Jalan Simpang Diatas Bukit 9
Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto Bagian 9
Tarung terperanjat, karena pundaknya tiba- tiba- tergetar sehingga tubuhnya bergoyang. Padahal dia bukannya seorang pendekar yang tidak mempunyai kepandaian tinggi. Tilam dahulu sempat menyaksikan kegesitannya. Mungkin sekali, kepandaiannya seimbang dengan kepandaian Palata. Sekiranya tidak demikian, mustahil dia terpilih sebagai salah seorang pengawal Duta Lembu Seta dalam perjalanan pulang ke Tarumanegara. -
- iblis ini benar- benar hebat! - ia berkata dalam hati.
Merasa diri tidak mungkin dapat mempertahankan diri, segera ia meminjam gerakan hentakan Pramusinta dan tubuhnya melesat tinggi di udara. Di udara, barulah dia dapat melepaskan tongkatnya dari libatan pengebut Pramusinta.
Pramusinta sendiri terperanjat. Sebab tak pernah ia mengira, bahwa hentakannya bisa digagalkan dengan cara demikian. Hatinya jadi sibuk menebak- nebak siapa gerangan lawannya yang tangguh itu. Kalau saja di antara mereka terdapat empat orang setangguh lawannya itu, dirinya bakal celaka. Memperoleh pertimbangan demikian, tak berani ia mengumbar adat. Ia melompat mundur sambil berkata angkuh:
- Sabung! Temanmu hebat juga. Tetapi janganlah bermimpi dia akan dapat mengalahkan aku. Nah, jelaskan dahulu di mana engkau menyembunyikan dia!
- Hm. dengus Sabung.
- Kau maksudkan Yang Mulia Lembu Seta? Pada saat ini jasatnya sudah berada dalam dasar samudera dengan aman damai. -
- Hai! -
Pramusinta memekik.
- Mengapa kau bawa ke sana? Kau jahanam terkutuk!
Yang terkejut, sebenarnya tidak hanya Pramusinta seorang. Tetapi termasuk Rara Tilam pula. Hampir saja ia membuka mulutnya, tatkala Sabang dengan membusungkan dadanya menyahut pertanyaannya Pramusinta:
- Itulah seorang pahlawan sejati yang pantas kami tiru. Seorang pahlawan yang sadar akan tugasnya. Beliau tidak menghendaki disemayamkan di bumi Swarnadwipa maupun di Jawadwipa. Tetapi tepat di tengah- tengah lautan Krakatau sebagai jembatan penghubung untuk mengingatkan kami, bahwa kami sesungguhnya adalah satu bahasa dan satu bangsa.
- Hm, siapa sudi mendengarkan khotbahmu. damprat Pramusinta.
- Jelas sekali dia sudah kehilangan nyawanya di sini. mengapa bisa berpesan yang bukan- bukan? Benar- benar isapan jempol yang memuakkan.
Sabung mengeluarkan selembar kain. Setelah dipentang. terlihat sederet tulisan tangan yang indah. Katanya:
- Kau bisa baca tulisan beliau atau tidak? Mari kutolong membacakan. Di dasar lautan aku akan tetap hidup sebagai jembatan penghubung. Di dunia ini temasuk engkau, masakan pada suatu saat tidak akan mati? Namun beliau memberi ajaran pada kami. bahwa matipun membawa makna. Beliau tidak hanya pandai mengabadikan makna kepergiannya sebagai tugu peringatan bangsa yang bernegara saja tetapi pandai menjaga pula jangan sampai jasat beliau tersentuh oleh tangan- tangan iblis seperti engkau. Meskipun andaikata engkau memiliki kepandaian setinggi langit, akulah orang yang pertama- tama menyatakan bahwa engkau tidak akan mampu lagi menyentuhnya. Aku ingin melihat. apakah sisa umurnya masih sanggup mengaduk- aduk lautan Krakatau yang tidak bertepi.
Hebat kata- kata pendekar Sabung. Tilam yang tadinya tergetar hatinya oleh berita duka itu, tiba- tiba jadi terhibur dan merasa bersyukur mendengar kata- kata yang lantang, tegas dan bermakna dalam. Diam- diam ia menyusut airmatanya yang nyaris membasahi kedua kelopak matanya.
Sekonyong- konyong, Pramusinta tertawa panjang sekali dengan nada yang aneh sekali. Kadang terdengar nada pekikan rasa penasaran,kadang bernada sendu memilukan. Dan mendengar suara tertawa yang berkesan aneh itu. Yudapati tertegun- tegun. Suatu bayangan berkelebatan dalam benaknya.
Namun bayangan apakah itu, ia sendiri tidak mengetahui dengan jelas. '
- Apakah pada jaman mudanya mereka saling mengenal dan . . . pikirnya di dalam hati. Tak dapat lagi ia menyelesaikan butiran- butiran pikiran itu yang merumun didalam benak dan hatinya.
- Baiklah . . . apa yang sudah terjadi. biarlah terjadi. - akhirnya Pramusinta berkata kalah.
- Tetapi tentunya
engkau membawa kotak pusaka itu.
- Kotak pusaka apa? bentak Sabung.
- Kuulangi lagi, serahkan kotak pusaka itu! Kalau tidak, sukar aku mengampuni jiwamu. ancam Pramusinta dengan suara bengis.
- Legakan hatimu! Aku yang akan mewakilimu mencabut nyawa mereka. itulah ucapan Yogabrata yang tiba- tiba saja melesat menerjang Sabung.
Anak- buah Sabung dan Tarung yang sudah cukup sabar menahan diri, kali ini tidak lagi menghiraukan keselamatan diri. Dengan serentak mereka maju berbareng menghadang serangan Yogabrata. Wajah pendeta ini yang tadinya nampak cerah dan selalu menyungging senyuman, sekarang berubah menjadi cemburu. Dia melesat kesana kemari seperti orang kalap. Hal itu menambah dan menguatkan dugaan Yudapati.
Apakah Duta lembu Seta pada jaman mudanya menjadi saingannya?
Serangan Yogabrata benar- benar tidak mengenal ampun. Tangannya bergerak dengan ganas. Dengan sekali gebrak saja, enam orang sudah dapat dibunuhnya. Menyaksikan kekejamannya, tak dapat lagi Yudapati berdiam diri. Dengan serentak ia menghunus pedang Jagadpati. Sewaktu hendak melesat maju, terdengar suara Pramusinta melengking tajam:
- Hai Yogabrata! Mengapa lancang tangan? Kalau aku mau membunuh mereka, masakan perlu bantuanmu? Mundur!
Yogabrata yang sedang menghampiri Tarung, mundur jumpalitan kembali ke tempatnya semula. Tak usah dijelaskan lagi, bahwa sesungguhnya dia berada di bawah pengaruh Pramusinta. Sabung sudah mulai muak menyaksikan sepak- terjang kedua pendeta iblis itu. Dengan menggerung ia berkata lantang:
- Sudahlah. sudahlah . . aku sudah muak melihat lagak- lagumu. Kalian setali tiga uang. Janganlah berpura pura saling menyalahkan seolah- olah masing- masing memiliki tataran budi yang berbeda. Kalau kalian mau membunuh kami, bunuhlah! Tapi jangan bermimpi lagi perkara kotak pusaka segala selama aku bisa berdiri tegak di hadapan kalian. -
- Bagus! Kalau begitu, jangan salahkan diriku. potong Pramusinta sengit.
Sabung sudah bersiaga penuh. Seperti pendekar Tarung, ia bersenjata sebatang tongkat baja. Hanya saja ukurannya lebih panjang dan lebih besar. Walaupun demikian dengan leluasa, ia dapat menyapu serangan Pramusinta yang datang secepat kilat setelah selesai berbicara. Agaknya, menghadapi Sabung. Pramusinta bersikap hati- hati. Mengira, bahwa lawannya ini tentunya memiliki kepandaian yang paling tinggi dibandingkan dengan lainnya,terus saja ia memberondongnya dengan serangan maut. Sabung tidak gentar.
Memang Sabung tidak dapat dipandang enteng. Dibandingkan dengan Tarung, masih ia menang setingkat. Pukulan tongkatnya menderu- deru membawa tekanan angin. Mau tak mau Pramusinta terpaksa melesat mundur, setiap kali merasa terancam. Tak berani dia menangkis untuk mengadu tenaga. Namun dalam hal kelincahan, iblis perempuan itu masih berada di atas kecekatan Sabung. Itulah sebabnya, caranya menyerang maju mundur cepat bagaikan kilat menyengat bumi.
Sabung benar- benar seorang pendekar tangguh. Senjata tongkatnya dapat membatasi merajalelanya gerakan tangan dan kebutan lawannya. Khawatir kalau Pramusinta diam- diam masih menyimpan senjata bidiknya yang beracun. seringkali ia mendaratkan serangan mautnya.
Tetapi selalu saja ia memukul tempat kosong. Pikirnya dalam hati:
- Iblis ini benar- benar memiliki gerakan tubuh bagaikan bayangan. Kabarnya dia memiliki senjata bidik beracun. Apa yang harus kulakukan, kalau tiba- tiba dia menyerang.
Diluar dugaan, Pramusinta tidak memikirkan akan menggunakan senjata andalannya. Ia merasa masih dapat mengatasi.
Bukankah tongkat baja Sabung tidak ringan?
Mustahil tenaganya masih tetap utuh. setelah dua atau tiga ratus jurus lagi. Dan perhitungan iblis perempuan itu, memang benar. Sebab setelah bertempur sekian lamanya. gerakan tongkat Sabung mulai agak lamban. Kesempatan inilah yang ditunggu- tunggu.
Beberapa saat kemudian,secepat kejapan kilat Pramusinta meloncat dan kedua kakinya seperti seseorang menggebah rumunan ratusan nyamuk. Tentu saja, Sabung terperanjat. Cepat ia menghantamkan batang tongkatnya ke tanah dengan maksudkan merobohkan Pramusinta. Tetapi iblis itu malahan tertawa senang. Ia hanya meloncat sedikit, lalu menghampiri Sabung dengan melalui batang tongkatnya. Buru- buru, Sabung melepaskan pukulan tangan kosong. Pramusinta melesat mundur sambil memukulkan tangkai pengebutnya.
Sabung tak mau kalah. Tongkatnya diangkat dan dibawanya berputaran dengan sekali- kali dihantamkan ke tanah. Entah dengan ilmu apa, kedua kaki Pramusinta tetap melengket di atas batang tongkatnya. Menghadapi lawan yang mempunyai ilmu kepandaian begitu tinggi, lambat- laun Sabung nyaris kehabisan tenaga juga. Syukur pada saat itu. Modra yang semenjak tadi belum beralih tempat,melompat menerjang dan melepaskan pukulan dari belakang punggung.
Kebutan Pramusinta seperti mempunyai mata saja.
Tiba- tiba kebutannya menangkis ke belakang.
Plak!
Modra terpental dan roboh terguling. Dan kembali lagi. Pramusinta mencecar Sabung yang sudah kelelahan. Berat badan Pramusinta memang tidak melebihi lima puluh kilo, namun berat badan itu jadi menambah berat tongkat bajanya. Paling sedikit semuanya jadi mempunyai bobot satu kwintal. Meskipun Sabung seorang pendekar yang memiliki tenaga istimewa, makin lama makin berkurang juga kekuatannya. Tongkat bajanya tidak dapat digunakan sebagai senjata pemukul lagi. Sebaliknya malah membebaninya.
Pada saat itu Sabung sadar, bahwa ia tidak akan dapat menjatuhkan laWannya lagi. Bahkan bila meleng sedikit saja akibatnya akan runyam. Dia sendiri sudah bersedia mati semenjak tadi.
Tetapi bagaimana dengan Rara Tilam?
Puteri Duta Lembu Seta itu, niscaya akan mati pula. Teringat akan ancaman bahaya itu,terbangunlah semangat jantannya. Seketika itu juga,tenaganya seperti bertambah.
Sabung tidak mengetahui, bahwa puteri lembu Seta sesungguhnya memiliki kepandaian tinggi .Sekiranya berhadap- hadapan dengan Pramusinta belum tentu dapat terbunuh dengan mudah. Andaikata kalahpun,kecerdikannya masih bisa menolong diri dari bahaya maut. Di samping itu masih berdiri seorang pendekar muda yang gagah dan berkepandaian tinggi. Dialah Yudapati yang masih saja menahan diri, karena tengah mengamati kepandaian Pramusinta dan Yogabrata. Pemuda itu, niscaya tidak akan membiarkan Tilam terancam bahaya.
Benar saja. Pada saat itu, tiba- tiba terdengar suara Tilam berkata nyaring:
- Paman Sabung. jangan takut! Aku akan membantu
Hati Sabung seperti terpukul godam mendengar katakata Tilam. Celaka. pikirnya.
- Dia bisa apa?
Karena itu sambil memutar- mutar tongkatnya ia menyahut gugup:
- lari! Lari! . . . Hai Tarung. bawalah tuanku puteri
lari!
Pramusinta tertarik mendengar Sabung menyebut Tilam dengan tuanku puteri. Ia mengerlingkan matanya. Dia tercengang sejenak karena merasa lalai. Karena Tilam mengenakan pakaian pria, ia mengiranya seorang pemuda. Untung, puteri yang mengenakan pakaian pria itu tidak berkepandaian. Bahkan sekarang, dianjurkan untuk melarikan diri. Karena itu, ia tertawa panjang.
- Mengapa mesti lari? ujarnya.
Tetapi selagi berkata demikian, sekarang ia terperanjat. Sebab diluar dugaan, puteri itu tiba- tiba melesat tinggi di udara dan dengan pedang pendeknya hampir saja menyambar batang lehernya.
- Ih! ia kaget setengah mati.
Terpaksa ia meletik turun dari tongkat Sabung sambil menundukkan kepalanya. Ternyata Tilam tidak hanya menyerang satu sambaran saja. Bagaikan seekor burung garuda,kembali lagi ia meletik ke udara dan mencecar Pramusinta dengan serangan- serangan yang cepat luar biasa.
Sabung terheran- heran sampai terhenyak beberapa saat. Sama sekali tak diduganya, bahwa Tilam memiliki kepandaian tinggi. Selagi demikian, terdengar suara Yogabrata: '
- Bocah kurangajar! Kau berani ikut- ikutan menjual nyawa? -
Buru- buru Sabung menghadang Yogabrata yang akan turun ke gelanggang membantu isterinya. Namun ia kalah cepat. Sesosok bayangan berkelebat di depannya. Dan bayangan itu dengan cepat sekali dapat membuat Yogabrata kelabakan.
Dialah Yudapati yang kini merasa sudah
tiba waktunya untuk ikut- campur.
- Siapa kau? bentak Yogabrata.
- Siapa kau?
Yudapati membalas bertanya. Dia sudah terlatih bermulut jahil,manakala berhadapan dengan manusia semacam Palata. Menurut pengalamannya bisa mengacaukan pemusatan perhatian lawan.
- Aku bertanya padamu. Bukan untuk menjawab.
- Aku bertanya padamu. Bukan untuk menjawab.
Yudapati menirukan.
- Kentut! maki Yogabrata mendongkol.
- Kentut!
- Kentut apa? -
- Kentut biru. jawab Yudapati.
- Siapa yang biru? - bentak Yogabrata.
- Kentutmu.
Yudapati benar- benar dapat membuyarkan pemusatan pikiran lawan. Tahu- tahu, Yogabrata dicecar dengan jurus- jurus istimewa yang tiada ujung pangkalnya. Dan menyaksikan hal itu,hati Sabung terhibur. Terus saja ia berseru kepada Tarung:
- Tarung, maju! Kita habisi iblis itu!
- Dia mendahului Tarung menerjang Pramusinta yang sudah kena terlibat pedang pendek Tilam yang tajam luar biasa. Dua kali Pramusinta mencoba menangkis sambaran pedang Tilam dengan kebutannya. Ternyata kebutannya terpotong separoh sehingga terbang berderai terbawa angin laut.
- Hai! Dia disebut tuanku puteri. Apakah . . .
Pramusinta menduga- duga di dalam hati. Namun tak sempat lagi ia menyelesaikan bunyi kata dugaannya. Sabang dan Tarung sudah datang mengkerubutnya. Hatinya meringkas dan kepongahannya sirna sebagian. Pada saat itu juga teringatlah ia kepada senjata andalannya.
Itulah senjata
bidik beracun.
Dalam pada itu pertempuran antara Yudapati dan Yogabrata tengah memasuki saat- saat yang menentukan. Yudapati tahu, Yogabrata terlalu percaya kepada ketangguhannya sendiri. Rupanya jarang sekali ia menggunakan senjata. Semua lawannya mati hanya oleh pukulan tangannya. Itulah sebabnya dia melawan pedang Yudapati cukup dengan tangan kosong. Namun kali ini ia menumbuk batu. Pedang Yudapati tidak memberinya kesempatan untuk bernafas. Jangan lagi bisa menghimpun tenaga, sedang untuk mengelakkan sambaran pedang saja, ia terpaksa mencurahkan semua kepandaiannya. Celakanya,ilmu pedang Yudapati tidak pernah ada titik hentinya. Pedang itu bergerak terus menerus dan selalu mengincar titik titik kelemahannya. Tahu- tahu
cres!
Pangkal lengannya tertikam. Karena kaget, ia memekik kesakitan. Lalu mengerang sambil mengutuk.
Mendengar erangan kesakitan itu, hati Pramusinta tercekat. Tanpa berpikir panjang lagi. terus saja ia menghamburkan jarum- jarum berbisa. Sabang berteriak memperingatkan:
- Awas, jarum beracun!
Tilam belum pernah berhadapan dengan musuh yang bersenjata jarum berbisa. Ia terperanjat dan dengan matimatian melesat mundur. Syukur pada waktu itu, Sabung menghadang di depannya. Dengan tongkatnya, Sabung menyapu sebagian besar jarum berbisa yang menyerang bertaburan. Tak urung sisanya masih ada yang mengenai kakinya. Dan hanya beberapa saat saja. kakinya jadi kaku tak dapat digerakkan lagi. Ia roboh terguling.
Baik Tilam maupun Tarung terkejut. Cepat mereka menerjang dengan berbareng. Namun Pramusinta tidak melayani. Ia melesat mendekati Yogabrata. Melihat hal
itu. Tilam berseru kepada Yudapati:
- Awas. jarum beracun. -
Yudapati tercekat hatinya. Seperti Tilam, selamanya belum pernah ia berhadapan dengan senjata bidik demikian. Syukur pada detik itu, ia tidak kehilangan akal. Ilmu tipu- muslihat kaum cikal- bakal yang terpahat di dinding goa, mengilhaminya. Cepat ia menendang Yogabrata untuk dibuatnya perisai. Dan pada saat itu Yogabrata menjerit menyayatkan hati. Belasan jarum menancap di sekujur badannya dan mati terjengkang dengan sekejap mata.
Pramusinta benar- benar seorang iblis sejati. Sama sekali hatinya tidak terketuk menyaksikan senjatanya memakan suaminya sendiri. Sadar akan ancaman bahaya, ia perlu menyelamatkan diri sendiri. Seketika itu juga, ia memutar tubuhnya dan melarikan diri secepat angin. Namun Yudapati sudah mengambil keputusan. Baik Yogabrata maupun Pramusinta adalah dua manusia yang tidak boleh diberi ampun lagi. Itulah sebabnya, dia tadi sampai hati menendang Yogabrata sebagai perisainya,mengingat kekejamannya membunuhi orang- orang yang tidak berdosa. Terus saja ia mengejar Pramusinta. Biar sampai ke ujung dunia akan kuuber terus sampai mati, ia memutuskan dalam hati.
Tetapi dalam hal kecepatan ia kalah jauh. Sebentar saja ia sudah kehilangan bayangan Pramusinta. Walaupun demikian, ia berhati keras. Tetap saja ia mengejar dengan lari secepat- cepatnya. Apakah sudah tepat mengikuti arah larinya Pramusinta, tidak lagi dihiraukan. Sewaktu memasuki tikungan, tiba- tiba ia melihat suatu pemandangan yang aneh. Pohon- pohonan yang tumbuh di seberang menyeberang jalan, menunduk layu. Batang,ranting dan daunnya bersemu hitam. Juga rerumputan yang tumbuh
disekitarnya.
- Hei. mengapa? ia: berhenti mengamat- amati.
******
SEORANG PERTAPA YANG ANEH
YUDAPATI adalah seorang yang cermat. Setiap kali menaruh perhatian terhadap sesuatu, tidak akan melepaskan pengamatannya sebelum memperoleh kesimpulannya yang jelas. Dengan memasang matanya ia mulai menyelidiki. Di depannya ia melihat sepetak tanah dengan rerumputan seperti terbakar. Belasan jarum terbuat dari perak menancap berjajar. Panjangnya tidak lebih dari panjang ibujari. Pangkalnya terukir indah dan ujungnya berwarna hitam. Seekor kelabang, dua tabuan(tawon), belalang, jangkrik dan barisan semut mati di sekitar jajaran belasan jarum itu. Ia heran bukan kepalang. Sekonyong- konyong seekor kutu tanah datang berloncatan hendak menyeberang rerumputan itu. Pada saat itu juga, mati terjengkang tatkala menyerempet batang jarum. Menyaksikan hal itu, tahulah ia sekarang sebab musababnya.
- Ih, senjata iblis itu sama jahatnya dengan majikannva.
Yudanati berkata dalam hati.
- Kalau begitu, paman Sabung pada saat ini niscaya sudah mati.
Teringat akan kemungkinan itu, ia bermaksud hendak memutar tubuhnya. Tiba- tiba ia mendengar suara tertawa pelahan di balik gerumbul pepohonan. Ia melemparkan pandangnya dan melihat Pramusinta muncul dari balik belukar. Dengan penuh waspada ia mengawaskan kedua tangan iblis itu. '
- Anak muda, sebenarnya siapakah engkau? - tegur Pramusinta dengan suara manis.
- Mengapa engkau membela mereka dengan mati- matian? -
- Hm. -
Yudapati mendengus.
- Apakah secepat ini engkau tertarik kepada laki- laki lain, setelah suamimu mati?
Yudapati sengaja berbicara jahil seperti tadi. Pertemuannya dengan Palata dahulu banyak memberinya pelajaran dan ajaran padanya, bagaimana caranya menghadapi lawan yang licin. Dia tidak gentar menghadapi kecepatan dan kegesitan iblis itu. asal saja bisa bertempur dalam jarak dekat. Jurus- jurus pedangnya yang mengutamakan tempat- tempat yang tak terlindung, lambat- laun niscaya dapat merepotkannya. Tetapi mengingat iblis itu menggenggam senjata yang beracun jahat, perlu ia berwaspada pada setiap gerak tangannya.
- Apakah dia suamiku benar- benar? Dari mana engkau tahu? - ujar Pramusinta.
Itulah kata- kata yang sama sekali berada diluar dugaan Yudapati.
Untuk sejenak ia terhenyak. Namun segera ia mendapat jalan keluarnya. Sahutnya:
- Ah ya . seorang pendeta masakan boleh kawin? Tetapi kalau hanya bergaul bukankah tak ada halangannya?- -
- Ngacau! - teriak Pramusinta marah.
Yudapati tertawa terbahak- bahak. Ucapannya ternyata
mengenai sasaran. Katanya lagi:
- Menurut kata sahabatku. seorang bhiksuni boleh bergaul dengan empat atau lima laki- laki.
- Kurangajar! Siapa sahabatmu itu?
Pramusinta melesat maju dengan wajah merah padam.
- Sahabatku adalah sahabatku. Apakah engkau ingin bergaul juga dengannya? -
Tak dapat lagi Pramusinta menahan diri. Terus saja ia menerjang dengan kebutannya. Yudapati sudah bersiaga semenjak tadi. Begitu kehutan Pramusinta bergerak, segera ia mendahului. Yang diserangnya adalah tempat yang tak terlindungi. Terpaksa Pramusinta menarik serangannya untuk menangkis. Justru demikian, pedang Yudapati mulai bergerak. Dan sekali bergerak, jurus- jurus sambung mencecar tiada habisnya.
- Bagus! tiba- tiba terdengar suara memuji.
Baik Yudapati maupun Pramusinta terperanjat. Iblis perempuan itu, lantas saja melesat menjauhi sambil membentak:
- Siapa? ,
Ia celingukan dengan bersiap penuh. Namun orang yang bersuara memuji tadi, tiada nampak bayangannya. Yudapati sendiri, dengan diam- diam pula mengembarakan penglihatannya. Tetapi ia tidak perlu membagi perhatian karena orang yang bersuara memuji tadi tentunya berada dipihaknya.
- Anak muda! Jangan biarkan dia mengambil jarak! Desak dan jangan beri kesempatan dia bernafas. - kata orang yang bersuara tadi. -
Kata- kata peringatan itu. menyadarkan Yudapati. Terus saja ia melompat menghampiri. Namun Pramusintapun seperti diingatkan pula. Pada waktu Yudapati tengah berada di udara, ia menimpukkan belasan jarum
beracunnya bagaikan hujan gerimis. Menghadapi serangan demikian,terpaksalah Yudapati memutar pedangnya untuk melindungi diri. Belasan jarum dapat diruntuhkan ke tanah, tetapi bukan berarti seluruhnya. Sebab, sebelumnya belum pernah Yudapati berlatih memutar pedangnya sepesat kitiran menangkis deras hujan.
- Celaka! ia mengeluh di dalam hati.
Tetapi ajaib!
Beberapa jarum yang hampir menyentuh tubuhnya runtuh berguguran ke tanah. Pramusinta yang hampir bersorak menang, terperanjat. Secepat kilat ia melesat maju untuk memeriksa apa sebab terjadi demikian. Hatinya kecut dan suatu rasa takut menjalar keseluruh tubuhnya. Sebab jarum- jarumnya itu hanya diruntuhkan oleh beberapa butir kerikil kecil yang tidak melebihi besarnya sebutir beras. Kalau saja si pelempar tidak memiliki tenaga sakti yang dahsyat, tidak mungkin dapat berbuat demikian.
Dari kecut hati, ia jadi penasaran. Sekali lagi ia celingukan. Kali ini ia melihat seorang laki- laki yang mengenakan jubah putih, berdiri tegak bagaikan patung. Rambut laki- laki itu sebatas pundak, putih perak dan berkesan lembut. Tetapi pandang matanya memancarkan kewibawaan agung. Tak dikehendaki sendiri, ia selangkah, sambil membentak setengah menggeletar.
- Siapa?
Tetapi laki- laki berjubah itu yang tentunya sudah berusia lanjut,tidak menghiraukan pertanyaannya. Dia berkata kepada Yudapati:
- Iblis itu sudah terlalu banyak membunuh orang orang tak berdosa. Nah, anak muda, tuntutkan dendam mereka!
Seperti tersihir, Yudapati mendekati Pramusinta. Tentu saja. Pramusinta tidak mau menerima nasibnya
dengan begitu saja. Tangannya bergerak hendak melepaskan belasan jarumnya lagi. Pikirnya. orang tua itu tidak akan dapat meruntuhkan jarumnya, karena terhalang tubuh Yudapati. Seumpama dia harus mati. Yudapati akan mati lebih dahulu. Dengan begitu,matinya cukup berharga. Namun jalan pikirannya dan kenyataannya selisih jauh. Entah apa sebabnya, kedua tangannya tak dapat digerakkan lagi. Sadar akan hal itu, ia segera mengambil keputusan. Keputusan seorang iblis sejati yang dapat menunggu maut dengan hati dingin.
- Kau mau bunuh aku, bunuhlah - cepat! Pedangmu memang hebat! - ia mengejek.
Yudapati adalah seorang perajurit sejati, kalau tidak boleh dikatakan seorang pendekar yang berhati mulia dan bersifat jantan. Begitu mendengar ucapan Pramusinta, kehormatannya terpukul. Memang, ia tadi sudah memutuskan akan membunuh iblis itu. Tetapi dengan cara bertempur sebagai layaknya seorang perwira. Kalau membunuh seseorang dalam keadaan tak berdaya, rasanya tidak sesuai dengan panggilan hatinya. Maka ia memutar tubuhnya hendak menyatakan isi hatinya kepada orang tua itu. Sekonyong- konyong wajah orang tua itu berubah. Sebab pada saat itu, tubuh Yudapati menghalangi penglihatannya terhadap Pramusinta.
- Awas! - ia memperingatkan.
Pramusinta memang seorang iblis sejati. Begitu merasa mendapat kesempatan, seketika itu juga ia menaburkan belasan jarum mautnya. Karena dirinya terlindung oleh tubuh Yudapati, kedua tangannya dapat bergerak leluasa seolah- olah terlepas dari suatu tekanan tenaga yang tidak nampak.
Peringatan itu mengagetkan Yudapati pula. Ia menyadari kelengahannya. Seperti gangsingan yang diputar,
secepat itu pula ia memutar tubuhnya. Tetapi jarak antara dia dan Pramusinta terlalu dekat. Gerakan pedangnya hanya dapat meruntuhkan sebagian kecil jumlah jarum yang ditabur iblis itu.
- Celaka! - seru orang tua itu yang berada di belakang punggungnya.
Ia hanya sempat melihat Pramusinta melarikan diri secepat kilat lalu roboh tak sadarkan diri. Apa yang terjadi setelah itu berada di luar ingatannya.
Di waktu ia membuka matanya kembali, entah sudah berapa lama ia kehilangan kesadarannya. Yang terlihat di depan kelopak matanya adalah suasana yang gelap pekat.
- Apakah aku sudah mati? itulah pertanyaannya yang pertama kali kepada dirinya sendiri.
lambat- laun dapatlah ia mengingat- ingat apa yang
sudah dialaminya. Waktu itu, masih sempat ia melihat berkelebatnya belasan jarum beracun Pramusinta yang menghujani dirinya. Tak sempat lagi ia melesat mundur atau mengelakkan diri. Satu- satunya perbuatan yang dapat dilakukannya hanya mencoba meruntuhkan semua jarum yang mengancamnya. Ia berhasil merontokkan sebagian. Namun tepat pada saat itu, kaki dan pinggangnya menjadi baal dan kaku. Lalu . . . iblis itu memutar tubuhnya dan lari menerjang belukar dengan secepat- cepatnya. Setelah itu. . . semuanya menjadi gelap. Kalau begitu, aku memang sudah mati. ia yakin. Lalu mengeluh:
- Celaka! Tak kusangka bahwa dunia baka begini gelap gulita. Jangan- jangan yang kulihat ini adalah liang kubur. Lalu, siapakah yang mengubur diriku? 0 ya . . . bukankah orang tua itu menyaksikan kematianku? Yah mudah- mudahan, dia menaruh belas kasih sehingga berkenan menguburku. -
Karena berpikir demikian, ia mencoba bangun. Ia
heran dan terperanjat. Sekarang dapatlah ia menggerakkan seluruh anggauta badannya dengan leluasa. Rasa baal dan kejangnya dahulu, sirna. Bahkan tubuhnya terasa ringan sekali. Kalau begitu aku benar- benar sudah mati. Pikirnya berulang kali.
Dengan penasaran kini ia melompat bangun. Karena mengerahkan tenaga, tubuhnya tiba- tiba membal ke atas dan menumbuk suatu batas bangunan.
Duk! Dan ia terbanting turun dengan dihujani rontokan tanah dan batubatu sebesar tinju. Syukur.. ia dapat menguasai lontaran balik dengan cepat sehingga tidak perlu jatuh mencium tanah. Tetapi rontokan tanah dan batu yang menghujani dirinya membersitkan rasa cemas. .
- .. Ah! Benar- benar aku berada di dalam liang kubur, ia berkomat- kamit. Tetapi mengapa aku masih dapat bernafas? Apakah karena aku sudah berbadan roh? Kalau tidak, mengapa tubuhku dapat membal ke atas dengan ringan sekali?
Ia mencoba menajamkan penglihatan. Syukur, ia pernah berada di dalam goa hampir satu bulan lamanya. Secara tidak langsung,pandang matanya sudah terlatih menembus tirai kegelapan. itulah sebabnya dengan cepat dapatlah ia menyesuaikan diri. Sekarang ia melihat bahwa ruang yang dikiranya liang kubur itu berukuran luas mirip sebuah goa.
- Mudah- mudahan penglihatanku ini bukan satu kesaksian bahwa diriku sudah berbadan roh, sehingga barang padatpun nampak lapang. - ia berkata dalam hati.
Selagi demikian, ia mendengar suara yang dikenalnya:
- Bagus! Kesehatanmu sudah pulih.
Secepat kilat ia berputar ke arah datangnya suara sambil berseru menyahut:
- Eyang! Eyangkah yang berbicara kepadaku?
- Eyang siapa?
- Bukankah eyang yang menolongku menggebah iblis perempuan itu?
- Hm. anak tolol! Hampir saja aku kehabisan tenaga.
Sekarang Yudapati tidak ragu- ragu lagi, bahwa dirinya sesungguhnya masih hidup. Hidup sebagai manusia dan bukan berbadan roh. Terus saja, ia menjatuhkan diri sambil berkata:
- Eyang! Aku bernama Yudapati, dengan ini menghaturkan sembah.
- Hm, berapa orang yang pernah kau sembah?
- Empat. Mengapa? -
Yudapati tercengang.
- Siapa saja?
- Ayah, guruku, kakekku dan sekarang eyang. -
- Mengapa engkau menyembah ayahmu? -
- Tidak hanya ayah. Ibupun kusembah.
- Kalau engkau menyembah kepada ibumu, mengapa tak kau hitung? " .
Yudapati makin tercengang. Namun pada saat itu, segera ia sadar sedang menghadapi seorang yang berwatak aneh. Maka jawabnya tak kalah melit:
- Menurut pendapatku tiada terdapat pemisahan antara ayah dan ibu. Itulah sebabnya, kuhitung satu. -
Orang Tua itu diam sejenak seperti sedang menimbang nimbang. Berkata lagi:
- Baik. Lalu mengapa kau sembah?
- Sebab aku merasa berhutang hidup padanya. Mereka berdualah tempatku menggantungkan hidupku. Seumpama bunda tidak berkenan menyusuiku, aku sudah masuk liang kubur semenjak dilahirkan. Seumpama ayah tidak berkenan memberiku makan- minum, pendidikan. pengajaran dan perlindungan. pada saat ini mungkin aku meniadi binatang. Seumpama mereka berdua tidak berkenan
membimbingku untuk belajar mengerti bersujud kepada Hyang Widdhi - pada saat ini mungkin aku sudah menjadi iblis. -
- Hai. semenjak kapan engkau pandai berbicara? - tegur orang tua itu dengan suara agak kurang senang.
- Semenjak kanak- kanak, jawab Yudapati pendek.
Orang tua itu diam sejenak. Tiba- tiba tertawa terbahak bahak. Hebat akibatnya. Tiba- tiba ruang itu tergetar dan tanah serta batu- batunya meluruk ke bawah. Serunya pula:
- Cocok, cocok! Kau bisa melucu juga sepertiku. lalu mengapa engkau menyembah kakekmu?
- Dialah lambang leluhurku.
- Hm, boleh juga. Siapa nama gurumu?
- Resi Sanggrama Suradipati. -
- Benar- benar gurumu?
- Benar.
- Mengapa terlalu pelit?
- Pelit bagaimana?
Yudapati tidak mengerti.
- Mengapa engkau hanya menguasai Tantra tingkat tiga?
Mendengar kata- kata orang tua itu, hati Yudapati tercekat.
Mengapa dia bisa mengetahui?
Kalau bukan dewa, tentunya seorang sakti yang sudah menguasai seluruh tingkatan Tantra. Maka dengan membungkuk hormat ia menjawab:
- Ini bukan salah guru. Tetapi aku sendiri yang tidak becus. Sebab pada waktu itu, aku perlu menghidupi ayahbunda yang sudah berusia lanjut. Maka masuklah aku menjadi penjurit. Walaupun hanya berbekal Tantra tingkat tiga, ternyata aku dapat merebut kedudukan golongan perwira muda.
- Baik. kau ternyata anak jujur. Kalau begitu, tidak
sia- sia aku memompa nafasmu agar bisa kembang- kempis kembali. ujar orang tua sambil tertawa pendek.
- Nama gurumu begitu bagus. Sebaliknya namaku hanya berbunyi Brahmantara.
Sepatah kata terakhir itu, segera membuka pikiran Yudapati. Terus saja ia membungkuk hormat dan menyembah sekali lagi. Katanya mencoba:
- Eyang! Apakah eyang berkenan menerima Yudapati sebagai murid? 0. terima kasih eyang guru!
- Hus! Kapan aku memberimu ajaran sehingga engkau menyebutku sebagai gurumu?
Ternyata pengalamannya berdebat dengan Palata dan oleh ajaran warisan para cikal- bakal di goa dahulu itu,membuka pikirannya sehingga pandai memiliki tanggap sasmita (reaksi) yang cepat. Pada detik itu pula teringatlah dia, bahwa sebentar tadi tubuhnya tiba- tiba dapat membal tinggi sampai kepalanya membentur atap goa. Teringat hal itu, langsung saja ia menjawab:
- Jelas sekali aku kehilangan kesadaranku dan sebelum itu masih sempat merasakan rasa baal dan kejang. Tetapi kini sirna dari tubuhku. Siapa lagi yang memberikan pertolongan kalau bukan eyang. Yang kedua, tiba tiba saja aku memiliki tenaga berganda yang dapat membalkan tubuhku. Siapa lagi yang menganugerahi kepandaian ini. kalau bukan eyang. -
Kata- kata Yudapati ternyata mengenai sasarannya yang tepat. Brahmantara tertawa terbahak- bahak. Ujarnya:
- Kalau begitu, penglihatanku tidak salah. Kau memang anak yang tahu budi. Hatimu mulia. Tapi ingat- ingatlah. kerapkali orang jadi korban dari kemuliaan hatinya. Contohnya, hampir saja engkau mati kena jarum- jarum jahat perempuan itu. Bukankah karena engkau tidak sampai
hati hendak membunuhnya? ia berhenti sejenak lalu tertawa puas.
Berkata lagi:
- Sekian puluh tahun aku bertapa di sini. Tetapi makna tapaku engkau kalahkan hanya dalam setengah malam saja. Engkau bukan sanak juga bukan kerabat kaum nelayan yang terbunuh oleh perempuan itu. Meskipun demikian,dengan sukar ia engkau mengubur jasat mereka dan ada pula yang kau kembalikan melalui dasar laut. Bagus. bagus! Semenjak itu. hatiku tertarik padamu. Dan diam- diam aku mengamat amati.
Yudapati tercengang. Jadi sewaktu ia sibuk mengubur dan membuang mayat- mayat penduduk perkampungan nelayan, ternyata ada yang mengamatinya. Padahal baik Tilam maupun dirinya, sama sekali tidak menyadari ada yang mengintip. Kalau saja yang mengamati dirinya Pramusinta dan Yogabrata, riwayatnya sudah tammat.
- Eyang. sebenarnya kini aku berada di mana? -
- Tentu saja di pertapaanku. tolol.
- Benar. Memang kerapkali aku tolol. -
Yudapati membenarkan ucapan Brahmantara. Sikap menyalahkan diri itupun berkenan di hati Brahmantara. Kata orang tua itu;
- Yang kulakukan dahulu adalah mencabuti beberapa batang jarum dari tubuhmu. Kemudian aku mencoba menghisap racunnya keluar. Hasilnya tidak menggembirakan. Maka kubawa engkau menyeberang lautan dan kubawa kemari.
- Menyeberang lautan? -
Yudapati terbelalak.
- Tentu saja harus menyeberang lautan, karena aku tak bersayap. sahut Brahmantara.
- Sekarang aku dapat merawatmu dengan lebih cermat di Krakatau ini.
- Krakatau? Maksud eyang aku sekarang berada di salah satu goa gunung Krakatau?
- Tentu saja. Apakah ada nama lain, selain Krakatau? Barangkali kau ini tidak hanya sering tolol, tetapi benar benar tolol! ..
Yudapati tertegun. Pikirnya di dalam hati:
- Masakan aku harus mengetahui dimana diriku berada dalam keadaan pingsan? Siapapun tidakkan mampu. Bagaimana orang harus sadar dalam keadaan kehilangan kesadarannya? tetapi karena orang tua itu bermaksud baik, akhirnya ia merasa geli. Bahkan tak terasa, lambat laun ia mulai tertarik kepada lagak- lagunya. Pikirnya, tak mengapa ia mentolol- tololkan diriku. Kalau dibandingkan dengan kesaktian yang dimilikinya, apakah arti diriku ini.
- Hai! Mengapa engkau diam saja? tegur Brahmantara.
- Aku memikirkan kata- kata eyang. Agaknya tepat dan benar sekali. Aku ini benar- benar tolol.
- Siapa yang berkata begitu? Kularang engkau mengucapkan kata- kata tolol lagi, kecuali aku.
Yudapati tercengang untuk sekian kalinya. Tapi kali ini dengan cepat ia menyembah hormat. Sekarang tahulah dia, bahwa orang tua di hadapannya ini berwatak aneh. Dia akan tersinggung kalau harus menjawab suatu pertanyaan. Juga tidak senang kalau dirinya hanya mengamini semua kata- katanya. Kalau begitu, harus dengan cara yang bijaksana. Tetapi ucapannya yang terakhir itu, jelas menggambarkan rasa sayang kepadanya. Untuk itulah. ia merasa bersyukur dan menyembahnya dengan tulus ikhlas. Katanya:
- Ilmu pedangku adalah ilmu pedang cakar ayam. Ilmu pedang serabutan. Ilmu pedang awut- awutan. Meskipun demikian belum juga menyadari. Bukankah aku seorang tolol?
- Belum tentu. Orang lain tidakkan berani menyatakan begitu. Kecuali kalau dia tolol dan sinting. Sebab kulihat jurus- jurus pedangmu merupakan puncak- puncak tipu- muslihat tinggi. Hanya saja kurang sempurna. Entah apa sebabnya engkau hanya memiliki setengah matang. sahut Brahmantara.
Yudapati menatap muka Brahmantara. Orang tua itu bersandar pada dinding goa dengan sikap santai. Wajahnya jernih. Bersungguh- sungguh namun nampak ramah. Ia tidak berani lagi mengganggu dengan pertanyaan- pertanyaan lagi, meskipun ingin mengetahui bagaimana orang tua itu menyembuhkannya. Sikap diamnya, ternyata membawa hasil. Sebab tidak lama kemudian berkatalah ia lagi:
- Engkau hanya memiliki beberapa gabungan ilmu pedang. Mungkin pula ditambah dengan beberapa senjata lainnya. Akan tetapi di dunia ini terdapat ratusan bahkan ribuan macam kepandaian. Dapatkah ilmu pedangmu itu mengatasi semua kepandaian di jagad raya ini. Buktinya engkau tidak berdaya menghadapi serangan jarum beracun. Padahal yang termasuk senjata bidik, tidak hanya berbentuk jarum semata. Mungkin berupa butir- butir besi, mungkin ranting kayu. daun, gas beracun dan lain lainnya. Dan tahukah engkau, bahwa masing- masing mempunyai caranya sendiri untuk mengendalikannya? Cara menyambitkan jarum dan butir- butir besi tentu saja lain. Begitupula senjata- senjata bidik lainnya. Pernahkah engkau memikirkan hal itu? ...
- Tidak. Terus- terang saja baru sekarang terbukalah kesadaranku. -
- Bagus! -
Brahmantara gembira.
- Andaikata engkau tidak secara kebetulan bertemu denganku. engkau termasuk seorang pendekar berkepandaian tinggi atau
tolol'!
- To ..... hampir saja Yudapati menjawab tolol.
Syukur segera ia teringat bahwa Brahmantara melarang dirinya mengucapkan kata kata tolol, lagi. Maka buru buru ia menelan setengah ucapannya.
- Macam senjata apa saja yang sudah kau kenal?
Brahmantara minta keterangan.
- Kecuali pedang panjang. secara kebetulan pula aku mempelajari jurus- jurus pedang pendek, pedang bergigi. pedang ganda. palu godam. kapak. penggada. tombak dan golok. jawab Yudapati.
- Secara kebetulan?
Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Brahmantara heran. .
- Ya. karena aku belajar tanpa guru. sahut Yudapati pendek.
Kemudian ia mengisahkan pengalamannya - di dalam goa yang secara kebetulan menemukan pahatan warisan ilmu sakti para cikal- bakal.
Dengan penuh perhatian Brahmantara mendengarkan keterangan Yudapati. Kemudian memanggut- manggut dengan penuh pengertian. Katanya: '
- Inilah yang dinamakan jodoh. Dalam pergaulan hidup, setiap orang bekerja demi mencari rejeki. Tetapi sesungguhnya, rejekilah yang mencari jodohnya. Lalu bagaimana caranya kau' menggabungkan ragam ilmu kepandaian itu? -
- Hanya diilhami oleh mimpi.
- Hanya diilhami oleh mimpi? -
Brahmantara mengulang. .
- Benar. Secara kebetulan aku bermimpi bertempur dengan seorang pemuda tanggung yang sedang kalap. Beberapa saat lamanya, aku kehilangan pegangan karena tidak segera tahu bagaimana cara melawannya. Di kemudian hari kusadari, bahwa yang menentukan menang dan kalah sesungguhnya adalah soal perebutan waktu. Karena itu. tujuan utama dari ilmu pedangku hanyalah mengincar tempat- tempat yang lemah dengan maksud mendahului lawan selagi dia berusaha menangkis.
Kembali lagi Brahmantara mengangguk- angguk membenarkan. Katanya setengah berseru:
- Tidak terlalu salah. Sebab engkau akan ganti kerepotan andaikata bertemu dengan musuh yang memiliki kecepatan melebihi dirimu. Itulah sebabnya aku menghidupkan Tantra dalam dirimu. Semua jalan darahmu telah kutembus. Ternyata engkau tidak hanya berhasil memusnahkan racun jahat tanpa kau sadari sendiri. kinipun himpunan tenaga saktimu sudah bisa mencapai tingkatan sembilan.
- Apa?
Yudapati berjingkrak saking kagetnya.
- Aku bisa mencapai tingkat sembilan?
- Selanjutnya tinggal terserah padamu. Kau lapar atau tidak?
- Lapar? Apakah . . . - ,
- Sebab engkau sudah berada dalam pertapaanku ini selama sembilan hari pula. ujar Brahmantara.
Orang tua itu kemudian mengangsurkan sehelai kulit kambing. lalu berkata lagi:
- Kau bacalah dan latihlah sampai menguasai. Bila berhasil, berarti engkau sudah menguasai sebelas tingkat. Pada hakekatnya di jagat raya ini tidak lagi yang dapat menandingi himpunan tenaga saktimu. Lalu dapatlah engkau keluar dari goa ini.
- Mengapa sekarang tidak dapat?
Yudapati menegas.
- Sebab mulut goa sudah kusumbat dengan sebongkah batu gunung. ujar Brahmantara dengan suara tenang.
- Kau tadi sudah merasakan betapa daya kerja Tantra sampai kepalamu membentur atap goa. Tetapi bila engkau sudah membaca dan memahami tulisan di atas kulit kambing itu. maka engkau akan dapat mengatur sesuka hatimu.
- Eyang. maafkan Kali ini ada beberapa hal yang masih gelap begiku. Eyang menyinggung soal lapar. waktu sembilan hari dan mulut goa yang eyang sumbat dengan sebongkah batu. Apakah ada hubungannya? -
- Tentu saja. sahut Brahmantara agak kesal.
- Meskipun engkau memiliki ilmu setinggi langit. kaupun akan mati bila tidak makan dan minum. Karena itu, bila engkau masih menghendaki hidup panjang, carilah jalan bagaimana caranya menjebol sumbatan itu. Satu- satunya jalan, bila engkau berhasil memahami sebelas tataran Tantra. Kalau tidak, biarlah kita mati terkubur di sini. Tetapi kabarnya, mati kelaparan adalah mati yang sangat menyiksa. -
- Tetapi apa sebab aku tidak perlu makan dan minum selama sembilan hari?
- Karena himpunan tenaga saktimu kukuras habis lalu kuisi dengan seluruh himpunan tenaga saktiku. Kupikir aku sudah cukup lama hidup di dunia. Mungkin sudah berumur seratus dua puluh tahun. Apa keuntungannya membawa himpunan tenaga sakti pula ke nirwana? Di alam sana bukankah tiada gunanya lagi? -
- Ah . . . jadi . . . itulah sebabnya aku dapat membal dengan ringan sekali? Kiranya, tubuhku kini berisikan himpunan tenaga sakti eyang.
Yudapati bergemetaran karena terharu. Terus saja ia merangkak- rangkak menghampiri Brahmantara dan mencium kakinya dua tiga kali.
- Ih. geli! ujar Brahmanta seraya menarik kakinya ke dalam lipatan jubahnya.
- Jangan tergesa- gesa gembira dahulu. Mati dan hidup kita tergantung belaka kepada daya usahamu. Hayolah jangan membuang- buang waktu. Pelajari dan pahami!
Dengan tangan agak bergemetar. Yudapati menerima angsuran tangan Brahmantara. Setelah itu,ia celingukan mencari ranting kayu. Itulah sia- sisa ranting kayu bakar
Brahmantara. Kemudian ia menyalakannya dengan batu api.
Selembar kulit kambing itu. kemudian dipentangnya pelahan. Ia mulai membaca sebaris demi sebaris. Sampai tataran empat, tiada beda dengan bunyi ajaran gurunya yang harus dihafalkannya. Diam- diam ia mengerling kepada Brahmantara. Orang tua itu ternyata memejamkan matanya. Entah tidur atau berpura- pura tidur. Namun wajahnya berkesan damai menyenangkan.
- Sekian puluh tahun dia menghimpun tenaga saktinya. Lalu secara kebetulan diberikan kepadaku. Kalau aku tidak bersungguh- sungguh . . . apalagi mensiasiakan, bukankah aku akan mengecewakan hatinya sampai di akhirat? Mudah- mudahan para leluhur berkenan membimbingku: - ia berkata di dalam hati.
Kemudian ia mulai memusatkan himpunan tenaga saktinya. Suatu gumpalan hawa tiba- tiba berputar sekitar pusatnya. lalu menebar merata keseluruh tubuhnya dan rasanya nyaman luar biasa. Diam- diam ia bergembira sebab baru kali itulah ia merasakan suatu keajaiban yang luar biasa sifatnya. Sekarang ia mulai melakukan makna kalimatnya. Tingkat pertama. kedua, ketiga dan keempat. Dahulu ia memperoleh kesukaran karena jalan penyalurannya seperti tersumbat. Kini lancar begitu saja, tanpa halangan sedikitpun. Terus saja ia memasuki tingkat lima. Di sini tubuhnya jadi bergoyang. Menghadapi peristiwa itu, ia meruntuhkan- pandangnya kepada kalimat- kalimat yang terdapat pada Tantra tataran kelima. Ah, ternyata ia harus menghafalkan dahulu sampai memahami. Dan setelah kesalahan itu diperbaikinya, tataran kelima dapat dilampaui dengan lancar pula.
Oleh pengalamannya itu, ia perlu mengendapkan nafsu ingin cepat- cepat selesai. Sekarang ia membaca tataran enam dengan lebih cermat lagi. Dimulai dari menghafal lalu memahami.Dan barulah mulai.Seluruh tubuhnya mendadak saja terasa panas seperti terguyur air panas. Ia kaget dan hampir hampir berhenti. Syukur pada saat ini, terdengar suara Brahmantara memberi bimbingan:
Pusat, hati dan pikiran harus satu. Kosongkan angan dan hidupkan cipta serta karsamu!
Yudapati memahami makna kata- kata itu. Apakah yang dimaksudkan dengan istilah menghidupkan cipta dan karsa sedang angan- angan harus kosong?
Karena tidak mengerti apa yang harus dipegangnya. ia diam menunggu. Dengan tidak sengaja, ia menunggu rasa yang timbul. Berarti sudah memasuki wilayah rasa. Hasilnya luar biasa. Tiba- tiba saja, ia merasa sudah mulai bisa menguasai inti makna Tantra tingkat enam.
- Jangan tergesa- tega beralih! Sebab disinilah letak kuncinya. terdengar suara Brahmantara lagi.
Oleh peringatan itu, hatinya jadi sabar dan telaten. Ia mencoba menghilangkan semua bentuk pikirannya. Ternyata hanya dapat menipiskan saja. Itupun berkat. sebentar tadi ia sudah mengira dirinya mati. Dengan demikian, ia jadi tak mengacuhkan lagi apa yang terjadi di luar dirinya. Dan begitu dirinya memasuki alam angan angan yang tipis, seluruh tubuhnya terasa dijalari suatu gumpalan yang halus hangat dan nyaman. Tidak berbentuk gumpalan- gumpalan hawa seperti sebentar tadi. Setelah membiarkan dirinya berada dalam keadaan demikian beberapa saat lamanya, pelahan- lahan ia mulai melepaskan ketentuan- ketentuan dasar yang harus dilakukannya. Kemudian memasuki alam angan- angan kosong dan melepaskan lagi tak ubah orang bernafas. Dengan demikian. secara tidak sadar mulailah ia dapat mengatur tenaga dalamnya. Teringat bahwa tataran keenam merupakan kunci
permasalahannya. Ia mengulangi dan mengulang lagi. Seluruh badannya terasa makin segar dan segar. Sama sekali rasa lelah. lesu. lapar dan dahaga. Dengan sendirinya lupa pula pada waktu. Apabila sudah merasa cukup menguasai perlahan ia melepaskan diri dan kembalilah ia seperti sediakala.
- Hah. ia melepaskan nafas lega.
Lalu diam- diam ia melirik kepada Brahnantara. Suasana dalam goa bertambah gelap. Tentunya malam hari sudah tiba. Hanya saja, penglihatannya kini jadi tajam luar biasa. Juga pendengarannya dapat menembus dinding goa. Dengan jels, ia melihat Brahmantara bersandar dengan tenangnya pada dinding, dan sayup sayup pendengarannya menangkap bunyi desah ombak di luar goa.
- Tidurlah, eyang! Aku akan berusaha mewujudkan harapanmu. ia berkata dalam hati.
Hati- hati ia membuat obor dan dengan seksama mengamati bunyi tulisan Tantra tingkat tujuh. Teringat, bahwa tingkat enam memegang kuncinya, ia perlu mengosongkan angan- angan dan menyatukan pikiran, hati ke pusar. Kali ini hasilnya berbeda. Tiba- tiba seluruh tubuhnya berkeringat. Suatu rumunan hawa panas dan dingin saling mengendapkan. Sewaktu mengintip apa yang terjadi dengan membuka jendela matanya. obor yang menyala di depannya padam dengan mendadak. Segera ia menutup kelopak matanya kembali dan melanjutkan memahami Tantra tingkat tujuh. Seperti tadi ia mengulangi dan mengulangi. Dan hawa yang keluar dari tubuhnya makin tebal sampai pandang matanya tidak kuasa menembus.
- Apakah ada yang salah? ia berpikir.
Pelahan- lahan ia melepaskan diri dan menunggu sampai uap yang berubah menjadi dinding pelindung, sirna dari pengamatan. lalu menyalakan obornya kembali untuk
memeriksa bunyi kalimat Tantra. Sekarang ia membaca kalimat kunci Tantra tingkatan kedelapan. Ia mencoba memahami dan mempraktekkan dalam ruang benaknya.
Kelihatannya terdapat sedikit pertentangan.
Apakah harus kumulai dari tingkat ketujuh dahulu?
ia menimbang- nimbang.
Yudapati sudah mempunyai pengalaman memecahkan masalah demikian dengan seorang diri tatkala dahulu memahamkan pahatan ilmu sakti peninggalan para cikal- bakal. Begitu berpikir terus saja ia melakukannya. Hanya saja kali ini ia lebih bersikap hati- hati. Sebab ia berhadapan dengan akibat akibat yang tidak nampak oleh pengamatan mata. Pedomannya berada pada ketajaman naluriah dan hati.
Karena ia mulai dari tataran ketujuh,kembali lagi uap tebal membersit dari dalam dirinya. Lalu pelahan lahan ia memasuki wilayah tataran kedelapan. Yang terjadi adalah sebaliknya. Suatu kesiur angin muncul membuyarkan dan menghembus dinding uap yang menungkrap dirinya. Lalu disusul dengan gemuruhnya atap dan dinding gua yang rontok meluruk. Takut akan membangunkan Brahmantara yang kelihatan tidur nyenyak,buru- buru ia menghentikan. Ternyata Brahmantara masih saja tertidur nyenyak. Sama sekali orang tua itu tidak terusik oleh suara gemuruh. Karena itu ia melanjutkan usahanya untuk lebih menguasai Tantra tingkat delapan .Sekarang ia bertitik- tolak dari tingkat enam. Hasilnya sungguh menggembirakan. Tiada lagi ia kehilangan kontrol. Gumpalan angin yang berputar menderu- deru di dalam dirinya tidak dibiarkan keluar dengan begitu saja. Tetapi tercemplung di dalam wilayah angannya yang kosong tiada bertepi. Sebaliknya sarinya saja yang dibiarkan membersit untuk menyapa asap tebal yang menuugkrapi dirinya
- Ah benar! Tataran enam memang mnjadi kuncinya, ia bergembira.
Karena sudah yakin benar bahwa kuncinya berada pada tingkatan enam maka ia mencoba memasuki makna kalimat- kalimat Tantra tingkat sembilan. Kemudian suatu keajaiban terjadi. Tiba- tiba saja tanah dimana dia duduk bersila, amblong gempur berguguran. Ia terperanjat bukan kepalang. Cepat ia meletik ke luar tanah yang sudah berlobang menjadi liang.
- Hai! Mengapa jadi begini? Apakah tanah ini lembek? ia menebak- nebak.
Yudapati adalah seorang pemuda yang tidak hanya cermat, tetapi keras hati pula. Ia tidak mudah menyerah menghadapi suatu msalah meskipun kerapkali berada diluar kemampuannya. Segera ia memilih tempat yang keras. Namun akibatnya demikian pula. Sekali lagi ia beralih tempat, akibatnya sama pula. Maka mulailah ia berpikir memecahkan teka- teki itu.
Mengapa?
Mengapa?
Apakah berat badanku bertambah dengan mendadak?
Atau tataran sembilan berintikan himpunan tenaga gempuran?
Kalau benar, mengapa hanya satu arah?
Mengapa dinding kiri kanan dan atap goa tidak tergempur runtuh?
Gagal atau benar? - ia berteka- teki dengan dirinya sendiri.
Ia melemparkan pandang kepada Brahmantara. Orang tua itu masih saja tertidur dengan nyaman. Syukur, ia tidak terusik. Justru demikian, teringatlah dia kepada kata- katanya. Kata orang tua itu:
. . . engkau tidak hanya berhasil memusnahkan racun jahat tanpa kau sadari sendiri, kinipun himpunan tenaga saktimu sudah bisa mencapai tingkatan sembilan.
- Kalau begitu, aku sudah berada pada sasaran yang benar, ia memutuskan. Tantra tataran sembilan berintikan himpunan tenaga gempuran. Memperoleh pikiran demikian.
ia menghela nafas. Tiba- tiba suatu pikiran lain menusuk benaknya:
- Tetapi mengapa eyang hanya membuka saluran Tantra sampai tingkat sembilan saja? Kalau aku diharuskan mencapai tingkatan sebelas. mengapa hanya diantarkan sampai tingkatan sembilan saja? =
Dengan cermat dan hati hati, ia mengamat- amati bunyi kalimat Tantra yang ke sepuluh. Lalu memahaminya dengan sabar. Ternyata tata lakunya bekerja sebaliknya. Tiba tiba saja perasaannya jadi ringan seolah- olah bayangan yang pandai terbang kesana kemari. Ia jadi terheran- heran dan cemas.
- Celaka, kalau sampai tersesat. pikirnya.
Ia mencoba kembali ke tingkat enam, namun tiada gunanya sama sekali. Lalu mencoba hikmah tingkat sembilan yang memiliki daya berat. Daya berat itupun tidak kuasa mengerem lintasan berkelebatnya perasaan ringan. Mau tak mau, hati Yudapati mulai kecut. Untung, sekali lagi ia ditolong oleh wataknya yang kadangkala nekat. Pikirnya:
- Aku sudah kepalang- tanggung. Mengapa tidak melanjutkan saja ketingkat sebelas? Kalau harus tersesat, biarlah tersesat sama sekali.
Inilah salah satu wataknya yang pernah menolong dirinya sewaktu menghadapi Palata. Dengan tekat harus melawan, akhirnya ia memperoleh kemenangan meskipun harus dibelinya mahal.Juga kali ini demikian pula.
Dengan mempertaruhkan semua kemampuannya, mulailah ia mengamati bunyi tulisan Tantra tingkat sebelas. Tetapi tulisan yang terdapat di situ, tidak dapat dibacanya. Sebab bukan berbentuk huruf. Melainkan lingkaran- lingkaran dengan pola- pola tertentu. Sedang demikian, himpunan tenaganya bergolak hebat.
Syukur ia pernah belajar memahami pahatan ukiran gambar yang dahulu dimulai dengan menirukan gaya jurusnya. Sekarang dalam keadaan tersudut, tiada waktu lagi untuk berpikir. Secara untung- untung, ia mencoba menyalurkan himpunan tenaganya yang bergolak mengikuti polanya. Ternyata himpunan tenaganya seperti memperoleh saluran yang tepat. Arusnya tiba- tiba saja membanjir mengikuti garis polanya. Ternyata pola- pola lingkaran itu adalah intisari Tantra mulai tataran pertama sampai kesebelas.
Lambat- laun mulailah ia menyadari. Itulah tata- hukum memadukan atau memanunggalkan himpunan tenaga sakti Tantra. Sadar akan hal itu, tidak berani ia menggerakkan kaki dan tangannya. Jangan-jangan mempunyai akibat diluar perhitungannya. Siapa tahu, goa itu akan hancur lebur. Kalau sampai terjadi demikian, ia tidak hanya mencelakakan diri sendiri, tetapi Brahmantara pula yang sedang tertidur nyenyak.
Alangkah mengerikan. Di alam baka ia bakal diuber- uber orang tua itu untuk menuntut pertanggungjawaban.
Karena dasar penyalurannya berpegang pada cipta dan karsa, maka ia membayangkan dirinya seolah- olah berada di alam impian. Di sana ia menciptakan musuh yang tidak nampak lalu diajaknya bertempur. Entah sudah berapa lama ia berada dalam alam cipta itu namun yang terasa dalam dirinya adalah rasa nikmat. segar, tegar. bugar dan bersemangat. Sama sekali ia tidak merasa letih atau lapar dan dahaga.
- Apakah selama hidupku harus berkhayal terus menerus? ia berkata di dalam hati.
Oleh pertimbangan itu, mulailah ia mundur beringsut. Begitu beringsut mundur. terjadinya terlalu cepat. Mendadak saja,ia sudah terbebas dari semuanya.
- Bagus!- ia berseru girang di dalam hati.
Untuk menyakinkan hal itu, ia mengulangi lagi sampai empat lima kali. Semuanya berjalan tak kurang suatu apa. Bahkan makin lama makin lancar dan tiada lagi mengambil jarak. Tantra dan dirinya sudah menjadi satu pengucapan ibarat manusia dengan darah dan dagingnya. Betapa girang dan bersyukur. tak dapat ia melukiskan keadaan hatinya. Terus saja ia melompat bangun. Setelah menyalakan obor, ia menghampiri dan membungkuk hormat kepada pertapa itu.
Tiba- tiba ia melihat tulisan di atas kain jubah orang tua itu. Ia berjongkok untuk membacanya. Hanya pendek saja bunyinya:
"Selamat! Bukalah pintu goa dan baca suratku. "
Yudapati tersenyum geli.
Mengapa pakai surat- suratan segala?
Dengan terharu ia menatap wajah Brahmantara yang tenang damai. Teringat, bahwa adatnya aneh, segera ia berdiri dan berkata berbisik:
- Eyang, akan kulaksanakan perintahmu. Hasil jerih payahmu tidak akan kusia- siakan.
Obor di tangannya ditancapkan di atas tanah. Kemudia ia memutar tubuhnya dan berjalan menyusur lorong. Sampailah ia di depan pintu goa yang tertutup sebongkah batu raksasa. Melihat batu itu, berpikirlah Yudapati:
- Rupanya eyang hanya mengijinkan aku berbicara dengannya, bila aku sudah berhasil menyingkirkan batu itu. Disinilah aku menghadapi ujian terakhir. Eyang yakin, bila aku sudah menguasai Tantra tingkat sembilan. tentu mampu mendorong batu itu ke luar. Kalau gagal, berarti aku harus menunggu saat ajalku bersamanya di dalam goa. Aneh! Mengapa orang tua itu ikut- ikutan mempertaruhkan jiwanya? -
Dengan kedua tangannya, ia mencoba mendorong namun tidak bergeming. Walaupun demikian ia yakin dapat mengatasinya. Pikirnya:
- Sebenarnya mudah saja kalau aku menggempurnya dari depan. Batu ini akan hancur lebur. Tetapi eyang akan terbangun. Biarlah aku mendorongnya pelahan- lahan. Ingin aku mengetahui, bagaimana kesan wajah eyang setelah melihat pintu goa terbuka. -
Memikir demikian, segera ia mengerahkan himpunan tenaga sakti tingkat sebelas. Pelahan- lahan ia mengangkat dan mendorong batu itu. Tenaga sakti Tantra memang hebat tak terkatakan. Begitu terbendung,tenaga saktinya seolah- olah mempunyai jiwa. Suatu gelombang tenaga yang sanggup meledakkan dada dan merontokkan tulang belulangnya, membanjiri keluar membobolkan batu raksasa yang menghalanginya.
Blang!
Batu itu terpental dan menggelundung ke bawah dengan suara berisik. Kemudian terdengar suara
byur!
Dan meletiklah rumpun air seperti hujan gerimis.
Yudapati terlongong- longong. Memang ia yakin bahwa himpunan tenaganya akan dapat mendorong dan mengangkat batu pengganjal pintu. Namun tidak pernah disangkanya akan sehebat dan sedahsyat itu. Tiba- tiba saja muka dan dadanya terguyur hujan gerimis. Pada saat itu ia tersadar:
Laut!
Sewaktu hendak menggerakkan kakinya untuk menjenguk tebing,teringatlah dia kepada orang tua itu yang melahirkannya kembali sebagai manusia baru. Masakan akan menuruti kata hati sendiri, sebelum menghaturkan terima kasih. Lagipula pertapa itu berpesan untuk membaca suratnya dahulu setelah pintu goa terbuka. Dan teringat akan hal itu segera ia memutar tubuhnya dan memasuki lorong goa kembali.
Surat yang harus dibacanya terletak di samping Brahmantara. Segera ia memungutnya, Karena ruang goa kini jadi terang- benderang, dengan cepat dapatlah ia mengamati tulisannya sangat jelas. Rupanya, surat itu sudah dipersiapkan tatkala dirinya pingsan sekian hari lamanya.
- Anakku. demikianlah bunyi kata permulaannya.
- Karena engkau sudah menguasai Tantra tingkat sebelas maka kedudukanmu kini adalah muridku. Dengan sendirinya aku akan memanggilmu sebagai anakku . . . -
Sampai disini. hati Yudapati terharu bukan main. Hampir- hampir air- matanya membasahi kelopak matanya. Tiba- tiba hatinya terkejut tatkala membaca lanjutannya. Kata surat itu:
- Aku percaya, engkau akan membaca suratku setelah engkau selesai menguasai Tantra tingkat sebelas. Sebab aku tahu, hatimu jujur, tulus dan mulia. Apalagi engkau seorang perwira, tentunya sudah biasa hidup berdisiplin. Selamat, selamat, anakku! Engkau sekarang sudah berhasil melanjutkan idaman hatiku. Pada hakekatnya, di jagat raya ini tiada lagi yang dapat menandingi himpunan tenaga saktimu. Tetapi pada saat ini, aku sudah mendahului pergi pulang kenirwana...
- Apa? hati Yudapati tergetar.
Ia memutar tubuhnya dan mengamati wajah orang tua itu.
- Ah, kini ia memperoleh pengamatan lebih jelas. Wajahnya tidak hanya tenang dan damai tetapi terlalu tenang dan terlalu damai. Gugup ia meletakkan surat itu dan memeriksa pernafasan Brahmantara.
- Hai! Eyang! - ia memekik terkejut.
Dengan tangan gemetar ia membuka jubah orang tua itu. Benar- benar dia sudah pergi ke alam baka. Baik detak jantung maupun pernafasannya, tiada lagi. Seketika itu juga ia rebah memeluk Brahmantara dan menangis sedih. Setelah terisak- isak tanpa kata- kata sekian lamanya, mulailah ia dapat menguasai diri. Dengan lembut ia membetulkan letak jubahnya dan kembali menatap wajah yang terlalu tenang dan terlalu damai itu.
- Eyang, tahulah aku sekarang apa arti engkau hampir kehabisan tenaga demi menolong diriku. Rupanya eyang rela berkorban demi keselamatan jiwaku. Tetapi untuk apa? Dengan tujuan apa? Apakah racun yang mengeram dalam diriku memerlukan himpunan tenaga sakti Tantra tingkat sembilan? Kukira, tidak perlu. Namun dengan tujuan tertentu, eyang merelakan seluruh himpunan tenaga sakti Tantra bersemayam dalam diriku. Sekarang dapat kupahami pula makna kata- katamu, apa keuntungannya membawa himpunan tenaga sakti pula ke nirwana. ia berkomat- kamit.
Meskipun ia tahu, Brahmantara beradat aneh, namun setitik prarasa tiada pernah terlintas dalam benaknya bahwa orang tua itu sesungguhnya sudah melangkahkan sebelah kakinya ke liang kubur. Karena itu, menghadapi kenyataan demikian, hatinya masih gelap. Tak dapat ia menembus teka- tekinya. Justru demikian, teringatlah ia kembali kepada surat Brahmantara. Terus saja ia menyambarnya dan dengan duduk bersimpuh ia membacanya.
- Anakku, mengapa jadi cengeng? itulah permulaan kalimat lanjutannya. Rupanya Brahmantara dapat menebak tepat keadaan hatinya setelah mengetahui dirinya terbujur sebagai mayat.
- Masalah dunia tidak dapat kau selesaikan dengan tangis dan kutukan. Sekarang bacalah suratku ini dengan tenang . . . sampai disini Yudapati menghela nafas.
Kemudian membaca lagi dengan hati tenang. '
- Ilmu penghimpunan tenaga sakti Tantra yang kau miliki kini adalah murni. Kuperoleh dari Resi Gunadewa,seorang satria- brahmana tanpa tanding. Hanya saja aku
tidak berbakat. Aku hanya mencapai tingkat sembilan. Kau tahu apa sebabnya? Karena watakku tidak jodoh. Aku terlalu mementingkan diri sendiri. cepat marah, mudah tersinggung, pendendam dan sombong. Kukira adik- seperguruanku demikian pula. Dia bernama Punta Dewakrama. Jurus- jurus pukulannya terlalu kejam. Dalam hal ini, aku menang setingkat. Tetapi didalam hal adu tenaga. aku kalah. -
Yudapati berhenti membaca. Dewakarma . . . Dewakarma . '. . rasanya ia pernah mendengar nama itu. Kalau tidak salah, Tilam yang menyebut- nyebut nama itu. Tetapi dalam hubungan apa, ia kurang jelas. lalu ia melanjutkan membaca.
- Waktu itu, kami masih sama- sama muda. Aku sudah mencapai Tantra tingkat tujuh. Kami berselisih mengenai masa depan. Dia bercita- cita hendak mendirikan suatu perguruan yang diharapkan kelak menjadi bekal membangun kekuasaan baru. Sebaliknya, pahamku tidak demikian. Aku memilih hidup merdeka sebagai seorang pendekar yang tak terkalahkan. Ia mencela diriku sebagai seorang yang tak ada gunanya hidup di dunia. Kau tahu, aku mudah tersinggung dan cepat marah. Maka kami bertempur mengadu kepandaian. Dalam hal ragam jurus berkelahi, aku memang setingkat. Tetapi sewaktu mengadu tenaga, aku terpental jatuh. Aku diludahi. Bagiku, itulah suatu penghinaan yang tiada tara. Aku kemudian bermukim di pinggang gunung ini. Gunung indah permai yang berdiri di atas lautan. Dengan sungguh- sungguh, aku menekuni dan mendalami rahasia Ilmu sakti Tantra. Tetapi aku hanya dapat mencapai tingkatan sembilan. Sebenarnya dengan bertambah usia, aku sudah dapat menguasai diri. Semangat mau menang sendiri. Sudah agak mengendur. Tidak penting lagi aku mencari dia untuk
kutantang adu kepandaian. Tetapi kemudian timbul suatu masalah yang mencemaskan diriku. Bagaimana kelak aku harus mempertanggungjawabkan Tantra kepada guru di alam baka? Sebab ilmu Tantra yang diajarkan padaku tidak boleh punah di tengah jalan. Kecuali bermakna mengkhianati sejarah kemanusiaan. juga berdosa kepada Hyang Widdhi yang sudah berkenan bermurah hati terhadap makhluknya menganugerahi pengertian sedalam itu. Dalam hal ini. gurupun akan terseret pula oleh kegagalanku menguasai Tantra tingkat sebelas. Karena itu, anakku. Tantra yang sudah kau kuasai, harus kau wariskan kepada angkatan penerus. Dengan begitu. Tantra tidakkan punah di bumi ini. membaca kalimat terakhir itu, tak terasa Yudapati memanggut.
- Rupanya kepedihan hatiku didengarkan Hyang Widdhi Wisesa. Aku tertarik melihat engkau menanam dan menceburkan jenasah kaum nelayan. Engkaupun bersikap mulia hati terhadap seorang iblis. Kecuali itu, ilmu pedangmu mengherankan diriku. Itulah ilmu pedang pecahan dari Tantra. Maka pada detik itu, aku memutuskan hendak mengambilmu jadi murid penerus. Betapa terkejutku, tatkala engkau terkena jarum berbisa iblis itu. Namun aku sudah bertekad dan yakin, bahwa engkaulah yang dapat kuharapkan mengantarkan atmaku dan atma guruku ke nirwana. Dari sanalah aku akan selalu memberkatimu. Anakku, tak usah engkau menyentuh jasatku. Kau tutup saja pintu goa itu rapat- rapat.Aku sudah biasa hidup dalam pelukan bumi Krakatau . . . -
Pelahan-lahan Yudapati meletakkan surat Wasiat Brahmantara yang kini sudah tiada lagi. Ia menatap wajah pertapa yang aneh itu, lalu membungkuk hormat serendah tanah. Berkata terharu:
- Guru! Akan kulaksanakan perintah guru. Di kemudian hari aku akan mencari penerus Tantra.
Pergaulannya dengan orang tua itu, boleh dikatakan hanya satu hari saja. Ialah waktu ia memperoleh kesadarannya kembali. Meskipun adatnya aneh, namun berkesan akrab. Waktu itu, ia diperintahkan harus segera mempelajari Tantra. Seumpama tahu, bahwa orang tua itu sudah memasukkan sebelah kakinya di liang kubur, rasanya lebih beruntung dapat berbicara berkepanjangan. Menilik bunyi suratnya. pertapa itu mempunyai kisah hidup yang menarik.
Ia mengulangi membaca kalimat- kalimat terakhir. Dirinya tidak diperkenankan menyentuh tubuhnya. Cukup menutup pintu goa rapat- rapat: Pada hal dahulu dia memerintahkannya agar mengangkat batu penutupnya.
Sebenarnya apa maksudnya?
- Biarlah dengan pelahan- lahan kupahami. Aku tak boleh menyiksa jasadnya terlalu lama di udara terbuka. .,ia memutuskan. Baru saja ia melipat surat Brahmantara. terbaca pula sederet kalimat berisikan lima kata- kata:
"Pendam di bawah kaki ,bawa tabunganku. "
Dengan cepat ia membongkar tanah yang berada di bawah kedua kaki gurunya. Tiba- tiba tangannya menyentuh sebuah bungkusan kulit rusa. Setelah dibukanya,berisikan beberapa puluh uang emas.
- Ah. pikirnya.
- Masih saja berkesempatan memikirkan diriku. Memang pada saat itu, uang bekal pemberian Panglima Jagadpati sudah habis.
Apakah dia memeriksa sakuku dahulu sebelum menulis pesan ini?
Teringat Panglima Jagadpati teringat pulalah ia kepada pedangnya. Teringat tergantung rapih di atas kepala pertapa Brahmantara yang kini benar- benar diakuinya sebagai gurunya. Hati- hati ia meraih pedang pusaka itu. Terbaca sederetan tulisan yang terbenam dalam di dinding:
"Setelah ini apapun bisa kau gunakan sebagai senjata."
- Terima kasih, guru ia berkata setengah berbisik.
Lalu ia memendam surat terakhir gurunya. Setelah itu, ia menatap wajah gurunya lagi sambil berkata:
- Guru, aku akan segera berangkat. Bungkusan tabungan uang guru, akan kulekatkan pada tubuhku. -
- Dan benar- benar, ia mengikat bungkusan yang terbuat dari kulit rusa itu pada pinggangnya seolah- olah sehelai ikat pinggang. Begitu selesai, ia menyembah tiga kali berturut- turut lalu mundur dengan membungkuk. Pelahan lahan ia memutar tubuhnya dan berjalan memasuki lorong goa. Tatkala hampir tiba di pintu goa, ia membalikkan tubuhnya dan memandang jasad gurunya yang nampak aman damai. Sengaja ia memandang jasad gurunya lama sekali, karena setelah itu tidak akan melihatnya lagi. Angin laut yang terasa kencang memasuki lorong goa terasa dingin segar dibarengi suara gemuruh ombak menumbuk tebing pantai.
- Guru! Pada saat ini guru sudah berada di nirwana. Terimalah hormat muridmu selalu. ia berkomat- kamit.
Setelah itu ia ke luar goa. Udara segar bugar yang menyongsongnya tidak begitu dihiraukannya. Perhatiannya mengamati bongkahan batu gunung yang seukur dengan lebar pintu goa.
- Dengan Tantra tingkat sembilan, guru dapat menutup goa ini. Tentunya. akupun bisa. - ia berkata kepada diri sendiri.
Dengan sekali menggerakkan kakinya,tubuhnya membal tinggi ke udara dan hinggap dengan manisnya di atas batu. Alangkah nikmat dan indah gaya loncatannya. Ia merasakan hal itu. Kemudian dengan mengerahkan himpunan tenaga saktinya, ia mendorong batu raksasa.
Blang!
Batu raksasa itu terangkat dari tanah dan terbang menutup goa dengan suara gabrukan bergemuruh.
- Benar- benar aku seperti sedang bermimpi. ia berkomat- kamit.
Setelah mengumpulkan segenap ingatannya,mulailah ia menjelajahkan penglihatannya. Hari baru saja lepas senja. Dengan demikian,pandang matanya dapat menjangkau jauh. Ternyata ia menghadap ke timur. Bila menoleh ke kiri terlihatlah pulau Swarnadwipa. Bila berpaling ke kanan,terhampar pulau Jawadwipa.
Menuruti kata hatinya, ingin ia segera pulang ke kampung halaman. Akan tetapi, ia masih mempunyai kewajiban yang harus diselesaikan. Itulah tentang Lambang Dapunta Hyang yang tersulam rapat dalam kulitnya.
- Sudah berapa hari aku berada di sini? Tentunya, Tilam tidak lagi berada di kampung nelayan. Dia berjalan seorang diri, maka wajib aku mengawani. - ia memutuskan.
Dengan berbagai perasaan, ia menuruni lembah gunung yang berselimut warna hijau muda. Gunung Krakatau pada waktu itu mempunyai tiga puncak. Kepundannya selalu mengepalkan asap seperti gumpalan awan yang mendaki tinggi di awan. Di senja hari, berkesan indah semarak. Dengan sengaja, Yudapati menyusur tebing pantai sambil mencari perahu gurunya. Ia yakin, gurunya pasti mempunyai perahu sendiri. Sekiranya tidak demikian, dengan kendaraan apa gurunya membawa dirinya mendarat di lembah Krakatau. Tiba- tiba teringatlah dia akan beberapa buah perahu para nelayan yang terikat di tepi pantai. .
- Apakah guru menggunakan salah sebuah perahu itu? - ia berpikir.
Kalau begitu, tentunya. tersimpan tidak begitu jauh dari pertapaan.
Oleh pikiran itu, ia balik kembali menuruni tebing
pantai.
- Ah. benar. Tak jauh di depan matanya tampak sebuah perahu terombang- ambing ombak. Untuk memperoleh kepastian segera ia menghampiri perahu itu dengan berlari- larian. Sebentar saja ia sudah tiba di tempat itu. Kemudian mulai melakukan pemeriksaan. Tak ragu lagi. Perahu itu milik kaum nelayan yang terbunuh iblis Pramusinta. Ia pernah menggunakannya sebagai alat pengangkut jenasah ke tengah laut.
- Biarlah terikat di sini dahulu. Aku perlu mengisi perut. ia berkata dalam hati.
Sewaktu masih dinas sebagai seorang perwira,sering ia mendarat di kepulauan Krakatau berhari- hari lamanya. Tidak mengherankan ia mengenal adat- istiadat penduduknya dan mata pencaharian mereka. Rata- rata mereka hidup sebagai nelayan. Tetapi di musim laut pasang, mereka bercocok- tanam. Mereka hidup rukun dan sifatnya periang. Itulah sebabnya di perkampungan banyak terdapat kedai- kedai makanan, tempat mereka berkumpul dan berbincang- bincang.
- Tentunya lauk- pauknya hanya terdiri dari ikan laut. - pikir Yudapati.
- Kebetulan. malah. Aku harus makan yang serba empuk dahulu.
- Benar saja.
Perutnya terkejut waktu kemasukan seekor ikan saja. Buru- buru ia meneguk minuman panas. Setelah itu, ia membeli sebungkus ikan rebus. Pikirnya hendak dimakannya sebentar malam sedikit demi sedikit.
- Di tengah laut,tentunya akan menjadi nikmat.
Memang ia bermaksud akan melanjutkan perjalanan mendarat di pulau Swarnadwipa. Tetapi setelah perutnya terisi, rasa kantuknya tiba. Terpaksa ia menginap di depan pintu goa pertapaan gurunya. Pengalamannya dalam beberapa hari ini,berkesan dalam di lubuk hatinya. Pendek saja masa pergaulannya dengan gurunya. Tetapi waktu
sependek itu, sudah merubah dirinya menjadi manusia baru yang lain lagi. Tidak mengherankan, malam itu ia bermimpi indah yang menakjubkan.
Mimpi tentang kehebatan dirinya, masa depannya dan darmanya yang harus dilakukan sebagai suatu kebajikan.
******
ISU WARDANA
KEMBALI KEPADA Tilam. Ia melihat berkelebatnya pendekar Sabung menghadang di depannya dengan maksud melindungi dirinya,sewaktu Pramusinta menghujani belasan jarum beracunnya. Akibatnya Sabung roboh di atas tanah tanpa sempat mengerang. Ia mati dengan cepat.
- .Paman!
Tilam memekik terkejut sambil melompat memburu.
Pada saat itu, masih sempat ia melihat iblis itu menyerang Yudapati. Ia hanya dapat berteriak memperingatkan. Selanjutnya ia disibukkan oleh peristiwa matinya Sabung. Ia merasa berhutang budi padanya. Kalau saja pendekar itu tidak menghadang di depannya, dialah yang mati pada saat itu.
Sewaktu menegakkan kepalanya, iblis Yogabrata tengah kena tikaman maut Yudapati. Menyaksikan hal itu, hatinya agak terhibur. Seperti berjanji ia ikut mengejar
Pramusinta dengan Tarung. Namun sebentar saja sudah kehilangan bayangannya. Bahkan Yudapatipun tidak nampak lagi. .
- Tuanku puteri, mari kita tengok kakanda Sabung. ajak Tarung.
Tilam tidak membantah. Dengan cepat mereka menghampiri jenasah Sabung yang biru menghitam. Jelas sekali, apa penyebabnya. Racun Pramusinta terlalu jahat.
- Hm, belum pernah aku menyaksikan jenis racun yang bisa bekerja begini cepat. -
Tarung menggerendeng.
Dia tidak berbicara berkepanjangan. Segera ia mengubur jenasah Sabung dan anak- buahnya. Sedang Tilam duduk berenung- renung di atas batu karang. Memikirkan Yudapati, ia jadi gelisah sendiri. Maka ia minta persetujuan Tarung hendak melacaknya. .
Beberapa waktu lamanya, ia memeriksa belasan jarum beracun yang tertancap di tanah. Tetapi baik Pramusinta maupun Yudapati tidak nampak.
Apakah mereka masih bertempur di suatu tempat, ia menduga- duga. Ia mencoba berjalan lagi memeriksa wilayah sekitarnya. Jejak mereka berdua tidak diketemukannya sampai senja hari tiba. Dengan lesu, terpaksalah ia kembali ke tempatnya semula. Tatkala itu, Tarung sudah selesai mengubur teman temannya.
Pendekar itu duduk dengan masgul di atas pasir. Wajahnya nampak agak berseri, setelah melihat Tilam datang kembali dengan tak kurang suatu apa. Segera ia berdiri menyambut. Ujarnya:
- Agaknya, kita tidak boleh berlama- lama berada di wilayah ini. Bukankah tuanku puteri perlu memberi laporan kepada Tuanku Tandun Raja Koneng? - -
Tilam mengangguk. Dengan singkat ia mewartakan bahwa temannya seperjalanan tidak dapat diketemukannya.
- Sebenarnya Siapakah dia?
- Salah seorang perwira Bhayangkara Kerajaan Tarumanegara. Namanya Mojang Yudapati. Tetapi jangan sekali- kali paman memanggil Mojang padanya.
- Mengapa? - '
- Sebab Mojang berarti gadis. Kalau paman memanggilnya Mojang, bisa diartikan mengejeknya sebagai banci. -
- Oh. begitu? Ilmu kepandaiannya tinggi. Apa sebab dia mengenakan nama Mojang? - :
Tarung heran.
- Itulah nama ejekan baginya. Sebab menurut tuturkata orang, dahulu dia seorang pendiam dan pemalu. Tetapi sekarang, kukira tiada seorangpun yang akan berani memanggilnya dengan Mojang. Akupun mulai membiasakan memanggilnya dengan nama sebenarnya. Itulah Yudapati.
Tilam memberi penjelasan.
Tarung memanggut- manggut. Mengalihkan pembicaraan:
- Aku percaya. dia akan dapat membuat jera iblis perempuan itu. Bahkan mungkin pula berhasil membunuhnya. Tetapi seperti kataku tadi, tidak boleh kita terlalu lama berada di sini. Masih ingatkah tuanku puteri tentang kotak pusaka yang disebut- sebut iblis perempuan tadi? Itulah kotak pusaka ayahanda tuanku puteri. Aku sendiri belum sempat melihat kotak itu karena tiba- tiba sudah kena terebut Boma Printa Narayana. '
- Eh. dia? Dia berada di wilayah ini pula?
Tilam terperanjat.
- Ceritanya panjang. Marilah kita meninggalkan tempat ini. Aku akan mewartakan bagaimana terjadinya. - .
Tilam hampir saja memanggut,tatkala suatu ingatan berkelebat di dalam benaknya. Katanya:
- Biarlah aku meninggalkan pesan untuk Yudapati. -
Tilam tidak menunggu persetujuan Tarung. Dengan
cepat ia menghunus pedang pendeknya yang tajam luar biasa. Kemudian menulis beberapa kalimat di atas batu Karang yang mudah terlihat.
- Yudapati seorang perwira yang berpengalaman dan cermat. Dia pasti dapat menemukan pesanku. katanya. Setelah itu, ia mendahului berjalan memasuki pedalaman. Tarung segera mendampingi. Kemudian mulailah ia mewartakan terjadinya peristiwa perebutan kotak pusaka. Katanya dengan suara masygul:
- Dua hari sebelum tuanku puteri menyusul ayahanda, rekan Sabung di panggil menghadap. Entah apa yang dibicarakan, tetapi Yang Mulia kemudian menyerahkan kotak pusaka itu kepada Sabung. Pesan Yang Mulia hanya singkat saja. Menurut rekan Sabung, sapa yang berjodoh dialah yang berhak memiliki. Memiliki rahasia apa, Yang Mulia tidak menjelaskan. Tetapi menilik kesungguh- sungguhan Boma dan kawan- kawannya, tentu kotak pusaka itu tidak ternilai harganya. -
- Bagaimana Boma bisa merampas pusaka itu dalam penjagaan paman? -
- Boma datang dengan membawa tujuh belas pahlawannya. Kami bukan takut mati, tetapi bagaimana dengan jasad Yang Mulia. Padahal Yang Mulia berpesan agar beristirahat di dasar lautan Krakatau sebagai lambang jembatan penghubung antara Kerajaan Sriwijaya dan Tarumanegara. Kalau sampai terebut, kami tidak dapat - menebus kesalahan itu meskipun dengan membayar jiwa kami. Maka setelah berunding sejenak, kami memutuskan agar beberapa orang masuk ke kampung nelayan untuk mengamati gerak- gerik Boma dan para pahlawannya. Itulah mereka yang memendamkan diri dalam pasir. -
Tilam mengangguk pendek. Kemudian Tarung meneruskan:
- Singkatnya. kami mengadakan tukar menukar. Kami akan menyerahkan kotak pusaka itu tetapi jasad Yang Mulia tidak boleh diganggu. Salah seorang pemimpin barisan pendam akan menyerahkan kotak wasiat itu. setelah perahu kami tidak nampak lagi dari daratan. Rupanya Boma seorang satria benar. Anak buah kami tidak diganggunya seujung rambutpun. Selanjutnya, tuanku puteri menyaksikan sendiri apa yang terjadi selanjutnya. -
Dengan mengerutkan dahinya. Tilam tercenung- cenung memikirkan kisah kotak pusaka itu.
Ayahnya tersekap di dalam penjara.
Betapa mungkin menyembunyikan kotak pusaka itu yang luput dari pengamatan Boma Printa Narayana?
Kalau Lambang Dapunta Hyang dapat dimengerti, sebab tersimpan di balik kulitnya.
Apakah kotak pusaka itu sempat disembunyikan sebelum tertawan?
- Paman! ia mencoba.
- Apakah ayah pernah singgah disuatu tempat atau memerintahkan seseorang untuk mengambil kotak pusaka? -
- Selama dalam pengawalan kami, tidak. - . sahut Tarung dengan tegas.
- Tetapi mungkin sebelum tugas pengawalan itu dibebankan kepada kami berdua. Seperti tuanku puteri ketahui, pengawalan itu diatur dengan cara sambung- menyambung oleh para tetua yang mengenal wilayah masing- masing.
Tilam mengangguk. Ia mau menerima alasan Tarung. Rupanya pendekar itu dapat dipercayai keterangannya. Setelah menimbang- nimbang sejenak, kemudian memutuskan:
- Baiklah kita lupakan dahulu perkara kotak pusaka itu. Sekarang kemana kita harus pergi?
Tarung tidak segera menjawab. Setelah menimbang nimbang beberapa saat lamanya. baru menjawab:
- Pernahkan tuanku puteri mendengar kaum Arnawa?
- Itulah kaum kami yang kini bernaung di bawah Tuanku Tandun Raja Koneng. Kaum kami dikenal sebagai perompak. Tetapi sesungguhnya tidak demikian. Memang pekerjaan kami merompak. Tetapi yang kami rompak adalah kapal- kapal asing yang memasuki perairan kami dan kapal- kapal pemerintah yang berangkat hendak mengirimkan semacam upeti kepada penguasa lain. Siapa yang kumaksudkan,tuanku puteri kelak akan dapat menyaksikan sendiri. Bagaimana? Apakah tuanku puteri berkenan mengunjungi markas kami?
- Tujuan perjalananku hendak cepat- cepat mendaki Gunung Sibahu- bahu. Pesan yang kutinggalkan kepada Yudapati berbunyi begitu juga.
- Sebenarnya lebih tepat, bila kita segera mendaki Gunung Sibahu- bahu. Akan tetapi terus- terang saja, aku agak curiga kepada Boma yang dapat datang terlalu cepat. Apalagi dia membawa belasan pahlawannya. Agaknya tuanku puteri perlu menengok kawasan kami yang berdekatan pantai Kapur (baca: Riau). Kalau perlu kita nanti menyusur sungai Tatang.
Lima hari kemudian mereka sudah mendekati pantai timur. Terdapat sungai besar yang agaknya merupakan urat- nadi perhubungan penduduk. Perahu- perahu nelayan dan pedagang banyak terdapat berpangkal di tepi sungai. Sewaktu Tarung muncul di tepi sungai ternyata hampir seluruh penduduk mengenalnya. Mereka menyambut Tarung dengan gembira dan hormat. Kepada Tilam yang mengenakan pakaian pria. mereka berkata:
- Kedatangan tuan muda disini tepat pada waktunya.
- Tepat bagaimana?
Tarung memotong kata- kata mereka. Salah seorang yang mengaku bernama Tambun menjawab:
- Sepanjang pantai baru saja dilintasi perahu- perahu
dari seberang lautan .Mereka disambut laskar-laskar kerajaan dengan upacara mewah. Sebaliknya, kehidupan kita jadi terancam. Terutama kaum Arnawa. Kita tinggal menunggu perintah. Menghalangi mereka atau merompaknya sama sekali.
- Bagus! Sekarang barulah masalah kita terjawab. - pikir Tarung.
- Pantas belasan pahlawan Boma bisa tiba di wilayah selatan dengan cepat. Kiranya mereka melalui laut.
Pada dewasa itu,perjalanan melalui lautan jauh lebih cepat dari pada melintasi daratan. Sebab hutan rimba,paya- paya, semak- belukar dan penghuni ladang buas menjadi masalah penghambat yang tidak mudah diatasi. Orang belum dapat menaklukkan, akhirnya terpaksa tunduk
- Baiklah, persiapkan perahu! Kami mau ke hilir. ujar Tarung.
Tambun segera mempersiapkan perahu kecil yang hanya cukup untuk tiga atau empat orang. Karena itu, kuda Tarung maupun kuda Tilam terpaksa ditinggalkan. Tarung sudah merencanakan hendak membicarakan tentang kegiatan orang- orang asing yang bermukim sepanjang pantai Sriwijaya. Tetapi diluar dugaan. Tambun sedang bertengkar dengan seorang pemuda yang bersitegang hendak ikut menumpang.
- Perahu kami bukan perahu penumpang. Cari yang lain!
Tambun memberi keterangan.
- Kebetulan, malah. sahut pemuda itu.
- Dengan begitu aku tidak perlu mengeluarkan beaya. -
- Tetapi kami mau ke hilir. -
- Mau kehilir? Ha...kebetulan.
- Setelah ke hilir, kami mudik. Mungkin ke muara. terus ke laut. -
- Ah!
Pemuda itu menepukkan kedua tangannya dengan muka berseri seri. ..
- Kenapa bisa kebetulan? - ,,
- Kebetulan. kebetulan -
Tambun menggerembengi.
- Apanya yang kebetulan?
- Yang pertama bukan perahu penumpang. Artinya aku bisa ikut membonceng tanpa beaya. Yang kedua mau ke hilir. Lalu ke muara. Itu semua, memang tujuanku berlayar. -
Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
- Hm. -
Tambun gemas.
- Sebenarnya kemana arah tujuanmu?
- Ya seperti tadi. Ke hilir, ke muara tanpa bayar. Nah, bukankah kebetulan? Memang orang baik selamanya akan banyak yang menolong.
Tilam yang ikut mendengarkan pertengkaran itu, jadi tersenyum geli. Pemuda itu, kira- kira berumur tujuh atau delapan belas tahun. Tetapi masih berbau kekanak kanakan. Entah apa sebabnya, ia tertarik kepada lagak lagunya. Berkata minta pertimbangan kepada Tarung:
- Biarkan dia ikut. Apakah paman berkeberatan?
- Tidak biasa, kami membiarkan seseorang yang belum kami kenal menumpang dalam satu perahu. Apalagi pada dewasa ini besar bahayanya.Siapa tahu, dia seorang matamata yang sengaja diselundupkan. Kitapun sedang melakukan tugas penting. - -
- Penilaian paman terhadap bocah itu, terlalu berat. Dia bisa apa terhadap kita?
Tilam tertawa.
- Kalau begitu pertimbangan tuan puteri . . .
Tarung mengangkat bahunya. Kemudian memberi perintah kepada Tambun agar mengijinkan pemuda itu naik ke perahu.
Tarung dan Tilam mendahului naik ke perahu. Sekarang giliran pemuda itu. Setelah menyingsatkan celana dan buntalannya, dia melangkahkan kakinya. Tangannya menggapai mencari pegangan. Tambun mengangsurkan
pengkayuhnya. Pemuda itu memanggut terima kasih. Kemudian dengan memegang pengkayuh itu, dia melompat. Perahu bergerak oleh gerakan pemuda itu. karena itu dia terhuyung dan sebelah kakinya kejeblos. Hampir saja dia tercebur di dalam air. Untung, dengan cekatan Tilam menyambar tangannya dan ditariknya ke atas. Gadis itu diam- diam hendak mengujinya. Sebaliknya pemuda itu terhuyung kena tarikannya dan hampir saja menubruk payudara. Tetapi pada saat itu, dia dapat menguasai diri dan berdiri tegak sambil mengeperik- perikkan celana bajunya.
- Ternyata dia tidak memiliki kepandaian sedikitpun. kata Tilam di dalam hati.
- Paman Tarung terlalu besar curiganya.
Nafas pemuda itu memburu. Wajahnya bermandikan keringat. Pelahan- lahan dia merogoh sakunya dan mengambil sehelai sapu tangan. Lalu sibuk menyeka peluh dahi dari kedua belah pipinya.
- Terima kasih, katanya kemudian.
- Duduklah! -
Tilam menyilakan.
- Rupanya adik seorang siswa . . .
- Ya, siswa biara. sahut pemuda itu cepat.
- Kalau boleh tahu, siapakah . . . -
- Isu Wardana. lagi- lagi pemuda itu memotong kata- kata Tilam.
Tetapi dia nampak gembira, sehingga siapapun bersedia memaafkan kelancangannya:
- Namamu bagus sekali. -
Tilam memuji.
- Memang bagus. Kata orang. sesuai dengan diriku. Hahaha..-
Isu Wardana tertawa hihihaha.Isu Wardana adalah Isu Wardana yang pernah bertemu dengan Mojang Yudapati. Kecuali nakal, otaknya cerdik luar biasa. Ia sudah mewarisi sebagian besar Ilmu Kepandaian kakeknya. Karena itu, rupanya ia sudah diperkenankan
kakeknya merantau untuk menambah pengalaman.
Sewaktu tangannya disambar Tilam, sengaja ia berlagak sebagai seorang pemuda yang tolol. Tilam kena dikelabui,sebaliknya ia tahu bahwa Tilam seorang dara yang hampir sebaya dengannya. Itulah sebabnya, ia membawa wataknya yang nakal dan gemar menggoda.
- Apakah benar- benar engkau bagus? -
Tilam tertawa dan bermaksud memojokkan. Diluar dugaan Isu Wardana menyahut:
- Bagaimana menurut pendapatmu? Bagus atau tidak? -
- Bagi seorang gadis, itulah suatu pertanyaan yang langsung mengetuk naluriahnya.
Seketika itu juga, wajahnya bersemu dadu. Syukur, ia menyadari dengan cepat. Buruburu ia membuang mukanya sambil menjawab:
- Ucapanmu sama sekali tidak mirip seorang siswa biara.
Isu Wardana menarik nafas. Ujarnya masygul:
- Aku sudah merasa diri. Aku tidak berbakat menjadi seorang pendeta. Karena itu, aku memutuskan hendak hidup merantau saja.
- Hm. -
Tilam mendengus. Tiba- tiba suatu ingatan menusuk benaknya. Katanya melanjutkan:
- Tidak mudah hidup merantau. Apalagi pada jaman ini. Banyak terdapat kaum perompak. Bahkan di sepanjang pantai kabarnya bermukim orang- orang asing yang mendapat perlindungan negara.
- Benar. Justru itulah yang menyebabkan diriku ingin melihat mereka. Kabarnya mereka datang dari Kuala dan Chaiya.
- Untuk apa melihat mereka? - dahi Tilam berkerinylt.
- Untuk belajar menyanyikan lagunya. sahut Isu Wardana.
Kemudian tanpa minta ijin, ia lantas saja menyanyi panjang dan pendek. Tetapi lagunya tidak keruan keruan.sehingga tidak sedap didengar. Lambat- laun, Tarung menjadi risih. Bentaknya:
- Sudah. sudah. Berhenti! -
Isu Wardana menoleh. Kemudian membungkuk hormat sambil menyahut:
- Paman rupanya tidak senang mendengarkan lagu mereka. Akupun demikian. Kalau begitu. kita ini bersekutu membenci mereka.
Baik Tarung maupun Tilam tercengang mendengar kata- katanya. Di dalam hati mereka mulai memperoleh kesan bahwa pemuda itu sebenarnya seorang pemuda yang cerdas. Dan belum lagi mereka membuka mulutnya., Isu Wardana sudah berkata lagi:
- Karena kita sudah bersekutu. bolehkah aku mengenal nama paman dan nama kakak? .
- Tarung. '
- Tarung?
Isu Wardana menegas.
- Ya. Tarung.
- Dan kakak? -
Dalam setiap perjalanan. Tilam selalu menyamar sebagai pria. Namun selama itu belum pernah ia memikirkan nama samarannya.Tidak mengherankan ia merasa kelabakan sewaktu memperoleh pertanyaan Isu Wardana. Syukur. Tarung seorang pendekar berpengalaman. Dengan sekilas pandang. ia dapat mengetahui kesukaran Tilam. Dengan cepat ia menalangi menjawab:
- Sabung. Mengapa? -
Isu Wardana tercenung sejenak. lalu menggelengkan kepalanya. Katanya menyahut;
- Tidak apa- apa. Hanya saja. nama itu terlalu hebat.. Aku senang sekali. Seumpama ayah atau ibu masih ada.
ingin aku mendapat nama begitu. -
- Apakah engkau tidak berayah-bunda lagi?
- Semenjak kanak- kanak, aku tak tahu siapakah ayah bundaku. Mungkin aku ini anak setan. Kalau saja aku bisa hidup sampai kini adalah berkat kakek yang mengasuhku. -
Tilam jadi perasa. Diapun ingat dirinya tidak berayahbunda lagi. Diam diam ia menghela nafas. Ia mencoba menghibur:
- Namamu amat bagus. Apa sebab engkau senang bernama Sabung?
- Itulah nama laki- laki sejati, bagaikan seekor jago yang siap bersabung di sembarang tempat dan sembarang waktu. Bukankah hebat?
Tilam tersenyum. Sahutnya:
- Adik, nasibku tidak berbeda jauh denganmu. Menurut ayahku. orang harus sadar kepada tujuan hidupnya. Hidup hanya untuk bersabung atau menyabungkan nyawa sendiri, apakah enaknya? -
- Ya. mungkin benar. - ujar Isu Wardana sambil menghela nafas.
- Hai, mengapa engkau menghela nafas?
Kata- katamu tadi mengingatkan daku kepada nasib penduduk di sepanjang pantai. Kabarnya mereka hidup tak- menentu karena diancam bahaya terus- menerus. Kalau bukan datang dari para perompak,terancam oleh serdadu serdadu asing yang turun ke darat untuk merampas harta milik.
Tarung adalah salah seorang pemimpin kaum Arnawa. Mendengar isu Wardana menyinggung- nyinggung istilah perompak, hatinya tergelitik. Lalu saja ia menimbrung. Katanya!
- Anak muda. engkau berbicara perkara perompak.
Perompak dari mana? -
Isu Wardana berpaling kepada Tarung. Setelah sejenak menatap wajah pendekar itu. ia menyahut:
- Aku sendiri tidak pernah menyaksikan. Aku hanya mendengar kabar dari cerita penduduk. Siapa yang merompak dan merampas harta benda mereka, pada jaman ini siapapun dapat berbuat begitu.
Tarung agaknya puas mendengar jawaban Isu Wardana. Ia memanggut- manggut seperti burung kasturi. Dengan setengah berbisik ia berkata kepada Isu Wardana:
- Engkau seorang anak muda yang berhati mulia. -
Isu Wardana tidak begitu menghiraukan kata- kata Tarung. Perhatiannya beralih kepada Tilam yang berdiam diri, Karena tiada lagi yang mengajaknya berbicara. ia duduk dengan menjatuhkan diri sehingga perahu jadi berguncang. lalu menyanyi lagi dengan lagu Chaiya yang tidak sesuai dengan selera pendengaran orang.
Tarung hendak menegornya lagi, tetapi batal karena perhatiannya tertarik kepada sebuah perahu yang datang dari hulu sungai. Perahu itu besar sekali seakan- akan sebuah rumah apung yang mahal harganya. Di atas geladak penuh dengan jumlah manusia yang bersenjata. Kemudian terdengar suara musik yang bertangga nada asing, persis seperti tangga lagu yang dinyanyikan Isu Wardana. Jelas sekali, mereka sedang bergembira. Akan tetapi menilik dari arah datangnya perahu besar itu seperti sedang mengikuti perahunya.
Tilam adalah seorang gadis terpelajar. Pengalamannya luas berkat mengikuti kemana saja ayahnya didinaskan. Diapun mengenal beberapa macam seni. Diantaranya seni sastra dan seni musik.
- Bukankah ini lagu dari seberang lautan'
Ia minta pembenaran.
- Tidak salah. - jawab Tarung.
- Inilah perahu- perahu yang diijinkan masuk ke perairan kita oleh penguasa sekarang. Mereka datang dengan membawa uang, senjata dan laskar. Setelah tugas negerinya dilaksanakan, dalam perjalanan pulang mereka merampok. merompak dan merampas harta benda penduduk. Itupun belum cukup. Mereka membunuh dan memperkosa pula. -
- Mengapa pembesar negeri tidak melindungi rakyatnya?
Tilam heran.
- Mudah saja jawabannya. Harta benda yang dibawa mereka cukup membuat para Raja Muda meneteskan liurnya. Maka pada setiap wilayah mereka dipersilakan turun dengan hormat. Setelah mengambil beberapa bagian jumlah upeti, mereka diijinkan melanjutkan perjalanan. Dengan begitu, para Raja Muda merasa mempunyai pihutang budi kepada mereka. Maka dibiarkan saja mereka merajalela demi menutupi kekurangan yang sudah diambil para Raja Muda.
Tilam bergeleng kepala dengan hati masygul.
- Alangkah rusak pemerintahan Sriwijaya, pikirnya.
- Pantas saja kewibawaan raja dahulu rapuh dari dalam.
- Mari kita menyingkir saja. ujar Tarung.
Tetapi hati Tilam yang masygul menjadi dengki dan mendongkol. Dengan sengit ia berkata:
- Mengapa kita harus menyingkir? Kita justru wajib menghajar mereka.
Tarung tercengang. Berkata memperingatkan:
- Bukankah kita hendak secepat mungkin mendaki . . eh untuk satu urusan yang harus cepat kita laporkan? Perahu itu memperoleh bantuan dari pihak penguasa. Biasanya ganas tak mengenal ampun. Lagi pula jumlahnya banyak. Kalau kita labrak, samalah halnya kita mencari penyakit.
Wajah Tilam merah padam. Tetapi nasehat dan pertimbangan Tarung tidak boleh diabaikan. Maka terpaksalah ia menelan luapan rasa amarahnya. Tarung kemudian memerintahkan Tambun agar menepi. Kalau perlu berhenti dahulu dengan membiarkan perahu besar itu mendahuluinya. Selagi demikian, tiba- tiba nampak sebuah perahu kecil meluncur mendahului perahu besar itu. Yang berada dalam perahu kecil itu hanya dua orang. Seorang lakilaki tua dengan seorang anak gadisnya. Dan melihat mereka tiba- tiba gerombolan laskar yang berada di atas geladak.berteriak- teriak:
- Hoeee . . . tangkap! Tangkap! -
Dengan beramai- ramai mereka mengkayuh perahunya untuk mengejar. Tentu saja tenaga mereka sekian kali lipat daripada tenaga orang tua itu yang mengkayuh perahunya dengan seorang diri. Sebentar atau lama, niscaya akan tertangkap. Kecuali kalau ada kesempatan untuk menepi.
- Celaka! - seru Isu Wardana khawatir.
- Mereka akan menangkap puteri itu. Ya. tentu dialah yang menjadi sasaran utamanya.
Menyaksikan hal itu. Tilam kembali lagi naik darah. Dengan suara lantang ia berkata kepada Tarung:
- Paman! Tidak boleh kita hanya menjadi penonton saja. Mari kita lindungi perahu itu! -
Perahu yang hampir terkejar itu tinggal beberapa meter saja dari kapal yang mengejarnya. Dua penggaet terbuat dari rantai sudah diturunkan untuk mengkaitnya. Tepat pada saat itu,perahu Tambun sudah memotong di tengahnya. Buru- buru Tilam menghunus pedang pendeknya yang terkenal tajam luar biasa. Dan dengan satu kali sabetan, kedua rantai penggaet itu terkutung.
Yang berada di atas kapal memaki- maki kalang kabut.
Dua orang di antara mereka melompat turun dengan memhawa sebatang golok besar masing- masing. Menilik gerakannya, mereka sudah berpengalaman dan terlalu yakin berada dipihak yang mesti menang. Sebaliknya. Tilam sudah bersiaga. Selamanya ia membekal belasan batang pisau pendek tipis semacam pisau panjang. Itulah salah satu ciri perguruan Kadung dan Tilam. Mereka berdua ahli dalam hal melepaskan senjata pisau terbang.
Kedua penyerang itu tengah berada di udara. Sama sekali mereka tidak mengira akan disongsong macam serangan demikian. Mereka mencoba menangkis sebisa- bisanya. Tentu saja mereka tidak akan sanggup menggebah serangan Tilam dengan cara demikian. Tahu- tahu tubuh mereka masing masing tertancap sambaran pisau paku Tilam yang tajam luar biasa. Dan berbareng dengan teriakannya, mereka tercebur ke dalam sungai.
Dari atas kapal, kemudian terdengar suara teriakan sambung menyambung. Mereka marah dan kagum. Rupanya kedua kawannya yang terjun tadi, termasuk jago jago mereka. Tetapi dengan sekali hantam mereka mampus tercebur di dalam sungai. Itulah peristiwa aneh yang mengherankan.
Dalam pada itu, Tarung memerintahkan Tambun agar menjauhi. Sebab tujuannya sudah tercapai. Perahu yang terkejar sudah hampir mendekati tepi sungai. Tetapi dari atas kapal turun lagi dua orang. Kali ini penyerangnya cekatan dan jauh lebih perkasa. Dengan berjumpalitan di udara mereka berhasil mendarat di perahu Tilam yang jadi terguncang- guncang. .
Dengan cekatan Tilam mengambil tindakan cepat. Agar tidak terpengaruh oleh goncangan itu. ia melompat sambil menyambarkan pedangnya. Gerakan pedangnya cepat dan mencecar berturut- turut. Hatinya besar karena
sebentar tadi ia dapat merobohkan kedua lawannya dengan mudah. Tetapi kedua lawannya kali ini, agaknya sudah bersiaga. Mereka bersenjata pedang panjang yang dapat digerakkan dengan sebat dan kuat. Terpaksa Tilam menarik serangannya dan mundur selangkah. Tepat pada saat itu terdengar suara teriakan Tarung yang menggambarkan rasa kaget.
Semenjak kedua musuh itu turun menyerang Tilam, Tarung bersiaga bertempur. Tetapi ia percaya kepada ketangguhan Tilam. Itulah sebabnya, perhatiannya kini beralih kepada Tambun yang memegang kayuh dan kemudi. Segera ia memutar tubuhnya hendak membantu. Tepat pada saat itu, muncul dua orang musuh dari permukaan laut dan menyambar tangannya. Ia ditarik dan dilontarkan tinggi ke udara dan jatuh tercebur di dalam sungai.
Tilam mendengar jeritan Tarung, namun tidak sempat memberikan bantuan. Ia sedang menghadapi dua lawannya yang jauh lebih tangguh daripada lawannya tadi. Dengan berloncatan agar tidak terpengaruh goncangan perahunya, ia menikam dan membabatkan pedang pendeknya. Rupanya kedua lawannya tahu, bahwa pedang pendeknya merupakan senjata mustika yang tajam luar biasa. Itulah sebabnya, mereka tidak berani mengadu atau membenturkan pedang panjangnya. Sebaliknya, sengaja mereka bergerak gerak untuk menggoyangkan keseimbangan perahu. Usahanya berhasil. Lambat-laun, Tilam merasa pusing juga. Diam- diam hatinya mulai cemas. Sebab penglihatan di depannya kini selalu bergerak berkelebatan.
Selagi dalam keadaan demikian, kedua musuhnya mulai menyerang dengan berbareng. Mereka tidak hanya mengunakan pedangnya, tetapi tangan kirinya bergerak pula hendak menangkap lengan. Maksudnya Tilam akan dilemparkan pula ke dalam sungai.
Pada detik- detik berbahaya itu, masih dapat Tilam melihat kedua musuhnya dengan tegas. Segera ia membolang- balingkan pedangnya untuk menangkis berbareng menggebah. Tiba- tiba musuh yang menyerang dari sebelah kanannya,memekik tinggi. Tangan kirinya terkutung. Kesempatan yang baik itu. tidak disia- siakan Tilam. Dengan cepat pula ia menabaskan pedangnya kepada musuh yang berada di sebelah kirinya. Musuh itupun tidak dapat mengelakkan serangan mautnya. Dia memekik kesakitan pula dan jatuh tercebur di sungai. Kedua tangannya masih utuh, tetapi perutnya kena tikam sehingga menyemburkan darah.
Tilam menyenak nafas lega sambil berusaha berdiri tegak di atas perahunya yang bergoyang- goyang keras. Sekonyong- konyong perahunya berputar berbalik arah. Tilam heran dan terkejut. Ia menoleh dan melihat Isu Wardana tersenyum riang. Ternyata dialah yang membantu Tambun mengendalikan perahunya menepi.
- Terima kasih. adik. - ujar Tilam.
Ia tak mengira, bahwa pemuda selemah itu dapat bekerja dengan baik.
- Di mana paman Tarung?
Isu Wardana membalas dengan pertanyaan.
Diingatkan tentang Tarung, hati Tilam tercekat. Ia memutar pandang. Pada permukaan air muncul empat mayat yang terapung- apung bermandikan darah merah berputaran. Dan tak lama kemudian muncullah Tarung dengan wajah berseri- seri. Dia salah seorang pemimpin kaum Arnawa yang biasa hidup di tengah lautan dan sungai. Karena itu, tidak mengherankan bila pandai berenang. Sewaktu lengannya kena tangkap, ia kaget sehingga tidak sempat membela diri. Tahu- tahu tubuhnya terlempar tinggi dan tercebur di dalam sungai. Kebetulan, malah. Terus saja ia menyelam dalam dengan maksud hendak
membalas menyerang lawan dari bawah permukaan air. Tetapi empat serdadu Chaiya yang datang menyerang tadi, ternyata sudah menjadi mayat. Masing- masing dadanya tertancap pisau pendek yang merenggut jiwanya. Menyaksikan hal itu segera ia muncul di atas permukaan air dan melompat ke atas perahu sambil berkata nyaring:
- Inilah peribahasa yang tepat. Makin tua makin lamur. Di antara kita bersembunyi seorang pemuda yang dapat menyembunyikan kepandaiannya. Anak muda, tak kusangka kepandaianmu jauh lebih tinggi di atas kepandaianku.
Setelah berkata demikian, ia membungkuk hormat kepada Isu Wardana. Keruan saja Isu Wardana jadi kikuk. Sahutnya:
- Paman memuji aku berkepandaian tinggi? Kalau saja aku berhasil membunuh mereka hanya secara kebetulan saja. Mereka sudah kerepotan menghadapi pedang kakak Sabung. Aku menggunakan kesempatan itu untuk membunuh mereka. Lalu apanya yang hebat? -
Tarung mendengus. Tadi ia berada di bawah permukaan air. Dengan jelas ia memeriksa apa sebab orang- orang Chaiya mati cepat. Pisau pendek yang merenggut jiwa mereka bukan paku tajam milik Tilam. Siapa lagi kalau bukan perbuatan Isu Wardana, karena ia tahu Tambun tidak memiliki kepandaian sehebat itu. Tetapi mendengar alasan Isu Wardana yang bersikap merendah, ia tidak menarik lebih panjang lagi. Dengan membungkam. segera ia membantu Tambun mengayuh perahu. Lantas saja perahu melesat cepat menjauhi kapal Chaiya.
Tilam diam- diam menaruh perhatian akan kata- kata Tarung. Ia mengerling kepada Isu Wardana. Pemuda cilik itu bersikap acuh tak acuh. Sewaktu hendak menegurnya. sekonyong- konyoug ia melihat sesuatu.
- Celaka! serunya terkejut.
- lihat!
Dasar perahu ternyata bocor dua tempat. Bahkan papan lapisannya pecah. Tak mengherankan air masuk dengan cepat. Melihat peristiwa itu. Tarung yang berpengalaman bertindak cepat. Buru- buru ia menimba kubangan air yang sudah mencapai di atas mata kaki dengan sebuah tempurung dan dibuangnya keluar.
Sedang demikian, kapal Chaiya masih saja memburu. Makin lama makin dekat. Laskar yang berada di atas geladak, kemudian mengangkat sebuah jangkar besi sambil berteriak- teriak:
- Timpuk! Timpuk! .. . '
Mendengar aba- aba itu. Tilam mendongakkan kepalanya. Pikirnya, kalau begitu di antara mereka terdapat orang awak sendiri. Bukan mustahil. sekelompok laskar Kerajaan Sriwijaya. Dengan cemas ia mengawaskan jangkar besi yang sudah diangkat tinggi- tinggi dan siap dilemparkan ke bawah, ia jadi sibuk sendiri mengingat perahu sudah bocor dan papannya pecah. Tarungpun sedang sibuk menguras air. Dengan demikian. tidak dapat diharapkan untuk membantu menangkis serangan musuh.
- Satu! Dua! . . . - terdengar suara aba- aba.
Dan pada hitungan yang ketiga jangkar besi benar- benar dilemparkan oleh empat orang kebawah. Tak perlu diterangkan lagi, bahwa berat jangkar besi itu setidak- tidaknya melebihi setengah kwintal sehingga membutuhkan empat orang untuk melemparkannya. -
Dengan terpaksa. Tilam melompat mundur dan pada saat itu seseorang berkelebat di sampingnya. Dialah Isu Wardana yang menghadang di depannya. Dengan kedua tangannya ia menangkap jangkar besi seberat setengah kwintal itu dan dilemparkannya balik ke atas. Serunya:
- Siapa berani menerima? Hayo. kita main lempar lemparan! -
Laskar Chaiya yang berdiri di tepi geladak. kaget bukan kepalang. Sama sekali mereka tidak mengira, bahwa isu Wardana akan menyerangnya balik dengan cara demikian. Dengan serentak mereka mundur berserabutan. Seseorang yang berperawakan raksasa tetap berdiri di tempatnya. Dengan kedua tangannya ia menerima ayunan jangkar besi isu Wardana. Kalau dia tidak berani berbuat demikian jangkar besi bisa merusak geladak kapal. Ternyata dia berhasil dan meletakkan jangkar besi itu pelahan- lahan di atas geladak. Tetapi setelah itu, ia melontakkan darah segar melalui mulutnya.
Yang menyaksikan peristiwa itu, terkejut sampai wajahnya pucat pasi. Tentunya, ayunan Isu Wardana membawa tenaga luar biasa besarnya. Kalau tidak, betapa mungkin dapat melukai orang. Padahal, jangkar itu dilemparkan dari bawah. Seumpama datangnya dari atas, tidak dapat terbayangkan lagi betapa akibatnya.
- Paman! Mari kita pecah perhatian mereka.,- ujar Isu Wardana kepada Tarung.
- Bawalah perahu ini menepi! Aku akan menyerang mereka. -
Belum lagi Tarung menyetujui sarannya, Isu Wardana sudah melesat tinggi ke udara dan mendarat di atas geladak kapal. Hebat sepak- terjangnya. Dengan gesit ia menyerang gerombolan.laskar yang tengah terlongong- longong. Karena serangannya tiba dengan mendadak, mereka tidak sempat menangkis atau bertahan. Dengan suara blak bluk, mereka jatuh sungkem mencium geladak. Dan pada saat itu pula, Isu Wardana sudah terbang lagi meninggalkan kapal ke arah lain. Tubuhnya berputar- putar di udara dan menghujam permukaan air seolah- olah ujung tombak. Dan hilanglah dia dari pengamatan orang.
Dalam pada itu. perahu Tilam sudah mencapai tepi sungai. Tepat pada saat itu, perahu orang tua yang dilindunginya tadi menghampiri. Orang tua itu mempersilahkan semuanya naik ke perahu. Kemudian dengan beramai ramai mereka mendarat.
Begitu tiba di daratan,mereka berpaling ke arah kapal asing itu. Seperti saling berjanji. perhatian mereka mencari kemana arah lari Isu Wardana. Mereka tadi sempat melihat Isu Wardana terjun ke dalam permukaan air. Tetapi setelah itu bayangannya tidak nampak lagi.
- Apakah dia dapat berenang? tercetus suara Tilam membawa rasa cemas,
- Apakah dia bukan temanmu? orang tua pemilik perahu heran.
- Kalau begitu, niscaya dia lagi. -
- Dia lagi bagaimana?
Tilam menegas.
- Sebenarnya, terlebih dahulu kami harus menghaturkan terima kasih kepada tuan- tuan sekalian karena sudi menolong kami. Tentang anak muda itu, begini. - sahut orang tua pemilik perahu.
Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter Pendekar Kembar Karya Gan K L Pendekar Bloon 6 Undangan Maut
Tarung terperanjat, karena pundaknya tiba- tiba- tergetar sehingga tubuhnya bergoyang. Padahal dia bukannya seorang pendekar yang tidak mempunyai kepandaian tinggi. Tilam dahulu sempat menyaksikan kegesitannya. Mungkin sekali, kepandaiannya seimbang dengan kepandaian Palata. Sekiranya tidak demikian, mustahil dia terpilih sebagai salah seorang pengawal Duta Lembu Seta dalam perjalanan pulang ke Tarumanegara. -
- iblis ini benar- benar hebat! - ia berkata dalam hati.
Merasa diri tidak mungkin dapat mempertahankan diri, segera ia meminjam gerakan hentakan Pramusinta dan tubuhnya melesat tinggi di udara. Di udara, barulah dia dapat melepaskan tongkatnya dari libatan pengebut Pramusinta.
Pramusinta sendiri terperanjat. Sebab tak pernah ia mengira, bahwa hentakannya bisa digagalkan dengan cara demikian. Hatinya jadi sibuk menebak- nebak siapa gerangan lawannya yang tangguh itu. Kalau saja di antara mereka terdapat empat orang setangguh lawannya itu, dirinya bakal celaka. Memperoleh pertimbangan demikian, tak berani ia mengumbar adat. Ia melompat mundur sambil berkata angkuh:
- Sabung! Temanmu hebat juga. Tetapi janganlah bermimpi dia akan dapat mengalahkan aku. Nah, jelaskan dahulu di mana engkau menyembunyikan dia!
- Hm. dengus Sabung.
- Kau maksudkan Yang Mulia Lembu Seta? Pada saat ini jasatnya sudah berada dalam dasar samudera dengan aman damai. -
- Hai! -
Pramusinta memekik.
- Mengapa kau bawa ke sana? Kau jahanam terkutuk!
Yang terkejut, sebenarnya tidak hanya Pramusinta seorang. Tetapi termasuk Rara Tilam pula. Hampir saja ia membuka mulutnya, tatkala Sabang dengan membusungkan dadanya menyahut pertanyaannya Pramusinta:
- Itulah seorang pahlawan sejati yang pantas kami tiru. Seorang pahlawan yang sadar akan tugasnya. Beliau tidak menghendaki disemayamkan di bumi Swarnadwipa maupun di Jawadwipa. Tetapi tepat di tengah- tengah lautan Krakatau sebagai jembatan penghubung untuk mengingatkan kami, bahwa kami sesungguhnya adalah satu bahasa dan satu bangsa.
- Hm, siapa sudi mendengarkan khotbahmu. damprat Pramusinta.
- Jelas sekali dia sudah kehilangan nyawanya di sini. mengapa bisa berpesan yang bukan- bukan? Benar- benar isapan jempol yang memuakkan.
Sabung mengeluarkan selembar kain. Setelah dipentang. terlihat sederet tulisan tangan yang indah. Katanya:
- Kau bisa baca tulisan beliau atau tidak? Mari kutolong membacakan. Di dasar lautan aku akan tetap hidup sebagai jembatan penghubung. Di dunia ini temasuk engkau, masakan pada suatu saat tidak akan mati? Namun beliau memberi ajaran pada kami. bahwa matipun membawa makna. Beliau tidak hanya pandai mengabadikan makna kepergiannya sebagai tugu peringatan bangsa yang bernegara saja tetapi pandai menjaga pula jangan sampai jasat beliau tersentuh oleh tangan- tangan iblis seperti engkau. Meskipun andaikata engkau memiliki kepandaian setinggi langit, akulah orang yang pertama- tama menyatakan bahwa engkau tidak akan mampu lagi menyentuhnya. Aku ingin melihat. apakah sisa umurnya masih sanggup mengaduk- aduk lautan Krakatau yang tidak bertepi.
Hebat kata- kata pendekar Sabung. Tilam yang tadinya tergetar hatinya oleh berita duka itu, tiba- tiba jadi terhibur dan merasa bersyukur mendengar kata- kata yang lantang, tegas dan bermakna dalam. Diam- diam ia menyusut airmatanya yang nyaris membasahi kedua kelopak matanya.
Sekonyong- konyong, Pramusinta tertawa panjang sekali dengan nada yang aneh sekali. Kadang terdengar nada pekikan rasa penasaran,kadang bernada sendu memilukan. Dan mendengar suara tertawa yang berkesan aneh itu. Yudapati tertegun- tegun. Suatu bayangan berkelebatan dalam benaknya.
Namun bayangan apakah itu, ia sendiri tidak mengetahui dengan jelas. '
- Apakah pada jaman mudanya mereka saling mengenal dan . . . pikirnya di dalam hati. Tak dapat lagi ia menyelesaikan butiran- butiran pikiran itu yang merumun didalam benak dan hatinya.
- Baiklah . . . apa yang sudah terjadi. biarlah terjadi. - akhirnya Pramusinta berkata kalah.
- Tetapi tentunya
engkau membawa kotak pusaka itu.
- Kotak pusaka apa? bentak Sabung.
- Kuulangi lagi, serahkan kotak pusaka itu! Kalau tidak, sukar aku mengampuni jiwamu. ancam Pramusinta dengan suara bengis.
- Legakan hatimu! Aku yang akan mewakilimu mencabut nyawa mereka. itulah ucapan Yogabrata yang tiba- tiba saja melesat menerjang Sabung.
Anak- buah Sabung dan Tarung yang sudah cukup sabar menahan diri, kali ini tidak lagi menghiraukan keselamatan diri. Dengan serentak mereka maju berbareng menghadang serangan Yogabrata. Wajah pendeta ini yang tadinya nampak cerah dan selalu menyungging senyuman, sekarang berubah menjadi cemburu. Dia melesat kesana kemari seperti orang kalap. Hal itu menambah dan menguatkan dugaan Yudapati.
Apakah Duta lembu Seta pada jaman mudanya menjadi saingannya?
Serangan Yogabrata benar- benar tidak mengenal ampun. Tangannya bergerak dengan ganas. Dengan sekali gebrak saja, enam orang sudah dapat dibunuhnya. Menyaksikan kekejamannya, tak dapat lagi Yudapati berdiam diri. Dengan serentak ia menghunus pedang Jagadpati. Sewaktu hendak melesat maju, terdengar suara Pramusinta melengking tajam:
- Hai Yogabrata! Mengapa lancang tangan? Kalau aku mau membunuh mereka, masakan perlu bantuanmu? Mundur!
Yogabrata yang sedang menghampiri Tarung, mundur jumpalitan kembali ke tempatnya semula. Tak usah dijelaskan lagi, bahwa sesungguhnya dia berada di bawah pengaruh Pramusinta. Sabung sudah mulai muak menyaksikan sepak- terjang kedua pendeta iblis itu. Dengan menggerung ia berkata lantang:
- Sudahlah. sudahlah . . aku sudah muak melihat lagak- lagumu. Kalian setali tiga uang. Janganlah berpura pura saling menyalahkan seolah- olah masing- masing memiliki tataran budi yang berbeda. Kalau kalian mau membunuh kami, bunuhlah! Tapi jangan bermimpi lagi perkara kotak pusaka segala selama aku bisa berdiri tegak di hadapan kalian. -
- Bagus! Kalau begitu, jangan salahkan diriku. potong Pramusinta sengit.
Sabung sudah bersiaga penuh. Seperti pendekar Tarung, ia bersenjata sebatang tongkat baja. Hanya saja ukurannya lebih panjang dan lebih besar. Walaupun demikian dengan leluasa, ia dapat menyapu serangan Pramusinta yang datang secepat kilat setelah selesai berbicara. Agaknya, menghadapi Sabung. Pramusinta bersikap hati- hati. Mengira, bahwa lawannya ini tentunya memiliki kepandaian yang paling tinggi dibandingkan dengan lainnya,terus saja ia memberondongnya dengan serangan maut. Sabung tidak gentar.
Memang Sabung tidak dapat dipandang enteng. Dibandingkan dengan Tarung, masih ia menang setingkat. Pukulan tongkatnya menderu- deru membawa tekanan angin. Mau tak mau Pramusinta terpaksa melesat mundur, setiap kali merasa terancam. Tak berani dia menangkis untuk mengadu tenaga. Namun dalam hal kelincahan, iblis perempuan itu masih berada di atas kecekatan Sabung. Itulah sebabnya, caranya menyerang maju mundur cepat bagaikan kilat menyengat bumi.
Sabung benar- benar seorang pendekar tangguh. Senjata tongkatnya dapat membatasi merajalelanya gerakan tangan dan kebutan lawannya. Khawatir kalau Pramusinta diam- diam masih menyimpan senjata bidiknya yang beracun. seringkali ia mendaratkan serangan mautnya.
Tetapi selalu saja ia memukul tempat kosong. Pikirnya dalam hati:
- Iblis ini benar- benar memiliki gerakan tubuh bagaikan bayangan. Kabarnya dia memiliki senjata bidik beracun. Apa yang harus kulakukan, kalau tiba- tiba dia menyerang.
Diluar dugaan, Pramusinta tidak memikirkan akan menggunakan senjata andalannya. Ia merasa masih dapat mengatasi.
Bukankah tongkat baja Sabung tidak ringan?
Mustahil tenaganya masih tetap utuh. setelah dua atau tiga ratus jurus lagi. Dan perhitungan iblis perempuan itu, memang benar. Sebab setelah bertempur sekian lamanya. gerakan tongkat Sabung mulai agak lamban. Kesempatan inilah yang ditunggu- tunggu.
Beberapa saat kemudian,secepat kejapan kilat Pramusinta meloncat dan kedua kakinya seperti seseorang menggebah rumunan ratusan nyamuk. Tentu saja, Sabung terperanjat. Cepat ia menghantamkan batang tongkatnya ke tanah dengan maksudkan merobohkan Pramusinta. Tetapi iblis itu malahan tertawa senang. Ia hanya meloncat sedikit, lalu menghampiri Sabung dengan melalui batang tongkatnya. Buru- buru, Sabung melepaskan pukulan tangan kosong. Pramusinta melesat mundur sambil memukulkan tangkai pengebutnya.
Sabung tak mau kalah. Tongkatnya diangkat dan dibawanya berputaran dengan sekali- kali dihantamkan ke tanah. Entah dengan ilmu apa, kedua kaki Pramusinta tetap melengket di atas batang tongkatnya. Menghadapi lawan yang mempunyai ilmu kepandaian begitu tinggi, lambat- laun Sabung nyaris kehabisan tenaga juga. Syukur pada saat itu. Modra yang semenjak tadi belum beralih tempat,melompat menerjang dan melepaskan pukulan dari belakang punggung.
Kebutan Pramusinta seperti mempunyai mata saja.
Tiba- tiba kebutannya menangkis ke belakang.
Plak!
Modra terpental dan roboh terguling. Dan kembali lagi. Pramusinta mencecar Sabung yang sudah kelelahan. Berat badan Pramusinta memang tidak melebihi lima puluh kilo, namun berat badan itu jadi menambah berat tongkat bajanya. Paling sedikit semuanya jadi mempunyai bobot satu kwintal. Meskipun Sabung seorang pendekar yang memiliki tenaga istimewa, makin lama makin berkurang juga kekuatannya. Tongkat bajanya tidak dapat digunakan sebagai senjata pemukul lagi. Sebaliknya malah membebaninya.
Pada saat itu Sabung sadar, bahwa ia tidak akan dapat menjatuhkan laWannya lagi. Bahkan bila meleng sedikit saja akibatnya akan runyam. Dia sendiri sudah bersedia mati semenjak tadi.
Tetapi bagaimana dengan Rara Tilam?
Puteri Duta Lembu Seta itu, niscaya akan mati pula. Teringat akan ancaman bahaya itu,terbangunlah semangat jantannya. Seketika itu juga,tenaganya seperti bertambah.
Sabung tidak mengetahui, bahwa puteri lembu Seta sesungguhnya memiliki kepandaian tinggi .Sekiranya berhadap- hadapan dengan Pramusinta belum tentu dapat terbunuh dengan mudah. Andaikata kalahpun,kecerdikannya masih bisa menolong diri dari bahaya maut. Di samping itu masih berdiri seorang pendekar muda yang gagah dan berkepandaian tinggi. Dialah Yudapati yang masih saja menahan diri, karena tengah mengamati kepandaian Pramusinta dan Yogabrata. Pemuda itu, niscaya tidak akan membiarkan Tilam terancam bahaya.
Benar saja. Pada saat itu, tiba- tiba terdengar suara Tilam berkata nyaring:
- Paman Sabung. jangan takut! Aku akan membantu
Hati Sabung seperti terpukul godam mendengar katakata Tilam. Celaka. pikirnya.
- Dia bisa apa?
Karena itu sambil memutar- mutar tongkatnya ia menyahut gugup:
- lari! Lari! . . . Hai Tarung. bawalah tuanku puteri
lari!
Pramusinta tertarik mendengar Sabung menyebut Tilam dengan tuanku puteri. Ia mengerlingkan matanya. Dia tercengang sejenak karena merasa lalai. Karena Tilam mengenakan pakaian pria, ia mengiranya seorang pemuda. Untung, puteri yang mengenakan pakaian pria itu tidak berkepandaian. Bahkan sekarang, dianjurkan untuk melarikan diri. Karena itu, ia tertawa panjang.
- Mengapa mesti lari? ujarnya.
Tetapi selagi berkata demikian, sekarang ia terperanjat. Sebab diluar dugaan, puteri itu tiba- tiba melesat tinggi di udara dan dengan pedang pendeknya hampir saja menyambar batang lehernya.
- Ih! ia kaget setengah mati.
Terpaksa ia meletik turun dari tongkat Sabung sambil menundukkan kepalanya. Ternyata Tilam tidak hanya menyerang satu sambaran saja. Bagaikan seekor burung garuda,kembali lagi ia meletik ke udara dan mencecar Pramusinta dengan serangan- serangan yang cepat luar biasa.
Sabung terheran- heran sampai terhenyak beberapa saat. Sama sekali tak diduganya, bahwa Tilam memiliki kepandaian tinggi. Selagi demikian, terdengar suara Yogabrata: '
- Bocah kurangajar! Kau berani ikut- ikutan menjual nyawa? -
Buru- buru Sabung menghadang Yogabrata yang akan turun ke gelanggang membantu isterinya. Namun ia kalah cepat. Sesosok bayangan berkelebat di depannya. Dan bayangan itu dengan cepat sekali dapat membuat Yogabrata kelabakan.
Dialah Yudapati yang kini merasa sudah
tiba waktunya untuk ikut- campur.
- Siapa kau? bentak Yogabrata.
- Siapa kau?
Yudapati membalas bertanya. Dia sudah terlatih bermulut jahil,manakala berhadapan dengan manusia semacam Palata. Menurut pengalamannya bisa mengacaukan pemusatan perhatian lawan.
- Aku bertanya padamu. Bukan untuk menjawab.
- Aku bertanya padamu. Bukan untuk menjawab.
Yudapati menirukan.
- Kentut! maki Yogabrata mendongkol.
- Kentut!
- Kentut apa? -
- Kentut biru. jawab Yudapati.
- Siapa yang biru? - bentak Yogabrata.
- Kentutmu.
Yudapati benar- benar dapat membuyarkan pemusatan pikiran lawan. Tahu- tahu, Yogabrata dicecar dengan jurus- jurus istimewa yang tiada ujung pangkalnya. Dan menyaksikan hal itu,hati Sabung terhibur. Terus saja ia berseru kepada Tarung:
- Tarung, maju! Kita habisi iblis itu!
- Dia mendahului Tarung menerjang Pramusinta yang sudah kena terlibat pedang pendek Tilam yang tajam luar biasa. Dua kali Pramusinta mencoba menangkis sambaran pedang Tilam dengan kebutannya. Ternyata kebutannya terpotong separoh sehingga terbang berderai terbawa angin laut.
- Hai! Dia disebut tuanku puteri. Apakah . . .
Pramusinta menduga- duga di dalam hati. Namun tak sempat lagi ia menyelesaikan bunyi kata dugaannya. Sabang dan Tarung sudah datang mengkerubutnya. Hatinya meringkas dan kepongahannya sirna sebagian. Pada saat itu juga teringatlah ia kepada senjata andalannya.
Itulah senjata
bidik beracun.
Dalam pada itu pertempuran antara Yudapati dan Yogabrata tengah memasuki saat- saat yang menentukan. Yudapati tahu, Yogabrata terlalu percaya kepada ketangguhannya sendiri. Rupanya jarang sekali ia menggunakan senjata. Semua lawannya mati hanya oleh pukulan tangannya. Itulah sebabnya dia melawan pedang Yudapati cukup dengan tangan kosong. Namun kali ini ia menumbuk batu. Pedang Yudapati tidak memberinya kesempatan untuk bernafas. Jangan lagi bisa menghimpun tenaga, sedang untuk mengelakkan sambaran pedang saja, ia terpaksa mencurahkan semua kepandaiannya. Celakanya,ilmu pedang Yudapati tidak pernah ada titik hentinya. Pedang itu bergerak terus menerus dan selalu mengincar titik titik kelemahannya. Tahu- tahu
cres!
Pangkal lengannya tertikam. Karena kaget, ia memekik kesakitan. Lalu mengerang sambil mengutuk.
Mendengar erangan kesakitan itu, hati Pramusinta tercekat. Tanpa berpikir panjang lagi. terus saja ia menghamburkan jarum- jarum berbisa. Sabang berteriak memperingatkan:
- Awas, jarum beracun!
Tilam belum pernah berhadapan dengan musuh yang bersenjata jarum berbisa. Ia terperanjat dan dengan matimatian melesat mundur. Syukur pada waktu itu, Sabung menghadang di depannya. Dengan tongkatnya, Sabung menyapu sebagian besar jarum berbisa yang menyerang bertaburan. Tak urung sisanya masih ada yang mengenai kakinya. Dan hanya beberapa saat saja. kakinya jadi kaku tak dapat digerakkan lagi. Ia roboh terguling.
Baik Tilam maupun Tarung terkejut. Cepat mereka menerjang dengan berbareng. Namun Pramusinta tidak melayani. Ia melesat mendekati Yogabrata. Melihat hal
itu. Tilam berseru kepada Yudapati:
- Awas. jarum beracun. -
Yudapati tercekat hatinya. Seperti Tilam, selamanya belum pernah ia berhadapan dengan senjata bidik demikian. Syukur pada detik itu, ia tidak kehilangan akal. Ilmu tipu- muslihat kaum cikal- bakal yang terpahat di dinding goa, mengilhaminya. Cepat ia menendang Yogabrata untuk dibuatnya perisai. Dan pada saat itu Yogabrata menjerit menyayatkan hati. Belasan jarum menancap di sekujur badannya dan mati terjengkang dengan sekejap mata.
Pramusinta benar- benar seorang iblis sejati. Sama sekali hatinya tidak terketuk menyaksikan senjatanya memakan suaminya sendiri. Sadar akan ancaman bahaya, ia perlu menyelamatkan diri sendiri. Seketika itu juga, ia memutar tubuhnya dan melarikan diri secepat angin. Namun Yudapati sudah mengambil keputusan. Baik Yogabrata maupun Pramusinta adalah dua manusia yang tidak boleh diberi ampun lagi. Itulah sebabnya, dia tadi sampai hati menendang Yogabrata sebagai perisainya,mengingat kekejamannya membunuhi orang- orang yang tidak berdosa. Terus saja ia mengejar Pramusinta. Biar sampai ke ujung dunia akan kuuber terus sampai mati, ia memutuskan dalam hati.
Tetapi dalam hal kecepatan ia kalah jauh. Sebentar saja ia sudah kehilangan bayangan Pramusinta. Walaupun demikian, ia berhati keras. Tetap saja ia mengejar dengan lari secepat- cepatnya. Apakah sudah tepat mengikuti arah larinya Pramusinta, tidak lagi dihiraukan. Sewaktu memasuki tikungan, tiba- tiba ia melihat suatu pemandangan yang aneh. Pohon- pohonan yang tumbuh di seberang menyeberang jalan, menunduk layu. Batang,ranting dan daunnya bersemu hitam. Juga rerumputan yang tumbuh
disekitarnya.
- Hei. mengapa? ia: berhenti mengamat- amati.
******
SEORANG PERTAPA YANG ANEH
YUDAPATI adalah seorang yang cermat. Setiap kali menaruh perhatian terhadap sesuatu, tidak akan melepaskan pengamatannya sebelum memperoleh kesimpulannya yang jelas. Dengan memasang matanya ia mulai menyelidiki. Di depannya ia melihat sepetak tanah dengan rerumputan seperti terbakar. Belasan jarum terbuat dari perak menancap berjajar. Panjangnya tidak lebih dari panjang ibujari. Pangkalnya terukir indah dan ujungnya berwarna hitam. Seekor kelabang, dua tabuan(tawon), belalang, jangkrik dan barisan semut mati di sekitar jajaran belasan jarum itu. Ia heran bukan kepalang. Sekonyong- konyong seekor kutu tanah datang berloncatan hendak menyeberang rerumputan itu. Pada saat itu juga, mati terjengkang tatkala menyerempet batang jarum. Menyaksikan hal itu, tahulah ia sekarang sebab musababnya.
- Ih, senjata iblis itu sama jahatnya dengan majikannva.
Yudanati berkata dalam hati.
- Kalau begitu, paman Sabung pada saat ini niscaya sudah mati.
Teringat akan kemungkinan itu, ia bermaksud hendak memutar tubuhnya. Tiba- tiba ia mendengar suara tertawa pelahan di balik gerumbul pepohonan. Ia melemparkan pandangnya dan melihat Pramusinta muncul dari balik belukar. Dengan penuh waspada ia mengawaskan kedua tangan iblis itu. '
- Anak muda, sebenarnya siapakah engkau? - tegur Pramusinta dengan suara manis.
- Mengapa engkau membela mereka dengan mati- matian? -
- Hm. -
Yudapati mendengus.
- Apakah secepat ini engkau tertarik kepada laki- laki lain, setelah suamimu mati?
Yudapati sengaja berbicara jahil seperti tadi. Pertemuannya dengan Palata dahulu banyak memberinya pelajaran dan ajaran padanya, bagaimana caranya menghadapi lawan yang licin. Dia tidak gentar menghadapi kecepatan dan kegesitan iblis itu. asal saja bisa bertempur dalam jarak dekat. Jurus- jurus pedangnya yang mengutamakan tempat- tempat yang tak terlindung, lambat- laun niscaya dapat merepotkannya. Tetapi mengingat iblis itu menggenggam senjata yang beracun jahat, perlu ia berwaspada pada setiap gerak tangannya.
- Apakah dia suamiku benar- benar? Dari mana engkau tahu? - ujar Pramusinta.
Itulah kata- kata yang sama sekali berada diluar dugaan Yudapati.
Untuk sejenak ia terhenyak. Namun segera ia mendapat jalan keluarnya. Sahutnya:
- Ah ya . seorang pendeta masakan boleh kawin? Tetapi kalau hanya bergaul bukankah tak ada halangannya?- -
- Ngacau! - teriak Pramusinta marah.
Yudapati tertawa terbahak- bahak. Ucapannya ternyata
mengenai sasaran. Katanya lagi:
- Menurut kata sahabatku. seorang bhiksuni boleh bergaul dengan empat atau lima laki- laki.
- Kurangajar! Siapa sahabatmu itu?
Pramusinta melesat maju dengan wajah merah padam.
- Sahabatku adalah sahabatku. Apakah engkau ingin bergaul juga dengannya? -
Tak dapat lagi Pramusinta menahan diri. Terus saja ia menerjang dengan kebutannya. Yudapati sudah bersiaga semenjak tadi. Begitu kehutan Pramusinta bergerak, segera ia mendahului. Yang diserangnya adalah tempat yang tak terlindungi. Terpaksa Pramusinta menarik serangannya untuk menangkis. Justru demikian, pedang Yudapati mulai bergerak. Dan sekali bergerak, jurus- jurus sambung mencecar tiada habisnya.
- Bagus! tiba- tiba terdengar suara memuji.
Baik Yudapati maupun Pramusinta terperanjat. Iblis perempuan itu, lantas saja melesat menjauhi sambil membentak:
- Siapa? ,
Ia celingukan dengan bersiap penuh. Namun orang yang bersuara memuji tadi, tiada nampak bayangannya. Yudapati sendiri, dengan diam- diam pula mengembarakan penglihatannya. Tetapi ia tidak perlu membagi perhatian karena orang yang bersuara memuji tadi tentunya berada dipihaknya.
- Anak muda! Jangan biarkan dia mengambil jarak! Desak dan jangan beri kesempatan dia bernafas. - kata orang yang bersuara tadi. -
Kata- kata peringatan itu. menyadarkan Yudapati. Terus saja ia melompat menghampiri. Namun Pramusintapun seperti diingatkan pula. Pada waktu Yudapati tengah berada di udara, ia menimpukkan belasan jarum
beracunnya bagaikan hujan gerimis. Menghadapi serangan demikian,terpaksalah Yudapati memutar pedangnya untuk melindungi diri. Belasan jarum dapat diruntuhkan ke tanah, tetapi bukan berarti seluruhnya. Sebab, sebelumnya belum pernah Yudapati berlatih memutar pedangnya sepesat kitiran menangkis deras hujan.
- Celaka! ia mengeluh di dalam hati.
Tetapi ajaib!
Beberapa jarum yang hampir menyentuh tubuhnya runtuh berguguran ke tanah. Pramusinta yang hampir bersorak menang, terperanjat. Secepat kilat ia melesat maju untuk memeriksa apa sebab terjadi demikian. Hatinya kecut dan suatu rasa takut menjalar keseluruh tubuhnya. Sebab jarum- jarumnya itu hanya diruntuhkan oleh beberapa butir kerikil kecil yang tidak melebihi besarnya sebutir beras. Kalau saja si pelempar tidak memiliki tenaga sakti yang dahsyat, tidak mungkin dapat berbuat demikian.
Dari kecut hati, ia jadi penasaran. Sekali lagi ia celingukan. Kali ini ia melihat seorang laki- laki yang mengenakan jubah putih, berdiri tegak bagaikan patung. Rambut laki- laki itu sebatas pundak, putih perak dan berkesan lembut. Tetapi pandang matanya memancarkan kewibawaan agung. Tak dikehendaki sendiri, ia selangkah, sambil membentak setengah menggeletar.
- Siapa?
Tetapi laki- laki berjubah itu yang tentunya sudah berusia lanjut,tidak menghiraukan pertanyaannya. Dia berkata kepada Yudapati:
- Iblis itu sudah terlalu banyak membunuh orang orang tak berdosa. Nah, anak muda, tuntutkan dendam mereka!
Seperti tersihir, Yudapati mendekati Pramusinta. Tentu saja. Pramusinta tidak mau menerima nasibnya
dengan begitu saja. Tangannya bergerak hendak melepaskan belasan jarumnya lagi. Pikirnya. orang tua itu tidak akan dapat meruntuhkan jarumnya, karena terhalang tubuh Yudapati. Seumpama dia harus mati. Yudapati akan mati lebih dahulu. Dengan begitu,matinya cukup berharga. Namun jalan pikirannya dan kenyataannya selisih jauh. Entah apa sebabnya, kedua tangannya tak dapat digerakkan lagi. Sadar akan hal itu, ia segera mengambil keputusan. Keputusan seorang iblis sejati yang dapat menunggu maut dengan hati dingin.
- Kau mau bunuh aku, bunuhlah - cepat! Pedangmu memang hebat! - ia mengejek.
Yudapati adalah seorang perajurit sejati, kalau tidak boleh dikatakan seorang pendekar yang berhati mulia dan bersifat jantan. Begitu mendengar ucapan Pramusinta, kehormatannya terpukul. Memang, ia tadi sudah memutuskan akan membunuh iblis itu. Tetapi dengan cara bertempur sebagai layaknya seorang perwira. Kalau membunuh seseorang dalam keadaan tak berdaya, rasanya tidak sesuai dengan panggilan hatinya. Maka ia memutar tubuhnya hendak menyatakan isi hatinya kepada orang tua itu. Sekonyong- konyong wajah orang tua itu berubah. Sebab pada saat itu, tubuh Yudapati menghalangi penglihatannya terhadap Pramusinta.
- Awas! - ia memperingatkan.
Pramusinta memang seorang iblis sejati. Begitu merasa mendapat kesempatan, seketika itu juga ia menaburkan belasan jarum mautnya. Karena dirinya terlindung oleh tubuh Yudapati, kedua tangannya dapat bergerak leluasa seolah- olah terlepas dari suatu tekanan tenaga yang tidak nampak.
Peringatan itu mengagetkan Yudapati pula. Ia menyadari kelengahannya. Seperti gangsingan yang diputar,
secepat itu pula ia memutar tubuhnya. Tetapi jarak antara dia dan Pramusinta terlalu dekat. Gerakan pedangnya hanya dapat meruntuhkan sebagian kecil jumlah jarum yang ditabur iblis itu.
- Celaka! - seru orang tua itu yang berada di belakang punggungnya.
Ia hanya sempat melihat Pramusinta melarikan diri secepat kilat lalu roboh tak sadarkan diri. Apa yang terjadi setelah itu berada di luar ingatannya.
Di waktu ia membuka matanya kembali, entah sudah berapa lama ia kehilangan kesadarannya. Yang terlihat di depan kelopak matanya adalah suasana yang gelap pekat.
- Apakah aku sudah mati? itulah pertanyaannya yang pertama kali kepada dirinya sendiri.
lambat- laun dapatlah ia mengingat- ingat apa yang
sudah dialaminya. Waktu itu, masih sempat ia melihat berkelebatnya belasan jarum beracun Pramusinta yang menghujani dirinya. Tak sempat lagi ia melesat mundur atau mengelakkan diri. Satu- satunya perbuatan yang dapat dilakukannya hanya mencoba meruntuhkan semua jarum yang mengancamnya. Ia berhasil merontokkan sebagian. Namun tepat pada saat itu, kaki dan pinggangnya menjadi baal dan kaku. Lalu . . . iblis itu memutar tubuhnya dan lari menerjang belukar dengan secepat- cepatnya. Setelah itu. . . semuanya menjadi gelap. Kalau begitu, aku memang sudah mati. ia yakin. Lalu mengeluh:
- Celaka! Tak kusangka bahwa dunia baka begini gelap gulita. Jangan- jangan yang kulihat ini adalah liang kubur. Lalu, siapakah yang mengubur diriku? 0 ya . . . bukankah orang tua itu menyaksikan kematianku? Yah mudah- mudahan, dia menaruh belas kasih sehingga berkenan menguburku. -
Karena berpikir demikian, ia mencoba bangun. Ia
heran dan terperanjat. Sekarang dapatlah ia menggerakkan seluruh anggauta badannya dengan leluasa. Rasa baal dan kejangnya dahulu, sirna. Bahkan tubuhnya terasa ringan sekali. Kalau begitu aku benar- benar sudah mati. Pikirnya berulang kali.
Dengan penasaran kini ia melompat bangun. Karena mengerahkan tenaga, tubuhnya tiba- tiba membal ke atas dan menumbuk suatu batas bangunan.
Duk! Dan ia terbanting turun dengan dihujani rontokan tanah dan batubatu sebesar tinju. Syukur.. ia dapat menguasai lontaran balik dengan cepat sehingga tidak perlu jatuh mencium tanah. Tetapi rontokan tanah dan batu yang menghujani dirinya membersitkan rasa cemas. .
- .. Ah! Benar- benar aku berada di dalam liang kubur, ia berkomat- kamit. Tetapi mengapa aku masih dapat bernafas? Apakah karena aku sudah berbadan roh? Kalau tidak, mengapa tubuhku dapat membal ke atas dengan ringan sekali?
Ia mencoba menajamkan penglihatan. Syukur, ia pernah berada di dalam goa hampir satu bulan lamanya. Secara tidak langsung,pandang matanya sudah terlatih menembus tirai kegelapan. itulah sebabnya dengan cepat dapatlah ia menyesuaikan diri. Sekarang ia melihat bahwa ruang yang dikiranya liang kubur itu berukuran luas mirip sebuah goa.
- Mudah- mudahan penglihatanku ini bukan satu kesaksian bahwa diriku sudah berbadan roh, sehingga barang padatpun nampak lapang. - ia berkata dalam hati.
Selagi demikian, ia mendengar suara yang dikenalnya:
- Bagus! Kesehatanmu sudah pulih.
Secepat kilat ia berputar ke arah datangnya suara sambil berseru menyahut:
- Eyang! Eyangkah yang berbicara kepadaku?
- Eyang siapa?
- Bukankah eyang yang menolongku menggebah iblis perempuan itu?
- Hm. anak tolol! Hampir saja aku kehabisan tenaga.
Sekarang Yudapati tidak ragu- ragu lagi, bahwa dirinya sesungguhnya masih hidup. Hidup sebagai manusia dan bukan berbadan roh. Terus saja, ia menjatuhkan diri sambil berkata:
- Eyang! Aku bernama Yudapati, dengan ini menghaturkan sembah.
- Hm, berapa orang yang pernah kau sembah?
- Empat. Mengapa? -
Yudapati tercengang.
- Siapa saja?
- Ayah, guruku, kakekku dan sekarang eyang. -
- Mengapa engkau menyembah ayahmu? -
- Tidak hanya ayah. Ibupun kusembah.
- Kalau engkau menyembah kepada ibumu, mengapa tak kau hitung? " .
Yudapati makin tercengang. Namun pada saat itu, segera ia sadar sedang menghadapi seorang yang berwatak aneh. Maka jawabnya tak kalah melit:
- Menurut pendapatku tiada terdapat pemisahan antara ayah dan ibu. Itulah sebabnya, kuhitung satu. -
Orang Tua itu diam sejenak seperti sedang menimbang nimbang. Berkata lagi:
- Baik. Lalu mengapa kau sembah?
- Sebab aku merasa berhutang hidup padanya. Mereka berdualah tempatku menggantungkan hidupku. Seumpama bunda tidak berkenan menyusuiku, aku sudah masuk liang kubur semenjak dilahirkan. Seumpama ayah tidak berkenan memberiku makan- minum, pendidikan. pengajaran dan perlindungan. pada saat ini mungkin aku meniadi binatang. Seumpama mereka berdua tidak berkenan
membimbingku untuk belajar mengerti bersujud kepada Hyang Widdhi - pada saat ini mungkin aku sudah menjadi iblis. -
- Hai. semenjak kapan engkau pandai berbicara? - tegur orang tua itu dengan suara agak kurang senang.
- Semenjak kanak- kanak, jawab Yudapati pendek.
Orang tua itu diam sejenak. Tiba- tiba tertawa terbahak bahak. Hebat akibatnya. Tiba- tiba ruang itu tergetar dan tanah serta batu- batunya meluruk ke bawah. Serunya pula:
- Cocok, cocok! Kau bisa melucu juga sepertiku. lalu mengapa engkau menyembah kakekmu?
- Dialah lambang leluhurku.
- Hm, boleh juga. Siapa nama gurumu?
- Resi Sanggrama Suradipati. -
- Benar- benar gurumu?
- Benar.
- Mengapa terlalu pelit?
- Pelit bagaimana?
Yudapati tidak mengerti.
- Mengapa engkau hanya menguasai Tantra tingkat tiga?
Mendengar kata- kata orang tua itu, hati Yudapati tercekat.
Mengapa dia bisa mengetahui?
Kalau bukan dewa, tentunya seorang sakti yang sudah menguasai seluruh tingkatan Tantra. Maka dengan membungkuk hormat ia menjawab:
- Ini bukan salah guru. Tetapi aku sendiri yang tidak becus. Sebab pada waktu itu, aku perlu menghidupi ayahbunda yang sudah berusia lanjut. Maka masuklah aku menjadi penjurit. Walaupun hanya berbekal Tantra tingkat tiga, ternyata aku dapat merebut kedudukan golongan perwira muda.
- Baik. kau ternyata anak jujur. Kalau begitu, tidak
sia- sia aku memompa nafasmu agar bisa kembang- kempis kembali. ujar orang tua sambil tertawa pendek.
- Nama gurumu begitu bagus. Sebaliknya namaku hanya berbunyi Brahmantara.
Sepatah kata terakhir itu, segera membuka pikiran Yudapati. Terus saja ia membungkuk hormat dan menyembah sekali lagi. Katanya mencoba:
- Eyang! Apakah eyang berkenan menerima Yudapati sebagai murid? 0. terima kasih eyang guru!
- Hus! Kapan aku memberimu ajaran sehingga engkau menyebutku sebagai gurumu?
Ternyata pengalamannya berdebat dengan Palata dan oleh ajaran warisan para cikal- bakal di goa dahulu itu,membuka pikirannya sehingga pandai memiliki tanggap sasmita (reaksi) yang cepat. Pada detik itu pula teringatlah dia, bahwa sebentar tadi tubuhnya tiba- tiba dapat membal tinggi sampai kepalanya membentur atap goa. Teringat hal itu, langsung saja ia menjawab:
- Jelas sekali aku kehilangan kesadaranku dan sebelum itu masih sempat merasakan rasa baal dan kejang. Tetapi kini sirna dari tubuhku. Siapa lagi yang memberikan pertolongan kalau bukan eyang. Yang kedua, tiba tiba saja aku memiliki tenaga berganda yang dapat membalkan tubuhku. Siapa lagi yang menganugerahi kepandaian ini. kalau bukan eyang. -
Kata- kata Yudapati ternyata mengenai sasarannya yang tepat. Brahmantara tertawa terbahak- bahak. Ujarnya:
- Kalau begitu, penglihatanku tidak salah. Kau memang anak yang tahu budi. Hatimu mulia. Tapi ingat- ingatlah. kerapkali orang jadi korban dari kemuliaan hatinya. Contohnya, hampir saja engkau mati kena jarum- jarum jahat perempuan itu. Bukankah karena engkau tidak sampai
hati hendak membunuhnya? ia berhenti sejenak lalu tertawa puas.
Berkata lagi:
- Sekian puluh tahun aku bertapa di sini. Tetapi makna tapaku engkau kalahkan hanya dalam setengah malam saja. Engkau bukan sanak juga bukan kerabat kaum nelayan yang terbunuh oleh perempuan itu. Meskipun demikian,dengan sukar ia engkau mengubur jasat mereka dan ada pula yang kau kembalikan melalui dasar laut. Bagus. bagus! Semenjak itu. hatiku tertarik padamu. Dan diam- diam aku mengamat amati.
Yudapati tercengang. Jadi sewaktu ia sibuk mengubur dan membuang mayat- mayat penduduk perkampungan nelayan, ternyata ada yang mengamatinya. Padahal baik Tilam maupun dirinya, sama sekali tidak menyadari ada yang mengintip. Kalau saja yang mengamati dirinya Pramusinta dan Yogabrata, riwayatnya sudah tammat.
- Eyang. sebenarnya kini aku berada di mana? -
- Tentu saja di pertapaanku. tolol.
- Benar. Memang kerapkali aku tolol. -
Yudapati membenarkan ucapan Brahmantara. Sikap menyalahkan diri itupun berkenan di hati Brahmantara. Kata orang tua itu;
- Yang kulakukan dahulu adalah mencabuti beberapa batang jarum dari tubuhmu. Kemudian aku mencoba menghisap racunnya keluar. Hasilnya tidak menggembirakan. Maka kubawa engkau menyeberang lautan dan kubawa kemari.
- Menyeberang lautan? -
Yudapati terbelalak.
- Tentu saja harus menyeberang lautan, karena aku tak bersayap. sahut Brahmantara.
- Sekarang aku dapat merawatmu dengan lebih cermat di Krakatau ini.
- Krakatau? Maksud eyang aku sekarang berada di salah satu goa gunung Krakatau?
- Tentu saja. Apakah ada nama lain, selain Krakatau? Barangkali kau ini tidak hanya sering tolol, tetapi benar benar tolol! ..
Yudapati tertegun. Pikirnya di dalam hati:
- Masakan aku harus mengetahui dimana diriku berada dalam keadaan pingsan? Siapapun tidakkan mampu. Bagaimana orang harus sadar dalam keadaan kehilangan kesadarannya? tetapi karena orang tua itu bermaksud baik, akhirnya ia merasa geli. Bahkan tak terasa, lambat laun ia mulai tertarik kepada lagak- lagunya. Pikirnya, tak mengapa ia mentolol- tololkan diriku. Kalau dibandingkan dengan kesaktian yang dimilikinya, apakah arti diriku ini.
- Hai! Mengapa engkau diam saja? tegur Brahmantara.
- Aku memikirkan kata- kata eyang. Agaknya tepat dan benar sekali. Aku ini benar- benar tolol.
- Siapa yang berkata begitu? Kularang engkau mengucapkan kata- kata tolol lagi, kecuali aku.
Yudapati tercengang untuk sekian kalinya. Tapi kali ini dengan cepat ia menyembah hormat. Sekarang tahulah dia, bahwa orang tua di hadapannya ini berwatak aneh. Dia akan tersinggung kalau harus menjawab suatu pertanyaan. Juga tidak senang kalau dirinya hanya mengamini semua kata- katanya. Kalau begitu, harus dengan cara yang bijaksana. Tetapi ucapannya yang terakhir itu, jelas menggambarkan rasa sayang kepadanya. Untuk itulah. ia merasa bersyukur dan menyembahnya dengan tulus ikhlas. Katanya:
- Ilmu pedangku adalah ilmu pedang cakar ayam. Ilmu pedang serabutan. Ilmu pedang awut- awutan. Meskipun demikian belum juga menyadari. Bukankah aku seorang tolol?
- Belum tentu. Orang lain tidakkan berani menyatakan begitu. Kecuali kalau dia tolol dan sinting. Sebab kulihat jurus- jurus pedangmu merupakan puncak- puncak tipu- muslihat tinggi. Hanya saja kurang sempurna. Entah apa sebabnya engkau hanya memiliki setengah matang. sahut Brahmantara.
Yudapati menatap muka Brahmantara. Orang tua itu bersandar pada dinding goa dengan sikap santai. Wajahnya jernih. Bersungguh- sungguh namun nampak ramah. Ia tidak berani lagi mengganggu dengan pertanyaan- pertanyaan lagi, meskipun ingin mengetahui bagaimana orang tua itu menyembuhkannya. Sikap diamnya, ternyata membawa hasil. Sebab tidak lama kemudian berkatalah ia lagi:
- Engkau hanya memiliki beberapa gabungan ilmu pedang. Mungkin pula ditambah dengan beberapa senjata lainnya. Akan tetapi di dunia ini terdapat ratusan bahkan ribuan macam kepandaian. Dapatkah ilmu pedangmu itu mengatasi semua kepandaian di jagad raya ini. Buktinya engkau tidak berdaya menghadapi serangan jarum beracun. Padahal yang termasuk senjata bidik, tidak hanya berbentuk jarum semata. Mungkin berupa butir- butir besi, mungkin ranting kayu. daun, gas beracun dan lain lainnya. Dan tahukah engkau, bahwa masing- masing mempunyai caranya sendiri untuk mengendalikannya? Cara menyambitkan jarum dan butir- butir besi tentu saja lain. Begitupula senjata- senjata bidik lainnya. Pernahkah engkau memikirkan hal itu? ...
- Tidak. Terus- terang saja baru sekarang terbukalah kesadaranku. -
- Bagus! -
Brahmantara gembira.
- Andaikata engkau tidak secara kebetulan bertemu denganku. engkau termasuk seorang pendekar berkepandaian tinggi atau
tolol'!
- To ..... hampir saja Yudapati menjawab tolol.
Syukur segera ia teringat bahwa Brahmantara melarang dirinya mengucapkan kata kata tolol, lagi. Maka buru buru ia menelan setengah ucapannya.
- Macam senjata apa saja yang sudah kau kenal?
Brahmantara minta keterangan.
- Kecuali pedang panjang. secara kebetulan pula aku mempelajari jurus- jurus pedang pendek, pedang bergigi. pedang ganda. palu godam. kapak. penggada. tombak dan golok. jawab Yudapati.
- Secara kebetulan?
Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Brahmantara heran. .
- Ya. karena aku belajar tanpa guru. sahut Yudapati pendek.
Kemudian ia mengisahkan pengalamannya - di dalam goa yang secara kebetulan menemukan pahatan warisan ilmu sakti para cikal- bakal.
Dengan penuh perhatian Brahmantara mendengarkan keterangan Yudapati. Kemudian memanggut- manggut dengan penuh pengertian. Katanya: '
- Inilah yang dinamakan jodoh. Dalam pergaulan hidup, setiap orang bekerja demi mencari rejeki. Tetapi sesungguhnya, rejekilah yang mencari jodohnya. Lalu bagaimana caranya kau' menggabungkan ragam ilmu kepandaian itu? -
- Hanya diilhami oleh mimpi.
- Hanya diilhami oleh mimpi? -
Brahmantara mengulang. .
- Benar. Secara kebetulan aku bermimpi bertempur dengan seorang pemuda tanggung yang sedang kalap. Beberapa saat lamanya, aku kehilangan pegangan karena tidak segera tahu bagaimana cara melawannya. Di kemudian hari kusadari, bahwa yang menentukan menang dan kalah sesungguhnya adalah soal perebutan waktu. Karena itu. tujuan utama dari ilmu pedangku hanyalah mengincar tempat- tempat yang lemah dengan maksud mendahului lawan selagi dia berusaha menangkis.
Kembali lagi Brahmantara mengangguk- angguk membenarkan. Katanya setengah berseru:
- Tidak terlalu salah. Sebab engkau akan ganti kerepotan andaikata bertemu dengan musuh yang memiliki kecepatan melebihi dirimu. Itulah sebabnya aku menghidupkan Tantra dalam dirimu. Semua jalan darahmu telah kutembus. Ternyata engkau tidak hanya berhasil memusnahkan racun jahat tanpa kau sadari sendiri. kinipun himpunan tenaga saktimu sudah bisa mencapai tingkatan sembilan.
- Apa?
Yudapati berjingkrak saking kagetnya.
- Aku bisa mencapai tingkat sembilan?
- Selanjutnya tinggal terserah padamu. Kau lapar atau tidak?
- Lapar? Apakah . . . - ,
- Sebab engkau sudah berada dalam pertapaanku ini selama sembilan hari pula. ujar Brahmantara.
Orang tua itu kemudian mengangsurkan sehelai kulit kambing. lalu berkata lagi:
- Kau bacalah dan latihlah sampai menguasai. Bila berhasil, berarti engkau sudah menguasai sebelas tingkat. Pada hakekatnya di jagat raya ini tidak lagi yang dapat menandingi himpunan tenaga saktimu. Lalu dapatlah engkau keluar dari goa ini.
- Mengapa sekarang tidak dapat?
Yudapati menegas.
- Sebab mulut goa sudah kusumbat dengan sebongkah batu gunung. ujar Brahmantara dengan suara tenang.
- Kau tadi sudah merasakan betapa daya kerja Tantra sampai kepalamu membentur atap goa. Tetapi bila engkau sudah membaca dan memahami tulisan di atas kulit kambing itu. maka engkau akan dapat mengatur sesuka hatimu.
- Eyang. maafkan Kali ini ada beberapa hal yang masih gelap begiku. Eyang menyinggung soal lapar. waktu sembilan hari dan mulut goa yang eyang sumbat dengan sebongkah batu. Apakah ada hubungannya? -
- Tentu saja. sahut Brahmantara agak kesal.
- Meskipun engkau memiliki ilmu setinggi langit. kaupun akan mati bila tidak makan dan minum. Karena itu, bila engkau masih menghendaki hidup panjang, carilah jalan bagaimana caranya menjebol sumbatan itu. Satu- satunya jalan, bila engkau berhasil memahami sebelas tataran Tantra. Kalau tidak, biarlah kita mati terkubur di sini. Tetapi kabarnya, mati kelaparan adalah mati yang sangat menyiksa. -
- Tetapi apa sebab aku tidak perlu makan dan minum selama sembilan hari?
- Karena himpunan tenaga saktimu kukuras habis lalu kuisi dengan seluruh himpunan tenaga saktiku. Kupikir aku sudah cukup lama hidup di dunia. Mungkin sudah berumur seratus dua puluh tahun. Apa keuntungannya membawa himpunan tenaga sakti pula ke nirwana? Di alam sana bukankah tiada gunanya lagi? -
- Ah . . . jadi . . . itulah sebabnya aku dapat membal dengan ringan sekali? Kiranya, tubuhku kini berisikan himpunan tenaga sakti eyang.
Yudapati bergemetaran karena terharu. Terus saja ia merangkak- rangkak menghampiri Brahmantara dan mencium kakinya dua tiga kali.
- Ih. geli! ujar Brahmanta seraya menarik kakinya ke dalam lipatan jubahnya.
- Jangan tergesa- gesa gembira dahulu. Mati dan hidup kita tergantung belaka kepada daya usahamu. Hayolah jangan membuang- buang waktu. Pelajari dan pahami!
Dengan tangan agak bergemetar. Yudapati menerima angsuran tangan Brahmantara. Setelah itu,ia celingukan mencari ranting kayu. Itulah sia- sisa ranting kayu bakar
Brahmantara. Kemudian ia menyalakannya dengan batu api.
Selembar kulit kambing itu. kemudian dipentangnya pelahan. Ia mulai membaca sebaris demi sebaris. Sampai tataran empat, tiada beda dengan bunyi ajaran gurunya yang harus dihafalkannya. Diam- diam ia mengerling kepada Brahmantara. Orang tua itu ternyata memejamkan matanya. Entah tidur atau berpura- pura tidur. Namun wajahnya berkesan damai menyenangkan.
- Sekian puluh tahun dia menghimpun tenaga saktinya. Lalu secara kebetulan diberikan kepadaku. Kalau aku tidak bersungguh- sungguh . . . apalagi mensiasiakan, bukankah aku akan mengecewakan hatinya sampai di akhirat? Mudah- mudahan para leluhur berkenan membimbingku: - ia berkata di dalam hati.
Kemudian ia mulai memusatkan himpunan tenaga saktinya. Suatu gumpalan hawa tiba- tiba berputar sekitar pusatnya. lalu menebar merata keseluruh tubuhnya dan rasanya nyaman luar biasa. Diam- diam ia bergembira sebab baru kali itulah ia merasakan suatu keajaiban yang luar biasa sifatnya. Sekarang ia mulai melakukan makna kalimatnya. Tingkat pertama. kedua, ketiga dan keempat. Dahulu ia memperoleh kesukaran karena jalan penyalurannya seperti tersumbat. Kini lancar begitu saja, tanpa halangan sedikitpun. Terus saja ia memasuki tingkat lima. Di sini tubuhnya jadi bergoyang. Menghadapi peristiwa itu, ia meruntuhkan- pandangnya kepada kalimat- kalimat yang terdapat pada Tantra tataran kelima. Ah, ternyata ia harus menghafalkan dahulu sampai memahami. Dan setelah kesalahan itu diperbaikinya, tataran kelima dapat dilampaui dengan lancar pula.
Oleh pengalamannya itu, ia perlu mengendapkan nafsu ingin cepat- cepat selesai. Sekarang ia membaca tataran enam dengan lebih cermat lagi. Dimulai dari menghafal lalu memahami.Dan barulah mulai.Seluruh tubuhnya mendadak saja terasa panas seperti terguyur air panas. Ia kaget dan hampir hampir berhenti. Syukur pada saat ini, terdengar suara Brahmantara memberi bimbingan:
Pusat, hati dan pikiran harus satu. Kosongkan angan dan hidupkan cipta serta karsamu!
Yudapati memahami makna kata- kata itu. Apakah yang dimaksudkan dengan istilah menghidupkan cipta dan karsa sedang angan- angan harus kosong?
Karena tidak mengerti apa yang harus dipegangnya. ia diam menunggu. Dengan tidak sengaja, ia menunggu rasa yang timbul. Berarti sudah memasuki wilayah rasa. Hasilnya luar biasa. Tiba- tiba saja, ia merasa sudah mulai bisa menguasai inti makna Tantra tingkat enam.
- Jangan tergesa- tega beralih! Sebab disinilah letak kuncinya. terdengar suara Brahmantara lagi.
Oleh peringatan itu, hatinya jadi sabar dan telaten. Ia mencoba menghilangkan semua bentuk pikirannya. Ternyata hanya dapat menipiskan saja. Itupun berkat. sebentar tadi ia sudah mengira dirinya mati. Dengan demikian, ia jadi tak mengacuhkan lagi apa yang terjadi di luar dirinya. Dan begitu dirinya memasuki alam angan angan yang tipis, seluruh tubuhnya terasa dijalari suatu gumpalan yang halus hangat dan nyaman. Tidak berbentuk gumpalan- gumpalan hawa seperti sebentar tadi. Setelah membiarkan dirinya berada dalam keadaan demikian beberapa saat lamanya, pelahan- lahan ia mulai melepaskan ketentuan- ketentuan dasar yang harus dilakukannya. Kemudian memasuki alam angan- angan kosong dan melepaskan lagi tak ubah orang bernafas. Dengan demikian. secara tidak sadar mulailah ia dapat mengatur tenaga dalamnya. Teringat bahwa tataran keenam merupakan kunci
permasalahannya. Ia mengulangi dan mengulang lagi. Seluruh badannya terasa makin segar dan segar. Sama sekali rasa lelah. lesu. lapar dan dahaga. Dengan sendirinya lupa pula pada waktu. Apabila sudah merasa cukup menguasai perlahan ia melepaskan diri dan kembalilah ia seperti sediakala.
- Hah. ia melepaskan nafas lega.
Lalu diam- diam ia melirik kepada Brahnantara. Suasana dalam goa bertambah gelap. Tentunya malam hari sudah tiba. Hanya saja, penglihatannya kini jadi tajam luar biasa. Juga pendengarannya dapat menembus dinding goa. Dengan jels, ia melihat Brahmantara bersandar dengan tenangnya pada dinding, dan sayup sayup pendengarannya menangkap bunyi desah ombak di luar goa.
- Tidurlah, eyang! Aku akan berusaha mewujudkan harapanmu. ia berkata dalam hati.
Hati- hati ia membuat obor dan dengan seksama mengamati bunyi tulisan Tantra tingkat tujuh. Teringat, bahwa tingkat enam memegang kuncinya, ia perlu mengosongkan angan- angan dan menyatukan pikiran, hati ke pusar. Kali ini hasilnya berbeda. Tiba- tiba seluruh tubuhnya berkeringat. Suatu rumunan hawa panas dan dingin saling mengendapkan. Sewaktu mengintip apa yang terjadi dengan membuka jendela matanya. obor yang menyala di depannya padam dengan mendadak. Segera ia menutup kelopak matanya kembali dan melanjutkan memahami Tantra tingkat tujuh. Seperti tadi ia mengulangi dan mengulangi. Dan hawa yang keluar dari tubuhnya makin tebal sampai pandang matanya tidak kuasa menembus.
- Apakah ada yang salah? ia berpikir.
Pelahan- lahan ia melepaskan diri dan menunggu sampai uap yang berubah menjadi dinding pelindung, sirna dari pengamatan. lalu menyalakan obornya kembali untuk
memeriksa bunyi kalimat Tantra. Sekarang ia membaca kalimat kunci Tantra tingkatan kedelapan. Ia mencoba memahami dan mempraktekkan dalam ruang benaknya.
Kelihatannya terdapat sedikit pertentangan.
Apakah harus kumulai dari tingkat ketujuh dahulu?
ia menimbang- nimbang.
Yudapati sudah mempunyai pengalaman memecahkan masalah demikian dengan seorang diri tatkala dahulu memahamkan pahatan ilmu sakti peninggalan para cikal- bakal. Begitu berpikir terus saja ia melakukannya. Hanya saja kali ini ia lebih bersikap hati- hati. Sebab ia berhadapan dengan akibat akibat yang tidak nampak oleh pengamatan mata. Pedomannya berada pada ketajaman naluriah dan hati.
Karena ia mulai dari tataran ketujuh,kembali lagi uap tebal membersit dari dalam dirinya. Lalu pelahan lahan ia memasuki wilayah tataran kedelapan. Yang terjadi adalah sebaliknya. Suatu kesiur angin muncul membuyarkan dan menghembus dinding uap yang menungkrap dirinya. Lalu disusul dengan gemuruhnya atap dan dinding gua yang rontok meluruk. Takut akan membangunkan Brahmantara yang kelihatan tidur nyenyak,buru- buru ia menghentikan. Ternyata Brahmantara masih saja tertidur nyenyak. Sama sekali orang tua itu tidak terusik oleh suara gemuruh. Karena itu ia melanjutkan usahanya untuk lebih menguasai Tantra tingkat delapan .Sekarang ia bertitik- tolak dari tingkat enam. Hasilnya sungguh menggembirakan. Tiada lagi ia kehilangan kontrol. Gumpalan angin yang berputar menderu- deru di dalam dirinya tidak dibiarkan keluar dengan begitu saja. Tetapi tercemplung di dalam wilayah angannya yang kosong tiada bertepi. Sebaliknya sarinya saja yang dibiarkan membersit untuk menyapa asap tebal yang menuugkrapi dirinya
- Ah benar! Tataran enam memang mnjadi kuncinya, ia bergembira.
Karena sudah yakin benar bahwa kuncinya berada pada tingkatan enam maka ia mencoba memasuki makna kalimat- kalimat Tantra tingkat sembilan. Kemudian suatu keajaiban terjadi. Tiba- tiba saja tanah dimana dia duduk bersila, amblong gempur berguguran. Ia terperanjat bukan kepalang. Cepat ia meletik ke luar tanah yang sudah berlobang menjadi liang.
- Hai! Mengapa jadi begini? Apakah tanah ini lembek? ia menebak- nebak.
Yudapati adalah seorang pemuda yang tidak hanya cermat, tetapi keras hati pula. Ia tidak mudah menyerah menghadapi suatu msalah meskipun kerapkali berada diluar kemampuannya. Segera ia memilih tempat yang keras. Namun akibatnya demikian pula. Sekali lagi ia beralih tempat, akibatnya sama pula. Maka mulailah ia berpikir memecahkan teka- teki itu.
Mengapa?
Mengapa?
Apakah berat badanku bertambah dengan mendadak?
Atau tataran sembilan berintikan himpunan tenaga gempuran?
Kalau benar, mengapa hanya satu arah?
Mengapa dinding kiri kanan dan atap goa tidak tergempur runtuh?
Gagal atau benar? - ia berteka- teki dengan dirinya sendiri.
Ia melemparkan pandang kepada Brahmantara. Orang tua itu masih saja tertidur dengan nyaman. Syukur, ia tidak terusik. Justru demikian, teringatlah dia kepada kata- katanya. Kata orang tua itu:
. . . engkau tidak hanya berhasil memusnahkan racun jahat tanpa kau sadari sendiri, kinipun himpunan tenaga saktimu sudah bisa mencapai tingkatan sembilan.
- Kalau begitu, aku sudah berada pada sasaran yang benar, ia memutuskan. Tantra tataran sembilan berintikan himpunan tenaga gempuran. Memperoleh pikiran demikian.
ia menghela nafas. Tiba- tiba suatu pikiran lain menusuk benaknya:
- Tetapi mengapa eyang hanya membuka saluran Tantra sampai tingkat sembilan saja? Kalau aku diharuskan mencapai tingkatan sebelas. mengapa hanya diantarkan sampai tingkatan sembilan saja? =
Dengan cermat dan hati hati, ia mengamat- amati bunyi kalimat Tantra yang ke sepuluh. Lalu memahaminya dengan sabar. Ternyata tata lakunya bekerja sebaliknya. Tiba tiba saja perasaannya jadi ringan seolah- olah bayangan yang pandai terbang kesana kemari. Ia jadi terheran- heran dan cemas.
- Celaka, kalau sampai tersesat. pikirnya.
Ia mencoba kembali ke tingkat enam, namun tiada gunanya sama sekali. Lalu mencoba hikmah tingkat sembilan yang memiliki daya berat. Daya berat itupun tidak kuasa mengerem lintasan berkelebatnya perasaan ringan. Mau tak mau, hati Yudapati mulai kecut. Untung, sekali lagi ia ditolong oleh wataknya yang kadangkala nekat. Pikirnya:
- Aku sudah kepalang- tanggung. Mengapa tidak melanjutkan saja ketingkat sebelas? Kalau harus tersesat, biarlah tersesat sama sekali.
Inilah salah satu wataknya yang pernah menolong dirinya sewaktu menghadapi Palata. Dengan tekat harus melawan, akhirnya ia memperoleh kemenangan meskipun harus dibelinya mahal.Juga kali ini demikian pula.
Dengan mempertaruhkan semua kemampuannya, mulailah ia mengamati bunyi tulisan Tantra tingkat sebelas. Tetapi tulisan yang terdapat di situ, tidak dapat dibacanya. Sebab bukan berbentuk huruf. Melainkan lingkaran- lingkaran dengan pola- pola tertentu. Sedang demikian, himpunan tenaganya bergolak hebat.
Syukur ia pernah belajar memahami pahatan ukiran gambar yang dahulu dimulai dengan menirukan gaya jurusnya. Sekarang dalam keadaan tersudut, tiada waktu lagi untuk berpikir. Secara untung- untung, ia mencoba menyalurkan himpunan tenaganya yang bergolak mengikuti polanya. Ternyata himpunan tenaganya seperti memperoleh saluran yang tepat. Arusnya tiba- tiba saja membanjir mengikuti garis polanya. Ternyata pola- pola lingkaran itu adalah intisari Tantra mulai tataran pertama sampai kesebelas.
Lambat- laun mulailah ia menyadari. Itulah tata- hukum memadukan atau memanunggalkan himpunan tenaga sakti Tantra. Sadar akan hal itu, tidak berani ia menggerakkan kaki dan tangannya. Jangan-jangan mempunyai akibat diluar perhitungannya. Siapa tahu, goa itu akan hancur lebur. Kalau sampai terjadi demikian, ia tidak hanya mencelakakan diri sendiri, tetapi Brahmantara pula yang sedang tertidur nyenyak.
Alangkah mengerikan. Di alam baka ia bakal diuber- uber orang tua itu untuk menuntut pertanggungjawaban.
Karena dasar penyalurannya berpegang pada cipta dan karsa, maka ia membayangkan dirinya seolah- olah berada di alam impian. Di sana ia menciptakan musuh yang tidak nampak lalu diajaknya bertempur. Entah sudah berapa lama ia berada dalam alam cipta itu namun yang terasa dalam dirinya adalah rasa nikmat. segar, tegar. bugar dan bersemangat. Sama sekali ia tidak merasa letih atau lapar dan dahaga.
- Apakah selama hidupku harus berkhayal terus menerus? ia berkata di dalam hati.
Oleh pertimbangan itu, mulailah ia mundur beringsut. Begitu beringsut mundur. terjadinya terlalu cepat. Mendadak saja,ia sudah terbebas dari semuanya.
- Bagus!- ia berseru girang di dalam hati.
Untuk menyakinkan hal itu, ia mengulangi lagi sampai empat lima kali. Semuanya berjalan tak kurang suatu apa. Bahkan makin lama makin lancar dan tiada lagi mengambil jarak. Tantra dan dirinya sudah menjadi satu pengucapan ibarat manusia dengan darah dan dagingnya. Betapa girang dan bersyukur. tak dapat ia melukiskan keadaan hatinya. Terus saja ia melompat bangun. Setelah menyalakan obor, ia menghampiri dan membungkuk hormat kepada pertapa itu.
Tiba- tiba ia melihat tulisan di atas kain jubah orang tua itu. Ia berjongkok untuk membacanya. Hanya pendek saja bunyinya:
"Selamat! Bukalah pintu goa dan baca suratku. "
Yudapati tersenyum geli.
Mengapa pakai surat- suratan segala?
Dengan terharu ia menatap wajah Brahmantara yang tenang damai. Teringat, bahwa adatnya aneh, segera ia berdiri dan berkata berbisik:
- Eyang, akan kulaksanakan perintahmu. Hasil jerih payahmu tidak akan kusia- siakan.
Obor di tangannya ditancapkan di atas tanah. Kemudia ia memutar tubuhnya dan berjalan menyusur lorong. Sampailah ia di depan pintu goa yang tertutup sebongkah batu raksasa. Melihat batu itu, berpikirlah Yudapati:
- Rupanya eyang hanya mengijinkan aku berbicara dengannya, bila aku sudah berhasil menyingkirkan batu itu. Disinilah aku menghadapi ujian terakhir. Eyang yakin, bila aku sudah menguasai Tantra tingkat sembilan. tentu mampu mendorong batu itu ke luar. Kalau gagal, berarti aku harus menunggu saat ajalku bersamanya di dalam goa. Aneh! Mengapa orang tua itu ikut- ikutan mempertaruhkan jiwanya? -
Dengan kedua tangannya, ia mencoba mendorong namun tidak bergeming. Walaupun demikian ia yakin dapat mengatasinya. Pikirnya:
- Sebenarnya mudah saja kalau aku menggempurnya dari depan. Batu ini akan hancur lebur. Tetapi eyang akan terbangun. Biarlah aku mendorongnya pelahan- lahan. Ingin aku mengetahui, bagaimana kesan wajah eyang setelah melihat pintu goa terbuka. -
Memikir demikian, segera ia mengerahkan himpunan tenaga sakti tingkat sebelas. Pelahan- lahan ia mengangkat dan mendorong batu itu. Tenaga sakti Tantra memang hebat tak terkatakan. Begitu terbendung,tenaga saktinya seolah- olah mempunyai jiwa. Suatu gelombang tenaga yang sanggup meledakkan dada dan merontokkan tulang belulangnya, membanjiri keluar membobolkan batu raksasa yang menghalanginya.
Blang!
Batu itu terpental dan menggelundung ke bawah dengan suara berisik. Kemudian terdengar suara
byur!
Dan meletiklah rumpun air seperti hujan gerimis.
Yudapati terlongong- longong. Memang ia yakin bahwa himpunan tenaganya akan dapat mendorong dan mengangkat batu pengganjal pintu. Namun tidak pernah disangkanya akan sehebat dan sedahsyat itu. Tiba- tiba saja muka dan dadanya terguyur hujan gerimis. Pada saat itu ia tersadar:
Laut!
Sewaktu hendak menggerakkan kakinya untuk menjenguk tebing,teringatlah dia kepada orang tua itu yang melahirkannya kembali sebagai manusia baru. Masakan akan menuruti kata hati sendiri, sebelum menghaturkan terima kasih. Lagipula pertapa itu berpesan untuk membaca suratnya dahulu setelah pintu goa terbuka. Dan teringat akan hal itu segera ia memutar tubuhnya dan memasuki lorong goa kembali.
Surat yang harus dibacanya terletak di samping Brahmantara. Segera ia memungutnya, Karena ruang goa kini jadi terang- benderang, dengan cepat dapatlah ia mengamati tulisannya sangat jelas. Rupanya, surat itu sudah dipersiapkan tatkala dirinya pingsan sekian hari lamanya.
- Anakku. demikianlah bunyi kata permulaannya.
- Karena engkau sudah menguasai Tantra tingkat sebelas maka kedudukanmu kini adalah muridku. Dengan sendirinya aku akan memanggilmu sebagai anakku . . . -
Sampai disini. hati Yudapati terharu bukan main. Hampir- hampir air- matanya membasahi kelopak matanya. Tiba- tiba hatinya terkejut tatkala membaca lanjutannya. Kata surat itu:
- Aku percaya, engkau akan membaca suratku setelah engkau selesai menguasai Tantra tingkat sebelas. Sebab aku tahu, hatimu jujur, tulus dan mulia. Apalagi engkau seorang perwira, tentunya sudah biasa hidup berdisiplin. Selamat, selamat, anakku! Engkau sekarang sudah berhasil melanjutkan idaman hatiku. Pada hakekatnya, di jagat raya ini tiada lagi yang dapat menandingi himpunan tenaga saktimu. Tetapi pada saat ini, aku sudah mendahului pergi pulang kenirwana...
- Apa? hati Yudapati tergetar.
Ia memutar tubuhnya dan mengamati wajah orang tua itu.
- Ah, kini ia memperoleh pengamatan lebih jelas. Wajahnya tidak hanya tenang dan damai tetapi terlalu tenang dan terlalu damai. Gugup ia meletakkan surat itu dan memeriksa pernafasan Brahmantara.
- Hai! Eyang! - ia memekik terkejut.
Dengan tangan gemetar ia membuka jubah orang tua itu. Benar- benar dia sudah pergi ke alam baka. Baik detak jantung maupun pernafasannya, tiada lagi. Seketika itu juga ia rebah memeluk Brahmantara dan menangis sedih. Setelah terisak- isak tanpa kata- kata sekian lamanya, mulailah ia dapat menguasai diri. Dengan lembut ia membetulkan letak jubahnya dan kembali menatap wajah yang terlalu tenang dan terlalu damai itu.
- Eyang, tahulah aku sekarang apa arti engkau hampir kehabisan tenaga demi menolong diriku. Rupanya eyang rela berkorban demi keselamatan jiwaku. Tetapi untuk apa? Dengan tujuan apa? Apakah racun yang mengeram dalam diriku memerlukan himpunan tenaga sakti Tantra tingkat sembilan? Kukira, tidak perlu. Namun dengan tujuan tertentu, eyang merelakan seluruh himpunan tenaga sakti Tantra bersemayam dalam diriku. Sekarang dapat kupahami pula makna kata- katamu, apa keuntungannya membawa himpunan tenaga sakti pula ke nirwana. ia berkomat- kamit.
Meskipun ia tahu, Brahmantara beradat aneh, namun setitik prarasa tiada pernah terlintas dalam benaknya bahwa orang tua itu sesungguhnya sudah melangkahkan sebelah kakinya ke liang kubur. Karena itu, menghadapi kenyataan demikian, hatinya masih gelap. Tak dapat ia menembus teka- tekinya. Justru demikian, teringatlah ia kembali kepada surat Brahmantara. Terus saja ia menyambarnya dan dengan duduk bersimpuh ia membacanya.
- Anakku, mengapa jadi cengeng? itulah permulaan kalimat lanjutannya. Rupanya Brahmantara dapat menebak tepat keadaan hatinya setelah mengetahui dirinya terbujur sebagai mayat.
- Masalah dunia tidak dapat kau selesaikan dengan tangis dan kutukan. Sekarang bacalah suratku ini dengan tenang . . . sampai disini Yudapati menghela nafas.
Kemudian membaca lagi dengan hati tenang. '
- Ilmu penghimpunan tenaga sakti Tantra yang kau miliki kini adalah murni. Kuperoleh dari Resi Gunadewa,seorang satria- brahmana tanpa tanding. Hanya saja aku
tidak berbakat. Aku hanya mencapai tingkat sembilan. Kau tahu apa sebabnya? Karena watakku tidak jodoh. Aku terlalu mementingkan diri sendiri. cepat marah, mudah tersinggung, pendendam dan sombong. Kukira adik- seperguruanku demikian pula. Dia bernama Punta Dewakrama. Jurus- jurus pukulannya terlalu kejam. Dalam hal ini, aku menang setingkat. Tetapi didalam hal adu tenaga. aku kalah. -
Yudapati berhenti membaca. Dewakarma . . . Dewakarma . '. . rasanya ia pernah mendengar nama itu. Kalau tidak salah, Tilam yang menyebut- nyebut nama itu. Tetapi dalam hubungan apa, ia kurang jelas. lalu ia melanjutkan membaca.
- Waktu itu, kami masih sama- sama muda. Aku sudah mencapai Tantra tingkat tujuh. Kami berselisih mengenai masa depan. Dia bercita- cita hendak mendirikan suatu perguruan yang diharapkan kelak menjadi bekal membangun kekuasaan baru. Sebaliknya, pahamku tidak demikian. Aku memilih hidup merdeka sebagai seorang pendekar yang tak terkalahkan. Ia mencela diriku sebagai seorang yang tak ada gunanya hidup di dunia. Kau tahu, aku mudah tersinggung dan cepat marah. Maka kami bertempur mengadu kepandaian. Dalam hal ragam jurus berkelahi, aku memang setingkat. Tetapi sewaktu mengadu tenaga, aku terpental jatuh. Aku diludahi. Bagiku, itulah suatu penghinaan yang tiada tara. Aku kemudian bermukim di pinggang gunung ini. Gunung indah permai yang berdiri di atas lautan. Dengan sungguh- sungguh, aku menekuni dan mendalami rahasia Ilmu sakti Tantra. Tetapi aku hanya dapat mencapai tingkatan sembilan. Sebenarnya dengan bertambah usia, aku sudah dapat menguasai diri. Semangat mau menang sendiri. Sudah agak mengendur. Tidak penting lagi aku mencari dia untuk
kutantang adu kepandaian. Tetapi kemudian timbul suatu masalah yang mencemaskan diriku. Bagaimana kelak aku harus mempertanggungjawabkan Tantra kepada guru di alam baka? Sebab ilmu Tantra yang diajarkan padaku tidak boleh punah di tengah jalan. Kecuali bermakna mengkhianati sejarah kemanusiaan. juga berdosa kepada Hyang Widdhi yang sudah berkenan bermurah hati terhadap makhluknya menganugerahi pengertian sedalam itu. Dalam hal ini. gurupun akan terseret pula oleh kegagalanku menguasai Tantra tingkat sebelas. Karena itu, anakku. Tantra yang sudah kau kuasai, harus kau wariskan kepada angkatan penerus. Dengan begitu. Tantra tidakkan punah di bumi ini. membaca kalimat terakhir itu, tak terasa Yudapati memanggut.
- Rupanya kepedihan hatiku didengarkan Hyang Widdhi Wisesa. Aku tertarik melihat engkau menanam dan menceburkan jenasah kaum nelayan. Engkaupun bersikap mulia hati terhadap seorang iblis. Kecuali itu, ilmu pedangmu mengherankan diriku. Itulah ilmu pedang pecahan dari Tantra. Maka pada detik itu, aku memutuskan hendak mengambilmu jadi murid penerus. Betapa terkejutku, tatkala engkau terkena jarum berbisa iblis itu. Namun aku sudah bertekad dan yakin, bahwa engkaulah yang dapat kuharapkan mengantarkan atmaku dan atma guruku ke nirwana. Dari sanalah aku akan selalu memberkatimu. Anakku, tak usah engkau menyentuh jasatku. Kau tutup saja pintu goa itu rapat- rapat.Aku sudah biasa hidup dalam pelukan bumi Krakatau . . . -
Pelahan-lahan Yudapati meletakkan surat Wasiat Brahmantara yang kini sudah tiada lagi. Ia menatap wajah pertapa yang aneh itu, lalu membungkuk hormat serendah tanah. Berkata terharu:
- Guru! Akan kulaksanakan perintah guru. Di kemudian hari aku akan mencari penerus Tantra.
Pergaulannya dengan orang tua itu, boleh dikatakan hanya satu hari saja. Ialah waktu ia memperoleh kesadarannya kembali. Meskipun adatnya aneh, namun berkesan akrab. Waktu itu, ia diperintahkan harus segera mempelajari Tantra. Seumpama tahu, bahwa orang tua itu sudah memasukkan sebelah kakinya di liang kubur, rasanya lebih beruntung dapat berbicara berkepanjangan. Menilik bunyi suratnya. pertapa itu mempunyai kisah hidup yang menarik.
Ia mengulangi membaca kalimat- kalimat terakhir. Dirinya tidak diperkenankan menyentuh tubuhnya. Cukup menutup pintu goa rapat- rapat: Pada hal dahulu dia memerintahkannya agar mengangkat batu penutupnya.
Sebenarnya apa maksudnya?
- Biarlah dengan pelahan- lahan kupahami. Aku tak boleh menyiksa jasadnya terlalu lama di udara terbuka. .,ia memutuskan. Baru saja ia melipat surat Brahmantara. terbaca pula sederet kalimat berisikan lima kata- kata:
"Pendam di bawah kaki ,bawa tabunganku. "
Dengan cepat ia membongkar tanah yang berada di bawah kedua kaki gurunya. Tiba- tiba tangannya menyentuh sebuah bungkusan kulit rusa. Setelah dibukanya,berisikan beberapa puluh uang emas.
- Ah. pikirnya.
- Masih saja berkesempatan memikirkan diriku. Memang pada saat itu, uang bekal pemberian Panglima Jagadpati sudah habis.
Apakah dia memeriksa sakuku dahulu sebelum menulis pesan ini?
Teringat Panglima Jagadpati teringat pulalah ia kepada pedangnya. Teringat tergantung rapih di atas kepala pertapa Brahmantara yang kini benar- benar diakuinya sebagai gurunya. Hati- hati ia meraih pedang pusaka itu. Terbaca sederetan tulisan yang terbenam dalam di dinding:
"Setelah ini apapun bisa kau gunakan sebagai senjata."
- Terima kasih, guru ia berkata setengah berbisik.
Lalu ia memendam surat terakhir gurunya. Setelah itu, ia menatap wajah gurunya lagi sambil berkata:
- Guru, aku akan segera berangkat. Bungkusan tabungan uang guru, akan kulekatkan pada tubuhku. -
- Dan benar- benar, ia mengikat bungkusan yang terbuat dari kulit rusa itu pada pinggangnya seolah- olah sehelai ikat pinggang. Begitu selesai, ia menyembah tiga kali berturut- turut lalu mundur dengan membungkuk. Pelahan lahan ia memutar tubuhnya dan berjalan memasuki lorong goa. Tatkala hampir tiba di pintu goa, ia membalikkan tubuhnya dan memandang jasad gurunya yang nampak aman damai. Sengaja ia memandang jasad gurunya lama sekali, karena setelah itu tidak akan melihatnya lagi. Angin laut yang terasa kencang memasuki lorong goa terasa dingin segar dibarengi suara gemuruh ombak menumbuk tebing pantai.
- Guru! Pada saat ini guru sudah berada di nirwana. Terimalah hormat muridmu selalu. ia berkomat- kamit.
Setelah itu ia ke luar goa. Udara segar bugar yang menyongsongnya tidak begitu dihiraukannya. Perhatiannya mengamati bongkahan batu gunung yang seukur dengan lebar pintu goa.
- Dengan Tantra tingkat sembilan, guru dapat menutup goa ini. Tentunya. akupun bisa. - ia berkata kepada diri sendiri.
Dengan sekali menggerakkan kakinya,tubuhnya membal tinggi ke udara dan hinggap dengan manisnya di atas batu. Alangkah nikmat dan indah gaya loncatannya. Ia merasakan hal itu. Kemudian dengan mengerahkan himpunan tenaga saktinya, ia mendorong batu raksasa.
Blang!
Batu raksasa itu terangkat dari tanah dan terbang menutup goa dengan suara gabrukan bergemuruh.
- Benar- benar aku seperti sedang bermimpi. ia berkomat- kamit.
Setelah mengumpulkan segenap ingatannya,mulailah ia menjelajahkan penglihatannya. Hari baru saja lepas senja. Dengan demikian,pandang matanya dapat menjangkau jauh. Ternyata ia menghadap ke timur. Bila menoleh ke kiri terlihatlah pulau Swarnadwipa. Bila berpaling ke kanan,terhampar pulau Jawadwipa.
Menuruti kata hatinya, ingin ia segera pulang ke kampung halaman. Akan tetapi, ia masih mempunyai kewajiban yang harus diselesaikan. Itulah tentang Lambang Dapunta Hyang yang tersulam rapat dalam kulitnya.
- Sudah berapa hari aku berada di sini? Tentunya, Tilam tidak lagi berada di kampung nelayan. Dia berjalan seorang diri, maka wajib aku mengawani. - ia memutuskan.
Dengan berbagai perasaan, ia menuruni lembah gunung yang berselimut warna hijau muda. Gunung Krakatau pada waktu itu mempunyai tiga puncak. Kepundannya selalu mengepalkan asap seperti gumpalan awan yang mendaki tinggi di awan. Di senja hari, berkesan indah semarak. Dengan sengaja, Yudapati menyusur tebing pantai sambil mencari perahu gurunya. Ia yakin, gurunya pasti mempunyai perahu sendiri. Sekiranya tidak demikian, dengan kendaraan apa gurunya membawa dirinya mendarat di lembah Krakatau. Tiba- tiba teringatlah dia akan beberapa buah perahu para nelayan yang terikat di tepi pantai. .
- Apakah guru menggunakan salah sebuah perahu itu? - ia berpikir.
Kalau begitu, tentunya. tersimpan tidak begitu jauh dari pertapaan.
Oleh pikiran itu, ia balik kembali menuruni tebing
pantai.
- Ah. benar. Tak jauh di depan matanya tampak sebuah perahu terombang- ambing ombak. Untuk memperoleh kepastian segera ia menghampiri perahu itu dengan berlari- larian. Sebentar saja ia sudah tiba di tempat itu. Kemudian mulai melakukan pemeriksaan. Tak ragu lagi. Perahu itu milik kaum nelayan yang terbunuh iblis Pramusinta. Ia pernah menggunakannya sebagai alat pengangkut jenasah ke tengah laut.
- Biarlah terikat di sini dahulu. Aku perlu mengisi perut. ia berkata dalam hati.
Sewaktu masih dinas sebagai seorang perwira,sering ia mendarat di kepulauan Krakatau berhari- hari lamanya. Tidak mengherankan ia mengenal adat- istiadat penduduknya dan mata pencaharian mereka. Rata- rata mereka hidup sebagai nelayan. Tetapi di musim laut pasang, mereka bercocok- tanam. Mereka hidup rukun dan sifatnya periang. Itulah sebabnya di perkampungan banyak terdapat kedai- kedai makanan, tempat mereka berkumpul dan berbincang- bincang.
- Tentunya lauk- pauknya hanya terdiri dari ikan laut. - pikir Yudapati.
- Kebetulan. malah. Aku harus makan yang serba empuk dahulu.
- Benar saja.
Perutnya terkejut waktu kemasukan seekor ikan saja. Buru- buru ia meneguk minuman panas. Setelah itu, ia membeli sebungkus ikan rebus. Pikirnya hendak dimakannya sebentar malam sedikit demi sedikit.
- Di tengah laut,tentunya akan menjadi nikmat.
Memang ia bermaksud akan melanjutkan perjalanan mendarat di pulau Swarnadwipa. Tetapi setelah perutnya terisi, rasa kantuknya tiba. Terpaksa ia menginap di depan pintu goa pertapaan gurunya. Pengalamannya dalam beberapa hari ini,berkesan dalam di lubuk hatinya. Pendek saja masa pergaulannya dengan gurunya. Tetapi waktu
sependek itu, sudah merubah dirinya menjadi manusia baru yang lain lagi. Tidak mengherankan, malam itu ia bermimpi indah yang menakjubkan.
Mimpi tentang kehebatan dirinya, masa depannya dan darmanya yang harus dilakukan sebagai suatu kebajikan.
******
ISU WARDANA
KEMBALI KEPADA Tilam. Ia melihat berkelebatnya pendekar Sabung menghadang di depannya dengan maksud melindungi dirinya,sewaktu Pramusinta menghujani belasan jarum beracunnya. Akibatnya Sabung roboh di atas tanah tanpa sempat mengerang. Ia mati dengan cepat.
- .Paman!
Tilam memekik terkejut sambil melompat memburu.
Pada saat itu, masih sempat ia melihat iblis itu menyerang Yudapati. Ia hanya dapat berteriak memperingatkan. Selanjutnya ia disibukkan oleh peristiwa matinya Sabung. Ia merasa berhutang budi padanya. Kalau saja pendekar itu tidak menghadang di depannya, dialah yang mati pada saat itu.
Sewaktu menegakkan kepalanya, iblis Yogabrata tengah kena tikaman maut Yudapati. Menyaksikan hal itu, hatinya agak terhibur. Seperti berjanji ia ikut mengejar
Pramusinta dengan Tarung. Namun sebentar saja sudah kehilangan bayangannya. Bahkan Yudapatipun tidak nampak lagi. .
- Tuanku puteri, mari kita tengok kakanda Sabung. ajak Tarung.
Tilam tidak membantah. Dengan cepat mereka menghampiri jenasah Sabung yang biru menghitam. Jelas sekali, apa penyebabnya. Racun Pramusinta terlalu jahat.
- Hm, belum pernah aku menyaksikan jenis racun yang bisa bekerja begini cepat. -
Tarung menggerendeng.
Dia tidak berbicara berkepanjangan. Segera ia mengubur jenasah Sabung dan anak- buahnya. Sedang Tilam duduk berenung- renung di atas batu karang. Memikirkan Yudapati, ia jadi gelisah sendiri. Maka ia minta persetujuan Tarung hendak melacaknya. .
Beberapa waktu lamanya, ia memeriksa belasan jarum beracun yang tertancap di tanah. Tetapi baik Pramusinta maupun Yudapati tidak nampak.
Apakah mereka masih bertempur di suatu tempat, ia menduga- duga. Ia mencoba berjalan lagi memeriksa wilayah sekitarnya. Jejak mereka berdua tidak diketemukannya sampai senja hari tiba. Dengan lesu, terpaksalah ia kembali ke tempatnya semula. Tatkala itu, Tarung sudah selesai mengubur teman temannya.
Pendekar itu duduk dengan masgul di atas pasir. Wajahnya nampak agak berseri, setelah melihat Tilam datang kembali dengan tak kurang suatu apa. Segera ia berdiri menyambut. Ujarnya:
- Agaknya, kita tidak boleh berlama- lama berada di wilayah ini. Bukankah tuanku puteri perlu memberi laporan kepada Tuanku Tandun Raja Koneng? - -
Tilam mengangguk. Dengan singkat ia mewartakan bahwa temannya seperjalanan tidak dapat diketemukannya.
- Sebenarnya Siapakah dia?
- Salah seorang perwira Bhayangkara Kerajaan Tarumanegara. Namanya Mojang Yudapati. Tetapi jangan sekali- kali paman memanggil Mojang padanya.
- Mengapa? - '
- Sebab Mojang berarti gadis. Kalau paman memanggilnya Mojang, bisa diartikan mengejeknya sebagai banci. -
- Oh. begitu? Ilmu kepandaiannya tinggi. Apa sebab dia mengenakan nama Mojang? - :
Tarung heran.
- Itulah nama ejekan baginya. Sebab menurut tuturkata orang, dahulu dia seorang pendiam dan pemalu. Tetapi sekarang, kukira tiada seorangpun yang akan berani memanggilnya dengan Mojang. Akupun mulai membiasakan memanggilnya dengan nama sebenarnya. Itulah Yudapati.
Tilam memberi penjelasan.
Tarung memanggut- manggut. Mengalihkan pembicaraan:
- Aku percaya. dia akan dapat membuat jera iblis perempuan itu. Bahkan mungkin pula berhasil membunuhnya. Tetapi seperti kataku tadi, tidak boleh kita terlalu lama berada di sini. Masih ingatkah tuanku puteri tentang kotak pusaka yang disebut- sebut iblis perempuan tadi? Itulah kotak pusaka ayahanda tuanku puteri. Aku sendiri belum sempat melihat kotak itu karena tiba- tiba sudah kena terebut Boma Printa Narayana. '
- Eh. dia? Dia berada di wilayah ini pula?
Tilam terperanjat.
- Ceritanya panjang. Marilah kita meninggalkan tempat ini. Aku akan mewartakan bagaimana terjadinya. - .
Tilam hampir saja memanggut,tatkala suatu ingatan berkelebat di dalam benaknya. Katanya:
- Biarlah aku meninggalkan pesan untuk Yudapati. -
Tilam tidak menunggu persetujuan Tarung. Dengan
cepat ia menghunus pedang pendeknya yang tajam luar biasa. Kemudian menulis beberapa kalimat di atas batu Karang yang mudah terlihat.
- Yudapati seorang perwira yang berpengalaman dan cermat. Dia pasti dapat menemukan pesanku. katanya. Setelah itu, ia mendahului berjalan memasuki pedalaman. Tarung segera mendampingi. Kemudian mulailah ia mewartakan terjadinya peristiwa perebutan kotak pusaka. Katanya dengan suara masygul:
- Dua hari sebelum tuanku puteri menyusul ayahanda, rekan Sabung di panggil menghadap. Entah apa yang dibicarakan, tetapi Yang Mulia kemudian menyerahkan kotak pusaka itu kepada Sabung. Pesan Yang Mulia hanya singkat saja. Menurut rekan Sabung, sapa yang berjodoh dialah yang berhak memiliki. Memiliki rahasia apa, Yang Mulia tidak menjelaskan. Tetapi menilik kesungguh- sungguhan Boma dan kawan- kawannya, tentu kotak pusaka itu tidak ternilai harganya. -
- Bagaimana Boma bisa merampas pusaka itu dalam penjagaan paman? -
- Boma datang dengan membawa tujuh belas pahlawannya. Kami bukan takut mati, tetapi bagaimana dengan jasad Yang Mulia. Padahal Yang Mulia berpesan agar beristirahat di dasar lautan Krakatau sebagai lambang jembatan penghubung antara Kerajaan Sriwijaya dan Tarumanegara. Kalau sampai terebut, kami tidak dapat - menebus kesalahan itu meskipun dengan membayar jiwa kami. Maka setelah berunding sejenak, kami memutuskan agar beberapa orang masuk ke kampung nelayan untuk mengamati gerak- gerik Boma dan para pahlawannya. Itulah mereka yang memendamkan diri dalam pasir. -
Tilam mengangguk pendek. Kemudian Tarung meneruskan:
- Singkatnya. kami mengadakan tukar menukar. Kami akan menyerahkan kotak pusaka itu tetapi jasad Yang Mulia tidak boleh diganggu. Salah seorang pemimpin barisan pendam akan menyerahkan kotak wasiat itu. setelah perahu kami tidak nampak lagi dari daratan. Rupanya Boma seorang satria benar. Anak buah kami tidak diganggunya seujung rambutpun. Selanjutnya, tuanku puteri menyaksikan sendiri apa yang terjadi selanjutnya. -
Dengan mengerutkan dahinya. Tilam tercenung- cenung memikirkan kisah kotak pusaka itu.
Ayahnya tersekap di dalam penjara.
Betapa mungkin menyembunyikan kotak pusaka itu yang luput dari pengamatan Boma Printa Narayana?
Kalau Lambang Dapunta Hyang dapat dimengerti, sebab tersimpan di balik kulitnya.
Apakah kotak pusaka itu sempat disembunyikan sebelum tertawan?
- Paman! ia mencoba.
- Apakah ayah pernah singgah disuatu tempat atau memerintahkan seseorang untuk mengambil kotak pusaka? -
- Selama dalam pengawalan kami, tidak. - . sahut Tarung dengan tegas.
- Tetapi mungkin sebelum tugas pengawalan itu dibebankan kepada kami berdua. Seperti tuanku puteri ketahui, pengawalan itu diatur dengan cara sambung- menyambung oleh para tetua yang mengenal wilayah masing- masing.
Tilam mengangguk. Ia mau menerima alasan Tarung. Rupanya pendekar itu dapat dipercayai keterangannya. Setelah menimbang- nimbang sejenak, kemudian memutuskan:
- Baiklah kita lupakan dahulu perkara kotak pusaka itu. Sekarang kemana kita harus pergi?
Tarung tidak segera menjawab. Setelah menimbang nimbang beberapa saat lamanya. baru menjawab:
- Pernahkan tuanku puteri mendengar kaum Arnawa?
- Itulah kaum kami yang kini bernaung di bawah Tuanku Tandun Raja Koneng. Kaum kami dikenal sebagai perompak. Tetapi sesungguhnya tidak demikian. Memang pekerjaan kami merompak. Tetapi yang kami rompak adalah kapal- kapal asing yang memasuki perairan kami dan kapal- kapal pemerintah yang berangkat hendak mengirimkan semacam upeti kepada penguasa lain. Siapa yang kumaksudkan,tuanku puteri kelak akan dapat menyaksikan sendiri. Bagaimana? Apakah tuanku puteri berkenan mengunjungi markas kami?
- Tujuan perjalananku hendak cepat- cepat mendaki Gunung Sibahu- bahu. Pesan yang kutinggalkan kepada Yudapati berbunyi begitu juga.
- Sebenarnya lebih tepat, bila kita segera mendaki Gunung Sibahu- bahu. Akan tetapi terus- terang saja, aku agak curiga kepada Boma yang dapat datang terlalu cepat. Apalagi dia membawa belasan pahlawannya. Agaknya tuanku puteri perlu menengok kawasan kami yang berdekatan pantai Kapur (baca: Riau). Kalau perlu kita nanti menyusur sungai Tatang.
Lima hari kemudian mereka sudah mendekati pantai timur. Terdapat sungai besar yang agaknya merupakan urat- nadi perhubungan penduduk. Perahu- perahu nelayan dan pedagang banyak terdapat berpangkal di tepi sungai. Sewaktu Tarung muncul di tepi sungai ternyata hampir seluruh penduduk mengenalnya. Mereka menyambut Tarung dengan gembira dan hormat. Kepada Tilam yang mengenakan pakaian pria. mereka berkata:
- Kedatangan tuan muda disini tepat pada waktunya.
- Tepat bagaimana?
Tarung memotong kata- kata mereka. Salah seorang yang mengaku bernama Tambun menjawab:
- Sepanjang pantai baru saja dilintasi perahu- perahu
dari seberang lautan .Mereka disambut laskar-laskar kerajaan dengan upacara mewah. Sebaliknya, kehidupan kita jadi terancam. Terutama kaum Arnawa. Kita tinggal menunggu perintah. Menghalangi mereka atau merompaknya sama sekali.
- Bagus! Sekarang barulah masalah kita terjawab. - pikir Tarung.
- Pantas belasan pahlawan Boma bisa tiba di wilayah selatan dengan cepat. Kiranya mereka melalui laut.
Pada dewasa itu,perjalanan melalui lautan jauh lebih cepat dari pada melintasi daratan. Sebab hutan rimba,paya- paya, semak- belukar dan penghuni ladang buas menjadi masalah penghambat yang tidak mudah diatasi. Orang belum dapat menaklukkan, akhirnya terpaksa tunduk
- Baiklah, persiapkan perahu! Kami mau ke hilir. ujar Tarung.
Tambun segera mempersiapkan perahu kecil yang hanya cukup untuk tiga atau empat orang. Karena itu, kuda Tarung maupun kuda Tilam terpaksa ditinggalkan. Tarung sudah merencanakan hendak membicarakan tentang kegiatan orang- orang asing yang bermukim sepanjang pantai Sriwijaya. Tetapi diluar dugaan. Tambun sedang bertengkar dengan seorang pemuda yang bersitegang hendak ikut menumpang.
- Perahu kami bukan perahu penumpang. Cari yang lain!
Tambun memberi keterangan.
- Kebetulan, malah. sahut pemuda itu.
- Dengan begitu aku tidak perlu mengeluarkan beaya. -
- Tetapi kami mau ke hilir. -
- Mau kehilir? Ha...kebetulan.
- Setelah ke hilir, kami mudik. Mungkin ke muara. terus ke laut. -
- Ah!
Pemuda itu menepukkan kedua tangannya dengan muka berseri seri. ..
- Kenapa bisa kebetulan? - ,,
- Kebetulan. kebetulan -
Tambun menggerembengi.
- Apanya yang kebetulan?
- Yang pertama bukan perahu penumpang. Artinya aku bisa ikut membonceng tanpa beaya. Yang kedua mau ke hilir. Lalu ke muara. Itu semua, memang tujuanku berlayar. -
Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
- Hm. -
Tambun gemas.
- Sebenarnya kemana arah tujuanmu?
- Ya seperti tadi. Ke hilir, ke muara tanpa bayar. Nah, bukankah kebetulan? Memang orang baik selamanya akan banyak yang menolong.
Tilam yang ikut mendengarkan pertengkaran itu, jadi tersenyum geli. Pemuda itu, kira- kira berumur tujuh atau delapan belas tahun. Tetapi masih berbau kekanak kanakan. Entah apa sebabnya, ia tertarik kepada lagak lagunya. Berkata minta pertimbangan kepada Tarung:
- Biarkan dia ikut. Apakah paman berkeberatan?
- Tidak biasa, kami membiarkan seseorang yang belum kami kenal menumpang dalam satu perahu. Apalagi pada dewasa ini besar bahayanya.Siapa tahu, dia seorang matamata yang sengaja diselundupkan. Kitapun sedang melakukan tugas penting. - -
- Penilaian paman terhadap bocah itu, terlalu berat. Dia bisa apa terhadap kita?
Tilam tertawa.
- Kalau begitu pertimbangan tuan puteri . . .
Tarung mengangkat bahunya. Kemudian memberi perintah kepada Tambun agar mengijinkan pemuda itu naik ke perahu.
Tarung dan Tilam mendahului naik ke perahu. Sekarang giliran pemuda itu. Setelah menyingsatkan celana dan buntalannya, dia melangkahkan kakinya. Tangannya menggapai mencari pegangan. Tambun mengangsurkan
pengkayuhnya. Pemuda itu memanggut terima kasih. Kemudian dengan memegang pengkayuh itu, dia melompat. Perahu bergerak oleh gerakan pemuda itu. karena itu dia terhuyung dan sebelah kakinya kejeblos. Hampir saja dia tercebur di dalam air. Untung, dengan cekatan Tilam menyambar tangannya dan ditariknya ke atas. Gadis itu diam- diam hendak mengujinya. Sebaliknya pemuda itu terhuyung kena tarikannya dan hampir saja menubruk payudara. Tetapi pada saat itu, dia dapat menguasai diri dan berdiri tegak sambil mengeperik- perikkan celana bajunya.
- Ternyata dia tidak memiliki kepandaian sedikitpun. kata Tilam di dalam hati.
- Paman Tarung terlalu besar curiganya.
Nafas pemuda itu memburu. Wajahnya bermandikan keringat. Pelahan- lahan dia merogoh sakunya dan mengambil sehelai sapu tangan. Lalu sibuk menyeka peluh dahi dari kedua belah pipinya.
- Terima kasih, katanya kemudian.
- Duduklah! -
Tilam menyilakan.
- Rupanya adik seorang siswa . . .
- Ya, siswa biara. sahut pemuda itu cepat.
- Kalau boleh tahu, siapakah . . . -
- Isu Wardana. lagi- lagi pemuda itu memotong kata- kata Tilam.
Tetapi dia nampak gembira, sehingga siapapun bersedia memaafkan kelancangannya:
- Namamu bagus sekali. -
Tilam memuji.
- Memang bagus. Kata orang. sesuai dengan diriku. Hahaha..-
Isu Wardana tertawa hihihaha.Isu Wardana adalah Isu Wardana yang pernah bertemu dengan Mojang Yudapati. Kecuali nakal, otaknya cerdik luar biasa. Ia sudah mewarisi sebagian besar Ilmu Kepandaian kakeknya. Karena itu, rupanya ia sudah diperkenankan
kakeknya merantau untuk menambah pengalaman.
Sewaktu tangannya disambar Tilam, sengaja ia berlagak sebagai seorang pemuda yang tolol. Tilam kena dikelabui,sebaliknya ia tahu bahwa Tilam seorang dara yang hampir sebaya dengannya. Itulah sebabnya, ia membawa wataknya yang nakal dan gemar menggoda.
- Apakah benar- benar engkau bagus? -
Tilam tertawa dan bermaksud memojokkan. Diluar dugaan Isu Wardana menyahut:
- Bagaimana menurut pendapatmu? Bagus atau tidak? -
- Bagi seorang gadis, itulah suatu pertanyaan yang langsung mengetuk naluriahnya.
Seketika itu juga, wajahnya bersemu dadu. Syukur, ia menyadari dengan cepat. Buruburu ia membuang mukanya sambil menjawab:
- Ucapanmu sama sekali tidak mirip seorang siswa biara.
Isu Wardana menarik nafas. Ujarnya masygul:
- Aku sudah merasa diri. Aku tidak berbakat menjadi seorang pendeta. Karena itu, aku memutuskan hendak hidup merantau saja.
- Hm. -
Tilam mendengus. Tiba- tiba suatu ingatan menusuk benaknya. Katanya melanjutkan:
- Tidak mudah hidup merantau. Apalagi pada jaman ini. Banyak terdapat kaum perompak. Bahkan di sepanjang pantai kabarnya bermukim orang- orang asing yang mendapat perlindungan negara.
- Benar. Justru itulah yang menyebabkan diriku ingin melihat mereka. Kabarnya mereka datang dari Kuala dan Chaiya.
- Untuk apa melihat mereka? - dahi Tilam berkerinylt.
- Untuk belajar menyanyikan lagunya. sahut Isu Wardana.
Kemudian tanpa minta ijin, ia lantas saja menyanyi panjang dan pendek. Tetapi lagunya tidak keruan keruan.sehingga tidak sedap didengar. Lambat- laun, Tarung menjadi risih. Bentaknya:
- Sudah. sudah. Berhenti! -
Isu Wardana menoleh. Kemudian membungkuk hormat sambil menyahut:
- Paman rupanya tidak senang mendengarkan lagu mereka. Akupun demikian. Kalau begitu. kita ini bersekutu membenci mereka.
Baik Tarung maupun Tilam tercengang mendengar kata- katanya. Di dalam hati mereka mulai memperoleh kesan bahwa pemuda itu sebenarnya seorang pemuda yang cerdas. Dan belum lagi mereka membuka mulutnya., Isu Wardana sudah berkata lagi:
- Karena kita sudah bersekutu. bolehkah aku mengenal nama paman dan nama kakak? .
- Tarung. '
- Tarung?
Isu Wardana menegas.
- Ya. Tarung.
- Dan kakak? -
Dalam setiap perjalanan. Tilam selalu menyamar sebagai pria. Namun selama itu belum pernah ia memikirkan nama samarannya.Tidak mengherankan ia merasa kelabakan sewaktu memperoleh pertanyaan Isu Wardana. Syukur. Tarung seorang pendekar berpengalaman. Dengan sekilas pandang. ia dapat mengetahui kesukaran Tilam. Dengan cepat ia menalangi menjawab:
- Sabung. Mengapa? -
Isu Wardana tercenung sejenak. lalu menggelengkan kepalanya. Katanya menyahut;
- Tidak apa- apa. Hanya saja. nama itu terlalu hebat.. Aku senang sekali. Seumpama ayah atau ibu masih ada.
ingin aku mendapat nama begitu. -
- Apakah engkau tidak berayah-bunda lagi?
- Semenjak kanak- kanak, aku tak tahu siapakah ayah bundaku. Mungkin aku ini anak setan. Kalau saja aku bisa hidup sampai kini adalah berkat kakek yang mengasuhku. -
Tilam jadi perasa. Diapun ingat dirinya tidak berayahbunda lagi. Diam diam ia menghela nafas. Ia mencoba menghibur:
- Namamu amat bagus. Apa sebab engkau senang bernama Sabung?
- Itulah nama laki- laki sejati, bagaikan seekor jago yang siap bersabung di sembarang tempat dan sembarang waktu. Bukankah hebat?
Tilam tersenyum. Sahutnya:
- Adik, nasibku tidak berbeda jauh denganmu. Menurut ayahku. orang harus sadar kepada tujuan hidupnya. Hidup hanya untuk bersabung atau menyabungkan nyawa sendiri, apakah enaknya? -
- Ya. mungkin benar. - ujar Isu Wardana sambil menghela nafas.
- Hai, mengapa engkau menghela nafas?
Kata- katamu tadi mengingatkan daku kepada nasib penduduk di sepanjang pantai. Kabarnya mereka hidup tak- menentu karena diancam bahaya terus- menerus. Kalau bukan datang dari para perompak,terancam oleh serdadu serdadu asing yang turun ke darat untuk merampas harta milik.
Tarung adalah salah seorang pemimpin kaum Arnawa. Mendengar isu Wardana menyinggung- nyinggung istilah perompak, hatinya tergelitik. Lalu saja ia menimbrung. Katanya!
- Anak muda. engkau berbicara perkara perompak.
Perompak dari mana? -
Isu Wardana berpaling kepada Tarung. Setelah sejenak menatap wajah pendekar itu. ia menyahut:
- Aku sendiri tidak pernah menyaksikan. Aku hanya mendengar kabar dari cerita penduduk. Siapa yang merompak dan merampas harta benda mereka, pada jaman ini siapapun dapat berbuat begitu.
Tarung agaknya puas mendengar jawaban Isu Wardana. Ia memanggut- manggut seperti burung kasturi. Dengan setengah berbisik ia berkata kepada Isu Wardana:
- Engkau seorang anak muda yang berhati mulia. -
Isu Wardana tidak begitu menghiraukan kata- kata Tarung. Perhatiannya beralih kepada Tilam yang berdiam diri, Karena tiada lagi yang mengajaknya berbicara. ia duduk dengan menjatuhkan diri sehingga perahu jadi berguncang. lalu menyanyi lagi dengan lagu Chaiya yang tidak sesuai dengan selera pendengaran orang.
Tarung hendak menegornya lagi, tetapi batal karena perhatiannya tertarik kepada sebuah perahu yang datang dari hulu sungai. Perahu itu besar sekali seakan- akan sebuah rumah apung yang mahal harganya. Di atas geladak penuh dengan jumlah manusia yang bersenjata. Kemudian terdengar suara musik yang bertangga nada asing, persis seperti tangga lagu yang dinyanyikan Isu Wardana. Jelas sekali, mereka sedang bergembira. Akan tetapi menilik dari arah datangnya perahu besar itu seperti sedang mengikuti perahunya.
Tilam adalah seorang gadis terpelajar. Pengalamannya luas berkat mengikuti kemana saja ayahnya didinaskan. Diapun mengenal beberapa macam seni. Diantaranya seni sastra dan seni musik.
- Bukankah ini lagu dari seberang lautan'
Ia minta pembenaran.
- Tidak salah. - jawab Tarung.
- Inilah perahu- perahu yang diijinkan masuk ke perairan kita oleh penguasa sekarang. Mereka datang dengan membawa uang, senjata dan laskar. Setelah tugas negerinya dilaksanakan, dalam perjalanan pulang mereka merampok. merompak dan merampas harta benda penduduk. Itupun belum cukup. Mereka membunuh dan memperkosa pula. -
- Mengapa pembesar negeri tidak melindungi rakyatnya?
Tilam heran.
- Mudah saja jawabannya. Harta benda yang dibawa mereka cukup membuat para Raja Muda meneteskan liurnya. Maka pada setiap wilayah mereka dipersilakan turun dengan hormat. Setelah mengambil beberapa bagian jumlah upeti, mereka diijinkan melanjutkan perjalanan. Dengan begitu, para Raja Muda merasa mempunyai pihutang budi kepada mereka. Maka dibiarkan saja mereka merajalela demi menutupi kekurangan yang sudah diambil para Raja Muda.
Tilam bergeleng kepala dengan hati masygul.
- Alangkah rusak pemerintahan Sriwijaya, pikirnya.
- Pantas saja kewibawaan raja dahulu rapuh dari dalam.
- Mari kita menyingkir saja. ujar Tarung.
Tetapi hati Tilam yang masygul menjadi dengki dan mendongkol. Dengan sengit ia berkata:
- Mengapa kita harus menyingkir? Kita justru wajib menghajar mereka.
Tarung tercengang. Berkata memperingatkan:
- Bukankah kita hendak secepat mungkin mendaki . . eh untuk satu urusan yang harus cepat kita laporkan? Perahu itu memperoleh bantuan dari pihak penguasa. Biasanya ganas tak mengenal ampun. Lagi pula jumlahnya banyak. Kalau kita labrak, samalah halnya kita mencari penyakit.
Wajah Tilam merah padam. Tetapi nasehat dan pertimbangan Tarung tidak boleh diabaikan. Maka terpaksalah ia menelan luapan rasa amarahnya. Tarung kemudian memerintahkan Tambun agar menepi. Kalau perlu berhenti dahulu dengan membiarkan perahu besar itu mendahuluinya. Selagi demikian, tiba- tiba nampak sebuah perahu kecil meluncur mendahului perahu besar itu. Yang berada dalam perahu kecil itu hanya dua orang. Seorang lakilaki tua dengan seorang anak gadisnya. Dan melihat mereka tiba- tiba gerombolan laskar yang berada di atas geladak.berteriak- teriak:
- Hoeee . . . tangkap! Tangkap! -
Dengan beramai- ramai mereka mengkayuh perahunya untuk mengejar. Tentu saja tenaga mereka sekian kali lipat daripada tenaga orang tua itu yang mengkayuh perahunya dengan seorang diri. Sebentar atau lama, niscaya akan tertangkap. Kecuali kalau ada kesempatan untuk menepi.
- Celaka! - seru Isu Wardana khawatir.
- Mereka akan menangkap puteri itu. Ya. tentu dialah yang menjadi sasaran utamanya.
Menyaksikan hal itu. Tilam kembali lagi naik darah. Dengan suara lantang ia berkata kepada Tarung:
- Paman! Tidak boleh kita hanya menjadi penonton saja. Mari kita lindungi perahu itu! -
Perahu yang hampir terkejar itu tinggal beberapa meter saja dari kapal yang mengejarnya. Dua penggaet terbuat dari rantai sudah diturunkan untuk mengkaitnya. Tepat pada saat itu,perahu Tambun sudah memotong di tengahnya. Buru- buru Tilam menghunus pedang pendeknya yang terkenal tajam luar biasa. Dan dengan satu kali sabetan, kedua rantai penggaet itu terkutung.
Yang berada di atas kapal memaki- maki kalang kabut.
Dua orang di antara mereka melompat turun dengan memhawa sebatang golok besar masing- masing. Menilik gerakannya, mereka sudah berpengalaman dan terlalu yakin berada dipihak yang mesti menang. Sebaliknya. Tilam sudah bersiaga. Selamanya ia membekal belasan batang pisau pendek tipis semacam pisau panjang. Itulah salah satu ciri perguruan Kadung dan Tilam. Mereka berdua ahli dalam hal melepaskan senjata pisau terbang.
Kedua penyerang itu tengah berada di udara. Sama sekali mereka tidak mengira akan disongsong macam serangan demikian. Mereka mencoba menangkis sebisa- bisanya. Tentu saja mereka tidak akan sanggup menggebah serangan Tilam dengan cara demikian. Tahu- tahu tubuh mereka masing masing tertancap sambaran pisau paku Tilam yang tajam luar biasa. Dan berbareng dengan teriakannya, mereka tercebur ke dalam sungai.
Dari atas kapal, kemudian terdengar suara teriakan sambung menyambung. Mereka marah dan kagum. Rupanya kedua kawannya yang terjun tadi, termasuk jago jago mereka. Tetapi dengan sekali hantam mereka mampus tercebur di dalam sungai. Itulah peristiwa aneh yang mengherankan.
Dalam pada itu, Tarung memerintahkan Tambun agar menjauhi. Sebab tujuannya sudah tercapai. Perahu yang terkejar sudah hampir mendekati tepi sungai. Tetapi dari atas kapal turun lagi dua orang. Kali ini penyerangnya cekatan dan jauh lebih perkasa. Dengan berjumpalitan di udara mereka berhasil mendarat di perahu Tilam yang jadi terguncang- guncang. .
Dengan cekatan Tilam mengambil tindakan cepat. Agar tidak terpengaruh oleh goncangan itu. ia melompat sambil menyambarkan pedangnya. Gerakan pedangnya cepat dan mencecar berturut- turut. Hatinya besar karena
sebentar tadi ia dapat merobohkan kedua lawannya dengan mudah. Tetapi kedua lawannya kali ini, agaknya sudah bersiaga. Mereka bersenjata pedang panjang yang dapat digerakkan dengan sebat dan kuat. Terpaksa Tilam menarik serangannya dan mundur selangkah. Tepat pada saat itu terdengar suara teriakan Tarung yang menggambarkan rasa kaget.
Semenjak kedua musuh itu turun menyerang Tilam, Tarung bersiaga bertempur. Tetapi ia percaya kepada ketangguhan Tilam. Itulah sebabnya, perhatiannya kini beralih kepada Tambun yang memegang kayuh dan kemudi. Segera ia memutar tubuhnya hendak membantu. Tepat pada saat itu, muncul dua orang musuh dari permukaan laut dan menyambar tangannya. Ia ditarik dan dilontarkan tinggi ke udara dan jatuh tercebur di dalam sungai.
Tilam mendengar jeritan Tarung, namun tidak sempat memberikan bantuan. Ia sedang menghadapi dua lawannya yang jauh lebih tangguh daripada lawannya tadi. Dengan berloncatan agar tidak terpengaruh goncangan perahunya, ia menikam dan membabatkan pedang pendeknya. Rupanya kedua lawannya tahu, bahwa pedang pendeknya merupakan senjata mustika yang tajam luar biasa. Itulah sebabnya, mereka tidak berani mengadu atau membenturkan pedang panjangnya. Sebaliknya, sengaja mereka bergerak gerak untuk menggoyangkan keseimbangan perahu. Usahanya berhasil. Lambat-laun, Tilam merasa pusing juga. Diam- diam hatinya mulai cemas. Sebab penglihatan di depannya kini selalu bergerak berkelebatan.
Selagi dalam keadaan demikian, kedua musuhnya mulai menyerang dengan berbareng. Mereka tidak hanya mengunakan pedangnya, tetapi tangan kirinya bergerak pula hendak menangkap lengan. Maksudnya Tilam akan dilemparkan pula ke dalam sungai.
Pada detik- detik berbahaya itu, masih dapat Tilam melihat kedua musuhnya dengan tegas. Segera ia membolang- balingkan pedangnya untuk menangkis berbareng menggebah. Tiba- tiba musuh yang menyerang dari sebelah kanannya,memekik tinggi. Tangan kirinya terkutung. Kesempatan yang baik itu. tidak disia- siakan Tilam. Dengan cepat pula ia menabaskan pedangnya kepada musuh yang berada di sebelah kirinya. Musuh itupun tidak dapat mengelakkan serangan mautnya. Dia memekik kesakitan pula dan jatuh tercebur di sungai. Kedua tangannya masih utuh, tetapi perutnya kena tikam sehingga menyemburkan darah.
Tilam menyenak nafas lega sambil berusaha berdiri tegak di atas perahunya yang bergoyang- goyang keras. Sekonyong- konyong perahunya berputar berbalik arah. Tilam heran dan terkejut. Ia menoleh dan melihat Isu Wardana tersenyum riang. Ternyata dialah yang membantu Tambun mengendalikan perahunya menepi.
- Terima kasih. adik. - ujar Tilam.
Ia tak mengira, bahwa pemuda selemah itu dapat bekerja dengan baik.
- Di mana paman Tarung?
Isu Wardana membalas dengan pertanyaan.
Diingatkan tentang Tarung, hati Tilam tercekat. Ia memutar pandang. Pada permukaan air muncul empat mayat yang terapung- apung bermandikan darah merah berputaran. Dan tak lama kemudian muncullah Tarung dengan wajah berseri- seri. Dia salah seorang pemimpin kaum Arnawa yang biasa hidup di tengah lautan dan sungai. Karena itu, tidak mengherankan bila pandai berenang. Sewaktu lengannya kena tangkap, ia kaget sehingga tidak sempat membela diri. Tahu- tahu tubuhnya terlempar tinggi dan tercebur di dalam sungai. Kebetulan, malah. Terus saja ia menyelam dalam dengan maksud hendak
membalas menyerang lawan dari bawah permukaan air. Tetapi empat serdadu Chaiya yang datang menyerang tadi, ternyata sudah menjadi mayat. Masing- masing dadanya tertancap pisau pendek yang merenggut jiwanya. Menyaksikan hal itu segera ia muncul di atas permukaan air dan melompat ke atas perahu sambil berkata nyaring:
- Inilah peribahasa yang tepat. Makin tua makin lamur. Di antara kita bersembunyi seorang pemuda yang dapat menyembunyikan kepandaiannya. Anak muda, tak kusangka kepandaianmu jauh lebih tinggi di atas kepandaianku.
Setelah berkata demikian, ia membungkuk hormat kepada Isu Wardana. Keruan saja Isu Wardana jadi kikuk. Sahutnya:
- Paman memuji aku berkepandaian tinggi? Kalau saja aku berhasil membunuh mereka hanya secara kebetulan saja. Mereka sudah kerepotan menghadapi pedang kakak Sabung. Aku menggunakan kesempatan itu untuk membunuh mereka. Lalu apanya yang hebat? -
Tarung mendengus. Tadi ia berada di bawah permukaan air. Dengan jelas ia memeriksa apa sebab orang- orang Chaiya mati cepat. Pisau pendek yang merenggut jiwa mereka bukan paku tajam milik Tilam. Siapa lagi kalau bukan perbuatan Isu Wardana, karena ia tahu Tambun tidak memiliki kepandaian sehebat itu. Tetapi mendengar alasan Isu Wardana yang bersikap merendah, ia tidak menarik lebih panjang lagi. Dengan membungkam. segera ia membantu Tambun mengayuh perahu. Lantas saja perahu melesat cepat menjauhi kapal Chaiya.
Tilam diam- diam menaruh perhatian akan kata- kata Tarung. Ia mengerling kepada Isu Wardana. Pemuda cilik itu bersikap acuh tak acuh. Sewaktu hendak menegurnya. sekonyong- konyoug ia melihat sesuatu.
- Celaka! serunya terkejut.
- lihat!
Dasar perahu ternyata bocor dua tempat. Bahkan papan lapisannya pecah. Tak mengherankan air masuk dengan cepat. Melihat peristiwa itu. Tarung yang berpengalaman bertindak cepat. Buru- buru ia menimba kubangan air yang sudah mencapai di atas mata kaki dengan sebuah tempurung dan dibuangnya keluar.
Sedang demikian, kapal Chaiya masih saja memburu. Makin lama makin dekat. Laskar yang berada di atas geladak, kemudian mengangkat sebuah jangkar besi sambil berteriak- teriak:
- Timpuk! Timpuk! .. . '
Mendengar aba- aba itu. Tilam mendongakkan kepalanya. Pikirnya, kalau begitu di antara mereka terdapat orang awak sendiri. Bukan mustahil. sekelompok laskar Kerajaan Sriwijaya. Dengan cemas ia mengawaskan jangkar besi yang sudah diangkat tinggi- tinggi dan siap dilemparkan ke bawah, ia jadi sibuk sendiri mengingat perahu sudah bocor dan papannya pecah. Tarungpun sedang sibuk menguras air. Dengan demikian. tidak dapat diharapkan untuk membantu menangkis serangan musuh.
- Satu! Dua! . . . - terdengar suara aba- aba.
Dan pada hitungan yang ketiga jangkar besi benar- benar dilemparkan oleh empat orang kebawah. Tak perlu diterangkan lagi, bahwa berat jangkar besi itu setidak- tidaknya melebihi setengah kwintal sehingga membutuhkan empat orang untuk melemparkannya. -
Dengan terpaksa. Tilam melompat mundur dan pada saat itu seseorang berkelebat di sampingnya. Dialah Isu Wardana yang menghadang di depannya. Dengan kedua tangannya ia menangkap jangkar besi seberat setengah kwintal itu dan dilemparkannya balik ke atas. Serunya:
- Siapa berani menerima? Hayo. kita main lempar lemparan! -
Laskar Chaiya yang berdiri di tepi geladak. kaget bukan kepalang. Sama sekali mereka tidak mengira, bahwa isu Wardana akan menyerangnya balik dengan cara demikian. Dengan serentak mereka mundur berserabutan. Seseorang yang berperawakan raksasa tetap berdiri di tempatnya. Dengan kedua tangannya ia menerima ayunan jangkar besi isu Wardana. Kalau dia tidak berani berbuat demikian jangkar besi bisa merusak geladak kapal. Ternyata dia berhasil dan meletakkan jangkar besi itu pelahan- lahan di atas geladak. Tetapi setelah itu, ia melontakkan darah segar melalui mulutnya.
Yang menyaksikan peristiwa itu, terkejut sampai wajahnya pucat pasi. Tentunya, ayunan Isu Wardana membawa tenaga luar biasa besarnya. Kalau tidak, betapa mungkin dapat melukai orang. Padahal, jangkar itu dilemparkan dari bawah. Seumpama datangnya dari atas, tidak dapat terbayangkan lagi betapa akibatnya.
- Paman! Mari kita pecah perhatian mereka.,- ujar Isu Wardana kepada Tarung.
- Bawalah perahu ini menepi! Aku akan menyerang mereka. -
Belum lagi Tarung menyetujui sarannya, Isu Wardana sudah melesat tinggi ke udara dan mendarat di atas geladak kapal. Hebat sepak- terjangnya. Dengan gesit ia menyerang gerombolan.laskar yang tengah terlongong- longong. Karena serangannya tiba dengan mendadak, mereka tidak sempat menangkis atau bertahan. Dengan suara blak bluk, mereka jatuh sungkem mencium geladak. Dan pada saat itu pula, Isu Wardana sudah terbang lagi meninggalkan kapal ke arah lain. Tubuhnya berputar- putar di udara dan menghujam permukaan air seolah- olah ujung tombak. Dan hilanglah dia dari pengamatan orang.
Dalam pada itu. perahu Tilam sudah mencapai tepi sungai. Tepat pada saat itu, perahu orang tua yang dilindunginya tadi menghampiri. Orang tua itu mempersilahkan semuanya naik ke perahu. Kemudian dengan beramai ramai mereka mendarat.
Begitu tiba di daratan,mereka berpaling ke arah kapal asing itu. Seperti saling berjanji. perhatian mereka mencari kemana arah lari Isu Wardana. Mereka tadi sempat melihat Isu Wardana terjun ke dalam permukaan air. Tetapi setelah itu bayangannya tidak nampak lagi.
- Apakah dia dapat berenang? tercetus suara Tilam membawa rasa cemas,
- Apakah dia bukan temanmu? orang tua pemilik perahu heran.
- Kalau begitu, niscaya dia lagi. -
- Dia lagi bagaimana?
Tilam menegas.
- Sebenarnya, terlebih dahulu kami harus menghaturkan terima kasih kepada tuan- tuan sekalian karena sudi menolong kami. Tentang anak muda itu, begini. - sahut orang tua pemilik perahu.
Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter Pendekar Kembar Karya Gan K L Pendekar Bloon 6 Undangan Maut