Pencarian

Misteri Dua Cinta 6

Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari Bagian 6


mengajak Wina ke sini untuk bicara sendiri dengan Mama340
Susan, tetapi dia bilang mau pergi dulu. Katanya, dia akan
bicara langsung kepadamu. Mama nggak mengerti, tetapi
Mama nggak mau memaksa dia."
"Sekarang dia ke mana?"
Arie mengambil ponselnya, lalu mencoba meng-
hubungi Erwina. Sama seperti pengalaman Susan, tidak ada
sahutan. Arie kemudian mengirim SMS, Mari kita bicara,
Say. Kita sama-sama salah. Kita harus saling memaafkan.
Kau di mana? Ayo, pulanglah! Aku nggak marah.
"Dia nggak ada di butiknya," kata Susan. "Telepon di
sana nggak ada yang angkat."
"Jadi, dia sama sekali nggak membuka butiknya?"
"Dia memang belum sempat melakukannya, Ar," jelas
Katrin. "Mama berpesan kepadanya untuk menyempatkan
bicara empat mata dengan Mama. Jadi, setelah
mengantarmu ke showroom dia kembali ke rumah. Setelah
bicara dia pergi, dan Mama datang ke sini."
"Terima kasih Mama sudah memberitahu aku dan
Mama Susan. Keberanian Mama pantas dihargai. Kalau
nggak begitu, sampai sekarang semua masih gelap, atau
remang-remang?"
"Bagaimana perasaanmu sekarang, Ar?" tanya Susan.
"Entah, seperti aneh dan mimpi. Seperti nggak wajar."
Kedua wanita itu mengamati Arie dari kanan dan kiri
dengan heran dan cemas. Apakah itu suatu kesimpulan yang
menolak realitas? Tak mau mengakui kenyataan?
"Hal yang menghiburku, dia masih mencintaiku, Ma.
Meskipun dia juga mencintai Benny. Aduh, mengapa
mataku buta?"
"Sebenarnya, matamu nggak buta, Ar," kata Susan.
"Kau terlalu percaya kepada mereka. Sekarang bagaimana?
Kau akan melapor kepada Martin?"
"Aku harus bertemu Wina dulu. Bicara dengan dia.
Maunya bagaimana."341
"Aku takut dia kasih tahu Benny," kata Katrin. "Dia
mau memberi kesempatan kepada Benny untuk kabur."
"Betul, Ar. Kalau Martin dikasih tahu dulu, kan Benny
bisa cepat ditangkap," Susan membenarkan.
"Belum tentu juga, Ma. Aku kan nggak mati. Jadi,
mereka bukan pembunuh."
"Tujuan mereka kan untuk membuatmu mati, Ar.
Motifnya adalah hartamu," kata Susan penasaran.
Arie memundurkan duduknya lebih ke tengah supaya
bisa duduk bersila, lalu memejamkan mata. Kedua wanita
itu kembali ke tempat tidur di seberangnya, menatap Arie
tanpa berbicara. Arie berkomunikasi dengan Alex.
Kau dengar, Lex? Seperti itulah kisahnya.
Mengejutkan, bukan? Wina dan Benny. Aku tahu,
Bennv dari dulu mengincar Wina. Kalau sampai seperti ini
sih kelewatan, Rie.
Aku nggak bisa menyalahkan Wina, Lex. Dia tergoda
Benny ketika dia sedang marah kepada kita. Dia sakit hati,
mau membalas.
Dia sekongkol ingin membunuhmu, Rie?
Ingat! Dia cuma memberi setengah dari obat bius yang
diperintahkan Benny, Lex.
Ya, sih. Itulah sebabnya, Benny memukulmu nggak
terlalu keras. Sekadar benjol saja. Mungkin dipikirnya
tanpa dipukul pun kau mati.
Memang begitu. Benjol itu untuk pengalihan saja.
Bagaimana dong sikap kita, Lex?
Eh, perasaanmu sendiri bagaimana terhadap Wina?
Marah atan nggak?
Aku nggak mungkin marah karena aku sendiri punya
salah. Kau sendiri bagaimana, Lex?
Sepakat, tetapi terhadap Benny aku marah.
Buat apa juga melampiaskan emosi? Biar saja dia
mendapat hukuman, tetapi bukan aku yang menghukum.
Kau ingin Wina juga dihukum, Rie?342
Aku akan minta keringanan. Barangkali Martin bisa
membantu.
Baik-baiklah bersikap kepadanya nanti.
Bagus kalau kita sudah sepakat, Lex.
Kapan akan memberi tahu Martin?
Tadi aku sudah omong. Aku harus bertemu Wina dulu,
dan bicara dengan dia. Dari hasil pertemuan itu aku bisa
menentukan sikap menghadapi Martin.
Bagus. Setuju. Wina pergi ke mana, ya? Jangan-jangan
menemui Benny.
Biar saja, Lex. Kita harus percaya. Kalau sudah begini,
dia tentunya tersudut. Masa mau macam-macam.
Betul, Rie. Tetapi... tetapi... bagaimana kalau dia bunuh
diri? Sementara itu, kita di sini memmggu-nunggu.
Wah, kau bikin aku takut. Aku yakin dia nggak akan
berbuat begitu.
Alasannya, Rie?
Dia masih mencintai kita.
Kita? Maksudmu, kamu kan? Dia belum tahu tentang
kita.
Barangkali kasus ini membuka jalan bagi kita untuk
berterus terang, Lex. Ada dua cinta di dalam diriku
untuknya.
Mudah-mudahan dia bisa menerima.
Arie mengakhiri pembicaraan. Dia dan Alex sudah
sepakat. Hal itu membuatnya lebih percaya diri dan tenang.
Sesungguhnya, ia tak peduli kepada Benny, yang
dipikirkannya hanya Erwina.
Ia membuka mata dan melonjorkan kakinya. Serentak
dengan gerakannya kedua wanita di seberangnya juga
bergerak. Mereka merasa lega melihat Arie akhirnya
"terbangun". Meskipun tak mengerti apa yang tengah
dilakukan Arie, tak ada yang berniat bertanya. Mereka
menunggu Arie memulai percakapan.343
"Aku pikir, untuk sementara kita menunggu sinyal dari
Wina saja, Ma. Selama menunggu nggak usah beritahu
Martin dulu."
"Terserah kalau kau memutuskan begitu. Aku setuju
saja. Kau bagaimana, Kat?" Susan menoleh kepada Katrin.
"Setuju," sahut Katrin, tak bisa lain. Ia sudah merasa
senang karena diajak ikut berunding.
Arie kemudian berdiri. "Aku akan kembali ke
showroom. Kalau nanti ada berita dari Wina, telepon ya,
Ma?"
"Tentu."
Saat itu, ponsel Arie berbunyi. Pesan dari Erwina.
Dengan bersemangat Arie membacakan, "Aku pulang nanti
malam ke rumah. Tunggu saja, ya. Panggil Martin juga.
Maafkan aku."
"Itu saja, Ar? Nanti malam pukul berapa?" tanya Susan.
"Nanti kutanyakan."
Arie tidak membalas SMS, melainkan menelepon.
Tidak ada sahutan dari Wina. Ia mengirim SMS, tetapi
ditunggu lama juga tidak disahuti.
"Sudahlah, Ma. Rupanya kita harus puas dengan pesan
yang satu itu saja."
Arie pamitan pergi. Susan dan Katrin memutuskan tetap
bersama-sama. Mereka akan menghabiskan waktu di situ
sampai sore, lalu berangkat ke rumah Arie.
* * *
Usai berbicara dengan ibunya pagi itu, Erwina langsung
menuju butiknya. Dua orang karyawannya sudah menunggu
di luar toko. Ia menyuruh mereka pulang karena hari itu
toko tidak buka. Demikian pula beberapa hari ke depan
sampai ada berita lebih lanjut. Mereka tidak banyak
bertanya. Setiap kali Erwina menutup toko, dan itu sudah
sering terjadi, mereka tetap dibayar.344
Sesudah kedua karyawannya pergi Erwina masuk ke
dalam toko, lalu menelepon Benny. Ia minta Benny datang
karena ada urusan penting yang harus dibicarakan.
"Aku sedang..."
"Nggak peduli. Pokoknya, kau harus datang. Ini
menyangkut nasib kita."
"Nasib?"
"Sudahlah! Jangan banyak tanya! Aku serius!"
"Jangan sekarang juga, ya. Setengah jam lagi?"
"Sekarang!"
"Mana mungkin, Say. Ada jarak yang harus kutempuh.
Kalau lalu-lintas..."
"Ya, ya. Pokoknya, cepatlah."
Erwina terenyak di sofa kantornya. Tubuhnya masih
terasa gemetar. Jantungnya juga berdebar lebih kencang.
Menunggu pekerjaan yang menjengkelkan, tetapi ada
hikmahnya, ia jadi punya kesempatan berpikir dan
berencana. Semua ini terlalu mendadak untuknya. Tiba-tiba
saja serangan itu datang. Ibunya sudah berbuat baik dengan
memberi tahu dirinya lebih dulu.
Seharusnya, dari awal ia sudah siap menghadapi hal
seperti ini. Terutama selelah Arie bangkit dari tidur
panjangnya. Cepat atau lambat, saatnya akan tiba. Apa
gunanya menangis? Apa gunanya menyesal?
Beberapa kali telepon di kantornya berbunyi, tetapi ia
biarkan saja. Ia tahu, orang-orang yang mencarinya pasti
akan menelepon tempat itu lebih dulu. Kalau tak diangkat
mereka akan menyimpulkan ia tak ada di situ.
Cepat ia bangkit, lalu menatap wajahnya di cermin. Ia
terkejut melihat rias wajahnya yang amburadul. Sama sekali
tak terpikir sebelum berangkat tadi untuk memperbaiki rias
wajahnya. Pantas tadi kedua karyawannya memandangnya
dengan terheran-heran. Kelihatannya mereka juga tidak
sampai hati untuk bertanya.345
Ia memperbaiki rias wajahnya dengan cermat. Jangan
sampai Benny melihatnya seperti itu. Ada hikmahnya dia
tak segera datang seperti yang diinginkannya tadi. Ia ingin
terlihat tenang dan terkendali. Siap menanggung segala
risiko perbuatannya. Ia ingin membuat Benny terheran-
heran melihat sikapnya.
Sesudah selesai, ia keluar dari kantornya dan menunggu
kedatangan Benny di ruangan toko. Ia mengunci pintu
kantornya. Tentu ia belum melupakan pengalaman yang
sudah lewat.
Ia merasa tersentuh oleh pesan yang dikirimkan Arie.
Jadi, Arie sudah tahu dan memaafkannya. Sekarang Arie
memang sudah berubah. Gampang sekali ia memaafkan,
padahal itu adalah kesalahan yang besar sekali. Bukan
sekadar kesalahan, tetapi kriminal. Bisakah Arie me-
nerimanya kembali tanpa trauma yang membekas?
Tampaknya itu tidak mungkin atau sulit sekali.
Ia melihat bayang-bayang di depan pintu. Ia menunggu
dulu sampai ponselnya berbunyi dan pesan Benny muncul,
yang memberi tahu keberadaannya. Ia kemudian membuka
pintu. Setelah Benny masuk pintu ia kunci lagi.
"Ada apa, sih? Kaututup lagi, ya?" tanya Benny.
"Ada masalah. Ayo duduk!"
Kali ini Erwina membiarkan Benny menciumnya.
Terpikir olehnya, itu untuk terakhir kalinya.
Ia bercerita dengan cepat perihal pembicaraannya
dengan ibunya, dan apa yang telah dilakukan Susan bersama
Martin.
"Mengapa pula kau harus memindahkan foto-foto?"
kata Benny menyesali.
"Sudahlah. Itu kan sudah kejadian," sahut Erwina kesal.
"Kalau kurenungkan, mereka belum punya bukti
konkret. Baru sangkaan. Betapapun sangkaan itu menjurus,
tetapi konkretnya belum ada."346
"Aku sudah mengaku, Ben. Sekarang, pengakuanku
mungkin sudah dibawa ibuku entah ke mana."
"Aduh!" seru Benny, sambil menepuk kepalanya.
"Mengapa kau terburu-buru begitu? Harusnya kau kontak
aku dulu sebelum sembarangan omong. Kita kan sudah
sepakat."
"Aku sudah nggak tahan, Ben! Kau nggak masalah
karena hidup di luar lingkungan di mana aku berada. Aku
kan setiap hari menghadapi ibuku dan suamiku."
"Suamimu? Huh!" seru Benny, dengan cemooh.
"Apa maksudmu omong begitu?" Erwina kesal.
"Kok sekarang menyebut dia suami. Bukan Arie."
"Lho dia memang suamiku, kan?"
"Omongnya beda. Apa yang dia berikan kepadamu
sampai kau berbalik seperti ini?"
"Aku nggak berbalik."
"Aku nggak percaya. Jangan-jangan ada barter yang
kaulakukan supaya mau mengaku."
"Aku belum omong kepada Arie. Baru kepada ibuku
saja. Sekarang aku omong kepadamu. Kalau memang ada
janji-janji, mengapa aku harus omong kepadamu?"
"Tampaknya kau ingin mengkhianatiku."
"Apa?! Mengkhianati apaan? Sudah kubilang, kalau
aku memang ingin mengkhianatimu aku takkan
mengajakmu bicara sekarang. Diam-diam saja, kan?"
Benny termenung. Wajahnya tampak resah.
"Kita mesti bagaimana, ya?" katanya.
"Aku sudah mendapat SMS dari Arie. Dia sudah tahu
juga. Katanya, dia memaafkan aku."
Wajah Benny menjadi muram. "Oh, ya? Kau pasti
senang," katanya sinis.
"Sejak hidup kembali, dia menjadi orang yang lebih
baik. Bukankah kau pun diberi penghapusan cicilan mobil?"
Benny tersentak kaget, lalu marah. "Jadi, dia sok baik,
ya? Dia juga cerita ke mana-mana, ya?"347
"Dia nggak pernah cerita. Aku dengar dari ibuku, yang
mendengarnya dari Mama Susan. Mama Susan men-
dengamya dari Martin."
Benny terdiam.
"Aku punya usul, Ben. Kita melakukan perbuatan itu
bersama-sama. Sekarang, risikonya kita tanggung bersama
juga."
Benny mengerutkan kening. "Bagaimana menanggung-
nya?"


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita serahkan diri bersama. Masuk penjara bersama,"
kata Erwina dengan sedih. Hal yang dulu suka dibayang-
bayangkannya akan segera menjadi kenyataan.
"Aku lebih baik mati daripada masuk penjara," kata
Benny, dengan suara garang.
Erwina terkejut. "Jadi... jadi kau mau bunuh diri?"
"Aku harus membunuhnya dulu sebelum aku mati. Aku
menyesal dulu nggak memukul kepalanya sampai hancur.
Kalau kepalanya hancur berikut mukanya nggak mungkin
dia bisa hidup lagi. Kalau nanti aku membunuhnya, aku
nggak akan memberinya kesempatan untuk hidup lagi."
Erwina tersentak oleh kekejaman yang terpancar dari
mata Benny. Hal seperti itu baru pernah dilihatnya. Selama
ini yang diingatnya hanya mata yang menyorotkan
kelembutan dan cinta.
"Mengapa harus seperti itu, Ben? Kan nggak harus
begitu?"
"Dia bilang, dia memaafkanmu. Tahu mengapa dia
bilang begitu? Tentu karena dia masih tetap ingin
memilikimu. Aku nggak rela kau jadi miliknya."
"Jangan, Ben! Jangan jadi pembunuh benaran!"
"Nah, kau membelanya."
"Bukan begitu. Kita nggak jadi pembunuh karena dia
nggak mati. Jadi, kita bukan pembunuh. Hukumannya pasti
nggak berat."348
"Aku nggak peduli! Aku cuma nggak mau kehilangan
kau."
Perasaan Erwina tersentuh. "Kalau begitu, biarlah kita
masuk penjara sama-sama. Keluar dari penjara kita bisa
jalani hidup bersama."
"Apa? Aku dan kau menjadi sepasang kere dong. Mana
mungkin aku bisa membiayaimu, apalagi sebagai mantan
napi. Aku yakin, dia akan berusaha supaya kau nggak
masuk penjara, yang masuk cuma aku sendiri. Kaupikir aku
ini bodoh?!"
"Kalau begitu, maumu apa sekarang?"
"Entah. Belum terpikir. Kalau aku mengajakmu kabur,
aku nggak punya duit. Apa kau punya?"
Erwina menggeleng.
Benny mencibir. "Kau pasti nggak mau diajak kabur.
Lebih enak di samping suami kaya, kan?"
"Aduh, jangan sinis dong, Ben. Aku serius."
"Aku juga. Lihat kenyataan, Win. Aku nggak punya
siapa-siapa yang melindungi. Kau punya ibu dan suami
kaya. Mereka akan berusaha menolongmu. Kalau aku? Pasti
akulah yang akan jadi kambing hitam. Akulah yang salah.
Sedang kau adalah korban bujukanku. Tak ada simpati
untukku."
"Kau memang membujukku. Aku nggak mau, kan? Kau
bilang..."
"Stop! Jangan bicara lagi! Ya, seperti itulah yang akan
kaukatakan kepada semua orang. Kau adalah korban."
"Kau yang bilang. Bukan aku."
Erwina merunduk sedih. Benny bukanlah orang yang
bisa diandalkan dalam situasi kritis. Kebersamaan dalam
kejahatan tidak berarti kebersamaan juga dalam per-
tanggungjawaban. Tiba-tiba ia mendengar suara, yang
membuat ia mengangkat kepala. Dengan tercengang ia
melihat Benny sedang terisak-isak. Ia baru pernah melihat349
lelaki menangis seperti itu. Atau memang seperti itukah cara
lelaki menangis? Bukan karena sedih, tetapi putus asa!
Ia tak ingin menghibur karena dirinya pun berada dalam
posisi yang sama. Seharusnya, mereka memang saling
menghibur, tetapi yang jelas Benny tidak berbuat begitu.
Benny ingin dihibur, tetapi tak mau menghibur. Ia terkejut
karena Benny tiba-tiba melompat, lalu memeluknya!
Pelukan itu begitu ketat dan keras hingga Erwina sulit
bernapas. Ia berontak sekuat-kuatnya, tetapi Benny terlalu
kuat untuknya.
"Lepaskan! Kalau tidak, aku menjerit!" katanya, dengan
napas sesak.
Benny melonggarkan pelukan, tetapi tidak melepaskan.
"Jangan tinggalkan aku, Win! Aku sangat
mencintaimu," katanya, dengan suara mengiba.
Erwina tertegun. Apakah Benny bersungguh-sungguh
dengan pernyataannya atau takut ditinggal-kan sendiri?
"Wiiin... Wiiin...!" rengek Benny.
"Ben, aku juga mencintaimu. Kalau tidak, mustahil aku
melakukan yang kauminta?"
"Kalau begitu, kau bersedia ikut aku? Bukan cuma
dalam suka, tetapi juga dalam duka."
"Jelaskan dulu apa maksudmuF'
"Kalau kau berjanji meninggalkan Arie, aku bersedia
menyerahkan diri."
"Meninggalkan dalam arti bercerai?"
"Tentu saja. Apa lagi?"
Erwina terpaku. Dulu ketika ia masih membenci Arie,
ia pernah mengusulkan kepada Benny agar dirinya minta
cerai saja dari Arie, tetapi Benny tidak setuju. Mengapa
justru sekarang?
"Aku tahu apa yang ada dalam pikiranmu," lanjut
Benny. "Dulu dan sekarang berbeda. Mengapa dia harus
hidup lagi dan mengacaukan segala rencana?"350
Rasa respek Erwina terhadap Benny melorot sampai
titik terbawah.
"Kalau aku cerai dari Arie, kita akan melakukan apa?"
"Kita menikah setelah masalah selesai."
"Maksudmu setelah keluar dari penjara?"
"Ya."
Erwina menggeleng. Tadi Benny justru mencemoohnya
untuk pilihan itu. Apakah dia berubah pikiran atau tidak
serius?
"Aku nggak mau janji apa-apa sekarang, Ben. Kita
jalani saja apa yang semestinya. Biar seperti air mengalir
saja, arahnya ke mana. Kalau Arie menceraikan aku, aku
harus terima."
"Kalau nggak? Kalau dia memaafkan dan minta kau
tetap jadi istrinya, bagaimana?"
Erwina tak menjawab. Ia tahu, jawabannya akan mem-
buat Benny marah. Ternyata, diamnya itu juga berakibat
sama saja.
"Kau memilih cari selamat, kan?" kata Benny sinis.
Erwina tetap diam.
"Kalau begitu, aku kabur saja. Kita menempuh jalan
masing-masing. Terserah kau, dan terserah aku. Setuju?!"
"Kau mau ke mana?"
"Aha, kau ingin tahu supaya bisa kasih info, kan?
Semakin banyak jasamu, semakin ringan hukumanmu."
"Jangan sinis, Ben."
"Baiklah. Kalau begitu, pilihanmu apa?"
"Menyerah."
"Itu sudah jelas. Kau sudah mengaku duluan, kan?"
kata Benny kesal.
"Kita menyerah berdua kepada Martin. Kita akui
semua."
"Aku nggak mau begitu. Aku mau sembunyi,
sedangkan kau terserah."351
"Kalau kau sampai tertangkap, hukumannya bisa lebih
berat dibandingkan menyerahkan diri."
"Aku mau menyerah kalau kau memenuhi syarat yang
tadi kuajukan."
"Tanpa syarat."
"Kalau begitu, nggak usah."
"Baik. Pergilah! Masih ada waktu sampai sore."
"Sore ini?"
"Ya."
"Ah, kau terlalu. Kalau begitu, waktuku hanya cukup
untuk pergi ke akhirat."
"Apa?"
Erwina terkejut. Baginya, ucapan Benny itu bermakna
bunuh diri. la tidak mau itu terjadi.
"Jangan, Ben!"
"Kau nggak memberiku banyak pilihan."
"Memang nggak ada."
Benny termenung sejenak, lalu ia menatap sendu.
Tatapannya menyayat perasaan Erwina. Terkenang kembali
semua pengalaman manis dan mesra bersama Benny. Ia
merasa limbung, kehilangan pegangan pada ketegasan
sebelumnya.
"Bagaimana, Ben?" ia bertanya putus asa, walaupun
semula ia sudah yakin pada pendiriannya.
Benny merangkulnya dengan pelukan yang lembut.
Berbeda daripada tadi. Ia menciumi leher Erwina sambil
menggigit-gigit pelan. "Oh, Sayangku. Aku akan kehilangan
kau," bisiknya di telinga Erwina. "Sakit sekali rasanya.
Maukah kau bercinta denganku untuk terakhir kalinya?"
Erwina mengejang. Ia tersiksa oleh perasaan yang
bertentangan. Antara penolakan dan penerimaan. Bukan
kalah atau menang, dua-duanya adalah keinginan.
"Di... di... sini?" katanya terbata, sambil menatap pintu
ruang kantor yang sudah dikuncinya.352
"Di rumahku," bisik Benny, lalu menggigit-gigit telinga
Erwina.
"Apa?" Erwina melupakan rasa gelinya di telinga. Ia
sudah pernah ke rumah Benny yang kecil, meskipun
nyaman. Tempat itu di tengah permukiman padat. Arie tentu
sudah tahu alamat Benny. Ia bisa membawa Martin dan
anak buahnya menyerbu ke sana, lalu menangkap basah
mereka. Harga dirinya akan lenyap di mata Arie. Demikian
pula cinta Arie kepadanya.
"Kita kan nggak lama-lama di sana. Masa mau ke hotel
atau... atau di sini?"
Tatapan Benny melirik ke ruang kantor.
"Setelah itu, kita mau ke mana?"
"Menyerah seperti katamu."
Erwina kurang percaya, tetapi ia tak punya pilihan lain.
Benny menarik Erwina pelan. "Ayolah, Say. Kita nggak
boleh membuang waktu. Setiap detik yang kita miliki sangat
berharga."
Benny menatap mata Erwina dengan lembut dan penuh
cinta. Sesuatu yang sangat dikenal dan dirindukan Erwina.
Tatapan yang berbicara tentang cinta dan kemesraan.
Tatapan yang mendahului dan menyertai segala ungkapan
dan perilaku cinta. Perasaan Erwina luruh. Terakhir kali?
"Kau menyimpan uang di sana?" tanya Benny,
menunjuk pintu kantor.
"Ada sedikit di laci."
"Bawalah semuanya."
Erwina mengambil kunci dari dalam tasnya. Ia
menyerahkannya kepada Benny.
"Ambil sendiri, ya. Aku mau ke belakang dulu."
Sementara Benny membuka pintu, Erwina menyambar
tasnya dan bergegas ke kamar mandi. Ia sengaja membawa
tasnya karena tak ingin isinya digeratak Benny. Isi tasnya
lebih berharga daripada isi laci di kantornya. la juga tak
ingin isi ponselnya diperiksa Benny.353
Di kamar mandi ia merenung sejenak. Perasaannya
tegang. Ia seolah-olah tidak menginjak lantai, tetapi
melayang dan mengambang. la seolah-olah tengah
bermimpi, bukan menghadapi realitas.
Keputusannya untuk memenuhi permintaan Benny
bukan tidak bertentangan dengan hatinya. Ia merasa
bersalah kepada Arie. Ia sangat berharap Benny memenuhi
janjinya. Mereka akan menyerah dengan damai. Bila dirinya
yang dijadikan taruhan atau syarat untuk itu, mengapa
tidak? Ia sudah merasa telanjur. Kalau sudah kepalang
basah, mandi saja sekalian.
Ia mengambil ponselnya. Ia akan memberi tahu Arie, ke
mana Benny membawanya sekarang. Ia melakukannya
bukan karena tidak mempercayai Benny, tetapi juga karena
rasa tanggung jawabnya kepada Arie. Dengan terkejut ia
menyadari baterai ponselnya habis. Di kamar mandi tak ada
colokan listrik. Adanya di luar. Kalau ia menghubungi Arie
di kantor, Benny akan tahu.
Ia berpikir sejenak, lalu mengeluarkan lipstik. Bukan
untuk disapukan ke bibirnya.354
19 SABTU yang sama, menjelang sore.
Susan dan Katrin sudah berada di rumah Arie. Mereka
memutuskan untuk menunggu bersama-sama dan meng-
habiskan waktu dengan menonton televisi, meskipun tidak
tertarik. Tentu harus ada sesuatu yang dilakukan sebagai
pengalihan dari pikiran yang mencemaskan. Sementara
untuk ber-bincang tak ada bahan yang bisa diperbincangkan.
Jadi, sebenarnya mereka lebih banyak merenung dengan
mata menghadap pesawat televisi.
Beberapa kali baik Susan maupun Katrin berupaya
menghubungi ponsel Erwina, tetapi selalu gagal. Kalau ada
nada panggilan masuk ke ponsel mereka, dengan antusias
segera mereka lihat. Ternyata, isinya melulu dari Arie, yang
menanyakan apakah sudah ada kabar dari Erwina.
Susan kemudian mengajukan ide. Ia menganjurkan Arie
mencoba menghubungi Benny karena Arie punya
nomornya.
"Sudah kulakukan, Ma. Sejak tadi-tadi. Seperti ponsel
Wina, HP dia pun mati."
"Kaukirimi SMS atau nggak?"
"Kalau itu nggak karena aku belum mau memberitahu
perasaan dan tindakanku. Aku yakin, dia sudah diberitahu
Wina."
"Kalau dia menjawab teleponmu, kau mau bilang apa?"
"Pura-pura nggak tahu saja. Tanya soal lain. Mobil kek
atau apa. Ingin tahu bagaimana reaksinya."355
"Oh, begitu. Kalau Martin bagaimana?"
"Nah, itu lucu juga, Ma."
"Lucu bagaimana?"
"Aku sudah nggak tahan ingin memberi tahu dia.
Rasanya nggak ada gunanya menunggu seperti yang diminta
Wina. Lucunya HP-nya juga mati."
"Ha?" Susan terkejut.


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kukirimi SMS beberapa jam yang lalu juga nggak
dibalas. Entah sampai atau nggak. Jangan-jangan pulsanya
habis atau baterainya mati."
"Wah, petugas kok begitu!" keluh Susan.
"Sekarang aku mau berupaya mencari Wina sendiri
saja, Ma."
"Cari ke mana?"
"Ke mana saja yang mungkin. Sekarang aku mau jalan
ya, Ma. Doakan."
Hubungan telepon berakhir. Susan berpandangan
dengan Katrin. Duduk berdekatan dengan Susan, Katrin bisa
mendengar semua pembicaraan.
"Tampaknya kita melakukan kesalahan, Sus," kata
Katrin pelan.
"Kesalahan apa maksudmu?"
"Kita membuang waktu dengan percaya pada janji
Wina. Mestinya sejak tadi kita berupaya mencarinya,
menghubungi Martin, atau aku mencegah dia pergi. Ah,
mengapa nggak kularang saja?"
"Jangan menyesali diri, Kat. Sudah kejadian kok. Lagi
pula, biarpun kaularang apakah dia akan menurut?"
"Betul juga sih. Kalau dia bermaksud memberitahu
Benny kan bisa lewat telepon saja, ya? Terserah mau kabur
atau bagaimana, yang penting Wina selamat."
"Apa maksudmu?"
"Aku... aku takut dia diapa-apakan Benny." Akhirnya,
Katrin mencetuskan juga kekhawatirannya yang telah
disimpannya sejak tadi.356
"Apa ya Benny tega berbuat jahat kepada Wina? Kan
cinta."
"Siapa tahu, Sus. Orang yang sudah terdesak kan bisa
macam-macam."
Susan memeluk Katrin.
"Berpikir positif saja, Kat. Kita doakan Arie bisa
menemukan Wina. Kita juga terus berusaha menghubungi
Martin. Aduh, ke mana sih orang itu? Nggak biasanya HP-
nya mati, padahal ini penting sekali."
Keduanya termangu dengan pikiran tertuju kepada
Martin. Mungkinkah dia sedang sibuk mengejar penjahat
lain?
*** Tempat yang pertama dituju Arie adalah butik milik Erwina.
Ia tersentak melihat mobilnya parkir di halaman. Itu
menandakan Erwina masih ada di tempat itu!
Ada tulisan "Tutup" tergantung di pintu kaca sebelah
dalam. Lampu juga mati. Jelas tak ada orang di dalam.
Pintunya dikunci, tetapi ia punya kunci serep. Pada saat ia
akan membuka pintu, seseorang menghampiri. Ia
mengenalnya sebagai tukang parkir, yang biasa mangkal di
situ.
"Pak! Tadi Ibu titip mobil kepada saya."
"Dia pergi dengan siapa, Pak?"
"Nggak tahu, Pak. Nggak kenal. Dia bawa mobil merah.
Orangnya ganteng. Kayak Bapak."
"Ya, ya. Saya tahu," kata Arie, tanpa memperlihatkan
emosinya. "Saya kenal dia."
"Oooh!" kata tukang parkir, mengira akan melihat
kemarahan.
"Dia juga titip kunci mobil?" tanya Arie.
"Nggak. Kuncinya masih di dalam mobil."357
Arie mendekat ke mobil, lalu mengintai ke dalamnya
karena kacanya agak gelap. Kunci memang masih meng-
gantung.
"Terima kasih sudah menjaga mobil, Pak. Tolong jaga
sebentar lagi. Saya mau ke dalam sebentar."
Arie bergegas masuk ke dalam. Keadaan masih seperti
biasa. Ruang kantor terkunci. Ia membuka dengan kunci
miliknya. Ada laci yang terbuka. Ada kertas-kertas, tetapi
tidak ada uangnya. Entah memang tak ada atau sudah
diambil. Orang yang melakukannya tak peduli menutup
kembali lacinya. Ia tak ingin membuang waktu memeriksa
tempat itu. Tak ada barang lain yang menarik minatnya.
Ia berpikir dulu ke mana akan pergi. la memeriksa lagi
ponselnya. Tak ada balasan SMS dari Erwina. Ia mencoba
lagi menghubungi Martin, tetapi hasilnya sama. Ia terduduk
bingung.
Lex! Wina dibawa Benny. Kira-kira ke mana, ya? Ada
tempat yang terpikir olehmu?
Kelihatannya tadi mereka berhincang dulu di sini. Ada
bau Benny.
Baunya? Kau punya penciuman seperti anjing rupanya.
Jangan bercanda Rie. Cermati kelilingmu. Ada
petunjuk, nggak?
Nggak ada. Tadi kan sudah kuperiksa.
Baju-baju?
Ayo, kita lihatl Nah, mana ada, Rie. Buang waktu saja.
Kita harus berpikir dulu sebelum menentukan mau cari
ke mana, Lex.
Barangkali si tukang parkir tahu sesuatu yang bisa jadi
petunjuk.
Nanti kutanya dia. Sudah, keluar saja. Panas banget di
sini. Eh... aku mau pipis dulu, ah. Kebelet.
Dasar358
Arie cepat-cepat ke belakang. Tadi tidak terasa apa-apa,
tetapi sekarang mendadak ia merasa begitu ingin buang air
kecil sampai terasa nyeri di perut bagian bawahnya.
Ia menerobos ke kamar mandi, menyalakan lampu, dan
buru-buru melaksanakan hajatnya.
Rie! Rie! Lihat itu! Lihat cermin!
Arie menatap ke sisinya. Ia melihat coretan-coretan
merah pada cermin. Setelah selesai buang air kecil, ia ber-
gegas mengamati cermin. Di situ ada coretan menggunakan
lipstik. Sebuah gambar rumah dengan huruf yang besar di
tengahnya.
"Rumah Benny!" Ia berseru, berbarengan dengan
seruan Alex dalam pikirannya.
Mereka ke rumah Benny, Lex. Apa rumahnya yang
dulu?
Ya, coba saja. Memang ada rumahnya yang lain?
Itu pasti coretan Wina. Coba amati lagi. Apa ada
alamatnya?
Nggak ada tulisan. Cuma gambar.
Pasti rumah yang itu. Ayo cepat ke sana, Lex!
Arie berlari ke luar, sebelumnya masih ingat mengunci
pintu dulu. Ia membuka pintu mobil. Ia harus menggunakan
mobil itu sebagai sarana satu-satunya. Kalau berhati-hati, ia
yakin bisa selamat.
Tukang parkir mendekat.
"Sudah mau jalan, Pak?" Ia bertanya ramah.
Arie mengambil dompetnya, mengeluarkan uang, lalu
memberikannya kepada tukang parkir. "Ini, Pak, uang
rokoknya. Terima kasih sudah dijagai."
Tukang parkir itu menerima uang dengan wajah berseri.
"Terima kasih, Pak," katanya, sambil berharap tak ada
masalah berat yang dihadapi Arie. Wajah Arie tampak
muram sekali. Istri Arie yang cantik itu pastilah ber-359
selingkuh karena lelaki yang sama pernah dilihatnya
beberapa kali ke situ.
Arie melajukan mobilnya menuju rumah Benny, yang
diketahuinya berada di daerah Jakarta Barat yang padat. Di
situ Benny mengontrak karena memang tak punya rumah
sendiri. Sejak dulu, ketika masih akrab, Arie sudah
menasihati Benny agar berupaya mengumpulkan uang untuk
membeli rumah. Ada saatnya Benny mendapat penghasilan
besar, meskipun ada saat lain tak punya penghasilan, tetapi
penghasilannya kerap habis tak menentu. Ia hanya mampu
mencicil mobil, itu pun tak mulus. Meskipun akrab, Arie
tidak pernah tahu sisi lain kehidupan Benny yang paling
pribadi. Mereka bertiga, bersama Alex, hanya teman
bermain sejak kecil. Benny memang sudah dianggap sebagai
anggota keluarga oleh Susan karena Benny sudah yatim
piatu sejak mahasiswa. Sekolahnya dibiayai oleh kakaknya.
Aku benar-benar nggak menyangka terhadap Benny,
Rie. Dulu d?a baik, kan? Waktu aku sakit di apartemen, d?a
yang bantu aku masuk rumah sakit. Kalau nggak, aku pasti
terkapar mati sendirian di sana.
Itu dulu. Manusia memang bisa berubah. Aku juga.
Kalau berubah mestinya menjadi lebih baik, buhan
kebalikannya, Rie.
Aku jadi suka berpikir, Lex. Ke depannya kita
bagaimana, ya? Sama-sama terus dengan cinta kita?
Bagaimana kalau cintamu padam, sedangkan cintaku masih
bergelora? Atau kebalikannya? Sekarang kita selalu
sepakat, tetapi bisakah itu berlangsung terus?
Waduh, mendingan jangan banyak berpikir yang
menyimpang, Rie. Ini saja belum beres, sudah berpikir yang
lain. Berat amat.
Pikiran itu suka muncul sendiri, Lex. Bukan mengada-
ada. Kau lebih bijak dari aku karena lama bermukim di360
alam sana. Kau pasti tahu jawabannya. Bisa kasih bocoran
dong, Lex?
Ha... ha... ha! Kau ini ke mana-mana minta bocoran.
Sudahlah, jalani saja hidup ini apa adanya. Jangan cerewet
mempertanyakan ini-itu.
Pelit juga kau, ya? Nggak mau bagi-bagi info. Heran
juga, ya! Sembilan jam aku mati, tetapi nggak ada
pengalaman di alam sana. Bertemu dengan kau juga nggak.
Tahu-tahu kau mengikuti aku pulang.
Ya, begitulah.
Kalau dipikir lagi, apakah benar alasan kepulanganmu
karena Erwina? Masa ya sih sedangkal itu. Aku pikir, di
alam sana tingkatannya pasti lebih tinggi.
Kau nggak bisa omong kalau belum mengalami. Kalau
diberi kehidupan, jalani saja. Asalkan jalani yang baik.
Itu kata-kata yang bijak. Aku sudah cukup baik selama
seminggu ini, kan? Terlebih-lebih lagi, aku punya
pengawal.
Siapa?
Kamu.
Ha... ha... ha! Dalam kondisi begini kau masih bisa
melucu. Nggak apalah. Bisa rileks sedikit.
Aku juga ingat Tiara. Dia cuma mati sebentar tetapi
punya pengalaman. Bahkan bisa bertemu kau. Mengapa dia
bisa bertemu kau, ya? Heran tuh, padahal dia nggak
melihat wajah lain. Ah, kau pasti nggak mau menjawab.
Oh... ya, bahkan Martin yang mati tiga perempat bisa
melihat mata kucing, sedangkan aku gelap total.
Sebetulnya, lebih baik begitu, Rie. Kalau dikasih
pengalaman, kau malah berpikir lain lagi. Kauhubung-
hubungkan dengan soal lain.
Aku jadi pusing, nih. Kita harus kembali pada kasus
Wina.
Nah, begitu. Anggap saja kita mengisi waktu.361
Komunikasi selesai. Arie sudah tiba di tujuan. Sebuah
rumah mungil, yang berdempetan dengan kiri kanannya.
Sudah lama Arie tidak melihat rumah itu. Masih sama
seperti yang terakhir kali dilihat-nya. Rumah itu memiliki
garasi yang tampak kosong. Tidak ada mobil Benny di situ
atau di tepi jalan. Jelas rumah itu sama sekali tidak ideal
untuk dijadikan tempat persembunyian. Bila melihat cara
Erwina memberi petunjuk pada cermin kamar mandi
mestinya dia tidak mengikuti Benny dengan sukarela.
Mengapa harus dengan cara itu bila ia bisa menelepon atau
mengirim SMS? Apakah ponselnya tidak berfungsi atau
disita Benny?
Mendekati rumah itu, ia semakin yakin bahwa rumah
itu kosong karena ada gembok terkunci pada pintu pagar.
Tak ada jalan lain, ia bertanya kepada tetangga. Semua yang
bisa ia temui dan tanyai mengatakan bahwa Pak Benny
sudah pindah beberapa bulan yang lalu. Perabotannya sudah
diangkut. Pindah ke mana, tak ada yang tahu.
Arie kembali ke mobilnya dengan bingung. Ia kembali
menemui jalan buntu.
Ke mana lagi kita, Lex?
Tanyakan kepada kakaknya, Mbak Irma! Kau punya
nomor teleponnya?
Nggak.
Rumahnya?
Nggak tahu juga.
Kantor atau tempat kerja Mbak Irma?
Nggak tahu.
Coba ageni jual beli rumah itu, Rie. Tanya ke sana!
Baik.
Kesepakatan sudah diperoleh. Arie tahu alamat agensi
perumahan karena pernah ditunjukkan oleh Benny sewaktu
berkendaraan bersama.362
Setibanya di sana, kembali kekecewaan yang di-
perolehnya. Semua yang ditanyainya mengatakan tidak tahu,
termasuk pimpinan kantor yang mengaku bernama Arnold.
Mereka hanya tahu nomor ponsel Benny, tetapi tidak tahu
alamat rumahnya. Arie tidak percaya kalau Arnold pun tidak
tahu. Ia sudah menegaskan bahwa dirinya punya berita
penting untuk Benny, tetapi ponselnya tak bisa dihubungi.
Arnold bersikeras dirinya memang tidak tahu.
"Mau bagaimana lagi kalau nggak tahu, Pak?"
"Ya, sudah. Apakah Benny masih aktif sebagai
penjual?"
"Oh, ya. Dia salah satu penjual yang terbaik."
"Kapan terakhir dia menjual rumah, Pak?"
"Wah, kapan ya? Nggak ingat persis."
"Kalau nggak ingat berarti sudah lama dong."
"Belum terlalu lama."
Arie kesal. Jawaban yang diterimanya serba tidak pasti.
Jelas bahwa orang yang dihadapi tidak suka ditanyai.
Dia bohong, Rie! Kau pasti?
Aku lihat di matanya. Jangan-jangan dia sudah dipesan
Benny supaya nggak memberitahu.
Kalau memang begitu, berarti baru saja dong.
D?a harus dipaksa untuk memheritahu, Rie.
Orang yang bisa memaksanya Martin.


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Betul sekali.
Arie kembali berusaha menghubungi Martin. Dia
mengirim SMS dengan tulisan huruf kapital, SOS-SOS-
SOS. Ia melakukan hal itu karena telepon Martin tidak
bernada sambung. Dengan mengirim SMS itu ia berharap
Martin bisa membacanya bila menghidupkan ponselnya,
lalu menghubunginya.
* * *363
Rumah itu terletak di kawasan Jakarta Selatan, tak begitu
jauh dari rumah Arie. Seperti umumnya rumah-rumah di
kawasan ini, halamannya berpohon lebat dan rindang.
Rumahnya sendiri tak begitu besar, tetapi seperti rumah
Arie halamannya luas dipenuhi pepohonan hingga rumahnya
hampir tak kelihatan dari jalanan.
Tadinya Benny sengaja memilih rumah itu sebagai
tempat pertemuan dengan Erwina. Daripada bertemu di
hotel, yang merupakan tempat umum dan berisiko. Lagi
pula, bertemu di hotel harus membayar. Ia belum sempat
mengajak Erwina ke situ karena ingin melakukan beberapa
perbaikan lebih dulu, terutama kamar tidurnya yang harus
dibuat senyaman mungkin.
Sekarang, ia bersyukur karena hal itu. Erwina tidak bisa
memberi tahu siapa pun lewat ponselnya.
Sewaktu masih berada di butik, ia sudah curiga Erwina
akan mengirim SMS di kamar mandi karena membawa serta
tasnya. Ia biarkan saja karena yang diketahui Erwina, dan
tentunya juga Arie, adalah rumah lamanya.
Erwina terkejut ketika mobil memasuki rumah itu.
"Lho kok ke sini?"
"Ini rumahku. Aku sudah pindah."
"Kok tadi nggak bilang?"
"Kau nggak tanya."
Erwina mulai dirayapi rasa takut melihat kondisi rumah
yang tersembunyi itu.
Benny merasa kesal dan kemudian marah karena
Erwina bersikap dingin, bahkan tampak takut kepadanya. Ia
menuntut janji Erwina, yang tadi diucapkan sewaktu berada
di butik, bahwa mereka akan bercinta sebelum menyerahkan
diri.
"Bagaimana aku bisa yakin kau pun akan menepati
janji?" tanya Erwina.
"Percaya saja. Aku kan nggak bisa berbuat lain. Aku
mau lari ke mana sih?"364
Erwina sempat goyah. Ia sudah mengikuti Benny
sampai ke situ. Kelihatannya sulit mundur lagi.
"Kau harus konsekuen dengan ucapanmu, Win. Biarkan
aku masuk penjara dengan kenangan yang indah."
Benny mulai merayu Erwina dengan segala
kemampuannya, tetapi terasa seolah merayu robot yang tak
berperasaan. Erwina tidak bergairah karena teringat kepada
Arie. Akhirnya, Benny menyerah dan memutuskan untuk
bersabar. Sikap Benny sempat menenangkan Erwina.
Berikan Benny kesempatan untuk mendinginkan hatinya
dulu. Harapan Erwina cukup besar. Ia ingin Benny bisa
mendapat keringanan hukuman bila menyerahkan diri
dengan sukarela. Jadi, dalam situasi itu ia tidak boleh me-
nyudutkan Benny atau memberinya kesan tersudut.
Benny terduduk dengan ekspresi lelah. Ia melonjorkan
kaki dan menyandarkan kepala ke belakang. Matanya
dipejamkan.
"Kau kenapa?" tanya Erwina khawatir.
"Aku capek."
Erwina melihat arlojinya. Pukul enam sore. Semua
orang tentu sudah menunggu kedatangannya. Apakah
Martin pun datang? Tampaknya itu sudah pasti. Dia yang
paling bersemangat. Mereka akan menyadari dirinya
bukanlah orang yang melarikan diri dari tanggung jawab.
Tentunya termasuk juga Arie. Kata Arie lewat SMS, dia
tetap mencintainya dan memaafkannya. Apakah itu benar?
Kalau memang benar, ia senang tetapi juga malu.
Benny membuka matanya, mengamati Erwina.
"Win, kau lapar?"
"Oh, ya. Kau punya makanan?"
"Ada piza dingin di kulkas. Makan saja. Kalau pulang
nanti kau bisa makan besar di rumah."
Ucapan itu membuat Erwina sedih.
"Kau makan juga dong. Aku ambilkan, ya!"
Erwina menuju kulkas kecil di sudut kamar.365
"Bukan di situ. Di kulkas dapur. Itu isinya cuma
minuman."
Ketika Erwina kembali, ia melihat Benny sudah duduk
tegak. Di atas meja di depannya ada dua botol minuman,
yang sudah dibuka dan dimasukkan sedotan. Satu botol
sudah tinggal setengahnya.
Erwina menyerahkan sepotong piza kepada Benny,
yang segera melahapnya. Ia sendiri memakannya pelan-
pelan. Tak berselera, tetapi lapar. Sesudah habis ia meraih
minumannya.
"Cuma ada itu," kata Benny. "Atau kau mau air putih?"
Meskipun menawarkan, tetapi Benny tampak malas
bangun.
"Nggak usah. Ini saja."
Erwina menyedot minumannya. Pelan-pelan juga. Ia
sangat haus hingga tak begitu mempedulikan rasanya. Baru
setelah habis setengah, ia mulai merasakan pahit.
"Ada apa?" tanya Benny.
"Rasanya kok pahit?"
"Ah, masa? Minumanku nggak. Mulutmu saja kali."
Erwina tidak menghabiskan minumannya. Tiba-tiba ia
jadi teringat saat memberi minuman yang dibubuhi obat bius
kepada Arie. Tadi ia tidak melihat Benny mengambil
minuman itu. Tentu dari kulkas di kamar, sementara ia ke
dapur. Minuman itu pun sudah dibuka tutupnya. Ia tidak
tahu...
Kepala Erwina terasa pusing. Ia takut sekarang.
"Kau... apa... apa..." katanya terbata-bata. Kerong-
kongannya kering.
Benny tertawa. Kedengaran seram di telinga Erwina.
"Sudah, nggak usah omong apa-apa, Say. Ayo istirahat
saja!" kata Benny, sambil mencekal lengan Erwina. Erwina
ditariknya ke tempat tidur. Erwina tak bisa berontak. la
merasa otot-ototnya tak punya tenaga. Mau bicara pun
susah. Ingatannya sih masih jernih, meskipun merasa366
pusing. Ia pasrah saja ketika direbahkan di tempat tidur.
Apakah dirinya akan diperkosa? Momen seperti itukah yang
akan dikenang Benny?
"Ayo, tidur sajalah! Pejamkan matamu!" kata Benny,
dengan suara lembut, tetapi seperti dibuat-buat.
Erwina menggeleng. Ia memaksa matanya tetap
terbuka.
"Mau... mau... a... pa?" katanya susah.
"Siapa suruh kau nggak mau diajak bercinta? Biasanya
kau bergairah sekali, kan? Kalau dalam seminggu nggak
melakukan, kau sudah seperti cacing kena abu. Mengapa
sekarang kau nggak mau? Kau sudah dipuaskan oleh Arie,
kan? Kau cinta dia, kan? Karena dia baik kepada kamu,
kan? Aku tahu tipu muslihatmu ini. Mau menjebloskan aku,
dan kau sendiri cuci tangan karena ada Arie sebagai
backing-mu. Katanya, kau sudah dimaafkan dan masih
dicintai, kan? Oleh sebab itu, kau nggak takut. Bisa
kubayangkan apa yang akan kaukatakan kepada polisi nanti.
Kau dibujuk dan dipengaruhi bahwa kau adalah korban.
Biarpun dibujuk dan dipengaruhi, kalau kau memang nggak
mau, aku kan nggak bisa memaksa."
Erwina menggeleng-geleng. Matanya semakin berat.
"Percuma omong, Win. Aku nggak akan percaya. Kau
memang nggak akan mati karena kau nggak minum
semuanya. Sama seperti yang kauberikan kepada Arie,
tetapi kau akan tidur lelap. Pada saat itu, kau nggak akan
tahu apa yang kulakukan terhadap dirimu. Aku memang
belum tahu apa yang akan kulakukan. Sambil kau tidur, aku
akan pikir-pikir," Benny tertawa, seolah sedang menghadapi
sebuah permainan.
"Mmmm... mmm...." Erwina membuka mulutnya
dengan susah payah.
"Sudah kukatakan, jangan capek-capek omong!
Percuma! Lebih baik kau berdoa saja atau dengarkan aku
omong. Kalau dipikir-pikir, mending mana, ya? Kau367
kubuang di satu tempat seperti Arie dulu, atau kukubur di
halaman saja, ya? Untuk menghindari kesulitan. Bisa
tepergok atau kau bisa hidup lagi seperti Arie. Mending
dikubur saja. Itu pun masih juga ada kemungkinan untuk
hidup lagi. Ini zaman aneh. Oh, aku tahu! Belakangan ini
banyak kasus mutilasi. Kalau diperlakukan begitu mana
mungkin bisa hidup lagi.... "
Erwina membelalakkan mata dengan ketakutan yang
luar biasa. Ia tidak ingat apa-apa lagi. Apakah ia memang
tertidur atau jatuh pingsan?
* * *
Tiara duduk dalam boncengan motor Martin dengan
nyaman. Ia mengenakan jaket, sama seperti Martin.
Kebetulan ia memang punya jaket karena dulu pernah punya
pacar yang suka mengendarai motor. Mereka sepakat akan
keliling-keliling Jakarta dulu menikmati udara sore. Setelah
capek baru singgah di tempat yang disukai dan disepakati
tanpa rencana, lalu mengobrol dan makan minum.
"Kau tampaknya sudah biasa naik motor, Tia?"
"Oh... ya, aku senang. Asal jangan hujan saja."
Martin tertawa. Baru kali ini ia memboncengkan cewek
dengan motornya maka tadi ia mencuci bersih-bersih
motornya yang dekil. Juga mengenakan jaket yang baru
supaya Tiara tidak sampai mencium bau apak.
"Ayo, istirahat dulu, Mart!"
"Belum capek kok."
"Justru itu. Masa harus menunggu sampai capek. Kita
minum sambil mengobrol."
Tiara melihat sebuah mal yang megah. Dia ingin ke
situ.
"Wah, kau suka ke mal juga, ya?" goda Martin. "Ini
memang mal terbaru di Jakarta."368
"Aku senang melihat arsitekturnya, Mart. Bukan buat
belanja-belanja."
Mereka berkeliling melihat sana-sini, tetapi Tiara tidak
memasuki toko-toko. Seperti katanya semula, ia hanya
mengagumi arsitektur gedung yang megah dan hebat itu.
Mereka mencari minuman dan tempat yang nyaman untuk
mengobrol. Pengunjung sudah ramai. Mereka takkan
mungkin masuk restoran atau tempat minum supaya bisa
mengobrol. Mereka hanya membeli minuman dan mencari
kursi di sudut yang tidak terlalu ramai sehingga tidak akan
ada yang mengusir atau memelototi.
Mereka saling bertukar cerita tentang masa kecil dan
karier. Tiara bertanya tentang kasus Arie.
"Sebetulnya, sudah bisa diduga siapa pelakunya. Hanya
belum ketemu bukti konkretnya, yang bisa diharapkan
adalah pengakuan dari salah satu pelakunya."
"Pelakunya dua orang ya, Mart?"
"Nggak lebih nggak kurang."
"Aku belum boleh tahu, ya?"
Martin menatap ragu-ragu.
"Apakah itu masalah perselingkuhan?" tanya Tiara.
"Ya."
"Kulihat Arie memuja istrinya. Erwina pun mencintai
suaminya."
"Tahu dari mana?"
"Mata mereka."
"Oh, begitu. Kau pintar menilai ekspresi mata."
"Pintar sih nggak, tetapi menurutku nggak susah. Oh...
ya, aku lihat mata Arie unik."
"Unik? Mungkin karena pengalaman mati surinya?"
"Entah, tetapi seolah-olah mata dua orang."
"Apa maksudmu?"
"Satu saat kulihat matanya biasa-biasa saja, tetapi
sesekali kulihat ada perbedaan. Sorotnya seperti milik
saudaranya, Alex, yang pernah kulihat 'di sana'."369
Martin geleng-geleng. Ia tidak mengerti.
"Aku sering bicara berhadapan dengan Arie. Nggak
pernah melihat ada perbedaan. Warnanya tetap hitam."
"Sorot mata Alex lain, seperti... ah, bagaimana
menggambarkannya, ya. Seperti nggak manusiawi."
"Ah, kau membuat aku merinding, Tia."
"Mungkin karena kau sering nonton film horor. Bukan
yang seperti itu, Mart."
"Ya, ya. Nanti aku perhatikan."
"Kadang-kadang aku berpikir, mungkinkah Alex
menyatu dengan Arie?"
Martin menganggap pembicaraan seperti itu tidak
membuat nyaman. Materinya terlalu dalam. Dia ingin
membicarakan yang ringan-ringan saja. Tampaknya Tiara
justru ingin mendiskusikan hal itu.
"Maksudmu, Alex ada dalam diri Arie? Dia ikut pulang
bersamanya?" katanya, setengah bergurau.
Tiara tidak tertawa. Wajahnya serius.
"Ketika itu aku mati berbarengan dengan Alex. Aku
pulang lagi. Dia nggak. Belakangan aku suka berpikir, kok
yang aku lihat hanya dia. Tentu ada sosok-sosok lain, tetapi
mereka terlihat kabur. Dia jelas. Oleh karena itu, aku bilang
kepada Arie bahwa aku kok seperti pernah melihatnya."
"Kalau dugaanmu itu benar, apakah Arie sendiri nggak
tahu?"
"Mustahil dia nggak tahu. Mungkin ada sinyal-sinyal
yang diberikan Alex."
"Apa kaupikir kejadian itu suatu kebetulan atau
memang didesain? Kau bertemu lagi dengan Arie, padahal
dia saudara kembar Alex. Sedangkan kau mati berbarengan
dengan kematian Alex, dan bertemu dia juga."
"Aku yakin, itu bukan kebetulan. Mengapa? Aku
percaya segala kejadian yang kita alami ada hubungannya
satu sama lain. Kejadian yang kita alami kemarin ada
hubungannya dengan kejadian yang sekarang."370


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Martin manggut-manggut.
"Apa kesimpulanmu dari kasus Arie yang luar biasa
itu?"
"Aku percaya dia harus menjalani suatu misi besar
dalam hidupnya kelak. Itu sebabnya dia kembali lagi. Coba
saja kita renungkan, bila ada psikopat yang bisa hidup lagi
setelah mati maka tentunya dia akan meneror lagi. Jadi,
yang seperti itu pasti nggak mungkin terjadi."
Martin termangu. Kalau betul begitu, mestinya Arie
dimonitor terus kehidupannya.
"Eh, omong-omong, Mart. Mengapa dari tadi HP-mu
nggak pernah bunyi? Waktu kita bertemu pertama kali
nggak pernah diam tuh."
Martin tersipu. "Oh, ya. Aku tadi sengaja mematikan,
Tia. Aku kan lagi cuti, nggak mau diganggu."
"Ayo dilihat, Mart!"
Martin mengeluarkan ponselnya, lalu menghidup-
kannya. Langsung bunyi-bunyian keluar, kedengaran ramai.
Ia membaca SMS yang muncul, lalu wajahnya tersentak
kaget.
"Ada apa?"
"Wah, SOS dari Arie, Tia. Aku akan menelepon dia
sekarang."
Martin segera menghubungi Arie, sedangkan Tiara
diam-diam pindah duduk ke sisi Martin. Ia memasang
telinganya. Seruan SOS dari Arie harus diketahuinya juga.
Ia bisa mendengar suara Arie, yang terdengar keras. Pasti
karena panik.
"Oh, begitu ya, Pak. Tenang! Saya akan ke sana
sekarang juga. Maaf HP saya mati."
Martin mematikan ponsel, lalu berpandangan dengan
Tiara.
"Nggak usah cerita. Aku sudah dengar."
"Maafkan kencan kita harus berakhir. Itulah sebabnya
aku matikan HP-ku."371
"Seharusnya, itu nggak kaulakukan. Nggak usah minta
maaf. Ayolah pergi ke sana!"
Tiara berdiri, menyiapkan jaketnya.
"Kau?" Martin menatap bingung. "Kau kuantar pulang
dulu, ya?"
"Nggak. Aku ikut. Nggak ada waktu untuk itu. Mesti
cepat. Suara Arie sudah jelas menunjukkan itu."
Martin tidak membantah. Mereka setengah berlari
menuju ke luar.
* * *
Di tepi jalan depan showroom, Arie tampak bersandar ke
mobiinya. Ia segera berdiri tegak begitu melihat Martin,
tetapi ia keheranan saat mengenali Tiara.
Martin menjelaskan sebentar. Arie mengangguk. Ia
menyalami Tiara.
"Senang sekali Anda bisa ikut kami. Nggak
merepotkan, ya?"
"Sudah. Lebih baik jangan ber-Anda lagi. Panggil nama
saja. Oke?" usul Martin.
"Oke saja," Arie setuju.
"Coba jelaskan lagi. Singkat saja. Tadi di telepon aku
sudah menangkap."
"Bagaimana kalau ceritanya di mobil saja, Mart?" Tiara
menyela. "Kita kan nggak boleh buang waktu."
"Ya, betul juga. Tentunya kita harus pakai mobil. Motor
aku titip di sini. Siapa yang mengemudi? Kau nggak
masalah?" tanya Martin.
"Kamu saja yang menyetir, Mart." Arie tersenyum
sewaktu menyebut nama itu, meniru panggilan Tiara.
Di dalam mobil Arie menyebut alamat yang pertama
harus dituju. Agensi perumahan. Ia memberi tahu alasannya.
"Hari sudah sore. Hari Sabtu lagi. Jangan-jangan
karyawannya sudah pulang," Martin khawatir.372
"Nggak apa. Kita coba saja. Tadi aku sudah menelepon
Mama. Syukur sekali dia punya nomor telepon Mbak Irma,
kakak Benny. Dia akan usahakan untuk memperoleh alamat
rumah Benny yang baru. Nanti dia memberi kabar."
Di jalan Arie menceritakan semuanya dengan lengkap.
Martin dan Tiara tidak menyela. Tiara yang duduk di
belakang pengemudi bisa mengamati Arie dari samping.
Sesekali Arie menoleh kepadanya saat bercerita. Ia senang
Arie tidak keberatan membagi masalah itu dengannya.
Tadinya ia khawatir kalau-kalau Arie menganggap kasusnya
adalah masalah keluarga, yang tidak patut diketahui orang
luar.
Sebelum tiba di agensi, Arie mendapat telepon dari
Susan.
"Ternyata, Irma nggak tahu Benny sudah pindah. Dia
tahunya alamat yang lama," kata Susan penuh sesal.
"Nggak apa-apa, Ma. Sekarang aku sudah bersama
Martin."
"Syukurlah. Doa kami beserta kalian."
Harapan muncul ketika mereka melihat agensi itu masih
menampakkan tanda kehidupan. Satpam yang berjaga
mengatakan bahwa Pak Araold kerja lembur.
Arnold yang ditemui menampakkan sikap tidak senang.
Ia merasa terganggu.
"Kan saya sudah bilang, saya nggak tahu. Apa saya
mesti ulangi lagi?"
"Coba saja ulangi kepada saya," kata Martin, sambil
menunjukkan tanda pengenalnya.
Arnold terkejut.
"Benny masuk DPO. Tahu apa itu? Daftar Pencar?an
Orang," kata Martin, dengan wajah galak. "Kalau Anda
nggak mau kerja sama, itu sama dengan menyembunyikan
kriminal. Anda bisa dituntut. Cepatlah berikan alamat
barunya!"
Arnold tidak mau berurusan dengan polisi.373
"Maaf. Saya nggak tahu urusan Benny. Saya hanya
menuruti permintaan teman."
"Saya hargai itu."
Arnold kemudian menuliskan alamat Benny di secarik
kertas, yang diberikannya kepada Martin tanpa berkata apa-
apa. "Terima kasih. Lebih terima kasih lagi kalau dari tadi
Anda memberikannya," kata Martin.
"Maaf."
Dalam perjalanan, Martin menceritakan kelakuan
Arnold barusan kepada Tiara, yang menunggu di mohil.
Mereka tertawa bersama.
"Nah, itulah kegunaannya kau," kata Arie. Ia merasakan
bagaimana perubahan sapaan dan panggilan bisa menambah
keakraban. "Aku menyesal sekali telah mengganggu kencan
pertama kalian," ia melanjutkan. "Mengapa pula kejadian-
nya justru hari ini, ya?"
"Mungkin supaya aku bisa ikut," kata Tiara.
"Mungkin juga begitu. Tadi Tia juga yang meng-
ingatkan supaya aku menghidupkan HP."
"Wah, terima kasih, Tia."
"Sama-sama. Kita memang beruntung karena orang itu
sedang lembur. Malam Minggu lembur kan jarang banget,
ya."
"Betul," sahut dua pria itu sekaligus.
Mencari alamat rumah Benny tidak begitu mudah. Perlu
bertanya dulu. Akhirnya, berhasil mereka dapatkan juga.
Arie teringat pada rumahnya sendiri ketika melihat
situasi rumah Benny, yang tertutup sebagian oleh
pepohonan. Ada yang segera menarik perhatian mereka,
yakni mobil merah di antara kerimbunan pepohonan.
Tampaknya seperti mobil Benny. Bila rumah itu sudah
diyakini sebagai rumah Benny mestinya mobil yang ada di
situ pun merupakan mobilnya.374
Mereka memarkir mobil di depan pagar. Ada gembok
yang terpasang di sebelah dalam. Martin melompatinya
tanpa susah payah. Arie mengikuti. Tiara ragu-ragu sejenak.
"Kayaknya kau lebih baik menunggu di mobil saja,
Tia," Martin mengusulkan.
"Oh, nggak." Tiara menggeleng.
Tak ada yang berusaha membujuknya. Kedua lelaki itu
hanya terpesona ketika Tiara mengangkat kakinya dan
melompat dengan gerakan yang gesit.
"Kalau ada tetangga meneriaki maling, celaka kita,"
katanya.
"Mudah-mudahan nggak. Jangan berharap begitu
dong," kata Martin.
Secara refleks Martin meraba pinggangnya. Baru
teringat ia tidak membawa senjata. Bagi dirinya benda itu
bukan sekadar senjata, tetapi juga untuk memberikan
kepercayaan diri. Kali ini, ia tentu tidak perlu terlalu cemas,
yang dihadapinya cuma satu orang sementara ia berdua, ah...
bertiga.375
20 MASIH hari Sabtu, menjelang malam.
Di halaman rumah Benny yang gelap tanpa lampu dan
dinaungi pepohonan, tiga sosok mengendap-endap. Martin
paling depan, dan Tiara paling belakang.
Mobil Benny diparkir dekat pintu depan.
Mereka menuju pintu depan. Martin mencoba
membukanya, tetapi terkunci. Melalui kisi-kisi daun jendela
ia bisa melihat bahwa ruang depan gelap karena tak ada
cahaya yang menyorot ke luar. Salah satu kisi daun jendela
menganga sedikit. Ia memasukkan tangannya ke dalam.
Tidak terasa ada teralis yang melindungi jendela. Ia
mencoba mencongkel kisi daun jendela yang menganga itu,
tetapi sulit. Ia memutuskan untuk memutari rumah lebih
dulu guna memantau situasi.
Tanpa berkata apa-apa, Martin mengelilingi rumah.
Kedua rekannya mengikuti di belakang. Rumah itu memiliki
jendela di dua bagian sampingnya. Semua jendela memiliki
bentuk yang sama, yaitu daun jendelanya berkisi-kisi. Dari
salah satu jendela ada cahaya menyorot ke luar. Tampaknya
ruang di baliknya adalah kamar tidur. Tak ada kisi yang me-
nganga. Mereka melewatkannya dulu, dan terus ke
belakang. Di sana ada pintu belakang dengan satu jendela
yang berbentuk sama. Pintunya tak bisa dibuka, meskipun
tak berkunci. Mungkin diselot di sebelah dalam. Tak ada
cahaya menyorot keluar dari bagian belakang.
Martin kembali ke bagian samping rumah, yang
jendelanya menyorotkan cahaya. Mungkinkah Erwina dan376
Benny tidur nyenyak atau... ? Ia tak mau membagi pikiran
buruknya itu kepada Arie karena ia sudah mengisyaratkan
untuk tidak berbicara.
Tiara yang mengekor paling belakang diam-diam sudah
memiliki senjata di tangannya, berupa sebatang kayu kaso
sepanjang satu meter, yang dicomotnya ketika kakinya
hampir tersandung kayu itu di halaman belakang.
Martin berupaya mencongkel kisi-kisi jendela. Ia hanya
mengandalkan kedua tangannya karena tidak memiliki alat
apa-apa. Ia bergantian dengan Arie. Sesekali mereka
berhenti untuk memasang telinga. Tak ada suara apa-apa.
Oleh karena itu, suara berderak yang mereka timbulkan tak
lagi dipedulikan.
Tiara sudah tidak sabar. Dalam hati ia menggerutu.
Mengapa pintunya tidak didobrak saja? Ia tak enak berkata
begitu. Pemimpinnya Martin, dan ia berpengalaman. Diam-
diam ia mundur, lalu berjalan ke belakang. Ia harus hati-hati
supaya tidak tersandung lagi karena gelap. Ia berjalan
dengan berpegang pada dinding. Di depan pintu belakang ia
diam memandangi pintu. Biarpun gelap, masih ada sedikit
cahaya. Ia meraba dan menekan-nekan daun pintu.
Kelihatannya pintu itu tidak menutup rapat karena kalau
handelnya ditekan dan didorong-dorong terasa goyah di
bagian bawah. Salah satu sisi kusen terasa lunak kalau
ditekan. Petanda dihuni rayap. Ia menyimpulkan pintunya
sudah lapuk. Ia berdebar dengan rasa penasaran dan
antusiasme. Ia yakin dengan tenaganya sendiri ia bisa men-
dobrak pintu itu, tetapi ia tidak boleh sembarangan. Ia harus
menunggu.
Martin dan Arie sama-sama menarik satu kisi jendela
yang sudah goyah sampai lepas salah satu ujungnya. Mereka
bisa melayangkan pandang ke dalam, yang ternyata memang
kamar tidur. Ada ranjang dan Erwina yang terbaring di sana!
Erwina terbaring diam tak bergerak. Sementara itu,
Benny tidak kelihatan. Ada yang mengejutkan, di samping377
Erwina terletak sebuah gergaji dan di atas perutnya ada
sebuah pisau panjang! Arie berteriak. Ia berlari ke depan
diikuti Martin. Pintu depan lebih dekat.
Mereka berdua menghantam pintu, yang sekali dobrak
langsung ambruk ke dalam dengan suara gaduh. Arie
berteriak-teriak memanggil nama Erwina. Pada saat
bersamaan ada bunyi gaduh lain di belakang rumah, tetapi
menjadi samar oleh kegaduhan di depan. Di belakang Tiara
merasa mendapat sinyal. Pintu belakang berhasil ia
robohkan!
Martin dan Arie perlu mendobrak lagi pintu ke-dua,
yaitu pintu kamar yang terkunci. Mereka beruntung karena
itu rumah tua maka pintu-pintunya sudah mulai lapuk.
Dengan demikian, tak terlalu memakan tenaga untuk
didobrak dan dirobohkan.
Martin dan Arie seperti berlomba menghampiri Erwina,
Arie menubruk dan memeluknya. Erwina tak bergerak.
Martin menoleh ke belakangnya mencari Tiara. Seharusnya
Tiara bisa memeriksa kondisi Erwina. Tiara tidak kelihatan.
Ia khawatir, tetapi Erwina harus diprioritaskan.
"Dia masih hidup, Marti," seru Arie.
"Ayo kita bawa ke rumah sakit."
Pada saat kedua lelaki itu berusaha menggotong
Erwina, suara keras membekukan mereka.
"Tunggu dulu!"
Mereka menoleh dan melihat Benny muncul dari dalam
lemari. Mungkin sejak tadi ia bersembunyi di situ. Martin
dan Arie terkejut melihat benda yang ada di tangan Benny.
Sebuah senjata api kecil, yang pelatuknya siap ditarik!
"Jangan buru-buru! Aku akan membunuhmu dulu, Arie.
Aku akan menghancurkan kepalamu supaya kau nggak bisa


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hidup lagi. Kau akan mati selamanya."
"Benny! Kau ingin jadi pembunuh? Jangan, Ben. Aku
bisa hidup lagi tujuannya supaya kau nggak jadi
pembunuh," kata Arie, dengan suara bergetar.378
Benny tampak bimbang sejenak, kemudian ia tertawa
dengan suara yang kedengaran tak wajar.
"Aku nggak mau kau memiliki Wina. Tadi aku mau
memotongnya, tetapi aku nggak tega. Lebih baik kau saja
yang mati."
Martin dan Arie membeku, pandangan mereka tertuju
ke belakang Benny. Martin bisa menyembunyikan gerak
matanya, tetapi Arie tidak. Tiara ada di belakang Benny!
Tangannya terangkat ke atas dengan sebatang kayu dalam
genggamannya. Ketika Benny menoleh ke belakang, Tiara
meng-ayunkan kayu ke kepala Benny. Martin memanfaat-
kan kesempatan itu dengan menubruk dan merebut senjata
Benny.
Benny berteriak. Pada saat yang sama, kayu me-
ngemplang kepalanya. Senjata di tangan Benny meletus,
tetapi salah sasaran karena tubrukan Martin. Peluru yang
ditembakkan malah mengenai tubuhnya sendiri. la jatuh ke
lantai dan darah segera menggenang. Senjata yang terjatuh
ke lantai langsung disepak jauh-jauh oleh Martin.
Martin segera menelepon ambulans dan anak buahnya
untuk membantu. Ia juga menyesali keteledorannya karena
tidak meminta bantuan dulu sebelumnya. Ia terlalu
memandang enteng Benny, tak memperhitungkan ke-
mungkinan Benny memiliki senjata hingga berpikir sanggup
menghadapinya berua saja dengan Arie. Ia tidak pernah
memperhitungkan Tiara bisa berguna membantunya. la
justru menganggapnya sebagai hambatan, yang bisa
menyusahkan. Paling-paling Tiara berguna sebagai para-
medis saja. Di luar dugaan, ternyata Tiara punya
kemampuan lebih.
Arie sampai memeluk Tiara untuk menyatakan terima
kasihnya. Sikap Arie itu sedikit banyak membuat Martin
jadi merasa lebih kecil. Ia harus mengakui, tanpa Tiara dan
apa yang telah dilakukannya, tak bisa dibayangkan apa yang
akan terjadi. Mungkin Arie dan dirinya sudah terkapar.379
Tentu saja Martin pun ikut mengucapkan terima kasih
kepada Tiara. Ia memang berterima kasih dan bersyukur,
tetapi menyesal mengapa dirinya tidak bisa berbuat lebih
baik.
Setelah tiba di Unit Gawat Darurat rumah sakit
terdekat, bukan rumah sakit tempat Tiara bekerja, kedua
korban segera diberi pertolongan. Benny masih hidup, tetapi
kondisinya cukup kritis karena peluru menembus hati dan
perdarahannya banyak. Dia harus dioperasi dan ditransfusi.
Sementara itu, Erwina tidak cedera sedikit pun. Dia hanya
perlu waktu untuk bangun dari pengaruh obat bius.
Ketika Martin memeriksa ponsel Benny, ternyata paling
akhir ada SMS yang masuk dari Arnold. Ia mengabarkan
bahwa ia terpaksa memberitahu alamat Benny kepada orang
yang mengaku polisi, dan memperingatkan supaya Benny
berhati-hati. Itulah sebabnya mengapa Benny sudah tahu
kedatangan mereka dan mempersiapkan diri.
Sambil menunggu kedatangan Susan dan Katrin, juga
Irma?kakak Benny?yang telah diberitahu, Arie, Martin,
dan Tiara berbincang di ruang tunggu. Mereka mem-
bicarakan apa yang telah terjadi di rumah Benny.
"Aku spontan saja pergi ke belakang karena ingat di
film-film penggerebekan yang dilakukan polisi bukan cuma
dari depan, tetapi juga dari belakang kalau ada pintu
belakangnya. Aku lihat kalian lari ke pintu depan maka aku
ke belakang. Spontan saja. Bukan sok jago," tutur Tiara
agak malu.
"Ah, kau hebat, Tia," kata Martin, yang disetujui oleh
Arie.
"Kau bisa mendobrak pintu sendirian. Kita yang lelaki
saja perlu berdua," puji Arie.
"Pintunya sudah lapuk. Pasti banyak rayapnya.
Engselnya copot satu."
"Biar bagaimanapun, kau hebat," kata Martin.380
"Terus terang saja, aku bisa berani begitu karena orang
yang dikepung cuma satu dan diperkirakan dia nggak
bersenjata. Coba kalau nggak..." Tiara tak melanjutkan.
"Kau merendah saja," kata Martin. Kekaguman
menyorot dari matanya.
Arie masuk ke dalam untuk menjenguk Erwina,
kemudian keluar lagi dengan muram.
"Dia masih saja tidur. Kok lama, ya?"
"Sabar saja," kata Tiara.
"Untung dia nggak minum semuanya. Botol
minumannya kan masih ada setengah," kata Martin.
"Aku ingat pengalamanku sendiri. Wina cuma
memberikan setengah dari obat bius yang diperintahkan
Benny untuk dimasukkan dalam minumanku."
Seketika begitu saja tatapan Arie dan Tiara bertautan.
Sekitar sepuluh detik lamanya. Sesudah itu, Tiara ter-
senyum.
"Alex, kan? Aku sudah tahu."
Arie juga tersenyum. "Cepat atau lambat kau akan tahu.
Terima kasih, ya."
"Aku cuma melakukan kewajibanku."
Martin mengawasi saja dengan takjub. Ia tahu makna
perbincangan itu, tetapi ia tidak memahami di mana letak
perbedaan sorot mata Arie dan Alex seperti yang diceritakan
Tiara, biarpun ia sudah memelototinya.
Hanya itu saja dialog antara Tiara dan Alex, yang
barusan "meminjam" mulut Arie. Seakan teringat, tiba-tiba
Tiara menatap arlojinya dan ia tersentak.
"Aduh, aku harus pulang. Nanti aku tidak dibukakan
pintu."
"Aku antar, Tia," kata Martin.
"Pakai saja mobilku," kata Arie. "Nanti kau ke sini lagi,
kan?"
Tiara pergi setelah menjenguk dulu kondisi Erwina.381
Setelah Tiara pergi, suasana menjadi ramai oleh
kedatangan Susan dan Katrin. Mereka diantar Dian dan
David. Berikutnya datang kakak Benny, Irma dan suaminya.
Mereka berbincang dengan Arie, yang menjelaskan
kejadiannya. Berulang-ulang Irma dan suaminya meminta
maaf atas perbuatan Benny. Mereka tidak bisa mengerti,
mengapa Benny sampai hati berbuat begitu. Persahabatan
begitu lama ternyata tak bisa memelihara rasa sayang.
Secara bergiliran kemudian mereka diberi kesempatan
bertemu dengan Benny, sementara itu persiapan untuk
operasi dilakukan.
Benny menolak bertemu dengan Arie dan keluarganya.
Ketika Arie mendekati tempat tidurnya, ia memejamkan
mata dan berkata pelan, "Pergi!"
Sebenarnya, Arie ingin sekali bicara, tetapi sikap Benny
menyadarkannya. Tak ada gunanya ia bicara apa pun.
Ketika ia akan pergi, Benny berkata, "Kalaupun aku mati,
aku akan hidup lagi." Arie menoleh, tetapi Benny sudah
mengatupkan mulutnya.
Arie memilih menemani Erwina. Ia ingin jadi orang
pertama yang dilihat Erwina kalau sadar nanti. Ia duduk
sendiri, merasa lebih nyaman daripada mengulang-ulang
cerita di ruang tunggu. Lagi pula, ruang UGD tidak
mengizinkan pengunjung lebih dari seorang di dalam
ruangan.
R?e! Benny bermaksud memotong-motong Wina. Sadis
amat, ya.
Dia nggak melakukannya, Lex. Dia bilang, nggak tega.
Ah, tepergok saja. Dia sudah siapkan gergaji dan
pisau.
Nggak, Lex. Kami datang terlambat. Kalau betul ia
berniat begitu, pasti sudah terjadi.
Ya, betul juga. Apakah itu berarti dia masih mencintai
Wina?382
Nggak tahu, Lex. Mungkin juga begitu.
Hei, lihat Rie! Ma?anya sudah berkejap-kejap.
Arie memegang lengan Erwina, dan mengamatinya
dengan saksama.
Hanya Irma seorang yang mendapat kesempatan
berbicara dengan Benny. Itu pun tidak lama. Bukan hanya
karena Benny akan dioperasi, tetapi ia menolak bicara lebih
lama. Irma tidak keberatan menyampaikan kepada yang
lainnya, apa saja yang dikatakan Benny kepadanya.
"Saya menyesal ia tidak minta maaf. Menyesal sekali,
padahal siapa yang tahu hasil operasi nanti seperti apa. Eh,
dia bilang dia tidak takut mati. Dia akan hidup lagi. Ia
menyuruh saya berjanji bahkan bersumpah, untuk tidak
mengizinkan autopsi dan tidak menguburkan jenazahnya
cepat-cepat. Tiga hari katanya. Ih, dia membuat saya takut.
Dikiranya dia bisa seperti Arie," tutur Irma dengan sedih.
Susan memeluk Irma. Sikap yang lebih menjelaskan
daripada kata-kata.
Pada saat itu, terdengar jeritan yang keras sekali. Semua
orang membeku. Itu jeritan Erwina! Dokter dan perawat
berhamburan memasuki ruangan Erwina, yang hanya
dibatasi tirai dengan ruang bersebelahan. Hanya mereka
yang berhak, sementara orang-orang di luar termasuk
keluarga hanya bisa mengintip di balik kaca pintu.
Erwina sedang duduk. Kedua tangannya dikepalkan ke
atas, dan mulutnya terbuka lebar mengeluarkan jeritan
keras. Matanya membelalak dengan tatapan horor. Arie
memeluk dan memeganginya kuat-kuat.
"Ini aku, Win. Arie di sini. Arie..."
Dokter dan perawat mengerumuni. Mereka memegang
Erwina, dan mengucapkan penghiburan.
"Dia trauma," kata seorang dokter.
Arie memaklumi kondisi Erwina. Apakah Benny saat
itu sempat memperlihatkan kepada Erwina pisau dan383
gergaji, lalu menjelaskan apa yang akan dilakukannya?
Kalau benar demikian, tak mengherankan bila Erwina jadi
begitu ketakutan.
Pelan-pelan jeritan Erwina melemah, lalu berhenti. Ia
terkulai dalam pelukan Arie, lalu menangis tersedu-sedu.
Arie mengangguk kepada para dokter dan perawat. Mereka
mengangguk juga, lalu pergi.
"Aku... aku takut, Ar. Di... di... mana dia?"
"Dia terluka kena tembak. Sekarang dibawa ke ruang
operasi."
"Aku malu. Aku... aku..."
"Sudah, sudah! Jangan diingat lagi! Aku juga punya
salah kepadamu, Win. Kejadian ini biar jadi awal hidup baru
kita, ya?"
"Aku... aku ingin pulang, Ar. Mama di mana?"
Arie meminta tolong kepada perawat untuk
memanggilkan Katrin karena ia khawatir meninggalkan
Erwina sendirian. Setelah Katrin masuk mendampingi
Erwina, ia keluar. Di ruang tunggu ia dikerumuni anggota
keluarganya, yang ingin tahu apa yang terjadi. Ia membuat
mereka tenang dengan ceritanya.
"Wina melampiaskan traumanya. Aku akan mengurus
kepulangannya."
"Arie, biar kami saja yang membayar biayanya," Irma
menawarkan. "Itu sudah menjadi tanggung jawab kami. Kau
nggak usah pusing. Bawa saja Erwina pulang. Istirahat di
rumah."
Arie menerima tawaran itu. Sementara itu, Irma dan
suaminya bergegas mengantarkan dan menunggui operasi
Benny.
Martin kembali. "Tia hampir saja dikuncikan pintu.
Aku gedor dan bilang kepada satpam bahwa Tia baru saja
membantu operasi polisi. Mulanya dia pikir aku bercanda,
tetapi setelah kuperlihatkan tanda pengenalku baru dia
respek. Dasar!"384
Erwina cepat pulih. Dia sudah bisa dibawa pulang.
Ketika bertemu Martin, sikapnya berubah dibandingkan
dulu. Ia tersenyum, dan mengucapkan terima kasih dengan
hangat.
Martin cukup bahagia dengan perlakuan itu.
Malam itu juga, belum sempat berganti hari, Irma
memberi kabar. Benny tidak bisa bertahan usai operasi. la
meninggal.385
21 HARI Senin, di rumah duka.
Kini giliran jasad Benny yang disemayamkan. Peti mati
masih belum ditutup, padahal sudah melewati lebih dari dua
puluh empat jam sejak kematiannya. Berkali-kali peti dan
seluruh mangan disemprot cairan pengharum.
Para pelayat yang datang segera menghentikan langkah
begitu mencium bau tak sedap. Mereka mengucapkan doa-
doa dari jarak yang aman, dan tak berlama-lama di situ.
Semua bertanya-tanya, tetapi Irma dan kerabatnya hanya
mengatakan bahwa itu merupakan pesan dan kehendak
almarhum. Jangan dibalsem, dan jangan buru-buru ditutup
petinya!
Pada hari itu, Irma dan keluarga sudah sepakat tutup
peti akan dilaksanakan. Kalau dihitung, hari itu sudah hari
ketiga. Sesudah peti ditutup maka jenazah akan
dikebumikan.
Irma merasa surprise ketika Susan dan Katrin datang
melayat. Mereka juga akan ikut mengantarkan ke
pemakaman.
"Benny sudah kami maafkan, Ir," kata Susan. "Bagiku
dia sudah seperti anak sendiri. Apa pun yang ia lakukan
hubungan khusus itu tetap ada."
"Dulu ia nggak pernah menyusahkan, Tante. Sekarang,
sampai mati pun, ia masih saja menyusahkan. Kalau saya
tutup petinya sesuai prosedur maka saya melanggar sumpah
dan janji saya kepadanya, biarpun saya terpaksa melaku-386
kannya. Kalau saya penuhi kemauannya sesuai sumpah dan
janji saya, risikonya saya dikatai banyak orang dan ber-
ulang-ulang ditegur yang punya gedung." Irma menyampai-
kan curhatnya.
"Dia ingin hidup lagi," kata Katrin.


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia ingin seperti Arie. Kalau sampai sekarang ini
mana mungkin."
Susan berdiri dan mendekati peti. Katrin ingin
mencegah, tetapi tak keburu. Ia sendiri tak ingin mengikuti.
Susan berhasil menahan napasnya, dan berdiri diam
memandangi jasad Benny. Tubuhnya dibalut jas dan celana
panjang hitam hingga tak kelihatan. Wajahnya jelas
menunjukkan kondisinya yang sudah rusak, kehitaman dan
menggembung.
"Mana mungkin, Ben," kata Susan dalam hati. "Arie
bisa hidup lagi bukan atas kemauan sendiri. Mana mungkin
kita mengatur mati hidup kita? Semua terserah kepada
Yang Kuasa. Jadi, kau pergilah dengan damai."
Kemudian peti mati ditutup, yang tinggal dari Benny
hanyalah kenangan.
*** Di rumah, Erwina mengiringi kepergian Benny dengan
menangis dalam pelukan Arie. Benny telah mewarisinya
kenangan buruk, yang tak akan pernah bisa dihapus seumur
hidupnya. Setiap orang akan tetap hidup dengan kenangan,
baik ataupun buruk, yang membahagiakan atau yang
menyiksa. Kalau saja orang bisa memilih, lalu menghapus
mana yang menyiksa alangkah menyenangkannya.
"Kita memang harus hidup dengan itu, Win. Apa yang
telah kita lakukan akan terus melekat. Bukan cuma kau,
tetapi aku juga. Semua orang sama. Satu-satunya cara
adalah berdamai dengan kenangan itu. Bukan menentang
atau melawan," hibur Arie.387
"Salah satunya dengan menangis," sahut Erwina.
"Menangis adalah penyesalan dan kepasrahan. Juga
ketidakberdayaan."
"Oleh karena itu, aku nggak melarangmu menangis.
Atau menyuruh cepat-cepat diam."
"Kau sangat pengertian, Ar. Trims. Aku malu dan
merasa nggak pantas."
"Mengapa?"
"Karena orang seperti aku bukan saja dimaafkan, tetapi
juga masih dicintai. Kadang-kadang aku heran. Apakah itu
manusiawi, Ar? Andaikata kau nggak pernah mengalami
mati suri, apakah kau akan seperti ?ni?"
Arie tertawa. "Justru aku mengalami mati suri karena
kau dan Benny. Kalau kau dan Benny tidak melakukan
perbuatan itu, kita akan tetap menjalani kehidupan yang
hambar. Oke, aku sudah minta maaf pada hari kejadian itu,
tetapi kau nggak yakin apakah memaafkan aku atau nggak.
Kau masih ragu-ragu karena kau masih mencintai Benny.
Dengan kejadian ini, kau jadi sadar orang seperti apa
Benny."
Erwina termenung. Sudah kering air matanya.
"Kau belum menjawab, andaikata kau nggak
mengalami mati suri, apakah kau akan bersikap seperti ini?"
Arie menggeleng. "Jujur saja, aku nggak tahu."
"Terus terang, aku merasa kau banyak berubah."
"Ya, aku memang berubah," Arie mengakui.
"Kau merasakannya juga?"
"Aku cuma terdorong oleh pemikiran bahwa hidup
yang kujalani sekarang ini harus lebih baik dari yang dulu.
Aku harus jadi orang yang lebih baik. Tidak mengulang
kesalahan yang lama, dan tidak membuat kesalahan yang
baru. Itulah hikmah dari anugerah yang kudapat ini."
"Aku akan belajar banyak darimu, Ar."
"Ah, belajar apa?"
"Jadi orang baik."388
Arie tertawa. "Aku belum jadi orang baik, Win. Masih
berusaha."
"Kalau aku masuk penjara nanti, apakah kau mau
menungguku?"
"Siapa bilang kau akan masuk penjara?"
"Logis, kan? Aku ini kriminal."
"Benny sudah meninggal. Nggak ada pula yang
melaporkan dirimu. Jadi, nggak ada kasus."
"Martin yang bilang begitu?"
"Ya."
"Oh, terima kasih!" seru Erwina, lalu memeluk Arie
dengan gembira. Gambaran tentang sel penjara bisa ia
buang jauh-jauh. Namun, masih ada hal lain yang belum
jelas.
"Aku belum tahu banyak tentang peran Tiara malam
itu. Kau belum cerita."
Arie menceritakan semua yang telah dilakukan Tiara.
"Wah, dia hebat, padahal aku sempat kesal dan
cemburu kepada dia."
"Dia bilang, kau sempat memergokinya berkali-kali
mengamati aku waktu kita bertemu di kantin rumah sakit
itu."
"Betul."
"Kau salah perkiraan. Dia mengira melihat mata Alex
dalam mataku."
"Oh, ya?" Erwina terkejut.
Arie sudah memutuskan untuk berterus terang
mengenai Alex. Erwina berhak tahu.
"Kau sudah tahu tentang Tiara, kan? Waktu pertama
bertemu, dia bilang seolah-olah dia pernah melihat aku.
Rupanya yang dia lihat Alex. Dia bertemu Alex di alam
sana. Nah, dia mengamati mataku karena merasa melihat
mata Alex. Entah bagaimana perbedaannya, tetapi dia bisa
melihat dan menemukan. Jadi..."389
Erwina tersentak kaget. Beberapa saat ia bengong,
kemudian berkata terbata-bata, "Jadi... kau... kau ini du...
dua?"
"Ya. Alex ikut denganku waktu aku kembali."
Erwina menjadi limbung. Ia bisa jatuh kalau tidak
dipegang Arie. Erwina memberi isyarat minta minum. Arie
memberikannya air putih.
"Aku bermaksud memberi tahu, tetapi keburu ada
kejadian ini," kata Arie.
"Kapan kau sendiri tahu? Sejak kau kembali?"
"Sehari dua hari setelah itu. Kami berkomunikasi lewat
pikiran."
"Oh, begitu. Pantas."
"Pantas apa?"
"Kadang-kadang aku merasa seperti dipeluk dua orang,
dicium dua orang, di... oh, aku sampai mengira diriku nggak
beres."
"Maafkan kami, Win."
"Maaf? Ah, aku pikir itu unik sekali. Seram, tetapi unik.
Nggak sama seperti zombie, kan?"
"Unik?" tegas Arie bingung. Reaksi Erwina di luar
dugaannya.
"Dulu aku mencintai kalian berdua sampai aku bingung
memilih."
"Kau marah dan sakit hati waktu..."
"Waktu kau dan Alex menggilir diriku? Oh, itu jelas
beda. Kalian memperlakukan aku sebagai objek seks saja.
Nggak punya perasaan. Kalian menipu dan memperdaya.
Mentang-mentang mirip. Cintaku kepada kalian berubah
jadi benci. Aku curhat kepada Benny."
"Jadi, Benny tahu?"
"Ya."
"Ah, pantas saja dia juga marah kepadaku. Dia
memanfaatkan kemarahanmu. Ya, sudahlah. Itu sudah390
lewat. Kita fokus yang sekarang ya, Win? Bagaimana
pendapatmu selain menganggap unik? Kau marah?"
"Nggak, yang ini beda dibandingkan dulu."
Arie memejamkan mata sejenak. Ia merasa lega sekali.
Ketika membuka mata, ia melihat Erwina
mengamatinya.
"Ada apa?"
"Aku mencoba menemukan apa yang ditemukan Tiara.
Masa aku nggak bisa. Sekarang, kau Arie atau Alex?"
"Arie."
"Kalau Alex, mana?"
Arie tertawa. "Nanti kau harus cari sendiri dong.
"Oke. Aku pasti bisa menemukan, tetapi aku minta kau
berjanji."
"Ya? Katakan saja."
"Kalau mau bercinta, katakan siapa dirimu. Arie atau
Alex. Soalnya, desah napas kalian sekarang sama, kan? Aku
nggak mau disuruh membedakan sendiri. Kau harus jujur.
"Tentu saja. Tentu, Sayang."
Bagi Arie, itu bukan syarat yang sulit. Dia justu
menyukainya.
Bagaimana denganmu, Lex?
Oh... ya, aku juga suka, yang penting dia nggak marah,
R?e. Dia sudah menerima kita apa adanya. Tentunya juga
mencintai kita!
Created E-Book by
Syauqy_arr@yahoo.co.id
tengah
"
"
391 392 393 Dewa Arak 88 Puteri Teratai Merah Raja Petir 08 Ratu Sihir Puri Ular Tugas Rahasia Karya Gan K H
^