Ketika Kaki Keke Kaku 2
Ketika Kaki Keke Kaku Karya Bung Smas Bagian 2
"Tapi keputusan yang harus kusampaikan itu kan keputusan mati buat ayahku. Kau bisa mengerti, Mae? Aku harus menentukan kema tian ayahku sendiri!"
"Tidak. Yang menentukan itu Tuhan."
"Aku harus menyampaikan keputusan keluarga bahwa seluruh pengobatan dan perawatan dihentikan. itu berarti ayahku akan segera meninggal, Mae!"
"Kalau Tuhan menghendaki begitu, kau harus menerimanya sebagai takdir. Biar seluruh pengobatan dan perawatan dihentikan. kalau ruhan. menghendaki ayahmu tetap hidup, hiduplah dia."
"Hidup tapi tidak bisa apa-apa ...."
"Tuhan Maha Besar! Kalau Dia menghendaki ayahmu sehat seperti semula, apa yang sulit buat Nya? Sedang alam semesta dan isinya diciptakan begitu saja! Tidak melalui
pertimbangan-pertimbangan, rapat rapat, seminar, riset! Kun fayakun! Maka iadilah dunia dan isinya, termasuk ayahmu, kamu, aku, dan semuanya. Lalu kalau Dia menghendaki ayahmu menghadap-Nya, apa kau bisa menahannya?"
"Aku tahu semua itu, Mae. Aku tahu. Mungkin aku lebih dulu tahu daripada kau. Umurku lebih tua daripada umurmu! Tapi posisiku sekarang ini sulit. Aku pemegang vonis mati buat ayahku! Kau bisa membayangkan jika kau berada dalam pesisiku?"
"Tidak. Aku tidak sanggup membayangkan< nyafAku tidak sekuat kau. Dan Tuhan tidak sembarang memilih orang untuk diuji keimanannya. Aku terlalu rapuh. imanku mungkin keropos, sehingga Tuhan tidak menguiiku seperti Dia menguiimu."
lpong akan kalah dalam berkata-kata dengan Lady Mae. Ia tidak akan melayani perdebatan. Apa yang dikatakan Lady Mae diketahuinya, dipahaminya. Tapi pengetahuan dan kepahaman itu tidak juga membuatnya bisa menghadap dokter dan menyampaikan keputusan keluarganya. '
Tiba tiba lpong bangkit dan lari sekencang kencangnya menyusuri lorong beratap.
"lpong!" jerit Lady Mae.
lpong lari semakin kencang. Lady Mae mengejar. Tapi sia-sia. Ia tidak hafal seluk-beluk rumah sakit itu. Ia menjumpai jalan buntu dan lpong menghilang entah di bagian mana bumi ini.
Begitu sampai berhari-hari. lpong terus menghilang. Lady Mae tak bisa menjawab ketika,
ibu Ipong tanya kemana anaknya.
Tapi tiba-tiba lpong muncul juga ke rumah Lady Mae. Siang hari, ketika Lady Mae sedang bingung mau ngapain.
':Oh, kau. Dari mana saja selama ini?"
"Dari manavmana."
"Uh! Dekilnya kamu!"
lpong seperti tidak peduii dengan ucapan Lady Mae. Padahal biasanya ketika dia rapi pun merasa minder di rumah itu. Sudah setengah waraskah dla?
"Aku tetap tidak bisa menyampaikan keputusan itu," katanya tanpa ditanya. Tanpa dipersilakan pula dia langsung duduk. "Tuhan tahu aku tidak kuat menerima amanat itu. Akhir. nya Tuhan juga yang memutuskan."
"Maksudmu?"
"Ayahku meninggal, Mae."
"Innalillahi Kapan itu?"
"Dua jam yang lalu."
"Kapan dimakamkan?"
"Nanti sore. Semua sudah siap. Tinggal menunggu anggota keluarga kami yang dari Tangerang." '
"Aku akan ke sana. Kamu pulang saja dulu. Tenagamu diperlukan!"
"Ya".
lpong mengeloyor saja bagai orang kehilangan akal.
"Pong!"
Dia berhenti melangkah.
"Kamu tabah, ya! Kamu harus kuat!"
"Nggak. Aku nggak bisa tabah " .
Dia mengeloyor lagi. Lady Mae lekas-lekas menghubungi Jipi dengan telepon.
"Jipi! Berita duka! '
"Ha? Ada apa?"
"Ayah Ipong meninggal. Beritakan kepada yang lain. Terserah mereka mau datang atau tidak! Aku buru-buru!"
Lady Mae meletakkan gagang telepon tanpa memberi kesempatan Jipi untuk menyahut. Lalu berlari ke belakang rumahnya untuk mengabari Oom Sar. Ketika ia pulang, Mama sudah menunggu di teras.
"Ada apa begitu ributnya, Mae?"
"Kita berduka-cita, Ma. Ayah lpong ...."
"Innalillahi ...."
"Mama mau melayat ke sana?"
"Ya. Papa juga. Ayo kita berangkat saja sekarang!"
"Mama duluan saja. Siapa tahu tenaga dan pikiran Mama diperlukan di sana. Mae nunggu teman teman."
Sama seperti yang terjadi ketika Jipi dihubungi Lady Mae lewat telepon di kolam renang, anggota kompanyon bisa segera tiba. Kali ini Naomi ikut.
Wajah-wajah yang pernah bentrok dengan Lady Mae di kolam renang tampak di rumah duka itu. Lady Mae menghampiri salah seorang di antara mereka.
"Ke mana saja selama ini?" tegurnya.
"Biasa saja. Bernapas dan melakukan kegiatan hidup lainnya."
"Jawabanmu indah betul. Sudah nggak &
songong lagi?"
"Ipong sudah cerita semuanya tentang kamu. Terima kasih, ya! Teman-teman juga menyam paikan terima kasih."
"Kita damai?"
"Damai saja!"
"Nama kamu siapa?"
"Uka."
"Kita sama-sama sedang berduka-cita."
"Ya. Ipong sama sama sahabat kita."
Begitu lebih baik. Duka itu seperti milik ber sama. Lady Mae dan kompanyonnya tidak hany berkunjung sebagai pelayat biasa. Mereka juga melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lazim dalam suasana semacam itu. Mereka mengan tar ienazah sampai seluruh ritus upacar pemakaman selesai. Di samping gerbang pemakaman, Oom Sar menghampiri Lady Mae
"Bagaimana perkembangan penyelidikanmu?" bisiknya.
"Buntu, Oom. Saya malah sibuk membantu |p0ng. Soal kasus Keke itu hampir menghilan dari peredaran."
"Saya terus melakukan pelacakan. Ad keterangan tambahan. Mae."
"Apa itu, Oom?"
"Ada yang tahu siapa Pak Gendut itu."
"Siapa?"
"Teman saya kebetulan sedang berolahrag juga pagi itu. ia melihat peristiwa penembakan itu dari kejauhan. ia mengenali Pak Gendut itu. Namanya Wisnu Widagdo, seorang pemboran bangunan. Temanku itu kusuruh menanyakan
kenapa Pak Wisnu terbirit-birit ketika saya datang. Betul, nggak?"
"Betul! Tapi bagaimana teman Oom Sar bisa menanyai Pak Wisnu?"
"Teman saja itu sering main bilyar dengan Pak Wisnu. Malah bisa dibilang dia guru bilyar Pak Wisnu. Terserah bagaimana dia menanyakan
nya. Nanti sore dia ke rumah saya."
"Saya lebih tertarik untuk mencari siapa penabrak ayah ipong, Oom. Apa Oom bisa membantu?"
"Itu sulit, Mae. Kalau sejak semula dilaporkan ke polisi, barangkali sudah ditemukan siapa orang itu. Tapi untuk apa mengurus soal tersebut? Sedangkan ayah Ipong sudah meninggal."
"Karena ayah Ipong sudah meninggal itu maka saya makin bersemangat mencari siapa penabraknya. Yang saya pikirkan bagaimana kelanjutan hidup keluarganya. Penabraknya harus bertanggung iawab. Bayangkan saja, Oom! Selama ini ayah Ipong satu-satunya pen cari nafkah di keluarga itu. Anaknya enam orang. lpong itu yang paling besar. Bagaimana nasib mereka setelah pencari nafkah meninggal? Itu yang saya pikirkan." .
Oom Sartermangu-mangu. Ia seperti menyesal baru menyadari hal itu. Lady Mae men
dahuluinya membicarakan hal-hal yang bakal terjadi di kemudian hari.
"Lalu selama ini apa saja usaha kalian men cari penabrak itu?"
"Terus-terang saia, kami bego semuanya.
Kami hanya bisa ngomong, nggak bisa melakukan tindakan yang efektif untuk menemukan penabrak itu."
"Itu memang tugas polisi. Kalian sudah berbuat banyak sekali. Lebih dari yang bisa dilakukan siapa pun."
Sheila mendekat. Tampaknya dia ingin mengutarakan sesuatu.
"Mau ngomong apa, She?" tegur Lady Mae yang tahu gelagat.
"Anu, Mae. Aku kan pernah ngomong akan berbuat sesuatu. Waktu itu kamu ngritik aku karena aku nggak bisa ngapa-ngapain."
"Syukur kalau kau sudah bisa ngapa-ngapain. Lalu mau ngapain kau sekarang?"
"Aku punya ide untuk sekedar meringankan beban Ipong. Yah, lumayanlah daripada enggak."
"Nah! Ide saja belum cukup! Ngomong dulu yang jelas. Kalau idemu bagus, laksanakan, dong!"
"Aku bisa menyisihkan uang jajanku untuk membantu biaya sekolah adik-adik Ipong. Yah, anggap saja salah seorang deh yang kuongkosin sekolahnya. Bagus, nggak?"
"Bagus sekali. Kapan mau mulai dilaksana. kan?"
"Jadi kamu setuju, Mae?"
"Setuju. Yang lain bagaimana? Apa ada yang punya niat seperti itu?"
"Nggak tahu. Tapi Jipi sih ngomong mau nongkrong di Jalan Kali Malang sampai mobil oenabrak itu ditemukan!" ,
"Mana bisa begitu caranya?"
"Logika Jipi begini: Mobil itu selalu lewat di Jalan Kali Malang pada jam-jam tertentu. Misalnya pada jam-jam berangkat dan pulang kantor. Pada jam-jam itu Jipi akan nongkrong di Jalan Kali Malang untuk menunggu mobil tersebut."
"Hampir mustahil itu! Apalagi dia hanya tahu ciri-ciri mobil itu. Merk mobilnya pun tidak."
"Nggak lahu, deh. Pokoknya Jipi bilang begitu."
"Aku menghargai semangatnya. Meskipun caranya tidak masuk akal." Lady Mae berpaling ke arah Oom Sar. "Mungkin Oom bisa membantu? Misalnya mencari informasi tentang mobil itu di Polda Metro Jaya. Di sana kan bisa dicari dengan komputer. Mobil-mobil yang nomor polisinya B-74 dan seterusnya dikumpulkan. Dicari warnanya hijau, yang diduga milik orang yang tinggal di kawasan sepanjang Kali Malang. Begitu kan kerja polisi? Ini kira kira, lho!"
Oom Sar bengong saia. seperti terkena penyakit heran-heran.
"Kenapa. Oom?"
"Saya kalah Iagl. Kalah lagi!"
"Kalah apa, Oom?"
"Kalah cepat berpikir. Tapi oke! Saya akan berusaha mencari informasi yang kaumaksudkan. Saya banyak kenalan di Polda Metro Jaya. Mereka pasti mau membantu asal mereka yakin tujuan saya baik. Nanti sore saya menghubungi Mae, ya? Saya akan bilang hasil
penyelidikan terhadap Pak Wisnu."
"Mae saja yang ke rumah Oom. Nggak enak, dong! Memangnya Oom anak buah Mae?"
"Sama saja, deh. Datanglah jam lima nanti."
Lady Mae sepakat. Orang-orang muiai meninggalkan tanah pemakaman. Lady Mae pulang dengan mobil Chevrolet Luv bersama Papa dan Mama. Sedangkan teman temannya ikut mobil Hafiz.
KERJA SENDIRI-SENDIRI
TERNYATA di antara anggota kompanyon itu tidak ada yang pernah menobatkan Lady Mae menjadi pemimpin. Mereka tidak pula selalu tergantung pada Lady Mae. Buktinya Jipi tetap berjaga di Jalan Kali Malang meskipun Lady Mae bilang itu kerja sia-sia. Sheila juga tidak mau ketika disuruh tenang-tenang saja asalkan dia menepati janjinya untuk mengongkosi sekolah salah seorang adik lpong.
"Sudah kubilang. kau belum pernah diangkat jadi direktur!" kata Sheila. "Jangan main perin. tah saja!"
"Jadi kamu mau apa. She?"
"Nggak ngapa ngapain!"
"Aku juga nyuruh kamu tenang-tenang saja alias nggak ngapa-ngapain!"
"Aku mau bebas! Mau nggak ngapa-ngapain tapi bukan karena kamu suruh!"
" Kampungan kamu, She! Debat nggak mutu! "
Kampungan atau tidak,Sheila tetap pada ren cahanya sendiri. Dia malu sekali karena ketahuan begonya, ketahuan nggak punya kerja apa-apa selama teman teman sibuk. Sekarang dia punya kerja sejak dia mulai mencuriaai
Naomi. Entah ini proyek apa. Ada hubungannya dengan peristiwa ketika kaki Keke kaku dl Duren Jaya atau tidak. Pokoknya Naomi harus diselamatkan kalau dia memang melakukan gerakan yang tidak sehat. Hafiz juga ber'semangat ketika diminta menemani Sheila.
"Kalau nyangkut soal Naomi, kau getol banget, Fiz?" Sheila meledek kakaknya. "Jangan-jangan ada apa apanya, nih?"
"Ada apa-apanya iuga nggak apa-apa. Naomi memang cakep. kok!"
"Aduh, Mak! Abah bisa nyembur kalau kubilang yang beginian, lho!"
"Kalau kau bilang, kuturunkan kau di sini!"
"ih! Tega banget!"
"Kamu keberatan kalau aku naksir Naomi?"
"Keberatan, dong! Naomi kan masih kecil! Cuma badannya doang yang gede!"
"Ya nggak sekarang. Naksirnya lima tahun lagi juga nggak apa-apa!"
"Iya, deh! Pokoknya asal mau nganterin aku membuntuti dia!"
Mobil mereka meluncur. Bukan mobil merah seperti biasanya. Kali ini hijau. Itu mobil pinjaman dari teman Hafiz. Tukar pakailah sementara. Soalnya kalau pakai mobil merah, Naomi pasti tahu sedang dibuntuti. Kini mobil Dai hatsu Charade warna hijau itu meluncur pelan di Duren Sawit. Lalu berhenti agak jauh dari rumah Naomi. Ada mobil Toyota Hardtop warna coklat parkir di depan rumah Naomi. Sheila melihat mobil itu lebih dulu daripada kakaknya
"Nah! Apa kataku! Lihat! Ada cowok yang
ngapelin Naomi!"
Hafiz melotot lebar-lebar. Dia tampak geram, tapi juga sakit di dadanya.
"Tapi bagaimana kau tahu yang datang itu cowok?"
"Tadi aku memancing mancing Naomi. Dia keceplosan ngomong soal cowok itu. Mungkin dia nggak nyangka kalau aku sedang menyelidikinya. Kayaknya dia bangga banget sama cowok itu. Namanya hm siapa ya? Oh, ya! Vido! Betul, namanya Vido. Naomi memang gilnya Kak Vid."
"Tapi bagaimana kau tahu malam ini Vido sialan itu akan ngapelin Naomi?"
"Tadi aku pura-pura mau ngajak nonton Naomi. Ku bilang aku akan menjemputnya sama kau, Dia bilang Kak Vid sialan itu akan datang. Gampang, kan? Sekarang kau jadi bego banget!"
Hafiz tampak membara. Tapi jelas dia berusaha menahan hatinya. Tangannya mencengkeram kemudi kuat kuat. Seolah ia menumpahkan segala geram-dan sakitnya ke benda tak bersalah dan tak tahu apa apa itu. Cengkeramannya semakin kuat ketika ia melihat Naomi berjalan bersisian dengan seorang cowok ganteng!
"Tabah, dong!" Sheila mengingatkan karena tiba-tiba Hafiz tampak beringas.
"Kalau tidak, sudah kuhajar cowok itu!" dengus Hafiz dengan suara melengking.
Sheila bergidik mendengarnya. Dia mencengkeram pundak Hafiz. ,
"Janji dulu!" katanya.
"Apa?"
"Jangan bikin ribut!?
"Tidak. Tidak akan!"
"Janji?"
"Ya."
"Kalau mau ribut, nggak usah membuntuti mereka."
Hafiz sudah menjalankan mobil pelan-pelan. Membuntuti Hardtop itu. Jalan Duren Sawit sangat sempit dan padat. 'Sulit membuntuti di jalan dengan kondisi begitu. Kesempatan meluncur bagi setiap kendaraan tidak sama. Ketika mobil Hafiz terjebak dalam kemacetan, Hardtop itu meluncur di bagian jalan yang lengang.
"Kita ketinggalan, She!"
"Usaha terus! Jangan putus asa!"
Hafiz berusaha habis-habisan. Untunglah lam pu merah di pertigaan Pondok Bambu menyala. Hardtop itu tertahan di sana. Hafiz bisa menyusulnya.
"Mereka tampak intim sekali, ya?"
"Intim kan belum tentu mesra, Fiz! Jangan cemburu dulu!" .
Lampu' menyala hijau. Hardtop itu meluncur cepat menyuswi Jalan Kali Malang ke arah Bekasi. Tapi lagi lagi mobil Hafiz tertahan. Di pertigaan dekat lampu merah itu kendaraankendaraan dari arah Pondok Gede menggencetnya. Hafiz mengutuk, tapi kutukan itu hanya menambah kedongkolan dalam hatinya saja. Sedangkan Hardtop coklat sudah jauh ke arah timur.
"Kira-kira mereka ke mana. ya?" cetus Sheila, mencoba menebak-nebak.
Hafiz tidak bisa menjawab. Tidak tahu pula kalau aksi pembuntutan itu berhasil, lalu dia mau apa!
KERJA sendiri-sendiri tanpa koordinasi itu memang kacau iuga. Jipi dan Maestro sudah se'ak sore nongkrong di pinggir Kali Malang. Mereka menyewa sepeda motor oiek teman Maestro. Butut sekali motor itu. Butut pula l'aket Jipi dan helmnya yang rapat. Mereka sengaja menutupi seluruh bagian tubuh hingga ke wajah dengan perlengkapan mirip pembalap sepeda motor. Hitung hitung penyamaran supaya Pak Polisi tidak tahu mereka masih di bawah umur dan tentunya belum punya SIM! Tapi biar sudah rapat begitu, mereka masih berlindung juga di balik kerimbtinan pepohonan pedagang bunga di pinggir jalan. Sesekali nongol untuk mengintip ke kanan dan ke kiri. Sampai pukul setengah delapan malam, Maestro mulai tak yakin akan hasil gerakan ini. x
"Analisamu ngawur!" dengusnya. "Mana mobil itu? Sudah tiga malam kita berjaga di sini!"
"Akan lewat. Percayalah, orang sabar dikasihani Tuhan, Tro!"
"Orang ngawur dikasihani Tuhan juga apa enggak?"
"Aku nggak ngawur! Ini berdasarkan analisa dan naluri!"
"Omong besar! Kalau aku nabrak orang di sini, aku tidak akan lewat jalan ini seumur hidupku! Nggak tahu kalau aku senewen seperti kamu!"
"Misalnya kamu yang nabrak di jalan ini. Lalu mobilmu aku yang bawa. Aku berani lewat karena kau tidak cerita padaku habis nabrak orang. Bagaimana? Masa yang begitu nggak bisa terjadi?"
"Itu kira-kira. Perhitungan saja bisa meleset, apalagi kira-kira!"
"Sudahlah. Satu jam lagi kita mangkal di sini."
Satu jam lagi, sungguh menyiksa. Padahal terus-menerus pakai helm rapat begitu selama seperempat jam saja rasanya tersiksa sekali. Kalau mau lepas helm, mereka harus ngumpet di kerimbunan pepohonan.
Dan sebuah mobil hijau lewat!
" ltu dia! " seru Jipi serta melonjak. "Nomornya B-74151-HD! Ayo tancap!"
Maestro meloncat ke sepeda motor butut itu. Menggebraknya dengan sekali sentakan kaki, sekali sentakan gas di tangan kanan,_dan bratata! Bunyi sepeda motor itu demikian bising dan kacau nadanya. Bratata! Bratataaaaaa!
Maestro seperti sudah kenal betul dengan sepeda motor itu. Meskipun tersendat-sendal. bisa laju juga mengejar mobil hijau. Jipi memeluk pinggang Maestro kuat-kuat. Tubuhnya merapat, seperti menempel menjadi satu dengan tubuh Maestro. Dia ngeri karena menyadari Maestro sedang kesal. Perut pun enek bagai dikocoksaia. :
Mobil itu semakin dekat. Maestro terus berbratata bratata.
"Kita berhasil, Tro! Aku ingin tahu apa komentar Lady Mae!"
"Jangan kegirangan dulu! Kalau sudah dekat dengan mobil itu, lalu kita mau ngapain?"
"Ngapain aja!"
"Kamu mau loncat ke situ seperti Tarzan nomplok di punggung gajah?"
"Enak saja! Mau cari mati!"
"Habis ngapain?"
"Kita buntuti saja sampai di mana dia berhenti! Kita akan tahu di mana rumah penabrak itu! Urusan selanjutnya serahkan sama Lady Mae. Dia paling bisa cari ide buat nyatroni orang, tapi nggak sampai ketangkap polisi!"
"Kalau dianya nggak pulang?"
"Kita ikuti terus!"
"Kalau ternyata dia mau ke luar kota?"
"Ah. Enggak! Pasti nggak sampai ke luar kota. "
"Tahunya dari mana?"
Ya, tahunya dari mana? Memangnya dianya bilang dulu sama Jipi! Tapi untunglah mobil itu tidak sampai ke luar kota. Sebab ban belakang sebelah kanannya kempes. Apa paku yang nyelonong masuk Mobil itu terseok-seok. Lalu menepi.
"Dia berhenti, Tro!"
"Jangan'jangan dia tahu kita buntuti! Dia marah!"
"Jangan takut! Kita berdua!"
"Kalau dia berempat mau apa kamu?" .tr
"Ah. Kita liwat saia. Pura-pura nggak ngikutin dia!"
Dari dalam mobil itu keluar Sheila.
"Masya Allah! Kok dia di mobil itu?" seru Jipi. "Tro! Apa aku nggak salah lihat?"
Hafiz juga keluar dari mobil itu untuk memeriksa ban belakang.
"Bego! Kenapa kita ngikutin mereka?" seru Maestro.
Sepeda motor itu menepi juga. Karena helm yang rapat, Sheila belum mengenali Maestro dan Jipi. Dia tampak panik. Di jalan lengang yang belum dikenalnya, disamperin dua orang muda yang tampaknya berandalan begitu, siapa nggak ngeri?
"Sialan! Kami ngikutin kamu!" seru Maestro seraya mematikan mesin sepeda motor bratata itu.
Sheila menghembuskan napas lega setelah mengenali suara Maestro.
"Sialan kamu! Bikin aku panik saia!" dengusnya.
Maestro belum membuka helmnya. Jipi juga.
"Kenapa pakai mobil ini? Kami nyangka ini mobil penabrak ayah Ipong!"
"Kami lagi membuntuti Naomi. Makanya pakai mobil yang belum dikenalnya! " kata Hatiz. "Itu yang di belakang siapa?"
"Udik!"
"Jipi?"
"Ya."
"Kok diem saja?" _
"Aku malu! Maunya jadi detektif, nggak
tahunya nguber-uber kawan sendiri!"
"Buka dong helmnya!" seru Sheila.
"Nanti polisi ngenalin kami masih bocah! Bisa gawat, dong!"
"Kamu sok-sokan!"
"Kamu juga! Ngapain ngikutin Naomi?" sahut Jipi.
"Ya terus-terang saia, Naomi pantas dicurigai, " kata Hatiz. " Kalian tahu sendiri, duitnya banyak sekali. Waktu nyumbang Ipong saja berapa? Seratus lima puluh ribu rupiah! Aku nggak menghina, tapi kalau Naomi bisa dapat uang segitu ...."
"Ya, aku tahu! Ke mana dia sekarang?" tanya Maestro.
"Mana aku tahu? Bannya saja kempes begini!"
"Naik mobil apa dia?"
"Hardtop coklat!"
Maestro ngempos. (Ngempos itu menghem buskan napas dengan menyentak sekuat daya).
"Kebetulan, deh! Kamu tolongin kami. dong!" seru Sheila. "Nggak ada ban serep. Kita harus bongkar roda itu dan membawanya ke tukang tambal! Kamu berdua kan bisa bawa roda ke tukang tambal?"
"Enak kamu, She!" dengus Maestro. "Aku nungguin kamu saja di mobil itu. Biar Kak Hafiz ke tambal ban naik kendaraan umum!"
"Oke. Begitu juga boleh," kata Hafiz. "Untung kalian main detektitvdetektitan. Kalau tidak, 'elaka dong kita!"
Jadinya begitu. Mereka sibuk karena aksi
aksian. Sementara Naomi entah di mana sekarang. Entah pula sedang apa. Sedangkan Lady Mae pun tidak tahu apa yang dilakukan teman temannya. Kecurigaannya terhadap Naqmi tetap segunung. Tapi untuk sementara urusan itu disisihkan. Dia sedang bingung memikirkan kelanjutan nasib Ipong dan adikadiknya. Bukan sok pahlawan. Tapi yang namanya hati ini memang tak bisa dipaksa untuk diam melihat sesamanya menderita. Bagus bukan dirinya sendiri yang mengalami nasib buruk seperti Ipong.
Sore tadi Lady Mae sudah ketemu Oom Sar. Malah ketemu pula dengan teman Oom Sar yang sering main bilyar dengan Pak Wisnu. Kata teman Oom Sar, Pak Wisnu terbirit-birit karena melihat seseorang mengacungkan pistol ke arah kepalanya!
Tembakan pertama yang mengenai kepala Keke itu sebenarnya ditujukan ke kepala Pak Wisnu. Kebetulan kaki Keke kaku. Anak itu hampir terjatuh. Pak Wisnu menolongnya. Dengan sendirinya kepatanya agak menunduk. Saat itulah ada anak muda lewat sambil membidikkan pistolnya."
"Mengerikan sekali!" cetus Lady Mae ketika mendengar penuturan itu. "Tapi siapa anak muda itu?"
"Pakaian dan gayanya seperti orang berolahraga pagi. Pistolnya disembunyikan di balik pakaian olahraganya. Ketika dia akan mengulangi tembakan, Bung Sar ini tiba.-Dia melarikan diri. Pak Wisnu juga segera me
nyingkir dari tempat itu."
"Apa dia melaporkan penembakan itu ke polisi, Oom?"
"Itu anehnya, Pak Wisnu menganggap peristiwa itu selesai begitu saja. l tidak melaporkan ke polisi. Saya juga heran."
"Mungkin Pak Wisnu tidak mau berurusan dengan polisi," Oom Sar menebak.
"Mustahil! Orang ditembak kok tidak minta perlindungan polisi! Mae kira ada apa-apanya."
"Apa-apanya ltu apa?" tanya teman Oom Sar.
"Misalnya Pak Wisnu melakukan kesalahan terhadap sesaorang. Lalu orang itu mendendam. Dia menembak Pak Wisnu untuk melampiaskan dendamnya. Pak Wisnu tidak lapor ke polisi karena ia khawatir rahasianya terbongkar. Ya! Pasti ada sesuatu yang dirahasiakan Pak Wisnu. Betul, nggak Oom?"
Oom Sar termangu-mangu. Untuk menerima analisa Lady Mae, dia ragu. Untuk menolaknya, tidak mungkin juga. Logika Lady Mae masuk akal.
"Kira kira apa yang bikin Pak Wisnu ditembak?" gumam Oom Sar
Temannya merasa pertanyaan itu ditujukan kepadanya. Padahal Oom Sar cuma bergumam buat dirinya sendiri. Tidak bertanya kepada siapa pun.
"Saya intim sekali dengan Pak Wisnu. Biasanya hal-hal yang sifatnya rahasia juga dia ceritakan kepada saya." kata teman Oom Sar. "Tapi soal penembakan itu dia tidak cerita. Saya menjebaknya dengan pertanyaan pertanyaan
sampai dia cerita. Kelihatannya dia juga tidak mau soal itu diungkit-ungkit. Saya heran jadinya."
"Hm mungkin sebenarnya penembak itu dendam pada anak Pak Wisnu!" cetus Lady Mae. "Apa Pak Wisnu punya anak?"
"Banyak! Yang paling besar' hampir dokter sekarang! Yang remaja ada dua orang!"
"Mungkin yang remaja itu bikin ulah di luaran sehingga ada yang mendendam dan melampiaskan dendam itu kepada Pak Wisnu!"
Oom Sar memandangi Lady Mae.
"Maaf, ya Mae," katanya. "Biasanya logikamu masuk akal. Tapi yang barusan itu kekanakkanakan. Jangan marah, lho!"
"Nggak apa apa. Kritik kan sehat, Oom. Asal yang ngritik tidak lagi sakit!"
Oom Sar dan temannya tertawa. Sesudah itu. tidak ada percakapan penting yang perlu dicatat lagi. Semuanya sekitar dugaan-dugaan yang sulit dibuktikan.
Sampai malam itu ketika Lady Mae berada di kamarnya sambil merenung-renung, jawaban belum ditemukan. Mengapa Pak Wisnu ngibrit dan bungkam tentang penembakan itu? Jam sebelas malam sekarang. Lady Mae berusaha melupakan dugaanvdugaannya agar bisa tidur lelap.
Tetapi ketika itu Jipi belum bisa santai. Dia letih sekali setelah mengurus ban kempes di Kali Malang. Dia pun ingin lekas tidur. Tapi lelaki tua yang tinggal di sebelah pavilyunnya datang me nyongsong. Lelaki tua itu bernama Jamhuri. Tapi
dia bangga jika orang hanya memanggilnya Babe Jam atau Babe saja.
"Jip! Tadi ada kawan kamu!" kata Babe. "Dia titip surat!"
"Siapa, Be?"
"Dia nggak mau ngasih tahu namanya. Ini dia suratnya!"
Babe memberikan amplop _tertutup. Tanpa alamat, tidak pula ada catatan pengirimnya. Hanya polos.
"Makasih, Be."
Jipi masuk ke pavilyunnya dan segera membuka amplop itu. Isinya surat pendek. Katakanlah itu surat kaleng. Sebab tidak ada nama dan alamat pengirimnya. Meskipun terbuat dari kertas putih bertuliskan tinta hijau, namanya surat kaleng juga.
Jipi,
Ketika Kaki Keke Kaku Karya Bung Smas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maaf, aku nggak sengaja nembak kepala . Keke. Tujuanku nembak kepala orang gendut
itu. Sori, ya? Semoga kamu memaafkan aku.
Sungguh mati aku nggak sengaja mencela
kakan Keke.
Begitu saja bunyinya. Jipi puyeng setengah mati. Siapa pengirim Surat kaleng yang terbuat dari kertas putih bertuliskan tinta hijau ini? Oh, ya. Penembak gelap itu tentunya! Tapi siapa penembak gelap itu? Bego! Kalau Jipi tahu, dia sudah lapor ke polisi, dong!
VII. KITA PUNYA BISNIS MASING-MASING
NADMI tetap nengil. Gayanya bikin yang lain enek, empet, keki, dongkol, dan kata kata sejenis IIU sekeranjang banyaknya. Pagi pagi sekali Lady Mae sudah tiba disekolah. Pagi-pagi juga yang lain tiba. Seperti saling berianji saia Soalnya masing-masing ingin bercerita tentang pengalaman selama kerja sendiri sendiri.
Mereka bertemu di tepi aula.
"Kita nggak kompak! " Sheila yang mula-mula mencetuskan uneg-unegnya. "Jadinya begini! Teman sendiri main uber uberan! Aku disangka maling, 'kali!"
Maestro tertawautawa.
'Kalau nggak kami uber, kamu harus begadang di Kali Malang sampai pagi! Memangnya mau siskamling apa!"
Jipi tidak acuh terhadap Omongan itu. Ia mengeluarkan surat kaleng yang terbuat dari kertas putih bertuliskan tinta hiiau.
"Aku menerima surat ini," katanya.
Lady Mae menerimanya dan membacanya dalam beberapa detik. Yang lain ikutan.
Si tengil Naomi juga sudah tiba. Tapi dia tetap petantang petenteng nggak kepuguhan
lagu. Kayaknya dia yang cakep sendiri. Yang lain mirip sapi.
"Tuh! Bintang kita lagi action!" cetus Sheila
Tidak ada yang menyahut. Semuanya sedan mikir tentang surat itu.
*"Pengirimnya seperti kenal betul sama kamu Jip!" kata Lady Mae. "Dia-juga tahu alamat rumahmu! Tahu juga kalau Keke saudaramu! Siapa kira kira?"
"Naomi, 'kali!" cetus Sheila.
"Ngawur saja kamu!!" dengus Lady Mae "Kalau lagi kesel sama orang, otakmu meman kacau! Kalau kutanya siapa ibu tirimu, kau pastl akan jawab Naomi!"
"Amitamit, deh!" sembur Sheila. "Lihat, tuhl Gayanya kayak peragawati senewen!"
Maestro rada nggak enak juga. Dia kan dlam diam suka santa Naomi. Pokoknya kalau disuruh milih mau ngebakso sama Lady Mae, Sheila. atau Naomi, Maestro milih yang belakangan Lady Mae itu cerewet, Sheila rada pelit. dan Naomi? Nggak tahu apa namanya. Pokoknya di serba pas. Cerewet tidak, pendiam kagak Pokoknya ngebakso sama dia senang, meskipun harus nraktir.
"Siapa kira kira temanmu yang punya pistolx Jip?" tanya Lady Mae. Untuk sementara dia lebih tertarik pada soal surat kaleng itu.
"Siapa? Temanku kan temanmu iuga! Siap yang punya pistol?"
"Tapi pistol apa pelurunya kecil begitu?" sel Maestro Lebih baik bicara tentang seniat daripada nielek-jelekin Naomi. Dia akan meras &
pintar kalau bicara tentang senjata. Akan berduka-cita kalau mendengar orang menieiekjelekkan Naomi, sekalipun diajuga keki melihat tingkah Naomi belakangan ini.
"Pak Wisnu bilang dia ditembak dengan pistol oleh anak muda yang lari pagi."
"Pak Wisnu siapa?" tanya Sheila.
"Oh. ya. Aku belum menceritakan kepada kalian."
Lady Mae pun segera menumpahkan rentetan kata untuk mengisahkan tentang Pak Wisnu yang ngibrit begitu Oom Sar tiba.
"Nah! Kita tanya sama Pak Wisnu siapa penembaknya!" cetus Jipi.
"Kata Oom Sar, Pak Wisnu merasa tidak kenal penembaknya."
"Mungkin dia bohong!" bantah Jipi.
"Lalu supaya dia ngaku dan nggak bohong, harus kita apain?"
"Kita taruh orong-orong di pusernya, lalu ditutup gelas. Nah, orong-orong itu akan ngamuk dan bikin geli! Rasain kalau dia nggak ngaku!"
"Kamu ngaco! Nangkep orong-orong sih gampang. Lha nangkep Pak Wisnu yang gedenya segaiah digebukin itu bagaimana?"
"ini sudah ngaco! Nggak sehat!" seru Maestro. "Bagusan kita mulai menyelidiki siapa pengirim surat kaleng itu! Kita lihat contoh tulisan teman teman kita di buku catatan mereka. Kalau, ada yang cocok, itu dia penembaknya! "
"Itu juga ngawur!" kata Sheila. "Mendingan kita serahkan ke polisi. Biar polisi memeriksa ."
surat itu di laboratorium!"
"Ngomong sih enak!" sengat Lady Mae. "Kamu sendiri deh yang nyerahin ke polisi!"
"Sudahlah," potong Jipi untuk mengakhiri debat nggak mutu itu. "Mendingan kamu simpan saja dulu, Mae. Nanti-nanti kita juga tahu siapa pengirimnya. Kita pura pura cuek saja dulu. Siapa tahu pengirim surat itu ada di sekitar kita? Supaya dia penasaran, kita cuek berat. Nanti kan ngirim surat lagi."
"Itu kan maunya kamu, Jip! Supaya kerjamu enakan!" kata Lady Mae. Tapi ia setuju untuk menyimpan surat kaleng yang terbuat dari kertas putih bertuliskan tinta hijau itu.
Naomi mendekat. Gayanya biasa-biasa saja. Tapi karena Sheila sedang keki berat, dia enek lihat gaya peragawati senewen itu.
" Halo, rekan rekan sebangsa dan setanah air! Apa kabar kalian? Semalam ada yang ngikutin aku, ya?"
"Eh. Dianya tahu!" bisik Sheila. Tapi bisikan itu terlalu keras sehingga Naomi juga mendengarnya.
"Tahu saja! Aku kan curiga lihat mobil hijau menguntit ke mana-mana! Kirain rampok! Sekarang lagi gawat, lho! Banyak rampok kerjanya begitu. Ngikutin mobil, lalu motong jalan di tempat yang sepi. Habis, deh!"
"Sama siapa kamu semalam?" tanya Lady Mae. '
"Kak Vid. Hebat lho Kak Vid! Dia sudah tahu dikuntit sebelum aku tahu. Dia sengaja ngebut, lalu tiba-tiba belok ke jalan yang gelap. Eee
mobil hijau itu terus saja! Sopirnya matanya budek. 'kali!"
"Lalu bagaimana kamu tahu kalau Sheila yang ngikutin kamu?" tanya Lady Mae.
"Aku lihat mobil itu ngepot karena ban belakangnya kempes. Nggak lama kemudian Jipi dan Maestro datang. Aku sih nggak jelas lihat Maestro dan Jipi. Cuma nebak-nebak aja. Siapa lagi kalau bukan kalian berdua yang intim sama Sheila?"
"Lalu kamu lewat mana?"
"Masuk aja terus ke kampung."
"Ke mana?"
"Ke rumah Ipong."
"Betul?"
"Tanya aja Ipong!"
"Ngapain ke sana?"
"Kok ngapain? Lha kamu mondar-mandir ke rumah Ipong selama ini ngapain?"
"Tapi aku nggak bersama Kak Vid!"
"Karena kamu nggak kenal dia!"
"Jawab yang benar! Kenapa kamu ke sana ngajak Kak Vid?"
"Karena aku nggak berani sendirian! Malammalam kluyuran ke sana memangnya apaan!"
"Kak Vid itu pacar kamu?"
"Bukan."
"Kenapa nggak ngajak Kak Hafiz atau yang lain?"
"Karena Kak Vid yang akan nyumbang!"
,"Hm! Dermawan amat dia? Kemarin dulu sudah nyumbang seratus lima puluh ribu. Semalam berapa lagi?"
"Cepek ceng!"
"Jadi seperempat juta seluruhnya? Hebat! Aku baru dengar ada jutawan royal begitu Aku mencurigai dia!"
Naomi tertawa merdu. Bagai nyanyian saja. Suara tertawanya bisa dinikmati karena nadanya enak.
"Kamu kok curigaan amat, Mae? Waktu aku diam aja, kamu ribut. Ngata-ngatain aku nggak berbudaya segala macam. Sekarang aku bergerak, kamu ribut lagi! Jadi aku harus bagaimana?"
"Gerakanmu kacau! Bawa bawa Kak Vid segala!"
"Apa ada undang-undang yang melarang aku pergi berdua Kak Vid? Kalau memang ada, aku akan melanggar undang-undang itu. Apa sangsinya?"
Lady Mae kehabiSan akal. Naomi telah benarbenar menjelma menjadi makhluk yang bikin perut mules. _
"Interupsi, Mae," sela Maestro.
"Ya!"
"Jangan kelewat tegang! Ini kan 'bukan interogasi! "
"Aku nggak bisa ngomong lagi. Mungkin aku yang bego," keluh Lady Mae.
Dia menggeloyor pergi. Sheila makin dongkol saja pada Naomi. la mendelik supaya Naomi takut. Tapi ternyata Naomi tertawa!
"Kamu mau sok galak lagi kaya dia? Nggak ada potongan, She! " katanya meledek. "Dia itu sok pemimpin! Tapi pemimpin apaan nggak
demokratis begitu?"
"Kamu yang berantakan!" dengus Sheila. "Pokoknya aku membela Mae!"
"Alasan kamu?"
"Nggak. ada alasan! Pokoknya kalau kamu berantem sama Mae. aku di pihak dia!"
"Berantem itu apa pasalnya?"
"Ndelul!"
Sheila pun pergi. Tinggal Maestro dan Jipi. Naomi tertawa mengeiek, seperti menantang cowok-cowok itu untuk ribut dengannya.
"Kau memang sering bikin gara gara," keluh Jipi. Nadanya tidak garang, seperti orang susah saja. "Dulu kami semua sibuk karena kau punya kegiatan yang mencurigakan. Sekarang kau bertingkah macam itu lagi. Sebenarnya apa sih mau kamu. Na?"
" Perdamaian dunia! Asas kompanyon kita kan cinta damai! Nah, aku juga cinta betul sama yang namanya damai itu. Nggak tahu si Damai itu sekarang di mana. Kok di sanavsini orang pada berantem melulu. Orang mau nyumbang baik baik diuber-uber kayak copet ketahuan!"
"Kamu nggak mau berterus terang tentang kegiatanmu. Makanya kami menourigaimu."
"Apa semua kegiatan hidupku harus kulaporkan pada kalian? Jangan-jangan aku mau buang ingus saja harus lapor Mae? Kita kan punya bisnis masing-masing!"
"Stop! Nggak ada gunanya ribut kampungan begini!" potong Maestro. "Pokoknya gini, Na. Kegiatan kamu selama ini cukup mencurigakan. Kami sih nggak mau usil sama urusan orang
lain. Tapi seenggak enggaknya kami kan ikut sedih kalau kamu kenapa-napa. Makanya kaml menyelidiki kegiatanmu. Jangan saiah paham Na. Kami usilan begitu karena sebenarnya kami sayang kamu."
"Aduh, Mak! Kepalaku mumet dengar rayuan mautmu! Sori deh, Tro! Aku belum sia disayang-sayangi cowok!"
Sekarang Naomi yang pergi. Jipi dan Maestr saling pandang.
"Jadi dia sengaia menyembunyikan kegiatan nya, kan?" tanya Jipi.
Maestro bingung untuk mengangguk atau menggeleng. Naomi memang penuh misteri. Ap sih sebenarnya yang dilakukannya?
"Biar aia, deh," kata Maestro pada akhirny "Kita punya bisnis kan masingmasing!"
Ya, memang begitu. Tapi apa dong artinyi kekompakan mereka?
SEBENARNYA Lady Mae nggak tega tanya macam macam kepada Ipong. Dalam suasana duka-cit tak baik mengganggu dengan segala prenik Tapi karenapenasaran, Lady Mae tanya juga tentang Kak Vid.
"Semalam dia datang bersama Naomi," kal Ipong. "Dia baik sekali. Banyak menasihatiku.
"Bukan soal baik atau jeleknya yan; kutanyakan. Tapi bagaimana dia bisa sebaik itu kepadamu. itu yang rada mencurigakan!"
"Apa kau dan teman temanmu juga tidak baik kepadaku? Apa aku J'uqa harus mencurigai
kebaikan kalian?"
"Bukan itu."
"Lalu apa? Jangan ganggu aku dengan segala persoalan. Aku sedang berkabung Mae. Kuharap kau mengerti. Buatku sekarang, siapa pun yang memberi sumbangan, adalah dewa penolong. Kalau perlu, perampok besar sekalipun asal dia menyumbang kami dengan ikhlas, dia tetap dewa penolong. Rasa terima kasih kami sekeluarga kepadanya tidak bisa dibilang lagi."
"Maaf. Aku terlalu menyusahkanmu."
"Sori, Mae. Sori. Aku tidak bermaksud melukai hatimu. Aku sedang bingung sekali. Bagaimana bisa melanjutkan hidup saja aku sudah bingung. Selama bapak saya di rumah sakit ibu saya sudah meniual apa saja. Malah sudah meminiam uang kepada banyak orang. Untuk mengembalikannya, rasanya kami harus menjual ru mah ...."
Lady Mae menepuk pundak lpong seperti akan memberi semangat dengan gerakan itu.
"Tabah, Pong. Tuhan telah membuatmu susah. Tentunya Dia juga yang akan memberimu jalan keluar. Aku pulang. ya? Kalau ada apa apa datang saja ke rumahku."
"Trims. Mae!"
Lady Mae urung memperlihatkan surat kaleng yang terbuat dari kertas putih bertulisan tinta hi iau itu. Biarlah dia yang memecahkan misteri surat kaleng ini. lpong tak boleh diganggu selagi dia bingung dalam masa berkabungnya
Akhirnya Lady Mae harus menjumpai Oom
Sar. Dia tidak mikir lagi apa Oom Sar suka apa tidak direpotkan oleh urusan begitu. Sikap Oom Sar sih biasa-biasa saia. Dia merasa terlibat sejak awal gerakan Lady Mae. Jika itu sebuah pentas sandiwara, maka ia merasa ikut berperan. Jangan tanggung lagi, tuntaskan saia peran itu. Kalau Lady Mae sungguh mati penasaran, Oom Sar pun serupa. Apalagi dia setelah membaca surat kaleng itu.
"Jelas kan, penembak itu tidak bermaksud mencelakakan Keke? Sasaran tembaknya pasti Pak Wisnu! Mungkin ada masalah pribadi yang bikin Pak Wisnu nggak mau lapor polisi."
"Mae lngin menghubungi Pak Wisnu tewat telepon. Siapa tahu dia mau ngaku sama Mae."
"Ada! Nomor teleponnya ada. Kemarin teman Oom Sar ngasih nomor itu. Sebentar saya cari!"
Mau ngomOng apa nanti kalau sudah bisa menghubungi Pak Wisnu? Ah, itu soal nanti. Yang penting nomor telepon itu. Oom Sar mencatatkannya di kertas sepotong.
"Tentang mobil hijau itu, Mae. Sampai sekarang belum diketahui nomornya. T_eman Oom Sar di Polda Metro Jaya belum menemukan nomor itu. Semua mobil jenis sedan berwarna hijau malah nggak ada yang nomornya B-74 sekian."
"Mungkin itu nomor palsu, Oom?"
"Mungkin saksi mata di tempat kejadian itu salah lihat. Tujuh enam disangka tujuh empat. Namanya juga malam hari. Apalagi dalam peristiwa semacam itu orang tidak segera ingat untuk melihat nomor polisi mobil penabrak. Ke
jadiannya kan tiba-tiba dan cepat sekali."
"Bisa juga penabrak itu pencuri mobil Dia sedang melarikan diri dengan mobil curian itu ketika terjadi kecelakaan ...."
Oom Sar tersenyum. Sebuah tepukan lembut mendarat di pundak Lady Mae,
"Kau terlalu letih. lstirahatkan pikiranmu. Jangan terlalu tegang memikirkan hal-hal semacam itu. Nanti urusan sekolahmu berantakan."
"Saya hanya kasihan sama lpong dan keluarganya. Penabrak itu luar biasa bebal!"
"Sama. Saya juga punya perasaan semacam itu. Tapi sudahlah. Keluarga lpong sendiri tidak mau melaporkan peristiwa itu kepada polisi. Jadinya sulit. Coba kalau sejak semula lapor polisi. Barangkali pada saat itu penabrak itu udah tertangkap. Ya. meskipun tidak sampai ke pengadilan kan bisa ditempuh jalan damai. Misalnya penabrak itu bertanggung jawab terhadap seluruh biaya perawatan dan pemakaman korban. Juga bertanggung jawab terhadap nasib keluarga yang ditinggalkan. Namanya juga musibah. Datang tidak diundang, ditolak pun tidak bisa. Keluarga lpong sudah cukup pengertian untuk menerima musibah itu ebagai takdir. Mereka tidak menyalahkan penabrak itu sepenuhnya. Sayangnya mereka tidak meminta pertolongan polisi untuk mencari penabrak itu. Tapi apa mau dikata? Sikap mereka memang begitu."
Oom Sar tampak putus-asa. Lady Mae mengerti sepenuhnya akan sikap Oom Sar. Dia
pulang dari rumah Oom Sar dengan harapan yang tinggal sisa sedikit di hatinya Yang sedikit itu akan dihabiskannya untuk mencoba menghubungi Pak Wisnu.
N_omor nomor diputar dengan bismillah yang diucapkan sangat khusyuk. Alhamdulillah, Pak Wisnu sendiri yang mengangkat pesawat telepon di ruang tamu rumahnya.
"Selamat sore, Oom."
"Selamat sore. Ini siapa, ya?"
Oh. suara orang itu lembut sekali Suara seorang bapak yang sayang anak dan suka pada teman-teman anaknya.
"Saya Lady Mae. Oom."
"Lady Mae siapa. ya? Perasaan teman anakanak saya nggak ada yang namanya Lady Mae."
"Saya temannya Keke. Oom."
" Keke siapa?"
"Keke yang Oom tolong waktu kakinya kaku Yang kepalanya tertembak itu, Oom."
"Oh, ya! Apa kabarnya Keke? Oom baca semua surat kabar kok nggak ada berita tentang penembakan itu. ya?"
"Memang nggak diberitakan, kok. Say penerima kasih Oom menolong teman saya."
"Ah. Itu kan biasa. Kebetulan Oom sedang lewat di situ."
"Penembak itu jahat ya, Oom! Dia ngirim surat kaleng ke rumah Keke!"
"Ha? Surat kaleng? Lalu bagaimana?"
" Dalam surat itu dia ngancam agar papa Keke nggak melapor kepada polisi. Kalau lapor, Keke akan ditembak lagi!"
"Kurang ajar sekali dia!"
"Kurang ajar dan nggak bermoral, ya Oom!"
"Yal Betul itu!"
"Di dunia ini banyak orang nggak bermoral, ya Oom?"
"Banyak. Banyak sekali."
"Ayah teman saya juga ditabrak orang yang nggak bermoral, Oom. Bayangin aja! Sudah ditabrak sampai mati, penabraknya lari, lagi!"
"Oh, ya? Di mana kejadiannya?"
"Di Kali Malang, Oom."
"Kapan itu?"
"Kira-kira seminggu sebelum Keke ditembak orang!"
"000 lalu?"
"Ya bagaimana lagi? Orang nggak bermoral itu tetap menghilang. Padahal keluarga korbannya sangat menderita. Nggak dikasih apa-apa. Yah, semoga Tuhan memberi keadilan ...."
Sesaat tidak ada percakapan yang terjadi. Di gagang telepon Lady Mae terdengar helaan napas panjang. Pak Wisnu sedang membayangkan peristiwa itu, barangkali. Atau dia merasa terganggu oleh telepon yang tidak perlu dari anak yang sama sekali belum dikenalnya
"Oom."
"Ya?"
"Apa Oom ingat waiah orang yang menembak Keke? Kata orang-orang yang lihat peristiwa itu sebenarnya yang jadi sasaran penembakan itu Oom. Bukan Keke. Betul ya, Oom?"
"Rasanya begitu."
"Kenapa sih Oom kok ditembak orang?"
"Yah namanyajuga manusia, Mae. Nabi sa ia banyak musuhnya. Apalagi kita yang banyak salah dan dosa."
"oom kok nggak lapor polisi, sih? Padahal Oom ditembak orang!"
"Tidak perlu. Oom kan selamat. Biar saja Tuhan memberi keadilan. Begitu kan katamu tadi?"
"Ya, Oom. Terima kasih banyak. Kapan kapan Mae nelepon lagi ya, Oom?"
"Boleh, boleh. Mae tinggal di mana?"
"Jalan Pahlawan 51 Bekasi, Oom. Oom sering lewat di depan rumah Mae, kan?"
"Jalan Pahlawan hm, rumah yang belum jadi itu, ya?"
"Betul, Oom!"
"Kata orang itu rumah arsitek? Betul?"
"Betul, Oom. Pak Arsitek itu papa Mae!"
"Wah! Oom juga ingin kenal, nih! Siapa tahu ada kerja sama di masa yang akan datang?"
"Bagus itu, Oom! Papa juga pasti sudah tahu tentang Oom. Kan sama sama bergerak di bidang bangunan? Bedanya, Papa membangun rumah dengan pinsil dan kertas. Kalau Oom dengan batu bata, semen, pasir, besi. Gitu kan, Oom?"
"Ya, ya. Salam deh buat Papa. Kapan-kapan Oom ke rumah, ya?"
Lady Mae meletakkan gagang telepon itu. Apa yang baru saja dilakukannya itu? Mencari order bual Papa Arsitek? Nggak tahulah. Otak pun rasanya buntu.
SERBA TAHU
BAGAIMANATUhan menciplakan Naomi dengan sebanyak itu keistimewaan, sulit dipahami. Begitu kesan Lady Mae. Dia jumpa lagi dengan Naomi di Green House Palace. Naomi sengaja mengajak Lady Mae tanpa siapa pun. Mereka mojok dan tidak terganggu oleh pengunjung lainnya. Sesudah masing masing menghabiskan semangkuk bakso formula baru, keduanya lalu bicara.
"Aku tahu siapa penulis surat kaleng itu," kata Naomi mula-mula. Lady Mae segera memuji kebesaran Tuhan karena rasa kagumnya kepada si Serba Tahu. Lebih-lebih ketika Naomi melanjutkan katakatanya begini, "Dia sudah lama mengincar Pak Wisnu. Dia punya pistol. Dengan menyamar sebagai pelari pagi, dia bisa mendekati Pak Wisnu ketika Pak Ndut itu sendirian. Lalu, dor! Harusnya perkaranya habis di situ karena dendam sudah dilampiaskan! Sayangnya kaki Keke kaku. Perkaranya jadi lain! "
" Bakso ini siapa yang bayar, Na?" tanya Lady Mae. Dia bingung mau tanya apa. Hingga lebih baik tanya soal bakso saja.
"Aku saia. Kak Vid kasih uang ialan selama kuantar kesana kemari."
"Jangan nyebut Kak Vid dulu, Na. Soal penembak itu bagaimana?"
"Ngomongnya jangan keras-keras! Di sini banyak kuping!"
"Kita cari tempat yang sepi saja?"
"Di mana?"
"Di laboratorium!"
"E!Dilarang masuk kalau tidak berkepenting .an!"
"Na, di Indonesia ini mana sih yang nggak mungkin? Peraturan ada di mana mana Tapi semua itu bisa ditembus asalkan kita tahu caranya. Punya uang gopekan?"
"Ada. Aku lagi kaya, nih!"
"Halal atau tidak, kasihkan gopek buat Pak Saman!"
"Ooo jadi kita harus nyogok Pak Saman supaya bisa ngumpet di lab?"
"Begitu kebudayaan kita. Sedih, ya?"
Urusan pun lancar setelah gopek melayang. lab sepi sekali. Hanya botol-botol, bejanabeiana, bangkai binatang kering, buku-buku tebal, dan seperangkat benda mati lainnya yang tidak akrab dengan Lady Mae.
"Teruskan bicaramu, Na."
"Penembak itu mendendam kepada Pak Wisnu."
"Aku tahu itu. Tapi apa pasalnya?"
"Itu bukan urusan kita. Yang penting dia tidak akan mencelakakan siapa-siapa lagi di antara kita. Menurut bunyi surat kaleng itu, si pengirim ,(m,
minta maaf karena salah tembak. Berarti di tidak bermusuhan dengan kita, kan?"
"Tunggu dulu! Kamu tahu benar soal sur l kaleng itu, kok? Dari siapa? Aku nggak pern :| ngomong sama kamu!"
'Semalam Maestro ke rumah. Eh, dia genll ya? Masa dia cemburu sama Kak Vid? Adulkasihan dia. Kompanyon kita bakal nggak ko : pak lagi kalau sudah ada unsur yang ngga sehat masuk. Iya, kan?"
"Aku juga cemburu sama Kak Vid!"
"Kok begitu?"
"Sejak kamu kenal dia, tingkahmu maca | macam. Kamu nggak kompak lagi dengan an gota yang lain!"
"Jangan keki dulu, Mae! Aku juga puny bisnis, dong! Mau dengar soal surat kaleng it lagi, nggak?"
"Tersarah kamu mau ngomong apa enggak!
"Nah. Aku usul, kalau diterima, sih Baikny kita lupakan saja deh soal surat kaleng da tembak-tembakan itu. Kita mau ngapain, sih Nanti urusan kita berantakan nggak keruan Mendingan kita kaya yang lain aja. Belajar yan bener, supaya naik kelas dan dapat hadiah dar Papa. Lagian kita mau cari apa gebrak san gebrak sini nggak kepuguhan lagu?"
"Kamu ngomong kenal penembak itu Sekarang katakan siapa dia."
"Sayang, aku nggak mau bilang siapa di Mae."
"Kamu sialan benar!"
"Biarin! Kalau aku ngomong, kau pasti akan
melaporkannya kepada polisi. Nanti urusanny
jadi panjang lagi. Kita sibuk gebrak sana gebral sini. Akibatnya. kita nggak bakal dapat hadiah dari Papa karena nggak naik kelas!"
Lady Mae ngempos saking masygulnya.
'Kamu memang serba tahu. Hebat. Luar biasa, mengagumkan, ajaib! Tapi kesenangan mu bikin orang lain kesal, itu yang menyebalkan Aku ingin niitak kepalamu. Sayangnya ak nggak tega!"
Lady Mae keluar. Naomi diam sesaat. Haru bersikap bagaimana dia? Belakangan ini tema: temannya berantakan karena mereka melakukan gerakan-gerakan yang tidak sehat. Main detektif detektifan begitu, apa perlunya? Orang boleh ib terhadap nasib sesamanya. Boleh simpai terhadap kawan sendiri. Tapi apa perluny gebrak sana gebrak sini nggak kepuguhan lagu Mereka Sudah oukup berbuat untuk lpon Cukup pula untuk Keke. Persoalan sebenarny harus selesai. Meniadi belum selesai karen mereka penasaran nggak keruan. Untuk ap semua itu? Kata Kak Vid, gerakan tidak sehat itl harus segera dihentikan. Perasaan saling curig cemburu, debat nggak mutu, hanya akal merusak kekompakan saia. Naomi setuli sepenuhnya dengan saran Kak Vid. Setuju sepenuhnya. Kak Vid orang baik, begitulah mata Naomi. Dia cinta damai, dan selurul perilakunya mencerminkan sikapnya itu. 1
Lain pula yang dipikirkan Lady Mae. Di merasa dipermainkan oleh Naomi, si serba tahi ' yang sok itu. Ini tidak bisa dibiarkan. Naom_
harus tahu kalau dia tidak bisa menganggap enteng Lady Mae, anak Papa Arsitek!
Sekarang yang penting diam dulu. Biar kepala menjadi dingin. Diam terus sampai dia pulang. Lalu mengeram di kamarnya. Memandangi kamar mandinya di sudut kamar itu. Dindingnya belum selesai dibuat. Merupakan tempelan tempelan batu yang direkatkan dengan lem yang kuat. Ah, baikan mencari batu-batu untuk dinding kamar mandi itu. Dia pun mulai berjalan membawa keranjang anyaman rotan. Disusurinya Jalan Pahlawan. Dipungutinya batubatu. Nggak peduli orang menertawakannya.
Setengah keranjang batu berbagai bentuk dibawanya pulang. Disusunnya satu persatu. Dia bisa berjam-jam dalam keasyikan semacam itu. Setiap batu memiliki bentuk yang tak beraturan dan tak pernah sama dengan lainnya. Untuk menempelkannya menjadi dinding yang rapat merupakan tantangan yang bisa mengasyikkan, tapi kadang juga menjengkelkan seperti si Serba Tahu.
0, si Serba Tahu! Makhluk itu tak pernah berhenti membuat kisah dengan segala perangainya. Membayangkan Naomi, Lady Mae puyeng jadinya. Ia menggeleng gelengkan kepalanya agar bayangan wajah Naomi terkibas lari sana. Lalu siap bekerja. Supaya lantai kamar nandi tidak kotor, diperlukan kertas kertas koran yang dihamparkan. Batu-batu ditaruh di .*itu, di atas hamparan kertas koran. Lady Mae mencari koran bekas. Lalu digelarnya satu per atu. 0, dia sudah melupakan beberapa kebia
saan. Membaca koran pun tidak pernah dilakukannya lagi selama sepuluh hari ini. Ada rubrik yang selalu dibacanya di koran langganan Papa. Iklan-iklan, berita keluarga, dan terutama surat pembaca, selalu menarik hatinya. |tu bisa menambah pengetahuan. Iklan-iklan membuat nya kenal barang baru dan perkembangan teknologi. Berita keluarga membuatnya mengenal banyak kisah manusia. Sedangkan Surat pembaca mengasyikkannya karena dari situ dia banyak tahu tentang masalah hidup.
Koran koran yang dihamparkan itu memaparkan iklan-iklan, berita keluarga, dan Surat pembaca. Sambil membersihkan batu-batu Lady Mae membaca. Ada iklan yang paling dibencinya: promosi alat KB. lni kerja ngawur dari banyak pihak, pikirnya. Beg itu terbuka orang bicara tentang hal-hal yang tabu bagi anak di bawah umur, dan koran itu dibaca oleh siapa pun yang melek huruf. '
Sekarang dia membaca rubrik surat pembaca. Ada yang'lucu, ada yang mengharukan, ada juga yang biasa-biasa saja. Dan sebuah surat pembaca di koran yang telah usang itu. Oh! Lady Mae membacanya. Dua kali, tiga kali, hal "000, makhluk serba tahu ! " dengusnya setelah selesai membaca surat itu. "inilah rahasiamu! "
Betul dia. Di koran itu ada surat pembaca yang ditulis Naomi! Isinya sebuah himbauan agar penabrak ayah Ipong memberikan tanda simpati kepada korban yang waktu itu masih terbaring di ranjang rumah sakit. Dijelaskan dalam surat pembaca tersebut pihak keluarga korban tidak
akan menuntut apa-apa Naomi pun menyebutkan bahwa dirinya hanya kawan anak korban, bukan siapa siapa.
Sungguh Naomi bukan anak yang mahir memainkan kata kata seperti Lady Mae. Tapi su rat pembaca itu demikian bagusnya, demikian menyentuh jiwa. Agaknya Naomi menulisnya
engan sepenuh batinnya, sehingga kata-kata meluncur bagai.air mengalir dari sumbernya.
"Korban akan tetap diam, sebab dia tidak mampu lagi berkata kata untuk menceritakan penderitaannya. Tidak mampu untuk menceritakan siapa penabraknya. Dia bahkan tidak mampu untuk mengenali dirinya sendiri. Penderitaannya mungkin tak akan berakhir. Sedangkan keluarganya tak punya apa-apa lagi kecuali doa-doa mereka." Begitu antara lain bunyi surat pembaca karya Naomi. Di akhir surat itu dicantumkan alamat lengkap Naomi.
Lady Mae keluar dari kamarnya. Ia memutar nomor telepon rumah Jipi.
"Halo, Jip! Kamu punya uang gopekan?"
"Punya! Untuk apa?"
"Pergilah ke rumah Pak Saman dan kasihkan uang itu."
"Hei Apa-ap aan kamu?"
"Gaji Pak Saman sebagai pesuruh sekolah kecil sekali, Jip. Kasihan dia. Kalau kau punya
ang berlebih, berdermalah untuk sesamamu."
"Jelaskan dulu kenapa kau kampanye kemanusiaan lagi!"
"Tanyakan pada Pak Saman, dulu Naomi terima surat da ri siapa. Setiap surat untuk murid
yang masuk ke sekolah pasti diketahui oleh Pak Saman. Naomi baru menerima surat lewat sekolah sekali itu. Pak Saman pasti ingat siapa nama pengirimnya. Oke, Jip! Kutunggu laporanmu dalam setengah jam. Bisa, Say?"
"Oke, Yang! Oke!"
Lady Mae menghubungi Pak Wisnu dengan telepon itu pula.
"Oom, Wisnu, ya?"
"Betul."
"Selamat sore, Oom. Semoga Oom sehatsehat saja!"
"Selamat sore. Ini siapa?"
"Aduh! Oom kok lupaan, sih? lni Mae. Oom! Lady Mae anak Papa Arsitek!"
"Ooo bagaimana, Mae? Salam Oom sudah disampaikan kepada Papa?"
"Sudah, Oom. Papa senang sekali. Papa juga kirim salam buat Oom. Kapan Oom datang? Atau Papa yang ke situ?"
"Boleh, boleh."
Ketika Kaki Keke Kaku Karya Bung Smas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oom suka main bilyar, ya?"
"Lho! Kok tahu?'I
"Bisnisman sekarang kan suka bilyar, Oom. Papa juga suka. Kapan-kapan boleh dong, Oom bertanding sama Papa?"
"Boleh. Kalau begitu papamu saja supaya datang ke rumah Oom! Di rumah Oom ada meja bilyar!"
"Iya. deh. Oom punya Hardtop warna coklat,
a?" y "Lho! Kok tahu? Kamu kok serba tahu, to?"
"Teman saya sudah kenal sama Kak Vid, kok.
Oom juga punya mobil hijau. kan?" "oh hijau itu ...itu mobil anak saya ...." "Kak Vid?"
"Bukan. Adiknya Vid. Kenapa?"
"Siapa nama adik Kak Vid?"
"on, kenapa. Mae? Kenapa kau banyak bertanya? Siapa sebenarnya kau?"
"Anak Papa Arsitek. Nama adik Kak Vid yang nabrak di Jalan Kali Malang itu siapa, Oom?"
Terdengar helaan napas panjang di gagang telepon Lady Mae. Lalu bunyi klik. Hubungan telepon diputuskan oleh Pak Wisnu. Mungkin Pak Ndut itu sedang panik luar biasa. Lady Mae, siapa dia sebenarnya? Dia memberi tahu alamatnya dengan jelas. Memberi tahu bahwa dirinya anak Papa Arsitek. Tapi benarkah dia menyebutkan nama dan alamatnya dengan sejujurnya? Pak Wisnu menyesal kenapa begitu saja terpancing dali pembicaraan lewat telepon dengan anak yang belum dikenalnya.
Setengah jam setelah menelepon Jipi. Lady Mae kembali menghubungi pavilyun mungil yang menempel di rumah induknya di Rawamangun itu.
"Jipi! Halo, Jipi!"
"Halo, Mae. Wah! Aku baru saja sampai!"
"Siapa pengirim surat itu?"
"Kata Pak Saman, namanya Vido Amiluhur. Pak Saman kan mencatat semua nama dan alamat pengirim surat yang masuk lewat sekolah. itu salah satu peraturan sekolah kita kan?"
"Njawabnya jangan kepanjangan! Bekasi
Jakarta interlokal, lho! Kasihan Papa. Rekening telepon perbulan selalu naik!"
"Kamu yang ngomong panjang-panjang!"
"iya, deh. Asal tahu saja, Jip! Vido Amiluhur itu anak Pak Wisnu!"
"Ha? Bagaimana kau tahu itu? Kata Maestro, Naomi merahasiakan identitas pengirim Surat itu. Ceritanya bagaimana, sih?"
"Naomi pernah ngomong mau bikin kejutan, kan? ingat ketika kita getol kampanye kemanusiaan dia cuwek saja? Kukritik dia, dan dianya bilang mau bikin kejutan!"
"Ya. ingat. Terus?"
"Nggak lama kemudian dia terima surat dan cengar-cengir. ingat?"
"Terus."
"Sebelum dia terima surat. dia bikin surat pembaca di koran. isinya himbauan kepada penabrak ayah lpong agar hatinya terketuk. Surat itu mendapat tanggapan. Naomi lalu menerima surat dari Vido Amiluhur. Nggak tahu isinya bagaimana. Kira kira Vida Amiluhur ngasih tahu bahwa adiknya yang nabrak ayah lpong. Vido mempercayai Naomi karena --eh, ini mungkin, lhodia sudah riset dulu untuk mengetahui siapa Naomi. Sebab Naomi mencantumkan alamat jelas-jelas di surat pembaca itu. Nah, Naomi lalu membalas surat Vido dan mencantumkan nomor telepon rumahku. Pada suatu sore dia datang untuk menunggu telepon itu. Mungkin dia sudah janjian untuk bicara lewat telepon. Selanjutnya kamu tahu sendiri."
"Tapi bagaimana kamu tahu semua ini, Mae?"
"Nanti kuceritakan lebih terinci. Sekarang apa pendapatmu tentang aksi penembakan itu?"
"Hm ada yang mendendam kepada Pak Wisnu, kan?"
"Kira-kira kenapa?"
"Tunggu dulu! Kebaikan Vido Amiluhur itu sangat berlebihan, kan? Kalau dia dermawan, rasanya tidak sampai begitu getol menyumbang Ipong. Yah. meskipun dia mau ngambil hati Naomi. Aku juga curiga padanya. Apa kira-kira dia yang nabrak ayah Ipong?"
"Adiknya! Nggak tahu siapa namanya. Jadi Kak Vid itu berusaha menjalin keakraban dengan keluarga korban. Mungkin juga berusaha men. jajaki sikap keluarga itu. Buktinya dia datang bersama Naomi ke sana. Cocok, nggak?'
"Cocok! Cocok! Jadi penembakan itu berlatar belakang dendam, kan? Apa ada hubungannya dengan perkara penabrakan itu?"
"Mungkin. Si penembak akan melampiaskan dendam kepada Pak Wisnu. Rupanya dia tahu mobil hijau itu milik Pak Wisnu. Nggak tahu dia mengerti atau tidak kalau yang naik mobil hijau itu sebenarnya bukan Pak Wisnu."
"Kalau begitu penembaknya dari pihak Ipong. ya?"
"Cocok! Aku malah mencurigai Ipong sendiri! Sikapnya sering misterius, Jip! Kadang-kadang dia tampak tabah. Kadangkadang seperti orang kalap; Yang terakhir kemarin dia ngomong rada sengak padaku. Mula mula aku nyangka karena pikirannya sedang kacau saja. Sekarang aku menduga lain. Aku mau ke sana, Jip. Mau
kutanya dia tentang surat kaleng itu. Dia tahu alamatmu, kan? Dia juga tahu Keke itu saudaramu!"
"Mae."
"Hm?"
"Mau dengar saranku. nggak?"
"Apa. dong?"
'Jangan ke sana sendirian! Tunggu aku dan Katro!"
"Ngak apa-apa.lpong baik sama aku, kok!"
"Tapi kalau dia kalap. bagaimana? Kau sendiri bilang sikapnya berubah-ubah! Jangan, Mae! Tunggu kami!"
"lya, deh."
"Daaah!"
Lady Mae ngempos seperti melepaskan beban berat yang menghimpit dadanya.
"Ada apa, Mae?"
Ditegur begitu saja Lady Mae melonjak kaget.
"Sampai kaget, Ma! Kirain siapa!"
"Ada apa? Kau terlalu aktif di luaran sekarang. Soal Keke lagi, ya?"
"iya, Ma. Nggak tahu deh, Mama bangga apa enggak punyak anak Mae."
"Lho kok ngomong begitu?"
"Belakangan ini Mae suka kluyuran. Jarang di rumah."
"Kalau kluyuranmu untuk tujuan baik, nggak apa-apa. Tapi Mama kira kau sudah macammacam sekarang. Semalam Papa bilang, Mae nggak boleh terlalu liar."
"tya, deh Ma. Mae akan kembali seperti kemarin-kemarin. Tapi sekarang Mae akan ke
rumah Ipong." '
"Mau apa lagi?"
"Nengokin dia. lpong kan butuh pendamping pada saat dia menderita, Ma."
"Tapi ini sudah sore, Mae. Mana kamu belum mandi!"
"Mandi sepuluh menit, Masih ada waktu, Ma."
Mama menghela napas panjang. Lady Mae itu satu-satunya anaknya. Sayangnya tak bisa dihilangkan lagi. Dia melihat tanda tanda istimewa pada diri anaknya. Tapi ia cemas juga karena belakangan ini Lady Mae terlalu aktif. Kegiatannya untuk (pong terlalu berlebihan. Mama cemas kalau itu akan mengacaukan sesuatu yang selama ini sudah berjalan dengan baik.
"Apa kau harus ke sana?" tanya Mama.
Lady Mae menangkap makna dalam per. tanyaan itu. |
"Sekali ini saja, Ma," katanya. Makna yang terkandung dalam pertanyaan Mama ada larangan ke rumah Ipong. "Boleh, kan?"
Lady Mae memasuki kamarnya. Di kamar mandi yang dindingnya belum rapat itu dia membersihkan badannya. Benarkah apa yang dilakukannya sampai saat ini? Ktuyuran ke mana mana, meninggalkan kebiasaan-kebiasaan tama karena punya kegiatan yang mengasyikkan, oh, mau jadi apa kamu Mae?
Entah jadi apa, nggak persoalan. Lady Mae mengayuh sepeda mininya kencang-kencang. Jalan beraspal hotmix di depan rumahnya man tap sekali. Roda roda sepeda mini itu menggelin
ding hanya dengan kayuhan ringan. Surat kaleng yang terbuat dari kertas putih bertuliskan tinta hiiau itu dibawanya serta. Siapa tahu bakal begini jadinya? Pertanyaanvpertanyaannya kepada Pak Wisnu meluncur begitu saja karena saling" berkaitan dengan pertanyaan pertanyaan sebelumnya. Siapa sangka kalau akhirnya bisa mengorek keterangan dari mulut Oom Wisnu? Tidak usah dengan orong-orong di atas pusar! lp0ng sedang bengong. Lady Mae membunyikan bel sepedanya, "Kring. Kring!" Bunyi itu membuat lpong meloncat. Bagai tersedot dari dunia khayalnya, dia sampai megap-megap.
"Oh. Kau! Aku sedang mikir mau ke sana!" sambutnya.
"Ke rumahku?"
"Ya. Sori, ya! Kemarin aku galak sama kamu. Sori, deh. Aku sedang panik."
"Sekarang nggak galak lagi. kan?"
Ipong mencoba tersenyum. Tapi yang tampak di bibirnya hanya seringai bagai orang kesakitan. Lady Mae tetap duduk di sadel sepeda mininya. Ipong mendekat.
"Bagaimana perasaanmu sekarang?"
"Ya, bagaimana.?"
"Dendam sama penabrak itu?"
"Dibilang dendam ya dendam. Tapi bagaimana lagi? Hidup mati manusia kan Tuhan yang punya. "
"Kalau misalnya kau ketemu penabrak itu, kau mau apa?"
"Nggamparin dia."
Lady Mae bergidik mendengarnya.
"Jadi kau nggak ikhlas menerima musibah ini, dong?"
"Ikhlas saia. Kehendak Tuhan harus kita terima. Tapi soalnya penabrak itu kelewatan. Dia mana tahu kalau kejadian begini?"
"Umpama dia tahu dan berani datang ke sini, kau mau apa?"
"Kalau bisa nahan diri, ya nggak apa apa. Tapi rasa-rasanya sih aku bakal kalap juga."
"Kau sudah tahu siapa penabrak ayahmu, kan?"
"Kalau aku tahu, aku sudah melabraknya, dcng!"
"Teman-temanmu ada yang tahu?"
"Rasanya nggak ada. Mereka paling hanya menduga-duga. Tapi nggak ada dasarnya. Bisa meleset. Namanya juga emasi." '
"Siapa yang mereka sangka penabrak itu?"
lpong tidak segera menjawab. Tampaknya dia menimbangnimbang. Lalu memandangi Lady Mae dengan seksama sampai Lady Mae risi. _
"Jangan melotot begitu! Aku ngeri!"
Ipong tersenyum. Lagi-lagi bagai seringai kesakitan.
"Jangan marah. ya? Sebenarnya aku akan merahasiakan soal itu. Tapi. yah Akhirnya aku nggak tega juga bohong sama kamu."
"Pak Wisnu kan yang kalian tuduh nabrak ayahmu?"
"Kamu kok tahu?"
"Temanmu nembak Pak Wisnu sebagai balas dendam?"
"0, tidak! Tidak! Tidak begitu!"
"Tapi Pak Wisnu ditembak dan Keke yang kena pelornya!"
"Tapi sungguh! Masa main tembak begitu!"
"Temanmu pasti ada yang punya pistol!"
"Tidak!"
"Penembak itu ngirim surat pernyataan maaf kepada Jipi. Berarti dia mengenal Jipi dan Keke. Tahu alamatnya pula."
lpong tampak berpikir keras. Mengingat-ingat siapa temannya yang punya pistol. Tapi dia sungguh tidak tahu. Bahwa aksi penembakan itu dilakukan sebagai balas dendam pun, dia tidak tahu-menahu.
Lady Mae menuniukkan surat kaleng itu. Ipong mengerutkan dahinya.
"Kenal tulisan ini?"
lpong belum menjawab.
"Siapa temanmu yang biasa pakai tinta hijau?"
"Tidak ada."
"Oh, ya. Tinta hijau itu sengaia digunakan untuk menghilangkan jejak. Kau kenal tulisan ini kan?"
"Nanti dulu! Rasa-rasanya aku kenal! .Tapi siapa, ya?"
"Bagaimana kau tahu kalau Pak Wisnu yang nabrak ayahmu?"
"Barusan Uka dari sini. Dia yang bilang. Katanya mobil hijau itu pernah dilihatnya di kantor PT Seravida Building. ltu perusahaan milik Pak Wisnu. Teman-teman Jalu menuduh Pak Wisnu yang nabrak. Aku bilang padanya, mungkin salah seorang pegawainya. Teman
teman yakin pasti Pak Wisnu."
"Lalu mereka melakukan tindakan balas den dam itu tanpa sepengetahuanmu!"
"Masa begitu? Rasanya sih enggak. Mereka nggak pernah nyinggung-nyinggung soal balas dendam."
" Berapa nomor polisi mobil hiiau di kantor PT Saravida Building?"
"8-76180 KE.
"Kapan mereka melihat mobil itu?"
"Kira-kira empat hari setelah Bapak kecelakaan."
"Tapi baru tadi Uka bilang?"
"Ya. Dia ngajak aku menemuu Pak Wisnu untuk minta ganti rugi. Aku nggak mau. Nyawa Bapak nggak bisa dibeli dengan uang berapa saia. Aku iuga nggak akan menjualnya."
"Kamu plin-plan. Dendam tapi nggak mau bertindak apa-apal Bagaimana sikapmu sebenarnya?"
"Nggak tahu juga. Kadang-kadang aku dendam dan ingin menghalar penabrak itu. Tapi kadang kadang aku mikir juga. Mungkin Bapak berdiri di aspal, bukan di trotoar. Jadi Bapak juga | kut bersalah dalam kecelakaan itu. Entahlah, aku bingung kalau mikirin soal itu. Kau belum pernah mengalami musibah begini, Mae. Kau nggak bisa membayangkan bagaimana sedih dan bingungnya. Kamu percaya? Makan sala I "Ya. Aku bisa mengerti. Aku nggak nyalahin
kamu kalau kacau begitu. Tapi kamu mau sedikit mikir, kan?"
"Soal apa?"
"Siapa orang tua temanmu yang punya senjata?"
"Nggak ada."
"Kamu lihat senjata-seniata di rumahku, kan? Siapa yang punya di antara teman temanmu." "Nggak ada, Mae. Nggak ada! Sungguh!"
"Bagaimana kalau Uka?"
"Uka? Hm oh. ya! ini tulisan tangan Uka!"
"Betul?"
"Betul! Tapi dia nggak punya pistol!"
"Kamu mau ngantar aku ke rumah Uka?"
"Hm sebenarnya aku lagi malas ke manamana. Tapi kau sangat baik padaku, Mae. Ke ujung langit aku juga mau ngantar kamu. Naik Sepeda ini?"
"Ya."
Mereka berboncengan. Maghrib tiba. Hal yang belum pernah dilakukan Lady Mae adalah bepergian pada saat maghrib tiba. Rasanya tidak enak juga. Lebih-lebih suara azan bergema dari empat penjuru. Telinga rasanya digelitik Hali pun di sundut-sundut.
"Semoga Tuhan nggak marah," gumamnya.
"Kenapa, Mae?"
"Maghrib-maghrib bukannya sembahyang, malah kluyuran!"
"Sekali sekali, Mae. Enak juga naik sepeda sama kamu. Kalau kamu sekolah di sini, saban hari aku mau memboncengkan kamu ke sekolah Pindah saja ke sini, Mae!" _
"Nanti saia kalau kamu sudah punya motor bebek."
"Kamu minta motor bebek dari papamu saia! Papamu kan kaya!"
"lh! Cowok apaan pengeretan begitu?"
Ipong tertawa. Senang juga mendengarnya.Sudah lama Ipong tidak bisa tertawa. Bahkan tersenyum pun mirip serinoai kesakitan.
DATANGvDATANG Ipong disongsong ibu Uka. Perempuan itu gugup sekali. Kedatangan lpong seperti kebetulan yang sangat diharapkan.
"Buruan, Pong! Buruan! Kejar dia!" serunya tanpa ujung pangkal yang ielas.
"Ada apa?"
"Uka!"
"Kenapa Uka?"
"Uka berantem!"
"Sama siapa?"
"Yang nabrak ayahmu! Dia bawa0bawa pistol! Ya, Allah! Anak itu keterlaluan! Saya baru tahu dia punya begituan! Nggak tahu dari mana, tuh!"
"Saya akan ke sana!"
lpong langsung menggenjot sepeda itu. Dan lupa pergi bersama Lady Mae. Kalau Lady Mae tidak terbirit-birit dan meloncat sambil mencengkeram pinggang Ipong, dia bakal ketinggalan. Saat itu Ipong baru ingat ia tidak hanya berdua dengan sepeda mini. Masih ada benda ketiga di belakang punggungnya.
"Mana bisa kita ke sana dengan sepeda mini?" seru Ladv Mae.
"Kamu tahu rumahnya?"
"Belum! Tapi tahu alamatnya!"
"Kita naik ojek saja!"
"Aduh! Aku nggak punya uang!"
"Gampang! Tukang ojek di sekitar sini aku kenal semua! Ngutang dulu juga bisa!"
"Tapi sepeda ini bagaimana? Masa dilipat?"
"Begitu saja bingung! Yang harus kaupikirkan bagaimana kita bisa mencegah kekonyolan Uka!"
"Aku ingat sekarang! Waktu pemakaman ayahmu. Uka banyak tanya tentang Keke dan Jipi. Oh, aku tidak menduga anak itu nekat begitu. Tapi dia punya senjata dari mana?"
"Mungkin oh, ya! Pamannya pelaut! Apa pelaut itu bersenjata!"
"Mungkin oleh-oleh dari luar negeri yang bisa diselundupkan ke sini? Pistol itu berpeluru kecil! Mungkin 4% mm! Sama dengan peluru senapan Papa! Lukanya saja garis tengah hanya 5 "milimeter! Luka itu lebih lebar daripada garis tengah peluru karena peluru kan jalannya muter? Kayak mata bor!"
"Jangan ngomong soal itu lagi! Nanti kita dicurigai! Malah ketangkep!"
Ipong menggenjot sepeda itu sekuat dayanya. Untunglah tempat mangkal tukang ojek tidak jauh. Sepeda dititipkan pada penjual rokok, lalu dua sepeda motor melaju bagaikan terbang di jalan kota Bekasi. Memotong ke selatan, lalu berbelok belok sampai memasuki kawasan
erumahan mewah di seberang Kali Malang.
Rumahcrumah di situ berdiri angkuh. Berpacar
besi sangat tinggi. Antara satu rumah dengan yang lainnya bagaikan tidak menyatu dalam satu kawasan. Seolah berdiri sendiri-sendiri tanpa kaitan apa-apa. Mencerminkan sikap penghuninya yang individualis dan Cuek terhadap sekitarnya. Di depan sebuah rumah ada motor bebek hitam. Ipong mengenali motor itu sama seperti dia mengenal pemiliknya.
"ltu dia motor Uka!"
Ojek ojek berhenti.
"Tunggu sebentar di sini!"
"Ya. Kalau perlu bantuan, ajak saya, Pong!"
"Jaga dulu di sini!"
Ipong menyeruak melalui gerbang yang tidak terkunci. Lagi-lagi dia tidak ingat membawa benda bernama Lady Mae. ia seperti beredar sendirian saja. Kalau Lady Mae_tidak ngibrit, dia pun akan tercecer.
Di depan pintu yang tertutup, Ipong berhenti. Ia termangu-mangu.
"Kita masuk saja?" bisiknya.
"Lihat-lihat dulu!"
Lady Mae mengintip lewat lubang kunci. Oh. dia menyadari kebodohan diri sendiri. Pintu rumah-rumah mewah begini masa kuncinya murahan dan bisa diintip? Sedangkan di rumah Lady Mae yang namanya kunci tidak bolong dan tidak bisa diintip! Lady Mae mendorong pelan. Dua pintu bergerak.
"Masuk saja! Siapa tahu kita bisa mencegah kecelakaan ! "
Di samping rumah itu ada pintu kecil terbuat: dari besi cor. Pintu itu terbuka tanpa suara..
Sesosok tubuh ramping berkain kebaya melesat. Dia pembantu rumah tangga, tentu.
"Oh! Oom siapa?" tegur wanita berkebaya itu.
"Apa di dalam sana ada orang ngamuk?" tanya Ipong, tanpa menjawab pertanyaan pembantu itu.
"Oh, ya. Ya. Bapak lagi berantem! Musuhnya bawa pistol!"
"Saya akan nangkep orang ngamuk itu!"
"Jangan! Nanti Oom didor!"
"Jangan takut!"
"Apa Oom polisi?"
Uh. Bertete-tele. Lady Mae harus tampil segera untuk mengakhiri percakapan tak perlu itu.
"Yang ngamuk itu abang saya,-" katanya "Dia nggak akan nyerang saya. Tunjukkan di mana tempatnya." ..
"Di belakang! Bapak kan lagi ngurusin ayam di belakang. Tahu tahu orang ngamuk itu nyelonong ke sana."
Ipong menoleh ke arah tukang-tukang ojek. Maksudnya akan memberi isyarat agar mereka menunggu. Tapi tukang-tukang ojek muda yang siap tempur itu salah pengertian. Mereka menyangka Ipong minta bantuan. Serta merta mereka terbirit-birit.
"Jangan ke sini!" bisik lpong.
"Saya ikut! Nanti ada apa-apa! Uka bersenjata!" kata salah seorang tukang ojek.
"ini di rumah orang!"
"Persetan! Ayo masuk!"
Mereka berempat, tak bisa dihindari lagi. Si pembantu membimbing pasukan kecil yang
terbentuk secara mendadak itu.
"Masuk jalan ini. Lalu di sana ada lemari besar, belok kanan. Hati hati, orang ngamuk itu ngadep ke sini!"
"Ya. Saya di depan. Kau di belakang. Mae!" Ipong mengatur barisan seperti komandan pasukan. "Rosyad dan Doyo di belakangku!"
"Aku yang di belakangmu!" bisik Lady Mae.
"Jangan membantah! Kau di belakang Rosyad dan Doyo!"
lh! Kalau lagi begitu Ipong menyeramkan juga. Lady Mae harus menurut. Kalau tidak, berantakan operasi ini.
Mereka mengendap melalui jalan yang ditun jukkan pembantu. Tiba di ambang pintu yang menghadap ke arah kebun belakang, ada kandang ayam bekisar. Pak Wisnu berdiri di depan kandang ayam itu. Hanya berkaus singlet dan bercelana pendek. Berdiri di hadapannya, Uka dengan pistol terbidik ke kepala Pak Wisnu. Kedua tangan Uka menggenggam laras senjata itu. Tampak ujung laras pistol itu gemetar. Jari jarinya pun menggeletar. Uka bukan seorang profesional yang mahir bermain senjata.
"Jangan dekat-dekat!" seru Pak Wisnu begitu melihat Ipong dan rombongannya muncul.
Uka melirik sedetik lamanya. la mundur untuk mengambil posisi yang baik sehingga dia bisa mengawasi Pak WiSnu dan rombongan lpong.
"Uka! Kamu sinting! Buang senjata itu!" seru Ipong.
"Ini dia pembunuh ayahmu!" jerit Uka.
"Lepaskan seniata itu!"
"Diam kamu! Pembunuh ini harus dimampusin!"
Lady Mae melangkah ke depan. Uka agak terperanjat. Tapi ia segera bergeser dan sikapnya waspada.
"Kamu apa-apaan, Uka? Keke sudah jadi korbanmu! Sekarang kamu mau menembak orang lagi! Jangan sok jago, lu!"
"Diam kamu." jerit Uka.
"Polisi akan nangkap kamu, tahu?"
"Peduli! Pembunuh ini harus mampus duluan!"
Lady Mae melangkah. Ipong berusaha menangkap lengan Lady Mae untuk mencegah. Tapi Lady Mae sudah bergerak lebih dulu. Gerakannya terlalu mengejutkan sehingga Uka terperanjat. Orang yang tidak kenal senjata seperti dia, bisa berbahaya hanya karena terkejut. Begitulah yang terjadi. Pistolnya bergerak. Larasnya menuding ke dada Lady Mae. Jarijarinya yang gemetar menggerakkan picu secara tak sengaja. Dor!
"Aduh!" jerit Lady Mae. Dia mendekap dadanya sendiri. Mulutnya menyeringai bagai menahan sakit. Tubuhnya limbung dan terguling.
Bunyi letusan itu cukup keras. Hampir bersamaan waktunya dengan bunyi gelas pecah di arah punggung Lady Mae.
"Mae!" Jeritan itu terdengar bersamaan antara yang diserukan lpong dan yang diteriak_ kan Uka.
lpong menangkap tubuh Lady Mae pada saatsaat yang kritis. Untunglah dia tidak terlambat
sehingga tubuh Lady Mae tidak sampai membentur lantai bagai batang pisang tumbang. Kedua tukang ojek itu bergerak sigap. Mereka melompat menyerbu Uka.
Uka sendiri telah membanting pistotnya ke tanah. la menunduk hendak menubruk Lady Mae. Tapi tangan-tangan tukang ojek meringkusnya. Uka meronta.
"Lepaskan! Lepaskan! " serunya. "Mae! Mae! Ya, Allah! Mae!"
Betapa pun Uka meronta, tukang-tukang olek itu terlalu kuat baginya. Semakin keras dia meronta, semakin sakit terasa sendi-sendi bahunya, di lutut dan siku, juga di kulit lengannya.
Ipong bangkit bagai singa meradang. Dia menghampiri Uka. Tiniunya kecil. Tapi bila dilun
curkan dengan segenap kemarahan yang pernah dipunyainya, tinju kecil itu memuat wajah Uka tengadah sesaat oleh hantaman keras Bahkan hidung Uka keluar darah.
"Kamu mencelakakannya! Kuhajar kau!"
lpong belum puas meninju cuma sekali. Dia akan menghajar habis setan kecil di hadapannya. Tapi tukang ojek menghindarkan bahaya itu. Ada yang menghalangkan punggungnya sehingga tiniu Ipong mendarat di situ.
"Sabar, Pong! Sabar!"
"Jangan ngawur, Pong! Istighfar, dong!"
"Sudah! Sudah!" seru Pak Wisnu yang baru bangkit dari kesima yang membuatnya hanya bisa tegak bagai patung belaka.
Sementara itu, perempuan pembantu meniin
jing kainnya seraya berlari kesana kemari hingga suasana semakin hingar bingar. Dia tidak bisa mengerjakan apa apa kecuali mondarmandir dan berseru seru dengan kalimat-kalimat pendek, cepat, dan bunyinya entah apa.
"Bego! Pelor kamu cuma mecahin gelas!" seru Lady Mae tiba-tiba seraya meloncat bangun.
"Mae!" Lagi, panggilan itu diserukan oleh lpong dan Uka dalam duet yang kompak. Tapi nadanya sama, suara kedua.
"Kalau aku nggak pura pura kena, kamu nggak mau membuang pistolmu, tahu?"
Uka menghela napas lega.
"Aku nggak sengaja nembak kamu, Mae," katanya penuh sesal.
"Kalau sengaja, nggak waras, lu!"
"Aku kaget."
"Makanya jangan sok jago! Tentara saja nggak belagu kayak kamu! Memang kamu apaan? Pistol dari mana, tuh?
"Aku aku bermaksud membalas dendam."
"Ngapain begitu? Ipong saja tenang-tenang, nggak berantakan kayak kamu!"
"Setia kawan, Mae."
"Bantuin lpong ngurus adik-adiknya kalau kamu setia kawan!"
Ketika Kaki Keke Kaku Karya Bung Smas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku juga begitu. Aku minta sumbangan sama Pak Wisnu."
"Kamu nggak minta! Ngrampok!"
Uka diam. Kehabisan kata-kata untuk membela diri. Cengkeraman di lengannya mengendur dan akhirnya lepas.
" kamu yang namanya Lady Mae?" tanya Pak Wisnu.
"Ya, Oom. Maaf, teman saya ngamuk di sini."
"Ya, ya. Kamu sudah bikin segala macam. Temanmu sering cerita sama Oom;"
"Siapa, Oom?"
"Naomi. Sebentar lagi dia juga pasti datang. Dia sedang njemput anak Oom."
"lni lpong. Oom."
"Ya, ya. Naomi sudah cerita semuanya." Pak Wisnu mengulurkan tangannya ke arah Ipong. "Saya mohon maaf. Anak saya telah membuatmu menderita."
lpong memandangi tangan itu. Wajah itu. Mata itu. Pak Ndut itu. Lalu dia menangkap ketulusan Pak Wienu dalam pernyataan maafnya. lpong memang pernah mendendam. Pernah berniat akan menghajar orang yang menorehkan penderitaan batin kepadanya. Tapi iman yang adadi.dadanya,nalar yang ada di kepalanya, mencegah semua itu. Dia bisa menguasai diri, lalu memahami nilai-nilai baik yang pernah diajarkan mendiang bapaknya. Memahami ajaranajaran agama panutannya dengan pengertian yang mendalam. Itu sebabnya dia yang masih belia tak sampai dikuasai oleh nafsunya. oleh kecenderungan buruk yang mengalir bersama darah' mudanya.
Dia menyambut uluran tangan itu. Hangat sekali, ikhlas sekali, penuh maaf, dan dendam itu menguap ke mana-mana bersama megamega putih di atas Kali Malang.
Jabat tangan itu disertai juga dengan pelukan.
Pak Wisnu menepuk-nepuk punggung Ipong sambil memeluk anak itu.
"Tabah, Nak. Tabahlah! Relakan yangtelah pergi supaya langkahnya tenang."
"Terima kasih, Pak."
"Jangan cemaskan masa depanmu. Bapak sudah merencanakannya. Yah siapa tahu kau bisa bersaudara dengan anakku ...."
Ipong menangis. Dia bukan anak cengeng. Ketika duka mereiamnya habis habisan pun dia tidak meneteskan air mata. Tapi kata-kata lembut yang diuraikan oleh hati yang tulus itu, meruntuhkan benteng hatinya. Dia terisak-isak. Seingatnya, sudah belasan tahun dia tak pernah menangis. la malu karena kini mengisak bagai anak kecil yang melabuhkan segala lara ke pangkuan ayah tercinta. Tapi itu sungguh terjadi. lpong pun tidak tahu bagaimana mulanya sam pai hatinya runtuh dan bermuara dalam pelukan Pak Wisnu.
Uka terlongoh-longoh. Pistolnya tergeletak di atas tanah. Itu hadiah dari pamannya yang jadi pelaut, Dibeli di Kanada, diselundupkan dengan cara yang tidak terpuji. Pamannya bilang itu alat bermain supaya Uka meniadi lelaki yang gag ah. Tapi pamannya tidak mampu menduga apa yang bakal terjadi jika seorang lelaki belia yang berangasan memiliki senjata. Meskipun pelornya hanya kecil, luncurannya mengerikan karena dilontarkan dengan semburan 002. Dan pemilikan senjata itu sungguh dilarang.
Ada bunyi mobil berhenti di depan rumah. Ada bunyi langkah langkah berderap di teras. Lalu
pintu terbuka. Uka terlonjakl Dia tampak panik.
"Saya akan ditangkap!" keluhnya.
"Tidak. Mereka bukan polisi." sahut Pak Wisnu seraya melepaskan pelukannya. "itu anak saya dan teman kalian."
Benar juga. Ada Vldo, ada mamanya ada Naomi, dan seorang lagi anak muda sebaya Ipong. Dia kurus dan dekil. Bajunya pun kotor. Matanya cekung.
"Papaaaa! " Dia berseru dan menghambur ke pelukan papanya. "Maafkan Vidi, Pa
"Ya, ya. Semuanya sudah selesai. Selesai ...."
"Mae! Aku sudah melakukan apa saja sebisaku!" kata Naomi. "Kalau masih salah juga, aku nggak bisa ngomong, deh!"
'"Kau keterlaluan! Kejutanmu kampungan!" sembur Lady Mae.
Kedua tukang ojek itu merasa tidak diperlukan lagi. Mereka saling pandang. Dalam kegaduhan itu, masing-masing merasa betapa buruk dan dekil dirinya, betapa kecil dan tak berharga. Lalu tak ada yang memulai, tak ada yang bicara, tibatiba keduanya mengundurkan diri. Tak ada yang sempat melihat mereka. Hanya pembantu yang sedang menutup pintu gerbang menegur mereka. Dan kepada pembantu orang yang mereka anggap setara dengan diri mereka ke duanya berpamitan. Persoalan yang membuat Uka jadi koboi, mereka sungguh tidak tahu. Tapi Uka dan Ipong memang teman mereka kongkow. Pada malam Minggu mereka sering begadang bersama sambil main gaple. Yang kalah digan. tungi baterai kupingnya. Dalam situasi tertentu
semacam ini, mereka tidak lagi berpikir secara bisnis. Bahwa sekian jam waktu mereka tersita hanya untuk menyaksikan koboi koboian. Dan agaknya orang orang semacam mereka lebih tahu akan kemanusiaan, akan pengertian dalam kebersamaan.
Di bagian belakang rumah besar itu, Ipong sedang memandangi anak muda kurus yang berpelukan dengan ayahnya.
"Serahkan Vidi ke polisi, Pa," kata anak muda kurus dan dekil itu. "Vidi tidak bisa lari lagi. Vidi akan menyerah. Rasa berdosa itu mengejarngejar, Pa. Tidak bisa hilang kalau Vidi belum menerima hukuman atas kesalahan itu ...."
"Tenangkan hatimu. Tenangkan dulu! Itu Lady Mae. Kau sudah dengar tentang dia dari kakakmu?"
Anak muda kurus itu memandangi Lady Mae.
"Halo!" sapa Lady Mae seraya mengulurkan tangan.
"Ya," sahut Vidi seraya menyambut tangan itu.
"Dia sudah lari ke-mana-mana," kata Pak Wisnu kepada semua yang belum tahu tentang Vidi. "Dia bersembunyi sampai ke Maluku, Pontianak, Medan, Bengkulu. Tapi akhirnya dia memutuskan untuk pulang. Naomi, Vido dan mamanya, baru menjemputnya di Tanjung Priok. Lihatkeadaannya. Dulu dia bersih dan montok. Dia seperti kakak dan adik-adiknya, bukan berandalan dan sokvsokan. Dia pelajar yang baik. Malam itu dia melihat seorang ibu tua yang menggendong anaknya dijambret. Ibu tua dan
anak tersebut terpelanting ke jalan, Vidi ingin mengelar peniahat bermotor yang menjambret. Rupa-rupanya waktu itu ayah Ipong pun berlari mengeiar kendaraan. Dia terlalu ke tengah. Kecelakaan itu teriadi. Mari kita ke kantor polisi untuk membuktikan kebenaran cerita ini. Pen jambret itu sudah tertangkap."
Ipong memandangi Vidi. Itukah wujud pembunuh ayahnya? Oh, pembunuh! Kata itu terlalu keras untuk lakon yang diperankan seorang Vidi dalam usaha kemanusiaannya. Yang tampak di mata Ipong, hanya sosok kurus yang memelas. Dia. sosok kurus dekil dan bau apak itu. dulu per nah bersih dan montok. Pelariannya yang panjang dan meletihkan bagai usaha menghukum dirinya sendiri yang sia-sia. ltu mengibakan. Dia yang tentunya tak pernah hidup menderita seperti Ipong, kini tampil bagai gelandangan setelah melalui proses penyiksaan diri sendiri karena rasa bersalah. Kini dia menyerah. Akan menerima apa saja hukuman untuknya. Mungkin dia akan dipenjara. Terkucil dari kehidupan ramai, dari segala keceriaan keremaiaannya. Lalu bagaimana? Puaskah Ipong setelah menyaksikan sosok gelandangan bau apak itu masuk bui?
Ipong menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tidak. Tidak sampaibegitu," katanya. bagai menjawab pertanyaan dirinya sendiri ketika ia membayangkan sosok kurus itu berada di balik terali besi. "Saya dan keluarga saya tidak akan menuntut siapa pun. Musibah itu kami terima sebagai takdir Tuhan. Biarlah Bapak tenang di
alam baka. Tidak ada perkara apa apa lagi yang ditinggalkannya. Hanya amal dan doa anaknya yang bisa sampai ke tempatnya. Tidak, tidak sampai ke polisi. Cukup di sini saja."
"Tapi saya bersalah," kata Vidi.
"Saya tidak tahu siapa yang salah siapa yang benar. Saya menyerahkan segalanya kepada kebesaran Tuhan. Hakim bisa salah. Polisi bisa keliru. Tuhan tidak!"
"Saya saya ."
"Saya mengerti. Kamu sudah menderita. Ada baiknya juga kamu begitu. Supaya kamu tahu tidak semua orang hidup enak seperti kamu."
Lady Mae bergidik mendengar kalimat terakhir Ipong. Oh, sampai saat ini jiwanya masih labil. Antara kesadaran akan kebesaran Tuhan dan dendam sulit dipisahkan.
"Ayo kita duduk-duduk di dalam," Sela mama Vidi. Ia ingin menyingkirkan anaknya dari siksa kata-kata Ipong. "Kamu mandi dulu, Vid! Beristirahat dulu. Nanti cerita lagi."
Ipong menghela napas panjang. Terasa olehnya sentuhan tangan Lady Mae di telapak tangannya.
"Mae." bisiknya, "apa kata-kataku ada yang salah?"
"Nggak banyak. Nggak perlu koreksi."
"Aku iba lihat keadaannya, Mae. Mungkin nggak begitu kalau aku lihat ia necis."
"Mana taman_teman kita tukang ojek itu?"
"Oh, ya. Ke mana mereka?"
"Tadi sudah pulang, Oom. Pamitan sama
Pembantu itu sudah muncul rupanya. Dia menunggu kesempatan melapor tentang tukang ojek itu.
"Saya saya mohon maaf."
Semua orang berpaling ke arah Uka. Dialah yang mengumumkan pernyataan maafnya itu. Kepalanya menunduk. Dia seperti anak kebanyakan ,yang takut dan menyesal. Kegarangan seorang koboi berang tidak lagi tampak dari dirinya.
"Tidak apa-apa," kata Pak Wisnu penuh pengertian. "Tapi senjata itu jangan kaubawa lagi. Simpan saja di sini. Nanti kalau kita sudah sudah santai, Oom akan menyerahkannya ke polisi. Kita bukan orang-orang yang berhak menyimpan benda itu."
"Tapi itu bukan senjata api, Oom/f
"Namun tetap berbahaya bagi orang lain. Jangan main-main dengan benda begitu kalau kau tidak ingin jadi bandit."
"Ya, Oom." '
"Rasa setia kawanmu hebat. Tapi tindakanmu sama sekali tidak terpuji. Oom tidak melaporkanmu ke polisi karena Oom tahu kau belum jadi bandit sungguhan. Kau anak nakal. Oom tahu itu senjata apa. Lubang larasnya terlalu kecil untuk senjata api. Tapi biar begitu, dia sudah bikin kepala Keke luka. Kalau peluru itu masuk ke batok kepala di bagian otak, bisa kaubayangkan akibatnya? Untungnya peluru itu cuma menyerempet kepala Keke."
"Ya. Oom. Saya dongkol karena dari pihak Oom tidak ada yang datang ke rumah Ipong
untuk menyatakan bela sungkawa dan menyampaikan bantuan sekadarnya."
"Semula Oom tidak tahu kalau korban itu meninggal. Tidak tahu siapa korban itu, di mana alamatnya, dan segala macamnya Oom tahu itu dari Naomi. Tapi waktu itu Naomi belum banyak cerita tentang teman-temannya. Dia belum bicara juga tentang Lady Mae. Dia hanya bilang dia mengenal keluarga korban tabrak lari itu. Dia sanggup menunjukkan alamat korban dan men jamin tidak akan terjadi apa-apa jika pihak keluarga sini datang ke sana. Tapi siapa yang percaya dengan jaminan anak seumur dia? Anak perempuan, lagi! Oom khawatir akan terjadi tindakan balas dendam. Yang begitu sering terjadi, to? .Makanya Oom hanya mengirim Vido bersama Naomi. Tapi kata Naomi, Lady Mae curiga. Naomi bilang itu bisa membahayakan karena Ipong dan keluarganya bisa tahu siapa Vido. Makanya Oom minta supaya Naomi merahasiakan tentang Vido dan keluarga kami untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan. Tentang kamu yang nembak Oom di Duren Jaya, Naomi tidak tahu. Tapi belakangan dia yakin kau pasti teman Ipong. Cuma dia tidak tahu kawan Ipong yang mana."
"Nah, tu! Jangan keki lagi sama ogut dong, Mae!" sela Naomi.
"Kau pengkhianat! Kamu kan dari pihak sini? Kau lari ke pihak situ dan jadi mata mata! Brengsek kamu!"
Naomi tertawa.
"Tadinya aku sih nggak mau main rahasia
rahasiaan! Habis kamu budek. Biasanya kamu rajin baca surat pembaca di koran ini juga enggak! Rasain! Sekalian kukerjain aja!"
Lady Mae sungguh dongkol pada Naomi Tapi apanya yang menyebalkan dari si Serba Tahu itu? Tak ada. Dia tetap menyenangkan, meskipun selalu saja bikin keki.
Ada suara gaduh lagi di luar. Ada rombongan yang datang lagi. Pembantu melapor tentang tamu tamu itu.
"Itu Sheila!" seru Lady Mae. "Mereka pasti dari rumahku!"
Semuanya bergegas ke depan. kecuali Vidi dan mamanya. Sheila dan rombongannya berada di teras. Hafiz tetap menjadi sopir kom panyon yang setia. Dia memandangi Naomi, lupa harus menghormat pada tuan rumah.
"Jadi kamu di sini melulu? " tanyanya sengak.
"Nah! Kak Hafiz sudah kena racun!" sahut Naomi. Lalu berpaling ke arah Sheila. "Kamu jangan su'udhon, dong! Harus khusnudhon! Tahu apa artinya? Kalau enggak, tanya tuh sama anak Arab!"
"Mae! Kamu baik-baik saja?" tanya Jipi.
"ih! Bahasamu maut! Kamu dari mana saja sampai ke sini?"
"Setelah ngumpulin anggota, langsung ke rumah kamu. Dari situ ke rumah lpong, lalu ke rumah Uka. Katro lihat sepeda kamu di tukang rokok. Lalu tanya-tanya. Ada tukang ojek yang bilang kamu di sini. Dia juga baru dari sini katanya. Baru nangkep koboi ngamuk!"
"Pelornya masuk ke dadaku, tembus pung.
gung, lalu mecahin gelas!"
"Kok kamu nggak mati, Mae!"
"Bego! Kalau aku mati, siapa yang mandiin dan nyuapin kamu?"
"Sialan!"
"Jadi Ini yang nguber-uber kita, Na?" tanya Vido kepada Naomi seraya memandangi Hafiz.
"Ya, Kak. Itu dia rampoknya. Yang itu asistennya. Namanya Sheila. Dalam kompanyOn kami dia jadi duta untuk negara-negara Arab. Soalnya dia keturunan Fir'aun!"
"Kira-kira, Na! Dosa kamu belum ditebus, sudah nyakitin anak Abah lagi! Awas kamu! Kalau nenek moyangku marah, nggak bisa makan kurma, lui"
"Kamu harus nelepon Oom, Mae!" Maestro mengingatkan. "Oom dan Tante panik karena kamu kabur!"
"Oh, ya! Mau pinjam teleponnya, Om!"
"Mari! Itu di sana!"
' Lady Mae menghubungi rumahnya dengan pesawat telepon itu. Yang mengangkat gagang telepon Papa. Sapaan halo yang diucapkan Papa bernada tinggi. Nyata Papa tegang dan gitgup.
"Halo, Pa! Mae belum sholat maghrib, nih! Sori ya, Pa!"
"Hei Soal sholat bukan urusan Papa. itu urusan Mae sama Tuhan! Kalau Mae sholat karena Papa. neraka dong bagiannya! Mae baik baik saja?"
"Masih utuh, Pa! Cuma keringatan, nih! Habis nonton film koboi!"
"Di mana?"
"Di rumah Oom Wisnu! Seru, Pa! Anehnya, pelor koboi itu ada yang ioncat ke penonton! Untung cuma kena gelas!"
"Mae! Kamu ngomong apa, sih?"
"Aduh, Papa! Mae lagi mbaik-baikin Oom Wisnu! Siapa tahu nanti beliau akan ngasih order nggambar bangunan buat Papa. Komisinya jangan lupa, Pa! Mae mau beli lem. Bangunan yang lagi Mae kerjakan kehabisan bahan!"
"Kaiau mau ke mana-mana, ngomong sama Mama atau Papa yang benar, ya? Tadi kau bikin Papa bingung. Mama malah sudah nangis! Papa marah. nih! Marah besar sekail!"
"Oke, Pa! Nanti Mae dijewer, ya?"
"Iya, dong! Anak nakal harus dihukum! Supaya dia tahu dijewer itu nggak enak kayak tempe bacem!"
"Daaaah, Papaaaaa! Sun jauh, Pa!"
"Nggak mau! Papa lagi ngambek!"
Lady Mae meletakkan gagang telepon.
"Gawat! " katanya. "Pacar lagi ngambek, nih!"
"Pacar siapa, Mae?" tanya Keke yang sejak tadi tidak punya kesempatan ngomong.
"Pacarnya Mama!"
"0, kirain pacarnya sapi!"
"Jadi semuanya sudah beres, Tuan-tuan?" kata Lady Mae seraya bertepuk tangan seperti minta perhatian hadirin dalam sebuah pertemuan yang kacau. "Bagaimana ka|au acara kita lanjutkan dengan makan malam? Saya lapar, nih!"
Kaget. Semuanya tidak menduga Lady Mae
akan ngomong begitu. Tapi jam makan malam memang sudah lewat. Hidangan belum tersedia.
"Ooo, kita ke restoran saja! " seru Oom Wisnu.
"Nggak usah, Oom. Di sini saja. Ngobrolnya kan enak."
"Kalau begitu, biar Bibi beli makanan saja. Kalian mau makan apa?"
"lni saja, Oom!" seru Lady seraya menuding Hafiz. "Dia kan sopir kompanyon kami. Dia selalu patuh pada tugasnya. Dia saja yang belanja ke restoran. Daripada di sini main pelototpelototan sama Kak Vid melulu!"
"Kamu brengsek, Mae! Biangnya orang brengsek di seluruh pelosok dunia!" geram Hafiz.
"Jangan ngambek. Nanti Kak Hafiz boleh nganterin Naomi, deh!"
"Hus! "
"Memangnya Naomi akan ikut pulang?" tanya Keke. " Katanya dia sudah indekos di sini?"
"Kamu ngurus kakimu saja. Ke! Nggak usah ikutan urusan orang dewasa!" ledek Lady Mae.
"E! Kakiku kagak pernah kaku lagi! Gara gara ada yang nembak, kakiku kuatir kalau mau kaku!" '
"Nah! Itu cara baru menyembuhkan kaki kaku, ya? Tembak aja kepalanya, maka kaki kaku akan kapok kentan!"
Sheila mendekati Naomi.
"Jadi kamu mau ikut kami pulang, Na?" tanyanya penuh harap.
"Iya, dong!"
"Kirain kamu sudah pindah ke sini!"
"Kontraknya sudah habis! Harus balik lagi jadi orang miskin!"
Tidak apa jadi orang miskin. Pokoknya dia bisa gembira. Bisa apa saja bersama temantemannya. Makan enak dengan hidangan dari restOran' besar di rumah mewah begini dia juga bisa. Kamu belum tentu! Sori. aja!
Tamat
Misteri Penculik Asmara 1 Pendekar Pulau Neraka 30 Dewi Asmara Darah Pedang Asmara 2
"Tapi keputusan yang harus kusampaikan itu kan keputusan mati buat ayahku. Kau bisa mengerti, Mae? Aku harus menentukan kema tian ayahku sendiri!"
"Tidak. Yang menentukan itu Tuhan."
"Aku harus menyampaikan keputusan keluarga bahwa seluruh pengobatan dan perawatan dihentikan. itu berarti ayahku akan segera meninggal, Mae!"
"Kalau Tuhan menghendaki begitu, kau harus menerimanya sebagai takdir. Biar seluruh pengobatan dan perawatan dihentikan. kalau ruhan. menghendaki ayahmu tetap hidup, hiduplah dia."
"Hidup tapi tidak bisa apa-apa ...."
"Tuhan Maha Besar! Kalau Dia menghendaki ayahmu sehat seperti semula, apa yang sulit buat Nya? Sedang alam semesta dan isinya diciptakan begitu saja! Tidak melalui
pertimbangan-pertimbangan, rapat rapat, seminar, riset! Kun fayakun! Maka iadilah dunia dan isinya, termasuk ayahmu, kamu, aku, dan semuanya. Lalu kalau Dia menghendaki ayahmu menghadap-Nya, apa kau bisa menahannya?"
"Aku tahu semua itu, Mae. Aku tahu. Mungkin aku lebih dulu tahu daripada kau. Umurku lebih tua daripada umurmu! Tapi posisiku sekarang ini sulit. Aku pemegang vonis mati buat ayahku! Kau bisa membayangkan jika kau berada dalam pesisiku?"
"Tidak. Aku tidak sanggup membayangkan< nyafAku tidak sekuat kau. Dan Tuhan tidak sembarang memilih orang untuk diuji keimanannya. Aku terlalu rapuh. imanku mungkin keropos, sehingga Tuhan tidak menguiiku seperti Dia menguiimu."
lpong akan kalah dalam berkata-kata dengan Lady Mae. Ia tidak akan melayani perdebatan. Apa yang dikatakan Lady Mae diketahuinya, dipahaminya. Tapi pengetahuan dan kepahaman itu tidak juga membuatnya bisa menghadap dokter dan menyampaikan keputusan keluarganya. '
Tiba tiba lpong bangkit dan lari sekencang kencangnya menyusuri lorong beratap.
"lpong!" jerit Lady Mae.
lpong lari semakin kencang. Lady Mae mengejar. Tapi sia-sia. Ia tidak hafal seluk-beluk rumah sakit itu. Ia menjumpai jalan buntu dan lpong menghilang entah di bagian mana bumi ini.
Begitu sampai berhari-hari. lpong terus menghilang. Lady Mae tak bisa menjawab ketika,
ibu Ipong tanya kemana anaknya.
Tapi tiba-tiba lpong muncul juga ke rumah Lady Mae. Siang hari, ketika Lady Mae sedang bingung mau ngapain.
':Oh, kau. Dari mana saja selama ini?"
"Dari manavmana."
"Uh! Dekilnya kamu!"
lpong seperti tidak peduii dengan ucapan Lady Mae. Padahal biasanya ketika dia rapi pun merasa minder di rumah itu. Sudah setengah waraskah dla?
"Aku tetap tidak bisa menyampaikan keputusan itu," katanya tanpa ditanya. Tanpa dipersilakan pula dia langsung duduk. "Tuhan tahu aku tidak kuat menerima amanat itu. Akhir. nya Tuhan juga yang memutuskan."
"Maksudmu?"
"Ayahku meninggal, Mae."
"Innalillahi Kapan itu?"
"Dua jam yang lalu."
"Kapan dimakamkan?"
"Nanti sore. Semua sudah siap. Tinggal menunggu anggota keluarga kami yang dari Tangerang." '
"Aku akan ke sana. Kamu pulang saja dulu. Tenagamu diperlukan!"
"Ya".
lpong mengeloyor saja bagai orang kehilangan akal.
"Pong!"
Dia berhenti melangkah.
"Kamu tabah, ya! Kamu harus kuat!"
"Nggak. Aku nggak bisa tabah " .
Dia mengeloyor lagi. Lady Mae lekas-lekas menghubungi Jipi dengan telepon.
"Jipi! Berita duka! '
"Ha? Ada apa?"
"Ayah Ipong meninggal. Beritakan kepada yang lain. Terserah mereka mau datang atau tidak! Aku buru-buru!"
Lady Mae meletakkan gagang telepon tanpa memberi kesempatan Jipi untuk menyahut. Lalu berlari ke belakang rumahnya untuk mengabari Oom Sar. Ketika ia pulang, Mama sudah menunggu di teras.
"Ada apa begitu ributnya, Mae?"
"Kita berduka-cita, Ma. Ayah lpong ...."
"Innalillahi ...."
"Mama mau melayat ke sana?"
"Ya. Papa juga. Ayo kita berangkat saja sekarang!"
"Mama duluan saja. Siapa tahu tenaga dan pikiran Mama diperlukan di sana. Mae nunggu teman teman."
Sama seperti yang terjadi ketika Jipi dihubungi Lady Mae lewat telepon di kolam renang, anggota kompanyon bisa segera tiba. Kali ini Naomi ikut.
Wajah-wajah yang pernah bentrok dengan Lady Mae di kolam renang tampak di rumah duka itu. Lady Mae menghampiri salah seorang di antara mereka.
"Ke mana saja selama ini?" tegurnya.
"Biasa saja. Bernapas dan melakukan kegiatan hidup lainnya."
"Jawabanmu indah betul. Sudah nggak &
songong lagi?"
"Ipong sudah cerita semuanya tentang kamu. Terima kasih, ya! Teman-teman juga menyam paikan terima kasih."
"Kita damai?"
"Damai saja!"
"Nama kamu siapa?"
"Uka."
"Kita sama-sama sedang berduka-cita."
"Ya. Ipong sama sama sahabat kita."
Begitu lebih baik. Duka itu seperti milik ber sama. Lady Mae dan kompanyonnya tidak hany berkunjung sebagai pelayat biasa. Mereka juga melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lazim dalam suasana semacam itu. Mereka mengan tar ienazah sampai seluruh ritus upacar pemakaman selesai. Di samping gerbang pemakaman, Oom Sar menghampiri Lady Mae
"Bagaimana perkembangan penyelidikanmu?" bisiknya.
"Buntu, Oom. Saya malah sibuk membantu |p0ng. Soal kasus Keke itu hampir menghilan dari peredaran."
"Saya terus melakukan pelacakan. Ad keterangan tambahan. Mae."
"Apa itu, Oom?"
"Ada yang tahu siapa Pak Gendut itu."
"Siapa?"
"Teman saya kebetulan sedang berolahrag juga pagi itu. ia melihat peristiwa penembakan itu dari kejauhan. ia mengenali Pak Gendut itu. Namanya Wisnu Widagdo, seorang pemboran bangunan. Temanku itu kusuruh menanyakan
kenapa Pak Wisnu terbirit-birit ketika saya datang. Betul, nggak?"
"Betul! Tapi bagaimana teman Oom Sar bisa menanyai Pak Wisnu?"
"Teman saja itu sering main bilyar dengan Pak Wisnu. Malah bisa dibilang dia guru bilyar Pak Wisnu. Terserah bagaimana dia menanyakan
nya. Nanti sore dia ke rumah saya."
"Saya lebih tertarik untuk mencari siapa penabrak ayah ipong, Oom. Apa Oom bisa membantu?"
"Itu sulit, Mae. Kalau sejak semula dilaporkan ke polisi, barangkali sudah ditemukan siapa orang itu. Tapi untuk apa mengurus soal tersebut? Sedangkan ayah Ipong sudah meninggal."
"Karena ayah Ipong sudah meninggal itu maka saya makin bersemangat mencari siapa penabraknya. Yang saya pikirkan bagaimana kelanjutan hidup keluarganya. Penabraknya harus bertanggung iawab. Bayangkan saja, Oom! Selama ini ayah Ipong satu-satunya pen cari nafkah di keluarga itu. Anaknya enam orang. lpong itu yang paling besar. Bagaimana nasib mereka setelah pencari nafkah meninggal? Itu yang saya pikirkan." .
Oom Sartermangu-mangu. Ia seperti menyesal baru menyadari hal itu. Lady Mae men
dahuluinya membicarakan hal-hal yang bakal terjadi di kemudian hari.
"Lalu selama ini apa saja usaha kalian men cari penabrak itu?"
"Terus-terang saia, kami bego semuanya.
Kami hanya bisa ngomong, nggak bisa melakukan tindakan yang efektif untuk menemukan penabrak itu."
"Itu memang tugas polisi. Kalian sudah berbuat banyak sekali. Lebih dari yang bisa dilakukan siapa pun."
Sheila mendekat. Tampaknya dia ingin mengutarakan sesuatu.
"Mau ngomong apa, She?" tegur Lady Mae yang tahu gelagat.
"Anu, Mae. Aku kan pernah ngomong akan berbuat sesuatu. Waktu itu kamu ngritik aku karena aku nggak bisa ngapa-ngapain."
"Syukur kalau kau sudah bisa ngapa-ngapain. Lalu mau ngapain kau sekarang?"
"Aku punya ide untuk sekedar meringankan beban Ipong. Yah, lumayanlah daripada enggak."
"Nah! Ide saja belum cukup! Ngomong dulu yang jelas. Kalau idemu bagus, laksanakan, dong!"
"Aku bisa menyisihkan uang jajanku untuk membantu biaya sekolah adik-adik Ipong. Yah, anggap saja salah seorang deh yang kuongkosin sekolahnya. Bagus, nggak?"
"Bagus sekali. Kapan mau mulai dilaksana. kan?"
"Jadi kamu setuju, Mae?"
"Setuju. Yang lain bagaimana? Apa ada yang punya niat seperti itu?"
"Nggak tahu. Tapi Jipi sih ngomong mau nongkrong di Jalan Kali Malang sampai mobil oenabrak itu ditemukan!" ,
"Mana bisa begitu caranya?"
"Logika Jipi begini: Mobil itu selalu lewat di Jalan Kali Malang pada jam-jam tertentu. Misalnya pada jam-jam berangkat dan pulang kantor. Pada jam-jam itu Jipi akan nongkrong di Jalan Kali Malang untuk menunggu mobil tersebut."
"Hampir mustahil itu! Apalagi dia hanya tahu ciri-ciri mobil itu. Merk mobilnya pun tidak."
"Nggak lahu, deh. Pokoknya Jipi bilang begitu."
"Aku menghargai semangatnya. Meskipun caranya tidak masuk akal." Lady Mae berpaling ke arah Oom Sar. "Mungkin Oom bisa membantu? Misalnya mencari informasi tentang mobil itu di Polda Metro Jaya. Di sana kan bisa dicari dengan komputer. Mobil-mobil yang nomor polisinya B-74 dan seterusnya dikumpulkan. Dicari warnanya hijau, yang diduga milik orang yang tinggal di kawasan sepanjang Kali Malang. Begitu kan kerja polisi? Ini kira kira, lho!"
Oom Sar bengong saia. seperti terkena penyakit heran-heran.
"Kenapa. Oom?"
"Saya kalah Iagl. Kalah lagi!"
"Kalah apa, Oom?"
"Kalah cepat berpikir. Tapi oke! Saya akan berusaha mencari informasi yang kaumaksudkan. Saya banyak kenalan di Polda Metro Jaya. Mereka pasti mau membantu asal mereka yakin tujuan saya baik. Nanti sore saya menghubungi Mae, ya? Saya akan bilang hasil
penyelidikan terhadap Pak Wisnu."
"Mae saja yang ke rumah Oom. Nggak enak, dong! Memangnya Oom anak buah Mae?"
"Sama saja, deh. Datanglah jam lima nanti."
Lady Mae sepakat. Orang-orang muiai meninggalkan tanah pemakaman. Lady Mae pulang dengan mobil Chevrolet Luv bersama Papa dan Mama. Sedangkan teman temannya ikut mobil Hafiz.
KERJA SENDIRI-SENDIRI
TERNYATA di antara anggota kompanyon itu tidak ada yang pernah menobatkan Lady Mae menjadi pemimpin. Mereka tidak pula selalu tergantung pada Lady Mae. Buktinya Jipi tetap berjaga di Jalan Kali Malang meskipun Lady Mae bilang itu kerja sia-sia. Sheila juga tidak mau ketika disuruh tenang-tenang saja asalkan dia menepati janjinya untuk mengongkosi sekolah salah seorang adik lpong.
"Sudah kubilang. kau belum pernah diangkat jadi direktur!" kata Sheila. "Jangan main perin. tah saja!"
"Jadi kamu mau apa. She?"
"Nggak ngapa ngapain!"
"Aku juga nyuruh kamu tenang-tenang saja alias nggak ngapa-ngapain!"
"Aku mau bebas! Mau nggak ngapa-ngapain tapi bukan karena kamu suruh!"
" Kampungan kamu, She! Debat nggak mutu! "
Kampungan atau tidak,Sheila tetap pada ren cahanya sendiri. Dia malu sekali karena ketahuan begonya, ketahuan nggak punya kerja apa-apa selama teman teman sibuk. Sekarang dia punya kerja sejak dia mulai mencuriaai
Naomi. Entah ini proyek apa. Ada hubungannya dengan peristiwa ketika kaki Keke kaku dl Duren Jaya atau tidak. Pokoknya Naomi harus diselamatkan kalau dia memang melakukan gerakan yang tidak sehat. Hafiz juga ber'semangat ketika diminta menemani Sheila.
"Kalau nyangkut soal Naomi, kau getol banget, Fiz?" Sheila meledek kakaknya. "Jangan-jangan ada apa apanya, nih?"
"Ada apa-apanya iuga nggak apa-apa. Naomi memang cakep. kok!"
"Aduh, Mak! Abah bisa nyembur kalau kubilang yang beginian, lho!"
"Kalau kau bilang, kuturunkan kau di sini!"
"ih! Tega banget!"
"Kamu keberatan kalau aku naksir Naomi?"
"Keberatan, dong! Naomi kan masih kecil! Cuma badannya doang yang gede!"
"Ya nggak sekarang. Naksirnya lima tahun lagi juga nggak apa-apa!"
"Iya, deh! Pokoknya asal mau nganterin aku membuntuti dia!"
Mobil mereka meluncur. Bukan mobil merah seperti biasanya. Kali ini hijau. Itu mobil pinjaman dari teman Hafiz. Tukar pakailah sementara. Soalnya kalau pakai mobil merah, Naomi pasti tahu sedang dibuntuti. Kini mobil Dai hatsu Charade warna hijau itu meluncur pelan di Duren Sawit. Lalu berhenti agak jauh dari rumah Naomi. Ada mobil Toyota Hardtop warna coklat parkir di depan rumah Naomi. Sheila melihat mobil itu lebih dulu daripada kakaknya
"Nah! Apa kataku! Lihat! Ada cowok yang
ngapelin Naomi!"
Hafiz melotot lebar-lebar. Dia tampak geram, tapi juga sakit di dadanya.
"Tapi bagaimana kau tahu yang datang itu cowok?"
"Tadi aku memancing mancing Naomi. Dia keceplosan ngomong soal cowok itu. Mungkin dia nggak nyangka kalau aku sedang menyelidikinya. Kayaknya dia bangga banget sama cowok itu. Namanya hm siapa ya? Oh, ya! Vido! Betul, namanya Vido. Naomi memang gilnya Kak Vid."
"Tapi bagaimana kau tahu malam ini Vido sialan itu akan ngapelin Naomi?"
"Tadi aku pura-pura mau ngajak nonton Naomi. Ku bilang aku akan menjemputnya sama kau, Dia bilang Kak Vid sialan itu akan datang. Gampang, kan? Sekarang kau jadi bego banget!"
Hafiz tampak membara. Tapi jelas dia berusaha menahan hatinya. Tangannya mencengkeram kemudi kuat kuat. Seolah ia menumpahkan segala geram-dan sakitnya ke benda tak bersalah dan tak tahu apa apa itu. Cengkeramannya semakin kuat ketika ia melihat Naomi berjalan bersisian dengan seorang cowok ganteng!
"Tabah, dong!" Sheila mengingatkan karena tiba-tiba Hafiz tampak beringas.
"Kalau tidak, sudah kuhajar cowok itu!" dengus Hafiz dengan suara melengking.
Sheila bergidik mendengarnya. Dia mencengkeram pundak Hafiz. ,
"Janji dulu!" katanya.
"Apa?"
"Jangan bikin ribut!?
"Tidak. Tidak akan!"
"Janji?"
"Ya."
"Kalau mau ribut, nggak usah membuntuti mereka."
Hafiz sudah menjalankan mobil pelan-pelan. Membuntuti Hardtop itu. Jalan Duren Sawit sangat sempit dan padat. 'Sulit membuntuti di jalan dengan kondisi begitu. Kesempatan meluncur bagi setiap kendaraan tidak sama. Ketika mobil Hafiz terjebak dalam kemacetan, Hardtop itu meluncur di bagian jalan yang lengang.
"Kita ketinggalan, She!"
"Usaha terus! Jangan putus asa!"
Hafiz berusaha habis-habisan. Untunglah lam pu merah di pertigaan Pondok Bambu menyala. Hardtop itu tertahan di sana. Hafiz bisa menyusulnya.
"Mereka tampak intim sekali, ya?"
"Intim kan belum tentu mesra, Fiz! Jangan cemburu dulu!" .
Lampu' menyala hijau. Hardtop itu meluncur cepat menyuswi Jalan Kali Malang ke arah Bekasi. Tapi lagi lagi mobil Hafiz tertahan. Di pertigaan dekat lampu merah itu kendaraankendaraan dari arah Pondok Gede menggencetnya. Hafiz mengutuk, tapi kutukan itu hanya menambah kedongkolan dalam hatinya saja. Sedangkan Hardtop coklat sudah jauh ke arah timur.
"Kira-kira mereka ke mana. ya?" cetus Sheila, mencoba menebak-nebak.
Hafiz tidak bisa menjawab. Tidak tahu pula kalau aksi pembuntutan itu berhasil, lalu dia mau apa!
KERJA sendiri-sendiri tanpa koordinasi itu memang kacau iuga. Jipi dan Maestro sudah se'ak sore nongkrong di pinggir Kali Malang. Mereka menyewa sepeda motor oiek teman Maestro. Butut sekali motor itu. Butut pula l'aket Jipi dan helmnya yang rapat. Mereka sengaja menutupi seluruh bagian tubuh hingga ke wajah dengan perlengkapan mirip pembalap sepeda motor. Hitung hitung penyamaran supaya Pak Polisi tidak tahu mereka masih di bawah umur dan tentunya belum punya SIM! Tapi biar sudah rapat begitu, mereka masih berlindung juga di balik kerimbtinan pepohonan pedagang bunga di pinggir jalan. Sesekali nongol untuk mengintip ke kanan dan ke kiri. Sampai pukul setengah delapan malam, Maestro mulai tak yakin akan hasil gerakan ini. x
"Analisamu ngawur!" dengusnya. "Mana mobil itu? Sudah tiga malam kita berjaga di sini!"
"Akan lewat. Percayalah, orang sabar dikasihani Tuhan, Tro!"
"Orang ngawur dikasihani Tuhan juga apa enggak?"
"Aku nggak ngawur! Ini berdasarkan analisa dan naluri!"
"Omong besar! Kalau aku nabrak orang di sini, aku tidak akan lewat jalan ini seumur hidupku! Nggak tahu kalau aku senewen seperti kamu!"
"Misalnya kamu yang nabrak di jalan ini. Lalu mobilmu aku yang bawa. Aku berani lewat karena kau tidak cerita padaku habis nabrak orang. Bagaimana? Masa yang begitu nggak bisa terjadi?"
"Itu kira-kira. Perhitungan saja bisa meleset, apalagi kira-kira!"
"Sudahlah. Satu jam lagi kita mangkal di sini."
Satu jam lagi, sungguh menyiksa. Padahal terus-menerus pakai helm rapat begitu selama seperempat jam saja rasanya tersiksa sekali. Kalau mau lepas helm, mereka harus ngumpet di kerimbunan pepohonan.
Dan sebuah mobil hijau lewat!
" ltu dia! " seru Jipi serta melonjak. "Nomornya B-74151-HD! Ayo tancap!"
Maestro meloncat ke sepeda motor butut itu. Menggebraknya dengan sekali sentakan kaki, sekali sentakan gas di tangan kanan,_dan bratata! Bunyi sepeda motor itu demikian bising dan kacau nadanya. Bratata! Bratataaaaaa!
Maestro seperti sudah kenal betul dengan sepeda motor itu. Meskipun tersendat-sendal. bisa laju juga mengejar mobil hijau. Jipi memeluk pinggang Maestro kuat-kuat. Tubuhnya merapat, seperti menempel menjadi satu dengan tubuh Maestro. Dia ngeri karena menyadari Maestro sedang kesal. Perut pun enek bagai dikocoksaia. :
Mobil itu semakin dekat. Maestro terus berbratata bratata.
"Kita berhasil, Tro! Aku ingin tahu apa komentar Lady Mae!"
"Jangan kegirangan dulu! Kalau sudah dekat dengan mobil itu, lalu kita mau ngapain?"
"Ngapain aja!"
"Kamu mau loncat ke situ seperti Tarzan nomplok di punggung gajah?"
"Enak saja! Mau cari mati!"
"Habis ngapain?"
"Kita buntuti saja sampai di mana dia berhenti! Kita akan tahu di mana rumah penabrak itu! Urusan selanjutnya serahkan sama Lady Mae. Dia paling bisa cari ide buat nyatroni orang, tapi nggak sampai ketangkap polisi!"
"Kalau dianya nggak pulang?"
"Kita ikuti terus!"
"Kalau ternyata dia mau ke luar kota?"
"Ah. Enggak! Pasti nggak sampai ke luar kota. "
"Tahunya dari mana?"
Ya, tahunya dari mana? Memangnya dianya bilang dulu sama Jipi! Tapi untunglah mobil itu tidak sampai ke luar kota. Sebab ban belakang sebelah kanannya kempes. Apa paku yang nyelonong masuk Mobil itu terseok-seok. Lalu menepi.
"Dia berhenti, Tro!"
"Jangan'jangan dia tahu kita buntuti! Dia marah!"
"Jangan takut! Kita berdua!"
"Kalau dia berempat mau apa kamu?" .tr
"Ah. Kita liwat saia. Pura-pura nggak ngikutin dia!"
Dari dalam mobil itu keluar Sheila.
"Masya Allah! Kok dia di mobil itu?" seru Jipi. "Tro! Apa aku nggak salah lihat?"
Hafiz juga keluar dari mobil itu untuk memeriksa ban belakang.
"Bego! Kenapa kita ngikutin mereka?" seru Maestro.
Sepeda motor itu menepi juga. Karena helm yang rapat, Sheila belum mengenali Maestro dan Jipi. Dia tampak panik. Di jalan lengang yang belum dikenalnya, disamperin dua orang muda yang tampaknya berandalan begitu, siapa nggak ngeri?
"Sialan! Kami ngikutin kamu!" seru Maestro seraya mematikan mesin sepeda motor bratata itu.
Sheila menghembuskan napas lega setelah mengenali suara Maestro.
"Sialan kamu! Bikin aku panik saia!" dengusnya.
Maestro belum membuka helmnya. Jipi juga.
"Kenapa pakai mobil ini? Kami nyangka ini mobil penabrak ayah Ipong!"
"Kami lagi membuntuti Naomi. Makanya pakai mobil yang belum dikenalnya! " kata Hatiz. "Itu yang di belakang siapa?"
"Udik!"
"Jipi?"
"Ya."
"Kok diem saja?" _
"Aku malu! Maunya jadi detektif, nggak
tahunya nguber-uber kawan sendiri!"
"Buka dong helmnya!" seru Sheila.
"Nanti polisi ngenalin kami masih bocah! Bisa gawat, dong!"
"Kamu sok-sokan!"
"Kamu juga! Ngapain ngikutin Naomi?" sahut Jipi.
"Ya terus-terang saia, Naomi pantas dicurigai, " kata Hatiz. " Kalian tahu sendiri, duitnya banyak sekali. Waktu nyumbang Ipong saja berapa? Seratus lima puluh ribu rupiah! Aku nggak menghina, tapi kalau Naomi bisa dapat uang segitu ...."
"Ya, aku tahu! Ke mana dia sekarang?" tanya Maestro.
"Mana aku tahu? Bannya saja kempes begini!"
"Naik mobil apa dia?"
"Hardtop coklat!"
Maestro ngempos. (Ngempos itu menghem buskan napas dengan menyentak sekuat daya).
"Kebetulan, deh! Kamu tolongin kami. dong!" seru Sheila. "Nggak ada ban serep. Kita harus bongkar roda itu dan membawanya ke tukang tambal! Kamu berdua kan bisa bawa roda ke tukang tambal?"
"Enak kamu, She!" dengus Maestro. "Aku nungguin kamu saja di mobil itu. Biar Kak Hafiz ke tambal ban naik kendaraan umum!"
"Oke. Begitu juga boleh," kata Hafiz. "Untung kalian main detektitvdetektitan. Kalau tidak, 'elaka dong kita!"
Jadinya begitu. Mereka sibuk karena aksi
aksian. Sementara Naomi entah di mana sekarang. Entah pula sedang apa. Sedangkan Lady Mae pun tidak tahu apa yang dilakukan teman temannya. Kecurigaannya terhadap Naqmi tetap segunung. Tapi untuk sementara urusan itu disisihkan. Dia sedang bingung memikirkan kelanjutan nasib Ipong dan adikadiknya. Bukan sok pahlawan. Tapi yang namanya hati ini memang tak bisa dipaksa untuk diam melihat sesamanya menderita. Bagus bukan dirinya sendiri yang mengalami nasib buruk seperti Ipong.
Sore tadi Lady Mae sudah ketemu Oom Sar. Malah ketemu pula dengan teman Oom Sar yang sering main bilyar dengan Pak Wisnu. Kata teman Oom Sar, Pak Wisnu terbirit-birit karena melihat seseorang mengacungkan pistol ke arah kepalanya!
Tembakan pertama yang mengenai kepala Keke itu sebenarnya ditujukan ke kepala Pak Wisnu. Kebetulan kaki Keke kaku. Anak itu hampir terjatuh. Pak Wisnu menolongnya. Dengan sendirinya kepatanya agak menunduk. Saat itulah ada anak muda lewat sambil membidikkan pistolnya."
"Mengerikan sekali!" cetus Lady Mae ketika mendengar penuturan itu. "Tapi siapa anak muda itu?"
"Pakaian dan gayanya seperti orang berolahraga pagi. Pistolnya disembunyikan di balik pakaian olahraganya. Ketika dia akan mengulangi tembakan, Bung Sar ini tiba.-Dia melarikan diri. Pak Wisnu juga segera me
nyingkir dari tempat itu."
"Apa dia melaporkan penembakan itu ke polisi, Oom?"
"Itu anehnya, Pak Wisnu menganggap peristiwa itu selesai begitu saja. l tidak melaporkan ke polisi. Saya juga heran."
"Mungkin Pak Wisnu tidak mau berurusan dengan polisi," Oom Sar menebak.
"Mustahil! Orang ditembak kok tidak minta perlindungan polisi! Mae kira ada apa-apanya."
"Apa-apanya ltu apa?" tanya teman Oom Sar.
"Misalnya Pak Wisnu melakukan kesalahan terhadap sesaorang. Lalu orang itu mendendam. Dia menembak Pak Wisnu untuk melampiaskan dendamnya. Pak Wisnu tidak lapor ke polisi karena ia khawatir rahasianya terbongkar. Ya! Pasti ada sesuatu yang dirahasiakan Pak Wisnu. Betul, nggak Oom?"
Oom Sar termangu-mangu. Untuk menerima analisa Lady Mae, dia ragu. Untuk menolaknya, tidak mungkin juga. Logika Lady Mae masuk akal.
"Kira kira apa yang bikin Pak Wisnu ditembak?" gumam Oom Sar
Temannya merasa pertanyaan itu ditujukan kepadanya. Padahal Oom Sar cuma bergumam buat dirinya sendiri. Tidak bertanya kepada siapa pun.
"Saya intim sekali dengan Pak Wisnu. Biasanya hal-hal yang sifatnya rahasia juga dia ceritakan kepada saya." kata teman Oom Sar. "Tapi soal penembakan itu dia tidak cerita. Saya menjebaknya dengan pertanyaan pertanyaan
sampai dia cerita. Kelihatannya dia juga tidak mau soal itu diungkit-ungkit. Saya heran jadinya."
"Hm mungkin sebenarnya penembak itu dendam pada anak Pak Wisnu!" cetus Lady Mae. "Apa Pak Wisnu punya anak?"
"Banyak! Yang paling besar' hampir dokter sekarang! Yang remaja ada dua orang!"
"Mungkin yang remaja itu bikin ulah di luaran sehingga ada yang mendendam dan melampiaskan dendam itu kepada Pak Wisnu!"
Oom Sar memandangi Lady Mae.
"Maaf, ya Mae," katanya. "Biasanya logikamu masuk akal. Tapi yang barusan itu kekanakkanakan. Jangan marah, lho!"
"Nggak apa apa. Kritik kan sehat, Oom. Asal yang ngritik tidak lagi sakit!"
Oom Sar dan temannya tertawa. Sesudah itu. tidak ada percakapan penting yang perlu dicatat lagi. Semuanya sekitar dugaan-dugaan yang sulit dibuktikan.
Sampai malam itu ketika Lady Mae berada di kamarnya sambil merenung-renung, jawaban belum ditemukan. Mengapa Pak Wisnu ngibrit dan bungkam tentang penembakan itu? Jam sebelas malam sekarang. Lady Mae berusaha melupakan dugaanvdugaannya agar bisa tidur lelap.
Tetapi ketika itu Jipi belum bisa santai. Dia letih sekali setelah mengurus ban kempes di Kali Malang. Dia pun ingin lekas tidur. Tapi lelaki tua yang tinggal di sebelah pavilyunnya datang me nyongsong. Lelaki tua itu bernama Jamhuri. Tapi
dia bangga jika orang hanya memanggilnya Babe Jam atau Babe saja.
"Jip! Tadi ada kawan kamu!" kata Babe. "Dia titip surat!"
"Siapa, Be?"
"Dia nggak mau ngasih tahu namanya. Ini dia suratnya!"
Babe memberikan amplop _tertutup. Tanpa alamat, tidak pula ada catatan pengirimnya. Hanya polos.
"Makasih, Be."
Jipi masuk ke pavilyunnya dan segera membuka amplop itu. Isinya surat pendek. Katakanlah itu surat kaleng. Sebab tidak ada nama dan alamat pengirimnya. Meskipun terbuat dari kertas putih bertuliskan tinta hijau, namanya surat kaleng juga.
Jipi,
Ketika Kaki Keke Kaku Karya Bung Smas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maaf, aku nggak sengaja nembak kepala . Keke. Tujuanku nembak kepala orang gendut
itu. Sori, ya? Semoga kamu memaafkan aku.
Sungguh mati aku nggak sengaja mencela
kakan Keke.
Begitu saja bunyinya. Jipi puyeng setengah mati. Siapa pengirim Surat kaleng yang terbuat dari kertas putih bertuliskan tinta hijau ini? Oh, ya. Penembak gelap itu tentunya! Tapi siapa penembak gelap itu? Bego! Kalau Jipi tahu, dia sudah lapor ke polisi, dong!
VII. KITA PUNYA BISNIS MASING-MASING
NADMI tetap nengil. Gayanya bikin yang lain enek, empet, keki, dongkol, dan kata kata sejenis IIU sekeranjang banyaknya. Pagi pagi sekali Lady Mae sudah tiba disekolah. Pagi-pagi juga yang lain tiba. Seperti saling berianji saia Soalnya masing-masing ingin bercerita tentang pengalaman selama kerja sendiri sendiri.
Mereka bertemu di tepi aula.
"Kita nggak kompak! " Sheila yang mula-mula mencetuskan uneg-unegnya. "Jadinya begini! Teman sendiri main uber uberan! Aku disangka maling, 'kali!"
Maestro tertawautawa.
'Kalau nggak kami uber, kamu harus begadang di Kali Malang sampai pagi! Memangnya mau siskamling apa!"
Jipi tidak acuh terhadap Omongan itu. Ia mengeluarkan surat kaleng yang terbuat dari kertas putih bertuliskan tinta hiiau.
"Aku menerima surat ini," katanya.
Lady Mae menerimanya dan membacanya dalam beberapa detik. Yang lain ikutan.
Si tengil Naomi juga sudah tiba. Tapi dia tetap petantang petenteng nggak kepuguhan
lagu. Kayaknya dia yang cakep sendiri. Yang lain mirip sapi.
"Tuh! Bintang kita lagi action!" cetus Sheila
Tidak ada yang menyahut. Semuanya sedan mikir tentang surat itu.
*"Pengirimnya seperti kenal betul sama kamu Jip!" kata Lady Mae. "Dia-juga tahu alamat rumahmu! Tahu juga kalau Keke saudaramu! Siapa kira kira?"
"Naomi, 'kali!" cetus Sheila.
"Ngawur saja kamu!!" dengus Lady Mae "Kalau lagi kesel sama orang, otakmu meman kacau! Kalau kutanya siapa ibu tirimu, kau pastl akan jawab Naomi!"
"Amitamit, deh!" sembur Sheila. "Lihat, tuhl Gayanya kayak peragawati senewen!"
Maestro rada nggak enak juga. Dia kan dlam diam suka santa Naomi. Pokoknya kalau disuruh milih mau ngebakso sama Lady Mae, Sheila. atau Naomi, Maestro milih yang belakangan Lady Mae itu cerewet, Sheila rada pelit. dan Naomi? Nggak tahu apa namanya. Pokoknya di serba pas. Cerewet tidak, pendiam kagak Pokoknya ngebakso sama dia senang, meskipun harus nraktir.
"Siapa kira kira temanmu yang punya pistolx Jip?" tanya Lady Mae. Untuk sementara dia lebih tertarik pada soal surat kaleng itu.
"Siapa? Temanku kan temanmu iuga! Siap yang punya pistol?"
"Tapi pistol apa pelurunya kecil begitu?" sel Maestro Lebih baik bicara tentang seniat daripada nielek-jelekin Naomi. Dia akan meras &
pintar kalau bicara tentang senjata. Akan berduka-cita kalau mendengar orang menieiekjelekkan Naomi, sekalipun diajuga keki melihat tingkah Naomi belakangan ini.
"Pak Wisnu bilang dia ditembak dengan pistol oleh anak muda yang lari pagi."
"Pak Wisnu siapa?" tanya Sheila.
"Oh. ya. Aku belum menceritakan kepada kalian."
Lady Mae pun segera menumpahkan rentetan kata untuk mengisahkan tentang Pak Wisnu yang ngibrit begitu Oom Sar tiba.
"Nah! Kita tanya sama Pak Wisnu siapa penembaknya!" cetus Jipi.
"Kata Oom Sar, Pak Wisnu merasa tidak kenal penembaknya."
"Mungkin dia bohong!" bantah Jipi.
"Lalu supaya dia ngaku dan nggak bohong, harus kita apain?"
"Kita taruh orong-orong di pusernya, lalu ditutup gelas. Nah, orong-orong itu akan ngamuk dan bikin geli! Rasain kalau dia nggak ngaku!"
"Kamu ngaco! Nangkep orong-orong sih gampang. Lha nangkep Pak Wisnu yang gedenya segaiah digebukin itu bagaimana?"
"ini sudah ngaco! Nggak sehat!" seru Maestro. "Bagusan kita mulai menyelidiki siapa pengirim surat kaleng itu! Kita lihat contoh tulisan teman teman kita di buku catatan mereka. Kalau, ada yang cocok, itu dia penembaknya! "
"Itu juga ngawur!" kata Sheila. "Mendingan kita serahkan ke polisi. Biar polisi memeriksa ."
surat itu di laboratorium!"
"Ngomong sih enak!" sengat Lady Mae. "Kamu sendiri deh yang nyerahin ke polisi!"
"Sudahlah," potong Jipi untuk mengakhiri debat nggak mutu itu. "Mendingan kamu simpan saja dulu, Mae. Nanti-nanti kita juga tahu siapa pengirimnya. Kita pura pura cuek saja dulu. Siapa tahu pengirim surat itu ada di sekitar kita? Supaya dia penasaran, kita cuek berat. Nanti kan ngirim surat lagi."
"Itu kan maunya kamu, Jip! Supaya kerjamu enakan!" kata Lady Mae. Tapi ia setuju untuk menyimpan surat kaleng yang terbuat dari kertas putih bertuliskan tinta hijau itu.
Naomi mendekat. Gayanya biasa-biasa saja. Tapi karena Sheila sedang keki berat, dia enek lihat gaya peragawati senewen itu.
" Halo, rekan rekan sebangsa dan setanah air! Apa kabar kalian? Semalam ada yang ngikutin aku, ya?"
"Eh. Dianya tahu!" bisik Sheila. Tapi bisikan itu terlalu keras sehingga Naomi juga mendengarnya.
"Tahu saja! Aku kan curiga lihat mobil hijau menguntit ke mana-mana! Kirain rampok! Sekarang lagi gawat, lho! Banyak rampok kerjanya begitu. Ngikutin mobil, lalu motong jalan di tempat yang sepi. Habis, deh!"
"Sama siapa kamu semalam?" tanya Lady Mae. '
"Kak Vid. Hebat lho Kak Vid! Dia sudah tahu dikuntit sebelum aku tahu. Dia sengaja ngebut, lalu tiba-tiba belok ke jalan yang gelap. Eee
mobil hijau itu terus saja! Sopirnya matanya budek. 'kali!"
"Lalu bagaimana kamu tahu kalau Sheila yang ngikutin kamu?" tanya Lady Mae.
"Aku lihat mobil itu ngepot karena ban belakangnya kempes. Nggak lama kemudian Jipi dan Maestro datang. Aku sih nggak jelas lihat Maestro dan Jipi. Cuma nebak-nebak aja. Siapa lagi kalau bukan kalian berdua yang intim sama Sheila?"
"Lalu kamu lewat mana?"
"Masuk aja terus ke kampung."
"Ke mana?"
"Ke rumah Ipong."
"Betul?"
"Tanya aja Ipong!"
"Ngapain ke sana?"
"Kok ngapain? Lha kamu mondar-mandir ke rumah Ipong selama ini ngapain?"
"Tapi aku nggak bersama Kak Vid!"
"Karena kamu nggak kenal dia!"
"Jawab yang benar! Kenapa kamu ke sana ngajak Kak Vid?"
"Karena aku nggak berani sendirian! Malammalam kluyuran ke sana memangnya apaan!"
"Kak Vid itu pacar kamu?"
"Bukan."
"Kenapa nggak ngajak Kak Hafiz atau yang lain?"
"Karena Kak Vid yang akan nyumbang!"
,"Hm! Dermawan amat dia? Kemarin dulu sudah nyumbang seratus lima puluh ribu. Semalam berapa lagi?"
"Cepek ceng!"
"Jadi seperempat juta seluruhnya? Hebat! Aku baru dengar ada jutawan royal begitu Aku mencurigai dia!"
Naomi tertawa merdu. Bagai nyanyian saja. Suara tertawanya bisa dinikmati karena nadanya enak.
"Kamu kok curigaan amat, Mae? Waktu aku diam aja, kamu ribut. Ngata-ngatain aku nggak berbudaya segala macam. Sekarang aku bergerak, kamu ribut lagi! Jadi aku harus bagaimana?"
"Gerakanmu kacau! Bawa bawa Kak Vid segala!"
"Apa ada undang-undang yang melarang aku pergi berdua Kak Vid? Kalau memang ada, aku akan melanggar undang-undang itu. Apa sangsinya?"
Lady Mae kehabiSan akal. Naomi telah benarbenar menjelma menjadi makhluk yang bikin perut mules. _
"Interupsi, Mae," sela Maestro.
"Ya!"
"Jangan kelewat tegang! Ini kan 'bukan interogasi! "
"Aku nggak bisa ngomong lagi. Mungkin aku yang bego," keluh Lady Mae.
Dia menggeloyor pergi. Sheila makin dongkol saja pada Naomi. la mendelik supaya Naomi takut. Tapi ternyata Naomi tertawa!
"Kamu mau sok galak lagi kaya dia? Nggak ada potongan, She! " katanya meledek. "Dia itu sok pemimpin! Tapi pemimpin apaan nggak
demokratis begitu?"
"Kamu yang berantakan!" dengus Sheila. "Pokoknya aku membela Mae!"
"Alasan kamu?"
"Nggak. ada alasan! Pokoknya kalau kamu berantem sama Mae. aku di pihak dia!"
"Berantem itu apa pasalnya?"
"Ndelul!"
Sheila pun pergi. Tinggal Maestro dan Jipi. Naomi tertawa mengeiek, seperti menantang cowok-cowok itu untuk ribut dengannya.
"Kau memang sering bikin gara gara," keluh Jipi. Nadanya tidak garang, seperti orang susah saja. "Dulu kami semua sibuk karena kau punya kegiatan yang mencurigakan. Sekarang kau bertingkah macam itu lagi. Sebenarnya apa sih mau kamu. Na?"
" Perdamaian dunia! Asas kompanyon kita kan cinta damai! Nah, aku juga cinta betul sama yang namanya damai itu. Nggak tahu si Damai itu sekarang di mana. Kok di sanavsini orang pada berantem melulu. Orang mau nyumbang baik baik diuber-uber kayak copet ketahuan!"
"Kamu nggak mau berterus terang tentang kegiatanmu. Makanya kami menourigaimu."
"Apa semua kegiatan hidupku harus kulaporkan pada kalian? Jangan-jangan aku mau buang ingus saja harus lapor Mae? Kita kan punya bisnis masing-masing!"
"Stop! Nggak ada gunanya ribut kampungan begini!" potong Maestro. "Pokoknya gini, Na. Kegiatan kamu selama ini cukup mencurigakan. Kami sih nggak mau usil sama urusan orang
lain. Tapi seenggak enggaknya kami kan ikut sedih kalau kamu kenapa-napa. Makanya kaml menyelidiki kegiatanmu. Jangan saiah paham Na. Kami usilan begitu karena sebenarnya kami sayang kamu."
"Aduh, Mak! Kepalaku mumet dengar rayuan mautmu! Sori deh, Tro! Aku belum sia disayang-sayangi cowok!"
Sekarang Naomi yang pergi. Jipi dan Maestr saling pandang.
"Jadi dia sengaia menyembunyikan kegiatan nya, kan?" tanya Jipi.
Maestro bingung untuk mengangguk atau menggeleng. Naomi memang penuh misteri. Ap sih sebenarnya yang dilakukannya?
"Biar aia, deh," kata Maestro pada akhirny "Kita punya bisnis kan masingmasing!"
Ya, memang begitu. Tapi apa dong artinyi kekompakan mereka?
SEBENARNYA Lady Mae nggak tega tanya macam macam kepada Ipong. Dalam suasana duka-cit tak baik mengganggu dengan segala prenik Tapi karenapenasaran, Lady Mae tanya juga tentang Kak Vid.
"Semalam dia datang bersama Naomi," kal Ipong. "Dia baik sekali. Banyak menasihatiku.
"Bukan soal baik atau jeleknya yan; kutanyakan. Tapi bagaimana dia bisa sebaik itu kepadamu. itu yang rada mencurigakan!"
"Apa kau dan teman temanmu juga tidak baik kepadaku? Apa aku J'uqa harus mencurigai
kebaikan kalian?"
"Bukan itu."
"Lalu apa? Jangan ganggu aku dengan segala persoalan. Aku sedang berkabung Mae. Kuharap kau mengerti. Buatku sekarang, siapa pun yang memberi sumbangan, adalah dewa penolong. Kalau perlu, perampok besar sekalipun asal dia menyumbang kami dengan ikhlas, dia tetap dewa penolong. Rasa terima kasih kami sekeluarga kepadanya tidak bisa dibilang lagi."
"Maaf. Aku terlalu menyusahkanmu."
"Sori, Mae. Sori. Aku tidak bermaksud melukai hatimu. Aku sedang bingung sekali. Bagaimana bisa melanjutkan hidup saja aku sudah bingung. Selama bapak saya di rumah sakit ibu saya sudah meniual apa saja. Malah sudah meminiam uang kepada banyak orang. Untuk mengembalikannya, rasanya kami harus menjual ru mah ...."
Lady Mae menepuk pundak lpong seperti akan memberi semangat dengan gerakan itu.
"Tabah, Pong. Tuhan telah membuatmu susah. Tentunya Dia juga yang akan memberimu jalan keluar. Aku pulang. ya? Kalau ada apa apa datang saja ke rumahku."
"Trims. Mae!"
Lady Mae urung memperlihatkan surat kaleng yang terbuat dari kertas putih bertulisan tinta hi iau itu. Biarlah dia yang memecahkan misteri surat kaleng ini. lpong tak boleh diganggu selagi dia bingung dalam masa berkabungnya
Akhirnya Lady Mae harus menjumpai Oom
Sar. Dia tidak mikir lagi apa Oom Sar suka apa tidak direpotkan oleh urusan begitu. Sikap Oom Sar sih biasa-biasa saia. Dia merasa terlibat sejak awal gerakan Lady Mae. Jika itu sebuah pentas sandiwara, maka ia merasa ikut berperan. Jangan tanggung lagi, tuntaskan saia peran itu. Kalau Lady Mae sungguh mati penasaran, Oom Sar pun serupa. Apalagi dia setelah membaca surat kaleng itu.
"Jelas kan, penembak itu tidak bermaksud mencelakakan Keke? Sasaran tembaknya pasti Pak Wisnu! Mungkin ada masalah pribadi yang bikin Pak Wisnu nggak mau lapor polisi."
"Mae lngin menghubungi Pak Wisnu tewat telepon. Siapa tahu dia mau ngaku sama Mae."
"Ada! Nomor teleponnya ada. Kemarin teman Oom Sar ngasih nomor itu. Sebentar saya cari!"
Mau ngomOng apa nanti kalau sudah bisa menghubungi Pak Wisnu? Ah, itu soal nanti. Yang penting nomor telepon itu. Oom Sar mencatatkannya di kertas sepotong.
"Tentang mobil hijau itu, Mae. Sampai sekarang belum diketahui nomornya. T_eman Oom Sar di Polda Metro Jaya belum menemukan nomor itu. Semua mobil jenis sedan berwarna hijau malah nggak ada yang nomornya B-74 sekian."
"Mungkin itu nomor palsu, Oom?"
"Mungkin saksi mata di tempat kejadian itu salah lihat. Tujuh enam disangka tujuh empat. Namanya juga malam hari. Apalagi dalam peristiwa semacam itu orang tidak segera ingat untuk melihat nomor polisi mobil penabrak. Ke
jadiannya kan tiba-tiba dan cepat sekali."
"Bisa juga penabrak itu pencuri mobil Dia sedang melarikan diri dengan mobil curian itu ketika terjadi kecelakaan ...."
Oom Sar tersenyum. Sebuah tepukan lembut mendarat di pundak Lady Mae,
"Kau terlalu letih. lstirahatkan pikiranmu. Jangan terlalu tegang memikirkan hal-hal semacam itu. Nanti urusan sekolahmu berantakan."
"Saya hanya kasihan sama lpong dan keluarganya. Penabrak itu luar biasa bebal!"
"Sama. Saya juga punya perasaan semacam itu. Tapi sudahlah. Keluarga lpong sendiri tidak mau melaporkan peristiwa itu kepada polisi. Jadinya sulit. Coba kalau sejak semula lapor polisi. Barangkali pada saat itu penabrak itu udah tertangkap. Ya. meskipun tidak sampai ke pengadilan kan bisa ditempuh jalan damai. Misalnya penabrak itu bertanggung jawab terhadap seluruh biaya perawatan dan pemakaman korban. Juga bertanggung jawab terhadap nasib keluarga yang ditinggalkan. Namanya juga musibah. Datang tidak diundang, ditolak pun tidak bisa. Keluarga lpong sudah cukup pengertian untuk menerima musibah itu ebagai takdir. Mereka tidak menyalahkan penabrak itu sepenuhnya. Sayangnya mereka tidak meminta pertolongan polisi untuk mencari penabrak itu. Tapi apa mau dikata? Sikap mereka memang begitu."
Oom Sar tampak putus-asa. Lady Mae mengerti sepenuhnya akan sikap Oom Sar. Dia
pulang dari rumah Oom Sar dengan harapan yang tinggal sisa sedikit di hatinya Yang sedikit itu akan dihabiskannya untuk mencoba menghubungi Pak Wisnu.
N_omor nomor diputar dengan bismillah yang diucapkan sangat khusyuk. Alhamdulillah, Pak Wisnu sendiri yang mengangkat pesawat telepon di ruang tamu rumahnya.
"Selamat sore, Oom."
"Selamat sore. Ini siapa, ya?"
Oh. suara orang itu lembut sekali Suara seorang bapak yang sayang anak dan suka pada teman-teman anaknya.
"Saya Lady Mae. Oom."
"Lady Mae siapa. ya? Perasaan teman anakanak saya nggak ada yang namanya Lady Mae."
"Saya temannya Keke. Oom."
" Keke siapa?"
"Keke yang Oom tolong waktu kakinya kaku Yang kepalanya tertembak itu, Oom."
"Oh, ya! Apa kabarnya Keke? Oom baca semua surat kabar kok nggak ada berita tentang penembakan itu. ya?"
"Memang nggak diberitakan, kok. Say penerima kasih Oom menolong teman saya."
"Ah. Itu kan biasa. Kebetulan Oom sedang lewat di situ."
"Penembak itu jahat ya, Oom! Dia ngirim surat kaleng ke rumah Keke!"
"Ha? Surat kaleng? Lalu bagaimana?"
" Dalam surat itu dia ngancam agar papa Keke nggak melapor kepada polisi. Kalau lapor, Keke akan ditembak lagi!"
"Kurang ajar sekali dia!"
"Kurang ajar dan nggak bermoral, ya Oom!"
"Yal Betul itu!"
"Di dunia ini banyak orang nggak bermoral, ya Oom?"
"Banyak. Banyak sekali."
"Ayah teman saya juga ditabrak orang yang nggak bermoral, Oom. Bayangin aja! Sudah ditabrak sampai mati, penabraknya lari, lagi!"
"Oh, ya? Di mana kejadiannya?"
"Di Kali Malang, Oom."
"Kapan itu?"
"Kira-kira seminggu sebelum Keke ditembak orang!"
"000 lalu?"
"Ya bagaimana lagi? Orang nggak bermoral itu tetap menghilang. Padahal keluarga korbannya sangat menderita. Nggak dikasih apa-apa. Yah, semoga Tuhan memberi keadilan ...."
Sesaat tidak ada percakapan yang terjadi. Di gagang telepon Lady Mae terdengar helaan napas panjang. Pak Wisnu sedang membayangkan peristiwa itu, barangkali. Atau dia merasa terganggu oleh telepon yang tidak perlu dari anak yang sama sekali belum dikenalnya
"Oom."
"Ya?"
"Apa Oom ingat waiah orang yang menembak Keke? Kata orang-orang yang lihat peristiwa itu sebenarnya yang jadi sasaran penembakan itu Oom. Bukan Keke. Betul ya, Oom?"
"Rasanya begitu."
"Kenapa sih Oom kok ditembak orang?"
"Yah namanyajuga manusia, Mae. Nabi sa ia banyak musuhnya. Apalagi kita yang banyak salah dan dosa."
"oom kok nggak lapor polisi, sih? Padahal Oom ditembak orang!"
"Tidak perlu. Oom kan selamat. Biar saja Tuhan memberi keadilan. Begitu kan katamu tadi?"
"Ya, Oom. Terima kasih banyak. Kapan kapan Mae nelepon lagi ya, Oom?"
"Boleh, boleh. Mae tinggal di mana?"
"Jalan Pahlawan 51 Bekasi, Oom. Oom sering lewat di depan rumah Mae, kan?"
"Jalan Pahlawan hm, rumah yang belum jadi itu, ya?"
"Betul, Oom!"
"Kata orang itu rumah arsitek? Betul?"
"Betul, Oom. Pak Arsitek itu papa Mae!"
"Wah! Oom juga ingin kenal, nih! Siapa tahu ada kerja sama di masa yang akan datang?"
"Bagus itu, Oom! Papa juga pasti sudah tahu tentang Oom. Kan sama sama bergerak di bidang bangunan? Bedanya, Papa membangun rumah dengan pinsil dan kertas. Kalau Oom dengan batu bata, semen, pasir, besi. Gitu kan, Oom?"
"Ya, ya. Salam deh buat Papa. Kapan-kapan Oom ke rumah, ya?"
Lady Mae meletakkan gagang telepon itu. Apa yang baru saja dilakukannya itu? Mencari order bual Papa Arsitek? Nggak tahulah. Otak pun rasanya buntu.
SERBA TAHU
BAGAIMANATUhan menciplakan Naomi dengan sebanyak itu keistimewaan, sulit dipahami. Begitu kesan Lady Mae. Dia jumpa lagi dengan Naomi di Green House Palace. Naomi sengaja mengajak Lady Mae tanpa siapa pun. Mereka mojok dan tidak terganggu oleh pengunjung lainnya. Sesudah masing masing menghabiskan semangkuk bakso formula baru, keduanya lalu bicara.
"Aku tahu siapa penulis surat kaleng itu," kata Naomi mula-mula. Lady Mae segera memuji kebesaran Tuhan karena rasa kagumnya kepada si Serba Tahu. Lebih-lebih ketika Naomi melanjutkan katakatanya begini, "Dia sudah lama mengincar Pak Wisnu. Dia punya pistol. Dengan menyamar sebagai pelari pagi, dia bisa mendekati Pak Wisnu ketika Pak Ndut itu sendirian. Lalu, dor! Harusnya perkaranya habis di situ karena dendam sudah dilampiaskan! Sayangnya kaki Keke kaku. Perkaranya jadi lain! "
" Bakso ini siapa yang bayar, Na?" tanya Lady Mae. Dia bingung mau tanya apa. Hingga lebih baik tanya soal bakso saja.
"Aku saia. Kak Vid kasih uang ialan selama kuantar kesana kemari."
"Jangan nyebut Kak Vid dulu, Na. Soal penembak itu bagaimana?"
"Ngomongnya jangan keras-keras! Di sini banyak kuping!"
"Kita cari tempat yang sepi saja?"
"Di mana?"
"Di laboratorium!"
"E!Dilarang masuk kalau tidak berkepenting .an!"
"Na, di Indonesia ini mana sih yang nggak mungkin? Peraturan ada di mana mana Tapi semua itu bisa ditembus asalkan kita tahu caranya. Punya uang gopekan?"
"Ada. Aku lagi kaya, nih!"
"Halal atau tidak, kasihkan gopek buat Pak Saman!"
"Ooo jadi kita harus nyogok Pak Saman supaya bisa ngumpet di lab?"
"Begitu kebudayaan kita. Sedih, ya?"
Urusan pun lancar setelah gopek melayang. lab sepi sekali. Hanya botol-botol, bejanabeiana, bangkai binatang kering, buku-buku tebal, dan seperangkat benda mati lainnya yang tidak akrab dengan Lady Mae.
"Teruskan bicaramu, Na."
"Penembak itu mendendam kepada Pak Wisnu."
"Aku tahu itu. Tapi apa pasalnya?"
"Itu bukan urusan kita. Yang penting dia tidak akan mencelakakan siapa-siapa lagi di antara kita. Menurut bunyi surat kaleng itu, si pengirim ,(m,
minta maaf karena salah tembak. Berarti di tidak bermusuhan dengan kita, kan?"
"Tunggu dulu! Kamu tahu benar soal sur l kaleng itu, kok? Dari siapa? Aku nggak pern :| ngomong sama kamu!"
'Semalam Maestro ke rumah. Eh, dia genll ya? Masa dia cemburu sama Kak Vid? Adulkasihan dia. Kompanyon kita bakal nggak ko : pak lagi kalau sudah ada unsur yang ngga sehat masuk. Iya, kan?"
"Aku juga cemburu sama Kak Vid!"
"Kok begitu?"
"Sejak kamu kenal dia, tingkahmu maca | macam. Kamu nggak kompak lagi dengan an gota yang lain!"
"Jangan keki dulu, Mae! Aku juga puny bisnis, dong! Mau dengar soal surat kaleng it lagi, nggak?"
"Tersarah kamu mau ngomong apa enggak!
"Nah. Aku usul, kalau diterima, sih Baikny kita lupakan saja deh soal surat kaleng da tembak-tembakan itu. Kita mau ngapain, sih Nanti urusan kita berantakan nggak keruan Mendingan kita kaya yang lain aja. Belajar yan bener, supaya naik kelas dan dapat hadiah dar Papa. Lagian kita mau cari apa gebrak san gebrak sini nggak kepuguhan lagu?"
"Kamu ngomong kenal penembak itu Sekarang katakan siapa dia."
"Sayang, aku nggak mau bilang siapa di Mae."
"Kamu sialan benar!"
"Biarin! Kalau aku ngomong, kau pasti akan
melaporkannya kepada polisi. Nanti urusanny
jadi panjang lagi. Kita sibuk gebrak sana gebral sini. Akibatnya. kita nggak bakal dapat hadiah dari Papa karena nggak naik kelas!"
Lady Mae ngempos saking masygulnya.
'Kamu memang serba tahu. Hebat. Luar biasa, mengagumkan, ajaib! Tapi kesenangan mu bikin orang lain kesal, itu yang menyebalkan Aku ingin niitak kepalamu. Sayangnya ak nggak tega!"
Lady Mae keluar. Naomi diam sesaat. Haru bersikap bagaimana dia? Belakangan ini tema: temannya berantakan karena mereka melakukan gerakan-gerakan yang tidak sehat. Main detektif detektifan begitu, apa perlunya? Orang boleh ib terhadap nasib sesamanya. Boleh simpai terhadap kawan sendiri. Tapi apa perluny gebrak sana gebrak sini nggak kepuguhan lagu Mereka Sudah oukup berbuat untuk lpon Cukup pula untuk Keke. Persoalan sebenarny harus selesai. Meniadi belum selesai karen mereka penasaran nggak keruan. Untuk ap semua itu? Kata Kak Vid, gerakan tidak sehat itl harus segera dihentikan. Perasaan saling curig cemburu, debat nggak mutu, hanya akal merusak kekompakan saia. Naomi setuli sepenuhnya dengan saran Kak Vid. Setuju sepenuhnya. Kak Vid orang baik, begitulah mata Naomi. Dia cinta damai, dan selurul perilakunya mencerminkan sikapnya itu. 1
Lain pula yang dipikirkan Lady Mae. Di merasa dipermainkan oleh Naomi, si serba tahi ' yang sok itu. Ini tidak bisa dibiarkan. Naom_
harus tahu kalau dia tidak bisa menganggap enteng Lady Mae, anak Papa Arsitek!
Sekarang yang penting diam dulu. Biar kepala menjadi dingin. Diam terus sampai dia pulang. Lalu mengeram di kamarnya. Memandangi kamar mandinya di sudut kamar itu. Dindingnya belum selesai dibuat. Merupakan tempelan tempelan batu yang direkatkan dengan lem yang kuat. Ah, baikan mencari batu-batu untuk dinding kamar mandi itu. Dia pun mulai berjalan membawa keranjang anyaman rotan. Disusurinya Jalan Pahlawan. Dipungutinya batubatu. Nggak peduli orang menertawakannya.
Setengah keranjang batu berbagai bentuk dibawanya pulang. Disusunnya satu persatu. Dia bisa berjam-jam dalam keasyikan semacam itu. Setiap batu memiliki bentuk yang tak beraturan dan tak pernah sama dengan lainnya. Untuk menempelkannya menjadi dinding yang rapat merupakan tantangan yang bisa mengasyikkan, tapi kadang juga menjengkelkan seperti si Serba Tahu.
0, si Serba Tahu! Makhluk itu tak pernah berhenti membuat kisah dengan segala perangainya. Membayangkan Naomi, Lady Mae puyeng jadinya. Ia menggeleng gelengkan kepalanya agar bayangan wajah Naomi terkibas lari sana. Lalu siap bekerja. Supaya lantai kamar nandi tidak kotor, diperlukan kertas kertas koran yang dihamparkan. Batu-batu ditaruh di .*itu, di atas hamparan kertas koran. Lady Mae mencari koran bekas. Lalu digelarnya satu per atu. 0, dia sudah melupakan beberapa kebia
saan. Membaca koran pun tidak pernah dilakukannya lagi selama sepuluh hari ini. Ada rubrik yang selalu dibacanya di koran langganan Papa. Iklan-iklan, berita keluarga, dan terutama surat pembaca, selalu menarik hatinya. |tu bisa menambah pengetahuan. Iklan-iklan membuat nya kenal barang baru dan perkembangan teknologi. Berita keluarga membuatnya mengenal banyak kisah manusia. Sedangkan Surat pembaca mengasyikkannya karena dari situ dia banyak tahu tentang masalah hidup.
Koran koran yang dihamparkan itu memaparkan iklan-iklan, berita keluarga, dan Surat pembaca. Sambil membersihkan batu-batu Lady Mae membaca. Ada iklan yang paling dibencinya: promosi alat KB. lni kerja ngawur dari banyak pihak, pikirnya. Beg itu terbuka orang bicara tentang hal-hal yang tabu bagi anak di bawah umur, dan koran itu dibaca oleh siapa pun yang melek huruf. '
Sekarang dia membaca rubrik surat pembaca. Ada yang'lucu, ada yang mengharukan, ada juga yang biasa-biasa saja. Dan sebuah surat pembaca di koran yang telah usang itu. Oh! Lady Mae membacanya. Dua kali, tiga kali, hal "000, makhluk serba tahu ! " dengusnya setelah selesai membaca surat itu. "inilah rahasiamu! "
Betul dia. Di koran itu ada surat pembaca yang ditulis Naomi! Isinya sebuah himbauan agar penabrak ayah Ipong memberikan tanda simpati kepada korban yang waktu itu masih terbaring di ranjang rumah sakit. Dijelaskan dalam surat pembaca tersebut pihak keluarga korban tidak
akan menuntut apa-apa Naomi pun menyebutkan bahwa dirinya hanya kawan anak korban, bukan siapa siapa.
Sungguh Naomi bukan anak yang mahir memainkan kata kata seperti Lady Mae. Tapi su rat pembaca itu demikian bagusnya, demikian menyentuh jiwa. Agaknya Naomi menulisnya
engan sepenuh batinnya, sehingga kata-kata meluncur bagai.air mengalir dari sumbernya.
"Korban akan tetap diam, sebab dia tidak mampu lagi berkata kata untuk menceritakan penderitaannya. Tidak mampu untuk menceritakan siapa penabraknya. Dia bahkan tidak mampu untuk mengenali dirinya sendiri. Penderitaannya mungkin tak akan berakhir. Sedangkan keluarganya tak punya apa-apa lagi kecuali doa-doa mereka." Begitu antara lain bunyi surat pembaca karya Naomi. Di akhir surat itu dicantumkan alamat lengkap Naomi.
Lady Mae keluar dari kamarnya. Ia memutar nomor telepon rumah Jipi.
"Halo, Jip! Kamu punya uang gopekan?"
"Punya! Untuk apa?"
"Pergilah ke rumah Pak Saman dan kasihkan uang itu."
"Hei Apa-ap aan kamu?"
"Gaji Pak Saman sebagai pesuruh sekolah kecil sekali, Jip. Kasihan dia. Kalau kau punya
ang berlebih, berdermalah untuk sesamamu."
"Jelaskan dulu kenapa kau kampanye kemanusiaan lagi!"
"Tanyakan pada Pak Saman, dulu Naomi terima surat da ri siapa. Setiap surat untuk murid
yang masuk ke sekolah pasti diketahui oleh Pak Saman. Naomi baru menerima surat lewat sekolah sekali itu. Pak Saman pasti ingat siapa nama pengirimnya. Oke, Jip! Kutunggu laporanmu dalam setengah jam. Bisa, Say?"
"Oke, Yang! Oke!"
Lady Mae menghubungi Pak Wisnu dengan telepon itu pula.
"Oom, Wisnu, ya?"
"Betul."
"Selamat sore, Oom. Semoga Oom sehatsehat saja!"
"Selamat sore. Ini siapa?"
"Aduh! Oom kok lupaan, sih? lni Mae. Oom! Lady Mae anak Papa Arsitek!"
"Ooo bagaimana, Mae? Salam Oom sudah disampaikan kepada Papa?"
"Sudah, Oom. Papa senang sekali. Papa juga kirim salam buat Oom. Kapan Oom datang? Atau Papa yang ke situ?"
"Boleh, boleh."
Ketika Kaki Keke Kaku Karya Bung Smas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oom suka main bilyar, ya?"
"Lho! Kok tahu?'I
"Bisnisman sekarang kan suka bilyar, Oom. Papa juga suka. Kapan-kapan boleh dong, Oom bertanding sama Papa?"
"Boleh. Kalau begitu papamu saja supaya datang ke rumah Oom! Di rumah Oom ada meja bilyar!"
"Iya. deh. Oom punya Hardtop warna coklat,
a?" y "Lho! Kok tahu? Kamu kok serba tahu, to?"
"Teman saya sudah kenal sama Kak Vid, kok.
Oom juga punya mobil hijau. kan?" "oh hijau itu ...itu mobil anak saya ...." "Kak Vid?"
"Bukan. Adiknya Vid. Kenapa?"
"Siapa nama adik Kak Vid?"
"on, kenapa. Mae? Kenapa kau banyak bertanya? Siapa sebenarnya kau?"
"Anak Papa Arsitek. Nama adik Kak Vid yang nabrak di Jalan Kali Malang itu siapa, Oom?"
Terdengar helaan napas panjang di gagang telepon Lady Mae. Lalu bunyi klik. Hubungan telepon diputuskan oleh Pak Wisnu. Mungkin Pak Ndut itu sedang panik luar biasa. Lady Mae, siapa dia sebenarnya? Dia memberi tahu alamatnya dengan jelas. Memberi tahu bahwa dirinya anak Papa Arsitek. Tapi benarkah dia menyebutkan nama dan alamatnya dengan sejujurnya? Pak Wisnu menyesal kenapa begitu saja terpancing dali pembicaraan lewat telepon dengan anak yang belum dikenalnya.
Setengah jam setelah menelepon Jipi. Lady Mae kembali menghubungi pavilyun mungil yang menempel di rumah induknya di Rawamangun itu.
"Jipi! Halo, Jipi!"
"Halo, Mae. Wah! Aku baru saja sampai!"
"Siapa pengirim surat itu?"
"Kata Pak Saman, namanya Vido Amiluhur. Pak Saman kan mencatat semua nama dan alamat pengirim surat yang masuk lewat sekolah. itu salah satu peraturan sekolah kita kan?"
"Njawabnya jangan kepanjangan! Bekasi
Jakarta interlokal, lho! Kasihan Papa. Rekening telepon perbulan selalu naik!"
"Kamu yang ngomong panjang-panjang!"
"iya, deh. Asal tahu saja, Jip! Vido Amiluhur itu anak Pak Wisnu!"
"Ha? Bagaimana kau tahu itu? Kata Maestro, Naomi merahasiakan identitas pengirim Surat itu. Ceritanya bagaimana, sih?"
"Naomi pernah ngomong mau bikin kejutan, kan? ingat ketika kita getol kampanye kemanusiaan dia cuwek saja? Kukritik dia, dan dianya bilang mau bikin kejutan!"
"Ya. ingat. Terus?"
"Nggak lama kemudian dia terima surat dan cengar-cengir. ingat?"
"Terus."
"Sebelum dia terima surat. dia bikin surat pembaca di koran. isinya himbauan kepada penabrak ayah lpong agar hatinya terketuk. Surat itu mendapat tanggapan. Naomi lalu menerima surat dari Vido Amiluhur. Nggak tahu isinya bagaimana. Kira kira Vida Amiluhur ngasih tahu bahwa adiknya yang nabrak ayah lpong. Vido mempercayai Naomi karena --eh, ini mungkin, lhodia sudah riset dulu untuk mengetahui siapa Naomi. Sebab Naomi mencantumkan alamat jelas-jelas di surat pembaca itu. Nah, Naomi lalu membalas surat Vido dan mencantumkan nomor telepon rumahku. Pada suatu sore dia datang untuk menunggu telepon itu. Mungkin dia sudah janjian untuk bicara lewat telepon. Selanjutnya kamu tahu sendiri."
"Tapi bagaimana kamu tahu semua ini, Mae?"
"Nanti kuceritakan lebih terinci. Sekarang apa pendapatmu tentang aksi penembakan itu?"
"Hm ada yang mendendam kepada Pak Wisnu, kan?"
"Kira-kira kenapa?"
"Tunggu dulu! Kebaikan Vido Amiluhur itu sangat berlebihan, kan? Kalau dia dermawan, rasanya tidak sampai begitu getol menyumbang Ipong. Yah. meskipun dia mau ngambil hati Naomi. Aku juga curiga padanya. Apa kira-kira dia yang nabrak ayah Ipong?"
"Adiknya! Nggak tahu siapa namanya. Jadi Kak Vid itu berusaha menjalin keakraban dengan keluarga korban. Mungkin juga berusaha men. jajaki sikap keluarga itu. Buktinya dia datang bersama Naomi ke sana. Cocok, nggak?'
"Cocok! Cocok! Jadi penembakan itu berlatar belakang dendam, kan? Apa ada hubungannya dengan perkara penabrakan itu?"
"Mungkin. Si penembak akan melampiaskan dendam kepada Pak Wisnu. Rupanya dia tahu mobil hijau itu milik Pak Wisnu. Nggak tahu dia mengerti atau tidak kalau yang naik mobil hijau itu sebenarnya bukan Pak Wisnu."
"Kalau begitu penembaknya dari pihak Ipong. ya?"
"Cocok! Aku malah mencurigai Ipong sendiri! Sikapnya sering misterius, Jip! Kadang-kadang dia tampak tabah. Kadangkadang seperti orang kalap; Yang terakhir kemarin dia ngomong rada sengak padaku. Mula mula aku nyangka karena pikirannya sedang kacau saja. Sekarang aku menduga lain. Aku mau ke sana, Jip. Mau
kutanya dia tentang surat kaleng itu. Dia tahu alamatmu, kan? Dia juga tahu Keke itu saudaramu!"
"Mae."
"Hm?"
"Mau dengar saranku. nggak?"
"Apa. dong?"
'Jangan ke sana sendirian! Tunggu aku dan Katro!"
"Ngak apa-apa.lpong baik sama aku, kok!"
"Tapi kalau dia kalap. bagaimana? Kau sendiri bilang sikapnya berubah-ubah! Jangan, Mae! Tunggu kami!"
"lya, deh."
"Daaah!"
Lady Mae ngempos seperti melepaskan beban berat yang menghimpit dadanya.
"Ada apa, Mae?"
Ditegur begitu saja Lady Mae melonjak kaget.
"Sampai kaget, Ma! Kirain siapa!"
"Ada apa? Kau terlalu aktif di luaran sekarang. Soal Keke lagi, ya?"
"iya, Ma. Nggak tahu deh, Mama bangga apa enggak punyak anak Mae."
"Lho kok ngomong begitu?"
"Belakangan ini Mae suka kluyuran. Jarang di rumah."
"Kalau kluyuranmu untuk tujuan baik, nggak apa-apa. Tapi Mama kira kau sudah macammacam sekarang. Semalam Papa bilang, Mae nggak boleh terlalu liar."
"tya, deh Ma. Mae akan kembali seperti kemarin-kemarin. Tapi sekarang Mae akan ke
rumah Ipong." '
"Mau apa lagi?"
"Nengokin dia. lpong kan butuh pendamping pada saat dia menderita, Ma."
"Tapi ini sudah sore, Mae. Mana kamu belum mandi!"
"Mandi sepuluh menit, Masih ada waktu, Ma."
Mama menghela napas panjang. Lady Mae itu satu-satunya anaknya. Sayangnya tak bisa dihilangkan lagi. Dia melihat tanda tanda istimewa pada diri anaknya. Tapi ia cemas juga karena belakangan ini Lady Mae terlalu aktif. Kegiatannya untuk (pong terlalu berlebihan. Mama cemas kalau itu akan mengacaukan sesuatu yang selama ini sudah berjalan dengan baik.
"Apa kau harus ke sana?" tanya Mama.
Lady Mae menangkap makna dalam per. tanyaan itu. |
"Sekali ini saja, Ma," katanya. Makna yang terkandung dalam pertanyaan Mama ada larangan ke rumah Ipong. "Boleh, kan?"
Lady Mae memasuki kamarnya. Di kamar mandi yang dindingnya belum rapat itu dia membersihkan badannya. Benarkah apa yang dilakukannya sampai saat ini? Ktuyuran ke mana mana, meninggalkan kebiasaan-kebiasaan tama karena punya kegiatan yang mengasyikkan, oh, mau jadi apa kamu Mae?
Entah jadi apa, nggak persoalan. Lady Mae mengayuh sepeda mininya kencang-kencang. Jalan beraspal hotmix di depan rumahnya man tap sekali. Roda roda sepeda mini itu menggelin
ding hanya dengan kayuhan ringan. Surat kaleng yang terbuat dari kertas putih bertuliskan tinta hiiau itu dibawanya serta. Siapa tahu bakal begini jadinya? Pertanyaanvpertanyaannya kepada Pak Wisnu meluncur begitu saja karena saling" berkaitan dengan pertanyaan pertanyaan sebelumnya. Siapa sangka kalau akhirnya bisa mengorek keterangan dari mulut Oom Wisnu? Tidak usah dengan orong-orong di atas pusar! lp0ng sedang bengong. Lady Mae membunyikan bel sepedanya, "Kring. Kring!" Bunyi itu membuat lpong meloncat. Bagai tersedot dari dunia khayalnya, dia sampai megap-megap.
"Oh. Kau! Aku sedang mikir mau ke sana!" sambutnya.
"Ke rumahku?"
"Ya. Sori, ya! Kemarin aku galak sama kamu. Sori, deh. Aku sedang panik."
"Sekarang nggak galak lagi. kan?"
Ipong mencoba tersenyum. Tapi yang tampak di bibirnya hanya seringai bagai orang kesakitan. Lady Mae tetap duduk di sadel sepeda mininya. Ipong mendekat.
"Bagaimana perasaanmu sekarang?"
"Ya, bagaimana.?"
"Dendam sama penabrak itu?"
"Dibilang dendam ya dendam. Tapi bagaimana lagi? Hidup mati manusia kan Tuhan yang punya. "
"Kalau misalnya kau ketemu penabrak itu, kau mau apa?"
"Nggamparin dia."
Lady Mae bergidik mendengarnya.
"Jadi kau nggak ikhlas menerima musibah ini, dong?"
"Ikhlas saia. Kehendak Tuhan harus kita terima. Tapi soalnya penabrak itu kelewatan. Dia mana tahu kalau kejadian begini?"
"Umpama dia tahu dan berani datang ke sini, kau mau apa?"
"Kalau bisa nahan diri, ya nggak apa apa. Tapi rasa-rasanya sih aku bakal kalap juga."
"Kau sudah tahu siapa penabrak ayahmu, kan?"
"Kalau aku tahu, aku sudah melabraknya, dcng!"
"Teman-temanmu ada yang tahu?"
"Rasanya nggak ada. Mereka paling hanya menduga-duga. Tapi nggak ada dasarnya. Bisa meleset. Namanya juga emasi." '
"Siapa yang mereka sangka penabrak itu?"
lpong tidak segera menjawab. Tampaknya dia menimbangnimbang. Lalu memandangi Lady Mae dengan seksama sampai Lady Mae risi. _
"Jangan melotot begitu! Aku ngeri!"
Ipong tersenyum. Lagi-lagi bagai seringai kesakitan.
"Jangan marah. ya? Sebenarnya aku akan merahasiakan soal itu. Tapi. yah Akhirnya aku nggak tega juga bohong sama kamu."
"Pak Wisnu kan yang kalian tuduh nabrak ayahmu?"
"Kamu kok tahu?"
"Temanmu nembak Pak Wisnu sebagai balas dendam?"
"0, tidak! Tidak! Tidak begitu!"
"Tapi Pak Wisnu ditembak dan Keke yang kena pelornya!"
"Tapi sungguh! Masa main tembak begitu!"
"Temanmu pasti ada yang punya pistol!"
"Tidak!"
"Penembak itu ngirim surat pernyataan maaf kepada Jipi. Berarti dia mengenal Jipi dan Keke. Tahu alamatnya pula."
lpong tampak berpikir keras. Mengingat-ingat siapa temannya yang punya pistol. Tapi dia sungguh tidak tahu. Bahwa aksi penembakan itu dilakukan sebagai balas dendam pun, dia tidak tahu-menahu.
Lady Mae menuniukkan surat kaleng itu. Ipong mengerutkan dahinya.
"Kenal tulisan ini?"
lpong belum menjawab.
"Siapa temanmu yang biasa pakai tinta hijau?"
"Tidak ada."
"Oh, ya. Tinta hijau itu sengaia digunakan untuk menghilangkan jejak. Kau kenal tulisan ini kan?"
"Nanti dulu! Rasa-rasanya aku kenal! .Tapi siapa, ya?"
"Bagaimana kau tahu kalau Pak Wisnu yang nabrak ayahmu?"
"Barusan Uka dari sini. Dia yang bilang. Katanya mobil hijau itu pernah dilihatnya di kantor PT Seravida Building. ltu perusahaan milik Pak Wisnu. Teman-teman Jalu menuduh Pak Wisnu yang nabrak. Aku bilang padanya, mungkin salah seorang pegawainya. Teman
teman yakin pasti Pak Wisnu."
"Lalu mereka melakukan tindakan balas den dam itu tanpa sepengetahuanmu!"
"Masa begitu? Rasanya sih enggak. Mereka nggak pernah nyinggung-nyinggung soal balas dendam."
" Berapa nomor polisi mobil hiiau di kantor PT Saravida Building?"
"8-76180 KE.
"Kapan mereka melihat mobil itu?"
"Kira-kira empat hari setelah Bapak kecelakaan."
"Tapi baru tadi Uka bilang?"
"Ya. Dia ngajak aku menemuu Pak Wisnu untuk minta ganti rugi. Aku nggak mau. Nyawa Bapak nggak bisa dibeli dengan uang berapa saia. Aku iuga nggak akan menjualnya."
"Kamu plin-plan. Dendam tapi nggak mau bertindak apa-apal Bagaimana sikapmu sebenarnya?"
"Nggak tahu juga. Kadang-kadang aku dendam dan ingin menghalar penabrak itu. Tapi kadang kadang aku mikir juga. Mungkin Bapak berdiri di aspal, bukan di trotoar. Jadi Bapak juga | kut bersalah dalam kecelakaan itu. Entahlah, aku bingung kalau mikirin soal itu. Kau belum pernah mengalami musibah begini, Mae. Kau nggak bisa membayangkan bagaimana sedih dan bingungnya. Kamu percaya? Makan sala I
kamu kalau kacau begitu. Tapi kamu mau sedikit mikir, kan?"
"Soal apa?"
"Siapa orang tua temanmu yang punya senjata?"
"Nggak ada."
"Kamu lihat senjata-seniata di rumahku, kan? Siapa yang punya di antara teman temanmu." "Nggak ada, Mae. Nggak ada! Sungguh!"
"Bagaimana kalau Uka?"
"Uka? Hm oh. ya! ini tulisan tangan Uka!"
"Betul?"
"Betul! Tapi dia nggak punya pistol!"
"Kamu mau ngantar aku ke rumah Uka?"
"Hm sebenarnya aku lagi malas ke manamana. Tapi kau sangat baik padaku, Mae. Ke ujung langit aku juga mau ngantar kamu. Naik Sepeda ini?"
"Ya."
Mereka berboncengan. Maghrib tiba. Hal yang belum pernah dilakukan Lady Mae adalah bepergian pada saat maghrib tiba. Rasanya tidak enak juga. Lebih-lebih suara azan bergema dari empat penjuru. Telinga rasanya digelitik Hali pun di sundut-sundut.
"Semoga Tuhan nggak marah," gumamnya.
"Kenapa, Mae?"
"Maghrib-maghrib bukannya sembahyang, malah kluyuran!"
"Sekali sekali, Mae. Enak juga naik sepeda sama kamu. Kalau kamu sekolah di sini, saban hari aku mau memboncengkan kamu ke sekolah Pindah saja ke sini, Mae!" _
"Nanti saia kalau kamu sudah punya motor bebek."
"Kamu minta motor bebek dari papamu saia! Papamu kan kaya!"
"lh! Cowok apaan pengeretan begitu?"
Ipong tertawa. Senang juga mendengarnya.Sudah lama Ipong tidak bisa tertawa. Bahkan tersenyum pun mirip serinoai kesakitan.
DATANGvDATANG Ipong disongsong ibu Uka. Perempuan itu gugup sekali. Kedatangan lpong seperti kebetulan yang sangat diharapkan.
"Buruan, Pong! Buruan! Kejar dia!" serunya tanpa ujung pangkal yang ielas.
"Ada apa?"
"Uka!"
"Kenapa Uka?"
"Uka berantem!"
"Sama siapa?"
"Yang nabrak ayahmu! Dia bawa0bawa pistol! Ya, Allah! Anak itu keterlaluan! Saya baru tahu dia punya begituan! Nggak tahu dari mana, tuh!"
"Saya akan ke sana!"
lpong langsung menggenjot sepeda itu. Dan lupa pergi bersama Lady Mae. Kalau Lady Mae tidak terbirit-birit dan meloncat sambil mencengkeram pinggang Ipong, dia bakal ketinggalan. Saat itu Ipong baru ingat ia tidak hanya berdua dengan sepeda mini. Masih ada benda ketiga di belakang punggungnya.
"Mana bisa kita ke sana dengan sepeda mini?" seru Ladv Mae.
"Kamu tahu rumahnya?"
"Belum! Tapi tahu alamatnya!"
"Kita naik ojek saja!"
"Aduh! Aku nggak punya uang!"
"Gampang! Tukang ojek di sekitar sini aku kenal semua! Ngutang dulu juga bisa!"
"Tapi sepeda ini bagaimana? Masa dilipat?"
"Begitu saja bingung! Yang harus kaupikirkan bagaimana kita bisa mencegah kekonyolan Uka!"
"Aku ingat sekarang! Waktu pemakaman ayahmu. Uka banyak tanya tentang Keke dan Jipi. Oh, aku tidak menduga anak itu nekat begitu. Tapi dia punya senjata dari mana?"
"Mungkin oh, ya! Pamannya pelaut! Apa pelaut itu bersenjata!"
"Mungkin oleh-oleh dari luar negeri yang bisa diselundupkan ke sini? Pistol itu berpeluru kecil! Mungkin 4% mm! Sama dengan peluru senapan Papa! Lukanya saja garis tengah hanya 5 "milimeter! Luka itu lebih lebar daripada garis tengah peluru karena peluru kan jalannya muter? Kayak mata bor!"
"Jangan ngomong soal itu lagi! Nanti kita dicurigai! Malah ketangkep!"
Ipong menggenjot sepeda itu sekuat dayanya. Untunglah tempat mangkal tukang ojek tidak jauh. Sepeda dititipkan pada penjual rokok, lalu dua sepeda motor melaju bagaikan terbang di jalan kota Bekasi. Memotong ke selatan, lalu berbelok belok sampai memasuki kawasan
erumahan mewah di seberang Kali Malang.
Rumahcrumah di situ berdiri angkuh. Berpacar
besi sangat tinggi. Antara satu rumah dengan yang lainnya bagaikan tidak menyatu dalam satu kawasan. Seolah berdiri sendiri-sendiri tanpa kaitan apa-apa. Mencerminkan sikap penghuninya yang individualis dan Cuek terhadap sekitarnya. Di depan sebuah rumah ada motor bebek hitam. Ipong mengenali motor itu sama seperti dia mengenal pemiliknya.
"ltu dia motor Uka!"
Ojek ojek berhenti.
"Tunggu sebentar di sini!"
"Ya. Kalau perlu bantuan, ajak saya, Pong!"
"Jaga dulu di sini!"
Ipong menyeruak melalui gerbang yang tidak terkunci. Lagi-lagi dia tidak ingat membawa benda bernama Lady Mae. ia seperti beredar sendirian saja. Kalau Lady Mae_tidak ngibrit, dia pun akan tercecer.
Di depan pintu yang tertutup, Ipong berhenti. Ia termangu-mangu.
"Kita masuk saja?" bisiknya.
"Lihat-lihat dulu!"
Lady Mae mengintip lewat lubang kunci. Oh. dia menyadari kebodohan diri sendiri. Pintu rumah-rumah mewah begini masa kuncinya murahan dan bisa diintip? Sedangkan di rumah Lady Mae yang namanya kunci tidak bolong dan tidak bisa diintip! Lady Mae mendorong pelan. Dua pintu bergerak.
"Masuk saja! Siapa tahu kita bisa mencegah kecelakaan ! "
Di samping rumah itu ada pintu kecil terbuat: dari besi cor. Pintu itu terbuka tanpa suara..
Sesosok tubuh ramping berkain kebaya melesat. Dia pembantu rumah tangga, tentu.
"Oh! Oom siapa?" tegur wanita berkebaya itu.
"Apa di dalam sana ada orang ngamuk?" tanya Ipong, tanpa menjawab pertanyaan pembantu itu.
"Oh, ya. Ya. Bapak lagi berantem! Musuhnya bawa pistol!"
"Saya akan nangkep orang ngamuk itu!"
"Jangan! Nanti Oom didor!"
"Jangan takut!"
"Apa Oom polisi?"
Uh. Bertete-tele. Lady Mae harus tampil segera untuk mengakhiri percakapan tak perlu itu.
"Yang ngamuk itu abang saya,-" katanya "Dia nggak akan nyerang saya. Tunjukkan di mana tempatnya." ..
"Di belakang! Bapak kan lagi ngurusin ayam di belakang. Tahu tahu orang ngamuk itu nyelonong ke sana."
Ipong menoleh ke arah tukang-tukang ojek. Maksudnya akan memberi isyarat agar mereka menunggu. Tapi tukang-tukang ojek muda yang siap tempur itu salah pengertian. Mereka menyangka Ipong minta bantuan. Serta merta mereka terbirit-birit.
"Jangan ke sini!" bisik lpong.
"Saya ikut! Nanti ada apa-apa! Uka bersenjata!" kata salah seorang tukang ojek.
"ini di rumah orang!"
"Persetan! Ayo masuk!"
Mereka berempat, tak bisa dihindari lagi. Si pembantu membimbing pasukan kecil yang
terbentuk secara mendadak itu.
"Masuk jalan ini. Lalu di sana ada lemari besar, belok kanan. Hati hati, orang ngamuk itu ngadep ke sini!"
"Ya. Saya di depan. Kau di belakang. Mae!" Ipong mengatur barisan seperti komandan pasukan. "Rosyad dan Doyo di belakangku!"
"Aku yang di belakangmu!" bisik Lady Mae.
"Jangan membantah! Kau di belakang Rosyad dan Doyo!"
lh! Kalau lagi begitu Ipong menyeramkan juga. Lady Mae harus menurut. Kalau tidak, berantakan operasi ini.
Mereka mengendap melalui jalan yang ditun jukkan pembantu. Tiba di ambang pintu yang menghadap ke arah kebun belakang, ada kandang ayam bekisar. Pak Wisnu berdiri di depan kandang ayam itu. Hanya berkaus singlet dan bercelana pendek. Berdiri di hadapannya, Uka dengan pistol terbidik ke kepala Pak Wisnu. Kedua tangan Uka menggenggam laras senjata itu. Tampak ujung laras pistol itu gemetar. Jari jarinya pun menggeletar. Uka bukan seorang profesional yang mahir bermain senjata.
"Jangan dekat-dekat!" seru Pak Wisnu begitu melihat Ipong dan rombongannya muncul.
Uka melirik sedetik lamanya. la mundur untuk mengambil posisi yang baik sehingga dia bisa mengawasi Pak WiSnu dan rombongan lpong.
"Uka! Kamu sinting! Buang senjata itu!" seru Ipong.
"Ini dia pembunuh ayahmu!" jerit Uka.
"Lepaskan seniata itu!"
"Diam kamu! Pembunuh ini harus dimampusin!"
Lady Mae melangkah ke depan. Uka agak terperanjat. Tapi ia segera bergeser dan sikapnya waspada.
"Kamu apa-apaan, Uka? Keke sudah jadi korbanmu! Sekarang kamu mau menembak orang lagi! Jangan sok jago, lu!"
"Diam kamu." jerit Uka.
"Polisi akan nangkap kamu, tahu?"
"Peduli! Pembunuh ini harus mampus duluan!"
Lady Mae melangkah. Ipong berusaha menangkap lengan Lady Mae untuk mencegah. Tapi Lady Mae sudah bergerak lebih dulu. Gerakannya terlalu mengejutkan sehingga Uka terperanjat. Orang yang tidak kenal senjata seperti dia, bisa berbahaya hanya karena terkejut. Begitulah yang terjadi. Pistolnya bergerak. Larasnya menuding ke dada Lady Mae. Jarijarinya yang gemetar menggerakkan picu secara tak sengaja. Dor!
"Aduh!" jerit Lady Mae. Dia mendekap dadanya sendiri. Mulutnya menyeringai bagai menahan sakit. Tubuhnya limbung dan terguling.
Bunyi letusan itu cukup keras. Hampir bersamaan waktunya dengan bunyi gelas pecah di arah punggung Lady Mae.
"Mae!" Jeritan itu terdengar bersamaan antara yang diserukan lpong dan yang diteriak_ kan Uka.
lpong menangkap tubuh Lady Mae pada saatsaat yang kritis. Untunglah dia tidak terlambat
sehingga tubuh Lady Mae tidak sampai membentur lantai bagai batang pisang tumbang. Kedua tukang ojek itu bergerak sigap. Mereka melompat menyerbu Uka.
Uka sendiri telah membanting pistotnya ke tanah. la menunduk hendak menubruk Lady Mae. Tapi tangan-tangan tukang ojek meringkusnya. Uka meronta.
"Lepaskan! Lepaskan! " serunya. "Mae! Mae! Ya, Allah! Mae!"
Betapa pun Uka meronta, tukang-tukang olek itu terlalu kuat baginya. Semakin keras dia meronta, semakin sakit terasa sendi-sendi bahunya, di lutut dan siku, juga di kulit lengannya.
Ipong bangkit bagai singa meradang. Dia menghampiri Uka. Tiniunya kecil. Tapi bila dilun
curkan dengan segenap kemarahan yang pernah dipunyainya, tinju kecil itu memuat wajah Uka tengadah sesaat oleh hantaman keras Bahkan hidung Uka keluar darah.
"Kamu mencelakakannya! Kuhajar kau!"
lpong belum puas meninju cuma sekali. Dia akan menghajar habis setan kecil di hadapannya. Tapi tukang ojek menghindarkan bahaya itu. Ada yang menghalangkan punggungnya sehingga tiniu Ipong mendarat di situ.
"Sabar, Pong! Sabar!"
"Jangan ngawur, Pong! Istighfar, dong!"
"Sudah! Sudah!" seru Pak Wisnu yang baru bangkit dari kesima yang membuatnya hanya bisa tegak bagai patung belaka.
Sementara itu, perempuan pembantu meniin
jing kainnya seraya berlari kesana kemari hingga suasana semakin hingar bingar. Dia tidak bisa mengerjakan apa apa kecuali mondarmandir dan berseru seru dengan kalimat-kalimat pendek, cepat, dan bunyinya entah apa.
"Bego! Pelor kamu cuma mecahin gelas!" seru Lady Mae tiba-tiba seraya meloncat bangun.
"Mae!" Lagi, panggilan itu diserukan oleh lpong dan Uka dalam duet yang kompak. Tapi nadanya sama, suara kedua.
"Kalau aku nggak pura pura kena, kamu nggak mau membuang pistolmu, tahu?"
Uka menghela napas lega.
"Aku nggak sengaja nembak kamu, Mae," katanya penuh sesal.
"Kalau sengaja, nggak waras, lu!"
"Aku kaget."
"Makanya jangan sok jago! Tentara saja nggak belagu kayak kamu! Memang kamu apaan? Pistol dari mana, tuh?
"Aku aku bermaksud membalas dendam."
"Ngapain begitu? Ipong saja tenang-tenang, nggak berantakan kayak kamu!"
"Setia kawan, Mae."
"Bantuin lpong ngurus adik-adiknya kalau kamu setia kawan!"
Ketika Kaki Keke Kaku Karya Bung Smas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku juga begitu. Aku minta sumbangan sama Pak Wisnu."
"Kamu nggak minta! Ngrampok!"
Uka diam. Kehabisan kata-kata untuk membela diri. Cengkeraman di lengannya mengendur dan akhirnya lepas.
" kamu yang namanya Lady Mae?" tanya Pak Wisnu.
"Ya, Oom. Maaf, teman saya ngamuk di sini."
"Ya, ya. Kamu sudah bikin segala macam. Temanmu sering cerita sama Oom;"
"Siapa, Oom?"
"Naomi. Sebentar lagi dia juga pasti datang. Dia sedang njemput anak Oom."
"lni lpong. Oom."
"Ya, ya. Naomi sudah cerita semuanya." Pak Wisnu mengulurkan tangannya ke arah Ipong. "Saya mohon maaf. Anak saya telah membuatmu menderita."
lpong memandangi tangan itu. Wajah itu. Mata itu. Pak Ndut itu. Lalu dia menangkap ketulusan Pak Wienu dalam pernyataan maafnya. lpong memang pernah mendendam. Pernah berniat akan menghajar orang yang menorehkan penderitaan batin kepadanya. Tapi iman yang adadi.dadanya,nalar yang ada di kepalanya, mencegah semua itu. Dia bisa menguasai diri, lalu memahami nilai-nilai baik yang pernah diajarkan mendiang bapaknya. Memahami ajaranajaran agama panutannya dengan pengertian yang mendalam. Itu sebabnya dia yang masih belia tak sampai dikuasai oleh nafsunya. oleh kecenderungan buruk yang mengalir bersama darah' mudanya.
Dia menyambut uluran tangan itu. Hangat sekali, ikhlas sekali, penuh maaf, dan dendam itu menguap ke mana-mana bersama megamega putih di atas Kali Malang.
Jabat tangan itu disertai juga dengan pelukan.
Pak Wisnu menepuk-nepuk punggung Ipong sambil memeluk anak itu.
"Tabah, Nak. Tabahlah! Relakan yangtelah pergi supaya langkahnya tenang."
"Terima kasih, Pak."
"Jangan cemaskan masa depanmu. Bapak sudah merencanakannya. Yah siapa tahu kau bisa bersaudara dengan anakku ...."
Ipong menangis. Dia bukan anak cengeng. Ketika duka mereiamnya habis habisan pun dia tidak meneteskan air mata. Tapi kata-kata lembut yang diuraikan oleh hati yang tulus itu, meruntuhkan benteng hatinya. Dia terisak-isak. Seingatnya, sudah belasan tahun dia tak pernah menangis. la malu karena kini mengisak bagai anak kecil yang melabuhkan segala lara ke pangkuan ayah tercinta. Tapi itu sungguh terjadi. lpong pun tidak tahu bagaimana mulanya sam pai hatinya runtuh dan bermuara dalam pelukan Pak Wisnu.
Uka terlongoh-longoh. Pistolnya tergeletak di atas tanah. Itu hadiah dari pamannya yang jadi pelaut, Dibeli di Kanada, diselundupkan dengan cara yang tidak terpuji. Pamannya bilang itu alat bermain supaya Uka meniadi lelaki yang gag ah. Tapi pamannya tidak mampu menduga apa yang bakal terjadi jika seorang lelaki belia yang berangasan memiliki senjata. Meskipun pelornya hanya kecil, luncurannya mengerikan karena dilontarkan dengan semburan 002. Dan pemilikan senjata itu sungguh dilarang.
Ada bunyi mobil berhenti di depan rumah. Ada bunyi langkah langkah berderap di teras. Lalu
pintu terbuka. Uka terlonjakl Dia tampak panik.
"Saya akan ditangkap!" keluhnya.
"Tidak. Mereka bukan polisi." sahut Pak Wisnu seraya melepaskan pelukannya. "itu anak saya dan teman kalian."
Benar juga. Ada Vldo, ada mamanya ada Naomi, dan seorang lagi anak muda sebaya Ipong. Dia kurus dan dekil. Bajunya pun kotor. Matanya cekung.
"Papaaaa! " Dia berseru dan menghambur ke pelukan papanya. "Maafkan Vidi, Pa
"Ya, ya. Semuanya sudah selesai. Selesai ...."
"Mae! Aku sudah melakukan apa saja sebisaku!" kata Naomi. "Kalau masih salah juga, aku nggak bisa ngomong, deh!"
'"Kau keterlaluan! Kejutanmu kampungan!" sembur Lady Mae.
Kedua tukang ojek itu merasa tidak diperlukan lagi. Mereka saling pandang. Dalam kegaduhan itu, masing-masing merasa betapa buruk dan dekil dirinya, betapa kecil dan tak berharga. Lalu tak ada yang memulai, tak ada yang bicara, tibatiba keduanya mengundurkan diri. Tak ada yang sempat melihat mereka. Hanya pembantu yang sedang menutup pintu gerbang menegur mereka. Dan kepada pembantu orang yang mereka anggap setara dengan diri mereka ke duanya berpamitan. Persoalan yang membuat Uka jadi koboi, mereka sungguh tidak tahu. Tapi Uka dan Ipong memang teman mereka kongkow. Pada malam Minggu mereka sering begadang bersama sambil main gaple. Yang kalah digan. tungi baterai kupingnya. Dalam situasi tertentu
semacam ini, mereka tidak lagi berpikir secara bisnis. Bahwa sekian jam waktu mereka tersita hanya untuk menyaksikan koboi koboian. Dan agaknya orang orang semacam mereka lebih tahu akan kemanusiaan, akan pengertian dalam kebersamaan.
Di bagian belakang rumah besar itu, Ipong sedang memandangi anak muda kurus yang berpelukan dengan ayahnya.
"Serahkan Vidi ke polisi, Pa," kata anak muda kurus dan dekil itu. "Vidi tidak bisa lari lagi. Vidi akan menyerah. Rasa berdosa itu mengejarngejar, Pa. Tidak bisa hilang kalau Vidi belum menerima hukuman atas kesalahan itu ...."
"Tenangkan hatimu. Tenangkan dulu! Itu Lady Mae. Kau sudah dengar tentang dia dari kakakmu?"
Anak muda kurus itu memandangi Lady Mae.
"Halo!" sapa Lady Mae seraya mengulurkan tangan.
"Ya," sahut Vidi seraya menyambut tangan itu.
"Dia sudah lari ke-mana-mana," kata Pak Wisnu kepada semua yang belum tahu tentang Vidi. "Dia bersembunyi sampai ke Maluku, Pontianak, Medan, Bengkulu. Tapi akhirnya dia memutuskan untuk pulang. Naomi, Vido dan mamanya, baru menjemputnya di Tanjung Priok. Lihatkeadaannya. Dulu dia bersih dan montok. Dia seperti kakak dan adik-adiknya, bukan berandalan dan sokvsokan. Dia pelajar yang baik. Malam itu dia melihat seorang ibu tua yang menggendong anaknya dijambret. Ibu tua dan
anak tersebut terpelanting ke jalan, Vidi ingin mengelar peniahat bermotor yang menjambret. Rupa-rupanya waktu itu ayah Ipong pun berlari mengeiar kendaraan. Dia terlalu ke tengah. Kecelakaan itu teriadi. Mari kita ke kantor polisi untuk membuktikan kebenaran cerita ini. Pen jambret itu sudah tertangkap."
Ipong memandangi Vidi. Itukah wujud pembunuh ayahnya? Oh, pembunuh! Kata itu terlalu keras untuk lakon yang diperankan seorang Vidi dalam usaha kemanusiaannya. Yang tampak di mata Ipong, hanya sosok kurus yang memelas. Dia. sosok kurus dekil dan bau apak itu. dulu per nah bersih dan montok. Pelariannya yang panjang dan meletihkan bagai usaha menghukum dirinya sendiri yang sia-sia. ltu mengibakan. Dia yang tentunya tak pernah hidup menderita seperti Ipong, kini tampil bagai gelandangan setelah melalui proses penyiksaan diri sendiri karena rasa bersalah. Kini dia menyerah. Akan menerima apa saja hukuman untuknya. Mungkin dia akan dipenjara. Terkucil dari kehidupan ramai, dari segala keceriaan keremaiaannya. Lalu bagaimana? Puaskah Ipong setelah menyaksikan sosok gelandangan bau apak itu masuk bui?
Ipong menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tidak. Tidak sampaibegitu," katanya. bagai menjawab pertanyaan dirinya sendiri ketika ia membayangkan sosok kurus itu berada di balik terali besi. "Saya dan keluarga saya tidak akan menuntut siapa pun. Musibah itu kami terima sebagai takdir Tuhan. Biarlah Bapak tenang di
alam baka. Tidak ada perkara apa apa lagi yang ditinggalkannya. Hanya amal dan doa anaknya yang bisa sampai ke tempatnya. Tidak, tidak sampai ke polisi. Cukup di sini saja."
"Tapi saya bersalah," kata Vidi.
"Saya tidak tahu siapa yang salah siapa yang benar. Saya menyerahkan segalanya kepada kebesaran Tuhan. Hakim bisa salah. Polisi bisa keliru. Tuhan tidak!"
"Saya saya ."
"Saya mengerti. Kamu sudah menderita. Ada baiknya juga kamu begitu. Supaya kamu tahu tidak semua orang hidup enak seperti kamu."
Lady Mae bergidik mendengar kalimat terakhir Ipong. Oh, sampai saat ini jiwanya masih labil. Antara kesadaran akan kebesaran Tuhan dan dendam sulit dipisahkan.
"Ayo kita duduk-duduk di dalam," Sela mama Vidi. Ia ingin menyingkirkan anaknya dari siksa kata-kata Ipong. "Kamu mandi dulu, Vid! Beristirahat dulu. Nanti cerita lagi."
Ipong menghela napas panjang. Terasa olehnya sentuhan tangan Lady Mae di telapak tangannya.
"Mae." bisiknya, "apa kata-kataku ada yang salah?"
"Nggak banyak. Nggak perlu koreksi."
"Aku iba lihat keadaannya, Mae. Mungkin nggak begitu kalau aku lihat ia necis."
"Mana taman_teman kita tukang ojek itu?"
"Oh, ya. Ke mana mereka?"
"Tadi sudah pulang, Oom. Pamitan sama
Pembantu itu sudah muncul rupanya. Dia menunggu kesempatan melapor tentang tukang ojek itu.
"Saya saya mohon maaf."
Semua orang berpaling ke arah Uka. Dialah yang mengumumkan pernyataan maafnya itu. Kepalanya menunduk. Dia seperti anak kebanyakan ,yang takut dan menyesal. Kegarangan seorang koboi berang tidak lagi tampak dari dirinya.
"Tidak apa-apa," kata Pak Wisnu penuh pengertian. "Tapi senjata itu jangan kaubawa lagi. Simpan saja di sini. Nanti kalau kita sudah sudah santai, Oom akan menyerahkannya ke polisi. Kita bukan orang-orang yang berhak menyimpan benda itu."
"Tapi itu bukan senjata api, Oom/f
"Namun tetap berbahaya bagi orang lain. Jangan main-main dengan benda begitu kalau kau tidak ingin jadi bandit."
"Ya, Oom." '
"Rasa setia kawanmu hebat. Tapi tindakanmu sama sekali tidak terpuji. Oom tidak melaporkanmu ke polisi karena Oom tahu kau belum jadi bandit sungguhan. Kau anak nakal. Oom tahu itu senjata apa. Lubang larasnya terlalu kecil untuk senjata api. Tapi biar begitu, dia sudah bikin kepala Keke luka. Kalau peluru itu masuk ke batok kepala di bagian otak, bisa kaubayangkan akibatnya? Untungnya peluru itu cuma menyerempet kepala Keke."
"Ya. Oom. Saya dongkol karena dari pihak Oom tidak ada yang datang ke rumah Ipong
untuk menyatakan bela sungkawa dan menyampaikan bantuan sekadarnya."
"Semula Oom tidak tahu kalau korban itu meninggal. Tidak tahu siapa korban itu, di mana alamatnya, dan segala macamnya Oom tahu itu dari Naomi. Tapi waktu itu Naomi belum banyak cerita tentang teman-temannya. Dia belum bicara juga tentang Lady Mae. Dia hanya bilang dia mengenal keluarga korban tabrak lari itu. Dia sanggup menunjukkan alamat korban dan men jamin tidak akan terjadi apa-apa jika pihak keluarga sini datang ke sana. Tapi siapa yang percaya dengan jaminan anak seumur dia? Anak perempuan, lagi! Oom khawatir akan terjadi tindakan balas dendam. Yang begitu sering terjadi, to? .Makanya Oom hanya mengirim Vido bersama Naomi. Tapi kata Naomi, Lady Mae curiga. Naomi bilang itu bisa membahayakan karena Ipong dan keluarganya bisa tahu siapa Vido. Makanya Oom minta supaya Naomi merahasiakan tentang Vido dan keluarga kami untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan. Tentang kamu yang nembak Oom di Duren Jaya, Naomi tidak tahu. Tapi belakangan dia yakin kau pasti teman Ipong. Cuma dia tidak tahu kawan Ipong yang mana."
"Nah, tu! Jangan keki lagi sama ogut dong, Mae!" sela Naomi.
"Kau pengkhianat! Kamu kan dari pihak sini? Kau lari ke pihak situ dan jadi mata mata! Brengsek kamu!"
Naomi tertawa.
"Tadinya aku sih nggak mau main rahasia
rahasiaan! Habis kamu budek. Biasanya kamu rajin baca surat pembaca di koran ini juga enggak! Rasain! Sekalian kukerjain aja!"
Lady Mae sungguh dongkol pada Naomi Tapi apanya yang menyebalkan dari si Serba Tahu itu? Tak ada. Dia tetap menyenangkan, meskipun selalu saja bikin keki.
Ada suara gaduh lagi di luar. Ada rombongan yang datang lagi. Pembantu melapor tentang tamu tamu itu.
"Itu Sheila!" seru Lady Mae. "Mereka pasti dari rumahku!"
Semuanya bergegas ke depan. kecuali Vidi dan mamanya. Sheila dan rombongannya berada di teras. Hafiz tetap menjadi sopir kom panyon yang setia. Dia memandangi Naomi, lupa harus menghormat pada tuan rumah.
"Jadi kamu di sini melulu? " tanyanya sengak.
"Nah! Kak Hafiz sudah kena racun!" sahut Naomi. Lalu berpaling ke arah Sheila. "Kamu jangan su'udhon, dong! Harus khusnudhon! Tahu apa artinya? Kalau enggak, tanya tuh sama anak Arab!"
"Mae! Kamu baik-baik saja?" tanya Jipi.
"ih! Bahasamu maut! Kamu dari mana saja sampai ke sini?"
"Setelah ngumpulin anggota, langsung ke rumah kamu. Dari situ ke rumah lpong, lalu ke rumah Uka. Katro lihat sepeda kamu di tukang rokok. Lalu tanya-tanya. Ada tukang ojek yang bilang kamu di sini. Dia juga baru dari sini katanya. Baru nangkep koboi ngamuk!"
"Pelornya masuk ke dadaku, tembus pung.
gung, lalu mecahin gelas!"
"Kok kamu nggak mati, Mae!"
"Bego! Kalau aku mati, siapa yang mandiin dan nyuapin kamu?"
"Sialan!"
"Jadi Ini yang nguber-uber kita, Na?" tanya Vido kepada Naomi seraya memandangi Hafiz.
"Ya, Kak. Itu dia rampoknya. Yang itu asistennya. Namanya Sheila. Dalam kompanyOn kami dia jadi duta untuk negara-negara Arab. Soalnya dia keturunan Fir'aun!"
"Kira-kira, Na! Dosa kamu belum ditebus, sudah nyakitin anak Abah lagi! Awas kamu! Kalau nenek moyangku marah, nggak bisa makan kurma, lui"
"Kamu harus nelepon Oom, Mae!" Maestro mengingatkan. "Oom dan Tante panik karena kamu kabur!"
"Oh, ya! Mau pinjam teleponnya, Om!"
"Mari! Itu di sana!"
' Lady Mae menghubungi rumahnya dengan pesawat telepon itu. Yang mengangkat gagang telepon Papa. Sapaan halo yang diucapkan Papa bernada tinggi. Nyata Papa tegang dan gitgup.
"Halo, Pa! Mae belum sholat maghrib, nih! Sori ya, Pa!"
"Hei Soal sholat bukan urusan Papa. itu urusan Mae sama Tuhan! Kalau Mae sholat karena Papa. neraka dong bagiannya! Mae baik baik saja?"
"Masih utuh, Pa! Cuma keringatan, nih! Habis nonton film koboi!"
"Di mana?"
"Di rumah Oom Wisnu! Seru, Pa! Anehnya, pelor koboi itu ada yang ioncat ke penonton! Untung cuma kena gelas!"
"Mae! Kamu ngomong apa, sih?"
"Aduh, Papa! Mae lagi mbaik-baikin Oom Wisnu! Siapa tahu nanti beliau akan ngasih order nggambar bangunan buat Papa. Komisinya jangan lupa, Pa! Mae mau beli lem. Bangunan yang lagi Mae kerjakan kehabisan bahan!"
"Kaiau mau ke mana-mana, ngomong sama Mama atau Papa yang benar, ya? Tadi kau bikin Papa bingung. Mama malah sudah nangis! Papa marah. nih! Marah besar sekail!"
"Oke, Pa! Nanti Mae dijewer, ya?"
"Iya, dong! Anak nakal harus dihukum! Supaya dia tahu dijewer itu nggak enak kayak tempe bacem!"
"Daaaah, Papaaaaa! Sun jauh, Pa!"
"Nggak mau! Papa lagi ngambek!"
Lady Mae meletakkan gagang telepon.
"Gawat! " katanya. "Pacar lagi ngambek, nih!"
"Pacar siapa, Mae?" tanya Keke yang sejak tadi tidak punya kesempatan ngomong.
"Pacarnya Mama!"
"0, kirain pacarnya sapi!"
"Jadi semuanya sudah beres, Tuan-tuan?" kata Lady Mae seraya bertepuk tangan seperti minta perhatian hadirin dalam sebuah pertemuan yang kacau. "Bagaimana ka|au acara kita lanjutkan dengan makan malam? Saya lapar, nih!"
Kaget. Semuanya tidak menduga Lady Mae
akan ngomong begitu. Tapi jam makan malam memang sudah lewat. Hidangan belum tersedia.
"Ooo, kita ke restoran saja! " seru Oom Wisnu.
"Nggak usah, Oom. Di sini saja. Ngobrolnya kan enak."
"Kalau begitu, biar Bibi beli makanan saja. Kalian mau makan apa?"
"lni saja, Oom!" seru Lady seraya menuding Hafiz. "Dia kan sopir kompanyon kami. Dia selalu patuh pada tugasnya. Dia saja yang belanja ke restoran. Daripada di sini main pelototpelototan sama Kak Vid melulu!"
"Kamu brengsek, Mae! Biangnya orang brengsek di seluruh pelosok dunia!" geram Hafiz.
"Jangan ngambek. Nanti Kak Hafiz boleh nganterin Naomi, deh!"
"Hus! "
"Memangnya Naomi akan ikut pulang?" tanya Keke. " Katanya dia sudah indekos di sini?"
"Kamu ngurus kakimu saja. Ke! Nggak usah ikutan urusan orang dewasa!" ledek Lady Mae.
"E! Kakiku kagak pernah kaku lagi! Gara gara ada yang nembak, kakiku kuatir kalau mau kaku!" '
"Nah! Itu cara baru menyembuhkan kaki kaku, ya? Tembak aja kepalanya, maka kaki kaku akan kapok kentan!"
Sheila mendekati Naomi.
"Jadi kamu mau ikut kami pulang, Na?" tanyanya penuh harap.
"Iya, dong!"
"Kirain kamu sudah pindah ke sini!"
"Kontraknya sudah habis! Harus balik lagi jadi orang miskin!"
Tidak apa jadi orang miskin. Pokoknya dia bisa gembira. Bisa apa saja bersama temantemannya. Makan enak dengan hidangan dari restOran' besar di rumah mewah begini dia juga bisa. Kamu belum tentu! Sori. aja!
Tamat
Misteri Penculik Asmara 1 Pendekar Pulau Neraka 30 Dewi Asmara Darah Pedang Asmara 2