Jalan Simpang Diatas Bukit 15
Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto Bagian 15
- Sudahlah! tungkas Getah Banjaran.
- Aku paling benci mendengar orang bertengkar lidah. Hai Hari Sadana. coba katakan terus-terang! Engkau sudah mempunyai akal untuk melawan kami berdua atau belum?
Getah Banjaran, rupanya seorang pemimpin yang berangasan. Begitu selesai berbicara,tangannya menghantam meja. Dan meja itu somplak sebagian. Mungkin sekali ia bermaksud mempertontonkan tenaganya yang kuat dan tangguh.
Lain lagi gaya Tarusbawa. Ia menyambar cawan bekas minuman dan diciumnya. Begitu tercium bau arak, berkatalah ia setengah berseru:
- Bagus perbuatanmu! Bukankah mengandung obat bius?.
Setelah berseru demikian, dengan tenaga saktinya ia memencet cawan yang terbuat dari perak. Lalu menyambar guci yang terbuat dari perak pula dan dipencetnya. Seketika itu juga menjadi gepeng. Araknya terloncat keluar dan menghantam cawan yang sudah dipencetnya. Oleh semprotan arak yang terpencet keluar. cawan itu seperti
terlempar menembus dinding Kemudian dengan mengangkat kepalanya. Ia melemparkan guci perak keluar perahu dan tercebur di dalam sungai. Ia menganggap dirinya sudah mempertontonkan ilmu kepandaian untuk menciutkan hati lawannya.
Tetapi Hari Sadana tetap tenang saja. Sama sekali ia tidak bersemangat untuk membuka mulutnya. Mendadak saja ia merogoh sakunya dan mengeluarkan kotak emas dan diletakkan di atas meja kembali dengan pelahan-lahan. Dan barulah ia berkata dengan sabar:
- Baiklah. aku harus tahu gelagat. Kalian berdua memang datang dengan tujuan untuk merampas barang yang sudah jatuh di tanganku. Sekarang sudah kuletakkan di atas meja. Nah, silahkan ambil! -.
Tarusbawa yang berwajah pucat kekuning-kuningan tertawa haha hihi. Agaknya, hatinya puas karena berhasil menggertak lawan. Segera ia mengulurkan tangannya hendak mengambil kotak emas itu. Akan tetapi ia heran bukan kepalang. Ternyata ia tidak mampu mengangkat kotak emas itu.
Apa sebab?
Dengan penasaran, ia menambah tenaga dan mencoba mengangkat. Kali ini gagal pula. Sekarang, ia tidak hanya heran saja tetapi terperanjat juga. Kotak emas itu seperti terpantek.
Apakah Hari Sadana mempunyai llmu Sihir?
Hari Sadana menatap wajahnya dengan mengulum senyum. Sekali lagi ia berkata setengah mengejek:
- Hayo. ambillah! Mengapa segan-segan? Masakan tidak kuat? Bukankah engkau Ketua Aliran Tanah Putih?
Wajah Tarusbawa yang pucat hekuning-kuningan berubah menjadi merah oleh rasa malu. Tetapi ia merasa benar benar tidak kuat mengangkatnya. Apa sebabnya, ia tak mengerti.
- Hm. -
Getah Banjaran mendehem lalu berkata
(Bersambung Jilid 7)
*****
HERMAN PRATIKTO
JALAN SIMPANG DIATAS BUKIT
Jilid 7
penerbit
"Melati"
Jakarta
Kupersembahkan Untuk :
- Hidupku
- kebebasanku
- dunia baru
- ayah bunda
- anak istri
- dan siapa yang mau kusebut keluargaku.
Judul : Jalan Simpang di atas Bukit
Gambar kulit : ARIE
Gambar isi : ARIE
Cetakan : Ke I September 1983
Penerbit : Melati Jakarta.
Hak cipta dilindungi Undang-Undang.
*****
Buku Koleksi : Gunawan Aj
(https://m.facebook.com/gunawan.aj.16)
Juru Potret : Awie Dermawan
(https://m.facebook.com/awie.dermawan)
Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(http://cerita-silat-novel.blogspot.com)
(Team Kolektor E-Book)
(https://m.facebook.com/groups/1394177657302863)
*******
JALAN SIMPANG DIATAS BUKIT
Jilid 7
HARI Sadana menatap wajahnya dengan mengulum senyum. Sekali lagi ia berkata setengah mengejek:
- Hayo. ambillah! Mengapa segan-segan? Masakan tidak kuat? Bukankah engkau Ketua Aliran Tanah Putih ?
Wajah Tarusbawa yang pucat kekuning-kuningan berubah menjadi merah oleh rasa malu. Tetapi ia memang benar benar tidak kuat mengangkatnya. Apa sebabnya, ia tak mengerti.
- Hm,
Getah Banjaran mendengus. Lalu berkata kepada Hari Sadana:
- Saudara, kepandaianmu sebenarnya biasa-biasa saja, namun muslihatmu cukup baik. -
- Muslihat apa? -bantah Hari Sadana dengan suara tinggi.
Coba minggirlah! Aku akan mencoba mengangkatnya..
Dengan tangan kanannya ia mendorong Hari Sadana. Kemudian ia menggerakkan tangan kirinya hendak mengangkat kotak emas itu. Tiba-tiba secepat kilat tangan kanannya menyerang bawah ketiak Tarusbawa. Tarusbawa terkejut diserang dengan tiba-tiba. Namun ia cukup waspada. Tidak kalah cepatnya, ia mengangkat tangan kanannya untuk menangkis. Akan tetapi pada saat itu. kotak emas sudah berada di genggaman tangan Getah Banjaran yang cerdik.
Keruan saja Hari Sadana terkejut bukan main. Terus saja ia melesat ke ambang pintu dan berdiri menghadang. Ia sudah kehilangan mustika yang sangat berharga. Karena itu, tidak membiarkan perampasannya lolos. Bentaknya dengan bengis:
- Kalau tidak kau letakkan kembali pada tempatnya, jangan bermimpi jiwamu bisa selamat.
- Apa? Engkau berani mengancam begitu kepadaku? -teriak Getah Banjaran yang beradat berangasan.
Pada saat itu juga, ia mengeluarkan sebatang tongkat besi dan mengemplang Hari Sadana sambil berseru kepada Tarusbawa:
- Kita habisi saja dia! -
Tarusbawa seperti tidak mendengar seruan itu. Ia tertegun keheranan. Masih saja ia tak mengerti, apa sebab dirinya tidak mampu mengangkat kotak emas dari atas meja dan sebaliknya Getah Banjaran dapat merampasnya dengan mudah. Tetapi setelah ia mengamat-amati alas meja, ia jadi mengerti.
Alas meja itu meninggalkan bekas serupa liang. Kalau begitu. sewaktu Hari Sadana meletakkan kotak mas di atasnya dia menggunakan tenaga sakti untuk menekan. Dengan tekanan tenaga saktinya. kotak emas melesak membuat lobang sehingga memberosot setengahnya. Kemudian dengan diam-diam Hari Sadana menjepit kotak emas dari bawah alas meja. Karena dia dapat memegang bawah kotak emas itu dengan baik dapatlah ia mempertahankan
dengan mengerahkan himpunan tenaga saktinya. Himpunan tenaga saktinya jauh lebih kuat daripada Tarusbawa. Itulah sebabnya, tenaga Tarusbawa tidak cukup kuat untuk membetot kotak emas itu. Sebaliknya, Getah Banjaran lebih cerdik. Dengan cepat ia mengetahui pemainan itu. Maka ia menyerang ketiak Hari Sadana sambil mendorong tubuhnya. Karena serangan itu membahayakan, terpaksalah Hari Sadana melepaskan tangannya untuk dibuat menangkis. Dan pada saat itu, sebelah tangan Getah Banjaran dapat mengambil kotak emas dengan mudah sekali.
- Hm.
Hari Sadana gemas.
- Kau benar-benar hendak mengambil jiwaku? Baik, marilah kita bertempur mengadu untung.
Sebat ia menghunus goloknya dan menangkis kemplangan tongkat Getah Banjaran. Ternyata goloknya termasuk senjata mustika pula. Gagangnya dihiasi beberapa butir berlian. Dari golok itu sendiri membersit cahaya yang menyilaukan oleh sinar lampu.
Sekarang Tarusbawa menyadari apa arti seruan Getah Banjaran. Dalam hal ini ia berpihak kepada Getah Banjaran karena hatinya mendongkol dan penasaran. Dia pun segera menghunus sepasang pedang pendek. Itulah ciri khas senjata andalan kaum Tanah Putih. Dengan demikian, ketiga orang itu saling pandang dengan mata berkilat-kilat. Rasa marah membakar diri mereka masing-masing. Setiap saat mereka siap bertarung mengadu jiwa.
- Bagus! seru Diatri.
Semenjak tadi, ia bersikap sebagai penonton. Tetapi kini, ia seperti mendapat ilham. Lalu berkata cepat:
- Mengadu jiwa di sini kurang tepat. Mengapa tidak melompat saja ke darat? Apakah luas perahu ini cukup leluasa sebagai arena mengadu kepandaian? -
Getah Banjaran terhenyak seperti diingatkan.
- Benar. pikirnya.
Meskipun ukuran perahu boleh digolongkan setengah kapal. namun tidak cukup luas. Baik luas mau pun lebarnya terasa sempit. Apalagi kalau memerlukan gerakan gerakan tertentu. Sebaliknya Hari Sadana mempunyai rencananya sendiri. Tak sudi ia melompat ke darat untuk mengadu jiwa benar-benar. Apabila kedudukannya tidak menguntungkan. Ia dikerubut dua orang. Di atas perahu yang sempit. dia bisa mengharapkan kemungkinan-kemungkinan yang menguntungkan. Apabila dia main mendesak. bisa membuat terbatas gerakan kedua lawannya.
- Hari Sadana, hayo kita mengadu kepandaian di atas tanah! tantang Getah Banjaran dengan suara bergelora.
Hari Sadana tertawa pelahan. Sahutnya:
- Kau mau mendarat? Silakan! Siapa yang melarangmu?
Tarusbawa rupanya lebih mudah tersinggung daripada Getah Banjaran. Wajahnya yang kekuning-kuningan memucat. Tiba-tiba saja kedua pedang pendeknya merabu dengan cepat. Hari Sadana mundur setengah langkah, lalu menangkis dengan memapaskan goloknya. Suatu benturan terjadi dan suara nyaring memekakkan telinga.
Tarusbawa terperanjat. Sebilah pedangnya ternyata somplak sebagian. Sebaliknya, Hari Sadana tertawa panjang. Ia merasa menang dan mengulangi gerakan goloknya. Maksudnya ingin segera merobohkan lawannya. Dengan begitu akan dapat menghadapi Getah Banjaran tanpa memecah perhatian.
Tetapi Getah Banjaran ternyata cerdik. Ia dapat menebak maksud lawannya dengan tepat. Selagi Tarusbawa masih tergugu oleh rasa terkejut, ia menghantamkan tongkat besinya. Dan gagallah Hari Sadana hendak merobohkan Tarusbawa secepat mungkin. Sebab gempuran tongkat Getah Banjaran bertenaga kuat.
Hari Sadana tahu kepandaian Getah Banjaran tiga kali lipat daripada Tarusbawa. Karena itu tidak berani ia meremehkan. Cepat ia menangkis sambil melompat ke samping. Tetapi pada detik itu pula. tubuh Getah Banjaran berkelebat bagaikan bayangan. Tahu-tahu sudah menerobos keluar dari ambang pintu. Dia kini berdiri dengan gagah bagaikan Dewa Yama hendak mencabut nyawa.
Diam-diam Hari Sadana mengeluh di dalam hati. Sebab kedudukannya kini berada di antara kedua musuhnya. Di dalam gubuk ada Tarusbawa dan diluar gubuk menghadang Getah Banjaran. Mendadak saja, ia mendengar Getah Banjaran berseru tertahan.
- Celaka! Lihat!
Baik Hari Sadana mau pun Tarusbawa melemparkan pandangnya ke arah pandang mata Getah Banjaran. Ternyata perahu yang mereka tumpangi sudah bergeser tempat. Tidak lagi terhambat di tepian, tetapi sudah berada di tengah sungai.
Betapa mungkin?
- Siapa yang mempermainkan kita? Hari Sadana Tarushawa, jangan berkelahi lagi. Rasanya kita masuk perangkap! ujar Getah Banjaran setengah terkejut.
- Perangkap? -
Hari Sadana terperanjat.
Ia tidak mau menerima kenyataan itu. Dengan pandang beringas ia mulai menyelidiki seolah-olah pandang matanya ingin menembus tirai malam. Tiba-tiba terdengar suara gelak tertawa yang merdu.
Perempuan?
Dengan serentak, mereka bertiga berpaling ke arah suara itu yang datang dari perahu Hari Sadana. Dialah Diatri yang tidak bertutup kepala lagi, sehingga rambutnya terurai panjang. Keruan saja. Hari Sadana berjingkrak oleh rasa malu, penasaran dan marah. Terus saja ia membentak:
- Hai! Siapa kau?
- Hari Sadana, Getah Banjaran dan Tarusbawa . . .
Akulah yang melepaskan tali . Apakah salah? Bukankah perahu yang kalian tumpangi adalah milik kami? Akan kubakar atau kuhanyutkan. kalian tidak berhak mencampuri.
- Bangsat! maki Hari Sadana
- Mana juru mudiku?
Tetapi yang muncul adalah Kusen. Pemuda itu tertawa panjang sambil bertepuk tangan. Serunya girang:
- Tuan sendiri yang menghendaki tukar-menukar. Tuan menyukai perahuku. Silakan bawa! Tetapi isi perahu tuan ternyata . . . hm . . . memang tuan seorang saudagar kaya raya yang gemar mengumpulkan barang-barang berharga. Di dalam gubuk, kutemukan kepingan emas, intan, jamrut, mutiara, dan berlian. Jual beli ini kuanggap memuaskan. Terima kasih.
- Hai. hai bangsat! Bawalah perahuku kemari! teriak Hari Sadana mendongkol.
- Wah sayang. Perahu tuan lari ke hilir, padahal kami mau mudik. Sudahlah, tuan boleh merampas perahuku. Selamat jalan!
- Hai anjing buduk! Cepat, larikan perahu ini ke darat. Kalau tidak .
Tetapi Kusen tidak melayani. Ia malahan tertawa tergelak-gelak. Tentu saja, Hari Sadana bertiga mendongkol. Dada mereka terasa hendak meledak. Mereka memang jago di atas tanah. Tetapi mati kutu, bila berada di atas permukaan air. Seketika itu, mereka saling pandang dengan muram. Sedang demikian perahu terus berjalan pelahan lahan makin menjauh.
- Hoee . . . hoee . . . cepat bawalah perahuku ke darat? Di mana juru mudiku? Suruh saja dia yang membawa perahu ini menepi!
- Juru mudi kalian sudah kami ceburkan ke dalam
sungai. mungkin sudah nasibnya akan menjadi mangsa buaya. masih saja Kusen mengulum mulutnya.
Hari Sadana merasa kehabisan akal. Getah Banjaran kemudian berteriak gugup:
- Apakah engkau menghendaki barang mustika? -
- Benar. -sahut Diatri.
- Kau maksudkan kotak emas ini?
- Tidak hanya itu. Tetapi kepala kalian pula.
- Oh. begitu? Terimalah! sahut Getah Banjaran dengan suara geram. Akan tetapi yang dilemparkan bukan kotak emas yang sudah berada di tangannya, melainkan sebatang pedang pendek. Yang dibidik adalah Kusen. Ternyata Kusen cerdik juga. Diluar dugaan ia menarik sesuatu dari dalam gubuk. Itulah juru mudi yang sudah terikat kedua tangannya dan tersumbat mulutnya. Sekarang dia dijadikan tameng.
Plos Dan dada juru mudi yang malang itu tertikam pedang pendek sampai tembus.
Peristiwa itu berjalan begitu cepat. Juru mudi yang tertembus pedang Getah Banjaran tercebur ke dalam sungai bermandikan darah. Hal itu membuat Diatri marah. Ujarnya sengit:
- Hari Sadana! Dia tidak hanya merampas barang mustikamu, tetapi membunuh juru mudimu juga. Kau adalah majikannya. Masakan engkau tidak menuntut bela?
Hebat ucapan Diatri. Dia tidak hanya mengejek saja. tetapi kata-katanya mengandung bisa. Tatkala Hari Sadana sedang bertempur melawan Getah Banjaran dan Tarusbawa, ia menggunakan kesempatan itu untuk mengelabui mereka. Sengaja ia menganjurkan mereka bertempur di daratan. Pada saat itu, ia memberi kesempatan kepada Kusen untuk terjun ke sungai merampas kapal Hari Sadana. Kemudian dengan lompatan ringan ia mendarat di atas kapal Hari Sadana tanpa suara. Celakalah juru mudi Hari Sadana yang mengaku berasal dari kepulauan Maluku. Sebelum sempat bergerak sudah dapat dibuat roboh. Kusen yang datang menyusul, tinggal membereskan saja. Tadi ia masih penasaran, karena berkali-kali menerima gebukannya. Sekarang. dapatlah ia mengikat kedua lengan juru mudi dan sekalian menyumbat mulutnya dengan secabik kain.
- lalu apa lagi? ia menunggu perintah Diatri. Sebab Diatri pulalah yang memerintahkannya dengan berbisik untuk merampas kapal Hari Sadana.
- Tentu saja mereka penasaran. Paling tidak mereka akan melemparkan senjatanya. Pada saat itu, buatlah juru mudi ini sebagai perisai. Kurasa mereka akan membatalkan niatnya demi jiwa juru mudi ini. -
Akan tetapi gerakan Getah Banjaran terlalu cepat bagi Kusen. sehingga juru mudi itu menjadi korban pembunuhan yang sebenarnya dialamatkan kepadanya.
Dalam pada itu, Hari Sadana sudah berputar arah kepada Getah Banjaran. Goloknya nyaris bergerak sewaktu Getah Banjaran berseru dengan buru-buru:
- Kita lupakan dulu pertengkaran ini. Kita dalam bahaya .
- Ya. memang berbahaya. -tiba-tiba terdengar suara menimpali.
Hari Sadana bertiga terperanjat. Dengan serentak mereka berpaling ke arah datangnya suara. Dan begitu melihat siapa yang berbicara,mereka terperanjat. Terlebih-lebih Hari Sadana. Sebab.dialah Yudapati yang berdiri dengan mengulum senyum. -
- Obat biusmu memang istimewa. Hanya saja kurang kuat.
Yudapati berkata lagi.
Hari Sadana ternganga. Sahutnya terbata-bata:
- Kau...kau...
- Untuk engkau anggauta Aliran Orang-Aring. Dalam hal ini belum pernah ada hutang-piutang denganku. Tetapi engkau sudah membiusku. Sedikit banyak. aku harus menagihmu. Juga Tarusbawa. orang Tanah Putih belum berhutang padaku. Sayang. dia sudah bersekongkol dengn Getah Banjaran. Maka engkau wajib membayarku. Dan engkau hai Getah Banjaran . . . -
Yudapati menatap wajah Getah Banjaran dengan sungguh-sungguh. Dan entah apa sebabnya. begitu melihat pandang mata Yudapati, tidak hanya Getah Banjaran yang berdebar-debar hatinya. namun Hari Sadana dan Tarusbawa pula.
- Engkau mempunyai hutang.
- Aku? Aku mempunyai hutang? Hutang apa? Lagipula, belum pernah aku kenal dirimu. Apakah karena aku kini merampas kotak pusakamu? Tetapi barang ini kurampas dari tangan Hari Sadana. -tungkas Getah Banjaran dengan waspada.
Yudapati tertawa. Sahutnya:
- Anggap saja, alasanmu benar. Tetapi bagaimana dengan nyawaku?
- Nyawamu?
Getah Banjaran makin tak mengerti.
- Hm, memang engkau belum pernah bertatap muka denganku. Tetapi bagaimana dengan Pusara. Dumma, Daksa dan murid-muridmu yang lain? -
Getah Banjaran tertegun beberapa saat lamanya. Suatu ingatan berkelebat dalam benaknya. Minta keterangan dengan suara patah-patah:
- Pusara? Pusara yang . . . eh, apakah engkau yang disebut-sebut murid Paramita bernama . . . -
- Apakah dia menyebut namaku?
- Bhiksuni Sekar Tanjung, bukan? -
Getah Banjaran minta pembenaran.
- Apakah dia menyebut namaku?
- Apakah yang disebut...eh...
-Ya. Akulah Yudnpati yang hampir mati karena ilmu pedang muridmu yang hebat.
- Tetapi Pusara mati pula olehmu. Bukankah sudah lunas? Apakah engkau hendak minta bunganya? suara Getah Banjaran jadi penasaran.
Teringat bahwa kepandaian pemuda di depannya itu tiada melebihi Pusara, Ia mulai berani mengangkat kepala.
- Benar dan ditambah dengan kotak emas itu! Karena aku belum memerlukan kepalamu, untuk sementara biarlah kutitipkan dulu. Aku akan menunggumu di darat. ujar Yudapati. Di dalam hati, sengaja ia hendak menciutkan hati mereka. Terus saja ia menggempur buritan perahu dengan Tantra tingkat delapan. Akibatnya benar benar membuat mereka terperanjat. Sebab seketika itu juga, perahu hancur sebagian. Dan pada saat itu pula, Yudapati melesat tinggi di udara dan mendarat di atas kapal Hari Sadana dengan manis. Yang lebih hebat lagi, kapal itu sama sekali tidak bergoyang. Itulah pameran kepandaian yang benar-benar menakjubkan.
Di antara ketiga orang yang berada di atas perahu yang sudah gempur, Getah Banjaran yang paling sibuk sendiri. Selain diancam kebocoran perahu, laporan yang didengarnya melalui murid-muridnya mengenai Yudapati sama sekali jauh dari kenyataan. Dengan mata kepala sendiri, ia menyaksikan betapa tinggi kepandaian Yudapati. Ia sendiri merasa tidak mampu berbuat demikian. Barangkali kakek-gurunya sendiri, belum tentu.
Selagi termangu-mangu demikian terdengar suara Yudapati:
- Hari Sadana! Perahumu adalah penukar biusmu. Kau rela atau tidak?
- Engkau memaksa orang di dalam keadaan terjepit.
Itu bukan tindakan seorang satria -jawab Hari Sadana dengan wajah muram.
- Oh begitu? Kalau begitu, kutunggu saja sampai esok hari. - ujar Yudapati. lain kepada Getah Banjaran:
- Getah Banjaran, kau sendiri bagimana? Terpaksalah malam ini tercebur di dalam sungai. berusahalah agar jangan mati tenggelam, agar engkau dapat mengadakan perhitungan denganku pada esok hari. Selamat berenang . . .
- He he he! -teriak Tarusbawa buru-buru.
- Perahu yang tertambat di sana adalah perahuku. Apakah engkau bermaksud merampas perahuku pula?
Tetapi Yudapati tidak menjawab. Dengan berdiri di samping Diatri dan Kusen, ia membiarkan mereka bertiga kelabakan. Tak usah dikatakan lagi, bahwa mereka tentunya tidak pandai berenang. Tetapi betapa pun juga, mereka termasuk ketua-ketua aliran yang memiliki kepandaian dan keberanian. Dalam keadaan bahaya, timbullah keberaniannya yang pantang menyerah. Sebat luar bisa, mereka menyambar kepingan papan. Kemudian hampir bersamaan mereka melompat ke dalam sungai.
Sayang, diantara mereka bertiga Hari Sadana-lah yang sial. Papan yang disambarnya tidak kuat menahan tubuhnya. Ia segera tenggelam, namun dengan cepat timbul kembali. Lalu tenggelam lagi dan muncul kembali. Demikianlah ia tenggelam dan muncul sampai belasan kali. Akhirnya timbul akalnya. Dengan llmu saktinya ia mengurangi berat badannya dan dapat mengapung di atas permukaan air. Kedua tangannya menggapai-gapai seolah-olah pengayuh. Tetapi karena kedua kakinya tidak bergerak, lambat-laun separuh tubuhnya tenggelam. Akibatnya mulutnya kemasukan air. Bahkan lobang hidungnya pula. Ia jadi kelabakan dan kedua kakinya memancal-mancal sejadi-jadinya.
Getah Banjaran dan Tarusbawa tidak berbeda jauh dengan nasib temannya itu. Kegarangan dan kecerdikannya punah. Mereka berjuang mati-matian mengatasi maut yang mengancamnya. Untung mereka membiarkan dirinya terhanyut arus. Setelah terhanyut sekian jauhnya. barulah dapat mencapai tepian. Itupun karena secara kebetulan tersangkut pada akar pohon yang melintang di atas sungai.
- Bagus! Bagus! Tontonan bagus! Kusen tertawa tergelak-gelak sambil bertepuk tangan. diapun kagum dan menaruh hormat kepada kedua penumpangnya yang memiliki kepandaian tak ubah dewa-dewi. Apalagi, kini ia yakin akan mendapat perahu yang jauh lebih baik daripada perahu miliknya sendiri.
Yudapati menggenggam tangan Diatri dengan hangat. Katanya setengah berbisik:
- Terima kasih atas semua akalmu.
- Akal apa? sahut Diatri.
Gadis cantik dan agung ini, membiarkan tangannya digenggam pemuda itu.
- Terus terang saja, tiada terlintas dalam ingatanku akan berpindah tempat. Aku hanya ingin memberi hajaran mereka. Tidak kurang dan tidak lebih.
Pujian Yudapati terasa syahdu dalam hati Diatri. Hati kecilnya diam diam berkata:
- Semenjak aku bertemu pandang denganmu, jiwaku sudah kuserahkan kepadamu. Apakah engkau tidak tahu?
Oleh getaran hatinya, ia balik menggenggam tangan Yudapati dengan erat pula.
- Ehem tiba-tiba Kusen berdehem.
- Dalam kapal ini banyak kudapatkan makanan dan minuman sedap. Beristirahatlah di atas geladak! Segera akan kubawakan minuman hangat.
Suara Kusen itu mengejutkan mereka berdua. Seperti seutas tali terantas senjata tajam, mereka melepaskan genggaman tangannya masing-masing. Dengan wajah terasa
panas, mereka mengangguk lalu membuang muka dengan perasaan malu.Anehnya di dalam hati mereka merasa girang. Sebab mulai saat itu. mereka mengetahui perasaan hati masing-masing.
Selagi mereka hendak memutar tubuhnya untuk memanjat tangga geladak atas. tiba-tiba terdengar suatu kegaduhan luar biasa. Nampaklah empat perahu berbentuk panjang datang dari mudik menuju ke hilir. Perahu itu enteng sekali. Karena arusnya deras dan menuju ke hilir pula, lajunya cepat bagaikan melesatnya batang panah terlepas dari busurnya. Apalagi setiap perahu dikayuh oleh beberapa orang. Pemimpinnya berdiri di ujung perahu dan kelihatan berwibawa.
Mula-mula Yudapati dan Diatri mengira mereka adalah anak-buah Getah Banjaran, Tarusbawa dan Hari Sadana yang sengaja disembunyikan untuk muncul apabila pemimpinnya terancam bahaya. Tetapi mereka ternyata tidak mengganggu kapalnya. Tatkala berpapasan, keempat perahu itu bahkan menghindar dan lajunya makin cepat.
- Siapakah mereka?
Tak terasa terlontar pertanyaan Yudapati.
Diatri tidak segera menjawab. Dengan mata tajam ia mengikuti gerakan mereka. Sebentar kemudian mereka menghampiri Hari Sadana, Tarusbawa dan Getah Banjaran yang masih kelabakan di atas pemukaan air. Salah seorang pemimpinnya memberi aba-aba:
- Angkut!
Getah Banjaran dan Tarusbawa yang tersangkut akar pohon mencoba memberi perlawanan. Tetapi karena berada di atas air, mereka tidak berdaya. Tubuh mereka terangkat dan dilemparkan ke dalam perahu. Sedang Hari Sadana masih sempat mengumpat:
- Jahanam biadab, lepaskan!
Tetapi hanya dalam waktu beberapa detik saja, Hari Sadanapun tidak berkutik lagi.Diapun terlempar dalam perahu kedua. Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan.
- Yang pasti bukan anak-buah mereka bertiga. akhirnya Diatri mengemukakan pendapatnya.
Yudapati menyetujui pendapat Diatri. ia berpaling kepada Kusen yang belum sempat pula beranjak dari tempatnya. Ia heran sewaktu melihat Kusen bergemetaran. Menegas:
- Kusen! Kau kenal siapa mereka?
Kusen menjawab sulit:
- Ya . . . tapi lebih baik kita menjauhi.
- Mengapa?
Kusen menelan ludahnya. Menyebut dengan suara menggeletar:
- Apakah tuan tidak mengenal warna jubah mereka?
- Kau mengenal, bagaimana? -
- Merekalah Kaum Pasupata.
Jawaban Kusen itu tak ubah halilintar meledak di siang hari. Beberapa saat ia tergugu. Tiba-tiba memberi perintah:
- Kalau begitu, kejar! -
- Kejar? -
Kusen tak percaya kepada pendengarannya sendiri. '
- Ya, kejar! Jangan sampai kita kehilangan jejaknya.
- Tetapi tuan . . . mereka sudah ikut mengulurkan tangan dengan menawan orang-orang jahat itu. -
- Justru demikian, mereka harus kita kejar. -
Kusen berbimbang-bimbang sejenak .Akhirnya dengan berdiam diri, ia memutar haluan. Kapalnya segera terhanyut arus sungai yang deras. Akan tetapi kapalnya kalah lincah daripada keempat perahu yang enteng tadi.
Sebentar saja, hilanglah jejak mereka. Apalagi malam itu tiada penerangan apapun, kecuali bintang-bintang yang bergemerlapan di angkasa.
*****
KAUM PASUPATA
DIATRI KAMA RATIH tidak hanya, cantik dan anggun, tetapi seorang gadis pendiam pula. Tidak banyak ia berbicara. Barangkali selama bergaul dengan Yudapati dapat dihitung berapa kali ia membuka mulutnya. Namun bila sekali mengemukakan pendapatnya, tidak terbantah lagi. Dan kata-katanya selalu disusul dengan tindakan nyata. Juga kali ini.
Semenjak tadi, ia memperhatikan gerak-gerik penumpang empat perahu yang melaju sepesat angin. Setelah melihat betapa mereka menawan Getah Banjaran bertiga dengan mudah, terbangunlah kedua alisnya. Meskipun demikian tidak berani ia mendahului Yudapati. Ia sudah memutuskan untuk menghormati dan melayani kehendak Yudapati. Kalau perlu berkorban jiwa baginya. Pendek kata. Yudapati adalah pandu-pandu hidupnya. Meskipun demikian, mendengar keputusan Yudapati yang aneh, terpaksa ia minta keterangan:
- Getah Banjaran. Hari Sadana dan Tarusbawa jelas merugikan kita. Tetapi kulihat perhatian kakak, terbagi. Sebenarnya siapakah yang hendak kakak kejar? Mereka bertiga atau kaum Pasupata? .
Yudapati tertawa. Sahutnya:
- Jelas Getah Banjaran bertiga. Sebab kepada mereka bertiga aku menumpukan harapan.
- Menumpukan harapan?
Diatri heran.
Yudapati mengangguk. lalu berseru kepada Kusen:
- Sudahlah. kita tidak akan dapat mengejarnya lagi. Kau biarkan saja perahu melaju menuruti arus!
Perintah ini melegakan hati Kusen. Sambil melepaskan kemudinya, ia menoleh. Menyahut:
- Nah. aku akan segera menyediakan minuman hangat. -
Yudapati kemudian membawa Diatri naik ke geladak atas. Setelah duduk menghadap meja, berkatalah ia kepada Diatri yang ikut duduk pula
- Ya, aku menumpukan harapanku kepada mereka. Bukankah kita sedang mencari jejak Tara? ia mengesankan. Meneruskan:
- Mereka bertiga adalah pemimpin pemimpin aliran yang berpengaruh. Setidak-tidaknya mereka termasuk golongan ketua alirannya masing masing. -
- Benar. -potong Diatri membenarkan.
- Mereka tadi sudah menyatakan kedudukannya masing masing. Hanya saja, apa hubungannya dengan Tara?
- Begini. sahut Yudapati.
- Di Suwarnadwipa ini terdapat sembilan aliran yang mempunyai wilayah kekuasaannya masing-masing. Dan di antara sembilan aliran itu terdapat Aliran Paramita. Pada jaman dahulu, cikal bakalnya bernama Bhiksuni Amarwati. Kini dipimpin oleh seorang bhiksuni pula, bernama: Aditi. Salah seorang murid Bhiksuni Aditi adalah puteri Resi Dewasana. Dialah
Sekar Tanjung yang sebentar tadi sempat disebut Getah Banjaran. Karena itu,bila diantara ketiga pemimpin aliran tadi berkenan menunjukkan dimana Bhiksuni Aditi kini berada, bukankah akan meratakan jalan? -
Diatri mulai mengerti jalan pikiran Yudapati. Selagi ia hendak minta keterangan tentang Sekar Tanjung, Yudapati sudah mendahului memberi keterangan. Dikisahkannya pertemuannya dengan Palata dan Sekar Tanjung sampai tatkala Resi Dewasana dan isterinya menolong dirinya dari jurang maut. Sementara itu, Kusen sudah mengantarkan minuman dan makanan hangat yang diketemukan dari dalam perut kapal.Dan sambil minum dan menggerumuti penganan. Yudapati berkisah hingga larut malam. '
- Baiklah, akhirnya Diatri menarik kesimpulan.
- Kurasa lebih baik kita lacak mereka melalui darat. -
- Benar.
Yudapati menyetujui.
- Kita lebih leluasa melakukan sesuatu di atas daratan daripada di tengah air.
Karena sudah memperoleh keputusan demikian, Yudapati memberi perintah berlabuh kepada Kusen yang jadi berjingkrak kegirangan. Sebab sesunguhnya hatinya ciut mendengar maksud penumpangnya hendak mengejar Kaum Pasupata yang sangat berbahaya. Kalau saja ia tidak mendapat anugerah sebuah kapal yang mahal harganya, sudah menolak semenjak tadi.
- Agaknya engkau sudah mengenal wilayah Kaum Pasupata. .. kata Yudapati mencoba.
- Sekarangpun kita sudah memasuki wilayahnya. -sahut Kusen seperti mengadu.
- Apakah benar? -
- Tuan tidak percaya? Bailah, kita tunggu sampai esok pagi. Tuan akan melihat setumpuk tengkorak manusia yang dipasang sebagai batas wilayahnya.
- Di mana?
- Mungkin di seberang sungai atau di balik tanah gundukan itu! - ujar Kusen sambil mengacungkan tangannya menunjuk suatu arah.
Tiba-tiba tepat pada saat itu di udara mengejap suatu cahaya berwarna kuning kehijau hijauan.
- Itulah dia! seru Kusen dengan suara bergemetar.
- Itulah tanda sandi kaumnya. Mungkin sekali mereka lagi mengundang kaumnya. Mungkin pula mereka dalam bahaya . Atau . . . atau ada suatu yang mereka anggap penting. Pendek kata lebih baik kita menjauhi. -
- Justru aku ingin melihatnya.
- Apa?
Kusen terbelalak.
- Kau tepikan saja perahu ini! Aku akan mendarat. -
- Jangan . . .!
- Apakah kau takut?
- Dengan terus-terang, aku takut. Tetapi . . . tetapi . . . kalau tuan . . .
Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kusen tidak menyelesaikan kata-katanya. Dengan hati berat, ia menepikan perahunya. Yudapati jadi perasa. Katanya sambil menepuk-nepuk bahunya:
- Baiklah begini saja. Setelah kita mendarat, engkau boleh melanjutkan perjalananmu. Perahu ini sudah menjadi milikmu. Aku yang menanggung. Kau puas?
Dengan ogah-ogahan, Kusen mengangguk. Dia nampak prihatin. Syukur malam terlalu pekat., sehingga kesan wajahnya tidak terlihat jelas. Walaupun demikian, keprihatinannya nampak pada gerakan kedua tangannya yang alot dan kurang bersemangat.
Yudapati menghampiri Diatri. Berkata:
- Benar. atau tidak, kita wajib berwaspada.
- Kau maksudkan keterangannya? ,
Diatri menuding
Kusen yang berdiri diburitan
- ya Diatri berdiam menimbang-nimbang. lalu menyatakan pendapatnya:
- Kalau begitu, kita tunggu sampai malam cerah kembali.
Karena Diatri berpendapat demikian. Yudapati berseru kepada Kusen:
- Cobalah kau cari jangkarnya. Kita tidak perlu menepi dulu.
Kusen tersentak dari rasa prihatinnya. Bergegas ia memasuki lambung kapal. Setelah berkutat sekian lama, benar-benar ia menemukan sebuah jangkar yang terbuat dari baja. Ia menggotongnya keluar dengan wajah cerah dan segera melemparkannya ke dalam sungai.
- Bagaimana tuan tahu, Bahwa kapal ini memiliki jangkar? -tanyanya heran kepada Yudapati.
- Yang memiliki mengaku diri sebagai saudagar yang banyak mengunjungi negeri. Tentunya harus mempunyai jangkar pula untuk meyakinkan orang lain.
Yudapati menjawab dengan sederhana.
Malam itu mereka beristirahat di atas geladak kapal yang cukup luas. Diatri berada di dalam gubuk, sedangkan Yudapati menemani Kusen yang tidur di dekat buritan. Namun Kusen ternyata tidak berani tidur benar-benar. Berkali-kali ia menyenakkan matanya dan menebarkan penglihatannya sambil memasang kupingnya. Siapa tahu ada orang jahat yang menghampiri kapalnya dengan diam diam. Tetapi sampai mendekati pagi hari, sekitar sungai sunyi sepi. Tiada yang terdengar selain suara arus sungai. Kemudian matahari mulai menyibakkan tirai malam. Di sinilah terjadi sesuatu seperti saling berjanji. Mereka bertiga bangun hampir berbareng. Dan apa yang mereka saksikan sungguh mengherankan hatinya.
Ternyata kapal mereka berada pada suatu tikungan luas dan lebar aemacam telaga. Seberang menyeberang tepi tidak hanya berisikan rimbun pepohonan belaka. Tetapi merupakan hamparan ladang luas tak bertepi. Kesannya seperti sebuah pulau raksasa yang dikelilingi anak lautan.
- Celaka!
Kusen berseru tertahan.
- Kita benar benar sudah berada di tengah wilayah mereka. Kalau begitu, sinar cahaya semalam adalah semacam kabar siapa terhadap kita. -
Yudapati heran pula. Tetapi bukan karena merasa takut. Melainkan kagum kepada pemandangan alamnya yang indah. Baik letak bukit-bukitnya, ketinggian pohon, semak belukar dan hamparan ladangnya seperti ada yang mengatur. Kesannya serasi dan sedap dipandang mata.
Masakan wilayah seindah itu milik kaum yang dikabarkan tukang sihir, tukang tenung yang jahat?
Rasanya, tidak mungkin!
Sebab mengatur luas wilayah yang hampir tidak bertepi, jauh dan jauh lebih sulit daripada mengatur sebuah kebun. Meski pun demikian, wilayah yang tidak bertepi itu benar-benar merupakan karya seni seorang seniman besar setara Anggaraparna dewa kesenian Kahyangan Suralaya, pikir Yudapati di dalam hati.
- Kalau saja tidak memiliki rasa yang halus, mustahil dapat melahirkan karya
Pendapat Yudapati ini agaknya dibenarkan oleh Diatri Kama Ratih yang mengamati keadaan alam sekitarnya dengan rasa takjub. Dengan tiada jenuhnya ia melepaskan pandang ke arah jauh. Di sanalah terhampar ladang yang berwarna hijau semarak. Kemudian terdengar suara burung kian bersahut-sahutan.
- Aku tidak percaya bahwa di sekitar tempat ini tidak terdapat suatu pelabuhan yang ramai. ujarnya.
- Kalau begitu terdapat sebuah kota yang ramai pula. Apakah kita perlu mencari pelabuhan yang kau maksudkan? -
Diani tidak segera menjawab. Sambil berpikir menimbang-nimbang. ia tersenyum. Lalu menyahut:
- Kurasa tidak perlu. Lihat. Kusen sudah ketakutan
Yudapati berpaling dan melihat Kusen berdiri tegak mendengarkan pembicaraan mereka dengan wajah cemas . Melihat kesan itu, Yudapati memutuskan:
- Kita mendarat dengan mengenakan pakaian pelancong saja. Pakaian yang kau kenakan, masih cukup meyakinkan. Kalau perlu, kita beli lagi. Yang penting, mari kita geledah isi perut kapal ini! Barangkali kita mendapat petunjuk-petunjuk yang berguna.
Tanpa menunggu jawaban Diatri, Yudapati segera bekerja. Kapal Hari Sadana ternyata membawa persediaan makanan dan minuman tawar yang cukup. Terdapat pula barang-barang berharga dan uang. Selain mata uang emas, ia tidak menyentuh barang-barang itu. Lalu memerintahkan Kusen agar membawa kapalnya merapat ke tebung sungai.
- Engkau tidak berkeberatan. bukan? ujarnya.
Kusen tidak menjawab. Dengan berdiam diri, ia membongkar jangkarnya dan menepikan kapalnya. Hati-hati ia mengemudikannya dengan mengikuti arus air. Itulah sebabnya, kapal hanya bergerak pelahan-lahan. Yudapati dan Diatri dapat mengamati suasana seberang sungai secermat-cermatnya.
Tiba tiba mereka melihat berkelebatnya seorang pemuda berpakaian compang-camping. Di belakang punggungnya menggamblok sebuah bungkusan memanjang. Pastilah sebatang pedang atau golok. Dia berjalan dengan tergesa
gesa. Usianya tidak melebihi dua puluh lima tahun.
- Kita ikuti dia! -
Yudapati memutuskan. Lalu berkata kepada Kusen:
- kita akan mendarat dan engkau boleh membongkar kapalmu pulang ke kampung. -'
- Apa? Tuan nekad akan mendarat?
Kusen terbelalak heran.
Yudapati memanggut sambil mengulum senyum.
- Kalau begitu. hati-hati saja terhadap racun kaum Pasupata. -
- Terimakasih. -sahut Yudapati.
- Didalam kapal akan kau peroleh banyak barang-barang berharga dan beberapa keping uang. Ambil semua dan mudah-mudahan kau kelak menjadi seorang saudagar yang kaya raya.
Mendengar kata-kata Yudapati, Kusen berdebar-debar hatinya. Pikirnya,
- kalau aku bisa menjadi seorang saudagar bukankah aku bisa hidup enak?
Di dalam otak dan hatinya ia berbicara begitu, tetapi mulutnya membungkam. Betapa pun juga, ia memperoleh kesan manis terhadap dua penumpangnya itu. Kalau sampai menemui malapetaka, alangkah sayang.
Yudapati dan Diatri segera mendarat. Mereka tidak mau kehilangan jejak pemuda sebentar tadi. Setelah mengucapkan kata-kata perpisahan, mereka memasuki wilayah yang masih asing baginya. Seberang-menyeberang jalan yang dilalui penuh petak-petak pohon yang rimbun dan berkesan angker. Tidak lama kemudian mereka sudah berada di atas ketinggian mirip sebuah bukit. Dari atas ketinggian itu, mereka dapat melepaskan penglihatan sejauh mata memandang. Dugaan Diatri ternyata tepat. Di depan matanya nampak sebuah kota kecil tetapi makmur. Perumahannya teratur rapi. Apakah kota demikian adalah perumahan kaum Pasupata, pikir mereka tidak percaya.
- Aku tidak percaya bahwa mereka adalah kaum yang gemar meracun orang. kata Yudapati yakin.
- Kuharapkan demikian pula.
Diatri menimpali.
Tetapi setelah mendekati kota kecil itu mereka memperoleh kesan lain. Penghuni perkampungan yang berada di luar kota, tidak beda dengan penghuni-penghuni pedusunan yang terdapat di pulau Swamadwipa. Mereka hidup sebagai petani dan pedagang. Namun wajah mereka membayangkan rasa tidak tenteram. Entah apa sebabnya, inilah yang masih merupakan teka-teki besar.
Tiba di dalam kota itu, Diatri segera membeli pakaian baru yang berkesan mentereng. Setelah dikenakannya, ia berubah menjadi seorang pemuda cakap, agung dan kaya. Dan dengan mengenakan pakaian menterengnya itu, ia mendampingi Yudapati yang memasuki sebuah rumah makan bertingkat. Bentuk rumah makan itu, sebenarnya tidak berbeda jauh daripada perumahan penduduk di tepi sungai. Bedanya, kalau perumahan penduduk memiliki tiang penyangga berukuran tinggi. rumah makan itu berdinding papan yang diberi warna semarak.
Melihat mereka berpakaian mentereng, seorang pelayan segera menyambutnya dengan hormat. Mereka dibawa mendaki tangga seperti tangga kapal yang akan mencapai geladak atas. Demikian pulalah letak ruang rumah makan itu. Dalam ruang itu sudah terdapat beberapa orang yang duduk mengitari mejanya masing-masing. Di antaranya terdapat pemuda yang berpakaian compang-camping.
Yudapati memilih tempat duduk yang menghadap jendela besar. Dari jendela itu dapatlah ia melihat pemandangan lalu-lintas kota. Setelah mengamat-amati selintasan, perhatiannya tertuju kembali kepada pemuda berpakaian compang-camping.
Pemuda itu nampak mendongkol. Agaknya. karena
pakaiannya itu ia tidak dihampiri pelayan rumah makan semenjak tadi. Tamu-tamu lainnya yang berpakaian mentereng. sikapnya tiada beda dengan si pelayan terhadap pemuda itu. Mereka tidak mengacuhkan. Berlagak congkak dan meremehkan. Tiba-tiba terdengar suatu keributan di bawah. Yudapati dan Diatri melongok ke bawah melalui jendela.
Mereka melihat seorang wanita dengan rambut terurai awut-awutan. Pakaian dan mukanya berlepotan darah. Dengan membawa sebatang pisau di tangannya, ia menandak-nandak di tengah jalan. Kadang menangis panjang. kadang tertawa terkekeh-kekeh. Pemuda yang berpakaian compang-camping itu, melongok pula ke bawah. Melihat tingkah-laku perempuan itu, ia berkata pendek kepada dirinya sendiri:
- Ah, perempuan gila. Tetapi mengapa menari-nari di depan sini? - '
Lalu-lintas terhenti. Belasan orang menonton di pinggir jalan. Ada yang merasa iba, ada pula yang ketakutan. Namun mereka tidak berbuat sesuatu, selain menonton saja. Tiba-tiba perempuan gila itu menuding papan nama restoran yang berbunyi:
"Sabar Menanti".
Lalu tertawa terpingkal-pingkal. Selang beberapa saat, dia berteriak nyaring: .
- Tuanku Koloan! Aku doakan semoga engkau hidup kaya dan makmur seratus tahun lagi. Aku akan berlutut di depan rumah makanmu, agar Hyang Widdhi Wisesa melindungimu. Hidup tuanku Koloan! Hiha haha . . . -
Setelah berteriak demikian, benar-benar ia berlutut menghadap pintu masuk. Lalu membenturkan kepalanya pada tanah dan tangga masuk. Tentu saja dahinya jadi berdarah. Namun hal itu sama sekali tidak dihiraukannya.
- Koloan! Koloan! teriaknya.
- Engkau seorang tuan tanah. Engkau orang kaya raya. Di waktu malam.
engkau memperoleh segantang mas. Di siang hari engkau mendapat selusin perak. Moga-moga engkau mempunyai seribu anak cucu...eh...seribu lima ratus tambah setengah...hihahaaa...
Dari dalam rumah makan ruangan bawah sekonyong konyong muncul seorang laki-laki berperawakan tinggi kurus menghisap pipa panjang. Pakaian yang dikenakan mirip seorang pembesar negeri. Dia diikuti oleh dua orang pelayan. Kalau begitu, mestinya dialah pemilik rumah makan Sabar Menanti.
- Ubruk! -bentaknya kepada perempuan gila itu.
- Apa kerjamu di sini? Jangan mengacau! Pergi! -
Si wanita gila yang bernama Ubruk itu, tidak menggubris bentakannya. Masih saja ia berlutut sambil membentur-benturkan kepalanya. Tetapi kali ini ia menangis panjang dan pendek. Pemilik rumah makan yang bernama Koloan kemudian memerintahkan dua orang pelayannya untuk menggusur si Ubruk.
Dua pelayan yang berada di belakangnya berperawakan besar tinggi. Dengan serta merta, mereka menubruk si Ubruk. Yang seorang merampas pisaunya dan lainnya menendangnya sampai jungkir-balik. Perempuan gila kelihatan heran. Ia ternganga sejenak. Tiba-tiba meninju dadanya sendiri berulang kali. Lalu melolong-lolong sambil berteriak setengah mengumpat:
- 0. mustikaku! 0 anakku, sayang . . . kematianmu sungguh menyedihkan. Engkau bukan pencuri! Bukan pula perampok atau penipu. Tetapi mengapa engkau sampai mati disiksa orang? -
- Kubacok kau! Bisa diam, tidak? bentak pelayan yang merampas pisaunya.
Tetapi Ubruk tidak menggubris ancamannya. Ia bahkan menangis melolong-lolong, makin lama makin nyaring.
Koloan pemilik rumah makan Sabar Menanti, mendongakkan kepalanya ingin melihat kesan tetamu-tetamunya. Mereka semua memperhatikan rasa tidak senang. Memperoleh penglihatan demikian, ia menyedot pipanya dalam dalam. lalu mengepulkan asapnya. Setelah itu, dengan langkah seorang pembesar negeri ia memasuki pintu rumah dalam. Kedua pelayannya segera mengikuti pula masuk ke dalam.
Pemuda yang berpakaian compang-camping nampak gelisah. Menyaksikan dua pelayan yang berperawakan kekar menghajar seorang perempuan gila, ia jadi tak senang. Menurut gejolak hatinya, ingin saja ia menghajarnya. Syukur, masih dapat ia menahan diri. Tetapi dengan begitu, ia duduk tidak tenteram di atas kursinya. Tiba-tiba ia mendengar pembicaraan dua tetamu yang duduk di sebelahnya.
- Dalam hal ini, tindakan Koloan keterlaluan. ujar yang berperawakan gemuk dengan suara setengah berbisik.
- Dia merasa tak enak sendiri setelah menewaskan anak perempuan itu dengan gencetannya.
- Jangan tergesa-gesa menyalahkan Koloan dulu! yang lain memperingatkan.
Dia berperawakan agak tipis.
- Siapa pun yang merasa kehilangan barangnya, akan berdaya untuk mengusutnya. Demikian pulalah yang dilakukan Koloan. Koloan hanya memerintahkan menggencet anak perempuan itu. Tetapi perempuan gila itu sok suci. Untuk membuktikan bahwa anaknya bersih dari tuduhan, ia membedah perut anaknya. Siapa yang suruh membedah perut anaknya?
- Tetapi perut anak itu dibedah setelah mati tergencet
dulu. -
Sampai di sini, pemuda itu tidak dapat lagi menahan kesabarannya. Ia menoleh. Dan kedua orang itu buru buru
membungkam mulutnya. Ternyata. mereka berdua adalah saudagar. Karena itu, mengenakan pakaian mahal. Artinya, mereka termasuk pedagang kaya.
Pemuda itu tahu, apa sebab mereka mendadak membungkam mulutnya. Kaum saudagar paling segan membicarakan sesuatu yang bukan urusannya. Karena itu, tidak mungkin mereka akan memberi keterangan lebih banyak lagi tentang peristiwa yang sedang dibicarakannya, manakala diminta untuk memperjelas. Padahal pemuda itu ingin mengetahui lebih banyak lagi. Tetapi dia tidak kekurangan akal. Terus saja ia berdiri dari kursinya dan menghampiri dengan membungkuk hormat. Katanya ramah:
- Kita dulu pernah bertemu di Keritang, bukan? Semenjak kita berpisahan dulu, baru hari ini kita bertemu kembali. Entah selang berapa tahun. Apakah saudara masih ingat? Eh, bagaimana keadaan saudara berdua? Banyak mendapat keuntungan
Tentu saja mereka berdua saling pandang dengan ternganga. Sebab, belum pernah mereka berdua bertemu atau bertatap muka dengan pemuda itu.
- Siapa dia, pikir mereka.
Tetapi tiap pedagang bersikap ramah dan sopan terhadap siapa pun. Maka itu segera mereka memperbaiki diri dan membalas hormat pemuda itu dengan ramah. Sahutnya dengan tertawa lebar:
- Baik, baik . . . kita baik-baik saja. Terima kasih.
- Kali ini aku datang ke Pane membawa selaksa keping mata uang. ujar pemuda itu.
- Tujuanku hanya untuk mengadu untung. Sst. tetapi jangan bilang siapa pun. bahwa kedatanganku sesungguhnya bermaksud mencari barang yang ada untungnya. Tetapi karena aku orang asing dan tidak mempunyai seorang teman pun di kota Pane. jadinya seperti sekarang ini. Aku sengaja berpakaian butut supaya dapat memperoleh teman. Tetap saja aku tidak
berhasil. Sekarang sungguh kebetulan aku bertemu Tuan. Tentunya saudara berdua sudi menolong . . . -
Mendengar pemuda itu menyebut jumlah uang selaksa (10.000). wajah dua orang itu berubah seketika. Mereka nampak berseri-seri dan tidak lagi menghiraukan pakaian yang dikenakan pemuda itu. Sahutnya berbareng:
- Tentu, tentu, benar. Masakan kami tidak mau menolong. Silakan pindah saja ke meja kami!
Apa yang terjadi dalam ruang rumah makan itu tidak luput dari pengamatan Yudapati dan Diatri. Seperti saling berjanji , mereka berdua ingin menyaksikan apa kelanjutannya,
Pemuda itu ternyata tidak segan-segan lagi. Begitu dipersilakan, lantas saja ia berpindah tempat dan duduk di depan dua saudagar itu. Katanya:
- Sebentar tadi kalian berdua membicarakan perihal seseorang mencabut jiwa orang. Karena aku masih asing di sini, tolong beritahukan padaku siapa dia. Ya . . . agar aku dapat berjaga-jaga . . . ibarat bersedia payung sebelum hujan turun. Sebenarnya apa yang kalian maksudkan dengn istilah menggencet? -
Pemuda itu kemudian menghirup minuman yang disediakan. Lalu memasukkan sejumput kacang rebus yang sudah dikuliti ke dalam mulutnya. Dengan tenang ia memandang wajah dua saudagar itu yang menjadi pucat kebiru biruan. Selagi mereka hendak menolak, pemuda itu melencangkan kedua tangannya dan memijit tangan mereka berdua. Hampir berbareng, kedua saudagar itu memekik tertahan. Wajah mereka bertambah menjadi pucat. Beberapa tetamu dan pelayan berpaling ke arah mereka. Dan pemuda itu buru-buru menelan kacang yang sudah terkunyah halus dalam mulutnya.
- Tertawalah! -bentak pemuda itu dengan suara perlahan. Kedua saudagar itu tidak berani membantah perintahnya. Segera mereka tertawa sebisa-bisanya. Melihat bahwa tidak terjadi sesuatu, para tetamu dan pelayan melanjutkan kesibukannya masing-masing. Yang lagi makan, kembali makan. Yang lagi meneguk minuman, kembali meneguk minumannya. Mereka tidak menaruh perhatian lagi. Pelayan-pelayan pun melanjutkan tugasnya masing-masing.
Sebaliknya sekujur badan kedua saudagar itu berkeringatan dingin. Tangan mereka nyeri seperti terjepit-jepitan besi. Dalam pada itu, sang pemuda berkata lagi:
- Kalian tahu, sesungguhnya siapakah aku? Dahulu aku seorang bangsat. Kerjaku merampok, menyamun, merompak dan membunuh. Namaku Pataliputra. Sekarang, aku sudah menjadi orang baik. Ingin hidup seperti kalian. Berusaha secara halal. Aku perlu uang sebanyak sepuluh ribu untuk membeli barang mustika. Maka aku ingin meminjam dari kalian, masing-masing lima ribu. Bagaimana? -
Mendengar maksud pemuda itu, mereka berdua terperanjat. Seperti sedang berlomba mereka menyahut hampir berbareng:
- tetapi . . . tetapi uang sebanyak itu tidak kupunyai . . .
Pemuda itu yang mengaku diri bernama Pataliputra berpikir sejenak. Lalu memutuskan:
- Baiklah. Tetapi kalian berdua harus menceritakan tentang orang yang dipanggil Koloan yang kabarnya membunuh anak dengan menggencet. Siapa yang dapat memberi keterangan kepadaku lebih jelas, akan kubebaskan dari kewajiban memberi pinjaman uang kepadaku. Aku akan mencari orang lain sebagai gantinya. -
- Baiklah. baiklah . . . - mereka menjawab lagi dengan berebut.
Yudapati dan Diatri yang ikut mendengarkan pembicaraan mereka tersenyum geli. Pemuda itu cerdik, pikir Yudapati di dalam hati.
- Tetapi apa yang dimaksudkan dengan barang mustika? Apakah bukan kotak emasnya yang dibawa lari Getah Banjaran? Atau hanya mereka reka saja? Sementara itu, si gemuk yang agaknya lebih pandai berbicara daripada kawannya yang berperawakan kurus, segera berkata:
- Aku bernama Bidar.Aku...
- Siapa yang menyuruhmu berbicara? ,bentak Pataliputra.
- Engkau boleh membuka mulutmu atas perintah -
- Ya.ya,ya...tetapi maksudku...
- Nah berbicaralah! potong Pataliputra.
- Tetapi ingat! Siapa yang ceritanya kurang jelas, harus meminjamkan uang kepadaku. Yang kurus ini. siapa ?
- Aku? sahut yang kurus dengan suara gap-gap. Namaku Kalikut.
- Bagus! Kau pun harus bercerita. Nanti akan kubandingkan. Seperti kataku tadi, siapa yang kurang jelas harus meminjamkan uangnya kepadaku. Jelas?
Baik Bidar maupun Kalikut cepat-cepat memanggut. Dan berkatalah Pataliputra memberi perintah:
- Bidar yang mulai dahulu!
Setelah memerintah demikian, Pataliputra meletakkan bungkusannya di atas meja. Dengan hati-hati ia membukanya dan terlihatlah sebatang golok yang berkeredep.
- Ini golok mustika. -katanya pelahan.
- Lihatlah! Terdapat belasan berlian sebesar ibu jarimu.
Setelah berkata demikian, ia mengambil cawan minuman yang terbuat dari perak. Cawan itu kemudian dipukulkan kepala mata golok dan terbelah dengan mudah menjadi dua bagian.
- Tajam. kan? katanya lagi.
- Golok ini entah sudah berapa kali memotong leher orang. Mungkin seratus, mungkin dua ratus orang. Hai Bidar. mengapa engkau tidak mulai? -
- Bukankah aku sedang mendengarkan kata-katamu? -
Bidar gugup.
- Siapa yang menyuruh mendengarkan ceritaku? - bentak Pataliputra.
Bidar dan Kalikut saling pandang dengan wajah berubah ubah. Jelas sekali, mereka sedang menghadapi seorang pemuda yang berwatak angin-anginan. Orang yang berwatak angin-anginan bisa jadi kejam dengan mendadak. Sebaliknya Pataliputra tidak menghiraukan apa kesan mereka terhadapnya .Setelah membentak, dengan hati-hati ia membungkus golok mustikanya kembali.
- Tuan muda, jangan khawatir. Aku akan menceritakan semua dengan sejelas-jelsnya. Tanggung . . . tanggung lebih jelas daripada dia . . . -ujar Bidar mengambil hati.
- Belum tentu! tangkis Kalikut si kurus
- Berilah aku kesempatan. Biarlah aku yang bercerita lebih dulu. -
- Diam! -bentak Pataliputra.
- Aku ingin mendengarkan ceritanya dahulu. Baru engkau! Mengerti?
- Baik, baik. . . baik. sahut Kalikut dengan ketakutan.
- Enak saja engkau bilang baik, baik . . . kau harus kuhukum karena melanggar perintahku. bentak Pataliputra dengan suara menyeramkan.
Semangat Kalikut terbang, sedang Bidar kelihatan puas sekali. Selagi hendak mulai bercerita, Pataliputra menggerendeng:
- Bukan begini cara orang menghormati tetamu. Makanannya tidak enak. Araknya tawar pula. Perintahkan pelayan menyediakan makanan dan minuman nomor satu. Kau terima atau tidak hukumanku ini?
Mendengar bunyi hukuman yang ringan itu, Kalikut bersyukur bukan main. Terus saja ia memerintah pelayan
pelayan menyediakan permintaan Pataliputra dengan suara gegap gempita. Semuanya dialah yang membayar.
Beberapa pelayan sebenarnya heran. sewaktu pemuda butut itu pindah ke meja Bidar dan Kalikut. Tetapi mendengar pesanan istimewa itu, mereka girang dan tidak menghiraukan lagi pakaian Pataliputra. Pokoknya pesanan itu membuat jumlah keuntungan jadi berlipat ganda. Tak peduli apakah akan dimakan iblis atau anjing.
Dalam pada itu, Yudapati melongok ke bawah lagi melalui jendela di sampingnya. Perempuan gila yang bernama Ubruk, masih saja belum meninggalkan rumah makan. Hanya saja ia kini duduk dengan terlongong-longong di seberang jalanan. Pandang matanya terarah kepada pintu masuk sambil berdoa panjang dan pendek.
- Tuan muda. kata Bidar.
- Biarlah aku mulai. Tetapi kuharap agar tuan muda merahasiakan ceritaku ini. Kalau sampai terdengar orang lain . . .
- Kalau takut, biarlah dia yang bercerita. tungkas Pataliputra seraya berpaling kepada Kalikut.
- Baik, baik . . . aku sekarang mulai . . . teriak Bidar khawatir.
- Orang yang biasa dipanggil Koloan sebenarnya bernama Langkasuta. Artinya tidak punya anak. Karena itu perlu mempunyai isteri sebanyak-banyaknya. Dialah orang yang terkaya di kota Pane ini. Ada pun gelarnya atau julukannya . . .
- Singarakta atau Singa Merah.
Kalikut mendahului.
- Siapa suruh engkau berbicara? bentak Pataliputra dengan wajah merah padam.
Kalikut menundukkan kepalanya dan tidak berani membuka mulutnya lagi. Dan Bidar melanjutkan ceritanya:
- Di kota ini, ia membuka rumah gadai besar yang dinamakannva Rumah Kesejahteraan Rakyat. Di samping
itu ia memiliki rumah makan ini dan sebuah tempat Rumah perjudian dan rumah pelacuran yang diberinya nama Rumah Kebudayaan Umat Manusia. Karena uangnya ia mempunyai pengaruh, baik terhadap penguasa pemerintahan maupun Kaum Pasupata. Selain itu, ia pandai berkelahi. Menurut kabar. ia mempunyai Ilmu Kepandaian yang disegani para pendekar.
- Sebentar. potong Pataliputra.
- Engkau menyebut nyebut nama Kaum Pasupata. Apakah wilayah ini berada di bawah pengaruh Kaum Pasupata? -
- Apakah tuan muda tidak mengetahui, bahwa wilayah ini semenjak ribuan tahun yang lalu berada di bawah pengawasan Kaum Pasupata turun temurun? Wilayahnya membentang luas. Dari barat ke Timur. Dari Utara ke Selatan. Kabarnya Langkasuta ,alias Koloan termasuk salah seorang Ketua cabangnya. Banyak ia menerima upeti upeti dari ketua-ketua lainnya. Tetapi hal itu tidak kumengerti dengan jelas. Sebab pembagian rejeki demikan adalah tata-tertib suatu kaum yang tidak boleh jadi pembicaraan umum. -
- Baik, aku mengerti. -tungkas Pataliputra.
- Jadi ringkasnya, Langkasuta tidak hanya kaya raya saja tetapi seorang perampok besar pula. -
Bidar menyiratkan pandang kepada Kalikut. Mereka berdua saling pandang. Mengingat Pataliputra tadi mengaku pernah menjadi seorang perampok, maka untuk mengamini hatinya. berkatalah Bidar:
- Benar . . tetapi dia termasuk rekan tuan muda juga. Jadi... tidak berani aku...
Pataliputra agaknya dapat membaca pikiran mereka. Lalu berkata seraya tertawa: -
- Belum tentu orang sepencarian mesti bersahabat. Sebaliknya bisa jadi bermusuhan. Aku sendiri bukan sahabat atau rekan langkasuta. Nah katakanlah dengan sebenarnya. Kalau dia jahat katakan dia jahat. Kalau baik. katakan baik! Tak usah engkau menutup-nutupi! Apakah engkau higin menerima hukumanku?
- Oh tidak. tidak . . . sama sekali tidak. sahut Bidar cepat-cepat. lalu melanjutkan:
- gedung Langkasuta sangat mewah dan mentereng. Halamannya pun cukup luas dan lebar. Tetapi baru-baru ini, ia ingin mendirikan sebuah gedung lagi bagi isterinya yang kedua belas. Gedung itu katanya akan diberinya nama: Gedung Gading. Tetapi karena isterinya yang ke dua belas itu kabarnya sangat cantik dan membangunkan rasa sirik isteri-isterinya yang lain. maka gedung itu harus terpisah dari lain lainnya. Setelah berputar-putar sekeliling halaman rumahnya ia tertarik kepada kebun sayur keluarga Puge.
- Siapakah Puge itu? potong Pataliputra.
- Suami Ubruk perempuan gila itu.
Bidar memberi keterangan.
- Oh begitu? Teruskan! -
- Kebun sayur itu adalah warisan kakek moyangnya. Luasnya kira-kira hanya tiga atau empat bahu (satu bau: 500 tombak persegi ( 7096,5 m2).Bagi keluarga Puge menjadi sumber makan minumnya, karena hanya kebun itulah milik satu-satunya untuk menghidupi keluarganya yang berjumlah empat orang.
- Jadi anak Puge berjumlah dua?
- Benar. Si Page dan si Pagu. -
- Jelasnya: Puge, Ubruk, Page dan Pagu?
- Benar. Page berumur sebelas atau dua belas tahun. Sedangkan Pagu baru saja belajar berbicara. Jadi masih cadel. -
- He-e. lalu?
- Langkasu kemudian memanggil Puge dan Ubruk
menghadap padanya. Ia mengabarkan maksudnya mau membeli kebun sayurnya. Dia menawar lima keping (keping: baca rupiah). Tentu saja Puge menolak penawaran itu. Masakan kebun seluas itu hanya dihargai lima keping? Langkasuta mau mengerti. Lalu ditawar sampai seharga: sepuluh keping. Masih saja Puge dan Ubruk menolak.
- Sebentar! Menurut pendapatmu berapa harga kebun sayur keluarga Page? -
Pataliputra minta pendapatnya.
- Aku seorang pedagang, tuan muda. Paling berani seharga seratus atau dua ratus. Kalau kujual lagi, bisa untung dua puluh lima sampai empat puluh keping.
- Jadi penawaran langkasuta hanya sepersepuluh atau seperdua puluhnya? -
Pataliputra menegas.
- Benar. jawab Bidar dengan tegas.
- Puge sendiri berkata, kebun sayurnya tidak akan dijualnya meski pun ditawar dua ratus keping. Sebab uang mudah habis. Sebaliknya kebun sayur tidak akan habis dimakan. Asal saja masih bertenaga, bisa mengolahnya dan hasilnya bisa dibuat menghidupi keluarganya. Langkasuta marah dan mengusir suami-isteri Puge. lalu muncullah suatu peristiwa yang baru saja terjadi kemarin pagi. Peristiwa babi. ia berhenti mencari kesan. Meneruskan:
- Di pekarangan belakang, Langkasuta memelihara Babi. Kemarin di pagi hari ia kehilangan seekor babinya. Seluruh bujangnya dikumpulkan untuk mempertanggung jawabkan hilangnya babi itu. Mereka seia-sekata dan menuduh bahwa babi itu ditangkap keluarga Puge. Yang menangkap si Page, anak Puge yang berumur dua belas tahun. lalu dimakan bersama adiknya. langkasuta lalu memanggil kepala polisi Pane dan diajak melacak. Sampai di tengah kebun sayur, terdapat ceceran darah dan kulit babi yang berceceran. Karena bukti sudah diperoleh. Puge kemudian ditangkap. Peristiwa itu merupakan malapetaka besar bagi keluarga
Page. Ubruk yang baru saja datang dari pasar pontang panting mencoba mengejar polisi yang menangkap suaminya. Dengan rambut awut-awutan ia berteriak bahwa keluarganya tidak mungkin mencuri babi. Sedang demikian datanglah berita bahwa kedua anaknya ditangkap langkasuta. Di depan bujang-bujang dan pelayannya ia memancing si kecil Pagu yang masih cadel. Tanyanya dengan ramah: "Hai Pagu! Pagi tadi kau makan apa?" Pagu yang masih cadel menjawab dengan gembira: "Bi . . . bi . . . bi. . ." Tepat pada saat itu, datanglah Ubruk mencari anaknya. langkasuta kemudian menggebrak meja sambil membentak: "lihat, anakmu sendiri mengaku makan babi." Dengan merah padam Ubruk membantah: "Mustahil. Keluarga kami makan ubi di pagi hari." Mendengar bantahan Ubruk, langkasuta naik darah. Terus saja ia menendang Ubruk sampai berjungkir balik beberapa kali. Kemudian Ubruk lari mencari keadilan ke kantor polisi. Maksudnya hendak mengadu perlakuan langkasuta yang semena-mena. Tetapi Kepala Polisi sudah makan suap Langkasuta. Ubruk ditangkap, dikompes, digencet dengan tanggem. Akibatnya ia seperti berubah ingatan. Sebab ia tidak hanya merasa kehilangan suaminya saja, juga kedua anaknya yang digencet pula oleh langkasuta di rumahnya. Karena Ubruk sudah setengah lumpuh dan berubah ingatan, akhirnya polisi membebaskannya. Dan dengan susah payah masih bisa Ubruk menengok suaminya di dalam penjara. Ternyata suaminya berlepotan darah. Sekujur badannya babak belur dan sudah tidak dapat berbicara jelas seperti biasanya. "Jang. . .an jual...jangan...jual...tidak...curi..." serunya dengan suara tidak jelas.
Ubruk jadi mata gelap. Dalam benaknya ia teringat kepada nasib kedua anaknya. Segera ia lari ke rumah langkasuta ternyata sikecil Pagu sudah kaku. Kedua pergelangan tangannya retak. sedang si Page yang berumur 12 tahun kabarnya dapat melarikan diri. Dengan menangis menggerung-gerung ia membawa si Pagu pulang. Kemudian dengan membawa sebilah pisau, ia memanggil tetangga tetangganya. Di depan mereka, ia ingin membuktikan bahwa tuduhan langkasuta tidak benar lalu membedah perut si Pagu dan memperlihatkan isi perutnya kepada orang orang yang menyaksikan. Ternyata perutnya hanya berisikan lumatan Ubi. Sama sekali tidak terdapat secuwil daging babi.
"He, he, heee . . . mengapa perut anakmu kau bedah?" seru tetangganya beramai-ramai. Jawabnya: "Kepala polisi sudah kena disuap Koloan. Karena itu aku hendak mohon pengadilan dewa-dewa yang bertahta di Kahyangan . . ." Lalu ia melumuri sekujur badannya dengan darah anaknya.
Sampai di sini Bidar berhenti. Ia begitu bersemangat sampai tenggorokannya terasa kering. Maka ia perlu meneguk seteguk minuman. Pataliputra yang mendengarkan cerita Bidar dengan sungguh-sungguh, berkerut-kerut wajahnya. Bahkan Yudapati dan Diatri yang ikut mendengarkan, menggeridik bulu tengkuknya. Tiba-tiba Pataliputra tidak dapat menahan rasa marahnya. Dengan tinjunya ia menumbuk alas meja, sehingga piring dan mangkok mangkok pecah berhamburan.
- Apakah benar begitu kejadiannya? ia menegas dengan mata berputaran.
Melihat keangkeran Pataliputra,kedua saudagar itu menggigil ketakutan. Dengan suara bergemetar Bidar menyahut:
- Apa yang kukatakan ini. tidak menyimpang jauh dari peristiwa sebenarnya.
Pataliputra bangkit dari kursinya. Dengan sebelah kaki
berdiri diatas papan loteng dan yang sebelah diatas bangku.Sekonyong-konyong ia menghunus goloknya dan ditancapkan di atas meja. Bentaknya dengan suara bergelora:
- Teruskan ceritamu!
- Tetapi. . . ke ..kejadian itu . tak ada ...sangkut pautnya dengan kami berdua... sahut Bidar dengan suara patah-patah. '
Wajah Pataliputra yang bengis itu menakutkan sebagian besar tetamu rumah makan. Yang berhati kecil cepat cepat menghabiskan makanan dan minumannya. Kemudian dengan diam-diam turun tangga. Sedangkan para pelayan yang tentunya adalah anak-buah Langkasuta, hanya menyaksikan dari jauh. Mereka tidak berani mendekati. Barangkali takut kena salah.
- Bidar! -bentak Pataliputra.
- Apakah Koloan tidak bisa berpikir, bahwa babi itu tidak mungkin ditelan seorang anak berumur tiga tahunan?
- Bagaimana aku tahu jalan pikirannya?
- Apakah di dalam perut si bocah tidak terdapat sekerat daging babi?
- Tidak! Yang terdapat hanyalah lumatan ubi. Keluarga Puge sangat miskin. Page sendiri kurus kering tak ubah ubi yang dimakan anak-anaknya. Si Pagu yang cadel tidak dapat mengucapkan kata-kata ubi dengan jelas. Dia hanya berkata bi, bi, bi. Maksudnya tentunya ubi ,. . . ubi . . - ubi. Sungguh kasihan . . : anak itu mengalami nasib begitu buruk. Dia mati tergencet tanpa mengerti apa dosanya. Peristiwa inilah yang barangkali membuat ibunya jadi gila
- Di gedung manakah tempat kediaman Langkasuta?
Pataliputra minta keterangan.
Sebelum Bidar sempat menjawab, terdengar suara salak anjing dari jauh. Salak anjing yang bersahut-sahutan hampir
berbareng. Dan mendengar keriuhan salak beberapa anjing itu, wajah Kalikut berubah menjadi pucat. Dengan menghela nafas ia berkata setengah ketakutan setengah mengutuk:
- Gila! Benar benar gila!
Pataliputra berpaling kepadanya. Lalu menegas:
- Ada apa lagi? --
- Itulah antek-antek Koloan yang membawa barisan anjingnya untuk mengubar-ubar si Page yang kemarin dapat melarikan diri. -
Mendengar keterangan Kalikut si saudagar kurus itu, tak dapat lagi Pataliputra menahan diri. Dengan nafas memburu ia berkata:
- Bukankah mereka sudah merenggut jiwa adiknya? Mengapa masih mengubar-ubar kakaknya? Apakah masih merasa kurang?
- Menurut Langkasuta yang makan babinya dua anak itu. Sewaktu Page dianiaya, salah seorang pelayan langkasuta berhasil membebaskannya dengan diam-diam. Kemudian membisiki agar bersembunyi di mana saja asal selamat. Hari ini antek-antek Langkasuta yang ingin mengambil hati majikannya, mulai melacaknya dengan membawa barisan anjingnya.
Pataliputra menurunkan sebelah kakinya yang tadi ditompangkan di atas bangku. lalu berkata:
- Aku puas mendengar ceritamu. Maka kubebaskan kalian berdua wajib meminjamiku selaksa keping. Aku akan minta ganti kepada Koloan. -
Setelah berkata demikian, ia meneguk araknya sampai habis. Dalam sekejap saia ia mengeringkan tiga mangkok berturut-turut. Kemudian berteriak kepada para pelayan agar datang membawa seguci arak lagi.
Pada saat itu. Yudapati dan Diatri melemparkan pandangnya ke arah jalan. Beberapa saat kemudian suara salak anjing menjadi makin lantang membisingkan. Suara gerakan kakinya mulai terdengar memantul di ujung jalan. Yudapati dan Diatri melihat seorang anak berumur dua belas tahun kabur dengan sekuat tenaganya. Pakaiannya compang-camping berlepotan darah. Kira-kira delapan tombak di belakangnya belasan anjing mengubarnya dengan salak geramnya yang menyeramkan.
Waktu itu, si bocah yang bernama Page nampak sudah lelah sekali. Bekas gigitan anjing yang melukai kedua kaki dan tangannya terus mengucurkan darah. Melihat ibunya yang duduk terpekur di tepi jalan, ia berteriak dengan nafas bersengal-sengal:
- Ibu...!Ibu...!
Dan begitu tiba di depan ibunya, tiba-tiba ia kehilangan tenaganya. Kedua lututnya lemas dan ia jatuh menungkrap dengan menangis sekeras-kerasnya. Sekali-kali ia memanggil-manggil ibunya dengan suara parau.
Meski pun sudah gila, tiba-tiba ingatannya terbangun begitu tersentak oleh suara anaknya. Dengan sekali melompat, ia menghadang di tengah jalan dengan maksud melindungi anaknya. Oleh dorongan rasa naluriahnya, ia berdiri tegak bagaikan Juru Selamat dengan mengepalkan tinjunya. Pandang matanya menyala sehingga nampak angker di antara rambutnya yang bereyapan.
Belasan anjing yang menguber si anak adalah anjing buru. Binatang itu selain menakutkan, memang galak dan ganas bukan main. Jangan lagi berhadapan dengan manusia, sedangkan terhadap harimau sekalipun mereka berani menyerang dengan tidak menghiraukan akibatnya.
Tetapi aneh!
Begitu melihat keangkeraan Ubruk, mereka kelihatan ragu-ragu. Mereka hanya-menyalak-nyalak nyaring saja.
- Hayo tubruk! Tubruk! -antek-antek Langkasuta berseru seru memberikan semangat tempur. Dan oleh seruan mereka, dua ekor anjing melompat menerkam Page. Ibunya melompat sambil berteriak menelungkupi tubuh anaknya. Kedua anjing itu gagal menerkam sasarannya. Sekarang beralih kepada ibunya. Yang satu menggigit pundaknya dan yang lain menggigit pantatnya. Setelah berkutat beberapa saat, yang satu kurang puas. Melihat lutut Page yang tidak terlindung, segera ia menyerang dan merobek-robek kulitnya
Keruan saja Ibu dan Si anak berteriak-teriak kesakitan. Sebaliknya sekalian antek-antek langkasuta beramai-ramai memberi semangat tempur kepada anjing-anjingnya yang lain.
Merasa sakit, Page melepaskan diri dari pelukan ibunya. Kemudian dengan geram ia hendak membalas dendam. Dengan kedua tinjunya ia menggebuki anjing-anjing sejadi-jadinya. Tentu saja dia lantas jadi sasaran utama. Belasan anjing datang mengeroyoknya.
Lalu lintas terhenti seketika. Puluhan orang datang berlarian untuk menyaksikan peristiwa itu. Tetapi tiada seorangpun yang berusaha untuk mengulurkan tangan. Mungkin sekali merasa takut menghadapi belasan anjing galak dan jeri kepada kebuasan Langkasuta yang pasti akan menuntut kehadirannya.
Menyaksikan hal itu, Diatri bergerak hendak menolong. Akan tetapi Yudapati segera mencegahnya. Bisiknya:
- Sst. lihatlah adik itu! Diapun masih bisa menguasai diri. Niscaya ada hal-hal tertentu yang sedang diperhitungkan.
Dugaan Yudapati memang tepat. Pada waktu itu, Pataliputra sedang mencari bukti benar tidaknya cerita si Bidar dan Kalikut. Ia tidak mau sembarangan turun
tangan. karena khawatir salah tangan. Cerita Bidar sebentar tadi sudah membangkitkan rasa marahnya. Tetapi setelah mendengar cerita Kalikut tentang belasan anjing buru yang menguber-uber seorang anak belasan tahun , timbul keraguannya.
Apakah benar di dunia ini terdapat orang begitu kejam?
Tetapi sekarang ia membuktikan kebenaran tutur-kata Kalikut. Seketika itu juga, hilanglah kesangsiannya.
Diam-diam ia menjumput piring dan diremasnya menjadi beberapa keping. Tatkala jiwa Ubruk dan Page dalam bahaya, ia melayangkan beberapa kepingan piring dengan mengerahkan himpunan tenaga saktinya. Beberapa detik kemudian terdengar kawanan anjing itu mengiang-iang. Enam ekor di antaranya roboh terguling dengan kepala berlobang. Lainnya mundur dengan serentak dan menggeram dengan bengis. Nalurinya membisiki, bahwa ada bahaya yang mengancam jiwanya.
Sekali lagi, Pataliputra menimpukkan senjatanya yang istimewa dari loteng. Sekarang, pecahan piring itu menancap pada tiga ekor anjing yang roboh tanpa sempat mengiang. Sisanya melompat mundur dan lari berserabutan dengan mengempit ekornya.
Antek-antek Langkasuta yang mengerahkan barisan anjing, berjumlah enam orang. Mereka biasa main gertak dan menakut-nakuti orang dengan mengandalkan pengaruh majikannya. Itulah sebabnya seringkali mereka berlaku sewenang-wenang terhadap penduduk. Sekarang, mereka menyaksikan sembilan ekor anjing andalannya mati disambit orang. Keruan saja mereka berjingkrak karena marahnya. Dengan mata berapi-api mereka mendongak mengawaskan jendela loteng.
- Hei! Siapa yang berani berlagak jagoan di kota Pane? Kau harus mengganti jiwa sembilan anjing milik tuanku langkasuta dengan jiwamu sendiri, keparat! teriak pemimpin antek Langkasuta.
Ia berperawakan tinggi besar. Wajahnya menyeramkan. Bermata belok. beralis tebal dan berkumis panjang. Dengan menghunus golok di tangan kiri dan rantai besi di tangan kanan, ia memasuki ruang rumah makan dengan diikuti lima orang anak-buahnya yang bersenjata tajam pula.
Melihat gelagat yang tidak menyenangkan, para tamu lari berserabutan meninggalkan tempat duduknya. Ruang rumah makan lantas saja menjadi kacau. letak kursi, bangku dan meja tidak serapih tadi. Piring, cawan dan mangkok terbalik berserakan. Padahal rumah makan "Sabar Menanti" adalah satu-satunya rumah makan terbesar dan terapih di seluruh kota Pane. Pengunjungnya datang pergi tiada habis-habisnya. Tetapi pengunjung-pengunjungnya adalah orang-orang kaya, anak-anak orang kaya, para pembesar negeri atau perantau yang mempunyai uang. Golongan pengunjung ini di tempatkan di ruang atas. Sedang ruang bawah diperuntukkan bagi yang tidak mampu.
Meskipun terasa ada kepincangan yang menyakiti hati orang-orang yang tidak mampu, namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka semua tahu. bahwa pegawai rumah makan "Sabar Menanti" adalah kaki-tangan langkasuta. Mulai dari tukang masak, pelayan, bendahara sampai kepala rumah makan. Itulah sebabnya, begitu melihat keenam antek-antek Langkasuta menyerbu ruang atas, seluruh pegawai rumah makan lantas saja mengambil senjata andalannya masing-masing.
Pemimpin antek Langkasuta yang membawa senjata golok dan rantai itu, bernama Kudang. Dia membawa lima orang, bernama: Raguta. Sutti, Damang. Sobon dan Labo. Begitu tiba di atas loteng terus saja mengibaskan rantai besinya sambil membentak:
-Siapa dia yang berani lancang tangan? serahkan jiwamu!
Pataliputra tersenyum melihat lagak begundal-begundal langkasuta. Sama sekali ia tidak bergerak dari kursinya.Dengan menghela nafas ia mengamat-amati rantai yang bergemerincing di depan matanya. Lalu berkata:
- Kau mau memborgol orang? Kau alat negara?
Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
- Bangsat! Jadi engkau yang membunuh anjing-an .....
Belum lagi Kudang menyelesaikan makiannya, tanpa berkisar tempat .Pataliputra menggampar pipinya pulang balik. Kemudian dengan kedua jarinya ia menyelentik leher Kudang. Dan tiba-tiba saja Kudang yang galak tidak dapat bergerak lagi. Bahkan mulutnya tidak pandai berbicara lagi,
Sobon dan Labo tidak mengenal bahaya. Segera mereka menyerang dengan gololnya. Ternyata mereka mengenal jurus-jurus berkelahi. Pantas mereka berani menggertak penduduk dan menganiaya orang. Kalau begitu, semua anak-buah Langkasuta merangkap menjadi tukang pukul pula. pikir Pataliputra. Karena itu, ia tidak sudi memberi hati lagi. Dengan sekali menggerakkan tangannya, nasib Sobon dan Labo sama seperti Kundang. Mereka tegak berdiri menjadi arca yang pandai bernafas.
Raguta, Sutti dan Damang menjadi ketakutan. Tidak berani lagi mereka mengumbar adat. Raguta memutar tubuhnya dan melarikan diri. Sedang Sutti berseru-seru seperti orang kesurupan setan
- Muang Nat! Muang Nat! Ilmu siluman apakah ini?
Orang yang dipanggil dengan nama Muang Nat adalah pengurus rumah makan. Dia bukan sanak atau kerabat Langkasuta. Tetapi diangkat menjadi Kepala rumah makan "Sabar Menanti" karena pandai berpikir; Menyaksikan betapa sakti Pataliputra buru-buru ia menghampiri. Katanya sambil membungkuk hormat dua tiga kali:
- Sama sekali tak kuketahui. bahwa pada hari ini rumah makan kami dikunjungi seorang pendekar gagah. Ah, benar benar mataku lamur . . .
Tetapi Pataliputra tidak menggubrisnya. Melihat Raguta dan dua temannya hendak melarikan diri dari loteng dengan cepat ia memungut rantai Kundang dan disabetkan. Entah bagaimana cara dia menggerakkan rantai itu. Tahu-tahu keenam antek Langkasuta tergubat kedua belah kakinya. Dan begitu ditariknya, mereka roboh terjengkang seperti ayam kena serimpung Ujung rantai kemudian ditemalikan, sehingga keenam orang itu terbelenggu tak dapat berkutik lagi. Setelah itu, ia meneguk minumannya dengan nikmat.
Meskipun Pataliputra sudah memperlihatkan kepandaiannya, namun ia masih dikurung oleh seluruh pegawai rumah makan. Tetapi mereka tiada yang berani mendekat, kecuali memperlihatkan wajah beringas. Rupanya mereka menunggu aba aba Muang Nat. Mereka percaya pemuda itu tidakkan mungkin merobohkannya sekaligus.
- Hai! - tegur Pataliputra.
- Siapa namamu tadi? Muang Nat?
- Benar. sahut Muang Nat.
- Kau termasuk keluarga Langkasuta?
Pataliputra menegas sambil meneguk araknya lagi.
- Begitulah.
- Begitulah bagaimana?
- Secara kebetulan dia memperisterikan adikku, Jadi . . barangkali aku boleh disebut sebagai iparnya. Apakah tuan muda kenal iparku Langkasuta? -"
- Tidak. sahut Pataliputra dengan suara tegas.
- Panggil dia agar menemuiku! - ,
Muang Nat mendongkol diperlakukan sebagai budak. Namun wajahnya tetap berseri-seri. Katanya mencoba:
- Bolehkah aku mengenal nama tuan? Supaya . . , supaya aku bisa menjawab pertanyaan iparku Langkasuta.
- Apakah kau belum mendengar namaku? sahut Pataliputra dengan tertawa lebar.
- Dari mana aku tahu?
- Kau tuli atau tidak? -
- Tuli? Masakan aku tuli? Tidak! Sama sekali tidak! sahut Muang Nat dengan suara tinggi setengah mendongkol. '
- Bagua! Kau bisa mengingat ingat? -
- Mengapa tidak? -
- Bagus! Nah, dengarkan yang baik-baik. -
Pataliputra mendeham. Lalu dengan sekali tarikan nafas ia berkata:
- Namaku: Mamang Kalasuwardana Kumaha Tala Maha Swasembadha alias T.P.B.
Mendengar nama sepanjang itu, Muang Nat menjublak seperti kera kena getok kepalanya. Ia merasa seperti sedang dipermainkan. Akan tetapi kesan wajah Pataliputra bersungguh-sungguh. Itulah sebabnya, ia jadi berbimbang bimbang. Akhirnya menegas: '
- Alias T.P.B. Singkatan nama atau TePeBe benar benar? -
- Singkatan, karena namaku terlalu panjang. -
- Singkatan apa?
- Tukang Potong Babi. -
- Tukang Potong Babi? Apakah tuan muda mempunyai perusahaan memotong babi? -
- Bukan. Yang kupotong adalah babi-babi yang langka. Babi yang tidak mempunyai anak.
Sekarang jelaslah sudah bagi Muang Nat. .Jelas sekali pemuda itu mempermainkan dirinya juga menyindir majikannya.
Bukankah yang dimaksudkan dengan babi langka yang tidak punya anak adalah langkasuta?
Memperoleh kesimpulan demikian, terua saja ia melompat mundur selangkah. Kemudian menarik ikat pinggangnya yang ternyata berubah menjadi sebatang cemeti terbuat dari ekor gajah. Dua kali ia melecutkan cemetinya sebagai tanda perintah menyerbu terhadap sekalian pegawainya. Setelah itu, sambil melompat ia menghantamkan cemetinya. -
Terkesan oleh cerita Bidar dan Kalikut dan ditambah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri betapa sepakterjang budak-budak Langkasuta, Pataliputra sudah memutuskan hendak menghajar mereka tanpa segan-segan lagi. Begitu cemeti Muang Nat menyambar padanya, dengan mudah ia mengelak serta menangkapnya, ia menarik selagi Muang Nat jatuh berlutut lunglai di hadapannya seperti orang memohon pengampunan.
- Hai, hai, apa yang kau lakukan ini? Berdiri! Jangan berlebih-lebihan menghormati diriku! tegur Pataliputra dengan tertawa. ia merampas cambuknya dan dibuatnya melibat tubuh Muang Nat dan diikatkan ke kaki meja.
Melihat pemimpinnya kena tertelingkung dengan mudah, pegawai rumah-makan tidak berani beranjak dari tempatnya. Si Koki gemuk yang sudah terlanjur muncul dari pintu dapur dengan pisau pemotong daging, buru buru memutar tubuhnya. Mendadak saja ia dipanggil Pataliputra dengan suara menyeramkan:
- Hei, kemari! Siapa namamu? Hei. kemari! .
Dibentak dengan wajah menyeramkan, koki gemuk habis dayanya. Pelahan-lahan ia maju menghampiri dengan masih membawa pisau pemotong dagingnya.
- Siapa namamu -
- Tobol. -
- Tobol atau Botol? -
- Tobol. -
- Apa kerjamu di sini?
- Tukang masak.
- Kau pernah memasak babi? -
- Tentu saja.
- Coba bawa kemari pisaumu itu! perintah Pataliputra.
Tobol tidak berani membantah. Dengan muka penuh tanda tanya ia menyerahkan pisau pemotong babi.
- Kalau engkau harus memasak daging tulang punggung, bagaimana caramu mengambil? -tanya Pataliputra.
- Daging babi, maksudmu?
- Ya.
- Tentu saja diambil dari kanan dan kiri tulang punggung
- Dengan membelek. kan?
- Ya, supaya tidak rusak. Pendek kata diiris, dibedah atau dibelek . . . lalu tinggal memberinya bumbu. Kalau ingin asam manis, harus diberi campuran garam dan lada, agar lezat. 'Iuan muda mau masak apa?
Dengan bengis Pataliputra menyobek baju Muang Nat.
- Di bagian ini, bukan? -katanya lalu mengusap usap tulang punggungnya. Muang Nat menggeridik. sedang Tobol mengawaskan gerakan tangan Pataliputra dengan jantung berdenyut-denyut. Mulutnya ternganga sehingga tidak kuasa menjawab.
-Ampun ...ampun tuanku...ampun..-akhirnya terloncat ucapan Muang Nat minta dikasihani.
Yudapati yang ikut menyaksikan,tahu bahwa pemuda itu tidak bermaksud jahat. Hanya saja dia kasar dan nakal.
Tetapi kasar dan nakal biasanya akibat dari watak yang angin-anginan. Kalau sampai kumat, susah diduga apa yang akan dilakukannya. Karena itu, hatinya ikut berkebat kebit juga. Apalagi Diatri yang berperasaan halus.
Ternyata dugaan Yudapati tepat. Pataliputra hanya bermaksud hendak memberi pengajaran kepada Muang Nat dan sekalian anak buahnya, agar tidak ikut membenarkan perlakuan langkasuta terhadap keluarga Puge hanya gara-gara seekor babi yang belum tentu benar-benar hilang. Ia mengangkat pisau pemotong babi milik Tobol dan digoreskan ke punggung Muang Nat. Keruan saja Muang Nat kaget setengah mati.
- Eh. Tobol! Pisaumu boleh juga. Tajamnya bukan main. Dengan menggoreskannya sedikit saja, punggung ini sudah terbelek. Eh, setengah kati cukup atau belum? -
- Cu.. .cu. . .cu. ..kup.-sahut Tobol dengan suara menggeletar,
Mendengar kata-kata cukup, cukup, Muang Nat mengira daging punggungnya sudah teriris. Seketika itu juga, semangatnya terbang dan berkeringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.
- Sekarang bagaimana caranya memasak hati babi dan otak babi menjadi kuah yang sedap? Perlu digoreng dahulu atau tidak?
Pataliputra minta keterangan lagi sambil menggarit punggung Muang Nat agar terasa sakit.
Muang Nat benar-benar ketakutan. Seluruh badannya menggigil dan tiada henti-hentinya ia mohon ampun sambil memanggut-manggut seperti burung Engkuk. Rintihnya:
- Aduh mati aku, tuan muda yang paling mulia sedunia. Ampunilah jiwaku . . . ! Aku masih mempunyai simpanan isteri muda yang belum sempat kutiduri . . .
- Hua. diam! -bentak Pataliputra ..
- Sudah kau
tiduri atau tidak. apa peduliku'!
- Baik,b baik..Sekarang perintahlah aku.Perempuan itu boleh jadikan tuan budak belian atau . . . boleh aku menerima sisanya saja.
- tok!
Pataliputra menggetok kepalanya. Muang Nat merintih kesakitan. Sedang begitu Pataliputra membentaknya:
- Jiwamu memang jiwa babi benar-benar. Pantas engkau menjadi pembantu Koloan yang setia. Kau masih berani membantu tindak jahatnya atau tidak?
- Tidak. tidak . . . Aku sudah kapok tujuh turunan.sahut Muang Nat dengan cepat.
- Baiklah. -.kata Pataliputra.
- Sekarang kuperintahkan semua tamu kecuali dua tamu itu, keluar ruangan! lalu panggillah orang-orang yang berada di jalan itu agar masuk! Aku mau mengadakan pesta besar. Keluarkan semua makanan dan minuman! -
Muang Nat sudah mati kutu. Daripada bakal kehilangan hati dan otak, segera ia memberi perintah kepada anak buahnya:
- Anak-anak, laksanakan perintah tuan muda ini! Cepat!
Para tamu yang berada di atas loteng segera meninggalkan tempatnya hanya Yudapati dan Diatri yang tidak boleh diganggu. Setelah itu, orang-orang gelandangan dan mereka yang tadi menonton Ubruk dan anaknya dikeroyok anjing, digiring masuk. Begitu mereka mendengar kabar gembira itu, lantas saja bersorak-sorai gegap
gempita. Mereka berebutan memilih meja dan kursi yang bagus letaknya. Sedang para pelayan dengan sungguh sungguh melayani mereka. Mula-mula minuman. lalu arak. Sebentar lagi masakan rebus dan goreng
- Saudara-aaudaraku semua! seru Pataliputra dengan
nyaring dan jelas
- Makan dan minumlah sepuas-puasmu! Jangan khawatir. akulah yang membayar. -
- Horeeeeee . . .! -mereka bersorak gembira.
Pataliputra kemudian berkata kepada para pelayan:
- Aku ingin merasakan daging manusia yang kecampuran bau anjing dan babi. Nah, potong anjing-anjing jahat ini dan masak dagingnya!
Mendengar perintah Pataliputra yang garang, kini keenam antek-antek Koloan yang ganti berdebar-debar hatinya.
Benar-benarkah Pataliputra hendak makan dagingnya?
Mereka tidak dapat membayangkan betapa ngerinya, manakala kepala mereka akan dipotong seorang demi seorang.
Mereka berenam tidak dapat bergerak lagi, kecuali bernafas, mendengarkan dan melihat. Jangan lagi mencoba coba hendak membantah atau menentang perintah Pataliputra, sedangkan menghadapi anak kecil yang belum pandai beringuspun, tidak berdaya sama sekali. Tetapi, ternyata Pataliputra tidak segera menjatuhkan hukumannya. Ia berdiri meneguk araknya. Lalu berjalan menghampiri pengunjung yang memenuhi ruang rumah makan. Katanya dengan suara lantang:
- Saudara-saudaraku, tak usah khawatir! Seperti kataku tadi, aku yang akan membayar. Hanya saja aku minta petunjuk kalian, dimanakah rumah Langkasuta alias Koloan? Maksudku rumah gadainya. -
- Yang tuan maksudkan rumah gadai "Rumah Kesejahteraan Rakyat? -sahut dua orang dengan berbareng
- Eh. apakah nama rumah gadainya begitu?
- Benar.
- Aku mau menggadaikan enam anjing jahat ini. Bukankah aku membutuhkan uang untuk membayar semuanya ini? -
Pengunjung tertawa bergegaran karena mereka tahu sembilan bagian maksud Pataliputra. Seseorang menyahut:
- Dari sini ke arah timur. Lempeng terus sampai melewati tiga persimpangan jalan. Tuan akan melihat sebuah gedung berpagar tinggi. Di depannya terdapat papan nama yang berbunyi: "Rumah Kesejahteraan Rakyat." Itulah rumah gadai milik Koloan.
- Terima kasih. ujar Pataliputra.
Kemudian ia membangunkan keenam tawanannya. Leher mereka masing masing dikalungi rantai pengikat dan kini ditariknya seperti menenteng ikan. Tak lupa ia membebaskan kaki mereka masing-masing, sehingga setiap kali kena tarik, mereka terseret terhuyung-huyung saling menabrak.
Pataliputra tidak menghiraukan penderitaan mereka. Dengan seenaknya, ia menyeret mereka turun ke bawah kemudian dibawanya berjalan menyusur jalan. Pengunjung yang tadi memenuhi ruang atas, beramai-ramai ikut turun dan menjkutinya. Mereka ingin menyaksikan apa yang akan dilakukan Pataliputra terhadap enam orang itu.
Setibanya di depan Rumah Gadai Koloan. berkatalah Pataliputra dengan suara nyaring:
- Hei! Aku hendak menggadaikan anjing. Setiap ekor seribu perak. Kalian ingin memeriksa? Nih! -
Setelah berkata demikian. ia menyeret enam tawanannya untuk dihadapkan kepada seorang yang bertubuh kurus yang duduk di belakang meja.
Pegawai rumah gadai itu, keruan saja terkejut setengah mati. Rumah gadai tempat ia bekerja sudah berumur belasan tahun .Dan selama itu aman tenteram, tiada pernah terjadi sesuatu yang kurang beres.
Tetapi mengapa pada
hari ini,mendadak saja kedatangan orang gila yang hendak menggadaikan manusia hidup?
Dengan hati hati dan seksama ia mengamat-amati Pataliputra. Betapa terkejut hatinya, tatkala ia mengenal siapa yang hendak digadaikannya. Ternyata enam pegawai majikannya yang paling setia dan paling disegani pegawai-pegawai lainnya.
- Kau . . . kau . . .mau menggadaikan apa? -tanyanya terparah-patah.
- Kau tuli? bentak Pataliputra.
- Aku mau menggadaikan enam ekor anjing jahat. Setiap ekor, aku minta seribu perak. Jadi semuanya berjumlah enam ribu perak. Inilah anjing-anjingnya.
Sekarang pegawai rumah gadai itu sadar, bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang yang sengaja hendak mencari perkara. Segera ia membisiki seorang temannya, agar memanggil Kepala Tukang Pukul yang melindungi keamanan Rumah Gadai. Syukur bila wakilnya ikut datang pula. Dan setelah temannya beranjak dari tempatnya ia membawa sikapnya yang manis. Dengan hormat ia berkata kepada Pataliputra:
- Menurut peraturan. rumah gadai kami tidak menerima gadaian yang berjiwa. Sebab. kami harus memberi mereka makan dan minum. Kalau sampai berkepanjangan, kami bisa bangkrut.
- 0 begitu?
Pataliputra mendeham.
- Kalau engkau menolak anjing hidup, biarlah aku menggadaikan anjing anjing mampus. Dengan begitu, kau tidak perlu memberinya makan atau minum. -
Enam orang tawanannya kabur semangat hidupnya. Lantas saja dengan berbareng mereka mohon belas kasih:
- Tuan Ungkulan, terimalah kami! Tolonglah jiwa kami! - ,
Tetapi pegawai rumah gadai yang bernama Ungkulan
itu, tidak dapat mengabulkan permohonannya dengan segera. Sebab dirinya akan dituntut tanggung jawab. Uang sebesar enam ribu perak bukan main besarnya. Uang besar itu dapat dibelikan belasan rumah gedung. Sebaliknya. bila menolak ia harus memperhitungkan tindakan orang gila yang berdiri dengan garang di hadapannya itu. Memperoleh pertimbangan demikian, sekali lagi ia mau mengalah. Dengan membungkuk hormat, ia berkata sabar:
- Hm! Duduklah, seorang temanku sedang mengumpulkan uang yang tuan kehendaki. Apakah tuan berkenan menghirup air teh hangat?
- Sesudah anjing-anjing ini mampus, barulah aku menerima tawaranmu. sahut Pataliputra singkat.
Kemudian ia menghampiri pintu rumah gadai yang terbuat dari kayu jati berlapis besi. Masing-masing daun beratnya dua kwintal. Dengan sekali tarik, daun pintu ambrol dari engselnya.
Melihat tindakan Pataliputra makin runyam, Ungkulan tak dapat lagi mengekang diri. Dengan suara tinggi. ia menegor:
- Sebenarnya, apa sih maksudmu? -
Pataliputra tidak menyahut. Sekali kakinya menyapu. ke enam tawanannya roboh berjajar di atas lantai. Tanpa berkata sepatah kata lagi, ia menindih mereka dengan daun pintu seberat dua kwintal. Merasa belum puas. ia menjebol daun pintu lainnya dan ditindihkannya pula. Dengan begitu, mereka berenam kini tertindih sepasang daun pintu seberat empat kwintal.
- Sahabat! .
Ungkulan menjadi jengkel bercampur geram.
- Perbuatanmu sudah melewati batas. Kau tahu. tempat apa ini? Kau tahu siapa pemilik rumah gadai ini?
Melihat bentuk wajah Ungkulan mirip muka tikus. Pataliputra yakin bahwa orang itu pasti berhati busuk
Dengan membungkam mulut, ia menghampiri mejanya. Tiba-tiba saja tanganya menyambar sehingga Ungkulan mati kutu. lalu diangkat dengan begitu saja dari tempat duduknya dan dibanting di samping keenam tawanannya. Kemudian ikut ditindihnya pula. Setelah itu. ia keluar pintu menebarkan penglihatannya. Dilihatnya di depan pintu terdapat dua buah arca terbuat dari batu marmer. Berat arca itu tidak kurang setengah ton. Dengan kedua tangannya ia mengangkat area itu dan ditindihkan diatas daun pintu.
Ditindih dengan barang seberat sembilan kwintal, ke tujuh orang itu benar-benar tak dapat berkutik lagi. Bahkan bernafas saja, sudah terasa sesak. Namun diluar dugaan mereka Pataliputra ternyata masih belum puas juga. Kini ia malahan bertindak luar biasa. Dengan sebelah tangannya ia menyambar arca yang kedua dan dilemparkan tinggi, tepat di atas tubuh mereka yang sudah tertindih. Jika arca itu jatuh menindih mereka, siapapun dapat membayangkan bahwa tubuh mereka akan ringsek. Itulah sebabnya yang menyaksikan memekik tertahan oleh rasa terkejut dan cemas. Tetapi pada detik arca itu akan menimpa mereka. dengan gesit Pataliputra memeluknya dan diletakkan pelahan-lahan di sampingnya.
- Bagaimana? Apakah kalian masih perlu kutambahi bebannya? bentaknya.
- Sudahlah . . . sudahlah . . . Ungkulan mengeluh dan berputus asa. Kemudian berseru kepada teman-teman lainnya:
- Ambilkan uang! Penuhi permintaannya! -
Teman-temannya tiada seorangpun yang berani membantah perintahnya, karena mereka menyaksikan sendiri betapa menderita dia. Maka dengan berbareng mereka mengumpulkan uang perak dan dibagi menjadi enam karung penuh. Dengan tenang, Pataliputra menerimanya dan ditaruhkan di atas daun pintu, sekali lagi mereka ditambahi beban. Padahal berat enam kantung berisikan uang perak itu bukannya ringan.
- Tuan! Ampunilah jiwa kami . . !! Bukankah kami sudah memenuhi permintaan tuan?
Ungkulan merintih.
- Mengapa harga dirimu belum dihitung? Apakah engkau tidak berharga? Mestinya hargamu jauh lebih mahal daripada anjing-anjing ini. Maka aku minta tambahan tiga ribu perak lagi. -sahut Pataliputra.
Ungkulan dan enam orang lainnya sudah sesak nafasnya. Mereka mendongkol. Akan tetapi alasan Pataliputra masuk akal .Bahkan didalam penderitaan, Ungkulan merasa terhibur karena dirinya dihargai tiga kali lipat dari tukang pukul langkasuta yang disegani orang. Terus saja ia berseru dengan nafas terengah-engah:
- Beri! . . . Beri! .
Selagi teman-temannya hendak melaksanakan perintahnya. di luar pintu terdengar suara ribut ribut. Dua orang berperawakan tinggi besar berpakaian hitam berteriak dengan suara bergemuruh:
- Siapa yang berani mengacau di sini? -
Dengan sekali melompat Pataliputra sudah berada di belakang mereka. Kedua tangannya mencengkeram pundak mereka berdua bagaikan tanggem besi. Dan begitu tercengkeram, mereka tidak berdaya lagi. Lalu terangkat dan kena jinjing tak ubah dua buah keranjang besar berisikan kapuk.
Mereka berdua adalah Ketua dan Wakil Ketua tukang pukul. Begitu mendengar laporan tentang kekacauan itu. Segera mereka meninggalkan tempatnya. Padahal mereka baru asyik berjudi, sehingga beberapa kartunya buru-buru disimpannya dalam saku celananya.
Pataliputra sengaja mempermainkan mereka. Kedua
orang itu saling dibentur-benturkan layak seseorang membentur benturkan sepasang sepatu untuk membersihkan kotoran yang menempel di solnya. Begitu dibenturkan. jatuhlah dua buah dadu dan setumpuk kartu perjudian.
- Bagus. ya! Ternyata kalian setan-setan perjudian. ujar Pataliputra geram.
Terus saja ia melemparkan mereka ke atas daun pintu yang menindih teman-temannya. Dengan demikian, mereka yang berada di bawah daun pintu tertindih suatu beban seberat satu ton lebih.
Kepala Rumah gadai yang khawatir kawannya mati tergencet, terpaksa membungkuk hormat berulang kali kepada Pataliputra mohon pengampunan. Bahkan akhirnya ia berlutut sambil memerintahkan pegawainya agar mempersembahkan tambahan uang sebesar tiga ribu perak secepat mungkin.
Pataliputra membawa sikapnya yang tak acuh. Di dalam hati ia heran, mengapa langkasuta tidak segera menyusul. Semenjak ia mengacau rumah makan, dalam hatinya berharap agar langkasuta alias Koloan datang melabraknya. Ia percaya bahwa langkasuta yang bergelar Singa Merah, tentunya memiliki kepandaian tinggi. Sekiranya tidak demikian, mustahil ia bisa membagi upeti untuk kaum Pasupata dan pembesar negeri. Dan orang yang merasa dirinya dihormati oleh kedua belah pihak, biasanya memandang enteng pengacau-pengacau dalam bentuk apapun.
Tetapi apa sebab, dia tidak muncul juga?
- Baiklah, letakkan saja tiga kantung uang itu di atas daun pintu itu. ia menyambut pemberian Kepala Rumah Gadai.
Pegawai yang diperintahkan meletakkan tiga kantung uang perak itu tahu, bahwa beratnya akan bertambah 180 kati lagi.
Apakah mereka yang kena tindih akan bisa mempertahankan hidupnya?
Akan tetapi ia tidak dapat
berbuat sesuatu, kecuali harus patuh.Maka dengan sikap masa bodoh., ia meletakkan tiga kantung uang perak itu di atas daun pintu.
- Hei! teriak Pataliputra.
- Apakah rumah gadai ini milik raja. sampai lupa memberi Surat Tanda terima?
Diingatkan tentang kewajiban memberikan Surat Gadai. kepala rumah gadai jadi kebingungan.
Apa yang harus ditulisnya?
Menurut kebiasaan, jika seseorang menggadaikan barang, .dalam Surat Gadai harus ditulis dalam keadaan rusak. Perlunya, kalau kelak pemiliknya menebus barang, bila terdapat kerusakan tidak akan menjadi masalah. Tetapi tujuh orang yang digadaikan itu, bukan barang. Namun dalam keadaan terdesak, ia menulis sekenanya saja. Begini bunyinya:
"Digadaikan tujuh pegawai keluarga langkasuta. Kulit pecah, daging hancur, kaki tangan tidak lengkap. Digadaikan untuk sembilan ribu perak."
Surat Gadai yang berbunyi demikian, kemudian dibacakan Kepala Rumah Gadai di hadapan Pataliputra dengan suara nyaring. Pataliputra mendengarkan dengan mengulum senyum. Kemudian menerima surat itu dan dimasukkan kedalam sakunya. Membentak kepada "tarung-pukul yang sudah meringkas hatinya:
- Angkat kedua area itu!
Karena tak kuat mengangkat seorang diri, mereka berdua kemudian saling menolong. Dan seperti dua ekor anjing jinak. mereka melaksanakan perintah Pataliputra dengan patuh.
- letakkan ke tempatnya semula. Kemudian tunjukkan dimana letak rumah perjudian.Aku mau kesana.-perintah Pataliputra lagi.
Sebentar tadi, rakyat menyaksikan betapa kuat tenaga Pataliputra. Dengan seorang diri, dia dapat menghentakkan arca seberat setengah ton dan dilemparkan seperti orang membuang keranjang sampah. Dengan seorang diri pula dia mengobrak-abrik rumah makan kebanggaan Koloan beserta rumah gadainya yang sudah lama membuat rakyat sengsara. Kini, dia hendak mengunjungi rumah perjudian .Niscaya mempunyai maksud tertentu yang disembunyikan. Di dalam hati, mereka bersorak dan bersyukur. Hanya saja karena takut akan balas dendam Koloan. mereka mengikuti Pataliputra dari kejauhan saja.
Rumah judi itu terletak di ujung kota, menempati suatu halaman luas. Di dekat pintu masuk terpancang sebuah papan nama yang berbunyi: "Rumah Kebudayaan Ummat Manusia." Membaca bunyi tulisan itu, hati Pataliputra mendongkol. Maka dengan langkah lebar ia memasuki halaman rumah judi itu dengan diikuti oleh dua pengawal rampasannya yang sudah menjadi jinak tak ubah dua ekor anjing yang setia.
Sebentar saia, Pataliputra sudah berada dalam ruang perjudian. Ruangannya ternyata luas dan semarak. Ratusan orang sedang berjudi mengadu untung. Mereka terbagi dalam beberapa kelompok. Berjubel mengelilingi meja meja perjudian. Masing-masing meja terdapat bandarnya yang berwajah seram. Dan kepala bandarnya menempati sebuah meja yang diistimewakan. Rupanya disediakan bagi mereka yang mempunyai uang banyak.
Kepala bandar itu berperawakan tinggi besar. Berkumis berjenggot tebal. Kancing bajunya sengaja dibuka untuk memamerkan bulu dadanya yang lebat. Tak usah dijelaskan lagi, bahwa diapun tukang pukul pula. Dengan alis tebal yang menambah pandang matanya jadi berpengaruh, ia mengawaskan setiap dadu yang diputar di atas meja perjudian. Pandang matanya itu. membuat takut baik yang sedang berjudi maupun yang bertugas
memutar dadu.
Sedang demikian ia melihat masuknya dua orang tukang pukul yang tadi lari ke Rumah Gadai. Kedua orang itu datang dengan menggotong daun pintu. Daun pintu dengan tumpukan kantong-kantong uang perak. Sekejap ia heran, lalu menyapa:
- Hai, siapa yang menyuruhmu menjadi kuli pengangkut barang?
Dengan memoncongkan mulutnya. mereka memberi isyarat tanda bahaya. Kata mereka pula:
- Seorang gagah perwira hendak mencoba mengadu untung di sini. -
Langkasuta alias Koloan terkenal sekali di wilayah Pasupata bagian selatan. Banyak sahabat dan teman-temannya yang tentu saja terdiri dari kaum kaya-raya dan kepala kepala pemerintahan. Semua anak-buahnya tahu akan hal itu. Itulah pula sebabnya, kepala bandar mengira bahwa Pataliputra termasuk salah seorang sahabat Langkasuta yang istimewa. Tanda bahaya yang diisyaratkan kedua tukang pukul dengan memoncongkan mulutnya, dikiranya suatu pemberitahuan bahwa tetamunya adalah tamu istimewa yang harus dikuras hartanya sampai ludas. Terus saja ia berkata di dalam hati:
- Bagus! Dia membawa uang begitu banyak. Masakan aku harus takut menghadapi orang berperut besar? Makin besar dia bertaruh, bukankah makin memperbesar keuntungan?
Sebagai kepala bandar ia diperlakukan istimewa oleh Langkasuta. Tegasnya, setiap malam ia memperoleh sekian bagian dari keuntungan bersih. Karena itu, dengan berbagai cara ia berusaha supaya bandar harus menang. Kalau perlu dengan menggunakan tipu-muslihat. Maka apabila rumah perjudiannya sedang dikunjungi orang Yang berduit tebal segera ia memasang ahli-ahli pemutar dadunya. Demikian pulalah kali ini. Begitu tamunya datang menghampiri meja dengan berbisik ia memberi perintah kepada dua orang ahlinya agar melayani Pataliputra sebaik baiknya.
Tetapi dia bakal menumbuk batu. Sebab dengan tiba tiba, Pataliputra bertanya minta keterangan:
- Hai! Bagaimana tata atur penjudian ini?
- Mudah saja. sahut kepala bandar dengan tertawa ramah.
- Pasang saja, nomor yang tuan kehendaki. Kalau tepat tebakan tuan. kami akan membayar sepuluh kali lipat
- Betul begitu?
Pataliputra menegas.
- Betul. Tuan tidak usah sangsi. Rumah Kebudayaan Ummat Manusia ini sudah didirikan semenjak belasan tahun yang lalu. Selama itu, tiada peristiwa yang berarti. Semuanya beres. karena kami berlaku jujur terhadap semua langganan.
- Apa yang kau maksudkan dengan tiada peristiwa yang berarti? potong Pataliputra.
- Umpamanya tentang dadu yang tiba-tiba pecah, karena pemutar dadu terlalu bersemangat. Ia menggenggamnya terlalu keras. Mungkin karena tegang. sahut kepala bandar dengan cepat dan ramah.
- Baiklah, aku akan memasang seribu perak.
Pataliputra memutuskan.
- Apa? Seribu perak? kepala bandar ternganga oleh rasa terkejut. Sebab selama dia dinas disitu, belum pernah seorang penjudi berani mengadu untung begitu besar, meskipun tebal kantongnya. Paling tinggi seratus perak. Itu saja kalau menang, berarti sepuluh kali lipat. Untuk mempertanggung jawabkan kejadian itu kepada majikan, susahnya bukan main.
Sekarang, bagaimana
kalau Pataliputra beruntung?
Dia harus membayar sepuluh ribu perak. Berarti selaksa perak. Memikirkan kemungkinan itu, tak merasa wajahnya menjadi pucat sesaat. Tetapi sesaat itu pula, ia percaya kepada keahlian orang-orangnya sendiri. Teringat akan beberapa macam tipu-muslihat orang-orangnya, hatinya terhibur.
Sementara itu. Pataliputra sudah meletakkan uang taruhannya di atas meja judi. Ia sudah memutuskan akan membuat kacau rumah perjudian untuk memancing keluarnya Langkasuta. Maka dengan seenaknya ia berkata setengah mengancam:
- Sudah kuletakkan uangku. Semuanya berjumlah seribu perak. Nah berilah aku selaksa perak. -
- Mengapa aku harus membayar? kepala bandar heran. Tetapi pada detik itu ia mengira, bahwa pemuda ini belum pernah bermain judi. Maka perlu ia memberi penjelasan dengan sabar. Katanya lagi:
- Memang aku akan segera membayar, manakala tuan menang. Tetapi tuan baru meletakkan uang di atas meja. Tuan belum memilih nomor. Nomor kecil alau besar. Lihatlah dadu ini! Nomornya berjumlah dua belas. Nomor enam kebawah, kita sebut nomor kecil. Nomor tujuh sampai dua belas, kita sebut nomor besar. Nah, sekarang tuan mau memasang nomor kecil atau nomor besar?
- Nomor yang mesti menang.
- Bagaimana mungkin? -
- Mungkin saja, kalau engkau ikut menunjukkan.
Untuk sesaat, kepala bandar itu tertegun. Lalu tertawa geli berbareng mendongkol. Masih saja ia bersabar:
- Aku sendiri tidak tahu. Sebab menang dan kalah tergantung nasib baik seseorang. Kalau . . . '
- Baiklah. Boleh kuperiksa dadunya? potong Patalinutra.
- Boleh.
- boleh...Mengapa tidak? Silakan periksa
Pataliputra memungut dadu yang berada di depannya. Ia menimang-nimangnya. Ternyata dadu itu tidak dilapisi timah sebagai pemberat nomor tertentu. Tetapi di dalam hati ia menaruh euriga terhadap dua orang pemutar dadu yang tiba-tiba menggantikan kedudukan pemutar dadu yang mengundurkan diri.
- Biarlah aku mengikuti arusnya. Kalau mereka berbuat curang. masakan aku tidak dapat juga mengibulinya? pikir Pataliputra di dalam hati.
Lalu ia meletakkan dadu itu ke tempatnya semula, sambil berkata:
- Karena aku belum pernah berjudi. aku akan memasang kecil-kecilan dulu. Nih, sepuluh perak dulu! '
Mendengar kata-kata Pataliputra, kepala bandar tersenyum lega. Ternyata pemuda itu benar-benar masih hijau dalam dunia perjudian. Maka segera ia menyahut:
- Baik. Kita mulai!
Pataliputra memasang sampai tujuh kali berturut turut. Ia menang dua kali dan kalah lima kali. Kemudian ia memasang tiga kali berturut dengan uang taruhan seratus perak. Mulailah ia melihat suatu perubahan. Kedua tangan bandar yang tadinya hanya di letakkan lunglai di atas meja mulai menggerak-gerakkan jarinya. Pataliputra tersenyum di dalam hati. Benar kata orang, bahwa kecurangan tentu terjadi dalam dunia perjudian. Setiap kali dadu hendak berhenti pada nomor yang dipasangnya, mendadak terbalik dan berhenti pada nomor sebaliknya. Karena itu. tiga kali ia kalah. Namun ia mengerti apa penyebabnya.
- Sialan! ia mengutuki diri sendiri.
Seperti orang dungu, ia berkata lagi: -
- Barangkali nasibku yang kurang baik. Sekarang aku akan memasang nomor kecil untuk
seribu perak.
Pataliputra sengaja menyebutkan jumlah taruhannya untuk menarik perhatian orang. Benar saja, ruang perjudian menjadi gempar. Para pemain berbondong-bondong mengerumuni meja untuk ikut menyaksikan. Kali ini, Pataliputra tidak mau mengalah lagi. Sewaktu dadu berputar, diam-diam tangan kirinya disembunyikan di bawah alas meja. Begitu dadu hendak berhenti pada nomor besar, segera ia mengetuk alas meja dengan tenaga saktinya. Dadu itu tersentak dan berputar lagi dan berhenti pada nomor kecil.
- empaaat . . . ia berseru.
Dan orang-orang yang bersimpati padanya ikut berseru gembira.
Wajah kepala bandar pucat seketika. Oleh pandang orang banyak, dengan hati berat terpaksa ia membayar sepuluh ribu. Selagi seseorang sibuk menghitung jumlah itu, diam-diam ia mengerling kepada dua orang pemutar dadu. Wajah mereka merah padam. Mereka tahu, dadu kena sentil tenaga sakti Pataliputra. Tetapi kecuali tidak dapat membuktikan, merekapun berbuat demikian. Hanya saja, tenaga gabungan mereka tidak dapat mengalahkan tenaga sakti tetamunya. Karena itu, mereka terkejut berbareng penasaran.
Selagi demikian, terdengar suara Pataliputra yang membuat mereka bertambah terkejut. Kata Pataliputra dengan suara gembira:
- Selaksa ini kupertaruhkan untuk nomor kecil lagi.
Mendengar ucapan Pataliputra, orang-orang menjadi gempar Juga para pegawai rumah judi. Sebab belum pernah seseorang berani bertaruh sebesar itu.
Roro Centil 07 Siluman Kera Putih Wiro Sableng 034 Munculnya Sinto Gendeng The Expected One Karya Kathleen Mcgowan
- Sudahlah! tungkas Getah Banjaran.
- Aku paling benci mendengar orang bertengkar lidah. Hai Hari Sadana. coba katakan terus-terang! Engkau sudah mempunyai akal untuk melawan kami berdua atau belum?
Getah Banjaran, rupanya seorang pemimpin yang berangasan. Begitu selesai berbicara,tangannya menghantam meja. Dan meja itu somplak sebagian. Mungkin sekali ia bermaksud mempertontonkan tenaganya yang kuat dan tangguh.
Lain lagi gaya Tarusbawa. Ia menyambar cawan bekas minuman dan diciumnya. Begitu tercium bau arak, berkatalah ia setengah berseru:
- Bagus perbuatanmu! Bukankah mengandung obat bius?.
Setelah berseru demikian, dengan tenaga saktinya ia memencet cawan yang terbuat dari perak. Lalu menyambar guci yang terbuat dari perak pula dan dipencetnya. Seketika itu juga menjadi gepeng. Araknya terloncat keluar dan menghantam cawan yang sudah dipencetnya. Oleh semprotan arak yang terpencet keluar. cawan itu seperti
terlempar menembus dinding Kemudian dengan mengangkat kepalanya. Ia melemparkan guci perak keluar perahu dan tercebur di dalam sungai. Ia menganggap dirinya sudah mempertontonkan ilmu kepandaian untuk menciutkan hati lawannya.
Tetapi Hari Sadana tetap tenang saja. Sama sekali ia tidak bersemangat untuk membuka mulutnya. Mendadak saja ia merogoh sakunya dan mengeluarkan kotak emas dan diletakkan di atas meja kembali dengan pelahan-lahan. Dan barulah ia berkata dengan sabar:
- Baiklah. aku harus tahu gelagat. Kalian berdua memang datang dengan tujuan untuk merampas barang yang sudah jatuh di tanganku. Sekarang sudah kuletakkan di atas meja. Nah, silahkan ambil! -.
Tarusbawa yang berwajah pucat kekuning-kuningan tertawa haha hihi. Agaknya, hatinya puas karena berhasil menggertak lawan. Segera ia mengulurkan tangannya hendak mengambil kotak emas itu. Akan tetapi ia heran bukan kepalang. Ternyata ia tidak mampu mengangkat kotak emas itu.
Apa sebab?
Dengan penasaran, ia menambah tenaga dan mencoba mengangkat. Kali ini gagal pula. Sekarang, ia tidak hanya heran saja tetapi terperanjat juga. Kotak emas itu seperti terpantek.
Apakah Hari Sadana mempunyai llmu Sihir?
Hari Sadana menatap wajahnya dengan mengulum senyum. Sekali lagi ia berkata setengah mengejek:
- Hayo. ambillah! Mengapa segan-segan? Masakan tidak kuat? Bukankah engkau Ketua Aliran Tanah Putih?
Wajah Tarusbawa yang pucat hekuning-kuningan berubah menjadi merah oleh rasa malu. Tetapi ia merasa benar benar tidak kuat mengangkatnya. Apa sebabnya, ia tak mengerti.
- Hm. -
Getah Banjaran mendehem lalu berkata
(Bersambung Jilid 7)
*****
HERMAN PRATIKTO
JALAN SIMPANG DIATAS BUKIT
Jilid 7
penerbit
"Melati"
Jakarta
Kupersembahkan Untuk :
- Hidupku
- kebebasanku
- dunia baru
- ayah bunda
- anak istri
- dan siapa yang mau kusebut keluargaku.
Judul : Jalan Simpang di atas Bukit
Gambar kulit : ARIE
Gambar isi : ARIE
Cetakan : Ke I September 1983
Penerbit : Melati Jakarta.
Hak cipta dilindungi Undang-Undang.
*****
Buku Koleksi : Gunawan Aj
(https://m.facebook.com/gunawan.aj.16)
Juru Potret : Awie Dermawan
(https://m.facebook.com/awie.dermawan)
Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(http://cerita-silat-novel.blogspot.com)
(Team Kolektor E-Book)
(https://m.facebook.com/groups/1394177657302863)
*******
JALAN SIMPANG DIATAS BUKIT
Jilid 7
HARI Sadana menatap wajahnya dengan mengulum senyum. Sekali lagi ia berkata setengah mengejek:
- Hayo. ambillah! Mengapa segan-segan? Masakan tidak kuat? Bukankah engkau Ketua Aliran Tanah Putih ?
Wajah Tarusbawa yang pucat kekuning-kuningan berubah menjadi merah oleh rasa malu. Tetapi ia memang benar benar tidak kuat mengangkatnya. Apa sebabnya, ia tak mengerti.
- Hm,
Getah Banjaran mendengus. Lalu berkata kepada Hari Sadana:
- Saudara, kepandaianmu sebenarnya biasa-biasa saja, namun muslihatmu cukup baik. -
- Muslihat apa? -bantah Hari Sadana dengan suara tinggi.
Coba minggirlah! Aku akan mencoba mengangkatnya..
Dengan tangan kanannya ia mendorong Hari Sadana. Kemudian ia menggerakkan tangan kirinya hendak mengangkat kotak emas itu. Tiba-tiba secepat kilat tangan kanannya menyerang bawah ketiak Tarusbawa. Tarusbawa terkejut diserang dengan tiba-tiba. Namun ia cukup waspada. Tidak kalah cepatnya, ia mengangkat tangan kanannya untuk menangkis. Akan tetapi pada saat itu. kotak emas sudah berada di genggaman tangan Getah Banjaran yang cerdik.
Keruan saja Hari Sadana terkejut bukan main. Terus saja ia melesat ke ambang pintu dan berdiri menghadang. Ia sudah kehilangan mustika yang sangat berharga. Karena itu, tidak membiarkan perampasannya lolos. Bentaknya dengan bengis:
- Kalau tidak kau letakkan kembali pada tempatnya, jangan bermimpi jiwamu bisa selamat.
- Apa? Engkau berani mengancam begitu kepadaku? -teriak Getah Banjaran yang beradat berangasan.
Pada saat itu juga, ia mengeluarkan sebatang tongkat besi dan mengemplang Hari Sadana sambil berseru kepada Tarusbawa:
- Kita habisi saja dia! -
Tarusbawa seperti tidak mendengar seruan itu. Ia tertegun keheranan. Masih saja ia tak mengerti, apa sebab dirinya tidak mampu mengangkat kotak emas dari atas meja dan sebaliknya Getah Banjaran dapat merampasnya dengan mudah. Tetapi setelah ia mengamat-amati alas meja, ia jadi mengerti.
Alas meja itu meninggalkan bekas serupa liang. Kalau begitu. sewaktu Hari Sadana meletakkan kotak mas di atasnya dia menggunakan tenaga sakti untuk menekan. Dengan tekanan tenaga saktinya. kotak emas melesak membuat lobang sehingga memberosot setengahnya. Kemudian dengan diam-diam Hari Sadana menjepit kotak emas dari bawah alas meja. Karena dia dapat memegang bawah kotak emas itu dengan baik dapatlah ia mempertahankan
dengan mengerahkan himpunan tenaga saktinya. Himpunan tenaga saktinya jauh lebih kuat daripada Tarusbawa. Itulah sebabnya, tenaga Tarusbawa tidak cukup kuat untuk membetot kotak emas itu. Sebaliknya, Getah Banjaran lebih cerdik. Dengan cepat ia mengetahui pemainan itu. Maka ia menyerang ketiak Hari Sadana sambil mendorong tubuhnya. Karena serangan itu membahayakan, terpaksalah Hari Sadana melepaskan tangannya untuk dibuat menangkis. Dan pada saat itu, sebelah tangan Getah Banjaran dapat mengambil kotak emas dengan mudah sekali.
- Hm.
Hari Sadana gemas.
- Kau benar-benar hendak mengambil jiwaku? Baik, marilah kita bertempur mengadu untung.
Sebat ia menghunus goloknya dan menangkis kemplangan tongkat Getah Banjaran. Ternyata goloknya termasuk senjata mustika pula. Gagangnya dihiasi beberapa butir berlian. Dari golok itu sendiri membersit cahaya yang menyilaukan oleh sinar lampu.
Sekarang Tarusbawa menyadari apa arti seruan Getah Banjaran. Dalam hal ini ia berpihak kepada Getah Banjaran karena hatinya mendongkol dan penasaran. Dia pun segera menghunus sepasang pedang pendek. Itulah ciri khas senjata andalan kaum Tanah Putih. Dengan demikian, ketiga orang itu saling pandang dengan mata berkilat-kilat. Rasa marah membakar diri mereka masing-masing. Setiap saat mereka siap bertarung mengadu jiwa.
- Bagus! seru Diatri.
Semenjak tadi, ia bersikap sebagai penonton. Tetapi kini, ia seperti mendapat ilham. Lalu berkata cepat:
- Mengadu jiwa di sini kurang tepat. Mengapa tidak melompat saja ke darat? Apakah luas perahu ini cukup leluasa sebagai arena mengadu kepandaian? -
Getah Banjaran terhenyak seperti diingatkan.
- Benar. pikirnya.
Meskipun ukuran perahu boleh digolongkan setengah kapal. namun tidak cukup luas. Baik luas mau pun lebarnya terasa sempit. Apalagi kalau memerlukan gerakan gerakan tertentu. Sebaliknya Hari Sadana mempunyai rencananya sendiri. Tak sudi ia melompat ke darat untuk mengadu jiwa benar-benar. Apabila kedudukannya tidak menguntungkan. Ia dikerubut dua orang. Di atas perahu yang sempit. dia bisa mengharapkan kemungkinan-kemungkinan yang menguntungkan. Apabila dia main mendesak. bisa membuat terbatas gerakan kedua lawannya.
- Hari Sadana, hayo kita mengadu kepandaian di atas tanah! tantang Getah Banjaran dengan suara bergelora.
Hari Sadana tertawa pelahan. Sahutnya:
- Kau mau mendarat? Silakan! Siapa yang melarangmu?
Tarusbawa rupanya lebih mudah tersinggung daripada Getah Banjaran. Wajahnya yang kekuning-kuningan memucat. Tiba-tiba saja kedua pedang pendeknya merabu dengan cepat. Hari Sadana mundur setengah langkah, lalu menangkis dengan memapaskan goloknya. Suatu benturan terjadi dan suara nyaring memekakkan telinga.
Tarusbawa terperanjat. Sebilah pedangnya ternyata somplak sebagian. Sebaliknya, Hari Sadana tertawa panjang. Ia merasa menang dan mengulangi gerakan goloknya. Maksudnya ingin segera merobohkan lawannya. Dengan begitu akan dapat menghadapi Getah Banjaran tanpa memecah perhatian.
Tetapi Getah Banjaran ternyata cerdik. Ia dapat menebak maksud lawannya dengan tepat. Selagi Tarusbawa masih tergugu oleh rasa terkejut, ia menghantamkan tongkat besinya. Dan gagallah Hari Sadana hendak merobohkan Tarusbawa secepat mungkin. Sebab gempuran tongkat Getah Banjaran bertenaga kuat.
Hari Sadana tahu kepandaian Getah Banjaran tiga kali lipat daripada Tarusbawa. Karena itu tidak berani ia meremehkan. Cepat ia menangkis sambil melompat ke samping. Tetapi pada detik itu pula. tubuh Getah Banjaran berkelebat bagaikan bayangan. Tahu-tahu sudah menerobos keluar dari ambang pintu. Dia kini berdiri dengan gagah bagaikan Dewa Yama hendak mencabut nyawa.
Diam-diam Hari Sadana mengeluh di dalam hati. Sebab kedudukannya kini berada di antara kedua musuhnya. Di dalam gubuk ada Tarusbawa dan diluar gubuk menghadang Getah Banjaran. Mendadak saja, ia mendengar Getah Banjaran berseru tertahan.
- Celaka! Lihat!
Baik Hari Sadana mau pun Tarusbawa melemparkan pandangnya ke arah pandang mata Getah Banjaran. Ternyata perahu yang mereka tumpangi sudah bergeser tempat. Tidak lagi terhambat di tepian, tetapi sudah berada di tengah sungai.
Betapa mungkin?
- Siapa yang mempermainkan kita? Hari Sadana Tarushawa, jangan berkelahi lagi. Rasanya kita masuk perangkap! ujar Getah Banjaran setengah terkejut.
- Perangkap? -
Hari Sadana terperanjat.
Ia tidak mau menerima kenyataan itu. Dengan pandang beringas ia mulai menyelidiki seolah-olah pandang matanya ingin menembus tirai malam. Tiba-tiba terdengar suara gelak tertawa yang merdu.
Perempuan?
Dengan serentak, mereka bertiga berpaling ke arah suara itu yang datang dari perahu Hari Sadana. Dialah Diatri yang tidak bertutup kepala lagi, sehingga rambutnya terurai panjang. Keruan saja. Hari Sadana berjingkrak oleh rasa malu, penasaran dan marah. Terus saja ia membentak:
- Hai! Siapa kau?
- Hari Sadana, Getah Banjaran dan Tarusbawa . . .
Akulah yang melepaskan tali . Apakah salah? Bukankah perahu yang kalian tumpangi adalah milik kami? Akan kubakar atau kuhanyutkan. kalian tidak berhak mencampuri.
- Bangsat! maki Hari Sadana
- Mana juru mudiku?
Tetapi yang muncul adalah Kusen. Pemuda itu tertawa panjang sambil bertepuk tangan. Serunya girang:
- Tuan sendiri yang menghendaki tukar-menukar. Tuan menyukai perahuku. Silakan bawa! Tetapi isi perahu tuan ternyata . . . hm . . . memang tuan seorang saudagar kaya raya yang gemar mengumpulkan barang-barang berharga. Di dalam gubuk, kutemukan kepingan emas, intan, jamrut, mutiara, dan berlian. Jual beli ini kuanggap memuaskan. Terima kasih.
- Hai. hai bangsat! Bawalah perahuku kemari! teriak Hari Sadana mendongkol.
- Wah sayang. Perahu tuan lari ke hilir, padahal kami mau mudik. Sudahlah, tuan boleh merampas perahuku. Selamat jalan!
- Hai anjing buduk! Cepat, larikan perahu ini ke darat. Kalau tidak .
Tetapi Kusen tidak melayani. Ia malahan tertawa tergelak-gelak. Tentu saja, Hari Sadana bertiga mendongkol. Dada mereka terasa hendak meledak. Mereka memang jago di atas tanah. Tetapi mati kutu, bila berada di atas permukaan air. Seketika itu, mereka saling pandang dengan muram. Sedang demikian perahu terus berjalan pelahan lahan makin menjauh.
- Hoee . . . hoee . . . cepat bawalah perahuku ke darat? Di mana juru mudiku? Suruh saja dia yang membawa perahu ini menepi!
- Juru mudi kalian sudah kami ceburkan ke dalam
sungai. mungkin sudah nasibnya akan menjadi mangsa buaya. masih saja Kusen mengulum mulutnya.
Hari Sadana merasa kehabisan akal. Getah Banjaran kemudian berteriak gugup:
- Apakah engkau menghendaki barang mustika? -
- Benar. -sahut Diatri.
- Kau maksudkan kotak emas ini?
- Tidak hanya itu. Tetapi kepala kalian pula.
- Oh. begitu? Terimalah! sahut Getah Banjaran dengan suara geram. Akan tetapi yang dilemparkan bukan kotak emas yang sudah berada di tangannya, melainkan sebatang pedang pendek. Yang dibidik adalah Kusen. Ternyata Kusen cerdik juga. Diluar dugaan ia menarik sesuatu dari dalam gubuk. Itulah juru mudi yang sudah terikat kedua tangannya dan tersumbat mulutnya. Sekarang dia dijadikan tameng.
Plos Dan dada juru mudi yang malang itu tertikam pedang pendek sampai tembus.
Peristiwa itu berjalan begitu cepat. Juru mudi yang tertembus pedang Getah Banjaran tercebur ke dalam sungai bermandikan darah. Hal itu membuat Diatri marah. Ujarnya sengit:
- Hari Sadana! Dia tidak hanya merampas barang mustikamu, tetapi membunuh juru mudimu juga. Kau adalah majikannya. Masakan engkau tidak menuntut bela?
Hebat ucapan Diatri. Dia tidak hanya mengejek saja. tetapi kata-katanya mengandung bisa. Tatkala Hari Sadana sedang bertempur melawan Getah Banjaran dan Tarusbawa, ia menggunakan kesempatan itu untuk mengelabui mereka. Sengaja ia menganjurkan mereka bertempur di daratan. Pada saat itu, ia memberi kesempatan kepada Kusen untuk terjun ke sungai merampas kapal Hari Sadana. Kemudian dengan lompatan ringan ia mendarat di atas kapal Hari Sadana tanpa suara. Celakalah juru mudi Hari Sadana yang mengaku berasal dari kepulauan Maluku. Sebelum sempat bergerak sudah dapat dibuat roboh. Kusen yang datang menyusul, tinggal membereskan saja. Tadi ia masih penasaran, karena berkali-kali menerima gebukannya. Sekarang. dapatlah ia mengikat kedua lengan juru mudi dan sekalian menyumbat mulutnya dengan secabik kain.
- lalu apa lagi? ia menunggu perintah Diatri. Sebab Diatri pulalah yang memerintahkannya dengan berbisik untuk merampas kapal Hari Sadana.
- Tentu saja mereka penasaran. Paling tidak mereka akan melemparkan senjatanya. Pada saat itu, buatlah juru mudi ini sebagai perisai. Kurasa mereka akan membatalkan niatnya demi jiwa juru mudi ini. -
Akan tetapi gerakan Getah Banjaran terlalu cepat bagi Kusen. sehingga juru mudi itu menjadi korban pembunuhan yang sebenarnya dialamatkan kepadanya.
Dalam pada itu, Hari Sadana sudah berputar arah kepada Getah Banjaran. Goloknya nyaris bergerak sewaktu Getah Banjaran berseru dengan buru-buru:
- Kita lupakan dulu pertengkaran ini. Kita dalam bahaya .
- Ya. memang berbahaya. -tiba-tiba terdengar suara menimpali.
Hari Sadana bertiga terperanjat. Dengan serentak mereka berpaling ke arah datangnya suara. Dan begitu melihat siapa yang berbicara,mereka terperanjat. Terlebih-lebih Hari Sadana. Sebab.dialah Yudapati yang berdiri dengan mengulum senyum. -
- Obat biusmu memang istimewa. Hanya saja kurang kuat.
Yudapati berkata lagi.
Hari Sadana ternganga. Sahutnya terbata-bata:
- Kau...kau...
- Untuk engkau anggauta Aliran Orang-Aring. Dalam hal ini belum pernah ada hutang-piutang denganku. Tetapi engkau sudah membiusku. Sedikit banyak. aku harus menagihmu. Juga Tarusbawa. orang Tanah Putih belum berhutang padaku. Sayang. dia sudah bersekongkol dengn Getah Banjaran. Maka engkau wajib membayarku. Dan engkau hai Getah Banjaran . . . -
Yudapati menatap wajah Getah Banjaran dengan sungguh-sungguh. Dan entah apa sebabnya. begitu melihat pandang mata Yudapati, tidak hanya Getah Banjaran yang berdebar-debar hatinya. namun Hari Sadana dan Tarusbawa pula.
- Engkau mempunyai hutang.
- Aku? Aku mempunyai hutang? Hutang apa? Lagipula, belum pernah aku kenal dirimu. Apakah karena aku kini merampas kotak pusakamu? Tetapi barang ini kurampas dari tangan Hari Sadana. -tungkas Getah Banjaran dengan waspada.
Yudapati tertawa. Sahutnya:
- Anggap saja, alasanmu benar. Tetapi bagaimana dengan nyawaku?
- Nyawamu?
Getah Banjaran makin tak mengerti.
- Hm, memang engkau belum pernah bertatap muka denganku. Tetapi bagaimana dengan Pusara. Dumma, Daksa dan murid-muridmu yang lain? -
Getah Banjaran tertegun beberapa saat lamanya. Suatu ingatan berkelebat dalam benaknya. Minta keterangan dengan suara patah-patah:
- Pusara? Pusara yang . . . eh, apakah engkau yang disebut-sebut murid Paramita bernama . . . -
- Apakah dia menyebut namaku?
- Bhiksuni Sekar Tanjung, bukan? -
Getah Banjaran minta pembenaran.
- Apakah dia menyebut namaku?
- Apakah yang disebut...eh...
-Ya. Akulah Yudnpati yang hampir mati karena ilmu pedang muridmu yang hebat.
- Tetapi Pusara mati pula olehmu. Bukankah sudah lunas? Apakah engkau hendak minta bunganya? suara Getah Banjaran jadi penasaran.
Teringat bahwa kepandaian pemuda di depannya itu tiada melebihi Pusara, Ia mulai berani mengangkat kepala.
- Benar dan ditambah dengan kotak emas itu! Karena aku belum memerlukan kepalamu, untuk sementara biarlah kutitipkan dulu. Aku akan menunggumu di darat. ujar Yudapati. Di dalam hati, sengaja ia hendak menciutkan hati mereka. Terus saja ia menggempur buritan perahu dengan Tantra tingkat delapan. Akibatnya benar benar membuat mereka terperanjat. Sebab seketika itu juga, perahu hancur sebagian. Dan pada saat itu pula, Yudapati melesat tinggi di udara dan mendarat di atas kapal Hari Sadana dengan manis. Yang lebih hebat lagi, kapal itu sama sekali tidak bergoyang. Itulah pameran kepandaian yang benar-benar menakjubkan.
Di antara ketiga orang yang berada di atas perahu yang sudah gempur, Getah Banjaran yang paling sibuk sendiri. Selain diancam kebocoran perahu, laporan yang didengarnya melalui murid-muridnya mengenai Yudapati sama sekali jauh dari kenyataan. Dengan mata kepala sendiri, ia menyaksikan betapa tinggi kepandaian Yudapati. Ia sendiri merasa tidak mampu berbuat demikian. Barangkali kakek-gurunya sendiri, belum tentu.
Selagi termangu-mangu demikian terdengar suara Yudapati:
- Hari Sadana! Perahumu adalah penukar biusmu. Kau rela atau tidak?
- Engkau memaksa orang di dalam keadaan terjepit.
Itu bukan tindakan seorang satria -jawab Hari Sadana dengan wajah muram.
- Oh begitu? Kalau begitu, kutunggu saja sampai esok hari. - ujar Yudapati. lain kepada Getah Banjaran:
- Getah Banjaran, kau sendiri bagimana? Terpaksalah malam ini tercebur di dalam sungai. berusahalah agar jangan mati tenggelam, agar engkau dapat mengadakan perhitungan denganku pada esok hari. Selamat berenang . . .
- He he he! -teriak Tarusbawa buru-buru.
- Perahu yang tertambat di sana adalah perahuku. Apakah engkau bermaksud merampas perahuku pula?
Tetapi Yudapati tidak menjawab. Dengan berdiri di samping Diatri dan Kusen, ia membiarkan mereka bertiga kelabakan. Tak usah dikatakan lagi, bahwa mereka tentunya tidak pandai berenang. Tetapi betapa pun juga, mereka termasuk ketua-ketua aliran yang memiliki kepandaian dan keberanian. Dalam keadaan bahaya, timbullah keberaniannya yang pantang menyerah. Sebat luar bisa, mereka menyambar kepingan papan. Kemudian hampir bersamaan mereka melompat ke dalam sungai.
Sayang, diantara mereka bertiga Hari Sadana-lah yang sial. Papan yang disambarnya tidak kuat menahan tubuhnya. Ia segera tenggelam, namun dengan cepat timbul kembali. Lalu tenggelam lagi dan muncul kembali. Demikianlah ia tenggelam dan muncul sampai belasan kali. Akhirnya timbul akalnya. Dengan llmu saktinya ia mengurangi berat badannya dan dapat mengapung di atas permukaan air. Kedua tangannya menggapai-gapai seolah-olah pengayuh. Tetapi karena kedua kakinya tidak bergerak, lambat-laun separuh tubuhnya tenggelam. Akibatnya mulutnya kemasukan air. Bahkan lobang hidungnya pula. Ia jadi kelabakan dan kedua kakinya memancal-mancal sejadi-jadinya.
Getah Banjaran dan Tarusbawa tidak berbeda jauh dengan nasib temannya itu. Kegarangan dan kecerdikannya punah. Mereka berjuang mati-matian mengatasi maut yang mengancamnya. Untung mereka membiarkan dirinya terhanyut arus. Setelah terhanyut sekian jauhnya. barulah dapat mencapai tepian. Itupun karena secara kebetulan tersangkut pada akar pohon yang melintang di atas sungai.
- Bagus! Bagus! Tontonan bagus! Kusen tertawa tergelak-gelak sambil bertepuk tangan. diapun kagum dan menaruh hormat kepada kedua penumpangnya yang memiliki kepandaian tak ubah dewa-dewi. Apalagi, kini ia yakin akan mendapat perahu yang jauh lebih baik daripada perahu miliknya sendiri.
Yudapati menggenggam tangan Diatri dengan hangat. Katanya setengah berbisik:
- Terima kasih atas semua akalmu.
- Akal apa? sahut Diatri.
Gadis cantik dan agung ini, membiarkan tangannya digenggam pemuda itu.
- Terus terang saja, tiada terlintas dalam ingatanku akan berpindah tempat. Aku hanya ingin memberi hajaran mereka. Tidak kurang dan tidak lebih.
Pujian Yudapati terasa syahdu dalam hati Diatri. Hati kecilnya diam diam berkata:
- Semenjak aku bertemu pandang denganmu, jiwaku sudah kuserahkan kepadamu. Apakah engkau tidak tahu?
Oleh getaran hatinya, ia balik menggenggam tangan Yudapati dengan erat pula.
- Ehem tiba-tiba Kusen berdehem.
- Dalam kapal ini banyak kudapatkan makanan dan minuman sedap. Beristirahatlah di atas geladak! Segera akan kubawakan minuman hangat.
Suara Kusen itu mengejutkan mereka berdua. Seperti seutas tali terantas senjata tajam, mereka melepaskan genggaman tangannya masing-masing. Dengan wajah terasa
panas, mereka mengangguk lalu membuang muka dengan perasaan malu.Anehnya di dalam hati mereka merasa girang. Sebab mulai saat itu. mereka mengetahui perasaan hati masing-masing.
Selagi mereka hendak memutar tubuhnya untuk memanjat tangga geladak atas. tiba-tiba terdengar suatu kegaduhan luar biasa. Nampaklah empat perahu berbentuk panjang datang dari mudik menuju ke hilir. Perahu itu enteng sekali. Karena arusnya deras dan menuju ke hilir pula, lajunya cepat bagaikan melesatnya batang panah terlepas dari busurnya. Apalagi setiap perahu dikayuh oleh beberapa orang. Pemimpinnya berdiri di ujung perahu dan kelihatan berwibawa.
Mula-mula Yudapati dan Diatri mengira mereka adalah anak-buah Getah Banjaran, Tarusbawa dan Hari Sadana yang sengaja disembunyikan untuk muncul apabila pemimpinnya terancam bahaya. Tetapi mereka ternyata tidak mengganggu kapalnya. Tatkala berpapasan, keempat perahu itu bahkan menghindar dan lajunya makin cepat.
- Siapakah mereka?
Tak terasa terlontar pertanyaan Yudapati.
Diatri tidak segera menjawab. Dengan mata tajam ia mengikuti gerakan mereka. Sebentar kemudian mereka menghampiri Hari Sadana, Tarusbawa dan Getah Banjaran yang masih kelabakan di atas pemukaan air. Salah seorang pemimpinnya memberi aba-aba:
- Angkut!
Getah Banjaran dan Tarusbawa yang tersangkut akar pohon mencoba memberi perlawanan. Tetapi karena berada di atas air, mereka tidak berdaya. Tubuh mereka terangkat dan dilemparkan ke dalam perahu. Sedang Hari Sadana masih sempat mengumpat:
- Jahanam biadab, lepaskan!
Tetapi hanya dalam waktu beberapa detik saja, Hari Sadanapun tidak berkutik lagi.Diapun terlempar dalam perahu kedua. Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan.
- Yang pasti bukan anak-buah mereka bertiga. akhirnya Diatri mengemukakan pendapatnya.
Yudapati menyetujui pendapat Diatri. ia berpaling kepada Kusen yang belum sempat pula beranjak dari tempatnya. Ia heran sewaktu melihat Kusen bergemetaran. Menegas:
- Kusen! Kau kenal siapa mereka?
Kusen menjawab sulit:
- Ya . . . tapi lebih baik kita menjauhi.
- Mengapa?
Kusen menelan ludahnya. Menyebut dengan suara menggeletar:
- Apakah tuan tidak mengenal warna jubah mereka?
- Kau mengenal, bagaimana? -
- Merekalah Kaum Pasupata.
Jawaban Kusen itu tak ubah halilintar meledak di siang hari. Beberapa saat ia tergugu. Tiba-tiba memberi perintah:
- Kalau begitu, kejar! -
- Kejar? -
Kusen tak percaya kepada pendengarannya sendiri. '
- Ya, kejar! Jangan sampai kita kehilangan jejaknya.
- Tetapi tuan . . . mereka sudah ikut mengulurkan tangan dengan menawan orang-orang jahat itu. -
- Justru demikian, mereka harus kita kejar. -
Kusen berbimbang-bimbang sejenak .Akhirnya dengan berdiam diri, ia memutar haluan. Kapalnya segera terhanyut arus sungai yang deras. Akan tetapi kapalnya kalah lincah daripada keempat perahu yang enteng tadi.
Sebentar saja, hilanglah jejak mereka. Apalagi malam itu tiada penerangan apapun, kecuali bintang-bintang yang bergemerlapan di angkasa.
*****
KAUM PASUPATA
DIATRI KAMA RATIH tidak hanya, cantik dan anggun, tetapi seorang gadis pendiam pula. Tidak banyak ia berbicara. Barangkali selama bergaul dengan Yudapati dapat dihitung berapa kali ia membuka mulutnya. Namun bila sekali mengemukakan pendapatnya, tidak terbantah lagi. Dan kata-katanya selalu disusul dengan tindakan nyata. Juga kali ini.
Semenjak tadi, ia memperhatikan gerak-gerik penumpang empat perahu yang melaju sepesat angin. Setelah melihat betapa mereka menawan Getah Banjaran bertiga dengan mudah, terbangunlah kedua alisnya. Meskipun demikian tidak berani ia mendahului Yudapati. Ia sudah memutuskan untuk menghormati dan melayani kehendak Yudapati. Kalau perlu berkorban jiwa baginya. Pendek kata. Yudapati adalah pandu-pandu hidupnya. Meskipun demikian, mendengar keputusan Yudapati yang aneh, terpaksa ia minta keterangan:
- Getah Banjaran. Hari Sadana dan Tarusbawa jelas merugikan kita. Tetapi kulihat perhatian kakak, terbagi. Sebenarnya siapakah yang hendak kakak kejar? Mereka bertiga atau kaum Pasupata? .
Yudapati tertawa. Sahutnya:
- Jelas Getah Banjaran bertiga. Sebab kepada mereka bertiga aku menumpukan harapan.
- Menumpukan harapan?
Diatri heran.
Yudapati mengangguk. lalu berseru kepada Kusen:
- Sudahlah. kita tidak akan dapat mengejarnya lagi. Kau biarkan saja perahu melaju menuruti arus!
Perintah ini melegakan hati Kusen. Sambil melepaskan kemudinya, ia menoleh. Menyahut:
- Nah. aku akan segera menyediakan minuman hangat. -
Yudapati kemudian membawa Diatri naik ke geladak atas. Setelah duduk menghadap meja, berkatalah ia kepada Diatri yang ikut duduk pula
- Ya, aku menumpukan harapanku kepada mereka. Bukankah kita sedang mencari jejak Tara? ia mengesankan. Meneruskan:
- Mereka bertiga adalah pemimpin pemimpin aliran yang berpengaruh. Setidak-tidaknya mereka termasuk golongan ketua alirannya masing masing. -
- Benar. -potong Diatri membenarkan.
- Mereka tadi sudah menyatakan kedudukannya masing masing. Hanya saja, apa hubungannya dengan Tara?
- Begini. sahut Yudapati.
- Di Suwarnadwipa ini terdapat sembilan aliran yang mempunyai wilayah kekuasaannya masing-masing. Dan di antara sembilan aliran itu terdapat Aliran Paramita. Pada jaman dahulu, cikal bakalnya bernama Bhiksuni Amarwati. Kini dipimpin oleh seorang bhiksuni pula, bernama: Aditi. Salah seorang murid Bhiksuni Aditi adalah puteri Resi Dewasana. Dialah
Sekar Tanjung yang sebentar tadi sempat disebut Getah Banjaran. Karena itu,bila diantara ketiga pemimpin aliran tadi berkenan menunjukkan dimana Bhiksuni Aditi kini berada, bukankah akan meratakan jalan? -
Diatri mulai mengerti jalan pikiran Yudapati. Selagi ia hendak minta keterangan tentang Sekar Tanjung, Yudapati sudah mendahului memberi keterangan. Dikisahkannya pertemuannya dengan Palata dan Sekar Tanjung sampai tatkala Resi Dewasana dan isterinya menolong dirinya dari jurang maut. Sementara itu, Kusen sudah mengantarkan minuman dan makanan hangat yang diketemukan dari dalam perut kapal.Dan sambil minum dan menggerumuti penganan. Yudapati berkisah hingga larut malam. '
- Baiklah, akhirnya Diatri menarik kesimpulan.
- Kurasa lebih baik kita lacak mereka melalui darat. -
- Benar.
Yudapati menyetujui.
- Kita lebih leluasa melakukan sesuatu di atas daratan daripada di tengah air.
Karena sudah memperoleh keputusan demikian, Yudapati memberi perintah berlabuh kepada Kusen yang jadi berjingkrak kegirangan. Sebab sesunguhnya hatinya ciut mendengar maksud penumpangnya hendak mengejar Kaum Pasupata yang sangat berbahaya. Kalau saja ia tidak mendapat anugerah sebuah kapal yang mahal harganya, sudah menolak semenjak tadi.
- Agaknya engkau sudah mengenal wilayah Kaum Pasupata. .. kata Yudapati mencoba.
- Sekarangpun kita sudah memasuki wilayahnya. -sahut Kusen seperti mengadu.
- Apakah benar? -
- Tuan tidak percaya? Bailah, kita tunggu sampai esok pagi. Tuan akan melihat setumpuk tengkorak manusia yang dipasang sebagai batas wilayahnya.
- Di mana?
- Mungkin di seberang sungai atau di balik tanah gundukan itu! - ujar Kusen sambil mengacungkan tangannya menunjuk suatu arah.
Tiba-tiba tepat pada saat itu di udara mengejap suatu cahaya berwarna kuning kehijau hijauan.
- Itulah dia! seru Kusen dengan suara bergemetar.
- Itulah tanda sandi kaumnya. Mungkin sekali mereka lagi mengundang kaumnya. Mungkin pula mereka dalam bahaya . Atau . . . atau ada suatu yang mereka anggap penting. Pendek kata lebih baik kita menjauhi. -
- Justru aku ingin melihatnya.
- Apa?
Kusen terbelalak.
- Kau tepikan saja perahu ini! Aku akan mendarat. -
- Jangan . . .!
- Apakah kau takut?
- Dengan terus-terang, aku takut. Tetapi . . . tetapi . . . kalau tuan . . .
Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kusen tidak menyelesaikan kata-katanya. Dengan hati berat, ia menepikan perahunya. Yudapati jadi perasa. Katanya sambil menepuk-nepuk bahunya:
- Baiklah begini saja. Setelah kita mendarat, engkau boleh melanjutkan perjalananmu. Perahu ini sudah menjadi milikmu. Aku yang menanggung. Kau puas?
Dengan ogah-ogahan, Kusen mengangguk. Dia nampak prihatin. Syukur malam terlalu pekat., sehingga kesan wajahnya tidak terlihat jelas. Walaupun demikian, keprihatinannya nampak pada gerakan kedua tangannya yang alot dan kurang bersemangat.
Yudapati menghampiri Diatri. Berkata:
- Benar. atau tidak, kita wajib berwaspada.
- Kau maksudkan keterangannya? ,
Diatri menuding
Kusen yang berdiri diburitan
- ya Diatri berdiam menimbang-nimbang. lalu menyatakan pendapatnya:
- Kalau begitu, kita tunggu sampai malam cerah kembali.
Karena Diatri berpendapat demikian. Yudapati berseru kepada Kusen:
- Cobalah kau cari jangkarnya. Kita tidak perlu menepi dulu.
Kusen tersentak dari rasa prihatinnya. Bergegas ia memasuki lambung kapal. Setelah berkutat sekian lama, benar-benar ia menemukan sebuah jangkar yang terbuat dari baja. Ia menggotongnya keluar dengan wajah cerah dan segera melemparkannya ke dalam sungai.
- Bagaimana tuan tahu, Bahwa kapal ini memiliki jangkar? -tanyanya heran kepada Yudapati.
- Yang memiliki mengaku diri sebagai saudagar yang banyak mengunjungi negeri. Tentunya harus mempunyai jangkar pula untuk meyakinkan orang lain.
Yudapati menjawab dengan sederhana.
Malam itu mereka beristirahat di atas geladak kapal yang cukup luas. Diatri berada di dalam gubuk, sedangkan Yudapati menemani Kusen yang tidur di dekat buritan. Namun Kusen ternyata tidak berani tidur benar-benar. Berkali-kali ia menyenakkan matanya dan menebarkan penglihatannya sambil memasang kupingnya. Siapa tahu ada orang jahat yang menghampiri kapalnya dengan diam diam. Tetapi sampai mendekati pagi hari, sekitar sungai sunyi sepi. Tiada yang terdengar selain suara arus sungai. Kemudian matahari mulai menyibakkan tirai malam. Di sinilah terjadi sesuatu seperti saling berjanji. Mereka bertiga bangun hampir berbareng. Dan apa yang mereka saksikan sungguh mengherankan hatinya.
Ternyata kapal mereka berada pada suatu tikungan luas dan lebar aemacam telaga. Seberang menyeberang tepi tidak hanya berisikan rimbun pepohonan belaka. Tetapi merupakan hamparan ladang luas tak bertepi. Kesannya seperti sebuah pulau raksasa yang dikelilingi anak lautan.
- Celaka!
Kusen berseru tertahan.
- Kita benar benar sudah berada di tengah wilayah mereka. Kalau begitu, sinar cahaya semalam adalah semacam kabar siapa terhadap kita. -
Yudapati heran pula. Tetapi bukan karena merasa takut. Melainkan kagum kepada pemandangan alamnya yang indah. Baik letak bukit-bukitnya, ketinggian pohon, semak belukar dan hamparan ladangnya seperti ada yang mengatur. Kesannya serasi dan sedap dipandang mata.
Masakan wilayah seindah itu milik kaum yang dikabarkan tukang sihir, tukang tenung yang jahat?
Rasanya, tidak mungkin!
Sebab mengatur luas wilayah yang hampir tidak bertepi, jauh dan jauh lebih sulit daripada mengatur sebuah kebun. Meski pun demikian, wilayah yang tidak bertepi itu benar-benar merupakan karya seni seorang seniman besar setara Anggaraparna dewa kesenian Kahyangan Suralaya, pikir Yudapati di dalam hati.
- Kalau saja tidak memiliki rasa yang halus, mustahil dapat melahirkan karya
Pendapat Yudapati ini agaknya dibenarkan oleh Diatri Kama Ratih yang mengamati keadaan alam sekitarnya dengan rasa takjub. Dengan tiada jenuhnya ia melepaskan pandang ke arah jauh. Di sanalah terhampar ladang yang berwarna hijau semarak. Kemudian terdengar suara burung kian bersahut-sahutan.
- Aku tidak percaya bahwa di sekitar tempat ini tidak terdapat suatu pelabuhan yang ramai. ujarnya.
- Kalau begitu terdapat sebuah kota yang ramai pula. Apakah kita perlu mencari pelabuhan yang kau maksudkan? -
Diani tidak segera menjawab. Sambil berpikir menimbang-nimbang. ia tersenyum. Lalu menyahut:
- Kurasa tidak perlu. Lihat. Kusen sudah ketakutan
Yudapati berpaling dan melihat Kusen berdiri tegak mendengarkan pembicaraan mereka dengan wajah cemas . Melihat kesan itu, Yudapati memutuskan:
- Kita mendarat dengan mengenakan pakaian pelancong saja. Pakaian yang kau kenakan, masih cukup meyakinkan. Kalau perlu, kita beli lagi. Yang penting, mari kita geledah isi perut kapal ini! Barangkali kita mendapat petunjuk-petunjuk yang berguna.
Tanpa menunggu jawaban Diatri, Yudapati segera bekerja. Kapal Hari Sadana ternyata membawa persediaan makanan dan minuman tawar yang cukup. Terdapat pula barang-barang berharga dan uang. Selain mata uang emas, ia tidak menyentuh barang-barang itu. Lalu memerintahkan Kusen agar membawa kapalnya merapat ke tebung sungai.
- Engkau tidak berkeberatan. bukan? ujarnya.
Kusen tidak menjawab. Dengan berdiam diri, ia membongkar jangkarnya dan menepikan kapalnya. Hati-hati ia mengemudikannya dengan mengikuti arus air. Itulah sebabnya, kapal hanya bergerak pelahan-lahan. Yudapati dan Diatri dapat mengamati suasana seberang sungai secermat-cermatnya.
Tiba tiba mereka melihat berkelebatnya seorang pemuda berpakaian compang-camping. Di belakang punggungnya menggamblok sebuah bungkusan memanjang. Pastilah sebatang pedang atau golok. Dia berjalan dengan tergesa
gesa. Usianya tidak melebihi dua puluh lima tahun.
- Kita ikuti dia! -
Yudapati memutuskan. Lalu berkata kepada Kusen:
- kita akan mendarat dan engkau boleh membongkar kapalmu pulang ke kampung. -'
- Apa? Tuan nekad akan mendarat?
Kusen terbelalak heran.
Yudapati memanggut sambil mengulum senyum.
- Kalau begitu. hati-hati saja terhadap racun kaum Pasupata. -
- Terimakasih. -sahut Yudapati.
- Didalam kapal akan kau peroleh banyak barang-barang berharga dan beberapa keping uang. Ambil semua dan mudah-mudahan kau kelak menjadi seorang saudagar yang kaya raya.
Mendengar kata-kata Yudapati, Kusen berdebar-debar hatinya. Pikirnya,
- kalau aku bisa menjadi seorang saudagar bukankah aku bisa hidup enak?
Di dalam otak dan hatinya ia berbicara begitu, tetapi mulutnya membungkam. Betapa pun juga, ia memperoleh kesan manis terhadap dua penumpangnya itu. Kalau sampai menemui malapetaka, alangkah sayang.
Yudapati dan Diatri segera mendarat. Mereka tidak mau kehilangan jejak pemuda sebentar tadi. Setelah mengucapkan kata-kata perpisahan, mereka memasuki wilayah yang masih asing baginya. Seberang-menyeberang jalan yang dilalui penuh petak-petak pohon yang rimbun dan berkesan angker. Tidak lama kemudian mereka sudah berada di atas ketinggian mirip sebuah bukit. Dari atas ketinggian itu, mereka dapat melepaskan penglihatan sejauh mata memandang. Dugaan Diatri ternyata tepat. Di depan matanya nampak sebuah kota kecil tetapi makmur. Perumahannya teratur rapi. Apakah kota demikian adalah perumahan kaum Pasupata, pikir mereka tidak percaya.
- Aku tidak percaya bahwa mereka adalah kaum yang gemar meracun orang. kata Yudapati yakin.
- Kuharapkan demikian pula.
Diatri menimpali.
Tetapi setelah mendekati kota kecil itu mereka memperoleh kesan lain. Penghuni perkampungan yang berada di luar kota, tidak beda dengan penghuni-penghuni pedusunan yang terdapat di pulau Swamadwipa. Mereka hidup sebagai petani dan pedagang. Namun wajah mereka membayangkan rasa tidak tenteram. Entah apa sebabnya, inilah yang masih merupakan teka-teki besar.
Tiba di dalam kota itu, Diatri segera membeli pakaian baru yang berkesan mentereng. Setelah dikenakannya, ia berubah menjadi seorang pemuda cakap, agung dan kaya. Dan dengan mengenakan pakaian menterengnya itu, ia mendampingi Yudapati yang memasuki sebuah rumah makan bertingkat. Bentuk rumah makan itu, sebenarnya tidak berbeda jauh daripada perumahan penduduk di tepi sungai. Bedanya, kalau perumahan penduduk memiliki tiang penyangga berukuran tinggi. rumah makan itu berdinding papan yang diberi warna semarak.
Melihat mereka berpakaian mentereng, seorang pelayan segera menyambutnya dengan hormat. Mereka dibawa mendaki tangga seperti tangga kapal yang akan mencapai geladak atas. Demikian pulalah letak ruang rumah makan itu. Dalam ruang itu sudah terdapat beberapa orang yang duduk mengitari mejanya masing-masing. Di antaranya terdapat pemuda yang berpakaian compang-camping.
Yudapati memilih tempat duduk yang menghadap jendela besar. Dari jendela itu dapatlah ia melihat pemandangan lalu-lintas kota. Setelah mengamat-amati selintasan, perhatiannya tertuju kembali kepada pemuda berpakaian compang-camping.
Pemuda itu nampak mendongkol. Agaknya. karena
pakaiannya itu ia tidak dihampiri pelayan rumah makan semenjak tadi. Tamu-tamu lainnya yang berpakaian mentereng. sikapnya tiada beda dengan si pelayan terhadap pemuda itu. Mereka tidak mengacuhkan. Berlagak congkak dan meremehkan. Tiba-tiba terdengar suatu keributan di bawah. Yudapati dan Diatri melongok ke bawah melalui jendela.
Mereka melihat seorang wanita dengan rambut terurai awut-awutan. Pakaian dan mukanya berlepotan darah. Dengan membawa sebatang pisau di tangannya, ia menandak-nandak di tengah jalan. Kadang menangis panjang. kadang tertawa terkekeh-kekeh. Pemuda yang berpakaian compang-camping itu, melongok pula ke bawah. Melihat tingkah-laku perempuan itu, ia berkata pendek kepada dirinya sendiri:
- Ah, perempuan gila. Tetapi mengapa menari-nari di depan sini? - '
Lalu-lintas terhenti. Belasan orang menonton di pinggir jalan. Ada yang merasa iba, ada pula yang ketakutan. Namun mereka tidak berbuat sesuatu, selain menonton saja. Tiba-tiba perempuan gila itu menuding papan nama restoran yang berbunyi:
"Sabar Menanti".
Lalu tertawa terpingkal-pingkal. Selang beberapa saat, dia berteriak nyaring: .
- Tuanku Koloan! Aku doakan semoga engkau hidup kaya dan makmur seratus tahun lagi. Aku akan berlutut di depan rumah makanmu, agar Hyang Widdhi Wisesa melindungimu. Hidup tuanku Koloan! Hiha haha . . . -
Setelah berteriak demikian, benar-benar ia berlutut menghadap pintu masuk. Lalu membenturkan kepalanya pada tanah dan tangga masuk. Tentu saja dahinya jadi berdarah. Namun hal itu sama sekali tidak dihiraukannya.
- Koloan! Koloan! teriaknya.
- Engkau seorang tuan tanah. Engkau orang kaya raya. Di waktu malam.
engkau memperoleh segantang mas. Di siang hari engkau mendapat selusin perak. Moga-moga engkau mempunyai seribu anak cucu...eh...seribu lima ratus tambah setengah...hihahaaa...
Dari dalam rumah makan ruangan bawah sekonyong konyong muncul seorang laki-laki berperawakan tinggi kurus menghisap pipa panjang. Pakaian yang dikenakan mirip seorang pembesar negeri. Dia diikuti oleh dua orang pelayan. Kalau begitu, mestinya dialah pemilik rumah makan Sabar Menanti.
- Ubruk! -bentaknya kepada perempuan gila itu.
- Apa kerjamu di sini? Jangan mengacau! Pergi! -
Si wanita gila yang bernama Ubruk itu, tidak menggubris bentakannya. Masih saja ia berlutut sambil membentur-benturkan kepalanya. Tetapi kali ini ia menangis panjang dan pendek. Pemilik rumah makan yang bernama Koloan kemudian memerintahkan dua orang pelayannya untuk menggusur si Ubruk.
Dua pelayan yang berada di belakangnya berperawakan besar tinggi. Dengan serta merta, mereka menubruk si Ubruk. Yang seorang merampas pisaunya dan lainnya menendangnya sampai jungkir-balik. Perempuan gila kelihatan heran. Ia ternganga sejenak. Tiba-tiba meninju dadanya sendiri berulang kali. Lalu melolong-lolong sambil berteriak setengah mengumpat:
- 0. mustikaku! 0 anakku, sayang . . . kematianmu sungguh menyedihkan. Engkau bukan pencuri! Bukan pula perampok atau penipu. Tetapi mengapa engkau sampai mati disiksa orang? -
- Kubacok kau! Bisa diam, tidak? bentak pelayan yang merampas pisaunya.
Tetapi Ubruk tidak menggubris ancamannya. Ia bahkan menangis melolong-lolong, makin lama makin nyaring.
Koloan pemilik rumah makan Sabar Menanti, mendongakkan kepalanya ingin melihat kesan tetamu-tetamunya. Mereka semua memperhatikan rasa tidak senang. Memperoleh penglihatan demikian, ia menyedot pipanya dalam dalam. lalu mengepulkan asapnya. Setelah itu, dengan langkah seorang pembesar negeri ia memasuki pintu rumah dalam. Kedua pelayannya segera mengikuti pula masuk ke dalam.
Pemuda yang berpakaian compang-camping nampak gelisah. Menyaksikan dua pelayan yang berperawakan kekar menghajar seorang perempuan gila, ia jadi tak senang. Menurut gejolak hatinya, ingin saja ia menghajarnya. Syukur, masih dapat ia menahan diri. Tetapi dengan begitu, ia duduk tidak tenteram di atas kursinya. Tiba-tiba ia mendengar pembicaraan dua tetamu yang duduk di sebelahnya.
- Dalam hal ini, tindakan Koloan keterlaluan. ujar yang berperawakan gemuk dengan suara setengah berbisik.
- Dia merasa tak enak sendiri setelah menewaskan anak perempuan itu dengan gencetannya.
- Jangan tergesa-gesa menyalahkan Koloan dulu! yang lain memperingatkan.
Dia berperawakan agak tipis.
- Siapa pun yang merasa kehilangan barangnya, akan berdaya untuk mengusutnya. Demikian pulalah yang dilakukan Koloan. Koloan hanya memerintahkan menggencet anak perempuan itu. Tetapi perempuan gila itu sok suci. Untuk membuktikan bahwa anaknya bersih dari tuduhan, ia membedah perut anaknya. Siapa yang suruh membedah perut anaknya?
- Tetapi perut anak itu dibedah setelah mati tergencet
dulu. -
Sampai di sini, pemuda itu tidak dapat lagi menahan kesabarannya. Ia menoleh. Dan kedua orang itu buru buru
membungkam mulutnya. Ternyata. mereka berdua adalah saudagar. Karena itu, mengenakan pakaian mahal. Artinya, mereka termasuk pedagang kaya.
Pemuda itu tahu, apa sebab mereka mendadak membungkam mulutnya. Kaum saudagar paling segan membicarakan sesuatu yang bukan urusannya. Karena itu, tidak mungkin mereka akan memberi keterangan lebih banyak lagi tentang peristiwa yang sedang dibicarakannya, manakala diminta untuk memperjelas. Padahal pemuda itu ingin mengetahui lebih banyak lagi. Tetapi dia tidak kekurangan akal. Terus saja ia berdiri dari kursinya dan menghampiri dengan membungkuk hormat. Katanya ramah:
- Kita dulu pernah bertemu di Keritang, bukan? Semenjak kita berpisahan dulu, baru hari ini kita bertemu kembali. Entah selang berapa tahun. Apakah saudara masih ingat? Eh, bagaimana keadaan saudara berdua? Banyak mendapat keuntungan
Tentu saja mereka berdua saling pandang dengan ternganga. Sebab, belum pernah mereka berdua bertemu atau bertatap muka dengan pemuda itu.
- Siapa dia, pikir mereka.
Tetapi tiap pedagang bersikap ramah dan sopan terhadap siapa pun. Maka itu segera mereka memperbaiki diri dan membalas hormat pemuda itu dengan ramah. Sahutnya dengan tertawa lebar:
- Baik, baik . . . kita baik-baik saja. Terima kasih.
- Kali ini aku datang ke Pane membawa selaksa keping mata uang. ujar pemuda itu.
- Tujuanku hanya untuk mengadu untung. Sst. tetapi jangan bilang siapa pun. bahwa kedatanganku sesungguhnya bermaksud mencari barang yang ada untungnya. Tetapi karena aku orang asing dan tidak mempunyai seorang teman pun di kota Pane. jadinya seperti sekarang ini. Aku sengaja berpakaian butut supaya dapat memperoleh teman. Tetap saja aku tidak
berhasil. Sekarang sungguh kebetulan aku bertemu Tuan. Tentunya saudara berdua sudi menolong . . . -
Mendengar pemuda itu menyebut jumlah uang selaksa (10.000). wajah dua orang itu berubah seketika. Mereka nampak berseri-seri dan tidak lagi menghiraukan pakaian yang dikenakan pemuda itu. Sahutnya berbareng:
- Tentu, tentu, benar. Masakan kami tidak mau menolong. Silakan pindah saja ke meja kami!
Apa yang terjadi dalam ruang rumah makan itu tidak luput dari pengamatan Yudapati dan Diatri. Seperti saling berjanji , mereka berdua ingin menyaksikan apa kelanjutannya,
Pemuda itu ternyata tidak segan-segan lagi. Begitu dipersilakan, lantas saja ia berpindah tempat dan duduk di depan dua saudagar itu. Katanya:
- Sebentar tadi kalian berdua membicarakan perihal seseorang mencabut jiwa orang. Karena aku masih asing di sini, tolong beritahukan padaku siapa dia. Ya . . . agar aku dapat berjaga-jaga . . . ibarat bersedia payung sebelum hujan turun. Sebenarnya apa yang kalian maksudkan dengn istilah menggencet? -
Pemuda itu kemudian menghirup minuman yang disediakan. Lalu memasukkan sejumput kacang rebus yang sudah dikuliti ke dalam mulutnya. Dengan tenang ia memandang wajah dua saudagar itu yang menjadi pucat kebiru biruan. Selagi mereka hendak menolak, pemuda itu melencangkan kedua tangannya dan memijit tangan mereka berdua. Hampir berbareng, kedua saudagar itu memekik tertahan. Wajah mereka bertambah menjadi pucat. Beberapa tetamu dan pelayan berpaling ke arah mereka. Dan pemuda itu buru-buru menelan kacang yang sudah terkunyah halus dalam mulutnya.
- Tertawalah! -bentak pemuda itu dengan suara perlahan. Kedua saudagar itu tidak berani membantah perintahnya. Segera mereka tertawa sebisa-bisanya. Melihat bahwa tidak terjadi sesuatu, para tetamu dan pelayan melanjutkan kesibukannya masing-masing. Yang lagi makan, kembali makan. Yang lagi meneguk minuman, kembali meneguk minumannya. Mereka tidak menaruh perhatian lagi. Pelayan-pelayan pun melanjutkan tugasnya masing-masing.
Sebaliknya sekujur badan kedua saudagar itu berkeringatan dingin. Tangan mereka nyeri seperti terjepit-jepitan besi. Dalam pada itu, sang pemuda berkata lagi:
- Kalian tahu, sesungguhnya siapakah aku? Dahulu aku seorang bangsat. Kerjaku merampok, menyamun, merompak dan membunuh. Namaku Pataliputra. Sekarang, aku sudah menjadi orang baik. Ingin hidup seperti kalian. Berusaha secara halal. Aku perlu uang sebanyak sepuluh ribu untuk membeli barang mustika. Maka aku ingin meminjam dari kalian, masing-masing lima ribu. Bagaimana? -
Mendengar maksud pemuda itu, mereka berdua terperanjat. Seperti sedang berlomba mereka menyahut hampir berbareng:
- tetapi . . . tetapi uang sebanyak itu tidak kupunyai . . .
Pemuda itu yang mengaku diri bernama Pataliputra berpikir sejenak. Lalu memutuskan:
- Baiklah. Tetapi kalian berdua harus menceritakan tentang orang yang dipanggil Koloan yang kabarnya membunuh anak dengan menggencet. Siapa yang dapat memberi keterangan kepadaku lebih jelas, akan kubebaskan dari kewajiban memberi pinjaman uang kepadaku. Aku akan mencari orang lain sebagai gantinya. -
- Baiklah. baiklah . . . - mereka menjawab lagi dengan berebut.
Yudapati dan Diatri yang ikut mendengarkan pembicaraan mereka tersenyum geli. Pemuda itu cerdik, pikir Yudapati di dalam hati.
- Tetapi apa yang dimaksudkan dengan barang mustika? Apakah bukan kotak emasnya yang dibawa lari Getah Banjaran? Atau hanya mereka reka saja? Sementara itu, si gemuk yang agaknya lebih pandai berbicara daripada kawannya yang berperawakan kurus, segera berkata:
- Aku bernama Bidar.Aku...
- Siapa yang menyuruhmu berbicara? ,bentak Pataliputra.
- Engkau boleh membuka mulutmu atas perintah -
- Ya.ya,ya...tetapi maksudku...
- Nah berbicaralah! potong Pataliputra.
- Tetapi ingat! Siapa yang ceritanya kurang jelas, harus meminjamkan uang kepadaku. Yang kurus ini. siapa ?
- Aku? sahut yang kurus dengan suara gap-gap. Namaku Kalikut.
- Bagus! Kau pun harus bercerita. Nanti akan kubandingkan. Seperti kataku tadi, siapa yang kurang jelas harus meminjamkan uangnya kepadaku. Jelas?
Baik Bidar maupun Kalikut cepat-cepat memanggut. Dan berkatalah Pataliputra memberi perintah:
- Bidar yang mulai dahulu!
Setelah memerintah demikian, Pataliputra meletakkan bungkusannya di atas meja. Dengan hati-hati ia membukanya dan terlihatlah sebatang golok yang berkeredep.
- Ini golok mustika. -katanya pelahan.
- Lihatlah! Terdapat belasan berlian sebesar ibu jarimu.
Setelah berkata demikian, ia mengambil cawan minuman yang terbuat dari perak. Cawan itu kemudian dipukulkan kepala mata golok dan terbelah dengan mudah menjadi dua bagian.
- Tajam. kan? katanya lagi.
- Golok ini entah sudah berapa kali memotong leher orang. Mungkin seratus, mungkin dua ratus orang. Hai Bidar. mengapa engkau tidak mulai? -
- Bukankah aku sedang mendengarkan kata-katamu? -
Bidar gugup.
- Siapa yang menyuruh mendengarkan ceritaku? - bentak Pataliputra.
Bidar dan Kalikut saling pandang dengan wajah berubah ubah. Jelas sekali, mereka sedang menghadapi seorang pemuda yang berwatak angin-anginan. Orang yang berwatak angin-anginan bisa jadi kejam dengan mendadak. Sebaliknya Pataliputra tidak menghiraukan apa kesan mereka terhadapnya .Setelah membentak, dengan hati-hati ia membungkus golok mustikanya kembali.
- Tuan muda, jangan khawatir. Aku akan menceritakan semua dengan sejelas-jelsnya. Tanggung . . . tanggung lebih jelas daripada dia . . . -ujar Bidar mengambil hati.
- Belum tentu! tangkis Kalikut si kurus
- Berilah aku kesempatan. Biarlah aku yang bercerita lebih dulu. -
- Diam! -bentak Pataliputra.
- Aku ingin mendengarkan ceritanya dahulu. Baru engkau! Mengerti?
- Baik, baik. . . baik. sahut Kalikut dengan ketakutan.
- Enak saja engkau bilang baik, baik . . . kau harus kuhukum karena melanggar perintahku. bentak Pataliputra dengan suara menyeramkan.
Semangat Kalikut terbang, sedang Bidar kelihatan puas sekali. Selagi hendak mulai bercerita, Pataliputra menggerendeng:
- Bukan begini cara orang menghormati tetamu. Makanannya tidak enak. Araknya tawar pula. Perintahkan pelayan menyediakan makanan dan minuman nomor satu. Kau terima atau tidak hukumanku ini?
Mendengar bunyi hukuman yang ringan itu, Kalikut bersyukur bukan main. Terus saja ia memerintah pelayan
pelayan menyediakan permintaan Pataliputra dengan suara gegap gempita. Semuanya dialah yang membayar.
Beberapa pelayan sebenarnya heran. sewaktu pemuda butut itu pindah ke meja Bidar dan Kalikut. Tetapi mendengar pesanan istimewa itu, mereka girang dan tidak menghiraukan lagi pakaian Pataliputra. Pokoknya pesanan itu membuat jumlah keuntungan jadi berlipat ganda. Tak peduli apakah akan dimakan iblis atau anjing.
Dalam pada itu, Yudapati melongok ke bawah lagi melalui jendela di sampingnya. Perempuan gila yang bernama Ubruk, masih saja belum meninggalkan rumah makan. Hanya saja ia kini duduk dengan terlongong-longong di seberang jalanan. Pandang matanya terarah kepada pintu masuk sambil berdoa panjang dan pendek.
- Tuan muda. kata Bidar.
- Biarlah aku mulai. Tetapi kuharap agar tuan muda merahasiakan ceritaku ini. Kalau sampai terdengar orang lain . . .
- Kalau takut, biarlah dia yang bercerita. tungkas Pataliputra seraya berpaling kepada Kalikut.
- Baik, baik . . . aku sekarang mulai . . . teriak Bidar khawatir.
- Orang yang biasa dipanggil Koloan sebenarnya bernama Langkasuta. Artinya tidak punya anak. Karena itu perlu mempunyai isteri sebanyak-banyaknya. Dialah orang yang terkaya di kota Pane ini. Ada pun gelarnya atau julukannya . . .
- Singarakta atau Singa Merah.
Kalikut mendahului.
- Siapa suruh engkau berbicara? bentak Pataliputra dengan wajah merah padam.
Kalikut menundukkan kepalanya dan tidak berani membuka mulutnya lagi. Dan Bidar melanjutkan ceritanya:
- Di kota ini, ia membuka rumah gadai besar yang dinamakannva Rumah Kesejahteraan Rakyat. Di samping
itu ia memiliki rumah makan ini dan sebuah tempat Rumah perjudian dan rumah pelacuran yang diberinya nama Rumah Kebudayaan Umat Manusia. Karena uangnya ia mempunyai pengaruh, baik terhadap penguasa pemerintahan maupun Kaum Pasupata. Selain itu, ia pandai berkelahi. Menurut kabar. ia mempunyai Ilmu Kepandaian yang disegani para pendekar.
- Sebentar. potong Pataliputra.
- Engkau menyebut nyebut nama Kaum Pasupata. Apakah wilayah ini berada di bawah pengaruh Kaum Pasupata? -
- Apakah tuan muda tidak mengetahui, bahwa wilayah ini semenjak ribuan tahun yang lalu berada di bawah pengawasan Kaum Pasupata turun temurun? Wilayahnya membentang luas. Dari barat ke Timur. Dari Utara ke Selatan. Kabarnya Langkasuta ,alias Koloan termasuk salah seorang Ketua cabangnya. Banyak ia menerima upeti upeti dari ketua-ketua lainnya. Tetapi hal itu tidak kumengerti dengan jelas. Sebab pembagian rejeki demikan adalah tata-tertib suatu kaum yang tidak boleh jadi pembicaraan umum. -
- Baik, aku mengerti. -tungkas Pataliputra.
- Jadi ringkasnya, Langkasuta tidak hanya kaya raya saja tetapi seorang perampok besar pula. -
Bidar menyiratkan pandang kepada Kalikut. Mereka berdua saling pandang. Mengingat Pataliputra tadi mengaku pernah menjadi seorang perampok, maka untuk mengamini hatinya. berkatalah Bidar:
- Benar . . tetapi dia termasuk rekan tuan muda juga. Jadi... tidak berani aku...
Pataliputra agaknya dapat membaca pikiran mereka. Lalu berkata seraya tertawa: -
- Belum tentu orang sepencarian mesti bersahabat. Sebaliknya bisa jadi bermusuhan. Aku sendiri bukan sahabat atau rekan langkasuta. Nah katakanlah dengan sebenarnya. Kalau dia jahat katakan dia jahat. Kalau baik. katakan baik! Tak usah engkau menutup-nutupi! Apakah engkau higin menerima hukumanku?
- Oh tidak. tidak . . . sama sekali tidak. sahut Bidar cepat-cepat. lalu melanjutkan:
- gedung Langkasuta sangat mewah dan mentereng. Halamannya pun cukup luas dan lebar. Tetapi baru-baru ini, ia ingin mendirikan sebuah gedung lagi bagi isterinya yang kedua belas. Gedung itu katanya akan diberinya nama: Gedung Gading. Tetapi karena isterinya yang ke dua belas itu kabarnya sangat cantik dan membangunkan rasa sirik isteri-isterinya yang lain. maka gedung itu harus terpisah dari lain lainnya. Setelah berputar-putar sekeliling halaman rumahnya ia tertarik kepada kebun sayur keluarga Puge.
- Siapakah Puge itu? potong Pataliputra.
- Suami Ubruk perempuan gila itu.
Bidar memberi keterangan.
- Oh begitu? Teruskan! -
- Kebun sayur itu adalah warisan kakek moyangnya. Luasnya kira-kira hanya tiga atau empat bahu (satu bau: 500 tombak persegi ( 7096,5 m2).Bagi keluarga Puge menjadi sumber makan minumnya, karena hanya kebun itulah milik satu-satunya untuk menghidupi keluarganya yang berjumlah empat orang.
- Jadi anak Puge berjumlah dua?
- Benar. Si Page dan si Pagu. -
- Jelasnya: Puge, Ubruk, Page dan Pagu?
- Benar. Page berumur sebelas atau dua belas tahun. Sedangkan Pagu baru saja belajar berbicara. Jadi masih cadel. -
- He-e. lalu?
- Langkasu kemudian memanggil Puge dan Ubruk
menghadap padanya. Ia mengabarkan maksudnya mau membeli kebun sayurnya. Dia menawar lima keping (keping: baca rupiah). Tentu saja Puge menolak penawaran itu. Masakan kebun seluas itu hanya dihargai lima keping? Langkasuta mau mengerti. Lalu ditawar sampai seharga: sepuluh keping. Masih saja Puge dan Ubruk menolak.
- Sebentar! Menurut pendapatmu berapa harga kebun sayur keluarga Page? -
Pataliputra minta pendapatnya.
- Aku seorang pedagang, tuan muda. Paling berani seharga seratus atau dua ratus. Kalau kujual lagi, bisa untung dua puluh lima sampai empat puluh keping.
- Jadi penawaran langkasuta hanya sepersepuluh atau seperdua puluhnya? -
Pataliputra menegas.
- Benar. jawab Bidar dengan tegas.
- Puge sendiri berkata, kebun sayurnya tidak akan dijualnya meski pun ditawar dua ratus keping. Sebab uang mudah habis. Sebaliknya kebun sayur tidak akan habis dimakan. Asal saja masih bertenaga, bisa mengolahnya dan hasilnya bisa dibuat menghidupi keluarganya. Langkasuta marah dan mengusir suami-isteri Puge. lalu muncullah suatu peristiwa yang baru saja terjadi kemarin pagi. Peristiwa babi. ia berhenti mencari kesan. Meneruskan:
- Di pekarangan belakang, Langkasuta memelihara Babi. Kemarin di pagi hari ia kehilangan seekor babinya. Seluruh bujangnya dikumpulkan untuk mempertanggung jawabkan hilangnya babi itu. Mereka seia-sekata dan menuduh bahwa babi itu ditangkap keluarga Puge. Yang menangkap si Page, anak Puge yang berumur dua belas tahun. lalu dimakan bersama adiknya. langkasuta lalu memanggil kepala polisi Pane dan diajak melacak. Sampai di tengah kebun sayur, terdapat ceceran darah dan kulit babi yang berceceran. Karena bukti sudah diperoleh. Puge kemudian ditangkap. Peristiwa itu merupakan malapetaka besar bagi keluarga
Page. Ubruk yang baru saja datang dari pasar pontang panting mencoba mengejar polisi yang menangkap suaminya. Dengan rambut awut-awutan ia berteriak bahwa keluarganya tidak mungkin mencuri babi. Sedang demikian datanglah berita bahwa kedua anaknya ditangkap langkasuta. Di depan bujang-bujang dan pelayannya ia memancing si kecil Pagu yang masih cadel. Tanyanya dengan ramah: "Hai Pagu! Pagi tadi kau makan apa?" Pagu yang masih cadel menjawab dengan gembira: "Bi . . . bi . . . bi. . ." Tepat pada saat itu, datanglah Ubruk mencari anaknya. langkasuta kemudian menggebrak meja sambil membentak: "lihat, anakmu sendiri mengaku makan babi." Dengan merah padam Ubruk membantah: "Mustahil. Keluarga kami makan ubi di pagi hari." Mendengar bantahan Ubruk, langkasuta naik darah. Terus saja ia menendang Ubruk sampai berjungkir balik beberapa kali. Kemudian Ubruk lari mencari keadilan ke kantor polisi. Maksudnya hendak mengadu perlakuan langkasuta yang semena-mena. Tetapi Kepala Polisi sudah makan suap Langkasuta. Ubruk ditangkap, dikompes, digencet dengan tanggem. Akibatnya ia seperti berubah ingatan. Sebab ia tidak hanya merasa kehilangan suaminya saja, juga kedua anaknya yang digencet pula oleh langkasuta di rumahnya. Karena Ubruk sudah setengah lumpuh dan berubah ingatan, akhirnya polisi membebaskannya. Dan dengan susah payah masih bisa Ubruk menengok suaminya di dalam penjara. Ternyata suaminya berlepotan darah. Sekujur badannya babak belur dan sudah tidak dapat berbicara jelas seperti biasanya. "Jang. . .an jual...jangan...jual...tidak...curi..." serunya dengan suara tidak jelas.
Ubruk jadi mata gelap. Dalam benaknya ia teringat kepada nasib kedua anaknya. Segera ia lari ke rumah langkasuta ternyata sikecil Pagu sudah kaku. Kedua pergelangan tangannya retak. sedang si Page yang berumur 12 tahun kabarnya dapat melarikan diri. Dengan menangis menggerung-gerung ia membawa si Pagu pulang. Kemudian dengan membawa sebilah pisau, ia memanggil tetangga tetangganya. Di depan mereka, ia ingin membuktikan bahwa tuduhan langkasuta tidak benar lalu membedah perut si Pagu dan memperlihatkan isi perutnya kepada orang orang yang menyaksikan. Ternyata perutnya hanya berisikan lumatan Ubi. Sama sekali tidak terdapat secuwil daging babi.
"He, he, heee . . . mengapa perut anakmu kau bedah?" seru tetangganya beramai-ramai. Jawabnya: "Kepala polisi sudah kena disuap Koloan. Karena itu aku hendak mohon pengadilan dewa-dewa yang bertahta di Kahyangan . . ." Lalu ia melumuri sekujur badannya dengan darah anaknya.
Sampai di sini Bidar berhenti. Ia begitu bersemangat sampai tenggorokannya terasa kering. Maka ia perlu meneguk seteguk minuman. Pataliputra yang mendengarkan cerita Bidar dengan sungguh-sungguh, berkerut-kerut wajahnya. Bahkan Yudapati dan Diatri yang ikut mendengarkan, menggeridik bulu tengkuknya. Tiba-tiba Pataliputra tidak dapat menahan rasa marahnya. Dengan tinjunya ia menumbuk alas meja, sehingga piring dan mangkok mangkok pecah berhamburan.
- Apakah benar begitu kejadiannya? ia menegas dengan mata berputaran.
Melihat keangkeran Pataliputra,kedua saudagar itu menggigil ketakutan. Dengan suara bergemetar Bidar menyahut:
- Apa yang kukatakan ini. tidak menyimpang jauh dari peristiwa sebenarnya.
Pataliputra bangkit dari kursinya. Dengan sebelah kaki
berdiri diatas papan loteng dan yang sebelah diatas bangku.Sekonyong-konyong ia menghunus goloknya dan ditancapkan di atas meja. Bentaknya dengan suara bergelora:
- Teruskan ceritamu!
- Tetapi. . . ke ..kejadian itu . tak ada ...sangkut pautnya dengan kami berdua... sahut Bidar dengan suara patah-patah. '
Wajah Pataliputra yang bengis itu menakutkan sebagian besar tetamu rumah makan. Yang berhati kecil cepat cepat menghabiskan makanan dan minumannya. Kemudian dengan diam-diam turun tangga. Sedangkan para pelayan yang tentunya adalah anak-buah Langkasuta, hanya menyaksikan dari jauh. Mereka tidak berani mendekati. Barangkali takut kena salah.
- Bidar! -bentak Pataliputra.
- Apakah Koloan tidak bisa berpikir, bahwa babi itu tidak mungkin ditelan seorang anak berumur tiga tahunan?
- Bagaimana aku tahu jalan pikirannya?
- Apakah di dalam perut si bocah tidak terdapat sekerat daging babi?
- Tidak! Yang terdapat hanyalah lumatan ubi. Keluarga Puge sangat miskin. Page sendiri kurus kering tak ubah ubi yang dimakan anak-anaknya. Si Pagu yang cadel tidak dapat mengucapkan kata-kata ubi dengan jelas. Dia hanya berkata bi, bi, bi. Maksudnya tentunya ubi ,. . . ubi . . - ubi. Sungguh kasihan . . : anak itu mengalami nasib begitu buruk. Dia mati tergencet tanpa mengerti apa dosanya. Peristiwa inilah yang barangkali membuat ibunya jadi gila
- Di gedung manakah tempat kediaman Langkasuta?
Pataliputra minta keterangan.
Sebelum Bidar sempat menjawab, terdengar suara salak anjing dari jauh. Salak anjing yang bersahut-sahutan hampir
berbareng. Dan mendengar keriuhan salak beberapa anjing itu, wajah Kalikut berubah menjadi pucat. Dengan menghela nafas ia berkata setengah ketakutan setengah mengutuk:
- Gila! Benar benar gila!
Pataliputra berpaling kepadanya. Lalu menegas:
- Ada apa lagi? --
- Itulah antek-antek Koloan yang membawa barisan anjingnya untuk mengubar-ubar si Page yang kemarin dapat melarikan diri. -
Mendengar keterangan Kalikut si saudagar kurus itu, tak dapat lagi Pataliputra menahan diri. Dengan nafas memburu ia berkata:
- Bukankah mereka sudah merenggut jiwa adiknya? Mengapa masih mengubar-ubar kakaknya? Apakah masih merasa kurang?
- Menurut Langkasuta yang makan babinya dua anak itu. Sewaktu Page dianiaya, salah seorang pelayan langkasuta berhasil membebaskannya dengan diam-diam. Kemudian membisiki agar bersembunyi di mana saja asal selamat. Hari ini antek-antek Langkasuta yang ingin mengambil hati majikannya, mulai melacaknya dengan membawa barisan anjingnya.
Pataliputra menurunkan sebelah kakinya yang tadi ditompangkan di atas bangku. lalu berkata:
- Aku puas mendengar ceritamu. Maka kubebaskan kalian berdua wajib meminjamiku selaksa keping. Aku akan minta ganti kepada Koloan. -
Setelah berkata demikian, ia meneguk araknya sampai habis. Dalam sekejap saia ia mengeringkan tiga mangkok berturut-turut. Kemudian berteriak kepada para pelayan agar datang membawa seguci arak lagi.
Pada saat itu. Yudapati dan Diatri melemparkan pandangnya ke arah jalan. Beberapa saat kemudian suara salak anjing menjadi makin lantang membisingkan. Suara gerakan kakinya mulai terdengar memantul di ujung jalan. Yudapati dan Diatri melihat seorang anak berumur dua belas tahun kabur dengan sekuat tenaganya. Pakaiannya compang-camping berlepotan darah. Kira-kira delapan tombak di belakangnya belasan anjing mengubarnya dengan salak geramnya yang menyeramkan.
Waktu itu, si bocah yang bernama Page nampak sudah lelah sekali. Bekas gigitan anjing yang melukai kedua kaki dan tangannya terus mengucurkan darah. Melihat ibunya yang duduk terpekur di tepi jalan, ia berteriak dengan nafas bersengal-sengal:
- Ibu...!Ibu...!
Dan begitu tiba di depan ibunya, tiba-tiba ia kehilangan tenaganya. Kedua lututnya lemas dan ia jatuh menungkrap dengan menangis sekeras-kerasnya. Sekali-kali ia memanggil-manggil ibunya dengan suara parau.
Meski pun sudah gila, tiba-tiba ingatannya terbangun begitu tersentak oleh suara anaknya. Dengan sekali melompat, ia menghadang di tengah jalan dengan maksud melindungi anaknya. Oleh dorongan rasa naluriahnya, ia berdiri tegak bagaikan Juru Selamat dengan mengepalkan tinjunya. Pandang matanya menyala sehingga nampak angker di antara rambutnya yang bereyapan.
Belasan anjing yang menguber si anak adalah anjing buru. Binatang itu selain menakutkan, memang galak dan ganas bukan main. Jangan lagi berhadapan dengan manusia, sedangkan terhadap harimau sekalipun mereka berani menyerang dengan tidak menghiraukan akibatnya.
Tetapi aneh!
Begitu melihat keangkeraan Ubruk, mereka kelihatan ragu-ragu. Mereka hanya-menyalak-nyalak nyaring saja.
- Hayo tubruk! Tubruk! -antek-antek Langkasuta berseru seru memberikan semangat tempur. Dan oleh seruan mereka, dua ekor anjing melompat menerkam Page. Ibunya melompat sambil berteriak menelungkupi tubuh anaknya. Kedua anjing itu gagal menerkam sasarannya. Sekarang beralih kepada ibunya. Yang satu menggigit pundaknya dan yang lain menggigit pantatnya. Setelah berkutat beberapa saat, yang satu kurang puas. Melihat lutut Page yang tidak terlindung, segera ia menyerang dan merobek-robek kulitnya
Keruan saja Ibu dan Si anak berteriak-teriak kesakitan. Sebaliknya sekalian antek-antek langkasuta beramai-ramai memberi semangat tempur kepada anjing-anjingnya yang lain.
Merasa sakit, Page melepaskan diri dari pelukan ibunya. Kemudian dengan geram ia hendak membalas dendam. Dengan kedua tinjunya ia menggebuki anjing-anjing sejadi-jadinya. Tentu saja dia lantas jadi sasaran utama. Belasan anjing datang mengeroyoknya.
Lalu lintas terhenti seketika. Puluhan orang datang berlarian untuk menyaksikan peristiwa itu. Tetapi tiada seorangpun yang berusaha untuk mengulurkan tangan. Mungkin sekali merasa takut menghadapi belasan anjing galak dan jeri kepada kebuasan Langkasuta yang pasti akan menuntut kehadirannya.
Menyaksikan hal itu, Diatri bergerak hendak menolong. Akan tetapi Yudapati segera mencegahnya. Bisiknya:
- Sst. lihatlah adik itu! Diapun masih bisa menguasai diri. Niscaya ada hal-hal tertentu yang sedang diperhitungkan.
Dugaan Yudapati memang tepat. Pada waktu itu, Pataliputra sedang mencari bukti benar tidaknya cerita si Bidar dan Kalikut. Ia tidak mau sembarangan turun
tangan. karena khawatir salah tangan. Cerita Bidar sebentar tadi sudah membangkitkan rasa marahnya. Tetapi setelah mendengar cerita Kalikut tentang belasan anjing buru yang menguber-uber seorang anak belasan tahun , timbul keraguannya.
Apakah benar di dunia ini terdapat orang begitu kejam?
Tetapi sekarang ia membuktikan kebenaran tutur-kata Kalikut. Seketika itu juga, hilanglah kesangsiannya.
Diam-diam ia menjumput piring dan diremasnya menjadi beberapa keping. Tatkala jiwa Ubruk dan Page dalam bahaya, ia melayangkan beberapa kepingan piring dengan mengerahkan himpunan tenaga saktinya. Beberapa detik kemudian terdengar kawanan anjing itu mengiang-iang. Enam ekor di antaranya roboh terguling dengan kepala berlobang. Lainnya mundur dengan serentak dan menggeram dengan bengis. Nalurinya membisiki, bahwa ada bahaya yang mengancam jiwanya.
Sekali lagi, Pataliputra menimpukkan senjatanya yang istimewa dari loteng. Sekarang, pecahan piring itu menancap pada tiga ekor anjing yang roboh tanpa sempat mengiang. Sisanya melompat mundur dan lari berserabutan dengan mengempit ekornya.
Antek-antek Langkasuta yang mengerahkan barisan anjing, berjumlah enam orang. Mereka biasa main gertak dan menakut-nakuti orang dengan mengandalkan pengaruh majikannya. Itulah sebabnya seringkali mereka berlaku sewenang-wenang terhadap penduduk. Sekarang, mereka menyaksikan sembilan ekor anjing andalannya mati disambit orang. Keruan saja mereka berjingkrak karena marahnya. Dengan mata berapi-api mereka mendongak mengawaskan jendela loteng.
- Hei! Siapa yang berani berlagak jagoan di kota Pane? Kau harus mengganti jiwa sembilan anjing milik tuanku langkasuta dengan jiwamu sendiri, keparat! teriak pemimpin antek Langkasuta.
Ia berperawakan tinggi besar. Wajahnya menyeramkan. Bermata belok. beralis tebal dan berkumis panjang. Dengan menghunus golok di tangan kiri dan rantai besi di tangan kanan, ia memasuki ruang rumah makan dengan diikuti lima orang anak-buahnya yang bersenjata tajam pula.
Melihat gelagat yang tidak menyenangkan, para tamu lari berserabutan meninggalkan tempat duduknya. Ruang rumah makan lantas saja menjadi kacau. letak kursi, bangku dan meja tidak serapih tadi. Piring, cawan dan mangkok terbalik berserakan. Padahal rumah makan "Sabar Menanti" adalah satu-satunya rumah makan terbesar dan terapih di seluruh kota Pane. Pengunjungnya datang pergi tiada habis-habisnya. Tetapi pengunjung-pengunjungnya adalah orang-orang kaya, anak-anak orang kaya, para pembesar negeri atau perantau yang mempunyai uang. Golongan pengunjung ini di tempatkan di ruang atas. Sedang ruang bawah diperuntukkan bagi yang tidak mampu.
Meskipun terasa ada kepincangan yang menyakiti hati orang-orang yang tidak mampu, namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka semua tahu. bahwa pegawai rumah makan "Sabar Menanti" adalah kaki-tangan langkasuta. Mulai dari tukang masak, pelayan, bendahara sampai kepala rumah makan. Itulah sebabnya, begitu melihat keenam antek-antek Langkasuta menyerbu ruang atas, seluruh pegawai rumah makan lantas saja mengambil senjata andalannya masing-masing.
Pemimpin antek Langkasuta yang membawa senjata golok dan rantai itu, bernama Kudang. Dia membawa lima orang, bernama: Raguta. Sutti, Damang. Sobon dan Labo. Begitu tiba di atas loteng terus saja mengibaskan rantai besinya sambil membentak:
-Siapa dia yang berani lancang tangan? serahkan jiwamu!
Pataliputra tersenyum melihat lagak begundal-begundal langkasuta. Sama sekali ia tidak bergerak dari kursinya.Dengan menghela nafas ia mengamat-amati rantai yang bergemerincing di depan matanya. Lalu berkata:
- Kau mau memborgol orang? Kau alat negara?
Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
- Bangsat! Jadi engkau yang membunuh anjing-an .....
Belum lagi Kudang menyelesaikan makiannya, tanpa berkisar tempat .Pataliputra menggampar pipinya pulang balik. Kemudian dengan kedua jarinya ia menyelentik leher Kudang. Dan tiba-tiba saja Kudang yang galak tidak dapat bergerak lagi. Bahkan mulutnya tidak pandai berbicara lagi,
Sobon dan Labo tidak mengenal bahaya. Segera mereka menyerang dengan gololnya. Ternyata mereka mengenal jurus-jurus berkelahi. Pantas mereka berani menggertak penduduk dan menganiaya orang. Kalau begitu, semua anak-buah Langkasuta merangkap menjadi tukang pukul pula. pikir Pataliputra. Karena itu, ia tidak sudi memberi hati lagi. Dengan sekali menggerakkan tangannya, nasib Sobon dan Labo sama seperti Kundang. Mereka tegak berdiri menjadi arca yang pandai bernafas.
Raguta, Sutti dan Damang menjadi ketakutan. Tidak berani lagi mereka mengumbar adat. Raguta memutar tubuhnya dan melarikan diri. Sedang Sutti berseru-seru seperti orang kesurupan setan
- Muang Nat! Muang Nat! Ilmu siluman apakah ini?
Orang yang dipanggil dengan nama Muang Nat adalah pengurus rumah makan. Dia bukan sanak atau kerabat Langkasuta. Tetapi diangkat menjadi Kepala rumah makan "Sabar Menanti" karena pandai berpikir; Menyaksikan betapa sakti Pataliputra buru-buru ia menghampiri. Katanya sambil membungkuk hormat dua tiga kali:
- Sama sekali tak kuketahui. bahwa pada hari ini rumah makan kami dikunjungi seorang pendekar gagah. Ah, benar benar mataku lamur . . .
Tetapi Pataliputra tidak menggubrisnya. Melihat Raguta dan dua temannya hendak melarikan diri dari loteng dengan cepat ia memungut rantai Kundang dan disabetkan. Entah bagaimana cara dia menggerakkan rantai itu. Tahu-tahu keenam antek Langkasuta tergubat kedua belah kakinya. Dan begitu ditariknya, mereka roboh terjengkang seperti ayam kena serimpung Ujung rantai kemudian ditemalikan, sehingga keenam orang itu terbelenggu tak dapat berkutik lagi. Setelah itu, ia meneguk minumannya dengan nikmat.
Meskipun Pataliputra sudah memperlihatkan kepandaiannya, namun ia masih dikurung oleh seluruh pegawai rumah makan. Tetapi mereka tiada yang berani mendekat, kecuali memperlihatkan wajah beringas. Rupanya mereka menunggu aba aba Muang Nat. Mereka percaya pemuda itu tidakkan mungkin merobohkannya sekaligus.
- Hai! - tegur Pataliputra.
- Siapa namamu tadi? Muang Nat?
- Benar. sahut Muang Nat.
- Kau termasuk keluarga Langkasuta?
Pataliputra menegas sambil meneguk araknya lagi.
- Begitulah.
- Begitulah bagaimana?
- Secara kebetulan dia memperisterikan adikku, Jadi . . barangkali aku boleh disebut sebagai iparnya. Apakah tuan muda kenal iparku Langkasuta? -"
- Tidak. sahut Pataliputra dengan suara tegas.
- Panggil dia agar menemuiku! - ,
Muang Nat mendongkol diperlakukan sebagai budak. Namun wajahnya tetap berseri-seri. Katanya mencoba:
- Bolehkah aku mengenal nama tuan? Supaya . . , supaya aku bisa menjawab pertanyaan iparku Langkasuta.
- Apakah kau belum mendengar namaku? sahut Pataliputra dengan tertawa lebar.
- Dari mana aku tahu?
- Kau tuli atau tidak? -
- Tuli? Masakan aku tuli? Tidak! Sama sekali tidak! sahut Muang Nat dengan suara tinggi setengah mendongkol. '
- Bagua! Kau bisa mengingat ingat? -
- Mengapa tidak? -
- Bagus! Nah, dengarkan yang baik-baik. -
Pataliputra mendeham. Lalu dengan sekali tarikan nafas ia berkata:
- Namaku: Mamang Kalasuwardana Kumaha Tala Maha Swasembadha alias T.P.B.
Mendengar nama sepanjang itu, Muang Nat menjublak seperti kera kena getok kepalanya. Ia merasa seperti sedang dipermainkan. Akan tetapi kesan wajah Pataliputra bersungguh-sungguh. Itulah sebabnya, ia jadi berbimbang bimbang. Akhirnya menegas: '
- Alias T.P.B. Singkatan nama atau TePeBe benar benar? -
- Singkatan, karena namaku terlalu panjang. -
- Singkatan apa?
- Tukang Potong Babi. -
- Tukang Potong Babi? Apakah tuan muda mempunyai perusahaan memotong babi? -
- Bukan. Yang kupotong adalah babi-babi yang langka. Babi yang tidak mempunyai anak.
Sekarang jelaslah sudah bagi Muang Nat. .Jelas sekali pemuda itu mempermainkan dirinya juga menyindir majikannya.
Bukankah yang dimaksudkan dengan babi langka yang tidak punya anak adalah langkasuta?
Memperoleh kesimpulan demikian, terua saja ia melompat mundur selangkah. Kemudian menarik ikat pinggangnya yang ternyata berubah menjadi sebatang cemeti terbuat dari ekor gajah. Dua kali ia melecutkan cemetinya sebagai tanda perintah menyerbu terhadap sekalian pegawainya. Setelah itu, sambil melompat ia menghantamkan cemetinya. -
Terkesan oleh cerita Bidar dan Kalikut dan ditambah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri betapa sepakterjang budak-budak Langkasuta, Pataliputra sudah memutuskan hendak menghajar mereka tanpa segan-segan lagi. Begitu cemeti Muang Nat menyambar padanya, dengan mudah ia mengelak serta menangkapnya, ia menarik selagi Muang Nat jatuh berlutut lunglai di hadapannya seperti orang memohon pengampunan.
- Hai, hai, apa yang kau lakukan ini? Berdiri! Jangan berlebih-lebihan menghormati diriku! tegur Pataliputra dengan tertawa. ia merampas cambuknya dan dibuatnya melibat tubuh Muang Nat dan diikatkan ke kaki meja.
Melihat pemimpinnya kena tertelingkung dengan mudah, pegawai rumah-makan tidak berani beranjak dari tempatnya. Si Koki gemuk yang sudah terlanjur muncul dari pintu dapur dengan pisau pemotong daging, buru buru memutar tubuhnya. Mendadak saja ia dipanggil Pataliputra dengan suara menyeramkan:
- Hei, kemari! Siapa namamu? Hei. kemari! .
Dibentak dengan wajah menyeramkan, koki gemuk habis dayanya. Pelahan-lahan ia maju menghampiri dengan masih membawa pisau pemotong dagingnya.
- Siapa namamu -
- Tobol. -
- Tobol atau Botol? -
- Tobol. -
- Apa kerjamu di sini?
- Tukang masak.
- Kau pernah memasak babi? -
- Tentu saja.
- Coba bawa kemari pisaumu itu! perintah Pataliputra.
Tobol tidak berani membantah. Dengan muka penuh tanda tanya ia menyerahkan pisau pemotong babi.
- Kalau engkau harus memasak daging tulang punggung, bagaimana caramu mengambil? -tanya Pataliputra.
- Daging babi, maksudmu?
- Ya.
- Tentu saja diambil dari kanan dan kiri tulang punggung
- Dengan membelek. kan?
- Ya, supaya tidak rusak. Pendek kata diiris, dibedah atau dibelek . . . lalu tinggal memberinya bumbu. Kalau ingin asam manis, harus diberi campuran garam dan lada, agar lezat. 'Iuan muda mau masak apa?
Dengan bengis Pataliputra menyobek baju Muang Nat.
- Di bagian ini, bukan? -katanya lalu mengusap usap tulang punggungnya. Muang Nat menggeridik. sedang Tobol mengawaskan gerakan tangan Pataliputra dengan jantung berdenyut-denyut. Mulutnya ternganga sehingga tidak kuasa menjawab.
-Ampun ...ampun tuanku...ampun..-akhirnya terloncat ucapan Muang Nat minta dikasihani.
Yudapati yang ikut menyaksikan,tahu bahwa pemuda itu tidak bermaksud jahat. Hanya saja dia kasar dan nakal.
Tetapi kasar dan nakal biasanya akibat dari watak yang angin-anginan. Kalau sampai kumat, susah diduga apa yang akan dilakukannya. Karena itu, hatinya ikut berkebat kebit juga. Apalagi Diatri yang berperasaan halus.
Ternyata dugaan Yudapati tepat. Pataliputra hanya bermaksud hendak memberi pengajaran kepada Muang Nat dan sekalian anak buahnya, agar tidak ikut membenarkan perlakuan langkasuta terhadap keluarga Puge hanya gara-gara seekor babi yang belum tentu benar-benar hilang. Ia mengangkat pisau pemotong babi milik Tobol dan digoreskan ke punggung Muang Nat. Keruan saja Muang Nat kaget setengah mati.
- Eh. Tobol! Pisaumu boleh juga. Tajamnya bukan main. Dengan menggoreskannya sedikit saja, punggung ini sudah terbelek. Eh, setengah kati cukup atau belum? -
- Cu.. .cu. . .cu. ..kup.-sahut Tobol dengan suara menggeletar,
Mendengar kata-kata cukup, cukup, Muang Nat mengira daging punggungnya sudah teriris. Seketika itu juga, semangatnya terbang dan berkeringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.
- Sekarang bagaimana caranya memasak hati babi dan otak babi menjadi kuah yang sedap? Perlu digoreng dahulu atau tidak?
Pataliputra minta keterangan lagi sambil menggarit punggung Muang Nat agar terasa sakit.
Muang Nat benar-benar ketakutan. Seluruh badannya menggigil dan tiada henti-hentinya ia mohon ampun sambil memanggut-manggut seperti burung Engkuk. Rintihnya:
- Aduh mati aku, tuan muda yang paling mulia sedunia. Ampunilah jiwaku . . . ! Aku masih mempunyai simpanan isteri muda yang belum sempat kutiduri . . .
- Hua. diam! -bentak Pataliputra ..
- Sudah kau
tiduri atau tidak. apa peduliku'!
- Baik,b baik..Sekarang perintahlah aku.Perempuan itu boleh jadikan tuan budak belian atau . . . boleh aku menerima sisanya saja.
- tok!
Pataliputra menggetok kepalanya. Muang Nat merintih kesakitan. Sedang begitu Pataliputra membentaknya:
- Jiwamu memang jiwa babi benar-benar. Pantas engkau menjadi pembantu Koloan yang setia. Kau masih berani membantu tindak jahatnya atau tidak?
- Tidak. tidak . . . Aku sudah kapok tujuh turunan.sahut Muang Nat dengan cepat.
- Baiklah. -.kata Pataliputra.
- Sekarang kuperintahkan semua tamu kecuali dua tamu itu, keluar ruangan! lalu panggillah orang-orang yang berada di jalan itu agar masuk! Aku mau mengadakan pesta besar. Keluarkan semua makanan dan minuman! -
Muang Nat sudah mati kutu. Daripada bakal kehilangan hati dan otak, segera ia memberi perintah kepada anak buahnya:
- Anak-anak, laksanakan perintah tuan muda ini! Cepat!
Para tamu yang berada di atas loteng segera meninggalkan tempatnya hanya Yudapati dan Diatri yang tidak boleh diganggu. Setelah itu, orang-orang gelandangan dan mereka yang tadi menonton Ubruk dan anaknya dikeroyok anjing, digiring masuk. Begitu mereka mendengar kabar gembira itu, lantas saja bersorak-sorai gegap
gempita. Mereka berebutan memilih meja dan kursi yang bagus letaknya. Sedang para pelayan dengan sungguh sungguh melayani mereka. Mula-mula minuman. lalu arak. Sebentar lagi masakan rebus dan goreng
- Saudara-aaudaraku semua! seru Pataliputra dengan
nyaring dan jelas
- Makan dan minumlah sepuas-puasmu! Jangan khawatir. akulah yang membayar. -
- Horeeeeee . . .! -mereka bersorak gembira.
Pataliputra kemudian berkata kepada para pelayan:
- Aku ingin merasakan daging manusia yang kecampuran bau anjing dan babi. Nah, potong anjing-anjing jahat ini dan masak dagingnya!
Mendengar perintah Pataliputra yang garang, kini keenam antek-antek Koloan yang ganti berdebar-debar hatinya.
Benar-benarkah Pataliputra hendak makan dagingnya?
Mereka tidak dapat membayangkan betapa ngerinya, manakala kepala mereka akan dipotong seorang demi seorang.
Mereka berenam tidak dapat bergerak lagi, kecuali bernafas, mendengarkan dan melihat. Jangan lagi mencoba coba hendak membantah atau menentang perintah Pataliputra, sedangkan menghadapi anak kecil yang belum pandai beringuspun, tidak berdaya sama sekali. Tetapi, ternyata Pataliputra tidak segera menjatuhkan hukumannya. Ia berdiri meneguk araknya. Lalu berjalan menghampiri pengunjung yang memenuhi ruang rumah makan. Katanya dengan suara lantang:
- Saudara-saudaraku, tak usah khawatir! Seperti kataku tadi, aku yang akan membayar. Hanya saja aku minta petunjuk kalian, dimanakah rumah Langkasuta alias Koloan? Maksudku rumah gadainya. -
- Yang tuan maksudkan rumah gadai "Rumah Kesejahteraan Rakyat? -sahut dua orang dengan berbareng
- Eh. apakah nama rumah gadainya begitu?
- Benar.
- Aku mau menggadaikan enam anjing jahat ini. Bukankah aku membutuhkan uang untuk membayar semuanya ini? -
Pengunjung tertawa bergegaran karena mereka tahu sembilan bagian maksud Pataliputra. Seseorang menyahut:
- Dari sini ke arah timur. Lempeng terus sampai melewati tiga persimpangan jalan. Tuan akan melihat sebuah gedung berpagar tinggi. Di depannya terdapat papan nama yang berbunyi: "Rumah Kesejahteraan Rakyat." Itulah rumah gadai milik Koloan.
- Terima kasih. ujar Pataliputra.
Kemudian ia membangunkan keenam tawanannya. Leher mereka masing masing dikalungi rantai pengikat dan kini ditariknya seperti menenteng ikan. Tak lupa ia membebaskan kaki mereka masing-masing, sehingga setiap kali kena tarik, mereka terseret terhuyung-huyung saling menabrak.
Pataliputra tidak menghiraukan penderitaan mereka. Dengan seenaknya, ia menyeret mereka turun ke bawah kemudian dibawanya berjalan menyusur jalan. Pengunjung yang tadi memenuhi ruang atas, beramai-ramai ikut turun dan menjkutinya. Mereka ingin menyaksikan apa yang akan dilakukan Pataliputra terhadap enam orang itu.
Setibanya di depan Rumah Gadai Koloan. berkatalah Pataliputra dengan suara nyaring:
- Hei! Aku hendak menggadaikan anjing. Setiap ekor seribu perak. Kalian ingin memeriksa? Nih! -
Setelah berkata demikian. ia menyeret enam tawanannya untuk dihadapkan kepada seorang yang bertubuh kurus yang duduk di belakang meja.
Pegawai rumah gadai itu, keruan saja terkejut setengah mati. Rumah gadai tempat ia bekerja sudah berumur belasan tahun .Dan selama itu aman tenteram, tiada pernah terjadi sesuatu yang kurang beres.
Tetapi mengapa pada
hari ini,mendadak saja kedatangan orang gila yang hendak menggadaikan manusia hidup?
Dengan hati hati dan seksama ia mengamat-amati Pataliputra. Betapa terkejut hatinya, tatkala ia mengenal siapa yang hendak digadaikannya. Ternyata enam pegawai majikannya yang paling setia dan paling disegani pegawai-pegawai lainnya.
- Kau . . . kau . . .mau menggadaikan apa? -tanyanya terparah-patah.
- Kau tuli? bentak Pataliputra.
- Aku mau menggadaikan enam ekor anjing jahat. Setiap ekor, aku minta seribu perak. Jadi semuanya berjumlah enam ribu perak. Inilah anjing-anjingnya.
Sekarang pegawai rumah gadai itu sadar, bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang yang sengaja hendak mencari perkara. Segera ia membisiki seorang temannya, agar memanggil Kepala Tukang Pukul yang melindungi keamanan Rumah Gadai. Syukur bila wakilnya ikut datang pula. Dan setelah temannya beranjak dari tempatnya ia membawa sikapnya yang manis. Dengan hormat ia berkata kepada Pataliputra:
- Menurut peraturan. rumah gadai kami tidak menerima gadaian yang berjiwa. Sebab. kami harus memberi mereka makan dan minum. Kalau sampai berkepanjangan, kami bisa bangkrut.
- 0 begitu?
Pataliputra mendeham.
- Kalau engkau menolak anjing hidup, biarlah aku menggadaikan anjing anjing mampus. Dengan begitu, kau tidak perlu memberinya makan atau minum. -
Enam orang tawanannya kabur semangat hidupnya. Lantas saja dengan berbareng mereka mohon belas kasih:
- Tuan Ungkulan, terimalah kami! Tolonglah jiwa kami! - ,
Tetapi pegawai rumah gadai yang bernama Ungkulan
itu, tidak dapat mengabulkan permohonannya dengan segera. Sebab dirinya akan dituntut tanggung jawab. Uang sebesar enam ribu perak bukan main besarnya. Uang besar itu dapat dibelikan belasan rumah gedung. Sebaliknya. bila menolak ia harus memperhitungkan tindakan orang gila yang berdiri dengan garang di hadapannya itu. Memperoleh pertimbangan demikian, sekali lagi ia mau mengalah. Dengan membungkuk hormat, ia berkata sabar:
- Hm! Duduklah, seorang temanku sedang mengumpulkan uang yang tuan kehendaki. Apakah tuan berkenan menghirup air teh hangat?
- Sesudah anjing-anjing ini mampus, barulah aku menerima tawaranmu. sahut Pataliputra singkat.
Kemudian ia menghampiri pintu rumah gadai yang terbuat dari kayu jati berlapis besi. Masing-masing daun beratnya dua kwintal. Dengan sekali tarik, daun pintu ambrol dari engselnya.
Melihat tindakan Pataliputra makin runyam, Ungkulan tak dapat lagi mengekang diri. Dengan suara tinggi. ia menegor:
- Sebenarnya, apa sih maksudmu? -
Pataliputra tidak menyahut. Sekali kakinya menyapu. ke enam tawanannya roboh berjajar di atas lantai. Tanpa berkata sepatah kata lagi, ia menindih mereka dengan daun pintu seberat dua kwintal. Merasa belum puas. ia menjebol daun pintu lainnya dan ditindihkannya pula. Dengan begitu, mereka berenam kini tertindih sepasang daun pintu seberat empat kwintal.
- Sahabat! .
Ungkulan menjadi jengkel bercampur geram.
- Perbuatanmu sudah melewati batas. Kau tahu. tempat apa ini? Kau tahu siapa pemilik rumah gadai ini?
Melihat bentuk wajah Ungkulan mirip muka tikus. Pataliputra yakin bahwa orang itu pasti berhati busuk
Dengan membungkam mulut, ia menghampiri mejanya. Tiba-tiba saja tanganya menyambar sehingga Ungkulan mati kutu. lalu diangkat dengan begitu saja dari tempat duduknya dan dibanting di samping keenam tawanannya. Kemudian ikut ditindihnya pula. Setelah itu. ia keluar pintu menebarkan penglihatannya. Dilihatnya di depan pintu terdapat dua buah arca terbuat dari batu marmer. Berat arca itu tidak kurang setengah ton. Dengan kedua tangannya ia mengangkat area itu dan ditindihkan diatas daun pintu.
Ditindih dengan barang seberat sembilan kwintal, ke tujuh orang itu benar-benar tak dapat berkutik lagi. Bahkan bernafas saja, sudah terasa sesak. Namun diluar dugaan mereka Pataliputra ternyata masih belum puas juga. Kini ia malahan bertindak luar biasa. Dengan sebelah tangannya ia menyambar arca yang kedua dan dilemparkan tinggi, tepat di atas tubuh mereka yang sudah tertindih. Jika arca itu jatuh menindih mereka, siapapun dapat membayangkan bahwa tubuh mereka akan ringsek. Itulah sebabnya yang menyaksikan memekik tertahan oleh rasa terkejut dan cemas. Tetapi pada detik arca itu akan menimpa mereka. dengan gesit Pataliputra memeluknya dan diletakkan pelahan-lahan di sampingnya.
- Bagaimana? Apakah kalian masih perlu kutambahi bebannya? bentaknya.
- Sudahlah . . . sudahlah . . . Ungkulan mengeluh dan berputus asa. Kemudian berseru kepada teman-teman lainnya:
- Ambilkan uang! Penuhi permintaannya! -
Teman-temannya tiada seorangpun yang berani membantah perintahnya, karena mereka menyaksikan sendiri betapa menderita dia. Maka dengan berbareng mereka mengumpulkan uang perak dan dibagi menjadi enam karung penuh. Dengan tenang, Pataliputra menerimanya dan ditaruhkan di atas daun pintu, sekali lagi mereka ditambahi beban. Padahal berat enam kantung berisikan uang perak itu bukannya ringan.
- Tuan! Ampunilah jiwa kami . . !! Bukankah kami sudah memenuhi permintaan tuan?
Ungkulan merintih.
- Mengapa harga dirimu belum dihitung? Apakah engkau tidak berharga? Mestinya hargamu jauh lebih mahal daripada anjing-anjing ini. Maka aku minta tambahan tiga ribu perak lagi. -sahut Pataliputra.
Ungkulan dan enam orang lainnya sudah sesak nafasnya. Mereka mendongkol. Akan tetapi alasan Pataliputra masuk akal .Bahkan didalam penderitaan, Ungkulan merasa terhibur karena dirinya dihargai tiga kali lipat dari tukang pukul langkasuta yang disegani orang. Terus saja ia berseru dengan nafas terengah-engah:
- Beri! . . . Beri! .
Selagi teman-temannya hendak melaksanakan perintahnya. di luar pintu terdengar suara ribut ribut. Dua orang berperawakan tinggi besar berpakaian hitam berteriak dengan suara bergemuruh:
- Siapa yang berani mengacau di sini? -
Dengan sekali melompat Pataliputra sudah berada di belakang mereka. Kedua tangannya mencengkeram pundak mereka berdua bagaikan tanggem besi. Dan begitu tercengkeram, mereka tidak berdaya lagi. Lalu terangkat dan kena jinjing tak ubah dua buah keranjang besar berisikan kapuk.
Mereka berdua adalah Ketua dan Wakil Ketua tukang pukul. Begitu mendengar laporan tentang kekacauan itu. Segera mereka meninggalkan tempatnya. Padahal mereka baru asyik berjudi, sehingga beberapa kartunya buru-buru disimpannya dalam saku celananya.
Pataliputra sengaja mempermainkan mereka. Kedua
orang itu saling dibentur-benturkan layak seseorang membentur benturkan sepasang sepatu untuk membersihkan kotoran yang menempel di solnya. Begitu dibenturkan. jatuhlah dua buah dadu dan setumpuk kartu perjudian.
- Bagus. ya! Ternyata kalian setan-setan perjudian. ujar Pataliputra geram.
Terus saja ia melemparkan mereka ke atas daun pintu yang menindih teman-temannya. Dengan demikian, mereka yang berada di bawah daun pintu tertindih suatu beban seberat satu ton lebih.
Kepala Rumah gadai yang khawatir kawannya mati tergencet, terpaksa membungkuk hormat berulang kali kepada Pataliputra mohon pengampunan. Bahkan akhirnya ia berlutut sambil memerintahkan pegawainya agar mempersembahkan tambahan uang sebesar tiga ribu perak secepat mungkin.
Pataliputra membawa sikapnya yang tak acuh. Di dalam hati ia heran, mengapa langkasuta tidak segera menyusul. Semenjak ia mengacau rumah makan, dalam hatinya berharap agar langkasuta alias Koloan datang melabraknya. Ia percaya bahwa langkasuta yang bergelar Singa Merah, tentunya memiliki kepandaian tinggi. Sekiranya tidak demikian, mustahil ia bisa membagi upeti untuk kaum Pasupata dan pembesar negeri. Dan orang yang merasa dirinya dihormati oleh kedua belah pihak, biasanya memandang enteng pengacau-pengacau dalam bentuk apapun.
Tetapi apa sebab, dia tidak muncul juga?
- Baiklah, letakkan saja tiga kantung uang itu di atas daun pintu itu. ia menyambut pemberian Kepala Rumah Gadai.
Pegawai yang diperintahkan meletakkan tiga kantung uang perak itu tahu, bahwa beratnya akan bertambah 180 kati lagi.
Apakah mereka yang kena tindih akan bisa mempertahankan hidupnya?
Akan tetapi ia tidak dapat
berbuat sesuatu, kecuali harus patuh.Maka dengan sikap masa bodoh., ia meletakkan tiga kantung uang perak itu di atas daun pintu.
- Hei! teriak Pataliputra.
- Apakah rumah gadai ini milik raja. sampai lupa memberi Surat Tanda terima?
Diingatkan tentang kewajiban memberikan Surat Gadai. kepala rumah gadai jadi kebingungan.
Apa yang harus ditulisnya?
Menurut kebiasaan, jika seseorang menggadaikan barang, .dalam Surat Gadai harus ditulis dalam keadaan rusak. Perlunya, kalau kelak pemiliknya menebus barang, bila terdapat kerusakan tidak akan menjadi masalah. Tetapi tujuh orang yang digadaikan itu, bukan barang. Namun dalam keadaan terdesak, ia menulis sekenanya saja. Begini bunyinya:
"Digadaikan tujuh pegawai keluarga langkasuta. Kulit pecah, daging hancur, kaki tangan tidak lengkap. Digadaikan untuk sembilan ribu perak."
Surat Gadai yang berbunyi demikian, kemudian dibacakan Kepala Rumah Gadai di hadapan Pataliputra dengan suara nyaring. Pataliputra mendengarkan dengan mengulum senyum. Kemudian menerima surat itu dan dimasukkan kedalam sakunya. Membentak kepada "tarung-pukul yang sudah meringkas hatinya:
- Angkat kedua area itu!
Karena tak kuat mengangkat seorang diri, mereka berdua kemudian saling menolong. Dan seperti dua ekor anjing jinak. mereka melaksanakan perintah Pataliputra dengan patuh.
- letakkan ke tempatnya semula. Kemudian tunjukkan dimana letak rumah perjudian.Aku mau kesana.-perintah Pataliputra lagi.
Sebentar tadi, rakyat menyaksikan betapa kuat tenaga Pataliputra. Dengan seorang diri, dia dapat menghentakkan arca seberat setengah ton dan dilemparkan seperti orang membuang keranjang sampah. Dengan seorang diri pula dia mengobrak-abrik rumah makan kebanggaan Koloan beserta rumah gadainya yang sudah lama membuat rakyat sengsara. Kini, dia hendak mengunjungi rumah perjudian .Niscaya mempunyai maksud tertentu yang disembunyikan. Di dalam hati, mereka bersorak dan bersyukur. Hanya saja karena takut akan balas dendam Koloan. mereka mengikuti Pataliputra dari kejauhan saja.
Rumah judi itu terletak di ujung kota, menempati suatu halaman luas. Di dekat pintu masuk terpancang sebuah papan nama yang berbunyi: "Rumah Kebudayaan Ummat Manusia." Membaca bunyi tulisan itu, hati Pataliputra mendongkol. Maka dengan langkah lebar ia memasuki halaman rumah judi itu dengan diikuti oleh dua pengawal rampasannya yang sudah menjadi jinak tak ubah dua ekor anjing yang setia.
Sebentar saia, Pataliputra sudah berada dalam ruang perjudian. Ruangannya ternyata luas dan semarak. Ratusan orang sedang berjudi mengadu untung. Mereka terbagi dalam beberapa kelompok. Berjubel mengelilingi meja meja perjudian. Masing-masing meja terdapat bandarnya yang berwajah seram. Dan kepala bandarnya menempati sebuah meja yang diistimewakan. Rupanya disediakan bagi mereka yang mempunyai uang banyak.
Kepala bandar itu berperawakan tinggi besar. Berkumis berjenggot tebal. Kancing bajunya sengaja dibuka untuk memamerkan bulu dadanya yang lebat. Tak usah dijelaskan lagi, bahwa diapun tukang pukul pula. Dengan alis tebal yang menambah pandang matanya jadi berpengaruh, ia mengawaskan setiap dadu yang diputar di atas meja perjudian. Pandang matanya itu. membuat takut baik yang sedang berjudi maupun yang bertugas
memutar dadu.
Sedang demikian ia melihat masuknya dua orang tukang pukul yang tadi lari ke Rumah Gadai. Kedua orang itu datang dengan menggotong daun pintu. Daun pintu dengan tumpukan kantong-kantong uang perak. Sekejap ia heran, lalu menyapa:
- Hai, siapa yang menyuruhmu menjadi kuli pengangkut barang?
Dengan memoncongkan mulutnya. mereka memberi isyarat tanda bahaya. Kata mereka pula:
- Seorang gagah perwira hendak mencoba mengadu untung di sini. -
Langkasuta alias Koloan terkenal sekali di wilayah Pasupata bagian selatan. Banyak sahabat dan teman-temannya yang tentu saja terdiri dari kaum kaya-raya dan kepala kepala pemerintahan. Semua anak-buahnya tahu akan hal itu. Itulah pula sebabnya, kepala bandar mengira bahwa Pataliputra termasuk salah seorang sahabat Langkasuta yang istimewa. Tanda bahaya yang diisyaratkan kedua tukang pukul dengan memoncongkan mulutnya, dikiranya suatu pemberitahuan bahwa tetamunya adalah tamu istimewa yang harus dikuras hartanya sampai ludas. Terus saja ia berkata di dalam hati:
- Bagus! Dia membawa uang begitu banyak. Masakan aku harus takut menghadapi orang berperut besar? Makin besar dia bertaruh, bukankah makin memperbesar keuntungan?
Sebagai kepala bandar ia diperlakukan istimewa oleh Langkasuta. Tegasnya, setiap malam ia memperoleh sekian bagian dari keuntungan bersih. Karena itu, dengan berbagai cara ia berusaha supaya bandar harus menang. Kalau perlu dengan menggunakan tipu-muslihat. Maka apabila rumah perjudiannya sedang dikunjungi orang Yang berduit tebal segera ia memasang ahli-ahli pemutar dadunya. Demikian pulalah kali ini. Begitu tamunya datang menghampiri meja dengan berbisik ia memberi perintah kepada dua orang ahlinya agar melayani Pataliputra sebaik baiknya.
Tetapi dia bakal menumbuk batu. Sebab dengan tiba tiba, Pataliputra bertanya minta keterangan:
- Hai! Bagaimana tata atur penjudian ini?
- Mudah saja. sahut kepala bandar dengan tertawa ramah.
- Pasang saja, nomor yang tuan kehendaki. Kalau tepat tebakan tuan. kami akan membayar sepuluh kali lipat
- Betul begitu?
Pataliputra menegas.
- Betul. Tuan tidak usah sangsi. Rumah Kebudayaan Ummat Manusia ini sudah didirikan semenjak belasan tahun yang lalu. Selama itu, tiada peristiwa yang berarti. Semuanya beres. karena kami berlaku jujur terhadap semua langganan.
- Apa yang kau maksudkan dengan tiada peristiwa yang berarti? potong Pataliputra.
- Umpamanya tentang dadu yang tiba-tiba pecah, karena pemutar dadu terlalu bersemangat. Ia menggenggamnya terlalu keras. Mungkin karena tegang. sahut kepala bandar dengan cepat dan ramah.
- Baiklah, aku akan memasang seribu perak.
Pataliputra memutuskan.
- Apa? Seribu perak? kepala bandar ternganga oleh rasa terkejut. Sebab selama dia dinas disitu, belum pernah seorang penjudi berani mengadu untung begitu besar, meskipun tebal kantongnya. Paling tinggi seratus perak. Itu saja kalau menang, berarti sepuluh kali lipat. Untuk mempertanggung jawabkan kejadian itu kepada majikan, susahnya bukan main.
Sekarang, bagaimana
kalau Pataliputra beruntung?
Dia harus membayar sepuluh ribu perak. Berarti selaksa perak. Memikirkan kemungkinan itu, tak merasa wajahnya menjadi pucat sesaat. Tetapi sesaat itu pula, ia percaya kepada keahlian orang-orangnya sendiri. Teringat akan beberapa macam tipu-muslihat orang-orangnya, hatinya terhibur.
Sementara itu. Pataliputra sudah meletakkan uang taruhannya di atas meja judi. Ia sudah memutuskan akan membuat kacau rumah perjudian untuk memancing keluarnya Langkasuta. Maka dengan seenaknya ia berkata setengah mengancam:
- Sudah kuletakkan uangku. Semuanya berjumlah seribu perak. Nah berilah aku selaksa perak. -
- Mengapa aku harus membayar? kepala bandar heran. Tetapi pada detik itu ia mengira, bahwa pemuda ini belum pernah bermain judi. Maka perlu ia memberi penjelasan dengan sabar. Katanya lagi:
- Memang aku akan segera membayar, manakala tuan menang. Tetapi tuan baru meletakkan uang di atas meja. Tuan belum memilih nomor. Nomor kecil alau besar. Lihatlah dadu ini! Nomornya berjumlah dua belas. Nomor enam kebawah, kita sebut nomor kecil. Nomor tujuh sampai dua belas, kita sebut nomor besar. Nah, sekarang tuan mau memasang nomor kecil atau nomor besar?
- Nomor yang mesti menang.
- Bagaimana mungkin? -
- Mungkin saja, kalau engkau ikut menunjukkan.
Untuk sesaat, kepala bandar itu tertegun. Lalu tertawa geli berbareng mendongkol. Masih saja ia bersabar:
- Aku sendiri tidak tahu. Sebab menang dan kalah tergantung nasib baik seseorang. Kalau . . . '
- Baiklah. Boleh kuperiksa dadunya? potong Patalinutra.
- Boleh.
- boleh...Mengapa tidak? Silakan periksa
Pataliputra memungut dadu yang berada di depannya. Ia menimang-nimangnya. Ternyata dadu itu tidak dilapisi timah sebagai pemberat nomor tertentu. Tetapi di dalam hati ia menaruh euriga terhadap dua orang pemutar dadu yang tiba-tiba menggantikan kedudukan pemutar dadu yang mengundurkan diri.
- Biarlah aku mengikuti arusnya. Kalau mereka berbuat curang. masakan aku tidak dapat juga mengibulinya? pikir Pataliputra di dalam hati.
Lalu ia meletakkan dadu itu ke tempatnya semula, sambil berkata:
- Karena aku belum pernah berjudi. aku akan memasang kecil-kecilan dulu. Nih, sepuluh perak dulu! '
Mendengar kata-kata Pataliputra, kepala bandar tersenyum lega. Ternyata pemuda itu benar-benar masih hijau dalam dunia perjudian. Maka segera ia menyahut:
- Baik. Kita mulai!
Pataliputra memasang sampai tujuh kali berturut turut. Ia menang dua kali dan kalah lima kali. Kemudian ia memasang tiga kali berturut dengan uang taruhan seratus perak. Mulailah ia melihat suatu perubahan. Kedua tangan bandar yang tadinya hanya di letakkan lunglai di atas meja mulai menggerak-gerakkan jarinya. Pataliputra tersenyum di dalam hati. Benar kata orang, bahwa kecurangan tentu terjadi dalam dunia perjudian. Setiap kali dadu hendak berhenti pada nomor yang dipasangnya, mendadak terbalik dan berhenti pada nomor sebaliknya. Karena itu. tiga kali ia kalah. Namun ia mengerti apa penyebabnya.
- Sialan! ia mengutuki diri sendiri.
Seperti orang dungu, ia berkata lagi: -
- Barangkali nasibku yang kurang baik. Sekarang aku akan memasang nomor kecil untuk
seribu perak.
Pataliputra sengaja menyebutkan jumlah taruhannya untuk menarik perhatian orang. Benar saja, ruang perjudian menjadi gempar. Para pemain berbondong-bondong mengerumuni meja untuk ikut menyaksikan. Kali ini, Pataliputra tidak mau mengalah lagi. Sewaktu dadu berputar, diam-diam tangan kirinya disembunyikan di bawah alas meja. Begitu dadu hendak berhenti pada nomor besar, segera ia mengetuk alas meja dengan tenaga saktinya. Dadu itu tersentak dan berputar lagi dan berhenti pada nomor kecil.
- empaaat . . . ia berseru.
Dan orang-orang yang bersimpati padanya ikut berseru gembira.
Wajah kepala bandar pucat seketika. Oleh pandang orang banyak, dengan hati berat terpaksa ia membayar sepuluh ribu. Selagi seseorang sibuk menghitung jumlah itu, diam-diam ia mengerling kepada dua orang pemutar dadu. Wajah mereka merah padam. Mereka tahu, dadu kena sentil tenaga sakti Pataliputra. Tetapi kecuali tidak dapat membuktikan, merekapun berbuat demikian. Hanya saja, tenaga gabungan mereka tidak dapat mengalahkan tenaga sakti tetamunya. Karena itu, mereka terkejut berbareng penasaran.
Selagi demikian, terdengar suara Pataliputra yang membuat mereka bertambah terkejut. Kata Pataliputra dengan suara gembira:
- Selaksa ini kupertaruhkan untuk nomor kecil lagi.
Mendengar ucapan Pataliputra, orang-orang menjadi gempar Juga para pegawai rumah judi. Sebab belum pernah seseorang berani bertaruh sebesar itu.
Roro Centil 07 Siluman Kera Putih Wiro Sableng 034 Munculnya Sinto Gendeng The Expected One Karya Kathleen Mcgowan