Pencarian

Tahun Ajaran Baru 1

Girl Talk 01 Tahun Ajaran Baru Bagian 1


KENALAN YUUKK
Teman-teman ngobrol kita adalah 4 gadis keren dari sebuah
sekolah di Acorn Falls, Amerika. Yang pertama, Sabrina Wells.
Gadis berambut ikal kemerahan dan imut-imut ini punya sifat mirip
kamu! Selain suka baca, si mata cokelat ini juga suka belanja. Hobby-
nya yang lain adalah bangun siang dan ngerumpi sama sobat-
sobatnya.
Kedua, Katie Campbell. Si juara kelas ini selain oke otaknya,
juga penampilannya. Rambut pirangnya lurus dan panjang. Matanya
biru. Katie juga suka bikin kejutan. O ya, Katie bukan cuma jago di
kelas tapi juga di lapangan. Walau selalu rapih ternyata dia juga atlit
andalan sekolah.
Randy Zak adalah teman kita yang cukup aneh.
Penampilannya modis ala New York. Maklum, Randy memang
pindahan baru dari New York. Potongan rambutnya punk rock.
Sifatnya juga aneh, nggak bisa ditebak maunya! Tapi yang jelas,
Randy akan mengajari kita, betapa nikmatnya jadi orang yang ?lain
dari yang lain?.
Terakhir adalah gadis keturunan Indian, Allison Cloud. Si kutu
buku ini tinggi langsing dan cantik pula. Sayang dia pemalu. Mungkin
karena tinggi badannya yang sampai seratus tujuh puluh senti. Padahal
baru berumur tiga belas tahun. Berarti dia masih akan terus tumbuh
lebih tinggi lagi!YANG DIOBROLIN KALI INI
SABRINA : Katie, kita bikin acara apa nih untuk pesta
penyambutan murid- murid baru nanti?
KATIE : Wah, tahu deh! Yang jelas kita harus segera dapet ide
untuk dekor ruangannya. Kau kan ketua seksi
dekorasinya.
SABRINA : Iyalah, masa aku lupa! Hei, gimana kalau pulang
sekolah besok kita kumpul-kumpul dulu di Fitzie?s?
Kita omongin soal itu di sana, dengan Allison dan
Randy juga.
KATIE : Oke. Tapi sebenarnya kamu ngajak kita-kita ke Fitzie?s
bukan cuma buat itu kan?
SABRINA : Eh? Maksudmu?
KATIE : Menurutku, kau pasti mau ngomongin soal 'Operasi
Alec'!BAGIAN SATU
Sepanjang liburan musim panas, aku sudah tak sabar menunggu
saat bersejarah ini: hari pertamaku di kelas tujuh Bradley Junior High
School! Tapi ketika hari yang kutunggu-tunggu itu tiba, kok begini-
begini saja ya....
Aku selalu tertarik pada hal-hal atau kejadian-kejadian yang
'baru?. Malah seringkah tak sabar menantinya. Tapi begitu terjadi,
rasanya biasa-biasa saja tuh....
Mungkin memang begitu sifat anak bungsu dengan empat
kakak laki-laki seperti aku. Bisa jadi aku mengalami sesuatu yang
kuanggap 'baru?, tapi pasti kakak-kakakku pernah mengalaminya,
kan? Mereka semua biasa menceritakannya terlebih dahulu, sehingga
aku tak begitu ?kaget? lagi ketika menghadapi kejadian yang
sesungguhnya. Ya, semuanya,...kecuali Sam. Saudara kembarku yang
lebih tua empat menit ini selalu membuatku repot.
Hari pertama ke sekolah, aku datang terlambat. Aku memang
biasa terlambat. Bukan disengaja, tapi entahlah, kok selalu ada saja
hambatan yang membuatku terlambat, ke mana pun juga. Pagi ini
misalnya. Aku sudah mencoba bangun setengah jam lebih cepat dari
biasanya. Kupikir, hari pertama ini cukup menentukan. Betul kan?Tapi tahunya kakakku Mark memakai kamar mandi sampai lebih dari
25 menit. Alasannya...?cukur?!
Cukur apaan?!
Umurnya saja baru tiga belas. Kalaupun ada kumis atau
jenggot, toh masih tipis-tipis. Kurasa bercukur sebulan sekali saja
sudah cukuplah. Tapi kata Mark, ia perlu bercukur tiap hari.
Aneh!
Sebetulnya ada dua kamar mandi di rumah ini. Tapi yang satu
terletak di kamar orang tuaku. Anak-anak tentu saja tak diijinkan
memakainya.
Begitulah,...akhirnya aku terlambat.
Kunaiki tangga gedung kelas tujuh Bradley Junior High School,
kelasku yang baru, langsung bergegas ke kantor tata usaha. Tak ada
seorang pun di sana! Wah, telat beneran nih, pikirku. Kucoba
membuka pintu bertulis Tata Usaha itu. Tapi...uh, keras banget!
Jangan-jangan sudah dikunci?
Ah, tak mungkin. Aku harus masuk untuk mengambil daftar
pembagian kelas dan jadwal pelajaran. Kucoba lagi mendorong lebih
keras dengan bahu kananku dan ... akhirnya terbuka juga pintu itu!
Langsung saja aku menerobos masuk.
Sebetulnya tak enak juga sih, masuk dengan menerobos seperti
tadi. Kurang sopan rasanya.
Entahlah, aku selalu menjaga penampilan dan sikapku, seperti
artis yang selalu menjaga sikap tubuhnya. Dan memang itulah yang
selalu kuimpikan: jadi bintang film terkenal!
Di ruang Te-u ini tak ada siapa-siapa selain seorang wanita
yang menatap lurus ke arahku dari balik kaca mata tebalnya. Ini pastisi 'manusia pinsil? yang sering diceritakan kakak-kakakku. Entah siapa
nama aslinya, sebab bentuk tubuhnya selalu mengingatkan orang pada
julukannya: manusia pinsil. Rambutnya dikonde tinggi, tepat di atas
kepala. Mirip karet penghapus di ujung pinsil.
Kutarik nafas panjang dan coba menenangkan diri.
"Selamat pagi, Bu. Saya Sabrina Wells," sapaku memecah
kesunyian. "Maaf, saya terlambat. Ada halangan yang tak saya
kehendaki."
Si ?manusia pinsil? tak menjawab sepatah kata pun. Dia hanya
mengangkat alisnya. Sebetulnya bukan alis asli, tapi lengkungan garis
pinsil alis. Ah!, harapku dalam hati, jangan sampai kulakukan hal
seperti itu kelak. Melukis alis! Hiiih!
"Saya berjanji tak akan terlambat lagi," lanjutku setelah kulihat
ia bangkit mengambil beberapa kertas dari tumpukan sebelah kiri.
?Manusia Pinsil? itu masih diam. Masa sih dia segitu marahnya?
Toh bukan cuma aku murid yang pernah terlambat? Lagipula ? kalau
dia tahu ? sebenarnya aku sudah berusaha untuk tepat waktu.
Tepat waktu bahkan mendapat urutan pertama dalam daftar
pengembangan diriku. Di tahun ajaran baru ini, aku telah memutuskan
untuk memulai proyek perbaikan diri. Sebuah notes pink berukuran
lebih kecil dari agenda sekolah telah kuisi dengan sederet sifatku yang
rasanya perlu kuubah dan kuperbaiki.
Akhirnya si ?manusia pinsil? itu memberikan setumpuk jadwal,
mata pelajaran, nomer loker dan kombinasi untuk membukanya.
Kulihat jadwal di hadapanku.
Kelas tujuh kelihatannya lebih rumit daripada kelas enam dulu.
Dulu kita cukup berada di satu kelas dengan satu guru. Sekarang, tiapganti mata pelajaran aku harus pindah dan mencari kelas baru sesuai
jadwal kelas dan mata pelajaran. Jam pertama di ruangan 303,
matematik. Ih, aku benci matematik!
Berlari aku mencari deretan loker untuk murid kelas tujuh di
lantai dua. Lorong-lorong masih dipenuhi anak-anak. Berarti aku
belum terlalu terlambat dan masih ada cukup waktu untuk menyimpan
barang-barangku di loker. Nomer 1701.
Baru saja ketemu, kulihat anak-anak sudah mulai masuk ke
kelas masing-masing. Aku jadi panik dan lupa kombinasinya. Kanan-
kiri-kanan atau kiri-kanan-kiri? Aku tak bisa mengingat cara
membuka loker yang telah diajarkan ayahku. Akhirnya kuputuskan
untuk membuka dengan paksa. Kukumpulkan seluruh tenaga dan...
Ups! untung aku nggak mental. Ternyata teman se-loker-ku lupa
menguncinya.
Siapa ya kira-kira teman se-loker-ku? Semoga aku sudah kenal.
Siapa pun dia, aku menyukai caranya menyimpan barang-barang.
Sangat rapi. Terlalu rapi, malah. Aku sendiri bukan tipe orang yang
terlalu rapi. Semoga partner lokerku ini tak keberatan berbagi loker
denganku. Tapi rapi ada di urutan ke delapan dalam daftar
pengembangan diriku, kok.
Lalu aku ke ruangan 303. Rasanya kelas nomer kecil berada di
dekat tangga sehingga aku tak perlu menelusuri koridor. Cepat-cepat
aku menyelinap lalu duduk di kursi kosong di bagian tengah. Begitu
duduk, langsung kuedarkan pandangan ke sekeliling kelas, berharap
ada wajah-wajah yang kukenal. Gila! Tak seorang pun yang kukenal
di ruangan ini!Pak Guru masuk dan menuliskan namanya di papan: Pak
Winters. Lalu menuliskan kata-kata yang menakutkan bagiku:
Persamaan Aljabar!
Persamaan Aljabar?!
Mana mungkin? Persen-persenan saja aku belum bisa! Kupikir
pelajaran matematika dimulai dengan pelajaran pembulatan angka
dulu. Setidaknya itu kata kakakku, Luke, tentang pengalamannya di
kelas tujuh dulu. Atau mungkin kurikulum sekarang sudah berbeda?
"Sabs," kudengar seseorang berbisik di belakangku. Agak
terkejut, kutengokkan kepala. Siapa yang mengenalku? Rasanya tak
ada seorang pun yang kukenal di kelas ini?
"Mark?" bisikku kaget. Mark adalah kakakku yang usianya
setahun lebih tua. Mau apa dia di kelasku?
"Kamu salah kelas," Mark tersenyum mencemooh. "Ini kan
kelas matematik untuk kelas delapan."
Ngomong apa sih dia? Kuteliti lagi jadwalku. Ya ampun! Si
Mark benar! Mestinya aku di ruangan 403. Bukan 303.
"Mau tunggu apa lagi, Non," kata Mark seraya menepuk
bahuku. Aku paling benci dipanggil Non. Gayanya sok tua. Padahal
cuma selisih satu tahun. Apa bedanya sih?
Kelas mulai penuh dan pak guru mulai mengabsen nama-nama
murid sesuai daftar murid. Bagaimana caraku meninggalkan ruangan
ini? Bagaimanapun aku kan harus keluar dan pindah kelas. Kucoba
untuk menyelinap, berjalan membungkuk tapi tiba-tiba...
"Ups!" seruku karena kakiku tersandung kaki cowok yang
duduk dekat pintu. Suara gaduh terdengar bersamaan dengan jatuhnya
buku-bukuku ke lantai, tepat di kaki si cowok."Apa itu?" tanya Pak Winter.
Perhatian seisi kelas langsung tertuju kepadaku. Aku berusaha
bangkit dengan lutut gemetar dan wajah merah menahan malu.
Cowok yang kusandung membantuku membereskan buku-
bukuku yang berantakan, termasuk notes kecil pink-ku. Tangan kami
sekilas bersentuhan waktu ia menyerahkan buku-buku itu. Untuk
pertama kali kulihat wajahnya. Dan aku ternganga....
Imut-imut amat!
Matanya hijau dan rambutnya coklat gelap. Persis Tom Cruise!,
idolaku. Posternya ada di langit-langit kamar, tepat di atas tempat
tidur. Tiap malam sebelum tidur, selalu kutatap wajahnya dalam-
dalam biar terbawa mimpi. Ini bukan bohong. Kalau kamu ingin
memimpikan sesuatu, pikirkanlah hal itu dalam-dalam sebelum tidur.
Seisi kelas tertawa, kecuali si cowok keren itu. Dia hanya
tersenyum dan menatapku.
"Hai," sapanya ringan, "aku Alec."
Suaranya membuat perutku bagai bergolak. Aku sudah mau
ganti menyebutkan namaku, eh, tahunya bel ke dua berdering. Tanda
mulai pelajaran. Dan aku belum juga berada di ruang 403...!
Sekuat tenaga aku berlari ke ruang 403 dan segera duduk di
sebuah kursi yang tampak masih kosong. Kubuka sebuah buku dan
berlagak sibuk, agar tak seorang pun tahu aku terlambat masuk.
Beberapa detik kemudian aku merasa semua sedang menatapku.
Termasuk guru di depan kelas. Tahu kan, gimana rasanya? Malu
campur bingung campur was-was! Ada apa?
"Namamu! Sebutkan namamu!" bisik gadis di sebelahku. Aku
ingat, dia temanku di kelas lima dulu. Gadis berdarah Indian itubernama Allison Clouds. Cuma itu yang kutahu, karena memang
hanya itu yang disebutkannya dulu waktu kami kenalan. Anaknya
pemalu dan pendiam.
"Sabrina Wells," kataku perlahan-lahan tapi cukup jelas untuk
bisa didengar sekelas.
"Ah, syukurlah akhirnya kamu memutuskan masuk kelas ini
Sabrina," kata Bu Guru. Nada suaranya menunjukkan
ketidaksenangannya atas keterlambatanku.
"Seperti telah saya jelaskan pada yang lain sebelum kamu...
tiba...." Beliau nampak menekankan kata ?sebelum? dan ?tiba?. Kurasa
ini cuma satu cara untuk lebih mempermalukan aku lagi. Dan cara itu
memang berhasil membuat wajahku makin merah menahan malu.
"Nama saya Bu Munson. Saya akan mengajar Matematika
Dasar yang akan kalian perlukan sampai masuk kuliah nanti."
Aku mulai berpikir. Matematik bukan bagian dari masa depan
dan cita-citaku. Bintang film besar tak perlu menguasai matematik.
Mereka bisa menyewa akuntan untuk menghitung uang mereka.
Bintang sebesar Cher, misalnya, belum tentu tahu Bilangan
Pembulatan.
"Sabrina," lanjut Bu Munson lagi dengan dingin, "kamu masih
mendengarkan perkataan saya?"
"Ya," desisku perlahan.
Seisi kelas menatapku lagi.
"Jadi...," Bu Munson siap mengajukan satu pertanyaan padaku,
"coba kamu bulatkan bilangan 2,479."Aku berpikir sejenak. 2,479. Empat lebih kecil dari lima, jadi
harus dibulatkan ke bawah. Pasti dua. Eh, tunggu dulu. Jangan-jangan
ini pertanyaan jebakan.
"Dua atau tiga Sabrina?" desak Bu Munson.
Aku mulai panik. Lagi-lagi semua perhatian terpusat padaku.
Membuat aku merasa tak yakin atas pikiranku terhadap pertanyaan
tadi.
"Dua," bisik Allison lirih, hanya aku yang bisa dengar.
"Dua!" seruku keras.
"Ya, betul," Bu Munson tampak tertegun mendengar
jawabanku. Tapi ia masih berusaha memojokkanku. "Dengan cara apa
kamu menemukan jawaban itu, Sabrina?"
Aku mengangkat bahu.
"Nah, anak-anak, itulah yang akan kita pelajari tahun ini.
Metode logika," Bu Munson mulai menjelaskan.
Aku berpaling ke Allison untuk mengucap terima kasih. Tapi
Allison begitu tekun menatap bukunya. Rambut hitam pekatnya yang
panjang sepinggang menutupi wajahnya. Rambut yang indah. Tidak
keriting kecil-kecil seperti rambutku.
Rasanya lama sekali menunggu empat puluh lima menit berlalu.
Bel berbunyi. Sudah dapat ditebak, matematika dengan guru Bu
Munson pasti bakal mengacaukan hari-hariku di sekolah ini.
"Allison, trims ya," tukasku sambil bersiap-siap ke luar.
Ia berbalik dan tersenyum. Astaga, aku harus mendongak untuk
menatapnya. Tinggi sekali anak ini! Pas benar untuk gadis model
karena begitu tinggi dan cantik. Kebanyakan bintang film juga tinggi
dan cantik. Setidak-tidaknya lebih tinggi dari aku. Tinggiku barusekitar 160 senti dan aku masih percaya masih akan tumbuh terus.
Kedua orang tuaku jangkung-jangkung kok, jadi aku tak perlu
khawatir.
"Selanjutnya kamu ikut pelajaran apa?" tanyaku pada Allison.
"Sosiologi. Kamu?" sahutnya lembut.
Kuintip jadualku. "Kalau aku ? Oh! Praktek musik!" pekikku
tertahan. "Aku mesti buru-buru nih, klarinetku masih di loker!"
Sebetulnya main klarinet bukanlah hal yang amat kusukai. Tapi
setidaknya aku bisa tampil lewat permainan klarinet di acara
penyambutan murid baru nanti. Jadi pembawa bendera pasti lebih
menyenangkan. Biasanya kostum pembawa bendera asyik-asyik. Mini
yang keren.
Tahun lalu aku gagal jadi anggota tim pembawa bendera karena
harus ikut kedua orang tuaku berlibur. Tentu saja mereka tak akan
membatalkan rencana liburan hanya karena aku atau membiarkan aku


Girl Talk 01 Tahun Ajaran Baru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendirian di rumah. Perhatian semua orang pasti lebih tertuju pada
gadis-gadis pembawa bendera daripada pemain klarinet. Dan aku
berani taruhan, pasti banyak bintang film yang memulai karirnya
sebagai pembawa bendera.
Berdua kami menyusuri koridor sampai Allison berhenti di
persimpangan.
"Saya masuk ke kelas ini," ujarnya dengan nada seperti tadi,
lembut dan perlahan.
"Oke. Sampai ketemu ya!" Aku melambai dan berlari menuju
loker untuk mengambil klarinetku.BAGIAN DUA
Aku meluncur sepanjang koridor sekolah dan hampir saja
menabrak Katie Campbell. Gadis pirang cantik ini baru saja menutup
pintu loker-nya.
Loker kami, maksudku!
Waw, ternyata Katie dan aku memakai loker yang sama! Aku
senang. Aku sudah mengenal dia sejak kelas satu SD dan selama ini
aku selalu menyukai kepribadiannya. Sayang, sejak kelas satu hingga
kelas enam Katie begitu akrab dengan Erica Dunn, sehingga kami tak
sempat berkawan dekat. Kudengar Erica dan keluarganya pindah ke
California. Pasti Katie merasa kehilangan teman baik.
"Hai Katie," tegurku. "Loker kita samaan!" Sekarang
maklumlah aku kenapa lokernya begitu rapi dan teratur. Katie
memang tipe seperti itu. Selalu rapi dan teratur. Juga dalam
berpakaian.
Pagi ini ia mengenakan rok merah pastel berlipit-lipit halus dan
T-shirt pink Polo. Di kepalanya tersemat bando manis warna putih,
sewarna dengan kaus kaki dan sepatu tenisnya. Semuanya masih licin,
seperti baru disetrika!
Katie tersenyum kepadaku. Dia seperti bidadari kecil dengan
tatapan tajam. Matanya biru indah dan rambutnya pirang kemilau."Aku senang kau yang jadi teman selokerku," ujarnya.
"Tadinya aku takut?" Katie menghentikan ucapannya sejenak,
menatap lurus ke belakangku sehingga aku ikut berpaling.
Ada Stacy Hansen di sana!
Stacy adalah anak Pak Kepsek di sini. Hal itu membuatnya jadi
sok tahu dan merasa dirinya paling hebat. Anak-anak menjulukinya:
Si Hebat Stacy.
Stacy juga menganggap dirinya gadis tercantik di sekolah.
Rambut pirangnya sepanjang rambut Katie dan selalu dikibaskannya
dengan bangga. Pakaiannya selalu nge-trend dan bermerek. Seperti
rok mini hitam dan jaket pendek yang dikenakannya pagi ini.
Kudengar, dia juga jadi pemimpin barisan pembawa bendera di kelas
tujuh.
Sebetulnya dia tidak terlalu hebat-hebat amat. Tapi dia memang
cukup populer di antara cowok-cowok. Mungkin karena
keagresifannya dan anak kepala sekolah.
"Aku juga senang jadi teman se-lokermu," ujarku memutus
lamunan tentang Stacy. "Sori kalau barang-barangku berantakan,"
kataku malu-malu seraya membuka loker dan melihat barang-
barangku yang bertumpuk seperti kapal pecah. Tapi aku janji mau
merapikannya nanti.
"Hei, Young Chic edisi terbaru!" seruku kaget melihat sebuah
majalah di loker. "Kok kamu sudah dapet sih? Rasanya belum
beredar, deh?"
"Kebetulan kakakku langganan, jadi selalu dapat duluan
sebelum beredar," jawab Katie."Sudah baca ramalan bintangnya? Ramalan bintang Young
Chic selalu tepat," ujarku bersemangat.
"Belum," geleng Katie. "Aku nggak begitu percaya ramalan."
"Boleh pinjam sebentar?"
Katie mengambilkannya untukku. "Nih."
"Wow!" seruku kagum melihat sebuah artikel tentang gaya
hidup remaja Los Angeles, dan itu makin membuatku terdorong untuk
ke California. Kalau mau jadi bintang terkenal, hiduplah di California.
Di Los Angeles.
"Oh, Los Angeles ?" desisku mengkhayal.
"Ya, Erica dan keluarganya pindah ke sana," sambung Katie.
"Beverly Hills itu di Los Angeles apa bukan, sih?"
"Bukan dong," Aku menggeleng. "Beverly Hills beda dengan
Los Angeles. Bintang-bintang film besar tinggal di Beverly Hills."
"Pingin sekali aku nengok Erica. Mudah-mudahan liburan
depan deh," kata Katie lagi.
"Wah, asyik dong! Kalau jadi cerita-cerita ya?" komentarku
lalu mulai mencari-cari halaman ramalan bintang. "Apa bintangmu,
Katie?" tanyaku.
"Virgo."
"Virgo ? mmh ?" Aku cari urutannya. Salah satu tanteku juga
Virgo. Manusia Virgo adalah tipe orang yang lebih dikuasai oleh rasio
daripada perasaan. Persis seperti Katie yang kukenal. Otaknya
jempolan. Nilai mata pelajarannya rata-rata A. Perasaan sedih atau
perasaan tak enak lainnya tak mempengaruhi prestasinya.
"Nah, ini dia. Dengar ya, Bintang Mercury akan menimbulkan
beberapa kesulitan bulan ini. Tapi sabarlah. Ada hal-hal asyik buatmubila kau berhasil mengatur tiap aktivitasmu dan membiarkan segala
sesuatu berjalan sewajarnya. Apa pun bisa terjadi bila kau biarkan
terjadi. Hmm, cukup misterius," gumamku.
"Itu yang paling tidak kusukai dari ramalan bintang. Selalu
misterius. Tak ada kepastian," komentar Katie.
"Ya enggak begitu dong. Ramalan kan cuma memberi
gambaran tentang apa-apa yang mungkin terjadi di masa depanmu,"
kilahku.
Katie hanya menatapku dan mengangkat bahu.
"Sekarang giliran Pisces, bintangku. Pisces selalu penuh emosi.
Dua ikan berlawanan arah. Hm," Aku mendehem dan mulai membaca.
"Jangan biarkan saat-saat memalukan yang mengawali hari-harimu di
awal bulan ini menghentikan usahamu mendapatkan cowok idolamu.
Jika ia seorang Cancer, cobalah sedikit agresif. Ini saatmu! Tapi
waspadalah pada orang-orang yang akan mengacaukan usahamu!"
Aku teringat kejadian tadi pagi. "Saat yang memalukan? Cowok
idola?" gumamku perlahan.
"Nggak masuk akal," gumam Katie, tetap tidak mempercayai
ramalan.
Aku malah tambah mengkhayal. Cowok idola? Tom Cruise?
Ah. Sekalipun ia seorang Cancer aku toh tak mungkin bersikap
agresif. Menelpon dan mengajaknya kencan, misalnya, mana
mungkin?
"Jadi ?" tukas Katie memutus lamunanku.
"Oh, itu dia," nafasku tertahan melihat seseorang menghampiri
kami.
"Siapa?""Sst, jangan noleh dulu Katie," cegahku. "Cowok idolaku. Dia
lagi jalan ke sini."
Ya. Si Alec. Cowok imut-imut yang kusandung kakinya di
kelas delapan tadi. Dia yang menolong merapikan buku-bukuku dan
menyentuh lembut tanganku. Cowok ?titisan? Tom Cruise...!
"Sabrina....," desis Katie memutuskan lamunanku.
"Sst," kuletakkan telunjuk di bibirku. "Oh Katie, aku mesti
ngapain, nih? Ia menatapku! Aku mesti gimana? Katie tolong dong,
aku grogi nih!"
"Pertama, boleh nggak aku melihat ?cowok?-mu ini?" jawab
Katie.
"Lihatlah. Tapi jangan bicara keras-keras, nanti dia dengar. Aku
mesti nyapa dia, nggak?"
"Kurasa iya."
"Haaa? Lalu aku mesti ngomong apa? Katie, waktuku cuma
beberapa detik. Nanti dia keburu lewat!" desakku bingung.
"Bilang aja ?Hai, apa khabar?, gitu!" saran Katie.
Ya..., kenapa tadi-tadi aku nggak mikir begitu ya? Sungguh
aneh. Alec masih menatap ke arahku dengan sepasang mata hijaunya.
Duh, dia senyum! Tatapan kami bertemu sesaat sampai kudengar
suara nyaring dari arah belakangku.
"Hai Alec, aku di sini!"
Kuputar badanku ke asal suara itu.
Si Hebat Stacy!
Di sedang memamerkan senyum dengan gayanya yang khas:
satu tangan kirinya berkacak pinggang.Pada saat itulah baru aku sadar, tatapan mesra Alec bukan
tertuju padaku, tapi pada Stacy. Dan Alec melintas di depanku tanpa
menoleh sedikit pun.
Kenapa hidup begitu tidak adil padaku? Aku yang melihatnya
duluan, pagi tadi! Kenapa semua cowok keren selalu jadi milik Stacy
Hansen?
"Sabrina, jangan bengong dong!" Katie menepuk lenganku.
"Jangan takut. Aku yakin, begitu tahu siapa Stacy sebenarnya, dia
akan segera kabur. Lagian, siapa sih cowok itu? Kenal di mana
kamu?"
"Namanya Alec," bisikku perlahan tanpa mencoba menjelaskan
awal pertemuan yang memalukan pagi tadi. "Tapi cowok mana yang
nggak suka sama Stacy?"
"Kan kamu percaya sama ramalan bintang. Kalau Alec memang
cowok idamanmu, cobalah untuk sedikit agresif," saran Katie.
"Aku bukan tipe cewek seperti itu. Lagipula cowok nggak
begitu suka cewek agresif, kan? Tapi mungkin juga Alec suka tipe
agresif. Buktinya dia suka tuh sama Stacy."
Bel berdering dan anak-anak yang memenuhi koridor berlarian
ke kelas masing-masing.
"Pelajaran apa?" tanya Katie dan aku bersamaan. Kami tertawa
sejenak. Anehnya, beberapa detik berikutnya kami kembali berkata
bersamaan, "Praktek musik!"
Kami tergelak lagi.
Sam, saudara kembarku, melintas menghampiri kami.
"Hai Sabs," tegurnya.
"Nah, datang deh, pengacau," bisikku pada Katie."Pelajaran apa?" tanyanya pada kami berdua.
"Kita sama-sama ikut kelas musik," ujarku cepat.
"Boleh nggak aku, mh, bareng?" Sam menunjuk tas trombon
yang dijinjingnya. "Aku juga praktek musik."
Kami berjalan beriringan bertiga menuju ruang musik di lantai
satu. Setelah mendapat tempat masing-masing kulihat guru musik
sedang membagikan kertas partitur.
Kakak-kakakku banyak bercerita tentang pak guru musik ini.
Namanya Pak Metcalf. Beliau punya kelompok band sendiri.
Setahuku, beliaulah satu-satunya guru di sekolah kami yang mengerti
musik anak muda.
"Selamat datang di kelas musik," kata Pak Metcalf setelah
meminta kelas tenang. "Hal pertama yang akan kita lakukan adalah
bersiap-siap untuk parade penyambutan murid baru beberapa minggu
lagi. Kalau di antara kalian ada pembawa bendera, silakan mendaftar
ke meja saya lebih dulu," lanjut Pak Metcalf. "Yang lain, silakan
memperhatikan kertas partitur."
Kulihat Katie bangkit dan melenggang ke meja guru untuk
mendaftar. Sudah kuduga dari penampilannya, dia pasti anggota
pasukan pembawa bendera.
Seketika aku melihat ke arah Sam. Cowok bandel itu tengah
menatap Katie tanpa berkedip. Wah, jangan-jangan si Sam naksir
Katie! Hubungan cinta antara sahabat dan saudara biasanya selalu
dihindari orang. Tapi rasanya buatku nggak ada masalah. Kalau
mereka saling menyukai, kenapa? Apa urusanku? Kucoba untuk
menghilangkan dugaan yang cukup mengusik tersebut.BAGIAN TIGA
"Sampai ketemu di kelas ya!" seruku pada Katie.
"Mau ke mana?"
"Kamar mandi dulu!" sahutku tergesa. Pelajaran berikut adalah
Bahasa Inggris. Begitu yang ada dalam jadwalku dan jadwal Katie.
Berarti kelas kami sama. Di sini jadwal pelajaran tiap murid memang
berbeda, tapi juga dibagi dalam kelompok-kelompok ?kelas?. Selain
teman se-loker, Katie juga teman sekelasku.
Pelajaran musik baru saja usai. Aku begitu terburu-buru sampai
pintu kamar mandi kuhempaskan dengan keras. Masuk pun tergopoh-
gopoh.
Tanpa kukehendaki aku bertabrakan dengan seorang cewek
berpenampilan ?aneh?. Ia menatapku tajam, agaknya marah. Padahal
rasanya ini bukan cuma kesalahanku. Kami sama-sama tak
memperhatikan jalan.
... "Ups, sori," tukasku. "Saya kira tidak ada orang."
"Lain kali hati-hati kalo jalan! Emangnya picek!" makinya
sambil keluar.
Ck, ck, ck. Bukan cuma penampilannya yang aneh, tapi
sikapnya juga aneh bin ajaib. Kurasa tabrakan adalah hal yang biasa,
jadi nggak perlu melotot dan galak kayak gitu, dong!Bukan cuma itu. Coba lihat pakaiannya. Jaket jeans hitam
ekstra kombor, t-shirt bergambar pohon palem, dancelana jeans yang
sobek-sobek di bagian bawah dan lututnya. Sepatu kets-nya dibiarkan
tak bertali! Rasanya aku pernah lihat gaya pakaian seperti itu, entah di
mana.
Keluar dari kamar kecil kusempatkan bercermin dan memoles
dandananku yang mulai tipis. Aku tersenyum puas melihat warna
mataku yang nampak lebih cerah. Kadang-kadang pancaran bola mata
memang mengikuti mood. Kujilat bibirku. Kering. Berarti harus
segera dioles lip gloss lagi. Lip gloss membuat bibir lembab, tidak
kering dan pecah-pecah, harum lagi. Apalagi dengan aroma mawar
seperti milikku. Hmmm ... sedap.
Kuperiksa juga tulang pipiku. Tulang pipi bintang film harus
bagus. Tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu cekung, khayalku
mengingat cita-citaku.
Tiba-tiba aku ingat, di mana pernah kulihat penampilan urakan
macam cewek galak tadi....
Di majalah!
Ya. Di salah satu artikel tentang gaya anak muda New York.
Mungkin anak tadi pindahan dari New York. Pasti asyik kenalan sama
dia. Aku belum pernah punya teman dari kota sebesar New York.
Lewat cermin kuperhatikan pakaianku. Sama sekali bukan
dandanan ala New York, tapi aku amat menyukainya. Ini gaun
pertama yang kubeli dan kupilih sendiri. Gaun kuning dengan bunga-
bunga ungu berdaun hijau cerah di sekelilingnya. Terdiri dari blus dan
rok sehingga aku bebas mengkombinasikannya dengan jeans ataupakaian lain secara terpisah. Rasanya anggun, sebab gadis lain
umumnya memakai celana panjang.
Bel berdering lagi. Segera kucari kelasku.
"Hai," seruku sambil duduk di kursi kosong di sebelah Katie
yang nampaknya memang disediakan Katie untukku. "Udah mulai?"
"Belum," geleng Katie. "Hei, aku baru sadar kalau rambutmu
ternyata bagus banget! Diapain sih?"
"Maksudmu?" aku balas bertanya seraya merapikan rambutku
dengan jari-jari tangan.
"Kelihatan megar. Kau beruntung rambutmu keriting, nggak
lurus dan kempis seperti rambutku," puji Katie.
"Masa? Rambut keriting kan paling susah diatur. Mungkin
menurutmu bagus tapi nyisirnya butuh waktu lama dan kesabaran
ekstra," kilahku sungguh-sungguh.
Guru masuk ke kelas.
"Saya Bu Staats," ujar beliau tepat setelah bel kedua berbunyi.
"Saya mengajar bahasa Inggris, sekaligus wali kelas kalian selama
tahun ajaran ini. Bila saya panggil nama kalian, harap maju dan atur
tempat duduk sesuai urutan absensi, serta ceritakan apa yang kalian
lakukan selama liburan kemarin."
Liburan kemarin? Apa yang harus kuceritakan?
"Winslow Barton," Bu Staats mulai memanggil.
"Hadir," sahut Winslow. Ia tak perlu pindah tempat duduk


Girl Talk 01 Tahun Ajaran Baru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena memang sudah berada di deretan terdepan.
"Apa yang kau lakukan selama liburan?""Saya membuat program permainan dengan komputer yang
saya beri nama Zap. Permainannya asyik lho. Sekali main pasti nggak
bisa berhenti."
Winslow adalah tipe anak kutu buku yang aneh. Aku tahu dia
anak jenius dan daya ingatnya luar biasa. Tapi selebihnya dia sama
sekali tidak normal. Tidak seperti kebanyakan anak-anak lainnya.
Celana panjangnya selalu kependekan dari ukuran kakinya dan kaca
matanya super tebal. Buatku, dia kelihatan seperti sejenis serangga.
Hi..hi..hi....
"Katerine Campbell," lanjut Bu Staats.
Katie bangkit lantas pindah ke sebelah Winslow.
"Kami sekeluarga mengunjungi keluarga paman dan bibi di
Kanada," ujar Katie.
"Allison Cloud."
Kasihan. Allison harus duduk di deretan paling depan! Pasti dia
akan kikuk karena badannya yang jangkung akan menutupi pandangan
anak-anak lain di belakangnya. Setelah duduk Allison
menggumamkan beberapa kata, tapi lirih sekali.
"Bisa lebih keras lagi, Allison?" kata Bu Staats.
"Saya suka sekali membaca. Sepanjang liburan yang lalu saya
membaca lebih dari seratus buku," Allison mengeraskan suaranya.
Seratus buku!?
Luar biasa! Aku sendiri hanya membaca kira-kira lima buah
buku. Selebihnya hanya majalah-majalah.
Setelah beberapa anak lainnya, akhirnya tiba juga giliranku.
"Sabrina Wells.""Hadir." Aku bangkit dan pindah ketempat duduk yang baru
sambil mempraktekkan cara berjalan ala peragawati yang kupelajari
selama liburan. Latihan berjalan lurus. Caranya, pinggang dan bahu
tegak. Sebuah buku diletakkan di atas kepala dan tidak boleh jatuh.
Itulah cara untuk menghasilkan langkah yang gemulai dan teratur.
"Saya ikut perkemahan remaja. Banyak hal menyenangkan
yang saya temukan," jawabku.
Boleh jadi berkemah bukanlah sesuatu yang istimewa bagi anak
lain. Tapi yang jelas aku menikmatinya.
"Rowena Zack," panggil Bu Staats.
Tak ada jawaban.
"Rowena Zack!" ulang Bu Staats lebih keras dan mulai menatap
sekeliling ruangan.
"Siapa yang bernama Rowena Zack?"
Tak ada yang menyahut. Entah siapa itu Rowena Zack.
Tiba-tiba pintu kelas terbuka dan seorang gadis masuk dengan
santai.
Si cewek New York itu!
"Rowena Zack?" tanya Bu Staats.
"Jangan panggil saya Rowena," tukas gadis itu kalem. "Nama
saya Randy."
Bu Staats kelihatan tidak begitu senang dengan sikap Randy.
"Baiklah Randy, silakan duduk di deretan terakhir sesuai urutan
absensi."
Randy duduk setengah membanting diri di kursi sebelahku.
"Nah, sekarang ceritakan pengalaman liburanmu Randy."
"Pengalaman? Maksudnya?""Misalnya darimana asal sekolahmu dan apa yang kau kerjakan
selama liburan musim panas kemarin," Bu Staats mencoba bersabar.
"Oh. Saya berasal dari kota besar," ujar Randy agak lantang tapi
bernada acuh tak acuh.
"Kota besar? Kota besar mana?"
"New York City."
Nah! Jadi tebakanku tidak meleset. Aku tahu dia pasti dari New
York. Gaya dan kelakuannya yang ?minta ampun? itu sudah menjadi
pertanda yangjelas.
Bu Staats menghela napas dan memutuskan untuk segera
memulai pelajaran sebelum Randy benar-benar membuatnya jengkel.
"Yang akan kita pelajari awal semester ini adalah sinonim dan
antonim. Persamaan kata dan lawan kata," Bu Staats menjelaskan.
Ini memang pelajaran kesukaanku.
Sementara murid-murid lain tenang mencatat dan menyimak,
tiba-tiba telingaku menangkap suara halus. Mirip dentuman drum.
Asalnya dari arah Randy. Kutatap Randy dan sesaat aku mengagumi
potongan rambutnya yang begitu moderen. Nge-punk. Lain dari yang
lain.
Randy tak acuh sambil terus mendengarkan Walkman-nya. Aku
ternganga. Di mana pun tak ada aturannya murid di kelas
mendengarkan Walkman musik selama jam pelajaran. Tapi Randy
nampaknya cuek saja. Seolah tak pernah tahu ada aturan semacam itu.
"Rand!" desisku.
Randy tak bereaksi. Tangannya terus bergerak-gerak perlahan
mengikuti irama musik.
"Randy," kukeraskan suaraku."Kalian yang di pojok sana! Ada apa?" ternyata Bu Staats
mendengar suaraku. Beliau menghampiri tempat duduk kami.
Celakanya Randy tetap dengan santainya mendengarkan musik dari
head phone Walkman-nya.
"Randy! Lepaskan headphone-mu!"
Randy berhenti bergoyang dan menatap seolah heran. Tapi
dilepasnya juga head phone dan dimatikannya pula musik yang
sedang ia dengarkan.
"Ada apa?" tanyanya bernada menantang.
"Ada apa!?!" Bu Staats seolah kaget mendengar pertanyaan
macam itu dari murid barunya. "Tidak apa-apa kalau kau sedang di
jalanan. Tapi sekarang kau sedang di kelas dan tentu saja, ya, kau
salah!"
Wow. Randy Zack satu ini betul-betul unik, gumamku antara
heran dan kagum.
Untunglah, ketegangan itu agak mencair dan tak jadi memuncak
waktu terdengar suara interkom. Di tiap kelas memang dipasang
interkom sehingga Pak Kepsek bisa mengumumkan sesuatu cukup
dari kantornya ke setiap kelas. Terdengar suara Pak Hansen, Kepsek
kami, ayah Stacy.
"Selamat datang di Bradley. Senang sekali melihat hanyak
wajah-wajah baru. Pasti kalian akan mengalami tahun yang
menyenangkan di sini. Pesta penyambutan murid baru akan diadakan
kira-kira enam minggu lagi. Dan itu adalah kesempatan baik untuk
kalian menunjukkan semangat sebagai murid baru."
Setelah pesan Pak Hansen selesai, Bu Staats segera
menyambung dengan pembicaraan tentang pesta penyambutan itu."O ya, kelas kita juga mendapat tugas kepanitiaan dalam acara
dansa menyambut tahun ajaran baru mendatang. Karena kalian belum
saling mengenal secara akrab, maka sudah ibu bagi dalam kelompok-
kelompok seksi. Kelompok pertama, seksi dekorasi ruangan, yaitu
Katherine, Allison, Sabrina dan Randy Zack. Sabrina, saya minta
kamu jadi penanggungjawabnya."
Penanggung jawab? Ketua seksi dekorasi ruangan? Asyikjuga
nih! Seumur hidup aku belum pernah ditunjuk atau dipilih untuk
memimpin apa pun. Agaknya aku harus kerja keras! Antara senang
dan tegang, kuterima keputusan Bu Staats.BAGIAN EMPAT
Kami ? maksudku Aku dan Katie ? menyimpan barang-
barang di loker dan bersama-sama ke kantin.
"Mau pizza?" tanya Katie sambil meletakkan sepotong kue tart
coklat di samping piring pizza-nya. Hmh. Begitu memancing selera!
Aku teringat kue tart coklat istimewa buatan ibuku. Memang, harus
kuakui, makanan yang tersedia di kantin sini lebih bervariasi daripada
di kantin sekolahku dulu.
"Pizza?" ulang Katie melihatku melamun menekuri kue
coklatnya.
"Oh, enggak," gelengku. "Senin adalah hari diitku. Aku cuma
makan buah-buahan. Program diit Pulau Zuma. Pernah dengar?"
kilahku.
Katie menggeleng dengan dahi berkerut.
Di deretan terakhir terdapat sekeranjang buah-buahan. Sesaat
aku ragu. Apel, jeruk, mangga atau anggur atau apa? Agaknya tak ada
yang dapat menandingi kelezatan pizza. Ya, pizza adalah makanan
kesukaanku selain tart coklat, pikirku sambil melirik pizza milik
Katie.Akhirnya kuputuskan untuk mengambil apel dan pisang. Juga
sedikit anggur. Buah-buahan baik untuk kesehatan kulit dan tidak
membuat tubuh gemuk kelebihan lemak.
"Duduk di mana kita?" tanya Katie sambil mencari tempat
kosong. Hampir semua tempat telah terisi. Ada beberapa anak yang
kukenal, tapi percuma saja, tak ada sisa tempat duduk untuk kami
berdua.
"Di situ aja yuk?" Katie menunjuk sebuah meja. "Kalau
kelamaan nanti kita nggak sempet makan lho."
"Oke. Hei, itu Allison!" seruku riang saat melihat meja Allison
masih kosong. "Kita gabung ke sana aja yuk."
Kucoba untuk melangkah dengan gaya peragawati yang
kupelajari, tapi ternyata cukup sulit dengan baki berisi makanan di
tangan dan tas kecil melintang di bahu.
Setelah meletakkan nampan ke atas meja dan duduk, aku mulai
membuka percakapan tentang rencana dekorasi ruangan pesta yang
menjadi tanggung jawabku. Aku sungguh merasa canggung dan
tegang dengan beban sebagai ketua seksi. Kucoba mengucapkan
kalimat setenang mungkin.
"Kira-kira kita dekor seperti apa ya?" tanyaku pada Allison.
Belum sempat Allison menjawab, kulihat sosok yang
menjengkelkan sedang berjalan ke meja kami.
"Aduh, harus gimana kita nih?" ujarku cemas melihat Stacy
menghampiri kami dengan gerombolan pengacaunya.
"Gimana apanya?" Katie masih belum menyadari apa yang
terjadi.Ketika aku tak menjawab, barulah Katie dan Allison menoleh.
Stacy dengan gayanya yang centil dan suara nyaring yang dibuat-buat
mulai beraksi.
"Alec, Alec!" serunya. "Cari tempat duduk dong!"
Segera kubalikkan tubuhku ke arah yang dituju Stacy. Sesaat
tatapanku dan Alec bertemu. Rupanya Alec sudah duduk di sisiku.
"Sori ya, ini meja kami." Tanpa basa basi dan dengan
seenaknya Stacy meletakkan nampan berisi makan siangnya ke atas
meja kami.
Aku berdiri dengan jengkel.
"Siapa bilang ini mejamu?"
Tiba-tiba aku merasa menjadi begitu pendek saat berhadapan
dengan Stacy. Apa yang terjadi? Demikian pesatkah pertumbuhan
badan Stacy? Atau ada sebab lain...?
Ya ampun! Dia memakai sepatu hak tinggi. Sepatu hak tinggi di
kelas tujuh? Ibu sama sekali belum mengijinkan aku mengenakan
sepatu tumit tinggi. Tapi itulah Stacy, dia selalu ingin lebih dulu
daripada yang lain.
"Kubilang, ini mejaku. Jadi lebih baik kalian segera
menyingkir. Pindah!" perintah Stacy ketus.
"Enak aja. Kamu aja yang pindah," balasku mencoba galak. Dia
pikir dirinya siapa? Pemilik meja ini?
"Ini tempat dudukku! Ngerti nggak sih?"
"O ya? Kamu pikir...," aku mulai ragu-ragu untuk melanjutkan
omelanku saat menyadari beberapa pasang mata mulai tertuju pada
keributan kecil antara aku dan Stacy. Termasuk Alec.Katie mulai gelisah. Kulitnya yang putih semakin pucat.
Sementara Allison bersiap-siap pindah dari kursinya. Mereka hanya
berani melirik sedikit ke arah Stacy. Siapa sih yang mau cari gara-gara
dan ribut dengan anak kepala sekolah? Tapi aku nggak mau
dipermalukan seperti ini, terutama di depan Alec. Akan kutunjukkan
siapa diriku.
"Memangnya....," kalimatku terpotong lagi. Ya Ampun! Aku
mesti ngomong apa nih?! Aku tak bisa melanjutkan kalimatku.
"...Memangnya kamu ini siapa, heh?!" akhirnya kudapat juga kata-
kata.
"Wah, wah, wah!" Stacy berdecak meledek. "Darimana kau
dapat kata-kata seperti itu, heh? Pelajaran kelas satu?"
"Wah, wah, wah!" Eva dan Laurel, dua sahabat Stacy ikut
mendekati meja kami dan mengikuti ucapan Stacy, boss mereka. Sam
dan Nick, sahabat si Sam, menjuluki Eva si hiu karena giginya
memakai kawat. Menurutku Eva lebih mirip tikus. Rambutnya coklat
seperti juga matanya. Coklat buram! Laurel jauh berbeda. Ia cukup
manis dengan rambut coklat muda yang berkilau dan mata biru yang
jernih. Laurel juga tinggi langsing.
Di belakang mereka, masih ada B.Z. Gadis bertubuh besar itu
tak jarang sekali berbicara, apalagi ngobrol. Ia nampaknya lebih suka
bertindak daripada bicara. Dari raut wajahnya kelihatan ia tidak
menyukai keributan ini.
"Hhh,.... Yuk kita pindah aja," aku berdiri mengajak Allison
dan Katie. "Tiba-tiba selera makanku hilang."
Bertiga kami pindah ke meja lain. Dan entah dari mana
datangnya, tiba-tiba Randy muncul. Baru saja aku maumemanggilnya, Randy sudah melintas di depanku dengan begitu cepat
ke arah Stacy. Dan...
Braak!
Entah disengaja entah tidak, Randy menabrak Stacy dan...
seluruh isi nampan tumpah mengotori pakaian Stacy! Stacy
membelalak. Dia pasti marah dan malu sekali.
"Pakaianku! Lihat apa yang kau lakukan pada pakaianku! Kau
merusak bajuku!" pekiknya panik.
Semua yang ada di kantin tertawa melihat kejadian itu.
Aku betul-betul sukar mempercayai adegan yang baru saja
teijadi. Dalam sekejap mata, Stacy yang begitu anggun dengan gaun
mahal yang cantik berubah menjadi kotor seperti habis kecebur di
comberan. Kalau aku jadi Stacy pasti aku sudah lari pulang menahan
malu. Diam-diam aku merasa agak kasihan padanya.
"Sori," Randy tersenyum kecil lantas meraih serbet dari atas
meja. "Sini kubersihkan...."
"Jangan sentuh aku!" jerit Stacy marah campur malu.
"Brengsek! Akan kuadukan pada ayahku! Tahu rasa!" Stacy lantas
berbalik dan berlari meninggalkan kantin. Entah ke mana. Mungkin
mengadu pada ayahnya, Kepala Sekolah kami.
"Yaaah, cuma kecelakaan kecil yang tak disengaja," ujar Randy
tenang. Lantas mulai menikmati makan siangnya, duduk di tempat
Stacy. Segera aku, Katie dan Allison kembali ke meja semula dan
duduk di sebelah Randy.
"Makasih ya Randy. Kamu hebat!" kataku seraya menggigit
apel dengan rasa puas."Yah. Gayanya memang bisa bikin orang takut. Sebenarnya
kenapa sih dia? Iseng amat mengganggu orang makan."
Aku mengangkat bahu. "Aku tak tahu. Yang jelas ia tidak
menyukaiku sejak dulu."
"Ah. Barangkali dia iri sama kamu, Sabs," tukas Katie.
"Iri? Nggak salah tuh? Mestinya aku yang iri," aku terperanjat
mendengar komentar Katie. "Yang bener aja! Dia begitu cantik. Di
kalangan cowok-cowok sangat populer, lagi."
"Aku serius kok," sambung Katie. "Kamu punya banyak teman.
Bahkan anak-anak kelas yang lebih tinggi juga mengenalmu."
"Ah, itu kan normal. Bayangkan saja, aku punya empat kakak.
Tentu saja teman-teman kakakku mengenalku," bantahku.
"Ya. Tapi mereka semua bukan cuma mengenalmu. Mereka
menyukaimu. Stacy takut kau menyaingi dia. Dia nggak pingin kau
punya teman jauh lebih banyak daripada temannya," Katie
menjelaskan komentarnya tadi.
"Lagipula siapa sih yang mau berteman dengan orang macam
dia?" sela Randy kalem. Ia telah menyelesaikan makan siangnya dan


Girl Talk 01 Tahun Ajaran Baru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghabiskan sisa susu dingin dalam gelasnya. "Oke, sampai
ketemu," lambainya sambil berlalu tanpa pesan.
Aku, Katie dan Allison bertukar pandang melihat sikap Randy.
Randy Zack benar-benar sebuah karakter unik yang sukar ditebak ke
mana arahnya dan apa maunya.BAGIAN LIMA
Jam pelajaran ke delapan alias jam pelajaran terakhir adalah
praktikum Biologi. Kulirik Winslow yang masih asyik dengan
mikroskop di sebelahku. Ia kelihatan begitu asyik sementara aku
begitu resah menanti jam pelajaran ini berakhir. Tinggal 10 menit lagi.
Untunglah.
"Giliranmu," ujar Winslow sambil menggeser mikroskop ke
arahku.
Aku agak bersyukur menjadi pasangan praktikum Winslow.
Harus kuakui, Biologi ? apalagi yang pakai praktikum-praktikum
adalah bidangnya. Tiap tahun Winslow selalu memenangkan lomba
penelitian ilmiah dalam bidang ini.
"Kamu terusin aja. Kelihatannya kamu lagi asyik, nggak enak
kan kalau sampai terganggu. Enggak usah terlalu memikirkan aku
deh," ujarku berdiplomasi.
"Oh, aku sudah selesai," sahut Winslow lugu. Wajahnya benar-
benar membuatku teringat pada sejenis serangga. Nyamuk atau
apalah....
"Oke deh," kuhela nafas. Kututup mata kiriku sementara mata
kanan kubuka lebar-lebar. Lalu aku mengintip lewat mikroskopdengan rasa malas dan enggan. Kuputar tombol di sebelah kanan
untuk memperjelas gambar dan....
"Aaaahh...!" aku berteriak kaget sambil melompat menjauhi
mikroskop.
"Sabrina? Ada apa?" Bu Miller, guru Biologi kami, mendekat.
Tubuhnya kurus. Beliau selalu mengenakan rok berlipit panjang dan
blus lengan panjang yang kesannya kaku dan formil.
"A...ada serangga...masih hidup. Cukup besar. Apakah tidak
berbahaya?" aku tergagap.
"Itu kan nyamuk...," desis Winslow perlahan dan agak heran
melihat reaksiku. Tapi nyamuk yang biasanya kecil, kelihatan seperti
raksasa dalam mikroskop.
Seisi ruangan menatap ke arahku. Aku betul-betul merasa
tersiksa sepanjang menit-menit terakhir ini. Waktu seolah-olah
berjalan lebih perlahan di jam-jam pelajaran terakhir. Terutama jika
pelajarannya membosankan seperti ini.
Akhirnya bel berdering juga. Ufff!
Semua murid merapikan perkakasnya. Kulambaikan tangan
pada Winslow dan berjalan tergesa meninggalkan kelas praktikum.
Aku ingin menjumpai Katie sebelum sekolah bubar. Barangkali aku
bisa minta nasihatnya tentang Alec.
Kuturuni tangga menuju lantai dua secepat mungkin. Tapi tetap
saja terasa lambat sebab koridor sekolah begitu penuh sesak oleh
murid-murid yang bubar. Kulihat Katie tengah mengunci loker.
"Katie, pulang bareng yuk?" ajakku.
"Yuk," Katie menyelipkan buku Sosiologinya ke dalam tas."Hei,...itu Allison," Katie menunjuk ke satu arah, "barangkali
dia mau pulang bareng juga?"
Kumasukkan buku-bukuku ke dalam loker dan kubanting
pintunya hingga tertutup.
Susah payah aku dan Katie menembus kerumunan murid-murid.
Aku tak dapat menduga dengan tepat berapa jumlah murid di Bradley
ini. Tapi kira-kira satu ton lebih banyak daripada di sekolahku dulu.
Aku menyapa beberapa anak yang kukenal saat berpapasan secara
kebetulan.teenlitlawas.blogspot.com
"Al," tegurku.
"Oh...hai...," seperti biasa suara Allison perlahan dan lembut.
Ia kelihatan terkejut melihat kehadiranku dan Katie. Barangkali
Allison heran ada orang yang mau mengajaknya bicara. Biasanya,
anak-anak lain enggan menyapa Allison yang begitu pendiam dan
senang menyendiri.
"Aku sama Katie mau pulang bareng. Apa kau mau juga...."
"Hei Sabrina!" Tiba-tiba terdengar suara yang amat kukenal.
Suara nyaring milik Stacy Hansen memotong kalimatku pada Allison.
"Dicari-cari nggak tahunya ada di sini."
"Yeah...," sambung Eva dan Laurel. Mereka memang selalu
setuju dan menjadi bayang-bayang Stacy. Sedangkan B.Z. seperti
biasanya cuma mengikuti tanpa berkata-kata. Berempat mereka
mengelilingiku seperti hendak mengepung.
Olala. Ini pasti kelanjutan dari keributan kecil di kantin siang
tadi, pikirku. Si hebat Stacy pasti bakal terus menterorku sepanjang
tahun ajaran ini.
"Sabrina, ada yang ingin kubacakan untukmu."Stacy melambatkan suaranya, sementara ketiga temannya
menatapku sambil menahan senyum ejekan. Kupegang tali tasku erat-
erat untuk menahan diri. Aku mulai dapat membaca situasi. Pasti
sesuatu yang buruk akan menimpaku, entah apa, yang jelas pasti
bukan hal yang menyenangkan.
Stacy mendehem dan menyibakkan rambut pirangnya. Aku
benci melihat gerakannya. Kulihat Allison dan Katie menatapku tak
berdaya.
"September, 1989 ? program pengembangan dan perbaikan
diri," Stacy mulai membaca.
Oh Tidak! Itu kan notes kecilku!
Sekilas kulihat kuku-kuku cantik berlapis cat kuku merah
menyala milik Stacy. Memelihara kuku dan tidak menggigit-gigit
kuku ada di urutan ke lima dalam daftar perbaikan diriku.
Buku kecil itu berisi catatan-catatanku yang paling pribadi. Apa
yang akan diperbuat Stacy terhadapku dengan buku kecil di
tangannya? Ini tidak boleh terjadi. Lututku jadi lemas. Rasanya aku
ingin membenamkan diri ke dalam lantai. Stacy melanjutkan ?acara?-
nya. "Nomer satu ? tepat waktu."
Eva dan Laurel tertawa cekikikan. Juga beberapa anak lain yang
ikut melihat kejadian ini. Stacy sukses menarik perhatian hampir seisi
koridor sekolah. Entah apa yang dilakukan Katie dan Allison. Rasanya
aku ingin melenyapkan diri seandainya aku tukang sulap.
"Nomer dua ? tenang," lanjut Stacy dengan suara nyaringnya.
"Orang yang tenang akan lebih dipercaya daripada orang yang selalu
terburu-buru dan gugup."Kudengar sambutan tawa makin riuh. Pasti ratusan orang
mentertawakanku. Kurasakan pipiku dan seluruh tubuhku mulai
menghangat serta memerah menahan malu. Kenapa Stacy tega
melakukan hal ini padaku? Kucoba memberanikan diri
menengadahkan kepala, dan kulihat Alec juga ikut menyaksikan
kejadian yang memalukan ini. Sementara Stacy melanjutkan terus
?acara?- nya, tanpa perasaan.
"Nomor enam ? hati yang sensitif. Kamu? Sensitif? Yang
bener aja?"
Belum sempat Stacy melanjutkan ke nomor berikut, tiba-tiba
dan lagi-lagi Randy muncul. Entah dari arah mana. Dirampasnya
notes kecil warna pink milikku dari tangan Stacy, dan secepat itu pula
dilemparkannya padaku. Hap! Segera kutangkap dan kupegang erat-
erat.
Hanya beberapa detik saja kejadian perebutan itu terjadi. Randy
lantas berlalu dengan tangan dalam saku.
Stacy ternganga tanpa bisa berbuat apa-apa. Kejadiannya begitu
cepat dan mengejutkan.
"Peraturan sekolah nomer empat belas, dilarang mengusik milik
orang lain untuk memancing keributan!" tukas Allison tegas. Seluruh
mata berpindah dari Stacy ke Allison.
"Yuk Sabrina...," Katie mengajakku berlalu sambil merangkul
bahuku untuk sedikit menenangkan perasaanku yang kacau balau.
Aku berjalan tertunduk menatap lurus ke kakiku. Aku tak
percaya. Aku baru saja dipermalukan. Ini adalah bagian terburuk
daripada yang pernah kubayangkan. Dan sialnya, Alec ikut
menyaksikan adegan penghinaan tadi. Seluruhnya!"Tenanglah, semua akan beres dan normal lagi," hibur katie
lagi.
Aku diam, mengunci mulut dan memilih untuk tak
mengucapkan sepatah kata pun. Aku yakin, jika aku menjawab, air
mataku pasti tumpah. Kugigit bibirku sekuat tenaga menahan tangis.
Allison dan Katie menggenggam tanganku erat-erat. Agaknya hari-
hariku di kelas tujuh Bradley Junior High School tak akan semudah
dan selancar yang kubayangkan.BAGIAN ENAM
Jum?at siang.
Tak terasa hampir seminggu sudah kujalani hari-hari di kelas
tujuh. Katie dan Allison hari ini ikut pulang ke rumah untuk
membicarakan dekorasi pesta penyambutan yang menjadi tanggung
jawab kami. Rapat pertama.
Randy sebenarnya kuajak juga, tapi katanya dia harus ketemu
seseorang siang ini. Ngomong dengan Randy kini terasa lebih mudah.
Dia memang unik dan lain dari anak-anak yang lain. Tapi tak seaneh
yang kubayangkan.
Kami masuk beriringan ke ruang tamu. Cinnamon, salah satu
anjingku, menyambut dengan gonggongannya.
"Hei...awas, nanti kaus kakiku robek!" teriakku mengusir
Cinnamon.
Cinnamon adalah keturunan anjing gembala Jerman dengan
kebiasaan jelek: melompat-lompat seperti mau memeluk tiap orang
yang baru masuk rumah. Seolah-olah tidak sadar bahwa ukuran
badannya yang ?raksasa? itu mampu merobohkan orang yang
dipeluknya.
Sekarang tampaknya dia sedang mencoba berakrab ria dengan
Katie. Kupikir tipe seperti Katie bukan tipe penyayang binatang. Katiepasti jengkel karena pakaiannya yang rapi jadi berantakan akibat ulah
Cinnamon.
"Duduk!" perintah Katie, menghentikan lompatan-lompatan
Cinnamon.
Cinnamon duduk!
Aku benar-benar terkejut. Cinnamon belum pernah patuh pada
siapa pun. Apalagi orang yang baru dikenalnya. Kemudian Katie
mengelus-elus kepala Cinnamon. Anjing itu tambah menurut.
"Anjing yang manis," gumam Katie.
"Kok bisa sih, Katie? Cinnamon belum pernah lho sepatuh ini
padaku. Cuma Sam yang bisa memerintahnya. Sebab Cinnamon
memang punya si Sam. Tapi kau...."
Katie tersenyum tersipu.
"Sebetulnya aku suka sama binatang. Apalagi anjing. Tapi
Ibuku tak pernah mengijinkanku memeliharanya. Apalagi kakakku,
Emily. Mereka pikir anjing cuma bikin repot dan bikin rumah
berantakan."
Kami naik ke kamarku, di atas. Kamarku terletak tepat di bawah
langit-langit rumah. Bentuknya betul-betul artistik. Segi enam atau
segi berapa. Entahlah. Inilah enaknya jadi anak perempuan satu-
satunya di dalam keluarga. Aku memiliki kamar sendiri. Sementara
kakak-kakakku harus menempati kamar berdua. Dinding kamarku
penuh dengan poster bintang-bintang idolaku. Pokoknya kamarku
antik sekali, dan menurutku tak ada duanya.
"Wah...asyik juga ya kamarmu....!" seru Katie kagum.
"Ya, kamarmu kelihatan keren deh sabrina," timpal Allison
seraya menempati kursi kecil di sudut kamar."Masa sih?"
Aku tersenyum sedikit bangga. Ya, kadang aku pun mengagumi
kamarku. Lihat, semua perabotan di sini umurnya sudah tua sekali.
Aku memilikinya sejak umur tujuh tahun. Tapi hingga kini, usiaku
duabelas tahun, tetap kelihatan bagus dan antik. Hampir lima tahun
lebih. Bukan tidak mungkin barang-barang ini akan tetap awet dan
bisa terus kupakai sampai masuk ke universitas nanti!
Kubuka sepatuku dan naik ke tempat tidur. Berbaring santai.
Tepat di atas ada poster Tom Cruise yang seolah menatapku dengan
mata hijaunya yang teduh.
Sekonyong-konyong ingatanku melayang pada Alec. Ya, Alec,
Stacy, dan kejadian memalukan dengan notes kecilku tempo hari di
koridor sekolah. Hari pertama yang jadi mimpi burukku.
"Hmm...seandainya aku bisa pergi ke pesta penyambutan murid
baru dengan Alec...pasti...," desisku separuh mengkhayal.
"Kenapa nggak? Kau coba ajak saja dia langsung?" sambut
Katie. Dia memang selalu punya
ide yang spontan dan logis.
"Kan aku udah bilang, cowok nggak suka cewek yang terlalu
agresif," kataku.
"Tapi Stacy kan juga agresif," bantah Allison.
"Ya. Yang kita perlukan adalah rencana. Rencana untuk
membuyarkan perhatian Alec dari Stacy dan beralih padamu," Katie
membungkuk memeriksa tumpukan majalah di lantai. Majalah-
majalah lama yang tak pernah kubuang. Jumlahnya cukup banyak. Di
dalamnya berisi gambar-gambar artis pujaanku. Itu sebabnya selalu
kusimpan agar bisa kulihat sewaktu-waktu."Rencana? Rencana apa? Kupikir Alec terlanjur menganggapku
cewek yang aneh setelah kejadian memalukan itu."
"Nggak mungkin. Pasti Alec sudah melupakan kejadian itu. Itu
kan sudah lima hari yang lalu," bantah Katie.
Aku terdiam. Benarkah apa yang dikatakan Katie? Atau ia
hanya ingin menyenangkan hatiku saja?
Allison membuka-buka halaman majalah.
"Hei, ada kuis yang cocok buatmu Sabrina," serunya tiba-tiba.
Diperlihatkannya majalah padaku. Majalah remaja edisi September
yang dipinjamkan Katie padaku.
"Cinta terpendam? Isilah kuis ini untuk memastikan apakah
cowok yang membuatmu tergila-gila itu benar-benar tepat untukmu,"
Katie membacakan pengantar kuis.
"Wah...," gumamku. "Kuis ini biasanya tepat karena disusun
oleh seorang ahli. Mungkin nanti bisa terlihat apakah Alec memang
tipe yang cocok untukku."BAGIAN TUJUH
"Ala sudahlah, nggak usah dipikirin deh, Sabrina," ujar Katie
untuk yang ke sekian kalinya. "Kuis ini pasti salah!"
Aku tak menjawab. Hanya berjalan mondar-mandir dari ujung
kamar yang satu ke sudut kamar yang lain.
"Katie benar," Allison sependapat dengan Katie. "Lihat
buktinya. Aku kan belum punya cowok, eh nilai yang kudapat malah
positif banget. Berarti kuis ini nggak benar, kan?"
"Ah, aku memang nggak pantas buat cowok kayak Alec,"
gumamku sedih. "Tapi gimana lagi dong? Tiap malam aku ingat dia
terus. Rasanya lebih baik aku berhenti memikirkannya."
"E e e, jangan putus asa kayak gitu dong Sabrina. Kita masih
punya banyak waktu buat memikirkannya sebelum pesta penyambutan
itu. Ngomong-ngomong ada makanan nggak? Perutku mulai
keroncongan nih...," Katie meraba perutnya.
Kami lantas turun ke dapur dan duduk di kursi makan.
Kuperiksa apa saja yang ada dalam kulkas. Akhirnya kupilih sepiring
besar kue tart brownies coklat super lezat buatan ibu. Hmm...ini betul-
betul makanan favorit nomer satu! Ibu tak pernah memasukkan
kacang ke dalam tart browniesnya. Sebagai gantinya beliaumenambahkan potongan coklat yang super banyak. Air liurku
langsung menetes melihatnya.
"Bagiku, ini adalah kue terlezat di dunia," pujiku ketika
meletakkan loyang kue di tengah meja. Lalu kuambil sepotong besar
untukku. Allison dan Katie juga mengambil masing-masing sepotong.
Tak lama kemudian kami asyik melahap potongan demi potongan.
Aku pernah membaca, coklat adalah makanan terbaik untuk
orang yang merasa tertekan. Depresi. Persis seperti yang baru
kualami. Hasil kuis yang kuisi benar-benar membuatku ingin
menangis. Alec tak cocok untukku!
"Lho,...katanya kamu lagi diit? Diit Pulau Zuma?" Katie


Girl Talk 01 Tahun Ajaran Baru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengingatkan.
"Memang. Tapi hari Jum?at aku boleh makan apa pun yang aku
mau. Semacam hadiah atas kesuksesanku menahan diri selama hari
Senin sampai Kamis kemarin."
Katie dan Allison mengerutkan keningnya, heran.
"Bener kok. Aturan diit Pulau Zuma memang begitu. Tahu
nggak, kalau kamu menahan diri terlalu lama, akibatnya bisa gawat.
Sekali ada kesempatan kalian pasti makan banyak-banyak! Karena itu
lebih baik ikuti saja keinginanmu, asal tetap terkontrol. Jangan
ditahan-tahan," aku mencoba membuat mereka percaya.
"Aneh juga ya?" gumam Allison dengan raut wajah tetap tak
yakin akan teori diitku.
"Memang aneh. Tapi coklat adalah hobiku," ujarku sedikit
puitis sambil mengambil sepotong lagi brownies.
Katie cuma tertawa kecil melihat ulahku."Yuk kita mulai dengan rencana kita," ajaknya. "Apa yang akan
kita lakukan?"
"Entahlah. Tapi yang jelas waktu kita nggak banyak lho,"
sahutku.
"Ya. Kita harus memikirkan langkah yang terbaik dan paling
tepat," sambut Katie.
"Mari kita mulai memikirkan apa-apa saja yang kita butuhkan
untuk..."
"Apa-apa yang kita butuhkan? Kita kan sudah tahu apa yang
kita butuhkan...," sela Katie membuatku heran.
"Sudah tahu? Maksudmu? Rencananya saja belum kita susun,"
jawabku.
"Hei...hei..., rasanya kalian berdua ngomongin masalah yang
berbeda deh," tukas Allison melerai.
"Hal yang berbeda? Kita kan lagi merencanakan pes..."
"Alec...," sahut Katie bersamaan dengan ucapan ?pesta?-ku.
Lantas aku dan Katie berpandang-pandangan heran. Jelas apa
yang ada dipikiran kami berbeda.
Tiba-tiba telepon berdering. Setelah membersihkan tangan,
kusambut gagang telepon lantas kuucapkan salam: ?Halo?. Ternyata
dari Kristin, saudara sepupuku yang paling dekat dibandingkan
saudara-saudaraku yang lain. Bagiku ia lebih sebagai kakak
perempuan. Kristin duduk di kelas sembilan dan cukup populer di
sekolahnya sebagai anggota pompom girls.
Kristin menanyakan pengalaman sekolahku di minggu pertama
ini."Bener-bener kacau deh," sahutku sambil menarik kabel telepon
sampai cukup panjang.
Aku duduk di anak tangga, tempat favoritku bila ingin ngobrol
lama di telepon tanpa diganggu kakak-kakakku. Agak tersembunyi.
Memang ada telepon lain di kamar orang tuaku, tapi anak-anak
dilarang menggunakannya.
Pada Kristin kuceritakan soal Alec, Stacy dan kejadian hari
pertama yang merusak hari-hariku selanjutnya. Juga tentang jabatanku
sebagai ketua seksi dekorasi ruangan pesta dansa hari penyambutan
murid-murid baru. Lantas kuceritakan pada keinginanku pergi
bersama Alec ke pesta itu.
"Ya, satu-satunya jalan adalah mengatakan padanya bahwa kau
menyukainya dan ingin pergi bersamanya ke pesta," komentar Kristin
tentang ceritaku soal Alec.
Belum sempat aku menanyakan bagaimana cara menyampaikan
perasaan itu tanpa berkesan agresif, terdengar suara Tante Pat, ibu
Kristin, mengingatkan sepupuku itu untuk tidak menggunakan telepon
buat ngobrol.
"Siapa Sab?" sambut Katie waktu aku kembali ke dapur.
"Sepupuku, Kristin. Katanya, jika aku menginginkan Alec, aku
harus membiarkan Alec tahu perasaanku padanya. Intinya sih,
bagaimana caranya dia tahu aku senang sama dia. Tapi bagaimana
caranya? Apa yang harus kuperbuat?" Tiba-tiba saja kesedihan itu
terasa lagi.
"Aku tahu!" seru Katie beberapa detik kemudian. Tampaknya ia
menemukan gagasan cemerlang. "Gimana kalau kau gunakan
perantara. Temanmu yang juga mengenal Alec, misalnya.""Tapi aku kan nggak kenal teman-teman Alec," bantahku. Usul
itu nampaknya agak sulit dilaksanakan.
"Aku kenal satu teman Alec. Inget cowok kurus yang duduk di
samping Alec tempo hari di kantin?"
"Ya?" aku mengernyitkan kening, mengingat-ingat.
"Aku kenal dia. Namanya Todd. Adiknya dulu juga temanku
dalam kelompok pembawa bendera. Kadang-kadang aku ngobrol
dengan Todd kalau dia menjemput adiknya," jelas Katie bersemangat.
"Ah ya?" seruku tak kalah bersemangat.
Katie mengangguk keras.
Katie benar-benar hebat. Nggak rugi aku berteman dengannya.
Dia selalu punya gagasan-gagasan cemerlang. Contohnya kali ini.
"Kita namai saja rencana ini sebagai: Operasi Alec!" Katie
melontarkan gagasan lagi.
"Operasi Alec! Kedengarannya asyik juga nih...," sambutku.
Pintu dapur terbuka. Sam, kakak kembarku, masuk bersama dua
orang temannya, Nick Robbins dan Jason McKee. Sam masuk sambil
men-dribel bola basket.
"Hai...," seru mereka bareng sambil senyum-senyum kecil ke
arah kami bertiga.
Sekilas kulihat wajah Katie memerah. Aha!
Sebenarnya sudah cukup lama aku menduga, Katie dan Sam
saling naksir-naksiran! Mereka saling menyukai rupanya.
"Waw! Brownies!" Tanpa basa-basi Sam langsung meraih
sepotong besar dan mengoperkan piring itu pada teman-temannya.
Aku ingat, dulu Sam pernah menghabiskan satu loyang brownies
hanya dalam waktu satu jam! Betul-betul maniak! Tapi nyatanyasemua kakakku punya kebiasaan makan sebanyak itu, jadi aku tidak
kaget lagi.
"Mh...enak banget nih," puji Nick lantas menyapu bibirnya
setelah menghabiskan potongannya. Mulutnya masih penuh. Nick
Robbin kelihatan cukup keren dan imut-imut. Rambutnya tebal dan
pirang. Matanya biru langit. Barangkali Nick cowok yang paling
keren di kelas tujuh sekarang.
Dulu, di kelas enam, Stacy tergila-gila setengah mati pada Nick.
Dan sekarang Stacy naksir Alec, cowok kelas delapan itu. rasanya
Stacy dan aku punya selera yang sama: suka cowok yang lebih tua!
"Eh, ikutan main basket yuk!" ajak Jason. Jason berambut
coklat keriting dan mata coklat. Ia cukup pendiam. Biasanya pun Sam
dan Nick tidak memberi kesempatan padanya untuk banyak bicara.
Soalnya Sam sedikit banyak mirip denganku: cerewet...!
Bagaimanapun aku menyukai Jason. Aku ingat, dulu ia pernah
membelaku saat Bobby Martin menggangguku di kelas tiga. Jason
meninju hidung Bobby sampai berdarah. Sejak itu aku aman dari
gangguan si bandel usil Bobby.
"Yeah. Kita main tembak-langsung aja deh. Oke?" ajak Nick.
Diam-diam Sam mencuri pandang ke arah Katie. Kembaranku
ini pasti mengharapkan Katie tak menolak ajakan Nick. Sementara
Allison menunduk, pura-pura memperhatikan kertas-kertas yang ada
di hadapannya. Allison memang amat pendiam dan pemalu. Terutama
pada anak-anak cowok.
"Kenapa nggak? Emangnya kita takut sama cowok?" sambutku
setuju.Dalam hati aku tahu, Sam dan teman-temannya pasti menang.
Hanya saja?brengseknya?kalau sudah menang mereka akan makin
sok jago dan merasa paling hebat di seluruh dunia. Padahal wajar kan
kalau anak laki-laki lebih jago main basket daripada anak perempuan?
Nick, Sam dan Jason keluar dari dapur sambil mengoper-oper
bola satu sama lain. Gayanya. Ck.. .ck. .ck.. .selangit!
"Kita nyusul sebentar lagi!" teriakku. "Kita bicarakan operasi
Alec lain kali aja ya? Belakangan," ujarku pada Katie dan Allison.
"Tapi soal dekorasi pestanya gimana?" protes Allison.
"Yang itu juga kita tunda deh. Kita main dulu yuk..."
"Aku., .mh.. .aku nggak begitu bisa main basket," bisik Allison
enggan.
"Nggak apa-apa. Aku juga kok. Tapi cuek aja," aku
membesarkan hatinya.
Akhirnya Allison setuju juga. Lantas kami bertiga keluar rumah
menuju halaman depan garasi. Ring basket bergantung di atas pintu
garasi itu. Terlihat Sam sedang mendribel bola menuju ring dan...
"Hoop. Dua angka untuk Sam dari The Lakkers," seru Sam,
mengkhayalkan dirinya sebagai anggota klub basket terkenal di dunia,
Lakkers.
Lalu Sam mengoperkan bola pada Nick. Nick lantas menembak
langsung dari jarak yang cukup jauh dan...
?Tap! Dua angka lagi!" seru Sam senang melihat lemparan Nick
masuk.
Kini giliran Jason. Dan beberapa saat bola tetap dikuasai anak
cowok."Terus terang aja deh, sebetulnya kalian niat ngajak kita main
nggak sih?" protesku, jengkel karena tak mendapat giliran.
"O iya," Sam nyengir konyol. "Nih...giliran kalian!" Ia
melempar bola ke arahku.
Aku melangkah menuju posisi tembak dan mengatur arah bola
agar masuk ke ring. Aku pernah membaca sebuah teori, sembilan
puluh sembilan persen kemungkinan bola masuk ditentukan oleh
keyakinan diri kita. Karena itu kusiapkan mentalku dan kuyakinkan
diriku bahwa tembakanku akan masuk. Cukup lama hingga Sam tak
sabar.
"Ayo dong! Keburu besok nih...!" teriak Sam membuyarkan
konsentrasiku. Terpaksalah aku harus memulainya lagi dari awal.
"Sst...biar saja deh, dia kan lagi ambil ancang-ancang,"
kudengar Nick membelaku. Kulemparkan senyum tanda terimakasih
pada Nick. Kuangkat bola dan...
Meleset! Bukan cuma meleset, menyentuh ring saja tidak! Aku
terlalu memusatkan perhatian tapi lupa mengerahkan semua tenaga.
"Tembakan ngawur! Sekarang giliran Katie," Sam
melemparkan bola sambil melontarkan senyum manis pada Katie.
Katie mengambil posisi. Mendribel beberapa saat. Aku yakin
Katie tak mampu memusatkan perhatian pada bola lantaran Sam
menatapnya tak berkedip. Percaya kan, dugaanku benar: tembakan
Katie sama sekali ngawur. Yang konyol, Sam tetap memujinya.
"Lumayan juga kamu, Kat...," katanya.
Katie tersipu malu. Pipinya memerah.
Sam kembali menguasai bola. Melempar dan....hoop...bola
mental. Agaknya konsentrasi Sam juga mulai terganggu olehkehadiran Katie. Aku dan Nick bergerak bersamaan hendak merebut
bola yang mantul itu.
Heiii! Brugh!
Beberapa detik tiba-tiba aku dan Nick jatuh tumpang-tindih di
atas rumput. Untung sekali tak ada yang luka. Lantas kami saling
berpandangan sambil tertawa bersama. Kecelakaan kecil yang konyol.
"Ayo bangun dong! Giliran Jason nih..."
Aku bangun sambil membersihkan rumput dari pakaianku.
Sekilas kulirik Nick. Dia kelihatan tampan dan imut-imut. Sayangnya,
aku lebih suka cowok yang sedikit lebih tua dari usiaku. Tom Cruise,
misalnya. Atau ?titisannya?: Alec!.BAGIAN DELAPAN
Sukar dipercaya, tak terasa sudah lebih dari tiga minggu kulalui
hari-hari di kelas tujuh. Pesta penyambutan murid baru tinggal tiga
minggu lagi. Huh. Aku merasa begitu lelah memikirkan pesta dansa
dan parade marching band yang akan berlangsung di hari itu.
Selain bertanggung jawab sebagai ketua seksi dekorasi, aku
juga terpilih menjadi pemimpin barisan clarinet. Itu artinya aku tak
boleh membuat satu kesalahan pun karena seluruh barisan akan
berpedoman padaku. Gawatnya, kami tidak diperbolehkan membaca
kertas partitur selama parade. Jadi terpaksalah kuhafalkan semua not
di luar kepala. Menjelang hari terakhir, diadakan gladi resik yang
cukup menegangkan di lapangan sepak bola.
Dengan latihan keras, aku cukup yakin dapat melakukan gladi
resik dengan baik. Sebaliknya aku begitu khawatir tentang dekorasi
ruangan pesta. Selama ini belum pernah kami membicarakan hal itu
dengan sungguh-sungguh. Satu-satunya pertemuan adalah di rumahku
tempo hari, tapi hasilnya sama sekali nol.
Kalian ingat kan, bagaimana Sam dan teman-temannya berhasil
mempengaruhi kami untuk main basket? Kami pasti benar-benar akan
menemukan kesulitan bila tidak segera memutuskan ide dekor ruang
pesta dansa. Soalnya, besok Bu Staats, wali kelas kami, akan memintalaporan pertanggung-jawaban dari tiap-tiap kepala seksi. Yang paling
menjengkelkan, aku sama sekali belum dapat membicarakan hal ini
dengan Randy. Kelihatannya dia sama sekali tidak tertarik dengan
kegiatan seksi dekorasi.
Usai sekolah nanti, aku telah mengusulkan rapat di Fitzie?s,
kafetaria kecil tempat anak-anak sekolah kami kumpul-kumpul. Dulu
aku pun biasa ?kongkow? di situ dengan teman-temanku. Mungkin
Randy tertarik untuk bergabung.
Tiba-tiba kulihat Randy berjalan di koridor menuju lokemya.
Pada Katie dan Allison aku telah berjanji mencarinya untuk diajak
membicarakan kegiatan seksi kami.
"Randy!" teriakku tergesa-gesa. "Tunggu!"
Tapi Randy tetap berjalan seolah tak mendengar apa-apa.
Kututup lokerku dan langsung lari mengejarnya.
Penampilan Randy masih tak berubah seperti kemarin-kemarin.
Malah rasanya makin ?aneh? lagi. Hari ini ia mengenakan celana
loreng ala tentara dengan sweater yang ukurannya amat besar. Sepatu
basket hitam dan jaket jeans hitam melengkapi ke-?aneh?-annya.
Dia betul-betul kelihatan "New York?. Kuharap suatu saat aku
bisa mengumpulkan keberanian dan meniru cara berpakaiannya yang
nyentrik itu. Tapi rasanya sih itu bukan ?gaya?-ku. Ibuku mungkin
akan ?menembakku? sebelum membiarkan aku keluar rumah dengan
pakaian seperti itu. Tapi menurutku Randy pantas sekali dengan gaya
seperti itu.
"Randy!" panggilku lagi setelah jarak kami agak dekat. Ia
tengah memasukkan buku-buku ke dalam lokernya sebelum berpaling
menatapku."Ada apa Non?" tanyanya acuh tak acuh.
"Wah penampilanmu oke banget deh," aku tak mampu
menyembunyikan kekagumanku.
"Makasih...," ia tersenyum.
"Kau pasti merasa kesepian di kota baru ini ya? Acorn Falls
memang jauh lebih sepi dan kecil dibandingkan New York."
"Ya. Jauh berbeda." Randy menutup pintu loker dengan
bantingan yang lumayan keras. "Sampai ketemu ya?"
Tanpa memberi kesempatan lagi, Randy sekonyong-konyong
berlalu dari hadapanku menuruni tangga. Tak lama berselang sudah
lenyap di antara kerumunan anak-anak lain. Aku termangu.
Kelihatannya Randy tak begitu senang mendengar pertanyaanku
tentang New York dan Acorn Falls barusan.
Ups! Kutepuk keningku. Kok aku jadi membicarakan hal lain
sih? Seharusnya kesempatan tadi kugunakan untuk mengajak Randy
rapat di Fitzie?s, kan?
"Sabrina!" kudengar suara yang telah akrab memanggil
namaku.
Aku berbalik. Benar saja,...Stacy lagi!
Kulihat dia menghampiriku. Langkahnya angkuh, rautnya
galak! Nah lo, ada apa lagi sekarang?
Setelah kejadian memalukan di hari pertamaku tempo hari, ide
gila apa lagi yang ada di kepala Stacy untuk mempermalukan aku hari
ini? Untungnya, perkataan Katie benar. Hampir semua anak telah
melupakan peristiwa itu dan tidak menyinggung-nyinggung apa pun di
hadapanku. Kecuali si Hebat Stacy tentunya.Setiap kali berpapasan, Stacy dan teman-temannya selalu
menyindirku. Misalnya Senin kemarin di kantin. Waktu aku duduk


Girl Talk 01 Tahun Ajaran Baru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghadapi makan siangku, Eva, sahabat Stacy melintas sambil
menyeletuk, "Rencana nomer empat ? Hanya makan makanan
bergizi," ujarnya sambil melirik piringku yang berisi pizza serta kue
tart. Lantas, "Kelihatannya kamu belum memperbaiki dirimu sama
sekali deh. Coba lihat makananmu. Mana gizinya?"
"Kudengar kamu naksir Nick," desis Stacy serta merta dengan
gayanya yang menjengkelkkan: Bertolak pinggang. Aku nggak ngerti
kenapa Stacy suka sekali bertolak pinggang jika sedang bicara. Apa
dengan begitu ia merasa lebih hebat dan berkuasa?
Stacy benar-benar keterlaluan. Dia kan sudah berpasangan
dengan Alec, dan sama sekali mengabaikan Nick sejak hari pertama di
kelas tujuh. Ini memang salah satu sifat Stacy. Tak mau disaingi!
Begitu ia dengar ada gadis yang menyukai Nick, ia segera bertingkah
Nama Tuhan Yang Keseratus 6 Pendekar Rajawali Sakti 10 Pengantin Berdarah Lily Pencarian Cinta 4
^