadap Song Kang, tapi juga orang pertama yang menentang keputusan menyerah itu."
"Kedengarannya diantara seratus delapan pahlawan gagah Liang-san-pek-itu, kau paling mengagumi Li Kui. Tak heran orang memberi julukan yang sama kepada kau."
"Aku jadi kerdil mendapat julukan. Mana berani aku dibanding Hek swan-hong dari Liang san pek itu."
"Tak usah sungkan," goda In-tiong yan, "menurut hematku justru kau lebih cerdik lebih pandai dan gagah dibanding Hek swan-hong dari Liang-san-pek itu. Teruskanlah bagaimana dengan Gun-kang-liong Li Cun?"
"Berbeda dengan sikap Hek-swan-hong, Li Cun lebih mementingkan keuntungan pribadi. Belakang diperoleh kabar dia melarikan diri kelautan teduh, menduduki sebuah pulau dan menjunjung diri sebagai raja kecil disana."
"Orang ini tidak penting, tak perlu disinggung lagi. Belakangan menurut kabarnya Song Kang dan lain lain telah mati diracun oleh pemerintah, apakah berita ini betul?"
"Sudah tentu benar. Diluar tahu Song Kang muslihat "pura-pura menyerah" itu justru sudah dalam perhitungan Thio Siok-ya. Malam itu Thio Siok-ya mengadakan jamuan bagi sekalian pahlawan gagah Liang san, mereka terbunuh semua karena keracunan.
Yang paling dibuat sayang adalah Ci-to sing Go Yong, sebelumnya ia sudah meramalkan dalam arak ada racun, tapi ia tetap mengiringi Song Kang makan minum.
Setelah membinasakan Song Kang dan lain-lain dengan arak bisanya itu, Thio Siok-ya menyuruh Loh-Cu-gi memalsu perintah Song Kang, menipu Li Kui turun dari Liang-san. Li Kui tak sudi kemarkas Thio Siok-ya akhirnya mati keracunan juga."
"Yang paling disayangkan justru bukan Ci-tong-sing Go Yong atau yang lain. Yang harus dibuat sayang justru raja lalim dari Song raja." demikian ujar In-tiong yan.
"Apa maksud ucapanmu?"
"Kalau Song Kang dan para saudara angkat tidak binasa, bangsa Kim tak gampang menduduki tanah perdikan bagian utara nan subur dan luas ini."
"Memang tepat dan cukup adil ucapanmu," kata Hek-swan hong hambar, "Perbuatan pihak kerajaan boleh dikata merusak rumah tangga sendiri."
"Sudah tak perlu kau beri penilaian peristiwa yang sudah lewat. Aku masih ingin mendengar kelanjutan ceritamu."
"Benar, sekarang tibalah saatnya aku mengikuti jejak si Hwesio gula-gula Louw Ci-sing itu. Setelah tahu Song Kang dan lain-lain binasa keracunan, mengikuti wataknya, kupikir tentu dia sangat sedih dan merana, ingin rasanya menuntut balas bagi para saudara. Tapi karena dia mendapat pesan dan tugas berat dari Kun-su, terpaksa harus mengasingkan diri mengganti nama. Selama puluhan tahun ia menjadi penghuni tetap di Leng-in si."
"Wah, betul-betul merupakan siksaan baginya. Bagaimana selanjutnya?"
"Akhirnya dia mangkat begitu saja."
"Sudah mati? Lalu bagaimana rahasia buku militer itu ?"
"Dia meninggalkan empat patah pameo. Kabarnya dibawah menara rangkap enam suatu malam nan sunyi dibawah menara enam tingkat itu, ia mendengar deru ombak, ilham datang dan pahamlah dia akan jalan kebenaran yang sejati, dari saat itulah dia tinggalkan keempat patah pameo itu, lalu menghembuskan napas terakhir."
"Empat patah pameo apa itu?"
"Pameo itu berbunyi: duduk bersila memandang mega, rebah celentang mendengar irama ombak."
Kata In-tiong-yan sembari tertawa, "pameo ini jelas menunjukkan tempat rahasia penyimpanan buku kemiliteran itu."
"Dugaanmu benar, sahabat yang memberitahu rahasia ini kepadaku juga berpikir seperti kau."
In-tiong yan melirik kepada Hek-swan-hong, tanyanya: "Kenapa kau beritahu rahasia penting ini kepada aku?"
"Ingin kupinjam kecerdikan untuk memecahkan arti pameo itu, supaya gampang mencari buku kemiliteran karya Go Yong itu."
"Aku kan bukan murid agama budha, hanya dapat menyelami pameo itu. Bicara soal pintar, justru kaulah yang benar-benar pandai."
O^~dwkz^hendra~^O Jilid 04 Pujian terakhir sungguh diluar dugaan, Hek-swan-hong tak tahu kemana juntrungan kata-kata ini, sesaat dia melengak.
Kata In-tiong-yan pula : "Selamanya, kau belum kenal aku, apa kau tidak takut setelah aku mendapatkan buku, terus ngacir ngelabui kau ?"
"Aku yakin kau tidak akan berbuat begitu."
"Dari mana kau tahu aku takkan berbuat begitu ?"
"Sebab kau seorang bangsa Han."
Diam-diam In-tiong yan geli, alisnya berdiri, katanya : "O, kalau bangsa Han lalu bagaimana?"
"Bila seorang bangsa Han tentu takkan mengangkangi buku kemiliteran itu."
"Kenapa ?" "Buku kemiliteran karya Go Yong adalah untuk membantu bangsa Han kita melawan kerajaan Kim, seorang bangsa Han yang berhasil menemukan buku itu, kecuali antek atau pengkhianat bangsa, rela mengekor pada penjajah, tentu takkan sudi mengangkangi sendiri dan tidak akan dipersembahkan kepada pemimpin pasukan pergerakan?"
"Bagus, kuakui ucapanmu ini masuk akal. Namun bagi kau, apakah kau tidak merasa caramu mempercayai aku terlalu bahaya ?"
"Meski selama ini kita belum kenal, tapi dari dua kali peristiwa kau membantu aku, aku sudah meraba martabatmu."


Si Angin Puyuh Si Tangan Kilat Hong In Lui Tian Karya Gan Kh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkin martabatku tidak sebaik seperti yang kau duga?"
"Kalau begitu memang aku menyerempet bahaya. Tapi aku yakin aku tidak salah menilai orang."
ln-tiong yan menjadi senang, katanya tertawa : "Kau yakin akan dirimu, baiklah mari kita mulai mencari, tapi Liang-san begini besar, dari mana harus mulai ?"
"Kuduga puluhan Li sekitar puing-puing Tiong-gi-tong Liang san pek sinilah adanya."
"Dengan alasan apa rekaanmu ini ?"
"Malam pada Go Yong selesai menulis karyanya sudah mendekati kentongan kelima setelah itu dia suruh Louw Cising menyimpan di tempat rahasia. Menurut lazimnya, mereka harus membereskan kerja sebelum fajar menyingsing. Pentolan Liang san pek kebanyakan bertempat tinggal disekitar Tiong-gi-tong. Dalam waktu satu jam berapa jauh bisa ditempuh, maka kuduga tentu dipendam sekitar pulunan li saja !"
"Apakah kau sudah tahu, dimana puing-puing Tiong gi-tong?"
"Tepat ditanah datar diatas karang kepala harimau ini. Menurut tafsiran, luas puing puing Tiong-gi-tong ini tidak lebih 20 li. Tanah seluas dua puluhan li dapat dijelajah dalam tempo tiga jam, tapi untuk mencari sejilid buku, walau tidak sesulit menganggap jarum dalam lautan, juga sangat sukar."
"Kalau gampang buat apa aku minta bantuanmu? Untung pameo itu bisa memberikan petunjuk kepada kita, sesuaikan dengan keadaan saja siapa tahu dicari sukar, ketemu tanpa diduga."
"Kalau begitu bekerja menurut nasib belaka. Baik, mulai dari sini kau menuju ke-timur dan aku kearah barat. Sebelum terang tanah besok pagi bertemu lagi di tempat ini."
Setelah berpisah pikiran Hek-swan-hong menjadi gundah bayangan punggung In tiong yan hilang menyelinap didalam hutan, hatinya gelisah dan was-was. Pikiran secara mendadak mohon bantuan In tiong-yan untuk mencari buku kemiliteran karya Go Yong, bahwasanya sangat berbahaya.
Terbayang olehnya mimik In-tiong yan waktu bicara tadi waktu dia berkata: "Sebab kau bangsa Han," In tiong-yan balas bertanya; "O, kalau bangsa Han kenapa?" tatkala itu, alis In-tiong-yan tampak berdiri, air mukanya mengunjuk setitik tawa licik dan sinis.
Ucapan lanjutan pertanyaan itu sebetulnya adalah: "Kalau bukan bangsa Han lalu kenapa pula?'' terpikir sampai disini tergetar sanubarinya. Dalam hati ia bertanya pada diri sendiri, "Kalau dia bukan bangsa Han bagaimana?"
Hem, dalam taktik perang ada bilang yang isi itu kosong, yang kosong itu isi. Dia balas bertanya, apakah untuk menghilangkan curigaku? Bukan mustahil dia bukan bangsa Han?"
Angin pegunungan mengembus dingin, Hek swan-hong tersadar dari lamunannya, terpikir olehnya: "Mungkin aku banyak curiga. Memang belum pernah aku dengar In-tiong yan membunuh pembesar Kim tapi pernah membantu aku mencuri konsep rencana gerakan pasukan Kim milik Wanyen Tiang ci. Betapa penting konsep ini kiranya jauh lebih berharga dari membunuh puluhan pembesar Kim? Mana mungkin dia seorang Kim? Jelas aku terlalu curiga."
Namun terpikir pula: "Aku menjadi gundah karena tak mengetahui asal usulnya. Kejadian hari ini merupakan ujian yang paling tepat untuk menyelidiki asar usulnya. Besok pagi segalanya dapat dibikin jelas. Ai, untuk membuyarkan rasa curigaku ini, aku menempuh bahaya begitu besar, apakah perbuatanmu ini cukup setimpal ?" mendadak Hek-swan-hong menyadari akan rahasia sanubarinya. "Kenapa aku ingin benar mengetahui asal usulnya ?" tanpa merasa merah dan panas raut wajahnya, hatinya hambar.
Dalam pada itu seorang diri In-tiong-yan tengah melangkah dalam hutan, batinnya pun dirundung berbagai pikiran.
In tiong yan berpikir: "Tanpa curiga ia percaya kepadaku." bayangan Hek-swan hong sudah jauh ketinggalan dan tak terlihat lagi tapi kini terbayang dalam lautan pikirannya. Sikapnya yang gagah, wajahnya yang ganteng serta tindak tanduk yang sopan serta suka melucu itu seolah-olah mengecap didalam lubuk hatinya sehingga jantungnya kebat kebit dan gelisah mukapun menjadi panas.
"Ai hari ini aku bisa kerja sama dengan dia, aku takut akan datang suatu hari, dia dan aku akan berhadapan dalam kedudukan yang berlawanan." demikian In-tiong-yan berpikir.
Sekonyong konyong terdengar gemuruh deburan air terjun yang mengganggu jalan pikirannya, In tiong-yan mendongak, dilihatnya dipuncak sana terdapat sebuah air terjun, airnya muntah deras dan mengalir kedalam kubangan yang dalam sana. Kubangan itu berada dihimpitan dua puncak yang menjadi seperti selokan panjang. Semakin dekat gemuruh air semakin keras.
Tergerak hati In tiong-yan, teringat olehnya akan pameo Louw Cising itu. Malam ini kebetulan tanggal lima belas, cuaca terang benderang tepat kentongan ketiga, sang dewi malam bulat dan tepat berada di tengah cakrawala.
Dalam hati In-tiong-yan mengulangi pameo itu : "Duduk bersila memandang mega, rebah mendengar irama ombak. Jalan kebajikan sudah tercapai, bulan bulat di cakrawala. Bait ketiga tak perlu dipikirkan, keadaan yang terlukis dalam pameo itu, seolah-olah persis ditempat ini dalam waktu yang tepat pula.''
Dalam selokan panjang sana, batu cadas berserakan, tapi satu diantaranya mirip sebuah meja bundar yang lapang dan licin laksana kaca, tempat yang tepat untuk berpijak.
"Biar kucoba kesana !" gumam In-tiong-yan sembari tertawa.
Setelah duduk diatas batu bundar itu, In tiong-yan mendongak keatas, tampak kabut bergulung gulung, puncak Liang-san seperti diselimuti mega putih, pemandangan beraneka ragam dan indah mempesona. Betul-betul panorama yang sukar dilihat ditanah datar umumnya. Berpikir hati In-tiong-yan: "Gunung sebagai badan, mega sebagai pakaian. Pepatah kuno memang benar. Keindahan duduk memandang mega sudah dapat menikmati, lalu apa sangkut pautnya dengan buku itu ?"
In-tiong-yan memasukkan kedua kakinya kedalam air, rasa dingin nyaman menyegarkan badan. In-tiong-yan tertawa, ujarnya : "Rebah celentang mendengar irama ombak, baiklah akan kucoba."
Dengan batu sebagai bantal In-tiong-yan merebahkan diri. Air terjun tumpah dengan dahsyat dan keras kerasnya mengguyur ke dalam kubangan, air muncrat suaranya gemuruh, lapat-lapat memang seperti deburan ombak, In-tiong-yan lantas membatin: "Louw Ci sing tentu punya waktu untuk menikmati irama ombak ini. Tapi buku itu takkan mungkin disembunyikan dibawah air, bagaimana penjelasan pameo itu?"
Begitulah ia mereka-reka, tapi setelah didengar lebih teliti dan cermat, terasa olehnya adanya keganjilan yang sulit teraba sebelumnya. Diantara gemuruh deburan air terjun yang tumpah itu, lapat-lapat seperti terselip suara harpa yang timbul dari bawah tanah. Tiba-tiba tersentak benak In tiong-yan, pikirnya : "Disekitar ini pasti ada sebuah lobang dibawah tanah." bergegas ia melompat bangun lalu memeriksa sekelilingnya, tak diketemukan sebuah gua apapun.
Secara kebetulan ia mendongak, tampak sang putri malam tepat berada di tengah cakrawala. Tergerak hati In tiong yan : "Coba kulakukan lagi menurut petunjuk pameo itu." kembali ia rebah diatas batu bundar, tiba-tiba dilihatnya didinding batu disebelah depan atas sana, muncul sebuah bayangan seperti sebuah lengan dengan jari jari tangan yang mulur panjang. Terperanjat In-tiong-yan dibuatnya, waktu diteliti, itulah akar pohon beringin tua yang melintang keluar dari atas tebing tinggi sana, satu diantaranya tersorot sinar rembulan hingga membayang diatas dinding batu.
Tergugah pikiran In tiong-yan, mungkinkah tempat yang dimaksud jari tengah itu ada sesuatu yang ganjil ? dengan Ginkangnya yang tinggi sebat sekali ia merambat naik keatas dinding batu yang tinggi itu.
Dinding batu ini sedemikian licin penuh lumut, kaki sukar berpijak disana. Dengan susah payah akhirnya ia sampai ditempat bayangan akar pohon, dengan teliti ia memeriksa, tempat ini tak lain hanyalah batu karang yang penuh tumbuh lumut juga, tiada sesuatu yang aneh.
In-tiong-yan sudah bercapek lelah mengeluarkan tenaga dan memeras otak, keruan hatinya rada penasaran, pikirnya : "Mungkin diatas batu karang ini terdapat huruf ukiran?'' lekas ia keruk sebagian besar lumut disana, dugaannya tepat, tampak sebuah huruf "the" yang cukup besar di batu karang itu.
Penemuan ini menggirangkan hati In-tiong yan, cepat ia keluarkan batu ketikan dan terus mengeruk lumut yang tebal itu, setelah bersih jelas kelihatan sebaris huruf-huruf "Thian, Heng dan To", tapi hanya ada empat huruf saja.
Semula In-tiong-yan menyangka akan menemukan petunjuk lebih lanjut untuk menemukan buku peninggalan Go Yong itu, keruan ia kecewa dan kecut perasaannya. Pikirnya: "The thian heng to (menjalankan kebajikan), sebetulnya memang semboyan hidup perjuangan patriot Liang-san-pek diukir diatas batu karang adalah bukan suatu yang mustahil.''
Perasaannya sudah dingin dan putus asa, sekonyong-konyong dilihatnya diatas huruf 'To' dan huruf 'Heng' masih kurang satu garis. Bermula ia menyangka ukiran ini sudah terlalu lama, ukiran hurufnya sudah aus. setelah ditegasi, baru diketahui bahwa asal mulanya memang begitu.
In-tiong-yang memeras otak, batinnya : "Orang yang mengukir huruf huruf ini kenapa sengaja mengurangi satu goresan dan satu titik?'' dasar cerdik tersadar pikirnya : "Bait ketiga pameo Louw Ci sing adalah Jalan kebajikan sudah tercapai, mungkinkah huruf "Heng-to" (jalan kebajikan) yang dimaksud disini bukan arti yang sesungguhnya tapi petunjuk bahwa kedua huruf yang terukir diatas karang ini belum sempurna ? Tapi pameo itu berbunyi Jalan kebajikan sudah tercapai, disini masing-masing kurang satu goresan dan satu titik, apakah maksudnya ?"
Lama dan lama sekali In-tiong-yan memeras otak memikirkan soal ini. Mendadak tersimpul suatu ilham dalam benaknya : "Pameo itu berbunyi Jalan kebajikan sudah tercapai, biarlah aku menambah garis dan titik untuk melengkapinya."
In-tiong-yan lantas melolos pedang pusaka, dengan ujung pedang ia menambahi sebuah goresan dan sebuah titik, masing2 diatas huruf To dan Heng.
Belum lagi selesai ia mengorek, dimana ujung pedangnya bergerak, tiba-tiba muncul keajaiban dihadapannya, selesai ia memberi titik tulisan, tiba-tiba terdengar suara berkelebatan, batu panjang persegi yang berukir "The-thian-heng-to" bergerak-gerak dan amblas, dengan pedangnya In-tiong yan menyongkel sekuat tenaga, batu panjang itu ternyata berhasil congkel copot dari tempatnya, dibawahnya kelihatan sebuah lobang gua.
Ternyata diantara seratus delapan pahlawan gagah Liang-san-pek itu, ada seorang tukang batu yang bernama julukan Te kiau sing Kim Tay-kian, pandai membuat alat-alat dan pintar mengukir pula. Waktu Go Yong memendam buah karyanya itu, kecuali Lauw Ci-sing, Kim Tay-kian pun ikut serta. Alat alat rahasia yang terdapat diatas dinding batu ini adalah buatannya.
Keruan bukan kepalang girang hati In-tiong-yan, setelah menyulut sebatang dahan pohon Siong sebagai obor ia menyelinap masuk. Lobang ini sangat gelap dan dalam, sekali tak kelihatan dasarnya, tak terasa In-tiong-yan rada keder. Tapi terpikir olehnya: "Bila buku kemiliteran kutemukan, merupakan sebuah pahala besar. Seumpama aku tidak temukan pahala, paling tidak pasti mendapat pujian ayahanda." maka dengan membesarkan hati ia bertindak maju lebih jauh.
Setelah tiba didasar dan kaki menyentuh tanah, terlihat dalam gua itu terdapat sebuah lobang kecil sebesar tinju, air mengalir masuk kesana menjadi sebuah aliran kecil, airnya terus mengalir keluar dari celah-celah batu disebelah sana. In-tiong-yan lantas berpikir: "Kiranya gua ini berada dibawah air terjun."
Sebuah batu besar yang berada ditengah gua terukir "Cui-in-tong" tiga huruf besar.
In-tiong-yan berpikir : "Dulu gua ini tentu ada jalan keluarnya, dari dalam gua sini dapat melihat panorama indah diluar air terjun, maka dinamakan Cui in tong, akhirnya disumbat jadi begini. Tapi entah dimana buku kemiliteran itu disembunyikan ?"
Dalam gua banyak terdapat batu-batu bergelantung dengan aneka bentuk yang aneh-aneh, seperti binatang, manusia dan macam-macam lagi. Tapi In-tiong-yan tak punya selera menikmati pemandangan aneh menakjubkan ini, perhatiannya tertuju untuk mencari buku kemiliteran itu.
Entah berapa lama kemudian, tahu-tahu dahan pohon siong itu tinggal setengah saja, namun usahanya tetap sia-sia. Hati In-tiong-yan menjadi gelisah, tiba tiba terpikir olehnya : "Cui-in tong tengahnya huruf 'IN' mega, bait pertama dari pameo Louw Ci sing berbunyi duduk bersila memandang mega, apa mungkin kata kata ini bukan melulu untuk melukisi keadaan sesungguhnya dalam pemandangan ? Biar kucoba menggunakan caraku membuka gua ini tadi !"
In-tiong yan segera mengerahkan seluruh tenaga, berpegang pada tulisan huruf IN tiba-tiba diangkat dengan keras. Batu itu ternyata terangkat dan dibawahnya kelihatan lobang persegi panjang satu kaki, lebar lima inci, waktu tangannya merogoh kedalam menyentuh sebuah benda keras, setelah dikeluarkan kiranya sebuah kotak persegi dari kayu cendana, dibukanya tutup kotak cendana itu tampak didalamnya sejilid buku.
Hampir In-tiong yan berjingkrak seperti orang gila saking girang, mulutnyapun berteriak : "Ketemu! Sudah ketemu!" tiba-tiba ia tersentak kaget sendiri, pikirnya : "Lebih baik kalau penemuanku ini tidak diketahui Hek-swan hong." berada didalam gua, diluar air terjun lagi, umpama dia menjerit sekuat tenaga, Hek swan-hong tidak bakal mendengar.
In-tiong-yan menenangkan hati, dengan hati-hati ia membuka halaman buku itu, memang benar adalah buku kemiliteran. Setelah dibalik beberapa halaman, dapat dipastikan bahwa buku itu adalah karya Kunsu Go Yong dari Liang-san-pek.
Beberapa lembar yang dibaca itu adalah catatan tentang taktik peperangan, ada cara melawan pasukan pemerintah, ada pula cara berperang melawan pasukan Kim. Terutama catatan taktik bagaimana menggempur pasukan Kim adalah yang paling jelas dan biasa menggunakan Long-si-pang dan Koay-cu-be dan lain-lain.
In-tiong yan tidak paham taktik peperangan, tapi dia tahu bahwa buku kemiliteran ini sangat berguna bagi ayahnya, mungkin lebih berharga dari segala benda pusaka termahal dalam dunia ini. Terpikir olehnya : "Setelah memperoleh mempelajari buku ini, untuk menyapu habis kerajaan Kim, tentu jauh lebih gampang.''
Obor ditangannya sudah hampir padam, lekas lekas In-tiong yan menyimpan buku itu, lalu bergegas keluar dari gua itu. Waktu ia merambat keatas, cuaca sudah terang benderang, sang surya sudah muncul dari peraduannya, berarti sudah menjelang pagi hari kedua.
Tiba tiba In-tiong yan teringat bahwa dia telah janji dengan Hek-swan-hong untuk bersua kembali di Karang kepala harimau sebelum terang tanah. "Kesana menemuinya tidak ?" demikian ia menjadi sangsi. Dia tidak ingin memberikan buku itu kepada Hek-swan-hong, tapi tak enak untuk ingkar janji. "Dia begitu mempercayai aku, mana bisa aku ingkar janji dan menjilat ludahku sendiri. Tapi apakah harus ngapusi dia, mengatakan tak menemukan buku itu ? Ai, menghadapi seorang yang percaya kepada aku, apakah enak aku membual terhadapnya ? Ai, lebih baik kesana saja!"
Dalam hati ia berpikir, namun kedua kakinya melangkah kembali dari arah datangnya tadi. Tiba-tiba terdengar teriakan Hek-swan hong: "Nona ln, dimana kau?" ternyata tanpa disadari ia sudah beranjak mendekati kepala harimau.
In-tiong-yan seperti sadar dari mimpi, ia mengumpat diri sendiri: "Kenapa aku ini? Urusan kecil tak bisa ambil putusan! Kenapa aku harus menemui dan memberi penjelasan segala? Masa aku takut dia membenci aku? Kalau benci biarlah benci, peduli amat."
Hek-swan-hong tak berhasil menemukan buku kemiliteran, maka sebelum matahari menyingsing dia sudah kembali ketempat semula menanti kedatangan In-tiong yan.
Pancaran sinar surya menerangi jagat raya, cahaya keemasan nan berselimut pagi kelihatan begitu indah menerobos sela-sela daun-daun pohon. Angin menghembus sepoi sepoi menggerakkan dahan dahan pohon, samar-samar dikejauhan sana Hek-swan-hong seperti melihat lambaian baju putih laksana salju, dari balik sebatang pohon siong yang besar dan tinggi didepan sana melongok keluar setengah wajah halus putih yang mengulum senyum.
Kejut dan girang Hek-swan-hong, teriaknya melompat; "Rupanya kau sembunyi disini, hendak main petak dengan aku ya? Apakah buku militer itu sudah ketemu? Hayo jangan main-main, cepat keluar!"
In-tiong-yan tertawa cekikikan, ujarnya: "Siapa main-main dengan kau. Maaf, aku harus segera pulang!"
Tersipu-sipu Hek-swan hong memburu, serunya, "Hai, hai! Ini bukan saatnya main-main, sebenarnya ketemu tidak buku militer itu?"
"Kenapa gugup? Baik, bicara terus terang, sudah ketemu, lalu kenapa?'' sembari bicara kakinya berlari kencang.
Betapa girang Hek swan-hong sungguh sukar dilukiskan dengan kata-kata, teriaknya: "Kalau sudah ketemu lekas serahkan kepadaku! Untuk lomba Ginkang lain waktu masih ada tempo."
"Aku yang menemukan kenapa harus kuserahkan kepada kau?"
Terkejut Hek-swan-hong teriaknya; "Bukankah kita sudah bicara sebelumnya?"
"Siapa janji dengan kau? Kau hanya minta aku bantu mencari buku militer ini (Ping-hoat), kan tidak dijelaskan harus diserahkan kepada kau !"
Hek-swan hong memang tidak memberi penjelasan sebelumnya, karuan ia menjadi gugup, teriaknya: "Aku hendak serahkan buku itu kepada laskar rakyat, jangan main-main!"
"Kau memang cerewet, perlukah menjelaskan sekali lagi? Aku tidak main-main dengan kau." mulut bicara sementara kakinya berlari semakin kencang.
Sembari mengejar Hek-swan-hong berteriak: "Tidak main-main, untuk kau apa bawa Ping-hoat itu?"
"Bukankah kau mengatakan barang yang sukar didapat setelah berada ditangan makin menarik dan menyenangkan? Ping-hoat ini akan kusimpan sebagai koleksi lemariku kalau sudah bosan kelak akan kuberikan kepadamu, kau tunggu saja dengan sabar !"
Tawanya yang merdu nyaring bagai kelintingan kumandang dialam pegunungan, sesuai nama julukannya gerak tubuhnya seperti burung walet begitu gesit dan tangkas menerobos mega menyelinap hutan, sekejap saja bayangannya sudah menghilang di kejauhan.
Taraf ilmu silat mungkin Hek-swan-hong lebih unggul, tapi Ginkang yang jelas tidak menang. Tahu tak mungkin menyandak akhirnya ia menghentikan langkah dengan rasa gegetun dan gemes, keluhnya: "Celaka, celaka! Sungguh celaka aku ini ! Aku ingin mencari tahu asal usulnya kini sudah jelas, sayang Ping hoat itu harus berkorban ! Bagaimana aku harus menemui Liok pangcu dan Tan-toako?"
Betapapun ia belum berani mengakui kenyataan yang dihadapinya ini. Dalam hati ia menghibur diri; "Mungkin dia sengaja menggoda aku. Supaya kelabakan? Siapa tahu dua tiga hari kemudian akan diserahkan kepada aku. Dia pernah membantu aku mencuri konsep militer milik Wanyen Tiang-ci, mana mungkin dia bangsa Kim ?"
Bayangan In tiong yan sudah tidak kelihatan, namun wajah orang yang tertawa sinis dan licik tiba-tiba terbayang dalam benak Hek-swan hong. Hek-swan hong tertawa kecut : "Tega kau mempermainkan aku, sehingga aku kelabakan dan kawatir. Tentu kau senang sekarang!" lalu terpikir lagi : "Semoga dia hanya mempermainkan aku, kalau tidak, ai . . . " tanpa merasa ia bergidik dan meremang bulu kuduknya. Batinnya, "Sebetulnya orang macam apakah dia ? Sungguh sulit diselami !"
ln Tiong yan berlari dengan kencang, tapi hatinya tidak seriang seperti dugaan Hek-swan hong. Waktu ia berpaling kebelakang dan tidak melihat Hek-swan hong mengejar, tawa riangnya menjadi tawa getir. Sambil menggembol kotak berisi Ping hoat itu, rasa senang dan gembira waktu menemukan kotak tadi sekarang sudah lenyap laksana asap mengepul tinggi ditelan mega diangkasa, sekarang tiada rasa senang sedikitpun dalam hatinya.
Maklum dia memperoleh sejilid buku berharga, tapi akan kehilangan seorang sahabat. Untuk selanjutnya, Hek-swan-hong tak kan bicara dan berkelakar dengan dirinya, bukan mustahil anggap dirinya sebagai musuh malah. Antara mendapat dan memperoleh ternyata ada perbedaan yang begini rumit. Ia tak dapat menjelaskan hatinya kosong dan hambar.
Demikianlah dengan perasaan kalut In-tiong-yan bergoyang gontai berjalan tanpa tujuan semakin dipikir hati terasa rawan, tiba-tiba terkenang akan kampung halaman di utara sana, pikirnya : "Tionggoan tiada tempat yang menarik lagi, lebih baik aku pulang menemui ayah saja."
Tengah ia berjalan dengan perasaan hampa dan bingung, tiba tiba seorang membentak : "Kau inikah In-tiong-yan ?"
In-tiong yan tersentak kaget mendengar bentakan sekeras guntur ini, waktu ia angkat kepala tampak seorang laki laki kekar kasar berdiri didepannya. Sepanjang pinggir telaga adalah pohon pohon welingi yang tumbuh subur setinggi manusia, laki-laki kasar ini menerobos keluar dari rumpun pohon welingi sana, apalagi hatinya tengah gundah dan gelisah, maka tidak tahu ada orang mencegat dirinya.
Hati In-tiong-yan tengah uring-uringan, pikirnya: "Biar orang hitam ini untuk melampiaskan rasa gemasku," lantas ia menyahut dingin: "Kalau benar kau mau apa ?"
Laki-laki itu membentak lagi, "Kotak apa yang kau pegang itu, apakah Ping-hoat karya Go Yong itu, lekas serahkan kepadaku, kalau tidak jangan harap kau bisa lewat kesana."
Sesaat In tiong-yan melongo dan menjublek, pikirnya: "Sungguh tak duga laki-laki berangasan ini juga tahu tentang Ping-hoat karya Go Yong ?"
Belum sempat ia membuka mulut, laki-laki itu sudah membentak lagi : "Apa kau ingin berkelahi dengan aku ? Hm, aku tahu kau punya kepandaian, tapi aku tak sudi berkelahi sama cewek !"
Tiba-tiba In tiong-yan angkat kotak itu tinggi keatas kepalanya, serunya : "Baik, nih, kau ambil !" lalu disodorkannya kotak itu.
Mendadak ia merangkap kedua jari, dengan kotak kayu itu sebagai aling-aling jari tangan kanannya menyolonong keluar dari bawah kotak. Maksudnya hendak menutuk jalan darah pelemah dibadan laki laki kasar, supaya bertunduk lemas tak bisa berkutik selama dua belas jam.
Hakikatnya In-tiong-yan tidak pandang sebelah mata laki-laki kasar berkulit hitam ini. Setelah orang bicara tentang Ping-hoat karya Go Yong baru timbul rasa waspadanya, dengan ilmu tutuk perguruannya ia membokong dengan cara licik lagi, dia kira laki-laki kasar berkulit seperti orang ini pasti ketipu olehnya.
Tak nyana meski wataknya kasar dan berangasan, gerak geriknya atau kepandaian lelaki hitam ternyata boleh juga. "Krak!" tiba tiba ia ulur tangan mencengkeram, kotak kayu ditangan In-tiong yan berlobang karena lima jarinya. Untung ia kawatir rusak buku didalam kotak sehingga tidak menggunakan setaker tenaganya.
Meski ilmu tutuk In tiong-yan sangat lihay, melihat Eng-jiau-kang lawan begitu hebat, ia menjadi kawatir dan bercekat hatinya, mungkin sebelum tutukannya mengenai lawan, cakar lawan sudah mencengkeram hancur pergelangan tangannya, tersipu-sipu dia tarik kembali tutukan jarinya, dengan gaya burung walet jumpalitan ditengah awan, kakinya menjejak ketanah terus bersalto ke belakang beberapa tombak.
Melihat cengkeramannya tak berhasil lelaki itu terkejut, pikirannya: "Wah, gerak tubuhnya hebat sekali! Naga naganya In tiong yan memang tidak bernama kosong, aku tidak bisa memandang rendah dia!"
Walau tidak tercengkeram oleh lawan, namun kotak kayu itu berlobang karena jari jari musuh, betapapun ia sudah kalah satu jurus. Dasar wataknya suka menang dan tak mau rugi, "Sret!" segera ia melolos pedangnya, serunya: 'Kepala hitam, keluarkan senjatamu. Kalau kau dapat merobohkanku, kotak ini kuserahkan kepadamu ."
Sementara itu lelaki hitam itu sudah menubruk maju juga, makinya gusar: "Hm, perempuan siluman seperti kau juga berani mempermainkan aku. Sebetulnya aku tidak sudi berkelahi dengan cewek, hari ini terpaksa melanggar pantangan! Buat apa aku menggunakan senjata, silahkan serang saja dengan pedangmu !"
Seiring dengan kata katanya, kedua tangannya terpentang, tangan kiri terkepal serta menggenjot dengan tenaga penuh, sementara tangan kanan berkembang jari jarinya mencakar kemuka orang. Menggenjot dan mencakar dilancarkan sekaligus dalam waktu yang sama, dengan tenaga penuh lagi sehingga membawa kesiur angin deras, hebat perbawa serangan ini. Sungguh mengejutkan.
In-tiong-yan tahu tenaga pukulan lawan hebat, mana dia biarkan lawan berkelahi dalam jarak dekat, sebat sekali kakinya bergerak mengganti kedudukan, sementara pedangnya bergerak laksana burung hong terbang, tahu tahu ujung pedang sudah menusuk kearah ketiak kiri orang.
Sekonyong-konyong laki laki itu menggertak keras, kedua telapak tangannya terkembang terus didorong kedepan, tenaga pukulannya bergelombang seperti arus bergolak, samar-samar terdengar suara geledek yang mengguntur, ujung pedang In-tiong-yan tersampok mental kesamping. In tiong-yang melonjak kaget, pikirnya : "Lwekang laki-laki hitam ini diatas kemampuan Hek-swan hong. Berkelahi terus belum tentu menang, lebih baik tinggal pergi saja."
Tak diduga, laki-laki kasar itu seperti menebak isi hatinya, bentaknya : "Perempuan siluman, jangan harap kau bisa kabur !" tujuh langkah disekitar gelanggang terkekang oleh tenaga pukulannya berantai, damparan angin kuat dan menggiris kulit membuat langkah In-tiong-yan sempoyongan.
Lengan Ginkang In tiong-yan kalau mau pergi sebetulnya tidak sukar. Soalnya Bik-khong ciang lawan memang hebat, bila ia putar tubuh lari pergi, punggungnya yang tak terjaga bisa kena pukul, walaupun dapat lolos namun dirinya bakal menderita luka ringan.
Satu pihak kawatir terluka, pihak lain penasaran dan dongkol, akhirnya In tiong-yan nekad, katanya tertawa dingin : "Kau sangka aku takut menghadapi kau. Lihat pedang!"
In-tiong yang pusatkan perhatian, pertempuran berjalan makin sengit pedang dan kepalan saling serang dengan berbagai tipu tipu dan cara yang lihay. Ilmu pedang In-tiong yan cukup aneh dan lihay, kadang kadang menusuk dan menyerang dari jurusan yang tak terduga oleh laki laki kasar itu. Untung ilmu pukulannya cukup hebat, tenaganya pun besar luar biasa, tinju menggenjot telapak tangan menampar, setiap gerak-geriknya membawa kesiur angin yang keras, tinju seperti godam, tamparan telapak tangannya seperti kampak membacok. Betapapun lincah permainan In tiong-yan, selama itu tak berhasil mendesak lebih dekat, jarak mereka tetap tujuh delapan kaki. Untung laki-laki itupun harus menjaga tusukan pedangnya yang menyerang dari berbagai jurusan dan mengarah sasaran yang tak terduga, sehingga tak berani mendesak terlalu dekat.
Pedang lawan tinju, keduanya punya kelebihan sendiri. Saking bernafsu laki-laki itu bertempur dengan semangat berkobar, setiap jurus pukulannya disertai gertakan yang menggeledek, jotosan demi jotosan, kuat dan besar pula tenaganya. Kekuatan telapak tangannya menggiriskan dan makin kencang lagi, bak umpama gugur gunung atau damparan ombak mengamuk, sehingga sinar pedang In-tiong-yan buyar berantakan, gerak langkah tak teratur dan badanpun sempoyongan seperti sebuah sampan yang terombang ambing di tengah amukan ombak.
In-tiong-yan mengembangkan kelincahan tubuhnya untuk bertempur secara petak dengan lari berputar putar. Laksana burung camar terbang mengalun mengikuti damparan gelombang laut seperti pohon liu meliuk gemulai. Meski damparan angin dahsyat bagai badai diprahara. ia masih bergerak lincah, maju mundur dengan leluasa. Tapi betapapun ia kewalahan juga karena kekuatan sendiri tak unggul dibandingkan lawan, puluhan jurus kemudian, kombinasi pedang dan gerak tubuhnya makin kacau, lambat laun ia merasa tenaga makin terkuras habis.
Untung laki laki itu jeri menghadapi ilmu pedang yang aneh dan ganas itu, sedikit lengah bakal memberi peluang kepada lawan.
In-tiong-yan terhalang delapan kaki diluar lingkungan angin pukulannya, dia tak berani merangsak secara gegabah. Dalam keadaan masing masing pihak punya kekawatiran sama kuat alias seri.
Kabut buyar megapun menghilang, cahaya matahari bersinar cemerlang menerangi seluruh jagat raya. Pemandangan dipinggir rawa yang penuh semak belukar pohon pohon welingi dibawah pancaran sinar sang surya menjadi makin jelas dan mempesona. Tadi In tiong yan turun gunung waktu cuaca masih pagi dan remang-remang, sekarang matahari sudah tinggi menjelang tengah hari.
In-tiong-yan tersentak sadar, pikirnya: "Kalau dilanjutkan agak lama, Hek swan-hong bakal mengejar tiba. Laki laki hitam ini aku tidak mampu mengalahkan, celaka kalau ditambah seorang Hek swan hong lagi ? Ai, ngacir adalah jalan paling tepat untuk menyelesaikan pertempuran ini! Tapi cara bagaimana aku melepaskan diri."
Agaknya laki-laki itu merasa maksud hatinya, kedua kepalannya menari makin kencang, serangannya membadai makin seru, bentaknya: "Kalau kau tidak serahkan Ping-hoat kepadaku, jangan kau ngacir ? Nah, lari ke ujung langitpun akan kukejar !"
In tiong-yan membatin : "Bila aku dapat lari ratusan langkah, memangnya kau dapat mengejarku ?" soalnya bagaimana dia melepaskan diri dari rangsakan gencar lawan dan lari sejauh ratusan langkah itu ? Pukulan Bik-khong-ciang laki-laki itu sangat lihay belum cukup lari ratusan tindak In-tiong yan pasti terpukul oleh pukulan jarak jauh lawan, meski dapat lolos pasti terluka.
Dalam suatu kesempatan, tiba-tiba laki-laki itu mencengkeram lagi, sigap sekali In-tiong-yan menangkis dengan pedang, kotak yang dipegang ditangan kirinya hampir terampas oleh lawan. Sekonyong-konyong otak In-tiong yan mendapat akal. Segera ia mainkan pedangnya lincah dan rapat untuk melindungi badan, kakipun bergerak mundur dengan teratur, sambil melayani serangan ia menyurut mundur ke pinggir telaga. Tiba-tiba ia bergerak lincah berputar seperti gangsingan, mulutnya menjungging senyum sinis, jengeknya : "Baik, Ping-hoat kuserahkan kepadamu !" ditengah gelak tawanya, tangannya kiri terayun keatas melontarkan kotak kayu berisi buku militer itu kedalam telaga.
Sudah tentu tindakannya ini diluar dugaan laki-laki hitam. Sejenak ia tertegun mengambil Ping hoat atau mengejar In-tiong-yan ? Jelas sebentar saja kotak kayu itu bakal hanyut dan tenggelam oleh damparan air kalau tidak lekas-lekas diambil tentu terlambat. Tiada banyak tempo, "plung !" laki-laki itu segera terjun kedalam air.
Untung arus air agak lamban, laki-laki itu pandai berenang lagi, setelah mengambang beberapa saat, kotak kayu itu mulai terendam air dan tenggelam, setelah selulup timbul dan berenang puluhan tombak, baru ia berhasil menangkap kotak kayu cendana itu.
Tapi waktu dibuka, ternyata kosong, Ping hoat telah lenyap.
In-tiong-yan pakai tipu daya untuk meloloskan diri. Waktu mundur secara teratur tadi, ditutupi lengan bajunya, diam diam ia telah mengambil buku Ping hoat itu dari dalam kotak, yang dibuang hanya kotak kosong belaka. Karena cara kerjanya yang cermat, apalagi bertempur sambil jalan, laki-laki itu harus menjaga permainan pedangnya yang aneh, sehingga tidak menaruh perhatian.
Setelah naik ke darat, laki-laki itu mengumpat caci. Dari kejauhan In-tiong-yan menggoda : "Kau sendiri yang menyangka isi kotak kayu itu adalah Ping-hoat, pernah aku mengatakan berisi Ping-hoat?"
Memang benar, demikian pikir laki-laki itu, tadi In-tiong-yan hanya balas bertanya: "Kalau Ping hoat lalu mau apa ?'' tapi tidak mengatakan bahwa isi kotak adalah Ping-hoat yang dicarinya itu.
Dia seorang laki laki polos dan jujur tak mengenal kelicikan orang, bukan karena bodoh atau ceroboh, ia berpikir: "Mungkin bukan dia saja yang mencari Ping-hoat itu, mungkin punya teman lain. Sengaja dia bawa kotak ini untuk memancing perhatian orang, sedang Ping-hoat yang sesungguhnya ditangan temannya itu?" lalu terpikir lagi: "Kalau rekaanku tidak benar, hanya ada sekesimpulan; yaitu Ping-hoat karya Go Yong itu belum ditemukan orang, perbuatannya hanya pura-pura membingungkan orang lain. Peduli rekaanku benar atau salah, biar aku ke Liang-san melihat gelagat !"
Dia anggap pikirannya cukup beralasan dan benar. Belum lagi tiba dikaki gunung Liang-san ditengah jalan dia bersua seorang yang baru turun gunung.
Dengan lesu dan kecewa Hek swan-hong turun dari Liang-san, tiba-tiba dilihatnya seorang laki-laki kulit hitam mendatangi, tangannya bawa kotak kayu, keruan bercekat hatinya baru saja ia hendak membuka mulut laki-laki hitam itu sudah membentak lebih dulu: "Bocah keparat berdiri disitu !"
"Siapa kau?" teriak Hek swan-hong, "Dari mana kotak itu kau dapat?"
Laki-laki hitam juga berteriak-teriak: "Apakah kau tadi bersama In tiong-yan ?"
Dua pihak sama bertanya, sejenak Hek swan-hong tertegun, batinnya; "Orang ini tahu In tiong-yan sudah tiba di Liang-san, siapakah dia? kepandaian In tiong-yan bukan olah-olah tinggi, masa dia mampu merebut Ping-hoat itu dari tangan In-tiong-yan? Atau In-tiong-yan sendiri yang berikan kepada dia. Mungkin dia komplotan ln-tiong-yan? Hmm, semoga In-tiong yan bukan bangsa Kim, namun bila dia benar orang Kim, maka laki Iaki hitam ini jelas adalah musuhku, peduli apa yang perlu Ping hoat itu harus kurebut kembaIi.''
Watak laki laki hitam itu berangasan dan kasar, hardiknya; "Hai. apa kupingmu tuli? Lekas katakan apakah In tiong yan bersama kau di Liang san?"
"Apakah dia yang suruh kau mencari aku?" Hek-swan hong balas bertanya, "Huh siapa kau?" dia anggap orang sengaja hendak cari gara-gara kepada dirinya.
Orang itu membentak pula: "Locu tak sabar lagi putar lidah, lekas kau jawab betul atau tidak!"
Timbul amarah Hek-swan hong jengeknya dingin; "Kalau benar mau apa?''
Kedua pihak saling curiga, sebelum lagi lagi Hek swan hong selesai bicara orang itu sudah ayun tangannya mengemplanh ke arahnya.
Karuan dongkol dan gusar Hek swan hong dibuatnya, serunya: "Belum pernah aku ketemu orang tidak kenal aturan macammu ini !"
"Biar sekarang kau kenal dan tahu !" teriak laki laki hitam.
"Blang !" dua tinju beradu keras, telapak tangan Hek swan hong rada miring melesat kesamping terus membalik menutuk jalan darah dipergelangan lawan, laki laki itu berjongkok menurunkan tubuh, berbareng tangan terulur panjang menjojoh lambung musuh. Namun gerak Hek-swan-hong cukup cekatan, sedikit kaki menutul ia melejit menyingkir. Laki laki hitam rasakan kepalanya panas membakar dan sakit, kiranya meski tidak kena tertutuk jalan darahnya, namun jari Hek-swan-hong berhasil menyerempet punggung tangannya.
Heh-swan-hong sendiri juga tidak mendapat untung, dia melesat lewat disamping laki laki itu, tujuan semula hendak menubruk balik untuk merangsak lagi, namun tanpa kuasa ia berputar-putar dua kali dengan kaki sempoyongan, niatnya menjadi gagal.
Tenaga pukulan laki laki hitam begitu kuat dan kokoh sekali, sekali pukul mengandung tiga tekanan tenaga dahsyat yang tak terduga. Kalau bertempur secara keras, Hek-swan-hong takkan kuat bertahan. Tapi Hek-swan-hong memiliki kepandaian keras lemas yang dapat dikombinasikan dalam setiap pertempuran, begitu dua pukulan saling bentur dia dapat punahkan sebagian besar tenaga lawan. Gerak perubahan juga jauh lebih bagus dari kemampuan si laki-laki.
Namun karena pukulan laki-laki itu mengandung tiga gelombang tekanan yang berlainan, Hek-swan hong hanya berhasil menghimpas separo, tekanan gelombang kedua tidak bawa akibat. Adalah tekanan gelombang ketiga membawa reaksi atas dirinya dikala ia hendak putar balik merangsak lagi, Hek-swan-hong berputar-putar dua kali, tujuannya adalah memunahkan tekanan gelombang ketiga ini.
Dua pihak adu pukulan, masing-masing punya keunggulan sendiri. Tapi dinilai sewajarnya, laki-laki hitam itu rada asor dan mendapat rugi.
Keruan laki laki itu makin murka, bentaknya : "Lari kemana ? Mari kau lawan aku tiga ratus jurus!"
Dia menantang bertempur tiga ratus jurus, jelas bahwa dia punya perhitungan jangka panjang, tahu bahwa Hek-swan-hong merupakan lawan tangguh, hanya bertempur sampai dua pihak kehabisan tenaga dan tele-tele baru dia punya harapan sambil kemenangan.
Hek-swan hong juga tidak jatuh pamor, teriaknya : "Gebrak ya gebrak, kau kira aku takut ? Kau tidak punya aturan, aku ini nenek moyangnya orang yang tak beraturan !"
Laki-laki itu menghardik, suaranya bagai geledek mengguntur, berdiri melengkung seperti busur, kedua telapak tangannya didorong kedepan. Untung Lwekang Hek-swan-hong cukup tinggi, namun begitu ia merasa kuping mendengung hampir pecah. Beruntun Hek-swan-hong gunakan dua jurus Hun hoa-hud-liu dan Ji-hong-jip-pit untuk memunahkan sejurus serangan Kim-kong-jiu lawan. Laki-laki itu membentak sekali lagi, lagi-lagi serangannya sudah memberondong tiba.
"Gembar gembor apa kau ? Memangnya panggil setan !" seru Hek swan hong.
"Kalau tidak suka dengar, tutup kupingmu !" teriak laki-laki itu, Hek-swan-hong geli dan penasaran lagi akan kedunguan lawan.
Setiap lancarkan pukulannya laki-laki hitam pasti membentak keras, tenaga pukulannya juga bertambah berat. Seolah-olah bentakan suaranya itu bisa menambah perbawa kekuatan pukulannya.
Dalam pertempuran seru itu, tiba-tiba laki-laki hitam berkata : "Aku tidak ingin ambil keuntungan, kalau kau takut kalah, silakan lolos pedangmu !"
Hek-swan-hong tertegun sejenak, batinnya: "Keuntungan apa yang kau ambil dari aku ?" sekilas menjadi sadar, "Oh, begitu memang pembawaan suaranya sangat nyaring, mungkin dia sangka bentakannya itu mengambil keuntungan dari aku." segera ia menjawab : "Ilmu pukulanmu belum seluruhnya kau mainkan, buat apa aku gunakan Pedang ?"
"Kau berani pandang rendah aku?" semprot lelaki itu dengan gusar.
"Bukan begitu soalnya. Aku ingin belajar kenal dengan seluruh permainan ilmu pukulanmu!"
Mendengar ucapan terakhir, agaknya lelaki itu menjadi senang, beruntun ia menggembor pula, sementara kedua tinjunya membadai seperti hujan lebat.
Lambat laun timbul rasa curiga Hek-swan hong, pikirnya: "Orang ini begini polos kelihatannya bukan antek bangsa Kim." rangsakan lelaki itu telah memberondong gencar sehingga Hek-swan-hong harus tumplek seluruh perhatian untuk melayani.
Pukulan masing masing mempunyai permainan yang kuat dan lincah sepihak sekeras Kim-kong (arhad) menubruk dengan kekerasan pihak lain lemah gemulai seperti jarum didalam kipas, gerak permainan si laki laki memang tidak sebat dan selincah Hek swan hong, sudah berulang kali menghadapi serangan berbahaya, untungnya Lwekangnya setingkat lebih tinggi. Hek-swan-hong sendiri selalu waspada untuk melancarkan serangan telak kawatir diri sendiri kena dikibuli, beberapa kali ada kesempatan merebut kotak kayu itu namun selalu sia sia saja.
Tengah bertempur tiba tiba laki laki itu buang kotak ditangannya ketanah terus diinjak menjadi hancur lebur, teriaknya: "Baik, mari berkelahi sepuasnya !" kotak ditangannya itu banyak mengganggu gerak geriknya maka sengaja ia menginjaknya hancur. Semula Hek-swan hong menyangka kotak kayu itu berisi buku karya Go Yong itu, mendadak melihat orang menginjaknya hancur, ia terperanjat, namun terinjak hanya pecahan kayu belaka, seketika timbul pula berbagai kesangsian yang menggoda hatinya.
"Kalau dia teman sekomplotan dengan In tiong-yan masa In-tiong yan memberikan kotak kosong kepadanya." demikian Hek-swan-hong membatin dalam hati. Sekonyong konyong ia teringat seseorang, cepat ia melompat keluar halaman pertempuran, teriaknya ; "Bukankah kau Ling Tiat-wi yang berjuluk Heng Thian lui itu ?"
Laki-laki itu melengak, iapun berteriak, "Dari mana kau tahu julukanku ? Siapa kau sebenarnya ?"
Hek-swan-hong tertawa, ujarnya : "Aku juga punya julukan, sahabat Kangouw memanggil Hek-swan-hong padaku !"
"Jadi kau ini Hek-swan-hong ?" teriak laki laki itu pula. "Apa benar ? Ah, kenapa tidak kau sebutkan sejak tadi?"
"Begitu bertemu kau ajak berkelahi, bagaimana aku jelaskan ?"
Laki laki itu unjuk mimik heran dan curiga, katanya : "Baik, sementara aku boleh percaya bahwa kau adalah Hek-swan-hong. Seumpama kau benar Hek-swan-hong juga tidak mungkin bisa tahu akan julukanku itu. Lain dengan kau, julukanmu sudah tenar dan kumandang di kalangan Kangouw, kalau umum tahu tidak perlu dibuat heran. Adalah julukanku itu, hanya beberapa teman sejak kecil dikampung saja yang suka memanggil demikian, bocah kampung lain tidak tahu."
"Kurasa tidak begitu halnya," ujar Hek-swan hong. "Menurut apa yang kutahu, seorang tua gagah yang mengembara di kalangan Kangouw tahu tentang julukan namamu ini."
"Siapa dia ?" "Liok Kun-lun Liok-pangcu dari Kay-pang !"
"Oh, ya !" teriak laki-laki itu, serunya, "Rupanya kau adalah sahabat Liok-pangcu."
"Belum setimpal dijajarkan sebagai sahabat." ujar Hek-swan hong. "Dihadapan Liok-pangcu aku hanyalah seorang Wanpwe saja."
Ternyata buyut Hong thian lui Ling Tiat-wi adalah orang gagah dari seratus delapan pahlawan Liang san yang bernama Ling Tim berjuluk Heng-thian-lui pula.
Ling Tin ahli membuat peledak, ilmu silatnya biasa saja. Kepandaian Ling Tiat-wi juga bukan turunan keluarganya, tapi didikan orang sahabat kental ayahnya, keturunan salah seorang pahlawan Liang-san-pit-le-hwe Cin-ping yang bernama Cin Hou-siau, memberi didikan langsung kepadanya. Keluarga Cin dan Ling menempati sebuah perkampungan, ilmu kepandaian yang diturunkan kepada Ling Tiat wi justru adalah ilmu warisan nenek moyang Cin hou-siau, yaitu Pit le-ciang.
Cin Hou-siau juga punya seorang putra bernama Cin Liong-hwi. Sebaya dengan Ling Tiat-wi, namun watak mereka jauh berbeda. Cin Liong hwi cerdik pandai, sejak kecil sudah pandai mengatur tipu daya untuk mempermainkan orang. Ling Tiat-hwi adalah lawan yang sering dipermainkan olehnya. Kalau dibicarakan memang cukup mengherankan, seorang pandai ternyata jauh ketinggalan dibanding bocah goblok dalam latihan ilmu silat. Baik diajari ayahnya, sejurus saja lantas paham dan bisa, sayang tidak tekun dan kurang rajin, begitu ada kesempatan lantas ngeluyur dan bermain suka membikin ribut dan bertengkar dengan anak tetangga. Sebaliknya Ling Tiat wi tahu bahwa otaknya tumpul, tahu tak mampu belajar dengan sempurna dan takut ditegur sang guru. Hanya sejurus guru mengajar, beruntun ia harus mengulang puluhan kali baru paham dan bisa.
Adalah jamak kalau bocah bermain sering adu mulut dan berkelahi, Cin Liong-hwi sering menyeret Ling Tiat wi untuk bantu menghajar lawannya. Kalau memang beralasan dan di pihak benar Ling Tiat wi selalu membantu, umpama dipihak salah, karena terlanjur ia tetap membantu, hanya setelah urusan selesai, secara langsung ia tegur Cin Liong wi. Kenapa Ling Tiat wi tetap membantunya menghajar lawan? Sebab dengan otaknya yang cerdas Cin Liong-hwi menipunya sehingga murid ayahnya mau membantu, belakangan baru Ling Tiat-wi sadar bahwa kesalahan dipihak Cin Liong-hwi. Maka ia maki dan tegur dia.
Suara Ling Tiat wi keras dan kasar, nyaring lagi, setiap bicara atau memaki orang seperti geledek, maka Cin Liong-hwi memanggilnya Hong-thian lui (geledek mengguntur di langit). Cin Liong-hwi tahu julukan nenek moyangnya, maka dia ambil julukan yang sama untuk buyutnya ini. Mungkin sekedar julukan yang disesuaikan keadaan, mungkin juga untuk menggoda bahwa dia punya julukan dari keturunan kakek moyangnya. Bocah kampung tiada yang jelas duduk perkaranya, mereka ikut ikutan saja memanggilnya begitu sebagai poyokan. Sampai akhirnya ayahnya juga tahu bahwa anaknya punya nama poyokan itu.
Liok Kun-lun, Pangcu Kaypang adalah sahabat ayah dan guru Ling Tiat wi. Pada beberapa tahun yang lalu Liok Kun-lun pernah bertamu di keluarga Cin, beberapa hari ayah Ling Tiat-wi juga bermalam dirumah Cin Hou siau. Pada suatu hari Ling Tiat-wi bertengkar dan ribut dengan beberapa anak tetangga, dia digiring oleh ayah anak-anak tetangga dan menghadap pada gurunya. Belum sampai diluar pintu, dari kejauhan sudah terdengar suara ribut Ling Tiat-wi, serta gemuruh tetangga yang suka iseng : "Hong-thian lui bikin perkara lagi !"
Cin Hou-siau anggap biasa kejadian itu, ia maklum akan duduk perkara yang sebetulnya, Ling Tiat-wi dijadikan kambing hitam oleh anaknya yang kurang ajar itu, Cin Liong hwi kabur menyembunyikan diri. Cin Hou siau suruh orang mencari dan menghajarnya, memang seperti dugaan semula, Cin Liong-hwi membuat gara-gara menghasut Ling Tiat-wi. Setelah menghajar dan memaki anaknya, Cin Hou-siau menghela napas panjang serta berkata : "Kakekku bernama julukan Pit-le hwe (berangasan), aku lebih suka anakku punya watak berangasan seperti moyangnya itu, jangan karena pandai selalu mengganggu dan mempermainkan orang, Ai, Ling toako, anakmu lebih kuat dan jauh menang dari moyangnya. Bocah keparat itu justru menjadi anak durhaka dari keluarga Cin kami."
Ayah Ling Tiat wi punya perhitungan dan pandangan jauh, setelah semua orang menyingkir, dihadapan dua sahabatnya ia mulai memberi pengajaran pada anaknya: "Moyangmu berjuluk Hong-thian-lui, karena dia seorang ahli membuat bermacam-macam bahan peledak, bukan karena wataknya yang berangasan atau kasar. Moyangmu membuat bahan peledak untuk membantu para pahlawan gagah Liang-san untuk menjalankan kebajikan menumpas kejahatan. Kau paham pelajaran membuat bahan peledak keluarga Ling kita sudah putus turunan, tapi adat dan pembawaan keluarga Ling kita tidak luntur. Aku suruh kau belajar silat dengan paman Cin supaya kau pandai meniru sepak terjang moyangmu menjalankan kebajikan bagi sesama umat manusia. Kau harus meniru dan jadikan moyangmu sebagai teladan, orang memanggil kau Hong thian-lui apakah kau malu dan menyesal ?"
Cin Hou-siau manggut-manggut, dia sentak anaknya supaya berlutut, katanya : "Dengar, uraian paman merupakan pengajaran juga bagi kau. Kau berdua harus selalu ingat dan prihatin !"
Liok Kun-lun tinggal beberapa hari di rumah Cin Hou-siau, kedua bocah itu memberi kesan mendalam dalam sanubarinya.
Perihal asal usul Hong-thian-lui, Hek-swan hong dengar dari mulut Liok Kun-lun. Hari itu Liok Kun-lun mengobrol tentang tunas muda dan tunas harapan kaum persilatan, yang menarik dalam percakapan itu adalah In-tiong yan yang serba misterius dan sulit diraba asal usul, selanjutnya baru menyinggung kedua bocah keluarga Cin ini.
Liok Kun-lun pernah berkata : "Kedua bocah itu sudah menanjak dewasa, usianya kira kira sebaya dengan kau, tapi Cin Hou-siau belum berani memberi kesempatan pada mereka untuk kelana di Kangouw. Tapi aku berani pastikan begitu mereka terjun dalam percaturan di Bulim tentu menonjol dan lebih tenar dari deretan nama nama tunas harapan yang lain. Terutama Hong thian-lui Ling Tiat-wi itu, bukan mustahil pada suatu ketika bakal menjadi seorang tokoh laksana geledek yang menggelegar diseluruh jagad."
Hek-swan hong bertanya : "Menurut pandangan Locianpwe saudara Ling yang berjuluk Hong thian-lui ini bagaimana kalau dibanding dengan In-tiong yan ?"
Liok Kun lun tertawa, ujarnya : "Yang kau tanyakan soal ilmu silat atau watak dan martabatnya ? Kalau soal martabat, aku belum pernah jumpa dengan In-tiong-yan, jejaknya sangat misterius, seolah olah tidak punya sepak terjang sebagai pendekar yang berbudi luhur. Sebaliknya Ling Tiat-wi anak kampung yang polos jujur dan sederhana; kelak pasti menjadi pendekar besar yang disanjung puji dan disegani oleh angkatan mendatang. Maka soal martabat, kedua orang ini sulit dibanding bersama."
"Soal ilmu silat, mereka punya keahlian sendiri. Ilmu silat In-tiong yan aku belum pernah menyaksikan. Tapi menurut penuturanmu, Ginkangnya jauh diatas kemampuan Hong-thian-lui. Tapi Hong thian-lui justru punya tenaga terpendam, pembawaan sejak kecil. Diantara orang-orang gagah seangkatan dengan dia yang pernah kulihat, mungkin tiada seorang pun yang dapat menandingi." maksud ucapannya ini sudah tentu termasuk Hek-swan hong sendiri. Keruan Hek-swan hong kaget dan bercekat.
Selanjutnya Liok Kun lun berkata lagi : "Tahun itu usianya kira kira dua tiga belasan. Cin Hou siau minta kepadaku untuk memberi petunjuk soal mengerahkan dan menggunakan tenaga. Waktu kucoba dengan pukulannya, setiap kali kutambah tenaga dia masih kuat melawan sampai tiga bagian tenaga Lwekangmu. Sekarang sudah terpaut sepuluh tahun, mungkin tenaga pukulan Hu mo ciangku tak kuasa menandingi Pit-le-ciang hiatnya."
Begitu asyik mereka mengobrol selanjutnya ia berkata pula : "Pit le-ciang keluarga Cin diturunkan kepada Tiat-wi ini betul-betul serasi dan cocok pada tempatnya. Ling Tiat-wi punya tenaga raksasa pembawaan sejak kecil, punya suara serak yang keras dan kasar, lagi bentakan suaranya benar-berar seperti geledek mengguntur. Disesuaikan pembawaannya Cin Hou-siau mengaturkan setiap kali melancarkan pukulan disertai bentakan yang memekakkan telinga, sehingga dapat mengembangkan Lwe-kang sewajarnya. Anak tunggalnya itu malah jauh ketinggalan dari harapan semula."
Rahasia Si Badju Perak 1 Sumpah Palapa Karya S D Djatilaksana Manekin 5
^