Pencarian

Masih Ada Kereta 3

Masih Ada Kereta Yang Akan Lewat Karya Mira W Bagian 3


"Dan tidak nyetir," Arini tersenyum pahit. "Su-
dahlah, tidur saja. Besok pagi kamu sudah
segar."
"Kamu mau ke mana?" Nick meraih tangan
Arini.
Agak terlalu kuat sampai Arini terhuyung dan
jatuh ke tempat tidur. Nick menangkapnya dan
memeluknya mesra.
"Jangan, Nick," pinta Arini sambil meronta
lepas. "Kamu mabuk!"
"Aku menginginkanmu, Arini."
"Jangan, Nick. Jangan nodai diriku!"
Sesaat Nick tertegun. Dan Arini memakai ke-
sempatan itu untuk melepaskan diri.
"Cinta tidak pernah mengotori, Arini. Aku
akan mengembalikan kepercayaanmu pada
cinta."
Barangkali Nick sedang setengah mabuk. Ba-
rangkali kata-katanya tidak serius seperti biasa.
Tetapi ketika mendengar kata-katanya yang
pustaka-indo.blogspot.com
19 terakhir, Arini tidak dapat menahan air matanya
lagi. Melihat wanita itu menangis, Nick merasa
ikut terharu.
"Sekarang aku tahu," cetusnya lantang. "Aku
betul-betul mencintaimu! Ketika melihat air mata-
mu, aku jadi ingin menangis! Itu tandanya cinta,
kan?"
Mau tak mau Arini jadi ingin tersenyum. Di-
tatapnya anak muda itu dengan air mata ber-
linang. Dan tiba-tiba saja Arini sadar, dia sudah
jatuh cinta.
"Itu tandanya kamu masih anak-anak, Nick,"
katanya lembut. "Lelaki dewasa tidak mena-
ngis."
"Kalau begitu, dewasakanlah aku, Arini."
Kata-kata Nick sangat sederhana. Diucapkan
seperti main-main. Tetapi Arini sangat trenyuh
mendengarnya.
"Kamu sudah dewasa, Nick."
Ketika mendengar Arini mengucapkan peng-
akuan itu, Nick melompat dari tempat tidurnya.
Tetapi karena alkohol masih menguasai separuh
tubuhnya, dia terhuyung hampir jatuh. Buru-
buru Arini merangkulnya. Dan karena tubuh
Nick lebih berat, mereka sama-sama jatuh ke
tempat tidur.
Kehangatan tubuh wanita itu merangsang
gairah Nick. Otaknya yang masih diselimuti busa
alkohol tidak dapat berpikir lagi. Apalagi ketika
dia merasa Arini menanggapi sentuhannya.
Barangkali cuma ilusi. Akibat pengaruh minuman
pustaka-indo.blogspot.com
170 keras. Tetapi Nick merasa dia tidak bertepuk
sebelah tangan lagi.
Tubuh Arini menyambut panggilannya. Biar-
pun nalarnya menolak. Tubuh itu seperti me-
nyerah dalam dekapan hangatnya. Bahkan meng-
geliat dalam panasnya gairah yang berkobar.
Tetapi jika Nick mengira dia dapat meruntuh-
kan moral Arini, dia keliru lagi. Arini masih
tetap menolak. Meronta. Melepaskan diri.
Ketika dia tidak mampu melepaskan pelukan
erat Nick, dia memohon. Dengan suara yang
membuat Nick rela melakukan apa saja. Ter-
masuk mengekang keinginannya untuk memiliki
wanita itu.
"Jangan kotori diriku sebelum aku jadi milik-
mu, Nick."
Nick tertegun. Dia seperti dibangunkan dari
mimpi indah. Dilihatnya Arini sedang menatap-
nya dengan air mata berlinang.
"Kalau ada perkawinan, biarlah mahligai per-
kawinan kita sesuci yang kubayangkan sebelum
suamiku datang menodainya."
Nick langsung melepaskan pelukannya. Dia
menghormati prinsip Arini. Kekagumannya
kepada wanita itu malah semakin bertambah.
"Oke," katanya tegas. "Aku akan menunggu."
"Terima kasih, Nick." Arini membelai kepala
Nick dengan lembut. "Sekarang tidurlah."
Diselimutinya tubuh Nick yang sudah ber-
baring tenang di tempat tidurnya. Dikecupnya
dahinya dengan hangat.
pustaka-indo.blogspot.com
171 Ketika Arini hendak mematikan lampu, Nick
memanggilnya. Arini menoleh.
"Boleh buka baju?"
Sesaat Arini tertegun. Tidak tahu ke mana arah
pembicaraan Nick.
"Aku tidak biasa tidur pakai baju. Kamu tidak
keberatan tidur sama lutung nanti?"
Arini tidak menjawab. Dia hanya tersenyum.
Dan memadamkan lampu.
pustaka-indo.blogspot.com
172 AKU akan mengembalikan kepercayaanmu pada
cinta.
Kata-kata Nick tak mau hilang juga dari benak
Arini. Kata-kata itu sangat dalam menusuk hati-
nya. Benarkah anak muda seumur dia mampu me-
ngembalikan kepercayaannya kepada cinta?
Justru lelaki yang sebaya dengan dirinya telah
mengotori kepercayaannya kepada cinta dan per-
kawinan!
Nick lebih muda dari Helmi. Tetapi dia mau
belajar mencintai dengan cinta yang tulus. Kalau
mereka saling mengerti, saling mencintai, apa
artinya perbedaan umur?
Dia sudah janda. Nick masih perjaka. Jika me-
reka menikah, tidak ada yang dirugikan.
Dia bukan Ira. Nick bukan Helmi.
15 pustaka-indo.blogspot.com
173 Dan Arini tertegun. Tidak jadi menarik napas.
Angka-angka di layar komputernya membuat
napasnya sesak.
Kalau benar dugaannya, sebagai manajer bagi-
an promosi, Helmi telah menyelewengkan sekian
puluh juta uang perusahaan dalam masa jabatan-
nya yang baru tiga tahun itu!
Dulu Arini pernah memegang jabatan itu. Dia
tahu cara kerja perusahaannya. Tahu bagaimana
hubungan mereka dengan biro iklan yang biasa
mempromosikan produk perusahaan mereka.
Karena itu tidak sulit baginya mencium penye-
lewengan Helmi. Apalagi dia punya motivasi yang
lebih kuat. Bukan hanya sebagai atasan yang
bertanggung jawab saja. Ada alasan lain! Alasan
pribadi!
Arini mulai menyelidiki lebih cermat. Bukan
hanya dari angka-angka. Tapi juga menyelidiki
kehidupan pribadi Helmi.
Sekarang dia tahu, Helmi punya mobil pribadi
yang bagus. Rumah baru yang terletak di kawas-
an mewah. Arini juga tahu istri Helmi boros.
Kata orang dia suka sekali shopping barang yang
bagus-bagus. Bahkan sampai ke luar negeri.
Cukupkah gaji Helmi membiayai semua itu?
Atau dia terpaksa mengorupsi uang kantor?
Karena Arini tahu, biaya promosi tidak kecil.
Dan tanpa pengawasan yang ketat, mudah sekali
menyelewengkannya. Uang memang manis. Dan
kalau besar pasak daripada tiang, Helmi akan
tergoda untuk mengambil uang yang bukan mi-
liknya!
pustaka-indo.blogspot.com
174 ?? Sebenarnya Helmi sendiri sudah tidak betah be-
kerja di bawah Arini. Bagaimana bisa meningkat-
kan eisiensi kerja kalau mereka tidak bisa be-
kerja sama? Hampir semua hasil kerjanya dicela
Arini. Kalau ditegur, dimarahi, jangan ditanya
lagi.
"Tidak ada kenaikan yang seimbang di sektor
ini!"
"Dana promosi tidak relevan dengan kenaikan
permintaan obat di area ini!"
"Kalkulasikan lagi biaya iklan untuk produk
baru ini! Masuk tidak?"
Sekarang ada kabar angin lain. Kabar yang me-
ngerikan.
Arini sedang membentuk komisi khusus untuk
memeriksa pembukuan di bagian pemasaran.
Khususnya bidang promosi.
Padahal biasanya itu urusan akuntan perusaha-
an yang sudah kenal baik dengan Helmi. Cukup
tanda tangannya saja. Semua sudah beres.
Diam-diam Helmi merasa takut. Arini bukan
orang bodoh. Pengalamannya di bidang promosi
cukup banyak. Dia dulu menduduki jabatan
manajer bagian promosi. Segala seluk-beluk pro-
mosi dia sudah tahu.
Dan komisi yang dibentuknya terdiri atas tiga
orang akuntan independen. Yang tidak dikenal
Helmi. Dan tidak dapat dipengaruhinya.
Bukan itu saja. Arini punya dendam kesumat.
Punya ambisi untuk menjatuhkan Helmi.
pustaka-indo.blogspot.com
175 Sebenarnya lebih baik jika Helmi buru-buru
mengundurkan diri saja. Tetapi kalau berhenti,
dia harus mulai dari bawah lagi.
Mencari pekerjaan tidak gampang. Apalagi di
tempat yang basah seperti ini. Tidak usah korup-
si sebenarnya uang terima kasih yang diterimanya
saja sudah cukup besar. Biro iklan tahu sekali
bagaimana menyuap Helmi supaya produknya
diiklankan melalui mereka.
Arini juga pasti tidak mau memberikan surat
rekomendasi yang dibutuhkan. Jangan-jangan dia
malah tidak mau berhenti menyelidiki Helmi
walaupun dia sudah mengundurkan diri!
Helmi takut tidak dapat lagi membiayai rumah
tangganya kalau berhenti kerja. Istrinya boros.
Anak bungsunya sakit.
Gagal ginjal, kata dokter. Mesti cuci darah dua
minggu sekali.
Belakangan malah makin kerap. Dan biayanya
sangat mahal.
Helmi sudah pernah berniat minta tolong pada
Arini. Mengemukakan kesulitannya. Dia sudah
datang ke rumah atasannya. Tetapi Arini meng-
usirnya mentah-mentah.
Helmi malu kalau harus datang lagi minta
tolong. Karena malu, dia malah belum mencerita-
kan kepada istrinya siapa atasannya sekarang.
Ira baru tahu ketika mereka menghadiri resep-
si pernikahan anak Pak Rekso.
"Arini!" cetus Ira heran ketika dia mengenali
wanita berpakaian rapi itu.
Dia hampir tidak memercayai matanya. Wanita
pustaka-indo.blogspot.com
17 berpakaian mahal yang sikapnya sangat anggun
dan arogan itu benar-benar Arini Utomo, bekas
sahabatnya!
Helmi langsung menyenggol rusuk Ira.
"Ssst, panggil Ibu!" bisiknya kaku. "Dia seka-
rang atasanku!"
Kalau tadi mata Ira terbelalak melihat penam-
pilan Arini, kini matanya malah hampir
melompat keluar mendengar bisikan suaminya.
"Kenalkan, Bu, istri saya," kata Helmi ter-
paksa.
Di sana ada rekan-rekannya. Ada Pak Rekso.
Dia harus bagaimana lagi?
Mendidih darah Arini mendengarnya. Jadi
mantan suaminya sudah menikah lagi. Dengan
Ira! Bekas sahabat yang menghancurkan rumah
tangganya!
Arini tidak mau berbasa-basi lagi. Persetan
dengan Pak Rekso! Persetan dengan bawahannya!
Dia tidak mau bersandiwara. Tidak di depan
setan-setan ini!
Arini tidak mau mengulurkan tangannya. Dia
hanya menatap Ira dengan dingin.
Ira juga tidak. Dia masih termangu mengawasi
Arini. Belum dapat menerima kenyataan itu. Ke-
nyataan yang serba terbalik!
Helmi-lah yang memaksanya menegur Arini
lebih dulu. Karena dia yang merasa paling serba-
salah.


Masih Ada Kereta Yang Akan Lewat Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terpaksa Ira menyapa. Alangkah kakunya me-
manggil "Ibu" kepada bekas sahabatnya! Tapi
mau apa lagi?
pustaka-indo.blogspot.com
177 Arini sendiri pura-pura tidak kenal. Atau me-
mang dia tidak mau mengenal mereka lagi!
Arini yang mereka kenal sudah mati! Pintu
masa lalunya telah tertutup!
Akhirnya Ira tidak tahan lagi. Dia mengajak
Helmi pulang. Pura-pura sakit kepala. Atau me-
mang kepalanya benar-benar sakit. Bukan kepala-
nya saja. Hatinya juga.
"Enak dong ya, punya atasan bekas istri!" be-
gitu sampai di mobil, Ira sudah mengoceh.
Barangkali pelarian untuk menutupi sakit hati-
nya. Kedudukannya sekarang bahkan lebih ren-
dah dari Arini. Bekas sahabatnya yang dulu di-
pandangnya sebelah mata!
"Pantas sekarang kamu sering pulang terlam-
bat!"
"Jangan melantur!" damprat Helmi kesal.
Dia sendiri stres. Tertekan. Terhina. Tidak per-
lu ditambah lagi!
Dan sejak malam itu, Ira memang tidak henti-
hentinya menggerutuinya. Menyindir. Menghina.
Sampai Helmi merasa bosan. Putus asa.
Ketika Ira diceraikan Hadi, hanya beberapa
bulan sesudah Helmi bercerai, mereka langsung
menikah.
Akhirnya Hadi tahu penyelewengan istrinya.
Meskipun bukan dari Arini. Entah dari mana dia
mendengarnya. Hadi membawa kedua putranya.
Marga diserahkan kepada Ira, setelah Ira sendiri
mengakuinya sebagai anak Helmi.
Tahun-tahun pertama, Helmi sangat bahagia.
Akhirnya dia dapat juga memiliki wanita yang
pustaka-indo.blogspot.com
178 dikasihinya. Dia melimpahi Ira dengan harta.
Mobil baru. Rumah bagus. Dan uang untuk me-
menuhi hobi shopping-nya.
Karena gajinya tidak cukup, dia mulai mencari
tambahan. Dan sejak tiga tahun yang lalu, dia
punya sumber keuangan yang bagus di kantor.
Apalagi sekarang yang butuh uang bukan hanya
istrinya. Anaknya juga.
Dia baru tersentak ketika Arini muncul. Dan
Arini mencium penyelewengannya.
?? Akhirnya Helmi memutuskan untuk berhenti.
"Aku sudah tidak tahan lagi," katanya di de-
pan Ira. "Aku akan mengundurkan diri."
"Lalu kita mau makan apa?" Ira hampir men-
jerit.
Tetapi memang bukan makanan yang dikha-
watirkan Helmi. Kalau hanya mencari sesuap
nasi, dia masih sanggup.
"Saya khawatir hemodialisis sudah tidak dapat
menolong lagi, Pak," kata Dokter Syarif waktu
Helmi mengantar anaknya untuk cuci darah yang
terakhir kali. "Creatinin clearance-nya sudah
melampaui ambang yang bisa ditolerir."
Tiga tahun anaknya harus menjalani cuci da-
rah. Karena penyakit ginjal kronis yang diderita-
nya akhirnya masuk ke tahap terakhir. Gagal
ginjal.
pustaka-indo.blogspot.com
179 Sekarang bahkan cuci darah pun tidak dapat
menolongnya lagi!
"Apa lagi yang dapat dilakukan, Dok?" tanya
Helmi gemetar menahan tangis.
"Barangkali cuma transplantasi ginjal yang da-
pat menolongnya. Donornya bisa berasal dari
donor hidup. Atau dari mayat. Tetapi karena
antrean donor cukup panjang, padahal kondisi
anak Bapak sudah sangat mengkhawatirkan,
kami menyarankan donor hidup."
"Donor hidup?" Helmi menelan ludah dengan
sulitnya. Seolah-olah ludahnya tiba-tiba berubah
menjadi pulut yang sangat lengket.
"Manusia bisa hidup dengan satu ginjal saja,
Pak."
"Bagaimana kalau ginjal saya, Dok?"
"Kalau anak Bapak tidak punya saudara kem-
bar, memang organ dari orangtua kandung yang
paling diharapkan."
"Kalau begitu ambil saja ginjal saya, Dokter!"
"Kita harus melakukan serentetan pemeriksaan,
Pak. Apakah ginjal Bapak yang satu lagi cukup
sehat. Apakah ginjal Bapak tidak ditolak jika di-
cangkokkan ke tubuh anak Bapak. Ada serangkai-
an tes yang harus dilalui untuk membuktikan
organ yang didonorkan itu sesuai dengan tubuh
resipien."
pustaka-indo.blogspot.com
180 SEJAK semula Arini sudah tidak mau pergi. Dia
terkejut sekali ketika Nick mengajaknya menemui
orangtuanya.
"Kamu ceritakan hubungan kita kepada me-
reka?" Arini tersentak kaget.
"Memang kenapa?" balas Nick, santai seperti
biasa. "Aku bilang pacarku janda yang lima belas
tahun lebih tua. Wanita karier yang hebat. CEO
pabrik obat."
"Mereka pasti bilang kamu sudah gila!"
"Aku cuma bilang, Papa juga main dengan se-
kretaris Papa yang dua puluh tahun lebih muda,
kan? Mama juga pacaran sama anak muda se-
umurku."
"Jangan keterlaluan kepada orangtuamu,
Nick!"
"Aku cuma mencoba jujur. Dan mencoba mem-
buka mata mereka."
16 pustaka-indo.blogspot.com
181 "Jangan peralat diriku untuk membalas den-
dam kepada orangtuamu, Nick!"
"Tidak mungkin aku memperalat wanita yang
kucintai."
"Kamu marah karena ibumu mencintai lelaki
seumurmu. Kamu membalasnya dengan bergaul
dengan wanita seumur ibumu."
"Mama juga bilang begitu. Hhh, teori!"
"Itu kenyataan, Nick."
"Mama menyuruhku sekolah lagi. Dia janji
akan memutuskan hubungan dengan pacarnya."
"Kalau aku jadi ibumu, aku akan berbuat be-
gitu juga."
"Kamu tahu apa jawabku?"
"Aku tidak pernah dapat menerka pikiran-
mu."
"Hubungan kita tidak dapat disamakan dengan
hubungan gelap mereka. Mereka menyeleweng.
Kita tidak. Mereka punya nafsu. Kita punya
cinta."
"Orang tidak pernah mengerti pendirianmu,
Nick. Mengapa kamu jatuh cinta padaku? Apaku
yang menarik hatimu? Aku tidak cantik. Sudah
tua."
"Kecantikanmu terletak pada keagunganmu.
Daya tarikmu justru dalam kesederhanaan yang
kamu miliki. Jangan tanya kenapa aku mencintai-
mu. Cinta bukan matematika. Tidak perlu logika.
Tidak butuh aksioma."
Arini menghela napas panjang.
"Aku tidak pernah bisa menang kalau ngo-
mong sama kamu."
pustaka-indo.blogspot.com
182 "Suatu saat aku juga akan memenangkan cinta-
mu."
Sekarang pun kamu telah memenangkannya.
Aku yang belum dapat mengalahkan diriku sen-
diri!
Ketika sedang berdandan sebelum pergi ke ru-
mah Nick, untuk pertama kalinya Arini menyesal
tidak lahir dua puluh tahun lebih lambat. Dia
harus berkutat dua jam untuk memilih pakaian
yang pantas. Untuk memoles mukanya supaya
tampak lebih muda. Ketika dia gagal juga, ingin
rasanya dia menelepon sekretarisnya. Mengajak-
nya menukar wajah mereka!
Kalau saja muka ini bisa ditukar tambah, pikir
Arini gemas sambil mengawasi wajahnya dalam
cermin. Kalau saja ada obat yang bisa membuat
wajahku dua puluh tahun lebih muda! Oh, Nick,
kenapa kamu baru datang sekarang? Kenapa
kamu tidak muncul lima belas tahun yang lalu?
Tetapi Nick malah menertawakan kekalutan
pikiran Arini.
"Sampai kapan kamu baru mau menghadapi
kenyataan? Sampai rambut kita sama-sama ber-
uban? Sudahlah, tampil saja apa adanya! Kalau
umurmu tidak bisa dipangkas, kenapa mesti
takut?"
"Aku malu ketemu orangtuamu, Nick. Mereka
pasti menghina aku!"
"Siapa yang berani menghinamu? Kamu
wanita karier yang sukses!"
"Tapi aku janda yang tidak tahu diri! Pacaran
dengan anak muda yang pantas jadi anaknya!"
pustaka-indo.blogspot.com
183 "Berapa sih sebenarnya beda umur kita? Se-
ratus tahun? Kan Mama juga sudah bilang sen-
diri, beda umur kakek-nenekku dua puluh
tahun!"
"Tapi pasti nenekmu yang lebih muda!"
"Apa bedanya? Pokoknya umur mereka
beda!"
"Kamu tidak mengerti, Nick. Dua puluh tahun
lagi, kamu masih segar. Lelaki di awal empat
puluh. Tapi aku sudah loyo! Nenek di ambang
enam puluh!"
"Ah, itu sih gampang. Minum saja jamu awet
muda. Atau operasi plastik!"
"Perkawinan tidak segampang itu, Nick!"
"Kalau mau kawin saja susahnya seperti me-
mecahkan soal matematika, mana ada orang yang
mau kawin sih? Kamu kebanyakan mikir, Arini!
Nanti malah tambah cepat tua!"
"Kalau kamu sudah pernah gagal dalam per-
kawinan"
"Perkawinanmu gagal bukan karena perbedaan
umur, kan?"
"Tapi kegagalan membuatmu lebih berhati-hati
memilih jodoh!"
"Jodoh mana bisa dipilih sih? Kalau jodohku
nenek-nenek, buat apa cari cewek ingusan?"
"Kamu memang susah diatur! Orangtuamu
pasti tiap hari mengurut dada!"
"Nggak juga," Nick tersenyum pahit. "Ayahku
mengurut paha sekretarisnya. Ibuku mengurut
kaki pacarnya."
"Jangan kurang ajar, Nick!"
pustaka-indo.blogspot.com
184 "Lho, itu kenyataan!"
"Sudahlah, kepalaku tambah pusing."
"Pasti karena takut."
"Aku memang takut."
"Biasa. Semua orang kalau ketemu camer pasti
takut."
"Ibumu galak?"
"Seperti macan."
"Ayahmu?"
"Di kantor macan. Di rumah kambing."
Macan atau kambing, apa bedanya? Mereka
pasti tidak rela menyerahkan anaknya yang ma-
sih jejaka itu ke tangan janda. Apalagi yang lima
belas tahun lebih tua!
Di depan Arini mereka memang ramah. Ibu
Nick sendiri yang melayaninya minum teh. Ayah
Nick malah kelihatan begitu tertarik pada pekerja-
an Arini. Pertanyaannya datang seperti banjir.
Tetapi di balik itu, Arini tahu, mereka cuma
pura-pura. Sekadar basa-basi.
Dari semula mereka sudah menentang keingin-
an Nick. Penolakan itu tambah kuat setelah me-
reka melihat perempuan yang digandrungi anak-
nya tidak ada apa-apanya.
?? "Pakai susuk kali!" gerutu ibu Nick setelah Arini
pulang. "Edan! Perempuan begituan kok digan-
drungi! Sama si Siti saja lebih ayu babuku
kok!"


Masih Ada Kereta Yang Akan Lewat Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pustaka-indo.blogspot.com
185 "Anakmu yang edan!" geram ayahnya sama
gemasnya. "Nggak waras! Kayak sudah tidak ada
perempuan lagi!"
Arini memang tidak mendengar semuanya.
Tetapi mendengar atau tidak, dia dapat merasa-
kannya. Dia sudah dapat menduga pendapat
mereka.
Tetapi apa salahnya? Kalau dia jadi mereka,
bukankah dia akan berbuat begitu juga?
"Mereka tidak salah," katanya ketika sedang
minum di sebuah kafe bersama Nick. "Semua
orangtua akan bertindak seperti mereka."
"Tapi tidak semua anak menuruti kemauan
orangtuanya," sahut Nick santai. "Jangan kha-
watir. Aku sudah dewasa. Aku bisa menikah
tanpa izin mereka."
"Aku ingin kamu menyelesaikan studimu
dulu, Nick."
"Begitu penting gelar untukmu?"
"Bukan untukku, Nick. Untukmu."
"Ini bukan alasan untuk menunda perkawinan
kita?"
"Aku pernah terburu-buru menikah. Dan per-
nikahanku kandas."
"Oke. Aku akan mempersembahkan jazahku
padamu. Tapi kamu juga harus janji."
"Janji apa?"
"Setelah aku memperlihatkan jazahku, kamu
harus mau menandatangani surat nikah."
Arini tidak menjawab. Karena dia tidak tahu
harus menjawab apa.
pustaka-indo.blogspot.com
18 ?? Helmi terenyak dalam kekecewaan.
"Menyesal sekali," kata Dokter Syarif. "Ginjal
Bapak cuma satu. Kami tidak bisa mengambil-
nya."
"Tapi saya rela, Dok."
"Dokter diajar untuk menolong orang, Pak,"
sahut Dokter Syarif sabar. Mengerti sekali keadaan
sang bapak yang sedang gundah. "Bukan men-
celakakannya."
"Jadi kami harus menunggu donor mayat? Be-
rapa lama?"
"Bagaimana kalau Ibu kami periksa? Atau
kakaknya mungkin? Siapa tahu ada yang cocok
untuk jadi donor."
Ira memang jarang mengantar anaknya ke ru-
mah sakit. Helmi-lah yang biasanya menemani
anaknya. Tentu saja di sela-sela kesibukan pe-
kerjaannya. Dan akhir-akhir ini, itu menambah
nilai negatifnya di mata Arini.
"Bolos lagi?" tegur Arini pedas. "Ngobjek di
luar? Atau cari pekerjaan di tempat lain yang
gajinya lebih besar?"
Helmi diam saja. Dia menahan perasaannya
sekuat tenaga. Tidak mau mengakui apa yang
dilakukannya kemarin.
Kalau dia mengaku mengantar anaknya cuci
darah, mungkin Arini akan iba. Pada dasarnya,
Helmi tahu, Arini sebenarnya punya hati yang
lembut. Helmi-lah yang membuatnya jadi tampil
pustaka-indo.blogspot.com
187 bengis. Mungkin juga Arini sengaja menutupinya.
Supaya Helmi tidak menemukan lagi Arini yang
dikenalnya. Karena seperti katanya sendiri, Arini
yang dikenalnya sudah mati!
"Hampir setiap minggu Saudara meninggalkan
tugas tanpa alasan yang jelas. Saya tidak mau
karyawan saya bekerja seenak perutnya sendiri.
Saya sudah menegur Kepala Bagian Personalia.
Kalau dia tidak bisa menerapkan disiplin, dia
akan dimutasi."
Kasihan Pak Udin, pikir Helmi sedih. Padahal
aku yang minta agar dia tidak melaporkan pada
Arini ke mana aku pergi kemarin!
Dia hanya minta izin setengah hari. Tetapi
karena harus menunggu Dokter Syarif yang
sedang operasi, Helmi tidak bisa masuk kantor
sama sekali.
?? Pada saat yang sama, Arini juga sedang terenyak
di kursi di balik meja tulisnya. Komisi yang di-
tugasinya memeriksa pembukuan telah selesai
menjalankan tugas mereka.
Sekarang laporan mereka telah berada di meja
tulis Arini. Dan apa yang dicurigainya benar-
benar menjadi kenyataan. Tak pelak lagi. Helmi
telah menyelewengkan uang perusahaan sebesar
121 juta rupiah!
Arini akan membeberkan bukti-bukti ini di
dalam rapat direksi minggu depan. Helmi akan
pustaka-indo.blogspot.com
188 dipanggil untuk mempertanggungjawabkan per-
buatannya. Mungkin dia akan langsung dipecat.
Atau dikenai sanksi hukum. Yang penting dia
harus mempertanggungjawabkan perbuatannya!
Bukan balas dendam, kata hati kecil Arini ke-
tika dengan perasaan puas sore itu dia meninggal-
kan kamar kerjanya. Hanya tanggung jawab se-
bagai atasan.
Tetapi mengapa tekad untuk membongkar pe-
nyelewengan Helmi tambah menggebu ketika dia
tahu Ira sudah menjadi istri Helmi?
Karena dia punya peluang untuk sekaligus
membalas dendam pada Ira? Atau karena alas-
an lain? Masih adakah rasa cemburu di hatinya?
"Malam ini kamu beda," komentar Nick ketika
mengantarkan Arini pulang setelah makan ma-
lam bersama.
"Apanya yang beda?"
"Kamu kelihatan puas sekali. Ada apa? Per-
usahaanmu memenangkan tender miliaran
rupiah?"
"Ngaco." Arini berusaha menyembunyikan pe-
rasaannya.
"Kamu jadi tampil lebih muda kalau sedang
gembira."
"Siapa bilang aku gembira?"
"Kamu tidak bisa membohongi mataku."
"Apa sajalah katamu."
"Bagaimana kalau kita nonton?"
"Jangan malam ini. Aku capek."
Nick menyeringai lebar. Pura-pura gemas.
pustaka-indo.blogspot.com
189 "Betul juga. Payah pacaran sama nenek-
nenek."
"Kapok?"
"Nggak juga. Mau kupjat kakimu?"
"Di sini?"
"Di rumah dong. Aku kan harus nyetir!"
Tetapi ketika mereka sampai di rumah, ada
seseorang yang sudah menunggu di teras. Mata
Arini membeliak marah ketika melihat orang
itu. ?? Helmi langsung bangkit begitu melihat Arini
turun dari mobilnya. Hatinya berdegup tidak
enak ketika melihat seorang anak muda mem-
bukakan pintu untuk Arini dan menggandeng
tangannya.
Siapa pemuda itu? Mengapa sikapnya begitu
hangat? Rikuh rasanya melihat mantan istrinya
pulang larut malam begini, dikawal oleh seorang
lelaki yang jauh lebih muda!
Walaupun tidak diperkenalkan, Nick juga
langsung tahu, laki-laki yang sedang menunggu
Arini itu bukan karyawannya. Ada hubungan
yang lebih dalam selain hubungan kerja.
Arini tidak memperkenalkan mereka. Datang-
datang dia segera menegur tamunya dengan
suara dingin.
"Ada apa lagi? Sudah berapa kali saya bilang,
urusan kantor tidak di sini!"
pustaka-indo.blogspot.com
190 Nick melihat wajah lelaki itu berubah merah
padam. Dia berusaha membuka mulutnya dengan
gugup. Tetapi tidak ada suara yang keluar.
Nick tegak di samping Arini, seolah-olah hen-
dak menjagainya. Sementara lelaki itu masih
tegak dengan gelisah di depan Arini.
"Kamu mau aku mengusirnya?" tanya Nick
gagah.
"Tidak usah," sahut Arini tawar. "Aku bisa
mengatasinya. Kamu masuk saja."
Tetapi Nick tidak mau beranjak dari sisi Arini.
Dia sudah merasa, Arini tidak menyukai laki-laki
ini. "Saya datang untuk minta tolong" Helmi
menggagap gugup. Keringat sudah bercucuran di
pelipisnya.
"Tidak bisa," potong Arini pedas. "Komisi
yang memeriksa kasus Saudara sudah selesai de-
ngan tugasnya. Hasilnya akan dibawa ke rapat
direksi minggu depan. Saudara tunggu panggilan
saja."
"Tapi saya datang bukan untuk urusan itu!"
"Sekali lagi saya bilang, saya tidak bisa mem-
bantu Saudara. Selamat malam." Arini meraih
tangan Nick. Dan menuntunnya masuk.
Helmi langsung memburu dari belakang. Se-
karang Nick berbalik. Dan tegak di antara me-
reka.
"Saudara sudah dengar apa katanya," suara
Nick terdengar penuh ancaman. "Jika Saudara
tidak mau pergi juga, saya terpaksa menyingkirkan
Saudara."
pustaka-indo.blogspot.com
191 "Saya datang untuk urusan pribadi!"
Arini menoleh dengan dingin.
"Urusan apa lagi? Istrimu punya objek baru?"
"Arini!" sergah Helmi tanpa dapat menahan
perasaannya lagi. "Cukup sudah kamu hina diri-
ku!"
Nick sampai tersentak mendengarnya. Apalagi
mendengar jawaban Arini.
"Oh, jadi kamu merasa terhina!" sindirnya si-
nis. "Kamu lupa, tiga belas tahun yang lalu, aku
juga pernah merasa amat terhina!"
"Arini," Helmi mengekang kemarahannya de-
ngan mengatupkan rahangnya rapat-rapat. "Ka-
lau tidak perlu sekali, kamu pikir aku masih sudi
minta tolong padamu?"
"Apa yang dapat kubantu? Kenapa tidak minta
tolong pada istrimu yang pintar itu?"
"Karena cuma kamu yang bisa menolong!"
"Karena aku kini atasanmu?"
"Karena kamu ibu anakku!"
Kalau tadi jantung Nick hampir copot, seka-
rang jantungnya malah sudah hampir berhenti
berdenyut.
Jadi dialah mantan suami Arini!
"Lebih baik Saudara pergi," Nick mendorong
Helmi dengan ganas. "Jangan ganggu dia lagi!"
Helmi menyingkirkan tangan Nick dengan ka-
sar. Tetapi Nick sudah mendorongnya dengan
lebih ganas lagi.
Helmi terhuyung dua langkah. Hampir jatuh
terjerembap. Tetapi dia segera memperbaiki po-
sisinya. Dan maju lagi ke depan.
pustaka-indo.blogspot.com
192 "Jangan ikut campur!" geramnya sengit. "Ini
urusan keluarga!"
Tetapi Nick tidak bisa dicegah. Dia malah meng-
hampiri Helmi dan mendorong dadanya lebih
kasar lagi.
"Kamu bukan keluarganya lagi!"
Helmi sudah dalam keadaan sangat marah.
Sangat terhina. Dan sangat terdesak. Dia tidak
bisa melampiaskan emosinya kepada siapa pun.
Sekarang ada anak muda yang dapat menjadi
tempat menumpahkan kemarahannya. Tidak ragu
lagi Helmi mengayunkan tinjunya.
Tetapi Nick sudah siaga. Dia mengelak dengan
gesit dan balas memukul.
Tinjunya masuk dengan telak di dagu Helmi.
Keras dan terarah. Membuat lelaki itu terjengkang
ke belakang. Jatuh terjerembap di halaman.
Nick sudah maju hendak merenggut kemejanya
dan melemparkan tubuhnya keluar ketika ter-
dengar suara Arini. Basah dan lirih. Amat ber-


Masih Ada Kereta Yang Akan Lewat Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beda dengan suaranya tadi.
"Jangan, Nick!"
Nick tertegun. Dia menoleh. Dan melihat Arini
tegak di belakangnya. Matanya sudah penuh air
mata.
?? "Anak kita belum meninggal, Arini," desah Helmi
getir sambil memegangi gelas minumannya de-
ngan tangan gemetar. "Ibumu yang mengatakan
pustaka-indo.blogspot.com
193 Ella sudah meninggal. Ibu takut penyakitmu
kambuh jika melihat Ella lagi."
Jadi anakku belum mati, Arini menggigit
bibirnya menahan tangis. Dia masih hidup! Dan
aku telah meninggalkannya begitu saja!
"Dua belas tahun dia berjuang untuk hidup,"
sambung Helmi lirih. "Dengan sepasang ginjal
rusak yang kita wariskan kepadanya!"
Arini terisak di kursinya. Nick yang duduk di
sampingnya melingkarkan lengannya di bahu
Arini. Seolah-olah hendak menabahkannya.
"Dia menderita penyakit ginjal kronis. Harus
minum obat seumur hidupnya. Tetapi tiga tahun
yang lalu, dia mengidap gagal ginjal. Ella harus
cuci darah."
Karena itu kamu sering bolos, pikir Arini de-
ngan sesal yang menggemuruh di dada. Kamu
mengantar anak kita ke rumah sakit. Dan aku
memarahimu!
"Sekarang bahkan cuci darah sudah tidak
dapat menolongnya lagi. Dokter menganjurkan
pencangkokan ginjal."
"Ya Tuhan!" Arini terenyak kaget. Tiba-tiba
saja dia merasa sekujur tubuhnya lemas. Separah
itukah penyakit anaknya?
Arini hampir tidak dapat mengangkat kepala-
nya lagi. Disandarkannya kepalanya di bahu Nick.
Air mata mengalir deras dari matanya.
Nick mengetatkan pelukannya di bahu Arini.
"Sudah ada donornya?" cetusnya serius.
Helmi menggeleng.
"Antrean donor mayat sangat panjang. Dokter
pustaka-indo.blogspot.com
194 tidak tahu Ella masih kuat atau tidak menunggu.
Saya sudah merelakan ginjal saya. Tapi dokter
menolak mengambilnya. Karena ginjal saya hanya
satu."
"Saya punya dua ginjal yang sehat," kata Nick
tegas. "Saya rela mendonorkannya."
"Tapi dokter minta keluarga terdekat." Helmi
menatap mantan istrinya dengan mata berkaca-
kaca. "Aku tahu aku sudah tidak pantas me-
nyentuhmu lagi, Arini. Tapi jika kamu mau aku
mencium kakimu sekalipun, aku rela. Asal kamu
mau mendonorkan sebelah ginjalmu untuk anak
kita."
pustaka-indo.blogspot.com
195 TIDAK ada ibu yang tidak mau melihat anak-
nya. Betapapun suatu waktu dulu dia pernah
menginginkan anak itu tidak lahir. Betapapun dia
jjik pada ayahnya.
Ketika Arini melihat anak perempuannya yang
telah berumur dua belas tahun itu, air matanya
mengalir tak tertahankan lagi. Lebih-lebih melihat
kondisinya yang begitu lemah. Melihat infus
yang menghunjam di lengannya.
Semalam-malaman Arini menunggu di sam-
ping Ella. Dia tidak berani memeluknya. Men-
ciumnya. Meskipun dia ingin. Karena dia takut
membangunkannya.
Dia hanya membelai kepala anaknya dengan
penuh kasih sayang.
"Ciumlah," bisik Helmi seperti mengerti ke-
inginan Arini. "Ella tidak mengenalmu. Tapi dia
17 pustaka-indo.blogspot.com
19 punya naluri. Dia tahu kamu ibunya. Dan se-
orang ibu tidak akan mencelakakan anaknya."
Arini menggeleng sedih.
"Kamu lupa," desahnya getir. "Ketika dia lahir,
aku pernah berusaha mencelakakannya."
"Waktu itu kamu sakit."
Waktu itu aku jjik padanya, rintih Arini dalam
hati. Karena aku jjik pada ayahnya. Aku tidak
menginginkan anakku sendiri. Sekarang aku akan
memohon kepada Tuhan, agar diberi kesempatan
sekali lagi untuk menjadi ibunya.
Helmi termenung mengawasi Arini yang se-
dang berdoa di samping pembaringan anaknya.
Ketika melihat wanita itu berdoa, ingatannya me-
layang kembali kepada peristiwa belasan tahun
yang lalu. Ketika dia menipu perempuan yang
baik ini. Demi menutupi perselingkuhannya de-
ngan Ira.
"Apa yang kamu minta dalam doamu, Arini?"
bisik Helmi lirih.
Ketika Arini membuka matanya, Helmi berada
begitu dekat dengan dirinya. Tetapi dia tidak me-
rasa rikuh lagi. Dia malah merasa amat tenang.
Seolah-olah hatinya yang selalu resah telah me-
nemukan kedamaian.
"Aku rela melakukan apa saja untuk menebus
dosa pada Ella. Asal Tuhan menyembuhkan-
nya."
"Tuhan akan mendengar doamu, Arini. Karena
kamu perempuan yang sangat baik."
"Tuhan akan mendengar doa semua orang
pustaka-indo.blogspot.com
197 yang berdosa seperti kita. Asal kita minta ampun
dan bertobat."
"Artinya kamu sudah memaakan aku?"
"Ella tidak bersalah. Dia tidak pantas djauhi
hanya karena aku benci ayahnya."
"Kamu masih benci padaku?"
"Sampai aku lihat apa yang telah kamu laku-
kan untuk Ella."
"Sesudah itu?"
"Aku benci kepada diriku sendiri."
"Jangan terlalu menyalahkan dirimu sendiri,
Arini. Kamu hanya korban kejahatanku dan Ira."
"Sampai Ella sebesar ini, aku tidak pernah me-
lakukan apa-apa untuknya."
"Itu karena kamu tidak tahu dia masih hi-
dup."
"Padahal Ella sedang berjuang mempertahan-
kan nyawanya. Nyawa yang dengan terpaksa kita
berikan kepadanya."
"Lupakan masa lalu, Arini," Helmi meraih
tangannya dan menggenggamnya. "Mari kita ber-
juang bersama. Merawat dan menyembuhkan
Ella. Membesarkannya. Memberikan apa yang
selama ini tidak mampu kita berikan padanya."
Arini memang ingin mengejar ketinggalannya.
Dia begitu mendambakan hubungan yang lebih
dekat dengan anaknya.
Tetapi ketika Ella bangun keesokan harinya,
yang dicarinya bukan Arini. Dia mencari Helmi
dan menanyakan Ira.
"Mana Mama, Pa?" tanyanya lemah. Padahal
Arini ada di sampingnya.
pustaka-indo.blogspot.com
198 Dia memang tidak mengenal Arini. Ketika
Arini menciumnya, Ella diam saja. Dia tidak be-
reaksi.
"Ella perlu waktu untuk mengenalmu," bisik
Helmi seperti memahami kekecewaan Arini.
Ella memang perlu waktu. Tapi masih sempat-
kah dia? Masih punya waktukah dia untuk me-
ngenal ibu kandungnya?
Arini ingin minta maaf pada anaknya. Ingin
menjelaskan mengapa dia meninggalkannya.
Tetapi untuk apa? Yang dibutuhkan Ella sekarang
hanya ginjalnya! Bukan seorang ibu. Karena Ella
sudah punya ibu. Bagi Ella, hanya Ira-lah ibunya.
Ira-lah yang selalu ditanyakannya.
Akhirnya Helmi menelepon Ira. Memintanya
datang. Dan ketika Ira melihat Arini di samping
pembaringan Ella, kecemburuannya meledak lagi.
Pantas saja Helmi semalam-malaman tidak
pulang!
"Aku memang cemburu!" dampratnya di lo-
rong rumah sakit, ketika dia sedang bergegas
keluar dan Helmi mengejarnya dari belakang.
"Dia memang bekas istrimu! Tapi sekarang, cuma
aku istrimu!"
"Ella butuh ginjal ibunya. Aku tidak bisa min-
ta kepadamu, karena kamu bukan ibu kandung-
nya!"
Ira meninggalkan rumah sakit tanpa berkata
sepatah pun pada Arini. Dia tahu bagaimana sa-
yangnya Helmi pada Ella. Untuk Ella, dia rela
melakukan apa saja! Termasuk rujuk dengan
bekas istrinya?
pustaka-indo.blogspot.com
199 Helmi membutuhkan pertolongan Arini. Untuk
Ella kalau benar ginjalnya cocok untuk didonor-
kan. Dia juga memerlukan bantuan Arini untuk
kariernya.
Arini sendiri tampaknya belum menikah lagi.
Masih maukah dia menerima Helmi kembali?
Masih cintakah dia kepada mantan suaminya?
Kalau tidak, mengapa dia belum menikah lagi
sampai sekarang?
Dia datang seorang diri ke resepsi pernikahan
anak Pak Rekso. Dia pasti belum punya suami!
Alangkah idealnya. Anak yang dulu disia-
siakan itu kini yang menyatukan kembali orang-
tuanya!
Ira jengkel sekali. Dia harus kehilangan Helmi.
Sementara Hadi sudah menikah lagi. Tidak mung-
kin mereka rujuk kembali. Tampaknya hidup
Hadi sudah tenteram. Dia kelihatan rukun sekali
dengan istrinya kalau Ira datang menengok anak-
anaknya. Mereka malah sudah punya dua orang
anak lagi.
O, Hadi pasti menertawakannya kalau dia
mendengar Ira bercerai karena Helmi kembali
kepada Arini! Inikah hukum karma?
Hari itu juga Ira berangkat ke Semarang. Ke
rumah ibunya. Marga dibawanya serta.
Bukan karena dia tidak mau menemani Ella di
rumah sakit. Tapi karena di sana sudah ada ibu
kandungnya.
pustaka-indo.blogspot.com
200 UNTUK pertama kalinya Arini merasa bingung.
Laporan komisi pemeriksa pembukuan masih
terhantar di mejanya. Angka-angka itu sudah ber-
bicara dengan jelas. Laporan yang akan dibaca-
kannya di depan rapat dewan direksi sudah
rampung.
Tetapi kalau seminggu yang lalu dia begitu
bersemangat untuk membongkar penyelewengan
Helmi, sekarang dia malah bingung.
Dia memang atasan yang baik. Yang jujur.
Yang punya tanggung jawab untuk memajukan
perusahaan. Membersihkan penyelewengan yang
dilakukan bawahannya.
Tetapi dia juga seorang wanita. Seorang ibu.
Dia punya seorang anak perempuan berumur
dua belas tahun yang sedang berjuang memper-
tahankan nyawanya. Bagaimana dia bisa mereng-
gut ayah yang sangat dikasihi Ella?
18 201 Jika penyelewengan Helmi terbongkar, dia di-
pecat, mungkin juga ditahan, siapa yang akan
mendampingi Ella? Siapa yang membiayai ope-
rasinya?
Helmi terlalu sombong untuk menerima bantu-
an keuangan Arini.
"Aku masih bisa menanggungnya," katanya
tegas ketika Arini menawarkan bantuan. "Aku
masih punya mobil. Rumah. Deposito."
"Tapi biarkan aku membantumu. Supaya aku
bisa melakukan sesuatu untuk anak kita."
"Tolong berikan saja ginjalmu."
"Tidak ada kebahagiaan yang lebih besar se-
lain melihat ginjalku berada dalam tubuh Ella."
"Kalau begitu, itu sudah cukup. Berikan ke-
banggaan yang lain kepadaku."
Helmi memang keras kepala. Dia tetap ber-
keras akan menanggung sendiri semua biaya


Masih Ada Kereta Yang Akan Lewat Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumah sakit dan operasi. Pada saat dia sedang
berjuang begitu keras untuk menyelamatkan anak
mereka, bagaimana Arini sampai hati untuk
menghancurkannya?
Tetapi dia harus bagaimana lagi?
Rapat dewan direksi tinggal dua hari lagi.
Arini harus segera mengambil keputusan. Bagai-
mana caranya menyelamatkan Helmi?
Lebih baik aku bicara dengan Pak Rekso, pikir
Arini setelah dua kali tangannya gagal meraih
telepon. Barangkali dia punya kebjaksanaan ka-
lau Arini berterus terang.
Helmi sudah pasti dipecat. Tapi kalau dia ber-
sedia mengganti kerugian, maukah Pak Rekso
202 menutup kasus ini tanpa membawa-bawa hu-
kum? Memang bukan contoh yang baik. Karena yang
bersalah harus dihukum. Tetapi Arini akan minta
dispensasi. Kalau perlu, dia juga rela mengundur-
kan diri.
Mudah-mudahan Pak Rekso keberatan. Karena
dia sangat menghargai tenaga Arini. Dan dia me-
masukkannya dalam pertimbangan.
Tetapi dapatkah dewan direksi dibungkam?
Pendapat Pak Rekso pasti didengar. Tapi tidak
ada jaminan pasti diterima.
Aku harus mencoba, pikir Arini sambil meraih
telepon. Dan dia tersentak kaget. Telepon itu su-
dah berdering sebelum disentuh.
"Selamat siang, Bu," sapa sekretarisnya sopan.
"Ada tamu hendak bertemu."
"Siapa?" tanya Arini tawar. "Sudah ada janji?"
"Belum, Bu."
"Agendakan besok. Hari ini saya sibuk."
"Maaf, Bu. Dia mendesak bertemu. Katanya
sangat penting."
Arini mengerutkan dahi.
"Siapa namanya?"
"Ibu Handoko."
"Tidak kenal. Dari mana? Urusan apa?"
"Katanya urusan pribadi, Bu."
"Urusan pribadi tidak di kantor!" dengus Arini
judes.
"Katanya urusan anaknya, Bu."
"Sejak kapan saya mengurusi anak orang? Su-
203 ruh masuk! Saya hanya punya waktu lima me-
nit!"
Wanita yang berdandan sangat rapi itu masuk
beberapa menit kemudian. Diantar oleh sekretaris-
nya. "Selamat siang, Bu," sapa sekretarisnya sopan.
"Ibu Handoko."
Dan Arini tidak jadi memakai kacamatanya.
"Selamat siang," sapa tamunya dengan suara-
nya yang tidak enak didengar. Cempreng seperti
perian pecah.
"Selamat siang, Bu," Arini keluar dari balik
meja tulisnya dengan gugup. "Silakan duduk."
Dia membuka tangannya menyilakan tamunya
duduk di sofa. "Mau minum apa, Bu?"
"Ah, jangan repot-repot, Dik! Dan jangan pang-
gil Ibu! Umur kita cuma beda beberapa tahun
kok!"
Arini mengisyaratkan sekretarisnya untuk ke-
luar. Dengan agak bingung sekretarisnya me-
ninggalkan kamar kerjanya. Padahal dia masih
menunggu untuk mengambil minuman yang di-
pesan atasannya.
Kenapa bosnya yang galak dan berwibawa itu
jadi salah tingkah begitu? Biasanya di depan
siapa pun dia selalu dapat menguasai diri! Siapa
perempuan menor ini?
"Panggil saja Mbak," sambung Bu Handoko
sambil tertawa. Tawanya sama tidak enaknya de-
ngan suaranya. Paling tidak di telinga Arini. "Su-
paya lebih akrab!"
204 Ketika dilihatnya Arini tertegun sejenak, di-
tepuknya bahunya dengan ramah.
"Iya toh, Dik?"
"Iya, Mbak," sahut Arini gemas. Habis, dia ha-
rus menjawab apa lagi?
"Nah, begitu kan lebih enak."
"Ada perlu apa, Mbak?" tanya Arini hati-hati
sambil menyimpan kekesalannya.
"Oh, cuma mampir kok! Dik Rini pasti sedang
repot, ya?"
Sudah tahu, nanya, lagi!
Mereka sudah mengobrol hampir seperempat
jam lamanya tanpa tahu apa yang diobrolkan ke-
tika Arini melirik jam tangannya.
"Maaf, Mbak," katanya sambil menyembunyi-
kan nada jemu dalam suaranya. "Sebentar lagi
saya ada meeting."
"Oh, tentu saja!" Bu Handoko tersenyum lebar.
Tapi Arini tahu, senyumnya tidak tulus. "Saya
memang cuma datang untuk ngobrol!"
Bohong! Kamu datang untuk menyelidiki diri-
ku! Untuk melihat seperti apa kantor janda yang
digilai anakmu!
"Saya permisi pulang dulu, Dik." Bu Handoko
bangkit dari kursinya. Kalung berliannya yang
sebesar kemiri berkilauan di lehernya.
"Terima kasih mau mengunjungi saya, Mbak,"
sahut Arini sambil mengantarkan tamunya ke
pintu.
"Saya senang berkenalan dengan Dik Rini,"
kata Bu Handoko sebelum tangan Arini meraih
handel pintu. "Dik Rini memang wanita karier
205 yang hebat. Saya kagum. Betul kok. Saya tidak
bohong! Kalau semua janda seulet Dik Rini, le-
laki tidak bisa seenaknya lagi mempermainkan
kita!"
Tangan Arini yang sudah terulur hendak mem-
buka pintu mengejang kembali.
Jadi inilah maksud kedatangannya. Bayang-
bayang belati yang sejak tadi bermain di depan
matanya sekarang akan dihunjamkannya.
Arini menghela napas panjang. Napasnya te-
rasa panas melewati celah-celah hidungnya.
"Saya percaya Dik Rini perempuan baik-baik.
Wanita terhormat. Cuma saja kadang-kadang
masyarakat yang memandang negatif kepada
seorang janda."
Katakan saja, teriak Arini sambil menahan ma-
rah. Katakan saja apa yang ingin kaukatakan!
"Saya rasa Dik Rini juga sependapat dengan
saya, Niko bukan pasangan yang cocok untuk
Dik Rini. Dia cuma mahasiswa gagal yang tidak
berarti apa-apa dibandingkan seorang CEO
perusahaan farmasi yang begini besar. Apalagi
umur kalian berbeda jauh"
"Ya, saya mengerti!" potong Arini gemas. Di-
katupkannya rahangnya menahan marah.
"Bukan cuma tidak pantas dilihat orang,"
sambung Bu Handoko. Masih tetap seramah tadi.
"Saya rasa Dik Arini juga malu. Ini pasti ulah si
Niko! Dia sudah mengaku kok. Memang dia
yang selalu mengejar-ngejar Dik Rini!"
Arini menghela napas dalam-dalam. Mengisi
paru-parunya yang terasa sesak dengan udara
20 segar sebanyak-banyaknya. Tetapi di mana ada
kesegaran selama biang kepengapan ini masih
berada di sini?
Dadanya malah terasa sakit. Makin nyeri jika
menarik napas.
"Saya percaya Dik Rini yang berpendidikan
tinggi, punya kedudukan sebaik ini, pasti pula
sudah banyak pengalaman, tahu apa artinya me-
ngawini seorang laki-laki yang pantas jadi anak
kita. Pada saat kita sudah loyo, dia justru sedang
segar-segarnya!"
Bu Handoko mengemukakan sebuah kelakar
jorok sambil tertawa terkekeh-kekeh. Tetapi Arini
tidak ikut tertawa. Tersenyum saja tidak. Baginya
kelakar itu tidak lucu. Malah menyakitkan.
Ketika Bu Handoko hendak membuka mulut-
nya lagi, Arini langsung memotongnya.
"Maaf, Mbak, saya ditunggu di ruang rapat.
Tidak apa-apa kalau saya tinggalkan?"
"Oh, tentu! Tentu!" Tidak ada perubahan di
wajah yang dipoles dengan make-up tebal itu.
"Silakan! Saya juga mau buru-buru nutup ini!"
Dia menyentuh berlian di lehernya. "Kebetulan
ada yang perlu uang. Jadi harganya agak miring.
Kapan main-main ke rumah lagi, Dik?"
"Kapan-kapan, Mbak," Arini menahan kekesal-
annya. "Selamat siang."
Dibukakannya pintu untuk tamunya. Sesaat
sebelum pintu tertutup, dia masih menerima se-
nyum ramah Bu Handoko.
"Saya akan melarang Niko kemari," katanya
hangat. "Supaya jangan mengganggu kesibukan
207 Dik Rini! Anak itu memang bandel! Suka meng-
ganggu orang tua! Nanti malah bikin malu Dik
Rini saja!"
Kurang ajar, maki Arini sambil mengempaskan
punggungnya di balik pintu itu dengan gemas.
?? "Ke mana Ira?" tanya Arini sore itu ketika dia
menjenguk Ella. "Dia tidak begitu memperhatikan
Ella?"
"Dia sayang Ella," sahut Helmi datar. "Walau-
pun lebih sayang Marga."
"Kalau begitu ke mana dia? Tidak menjenguk
Ella?"
"Dia pulang ke Semarang."
Arini mengawasi Helmi dengan tajam.
"Kalian bertengkar?"
"Sedikit."
"Gara-gara aku?"
"Ira cemburu."
Sejak dulu pun dia cemburu padaku! Sejak
laki-laki ini masih menjadi suamiku!
"Maakan Ira, Arini." Suara Helmi begitu ter-
tekan.
Ketika Arini menoleh, dia melihat Helmi se-
dang menatap Ella yang sedang tidur.
"Ella sudah menganggap Ira ibunya."
Melihat laki-laki yang sudah berada di ambang
keruntuhan itu, tiba-tiba saja Arini merasa iba.
"Sebenarnya ada sesuatu yang harus kita
208 bicarakan," kata Arini lambat-lambat. "Hanya
saja aku tidak tahu dari mana harus mulai."
"Tentang hubungan kita?"
"Tidak ada apa-apa lagi di antara kita."
"Tapi kita masih punya Ella!"
"Kamu sudah milik Ira!"
"Aku rela melakukan apa saja demi Ella."
Helmi menoleh dan menatap Arini dengan
sungguh-sungguh. "Kamu juga bilang begitu tadi
malam."
Sekaranglah saatnya, Arini, bisik hati kecilnya.
Kalau kamu mau membalas dendam kepada Ira,
sekaranglah saat yang kamu tunggu-tunggu!
"Aku mau membicarakan soal lain." Arini
menggigit bibirnya. "Bukan soal itu."
"Soal pekerjaan?" Helmi menatapnya dengan
tegang.
"Kamu pasti sudah tahu. Kamu menggelapkan
uang perusahaan sebesar 121 juta rupiah."
"Kamu punya bukti?"
"Bukan aku. Komisi yang memeriksa pem-
bukuan. Mereka terdiri atas tiga orang akuntan
independen."
"Kalau begitu aku tidak punya kesempatan lagi
untuk lolos." Helmi menyeringai pahit. "Kamu
pasti tidak membela diriku."
"Aku tidak bisa membela orang yang bersalah.
Aku punya tanggung jawab sebagai pemimpin."
"Lalu apa tindakanmu selanjutnya?"
"Membeberkan laporan mereka di depan rapat
dewan direksi yang akan digelar lusa."
"Aku pasti dipecat. Atau ditahan."
209 "Aku ingin menemui Pak Rekso nanti ma-
lam."
"Untuk apa? Dia pasti menyokong tindakan-
mu."
"Minta kebjaksanaannya."
"Lalu untuk apa aku diberitahu lebih dulu?"
"Aku minta kamu mengajukan permohonan
pengunduran diri. Sekaligus pengakuan telah
menggelapkan uang perusahaan. Dan bersedia


Masih Ada Kereta Yang Akan Lewat Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggantinya. Letakkan suratnya di meja tulisku
besok pagi."
Helmi tertegun. Dia mengawasi Arini dengan
nanar.
"Aku akan minta Pak Rekso membujuk dewan
direksi agar menutup kasusmu."
Selarang Helmi menatap Arini dengan bi-
ngung.
"Buat apa kamu lakukan semua ini, Arini?
Untuk membela orang yang telah menghina diri-
mu? Membuat kamu begitu menderita?"
"Untuk Ella," sahut Arini tenang. "Bukan untuk-
mu."
Helmi terenyak menatap mantan istrinya. Ke-
tika perlahan-lahan sinar matanya memudar, dia
menunduk sedih.
"Kamu tahu sekali bagaimana harus meng-
hukum seorang laki-laki. Menghancurkan ke-
sombongannya. Harga dirinya."
"Bukan aku yang menggelapkan uang per-
usahaan."
"Tapi dengan berbelas kasihan kepada laki-laki
210 yang pernah menghina dirimu, kamu telah mem-
buatnya tidak berarti apa-apa lagi."
"Ada satu lagi permintaanku."
"Mintalah semua yang kamu inginkan."
"Biarkan aku yang menanggung biaya rumah
sakit dan operasi Ella."
"Aku ayahnya."
"Tapi aku ibunya."
"Sisakan sedikit harga diriku, Arini! Paling
tidak untuk Ella!"
"Beri aku kesempatan untuk sekali ini saja
menjadi orangtuanya. Selama ini kamu yang me-
nanggungnya seorang diri."
Lama Helmi menatap Arini sebelum perlahan-
lahan bibirnya bergetar.
"Bukan hanya sekali ini saja. Kamu bisa men-
jadi ibu Ella sampai kapan saja kamu mau."
?? Malam itu juga Arini datang ke rumah Pak
Rekso.
Ketika mendengar suara Arini di telepon,
minta izin menemuinya di rumah untuk suatu
urusan penting, Pak Rekso sudah merasa ada
yang tidak biasa.
Sebenarnya dia tidak suka menerima karyawan-
nya di rumah. Istrinya tidak suka dia membawa
urusan kantor ke rumah. Apalagi malam-malam
begini. Tetapi karena Arini yang minta, Pak
Rekso tidak bisa menolak.
211 "Kalau bukan hal yang sangat penting, tidak
mungkin dia minta izin datang ke rumah."
"Nanti jadi biasa," sahut istrinya kesal. "Semua
karyawan datang ke rumah! Seperti tidak ada
waktu saja di kantor!"
"Aku percaya ini urusan yang tidak bisa di-
bicarakan di kantor."
"Mana ada urusan kantor yang tidak bisa
dibicarakan di kantor?"
"Sudahlah. Aku akan bicara di ruang tamu.
Kalau kamu curiga, kamu boleh duduk di ruang
sebelah!"
"Aku tidak mau merendahkan harga diriku.
Menjatuhkan martabatmu di depan karyawan.
Aku bukannya curiga. Cuma kesal karena rumah
kamu jadikan juga kantor! Berapa jam Bapak
mau bekerja? Dua puluh empat jam sehari?
Sudahlah, suruh dia menemuimu besok di kantor
jam delapan pagi! Kalau jam sembilan masih
kurang pagi!"
Tetapi Pak Rekso tetap menerima Arini di
rumahnya. Tidak memedulikan protes istrinya.
"Terima kasih mau menerima saya malam-
malam di rumah untuk urusan kantor, Pak," kata
Arini seperti memahami keberatan istri majikan-
nya. "Katakan saja masalahnya, Bu Utomo."
"Bapak tidak keberatan kalau sebelumnya saya
berikan ilustrasi kisah hidup saya?"
"Untuk apa?" tanya Pak Rekso bingung.
"Karena ada kaitannya dengan masalah yang
saya kemukakan."
212 "Apakah saya pantas mendengar kisah pribadi
Bu Utomo?"
"Supaya Bapak mengerti alasan saya mengaju-
kan permohonan ini."
"Permohonan apa?"
"Bapak tahu kasus Helmi Kartanegara, manajer
bidang promosi?"
"Saya dengar Bu Utomo sedang membentuk
komisi untuk memeriksa pembukuan. Ada duga-
an penggelapan?"
"Komisi itu sudah menyelesaikan tugasnya.
Lusa laporannya akan saya bawakan dalam rapat
dewan direksi."
"Ada bukti penyelewengan?"
"Benar sekali, Pak."
"Lalu apa masalahnya? Kenapa Bu Utomo
datang kepada saya?"
"Karena Pak Helmi adalah mantan suami saya,
Pak."
Pak Rekso terdiam.
"Anak kami sedang mengalami gagal ginjal.
Yang sudah tidak bisa lagi diatasi dengan cuci
darah. Dia butuh transplantasi ginjal."
Pak Rekso menatap Arini dengan penuh pe-
ngertian.
"Saya mengerti," katanya sabar. "Tapi jangan
mencampurkan masalah pribadi dengan masalah
perusahaan, Bu."
"Karena itu saya datang pada Bapak. Jika Pak
Helmi mengundurkan diri, menulis surat peng-
akuan menggelapkan uang dan bersedia me-
ngembalikan uang perusahaan, apakah Bapak
213 mau membujuk dewan direksi untuk bersikap
lunak?"
"Bersikap lunak bagaimana?"
"Menutup kasus ini."
Lama Pak Rekso terdiam. Seperti sedang ber-
pikir keras.
"Jika tindakan saya dianggap keliru, saya ber-
sedia mengundurkan diri juga, Pak. Anggap saja
ini bentuk tanggung jawab saya karena penye-
lewengan staf saya."
"Helmi Kartanegara menyelewengkan uang itu
pada saat Bu Utomo di luar negeri. Saat kasus
itu terjadi, Bu Utomo belum menjadi atasannya.
Tidak ada kewajiban untuk ikut bertanggung
jawab. Tapi saya mengerti maksud Ibu. Saya akan
mencoba memengaruhi keputusan dewan direksi.
Tapi saya tidak bisa menjanjikan apa-apa."
"Saya mengerti, Pak. Tapi bagaimanapun, saya
berterima kasih atas pengertian dan kebjaksanaan
Bapak."
214 "MAS NICK sudah dua kali kemari, Bu," lapor
Bi Ipah begitu Arini pulang malam itu. "Saya
bilang Ibu ke rumah sakit."
Saat itu juga Arini menelepon Nick. Tetapi
ponselnya dimatikan. Jadi dia langsung minta
sopirnya mengantarkannya ke rumah Nick.
Bu Handoko sudah melihat Arini yang masuk
ke rumahnya diantar pembantunya. Tetapi dia
pura-pura tidak melihat. Dia malah mengeraskan
suaranya. Supaya bukan hanya tamu-tamunya
saja yang mendengarnya. Arini juga.
"Ya, sudah nasib saya barangkali, Jeng. Punya
anak sekolah di luar negeri kecantol janda!
Umurnya lima belas tahun lebih tua, lagi!
Bayangkan, cuma lima tahun lebih muda dari
saya!"
Kaki Arini yang sedang melangkah sampai
19 215 berhenti dengan sendirinya. Sekujur mukanya
terasa panas sampai ke telinga. Matanya juga.
Lebih-lebih dadanya.
"Ada tamu, Bu," kata pembantu yang mem-
bawanya masuk.
Dengan akting yang sempurna, Bu Handoko
pura-pura menoleh dengan terkejut.
"Oh, Dik Rini!" sapanya dengan keramahan
yang dibuat-buat. Dia langsung bangkit me-
nyambut Arini. Pakai mencium pipi segala. "Mari
duduk!"
"Maaf mengganggu," Arini mengatupkan
rahangnya menahan perasaannya. "Saya boleh
bertemu Nick sebentar?"
"Wah, sayang dia tidak ada di rumah! HP-nya
ketinggalan di kamar mandi tuh! Ayo duduk
dulu. Ngobrol sama teman-teman saya! Biar me-
reka bisa kenalan sama teman anak saya yang
jadi CEO pabrik obat!"
"Tidak usah, Mbak. Saya hanya ingin bicara
dengan Nick."
"Ada pesan?"
"Lebih baik tidak melalui Anda," sahut Arini
tegas. Diangkatnya dagunya. Ditatapnya Bu
Handoko dengan dingin. "Nick sudah tidak mau
mendengar Anda lagi. Dia sudah tidak me-
mercayai ibunya sendiri."
Sambil menggumamkan selamat malam, de-
ngan langkah-langkah gagah ditinggalkannya
mereka. Tertegun mengawasi dengan tatapan ti-
dak percaya.
21 Siapa perempuan ini, yang berani bersikap be-
gitu tegas di depan Ibu Handoko?
"Saya tidak boleh tahu masih punya urusan
apa lagi dengan anak saya?" seru Bu Handoko
penasaran.
Arini berhenti melangkah. Menoleh ke bela-
kang. Dan menatap perempuan itu dengan
tenang.
"Cuma memintanya untuk melanjutkan studi,"
suaranya setenang matanya. "Seperti yang pernah
djanjikannya kepada saya."
?? Arini duduk di mobilnya sambil menahan ke-
marahannya. Dua belas tahun dia telah berjuang
untuk menjadikan dirinya terhormat. Supaya tidak
ada lagi orang yang dapat menghina dirinya
lagi.
Siapa perempuan itu, punya kelebihan apa dia,
sampai bisa menghinanya sekejam itu?
"Punya anak sekolah di luar negeri kecantol
janda"
Begitu hinakah predikat janda?
Arini sudah membuktikan, dia tidak bisa lagi
dihina seenaknya. Semua orang menghormatinya.
Bahkan mantan suami yang dulu begitu merendah-
kannya sekarang menaruh respek padanya!
Haruskah dia merendahkan dirinya lagi karena
pacaran dengan lelaki yang pantas jadi anaknya?
"Apa salahnya pacaran dengan perempuan
217 yang lebih tua?" terngiang lagi kata-kata Nick
yang begitu percaya diri. "Kalau kita hepi dan
tidak merugikan siapa-siapa, kenapa harus
malu?"
Dan kenapa harus mundur hanya karena ulah
wanita sekelas ibu Nick? Kenapa harus menyerah
hanya karena berondongan mulutnya yang tidak
sekolah?
Arini masih berperang dengan perasaannya
ketika ponselnya berbunyi. Dia langsung meng-
ambil ponselnya. Dan terburu-buru membuka-
nya. "Nick" dia hampir mencetuskan nama itu
ketika tiba-tiba dia melihat nama Helmi di layar
ponselnya. Dan jantungnya berdegup keras.
Ella!
Kalau tidak ada berita yang sangat mendesak,
tak mungkin Helmi meneleponnya malam-malam
begini! Tadi sore dia baru saja dari rumah sakit!
"Ella kenapa?" sergah Arini cemas.
"Tidak apa-apa. Tapi Dokter Syarif baru da-
tang. Katanya hasil tesmu sudah keluar. Kamu
bisa jadi donor Ella!"
Ya Tuhan!
Arini terpuruk lemas di kursi mobilnya. Dia
ingin menangis sekaligus tersenyum.
Ginjalnya cocok untuk Ella! Akhirnya impian-
nya kesampaian. Dia bisa memberikan ginjalnya
untuk anaknya!


Masih Ada Kereta Yang Akan Lewat Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

?? 218 "Kita tidak bisa melanjutkan hubungan, Nick,"
kata Arini getir ketika Nick meneleponnya malam
itu. Arini sudah lama berpikir. Kalau dia harus
mempertaruhkan nyawanya di atas meja operasi,
dia tidak mau mengikat dirinya dengan siapa
pun. Tidak juga dengan Nick. Kalau dia harus
pergi, dia ingin pergi seorang diri. Jangan ada
yang menyesali kepergiannya.
"Kenapa?" suara Nick terdengar kesal. "Ibuku
yang mendesakmu?"
"Bukan ibumu, Nick. Anakku."
Arini tahu sekali, kalau hanya orangtuanya
yang menghalangi, Nick akan menerjang semua
rintangan. Tetapi kalau seorang anak yang se-
dang meregang nyawa yang membutuhkan Arini,
dia pasti rela mengalah.
"Ginjalku cocok untuk ditransplantasikan pada
Ella. Aku akan dioperasi, Nick. Supaya dapat
memberikan ginjalku pada anakku. Sebelum aku
tahu apa yang akan terjadi pada diriku, aku
tidak ingin mengikat komitmen apa-apa. Karena
hidupku sekarang hanya untuk anakku."
"Maksudmu, aku tidak ada artinya lagi bagi-
mu?"
"Kamu kuat dan sehat, Nick. Ella sedang me-
regang nyawa. Kamu tahu kenapa aku me-
milihnya. Tidak ada ibu yang bisa menolak kalau
anak kandungnya tengah membutuhkannya."
Lama Nick terdiam sebelum suaranya ter-
dengar lagi.
"Boleh minta sesuatu kepadamu, Arini?"
219 Tidak ada jawaban. Hening menyelimuti me-
reka. Karena Arini sedang menggigit bibirnya
menahan tangis.
Dia tahu, dia mengecewakan Nick. Tetapi
kalau dia menganggap keputusan ini adalah jalan
yang paling baik untuk Nick, dia malah sengaja
memancing kebencian Nick kepada dirinya.
Supaya dia mau meninggalkannya.
Arini tidak menyesal. Karena cinta adalah
pengorbanan.
"Kalau suatu hari anakmu tidak membutuhkan
dirimu lagi, maukah kamu kembali padaku? Aku
selalu membutuhkan dirimu. Sampai kapan
pun."
Arini hampir tidak dapat menahan tangisnya.
Betapa selama ini dia telah salah duga! Dia me-
remehkan cinta seorang anak muda. Ternyata
cintanya begitu dalam! Begitu tulus! Dia bukan
saja rela mengalah pada seorang anak. Dia malah
rela jadi ban serep!
Di mana lagi Arini bisa menemukan cinta yang
begini indah?
"Nick," pinta Arini sambil menelan air mata-
nya. "Kumohon padamu, selesaikan studimu."
"Itu janjiku padamu, Sayang," balas Nick
tegas. "Aku tidak akan mungkir."
Arini menyeka air matanya.
"Kapan kamu berangkat ke London?"
"Kalau malam ini katamu, aku berangkat seka-
rang juga."
"Aku ingin bertemu sekali lagi denganmu,
Nick."
220 "Jangan khawatir, Arini. Ini bukan pertemuan
terakhir."
"Mungkin tidak ada pertemuan lain, Nick."
"Ketika pertama kali bertemu, kamu juga tidak
mengharapkan ada pertemuan berikutnya, kan?
Jangan takut. Masih ada kereta yang akan lewat
dalam hidup kita, Arini."
"Kenapa kamu begitu optimis, Nick?"
"Karena kamu selalu pesimis, Arini. Dan untuk
itulah aku diciptakan Tuhan. Untuk mendampingi-
mu."
Ya Tuhan, keluh Arini terharu. Mengapa ada
lelaki yang begini menarik justru pada akhir
hidupku? Pada saat aku hampir menantang maut
di atas meja operasi!
221 HAMPIR tiga bulan para dokter mempersiapkan
Ella untuk operasi. Keadaan umumnya diperbaiki
supaya tubuhnya cukup kuat menghadapi beban
operasi yang cukup berat.
Sementara itu dalam tiga bulan terakhir, Arini
juga dibebani kesibukan yang cukup padat. Dia
harus menyelesaikan kasus Helmi di perusahaan-
nya. Beberapa kali dewan direksi memanggilnya
untuk memberi penilaian dan pertimbangan.
Akhirnya mereka menyetujui usul Pak Rekso
untuk menutup kasus itu.
Helmi mengundurkan diri. Dan atas jaminan
Arini, dia diberi keringanan untuk mengembali-
kan uang perusahaan yang digelapkannya dalam
dua tahap.
Arini sendiri harus mempersiapkan kondisi
tubuhnya supaya tetap it menjelang operasi. Dan
20 222 dia sendirian. Karena Nick sudah kembali ke
London. Menepati janjinya untuk menyelesaikan
studinya.
Arini tidak mau mengatakan kapan dia harus
naik ke atas meja operasi biarpun tiap hari Nick
mengirim sms. Dia tidak mau mengganggu kon-
sentrasi belajar Nick.
Akhirnya ketika saat itu tiba, hanya Helmi
yang menemaninya. Karena Arini memang sudah
tidak punya siapa-siapa lagi.
Sesaat sebelum didorong ke dalam kamar ope-
rasi, kelakar Nick kembali menerpa telinganya.
Pemakamanmu nanti pasti sepi!
Mau tak mau Arini menahan senyumnya se-
tiap teringat kata-kata itu.
Nick benar. Tanpa pemuda itu, dia memang
sendirian. Karena Helmi juga sudah punya dunia-
nya sendiri. Sudah punya keluarga. Dia bukan
milik Arini lagi.
Helmi berada di dekatnya. Tetapi bukan dia
yang dipikirkan Arini ketika maut sudah meng-
intai. Nick-lah yang mengisi relung hatinya. Biar-
pun dia jauh dari sisinya.
Tiba-tiba saja Arini menyadari nilai cinta
mereka.
Jika seluruh dunia sekalipun menentang cinta
suci seorang janda kepada lelaki yang lebih
muda, mengapa dia harus gentar?
Nick mencintainya tanpa pamrih. Tanpa me-
mikirkan untung-rugi. Tanpa memikirkan harga
diri. Dia bahkan rela jadi ban serep!
223 Mengapa Arini harus memadamkan cintanya
karena merasa punya harga diri?
"Tidak ada yang salah dalam cinta kita," kata
Nick tegas. "Kamu bukan pemain dobel. Aku
single. Tidak ada yang dirugikan oleh perkawinan
kita. Apa artinya beda umur kalau kita hepi?"
Jika aku bisa melewati pintu ini lagi dalam
keadaan hidup, aku akan mencarinya, tekad Arini
begitu kuat. Aku tidak akan meninggalkan Ella.
Tapi aku juga tidak akan meninggalkan Nick.
Merekalah sekarang hidupku. Dengan mereka
berdua, bukan hanya kuburanku yang takkan
sepi. Rumahku pun tak pernah lagi sunyi!
?? Operasi pencangkokan ginjal itu berlangsung
sukses. Satu ginjal Arini berhasil dipindahkan ke
tubuh anaknya.
Sekarang yang dicemaskan dokter hanyalah
komplikasinya. Reaksi penolakan tubuh Ella sen-
diri.
Meskipun ginjal itu ginjal ibu kandungnya
sendiri, tubuhnya tetap menganggapnya sebagai
benda asing. Tubuh Ella akan membentuk zat
anti untuk menyingkirkan benda asing itu. Jadi
dokter memberi Ella obat-obat untuk mengurangi
kekebalan tubuhnya. Akibat sampingannya,
tubuhnya menjadi rawan infeksi.
"Kita telah melakukan apa yang dapat kita
lakukan," hibur Dokter Syarif. "Sekarang semua-
224 nya terserah kepada Tuhan. Dari Dialah nyawa
ini kita pinjam."
Sementara itu keadaan Arini pascabedah sangat
memuaskan. Kondisi tubuhnya cepat pulih.
Begitu Arini memperoleh kembali kesadaran-
nya, Helmi yang berada di sisi tempat tidurnya
langsung berbisik penuh haru,
"Sudah selesai, Arini. Keinginanmu telah di-
kabulkan Tuhan. Satu ginjalmu sudah berada
dalam tubuh Ella. Dia belum sadar. Tapi kata
dokter, dia akan pulih."
Ketika Arini sudah sadar penuh dan bisa me-
nulis, dia minta Helmi mengambilkan ponselnya.
Dan dia mengirim sms kepada Nick. Mengabar-
kan keadaannya.
"Aku baik-baik saja, Nick. Tidak harus pergi
ke kuburan sendirian."
Ketika dia menutup ponselnya, dilihatnya
Helmi sedang menatapnya.
"Arini, boleh tanya?" cetusnya ragu-ragu.
"Jangan jawab kalau tidak mau."
"Masih ada yang perlu ditanyakan?"
"Dia bukan teman biasa, kan?"
Arini tersenyum. Dan merasakan sakit di luka
bekas operasinya. Obat biusnya pasti telah ber-
kurang kekuatannya.
"Kamu tidak patut lagi menanyakannya."
"Tidak bolehkah bekas suamimu menanyakan
siapa calon penggantinya?"
"Bukan urusanmu lagi."
"Mengapa dia tidak kemari?"
225 "Dia di London. Sedang melanjutkan studi-
nya."
"Tidak menemanimu menghadapi operasi?"
"Aku yang minta."
"Kamu tidak ingin ditemani dalam masa yang
paling menakutkan dalam hidupmu?"
"Aku sudah biasa sendirian."
"Dan akan tetap memilih sendirian?"
Ini pertanyaan berbahaya, Arini, hati kecilnya
memperingatkan. Helmi sedang memancingmu!
Lihat betapa kusutnya wajahnya!
Helmi memang sedang dilanda kebingungan.
Dia baru saja menelepon Ira. Mengabarkan hasil
operasi anaknya.
"Ella sudah selesai dioperasi."
Terdengar helaan napas lega Ira.
"Dia baik?"
"Kalau tidak ada komplikasi."
"Aku berdoa untuknya."
"Kapan kamu kembali?"
Tidak ada jawaban. Untuk sementara, Ira mem-
bisu.
"Aku tidak bisa menjemputmu, Ira. Ella tidak
bisa kutinggal."
"Tidak usah. Aku sudah memutuskan, tidak
akan kembali ke Jakarta."
"Tidak pantas kamu mencemburui Arini!"
geram Helmi kesal. "Tahukah kamu apa yang
telah dilakukannya untukku? Untuk anak kita?"
"Aku tahu. Karena itu aku tidak mau kem-
bali."
"Kamu mesti malu pada Arini, Ira! Ingat apa
22 yang sudah kita lakukan padanya? Dia membalas
dendamnya dengan menolong kita!"
"Aku tahu. Kamu tidak perlu teriak-teriak."
"Lantas apa maumu?"
"Aku minta cerai."
"Ira!"
"Biar Ella bersamamu. Marga kubawa."
Ira menutup teleponnya dengan air mata ber-
linang. Keputusannya telah inal.
Dia tidak akan kembali pada Helmi. Dia
sungguh-sungguh mencintai laki-laki itu.
Demi Helmi, Ira rela mengalah. Menyerahkan
Helmi kembali kepada Arini. Karena itulah yang
terbaik untuk Helmi.
Ira akan menerima hukumannya dengan pa-
srah. Akan djalaninya hidup yang berat berdua
saja dengan Marga.
Dan keputusan Ira itulah yang membuat pikir-
an Helmi kalut. Wajahnya kusut.
"Di mana Ira? Dia tidak datang menengok


Masih Ada Kereta Yang Akan Lewat Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ella?"
"Dia tidak mau kembali. Dia ingin kita rujuk."
Suara Helmi terdengar sangat berat. Dia amat
mencintai Ira. Betapa banyak pun kekurangannya.
Jika cinta itu tertawa dan menangis, dengan Ira-
lah dia pernah merasakannya. Hanya Ira yang
diinginkannya untuk mendampingi hidupnya
sampai ajal menjemput.
Tetapi ternyata Ira sudah tidak ingin lagi hi-
dup di sampingnya. Dia memilih bercerai.
Helmi tahu alasannya. Ira menganggap di sam-
ping Arini, Helmi dapat lebih bahagia. Dan
227 Helmi tahu, Ira juga melakukannya atas nama
cinta!
Helmi tidak pernah mencintai Arini. Dari dulu
dia hanya merasa iba. Dan kini dia merasa lebih
kasihan lagi setelah apa yang dilakukannya
untuk Ella.
Dengan hanya memiliki satu ginjal, Arini ma-
sih harus menjalani hidup seorang diri. Helmi
tidak percaya cowok brondong yang pernah me-
mukulnya itu akan awet bertahan di sisi Arini.
Cinta lelaki seumur itu pasti secepat komedi
putar berlalunya. Apalagi cinta kepada wanita
seumur Arini.
Apa yang diharapkannya dari wanita yang
jauh lebih tua daripadanya? Hidupnya masih pe-
nuh hura-hura. Mana mau dia hidup serius se-
perti yang djalani Arini?
Arini pasti akan dikecewakan lagi. Dia akan
menderita. Seperti dulu lagi. Padahal dia sudah
berkorban untuk Ella. Sudah menolong Helmi
sekuat tenaga.
Rasanya Helmi rela melakukan apa saja untuk
membayar utangnya. Utang Ella. Dia rela me-
nyerahkan apa pun sebagai gantinya. Hidupnya
sekalipun.
Biar dia masih tetap tidak mencintai wanita
itu, dia tidak keberatan mendampinginya.
Ella mungkin juga bisa lebih bahagia diasuh
ibu kandungnya sendiri. Mungkin dia hanya per-
lu waktu untuk mengenal Arini. Tapi bagai-
mana dengan Marga? Relakah Helmi membiar-
kannya jadi anak yatim?
228 Ah, dia benar-benar dihadapkan pada dilema
yang sulit!
Tetapi jawaban Arini sungguh di luar duga-
an. "Aku tidak mengharapkan apa-apa dari Ella.
Karena kodrat seorang ibu adalah memberi. Bu-
kan menerima. Aku memberikan ginjalku dengan
rela. Untuk anak kandungku sendiri. Yang tak
pernah kuberi apa-apa sejak lahir. Bahkan air
susuku tidak pernah kuberikan pada Ella!"
"Ella akan belajar mengenalmu," gumam
Helmi sabar.
"Tidak. Biar dia hanya mengenal seorang ibu
saja."
Karena selama Arini mendampingi Ella, dia
sadar, Ella hanya menganggap Ira-lah ibunya.
Hanya Ira yang selalu dicarinya. Bagi Ella, dia
hanya Tante Arini!
"Kisah kelahirannya terlalu pahit untuk di-
dengar. Kamu yang lebih tahu kapan dia boleh
mendengar kisah itu."
"Kalau dia sudah dewasa, aku pasti akan men-
ceritakannya," desah Helmi terharu. "Dia ber-
utang penjelasan dari ayahnya."
"Kalau kejujuranmu membawa trauma yang
berat untuknya, tidak ada yang memaksamu un-
tuk berterus terang. Aku sudah puas kalau boleh
menjadi ibu kedua. Boleh berada di sampingnya.
Melihat dia tumbuh dewasa."
"Kamu boleh berada di dekatnya kapan saja
kamu mau, Arini."
229 ?? Sebulan kemudian, Arini datang ke rumah Ira.
Bukan main terkejutnya Ira ketika melihat bekas
sahabatnya duduk menunggu di ruang tamu ru-
mahnya. Sesaat kenangan masa lalu menyergap
ingatannya.
Dulu Arini sering menunggunya di kursi itu.
Dia menunggu Ira mandi. Memilih baju. Ber-
dandan.
Mereka akan pergi nonton. Jalan-jalan. Atau
sekadar bikin PR bersama.
Pada saat yang sama, kenangan Arini juga se-
dang menjelajahi masa kecilnya. Di sini dia dulu
selalu duduk menunggu sahabatnya. Di sini
mereka selalu ngobrol. Bercanda. Menggosipkan
teman. Saling mencurahkan isi hati.
Persahabatan mereka berlangsung amat lama.
Sejak SD sampai SMA. Dari Semarang sampai ke
Jakarta. Dan pasti akan abadi seandainya Ira
tidak memperdayainya.
"Mau apa lagi kamu kemari?" Ira duduk di
depan Arini dengan kaku. Dia baru saja pulang
mencari pekerjaan. Tetapi rupanya di ambang
empat puluh, mencari pekerjaan tidak semudah
dua puluh tahun yang lalu. "Semua milikmu
telah kukembalikan!"
"Terima kasih karena telah merawat Ella, Ira,"
kata Arini sabar. Suaranya terdengar amat tulus.
Tak ada lagi dendam mewarnainya. Ira sendiri
heran. Rupanya bukan hanya ginjalnya saja yang
230 diambil. Racun di hatinya juga. "Kumohon pada-
mu, biarlah dia tetap menjadi anakmu."
Mau tak mau Ira terpengaruh ketenangan si-
kap Arini. Kemarahannya hilang. Berganti de-
ngan kebingungan. Apa maksud kata-katanya?
"Seorang anak hanya membutuhkan seorang
ayah dan seorang ibu," kata Arini, sederhana se-
perti biasa. Sabar seperti dulu. Seolah-olah kursi
ajaib yang didudukinya telah mengembalikan
kepribadiannya kepada Arini yang Ira kenal
belasan tahun yang lalu. "Dan Ella telah memilih-
mu. Sudah terlambat bagiku untuk menjadi ibu-
nya sekarang."
"Tapi dia memang anakmu! Kamu yang me-
lahirkannya!"
"Dan kamu yang membesarkannya. Seorang
ibu bukan hanya wanita yang melahirkannya
saja, Ira. Tapi juga yang merawatnya ketika dia
sakit. Menggendongnya ketika dia menangis. Me-
nyayanginya ketika dia ketakutan dalam dunia
yang masih asing baginya."
"Kamu tidak ingin memilikinya?" gumam Ira
lirih. "Anakmu sendiri?"
"Aku ingin anakku hanya memiliki seorang
ibu."
"Dan kamu pilih aku?"
"Ella yang memilihmu. Dia selalu menanyakan-
mu."
"Karena dia belum mengenalmu."
"Biarlah dia cuma mengenal seorang ibu saja.
Aku tidak mau dia tahu suatu saat dulu, ibunya
231 sendiri pernah menginginkan dia tidak pernah
lahir!"
Ketika mengucapkan kata-kata itu, dua tetes
air mata menitik dari mata Arini. Saat itu Ira
sadar, Arini yang dikenalnya memang telah kem-
bali. Tanpa dapat menahan dirinya lagi, Ira meng-
hambur. Merangkul sahabatnya sambil me-
nangis.
"Maakan aku, Arini."
"Aku sudah memaakanmu," Arini membalas
pelukan sahabatnya dengan mata berkaca-kaca.
"Setiap kali melihat Ella, aku sadar betapa
jahatnya apa yang telah kulakukan padamu!"
"Kamu tidak jahat. Cuma egois."
"Bagaimana aku harus menebus dosaku pada-
mu, Arini?"
Arini melepaskan pelukannya. Ditatapnya sa-
habatnya dengan tenang.
"Dengan menyayangi Ella seperti kamu me-
nyayangi Marga. Maukah kamu, Ira? Kumohon
padamu, lakukanlah demi aku. Demi sisa-sisa
persahabatan kita."
"Kamu akan pergi?"
"Aku tidak akan ke mana-mana. Aku sudah
minta izin pada Helmi. Akan mendampingi Ella.
Menyaksikannya tumbuh dewasa. Memberikan
apa yang dibutuhkannya. Tapi hanya sebagai
Tante Rini. Kamulah ibunya."
"Kamu bisa menjadi ibu kedua," kata Ira man-
tap. "Aku tidak percaya seorang anak hanya per-
lu seorang ibu! Apalagi kalau dia punya ibu se-
perti aku!"
232 Hari itu juga Ira ikut Arini ke Jakarta. Sudah
larut malam ketika mereka tiba di rumah sakit.
Helmi berada di samping pembaringan anaknya.
Ella sudah tidur. Tetapi ketika Ira menciumnya
dengan lembut, Ella membuka matanya.
"Mama" desahnya lemah.
Ira memeluknya dengan air mata berlinang.
"Maakan Mama, Sayang," bisiknya terharu.
"Mama baru bisa datang."
"Mama ke mana?"
"Memberimu kesempatan untuk memilih."
Sesudah mengucapkan kata-kata itu dia menoleh
kepada Helmi. Tepat pada saat Helmi sedang
menatapnya. Dan mata mereka bertemu.
Di dalam mata laki-laki itu, tiba-tiba saja Ira
menemukan sorot yang pertama kali dilihatnya
belasan tahun yang lalu. Ketika dia jatuh cinta
pada lelaki itu.
"Maukah kamu memberiku kesempatan sekali
lagi?" bisiknya tanpa melepaskan pelukannya
pada Ella. "Untuk menjadi ibu anakmu?"
Helmi tidak menjawab. Karena dalam saat-saat
seperti itu memang tidak diperlukan lagi kata-
kata. Hati mereka sudah berbicara dengan sendiri-
nya. Melalui mata yang saling tatap. Melalui ta-
ngan yang saling genggam. Kemudian juga
melalui lengan-lengan Helmi ketika dia merang-
kul Ira.
Dan karena Ira masih memeluk Ella, keduanya
jadi berada dalam pelukan Helmi.
Diam-diam Arini meninggalkan mereka. Tidak
mau mengganggu kemesraan sebuah keluarga.
233 Dia melangkah seorang diri. Menelusuri lorong
rumah sakit yang sudah sepi.
Dihirupnya napas sedalam-dalamnya. Belum
pernah dia merasa selega ini. Hatinya tidak resah
lagi. Ketenangan menguasai dirinya.
Setelah dendam tidak membakarnya lagi, hi-
dup ternyata terasa lebih nyaman.
234 BERGEGAS Arini memasuki taman istana resi-
den di Wurzburg.
Saat itu sudah sore. Dan taman sudah sepi.
Tidak sulit mencari Nick. Dari jauh Arini su-
dah melihatnya. Nick sedang duduk di atas din-
ding batu yang memagari tangga istana yang
antik itu.
"Nick!" seru Arini dari jauh.
Ada getar-getar kerinduan yang menggelepar-
gelepar di hatinya setelah sekian bulan berpisah.
Arini begitu rindu hendak melihat senyum Nick.
Ingin membalas tatapan matanya yang jenaka.
Mendengar tawanya yang lepas bebas.
Ketika Nick menoleh, Arini melambai-lambai-
kan tangannya. Begitu bersemangat. Seperti re-
maja lagi. Bukan perempuan di ambang empat
puluh yang sudah letih setelah menempuh per-
jalanan yang begitu jauh.
21 235 Cinta ternyata bisa mengubah segalanya. Di-
landa cinta, seorang wanita dewasa bisa berubah
menjadi remaja. Anak-anak. Apa saja.
Lihat saja bagaimana Arini berlari-lari meng-
hambur mendapatkan lelaki yang dirindukannya.
Sementara Nick sudah melompati dua anak
tangga sekaligus sambil membuka kedua lengan-
nya lebar-lebar.
Di bawah tangga, mereka berpelukan dengan
mesra.
"Aku ingin memperlihatkan sesuatu padamu,
Nick," Arini terengah-engah mengatur napas-
nya. "Apa?" Nick menghentikan ciumannya tetapi
tidak melepaskan pelukannya. "Bekas luka ope-


Masih Ada Kereta Yang Akan Lewat Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rasimu?"
Arini membuka tas besar yang digendongnya.
Dan mengeluarkan seikat mawar merah.
Nick tertawa geli sekaligus terharu. Dilepaskan-
nya pelukannya. Diterimanya bunga itu.
"Bukan cuma cowok yang boleh membawanya,
kan?"
"Aku juga membawa sesuatu untukmu." Nick
meraba saku celananya. Dan mengeluarkan se-
buah kotak. Dibukanya tutup kotak itu sambil
berlutut di depan Arini. "Maukah kamu menikah
denganku, Arini?"
Cincin platina bermata berlian itu memantulkan
cahayanya ke mata Arini yang berkaca-kaca.
Dia tidak mampu berkata apa-apa selain me-
nganggukkan kepalanya.
23 Nick memeluknya. Menyelipkan cincin itu di
jari manisnya. Dan menciumnya dengan lembut.
"Nick," bisik Arini terharu. "Kamu masih
ingat apa yang selalu kamu katakan tentang diri-
ku?"
"Tentu. Aku bilang, aku tidak peduli berapa
umurmu. Pokoknya kamu masih bisa beranak!"
Arini membisikkan kata-kata itu dengan lem-
but di telinga kekasihnya.
"Beri aku anak, Nick."
Nick menatapnya sambil tersenyum.
"Di sini?"
"Di atas ranjang pengantin kita," Arini ter-
senyum kemalu-maluan. "Pada malam pertama
aku menjadi istrimu."
"Tunggu!" cetus Nick tiba-tiba.
"Apa?" Arini tersentak kaget.
"Pegang bunga ini! Aku harus mengabadikan
saat kamu tersipu-sipu begini!"
Arini menghela napas panjang. Sampai kapan
pun, Nick tetap Nick. Lelaki paling konyol yang
pernah djumpainya. Tetapi sekaligus satu-satu-
nya lelaki yang dicintainya.
Nick melompat-lompat naik ke atas tangga.
Menaruh kameranya di atas tembok. Dan me-
nyetelnya secara otomatis.
"Tunggu!" teriaknya sambil berlari-lari me-
nuruni tangga. "Jangan menjepret dulu!"
Dia ingin memeluk Arini saat kamera itu be-
kerja. Tetapi di anak tangga yang paling bawah,
dia tergelincir. Tersungkur ke depan.
237 Kaget dan gugup Arini coba menahannya.
Tetapi dia malah terdorong oleh tubuh Nick yang
berat. Dan jatuh terduduk pada saat kamera itu
menjepret.
Mula-mula Febrian hanya membutuhkan perempuan itu
sebagai alat untuk menyembuhkan impotensianya.
Ketika kemudian ternyata nilai perempuan itu lebih
dari hanya sekadar obat dan hiburan, dia terperosok ke
dalam dilema yang rumit.
Mereka terlibat cinta pertama yang murni bebas polusi.
Mengalami ciuman pertama yang norak banget.
Merasakan cemburu meski belum nyadar. Sampai suatu
hari Joko mengajak pacarnya melompat keluar Dari
Jendela SMP.
"Suatu hari aku akan mencarimu. Untuk melunasi
utangku. Sekalipun harus meminjam napas iblis."
Laki-laki itu melunasi janjinya yang tertunda hampir
sepuluh tahun. Tetapi dia bukan hanya membayar utang.
Dia membawa kemelut baru dalam hidup mantan
istrinya.
Mira W. MASIH ADA KERETA YANG AKAN LEWAT
Mira W.
MASIH
ADA KERETA
YANG AKAN LEWAT
Tiga belas tahun yang lalu karena takut
ketinggalan kereta, Arini telah menumpang
kereta yang salah. Kereta yang
menjerumuskannya ke jurang penderitaan.
Dia mengira tidak ada lagi kereta yang akan
melintasi hidupnya.
Tetapi dalam kereta api terakhir menuju
Stuttgart, dia bertemu dengan Nick.
Dan dalam diri lelaki yang lima belas tahun
lebih muda itu Arini sadar, masih ada kereta
yang akan lewat.
Kereta yang membawanya ke Jakarta.
Mempertemukannya kembali dengan
mantan suaminya, yang pernah
menjadikannya istri pulasan untuk
menutupi skandal cintanya dengan Ira,
sahabat Arini yang telah menikah.
Tiga belas tahun yang lalu karena takut
ketinggalan kereta, Arini telah menumpang
kereta yang salah. Kereta yang
menjerumuskannya ke jurang penderitaan.
Dia mengira tidak ada lagi kereta yang akan
melintasi hidupnya.
Tetapi dalam kereta api terakhir menuju
Stuttgart, dia bertemu dengan Nick.
Dan dalam diri lelaki yang lima belas tahun
lebih muda itu Arini sadar, masih ada kereta
yang akan lewat.
Kereta yang membawanya ke Jakarta.
Mempertemukannya kembali dengan
mantan suaminya, yang pernah
menjadikannya istri pulasan untuk
menutupi skandal cintanya dengan Ira,
sahabat Arini yang telah menikah.
Penerbit
PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building
Blok I, Lantai 4-5
Jl. Palmerah Barat 29-37
Jakarta 10270
www.gramedia.com
NOVEL DEWASA
Pendekar Rajawali Sakti 187 Penghuni Kuil Emas Pendekar Naga Putih 75 Perempuan Perempuan Lembah Hitam Warisan Masa Silam Karya V. Lestari
^