Pencarian

Dewi Tombak 5

Dewi Tombak Karya Unknown Bagian 5


melarikan juga isteri Ong Ciang dari dalam penjara? Ingatlah baik-baik! Apakah semua itu
barangkali perlu diungkat-ungkat pula untuk memperbaharui kasus itu yang akan menjerat
lehermu sendiri? Ayoh, katakanlah! Aku bersedia untuk menjadi saksi yang akan menyeretmu ke
tiang gantungan atau ke tangan algojo!"
Dengan memperhatikan kata-kata yang diucapkan orang tersebut, Pek In segera mengetahui
betapa liciknya sifat orang itu, karena selama mengucapkan kata-katanya yang sedemikian
lancarnya itu sedikitpun ia tidak membayangkan tentang kelemahan dipihaknya sendiri!
"Inilah apa yang dapat dikatakan dengan tepat senjata makan tuan sendiri!" pikir nona Pek In,
"Barang siapa berani berbuat dia juga yang harus berani tanggung segala akibatnya!""Engkau berani mengancamku?" kata suara orang laki-laki yang kedua yang ternyata bukan lain
daripada Ciu Hong adanya. "Hendak kusaksikan sampai dimana kelihayanmu!"
Tapi Pek In hanya dapat menduga-duga saja, bahwa itulah suara Ciu Hong yang telah memfitnah
suaminya sehingga binasa dan bersamaan dengan itu, apakah orang laki-laki yang pertama bicara
itu bukan Thio Pin, yang ia pernah dengar namanya tapi belum pernah melihat bagaimana
wajahnya?
Pek In belum sempat berpikir terlebih lama pula, ketika di sebelah dalam tiba-tiba terdengar suara
orang bertempur dengan menggunakan kuali atau alat-alat rumah tangga lainnya sebagai senjata.
"Tolong! Tolong!" Orang perempuan itu berlari-lari keluar masuk meminta bantuan kepada
beberapa orang laki-laki yang bekerja dan memang berdiam dalam gedung itu juga.
"Ringkus si orang she Thio yang tak mengenal budi kebaikan orang ini," Begitulah Ciu Hong
berteriak kepada orang-orang itu.
Sementara Pek In yang mendengar kata-kata si bajingan she Ciu itu segera menduga bahwa orang
itu pasti bukan lain daripada Thio Pin adanya.
"Sekali ini akan dapat kubalas dendam suamiku dengan sekaligus!" pikir Pek In didalam hatinya,
lalu ia hunus pedangnya sambil berdoa sendirian, "Jika roh suamiku dialam baka senang hatinya
suka melindungi diriku untuk dapat melaksanakan cita-citaku membalas dendam kepada musuh-
musuh itu." katanya dengan mulut berkemak-kemik, "Biarlah pada petang hari ini juga aku dapat
menunaikan tugasku ini dengan baik!"
Tatkala baru saja ia selesai berdoa, tiba-tiba ia mendengar satu jeritan ngeri yang dibarengi dengan
jatuhnya barang sesuatu yang agak berat ke atas ubin dan disusul dengan suara bentakan,
"Mampus kau! Sekarang engkau baru rasakan betapa, enaknya tinjuku ini!" Setelah itu terdengar
suara itu pula yang memerintahkan kepada orang-orang bawahannya itu, "Kepalanya telah
kukepruk dengan tinjuku ini. Sekarang kalian tak usah banyak pusing, mati atau hidup seret saja
dirinya dan lemparkan ke dalam sungai, habis perkaranya!"
Orang perempuan tadi menjerit ketika mendengar perintah itu.
Itulah suara Thio Pin, yang sedari semula dikenal orang sebagai seorang yang ganas dan terkenal
sekali namanya diantara kawanan penjahat yang beroperasi di sepanjang sungai yang biasa
dilaluinya.
"Dia sesungguhnya telah mati!" kata seseorang hingga orang perempuan itu terdengar menangis
tersedu-sedu.
Thio Pin terdengar tertawa mengakak. "Tidak usah engkau berpura-pura sedih." Katanya tenang.
"Sejak hari ini dan selanjutnya rumah dan seluruh harta benda yang berada di sini telah menjadi
milikku .......... berikut nyonya rumahnya sekali! ? Ha. ha, ha!"
"Engkau sesungguhnya seorang manusia yang ganas dan jahat sekali!" kata suara nyonya itu,
"Niscaya para dewa dan Thian akan mengutuk segala kejahatanmu itu!"
"Bohong!" ejek Thio Pin. "Thian tidak ada. Sedang untuk bisa menjadi kaya raya karena hasil
daripada usaha dan kerja keras, bukanlah karena Thian Yang Maha Kuasa!""Thian akan mengutuk kepadamu! Pembalasan itu akan datang lebih cepat daripada apa yang kau
duga!" kata nyonya itu yang ternyata bukan lain daripada Bie Kie adanya, tapi tidak dikenal oleh
Pek In. "Percayalah apa kataku, engkau manusia yang tak berguna pasti akan menemui
pembalasan yang setimpal dengan perbuatanmu!"
Sementara Pek In yang sudah tak dapat menahan pula amarahnya, tiba-tiba melompat turun dan
menerobos masuk ke gedung itu tanpa memperhitungkan pula akan untung rugi yang bakal
dialaminya.
"Bangsat Thio Pin!" bentaknya dengan suara nyaring. "Kini Thian telah mengirim aku untuk
mengambil jiwa anjingmu!"
Thio Pin yang mendengar bentakan itu, tidak berbeda dengan mendengar suara guntur di siang
hari, hingga ia lekas mengambil goloknya dan menyambut kedatangan Pek In sambil berseru,
"Engkau ini siluman dari mana yang mengaku sebagai utusan Thian untuk datang mengacau ke
tempat kediamanku ini?"
Tapi sebelum ia bergerak, pedang Pek In telah mendahului menyambar goloknya itu sehingga
putus menjadi dua, hingga Thio Pin jadi sangat terkejut dan lekas-lekas membalikkan badannya
dan mengambil sebatang toya dari atas arak senjata. Tapi, cara inipun ternyata masih terlampau
lambat untuk ia dapat menolong dirinya sendiri. Karena begitu tangannya meraba kepada toya
tersebut, pedang Pek In telah menabas batang lehernya, sehingga kepala Thio Pin putus dan jatuh
menggelinding di atas ubin.
Darah hidup menyembur keluar dari dalam tubuh penjahat yang telah membunuh Ciu Hong itu,
ketika tubuh yang tak berkepala itu roboh di tanah bagaikan sebuah pohon yang tumbang diterjang
angin tofan.
Bie Kie menjerit ngeri dan jatuh pingsan seketika itu juga.
Mula-mula Pek In hendak menghabiskan juga jiwa isteri Ciu Hong itu. Tapi waktu teringat akan
omongan Tio Ceng, yang mengatakan bahwa Bie Kie bukan orang jahat yang turut menyebabkan
Ong Ciang meninggal dunia, maka ia telah mengampuninya. Kemudian ia meloloskan diri
dengan jalan melalui pagar tembok, tatkala mengetahui bahwa kedua orang musuh besarnya itu
telah terbinasa dengan sekaligus, yaitu Ciu Hong telah dibinasakan oleh Thio Pin, sedangkan Thio
Pin sendiri telah terbinasa dalam tangannya. Maka anak buah Thio Pin jadi gusar sekali waktu
datang untuk melakukan pengepungan, karena Pek In telah menghilang entah kemana perginya.
IX. DENGAN menggunakan ilmu berjalan cepat, Pek In telah kembali ke kelenteng tempat
kediamannya sebelum hari menjelang tengah malam.
"Kini telah selesailah tugasmu," kata biarawati itu dengan tersenyum simpul, "Hanya belum tahu
bagaimana akan kau tuntut penghidupanmu nanti? Kembali kepada masyarakat ramai atau
menetap tinggal di sini?"
"Oleh karena pengalaman-pengalaman getir yang pernah kuderita itu," kata Pek In dengan
bercucuran air mata. "Di dalam hatiku tiba-tiba timbul keinginan untuk menyiarkan ilmu silat
diantara kaum wanita, agar mereka dapat menentang atau sedikit-dikitnya dapat menolong diri
serta suami atau sanak saudara jika sampai mereka mengalami kejadian serupa apa yang pernahku
alami itu, hanya apakah dengan ilmu kepandaian yang kumiliki searang ini, aku dapat
melaksanakan keinginanku itu dengan berhasil?"
Si biarawati tersenyum dan menjawab, "Ilmu silat yang kau miliki sudah dapat digolongkan pada
ahli-ahli silat dan teruslah melatihnya sehingga untuk menurunkan kepandaian itu kepada orang
lain dapat dikatakan sudah agak cukup juga. Lebih-lebih jika hanya akan dipergunakan untuk
sekadar menjaga diri saja. Tapi, jadi guru bukanlah suatu pekerjaan yang mudah dan engkau
anggap sudah cukup dengan pelajaran-pelajaran apa yang kau miliki. Karena dalam kedudukan
sebagai guru, ada kalanya bisa juga kita bertemu dengan orang-orang sombong dan iseng, yang
acapkali hendak mencoba kepandaian kita untuk mencari nama tersohor dengan jalan
merobohkan nama kita. Selain dari itu, bisa kejadian kita diadudomba oleh murid-murid kita
sendiri, jika umpama kita kurang data pada waktu pertama memilih murid. Maka kita menjadi
guru orang, bukan saja harus bersikap sabar dan pandai timbang-menimbang segala perkara
dengan seksama, kitapun jangan sekali mudah dihasut sehingga mudah pula diperalat oleh lain
orang. Itulah antara lain merupakan alat yang pertama-tama bagi orang yang hendak menjadi
guru."
Pek In mendengarkan nasihat gurunya itu sambil menundukkan kepala dan memasang telinganya
besar-besar. Dan disaban waktu si biarawati menoleh sebagai tanda menekankan agar
omongannya itu lebih diperhatikan oleh si nona, Pek In lalu menganggukkan kepalanya sedikit
sambil berkata, "Aku perhatikan dengan seksama apa pesan guruku itu."
Setelah selesai memberi nasihat kepada muridnya, Nikouw tua itu lalu mempersilahkan Pek In
masuk beristirahat.
Beberapa bulan kembali telah lewat. Pada suatu hari biarawati itu telah mengutarakan pikirannya
kepada Pek In, bahwa pada hari besok ia akan pergi merantau ke lain tempat untuk beberapa
waktu lamanya. Dan ia meminta supaya Pek In baik-baik menjaga kelentengnya dan jangan
bepergian kemana-mana selama ia belum pulang dari perantauannya.
Pek In berjanji untuk mematuhi segala pesan gurunya itu.
Pada suatu hari selagi ia berlatih ilmu silat di muka halaman kelenteng, tiba-tiba muncul seorang
laki-laki sebayanya yang berdiri menyaksikan di suatu pinggiran tanpa Pek In menyadarinya.
Tatkala ia bersilat beberapa jurus lamanya, sekonyong-konyong orang laki-laki itu berseru,
"Sayang, sayang! Jurus-jurus yang pertama dan selanjutnya telah kau lakukan dengan baik sekali
tapi ketika bersilat pada bagian Pek-hoa-boan-tee bun, atau ratusan bunga menyebar dan mewangi
di seluruh muka bumi, bagian itu ternyata masih kurang baik kaulakukannya!
Pek In yang sedang asyik bersilat dan mendadak mendengar dirinya dicerca orang, sudah barang
tentu lantas menghentikan permainan silatnya dan menoleh ke arah orang laki-laki itu dengan
wajah memerah karena jengah. Maski ia merasa mendongkol, tapi ia lantas bertanya dengan suara
cukup manis, "Cara bagaimana engkau bisa mengetahui bahwa aku telah keliru memainkan ilmu
silatku, sedangkan engkau sendiri bukan orang dari kaumku, yang meyakinkan ilmu silat dari
cabang perguruanku pula?"
Orang laki-laki itu jadi tertawa geli mendengar pertanyaan nona itu. "Engkau sendiri bukan aku,"
katanya, "Yang tak dapat membedakan permainan silat mana yang benar atau keliru!"Pek In jadi semakin mendongkol dan menjawab ketus, "Jika engkau sesungguhnya mengerti atau
paham segala macam ilmu silat dengan sesempurna-sempurnanya, sudilah kiranya engkau
memberi petunjuk-petunjuk dan membenarkan bagian-bagian yang keliru dengan jalan pie-bu
(menguji kepandaian dengan bertempur secara persahabatan)?"
Orang laki laki itu tertawa mengakak, "Tidak kunyana bahwa engkau ini seorang yang mudah
tersinggung dan pemarah. Tapi karena engkau telah menantang pie-bu kepadaku akupun bersedia
untuk mengabulkan permintaanmu itu. Tapi aku punya syarat yang hendak ditanyakan dahulu
kepadamu. Jika engkau yang kalah, bagaimana?"
Tanpa banyak pikir memikir pula nona itu lalu menjawab, "Akan kugunduli kepalaku dan masuk
menjadi biarawati!"
"Jangan engkau berlaku nekat dahulu!" kata orang laki-laki itu pula sambil tertawa geli. "Sekarang
begini saja, kita ambil jalan yang tidak memberatkan, malah boleh dikatakan menguntungkan
kepada kedua pihak. Engkau hidup bujangan dan akupun demikian. Oleh sebab itu, paling betul
kita ambil ketentuan begini saja. Jika engkau kalah dalam pie-bu ini, engkau harus rela menjadi
isteriku. Tapi jika aku yang kalah akupun tidak akan menolak menjadi suamimu! Akurkah kiranya
diatur begitu?"
Pek In jadi mendongkol bukan main dan membelalakkan matanya sambil menuding dan
mendamprat, "Dasar laki-laki tidak punya mata! Engkau anggap aku ini perempuan macam apa?"
Orang laki-laki itu tertawa haha-hihi dan kontan menjawab, "Aku anggap engkau seorang
perempuan cantik yang ada hanya untuk menjadi pujaan hatiku!.................."
Amarah Pek In sudah tak dapat dibendung lagi, hingga tanpa memikirkan pula apa yang akan
terjadi kelak, ia membentak dengan suara nyaring sambil menerjang orang laki-laki itu dengan
pukulan mematikan yang bernama Pek lek siang-eng atau kilat dan guntur sambut menyambut.
Dengan jalan mencelat di udara, nona itu telah merangkap sepasang telapak tangannya untuk
menusuk ulu hati pihak lawannya.
Orang laki-laki itu terkejut dan lekas-lekas membuang diri dengan jalan berjungkir-balik ke suatu
pinggiran, hingga terjangan nona itu hanya berhasil menubruk angin!
Sementara orang laki-laki itu telah dapat berdiri pula si suatu pinggiran, dengan tersenyun lalu
berkata, "Pek Tin, paling bagus kau pergunakan siasat Pek-hoa-boan-tee bun yang telah kukatakan
keliru dimainkan olehmu tadi, agar ini dapat diketahui dimana kekurangannya atau setidaknya
koreksi yang telah kukatakan tadi....."
Nona itu jadi agak terkejut dan heran mendengar orang laki-laki itu mengetahui namanya hingga
dengan tunai ia balas bertanya, "Engkau siapa?"
"Aku paham," kata orang laki-laki itu, "Engkau bertanya kepadaku demikian karena heran
mengapa aku dapat mengenalmu, ini bukan suatu kejadian yang aneh karena kita toh berasal dari
desa Pek-kee-chung juga! Lupakah engkau kepada anak petani yang bungsu dan keluarganya
ditimpa malapetaka diwaktu terbit bahaya kelaparan di desa kita?"
Gambaran dari peristiwa yang menyedihkan itu segera terbayang dalam pikiran nona Pek In cara
bagaimana dahulu keluarganya pernah memberikan sumbangan besar kepada para korban, antara
mana terhitung anak bungsu petani ini yang kemudian berbalik menjadi penolong keluarganyadiwaktu terjadi perampokan dan melabrak kawanan perampok itu bersama lima orang saudaranya
sehingga antara enam orang saudara itu hanya anak bungsu ini yang masih hidup hingga saat itu.
Dan dia itulah yang kemudian mengaku dirinya bernama Liok Kong atau Tuan Keenam, Pek In
segera teringat akan peristiwa tersebut yang seakan-akan baru saja terjadi pada hari kemarin. Tapi
si nona yang bersifat besar kepala dan merasa direndahkan oleh seorang anak petani itu dalam
hatinya jadi sangat mendongkol dan lalu mengeluarkan bentakan dari lobang hidung, "Hm!"
katanya, "Patutlah sedari tadi telah dapat kucium baunya kotoran kerbau!"
Tapi orang laki-laki itu yang kini telah diketahui bernama Liok Kong tidak menghiraukan ejekan
itu dan tinggal mengganda tertawa sambil berkata, "PekTin!"
"Bukan Pek Tin, tapi Pek In!" memotong nona itu. "Dan aku minta engkau tinggalkan halaman
kelentengku ini sekarang juga!"
"Oh, sekarang namamu telah berubah menjadi Pek In?" kata Liok Kong sambil tersenyum simpul.
"Akan selalu kuingat baik-baik nama itu nona. Tapi aku belum mau pergi sebelum kita pie-bu dan
ketahuan siapa yang menang atau kalah. Kemudian kunantikan jawabanmu atas syarat yang telah
kusebutkan tadi!"
"Sudah kukatakan tadi." kata Pek In dengan suara ketus, "Lihat saja kalau aku kalah denganmu,
akan kugunduli kepalaku dan menjadi biarawati! Habis perkara!"
Liok Kong kembali tertawa mengakak. "Tidak usah engkau begitu kesusu mengambil keputusan
nekat serupa itu. Pie-bu ini toh belum berakhir, bukan?"
Tanpa banyak bicara pula Pek In segera menerjang untuk kedua kalinya dengan siasat Ti-Cu-pok-
eng (laba-laba menubruk dahi) dengan mengambil kesempatan selagi Liok Kong dianggapnya
berlaku lengah. Tapi, di luar dugaannya, anak petani itu telah berlaku begitu dan lincah karena di
samping mengelakkan pukulan rona itu, iapun berbareng dapat menyergap Pek In dan memeluk
pinggangnya begitu rupa, sehingga si nona tak berdaya untuk melepaskan dirinya dari pelukan itu.
"Nah, inilah baru berarti bahwa pie-bu ini telah selesai," kata Liok Kong sambil tertawa gembira.
"Engkau tentunya sudah rela menyerah kalah kepadaku, bukan?"
Mula-mula Pek In tidak menjawab apa-apa. Ia coba meronta-ronta dengan segala daya, tapi
ternyata tak dapat berbuat sesuatu untuk melepaskan dirinya.
"Sialan benar anak si petani ini!" gerutunya dengan wajah memerah saking gusar dan malunya.
"Ayoh, lekas lepaskan aku, kalau tidak ....." Suaranya tertahan diwaktu ia meronta-ronta dengan
sekuat tenaganya.
"Kalau tidak artinya engkau menyerah kalah dan suka menjadi isteriku!" Liok Kong
menggodanya.
Akhirnya terpikir oleh Pek In suatu siasat untuk melepaskan dirinya dan berkata. "Ayoh segeralah
lepaskan aku! Aku ada suatu hal yang hendak disampaikan kepadamu!"
"Jadi engkau sudah suka menyerah kalah?"
"Hal itu akan kukatakan sebentar setelah aku bebas dari tanganmu!""Tidak!" kata Liok Kong. "Engkau harus berjanji dahulu kepadaku, bahwa engkau rela menjadi
isteriku!"
"Jika aku diminta menyatakan demikian selagi aku masih berada dalam tangkapan, bukankah itu
berarti bahwa engkau memaksaku untuk mendapat jawaban itu? Seorang yang dipaksa untuk
mengutarakan sesuatu dalam keadaan tak berdaya apakah ada kemungkinan dia akan
memberikan jawabannya dengan setulusnya hati?"
Setelah berpikir bolak-balik, memang benarlah apa kata nona Pek In itu. Demikianlah pendapat
Liok Kong, yang segera melepaskan nona itu dan berkata, "Katakanlah pikiranmu itu dengan
setulusnya hati."
Tapi bukannya memberikan jawaban yang telah sijanjikannya itu, sebaliknya Pek In telah
mentertawakannya dan berkata, "Jika engkau sesungguhnya seorang jantan asli, tidaklah patut
engkau merasa bangga karena dapat menyergap dan mengalahkan selagi aku berlaku lengah dan
tidak bersiap siaga!"
Liok Kong jadi agak mendongkol mendengar jawaban yang dianggapnya, tak masuk diakal itu.
"Jika demikian halnya." katanya, "Bagaimanakah kehendak dan pendapatmu agar persoalan ini
dapat diselesaikan secara adil, tidak berat sebelah dan sama enaknya?"
"Untuk sekarang," kata Pek In, "Tak ada jalan lain daripada menunda dahulu Pie-bu ini!"
"Menunda pie-bu ini? Sungguh aneh sekali," kata Liok- Kong keheran-heranan. "Engkau sudah
kalah bertanding denganku, maka dimanakah ada istilah menunda pie-bu ini?"
"Aku paham apa katamu," sahut Pek In. "Engkau juga tentunya pernah mendengar tentang
Khong Beng yang menaklukkan Beng Hek sampai tujuh kali, barulah Beng Hek suka menyerah
dengan setulusnya hati. Kini engkau baru mengalahkan aku satu kali dengan cara licik, cara
bagaimanakah aku suka menyerah mentah-mentah padamu? Oleh sebab itu, aku suka memberi
kelonggaran kepadamu untuk mengulang pie-bu ini dilain waktu, selama waktu itu, aku akan
berlatih untuk menentukan siapa antara kita berdua yang lebih unggul ilmu kepandaiannya. Tapi
sudah barang tentu tidak turuti syaratmu yang berat sebelah itu!"
Liok Kong jadi tersenyum mendengar bantahan si nona memang sesungguhnya bahwa syaratnya
itu berat sebelah dan menguntungkan dirinya. Benar juga, pikirnya. Karena jika nona itu kalah,
Pek In harus merasa rela menjadi isterinya. Jika dia yang kalah, nona itu harus merasa rela pula
untuk menerima sebagai suami! Kan sama saja? Dan dimanakah ada aturan serupa itu, yang
hanya mengutamakan keenakan diri sendiri saja tanpa mengindahkan ketidak enakan orang lain?
Oleh karuni! itu, mau tak mau Liok Kong ha iu .lenga ulkan iga permintaan nona itu. Lebih-lebih
karena Pek In memang be-asi dapat dirrngap kalah
"Kalau begitu," katanya agak mendongkol. "Bila manakah pertempuran ini hendak dilanjutkan
pula?"
"Tiga bulan yang akan datang." sahut Pek In, "Terhitung mulai hari ini. Jika selama itu engkau
tidak datang, aku akan anggap engkau takut dan kalah dalam pie-bu ini, sehingga dengan
demikian, semua syarat yang telah ditetapkan itu tidak berlaku lagi!""Sungguh aneh sekali," kata Liok Kong memberenguti. "Engkau yang minta menunda pie-bu,
tapi engkau juga yang minta orang datang menyatroni kepadamu, dimana sih ada aturan begitu?
Setahuku, barang siapa yang menunda pie-bu, maka dialah yang harus datang ke tempat orang
yang ditantangnya, kau mengerti?"
"Aku msmpunyai aturan pribadi, dan persetan dengan aturan yang lain!" kata si nona ngotot,
"Maka kalau engkau tak mau mengindahkan aturanku ini, kau akan kuanggap kalah dalam pie-
bu, kau mengerti?"
"Dasar perempuan .........!"
Entahlah apa yang hendak dikatakan Liok Kang selanjutnya, ketika ia membanting kakinya
sambil berlalu dengan cepat
Satu bulan, dua bulan, dan akhirnya tepatlah tiga bulan lamanya sejak pie-bu antara Liok Kong
dan Pek In terjadi di halaman kelenteng tempat kediaman si nona itu.
Pek In yang selalu memperhatikan waktu yang telah ditentukannya itu, diam-diam menantikan


Dewi Tombak Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedatangan Liok Kong dengan perasaan yang agak ragu. Karena jika selama waktu tiga bulan itu
ia telah berlatih dengan giat sekali, apakah pihak lawannya juga tinggal diam saja dan tidak
berbuat yang sama pula untuk mengimbangi keunggulannya? Ia bukan tidak percaya kepada
dirinya sendiri, bahwa dia takkan mampu mengalahkan lawannya itu, tapi kenyataan dan
kemampuan Liok Kong sasungguhnya tak dapat dipandang ringan.
Hingga hari menjelang senja, pihak lawannya itu tidak juga muncul untuk memenuhi janjinya,
tapi hal ini tidak membuat hatinya menjadi semakin besar karena akan memperoleh kemenangan
tanpa bertempur sebagaimana layaknya orang yang melakukan pie-bu, walaupun dia telah
mengatakan dari di muka, bahwa jika telah tiba saatnya tiga bulan Liok Kong tidak muncul, maka
dengan sendirinya dia itu dinyatakan kalah dalam pie-bu itu.
Tapi apakah cara ini bisa dianggap adil?
Lambat laun Pek In menginsafi juga, bahwa dalam segala hal ia selalu mau menang sendiri saja.
Tapi kini karena sudah meresa terlanjur berbuat salah, ia terpaksa hendak mempertahankan juga
cara ini dengan jalan tak mau menunjukkan kelemahan dirinya sendiri.
Dan tatkala hari telah menjelang pada kentongan pertama atau antara jam 7 sampai dengan 9
malam menurut perhitungan waktu dijaman kita sekarang ini, Pek In segera menarik kesimpulan
bahwa Liok Kong tak mungkin datang, maka sambil menghela nafas lega ia berkata, "Ada
kemungkinan si Liok Kong telah mampus disambar kolera, sehingga dia tak dapat menepati
janjinya datang ke sini selama waktu tiga bulan!"
Kata-kata itu baru saja selesai diucapkan, ketika dari tepi atap genteng tampak sesosok bayangan
yang bergelantungan bagaikan seekor kelelawar yang disusul dengan suara tertawa mengakak dan
berkata, "Siapa bilang si Liok Kong mampus disambar kolera, sedang, siang-siang aku telah
berada di sini, memandangi dirimu dengan perasaan terpesona?"
Jika terdengar suara guntur di sisi telinganya, mungkin juga Pek In tidak begitu terkejut seperti
juga ia mendengar suara Liok Kong disaat itu, Sehingga lekas-lekas ia menolehkan kepalanya ke
atas atap kelenteng sambil berpura-pura tertawa geli dan berkata, "Hm apakah engkaumenganggap aku kepala obi, sehingga tidak mengetahui engkau berada di situ? Ayoh, sekarang
lekas turun untuk coba merasakan telapak tanganku ini!"
Liok Kong tertawa mengakak mendengar gertak sambel nona, "Apakah dengan hanya berlatih
tiga bulan saja lamanya, engkau anggap sudah cukup untuk mengalahkan aku?"
Pek In tidak menjawab barang sepatah katapun, hanya begitu Liok Kong melayang turun ke
bawah , dengan lantas ia membarengi menendang perut orang dengan satu tendangan kilat sambil
membentak, " Ni hadiah sebagai tanda selamat datangku!"
Tapi Liok Kang yang bermata jeli dan selalu bertindak dengan memakai perhitungan, dengan
sebat mengelakkan tendangan tersebut dengan jalan memiringkan tubuhnya, kemudian dengan
tangan kirinya ia mengibaskan kaki nona itu yang menendang ke arah perutnya sehingga
tendangan itu mencong dan jatuh di tempat kosong.
"Alangkah lihaynya tendanganmu itu!" serunya sambil berkelit dengan gerak yang amat lincah.
Pek In jadi semakin sengit dan segera menyalurkan tenaga dalamnya pada kedua telapak
tangannya, kemudian mendorongnya kemuka sambil membentak, "Engkau menganggap sepi
kepadaku? Kelak engkau akan menyesal .........!"
Kali ini Liok Kong tak keburu mengelakkan serangan tenaga yang tak kelihatan itu, sehingga
dengan suara terkejut, "Aya!" ia terdorong mundur sehingga beberapa kaki jauhnya, kemudian
jatuh terlentang tanpa dapat dicegah pula.
"Kali ini betul-betul aku harus memuji tinggi kepandaianmu itu!" katanya, meski di dalam hati ia
mendongkol bukan buatan.
"Dengan demikian," kata si nona dengan hati gembira, "Bukankah berarti bahwa engkau
menyerah kalah kepadaku?"
"Hm!" Liok Kong mengeluarkan suara jengekan dari lobang hidungnya. "Jika Beng Hek
dikalahkan oleh Khong Beng sehingga tujuh kali baru menyerah kalah, maka dimanakah ada
aturan aku harus segera menyerah kalah karena dirobohkan secara licik ini?"
Pek In tertawa getir. "Jika engkau masih penasaran," katanya, "Aku bersedia untuk mengulangi
pertempuran ini!"
Tapi Liok Kong yang hendak membikin senang hati si nona, dengan tersenyum simpul lalu
berkata, "Tunggu sampai lain waktu! Aku belum kalah!"
"Kapan?" Si nona seakan-akan meminta penjelasan.
"Entah kapan, tapi pasti pada suatu hari aku akan kembali untuk mengalahkanmu!"
"Setahunkah? Dua tahunkah?"
"Tidak!" sahut Liok Kong. "Paling lama enam bulan, atau kurang daripada waktu yang telah
kukatakan itu. Siapa tahu?"
Setelah berkata demikian, lekas-lekas ia melayang ke atas pagar tembok dan menghilang ditelan
kegelapan.Nona PekIn jadi terbengong sejenak. "Apakah maksud si Liok Kong itu?" pikirnya. "Aku tahu ia
belum kalah, tapi mengapa ia berlaku begitu tergesa-gesa dan begitu mudah meninggalkan medan
pertempuran dengan rela meminta waktu saling bertempur selama waktu enam bulan itu?"
Si nona belum lagi sempat berpikir terus, ketika secara tiba-tiba ada sesosok bayangan manusia
yang menyergap dari sebelah belakangnya dan disusul dengan bentakan nyaring, "Aku kembali
pula setelah berselang enam detik lamanya!" Pek In belum keburu bergerak untuk mengelakkan
dirinya, ketika tahu-tahu ia telah kena disergap dan dipeluk erat erat untuk kedua kalinya oleh si
Liok Kong yang binal itu.
"Sialan kau!" mengomel Pek In sambil meronta-ronta. "Ini bukan suatu pertempuran, tapi aku
telah ditipu selagi aku berlaku lengah? Jika engkau sesungguhnya seorang ho-han, seorang gagah
asli, segeralah engkau lepaskan aku, supaya dengan demikian aku bisa melawanmu sebagaimana
layaknya. Kalau engkau tak mau mengabulkan, maka akan kuanggap engkau berlaku curang dan
menyimpang dari pada syarat pertempuran yang telah kita tetapkan."
"Sehingga dengan demikian," Liok Kong melanjutkan sambil memotong pembicaraan orang,
"Bolehlah engkau menganggap bahwa aku kalah dalam pertempuran ini?"
"Ya." menjawab si nona singkat dan dengan seenaknya.
"Bagus sekali perbuatan kamu berdua!" Tiba-tiba terdengar satu suara bentakan yang nyaring
sekali, hingga ketika Liok Kong dan Pek In menoleh ke arah suara tersebut, di sana ternyata
tampak seorang biarawati tua yang berdiri tegak dengan sebatang tongkat berhiaskan ukiran
kepala naga dicekal di tangannya. Kemudian ia menudingkan tongkatnya ke arah Liok Kong
sambil bertanya, "Engkau ini siapa, dan apa sebab berani mengacau ke kelenteng tempat
kediaman kami ini?"
Nikouw tua itu bukan lain daripada guru Pek In yang baru saja kembali dari perantauannya
dikalangan Kang-ouw, hingga si nona jadi amat jengah dan lalu menghampiri kepada sang guru
sambil memberi hormat dan mengadu, bahwa Liok Kong telah beberapa kali datang ke situ untuk
menantang ia pie-bu, lapi tidak dikatakannya bahwa ia telah mengalami kekalahan dalam
pertempuran itu.
Sementara Liok Kong yang dituduh mengacau di kelenteng itu, sudah barang tentu segera
membela diri dengan memberikan segala keterangan yang perlu untuk kebaikan pihaknya sendiri.
Oleh sebab itu biarawati tua itu jadi agak mendongkol kepada muridnya dan berkata dengan
hardiknya, "Ah, janganlah engkau berani main gila di sini! Inilah sebuah biara dan bukan tempat
dimana orang boleh berbuat sesukanya, kau mengerti? Ayoh, segera masuk ke dalam. Sedang
engkau juga," sambil menuding kepada Liok Kong, "Segera berlalu dari sini selekas mungkin, dan
selanjutnya aku larang keras untuk engkau menginjakkan pula kakimu di halaman biara ini."
Demikianlah selama Nikouw tua itu masih hidup, antara Pek In dan Liok Ksng tak pernah terjadi
pie-bu pula. Tapi begitu biarawati tua itu meninggal dunia kurang lebih tiga tahun lamanya Liok
Kong kembali telah datang menyatroni Pek In untuk menantang pie-bu pula. Dan tatkala untuk
kesekian kalinya nona itu mengalami kekalahan yang tak mau diakuinya juga sebagai
kemenangan yang resmi bagi pihaknya Liok Kong, tiba-tiba pada suatu hari Pek In telah angkat
kaki dari dalam biara itu dan menghilang entah kemana perginya.Liok Kong jadi bingung dan bersumpah untuk mencari nona itu sehingga dapat. Kemudian ia
pergi merantau untuk menyelidiki kemana tujuan kepergiannya nona Pek In yang sangat
dicintainya itu.
Sedang Pek In yang merantau dikalangan Kang-ouw sekian lamanya, akhirnya telah mendapat
seorang murid perempuan yang dilarikan oleh seorang cabang atas dalam sebuah desa yang sunyi
yang telah dapat ditolongnya, setelah cabang atas itu dibinasakan jiwanya. Maka selanjutnya
karena khawatir pembalasan dari komplotan cabang atas tersebut, nona itu yang bernama Soat
Kouw lalu mengikut Pek In merantau dengan menyamar sebagai seorang laki-laki. Dan karena
perawakan Soat Kouw yang bongsor dan hampir seimbang dengan perawakan Pek In sendiri,
maka orang-orang di jalan yang berpapasan dengan mereka, lebih sering menganggap mereka
suami-isteri daripada guru dan murid. Mereka kemudian bepergian bersama-sama dan duduk
makan minum bersama-sama pula. Di saban rumah penginapan yang mereka tumpangi, mereka
selalu tidur dalam satu kamar dan di atas ranjang yang sama pula. Oleh karena itu, cara
bagaimanakah orang tidak menyangka mereka sebagai sepasang suami-isteri yang sedang mela-
kukan perjalanan untuk mengurus sesuatu perkara yang penting atau untuk menyambangi sanak
saudara di tempat jauh?
Soat Kouw yang memang sudah mengerti ilmu silat meski belum sempurna betul, membuat Pek
In lebih mudah untuk menurunkan ilmu kepundaiannya daripada terhadap seseorang yang sama
sekali belum mempunyai dasar atau pengertian pokok dalam ilmu silat. Maka dengan berdasarkan
bahan atau pokok ilmu kepandaian tersebut yang memang telah dipunyainya. dalam waktu satu
dua tahun saja Soat Kouw telah menjadi seorang ahli silat yang memiliki kepandaian tak dapat
dianggap sepi. Karena selain mendapat didikan dalam ilmu silat dengan tangan kosong dan
bersenjata, iapun lambat-laun telah menjadi mahir juga dalam hal menyambit dengan piauw atau
senjata-senjata rahasia yang bentuknya lebih kecil seperti Lian-cu-piauw dan Kim chi-piauw, dua
macam senjata rahasia yang dibuat dari pada peluruh besi dan uang logam.
Dengan ilmu kepandaian yang pernah diperolehnya dari didikan gurunya, Soat Kouw pernah
merobohkan perampok dan melukai beberapa penjahat dengan sambitan Hui-piauw. Menangkap
hidup beberapa pencuri yang paham melakukan pekerjaannya dengan jalan melompati pagar
tembok dan berlari-lari di atas genting dengan hanya seorang diri saja, sedang kawanan pihak si
pencuri ada tidak kurang daripada empat atau lima orang.
Hal mana, sudah barang tentu, telah membuat Pek In yang menjadi gurunya sangat bangga atas
hasil pendidikannya terhadap nona yang masih muda itu, tapi berperawakan sama besarnya
dengan dirinya sendiri.
Pada suatu hari mereka telah kemalaman di luar kota Lay-bu dalam propinsi Shoatang. Oleh
karena itu mereka terpaksa mencari rumah penginapan yang terdekat untuk melewati sang malam
yang tampak mendung dan ada kemungkinan akan turun hujan pada petang hari ini.
Pek In dan Soat Kouw baru saja masuk tidur, ketika pada petang hari itu tampak sesosok bayangan
manusia yang mengintai mereka dari luar jendela kamar.
Orang ini rupanya telah sedari siang tadi membuntuti mereka, tanpa disadari oleh kedua orang
guru dan murid itu. Dengan gerakan yang lincah bagaikan seskor kucing, orang itu telah muncul
di atas genting dan lalu melompat turun ke halaman dengan tidak bersuara. Sudah itu, barulah ia
mengintip ke dalam kamar dari celah-celah jendela.Tapi selagi ia asyik mengintip di situ beberapa saat lamanya tiba-tiba api di dalam kamar itu
dipadamkan orang, hingga keadaan yang semula terang benderang telah berbalik menjadi gelap
gulita bagaikan di liang kubur. Dan bersamaan dengan dipadamkannya api lampu itu, daun pintu
jendela itu tampak terkuak, kemudian cepat bagaikan kilat sesosok bayangan telah melompat
keluar sambil membentak, "Apakah maksudmu melakukan pengintipan ke dalam kamar orang
diwaktu malam buta begini?"
Kata-kata itu dibarengi dengan berkelebatnya sebilah pedang, hingga orang itupun terpaksa
melompat mundur sambil menghunus golok di tangannya.
"Engkau siapa?" bentak orang yang baru keluar dari dalam kamar yang kemudian ternyata bukan
lain daripada nona Soat Kouw adanya.
Tapi tanpa banyak rewel pula, orang itu segara meladeni bertempur nona itu dengan tidak
tanggung-tanggung, hingga ketika pertempuran baru saja berlangsung beberapa belas jurus
lamanya, Soat Kouw telah kena dilukai parah dan jatuh di tanah dalam keadaan tiga perempat
mati.
Tatkala orang itu hendak melarikan diri, tiba-tiba Pek In telah datang mengejarnya sambil
membentak, "Jangan lari! Aku akan adu jiwa denganmu!"
Mendengar kata-kata itu, orang tersebut jadi tertawa getir dan berkata. "Memang begitulah
tindakan pasangan sehidup semati seharusnya setelah yang satu dilukai orang!"
Pek In jadi sangat terkejut mendengar ejekan itu, sehingga mundur beberapa tindak sambil
melintangi pedangnya dan berkata bengis, "Engkau siapa? Dan untuk maksud apakah engkau
melukai muridku? Apakah dosanya sehingga engkau merasa perlu melukainya sampai sehebat
ini?"
Mendengar kata-kata Pek In itu, orang tersebut jadi terbengong sejenak dan kemudian menepuk
dahinya dengan suara lemah, "Ampun Tuhanku! Aku telah melakukan sesuatu tanpa memeriksa
dahulu persoalannya secara seksama! Ampunkan aku Pek In, aku telah menjadi korban dari rasa
cemburuku. sehingga, untuk itu aku patut menerima hukumanku yang setimpal atas
kesemberonoanku itu!"
Setelah berkata demikian, lekas-lekas ia membalikkan badannya sambil berkata, "Akan
kuserahkan diriku kepada pembesar yang berwajib!" Kemudian ia melarikan diri dan lenyap
ditelan gelapan.
"Liok Kong!" seru Pek In dengan hati mencelos. Ia berdiri sejenak bagaikan orang yang terkesima.
Dalam keadaan begitu, barulah ia paham mengapa Liok Kong membunuh muridnya. Itulah
karena ia cemburu bahwa Soat Kauw yang gemar memakai pakaian cara laki-laki itu adalah
seorang laki-laki sungguhnya yang dianggapnya sebagai saingan dalam hal memperebutkan diri
nona Pek In, yang dalam kenyataan bukan lain daripada seorang ............ wanita adanya!
Oleh sebab itu dengan perasaan hati yang amat sedih Pek In lalu mengangkat bangun Soat Kouw,
yang lalu diangkut ke dalam kamar dengan bantuan beberapa orang pelayan dalam rumah
penginapan yang ditumpanginya itu. Sedang dua orang antara pelayan tersebut lalu diperintah
pergi melaporkan peristiwa tersebut kepada kepala kampung yang kemudian telah melanjutkan
laporan tentang pembunuhan itu kepada pembesar yang berwajib.Demikianlah, oleh karena Liok Kong telah menyerahkan diri kepada pihak yang berwajib di
hadapan siapa ia telah mengakui tentang kesemberonoannya sehingga menyebabkan
melayangnya jiwa Soat Kouw di dalam tangannya, ia telah luput dari hukuman mati, tapi tak
dapat lolos dari hukuman buang ke lain tempat yang letaknya jauh dari kampung halamannya.
Sementara Pek In yang khawatir diganggu terus oleh kaum laki-laki ceriwis sebagai Liok Kong
itu, akhirnya terpaksa mencukur rambutnya untuk berpura-pura menjadi seorang Nikouw pada
waktu mana ia telah memperoleh pula seorang murid perempuan yakni Thio Siauw Giok yang
kemudian telah dibawanya keluar daerah Tembok Besar, dilatih dalam ilmu memainkan gaetan
Houw-thouw-kauw dan ilmu pukulan dengan telapak tangan yang bernama Cee gwa-soan-hong-
ciang. Dan bersamaan dengan itu, iapun telah mempergunakan obat-obatan untuk membuat
wajahnya tampak jauh lebih tua daripada wajah sebenarnya, rambutnya putih dan matanya
bagaikan orang buta melek.
Dan itulah ada dalam keadaan demikian ketika Yo Su Nio menjumpainya dan dengan ilmu
kepandaian khi-kangnya ia telah membuat Ciu Tek-Seng dan Siu Leng Siangjin kabur pontang
panting karena tak sanggup menahan pukulan dari jarak jauh nenek buta itu yang memiliki tenaga
dalam yang sangat dahsyat itu. Sekianlah riwayat nenek buta tetiron itu. Tapi perubahan yang
tampak jelas sekali perbedaannya daripada waktu ia pertama menerima Soat Kouw sebagai murid,
hati Pek In telah patah dan merasa sangat membenci kepada Liok Kong, yang tampaknya belum
puas hatinya jika belum dapat dibinasakannya. Lebih-lebih mengingat cara bagaimana Soat Kouw
yang menjadi murid kesayangannya telah binasa dalam tangan Liok Kong tanpa diri murid pribadi
keburu menyadari, bahwa kematiannya di tangan Liok Kong itu adalah karena rasa cemburu,
karena dia yang gemar memakai pakaian laki-laki dianggap sebagai saingan dalam percintaan.
Dan itulah sebab-musabab sehingga Pek In timbul pikiran untuk membunuh Yo Su Nio yang
menjadi murid musuh besarnya.
Tapi hatinya akhirnya menjadi agak lunak juga, tatkala Siauw Giok memberitahukan kepadanya,
bahwa si Dewi Tombak telah menjadi murid Liok Kong setelah si kakek pulang dari pembuangan,
sehingga dengan demikian, Su Nio tak punya tanggung-jawab sesuatu atas permusuhan yang
terjadi atas diri guru masing-masing.
Kini Pek In yang mendengar pujian Yo An Jie yang begitu muluk, iapun jadi merasa lega hati dan
kemudian melepaskan Su Nio dan Siauw Giok untuk mengikut pulang dengan Yo An Jie dan
kawan-kawannya.
Tapi cara bagaimana Thio Siauw Giok, Yo An Jie dan kawan-kawan bisa mengetahui bahwa Su
Nie berada di atas gunung itu tengah dikejar-kejar oleh Ciu Tek Seng dan susioknya?
X. UNTUK mengetahui ini semua, kita harus menilik kepada beberapa peristiwa yang telah terjadi
sebelumnya, antara mana pada waktu Thio Siauw Giok ditawan oleh pahlawan bangsa Kim yang
bernama Hap Nouw Siu Bun itu.
Pahlawan muda ini sebagai seorang manusia biasa, tentunya tidak bebas dari pada rasa kasih dan
benci kepada sesamanya, walaupun ia sendiri sebagai bangsa yang rajanya hampir dapat menjajah
seluruh tanah Tionggoan, sedapat mungkin hendak mempertahankan keunggulannya sebagai
bangsa yang dipertuan. Dan sebagai seorang pahlawan yang bertugas melayani rajanya dalam soalpeperangan, tapi bukanlah karena itu ia harus bertindak dengan menuruti segala petunjuk
atasannya tanpa timbang-menimbang pula akan akibat yang kelak bakal dialaminya.
Ia harus patuh kepada rajanya, bela kepada tanah airnya, tapi dalam pertimbangannya ia harus
lebih patuh dan bela kepada dirinya sendiri!
Menurut aturan ia harus kirim Siauw Giok yang menjadi orang tawanannya kepada atasannya,
yang akan menjatuhkan hukuman sebagaimana layaknya seseorang yang memberontak terhadap
pemerintah yang berkuasa dimasa itu. Tapi semua ini hanya ada dalam ketentuan undang-undang
pihak kaum yang memerintah, yang dapat bertindak punya suka tanpa ada orang lain yang dapat
merintanginya, tapi Hap Nouw Siu Bun rupanya telah lupa atau sengaja melupakan kententuan-
ketentuan ini. Karena bukan saja dia tak menyerahkan nona itu kepada atasannya, malah
sebaliknya secara diam diam telah melepaskannya serta memberi petunjuk kepada Siauw Giok
untuk menyusul Su Nio ke daerah pegunungan di arah selatan, kemana ia ketahui bahwa si Dewi
Tombak tengah di kejar-kejar oleh Siu Leng Siangjin dan Ciu Tek Seng.
Tapi, apakah maksudnya Hap Nouw Siu Bun menyuruh si nona menyusul kepada Yo Su Nio
kesana?
Hal ini kiranya perlu juga dijelaskan secara yang lebih mendalam.
Sebagaimana di bagian atas dikatakan, Hap Nouw Siu Ban meski dalam kedudukan sebagai
seorang pahlawan yang musti maju ke medan perang, tapi sebagai manusia biasa iapun bisa
mengasihi atau membenci kepada sesamanya. Sejak ia bertemu muka dengan Yo Su Nio dan Thio
Siauw Giok, Hatinya selain bimbang dan kesemsem, hingga dalam segala tindakan tak dapat
melupakan kepada mereka berdua. Atau jika ia toh dapat melupakan mereka juga, itulah hanya
selagi ia tertidur dengan nyenyak saja, sedang diwaktu jaga ia selalu coba berikhtiar untuk
memiliki salah seorang antara mereka, jika dia tak mungkin bisa memiliki kedua-duanya dengan
sekaligus!
Selama Siauw Giok masih menjadi orang tawanannya, Hap Nouw Siu Bun timbul keinginan
untuk mendirikan pahala bagi rajanya dan berbareng memperoleh isteri-isteri cantik untuk
memenuhi idam-idamannya dan pengharapannya untuk di kemudian hari. Tapi apa akal untuk
dapat melaksanakan itu semua dengan sekaligus?
Lalu dengan diam-diam ia menyamar sebagai serdadu biasa dan menuju ke kamar tahanan nona
Siauw Giok, yang meski kaki tangannya tidak diborgol, tapi ia terkurung cukup rapat dan tak
mungkin ia dapat kabur, jika dia tak mampu mematahkan ruji-ruji besi yang besar-besar dan kokoh


Dewi Tombak Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Siauw Gion tengah duduk termenung sambil merenungkan nasibnya, ketika secara tiba-tiba ia
menampak seorang serdadu datang menghampiri dari luar kamar tahanannya. Ia memandang
sejenak dan segera dapat mengenali, bahwa orang yang menyamar sebagai serdadu Kim itu bukan
lain daripada Hap Nouw Siu Bun adanya.
"Nona Siauw Giok." kata pahlawan Kim itu dengan sikap yang ramah dan hormat, "Setelah aku
berpikir bolak-balik sekian lamanya, kini aku telah mengambil keputusan untuk ............ untuk
menikahimu......." Sambil memperendah kata-katanya yang terakhir itu.
Siauw Giok tidak merasa heran mendenaar pernyataan Hap Nouw Siu Bun yang telah dilakukan
secara terbuka itu, karena sebagai seorang wanita yang sudah dewasa, ia sendiripun telah mulaimasak dalam soal cinta mencintai, walaupun itu baginya baru saja merupakan teori belaka. Dan
seperti juga Hap Nouw Siu Bun, diapun hanya seorang manusia biasa pula yang dapat mencinta
dan membenci. Hanya amat disayangkanbahwa Hap Nouw Si Bun itu adalah seorang musuh,
sehingga biarpun hatinya tidak membenci, tapi dilahir dia tak dapat berlaku manis untuk
menunjukkan kelemhannya. Maka diwaktu menampak pahlawan bangsa Kim itu
menghampirinya dari luar kamar tahanannya, ia tinggal tetap menatap wajah orang dengan
perasaan hati yang berdebar-debar.
"Apakah engkau bersedia untuk menjadi isteriku?" kata Hap Nouw Siu Bun pula.
"Jika aku bersedia untuk menjadi isterimu, syarat-syarat apakah yang hendak kau ajukan?" Kata-
kata itu tiba-tiba muncul di dalam hati si nona, tapi rasa jengah telah membuat kata-kata itu kandas
dan tenggelam bagaikan batu-batu yang terjatuh ke dalam lautan.
Lalu ia membelalakkan matanya ketika mendengar pengakuan cinta pahlawan bangsa Kim yang
tampan itu, tapi tinggal tetap berpura pura enggan untuk berbicara.
"Apakah engkau gusar kepadaku?" tanya lagi Hap Nouw Siu Bun.
Nona itu memberengut. Tapi sifatnya yang masih kekanak-kanakan dan gemar menggoda orang
akhirnya telah mendorong juga dirinya untuk membuka mulut.
"Jika gusar, bagaimana? Dan jika tidak gusar, bagaimana?" katanya.
Hap Nouw Siu Bun hanya menganggap sikap itu sebagai sifat aleman si dara lincah tersebut, maka
dengan tersenyum ia maju mendekati untuk mencekal kedua tangan nona Siauw Giok.
"Enyah!" bentak nona itu yang oleh si pahlawan muda hanya sebagai sikap untuk berolok-olok
belaka.
"Aku bicara dengan setulusnya hati," kata Hap Nouw Siu Bun dengan sikap yang sungguh-
sungguh. "Aku cinta padamu dan telah mengambil keputusan untuk memperisterikan dirimu.
Apakah kiranya engkau takkan menolak atau menggusari aku?"
Kali ini Siauw Giok jadi menatapkan matanya ke wajah orang dengan sikap yang sungguh-
sungguh, sehingga dengan cara itu ia memeriksa dengan seteliti-telitinya isi hati Hap Nouw Siu
Bun saat itu.
"Kini aku punya suatu rencana baru yang dapat membuka jalan bahagia bagi kita kedua pihak,"
kata pahlawan bangsa Kim pula. Tapi untuk melaksanakan rencana itu dengan sebaik-baiknya,
aku memerlukan seorang yang cerdik sebagaimana untuk menjadi pembantuku."
Dalam hati Siauw Giok timbul perasaan ingin tahu dan lalu berkata, "Coba terangkan rencanamu
itu!"
"Mari kita duduk-duduk sambil merundingkan rencana yang baru saja dapat kupikir itu," kata
Hap Nouw Siu Bun sambil menarik tangan si nona untuk mengajaknya duduk-duduk di sudut
kamar tahanan itu.
Tapi nona Siauw Giok tiba-tiba mengibaskan tangannya sambil berkata, "Apakah aku ini bukan
orang tawananmu?""Bagi pihak yang memerintah," kata si pahlawan muda. "Engkau telah dianggap sebagai seorang
tawanan, tapi bagiku pribadi, engkau adalah pujaan hatiku, sebagian dari pada jiwaku
sendiri............"
"Apa buktinya?"
Hap Nouw Siu Bun segera menanggalkan tali ikatan yang menggantungkan pedang pada
gegernya, dan lalu menyerahkan pedang dengan kedua tangannya kepada si nona sambil berkata,
"Mati hidupku aku serahkan ke dalam tanganmu!"
Tapi Siauw Giok yang merasa terpaksa oleh kata-kata itu maka muncul juga rasa simpatinya,
karena sebagai manusia yang berdarah panas, iapun harus mengaku bahwa diapun merasa tertarik
oleh pahlawan muda itu.
"Untuk maksud apa engkau menyerahkan pedang ini kepadaku?"
"Jika engkau merasa perlu, engkau boleh bunuh aku dengan pedang itu," kata Hap Nouw Siu Sun
singkat dan berani.
Thio Siauw Giok tersenyum simpul. Tapi secara tiba-tiba ia menghunus pedang itu dengan
gerakan secepat kilat dan membentak mengancam, "Benarkah engkau tak sayang akan jiwamu?"
Hap Nouw Siu Bun mengangguk dengan sikap yang mantap. Jika engkau yang turun tangan
sendiri untuk membunuhku!" katanya, "Akan kusambut itu dengan rasa hati yang lapang!"
Mendengar jawaban itu Siauw Giok menyengir dan berkata bengis, "Kalau begitu marilah engkau
serahkan jiwamu kepadaku!"
Hap Nouw Siu Bun lalu berdiri tegak dengan membelakangi dinding tembok sambil tersenyum
dan memejamkan matanya, "Aku serahkan jiwaku kepadamu tanpa penyesalan atau rasa
kecewa," katanya.
Dengan satu bentakan yang nyaring Siauw Giok lalu mempergunakan pedang itu untuk
menyambit tubuh pahlawan muda muda itu sebagai sasarannya!
SRET! DAK!
Hap Nouw Siu Bun jadi terkesiap juga hatinya mendengar suara pedang yang mendesis
kejurusannya. Tapi walaupun pedang itu telah mencapai pada sasarannya, ia tetap merasakan
dirinya tidak kurang suatu apapun! Karena kenyataannya Siauw Giok tidak menyambitkan
pedang itu kepada tubuhnya, tapi pada suatu tempat yang hanya terpisah beberapa dim saja
jauhnya dari sisi batang lehernya.
"Sungguh lihay sekali kepandaianmu itu!" memuji si pahlawan Kim dengan bernapas lega.
Siauw Giok jadi lunak hatinya dan lalu dengan segera tangannya mencabut pedang itu dari
dinding tembok, sedang dengan tangan yang lainnya ia memimpin tangan Hap Nouw Siu Bun
sambil berkata, "Sekarang aku percaya akan ketulusan hatimu. Harap sudi memaafkan atas
kelancanganku itu.""Aku tidak senang engkau membahasakan aku tuan," kata pahlawan muda itu, "Tapi akan lebih
merdu dalam pendengaran jika engkau membahasakan aku kakak, sedang aku akan
membahasakanmu adik sebagai balasannya!"
Siauw Giok tersenyum dan mengangguk sebagai tanda mupafat, "Akan kuturuti permintaan
kakak itu," katanya.
"Itulah yang justeru kuharapkan setiap petang dan siang hari, dik!"
Hap Nouw Siu Bun hampir memeluk dan mencium nona itu saking girangnya, jika Siauw Giok
tidak lekas-lekas mundur untuk mengelakkan kedua tangan si pemuda yang hendak merangkulnya
itu. "Ingatlah kepada batas-batas kesopanan kita yang dijunjung begitu tinggi sedari jaman kuno
itu!" kata si nona dengan wajah memerah dan hati terkesiap karena saking malu serta gugupnya.
Jika hendak menuruti hatinya, Hap Nouw Siu Bun boleh berbuat sesukanya terhadap diri si nona
yang menjadi tawanannya itu, tapi sebagai menusia sopan ia harus mengindahkan akan adat
kesopanan yang telah diperingatkan oleh nona Siauw Giok tadi. Maka sebagai seseorang yang
mengindahkan adat sopan santun, iapun terpaksa menahan napsu dan asmara yang bergelora di
dalam hatinya disaat itu.
"Engkau ini sesungguhnyalah seorang anak dara yang sangat berharga untuk menjadi kawan
hidup dan ibu rumah tangga yang bahagia!" kata Hap Nouw Siu Bun.
Sementara Siauw Giok yang seumur hidupnya belum pernah mengalami rayuan seorang kekasih,
hatinya jadi berdebar-debar keras dan lupa bahwa dirinya masih menjadi orang tawanan dari pa-
sukan tentara kaum penjajah. Sedangkan persentuhan tangan dan badan yang terjadi seketika itu,
bagi si nona tak berbeda dengan kawat listrik yang kontak dengan tiangnya. Lebih-lebih dikala
tangan Hap Nouw Siu Sun, menjamah tubuhnya dan mengajaknya duduk kembali dengan
berendeng di atas sebuah bangku panjang, hingga sekujur badannya terasa gemetar, kemudian
mereka melanjutkan perundingan yang barusan terjadi itu secara akrab sekali.
"Kini aku bertugas sebagai seorang pahlawan," kata Hap Nouw Siu Bun yang hendak coba
membentangkan rencananya, "Tapi hatiku merasa kurang puas dan hendak berusaha berdiri atas
kaki sendiri, tanpa mengandal kepada bantuan atau tenaga siapapun. Kecuali orang yang berada
di sampingku ......." Sambil ia melirik kepada si nona.
Anak dara itu lekas menundukkan kepalanya dengan wajah memerah karena jengah.
"Kalau begitu aku punya suatu usul," katanya setelah berpikir sejenak, "Hanya apakah saran ini
dapat kau setujui!?"
"Cobalah engkau jelaskan," kata pahlawan muda itu.
"Bagaimana pendapatmu, jika pasukan tentaramu kita gabungkan dengan pasukan kami untuk
bekerja sama dalam melakukan suatu pekerjaan besar?"
Hap Nouw Siu Bun terbengong sejenak, tapi kemudian tersenyum sambil mengangguk. "Saranmu
itu memang baik juga untuk dipertimbangkan," katanya, "Tapi besar sekali akibatnya, jika sampai
kejadian peristiwa ini dapat diendus oleh pihak pemerintah yang berwenang dimasa ini. Karena
dengan mengambil tindakan menurut saranmu itu, berarti aku harus memberontak kepada peme-
rintahku sendiri dan memihak kepadamu yang tersebut sebagai kaum pemberontak. Tapi .........aku ada suatu akal," katanya lebih jauh. "Ssuatu siasat, jika engkau kurang paham akan
maksudku."
"Siasat apa? Dan bagaimana?" bertanya si nona.
"Cara memberontak kawan-kawanmu itu," kata Hap Nouw Siu Bun. "Ternyata kurang benar dan
tidak menurut rencana yang sehingga dapat dilakukan secara lancar, berhubung pasukan kawan-
kawanmu itu terpencar di sana sini dan tidak dipusatkan pada suatu tempat yang tertentu. Dengan
demikian, cara bagaimana kalian bisa diharap akan dapat bekerja sama, jika -sampai kejadian
pasukan pemerintah melakukan pengepungan terhadap markas besarmu itu? Aku, meski bertugas
sebagai pahlawan pihak musuhmu tapi di dalam hati aku selalu memihak kepada orang yang
kucintai bagaikan jiwa dan ragaku sendiri! Oleh sebab itu, aku usulkan supaya kawan-kawanmu
yang terpencar itu dikumpulkan di suatu tempat, hingga selain masing-masing mendapat kontak
dari dekat, merekapun dapat mempersatukan seluruh tenaga yang ada untuk melawan musuh,
jika sampai kejadian pasukan musuh datang menyerbu kita. Cobalah engkau fikir, benarkah
pendapatku ini?"
Siauw Giok yang masih hijau dalam kalangan percintaan dan belum kenal banyak tentang segala
segi yang terdapat dalam kalangan itu, segera menganggap bahwa saran pahlawan muda yang
mengakui dirinya sebagai "pacarnya" itu adalah benar dan segala perkataannya dapat dibuat
pedoman untuk pergerakan mereka dikemudian hari. Oleh sebab itu, ia segera berjanji akan
menyampaikan juga saran itu kepada kakak angkatnya Yo Su Nio, yang mempunyai kedudukan
penting juga diantara kaumnya yang menamakan diri mereka kaum jaket Merah itu.
Hal mana, sudah barang tentu telah membuat Hap Nouw Siu Bun jadi girang dan berkata di dalam
hatinya, "Jika mereka suka menuruti syaratku ini, niscaya tidak sukar akan pasukan Seribaginda
untuk membasminya, sehingga orang-orang yang kucintai akan lekas terjatuh ke dalam
tanganku!"
Maka setelah diberitahukan bahwa disaat itu Yo Su Nio tengah dikejar ke daerah pegunungan
oleh Siu Leng Siangjin dan Ciu Tek Seng berduaan, Siauw Giok yang dilepaskan oleh Hap Nouw
Siu Bun tidak berayal lagi segera menyusul ke daerah pegunungan itu, dimana ia mendapatkan
gurunya tengah bertengkar dan hendak membunuh Su Nio sebagai penggantian jiwa Soat Kouw
yang telah keliru dibunuh oleh Liok Kong karena akibat rasa cemburu.
Kemudian menyusul juga Yo An Jie dan kawan-kawan ke daerah pegunungan itu, yang telah
mengetahui bahwa Su Nio berada di situ karena menerima surat yang dikirim dengan anak panah
yang dengan diam-diam telah dilakukan oleh Hap Nouw Siu Bun sendiri.
Tatkala Su Nio, An Jie dan yang lain-lainnya telah berkumpul, barulah Siauw Giok
membentangkan saran Hap Nouw Siu Bun yang telah diceritakan di hadapannya itu, maka
alangkah baiknya jika pasukan-pasukan mereka yang terpencar itu digabungkan dan dikumpulkan
dalam suatu tempat atau markas yang tertentu. Demikianlah kata Siauw Giok yang telah
menyampaikan saran itu kepada Su Nio sekalian sebagai penyambung lidah pahlawan muda
bangsa Kim itu.
Tapi Su Nio yang mendengar saran tersebut dengan lantas ia memotong pembicaraan adik
angkatnya itu sambil berkata,"Sungguh licin sekali siasat pahlawan musuh itu!""Tapi ia mengaku kepadaku bahwa dia mencintai aku," Siauw Giok membisikkan kata-kata itu
di telinga kakaknya, Maka mana mungkin dia memperdayakan kita?"
Su Nio jadi tersenyum getir mendengar bisikan adiknya itu. "Mana mungkin?" ia mengulangi.
"Dapatkah menyelami hati orang lain? Air yang dalam dapat diukur, tapi hati manusia bagaimana
diketahui? Aiii, engkau yang masih terlampau muda jangan sampai kena diperdayakan mulut
manis!"
"Tapi, Cie-cie, aku lihat dia bukan orang jahat," kata Siauw Giok yang bermaksud hendak
membela Hap Nouw Siu Bun yang dianggapnya telah berbuat baik kepadanya itu.
"Ada suatu peribahasa lama yang mengatakan," kata Su Nio, "Membuat lukisan harimau hingga
kulitnya sekali, tapi sukar melukis tulangnya dengan sekaligus, kenal orang karena wajahnya, tapi
sukar mengetahui bagaimana hatinya. Engkau baru pertama kali ini mengenal pahlawan bangsa
Kim itu secara akrab, tapi apakah itu sudah bisa untuk dijadikan pedoman utama untuk
mempercayai segala ucapannya? Engkau rupanya hanya melihat pada bagian perhubungan yang
baik saja, tapi sama sekali tidak mau memikirkan bagaimana akan akibatnya nanti. Coba engkau
timbang. Akan kubuat suatu perjanjian mengenai saran Hap Nouw Siu Bun yang diajukan
kepadamu itu."
Dengan ini Su Nio telah membuat semua orang memasang telinga dan bersedia mendengarkan
perundingan tentang rencana mereka selanjutnya.
"Ingatlah," kata nona itu, "Bahwa dengan bergerak secara bergerilya dan saling berpencar, lebih
sukar dihancurkan oleh musuh daripada jika kita memusatkan tenaga kekuatan kita di suatu
tempat yang tertentu. Karena dengan mudah menghancur leburkan kita dengan pasukan yang
besar dan kuat. Sedang kalau kita melakukan perlawanan dengan berpencar itupun bukan suatu
gerakan yang sempurna, tapi hanya merupakan pertempuran secara kecil-kecilan untuk mengulur-
waklu saja, yang akhirnyapun akan mengalami kemusnahan yang sama saja jika siasat itu sudah
tak dapat diperluas atau ditambah dengan tenaga yang lebih banyak dan kuat. Jika kalau sekarang
kita turuti siasat Hap Nouw Siu Bun dan memusatkan seluruh tenaga kita di suatu tempat saja,
itulah hanya berarti bahwa pasukan-pasukan kita akan lebih mudah dapat dimusnahkan oleh
pihak musuh. Oleh sebab itu siapa yang sudi membunuh diri untuk keuntungan lain pihak yang
menganjurkan untuk kita berbuat demikian?"
Orang banyak membenarkan pandangan nona Su Nio itu, tapi Siauw Giok menganggap itu salah
dan sebaliknya membenarkan saran yang diajukan oleh Hap Nouw Siu Bun itu, walaupun di
mulut dia tak bisa membantah itu secara terbuka.
Su Nio baru saja selesai berbicara, ketika dari kejauhan tampak seorang liauwlo yang membedal
kudanya bagaikan terbang cepatnya. Tapi begitu melihat Su Nio dan kawan-kawan mendatangi,
dengan lantas ia maju menghampiri, menahan tali kekangnya dengan napas terengah-engah,
"Nona!" katanya terputus-putus, "Celaka! ......... Pesanggerahan kita di atas gunung telah diserbu
dan dibakar oleh pasukan serdadu Kim yang dikirim dari Ceng hiang-tien! Banyak kawan-kawan
kita yang tewas, luka-luka parah dan tertawan oleh pihak musuh!"
Su Nio dan kawan kawan jadi sangat terkejut. "Mari kalian ikut aku!" katanya cemas.
Yo An Jie, Siauw Giok dan yang lain-lainnya segera meminta diri kepada nenek buta tetiron itu
dan lekas pulang untuk menolong kawan-kawan mereka yang masih terkepung musuh itu. Tapi,apa celaka, sesampainya ditengah jalan, mereka telah dicegat oleh sepasukan tentara Kim dan
dikepalai oleh Ciu Tek-Seng dan kepala gundul yang ceriwis itu!
"Celaka!" Su Nio mengeluh di dalam hati. Tapi dilahir ia tinggal tetap berlaku gagah dan segera
melintangkan tombaknya dengan mantap dan membentak, "Hweeshio cabul apakah engkau telah
mengambil keputusan untuk menyerahkan jiwamu ke dalam tangan kami?"
Siu Leng Siangjin jadi sangat mendongkol dan lalu mengangkat tongkatnya untuk menerjang si
nona. Sedang Ciu Tek Seng yang hendak membantu susioknya mengepung Yo Su Nio dengan
mempergunakan senjata Sam-ciat-tiok-pian di tangannya, segera dihadang oleh Yo An Jie yang
bersenjatakan sebatang golok Tanto hingga selain kedua pasang lawan itu, pihak tentara Kim dan
para anak buah Yo An Jiepun lalu mulai bergebrak, serang menyerang tanpa banyak bicara pula.
Kemudian Siauw Giok mengangkat sepasang gaetannya dan membantu Su Nio melawan
bertempur Siu Leng Sangjin yang teramat lihay dan tak mudah dikalahkan dengan cara keras
lawan keras. Oleh sebab itu, ia terpaksa melawan dari samping dan maksud memberikan
kesempatan untuk kakaknya dapat lekas melukai musuh itu dengan tombaknya.
Tapi Siu Leng Siangjin yang terlebih siang telah mengetahui sampai dimana kepandaian kedua,
anak dara itu, sambil mengganda tawa ia putar tongkatnya bagaikan baling-baling cepatnya,
sebentar menyambar ke atas, dan sebentar pula menyabet ke bawah. Suara tongkat itu yang
menderu deru dengan amat dahsyatnya, tiada bedanya dengan suara angin tofan yang seakan akan
hendak menyapu segala sesuatu yang berani coba merintanginya.
Pertempuran berlangsung dengan sama tanding dan kuatnya, walaupun biarawan tua itu
dikeroyok oleh dua orang anak dara yang lincah dan lihay sekali mempergunakan senjata yang
menjadi miliknya masing-masing.
Siu Leng Siangjin yang sangat gemar dengan paras cantik, sengaja melakukan perlawanan sambil
saban-saban sengaja mundur-mundur udang untuk memuaskan matanya memandang kedua dara
itu dengan perasaan tanpa sopan santunnya.
"Kamu berdua lebih baik segera menyerah saja kepadaku," kata hweeshio cabul itu dengan
perasaan mengiler, "Makan dan pakaianmu pasti akan kutanggung seumur hidupmu, sedang
keselamatanmu pun akan terjamin dan bebas daripada segala tuntutan. Kalau tidak ..............."
"Kalau tidak, bagaimana?" Dengan mata membelalak Siauw Giok memotong pembicaraan
orang.
Siu Leng Siangjin baru saja hendak membuka mulut untuk menjawab, ketika ia dikejutkan oleh
satu sinar berkilauan yang melesat bagaikan kilat kea rah jurusannya, "Ayaa!" katanya sambil
pergunakan tongkatnya untuk menyampok benda tersebut sehingga benda tersebut terpental
menghantam ke arah Ciu Tek Seng yang sedang bertempur dengan Yo An Jie. Tek Seng yang
sedang sibuk melawan musuhnya, sudah barang tentu tidak keburu mengelakkan sambaran sinar
itu, sehingga seketika itu juga ia menjerit saking kesakitan dan jatuh terjungkal di tanah dengan
bahu berlumuran darah!
Ternyata Yo Su Nio yang merasa sangat jemu mendengar kata-kata biarawan tua yang sangat
ceriwis itu, diam-diam telah menyambit dengan senjata rahasia Tok-bwee-kwie untuk melukainya.
Tapi Siu Leng Siangjin cukup lihay untuk meloloskan diri dari ancaman bahaya dan menyampoksenjata rahasia itu dengan tongkatnya, sehingga bahaya itu berpindah ke bahu sutitnya, yang
untuk kedua kalinya telah terluka oleh senjata rahasia nona Su Nio itu!
Syukur juga ia keburu ditolong oleh anak buahnya, yang telah menerjang Yo An Jie dari segala
jurusan, kalau tidak, niscaya Ciu Tek Seng ini akan melayang jiwanya karena ditabas oleh golok
si orang she Yo. Kemudian ia diangkut oleh anak buahnya ke tempat lain yang lebih aman untuk
menantikan perawatan dan pengobatan sampai Siu Leng Siangjin berhasil dapat memukul
mundur kaum pemberontak Jaket Merah itu.
Tapi Yo Su Nio dan Thio Siauw Giok bukan tidak mau membiarkan si biarawan tua mendapat
kesempatan untuk menurunkan tangah jahat terhadap mereka berdua, malah senjata-senjata
rahasia pun segera dipergunakan mereka untuk melukai serta melumpuhkan perlawanan Siu Leng
Siangjin yang mereka ketahui bukan lawan mereka yang setimpal itu. .
Syukur juga perasaan hati si biarawan tua itu siang-siang telah dilumerkan oleh kecantikan kedua
anak dara itu. Kalau tidak, niscaya ia dapat bertindak lebih ganas daripada seekor harimau yang
haus darah atau burung bangkai yang sedang kelaparan di padang pasir. Maka biarpun Su Nio
dan Siauw Giok selalu melancarkan serangan-serangan maut dengan berbareng, biarawan tua itu


Dewi Tombak Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengganda tawa serta berlaku, tenang untuk menyambutnya dan memandang mereka dengan
wajah yang berseri-seri. Hal mana, sudah-barang tentu, telah membuat An Jie jadi marah lalu
hantu kedua adiknya untuk mengepung si biarawan tua itu sambil membentak, "Kepala gundul!
Kali ini engkau jangan harap akan dapat lolos dari dalam tangan kami!"
Sambil berkata demikian si pemuda ini sudah lantas menggerakkan golok besarnya dibacokkan ke
arah ubun-ubun orang yang licin dan cabul itu!
Tapi ketika terdengar suara beradunya dua senjata dengan menimbulkan suara "Traang!" yang
nyaring sekali, golok Yo An Jie tampak terpental melayang di udara, sedang dia sendiri terdorong
mundur hingga beberapa kaki jauhnya dan jatuh terlentang di tanah bagaikan sebuah kundur yang
gugur dari tangkainya!
Dalam keadaan begitu, anak buah Ciu Tek Seng segera maju dengan berlomba dan membekuk
serta membelenggu Yo An Jie yang belum keburu bangun, sedang separuh dari tentara Kim itu
telah melawan bertempur Ngo Sian Tie dan kawan-kawan yang hendak menolong kawan mereka
yang telah keburu ditawan musuh
Sementara Siu Leng Siangjin yang telah berhasil membuat Yo An Jie terpental dan ditawan oleh
anak buahnya dengan tertawa gembira lalu herkata pada kedua gadis jelita yang masih
mengeroyoknya itu, "Nona-nona manis, tidak berapa lama pula kamu berduapun akan dapat juga
kubekuk!" Tapi tanpa banyak bicara pula Siauw Giok telah menyerang dari arah kiri perut si
hweeshio yang agak gendut itu hendak dibuat sasaran daripada serangannya itu.
Siu Leng Siangjin lekas-lekas memutarkan tongkatnya untuk menangkis serangan itu hingga
Siauw Giok yang telah berlaku terburu napsu, kedua gaetannya dengan sekaligus telah dapat
dipukul sedang sepasang Tok-bwee-kwie yang disambitkan oleh Su Nio itupun dengan mudah
saja telah dapat dihindarkannya dan jatuh ke tempat jauh tanpa mengenai pada sasarannya yang
dituju.
Su Nio jadi terkejut dan terpaksa melindungi Siauw Giok untuk memungut sepasang gaetannya
yang jatuh ke tanah. Tapi selagi Siu Leng hendak maju menyergap si nona yang bertangan kosongitu, tiba-tiba dari kejauhan tampak Hap Nouw Siu Bun yang sedang mendatangi dengan hanya
seorang diri saja dan berseru dari kejauhan, "Kok-su, lekas pulang! Kewedanaan Ceng-hiang-tien
tengah dikepung oleh pasukan tentara pemberontak!"
Oleh karena itu, si biarawan tua baru tampak terkejut dan segera meninggalkan kedua orang anak
dara itu untuk mengerahkan anak buahnya pergi menolong Pasukan Cian-hu Pek Tek Ceng, yang
terkurung di sana.
Sesudah menjatuhkan si hweeshio tua itu dengan diam-diam ia memberi isyarat kepada Thio
Siauw Giok untuk segera meninggalkan medan pertempuran sedang ia sendiri lekas-lekas kembali
ke dalam pesanggerahannya.
Siauw Giok jadi tersenyum sendirian dan lalu menoleh kepada kakaknya, seolah-olah orang yang
hendak berkata, "Nah, tengoklah, betapa besarnya cinta pemuda bangsa Kim itu kepadaku!"
Tapi Su Nio hanya menghela napas dan segera membantu Ngo Sian Tie dan kawan-kawan yang
hendak merampas pulang Yo An Jie yang ditawan musuh itu.
Begitulah setelah pertempuran yang dahsyat sekali telah berlangsung sehingga beberapa lamanya,
barulah mereka berhasil dapat menolong Yo An Jie, yang lalu diajak kembali ke atas gunung
dalam keadaan selamat dan tidak kurang suatu apapun.
"Jika aku belum membasmi pasukan musuh sehingga tiada seorangpun diantara mereka yang
masih bisa bernapas," kata Yo An Jie dengar perasaan gemas, "Belumlah puas rasa penasaranku!"
Namun biar bagaimanapun besarnya kemarahannya itu, dia tak dapat berbuat lain daripada
melampiaskannya dengan jalan memukul meja dengan tinjunya!
*** Kini kita mengajak pembaca menilik kepada Hap Nouw Siu Bun ternyata selain lihay ilmu
silatnya, juga mahir dalam hal mengaturkan siasat-siasat yang justeru sangat menguntungkan bagi
dirinya sendiri.
Yang pertama-tama, ia sengaja menganjurkan untuk Siauw Giok menyampaikan sarannya kepada
Yo Su Nio dan kawan-kawan, agar kaum pejuang yang terpencar itu dipusatkan di suatu tempat
yang tertentu. Tapi Su Nio yang segera dapat melihat bahaya mungkin terjadi bagi pihaknya
sendiri jika main menurut saja segala ajaran pahlawan bangsa Kim itu, secara kontan lalu menolak
dan menunjukkan bahaya-bahaya apa yang mungkin terjadi karena pemusatan pasukan gerilya di
suatu tempat yang tertentu itu. Tapi atas penolakan ini Siauw Giok yang sedang mabuk asmara
menjadi kurang senang dan menganggap kakaknya besar kepala, walaupun tenaga pasukan di
bawah perintahnya tidak seberapa besar.
Oleh karena itu, hati Siauw Giok yng masih muda dan hijau dalam kalangan percintaan lalu
timbul pikiran untuk memisahkan diri dengan Yo Su Nio dan kawan-kawan, akan kemudian
mengabungkan diri dengan pihak Hap Nouw Siu Bun, yang ia anggap kelak akan menjadi seorang
suami yang dapat memenuhkan segala cita-citanya.
Maka setelah naik gunung sesudah mengalami pertempuran sengit dengan Siu Leng Siangjin dan
anak buahnya, pada petang hari itu nona Siauw Giok tak dapat tidur dengan nyenyak. Dia tak
dapat tidur meski Su Nio telah lama tidur nyenyak karena amat lelahnya. Dan tatkala berselangbeberapa lamanya ia belum dapat memejamkan matanya, lalu nona itu turun dari ranjang
mengambil arak untuk diminum, sambil pikirannya tidak hentinya keliaran dan akhirnya teringat
akan si pahlawan muda yang tampan itu, hingga ia merasa tidak kecewa hidupnya jika dapat
mempersuamikannya dan membangun suatu rumah tangga yang dibuat bangga oleh sanak
saudara dan handai taulannya. Tapi belum dapat ia memikirkan suatu keputusan, apakah ia mesti
tinggal di situ bersama-sama Su Nio dan kawan-kawan atau mengikuti pihak Hap Nouw Siu Bun
yang sudah jelas berdiri di pihak bertentangan dengan mereka kaum pemberontak Jaket Merah.
Oleh sebab itu ia sangat bingung dan apakah yang selanjutnya harus dilakukan?
Secawan demi secawan Siauw Giok telah meminum arak tapi bukannya pemecahan yang
diharapkan itu muncul di otaknya sebaliknya kepalanya dirasakan makin pening dan
penglihatannya mulai, kabur. Tapi dikala ia hendak mengisi pula cawan sudah kering itu dengan
arak dari dalam poci, tiba-tiba dari jendela ia melihat sesosok bayangan yang semula tampaknya
berniat masuk ke dalam kamar itu, tapi maksud itu segera diurungkannya dan terus menyelinap
ke bawah jendela tatkala melihat Siauw Giok bangkit dari tempat duduknya sambil membentak,
"Siapa itu?"DEWI TOMBAK
HOA-CHIO YO SU NIO
Jilid V
Tapi dari arah sana tidak terdengar ada orang yang menjawab hingga si nona jadi uring-uringan
dan segera mengejar keluar dengan menghunus pedang yang semula digantungnya di dinding
tembok. Mula mula ia melemparkan sebuah bangku untuk memancing penyerangan gelap dari
pihak musuh. Tapi setelah tidak melihat gerak-gerik sesuatu dengan lantas ia melompat keluar
jendela dengan mempergunakan siasat Yan-cu-chut-lim atau burung kepinis terbang keluar rimba,
hingga dalam waktu sekejapan saja ia telah berada di luar kamar, tapi di sana pun ternyata tidak
tampak sesuatu yang dapat mencurigakan hatinya. Hal sudah barang tentu telah membuat si nona
jadi heran dan lalu memandang ke sekitar pekarangan pesanggerahan itu dengan laku yang hati-
hati sekali.
"Siapakah gerangan bayangan yang telah kulihat berkelebat tadi di luar kamarku" ini?" Siauw
Giok bertanya pada diri sendiri.
Ia berdiri di situ sesaat lamanya, sambil menoleh kian kemari dengan tanda tanya besar yang
sekonyong-konyong timbul di dalam hatinya.
Tapi siapa sangka selagi ia berbuat demikian, tilba-tiba dari arah belakangnya ada orang yang
menyergap dan memeluknya sambil membentak, "Engkau hendak kabur kemana?"
Siauw Giok jadi terkejut dan segera meronta, tapi orang itu ternyata bertenaga sangat kuat dan
mencekal dirinya dengan amat eratnya sehingga dia tak mampu melepaskan dirinya atau bergerak
barang sedikitpun.
"Engkau siapa?" balas membentak nona itu.
"Seorang kawan!" kata orang itu sambil tertawa.
Dalam keadaan begitu, Siauw Giok segera membungkukkan badannya ke depan dengan gerakan
secepat kilat, karena dengan begitu ia berniat untuk membanting lawannya itu sehingga jatuh
mengusruk tapi ternyata pihak musuhnya lebih gesit dan tubuhn sangat berat hingga sia-sia saja ia
beraksi untuk menjebak musuhnya itu.
"Tidak usah engkau khawatir," kata orang itu pula, "Aku tak akan mencelakai dirimu, asalkan
engkau sudi mengabulkan permintaanku!"
Siauw Giok yang merasa tak berdaya untuk meloloskan diri terpaksa berlaku agak lunak, dan
berkata, "Cobalah engkau jelaskan apa permintaanmu itu!"
"Aku hendak memperisterikan dirimu!" kata orang itu sambil tertawa mengakak
Siauw Giok tidak segera menjawab, tapi cepat melirik ke belakang untuk mengetahui siapa adanya
orang yang menyergapnya itu.
Tampaknya orang itu mengenakan pakaian perang yang rasanya ia pernah lihat dikenakan oleh
seseorang.Lalu ia menundukkan kepalanya dan memperhatikan sepatu yang dikenakan orang itu.
Sepatu itupun pernah juga dilihatnya dan dikenakan oleh orang yang sama pula.
"Tidak salah lagi," pikir nona Siauw Giok dengan perasaan hati lega. "Meski aku sukar melihat
wajahnya, tapi sudah jelaslah, bahwa aku pernah mengenalnya!"
Oleh karena itu, ia segera menjawab, "Aku kabulkan permintaanmu!"
Orang itu tertawa mengakak, lalu ia......... menotok urat darah si nona, sehingga Siauw Giok jatuh
terkuiai dan tak berdaya sama sekali.
"Engkau siapa?" tanya Thio Siauw Giok dengan perasaan curiga.
Tatkala ia menoleh dan menatap wajah orang itu ..............hatinya jadi mencelos dan dengan
gugup ia berkata, "Engkau......Siu Leng Siangjin!" Karena orang yang disangka Hap Nouw Siu
Bun bukan lain daripada ......... Siu Leng Siang-jin yang dengan mengenakan pakaian perang yang
mirip dengan yang biasa dikenakan oleh pahlawan bangsa Kim yang menjadi idaman hatinya itu!
Tapi sekarang ia sudah tak berdaya lagi. Dan lebih celaka ia telah mengabulkan permintaan si
kepala gundul untuk menjadi........... isterinya!
"Sekarang engkau telah menjadi isteriku menurut persetujuanmu." kata si hweeshio tua sambil
cengar-cengir. "Bukan karena terpaksa atau diancam dengan kekerasan. Ayoh, mari sekarang kita
ke pesanggerahanku, sehingga pernikahan kita dapat dilangsungkan di sana secara resmi."
Sesudah berkata demikian, Siu Leng Siangjin segera memondong si nona hendak dibawa pergi.
"Aku dapat berjalan sendiri!" kata Siauw Giok, yang di dalam hatinya tiba-tiba timbul pikiran
untuk kabur dengan jalan memperdayakan si kepala gundul. "Segeralah bebaskan aku dari
totokanmu!"
Siu Leng Siengjin hanya mengganda tertawa. "Jika aku membebaskan totokanku," katanya,
"Engkau pasti akan melawan dan mengingkari janjimu. Oleh sebab itu, aku hendak membawa
dirimu dalam keadaan seperti sekarang ini. Tak dapat meronta juga tak dapat melawanku. Jika
nanti kita sudah menikah, barulah akan kubebaskan totokanku itu!"
"Celaka! Celaka!" Siauw Giok mengeluh di dalam hatinya. "Ternyata dia kini tak dapat
diperdayakan pula!"
"Barusan engkau telah mengabulkan permintaanku untuk memperisterikan kepadamu," kata
hweeshio tua itu pula, "Tapi mengapakah engkau sekarang hendak mengingkari janji itu? Ingatlah
bahwa ludah yang sudah dibuangkan ke tanah, apakah mungkin dijilat kembali?"
Siauw Giok jadi menyesal dengan caranya yang begitu mudah mengabulkan permintaan orang
tadi, berhubung ia menyangka bahwa si kepala nundul itu adalah Hap Nouw Siu Bun si pahlawan
bangsa Kim yang tampan itu!
Syukur juga pada sebelum Siu Leng Siangjin membawanya pergi ke pesanggerahannya tiba-tiba
dari tempat gelap kelihatan berkelebat sesosok bayangan manusia yang disusul dengan suara
bentakan, "Kepala gundul! Dari setadian aku telah menyaksikan perbuatanmu yang melanggar
perikesopanan itu! Kini sudah cukuplah untukmu hidup di dalam dunia ini."Dengan diucapkannya kata-kata itu, orang yang baru datang itu segera menyerang Siu Leng
Siangjin dengan pedang di tangannya.
Tapi biarawan tua itu yang ternyata tidak kalah gesitnya dengan musuhnya itu, segera melawan
bertempur dengan siasat Kong-siu-jip-pek-jim, yang sebagaimana telah dikenal baik dalam
kalangan persilatan, itulah ada suatu cara perlawanan dengan tangan kosong yang tepat sekali
untuk melawanan musuh yang menyerang dengan senjata tajam.
Demikianlah kedua orang itu telah bertempur dengan sama lihay dan dahsyatnya.
Sementara Siauw Giok yang telah mengenali siapa adanya orang yang baru datang itu, dengan
hati sangat girang segera berseru, "Hap Nouw Siu Bun Koko, lekas tolong aku yang telah tertotok
jalan darahku oleh hweeshio keji itu!"
"Baik, baik!" sahut Hap Nouw Siu Bun sambil melawan bertempur biarawan tua itu. "Jika kepala
gundul ini sudah kutabas batang lehernya pasti engkau terbebas dan boleh mengikutiku ke
pesanggerahanku!" Siauw Giok jadi gembira tercampur menyesal. Ia gembira ketika mendengar
pahlawan pujaannya menjanjikannya untuk mengajak pulang ke pesanggerahannya, tapi
berbareng ia menyesal karena dalam keadaan bagaikan lumpuh itu, dia tak dapat membantu Hap
Nouw Siu Bun untuk sama-sama membunuh si biarawan tua yang sangat menjemukan hatinya
itu. Tatkala, pertempuran berlangsung beberapa puluh jurus lamanya, Hap Nouw Siu Bun kelihatan
keteter dan akhirnya terpaksa kabur ke dalam rimba dengan dikejar-kejar oleh biarawan tua itu.
"Meski engkau kabur ke atas langit atau menerobos ke dalam bumi." kata Siu Leng Siangjin
dengan amat sengitnya, "Tidak urung akan kukejar juga sehingga dapat!"
Nona Siauw Giok yang memang sudah merasa khawatir atas keselamatan diri pahlawan
idamannya itu, menjadi mencelos hatinya ketika mendengar Hap Nouw Siu Bun yang kabur ke
dalam rimba, ia berteriak, "Matilah aku sekali ini!"
Itu suatu pertanda yang buruk sekali. Karena jika keadaan tidak sangat kesusu atau gawat bagi
dirinya niscaya, pahlawan bangsa Kim itu tidak berteriak serupa itu, seolah-olah dia telah
kehabisan akal dan putus asa dalam melawan musuhnya itu.
"Celaka!" kata Thio Siauw Giok di dalam hatinya, tapi dia tak dapat berbuat sesuatu untuk
membebaskan diri dari pada pengaruh totokan biarawan tua itu. . .
Tapi, di luar dugaannya, tiba-tiba ia melihat Hap Nouw Siu Bun berlari-iari keluar dari dalam
rimba dengan menjinjing...........kepala Siu Leng Siangjin yang darahnya masih mengucur.
"Aiiiii!" Dari rasa cemas, kini perasaan si nona berubah menjadi gembira....ya, sangat gembira,
maka dengan wajah yang berseri-seri ia telah memanggil, "Koko, lekas tolong aku!"
Tapi, hampir dalam saat itu juga tiba-tiba ia telah dikejutkan sebuah sinar terang yang menyambar
ke jurusannya bagaikan kilat cepatnya.
"Ah!" teriak si nona dengan hati mencelos.
Itulah ternyata sebuah tempuling yang telah disambitkan orang ke jurusannya!Ia coba berkelit untuk meluputkan diri dari pada senjata tersebut tapi ternyata sia-sia saja, karena
tempuling yang meluncur bagaikan kilat cepatnya itu, terlebih siang telah menancap di dadanya
sehingga tak terasa pula ia menjerit, "Celaka!" dan roboh di tanah dalam keadaan mandi darah!
Hal mana, sudah barang tentu telah mengejutkan Yo Su Nio yang segera datang menolongnya.
Tatkala Siauw Giok membuka matanya, ia dapatkan dirinya terbaring di atas ranjang, dengan Yo
Su Nio tampak duduk di tepinya sambil menatap wajahnya dengan sorot mata tenang. Kemudian
ia tersenyum ketika melihat Siauw Giok tersadar dan balas menatap wajahnya keheran-heranan.
Hati nona itu jadi semakin heran lagi, ketika meraba dadanya dan mendapat kenyatan bahwa
bagian tubuhnya itu tidak kurang suatu apupun, tidak sakit, juga tidak berdarah, hingga ia berkata,
"Bukankah barusan dadaku telah terluka oleh sambitan tempuling musuh?" Sambil membuka
lebar kedua matanya.
"Engkau mabuk!" kata nona Su Nio sambil mengomel sayang "Siapa suruh engkau minum arak
sehingga melampaui batas? Sukur juga aku segera mengetahui, kalau tidak, pasti engkau
meringkuk terus di tanah sehingga hari esok!"
"Aiiii!" kata Thio Siauw Giok sambil menghela napas. Tapi ia merasa jengah untuk menuturkan
impiannya itu kepada kakak angkatnya, terutama pada bagian-bagian impian yang romantis itu.
Sejak peristiwa mabuk arak itu, nona Siauw Giok selalu terkenang kepada pahlawan bangsa Kim
yang menjadi idam-idaman hatinya itu. Tapi ia merasa sangat menyesal karena maksudnya untuk
mendekati pemuda itu telah ditentang oleh nona Su Nio, yang ternyata tidak mempercayai
kejujuran hati pihak musuhnya itu. Oleh karena itu, dalam penghidupan Siauw Giok kini telah
menemui suatu persoalan yang pelik sekali. Apakah ia harus bertindak sendiri dengan menuruti
perasaan hatinya atau menuruti pikiran Su Nio yang agak bertentangan dengan kehendak hatinya
itu? XI. PADA suara pagi dalam pesanggerahan Yo Su Nio telah terbit kegemparan karena lenyapnya
Thio Siauw Giok yang telah meninggalkan pesanggerahan itu secara diam-diam, beberapa orang
liauwlo segera dikerahkan untuk mencari nona itu, tapi meski dicari hingga ke suatu tempat yang
luasnya tidak kurang dari tiga puluh li persegi, tidak urung semua orang telah pulang dengan
tangan hamba, tidak menemui kemana jejak kepergiannya nona Siauw Giok itu. Karena dari
keterangan yang diperoleh dari sana sini, tiada seorangpun yang dapat memberitahukan bahwc
pada malam kemarin ada seorang wanita yang lewat di tempat-tempai yang mungkin dilewati
Siauw Giok menurut perkiraannya Yo Su Nio.
Oleh karena itu, Su Nio pun jadi pusing bukan main memikirkan kemana perginya adik angkatnya
itu. Tapi Yo An Jie yang hubungannya kurang akrab dengan Thio Siauw Giok, menganjurkan supaya
Su Nio membiarkannya saja sambil mengatakan bahwa dia sudah dewasa dan merdeka kemana
saja ia mau pergi. Oleh sebab itu, mengapakah ia dan Su Nio hendak merintanginya?
Tapi Su Nio tinggal tetap berpegang teguh kepada pendiriannya karena satu kuli ia menganggap
Siauw Giok sebagai adik, ia harus memperhatikan segala tindak-tanduknya selama masih berada
dibawah asuhannya.Demikianlah setelah berselang dua hari lamanya, tiba-tiba ada sebatang anak panah yang telah
dipanahkan orang pada sebuah pohon besar di muka pesanggerahan Yo Su Nio sedang di bagian
ekor anak panah itu tampak diikatkan secarik kertas bertulisan, yang ketika diambil dan
diserahkan oleh seorang ronda kepada Yo Su Nio, ternyata antara lain terdapat tulisan yang
berbunyi :
Cici Yang Baik dan Saudara-saudara Sekalian,
Jika surat ini tiba di tangan kalian, adik telah berangkat jauh di luar perbatasn daerah kita. Ada
kemungkinan hanya untuk sementara waktu saja atau untuk selama-lamanya. Siapa tahu? Itu tergantung
pada keadaan.........,
Sementara ini adik belum dapat mengatakan atau menyampaikan sesuatu kepada saudara-saudara sekalian,
selan mengabarkan tentang keberangkatanku yang tanpa pamit itu. Harap saudara-saudara sudi memaafkan
aku. Sekian.
Hormat dari adikmu.
THIO SIAUW GIOK
Su Nio menghela napas setelah selesai membaca bunyi surat yang singkat itu
"Siauw Giok yang masih bersifat kekanak-kanakan," katanya, "Aku khawatir ia tertipu oleh mulut
manis. Oleh karena itu, dia tak dapat dibiarkan bepergian hanya seorang diri saja. Kita mesti susul
atau dia akan menjadi korban dari pada sifatnya yang keras kepala itu."
"Hm itu tak usah kita ambil pusing!" kata Yo An Jie mendongkol. "Telah beberapa kali dia
memusingkan hati kita, sehingga kita sendiri hampir celaka dalam berbagai permasalahan yang
dibuat olehnya. Mengapakah kau anggap masih belum cukup untuk membuat dirinya kapok?"
Yo Su Nio kembali menghela napas dan menundukkan kepalanya sejenak. Kemudian ia berkata,
"Aku pikir, aku mesti menemukannya selekas mungkin. Kalau tidak ..........."
"Kalau tidak, bagaimana?" Yo An Jie jadi tambah uring-uringan.
Su Nio membisu. Tatkala ia membaca sekali lagi surat Siauw Giok yang dikirim dengan anak
panah itu, hatinya jadi curiga dan lalu berkata. "Surat ini ada kemungkinan bukan ditulis oleh


Dewi Tombak Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siauw Giok sendiri. Inilah sebuah surat palsu! Jika Siauw Giok hendak meninggalkan surat untuk
memberitahukan kepada kita kemana ia hendak pergi, seharusnya ia menulis serta meninggalkan
itu pada petang hari sebelum ia berangkat. Dengan demikian, sudah jelaslah, bahwa ini bukan
surat dari Siauw Giok!"
An Jie anggap pendapat adik perempuannya itu benar juga.
"Jika demikian halnya," katanya, "Apakah yang selanjutnya hendak kau perbuat?"
"Hanya ada satu jalan," sahut Su Nio mantap, "Yaitu pergi menyusulnya selekas munakin. Aku
akan berangkat hari ini juga untuk melakukan penyelidikan dengan jalan menyamar sebagai
seorang pria.An Jie cukup mengetahui, bahwa kehendak Su Nio tak dapat dirintangi orang, hingga ia terpaksa
mengabulkan juga, walaupun di dalam hati ia merasa khawatir atas keselamatan si adik itu.
Demikianlah dengan menyamar sebagai seorang pria, Yo Su Nio segera melakukan perjalanan
dengan diam-diiam, dengan pesanggerahan Hap Nouw Siu Bun sebagai tujuan yang terutama bagi
penyelidikannya itu.
Tapi setelah melakukan penyelidikan tersebut secara teliti, ia mendapat kenyataan bahwa Siauw
Giok tak kedapatan berada di sana!
Su Nio jadi bingung. Kemanakah gerangan perginya nona Thio?
Dari perasaan bingung lalu berganti dengan perasaan ragu-ragu. Sesudah itu kembali berganti
pada perasaan khawatir.
Apakah Siauw Giok telah tertawan karena terjatuh ke dalam perangkap musuh? Jika
sseungguhnya ia tertawan, siapakah yang telah mengirim surat dengan perantaraan anak panah
itu? Di dalam rumah penginapan tempatnya berlindung untuk sementara waktu, pada suatu hari ia
mendengar orang ramai bercerita bahwa pada malam kemarin seorang perempun yang tak
dikenal telah memasuki pesanggerahan Hap Nouw Siu Bun, tapi apa mau dikata perbuatannya
telah ketahuan, sehingga ia kena terkepung dan akhirnya kena ditawan. Kabarnya orang tawanan
itu akan segera dikirim pada Cian-hu di Ceng-hian-tien dari mana kemudian akan dikirim
langsung pada pembesar yang lebih atas.
Oleh karena mendengar kabar angin itu, hati Su Nio jadi gelisah bukan kepalang.
"Orang perempuan itu pasti Siauw Giok adanya!" katanya di dalam hati.
Ia pikir, jika nanti Siauw Giok keburu dipindahkan ke Ceng hian-tien bukan saja perjalanan akan
menjadi semakin jauh, malah penjagaan yang harus dilewatinya pun akan menjadi semakin sukar
dan berbahaya. Karena selain penjagaan di sana sangat kuat, iapun tak mungkin melakukan
penyerbuan ke sana dengan hanya seorang diri saja.
Oleh sebab itu, ia duduk termenung seorang diri sambil memutar otak, cara bagaimana dan
dengan siasat apa ia dapat melaksanakan pertolongannya terhadap adik angkatnya yang ditawan
musuhitu.
Lama-lama timbullah pikiran nekat yang timbul di dalam hatinya. "Di jaman dahulu tatkala
jenderal Poan Tiauw menyerbu ke daerah kekuasaan suku Sian-sian," pikirnya, "Bukanlah
mengandal pada jumlah tentara yang besar, tapi semangat yang menyala-nyala untuk dapat
melaksanakan usaha itu dengan si--jip houw hiat yan tek houw cu?" kata jenderal yang sangat
terkenal itu. (Artinya, jika tidak masuk ke sarang harimau, cara bagaimana kita dapat memperoleh
anak harimau?) Itulah suatu peribahasa yang terkenal sekali dari jaman dahulu sehingga saat ini.
"Aku sekarang hendak membuktikan sendiri serta mempraktekkannya peribahasa jenderal
dijaman Han Timur itu!" Sesudah berpikir demikian, lalu siang-siang ia dahar dan berpura-pura
masuk tidur untuk menantikan hingga kentongan ketiga atau jam 11 sampai dengan jam 1 malam
untuk memasuki pnggerahan Hap Nouw Siu Bun secara diam-diam. Selama menantikan sang
waktu, Su Nio telah bersiap-siap menukar pakaian untuk berjalan diwaktu malam, membawasenjata rahasia Tok-weu-kwie dan pedang sebagai gantinya tombak, yang terlampau panjang
untuk dipergunakan dalam penyerbuannya itu.
Begitu suara kentongan dipalu tiga kali, Yo Su Nio segera bangkit dari tempat duduknya,
membuka jendela kamarnya dengan perlahan kemudian melompat keluar bagaikan lakunya
seekor kucing. Tidak bersuara, juga tidak tampak canggung dalam gerak-geriknya! Setelah
menutup kembali jendela itu dari sebelah luar, barulah ia pergunakan ilmu berjalan cepat menuju
ke pesanggerahan Hap Nouw Siu Bun yang memang telah siang-siang di ketahui seluk beluknya.
Sesampaimu di sana, Su Nio menampak dari kejauhan ada orang peronda yang sedang
mendatangi, hingga lekas-lekas menyelinap di balik sebuah pohon yang besar di muka
pesanggerahan tersebut. Di situ si nona telah mendapat pikiran untuk membekuk kedua orang itu,
kemudian memasuki pesanggerahan pahlawan bangsa Kim itu dengan menyamar sebagai salah
seorang peronda itu.
Sebegitu cepat kedua peronda itu mendatangi dekat kepadanya, Yo Su Nio segera melompat
keluar dari tempat sembunyinya dan membuat kedua orang itu tak berdaya dengan ditotok jalan
darahnya.
Sudah itu dengan pedang yang berkilau-kilauan sinarnya diayun pulang pergi di hadapan kedua
peronda itu, Su Nio mengancam mereka dengan suara bisik-bisik, "Jika kamu berdua berani
berteriak meminta pertolongan, pedang ini akan memisahkan batok kepala kalian dari batang
lehermu masing-masing!"
"Ho-han, ampunilah jiwa kami!" kata mereka dengan suara yang hampir berbareng dan tubuh
menggigil bagaikan orang-orang kedinginan.
"Pada kemarin malam ada seorang perempuan yang telah ditawan oleh majikanmu dan kabarnya
hendak diangkut ke Ceng hiang-tien, apa kabar itu benar?" Su Nio bertanya bengis.
"Benar, benar!" sahut mereka. "Tapi kini masih ditahan di pesanggerahan tengah, berhubung
dikhawatirkap ada kawan-kawannya yang datang menyerbu untuk menolongnya........."
"Apakah kamu ketahui siapa namanya? tanya Yo Su Nio dengar tidak sabaran.
"Menurut cerita para rekanku." kata salah seorang peronda itu, "Ia bernama Siauw .......
Siauw......... aku lupa siapa nama selanjutnya ........"
"Apakah bukan Siauw Giok?" Su Nio memotong bicaranya.
"Bukan." sahut peronda yang seorang pula, "Dialah bernama Siauw Ceng!"
"Siauw Ceng? Siapakah gerangan orang perempuan yang bernama demikian? Terhadap seorang
yang belum pernah dikenalnya, Siauw Giok ada kemungkinan dapat memalsukan namanya
sendiri dengan nama lain, tapi terhadap Hap Nouw Siu Bun yang telah lama dikenalnya dan
dicintainya, apakah ada kemungkinan ia berbuat demikian? Kalau orang itu bukan Siauw Giok,
siapakah sebenarnya orang itu? Mungkinkah dia mempunyai hubungan sesuatu dengan Siauw
Giok?"
Su Nio merasakan kepalanya pening timbang-menimbang serta menduga-duga terhadap
persoalan yang baginya masih gelap ituSemangat Poan Tiauw yang tinggal tetap menggelora dalam dirinya, tidak jera menghadapi
persoalan yang sulit itu. Maka setelah menotok jalan darah kedua peronda itu sehingga tak bisa
bergerak dan berbicara, barulah ia seret tubuh mereka ke dalam semak-semak dimana ia menukar
pakaian dengan salah seorang antara mereka itu.
Tapi, sungguh tidak dinyana, begitu ia melangkahkah kaki hendak masuk ke dalam
pesanggerahan untuk berpura-pura melaporkan sesuatu kepada Hap Nouw Siu Bun, tiba-tiba dari
sisi pesanggerahan tengah berkelebat sesosok bayangan yang bersenjata sebilah pedang panjang,
sedang di tangan kirinya ia mengempit seorang yang bertubuh kecil molek, seolah-olah orang yang
dikempitnya itu adalah seorang wanita.
Su Nio jadi terkejut dan lekas-lekas hendak bersembunyi di bawah pohon itu, tapi maksud itu
ternyata sia-sia saja. Karena sebelum ia keburu berbuat demikian, orang yang baru muncul itu
sudah mendahului menyambit kepadanya dengan mempergunakan panah Hui-piauw segi tiga,
sehingga,ia cepat berjongkok untuk menghindari sambitan itu, sedang pedang yang disoren di
punggungnya segera dihunusnya untuk menghadapi segala kemungkinan.
Tapi ketika melihat Su Nio tidak menerbitkan suara ribut-ribut dan balas mergerang kepadanya,
orang itu jadi heran dan cepat-cepat menghampiri sambil bertanya, "Engkau siapa? Aku Pek In,
guru Siauw Giok yang merantau dikalangan Kang-ouw." Sambung suara itu ternyata tidak asing
lagi baginya. Itulah suara Suma Pek In, guru Siauw Giok yang merantau di kalangan Kang-ouw
sambil berpura-pura buta dan sengaja membuat wajahnya tampak buruk dengan menggunakan
ramuan obat-obatan yang sangat dirahasiakannya. .
Su Nio jadi girang dan lalu memanggilnya dengan suara perlahan, "Nenek, aku ini bukan lain
daripada Yo Su Nio adanya, orang yang pernah kau tolong dari kejaran Siu Leng Siangjin dan
Ciu Tek Seng."
"Syukur, syukur!" kata Pek In sambil menepuk-nepuk dadanya, "Oleh karena engkau
mengenakan pakaian sebagai peronda tentara Kim, hampir saja aku salah mata dan melukai
padamu! Sekarang marilah engkau mengikut kepadaku!"
Su Nio belum sempat menanyakan, siapa adanya orang perempuan yang telah ditolong si nenek
dari dalam pesanggerahan Hap Nouw Siu Bun itu.
Tatkala mereka berada agak jauh dari daerah jagaan pahlawan bangsa Kim itu, barulah mereka
berhenti dan beristirahat di balik sebuah semak-semak.
Di situ Pek In dan Su Nio duduk berhadap-hadapan di atas rumput, sedang orang perempuan
yang barusan ditolong itu, ternyata belum siuman dan diletakkan di tanah dengan paha si nenek
dipergunakan sebagai bantal.
"Dari setadian telah kuperhatikan," kata Su Nio, "Bahwa anak perempuan yang kini nenek tolong
itu bukanlah adik Siauw Giok....."
"Ya, ya, memanglah bukan dia," sahut Pek In. "Tapi karena menolong dia inilah sehingga aku
tidak mengetahui lagi Siauw Giok sekarang dimana."
Setelah beristirahat sejenak, Su Nio lalu menuturkan di hadapan Pek In tentang keadaan Siauw
Giok pada beberapa waktu itu sehingga sang guru menggeleng-gelengkan kepalanya dan
menghela napas sambil berkata, "Si Siauw Giok ini memang agak kepala batu. Ada kalanya diakerap menuruti saja perasaan hatinya berlaku kekanak-kanakan dan tidak mengenal bahaya dan
selain daripada itu, ia kerap berlaku semberono sehingga sering juga mengakibatkan kerugian bagi
orang lain. Syukur ia berani bertanggung jawab, hingga segala kekeliruan yang pernah
dilakukannya dengan sengaja atau tidak disengaja, iapun rela untuk memperbaikinya walaupun
untuk itu ia harus mengorbankan jiwanya. Inilah salah satu caranya yang harus kupuji tinggi. Tapi
kali ini dia telah membuat aku agak kecewa. Bocah ini bernama bernama Siauw Ceng ............"
Mendengar nama itu. Su Nio jadi teringat akan keterangan yang telah diperolehnya dari salah
seorang peronda itu. "Siauw Ceng, ya nyatanya nama itu benar apa," pikirnya. Lalu ia
mengangguk-anggukkan kepalanya, suatu tanda ia paham apa kata si nenek itu.
"Siauw Ceng ini bukan sanak saudara Siauw Giok," kata Pek In pula, "Tapi hanya sekedar
kenalan saja. Diwaktu masih kanak-kanak, mereka saling bertetangga, tapi setelah besar mereka
saling perpisahan dan entahlah dimana tempat tinggal mereka masing-masing. Kemudian aku
bawa Siauw Giok naik gunung untuk dididik."
"Pada beberapa hari yang lampau mereka saling bertemu dalam sebuah rumah penginapan,
dengan kedua-duanya menyamar sebagai kaum pria. Mula-mula mereka tidak saling mengenali
pada satu sama lain, tapi akhirnya entah bagaimana, mereka jadi saling mengenal juga."
"Tapi, apa celaka, pemilik rumah penginapan itu adalah seorang mata-mata dari tentara Kim yang
bekerja langsung dibawah perintah Cian-hu Wa Gan T ek. Tatkala ia mengetahui bahwa Siauw
Giok dan Siauw Ceng itu adalah dua orang wanita dalam samaran, hatinya segera timbul rasa
curiga dan dengan diam-diam melaporkan hal ini ke pesanggerahan tentara Kim yang terdekat,
yakni pesanggerahan Hap Nouw Siu Bun."
"Sementara Hap Nouw Siu Bun justeru dalam perjalanan ke kota raja dan kedudukannya sebagai
pahlawan diwakili oleh seorang pahlawan Kim lain yang bernama Tok Poat Tek Cong, laporan
tersebut jatuh ke dalam tangannya, yang segera mengerahkan sepasukan serdadu untuk
mengepung serta menangkap Siauw Giok dan Siauw Ceng yang menyamar sebagai kaum pria
dan dituduh sebagai mata-mata kaum pemberontak."
"Siauw Giok yang merasa segan dan mau hati untuk akan turun tangan terhadap Tok Poat Tek
Cong yang menjadi wakil Hap Nouw Siu Bun yang dianggap mencintai dirinya dengan setulus
hati. Maka dengan diam-diam meloloskan diri dari rumah penginapan sebut, hingga Siauw Ceng
kena tertangkap dan dijebloskan ke dalam kamar tahanan di pesanggerahan tengah yang dijaga
dengan keras oleh sepasukan tentara Kim yang sangat kuat. Seperti juga lagaknya para pembesar
congkak dan korup di masa itu, Tok Poat Tek-Congpun tidak terluput dari kebiasaan-kebiasaan
yang umum dipraktekkan oleh para pembesar yang lainnya. Yakni, lalim berat sebelah, suka
memeras, tidak segan-gan mempersukar rakyat yang lemah untuk keuntungan sendiri, selain dari
pada itu, diapun gemar sekali dengan paras cantik dan berani merampas anak-isteri rakyat untuk
memuaskan nafsu hatinya."
"Maka untuk mendapat muka dari pihak majikannya, si pemilik rumah penginapan itu telah
sengaja mengadu kepada Tok Poat Tek Cong, bahwa dalam rumah penginapannya bersembunyi
dua orang wanita cantik yang menjadi mata-mata kaum pemberontak dan menyamar sebagai
kaum pria, hingga Tok Poat Tek Cong yang mendengar dua patah kata, "Wanita Cantik" itu,
segera mengirim sepasukan serdadu untuk menangkap kedua nona itu. Tapi ternyata hanya
seorang saja yang telah tertangkap, sedang yang seorang pula telah kabur entah kemana perginya!"Di sinilah letaknya rasa kecewaku terhadap Siauw Giok. Karena aku ketahui, jika ia mau ia
dapat melawan para serdadu itu dan menolong Siauw Ceng, tapi bukan saja dia tak berbuat
demikian malah sebaliknya ia telah meninggalkannya kabur sendirian. Cobalah kau pikir, apakah
mungkin seorang Lie-hiap atau pendekar wanita bertindak sedemikian pengecutnya sehingga
Pesanggrahan Keramat 2 Pengemis Binal 10 Cinta Bernoda Darah The Ring Of Solomon 5
^